You are on page 1of 39

M.

Usman Nasution, SH

TENAGA KERJA DAN HUBUNGAN


INDUSTRIAL
Dikutip dari berbagai sumber oleh:
M. Usman Nasution, SH

Tenaga Kerja dan


Hubungan Industrial
I. KETENAGAKERJAAN M. Usman Nasution, SH

1. Rakyat Indonesia pada masa komunal primitif


menuju perbudakan (1500 SM – 300 M)
a. Negrito
Sekarang ada di Papua.
b. Wedda
Sejarah Perkembangan Kedatangan ras ‘Mon Khmer’ dari Yunnan (Tiongkok
Masyarakat Indonesia Selatan) pada tahun 1500 SM menyebabkan
terjadinya perang antara penduduk asli dan
pendatang. Karena kemajuan peradaban dan
persenjataan yang dimiliki ‘Mon Khmer’ maka
penduduk asli Indonesia dapat dikalahkan, dan
dijadikan budak oleh ras pendatang.
2. Rakyat Indonesia pada masa setengah
perbudakan menuju feodalisme (300–1602 M)
kepemilikan perseorangan atas tanah di Nusantara
sebagai wujud dari upaya dan keinginan untuk
memperkuat diri dengan membangun suprastruktur
kekuasaan lokal melalui pengangkatan diri sebagai
raja atas sebuah wilayah, dengan membangun kekuatan
militer yang dipimpin oleh para pendekar/jagoan
Tenaga Kerja dan
Hubungan Industrial
3. Rakyat Indonesia pada masa feodalisme dan
M. Usman Nasution, SH
kolonialisme (1602 M – 1830 M)

Ketika Raja Philip dari Spanyol naik Keadaan inilah yang kemudian
takhta (1580), menyebabkan ter- mendorong seorang Belanda bernama
putusnya jalur hubungan perdaga- Linscoten untuk menemukan tempat-
ngan rempah oleh Belanda & Inggris tempat di Pulau Jawa yang banyak
dari Lisabon sbg akibat dari keber- menghasilkan rempah-rempah, dan
hasilan Raja Philip dlm mempersatu- pada bulan April 1595 Cornelis de
kan Spanyol dan Portugis serta Houtman dan de Keyzer memimpin
menguasai perdagangan rempahnya. pelayaran menuju Nusantara dengan 4
buah kapal.

raja-raja kecil yang semula hanya


merupakan suprastruktur keuasaan
lokal yg memperebutkan pengakuan
kekuatan dan pengaruh atas suatu
wilayah, menjelma jadi bangsawan
lokal yang mengangkat dirinya
sebagai penguasa politik - bekerja
sama dengan para pedagang asing

Tenaga Kerja dan


Hubungan Industrial
M. Usman Nasution, SH

 Sejarah Indonesia (termasuk yang terkait dengan dunia


ketenagakerjaan) sejak masa kolonial sampai sekarang tidak dapat
dipisahkan dari sektor perkebunan, karena sektor ini memiliki arti yang
sangat penting dan menentukan dalam pembentukan berbagai
realitas ekonomi dan sosial masyarakat di banyak wilayah di
Indonesia.
 Perkembangan perkebunan pada satu sisi
dianggap sebagai jembatan yang
menghubungkan masyarakat Indonesia
dengan ekonomi dunia, memberi
keuntungan finansial yang besar, serta
membuka kesempatan ekonomi baru,
namun pada sisi yang lain perkembangan
perkebunan juga dianggap sebagai kendala
bagi diversifikasi ekonomi masyarakat yang
lebih luas, sumber penindasan, serta salah
satu faktor penting yang menimbulkan
kemiskinan struktural.
Tenaga Kerja dan
Hubungan Industrial
M. Usman Nasution, SH

Di dalam pembangunan perkebunan yang


memerlukan sangat banyak tenaga kerja
untuk membuka hutan, mengolah hingga
menanam, maka para raja-raja kecil yang
semula hanya merupakan suprastruktur
keuasaan lokal yang memperebutkan
pengakuan kekuatan dan pengaruh atas
satu dan atau beberapa wilayah, menjelma
menjadi bangsawan lokal yang
mengangkat dirinya sebagai penguasa
politik yang cenderung bekerja sama
dengan para pedagang asing.
Dan inilah yang menjadi ouvuum dari
lahirnya masyarakat buruh yang awalnya
hanyalah masyarakat biasa yang dipaksa
menjadi boedak/koelie melalui perampasan
dan pemaksaan yang dilakukan oleh
pemerintah kolonial yang dibantu oleh para
bangsawan lokal

Tenaga Kerja dan


Hubungan Industrial
M. Usman Nasution, SH

Di Jawa, pemerintah kolonial


menerapkan kebijakan Kultuurstelsel
dalam rangka memanfaatkan secara
paksa tanah-tanah desa baik yang
belum maupun yang telah diolah oleh
masyarakat di daerah Gubernemen
sejak tahun 1830.
Penduduk diharuskan menyerahkan
tanah dan tenaga kerja mereka dalam
jumlah tertentu untuk menghasilkan
berbagai komoditi ekspor untuk
kepentingan negara kolonial.

Tenaga Kerja dan


Hubungan Industrial
M. Usman Nasution, SH

Sistem Tanam Paksa di Jawa yang


berbasis pada desa telah melibatkan
pejabat lokal dari tingkat bawah sampai
bupati bersama-sama controleur sampai
residen untuk melakukan kontrol
terhadap seluruh aktivitas yang
berlangsung. Di Sumatera Barat para
tuanku laras, sebagian penghulu, dan
kepala desa menjadi bagian penting dari
keberhasilan program itu. Di samping
para birokrat kolonial, para elite lokal itu
menikmati keuntungan ganda berupa
manipulasi terhadap produsen dan
imbalan yang diterima dari penguasa
kolonial.

Tenaga Kerja dan


Hubungan Industrial
M. Usman Nasution, SH

Oleh sebab itu tidak mengherankan


jika para elite lokal ini berhasil
membangun relasi politis dan ekonomi
yang erat dengan kekuasaan kolonial,
yang pada titik tertentu menimbulkan
konflik dalam hubungan mereka dengan
rakyatnya sendiri.

Tenaga Kerja dan


Hubungan Industrial
M. Usman Nasution, SH

 Pembukaan perkebunan tembakau milik swasta di Jawa Timur dan


Sumatera Timur pada akhir abad ke-19 menandai sebuah era baru
dalam usaha perkebunan, tidak hanya bagi daerah sekitarnya
melainkan juga di seluruh wilayah kekuasaan Hindia Belanda.
 Selanjutnya, pengerahan tenaga kerja dari luar daerah, khususnya
tenaga kerja kontrak bagi orang Madura di Jawa Timur dan orang
Jawa, Cina, dan India di Sumatera Timur (Semula tenaga kerja
didatangkan dari Tiongkok, akan tetapi pada tahun 1885 mereka
mulai mendatangkan tenaga kerja dari Jawa, karena tenaga yang
ada tidak mencukupi dan mahal) yang juga melibatkan banyak
tenaga kerja perempuan dan anak-anak.
 Kondisi ini menempatkan posisi politis para elite lokal menjadi
seolah-olah lebih penting, dan di beberapa daerah para elite itu
bahkan mengalami peningkatan status dari sekedar “kepala mukim”,
“kepala kampung”, atau kepala wilayah menjadi raja atau sultan,
yang menurut konsep state domain berkuasa atas tanah yang ada.
Tenaga Kerja dan
Hubungan Industrial
M. Usman Nasution, SH

kekuasaan pada waktu itu mengambil bentuk feodal yaitu kerajaan, akan
tetapi hakekat hubungan produksi dan tenaga-tenaga produktif yang ada
jelas lebih tepat bila dikatakan sebagai setengah perbudakan.
Pembuatan candi-candi yang mempekerjakan rakyat tanpa dibayar,
perang dan penaklukan dengan merekrut prajurit dari kalangan kaum tani
tanpa dibayar, semua tanah dan hasilnya adalah untuk keperluan dan
milik Raja, raja yang menentukan apakah seseorang itu adalah orang
bebas atau tidak, merupakan beberapa bukti yang menguatkan karakter
masyarakat setengah perbudakan.

Tenaga Kerja dan


Hubungan Industrial
M. Usman Nasution, SH

Masa berkuasanya kerajaan Majapahit adalah babak paling akhir dari


masa setengah perbudakan untuk bisa hidup dan mempertahankan
syarat-syarat penindasannya. Sehingga kehancuran Majapahit juga bisa
dikatakan sebagai kehancuran dari suprastruktur setengah perbudakan.
Bagaimana dengan Feodalisme? Cikal-bakal feodalisme telah tumbuh
pada masa setengah perbudakan yang semakin menonjol dengan
berdirinya kekuasaan para raja yang sebelumnya adalah tuan budak dan
pada hakekatnya adalah kekuasaan para tuan tanah.

Tenaga Kerja dan


Hubungan Industrial
M. Usman Nasution, SH

Perkebunan mengeluarkan apa yang disebut Poenale Sanctie, sebuah


peraturan yang sangat menindas para buruh. Yaitu keharusan bagi
pekerja untuk tidak meninggalkan pekerjaan sebelum habis kontrak.
Mobilisasi tenaga kerja besar-besaran dengan cara paksa ini telah
melahirkan golongan baru dalam masyarakat Indonesia yaitu kelas
buruh.
Demikian pula dengan pembangunan tranportasi modern seperti kereta
api telah melahirkan buruh kereta api. Berdirinya bengkel mesin telah
melahirkan buruh bengkel, bertambahnya buruh-buruh pelabuhan, buruh
angkut dan lain sebagainya. Hal ini sebenarnya telah berlangsung sejak
zaman Daendels dan Raffles.

Tenaga Kerja dan


Hubungan Industrial
M. Usman Nasution, SH

Residen, Wedana, asisten Wedana dan demang adalah ujung tombak


pihak perkebunan dan pabrik gula dalam melakukan pemaksaan tanam
dan kerja wajib. Mereka juga yang melakukan perampasan tanah-tanah
rakyat untuk kebutuhan penanaman tebu dan pendirian pabrik gula.
Sebagai birokrat jajahan mereka dibayar sangat mahal dengan
menggunakan uang dan insentif yang jumlahnya mengalahkan gaji
seorang menteri di Kerajaan Belanda. Sebagai gambaran, Residen
memperoleh 15.000 gulden/tahun dengan tambahan persen 25.000
gulden/tahun. Para Bupati mendapat 15.000 dan Wedana 1500.
Sedangkan gaji menteri di Belanda hanya 15.000 gulden/tahun.

Tenaga Kerja dan


Hubungan Industrial
M. Usman Nasution, SH

Sejalan dengan system feodalisme tersebut, pemerintah kolonial


Belanda melancarkan slogan ;

‘Een Natie Van Koelias En Een Koelie Onder De Naties’

atau (negara kuli dan kulinya bangsa lain) yang dibuat berdasarkan
peraturan ketenagakerjaan pemerintah kolonial Hindia Belanda guna
menjamin terciptanya kondusifitas penyelenggaraan usaha perkebunan
di Nusantara melalui Keputusan Gubernur Jenderal Nomor 138 dan
Keputusan Gubernur Jenderal Nomor 78 (revisi Keputusan Gubernur
Jenderal Nomor 138).

Tenaga Kerja dan


Hubungan Industrial
M. Usman Nasution, SH

Pada masa itu, yang paling


Tuan Juragan
berpengaruh dan paling
(Investor Pemilik Perkebunan)
berkuasa atas para koeli adalah
para para mandor dan mandor
ADMINISTRATUR kepala, dan paling sering
melakukan pemerasan terhadap
para koeli. Begitu berkuasanya
ASISTEN PENGAWAS para mandor ini, sehingga para
koeli jika ditanya dimana dia
bekerja, maka jawabannya
bukan menyebutkan nama
MANDOR KEPALA
onderneming tempat
bekerjanya, akan tetapi akan
menyebutkan siapa nama
MANDOR mandor dan nama mandor
kepalanya.

PARA KOELIE / BOEROEH

Tenaga Kerja dan


Hubungan Industrial
M. Usman Nasution, SH

Upah : dibayarkan lunas setelah para koeli bekerja selama


lebih dari 3 tahun kontrak kerja, dipotong hutang dan
biaya lainnya yang diangggap sebagai hutang.

Hiburan : menerapkan sebuah kebijakan tahunan, yaitu “acara


perayaan yang diadakan sehubungan akhir masa
kontrak bagi sebagian koelie”

Pinjaman : memberikan pinjaman uang untuk berjudi (oleh para


administrtur melalui para mador kepalanya)

Tumpukan hutang yang tak terbayarkan tersebut kemudian dijadikan sebagai


senjata pemaksa oleh para administratur perkebunan untuk melakukan
penekanan agar menerima kontrak kerja berikutnya dengan upah rendah untuk
jangka waktu yang relatif panjang.

Tenaga Kerja dan


Hubungan Industrial
M. Usman Nasution, SH

Dalam rangka menjaga stabilitas & harmonisasi di daerah tujuan


penanaman modal, pemerintah kolonial Hindia Belanda dalam
beberapa pasalnya memuat aturan yang memastikan para koeli
mematuhi hukum & peraturan yg berlaku di daerah itu dan diwajib-
kan untuk mencatatkan diri di Pemerintah Daerah setempat.

ketentuan jam kerja selama 10 jam sehari

Tidak meninggalkan & melarikan diri dari tempat kerja, melanggar


perintah, melawan dan mengancam atasan, menghasut,
mengganggu ketenangan kerja, mabuk-mabukan, berkelahi, dan
lain-lain yang dapat mengganggu kelancaran proses produksi

Dan untuk menjamin terselenggaranya aturan ini, para


boeroeh/koelie diawasi oleh mandor yang mendapatkan upah
sebesar 7,5% dari hasil kelompok upah para koeli yang dipimpinnya.
Tenaga Kerja dan
Hubungan Industrial
M. Usman Nasution, SH

• Tahun 1870 : Perubahan kebijakan politik kolonial dari tanam paksa ke


perusahaan swasta. Dikenal corak perkebunan rakyat dan perkebunan
swasta (onderneming), dan diterapkan hingga Indonesia merdeka
• Tahun 1957 : Perusahaan swasta diambil alih oleh pemerintah melalui
kebijakan nasionalisasi yang menjadi cikal bakan PTPN
• 1968-1990 : Tonggak bangkitnya perkebunan rakyat dengan areal
mencapai 80%. Tanaman perkebunan utama : Teh, Karet, Kelapa, Kelapa
sawit, Kakao, kopi, dan lada dan sejmlah kecil jambu mete dan pala
• Jumlah tenaga kerja yang terserap adalah : 16,8 juta orang; hingga tahun
1997 terdapat lebih dari 3000 pabrik pengolahan hasil perkebunan

Tenaga Kerja dan


Hubungan Industrial
M. Usman Nasution, SH
Antara tahun 1810-1870 terjadi 19 kali huru
hara akibat kerja paksa dan beban pajak

Di Jawa huru hara praktis tidak pernah


berhenti. Antara tahun 1840 hingga tahun
1875 hanya enam tahun tidak terjadi
kerusuhan

Pada bulan Juli 1882, terjadi pemogokan


besar-besaran oleh kaum buruh di tiga
kabupaten, Sleman, Bantul, dan Kalasan

Pemogokan melanda 30 buah pabrik dan


perkebunan yang meliputi enam pabrik
gula, delapan perkebunan tebu. 14
perkebunan nila dan dua perkebunan
tembakau dengan melibatkan 10.000
orang pemogok yang berlansung selama
tiga bulan
Tenaga Kerja dan
Hubungan Industrial
M. Usman Nasution, SH

pembaharuan mendasar yang dilakukan oleh Pemerintah Orla, mengubah status


"kuli kontrak" menjadi buruh tetap atau yang dikenal di perkebunan dengan istilah
"Buruh SKU/Syarat Kerja Umum” yang dilengkapi dengan jaminan kerja tetap
dan pemberian upah pokok plus komponen kesejahteran kepada buruh berbasis
kebutuhan pokok - pengusaha diwajibkan memenuhi Catu-11 yang terdiri dari
beras, minyak makan, pakaian, ikan, susu, dll.).

Di era dimana mereka hidup didalam udara kemerdekaan, hanya status sebutan
mereka saja yang berubah dari boedak ataupun koelie manjadi buruh SKU
(kemudian di era pemerintahan Orba berubah lagi menjadi Karyawan Harian
Lepas/KHL, Karyawan Harian Tetap/KHT, dan Pegawai Rendah Bulanan/PRB).
Akan tetapi nasib dan perlakuan yang mereka peroleh masih dibawah ambang
batas garis penindasan oleh pengganti tuan kebun yang meneruskan pengelolaan
ala feodalisme

Fakta-fakta di lapangan menunjukkan bahwa mereka tidak memiliki kekuatan


tawar menawar untuk menentukan besar kecilnya manfaat yang pantas mereka
terima sebagai upah atas jasa kerjanya. Berbagai bentuk pembatasan hak pun
diberlakukan, termasuk hak berserikat dan berunding bersama yang dirancang
sedemikian rupa
Tenaga Kerja dan
Hubungan Industrial
M. Usman Nasution, SH

II. GERAKAN KETENAGAKERJAAN


1905 Lahir Serikat Pekerja Pos (Pos Bond).

1906 Lahir Serikat Pekerja Perkebunan (Cultuur Bond) dan Serikat


Pekerja Gula (Zuiker Bond).

1907 Lahir Serikat Pegawai Pemerintah.

1908 Lahir Vereniging Spoor-Traam Personeel (VSTP) dipimpin oleh


Semaoen.

1909 Pada 26 September di kalangan Tionghoa di Jakarta dibentuk


Tiong Hoa Sim Gie dipimpin oleh Lie Yan Hoei. Empat bulan
kemudian kelompok ini merubah nama menjadi Tiong Hoa Keng
Kie Hwee yang kemudian menjadi inti dari Federasi Kaoem
Boeroeh Tionghoa.

1911 Lahir Perkumpulan Bumi Putra Pabean (PBPP).

Tenaga Kerja dan


Hubungan Industrial
M. Usman Nasution, SH

1912 Lahir Sarekat Dagang Islam (SDI) yang bergerak di bidang


perekonomian dan perdagangan, Serikat Islam sebagai serikat
buruh kaum pribumi dan Persatuan Guru Bantu (PGB).
1913 Lahir Serikat Pekerja Kereta Api (Spoor Bond).
1914 Lahir Persatuan Pegawai Pegadaian Bumiputra (PPPB).
1915 Lahir Serikat Pekerja Perusahaan Swasta (Partikulir) / (SPPP).
1916 Lahir Serikat Pekerja Opium Regie Bond (ORB).
1917 Lahir Serikat Pekerja Pabrik Gula.
1918 Pada bulan Agustus lahir PFB (Personeel Fabriek Bond) yang
beranggotakan buruh tetap, Perkumpulan Tani dan koperasi
yang kemudian lazim disebut sebagai Sarekat Tani dengan
anggota kuli kenceng atau pemilik tanah yang disewa pabrik,
serta Perserikatan Kaum Buruh Umum (PKBO) yang
beranggotakan buruh musiman. Ketiga perhimpunan itu diketuai
Suryopranoto yang juga menyebut dirinya sebagai komandan
Tentara Buruh Adidarmo.
Tenaga Kerja dan
Hubungan Industrial
M. Usman Nasution, SH
1919 Lahir Persatuan Pergerakan Kaum Buruh (PPKB) dipimpin oleh
Semaoen.
1920 Pemogokan buruh terjadi pada 72 pabrik gula di seluruh Jawa.
Dari jumlah itu 28 pemogokan terjadi pada masa sebelum dan
sesudah giling yang meliputi 4.700 pekerja; sedangkan
pemogokan yang lain terjadi dalam masa giling (dari bulan Mei
sampai Oktober) dengan pemogokan terdiri dari 20.716 orang.
Pemogokan yang terjadi di luar musim giling biasanya terpaksa
dilakukan sebagai reaksi tindakan pengusaha yang dianggap
tidak adil dan sewenang-wenang. Dari jumlah 4.700 pemogok
sebagian besar terdiri dari tukang yang berperan penting dalam
menjalankan proses produksi di pabrik gula. Meskipun pemogok
yang terdiri dari buruh tetap hanya mencapai 1.997 orang
tetapi mereka mampu memimpin sejumlah besar buruh
musiman (7.584 orang) dan buruh tidak tetap sekitar pabrik
(11.135 orang).
1920 Para pekerja anggota Personeel Fabrik Bond (PFB) mogok
kerja, menuntut majikan supaya mau mengakui keberadaan
Serikat Pekerja mereka.
Tenaga Kerja dan
Hubungan Industrial
M. Usman Nasution, SH

1921 Harga gula, komoditas andalan Belanda di tanah jajahannya


jatuh di pasaran dunia. Pemodal Belanda yang mengalami
kerugian cukup besar terpaksa harus menekan ongkos produksi
secara besar-besaran, diantaranya adalah dengan memangkas
upah buruh.
Buruknya kondisi kerja waktu itu memicu pergolakan aksi
buruh.
Pemerintah mengaktifkan kantor Pengawasan Perburuhan yang
berada dibawah Departemen Kehakiman. Ia punya bagian yang
secara terpusat mengawasi pergerakan serikat buruh dan
mengamati kebutuhan dikeluarkannya peraturan hukum baru
menyangkut perburuhan.
1922 Para pekerja pelabuhan Surabaya melancarkan aksi mogok
kerja, menuntut perbaikan nasib. PPKB dan Revolutionaire
Vakcentrale berhasil membangun aliansi yang bernama PVH
(Persatuan Vakbond Hindia).

Tenaga Kerja dan


Hubungan Industrial
M. Usman Nasution, SH

1923 Pegawai Kereta Api mogok kerja. Tuntutan mereka kala itu
kurang berhasil. Pemerintah kolonial melarang adanya aksi
mogok kerja, yang dilakukan kaum pekerja dan segera
dikeluarkan Undang-Undang tentang larangan mogok kerja
(artikel 161 bis Buku Hukum Pidana) tanggal 10 Mei 1923.
Serikat Pekerja Kereta Api dan Trem-Vereniging van Spoor
en Trem Personeel (VSTP) menjadi anggota Gabungan
Serikat Pekerja International yaitu International Federation
of Trade Union (IFTU) yang bermarkas besar di Moskow Rusia.
Revolutionaire Vakcentrale membangun hubungan dengan
Profintern (Red International Labour Union) dan menjadi
anggotanya.
1924 Pada bulan Juni Serikat Pekerja Indonesia bersama-sama
Serikat Pekerja Filipina, India, Jepang dan Tiongkok di
undang untuk menghadiri Konferensi Serikat Pekerja
Angkutan Laut di Kanton. Dengan demikian keberadaan dan
kehidupan Serikat Pekerja di samping Iebih erat menjalin
hubungan kerja sama dengan Serikat-Serikat Pekerja
Internasional, juga lebih memperkuat posisi.
Tenaga Kerja dan
Hubungan Industrial
M. Usman Nasution, SH

1926 PVH (Persatuan Vakbond Hindia) berakhir akibat dari kegagalan


aksi politik PKI yang disusul penangkapan besar-besaran
terhadap aktivis PV.
1930 Serikat Kaum Buruh Indonesia (SKBI) dibubarkan oleh
pemerintah kolonial, dicurigai turut aktif dalam kegiatan
perjuangan kebangsaan.
1932 Lahir dua organisasi Serikat Pekerja, yaitu Persatuan
Vakbonden Pegawai Negeri (PVPN) dan Persatuan Serikat
Pekerja Indonesia (PSPI), yang didirikan oleh dr. Soetomo.
1937 Direktur Intemasional Labour Organization (ILO), Harold B.
Butle berkunjung ke Indonesia pada bulan Oktober untuk
memperoleh informasi tentang perkembangan kehidupan
perburuhan di Indonesia yang akan dijadikan bahan laporan
dalam Konfrensi ILO.

Tenaga Kerja dan


Hubungan Industrial
M. Usman Nasution, SH

1938 Lahir gerakan politik yang bekerja sama dengan gerakan


serikat pekerja untuk bersama-sama melindungi dan
membebaskan hak-hak dan kepentingan pekerja,
memberantas pengangguran, mengantisipasi tantangan
industrialisasi yang menggusur lapangan usaha kerajinan
rakyat.
1940 Pemerintah kolonial mengeluarkan Ordonansi Regeling
Arberdsverhouding (ORA), suatu peraturan yang mengatur
tentang jaminan dan perlindungan kaum pekerja di
perusahaan-perusahan swasta (partikelir).
1945 Pada 15 September lahir sebuah organisasi massa buruh yang
bernama BBI (Barisan Buruh Indonesia). BBI mengutamakan
barisan buruh untuk memudahkan mobilisasi oleh serikat
pekerja dan Partai Buruh. Dalam kongresnya pada bulan
September 1945 yang dihadiri oleh kaum buruh dan tani,
tercetuslah Partai Buruh Indonesia. BBI juga sepakat untuk
menuntaskan revolusi nasional. Untuk mempertahankan tanah
air dari serangan musuh, BBI membentuk Laskar Buruh
bersenjata di pabrik-pabrik. Untuk kaum perempuan dibentuk
Tenaga Kerja dan
Hubungan Industrial
Barisan Buruh Wanita (BBW).
M. Usman Nasution, SH

1946 BBI dilebur menjadi GASBI (Gabungan Serikat Buruh


Indonesia). Serikat buruh yang tidak sepakat dengan struktur
GASBI keluar dan membentuk GASBV (Gabungan Serikat
Buruh Vertikal). Tetapi pada bulan November, tahun yang
sama, atas usaha Alimin dan Harjono, GASBI dan GASBV
berhasil dilebur menjadi SOBSI (Sentral Organisasi Buruh
Seluruh Indonesia).
1948 SOBSI sempat mengalami perpecahan akibat perbedaan sikap
dalam menanggapi perjanjian Renville. Tetapi tidak lama
kemudian SOBSI berhasil kembali mengkonsolidasikan
pecahan-pecahannya. Bahkan dalam pernyataan politiknya
tahun 1948, SOBSI kemudian menegaskan menolak perjanjian
Renville. SOBSI kemudian menyatakan keluar dari HISSBI
(Himpunan Serikat-serikat buruh Indonesia) karena
perbedaan garis politik.

Tenaga Kerja dan


Hubungan Industrial
M. Usman Nasution, SH

1957 Soekarno mengeluarkan dua konsepsi mengenai kabinet karya


dan dewan nasional. Kabinet karya ini adalah kabinet eksekutif
yang menampung orang-orang di parlemen dan partai politik.
Buruh sebagai golongan fungsional mendapatkan tempat di
Dewan Perancang Nasional. Anggota Dewan ini 77 orang, dan
dari 77 itu ada lima wakil angkatan buruh/pegawai yaitu dari
SOBSI, SOBRI, RKS dan dua orang dari KBKI. Sementara di
Dewan Pertimbangan Agung, duduk dua orang wakil dari buruh
yaitu dari SOBSI dan KBKI.
1973 Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) didirikan sebagai
satu-satunya serikat buruh yang diakui pemerintah.
1990 Pada bulan November serikat buruh independen pertama
dibentuk dengan nama Serikat Buruh Merdeka Setia Kawan
(SBM-SK) di bawah kepemimpinan HJC. Princen. Karena
adanya konflik internal dan tekanan pemerintah, serikat ini
berhenti beraktivitas.

Tenaga Kerja dan


Hubungan Industrial
M. Usman Nasution, SH

1992 Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) didirikan pada 25


April oleh sekelompok aktivis pro-demokrasi yang mengadakan
“pertemuan buruh nasional” di Cipayung, Jawa Barat. Hadir
sekitar 100 buruh dari 18 propinsi. SBSI mendapat dukungan
dari Abdurrahman Wahid (NU), Sabam Sirait (PDI) dan Asmara
Nababan. Mochtar Pakpahan, seorang lawyer buruh dari Medan
menjadi Sekjen SBSI.
1993 Pada 14 Juni, 7 buruh pabrik udang, PT. Tambaksari Jalmorejo
di Medan di-PHK karena menjadi anggota SBSI. Kongres SBSI
yang sedianya diselenggarakan pada 29 Juli tidak mendapat ijin
pemerintah.
1994 Konfederasi Serikat Pekerja Bebas Internasional mengajukan
pengaduan resmi terhadap Indonesia ke Organisasi Buruh
Internasional, ILO. Mereka menuduh pemerintah menolak hak
pekerja untuk membentuk serikat pekerja atas pilihan
mereka sendiri, mengganggu organisasi pekerja independen,
dan melakukan tindakan yang bertentangan dengan standar
ILO mengenai kebebasan berserikat dan hak untuk tawar-
menawar kolektif.
Tenaga Kerja dan
Hubungan Industrial
M. Usman Nasution, SH
1994 Serikat buruh independen ketiga, Pusat Perjuangan Buruh
Indonesia (PPBI), lahir pada bulan Oktober.
1994 Permohonan Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) untuk
didaftar sebagai serikat pekerja kembali ditolak pada bulan
November. Departemen Tenaga Kerja juga menghalangi niat
SBSI untuk mendaftar pada Departemen Dalam Negeri sebagai
organisasi sosial di bawah Undang-undang Keormasan.
Pemerintah menganggap SBSI tidak sah.
1995 Struktur Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), dengan
13 federasi serikat pekerja sektoralnya berubah dari
kesatuan (sentralisasi) menjadi federasi (desentralisasi)
dengan nama Federasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia
(FSPSI). Ke-13 sektor industrinya didaftar sebagai serikat
pekerja nasional yang terpisah; SPSI merupakan satu-satunya
federasi serikat pekerja yang diakui oleh Departemen Tenaga
Kerja. Menteri Tenaga Kerja menyatakan bahwa serikat
pekerja yang dibentuk harus berafiliasi dengan SPSI, dan
bahwa pemerintah tidak akan mengakui setiap serikat
pekerja di luar federasi.
Tenaga Kerja dan
Hubungan Industrial
M. Usman Nasution, SH

1996 PPBI membantu mengorganisasi demo buruh pada bulan Juli di


Surabaya. Dengan partisipasi sekira 15.000 buruh dari 10
pabrik, demo ini barangkali merupakan demonstrasi terbesar di
masa Orde Baru.
1998 Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) diakui oleh
pemerintah. Ketuanya, Mochtar Pakpahan, dibebaskan pada
bulan Mei setelah beberapa tahun mendekam di penjara.
2000 Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat
Pekerja/Serikat Buruh disahkan di Jakarta pada 4 Agustus
oleh Presiden Abdurrahman Wahid.
2003 Kongres Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) yang merupakan
gabungan dari 12 organisasi serikat pekerja melaksanakan
kongres pendirian pada bulan Januari di Jakarta.

Tenaga Kerja dan


Hubungan Industrial
M. Usman Nasution, SH

2004 Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) yang bertujuan untuk


memperjuangkan aspirasi Buruh Migran Indonesia di tingkat
nasioanal maupun internasional dideklarasikan di Semarang
pada tanggal 10 Juli. Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera
Indonesia (SBSI) Sumatera Utara mendapat kehormatan
menjadi tuan rumah kongres World Federation of Clerical
Workers (WFCW) pada 1-4 November. WFCW beranggotakan 70
negara Asia, Afrika, Eropa dan Amerika, merupakan federasi
dari World Confederation of Labour (WCL), organisasi buruh
dunia yang terkuat.

Tenaga Kerja dan


Hubungan Industrial
III. HUBUNGAN INDUSTRIAL M. Usman Nasution, SH

Perubahan paradigma sebagaimana yang tertuang didalam Kesepakatan Kerja


Bersama (KKB) belum sepenuhnya berhasil menciptakan suasana kemitraan
dalam arti yang sebenarnya.
Penyebabnya tidak terlepas dari budaya yang telah puluhan tahun tumbuh subur
didalam diri dan jiwa masyarakat yang sangat kental dengan pengaruh perbedaan
status antara Pekerja dan Pemberi Kerja, sehingga masih banyak karyawan yang
memandang PKB ;
• Hanya untuk mengatur hak dan kewajiban karyawan ditingkat pelaksana saja.
• Belum sepenuhnya mampu membela kepentingan seluruh karyawan.
• Para pemberi kerja tidak terpanggil untuk mempelajari dan memahami PKB
secara utuh dan menyeluruh.
• Bila kepada mereka dibicarakan tentang hak dan kewajiban sesuai jiwa PKB,
timbul penolakan-penolakan yang tidak rasional.
•Timbulnya pelanggaran demi pelanggaran terhadap ketentuan PKB, baik yang
tidak disengaja (karena kurang pengusaan terhadap PKB) maupun yang mungkin
memang disengaja.

Tenaga Kerja dan


Hubungan Industrial
M. Usman Nasution, SH

 Gambaran tentang pertumbuhan serikat pekerja dapat dilihat


sebagai sebuah pemandangan dengan mono-color yang berisikan
objek gambar para pekerja yang frustasi dan terbelakang karena
minimnya wawasan keorganisasian dan hubungan dengan pihak
luar.
 Dengan kondisi wawasan dan hubungan luar yang mono-color ini,
baik secara sadar maupun tidak, sesungguhnya menghadapkan
tuntutan mereka kepada golongan pekerja (staff) yang notabene
lebih cerdas, lebih berpendidikan, dan memiliki kesempatan untuk
saling bertemu dan berinteraksi dengan orang lain diluar
perusahaan sehingga mereka lebih tangguh didalam perundingan
dan atau adu argumen.

Tenaga Kerja dan


Hubungan Industrial
M. Usman Nasution, SH

 Satu-satunya pilihan yang diambil oleh para pengurus serikat


pekerja adalah berlindung di balik punggung anggotanya yang
berjumlah sangat besar dan mudah untuk digerakkan.
 Untuk menarik perhatan dan rasa simpaik para anggotanya, gaya
dan corak kepemimpinan yang mereka lakonkan adalah dengan
mempertontonkan kekuatan menuntut dan menghujat dibalik
ketidak-mengertian para anggota yang terkesima menyaksikan
para wakil mereka, dan secara sengaja menjadikan anggotanya
yang buta informasi/ pengetahuan sebagai ''kuda tunggangan''
untuk melakukan perlawanan kepada pemberi kerja melalui demo
mogok dengan issu ketidak-adilan

Tenaga Kerja dan


Hubungan Industrial
M. Usman Nasution, SH

 Ketidak-mampuan para pengurus Serikat Pekerja dalam


memperjuangkan hak-hak pekerja ditutup-tutupi dan dibungkus
dengan pengalihan perhatian para anggotanya lewat penyuaraan
tuntutan-tuntutan yang tidak menyentuh kepada perlindungan
hak-hak ketenagakerjaan yang mendasar.
Sebagai contoh; poin-poin yang mereka suarakan dan debatkan
didalam setiap event perundigan Perjanjian Kerja Bersama selalu
berkutat seputar upah dan lembur, peningkatan persentasi
pembayaran tunjangan, dan isu klasik lainnya untuk pemancing
perhatian dan dukungan para anggota.

Tenaga Kerja dan


Hubungan Industrial
M. Usman Nasution, SH

Hal-hal lain yang terkait dengan kesejahteraan karyawan yang secara langsung
maupun tidak langung berbanding lurus dengan perlindungan hak
sebagaimana dimaksud ;
 Pasal 27 ayat (2) UUD 1945,
 Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003,
 Undang-Undang Keselamatan Kerja Nomor 1 Tahun 1970,
 Undang-Undang Jaminan Sosial Tenaga Kerja,
 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1956 tentang Persetujuan Konpensi
Organisasi Internasional Nomor 98 mengenai berlakunya dasar-dasar
daripada hak untuk berorganisasi dan untuk berunding bersama,
 Konvensi ILO Nomor 111 mengenai Diskriminasi dalam hal pekerjaan dan
jabatan, dan ....
 Keputusan Presiden RI Nomor 22 Tahun 1993 tentang Penyakit yang
timbul karena hubungan kerja, serta kelangsungan hidup perusahaan.
Yang secara keseluruhan, sesungguhnya berhubungan erat dengan
kelangsungan masa depan karyawan itu sendiri, dan peada kenyataannya
hampir dapat dikatakan tidak mampu tersentuh karena keterbatasan para
pengurus dalam menganalisa dan merumuskan hak-hak dasar yang
seharusnya menjadi fokus perhatian utama untuk diperjuangkan.
Tenaga Kerja dan
Hubungan Industrial
PENUTUP M. Usman Nasution, SH

Dari perjalanan sejarah yang sangat panjang, diawali dari


dimensi perbudakan sampai kepada dimensi dimana harkat
dan martabat pekerja diangkat dan dimuliakan, seyogyanya
meninggalkan jejak pengalaman yang sangat membekas
dan patut dijadikan sebagai cemeti (cambuk) untuk
merubah paradigma berpikir para karyawan saat ini.
Alangkah naiifnya bila penderitaan dan kepedihan yang
pernah dijalani selama ratusan tahun serta perjuangan
keras penuh intimidasi yang pernah ditempuh, dilumpuhkan
oleh sikap eforia yang mewarnai pandangan dan tindakan
didalam mengamban tugas dan tanggung jawab baik
sebagai seorang pekerja maupun sebagai seorang pengurus
Serikat Pekerja.

Thanks for your attention


Tenaga Kerja dan
Hubungan Industrial

You might also like