You are on page 1of 11

ISLAMIC STUDIES

VERSUS NON-ISLAMIC STUDIES


Analisis terhadap Munculnya Dikotomi Keilmuan
dan Upaya Integrasi
Imelda Fajriati *

Abstract: The dichotomy between Islamic studies and non-Islamic studies, or


between religious and secular sciences, represents a long debated discourse. It
emerged as a result of the misunderstanding conducted by Muslim generations
of post al-Ghaza>li> of the categorisation of science into fard} „ayn and fard}
kifa>yah kinds, or „ulu>m al-di>n and ul>um al-dunya>. This categorisation
has given rise to the backwardness of Muslims in intellectual capability and
mastery of science and technology. Attempts to reunderstand the discourse of
dichotomy of science and to promote integration between sciences in light of
Islamic principles appear to be the pressing need of Muslim intellectuals to
fulfill.

Kata kunci: Dikotomi, Islamic Studies, non-Islamic studies, Integrasi.

* Penulis adalah Dosen Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
42 Islamic Studies versus non-IslamicStudies

Pendahuluan
Semenjak ilmu umum „dikeluarkan‟ dari hegemoni pemangku gereja di
Eropa, yang dikenal dengan Renaissance dan Aufklarung, pertarungan menjadi
pemenang dari masing-masing semakin meruncing hingga abad duapuluh ini.
Peristiwa ini juga masyhur dengan sebutan sekularisasi ilmu pengetahuan, dimana
ilmu agama dipisahkan dari ilmu umum, atau dengan bahasa lain, ilmu agama hanya
mengurusi persoalan manusia dengan tuhannya (private) sementara di luar wilayah
itu adalah otoritas ilmu umum (public)1.
Pertarungan menjadi pemegang kebenaran mutlak dan sejati antara
pengetahuan yang dilahirkan oleh orang-orang di luar gereja (ilmu umum) dan para
pemegang otoritas ketuhanan di dunia (ilmu agama) bisa dilihat dari bagaimana
usaha dan upaya dari masing-masing pihak untuk mencari dukungan dan simpati dari
masyarakat luas. Kalangan agamawan mempergunakan kekuatan sakralitas ajaran
ideologinya untuk memperkokoh klaim mereka bahwa hanya ilmu agama yang bisa
menyelamatkan dan memberikan kebahagiaan bagi manusia, baik di dunia maupun
di akhirat. Sementara itu, kalangan non-agamawan (saintis), dengan berbagai
eksperimen intelektualnya yang kreatif dan inovatif, senantiasa menyajikan temuan-
temuan baru yang secara nalar sulit dibantah sebagai sebuah kebenaran.2
Perbedaan paradigma berfikir dari kedua kubu itu melahirkan simpulan
kebenaran yang berbeda. Bagi kalangan agamawan, kebenaran itu bersumber dari
wahyu (teks), sedangkan akal hanya berperan sebagai alat untuk menelusuri dan
menemukan kebenaran tersebut. Bila terjadi pertentangan, akal harus tunduk pada
kebenaran wahyu. Sementara bagi kalangan ilmuwan, kebenaran itu sifatnya tunggal,
dengan akal sebagai penentu dari kebenaran itu. Akal dengan kecanggihan dan
kepekaannya bisa mengkonstruksi, mengeksplorasi dan mendekonstrusksi sebuah
kebenaran. Itulah yang dalam dunia filsafat dikenal dengan dialektika keilmuan:
tesis, anti-tesis dan sintesis. Tidak ada kebenaran yang bersifat mutlak dan abadi,
semua kebenaran besifat sementara sampai ada kebenaran baru yang membantahnya.
Sejarah panjang dikotomi keilmuan itu melahirkan keprihatinan yang cukup
mendalam pada sebagian golongan. Mereka mencoba untuk mempertautkan kembali
keberadaan dua entitas yang sebenarnya „tidak bersalah‟ itu. Ilmu dalam kapasitasnya
sebagai ilmu pada dasarnya haruslah tidak berjenis kelamin dan terkotak-kotak. Ilmu
pada dasarnya seharusnya kosong dari muatan nilai. Ilmu hanyalah alat yang sangat
bergantung pada siapa yang mempergunakan. Muatan nilai bukan pada alatnya, tapi

1 Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat: Deskripsi Analisis Abad
Keemasan Islam (Surabaya: Risalah Gusti, 2003).
2 W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh University Press, 1987).

PARAMEDIA, Vol. 7, No. 2, April 2006


Imelda Fajriati 43

pada pemakainya. Ilmu tidak perlu diperalat sebagai kendaraan ideologi tertentu dan
atau berbagai kepentingan sesaat dan sempit lainnya.3
Perkembangan ilmu pengetahuan pada masa sekarang ini meluas hingga
melahirkan banyak cabang, baik dalam ilmu agama ataupun ilmu-ilmu umum. Dalam
agama Islam, dikenal empat unsur pokok yang masuk dalam rumpun ilmu-ilmu
agama, antara lain Fiqh, Tauhid, Tafsir-H{adi>th dan Akhlak-Tasawwuf (Islamic
studies). Sementara ilmu-ilmu umum diklasifikasikan ke dalam tiga nomenklatur
keilmuan, yaitu natural science, social science, dan humanities (non-Islamic studies).
Dalam peradaban umat Islam, ilmu pengetahuan tidak dapat dipisahkan
dalam sejarah perkembangan peradabannya. Kejayaan peradaban mereka berangkat
dari ajaran Islam yang menempatkan ilmu pada posisi yang tinggi. Misalnya,
Rasulullah mewajibkan setiap muslim laki-laki dan muslim perempuan untuk
menuntut ilmu (“T{alab al-`ilm fari>d}ah `ala> kulli Muslim”). Allah juga
menjelaskan keutamaan dalam berilmu, diantaranya adalah meninggikan derajat
orang-orang yang beriman dan memiliki ilmu pengetahuan.4
Demikian inilah yang memacu dan memotivasi kalangan umat untuk
senantiasa memperdalam dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Mereka giat
melakukan pengamatan/observasi, ijtihad olah pikir dan berbagai uji empiris.
Kegiatan ini berjalan lama hingga menjadi sebuah tradisi. Oleh karena itulah,
dihasilkan kemajuan dalam berbagai ilmu, seperti Ilmu Kalam, Filsafat, Mantiq (atau
dapat digolongkan dalam Islamic studies), dan aljabar, astronomi, kedokteran (yang
digolongkan dalam non-Islamic studies).
Sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan, umat mulai terbiasa dengan
mendapatkan kemudahan dalam kehidupan mereka sebagai buah dari ilmu
pengetahuan. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bagi sebagian kalangan ulama,
bahwa kehidupan mereka sudah terbuai oleh kenikmatan kehidupan duniawi, hingga
dapat mengurangi keseriusan mereka di bidang agama. Al Ghazali, ulama besar abad
11 M merasa perlu mengingatkan mereka terhadap pentingnya menghidupkan
kembali ilmu agama dengan menulis kitab yang terkenal bernama Ih}ya>` Ulu>m
al-Di>n. Sejak itu, istilah `ulu>m al-di>n dan `ulu>m al-dunya> muncul di tengah-
tengah kehidupan umat Islam. Pembagian ilmu ini disertai dengan hukum
mencarinya; Fard} `ayn hukumnya untuk menuntut `ulu>m al-di>n, dan fard}
kifa>yah untuk `ulu>m al-dunya>.5 Konsekuensinya, orang-orang Islam ramai-
ramai menuntut ilmu agama, sebaliknya untuk ilmu-ilmu umum, mereka tidak
termotivasi untuk mengembangkannya. Menurut Fazlur Rahman, pembedaan ilmu

3 Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies (New York: Cambridge University Press, 1991).
4 QS. al-Muja>dalah: 11.
5Lihat Abu> H{a>mid Muh}ammad al-Ghaza>li>, Ih}ya‟ `Ulu>m al-Di>n, vol. I, cetakan
ke-3 (Beirut, Libanon: Da>r al Fikr, 1991), terutama bagian “Kita>b al-`Ilm”.

PARAMEDIA, Vol. 7, No. 2, April 2006


44 Islamic Studies versus non-IslamicStudies

secara tajam antara religious sciences (`ulu>m al-shar>i‟ah) atau traditional sciences
dan rational atau secular sciences (`ulu>m al-`aqli>yah atau ghayr shari>`ah) yang
sikap terhadapnya sedikit demi sedikit semakin akut, berperan besar atas munculnya
dikotomi ilmu di kalangan umat Islam.6
Kurangnya memahami pemikiran ulama dalam pembedaan `ulu>m al-
di>n dan `ulu>m al-dunya> serta implementasinya menjadikan dikotomi ilmu
semakin meruncing. Muncul anggapan bahwa setiap keilmuan itu memiliki
wilayahnya sendiri yang khas, yang seolah-olah tidak membutuhkan disiplin ilmu
yang lain.
Tulisan ini hendak menguraikan dikotomi ilmu antara Islamic studies dan
non-Islamic studies. Isu-isu yang sentral dalam pembahasan tulisan ini adalah
mengapa dan bagaimana dikotomi ilmu, khususnya Islamic studies dan non-Islamic
studies, dapat muncul dalam kehidupan umat Islam, serta bagaimana upaya integrasi
atas dua keilmuan tersebut?

Sejarah Ringkas Munculnya Islamic Studies dan non-Islamic Studies


Sebagaimana diketahui dari perspektif sejarah, perjalanan keilmuan dalam
kehidupan umat Islam telah mengalami berbagai masa. Dimulai sejak Muhammad
SAW diutus menjadi rasul, masa ini dikenal sebagai masa penanaman fondasi dasar-
dasar keilmuan dalam Islam. Kemudian, dilanjutkan pada masa al-Khulafa>’ al-
Rasyidi>n sebagai masa pertumbuhan keilmuan, masa Dawlah Umai>yah sebagai
masa perkembangan keilmuan, dan masa Dawlah `Abbasi>yah sebagai masa
kemajuan keilmuan dalam Islam. Di tengah-tengan kemajuan keilmuan tersebut
muncul kekhawatiran dari ulama bahwa uamt Islam dapat terbuai oleh kehidupan
duniawi dengan mengabaikan kehidupan akhirat, diantaranya dengan mengingatkan
mereka untuk kembali kepada ilmu-ilmu agama.
Di antara ulama tersebut adalah al-Ghazali. Berangkat dari adanya
kekhawatiran terhadap umat Islam yang dipandang lebih mementingkan duniawi
daripada ukhrawi, al-Ghazali merasa terpanggil untuk mengingatkan mereka akan
pentingnya ilmu-ilmu agama.7 Setelah itu, muncul istilah `ulu>m fard} `ayn atau
`ulu>m al-di>n dan `ulu>m fard} kifa>yah atau `ulu>m al-dunya> di tengah-
tengah kehidupan umat Islam. Kemudian, pembagian ilmu ini disalahpahami oleh
generasi Islam berikutnya. Menurut Fazlur Rahman, sebab utama munculnya dikotomi
ilmu di kalangan umat Islam adalah adanya pembagian ilmu secara tajam antara
religious scences (`ulu>m al-shari>‟ah) atau traditional sciences dan rational atau
secular sciences (`ulu>m al-`aqliyah atau ghayr al-shari>`ah).

6 Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago,


America: The University of Chicago Press, 1984).
7 al-Ghaza>li>, Ih}ya‟ `Ulu>m al-Di>n, 15-54.

PARAMEDIA, Vol. 7, No. 2, April 2006


Imelda Fajriati 45

Rahman mengemukakan empat alasan terhadap kesimpulannya di atas.


Pertama, adanya pandangan yang secara terus menerus diungkapkan bahwa karena
ilmu itu luas sedangkan hidup ini singkat, maka orang Islam harus memprioritaskan
sains-sains agama yang merupakan kunci kejayaan hidup di akhirat. Kedua, adanya
penyebaran sufisme yang pada umumnya bersikap memusuhi sains-sains rasional dan
seluruh intelektualisme. Ketiga, para pemegang ijazah sains-sains keagamaan dapat
memperoleh pekerjaan sebagai qadi atau mufti, sedangkan bagi filsuf atau saintis
hanya tersedia lowongan kerja di istana saja. Alasan terakhir, sikap tokoh-tokoh Islam
sekaliber al-Ghazali yang tidak saja menentang sains semata tetapi juga filsafat
sebagaimana yang dikemukakan oleh al-Farabi dan Ibn-Sina.8

Ontologi dan Epistemologi Islamic Studies


Berbagai penelitian dan kajian yang dilakukan oleh para cendikiawan
muslim kontemporer seperti H}asan H}anafi>, M. `A<bid al-Ja>biri>, Moh}ammed
Arkoun dan yang lainnya menyatakan bahwa Islamic studies yang berkembang
selama ini di dunia Islam ternyata berporos pada teks, dengan hulu dan muara
akhirnya adalah teks al-Qur‟a>n dan h}adi>th yang dipandang sudah final dan
`tertutup`. Dunia teks dalam Islamic studies begitu dominan. Karena dominannya, Ali
Harb juga Nasr Abu Zayd sampai-sampai menyatakan bahwa yang membentuk
peradaban Islam adalah teks, dan peradaban Islam adalah peradaban teks.9 Dominasi
teks yang demikian juga menjadi fakta dan pijakan dasar pengembangan keilmuan
yang saat ini terjadi.
Karena fokus utamanya adalah teks, maka selain dunia teks dalam the
second world yang harus dipahami dan dituntun sesuai dengan “apa maunya” teks.
The second world menjadi obyek persoalan yang harus diselesaikan oleh the first
world, yakni teks. Kenyataan ini nantinya berimplikasi pada “perlakuan” terhadap
ilmu-ilmu lain non-Islamic studies.
Fakta keterikatan yang `sangat mendalam` dengan dunia teks ini jelas
mempengaruhi konstruksi epistemologi yang dipakainya. Dalam pengamatan Al-
Jabiri, struktur epistemik yang ada dibalik pemikiran umat Islam yang berporos pada
teks ini disebut sebagai bayani,10 yang sering diidentikkan dengan sikap mental yang
ofensif, apologis, dogmatis dan polemis. Dalam epistemologi ini, teks menjadi nomor
satu dan segala daya intelek yang dimiliki manusia hanya boleh-tepatnya
diperbolehkan-bekerja untuk mendukung dan menjustifiksi teks.

8 Rahman, Islam and Modernity, 33-34.


9Ali H}arb, Hermeneutika Kebenaran, terj. Sunarwoto Dema (Jogjakarta: LkiS, 2003), 31.
10 M. `A<bid al-Ja>biri>, Bunyat al-„Aql al-„Arabi> (Beirut: Markaz al-Thaqa>fi> al-
`Arabi>, 1993), 13-25.

PARAMEDIA, Vol. 7, No. 2, April 2006


46 Islamic Studies versus non-IslamicStudies

Ilmu-ilmu non-Islamic Studies dan Hubungannya dengan Islamic Studies


Corak Islamic studies adalah bayani, yang berporos pada teks, dan segala
disiplin keilmuan lain dimaksudkan sebagai jalan untuk mengukuhkan kajian-kajian
Islamic studies yang dimaksud. Hal ini mengindikasikan bahwa, ilmu-ilmu yang
masuk katagori non-Islamic studies hanyalah pelengkap dan justifikasi dari ilmu
Islamic studies.
Sebagaimana kenyataan bahwa realitas kehidupan manusia itu senantiasa
dinamis dan berkembang, demikian pula kenyataan bahwa terdapat saling
keterkaitan dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Secara akademis, ragam sisi
kehidupan manusia itu diolah dan digarap oleh lahan keilmuan yang juga beragam.
Dimensi sosial manusia digarap oleh sosiologi, dimensi psikologis manusia digarap
oleh psikologi, dimensi `hidup` manusia digarap oleh biologi, dimensi politiknya
digarap oleh ilmu politik, dan lain sebagainya. Lahan keilmuan yang beragam
tersebut masuk dalam kelompok non-Islamic studies.
Kenyataan saling keterkaitan antara Islamic studies dan non-Islamic studies
dalam menggarap dimensi realitas kehidupan manusia tersebut mengimplikasikan
asumsi bahwa tidak mungkin satu disiplin keilmuan terbebas atau membebaskan diri
sama sekali dari disiplin–disiplin keilmuan yang lain. Mencukupkan diri dengan satu
bidang keilmuan saja dan membuta sama sekali dengan bidang keilmuan yang lain
hanya akan mendorong kepada sempitnya persepsi terhadap kehidupan manusia,
sekaligus mengkerdilkan disiplin keilmuan itu sendiri. Cukup jelas, bahwa dalam
kehidupan umat manusia, diperlukan banyak dimensi ilmu pengetahuan untuk
membantu dalam menyelesaikan persoalan-persoalan hidupnya.

Paradigma Integrasi Islamic Studies dan non-Islamic Studies


Dua Asumsi besar yang perlu diperhatikan dalam mengintegrasikan ilmu-
ilmu keislaman dan non-keislaman adalah sebagai berikut: Secara prinsip sebenarnya
umat Islam itu meyakini bahwa teks Islam itu tidak hanya qawli>yah (Kalam Allah
yang dikodifikasi/al-Qur‟a>n), tetapi juga kawni>yah (realitas). Implikasinya, baik
eksplorasi terhadap teks qawli>yah maupun kawni>yah sebenarnya memiliki
derajat yang sama, karena sama-sama teks yang berasal dari Allah. Bahkan di awal
„turun‟-nya teks qawli>yah yang kemudian dikodifikasi, Nabi Muhammad sudah
„diperintahkan‟ untuk membaca (iqra‟). Karena teks qawli>yah yang dimaksud belum
terkodifikasi, maka jelas –sebagaimana pandangan sebagian besar mufassir–perintah
tersebut adalah untuk membaca teks kawni>yah, segala realitas: alam semesta,
kondisi sosial-budaya-politik yang terpapar di hadapan Nabi saat itu. Meskipun
demikian, karena proses sejarah tertentu, visi qawli>yah dan kawni>yah
sebagaimana disebut di atas mulai memudar di kalangan umat Islam. Yang disebut
“Islam” dan sah menduduki posisi sebagai satu-satunya “firman Allah” hanyalah teks
qawli>yah, yaitu al-Qur‟a>n. Teks-teks kawni>yah dipandang sebagai pelengkap

PARAMEDIA, Vol. 7, No. 2, April 2006


Imelda Fajriati 47

saja, dan lebih sering dipandang sebagai “justifikasi” bagi teks qawli>yah,
sebagaimana terbukti dari populernya jenis tafsi>r bi al-`ilm terhadap al-Qur‟a>n di
titik sejarah tertentu kehidupan umat Islam.11 Mengikuti analisis W.C. Smith,
sebenarnya baik kesadaran agama maupun kesadaran ilmiah itu sebenarnya berada
dalam kesadaran sejarah. Segala kebenaran dan pemahaman manusia –baik pada
dataran ilmiah-sains maupun pada dataran spiritual-agama– berada dalam logika
sejarahnya sendiri, sehingga sama-sama bersifat “terbatas”, “partikular” dan
“human”.12 Implikasinya, tidak akan pernah ada satu pemahaman yang bisa
diterapkan untuk segala ruang dan waktu. Sebagaimana pemahaman terhadap
realitas dan pemahaman terhadap agama itu dinamis, maka yang pertama diperlukan
adalah kesadaran untuk dinamis, terbuka untuk menerima perubahan.

Solusi Integrasi Islamic Studies dan non-Islamic Studies


Solusi terhadap problem dikotomi ilmu atas Islamic studies dan non-Islamic
studies yang telah lama melanda umat Islam menurut Ismail Raji Al-Faruqi dapat
dilakukan melalui cara islamisasi ilmu pengetahuan. Islamisasi ilmu pengetahuan
dilaksanakan melalui dua belas langkah secara sistematis. Langkah pertama adalah
penguasaan disiplin ilmu modern atau yang dapat dikelompokkan ke dalam
kelompok non-Islamic studies. Disiplin ilmu modern harus dibagi menjadi katagori,
prinsip, metodologi, masalah, dan tema. Langkah kedua adalah survei disiplin ilmu.
Setelah katagori disiplin ilmu itu dibagi-bagi, suatu survei pengetahuan harus ditulis
mengenai masing-masing disiplin ilmu itu. Ini perlu bagi sarjana muslim agar dapat
menguasai masing-masing disiplin ilmu tersebut. Langkah ketiga adalah penguasaan
warisan Islam. Warisan Islam harus dikuasai dengan cara yang sama. Akan tetapi,
yang diperlukan di sini adalah bunga rampai mengenai warisan Islam yang
menyinggung masing-masing disiplin tersebut. Langkah keempat adalah analisis
warisan Islam. Begitu bungai rampai selesai dipersiapkan, warisan Islam harus
dianalisis dari perspektif masalah masa kini. Langkah kelima adalah menentukan
relevansi khusus antara Islam dan disiplin-disiplin itu. Hal ini dilaksanakan dengan
mengemukakan tiga pertanyaan, yaitu: (1) Apa yang disumbangkan oleh
pengetahuan mulai dari al-Qur‟a>n diturunkan hingga kaum modernis keseluruh
persoalan yang dikemukakan oleh disiplin ilmu modern? (2) Seberapa besar
sumbangan warisan Islam pada disiplin ilmu modern jika dibandingkan dengan
prestasi yang dicapai ilmu-ilmu Barat? Atau sampai dimanakah tingkat pemenuhan,
kekurangan, dan kelebihan warisan Islam dibandingkan dengan visi dan jangkauan
disiplin ilmu Barat modern tersebut? Dan (3) apabila ada bidang-bidang persoalan

11 Muzaffar Iqbal,Islam and Science (Hampshire: Ashgate, 2002), 203.


12Wilfred Cantwell Smith, Modern Culture from a Comparative Perspective (New York: State
of University of New York Press, 1997), 9-17.

PARAMEDIA, Vol. 7, No. 2, April 2006


48 Islamic Studies versus non-IslamicStudies

yang sedikit disentuh atau diluar jangkauan warisan Islam, kearah manakah upaya
Muslim selanjutnya diusahakan untuk mengisi ketidaksesuaian dalam merumuskan
kembali itu dan memperluas visinya?13
Langkah keenam adalah penilaian kritis terhadap disiplin ilmu modern.
Setelah relevansi Islam dengan masing-masing disiplin ditentukan, harus dinilai dan
dianalisis dari sudut pandang Islam. Langkah ketujuh adalah penilaian kritis terhadap
warisan Islam. Begitu juga, sumbangan warisan Islam dalam setiap bidang aktivitas
manusia harus dianalisis dan ditentukan relevansinya dengan masa kini. Langkah
kedelapan adalah survey terhadap masalah-masalah utama yang dihadapi umat.
Suatu kajian sistematis tentang masalah-masalah politik, sosial, ekonomi, intelektual
budaya, pendidikan, moral dan spiritual dari masyarakat muslim. Langkah
kesembilan adalah survey masalah-masalah kemanusiaan. Suatu kajian yang serupa,
tetapi lebih terpusat pada seluruh umat manusia juga harus dibuat.14
Langkah kesepuluh adalah analisis dan sintesis kreatif. Pada tahap ini, para
sarjana Muslim sudah siap memadukan warisan Islam dengan disiplin-disiplin ilmu
modern dan mendobrak kemandekan selama berabad-abad. Dari sini, warisan
pengetahuan akan sarat dengan prestasi-prestasi ilmu modern dan mulai
memindahkan perbatasan pengetahuan ke cakrawala yang lebih jauh dari yang telah
digambarkan oleh disiplin-disiplin ilmu modern. Langkah kesebelas adalah
menyusun kembali disiplin ilmu modern ke dalam kerangka Islam. Begitu
keseimbangan antara warisan Islam dan disiplin ilmu modern berhasil dicapai, buku
teks perguruan tinggi harus ditulis untuk menyusun kembali disiplin ilmu ke dalam
kerangka Islam. Langkah keduabelas adalah menyebarkan ilmu pengetahuan Islam.
Karya intelektual yang dihasilkan dari langkah-langkah sebelumnya harus
digunakan untuk membangunkan, menerangi dan memperkaya umat Islam.15
Kuntowijoyo mengemukakan sebuah teori yang disebut sebagai upaya
“Pengilmuan Islam”. Teori ini direkomendasikan untuk mengganti teori ”Islamisasi
ilmu pengetahuan”, dan untuk mendorong gerakan intelektual umat sekarang ini
melangkah lebih jauh. Dengan demikian, gerakan intelektual umat Islam tidak lagi
sebagai gerakan reaktif, tetapi proaktif.
Kuntowijoyo membedakan tiga istilah yang dapat membingungkan, yaitu
“Pengilmuan Islam”, “Paradigma Islam”, dan “Islam sebagai ilmu”. “Pengilmuan Islam
adalah proses”, “Paradigma Islam” adalah hasil, dan “Islam sebagai ilmu” adalah proses
sekaligus hasil. Menurut Kuntowijoyo, orang Islam harus melihat realitas melalui
Islam, dan eksistensi humaniora dalam al-Qur‟a>n. Islam sebagai teks (al-Qur‟a>n dan
al-Sunnah) dihadapkan pada realitas. Dengan kata lain dari teks ke konteks.

13 Ismail R. al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan (Bandung: Pustaka, 1984), 88.


14 Ibid., 88.
15 Ibid., 88.

PARAMEDIA, Vol. 7, No. 2, April 2006


Imelda Fajriati 49

Kemudian, mengapa orang Islam harus melihat realitas melalui Islam? Menurut ilmu
budaya dan sosiologi, realitas itu tidak dilihat secara langsung oleh orang, tetapi
melalui tabir (kata, konsep, simbol, budaya, persetujuan masyarakat). Di daerah
Kejawen, orang melihat raja melalui simbol-simbol: mitos Nyi Lara Kidul, upacara
labuhan, sastra Babad Tanah Jawi, tata cara sembah, dan larangan-larangan.
Demikian pula, orang Amerika melihat Sovyet Uni Komunis melalui simbol-simbol:
film tentang KGB dan tentara merah, konsep tirai besi, dan anti dunia merdeka.16
Menurut Kuntowijoyo ilmu-ilmu sekuler tidak semuanya obyektif. Banyak
orang Islam sendiri yang ragu-ragu bahwa Islam adalah sebuah sistem, karena mereka
belajar dari ilmu-ilmu sekuler barat, yang mengajarkan bahwa agama (termasuk
Islam) terbatas pada urusan individual. Lebih-lebih mereka yang belajar secara
`ilmiah` melalui Marxisme yang melihat agama sebagai candu. Pemikiran manusia
(ilmu dan filsafat) telah menjadi `petunjuk bagi orang yang percaya` mengganti
kedudukan agama yang sebenarnya. Maka sewajarnya jika umat Islam pun berbuat
sebaliknya: menjadikan Islam sebagai ilmu. Dengan pengilmuan Islam dimaksudkan
supaya sifat subjektif Islam itu berubah menjadi sifat obyektif ilmu. Sifat subjektif
disembunyikan, sifat obyektif mengemuka.17
Ada dua metodologi yang dipakai dalam proses pengilmuan Islam, yaitu
integralisasi dan obyektifikasi. Integralisasi ialah pengintegrasian kekayaan keilmuan
manusia dengan wahyu (petunjuk Allah dalam al-Qur‟a>n beserta pelaksanaanya
dalam Sunnah Nabi). Obyektifikasi ialah menjadikan pengilmuan Islam sebagai
rahmat untuk semua orang.18
Menurut Kuntowijoyo ilmu-ilmu sekuler sebagai normal science, sedangkan
ilmu-ilmu integralistik yang sedang dirintis sebagai revolusi. Paradigma baru ilmu-
ilmu integralistik itu kedudukannya akan mirip dengan kedudukan ilmu-ilmu sosial
Marxistis terhadap ilmu-ilmu sosial barat yang dianggap kapitalis. Ilmu-ilmu sekuler
merupakan produk bersama seluruh manusia, sedangkan ilmu-ilmu integralistik
adalah produk bersama seluruh manusia beriman untuk semua manusia. Ilmu-ilmu
integralistik tidak memandang rendah ilmu-ilmu sekuler, tetapi sebaliknya ingin
menghormati dengan mengkritisi dan meneruskan perjalanannya. Karena ilmu-ilmu
sekuler sedang terjangkiti krisis, mengalami kemandekan dan bias di sana-sini
(filosofis, keagamaan, peradaban, etnis, ekonomis, politis dan gender).19
Dengan demikian, ilmu-ilmu integralistik memang diperlukan demi
kepentingan keberlangsungan eksistensi substansi ilmu-ilmu sekuler sendiri. Ilmu-
ilmu integralistik tidak ingin mengganti ilmu sekuler, tetapi sekedar ingin berada

16 Kontowijoyo, Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Etika (Jakarta: Teraju, 2004),
1.
17 Ibid., 1.
18 Ibid., 52.
19 Ibid., 52-53.

PARAMEDIA, Vol. 7, No. 2, April 2006


50 Islamic Studies versus non-IslamicStudies

bersama. Ilmu-ilmu integralistik juga ingin bekerja untuk mendukung kelangsungan


hidup dan masa depan manusia. Ilmu integralistik, merupakan ilmu yang menyatukan
wahyu Tuhan dan temuan pikiran manusia. Ilmu ini tidak akan mengucilkan Tuhan
(sekularisme) atau mengucilkan manusia. Integralisme akan menyelesaikan konflik
antara sekularisme ekstrem dan agama-agama radikal dalam banyak sektor.
Misalnya, pikiran Barat sekuler berhasil menghasilkan ilmu ekonomi, kemudian
dimasuki norma-norma wahyu Tuhan menjadi ilmu ekonomi syari`ah, lalu muncul
lembaga-lembaga keuangan syariah seperti Bank Mu`amalah Indonesia (BMI), BNI
Syari`ah, Bank Mandiri Syari`ah, BMT dan sebagainya.20
Menurut Amin Abdullah, integrasi keilmuan perlu memperhatikan prinsip-
prinsip dasar berikut. H}ad}a>rat al-nas}s} (baya>ni>) memang tidak lagi bisa
berdiri sendiri, terlepas sama sekali dari h}ad}a>rat al-`ilm (teknik, komunikasi) dan
juga tidak bisa terlepas dari h}ad}a>rat al-falsafah (etik), begitu juga sebaliknya.
H}}ad}a>rat al-`ilm, yaitu ilmu empiris yang menghasilkan sains dan teknologi, akan
tidak punya karakter yang berpihak pada kehidupan manusia dan lingkungan hidup,
jika tidak dipandu oleh h}ad}a>rat al-falsafah. Sementara itu, h}ad}a>rat al-nas}s}
dalam kombinasinya dengan h}ad}a>rat al-`ilm tanpa mengenal humaniora
kontemporer sedikitpun juga berbahaya, karena jika tidak hati-hati akan mudah
terbawa arus kearah radicalism-fundamentalism. Untuk itu diperlukan h}ad}a>rat
al-falsafah, etik yang bersifat transformatif-liberatif. Begitu pula, h}ad}a>rat al-
falsafah (budaya filsafat) akan terasa kering jika tidak menjauh dari problem-problem
yang ditimbulkan dan dihadapi oleh h}ad}a>rat al-`ilm. Jika diskemakan rancang
bangun keilmuan baru sebagai berikut:21

H}ad}a>rat al- H}ad}a>rat al-


Nas}s} `Ilm
H}ad}a>rat al-Falsafah

Skema di atas dapat disederhanakan menjadi:

H}ad}a>rat al-Nas}s}

20 Ibid., 59.
21Amin Abdullah, ”Desain Pengembangan Akademik IAIN Menuju UIN Sunan Kalijaga: Dari
Pola Pendekatan Dikotomis-Atomistik ke Arah Integratif-Interdisiplinary,” (Makalah
disampaikan dalam Diskusi Panel ”Refleksi 21 tahun Program Pascasarjana IAIN Sunan
Kalijaga,” Yogyakarta, 16 Maret, 2004).

PARAMEDIA, Vol. 7, No. 2, April 2006


Imelda Fajriati 51

H}ad}a>rat al-`Ilm H}ad}a>rat al-Falsafah

Penutup
Dari berbagai uraian yang dipaparkan dimuka, dapat ditarik beberapa
kesimpulan. Pertama, latar belakang munculnya dikotomi ilmu Islamic studies dan
non-Islamic studies adalah adanya kekhawatiran para ulama atas umat yang terbuai
kehidupan duniawi dengan kemajuan ilmu. Sebagai reaksi terhadap kenyataan ini,
maka diperlukan pembedaan pengertian ilmu menjadi `ulu>m fard} `ayn dan
`ulu>m fard} kifa>yah, atau `ulu>m al-di>n dan `ulu>m al-dunya>. Kedua,
munculnya dikotomi ilmu dalam Islam disebabkan adanya kesalahpahaman generasi
Islam setelah al-Ghazali terhadap pembagian ilmu menjadi `ulu>m fard} `ayn dan
`ulu>m fard} kifa>yah, atau `ulu>m al-di>n dan `ulu>m al-dunya>. Ketiga,
problem dikotomi ilmu dalam Islam dapat diatasi dengan beberapa cara, yakni:
Islamisasi ilmu pengetahuan (menurut Ismail Raji al-Faruqi), pengilmuan Islam
(menurut Kuntowijoyo) dan pengawinan atau interkoneksitas antara h}ada>rat al-
nas}s}, h}ad}a>rat al-`ilm dan h}ad}a>rat al-falsafah (menurut Amin Abdullah).

PARAMEDIA, Vol. 7, No. 2, April 2006

You might also like