Professional Documents
Culture Documents
* Penulis adalah Dosen Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
42 Islamic Studies versus non-IslamicStudies
Pendahuluan
Semenjak ilmu umum „dikeluarkan‟ dari hegemoni pemangku gereja di
Eropa, yang dikenal dengan Renaissance dan Aufklarung, pertarungan menjadi
pemenang dari masing-masing semakin meruncing hingga abad duapuluh ini.
Peristiwa ini juga masyhur dengan sebutan sekularisasi ilmu pengetahuan, dimana
ilmu agama dipisahkan dari ilmu umum, atau dengan bahasa lain, ilmu agama hanya
mengurusi persoalan manusia dengan tuhannya (private) sementara di luar wilayah
itu adalah otoritas ilmu umum (public)1.
Pertarungan menjadi pemegang kebenaran mutlak dan sejati antara
pengetahuan yang dilahirkan oleh orang-orang di luar gereja (ilmu umum) dan para
pemegang otoritas ketuhanan di dunia (ilmu agama) bisa dilihat dari bagaimana
usaha dan upaya dari masing-masing pihak untuk mencari dukungan dan simpati dari
masyarakat luas. Kalangan agamawan mempergunakan kekuatan sakralitas ajaran
ideologinya untuk memperkokoh klaim mereka bahwa hanya ilmu agama yang bisa
menyelamatkan dan memberikan kebahagiaan bagi manusia, baik di dunia maupun
di akhirat. Sementara itu, kalangan non-agamawan (saintis), dengan berbagai
eksperimen intelektualnya yang kreatif dan inovatif, senantiasa menyajikan temuan-
temuan baru yang secara nalar sulit dibantah sebagai sebuah kebenaran.2
Perbedaan paradigma berfikir dari kedua kubu itu melahirkan simpulan
kebenaran yang berbeda. Bagi kalangan agamawan, kebenaran itu bersumber dari
wahyu (teks), sedangkan akal hanya berperan sebagai alat untuk menelusuri dan
menemukan kebenaran tersebut. Bila terjadi pertentangan, akal harus tunduk pada
kebenaran wahyu. Sementara bagi kalangan ilmuwan, kebenaran itu sifatnya tunggal,
dengan akal sebagai penentu dari kebenaran itu. Akal dengan kecanggihan dan
kepekaannya bisa mengkonstruksi, mengeksplorasi dan mendekonstrusksi sebuah
kebenaran. Itulah yang dalam dunia filsafat dikenal dengan dialektika keilmuan:
tesis, anti-tesis dan sintesis. Tidak ada kebenaran yang bersifat mutlak dan abadi,
semua kebenaran besifat sementara sampai ada kebenaran baru yang membantahnya.
Sejarah panjang dikotomi keilmuan itu melahirkan keprihatinan yang cukup
mendalam pada sebagian golongan. Mereka mencoba untuk mempertautkan kembali
keberadaan dua entitas yang sebenarnya „tidak bersalah‟ itu. Ilmu dalam kapasitasnya
sebagai ilmu pada dasarnya haruslah tidak berjenis kelamin dan terkotak-kotak. Ilmu
pada dasarnya seharusnya kosong dari muatan nilai. Ilmu hanyalah alat yang sangat
bergantung pada siapa yang mempergunakan. Muatan nilai bukan pada alatnya, tapi
1 Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat: Deskripsi Analisis Abad
Keemasan Islam (Surabaya: Risalah Gusti, 2003).
2 W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh University Press, 1987).
pada pemakainya. Ilmu tidak perlu diperalat sebagai kendaraan ideologi tertentu dan
atau berbagai kepentingan sesaat dan sempit lainnya.3
Perkembangan ilmu pengetahuan pada masa sekarang ini meluas hingga
melahirkan banyak cabang, baik dalam ilmu agama ataupun ilmu-ilmu umum. Dalam
agama Islam, dikenal empat unsur pokok yang masuk dalam rumpun ilmu-ilmu
agama, antara lain Fiqh, Tauhid, Tafsir-H{adi>th dan Akhlak-Tasawwuf (Islamic
studies). Sementara ilmu-ilmu umum diklasifikasikan ke dalam tiga nomenklatur
keilmuan, yaitu natural science, social science, dan humanities (non-Islamic studies).
Dalam peradaban umat Islam, ilmu pengetahuan tidak dapat dipisahkan
dalam sejarah perkembangan peradabannya. Kejayaan peradaban mereka berangkat
dari ajaran Islam yang menempatkan ilmu pada posisi yang tinggi. Misalnya,
Rasulullah mewajibkan setiap muslim laki-laki dan muslim perempuan untuk
menuntut ilmu (“T{alab al-`ilm fari>d}ah `ala> kulli Muslim”). Allah juga
menjelaskan keutamaan dalam berilmu, diantaranya adalah meninggikan derajat
orang-orang yang beriman dan memiliki ilmu pengetahuan.4
Demikian inilah yang memacu dan memotivasi kalangan umat untuk
senantiasa memperdalam dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Mereka giat
melakukan pengamatan/observasi, ijtihad olah pikir dan berbagai uji empiris.
Kegiatan ini berjalan lama hingga menjadi sebuah tradisi. Oleh karena itulah,
dihasilkan kemajuan dalam berbagai ilmu, seperti Ilmu Kalam, Filsafat, Mantiq (atau
dapat digolongkan dalam Islamic studies), dan aljabar, astronomi, kedokteran (yang
digolongkan dalam non-Islamic studies).
Sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan, umat mulai terbiasa dengan
mendapatkan kemudahan dalam kehidupan mereka sebagai buah dari ilmu
pengetahuan. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bagi sebagian kalangan ulama,
bahwa kehidupan mereka sudah terbuai oleh kenikmatan kehidupan duniawi, hingga
dapat mengurangi keseriusan mereka di bidang agama. Al Ghazali, ulama besar abad
11 M merasa perlu mengingatkan mereka terhadap pentingnya menghidupkan
kembali ilmu agama dengan menulis kitab yang terkenal bernama Ih}ya>` Ulu>m
al-Di>n. Sejak itu, istilah `ulu>m al-di>n dan `ulu>m al-dunya> muncul di tengah-
tengah kehidupan umat Islam. Pembagian ilmu ini disertai dengan hukum
mencarinya; Fard} `ayn hukumnya untuk menuntut `ulu>m al-di>n, dan fard}
kifa>yah untuk `ulu>m al-dunya>.5 Konsekuensinya, orang-orang Islam ramai-
ramai menuntut ilmu agama, sebaliknya untuk ilmu-ilmu umum, mereka tidak
termotivasi untuk mengembangkannya. Menurut Fazlur Rahman, pembedaan ilmu
3 Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies (New York: Cambridge University Press, 1991).
4 QS. al-Muja>dalah: 11.
5Lihat Abu> H{a>mid Muh}ammad al-Ghaza>li>, Ih}ya‟ `Ulu>m al-Di>n, vol. I, cetakan
ke-3 (Beirut, Libanon: Da>r al Fikr, 1991), terutama bagian “Kita>b al-`Ilm”.
secara tajam antara religious sciences (`ulu>m al-shar>i‟ah) atau traditional sciences
dan rational atau secular sciences (`ulu>m al-`aqli>yah atau ghayr shari>`ah) yang
sikap terhadapnya sedikit demi sedikit semakin akut, berperan besar atas munculnya
dikotomi ilmu di kalangan umat Islam.6
Kurangnya memahami pemikiran ulama dalam pembedaan `ulu>m al-
di>n dan `ulu>m al-dunya> serta implementasinya menjadikan dikotomi ilmu
semakin meruncing. Muncul anggapan bahwa setiap keilmuan itu memiliki
wilayahnya sendiri yang khas, yang seolah-olah tidak membutuhkan disiplin ilmu
yang lain.
Tulisan ini hendak menguraikan dikotomi ilmu antara Islamic studies dan
non-Islamic studies. Isu-isu yang sentral dalam pembahasan tulisan ini adalah
mengapa dan bagaimana dikotomi ilmu, khususnya Islamic studies dan non-Islamic
studies, dapat muncul dalam kehidupan umat Islam, serta bagaimana upaya integrasi
atas dua keilmuan tersebut?
saja, dan lebih sering dipandang sebagai “justifikasi” bagi teks qawli>yah,
sebagaimana terbukti dari populernya jenis tafsi>r bi al-`ilm terhadap al-Qur‟a>n di
titik sejarah tertentu kehidupan umat Islam.11 Mengikuti analisis W.C. Smith,
sebenarnya baik kesadaran agama maupun kesadaran ilmiah itu sebenarnya berada
dalam kesadaran sejarah. Segala kebenaran dan pemahaman manusia –baik pada
dataran ilmiah-sains maupun pada dataran spiritual-agama– berada dalam logika
sejarahnya sendiri, sehingga sama-sama bersifat “terbatas”, “partikular” dan
“human”.12 Implikasinya, tidak akan pernah ada satu pemahaman yang bisa
diterapkan untuk segala ruang dan waktu. Sebagaimana pemahaman terhadap
realitas dan pemahaman terhadap agama itu dinamis, maka yang pertama diperlukan
adalah kesadaran untuk dinamis, terbuka untuk menerima perubahan.
yang sedikit disentuh atau diluar jangkauan warisan Islam, kearah manakah upaya
Muslim selanjutnya diusahakan untuk mengisi ketidaksesuaian dalam merumuskan
kembali itu dan memperluas visinya?13
Langkah keenam adalah penilaian kritis terhadap disiplin ilmu modern.
Setelah relevansi Islam dengan masing-masing disiplin ditentukan, harus dinilai dan
dianalisis dari sudut pandang Islam. Langkah ketujuh adalah penilaian kritis terhadap
warisan Islam. Begitu juga, sumbangan warisan Islam dalam setiap bidang aktivitas
manusia harus dianalisis dan ditentukan relevansinya dengan masa kini. Langkah
kedelapan adalah survey terhadap masalah-masalah utama yang dihadapi umat.
Suatu kajian sistematis tentang masalah-masalah politik, sosial, ekonomi, intelektual
budaya, pendidikan, moral dan spiritual dari masyarakat muslim. Langkah
kesembilan adalah survey masalah-masalah kemanusiaan. Suatu kajian yang serupa,
tetapi lebih terpusat pada seluruh umat manusia juga harus dibuat.14
Langkah kesepuluh adalah analisis dan sintesis kreatif. Pada tahap ini, para
sarjana Muslim sudah siap memadukan warisan Islam dengan disiplin-disiplin ilmu
modern dan mendobrak kemandekan selama berabad-abad. Dari sini, warisan
pengetahuan akan sarat dengan prestasi-prestasi ilmu modern dan mulai
memindahkan perbatasan pengetahuan ke cakrawala yang lebih jauh dari yang telah
digambarkan oleh disiplin-disiplin ilmu modern. Langkah kesebelas adalah
menyusun kembali disiplin ilmu modern ke dalam kerangka Islam. Begitu
keseimbangan antara warisan Islam dan disiplin ilmu modern berhasil dicapai, buku
teks perguruan tinggi harus ditulis untuk menyusun kembali disiplin ilmu ke dalam
kerangka Islam. Langkah keduabelas adalah menyebarkan ilmu pengetahuan Islam.
Karya intelektual yang dihasilkan dari langkah-langkah sebelumnya harus
digunakan untuk membangunkan, menerangi dan memperkaya umat Islam.15
Kuntowijoyo mengemukakan sebuah teori yang disebut sebagai upaya
“Pengilmuan Islam”. Teori ini direkomendasikan untuk mengganti teori ”Islamisasi
ilmu pengetahuan”, dan untuk mendorong gerakan intelektual umat sekarang ini
melangkah lebih jauh. Dengan demikian, gerakan intelektual umat Islam tidak lagi
sebagai gerakan reaktif, tetapi proaktif.
Kuntowijoyo membedakan tiga istilah yang dapat membingungkan, yaitu
“Pengilmuan Islam”, “Paradigma Islam”, dan “Islam sebagai ilmu”. “Pengilmuan Islam
adalah proses”, “Paradigma Islam” adalah hasil, dan “Islam sebagai ilmu” adalah proses
sekaligus hasil. Menurut Kuntowijoyo, orang Islam harus melihat realitas melalui
Islam, dan eksistensi humaniora dalam al-Qur‟a>n. Islam sebagai teks (al-Qur‟a>n dan
al-Sunnah) dihadapkan pada realitas. Dengan kata lain dari teks ke konteks.
Kemudian, mengapa orang Islam harus melihat realitas melalui Islam? Menurut ilmu
budaya dan sosiologi, realitas itu tidak dilihat secara langsung oleh orang, tetapi
melalui tabir (kata, konsep, simbol, budaya, persetujuan masyarakat). Di daerah
Kejawen, orang melihat raja melalui simbol-simbol: mitos Nyi Lara Kidul, upacara
labuhan, sastra Babad Tanah Jawi, tata cara sembah, dan larangan-larangan.
Demikian pula, orang Amerika melihat Sovyet Uni Komunis melalui simbol-simbol:
film tentang KGB dan tentara merah, konsep tirai besi, dan anti dunia merdeka.16
Menurut Kuntowijoyo ilmu-ilmu sekuler tidak semuanya obyektif. Banyak
orang Islam sendiri yang ragu-ragu bahwa Islam adalah sebuah sistem, karena mereka
belajar dari ilmu-ilmu sekuler barat, yang mengajarkan bahwa agama (termasuk
Islam) terbatas pada urusan individual. Lebih-lebih mereka yang belajar secara
`ilmiah` melalui Marxisme yang melihat agama sebagai candu. Pemikiran manusia
(ilmu dan filsafat) telah menjadi `petunjuk bagi orang yang percaya` mengganti
kedudukan agama yang sebenarnya. Maka sewajarnya jika umat Islam pun berbuat
sebaliknya: menjadikan Islam sebagai ilmu. Dengan pengilmuan Islam dimaksudkan
supaya sifat subjektif Islam itu berubah menjadi sifat obyektif ilmu. Sifat subjektif
disembunyikan, sifat obyektif mengemuka.17
Ada dua metodologi yang dipakai dalam proses pengilmuan Islam, yaitu
integralisasi dan obyektifikasi. Integralisasi ialah pengintegrasian kekayaan keilmuan
manusia dengan wahyu (petunjuk Allah dalam al-Qur‟a>n beserta pelaksanaanya
dalam Sunnah Nabi). Obyektifikasi ialah menjadikan pengilmuan Islam sebagai
rahmat untuk semua orang.18
Menurut Kuntowijoyo ilmu-ilmu sekuler sebagai normal science, sedangkan
ilmu-ilmu integralistik yang sedang dirintis sebagai revolusi. Paradigma baru ilmu-
ilmu integralistik itu kedudukannya akan mirip dengan kedudukan ilmu-ilmu sosial
Marxistis terhadap ilmu-ilmu sosial barat yang dianggap kapitalis. Ilmu-ilmu sekuler
merupakan produk bersama seluruh manusia, sedangkan ilmu-ilmu integralistik
adalah produk bersama seluruh manusia beriman untuk semua manusia. Ilmu-ilmu
integralistik tidak memandang rendah ilmu-ilmu sekuler, tetapi sebaliknya ingin
menghormati dengan mengkritisi dan meneruskan perjalanannya. Karena ilmu-ilmu
sekuler sedang terjangkiti krisis, mengalami kemandekan dan bias di sana-sini
(filosofis, keagamaan, peradaban, etnis, ekonomis, politis dan gender).19
Dengan demikian, ilmu-ilmu integralistik memang diperlukan demi
kepentingan keberlangsungan eksistensi substansi ilmu-ilmu sekuler sendiri. Ilmu-
ilmu integralistik tidak ingin mengganti ilmu sekuler, tetapi sekedar ingin berada
16 Kontowijoyo, Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Etika (Jakarta: Teraju, 2004),
1.
17 Ibid., 1.
18 Ibid., 52.
19 Ibid., 52-53.
H}ad}a>rat al-Nas}s}
20 Ibid., 59.
21Amin Abdullah, ”Desain Pengembangan Akademik IAIN Menuju UIN Sunan Kalijaga: Dari
Pola Pendekatan Dikotomis-Atomistik ke Arah Integratif-Interdisiplinary,” (Makalah
disampaikan dalam Diskusi Panel ”Refleksi 21 tahun Program Pascasarjana IAIN Sunan
Kalijaga,” Yogyakarta, 16 Maret, 2004).
Penutup
Dari berbagai uraian yang dipaparkan dimuka, dapat ditarik beberapa
kesimpulan. Pertama, latar belakang munculnya dikotomi ilmu Islamic studies dan
non-Islamic studies adalah adanya kekhawatiran para ulama atas umat yang terbuai
kehidupan duniawi dengan kemajuan ilmu. Sebagai reaksi terhadap kenyataan ini,
maka diperlukan pembedaan pengertian ilmu menjadi `ulu>m fard} `ayn dan
`ulu>m fard} kifa>yah, atau `ulu>m al-di>n dan `ulu>m al-dunya>. Kedua,
munculnya dikotomi ilmu dalam Islam disebabkan adanya kesalahpahaman generasi
Islam setelah al-Ghazali terhadap pembagian ilmu menjadi `ulu>m fard} `ayn dan
`ulu>m fard} kifa>yah, atau `ulu>m al-di>n dan `ulu>m al-dunya>. Ketiga,
problem dikotomi ilmu dalam Islam dapat diatasi dengan beberapa cara, yakni:
Islamisasi ilmu pengetahuan (menurut Ismail Raji al-Faruqi), pengilmuan Islam
(menurut Kuntowijoyo) dan pengawinan atau interkoneksitas antara h}ada>rat al-
nas}s}, h}ad}a>rat al-`ilm dan h}ad}a>rat al-falsafah (menurut Amin Abdullah).