You are on page 1of 28

Makalah Penegakan Hukum 

Baru
Januari 14, 2009 oleh makalahhukum

PENEGAKAN HUKUM SEBAGAI PELUANG


MENCIPTAKAN KEADILAN

PENDAHULUAN
Penegakan  hukum  merupakan  pusat  dari  seluruh  “aktivitas
kehidupan”  hukum  yang  dimulai  dari  perencanaan  hukum,
pembentukan  hukum,  penegakan  hukum  dan  evaluasi  hukum.
Penegakan  hukum  pada  hakikatnya  merupakan  interaksi  antara
berbagai  perilaku  manusia  yang  mewakili  kepentingan  –
kepentingan  yang  berbeda  dalam  bingkai  aturan  yang  telah
disepakati bersama. Oleh karena itu, penegakan hukum tidak dapat
semata-mata  dianggap  sebagai  proses  menerapkan  hukum
sebagaimana pendapat kaum  legalistik. Namun proses penegakan
hukum  mempunyai  dimensi  yang  lebih  luas  daripada  pendapat
tersebut, karena dalam penegakan hukum akan melibatkan dimensi
perilaku  manusia.  Dengan  pemahaman  tersebut  maka  kita  dapat
mengetahui  bahwa  problem-problem  hukum  yang  akan  selalu
menonjol  adalah  problema  “law  in  action”  bukan  pada  “law  in  the
books”.
Pada  saat  ini  dapat  mengamati,  melihat  dan  merasakan
bahwa  penegakan  hukum  berada  dalam  posisi  yang  tidak
menggembirakan.  Masyarakat  mempertanyakan  kinerja  aparat
penegak  hukm  dalam  pemberantasan  korupsi,  merebaknya  mafia
peradilan, pelanggaran hukum dalam penelitian APBN dan APBD di
kalangan  birokrasi.  Dafatar  ketidakpuasan  masyarakat  dalam
penegakan  hukum  semakin  bertambah  panjang  apabila membuka
kembali  lembaran –  lembaran  lama seperti kasus Marsinah, kasus wartawan  Udin,  kasus 
Sengkon  dan  Karta,  kasus  Tanah  Keret  di
Papua dan lain-lainnya.
Pengadilan  yang  merupakan  representasi  utama  wajah
penegakan  hukum  dituntut  untuk  mampu  melahirkan  tidak  hanya
kepastian hukum, melainkan pula keadilan, kemanfaatan sosial dan
pemberdayaan  sosial  melalui  putusan  –  putusan  hakimnya.
Kegagalan  lembaga  peradilan  dalam  mewujudkan  tujuan  hukum
diatas  telah  mendorong  meningkatnya  ketidakpercayaan
masyarakat terhadap pranata hukum dan lembaga-lembaga hukum.
Mungkin benar apabila dikatakan bahwa perhatian masyarakat
terhadap  lembaga-lembaga  hukum  telah  berada  pada  titik  nadir.
Hampir setiap saat kita dapat menemukan berita, informasi, laporan
atau  ulasan  yang  berhubungan  dengan  lembaga-lembaga  hukum
kita. Salah satu permasalahan yang perlu mendapat perhatian kita
semua  adalah  merosotnya  rasa  hormat  masyarakat  terhadap
wibawa hukum.
Bagaimana  juga masih banyak warga masyarakat yang  tetap
menghormati putusan – putusan yang telah dibuat oleh pengadilan.
Meskipun  demikian  sah-sah  juga  kiranya  apabila  masyarakat
mempunyai penilaian  tersendiri  terhadap putusan  tersebut. Adanya
penilaian  dari  masyarakat  ini  menunjukkan  bahwa  hukum  /
pengadilan  tidak  dapat  melepaskan  diri  dari  struktur  sosial
masyarakatnya. Hukum  tidaklah steril dari perilaku – perilaku sosial
lingkungannya.  Oleh  karena  itu  wajar  kiranya  apabila  masyarakat
mempunyai  opini  tersendiri  setiap  ada  putusan  pengadilan  yang
dipandang  bertentangan  dengan  nilai  –  nilai  keadilan  hidup  dan
tumbuh di tengah – tengah masyarakat. Persoalannya  tidak  akan  berhenti  hanya  sebatas
munculnya
opini  publik,  melainkan  berdampak  sangat  luas  yaitu  merosotnya
citra lembaga hukum di mata masyarakat. Kepercayaan masyarakat
akan  luntur  dan mendorong munculnya  situasi  anomi. Masyarakat
kebingungan nilai – nilai mana yang benar dan mana yang salah.

SUMBER WIBAWA HUKUM


Dalam  pikiran  para  yuris,  proses  peradilan  sering  hanya
diterjemahkan  sebagai  suatu  proses  memeriksa  dan  mengadili
secara  penuh  dengan  berdasarkan  hukum  positif  semata-mata.
Pandangan  yang  formal  legistis  ini  mendominasi  pemikiran  para
penegak hukum, sehingga apa yang menjadi bunyi undang-undang,
itulah yang akan menjadi hukumnya.
Kelemahan utama pandangan ini adalah terjadinya penegakan
hukum yang kaku,  tidak diskresi dan cenderung mengabaikan  rasa
keadilan masyarakat karena lebih mengutamakan kepastian hukum.
Proses  mengadili  –  dalam  kenyataannya  bukanlah  proses  yuridis
semata. Proses peradilan bukan hanya proses menerapkan pasal-
pasal  dan  bunyi  undang  –  undang,  melainkan  proses  yang
melibatkan  perilaku  –perilaku  masyarakat  dan  berlangsung  dalam
struktur  sosial  tertentu.  Penelitian  yang  telah  dilakukan  oleh Marc
Galanter  di  Amerika  Serikat  dapat  menunjukkan  bahwa  suatu
putusan  hakim  ibaratnya  hanyalah  pengesahan  saja  dari
kesepakatan  yang  telah  dicapai  oleh  para  pihak. Dalam  perspektif
sosiologis,  lembaga  pengadilan  merupakan  lembaga  yang  multi
fungsi  dan  merupakan  tempat  untuk  ”record  keeping”,  ”site  of
administrative  processing”,  ”ceremonial  changes  of  status”,
”settlement negotiation”, ”mediations and arbitration”, dan warfare. Produk  dari  pengadilan 
adalah  putusan  hakim.  Dari  sinilah
awal  dapat  dibangunnya  wibawa  hukum.  Dalam  putusan  hakim,
wibawa  hukum  dipertaruhkan.  Para  petinggi  hukum  tidak  perlu
berteriak-teriak  minta  kepada  masyarakat  agar  menghormati
pengadilan. Cukuplah apabila pengadilan di tingkat PN, PT ataupun
MA membuat  putusan  yang  bermutu  tinggi, maka  rasa  hormat  itu
akan datang dengan sendirinya.
Kiranya  masyarakat  dapat  memberikan  penilaian  tersendiri
terhadap mutu putusan para hakim. Haruslah disadari benar bahwa
menegakkan  wibawa  pengadilan  tidakkah  semudah  membalik
telapak  tangan.  Sistem  peradilan  di  Indonesia  yang  merupakan
warisan  kolonial  Belanda  sedikit  banyak  menyulitkan  dalam
prakteknya.  Sisa-sisa  perilaku  sebagai  bangsa  terjajah  masih
tampak  di  kalangan  para  hakim.  Sebagai  contoh,  sampai  saat  ini
kita masih  bisa melihat  digunakannya Osterman  Arrest  dari  Hoge
Raad Belanda sebagai contoh  tentang Perbuatan Melawan Hukum
(PMH). Dari  sisi  ini  setidaknya  kita  dapat melihat  adanya  tiga  hal,
yaitu : pertama, hakim-hakim kita tidak mempunyai kepercayaan diri
untuk  mengutip  yuriprudensi  dari  Mahkamah  Agung  Indonesia.
Kedua, kemungkinan memang  tidak ada putusan hakim  (MA) yang
dapat  dianggap  berkualitas  kasus  itu.  Ketiga,  menganggap
yuriprudensi asing selalu lebih valid dan bermutu.
Munculnya  kritik-kritik  terhadap  keberadaan  lembaga
peradilan  tidak  lain  karena  peradilan  kita  tidak  dapat memberikan
pengayoman  kepada  warg  masyarakat.  Putusan  pengadilan  yang
diharapkan dapat mengembalikan keseimbangan masyarakat yang
terganggu  tidak  dapat  terpenuhi.  Adanya  isu  mafia  peradilan,
keadilan  dapat  dibeli,  munculnya  bahasa-bahasa  yang  sarkastis dengan  plesetan  HAKIM 
(Hubungi  Aku  Kalau  Ingin  Menang),
KUHAP  diplesetkan  sebagai  Kurang  Uang  Hukuman  Penjara,
tidaklah  muncul  begitu  saja.  Kesemuanya  ini  merupakan  ”produk
sampingan” dari bekerjanya lembaga-lembaga hukum itu sendiri.
Ungkap-ungkapan  ini  merupakan  reaksi  dari  rasa  keadilan
masyarakat yang terkoyak karena bekerja lembaga-lembaga hukum
yang  tidak  profesional maupun  putusan  hakim/putusan  pengadilan
yang  semata-mata  hanya  berlandaskan  pada  aspek  yuridis.
Berlakunya  hukum  di  tengah-tengah  masyarakat,  mengemban
tujuan  untuk  mewujudkan  keadilan,  kepastian  hukum  dan
kemanfaatan dan pemberdayaan sosial bagi masyarakatnya. Untuk
menuju pada cita-cita pengadilan sebagai pengayoman masyarakat,
maka  pengadilan  harus  senantiasa  mengedapkan  empat  tujuan
hukum di atas dalam setiap putusan yang dibuatnya. Hal ini sejalan
dengan  apa  yang menjadi  dasar  berpijaknya  hukum  yaitu  ”hukum
untuk  kesejahteraan masyarakat”. Dengan  demiian,  pada  akhirnya
tidak  hanya  dikatakan  sebagai  Law  and  Order  (Hukum  dan
Ketertiban)  tetapi  telah  berubah  menjadi  Law,  Order  dan  Justice
(Hukum,  Ketertiban,  dan  Ketentraman).  Adanya  dimensi  keadilan
dan ketentraman yang merupakan manifestasi bekerjanya  lembaga
pengadilan,  akan  semakin  mendekatkan  cita-cita  pengadilan
sebagai pengayom masyarakat.

MEMBUDAYAKAN PERILAKU ANTIKORUPSI


Dalam  10  tahun  terakhir,  gelombang  perubahan  yang
menakjubkan  telah  terjadi  di  Indonesia.  Pemerintah  telah  memilih
jalan  untuk  melaksanakan  program  desentralisasi  secara  besar-
besaran dan telah melaksanakan pemilihan umum secara langsung
untuk  memilih  presiden,  gubernur,  bupati,  dan  walikota.  Hal  ini
haruslah  dilihat  sebagai  proses  transisi  secara  damai  dari  rezim
otoriter  kepada  rezim  demokrasi  yang  diikuti  pula  dnegan
perubahan – perubahan kelembagaan dan transformasi regulasi.
Dalam konteks inilah masalah korupsi di Indonesia perlu untuk
dikaji.  Korupsi  bukanlah  sesuatu  yang  khas  Indonesia.  Hampir  di
kebanyakan negara korupsi selalu  terjadi. Korupsi merebak hampir
di  semua  negara  di  dunia  baik  negara  industri  maupun  negara
berkembang. Survei yang dilakukan oleh Transparansi Internasional
menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara korup
di  dunia.  Dalam  bidang  pemberantasan  korupsi,  skor  Indonesia
hanya  sejajar  dengan Nigeria  dan  Bangladesh  dan  tertinggal  jauh
apabila dibandingkan dengan Philipina maupun Malaysia.
Hasil  survei  ini mencerminkan  transparansi  yang  lebih  besar
mengenai  korupsi  di  Indonesia  dan  menunjukkan  bahwa
masyarakat Indonesia menjadi salah satu masyarakat yang terbuka.
Masyarakat  mengakui  bahwa  korupsi  secara  objektif  terjadi  di
berbagai  sektor  dan masyarakat  juga  berpendapat  bahwa  korupsi
merupakan  kejahatan  yang  harus  dibasmi.  Korupsi  merupakan
ancaman yang besar bagi transmisi politik dan ekonomi di Indonesia
karena  korupsi  melemahkan  kemampuan  negara  untuk
menyediakan  barang  –  barang  publik  dan  mengurani  kredibilitas negara  di mata  rakyat.
Dalam  jangka  panjang  korupsi merupakan
ancaman bagi keberlangsungan demokrasi.
Survei  nasional  yang  dilaksanakan  oleh  Partnerhip  for
Governance  Rerofm  in  Indonesia  menyajikan  sumber  informasi
yang kaya tentang persepsi 2.300 rumah tangga, pejabat publik dan
pengusaha. Hasil  survei mengungkapkan  bahwa  75 %  responden
berpendapat  bahwa  korupsi  sangat  lazim  di  sektor  publik.  Di
samping  itu,  65  %  rumah  tangga  melaporkan  telah  mengalami
secara  langsung  dan  70  %  responden  melihat  korupsi  sebagai
“penyakit  yang  harus  diberantas”.  Survei  juga  mengungkapkan
tingkat  kemarahan  publik  dan  kemuakan  terhadap  korupsi.  80  %
responden  menghendaki  agar  pejabat-pejabat  yang  korup
dipenjarakan  dan  disita  kekayaannya.  Sebagian  kecil  responden
menghendaki pejabat tersebut dipermalukan di depan umum. Nyaris
tidak  ada  dukungan  untuk  memberikan  amnesti  atau  tumpangan
bagi pelaku korupsi di masa lalu.
Survei  tersebut  menawarkan  tiga  temuan  yang  signifikan.
Pertama,  orang  tidak  terlalu  percaya  pada  lembaga  –  lembaga
negara.  Lembaga-lembaga  yang  dianggap  paling  paling  korup
termasuk  di  sektor  peradilan  (Kepolisian,  Pengadilan,  Kejaksaan
dan Departemen Kehakiman), instansi – instansi pendapatan (Dinas
Pabean  dan  Instansi  perpajakan),  Departemen  Pekerjaan  Umum
dan  Bank  Indonesia.  Kedua,  lembaga  –  lembaga  yang  diranking
paling korup juga dianggap kurang efisien dalam penyampaian jasa.
Ketiga,  survei  tersebut  memberi  wawasan  terhadap  penyebab-
penyebab  aktual  di  Indonesia. Walaupun  hasil  survei menunjukka
kepercayaan  yang  kuat  bahwa  korupsi  disebabkan  oleh  gaji
pegawai  yang  rendah,  rendahnya  moral  perorangan,  serta  tidak adanya pengendali –
pengendali dan akuntabilitas, namun analisis
data  yang  cermat  menunjukkan  bahwa  empat  variabel  tersebut
berkorelasi  dengan  manajemen  bermutu  tinggi,  nilai  –  nilai
organisasi  yang  anti  korupsi,  manajemen  kepegawaian  bermutu
tinggi dan manajemen pengadaan barang bermutu tinggi.
Sebagai warisan yang sudah berkembang sejak  jaman VOC,
pemberantasan  korupsi  diyakini  akan  sulit  dilakukan  karena  akan
menentang  kepentingan  –  kepentingan  kelompok  yang  kuat,
terorganisasi  secara  rapi  dalam  kelompok  –  kelompok  yang  saling
menguntungkan.  Terjadinya  distorsi  –  distorsi  secara  sistematis
dalam struktur yang menghalalkan sistem  insentif sehingga mampu
mengubah  cara  pengambilan  keputusan  masyarakat  sehingga
mengubah  pula  perilaku  masyarakat  yang  bebas  korupsi  akan
tergambar suasana sebagai berikut  :  (1) Birokrasi sebagai pelayan
publik merasa bertanggung  jawab atas pelayanan mereka, merasa
takut  untuk  memungut  biaya  tidak  resmi  dan  akan  mendapatkan
takut  untuk  memungut  biaya  tidak  resmi  dan  akan  mendapatkan
insentif  resmi  karena  bertindak  jujur.  (2) Masyarakat menganggap
aturan  –  aturan  akan  ditaati  sehingga  masyarakat  memposisikan
perilakunya  dalam  kerangka  peraturan  tersebut.  (3)  Masyarakat
tidak  perlu  membayar  insentif  tidak  resmi  (komisi,  suap,  uang
pelicin)  karena  mengetahui  bahwa  tanpa  membayar  pun  akan
dilindungi  hak-haknya  untuk  mendapatkan  pelayanan  publik  yang
berkualitas.

Pengalaman di negara maju menunjukkan bahwa upaya untuk


membangun perilaku anti korupsi memerlukan waktu yang lama dan
komitmen yang kuat dari para pemimpinnya serta pengawasan terus
menerus  dari  masyarakat  dan  media  massa.  Oleh  karena  itu
mengharapkan  Indonesia  mampu  memberantas  korupsi  dan
membudayakan  perilaku  antikorupsi  dalam  waktu  singkat,  adalah
harapan  yang  berlebihan.  Dibutuhkan  waktu  yang  lama  melalui
proses  yang  disebut  oleh  Peter  L  Berger  sebagai  proses
internalisasi yang dimulai dari bangku-bangku sekolah dasar.
Indonesia  menemukan  momentum  untuk  memulai  perang
melawan  korupsi  dengan  dilakukan  perubahan  mendasar  dalam
bidang  ketatanegaraan  yang  memungkinkan  dilaksanakannya
pemilihan  umum  yang  jujur,  bebas,  adil  dan  pemilihan  langsung
presiden pada  tahun 2004. Hal  ini membuat presiden dan anggota
parlemen lebih bertanggung jawab kepada rakyat. Pemilihan kepala
daerah secara langsung sebagai amanat UU Nomor 32 tahun 2004
tentang  pemerintahan  daerah  akan  meningkat  akuntabilitas  di
tingkat lokal. Pergeseran ini diyakini akan membuat para pemegang
kekuasaan publik  lebih berhati – hati karena masyarakat menuntut
akuntabilitas  yang  lebih  besar  sebagai  imbalan  dari  suara  yang
diberikan pada saat pemlilihan kepala negara dan kepala daerah.
Pergeseran  dalam  pemilihan  kepala  daerah  di  Indonesia
haruslah  dilihat  sebagai  peluang  untuk membangun  perilaku  baru
dalam penciptaan sebagai peluang untuk membangun perilaku baru
dalam  penciptaan  keadilan  dan  pemberantasan  korupsi  melalui
kontrak politik antara  calon kepala daerah dan  konstituennya. Dari
tahun  2005  sampai  dengan  tahun  2009  akan  terjadi  pemilihan  33
Gubernur, 349 Bupati dan 91 Walikota. Oleh karena  itu perubahan sistem  ketatanegaraan  ini 
haruslah  dijadikan  sebagai  momentum
untuk membangun peningkatan akuntabilitas publik.
Perubahan dalam kerangka akuntabilitas juga tercermin dalam
kelengkapan pranata hukum yang disiapkan oleh pemerintah untuk
memerangi  korupsi  dan membangun  perilaku  antikorupsi.  Pranata
hukum ini bersumber dari Ketetapan MPR bulan Oktober 1999 yang
menetapkan  sebagai  tujuan  reformasi  yaitu  suatu  aparat  negara
yang  berfungsi  dalam  penyelenggaraan  jasa  kepada  rakyat  yang
profesional,  efisien,  produktif,  transparan,  dan  bebas  dari  kolusi,
knrupsi dan nepotisme. Pranata hukum  lainnya adalah UU Nomor.
28  tahun  1999  tentang  pemerintah  yang  bersih  dan  bebas  KKN
yang  mengharuskan  pejabat-pejabat  publik  mengumumkan  harta
kekayaannya  dan menyetujui  audit  secara  berkala,  UU  Nomor  31
tahun  1999  tentang  pemberantasan  tindak  pidana  korupsi  yang
mendefinisikan  secara  lebih  luas  tentang  pidana  korupsi  dan
menetapkan  gugatan  dan  prosedur  penuntutan,  dan  amandemen
UU  tersebut  melalui  UU  Nomor  2  tahun  2001  yang  meletakkan
beban  pembuktian  kepada  terdakwa.  Selain  itu  juga  sudah
diundang-undangan UU tentang Pencucian Uang dan UU Nomor 30
tahun  2002  tentang  Komisi  Anti  Korupsi.  Dari  segi  pengelolaan
keuangan negara telah pula diundangkan UU Nomor 17 tahun 2003
tentang  Keuangan  Negara,  UU  Nomor  1  tahun  2004  tentang
Perbendaharaan  Negara  dan  UU  Nomor  15  tahun  2004  tentang
Tatacara  Pemeriksaan  dan  Pertanggungjawaban  Keuangan
Negara. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa pranata hukum di
Indonesia sudah cukup memadai untuk melakukan pemberantasan
korupsi  di  Indonesia  sudah  cukup  memadai  untuk  melakukan
pemerantas-an korupsi dan membangun perilaku anti korupsi. Dari segi kelembagaan, selain
lembaga-lembaga konvensional
dalam  penegakan  hukum  seperti  kejaksaan  dan  kepolisian,  telah
pula  dibentuk  komisi  ombudsman  nasional  yang  bertugas
menangani pengaduan-pengaduan, Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK)  yang  bertugas  secara  khusus  untuk  menangkap  dan
memeriksa  pelaku  korupsi  dan  pusat  pelaporan  dan  analisis
transaksi  keuangan  (PPATK)  yang  bertugas  untuk  memantau
transaksi  yang  mencurigakan  dan  melaporkan  transaksi  tersebut
kepada Jaksa Agung.

PENUTUP
Haruslah  disadari  benar  bahwa  upaya  menegakkan  hukum
tidaklah semudah membalik telapak tangan. Kejadian-kejadian yang
sekarang  menimpa  lembaga  hukum  hanyalah  satu  proses  untuk
menuju  terciptanya  wibawa  hukum.  Sikap  mawas  diri  merupakan
langkah  terpuji  yang  seyogyanya  dibarengi  dengan  upaya-upaya
yang  bersifat  sistemik  dari  lembaga-lembaga  hukum  mulai
kejaksaan,  kepolisian,  kehakiman,  dan  organisasi  penasehat
hukum.  Sudah  saatnya  lembaga-lembaga  penegak  hukum
melakukan  :  Pertama,  evaluasi  berkesinambungan  atas  semua
program  dan  kebijaksanaan  yang  sudah  dicanangkan,  agar  dapat
mengurangi kendala yang dihadapi  ; Kedua, klarifikasi kasus-kasus
besar  yang  diputuskan  oleh  pengadilan,  sehingga  masyarakat
mengetahui  secara  jelas  pertimbangan  hukum  dan  dasar-dasar
hukum  yang  digunakan.  Ketiga,  adalah  reorientasi  visi  dan  misi
lembaga penegak hukum agar mengutamakan keadilan substansial.
Oleh karena itu peningkatan kualitas sumber daya manusia di
bidang  hukum mutlak  perlu. Di  dalam  era  global  seperti  sekarang ini,  dengan  perubahan 
sosial  yang  begitu  cepat,  aparat  penegak
hukum  harus  tanggap  dan  melakukan  penyesuaian  diri  dengan
meningkatkan  kemampuan.  Adanya  perbedaan  penafsiran  bunyi
suatu pasal, seharusnya tidak perlu terjadi. Pemahaman yang sama
terhadap  suatu  konstruksi  hukum  akan  sangat  mendukung
keberhasilan proses penegakan hukum. Koordinasi dan penyamaan
persepsi  antar  aparat  penegak  hukum  (Polisi,  Jaksa,  Hakim,  dan
Pengacara)  harus  dikembangkan  sejak  dini.  Pembenahan  paling
dini  dapat  dimulai  dari  sistem  rekrutmennya.  Seperti  yang  kita
ketahui,  rekrutmen  untuk  jabatan-jabatan  inti  dalam  hukum  seperti
hakim, Jaksa, maupun advokat berasal dari populasi sarjana hukum
yang  sangat  bervariasi mutunya.  Pada  umumnya  dapat  dikatakan
bahwa mereka yang melainkan untuk jabatan hakim, maupun jaksa
bukanlah  lulusan  yang  terbaik.  Seleksi  pelamar  terutama  yang
menyangkut  tentang  kemahiran,  pengetahuan,  dan  kemampuan
hukum tidaklah ketat.
Di  negara  maju,  untuk  seleksi  jabatan  hakim,  jaksa,  dan
advokat  benar-benar  memperhatikan  mutu  pengetahuan,
kemahiran,  dan  kemampuan  hukum.  Seleksi  untuk  memperoleh
jabatan  inti  ini  sangat  ketat. Di  Jepang, hakim,  jaksa, dan advokat
harus  mengikuti  pendidikan  khusus  setelah  mereka  lulus  dari

Ke dua
Penegakan hukum, bicara soal penegakan hukum di Indonesia, pikiran kita tentu masih teringat
sebuah sindiran  yang menjadi “guyonan” umum sehari-hari, bahwa  koruptor kelas kakap yang
korupsi milyaran bahkan trilyunan begitu gampangnya dibebaskan dari dakwaan, masih bisa
berkeliaran dengan bebas,

rekreasi ke luar negeri, masih bisa jalan-jalan di tempat hiburan, bahkan ada yang sudah di putus
dengan hukuman penjara pun masih bisa melakukan aktivitas sehari-hari dengan “enjoynya”.
Padahal mereka jelas-jelas mencuri uang Negara, pengkhianat amanah 200 juta penduduk
Indonesia, tapi kenapa seolah-olah hukum “sangat bersahabat” dan menjadi “kaki tangan”
mereka. Sementara pencuri ayam, pencuri semangka, pencuri jagung bisa terkena dan terancam
hukuman tiga bulan penjara  bahkan  lima tahun penjara padahal mencurinya karena untuk
mempertahankan hidupnya. (temporaktif.com 2009/12/08; Prasaja.web.id).
Kita juga masih ingat bagaimana kasus upaya kriminalisasi terhadap KPK dan kasus Prita yang
makin menunjukkan potret penegakan hukum di Indonesia masih suram, masih jauh dari
ketidakberpihakan dan masih jauh dari tujuan hukum itu sendiri yaitu menciptakan keadilan.
Bukan tidak mungkin kasus-kasus lain pun sebenarnya banyak yang seperti itu. Mungkin
kebetulan kasus ini saja yang baru terungkap ke masyarakat. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia yang tersurat dalam sila ke-5 pancasila seolah-olah hanya menjadi slogan tidak
mengaplikasi pada kehidupan bangsa ini..
Kebijakan Pemerintah dan Kondisi Faktual
Banyak kasus korupsi di Indonesia yang sampai saat ini tidak jelas kapan akan selesainya, seperti
kasus BLBI (Rp 138,4 T), HPH dan Dana Reboisasi Hasil audit Ernst & Young(Rp 15,025 T),
Korupsi di BAPINDO(Rp 1,3 T), dan yang baru-baru ini kasus BANK Century (Rp 6,7 T)yang
begitu “njelimet penyelesaiannya” dan masih banyak lagi kasus-kasus yang belum selesai
(forum.vivanews.com).
Kita mengetahui bersama pemerintahan SBY-Boediono telah mengeluarkan program 5 tahunnya
dan juga program 100 harinya yang berakhir tanggal 31 januari, telah berkomitmen
menyelesaikan masalah korupsi dan kasus penegakan hukum yang menyangkut mafia hokum,
tetapi bagaimana hasilnya di lapangan?? Maka disini perlu pengawalan agar program ini tidak
hanya omong kosong dan perlu adanya evaluasi bagaimana program ini dijalankan, apakah
realita yang ada dilapangan sama dengan apa yang di upayakan???.
Peran Mahasiswa
    Peran mahasiswa sebagai moral force dan social control disini harus benar-benar dijalankan
dalam rangka upaya penegakan hukum di Indonesia, bagaimana posisi mahasiswa yang begitu
krusial sebagai kaum intelektual yang mampu menjembatani antara masyarakat dengan
pemerintah tidak boleh disia-siakan demi egoisme dan individualisme semata. Banyak rakyat
yang membutuhkan suara-suara kita, tapi apakah kita mau bersuara untuk mereka ??? tergantung
apakah kepedulian terhadap orang lain itu masih ada atau ditelan hedonisme…….

Ke tiga
perkembangan teknologi komputer, telekomunikasi dan informatika di era globalisasi bukanlah
suatu hal yang fiktif melainkan sudah menjadi kenyataan yang diwujudkan dalam berbagai
bentuk. Penyebaran informasi telah melintasi batas-batas wilayah dan perbedaan waktu sudah
tidak lagi memisahkan manusia. Dengan kemajuan dan perkembangan telekomunikasi
multimedia, ruang lingkup dan kecepatan komunikasi lintas batas meningkat, ini berarti masalah
hukum yang berkaitan dengan yurisdiksi dan penegakan serta pemilihan hukum yang berlaku
terhadap suatu sengketa multi-yurisdiksi akan bertambah penting dan konfleks

Pemanfaatan teknologi tersebut telah mendorong pertumbuhan bisnis yang pesat, karena
berbagai informasi dapat disajikan melalui hubungan jarak jauh dengan mudah dapat diperoleh.
Mereka yang ingin mengadakan transaksi tidak harus bertemu muka face to face, cukup melalui
peralatan komputer dan telekomunikasi.

Fenomena perdagangan dengan kecangihan teknologi yang dikenal dengan internet (electronic
commerce yang disingkat dengan e-commerce ) hanyalah salah satu bentuk dari perubahan
perilaku masyarakat yang timbul akibat revolusi teknologi informasi.

Kita memang tidak dapat membantah bahwa penerapan teknologi informasi akan menimbulkan
berbagai perubahan sosial. Karena itu perlu untuk diperhatikan bagaimana upaya melakukan
transformasi teknologi dan industri dalam mengembangkan struktur sosial yang kondusif. Tanpa
adanya partisipasi masyarakat dan peranan hukum, upaya pengembangan teknologi tidak saja
kehilangan dimensi kemanusiaan tetapi juga menumpulkan visi inovatifnya.

Peranan hukum diharapkan dapat menjamin bahwa pelaksanaan perubahan itu akan berjalan
dengan cara yang teratur, tertib dan lancar. Perubahan yang tidak direncanakan dengan sebuah
kebijakan hukum acap kali akan menimbulkan berbagai persoalan baru dalam masyarakat. Di
sinilah hukum akan berfungsi dalam menghadapi perubahan masyarakat.

Untuk menjerat pelaku kejahatan melalui internet, Tim penyusun RUU KUHP Baru juga telah
berusaha memasukkan pasal-pasal baru untuk menghadapai masalah cyber crime yaitu Pasal 188
untuk data komputer, Pasal 189 untuk terminal komputer, Pasal 190 untuk akses ke system
komputer dan Pasal 191 tentang jaringan telepon yang termasuk jaringan komputer (Mardjono
Reksodiputro, 2001:3).

Menurut Heru Soepraptomo (2001:4) tim interdep juga pernah berencana menyisipkan satu dua
pasal dalam KUHP dengan harapan agar pasal-pasal tersebut dapat dioperasionalkan dalam
menghadapi kejahatan komputer. Namun rencana itu belum kunjung direalisasi, padahal dengan
berkembangannya pemakaian internet, e-commerce, e-business, e-banking untuk pelbagai
kepentingan sudah mendesak agar dapat dilakukan langkah-langkah yang kongkrit. Langkah-
langkah ini merupakan hal yang penting untuk penegakan hukum terhadap cyber crime. Jika kita
lihat dalam peraturan perundang-undangan yang konvensional, maka perbuatan pidana yang
dapat digunakan dibidang cyber crime adalah; penipuan, kecurangan, pencurian dan perusakan,
yang dilakukan secara langsung (dengan menggunakan bagian tubuh secara fisik dan pikiran)

Ke empat
Secara konsepsional, maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan
hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah
dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk meniptakan, memelihara,
dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup (Soekanto, 1979).

Pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin


mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif
atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut.

Faktor-faktor tersebut adalah, sebagai berikut:

1. Faktor hukumnya sendiri, dalam hal ini dibatasi pada undang-undang saja.

2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa
manusia di dalam pergaulan hidup.

Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari
penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada efektivitas penegakan hukum. Dengan
demikian, maka kelima faktor tersebut akan dibahas lebih lanjut dengan mengetengahkan
contoh-contoh yang diambil dari kehidupan masyarakat Indonesia.

1. Undang-undang

Undang-undang dalam arti material adalah peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh
Penguasa Pusat maupun Daerah yang sah (Purbacaraka & Soerjono Soekanto, 1979).

Mengenai berlakunya undang-undang tersebut, terdapat beberapa asas yang tujuannya adalah
agar undang-undang tersebut mempunyai dampak yang positif. Asas-asas tersebut antara lain
(Purbacaraka & Soerjono Soekanto, 1979):

1. Undang-undang tidak berlaku surut.

2. Undang-undang yng dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi,

3. mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula.

4. Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang yang bersifat umum,


apabila pembuatnya sama.
5. Undang-undang yang berlaku belakangan, membatalkan undang-undang yan berlaku
terdahulu.

6. Undang-undang tidak dapat diganggu guat.

7. Undang-undang merupakan suatu sarana untuk mencapai kesejahteraan spiritual dan materiel
bagi masyarakat maupun pribadi, melalui pelestaian ataupun pembaharuan (inovasi).

2. Penegak Hukum

Penegak hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat, yang hendaknya mempunyai
kemampuan-kemampuan tertentu sesuai dengan aspirasi masyarakat.

Mereka harus dapat berkomunikasi dan mendapat pengertian dari golongan sasaran, disamping
mampu menjalankan atau membawakan peranan yang dapat diterima oleh mereka.

Ada beberapa halangan yang mungkin dijumpai pada penerapan peranan yang seharusnya dari
golngan sasaran atau penegak hukum, Halangan-halangan tersebut, adalah:

1. Keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan pihak lain dengan siapa dia
berinteraksi.

2. Tingkat aspirasi yang relatif belum tinggi.

3. Kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan, sehingga sulit sekali untuk
membuat proyeksi.

4. Belum ada kemampuan untuk menunda pemuasan suatu kebutuhan tertentu, terutama
kebutuhan material.

5. Kurangnya daya inovatif yang sebenarnya merupakan pasangan konservatisme.

Halangan-halangan tersebut dapat diatasi dengan membiasakan diri dengan sikap-sikap, sebagai
berikut:

1. Sikap yang terbuka terhadap pengalaman maupun penemuan baru.

2. Senantiasa siap untuk menerima perubahan setelah menilai kekurangan yang ada pada saat itu.

3. Peka terhadap masalah-masalah yang terjadi di sekitarnya.

4. Senantiasa mempunyai informasi yang selengkap mungkin mengenai pendiriannya.

5. Orientasi ke masa kini dan masa depan yang sebenarnya merupakan suatu urutan.

6. Menyadari akan potensi yang ada dalam dirinya.


7. Berpegang pada suatu perencanaan dan tidak pasrah pada nasib.

8. Percaya pada kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi di dalam meningkatkan


kesejahteraan umat manusia.

9. Menyadari dan menghormati hak, kewajiban, maupun kehormatan diri sendiri dan ihak lain.

10. Berpegang teguh pada keputusan-keputusan yang diambil atas dasar penalaran dan
perhitingan yang mantap.

3. Faktor Sarana atau Fasilitas

Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan berjalan
dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut antara lain, mencakup tenaga manusia yang
berpendidikan dan trampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang
cukup, dan seterusnya.

Sarana atau fasilitas mempunyai peran yang sangat penting dalam penegakan hukum. Tanpa
adanya sarana atau fasilitas tersebut, tidak akan mungkin penegak hukum menyerasikan peranan
yang seharusnya dengan peranan yang aktual. Khususnya untuk sarana atau fasilitas tesebut,
sebaiknya dianut jalan pikiran, sebagai berikut (Purbacaraka & Soerjono Soekanto, 1983):

1. Yang tidak ada-diadakan yang baru betul.

2. Yang rusak atau salah-diperbaiki atau dibetulkan.

3. Yang kurang-ditambah.

4. Yang macet-dilancarkan.

5. Yang mundur atau merosot-dimajukan atau ditingkatkan.

4. Faktor Masyarakat

Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan untuk mencapai kedamaian dalam
masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari sudut tertentu, maka masyarakat dapat
mempengaruhi penegakan hukum tersebut.

Masyarakat Indonesia mempunyai kecendrungan yang besar untuk mengartikan hukum dan
bahkan mengidentifikasikannya dengan petugas (dalam hal ini penegak hukum sebagai pribadi).
Salah satu akibatnya adalah, bahwa

baik buruknya hukum senantiasa dikaitkan dengan pola prilaku penegak hukum tersebut.

5. Faktor Kebudayaan
Kebudayaan(system) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang
berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik
(sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari). Pasanagn nilai yang
berperan dalam hukum, adalah sebagai berikut ( Purbacaraka & Soerjono soekantu):

1. Nilai ketertiban dan nilai ketentraman.

2. Nilai jasmani/kebendaan dan nilai rohani/keakhlakan.

3. Nilai kelanggengan/konservatisme dan nilai kebaruan/inovatisme.

Di Indonesia masih berlaku hukum adat, hukum adat adalah merupakan hukum kebiasaan yang
berlaku dalam masyarakat.
Ke lima

Orang dapat menganggap lain atas istilah krisis penegakan hukum itu dan memberi tekanan pada
faktor-faktor yang telah menentukan isi sesungguhnya dari hukum. Namun untuk mencapai
supremasi hukum yang kita harapkan bukan faktor hukumnya saja, namun faktor aparat penegak
hukum juga sangat berpengaruh dalam mewujudkan supremasi hukum walaupun tidak itu saja.
Orang mulai tidak percaya terhadap hukum dan proses hukum ketika hukum itu sendiri masih
belum dapat memberikan keadilan dan perlindungan bagi masyarakat. Pengadilan sebagai
institusi pencari keadilan sampai saat ini belum dapat memberikan rasa puas bagi masyaralat
bawah. Buktinya para koruptor milyaran bahkan triliunan rupiah masih berkeliaran dialam bebas,
bolak-balik keluar negeri, hiburan kemana saja bisa dilakukan. Padahal mereka jelas-jelas korup
uang negara. Bahkan ada yang sudah di putus dengan hukuman penjara pun masih bisa
melakukan aktivitas sehari-harinya. Sedangkan kalau kita lihat ke bawah pencuri, jambret,
perampok kecil-kecilan yang terpaksa mereka lakukan untuk memenuhi kebutuhan dan
mempertahankan hidupnya harus dihajar dan dianiaya dalam proses penyidikan dikepolisian.
Dan memang ini adalah merupakan kejahatan dan melanggar hukum, tetapi kalau dibandingkan
dengan para koruptor (penjahat kera putih) yang hanya dapat dilakukan orang diatas dapat begitu
saja lepas dari jeratan hukum. Dan ini adalah faktor aparat penegak hukumnya yang belum
mampu menegakan supremasi hukum. Kepolisian sebagai aparat yang berhubungan langsung
dengan masyarakat dan mempunyai tugas sebagai pelindung dan pengayom, menjadi tugas yang
disampingkannya. Polisi ditingkat sektor terutama, dengan uang tebusan dari keluarga seorang
penjahat atau yang sudah mempunyai status tersangka bisa keluar dan tidak diproses sesuai
dengan hukum yang berlaku, padahal sebenarnya sudah sangat jalas didalam KUHAP, yang nota
bene hukum produk manusia ini menekankan bahwa perkara pidana adalah perkara yang tidak
mengenal Winwin solution , seperti dalam perkara perdata. Dalam contoh di atas membuktikan
ketidak profesional atau polisi yang hanya mencari duit lewat pemerasan saja. Bukti tersebut
banyak sekali penulis dapat memberikan fakta. Kasus serupa tidak hanya dilakukan oleh pihak
kepolisian saja tetapi di tingkat pengadilan pun ada, seperti dalam kasus asuransi jiwa manulaif,
ketidak profesionalan polisi dan hakim ini disebabkan karena moral dan pendidikannya yang
tidak baik. Kesalahan moral tidak seperti kesalahan seperti salah tendang dalam permainan sepak
bola atau salah tamplek dalam bulu tangkis tetapi kesalahan moral adalah kesalahan dari hati
yang paling dalam/luhur dan di pertanggung jawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Memanglah sulit untuk mencari orang yang mempunyai moral yang baik sekarang ini, mungkin
disebabkan kerena keadaan ekonominya. tetapi penulis mempunyai gagasan bahwa moral akan
terbentuk dengan berdasarkan Agama sebagi keyakinan bukan Ilmu, jadi berprilaku secara
agama dan berfikir secara ilmu, dari segi pendidikan para aparat penegak hukum sekarang ini
juga belum menunjukkan kepintarannya, penulis mempunyai gagasan bahwa untuk memperbaiki
aparat penegak hukum di Indonesia khususnya hakin dan jaksa, perlulah bangsa ini mempunyai
lembaga/ konstitusi yang jelas berdasarkan aturan yang jelas pula. Kekecewaan atau ketidak
puasan pencari keadilan dapat kita lihat dalam setiap kasus yang masuk dan diproses didalam
pengadilan (kasus Perdata) atau banyaknya para pihak yang berperkara di pengadilan yang
setelah diputus oleh hakim pengadilan tingkat pertama, melakukan upaya hukum, (banding,
kasasi, peninjauan kembali) ini membuktikan bahwa setiap keputusan di pengadilan belum dapat
memberikan rasa adil dan puas. Dan walaupun memang setiap orang berhak untuk melakukan
upaya hukum sesuai peraturan yang berlaku.

(Disampaikan dalam diskusi interaktif Unit Pengabdian dan Studi Hukum Fakultas Hukum UJB
Yogyakarta koordinator devisi pengabdian dan advokasi hukum UPSH FH UJB)

            Berbagai macam Undang-Undang telah di syahkan, direvisi dan di berlakukan KUHP,
KUHPerdata dan peratuaran lain di Indonesia yang peningglan kolonial sudah tidak cocok lagi
untuk jaman sekarang ini. Dan untuk mengatasinya. pemerintah khususnya legislatif sudah
Undang-Undang tersebut. Didalam hasil revisi ternyata memang telah direvi namun benar juga
walaun hasinya maksimal namun kalu kita lihat secara rasional aturan yang dibuat oleh manusia
dan untuk diberlakukan untuk manusi memang harusbersumber dari sesuatu dimana hukum itu
dari pembuat aturan hukum sejati, lain tidaklain adalah sang pembuat hukum sejati itu adlah
Allah Aza wa Jalla. 

            Kalau telaah lebih dekat lagi krisis penegakan hukum yang telah menjamur terjadi di
indonesia ini. Dari berbagai kasus dari tingat pejabat sampai rakyat semuanya mengacu pada
keberpihakan hukum pada kalangan tertentu saja. Tak jarang hukum di Indonesia ini hanya untuk
kalangan yang berduit. Yang tidak mempunyai uang  tidak mempunyai hak atas hukum
walaupun dia benar. Kalau dilihat dari struktur Negara kita Indonesia adalah negara hukum tapi
kenapa banyak pelanggar hukum. Ini sebuah pertayaan yang selalu muncul dalam benak kita.
Krisis Penegakan hukum telah menjamur dinegeri ini, mungkin ironis sekali jika hal ini
menjadikan negara kita  sebagai Negara hukum namun miskin hukum dan banyak miskin dalam
hal lain lagi. Hal ini dikarenakan landasan berpijak hukum kita adalah hukum Kolonial  yang
penuh dengan bentuk diskriminasi dan celah. Tak dapat disanggkal lagi penyebab krisis hukum
ini kalau kita kaji lebih mendalam adalah diterapkanya hukum-hukum buatan manusia yaitu
hukum Kolonial produk zaman belanda yang sudah tak relevan lagi seperti KUHP (Kitab
Undang_Undang Hukum Pidana), KUHPerdata (Kitab Undang_Undang Hukum Perdata).

Penyebab krisis hukum ini adalah tidak diterapkanya hukum-hukum yang bersumber dari
Allah dan didak adanya institusi yang sempurna yang mengatur segala permasalahan hukum di
Negara kita ini, serta tidak adanya pemimpin yang menerapkan aturan-aturan yang merujuk dari
suatu aturan yang sempurna yaitu ISLAM. Jelas yang terjadi penyimpangan dalam penegakan
hukum itu sendiri. Karena hukum di Indonesia ini produk dari manusia. Sehingga pembuat
hukum biasa yang menguntungkan si pembuat hukum itu sendiri. Jadi krisis penegakan hukum
saat ini tidak lain hanya bentuk dari kecerobohan manusia itu sendiri yang diberi hak untuk
membuat hukum/ aturan. Karena hak yang membuat hukum hanya milik  Allah.

Solusi praktis dalam penerapan hukum ini hanya satu yaitu kembali pada aturan dari si
penguasa manusia itu yaitu hukum Allah. Dan tiada orang lain yang akan menerapkan hukum
Allah ini adalah pemimpin yang didedikasikan sebagai orang yang akan menerapkan hukum dari
Allah itu sendiri yang berupa AL-QURAN dan AL-HADIST. Maka diperlukan pemimpin yang
tahu tentang penerapan hukum-hukum Allah. KHILAFAH adalah pemimpin itu, Daulah
Khilafah bentuk negaranya. secara ringkas, Imam Taqiyyuddin An Nabhani mendefinisikan
Daulah Khilafah sebagai kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin dan non muslimin
di dunia untuk menegakkan hukum-hukum yang bersumber dari sang penguasa jagat raya ini
yaitu Syariat Islam. (Imam Taqiyyuddin An Nabhani, Nizhamul Hukmi fil Islam, hal. 17). Karena
hanya dengan hukum ini dunia akan sejahtera apalagi hanya untuk negara indonesia ini. Sejarah
membuktikan idiologi kapitalisme dan sosialis komunis telah gagal dalam membangun
masyarakat yang makmur di muka bumi ini. apalagi sosialis komunis yang telah turun dalam
pentas dunia yang telah mengalami kegagalan dalam mensejahterakan rakyatnya dengan sistem
kolektifnya yang sebenarnya hanya untuk orang-orang tertentu.    Kapitalisme baru kira-kira 80
tahun memimpin dunia ini telah membawa masyarakat ini ke dalam keterpurukan diberbagai
bidang, dari bidang ekonomi, politik, pendidikan, kesehatan sosial budaya dan khususnya untuk
aspek hukum itu sendiri. Kesenjangan yang teramat dalam terjadi di negara yang kaya ini. Ada
pepatah “ tikus mati dilumbung padi” artinya dinegeri kaya dengan berbagai kekayaan namun
kekurangan pangan bahkan mati kelaparan, sangat ironis sekali hal ini bisa terjadi.
http://cana23.multiply.com/journal/item/9

http://umum.kompasiana.com/2009/07/13/faktor-faktor-yang-mempengaruhi-penegakan-hukum-
di-indonesia/

http://makalahhukum.wordpress.com/2009/01/14/makalah-penegakan-hukum-baru/
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, 1989, Perkembangan Pemikiran  tentang Pembinaan


Hukum Nasional, Jakarta, Akademika Presindo.

Adamson, Walter L., 1980 Hegemony and Revolution  : A Study of


Antonio  Gramsci’s  Political  and  Culture  Theory.  Berkeley,
University of California Press.

Darmaputera,  Eka,  1997,  Pancasila,  Identitas  dan  Modernitas,


Jakarta, BPK Gunung Mulia.

Glenn,  H  Patrick,  2000.  Legal  Traditions  of  The  World,  Oxford


University Press.

You might also like