Professional Documents
Culture Documents
Baru
Januari 14, 2009 oleh makalahhukum
PENDAHULUAN
Penegakan hukum merupakan pusat dari seluruh “aktivitas
kehidupan” hukum yang dimulai dari perencanaan hukum,
pembentukan hukum, penegakan hukum dan evaluasi hukum.
Penegakan hukum pada hakikatnya merupakan interaksi antara
berbagai perilaku manusia yang mewakili kepentingan –
kepentingan yang berbeda dalam bingkai aturan yang telah
disepakati bersama. Oleh karena itu, penegakan hukum tidak dapat
semata-mata dianggap sebagai proses menerapkan hukum
sebagaimana pendapat kaum legalistik. Namun proses penegakan
hukum mempunyai dimensi yang lebih luas daripada pendapat
tersebut, karena dalam penegakan hukum akan melibatkan dimensi
perilaku manusia. Dengan pemahaman tersebut maka kita dapat
mengetahui bahwa problem-problem hukum yang akan selalu
menonjol adalah problema “law in action” bukan pada “law in the
books”.
Pada saat ini dapat mengamati, melihat dan merasakan
bahwa penegakan hukum berada dalam posisi yang tidak
menggembirakan. Masyarakat mempertanyakan kinerja aparat
penegak hukm dalam pemberantasan korupsi, merebaknya mafia
peradilan, pelanggaran hukum dalam penelitian APBN dan APBD di
kalangan birokrasi. Dafatar ketidakpuasan masyarakat dalam
penegakan hukum semakin bertambah panjang apabila membuka
kembali lembaran – lembaran lama seperti kasus Marsinah, kasus wartawan Udin, kasus
Sengkon dan Karta, kasus Tanah Keret di
Papua dan lain-lainnya.
Pengadilan yang merupakan representasi utama wajah
penegakan hukum dituntut untuk mampu melahirkan tidak hanya
kepastian hukum, melainkan pula keadilan, kemanfaatan sosial dan
pemberdayaan sosial melalui putusan – putusan hakimnya.
Kegagalan lembaga peradilan dalam mewujudkan tujuan hukum
diatas telah mendorong meningkatnya ketidakpercayaan
masyarakat terhadap pranata hukum dan lembaga-lembaga hukum.
Mungkin benar apabila dikatakan bahwa perhatian masyarakat
terhadap lembaga-lembaga hukum telah berada pada titik nadir.
Hampir setiap saat kita dapat menemukan berita, informasi, laporan
atau ulasan yang berhubungan dengan lembaga-lembaga hukum
kita. Salah satu permasalahan yang perlu mendapat perhatian kita
semua adalah merosotnya rasa hormat masyarakat terhadap
wibawa hukum.
Bagaimana juga masih banyak warga masyarakat yang tetap
menghormati putusan – putusan yang telah dibuat oleh pengadilan.
Meskipun demikian sah-sah juga kiranya apabila masyarakat
mempunyai penilaian tersendiri terhadap putusan tersebut. Adanya
penilaian dari masyarakat ini menunjukkan bahwa hukum /
pengadilan tidak dapat melepaskan diri dari struktur sosial
masyarakatnya. Hukum tidaklah steril dari perilaku – perilaku sosial
lingkungannya. Oleh karena itu wajar kiranya apabila masyarakat
mempunyai opini tersendiri setiap ada putusan pengadilan yang
dipandang bertentangan dengan nilai – nilai keadilan hidup dan
tumbuh di tengah – tengah masyarakat. Persoalannya tidak akan berhenti hanya sebatas
munculnya
opini publik, melainkan berdampak sangat luas yaitu merosotnya
citra lembaga hukum di mata masyarakat. Kepercayaan masyarakat
akan luntur dan mendorong munculnya situasi anomi. Masyarakat
kebingungan nilai – nilai mana yang benar dan mana yang salah.
PENUTUP
Haruslah disadari benar bahwa upaya menegakkan hukum
tidaklah semudah membalik telapak tangan. Kejadian-kejadian yang
sekarang menimpa lembaga hukum hanyalah satu proses untuk
menuju terciptanya wibawa hukum. Sikap mawas diri merupakan
langkah terpuji yang seyogyanya dibarengi dengan upaya-upaya
yang bersifat sistemik dari lembaga-lembaga hukum mulai
kejaksaan, kepolisian, kehakiman, dan organisasi penasehat
hukum. Sudah saatnya lembaga-lembaga penegak hukum
melakukan : Pertama, evaluasi berkesinambungan atas semua
program dan kebijaksanaan yang sudah dicanangkan, agar dapat
mengurangi kendala yang dihadapi ; Kedua, klarifikasi kasus-kasus
besar yang diputuskan oleh pengadilan, sehingga masyarakat
mengetahui secara jelas pertimbangan hukum dan dasar-dasar
hukum yang digunakan. Ketiga, adalah reorientasi visi dan misi
lembaga penegak hukum agar mengutamakan keadilan substansial.
Oleh karena itu peningkatan kualitas sumber daya manusia di
bidang hukum mutlak perlu. Di dalam era global seperti sekarang ini, dengan perubahan
sosial yang begitu cepat, aparat penegak
hukum harus tanggap dan melakukan penyesuaian diri dengan
meningkatkan kemampuan. Adanya perbedaan penafsiran bunyi
suatu pasal, seharusnya tidak perlu terjadi. Pemahaman yang sama
terhadap suatu konstruksi hukum akan sangat mendukung
keberhasilan proses penegakan hukum. Koordinasi dan penyamaan
persepsi antar aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa, Hakim, dan
Pengacara) harus dikembangkan sejak dini. Pembenahan paling
dini dapat dimulai dari sistem rekrutmennya. Seperti yang kita
ketahui, rekrutmen untuk jabatan-jabatan inti dalam hukum seperti
hakim, Jaksa, maupun advokat berasal dari populasi sarjana hukum
yang sangat bervariasi mutunya. Pada umumnya dapat dikatakan
bahwa mereka yang melainkan untuk jabatan hakim, maupun jaksa
bukanlah lulusan yang terbaik. Seleksi pelamar terutama yang
menyangkut tentang kemahiran, pengetahuan, dan kemampuan
hukum tidaklah ketat.
Di negara maju, untuk seleksi jabatan hakim, jaksa, dan
advokat benar-benar memperhatikan mutu pengetahuan,
kemahiran, dan kemampuan hukum. Seleksi untuk memperoleh
jabatan inti ini sangat ketat. Di Jepang, hakim, jaksa, dan advokat
harus mengikuti pendidikan khusus setelah mereka lulus dari
Ke dua
Penegakan hukum, bicara soal penegakan hukum di Indonesia, pikiran kita tentu masih teringat
sebuah sindiran yang menjadi “guyonan” umum sehari-hari, bahwa koruptor kelas kakap yang
korupsi milyaran bahkan trilyunan begitu gampangnya dibebaskan dari dakwaan, masih bisa
berkeliaran dengan bebas,
rekreasi ke luar negeri, masih bisa jalan-jalan di tempat hiburan, bahkan ada yang sudah di putus
dengan hukuman penjara pun masih bisa melakukan aktivitas sehari-hari dengan “enjoynya”.
Padahal mereka jelas-jelas mencuri uang Negara, pengkhianat amanah 200 juta penduduk
Indonesia, tapi kenapa seolah-olah hukum “sangat bersahabat” dan menjadi “kaki tangan”
mereka. Sementara pencuri ayam, pencuri semangka, pencuri jagung bisa terkena dan terancam
hukuman tiga bulan penjara bahkan lima tahun penjara padahal mencurinya karena untuk
mempertahankan hidupnya. (temporaktif.com 2009/12/08; Prasaja.web.id).
Kita juga masih ingat bagaimana kasus upaya kriminalisasi terhadap KPK dan kasus Prita yang
makin menunjukkan potret penegakan hukum di Indonesia masih suram, masih jauh dari
ketidakberpihakan dan masih jauh dari tujuan hukum itu sendiri yaitu menciptakan keadilan.
Bukan tidak mungkin kasus-kasus lain pun sebenarnya banyak yang seperti itu. Mungkin
kebetulan kasus ini saja yang baru terungkap ke masyarakat. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia yang tersurat dalam sila ke-5 pancasila seolah-olah hanya menjadi slogan tidak
mengaplikasi pada kehidupan bangsa ini..
Kebijakan Pemerintah dan Kondisi Faktual
Banyak kasus korupsi di Indonesia yang sampai saat ini tidak jelas kapan akan selesainya, seperti
kasus BLBI (Rp 138,4 T), HPH dan Dana Reboisasi Hasil audit Ernst & Young(Rp 15,025 T),
Korupsi di BAPINDO(Rp 1,3 T), dan yang baru-baru ini kasus BANK Century (Rp 6,7 T)yang
begitu “njelimet penyelesaiannya” dan masih banyak lagi kasus-kasus yang belum selesai
(forum.vivanews.com).
Kita mengetahui bersama pemerintahan SBY-Boediono telah mengeluarkan program 5 tahunnya
dan juga program 100 harinya yang berakhir tanggal 31 januari, telah berkomitmen
menyelesaikan masalah korupsi dan kasus penegakan hukum yang menyangkut mafia hokum,
tetapi bagaimana hasilnya di lapangan?? Maka disini perlu pengawalan agar program ini tidak
hanya omong kosong dan perlu adanya evaluasi bagaimana program ini dijalankan, apakah
realita yang ada dilapangan sama dengan apa yang di upayakan???.
Peran Mahasiswa
Peran mahasiswa sebagai moral force dan social control disini harus benar-benar dijalankan
dalam rangka upaya penegakan hukum di Indonesia, bagaimana posisi mahasiswa yang begitu
krusial sebagai kaum intelektual yang mampu menjembatani antara masyarakat dengan
pemerintah tidak boleh disia-siakan demi egoisme dan individualisme semata. Banyak rakyat
yang membutuhkan suara-suara kita, tapi apakah kita mau bersuara untuk mereka ??? tergantung
apakah kepedulian terhadap orang lain itu masih ada atau ditelan hedonisme…….
Ke tiga
perkembangan teknologi komputer, telekomunikasi dan informatika di era globalisasi bukanlah
suatu hal yang fiktif melainkan sudah menjadi kenyataan yang diwujudkan dalam berbagai
bentuk. Penyebaran informasi telah melintasi batas-batas wilayah dan perbedaan waktu sudah
tidak lagi memisahkan manusia. Dengan kemajuan dan perkembangan telekomunikasi
multimedia, ruang lingkup dan kecepatan komunikasi lintas batas meningkat, ini berarti masalah
hukum yang berkaitan dengan yurisdiksi dan penegakan serta pemilihan hukum yang berlaku
terhadap suatu sengketa multi-yurisdiksi akan bertambah penting dan konfleks
Pemanfaatan teknologi tersebut telah mendorong pertumbuhan bisnis yang pesat, karena
berbagai informasi dapat disajikan melalui hubungan jarak jauh dengan mudah dapat diperoleh.
Mereka yang ingin mengadakan transaksi tidak harus bertemu muka face to face, cukup melalui
peralatan komputer dan telekomunikasi.
Fenomena perdagangan dengan kecangihan teknologi yang dikenal dengan internet (electronic
commerce yang disingkat dengan e-commerce ) hanyalah salah satu bentuk dari perubahan
perilaku masyarakat yang timbul akibat revolusi teknologi informasi.
Kita memang tidak dapat membantah bahwa penerapan teknologi informasi akan menimbulkan
berbagai perubahan sosial. Karena itu perlu untuk diperhatikan bagaimana upaya melakukan
transformasi teknologi dan industri dalam mengembangkan struktur sosial yang kondusif. Tanpa
adanya partisipasi masyarakat dan peranan hukum, upaya pengembangan teknologi tidak saja
kehilangan dimensi kemanusiaan tetapi juga menumpulkan visi inovatifnya.
Peranan hukum diharapkan dapat menjamin bahwa pelaksanaan perubahan itu akan berjalan
dengan cara yang teratur, tertib dan lancar. Perubahan yang tidak direncanakan dengan sebuah
kebijakan hukum acap kali akan menimbulkan berbagai persoalan baru dalam masyarakat. Di
sinilah hukum akan berfungsi dalam menghadapi perubahan masyarakat.
Untuk menjerat pelaku kejahatan melalui internet, Tim penyusun RUU KUHP Baru juga telah
berusaha memasukkan pasal-pasal baru untuk menghadapai masalah cyber crime yaitu Pasal 188
untuk data komputer, Pasal 189 untuk terminal komputer, Pasal 190 untuk akses ke system
komputer dan Pasal 191 tentang jaringan telepon yang termasuk jaringan komputer (Mardjono
Reksodiputro, 2001:3).
Menurut Heru Soepraptomo (2001:4) tim interdep juga pernah berencana menyisipkan satu dua
pasal dalam KUHP dengan harapan agar pasal-pasal tersebut dapat dioperasionalkan dalam
menghadapi kejahatan komputer. Namun rencana itu belum kunjung direalisasi, padahal dengan
berkembangannya pemakaian internet, e-commerce, e-business, e-banking untuk pelbagai
kepentingan sudah mendesak agar dapat dilakukan langkah-langkah yang kongkrit. Langkah-
langkah ini merupakan hal yang penting untuk penegakan hukum terhadap cyber crime. Jika kita
lihat dalam peraturan perundang-undangan yang konvensional, maka perbuatan pidana yang
dapat digunakan dibidang cyber crime adalah; penipuan, kecurangan, pencurian dan perusakan,
yang dilakukan secara langsung (dengan menggunakan bagian tubuh secara fisik dan pikiran)
Ke empat
Secara konsepsional, maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan
hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah
dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk meniptakan, memelihara,
dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup (Soekanto, 1979).
1. Faktor hukumnya sendiri, dalam hal ini dibatasi pada undang-undang saja.
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa
manusia di dalam pergaulan hidup.
Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari
penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada efektivitas penegakan hukum. Dengan
demikian, maka kelima faktor tersebut akan dibahas lebih lanjut dengan mengetengahkan
contoh-contoh yang diambil dari kehidupan masyarakat Indonesia.
1. Undang-undang
Undang-undang dalam arti material adalah peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh
Penguasa Pusat maupun Daerah yang sah (Purbacaraka & Soerjono Soekanto, 1979).
Mengenai berlakunya undang-undang tersebut, terdapat beberapa asas yang tujuannya adalah
agar undang-undang tersebut mempunyai dampak yang positif. Asas-asas tersebut antara lain
(Purbacaraka & Soerjono Soekanto, 1979):
7. Undang-undang merupakan suatu sarana untuk mencapai kesejahteraan spiritual dan materiel
bagi masyarakat maupun pribadi, melalui pelestaian ataupun pembaharuan (inovasi).
2. Penegak Hukum
Penegak hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat, yang hendaknya mempunyai
kemampuan-kemampuan tertentu sesuai dengan aspirasi masyarakat.
Mereka harus dapat berkomunikasi dan mendapat pengertian dari golongan sasaran, disamping
mampu menjalankan atau membawakan peranan yang dapat diterima oleh mereka.
Ada beberapa halangan yang mungkin dijumpai pada penerapan peranan yang seharusnya dari
golngan sasaran atau penegak hukum, Halangan-halangan tersebut, adalah:
1. Keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan pihak lain dengan siapa dia
berinteraksi.
3. Kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan, sehingga sulit sekali untuk
membuat proyeksi.
4. Belum ada kemampuan untuk menunda pemuasan suatu kebutuhan tertentu, terutama
kebutuhan material.
Halangan-halangan tersebut dapat diatasi dengan membiasakan diri dengan sikap-sikap, sebagai
berikut:
2. Senantiasa siap untuk menerima perubahan setelah menilai kekurangan yang ada pada saat itu.
5. Orientasi ke masa kini dan masa depan yang sebenarnya merupakan suatu urutan.
9. Menyadari dan menghormati hak, kewajiban, maupun kehormatan diri sendiri dan ihak lain.
10. Berpegang teguh pada keputusan-keputusan yang diambil atas dasar penalaran dan
perhitingan yang mantap.
Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan berjalan
dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut antara lain, mencakup tenaga manusia yang
berpendidikan dan trampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang
cukup, dan seterusnya.
Sarana atau fasilitas mempunyai peran yang sangat penting dalam penegakan hukum. Tanpa
adanya sarana atau fasilitas tersebut, tidak akan mungkin penegak hukum menyerasikan peranan
yang seharusnya dengan peranan yang aktual. Khususnya untuk sarana atau fasilitas tesebut,
sebaiknya dianut jalan pikiran, sebagai berikut (Purbacaraka & Soerjono Soekanto, 1983):
3. Yang kurang-ditambah.
4. Yang macet-dilancarkan.
4. Faktor Masyarakat
Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan untuk mencapai kedamaian dalam
masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari sudut tertentu, maka masyarakat dapat
mempengaruhi penegakan hukum tersebut.
Masyarakat Indonesia mempunyai kecendrungan yang besar untuk mengartikan hukum dan
bahkan mengidentifikasikannya dengan petugas (dalam hal ini penegak hukum sebagai pribadi).
Salah satu akibatnya adalah, bahwa
baik buruknya hukum senantiasa dikaitkan dengan pola prilaku penegak hukum tersebut.
5. Faktor Kebudayaan
Kebudayaan(system) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang
berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik
(sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari). Pasanagn nilai yang
berperan dalam hukum, adalah sebagai berikut ( Purbacaraka & Soerjono soekantu):
Di Indonesia masih berlaku hukum adat, hukum adat adalah merupakan hukum kebiasaan yang
berlaku dalam masyarakat.
Ke lima
Orang dapat menganggap lain atas istilah krisis penegakan hukum itu dan memberi tekanan pada
faktor-faktor yang telah menentukan isi sesungguhnya dari hukum. Namun untuk mencapai
supremasi hukum yang kita harapkan bukan faktor hukumnya saja, namun faktor aparat penegak
hukum juga sangat berpengaruh dalam mewujudkan supremasi hukum walaupun tidak itu saja.
Orang mulai tidak percaya terhadap hukum dan proses hukum ketika hukum itu sendiri masih
belum dapat memberikan keadilan dan perlindungan bagi masyarakat. Pengadilan sebagai
institusi pencari keadilan sampai saat ini belum dapat memberikan rasa puas bagi masyaralat
bawah. Buktinya para koruptor milyaran bahkan triliunan rupiah masih berkeliaran dialam bebas,
bolak-balik keluar negeri, hiburan kemana saja bisa dilakukan. Padahal mereka jelas-jelas korup
uang negara. Bahkan ada yang sudah di putus dengan hukuman penjara pun masih bisa
melakukan aktivitas sehari-harinya. Sedangkan kalau kita lihat ke bawah pencuri, jambret,
perampok kecil-kecilan yang terpaksa mereka lakukan untuk memenuhi kebutuhan dan
mempertahankan hidupnya harus dihajar dan dianiaya dalam proses penyidikan dikepolisian.
Dan memang ini adalah merupakan kejahatan dan melanggar hukum, tetapi kalau dibandingkan
dengan para koruptor (penjahat kera putih) yang hanya dapat dilakukan orang diatas dapat begitu
saja lepas dari jeratan hukum. Dan ini adalah faktor aparat penegak hukumnya yang belum
mampu menegakan supremasi hukum. Kepolisian sebagai aparat yang berhubungan langsung
dengan masyarakat dan mempunyai tugas sebagai pelindung dan pengayom, menjadi tugas yang
disampingkannya. Polisi ditingkat sektor terutama, dengan uang tebusan dari keluarga seorang
penjahat atau yang sudah mempunyai status tersangka bisa keluar dan tidak diproses sesuai
dengan hukum yang berlaku, padahal sebenarnya sudah sangat jalas didalam KUHAP, yang nota
bene hukum produk manusia ini menekankan bahwa perkara pidana adalah perkara yang tidak
mengenal Winwin solution , seperti dalam perkara perdata. Dalam contoh di atas membuktikan
ketidak profesional atau polisi yang hanya mencari duit lewat pemerasan saja. Bukti tersebut
banyak sekali penulis dapat memberikan fakta. Kasus serupa tidak hanya dilakukan oleh pihak
kepolisian saja tetapi di tingkat pengadilan pun ada, seperti dalam kasus asuransi jiwa manulaif,
ketidak profesionalan polisi dan hakim ini disebabkan karena moral dan pendidikannya yang
tidak baik. Kesalahan moral tidak seperti kesalahan seperti salah tendang dalam permainan sepak
bola atau salah tamplek dalam bulu tangkis tetapi kesalahan moral adalah kesalahan dari hati
yang paling dalam/luhur dan di pertanggung jawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Memanglah sulit untuk mencari orang yang mempunyai moral yang baik sekarang ini, mungkin
disebabkan kerena keadaan ekonominya. tetapi penulis mempunyai gagasan bahwa moral akan
terbentuk dengan berdasarkan Agama sebagi keyakinan bukan Ilmu, jadi berprilaku secara
agama dan berfikir secara ilmu, dari segi pendidikan para aparat penegak hukum sekarang ini
juga belum menunjukkan kepintarannya, penulis mempunyai gagasan bahwa untuk memperbaiki
aparat penegak hukum di Indonesia khususnya hakin dan jaksa, perlulah bangsa ini mempunyai
lembaga/ konstitusi yang jelas berdasarkan aturan yang jelas pula. Kekecewaan atau ketidak
puasan pencari keadilan dapat kita lihat dalam setiap kasus yang masuk dan diproses didalam
pengadilan (kasus Perdata) atau banyaknya para pihak yang berperkara di pengadilan yang
setelah diputus oleh hakim pengadilan tingkat pertama, melakukan upaya hukum, (banding,
kasasi, peninjauan kembali) ini membuktikan bahwa setiap keputusan di pengadilan belum dapat
memberikan rasa adil dan puas. Dan walaupun memang setiap orang berhak untuk melakukan
upaya hukum sesuai peraturan yang berlaku.
(Disampaikan dalam diskusi interaktif Unit Pengabdian dan Studi Hukum Fakultas Hukum UJB
Yogyakarta koordinator devisi pengabdian dan advokasi hukum UPSH FH UJB)
Berbagai macam Undang-Undang telah di syahkan, direvisi dan di berlakukan KUHP,
KUHPerdata dan peratuaran lain di Indonesia yang peningglan kolonial sudah tidak cocok lagi
untuk jaman sekarang ini. Dan untuk mengatasinya. pemerintah khususnya legislatif sudah
Undang-Undang tersebut. Didalam hasil revisi ternyata memang telah direvi namun benar juga
walaun hasinya maksimal namun kalu kita lihat secara rasional aturan yang dibuat oleh manusia
dan untuk diberlakukan untuk manusi memang harusbersumber dari sesuatu dimana hukum itu
dari pembuat aturan hukum sejati, lain tidaklain adalah sang pembuat hukum sejati itu adlah
Allah Aza wa Jalla.
Kalau telaah lebih dekat lagi krisis penegakan hukum yang telah menjamur terjadi di
indonesia ini. Dari berbagai kasus dari tingat pejabat sampai rakyat semuanya mengacu pada
keberpihakan hukum pada kalangan tertentu saja. Tak jarang hukum di Indonesia ini hanya untuk
kalangan yang berduit. Yang tidak mempunyai uang tidak mempunyai hak atas hukum
walaupun dia benar. Kalau dilihat dari struktur Negara kita Indonesia adalah negara hukum tapi
kenapa banyak pelanggar hukum. Ini sebuah pertayaan yang selalu muncul dalam benak kita.
Krisis Penegakan hukum telah menjamur dinegeri ini, mungkin ironis sekali jika hal ini
menjadikan negara kita sebagai Negara hukum namun miskin hukum dan banyak miskin dalam
hal lain lagi. Hal ini dikarenakan landasan berpijak hukum kita adalah hukum Kolonial yang
penuh dengan bentuk diskriminasi dan celah. Tak dapat disanggkal lagi penyebab krisis hukum
ini kalau kita kaji lebih mendalam adalah diterapkanya hukum-hukum buatan manusia yaitu
hukum Kolonial produk zaman belanda yang sudah tak relevan lagi seperti KUHP (Kitab
Undang_Undang Hukum Pidana), KUHPerdata (Kitab Undang_Undang Hukum Perdata).
Penyebab krisis hukum ini adalah tidak diterapkanya hukum-hukum yang bersumber dari
Allah dan didak adanya institusi yang sempurna yang mengatur segala permasalahan hukum di
Negara kita ini, serta tidak adanya pemimpin yang menerapkan aturan-aturan yang merujuk dari
suatu aturan yang sempurna yaitu ISLAM. Jelas yang terjadi penyimpangan dalam penegakan
hukum itu sendiri. Karena hukum di Indonesia ini produk dari manusia. Sehingga pembuat
hukum biasa yang menguntungkan si pembuat hukum itu sendiri. Jadi krisis penegakan hukum
saat ini tidak lain hanya bentuk dari kecerobohan manusia itu sendiri yang diberi hak untuk
membuat hukum/ aturan. Karena hak yang membuat hukum hanya milik Allah.
Solusi praktis dalam penerapan hukum ini hanya satu yaitu kembali pada aturan dari si
penguasa manusia itu yaitu hukum Allah. Dan tiada orang lain yang akan menerapkan hukum
Allah ini adalah pemimpin yang didedikasikan sebagai orang yang akan menerapkan hukum dari
Allah itu sendiri yang berupa AL-QURAN dan AL-HADIST. Maka diperlukan pemimpin yang
tahu tentang penerapan hukum-hukum Allah. KHILAFAH adalah pemimpin itu, Daulah
Khilafah bentuk negaranya. secara ringkas, Imam Taqiyyuddin An Nabhani mendefinisikan
Daulah Khilafah sebagai kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin dan non muslimin
di dunia untuk menegakkan hukum-hukum yang bersumber dari sang penguasa jagat raya ini
yaitu Syariat Islam. (Imam Taqiyyuddin An Nabhani, Nizhamul Hukmi fil Islam, hal. 17). Karena
hanya dengan hukum ini dunia akan sejahtera apalagi hanya untuk negara indonesia ini. Sejarah
membuktikan idiologi kapitalisme dan sosialis komunis telah gagal dalam membangun
masyarakat yang makmur di muka bumi ini. apalagi sosialis komunis yang telah turun dalam
pentas dunia yang telah mengalami kegagalan dalam mensejahterakan rakyatnya dengan sistem
kolektifnya yang sebenarnya hanya untuk orang-orang tertentu. Kapitalisme baru kira-kira 80
tahun memimpin dunia ini telah membawa masyarakat ini ke dalam keterpurukan diberbagai
bidang, dari bidang ekonomi, politik, pendidikan, kesehatan sosial budaya dan khususnya untuk
aspek hukum itu sendiri. Kesenjangan yang teramat dalam terjadi di negara yang kaya ini. Ada
pepatah “ tikus mati dilumbung padi” artinya dinegeri kaya dengan berbagai kekayaan namun
kekurangan pangan bahkan mati kelaparan, sangat ironis sekali hal ini bisa terjadi.
http://cana23.multiply.com/journal/item/9
http://umum.kompasiana.com/2009/07/13/faktor-faktor-yang-mempengaruhi-penegakan-hukum-
di-indonesia/
http://makalahhukum.wordpress.com/2009/01/14/makalah-penegakan-hukum-baru/
DAFTAR PUSTAKA