You are on page 1of 16

1

BENTUK-BENTUK HUBUNGAN INDIVIDU DAN MASYARAKAT


DALAM REALITAS SOSIAL: Sebuah Refleksi Filsafat Sosial
M. Lutfi Mustofa

A. Pendahuluan

Problematika hubungan individu dan masyarakat merupakan persoalan

penting yang selama ini menjadi mainstream kajian filsafat manusia maupun

sosiologi modern. Sejauh ini, pendekatan empiris terhadap berbagai gambaran

tentang interaksi manusia dalam kehidupan bersama memunculkan banyak

masalah dan pertanyaan mendasar di seputar hakikat masyarakat, individu dan

peranan strtuktur sosial.1 Veeger, seorang dosen filsafat dan sosiologi di Universitas

Sam Ratulangi Menado, mempertanyakan: mampukah sosiologi modern dengan

pendekatan empirisnya menjangkau realitas sosial dalam segala aspek dan

dimensinya? Apakah realitas sosial merupakan realitas yang terpisah dari

manusia kongkret ataukah merupakan salah satu aspek dari kemanusiaan yang

utuh?

Pertanyaan serupa juga diutarakan Brian Fay saat mengawali penjelasannya

tentang pendekatan “multicultural” dalam filsafat ilmu sosial; apakah ilmu sosial

itu bersifat ilmiah, atau bisakah ia menjadi ilmiah?2 Pertanyaan ini mengemuka,

Disarikan dari K.J. Veeger, Realitas Sosial: Refleksi Filsafat Sosial atas Hubungan Individu-
Masyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi, (Jakarta: PT. Gramedia Pusataka Umum,
1993), 265 halaman.
1
Scott Gordon, The History and Philosophy of Social Science, (USA: Routledge, 1991), 2-4.
2
Brian Fay, Contemporary Philosophy of Social Science, (Great Britain: MPG Books Ltd.,
1998), 1.
2

karena dalam ilmu sosial untuk mencapai derajat keilmiahan (scientific degree),

seperti dalam ilmu-ilmu alam, bukan merupakan hal yang mudah. Obyek kajian

ilmu sosial sangat jauh berbeda dengan ilmu alam. Meskipun dalam ilmu alam

manusia juga menjadi obyek kajiannya, tetapi problemnya sangat berbeda dan

lebih kompleks. Manusia, dalam ilmu sosial, dikaji dalam konteks interaksinya

dengan manusia lain secara personal maupun komunal. Sampai di sini, menurut

Brian, sudah tergambar sulitnya memahami dan menjelaskan pengalaman sharing

seseorang dalam dunia di mana dirinya berbeda secara signifikan dari orang

lain.3

Meskipun demikian, seperti halnya Brian Fay, Veeger juga berusaha

menjawab problematika itu dengan melakukan pengamatan secara lebih mendalam

atas perkembangan pemikiran tentang hubungan individu dan masyarakat dalam

sosisologi modern. Dia mencoba memberikan tanggapan, evaluasi dan kritiknya

terhadap teori-teori dalam ilmu sosial dari perspektif filsafat manusia. Sampai di

sini Veeger memiliki hipotesa bahwa, meskipun sosiologi modern telah berusaha

memahami hakikat gambaran masyarakat, tetapi usahanya itu belum menemukan

hasil. Gambaran-gambaran tentang masyarakat yang ada sekarang ini masih

terfokus pada satu segi dan dari pendekatan empiris saja. Oleh karena itu, bisa

dimengerti jika lukisan kemanusiaannya menjadi bersifat karikatural, kurang

utuh dan tidak lengkap.

3
Ibid., 1-2.
3

Di sini, Veeger berusaha untuk menawarkan sebuah cara pandang baru

terhadap hubungan manusia dengan masyarakat yang berakar pada filsafat, sehingga

baginya realitas sosial tidak dapat dipisahkan dari realitas manusia. Manusia

merupakan makhluk unik individual yang memiliki kesadaran dan kepribadian.

Oleh karena itu, meskipun ia secara naluriah memiliki kecenderungan untuk

bersosialisasi, namun secara personal ia tetap memiliki dan bersama dirinya

sendiri. Di sinilah pemahaman terhadap realitas manusia menjadi tak terpisahkan

dari pemahaman tentang realitas sosial yang disusunnya.

Secara umum, Veeger mengawali ulasannya dengan gambaran sejarah

perkembangan aliran sosiologi pada awal abad ke-19–20 dan kecenderungannya

masing-masing. Kemudian, pada akhir buku ini Veeger memberikan penilaian

kritis terhadap pemikiran masing-masing aliran sosiologi dan menawarkan satu

pendekatan baru tentang hubungan antara manusia dengan realitas sosial.

B. Pandangan Masyarakat yang Kolektivistis, Holistis dan Organistis

Sebelum mengkaji lebih jauh hubungan antara masyarakat dan individu,

Veeger berusaha menjelaskan pandangan masing-masing aliran sosiologi tentang

hubungan anatara keduanya. Menurutnya, ada beberapa pandangan tokoh aliran

sosilogi tentang hubungan masyarakat dan individu. Diantaranya, pandangan

yang mengandaikan adanya wujud atau realitas tersendiri pada masyarakat.

Dalam pandangan ini, masyarakat dianggap sebagai entitas yang penting dibanding

individu, sebab individu hidup untuk masyarakat. Pemahaman filosofis ini nantinya
4

yang melandasi munculnya tipe-tipe masyarakat, seperti collectivism, holism dan

organicism.4

Menurut Veeger, kolektivisme adalah ciri masyarakat yang cenderung

untuk meremehkan, bahkan menggeser keunikan dan kepentingan individu

sebagai makhluk bebas dan bertanggung jawab, demi kepentingan dan kemauan

kolektif masyarakat, bangsa atau negara. Masyarakat seperti ini akan mengenakan

suatu pola berpikir dan bertindak yang seragam dengan anggotanya.

Sedangkan holisme memiliki kecenderungan untuk menekankan secara

berlebihan tumbuhnya kesatuan dalam kehidupan manusia dengan tidak mengakui

adanya perbedaan. Menurut Piere van den Berghe, holisme ini merupakan salah

satu pendekatan yang sering dipakai para sosiolog untuk merekonsiliasi teori

struktural fungsionalisme dan teori konflik.5 Adapun organisme mempunyai

ajaran bahwa masyarakat berevolusi dan berkembang berdasarkan suatu prinsip

intrinsik di dalam dirinya, seperti halnya tiap-tiap organisme atau makhluk hidup.

Namun, prinsip evolusi ini tidak memiliki kaitan dengan kesadaran dan kemauan

masyarakat.

Menurut Veeger, pandangan masyarakat yang bersifat kolektivis, holistis

dan organistis, di bidang agama sering terungkap dalam panteisme dan monisme,

atau ajaran-ajaran mengenai satunya umat berdasarkan suatu realitas adi-alami.

4
George Ritzer, Contemporary Sociological Theory, (New York: Alfred A. Knopf, 1988), 17,
111, dan 117.
5
Piere van den Berghe, Dialectic and Functionalism: Toward Reconciliation, (American
Sociological, Review, 1963), 695-705.
5

Misalnya, monisme menganggap bahwa keanekaan yang tampak pada indera

manusia sebenarnya hanya ilusi belaka.

Sedangkan di bidang politik, pandangan masyarakat yang kolektivis, holistis

dan organistis sering menghasilkan konservatisme dan totalitarianisme. Peranan

bebas individu, golongan atau partai yang menginginkan perubahan selalu dicurigai.

Masyarakat tidak dikuasai oleh prinsip kemauan bebas individu, melainkan oleh

dinamika hukumnya sendiri. Suatu misal adalah ajaran dialektika sejarah budaya

dari Karl Marx (1818–1883)6.

Ketiga corak masyarakat tersebut tampak jelas dalam pendapat para

sosiolog, seperti Herbert Spencer (1820–1903) dan August Comte (1798–1857).

Di bawah pengaruh Biologi, khususnya teori evolusi Charles Darwin (1809–

1882), masyarakat dipelajari dengan memakai bagan “badan”. Hal ini tampak

pada pandangan Spencer tentang masyarakat bahwa badan masyarakat tumbuh

dan berdiferensiasi dengan sendirinya. Selain itu, teori bagan “badan” itu juga

tampak dalam pandangan August Comte, bahwa hukum masyarakat perlu dikenal

bukan karena ia bersifat mengikat, tetapi supaya anggota masyarakat tidak

melawan geraknya dan agar mereka dapat menyesuaikan diri. Dengan demikian,

mempercepat perwujudan sasaran hukum tersebut.

6
Menurut Gurney, Marx sebenarnya bukan seorang ahli sosiologi dan tidak mengidentifikasi
dirinya sebagai salah satunya. Namun, meskipun karya-karyanya terlalu asing untuk dicakup
dalam istilah sosiologi, ada “sosiologi” yang dapat ditemukan dalam karya Marx (there is a
sociology to be found in Marx’s work). Patrick J. Gurney, Historical Origins of Ideological
Denial: The Case of Marx in American Sociology, (USA: The American Sociologist, 1981),
196-201.
6

Teori-teori yang berlayar dengan menggunakan bendera “Darwinisme

Sosial”, pada umumnya, tidak terlalu optimistis terhadap masyarakat. Namun

demikian, mereka tetap berkeyakinan bahwa hukum yang berlaku untuk semua

makhluk hidup berlaku juga untuk masyarakat. Manusia berjuang agar dapat

terus hidup dan dalam perjuangan ini pihak yang kuat akan menjadi pemenang.

Hukum yang berperan sebagai dinamisator bersifat sebagai “naluri sosial” atau

determinisme masyarakat, pekerjaan dan proses hidup.

Menurut Veeger, semua teori itu mengandung sebagian kebenaran.

Tetapi, dalam keseluruhannya mereka tidak memadai dengan citra manusia yang

sebenarnya. Teori-teori itu belum bisa menyingkap aspek subyektivitas manusia

yang haikiki, yakni aspek kesadaran dan kebebasan manusia yang membuat

dirinya sebagai pencipta dan penanggung jawab hidupnya. Dengan kata lain,

mereka beranggapan bahwa masyarakat atau realitas sosial itu berevolusi dan

membuat sejarahnya sendiri, lepas dari kemauan dan kesadaran individu-individu.

C. Masyarakat Sebagai Mekanisme Pandangan yang Individualistis, Atomistis


dan Mekanistis

Pada bagian ini, Veeger mencoba menjelaskan pandangan-pandangan lain

tentang hubungan masyarakat dan individu. Penjelasan ini dimaksudkan sebagai

antitesa terhadap beberapa pandangan sebelumnya yang kurang melihat adanya

aspek kebebasan individu dalam proses perubahan sosial. Pandangan lain tersebut

adalah yang beranggapan bahwa masyarakat pada dasarnya bercorak atomis,

mekanis dan individualis.


7

Menurut penganut madzhab organistis, kebebasan manusia hanya akan

berarti jika manusia bebas untuk menyesuaikan diri dengan sutruktur sosial di

luar dirinya demi keselamatan atau pelanggaran. Ketika manusia memilih untuk

melanggar struktur sosialnya sendiri, maka pilihannya itu dapat mengantarkan

pada kepunahannya.

Sebaliknya, kaum individualis lebih mendahulukan kepentingan atau

selera individu sepenuhnya dan mengemudiankan kepentingan hidup masyarakat.

Masyarakat atau kelompok diharapkan mengabdikan dirinya demi kepentingan

individu. Pandangan ini dilatari oleh suatu asumsi bahwa individu memiliki hak-

hak mutlak yang tidak pernah boleh dikalahkan dan dikurangi oleh masyarakat

dengan alasan untuk kepentingan bersama.

Dalam pandangan individualisme, masyarakat tidak dilihat sebagai kesatuan

organis atau badan otonom, melainkan sebagai kemajemukan (pluralitas), yang

terdiri dari banyak individu dan hanya dalam penampakan ia merupakan

kesatuan. Kesatuan masyarakat bersifat semu, karena ia terdiri dari kemauan

individu-individu yang mampu memilih untuk hidup bermasyarakat atau hidup

sendirian. Kalaupun individu-individu itu memilih hidup bermasyarakat, mereka

tetap mempunyai dan mempertahankan individualitasnya masing-masing.

Argumentasi yang sering dijadikan dasar teori individualisme ini adalah:

“Keluarkanlah semua individu dari masyarakat, pasti masyarakat akan berhenti.

Sebaliknya, bubarkanlah masyarakat pasti individu masih tetap ada”. Pendek kata,

kaum individualis berkeyakinan bahwa dalam masyarakat hanya ada individu,


8

atau individu tidak lain merupakan inti masyarakat. Contoh pandangan

individualistis ini, diantaranya dapat ditemukan dalam definisi masyarakat menurut

Jean Jacques Rousseau (1712–1778), bahwa masyarakat tidak lebih sebagai hasil

kontrak sosial yang diadakan antara pihak-pihak yang otonom. Pandangan

Rousseau ini setidaknya juga diyakini oleh sesama kelompok pemikir konflik

(the conflict thinker) yang lain, seperti Augustine dan Thomas Aquinas, Machiavelli

dan Hobbes, serta John Locke.7 Sebab dalam perspektif konflik, individualisme

sebagai landasan teorinya merupakan dasar bagi terciptanya proses sosial.

Bahkan, Gumplowicz menegaskan bahwa konflik antar berbagai ras merupakan

dasar utama bagi keteraturan dan perubahan sosial (the conflict between races

was the major basis for social order and change).8

Pandangan individualisme, yang sebagian besarnya merupakan penganut

teori konflik (conflict theory) itu, juga didukung oleh kaum atomis yang memiliki

ajaran bahwa relasi-relasi antara individu dalam masyarakat bersifat lahiriah

belaka, bagaikan relasi antara atom-atom yang membentuk molekul. Sebagaimana

individualisme, kaum atomis juga beranggapan bahwa masyarakat bukan merupakan

suatu kesatuan, melainkan kejamakan dan keanekaan yang menjadi ciri pokok

masyarakat.

7
Ritzer, Contemporary Sociological, 78.
8
Earl Rubington dan Martin S. Weinberg (ed.), The Study of Social Problems: Five Perspectives,
(New York: Oxford University Press, 1971), 83.
9

Dalam pandangan atomisme, individu ibarat atom yang sudah lengkap

dalam dirinya, berkemauan sendiri dan mampu menggabungkan diri sesukanya

dengan atom-atom yang lain. Sama halnya air dan udara yang tidak lebih dari

kombinasi atom-atom tertentu, masyarakat juga tidak lebih dari pada individu-

individu yang mencari kombinasi-kombinasi. Apabila atom nitrogen bergabung

dengan atom oksigen maka akan menjadi udara. Begitu juga ketika individu-

individu saling menggabungkan dirinya, maka akan melahirkan suatu masyarakat.

Penggabungan individu ini, menurut kaum atomis, terjadi hanya berdasarkan

struktur-struktur lahiriah belaka.

Pandangan berikutnya adalah mekanisme, yang beranggapan bahwa tidak

ada perubahan atau evolusi dari dalam. Keteraturan masyarakat dan pergolakannya

tidak lain merupakan hasil dari hukum-hukum mekanis, ibarat konstruksi dan

gerak mesin. Seluruh alam semesta, termasuk manusia, dikuasai oleh hukum

penarikan dan penolakan. Kebebasan manusia dalam pandangan kaum mekanis

ini tidak diakui. Bagi mereka, perilaku sosial tidak lebih dari reaksi spontan-

otomatis yang disebabkan oleh struktur biologis individu. Masyarakat dengan

segala dinamika yang ada di dalamnya telah didisain sedemikian rupa sehingga

menimbulkan reaksi-reaksi yang sama. Pandangan dunia mekanistis ini biasa

disebut juga dengan deism,9 yang menawarkan persepsi metafisika dalam

memahami masyarakat. Bagi aliran ini, kehidupan masyarakat bersifat pre-

9
Scott Gordon, The History and Philosophy, 514-17.
10

established order, dalam arti bahwa tertib sosial sebenarnya sudah ada yang

mengaturnya sejak masa tak terhingga.

Pandangan mekanisme ini berakar dalam filsafat Thomas Hubbes (1588–

1679), seorang ahli filsafat negara, yang berpendapat bahwa menurut pengalaman,

masyarakat adalah himpunan individu-individu yang masing-masing secara egoistis

mengejar kepentingan mereka sendiri. John Locke (1632–1704) juga mengatakan

hal serupa, bahwa individu bersedia untuk mengikat diri kepada hidup bernegara.

Hal ini dilakukan supaya tercapai suatu keadaan dimana tak seorang pun lebih

kuat dari pada yang lain. Di muka hukum semua menjadi sama.

Henry Charles Carey (17993–1879) menyebut manusia sebagai “molekul”

masyarakat. Masyarakat dijadikan satu bukan karena adanya suatu naluri sosial

dalam dirinya, melainkan karena pengaruh daya penarik antara unsur-unsur positif

dan negatif.

Pandangan masyarakat yang bersifat individualistis, atomistis dan mekanistis

mempunyai akarnya dalam nominalisme, sebuah aliran filsafat yang mengatakan

bahwa konsep-konsep umum tidak mewakili realitas apa pun. Jadi, masyarakat

juga tidak mempunyai makna ada dalam dirinya sendiri. Dalam pandangan

nominalisme, yang nyata adalah individu itu sendiri. Tetapi, karena individu

jumlahnya terlalu banyak dan tidak mungkin disebut satu demi satu, maka

digunakan kata masyarakat sebagai shorthand untuk menyebut semua individu.

Filsafat materialisme juga sering menjadi landasan pandangan mayarakat

ini. Dikatakan bahwa seluruh alam raya, termasuk mansusia baik dalam hidup
11

individualnya maupun dalam kehidupan bersama, terdiri dari materi saja yang

menampakkan diri dalam berbagai bentuk, antara lain kesadaran. Diantara tokoh

materialisme ini adalah Karl Marx dan Engels. Bagi mereka berdua, sebuah

filsafat materialisme historis (the philosophy oh historical materialism) dapat

memusakan hasrat manusia untuk menemukan makna dalam eksistensi. Dunia ini

penuh dengan makna, dan makna tersebut dapat dimengerti, bukan karena ia

adalah pemerintahan-Tuhan (God-governed), tetapi karena ia dikelola oleh hukum

(law-governed).10

D. Masyarakat Sebagai Proses Interaksi

Pada bagian ini, kita akan melihat perkembangan baru dari pandangan-

pandangan sebelumnya. Di sini muncul pandangan yang mencoba merangakaikan

atau mempersatukan masyarakat dengan anggotanya. Pandangan ini bercorak

dinamis yang memandang masyarakat sebagai suatu proses, dimana manusia

sendiri mengupayakan kehidupan bersama menurut konsepsinya dan bertanggung

jawab atas hasilnya. Manusia berada dalam masyarakat tidak bagaikan burung di

dalam sangkarnya, melainkan mereka bermasyarakat.

Masyarakat sebagai proses dapat dipandang dari dua segi, yang dalam

kenyataannya tidak dapat dipisahklan satu dari lainnya karena kesatuannya.

Pertama, masyarakat dapat dipandang dari segi anggotanya yang membentuk,

mendukung, menunjang dan meneruskan suatu pola kehidupan bersama yang

disebut masyarakat, atau berusaha mengubahnya. Tanpa peran aktif anggotanya

10
Scott Gordon, The History and Philosophy, 381
12

tidak akan ada keluarga, kelompok, masyarakat atau negara. Tanpa pendukung

dan penegak tidak akan ada hukum, adat istiadat atau kebudayaan dan peradaban

pada umumnya. Kedua, masyarakat dapat ditinjau dari segi pengaruh strukturnya

atas anggotanya. Pengaruh itu sedemikian penting, sehingga boleh dikata tanpa

pengaruh itu manusia tidak akan dapat hidup, apalagi berkembang. Tanpa

kepemimpinan, hukum, ekonomi, pertahanan, moralitas dan agama, maka individu

akan hancur oleh nalurinya sendiri dan kekuatan alam. Peralihan dari makhluk

hidup menjadi manusia yang berpribadi dan berkembangan, berkaitan langsung

dengan dependensinya pada masyarakat. Pemasyarakatannya adalah keharusan

eksistensi kemanusiaannya.

Jadi, masyarakat sebagai proses mengandung dua makna sekaligus, yaitu

individu menegakkan masyarakat dan bertanggung jawab atas keadaannya.

Sebaliknya masyarakat berperan sedemikian rupa di dalam diri individu, sehingga

eksistensinya sebagai manusia tergantung dari padanya. Keduanya terjalin erat,

dari satu segi masyarakat mengejawantahkan kebebasan dan kesadarannya sebagai

manusia, dari segi yang lain mesyarakat mengikat dan mengekang manusia.

E. Kedwitunggalan Manusia

Hasrat sosiologi untuk menguasai dan membangun kembali masyarakat,

mendorong para perintisnya untuk mengambil alih model maupun pengandaian-

pengandaian yang mendasari ilmu alam. August Comte misalnya, menginginkan

suatu sosiologi yang terpisah dari filsafat metafisik dan bergabung dengan ilmu

pengetahuan empiris. Menurut Veeger, cara yang demikian menyesatkan mereka.


13

Mereka tidak menyadari bahwa terdapat perbedaan yang hakiki antara manusia

dengan benda-benda atau makhluk hidup lain yang dipelajari ilmu alam.

Terdapat tiga hukum ilmu alam yang berpengaruh terhadap sosiologi.

Pertama, pengetahuan ilmiah harus bersifat obyektif. Hal ini berarti seorang

ilmuwan tidak boleh dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berasal dari dalam

dirinya seperti perasaan, kepercayaan, nilai-nilai etis yang membuatnya mencela

dan memuji obyek kajian, filsafat, agama dan teologi. Obyektivitas adalah satu-

satunya jalan untuk memperoleh atau mencapai kebenaran ilmiah. Diandaikan

bahwa obyek itu sendiri tidak mengandung dimensi lain kecuali yang dapat

diamati. Jika terdapat dimensi lain dalam pengamatan manusia, maka tidak

mungkin mengatakan tentang hal-hal yang berakitan dengannya. Pengandaian

lain, yang kemudian diambil oleh sosiologi adalah bahwa obyek observasi tidak

mempunyai subyektivitas atau individualitas yang berarti bagi ilmu pengetahuan.

Kedua, bahwa ilmu pengetahuan hanya berurusan dengan hal-hal yang

berulangkali terjadi. Andaikata perhatian ilmu diarahkan kepada hal-hal unik

yang hanya satu kali terjadi, pengetahuannya tidak akan membantu dalam

memprediksi atau memastikan hal-hal yang akan terjadi. Padahal, prediksi inilah

yang menjadi karakter ilmu pengetahuan. Semua hasil teknologi didasarkan atas

pengetahuan tentang reaksi-reaksi yang berulang kali.

Ketiga, ilmu pengetahuan positif menyoroti alam dari segi interdependensi-

nya dan antar hubungan unsur-unsurnya. Semua kesatuan itu saling berhubungan
14

dan bersama-sama membentuk satu sistem. Jadi, perhatian utama diarahkan pada

relasi-relasi luar antara benda-benda dan gejala.

Disamping ada segi-segi positifnya, penggunaan hukum-hukum ilmu alam

dalam ilmu-ilmu sosial juga menunjukkan efek negatif. Dalam pengamatan Veeger

sedikitnya ada tiga indikasi. Pertama, manusia menjadi obyek ilmu pengetahuan.

Kalau kehidupan bersama manusia dengan pranatanya dan strukturnya dipandang

sebagai obyek semata, maka akan terjadi distorsi. Suatu sosiologi yang hanya

mendekati dan mengenal orang menurut peranan dan fungsinya adalah bagaikan

panggung yang menampilkan lakon boneka, tetapi tidak merupakan profil

masyarakat sebagaimana adanya.

Kedua, hanya tingkah laku yang berulang-ulang dan selalu sama. Kalau

sosisologi hanya mempelajari pola-pola perilaku yang selalu tampak dalam situasi

tertentu, sehingga dapat dipastikan dengan kurang lebih, maka kebebasan manusia

menjadi faktor yang tidak ada relevansinya lagi.

Ketiga, kehidupan sosial menjadi sistem. Dalam arti, jika realitas sosial

dipikirkan sebagai suatu keseluruhan, dimana bagian-bagiannya saling bergantung,

seperti badan manusia, maka manusia individu tidak lagi menerima martabatnya

dari diri sendiri. Ia hanya mempunyai arti sejauh tindakannya memberikan

sumbangan kepada keseluruhan. Tegasnya, bahwa sosiologi yang melembagakan

kategori-kategori dan konsep-konsep ilmu pengetahuan alam dalam mendekati

manusia sosial, menghasilkan suatu gambaran manusia yang tidak sadar, tidak

bebas dan tidak bertanggung jawab sendiri.


15

Oleh karena itu, di sini diperlukan sebuah sosiologi yang seimbang dan

memadai, yakni sosiologi yang mempunyai kepekaan bagi ketunggalan subyek

dunia yang saling mempengaruhi dan isi mengisi. Kesadaran manusia yang harus

menjadi titik temu dan titik tolak untuk setiap sosiologi yang partikular dan

aspektual, bercirikan subyek dan obyektif sekaligus. Filsafat manusia masa kini

mempunyai berbagai istilah untuk menyebut kedwitunggalan ini. Misalnya,

kebersatuan dunia dan subyek disebut sebagai recontre atau pertemuan. Kata

pertemuan selalu mengandaikan adanya pihak yang menemui dan yang ditemui.

Dua pihak menjadi satu dalam pertemuan, yang dalam istilah lain disebut juga

dengan dialog. Di sini kedua peserta menghasilkan satu percakapan. Gabriel

Marcel memakai kata partisipasi dalam arti ganda, yaitu keikutsertaan (pasif) dan

ikut serta (aktif). Marlue Ponty, memakai kata presence (kehadiran) dimengerti

sebagai kehadiran yang aktif. Manusia dan dunia menghadirkan diri satu kepada

yang lain secara timbal balik. Tanpa peranan aktif manusia, dunia tidak akan

menjadi sesuatu apa pun.

Fenomenologi dalam filsafat merumuskan kesadaran manusia sebagai

“intensionalitas”, yaitu pengarahan diri. Istilah ini menyiratkan adanya sifat

dinamis dan kebebasan manusia. Manusia mengarahkan diri kepada dunia secara

aktif. Ia tidak hanya menyoroti dunia dengan lampu, tetapi juga menafsirkan

situasinya, menilainya dan mempertimbangkan serta menentukan sikap dan

perbuatannya.
16

F. Penutup

Dari pembahasan di atas tampak bahwa realitas sosial menyajikan bentuk-

bentuk hubungan individu dan masyarakat secara beragam. Keragaman ini,

meminjam logika kaum atomis, dipengaruhi oleh kenyataan bahwa setiap individu

manusia memiliki akses istimewa terhadap keadaan sadarnya sendiri. Akibatnya,

masing-masing individu itu lalu memiliki wilayah pribadi yang belum tentu bisa

diakses oleh individu lain, sehingga bukan saja menimbulkan perbedaan namun

juga telah memisahkan individu satu dari yang lainnya.

Sebaliknya, dalam teori strukturalisme perubahan dan tertib masyarakat

itu pada dasarnya disebabkan oleh suatu sistem sosial, bukan oleh individu-individu.

Para agen sosial itu, menurut aliran ini, sesungguhnya hanya merupakan pembawa

suatu sistem yang telah diciptakan oleh sistem itu sendiri. Namun, terlepas dari

adanya perbedaan pandangan mengenai sumber perubahan dan tertib masyarakat

tersebut, realitas kehidupan manusia merupakan “mata air” ilmu sosial yang tidak

akan ada habisnya. Sepanjang manusia masih berhasrat menggunakan akal (daya

berfikir)-nya, insya Allah filsafat ilmu sosial akan tetap bereproduksi. Wallahu

a’lam bis Shawab.

You might also like