Professional Documents
Culture Documents
A. Pendahuluan
penting yang selama ini menjadi mainstream kajian filsafat manusia maupun
peranan strtuktur sosial.1 Veeger, seorang dosen filsafat dan sosiologi di Universitas
manusia kongkret ataukah merupakan salah satu aspek dari kemanusiaan yang
utuh?
tentang pendekatan “multicultural” dalam filsafat ilmu sosial; apakah ilmu sosial
itu bersifat ilmiah, atau bisakah ia menjadi ilmiah?2 Pertanyaan ini mengemuka,
Disarikan dari K.J. Veeger, Realitas Sosial: Refleksi Filsafat Sosial atas Hubungan Individu-
Masyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi, (Jakarta: PT. Gramedia Pusataka Umum,
1993), 265 halaman.
1
Scott Gordon, The History and Philosophy of Social Science, (USA: Routledge, 1991), 2-4.
2
Brian Fay, Contemporary Philosophy of Social Science, (Great Britain: MPG Books Ltd.,
1998), 1.
2
karena dalam ilmu sosial untuk mencapai derajat keilmiahan (scientific degree),
seperti dalam ilmu-ilmu alam, bukan merupakan hal yang mudah. Obyek kajian
ilmu sosial sangat jauh berbeda dengan ilmu alam. Meskipun dalam ilmu alam
manusia juga menjadi obyek kajiannya, tetapi problemnya sangat berbeda dan
lebih kompleks. Manusia, dalam ilmu sosial, dikaji dalam konteks interaksinya
dengan manusia lain secara personal maupun komunal. Sampai di sini, menurut
seseorang dalam dunia di mana dirinya berbeda secara signifikan dari orang
lain.3
terhadap teori-teori dalam ilmu sosial dari perspektif filsafat manusia. Sampai di
sini Veeger memiliki hipotesa bahwa, meskipun sosiologi modern telah berusaha
terfokus pada satu segi dan dari pendekatan empiris saja. Oleh karena itu, bisa
3
Ibid., 1-2.
3
terhadap hubungan manusia dengan masyarakat yang berakar pada filsafat, sehingga
baginya realitas sosial tidak dapat dipisahkan dari realitas manusia. Manusia
Dalam pandangan ini, masyarakat dianggap sebagai entitas yang penting dibanding
individu, sebab individu hidup untuk masyarakat. Pemahaman filosofis ini nantinya
4
organicism.4
sebagai makhluk bebas dan bertanggung jawab, demi kepentingan dan kemauan
kolektif masyarakat, bangsa atau negara. Masyarakat seperti ini akan mengenakan
adanya perbedaan. Menurut Piere van den Berghe, holisme ini merupakan salah
satu pendekatan yang sering dipakai para sosiolog untuk merekonsiliasi teori
intrinsik di dalam dirinya, seperti halnya tiap-tiap organisme atau makhluk hidup.
Namun, prinsip evolusi ini tidak memiliki kaitan dengan kesadaran dan kemauan
masyarakat.
dan organistis, di bidang agama sering terungkap dalam panteisme dan monisme,
4
George Ritzer, Contemporary Sociological Theory, (New York: Alfred A. Knopf, 1988), 17,
111, dan 117.
5
Piere van den Berghe, Dialectic and Functionalism: Toward Reconciliation, (American
Sociological, Review, 1963), 695-705.
5
bebas individu, golongan atau partai yang menginginkan perubahan selalu dicurigai.
Masyarakat tidak dikuasai oleh prinsip kemauan bebas individu, melainkan oleh
dinamika hukumnya sendiri. Suatu misal adalah ajaran dialektika sejarah budaya
1882), masyarakat dipelajari dengan memakai bagan “badan”. Hal ini tampak
dan berdiferensiasi dengan sendirinya. Selain itu, teori bagan “badan” itu juga
tampak dalam pandangan August Comte, bahwa hukum masyarakat perlu dikenal
melawan geraknya dan agar mereka dapat menyesuaikan diri. Dengan demikian,
6
Menurut Gurney, Marx sebenarnya bukan seorang ahli sosiologi dan tidak mengidentifikasi
dirinya sebagai salah satunya. Namun, meskipun karya-karyanya terlalu asing untuk dicakup
dalam istilah sosiologi, ada “sosiologi” yang dapat ditemukan dalam karya Marx (there is a
sociology to be found in Marx’s work). Patrick J. Gurney, Historical Origins of Ideological
Denial: The Case of Marx in American Sociology, (USA: The American Sociologist, 1981),
196-201.
6
demikian, mereka tetap berkeyakinan bahwa hukum yang berlaku untuk semua
makhluk hidup berlaku juga untuk masyarakat. Manusia berjuang agar dapat
terus hidup dan dalam perjuangan ini pihak yang kuat akan menjadi pemenang.
Hukum yang berperan sebagai dinamisator bersifat sebagai “naluri sosial” atau
Tetapi, dalam keseluruhannya mereka tidak memadai dengan citra manusia yang
yang haikiki, yakni aspek kesadaran dan kebebasan manusia yang membuat
dirinya sebagai pencipta dan penanggung jawab hidupnya. Dengan kata lain,
mereka beranggapan bahwa masyarakat atau realitas sosial itu berevolusi dan
aspek kebebasan individu dalam proses perubahan sosial. Pandangan lain tersebut
berarti jika manusia bebas untuk menyesuaikan diri dengan sutruktur sosial di
luar dirinya demi keselamatan atau pelanggaran. Ketika manusia memilih untuk
pada kepunahannya.
individu. Pandangan ini dilatari oleh suatu asumsi bahwa individu memiliki hak-
hak mutlak yang tidak pernah boleh dikalahkan dan dikurangi oleh masyarakat
Sebaliknya, bubarkanlah masyarakat pasti individu masih tetap ada”. Pendek kata,
Jean Jacques Rousseau (1712–1778), bahwa masyarakat tidak lebih sebagai hasil
Rousseau ini setidaknya juga diyakini oleh sesama kelompok pemikir konflik
(the conflict thinker) yang lain, seperti Augustine dan Thomas Aquinas, Machiavelli
dan Hobbes, serta John Locke.7 Sebab dalam perspektif konflik, individualisme
dasar utama bagi keteraturan dan perubahan sosial (the conflict between races
teori konflik (conflict theory) itu, juga didukung oleh kaum atomis yang memiliki
suatu kesatuan, melainkan kejamakan dan keanekaan yang menjadi ciri pokok
masyarakat.
7
Ritzer, Contemporary Sociological, 78.
8
Earl Rubington dan Martin S. Weinberg (ed.), The Study of Social Problems: Five Perspectives,
(New York: Oxford University Press, 1971), 83.
9
dengan atom-atom yang lain. Sama halnya air dan udara yang tidak lebih dari
kombinasi atom-atom tertentu, masyarakat juga tidak lebih dari pada individu-
dengan atom oksigen maka akan menjadi udara. Begitu juga ketika individu-
ada perubahan atau evolusi dari dalam. Keteraturan masyarakat dan pergolakannya
tidak lain merupakan hasil dari hukum-hukum mekanis, ibarat konstruksi dan
gerak mesin. Seluruh alam semesta, termasuk manusia, dikuasai oleh hukum
ini tidak diakui. Bagi mereka, perilaku sosial tidak lebih dari reaksi spontan-
segala dinamika yang ada di dalamnya telah didisain sedemikian rupa sehingga
9
Scott Gordon, The History and Philosophy, 514-17.
10
established order, dalam arti bahwa tertib sosial sebenarnya sudah ada yang
1679), seorang ahli filsafat negara, yang berpendapat bahwa menurut pengalaman,
hal serupa, bahwa individu bersedia untuk mengikat diri kepada hidup bernegara.
Hal ini dilakukan supaya tercapai suatu keadaan dimana tak seorang pun lebih
kuat dari pada yang lain. Di muka hukum semua menjadi sama.
masyarakat. Masyarakat dijadikan satu bukan karena adanya suatu naluri sosial
dalam dirinya, melainkan karena pengaruh daya penarik antara unsur-unsur positif
dan negatif.
bahwa konsep-konsep umum tidak mewakili realitas apa pun. Jadi, masyarakat
juga tidak mempunyai makna ada dalam dirinya sendiri. Dalam pandangan
nominalisme, yang nyata adalah individu itu sendiri. Tetapi, karena individu
jumlahnya terlalu banyak dan tidak mungkin disebut satu demi satu, maka
ini. Dikatakan bahwa seluruh alam raya, termasuk mansusia baik dalam hidup
11
individualnya maupun dalam kehidupan bersama, terdiri dari materi saja yang
menampakkan diri dalam berbagai bentuk, antara lain kesadaran. Diantara tokoh
materialisme ini adalah Karl Marx dan Engels. Bagi mereka berdua, sebuah
memusakan hasrat manusia untuk menemukan makna dalam eksistensi. Dunia ini
penuh dengan makna, dan makna tersebut dapat dimengerti, bukan karena ia
(law-governed).10
Pada bagian ini, kita akan melihat perkembangan baru dari pandangan-
jawab atas hasilnya. Manusia berada dalam masyarakat tidak bagaikan burung di
Masyarakat sebagai proses dapat dipandang dari dua segi, yang dalam
10
Scott Gordon, The History and Philosophy, 381
12
tidak akan ada keluarga, kelompok, masyarakat atau negara. Tanpa pendukung
dan penegak tidak akan ada hukum, adat istiadat atau kebudayaan dan peradaban
pada umumnya. Kedua, masyarakat dapat ditinjau dari segi pengaruh strukturnya
atas anggotanya. Pengaruh itu sedemikian penting, sehingga boleh dikata tanpa
pengaruh itu manusia tidak akan dapat hidup, apalagi berkembang. Tanpa
akan hancur oleh nalurinya sendiri dan kekuatan alam. Peralihan dari makhluk
eksistensi kemanusiaannya.
manusia, dari segi yang lain mesyarakat mengikat dan mengekang manusia.
E. Kedwitunggalan Manusia
suatu sosiologi yang terpisah dari filsafat metafisik dan bergabung dengan ilmu
Mereka tidak menyadari bahwa terdapat perbedaan yang hakiki antara manusia
dengan benda-benda atau makhluk hidup lain yang dipelajari ilmu alam.
Pertama, pengetahuan ilmiah harus bersifat obyektif. Hal ini berarti seorang
ilmuwan tidak boleh dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berasal dari dalam
dan memuji obyek kajian, filsafat, agama dan teologi. Obyektivitas adalah satu-
bahwa obyek itu sendiri tidak mengandung dimensi lain kecuali yang dapat
diamati. Jika terdapat dimensi lain dalam pengamatan manusia, maka tidak
lain, yang kemudian diambil oleh sosiologi adalah bahwa obyek observasi tidak
yang hanya satu kali terjadi, pengetahuannya tidak akan membantu dalam
memprediksi atau memastikan hal-hal yang akan terjadi. Padahal, prediksi inilah
yang menjadi karakter ilmu pengetahuan. Semua hasil teknologi didasarkan atas
nya dan antar hubungan unsur-unsurnya. Semua kesatuan itu saling berhubungan
14
dan bersama-sama membentuk satu sistem. Jadi, perhatian utama diarahkan pada
dalam ilmu-ilmu sosial juga menunjukkan efek negatif. Dalam pengamatan Veeger
sedikitnya ada tiga indikasi. Pertama, manusia menjadi obyek ilmu pengetahuan.
sebagai obyek semata, maka akan terjadi distorsi. Suatu sosiologi yang hanya
mendekati dan mengenal orang menurut peranan dan fungsinya adalah bagaikan
Kedua, hanya tingkah laku yang berulang-ulang dan selalu sama. Kalau
sosisologi hanya mempelajari pola-pola perilaku yang selalu tampak dalam situasi
tertentu, sehingga dapat dipastikan dengan kurang lebih, maka kebebasan manusia
Ketiga, kehidupan sosial menjadi sistem. Dalam arti, jika realitas sosial
seperti badan manusia, maka manusia individu tidak lagi menerima martabatnya
manusia sosial, menghasilkan suatu gambaran manusia yang tidak sadar, tidak
Oleh karena itu, di sini diperlukan sebuah sosiologi yang seimbang dan
dunia yang saling mempengaruhi dan isi mengisi. Kesadaran manusia yang harus
menjadi titik temu dan titik tolak untuk setiap sosiologi yang partikular dan
aspektual, bercirikan subyek dan obyektif sekaligus. Filsafat manusia masa kini
kebersatuan dunia dan subyek disebut sebagai recontre atau pertemuan. Kata
pertemuan selalu mengandaikan adanya pihak yang menemui dan yang ditemui.
Dua pihak menjadi satu dalam pertemuan, yang dalam istilah lain disebut juga
Marcel memakai kata partisipasi dalam arti ganda, yaitu keikutsertaan (pasif) dan
ikut serta (aktif). Marlue Ponty, memakai kata presence (kehadiran) dimengerti
sebagai kehadiran yang aktif. Manusia dan dunia menghadirkan diri satu kepada
yang lain secara timbal balik. Tanpa peranan aktif manusia, dunia tidak akan
dinamis dan kebebasan manusia. Manusia mengarahkan diri kepada dunia secara
aktif. Ia tidak hanya menyoroti dunia dengan lampu, tetapi juga menafsirkan
perbuatannya.
16
F. Penutup
meminjam logika kaum atomis, dipengaruhi oleh kenyataan bahwa setiap individu
masing-masing individu itu lalu memiliki wilayah pribadi yang belum tentu bisa
diakses oleh individu lain, sehingga bukan saja menimbulkan perbedaan namun
itu pada dasarnya disebabkan oleh suatu sistem sosial, bukan oleh individu-individu.
Para agen sosial itu, menurut aliran ini, sesungguhnya hanya merupakan pembawa
suatu sistem yang telah diciptakan oleh sistem itu sendiri. Namun, terlepas dari
tersebut, realitas kehidupan manusia merupakan “mata air” ilmu sosial yang tidak
akan ada habisnya. Sepanjang manusia masih berhasrat menggunakan akal (daya
berfikir)-nya, insya Allah filsafat ilmu sosial akan tetap bereproduksi. Wallahu