You are on page 1of 12

S  

 

 


S  

Jika kita mendengar kata ´Birokrasi´ maka langsung yang ada dalam pikiran
kita adalah bahwasanya kita berhadapan dengan suatu prosedur yang berbelit-
belit, dari meja satu ke meja lainnya, yang ujung-ujungnya adalah biaya yang
serba mahal (hight cost). Pendapat yang demikian tidaklah dapat disalahkan
seluruhnya, namun demikian apabila orang-orang yang duduk dibelakang meja
taat pada prosedur dan aturan serta berdisiplin dalam menjalankan tugasnya, maka
birokrasi akan berjalan lancar dan ´biaya tinggi´ akan dapat dihindarkan. Untuk
mengeliminasi pemikiran yang demikian, marilah kita sejenak mencerna pendapat
para ahli mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan birokrasi.

1. Bintoro Tjokroamidjojo


Menurut Bintoro Tjokroamidjojo (1984) ´Birokrasi dimaksudkan untuk
mengorganisir secara teratur suatu pekerjaan yang harus dilakukan oleh
banyak orang´. Dengan demikian sebenarnya tujuan dari adanya birokrasi
adalah agar pekerjaan dapat diselesaikan dengan cepat dan terorganisir.
Bagaimana suatu pekerjaan yang banyak jumlahnya harus diselesaikan oleh
banyak orang sehingga tidak terjadi tumpang tindih di dalam
penyelesaiannya, itulah yang sebenarnya menjadi tugas dari birokrasi.

2. Blau dan Page


Blau dan Page (1956) mengemukakan ´Birokrasi sebagai tipe dari suatu
organisasi yang dimaksudkan untuk mencapai tugas-tugas administratif
yang besar dengan cara mengkoordinir secara sistematis (teratur) pekerjaan
dari banyak orang´. Jadi menurut Blau dan Page, birokrasi justru untuk
melaksanakan prinsip-prinsip organisasi yang ditujukan untuk
meningkatkan efisiensi administratif, meskipun kadangkala di dalam
pelaksanaannya birokratisasi seringkali mengakibatkan adanya
ketidakefisienan.

c
G. Ismani
Dengan mengutip pendapat dari Mouzelis, Ismani (2001) mengemukakan
´Bahwa dalam birokrasi terdapat aturan-aturan yang rasional, struktur
organisasi dan proses berdasarkan pengetahuan teknis dan dengan efisiensi
dan setinggi-tingginya. Dari pandangan yang demikian tidak sedikitpun
alasan untuk menganggap birokrasi itu jelek dan tidak efisien´.

Jadi dapat dirumuskan bahwa birokrasi adalah Suatu prosedur yang harus
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku agar tujuan organisasi dapat
tercapai secara efektif dan efisien ataupun Keseluruhan aparat pemerintah, baik
sipil maupun militer yang bertugas membantu pemerintah dan menerima gaji dari
pemerintah karena statusnya itu.

Birokrasi di Indonesia awalnya sebagaimana diperkenalkan oleh budaya


Eropa di mulai dari masa-masa kolonial antara lain dengan masa î  ,
masa   dan 
  , masa pemerintah pusat î  ,
masa     dan 

   , masa
pendudukan bala tentara Jepang dan kemudian masa dimana setelah proklamasi
kemerdekaan 17 Agustus 1945 pemerintahan Indonesia melalui Kasman
Singodimedjo ketua KNIP pada 25 September 1945 mengumumkan bahwa
presiden Indonesia memutuskan bagi keseluruhan pegawai-pegawai pemerintahan
terdahulu dari segala jabatan dan tingkatan ditetapkan menjadi pegawai
pemerintahan Indonesia.

Dalam sebuah Negara, birokrasi diperlukan sebagai alat Negara dalam


penyelenggaraan negara dan melayani masyarakat. Negara tercipta atas kontrak
sosial yang menghendaki terciptanya kesejahteraan bagi rakyatnya. Untuk
melayani kepentingan rakyat inilah, Negara memerlukan sebuah unit
pemerintahan atau yang dikenal dengan birokrasi. Dalam kehidupan berbagai
negara bangsa di berbagai belahan dunia, birokrasi berkembang sebagai wahana
utama dalam penyelenggaraan negara dalam berbagai bidang kehidupan bangsa
dan dalam hubungan antar bangsa. Birokrasi bertugas menerjemahkan berbagai
keputusan politik ke dalam berbagai kebijakan publik, dan berfungsi melakukan
pengelolaan atas pelaksanaan berbagai kebijakan tersebut secara operasional,

ë
efektif, dan efisisen. Oleh sebab itu, disadari bahwa birokrasi merupakan faktor
penentu keberhasilan keseluruhan agenda pemerintahan, termasuk dalam
mewujudkan pemerintahan yang bersih atau clean government dalam keseluruan
skenario perwujudan kepemerintahan yang baik (good governance).

Penyelenggaraan pemerintahan di setiap Negara dalam menjalankan


fungsinya melayani kepentingan masyarakat selalu berbeda tergantung pengaruh
pengalaman sejarahnya serta kondisi sosial politik Negara tersebut. Negara yang
pernah mengalami masa kolonialisme pasti pada awal terbentuknya Negara
memiliki corak birokrasi warisan kolonial. Begitu juga halnya dengan Indonesia.
Dalam perspektif sejarah bangsa, birokrasi di Indonesia adalah warisan kolonial
yang sarat kepentingan kekuasaan. Struktur, norma, nilai, dan regulasi birokrasi
yang demikian diwarnai dengan orientasi pemenuhan kepentingan penguasa
daripada pemenuhan hak sipil warga negara. Dalam praktiknya, struktur dan
proses yang dibangun merupakan instrumen untuk mengatur dan mengawasi
perilaku masyarakat, bukan sebaliknya untuk mengatur pemerintah dalam
tugasnya memberikan pelayanan kepada masyarakat. Hal ini dikarenakan misi
utama birokrasi yang dibangun oleh kolonial adalah untuk mempertahankan
kekuasaan dan mengontrol perilaku individu.

G
S  

A. Birokrasi Masa Orde Lama


Setelah memperoleh kemerdekaan, Negara ini berusaha mencari format
pemerintahan yang cocok untuk kondisi saat itu. Berakhirnya masa pemerintahan
kolonial membawa perubahan sosial politik yang sangat berarti bagi kelangsungan
sistem birokrasi pemerintahan. Perbedaan±perbedaan pandangan yang terjadi di
antara pendiri bangsa di awal masa kemerdekaan tentang bentuk Negara yang
akan didirikan, termasuk dalam pengaturan birokrasinya, telah menjurus ke arah
disintegrasi bangsa dan keutuhan aparatur pemerintahan.
Pada masa awal kemerdekaan, Negara ini mengalami perubahan bentuk
Negara, dan ini yang berimplikasi pada pengaturan aparatur Negara atau birokrasi.
Perubahan bentuk Negara dari kesatuan menjadi federal berdasarkan konstitusi
RIS melahirkan dilematis dalam cara pengaturan aparatur pemerintah. Setidak-
tidaknya terdapat dua persoalan dilematis menyangkut birokrasi pada saat itu.
Pertama, bagaimana cara menempatkan pegawai Republik Indonesia yang telah
berjasa mempertahankan NKRI, tetapi relatif kurang memiliki keahlian dan
pengalaman kerja yang memadai. Kedua, bagaimana menempatkan pegawai yang
telah bekerja pada Pemerintah belanda yang memiliki keahlian, tetapi dianggap
berkhianat atau tidak loyal terhadap NKRI.
Selain perubahan bentuk Negara, berganti-gantinya kabinet mempengaruhi
jalannya kinerja pemerintah. Seringnya terjadi pergantian kabinaet menyebabkan
birokrasi sangat terfragmentasi secara politik. Kinerja birokrasi sangat ditentukan
oleh kekuatan politik yang berkuasa pada saat itu. Di dalam birokrasi tejadi tarik-
menarik antar berbagai kepentingan partai politik yang kuat pada masa itu.
Banyak kebijakan atau program birokrasi pemerintah yang lebih kental nuansa
kepentingan politik dari partai yang sedang berkuasa atau berpengaruh dalam
suatu departemen.
Dalam memandang model birokrasi yang terjadi seperti ini, Karl D Jackson
menyebutnya sebagai bureaucratic polity. Model ini merupakan birokrasi dimana
negara menjadi akumulasi dari kekuasaan dan menyingkirkan peran masyarakat
dari politik dan pemerintahan. Jika melihat peta politik pada masa orde lama,
peran seorang presiden sangat dominan dalam mengatur segala kebijakan baik

½
dari tingkat daerah hingga pusat terkendali di tangan seorang Presiden. Sistem ini
dikenal sebagai sistem demokrasi terpimpin.
Dalam tataran kinerja birokrasi di bawahnya, segala program departemen
yang tidak sesuai dengan garis kebijakan partai yang berkuasa dengan mudah
dihapuskan oleh menteri baru yang menduduki suatu departemen. Birokrasi pada
masa itu benar-benar mengalami politisasi sebagai instrumen politik yang
berkuasa atau berpengaruh. Dampak dari sistem pemerintahan parlementer telah
memunculkan persaingan dan sistem kerja yang tidak sehat di dalam birokrasi.
Birkrasi menjadi tidak professional dalam menjalankan tugas-tugasnya, birokrasi
tidak pernah dapat melaksanakan kebijakan atau program-programnya karena
sering terjadi pergantian pejabat dari partai politik yang memenangkan pemilu.
Setiap pejabat atau menteri baru selalu menerapkan kebijakan yang berbeda dari
pendahulunya yang berasal dari partai politik yang berbeda. Pengangkatan dan
penempatan pegawai tidak berdasarkan merit system, tetapi lebih pada
pertimbangan loyalitas politik terhadap partainya.
Kekuatan politik pada saat itu yang ada adalah Sokarno sebagai seorang
Presiden berikut kekuatan pendukungnya, PKI, dan TNI. Namun kekuatan politik
terbesar ada pada presiden serta PKI sebagai partai terbesar setelah PNI. Tak
heran jika untuk memperkuat posisi kekuasaan presiden, Soekarno ³memelihara´
PKI sebagai kekuatan pendukung. Untuk dapat mengontrol rakyat yang kritis dan
dianggap membahayakan, dibentuklah serikat-serikat atau organisasi yang
berbasiskan profesi, atau perkumpulan lainnya yang bertujuan sebaai penampung
aspirasi mereka.

B. Birokrasi Masa Orde Baru


Birokrasi di Indonesia, baik di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah,
sepanjang Orde Baru kerap mendapat sorotan dan kritik yang tajam karena
perilakunya yang tidak sesuai dengan tugas yang diembannya sebagai pelayan
masyarakat. Sehingga apabila orang berbicara tentang birokrasi berkonotasi
negatif. Birokrasi adalah lamban, urusan yang berbelit-belit, menghalangi
kemajuan, cenderung memperhatikan prosedur dibandingkan substansi, dan tidak
efesien.


Melihat realitas birokrasi di Indonesia, sedikit berbeda dengan pendapat
Karl D. Jackson, Richard Robinson dan King menyebut birokrasi di Indonesia
sebagai bureaucratic Authoritarian. Ada juga yang menyebutnya sebagai birokrasi
patrimonial. Pada masa orde baru, sistem politik didominasi atau bahkan
dihegemoni oleh Golkar dan ABRI. Kedua kekuatan ini telah menciptakan
kehidupan politik yang tidak sehat. Hal itu bisa dilihat adanya hegemonic party
system diistilahkan oleh Afan Gaffar (1999). Sedangkan menurut William Liddle,
kekuasaan orde baru terdiri dari (1) kantor kepresidenan yang kuat, (2) militer
yang aktif berpolitik, dan (G) birokrasi sebagai pusat pengambilan kebijakan
(dalam Maliki, 2000: xxiii) .

Pada masa orde baru ini terlihat sekali terjadinya politisasi terhadap
birokrasi yang seharusnya lebih berfungsi sebagai pelayan masyarakat. Jajaran
birokrasi diarahkan sebagai instrument politik kekuasaan Soeharto pada saat itu.
Seperti dalam pandangan William Liddle, bahwa Soeharto sebagai politisi yang
mempunyai otonomi relatif, merupakan pelaku utama transformasi²meskipun
tidak penuh²model pemerintahan yang bersifat pribadi kepada yang lebih
terinstitusionalisasi. Birokrasi dijadikan alat mobilisasi masa guna mendukung
Soeharto dalam setiap Pemilu. Setiap Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah anggota
Partai Golkar. Meskipun pada awalnya, Golkar tidak ingin disebut sebagai partai,
tetapi hanya sebagai golongan kekaryaan. Namun permasalahannya, Golkar
merupakan kontestan Pemilu dan itu berarti dia adalah partai politik.

Pada masa orde baru, pemerintahan yang baik belum terlaksana. Misalnya
saja dalam pelayanan dan pengurusuan administrasi masih saja berbelit-belit dan
memerlukan waktu yang lama. Membutuhkan biaya tinggi karena ada pungutan-
pungutan liar. Pembangunan fisik pun juga masih sering terbengkalai atau lamban
dalam perbaikan. Masih banyak KKN yang terjadi dalam lingkungan birokrasi
khususnya dalam sektor pelayanan publik, hal ini seperti yang dilaporkan oleh
ICW (Indonesia Corruption Watch) pada tahun 2000.

Hasil penelitian dari PERC (Political and Economic Risk Consultancy,


2000) yang menempatkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat korupsi
tertinggi dan sarat kroniisme dengan skor 9,91 untuk korupsi; dan 9,09 untuk


kroniisme diantara negara-negara Asia, dengan skala penilaian yang sama antara
nol yang terbaik hingga sepuluh yang terburuk. Hasil penelitian tersebut,
menempatkan Indonesia pada peringkat bawah atau tergolong pada negara dengan
tingkat korupsi yang sangat parah. Selain itu, menurut penelitian tersebut, masalah
korupsi juga terkait erat dengan birokrasi. Dalam hubungan ini birokrasi Indonesia
dinilai termasuk terburuk. Di tahun 2000 Indonesia memperoleh skor 8 (yaitu
kisaran skor nol untuk terbaik dan 10 untuk yang terburuk) yang berarti jauh
dibawah rata-rata kualitas birokrasi di negara-negara Asia.

Tidak dapat disangkal lagi bahwa masa orde baru, peran birokrasi di bidang
politik sangat menonjol. Di lain pihak, peran partai politik dan parlemen lemah.
Sistem pemerintahan yang sentralistis didukung penuh oleh sistem birokrasi yang
menganut monoloyalitas kepada Partai Golkar. Akhirnya, birokrasi Orde Baru
hanya menjadi instrumen hegemonik berupa aparatur negara yang mendukung
otoritarianisme.

C. Birokrasi Era Reformasi

Publik mengharapkan bahwa dengan terjadinya Reformasi, akan diikuti pula


dengan perubahan besar pada desain kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara, baik yang menyangkut dimensi kehidupan politik, sosial, ekonomi
maupun kultural. Perubahan struktur, kultur dan paradigma birokrasi dalam
berhadapan dengan masyarakat menjadi begitu mendesak untuk segera dilakukan
mengingat birokrasi mempunyai kontribusi yang besar terhadap terjadinya krisis
multidimensional yang tengah terjadi sampai saat ini. Namun, harapan
terbentuknya kinerja birokrasi yang berorientasi pada pelanggan sebagaimana
birokrasi di Negara ± Negara maju tampaknya masih sulit untuk diwujudkan.
Osborne dan Plastrik ( 1997 ) mengemukakan bahwa realitas sosial, politik dan
ekonomi yang dihadapi oleh Negara ± Negara yang sedang berkembang seringkali
berbeda dengan realitas sosial yang ditemukan pada masyarakat di negara maju.
Realitas empirik tersebut berlaku pula bagi birokrasi pemerintah, dimana kondisi
birokrasi di Negara ± Negara berkembang saat ini sama dengan kondisi birokrasi
yang dihadapi oleh para reformis di Negara ± Negara maju pada sepuluh dekade
yang lalu. Persoalan birokrasi di Negara berkembang, seperti merajalelanya

è
korupsi, pengaruh kepentingan politik partisan, sistem Patron-client yang menjadi
norma birokrasi sehingga pola perekrutan lebih banyak berdasarkan hubungan
personal daripada faktor kapabilitas, serta birokrasi pemerintah yang digunakan
oleh masyarakat sebagai tempat favorit untuk mencari lapangan pekerjaan
merupakan sebagian fenomena birokrasi yang terdapat di banyak Negara
berkembang, termasuk di Indonesia.

Kecenderungan birokrasi untuk bermain politik pada masa reformasi,


tampaknya belum sepenuhnya dapat dihilangkan dari kultur birokrasi di
Indonesia. Perkembangan birokrasi kontemporer memperlihatkan bahwa arogansi
birokrasi sering kali masih terjadi. Kasus Brunei Gate dan Bulog Gate setidak ±
tidaknya memperlihatkan bahwa pucuk pimpinan birokrasi masih tetap
mempraktikkan berbagai tindakan yang tidak transparan dalam proses
pengambilan keputusan. Birokrasi yang seharusnya bersifat apolitis, dalam
kenyataannya masih saja dijadikan alat politik yang efektif bagi kepentingan ±
kepentingan golongan atau partai politik tertentu. Terdapat pula kecenderungan
dari aparat yang kebetulan memperoleh kedudukan atau jabatan strategis dalam
birokrasi, terdorong untuk bermain dalam kekuasaan dengan melakukan tindak
KKN. Mentalitas dan budaya kekuasaan ternyata masih melingkupi sebagian
besar aparat birokrasi pada masa reformasi. Kultur kekuasaan yang telah terbentuk
semenjak masa birokrasi kerajaan dan kolonial ternyata masih sulit untuk
dilepaskan dari perilaku aparat atau pejabat birokrasi. Masih kuatnya kultur
birokrasi yang menempatkan pejabat birokrasi sebagai penguasa dan masyarakat
sebagai pengguna jasa sebagai pihak yang dikuasai, bukannya sebagai pengguna
jasa yang seharusnya dilayani dengan baik, telah menyebabkan perilaku pejabat
birokrasi menjadi bersikap acuh dan arogan terhadap masyarakat.

Dalam kondisi pelayanan yang sarat dengan nuansa kultur kekuasaan,


publik menjadi pihak yang paling dirugikan. Kultur kekuasaan dalam birokrasi
yang dominan membawa dampak pada terabaikannya fungsi dan kultur pelayanan
birokrasi sebagai abdi masyarakat. Pada tataran tersebut sebenarnya berbagai
praktik penyelewengan yang dilakukan oleh birokrasi terjadi tanpa dapat dicegah
secara efektif. Penyelewengan yang dilakukan birokrasi terhadap masyarakat

¦
pengguna jasa menjadikan masyarakat sebagai objek pelayanan yang dapat
dieksploitasi untuk kepentingan pribadi pejabat ataupun aparat birokrasi.
Inefisiensi kinerja birokrasi dalam penyelengaraan kegiatan pemerintahan dan
pelayanan publik masih tetap terjadi pada masa reformasi. Birokrasi sipil
termasuk salah satu sumber terjadinya inefisiensi pemerintahan. Inefisiensi
kegiatan pemerintahan dan pelayanan publik terlihat dari masih sering terjadinya
kelambanan dan kebocoran anggaran pemerintah. Jumlah aparat birokrasi sipil
yang terlampau besar merupakan salah satu faktor yang memberikan kontribusi
terhadap inefisiensi pelayanan birokrasi. Lambannya kinerja pelayanan birokrasi
dimanifestasikan pada lamanya penyelesaian urusan dari masyarakat yang
membutuhkan prosedur perizinan birokrasi seperti pengurusan sertifikasi tanah,
IMB, HO dan sebagainya.

Sebagian besar aparat birokrasi masih memiliki anggapan bahwa


eksistensinya tidak ditentukan oleh masyarakat dalam kapasitasnya sebagai
pengguna jasa. Persepsi yang masih dipegang kuat aparat birokrasi adalah prinsip
bahwa gaji yang diterima selama ini bukan dari masyarakat tetapi dari pemerintah
sehingga konstruksi nilai yang tertanam dalam birokrasi yang sangat independen
terhadap publik tersebut menjadikan birokrasi memiliki anggapan bahwa
masayarakat-lah yang membutuhkan birokrasi, bukan sebaliknya. Kecenderungan
perilaku birokrasi yang masih tetap korup dan belum mengubah kultur pelayanan
kepada publik, semakin terlihat pada masa reformasi. Birokrasi di Indonesia saat
ini masih dikuasai oleh kekuatan yang begitu terbiasa berperilaku buruk selama
puluhan tahun, birokrasi tidak hanya mengidap kleptomania tetapi juga
antireformasi. Kontraproduktif dalam birokrasi tersebut sangat berpotensi untuk
terjadinya penularan ke seluruh jaringan birokrasi pemerintah baik Pusat maupun
Daerah, baik di kalangan pejabat tinggi maupun di kalangan aparat bawah. Masih
belum efektifnya penegakkan hukum dan kontrol publik terhadap birokrasi,
menyebabkan berbagai tindakan penyimpangan yang dilakukan aparat birokrasi
masih tetap berlangsung.


S 

Perjalanan kehidupan birokrasi di Indonesia selalu dipengaruhi oleh


kondisi sebelumnya. Budaya birokrasi yang telah ditanamkan sejak jaman
kolonialisme berakar kuat hingga reformasi saat ini. Paradigma yang dibangun
dalam birokrasi Indonesia lebih cenderung untuk kepentingan kekuasaan.
Struktur, norma, nilai, dan regulasi birokrasi yang demikian diwarnai dengan
orientasi pemenuhan kepentingan penguasa daripada pemenuhan hak sipil warga
negara. Budaya birokrasi yang korup semakin menjadi sorotan publik saat ini.
Banyaknya kasus KKN menjadi cermin buruknya mentalitas birokrasi secara
institusional maupun individu.
Sejak orde lama hingga reformasi, birokrasi selalu menjadi alat politik
yang efisien dalam melanggengkan kekuasaan. Bahkan masa orde baru, birokrasi
sipil maupun militer secara terang-terangan mendukung pemerintah dalam
mobilisai dukungan dan finansial. Hal serupa juga masih terjadi pada masa
reformasi, namun hanya di beberapa daerah. Beberapa kasus dalam Pilkada yang
sempat terekam oleh media menjadi salah satu bukti nyata masih adanya
penggunaan birokrasi untuk suksesi.
Sebenarnya penguatan atau ´penaklukan´ birokrasi bisa saja dilakukan
dengan catatan bahwa penaklukan tersebut didasarkan atas itikad baik untuk
merealisasikan program-program yang telah ditetapkan pemerintah. Namun
sayangnya, penaklukan ini hanya dipahami para pelaku politik adalah untuk
memenuhi ambisi dalam memupuk kekuasaan.
Kecenderungan perilaku birokrasi yang masih tetap korup dan belum
mengubah kultur pelayanan kepada publik, semakin terlihat pada masa reformasi.
Birokrasi di Indonesia saat ini masih dikuasai oleh kekuatan yang begitu terbiasa
berperilaku buruk selama puluhan tahun. Birokrasi tidak hanya mengidap
kleptomania tetapi juga antireformasi. Kontraproduktif dalam birokrasi tersebut
sangat berpotensi untuk terjadinya penularan ke seluruh jaringan birokrasi
pemerintah baik Pusat maupun Daerah, baik di kalangan pejabat tinggi maupun di
kalangan aparat bawah. Masih belum efektifnya penegakkan hukum dan kontrol
publik terhadap birokrasi, menyebabkan berbagai tindakan penyimpangan yang
dilakukan aparat birokrasi masih tetap berlangsung.

c
ÔS 
Anderson, B.R.O.G. 198G, ³Negara Kolonial dalam Baju Orde Baru´,
diterjemahkan dari ³Old State New Society: Indonesia¶s New Order in
Comparative Historical Perspective´, dalam Journal of Asian Studies Vol. XLIII,
No. G, May 198G, Hal. 477-496

Departemen Riset dan Kajian Strategis Indonesia Corruption Watch. 2000,


³Laporan Hasil Survey Korupsi di Pelayanan Publik (Studi kasus di Lima Kota:
Jakarta, Palangkaraya, Samarinda, Mataram, dan Kupang)´.

Gaffar, Afar. 1999, Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka


Pelajar, Yogyakarta.

Ismani. 2001, ³Etika Birokrasi´, Jurnal Adminitrasi Negara Vol. II, No. 1,
September 2001 : G1 ± 41.

Kuncoro, Bambang. 2007, ³Netralitas Birokrasi dalam Pilkada´, Swara Politika


Volume 10, No. 1, Tahun 2007.

Maliki, Zainuddin. 2000, Birokrasi, Militer, dan Partai Politik dalam Negara
Transisi, Galang Press, Yogyakarta.

Thoha, Miftah. 200G, Birokrasi dan Politik di Indonesia, Rajawali Press, Jakarta.
catatan kaki :
[1] Hal ini diungkapkan oleh Departemen Riset dan Kajian Strategis Indonesia
Corruption Watch. 2000, ³Laporan Hasil Survey Korupsi di Pelayanan Publik
(Studi kasus di Lima Kota: Jakarta, Palangkaraya, Samarinda, Mataram, dan
Kupang)´.

[2] Dikutip dalam Anderson, B.R.O.G. 198G, ³Negara Kolonial dalam Baju Orde
Baru´, diterjemahkan dari ³Old State New Society: Indonesia¶s New Order in
Comparative Historical Perspective´, dalam Journal of Asian Studies Vol. XLIII,
No. G, May 198G, Hal. 477-496.

cc
http://duniapolitik-wibiono.blogspot.com/2010/02/potret-politisasi-birokrasi-dari-
orde.html


    

You might also like