Professional Documents
Culture Documents
S
Jika kita mendengar kata ´Birokrasi´ maka langsung yang ada dalam pikiran
kita adalah bahwasanya kita berhadapan dengan suatu prosedur yang berbelit-
belit, dari meja satu ke meja lainnya, yang ujung-ujungnya adalah biaya yang
serba mahal (hight cost). Pendapat yang demikian tidaklah dapat disalahkan
seluruhnya, namun demikian apabila orang-orang yang duduk dibelakang meja
taat pada prosedur dan aturan serta berdisiplin dalam menjalankan tugasnya, maka
birokrasi akan berjalan lancar dan ´biaya tinggi´ akan dapat dihindarkan. Untuk
mengeliminasi pemikiran yang demikian, marilah kita sejenak mencerna pendapat
para ahli mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan birokrasi.
c
G. Ismani
Dengan mengutip pendapat dari Mouzelis, Ismani (2001) mengemukakan
´Bahwa dalam birokrasi terdapat aturan-aturan yang rasional, struktur
organisasi dan proses berdasarkan pengetahuan teknis dan dengan efisiensi
dan setinggi-tingginya. Dari pandangan yang demikian tidak sedikitpun
alasan untuk menganggap birokrasi itu jelek dan tidak efisien´.
Jadi dapat dirumuskan bahwa birokrasi adalah Suatu prosedur yang harus
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku agar tujuan organisasi dapat
tercapai secara efektif dan efisien ataupun Keseluruhan aparat pemerintah, baik
sipil maupun militer yang bertugas membantu pemerintah dan menerima gaji dari
pemerintah karena statusnya itu.
ë
efektif, dan efisisen. Oleh sebab itu, disadari bahwa birokrasi merupakan faktor
penentu keberhasilan keseluruhan agenda pemerintahan, termasuk dalam
mewujudkan pemerintahan yang bersih atau clean government dalam keseluruan
skenario perwujudan kepemerintahan yang baik (good governance).
G
S
½
dari tingkat daerah hingga pusat terkendali di tangan seorang Presiden. Sistem ini
dikenal sebagai sistem demokrasi terpimpin.
Dalam tataran kinerja birokrasi di bawahnya, segala program departemen
yang tidak sesuai dengan garis kebijakan partai yang berkuasa dengan mudah
dihapuskan oleh menteri baru yang menduduki suatu departemen. Birokrasi pada
masa itu benar-benar mengalami politisasi sebagai instrumen politik yang
berkuasa atau berpengaruh. Dampak dari sistem pemerintahan parlementer telah
memunculkan persaingan dan sistem kerja yang tidak sehat di dalam birokrasi.
Birkrasi menjadi tidak professional dalam menjalankan tugas-tugasnya, birokrasi
tidak pernah dapat melaksanakan kebijakan atau program-programnya karena
sering terjadi pergantian pejabat dari partai politik yang memenangkan pemilu.
Setiap pejabat atau menteri baru selalu menerapkan kebijakan yang berbeda dari
pendahulunya yang berasal dari partai politik yang berbeda. Pengangkatan dan
penempatan pegawai tidak berdasarkan merit system, tetapi lebih pada
pertimbangan loyalitas politik terhadap partainya.
Kekuatan politik pada saat itu yang ada adalah Sokarno sebagai seorang
Presiden berikut kekuatan pendukungnya, PKI, dan TNI. Namun kekuatan politik
terbesar ada pada presiden serta PKI sebagai partai terbesar setelah PNI. Tak
heran jika untuk memperkuat posisi kekuasaan presiden, Soekarno ³memelihara´
PKI sebagai kekuatan pendukung. Untuk dapat mengontrol rakyat yang kritis dan
dianggap membahayakan, dibentuklah serikat-serikat atau organisasi yang
berbasiskan profesi, atau perkumpulan lainnya yang bertujuan sebaai penampung
aspirasi mereka.
Melihat realitas birokrasi di Indonesia, sedikit berbeda dengan pendapat
Karl D. Jackson, Richard Robinson dan King menyebut birokrasi di Indonesia
sebagai bureaucratic Authoritarian. Ada juga yang menyebutnya sebagai birokrasi
patrimonial. Pada masa orde baru, sistem politik didominasi atau bahkan
dihegemoni oleh Golkar dan ABRI. Kedua kekuatan ini telah menciptakan
kehidupan politik yang tidak sehat. Hal itu bisa dilihat adanya hegemonic party
system diistilahkan oleh Afan Gaffar (1999). Sedangkan menurut William Liddle,
kekuasaan orde baru terdiri dari (1) kantor kepresidenan yang kuat, (2) militer
yang aktif berpolitik, dan (G) birokrasi sebagai pusat pengambilan kebijakan
(dalam Maliki, 2000: xxiii) .
Pada masa orde baru ini terlihat sekali terjadinya politisasi terhadap
birokrasi yang seharusnya lebih berfungsi sebagai pelayan masyarakat. Jajaran
birokrasi diarahkan sebagai instrument politik kekuasaan Soeharto pada saat itu.
Seperti dalam pandangan William Liddle, bahwa Soeharto sebagai politisi yang
mempunyai otonomi relatif, merupakan pelaku utama transformasi²meskipun
tidak penuh²model pemerintahan yang bersifat pribadi kepada yang lebih
terinstitusionalisasi. Birokrasi dijadikan alat mobilisasi masa guna mendukung
Soeharto dalam setiap Pemilu. Setiap Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah anggota
Partai Golkar. Meskipun pada awalnya, Golkar tidak ingin disebut sebagai partai,
tetapi hanya sebagai golongan kekaryaan. Namun permasalahannya, Golkar
merupakan kontestan Pemilu dan itu berarti dia adalah partai politik.
Pada masa orde baru, pemerintahan yang baik belum terlaksana. Misalnya
saja dalam pelayanan dan pengurusuan administrasi masih saja berbelit-belit dan
memerlukan waktu yang lama. Membutuhkan biaya tinggi karena ada pungutan-
pungutan liar. Pembangunan fisik pun juga masih sering terbengkalai atau lamban
dalam perbaikan. Masih banyak KKN yang terjadi dalam lingkungan birokrasi
khususnya dalam sektor pelayanan publik, hal ini seperti yang dilaporkan oleh
ICW (Indonesia Corruption Watch) pada tahun 2000.
kroniisme diantara negara-negara Asia, dengan skala penilaian yang sama antara
nol yang terbaik hingga sepuluh yang terburuk. Hasil penelitian tersebut,
menempatkan Indonesia pada peringkat bawah atau tergolong pada negara dengan
tingkat korupsi yang sangat parah. Selain itu, menurut penelitian tersebut, masalah
korupsi juga terkait erat dengan birokrasi. Dalam hubungan ini birokrasi Indonesia
dinilai termasuk terburuk. Di tahun 2000 Indonesia memperoleh skor 8 (yaitu
kisaran skor nol untuk terbaik dan 10 untuk yang terburuk) yang berarti jauh
dibawah rata-rata kualitas birokrasi di negara-negara Asia.
Tidak dapat disangkal lagi bahwa masa orde baru, peran birokrasi di bidang
politik sangat menonjol. Di lain pihak, peran partai politik dan parlemen lemah.
Sistem pemerintahan yang sentralistis didukung penuh oleh sistem birokrasi yang
menganut monoloyalitas kepada Partai Golkar. Akhirnya, birokrasi Orde Baru
hanya menjadi instrumen hegemonik berupa aparatur negara yang mendukung
otoritarianisme.
è
korupsi, pengaruh kepentingan politik partisan, sistem Patron-client yang menjadi
norma birokrasi sehingga pola perekrutan lebih banyak berdasarkan hubungan
personal daripada faktor kapabilitas, serta birokrasi pemerintah yang digunakan
oleh masyarakat sebagai tempat favorit untuk mencari lapangan pekerjaan
merupakan sebagian fenomena birokrasi yang terdapat di banyak Negara
berkembang, termasuk di Indonesia.
¦
pengguna jasa menjadikan masyarakat sebagai objek pelayanan yang dapat
dieksploitasi untuk kepentingan pribadi pejabat ataupun aparat birokrasi.
Inefisiensi kinerja birokrasi dalam penyelengaraan kegiatan pemerintahan dan
pelayanan publik masih tetap terjadi pada masa reformasi. Birokrasi sipil
termasuk salah satu sumber terjadinya inefisiensi pemerintahan. Inefisiensi
kegiatan pemerintahan dan pelayanan publik terlihat dari masih sering terjadinya
kelambanan dan kebocoran anggaran pemerintah. Jumlah aparat birokrasi sipil
yang terlampau besar merupakan salah satu faktor yang memberikan kontribusi
terhadap inefisiensi pelayanan birokrasi. Lambannya kinerja pelayanan birokrasi
dimanifestasikan pada lamanya penyelesaian urusan dari masyarakat yang
membutuhkan prosedur perizinan birokrasi seperti pengurusan sertifikasi tanah,
IMB, HO dan sebagainya.
S
c
ÔS
Anderson, B.R.O.G. 198G, ³Negara Kolonial dalam Baju Orde Baru´,
diterjemahkan dari ³Old State New Society: Indonesia¶s New Order in
Comparative Historical Perspective´, dalam Journal of Asian Studies Vol. XLIII,
No. G, May 198G, Hal. 477-496
Ismani. 2001, ³Etika Birokrasi´, Jurnal Adminitrasi Negara Vol. II, No. 1,
September 2001 : G1 ± 41.
Maliki, Zainuddin. 2000, Birokrasi, Militer, dan Partai Politik dalam Negara
Transisi, Galang Press, Yogyakarta.
Thoha, Miftah. 200G, Birokrasi dan Politik di Indonesia, Rajawali Press, Jakarta.
catatan kaki :
[1] Hal ini diungkapkan oleh Departemen Riset dan Kajian Strategis Indonesia
Corruption Watch. 2000, ³Laporan Hasil Survey Korupsi di Pelayanan Publik
(Studi kasus di Lima Kota: Jakarta, Palangkaraya, Samarinda, Mataram, dan
Kupang)´.
[2] Dikutip dalam Anderson, B.R.O.G. 198G, ³Negara Kolonial dalam Baju Orde
Baru´, diterjemahkan dari ³Old State New Society: Indonesia¶s New Order in
Comparative Historical Perspective´, dalam Journal of Asian Studies Vol. XLIII,
No. G, May 198G, Hal. 477-496.
cc
http://duniapolitik-wibiono.blogspot.com/2010/02/potret-politisasi-birokrasi-dari-
orde.html
cë