You are on page 1of 6

Membangun Loyalitas Pelanggan

Wednesday, January 19th, 2005


oleh : admin

Istilah kesetiaan pelanggan (customer loyalty) belakangan melengkapi popularitas


kesetiaan merek (brand loyalty). Kedua istilah dunia pemasaran ini sesungguhnya tidak
dapat dipisahkan, karena loyalitas pelanggan tentunya terhadap merek tertentu, bukan
beberapa merek (sejenis) sekaligus.

Saat ini, loyalitas pelanggan menjadi pemikiran banyak perusahaan karena efeknya yang
sangat besar bagi kelangsungan usaha. Philip Kotler, tokoh pemasaran modern,
mengatakan, rata-rata perusahaan akan kehilangan setengah pelanggannya dalam waktu
kurang dari 5 tahun. Namun, perusahaan-perusahaan dengan tingkat kesetiaan terhadap
merek yang tinggi akan kehilangan kurang dari 20% pelanggannya dalam 5 tahun.
Dengan demikian, merupakan tugas perusahaan dan perjuangan para pemasar untuk
menciptakan pelanggan-pelanggan yang setia.

“Dulu orang menganggap tujuan utama pemasar ialah mencapai kepuasan maksimal
pelanggan, namun tujuan seperti itu sudah bergeser karena yang lebih penting justru
loyalitas,” ujar Farid Subhan, konsultan senior di MarkPlus & Co. Alasannya, dengan
memiliki basis pelanggan yang loyal sama artinya dengan memperoleh kepastian meraih
pendapatan di masa depan. Karena, pelanggan loyal diharapkan tetap melakukan
transaksi di waktu mendatang.

Belum lagi melihat beberapa keuntungan lain dari kehadiran pelanggan loyal. Sebagai
contoh, memiliki pelanggan loyal dalam jumlah yang cukup akan meminimalisasi biaya
mencari konsumen baru. Pasalnya, pemasar tidak perlu melakukan usaha besar seperti
menggaet pelanggan baru untuk menjalin komunikasi lewat berbagai media periklanan
yang bertarif mahal, tetapi cukup dengan cara-cara yang sudah dikenali satu dengan yang
lain. Dengan demikian, biaya untuk menarik pelanggan baru bisa ditekan atau dialihkan
untuk kepentingan lain yang lebih mendesak.

Besarnya biaya yang dibutuhkan untuk mencari pelanggan baru tak bisa dianggap sepele.
Dari waktu ke waktu, biaya ini makin mahal. Kita bisa melihat dari kasus pabrikan
otomotif terkemuka General Motor (GM). Produsen mobil asal Amerika Serikat yang tiap
tahun menargetkan mendapat 20% pelanggan baru ini merasakan betul betapa mahalnya
mencari pelanggan baru.

Dalam hitungan mereka, biaya untuk mendapatkan satu pelanggan baru sekitar US$
2.500. Sementara harga rata-rata per unit mobil GM senilai US$ 20.000 dan rata-rata
pendapatan bersih (earning) GM hanya sekitar 10% dari nilai penjualan mereka. Jadi,
keuntungan per unitnya sama dengan 10% dari US$ 20.000 atau US$ 2.000. Artinya,
biaya untuk menarik pelanggan baru justru lebih mahal — alias GM harus defisit US$
500 per unitnya — ketimbang profit yang mereka dapatkan. Bisa dimengerti kalau
kemudian, demi meraih profitabilitas yang lebih baik, GM meningkatkan jumlah tipe
pelanggan loyal yang mau membeli mobil GM hingga dua, tiga atau empat kali.
Kenyataan di GM juga dibenarkan Frederick F. Reichheld, pakar loyalitas yang menulis
buku The Loyalty Effect. Ia menemukan, rata-rata peningkatan 5% dari pembeli loyal
(repeat business) mampu meningkatkan profit hingga 60%.

Selain soal profitabilitas, masih banyak keuntungan lain bila punya basis pelanggan loyal.
Misalnya, menjalin bisnis dengan pelanggan loyal pasti terasa lebih mudah dan cepat.
Karena perusahaan sudah mengenali kebiasaan dan preferensi pelanggan, komunikasi
terjalin lebih lancar. Konsultan pemasaran Darmadi Durianto menambahkan, pelanggan
loyal dapat menjadi dasar positif untuk melakukan jual-beli merek, memperluas merek,
menciptakan switching cost buat kompetitor, serta memperkuat bargaining power di
hadapan para distributor. “Ada korelasi antara loyalitas dan profit, karena asal-muasalnya
dari customer value. Kalau customer loyalty tinggi, biasanya profit juga tinggi,” ujar
Darmadi, pengajar IBiI, yang telah membuktikannya dalam banyak penelitian.

Biasanya, Darmadi melanjutkan, loyalitas pelanggan diindikasikan dalam beberapa


dimensi. Pertama, kemauan membayar harga lebih (willing to pay a premium price).
Kalau konsumen mau membayar harga lebih, hal ini menjadi salah satu indikasi
loyalitasnya tinggi. Kedua, adanya repeat purchase (pembelian berulang). Konsumen
yang loyal pada produk tertentu pasti terus memakai dan membelinya, meski di pasar
muncul banyak merek baru. Ketiga, punya komitmen dan rasa memiliki yang tinggi
terhadap produk. “True loyalty adalah adanya sense of belonging terhadap produk itu,”
katanya menegaskan.

Agus W. Soehadi dari Prasetiya Mulya Business School mengindikasikan, pelanggan


loyal biasanya juga mereferensikan produk yang diloyali kepada orang lain; entah itu
teman atau keluarga. Kalau sudah sampai pada tahapan ini, efek promosinya luar biasa
karena ia akan jauh lebih efekif daripada beriklan di media-media bertarif mahal.
Sementara itu, Farid Subhan menambahkan, pelanggan loyal akan melakukan pembelaan
(advocate) terhadap merek pilihannya bila ada orang lain yang mengkritisi atau
menjelekkannya, serta ada antusiasme. “Ada keterlibatan emosional maupun praktik
terhadap merek pilihannya,” ujar Farid. Antusiasme atau emosional konsumen ini,
menurut dia, pada gilirannya bisa dimanfaatkan sebagai upaya menciptakan switching
barrier bagi pemain lain.

Dalam praktik bisnis di Indonesia, sebenarnya tak terlalu sulit menemukan produk-
produk yang amat diloyali pelanggannya. Deret saja, produsen motor gede merek Harley
Davidson yang memiliki jutaan pengguna setia hingga terbangun komunitas pengguna
Harley (Harley Owner Group). Lalu, Singapore Airlines yang piawai meretensi
konsumennya terutama secara emosional. Di kategori obat flu, Decolgen bisa disebut
sebagai produk yang diloyali. Sementara di bisnis rokok, Dji Sam Soe dan Gudang
Garam termasuk yang punya basis pelanggan sangat loyal dan umumnya konsumennya
tak mau beralih ke rokok lain.
Persoalan buat para pemasar, bagaimana menciptakan loyalitas pelanggan yang tinggi?
Untuk menjawab hal ini, sebelumnya harus diketahui faktor-faktor yang memengaruhi
tingi-rendahnya loyalitas pelanggan. Pada dasarnya, ada beberapa faktor. Ada faktor yang
terkait langsung dengan produk/jasa yang ditawarkan yang terekam dalam proses
konsumen melakukan konsumsi (experience), ada faktor persepsi terhadap produk, faktor
yang melekat pada konsumennya, ada pula yang melekat secara makro pada industrinya.

Faktor yang terkait dengan produk dan jasa yang ditawarkan antara lain meliputi benefit
yang diberikan produk/jasa tersebut. Dalam hal ini, benefit bisa bersifat fungsional dan
bisa juga emosional. Produk seperti sabun Lux dan berlian DeBeer, misalnya, cenderung
menawarkan manfaat emosional sehingga berhasil diloyali pelanggannya. Posisi manfaat
emosional kedua produk itu jauh melebihi manfaat fungsionalnya. Riset SWA-Mars
menamai faktor seperti ini sebagai costumer value; semakin tinggi nilai customer value,
peluang memiliki loyalitas tinggi juga besar.

Hanya saja, semua ahli sepakat bahwa loyalitas pelanggan tak semata-mata ditentukan
oleh kemampuan pemasar memberikan value pada produknya, tetapi juga kemampuan
mereka menghadirkan pengalaman konsumsi yang mengesankan. Dalam riset kali ini,
dikelompokkan sebagai variabel customer satisfaction. Intinya, merupakan akumulasi
pengalaman pelanggan ketika berhubungan dengan channel penjualan, mengonsumsi
produk, berhubungan dengan staf pelayanan, dan sebagainya.

Loyalitas pelanggan juga sangat ditentukan tipologi konsumennya. Lihat saja kenyataan
di lapangan, tak sedikit orang yang memang tak suka dengan sesuatu yang baru sehingga
kelewat loyal dengan produk yang dicoba pertama kali. Sebaliknya, banyak pula tipologi
konsumen petualang yang suka mencoba produk-produk baru. Sudah pasti loyalitas
kedua jenis pelanggan ini bisa bertolak belakang bila diukur yang disebabkan perbedaan
attitude; di satu pihak ada yang termasuk variety seeker dan di lain sisi sangat inertia.
Jangan lupa, mungkin saja tingkat loyalitas antarpelanggan berbeda karena perbedaan
mereka dalam melihat risiko (risk aversion). Kalangan yang kelewat takut pada risiko
cenderung menjadi pelanggan loyal. Hal-hal seperti ini, dalam penelitian SWA-Mars,
dimasukkan dalam variabel costumer characteristics. Pakar lain ada yang menyebut
variabel seperti ini sebagai individual differences.

Loyalitas juga sering dipengaruhi karakter industrinya yang memang spesifik. Lebih
gampangnya bisa dibandingkan antara loyalitas konsumen di industri permen dan rokok.
Sama-sama termasuk bisnis fast moving consumer goods, tetapi konsumen di bisnis
rokok, khususnya keretek, rata-rata punya tingkat loyalitas tinggi terhadap produk
(brand). Contohnya, calon pembeli rokok di warung akan mengurungkan niatnya bila Dji
Sam Soe atau Gudang Garam Filter, atau merek kretek lain yang dicari, tak tersedia.
Mereka tak mau merek tersebut diganti rokok seadanya yang dijual di warung itu, tetapi
lebih suka memilih pindah ke warung sebelah yang menjual merek rokok yang
diinginkan. Di pasar farmasi, potret loyalitasnya juga mirip rokok. Sebaliknya di pasar
permen, orang cenderung tak terlalu loyal pada merek tertentu.
Harus dicatat, masih ada beberapa faktor eksternal lain yang berpengaruh terhadap
loyalitas. Regulasi dan monopoli, misalnya, juga sering memicu loyalitas. Pelanggan
listrik di kota pinggiran Kalimantan atau Sulawesi mungkin bisa dikategorikan sebagai
pelanggan yang sangat loyal pada jasa PT Telkom, tetapi belum tentu karena value yang
ditawarkan Telkom, melainkan karena tak ada penyedia jasa sejenis lainnya di wilayah
itu. Pemain lain yang akan masuk terhambat regulasi. Kenyataannya, banyak pelanggan
yang terpaksa loyal karena terkunci regulasi atau terikat kontrak-kontrak tertentu (lihat
model loyalitas dalam Diagram).

Bagi para pemasar, yang lebih penting adalah bagaimana menjalankan strategi nyata
untuk meningkatkan loyalitas pelanggan. Karena, meski memang ada beberapa faktor
loyalitas yang sudah melekat, sebenarnya banyak elemen lain yang terbuka untuk
menciptakan kreasi-kreasi, khususnya dengan menciptakan program loyalitas pelanggan.
Manzie R. Lawfer dalam bukunya Why Customer Come Back menulis, ada lima prinsip
dasar untuk menciptakan loyalitas pelanggan yang bisa dimaksimalkan para pemasar.
Pertama, harus ditekankan semangat “people do business with people“, artinya melayani
dan memperlakukan pelanggan dengan sebaik-baiknya sebagai human being. Dalam
bahasa Jawa disebut nguwongke. Kedua, menajamkan diferensiasi produk dan layanan.
Ketiga, punya produk dan jasa dengan value and assurance tinggi. Keempat, melakukan
komunikasi pelanggan secara efektif. Dan kelima, terus fokus.

Tentu, upaya dan langkah yang mesti ditempuh dalam membangun loyalitas juga
berbeda-beda, tergantung tingkat loyalitas konsumennya saat ini. Selama ini ada tiga
tingkatan loyalitas yang sering menjadi patokan: suspect first time customer, repeat
customer, dan yang tertinggi adalah true loyalty customer (kesetiaan yang sebenarnya).

David Aaker membagi pelanggan berdasarkan loyalitasnya dalam beberapa jenjang


berbeda. Yang terendah, switcher (orang yang suka berpindah-pindah), di atasnya ada
habitual buyer, meningkat di atasnya satisfied buyer, lalu liking buyer, dan tertinggi
committed buyer. Menurut Aaker, committed buyer memiliki loyalitas tertinggi sebab
sudah sampai pada tahapan mau merekomendasikan dan mempromosikan produk ke
konsumen lain tanpa dibayar perusahaan. Artinya, ada kemauan lebih untuk
memperhatikan dan berkorban buat produk.

Dalam pandangan Darmadi Durianto, perlakuan dan kegiatan membangun loyalitas akan
berbeda-beda pada setiap jenis produknya. Misalnya, antara individual brand (ritel) dan
corporate brand, atau antara barang dan jasa. Menurut Darmadi, membangun loyalitas
untuk produk ritel (individual brand) sifatnya lebih ke mikro, sedangkan korporat bisa
dilakukan secara makro. Contoh konkretnya terlihat dari cara menyampaikan
komunikasinya. Pada tingkat korporat, tidak main lagi di benefit oriented advertising,
tetapi lebih di image oriented advertising. Adapun ketika bermain di individual atau
untuk membangun loyalitas terhadap suatu produk atau brand, biasanya yang dimainkan
lebih ke arah benefit oriented advertising: banyak menceritakan keuntungan atau
keunggulan produk tersebut.
Membangun loyalitas pelanggan jasa dan barang juga berlainan. Membangun loyalitas
pada produk barang, tergantung karakteristik barangnya. Biasanya pemasar harus
concern dengan kualitas seperti soal keandalan, safety, dan persoalan teknis lain. Adapun
untuk jasa, Darmadi melanjutkan, ada 5 dimensi yang harus diperhatikan, yaitu tangible,
reliable, responsiveness, empathy dan assurance. Komponen-komponen ini merupakan
bagian dari terbentuknya kualitas layanan yang prima. “Sebenarnya kunci loyalitas ini
kita harus stay close to the customer, sehingga bisa tahu keinginan, kehendak dan
ekspektasi konsumen. Intinya, kalau kita sudah dekat dengan konsumen, akan timbul
kesetiaan,” Darmadi meyakinkan.

Farid menjelaskan, dalam perkembangannya, loyalitas pelanggan mengalami pergeseran.


Perlakuan yang disarankan para pakar untuk membangun loyalitas pun terus bergeser.
Awalnya, orang menganggap satisfaction is enough. Tak mengherankan, pada tahun
1970-an tiap perusahaan fokus menggarap customer satisfaction dengan asumsi: kalau
konsumen puas, berarti loyal. Tahun 1980-an keyakinan itu mulai bergeser. Loyalitas
dipandang sebagai satisfaction plus retention. Namun, paradigma ini pada tahun 2000
juga berubah seiring keluarnya buku Customer Winback Strategy dan Mastering
Customer Migration dari McKinsey. Disebutkan, kalau konsumen masih melihat produk
atau merek lain untuk switching (walaupun ia masih memakai atau belum beralih
produk), konsumen jenis ini bisa dibilang tidak loyal lagi. Sehingga, akhirnya sampailah
ke pengukuran migrasi konsumen. Belakangan, paradigma loyalitas pelanggan juga telah
bergeser. Hal ini muncul setelah ada pengukuran terakhir yang dilakukan Frederick F.
Reichheld yang mengatakan, loyalty is enthusiasm. Menurut Reichheld, antusiasme akan
menentukan pertumbuhan perusahaan.

Pergeseran paradigma ini otomatis membuat upaya membangun loyalitas pelanggan ikut
bergeser. Dulu, untuk meraih customer satisfaction, direkomendasikan menerapkan
marketing mix. Lalu, retention bisa dilakukan melalui branding, service dan proses.
Pengelolaan customer migration dilakukan dengan cara operation of excellence, product
leadership dan customer migration. Adapun untuk mendorong ke arah customer
enthusiasm ada tiga hal yang perlu dilakukan, yakni melakukan community pitching,
buzzling dan emotionality.

Kepuasan dan loyalitas ini berbeda. Kepuasan lebih pada functional performance,
sedangkan loyalitas pada beyond emotional atau ada emotional attachment. “Jadi,
kepuasan ini tidak berbanding lurus dengan loyalitas,” Farid menjelaskan. Hal senada
juga disampaikan Agus Soehadi. “Kepuasan tak bicara emotional appeal, dia hanya
bicara rational appeal,” tutur Agus yang juga menyatakan belum tentu orang puas akan
loyal.

Antusiame konsumen ini, menurut Farid, bisa juga dimanfaatkan sebagai upaya
menciptakan switching barrier. Yang pasti, tiap-tiap pemasar harus bisa membuat
program yang bersifat customer feedback yang secara tak langsung bisa menciptakan
emosional konsumen untuk lebih loyal. Caranya, bisa dilakukan dengan create a cause.
Antara lain, dengan menciptakan tagline yang menyentuh sisi emosional konsumen,
sepeti Nokia dengan tagline-nya “Connecting People”. Atau cara lain, melakukan bit rate
change, seperti memberikan sampel produk sehingga diharapkan konsumen akan
mencobanya. Atau, community system, yang bisa dilakukan dengan dua hal: neutralize
knowledge (publikasi produk melalui situs web, jurnal atau majalah internal untuk
menjelaskan keunggulan produk) dan create community (seperti dilakukan Nestle dengan
membentuk komunitas Sahabat Nestle). Pendeknya, pola-pola customer relations
management amat tepat diimplementasikan guna meningkatkan loyalitas pelanggan.
Lalu, buat pemasar produk jasa, model-model pemasaran one-on-one marketing juga
kondusif diimplementasi guna menciptakan emotional appeal pelanggan.

Agus menambahkan, banyak hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkn loyalitas
terhadap produk-produk nonkomoditas. Contohnya, membangun komunitas konsumen
seperti klub atau mengembangkan program-program loyalitas seperti dengan kartu
keanggotan, kartu debet, dan jenis-jenis lain. Juga, bisa dengan cara membangun
perasaan sama, senasib, berbagi pengalaman di antara konsumen dalam pertemuan-
pertemuan rutin. Ini salah satu cara membangun emotional appeal. Namun, sebelum
semua itu, menurut Agus, basic value produknya harus bagus agar pelanggan puas.

Untuk membangun loyalitas juga harus dilihat life cycle produk-nya. Produk yang daur
hidupnya pendek relatif cepat ditinggalkan konsumen. Karena itu, di industri seperti itu
terus berinovasi merupakan syarat wajib agar tetap diloyali pelanggan. Permen Relaxa
milik Grup Kapal Api termasuk yang sukses di segmen ini karena daur hidupnya cukup
panjang, padahal rata-rata industrinya justru sebaliknya.

Darmadi berpendapat senada dengan Agus. Ia menjelaskan, mempertahankan (retention)


konsumen agar tetap loyal bisa dilakukan dengan banyak cara. Misalnya, dengan
customer bonding (mengikat konsumen). Caranya, bisa melalui financial bonding
(mengikat pelanggan dengan memberikan program yang lebih ke arah keuangan, seperti
bonus, promo, hadiah mobil dan rumah) atau bisa juga dengan emotional bonding
(menciptakan program yang bisa menyentuh sisi emosional pelanggan, dengan membuat
club marketing program atau frequency marketing program, seperti memberi poin dalam
kartu kredit. Yang tak boleh lupa, pemasar juga harus membuat switching barrier.
Misalnya, dengan memberikan penalti keuangan bila pindah kartu kredit di industri
perbankan, atau mengenakan denda tertentu.

Sebab itu, benar kata Agus, produsen memang harus rajin meriset konsumennya untuk
bisa memenuhi harapan emosional pelanggan sehingga tetap bisa memantau level
loyalitas mereka. Studi konsumen harus terus dilakukan. Dari survei seperti itu, juga akan
ketahuan mana pelanggan yang benar-benar loyal dan mana yang tipologi swinger. Kita
tentu berharap punya basis pelanggan loyal dalam persentase yang besar.

You might also like