Professional Documents
Culture Documents
1 Latar Belakang
Penemuan yang berpengaruh terhadap perkembangan ilmu biologi molekuler
salahsatunya adalah PCR (Polymerase Chain Reaction). Teknik ini mempunyai fungsi
utama untuk memperbanyak DNA target. Proses yang terjadi melibatkan suatu primer
yang berfungsi sebagai cetakan untuk membuat DNA baru (David, 2005). Aplikasi PCR
yang paling besar adalah melakukan pengkopian DNA dalam waktu yang relatif cepat,
sehingga kemudian DNA tersebut cukup banyak untuk dapat dideteksi, dikaji, dan
dipergunakan untuk berbagai aplikasi (Lairmore, 1990).
Teknik PCR memerlukan keterampilan khusus dalam pelaksanaannya, tidak hanya
bergantung pada alat PCR tetapi diperlukan hal-hal teknis yang perlu diperhatikan demi
kelancaran PCR. Salah satu keahlian teknis yang diperlukan adalah mendesain primer
yang dipergunakan sebagai cetakan dalam PCR. Selain hal tersebut diatas, PCR dapat
dipergunakan untuk sekuensing, melakukan deteksi gen patologis, serta pembuatan
probe. Berdasarkan haltersebut di atas, maka praktikum ini penting untuk dilaksanakan.
1.3 Tujuan
Praktikum bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan teknik PCR dan cara mendesain
primer
1.4 Manfaat
Salah satu kemampuan PCR adalah dapat mengamplifikasi gen-gen yang diduga terkait
dengan penyakit tertentu sehingga akan mempermudah diagnosis penyakit tersebut,
sehingga teknik ini dapat digunakan dalam bidang medis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 PCR (Polymerase Chain Reaction)
Polymerase Chain Reaction adalah metode untuk amplifikasi primer oligonukleotida
yang dikendalikan secara enzimatis untuk sekuen DNA yang diinginkan. Teknik tersebut
mampu mengamplifikasi sekuen hingga berlipat pada tingkatan 105 - 106 dari sejumlah
kecil (nanogram) DNA templat, dengan latar sekuen yang tidak relevan (dari DNA
genom total. Prasyarat untuk mengamplifikasi sekuen dengan mempergunakan PCR
adalah mengetahui sekuen tertentu yang mengapit sekuen DNA yang diamplifikasi
sehingga oligonukleotida spesifik dapat diperoleh. Produk PCR diamplifikasi dari templat
DNA dengan menggunakan DNA polymerase yang stabil terhadap panas, dan diperoleh
dari Thermus aquaticus (Taq DNA polimerase) serta mempergunakan cycler termal
otomatis. Tiga tahapan utama PCR (terdiri dari denaturasi, annealing primer, dan
polimerisasi) diulang hinggga berlangsung 30 - 40 siklus. Hal ini dilakukan dengan
cycler otomatis, yang dapat memanaskan tabung yang berisi campuran reaksi dan
mendinginkannya dalam waktu yang sangat singkat (Eavier, 1999).
Denaturasi DNA double strand menjadi single strand terjadi pada tahap denaturasi. Hal
ini terjadi sebagai akibat akibat perlakuan temperatur tinggi yang akan memisahkan
strand komplemennya. Temperatur selanjutnya diturunkan agar primer dapat membentuk
ikatan hidrogen pada kedua sisi DNA target (annealing). DNA polymerase kemudian
akan membuat salinan DNA target menggunakan dNTP, sedangkan pada akhir siklus
maka sekuens target pada kedua strand akan dapat dikopi (Prescott dkk., 2003). Tahap
pertama dari PCR adalah awal yang panas dengan temperatur 95 ?C selama 2-4 menit.
Tahapan berikutnya adalah denaturasi pada temperatur 95?C selama 30 detik hingga 1
menit. Waktu yang diperluakan ini tergantung pada ukuran templat, semakin besar, maka
akan memerlukan waktu yang semakin lama. Tahapan annealing mempergunakan
temperatur yang ditentukan oleh rumus Tm - 5 ?C (David, 2005).
Menurut Clark dan Russel (2005), komponen-komponen untuk melakukan PCR terdiri
dari: sejumlah kecil molekul DNA, termasuk segmen DNA yang akan diamplifikasi;
primer PCR, primer yang dibutuhkan ini berjumlah dua buah berupa potongan pendek
DNA single strand yang sesuai dengan sekuens yang akan diamplifikasi; enzim yang
diperlukan untuk mengatur salinan DNA; nukleotida yang dibutuhkan untuk membuat
DNA baru; dan mesin PCR yang dibutuhkan untuk mengatur temperatur. Dengan
kelengkapan prasyarat di atas diharapakan proses PCR berjalan dengan semestinya.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Waktu Dan Tempat
Praktikum PCR dan desain primer dilaksanakan pada hari Selasa, tanggal 23 Oktober
2007, pukul 09.30-19.00 WIB di Laboratorium Biologi Molekuler dan Seluler, Jurusan
Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Brawijaya
Malang.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Analisis Prosedur
4.1.1 Program PCR
DNA yang dipergunakan berasal dari hasil isolasi DNA dari praktikum sebelumnya,
yakni DNA plasmid (E. Coli), DNA tail cut tikus, dan DNA tanaman (kacang koro dan
buncis) untuk membandingkan hasil amplifikasi PCR pada ketiga sampel. Perlakuan awal
yang dipergunakan untuk sampel DNA plasmid dan tail cut berbeda dengan perlakuan
untuk DNA tanaman. Perbedaan ini terletak pada penggunaan master mix yang berbeda.
temperatur yang dipergunakan untuk masing-masing tahapan bervariasi tergantung pada
jenis organisme, sel, dan setiap gen yang dianalisis(Van Fleteren, 1999). Penambahan
ddH2O (free water nuclease) dipergunakan sebagai pelarut DNA dan sebagai media
terjadinya reaksi yang tidak mengandung ion ataupun DNA/RNA. Hal ini penting untuk
mendukung terjadinya reaksi PCR terkait dengan sensitivitas PCR (Fester, 2005).
Masing-masing komponen yang terdapat pada master mix memiliki fungsi yang berbeda.
Buffer Taq berfungsi untuk menjaga kondisi fisiologis enzim Taq Polimerase. Selain itu,
buffer Taq juga dipergunakan untuk menstabilkan DNA dan komponen lain dalam reaksi
(Van Fleteren, 1999).
Larutan ddH2O (free water nuclease) dipergunakan sebagai pelarut DNA dan sebagai
media terjadinya reaksi yang tidak mengandung ion ataupun DNA/RNA. Hal ini penting
untuk mendukung terjadinya reaksi PCR terkait dengan sensitivitas PCR (Fester, 2005).
Masing-masing komponen yang terdapat pada master mix memiliki fungsi yang berbeda.
Menurut Van Fleteren (1999), Buffer Taq berfungsi untuk menjaga kondisi fisiologis
enzim Taq Polimerase. Selain itu, buffer Taq juga dipergunakan untuk menstabilkan
DNA dan komponen lain dalam reaksi. Primer merupakan oligonukleotida pendek yang
mengawali reaksi polimerisasi dan berfungsi untuk menentukan awal serta akhir bagian
yang akan diamplifikasi (Van Fleteren, 1999). Primer yang dipergunakan untuk sampel
DNA tail cut dan plasmid adalah HLA, sedangkan untuk tumbuhan adalah aux1. Sampel
DNA dipergunakan sebagai DNA templat yang akan diamplifikasi. Primer terdiri dari
forward dan reverse. Primer forward merupakan penyalin DNA templat bagian forward,
sedangkan primer reverse merupakan penyalin DNA templat bagian reverse.
Primer, template, dan dNTP juga akan mengikat pada Mg2+ sehingga konsentrasinya
harus lebih tinggi daripada konsentrasi total dNTP. Konsentrasi standar Mg2+ adalah 2
mM, tetapi terkadang konsentrasinya dinaikkan untuk menghasilkan produk PCR yang
lebih baik, ion Mg2+ berasal dari MgCl2 (Fester, 2005). Setiap perlakuan pemindahan
larutan atau reagen dillakukan pipetting dan mix gentle-finger agar setiap komponen
homogen. Pencampuran yang tidak merata akan mengakibatkan terjadinya kegagalan
pada reaksi. Thawing dilakukan pada tiap komponen yang ingin dimasukkan (yang telah
disimpan pada temperatur rendah). Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa
komponen tersebut telah siap dipergunakan (The American Heritage, 2000).
Hot start berfungsi untuk untuk lebih memaksimalkan pembukaan untai ganda DNA. Hal
ini dilakukan agar dapat meminimalisasi terjadinya kesalahan pengenalan primer pada
DNA non target. Optimalisasi pemanjangan primer dilakukan melalui melalui tahapan
setelah ekstensi, yakni ekstensi akhir pada DNA tanaman dan post-ekstensi pada DNA
tail cut serta plasmid.
4.1.2 Elektroforesis Gel Agarosa
Langkah pertama adalah larutan TBE diencerkan dari 5 kali menjadi 1 kali untuk
memperoleh konsentrasi TBE yang sesuai. Gel agarose ditimbang agar sesuai dengan
konsentrasi gel yang diinginkan serta jumlah sumuran yang digunakan. Konsentrasi gel
yang diinginkan sebesar 0.8% sehingga gel agarose yang ditimbang seberat 0,24 gram
dan TBE yang dipergunakan untuk melarutkan gel agarosa sebanyak 30 ml. Pengadukan
dengan stirer dilakukan dengan tujuan untuk menghomogenisasi gel agarosa dengan
solvennya, yakni larutan TBE.
Konsentrasi agarose yang digunakan sebesar 0.8 - 1.0%. Konsentrasi tersebut akan
memisahkan fragmen pada kisaran yang lebar, yakni antara 500 bp hingga 20 kb.
Pemisahan mampu mendiferensiasikan antara dua atau lebih fragmen pada ukuran yang
bebeda-beda. Semakin banyak agarose akan membentuk gel yang makin padat dan
menghasilkan matriks yang lebih sulit dilalui DNA. Informasi ini dapat dipergunakan
untuk optimalisasi kondisi eksperimen bila ukuran fragmen DNA diketahui (Viers, 1999).
Menurut Viers (1999), Larutan TBE merupakan larutan buffer yang memungkinkan
DNA bergerak lancar melalui gel. Larutan tersebut mengoptimalkan pH dan konsentrasi
ion dalam gel serta melapisi gel agar dapat mengalirkan arus listrik yang menggerakkan
DNA melalui gel. Tris merupakan bahan kimia yang membantu mempertahankan
konsistensi pH larutan. EDTA merupakan agen pengkelat kation divalen seperti
magnesium. Hal ini penting karena sebagian besar nuklease yang mendegradasi DNA
memerlukan kation divalen untuk aktivasinya. Asam borak menyediakan konsentrasi ion
yang sesuai untuk buffer .
Larutan yang telah homogen kemudian dimasukkan ke dalam microwave pada suhu
medium (4800C) selama ± 4 menit. Hal ini dikarenakan agarosa tidak dapat terlarut
dalam buffer pada suhu ruang sehingga harus dididihkan, yakni dengan memasukkannya
ke dalam microwave. EtBr dalam jumlah sedikit ditambahkan secara merata ke dalam
larutan tersebut setelah larutan tersebut cukup dingin. EtBr dapat ditambahkan pada
larutan tempat terendamnya gel setelah elektroforesis atau dapat ditambahkan pada
larutan agarosa di awal pembuatannya. Penambahan EtBr di awal pada larutan agarosa
memiliki keuntungan yakni tidak diperlukannya periode perendaman setelah
elektroforesis. Akan tetapi, kerugiannya adalah EtBr bersifat karsinogen sehingga selama
penggunaanya harus berhati-hati (Viers, 1999). Salah satu cara meminimalisasi ancaman
karsinogenik dari EtBr adalah dengan menambahkannya ketika suhu gel telah sedikit
menurun (tidak beruap). Pemberian EtBr ketika gel masih beruap akan menyebabkan
EtBr juga ikut menguap. Perlu diperhatikan bahwa uap EtBr bersifat karsinogen sehingga
harus berhati-hati.
Larutan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam cetakan yang sudah dipasang sisiran
besar (12 sumuran) dan dibiarkan dingin hingga memadat. Setelah itu, sisiran dapat
diambil dengan hati-hati agar sumuran tidak rusak dan selanjutnya running elektroforesis
dapat dilakukan. Running dilakukan bila larutan gel agarosa dalam cetakan memadat. Hal
ini dilakukan untuk memperoleh hasil yang optimal karena running diawali dengan
memasukkan sampel DNA pada sumuran. Sebanyak 3 l sampel DNA dicampur dengan 2
l loading dye sehingga jumlah total larutan adalah 5 l. Menurut Bowen (2000), loading
dye merupakan suatu zat pewarna pelacak yang dapat ikut bermigrasi di sepanjang gel.
Zat ini memiliki muatan negatif seperti DNA dan berfungsi sebagai penunjuk seberapa
jauh proses elektroforesis berlangsung. Selain itu, loading dye juga dapat meningkatkan
densitas DNA sehingga dapat mengendapkan DNA pada sumuran (Warder, 2002).
Perbandingan antara loading dye dan DNA yang dipergunakan adalah 2 : 3. Sampel DNA
yang dipergunakan lebih banyak agar molekul DNA memiliki persebaran yang lebih
merata di antara loading dye. Hal ini karena DNA yang terdapat dalam sampel tersebut
telah mengalami pengenceran sehingga memiliki konsentrasi rendah. Pemerataan DNA
pada loading dye diharapkan menghasilkan pendaran DNA di bawah sinar UV dapat
lebih representatif terhadap jumlah DNA.
Running dilakukan dengan mengalirkan arus listrik yang dipergunakan sebagai faktor
pendorong gerakan molekul DNA dengan elektroda positif terletak berhadapan dengan
sumuran. Hal ini karena DNA bermuatan negatif sehingga harus dipergunakan kutub
yang berlawanan untuk dapat menggerakkan DNA. Tegangan listrik yang dipergunakan
adalah 50 mV selama satu jam. Tegangan yang dipergunakan cukup kecil karena DNA
sangat rentan terhadap tekanan fisik. Selain itu, tegangan yang lebih rendah
menghasilkan resolusi yang lebih baik di antara fragmen-fragmen yang berukuran hampir
sama (Warder, 2002). Visualisasi menggunakan UV transluminator, dan di potret
menggunakan kamera polaroid.
1. Dimungkinkan hasil PCR yang tidak bagus sehingga mempengaruhi hasil pada saat
elelktroforesis
2. Dimungkinkan pada saat elektroforesis voltase yang digunakan tidak sesuai dengan
komponen Elektroforesis pada saat itu
3. Peletakan sampel pada gel yang kurang berhati-hati sehingga dapat merobek gel
Sehingga untuk menghindari kegagalan pada saat elektroforesis diperlukan suatu langkah
preventif misalnya:memperhatikan semua syarat untuk terjadinya PCR, misal kecocokan
primer, pcr mix yang digunakan, serta menghindari pipetting pada saat pencampuran
larutan pCR pada thin wall.
Terdapat pebedaan yang nyata antara hasil PCR dan RFLP pada praktikum kali ini, pada
PCR hampir tidak terdapat band pada hasil elektroforesis, ini disebabkan oleh hal-hal
yang tersebut diatas, sedangkan pada hasil RFLP masih terdapat satu band DNA yang
begitu mencolok pada sampel, berdampingan dengan marker yang digunakan, ini
membuktikan bahwa enzim restriksi Hae III dan Hind III dapat bekerja pada sampel,
secara bersinergi. Akan tetapi dari hasil elektroforesis tidak semua bisa tampil ini
memuktikan juga bahwa fragmen hasil RFLP terlalu kecil atau terjadi difusi pada cairan
elelktroforesis.
Keuntungan RFLP
1. Dapat melakukan analisis gen Polimorfisme pada sutu spesies dan lebih akurat
daripada PCR
2. Biasanya dipergunakan secara luas dalam analisis bidang molekuler botani.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Secara umum PCR berfungsi untuk melakukan kopi pada DNA target berdasarkan primer
yang digunakan. Hasil Elektroforesis dari PCR menunjukkan bahwa hampir tidak
terdapat band DNA yang muncul pada film polaroid hasil UV transluminator, hal ini
disebabkan karena: pipetting yang dilaksanakan pada pencampuran larutan pcr mix pada
thin wall, komposisi larutan pada thin wall yang tidak seimbang, serta kurang
bercampurnya larutan pada thin wall PCR.
5.2 Saran
Sebaiknya pada praktikum kali ini, asisten menyediakan software-software untuk
melakukan sekuensing, menentukan sisi pemotongan RE, serta untuk mendesain primer.
Software tersebut bisa di download dari internet secara gratis misal GENtle.
DAFTAR PUSTAKA
Tentu Anda sudah mengenal yang namanya DNA. DNA ini sering disebut-sebut terutama
berkaitan dengan kriminalitas, diagnosa penyakit, penentuan ‘keabsahan’ keturunan, dll.
Mungkin Anda bingung bagaimana caranya polisi bisa mengungkap pelaku kejahatan
dengan berbekal sehelai rambut pelaku yang tercecer di TKP, atau dari tetesan sperma
pemerkosa yang mengering di tubuh korban. Padahal kan sampel yang dianalisa
jumlahnya sangat sedikit, ajaib!
Ternyata hal ini gak lepas dari yang namanya PCR alias Polymerase Chain Reaction.
Proses yang berlangsung secara in vitro dalam tabung reaksi sebesar 200 µl ini mampu
menggandakan atau mengkopi DNA hingga miliaran kali jumlah semula. Maka pantes
aja dengan berbekal DNA yang terkandung dalam sampel yang cuma secuil itu bisa
diperoleh banyak sekali informasi sesuai kebutuhan kita.
Reaksi PCR meniru reaksi penggandaan atau replikasi DNA yang terjadi dalam makhluk
hidup. Secara sederhana PCR merupakan reaksi penggandaan daerah tertentu dari DNA
cetakan (template) dengan batuan enzim DNA polymerase.
PCR terdiri atas beberapa siklus yang berulang-ulang, biasanya 20 sampai 40 siklus. Nah,
sekarang bayangkan bahwa pada setiap siklus DNA polymerase akan menggandakan
DNA sebanyak 2 kali, dan coba hitung berapa salinan utas ganda DNA yang akan
dihasilkan setelah 30 siklus? Yup, 2 pangkat 30 alias 1.073.741.824 kali! Tentu saja
nilainya tidak tepat seperti itu, kita masih harus memperhitungkan efisiensi reaksi, tapi
tetap saja hasilnya akan sangat banyak.
Sumber:
http://users.ugent.be/~avierstr/principles/pcrcopies.gif
Sumber: http://users.ugent.be/~avierstr/principles/pcrcopies.gif
Komponen PCR
Selain DNA template yang akan digandakan dan enzim DNA polymerase, komponen lain
yang dibutuhkan adalah:
Primer
Primer adalah sepasang DNA utas tunggal atau oligonukleotida pendek yang
menginisiasi sekaligus membatasi reaksi pemanjangan rantai atau polimerisasi DNA. Jadi
jangan membayangkan kalau PCR mampu menggandakan seluruh DNA bakteri E. coli
yang panjangnya kira-kira 3 juta bp itu. PCR hanya mampu menggandakan DNA pada
daerah tertentu sepanjang maksimum 10000 bp saja, dan dengan teknik tertentu bisa
sampai 40000 bp. Primer dirancang untuk memiliki sekuen yang komplemen dengan
DNA template, jadi dirancang agar menempel mengapit daerah tertentu yang kita
inginkan.
dNTP alias building blocks sebagai ‘batu bata’ penyusun DNA yang baru. dNTP terdiri
atas 4 macam sesuai dengan basa penyusun DNA, yaitu dATP, dCTP, dGTP dan dTTP.
Buffer
Buffer yang biasanya terdiri atas bahan-bahan kimia untuk mengkondisikan reaksi agar
berjalan optimum dan menstabilkan enzim DNA polymerase.
Ion Logam
• Ion logam bivalen, umumnya Mg++, fungsinya sebagai kofaktor bagi enzim DNA
polymerase. Tanpa ion ini enzim DNA polymerase tidak dapat bekerja.
• Ion logam monovalen, kalsium (K+).
Tahapan Reaksi
Sumber:
http://users.ugent.be/~avierstr/principles/pcrsteps.gif
Sumber: http://users.ugent.be/~avierstr/principles/pcrsteps.gif
Denaturasi
Denaturasi dilakukan dengan pemanasan hingga 96oC selama 30-60 detik. Pada suhu ini
DNA utas ganda akan memisah menjadi utas tunggal.
Annealing
Setelah DNA menjadi utas tunggal, suhu diturukan ke kisaran 40-60oC selama 20-40
detik untuk memberikan kesempatan bagi primer untuk menempel pada DNA template di
tempat yang komplemen dengan sekuen primer.
Ekstensi/elongasi
Dilakukan dengan menaikkan suhu ke kisaran suhu kerja optimum enzim DNA
polymerase, biasanya 70-72oC. Pada tahap ini DNA polymerase akan memasangkan
dNTP yang sesuai pada pasangannya, jika basa pada template adalah A, maka akan
dipasang dNTP, begitu seterusnya (ingat pasangan A adalah T, dan C dengan G, begitu
pula sebaliknya). Enzim akan memperpanjang rantai baru ini hingga ke ujung. Lamanya
waktu ekstensi bergantung pada panjang daerah yang akan diamplifikasi, secara kasarnya
adalah 1 menit untuk setiap 1000 bp.
Selain ketiga proses tersebut biasanya PCR didahului dan diakhiri oleh tahapan berikut:
Pra-denaturasi
Dilakukan selama 1-9 menit di awal reaksi untuk memastikan kesempurnaan denaturasi
dan mengaktifasi DNA Polymerase (jenis hot-start alias baru aktif kalau dipanaskan
terlebih dahulu).
Final Elongasi
Biasanya dilakukan pada suhu optimum enzim (70-72oC) selama 5-15 menit untuk
memastikan bahwa setiap utas tunggal yang tersisa sudah diperpanjang secara sempurna.
Proses ini dilakukan setelah siklus PCR terakhir
PCR dilakukan dengan menggunakan mesin Thermal Cycler yang dapat menaikkan dan
menurunkan suhu dalam waktu cepat sesuai kebutuhan siklus PCR. Pada awalnya orang
menggunakan tiga penangas air (water bath) untuk melakukan denaturasi, annealing dan
ekstensi secara manual, berpindah dari satu suhu ke suhu lainnya menggunakan tangan.
Tapi syukurlah sekarang mesin Thermal Cycler sudah terotomatisasi dan dapat diprogram
sesuai kebutuhan.
Kita harus berterima kasih kepada Kary B Mullis yang telah menemukan dan
mengaplikasikan PCR pada tahun 1984. Saat ini PCR sudah digunakan secara luas untuk
berbagai macam kebutuhan, diantaranya:
Isolasi Gen
Kita tahu bahwa DNA makhluk hidup memiliki ukuran yang sangat besar, DNA manusia
saja panjangnya sekitar 3 miliar basa, dan di dalamnya mengandung ribuan gen. Oh ya,
gen itu apaan ya?
Sebagaimana kita tahu bahwa fungsi utama DNA adalah sebagai sandi genetik, yaitu
sebagai panduan sel dalam memproduksi protein, DNA ditranskrip menghasilkan RNA,
RNA kemudian diterjemahkan untuk menghasilkan rantai asam amino alias protein. Dari
sekian panjang DNA genome, bagian yang menyandikan protein inilah yang disebut gen,
sisanya tidak menyandikan protein atau disebut ‘junk DNA’, DNA ‘sampah’ yang
fungsinya belum diketahui dengan baik.
Kembali ke pembahasan isolasi gen, para ahli seringkali membutuhkan gen tertentu untuk
diisolasi. Sebagai contoh, dulu kita harus mengekstrak insulin langsung dari pancreas
sapi atau babi, kemudian menjadikannya obat diabetes, proses yang rumit dan tentu saja
mahal serta memiliki efek samping karena insulin dari sapi atau babi tidak benar-benar
sama dengan insulin manusia.
Berkat teknologi rekayasa genetik, kini mereka dapat mengisolasi gen penghasil insulin
dari DNA genome manusia, lalu menyisipkannya ke sel bakteri (dalam hal ini E. coli)
agar bakteri dapat memproduksi insulin juga [http://www.littletree.com.au/dna.htm]. Dan
ajaib! Hasilnya insulin yang sama persis dengan yang dihasilkan dalam tubuh manusia,
dan sekarang insulin tinggal diekstrak dari bakteri, lebih cepat, mudah, dan tentunya lebih
murah ketimbang cara konvensional yang harus ‘mengorbankan’ sapi atau babi.
Nah, untuk mengisolasi gen, diperlukan DNA pencari atau dikenal dengan nama ‘probe’
yang memiliki urutan basa nukleotida sama dengan gen yang kita inginkan. Probe ini bisa
dibuat dengan teknik PCR menggunakan primer yang sesuai dengan gen tersebut.
DNA Sequencing
Urutan basa suatu DNA dapat ditentukan dengan teknik DNA Sequencing, metode yang
umum digunakan saat ini adalah metode Sanger (chain termination method) yang sudah
dimodifikasi menggunakan dye-dideoxy terminator, dimana proses awalnya adalah reaksi
PCR dengan pereaksi yang agak berbeda, yaitu hanya menggunakan satu primer (PCR
biasa menggunakan 2 primer) dan adanya tambahan dideoxynucleotide yang dilabel
fluorescent. Karena warna fluorescent untuk setiap basa berbeda, maka urutan basa suatu
DNA yang tidak diketahui bisa ditentukan.
Forensik
Identifikasi seseorang yang terlibat kejahatan (baik pelaku maupun korban), atau korban
kecelakaan/bencana kadang sulit dilakukan. Jika identifikasi secara fisik sulit atau tidak
mungkin lagi dilakukan, maka pengujian DNA adalah pilihan yang tepat. DNA dapat
diambil dari bagian tubuh manapun, kemudian dilakukan analisa PCR untuk
mengamplifikasi bagian-bagian tertentu DNA yang disebut fingerprints alias DNA sidik
jari, yaitu bagian yang unik bagi setiap orang. Hasilnya dibandingkan dengan DNA sidik
jari keluarganya yang memiliki pertalian darah, misalnya ibu atau bapak kandung. Jika
memiliki kecocokan yang sangat tinggi maka bisa dipastikan identitas orang yang
dimaksud.
Konon banyak kalangan tertentu yang memanfaatkan pengujian ini untuk menelusuri
orang tua ‘sesungguhnya’ dari seorang anak jika sang orang tua merasa ragu.
Diagnosa Penyakit
Penyakit Influenza A (H1N1) yang sebelumnya disebut flu babi sedang mewabah saat
ini, bahkan satu fase lagi dari fase pandemi. Penyakit berbahaya seperti ini memerlukan
diagnosa yang cepat dan akurat.
PCR merupakan teknik yang sering digunakan. Teknologi saat ini memungkinkan
diagnosa dalam hitungan jam dengan hasil akurat. Disebut akurat karena PCR
mengamplifikasi daerah tertentu DNA yang merupakan ciri khas virus Influenza A
(H1N1) yang tidak dimiliki oleh virus atau makhluk lainnya.
Masih banyak aplikasi PCR lainnya yang sangat bermanfaat. Maka tak salah panitia
Nobel menganugrahkan hadiah Nobel bidang kimia yang bergengsi ini kepada Kary B
Mullis hanya 9 tahun setelah penemuannya (1993).
Daftar Pustaka
Haliman, R.W. dan Adiwijaya, D. 2005. Udang Vannamei, Pembudidayaan dan Prospek
Pasar Udang Putih yang Tahan Penyakit. Penebar Swadaya. Jakarta
Retnoningrum, D.S. 1997. Penerapan Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk Diagnosis
Penyakit Infeksi. Jurusan Farmasi FMIPA ITB. Bandung.
Rohmy, S. 2001. Keberhasilan Penggunaan Primer Spesifik DNA Mitokondria (mtDNA)
Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus) pada Beberapa Ikan Budidaya dengan Metode
PCR (Polymerase Chain Reaction). Skripsi. Program Studi Budidaya Perairan. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Sunarto, Agus, Taukhid, Isti Koesharyani, Akhmad Rukyani. 2004. Prosedur PCR untuk
diagnosa Cepat Penyakit Bercak Putih pada Udang. www. Disketkanling.go.id
Wahyudi, H. T. 2001. Pengaruh Suhu Annealing dan Jumlah Siklus yang Berbeda pada
Program PCR Terhadap Keberhasilan Isolasi dan Amplifikasi mtDNA Ikan Patin
(Pangasius hypophthalmus). Skripsi. Program Studi Budidaya Perairan. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor