You are on page 1of 17

.

1 Latar Belakang
Penemuan yang berpengaruh terhadap perkembangan ilmu biologi molekuler
salahsatunya adalah PCR (Polymerase Chain Reaction). Teknik ini mempunyai fungsi
utama untuk memperbanyak DNA target. Proses yang terjadi melibatkan suatu primer
yang berfungsi sebagai cetakan untuk membuat DNA baru (David, 2005). Aplikasi PCR
yang paling besar adalah melakukan pengkopian DNA dalam waktu yang relatif cepat,
sehingga kemudian DNA tersebut cukup banyak untuk dapat dideteksi, dikaji, dan
dipergunakan untuk berbagai aplikasi (Lairmore, 1990).
Teknik PCR memerlukan keterampilan khusus dalam pelaksanaannya, tidak hanya
bergantung pada alat PCR tetapi diperlukan hal-hal teknis yang perlu diperhatikan demi
kelancaran PCR. Salah satu keahlian teknis yang diperlukan adalah mendesain primer
yang dipergunakan sebagai cetakan dalam PCR. Selain hal tersebut diatas, PCR dapat
dipergunakan untuk sekuensing, melakukan deteksi gen patologis, serta pembuatan
probe. Berdasarkan haltersebut di atas, maka praktikum ini penting untuk dilaksanakan.

1.2 Rumusan Permasalahan


Permasalahan yang dapat ditelaah adalah bagaimana teknik cara melakukan teknik PCR
dan mendesain primer yang berfungsi sebagai langkah awal sebelum melakukan PCR ?

1.3 Tujuan
Praktikum bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan teknik PCR dan cara mendesain
primer

1.4 Manfaat
Salah satu kemampuan PCR adalah dapat mengamplifikasi gen-gen yang diduga terkait
dengan penyakit tertentu sehingga akan mempermudah diagnosis penyakit tersebut,
sehingga teknik ini dapat digunakan dalam bidang medis.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 PCR (Polymerase Chain Reaction)
Polymerase Chain Reaction adalah metode untuk amplifikasi primer oligonukleotida
yang dikendalikan secara enzimatis untuk sekuen DNA yang diinginkan. Teknik tersebut
mampu mengamplifikasi sekuen hingga berlipat pada tingkatan 105 - 106 dari sejumlah
kecil (nanogram) DNA templat, dengan latar sekuen yang tidak relevan (dari DNA
genom total. Prasyarat untuk mengamplifikasi sekuen dengan mempergunakan PCR
adalah mengetahui sekuen tertentu yang mengapit sekuen DNA yang diamplifikasi
sehingga oligonukleotida spesifik dapat diperoleh. Produk PCR diamplifikasi dari templat
DNA dengan menggunakan DNA polymerase yang stabil terhadap panas, dan diperoleh
dari Thermus aquaticus (Taq DNA polimerase) serta mempergunakan cycler termal
otomatis. Tiga tahapan utama PCR (terdiri dari denaturasi, annealing primer, dan
polimerisasi) diulang hinggga berlangsung 30 - 40 siklus. Hal ini dilakukan dengan
cycler otomatis, yang dapat memanaskan tabung yang berisi campuran reaksi dan
mendinginkannya dalam waktu yang sangat singkat (Eavier, 1999).
Denaturasi DNA double strand menjadi single strand terjadi pada tahap denaturasi. Hal
ini terjadi sebagai akibat akibat perlakuan temperatur tinggi yang akan memisahkan
strand komplemennya. Temperatur selanjutnya diturunkan agar primer dapat membentuk
ikatan hidrogen pada kedua sisi DNA target (annealing). DNA polymerase kemudian
akan membuat salinan DNA target menggunakan dNTP, sedangkan pada akhir siklus
maka sekuens target pada kedua strand akan dapat dikopi (Prescott dkk., 2003). Tahap
pertama dari PCR adalah awal yang panas dengan temperatur 95 ?C selama 2-4 menit.
Tahapan berikutnya adalah denaturasi pada temperatur 95?C selama 30 detik hingga 1
menit. Waktu yang diperluakan ini tergantung pada ukuran templat, semakin besar, maka
akan memerlukan waktu yang semakin lama. Tahapan annealing mempergunakan
temperatur yang ditentukan oleh rumus Tm - 5 ?C (David, 2005).

Menurut Clark dan Russel (2005), komponen-komponen untuk melakukan PCR terdiri
dari: sejumlah kecil molekul DNA, termasuk segmen DNA yang akan diamplifikasi;
primer PCR, primer yang dibutuhkan ini berjumlah dua buah berupa potongan pendek
DNA single strand yang sesuai dengan sekuens yang akan diamplifikasi; enzim yang
diperlukan untuk mengatur salinan DNA; nukleotida yang dibutuhkan untuk membuat
DNA baru; dan mesin PCR yang dibutuhkan untuk mengatur temperatur. Dengan
kelengkapan prasyarat di atas diharapakan proses PCR berjalan dengan semestinya.

2.2 Desain Primer


Desain primer merupakan salah satu prasyarat sebelum melakukan proses pengkopian
gen dengan PCR. Primer PCR biasanya berukuran panjang 20-30 bp, Ujung 5' pada
primer menentukan ujung produk PCR yang dihasilkan. Primer yang ideal memiliki
kandungan GC vs. AT yang seimbang (45-55% GC), dan tanpa untaian satu basa yang
terlalu panjang. Dua primer dari pasangan primer tidak mengandung struktur komplemen
lebih dari 2 kb. Jarak amplifikasi atau sekuens target yang diamplifikasi mempunyai
ukuran sekitar 200-400 bp (David, 2005).
Menurut Innis dan Gelfand (1990), Syarat sebuah primer dalam PCR adalah :
1. Ukuran primer berkisar antara 17-28 basa
2. Komposisi basa adalah 50-60% (G+C)
3. Primer PCR tidak boleh memiliki ujung (3') berupa G atau C, atau CG atau GC. Hal ini
menghindari terjadinya "breathing" pada ujung dan meningkatkan efisiensi priming;
4. Tm (suhu melting) berkisar antara 55-80oC
5. Tiga atau lebih sekuen C atau G pada ujung 3' primer dapat memicu terjadinya
kesalahan priming pada sekuen yang kaya akan G dan C (karena stabilitas annealing),
sehingga harus dihindari.
6. Ujung 3' primer bukan merupakan komplementer (pasangan basa), karena akan
mengakibatkan terjadinya dimer primer.
7. Primer Reverse dan primer forward harus dihindari saling berkomplemen, sehingga
saling dapat membentuk ikatan atau menyatu.

2.3 Elektroforesis Gel Agarose


Teknik pemisahan fragmen - fragmen molekuler (DNA, RNA ataupun protein) adalah
Elektoforesis gel. Prinsip dasar elektroforesis adalah memisahkan molekul berdasarkan
muatan listrik intrinsiknya. Muatan listrik positif akan menarik muatan negatif dan
menolak sesama muatan positif. Sebaliknya, muatan negatif akan menarik muatan positif
dan menolak sesama muatan negatif. Dua elektrode, masing-masing bermuatan postif dan
negatif dihubungkan dengan sumber tegangan tinggi. Menurut hukum listrik, muatan
yang berbeda muatan akan saling tarik (Clark, 2005).
Peralatan serta kondisi yang diperlukan untuk proses elektrforesis adalah tegangan tinggi,
elektroda, buffer, dan penyokong buffer seperti kertas saring, strip asetat selulosa, atau
tabung kapiler. Tabung kapiler terbuka dipergunakan untuk berbagai jenis sampel, dan
penyokong lainnya dipergunakan untuk sampel biologis seperti campuran protein atau
fragmen DNA. Elektroforesis DNA biasanya dipergunakan untuk memisahkan DNA
dalam beragam ukuran. Agarosa merupakan polisakarida yang diekstraksi dari rumput
laut. Bila agarosa dan air dicampur dan direbus, maka agarosa akan meleleh menjadi
larutan homogen. Bila larutan tersebut suhunya mulai turun suhunya, maka gel akan
membentuk jaring-jaring berlubang, dengan bagian pori terisi oleh air. Gel yang
mengeras nampak seperti konsentrat campuran gelatin tanpa pewarna. Ukuran pori
agarose bergantung pada konsentrasi dari bubuk agarose yang digunakan.
Marker pada elektroforesis gel adalah serangkaian fragmen DNA standar dilalukan secara
beriringan pada gel yang sama, yang berguna untuk memperkirakan ukuran fragmen yang
berbeda-beda pada DNA sampel yang dielektroforesis (Clark, 2005).

BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Waktu Dan Tempat
Praktikum PCR dan desain primer dilaksanakan pada hari Selasa, tanggal 23 Oktober
2007, pukul 09.30-19.00 WIB di Laboratorium Biologi Molekuler dan Seluler, Jurusan
Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Brawijaya
Malang.

3.2 Alat dan Bahan


3.2.1 Alat
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah PCR unit, blue tip, mikropipet,
tabung, sentrifuse, seperangkat alat elektoforesis, microwave, dan kamera polaroid.
3.2.2 Bahan
Bahan yang digunakan adalah PCR mix solution yang terdiri atas 16.4 ?l akuades steril 1
x buffer Taq 4 ?l, dNTP mix 0.2 ?L, primer HLA dan primer aux1 (10 pmol) 0.2 ?l, Taq
DNA polymerase 0.2 ?l, sampel DNA (Tail cut : TC 1.2; TC 2.1; TC 2.2. Plasmid : PA 2;
PA 3; P 5.1. Tanaman : KMB; 2805; BR 1; T 2; TB 1) sebanyak 0,5 ?l (50 ng/ ?l), gel
agarosa, Tris Borac EDTA (TBE) (yang terdiri atas 54 g Tris-base, 27.5 g H3BO3 dan
3.72 g Na2EDTA.2H2O dan aquades steril), Etidium Bromida (EtBr), Loading dye,
buffer TE, serta sekuen DNA untuk desain primer.
3.3 Cara Kerja
3.3.1 Program PCR
Perlakuan awal berupa pencampuran bahan-bahan untuk PCR berbeda untuk sampel
DNA plasmid dan tail cut dengan sampel DNA tanaman. Untuk sampel DNA plasmid
dan tail cut, sebanyak 8.6 ?l ddH2O (free water nuclease) ditambah dengan master mix
yang tersusun atas dNTP, buffer Taq, Taq Polimerase, primer HLA, dan terakhir
ditambahkan sampel DNA. Untuk sampel DNA tanaman, sebanyak 13.2 ?l ddH2O (free
water nuclease) ditambah dengan dNTP, MgCl2, buffer PCR, primer aux1, Taq
polimerase, dan sampel DNA.
Program PCR yang dipergunakan sebanyak dua program yang berbeda. Program yang
pertama dipergunakan untuk sampel DNA dari tail cut mencit dan plasmid bakteri,
sedangkan program yang kedua dipergunakan untuk sampel DNA tanaman. Program
yang pertama meliputi hot start pada temperatur 920C selama 1 menit, denaturasi pada
temperatur 920C selama 30 detik, annealing pada temperatur 580C selama 30 detik,
ekstensi pada temperatur 720C selama 45 detik, dan post-ekstensi pada temperatur 720C
selama 7 menit, serta mempergunakan siklus sebanyak 30 siklus. Program yang kedua
meliputi hot start pada temperatur 930C selama 1 menit, denaturasi pada temperatur
930C selama 1 menit, annealing pada temperatur 560C selama 30 detik, ekstensi pada
temperatur 720C selama 1 menit, ekstensi akhir pada temperatur 720C selama 10 menit
dan post-ekstensi pada temperatur 370C selama 1 menit, serta mempergunakan siklus
sebanyak 35 siklus.
3.3.2 Desain Primer
Primer forward dipilih secara acak pada sekuen urutan basa nukleotida dengan ketentuan
bahwa panjang basa berkisar antara 18 -23 pasangan basa. Ujung sekuen 3' bukan T atau
A, melainkan G atau C, dan jajaran G/C maksimal sebanyak dua buah. Presentase (G+C)
berkisar antara 45 - 60%. Sekuen primer yang dipergunakan tidak boleh region DNA
repetitive. Setelah itu, temperatur melting (Tm) ditentukan melalui rumus :
Tm = 4 (G + C) + 2 (A + T)
Selanjutnya, temperatur annealing (Ta) ditentukan dengan rumus :
Ta = Tm - 50C
Bila primer forward telah ditentukan, maka selanjutnya ditentukan primer reverse. Hal ini
dilakukan dengan aturan yang sama seperti penentuan primer forward, tetapi selisih Ta
antara primer forward dan reverse tidak boleh lebih dari 10C.
3.3.3 Elektroforesis Gel Agarosa
Larutan TBE diencerkan dari 5 kali menjadi 1 kali. Gel agarose ditimbang sesuai dengan
konsentrasi gel yang diinginkan serta jumlah sumuran yang digunakan. Konsentrasi gel
yang diinginkan sebesar 0.8% sehingga gel agarose yang ditimbang seberat 0,24 gram.
Gel agarosa dilarutkan dengan 30 ml larutan TBE dan dihomogenisasi dengan stirer.
Larutan yang telah homogen kemudian dimasukkan ke dalam microwave pada suhu
medium (4800C) selama ± 4 menit. EtBr dalam jumlah sedikit ditambahkan secara
merata ke dalam larutan tersebut setelah larutan tersebut cukup dingin. Larutan tersebut
kemudian dimasukkan ke dalam cetakan yang sudah dipasang sisiran besar (12 sumuran).
Running dilakukan bila larutan gel agarosa dalam cetakan memadat. Sebanyak 3 l sampel
DNA dicampur dengan 2 l loading dye sehingga perbandingan antara keduanya adalah 3 :
2. campuran dimasukkan ke dalam sumuran gel dengan hati-hati hingga semua sampel
mengisi setiap sumuran yang tersedia. Running dilakukan pada tegangan 50 mV selama
satu jam. Gel kemudian dIletakkan pada UV transiluminator untuk mengetahui hasil
elektroforesis

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Analisis Prosedur
4.1.1 Program PCR
DNA yang dipergunakan berasal dari hasil isolasi DNA dari praktikum sebelumnya,
yakni DNA plasmid (E. Coli), DNA tail cut tikus, dan DNA tanaman (kacang koro dan
buncis) untuk membandingkan hasil amplifikasi PCR pada ketiga sampel. Perlakuan awal
yang dipergunakan untuk sampel DNA plasmid dan tail cut berbeda dengan perlakuan
untuk DNA tanaman. Perbedaan ini terletak pada penggunaan master mix yang berbeda.
temperatur yang dipergunakan untuk masing-masing tahapan bervariasi tergantung pada
jenis organisme, sel, dan setiap gen yang dianalisis(Van Fleteren, 1999). Penambahan
ddH2O (free water nuclease) dipergunakan sebagai pelarut DNA dan sebagai media
terjadinya reaksi yang tidak mengandung ion ataupun DNA/RNA. Hal ini penting untuk
mendukung terjadinya reaksi PCR terkait dengan sensitivitas PCR (Fester, 2005).
Masing-masing komponen yang terdapat pada master mix memiliki fungsi yang berbeda.
Buffer Taq berfungsi untuk menjaga kondisi fisiologis enzim Taq Polimerase. Selain itu,
buffer Taq juga dipergunakan untuk menstabilkan DNA dan komponen lain dalam reaksi
(Van Fleteren, 1999).
Larutan ddH2O (free water nuclease) dipergunakan sebagai pelarut DNA dan sebagai
media terjadinya reaksi yang tidak mengandung ion ataupun DNA/RNA. Hal ini penting
untuk mendukung terjadinya reaksi PCR terkait dengan sensitivitas PCR (Fester, 2005).
Masing-masing komponen yang terdapat pada master mix memiliki fungsi yang berbeda.
Menurut Van Fleteren (1999), Buffer Taq berfungsi untuk menjaga kondisi fisiologis
enzim Taq Polimerase. Selain itu, buffer Taq juga dipergunakan untuk menstabilkan
DNA dan komponen lain dalam reaksi. Primer merupakan oligonukleotida pendek yang
mengawali reaksi polimerisasi dan berfungsi untuk menentukan awal serta akhir bagian
yang akan diamplifikasi (Van Fleteren, 1999). Primer yang dipergunakan untuk sampel
DNA tail cut dan plasmid adalah HLA, sedangkan untuk tumbuhan adalah aux1. Sampel
DNA dipergunakan sebagai DNA templat yang akan diamplifikasi. Primer terdiri dari
forward dan reverse. Primer forward merupakan penyalin DNA templat bagian forward,
sedangkan primer reverse merupakan penyalin DNA templat bagian reverse.
Primer, template, dan dNTP juga akan mengikat pada Mg2+ sehingga konsentrasinya
harus lebih tinggi daripada konsentrasi total dNTP. Konsentrasi standar Mg2+ adalah 2
mM, tetapi terkadang konsentrasinya dinaikkan untuk menghasilkan produk PCR yang
lebih baik, ion Mg2+ berasal dari MgCl2 (Fester, 2005). Setiap perlakuan pemindahan
larutan atau reagen dillakukan pipetting dan mix gentle-finger agar setiap komponen
homogen. Pencampuran yang tidak merata akan mengakibatkan terjadinya kegagalan
pada reaksi. Thawing dilakukan pada tiap komponen yang ingin dimasukkan (yang telah
disimpan pada temperatur rendah). Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa
komponen tersebut telah siap dipergunakan (The American Heritage, 2000).
Hot start berfungsi untuk untuk lebih memaksimalkan pembukaan untai ganda DNA. Hal
ini dilakukan agar dapat meminimalisasi terjadinya kesalahan pengenalan primer pada
DNA non target. Optimalisasi pemanjangan primer dilakukan melalui melalui tahapan
setelah ekstensi, yakni ekstensi akhir pada DNA tanaman dan post-ekstensi pada DNA
tail cut serta plasmid.
4.1.2 Elektroforesis Gel Agarosa
Langkah pertama adalah larutan TBE diencerkan dari 5 kali menjadi 1 kali untuk
memperoleh konsentrasi TBE yang sesuai. Gel agarose ditimbang agar sesuai dengan
konsentrasi gel yang diinginkan serta jumlah sumuran yang digunakan. Konsentrasi gel
yang diinginkan sebesar 0.8% sehingga gel agarose yang ditimbang seberat 0,24 gram
dan TBE yang dipergunakan untuk melarutkan gel agarosa sebanyak 30 ml. Pengadukan
dengan stirer dilakukan dengan tujuan untuk menghomogenisasi gel agarosa dengan
solvennya, yakni larutan TBE.
Konsentrasi agarose yang digunakan sebesar 0.8 - 1.0%. Konsentrasi tersebut akan
memisahkan fragmen pada kisaran yang lebar, yakni antara 500 bp hingga 20 kb.
Pemisahan mampu mendiferensiasikan antara dua atau lebih fragmen pada ukuran yang
bebeda-beda. Semakin banyak agarose akan membentuk gel yang makin padat dan
menghasilkan matriks yang lebih sulit dilalui DNA. Informasi ini dapat dipergunakan
untuk optimalisasi kondisi eksperimen bila ukuran fragmen DNA diketahui (Viers, 1999).
Menurut Viers (1999), Larutan TBE merupakan larutan buffer yang memungkinkan
DNA bergerak lancar melalui gel. Larutan tersebut mengoptimalkan pH dan konsentrasi
ion dalam gel serta melapisi gel agar dapat mengalirkan arus listrik yang menggerakkan
DNA melalui gel. Tris merupakan bahan kimia yang membantu mempertahankan
konsistensi pH larutan. EDTA merupakan agen pengkelat kation divalen seperti
magnesium. Hal ini penting karena sebagian besar nuklease yang mendegradasi DNA
memerlukan kation divalen untuk aktivasinya. Asam borak menyediakan konsentrasi ion
yang sesuai untuk buffer .
Larutan yang telah homogen kemudian dimasukkan ke dalam microwave pada suhu
medium (4800C) selama ± 4 menit. Hal ini dikarenakan agarosa tidak dapat terlarut
dalam buffer pada suhu ruang sehingga harus dididihkan, yakni dengan memasukkannya
ke dalam microwave. EtBr dalam jumlah sedikit ditambahkan secara merata ke dalam
larutan tersebut setelah larutan tersebut cukup dingin. EtBr dapat ditambahkan pada
larutan tempat terendamnya gel setelah elektroforesis atau dapat ditambahkan pada
larutan agarosa di awal pembuatannya. Penambahan EtBr di awal pada larutan agarosa
memiliki keuntungan yakni tidak diperlukannya periode perendaman setelah
elektroforesis. Akan tetapi, kerugiannya adalah EtBr bersifat karsinogen sehingga selama
penggunaanya harus berhati-hati (Viers, 1999). Salah satu cara meminimalisasi ancaman
karsinogenik dari EtBr adalah dengan menambahkannya ketika suhu gel telah sedikit
menurun (tidak beruap). Pemberian EtBr ketika gel masih beruap akan menyebabkan
EtBr juga ikut menguap. Perlu diperhatikan bahwa uap EtBr bersifat karsinogen sehingga
harus berhati-hati.
Larutan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam cetakan yang sudah dipasang sisiran
besar (12 sumuran) dan dibiarkan dingin hingga memadat. Setelah itu, sisiran dapat
diambil dengan hati-hati agar sumuran tidak rusak dan selanjutnya running elektroforesis
dapat dilakukan. Running dilakukan bila larutan gel agarosa dalam cetakan memadat. Hal
ini dilakukan untuk memperoleh hasil yang optimal karena running diawali dengan
memasukkan sampel DNA pada sumuran. Sebanyak 3 l sampel DNA dicampur dengan 2
l loading dye sehingga jumlah total larutan adalah 5 l. Menurut Bowen (2000), loading
dye merupakan suatu zat pewarna pelacak yang dapat ikut bermigrasi di sepanjang gel.
Zat ini memiliki muatan negatif seperti DNA dan berfungsi sebagai penunjuk seberapa
jauh proses elektroforesis berlangsung. Selain itu, loading dye juga dapat meningkatkan
densitas DNA sehingga dapat mengendapkan DNA pada sumuran (Warder, 2002).
Perbandingan antara loading dye dan DNA yang dipergunakan adalah 2 : 3. Sampel DNA
yang dipergunakan lebih banyak agar molekul DNA memiliki persebaran yang lebih
merata di antara loading dye. Hal ini karena DNA yang terdapat dalam sampel tersebut
telah mengalami pengenceran sehingga memiliki konsentrasi rendah. Pemerataan DNA
pada loading dye diharapkan menghasilkan pendaran DNA di bawah sinar UV dapat
lebih representatif terhadap jumlah DNA.
Running dilakukan dengan mengalirkan arus listrik yang dipergunakan sebagai faktor
pendorong gerakan molekul DNA dengan elektroda positif terletak berhadapan dengan
sumuran. Hal ini karena DNA bermuatan negatif sehingga harus dipergunakan kutub
yang berlawanan untuk dapat menggerakkan DNA. Tegangan listrik yang dipergunakan
adalah 50 mV selama satu jam. Tegangan yang dipergunakan cukup kecil karena DNA
sangat rentan terhadap tekanan fisik. Selain itu, tegangan yang lebih rendah
menghasilkan resolusi yang lebih baik di antara fragmen-fragmen yang berukuran hampir
sama (Warder, 2002). Visualisasi menggunakan UV transluminator, dan di potret
menggunakan kamera polaroid.

3.3.2 Desain Primer


Langkah pertama dari desain primer adalah memilih primer forwar. Primer forward
dipilih secara acak pada sekuen urutan basa nukleotida dengan ketentuan bahwa panjang
basa berkisar antara 18 -23 pasangan basa. Ujung sekuen 3' bukan T atau A, melainkan G
atau C, dan jajaran G/C maksimal sebanyak dua buah. Presentase (G+C) berkisar antara
45 - 60%. Sekuen primer yang dipergunakan tidak boleh region DNA repetitive. Setelah
itu, temperatur melting (Tm) ditentukan melalui rumus :
Tm = 4 (G + C) + 2 (A + T)
Selanjutnya, temperatur annealing (Ta) ditentukan dengan rumus :
Ta = Tm - 50C
Selanjutnya dicari primer reverse nya dengan ketentuan seperti di atas. Hal yang perlu
diperhatikan adalah Ta antara primer forward dan reverse tidak boleh lebih dari 10C,
dengan kata lain primer R dan primer F akan berjalan bersamaan pada temperatur yang
sama juga.

4.2 Analisis Hasil


4.2.1 Analisis Hasil Elektroforesis, PCR dan RFLP
Pada praktikum ini, hasil elektroforesis tidak menampilkan band-band DNA pada gel
seperti yang diharapkan tujuan praktikum kali ini, hal ini disebabkan oleh beberapa hal
berikut ini:

1. Dimungkinkan hasil PCR yang tidak bagus sehingga mempengaruhi hasil pada saat
elelktroforesis
2. Dimungkinkan pada saat elektroforesis voltase yang digunakan tidak sesuai dengan
komponen Elektroforesis pada saat itu
3. Peletakan sampel pada gel yang kurang berhati-hati sehingga dapat merobek gel

Sehingga untuk menghindari kegagalan pada saat elektroforesis diperlukan suatu langkah
preventif misalnya:memperhatikan semua syarat untuk terjadinya PCR, misal kecocokan
primer, pcr mix yang digunakan, serta menghindari pipetting pada saat pencampuran
larutan pCR pada thin wall.

Terdapat pebedaan yang nyata antara hasil PCR dan RFLP pada praktikum kali ini, pada
PCR hampir tidak terdapat band pada hasil elektroforesis, ini disebabkan oleh hal-hal
yang tersebut diatas, sedangkan pada hasil RFLP masih terdapat satu band DNA yang
begitu mencolok pada sampel, berdampingan dengan marker yang digunakan, ini
membuktikan bahwa enzim restriksi Hae III dan Hind III dapat bekerja pada sampel,
secara bersinergi. Akan tetapi dari hasil elektroforesis tidak semua bisa tampil ini
memuktikan juga bahwa fragmen hasil RFLP terlalu kecil atau terjadi difusi pada cairan
elelktroforesis.

.2.2 Keuntungan dan Kerugian Teknik PCR dan RFLP


Kerugian teknik PCR
1. Selalu memerlukan suatu primer untuk menjalankan PCR
2. Diperlukan PCR mix
3. PCR sangat sensitif terhadap semua perlakuan yang tidak sesuai dengan protokol pada
saat pencampuran larutan thin wall
4. Akan lebih memerlukan waktu relatif lama untuk mengamplifikasi minimal 30-40
siklus

Keuntungan teknik PCR


1. Porgram PCR relatif lebih mudah dilaksanakan
2. Terdapat PCR mix solution pabrikan yang tidak memerlukan pencampuran oleh user
3. oligonuklueotide dapat dipesan langsung pada perusahaan penyedia primer PCR.

Kerugian teknik RFLP


1. Memerlukan analisis RE untuk menentukan gen traget yang akan di potong
2. User harus mengetahui sisi sequens pemotongan oleh enzim RE
3. RE harus dalam keadaan yang masih baik, dan tidak rusak

Keuntungan RFLP
1. Dapat melakukan analisis gen Polimorfisme pada sutu spesies dan lebih akurat
daripada PCR
2. Biasanya dipergunakan secara luas dalam analisis bidang molekuler botani.

BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Secara umum PCR berfungsi untuk melakukan kopi pada DNA target berdasarkan primer
yang digunakan. Hasil Elektroforesis dari PCR menunjukkan bahwa hampir tidak
terdapat band DNA yang muncul pada film polaroid hasil UV transluminator, hal ini
disebabkan karena: pipetting yang dilaksanakan pada pencampuran larutan pcr mix pada
thin wall, komposisi larutan pada thin wall yang tidak seimbang, serta kurang
bercampurnya larutan pada thin wall PCR.
5.2 Saran
Sebaiknya pada praktikum kali ini, asisten menyediakan software-software untuk
melakukan sekuensing, menentukan sisi pemotongan RE, serta untuk mendesain primer.
Software tersebut bisa di download dari internet secara gratis misal GENtle.

DAFTAR PUSTAKA

Bowen, R. 2000. Isolation of DNA from Agarosa and Polyacrylamide Gels.


http://www.wfcc.nig.ac.jp.
Brown, T. A. 2003. Pengantar Kloning Gen. Editor Prof. Soemanti Ahmad Muhammad
Praseno. Yayasan Essentia Medica. Yogyakarta
Clark, D. P. 2005. Molecular Biology : Understanding the Genetic Evolution. Elsevier
Inc. California. Halaman 565 - 574
Clark, D.P. dan L.D. Russel. 2005. Molecular Biology : Made Simple and Fun. Third
Edition. Cache River Press. St. Louis.
David Ng. 2005. Molecular Technique Lecture Note 2005. http://www.biotech ubc.ca.
Tanggal akses 3 Maret 2007
Eavier. 1999. Principle of the PCR. http://users.ugent.be/ %7Eavierstr/. Tanggal akses 3
Maret 2007
Fermentas. 2004. Protocol for PCR with Taq DNA Polymerase. http://fermentas.com.
Tanggal akses 3 Maret 2007
Fester. N. 2005. PCR Lab. http://www.dnalc.org /shockwave/ pcranwhole.html. Tanggal
akses 3 Maret 2007
Henegariu, O. 2005. Polymerase Chain Reaction.
http://info.med.yale.edu/genetics/ward/taxi/pog.html. Tanggal akses 3 Maret 2007
Innis, A., D. H. Gelfand, dan J. J. Suinsky. 1999. PCR Aplications : Protocols for
Functional Genomics. Academic Press. San Diego
Innis, M.A. dan D. H. Gelfand. 1990. PCR Protocols. Academic Press, New York.
Halaman 3-12
Lairmore, W. 1990. PCR: an outstanding method.. http://
www.nobel.se/chemistry/laureates/1993/mullis-lecture.html. Tanggal akses 3 Maret 2007
Mullis. 1993. DNA & PCR. http:// www. science-projects.com /onionDNA.htm. Tanggal
akses 3 Maret 2007
Prescott, L. M., J. P. Harley, D. A. Klein. 2003. Microbiology, Fifth Edition. McGraw
Hil. New York. 1026 halaman.
Rybicky, E. 2001. PCR Primer Design and Reaction Optimalization.
http://www.meb.vct.ac.2a/ed.htm. Tanggal akses 3 Maret 2007
Sambrook, J dan D. W. Russel. 2001. Molecular Cloning : A Laboratory Manual Volume
2. Cold Spring Harbor Laboratory Press. New York
The American Heritage. 2000. Polymerase Chain Reaction. Houghton Mifflin Company.
New York
Tissue, B. M. 1999. Electrophoresis. http://elchem.kaist.ac.kr/ vt/ chem
-ed/sep/electrop/disc-el.htm. Tanggal akses 3 Maret 2007
Van Fleteren, J. 1999. Principle of the PCR.
http://allsevv.org.ac.be/mariester/principles/pcr.html. Tanggal akses 3 Maret 2007
Viers, H. 1999. DNA Purification and Analysis. http://users.ugent.be
/~avierstr/index.html. Tanggal akses 3 Maret 2007
Warden, W. 2002. DNA Analysis by Agarose Gel Electrophoresis.
http://biology.arizona.edu /sciconn /lessons2 /lessons .html. Tanggal akses 3 Maret 2007
Wolf, J. B. 2003. Beginning Molecular Biology Laboratory Manual : PCR Amplification
of DNA. http://www.umbc.edu/biosci /graduate/amb.html. Tanggal akses 3 Maret 2007

Tentu Anda sudah mengenal yang namanya DNA. DNA ini sering disebut-sebut terutama
berkaitan dengan kriminalitas, diagnosa penyakit, penentuan ‘keabsahan’ keturunan, dll.
Mungkin Anda bingung bagaimana caranya polisi bisa mengungkap pelaku kejahatan
dengan berbekal sehelai rambut pelaku yang tercecer di TKP, atau dari tetesan sperma
pemerkosa yang mengering di tubuh korban. Padahal kan sampel yang dianalisa
jumlahnya sangat sedikit, ajaib!

Ternyata hal ini gak lepas dari yang namanya PCR alias Polymerase Chain Reaction.
Proses yang berlangsung secara in vitro dalam tabung reaksi sebesar 200 µl ini mampu
menggandakan atau mengkopi DNA hingga miliaran kali jumlah semula. Maka pantes
aja dengan berbekal DNA yang terkandung dalam sampel yang cuma secuil itu bisa
diperoleh banyak sekali informasi sesuai kebutuhan kita.

Reaksi PCR meniru reaksi penggandaan atau replikasi DNA yang terjadi dalam makhluk
hidup. Secara sederhana PCR merupakan reaksi penggandaan daerah tertentu dari DNA
cetakan (template) dengan batuan enzim DNA polymerase.

PCR terdiri atas beberapa siklus yang berulang-ulang, biasanya 20 sampai 40 siklus. Nah,
sekarang bayangkan bahwa pada setiap siklus DNA polymerase akan menggandakan
DNA sebanyak 2 kali, dan coba hitung berapa salinan utas ganda DNA yang akan
dihasilkan setelah 30 siklus? Yup, 2 pangkat 30 alias 1.073.741.824 kali! Tentu saja
nilainya tidak tepat seperti itu, kita masih harus memperhitungkan efisiensi reaksi, tapi
tetap saja hasilnya akan sangat banyak.

Sumber:
http://users.ugent.be/~avierstr/principles/pcrcopies.gif
Sumber: http://users.ugent.be/~avierstr/principles/pcrcopies.gif
Komponen PCR

Selain DNA template yang akan digandakan dan enzim DNA polymerase, komponen lain
yang dibutuhkan adalah:

Primer

Primer adalah sepasang DNA utas tunggal atau oligonukleotida pendek yang
menginisiasi sekaligus membatasi reaksi pemanjangan rantai atau polimerisasi DNA. Jadi
jangan membayangkan kalau PCR mampu menggandakan seluruh DNA bakteri E. coli
yang panjangnya kira-kira 3 juta bp itu. PCR hanya mampu menggandakan DNA pada
daerah tertentu sepanjang maksimum 10000 bp saja, dan dengan teknik tertentu bisa
sampai 40000 bp. Primer dirancang untuk memiliki sekuen yang komplemen dengan
DNA template, jadi dirancang agar menempel mengapit daerah tertentu yang kita
inginkan.

dNTP (deoxynucleoside triphosphate)

dNTP alias building blocks sebagai ‘batu bata’ penyusun DNA yang baru. dNTP terdiri
atas 4 macam sesuai dengan basa penyusun DNA, yaitu dATP, dCTP, dGTP dan dTTP.

Buffer

Buffer yang biasanya terdiri atas bahan-bahan kimia untuk mengkondisikan reaksi agar
berjalan optimum dan menstabilkan enzim DNA polymerase.

Ion Logam

• Ion logam bivalen, umumnya Mg++, fungsinya sebagai kofaktor bagi enzim DNA
polymerase. Tanpa ion ini enzim DNA polymerase tidak dapat bekerja.
• Ion logam monovalen, kalsium (K+).
Tahapan Reaksi

Sumber:
http://users.ugent.be/~avierstr/principles/pcrsteps.gif
Sumber: http://users.ugent.be/~avierstr/principles/pcrsteps.gif

Setiap siklus reaksi PCR terdiri atas tiga tahap, yaitu:

Denaturasi

Denaturasi dilakukan dengan pemanasan hingga 96oC selama 30-60 detik. Pada suhu ini
DNA utas ganda akan memisah menjadi utas tunggal.

Annealing

Setelah DNA menjadi utas tunggal, suhu diturukan ke kisaran 40-60oC selama 20-40
detik untuk memberikan kesempatan bagi primer untuk menempel pada DNA template di
tempat yang komplemen dengan sekuen primer.

Ekstensi/elongasi
Dilakukan dengan menaikkan suhu ke kisaran suhu kerja optimum enzim DNA
polymerase, biasanya 70-72oC. Pada tahap ini DNA polymerase akan memasangkan
dNTP yang sesuai pada pasangannya, jika basa pada template adalah A, maka akan
dipasang dNTP, begitu seterusnya (ingat pasangan A adalah T, dan C dengan G, begitu
pula sebaliknya). Enzim akan memperpanjang rantai baru ini hingga ke ujung. Lamanya
waktu ekstensi bergantung pada panjang daerah yang akan diamplifikasi, secara kasarnya
adalah 1 menit untuk setiap 1000 bp.

Selain ketiga proses tersebut biasanya PCR didahului dan diakhiri oleh tahapan berikut:

Pra-denaturasi

Dilakukan selama 1-9 menit di awal reaksi untuk memastikan kesempurnaan denaturasi
dan mengaktifasi DNA Polymerase (jenis hot-start alias baru aktif kalau dipanaskan
terlebih dahulu).

Final Elongasi

Biasanya dilakukan pada suhu optimum enzim (70-72oC) selama 5-15 menit untuk
memastikan bahwa setiap utas tunggal yang tersisa sudah diperpanjang secara sempurna.
Proses ini dilakukan setelah siklus PCR terakhir

PCR dilakukan dengan menggunakan mesin Thermal Cycler yang dapat menaikkan dan
menurunkan suhu dalam waktu cepat sesuai kebutuhan siklus PCR. Pada awalnya orang
menggunakan tiga penangas air (water bath) untuk melakukan denaturasi, annealing dan
ekstensi secara manual, berpindah dari satu suhu ke suhu lainnya menggunakan tangan.
Tapi syukurlah sekarang mesin Thermal Cycler sudah terotomatisasi dan dapat diprogram
sesuai kebutuhan.

Aplikasi teknik PCR

Kita harus berterima kasih kepada Kary B Mullis yang telah menemukan dan
mengaplikasikan PCR pada tahun 1984. Saat ini PCR sudah digunakan secara luas untuk
berbagai macam kebutuhan, diantaranya:

Isolasi Gen

Kita tahu bahwa DNA makhluk hidup memiliki ukuran yang sangat besar, DNA manusia
saja panjangnya sekitar 3 miliar basa, dan di dalamnya mengandung ribuan gen. Oh ya,
gen itu apaan ya?

Sebagaimana kita tahu bahwa fungsi utama DNA adalah sebagai sandi genetik, yaitu
sebagai panduan sel dalam memproduksi protein, DNA ditranskrip menghasilkan RNA,
RNA kemudian diterjemahkan untuk menghasilkan rantai asam amino alias protein. Dari
sekian panjang DNA genome, bagian yang menyandikan protein inilah yang disebut gen,
sisanya tidak menyandikan protein atau disebut ‘junk DNA’, DNA ‘sampah’ yang
fungsinya belum diketahui dengan baik.

Kembali ke pembahasan isolasi gen, para ahli seringkali membutuhkan gen tertentu untuk
diisolasi. Sebagai contoh, dulu kita harus mengekstrak insulin langsung dari pancreas
sapi atau babi, kemudian menjadikannya obat diabetes, proses yang rumit dan tentu saja
mahal serta memiliki efek samping karena insulin dari sapi atau babi tidak benar-benar
sama dengan insulin manusia.

Berkat teknologi rekayasa genetik, kini mereka dapat mengisolasi gen penghasil insulin
dari DNA genome manusia, lalu menyisipkannya ke sel bakteri (dalam hal ini E. coli)
agar bakteri dapat memproduksi insulin juga [http://www.littletree.com.au/dna.htm]. Dan
ajaib! Hasilnya insulin yang sama persis dengan yang dihasilkan dalam tubuh manusia,
dan sekarang insulin tinggal diekstrak dari bakteri, lebih cepat, mudah, dan tentunya lebih
murah ketimbang cara konvensional yang harus ‘mengorbankan’ sapi atau babi.

Nah, untuk mengisolasi gen, diperlukan DNA pencari atau dikenal dengan nama ‘probe’
yang memiliki urutan basa nukleotida sama dengan gen yang kita inginkan. Probe ini bisa
dibuat dengan teknik PCR menggunakan primer yang sesuai dengan gen tersebut.

DNA Sequencing

Urutan basa suatu DNA dapat ditentukan dengan teknik DNA Sequencing, metode yang
umum digunakan saat ini adalah metode Sanger (chain termination method) yang sudah
dimodifikasi menggunakan dye-dideoxy terminator, dimana proses awalnya adalah reaksi
PCR dengan pereaksi yang agak berbeda, yaitu hanya menggunakan satu primer (PCR
biasa menggunakan 2 primer) dan adanya tambahan dideoxynucleotide yang dilabel
fluorescent. Karena warna fluorescent untuk setiap basa berbeda, maka urutan basa suatu
DNA yang tidak diketahui bisa ditentukan.

Forensik

Identifikasi seseorang yang terlibat kejahatan (baik pelaku maupun korban), atau korban
kecelakaan/bencana kadang sulit dilakukan. Jika identifikasi secara fisik sulit atau tidak
mungkin lagi dilakukan, maka pengujian DNA adalah pilihan yang tepat. DNA dapat
diambil dari bagian tubuh manapun, kemudian dilakukan analisa PCR untuk
mengamplifikasi bagian-bagian tertentu DNA yang disebut fingerprints alias DNA sidik
jari, yaitu bagian yang unik bagi setiap orang. Hasilnya dibandingkan dengan DNA sidik
jari keluarganya yang memiliki pertalian darah, misalnya ibu atau bapak kandung. Jika
memiliki kecocokan yang sangat tinggi maka bisa dipastikan identitas orang yang
dimaksud.

Konon banyak kalangan tertentu yang memanfaatkan pengujian ini untuk menelusuri
orang tua ‘sesungguhnya’ dari seorang anak jika sang orang tua merasa ragu.

Diagnosa Penyakit
Penyakit Influenza A (H1N1) yang sebelumnya disebut flu babi sedang mewabah saat
ini, bahkan satu fase lagi dari fase pandemi. Penyakit berbahaya seperti ini memerlukan
diagnosa yang cepat dan akurat.

PCR merupakan teknik yang sering digunakan. Teknologi saat ini memungkinkan
diagnosa dalam hitungan jam dengan hasil akurat. Disebut akurat karena PCR
mengamplifikasi daerah tertentu DNA yang merupakan ciri khas virus Influenza A
(H1N1) yang tidak dimiliki oleh virus atau makhluk lainnya.

Masih banyak aplikasi PCR lainnya yang sangat bermanfaat. Maka tak salah panitia
Nobel menganugrahkan hadiah Nobel bidang kimia yang bergengsi ini kepada Kary B
Mullis hanya 9 tahun setelah penemuannya (1993).

A. Prinsip dasar PCR


Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan salah satu metode untuk mengidentifikasi
penyakit infeksi. Metode ini dikembangkan untuk mengatasi kelemahan metode
diagnosis konvensional seperti imunologi dan mikrobiologi. Teknik PCR didasarkan pada
amplifikasi fragmen DNA spesifik di mana terjadi penggandaan jumlah molekul DNA
pada setiap siklusnya secara eksponensial dalam waktu yang relatif singkat. Proses ini
dapat dikelompokkan dalam tiga tahap berurutan yaitu denaturasi templat, annealing
(penempelan) pasangan primer pada untai DNA target dan extension (pemanjangan atau
polimerisasi), sehingga diperoleh amplifikasi DNA antara 108 – 109 kali (Retnoningrum,
1997).

B. Proses dalam PCR


Polymerase Chain Reaction (PCR) terdiri dari tiga proses, yaitu:
1. Denaturasi
Newton and Graham (1997) dalam Rohmy (2001), menyatakan bahwa denaturasi
merupakan proses memisahkan DNA menjadi utas tunggal. Tahap denaturasi DNA
biasanya dilakukan pada kisaran suhu 92 – 95 oC. Denaturasi awal dilakukan selama 1 –
3 menit diperlukan untuk meyakinkan bahwa DNA telah terdenaturasi menjadi untai
tunggal.
Denaturasi yang tidak berlangsung secara sempurna dapat menyebabkan utas DNA
terputus. Tahap denaturasi yang terlalu lama dapat mengakibatkan hilangnya aktivitas
enzim polimerase (Lisdiyanti, 1997 dalam Rohmy 2001).
2. Annealing
Merupakan proses penempelan primer. Tahap annealing primer merupakan tahap
terpenting dalam PCR, karena jika ada sedikit saja kesalahan pada tahap ini maka akan
mempengaruhi kemurnian dan hasil akhir produk DNA yang diinginkan. Faktor yang
mempengaruhi tahap ini antara lain suhu annealing dan primer. Suhu annealing yang
terlalu rendah dapat mengakibatkan timbulnya pita elektroforesis yang tidak spesifik,
sedangkan suhu yang tinggi dapat meningkatkan kespesifikan amplifikasi (Saiki et al.,
1988 dalam Rohmy, 2001).
Kenaikan suhu setelah tahap annealing hingga mencapai 70–74 oC bertujuan untuk
mengaktifkan enzim TaqDNA polimerase. Proses pemanjangan primer (tahap extension)
biasanya dilakukan pada suhu 72 oC, yaitu suhu optimal untuk TaqDNA polimerase.
Selain itu, pada masa peralihan suhu dari suhu annealing ke suhu extension sampai 70 oC
juga menyebabkan terputusnya ikatan-ikatan tidak spesifik antara DNA cetakan dengan
primer karena ikatan ini bersifat lemah. Selain suhu, semakin lama waktu extension maka
jumlah DNA yang tidak spesifik semakin banyak (Saiki et al., 1988 dalam Rohmy,
2001).
3. Extension
Merupakan proses pemanjangan DNA. Dalam tahap extension atau sintesis DNA, enzim
polimerase bergabung bersama dengan nukleotida dan pemanjangan primer lengkap
untuk sintesis sebuah DNA utas ganda. Reaksi ini akan berubah dari satu siklus ke siklus
selanjutnya mengikuti perubahan konsentrasi DNA (Hsu et al., 1996 dalam Wahyudi,
2001).
Hasil sintesa DNA dalam satu siklus dapat berperan sebagai cetakan (template) pada
siklus berikutnya sehingga jumlah DNA target menjadi berlipat dua pada setiap akhir
siklus. Dengan kata lain DNA target meningkat secara eksponensial, sehingga setelah 30
siklus akan menjadi milyaran amplifikasi DNA target. Selanjutnya, DNA virus yang telah
berlipat ganda jumlahnya dapat dideteksi dengan elektoforesis sel agarosa. Setelah
diwarnai dengan Ethidium Bromida (ETBr), hasil elektroforesis yang berupa band RNA
dapat dilihat dengan UV transluminator dan diabadikan dengan kamera polaroid (Sunarto
dkk, 2004).
Uji PCR untuk mendeteksi keberadaan virus dilakukan di laboratorium dengan
pengambilan sampel udang Vannamei dari tambak budidaya. Sampel udang Vannamei
yang diambil tersebut selanjutnya dilakukan pemotongan bagian insang, kaki renang
(pleopoda), atau cairan hemolim. Sampel yang akan diuji PCR sebaiknya dalam kondisi
segar, tetapi bila tidak memungkinkan, sampel dapat disimpan dalam larutan alkohol
95% dengan perbandingan 1 : 9 (1 bagian sampel dengan 9 bagian alkohol 95%). Hal ini
bertujuan untuk mencegah terjadinya kerusakan DNA/RNA (Haliman dan Adijaya,
2005).
Menurut Haliman dan Adijaya (2005), secara umum uji PCR di laboratorium dilakukan
dengan tahapan-tahapan sebagai berikut:
1. DNA dari sel-sel sampel diekstraksi dengan larutan lysis buffer (IQ2000TM). Lysis
buffer (IQ2000TM) juga berfungsi untuk mengamankan hasil ekstraksi dari kerusakan
akibat kerja enzim dNase. Hasil ekstraksi DNA di-sentrifus hingga diperoleh butiran atau
pelet DNA. Sementara untuk mengekstraksi RNA digunakan RNA ekstraction solution
(IQ2000TM). RNA ekstraction solution (IQ2000TM) juga berfungsi mengamankan RNA
dari kerusakan akibat kerja enzim rNase.
2. Hasil ekstraksi DNA pada tahap pertama digandakan dengan bantuan enzim-enzim
yang dikenal sebagai primer. Satu jenis primer bertanggung jawab atas penggandaan satu
jenis DNA tertentu sehingga primer satu jenis virus hanya dapat digunakan untuk deteksi
virus tersebut saja. Proses penggandaan ini dikenal sebagai proses amplifikasi. Proses
tersebut dilakukan pada kondisi suhu dan siklus penggandaan tertentu, yang dapat diatur
pada mesin PCR (thermocycle). Proses ini disebut dengan reaksi rantai polimerase
(polymerase chain reaction, PCR) karena merupakan siklus penggandaan yang berulang
sehingga kegiatan ini seolah-olah merupakan suatu proses reaksi berantai.
3. Hasil uji PCR selanjutnya digunakan pada tahap ketiga, yaitu proses elektroforesis.
Dengan bantuan buffer TAE atau TBE, DNA yang telah diklon pada tahap kedua
dimasukkan ke dalam lubang-lubang kecil yang terdapat pada lempengan agar agarose
2%. Hasil proses elektroforesis akan menampilkan pita-pita DNA yang letaknya tersebar,
tergantung pada berat molekulnya. Pita-pita DNA kemudian dibandingkan dengan posisi
pita-pita pada lajur penanda DNA (DNA marker). Dari hasil proses elektroforesis ini
dapat disimpulkan status sampel, terinfeksi virus atau bebas dari virus.
Keberhasilan pengujian sampel dengan metode PCR dipengaruhi oleh beberapa hal,
seperti faktor kontaminasi silang, umur reagen atau enzim yang dipakai, jumlah enzim
yang dipakai, ketelitian saat poses ekstraksi, serta kondisi larutan buffer dan larutan
etidium bromida yang dipakai. Agar kontaminasi silang dapat dihindarkan, sebaiknya
operator pengujian PCR harus benar-benar terlatih dan teliti (Haliman dan Adijaya,
2005).

Daftar Pustaka
Haliman, R.W. dan Adiwijaya, D. 2005. Udang Vannamei, Pembudidayaan dan Prospek
Pasar Udang Putih yang Tahan Penyakit. Penebar Swadaya. Jakarta
Retnoningrum, D.S. 1997. Penerapan Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk Diagnosis
Penyakit Infeksi. Jurusan Farmasi FMIPA ITB. Bandung.
Rohmy, S. 2001. Keberhasilan Penggunaan Primer Spesifik DNA Mitokondria (mtDNA)
Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus) pada Beberapa Ikan Budidaya dengan Metode
PCR (Polymerase Chain Reaction). Skripsi. Program Studi Budidaya Perairan. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Sunarto, Agus, Taukhid, Isti Koesharyani, Akhmad Rukyani. 2004. Prosedur PCR untuk
diagnosa Cepat Penyakit Bercak Putih pada Udang. www. Disketkanling.go.id
Wahyudi, H. T. 2001. Pengaruh Suhu Annealing dan Jumlah Siklus yang Berbeda pada
Program PCR Terhadap Keberhasilan Isolasi dan Amplifikasi mtDNA Ikan Patin
(Pangasius hypophthalmus). Skripsi. Program Studi Budidaya Perairan. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor

You might also like