You are on page 1of 10

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Islam sebagai agama mempunyai makna bahwa Islam memenuhi tuntutan kebutuhan

manusia di mana saja berada sebagai pedoman hidup baik bagi kehidupan duniawi maupun bagi

kehidupan sesudah mati. Dimensi ajaran Islam memberikan aturan bagaimana caranya

berhubungan dengan Tuhan atau Khaliqnya, serta aturan bagaimana caranya berhubungan

dengan sesama makhluq, termasuk di dalamnya persoalan hubungan dengan alam sekitar atau

lingkungan hidup. Dalam perkembangan selanjutnya, dalam mengemban tugas ini, manusia

memerlukan suatu tuntunan dan pegangan agar dalam mengolah alam ini mempunyai arah yang

jelas dan tidak bertentang dengan kehendak Allah SWT. Islam sebagai ajaran agama yang

diturunkan oleh Allah SWT. kepada umat manusia melalui Rasul-Nya adalah satu pegangan dan

tuntunan bagi manusia itu sendiri dalam mengarungi kehidupan ini.

Alloh SWT mengutus para Nabi dan Rosul-Nya kepada ummat manusia untuk memberi

petunjuk kepada jalan yang lurus dan benara agar mereka bahagia dunia dan akhirat. Rosululloh

lahir ke dunia ini dengan membawa risalah Islam, petunjuk yang benar. Hukum Syara’ adalah

khitab Syari’ (seruan Alloh sebagai pembuat hukum) baik yang sumbernya pasti (qath’i tsubut)

seperti Al-Qur’an dan As Sunnah, maupun ketetapan yang sumbernya masih dugaan kuat (zanni

tsubut) seperti hadits yang bukan tergolong mutawatir.

Dengan latar belakang di atas maka penulis mencoba memaparkan tentang pengertian As

Sunnah, kedudukan dan fungsinya terhadap Al Qur’an.

1
1.2. Runusan Masalah

1. Apa pengertian dari As Sunnah ?


2. Bagaimana kedudukan As Sunnah dalam Islam ?
3. Apa fungsi As Sunnah terhadap Al Qur’an ?

1.3. Tujuan

1. Agar kita dapat mengetahui tentang As Sunnah.


2. Supaya kita mengetahui kedudukan As Sunnah dalam Islam.
3. Agar kita mengetahui fungsi As Sunnah terhadap Al Qur’an

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian As Sunnah
As Sunnah menurut bahasa adalah thariq (jalan) dan sirah (sejarah hidup). Para Ulama
bahasa berselisih pendapat; apakah menurut bahasa pengertian As Sunnah itu hanya terbatas
jalan yang baik (thariq hasanah) ataukah mencakup jalan yang baik maupun yang buruk? Yang
benar ialah bahwa menurut bahasa, As Sunnah adalah thariq (jalan) yang baik maupun yang
buruk. Di antara hal-hal yang menunjukan pengertian ini adalah hadits Nabi Shalallahu’alaihi
wa salam.
Al-Mundzir bin Jarir menceritakan dari ayahnya Jarir bin Abdillah Radhiallahu’anhu,
bahwasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam pernah bersabda:

.‫ص ِم ْن أُ ُج>>وْ ِر ِه ْم َش> ْي ٌء‬َ ُ‫>ر أَ ْن يَ ْنق‬ َ >‫َم ْن َس َّن فِي ْا ِإل ْسالَ ِم ُسنَّةً َح َسنَةً فَلَهُ أَجْ ُرهَا َوأَجْ> ُر َم ْن َع ِم‬
ِ >‫ ِم ْن َغ ْي‬،ُ‫>ل بِهَ>>ا بَ ْع> َده‬
ِ ْ‫ص ِم ْن أَو‬
‫زَار ِه ْ>م‬ َ ُ‫و َم ْن َس َّن فِي ْا ِإل ْسالَ ِم ُسنَّةً َسيِّئَةً َكانَ َعلَ ْي ِه ِو ْز ُرهَا> َو ِو ْز ُ>ر َم ْن َع ِم َل بِهَا ِم ْن بَ ْع ِد ِه ِم ْن َغي ِْر أَ ْن يَ ْنق‬
‫َش ْي ٌء‬

“Siapa yang melakukan satu sunnah hasanah dalam Islam, maka ia mendapatkan
pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya tanpa
mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan siapa yang melakukan satu sunnah sayyiah
dalam Islam, maka ia mendapatkan dosanya dan dosa orang-orang yang mengamalkan sunnah
tersebut setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.”(HR. Muslim).

Sedangkan Menurut Istilah terjadi perbedaan antara Ahli Hadist, Ahli Ushul fiqh, dan
Ahli fiqh. Yakni sebagai berikut :

Menurut Ahli hadist, As Sunnah adalah perkataan, perbuatan, pengakuan atau perjalanan
yang bersumber dari Rasulullah SAW., baik sebelum atau kenabian (bi’stah). Pengertian itu
didasarkan pada peran Nabi sebagai panutan yang harus diikuti (imam al hadi).

Menurut Ahli Ushul fiqh, mereka berpendapat bahwa As Sunnah adalah perkataan,
perbuatan, pengakuan atau perjalanan yang bersuimber dari Nabi Muhammad SAW., dan dapat
menjadi dasar hukum syar’I. pengertian itu didasarkan pada peran Nabi sebagai orang yang
berhak menetapkan hokum syar (musyarri).

Para ahli fiqh mengemukakan bahwa As Sunnah adalah perkataan, perbuatan, pengakuan
atau perjalanan yang bersumber dari Rasulullah SAW. yang tidak termasuk kedalam hokum
fardhu atau wajib. Pengertian itu di dasarkan pada peran Nabi sebagai contoh atau teladan
(uswah).

Pengertian yang paling luas dari pengertian tiga di atas, adalah pengertian yang di
kemukakan oleh ahli hadist, karena ia mencakup perkataan, perbuatan, pengakuan atau
perjalanan hidup, sebelum ataua sesudah kenabian, dan berupa hokum syar' atau tidak.
Pengertian itu identik dengan hadist.

3
Seperti disebutkan di atas, bahwa definisi ini memuat empat elemen, yaitu perkataan,
perbuatan, pernyataan, dan sifat-sifat lain. Secara lebih jelas dari ke empat elemen tersebut dapat
penulis uraikan sebagai berikut :

1. Perkataan

Yang dimaksud dengan perkataan adalah segala perkataan yang pernah diucapkan oleh Nabi
Muhammad SAW dalam berbagai bidang, seperti bidang syariah, akhlaq, aqidah, pendidikan
dan sebagainya.

2. Perbuatan

Perbuatan adalah penjelasan-penjelasan praktis Nabi Muhammad SAW terhadap peraturan-


peraturan syara’ yang belum jelas teknis pelaksanaannya. Seperti halnya jumlah rakaat, cara
mengerjakan haji, cara berzakar dan lain-lain. Perbuatan nabi yang merupakan penjelas tersbut
haruslah diikuti dan dipertegas dengan sebuah sabdanya.

3. Taqrir

Taqrir adalah keadaan beliau yang mendiamkan atau tidak mengadakan sanggahan dan
reaksi terhadap tindakan atau perilaku para sahabatnya serta menyetujui apa yang dilakukan oleh
para sahabatnya itu.

4. Sifat, Keadaan dan Himmah Rasululloh

Sifat-sifat, dan keadaan himmah Nabi Muhammad SAW adalah merupakan komponen
Hadits yang meliputi :

- Sifat-sifat Nabi yang digambarkan dan dituliskan oleh para sahabatnya dan dan para ahli
sejarah baik mengenai sifat jasmani ataupun moralnya.
- Silsilah (nasab), nama-nama dan tahun kelahirannya yang ditetapkan oleh para
sejarawan.
- Himmah (keinginan) Nabi untuk melaksanakan suatu hal, seperti keinginan beliau untuk
berpuasa setiap tanggal 9 Muharram.

As Sunnah identik dengan hadist, khabar, dan atsar. Menurut ahli hadist, Hadist adalah
perkataan, perbuatan atau pengakuan nabi Muhammad SAW setelah kenabian. Sedangkan ahli
ushul mengemukakan bahwa hadist adalah perkataan Nabi SAW yang bias menjadi dasar
hokum syar'. Menurut ahli hadist, khabar identik dengan hadist, karena keduanya bias mencakup
hadist marfu' (sampai kepada nabi), hadist mauquf (sampai kepada sahabat) dan hadist maqthu'
(sampai kepada tabi'in). dan atsar adalah sesuatu yang di sandarkan kepada sahabat atau tabi'in.

2.2. Kedudukan As Sunnah

Al Qur’an dan sunnah berada dalam satu tingkatan dari sisi I’tibar dan hujjah dalam
penetapan hokum syari’at . Dr. Abdulghani Abdulkholiq dalam kitab Buhutsun Fi Sunnah Al
Musyarafah yang merupakan ringkasan dari kitab ‘ Hujjiyatul Sunnah’ menyatakan: Sungguh
sunnah berada satu tingkatan bersama Al Qur’an dari sisi I’tibar dan kehujjahannya terhadap
4
hokum-hukum syar’I. Penjelasannya sebagai berikut: Sudah dimaklumi, tidak ada perselisihan
bahwa Al Qur’an berbeda dengan sunnah dan lebih utama darinya, karena lafadznya turun
langsung dari Allah, membacanya adalah ibadah dan manusia tidak akan mampu membuat
sesuatu yang seperti Al Qur’an, berbeda dengan sunnah. Sunnah berada dibawahnya dalam
keutamaan dari sisi ini. Namun hal itu tidak mengharuskan perbedaan keduanya dalam hujjah
dengan menyatakan bahwa martabat sunnah dibawah martabat Al Qur’an, sehingga sunnah
ditinggalkan dan hanya Al Qur’an saja yang diamalkan ketika sunnah menentang Al Qur’an. Hal
itu karena kekuatan sunnah sebagai hujjah ada dari tinjauan sebagai wahyu dari Allah. Dengan
demikian sunnah sama dengan Al Qur’an dari tinjauan ini, karena ia semisalnya, sehingga wajib
menerimanya langsung dalam I’tibar. Kemudian menyebut beberapa syubhat orang yang
mengakhirkan sunnah dari Al Qur’an dalam I’tibar yang berhubungan dengan hal ini dan
membantahnya dengan bantahan yang baik.

Memang Sudah menjadi kesepakat dan tidak ada perselisih bahwa Al Qur`an memiliki
keutamaan dari As Sunnah. Al Qur`an memliki keutamaan dari segi lafadznya, dia turun dari sisi
Allah, muta’abadun bitilawatihi, dan merupakan mujizat, sedangkan As Sunnah berbedanya
dengannya. Namun hal itu tidak mengharuskan pengakhiran As Sunnah dalam berhujah
(Ihtijaaj). Sebagimana kita mengimani adanya perbedaan keutamaan diantara surat-surat dan
ayat-ayat dalam Al Qur`an, tapi tidak menunjukan adanya perbedaan dalam derajat hujah.

Kaum muslim sepakat bahwa Hadits merupakan hukum yang kedua setelah Al-Qur’an.
Hal ini berdasarkan kepada kesimpulan yang diperoleh dari dalil-dalil yang memberi petunjuk
tentang kedudukan dan fungsi Hadits. Maka dengan demikian kewajiban umat Islam Hadits
harus dijadikan hukum (hujjah) dalam melaksanakan perintah Al-Qur’an yang masih bersifat
Ijma dan Hadits sebagai penjelas untuk melaksanakannya. Melaksanakan apa yang dicontohkan
oleh Rasululloh SAW berarti mentaati perintah-perintah Alloh.

Di dalam Al Qur’an Allah telah berfirman,

        


           
        

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri
di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah
ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
(An Nisa’:59)

          
    

”Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya
bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras
hukumannya. (Al Hasyr:7)

           
 
5
“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan
Barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi
pemelihara bagi mereka (An Nisa’:80)

Selanjutnya dalam hadits Nabi ditegaskan:

(‫(رواه ابوداود‬.‫تركت فيكم> امرين ماان تمسكتم بهما لن تضلوا> ابد اكتاب هللا وسنة رسوله‬

“Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara atau pusaka, selama kalian berpegang
kepada keduanya, kalian tidak akan tersesat, yaitu Kitabullah (Qur’an) dan sunnah rasul-Nya”
(HR. Abu Daud).

Dari ayat dan hadist di atas maka jelaslah bahwa Selain Al Qur’an, As Sunnah juga
merupakan sumber hokum syari’at seperti halnya Al Qur’an. Karena selain kita taat kepada
Allah SWT. Kita juga diharuskan untuk taat kepada Rosulullah SAW. Bahkan taat kepada Rasul
merupakan keharusan yang berdiri sendiri.

2.3. Fungsi As Sunnah terhadap Al Qur’an

Menetapkan hukum yang terdapat di dalam al-Qur’an bertujuan untuk menunjukkan


bahwa masalah-masalah yang terdapat di dalam al-Qur’an dan as-sunnah itu sangat penting
untuk diimani, dijalankan dan dijadikan pedoman dasar oleh setiap muslim.

Menempati posisi kedua setelah al-Qur’an, as-sunnah memiliki fungsi sebagai bayan
atau penafsir yang dapat mengungkapkan tujuan dari al-Qur’an. Adapun penjelasan-penjelasan
as-sunnah terhadap al-Qur’an diantaranya:

1. Bayan tafshil

Yang dimaksud bayan tafshil ialah, bahwa as-sunnah itu menjelaskan atau memperinci ke-
mujmal-an al-Qur’an, karena al-Qur’an bersifat mujmal (global) maka agar dia dapat berfungsi
kapan saj adan dalam keadaan apa saja diperlukan perincian, dari situ fungsi sunnah sangat
diperlukan.

Contoh fungsi as-sunnah sebagai bayan tafshil yaitu masalah perintah shalat, mengeluarkan
zakat, melaksanakan haji dan qishash. Perintah untuk melakukan hal-hal di atas, secara
gamblang dapat terdapat di dalam al-Qur’an. Namun teknik operasional dari hal-hal tersebut
tidak dijelaskan dalam al-Qur’an, akan tetapi didapati dalam as-sunnah.

Dalam permasalahan shalat misalnya, wa aqimu shalat (dirikanlah shalat) merupakan


perintah oleh Allah kepada manusia untuk melaksanakan shalat, bahkan menurut para ulama,
kalimat tersebut merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan tetapi tata cara dan bilangan
rakaatnya tidak diperjelas dalam al-Qur’an, oleh sebab itu muncullah hadits yang menjelaskan
bagaimana pelaksanaan shalat, sebagaimana hadits:

6
‫صلواكماء أيتموني> اصلى‬

”Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku mengerjakan shalat”

Begitu pula hal-hal yang berkenaan dengan shalat, misalnya shalatnya orang yang muqim,
bepergian, dalam keadaan perang, dalam keadaan sakit, maupun yang lainnya. Secara syarat,
rukun serta praktek pelaksanaannya, semua dijelaskan oleh Rasulullah.

2. Bayan takhsish

Selain bersifat umum mujmal (global), al-Qur’an juga memiliki ayat-ayat yang bersifat
umum, dari sini fungsi as-sunnah yakni mengususkan. Perbedaannya dengan bayan tafshil ialah
kalau bayan tafshil, sunnah berfungsi sebagai penjelas yang kelihatan tidak ada pertentangan,
sedangkan pada bagian takhsish ini di samping as-sunnah sebagai bayan, juga antara al-Qur’an
dan as-sunnah secara lahiriah nampak ada pertentangan.

Contoh sunnah yang mentakhsishkan al-Qur’an:

a) Dalam al-Qur’an dikatakan bahwa setiap orang dihalalkan menikahi wanita-wanita bahkan
juga berpoligami, tetapi dalam hadits dikatakan:

(‫التبمع بين المرأ وعمتها والبين المرأة وخالتها (منفق عليه‬


”Tidak boleh seorang mengumpulkan (memadu) seorang wanita dengan ’ammeh (saudara
bapaknya), dan seorang wanita dengan khalah (saudara ibu)nya”.

Dan juga dalam hadits :

.‫ان هللا حرم من الرضاعة ماحرم من النس‬

”Sesungguhnya Allah mengharamkan mengawani seseorang karena sepersusuan,


sebagaimana halnya Allah telah mengharamkannya karena senasab”.(HR.Bukhori Muslim).

Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa al-Qur’an mengemukakan hukum atau aturan-
aturan yang bersifat umum, yang kemudian dikhususkan dengan as-sunnah.

b) Dalam al-Qur’an dikatakan bahwa anak-anak dapat mewarisi orang tuanya dan keluarganya,
hal itu berada dalam surat an-Nisa ayat 11:

‫صي ُك ُ>م هَّللا ُ فِي أَوْ ال ِد ُك ْ>م لِل َّذ َك ِر ِم ْث ُل َحظِّ األ ْنثَيَ ْي ِن‬
ِ ‫يُو‬
“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu.Yaitu :
bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan”.

7
Ayat tersebut menjelaskan bahwa setiap anak berhak mendapat harta pusaka (ahli waris) dan
bagian laki-laki dua kali bagian anak perempuan, kemudian ayat ini dikhususkan dengan sunnah
yang berbunyi:

.‫ال يرث المسلم الكافروالالكافرالمسلم‬

”Seorang muslim tidak boleh mewarisi harta si kafir dan si kafir pun tidak boleh mewarisi
harta si muslim”.(HR.Jama’ah)

Begitu juga dalam hadits:

(‫اليرث القاتل من المقتول شيعا (رواه النساى‬

”Seorang pembunuh tidak mewarisi harta orang yang dibunuh”.

3. Bayan ta’yin

Definisi bayan ta’yin ialah bahwa as-sunnah berfungsi menentukan mana yang dimaksud
diantara dua atau tiga perkara yang mungkin dimaksudkan oleh al-Qur’an.
Seperti diketahui, dalam al-Qur’an banyak ayat atau lafal yang memiliki berbagai kemungkinan
arti atau makna, oleh karena itu bayan ta’yin berperan dalam hal ini.

Contoh dalam kasus ini, di dalam al-Qur’an dikatakan bahwa perempuan-perempuan yang
dicerai menunggu masa iddahnya sampai tiga kali quru’. Lafal quru’ dalam ayat yang berbunyi:

Ini mempunyai arti haid dan suci. Oleh karena itu, apakah yang dimaksud ayat tersebut
adalah perempuan yang ditalak itu tiga kali atau tiga kali suci. Masih belum jelas keterangannya
maka pada kasus ini, hadits berperan dalam menentukan waktu yang dimaksud oleh lafal quru’.

Menurut asal lughah, makna harfiahnya, qur’un itu adalah waktu yang dibiasakan (al-waqt
al-mu’tad) sedangkan dalam keterangan yang lain dikatakan bahwa yang dimaksud waktu yang
dibiasakan itu tidak lain kecuali haid.

Untuk menguatkan pendapat tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

a) Iddah itu diketahui dengan tidak adanya kehamilan di rahim, dan hal itu bisa diketahui
dengan adanya haid.

b) Di dalam al-Qur’an, tidak pernah disebutkan sesuatu dengan kalimat atau lafal yang
dianggap tidak sopan, meskipun yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah haid.

c) Terdapat hadits yang menyebutkan bahwa iddah perempuan yang di talak itu dengan 3x
haid.

4. Bayan nasakh

Selain ketiga fungsi di atas, fungsi as-sunnah juga sebagai penjelas ayat yang menasakh
(menghapus) dan mana yang dimansukh (dihapus) yang secara lahiriyah ayat-ayat tersebut.
8
Bayan nasakh ini juga disebut bayan tabdil (pengganti suatu hukum atau menghapusnya).
Seperti hadist tentang larangan wasiat kepada ahli waris, karena mereka telah mendapatkan harta
warisan. Di dalam Al Qur’an di jelaskan

         
       

“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika
ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara
ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa. (Al Baqorah:180)

Sedangkan dalam hadist :

.‫فال و صة لوارث‬
“ Dan janganlah berwasiat kepada ahli waris”.

9
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

1. As Sunnah adalah perkataan, perbuatan, pengakuan atau perjalan yang bersumber dari
rasulullah SAW.

2. As Sunnah identik dengan Hadist, Khabar, dan Atsar.

3. Kedudukan hadist adalah sebagai sumber hukum islam setelah Al Qur’an

4. Fungsi hadist terhadap Al Qur’an adalah sebagi penguat, pembatas atau penjelas, dan
pembuat ketetapan hokum.

3.2. Kritik dan saran.

Dalam membuat makalah ini, tentunya kebenaran adalah dari Allah sedangkan kesalahan
adalah dari manusia. Dan kami adalah manusia biasa, pastilah mempunyai kesalahan. Untuk itu
kami menunggu kritik dan saran pembaca yang bersifat membangun.

10

You might also like