You are on page 1of 59

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Begitu pentingnya pendidikan bagi manusia, karena tanpa adanya

pendidikan sangat mustahil suatu komunitas manusia dapat hidup berkembang

sejalan dengan cita-citanya untuk maju, mengalami perubahan, sejahtera dan

bahagia sebagaimana pandangan hidup mereka. Semakin tinggi cita-cita manusia

semakin menuntut peningkatan mutu pendidikan sebagai sarana pencapaiannya.

Hal ini telah termaktub dalam Al-Qur’an surat al-Mujaadilah ayat 11 :

       


        
       
       

Artinya : Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu:


"Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan
memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka
berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di
antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan
Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Relevan dengan hal tersebut, maka penyelenggaraan pendidikan tidak

dapat dilepaskan dari tujuan yang hendak dicapai. Buktinya dengan

penyelenggaraan pendidikan yang kita alami di Indonesia. Tujuan pendidikan

mengalami perubahan yang terus menerus dari setiap pergantian roda

kepemimpinan. Maka dalam hal ini system pendidikan nasional masih belum

mampu secara maksimal untuk membentuk masyarakat yang benar-benar sadar


akan pendidikan. Melihat fenomena yang terjadi pada saat sekarang ini banyak

kalangan yang mulai melihat system pendidikan pesantren sebagai salah satu

solusi untuk terwujudnya produk pendidikan yang tidak saja cerdik, pandai, lihai,

tetapi juga berhati mulia dan berakhlaqul karimah. Hal tersebut dapat dimengerti

karena memiliki karekteristik yang memungkinkan tercapainya tujuan yang

dimaksud.

Salah satu lembaga pendidikan yang dapat mengembangkan potensi dasar

yang dimiliki oleh individu dan mewujudkan pribadi yang dapat beriman dan

bertaqwa sekaligus melestarikan, mengalihkan dan mentransformasikan nilai-nilai

Islam kepada generasi penerus adalah pondok pesantren. Mastuhu (1999:55)

mengatakan bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk

memahami, menghayati dam mendalami ajaran Islam (tafaqquh fiddin) dengan

menekankan pentingnya moral agama Islam sebagai pedoman hidup.

Dengan menekankan pentingnya moral agama Islam sebagai pedoman

hidup dituntut untuk dapat menciptakan lingkungan yang dapat menantang dan

merangsang santri dalam hal keimanan, aqidah, akhlaq dan ibadah. Tuntutan ini

muncul didasarkan pada lingkungan pondok pesantren yang memiliki pengaruh

terhadap membentuk sikap, kebiasaan dan kedisiplinan santri dalam beribadah.

Namun dalam kegiatan pelaksanaan pendidikannya di pondok pesantren

tentunya tidak lepas dari permasalahan-permasalahan yang dihadapi pondok

pesantren, terutama dalam kegiatan proses pendidikannya, yaitu dalam hal melatih

dalam membaca dan memahami kitab-kitab kuning, yang diberikan kepada para

santri sebagai materi pokok dalam mempelajari ajaran-ajaran Agama Islam.


Pada umumnya, di Pondok-pondok Pesantren Materi yang diajarkan

biasanya menggunakan kitab-kitab kuning, sebagai sumber pelajaran. Sehingga

untuk mempelajarinya dibutuhkan kemampuan untuk membaca kitab-kitab

tersebut, diantaranya ilmu-ilmu yang dipelajari untuk membaca kitab tersebut

diantaranya; ilmu Nahwu, syorof, dan logat (bahasa Arab). Jadi apabila santri

telah mampu membaca kitab kuning, ini berarti mereka telah mampu menguasai

ilmu-ilmu Nahwu dan syorof saja, sedangkan untuk memahaminya mereka harus

menguasi ilmu logat (Bahasa Arab).

Berdasarkan paparan di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan

penelitian tentang Upaya Pondok Pesantren dalam Peningkatkan Mutu di Pondok

Pesantren Al-Istiqlal Kecamatan Sukaluyu Kabupaten Cianjur.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dilakukan Pondok Pesantren dalam peningkatan kemampuan

membaca kitab kuning santri Al-Istiqlal ?

2. Apa faktor penghambat Pondok Pesntren Al-Istiqlal Ciranjang dalam

peningkatan kemampuan Membaca Kitab Kuning ?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui Apa yang dilakukan Pondok Pesantren dalam peningkatan

kemampuan membaca kitab kuning santri Al-Istiqlal Ciranjang.

2. Untuk mengetahui faktor penghambat Pondok Pesntren Al-Istiqlal Ciranjang

dalam peningkatan kemampuan Membaca Kitab Kuning.


D. Manfaat Penelitian

1. Untuk pengelola Pondok Pesantren, hasil penelitian ini merepakan salah satu

petunjuk atau temuan yang dapat dimanfaatkan dalam pengelolaan

pelaksanaan program Pelayanan pendidikan terutama dalam peningkatan mutu

santri, terutama dalam kemampuan membaca kitab kuning.

2. Merupakan masukan bagi para santri, agar mereka dapat mengetahui,

kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam peningkatan mutu santri, terutama

dalam kemampuan membaca kitab kuning.

3. Merupakan alternatif pemecahan masalah yang dihadapi oleh sebagaian

Pondok Pesantren, terutama dalam peningkatan mutu santri di Pondok

Pesantren Al-Istiqlal Ciranjang.

E. Langkah-Langkah Penelitian

1. Menentukan jenis Data Penelitian

Jenis Data, deskriptif berupa kata-kata tertulis, lisan, gambar-gambar atau

dekomen lainnya yang mendukung dalam penelitian. Jadi data yang dihasilkan

tidak berupa angka-angka.

2. Menentukan Sumber Data Penelitian

a. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilaksanakan di Pondok Pesantren Al-Istiqlal yang

beralamat di Jl. Cianjur Ciranjang.

b. Sumber Data
1) Para pengurus Pondok Pesantren atau pimpinan dan para pengajar

2) Para santri Pondok Pesantren Al-Istiqlal Ciranjang

3. Menentukan Metode dan Teknik Pengumpulan Data

a. Metode

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian

Deskriptif dengan pendekatan kualitatif naturalistik, karena penelitian ini

bermaksud untuk mendapatkan gambaran yang sebenarnya mengenai

menejemen Pondok Pesantren dalam meningkatkan kemampuan

membaca kitab kuning.

b. Teknik Pengumpulan Data

1) Wawancara

Wawancara adalah suatu percakapan yang diarahkan dan dipengaruhi

oleh kebiasaan-kebiasaan yang terdapat dalam lingkungan kehidupan

tertentu, yang merupakan proses tanya jawab secara langsung antara

penanya dan pemberi jawaban.ialah untuk mengetahui apa yang

terkandung dalam pikiran dan hati orang lain, dan pandangan tentang

dunianya yaitu hal-hal yang tidak dapat diketahui melalui observasi.

(S. Nasutiion, 1988:73). Adapun wawancara ini ditujukan pada :

a) Pimpinan Pondok Pesantren dan para pengajar, mengenai

menejemen Pondok Pesantren dalam peningkatan kemampuan

membaca kitab kuning, diantaranya kepada K.H. Jalaludin

Mahali.
b) Para santri, tentang pendapat mereka mengenai menejemen

Pondok Pesantren dalam peningkatan kemampuan membaca kitab

kuning.

2) Observasi

Observasi adalah kegiatan pemusatan perhatian terhadap suatu obyek

dengan menggunakan alat indra, serta dalam kegiatan yang sedang

berlangsung di tempat penelitian. Observasi ini dilakukan sebagai

pengumpul data penunjang dalam kegiatan wawancara. Dalam

penelitian ini yang akan di observasi adalah para santri yang sedang

mengikuti pengajian di Pondok Pesantren Al-Istiqlal.

3) Studi Dokumentasi

Studi dokumentasi dalam peneliian ini dimaksudkan untuk

mendukung dan mempertegas data hasil wawancara dan observasi,

terutama data mengenai Menejemen Pondok Pesantren serta data-

data lain yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.

4. Analisis Data

a. Pencatatan awal

Yaitu pencatatan yang dilakukan pada saat berlangsungnya pengumpulan

data baik setelah kegiatan wawancara, observasi maupun studi

dokumentasi dengan jalan mencatat kata-kata kunci yang dimengerti oleh

peneliti. Pada tahap ini masih mentah dan belum diurutkan.

b. Pencatatan Formal dan Lengkap


Yaitu proses pencatatan data yang disusun dan disesuaikan penuturan

catatan yang dibuat di lapangan. Data-data yang masih mentah tadi

selanjutnya dicatat kembali selengkap dan sistematis berdasarkan

rumusan masalah.

Pencatatan ini dilaksanakan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut :

- Mengorganisasikan data. Setelah data terkumpul langkah selanjutnya

adalah mengorganisasikan data sesuai dengan rumusan masalah.

- Mengabstraksikan data ke dalam matrik. Data yang telah

dikelompokkan tadi kemudian dirangkum ke dalam matrik.

Tabel 1
Matrik Rangkuman Data Penelitian

Rumusan Masalah Aspek yang diungkap Instrumen Subjek /Obyek


Penelitian Penelitian
1. Apa yang dilakukan 1.1 prencanaan Wawancara Pimpinan atau
Pondok Pesantren 1.2 pemilihan metode dan observasi pengurus serta
dalam peningkatan 1.3 pemilisan materi santri Al-Istiqlal
kemampuan membaca 1.4 penggunaan sarana
kitab kuning santri. dan prasarana
1.5 pelaksanaan penilaian
1.6 watu pelaksanaan
pengajian
2. Faktor penghambat 2.1 faktor dari dalam
Pondok Pesantren Al- pondok pesantren.
Istiqlal Ciranjang 2.2 Faktor dari luar
dalam dalam Pondok pesantren
peningkatan
kemampuan membaca
kitab kuning.

5. Uji Keabsahan Data


Uji keabsahan data yang dilakukan peneliti adalah mmenggunakan teknik

triangulasi, yaitu teknik pemeriksaan data yang memanfaatkan sesuatu yang

lain di luar data itu untuk pembanding data terhadap data yang didapat.

Teknik Triangulasi yaitu pemeriksaan data yang memanfaatkan data lain

di luar data utama. Menurut Lexy J. Moleong (2007:248) bahwa teknik

triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data memanfaatkan sesuatu

yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai

pembanding terhadap data itu. Berikut ini gambaran pelaksanaan triangulasi

data menejemen Pondok pesantren dalam peningkatan kemampuan santri

membaca kitab kuning.

Teknik Triangulasi DataMenejemen Pondok Pesantren


Dalam peningkatan kemempuan santri membaca kitab kuning

Data utama/pokok Data Pendukung


Wawancara dengan  Wawancara dengan santri.
Pimpinan/pengurus  Observasi terhadap
Pondok Pesantren pelaksanaan pengajian

Dokumentasi

BAB II
TINJAUAN TEORITIS TENTANG MANEJEMEN PESANTREN UNTUK
MENINGKATKAN MUTU SANTRI

A. Menejemen Pesantren

1. Pengertian Pondok Pesantren

a. Pengertian Secara Etimologi

Kata pondok berasal dari funduq (bahasa Arab) yang artinya ruang tidur,

asrama atau wisma sederhana, karena pondok memang sebagai tempat

penampungan sederhana dari para pelajar/santri yang jauh dari tempat asalnya

(Zamahsyari Dhofir, 1982: 18). Menurut Manfred dalam Ziemek (1986) kata

pesantren berasal dari kata santri yang diimbuhi awalan pe- dan akhiran –an

yang berarti menunjukkan tempat, maka artinya adalah tempat para santri.

Terkadang juga dianggap sebagai gabungan kata sant (manusia baik)

dengan suku kata tra (suka menolong), sehingga kata pesantren dapat berarti

tempat pendidikan manusia baik-baik. Sedangkan menurut Geertz pengertian

pesantren diturunkan dari bahasa India Shastri yang berarti ilmuwan Hindu yang

pandai menulis, maksudnya pesantren adalah tempat bagi orang-orang yang

pandai membaca dan menulis.

Dalam buku Pola Pembelajaran di Pesantren (Depag, 2003: 4-5),

disebutkan istilah pesantren berasal dari India, karena adanya persamaan bentuk

antara pendidikan pesantren dan pendidikan milik Hindu dan Budha di India ini

dapat dilihat juga pada beberapa unsur yang tidak dijumpai pada sistem

pendidikan Islam yang asli di Mekkah. Unsur tersebut antara lain seluruh sistem

pendidikannya berisi murni nilai-nilai agama, kiai tidak mendapatkan gaji,


penghormatan yang tinggi kapada guru serta letak pesantren yang didirikan di

luar kota. Data ini oleh sebagian penulis sejarah pesantren dijadikan sebagai

alasan untuk membuktikan asal-usul pesantren adalah karena pengaruh dari

India.

b. Pengertian Secara Terminologis

Pengertian pondok pesantren secara terminologis adalah suatu lembaga

pendidikan agaman Islam yang di dalamnya diajarkan kitab-kitab Islam Klasik

yang biasa disebut kitab kuning, dan para santri tinggal di asrama.

Zamakhsyari Dhofier (1990:44) mengatakan bahwa pondok pesantren

pada dasarnya adalah sebuah asrama pendidikan Islam tradional dimana para

santrinya, tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan seorang guru yang

lebih dikenal dengan sebutan kiayi.

Pondok pesantren juga merupakan lembaga pemasyarakaan yang

membentuk dan membimbing kepribadian masyarakat. Sebagaimana dikatakan

oleh Mustofa Syarif (1982:151) bahwa pondok pesantren juga merupakan

lembaga pemasyarakatan, yang setidak-tidaknya telah mempu memberi warna ke

Islaman dalam kehidupan masyarakat selama ini. Pengertian pondok pesantren

yang lebih terperinci adalah :

Yang dimaksud pondok pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran

agama Islam yang pada umumnya, pendidikan dan pengajaran tersebut di berikan

dengan cara non klasikal (sistim bandungan dan Sorogan) dimana seorang kiayi

mengajar santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa arab oleh
ulama-ulama besar sejak abad pertengahan, sedang para santri biasanya tinggal

dalam asrama dalam pesantrren tersebut.

Terlepas dari perbedaan istilah pesantren tersebut, karena yang

dimaksudkan dengan istilah pesantren dalam pembahasan ini adalah sebuah

lembaga pendidikan dan pengembangan Islam, dalam pengembangannya di Jawa

telah dirintis oleh wali songgo. Di antaranya syekh Maulana Malik Ibrahim (w 8

April 1419 H) dan dikembangkan oleh muridnya Raden Rahmad (sunan Ampel)

(Wahjoetomo,1997:70). Di antara komponen-komonen yang terdapat pada sebuah

pesantren adalah; (1) pondok (asrama santri), (2) masjid, (3) santri, (4) pengajaran

kitab-kitab klasik/kitab kuning, (5) kiai dan ustadz (6) madrasah/sekolah.

Jadi yang dimaksud Pondok Pesantren di sini adalah, suatu lembaga

pendidikan islam yang memberikan pengetahuan, keterampilan dan pembinaan

nilai-nilai agama Islam dengan mempelajari kitab-kitab kuning, yang

penyelenggaraannya disediakan pemondokan bagi para santrinya.

2. Tujuan Pondok Pesantren

Pondok pesantren sebagai suatu lembaga pendidikan, juga mempunyai

maksud dan sasaran yang hendak dicapai. Namun mengingat beragamnya tujuan

pondok pesantren, maka disini penulis akan mengemukakan tujuan pondok

pesantren secara umum dan khusus diantaranya :

a. Secara Umum

Membina warga negara agar berkepribadian muslim sesuai dengan ajaran-

ajaran agama Islam dan menanamkan rasa keagamaan tersebut pada semua
segi kehidupannya serta menjadikannya sebagai orang yang berguna bagi

agama, masyarakat dan negara (Mustofa Syarif, 1982:18).

b. Tujuan Khusus

1) Mendidik santri atau anggota masyarakat untuk menjadi seorang

muslim yang bertaqwa kepada Allah SWT, berakhlak mulia, memiliki

kecerdasan, keterampilan, dan sehat lahir dan batin sebagai warga

negara yang berPancasila.

2) Mendidik santri untuk menjadi manusia muslim selaku kader-kader

ulama dan mubaligh yang berjiwa ikhlas tabah, tangguh, wiraswsta

dalam mengenalkan ajaran Islam secara utuh dan dinamis (Mustofa

Syarif, 1982:18).

3. Peranan dan Fungsi Pondok Pesantren

Manusia ketika dilahirkan ke dunia dalam keadaan lemah tanpa bantuan

orang tuanya, ia tidak bisa berbuat banyak. Di balik keadaan dalam keadaan

lemah itu memiliki potensi baik yang bersifat jasmani maupun rohani, sesuai

dengan firman Allah yang berbunyi :

       


     
  
Artinya : “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan
tidak mengetahui sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan
dan hati, agar kamu bersyukur.(QS. An Nahl:78)

Berdasarkan ayat di atas Allah SWT menginformasikan kepada kita bahwa pada

saat manusia dilahirkan, manusia itu dalam keadaan tidak tahu apa-apa. Namun

dibalik ketidak mampuan memiliki potensi jasmani dan rohani dalam dirinya,
karena itu Allah memberikan tiga hal yang dapat membantu memberdayakan

potensi manusia, yaitu pendengaran, penglihatan, dan hati.

Sebagai akibat perkembangan ilmu dan teknologi serta terbatasnya orang

tua terhadap dua hal tersebut, orang tua tidak mampu lagi untuk mendidik

anaknya. Untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut memerlukan orang lain yanbg

lebih ahli. Yaitu guru-guru di lembaga pendidikan formal dan non formal.

Di samping sekolah ada lembaga lainnya yang tak kalah pentingnya

seperti sekolah, yaitu pesantren. Pondok Pesantren sebagai sebagai lembnaga

pendidikan yang dikelela oleh masyarakat ikut membantu dal;am upaya

memberikan layanan pendidikan khususnya pendidikan agama Islam. Dengan

demikian setidaknya pesantren harus memiliki peran sebagai berikut :

a. Mendidik manusia sebagai makhluk individu

Potensi pertama yang dimiliki manusia adalah kecerdasan, para ilmuwan

menyebutnya sebagai kecerdasan kognitif, yaitu kemampuan seseorang

dalam menguasai ilmu pengetahuan, seperti ingatan, kemampuan

memecahkan masalah, wawasan pembendaharaan kata dan sebagainya.

Kecerdasan itu tergantung pada tiap-tiap manusia itu sendiri.

Sehubungan dengan kecerdasan ini pondok pesantren memiliki perfanan

untuk memnbentuk manusia sebagai makhluk individu, yaitu sosok

individu yang memiliki kecerdasan yang sama dengan manusia lainnya,

namun secara individu perbeda, karena potensi kecerdasan sangat

dipengaruhi oleh faktor bawaan dari orang tua, terutama dari ayah. Serta
dorongan dari individu tersebut sebagai akibat dari rangsangan dari

lingkungannya.

b. Mendidik Manusia sebagai makhluk Sosial

Kecerdasan ke dua yang dimiliki olah setiap manusia adalah kecerdasan

Emosi, kecerdasan emosi adalah kemampuan seseorang dalam

penghuasaan dan pengendalian emosinya. Dalam hal ini manusia memiliki

kemampuan untuk mnguasai dan mengendalikan emosinya sendiri. Di

samping itu ia pun mampu mengenal dan memahami emosi orang lain

melalui pengamatan indra. Kecerdasan emosi ini didasarkan kedudukan

manusia sebagai makhluk sosial yang akan selalu membutuhkan bantuan

orang lain selama hidupnya.

Sehubungan dengan kecerdasan ini pondok pesantren memiliki peranan

penting dalam membentuk manusia sebagai makhluk sosial. Titik berat

dari peran ini adalah menanamkan jiwa sosial pada peserta didik, melatih

dan mempersiapkan mereka untuk hidup bermasyarakat. Yang paling

pentin yaitu mananamkan kesadaran bahwa manusia memiliki kelebihan

dan kekurangan, sehingga atas dasar kelibihan dan kekurangan tersebut

manusia agar mampu salig menghormati.

c. Mendidik Manusia sebagai Makhluk Religius

Potensi kecerdasan yang ke tiga adalah kecerdasan Spiritual,yang diartikan

sebagai kecerdasan beragama atau kemampuan seseorang dalam

pemahaman agama dan mampu mengamalkannya dalam kehidupan sehari-

hari. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman:


        
         
      

Artinya : “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama


Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia
menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama
yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui(QS:ArRuum:30)

Berdasarkan ayat di atas, Allah menjelaskan bahwa manusia tidak dapat

melepaskan diri dari agama. Allah menciptakan demikian karena agama

merupoakan kebutuhan manusia.

Dengan demikian pondok pesantren memiliki peranan dalam membentuk

manusia sebagai manusia religius, yaitu sebagai makhluk yang senantiasa

berpegang pada nilai-nilai agama, dimana agama merupakan pedoman

hidup manusia.

Berdasarkan penjelasan di atas tentang tiga kecerdasan yang dimiliki

manusia, maka dapat dikemukakan fungsi pondok pesantren diantaranya adalah :

Pertama: fungsi pendidikan dan pembentukan watak, pondok pesantren dituntut

untuk melahirkan kader-kader militan yang berpengetahuan luas dan

berkepribadian luhur. Yang akan memberikan warna dalam kehidupan mereka

sebagai pemimpin di muka bumi sehingga akan tercipta kedamaian manusia.

Ke dua : fungsi Sosial, Pondok Pesantren dituntut untuk mampu menciptakan para

kader-kader yang memiliki jiwa atau kepekaan sosial yang tinggi, sosok pribadi

muslim yang luwes, tenggang rasa, memiliki solidaritas sosial,menghormati orang

lain, menghindari sikap angkuh, dan tidak ingin menang sendiri.


Ke tiga : Fungsi religius, pondok pesantren dituntut untuk membentuk pribadi

muslim yang gemar melakukan kebajikan dan kesolehan, santun, lemah lembut,

dalam bergaul dengan siapapun.

Didasarkan atas peran dan fungsi pondok pesantren di atas, ada satu hal yang

harus mendapatkan perhatian yang serius dari semua pihak terutama

penyelenggara pondok pesantren, yaitu kelangkaan para ulama. Hal ini telah

diisyaratkan oleh sabda Rusululloh SAW dalam sabdanya :

‫ر من‬N‫نين كم يتقي التم‬NN‫لم لت‬NN‫ه وس‬N‫لى هللا علي‬NN‫بي ص‬NN‫ا ل الن‬N‫ ق‬: ‫ا ل‬NN‫عن ابى هريرةق‬

)‫لبخاري‬ ‫الجقنه فليد هبنى خيا ر كم وليبقين شراركم فمو ثواان استطعام ( روا ه ا‬

Artinya : “ dari abu khurairoh ia berkata: nabi Muhammad Saw bersabda :


“sungguh akan terjadi penyeleksian sebagaimanapenyeleksian kurma dari
tandanya. Orang-orang pilihan (ulama) dari kalangan kamu akan lenyap dan
tinggallah orang-orang yang buruk akhlaknya diantara kamu. Oleh karena itu,
jika bisa hendaklah kamusegera mati” (H.R.Bukhori).

Berdasarkan hadist di atas, bahwa akan tiba suatu zaman dimana orang-

oraang baik dan pilihan (ulama) akan sangat langka. Maka berdasarkan hal itu,

tujuan utama pondok pesantren adalah menanggulangi kelangkaan ulama yang

bukan sekedar ulama, akan tetapi ulama pilihan, yaitu yang memang betul-betul

mengetahui dan mengamalkan ajaran-ajaran agama serta mampu mengimbangi

kamajuan zaman.

4. Tipe-Tipe Pondok Pesantren

Pada pesantren-pesantren tertentu terdapat pula di dalammya madrasah atau

sekolah dengan segala kelengkapannya. Secara umum pesantren dapat

diklasifikasikan menjadi dua, yakni :


a. Pesantren salaf (tradisional). (1) Pesantrer salaf menurut Zamakhsyari

Dhofier, (dalam Wahjoetomo, 1997: 83) adalah lembaga pesantren yang

mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik (salaf) sebagai inti

pendidikan.

Sedangkan sistem madrasah ditetapkan hanya untuk memudahkan

sistem sorogan, yang dipakai dalam lembaga-lembaga pengajian bentuk

lama, tanpa mengenalkan pengajaran pengetahuan umum. Sistem

pengajaran pesantren salaf memang lebih sering menerapkan model sorogan

dan wetonan. Istilah weton berasal dari bahasa Jawa yang berarti waktu.

Disebut demikian karena pengajian model ini dilakukan pada waktu-waktu

tertentu yang biasanya dilaksanakan setelah mengerjakan shalat fardhu.

b. Pesantren khalaf (modern) (2) Pesantren khalaf adalah lembaga pesantren

yang memasukkan pelajaran umum dalam kurikulum madrasah yang

dikembangkan, atau pesantren yang menyelenggarakan tipe sekolah-sekolah

umum seperti; MI/SD, MTs/SMP, MA/SMA/SMK dan bahkan PT dalam

lingkungannya (Depag, 2003: 87). Dengan demikian pesantren modern

merupakan pendidikan pesantren yang diperbaharui atau dimodernkan pada

segi-segi tertentu untuk disesuaikan dengan sistem sekolah.

c. Pondok Pesantren Komprehensif, sistem pesantren ini disebut komprehensif

merupakan sistem pendidikan dan pengajaran gabungan antara yang

tradisional dan yang modern. Artinya di dalamnya diterapkan pendidikan

dan pengajaran kitab kuning dengan metode sorogan, bandongan dan

watonan, namun secara reguler sistem pesekolahan terus dikembangkan.


Bahkan pendidikan ketrampilan pun diaplikasikan sehingga menjadikannya

berbeda dari tipologi kesatu dan kedua (Ghazali, 3003:15)

Dalam perkembangannya, pesantren menjadi lembaga pendidikan Islam

yang tumbuh dan berkembang subur di daerah pedesaan, Belakangan pada dekade

tahun 1980-an, pesantren sudah berkembang pesat bukan saja di daerah yang

dikategorikan pedesaan melainkan Juga tumbuh dan berkembang di daerah

perkotaan. Datam kaitan ini pesantren telah terbukti mampu hidup menyatu

dengan masyarakat sekitamya, dan bahkan menjadi rujukan bagi masyarakat

sekitamya terutama dalam bidang moral. (Khuluq, 2000: 5).

Mencermati perkembangan pesantren, mode pendidikan pesantren bukan

saja mampu mempertahankan eksitensnya tetapi mampu pula membcrikan

kontribusi yang besar bagi kemajuan ilmu pengetahuan yang sesuai dengan

spesifikasinya yakni ilmu pengetahuan agama. Satu hal yang tidak kalah

pentingnya, lembaga pendidikan pesantren dipandang sebagai lembaga

pendidikan keagamaan yang memiliki moralitas tinggi baik dalam kehidupan

individual maupun kolektivitas warga pesantren, dan bahkan nilai moralitas ini

menyebar pula ke tengah-tengah masyarakat khususnya komunitas di sekitar

pesantren.

Kemampuan pesantren mempertahankan eksistensinya ini tentu tidak lepas

dari sistem kepesantrenan. Sistem kepesantrenan adaiah sistem asrama sebagai

tempat tinggal santri, adanya kiyai atau man guru yang merupakan figur sentral

yang menetap dan tinggal di lingkungan pesantren dan terjadinya transmisi nilai-

nilai keagamaan yang secara langsung atau tidak langsung, disebarkan melalui
pribadi kiyai atau tuan gum kepada santrinya. Kondisi ini dilengkapi dengan

masjid di samping tetap diajarkannya kitab-kitab Islam klasik kepada santri-

santrinya.

Disamping itu pula, kemampuan pesantren mempertahankan eksestensinya

didukung pula oleh sistem pembelajaran atau proses pembelajaran yang

terorganisir dengan baik. Pada sistem pembelajaran dikenal ada beberapa istilah

yang sangat populer yakni: sorogwi, wetonon serta kombinasi antara sorogon dan

wetonoi. Pada sistem pengajaran ada yang dilakukan secara individual, klasikal

serta kombinasi antara sistem individual dan klasikal.

Dengan demikian sistem pembelajaran atau proses pembelajaran di

pondok pesantren tidak kalah moderennya dengan lembaga pendidikan formal

lainya seperti SD/MI, SMP/MTs, serta SMA/MA dan sebagainya. Bahkan lebih

dari itu semua, kinerja manajemen pondok pesantren juga merupakan bagian yang

tidak terpisahkan dari kemampuanya mempertahankan eksistensinya. Kinerja

manajemen pondok pesantren yang dimaksud adaiah penerapan prinsip-prinsip

manajemen dalam pengelolaan Pondok pesantren yang meliputi: perencanaan,

pengorganisasian, penggerakan dan pengawasan dalam penyelenggaraan kegiatan

pesantren untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

5. Nilai-nilai yang Berkembang di Pesantren

a. Sikap Hormat dan Ta’dzim

Sikap horrnat, ta’dzim dan kepatuhan mutlak kepada kiai adalah salah satu

nilai pertama yang ditanamkan pada setiap santri. Kepatuhan itu diperluas lagi,

sehingga mencakup penghormatan kepada para ulama sebelumnya dan ulama


yang mengarang kitab-kitab yang dipelajari. Kepatuhan ini, bagi pengamat luar,

tampak Iebih penting daripada usaha menguasai ilmu; tetapi bagi kiai hal itu

merupakan bagian integral dari ilmu yang akan dikuasai.

Hasyim Asy'ari, dikenal sangat mengagumi tafsir Muhammad `Abduh,

namun ia tidak suka santrinya membaca kitab tafsir tersebut. Keberatannya bukan

terhadap rasionalisme `Abduh, tetapi ejekan yang ditunjukkannya terhadap ulama

tradisional. Nilai-nilai etika/moral lain yang ditekankan di pesantren meliputi;

persaudaraan Islam, keikhlasan, kesederhanaan, dan kemandirian.

Di samping itu, pesantren juga menanamkan kepada santrinya kesalehan

dan komitmen atas lima rukun Islam: syahadat (keimanan), salat (ibadah lima kali

sehari), zakat (pemberian), puasa (selama bulan Ramadan), dan haji (ziarah ke

Mekkah bagi yang mampu). Guru-guru pesantren menekankan kepada santrinya

agama dan moralitas.

Pendidikan etika/moral dalam pengertian sikap yang baik perlu

pengalaman sehingga pesantren berusaha untuk menciptakan lingkungan tempat

mora keagamaan dapat dipelajari dan dapat pula dipraktikkan. Biasanya, para

santri mempelajari moralitas saat mengaji dan kemudian diberi kesempatan untuk

mempraktikkannya di sela-sela aktivitasnya di pesantren.

b. Persaudaraan

Sebagai contoh, sholat lima kali sehari adalah kewajiban dalam Islam,

tetapi kadang belum menekankan pada pentingnya berjemaah. Bagaimanapun,

berjemaah dianggap sebagai cara yang lebih baik dalam sholat dan pada umumnya
diwajibkan oleh para pengasuh pesantren. Sebuah pesantren yang tidak

mewajibkan sholat jemaah dianggap bukan lagi pesantren yang sebenarnya.

Para Kiayi biasanya mengatakan bahwa praktik jama’ah ini mengajarkan

persaudaraan dan kebersamaan, yaitu nilai-nilai yang harus ditumbuhkan dalam

masyarakat Islam. Jika jemaah sekali dalam dalam sholat Jumat akan membentuk

masyarakat yang solid, maka berjemaah tiap hari akan memperkuat tali

persaudaraan.

Di samping itu sholat jamaah juga mendidik model kepemimpman. Jika

mereka yang belakang sebagai makmum, melihat pemimpinnya (imam) memuat

kesalahan, mereka akan mengingatkannya sambil berkata "Subhanallah" (segala

puji bagi Allah), bukan protes, melainkan sebuah peringatan.

Di sisi lain jika imam kentut sehingga batal wudlunya, ia berhenti dan

memberikan kesempatan kepada orang lain untuk mengambil alih menjadi imam

salat. Dengan begitu sholat tidak hatal, tetap berlangsung dan kekompakan jamaah

tetapi terlindungi. Dalam konteks politis, hal inii mendorong sinergi hubungan

antara pemimpin dengan yang dipmpin

c. Keikhlasan dan Kesederhanaan

Nilai seperti ikhlas dan kesederhanaan diajarkan spontan dan hidup dalam

kebersamaan. Di kebanyakan pesantren, santri tidur di atas lantai dalam satu

ruangan yang mampu menampung 80 santri. Sebuah kamar yang dirasa cocok

ontuk I-2 orang, ternyata dihuni 6-8 orang. Semakin populer pesantren, semakin

banyak ruangan dihuni orang. Menu yang dimakan pun hanya sekedar nasi dan
sayur-sayuran. Lebih jauh, meskipun ada pengakuan hak milik prihadi, dalam

praktiknya, hak milik itu umum.

Barang-barang yang sepele, seperti sandal dipakai secara bebas. Untuk

barang yang lain, jika tidak dipakai akan dipinjamkan bila diminta. Santri yang

menolak meminjamkan barang-barang tersebut akan mendapatkan sanksi ‘sosial’

dari kawankawannya. Sebab, santri yang tidak ikut kebiasaan seperti ini akan

mendapatkan ejekan ataupun peringatan keras akan pentingnya persaudaraan

lslam (ukhuwah islamiyah) dan keikhlasan.

Dalam banyak hal, gaya hidup pesantren tidak banyak berubah dari waktu

ke waktu, lebih mengedepankan aspek kesederhanaan, mekipun kehidupan di luar

memberikan perubahan gaya hidup dan standar yang berbeda. Gaya hidup

pesantren cenderung asketis (pertapaan). Menurut salah seorang pengasuh pondok

pesantren di Jawa Timur bahwa gaya hidup asketis di pesantren akan

mempersiapkan para santri untuk menjadi kaya atau miskin.

d. Nilai Kemandirian

Nilai kemandirian diajarkan dengan cara santri mengurusi sendiri

kebutuhankebutuhan dasarnya. Ide esensial dari kemandirian sering diplesetkan,

akar kata dari kemandirian adalah kepanjangan dari "mandi sendiri". Prinsip yang

termuat dalam kemandirian adalah bahwa menjaga dan mengurus diri sendiri

tanpa harus dilayani dan tidak menggantungkan pada yang lain adalah merupakan

nilai yang penting.

Di pesantren tradisional, mandiri termanifestasikan dalam memasak; para

santri memasak untuk mereka sendiri atau setidaknya dalam kelompok kecil. Saat
ini, selain kehilangan banyak waktu mengaji, banyak pesantren yang memahami

sistem cafeteroziz. Meskipun begitu, santri masih banyak memiliki kesempatan

belajar kemandirian dengan cara lain seperti mencuci sendiri, menyetrika, dan

menjaga kamar masing masing dan lain-lain.

e. Larangan melanggar aturan yang berlaku

Sebaliknya, absen dari mata pelajaran atau berjemaah, menyelinap keluar

dari lingkungan pesantren, nonton TV, mencuri, dan perbuatan-perbuatan lain

yang dianggap melawan aturan-aturan yang diterapkan pesantren adalah

merupakan nilai-nilai pesantren yang lain. Pelanggaran oleh santri akan berakibat

pada teguran yang berupa nasihat.

Pengulangan pelanggaran akan mendapatkan teguran yang lebih keras.

Seorang ustaz menegaskan bahwa hukuman bagi pelanggaran kecil sepert nonton

TV adalah dipukul atau bahkan diminta untuk push-up di tempat pembuangan

kotoran. Jika pelanggaran serius, rambut santri akan dicukur gundul, dengan cara

diberi ‘pengumuman’ terlebih dahulu yang berarti akan menghinakan santri

tersebut. Santri yang suka menghina akan dipulangkan. Biasanya, bentuk dan

berat-ringannya hukuman terserah kebijakan kiayi.

f. Nilai keteladanan

Untuk menanamkan nilai-niai tersebut, instruksi kepada santri harus

dibarengi pula dengan contoh yang baik. Untuk mengajar santrinya akan

pentingnya sholat jama’ah, seorang kiayi harus/perlu menjadi imam salat. Karena

kiayi dianggap sebagai waratsatul anbiya’, maka kiayi menjadi teladan bagi
santrinya sehingga pesantren tidak saja mendidik pengetahuan agama, tetapi juga

moral yang baik.

Dalam hal ini, seorang kiayi harus hidup di pondok sehingga beliau akan

bisa memberikan contoh pola hidup islami. Jika ia tidak memberi contoh seperti

itu, pendidikan pesantren hanyalah instruksi (pengajaran saja) dan bukan

pendidikan yang sejati. Beberapa pimpinan pesantren ada yang terlibat dalam

dunia politik sehingga mereka jarang berada di pondok.

g. Tasawuf merupakan inti etika di pesantren

Tasawuf (mistisisme) adalah inti pendidikan moral. Dia menjelaskan

bahwa dalam Islam dikenal adanya "segitiga" pokok-pokok ilmu tauhid, fikih

(hukum Islam),dan tasawuf. Masing-masing ilrnu ini memiliki kontribusi yang

berbeda. Tauhid mengatur dasar-dasar keimanan. Karena iman saja tidak hanya

cukup dengan ucapan sehingga memerlukan amal untuk mempertahannkannya,

maka fikih melengkapi kaum beriman dengan petunjuk-petunjuk tentang

bagaimana hidup secara benar, dan tasawuf berperan dalam menanamkan nilai-

nilai moral dan etika. lnti tasawuf adalah mempelajari moral dan etika.

Penggabungan sufisme dan etika mungkin bisa dilacak sebagai akibat

pengaruh yang kuat dari pemikir Islam, imam AI-Ghazali. Al-Ghazali terkenal

dengan mistisismenya yang tenang dan sederhana yang mampu menyeimbangkan

teologi dan tasawuf serta terkenal dengan karya tentang etikanya. Banyak

pesantren mengaitkan mistisisme dan etikanya dengan karya-karya al-Ghazali.


6. Proses Pembelajaran di Pondok Pesantren

1). Jenjang Pendidikan

Jenjang pembelajaran di Pondok Pesantren adalah dengan menggunakan

sistem kitab. Para santri mempelajari kitab sesuai dengan jenjang kitab-kitab

yang sudah ditentukan, oleh karena itu di pondok ini tidak dikenal istilah

kelas. Adapun pembagian lokal belajar hanyalah merupakan pengelompokkan

dalam belajar untuk bersama-sama mempelajari kitab yang sudah ditentukan

tersebut, bukan pengelompokkan dalam pengertian kelas (Jenjang atau

tingkatan).

2) Kurikulum

Sebagaimana umumnya pondok pesantren tradisional dan berbentuk salafiyah,

seluruh disiplin ilmu yang diajarkan adalah berupa ilmu agama dan ilmu alat

saja. Terdapat 12 macam ilmu yang diajarkan di Pondok Pesantren. Dari

jumlah tersebut dibagi menjadi dua tahap.

Tahap pertama santri belajar ilmu:

a) Sharaf, diantaranya kitab : Imrithi, Kailani, dll. Tujuan mempelajari

kitab-kitab ini diantaranya untuk mengetahui sintaksis, dan morfologo

bahasa arab, sehingga akan dapat digunakan untuk membaca kitab

kuning.

b) Tasawuf, diantaranya kitab : Al-Ihya, tujuannya agar para santri

memilki akhlak yang baik dan mulia.

c) Nahwu, diantaranya kitab-kitab : Al-Jurumiyah, Al- Fiah, dll,

tujuannya untuk mempermudah di dalam membaca kitab-kuning.


d) Fiqh, diantaranya kitab Sapinatunaja, Fathul Qorib, dll.

e) UshulFiqh, diantaranya kitab: Jam’ul Jawami, Al-Um

f) Tauhid, diantaranya kitab : Tijan, Kipayatul Awam, dll

g) Ilmu Falaq, diantaranya kitab : Sulam Munayiren

h) Mantiq, diantaranya kitab-kitabnya : Juhan makmun.

Waktu yang diperliikan untuk belajar pada tahap pertama ini paling lama

sekitar 6 tahun, bagi santri yang cerdas bisa saja kurang dari 6 tahun.

Tahap kedua diberikan pelajaran:

a) Balaghah, kitan Syamsiah Waladiyyah

b) Ushul Tafsir, kitab Baikuniyah

c) Hadits, kitab Hadist Arba’in, Riyadussholihin, dan Bukhori Muslim.

d) Tafsir, kitab Tafsir Jalalen, Tafsir Munir, dan Tafsir Sowi.

Lama belajar untuk tahap yang kedua ini tidak ditentukan, tetapi

disesuaikan dengan kemampuan santri masing-masing dalam menguasai

dan memahami kitab pelajaran masing-masing.

3) Sistem Pembelajaran

Kegiatan belajar di Pondok Pesantren tradisional umumnya dilaksanakan

setelah selesai shalat fardlu, yaitu sebagai berikut:

- Pagi hari, setelah shalat Subuh s.d. sekitar pukul 09.00

- Siang hari, setelah shalat Zuhur s.d. shalat Ashar

- Sore hari, setelah shalat Ashar sampai pukul 17.00

- Malam hari, setelah shalat Maghrib s.d. shalat Isya'


Pengaturan waktu belajar di atas hanya merupakan patokan jadwal secara

umum, adapun jadwal kegiatan belajar secara pasti dan tertulis tidak ada. Hal

ini terjadi karena masing-masing kelompok dan guru-gum tertentu memiliki

kegiatan mengajar nasing-masing, di samping itu tidak ada istitah libur belajar

kecuali khusus untuk malan Jum'at.

Dalam proses pembelajaran yang berlaku di Pondok Pesantren para santri

dikelompokkan ke dalam 3 kelompok:

Pertama, kelompok Mubtadi, yaitu kelompok tingkat pemula (dasar), setiap

kelompok terdiri dari sekitar 30 santri yang berada di bawah bimbingan atau

asuhan seorang guru.

Waktu yang ditempuh oleh kelompok tingkat pemula ini kurang lebih 1 tahun.

Kedua, kelompok Mtistakmil, kelompok penyempumaan dari kelompok

pertama. Waktu yang ditempuh oleh santri untuk menyelesaikan tingkatan ini

berkisar antara 2 atau 3 tahun,

Ketiga, kelompok Muwasalaft, kelompok santri senior yang mempelajari kitab-

kitab dengan lebih mendalam lagi. Sistem bclajar pada kelompok ini

menggunakan sistem halaqah. Tempat yang digunakan adalah mushalla, atau

rumah para pemimpin atau guru yang ada, namun terkadang juga

menggunakan ruang kelas.

4) Pengajaran kitab-kitab Islam klasik

Sebuah pesantren baik yang masih tradisional maupun yang sudah

modern sekalipun, tidak pernah meninggalkan pengajaran-pengajaran kitab-


kitab Islam klasik. Kitab-kitab Islam klasik merupakan literatur yang sangat

penting dalam pesantren dan telah dijadikan andalan bagi setiap pesantren.

Tujuan utama dari pengajaran tersebut adalah untuk mencetak atau

untuk mendidik calon-calon ulama. Para santri yang tinggal dipondok

pesantren dalam waktu yang pendek tidak bercita-cita menjadi ulama, tetapi

mempunyai tujuan untuk mencari pengalaman yang lebih mendalam

(Qomar,2005:8 )

Pengajaran kitab-kitab Islam klasik diberikan sebagai upaya untuk

meneruskan tujuan utama pesantren yaitu mendidik calon-calon ulama yang

setia kepada faham Islam. Keseluruhan kitab-kitab Islam klasik yang diajarkan

pesantren dapat digolongkan kedalam delapan kelompok, yaitu Nahwu dan

Sharof,Fiqh, Akhlak, Hadist, Tafsir, Tauhid, Tasawuf dan cabang-cabang lain

(Qomar,2005:5) Kitab-kitab klasik biasanya dikenal dengan istilah kitab

kuning, dimana kitab-kitab tersebut ditulis oleh para ulama zaman dulu (abad

16-18 M).

Para santri tersebut untuk mendalami isi kitab dan juga mempelajari

bahasa Arab sebagai bahasa kitab tersebut. Seorang santri yang telah tamat

belajar dari pesantren cenderung memiliki pengetahuan bahasa Arab, mampu

memahami isi kitab dan mampu menerapkan bahasa dalam kitab menjadi

bahasanya. Waktu pengajaran kitab kuning ditentukan pada pagi hari atau sore

hari.

Sistem yang digunakan adalah wetonan, Sorogan dan Bandongan

(Dhofier,1984:50) Kitab-kitab Islam klasik yang diajarkan kepada para santri


di pondok pesantren Al-Istiqlal keseluruhanya merupakan jenis kitab-kitab

Islam klasik yang berbahasa Arab yang sebagian besar kitab ini tidak

berharokat atau tanpa ada tanda bacanya. Kitab –kitab klasik tersebut yang

untuk kalangan pesantren disebut kitab kuning.

Tabel 1

Kitab-kitab kuning sebagai bahan pengajaran dipondok pesantren

NO Tema Pokok Nama Kitab


1. Nahwu Jurumiah Sulam Sibyan Mutamimah
2. Shorof Amtsilah Tasrifiyah
3. Fiqih Safinatu Sholah, Safinatu Naja. Tafsir Kholaq
4. AkhlakAqidah atau Ilmu Tauhid Tijanu Darori
5. Ilmu Hadits Mihnatul Mughits
6. Muhafadhoh Amtsilah Tasrifiyah
7. Qiroatul Kitab Safinatu Sholah, Safinatu Naja
8. Ilmu Tajwid Mstholahut Tajwid.

Kitab-kitab ini rata-rata menggunakan bahasa Arab. Kitab yang

diajarkan maupun sistem pengajaranya diselutuh pesantren Jawa dan Madura

asdalah sama (wawancara, Abdul Khamid 21Maret 2006 ). Meskipun seolah-

olah pengajaran inidiangap statis, namun dalam kenyataanya pengajaran kitab-

kitab tersebut tak hanya sekedar membicarakan bentuk saja tetapi juga isi

ajaran tetang kitab tersebut.

Para kiayi yang merupakan pembaca dan penerjemah kitab banyak

memberikan pandangan secara pribadi mengenai isi maupun bahasa dari teks

tersebut. Dengang demikian para kiayi harus menguasai bahasa Arab, literaturdan

cabang-cabang pengetahuan agama Islam lainnya agar pendalaman kiyab tersebut

tepat.

7. Manajemen Pondok Pesantren


Secara etimologis, manajemen merupakan kata benda yang berarti

“pengelolaan usaha; kepengurusan; ketatalaksanaan penggunaan sumber daya

secara efektif untuk mecapai tujuan atau sasaran yang diinginkan”. Sedangkan

dalam Oxford, manajemen (management; ing) diartikan dengan “(i) The control

and making of decisions in a bussines or similar organization; (ii) the people who

control bussines or similar organization; (iii) the process of dealing with or

controlling people or things. Sedangkan dalam majmu’ul lughoh al-arabiyah

sebagaimana dinukil M. Munir dan Wahyu Ilaihi, manajemen diartikan dengan

an-nizam atau at-tandzim yang merupakan tempat untuk menyimpan sesuatu dan

menyimpan sesuatu pada tempatnya.

Namun, pada kenyataannya, manajemen sulit didefinisikan dengan

lengkap dan memadahi. karena tidak ada defenisi manajemen yang diterima

secara universal. Mary Parker Follet mendefenisikan manajemen sebagai seni

dalam menyelesaikan pekerjaan melalui orang lain. Defenisi ini rnengandung arti

bahwa para manajer untuk mencapai tujuan organisasi melalui pengaturan orang

lain untuk melaksanakan berbagai tugas yang mungkin dilakukan.

Manajemen memang bisa berarti seperti itu, tetapi bisa juga mempunyai

pengertian lebih dari pada itu. Sehingga dalam kenyataannya tidak ada defenisi

yang digunakan secara konsisten oleh semua orang. Stoner mengemukakan suatu

defenisi yang lebih kompleks yaitu sebagai berikut :


“Manajemen adalah suatu proses perencanaan, pengorganisasian,
pengarahan dan pengawasan, usaha-usaha para anggota organisasi dan
penggunaan sumber dayasumber daya organisasi lainnya agar
rnencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan”.

Dari defenisi di atas terlihat bahwa Stoner telah rnenggunakan kata

“proses”, bukan “seni”. Mengartikan manajernen sebagai “seni” mengandung arti

bahwa hal itu adalah kemampuan atau ketrampilan pribadi. Sedangkan suatu

“proses” adalah cara sistematis untuk rnelakukan pekerjaan. Manajemen

didefenisikan sebagai proses karena semua manajer tanpa harus rnemperhatikan

kecakapan atau ketrampilan khusus, harus melaksanakan kegiatan-kegiatan yang

saling berkaitan dalam pencapaian tujuan yang diinginkan.

Dr. Nanang Fatah juga mendefinisikan manajemen dengan “proses

merencana, mengorganisasi, memimpin dan mengendalikan upaya organisasi

dengan segala aspeknya agar tujuan organisasi tercapai secara efektif dan efisien.

Berdasarkan uraian diatas disimpulkan bahwa pada dasarnya manajemen

merupakan kerjasama dengan orang-orang untuk menentukan,

menginterpretasikan dan mencapai tujuan-tujuan organisasi dengan pelaksanaan

fungsi-fungsi perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pengarahan

(actuating), dan pengawasan/evaluasi (controlling/evaluating).

Dengan demikian yang dimaksud dengan menejemen Pondok Pesantren

adalah kegiatan merencanakan, mengorganisasikan, pengarahan, dan pengawasan

yang dilakukan oleh seluruh komponen yang ada di Pondok Pesantren tersebut

dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditentukan.


Fungsi manajemen Pondok Pesantren dalam meningkatkan kermampuan

santri dalam membca kitab kuning adalah :

a. Fungsi Perencanaan, yaitu segala upaya dan tingdakan yang dilakukan oleh

pengurus pondok pesantren Al-Istiqlal, sebelumnya telah direncanakan

terlebih dahulu, sehingga kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi telah

dapat diprediksi sebelumnya, selain itu pula dalam perencanaan ini biasanya

yang berhubungan dengan tujuan, sarana, personal, biaya, dll biasanya sudah

ditentukan.

b. Fungsi Organisasian, yaitu fungsi yang mengorganisasikan semua personil

yang ada di pondok pesantren dalam rangka mencapai tujuan yang telah

ditetapkan pada perencanaan sebelumnya. Jadi pada pengorganisasian ini

mengupayakan tidak terjadi pengelolaan pondok pesantren yang tumpang

tindih, atau dilaksanakannya pelimpahan wewenang.

c. Fungsi Pengarahan, yaitu fungsi yang memberikan pengarahan mengenai

tugas-dan fungsi masing-masing kepada semua pihak yang berada di

lingkungan pondok pesantren, yang secara bersama-sama ingin meningkatkan

kompetensi santri dalam membaca kitab kuning, pengarahan ini dapat

berlangsung bersama-sama dengan kegiatan pembelajaran di ponndok

pesantren.

d. Fungsi pengawasan/Evaluasi, yaitu fungsi yang melaksanakan pengawasan

terhadap semua komponen yang berada di pondok pesantren dalam upaya

meningkatkan kompetensi santri, terupatam pengawasan ini diutamakan

dalam pelaksanaan pembelajaran santri.


B. Pembelajaran Santri di Pondok Pesantren

1. Pengertian Santri

Santri adalah sebutan bagi murid yang mengikuti pendidikan di pondok

pesantren. Pondok Pesantren adalah sekolah pendidikan umum yang

persentasi ajarannya lebih banyak ilmu-ilmu pendidikan agama Islam.

Kebanyakan muridnya tinggal di asrama yang disediakan di sekolah itu.

Pondok Pesantren banyak berkembang di pulau Jawa. Panggilan Santri

Pondok X artinya ia pernah/lulus dari Pondok Pesantren X.

Panggilan Santri Kiayi KH artinya ia pernah diajar oleh Kiayi KH.

Umumnya, sebutan santri Kiayi juga berarti ia pernah menjadi anak asuh,

anak didik, kadang-kadang mengabdi (biasanya di rumah kediaman) kiayi

yang bersangkutan (Wikipedia). Sedangkan Pesantren adalah sebagai lembaga

pendidikan-agama dan pusat penyebaran Islam yang unik ke Indonesia telah

menarik mintatnya para peneliti yang ingin mendalami kebudayaan dan agama

di Indonesia serta para jurnalis internasional setelah pemboman Bali pada

tahun 2002.

Dewasa ini pesantren di Indonesia semakin berkembang serta

beranekaragam hingga dapat dikatakan sulit tugasnya seorang peneliti yang

berusaha untuk mengklasifikasi modelnya sebuah pondok pesantren sebagai

yang modern atau yang tradisional.


2. Pendekatan dalam Pembentukan Prilaku santri

a. Metode keteladanan

Secara psikologis, manusia sangat memerlukan keteladanan untuk

mengembangkan sifat-sifat dan potensinya. Pendidikan perilaku lewat

keteladana adalah pendidikan dengan cara memberikan contoh-contoh kongkrit

bagi para santri. Dalam pesantren, pemberian contoh keteladanan sangat

ditekankan. Kiai dan ustadz harus senantiasa memberikan uswah yang baik

bagi para santri, dalam ibadah-ibadah ritual, kehidupan sehari-hari maupun

yang lain, karena nilai mereka ditentukan dari aktualisasinya terhadap apa yang

disampaikan. Semakin konsekuen seorang kiayi atau ustadz menjaga tingkah

lakunya, semakin didengar ajarannya.

b. Metode Latihan dan Pembiasaan

Mendidik perilaku dengan latihan dan pembiaasaan adalah mendidik

dengan cara memberikan latihan-latihan terhadap norma-norma kemudian

membiasakan santri untuk melakukannya. Dalam pendidikan di pesantren

metode ini biasanya akan diterapkan pada ibadah-ibadah amaliyah, seperti

shalat berjamaah, kesopanan pada kiayi dan ustadz. Pergaulan dengan sesama

santri dan sejenisnya. Sedemikian, sehingga tidak asing di pesantren dijumpai,

bagaimana santri sangat hormat pada ustadz dan kakak-kakak seniornya dan

begitu santunnya pada adik-adik pada junior, mereka memang dilatih dan

dibiasakan untuk bertindak demikian. Latihan dan pembiasaan ini pada

akhirnya akan menjadi akhlak yang terpatri dalam diri dan menjadi yang tidak

terpisahkan. Al-Ghazali (1982:104) menyatakan :


"Sesungguhnya perilaku manusia menjadi kuat dengan seringnnya dilakukan
perbuatan yang sesuai dengannya, disertai ketaatan dan keyakinan bahwa apa
yang dilakukannya adalah baik dan diridhai"

c. Mendidik melalui ibrah (mengambil pelajaran)

Secara sederhana, ibrah berarti merenungkan dan memikirkan, dalam

arti umum bisanya dimaknakan dengan mengambil pelajaran dari setiap

peristiwa. Abd. Rahman al-Nahlawi, seorang tokoh pendidikan asal timur

tengah, mendefisikan ibrah dengan suatu kondisi psikis yang manyampaikan

manusia untuk mengetahui intisari suatu perkara yang disaksikan, diperhatikan,

diinduksikan, ditimbang-timbang, diukur dan diputuskan secara nalar, sehingga

kesimpulannya dapat mempengaruhi hati untuk tunduk kepadanya, lalu

mendorongnya kepada perilaku yang sesuai.

Tujuan Paedagogis dari ibrah adalah mengntarkan manusia pada

kepuasaan pikir tentang perkara agama yang bisa menggerakkan, mendidik

atau menambah perasaan keagamaan. Adapun pengambilan ibrah bisa

dilakukan melalui kisah-kisah teladan, fenomena alam atau peristiwa-peristiwa

yang terjadi, baik di masa lalu maupun sekarang.

d. Mendidik melalui mauidzah (nasehat)

Mauidzah berarti nasehat. Rasyid Ridla mengartikan mauidzah sebagai

berikut :

”Mauidzah adalah nasehat peringatan atas kebaikan dan kebenaran dengan


jalan apa yang dapat menyentuh hanti dan membangkitkannya untuk
mengamalkan”
Metode mauidzah, harus mengandung tiga unsur, yakni : a). Uraian

tentang kebaikan dan kebenaran yang harus dilakukan oleh seseorang, dalam

hal ini santi, misalnya tentang sopan santun, harus berjamaah maupun
kerajinan dalam beramal; b). Motivasi dalam melakukan kebaikan; c).

Peringatan tentang dosa atau bahaya yang bakal muncul dari adanya larangan

bagi dirinya sendiri maupun orang lain.

e. Mendidik melalui kedisiplinan

Dalam ilmu pendidikan, kedisiplinan dikenal sebagai cara menjaga

kelangsungan kegiatan pendidikan. Metode ini identik dengan pemberian

hukuman atau sangsi. Tujuannya untuk menumbuhkan kesadaran siswa bahwa

apa yang dilakukan tersebut tidak benar, sehingga ia tidak mengulanginya lagi.

Pembentukan lewat kedisiplinan ini memerlukan ketegasan dan

kebijaksanaan. Ketegasan mengharuskan seorang pendidik memberikan sangsi

bagi pelanggar, sementara kebijaksanaan mengharuskan sang pendidik berbuat

adil dan arif dalam memberikan sangsi, tidak terbawa emosi atau dorongan

lain. Dengan demikian sebelum menjatuhkan sangsi, seorang pendidik harus

memperhatikan beberapa hal berikut :

1) perlu adanya bukti yang kuat tentang adanya tindak pelanggaran;

2) hukuman harus bersifat mendidik, bukan sekedar memberi kepuasan atau

balas dendam dari si pendidik;

3) harus mempertimbangkan latar belakang dan kondisi siswa yang

melanggar, misalnya frekuensinya pelanggaran, perbedaan jenis kelamin

atau jenis pelanggaran disengaja atau tidak.

Di pesantren, hukuman ini dikenal dengan istilah takzir. Takzir adalah

hukuman yang dijatuhkan pada santri yang melanggar. Hukuman yang

terberat adalah dikeluarkan dari pesantren. Hukuman ini diberikan kepada


santri yang telah berulang kali melakukan pelanggaran, seolah tidak bisa

diperbaiki. Juga diberikan kepada santri yang melanggar dengan pelanggaran

berat yang mencoreng nama baik pesantren.

f. Mendidik melalui targhib wa tahzib

Metode ini terdiri atas dua metode sekaligus yang berkaitan satu sama

lain; targhib dan tahzib. Targhib adalah janji disertai dengan bujukan agar

seseorang senang melakukan kebajikan dan menjauhi kejahatan. Tahzib adalah

ancaman untuk menimbulkan rasa takut berbuat tidak benar. Tekanan metode

targhib terletak pada harapan untuk melakukan kebajikan, sementara tekanan

metode tahzib terletak pada upaya menjauhi kejahatan atau dosa.

Meski demikian metode ini tidak sama pada metode hadiah dan

hukuman. Perbedaan terletak pada akar pengambilan materi dan tujuan yang

hendak dicapai. Targhib dan tahzib berakar pada Tuhan (ajaran agama) yang

tujuannya memantapkan rasa keagamaan dan membangkitkan sifat

rabbaniyah, tanpa terikat waktu dan tempat. Adapun metode hadiah dan

hukuman berpijak pada hukum rasio (hukum akal) yang sempit (duniawi) yang

tujuannya masih terikat ruang dan waktu. Di pesantren, metode ini biasanya

diterapkan dalam pengajian-pengajian, baik sorogan maupun bandongan.

g. Mendidik melalui kemandirian

Kemandirian tingkah-laku adalah kemampuan santri untuk mengambil

dan melaksanakan keputusan secara bebas. Proses pengambilan dan

pelaksanaan keputusan santri yang biasa berlangsung di pesantren dapat

dikategorikan menjadi dua, yaitu keputusan yang bersifat penting-monumental


dan keputusan yang bersifat harian. Pada tulisan ini, keputusan yang dimaksud

adalah keputusan yang bersifat rutinitas harian.

Terkait dengan kebiasan santri yang bersifat rutinitas menunjukkan

kecenderungan santri lebih mampu dan berani dalam mengambil dan

melaksanakan keputusan secara mandiri, misalnya pengelolaan keuangan,

perencanaan belanja, perencanaan aktivitas rutin, dan sebagainya. Hal ini tidak

lepas dari kehidupan mereka yang tidak tinggal bersama orangtua mereka dan

tuntutan pesantren yang menginginkan santri-santri dapat hidup dengan

berdikari. Santri dapat melakukan sharing kehidupan dengan teman-teman

santri lainnya yang mayoritas seusia (sebaya) yang pada dasarnya memiliki

kecenderungan yang sama. Apabila kemandirian tingkah-laku dikaitkan dengan

rutinitas santri, maka kemungkinan santri memiliki tingkat kemandirian yang

tinggi.

3. Peran Kiai dalam Proses Identifikasi Santri

Sebelum menguraikan kedudukan (peran) kiai di pesantren, terlebih

dahulu penulis uraikan pengertian kiai. Kata "Kiai" berasal dari bahasa jawa

kuno "kiya-kiya" yang artinya orang yang dihormati. Sedangkan dalam

pemakaiannya dipergunakan untuk: pertama, benda atau hewan yang

dikeramatkan, seperti kiayi Plered (tombak), Kiayi Rebo dan Kiayi Wage

(gajah di kebun binatang Gembira loka Yogyakarta), kedua orang tua pada

umumnya, ketiga, orang yang memiliki keahlian dalam Agama Islam, yang

mengajar santri di Pesantren.


Sedangkan secara terminologis menurut Manfred Ziemnek pengertian

kiai adalah "pendiri dan pemimpin sebuah pesantren sebagi muslim

"terpelajar" telah membaktikan hidupnya "demi Allah" serta

menyebarluaskan dan mendalami ajaran-ajaran dan pandangan Islam melalui

kegiatan pendidikan Islam. Namun pada umumnya di masyarakat kata "kiayi"

disejajarkan pengertiannya dengan ulama dalam khazanah Islam.

Menurut Hartono karisma yang dimiliki kiayi merupakan salah satu

kekuatan yang dapat menciptakan pengaruh dalam masyarakat. Ada dua

dimensi yang perlu diperhatikan. Pertama, karisma yang diperoleh oleh

seseorang (kiayi) secara given, seperti tubuh besar, suara yang keras dan mata

yang tajam serta adanya ikatan genealogis dengan kiayi karismaik

sebelumnya. Kedua, karisma yang diperoleh melalui kemampuan dalam

pengausaan terhadap pengetahuan keagamaan disertai moralitas dan

kepribadian yang saleh, dan kesetiaan menyantuni masyarakat.

Kiayi dan pesantren merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan.

Pesantren sebagai lembaga pendidikan alternatif sebagian telah melakukan

penyesuaian dan standarisasi pendidikannya dengan pendidikan umum,

misalnya SMP, SMU, SMK, dan universitas.

Dengan kata lain, sebagian pesantren ada yang telah melakukan

perubahan model, yaitu dari model salafi menjadi khalafi, Perubahan itu

diharapkan dunia pesantren tetap diminati masyarakat. Oleh karena itu,

perubahan-perubahan substansial harus dilakukan untuk mengakomodasi

sebagian dari tuntutan jaman. Dengan perubahan itu diharapkan santri mampu
memahami ilmu-ilmu umum sekaligus agama secara berimbang. Semboyan

salah seorang pengasuh Pesantren Darul Ulum, Dr. K.H. Musta’in Romli

(1930-1985), yaitu santri harus menggambarkan keleluasaan penguasaan

ilmu pengetahuan dan kedalaman pemahaman dan pengamalan keagamaan

santri. Semua itu akan menggambarkan keseimbangan antara kekuatan pikir

dan dzikir dalam diri santri. Santri yang kelak mampu berpartisipasi dalam

kemajuan jaman dengan tetap selalu dekat dengan Allah.

Orangtua memasukkan anaknya ke pondok pesantren biasanya disertai

dengan harapan agar si anak mempunyai ilmu agama yang bagus, berakhlak

mulia dan memahami hukum-hukum Islam. Selama ini tidak ada

kekhawatiran bahwa dengan menuntut ilmu di pesantren akan menjauhkan

kasih-sayang orangtua terhadap anak. Anak yang tinggal di pondok pesantren

dalam waktu cukup lama tetap bisa beridentifikasi kepada kedua orangtuanya.

Dengan menjalin komunikasi secara intens dan teratur diharapkan anak tidak

akan kehilangan figur orangtua. Seperti kita ketahui bahwa sumber

identifikasi seorang anak tidak hanya kedua orangtuanya, tetapi bisa juga

kepada figur-figur tertentu yang dianggap dekat dan memiliki pengaruh besar

bagi anak. Keberadaan Kiai, pembimbing, ustad maupun teman sebaya juga

bisa mempengaruhi pembentukan kepribadian anak.Kelebihan inilah yang

dimiliki pesantren sebagai lembaga pendidikan.

Dengan segala keterbatasannya pesantren mampu menampilkan diri

sebagai lembaga pembelajaran yang berlangsung terus-menerus hampir 24

jam sehari. Aktivitas dan interaksi pembelajaran berlangsung secara terpadu


yang memadukan antara suasana keguruan dan kekeluargaan. Kiai sebagai

figur sentral di pesantren dapat memainkan peran yang sangat penting dan

strategis yang menentukan perkembangan santri dan pesantrennya.

Kepribadian Kiai yang kuat, kedalaman pemahaman dan pengalaman

keagamaan yang mendalam menjadi jaminan seseorang dalam menentukan

pesantren pilihannya.

Berdasarkan pertimbangan di atas, santri mengidentifikasi Kiai sebagai

figur yang penuh kharisma dan wakil atau pengganti orang-tua (inloco

parentis). Kiayi adalah model (uswah) dari sikap dan tingkah-laku santri.

Proses sosialisasi dan interaksi yang berlangsung di pesantren memungkinkan

santri melakukan imitasi terhadap sikap dan tingkah-laku Kiai. Santri juga

dapat mengidentifikasi Kiai sebagai figur ideal sebagai penyambung silsilah

keilmuan para ulama pewaris ilmu masa kejayaan Islam di masa lalu.Kiai

atau Ustad di pesantren bisa menempatkan diri dalam dua karakter, yaitu

sebagai model dan sebagai terapis.

Sebagai model, Kiayi atau Ustad adalah panutan dalam setiap tingkah-

laku dan tindak-tanduknya. Bagi anak usia 7-12 tahun hal ini mutlak

dibutuhkan karena Kiai atau Ustad adalah pengganti orangtua yang tinggal di

tempat yang berbeda. Dalam pesantren dengan jumlah santri yang banyak

diperlukan jumlah Ustad yang bisa mengimbangi banyaknya santri sehingga

setiap santri akan mendapatkan perhatian penuh dari seorang Ustad. Jika rasio

keberadaan santri dan ustad tidak seimbang, maka dikhawatirkan ada santri-

santri yang lolos dari pengawasan dan mengambil orang yang tidak tepat
sebagai model. Sebagai terapis, Kiai dan Ustad memiliki pengaruh terhadap

kepribadian dan tingkah-laku sosial santri.

Semakin intensif seorang ustad terlibat dengan santrinya semakin besar

pengaruh yang bisa diberikan. Ustad bisa menjadi agen kekuatan dalam

mengubah perilaku dari yang tidak diinginkan menjadi perilaku tertentu yang

diinginkan. Akan sangat bagus jika anak dapat belajar dari sumber yang

bervariasi, dibandingkan hanya belajar dari sumber tunggal.


BAB III

LAPORAN HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Kondisi Obyektif Pondok Pesantren Al-Istiqlal Ciranjang Kab. Cianjur

1. Sejarah Pondok Pesantren Al_Istiqlal

Pondok Pesantren Al-Istiqlal Desa Selajambe Kecamatan Sukaluyu

Kabupaten Cianjur, didirikan pada tahun 1958. Yang pada awal berdirinya

yaitu di Kampung Tunturunan kemudian setelah berkembang dan banyak

santrinya Pondok Pesantren pindah tempat ke Kampung Cicantu sampai saat

ini.

Pondok Pesantren Al-Istiqlal ini didirikan oleh K. H. Jalaludin Mahali, dan

semenjak berdiri sampai pada tahun 1980, kepemimpinan dan pelaksana

pembelajaran di Pondok Pesantren tersebut hanya dipimpin oleh Beliau

sendiri.

Tetapi dalam perkembangannya semakin lama perkembangan Pondok

Pesantren Al-Istiqlal, semakin berkembang pesat, sehingga pada tahun 1986

pihak pengelola Pondok Pesantren Al-Istiqlal mengangkat 6 orang tenaga

pengajar dan sekaligus menjadi para pengurus Pondok Pesantren.

Status kelcmbagaan

Pondok Pesantren Al-Istiqlal Sukaluyu terdaftar pada Departemen Agama

RI dengan nomor Induk 674/10/2. Namun Pondok Pesantren Al-Istiqlal

Sukaluyu sejak berdirinya hingga sekarang tidak mempunyai yayasan.


2. Tujuan kelembagaan

Secara tersurat, tidak terdapat tujuan yang secara khusus ditargetkan oleh

para pendiri maupun pengasuh Pondok Pesantren Al-Istiqlal Sukaluyu,

namun secara tersirat, tujuan tersebut dapat dipahami dari berbagai sumber

sebagai berikut: "Menghidupkan pelajaran agama yang melalui Sharaf dan

Nahwu dengan masa dipersingkat"

- Selanjutnya pada motto pondok tertulis sebagai berikut: "Santri belajar

tidak mencari ijazah tapi menimba ilmu"

- Melihat kenyataan bahwa kurikulum yang dikembangkan pada pondok

ini lebih menekankan pada penguasaan ilmu alat (nahwu dan sharaf) dan

ilmu pengetahuan agama dengan sistem kitab.

Dengan demikian disimpulkan bahwa secara khusus Pondok Pesantren Al-

Istiqlal Sukaluyu bertujuan untuk mencetak murid-muridnya menjadi ahli

kitab dan mengamalkan pengetahuan yang dimilikinya, mampu menunjukkan

sumber rujukan dalam kitab-kitab Fiqh klasik (kitab kuning) kalau menemui

persoalan agama.

3. Struktur Organisasi

Secara ringkas, struktur organisasi kepengurusan Pondok Pesantren Al-

Istiqlal Sukaluyu adalah sebagai berikut:

Pengasuh I : KH. JALALUDIN MAHALI

Pengasuh II : IJUDIN MAHALI

Wakil : K.H. AKAS

Sekretaris : K.H. ADE MAHALI


Bidang-Bidang

Umum : AKO

Tata Usaha : IJAH KHODIJAH

Kesantrian : K. H. AKAS

Humas : H. DIMYATI

Keuangan : JUBAEDAH

Kebersihan : FATIMAH

4) Kepemimpinan Pondok

Pimpinan Pondok Pesantren Al-Istiqlal Sukaluyu, Sejak berdirinya hingga

saat ini, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Istiqlal Sukaluyu adalah KH.

JALALUDIN MAHALI. Sehingga segala sesuatu yang berhubungan dengan

keputusan atau kebijakan yang akan diambil, berdasarkan musyawarah dan

keputusan terakhir berada pada K.H. JALALUDIN MAHALI

5) Sumber Dana

Bangunan pondok pesantren didirikan pada tahap pertamanya dengan dua

buah asrama masing-masmg berukuran 35 x 15.60 m, dengan kapasitas 12

buah kamar ditambah satu buah bangunan untuk tempat memasak. Bangunan

tersebut didirikan di atas lahan tanah milik KH. Jalaludin Mahali sendiri.

Untuk mendukung pcmbangunan tersebut, saat itu masing-masing murid

beliau menyumbang , dan seterusnya mengalir pula sumbangan dari

masyarakat yang dengan suka cita dan ikhlas berusaha membantu

pembangunan pondok pesantren tersebut Mengenai biaya pembangunan dan

pengelolaan pondok Pesantren, sumberya berasal dari:


a) Pengasuh Pesantren.

b) Hasil pertanian/perkebunan kolektif dan usaha-usaha lain dengan lahan

pertanian 5000 meter.

c) Sumbangan dari santri setiap bulan dan sumbangan pendaftaran,

koperasi (Badan hukum koperasi nomor 7/ BH/DC 18-5-1978), dan

waning pondok (dibangun tanggal 3 Nopember 1960).

d) Wakaf dan sumbangan dari dermawan muslimin (tidak ada donator

tetap).

Proses Pembelajaran

1). Jenjang Pendidikan

Jenjang pembelajaran di Pondok Pesantren Al-Istiqlal Sukaluyu adalah

dengan menggunakan sistem kitab. Yaitu dibedakan berdasarkan jenis kitab

yang dipelajarinya, maka terdapat kelompok pemula/persiapan, sampai

dengan kelompok ma’had.

Kitab-kitab yang biasa diajarkan di pesantren dapat digolongkan ke dalam

tiga kelompok yaitu :

* Kitab-kitab Dasar, meliputi : kitab Tijan, Jurrumiyah, dan Sapinah.

* Kitab-kitab tingkat menengah, meliputi : kitab Alfiyah, Al-Ihya, dll

* Kitab Kitab besar, kelompok ini biasanya mempelajari kitab-kitab yang

termasuk pada kitab-kitab yang memerlukan pemahaman yang tinggi

dan memerlukan seorang Kiayi yang berpengalaman.


2) Kurikulum

Sebagaimana umumnya pondok pesantren tradisional dan berbentuk

salaftyah, seluruh disiplin ilmu yang diajarkan adalah berupa ilmu agama dan

ilmu alat saja, demikian pula hanya di Pondok Pesantren Al-Istiqlah. Terdapat

10 macam ilmu yang diajarkan. Dari jumlah tersebut dibagi menjadi dua

tahap.

3) Sistem Pembelajaran

Kegiatan belajar di Pondok Pesantren Al-Istiqlah umumnya dilaksanakan

setelah selesai shalat fardlu, yaitu sebagai berikut:

- Pagi hari, setelah shalat Subuh s.d. sekitar pukul 09.00

- Siang hari, setelah shalat Zuhur s.d. shalat Ashar

- Sore hari, setelah shalat Ashar sampai pukul 17.00

- Malam hari, setelah shalat Maghrib s.d. shalat Isya'

Pengaturan waktu belajar di atas hanya merupakan patoka jadwal secara

umum, adapun jadwal kegiatan belajar secara pasti dan tertulis tidak ada. Hal

ini terjadi karena masing-masing kelompok dan guru-guru tertentu memiliki

kegiatan mengajar nasing-masing, di samping itu tidak ada istitah libur

belajar kecuali khusus untuk malan Jum'at.

4) Tenaga Pengajar

Tenaga pengajar umumnya diambil dari para santri senior yang dipandang

cakap dan memiliki keilmuan yang cukup untuk memberikan bimbingan dan

pengajaran kepada para santri baru. Dan para putra dan kerabat K.H.
Jalaludin Mahali, yang telah memiliki pengetahuan yang mapan untuk

menjadi tenaga pengajar.

Adapun para pemgajar tersebut dapat dituliskan sebagai berikut :

NO NAMA TUGAS MENGAJAR KETERANGA


N
1. K.H. Jalaludin Mahali Nahwu, Syaraf, dan mantek.
2. IJUDIN MAHALI Fiqih dan Ushul Fiqih
3. K.H. AKAS Hadist, B. Arab
4. K.H. ADE MAHALI Tauhid dan Tassauf
5 Hj. JUBAEDAH Akhlak
6 DIMYATI Ilmu Falaq, Tafsir

5) Sarana dan Fasilitas

Bangunan pondok pesantren didirikan pada tahap pertamanya dengan dua

buah asrama masing-masing berukuran 3.5 x 15.60 m dengan kapasitas 12

buah kamar ditambah 1 buah bangunan untuk tempat memasak.

Pada tangal 7 Jumadil akhir 1385 H dibangun sebuah Mesjid yang

sederhana berukuran 10x10 meter. Dengan dibangunnya Mesjid tersebut,

maka shatat berjamaah dan kegiatan lainnya bagi santri agar lebih mudah

melakukan pengawasan. Saat ini Mesjid tersebut direhab sehingga berukuran

30 x 30 m dengan bangunan permanen dan dilengkapi dengan fasilitas

lainnya. Ruang tamu dan sebagiannya ruang administrasi.

Begitu pula dengan ruang belajar, setelah mengalami perkembangan

jumlah santri yang cukup pesat, maka ruang belajar ditambah sehingga

menjadi 20 lokal, sementara untuk asrama santri tersedia 23 buah asrama.

Untuk memasak dan ruang makan untuk santri, dibangun tiga buah ruangan

dapur/makan umum, masing-masing dipimpin oleh seorang ketua. Sementara


untuk kepentingan mandi, mencuci dan berwudu, umumnya santri

memanfaatkan air sungai.

6) Sistem Evaluasi

Sistem evaluasi belajar dilaksanakan dengan ujian pengua-saan membaca

kitab, memahami isinya, serta menghafal materi-materi tertentu. Evaluasi ini

dilakukan setelah pelajaran satu kitab berakhir, bagi yang dinyatakan lulus

akan meningkat kepada kitab yang lain sesuai dengan kurikulum yang

ditetapkan. tetapi bagi yang tidak lulus mengulangi ikut memperdalam kitab

yang sudah diajarkan, atau menghafal kembali materi yang dihafalkan. Hal

ini berjalan karena pembetajaran dilakukan tidak menggunakan sistem

tingkatan kelas-Untuk evaluasi hafalan herjalan sangat ketat, santri diyakini

benar-benar hafal baru dinyatakan lulus.

B. Upaya yang dilakukan Pondok Pesantren dalam Peningkatan

Kemampuan Membaca Kitab Kuning di Pondok Pesantren Al-Istiqlal

Kecamatan Sukaluyu kabupaen Cianjur.

Berdasarkan hasil wawancara dengan para pengurus Pesantren Al-Istiqlah,

serta hasil observasi terhadap pelaksanaan pengajian di pesantren, yang

berhubungan dengan peningkatan kemampuan santri, terutama tentang

kemampuan santri dalam membaca kitab kuning, maka hasil penelitiannya

dapat dideskripsikan sebagai berikut :

1. Perencanaan
Perencanaan dilaksanakan sebelum kegiatan pembalajaran/pengajian

di pondok poesantren dilaksanakan, adapaun dalam perencanaan ini

akan ditentukan materi apa yang akan diberikan ke para santri, berapa

lama kitab/materi yang akan diberikan, serta siapa para pangajarnya.

Dengan demikian diharapkan kemampuan santri dalam kurun waktu

yang telah ditetapkan akan memperoleh hasil sesuai dengan harapan

pesantren yaitu santri memiliki kemampuan membaca kitab kuning.

2. Pemilihan metode dalam pembelajaran membaca kitab Kuning.

Pada tahap awal santri yang mengikuti pembelajaran di Pesantern Al-

Istiqlal ini diberikan pelajaran kitab sederhana, diantaranya kitab

Sapinah, Tijan, Matanbina, dan jurumiyah, dengan menggunakan

metode sistim sorogan. Sedangkan dalam pengajian sistem wetonan,

atau secara klasikal, biasanya diajarkan salah satu kitab dan

diantaranya termasuk kitab-kitab alat (nahu dan syorof). Dengan

tujuan agar para santri lebih cepat pamahamannya dalam membaca

kitab kuning.

Adapun metode yang sering digunakan di Pesantren Al-Istiqlal ini

diantaranya Metode Ceramah, Tanya jawab, dan pemecahan masalah,

terutama dalam materi Nuhwu dan Syorof, dengan metode ini

biasanya para santri menyenangi serta mereka dengan sungguh-

sungguh mengikuti pelajaran tersebut hingga akhir, dan kadang-

kadang memberikan tugas ke para santri yang berhubungan dengan


mencari istilah-istilah yang belum dipahami oleh para santri pada

kitab yang dipelajarinya.

3. Pemilihan Materi yang disesuaikan dengan tingkat kemampuan para

santri serta lamanya mereka mengikuti pembelajaran di pesantren.

Materi atau kitab-kitab yang dipelajari oleh para santri, biasanya dari

kelompok kitab-kitab yang sederhana kemudian dilanjutkan pada

kelompok kitab-kitab yang lebih tinggi atau sulit, baik dari kelompok

pelajaran tauhid, Fiqih, Nahwu, Syorof, Logat, dan atau dari kitab-

kitab lainnya.

4. Penilaian yang dilaksanakan di Pondok Pesantren Al-Istiqlal Sukaluyu

Cianjur, yaitu dengan melaksanakan kegiatan penilaian pada kegiatan

pembelajaran atau pengajian, dengan memberikan pertanyaan-

pertanyaan ke tiap-tiap santri. Disamping itu pula penilaian

dilaksanakan secara perorangan yaitu dilaksanakan kepada santri yang

dalam kurun waktu tertentu dan biasanya dalam waktu 6 bulan, pihak

pengurus pesantren selalu mengadakan penilaian.

Adapun penilaian tersebut dilaksanakan dengan cara pengetesan

secara perorangan dengan memperhatikan tingkat kemampuan para

santrinya.

Hasil dari penilaian ini, biasanya di pakai sebagai bahan masukan ke

pihak pengurus pesantren, juga sebagai indikator tingkat pencapaian

para santri dalam pemahaman terhadap pelajaran yang diberikan

selama mengikuti pendidikan di pesantren. Bagi mereka yang berhasil


dapat melanjutkan mempelajari kitab-kitab yang lainnya. Jadi

penilaian di sini palaksanaannya tidak secara formal sebagaimana

penilaian yang dilaksanakan di sekolah-sekolah formal.

5. Adapun pelaksanaan pengajiannya yaitu disesuaikan dengan jadwal

waktu pelaksanaan sholat 5 waktu. Dengan penjadwalan sebagai

berikut :

a. Untuk sorogan biasanya dilaksanakan setelah shalat subuh dan

setelah shalat magrib, ini merupakan kegiatan wajib bagi tiap-tiap

santri, tetapi diperbolehkan pada waktu lain apabila memang

pengajarnya ada, misalnya di waktu senggang.

Dan biasanya sorogan ini yang membimbingnya yaitu santri yang

sudah senior (Lurah santri), tidak langsung oleh pengurus atau

pimpinan pesantren.

b. Wetonan atau pengajian secara klasikal, biasanya dipimpin oleh

pengurus pesantren langsung, dan semua santri wajib

mengikutinya, sedangkan jadwal pengajiannya yaitu pada waktu

ba’da Isya, ba’da shalat Dhuhur, Ba’da shalat Subuh (dari jam

07.00 Sampai jam 09.00 pagi.


C. Faktor-faktor penghambat Pondok Pesantren Al-Istiqlal Ciranjang

dalam peningkatan Kemampuan Membaca Kitab Kuning.

Berdasarkan hasil wawancara, observasi, dan studi dokumentasi, maka

faktor-faktor yang menghambat dalam upaya peningkatan kemampuan santri

dalam membaca kitab kuning adalah sebagai berikut :

1. Dari dalam (internal) pondok pesantren, yaitu masih kekurangan tenaga

pengajar yang memiliki kompetensi yang baik dalam upaya peningkatan

kemampuan membaca kitab kuning, selain itu pula ketidak seimbangan

antara para pengajar dengan jumlah para santri, sehingga dari jumlah

santri yang ada tidak dapat dilayani secara optimal.

2. Kurang tersedianya sarana prasarana yang memadai dalam rangka

mendukung terhadap peningkatan kemampuan santri dalam membaca

kitab kuning, diantaranya belum cukup tersedianya macam-macam kitab

kuning dengan berbagai macam judul, karena harga kitab-kitab tersebut

mahal. Vasilitas belajar diantaranya papan tulis dan alat-alat lainnya

sehingga para pengajar kesulitan untuk memberikan penjelasan yang lebih

mendalam sesuai dengan permasalahan yang sedang di bahas.

3. Motivasi para santri yang kurang, karena dari jumlah santri yang ada,

dilihat dari waktu jadwal pelaksanaan pengajian banyak santri yang tidak

hadir, dengan berbagai alasan, sehingga materi yang diberikan tidak dapat

diterima oleh semua santri. Hal ini terjadi kepada santri yang agak nakal,

karena mereka biasanya telah lama di pesantren dan juga mereka telah

kenal dengan masyarakat lingkungan pesantren, sehingga kadang-kadang


mereka lebih senang bermain dengan teman-temannya di luar pessantren,

ada yang nonton TV, dll, disamping itu pula pengawasan dari pihak

pesantren yang kurang dikarenakan tidak adanya secara khusus penjaga

atau tenaga pengawas para santri. Jadi dengan adanya kendala di atas,

maka akan berpengaruh terhadap motivasi santri dalam belajanya.


BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan di Pondok Pesantren Al-

Istiqlal Kecamatan Sukaluyu kabupaten Cianjur tentang Manageman Pondok

Pesantren dalam peningkatan mutu santri, terutama dalam kemampuan santri

dalam membaca kitab kuning, maka dapat disimpulkan sebagai berikut

1. Upaya yang dilakukan oleh Pondok Pesantren Al-Istiqlal Kecamatan

Sukaluyu kabupaten Cianjur dalam peningkatan kemampuan santri di

dalam membaca kitab kuning diantaranya adalah : menyusun perencanaan

yang berhubungan dengan peningkatan kemampuan santri, menentukan

Metode dalam kegiatan pengajian, biasanya yang sering digunakan adalah

metode ceramah, tanya jawab, pemecahan masalah, dan pemberian tugas,

pemilihan materi untuk para santri diberikan secara bertahap dari yang

mudah atau sederhana meningkat ke yang lebih tinggi atau sulit, hal ini

dapat dilihat dari kitab-kitab yang dipelajari oleh setiap santri. Tahap

permulaan biasanya yang dipelajari diantaranya; kitab Sapinah,

Jurumiyah, matanbina, dan Tijan, penilaian dilaksanakan ketika

pembelajaran dilaksanakan terhadap tiap-tiap santri, atau dilaksanakan

pada waktu tertentu sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan oleh

pesantren, dan biasanya dalam waktu 6 bulan sekali. Penilaian

dilaksanakan dengan tujuan untuk mengetahui tingkat pemahaman satri


dan sebagai bahan untuk mengikuti pelajaran yang lebih tinggi, dan

pelaksanaan kegiatan pengajian terbagi menjadi dua kegiatan yaitu :

sorogan dan wetonan atau secara klasikal. Sorogan dilaksanakan setiap

setelah shalat magrib, dan setelah shalat subuh. Sedangkan wetonan

dilaksanakan sehabis shalat isya, setelah shalat subuh dan setelah shalat

dhuhur.

2. Faktor penghambat dalam peningkatan kemampuan santri membaca kitab

kuning yang dirasakan oleh Pesantren Al-Istiqlal Kecamatan Sukaluyu

kabupaten Cianjur adalah : kurang tersedianya para pengajar yang

memadai, jika dibandingkan dengan jumlah santri yang ada saat ini, sarana

dan prasarana yang belum memadai, sehingga kegiatan pembelajaran tidak

dapat berjalan secara optimal, Motivasi para santri yang kurang, hal ini

disebabkan karena pengawasan dari pihak pesantren terhadap para santri

kurang, sehingga mereka dengan mudah sekali untuk bolos, dan kadang-

kadang mereka bermain di lingkungan masyarakat sekitar pesantren.

B. Saran

Dari kesimpulan yang diuraikan di atas sebagai hasil dari penelitian ini,

maka ada beberapa hal yang perlu disampaikan kepada pihak-pihak yang

berhubungan dengan peningkatan kemampuan santri, diantaranya :

a. Penyediaan tenaga pengajar yang memadai dengan jumlah santri yang

ada, agar pelaksanaan pelayanan terhadap para santri dapat dilayana

secara optimal.
b. Penyediaan sarana dan prasarana pembelajaran diharapkan dapat

diupayakan dengan pihak orang tua santri, agarv kegiatan pembelajaran

di pesantren dapat berjalan optimal.

c. Pengawasan terhadap para satri harus ditingkatkan, dengan

menyediakan tenaga pengawas secara khusus, sehingga aktivitas para

santri dapat diawasi dengan baik.


DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsini, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta:


Rineka Cipta, 1998), cet. XI

A.Naufal Ramzi, (1993). Islam dan Transformasi Budaya, Jakarta: CV. Deviri
Ganan.

Departemen Agama Rl. (2003). Laporan Statistik EM1S Pondok Pesantren


Tafwn Pelajaran 2002/2003: 63 - Kalimantan Selatan. Jakarta:
Dirjen Binbaga Islam.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,


(Jakarta: Pustaka, 1999), cet. Ke-10.

Dewan Redaksi Ensiklopedi, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1994), cet. Ke-4, jilid 3

Hadi, Aminul dan Haryono, Metodologi Penelitian pendidikan, (Bandung CV.


Pustaka Setia, 1998)

Husni Rahmi, (2001). Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia,


(Jakarta:Logos).

M. Dawan Raharjo, (1995). Pesantren dan Pembaharuan, Jakarta :LP3ES

Mas’ud, Abdurrahman.2002 .Sejarah dan Budaya Pesantren.Semarang: Pustaka


Pelajar Offset.

Mastuhu. (1994). Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta: INIS.

Muchtarom, Zuhairini, 2004. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.

Nata, Abudin, 2001.SejarahPertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-


Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Grasindo.

Mas’ud, Abdurrahman.(2002) .Sejarah dan Budaya Pesantren.Semarang:


Pustaka.Pelajar Offset

Muchtarom, Zuhairini,( 2004). Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi


Aksara.

Nata, Abudin, (2001).SejarahPertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-


Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Grasindo.
Pranowo,M.Bambang, (1999). Islam Faktual Antara Tradisi dan Relasi Kuasa.
Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.

Qomar Mujamil. (2005). Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju


Demokratisasi Institusi. Jakarta: Erlangga.

Saeful Anwar, (2002), Manajeman Pondok Pesantren Menghadapi Era


Globalisasi (Strategi Menghadapi Tantangan Maha Berat Abad
XXI)

Soekanto, Suerjono(1982). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali

Supariadi, (2001). Kyai Priyayi Dimasa Transisi. Surakarta: Pustaka Cakra

Wirjo Sukarto,Amir Hamzah,(1968). Pembaharuan Pendidikan dan


Penggajaran Islam.Malang :U.U Ken Mutia.

Ziemek Manfred,(1986). Pesantren Dalam Perubahan Sosial. Jakarta:P3M

Zaini,Wahid.(1994).Dunia Pemikiran Kaum Santri. Yogyakarta:LKPSM NU.

You might also like