You are on page 1of 213

Membangun Agribisnis Untuk Meningkatkan

Indeks Pembangunan Manusia Provinsi


Gorontalo

Pengantar

Tulisan ini merupakan tulisan original yang sepenuhnya disusun oleh


Penulis (Endih Herawandih) dalam tahun 2007-2008. Proses
penulisan sepenuhnya dilakukan berdasarkan metode partisipatif
yang melibatkan berbagai stakeholder dari tingkat kecamatan,
kabupaten/kota dan provinsi. Pembahasan pada tingkat nasional
pernah dilakukan beberapa kali, namun ditolak dengan alasan bahwa
“tulisan ini tidak memenuhi kualitas dan standar penulisan
internasional, sehingga dianggap sebagai garbage (begitu kata pak
Hasbullah Tabrani dan Leonard Simanjuntak)”.

Menyadari rendahnya kualitas penulisan dan kapasitas saya sebagai


orang yang berpendidikan rendah, saya mematuhi apa yang telah
dikatakan para ahli tersebut. Saya menghormati keputusan yang
telah diambil.
Namun demikian, upaya yang telah dilakukan oleh berbagai pihak
untuk membangun agribisnis terpadu di Provinsi Gorontalo yang
bertujuan untuk meningkatkan angka indeks pembangunan manusia
masih memerlukan sumbangan saran agar tujuan tersebut berhasil
sampai pada tingkat operasional. Harapan Gubernur Provinsi
Gorontalo untuk menyusun perencanaan pembangunan sampai pada
tingkat kecamatan harus didukung dengan sebuah konsep yang
bersifat komprehensif dan terintegrasi. Oleh karena ini saya ingin
mempersembahkan tulisan yang telah dianggap sampah ini bagi
siapa saja yang berpikir praktis dan strategis agar tidak mubazir.

Tulisan ini merupakan ringkasan dari dokumen lengkap yang telah


saya susun. Bagi yang memerlukan tulisan lengkap dengan
lampirannya yang mencakup rincian rencana program sampai
dengan activities menurut sub sector dan komponen dapat diperoleh
dari saya sendiri. Please feel free to contact me on
herawandi@gmail.com dan endihherawandih@gmail.com.

Susunan bab memang terasa aneh karena konsep ini merupakan


bagian dari tulisan yang berhubungan dengan tulisan orang lain.
Saya tidak berhak untuk mencantumkan tulisan tersebut.

Anggaplah tulisan ini sebagai sampah yang dapat digunakan sebagai


bahan dasar pembuatan pupuk organic. Pupuk organic dapat
digunakan untuk memupuk tanaman…….

Terima Kasih

Endih Herawandih
3.1. Membangun Agribisnis Terpadu Melalui Pengelolaan
Sumberdaya, Penguatan Modal Masyarakat dan
Penguatan Kelembagaan

3.1.1.Ketersediaan Pangan

Ketersediaan pangan Provinsi Gorontalo selama lima tahun terakhir


(2002-2006) tidak menghadapi masalah karena daerah ini
merupakan penghasil beras. Surplus produksi beras rata-rata selama
periode tersebut adalah sebesar 20 % per tahun. Produksi beras
selama periode tersebut
berkisar antara 96.842 ton
yang terjadi pada tahun
2002 dan tertinggi sebesar
108.528 ton pada tahun
2006. Kondumsi beras
selama periode tersebut
berkisar antara 83.085 ton
sampai dengan 87.287 ton.
Dengan tingkat produksi
dan konsumsi tersebut,
ketersediaan pangan
mencukupi untuk periode
waktu tersebut. Gambar
3.1. memperlihatkan
surplus beras yang cukup
signifikan dan menunjang
status ketahanan pangan. Adanya surplus produksi memungkinkan
Provinsi Gorontalo untuk mengirim beras ke luar wilayah, antara lain
ke Ke Provinsi Sulawesi Tengah dan Sulawesi Utara.

Gambar 3.1. Produksi dan Konsumsi Beras di Provinsi Gorontalo

Dengan rata-rata pertumbuhan konsumsi hanya sebesar 0,99 % dan


peningkatan produksi sebesar 1,61 % pertahun, maka tidak ada
alasan kuat untuk mengkhawatirkan ketahanan pangan di Provinsi
Gorontalo kecuali terjadi bencana alam hebat yang menghancurkan
sistem produksi beras atau kegagalan panen yang merata di seluruh
wilayah. Selain kondisi surplus beras, diversifikasi konsumsi pangan
yang terjadi secara alamiah, sangat mendukung status ketahanan
pangan karena secara tradisional, masyarakat Provinsi Gorontalo
mengkonsumsi jagung sebagai makanan pokok selain beras.
Gambar 3.2 memperlihatkan bahwa kecenderungan peningkatan
produksi yang lebih besar dari peningkatan konsumsi. Namun
demikian, dalam jangka panjang perlu diwaspadai adanya fluktuasi
yang sangat lebar pada balance stock setiap akhir tahun. Kondisi
demikian dikarenakan adanya spektrum pola tanam yang sangat
semppit untuk komoditas padi sawah dan padi lahan kering.
Kurangnya sarana dan prasarana pengairan di beberapa wilayah
sentra produksi beras
menyebabkan musim tanam
hanya dapat dilakukan sekali
dalam setahun karena
tergantung pada
ketersediaan air hujan.

Kondisi ketersediaan pangan


yang cukup terjamin selama
beberapa dekade di Provinsi
Gorontalo nampaknya menjadi
salahsatu dasar pertimbangan
ditetapkannya kebijakan
pembangunan pertanian
bertema Agropolitan Jagung.
Pertimbangan tersebut sangat
rasional karena komoditas
jagung merupakan salahsatu
bahan makanan prokok
masyarakat dan untuk mengembangkan produksi sampai batas tertentu
tidak memerlukan sarana dan prasarana sebesar yang diperlukan untuk
pengembangan padi sawah. Dengan jumlah yang sama, biaya yang
diperlukan untuk mengembangkan sarana dan prasarara pendukung
produksi selanjutnya dapat dialokasikan untuk membangun sistem
agribisnis jagung yang menghasilkan manfaat ekonomi lebih besar.
Dampak berganda yang dihasilkan secara agregat akan menggerakkan
perekonomian sehingga sektor lain yang berhubungan dan tidak
berhubungan bergerak dengan sendirinya. Konsep strategis yang cukup
sederhana ini tidak terlalu banyak dipahami oleh sebagian ahli karena
jika dianalisis secara sektoral dan dalam jangka pendek tidak terlihat
signifikan dalam pertumbuhan ekonomi jangka pendek. Tetapi jika
dilakukan analisis manfaat ekonomi mutisektor akan terasa bahwa
kebijakan agropolitan jagung merupakan langkah awal yang tepat bagi
provinsi yang berusia relatif muda ini.
Gambar 3.2. Balance Stock, Laju Konsumsi dan Laju Produksi
Beras Provinsi Gorontalo1
Provinsi Sulawesi Selatan 2.887
Provinsi Sulawesi Tenggara 2.726 3.1.2.Pengeluaran Per Kapita dan
Provinsi Sulawesi Tengah 2.883 Hubungannya dengan IPM
Provinsi Sulawesi Utara 3.631
Provinsi Gorontalo merupakan
Provinsi Gorontalo 2.596 Provinsi yang masih relatif muda
Kota Gorontalo 3.957
1 Sumber data: Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan, BAPPEDA, BPS Provinsi Gorontalo, Diolah.
Kab. Bone Bolango 2.307
Kab. Pohuwato 2.572
Kab. Gorontalo 2.314
Kab. Boalemo 2.122
Pengeluaran Per Kapita 2006 (Rp 000/tahun)
usianya di kawasan Pulau Sulawesi. Pengeluaran per kapita per tahun
di Provinsi Gorontalo relatif lebih rendah dibandingkan dengan
saudara-saudaranya yang sudah lebih lama berdiri, terlebih lagi jika
dibandingkan dengan “saudara tua” yakni Provinsi Sulawesi Utara
yang memperlihatkan tingkat pengeluaran tertinggi dibandingkan
dengan Provinsi lainnya di Kawasan Sulawesi. Pengeluaran rata-rata
seluruh kabupaten yang ada di Provinsi Gorontalo masih lebih rendah
jika dibandingkan dengan pengeluaran rata-rata tingkat Provinsi.
Hanya Kota Gorontalo yang memiliki tingkat pengeluaran jauh
berbeda jika dibandingkan dengan tingkat provinsi. Gambar 3.3.
memperlihatkan perbandingan tingkat pengeluaran masing-masing
kabupaten/kota di Provinsi Gorontalo dengan tingkat pendapatan per
kapita masing-masing provinsi di kawasan Pulau Sulawesi

Gambar 3.3. Tingkat Pengeluaran Rata-rata Per Kapita Per Tahun

Pengeluaran per kapita berhubungan dengan pendapatan per kapita


yang selanjutnya berhubungan dengan IPM suatu wilayah. Gambar
3.4. menunjukkan hubungan antara pengeluaran per kapita dengan
IPM dan Indeks pendapatan. Dari gambar tersebut dapat dilihat
bahwa ada korelasi positif antara ketiga faktor tersebut. Kondisi
seperti yang diperlihatkan pada gambar tersebut menyiratkan
perlunya intervensi dalam bentuk upaya peningkatan pendapatan
pada level provinsi dan kabupaten/kota yang bertujuan untuk
meningkatkan level IPM.

3.1.3. Hubungan Antara Indeks Pembangunan Manusia dengan


Perencanaan Pembangunan Pertanian

80
Indeks pembangunan manusia
71,3
66,4 67,2 67,4 68,6 68,0 merupakan indicator penting
70
59
untuk mengukur keberhasilan
60 56
53
55 54 56
sinergi pembangunan
50
40
multisektor yang telah
40 dilaksanakan suatu wilayah.
30
21 23
26
23
26 Dalam Bab 1 telah diuraikan
20 bahwa sektor pertanian
10
merupakan economic prime
mover di Provinsi Gorontalo.
-
Kab. Kab. Kab. Kab. Bone Kota Provinsi
Sebagai economic prime mover
Boalemo Gorontalo Pohuwato Bolango Gorontalo Gorontalo maka sektor pertanian menjadi
Rata-rataPengeluaran(xRp100000/Kapita/Tahun) dominan dalam mempengaruhi
IPM tingkat pendapatan masyarakat.
Indeks Pendapatan
Pendapatan masyarakat
menentukan indeks daya beli,
sehingga indeks daya beli sangat erat hubungannya dengan kondisi
petani sebagai pelaku utama. Dengan demikian, peningkatan IPM dari
sisi indeks daya beli akan sangat ditentukan oleh keberhasilan
peningkatan pendapatan petani. Dalam seksi ini akan diuraikan faktor-
faktor yang menentukan keberhasilan sektor pertanian dalam
hubungannya dengan peningkatan indeks daya beli sebagai dasar untuk
merencanakan pembangunan pertanian berbasis IPM.

IPM seluruh provinsi Gorontalo adalah sebesar 68. Mengacu pada


hasil perhitungan, terdapat 15 kecamatan yang memiliki IPM yang
lebih rendah dari IPM Provinsi. Untuk mengejar ketertinggalan
kecamatan-kecamatan tersebut diperlukan intervensi yang bersifat
kuratif dalam bentuk redesign perencanaan pertanian, perencanaan
sektor kesehatan dan perencanaan sektor pendidikan. Sedangkan
untuk kecamatan-kecamatan yang telah mencapai IPM sama dengan
atau lebih dari IPM provinsi, dapat tetap digunakan perencanaan
pembangunan yang telah ada dengan menitikberatkan pada
pemantapan sistem pelaksanaan untuk meningkatkan efektititas
output dan outcome diiringi dengan design perencanaan preventif
untuk mengantisipasi berbagai faktor yang memungkinkan terjadinya
penurunan nilai IPM. Dengan demikian perlu penguatan kombinasi
mekanisme perencanaan, pelaksanaan, monitoring, evaluasi dan
feedback yang bersifat bottom-up planning dengan top-down
planning untuk meningkatkan efektitifitas dan efisiensi penggunaan
biaya pembangunan.

Mengapa Pertanian Menjadi Tema Sentral Peningkatan IPM


Gorontalo?

Komponen daya beli, merupakan salahsatu penentu rendahnya IPM


Provinsi Gorontalo. Dihubungkan dengan sumber pendapatan
masyarakat pada 12 kecamatan tersebut, sektor pertanian
merupakan sumber pendapatan masyarakat dengan persentase
penduduk yang bekerja pada sektor pertanian seperti terlihat pada
Gambar 3.4.
Gambar 3.4.
Persentase KK
Pertanian Menurut
Kabupaten2

Berdasarkan Gambar
3.4 diketahui bahwa
hampir seluruh
masyarakat di
seluruh kabupaten
menggantungkan
hidupnya pada sector
pertanian, dengan
kisaran antara 76 %
sampai dengan 87 %
kecuali di Kota
Gorontalo.
Persentase keluarga
yang bekerja pada sector pertanian di Kabupaten Gorontalo Utara
adalah yang tertinggi, yaitu sebesar 87 % sedangkan di Kota
Gorontalo hanya sebesar 24 %. Sumber pendapatan masyarakat Kota
Gorontalo berasal dari luar sector pertanian karena sebagai sebuah
wilayah bertipologi perkotaan dan sebagai ibukota provinsi lebih
banyak kesempatan berusaha dan bekerja di luar sektor pertanian.
Selain hal tersebut, kebijakan pemerintah Kota Gorontalo
mengarahkan kota tersebut sebagai pusat pelayanan perekonomian
yang bertitik tumpu pada sektor jasa, perdagangan, pendidikan dan
konstruksi di masa depan. Peran sektor pertanian yang akan semakin
dikurangi seiring dengan meningkatnya alokasi sumberdaya lahan
untuk sektor perdagangan, jasa, dan perumahan sehingga di masa
depan tidak ada kesempatan untuk mengembangkan sektor
pertanian di Kota Gorontalo. 2.
3. Industri
Fakta yang ditemukan 1. Pert
anian Pertam bangan
Pengolahan
dan Penggalian
bahwa sektor pertanian 5%
8%
1%
sangat kecil perannya di 9. J asa-J asa
Kota Gorontalo seperti 28% 4. Listrik, Gas
dan Air Bersih
terlihat pada Gambar 3.5. 3%

Gambar 3.5. Peran Sektor 5. Bangunan


8. Keuangan,
Ekonomi dalam PDRB Kota Persewaan dan
7%
6. Perdagangan
Gorontalo J asa
7.
Besar, Eceran,
Pengangkutan
Perusahaan Rumah Makan
dan Komunikasi
Dari Gambar 3.5. terlihat 13%
15%
dan Hotel
bahwa peran sektor 20%
pertanian dalam
2 Sumber: Master Plan Kemiskinan Provinsi Gorontalo, BAPPEDA Provinsi Gorontalo Bekerjasama
dengan Universitas Gajah Mada, 2007.
perekonomian Kota Gorontalo pada tahun 2006 hanya sebesar 5 %.
Dengan demikian adalah wajar bahwa kebijakan Pemerintah Kota
Gorontalo yang lebih mengarahkan pembangunan ekonomi
wilayahnya pada sektor perdagangan, jasa dan keuangan. Karena;
(1) struktur perekonomian Kota Gorontalo yang tidak bertumpu pada
sektor pertanian; (2) semakin menurunnya sumberdaya lahan yang
tersedia untuk usaha pertanian; (3) kebijakan pemerintah kota yang
mengarahkan sistem perekonomiannya ke sektor perdagangan, jasa,
telekomunikasi dan keuangan; dan (4) tidak ada kecamatan di Kota
Gorontalo yang memiliki IPM lebih rendah dari IPM Provinsi maka
arah perencanaan pembangunan manusia untuk meningkatkan IPM
tidak mengikutsertakan Kota Gorontalo. Disisi lain, sebagai pusat
pelayanan dan Ibukota Provinsi diyakini Kota Gorontalo akan mampu
mengembangkan dirinya sendiri sebagai kota terdepan di Provinsi
Gorontalo dalam hal pembangunan manusia. Hal tersebut bukanlah
tanpa alasan, karena IPM yang dicapai oleh Kota Gorontalo sudah
lebih tinggi dibandingkan dengan Kabupaten yang ada.

Rendahnya daya beli masyarakat yang cukup merata di Provinsi


Gorontalo adalah resultan kekeliruan dalam paradigma penetapan
sasaran pencapaian pembangunan di Indonesia pada masa lalu, yaitu
orientasi hanya kepada pertumbuhan ekonomi dan
mengesampingkan perbaikan kualitas manusia dari segi pendapatan.
Meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia sebelum krisis terus
menerus mencapai 6-7 persen, tetap saja daya beli masyarakatnya
tidak mengalami perbaikan. Demikian juga halnya dengan Provinsi
Gorontalo yang menikmati pertumbuhan PDRB perkapita sebesar 14
persen per tahun (atas dasar harga berlaku ) dari tahun 2000 sampai
dengan tahun 2006 seperti ditunjukkan dengan peningkatan
siginifikan PDRB per Kapita pada Gambar 3.6. Kenyataan tersebut
memerlukan orientasi ulang dan desain ulang prioritas pembangunan
dengan menerapkan suatu paradigma baru yang lebih menekankan
pemerataan agar hasil pertumbuhan ekonomi juga menghasilkan
manfaat dalam bentuk pemerataan ekonomi.

5.000.000
Gambar 3.6. Peningkatan
Signifikan PDRB per Kapita 4.500.000

Provinsi Gorontalo 4.000.000

3.500.000
PDRB Per Kapita

Pertumbuhan ekonomi 3.000.000


sebagai aspek terpenting
2.500.000
dan tujuan pembangunan
dalam paradigma 2.000.000
pembangunan lama, dalam
1.500.000
hal ini adalah
1.000.000

500.000

0
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

Atas DasarHargaBerlaku
pertumbuhan ekonomi per kapita nampaknya sudah dapat direvisi
oleh Provinsi Gorontalo. Mengacu pada keadaan IPM di atas, mulai
dari sekarang harus dipikirkan pertumbuhan ekonomi yang dapat
dinikmati secara merata dengan menggunakan setiap sumberdaya
yang dimiliki oleh masing-masing wilayah. Reorientasi tersebut
diperlukan karena pertumbuhan per kapita yang tinggi, tidak akan
memberikan arti dan manfaat jika setiap penduduk tidak menikmati
dan memperoleh manfaat dari hasil pembangunan secara merata.
Dalam paradigma baru pembangunan ekonomi, orientasi
pembangunan adalah pertumbuhan dan distribusi nilai manfat
ekonomi bagi seluruh rakyat.

Dalam lima tahun terakhir (terutama sejak tahun 2004), Provinsi


Gorontalo telah berupaya merubah paradigma pembangunan lama
menjadi paradigma pembangunan baru dengan berprinsip pada
pendayagunaan sumberdaya yang tersedia dan pembukaan akses
ekonomi seluas-luasnya kepada masyarakat. Keberhasilan yang
ditunjukkan dengan semakin meningkatnya IPM Gorontalo. Peningkatan
IPM Provinsi Gorontalo dari 64,8 pada tahun 2002 menjadi 68 pada tahun
2006 merupakan prestasi yang cukup membanggakan sebab kebijakan
pembangunan ekonomi selama decade awal hanya berpijak pada satu
sector ekonomi, yaitu pada sector pertanian. Kebijakan yang rasional
tersebut tetap dijalankan secara konsisten meskipun mendapat banyak
yang menentang dengan berbagai argument. Meskipun tidak disambut
gembira secara nasional, masyarakat Provinsi Gorontalo menikmati
manfaat kebijakan pembangunan pertanian berbasis jagung.

Penggerak ekonomi Provinsi Gorontalo adalah sektor pertanian, dengan


demikian, pembahasan terhadap upaya peningkatan daya beli sebagai
salahsatu komponen pembentuk IPM harus difokuskan pada upaya
membangun pertanian. Kepemimpinan Fadel Muhammad sebagai
gubernur, telah mampu membawa mimpi ke alam kenyataan, dalam
jangka waktu relatif singkat, yaitu hanya dua tahun, Gorontalo berhasil
menunjukkan eksistensi sebagai salah satu produsen jagung yang
diperhitungkan. Sejak Februari 2003, Gorontalo sudah mampu menjual
jagung ke luar daerah, bahkan, dua bulan kemudian Gorontalo sudah
mulai mengekspor jagung Meskipun dirasa tidak terjadi perubahan
dramatis dalam berbagai aspek kehidupan, perubahan cukup berarti
sangat dirasakan oleh petani dan pelaku usaha hilir pada industri primer
berbasis jagung. Semakin meluasnya agribisnis jagung mengakibatkan
peningkatan diseminasi informasi mengenai nilai manfaat ekonomi dan
dampak positif sehingga mayoritas petani tertarik untuk menjadi pelaku
usaha budidaya jagung. Terlebih lagi, jagung merupakan komoditas
tradisional Provinsi Gorontalo dan sebagai salah satu bahan makanan
pokok.
Peningkatan kesejahteraan petani jagung terlihat semakin meningkat
pada triwulan akhir tahun 2007 seiring dengan; (1) meningkatnya
produktivitas; (2) meningkatnya permintaan jagung dunia; (3)
menurunnya pasokan jagung Amerika Serikat di pasar dunia karena
konversi energi fosil menjadi bio-fuel; dan (4) masih rendahnya daya
tarik komoditas jagung di provinsi lain di Indonesia menyebabkan
pasokan jagung dunia cenderung stagnan dengan permintaan yang
cenderung meningkat. Konsekuensi alamiah peningkatan permintaan
terhadap pasar adalah peningkatan harga. Akibat dari system
perdagangan global yang memungkinkan distribusi informasi secara
merata sangat menguntungkan pelaku agribisnis jagung dari hulu ke
hilir. PT BISI International Tbk, sebagai contoh adalah perusahaan
yang meraup untung luar biasa dari adanya kondisi pasar seperti
tersebut. PT BISI International Tbk., menikmati peningkatan harga
saham di BEJ secara signifikan karena adanya permintaan benih
jagung yang selalu meningkat.

Kebijakan produksi diiringi oleh kebijakan penetapan harga sehingga


dapat melindungi petani agar tidak mudah dipermainkan oleh semua
pihak. Pada tahun 2003, harga jagung di tingkat petani ditetapkan Rp
700/kg dan pada pertengahan tahun 2007 sudah mencapai Rp 1700.
Namun demikian mekanisme pasar telah melampaui harga jagung
yang ditetapkan sehingga produsen memperoleh manfaat bersih
yang lebih besar. Pada akhir 2007 dan awal 2008, akibat permintaan
jagung yang semakin tinggi mengakibatkan harga terus bergerak
naik mencapai Rp 2200/kg pipilan kering kadar air 19 %.

Meskipun masih mengalami; (1) lemahnya iklim investasi, (2)


rendahnya daya dukung infrastruktur. dan (3) persoalan inefisiensi
birokrasi masih menjadi bagian permasalahan yang mempengaruhi
persepsi pelaku ekonomi terhadap kondisi dunia usaha, Gubernur
menawarkan sebuah model pemerintahan dalam bentuk innovative
government yang meliputi 1) Inovasi dalam struktur dan perilaku
orgnisasi, 2) Inovasi untuk mengurangi hambatan birokrasi. 3) inovasi
dalam pembuatan keputusan. Ide tersebut terbukti efektif dalam
mendongkrak kegiatan perekonomian Provinsi Gorontalo.

Transformasi sistem agribisnis yang pada saat ini masih difokuskan pada
produk pertanian primer menjadi produk olahan berdaya saing kuat
tentu saja harus menjadi perhatian pemerintah Provinsi Gorontalo.
Spektrum tersebut sebenarnya telah dikemas dalam bingkai reformasi
pertanian yang telah dibuat dengan judul agropolitan jagung sejak
beberapa waktu lalu, meski hingga kini masih terbatas pada komoditas
jagung. Diperlukan sejumlah perangkat kebijakan utama dan pendukung
yang mendasari berjalannya program dimaksud, antara lain reformasi
agraria, tersedianya teknologi, agroinputs, modal kerja, akses
pemasaran, dan pengembangan produk derivat secara terintegrasi.
Selain itu perlu juga dikembangkan sumber pendapatan alternatif bagi
petani, peternak dan nelayan yang tidak menguasai sumberdaya yang
cukup untuk melangsungkan proses income generating activities. Disisi
lain, kendala birokratis yang dibuat oleh pemerintah pusat harus
dinegosiasikan kembali untuk semakin mempermudah pembangunan
pertanian dengan berbagai terobosan yang berimplikasi pada perbedaan
penerapan peraturan dan perundang-undangan. Dalam jangka pendek,
kendala aturan dan birokratis yang harus segera dinegosiasikan adalah
mengenai tatanan investasi.

Kelemahan yang ditimbulkan oleh adanya kebiasaan yang menimbulkan


biaya tinggi dan cenderung menakutkan bagi para investor harus
sepenuhnya dihapuskan tanpa basa-basi dan tanpa pandang bulu.
Masalah yang selama ini sering menimbulkan kejengkelan bagi para
investor adalah kondisi politik lokal yang menimbulkan keengganan bagi
para investor untuk memasuki suatu wilayah baru. Pertentangan politis
dan keterlibatan tokoh cenderung menghalangi kedatangan investor
baru justru akan berakibat pada kesulitan teknis dalam melakukan
analisis manfaat dan biaya bagi masuknya suatu investasi baru sehinga
kelayakannya menjadi sulit diprediksi. Jika investasi sudah berjalan,
seringkali menjadi alasan bagi investor tersebut untuk melakukan
praktek melawan hukum, misalnya dalam bentuk penetapan upah yang
tidak rasional, mempermainkan system kontrak dengan karyawan, atau
melakukan perusakan lingkunan dan sumberdaya alam. Pada saat
terjadi pelanggaran oleh investor, seringkali pemeintah menutup mata
karena ada oknum yang terlibat didalam polemik tersebut sehingga
investor nakal berada di atas angin.

Perubahan kesejahteran secara bertahap mulai terlihat dan mulai


berpengaruh pada sector lain di luar sector pertanian. Tumbuhnya
sector jasa dan industri manufaktur merupakan dampak positif dari
semakin membaiknya iklim investasi yang dibangkitkan oleh sector
pertanian. Namun demikian upaya tersebut di atas masih harus terus
ditingkatkan melalui peningkatan produktivitas dan diversifikasi
produk pertanian sehingga terjadi optimalisasi pemanfaatan
sumberdaya. Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya diyakini akan
membentuk sistem produksi barang dan jasa secara lebih efisien.
Peningkatan efisiensi diyakini akan secara simultan meningkatkan
pendapatan pelaku usaha sehingga pada akhirnya akan
meningkatkan daya beli. Fokus perhatian yang harus menjadi
kebijakan utama adalah upaya peningkatan pendapatan petani
sebagai pelaku usaha pada tingkat primer.

Dari uraian diatas, sangatlah jelas bahwa masih banyak yang harus
dilakukan oleh Provinsi Gorontalo untuk meningkatkan pendapatan
petani sebagai langkah untuk meningkatkan daya beli. Berbagai sisi
dalam sektor pertanian harus dibenahi melalui berbagai kebijakan,
program dan kegiatan yang difokuskan pada peningkatan
pendapatan petani sebagai tulangpunggung ekonomi wilayah. Untuk
melangkah pada upayan yang harus dilakukan lebih lanjut,
diperlukan pemahaman yang mendalam terhadap permasalahan dan
issue pokok sektor pertanian yang secara signifikan berpengaruh
rendahnya pendapatan petani. Tabel 3.1 menyajikan beberapa issue
dan permasalahan pokok dalam sektor pertanian yang mendesak
untuk ditangani.

Tabel 3.1. Issue dan permasalaah pokok sektor pertanian Provinsi


Gorontalo3

Tanaman Hortikul Peterna Perkebu Perikana


Issue dan Permasalahan Pokok
Pangan tura kan nan n
1. Sumberdaya manusia üü üü ü ü ü üü ü ü
2. Degradasi sumberdaya alam ü ü ü ü ü ü üü üü ü ü ü
3. Pengelolaan sumberdaya berbasis
üü ü ü ü ü ü ü ü üüü ü ü ü ü ü ü ü ü
masyarakat
4. Optimalisasi pemanfaatan
ü ü ü ü ü ü üü ü ü üü ü ü
sumberdaya
5. Penguasaan sumberdaya üü ü ü üü üü ü ü ü ü ü
6. Kapasitas permodalan financial üü ü ü ü ü ü ü üü ü ü üü ü ü ü ü ü ü
7. Ketersediaan sarana produksi ü ü ü üü ü ü ü ü ü ü ü ü ü ü ü ü ü
8. Pemasaran ü üü ü ü ü ü ü üü
9. Ketersediaan Pengolahan dan
ü ü ü üü üü ü ü ü üü ü ü ü üü ü
Industri Hilir
10. Aspek Produksi, termasuk Sistem
üü üü ü ü ü ü ü üü ü ü ü ü ü ü
dan Teknologinya
11. Lingkungan dan perubahan iklim
üüüü ü ü ü üü ü ü üü ü ü ü ü ü ü ü
global
12. Institusi üü ü üü üü ü ü ü ü
13. Informasi dan komunikasi üü ü üü üü üü üü
Sumber: Data primer, hasil observasi lapangan, hasil diskusi dengan berbagai
stakeholder

100%
Permasalahan pengelolaan
sumberdaya berbasis
masyarakat, kapasitas
PersentasePemanfaatan Pendapatan

80%
permodalan finansial dan
perubahan iklim global
merupakan permasalahan 60%
terbesar yang dihadapi oleh
sektor pertanian secara umum.
Kondisi pengelolaan 40%
sumberdaya (terutama
sumberdaya alam, sumberdaya 20%
3 Setiap tanda chek (ü) menunjukkan tingkat permasalahan. Semakin banyak
tanda tersebut semakin tinggi permasalahan yang dihadapi
0%
Tanaman

Perikanan
Peternakan

Kehutanan
Pangan

Perkebunan

Modal Konsumsi Cicilan Tabungan Lainnya


institusi, sumberdaya informasi dan sumberdaya manusia) yang
menghadapi berbagai kendala tersebut dirasakan oleh semua sub-sektor
dalam sektor pertanian. Lemahnya keterlibatan masyarakat dalam
pengelolaan sumberdaya dipastikan akan menurunkan peran dan rasa
memiliki terhadap sumberdaya. Lemahnya peran dan keterlibatan
masyarakat akan mengakibatkan lemahnya pengawasan dan
pengendalian dalam pemanfaatan sumberdaya sehingga pada akhirnya
berakibat pada penurunan dayaguna sumberdaya. Akibat terjadinya
penurunan dayaguna sumberdaya yang berhubungan erat dengan
proses produksi, industri hilir, informasi dan pemasaran akan berujung
pada penurunan pendapatan.

Gambar 3.7. Porsi penggunaan pendapatan menurut kepentingan


penggunaan

Lemahnya kapasitas masyarakat dalam pembentukan dan


penyediaan modal secara mandiri menyebabkan sebagian besar
masyarakat terpuruk meskipun pemerintah telah berupaya sekuat
tenaga melakukan berbagai program penguatan modal masyarakat.
Kegagalan klasik yang selalu terjadi dalam program pembentukan
dan penguatan modal petani adalah karena beberapa faktor sebagai
berikut; (1) lemahnya tatanan institusi yang dibentuk untuk
melaksanakan pengelolaan program; (2) kuatnya faktor distorsi atas
upaya penguatan modal masyarakat yang ditimbulkan oleh individu
atau institusi yang sudah meraup keuntungan dari kelemahan modal
masyarakat (misalnya rentenir); (3) lemahnya upaya pengendalian
dan pengawasan terhadap pelaksanaan mekanisme pengelolaan
program penguatan modal; (4) masih lemahnya kapasitas
manajemen keuangan keluarga masyarakat (terutama petani); (5)
ketidakjelasan keberlanjutan program karena program berjalan
hanya sebatas umur proyek, dan setelah proyek berakhir maka
semua tatanan dan mekanisme yang telah dibangun menjadi bubar;
(6) Respek dan respon individu penerima manfaat yang tidak
memiliki visi untuk menjunjung tinggi target keberhasilan program;
(7) Rata-rata pola pemanfaatan pendapatan yang cenderung untuk
kebutuhan konsumtif jauh lebih besar daripada untuk kepentingan
pemupukan modal seperti terlihat pada Gambar 3.7..

Keberhasilan program monokultur agropolitan jagung memang


membawa dampak positif dalam bentuk peningkatan kesejahteraan
petani jagung. Namun demikian patut disadari bahwa semakin
meningkatnya harga jagung memicu daya tarik para spekulan tanah dan
money lender untuk beroperasi di sentra produksi jagung. Pihak yang
cenderung merusak tatanan kepemilikan asset petani ini sudah mulai
merebak sehingga tidak dapat dihindarkan lagi konversi kepemilikan
lahan sebagai akibat dari distribusi modal finansial oleh beberapa orang
yang bertujuan untuk menguasai seluruh asset petani. Prospek agribisnis
jagung yang sangat cerah direspons oleh mereka dalam bentuk
pengikatan dan penjeratan petani dengan iming-iming kemudahan
proses peminjaman dan kemudahan akses pemasaran. Petani yang tidak
memiliki wawasan pengetahuan dan kepercayaan diri yang tinggi akan
dengan mudah terjerat oleh kelompok rentenir dan pengijon ini. Dalam
satu proses produksi biasanya tidak terasa beban hutang petani, tetapi
apabila proses berlangsung dalam beberapa periode akan terjadi
pengalihan asset petani secara bertahap.

Para rentenir dan pengijon sudah barang tentu memperoleh keuntungan


berlipat dari operasi bisnis berbasis financial capital ini. Jeratan hutang
petani semakin membesar jika terjadi kegagalan panen atau turunnya
harga jual produk. Kondisi ini berlangsung terus sehingga menjadi
sebuah dilemma akibat tumbuhnya perekonomian agropolitan dan
terjadi di beberapa sentra produksi misalnya di Patilanggio dan Paguat.
Ironisnya, sebagian besar rentenir dan pengijon memperoleh bantuan
kredit lunak dari pemerintah melalui program LUEP. Di masa datang,
kebijakan ini harus direvisi kembali dan bantuan permodalan seharusnya
dikelola oleh petani sendiri dalam bentuk lembaga keuangan mikro yang
seluruhnya ditujukan untuk kemandirian modal petani. Bantuan modal
bagi pedagang harus segera dihentikan dan lebih baik mereka
memperoleh pinjaman komersial dari perbankan. Masalah yang sangat
berat ini sudah tentu harus menjadi prioritas dalam perencanaan
pembangunan pertanian yang diimplementasikan dalam bentuk
kebijakan yang lebih berpihak pada petani sekala kecil dengan tidak
mengesampingkan peran pihak lain untuk secara bersama membangun
sistem agribisnis dalam arti yang sesungguhnya.

Perubahan iklim global secara signifikan mulai terasa dampaknya


terhadap ketidakpastian musim. Sektor pertanian yang sangat
tergantung pada musim tentunya sangat berkepentingan terhadap
respon untuk mengantisipasi dan mengelola sumberdaya agar dampak
negatifnya tidak signifikan terhadap proses produksi. Dihubungkan
dengan degradasi sumberdaya lahan yang semakin memprihatinkan dan
lemahnya pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat dikhawatirkan
akan menurunkan manfaat ekonomi program pertanian dalam jangka
menengah dan jangka panjang. Tanpa sistem antisipasi dan prediksi
yang kuat terhadap damapk negatif perubahan iklim global, sektor
pertanian akan terpuruk. Keterpurukan tersebut tidak perlu terjadi
seandainya kebijakan dan program pertanian sudah dipersiapkan sejak
dini untuk mengantisipasi terjadinya perubahan iklim global. Seluruh
Dinas Teknis dalam sektor pertanian dan BAPPEDA harus
mempersiapkan kajian yang mendalam dan komprehensif menyangkut
berbagai aspek yang berhubungan dengan dampak negatif perubahan
iklim yang dramatis. Setelah hasil kajian diperoleh maka diperlukan
kebijakan, sistem dan manajemen pertanian yang berorientasi dan
responsif terhadap perubahan iklim.
Degradasi sumberdaya lahan telah mencapai titik yang membahayakan
sebagai akibat dari tidak terkendalinya sistem pemanfaatan hasil hutan.
Operasi perusahaan hak pengusahaan hutan yang tidak dikelola dengan
baik terbukti telah berdampak negatif dalam bentuk gundulnya hutan
dan terjadinya banjir setiap tahun. Erosi yang terjadi pada wilayah hulu
telah menurunkan kapasitasnya sebagai daerah tangkapan air. Selain
membawa banjir yang selalu terjadi, pencucian unsur hara yang tidak
terkendali pada daerah hulu mengakibatkan menurunnya daya dukung
lahan bagi usaha pertanian tanaman pangan, perkebunan dan
peternakan. Berbagai kejadian yang menimbulkan dampak negatif
seharusnya sudah diantisipasi oleh pemerintah. Langkah penghapusan
hak pengusahaan hutan merupakan langkah dramatis yang mau tidak
mau harus dilakukan karena manfaat ekonomi yang dihasilkan oleh
beroperasinya hak pengusahaan hutan bagi Provinsi Gorontalo jauh lebih
kecil dari kerusakan alam yang ditimbulkannya. Disisi lain, kesengsaraan
masyarakat sebagai akibat kerusakan hutan akan semakin meningkat
jika hak pengusahaan hutan dibiarkan terus beroperasi.

Ketersediaan sarana dan prasarana produksi menjadi salahsatu issu dan


permasalahan yang cukup penting setelah issue di atas. Permasalahan
dan issue yang sudah sedikit terjawab dengan adanya berbagai program
yang dikonsentrasikan di sub-sektor pertanian tanaman pangan. Sub-
sektor peternakan, perikanan, dan perkebunan belum mendapat
perhatian yang sama karena kebijakan pemerintah Provinsi Gorontalo
memang masih difokuskan pada peningkatan produksi pertanian
tanaman pangan.

Dari uraian diatas dapat dipahami mengapa pembangunan pertanian


menjadi tema sentral dalam upaya peningkatan IPM di Provinsi
Gorontalo. Dengan demikian penyusunan laporan pembangunan
manusia Provinsi Gorontalo menyajikan bukan hanya angka pencapaian
indeks pembangunan manusia tetapi juga menyajikan upaya bagaimana
meningkatkan indeks pembangunan manusia tersebut melalui
perencanaan pembangunan yang sistematis dengan
mempertimbangkan kondisi sumberdaya dan biaya yang tersedia. Disisi
lain, cakupan satuan wilayah perencanaan pada dokumen ini adalah
pada tingkat kecamatan sehingga perencanaan bersifat sangat spesifik
dan sangat detail. Perencanaan yang bersifat sangat spesifik dan detail
sampai dengan tingkat kecamatan ditujukan untuk menjamin
akuntabilitas publik dan efektifitas pelaksanaan pembangunan yang
lebih baik.

Bagaimana menjadikan IPM sebagai dasar perencanaan


pembangunan?
Menghitung indeks pembangunan manusia adalah hal mudah, tetapi
untuk meningkatkan indeks tersebut perlu upaya yang lebih keras
disertai pengorbanan biaya dan keterlibatan stakeholder yang lebih
luas. Menggunakan IPM sebagai dasar perencanaan pembangunan
secara rinci dan komprehensif dengan satuan wilayah perencanaan
pada tingkat kecamatan adalah suatu hal yang baru dan akan
menjadi model penyusunan laporan pembangunan manusia pada
tingkat provinsi. Umumnya penyusunan laporan pembangunan
manusia yang telah disusun selama ini hanya berakhir pada
rekomendasi yang bersifat global yang tidak dapat digunakan secara
mudah oleh para pengambil keputusan. Agar laporan pembangunan
manusia mudah diadopsi sebagai dokumen publik oleh para
pengambil keputusan, maka metode yang digunakan dalam
penyusunan IPM Provinsi Gorontalo bersifat sangat komprehensif dan
menggabungkan berbagai metode klasik statistik, metode
perencanaan partisipatif dan metode perencanaan tersentralisasi.
Seluruh metode tersebut digabungkan sehingga menghasilkan suatu
sistem baru perencanaan pembagunan berbasis IPM.

Kompleksitas permasalahan yang berhubungan dengan


pembangunan manusia dihadapi oleh semua provinsi di Indonesia,
demikian juga halnya dengan Provinsi Gorontalo. Rumitnya kegiatan
yang harus dilakukan dan upaya mengintegrasikan semua kebijakan,
semua kepentingan dan semua kebutuhan adalah hal yang lumrah
dalam penyusunan kebijakan, program dan kegiatan yang bersifat
multidimensi. Kondisi demikian seringkali menyebabkan para
perencana enggan untuk menyusun perencanaan komprehensif yang
dilandasi bukti empiris dan dapat digunakan oleh pengambil
keputusan secara mudah. Kelemahan yang biasanya ditemui dalam
perencanaan multidimensi yang terintegrasi lebih banyak disebabkan
oleh kemampuan dan pengalaman tenaga ahli dalam melakukan
pekerjaan perencanaan sejenis. Oleh karena itu banyak pihak yang
menyangsikan keberhasilan penyusunan dokumen seperti ini.
Partisipasi aktif dan dukungan seluruh stakeholder disertai kerja
keras Team PHDR Gorontalo telah menghasilkan model perencanaan
mikro dan makro disertai dengan rencana alokasi dan strategi
pembiayaan yang diperlukan untuk melaksanakan semua upaya
yang diperlukan untuk meningkatkan IPM Provinsi Gorontalo.

Perencanaan pembangunan berbasis IPM di Provinsi Gorotalo


dilakukan melalui 27 langkah sebagaimana dapat dilihat pada
Gambar 3.8. Langkah nomor 1 sampai dengan langkah 22 disusun
secara bersama oleh Team ahli dengan melibatkan stakeholder
masyarakat, Perguruan Tinggi, LSM, Dinas Teknis, BAPPEDA (Provinsi
dan Kabupaten), Badan Keuangan Daerah, DPRD, BAPPENAS, dan
stakeholder lainnya melalui serangkaian observasi, focused group
discussion, focused group interview dan stakeholder workshop.
Penyusunan tulisan ini sepenuhnya dilakukan oleh saya sendiri. Pada
tahap ini selain dilakukan perhitungan IPM juga dilaksanakan
serangkaian stakeholder training mengenai metode perhitungan dan
analisis IPM untuk menyusun perencanaan pembangunan pada
tingkat Kabupaten dan Provinsi. Langkah 23 sampai dengan 27
dilaksanakan setelah pekerjaan analisis dan perencaaan strategis
berakhir sehingga proses ini dapat dianggap sebagai proses
implementasi alih pengetahuan antara Team ahli dengan team
gabungan yang dibentuk oleh Provinsi Gorontalo dalam bentuk
wadah Kelompok Kerja. Tujuan dibentuknya team tersebut adalah
untuk menghitung IPM, menyusun laporan, merencanakan
pembangunan berbasis IPM, menyusun dan melakukan strategi
monitoring, evaluasi, dan supervisi.
23

10

Gambar 3.8. Langkah Penyusunan IPM Sebagai Dasar Perencanaan Pembangunan di Provinsi Gorontalo
3.1.4. Kondisi IPM Kecamatan Terpilih

Seperti telah diuraikan di atas, IPM masing-masing kecamatan di


Provinsi Gorontalo digunakan sebagai dasar untuk merencanakan
pembangunan dalam jangka menengah yang selanjutnya akan
diadopsi menjadi model perencanaan berbasis IPM di seluruh
Kabupaten dan Kota di Provinsi Gorontalo. Kecamatan yang dipilih
merupakan ketentuan yang diperoleh dari kesepakatan antara Team
PHDR Gorontalo dengan stakeholder, termasuk didalamnya Gubernur
dan Para Bupati se-Provinsi Gorontalo. Jumlah kecamatan yang terpilih
berdasarkan kesepakatan tersebut ditentukan berdasarkan garis batas
nilai tengah IPM. Nilai tengah IPM Provinsi Gorontalo selanjutnya
ditetapkan sebagai critical treshold sehingga kecamatan yang memiliki
nilai IPM dibawah angka tersebut ditetapkan sebagai kecamatan kritis
yang harus memperoleh intervensi komprehensif yang bertujuan untuk
meningkatkan nilai IPM. Dengan demikian maka kecamatan yang
terpilih adalah kecamatan yang berada di bawah nilai IPM Provinsi
Gorontalo, yaitu dibawah angka 68. Selanjutnya jika metode ini
berhasil meningkatkan nilai IPM, maka sistem perencanaan
pembenagunan jangka panjang di Provinsi Gorontalo akan mengacu
pada indeks pembangunan manusia.

Jumlah kecamatan yang berada di bawah critical treshold terdiri dari


15 kecamatan, dengan sebaran sebagai berikut; (1) Kabupaten
Grorontalo (sebagai kabupaten tertua ternyata merupakan yang
terbanyak), yaitu sebanyak lima kecamatan terdiri dari Pulubala,
Tibawa, Mootilanggo, Boliyohuto, dan Telaga Biru; (2) Kabupaten
Gorontalo Utara (sebagai
75,0
Kabupaten yang baru saja
terbentuk) menempati
tempat kedua dengan
70,0 empat kecamatan yaitu
67,1
66,9

66,9
66,8
66,6

66,6

Tolinggula, Anggrek,
65,9

65,8
65,7
65,2

65,1

Kwandang dan Atinggola;


64,4

64,0

63,4

65,0 (3) Kabupaten Pohuwato


menempati urutan ketiga
dengan tiga kecamatan
58,0

60,0
62,3

yaitu Patilanggio, Taluditi


dan Paguat; (4)
Kabupaten Bone Bolango
58,1

55,0
57,0

adalah Kabupaten yang


tergolong masih muda,
53,5
53,1

50,0 tetapi jumlah kecamatan


51,6

51,3
51,0

yang memiliki IPM lebih


50,8

50,8
50,4
50,0
49,3

49,3

rendah dari IPM Provinsi


48,6

45,0
PULUBALA
TIBAWA
MOOTILANGO
BOLIYOHUTO
TELAGA BIRU
BOTUMOITO
WONOSARI
TAPA
TALUDITI
PATILANGGIO
PAGUAT
KWANDANG
ANGGREK
TOLINGGULA
ATINGGOLA
hanya satu, yaitu Kecamatan Tapa. Seluruh kecamatan di Kota
Gorontalo sebagai Ibukota Provinsi berada pada tingkat yang lebih
tinggi sehingga tidak ada kecamatan yang termasuk dalam rencana
intervensi khusus. Gambar 3.9. memperlihatkan kecamatan terpilih
sebagai pilot project perencanaan pembangunan berbasis IPM.

Gambar 3.9. Kecamatan yang terpilih untuk intervensi khusus


program perencanaan pembangunan berbasis IPM

Berdasarkan fakta pada Gambar 3.9., dapat dikatakan bahwa


Kabupaten Bone Bolango merupakan kabupaten yang lebih berhasil
dalam mencapai nilai IPM yang lebih tinggi dibandingkan dengan
kabupaten lain. Terbukti hanya satu kecamatan yang berada di bawah
critical treshold yaitu Kecamatan Tapa4. Kondisi geografis,
ketersediaan sarana dan prasarana, aksesibilitas dan tipologi wilayah
Kabupaten Bone-Bolango memungkinkan untuk mencapai nilai IPM
yang lebih tinggi dibandingkan dengan kabupaten lain. Kota Gorontalo
sebagai ibukota provinsi mencapai nilai IPM yang lebih tinggi
dibandingkan dengan seluruh kabupaten yang ada dan lebih tinggi
pula dibandingkan dengan IPM Provinsi. Keadaan tersebut merupakan
kejadian umum dimana wilayah perkotaan selalu memliliki keunggulan
dalam hal pelayanan public, akses terhadap prasarana dan sarana, dan
kesempatan kerja sehingga secara signifikan factor-faktor tersebut
berpengaruh langsung terhadap pencapaian IPM. Kabupaten Gorontalo
sebagai kabupaten tertua nampaknya masih menghadapi kendala
besar untuk mengangkat derajat IPM sehingga masih tertinggal
dibandingkan dengan Kabupaten Bone-Bolango yang merupakan
kabupaten pecahan dari Kabupaten Gorontalo

Diantara 15 kecamatan tersebut di atas, terdapat beberapa


Kecamatan yang memiliki nilai IPM lebih rendah dari IPM Provinsi,
tetapi nilai indeks pendapatannya lebih tinggi jika dibandingkan
dengan nilai indeks pendapatan Provinsi. Indeks pendapatan Provinsi
adalah sebesar 54,8 sehingga terdapat kecamatan yang memiliki IPM
rendah namun indeks pendapatannya lebih tinggi dari indeks
pendapatan Provinsi. Umumnya kecamatan tersebut berada di sekitar
wilayah Kota Gorontalo yaitu; Kecamatan Mootilango, Boliyohuto, dan
Telaga Biru di Kabupaten Gorontalo. Kecamatan lainnya memiliki nilai
IPM dan indeks pendapatan yang lebih rendah dari nilai rata-rata
indeks Provinsi.

4 Kondisi pada tahun 2006 Kecamatan Tapa belum dipecah kedalam beberapa kecamatan, sehingga jika
dilakukan evaluasi berdasarkan data pada tahun 2008 akan diperoleh nlai IPM yang lebih tinggi karena
pada tahun 2007 Kecamatan Tapa telah dipecah menjadi beberapa kecamatan. Kecamatan baru hasil
pemecahan merupakan kecamatan yang secara signifikan berpengaruh tehadap rendahnya nilai IPM di
Kecamatan Tapa.
Kondisi di atas menunjukkan bahwa factor yang menyebabkan
rendahnya nilai IPM Kecamatan Mootilango, Boliyohuto, dan Telaga
Biru bukan disebabkan oleh rendahnya pendapatan atau daya beli
masyarakat tetapi lebih disebabkan oleh factor lain, yaitu status
pendidikan dan atau status kesehatan. IPM terendah dicapai oleh
Kecamatan Patilanggio di Kabupaten Pohuwato, yaitu sebesar 58.
Seluruh factor (daya beli, kesehatan dan pendidikan) secara simultan
menjadi penyebab rendahnya IPM di Kecamatan Patilanggio.

Atas dasar kondisi IPM pada 15 kecamatan tersebut di atas, maka


penyusunan rencana intervensi yang difokuskan pada peningkatan IPM
disusun berdasarkan kondisi sektor pertanian pada masing-masing
wilayah kabupaten. Dari uraian pada bagian terdahulu dapat diketahui
bahwa masalah pokok yang ditemukan pada sektor pertanian dapat
dikelompokkan pada empat kelompok besar, yaitu; (1) masalah yang
berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat;
(2) masalah yang berhubungan dengan ketergantungan terhadap
sumberdaya yang semakin meningkat dan kesempatan
berusaha/bekerja untuk mengurangi kemiskinan; (3) masalah yang
berhubungan dengan institusi; (4) masalah yang berhubungan dengan
kelangkaan modal dan kemampuan untuk pemupukan modal.
Gambar 3.10.
Hubungan antara
Rendahnya IPM dan
Pentingnya Peningkatan
Daya Beli

Hubungan antara IPM,


masalah dalam sektor
pertanian dan
pentingnya intervensi
peningkatan
pendapatan
digambarkan oleh siklus
sebab-akibat
kemiskinan seperti
digambarkan pada
Gambar 3.10. Untuk
memperbaiki siklus
tersebut sehingga
diperoleh peningkatan
signifikan pada
pendapatan
masyarakat maka
intervensi yang harus
dilakukan difokuskan
pada empat komponen
pokok yang pada
akhirnya akan
mencakup semua
kebutuhan masyarakat
terhadap peningkatan
pendapatan.

Berpijak pada siklus kemiskinan, upaya peningkatan pendapatan di


Provinsi Gorontalo sebagai titik tolak peningkatan daya beli harus
dilakukan melalui sektor pertanian. Perencanaan pembangunan
dilakukan melalui intervensi yang dititikberatkan pada peningkatan
pendapatan. Tujuannya adalah untuk secara signifikan
membangkitkan kekuatan ekonomi yang terdistribusi secara merata
pada tingkat masyarakat dengan sebaran utama pada wilayah
pedesaan sebagai sentra produksi dan sumber pendapatan wilayah
pada tataran mikro. Pada tataran makro, meratanya peningkatan
pendapatan petani akan secara signifikan membangkitkan daya
ekonomi wilayah sehingga PDRB sektor pertanian meningkat.
3.2. Gagasan Mengenai Pembangunan Pertanian dan Strategi
pengembangan Pertanian (Paradigma Pembangunan
Pertanian Secara Terpadu berbasis Masyarakat Melalui
Penguatan Modal)

Paradigma pembangunan pertanian masa lalu merupakan model produksi


klasik yang diilhami oleh teori ekonomi kapitalis. Pada sistem dengan
paradigma lama petani merupakan objek produksi dan hanya merupakan
salahsatu faktor produksi. Oleh karena itu petani tidak pernah diposisikan
sebagai pengelola dan pemilik sumberdaya utama. Berlakunya teori
ekonomi kapitalis pada sektor pertanian tidak hanya pada sub-sektor
pertanian tanaman pangan tetapi juga dilanjutkan dengan sub-sektor
perkebunan, peternakan, dan perikanan. Bukti bahwa proses tersebut
masih berjalan saat ini adalah, seluruh perusahaan pertanian pada seluruh
sub-sektor merupakan perusahaan besar yang memiliki modal besar.
Kemanakah perginya petani kita yang identik dengan petani gurem?
Mereka diusir oleh mesin kapitalis yang menggunakan tangan pemerintah
dengan berbagai dalih dan alasan. Model pembangunan kapitalis sektor
pertanian Indonesia yang dibungkus atas nama pertumbuhan ekonomi
merupakan salahsatu proses penjajahan yang melanjutkan sistem
kultuurstelsel pada zaman penjajahan Belanda. Perbedaannya terletak
pada komoditas yang diusahakan, pada zaman penjajahan Belanda,
komoditas yang diusahakan adalah komoditas perkebunan, sedangkan
pada zaman sekarang seluruh komoditas pertanian (tanaman pangan,
perkebunan, peternakan dan perikanan) seluruhnya dikuasai oleh
pemodal besar. Ironisnya lagi, pemilik modal besar di dalam negeri hanya
dikuasai oleh segelintir orang yang menurut data yang tidak resmi adalah
sekitar 10 % dari seluruh populasi Indonesia. Jika hal tersebut dibiarkan
berlanjut, maka pada dua dekade lagi, berbagai suku bangsa pribumi
Indonesia akan menjadi buruh yang menyewa tempat tinggal dan tempat
usaha di negerinya sendiri.

Karena posisinya yang hanya sebatas pada faktor produksi maka nilai
tambah dan manfaat finansial usahatani yang dilakukan tidak dinikmati
oleh petani tetapi oleh pemilik modal besar terutama pedagang. Proses
historis menunjukkan bahwa pada akhirnya kelas petani pribumi hanya
menjadi buruh yang tidak menguasai sumberdaya, baik sumberdaya
lahan, sumberdaya finansial, sumberdaya informasi dan sumberdaya
institusi. Kelas buruh hanya akan memiliki sumberdaya manusia yang
tidak trampil dan tidak terdidik terlebih lagi jika dihubungkan dengan
rendahnya nilai rata-rata lama sekolah pada sektor pendidikan dalam IPM.

Kondisi di Provinsi Gorontalo nampaknya mulai mengarah pada


pengalihan sumberdaya (terutama sumberdaya lahan dan diikuti oleh
sumberdaya modal finansial) dari pemiliknya (yaitu masyarakat pribumi
Gorontalo) kepada pihak luar. Kondisi demikian jelas terlihat di Kecamatan
Patilanggio yang merupakan sentra produksi jagung terbesar di Provinsi
Gorontalo (bahkan di Indonesia) tetapi memiliki nilai IPM yang terrendah.
Rendahnya nilai IPM Kecamatan Patilanggio di Kabupaten Pohuwato bukan
hanya dikarenakan rendahnya daya beli, tetapi juga rendahnya nilai
indeks pendidikan dan indeks kesehatan. Hampir tidak ada yang
menyadari dan peduli bahwa proses pemiskinan income di Kecamatan
Patilanggio berlangsung dengan sistematis dan melalui tahapan yang jelas
dalam jangka panjang. Secara ringkas, proses tersebut dimulai pada (1)
saat petani kekuarangan modal; (2) pada saat kekurangan modal petani
tidak mampu melangsungkan proses produksi pada musim tanam
berikutnya; (3) tengkulak mendekati petani untuk menawarkan jasa
peminjaman uang atau bantuan pinjaman modal baik dalam bentuk
natura maupun finansial untuk keperluan proses produksi; (4) karena
sudah meminjam uang maka petani harus mengembalikan jumlah yang
dipinjamnya dengan cara menjual hasil panennya sebelum waktu panen
berlangsung, jika demikian maka nilai hasil panen yang diperoleh akan
lebih rendah dari harga pasar, harga hasil panen semakin murah jika
petani telah memutuskan untuk menyerahkan hasil panen pada saat
komoditas yang diusahakan petani masih memerlukan waktu yang
panjang untuk mencapai musim panen.

3.3. Analisis dasar mengenai opsi dan prioritas pembangunan


pertanian untuk menggerakan ekonomi lokal dan untuk
meningkatkan IPM Provinsi Gorontalo dalam jangka
pendek, menengah dan jangka panjang
3.3.1. Sumberdaya Lahan

Sumberdaya lahan merupakan salahsatu faktor terpenting dalam


proses produksi disamping sumberdaya manusia, modal, institusi, dan
Pekarangan/
informasi. Luas areal
Ladang/Huma; Penggembalaan/
Lain-lain; 97981;
Bangunan & 70132; 6% Padang Rumput; Provinsi Gorontalo
9%
Halaman; 31690; 10861; 1% adalah 12.215,445
3% Tegal/Kebun; Rawa-rawa tidak km atau 1.221.544
2
Perkebunan; 99312;
103703; 9% ditanami Padi;
9% ha. lahan bukan
9611; 1%
sawah mencakup
Tambak; 2785; 0%
areal seluas
1.142.713 ha
Kolam/Tebat/
dengan rincian
Empang; 271; 0% seperti terlihat pada
Sementara Tidak Gambar 3.11.
Hutan Negara; Hutan Rakyat; diUsahakan;
570046; 50% 39400; 3% 106921; 9%
Gambar 3.11. Luas
Lahan Menurut Penggunaan di Provinsi Gorontalo

Sebagian besar wilayah daratan Provinsi Gorontalo sudah digunakan


untuk kegiatan menggerakkan ekonomi berbasis produksi karena 50 %
wilayah daratan sudah merupakan kawasan bukan hutan. Dari Gambar
3.10 dapat dilihat bahwa pada tahun 2006, areal perkebunan,
tegalan/kebun, lahan yang sementara tidak diusahakan, dan
penggunaan lain-lain, masing-masing
Pekarangan/Bangmenggunakan areal seluas 9 % dari
unan & Halaman seluruh areal non sawah. Lahan yang
Kota Gorontalo Tegal/Kebun
sementara tidak diusahakan ternyata
Ladang/Huma sangat luas yaitu 107 ribu hektar atau 9 %
dari seluruh daratan non-sawah.
Bone-Bolango Penggembalaan/P
adang Rumput Gambar 3.12. Sebaran Luas Penggunaan
Rawa-rawa tidakLahan Menurut Kabupaten/Kota
ditanami Padi
Tambak
Pohuwato
Kolam/Tebat/EmpAreal terlantar yang dicerminkan oleh
ang adanya lahan yang sementara tidak
Sementara Tidak
Gorontalo diUsahakan diusahakan tersebut mengindikasikan
Hutan Rakyat adanya lemahnya investasi yang bergerak
pada sektor pertanian. Kegagalan investasi
Hutan Negara
terutama disebabkan oleh pengusaha
Boalemo Perkebunan perkebunan oportunis yang mengajukan izin
usaha perkebunan yang ternyata tidak
lain-lain
merealisasikan investainya sehingga lahan
0% 20% 40% 60% 80% 100%
yang sudah dicadangkan menjadi lahan
5 Provinsi Gorontalo Dalam Angka, BPS Provinsi Gorontalo, 2007
terlantar. Umumnya perusahaan tersebut hanya mengejar izin
pemanfaatan kayu (IPK), dan setelah hutan dibabat habis, lahan tersebut
menjadi lahan kritis yang gundul. Setelah lahan terlantar terbentuk maka
pengusaha tersebut menjual areal yang telah dicadangkan untuknya
kepada pihak ketiga. Demikian seterusnya terjadi secara berantai dan
pihak ketiga menggunakan lahan pencadangan tersebut untuk
mengajukan kredit investasi, stelah kredit diperoleh mereka menjual hak
guna usaha kepada pihak keempat. Akhirnya investasi-pun tidak kunjung
tiba, dan pihak keempat menggunakan hak guna usaha yang telah
dipegangnya untuk tujuan spekulatif. Pada akhirnya terbentuklah lahan
terlantar yang sangat kritis yang sangat membahayakan lingkungan.
Fakta tersebut dapat terlihat nyata di lapangan dan telah mengakibatkan
menyurutnya cadangan air permukaan dan air tanah pada beberapa
wilayah. Lahan terlantar seperti tersebut banyak ditemukan di Kabupaten
Pohuwato, Gorontalo dan Boalemo.

Gambar 3.12 memperihatkan proporsi komposisi penggunaan lahan


menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Gorotnalo pada tahun 2006. Dari
gambar tersebut terlihat adanya areal sementara tidak diusahakan yang
tersebar di seluruh Kabupaten yang luasnya cukup besar. Adanya lahan
terlantar yang sementara tidak diusahakan menjadi dilema jika
dihubungkan dengan masih banyaknya petani miskin yang tidak memiliki
lahan. Kondisi demikian tentunya merupakan kesalahan masa lalu yang
tidak boleh terulang lagi. Kebijakan pemerintah Provinsi Gorontalo dan
Pemerintah Kabupaten sangat diperlukan untuk mencegah degradasi
sumberdaya alam dalam jangka panjang. Jika lahan terlantar tersebut
masih memiliki daya dukung dan sesuai bagi pembangunan pertanian,
maka akan lebih bermanfaat secara ekonomi dan sosial jika lahan tersebut
dibagikan kepada petani miskin yang tidak memiliki lahan atau petani
yang memiliki lahan yang luasnya kurang dari atau sama dengan satu
pantango6. Intervensi pemerintah tersebut dapat menjadi salahsatu
bentuk reformasi pertanian yang sangat bermanfaat bagi masyarakat
pertanian, tentunya harus diawali dengan kajian yang mendalam tentang
keberadaan lahan terlantar tersebut.

Penggunaan lahan untuk ladang/huma tersebar di seluruh kabupaten/kota


yang umumnya merupakan areal produksi padi ladang dan jagung.
Komoditas jagung lokal Hutan Produksi
yang merupakan yang Dapat Hutan Lindung;
Hutan Produksi
cultivar spesifik Dikonversi; 165.052,00; 19%
Tetap;
memiliki cita rasa yang 120.684,00; 14%
20.173,00; 2%
baik. Jagung lokal
tersebut dikenal
dengan sebutan
6 Satu pantango adalah ukuran luas local spesifik Provinsi Gorontalo. Tidak ada ukuran yang tepat,
umumnya berkisar antara 2000 – 2500 m2 per pantango.

Hutan Produksi
Terbatas;
Hutan PPA;
342.477,00; 40%
197.584,00; 23%
Hutan Bakau;
20.173,00; 2%
jagung “pulo” yang artinya jagung pulut yang memiliki citarasa seperti
beras ketan. Cultivar jagung lokal tersebut sudah tidak dibudidayakan
secara massal untuk tujuan komersial karena memiliki produktivitas yang
rendah dan jangka waktu produksi yang relatif lebih lama dari jagung
hibrida atau jagung komposit. Meskipun demikian karena cita rasa spesifik
dan bentuknya yang menarik, dapat digunakan sebagai komoditas
andalan untuk tujuan wisata dan menuspesifik di rumah makan. Data dan
informasi mengenai cultivar jagung lokal tidak tersedia karena sudah tidak
menjadi andalan dalam sistem produksi jagung Provinsi Gorontalo.
Kebijakan dan program pelestarian plasma nutfah jagung cultivar lokal
diperlukan untuk menjamin keanekaragaman hayati species jagung yang
sudah didominasi oleh jagung hibrida dan jagung komposit.

Gambar 3.13. Luas Hutan Menurut Status Tataguna Hutan

Pada tahun 2006 (Gambar 3.13), luas lahan terbesar merupakan


hutan negara yang mencakup 570.046 ha (50 %) dari seluruh wilayah
Provinsi Gorontalo. Wilayah hutan negara yang cukup dominan luasnya
sebagian besar digunakan untuk tujuan produksi dalam bentuk hak
pengusahaan hutan dan perkebunan pada kawasan yang ditetapkan
sebagai hutan produksi tetap (14 %), hutan produksi terbatas (40%)
dan hutan produksi yang dapat dikonversi (2 %).

Keberadaan hak pengusahaan hutan (terutama di Kabupaten


Pohuwato dan Boalemo) perlu ditinjau kembali dengan
mempertimbangkan aspek manfaat dan kerugian ekonomi yang
ditimbulkan oleh hak pengusahaan hutan (HPH). Jika ternyata hasil
perhitungan manfaat ekonomi lebih besar daripada nilai ekonomi
kerusakan lingkungan dalam jangkan panjang maka keberadaan HPH
dapat dipertahankan. Namun demikian pembelajaran dari berbagai
tempat di wilayah Negara Republik Indonesia menunjukkan bahwa
keberadaan HPH lebih banyak menimbulkan kerusakan lebih besar
daripada manfaat yang diperoleh bagi masyarakat dan perekonomian
yang tidak dapat di-recovery sepanjang masa. Fakta dari pembelajaran
menunjukkan bahwa kontribusi sub-sektor kehutanan dalam bentuk
nilai ekonomi jauh
140.000
115.684
lebih kecil
120.000 dibandingkan
Nilai Produksi (Rp juta)

dengan kerusakan
100.000
lingkungan
80.000 menuntut
60.000 pemerintah untuk
40.000 22.886 23.564 20.594
meninjau kembali
18.863
47.188 keberadaan HPH.
20.000

- 15.888 19.586
14.613
7.219
2002 2003 2004 2005 2006

Rotan Logs + Kayu Gergajian


Kerusakan lingkungan semakin besar ditunjukkan dengan
meningkatnya signifikan produksi kayu logs dalam periode 2005-2006.
Peningkatan produksi kayu logs yang cukup dramatis tersebut
memberikan indikasi luasnya areal hutan yang terdegradasi. Jika setiap
hektar hutan produksi tetap menghasilkan

Gambar 3.14. Perkembangan Nilai Produksi Hasil Hutan7

Gambar 3.14, menunjukkan nilai produksi kayu logs dan kayu olahan
dalam bentuk sawn timber (kayu gergajian) dibandingkan dengan nilai
produksi rotan. Meskipun nilai produksi kayu logs dan sawn timber
cukup besar jika dibandingkan dengan nilai produksi rotan, dampak
positif dan manfaat ekonomi yang ditimbulkan akan jauh lebih kecil
dibandingkan dengan proses ekstraksi sampai ke pemasaran untuk
komoditas rotan. Sperti diketahui, konsesi HPH hanya dimiliki oleh
beberapa perusahaan yang umumnya mempekerjakan karyawan
dengan jumlah terbatas sedangkan proses ekstraksi rotan beserta
proses hilirnya akan melibatkan banyak tenaga kerja. Disisi lain,
metode yang dilakukan untuk memungut hasil hutan rotan tidak akan
menimbulkan kerusakan lingkungan karena tidak pernah dilakukan
secara mekanik dan tidak merusak vegetasi hutan secara dramatis.

Kondisi tegakan hutan pada areal hutan produksi di Provinsi Gorontalo


yang sebagian besar sudah menjadi hutan sekunder karena seluruhnya
pernah menjadi kawasan konsesi HPH hanya memiliki tingkat
produktivitas maksimum kayu komersil per hektar sebesar 97 m3/ha.
Dengan tingkat produktivitas tersebut maka laju kerusakan lingkungan
akan semakin besar karena perusahaan HPH tidak ingin memperoleh
kerugian finansial. Atas dasar asumsi produktivitas sebesar angka
tersebut diprediksikan laju kerusakan lingkungan yang akan terjadi
semakin besar selama periode 2008-2014. Gambar 3.15,
memperlihatkan prediksi laju degradasi hutan selama periode
tersebut. Diperkirakan pada tahun 2012 akan terjadi penggundulan
hutan seluas 4500 ha. Kondisi demikian akan mengantarkan Provinsi
Gorontalo sebagai Provinsi tanpa hutan pada tahun 2014. Jika hal
demikian dibiarkan terjadi tanpa adanya pengendalian melalui
mekanisme aturan dan kebijakan yang bersifat refresif maka akan
terjadi bencana lingkungan yang secara bertahap akan mengakibatkan
peningkatan jumlah penduduk miskin terutama pada wilayah pertanian
tanaman pangan di sekitar wilayah hutan.Terjadinya pemiskinan
ekosistem dan pemiskinan masyarakat secaa signifikan akan
mempengaruhi bentang alam karena keterbatasan sumberdaya air
akan mengakibatkan seluruh masyarakat petani menyerobot lahan
hutan yang masih menyediakan sumberdaya air yang tersisa untuk

7 Sumber data BPS 2006, diolah


kegiatan budidaya. Pada daerah pesisir sebagai daerah hilir dampak
akan terjadi sedimentasi yang luas terutama pada DAS Paguyaman
dan DAS Randangan. Selain itu, kawasan Taman Nasional Nani
Wartabone akan dirambah sehingga berpengaruh signifikan pada DAS
Bolango-Bone.

Prediksi Laju Degradasi Hutan


Gambar 3.15.
5.000 Prediksi Laju
4.500 Degradasi Hutan8
4.000 y=6E-288e0,3328x
3.500 Tanpa adanya
3.000 intervensi dalam
2.500 1.193 bentuk kebijakan
2.000
1.500
yang melarang
seluruh kegiatan
236

243

1.000
212
194

500 HPH secara


- komersial dan
2000 2002 2004 2006 2008 2010 2012 2014dalam skala yang
besar dan
Luas Areal Hutan Terdegradasi Expon. (Luas Areal Hutan Terdegradasi)penegakan hukum
yang konsisten, maka kerusakan lingkungan yang diiringi dengan
pemanasan global akan mengakibatkan dampak kerusakan terhadap
ekosistem secara berantai. Dampak negatif yang paling mudah
dirasakan adalah meningkatnya suhu rata-rata harian yang
diakibatkan oleh menurunnya cadangan oksigen karena laju konsumsi
oksigen lebih rendah dari yang dihasilkan yang diakibatkan oleh
menurunya penutupan vegetasi.

Kawasan konservasi yang sangat penting bagi kelestarian sumberdaya


alam ditetapkan lebih sedikit yaitu hutan PPA (23 %) dan hutan lindung
(19%). Selain klasifikasi kawasan hutan tersebut terdapat areal hutan
mangrove yang tersebar di kawasan pesisir seluruh kabupaten seluas
20173 ha (2%). Kondisi hutan bakau saat ini sudah sangat
terdegradasi dan data yang sebenarnya diprediksikan jauh lebih kecil
dari yang dilaporkan secara formal karena sebagian besar hutan bakau
telah dikonversi menjadi areal tambak. Namun demikian diperlukan
inventarisasi kembali kawasan hutan bakau agar dapat diukur tingkat
ancaman kerusakan ekosistem dan kerusakan struktur kawasan
pesisir.

Degradasi sumberdaya hutan bakau yang merupakan struktur


pelindung kawasan pesisir dan tempat berpijahnya sebagian besar
species ikan sudah menjadi ancaman yang sangat serius yang akan
membahayakan kelestaian sumberdaya pesisir dalam arti luas.
Ancaman yang paling serius akan dihadapi oleh sub-sektor perikanan
8 Sumber data BPS diolah dengan metode prediksi regresi eksponensial
yang merupakan pemanfaat utama budidaya ikan dengan metode
tambak tradisional yang tidak memperhatikan aspek kelestarian
lingkungan. Diperlukan kebijakan, program dan tindakan nyata dari
pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten untuk meredam laju
kerusakan ekosistem melalui pengelolaan hutan mangrove, rehabilitasi
dan penghutanan kembali kawasan hutan mangrove. Tindakan tegas
perlu diterapkan kepada para pelanggar ketentuan tersebut dengan
menyediakan payung hukum yang cukup berat bagi pelaku kerusakan
lingkungan.

Provinsi Gorontalo hanya memiliki satu Taman Nasional, yaitu Taman


Nasional Bogani Nani Wartabone, terletak di Kecamatan Suwawa,
Kabupaten Bone Bolango. Menurut Dinas Kehutanan Provinsi
Gorontalo, luas taman nasional ini adalah sekitar 110.000 ha.
Keberadaan Taman Nasional Nani Wartabone ini sangat penting karena
selain berfungsi sebagai sebagai taman nasional, kawasan ini
merupakan daerah tangkapan air Sungai Bone yang keberadaan dan
kelestariannya menentukan kualitas lingkungan dan potensi
pengembangan daerah sekitarnya, terutama wilayah bagian hilirnya.
Sungai (dan DAS) Bone sangat berpotensi besar bila dimanfaatkan
sebagai pembangkit tenaga listrik, irigasi, obyek wisata, pendidikan,
dan lain-lain, sekaligus merupakan kawasan yang memberikan
perlindungan kawasan di hilirnya. Jikka DAS Bone mengalami
degradasi, maka kawasan akan terjadi ancaman serius terhadap
daerah hilir, terutama Kota Gorontalo. Bentuk ancaman serius yang
sudah terasa saat ini adalah terjadinya banjir besar yang hampir
terjadi secara rutin.

Kawasan cagar alam yang telah ditetapkan di Propinsi Gorontalo


adalah kawasan Cagar Alam Tangale, Cagar Alam Pulau Mas, Pulau
Popaya, dan Pulau Raja. Kawasan Cagar Alam Tangale terletak di Desa
Labanu, Kecamatan Tibawa, Kabupaten Gorontalo. Sedangkan Cagar
Alam Pulau Mas, Popaya, dan Raja terletak di bagian Utara, yaitu
sekitar Teluk Kwandang.

Cagar Alam Panua yang berlokasi di Desa Libuo, Kecamatan Paguat


dapat ditempuh selama 30 menit dari ibukota Kecamatan Paguat
memiliki luas 45.557 ha. Cagar alam ini dibangun untuk tujuan
konservasi burung Maleo, perlindungan terhadap Burung Tahun serta
Babi Rusa yang merupakan fauna endemik Sulwesi. Kawasan ini
mempunyai topografi mulai dari dataran rendah hingga berbukit
dengan ketinggian mencapai 1.420 m dpl dengn kondisi daratan
berpasir putih dan cukup jauh dari pemukiman penduduk. Flora yang
dapat ditemui di kawasan ini antara lain: Beringin (Ficus sp), Cempaka,
Lunggua, Nantu, Kayu Damar, Cemara Laut, Kayu Bayur, Gopasa,
Bombongan, Bolangitang, Kayu arang, Aras, Nibong, Bintangor, Coro,
Kayu raja, Tembawa dan serta mangrove, pohon Cemara, anggrek dan
kantong semar yang tumbuh di pesisir pantai.

Jenis fauna yang dapat ditemui di sekitar kawasan Cagar Alam Panua
ini adalah Maleo (Macrocephalon maleo), Anoa (Buballus
depresicornis), Babi rusa (Babyrousa babirusa), Burung Rangkong
(Rhyticerox casidix), itik liar, Kakaktua Putih, Raja Udang, Rusa,
Biawak, Kus kus, Kera Hitam, Tarsius, Ular Sawah, Nuri Sulawesi,
Srindit, Kesturi, Sesap madu, Kum kum, ayam Hutan dan lain-lain.

Kawasan suaka marga satwa di Provinsi Gorontalo yang telah


dikukuhkan adalah hutan suaka marga satwa Nantu, yang merupakan
bagian dari hutan suaka alam Nantu. Kawasan ini berada di Desa
Mohiolo dan Desa Pangea, Kecamatan Boliyohuto, Kabupaten
Gorontalo. Sejumlah satwa dan fauna di hutan suaka itu, antara lain
Babi Rusa, Anoa, Nuri, Rangkong serta Tarsius yang merupakan satwa
sangat unik dan hanya ditemukan di wilayah tersebut.

Provinsi Gorontalo memiliki areal persawahan seluas 29034 ha yang


tersebar di lima kabupaten dan Kota Gorontalo. Luas lahan sawah yang
memiliki pengairan teknis hanya mencakup 9481 ha atau 33 %
sedangkan yang terluas adalah sawah tadah hujan dengan luas 11570
ha atau 40 % dari seluruh areal persawahan yang ada di Provinsi
Gorontalo. Kabupaten Gorontalo mendominasi areal sawah seluas
11933 ha atau 41 % dari seluruh areal persawahan yang ada di
Provinsi Gorontalo, sedangkan di Kota Gorontalo, jumlah areal sawah
yang tersedia semakin berkurang seiring dengan semakin
meningkatnya intensitas pembangunan di luar sektor pertanian.
Gambar 3.10 memperlihatkan sebaran luas areal sawah menurut
kabupaten/kota dan jenis irigasi.
Gambar 3.16. Sebaran Areal Sawah Menurut Kabupaten di Provinsi
Gorontalo, 2006

Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Gorontalo dan BPS Provinsi
Gorontalo, 2006

RPJM Provinsi Gorontalo telah menetapkan indikator kinerja sub-sektor


pertanian tanaman pangan untuk produksi sustainable yield padi yang
akan dicapai pada tahun 2012 sebesar 300.000 ton. Kondisi lahan
sawah yang sekarang dimiliki masih didominasi oleh sawah tadah
hujan dengan cakupan yang lebih luas dari sawah beririgasi teknis
seperti terlihat pada Gambar 3.10, kondisi demikian tidak
memungkinkan cropping intensity (CI) untuk komoditas padi sawah
terutama untuk sawah tadah hujan sulit untuk mencapai lebih dari
100%. Kondisi produktivitas lahan, teknologi yang digunakan dan CI riil
saat ini hanya menghasilkan produktivitas maksimum sebesar 6,1 - 6,5
ton/ha pada daerah beririgasi teknis yakni di Kota Gorontalo,
Kecamatan Tapa dan Tilongkabila (Kabupaten Bone-Bolango), dan
Kecamatan Limboto (Kabupaten Gorontalo). Untuk mencapai CI lebih
dari 200 % hanya dapat diperoleh dari areal sawah yang memiliki
irigasi teknis atau setengah teknis yang memiliki pasokan air
sepanjang tahun.

Untuk mencapai target 300.000 ton sustainable yield akan diperlukan


upaya dan kerja keras luar biasa karena produktivitas rata-rata per
satuan luas per tahun yang harus dicapai adalah sebesar 10,33 ton/ha
sedangkan produktivitas rata-rata pada saat ini adalah sebesar 4,38
ton/ha/tahun. Dengan demikian diperlukan upaya sebesar 236 % dari
upaya yang saat ini dilakukan, artinya, dengan menggunakan
teknologi dan sistem produksi yang ada saat ini tidak mungkin dicapai
target sebesar tersebut tanpa adanya perluasan areal sawah. Kendala
lain berikutnya adalah, sulitnya mengkonversi seluruh areal sawah
tadah hujan menjadi sawah berigasi teknis karena alasan besarnya
biaya yang harus dikeluarkan dan terbatasnya ketersediaan
sumberdaya air pada seluruh wilayah persawahan.

Target realistik yang mungkin dicapai melalui intervensi dan investasi


yang sangat tinggi adalah sebesar 8,764 ton per ha per tahun dengan
CI sebesar 200 % pada sawah beririgasi teknis dan 5,0 ton per ha per
tahun pada sawah tadah hujan, yang berarti akan menggeser
kepentingan target produksi agropolitan. Dengan pencapaian target
tersebut maka produksi padi maksimum sustainable yield pada tahun
2012 sebesar 210.904 ton, jadi, masih lebih rendah dari target 300.000
ton. Fakta tersebut menunjukkan bahwa adalah lebih baik konsep
produksi agropolitan jagung tetap dipertahankan karena target
produksi sebesar satu juta ton dapat dicapai tanpa harus
meningkatkan upaya dan pembiayaan yang sangat dramatis. Disisi
lain, produksi jagung tidak memerlukan teknologi yang tinggi dan tidak
memerlukan ketersediaan air irigasi yang sama besarnya dengan
produksi padi sawah.

3.3.2. Sumberdaya Air9

Sumberdaya air merupakan salahsatu faktor penting dalam


pembangunan suatu wilayah. Tidak banyak pihak yang menyadari
hubungan antara tingkat IPM dengan kondisi sumberdaya air dalam
satu wilayah. Kondisi sumberdaya air yang dapat dilihat secara visual
merupakan indikasi sederhana dari buruknya kualitas sumberdaya
manusia. Jika kerusakan lingkungan semakin meluas dan didukung
oleh pola pembangunan yang bersifat eksploitatif terhadap
sumberdaya alam, maka sudah dapat dipastikan kualitas dan daya
dukung sumberdaya air akan menurun dan semakin tidak dapat
memberikan manfaat ekonomi. Kerusakan lingkungan di daerah hulu
sungai merupakan indikasi tingkat kepedulian masyarakat dan
pemerintah yang rendah terhadap pengelolaan sumberdaya air. Akibat
kerusakan ekosistem di daerah hulu, sudah dipastikan bahwa akan
menimbulkan bencana di daerah hilir yang berarti akan menimbulkan
kerusakan ekonomi, prasarana dan sarana. Akibat kerusakan ekonomi,
prasarana dan sarana sudah dapat dipastikan akan menurunkan porsi
biaya untuk membangun kesehatan dan pendidikan karena secara
naluriah dan alamiah kepentingan kesehatan dan pendidikan akan
dikesampingkan jika timbul kepentingan untuk merehabilitasi atau
memperbaiki prasarana, sarana dan sistem ekonomi.

9 Seluruh data dan informasi mengenai sumberdaya air diperoleh dari BAPPEDA Provinsi Gorontalo
Indikasi kemajuan perencanaan suatu wilayah diperlihatkan dari
metode dan sistem pengelolaan daerah aliran sungai (DAS). Semakin
tinggi kemajuan suatu wilayah maka seluruh aspek perencanaan
sedapat mungkin akan mempertahankan kelestarian lingkungan di
sepanjang DAS karena jika DAS rusak maka dampak ekonomi negatif
yang ditimbulkannya akan jauh lebih besar daripada biaya yang
dikeluarkan untuk mengelolanya.

Provinsi Gorontalo memiliki tiga DAS utama, masing-masing DAS


Randangan, DAS Paguyaman dan DAS Bone-Bolango. Air dari ketiga
DAS utama ini bermuara di Teluk Tomini. Di luar dari ketiga DAS utama
tersebut, juga ditemukan banyak DAS- DAS kecil Iainnya yang
umumnya terdapat di hampir seluruh wilayah pegunungan di pinggiran
kawasan pantai. Air dari DAS-DAS kecil ini bermuara di Teluk Tomini
(untuk DAS di bagian Selatan propinsi) dan di Laut Sulawesi (untuk
DAS di bagian Utara propinsi).

Sungai-sungai kecil yang bermuara di Utara antara lain S. Bulontio, S,


Boliohuto, S. Sumalata, S. Dulakapa, S. Buluto, S. Buluoka, S. Monano,
S. Tolongio, S. Ilangata, S. Kwandang dan S. Bubode. Sungai-sungai
yang bermuara di selatan antara lain S. Tamboo, S. Tombulilato, S.
Sogisadaa, S. Taludaa, S. Sinabayuga, S. Potoila, S. Bobaa, S. Tumbihe
dan Sungai Tilamuta. Dua sungai kecil lainnya, yaitu S. Taluhubongo
dan S. Dutula Dua bermuara di Danau Limboto alirannya bermuara di
Teluk Tomini. Sungai-sungai kecil tersebut berasal dari jajaran
Pegunungan Tilong Kabila, Perantanan, Bone, dan Loba serta jajaran
gunung-gunung lain yang tingginya bervariasi dari 520 m (G. Pobolu)
sampai 2.065 m (G.

Daerah Aliran Sungai Randangan

DAS ini melintasi Kecamatan Popayato, Marisa dan Paguat dan


bermuara di pantai Ibukota Kabupaten Pohuwato (Kecamatan Marisa).
Luas DAS ini adalah sekitar 290.000 ha dengan panjang sungai utama
sekitar 115 km. Mayoritas (sekitar 80 %) dari wilayah DAS ini berada
pada daerah dengan topografi berbukit dan bergunung dengan
kemiringan lereng >40 %, sehingga seyogianya harus diperuntukkan
sebagai kawasan lindung.

Pola aliran sungai DAS ini adalah dendritik dan pararel, air yang
dialirkan dengan cepat mencapai hilir. Akibatnya, wilayah hilir DAS
menjadi rentan banjir. Dan, kerusakan lahan dan erosi di wilayah hulu,
misalnya karena kegiatan penambangan atau pertanian, akan
menghasilkan tingkat sedirnentasi yang tinggi di wilayah hilir. Karena
itu, pengelolaan lahan dan kegiatan usaha di wilayah hulu perlu
dilakukan melalui program yang disusun berdasarkan perencanaan
yang tepat dan dilaksanakan dengan konsekuen.

Daerah Aliran Sungai Paguyaman

DAS ini melintasi wilayah Kecamatan Tilamuta dan Paguyaman di


Kabupaten Boalemo, Kecamatan Tibawa di Kabupaten Gorontalo,
bermuara di Teluk Paguyaman. DAS dengan luas sekitar 250.000 ha ini
merupakan DAS yang terbesar di Provinsi Gorontalo. Sungai utama
DAS ini yang panjangnya sekitar 70 km, seolah membagi dua provinsi
ini, di bagian baratnya adalah wilayah kabupaten Boalemo. Sedikitnya
70% dari wilayah DAS mempunyai topografi bergunung sampai
berbukit dengan kemiringan lereng > 40 %.

Dengan topografi berbukit dan pegunungan, sungai utama DAS


Paguyaman berbentuk lembah dalam, sehingga mampu menarnpung
debit aliran air tinggi. Tidak diperoleh data debit sungai di provinsi ini,
tetapi berdasarkan hasil pengukuran oleh PLN (1985) dan DPU (1987)
Provinsi Sulawesi Utara, Sungai Paguyaman yanq tertinggi kecepatan
arusnya (23,4 sampai sampai 63,4 m/detik) dengan kedalaman sungai
mencapai 76. Dengan potensi seperti itu, Sungai Paguyaman dinilai
memiliki produktivitas air yang besar, sehingga dapat memenuhi
kebutuhan air untuk pertanian dan kebutuhan lainnya. Namun, yang
merisaukan adalah ada indikasi bahwa fluktuasi debit tahunannya
terus menjadi lebih besar, mengindikasikan proses degradasi lahan di
wilayah DAS ini yang terus berlangsung.

Potensi kerusakan DAS memang besar karena beberapa alasan.


Pertama, karena luas DAS yang besar, mencakup kawasan budidaya
yang besar. Kedua, topograpi wilayah hulu DAS yang kondusif bagi
proses erosi. Ketiga, konflik pengelolaan di masa depan, karena
wilayah DAS ini melintasi dua kabupaten berbeda, walaupun mayoritas
berada di Kabupaten Boalemo. Dengan demikian, model pengelolaan
DAS yang singkron dengan program pengembangan wilayah lintas
kabupaten perlu dirumuskan dengan baik.

Daerah Aliran Sungai (DAS) Bolango-Bone

DAS Bolango-Bone sesungguhnya dibangun oleh dua DAS berbeda,


DAS Bolango dan DAS Bone, keduanya bermuara di Teluk Gorontalo.
DAS Bone jauh lebih besar dari pada DAS Bolango. Secara bersama-
sama, DAS Bolango-Bone mempunyai luas sekltar 265.000 ha dengan
panjang sungai utama sekitar 100 km. Yang menggembirakan adalah,
kualitas air Sungai Bone yang masih tampak jernih pada daerah hulu
karena kegiatan pertanian belum terlalu sampai pada tahap
eksploitatif. Meskipun demikian, dari berbagai sumber, termasuk dari
interpretasi gambar citra landsat, diketahui bahwa sebagian dari
kawasan DAS ini telah mulai terbuka. DAS Bolango-Bone didominasi
(80%) oleh wilayah dengan kemiringan lereng >40%. Artinya, DAS ini
juga rentan terhadap proses degradasi yang cepat jika kawasan hulu
dari catchment areanya dikelola secara tidak tepat. DAS ini sangat
rentan terhadap banjir ini terlihat jelas pada frekuensi banjir yang
terjadi di Kota Gorontalo. DAS Bolango-Bone (terutama DAS Bolango)
memberi kontribusi besar terhadap sedimentasi Danau Limboto yang
saat ini lebih banyak berbentuk daratan dari pada perairan, karena
sebagian besar dari mangkuk danau telah berubah menjadi daratan.

Rusaknya lingkungan DAS Bolango dan daerah tangkapan di pinggiran


danau di kota Gorontalo merupakan penyebab utama pendangkalan
dan penciutan areal danau. Berdasarkan kenampakan fisik sungai-
sungai yang bermuara ke danau, maka sungai-sungai di bagian selatan
(dengan topografi curam, lebih terganggu dan berhubungan langsung
dengan danau) diperkirakan memiliki sumbangan sedimentasi lebih
tinggi dibandingkan sungai-sungai bagian barat dan tengah.
Penyuburan perairan danau turut yang mendorong tumbuhnya gulma
air mempercepat proses pendangkalan danau.

Pencemaran Lingkungan Sumberdaya Air

Pencemaran air di Gorontalo pada umumnya bersumber dari aktifitas


masyarakat yang kurang peduli dengan lingkungan yang bersih,
misalnya membuang sampah di saluran drainase dan sungai sehingga
mengakibatkan pembusukan dan air menjadi kotor. Perubahan
kualitas air sungai juga berasal dari limbah domestik dan limbah
industri yang berasal dari industri pengolahan batu pecah, pengolah
garam beryodium, pengolahan kayu, pengolahan ikan, pengolahan
tepung pengolahan tapioca, pengolahan tepung sagu, pengolahan
minyak kelapa segar, pengolah tahu tempe, industri tenun ikat,
pengawetan kulit, pengolah rotan dan industri kecap.
3.3.3. Issue dan Permasalahan Pertanian Pada 15 Kecamatan
Terpilih

3.3.3.1.Periode Produksi Padi

Secara tradisional, di Provinsi Gorontalo dikenal dua musim tanam


yaitu musim “tahuwa” dan “hulita”. Musim tahuwa artinya musim
tanam besar yang bisanya dilakukan pada saat curah hujan cukup
yaitu antara bulan Nopember
10000 sampai dengan bulan Januari.
Musim tanam “hulita”
8000
LUAS TANAM(Ha)

biasanya dilakukan pada


6000 bulan April sampai dengan
4000
Juni. Pola musim tanam pada
tahun 2006 dan 2007 sangat
2000 berhubungan dengan kondisi
0 curah hujan. Seperti telah
J an Feb Mar Apr Mei J un J uli Agst Sept Okt Nov Des diuraikan pada bagian
2006 1397 2305 958 8995 8257 884 2096 95 483 312 1796 7555 terdahulu, bahwa
2007 8986 2936 2019 2185 6774 8732 2540 1175 1133 2398 7553 6691 ketersediaan air pada
Sasaran 20086015303617256477870755712686 736 936 157054168253
jaringan irigasi di Provinsi
Gorontalo sangat terbatas
dan tidak merata di seluruh Provinsi sehingga pola tanam seperti
terlihat pada Gambar 3.17.

Gambar 3.17. Pola Luas tanam Padi Sawah Provinsi Gorontalo 2006,
2007 dan target 200810

Puncak musim panen padi sawah di Provinsi Gorontalo berada pada


bulan Maret dan Bulan Agustus. Terdapat perbedaan yang cukup
signfikan antara luas panen
musim tanam tahuwa pada 10000
LUAS PANEN(Ha)

tahun 2006 dengan 2007 8000


dimana terdapat pergeseran 6000
puncak musim panen dari bulan 4000
Maret pada tahun 2006 menjadi 2000
bulan April pada tahun 2007. 0
Prediksi puncak musim panen J an Feb Mar Apr Mei J un J uli Agst Sept Okt Nov Des

pada tahun 2008 diperkirakan 2006 1602 5984 9842 1926 1787 1025 7521 9358 975 2163 326 306

akan sama dengan tahun 2006. 2007 448 2735 5960 6481 4041 1268 975 8559 7429 2925 1744 465

Gambar 3.18 memperlihatkan Sasaran 2008 1103 4693 8505 4525 3137 1234 4573 9643 4523 2738 1114 415

pola sebaran musim panen pada tahun 2006,2007 dan target luas
panen tahun 2008.

10 Sumber data Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Gorontalo, 2008
Gambar 3.18. Realisasi Luas Panen tahun 2006 dan 2007 dan Target
tahun 200811

3.3.3.2.Sumberdaya Lahan

Peningkatan produksi pertanian tanaman pangan di Provinsi Gorontalo


yang bertujuan untuk meningkatkan IPM dapat ditempuh melalui
intensifikasi dan ekstensifikasi. Fokus peningkatan pada pola
intensifikasi adalah dengan meningkatkan produktivitas yang masih
dimungkinkan pada beberapa kecamatan. Peningkatan produksi
melalui ekstensifikasi dapat difokuskan pada peningkatan optimalisasi
pemanfaatan lahan. Upaya ekstensifikasi hanya dapat dilakukan
melalui pencetakan areal pertanian baru atau melalui pemanfaatan
tanah terlantar yang sesuai untuk komodtas tanaman pangan. Disisi
lain, upaya ekstensifikasi hanya dapat dilakukan jika upaya
peningkatan produktivitas melalui intensifikasi sudah tidak mungkin
lagi dilakukan, artinya upaya ekstensfikasi merupakan langkah terakhir
dalam jangka panjang jika tujuan produksi hanya untuk
mempertahankan swasembada beras. Namun demikian jika
peningkatan produksi ditujukan untuk memperbesar peran sektor
pertanian dan memperluas peluang usaha dan peluang kerja maka
upaya ekstensifikasi juga dapat dilakukan sebagai program jangka
pendek dan menengah.

Potensi pengembangan ekstensifikasi pertanian tanaman pangan


sangat tergantung pada ketersediaan sumberdaya lahan yang sesuai
dan dapat dikonversi menjadi areal tanaman pangan terutama sawah
dan palawija. Luas lahan bukan sawah menurut penggunaan di 15
kecamatan ber-IPM rendah disajikan dalam Tabel 3.2.

Tabel 3.2. Luas Lahan Menurut Penggunaan di 15 Kecamatan

Pen Raw
gge a- Sem
Pekar
mba raw Kola ent
angan
Teg Lad laan a m/ ara Hut Hut Perk
/Bang
Kecamata al/ ang/ / tida Tam Teb Tida an an e- lain- Juml
unan
n Keb Hu Pad k bak at/ k Rak Neg bun lain ah
&
un ma ang dita Emp diUs yat ara an
Halam
Ru nam ang aha
an
mpu i kan
t Padi
TAPA 1070 1127 271 0 0 0 0 0 0 4060 1309 302 8139
BOTUMOIT 4068
O 541 5495 2760 0 0 0 0 1782 35 2 1065 15 52375
KWANDANG 513 4852 0 94 1118 211 2 3946 645 0 3532 526 15439
1535
ANGGREK 270 4500 1400 31 0 83 0 3333 650 5 2093 2740 30455
TIBAWA 1389 6506 2883 0 0 0 0 0 0 0 3231 5524 19533

11 Sumber data Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Gorontalo, 2008
TOLINGGUL 1301
A 482 786 2726 1605 793 2 2 1492 9508 5 1245 1929 33585
BOLIYOHUT
O 735 1365 0 0 0 0 0 153 0 0 1462 43 3758
6249
PAGUAT 309 715 2399 109 500 50 25 6511 1500 4 3911 1329 79852
TELAGA
BIRU 1448 1340 506 582 54 0 5 212 1420 2052 2412 31 10062
PULUBALA 2098 3995 0 0 25 0 2 6903 0 0 3075 4456 20554
MOOTILAN
GO 1191 2366 703 0 12 0 2 15 2677 5494 1383 1268 15111
1370 2725
WONOSARI 900 1075 0 0 0 0 0 3155 668 5 2675 15 49443
2927
TALUDITI 985 863 1630 300 268 0 0 8649 1115 7 595 450 44132
1155
ATINGGOLA 776 2340 892 1897 178 0 0 408 1301 9 3875 2128 25354
PATILANGGI 1129
O 150 8684 450 10 50 10 0 6191 1050 9 1272 508 29674
Sumber: BAPPEDA Provinsi Gorontalo, 2007

Lahan yang tersedia untuk ekstensifikasi masih terbuka lebar terutama


pada kecamatan Botumoito, Kwandang, Anggrek, Tolinggula, Paguat,
Pulubala, Wonosari, Taluditi, dan Patilanggio. Pada kecamatan tersebut
areal yang tersedia tetapi belum dimanfaatkan secara optimal adalah
seluas 20.981 ha12. Luas lahan yang masih potensial untuk
dikembangkan menjadi areal pertanian tanaman pangan di 15
Kecamatan tersebut disajikan pada Gambar 3.19. Dari gambar
tersebut dapat dilihat bahwa distribusi potensi pengembangan lahan
pertanian terbesar secara berturut-turut berada pada Kecamatan
Taluditi (20%), Pulubala (16%), Paguat (16%) dan Patilanggio (15%).

Luas Potensi
Gambar 3.19.
KWANDANG;
Potensi
PATILANGGIO; 1.973; 9% Pengembangan Lahan
BOTUMOITO;
3.096; 15% 891; 4% ANGGREK; Pertanian Tanaman
1.667; 8% Pangan di 15
Kecamatan

Pengembangan lahan
pertanian tanaman
pangan di masa
TOLINGGULAmendatang
; harus
746; 4%
TALUDITI; 4.325 dilaksanakan sebagai
; 20% PULUBALA; PAGUAT; 3.256 upaya untuk
WONOSARI;
1.578; 8%
3.452; 16% ; 16% menyediakan lahan
pertanian abadi dan tidak terpisah dengan petani sebagai owners and
managers. Oleh karena itu, untuk mengembangkan lahan pertanian
tanaman pangan sebagai primary resource reserve dan menciptakan
kondisi dimana lahan pertanian tidak dapat dengan mudah untuk
12 Angka tersebut diperoleh dari konversi lahan sementara tidak diusahakan dengan asumsi kapasitas daya
dukung dan kesesuaian lahan untuk komoditas tanaman pangan sebesar 50%, penggunaan teknologi
mekanisasi dan ketersediaan petani.
dikonvesi menjadi lahan non pertanian diperlukan upaya yang
sungguh-sungguh dalam bentuk penetapan aturan yang dengan tegas
melarang konversi lahan. Disisi lain upaya mempertahankan status
lahan pertanian tanaman pangan harus diiringi dengan aturan yang
melarang konversi kepemilikan lahan dari petani ke bukan petani.
Kondisi tersebut sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya
kemubaziran investasi yang seharusnya digunakan untuk mendukung
pembangunan pertanian menjadi tidak termanfaatkan karena lahan
dikonversi bukan untuk pertanian. Pelajaran yang sangat berharga
yang diperoleh dari kejadian di Pulau Jawa dimana sebagian besar
lahan pertanian dikonversi menjadi kawasan industri, perumahan dan
penggunaan lain adalah karena ketidaktegasan pemerintah untuk
mempertahankan status lahan pertanian. Akibatnya para investor
dengan mudah mengkonversi lahan pertanian tanaman pangan
(terutama lahan sawah terbaik) dan merusak seluruh sistem jaringan
irigasi dan prasarana pendukung lainnya yang telah dibangun dengan
biaya yang sangat mahal dan dalam waktu yang lama.

Provinsi Gorontalo sebagai wilayah yang sangat tergantung pada


sektor pertanian harus menentukan langkah antisipatif untuk
mencegah terjadinya konversi lahan pertanian ke non pertanian dan
konversi kepemilikan lahan pertanian dari petani ke bukan petani13.
Penerbitan aturan mengenai kepemilikan lahan dan pencegahan
konsentrasi kepemilikan pada beberapa orang tertentu (terutama etnis
tertentu) merupakan salahsatu inti reformasi pertanian di Provinsi
Gorontalo. Jika aturan tersebut tidak dibuat sejak dini dan penegakan
hukum atas aturan tersebut tidak dijalankan sebagaimana mestinya
maka dipastikan pada suatu saat nanti lahan pertanian tanaman
pangan di Provinsi Gorontalo hanya akan dimiliki oleh segelintir orang
dan petani kecil yang saat ini masih memiliki lahan, hanya akan
menjadi buruh tani. Jika prediksi tersebut benar-benar terjadi maka sia-
sia lah segala upaya untuk meningkatkan pendapatan petani yang
bertujuan untuk meningkatkan daya beli. Konsekuensi logis dari hal
tersebut adalah bahwa tidak mungkin IPM Provinsi Gorontalo
meningkat secara signfikan karena sebagian besar penduduknya yang
berada di sektor pertanian tetap tidak berdaya (dan bahkan mungkin
lebih terpuruk).

3.3.3.3.Sawah dan Jaringan Irigasi

Sawah yang didukung oleh ketersediaan prasarana pengairan yang


lengkap dengan jaringan irigasi merupakan syarat mutlak bagi
terselenggaranya produksi pertanian tanaman pangan terutama untuk

13 Upaya yang harus dicegah dalam jangka pendek terutama konversi kepemilikan lahan dari petani
kepada pemilik modal karena akan terjadi akumulasi konsentrasi asset lahan pertanian oleh sejumlah kecil
pemilik modal terutama oleh etnis tertentu.
komoditas padi sawah. Dengan adanya jaringan irigasi maka
produktivitas padi sawah yang dihasilkan dapat lebih mudah diatur
untuk mencapai tujuan produksi. Sebagai wilayah sentra produksi padi
yang berada pada kondisi surplus dalam jangka panjang Provinsi
Gorontalo hanya memilki areal sawah berpengairan teknis seluas
11.645 ha (41%) dari 28.251 ha sawah yang ada. Sawah yang
dilengkapi irigasi setengah teknis mencakup 21 %, irigasi sederhana
2%, irigasi desa/non PU 5%, sisanya merupakan sawah tadah hujan
seluas 7935 ha (28%) dan lebak/folder seluas 433 ha. Tabel 3.2.
memperlihatkan luas areal sawah menurut jenis pengairan pada 15
kecamatan.

Tabel 3.2. Sebaran Areal Sawah di 15 Kecamatan ber-IPM Rendah

Iriga
Irigas Lebak/
Irigas si
Seten Irigasi i Folder
i Tada
Kecamatan gah Sederh Desa/ / Jumlah
tekni h
Teknis ana Non Lainny
s Huja
PU a
n
54 54
TAPA - - - - -
7 7
5
BOTUMOITO - - - - - 50
0
25 67
KWANDANG - 425 - - -
4 9
19 44
ANGGREK - 180 - 75 -
0 5
18 1.03
TIBAWA - 699 - 146 -
8 3
1.26 48 2.36
TOLINGGULA - 75 286 250
9 8 8
1.12 6 1.25
BOLIYOHUTO - - 60 -
3 7 0
1 48
PAGUAT - 255 102 113 -
0 0
28 4 33
TELAGA BIRU - - - -
8 4 2
5 20 29
PULUBALA 15 3 30 -
0 0 8
1.23 32 1.56
MOOTILANGO - - - -
9 8 7
2.60 2.60
WONOSARI - - - - -
7 7
78 85
TALUDITI - - - 70 -
0 0
16 64
ATINGGOLA - - 480 - -
2 2
6 20
PATILANGGIO - - - 92 50
6 8
Jumlah 15 5.38 13.32
4.537 1.574 660 872 300
Kecamatan 4 7
Jumlah Luas
Sawah 11.6 1.53 7.93 28.25
6.040 660 433
Provinsi 45 8 5 1
Gorontalo
Persentase
Terhadap
Luas Sawah 39% 26% 100% 57% 68% 69% 47%
Di Provinsi
Gorontalo
Sumber: Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi dan masing-masing
Kabupaten, BAPPEDA Provinsi dan Kabupaten, dan BPS.

Diantara 15 kecamatan yang ber-IPM rendah, hanya tujuh kecamatan


memiliki sawah berpengairan teknis, yaitu Kecamatan Tapa,
Botumoito, Tolinggula, Boliohuto, Telaga Biru, Pulubala dan Kecamatan
Mootilanggo. Diantara kecamatan tersebut, hanya lima kecamatan
yang memiliki sawah berpengairan teknis dalam luasan yang relatif
besar yaitu, Kecamatan Tapa (547 ha), Tolinggula (1269ha), Boliyohuto
(1123 ha), Telaga Biru (288 ha), dan Mootilanggo (1239 ha). Dari
angka tersebut menunjukkan bahwa kecamatan tersebut merupakan
sentra produksi padi sawah. Sawah berpengairan setengah teknis
berada pada Kecamatan Kwandang (425 ha), Anggrek (180ha), Tibawa
(699 ha), Paguat (255 ha) dan Pulubala (15 ha). .

Jumlah areal sawah tadah hujan di 15 Kecamatan lebih luas dari sawah
berpengairan teknis dan berada di 13 Kecamatan. Kecamatan
Wonosari sebagai daerah pemukiman transmigrasi sekaligus sebagai
lumbung padi Kabupaten Boalemo tidak memiliki sawah beririgasi
teknis. Seluruh areal persawahan di Kecamatan Wonosari (2607 ha)
merupakan sawah tadah hujan. Meskipun demikian, pada tahun 2007
dan 2008 dibangun sistem pengairan yang ditujukan untuk mengairi
areal sawah seluas 800 ha sehingga masih ada 1407 ha sawah di
Kecamatan Wonosari belum memiliki prasarana pengairan teknis.
Pembangunan jaringan irigasi di Kecamatan Wonosari dirasakan
sangat mendesak karena petani padi sawah umumnya mengharapkan
frekuens penanaman padi lebih dari satu kali dalam setahun.

3.3.3.4.Produksi dan Produktivitas Tanaman Pangan dan


Hubungannya dengan Peningkatan IPM

Terbatasnya areal sawah berpengairan teknis menjadi kendala


terbesar dalam mengatur pola tanam dan jadwal tanam karena
ketersediaan air tidak seluruhnya dapat diatur dengan mudah untuk
memenuhi kebutuhan sumberdaya air pada masing-masing fase
pertumbuhan padi sawah. Kondisi tersebut mengakibatkan tingkat
produktivitas padi sawah di Provinsi Gorontalo masih relatif rendah.
Luas panen padi sawah pada tahun 2006 adalah 42.815 hektar
menghasilkan 190.125 ton dengan rata-rata produksinya 4,44 ton per
hektar.

Seperti halnya kondisi umum di Provinsi Gorontalo, kecamatan-


kecamatan terpilih yang memiliki IPM rendah merupakan sentra
produksi padi dan jagung. Luas areal sawah pada 15 kecamatan
tersebut adalah 13.327 ha atau sebesar 47 % dari seluruh sawah di
Provinsi Gorontalo. Seperti terlihat pada Tabel 3.2, sebaran lahan
sawah terbesar terdapat di Kecamatan Wonosari (Kabupaten Boalemo)
dengan luasan 2294 ha. Namun demikian, seluruh lahan sawah di
kecamatan tersebut merupakan sawah tadah hujan sehingga
produktivitasnya masih rendah (4,9 ton/ha/tahun). Kebijakan
Pemerintah Provinsi dan Kabupaten Boalemo yang akan menjadikan
Kecamatan Wonosari dan Kecamatan Paguyaman sebagai Kota Mandiri
Terpadu (KTM) PAWONSARI diwujudkan secara terintegrasi dengan
upaya menjadikannya sentra produksi pangan Provinsi Gorontalo.
Upaya pemerintah untuk meningkatkan produktivitas padi sawah di
Kecamatan Wonosari dilakukan melalui pembangunan bendungan
lengkap dengan saluran irigasi yang sampai sekarang masih
berlagsung. Upaya pembangunan sistem irigasi tersebut diiringi
dengan pencetakan sawah baru yang disediakan bagi transmigran
yang sudah dilakukan pada tahun 2007.

Jika dihubungkan dengan tujuan dan sasaran produksi padi yang


ditetapkan dalam RPJM Provinsi Gorontalo, maka kondisi pengairan
sawah pada 15 kecamatan tidak akan mampu mendukungnya. Tanpa
upaya peningkatan produktivitas melalui berbagai intervensi dalam
bentuk penyediaan sarana produksi, prasarana pengairan, penyuluhan,
intervensi aplikasi pemupukan, peningkatan kemampuan dan
kapasitas petani dalam pengelolaan usahatani, sasaran produksi
sebesar 300.000 ton sustainable yield tersebut tidak akan mungkin
tercapai pada tahun 2012. Oleh karena itu diperlukan optimalisasi
pemanfaatan lahan sawah yang dilengkapi dengan seluruh sarana dan
prasarana produksi yang dibutuhkan. Penyediaan sarana dan
prasarana produksi tersebut dikelola melalui lembaga yang menangani
sistem agrbisnis tanaman pangan.

Dengan teknologi, sarana, prasarana yang ada saat ini disertai


kemampuan petani yang serba terbatas dalam segi kapasitas
permodalan, produksi maksimum yang dihasilkan oleh lahan seluas
13356 ha dengan cropping intensity 1,3 dan produktivitas lahan
sebesar 5,2 ton/ha adalah sebesar 89.873 ton. Oleh karena itu
diperlukan upaya peningkatan teknologi produksi, penyediaan sarana
produksi dan prasarana untuk mendukung pencapaian sasaran
produksi RPJMD. Disisi lain diperlukan reorientasi pencapaian produksi
yang bukan hanya ditekankan pada aspek produksi semata, tetapi
fokus perhatian lebih ditekankan pada peningkatan produktivitas.
Pertimbangan tersebut sangat penting mengingat peningkatan
pendapatan masyarakat secara luas hanya akan tercipta jika terjadi
peningkatan produktivitas secara signifikan.

Tabel 3.3. Analisis Potensi Produksi dan Produktivitas Padi


Sawah

Ka
pa
sit
P as
ot Da Ra
Pr
en ya sio
o
si Du Pr
d
Ind Pr ku od
u
eks od ng Pot uk
Lua kt
Max uk Riil ensi si
s iv
imu ti Ta Pro Te
Bak Lua Lua it
m vi np duk ori
u s s a
CI Cro ta a si tis
Selu Are Are s Pro
Kecamatan Ri ppi s Int Lah Te
ruh al al (t dusi
il ng Te erv an rh
Jeni Tan Pan o
Inte or en Teo ad
s am en n/
nsit iti si ritis ap
Saw h
y s Ta (ha/ Pr
ah a/
Teo (h mb th) od
ta
ritis a/ ah uk
h
ta an si
u
h Jari Rii
n)
u ng l
n) an
Iri
ga
si
1.48 1.08 7.05 13, 14.2
TAPA 547 6,5 2,7 2,0 0,7 2,0
2 5 3 0 30
11 17 89 10, 1.0
BOTUMOITO 50 5,2 2,3 2,0 1,5 1,2
7 0 2 5 49
1.11 97 5.18 9.5
KWANDANG 679 5,3 1,6 1,6 8,6 0,9 1,8
4 8 4 15
21 20 1.17 4.9
ANGGREK 445 5,6 0,5 1,4 7,9 1,0 4,2
7 9 4 31
1.13 1.12 7.77 12, 23.5
TIBAWA 1033 6,9 1,1 1,8 1,0 3,0
8 7 6 6 82
3.13 3.37 13.65 25.6
TOLINGGULA 2368 4,0 1,3 1,6 6,6 1,1 1,9
4 3 6 46
1.24 1.65 7.58 22.8
BOLIYOHUTO 1250 4,6 1,0 2,0 9,2 1,3 3,0
7 7 6 91
55 82 4.18 8.2
PAGUAT 480 5,1 1,2 1,8 9,4 1,5 2,0
8 4 3 70
74 65 4.83 14, 9.7
TELAGA BIRU 332 7,3 2,2 2,0 0,9 2,0
6 8 5 7 57
9 11 42 1.3
PULUBALA 298 3,8 0,3 1,1 4,2 1,2 3,2
6 2 2 58
MOOTILANG 1.88 1.83 8.80 28.8
1567 4,8 1,2 2,0 9,4 1,0 3,3
O 1 4 1 91
1.73 3.80 18.64 46.9
WONOSARI 2607 4,9 0,7 1,9 9,4 2,2 2,5
3 6 9 88
46 80 3.90 9.2
TALUDITI 850 4,8 0,5 1,5 7,2 1,7 2,4
7 9 0 47
96 1.19 4.50 9.6
ATINGGOLA 642 3,8 1,5 2,0 7,5 1,2 2,1
6 5 0 70
PATILANGGI 17 25 1.26 2.1
208 5,1 0,8 1,4 7,3 1,4 1,7
O 5 0 3 85
Jumlah 15 1335 15.0 18. 89.8 218.
Kecamatan 6 70 086 73 211
Rata-rata 15 5, 1, 9,
1,7 1,2 2,4
Kecamatan 2 3 2
Sumber: Diolah dari berbagai sumber, basis data tahun 2006

Penerapan berbagai intervensi yang dilakukan secara komprehensif dan


dipadukan dengan pemanfaatan lahan secara optimal, maka
sesugguhnya, secara teoritis, 15 Kecamatan yang ber-IPM rendah mampu
menghasilkan padi sebesar 218.211 ton. Artinya dengan hanya 15
kecamatan saja mampu menghasilkan sebanyak lebih dari 60% produksi
padi yang ditetapkan oleh RPJM. Namun demikian untuk mencapai
sasaran tersebut diperlukan peningkatan secara signfikan frekunesi
penanaman dalam setahun sehingga meningkatkan cropping intensity
dari sebesar 1,3 menjadi 1,7. Disisi lain, diperlukan intervensi teknologi
untuk meningkatkan produktivitas dari sebesar 5,2 ton/ha menjadi 9,2
ton/ha. Artinya diperlukan introduksi teknologi yang mampu
meningkatkan produktivitas melalui perbaikan daya dukung lahan
sehingga mencapai angka 120%. Tabel 3.3, memperlihatkan secara
lengkap analisis potensi produksi dan produktivitas optimal yang mampu
dihasilkan oleh 15 kecamatan ber-IPM rendah.

Rendahnya produktivitas padi sawah di Kecamatan Tolinggula disebabkan


oleh sistem irigasi yang digunakan. Meskipun luas areal sawah beririgasi
teknis sangat luas yaitu 2368 ha, sebagian besar merupakan irigasi air
tanah yaitu 1929 ha (81%) dengan jumlah jaringan irigasi sebanyak empat
jaringan. Karena sebagian besar jaringan tersebut mengalami masalah,
maka diperlukan rehabilitasi dan rekonstruksi pada sebagian jaringannya
untuk meningkatkan produktivitas lahan sawah secara keseluruhan.

Masalah yang dihadapi selain terbatasnya cakupan areal pelayanan irigasi


teknis adalah belum lengkapnya penyediaan sarana dan keberadaan
prasarana pendukung produksi yang merata pada seluruh sentra produksi.
Disisi lain, meskipun tersedia sarana dan prasarana irigasi, masih terdapat
permaslahan dalam pengelolaan dan fungsi jaringan irigasi yang tidak
optimal seprti di Kecamatan Tolinggula. Di kecamatan tersebut
produktivitas padi sawah sangat rendah, yaitu hanya 4 ton/ha. Sarana dan
prasarana pendukung produksi biasanya hanya tersedia secara lengkap di
sekitar ibukota Kabupaten atau dekat dengan Kota Gorontalo. Sehingga
dapat dilihat dari capaian produktivitas yang cenderung lebih besar pada
kecamatan yang berada di sekitar Kota Gorontalo.

Ketersediaan Faktor Produksi

Faktor produksi menjadi kendala utama dalam ketersediaannya terutama


pada kecamatan yang terletak jauh dari kota. Benih, pupuk, dan pestisida
biasanya sulit didapat terutama pada musim tanam dan pada saat
dibutuhkan. Penyediaan faktor produksi yang dilakukan oleh pemerintah
sangat membantu petani, tetapi seringkali terjadi kelambatan dalam
penyediaannya. Keterlambatan penyediaan faktor produksi seringkali
membuat petani terjebak oleh jeratan sebagian tengkulak yang seringkali
memanfatkan situasi untuk memperoleh keuntungan. Tengkulak datang
kepada petani untuk menyediakan faktor produksi tetapi dengan
perjanjian bahwa seluruh hasil panen harus dijual kepada tengkulak yang
menyeiakan benih, pupuk dan pestisida. Akibatnya adalah, harga jual
faktor produksi menjadi mahal dan harga jual produk petani menjadi
rendah karena berlaku praktek hedging (ijon).

Praktek ijon yang seringkali terjadi di hampir seluruh kecamatan di


Provinsi Gorontalo menjadi penyebab rendahnya kekuatan petani dalam
pemupukan modal. Rendahnya kemampuan untuk pemupukan modal
disebabkan oleh karena petani tidak memiliki cadangan finansial hasil
panen. Cadangan finansial yang diperoleh dari hasil panen tidak tersedia
karena petani memperoleh keuntungan yang sangat sedikit dari hasil
panennya. Rendahnya keuntungan disebabkan oleh rendahnya harga jual
produk yang dihasilkan.
3.3.3.5.Kapasitas Permodalan

Berlakunya praktek hedging pada sistem agribisnis padi sawah


memerlukan perhatian serius untuk dicarikan solusinya. Akibat luasnya
praktek tersebut petani tidak akan pernah beranjak dari kemiskinan
sehingga akan hampir mustahil meningkatkan pendapatan dan
memberdayakan petani jika berbagai upaya yang dilakukan tidak disertai
dengan upaya menghapus praktek hedging tersebut. Praktek hedging
akan sangat sulit jika dihapus secara drastis dan dalam skala yang sangat
luas. Upaya harus dilakukan secara bertahap dan dimulai dengan
kamanye penyadaran petani mengenai pentingnya manajemen kuangan
rumahtangga usahatani dan pentingnya pemupukan modal secara
mandiri.

Pengaruh praktek hedging terhadap struktur penerimaan dan peluang


untuk menabung menjadi sangat penting untuk dikaji. Adanya praktek
hedging sangat berpengaruh terhadap struktur biaya produksi sehingga
pada akhirnya berpengaruh terhadap pendapatan bersih petani.
Komponen pendapatan petani
8000000 merupakan sumberdaya
finansal yang selanjutnya akan
7000000
digunakan untuk konsumsi dan
6000000 modal yang akan dijadikan
5000000 biaya untuk melakukan proses
produksi pada musim tanam
4000000
pada tahun berikutnya.
3000000 Kemampuan memupuk modal
2000000 tergantung pada besarnya
1000000
pendapatan bersih yang
diperoleh dari usahataninya.
0 Hasil analisis pendapatan
dengan empat model pengaruh
(010) TAPA
(030) TIBAWA

(050) PAGUAT

-1000000
(041) TALUDITI

(061) ANGGREK
(031) PULUBALA

(042) BOTUMOITO
(051) WONOSARI

(060) KWANDANG

(090) ATINGGOLA
(040) BOLIYOHUTO
(041) MOOTILANGO

(031) PATILANGGIO
(081) TELAGA BIRU

(051) TOLINGGULA

ada tidaknya hedging pada


proses pengadaan faktor
produksi dan hubungannya
M in im u m Net S aving O p p o rtu n ityM axim u m Net S aving O p p o rtudengan
nity peluang menabung
Cash S elling C ash Co st Cash S elling Hedg ed Co st disajikan pada Gambar 3.20.
Hed g e S ellin g Cash Co st Hed g e S ellin g Hed ged Co st
Gambar 3.20. Akibat Praktek Hedging dan Peluang Menabung di 15
Kecamatan

Pelaku usahatani di Kecamatan Botumoito, Wonosari, Taluditi, Patilanggio,


Kwandang, Anggrek, Tolinggula dan Atinggola menderita akibat
rendahnya peluang untuk menabung yang diakibatkan oleh adanya
praktek hedging dalam penyediaan faktor produksi dan pemasaran hasil
panennya. Nilai pendapatan bersih usahatani yang diterima petani
tertinggi di Kecamatan Pulubala, yang diperoleh dari hasil penjualan
secara tunai dan penyediaan faktor produksi secara tunai pula. Kondisi Net
saving opportunity juga secara otomatis terjadi pada kecamatan Pulubala.
Secara umum, kecamatan-kecamatan yang berada di sekitar Kota
Gorontalo memperoleh keuntungan yang lebih besar dibandingkan
dengan kecamatan yang berada jauh dari kota tersebut. Kondisi jarak dan
aksesibilitas nampaknya berpengaruh sangat signifikan terhadap
pendapatan bersih yang diterima oleh petani demikian juga halnya
dengan kondisi terjadinya praktek hedging. Kondisi jarak dan aksesibilitas
pada kecamatan yang memiliki net saving opportunity rendah memang
memungkinkan terjadinya praktek hedging yang berpengaruh terhadap
tingginya harga jual faktor produksi dan rendahnya nilai jual hasil panen.
Secara siklikal kondisi demikian akan menurunkan kemampuan pelaku
usahatani (terutama pemilik lahan sempit dan terjadinya budel) untuk
memperoleh pendapatan yang layak sehingga dalam jangka panjang
jumlah petani miskin akan semakin meningkat.

Peran pemerintah Provinsi Gorontalo sangat dibutuhkan untuk menangani


permasalahan siklikal (lingkaran setan) ini. Upaya dalam bentuk program
penguatan modal berkelanjutan yang dikelola secara transparan dan
akuntabel diharapkan dapat berpengaruh terhadap peningkatan
kemampuan petani miskin. Dihubungkan dengan upaya peningkatan IPM,
program dan kegiatan yang harus dilakukan dalam jangka pendek lebih
ditekankan pada peningkatan kapasitas permodalan dan peningkatan
kemampuan kewirausahaan pada masing-masing petani, baik secara
individu maupun kelompok.

Program penguatan modal harus dilakukan dengan cara meningkatkan


kesadaran dan kepedulian petani dalam mengelola asset yang dimiliki
untuk selanjutnya digunakan sebagai jaminan untuk meminjam kepada
bank atau lembaga keuangan. Program pemberdayaan dalam bentuk
penguatan permodalan tidak boleh dilakukan, jika metode pelaksanaanya
hanya menciptakan ketergantungan pada bantuan seperti yang selama ini
dilakukan. Petani harus dididik untuk mampu memperoleh modal finansial
dalam bentuk pinjaman dengan jaminan lahan yang dimilikinya. Upaya
pendampingan oleh lembaga atau LSM yang telah berpengalaman dan
profesional diperlukan untuk membimbing petani dalam memperoleh
sertifikat bagi petani yang belum memiliki sertifikat. Bagi petani yang
telah memiliki sertifikat dibimbing dan dididik untuk mampu mengajukan
pinjaman sampai memperoleh modal yang diperlukan untuk menjalankan
usahataninya.

Setelah pinjaman diperoleh dari bank atau lembaga keuangan lain, petani
tidak boleh dilepas sendiri sehingga tidak melakukan kesalahan dalam
mengelola dan menggunakan uang pinjaman. Diperlukan program
pendampingan berkelanjutan untuk melatih dan membentuk kemampuan
petani sampai seluruh petani memiliki kemampuan nyata dalam
membentuk permodalan. Diharapkan setelah kemampuan membentuk
modal secara mandiri, setiap petani akan mampu membiayai seluruh
biaya usahatani tanpa harus tergantung pada tengkulak dengan sistem
hedgingnya dan demikian pula hanlnya tidak perlu lagi bantuan
pemerintah yang bersifat cuma-cuma.

Bantuan pemerintah di masa depan hanyalah bersifat stimulan dalam arti


yang sebenarnya. Tidak boleh lagi ada bentuk bantuan permodalan yang
bersifat tidak mendidik dalam skala luas dan menciptakan perilaku petani
yang hanya menunggu
bantuan. Meskipun masih
diperlukan bantuan cuma-
cuma, selanjutnya
bantuan tersebut harus
dapat digulirkan sehingga
menjadi milik semua
petani yang tergabung
dalam kelompok. Setelah
terjadi akumulasi
permodalan mandiri,
petani dapat
menggabungkan seluruh
kekuatan modal yang
250,0
dimilikinya sehingga pada
akhirnya dapat dijadikan
sebagai modal jangka
panjang untuk
membentuk lembaga
keuangan mandiri milik petani. 200,0
Gambar 3.21. Individual Capacity for Capital Formation di 15
Kecamatan

Program penguatan modal petani sangat penting dilakukan karena


150,0
selama ini petani pertanian tanaman pangan berada dalam kondisi
yang tidak berdaya. Ketidakberdayaan tersebut disebabkan oleh
adanya ketergantungan pada modal yang diperoleh dari tengkulak
104
yang sebenarnya merugikan. Terdapat kebiasaan yang sangat
memperlemah kekuatan petani ditinjau dari sudut pembentukan modal
mandiri. Ketergantungan terhadap tengkulak dan bantuan pemerintah
100,0
83

pada 15 kecamatan menunjukkan bahwa sebagian besar petani tidak


mampu membiayai kembali usahataninya meskipun untuk satu
68

67

periode produksi. Indikator lemahnya kemampuan pemupukan modal


60

ditunjukkan oleh kapasitas pembentukan modal mandiri (Individual

50,0
66,6

65,9

65,7
65,2

65,1
Capacity for Capital Formation)14 yang lebih rendah dari 100% seperti
ditunjukkan pada Gambar 3.21.

Program penguatan modal mandiri sangat mendesak untuk dilaksanakan


terutama pada kecamatan yang memiliki nilai maximum net saving
opportunity dibawah 100%, 160,0
yaitu Kecamatan Mootilanggo, 140,0
Boliyohuto, Telaga Biru,
120,0
Botumoito, Wonosari, Taluditi,
100,0
Patilanggio, Paguat,
80,0
Kwandang, Anggrek,
60,0
Tolinggula dan Atinggola.
40,0

20,0
Gambar 3.22. Resiko dan
-

BOLIYOHUTO
TOLINGGULA

TELAGA BIRU
Ketidakpastian Usahatani di 15

ANGGREK

MOOTILANGO

PATILANGGIO
KWANDANG

ATINGGOLA
BOTUMOITO

WONOSARI
PULUBALA

TALUDITI
PAGUAT
TIBAWA
TAPA
Kecamatan

Perlunya peningkatan
kapasitan pembentukan modal IPM Indeks Pendapatan
Highest ICCF Lowest ICCF
selain ditujukan untuk
membangun peningkatan kapasitas petani, juga sangat diperlukan untuk
menghindari resiko dan ketidakpastian finansial pada rumahtangga
usahatani. Resiko dan ketidakpastian finansial merupakan indikator
keberlanjutan usahatani yang merupakan dampak akhir dari terjadinya
ketidakmampuan petani untuk melakukan pembentukan modal. Artinya
jika rumahtangga usahatani tidak mampu melakukan pemupukan modal
untuk proses produksi pada musim tanam berikutnya disertai adanya
resiko yang tinggi maka sudah dapat dipastikan rumahtangga tersebut
tidak akan mampu melestarikan kegiatan usahataninya dalam jangka
panjang. Permasalahan yang disebabkan oleh terjadinya kelangkaan dan
mahalnya faktor produksi, ketidaktersediaan tenaga penyuluh,
aksesibilitas terhadap pasar dan pusat perekonomian, prasarana produksi
dan prasarana jalan berakumulasi untuk menimbulkan resiko dan
ketidakpastian yang semakin tinggi. Gambar 3.22 menunjukkan tingkat
resiko dan ketidakpastian usahatani pada 15 kecamatan.

Pada gambar tersebut dapat dilihat bahwa seluruh kecamatan mengalami


resiko dan ketidakpastian usahatani di atas 50%, artinya seluruh petani
pada 15 kecamatan tersebut menghadapi kemungkinan resiko kegagalan
melestarikan usahataninya. Resiko yang sangat tinggi terutama pada

14 Konsep Individual Capacity for Capital Formation merupakan konsep premature yang dikembangkan
oleh penulis dengan tujuan untuk mengembangkan kapasitas permodalan pada kelompok masyarakat yang
tidak memiliki sumberdaya finansial yang mencukupi untuk membangun usahanya. Selain untuk tujuan
tersebut, konsep ini juga pernah diterapkan oleh Penulis untuk membangun kekuatan pembentukan modal
mandiri pada lembaga keuangan masyarakat pantai di beberapa propinsi sebagai cikal bakal bagi
terbentuknya lembaga keuangan berbasis masyarakat seperti yang banyak berkembang sekarang ini.
kecamatan Telaga Biru, Kwandang, Anggrek dan Atinggola yang
ditunjukkan oleh angka resiko di atas 100%.

3.3.4. Penyuluhan

Era reformasi telah merubah paradigma pembangunan pertanian


Indonesia dari paradigma lama yang lebih berorientasi kepada
peningkatan produksi pertanian, kepada paradigma baru yang lebih
berorientasi kepada peningkatan pendapatan dengan menerapkan
sistem agribisnis. Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) dalam
pembangunan pertanian mempunyai mandat untuk
menyelenggarakan pendidikan non formal bagi petani – nelayan,
keluarga tani dan masyarakat luas khususnya di pedesaan. Namun
pada kenyataannya, pelaksanaan pembangunan pertanian telah
berubah arah dari paradigma lama yang lebih mensejahterakan petani
kepada paradigma baru yang lebih menyengsarakan petani, karena
petani menjadi komoditas politik sehingga seringkali dijual untuk
kepentingan kampanye dan kepentingan akumulasi korupsi oleh
sebagian birokrat. PPL yang dahulu menjadi mesin politik partai
penguasa, sekarang telah menjadi komoditas politik beberapa partai.

Akibat adanya reformasi yang salah arah, Provinsi Gorontalo


menghadapi tantangan besar dan dilematis dalam pengembangan
mekanisme pelaksanaan penyuluhan yang efektif dalam disemanasi
informasi sistem agribisnis yang sesuai bagi petani yang umumnya
berskala kecil. Dampak reformasi politik dan desentralisasi ternyata
telah berpengaruh buruk terhadap pelaksanaan penyuluhan.
Pelaksanaan penyuluhan berbasis komoditas dan terkotak-kotak
menurut kabupaten telah menimbulkan masalah besar terutama pada
keberhasilan diseminasi informasi. Restrukturisasi pemerintahan telah
menimbulkan rendahnya efektfitas penyuluh dalam melaksanakan
pekerjaannya. Masalah baru semakin banyak terlebih lagi dengan
ditetapkannya penyuluh sebagai “buruh harian lepas” alias “buruh
kontrak”.

Diangkatnya tenaga penyuluh sebagai buruh kontrak menimbulkan


apatisme berkarya dan keseriusan para penyuluh untuk memantapkan
posisinya karena tidak ada jaminan karir dalam jangka panjang. Ini
adalah suatu langkah pengambilan keputusan yang keliru karena
penyuluh seharusnya merupakan agen pembangunan pertanian.
Karena sifatnya sebagai agen pembangunan pertanian maka seluruh
penyuluh secara psikologis harus memiliki ketenangan dalam berkarir.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa penyuluh buruh harian lepas
tidak memiliki harapan masa depan karena tidak ada jaminan dari
pemerintah kabupaten maupun provinsi untuk mengangkat mereka
sebagai pegawai negeri sipil (PNS). Status sebagai PNS sangat penting
bagi penyuluh karena status tersebut memberikan ketenangan dalam
berkarya. Akibat tidak adanya jaminan sebagai PNS maka sebagian
penyuluh tidak mau tinggal di desa yang bukan tempat tinggal
asalnya.

Masalah besar lain yang dihadapi oleh penyuluhan adalah rendahnya


biaya operasional yang tidak sebanding dengan kegiatan yang harus
dilakukan oleh penyuluh dan terbatasnya sarana dan prasarana
pendukung kegiatan. Akibat dari hal tersebut adalah, penyuluh tidak
mau melakukan kegiatan penyuluhan dan cenderung berada di
belakang meja, sehingga program diseminasi informasi yang harusnya
dilakukan secara rutin tidak dilakukan. Hasil diskusi dengan 400 orang
petani yang dilakukan pada kecamatan Tapa, Patilanggio, Paguyaman,
Kwandang, Botumoito dan Tilamuta menunjukkan bahwa hanya 50%
penyuluh yang melakukan kegiatannya secara rutin.

Seharusnya program penyuluhan pertanian menjadi sistem pendidikan


luar sekolah untuk petani sebagai orang dewasa guna
menumbuhkembangkan kemampuan (pengetahuan, sikap dan
keterampilan) petani, peternak dan nelayan sehingga secara mandiri
dapat mengelola unit usaha taninya lebih baik dan menguntungkan
sehingga dapat memperbaiki pola hidup yang lebih layak dan
sejahtera bagi keluarganya. Dari peningkatan pendapatan, sudah
dipastikan bahwa daya beli meningkat sehingga berpengaruh terhadap
peningkatan IPM. Kegiatan penyuluhan pertanian sebagai proses
belajar bagi petani, peternak nelayan melalui pendekatan kelompok
dan diarahkan untuk terwujudnya kemampuan kerja sama yang lebih
efektif sehingga mampu menerapkan inovasi, mengatasi berbagai
resiko kegagalan usaha, menerapkan skala usaha yang ekonomis
untuk memperoleh pendapatan yang melebihi kebutuhan modal yang
diperlukan untuk proses produksi. Disisi lain, penyuluhan harus
berperan dalam memberikan pemahaman mendasar, bahwa petani
memiliki peran serta tanggung jawab sebagai pelaku pembangunan
pertanian. Dengan demikian PPL haruslah menjadi agen
pembangunan, agen pembaharuan dan agen inovasi bagi petani.

Peran PPL sebagai agen pembangunan pertanian di tengah-tengah


masyarakat tani di Provinsi Gorontalo sangat dibutuhkan untuk
meningkatkan sumber daya manusia (petani) sehingga mampu
mengelola sumberdaya alam yang ada secara intensif demi
tercapainya peningkatan produktifitas dan pendapatan.
Memberdayakan petani, peternak, dan nelayan dan keluarganya
melalui penyelenggaraan penyuluh pertanian, bertujuan untuk
mencapai petani, peternak dan nelayan yang tangguh sebagai salah
satu komponen untuk membangun pertanian yang maju, efisien dan
tangguh sehingga mencapai tujuan untuk meningkatkan IPM Provinsi
Gorontalo. Penyuluhan secara sistematis adalah suatu proses yang (1).
Membantu petani, peternak, dan nelayan untuk menganalisis
permasalahan, kendala, keberhasilan dan tujun yang sedang dihadapi
dan melakukan perkiraan ke depan; (2). Membantu petani, peternak,
nelayan memiliki kepedulian terhadap kemungkinan timbulnya
masalah dari usaha yang dilakukan; (3). Meningkatkan pengetahuan
dan mengembangkan wawasan terhadap suatu masalah dan resiko;
(4) Membantu menyusun kerangka berpikir berdasarkan pengetahuan
yang dimiliki petani; (4). Membantu memperoleh pengetahuan yang
khusus berkaitan dengan cara pemecahan masalah yang dihadapi dan
akibat yang ditimbulkannya sehingga mempunyai berbagai alternatif
tindakan; (5). Membantu memutuskan pilihan tepat yang menurut
pendapat mereka sudah optimal; (6). Meningkatkan motivasi untuk
dapat menerapkan pilihannya ; dan (7). Membantu mengevaluasi dan
meningkatkan keterampilan mereka dalam membentuk pendapat dan
mengambil keputusan.

Secara teoritis, konsep penyuluhan swakarsa dalam era otonomi


daerah adalah sistem penyuluhan pertanian yang digerakkan oleh
petani dengan demikian petani harus ditingkatkan kemampuannya,
diberdayakan, sehingga petani memiliki keahlian-keahlian yang dapat
menyumbangkan kegiatannya ke arah usahatani yang moderen dan
mampu bersaing, mampu menjalin jaringan kerja sama diantara
sesama petani maupun dengan kelembagaan sumber ilmu/teknologi,
serta mata rantai sistem agribisnis yang peluangnya tersedia. Pada
akhirnya petani akan menyelenggarakan sendiri kegiatan penyuluhan
pertanian, dari petani, oleh petani dan untuk petani.

Hasil observasi menunjukkan adanya kecenderungan petani, peternak


dan nelayan tidak mempunyai pengetahuan serta wawasan yang
memadai untuk dapat memahami permasalahan, memikirkan
permasalahannya, memilih pemecahan masalah yang paling tepat
untuk mencapai tujuan. Seringkali terjadi pengetahuan yang diperoleh
berdasarkan informasi yang keliru karena kurangnya pengalaman,
pendidikan, atau faktor budaya lainnya. Terbatasnya pengetahuan,
sikap dan keterampilan petani, sangat berpengaruh terhadap
kemampuan untuk melakukan usaha yang lebih efektif, efisien dan
produktif sehingga kualitas dan kuantitas produk yang dihasilkan tidak
memberikan keuntungan yang cukup untuk mensejahterakan dan
melestarikan usahanya. Disisi lain orientasi agribisnis masih terbatas
hanya pada segelintir petani yang bermodal besar dan memiliki asset
yang besar. Kondisi demikian ditandai dengan rendahnya produktifitas
usaha sehingga belum mencapai keuntungan yang rasional.

Peranan penyuluh di Provinsi Gorontalo sebagai fasilitator, motivator


dan sebagai pendukung gerak usaha petani merupakan titik sentral
dalam memberikan penyuluhan kepada petani, peternak dan nelayan
akan pentingnya berusaha secara komersial dengan memperhatikan
kelestarian dari sumber daya alam. Kesalahan dalam memberikan
penyuluhan kepada petani, peternak dan nelayan akan menimbulkan
dampak negatif dan merusak lingkungan. Proses penyelenggaraan
penyuluhan pertanian dapat berjalan dengan baik dan benar apabila
didukung dengan tenaga penyuluh yang profesional, kelembagaan
penyuluh yang handal, materi penyuluhan yang terus-menerus
mengalir, sistem penyelenggaraan penyuluhan yang benar serta
metode penyuluhan yang tepat dan manajemen penyuluhan yang
bersifat polivalen.

Penyuluhan pertanian sangat penting artinya dalam memberikan


modal sumberdaya manusia bagi petani dan keluargannya, sehingga
memiliki kemampuan menolong dirinya sendiri untuk mencapai tujuan
dalam memperbaiki kesejahteraan hidup petani dan keluarganya,
tanpa harus merusak lingkungan di sekitarnya. Tugas seorang
Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) adalah meniadakan hambatan
yang dihadapi seorang petani dengan cara menyediakan informasi dan
memberikan pandangan mengenai masalah yang dihadapi. Informasi
tentang pengelolaan sumber daya alam dengan teknologi yang baik
dan benar sesuai dengan kondisi lahan sangat bermanfaat bagi petani,
peternak dan nelayan untuk meningkatkan hasil produksinya tanpa
harus merusak lingkungan usahanya sehingga dapat meminimalisir
degradasi sumberdaya alam dan kerusakan lingkungan.

3.3.5. Kondisi Sub-sektor Perkebunan

Potensi areal perkebunan di Provinsi Gorontalo di seluas 191.765,96


ha, sampai tahun 2006 baru termanfaatkan seluas 91.064,11ha.
Dengan demikian masih terdapat areal yang belum termanfaatkan
seluas 100.701,85ha (52.51%)15. Komoditas perkebunan andalan terdiri
dari kelapa, kakao, tebu, cengkeh. Selain komoditas tersebut, untuk
mendukung pengembangan bio-fuel, komoditas jarak pagar ditetapkan
sebagai komoditas unggulan dengan tujuan untuk merangsang
pertumbuhan dan pemerataan ekonomi Provinsi Gorontalo. Komoditas
lainnya seperti jambu mete, kopi, pala, vanili, kapuk, aren, diusahakan
oleh masyarakat dalam skala yang masih relatif kecil. Meskipun
demikian, komoditas non-unggulan tersebut akan menjadi komoditas
unggulan jika dikembangkan dengan serius dan dalam skala wilayah
yang tersentralisasi. Seperti diketahu, pasar untuk komoditas vanili
dan pala memiliki permintaan pasar yang cukup prospektif dan selalu
meningkat dari tahun ke tahun. Komoditas lada belum dikenal secara
luas di Provinsi Gorontalo, padahal dari segi kesesuaian lahannya
15 Dinas Perkebunan dan Peternakan Provinsi Gorontalo, 2007.
komoditas tersebut sesuai. Oleh karena itu perlu disusun program
percontohan pengembangan komoditas vanili dan lada.

Industri pengolahan Tebu telah dikelola oleh sebuah perusahaan besar


swasta (PBS) PT. Tolangohula yang secara riil telah mampu mendorong
pertumbuhan ekonomi di Provinsi Gorontalo. Pada tahun 2006, dengan
luas areal 8.216,96ha telah menghasilkan tebu 465.019ton dengan
produktivitas 56,59 ton/ha serta memproduksi hablur/gula sebanyak
30.729 ton16.

Rendahnya kualitas sumberdaya petani perkebunan merupakan


kendala serius yang selalu menjadi kambing htam dalam
pembangunan sub sektor perkebunan. Tingkat pendidikan dan
keterampilan rendah menjadi sasaran para pemilik modal untuk
menjerat petani perkebunan yang memiliki areal dan tanaman untuk
menjadi buruh dan bahkan menjadi budak dalam jangka panjang.
Sungguh ironis dan menyakitkan karena beberapa pemodal tersebut
dianggap “pahlawan” dan memperoleh pinjaman dari bank. Dalam
pemasaran produk, petani perkebunan selalu berada pada posisi
lemah (baik sebagai individu maupun sebagai kelompok/kelembagaan)
dalam berinteraksi dengan mitra bisnisnya karena kurangnya
kemampuan untuk bernegosiasi. Implikasinya adalah tidak
proporsionalnya perolehan harga penjualan untuk setiap produk yang
dihasilkan petani dan pada giliranya akan menghambat upaya
pemupukan modal. kurangnya keterampilan petani perkebunan dalam
mengolah hasil usahataninya masih rendah hal ini bisa dicirikan
dengan penjualan hasil perkebunan belum diolah lebih lanjut, masih
bersifat bahan mentah, sehingga petani perkebunan tidak memiliki
nilai tambah dari usahataninya. disamping itu, terbatasnya
pengetahuan petani perkebunan dalam menggunakan bibit tanaman
unggul ataupun pemahaman dalam berusaha tani, seperti penggunaan
pupuk yang berimbang dan pengendalian organisme pengganggu
tanaman, maupun manajemen pengelolaan panen dan pascapanen.

Kesalahan fatal terjadi pada sebagian besar petani perkebunan kelapa


dengan adanya kebiasaan “budel” seperti telah dibahas pada bagian
terdahulu. Praktek budel telah menghancurkan kesempatan petani
kebun untuk memperoleh pendapatan yang layak, memperluas skala
usaha dan mengembangkan permodalan dari hasil usahanya. Tidak
adanya kontrol pemerintah dan disisi lain beberapa oknum pemerintah
menjadi pelindung permasalahan ini mengakibatkan praktek budel
semakin meluas terutama di Kecamatan Patilanggio, Paguat dan
Paguyaman.

16 Dinas Perkebunan dan Peternakan Provinsi Gorontalo, 2007.


Nampaknya sub-sektor perkebunan semakin menjadi anak tiri dan
tidak menjadi primadona. Kondisi demikian sangat terasa dalam setiap
workshop, dimana sub-sektor perkebunan jarang diangkat sebagai
bahan pembicaraan utama. Padahal potensi perkebunan Provinsi
Gorontalo yang memiliki posisi geografis sangat dekat dengan pasar
ekspor memungkinkan pengembangan komoditas yang memiliki nilai
jual produk mentah dan nilai tambah tinggi untuk produk jadi.

Harapan yang cerah akan mulai tumbuh seiring dengan meningkatnya


harga kelapa di pasar dunia. Namun demikian Provinsi Gorontalo
dihadapkan pada kondisi dimana sebagian besar tanaman kelapa
sudah berumur tua. Oleh karena itu diperlukan program revitalisasi
bagi pengembangan kembali sentra produksi kelapa pada beberapa
daerah yang memiliki produktivitas tinggi.

Keberadaan kelembagaan petani sangat lemah, kelompok tani kurang


terkontrol dengan baik karena keterbatasan dana dan fasilitas,
sehingga intensitas dan kualitas pembinaan terhadap petani pasca
otonomi daerah jauh berkurang, karena sistem penyuluhan kurang
mendapat perhatian dari pemerintah. Berkaitan dengan hal ini,
revitalisasi sistem penyuluhan perlu dilaksanakan agar fungsi
penyuluhan dapat berjalan dengan baik. Di samping itu, kelembagaan
petani perlu ditata dengan baik, koordinasi perlu ditingkatkan agar
kegiatan yang melibatkan petani tidak tumpang tindih dan perlunya
peran aktif pemerintah desa dan kecamatan17.

3.3.6.Kondisi perikanan tangkap

Agenda pembangunan kelautan dan perikanan pada Rencana


Pembangunan Jangka Menengah Nasional/RPJMN 2004-2009 (menurut
PP No. 7/2005) adalah; (1) revitalisasi perikanan; dan (2)
penanggulangan kemiskinan. Agenda tersebut dijabarkan secara
operasional dalam Program Pengembangan Sumberdaya Perikanan
mempunyai tujuan untuk: mengelola, mengembangkan, dan
memanfaatkan sumber daya perikanan secara optimal, adil, dan
berkelanjutan dalam rangka peningkatan nilai tambah hasil perikanan
serta pendapatan nelayan, pembudidaya ikan, dan masyarakat pesisir
lainnya.

Misi pembangunan kelautan dan perikanan yang tercantum pada


Renstra Departemen Kelautan dan Perikanan 2005-2009 meliputi: (1)
Meningkatkan kesejahteraan nelayan, pembudidaya ikan, dan
masyarakat perikanan lainnya; dan (2) Meningkatkan peran sektor
kelautan dan perikanan sebagai sumber pertumbuhan ekonomi.
17 Dinas Perkebunan dan Peternakan Provinsi Gorontalo, 2007
Tujuan pengelolaan perikanan (dalam UU No. 31/2004 tentang
Perikanan):
(1) Meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudidaya ikan
skala kecil;
(2) Meningkatkan penerimaan dan devisa negara;
(3) Mendorong perluasan dan kesempatan kerja;
(4) Meningkatkan ketersediaan dan konsumsi sumber protein hewani;
(5) Mengoptimalkan pengelolaan sumber daya ikan;
(6) Meningkatkan produktivitas, mutu, nilai tambah, dan daya saing;
(7) Meningkatkan ketersediaan bahan baku untuk industri pengolahan
ikan;
(8) Mencapai pemanfaatan sumber daya ikan, lahan pembudidayaan
ikan, dan lingkungan sumber daya ikan secara optimal; dan
(9) Menjamin kelestarian sumber daya ikan, lahan pembudidayaan
ikan, dan tata ruang.

Visi pembangunan perikanan tangkap (menurut Konsep Renstra DJPT


2005-2009): ”Industri perikanan tangkap Indonesia yang lestari, kokoh,
dan mandiri pada tahun 2020”. Sedangkan Misi pembangunan
perikanan tangkap (menurut Konsep Renstra DJPT 2005-2009): (1)
Memanfaatkan sumber daya ikan secara bertanggung jawab; (2)
Mendorong dan mengembangkan kualitas kelembagaan dan sumber
daya manusia perikanan tangkap; (3) Mendorong dan
mengembangkan fasilitas pelabuhan perikanan, kapal perikanan, alat
tangkap serta sarana pendukung lainnya; dan (4) Mendorong dan
memfasilitasi pengembangan industri perikanan tangkap

Tujuan pembangunan perikanan tangkap (menurut Konsep Renstra


DJPT 2005-2009): (1) Optimalisasi pemanfataan sumberdaya ikan
secara berkelanjutan guna menyediakan ikan untuk konsumsi dalam
negeri dan bahan baku industri; (2) Meningkatkan peran perikanan
tangkap terhadap pembangunan perekonomian nasional; (3)
Meningkatkan lapangan pekerjaan; dan (4) Meningkatkan pendapatan
dan kesejahteraan nelayan.

3.3.6.1. Kondisi Umum Perikanan Tangkap Provinsi Gorontalo


Gorontalo memiliki garis pantai yang cukup panjang, garis pantai Utara
dan pantai Selatan masing-masing memiliki panjang + 230 km dan
330 km. Provinsi Gorontalo dikembangkan sebagai wilayah agropolitan
dimana Pertanian dan Perikanan akan menjadi Sektor Pengembangan
Ekonomi Unggulan Provinsi. Luas perairan Provinsi Gorontalo termasuk
cukup besar yakni di Utara sepanjang 230 km menghadap ke laut
Sulawesi terdapat areal Zone Economic Exclusive (ZEE) yang kaya
dengan hasil laut bernilai ekonomi tinggi. Jenis ikan di zona tersebut
antara lain adalah palangis besar, palangis kecil dan jenis demersal
serta crustacea dan moluska. Di sebelah Selatan, dibatasi oleh Teluk
Gorontalo dengan panjang pantai + 330 km dengan potensi yang
dikandung berupa ikan laut jenis palangis besar, palangis kecil, ikan
karang, dan lain-lain yang mempunyai nilai jual sangat tinggi.

Luas perairan di Teluk Gorontalo mencapai 7.400 km2 dan di Laut


Sulawesi mencapai 43.100 km2. Dengan luas perairan yang demikian
besar yang dikelola dan dimanfaatkan menurut kaidah kelestarian
lingkungan, dengan teknik budidaya dan penangkapan yang ramah
lingkungan, melalui sistem agribisnis terpadu berbasis masyarakat
diharapkan akan dapat membantu meningkatkan PAD Provinsi
Gorontalo. Dalam jangka panjang dan pendek, sub-sektor perikanan
dan kelautan dapat dimanfaatkan sebagai sumber pendapatan
masyarakat dan peningkatan kesejahteraan dengan budidaya dan
penangkapan ikan dengan tetap memperhatikan potensi lestari
tangkapan. Dalam jangka panjang, pengembangan budidaya laut akan
menjadi alternatif terbaik yang ditujukan terutama untuk
pengembangan ikan karang yang mempunyai nilai jual tinggi dan
berorientasi ekspor dan untuk mencegah terjadinya perusakan
terumbu karang karena penangkapan yang bersifat destruktif.

Secara nasional, produksi


60.000 penangkapan di laut
berperan penting dalam
50.219
menyumbang produksi
50.000
perikanan tangkap nasional.
8.987 Data yang ada menunjukkan,
39.041
40.000 37.001 perkembangan produksi
34.173 35.171 perikanan tangkap
Produksi (ton)

7.842
10.984
mengalami peningkatan rata-
30.000 11.121 rata 4,53%, yaitu dari
11.792
14.920 2.467
10.502 4.276.720 ton pada tahun
20.000
3.774
7.184
2001 menjadi 4.881.810 ton
4.245
- 6.853 pada tahun 2003. Dalam
4.153 10.574
8.811 8.974
periode 2001-2003 tersebut,
10.000 7.167 7.769 produksi penangkapan di laut
10.308 meningkat rata-rata sebesar
8.440 7.427
5.810 5.479 4,87%/tahun yaitu dari
-
2002 2003 2004 2005 2006
3.966.480 ton pada tahun
2001 menjadi 4.383.103 ton
Boalemo Kab. Gorontalo pada tahun 2003, sedangkan
Pohuwato Bone Bolango produksi penangkapan di
Kota Gorontalo Jumlah Provinsi perairan umum hanya
mengalami peningkatan 0,01% yaitu dari 310.240 ton pada tahun
2001 menjadi 308.093 ton pada tahun 2003 (Renstra DJPT, 2003-
2009).

Gambar 3.23. Perkembangan Produksi Perikanan Tangkap Provinsi


Gorontalo, 2002-2006

Kinerja perikanan tangkap di Provinsi Gorontalo menunjukkan


peningkatan yang signifikan dari sisi produksi. Jumlah produksi pada
tahun 2001 sebesar 34173 ton telah meningkat menjadi 50219 ton
pada tahun 2006 artinya telah terjadi peningkatan rata-rata sebesar 11
% per tahun dalam peiode lima tahun terakhir. Peningkatan produksi
yang signifikan terjadi antara tahun 2005 dengan tahun 2006 dimana
terjadi peningkatan sebesar 29 % (lihat Gambar 3.23.).

Saat ini, perikanan tangkap skala kecil masih merupakan ciri dominan
perikanan tangkap Provinsi
Gorontalo. Berdasarkan
8 000
data statistik perikanan,
6 979
dalam kurun waktu enam
7 000
tahun terakhir, jumlah
6 039 6 067
armada perikanan tangkap 5 821 5 929
6 000 5 555
di Provinsi Gorontalo
mengalami peningkatan
sekitar 4,8% per tahun dan 5 000
4 419
pada tahun 2006 mencapai 2 728 3 006 3 122 3 204 3 359
jumlah lebih dari 6679 unit 4 000

(lihat Gambar 3.24.).


Pertambahan jumlah 3 000

armada tersebut secara


umum tidak secara 2 000
signifikan mengubah 2 751 2 704 2 683 2 666 2 527 2 395
komposisi ukuran armada, 1 000
yaitu sekitar 34% perahu
tanpa motor, 63% motor - 76 111 124 169 181 165

tempel dan 2% kapal 2001 2002 2003 2004 2005 2006

motor.
Kapal Motor Perahu Tanpa Motor
Perahu Motor Tempel Jumlah
Gambar 3.24.
Perkembangan Armada Perikanan Tangkap di Provinsi Gorontalo

Dari 2% kapal motor yang ada, sebagian besar merupakan kapal motor
berukuran kecil, yaitu kurang dari 10 GT. Proporsi armada berukuran
kurang dari 10 GT tersebut memberikan gambaran bahwa perikanan
skala kecil berperan besar dalam perikanan nasional. Armada perahu
tanpa motor dan perahu motor tempel merupakan armada perikanan
tangkap yang menggantungkan kegiatan penangkapan pada daerah
pesisir. Semakin banyaknya jumlah armada tangkap pada ukuran
tersebut sangat membahayakan kelestarian lingkungan karena
semakin tingginya tekanan terhadap sumberdaya pesisir yang
diakibatkan oleh jarak operasi penangkapan yang hanya sejauh kurang
dari 12 mil laut. Disisi lain upaya peningkatan pendapatan nelayan
akan sia-sia jika fokus perhatian hanya dilakukan pada peningkatan
jumlah armada skala kecil karena semakin meningkatnya armada
skala kecil akan semakin meningkatkan frekuensi penangkapan pada
daerah yang sama sehingga ukuran ikan yang diperoleh dan
produktivitas per tripnya akan menurun. Di masa mendatang, Provinsi
Gorontalo harus menjadi pelopor usaha perikanan tangkap yang
dilakukan pada daerah tangkapan yang lebih jauh, terutama pada
kawasan lepas pantai lebih dari 12 mil laut sampai dengan batas ZEE.
Kawasan pesisir akan dikonsentrasikan untuk kawasan konservasi,
tempat pemijahan ikan, dan kawasan budidaya yang ramah
lingkungan. Dengan demikian diharapkan akan terjadi peningkatan
sumberdaya secara signifikan yang selanjutnya akan meningkatkan
cadangan sumberdaya ikan pelagis dan demersal karena terjaminnya
kualitas sumberdaya perairan pesisir. Pergeseran daerah tangkapan ke
arah yang semakin jauh sudah mulai terjadi karena, meningkatnya
produktivitas yang disebabkan oleh peningkatan jumlah sarana
tangkap kapal motor, meningkatnya jumlah nelayan dan
meningkatnya penggunaan alat tangkap yang lebih produktif dan disisi
lain, karena keterpaksaan akibat penurunan sumberdaya pesisir.
Kebijakan pemerintah provinsi yang mendukung terjadinya
peningkatan produksi telah berhasil mendorong peningkatan jumlah
armada tangkap kapal motor. Dengan meningkatnya sarana tangkap
kapal motor diharapkan akan terjadi peningkatan produktivitas pada
daerah tangkapan di luar
8 000 kawasan pesisir, tentunya
7 098
kebijakan tersebut harus
7 000
6 218 6 319 6 333 6 357
diiringi dengan kebijakan
5 715
6 000 yang mendorong terjadinya
pergeseran wilayah
5 000
2 526
2 950 3 056 3 209 3 314
4 349
tangkapan ke daerah yang
4 000 lebih jauh.
3 000
Gambar 3.25.
2 000 2 659 2 692 2 677 2 560 2 527
Perkembangan RTP Nelayan
2 291
Menurut Sarana Tangkap
1 000
17
513
74
502
96
490
155
409
169
347
129
329
Dari sisi sumber daya
-
manusia yang terjun ke
2001 2002 2003 2004 2005 2006
bidang ini pada periode 2001-
Tanpa Pe rahu Kapal M otor 2006, jumlah RTP18 perikanan
18 RTP = Rumah
Pe rahu Tangga Perikanan
tanpa m otor Perahu M otor Tem pe l
Jum lah RTP
tangkap di Provinsi Gorontalo mengalami peningkatan. Jika pada tahun
2001 jumlah RTP sebanyak 5175 RTP, maka pada 2006 menjadi 7098
RTP. Dengan demikian, terjadi kenaikan jumlah RTP rata-rata
4,05%/tahun dalam kurun waktu tersebut. Telah terjadi peningkatan
yang cukup berarti pada RTP yang mengoperasikan motor tempel dan
penurunan pada RTP yang menggunakan perahu tanpa motor dan RTP
tanpa perahu.
Fakta yang disampaikan pada uraian di atas menunjukkan bahwa
usaha perikanan tangkap memegang peranan cukup penting. Secara
sosial dan ekonomi, kegiatan perikanan tangkap melibatkan lebih dari
17.538 penduduk Provinsi Gorontalo yang bekerja pada kegiatan usaha
perikanan tangkap, meskpiun 40 % diantaranya merupakan nelayan
musiman. Namun demikian kontribusi usaha perikanan tangkap telah
memberikan harapan dan menjadi tempat bergantung secara langsung
maupun tidak langsung melalui usaha ikutan, serta telah memberikan
kontribusi yang cukup besar bagi pembangunan ekonomi Provinsi
Gorontalo yang dibuktikan dengan nilai produksi pada tahun sebesar
Rp 327 milyar dan tempat bergantung lebih dari 74 ribu penduduk
Provinsi Gorontalo.
Provinsi Gorontalo yang memiliki potensi perikanan tangkap di dua
Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP), yaitu WPP Teluk Tominii dan
WPP Laut Sulawesi. Potensi lestari Perikanan Tangkap berdasarkan di
WPP Teluk Tomini sampai dengan Laut Seram dan WPP Laut Sulawesi
sampai dengan Samudra Pasifik, berdasarkan data Komisi Nasional
Stock Assesement Tahun 2002 sebesar 1.226.090 ton/tahun19 dengan
tingkat pemanfaatan pada tahun 2006 mencapai 50.219 ton atau
sebesar 4,85% %. Sedangkan di perairan Umum mencapai 821,6 ton
dari potensi sebesar 90 % dengan luas perairan Umum sebesar 3.000
ha.

Dengan demikian masih diperlukanupaya strategis untuk


memanfaatkan potensi perikanan laut secara optimal. Oleh sebab itu
pengembangan investasi akan menjadi prioritas pemerintah terutama
dengan mengundang para investor untuk menanamkan modalnya di
bidang ini. Namun demikian, seleksi atas investor yang mesuk harus
secara ketat dilakukan untuk menghindari adanya pengurasan
sumberdaya laut dengan cara yang merusak lingkungan, ilegal, tanpa
aturan dan tidak dilaporkan sehingga manfaat ekonomi pemanfaatan
sumberdaya laut benar-benar dirasakan oleh seluruh masyarakat
gorontalo. Dalam hal perikanan budidaya payau dan perikanan
tangkap di perairan umum, meskipun potensi produksi masih belum
dimanfaatkan sepenuhnya disarankan untuk tidak menambah upaya
peningkatan produksi lagi karena dikhawatirkan akan menimbulkan
kerusakan yang besar pada lingkungan. Upaya yang masih dapat
19 Sumber: RPJM Provinsi Gorontalo 2007-2012
dilakukan untuk perikanan budidaya air payau adalah melalui
peningkatan produktivitas dengan menggunakan teknologi yang
bersifat ramah lingkungan. Dengan demikian nilai manfaat ekonomi
yang diperoleh akan semakin besar tanpa menimbulkan kerusakan
yang lebih besar.
3.6.6.2.Overview Perikanan Tangkap Nasional Sebagai
Perbandingan Bagi Kondisi di Provinsi Gorontalo
Berdasarkan angka produksi perikanan tangkap di laut terlihat bahwa
dengan kemampuan yang ada, meski belum memadai, namun hal itu
bukanlah kendala dalam mengoptimalkan kegiatan pemanfaatan
potensi sumber daya perikanan. Demikian halnya dengan peningkatan
jumlah nelayan yang cukup menggembirakan karena menunjukkan
bahwa subsektor perikanan tangkap terus membuka lapangan kerja.
Namun pada sisi lain, fakta ini patut menjadi perhatian bersama,
karena jika dibandingkan dengan produktivitas perikanan, maka
perbandingan antara jumlah nelayan dengan produksinya tergolong
kecil. Sebagai contoh, produktivitas nelayan tingkat nasional pada
tahun 2003 hanya 1,36 ton/orang/tahun. Dengan asumsi 200 hari
melaut, maka jumlah tangkapan nelayan hanya 6,8 kg/hari.
Berdasarkan angka JTB sebesar 5,12 juta ton/tahun, maka
produktivitas nelayan pada tahun 2003 seharusnya 1,47
ton/orang/tahun atau ekivalen dengan 7.36 kg/orang/hari trip
penangkapan. Artinya bahwa produktivitas nelayan pada tingkat
nasional tahun 2003 tersebut lebih rendah dari peluang produktivitas
yang seharusnya.
Kondisi tersebut sangat memprihatinkan terlebih lagi jika melihat
konsentrasi pusat penangkapan ikan saat ini bertumpu pada wilayah
laut yang terdekat dengan konsentrasi penduduk. Pola demikian
terjadi karena armada nelayan skala kecil hanya mampu melakukan
perjalanan kurang dari dua hari sehingga daya jangkaunya terbatas di
wilayah pantai. Ketidakseimbangan daya dukung sumberdaya
perikanan pantai dengan daya dukung nelayan kecil menyebabkan
hasil tangkapannya sedikit dan bahkan lebih rendah daripada rata-rata
produktivitas nelayan tersebut di atas.
Kenyataan lain menunjukkan adanya ketidakseimbangan antara
jumlah penduduk dan potensi sumberdaya kelautan/perikanan yang
ada di banyak wilayah, yang mengakibatkan eksploitasi berlebih di
wilayah-wilayah tersebut. Sementara di wilayah lain potensi sumber
daya kelautan dan perikanannya belum dimanfaatkan secara optimal.
Akibat langsung dari adanya fenomena tersebut adalah terjadinya
gejala tangkap lebih dan munculnya kemiskinan di kawasan pesisir
tersebut. Data yang ada menunjukkan beberapa wilayah pengelolaan
perikanan (WPP) telah mengalami tangkap-lebih, yaitu WPP Selat
Malaka dan WPP Laut Jawa. Indikasi adanya tengkap lebih ditunjukkan
dengan semakin menurunnya hasil tangkap per satuan upaya (CPUE)
dan semakin kecilnya rata-rata ukuran hasil tangkapan. Selain itu
gejala tangkap lebih juga dapat terlihat dalam hal jumlah nelayan yang
tidak sebanding dengan daya dukungnya. Gejala tangkap-lebih yang
cukup mencolok adalah di WPP Laut Jawa. Berdasarkan jumlah
nelayan, jumlah nelayan yang ada saat ini sebanyak 795.932 orang
padahal jumlah optimal seharusnya 244.465 orang (31%-nya).
Disamping mengalami tangkap-lebih, WPP Laut Jawa juga mengalami
tekanan terhadap lingkungan yang cukup berat, sebagai akibat dari
pesatnya pertambahan
100.000 50.219
34.173 35.171 37.001 39.041
penduduk dan pembangunan
yang terjadi di Pulau Jawa.
10.000 Demikian pula yang terjadi di
15 077 15 125 15 285 15 365 15 407
perairan pantai pada
3.259,5
umumnya. Kecenderungan
2.420,7 2.540,9
1.000 2.266,5 2.325,3 peningkatan jumlah nelayan
disertai dengan menurunnya
100
persediaan sumberdaya
perikanan serta tekanan
lingkungan menyebabkan
32,59
10 22,67 23,25 24,21 25,41 semakin sulitnya peningkatan
produktivitas usaha perikanan
1
tangkap skala kecil.
2 002 2 003 2 004 2 005 2 006
Pengembangan usaha
perikanan tangkap skala kecil
Produksi (ton/tahun) J umlah Nelayan ini antara lain terkendala oleh
Produktivitas kg/tahun Produktivitas kg/hari keterbatasan kemampuan
akses nelayan terhadap modal, sehingga menyebabkan terbatasnya
akses nelayan terhadap sumberdaya, teknologi dan pasar.

Gambar 3.26. Produktivitas Nelayan Provinsi Gorontalo

Keadaan di Provinsi Gorontalo sedikit lebih baik karena lebih tinggi dari
rata-rata produktivitas nelayan tingkat nasional pada tahun yang
sama. Pada tahun 2003 produktivitas nelayan Provonsi Gorontalo 2,3
ton per tahun atau setara dengan 23,25 kg per hari. dan terus
meningkat sehingga pada tahun 2006 produktivitasnya menjadi 3,3
ton per tahun atau setara dengan 32,59 per nelayan per hari.
Meskipun cukup lebih bai dari kondisi nelayan secara nasional,
produktivitas nelayan Provinsi Gorontalo masih tergolong rendah yang
antara lain disebabkan sebagian besar usaha perikanan tangkap
merupakan skala kecil dengan tingkat produktivitas dan efisiensi
usaha yang relatif rendah . Sementara itu, seperti halnya di Provinsi
Gorontalo, keadaan di WPP lain masih terdapat potensi sumberdaya
ikan yang belum dimanfaatkan secara optimal karena: (1)
keterbatasan sarana dan prasarana perikanan yang tersedia, (2)
keterbatasan jumlah sumberdaya manusia, dan (3) kegiatan usaha
perikanan tangkap dilakukan oleh nelayan kecil yang terbatas
modalnya sehingga sulit mencapai daerah tangkapan yang jauh.

Melihat keadaan dan permasalahan tersebut di atas, diperlukan upaya


pengembangan usaha perikanan tangkap yang mampu
mengoptimalkan pemanfaatan potensi sumberdaya melalui
pendekatan yang bersifat menyeluruh dan terpadu melalui
perencanaan strategis yang dapat memuaskan kepentingan: (1)
nelayan, (2) perekonomian nasional, (3) kelestarian sumberdaya
perikanan, dan (4) keseimbangan dan kelestarian lingkungan. Strategi
yang akan diterapkan diupayakan dapat meningkatkan kemampuan
nelayan untuk mengakses sumberdaya modal, teknologi maupun
pasar yang diarahkan untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi
usahanya sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan nelayan. Pada
sisi lain, kebijakan yang ditempuh perlu disertai dengan peningkatan
ketersediaan dan kecukupan sarana dan prasarana pendukung, baik
langsung maupun tidak langsung, yang diarahkan untuk menekan
biaya hidup sekaligus mempermudah akses nelayan dalam hal
pengadaan sarana produksi dan pemasaran hasil. Upaya tersebut
perlu disusun dalam bentuk Master Plan yang memuat strategi dalam
pengembangan usaha perikanan tangkap skala kecil bagi pemerintah
pusat dan daerah. Master Plan dan strategi yang disusun sesuai
dengan sasaran tercapainya visi pembangunan perikanan tangkap
lestari, kokoh dan mandiri pada tahun 2020.

3.1.1.1.Permasalahan dan Analisis SWOT Usaha Perikanan


Tangkap Skala Kecil di Provinsi Gorontalo
Permasalahan pada usaha perikanan tangkap skala kecil yang
mengakibatkan rendahnya tingkat pendapatan nelayan antara lain
(menurut Strategi PUPTSK 2005-2009):
a. Terjadinya degradasi dan kerusakan sumberdaya perikanan dan
lingkungan yang diakibatkan oleh kegiatan perikanan yang merusak
maupun kegiatan non-perikanan (penambangan karang,
pencemaran, penebangan mangrove, dan sebagainya).
b. Semakin meningkatnya kasus pelanggaran jalur penangkapan ikan
oleh kapal ikan berukuran besar yang secara langsung merugikan
nelayan kecil.
c. Timbulnya konflik nelayan antardaerah dalam pemanfaatan daerah
tangkapan, terutama akibat dari pemahaman otonomi daerah yang
berlebihan.
d. Terbatasnya prasarana pendukung sehingga menghambat
kelancaran usaha nelayan.
e. Belum berkembangnya pola kemitraan usaha yang saling
menguntungkan.
f. Produktivitas dan efisiensi usaha yang cukup rendah, terutama
akibat dari skala usaha yang kecil maupun posisi marginal nelayan
dalam pengadaan sarana produksi dan pemasaran hasil.

Setidaknya terdapat enam kekuatan yang dapat mendorong


pengembangan usaha perikanan tangkap skala kecil, antara lain :
a. Jumlah nelayan cukup besar, yang tersebar di seluruh wilayah
pantai, terutama di daerah yang mempunyai akses pemasaran
hasil. Jumlah nelayan yang cukup besar tersebut dapat
dioptimalkan untuk mengembangkan usaha perikanan tangkap
maupun usaha pendukungnya.
b. Nelayan cukup berpengalaman dalam melakukan proses produksi,
yang memberi peluang yang baik untuk meningkatkan dan
mengembangkan usahanya.
c. Semakin meningkatnya perhatian Pemerintah terhadap sektor
kelautan dan perikanan sehingga memberikan peluang semakin
meningkatnya alokasi dana untuk pembangunan prasarana
pendukung maupun kegiatan pembinaan.
d. Komoditas perikanan dapat didiversifikasikan dalam berbagai
produk lanjutan sehingga memberikan peluang pengembangan
jenis maupun skala usaha, yang memungkinkan untuk memberikan
kesempatan kerja maupun peluang peningkatan pendapatan bagi
nelayan.
e. Ikan telah dinilai oleh masyarakat sebagai makanan sehat (dan
bergengsi), yang telah memberikan dampak terhadap
meningkatnya permintaan terhadap produk perikanan, baik
langsung maupun tidak langsung.
f. Usaha perikanan pada umumnya padat karya sehingga
pengembangan usaha pada sektor ini akan menjadi salah satu
andalan pengembangan dalam mengatasi masalah pengangguran
di Indonesia.

Beberapa kelemahan yang dinilai dapat menghambat upaya


pengembangan usaha perikanan tangkap skala kecil:
a Pendidikan dan wawasan pengetahuan nelayan tentang bisnis
masih cukup rendah sehingga pada umumnya usaha yang
dilakukan masih bersifat subsisten dan kurang efisien.
b Keterampilan teknis dan manajerial untuk pengoperasian teknologi
maju masih rendah. Hal ini berkaitan dengan status pendidikan
yang rendah dan masih banyaknya nelayan yang mengandalkan
teknologi tradisional (walaupun sudah tidak produktif lagi).
c Lemahnya kemampuan nelayan dalam mengakses modal, teknologi
maupun pemasaran hasil. Secara umum usaha yang dilakukan oleh
nelayan dinilai kurang layak oleh bank (bankable), menerapkan
teknologi yang kurang produktif, dan mengalami kesulitan dalam
pemasaran hasil.
d Terbatasnya tenaga pembina perikanan di tingkat lapangan
sehingga telah menyebabkan lambannya transfer (inovasi)
teknologi, yang berdampak lanjut pada rendahnya tingkat
produktivitas usaha.

Secara umum usaha perikanan tangkap skala kecil masih


memungkinkan untuk dikembangkan dengan memanfaatkan berbagai
peluang yang ada, antara lain:
a. Masih tersedianya sumberdaya ikan pada beberapa wilayah,
terutama perikanan lepas pantai maupun daerah yang terdapat di
kawasan timur Indonesia, telah memberikan peluang
pengembangan dan relokasi usaha nelayan ke daerah tersebut.
b. Semakin meningkatnya permintaan ikan, baik untuk pasar lokal
maupun ekspor, telah memberikan dorongan untuk memacu
peningkatan produksi perikanan melalui pengembangan usaha.
c. Tersedianya alokasi kredit dari berbagai lembaga keuangan dalam
jumlah yang cukup besar yang dapat dimanfaatkan untuk
mendukung pengembangan usaha perikanan tangkap, misalnya,
Kredit Mina Mandiri dari Bank Mandiri dan sebagainya.
d. Masih banyaknya daerah yang memungkinkan untuk
pengembangan industri perikanan, dengan tersedianya lahan dan
dukungan kebijakan (dari sebagian) daerah.
e. Tersedianya pelabuhan perikanan yang tersebar di berbagai daerah
dalam berbagai tipe, telah memberikan dukungan untuk
kemudahan dalam pengembangan usaha perikanan tangkap di
daerah yang bersangkutan. Pelabuhan perikanan juga dapat
dijadikan sebagai sentra pengembangan bisnis perikanan tangkap
dengan mengintegrasikan berbagai usaha yang dapat saling
mendukung.
f. Terdapat kemungkinan pengembangan kemitraan usaha perikanan
tangkap, antara skala usaha kecil/menengah dengan usaha skala
besar.

Ancaman yang dihadapi dalam pengembangan usaha perikanan


tangkap skala kecil antara lain dapat diidentifikasikan sebagai berikut:
a. Lembaga keuangan masih menerapkan persyaratan kredit secara
ketat. Hal ini menyulitkan nelayan skala kecil dalam mengakses
modal sehingga skim kredit yang tersedia belum dapat
dimanfaatkan untuk pengembangan usaha perikanan skala kecil.
b. Masih maraknya kegiatan penangkapan yang melanggar aturan,
yang telah menimbulkan tekanan yang cukup besar terhadap
sumberdaya ikan sehingga berdampak pada semakin menurunnya
tingkat produktivitas usaha penangkapan ikan skala kecil tersebut.
c. Semakin meluasnya wilayah perairan yang terindikasi mengalami
degradasi lingkungan, yang secara langsung juga menurunkan
tingkat produktivitas usaha penangkapan ikan.
d. Euforia otonomi pada sebagian daerah, telah mengakibatkan
terbatasnya akses nelayan terhadap sumberdaya ikan di luar
wilayah administratif tempat tinggal mereka. Kondisi tersebut
menyebabkan semakin kecilnya tingkat efisiensi dan produktivitas
usaha nelayan.
e. Semakin luasnya wilayah penangkapan ikan yang terindikasi
mengalami gejala tangkap lebih, yang telah mengakibatkan
nelayan makin jauh untuk melakukan usaha penangkapan ikan
sehingga tingkat keuntungan yang diperoleh juga makin menurun.
f. Ikan telah menjadi milik dunia sehingga dalam memanfaatkannya
harus tunduk pada aturan pembatasan yang dilakukan oleh
berbagai organisasi dunia, yang terkadang merugikan nelayan skala
kecil.
g. Semakin menguatnya hambatan pasar internasional (terutama
hambatan non-tarif) dari negara tujuan ekspor, antara lain akibat
isu dumping, isu antibiotik, isu perlindungan biota tertentu, dan
sebagainya. Secara langsung, hal ini telah menghambat
pengembangan pasar ekspor berbagai produk perikanan ke
beberapa negara.

3.1.1.1.Fokus Kebijakan Pembangunan Perikanan Tangkap

Perikanan tangkap merupakan suatu kegiatan usaha yang rumit mulai


dari pengadaan sarana dan prasarana penangkapan, identifikasi dan
estimasi sumberdaya ikan, usaha penangkapan, penanganan hasil
tangkap, pemasaran hingga kelembagaannya. Dengan demikian,
pengembangan perikanan tangkap harus didekati dengan pendekatan
komprehensif yang menyangkut aspek ekologi (tingkat eksploitasi,
keragaan rekruitmen, perubahan ukuran tangkap, dan sebagainya),
ekonomi (kontribusi perikanan terhadap GDP, penyerapan tenaga
kerja, tingkat subsidi, dan sebagainya), sosial (pertumbuhan
komunitas, status konflik, tingkat pendidikan, dan sebagainya),
teknologi (produktivitas alat, selektivitas alat, ukuran kapal, dan
sebagainya), dan etik (illegal fishing, mitigasi terhadap habitat dan
ekosistem, sikap terhadap limbah dan bycatch, dan sebagainya).
Prasyarat penting yang menjadi fokus dalam pengelolaan perikanan
tangkap adalah aspek keberlanjutan usaha, karena hal tersebut
merupakan kunci utama dalam pembangunan perikanan yang
diharapkan dapat memperbaiki kondisi sumberdaya dan masyarakat
perikanan itu sendiri. Pembangunan perikanan yang berkelanjutan
harus dapat mengakomodasi aspek ecological sustainability,
socioeconomic sustainability, community sustainability dan
institutional sustainability

Keseluruhan komponen di atas diperlukan sebagai prasyarat


terpenuhinya pembangunan perikanan yang berkelanjutan,
sebagaimana diamanatkan dalam FAO Code of Conduct for
Responsible Fisheries (CCRF). Apabila kaidah-kaidah pembangunan
perikanan tangkap berkelanjutan ini tidak dipenuhi, maka
pembangunan perikanan akan mengarah ke degradasi lingkungan,
over-exploited, dan destructive fishing practice. Hal ini dipicu karena
keinginan untuk memenuhi kepentingan sesaat atau masa kini,
sehingga tingkat eksploitasi sumberdaya perikanan diarahkan
sedemikian rupa untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-
besarnya dalam waktu yang singkat. Akibatnya, kepentingan
lingkungan diabaikan dan penggunaan teknologi ”quick yielding” yang
sering bersifat destructive dapat terjadi. Oleh karena itu,
pengembangan perikanan tangkap harus mengacu pada pola
pembangunan berkelanjutan.

Sebagai salahsatu bentuk sistem agribisnis, faktor-faktor yang


berperan dalam sistem agribisnis perikanan tangkap adalah
masyarakat, sarana produksi, proses produksi, prasarana pelabuhan,
sumberdaya ikan, pengolahan, pemasaran dan aspek legal.
Masyarakat merupakan salah satu faktor penting yang dapat
menunjang keberhasilan suatu sistem pengembangan perikanan
tangkap, khususnya dalam upaya pengembangan perikanan tangkap
yang modern yang berorientasi bisnis. Jumlah penduduk yang besar
dapat menjadi sumber ketersediaan konsumen yang potensial dan bila
tersedianya konsumen pengguna maka akan menarik minat bagi para
investor dalam menanamkan modal investasinya, karena mereka
menganggap sektor perikanan dapat memberikan nilai keuntungan
yang menjanjikan (profitable). Disamping itu agar dapat terciptanya
iklim investasi yang kondusif, diperlukan peran serta dari pemerintah
terkait (government) dalam melakukan pembinaan mengenai bisnis
perikanan tangkap.

Masuknya para investor diharapkan dapat menimbulkan multiplier


effect dan menumbuhkan sektor lain yang terkait dengan perikanan
tangkap, terutama pengembangan sarana produksi seperti: fasilitas
penyediaan mesin dan bahan alat perikanan, penyediaan fasilitas
docking dan perbengkelan, alat bantu penangkapan. Demikian
dengan sendirinya akan menciptakan lapangan kerja baru dan
menyerap tenaga kerja. Untuk mendukung keberhasilan
pembangunan bisnis perikanan tangkap dalam era globalisasi saat ini,
perlu dilakukan pengembangan sumberdaya manusia di bidang
penangkapan ikan agar siap pakai, yang dalam pelaksanaannya akan
didukung dengan upaya peningkatan kemampuan dan ketrampilan
melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan bagi para tenaga kerja,
dalam hal ini sumberdaya manusia dibidang penangkapan ikan
terutama awak kapal yang meliputi nakhoda, mualim, kepala kamar
mesin (KKM), fishing master, dan anak buah kapal (ABK).

Sumberdaya ikan yang cukup melimpah di WPP Teluk Tomini dan WPP
Laut Sulwesi tidak mempunyai arti dari sisi ekonomi apabila tidak ada
upaya yang sungguh-sungguh dan sistematis untuk
mendayagunakannya sehingga mampu memberikan manfaat secara
berkelanjutan. Salah satu sarana penting dalam rangka
memanfaatkan sumberdaya ikan di laut adalah armada penangkapan
ikan berupa kapal dan alat penangkap ikan. Selanjutnya untuk
meningkatkan produktivitas usaha penangkapan ikan, perlu
diperhatikan sejumlah faktor, antara lain (1) kelimpahan sumberdaya
ikan, (2) tingkat persaingan dalam menangkap ikan, dan (3)
kemampuan sumberdaya dalam memanfaatkan teknologi
penangkapan ikan yang digunakan.

Untuk mewujudkan sebuah sistem usaha perikanan tangkap nasional,


maka perlu kebijakan dan program yang bersifat terobosan
(breakthrough) yaitu berdasarkan pendekatan sistem industri
perikanan tangkap. Berdasarkan pada pendekatan sistem tersebut,
untuk merealisasikan tujuan industri perikanan tangkap Provinsi
Gorontalo perlu dilakukan upaya meliputi: (1) Upaya optimalisasi
antara ketersediaan sumberdaya (stock) ikan dengan tingkat
penangkapan (effort) pada setiap wilayah penangkapan ikan. Hal ini
sangat penting untuk menjamin sistem usaha perikanan tangkap yang
efisien dan menguntungkan (profitable) secara berkelanjutan. Apabila
tingkat penangkapan ikan di suatu wilayah penangkapan melebihi
potensi lestarinya (Maximum Suistainable Yield, MSY), maka akan
terjadi fenoma tangkap lebih (overfishing) yang berakibat pada
menurunnya hasil tangkapan persatuan upaya (catch per unit effort),
yang pada akhirnya mengakibatkan penurunan pendapatan nelayan;
(2) Pengembangan teknologi penangkapan yang bersifat selektif,
efisien dan ramah lingkungan (eco-friendly), yang disainnya
disesuaikan dengan kondisi oseanografis fishing ground, sifat biologis
ikan sasaran, serta siklus hidup dan dinamika populasi ikan; (3) Kapal
penangkap ikan yang disain sesuai dengan kondisi oseanografis fishing
ground, sifat biologis ikan sasaran, serta siklus hidup dan dinamika
populasi ikan. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi
teknis penangkapan ikan; (4) Disamping penerapan manajemen
perikanan yang baik, pemerintah perlu menerapkan suatu regulasi
mengenai pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab
sebagaimana yang tertuang FAO-Code of Conduct for Responsible
Fisheries, yang dewasa ini bergaung di dunia internasional. Commitee
on Fisheries FAO juga telah menyepakati tentang International Plan of
Action on Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) Fishing yang
mengatur mengenai praktek ilegal seperti pencurian ikan, praktek
perikanan yang yang tidak dilaporkan, dan praktek perikanan yang
tidak diatur sehingga mengancam kelestarian stok ikan global; dan (5)
Pemeliharaan habitat sumberdaya ikan, sehingga rekruitmen dan
pertumbuhan individu ikan terus membaik sekaligus menekan
kematian alamiah ikan. Hal ini penting karena habitat yang sehat dan
produktif akan mendukung produktivitas dan sumberdaya ikan yang
mendiaminya. Terdapat beberapa kebijakan yang dapat digunakan
sebagai regulasi dalam memelihara kelangsungan sumberdaya hayati
laut diantaranya berupa penerapan MPA (Marine Protected Area),
close season dan lain-lain.

Prasarana yang ada di pelabuhan seperti kapasitas tambat labuh,


ketersediaan air bersih, fasilitas pabrik es, cold storage, dockyard,
bengkel motor kapal dan lain-lain, dapat menumbuhkan gairah dalam
berinvestasi. Karena ketersediaan infrastruktur tersebut merupakan
faktor penunjang keberhasilan dalam operasi penangkapan ikan dan
pasca operasinya atau pendaratan ikan.

Perikanan tangkap yang berorientasi bisnis menuntut ketersediaan


stock species ikan yang memenuhi persyaratan, baik dari segi
kuantitas maupun kualitas. Ikan hasil tangkapan perlu segera
mendapat perlakuan (handling) yang cepat dan tepat diatas kapal
pasca penangkapannya untuk menghindari penurunan kualitas, agar
komoditas ikan tersebut tetap mempunyai nilai lebih yaitu mutu yang
tinggi, yang pada akhirnya akan meningkatkan nilai jualnya.
Penanganan diatas kapal dapat berupa pemberian es curah, garam
atau dimasukan dalam palkah pendingin dengan suhu yang sangat
rendah. Setelah tiba di pelabuhan komoditas ikan hasil tangkapan
tersebut diproses untuk menghindari penurunan mutu akibat
terbentuknya bakteri, seperti: pencucian dengan air bersih yang
ditambah larutan kaporit, buang sisik, buang isi perut dan insang.
Tahap akhir pada subsistem unit pengolahan adalah proses
pengepakan (packaging) agar komoditas tersebut terlindungi dan
tahan lama. Produk perikanan yang dihasilkan dari subsistem unit
pengolahan ini juga harus mampu memenuhi standar kualitas baku
internasional, seperti ISO 9000.

Peningkatan akses pasar dapat dilakukan dengan jalan memfasilitasi


pemasaran langsung melalui: kerjasama bilateral dengan belajar dari
pengalaman negara lain, melakukan peningkatan mutu ikan hasil
tangkapan dan diversifikasi produk olahan sesuai dengan permintaan
pasar, mendorong dunia usaha untuk promosi ke berbagai negara,
meningkatkan mutu dan keamanan pangan dengan penerapan sistem
manajemen mutu terpadu, seperti: HACCP (Hazard Analysis Critical
Control Point), mengusulkan keringanan bea masuk impor bahan baku
atau bahan penolong untuk industri pengolahan hasil perikanan
(seperti: tin plate, pouch, soybean oil) yang pada akhirnya dapat
meningkatkan devisa bagi negara.

Sebagai langkah untuk mengintegrasikan sistem usaha perikanan


tangkap nasional dengan Provinsi Gorontalo diperlukan program yang
mendukung kerjasama antar wilayah dalam penyediaan tenaga kerja
perikanan tangkap. Upaya peningkatan jumlah nelayan di Provinsi
Gorontalo sebagai daerah yang memiliki daerah tangkapan dalam
kondisi under-fishing dapat ditempuh melalui program kerjasama
kemitraan antar wilayah dengan Provinsi yang berada pada WPP yang
mengalami over-fishing dan high density fishers workers seperti
Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, dan Bali.
Salahsatu bentuk kerjasama tersebut adalah melalui program
pengerahan trasnmigrasi khusus nelayan.

Upaya awal telah dilakukan oleh Kabupaten Boalemo yang


bekerjasama dengan beberapa kabupaten di kawasan Pantai Utara
Pulau Jawa. Upaya tersebut seyogyanya diiringi dengan pembinaan
teknis dan manajerial yang berkelanjutan sehingga nelayan peserta
transmigrasi khusus tersebut mampu melakukan operasi penangkapan
ikan secara profesional dengan tingkat produktivitas tinggi dan
menggunakan alat tangkap (fishing gear) ramah lingkungan. Disisi
lain, langkah penyiapan sosial di daerah penerima harus secara serius
dilakukan untuk menghindari konflik setelah transmigran datang di
lokasi tujuan.

3.1.2.Kondisi Perikanan budidaya

Perikanan budidaya yang sudah dikembangkan di Provinsi Gorontalo


terdiri dari budidaya laut, air payau dan air tawar. Potensi produksi
terbesar adalah budidaya laut sebesar 25.050 ton per tahun dengan
tingkat pemanfaatan pada tahun
6.662,2
7.000,0 2006 sebesar 6124 ton atau
5.754,8 mencapai 10 % (Gambar 3.27.).
6.000,0
Semakin meningkatnya produksi
5.000,0 4.556,8 budidaya laut (mariculture/marine
4.279,0
4.117,4 aquaculture) merupakan
perkembangan yang
Production (MT)

4.000,0
3.148,0 4.407,5 6.124,0
menggembirakan karena ditinjau
3.000,0
3.210,0
3.025,4 3.267,1 dari segi permintaan pasar,
2.000,0 2.366,8
dampak ekonomi yang dihasilkan
dan kesesuaiannya dengan prinsip
1.000,0 537,7 532,5 583,2 kelestarian lingkungan. Tercatat
350,0
429,2 531,6
433,0 669,8 418,7 324,3
312,3 106,2
-
2 001 2 002 2 003 2 004 2 005 2 006

Freshwater pond aquaculture Brackishwater pond aquaculture


Cage aquaculture Floating cage net Aquaculture
Marine aquaculture Paddy field aquaculture
pertumbuhan produksi rata-rata sebesar 27,42 % selama periode
2001-2006.

Gambar 3.27. Perkembangan Produksi Budidaya Perairan di Provinsi


Gorontalo

Komoditas utama yang sudah dikembangkan adalah budidaya rumput


laut dengan produksi sebesar 6111 ton pada tahun 2006 dan tingkat
pertumbuhan produksi rata-rata per tahunnya sebesar 27,37%.
Komoditas lain yang sudah semakin berkembang adalah ikan kerapu
dan ikan kuwe yang dibudidayakan dalam karamba jaring apung.
Meskipun produksi karamba jaring apung tidak meningkat secara
signifikan dari tahun ke tahun, berkembangnya budidaya dengan
teknologi tersebut dan komoditas ikan karang merupakan upaya yang
patut disambut positif dan harus direspon lebih baik lagi oleh
Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten. Berkembangnya
teknologi produksi karamba jaring apung pada perairan pesisir
memberikan manfaat yang lebih besar ditinjau dari beberapa sisi yaitu;
(1) dampak positif bagi kelestarian sumberdaya alam karena akan
mengurangi tekanan terhadap eksploitasi berlebih terhadap terumbu
karang dan eksploitasi berlebih terhadap sumberdaya perikanan
pesisir karena daya tarik ekonomi yang dihasilkan jauh lebih besar
dibandingkan dengan hasil yang diperoleh dari perikanan tankap; (2)
manfaat finansial bagi pelaku usaha jauh lebih tinggi dibandinkan
dengan usaha perikanan tangkap; (3) mengurangi kerusakan
lingkungan akibat destructive fishing practices karena di Provinsi
Gorontalo masih banyak terjadi praktek penangkapan ikan karang
dengan menggunakan bom ikan; (4) meningkatkan semangat mencari
pengetahuan dan teknologi budidaya sehingga terbentuk masyarkaat
pengusaha yang lebih menyadari pentingnya menjaga keseimbangan
ekosistem perairan.

Selain manfaat tersebut di 4 000


3 761
atas, manfaat terhadap
penyerapan tenaga kerja yang 3 500 3 006 666
produktif menjadi alasan yang 3 000 2 607
Numberof AquacultureHouseholds

2 506
tepat bagi pemerintah untuk 2 259 666 785
membantu mendorong 2 500 1 997 354 654
berkembangnya budidaya laut. 2 000 350 92 568 438
315 29 555 143
Perkembangan keluarga 29 469 261 261
pembudidaya selalu meingkat 1 500 469 681
dari tahun ke tahun dengan 756 756 756 691
1 000
706
tingkat pertumbuhan rata-rata 1 141
500 741 785 795
selama periode 2001-2006 472 647
sebesar 13,85 %. Jumlah -
rumah tangga pembudidaya 2 001 2 002 2 003 2 004 2 005 2 006

Marine aquaculture Brackishwater pond aquaculture


Freshwater pond aquaculture Cage aquaculture
Floating cage net Aquaculture Paddy field aquaculture
pada tahun 2001 hanya sebanyak 1997 RTP menjadi 3761 RTP pada
tahun 2006. Hal tersebut menunjukkan terjadi peningkatan daya tarik
yang alamiah bagi masyarakat pesisir untuk melibatkan diri dalam
usaha budidaya (Gambar 3.28.).

Gambar 3.28. Perkembangan Jumlah Rumah Tangga Pembudidaya di


Provinsi Gorontalo

Perkembangan budidaya laut harus disambut gembira dan didukung


dengan kebijakan pemerintah untuk lebih mendorong masayarakat
dalam memperluas usaha dengan berbagai dukungan yang
berorientasi pada peningkatan produksi dan peningkatan skala usaha.
Kebijakan mengenai budidaya laut harus diselaraskan dengan upaya
pengembangan sistem agribisnis terpadu dengan sistem budidaya lain
sehingga dicapai sinergi dan efisiensi usaha.

Manfaat budidaya perikanan dalam penyerapan tenaga kerja dan


peningkatan pendapatan harus dikedepankan mengingat tingginya
daya serap tenaga kerja dalam usaha budidaya. Oleh karena itu,
kebijakan dan program pengembangan budidaya ini bukan hanya
dikhususkan bagi dinas teknis yang langsung menanganinya tetapi
menyangkut dinas teknis lain misalnya Dinas Tenaga Kerja. Jumlah
tenaga kerja yang terserap dalam kegiatan budidaya tercatat
meningkat dari sebesar 3110 pada tahun 2001 menjadi 5398 orang
pada tahun 2006. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa terjadi
peningkatan penyerapan tenaga kerja sebesar 11,54 % per tahun
(Gambar 3.29.)

Gambar 3.29.
6 000 5 398
Peningkatan Jumlah Petani
5 000 4 335
Pembudidaya
4 132 999
3 844
3 519 Potensi produksi budidaya
4 000 999
3 110
Number of Fish Farmer

531 981 1 178


525 138
air payau 59.770 ton per
3 000 44 215 438
473
44 469 555 261 852 tahun dengan tingkat
469 261 1 022 pemanfaatan pada tahun
2 000 1 512 1 512
1 412
1 512 1 037 2006 sebesar 106 ton atau
1 000 1 712 0,2 % sedangkan potensi
961 1 100 1 155 1 161 budidaya air tawar
707
- sebesar 5.041 ton per
2 001 2 002 2 003 2 004 2 005 2 006 tahun dengan tingkat
pemanfaatan pada tahun
Marine aquaculture 2006 sebesar 65,8 ton atau
Brackishwater pond aquaculture
Freshwater pond aquaculture Cage aquaculture 1,3 %. Rendahnya tingkat
Floating cage net Paddy field aquaculture pemanfaatan budidaya air
payau disebabkan oleh
Total
teknologi produksi yang digunakan sebagian besar masih merupakan
teknologi tradisional tanpa menggunakan manajemen air dan
penggunaan input faktor secara intensif. Dengan hanya
menggantungkan kesuburan lahan secara alami, maka secara alamiah
tingkat produktivitas semakin menurun seiring dengan menurunnya
ketersediaan sumberdaya alam yang menjadi faktor produksi. Karena
sifatnya yang cenderung merusak kondisi ekosistem perairan pesisir,
maka budidaya air payau disarankan untuk tidak dikembangkan lagi
secara ekstensif dan bahkan diperlukan tindakan untuk menghutankan
kembali areal hutan bakau yang telah menjadi tambak pada daerah
yang tingkat produktivitasnya sudah sangat rendah. Intensifikasi
tambak selanjutnya diarahkan pada daerah yang bukan merupakan
cadangan penyangga plasma nutfah laut dengan penggunaan
teknologi budidaya yang ramah lingkungan.

Ditinjau dari segi distribusi pelaku usaha budidaya laut, Kabupaten


Gorontalo menempati
urutan teratas dengan
Distribusi Rumah Tangga Pembudidaya
jumlah pelaku sebanyak
Kabupaten 676 RTP atau sebanyak
Bone 59% dari seluruh pelaku
Kabupaten Bolango; usaha di Provinsi Gorontalo
Pohuwato; 43 ; 4% sedangkan Kabupaten
164 ; 14%
Bone Bolango menempati
tempat terendah dengan
43 RTP (4%).

Gambar 3.30. Distribusi


Rumah Tangga
Pembudidaya Laut
Kabupaten
Boalemo; Kabupaten Upaya peningkatan
258 ; 23% Gorontalo;
pendapatan masyarakat
676 ; 59%
terutama di kawasan
pesisir pada akhirnya akan bertumpu pada budidaya kelautan karena
selain meningkatkan pendapatan juga berpengaruh terhadap
kelestarian sumberdaya perikanan pesisir. Sebagaimana tercantum
dalam RPJMD Provinsi Gorontalo, untuk mencapai misi Gorontalo
Mandiri dan Gorontalo Produktif telah ditetapkan indikator sasaran
kinerja Tercapainya produksi rumput laut yang sustainable pada level
50.000 ton.

Pencapaian sasaran kinerja sebesar tersebut di atas merupakan


sebuah rencana yang rasional dan dapat dilaksanakan dengan
mengacu pada produktivitas rata-rata seperti yang telah dihasilkan
oleh RTP di Kabupaten Bone-Bolango. Tingkat pencapaian pendapatan
pembudidaya rumput laut tertinggi dicapai oleh Kabupaten Bone-
Bolango dengan pendapatan rata-rata sebesar Rp 4,9 juta/RTP per
tahun. Tingginya produktivititas menentukan pendapatan rata-rata
yang diperoleh. Pencapaian produktivitas RTP Pembudidaya di
Kabupaten Bone-Bolango pada tahun 2006 adalah sebesar 9,83 ton
per tahun. Dengan demikian model teknologi, kesesuaian areal dan
sistem produksi di Kabupaten Bone Bolango dapat dijadikan sebagai
acuan pengembangan budidaya rumput laut di Provinsi Gorontalo, lihat
Gambar 3.31.

Gambar 3.31. Produksi Rumput Laut (Ton/RTP)


Produktivitas Budidaya
Rumput Laut
Provinsi
Terdapat dua opsi Gorontalo
; 5,36
pengembangan budidaya, Kabupaten Bone
Bolango
; 9,83
yaitu pencapaian target
dengan model yang telah
dicapai oleh Kabupaten
Boalemo atau dengan
model yang telah Kabupaten
dikembangkan oleh Kabupaten Gorontalo
; 5,29
Kabupaten Bone-Bolango. Pohuwato; 2,29 Kabupaten
Boalemo
; 6,73
Target sebesar 50.000 ton
dapat dicapai jika
menggunakan acuan Kabupaten Bone Bolango akan diperlukan
sebanyak 5085 RTP. Dengan produksi rata-rata menggunakan acuan
Kabupaten Bone-Bolango maka akan diperlukan tamabahan jumlah RTP
sebanyak 2059 RTP. Kabupaten Boalemo mencapai produksi rata-rata
sebesar 6,73 ton/RTP, sehingga jika akan dijadikan acuan maka jumlah
RTP yang harus terlibat dalam budidaya rumput laut di seluruh Provinsi
Gorontalo adalah sebanyak 7427 RTP sehingga dengan demikian masih
diperlukan tambahan sebanyak 4400 RTP yang akan dilibatkan dalam
program pengembangan budidaya rumput laut.

3.1.2.1.Potensi Pengembangan Budidaya Laut di Provinsi


Gorontalo

Dihubungkan dengan target produksi yang telah ditetapkan oleh


Pemerintah Provinsi Gorontalo, luas areal yang tersedia masih
mencukupi untuk melakukan usaha budidaya karena efektifitas
penggunaan wilayah laut yang telah digunakan untuk kegiatan budidaya
untuk semua jenis komoditas baru mencapai 46 % (lihat Gambar 3.32.).
Bahkan untuk budidaya karamba jaring apung baru mencapai efektifitas
penggunaan lahan potensial sebesar 1% sedangkan untuk budidaya
mutiara dan rumput laut, masing-masing sudah mencapai efektifitas 50
%. Kondisi demikian masih memungkinkan untuk mengembangkan
program peningkatan produksi melalui metode ekstensifikasi. Program
ekstensfikasi budidaya laut tentunya harus diiringi dengan program
intensifikasi yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas. Program
intensifikasi budidaya laut tentunya dapat dicapai setelah semua
permasalahan umum yang ditemukan pada kegiatan budidaya laut
diatasi secara bertahap sehingga target produksi yang telah ditetapkan
dapat dicapai dalam waktu yang relatif lebih singkat.

Gambar 3.32. Luas


20.659
Potensi dan Luas Efektif Jumlah
Areal Budidaya Laut 45.177

10.309
Permasalahan umum Mutiara
yang ditemukan dalam 20.622

hubungannya dengan 10.311


kegiatan usaha budidaya Rumput Laut
20.621
laut di Provinsi Gorontalo
adalah sebagai berikut: 39
Keramba
Jaring Apung 3.934
(1) Masih lemahnya
orientasi dorongan Luas Potensi dan Luas Efektif (ha)

permintaan pasar Luas Indikatif Luas Efektif


(market driven oriented) bagi pelaku usaha budidaya skala rumah
tanga. Umumnya program intensifikasi budidaya laut yang telah
dilaksanakan selama ini berjalan tanpa persiapan yang matang
dan didorong oleh kepastian permintaan pasar dengan kuantitas
dan kualitas yang telah ditetapkan. Keadaan ini sering
mematahkan semangat pelaku usaha budidaya laut terutama
untuk komoditas ikan kerapu yang dibudidayakan dalam karamba
jaring apung yang ditemui di seluruh pesisir utara dan selatan. Di
masa datang, pemilihan komoditas seharusnya bertitik tolak dari
keunggulan komparatif dari potensi sumberdaya masing-masing
daerah, serta berorientasi pada permintaan pasar dan
memperhatikan aspek-aspek pemasaran lainnya.
(2) Belum tercapainya skala usaha ekonomis sehingga
mengakibatkan kesulitan dalam pencapaian target keuntungan
yang rasional. Agar dapat dikelola secara ekonomis (managable),
besarnya skala usaha kawasan budidaya diarahkan untuk secara
ekonomis mampu mengintegrasikan pemenuhan kebutuhan
sarana produksi, pelaksanaan proses produksi, pengolahan,
pemasaran hasil dan pengelolaan lingkungan dalam suatu sistem
yang mapan, sehingga menghasilkan sistem usaha yang berdaya
saing dan berkelanjutan.
(3) Masih rendahnya partisipasi masyarakat pembudidaya
(participatory): Kawasan budidaya harus dibangun atas dasar
kebersamaan ekonomi dan kerjasama antar pembudidaya dalam
kelompok/koperasi yang dikelola secara transparan, dapat
dipertanggungjawabkan dan adil, sehingga menghasilkan sistem
usaha budidaya yang berkeadilan.
(4) Belum ada keterpaduan sistem usaha budidaya (integrated
culture system): Pengembangan kawasan budidaya pada
dasarnya dibangun melalui pendekatan agribisnis secara utuh,
terpadu dan berkelanjutan, baik pada intra maupun inter sub-
sistem dalam sistem usaha budidaya.
(5) Belum tersedianya kelengkapan sarana dan prasarana
(infrastructure capacity): Ketersediaan sarana prasarana
pendukung, seperti jalan penghubung, pelabuhan ekspor/pasar,
listrik, telepon, dan fasilitas air bersih sangat mempengaruhi
tingkat efisiensi dan efektivitas kawasan usaha budidaya yang
dibangun.
(6) Belum tertatanya pengembangan wilayah potensial yang
didukung dengan data akurat mengenai posisi spesifik wilayah
pengembangan budidaya. Seperti diketahui, pengembangan
budidaya laut harus mengikuti kaidah kesesuaian lingkungan dan
informasi mengenai kesesuaian wilayah perairan karena jika
dilakukan kesalahan dalam penetapan wilayah budidaya akan
mengakibatkan kerugian yang besar akibat kegagalan dalam
produksi. Data dan informasi tersebut harus diperoleh dari kajian
komprehensif yang menghasilkan rekomendasi wilayah spesifik.
Dengan adanya data dan informasi spesifik diharapkan terjadinya
kelestarian dan manfaat ekonomi dalam jangka pendek dan
jangka panjang. Tabel 3.4. memperlihatkan estimasi lokasi dan
luas indikatif kawasan potensial budidaya laut.

Tabel 3.4. Estimasi Lokasi dan Luas Indikatif Kawasan Potensial


Budidaya Laut di Provinsi Gorontalo
Lokasi Kesesuaia Luas Potensial (Ha)
Kode n
Kecamatan Koordinat Indikatif Efektif
Komoditas
KJA-1 KJA 126 1.26
122o29'24"
KJA-2 KJA 270 2.70
Sumalata BT/
o KJA-3 KJA 102 1.02
0 05'70" LU
RL-1 RL 11,075 5,537.50
121o36'00" KJA-4 KJA 1,522 15.22
Lemito BT/ RL-2 RL 3,443 1,721.50
o
0 36'00" LU MTR-1 MTR 16,296 8,148.00
KJA-5 KJA 1,914 19.14
122o23'24"
RL-3 RL 2,674 1,337.00
Tilamuta BT/
RL-4 RL 3,429 1,714.50
0o35'24" LU
MTR-2 MTR 4,326 2,163.00
Lokasi Kesesuaia Luas Potensial (Ha)
Kode
Kecamatan Koordinat n Indikatif Efektif
Komoditas
Total luas kawasan potensial Budidaya Keramba Jaring
3,934 39.34
Apung
Total luas kawasan potensial Budidaya Keramba Tancap 0 0.00
Total luas kawasan potensial Budidaya Rumput Laut 20,621 10,310.50
Total luas kawasan potensial Budidaya Teripang 0 0.00
Total luas kawasan potensial Budidaya Kerang-kerangan 0 0.00
Total luas kawasan potensial Budidaya Mutiara 20,622 10,311.00
Sumber: Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Departemen Kelautan dan
Perikanan, 2006

Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa untuk meningkatkan


pendapatan masyarakat pesisir melalui pengembangan budidaya laut
dapat ditempuh melalui intensifikasi budidaya ikan.Guna menghadapi
tantangan global, implementasi kebijakan pembangunan perikanan
budidaya dilaksanakan melalui 5 (lima) program utama, yaitu: (1)
Pengembangan intensifikasi pembudidayaan ikan (INBUDKAN); (2)
Pengembangan kawasan budidaya terintegrasi dengan sektor lain; (3)
Pengembangan budidaya di pedesaan; (4) Pengembangan
perikanan berbasis budidaya dan (5) Peningkatan produktivitas
berwawasan lingkungan.

Agar prioritas pembangunan perikanan budidaya tercapai, maka


program pengembangan dan penguatan budidaya laut di Provinsi
Gorontalo dapat dilakukan melalui program ekstensifikasi dan
Intensifikasi Pembudidayaan Ikan (INBUDKAN) untuk komoditas rumput
laut dan kerapu, dan program Non-INBUDKAN untuk komoditas
unggulan lainnya seperti bandeng, kakap, jambal, rajungan, mutiara
dan ikan hias. Kegiatan budidaya kerapu, mutiara dan rumput laut
dapat dijadikan embrio pengembangan kawasan budidaya laut. Hal
tersebut ditunjang dengan pengembangan program penyuluhan
budidaya laut diantaranya melalui pendampingan teknologi,
pembangunan/operasional balai atau loka budidaya laut dan Balai
Budidaya Ikan Pantai (BBIP), pembinaan Hatchery Skala Rumah
Tangga (HSRT) ikan laut, pembinaan pengelolaan kesehatan ikan dan
lingkungan budidaya laut, serta didukung dengan pengembangan
suaka perikanan (reservat) dan restocking. Program INBUDKAN dibuat
dengan tujuan untuk; (1) Memfasilitasi peningkatan pendapatan dan
taraf hidup pembudidaya ikan; (2) Mendorong peningkatan mutu
produksi dan produktivitas usaha perikanan budidaya untuk
meningkatkan periolehan devisa; dan (3) Mendorong pembangunan
ekonomi daerah melalui pemberdayan pembudidaya ikan dalam
kelembagaan yang kuat, penguatan modal usaha dan hubungan
kemitraan. Sasaran Program INBUDKAN, adalah; (1) Berkembangnya
kawasan pembudidayaan untuk komoditas, diantaranya yaitu kerapu
dan rumput laut; (2) Menguatnya kelembagaan kelompok
pemudidaya ikan (POKDAKAN) yang terintegrasi dengan kelompok
tani, nelayan, peternak dan kelompok petani perkebunan; dan (3)
Terjalinnya jaringan kerjasama antar kelompok dalam rangka
mengangkat posisi tawar

Rekomendasi umum mengenai pokok-pokok kegiatan yang dapat


dilaksanakan oleh Provinsi Gorontalo dalam Program INBUDKAN, terdiri
dari: (1) Forum koordinasi perencanaan, sinkronisasi dan pengendalian
di tingkat pusat, propinsi, kabupaten dan kecamatan; (2)
Pendampingan, pembinaan, penyuluhan, pelatihan/magang, dan
pengembangan kelembagaan secara terpadu dalam rangka penerapan
teknologi anjuran dalam proses produksi, pasca panen, dan pemasaran
hasil; (3) Pengadaan dan penyaluran modal kerja, sarana produksi,
pengendalian hama penyakit dan lingkungan; (4) Pengaturan
pemanfaatan dan pemeliharaan prasarana budidaya; (5) Pelaksanaan
percontohan, temu lapang, dan temu usaha; (6)
Pembangunan/rehabilitasi sarana dan prasarana INBUD, seperti BBIP
untuk INBUD Kerapu, dan tempat penjemuran rumput laut untuk
INBUD Rumput Laut; (7) Operasional petugas penyuluh pendamping
lapangan.

3.1.2.2.Kriteria Pengembangan Kawasan Budidaya Laut

Provinsi Gorontalo memiliki wilayah perairan laut yang luas dan sangat
potensial untuk kegiatan budidaya laut. Luas perairan yang potensial
untuk budidaya laut menurut Departemen Kelautan dan Perikanan
adalah 20.622 hektar. Namun demikian, tidak berarti seluruh luasan
lahan tersebut potensial dan sesuai untuk budidaya laut, karena masih
banyak kriteria-kriteria dan parameter lainnya yang harus dipenuhi
oleh suatu lokasi perairan agar dapat dimanfaatkan untuk budidaya
laut.

Kriteria umum lokasi perairan yang dapat digunakan untuk budidaya


laut harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu sebagai berikut: (1)
Perairan tenang serta terlindung dari arus dan gelombang yang cukup
kuat; (2) Kedalaman dan kelandaian dasar perairan. Kedalaman
perairan optimum untuk budidaya keramba jaring apung 7 – 30 meter.
Kedalaman perairan kurang dari 7 meter akan menimbulkan masalah
lingkungan (kualitas air dari sisa pakan dan kotoran ikan). Sedangkan
untuk keramba tancap 1 - 4 meter; (3) Dasar perairan (karang, pasir,
pasir berlumpur). Dasar perairan sebaiknya sesuai dengan habitat asal
komoditas yang akan dibudidayakan. (4) Pengaruh air tawar dari
daratan; (5) Ada tidaknya terumbu karang; (6) Tidak menimbulkan
gangguan terhadap alur pelayaran; (7) Bebas dari bahan
pencemaran, sehingga lokasi budidaya harus jauh dari kawasan
industri maupun pemukiman yang padat; (8) Dapat dicapai dari darat
dan dari tempat pemasok sarana produksi budidaya; (9) Memenuhi
syarat baku mutu perairan untuk biota laut, sebagaimana tertuang
dalam SK Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004,
seperti yang tercantum dalam Tabel 3.5.
Tabel 3.5. Baku Mutu Perairan Untuk Biota Laut.

No. Parameter Satuan Baku


Mutu
A. Fisika
1 Kecerahan Meter >3
2 Kebauan - Alami
3 Kekeruhan NTU <5
4 Padatan Tersuspensi Total Mg/l 20 – 80
5 Sampah - Nihil
6 Suhu °C 28 – 32
7 Lapisan Minyak ‰ Nihil
B. Kimia
1 PH - 7 – 8,5
2 Salinitas ‰ 33 – 34
3 Oksigen Terlarut (DO) Mg/l >5
4 BOD5 Mg/l 20
5 Amonia Total (NH3-N) Mg/l 0,3
6 Posfat (PO4-P) Mg/l 0,015
7 Nitrat (NO3-N) Mg/l 0,008
8 Sianida (CN) Mg/l 0,5
9 Sulfida (H2S) Mg/l 0,01
10 PAH (Poliaromatik Hidrokarbon) Mg/l 0,003
11 Senyawa Fenol Total Mg/l 0,002
12 PCB Total (Poliklor Bifenil) µg/l 0,01
13 Surfaktan (Deterjen) Mg/l MBAS 1
14 Minyak dan Lemak Mg/l 1
15 Pestisida µg/l 0,01
16 TBT (Tributil Tin) µg/l 0,01
17 Raksa (Hg) Mg/l 0,001
18 Kromium Heksavalen (Cr(IV)) Mg/l 0,005
19 Arsen (As) Mg/l 0,012
20 Kadmium (Cd) Mg/l 0,001
21 Tembaga (Cu) Mg/l 0,008
22 Timbal (Pb) Mg/l 0,008
23 Seng (Zn) Mg/l 0,05
24 Nikel (Ni) Mg/l 0,05
C. Biologi
1 Coliform (total) MPN/100 1000(g)
ml
2 Patogen Sel/100 ml Nihil
3 Plankton Sel/100 ml Tidak
Bloom
D. Radio Nuklida
1 Komposisi yang Tidak Diketahui Bq/l 4
Sumber: SK Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004

Kriteria kondisi optimum perairan untuk budidaya beberapa jenis


komoditas/biota laut, dapat dilihat pada Tabel 3.6.
Tabel 3.6. Kriteria Kondisi Optimum Perairan Untuk
Budidaya Beberapa Jenis Komoditas

Kondisi Perairan (Optimum) Untuk Lokasi Budidaya


Parameter
Beberapa Jenis Komoditas/Biota Laut
Kondisi
Ikan Kakap Rumput
Perairan T. Mutiara Teripang
Kerapu Putih Laut
A. Kondisi Bio-Fisik
Suhu (oC) 28 – 31 28 – 30 28 – 30 27 – 30 28 – 32
PH 8 – 8,5 8 – 8,5 7,8 – 8,6 8,0 – 8,5 8 – 8,5
Salinitas (‰) 30 – 33 30 – 33 29 – 31 32 – 34 29 – 32
DO (ppm) 6 – 8,5 6 – 8,5 6 – 8,5 6 – 8,5 –
NH3 (ppm) < 0,1 < 0,1 < 0,1 < 0,1 –
NO2 (ppm) < 0,1 < 0,1 < 0,1 < 0,1 –
H2S < 0,1 < 0,1 < 0,1 < 0,1 –
Bahan Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada
Pencemar
B. Kondisi Oseanografi
Kedalaman 10 – 80 7 – 30 7 – 30 2–3 1–7
(m)
Arus Kecil Kecil Kecil Kecil Kecil
Gelombang Kecil Kecil Kecil Kecil Kecil
Angin Kecil Kecil Kecil Kecil Kecil
Air Tawar Tidak Perlu Tidak Sedikit Tidak Perlu Tidak Perlu
Perlu
Substrat Karang Karang Karang Pasir/Pasir- Pasir/Pasir-
Dasar berlumpur berlumpur
Posisi Tempat Terlindung Terlindun Terlindun Terlindung Terlindung
Budidaya g g
Kecerahan 70 – 100 60 – 100 60 – 100 60 – 100 70 – 100
(%)
Sumber: Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Departemen Kelautan
dan Perikanan, 2006

3.1.2.3.Teknologi Produksi

Pemilihan teknologi/metoda produksi memperhatikan kondisi lahan


dan perairan dan perlu memperhitungkan persediaan material yang
akan digunakan dalam pembangunan persiapan pembangunan dan
konstruksi, seperti jaring, bambu, kayu, tali, dan lain-lain. Dalam
pembudidayaan kerapu, ada 2 (dua) macam teknologi/metoda yang
sering dilakukan, yaitu Metoda Karamba Jaring Apung (KJA) dan Metoda
Karamba Tancap (KT).

Terdapat beberapa metoda Budidaya rumput laut, tetapi hanya


beberapa yang masih dipraktekan di masyarakat. Hal ini berkaitan
dengan bahan-bahan yang tersedia dan kemudahan pelaksanaan di
lapangan. Metoda yang banyak dilakukan orang adalah metoda long
line atau tali rentang, metoda rakit bamboo, dan kombinasi antara
kedua metoda tersebut. Metoda kantong jaring yang dikenal dengan
sebutan metoda Cidaun merupakan metoda yang baru tetapi masih
belum teruji di masyarakat. Teknologi/metoda untuk budidaya teripang
pada dasarnya adalah menangani/ membatasi areal di laut untuk
luasan tertentu agar teripang yang dipelihara terkurung didalamnya,
tidak dapat meloloskan diri, dan tidak mendapat serangan hama dari
luar. Teknologi/metoda budidaya teripang tidak jauh berbeda dengan
metoda budidaya kerang-kerangan, seperti kerang darah atau kerang
bulu, yang dikenal dengan Metoda Pen-Culture, yaitu Kurungan Pagar.
Berdasarkan bahan kurungan pagar yang digunakan, desain dan
konstruksi kurungan pagar dibedakan menjadi 2, yaitu Kurungan Pagar
dari Bambu dan Pagar dari Jaring.

Budidaya tiram mengenal dua jenis kegiatan utama yang perlu


dilakukan, yaitu pengumpulan spat dan pembesaran.
Teknologi/metoda yang biasa digunakan dalam pengumpulan spat
tiram ada 4 (empat) macam, yaitu: (1) Metoda Tebar; (2) Metoda
Kolektor Tancap; (3) Metoda Rak dan Kolektor Gantung; dan (4)
Metoda Payung. Sedangkan teknologi/metoda yang seringkali
digunakan untuk pembesaran tiram ada 3 (tiga) macam, yaitu Metoda
Tonggak, dan Metoda Rakit.

3.1.2.4.Rekomendasi Implementasi Budidaya Laut

(1) Penetapan Komoditas yang Akan dikembangkan. Komoditas budidaya


laut yang harus dikembangkan adalah yang mempunyai prospek
pasar dan prospek yang berhubungan dengan resiko ytang tidak
terlalu tinggi (setidaknya dalam jangka waktu 5 tahun ke depan),
yaitu yang mempunyai harga tinggi, dengan tingkat permintaan yang
tinggi pula. Jenis-jenis komoditas tersebut adalah Ikan Kerapu
Tikus/Bebek (Cromileptes altivelis), Ikan Kerapu Macan (Epinephelus
fuscogottatus), Rumput Laut dan Mutiara.
(2) Penyiapan Teknologi Budidaya. Pemerintah dalam hal ini Dinas
Kelautan dan Perikanan Provinsi Gorontalo, BAPPEDA Provinsi
Gorontalo dengan institusi-institusi penghasil teknologi, perlu segera
menyiapkan teknologi budidaya laut yang efisien, baik teknologi
pembenihan maupun pembesaran, khususnya untuk jenis-jenis
komoditas yang diperkirakan prospektif seperti Ikan Kerapu Sunu
(Plectropomus maculates), Ikan Kerapu Lodi (Plectropomus
leopardus), Ikan Napoleon (Cheilinus undulatus), Lobster (Panulirus
spp), abalone dan biota lain yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan
secara komersial dapat meningkatkan produksi untuk pasar
internasional.
(3) Pengembangan pemasaran. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi
Gorontalo beserta Dinas Perikanan dan Kelautan masing-masing
Kabupaten harus proaktif mencari pasar-pasar baru yang potensial
melalui program promosi dan roadshow. Pangsa pasar dan
spesifikasi produk budidaya laut yang dibutuhkan pasar harus
diketahui dengan pasti. Hal ini sangat penting untuk menentukan
volume produksi yang akan dicapai, kebutuhan benih dan pakan,
kebutuhan sumberdaya manusia, sarana dan prasarana yang
dibutuhkan, dan besarnya modal investasi yang diperlukan.
(4) Diseminasi Informasi. Penyampaian informasi pasar kepada para
pembudidaya harus ccepat dan akurat. Informasi yang sifatnya
posistif (mempunyai prospek yang bagus) akan mempercepat
pengembangan budidaya laut.
(5) Monitoring dan evaluasi harga. Agar pembudidaya bergairah, para
penampung dan eksportir hasil budidaya laut harus mau membeli
produk pembudidaya dengan harga yang rasional sehingga pelaku
budidaya memperoleh keuntungan yang layak dan mampu
membangun individual capacity for capital formation.
(6) Penataan kawasan budidaya. Untuk mempercepat pengembangan
budidaya laut, pemerintah perlu segera melakukan penataan
kawasan melalui penerapan RUTR wilayah, khususnya yang
mengakomodir tata kawasan untuk budidaya laut, sehingga tidak
terjadi tumpang tindih dan konflik kepentingan pada lahan yang
sama. RUTR Wilayah ini juga merupakan jaminan hukum bagi para
pengusaha perikanan.
(7) Fasilitasi Kemudahan perizinan. Pemerintah daerah dalam hal ini
instansi perikanan di tingkat propinsi dan kabupaten/kota perlu
mengupayakan kemudahan-kemudahan khususnya dalam pemberian
ijin usaha budidaya laut dan atau pemberian rekomendasi untuk
keperluan kredit perbankan, baik untuk perorangan, koperasi maupun
untuk perusahaan swasta yang berniat membuka usaha budidaya
laut.
(8) Promosi Program Kemitraan terpadu. Dinas Perikanan dan Kelautan,
BAPPEDA, BKPMD, Dinas Perdagangan, bersama-sama dengan pihak
perbankan, perlu mensosialisasikan secara lebih luas dan
berkelanjutan mengenai pelaksanaan program kemitraan terpadu
(sistem inti plasma) untuk usaha budidaya laut.
(9) Penyediaan benih. Untuk mencukupi kebutuhan benih untuk
budidaya laut, kapasitas produksi benih pada balai benih pemerintah
dan swasta masih harus ditingkatkan. Disamping itu, produksi benih
alami juga harus mendapat perhatian.
(10) Untuk melestarikan sumberdaya benih ikan, perlu dibuat peraturan
daerah mengenai areal konservasi induk yang dinyatakan tertutup
bagi semua usaha penangkapan. Penangkapan benih ikan hanya
boleh dilakukan dengan ijin khusus yang diatur dalam
peraturan/undang-undang. Komoditas-komoditas prioritas yang perlu
segera dibuat konservasinya, antara lain adalah lobster, abalone,
teripang, ikan napoleon, dan tiram mutiara.
(11) Dalam rangka menciptakan tenaga terampil siap pakai,
pengembangan sumberdaya manusia melalui pendidikan formal
dan informal harus terus dilakukan dan ditingkatkan.
(12) Forum komunikasi dan partnership building antara pemerintah,
pembudidaya ikan, peneliti, penyuluh, dan pengusaha harus lebih
sering, baik melalui media cetak, media elektronik, lokakarya,
seminar, dan lain-lain. Lembaga-lembaga profesi perlu dijadikan
mitra pemerintah dalam mensosialisasikan program-program
pengembangan perikanan budidaya, dan sekaligus dijadikan
sebagai salah satu forum pertukaran pemikiran dan strategi
pemerintah.
(13) Untuk mencegah kerusakan habitat/lingkungan budidaya laut di
sepanjang perairan pantai, Dinas Kelautan dan Perikanan harus
secara proaktif mengajak (menjalin kerjasama) dengan dinas
Perhubungan, Dinas Lingkungan Hidup, Dinsa Pertambangan, Dinas
Kehutanan, Dinas Pertanian tanaman Pangan, Dinas Perkebunan dan
Dinas Perindustrian, untuk menjaga/mencegah terjadinya kerusakan
dilingkungan masing-masing dalam mengelola sumberdaya
alamnya.
(14) Mengingat bahwa masa pembudidayaan (pembesaran) ikan kerapu
dari ukuran benih 2-3 cm menjadi ukuran konsumsi terkecil (500
g/ekor) memerlukan waktu paling sedikit 12 bulan, maka sebaiknya
pembudidaya ikan dibagi dalam beberapa segmen sehingga setiap
pembudidaya hanya membesarkan ikan kerapu sampai ukuran
tertentu saja. Kriteria segmen didasarkan pada ukuran ikan (i) 2-3
cm, (ii) 5-7 cm, (iii) 10-15 cm, (iv) 40-60 g/ekor, (v) 100-150 g/ekor,
(vi) 250-300 g/ekor, dan (vii) lebih besar dari 500 g/ekor.
(15) Produk perikanan budidaya yang dihasilkan oleh Provinsi Gorontalo
disarankan mengikuti Standar Nasional Indonesia sebagai jaminan
mutu bagi produk yang diperdagangkan di pasar internasional.

3.1.1.Membangun Peternakan Rakyat

3.1.1.1.Kondisi Peternakan rakyat

Mata rantai pemasaran ternak sapi di Provinsi Gorontalo di waktu lalu


begitu panjangnya yang diawali dari penjualan ternak oleh peternak
sampai kepada konsumen akhir, terlebih lagi jika ternak tersebut
ditujukan untuk pemasaran ekspor. Hasil observasi menunjukkan bahwa
di pedesaan para peternak umumnya menjual ternaknya kepada
pedagang pengumpul di tingkat desa, selanjutnya dijual ke pasar hewan
atau ke pedagang lainnya di tingkat kecamatan. Di pasar hewan
pedagang ternak dari kota datang membeli ternak potong untuk
selanjutnya dijual kepada penjagal di RPH atau kepada agen penjual
daging, yang seterusnya didistribusikan kepada penjual daging di pasar,
yang kemudian dibeli oleh konsumen akhir. Rantai terakhir lain adalah
eksportir atau pedagang antar pulau. Ternak sapi Provinsi Gorontalo
memiliki pasar tradisional yaitu Kota Tarakan di Kalimantan Timur. Sejak
beberapa tahun belakangan ini, ternak sapi Gorontalo telah menjadi
komoditas ekspor dengan negara tujuan Malaysia. Gambar 3.33.
menunjkkan peningkatan yang cukup signifikan menyangkut jumlah
ternak sapi yang diperdagangkan antar pulau dan ekspor.

Gambar 3.33.
18.000
Perkembangan Jumlah
16.000
16.792 Pemotongan dan
14.000 15.843 Perdagangan Antar Pulau
14.293
12.000 13.304
Sejak berdiri menjadi
10.000 11.592
10.305
Provinsi, perdagangan antar
9.948 9.803
8.000 pulau dan ekspor tumbuh
6.000 semakin pesat yang ditandai
4.000
dengan meningkatnya
5.400 5.138
3.960
4.680 permintaan sapi bali
2.000
sehingga berkonsekuensi
- terhadap tingginya harga
2.001 2.002 2.003 2.004 2.005 2.006 sapi pada tingkat peternak.
Daya tarik pengembangan
Jumlah Pemotongan Per tahun Pengiriman Antar Pulau (Ekspor)
sapi untuk tujuan ekspor
rupanya meningkatkan minat peternak skala kecil dengan
mengembangkan sapi secara tradisional tanpa menggunakan
perencanaan teknis budidaya ternak
dan pemeliharaan yang efisien
1.200.000
sehingga produk daging sapi dalam
1.000.000 1.124.268 bentuk karkas yang dihasilkan per
983.069 satuan ekor ternak relatif lebih rendah
800.000
dibandingkan dengan rata-rata di
Populasi (Ekor)

873.074
771.644 803.319 792.482 daerah sentra produksi di Provinsi Lain.
600.000

400.000 Gambar 3.34. Perkembangan


Populasi Ternak di Provinsi Gorontalo
200.000
2001-2006
-
2.001 2.002 2.003 2.004Biasanya
2.005pengusaha
2.006 ternak kuat
dengan skala usaha besar biasanya
Sapi Pedaging Kambing
mudah mendominasi pasar dan lebih
Babi AyamBuras
diperparah lagi dengan mempersulit
AyamRas Petelur AyamRas Pedaging
keberlangsungan usaha peternakan
Itik
rakyat yang umumnya berskala kecil.
Pengusaha besar dengan mudah untuk menyediakan ternak dengan
mengimpor dari luar negeri atau mendatangkannya dari daerah lain,
tetapi sebagai akibatnya peternakan rakyat menjadi terdistorsi. Jika
kita menjadi sangat tergantung dengan pasokan ternak impor untuk
memenuhi permintaan konsumen, maka dapat dipastikan harganya
akan menjadi sangat tinggi pada saatnya, sementara peternak rakyat
tidak akan mampu bangkit. Kondisi sub-sektor peternakan di Provinsi
Gorontalo cukup menggembirakan dengan peningkatan populasi
ternak yang cukup signifikan terutama ternak sapi dilihat dari produksi
daging yang dihasilkan sebagaimana terlihat pada Gambar 3.35.
Produksi Daging dan Telur
Gambar 3.35.
4.500 Perkembangan Produksi
Daging Sapi
4.000 Daging Sapi di Provinsi
Daging Kambing
Gorontalo
4.140
3.500 Daging Ayam Buras
3.620

3.000 Menurut data yang


Daging Ayam ras petelur
3.215

bersumber dari Dinas


2.958

2.918

2.500
Produksi (ton)

2.841

Daging Ayam ras Pedaging


Peternakan Provinsi
2.000 Daging itik Gorontalo, produksi
1.500 Telur Ayam Buras
daging sapi selama tahun
2001-2006 cenderung
1.000 Telur Ayam Ras mengalami peningkatan
500 Telur itik meskipun pada tahun
2006 menurun cukup
-
signifikan. Pada kurun
2.001 2.002 2.003 2.004 2.005 2.006
waktu tahun 2001-2005
yang lalu perdagangan
ternak rakyat masih normal yang indikasinya dapat terlihat dari
transaksi jual beli ternak kualifikasi potong di Pasar Hewan cukup
marak dan pedagang Pasar Hewan cukup ramai. Namun demikian
pada tahun 2006 ini dimana jumlah ternak import dari Australia secara
nasional semakin meningkat jumlahnya, berakibat perdagangan ternak
lokal menunjukkan kelesuan dan harga juga ikut menurun. Peternak
dan pedagang ikut mensinyalir bahwa keadaan itu akibat dari
pemasukan ternak yang terlalu banyak.

Kenyataan diatas menuntut upaya segera melakukan perlindungan


terhadap peternakan rakyat dibidang usaha ternak potong. Untuk itu
salah satu upaya yang mungkin dapat dilakukan untuk menjaga
kesinambungan usaha peternakan rakyat, adalah melalui sentuhan
perbaikan sistem pemasaran ternak potong, yang paling tidak dapat
dilakukan 2 pendekatan :

(f) Peternakan rakyat mendirikan wadah yang solid dan bersatu


untuk menggalang sumberdaya yang dimiliki untuk diarahkan
pada keberlangsungan peternakan rakyat dibidang usaha ternak
potong secara agribisnis terpadu dengan komoditas lain, dengan
pengertian, melalui wadah tersebut mampu mengendalikan
kegiatan-kegiatan hulu sampai dengan hilir sub sistem agribisnis
usaha ternak potong termasuk didalamnya pemasaran.
(g) Pemerintah atau pengusaha yang peduli terhadap pembangunan
peternakan rakyat mempelopori pendirian usaha pembelian
ternak rakyat secara langsung, menjamin pembelian dengan
harga memadai, memiliki cabang-cabang pada sentra
pengembangan ternak potong, tanpa perantara, dan
menggunakan cara penentuan harga per ekor ternak berdasarkan
timbangan berat hidup ternak. Selanjutnya jika yang menjadi
pelopor tersebut adalah pemerintah dan usaha dimaksud telah
berjalan lancar dan menguntungkan, dapat dijual ke pihak swasta
melalui kebijakan privatisasi.
(h) Peternak dengan peluang perolehan yang tinggi akan bergairah
dalam pengembangan usahanya dan selanjutnya akan muncul
pendatang baru sebagai investor untuk menanamkan modalnya
dalam usaha pengembangan ternak potong tersebut.
3.1.1.1.Penyediaan Pakan Bagi Ruminansia Besar

Rumput atau pohon jagung dapat digunakan untuk pakan ternak sapi
dan sebagian kecil untuk ternak kambing dan domba. Gambaran
tersebut mengindikasikan bahwa penyediaan pakan dalam memelihara
ternak ruminansia tidaklah mudah dan biaya yang harus dikeluarkan
tidak sedikit. Luasan pemilikan tanah oleh umumnya para peternak
tidak memadai, sehingga penyediaan pakan melalui budidaya
tanaman pakan hampir tidak mungkin dilakukan. Pada akhirnya
peternak mengandalkan rumput dari areal pertapakan rumah yang
belum digunakan di sekitar pemukiman, pinggaran jalan dan pinggiran
kebun serta dengan pemanfaatan limbah pertanian. Pada musim
penghujan pertumbuhan rumput sangat cepat, tetapi hujan sekaligus
menjadi kendala yang menyebabkan tenaga kerja pemotong rumput
tidak mampu melakukan tugasnya dengan optimal. Sedangkan pada
musim kemarau pertumbuhan rumput menjadi lambat bahkan sampai
sebagian rumput mati pada waktu kemarau yang sangat kering dan
menyebabkan sukar untuk memperoleh jumlah sesuai kebutuhan,
belum lagi mutunyapun rendah. Sebagai akibatnya peternakan rakyat
yang umumnya berskala usaha ternak secara kecil-kecilan sukar untuk
memperbesar skala usaha.

Sering ditemui di wilayah kecamatan Wonosari seorang peternak yang


memelihara 1-2 ekor sapi, terlihat pertumbuhan ternaknya sangat baik
dan hal ini tercermin dari kondisi ternak yang gemuk dan bersih serta
bulu mengkilat. Tetapi peternak tersebut tidak mampu
mempertahankan kondisi pemeliharaan setelah skala usahanya
meningkat. Kondisi demikian banyak dipengaruhi oleh pemberian
pakan baik dilihat dari jumlah maupun mutunya tidak sebaik pada saat
skala usahanya lebih kecil.

Teknologi produksi dan penyediaan pakan ternak sebenarnya telah


banyak ditemukan oleh balai penelitian maupun oleh perguruan tinggi,
namun peternak terlalu lemah untuk memanfaatkannya karena
lemahnya sistem diseminasi informasi. Disisi lain berbagai bentuk
pakan yang dapat dihasilkan melalui penerapan teknologi, antara lain:
silase, rumput kering, tepung daun legum, perlakuan terhadap jerami
padi, jerami jagung, jerami kacang, limbah perkebunan tebu dan
kelapa sawit, merupakan hal yang sulit dipahami dan disentih oleh
peternak secara umum. Banyak faktor yang berperan sebagai
penyebab ketidakberdayaan peternak ruminansia melakukan
penerapan tehnologi dalam hal penyediaan pakan, faktor tersebut
berperan secara sendiri atau interaksi satu sama lain, diantaranya :
skala usaha pemilikan ternak oleh umumnya peternakan rakyat sangat
rendah, permodalan sangat terbatas, pemilikan akan peralatan dan
fasilitas pendukung sangat minim, pengetahuan dan ketrampilan
sering sekali kurang memadai berkaitan dengan penerapan teknologi
pakan dimaksud.

Pada kondisi peternakan saat ini, peternakan rakyat mampu


berkembang seiring sejajar dengan laju permintaan konsumen akan
daging dan susu sebagai produk ternak ruminansia jika tidak hanya
mengandalkan rumput alami dengan ketergantungan penuh terhadap
musim untuk penyediaan pakan. Penyediaan pakan ternak dengan
memanfaatkan berbagai sumberdaya yang tersedia secara lokal dapat
meningkatkan keberdayaan peternak sehingga ketergantungan
terhadap rumput alami dapat dieliminir sehingga sudah waktunya
untuk menjadi pemikiran yang serius oleh semua pihak / stakeholder
peternakan ruminansia guna menemukan akar permasalahan dan
alternatif solusi tentang penyediaan pakan, sedemikian murah dan
mudah, sehingga mampu menggerakkan percepatan laju pertumbuhan
peternakan ruminansia. Katakanlah dengan mendirikan pabrik pakan
ruminansia, yang menggunakan bahan baku lokal secara 100 %, atau
menggunakan limbah pertanian sebagai bahan pakan hijauan ternak
ruminansia.

Pakan ruminansia secara umum terdiri dari hijauan dan konsentrat.


Jika ternak diberi pakan hijauan saja maka pertumbuhannya akan
sedikit rendah. Sedangkan jika diberikan konsentrat saja mungkin
tercapai produksi tinggi tetapi biayanya akan mahal. Kombinasi
keduanya akan memberikan peluang terpenuhinya zat gizi sesuai
kebutuhan ternak dan pertumbuhannya tinggi, tetapi dengan harga
memadai. Hijauan pakan dapat diartikan sebagai pakan yang
mengandung serat kasar, atau bahan yang tak tercena cukup tinggi,
sebagai contohnya adalah rumput, rumput kering, silase, kacang-
kacangan. Sedangkan konsentrat adalah pakan dengan kandungan
serat kasar atau bahan tak tercerna rendah, sebagai contoh : dedak
padi, bungkil kelapa, bungkil kelapa sawit, ampas tahu, bungkil kedelai
, gaplek.

Berdasarkan bahan kering kebutuhan pakan oleh seekor ternak adalah


sebesar 3 % dari berat badan, atau jika berat sapi 300 kg akan
membutuhkan sekitar 10 kg. Untuk memenuhi kebutuhan pakan di
Kabupaten Gorontalo, yang merupakan kabupaten yang memiliki
populasi ternak sapi terbesar, yaitu 115.539 ekor, dengan asumsi 10 %
dari jumlah populasi tersebut memanfaatkan pakan pabrikan maka
dibutuhkan pasokan pakan sekitar 12 ton per hari.

Bahan untuk hijauan dan konsentrat terdapat banyak di Provinsi


Gorontalo. Masalahnya adalah keberadaan bahan tersebut sebagian
besar menyebar dan jauh dengan peternak. Untuk itu diperlukan
investor apakah dari kalangan swasta atau pemerintah untuk
memanfaatkan peluang pengolahan pakan tersebut. Peternak dengan
tingkat kemudahan penyediaan pakan yang relatif sangat mudah akan
memberikan peluang kepadanya untuk mengelola pemeliharaan
ternak beskala usaha lebih besar. Peternak yang semula
menempatkan kegiatan memelihara ternak secara sambilan dapat
meningkat menjadi usaha pokok. Pendapatan dan kesejahteraan
peternak semakin meningkat, gairah beternak semakin meningkat
yang pada akhirnya bisnis ikutannya dari usaha peternakan akan akan
meningkat pula. Pada kondisi gairah beternak tinggi seperti itu layak
bagi pemerintah dan masyarakat menaruh angan-angan akan
swasembada daging.

Diperlukan upaya pendekatan melalui kegiatan pembangunan


peternakan yang berangkat dari permasalahan utama penyebab
kurang bergairahnya usaha peternakan. Salah satu diantaranya yang
amat menonjol adalah tingkat kesulitan penyediaan pakan dan resiko
tinggi akan kerugian. Disisi lain dapat kita lihat bahwa bahan baku
untuk pembuatan pakan sangatlah berlimpah. Provinsi Gorontalo
memiliki areal produksi jagung yang sangat luas dengan limbah daun
dan batang jagung, kebun tebu dengan limbahnya berupa pucuk tebu
cukup banyak jumlahnya dan limbah olahan tebu, dan limbah olahan
kelapa, limbah usaha pertanian sawah serta pembudidayaan tanaman
pakan pada areal-areal yang belum digunakan untuk sesuatu
keperluan terutama di bawah pohon kelapa.

Upaya yang dapat dilakukan terhadap bahan baku pakan dengan


tingkat ketersediaan tinggi adalah sangat sederhana, formulasi dengan
menggunakan bahan baku yang ada disusun dengan kandungan
nutrisi sesuai kebutuhan ternak berdasarkan statusnya : anak, ternak
muda dan ternak dewasa serta dewasa sedang menyusui. Kemudian
dilakukan pengurangan kadar air sedemikian rupa agar ransum tidak
mudah busuk, gampang dikemas dan mudah penyimpanan serta
distrubusinya. Jika pakan seperti ini tersedia dan dengan harga murah
dengan pengertian bahwa peternak masih berpeluang tinggi untuk
memperoleh keuntungan dari pemanfaatannya dalam usaha beternak
ruminansia, maka memelihara ternak akan menjadi semakin mudah.
Peternak dapat menyediakan pakan sebagaimana peternak
memelihara ternak ayam. Pakan ditumpuk di gudang dan diberikan
kepada ternak secara harian. Masalahnya sekarang adalah kesiapan
pengusaha yang berminat menekuni bisnis pakan ternak ruminansia
tersebut dan pemerintah sebagai agen pembangunan yang harus
bertekad untuk melakukan investasi kearah tersebut.

3.1.1.2.Pengembangan Kawasan Agribisnis Peternakan


Indikasi kelemahan dan kekurang-berdayaan peternak sebagai
produsen hasil ternak di Propinsi Gorontalo tercermin dari kondisi
berbagai aspek penting dalam usaha peternakan yang dilakukan
peternak kecil, antara lain: aspek usaha, aspek permodalan, aspek
inovasi teknologi, aspek diversifikasi produk, aspek pemasaran dan
aspek sumber daya manusia.

Aspek inovasi teknologi. Pada saat ini peternak masih bersifat


sebagai penerima teknologi belum sebagai pengguna teknologi
peternakan, misalnya teknologi: pakan, pembibitan, penanganan
panen, pengolahan pasca panen, teknologi pengolahan kompos,
pengobatan ternak, vaksinasi ternak. Peternak baik secara individu
maupun sebagai kelompok, masih melaksanakan pendekatan
pemeliharaan ternak secara tradisional atau cara pendekatan
pemeliharaan ternak sebagaimana yang diperoleh secara turun-
menurun serta ketergantungan pada kemurahan alam. Kalaupun ada
sentuhan teknologi hanya dilakukan segelintir peternak dan itupun
alakadarnya.

Aspek usaha. Kondisi peternak sebagain besar ditinjau dari aspek


usaha memperlihatkan pengusahaan ternak masih dalam skala kecil dan
bersifat sambilan, sulit memperoleh informasi, kurang sarana dan lokasi
tersebar luas, sehingga manajemen peternak tidak efesien, biaya tinggi,
tidak terpola dan kurang memiliki daya saing. Bidang usaha yang digeluti
peternak dikaitkan dengan sistem agribisnis umumnya bergerak pada
kegiatan budidaya (on-farm) saja. Sementara kegiatan hulu dan hilir
ditangani oleh pedagang dan segelintir perusahaan. Peternak kurang
mampu menjalin kerjasama atau kemitraan usaha dengan peternak lain,
koperasi atau dengan perusahaan.

Aspek permodalan. Peternak sebagaimana cerminan dari usaha


sambilan secara umum lemah dalam permodalan dan akses kepada
lembaga keuangan juga kurang. Disisi lain sering kita lihat bahwa
keberpihakan lembaga keuangan juga rendah terhadap usaha sambilan
tersebut. Peternak tidak memiliki agunan untuk perolehan kredit
sebagaimana yang dipersyaratkan serta dinilai usaha ternak beresiko
tinggi oleh lembaga keuangan. Bagi pihak lembaga keuangan mengurusi
peternak – peternak kecil yang tersebar meluas dan kemungkinan kredit
kecil-kecilan akan mengakibatkan kebutuhan tenaga pekerja, kerepotan
dan biaya administrasi dan operasional lembaga keuangan menjadi
tinggi.

Aspek diversifikasi produk. Hampir keseluruhan peternak tidak


memiliki kemampuan untuk melakukan diversifikasi produk dari usaha
ternak yang digelutinya, sehingga tidak memiliki nilai tambah.
Peternak cenderung menjualkan ternak ke pasar jika kebutuhan
mendesak untuk perolehan uang tunai, sekalipun harga yang diajukan
pembeli tidak sebagaimana kewajarannya.

Aspek Pemasaran. Peternak baik secara individu maupun secara


kelompok belum mampu mempengaruhi pasar ternak, bahkan sangat
tergantung terhadap peran pedagang pengumpul atau pedagang
perantara. Keberadaan pasar hewan hanya terbatas pada lokasi-lokasi
tertentu dan itupun dengan fasilitas yang sangat minim, menyebabkan
cara penentuan harga dengan sistem taksiran. Peternak tidak memiliki
posisi tawar yang tinggi dan rantai pemasaran yang panjang serta
fluktuasi harga yang tidak menentu. Ujung-ujungnya kesemua itu
seringkali merugikan peternak sebagai produsen ternak.

Aspek Sumber Daya Manusia. Peternak umumnya tinggal di


pedesaan dengan segala keterbatasannya terutama usianya rata-rata
telah lanjut dan tingkat pendidikan relatif rendah. Sedangkan angkatan
muda yang rata-rata pendidikan lebih tinggi, kurang menaruh minat
menekuni usaha pemeliharaan ternak.

Kondisi peternakan tersebut diatas cukup memperihatinkan karena


kegiatan pembangunan dibidang peternakan yang dilaksanakan oleh
pemerintah selama puluhan tahun dengan alokasi pembiayaan yang
cukup besar masih belum membuahkan hasil optimal. Beranjak dari
kenyataan ini, berarti kita masih perlu mengembangkan inovasi-
inovasi praktis dan relevan dalam konsep pembangunan peternakan
kedepan. Konsep tersebut haruslah mampu memberikan sentuhan
perbaikan atas penyebab masih munculnya kelemahan-kelemahan
yang tercermin dari berbagai aspek diatas. Menarik untuk dikaji dan
diterapkan dalam kondisi ini adalah konsep pembangunan peternakan
melalui pengembangan kawasan agribisnis berbasis peternakan, yang
diartikan sebagai suatu proses pembangunan dalam suatu
besaran/satuan wilayah tertentu dengan menerapkan pendekatan
kelompok dengan komoditas unggulan yang dikelola secara agribisnis
berkelanjutan yang berakses ke industri peternakan hulu sampai hilir.

Dengan konsep tersebut mengarahkan usaha ternak pada kondisi yang


lebih berpeluang kepada peningkatan keuntungan dan daya saing,
sebagai hasil dari kemudahan penyelenggaran berbagai kegiatan yang
berpengaruh penting terhadap usaha ternak dan berada pada satu
lokasi yang terjangkau, pemerintah berpeluang lebih mudah
meningkatkan pelayanan teknis, penyediaan fasilitas secara efisien
efektif, sehingga dapat menekan biaya transportasi, lebih menjamin
terwujudnya keterkaitan agribisnis hulu-hilir, memudahkan
pelaksanaan koordinasi dan pembinaan serta terwujudnya pola
kemitraan peternak dengan pengusaha, peternak lebih cepat menjadi
mandiri dengan skala usaha ekonomis.

Kawasan peternakan dapat diterapkan pada wilayah pertanian tertentu


terutama di Kabupaten Pohuwato dan Boalemo dengan penyesuaian
komoditi ternak dan pertanian yang dikembangkan atau diusahakan
mesyarakatnya, maka akan berpeluang lebih besar mewujudkan zero
waste farming system atau usaha pertanian tanpa limbah. Melalui
penerapan system tersebut akan memberikan nilai tambah bagi petani
dan peternak.

3.1.1.3.Pemanfaatan Limbah Perkebunan dan Pertanian Sebagai


Pakan

Hasil sampingan perkebunan yang berpotensi dipergunakan sebagai


pakan ternak dari tanaman kelapa sawit (Orbignya cohune) berupa
bungkil inti sawit (PKC) , Lumpur sawit, sabut sawit, daun dan
pelepah.. Bungkil inti sawit (PKC), sebagian besar di ekspor sebagai
bahan mentah untuk industri peternakan negara maju. Sabut sawit
sebagian dipakai sebagai bahan bakar sedangkan lumpur sawit
sebagian besar masih merupakan sumber pencemaran lingkungan.
Dilihat dari komposisinya sabut sawit lebih rendah kandungan
metabolisme energi/ MEnya dari pada rumput gajah (7.6 vs 8.2
Mj/kgBK) dan kandungan protein kasar/ PKnya juga lebih rendah (5.9
vs 8.7%), dengan sedikit suplementasi urea, sabut sawit dapat dibuat
isokalori dan isonitrogen dengan rumput-rumputan. Kandungan PK
lumpur sawit setara dengan dedak padi (13.3% vs 13%) sedangkan
kandungan MEnya lebih tinggi. Dari hasil penelitian dilapangan bahwa
rumput lapangan dapat digantikan sebanyak 50% oleh sabut sawit
sedangkan dedak padi dapat digantikan seluruhnya dengan lumpur
sawit (12%). Percobaan pada sapi perah ternyata kecernaan in vitro
lumpur sawit dan laju degradasinya dalam rumen sapi lebih tinggi
dibandingkan dedak padi. Pelepah daun kelapa sawit sampai saat ini
belum diolah, dan terbuang begitu saja dan sebagian kecil
dimanfaatkan sebagai kayu bakar. Akan tetapi di Malaysia pelepah
daun sawit telah diolah menjadi pellet dan diekspor kenegara maju
sebagai bahan mentah industri peternakan yang disebut oil palm frod
(OPF).

Dari tanaman Kakao (Theobroma cacao) yang dapat dimanfaatkan


oleh ternak adalah: Pod Kakao sangat tinggi kandungan airnya (83%)
maka mudah membusuk. Penyebaran pod disekitar tanaman dapat
mengembalikan unsur hara kedalam tanah akan tetapi dapat
berdampak dan mengundang infeksi jamur phytophtora palmivora
pada buah yang dikenal dengan nama black pod disease. Untuk
mencegah kejadian itu seyogyanya pod kakao dijauhkan dari tanaman
dan akan efisien sekali jika dimanfaatkan sebagai pakan ternak.
Keberadaan pod kakao pada ransum dapat menggantikan seluruhnya
posisi rumput gajah. Bahkan 40 – 70% jagung yang biasa dipakai
dalam ransum penggemukan dapat diganti oleh pod kakao. Lumpur
kakao sampai saat ini belum dipergunakan dan perannya sekarang
sebagai sumber polusi. Kalau dilihat dari nilai gizinya dapat
dipergunakan sebagai bahan pakan sumber protein disamping itu juga
kandungan energinya lebih tinggi dari jagung dan bungkil kedelai. Kulit
biji kakao kandungan zat gizi dan energinya lebih baik dari dedak padi.
Dari hasil pengolahan tebu (Sacharum officinarum) menjadi gula
diperoleh hasil samping berupa : Ampas tebu, tetes/ molases, blotong
dan baggase. Bagasse dan tetes untuk ternak sapi perah dan potong
dapat digunakan sampai level 25% dan 15%.

3.1.1.4.Dimensi Pembangunan Peternakan

Kegiatan perbaikan dan peningkatan mutu sumberdaya manusia


peternak perlu mendapat perhatian yang khusus. SDM peternak yang
dimaksud disini adalah seluruh stakeholder primer peternakan
meliputi peternak/kelompok peternak, pengusaha/asosiasi peternakan,
instansi pemerintah, lembaga penelitian, perguruan tinggi dan
masyarakat pemerhati perlu diwujudkan dalam satu wadah
konsorsium/ forum untuk melahirkan konsep-konsep/ model serta
bersepakat pada suatu komitmen/ tekad bersama mengambil langkah-
langkah mendasar dalam pembangunan sektor peternakan yaitu
bersikap transparan, saling mengisi, bersinergi, sikronisasi kegiatan,
meninggalkan sikap penonjolan diri/ kepentingan pribadi/ kelompok/
sektor, berbagi informasi sebagai kontribusi untuk menghasilkan
peternakan yang lebih produktif.

Penguatan dan pengembangan organisasi peternak dan sektor ini


perlu di rativikasi kembali dengan baik. Peran peternak melalui
kelompok atau asosiasi dalam setiap tahapan alur agribisnis
peternakan perlu ditingkatkan, sehingga nilai tambah dari aktifitas
setiap tahap alur agribisnis peternakan menjadi milik peternak
sepenuhnya. Dukungan kepada kelompok hendaknya lebih serius dan
tepat sasaran, yang diawali dengan penetapan baseline karakter
kelompok apakah pemula, madya atau advance, untuk diikuti tindakan
melakukan pembinaan berkesinambungan berdasarkan suatu program
yang terencana secara cermat dan terlaksana secara baik dalam artian
seperti tekad bersama sebagaimana uraian diatas. Keseluruhan
peternak dinaungi oleh organisasi peternak seperti assosiasi peternak
kambing, assosiasi peternak sapi dan kerbau, assosiasi peternak
unggas, assosiasi peternak babi dll. Assosiasi-assosiasi tersebut
bertanggungjawab untuk merubah kondisi yang semula predikatnya
sebagai usaha sambilan berubah menjadi usaha utama yang berskala
usaha kecil dan menengah.

Kegiatan pengadaan bahan pakan ternak perlu mendapat perhatian


serius. Perihal ketersediaan pakan ternak, cukup menjadi masalah
besar dalam pengembangan peternakan ruminansia. Semua praktisi
usaha peternakan menyetujui bahwa pakan merupakan faktor kunci
utama terhadap keberhasilan usaha peternakan dan sampai saat ini
masih menyedot porsi terbesar dari biaya produksi yang kisarannya 70
– 80 % dan perolehannya susah-susah gampang. Disatu sisi bahan
pakan berlimpah seperti bahan pakan yang berasal dari limbah
pertanian dan perkebunan tetapi sejauh ini sangat sulit untuk
pemanfaatannya. Disamping tidak terlalu mudah dalam perolehannya,
teknologi pengolahannya pun tidak tersentuh dan tidak gampang
dapat diakses oleh peternak.

Kegiatan perbibitan dan mutu genetik ternak. Jenis/bangsa ternak yang


perlu mendapat perhatian besar adalah jenis ternak lokal dengan
pertimbangan bahwa ternak tersebut telah beradaptasi dengan
lingkungan serta peternak telah memiliki pengalaman dan kepahaman
serta mengenal lebih dekat ternak tersebut. Untuk ternak unggas
seperti ayam kampung baik untuk petelur maupun untuk pedaging.
Untuk ternak sapi seperti sapi aceh, hisar, sapi peranakan ongole/ po
merupakan jenis-jenis yang telah mendapat tempat di hati
masyarakat. Demikian juga halnya dengan ternak kambing, babi dan
domba. Permasalahannya adalah seberapa jauh telah dilakukan
perbaikan genetik terhadap ternak tersebut. Upaya up grading
terhadap jenis ternak lokal sangat penting diwujudkan dalam bentuk
kegiatan yang terencana secara cermat dan terlaksana secara
berkesinambungan misalnya dengan membuat sentra-sentra bibit
ditiap kabupaten menjadi sumber bibit dengan kualitas genetik yang
baik dan terjamin.

Kegiatan peningkatan mutu budidaya ternak: permasalahan utama


dengan pemeliharaan ternak oleh petani adalah kurang banyak
sentuhan teknologi, bahkan kandang sekalipun sering tidak terlihat
pada peternak yang memelihara ternak sapi dan kerbau, didesa-desa
terkadang hanya memanfaatkan kolong rumah terutama untuk ternak
kambing dan domba demikian juga halnya dengan ternak babi.
Sedangkan untuk ternak ayam tidak jauh berbeda. Apalagi tentang
tindakan vaksinasi hampir tidak dilakukan dan pengobatan ternak
hanya mengandalkan obat-obat tradisional. Pemeliharaan ternak
secara menyebar luas di sebaran pedesaan, pada akhirnya sulit
menerapkan teknologi. Untuk itu wajar pengembangan ternak secara
kawasan didorong tumbuh kembangnya serta diikuti dengan
pembinaan dan dukungan lainnya dalam perwujudannya. Kawasan
tersebut dapat dilihat kaitannya dengan komoditi lainnya dapat pula
sebagai usaha pokok/ utama di peternak-peternak tersebut.

Kegiatan Pengolahan Pasca Panen: Tehnologi pasca panen masih jauh


dari wawasan peternak kita dan boleh kita katakan belum menjadi
fokus, sasaran/ target sebagai usaha kecil atau menengah dan
peternak umumnya hanya menjualkan ternak hidup sebagaimana dia
pelihara tanpa ada upaya untuk melakukan diversifikasi seperti telur
menjadi telur asin dan seterusnya sehingga tidak ada perolehan nilai
tambah.

Kegiatan peningkatan kondisi pemasaran ternak. Secara individu


peternak tidak memiliki posisi tawar yang melindungi peternak pada
transaksi jual ternak di pasar hewan. Banyak kejadian peternak
memasarkan ternaknya memiliki kelemahan terutama tentang
penentuan harga transaksi, kelemahan yang ditemui dalam penaksiran
bobot badan dan berat daging bersih oleh pedagang perantara selalu
merugikan peternak dan peternak berada pada posisi yang kuarng
berdaya. Dukungan dan perhatian dari assosiasi ternak belum ada,
begitu juga dukungan oleh pemerintah belum optimal dan organisasi
khusus yang bertanggungjawab dalam pelelangan ternak di pasar
hewan belum ada. Sistem dan mekanisme pemasaran yang
berlangsung saat ini belum ada perubahan dari sebelumnya sebagai
bukti dari tidak adanya perhatian pemerintah tersebut disamping itu
assosiasi peternak pun tidak pernah mengalokasikan pemikirannya.
Perlu dilakukan terobosan dibidang sistem pemasaran ternak baik
kelengkapan sarana, prasarana maupun organisasi dan mekanisme
pasar hewan. Solusinya di setiap kabupaten perlu ada pasar hewan
yang reprensentatif.

3.1.1.5. Peluang Pengembangan Ternak Ayam Kampung

Ayam kampung (ayam buras), merupakan salah satu jenis ternak yang
sangat dekat dengan masyarakat dan para petani-peternak di
pedesaan. Meskipun produktivitasnya rendah sebagai penghasil daging
dan telur, namun ayam kampung memiliki berbagai keunggulan,
antara lain telah menyebar dan populer di tengah kehidupan
masyarakat sampai di berbagai pelosok Indonesia, bahkan disebagian
suku di Indonesia peran ayam kampung menjadi teramat penting
sebagai salah satu persyaratan keabsahan berbagai penyelenggaraan
adat istiadat. Daya adaptasinya cukup tinggi, sekalipun terhadap
lingkungan yang jelek serta pengembangannya tidak menuntut biaya
tinggi dan areal/ lahan luas. Dagingnya tidak amis, bercitarasa sedap
dan telurnya diyakini mengandung hormon untuk vitalitas sehingga
sangat diminati oleh konsumen, tidak mengherankan jika harganya
relatif lebih mahal dibanding dengan daging dan telur dari jenis unggas
lainnya termasuk ayam ras dan itik. Pada saat ini harga ayam
kampung Rp. 25.000, per kg sementara ayam ras Rp. 14.000 per kg.
Telur ayam kampung Rp 2.000, per butir sementara telur ayam ras Rp.
800 per butir

1.200.000
Gambar 3.36.
Perkembangan Populasi
1.000.000
Ayam Kampung di Provinsi
Gorontalo
Populasi (ekor)

800.000

600.000
Populasi ayam kampung
400.000
dari tahun ketahun
200.000 mengalami peningkatan,
0 dari hanya sebesar
2001 2002 2003 2004 2005 2006
771644 ekor pada tahun
AyamKampung 771.644 803.319 760.040 873.074 983.069 1.124.268 2001 menjadi 1,1 juta
Ayamras Petelur 35.798 53.775 197.974 438.468 379.497 384.219 ekor pada tahun 2006
AyamRas Pedaging 137.933 156.954 178.594 123.646 112.127 120.826 (Gambar 3.36). Telah
Itik 69.361 80.646 46.814 55.821 40.307 58.711 terjadi peningkatan
populasi peningkatan
Ayam Kam pung Ayam ras Petelur
rata-rata tahunan sebesar
Ayam Ras Pedaging Itik
8,1 %. Pertumbuhan
populasi yang cukup signifikan tersebut pada mampu diimbangi oleh
laju populasi ayam ras petelur, namun demikian, sejak tahun 2004 laju
populasi ayam ras peterlur tidak mengalami peningkatan. Keunggulan
ternak unggas di Provinsi Gorontalo adalah masih terisolasi dari wabah
penyakit flu burung sehingga hal tersebut menjadi keunggulan
komparatif, baik sebagai provinsi produsen maupun sebagai
konsumen. Populasi ayam kampung diProvisni Gorontalo masih lebih
banyak dibandingkan dengan populasi ternak unggas lainnya.

Pemerintah telah melakukan banyak upaya untuk peningkatan


produktivitas dan pengembangannya, yang terlihat dari pelaksanaan
berbagai kegiatan program yang telah dilakukan pemerintah
berkenaan dengan ayam kampung secara berkesinambungan.
Kegiatan pengembangan ayam kampung ditengah masyarakat petani-
peternak, antara lain : peningkatan mutu genetik melalui grading up
ayam kampung dengan melakukan penyilangan ayam kampung betina
dengan ayam pejantan unggul, Intensifikasi ayam buras/ Intab dengan
pendekatan perbaikan pengelolaan dan bantuan permodalan dalam
pengusahaan ayam kampung; Intensifikasi vacsinasi/ Invac sebagai
pendekatan terhadap pengendalian penyakit tetelo/ new castle disease
yang merupakan penyakit paling merugikan bagi ayam kampung;
demikian pula halnya dengan Bimas ayam dan terakhir RRMC dengan
pendekatan penyediaan dukungan secara utuh berbagai fasilitas
pendukung dan saprodi dalam sentra pengembangan ternak ayam
kampung. Namun pada kenyataannya upaya perbaikan tersebut belum
sepenuhnya dapat dirasakan manfaatnya. Hal ini berkemungkinan
sebagai akibat dari rendahnya kesadaran, perhatian dan pengelolaan
berkesinambungan semua yang berkepentingan serta belum
tercapainya kesepakatan berkomitmen bahwa potensi ayam kampung
sebagai kekayaan spesifik patut menjadi andalan sebagai sumber
pangan bangsa secara mandiri.

Pemeliharaan ayam kampung oleh peternak di pedesaan wilayah


Provinsi Gorontalo umumnya terlaksana secara ekstensif dan sambilan
dengan skala 5 – 45 ekor, dengan pakan berasal dari sisa –sisa
makanan manusia dan pakan lain hasil buruan ayam di halaman
rumah, areal rerumputan/perladangan/ persawahan. Sejumlah kecil
petani-peternak di pinggiran kota dan di desa sentra pengembangan
ayam kampung telah mulai dengan pemeliharaan ternak ayam
kampung secara intensif berskala menengah 200 – 1000 ekor
utamanya untuk memproduksi telur. Ayam kampung yang dipelihara
secara tradisional dalam setahun bertelur sebanyak 4 kali periode
dengan jumlah telur 11 – 15 butir per periodenya atau 44 – 60 butir per
tahun. Sedangkan dengan pemeliharaan intensif mampu menghasilkan
120 – 140 butir per tahun atau 35%. Konsumsi pakan per ekor ayam
per hari adalah 100 g, jika harga pakan Rp. 1.800 per kg (Rp. 180 per
100 g pakan) maka biaya pakan per butir telur adalah 100/35 x 180 =
Rp. 515. Pakan merupakan porsi terbesar dari total biaya produksi
yakni dapat mencapai 80%. Dengan demikian biaya produksi per butir
telur adalah 100/80 x Rp. 515 = Rp. 645 termasuk biaya tenaga kerja
didalamnya. Harga telur di tingkat petani Rp. 1000 s/d Rp 1200,
sehingga petani dapat memperoleh keuntungan sebesar Rp. 355 – Rp
555,- per butir. Dengan pemeliharaan 500 ekor peternak dapat
menghasilkan 35/100 x 500 ekor = 175 butir dengan nilai keuntungan
sebesar 175 x Rp. 455 = Rp. 79.625 per hari atau Rp. 2.388.750 per
bulan. Bobot badan jantan 2,25 kg dan betina 1,90 kg per ekor
dewasa. Konversi pakan 5 kg untuk menghasilkan 1 kg ayam atau Rp
9000 per kg, total biaya produksi adalah 100/80 x Rp. 9000 = Rp.
11.250. Padahal harga ayam kampung adalah Rp. 20.000 per kg,
sehingga peternak dapat peroleh keuntungan sebesar Rp. 20.000 – Rp,
11.250 = Rp. 8.750 per kg berat hidup ayam. Sampai saat ini ayam
kampung diusahakan para petani-peternak untuk tujuan sebagai
penghasil daging dan telur.

Gangguan penyakit yang paling tinggi dan mengakibatkan kerugian


terbesar adalah Penyakit Tetelo/ New castle desease yang selalu
datang menyerang ternak ayam kampung dengan pemeliharaan
tradisional pada awal musim hujan. Kendala dalam pengendalian
penyakit ini adalah keterbatasan petani-peternak memperoleh vaksin
di daerah pedesaan dan skala pemeliharaan ternak terlalu kecil.
Penyakit lain yang tercatat juga menyerang adalah penyakit berak
darah, cacingan dan cacar, namun dalam pemeliharaan ekstensif
penyakit-penyakit tersebut tidak banyak mengakibatkan kerugian
dibandingkan dengan penyakit Tetelo.

Ayam kampung memiliki peluang pasar yang cukup baik, karena


sangat digemari oleh masyarakat menengah sampai atas. Upaya
pengelolaan ayam kampung secara komersil sangat berpeluang baik,
konsumen sangat yakin bahwa ayam kampung tidak membawa bibit
penyakit yang membahayakan kesehatan, pandangan ini dapat terlihat
jelas dari kasus wabah flu burung yang meledak baru-baru ini tidak
membawa dampak berarti terhadap daya serap ayam kampung di
masyarakat.

Permasalahan yang sering timbul dengan pengembangan ayam


kampung di Provinsi Gorontalo adalah terjadinya seleksi negatif, ayam
yang menunjukkan tampilan terbagus, memiliki harga yang lebih tinggi
sehingga oleh peternak sering menjadikannya sebagai urutan pertama
penjualannya. Pada akhirnya ternak yang dikembangbiakkan
selanjutnya adalah yang tidak berpenampilan terbaik. Tingkat
kematian ayam cukup tinggi yakni 30% dari umur 0 – 16 minggu dan
10% untuk dewasa. Disamping itu permasalahan lainnya adalah
rendahnya skala pemeliharaannya. Ayam kampung di Provinsi
Gorontalo belum mencerminkan ciri dan spesifikasi khusus seperti
halnya ayam pelung di Cianjur - Jawa Barat, ayam kedu di
Temanggung - Jawa Tengah dan Ayam nunukan di daerah Kalimantan
Timur.

3.1.1.6.Pengembangan Ternak Sapi Dibawah Kebun Kelapa

Ternak ruminansia memerlukan rerumputan sebagai makanan


utamanya, dan jenis tanaman rumput yang ditemui di sekitar
pemukiman dan ladang para petani-peternak tidak jarang adalah
rumput alam yang tergolong pada jenis-jenis unggul, yang
mengandung nutrisi yang cukup tinggi dan baik bagi ternak untuk
pertumbuhan dan penggemukan, namun tidak dikelola secara intensif
sehingga produksinya rendah. Dengan demikian apabila peternak
memanfaatkan dan mengelola secara baik tanaman hijauan pakan
tersebut serta memelihara ternak sesuai dengan daya dukung pakan
yang tersedia, maka peternak akan menerima pendapatan yang
memadai dari bidang usahatani-ternak.
Gambar. 3.37.
Kondisi Ternak Sapi Di
Bawah Pohon Kelapa
di Kecamatan
Wonosari

Dilokasi penyebaran
ternak proyek
PUTKATI, misalnya di Kecamatan Wonosari masih banyak ditemui
kebun-kebun kelapa yang (sebagian diantaranya) dibawahnya hanya
ditumbuhi oleh semak-semak belukar yang tidak bernilai ekonomis.
Faktor tersebut mendorong petani peserta proyek yang menerima
paket ternak, untuk melakukan tindakan pengembangan tanaman
hijauan pakan pada lahan usahataninya misalnya dengan cara
menanam di bawah pohon kelapa. Faktor-faktor penting yang
berpengaruh dan perlu diperhatikan untuk keberhasilan
pengembangan ternak ruminansia sapi dibawah pohon kelapa, antara
lain :

1. Modifikasi sistem usahatani yang sekarang dilakukan oleh petani.


Modifikasi usahatani dimaksud adalah dengan memanfaatkan secara
bijaksana areal lahan dibawah pohon kelapa dengan komoditi
usahatani lainnya yang memiliki nilai ekonomis dan secara teknis
dapat dilaksanakan.

2. Peningkatan mutu ternak. Peningkatan mutu ternak diartikan adalah


dengan menyebarkan ternak bibit sesuai standart yang telah
ditetapkan, baik secara eksterior maupun secara genetik, sehingga
dapat memberikan tampilan produksi yang maksimal.

3. Peningkatan mutu pengelolaan ternak dan padang rumput.


Pengelolaan tanaman hijauan pakan dibawah pohon kelapa, haruslah
seimbang baik ditinjau dari segi produksi maupun kesinambungan
produksinya. Apabila ternaknya lebih sedikit dari daya tampung areal
menyebabkan tanaman pakan menjadi tidak termanfaatkan
keseluruhannya sehingga perlu pemotongan secara reguler dengan
tujuan untuk menjaga kualitas hijauan sebagai pakan. Sedangkan
apabila ternaknya terlalu banyak akan menyebabkan pemotongan
tanaman hijauan pakan yang terlalu banyak dan dapat merusak
tanaman pakan tersebut.

4. Peningkatan mutu dan produksi padang rumput. Keberhasilan usaha


dibidang peternakan sangat tergantung kepada ketersedian pakan
sepanjang waktu, untuk itu dalam upaya penyediaan pakan tersebut
maka peningkatan produksi tanaman hijauan pakan dari areal tersebut
menjadi sangat penting untuk dilakukan, yang antara lain dapat
dilakukan dengan pemilihan jenis tanaman yang dapat berproduksi
tinggi pada areal kebun kelapa yang sangat rendah penyinaran
matahari (banyak naungan).

5. Meningkatkan efesiensi penggunaan padang rumput dan


penggunaan sisa pertanian, pengawetan pakan yang berlebih. Salah
satu ciri dari daerah tropis adalah terdapatnya 2 musim yang berbeda
yakni musim kemarau dan musim penghujan. Pada musim hujan dapat
meningkatkan produksi hijauan dari tanaman hijauan pakan dan pakan
musim kemarau sebaliknya, dimana produksi pakan sangat rendah.
Dengan demikian perlu dilakukan upaya untuk pengawetan kelebihan
hijauan pakan pada musim penghujan untuk dimanfaatkan pada
musim kemarau

Salah satu dari usaha modifikasi yang dapat dilakukan adalah


memanfaatkan lahan dibawah pohon kelapa yang selama ini oleh
sebagain petani hanya dibiarkan ditumbuhi oleh semak-semak belukar
yang tidak produktif, dengan menanaminya tanaman hijauan pakan
yang tahan naungan. Hal ini bukanlah sesuatu yang baru, negara
tetangga kita seperti Philipina telah lama melakukannya dengan
memberi istilah “Coconut Beef” untuk system usaha tani tersebut.
Untuk pengembangan dan peningkatan hasil dan mutu tanaman
hijauan pakan dibawah areal tersebut, ditempuh dengan
pengembangan tanaman rumput dan leguminose yang tahan naungan
yang cukup berat. Sehubungan dengan hal tersebut untuk lebih
mendukung kearah usahatani dengan penambahan komoditi
peternakan ke dalam usahatani yang telah dikembangkan , perlu
ditempuh secara terpadu dan intensif. Dengan demikian maka salah
satu hal yang dapat dilakukan adalah dengan pengembangan tanaman
pakan dibawah pohon kelapa.

Hambatan Lingkungan. Temperatur lingkungan di Provinsi Gorontalo


yang tinggi, merupakan salah faktor yang berpengaruh terhadap
rendahnya feed intake dan periode perumputan yang singkat,
terutama yang dialami oleh sapi-sapi yang didatangkan dari daerah
temperate. Dari beberapa studi yang dilakukan di Australia
memberikan gambaran bahwa Jenis ternak sapi Jersey dan Holstein
akan turun konsumsinya dari total nutrisi dapat dicerna pada
temperatur 24 - 27 derajat celcius. Sedangkan pada sapi Zebu pada
temperatur 32-35 derajat celsius.

Temperatur berpengaruh terhadap produksi peternakan, dimana


penurunan intake pakan akan menurunkan pertambahan berat badan
dengan perkataan lain akan membutuhkan waktu yang lebih lama
untuk mencapai berat potong yang ideal. Pengaruh tempertaur
tersebut akan menurun apabila ternak merumput dibawah pohon
kelapa. Suatu studi memperlihatkan bahwa terdapat perbedaan
sebesar 6 derajat C antara dibawah pohon kelapa dengan diluar kebun
kelapa, pada waktu jam 09.00 - 13.00 pagi. Selanjutnya dari penelitian
yang sama memperlihatkan bahwa intensitas sinar matahari juga lebih
rendah sekitar 50 % pada sore hari dan 60 % pada siang hari dibawah
pohon kelapa dibandingkan dengan diluar kebun kelapa.

Faktor utama sebagai penghambat pertumbuhan tanaman hijauan


pakan dibawah kebun kelapa adalah rendahnya sinar matahari yang
masuk kebawah kebun kelapa, walaupun diberikan pemupukan yang
seimbang. Tingkat intensitas sinar matahari masuk kebawah kebun
kelapa bervariasi antara satu kebun dengan kebun lainnya tergantung
pada: umur tanaman, jarak tanam, sistem penanaman, tingkat
kesuburan tanah. Pada umur tanaman masih muda (sampai umur
kelapa 20 tahun), banyak sinar matahari yang dapat masuk kebawah
tanaman kelapa dan seiring dengan penambahan umur kelapa
tersebut cendrung pula menurunkan masuknya sinar matahai kebawah
kebun kelapa. Dengan pengertian setelah umur kelapa lebih dari 20
tahun, maka telah sesuai untuk pengembangan tanaman hijauan
pakan terutama dengan memilih jenis-jenis yang tahan terhadap
naungan. Padahal di lokasi proyek PUTKATI (khususnya di Kecamatan
Wonosari), banyak ditemkan pohon kelapa yang umurnya telah
melebihi 20 Tahun.

Bentuk lain pemanfatan lahan dibawah pohon kelapa adalah dengan


menanaminya dengan tanaman pangan yang berumur pendek seperti
kacang tanah, kedelai, kacang hijau, jagung, dan padi gogo seperti
banyak ditemukan di Kecamatan Patilanggio. Upaya menambahkan
komoditi peternakan dimaksud bukan mengganti tanaman tersebut
tetapi pada kondisi yang tersebut perlu upaya pemanfaatan limbah
tanaman pangan semusim tersebut sebagai bahan pakan ternak.
Tujuan yang hendak dicapai adalah peningkatan efisiensi manfaat
sumberdaya lahan dan peningkatan pendapatan petani dari sebidang
lahan yang dikuasi dan dikelola oleh petani peserta proyek kegiatan
coconut-beef.

Pemanfaatan Lahan Dibawah Kebun Kelapa untuk Penanaman


Bahan Pakan Ternak Sapi

Jenis hijauan tanaman pakan yang sesuai dikembangkan dibawah


kebun kelapa adalah tanaman hijauan pakan yang tahan dan dapat
tumbuh dengan baik dibawah naungan dan tentunya tanaman yang
tahan berkompetisi dengan tanaman kelapa serta mudah untuk
mendapatkan bibitnya. Tanaman hijauan pakan tersebut antara lain :
(1) Rerumputan: Dari sejumlah jenis rumput tanaman pakan yang
dapat tumbuh, berkembang dan berproduksi di bawah kebun kelapa,
diantaranya adalah Guinea grass (Panicum maximum), Para grass
( Brachiaria mutica), Setaria splendida ( Setaria Lampung / Timothy
emas lampung ), (2) Leguminosa ( Kacang-kacangan ) terdiri dari
Peuraria phaseloides dan Centosema pubescens,

Rumput Panicum maksimum ini juga dikenal dengan nama rumput


Benggala atau Guninea grass. Di Kabupaten Bolaang Mongondow
rumput ini telah berkembang dengan suburnya, mulai dari pinggir-
pinggir jalan utama sampai dengan ke bukit - bukit yang ditumbuhi
tanaman kelapa, kayu-kayuan atau tidak digunakan masyarakat untuk
areal pertanian. Salah satu lokasi proyek PUTKATI, memiliki tanaman
rumput benggala dalam jumlah banyak, dan terlihat kondisi ternak
amat sangat baik dengan tingkat reproduksi yang tinggi.
Pengembangan rumput ini sangat direkomendasikan ke seluruh lokasi
pengembangan ternak sapi di bawah pohon kelapa di Provinsi
Gorontalo.

Rumput Para grass dikenal dengan nama rumput Kolonjono/ Para


grass/Panicum muticum/ Panicum purpurascens. Rumput ini kaku,
merayap, perennial/tahunan, berakar pada tiap nodus batang yang
menyinggung tanah, tingginya dapat mencapai 2,5 m. Aasal rumput
Afrika dan Amerika Selatan (Tropis), Tahan genangan air yang lama,
berkembang dengan biji, Tiap kilogram biji = 300.000 butir, juga dapat
dikembangkan dengan potongan batang, Tiap potongan batang = 3
ruas ( 4 buku ) dengan jarak tanam 1.8 x 1.8 m. Pemotongan (panen)
setiap 6 - 9 minggu sekali, dengan tingi pemotongan dari permukaan
tanah 7 - 20 cm, Produksi bahan kering (BK) hijauan : 20 ton / Ha / Th,
Komposisi nutrisi : Abu 13.3 %, Serat Kasar 29.5 % Protein Kasar 10.5
%, BETN

Rumput Setaria splendida berasal dari afrika tropik, berkembang di


Kenya dan Senegal. Sifatnya perennial, tumbuh di ketinggian samapi
lebih 4000 kaki dengan hujan lebih 25 inchi, didaerah pantai dengan
hujan 40 - 50 inchi ( 1 kaki = 0.3 m, 1 inchi = 2.56 cm ). Tinggi
tanaman lebih dari 180 cm bila tak dipotong. Membentuk rumpun,
jarang memproduksi biji, bila ada untuk penyebaran
kembalimembutuhkan 4 -10 kg tiap Ha, satu kilogram biji = 1.2 - 1.8
juta butir. Ditanam berbaris jarak 120 cm dengan jarak tanam 90 cm.
Biasa dikembangkan dengan sobekan. Hijauan dimanfaatkan dengan
segar, sebagai hay dan silase ( kalau memungkinkan). Pemotongan
tiap 48-54 hari sekali. Dipotong samapi 15 cm dari atas tanah,
menghasilakn 20 ton Bahan Kering/ Ha / tahun. Pemupukan : 100 - 200
kg N, 50 kg P dan 100 kg K. Lebih baik sebelum diberikan kepada
ternak dilayukan selama 24 jam untuk mengurangi diarrhae. Komposisi
nutrisi : Abu 11.1 %, Ekstrak ether 2.5 %, Serat Kasar 31.7 %, BETN
45.2 %, Protein kasar 9.5 %, TDN 54.8 %.
Peuraria phaseloides. Sering juga disebut dengan Puero / Kudzu tropik.
Puero termasuk familia leguminosae, sub familia papilionoideae.
Berbunga putih keungu-unguan merah muda, Polongan bulat seperti
pedang. Tiap Kilogram biji mengadung 40.000 butir biji. Penanaman
tiap Ha memerlukan 5 - 10 kg biji, dengan jarak tanam 1 m. Sebelum
di tanam biji direndam air panas 30 menit. Kadang-kadang ditanam
dengan batang yang mengandung 4 ruas buku batang yang keluar
akarnya. Setelah 4-6 bulan pertanaman dengan cukup air sudah
menutup tanah dan kanopinya setinggi 15 - 20 cm. Rumput
campurannya, daun Puero lebih lebar dibanding Calopo dan Centro.
Hasil produksi Bhan Kering (BK) 5 - 10 ton / Ha, Umur > 4 bulan tinggi
tanaman 60 - 80 cm. Pemotongan setiap 3-5 kali per tahun tergantung
musim kering atau basah. Komposisi nutrisi daun Puero : Abu 8.7 %,
Ekstrak ether 2.5 %, Serat kasar 31.3 %, BETN 38.2 %, Protein kasar
19.3 %, TDN 61.7 %.

Centosema pubescens. Legum ini termasuk sub familia Papilionoideae,


asal dari Amerika Selatan , tumbuh baik di daerak tropik san sub
tropik. Daunnya trifoliat , lebih runcing dibandingkan calopo dan puero.
Bunganya warna ungu merah muda. Polong seperti pedang, biji
bergaris. Satu kilogram biji mengandung 36.000 butir. Penanaman
dengan biji memerlukan 4-5 kg biji. Biji ditanam sedalam 3-5 cm, jarak
baris tanam 1 m, sebelum ditanam direndam air panas 30 menit.
Batang centro menjalar menutup tanah setelah umur 4-6 bulan, belu
berkayu pada umur 18 bulan. Biji centro masak tidak srentak, mulai
masak setelah centro umur 9-12 bulan. Centro dapat hidup didaerah
dengan hujan 1500 - 2500 mm, dengan ketinggian rata-rata 600 mpl.
Tanaman rumput campurannya yang baik adalah Melinis dan Cynodon.
Sifat tumbuh centro adalah perennial. Pada tanah dengan PH 6.0
fiksasi N baik, hasil fiksasi N = 75 kg N / Ha, sesudah centro berumur
4-6 bulan dapat menghasilkan 100 kg protein kasar tiap Ha.
Pemupukan P205 = 100 - 200 kg / Ha. Hasil bahan kering (BK) centro
= 3 - 7.5 ton/ ha/th. Komposisi nutrisi daun cenro : Abu 8.8 %, Ekstrak
ether 3.6 %, Serat kasar 31.2 %, BETN : 34.4 % Protein Kasar 22.0 %
TDN 60.7 %.

3.2. Pola, Strategi dan Program Pembangunan Sistem


Agribisnis Terpadu

3.7.1 Pola Pengembangan Produksi dan Budidaya

Pengembangan sistem produksi dan budidaya dalam kerangka


agribisnis selayaknya dilaksanakan secara bertahap dengan
memprioritaskan pengembangan jenis-jenis komoditas yang telah
mempunyai pangsa pasar yang besar, teknologi budidaya massal, dan
teknologi pembenihan/pembibitan massal yang telah dikuasai oleh
Provinsi Gorontalo. Komoditas hasil introduksi yang baru
dikembangkan perlu melalui proses adopsi paket teknologi produksi
dan teknologi budidaya terlebih dulu disamping menyiapkan
ketersediaan benih/bibitnya.

Semua data dan informasi yang berkaitan dengan kepastian


pengembangan budidaya laut, yang terdiri dari potensi, teknologi,
sumberdaya manusia, aspek finansial, aspek hukum dan informasi
pendukung lainnya perlu dikemas dan disiapkan dalam suatu jaringan
sistem informasi yang mudah dan dapat diterima dan diakses oleh
masyarakat. Dengan demikian setiap stakeholder yang berminat
menanamkan modalnya pada usaha budidaya laut akan mudah dan
cepat mendapatkan informasi yang diperlukan.

Pelaksanaan pengembangan budidaya laut, harus didahului dengan


kajian komprehensif pada lokasi yang tepat. Faktor-faktor pendukung,
seperti ketersediaan prasarana, kondisi sosial ekonomi masyarakat,
pelayanan perbankan, kepastian hukum, dan RUTR Kabupaten dan
Provinsi harus diperhatikan demi suksesnya pengembangan produksi
dan budidaya. Pemilihan jenis komoditas yang ditetapkan dan
kesesuaian wilayah harus disesuaikan dengan volume dan kualitas
permintaan pasar sehingga cakupan wilayah produksi dalam jangka
panjang dapat memasok permintaan pasar secara sustainable.

Pelaksanaan pengembangan sistem produksi agribisnis tentunya akan


melibatkan berbagai pihak terkait, antara lain pemerintah, investor,
pengusaha, kelompok petani/peternak/ pembudidaya/ nelayan,
produsen benih, perbankan, koperasi, pedagang (local dan eksportir),
serta pemasok sarana produksi. Pemerintah harus berperan sebagai
fasilitator dengan melakukan upaya pembinaan teknologi, penyediaan
prasarana dan menciptakan iklim usaha yang kondusif sehingga
sistem agribisnis yang dibangun mampu bertahan dalam jangka
panjang. Kelestarian sistem agribisnis yang produktif tentunya akan
meningkatkan manfaat ekonomi sistem tersebut.

Pembinaan teknologi diarahkan pada penerapan teknologi adaptif


yang efisien namun ramah lingkungan. Unit Pelaksana Teknis Nasional
(Balai Besar, Balai dan Loka) bertugas melakukan riset, kajian dan
penyiapan paket teknologi dan melakukan pelatihan-pelatihan atau
magang bagi petani/peternak/pembudidaya/nelayan. Penyediaan
prasarana produksi yang memerlukan dana besar, akan menjadi
tanggung jawab pemerintah, namun pemeliharaannya secara bertahap
dapat dialihkan menjadi tanggung jawab masyarakat dan pengusaha.
Penciptaan iklim usaha yang baik bagi pengembangan sistem produksi
agribisnis dapat dilakukan melalui upaya memudahkan dan
melancarkan birokrasi pelayanan pemerintah dan perbankan.

Setiap usaha produksi komersial harus mempunyai ijin usaha. Ijin


usaha ini diberikan oleh pemerintah provinsi/kabupaten setempat
ataupun pusat, sesuai dengan tingkat skala usahanya dalam
penentuan lokasi dan tata letak setiap teknologi yang
diimplementasikan di setiap kawasan pengembangan. Ijin usaha
agribisnis ditentukan periode waktunya sesuai dengan siklus produksi
dan kesesuaian lingkungan dan ijin tersebut dapat diperpanjang
sepanjang wilayah tersebut masih memenuhi persyaratan teknis,
ekonomis dan lingkungan untuk pengembangan.

Pengendalian dan pengawasan sistem produksi agribisnis oleh


pemerintah dilakukan secara periodik, baik pada daerah yang sudah
berkembang maupun kawasan yang akan dikembangkan. Tahapan ini
dapat dilakukan melalui 4 (empat) tahapan, yaitu:

(1) Comprehensive Site assessment pengembangan wilayah produksi


sesuai persyaratan teknis, ekonomis, laingkungan, kesesuaian
lahan, penerimaan masyarakat dan kelestarian usaha yang
dilakukan secara bersama oleh BAPPEDA (Provinsi dan Kabupaten)
dan Dinas Teknis di Sektor Pertanian.
(2) Penunjukkan kawasan pengembangan produksi harus
memperhatikan jumlah unit usaha yang akan dikembangkan, dan
tata letak sarana yang akan digunakan. Persyaratan teknis tersebut
harus disesuaikan dengan peraturan dan perundangan yang
berlaku.
(3) Pada wilayah yang sistem produksinya sudah berkembang dan
melampaui batas maksimum yang dapat dikembangkan, maka
rasionalisasi jumlah unit dapat dilakukan pada waktu perpanjangan
ijin.
(4) Untuk menghindari terjadinya dampak negatif terutama pengaruh
buruk terhadap lingkungan, maka pembinaan dan pengawasan
harus dilakukan secara periodik (misalnya setiap triwulan). Dengan
demikian bila terjadi penyimpangan teknis dan non teknis yang
dapat menimbulkan kerusakan kualitas sumberdaya dan
pencemaran dapat dicegah secara dini.

3.1.1.Strategi Pengembangan Produksi

Pengembangan produksi dan budidaya dapat dilakukan dengan


menggunakan strategi yang tidak hanya sekedar memecahkan
berbagai permasalahan yang telah dikemukakan sebelumnya, tetapi
juga mampu menimbulkan peluang dan insentif bagi pembangunan
yang sedang dilakukan, terutama untuk mengatasi berbagai
permasalahan Provinsi Gorontalo sebagaimana yang secara nasional
yang sedang dihadapi Bangsa Indonesia dewasa ini, seperti masalah
ketenagakerjaan dalam hubungannya dengan peningkatan
pendapatan dan indeks pembangunan manusia.

Strategi dasar yang dapat ditempuh untuk mencapai maksud tersebut,


antara lain:
(1) Pengembangan pasar dan pemasaran.
(2) Peningkatan Produktivitas.
(3) Penguatan modal dan penguatan kapasitas pembentukan modal
mandiri bagi petani, peternak dan nelayan
(4) Rasionalisasi, Penguatan dan Pengembangan teknologi produksi
bagi Budidaya Tanaman pangan, perkebunan, peternakan,
budidaya perairan dan perikanan tangkap.
(5) Pemberdayaan dan Penguatan Kelembagaan.
(6) Pengembangan Sumberdaya Manusia.
(7) Pengembangan Agribisnisn Berbasis Masyarakat Secara
Partisipatif, Kerjasama dan Kemitraan.
(8) Pengembangan produksi Berbasis Wilayah dan Komoditas
Unggulan.
(9) Penerapan Teknologi produksi Sesuai Daya Dukung Lingkungan.
(10) Penguatan dan Pengembangan Unsur Dasar Usaha agribisnis
terpadu.
(11) Pembangunan Prasarana dan sarana pokok dan pendukung bagi
terlaksananya proses dalam sistem agribisnis terpadu.
(12) Peningkatan peran perempuan dalam seluruh proses sistem
agribisnis.
(13) Penerapan Sistem agribisnis Secara Terpadu.

3.1.1.1.Peningkatan Produksi dan Produktivitas

Program peningkatan produksi dan budidaya harus selalu


mempertimbangkan kemampuan daya serap pasar. Hanya komoditas
perikanan yang diminta pasar saja yang boleh diproduksi. Volume
produksi dibatasi dengan bijak agar tidak terjadi overproduction.
Untuk mendukung proses produksi sarana dan prasarana penunjang,
seperti pembangunan jalan baru, fasilitas komunikasi, dan kelistrikan
harus disediakan oleh pemerintah. Pengembangan sistem
pemantauan dini untuk mengantisipasi terjadinya bencana terhadap
sistem produksi yang dilakukan, baik yang disebabkan oleh bencana
alam (gema bumi, banjir, tsunami, angin topan dan penyebaran
penyakit) maupun bencana yang ditimbulkan oleh aktivitas manusia
(penyebaran limbah sebagai akibat adanya kegiatan produksi di darat
maupun di laut). Pembangunan kawasan produksi dan budidaya
terpadu yang terdiri dari unit pembenihan/pembibitan,
penanaman/pembudidayaan, pasca panen dan industri pendukung
(terutama pakan), di wilayah yang tidak tercemar sangatlah ideal.
Tujuan pengembangan produksi pada kerangka agribisnis terpadu
adalah peningkatan produktivitas sehingga setiap pelaku usaha
memperoleh keuntungan secara teknis dan ekonomis disamping
tentunya harus menimbulkan manfaat sosial dan ekonomi bagi
masyarakat secara umum.

3.1.1.2.Pengembangan Pasar

Perdagangan global yang telah dimulai menuntut persaingan ekspor


produk perikanan yang semakin ketat disertai adanya trik-trik nakal
yang dilakukan oleh negara besar yang memiliki kemapanan ekonomi.
Indonesia sebagai salahsatu negara produsen hasil perikanan harus
berusaha meningkatkan produksinya, sehingga meningkatkan supply
produk perikanan. Sementara itu, permintaannya cenderung stagnan
akibat kondisi resesi ekonomi global yang pada akhirnya akan
berujung pada excess supply di pasar global. Karena adanya
ketidakseimbangan supply-demand maka diperlukan penguatan dan
pengembangan manajemen pasar sebagai prasyarat mutlak harus
dilakukan untuk pengembangan budidaya laut secara keseluruhan.
Provinsi Gorontalo sebagai bagian dari Republik Indonesia harus selalu
mengikuti kondisi pasar produk pertanian, peternakan, perkebunan
dan perikanan sebagai acuan dasar bagi peningkatan produksi.

Selain tantangan pasar global, pasar domestik merupakan sasaran


kedua dengan diferensiasi produk yang disesuaikan dengan
permintaan dan pola konsumsi dalam negeri. Penguatan dan
pengembangan pasar, baik pasar domestik maupun ekspor, dapat
dilakukan dengan melaksanakan program yang berorientasi pada
peningkatan permintan pasar, antara lain yaitu sebagai berikut:
(1) Pengembangan market intelligence guna memahami dinamika
selera (preference) negara-negara pengimpor dan kekuatan-
kelemahan negara-negara pesaing. Dukungan dari Dep.
Perindustrian dan Perdagangan, sangat diperlukan untuk
memperkuat pasar ekspor produk pertanian/peternakan/
perikanan di pasaran dunia.
(2) Pembentukan atase pertanian di berbagai negara pengimpor.
(3) Peningkatan promosi dagang dan pemasaran provinsi Gorontalo
sebagai Provinsi inovatif ke berbagai negara.
(4) Menjadi trend setter dalam setiap perundingan dagang dan
konvensi, agar kepentingan nasional Indonesia dan Kepentingan
Provinsi Gorontalo dapat terakomodir.
(5) Pembangunan industri hilir untuk meningkatkan nilai tambah
produk pertanian seperti, produk kelapa, industri hilir jagung,
pengalengan ikan, pabrik tepung ikan, industri hilir ikan tuna
segar dan lain-lain, sehingga meningkatkan efisiensi, berdaya
saing tinggi dan bernilai tambah tinggi.
(6) Pengembangan dan diversifikasi produk perikanan tangkap,
produk perikanan budidaya, produk peternakan, produk
perkebunan dan pertanian tanaman pangan
(7) Mendorong pembentukan Agribusiness Management Board
sebagai langkah awal menuju integrasi semua sistem agribisnis
dengan sistem pelayanan satu atap.
(8) Kampanye dan sosialisasi pemasaran produk secara terpadu dan
berkelanjutan sebagai bagian dari upaya untuk mengembangkan
pasar dalam negeri.
(9) Memperpendek rantai tata-niaga dari produsen ke konsumen,
sehingga produsen memperoleh keuntungan yang lebih rasional.
(10) Pembangunan dan operasionalisasi pasar higienis terutama untuk
produk perikanan budidaya, perikanan tangkap dan peternakan.
(11) Pengadaan sarana pengangkutan produk terutama untuk produk
perikanan dan peternakan lokasi produsen ke konsumen ikan
(pasar), seperti mobil box berpendingin, angkutan laut dan dan
angkutan udara.
(12) Pembangunan jaring sistem informasi terpadu antara lokasi
produsen dan pasar ikan, sehingga penyebaran informasi dapat
berlangsung secara cepat.

3.1.1.3.Rasionalisasi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Peningkatan variabilitas dan frekuensi penelitian dan pengembangan


harus diarahkan untuk mendapatkan teknologi yang utuh, efisien dan
tepat guna khususnya teknologi pemuliaan, pembenihan, pembesaran
dan manajemen kesehatan ikan. IPTEK yang digunakan dalam
perakitan teknologi diutamakan yang mengarah kepada teknologi
yang berbasis sumberdaya lokal. Dalam hal diseminasi, pemerintah
masih memegang peranan penting. Untuk itu pemerintah harus
proaktif dan peran utamanya bukan lagi untuk intervensi ekonomi,
melainkan untuk pengaturan dan pelayanan publik termasuk
pembinaan/pemberian bimbingan dan pengawasan. Upaya diseminasi
yang dapat dilakukan adalah dengan penyediaan informasi sebanyak-
banyaknya dengan harga murah dan mudah dipahami, mendorong
pembudidaya ikan untuk proaktif mencari teknologi, menata pasar
input dan output, mendorong partisipasi LSM lokal, serta membangun
sistem informasi teknologi yang berbasis daerah (spesifik lokal).
Kegiatan diseminasi hasil penelitian dan pengkajian hendaknya
dilakukan secara berkelanjutan dan merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari program penelitian dan pengembangan.
Pengembangan IPTEK dan diseminasinya di daerah perlu didukung
oleh peraturan yang memadai dan kesediaan pembudidaya menerima
dan menerapkan metoda-metoda baru yang lebih efektif dan efisien.
Diseminasi teknologi budidaya laut yang selama ini dilakukan di
lapangan melalui ekspose hasil penelitian, aplikasi teknologi, demplot,
pelatihan, temu lapang, lokakarya dan lain-lain, hendaknya terus
dilaksanakan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan setempat. Di
samping itu yang lebih penting adalah adanya pendampingan secara
terus menerus di lapangan oleh tenaga ahli (penyuluh) yang telah
mendapatkan pendidikan dan latihan secara khusus dan benar-benar
menguasai teknologi.

Pengembangan kawasan terpadu untuk kegiatan utama budidaya


tanaman pangan, peternakan, perkebunan, perikanan, dengan
dukungan teknologi yang tersedia dari lembaga penelitian dan
pengembangan maupun perguruan tinggi, serta dukungan dana dari
lembaga keuangan, hendaknya segera dilaksanakan. Proyek-proyek
percontohan perlu lebih diperbanyak terutama di kawasan budidaya
pertanian tanaman pangan dan budidaya laut yang sedang
dikembangkan dengan inisiatif dari pihak pemerintah, bekerjasama
dengan swasta ataupun dengan donor. Selain berfungsi dalam sarana
diseminasi, proyek-proyek percontohan dapat pula menarik investasi
dan menambah keyakinan pengusaha dan
petani/peternak/pembudidaya.

3.1.1.4.Pemberdayaan dan Penguatan Kelembagaan

Pemberdayaan dan penguatan kelembagaan ditujukan untuk


menghapus sistem pelaksanaan program dan pelayanan yang
terkotak-kotak karena tidak efisien dan cenderung merugikan
petani/peternak/pembudidaya dan nelayan. Pelaksanaan program
pada sektor pertanian sudah saatnya berorientasi pada kepentingan
target beneficiaries (sasaran penerima manfaat). Kegiatan atau
program yang bersifat lintas sektoral lebih baik dilaksanakan oleh
kepala daerah (Gubernur/Bupati/Walikota) dan tidak lagi dilaksanakan
di bawah satker dinas tertentu. Langkah tersebut merupakan
perubahan besar yang sangat mendasar dan harus diambil meskipun
akan menimbulkan penentangan dari berbagai dinas karena merasa
“jatahnya diambil”. Meskipun akan ditentang, pelaksanaan program
terpusat dibawah kepala daerah harus dilaksanakan dengan
pertimbangan bahwa program yang bersifat lintas sektoral
memerlukan koordinasi dan kerjasama yang akan sulit dibangun jika
dilaksanakan oleh masing-masing dinas teknis atau sebuah badan.

Penghapusan badan penyuluhan yang bersifat parsial dan cenderung


menumbuhkan ego-sektoral perlu dilakukan agar terjadi revitaslisasi
sistem secara keseluruhan. Revitalisasi penyuluhan sangat diperlukan
untuk meningkatkan produktitivas dan keberdayaan petani, peternak,
pembudidaya ikan dan nelayan. Saat ini penyuluhan sudah ditangani
oleh Badan Penyuluhan, namun dalam pelaksanannya kegiatan
penyuluhan masih berdasarkan sub-sektor dan cenderung mengacu
pada kepentingan sub-sektor tersebut dan bukan untuk tujuan
meningkatkan kesejahteraan dan keberdayaan pelaku usaha pada
skala kecil. Penyuluhan sebagai satu sub-sistem dan sistem agribisnis
seharusnya menjadi lembaga yang dimiliki oleh petani dan bukan oleh
Dinas atau Departemen sehingga seluruh aktivitas penyuluhan
diarahkan untuk memenuhi kepentingan dan melayani petani dalam
arti yang sesungguhnya.

Pemberdayaan, penguatan kelembagaan dan koordinasi antar lembaga


perlu mendapat perhatian khusus dalam pengembangan agribisnis
terpadu di Provinsi Gorontalo. Keterlibatan berbagai pihak perlu
diidentifikasi dan direvitalisasi untuk mengetahui tanggung jawab
masing-masing dan penyempurnaan yang harus dilakukan.
Kelembagaan yang ada perlu direvitalisasi untuk menunjang
pengembangan sistem produksi dan pemasaran, meliputi lembaga
penyuluhan, kelompok petani terpadu dan lembaga keuangan.
Revitalisasi lembaga penyuluhan sangat diperlukan untuk meningkatkan
kesempatan kepada petani peternak nelayan dan pembudidaya ikan
untuk memperoleh layanan penyuluhan sesuai dengan kebutuhannya
dan taraf pengetahuannya. Para penyuluh harus memiliki pengetahuan
teknis dan metode komunikasi yang memadai dilengkapi dengan sarana
transportasi yang mencukupi untuk menjangkau seluruh audiensnya.

Revitalisasi kelompok produsen dan revitalisasi penyuluhan dilakukan


untuk mendorong produsen membentuk kelompok dan meningkatkan
kualitas kelompok melalui pemberdayaan anggota kelompok. Langkah
ini dilakukan guna memperkuat bargaining position petani/peternak/
pembudidaya ikan/ nelayan. Revitalisasi ini harus mampu
merencanakan dan mengatur produksi, penguatan modal kelompok
dan peningkatan penguasaan teknologi budidaya secara cepat dan
tepat sasaran.

Pengembangan lembaga keuangan dilakukan guna mempermudah


petani, peternak, pembudidaya dan nelayan mengakses modal dari
perbankan dalam rangka pengembangan usaha. Seperti halnya bagi
petani, peternak dan nelayan, pembudidaya ikan memerlukan akses
permodalan yang merupakan hal yang sangat penting dalam
melestarikan proses produksinya. Disisi lain, hal yang juga tidak kalah
pentingnya lagi adalah adanya lembaga pendampingan dalam
pengelolaan produksi dan pemasaran serta pengelolaan keuangannya.
Kegiatan pendampingan merupakan suatu kegiatan penyediaan
informasi, komunikasi dan penyuluhan perikanan oleh tenaga
profesional bagi pembudidaya ikan dan keluarganya. Tujuannya
adalah untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, produksi
dalam rangka peningkatan pendapatan, perbaikan usaha, manajemen
keuangan keluarga, pemupukan modal dan secara umum
kesejahteraan.

Pelaksana diseminasi dan pendampingan teknologi perikanan


budidaya menjadi tugas dan kewajiban Pemerintah melaui unit
pelaksana teknis yang sekarang sudah ada. Disamping itu, Dunia
Usaha, dan Perguruan Tinggi juga harus berpartisipasi aktif di tingkat
produsen, pembentukan koperasi dan kelompok produsenyang
terbukti banyak membantu proses diseminasi. Sistem informasi
agribisnis terpadu, juga akan sangat membantu percepatan diseminasi
maupun penyampaian umpan balik. Disamping itu perlu disusun
kurikulum dengan muatan sistem agribisnis sebagai muatan lokal
secara proporsional di lembaga-lembaga pendidikan formal, DIKLAT
dan lembaga penyuluhan perikanan, peternakan, perkebunan dan
pertanian. Lembaga-lembaga yang mempunyai tugas dan fungsi
diseminasi perlu lebih diberdayakan, karena selain menjadi pemegang
peranan penting dalam percepatan transfer teknologi dan informasi,
juga dapat mengidentifikasi kebutuhan serta merakit paket teknologi
spesifik lokal berdasarkan sumberdaya yang tersedia untuk
mendukung pembangunan wilayah.

3.1.1.5.Pengembangan Sumberdaya Manusia

Sumberdaya manusia merupakan unsur utama yang mewadahi dan


menggerakkan pembangunan sehingga menjadi sangat penting untuk
diperhatikan dalam kegiatan diseminasi budidaya laut, di samping
sumberdaya lain. Posisi sumberdaya manusia berada pada dua sisi;
(1) sumberdaya manusia sebagai penghasil teknologi
(peneliti/perekayasa); (2) sumberdaya manusia sebagai pengguna
teknologi (pembudidaya ikan, pengusaha); dan (3) sumberdaya
manusia sebagai pelaku proses diseminasi teknologi. Peningkatan
kemampuan sumberdaya manusia, baik kuantitas maupun kualitasnya,
dilakukan terhadap sumberdaya manusia penghasil teknologi maupun
sumberdaya manusia pengguna teknologi.

Posisi sumberdaya manusia yang diharapkan sebagai penghasil dan


pengembang teknologi dapat ditafsirkan sebagai individu atau institusi
yang melakukan kegiatan penelitian, percobaan, serta pengembangan
teknologi agar bermanfaat secara nyata bagi kebutuhan manusia atau
teknologi itu sendiri. Pengembagan teknologi produksi dapat
dilakukan oleh pemerintah melalui Lembaga Riset dan Pengembangan,
Balai/Loka Perikanan, Balai Benih, Sekolah-sekolah Pertanian dan
Perikanan, Perguruan Tinggi, dan Dunia Usaha. Teknologi budidaya
dan penangkapan merupakan bidang yang memberikan harapan besar
bagi pembangunan sektor pertanian, meskipun masih banyak
tantangan yang harus dihadapi. Beberapa hal yang perlu mendapat
perhatian, terkait dengan sumberdaya manusia penghasil dan
pengembang teknologi, antara lain adalah; (1) Penciptaan teknologi
terapan budidaya dan penangkapan; (2) Pemahaman secara
mendalam kebutuhan masyarakat dan pasar bisnis akan komoditas
yang dipilih untuk dikaji, dikembangkan dan didiseminasikan; dan (3)
Terwujudnya komunikasi yang akrab, terbuka dan dinamis dengan
segenap unsur pelaku kegiatan sektror pertanian.

Keberhasilan proses diseminasi teknologi dipengaruhi oleh hal-hal,


sebagai berikut: (1) Tidak terdapat kesenjangan lokasi yang luas
antara penghasil teknologi dan penggunanya; (2) Tidak terdapat
kesenjangan kognitif yang tinggi antara penghasil teknologi dengan
penggunanya; dan (3) Terdapat sistem komunikasi yang baik untuk
menghubungkan antara penghasil dan pengguna teknologi.

3.1.1.6.Pendekatan Pengembangan Agribisnis Berbasis


Masyarakat Secara Partisipatif Melalui Kerjasama dan
Kemitraan

Pengembangan agribisnis berbasis masyarakat (PABM) dapat diartikan


sebagai suatu proses pemberian wewenang, tanggung jawab, dan
kesempatan kepada masyarakat untuk mengembangkan kegiatan
sistem produksi dengan terlebih dahulu mendefinisikan kebutuhan,
keinginan, tujuan, serta aspirasinya. PABM menyangkut pula
pemberian tanggung jawab kepada masyarakat dalam mengambil
keputusan, yang pada akhirnya menentukan dan berpengaruh pada
kesejahteraan masyarakat sendiri. Maksud dikembangkannya PABM
adalah untuk merangsang pengembangan usaha kecil dan menengah,
sekaligus sebagai upaya diseminasi. Salah satu sistem PABM yang
dapat dikembangkan adalah sistem kemitraan yang saling
menguntungkan dalam budidaya tanaman pangan, perkebunan,
peternakan, budidaya laut dan perikanan tangkap dengan
menyerahkan sebagian kegiatan usaha kepada pengusaha kecil dan
menengah.

Upaya pengembangan agribisnis sangat relevan dikembangkan


dengan pola kemitraan terpadu, atau dengan kata lain pola produksi
berbasis masyarakat. Pola kemitraan terpadu adalah suatu pola usaha
berupa kerjasama kemitraan yang melibatkan usaha besar sebagai
penggerak utama, usaha kecil sebagai satelit dan mitra produksi, dan
bank sebagai Pemberi Kredit. Pola ini dimaksudkan untuk
meningkatkan kelayakan taraf hidup masyarakat, meningkatkan
keterkaitan dan kerjasama yang saling menguntungkan, serta
membantu bank dalam meningkatkan kredit usaha kecil secara lebih
aman dan efisien. Dari pola kemitraan ini diharapkan dapat terbentuk
sinergi untuk meningkatkan pendapatan masyarakat secara luas
sehingga mampu mengerakkan roda perekonomian. Implikasi
bergeraknya roda perekonomian dipastikan akan berpengaruh
terhadap daya beli yang pada akhirnya meningkatkan indeks
pembangunan manusia.

Pelaksanaan pola kemitraan terpadu memerlukan beberapa


persyaratan yang harus sudah ada dan disiapkan, antara lain yaitu; (1)
Sumberdaya manusia sebagai pelaku usaha pertanian tanaman
pangan, peternakan, perkebunan, budidaya ikan dan nelayan yang
usahanya sudah berjalan, dan akan ditingkatkan produktivitasnya.
Pelaku usaha tersebut perlu menghimpun diri dalam suatu kelompok
sebagai kelompok produsen. Selanjutnya berdasarkan persetujuan
bersama, kelompok produsen bersedia dan berkeinginan untuk bekerja
sama dengan perusahaan di bidang usaha sejenis, dan bersedia
mengajukan permohonan kredit untuk keperluan peningkatan usaha;
(2) Adanya perusahaan yang bersedia menjadi mitra produsen, dan
bersedia membantu memberikan pembinaan teknik
budidaya/produksi, serta proses pemasarannya; (3) Adanya
kesepakatan untuk bermitra antara kelompok produsen dengan
perusahaan; (4) Adanya rekomendasi tentang pengembangan pola
kemitraan terpadu dari pihak instansi pemerintah setempat yang
berkompeten, dalam hal ini adalah Pemkab setempat dan Dinas Teknis
Terkait; dan (5) Adanya area yang jelas, yang akan digunakan untuk
usaha dalam pola kemitraan terpadu ini.

Mekanisme pelaksanaan pola kemitraan terpadu, dapat dibentuk


dengan cara sebagai berikut: (1) Bank Pelaksana akan menilai
kelayakan usaha sesuai dengan prinsip-prinsip teknis perbankan. Jika
proyek layak untuk dikembangkan, maka akan dibuat suatu nota
kesepakatan (Memorandum of Understanding/MoU) yang mengikat hak
dan kewajiban masing-masing pihak yang bermitra (Perusahaan,
Kelompok Produsen, dan Bank); (2) Sesuai dengan nota kesepakatan,
atas kuasa Kelompok Produsen, kredit perbankan diserahkan kepada
rekening Kelompok produsen dan ke rekening perusahaan mitra
produsen. Penyaluran kredit kepada Kelompok produsen dalam bentuk
sarana produksi, dana pekerjaan fisik, dan lain-lain. Dengan demikian
Kelompok produsen Ikan tidak akan menerima seluruh uang tunai dari
Perbankan, tetapi yang diterima adalah sarana produksi yang
penyalurannya dilakukan secara langsung dan secara etrbuka; dan (3)
Produsen melaksanakan proses produksi dan hasilnya dijual ke
Perusahaan mitra produsen dengan harga yang telah disepakati dalam
MoU. Perusahaan dan kelompok produsen akan menyerhakan
sebagian hasil penjualan produksi untuk diserahkan kepada Bank
sebagai angsuran pinjaman.

3.1.1.7.Pendekatan Pengembangan Produksi Berbasis Wilayah


dan Komoditas Unggulan

Keragaman kondisi bio-fisik wilayah Provinsi Gorontalo yang tidak


terlalu berbeda secara signifikan, berimplikasi pada kesesuaian untuk
budidaya pertanian, peternakan, budidaya laut dan penangkapan.
Komoditas pertanian, peternakan dan biota laut, yang cukup mudah
diseragamkan antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Oleh
karena itu, pembangunan produksidi Provinsi Gorontalo
memungkinkan dilakukan seragam dan akan lebih tepat apabila
didasarkan pada pendekatan wilayah, sesuai dengan komoditas
unggulan yang dapat dikembangkan di wilayah yang bersangkutan.
Komoditas pertanian tanaman pangan, perkebunan, peternakan dan
perikanan yang dihasilkan oleh Provinsi Gorontalo, tidak hanya
dimaksudkan untuk pasar internasioanl guna memperoleh devisa,
tetapi juga dalam rangka memenuhi kebutuhan permintaan pasar
dalam negeri. Oleh karena itu, yang dimaksudkan dengan komoditas
unggulan adalah komoditas yang permintaan pasarnya tinggi (baik
domestik maupun ekspor), berkelanjutan dan atau harga jualnya
tinggi. Komoditas unggulan yang memiliki nilai jual tinggi yang
dihasilkan oleh budidaya laut, antara lain mencakup beberapa jenis
kerapu, baronang, kakap, kerang mutiara, rumput laut (Eucheuma sp),
dan beberapa jenis kerang-kerangan sedangkan komoditas perikanan
tangkap meliputi jenis tuna, beberapa jenis kerapu dan baronang.
Komoditas pertanian tanaman pangan yang saat ini telah menjadi
leading commodity adalag jagung sedangakan komoditas tembakau
merupakan komoditas potensial untuk menjadi unggulan, terutama di
Kabupaten Gorontalo.

Sesuai dengan tuntutan otonomi daerah dan desentralisasi, maka


setiap kabupaten/kota perlu melakukan pemetaan wilayah komoditas
unggulan yang dimilikinya. Atas dasar peta tersebut, dapat disusun
rencana pembangunan wilayah dengan salah satu sektor produktif
unggulan (leading sector), yang meliputi 3 (tiga) langkah sebagai
berikut: (1) Setiap Pemkab melakukan inventarisasi dan pemetaan
mengenai karakteristik bio-fisik, potensi budidaya dan penangkapan,
aspek kelembagaan, serta karakteristik dan dinamika sosio kultural
masyarakat; (2) Atas dasar informasi dari langkah pertama,
selanjutnya disusun peta tata ruang berkelanjutan, yang terdiri atas
kawasan preservasi, kawasan konservasi, kawasan rehabilitasi dan
kawasan pengembangan budidaya dna penangkapan ikan; dan (3)
Menyusun rencana investasi dan pembangunan sistem agribisnis, atas
dasar peta tata ruang yang dihasilkan pada langkah kedua.

3.1.1.8.Penerapan Teknologi Budidaya dan Penangkapan Ikan


Sesuai Daya Dukung Lingkungan dan Masyarakat

Pengembangan sistem agribisnis perlu memprediksi dampaknya


terhadap lingkungan dan masyarakat melalui proses mitigasi.
Diperlukan mitigasi dan antisipasi yang lebih besar bagi sistem
budidaya laut, perikanan tangkap dan pertanian tanaman pangan yang
berada pada wilayah perbukitan karena kemungkinan menimbulkan
degradasi kondisi dan daya dukung lingkungan di kawasan produksi.
Oleh karena itu, langkah antisipatif harus dipersiapkan di setiap
Kecamatan di masa mendatang, yang disebabkan kegiatan eksploitasi
sumberdaya alam yang tidak peduli lingkungan, seperti penggundulan
hutan, pencemaran sungai, pembabatan hutan mangrove, dan lain-
lain. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kerusakan
lingkungan terutama disebabkan oleh tidak adanya kepedulian dari
masyarakat dan pemerintah setempat terhadap fungsi penting dari
lingkungan. Proses pengrusakkan berjalan terus tanpa adanya
pengawasan dari pemerintah, Lembaga internasional dan LSM yang
serius menangani permasalahan kerusakan lingkungan.

Upaya pencegahan kerusakan lingkungan yang perlu dilakukan, antara


lain melalui: (1) Pertemuan antara jajaran pemerintah daerah setempat
dengan pemerintah pusat untuk menyamakan visi dan misi mengenai
penyelamatan lingkungan serta menyusun program rehabilitasi
lingkungan dengan sepenuhnya melibatkan masyarakat, perguruan
tinggi, lembaga internasional dan LSM; (2) Mensosialisasikan dampak
kerusakan lingkungan secara terus menerus kepada masyarakat umum
diiringi dengan langkah nyata melalui upaya rehabilitasi dan peremajaan
kembali; (3) Mengikutsertakan peran masyarakat dalam gerakan
pencegahan kerusakan lingkungan, upaya pengendalian dan
pendayagunaan sistem komunikasi dan informasi sebagai langkah nyata
untuk menangani permasalahan kerusakan lingkungan secara dini; dan
(4) Penetapan kawasan produksi dan tingkat teknologinya, harus
mempertimbangkan kondisi daya dukung lingkungan dan daya dukung
sumberdaya alam yang berhubungan.

Penerapan teknologi produksi pada wilayah-wilayah pengembangan


yang telah ditetapkan harus disesuaikan dengan daya dukung
lingkungan setempat dan kesiapan masyarakatnya di dalam mengadopsi
dan menerapkan teknologi termaksud. Untuk itu sangat dibutuhkan
peran dari para penyuluh (PPL) dan pendamping di lapangan untuk
mensosialisasikan teknologi yang akan diterapkan.
3.1.1.9.Penguatan dan Pengembangan Teknologi

Secara umum, pengembagan agribisnis (dalam sistem budidaya) masih


dihadapkan terutama pada kemampuan pasokan sarana produksi secara
berkesinambungan, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Disamping
masalah pasokan benih dan bibit, masalah hama dan penyakit adalah
masalah terbesar yang dihadapi oleh masyarakat. Sejalan dengan
akselerasi pembangunan aribisnis, dimana pengembangan teknologi
adaptif juga menjadi kunci keberhasilannya, maka dukungan riset untuk
menghasilkan inovasi ilmu dan teknologi produksi dan pemeliharaan
yang bersifat adaptif sangat diperlukan, utamanya adalah: (1) Selective
Breeding (misalnya untuk komoditas kerapu, rumput laut, dan jenis
lainnya), sehingga diperoleh benih yang SPF; (2) Pengembangan pupuk
dan atau pakan murah, efisien, dan ramah lingkungan; (3) Biosecurity,
kontrol limbah, dan pengendalian penyakit; dan (4) Pengembangan GIS
dan tata ruang kawasan produksi.

3.1.1.10.Penguatan dan Pengembangan Unsur Dasar Agibisnis


Terpadu

Secara bio-teknis, keberhasilan usaha budidaya ditentukan oleh


penguasaan dan penerapan unsur-unsur dasar usaha budidaya secara
tepat dan benar. Beberapa unsur dasar usaha budidaya, diantaranya
yaitu:
(1) Perbenihan dan atau pengadan bibit/benih.
(2) Pupuk, Pakan, nutrisi atau zat pengatur tumbuh.
(3) Pengendalian mutu lingkungan, hama dan penyakit.
(4) Manajemen kualitas lahan dan perairan untuk budidaya.
(5) Engineering dan sarana produksi.

3.1.1.11.Pembangunan Prasarana

Potensi manfaat ekonomi yang dihasilkan oleh Sistem Agribisnis di


Provinsi Gorontalo sesungguhnya sangat besar, tetapi sampai dengan
tahun 2006 realisasinya masih sangat kecil dan belum banyak
berperan dalam menggerakkan perekonomian Provinsi. Hal tersebut
ditunjukkan dengan porsi kontribusi seluruh sektor pertanian yang
hanya 30 % sedangkan porsi jumlah tenaga kerja yang terlibat sudah
mencapai 50 %. Pengembangan sistem agribisnis terpadu diharapkan
akan mampu memacu pertumbuhan dan pemerataan sehingga
mampu memberikan kontribusi sebesar proporsi jumlah tenaga kerja
yang terlibat.
Kondisi lemahnya sektor pertanian antara lain disebabkan terbatasnya
prasarana, seperti akses jalan, penerangan, gudang, pelabuhan,
tempat pengeringan, pabrik es, dan lain-lain. Model pengembangan
budidaya yang dilaksanakan saat ini maih terkesan sebagai proyek
yang dipaksanakan kepada pelaku usaha tanpa memliki manajemen
program yang diarahkan pada kelestarian proses bisnis dalam jangka
panjang.

Prasarana perikanan budidaya laut yang meliputi prasarana untuk


menunjang kegiatan peningkatan produksi dan prasarana yang
menunjang pasca panen mempunyai peranan dan fungsi sangat
penting dalam usaha meningkatkan produksi perikanan budidaya laut
sampai sejauh ini belum pernah dibangun di Provinsi Gorontalo.
Padahal jika ditinjau dari salahsatu program unggulan Provinsi
Gorontalo melalui etalase perikanan Indonesia Timur sungguh-sungguh
telah menetapkan Budidaya Perikanan sebagai salahsatu program
unggulan. Keberadaan prasarana akan sangat mendukung dalam
pengembangan usaha perikanan budidaya laut.

Jalan akses untuk lahan usahatani masih belum sepenuhnya terpenuhi


dan hanya sebagian kecil wilayah yang sudah memenuhi kriteria
sistem agribisnis yang efektif. Namun demikian keberadaan prasarana
jalan yang sudah sedemikian baik pada daerah pertanian yang
produktif seringkali menjadi daerah yang diarahkan untuk tujuan
pertanian. Sebagai contoh, Kecamatan Tapa di Kabupaten Bone-
Bolango merupakan daerah pertanian terbaik dengan prasarana
terbaik, produktivitas terbaik namun karena kebijakan pemerintah
Kabupaten menjadikan pertanian tanaman pangan di Kecamatan Tapa
semakin terdesak untuk kepentingan lain.

3.1.1.12.Penerapan Sistem Agribisnis Terpadu

Pembangunan pertanian hendaknya dilakukan berdasarkan


pendekatan sistem agribisnis secara terpadu (integrated system),
sehingga arah dan kebijakan pembangunan pertanian merefleksikan
kegiatan dari seluruh fungsi sub-sistem agribisnis dan bukan fungsi
sistem komoditas. Permasalahan yang dihadapi saat ini adalah
ketidakterpaduan antar sub-sistem karena basis kebijakan ditetapkan
atas dasar komoditas dan sub-sektor. Pengembangan agribisnis
terpadu menuntut pengembangan seluruh subsistem, yang meliputi
sub-sistem perbenihan/bibit, sub-sistem sarana produksi, sub-sistem
produksi, sub-sistem pasca panen dan pemasaran yang ditunjang oleh
pembangunan sub-sistem hama, penyakit dan lingkungan produksi,
keseluruhan subsistem tersebut memerlukan sub-sistem prasarana
sebagai faktor penentu efektifitas dan efisiensi produksi. Disisi lain
keterpaduan sistem agribisnis harus diintegrasikan dengan sistem
penunjang. Keterpaduan sistem agribisnis sangat diperlukan untuk
meningkatkan efisiensi pemasaran, efisiensi produksi, efisiensi
diseminasi informasi dan efisiensi program pembangunan pemerintah.
Pencapaian efisiensi ditandai dengan meningkatnya indikator daya beli
pembudidaya sebagaimana meningkatnya daya beli petani, peternak
dan nelayan.

Penerapan pendekatan integrated system ini sebaiknya dilakukan


antar instansi (horizontal) yang terkait dengan keperluan
pengembangan kawasan, misalnya antar Dinas Pertanian Tanaman
Pangan, Perkebunan, Peternakan, Perikanan dengan instansi penentu
RUTR, dengan instansi pengembang prasarana wilayah, dan lain-lain,
bahkan jika memungkinkan dibuat suatu kawasan pengembangan
ekonomi yang terpadu berbasis sistem agribisnis, usaha perikanan
budidaya, usaha perikanan tangkap, usaha pertanian tanaman
pangan, usaha perkebunan dan usaha peternakan. Titik tumpu
keterpaduan dan efisiensi akan berada pada pembangunan sarana dan
prasarana pendukung, sehingga seluruh pelaku usaha di sektor
pertanian akan memanfaatkan keterpaduan sistem sarana dan
prasarana tersebut dan menimbulkan dampak positif dan manfaat
ekonomi secara bersama sehingga secara akumulatif akan
menghasilkan manfaat integrasi ekonomi.

Kondisi pasar sangat berpengaruh terhadap kuantitas kegiatan


produksi yang dilakukan oleh masyarakat. Permintaan pasar yang
tinggi terhadap suatu komoditas akan merangsang masyarakat untuk
mencari dan mengembangkan teknologi tepat guna yang efektif dan
efisien. Teknologi dan sistem berbeda-beda untuk setiap komoditas
dan sifat produksi. Dalam hal ini pemerintah harus bertanggungjawab
untuk menjadi fasilitator dan dinamisator pengembangan teknologi
yang dihubungkan dengan trend permintaan pasar dan kapasitas daya
dukung produksi yang dimiliki oleh produsen.

Selain keterpaduan prasarana, pemasaran dan pengembangan


teknologi, sangat penting untuk diingat bahwa sistem agribisnis sangat
bergantung pada kekuatan penyuluhan yang pada masa sekarang ini
sudah semakin dilupakan. Keterpaduan dalam implementasi
penyuluhan sangat diperlukan karena pada dasarnya budaya sistem
produksi di Provinsi Gorontalo seperti halnya di tempat lain di
Indonesia adalah sistem produksi skala kecil. Dengan demikian pelaku
usaha satu komoditas biasanya merupakan produsen untuk komoditas
lain yang berbeda sub-sektor dan bahkan berbeda sektor. Budaya
sistem produksi tersebut tidak dapat diubah sedemikian cepat dan
tidak ada manfaatnya untuk merubahnya sehingga diperlukan
penyatuan seluruh kegiatan penyuluhan. Atas dasar tersebut, dan
mengingat cakupan wilayah Provinsi Gorontalo yang tidak terlalu luas,
maka upaya pelaksanaan penyuluhan dilakukan berdasarkan wilayah
dan bukan berdasarkan komoditas. Artinya sub-sistem penyuluhan
harus dilakukan berdasarkan wilayah dan kelompok produsen yang
berada dalam wilayah tersebut. Keterpaduan sub-sistem penyuluhan
dijamin akan meningkatkan efesiensi biaya dan efektifitas diseminasi
informasi karena rantai koordinasi yang perlu dilakukan tidak
memerlukan birokrasi yang berbelit seperti sekarang. Keterpaduan
sub-sistem penyuluhan pada era otonomi daerah merupakan upaya
yang mudah dilakukan karena sangat berhubungan erat dengan
kepentingan wilayah. Keterkaitan sub-sistem penyuluhan dalam satu
kabupaten dengan kabupaten lainnya akan dikoordinasikan oleh
lembaga pnyuluhan tingkat provinsi. Kelemahan yang ada sekarang ini
adalah bahwa lembaga penyuluhan pada tingkat provinsi belum ada.

Keterpaduan Sarana dan Prasarana Pendukung. Sarana produksi


yang sangat dominan dalam budidaya laut antara lain benih dan pakan
(khusus untuk komoditas ikan). Dalam mengatasi kebutuhan benih
untuk budidaya laut pemerintah telah membangun panti pembenihan
yang tersebar di seluruh nusantara. Walaupun benih yang dihasilkan
belum dapat memenuhi seluruh kebutuhan masyarakat namun dapat
membantu mengisi kekurangan benih yang diperoleh dari alam.
Sarana pendukung produksi pertanian tanaman pangan adalah
penyedia benih dan bibit untuk perkebunan sedangkan untuk
peternakan adalah penyedia induk ternak. Sarana pendukung produksi
perikanan tangkap meliputi penyedia sarana tangkap, penyedia alat
tangkap dan sistem informasi sumberdaya perikanan tangkap.
Keterpaduan sub-sistem sarana pendukung produksi terletak pada
sistem informasi dan keterpaduan lembaga. Lembaga penyedia sarana
produksi seharusnya dapat menangani seluruh kebutuhan sarana
produksi bagi berbagai komoditas yang dikembangkan di
wilayahnya.Selain keterpaduan penyedia sarana produksi, diperlukan
keterpaduan dalam penelitian dan pengembangan sistem agribisnis.
Penelitian dan pengembangan agribisnis harus didukung oleh
keberadaan sistem diseminasi informasi yang tentunya harus
dilakukan oleh lembaga penyuluhan.
3.2. Land Reform di Gorontalo

Pilihan reformasi pertanian yang reliable, feasible, acceptable dan


viable untuk diterapkan di Gorontalo. Mengajukan land reform sebagai
salahsatu bentuk reformasi pertanian.

Munculnya beragam perangkap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah


pusat seringkali kontraproduktif terhadap harapan dan manfaat yang
besar di balik reformasi pertanian. Koheren dengan pemahaman
tersebut, apapun yang dilakukan pemerintah pusat untuk mengatasi
permasalahan sektor pertanian seringkali hanya bersifat pemadam
kebakaran, artinya kebijakan yang dibuat hanya bersifat untuk
mengatasi permasalahan sesaat tanpa dipikirkan kebijakan atau
tindakan yang bersifat permanen dalam jangka panjang akan
memperbaiki seluruh sistem agribisnis. Kebijakan yang dibuat
cenderung meminggirkan antusiasme petani dalam meningkatkan
produksi melalui inovasi bibit unggul dan teknologi anjuran sehingga
bila pelaksanaannya tidak tepat waktu, pasti menimbulkan demotivasi,
perlawanan, dan ketidakpercayaan terhadap lembaga-lembaga formal
kenegaraan.

Sudah saatnya pemerintah pusat mengkaji ulang kebijakan-kebijakan


yang berpotensi menyengsarakan masyarakat kelas bawah seperti
petani. Kebijakan yang bersifat netral saja tidaklah memadai pada
kondisi masyarakat yang sarat ketimpangan dan dualisme ekonomi.
Artinya, kita masih memerlukan kebijakan publik sepenuhnya berpihak
kepada rakyat banyak agar manfaat akhirnya dirasakan oleh seluruh
lapisan masyarakat. Selama proses transisi menuju liberalisasi
perdagangan secara menyeluruh, kebijakan semacam tersebut sangat
diperlukan dan kita tidak perlu menutup mata terhadap pentingnya
subsidi. Negara-negara industri maju yang dikenal penganut mazhab
liberal dan merkantilisme tidak membiarkan pasar bekerja secara
liberal jika ternyata kebebasan yang ditimbulkan menggoncang sendi-
sendi kehidupan ekonomi massa bawah. Mari kita lihat keengganan
Uni Eropa mereduksi dan mencabut subsidi, baik subsidi langsung
kepada para petaninya maupun subsidi ekspor terhadap negara-
negara bekas koloninya yang tergabung dalam Afro-Carribean Pacific,
dapat dijadikan pelajaran di sini bahwa selama arahnya untuk
penguatan basis ketahanan ekonomi masyarakat, subsidi atau
tindakan sejenis lain tidak perlu ditabukan. Reformasi pertanian
hanyalah satu dari sekian banyak agenda yang diusung pemerintah di
balik komitmen besarnya untuk mengangkat kehidupan petani dan
pamor pertanian sebagai salahsatu solusi atas permasalahan yang
dihadapi oleh bangsa Indonesia. Tentu saja dalam desain
implementasinya haruslah mengacu pada kondisi nyata yang
berkembang dan harapan-harapan yang timbul dalam masyarakat.

Reformasi lahan (land-reform) harus disegerakan karena tingkat


kesejahteraan petani yang terus menurun. Petunjuk itu bisa dilihat dari
nilai tukar petani (NTP)20 yang dalam satu dekade terakhir ini terus
menurun. Data BPS dari Januari 1994 hingga Mei 2006 yang memotret
perkembangan NTP tahun 1994–2006 dengan amat jelas menunjukkan
NTP yang kian menurun, khususnya sejak tahun 1999. NTP sempat
melonjak cukup tajam tahun 1997-1999 sebagai temporary shock
respons atas terjadinya krisis ekonomi. Namun, situasi itu tidak
bertahan lama sehingga sejak tahun 1999 NTP menuju lereng negatif
hingga kini (Berita Resmi Statistik, No 39/IX/1 Agustus 2006).
Kenyataan tersebut dengan sendirinya terus menguatkan sinyalemen
bahwa pemerintah tidak benar-benar serius memikirkan pembangunan
sektor pertanian. Berbeda dengan masa Orde Baru dimana sektor
pertanian mendapat perhatian serius dan sudah mulai mengarah pada
modernisasi pertanian. Namun demikian, upaya tersebut tidak
mencapai cita-cita keadilan distribusi pendapatan keluarga petani dan
terhenti di tengah jalan. Dalam 10 tahun terakhir ini, sejarah pertanian
diwarnai berbagai perubahan sosial yang tidak terencana (unplanned
social changed). Hasilnya ada pihak yang amat menikmati
menguatnya komoditas pertanian yang berorientasi ekspor, seperti
kelapa sawit tetapi disisi lain petani yang memproduksi komoditas
pangan dan hortikultura tidak memperoleh manfaat dari peningkatan
nilai tukar US $ terhadap rupiah karena keran ekspor sepertinya mati
suri.

Rusaknya prasarana pertanian serta hancurnya kelembagaan


pertanian, melemahnya peran koperasi unit desa (KUD), melemahnya
fungsi petugas penyuluh lapangan (PPL) pertanian, hingga semakin
pudarnya karisma kelompok-kelompok tani yang awalnya sangat
berperan, aturan main di sektor pertanian mengalami perubahan
dengan semakin menguatnya pemodal kuat dalam proses produksi.
Kondisi demikian mengindikasikan bahwa petani miskin yang tidak
memiliki sumberdaya menjadi semakin tersisih dan berakhir pada
malapetaka dalam bentuk kerusakan lingkungan sosial ekonomi yang
ditunjukkan dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk miskin
dan pengangguran. Tanpa membenahi aturan main antar pelaku
ekonomi, yang selalu terbentuk hanyalah pola ekonomi eksploitatif,
yang pada gilirannya hanya akan melemahkan ekonomi pertanian
secara luas pada saat berkompetisi dengan produk luar. Intervensi IMF
dan Bank Dunia yang mensyaratkan self-cost-recovery terhadap
20 NTP adalah instrumen yang mengukur rasio antara indeks harga yang diterima
petani dan indeks harga yang dibayar petani
proyek pembangunan prasarana pertanian merupakan hantaman bagi
wajah negara Republik Indonesia. Karena syarat tersebut, sudah pasti
sektor pertanian akan sulit berkembang karena pembiayaan
pembangunan prasarana harus bersifat cost-recovery yang diperoleh
dari long-term economic benefit bukan dari commercial financial
benefit.

Sulitnya mengembangkan prasarana pendukung sistem agribisnis di


Provinsi Gorontalo terjadi karena paradigma pembangunan prasarana
pendukung sistem agribisnis disalahartikan oleh pemerintah pusat
karena mengacu pada platform IMF meskipun Indonesia sudah tidak
berhubungan secara formal dengan IMF. Tambahan pembangunan
prasarana dan sarana irigasi merupakan keharusan untuk
meningkatkan produktivitas sistem agribisnis dan efisiensi
penggunaan sumberdaya lahan melalui manajemen penggunaan
sumberdaya lahan dikombinasikan dengan teknologi yang lebih maju.
Sudah saatnya pemerintah Provinsi Gorontalo beserta seluruh
kabupatennya untuk mempelopori reformasi pertanian termasuk
reformasi paradigma pembangunan prasarana dan sarana karena
manfaat ekonomi yang dihasilkan akan lebih besar dan akan dirasakan
bukan hanya oleh sektor pertanian.

Reformasi lahan (land reform) bagi petani merupakan bagian esensial


perubahan sosial di sektor hulu dan hilir dalam sistem agribisnis, yang
hanya akan bermakna jika kebijakan dan tindakan di sektor hulu dan
hilir direformasi sepenuhnya. Reformasi di sektor hilir tidak lain adalah
reformasi pertanian (agrarian reform). Berbagai kajian yang telah
dilakukan selama ini secara telanjang menunjukkan kekalahan petani
merupakan suatu proses struktural yang amat sistematis sehingga
tidak mungkin perubahan tersebut dibebankan kepada komunitas
petani itu sendiri. Reformasi sektor hulu dapat diartikan kebijakan atau
tindakan pemerintah terhadap penguasaan sumberdaya lahan, modal
finansial dan penguasaan input faktor (sarana produksi). Permasalahan
pemiskinan petani secara sistematis antara lain disebabkan oleh
ketidakberdayaan petani menghadapi pelaku ekonomi di sektor hulu
dan hilir yang berkuasa absolut untuk menentukan harga dan waktu
pembelian/penjualan faktor produksi dan komoditas-komoditas
pertanian. Faktor tersebut di atas yang kemudian melonjakkan biaya
transaksi (transaction costs) yang harus ditanggung petani.
Ketidakberdayaan petani atas penguasaan sumberdaya pada akhirnya
akan berujung pada pemiskinan absolut dari sisi pendapatan.
Kemiskinan absolut dari sisi pendapatan akan berpengaruh secara
signifikan pada kemampuan petani yang artinya daya beli petani
semakin rendah sehingga tidak mampu untuk membayar biaya
kesehatan dan biaya pendidikan bagi anak-anaknya.
Masalah pemiskinan petani tentu tidak akan tampak jika didekati dari
perspektif teori klasik/neoklasik karena yang menjadi acuan hanya
biaya produksi. Kebutuhan terhadap pentingnya reformasi pertanian
baru akan timbul dan menguat apabila dikaji lebih lanjut dengan
analisis (ekonomi) kelembagaan, kapasitas pembentukan modal oleh
petani secara mandiri dan analisis SWOT atas pelaku usaha pertanian
secara umum. Kenyataan yang terjadi dilapangan adalah kelembagaan
yang tidak dapat disembunyikan adalah jaringan distribusi dan
pemasaran produk pertanian sepenuhnya dikuasai pelaku di sektor
hilir sehingga peningkatan harga (seperti terjadi dalam komoditas
beras) tidak pernah dinikmati petani karena semuanya sudah ada di
tangan tengkulak/distributor. Demikian pula hanlnya dengan kapasitas
pembentukan modal secara individu petani tidak akan terjadi karena
proses pemiskinan yang disebabkan oleh konsentrasi pemilikan modal
finansial hanya berada pada pemilik modal besar sedangkan kapasitas
permodalan petani skala kecil tidak pernah terbangun. Akses modal
finansial belum pernah terbuka secara lebar dan bebas bagi petani
skala kecil dikarenakan kekuasaan tengkulak yang mennutup akses
tersebut. Disisi lain, pemerintah seolah-olah menutup mata terhadap
kenyataan ini. Esensi reformasi lain yang menjadi kebutuhan
mendesak dalam meningkatkan kesejahteraan petani adalah akses
informasi dan penguasaan teknologi oleh petani. Rendahnya
penguasaan informasi dan teknologi budidaya, penanganan hasil,
pemasaran dan sistem agribisnis secara holistik menyebabkan
terbelenggunya petani pada kondisi kemiskinan yang seolah-olah tidak
terputuskan.

Penentuan pilihan apakah harus dilakukan land-reform atau agriculture


reform secara utuh sangat ditentukan oleh niat baik pemerintah
Provinsi Gorontalo, Pemerintah semua kabupaten, Kantor Dinas Teknis
yang berhubungan erat dengan hajat-hidup petani, parlemen lokal
(provinsi dan kabupaten), LSM, Perguruan Tinggi dan lembaga
internasional yang memihak pada kepentingan dan peduli pada nasib
petani. Tanpa adanya niat baik, agriculture reform tidak akan pernah
terwujud, terlebih lagi land-reform yang pasti mendapat tentangan
keras dari para tuan tanah yang sudah sangat kuat posisinya.
Pentingnya pelaksanaan agriculture reform dan land-reform harus
dilihat sebagai kepentingan bersama dan semua pihak berada pada
visi dan misi yang sama. Untuk menentukan pilihan langkah land-
reform atau agriculture reform harus dipersiapkan langkah awal
dengan melakukan kajian pilihan reformasi pertanian yang reliable,
feasible, acceptable dan viable untuk diterapkan di Gorontalo.
Mengajukan land-reform sebagai salahsatu bentuk reformasi pertanian
merupakan tahap kedua jika agriculture reform telah sepenuhnya
difahami oleh seluruh stakeholder.
Secara nasional, Indonesia belum memiliki pengalaman keberhasilan
pelaksanaan land-reform dalam bentuk redistribusi lahan dari tuan
tanah kepada petani kecil. Meskipun tuan tanah akan memperoleh
insentif jika bersedia membagi lahannya kepada petani miskin, tidak
dapat dijamin bahwa mereka bersedia menyerahkan lahannya.
Preposisi ini diajukan berdasarkan pengalaman nyata bahwa di
Indonesia berlaku hukum terbalik dengan redistribusi oleh pihak non-
pemerintah. Umumnya yang terjadi adalah penguasaan lahan petani
miskin oleh para pemilik modal sehingga terjadi penguasaan modal
secara kumulatif oleh beberapa gelintir orang. Kejadian yang sangat
parah akan terjadi pada saat seluruh lahan pertanian subur yang
tersedia dikuasai oleh beberapa orang etnis non-pribumi. Biasanya
penguasaan lahan akan berujung pada sertifikasi lahan tersebut
sebagai bahan kolateral untuk persyaratan peminjaman kepada bank
dengan tentunya sebelum diajukan pinjaman telah dilakukan mark-up
nilai jual objek pajak (NJOP) sehingga pinjaman yang diperoleh dari
bank akan sangat besar nilainya, jauh lebih besar dibandingkan
dengan harga jual yang sebenarnya. Langkah berikut yang biasanya
terjadi adalah bahwa setelah pinjaman dari bank dicairkan, maka
dalam beberapa bulan terjadi kredit macet. Setelah itu semua pihak
baru menyadari bahwa terjadi kekeliruan dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia.

Sebelum kondisi di Provinsi Grorontalo mengarah pada kerusakan


tatanan sosial ekonomi masyarakat, pemerintah provinsi dan
kabupaten harus cepat mengambil tindakan dalam bentuk kebijakan
reformasi pertanian dan reformasi lahan yang lebih memihak pada
kepentingan petani. Aspek yang harus secara cepat direformasi
pemerintah hampir mencakup seluruh tatanan sistem agribisnis.
Secara kelembagaan, empat agenda reformasi berikut dapat dilakukan
pemerintah:
1. Pertama, rekayasa status hubungan antarpelaku ekonomi yang
lebih menjanjikan kesetaraan dan lebih memihak pada petani
(misalnya, petani dengan tengkulak atau petani dengan
koperasi).
2. Kedua, memperluas basis kegiatan produksi dan distribusi
melalui penguatan organisasi ekonomi petani sehingga
mengurangi kekuasaan pelaku di sektor hilir untuk mengontrol
seluruh sirkulasi kegiatan ekonomi, termasuk penentuan harga.
Dengan jalan inilah, reformasi tanah akan lebih bermakna
terhadap perbaikan tingkat kesejahteraan petani.
3. Ketiga, memperluas akses informasi kepada seluruh petani
dengan memanfaatkan seluruh saluran dan media informasi
yang tersedia untuk membuka kesempatan seluas-luasnya
kepada petani dalam menguasai informasi.
4. Keempat; memperkuat kapasitas permodalan financial dalam
rangka mengurangi atau bahkan menghapuskan ketergantungan
pada pemodal/tengkulak,

Land-reform yang diperlukan di Provinsi Gorontalo adalah dalam


bentuk optimalisasi pemanfaatan sumberdaya lahan, terutama lahan
sawah dan lahan kering untuk tanaman pangan. Kepemilikan dan
pengusahaan lahan saat ini masih relatif kecil untuk petani pemilik.
Pemilikan yang sempit mengakibatkan tingkat penerimaan petani dari
lahan yang diusahakannya sangat kecil dan seringkali tidak mencukupi
untuk pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari, terlebih lagi jika untuk
memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan dan pendidikan. Akibatnya
adalah sebagian besar petani tidak memiliki kemampuan untuk
memperoleh pendapatan yang memadai sehingga kondisi mereka
tetap berada dalam kemiskinan. Pentingnya pemilikan asset lahan
sebagai kekuatan mendasar bagi petani pemilik merupakan keharusan
yang cukup mendesak terutama di wilayah kecamatan yang menjadi
sentra produksi seperti Patilanggio (Kabupaten Pohuwato), Paguyaman
dan Wonosari (Kabupaten Boalemo).

Reformasi pertanian dalam bentuk land-reform nampaknya perlu


menjadi program strategis demi meningkatkan kapasitas petani dalam
meningkatkan produksi dan akhirnya bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan melalui peningkatan pendapatan. Meskipun
pengusahaan dan pemilikan lahan kering untuk komoditas perkebunan
masih relatif luas, sebagian pemilik lahan tidak berdaya karena
penguasaan komoditas tanaman keras yang berada pada areal yang
dimilikinya merupakan milik orang lain. Kejadian tersebut banyak
terjadi di Kecamatan Patilanggio, Marisa, Taluditi, dan Paguat di
Kabupaten Pohuwato; Paguyaman Pantai, Dulupi, Paguyaman,
Mootilanggo, dan Botumoito, di Kabupaten Boalemo; dan hampir di
seluruh Kecamatan di Kabupaten Gorontalo dan Gorontalo Utara.
Pemilikan dan penguasaan tanaman kelapa yang berbeda dengan
kepemilikan lahan disebabkan oleh desakan kebutuhan finansial yang
tidak mampu dipenuhi oleh petani pemilik lahan. Hampir sebagian
besar masyarakat petani kelapa di Kecamatan Marissa, Patilanggio,
dan Dulupi telah menjual tanaman kelapa kepada etnis China sehingga
mereka hanya menjadi buruh di lahannya sendiri. Di sisi lain selain
pohon kelapa, kelompok etnis China tersebut juga sudah membeli dan
menguasai hampir 90 % areal perkebunan kelapa di Patilanggio dan
Kecamatan lain di Kabupaten Pohuwato. Kejadian penjualan pohon
kelapa pada awalnya hanya dilakukan oleh satu dua orang karena
himpitan kebutuhan ekonomi keluarga tetapi semakin meluas sejak
tahun 1990an.
Akibat kepemilikan tanaman yang berbeda dengan kepemilikan lahan
adalah petani pemilik menjadi tidak berdaya karena tidak dapat
menjadi pengelola dan penerima manfaat dari lahan yang dimilikinya.
Akibatnya adalah berpengaruh besar pada tingkat pendapatan
mereka. Petani pemilik yang telah menjual tanaman kelapa kepada
pihak lain yang tidak memiliki lahan pertanian tanaman pangan hanya
memperoleh pendapatan dari upah buruh yang mereka terima dari
pemilik tanaman.

Data dan informasi kuantitatif yang dapat dipercaya mengenai praktek


penjualan tanaman kepada pihak lain oleh pemilik lahan tidak tersedia
dan cenderung ditutup-tutupi. Disisi lain literatur mengenai praktek
tersebut belum tersedia. Kondisi tersebut mungkin karena
kekhawatiran akan terjadi konflik yang diakibatkan oleh terganggunya
kepentingan pihak pemilik modal.

Program redesign bagi pemilikan dan pengelolaan lahan tersebut


memerlukan langkah terpadu yang diharapkan melibatkan berbagai
stakeholder yang mencakup; Dinas Teknis Terkait; BPN, Pemilik Lahan;
dan Pemilik Tanaman. Langkah yang harus ditempuh oleh Pemerintah
Provinsi beserta jajarannya untuk mengatasi kemelut tersebut adalah
dengan tahapan sebagai berikut:
1. Inventarisasi pola kepemilikan dan luas penguasaan lahan
menurut pemilik lahan dan kajian untuk mengatasi manfaat,
dampak dan permasalahan yang timbul;
2. Penguatan modal bagi pemilik lahan agar mampu membeli
kembali asset yang telah dijualnya.
3. Program pemanfaatan lahan bagi petani dengan tujuan untuk
menghilangkan ketergantungan petani kepada pemilik modal.
4. Pelaksanaan need assessment bagi kemungkinan melaksanakan
land-reform.
5. Pelaksanaan program land-reform dalam arti yang
sesungguhnya, yaitu redistribusi lahan bagi petani miskin
dengan kepemilikan lahan dibawah 0,5 ha dan atau petani yang
tidak memiliki lahan. Opsi pada program ini dapat dibuat dengan
tiga jenis pilihan sesuai dengan kebutuhan dan hasil yang
diperoleh dari kesepakatan antara berbagai stakeholder yang
dilaksanakan melalui serangkaian diskusi kelompok terfokus
menurut masing-masing desa.

3.1. Melihat Kedepan: Perspektif Strategi Reformasi Pertanian

Mewujudkan pembangunan pertanian dan menjadikan sektor pertanian


sebagai sektor andalan (leading sector) memerlukan tiga syarat atau
tolok ukur mutlak yang harus terpenuhi. Pertama, sektor pertanian
harus memberikan dampak ekonomi yang signifikan secara makro
(seperti peningkatan perolehan devisa dan peningkatan kontribusi
terhadap Produk Domestik Bruto). Kedua, sektor pertanian dapat
memberikan keuntungan secara signifikan terhadap semua pelaku
usaha di dalamnya dan mampu meningkatkan kesejahteraan para
pelaku pertanian yang pada saat ini masih sangat tertinggal
dibandingkan dengan sektor-sektor lain. Ini berarti juga sektor
pertanian dapat memberikan pemerataan (equity in equality)
kesejahteraan bagi semua pelaku usaha. Ketiga, pembangunan
pertanian yang dilaksanakan harus berkesinambungan, tidak hanya
secara ekonomi tetapi juga secara ekologis.

Agar pemanfaatan sumberdaya pertanian sesuai dengan yang


diharapkan, maka langkah pertama yang harus kita lakukan adalah
menyatukan kesamaan visi pembangunan pertanian, visi
pembangunan pertanian adalah "suatu pembangunan yang dapat
memanfaatkan sumberdaya alam beserta ekosistemnya secara
optimal bagi kesejahteraan dan kemajuan masyarakat Provinsi
Gorontalo, terutama petani, nelayan, peternak, dan petani ikan secara
berkelanjutan". Untuk menjawab tantangan tersebut, strategi
pembangunan pertanian Provinsi Gorontalo adalah dengan
menggalakkan pengembangan kegiatan ekonomi yang berbasis pada
potensi pertanian yang didukung oleh keinginan kuat dari pelaku
pembangunan pertanian untuk mencapai hasil yang lebih baik dari apa
yang selama ini diperoleh.

Betapapun terasa berat, namun mengingat tuntutan kebutuhan di


masa mendatang, pemerintah harus sudah memberikan perhatian
secara maksimal pada aspek pengembangan industri pertanian yang
berwawasan masa depan, menggerakkan industri hulu dan hilir
dengan menggunakan sumberdaya lokal, penguatan pengelolaan
sumberdaya berbasis masyarakat untuk mendukung industri secara
terpadu dan melakukan inovasi teknologi sesuai dengan kaidah
kelestarian lingkungan. Karena itu, industri pertanian mau tidak mau
harus bersifat padat modal, padat teknologi tetapi juga sekaligus
padat karya. Pentingnya sifat padat karya, karena dengan
karakteristik industri seperti itu terbuka peluang bagi masyarakat
untuk mengikuti pemagangan secara leluasa sehingga pada saatnya,
segenap elemen industri strategis tersebut seluruhnya dapat dikelola
oleh bangsa Indonesia. Disisi lain, sektor pertanian di Indonesia
merupakan agregasi dari sistem agribisnis skala kecil yang melibatkan
banyak pelaku ekonomi pada berbagai level, sehingga, tentu perlu
dikembangkan pula berbagai institusi pertanian baik yang bergerak
dalam bidang penelitian, pengembangan, pendidikan, penyuluhan dan
sistem diseminasi informasi multiarah.
Guna merangsang minat para pengusaha nasional untuk mau ikut
berpartisipasi dalam pengembangan pertanian nasional (sekaligus
ekonomi nasional), sudah saatnya format penyelenggaraan
pembangunan yang tersentralisir diubah dengan memberikan
rangsangan bagi yang mau menanamkan investasi di daerah-daerah
terpencil. Bahkan perlu membangun beberapa kawasan di Indonesia
Bagian Timur menjadi kawasan Free Bounded Area berbasis
sumberdaya pertanian. Namun yang paling fundamental dari semua
itu adalah perlu adanya perubahan dalam kultur serta etos hidup
masyarakat, agar lebih berorientasi pada dunia pertanian sebab di
sinilah letak kunci keberhasilan pembangunan potensi pertanian
nasional sebagai wujud dari pembangunan agribisnis terpadu yang
mendukung bangkitnya pertanian Provinsi Gorontalo.
Untuk itu, diperlukan serangkaian upaya rekayasa sosial secara
sistematis dijalankan sebagai bagian esensial dalam strategi
pembangunan. Mengingat semua kerangka pemecahan ini bersifat
multi aspek dan multi dimensi serta memiliki hubungan
interdependensi dengan berbagai aspek pembangunan, maka sudah
saatnya Indonesia memiliki satu institusi yang menjalankan fungsi
koordinasi terhadap berbagai kegiatan pembangunan di sektor
pertanian. Selain perlu kesadaran yang dalam, visi memandang yang
tajam dalam menatap masa depan, yang paling diperlukan adalah
kemauan politik untuk memecahkan masalah-masalah ini secara
fundamental. Kelengahan dalam mengantisipasi tuntutan kebutuhan
masa mendatang akan membawa efek berantai bagi pembangunan
pada sektor lain, bahkan bagi kelangsungan hidup bangsa dan negara
ini. Karenanya sangat tepat bila langkah antisipasi yang kongkrit
dapat dimulai dari sekarang agar kita sebagai bangsa tidak akan
menyesal di kemudian hari.

Pembangunan pertanian di Provinsi Gorontalo yang mengakomodir


seluruh sistem agribisnis sudah saatnya dikembangkan berdasarkan
konteks pembangunan regional. Produksi produk pangan yang berasal
dari serealia, kacang-kacangan, ternak, hasil perkebunan dan produk
perikanan harus diorientasikan untuk kebutuhan ekspor selain untuk
memenuhi kebutuhan domestik. Orientasi pasar internasional sudah
saatnya dikembangkan dan menjadi stimulan bagi produsen. Oleh
karena itu, untuk mendukung berhasilnya sistem agribisnis secara
utuh sangat penting untuk membangun; (1) penggunaan teknologi
produksi yang efisien, tepat guna, ramah lingkungan dan dikuasai oleh
petani/peternak/pembudidaya dan nelayan; (2) teknologi penanganan
pasca panen on-site; (3) teknologi pengolahan produk primer menjadi
produk sekunder dan produk jadi; (4) diseminasi informasi yang
didukung oleh sistem informasi dan komunikasi dengan kekuatan
sumberdaya inovatif; (5) lembaga diseminasi informasi dan komunikasi
yang didukung oleh kekuatan penyuluh yang memiliki motivasi tinggi
dan memiliki latarbelakang teknis; (6) penguatan kelembagaan
produksi, pemasaran dan industri hulu; (7) industri hilir yang
menghasilkan nilai tambah; (8) penguatan sistem distribusi,
transportasi yang didukung oleh kapasitas dan kualitas prasarana; (9)
kelembagaan pemerintah sebagai fasilitator, dinamisator, legislator
dan pelindung sistem; sehingga seluruhnya menghasilkan sinergi yang
secara otomatis menumbuhkembangkan kapasitas dan kapabilitas
ekonomi Provinsi Gorontalo. Disisi lain, konsep pemerataan
pendapatan dan pertumbuhan ekonomi harus dilaksanakan secara
bersama dan konsisten sehingga dimasa depan tidak terjadi lagi
kesenjangan ekonomi yang mengakibatkan terpuruknya perekonomian
regional.

Provinsi Gorontalo yang memiliki keunggulan komparatif dalam bentuk


posisi geografis yang berhadapan langsung dengan negara tetangga
yang memiliki potensi pasar yang sangat besar harus menjadi leading
region. Keunggulan komparatif tersebut dapat dikembangkan dengan
membangun sarana dan prasarana yang memadai untuk
mengembangkan pasar ekspor bukan hanya untuk Provinsi Gorontalo
tetapi juga dapat dimanfaatkan oleh provinsi tetanganya dan bahkan
provinsi lain yang berada jauh secara geografis, misalnya dari Pulau
Jawa, Nusatenggara dan Maluku. Jika pembangunan sistem agribisnis
berhasil menciptakan Provinsi Gorontalo sebagai center for regional
export and marketing, maka secara dramatis akan menghasilkan
kekuatan dan daya tarik investasi pada industri lain sebagai dampak
berganda.

Pentingnya membangun pusat pemasaran dan ekspor untuk komoditas


pertanian di Provinsi Gorontalo bertujuan untuk membangkitkan gairah
industri primer pertanian yang saat ini sudah mulai pudar. Perhatian
pemerintah pusat yang selama ini terkesan hanyut dalam eforia politik,
perebutan kekuasaan dan egosentris komoditas maupun egosentris
kelompok tidak perlu diikuti oleh Pemerintah dan masyarakat Provinsi
Gorontalo sehingga mampu menjadi leading region untuk mendukung
sistem agribisnis di Indonesia.

Besarnya peluang dan tantangan tersebut dapat dimanfaatkan oleh


Provinsi Gorontalo untuk secara cepat merubah peta kekuatan

3.2. Pengelolaan Sumberdaya Pertanian


Pengelolaan sumberdaya pertanian dilaksankan dengan visi dasar
sebagai berikut; (1) Peningkatan kinerja sumberdaya pertanian dalam
upaya mendapatkan devisa negara, (2) Meningkatkan upaya
pelestarian ekosistem sumberdaya pertanian (termasuk wilayah
pesisir dan lautan), dan (3) Membuat kebijakan ekonomi (moneter
dan fiskal) yang menunjang terlaksananya pembangunan pertanian.
Peningkatan kinerja pembangunan sumberdaya pertanian
dalam upaya mendapatkan devisa negara. Dalam situasi krisis
moneter dan ekonomi seperti saat ini, salah satu visi penting
yang sebaiknya diterapkan adalah bagaimana mendapatkan dana
segar dalam bentuk mata uang asing (khususnya US dollar)
melalui peningkatan kinerja ekonomi beberapa bidang usaha di
sektor pertanian. Dari beberapa bidang usaha di sektor pertanian,
usaha budidaya merupakan usaha yang sangat potensial dan mampu
meraup devisa dalam jangka pendek serta dalam jumlah besar
dengan mempertimbangkan sisi penciptaan pendapatan (income
generating) baik bagi negara dan pelaku usaha pertanian (kecil
maupun besar).
Peningkatan upaya pelestarian ekosistem sumberdaya alam.
Dalam kaitannya dengan strategi pembangunan pertanian yang
berkelanjutan, maka visi penting lainnya adalah menjamin
kelestarian ekosistem sumberdaya hutan, lahan, air, pesisir dan
lautan. Tanpa visi ini, maka langkah pertama tidak dapat
dilaksanakan dengan baik. Dalam konteks ini, maka pemerintah
dan seluruh pelaku pembangunan pertanian harus memiliki visi
dan tujuan yang sama dalam rangka melestarikan sumberdaya
alam pertanian. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah
diterapkannya pengelolaan lingkungan yang ketat dan bijaksana
di setiap kegiatan pembangunan. Masing-masing pihak,
pemerintah dan pelaku pembangunan, harus menghormati
fungsinya masing-masing, dimana pemerintah memberikan
kebijakan yang kondusif dalam pengelolaan lingkungan, sedangkan
pelaku pembangunan dengan sungguh-sungguh melaksanakan
program pengelolaan lingkungan yang disarankan.
Menetapkan kebijakan ekonomi (moneter dan fiskal) yang
menunjang terlaksananya pembangunan pertanian Mengingat
kebijakan ekonomi dan politik dapat mempengaruhi terlaksananya
visi pertama dan kedua. Seperti yang telah dijelaskan di atas,
salah satu kendala pembangunan pertanian antara lain adalah
tingginya biaya investasi bagi beberapa kegiatan ekonomi di
sektor pertanian. Untuk itu diperlukan mekanisme insentif
ekonomi dan moneter yang mendorong tumbuhnya pembangunan
sektor pertanian. Menurut pengertian ekonomi, insentif berarti
rangsangan yang diberikan Pemerintah kepada investor atau
pengusaha agar mau menanamkan modalnya di kawasan tertentu
atau bekerja lebih keras lagi. Untuk memacu peningkatan
kesejahteraan masyarakat nelayan dan petani ikan, maka pemerintah
sudah sewajarnya memberikan perlakuan khusus secara ekonomis
kepada pembangunan pertanian mulai dari aspek perencanaan
sampai pada pemanfaatan sumberdaya pertanian yang optimal.
Pada konteks ini, variabel penyediaan infrastruktur yang memadai
adalah salah satu solusinya. Infrastruktur merupakan penyediaan
fasilitas atau pelayanan Pemerintah kepada masyarakat dalam skala
besar seperti pengadaan air bersih, jalan raya, kereta api, sistem
penerbangan, telepon, teleks, komunikasi radio, pelabuhan, darmaga,
fasilitas pendidikan dan lain-lain. Semua pelayanan kepada
masyarakat tersebut dipergunakan untuk mendukung aktifitas
perekonomian terutama dalam sektor pertanian. Dalam kondisi yang
demikian diperlukan modal yang besar dan biasanya dilaksanakan oleh
Pemerintah. Berbagai insentif investasi yang diidentifikasi untuk
merangsang kegiatan ekonomi di sektor pertanian, antara lain
meliputi:

(1)Program sertifikasi lahan bagi petani, peternak, nelayan dan


pembudidaya ikan untuk mempersiapkan peningkatan kapasitas
pemupukan modalmandiri.
(2)Insentif akses kredit bagi petani, peternak, nelayan dan
pembudidaya ikan
(3)Insentif untuk pengusaha/investor yang menanamkan modalnya
di Provinsi Gorontalo;
(4)Insentif dalam proses penyederhanaan administarsi dan perizinan
investasi dengan cara, misalnya memberikan sistem pelayanan
terpadu di PEMKAB/PEMKOT yang semakin kondusif dengan
adanya undang-undang otonomi daerah;
(5)Insentif berupa adanya kompensasi kerugian bagi usaha
pertanian, peternakan, perkebunan dan perikanan rakyat yang
terkena dampak beroperasinya pengusaha besar di wilayah sentra
produksi pertanian, perikanan, peternakan dan perkebunan rakyat
sekala kecil;
(6)Keringanan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan sampai lima
tahun bagi pengusaha besar yang mematuhi kaidah pelestarian
lingkungan dan membangun kemitraan penuh serta memberikan
manfaat positif bagi masyarakat sekitar;
(7)Insentif penangguhan bea masuk dan bea masuk tambahan untuk
barang-barang modal yang terkait dengan produksi sektor
pertanian;
(8)Insentif pada Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan
Barang Mewah serta Pajak Penghasilan Pasal 22, misalnya untuk
penggalakan ekspor non migas, fasilitas perpajakan di bidang PPN
dan Ppn BM berupa pajak yang terutang tidak dipungut dan
penangguhan pembayaran PPN untuk impor barang modal serta
peralatan mesin yang akan digunakan untuk kegiatan
menghasilkan barang ekspor, seperti komoditi pertanian;
(9) Perlunya identifikasi terhadap insentif khusus bagi SDM yang
berkualitas, misalnya melalui land grant university di beberapa
pusat-pusat pembangunan pertanian, berupa pemberian hak
mengelola sumberdaya alam pada pihak universitas, antara lain
dapat berupa pemberian Hak Pengusahaan Pertanian kepada
masyarakat lokal;
(10)Insentif suku bunga perkreditan bagi investor, misalnya suku
bunga pinjaman yang dipatok untuk kredit investasi di sektor
pertanian, yang biasanya tingkat bunga rata-rata berkisar 21-23%
menjadi sekitar 4%;
(11)Insentif tax holiday, misalnya dikenakan pada usaha-usaha
pertanian yang umumnya mempunyai jangka waktu tanam yang
lama dan bersifat slow yielding (tidak cepat menghasilkan) dan
penuh tingkat resiko dan ketidakpastian yang tinggi.

3.1. Rekomendasi Umum Agenda Reformasi Pertanian Bagi


Pembangunan IPM Provinsi Gorontalo
Bertitik tolak pada potensi sector pertanian tanaman pangan,
perikanan, peternakan dan perkebunan secara umum di Provinsi
Gorontalo, arah dan sasaran pembangunan pertanian, permasalahan
dan kendala visi dan misi pembangunan pertanian seperti yang telah
diuraikan di atas, maka untuk meningkatkan IPM pada 15 Kecamatan
terpilih diusulkan agenda pembangunan pertanian Provinsi Gorontalo
2009 - 2014 sebagai berikut:
(1) Pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat. Arah kebijakan
pada aspek ini adalah menjadikan masayarakat sebagai subjek
dan pelaku pembangunan pertanian. Keterlibatan masyaarakat
bukan hanya sebagai olbjek peningkatan produksi dan penggerak
roda ekonomi pada level terendah tetapi juga menjadikannya
sebagai penggerak utama pada berbagai level sistem agribisnis.
(2) Pemberian insentif bagi masyarakat yang mengelola sumberdaya
dengan baik yang dapat dijadikan modal usaha dalam kegiatannya
mengembangkan usahanya. Pemberian insentif yang termudah
adalah dengan membentuk sumberdaya inovasi melalui seleksi
dan peresmian inovator tingkat kecamatan. Inovator tingkat
kecamatan bertugas untuk mendamingi dan memfasilitasi
penyuluh, membagi keterampilan dan pengetahuan yang dimiliki
dan membangun semangat petani dalam meningkatkan kinerja
usaha pertanian.
(3) Reformasi kepemilikan lahan. Sebagai upaya untuk menyiapkan
kemampuan masyarakat dalam memupuk modal dan
mengembangkan sumberdaya yang dimiliki. Arah kebijakan
reformasi kepemilikan lahan dititikberatkan pada redistribusi lahan
sebagai opsi pertama. Opsi kedua (yang paling reliable) adalah
distribusi lahan yang tidak diusahakan kepada petani kecil (yang
tidak memiliki lahan dan yang memiliki lahan yang luasnya kurang
dari satu pantango)
(4) Pengembangan industri hilir untuk komoditas pertanian tanaman
pangan, hortikultura, perkebunan, perikanan, dan peternakan
dengan tujuan untuk meningkatkan nilai tambah dan mengurangi
pengangguran secara dramatis.
(5) Menyediakan sistem agribiisnis terpadu yang memiliki sistem
pengelolaan profesional dengan mereformasi kelembagaan
pertanian. Langkah awal yang perlu dilakukan adalah membangun
kelembagaan pertanian terpadu (misalnya Agribusiness
Management Board) yang pada akhirnya akan melebur seluruh
sistem pelayanan agribisnis yang bersifat sector-ego-centric
menjadi sebuah wadah yang melayani seluruh sistem.
(6) Pembatasan armada penangkapan skala kecil pada perairan
pesisir. Pembatasan armada penangkapan tersebut untuk
menghindari menurunnya produktivitas nelayan dan menghindari
overeksploitasi sumberdaya perikanan pesisir. Arah kebijakannya
adalah dengan mengembangkan perikanan tangkap skala kecil
dan menengah secara terpadu dengan teknologi penangkapan
yang lebih baik, sarana tangkap yang mampu mencapai fishing
ground yang lebih jauh dan alat tangkap yang ramah lingkungan
dilengkapi dengan
(7) Penambahan armada penangkapan yang ramah lingkungan,
utamanya untuk pemanfaatan sumberdaya pertanian di perairan
ZEEI terutama di Laut Sulawesi. Hal ini dilakukan untuk
mengantisipasi agar sumberdaya pertanian di perairan ZEEI tidak
dieksploitasi oleh nelayan asing dan mengurangi tekanan
terhadap sumberdaya pesisir Teluk Tomini dan sepanjang pesisir
Kabupaten Gorontalo Utara.
(8) Rasionalisasi dengan menggalakkan program transmigrasi
nelayan dari kawasan yang produktivitas perairannya sudah jenuh
ke kawasan dengan perairan yang produktivitasnya masih tinggi.
Rasionalisasi tersebut harus disertai dengan pemberian insentif
untuk meningkatkan produktivitas nelayan. Upaya yang telah
dilakukan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Boalemo
harus disambut dengan dikembangkannya program transmigrasi
nelayan.
(9) Pengawasan terhadap sumberdaya perikanan laut, baik melalui
patroli laut maupun intensifikasi pemanfaatan sumberdaya
pertanian oleh kapal pertanian nasional. Pengawasan perairan
perlu dilakukan, dengan harapan adanya pengawasan perairan ini,
maka keamanan perairan dari kegiatan penangkapan maupun
kegiatan lain yang merugikan dan mengancam potensi yang ada
di perairan Indonesia dapat diketahui dan diantisipasi dengan
segera. Pengawasan perairan ini harus dibarengi pula dengan
upaya penegakan hukum, artinya jika ada nelayan yang
melakukan pelanggaran harus diproses secara hukum sehingga
mereka menjadi jera dan tidak mengulangi lagi melakukan
kegiatan penangkapan yang melanggar hukum.
(10) Penyuluhan dan peningkatan ketrampilan petani, peternak,
nelayan, petani ikan dan masyarakat secara umum. Penyuluhan
dan peningkatan ketrampilan ini bertujuan agar petani, peternak,
nelayan, petani ikan dan masyarakat mau mengadopsi teknologi
yang lebih maju dan meningkatkan kemampuan teknis mereka
(misalnya dalam mengembangkan benih/bibit hibrida baru,
menjalankan armada penangkapan, pemeliharaan dan perbaikan
mesin). Jadi penyuluhan dan peningkatan ketrampilan nelayan,
petani ikan dan masyarakat sangat diperlukan dalam rangka
peningkatan kemampuan terutama dalam operasi kegiatan
usahanya. Dalam penyuluhan ini perlu juga disampaikan tentang
pentingnya menjaga kelestarian sumberdaya. Lembaga yang
melayani haruslah badan penyuluhan pertanian terpadu yang
hadir di setiap level wilayah admisnistraitf. Penyuluhan yang
bersifat sektoral dan kaku harus dihapuskan dan diganti
sepenuhnya oleh sistem pelayanan penyuluhan terpadu.
(11) Pembangunan desa terpencil, desa pesisir dan pulau-pulau kecil
yang tertinggal. Hal ini dilakukan untuk mengurangi kemiskinan
masyarakat pada daerah terpencil, daerah pesisir dan
pemanfaatan potensi sumberdaya pertanian yang dimiliki oleh
masing-masing wilayah secara optimal.
(12) Meningkatkan kualitas sumberdaya pertanian pelaku
pembangunan pertanian mulai dari tingkat petani, nelayan dan
peternak sampai pada pengambil dan penentu kebijakan
pembangunan pertanian pada tingkat Bupati dan Gubernur.
(13) Penyusunan sistem informasi dan data pertanian yang efektif dan
efisien, yang meliputi perangkat sistem informasi terpadu seperti
software, hardware dan kelembagaan. Seluruh data dan informasi
yang telah diperoleh perlu disusun dalam suatu sistem
pengumpulan, pengolahan dan pengelolaan data yang dilanjutkan
oleh sistem komunikasi dan diseminasi informasi yang efektif dan
efisien dengan menggunakan perangkat yang telah disusun
sehingga memudahkan untuk diakses oleh setiap pelaku
pembangunan pertanian yang membutuhkannya.
(14) Peningkatan kinerja industri pengolahan berbasis sumberdaya
pertanian, sehingga mampu menghasilkan produk-produk yang
berkualitas dan berdaya saing baik pada pasaran lokal maupun
ekspor.
(15) Penguatan dan pengembangan pemasaran produk. Penguatan
dan pengembangan pasar produk bertujuan untuk penguatan
posisi tawar produsen dan perluasan pasar. Cara yang dapat
ditempuh yaitu melalui kerjasama dengan koperasi, swasta dan
promosi (mengikuti kegiatan pameran dan lain-lain).
(16) Pengadaan modal kerja/kredit dengan persyaratan yang mudah
dan bunga ringan untuk membantu permodalan karena sebagian
besar petani, peternak, nelayan dan petani ikan berada dalam
kekurangan modal untuk mengembangkan usahanya.
(17) Pengembangan kelembagaan agribisnis dalam bentuk badan
usaha milik rakyat yang sesuai dengan potensi dan karakteristik
usaha dalam upaya peningkatan dan pengembangan kegiatan
usaha.
(18) Penggalian, pengembangan, penerapan teknologi dan rekayasa
pertanian yang tepat dan berwawasan lingkungan, baik untuk
kegiatan eksplorasi, produksi dan eksploitasi sumberdaya
pertanian maupun teknologi produksi.
(19) Penetapan zonasi atau peta operasional untuk setiap system
usaha pertanian berdasarkan kemampuan operasi (pertanian
rakyat dan industri), yang dilengkapi pula dengan aspek
hukumnya, termasuk pengaturan dan sanksi.
(20) Pembangunan prasarana dan sarana pertanian seperti jalan,
pasar, sentra pergudangan, pelabuhan, tempat pendaratan ikan
yang dilengkapi dengan sarana penunjang.

3.1. Rekomendasi Implementasi Agenda Reformasi Untuk


Peningkatan IPM
Peningkatan nilai IPM merupakan suatu proses yang terintegrasi dan
bukan hanya kegiatan yang bersifat sektoral yang berjalan secara
sendiri-sendiri. Sektor pertanian dalam arti luas sebagai sektor yang
menggerakkan ekonomi masih dipercaya untuk memberikan
kontribusinya dalam meningkatkan pendapatan masyarakat yang
selanjutnya akan meningkatkan daya beli. Sebagai sektor andalan,
masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk memperbaiki
sektor pertanian dari segala sisi. Upaya memperbaiki pendapatan
harus dimulai dengan membangun pertanian secara utuh sebagai
suatu sistem agribisnis yang melibatkan pemerintah, pelaku usaha,
lembaga riset dan pengembangan, perguruan tinggi dan lembaga
swadaya masyarakat.

Upaya membangun sistem agribisnis terpadu secara utuh telah dimulai


oleh Pemerintah Provinsi Gorontalo dengan agenda utama yang
menjadi Provinsi Gorontalo sebagai Provinsi Agropolitan. Untuk
melengkapi agenda tersebut diperlukan perbaikan pada berbagai
aspek yang dituangkan dalam rekomendasi kebijakan, program dan
kegiatan yang akan diintegrasikan dengan program yang sudah
disusun oleh Provinsi Gorontalo seperti dituangkan dalam RPJM.
Dengan diintegrasikannya program yang diusulkan ke dalam RPJM
Provinsi Gorontalo diharapkan akan meningkatkan nilai IPM Provinsi
Gorontalo seperti telah ditetapkan.
Tema sentral Reformasi Pertanian di Provinsi Gorontalo adalah:
Membangun Agribisnis Terpadu Melalui Pengelolaan Sumberdaya,
Penguatan Modal Masyarakat dan Penguatan Kelembagaan. Tema
tersebut selanjutnya dijabarkan dalam tiga program utama seperti
terlihat dalam Box 1.

Subprorgam2:
Subprogram
PROGRAM 1:3.3:
3:1.1:
1.2:
1.3:
2.1:
2.3:
2.4:
3.1:
3.2:
3.4:
2.2:Pembentukan
Perencanaan
Peningkatan
Memperbaiki
Pengorganisasian
Revitalisasi
Membangun
Penguatan
Meningkatkan
Koordinasi
dan
Kapasitas
Kembali
Pengelolaan
Kondisi
dan
Kapasitas
Membangun
Peresmian
dan&
Sumberdaya
Seluruh
Penciptaan
Menguatkan
Sistem
Kembali
Sistem
Dinas/Kapasitas
Agribisnis
Masyarakat
Alam
Penyiapan
Permodalan
Pendapatan
Perkebunan
Instansi
Lembaga/Instansi
Informasi
Pelayanan
untuk
Pemerintah
AMB
PEMBANGUNAN
REFORMASI Penyuluhan
Masyarakat
Terpadu
PEMBERDAYAANAgribisnis
meningkatkan
Bagi
Rakyat
Masyarakat
Masyarakatproduktivitas dan Box 1
Pemerintah
INSTITUSI
kesejahteraan dalam jangka panjang
SISTEM
DAN
MASYARAKAT
CAPACITY
PENGELOLAAN
MELALUIImplementasi Agenda Reformasi Pertanian
AGRIBISNIS TERPADU
BUILDING
KEWIRAUSAHAAN

Rekomendasi yang telah disusun untuk reformasi pertanian mencakup


tiga program utama yaitu;
a) Pembangunan Sistem Pengelolaan Agribisnis Terpadu
b) Pemberdayaan Masyarakat Melalui Kewirausahaan
c) Reformasi Institusi Dan Capacity Building

Program Pembangunan Sistem Pengelolaan Agribisnis Terpadu


dijabarkan dalam tiga sub program yaitu Perencanaan Pengelolaan
Sistem Agribisnis Terpadu, Peningkatan Kapasitas Masyarakat
Agribisnis, dan Memperbaiki Kondisi Sumberdaya Alam untuk
meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan dalam jangka panjang

Program Pemberdayaan Masyarakat Melalui Kewirausahaan dijabarkan


dalam empat subprogram yaitu; Pengorganisasian dan Penyiapan
Masyarakat, Meningkatkan Kapasitas Permodalan Bagi Masyarakat,
Membangun Kapasitas Penciptaan Pendapatan Masyarakat dan
Revitalisasi Perkebunan Rakyat

Program Reformasi Institusi Dan Capacity Building mencakup empat


sub-program sebagai berikut; Membangun Kembali & Menguatkan
Kapasitas Instansi Pemerintah; Penguatan Koordinasi Seluruh Dinas/
Lembaga/Instansi Pemerintah; Pembentukan dan Peresmian Sistem
Informasi AMB; dan Revitalisasi dan Membangun Kembali Pelayanan
Penyuluhan.

Seluruh program dan kegiatan yang diusulkan dalam laporan


pembangunan manusia ini merupakan hasil kajian komprehensif yang
melibatkan semua stakeholder di tingkat Nasional, Provinsi dan
beberapa kecamatan terpilih. Telah disepakati pada stakeholder
workshop di Provinsi Gorontalo bahwa seluruh usulan yang dibuat akan
merupakan terms of reference bagi penyusunan perencanaan
pembangunan partisipatif dan menjadi usulan dalam Musrenbang
tinkat Kabupaten dan Provinsi untuk perencanaan pembangunan tahun
anggaran 2009.

3.14.1. Program Pembangunan Sistem Pengelolaan Agribisnis


Terpadu

3.14.1.1.Perencanaan Pengelolaan Sistem Agribisnis Terpadu

Terdapat 10 kegiatan yang diusulkan sebagai bagian dari perencanaan


pengelolaan sistem agribisnis terpadu sebagai berikut: (1) Kampanye,
informasi dan edukasi pembangunan sistem agribisnis terpadu dan
berkelanjutan; (2) Penyusunan Kerangka Kerja Pengelolaan Sistem
Agribisnis Terpadu; (3) Kajian Komprehensif daya dukung sumberdaya
alam dan lingkungan untuk membangun sistem agribisnis terpadu dan
berkelanjutan; (4) Membangun sistem informasi agribisnis terpadu; (5)
Pencanangan SIM dan SIG Sumberdaya Agribisnis; (6) Menyusun
Perencanaan Tata Ruang Agribisnis Terpadu; (7) Membangun
perencanaan Industri Hilir Bagi Sistem Agribisnis Terpadu dan
berkelanjutan; (8) Promosi dan Pemasaran Sistem Agribisnis Provinsi
Gorontalo; (9) Membangun prasarana dan sarana pendukung untuk
menunjang kegiatan GIAD dilengkapi dengan sarana yang diperlukan;
dan (10) Membangun Prasarana Transportasi untuk memperlancar
sistem pengangkutan dan menurunkan biaya transportasi

1. Kampanye, informasi dan edukasi pembangunan sistem


agribisnis terpadu dan berkelanjutan/ Integrated sustainable
agribusiness development system campaign, information and
education
Dasar Untuk mendukung pembangunan sistem
pertimbangan: agribisnis terpadu yang selama ini telah
dikembangkan melalui agropolitan jagung,
yang mencakup industri hulu dan hilir dan
melibatkan seluruh stakeholder diperlukan
tatanan komprehensif yang akan menjadi
kekuatan untuk meraih seluruh peluang yang
ada dengan megatasi hambatan dan
kelemahan yang dimiliki. Saat ini dasar
pembangunan agribisnis telah secara massive
dikembangkan dan merata di seluruh wilayah
provinsi, namun demikian masih diperlukan
kemudahan untuk membangun
pengembangan investasi hulu dan hilir dengan
tetap memperhatikan; (a) daya dukung
sumberdaya (lahan, air, hutan, laut), (b)
kaidah kelestarian lingkungan, (c)
keseimbangan ekologi dan (d) pemerataan
pendapatan bagi pelaku usaha. Untuk
mencapai keberlanjutan dan peningkatan
pendapatan seluruh pelaku agribisnis
diperlukan dukungan dan sinergi dari seluruh
stakeholder. Untuk memperoleh dukungan dan
sinergi diperlukan kampanye yang intensif
melalui berbagai workshop, edukasi terpadu,
diseminasi informasi dan pameran.
Tujuan: Memperoleh dukungan dan sinergi dari seluruh
stakeholder
Sasaran: Seluruh stakeholder terutama pelaku usaha
agribisnis, calon investor, investor, pemerhati
lingkungan, LSM, Perguruan tinggi, dan
pejabat pemerintah
Keluaran; Timbulnya pemahaman yang mendalam dan
komprehensif mengenai sistem agribisnis
terpadu dan berkelanjutan
Bentuk Information, Education, and Campaign
Kegiatan;
Lokasi: Seluruh Wilayah Provinsi, Workshop dan
pameran dilaksanakan di Ibukota Provinsi

2. Penyusunan Kerangka Kerja Pengelolaan Sistem Agribisnis


Terpadu/Framework Formulation on Integrated Agribusiness System

Dasar Untuk membangun sistem agribisnis terpadu


pertimbangan: dan berkelanjutan diperlukan kerangka kerja
yang dapat mengakomodir kepentingan
seluruh stakeholder, memberikan kemudahan
kepada seluruh pelaku agribisnis, pembagian
tugas dan pembagian segmen usaha dan
industri, pembangunan kesepakatan dan
penyiapan kemitraan
Tujuan: Menyiapkan lahndasan yang kokoh bagi sistem
pengelolaan agribisnis berbasis sumberdaya,
wilayah dan masyarakat
Sasaran: Pelaku usaha masyarakat, investor yang telah
beroperasi, calon investor, pejabat pemerintah
Keluaran; Terbangunnya kerangka kerja yang bersifat
komprehensif, mengikat dan memiliki landasan
hukum yang mencakup; (1) acuan investasi; (2)
syarat-syarat dan mekanisme kerja; (3)
Prosedur dan proses investasi; (4) Hubungan
antar stakeholder; (5) Desain kajian
pengembangan; (6) penyiapan sistem
Bentuk Workshop, meeting and extension
Kegiatan;
Lokasi: Kota Gorontalo

3. Kajian Komprehensif daya dukung sumberdaya alam dan


lingkungan untuk membangun sistem agribisnis terpadu dan
berkelanjutan/Integrated Sustainable Agribusiness Development
Resource and Environment Capacity Assessment

Dasar Setelah memperoleh pemahaman, dukungan


pertimbangan: dan kesepakatan stakeholder diperlukan
informasi dan data yang komprehensif dan
akurat mengenai daya dukung dan kondisi
sumberdaya dan lingkungan untuk
mempersiapkan investasi yang sesuai dengan
mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi
masyarkat, kebutuhan sumberdaya
pendukung, kebutuhan dan kepentingan
masyarakat yang berada di lokasi
pengembangan dan kesesuaian dengan
pasokan sumberdaya yang tersedia. Adanya
dampak gobal climate change akan menjadi
salahsatu pertimbangan pokok dalam
pengembangan agribisnis karena kegiatan
agribisnis sangat tergantung pada kondisi iklim
mikro dan iklim makro
Tujuan: Memperoleh gambaran yang komprehensif dan
mudah digunakan untuk pengambilan
keputusan, baik oleh masyarakat, calon
investor maupun pemerintah. Memperoleh
gambaran mengenai antisipasi dampak global
climate change terhadap keberhasilan
agribisnis. Mempersiapkan dan membekali
seluruh pelaku usaha dalam menyesuaikan
usahanya dengan perubahan iklim global
Sasaran: Seluruh stakeholder terutama pelaku usaha
agribisnis, calon investor, investor, pemerhati
lingkungan, LSM, Perguruan tinggi, dan pejabat
pemerintah. Sasaran wilayah adalah wilayah
potensial untuk dikembangkan yang memiliki
sumberdaya dan daya dukung lingkungan yang
diperkirakan sesuai.
Keluaran; Dokumen perencanaan sistem agribisnis
tepadu
Bentuk Resource Assessment, Socioeconomic
Kegiatan; Assessment, Report preparation, Documenting
Result, Information dissemination, Socialization
workshop
Lokasi: Kajian dilaksanakan di Seluruh Wilayah
Provinsi, Workshop dilaksanakan di Ibukota
Kabupaten dan Ibukota Provinsi

4. Membangun sistem informasi agribisnis terpadu/Develop an


integrated agribusiness information system

Dasar Ketersediaan data dan informasi mengenai


pertimbangan: kondisi sumberdaya, SDM, sosial ekonomi dan
berbagai data dan informasi pendukung lainnya
sangat terbatas dan sulit untuk diperoleh. Oleh
karena itu diperlukan sebuah sistem informasi
yang mudah diakses dan mudah dimanfaatkan
oleh semua pihak yang memerlukan untuk
berbagai keperluan yang ditujukan bagi
pembangunan agribisnis Provinsi Gorontalo
Tujuan: Menyediakan sistem informasi dan database
yang dikelola dengan baik dan berkelanjutan
serta bersifat online sehingga mempermudah
dan mempercepat pengambilan keputusan
Sasaran: Seluruh stakeholder terutama pelaku usaha
agribisnis, calon investor, investor, pemerhati
lingkungan, LSM, Perguruan tinggi, dan pejabat
pemerintah.
Keluaran; Sistem informasi sumberdaya (alam, manusia,
sosial dan ekonomi) online dalam bentuk MIS
dan GIS yang dapat diakses oleh semua
stakeholder terutama pengambil keputusan
dan penentu kebijakan
Bentuk Penyedian sarana berupa; (1) 90 unit PC
Kegiatan; (komputer) lengkap dengan software dan SDM
untuk ditempatkan di setiap badan pengelola
agribisnis pada level kecamatan, kabupaten
dan provinsi; (2) Melaksanakan pelatihan
terpadu dan berkelanjutan bagi pengelola MIS
dan GIS
Lokasi: Kota Gorontalo

5. Pencanangan SIM dan SIG Sumberdaya Agribisnis/Establish


Agribusiness Resources MIS and GIS

Dasar Selama ini perencanaan pembangunan


pertimbangan: berbasis sumberdaya sulit dilakukan karena
perbedaan kepentingan sektoral dan kesulitan
memadukan perencanaan karena perbedaan
visi dan misi masing-masing stakeholders.
Tujuan: Menyediakan sistem informasi dan database
yang dikelola dengan baik dan berkelanjutan
serta bersifat online sehingga mempermudah
dan mempercepat pengambilan keputusan
Sasaran: Peningkatan kualitas perencanaan agribisnis
berbasis sumberdaya untuk menghindari
kemungkinan salah sasaran dan tumpangtindih
antar sub-sektor dan pertentangan
pemanfaatan sumberdaya.
Keluaran; Sistem informasi sumberdaya (alam, manusia,
sosial dan ekonomi) online yang dapat diakses
oleh semua stakeholder terutama pengambil
keputusan dan penentu kebijakan
Bentuk Workshop, meeting and extension
Kegiatan;
Lokasi: Kota Gorontalo

6. Menyusun Perencanaan Tata Ruang Agribisnis Terpadu/Develop


Integrated Aribusiness Spatial Plan

Dasar Pemerintah provinsi Gorontalo (BAPPEDA)


pertimbangan: beserta seluruh BAPPEDA Kabupaten telah
memiliki perencanaan tata ruang, namun
belum mengakomodir kepentingan alokasi
sumberdaya dan pemanfaatannya
pengembangan agribisnis terpadu berbasis
sumberdaya lokal
Tujuan: Menyediakan dokumen perencanaan spatial
yang bersifat komprehensif dan mengakomodir
semua kepentingan stakeholder dalam
pemanfaatan ruang wilayah agribisnis. Sifat
keterpaduan dicerminkan oleh metode
perencanaan spatial yang bersifat partisipatif
dengan melibatkan semua unsur stakeholder.
Sasaran: mempermudah proses perencanaan di tingkat
yang lebih detail, misalnya kecamatan dan
desa sebagai satuan analisis
Keluaran; Dokumen dan sistem informasi mengenai
kebijakan pemanfaatan sumberdaya yang
tercakup dalam penataan ruang wilayah
agribisnis
Bentuk Spatial Assessment, Socioeconomic
Kegiatan; Assessment, Report preparation, Documenting
Result, Information dissemination, Socialization
workshop
Lokasi: Kota Gorontalo

7. Membangun perencanaan Industri Hilir Bagi Sistem Agribisnis


Terpadu dan berkelanjutan/ Develop Downstream Industry to
Support Integrated Sustainable Agribusiness

Dasar Sebagai tindak lanjut dari Pembangunan


pertimbangan: industri agribisnis terpadu dibutuhkan industri
hilir sebagai upaya untuk memacu
produktivitas pelaku usaha industri pimer dan
meningkatkan nilai tambah bagi peningkatan
kapasitas ekonomi lokal
Tujuan: Tersedianya dokumen komprehensif mengenai
rencana pembangunan industri hilir sistem
agribisnis yang memuat sistem komoditas,
komoditas unggulan yang tersedia, prospek
pengembangan insdutri hilir, ketersediaan
bahan baku, ketersediaan SDM, ketersediaan
sarana dan prasarana pendukung, lembaga
keuangan, daya listrik, dll.
Sasaran: Calon investor bagi industri hilir komoditas
unggulan
Keluaran; Dokumen Prospek Industri Hilir Provinsi
Gorontalo
Bentuk (1) Integrated business development plan, dan
Kegiatan; (2) Business opportunities in Gorontalo
Lokasi: Kota Gorontalo

8. Promosi dan Pemasaran Sistem Agribisnis Provinsi


Gorontalo/Promoting and marketing the Gorontalo Integrated
Agribusiness Development (GIAD)

Dasar Untuk memperkenalkan Provinsi Gorontalo


pertimbangan: beserta potensi dan keunggulannya di dunia
bisnis perlu promosi dan pemasaran prospek
bisnis di Provinsi Gorontalo yang ditujukan bagi
peningkatan daya saing, nilai tambah dan
pertumbuhan ekonomi lokal yang dibangun
oleh kekuatan lokal.
Tujuan: Membangun brand image Provinsi Gorontalo
sebagai wilayah yang memiliki keunggulan
komparatif dan potensi pengembangan industri
berbasis pertanian dalam arti luas
Sasaran: Investor lokal, nasional, dan investor asing
yang memiliki inovasi teknologi, mampu
mengembangkan bisnis ramah lingkungan,
meningkatkan nilai tambah ekonomi Provinsi
Gorontalo, menyerap tenaga kerja yang
tersedia, dan memperhatikan kaidah-kaidah
yang berlaku di masyarakat.
Keluaran; Terbangunnya brand image Provinsi Gorontalo
sebagai wilayah yang memiliki keunggulan
komparatif dan potensi pengembangan industri
berbasis pertanian dalam arti luas
Bentuk Pameran bertaraf internasional, workshop,
Kegiatan; seminar, roadshow, penerbitan booklet, leaflet,
brosur untuk disebarkan kepada pelaku usaha
(Calon investor).
Lokasi: Kota Gorontalo, Seluruh Kabupaten di Provinsi
Gorontalo, Kota-kota besar utama dan tempat
lain yang secara teknis dan ekonomis layak
untuk dilaksanakan

9. Membangun prasarana dan sarana pendukung untuk menunjang


kegiatan GIAD dilengkapi dengan sarana yang diperlukan
Dasar Membangun sistem baru bagi pengembangan
pertimbangan: agribisnis memerlukan proses promosi yang
berkelanjutan. Oleh karena itu diperlukan
prasarna pendukung yang memadai untuk
menampung seluruh kegiatan tersebut. Selain
pembangunan prasarana yang dilengkapi
dengan sarana, perlengkapan dan peralatan,
juga diperlukan sumberdaya manusia yang
direkruit dari tenaga profesional yang
berpengalaman dan memiliki jiwa inovatif dan
progresif dalam memasarkan potensi dan
peluang bisnis di Provinsi Gorontalo ke seluruh
dunia. Kegiatan promosi itu sendiri akan
dilaksanakan oleh lembaga baru yang
merupakan pengelola sistem GIAD yang
berbentuk Agribusiness Management Board.
Tujuan: Menyediakan kemudahan bagi
terselenggaranya kegiatan promosi dan
menarik investasi baru di bidang industri hilir
pertanian
Sasaran: Investor lokal, nasional, dan investor asing
yang memiliki inovasi teknologi, mampu
mengembangkan bisnis ramah lingkungan,
meningkatkan nilai tambah ekonomi Provinsi
Gorontalo, menyerap tenaga kerja yang
tersedia, dan memperhatikan kaidah-kaidah
yang berlaku di masyarakat.
Keluaran; Meningkatnya daya tarik bagi pengembangan
peluangbisnis dan masuknya investor lokal,
nasional, dan investor asing yang memiliki
inovasi teknologi, mampu mengembangkan
bisnis ramah lingkungan, meningkatkan nilai
tambah ekonomi Provinsi Gorontalo, menyerap
tenaga kerja yang tersedia, dan
memperhatikan kaidah-kaidah yang berlaku di
masyarakat.
Bentuk Pembangunan prasarana gedung kantor pusat
Kegiatan; GIAD di Ibukota Provinsi (Kota Gorontalo) dan di
masing-masing ibukota kabupaten
Lokasi: Kota Gorontalo dan Masing-masing Ibukota
Kabupaten

10. Membangun Prasarana Transportasi untuk memperlancar sistem


pengangkutan dan menurunkan biaya transportasi. Kegiatan ini
merupakan bagian dari program yang juga dilakukan oleh sektor
pendidikan dan kesehatan sehingga merupakan salahsatu solusi
untuk mengatasi cross-cutting issues pada ketiga sektor.

Dasar Kondisi jalan kolektor dan jalan usahatani


pertimbangan: belum seluruhnya memadai untuk proses
pengangkutan dari dan ke pusat produksi dan
pusat pemasaran. Terdapat jalan kolektor
sepanjang 39,5km dan jalan usahatani (farm
road) sepanjang (169,8km) yang tersebar di
kecamatan; Patilanggio, Paguat , Taluditi,
Wonosari, Botumoito, Tolinggula, Anggrek,
Kwandang, Atinggola, Tapa, Telaga Biru,
Tibawa, Mootilanggo, Pulubala, dan Boliyohuto
Dalam kondisi rusak ringan sampai dengan
rusak berat. Oleh karena itu sangat diperlukan
peningkatan kondisi jalan pada ruas yang
sangat berhubungan dengan sentra produksi.
Tujuan: Meningkatkan/merehabilitas jalan kolektor di
kecamatan Patilanggio, Paguat , Taluditi,
Wonosari, Botumoito, Tolinggula, Anggrek,
Kwandang, Atinggola, Tapa, Telaga Biru,
Tibawa, Mootilanggo, Pulubala, dan Boliyohuto
Sasaran: (1) Kab. Pohuwato; Patilanggio (kolektor
5000m; farm road; 25000m), Paguat (kolektor;
2000m; farm road; 5000m, Taluditi (kolektor
2000m; farm road; 15000m), (2) Kab Boalemo;
Wonosari (kolektor 12000m; farm road;
35000m), Botumoito (kolektor 2000m; farm
road; 15000m), (3) Kab GORUT; Tolinggula
(kolektor 2000m; farm road; 2500m), Anggrek
(kolektor 1500m; farm road; 15000m),
Kwandang (kolektor 2000m; farm road;
15000m), Atinggola (kolektor 2000m; farm
road; 10000m), (4) Kab Bone-Bolango; Tapa
( farm road; 7500m), (5) Kab Gorontalo; Telaga
Biru (kolektor 5000m; farm road; 15000m),
Tibawa (farm road; 5000m), Mootilanggo
(kolektor 1000m; farm road; 1500m),
Pulubala(kolektor 1000m; farm road; 5000m),
dan Boliyohuto (kolektor 2000m; farm road;
3300m).
Keluaran; (1) Meningkatnya kualitas jalan kolektor
sepanjang 39,5km dan jalan usahatani (farm
road) sepanjang 169,8km; (2) Meningkatnya
kelancaran arus pengangkutan
Bentuk Perbaikan dan atau peningkatan ruas jalan
Kegiatan; tersebut
Lokasi: Patilanggio, Paguat , Taluditi, Wonosari,
Botumoito, Tolinggula, Anggrek, Kwandang,
Atinggola, Tapa, Telaga Biru, Tibawa,
Mootilanggo, Pulubala, dan Boliyohuto
3.14.1.1.Peningkatan Kapasitas Masyarakat Agribisnis,

Diusulkan rekomendasi kegiatan yang ditujukan untuk meningkatkan


kapasitas masyarakat agribisnis dengan fokus kegiatan pada beberapa
aspek yang menyangkut capacity building. Luasnya cakupan kegiatan
menjadikan sub-program ini dilakukan dengan skala yang lebih luas.
Uraian kegiatan yang diusulkan meliputi dua kegiatan pokok yaitu; (1)
Membangun Sistem Agribisnis Terpadu oleh Masyarakat melalui
peningkatan produktivitas sumberdaya pertanian; dan (2) Penguatan
Perencanaan, koordinasi dan penegakan sistem Pengelolaan Agribisnis
Terpadu Berbasis Masyarakat/Strengthening Community Planning,
Coordination and Enforcement of Community-based integrated
agribusiness development.

Kegiatan pokok (1) diuraikan menjadi empat kegiatan yang terdiri dari
(1.a) Sosialisasi program kepada kelompok tani terpadu yang sudah
terbentuk; (1.b) Menyediakan faktor produksi pertanian tanaman
pangan untuk wilayah yang tidak terlayani dengan baik dalam
penyediaan faktor produksi oleh swasta dan daerah yang pengadaan
faktor produksinya dikuasai oleh tengkulak; (1.c). Pendidikan
manajemen keuangan keluarga bagi petani; dan (1.d) Pengadan
dukungan logistik bagi kegiatan 1.b dan 1.c./Provision of Logistical
Support (e.g., office equipment/computers). Sedangkan kegiatan
kedua yaitu Penguatan Perencanaan, koordinasi dan penegakan
sistem Pengelolaan Agribisnis Terpadu Berbasis
Masyarakat/Strengthening Community Planning, Coordination and
Enforcement of Community-based integrated agribusiness
development diuraikan menjadi empat kegiatan yang terdiri dari; (2.a)
Pelatihan jangka pendek mengenai inovasi teknologi budidaya tepat
guna yang lebih maju bagi inovator terpilih pada tingkat
kecamatan/Short-term Training on advanced production technology
innovation for sub-district level selected innovator; (2.b). Penerapan
teknologi budidaya dengan menggunakan teknologi tepat guna yang
lebih maju/Application of advanced agricultural production technology;
(2.c). Bantuan operasional bagi inovator teknologi tingkat kecamatan;
dan (2.d) Karyawisata Bagi petani yang berhasil meningkatkan
produktivitas ke daerah yang melakukan pemanfaatan sumberdaya
lahan secara optimal/Exchange Visits/Tours

Kegiatan pokok pertama: Membangun Sistem Agribisnis Terpadu oleh


Masyarakat melalui peningkatan produktivitas sumberdaya pertanian

(1.a) Sosialisasi program kepada kelompok tani terpadu yang sudah


terbentuk;
Dasar Program pembangunan agribisnis terpadu
pertimbangan: harus didukung oleh kemampuan petani
dalam merespon perkembangan baru
sehingga membentuk jiwa dan semangat
untuk meningkatkan produktivitas. Respon
petani hanya dapat dibangkitkan melalui
diseminasi informasi yang dilakukan secara
profesional dan mempertimbangkan aspek
kemampuan petani dalam menyerap
informasi. Oleh karena itu diperlukan proses
sosialisasi yang ditujukan bagi terbentuknya
pengetahuan dan wawasan yang mengarah
pada terbentuknya semangat produksi.
Tujuan: Membangun respon dan semangat petani
untuk meningkatkan produksi melalui
peningkatan produktivitas.
Sasaran: Kelompok tani terpadu yang sudah
terbentuk
Keluaran; Diterimanya program pembangunan
agribisnis terpadu oleh seluruh petani dan
diserapnya informasi mengenai langkah-
langkah terobosan yang akan dibangun
Bentuk Penyuluhan terpadu, diskusi interaktif dan
Kegiatan; diskusi kelompok terfokus bagi seluruh
anggota kelompok tani terpadu
Lokasi: Kecamatan Patilanggio, Paguat, Taluditi,
Wonosari, Botumoito, Tolinggula, Anggrek,
Kwandang ,Atinggola, Tapa, Telaga Biru,
Tibawa, Mootilanggo, dan Kecamatan
Boliohuto gorontalo

(1.b) Menyediakan faktor produksi pertanian tanaman pangan untuk


wilayah yang tidak terlayani dengan baik dalam penyediaan
faktor produksi oleh swasta dan daerah yang pengadaan faktor
produksinya dikuasai oleh tengkulak;

Dasar Membangun kekuatan modal finansial


pertimbangan: petani harus merupakan dasar dari seluruh
kegiatan yang dilakukan. Pemberian modal
yang diprogramkan harus disertai dengan
pendidikan petani berkelanjutan dengan
pertimbangan bahwa setiap pemberian
bantuan modal tidak akan pernah
menghasilkan wujud pertumbuhan modal
karena salah sasaran atau karena salah
pengelolaan. Keberhasilan pemupukan
modal oleh petani pada pokoknya
merupakan hasil nyata dari adanya
manajemen keuangan keluarga dan metode
petani untuk mengelola pengeluaran sesuai
dengan prioritas kebutuhan.
Tujuan: (1) Mengurangi ketergantungan petani
terhadap tengkulak dan bantuan pemerintah
dalam penyediaan faktor produksi; (2)
Meningkatkan kapasitas pembentukan
modal bagi petani; (3) Mengoptimalkan
lahan kebun kelapa; (4) Membentuk petani
yang memiliki kapasitas manajemen
keuangan.
Sasaran: Petani miskin yang tidak memeroleh akses
permodalan dan sumberdaya lahannya
tergadai (atau lahan pertanian yang
ditanami kelapa tidak dapat dimanfaatkan
karena pohon kelapanya dikuasai oleh pihak
lain) yang mecakup: 58 % dari seluruh
petani miskin di Kecamatan Patilanggio =
757 KK; Kecamatan Paguat 1492 KK (35%),
Taluditi 556 KK (36%), Wonosari 1135
(23,8%), Botumoito 1218 KK (43%),
Tolinggula 720KK (24%), Anggrek 973KK
(24%), Kwandang 1361 KK (20%), Atinggola
952 KK (25%), Tapa 2700 KK (43%), Telaga
Biru 2868 KK (61%), Tibawa 2745 KK,
Mootilanggo 1566 KK (42 %), dan Boliohuto
1807 KK (42 %) sehingga jumlah seluruhnya
adalah 20850 KK.
Keluaran; (1) Terbentuknya kekuatan kapasitas
permodalan individu sehingga ICCF
meningkat dari semula menjadi; (2)
Tersedianya ternak sapi bali sebanyak
62550 ekor yang selanjutnya didistribusikan
pada 20850 KK
Bentuk Penyediaan Sarana produksi bagi setiap KK
Kegiatan; sebesar Rp 2,5 juta dalam bentuk natura,
ditambah dengan satu ekor anak sapi jantan
dan dua ekor anak sapi betina. Sifat bantuan
adalah pinjaman lunak dari pemerintah
kepada kelompok penerima manfaat.
Dengan demikian proyek ini bertujuan untuk
memberi pelajaran berharga bagi penyiapan
terbentuknya kelompok usaha bersama
yang dikembangkan lebih lanjut melalui
program pemberdayaan masyarakat dan
penguatan permodalan. Kelompok
peminjam harus mampu mengelola
keuangan dalam bentuk usaha produktif
sehingga pada akhirnya mampu
menggulirkan modal kepada kelompok lain
yang memerlukan. Metode pendampingan
dan pembimbingan harus mengikuti kaidah
manajemen pinjaman komersial sehingga
meningkatkan semangat meningkatkan
produktivitas bagi masing-masing kelompok.
Mekanisme perguliran diatur melalui
kesepakatan bersama antara anggota
dengan pengurus kelompok melalui
supervisi dinas terkait, monitoring dan
evaluasi harus melibatkan lembaga yang
peduli terhadap peningkatan kapasitas
permodalan masyarakat, misalnya
perguruan tinggi.
Lokasi: (1) Kabupaten Pohuwato: Kecamatan
Patilanggio, Taluditi dan Paguat , (2)
Kabupaten Gorontalo; Kecamatan Telaga
Biru bagian perbukitan, (3) Kabupaten
Boalemo: Kecamatan Botumoito , (4)
KabupatenGorontalo Utara: Kecamatan
Tolinggula, Anggrek dan Atinggola, (5)
Kabupaten Bone-Bolango; Kecamatan Tapa

(1.c). Pendidikan manajemen keuangan keluarga bagi petani;

Dasar Proses menciptakan pendapatan melalui


pertimbangan: produktivitas sumberdaya lahan yang
dikuasai/dimiliki petani terkendala oleh
lemahnya penguasaan petani atas hak yang
dimilikinya. Kelemahan tersebut timbul
karena ketidakberdayaan petani dalam
menguasai sumberdaya lahan yang dimiliki
sebagai asset utama agribisnis sehingga
modal finansial yang diperoleh dari proses
produksi pada satu periode/musim tidak
dapat dipenuhi untuk melanjutkan proses
produksi pada periode/musim selanjutnya
karena adanya ketergantungan pada
tengkulak sebagai pemilik modal atau
tergantung pada bantuan faktor produksi
yang disediakan oleh pemerintah. Dalam
kegiatan ini petani diharapkan menjadi
berdaya dalam mengelola usahatani yang
dimilikinya melalui peningkatan
produktivitas lahan kering dengan
komoditas yang sesuai untuk tanaman
pangan ditanami tanaman pangan dengan
introduksi teknologi yang berimbang. Lahan
kering yang saat ini dalam bentuk kebun
kelapa ditingkatkan produktivitasnya melalui
kegiatan pemeliharaan sapi (coconut beef
development).
Tujuan: Melakukan pendidikan berkelanjutan bagi
petani dalam mengelola keuangan keluarga,
merencanakan usahatani, menyusun
strategi pengembangan usahatani terpadu
dan berkelanjutan melalui optimalisasi
pemanfaatan lahan. Meningkatkan kapasitas
manajemen petani secara nyata dan
meningkat secara bertahap, melakukan on-
site sustainable training, dan melakukan
review, monitoring dan evaluasi secara
periodik atas sitem yang telah terbentuk.
Sasaran: Petani miskin yang tidak memeroleh akses
permodalan dan sumberdaya lahannya
tergadai (atau lahan pertanian yang
ditanami kelapa tidak dapat dimanfaatkan
karena pohon kelapanya dikuasai oleh pihak
lain) yang mecakup: 58 % dari seluruh
petani miskin di Kecamatan Patilanggio =
757 KK; Kecamatan Paguat 1492 KK (35%),
Taluditi 556 KK (36%), Wonosari 1135
(23,8%), Botumoito 1218 KK (43%),
Tolinggula 720KK (24%), Anggrek 973KK
(24%), Kwandang 1361 KK (20%), Atinggola
952 KK (25%), Tapa 2700 KK (43%), Telaga
Biru 2868 KK (61%), Tibawa 2745 KK,
Mootilanggo 1566 KK (42 %), dan Boliohuto
1807 KK (42 %) sehingga jumlah seluruhnya
adalah 20850 KK.
Keluaran; Meningkatknya pengetahuan, wawasan,
keterampilan dan inovasi dalam bentuk
peningkatan produktivitas sumberdaya
terutama sumberdaya lahan sejalan dengan
peningkatan kekuatan pembentukan modal
individu keluarga petani. Meningkatnya
kapasitas manajemen petani. Terbentuknya
budaya menabung melalui perubahan image
terhadap dan manajemen keuangan
keluarga
Bentuk Pendampingan berkelanjutan untuk
Kegiatan; monitoring, evaluasi, capacity building
petani, melakukan pendidikan petani bagi
manajemen keuangan keluarga, melakukan
pelatihan teknis terapan on site, melakukan
perbaikan program berkesinambungan
sambil berjalan yang bertujuan
Lokasi: Kecamatan Patilanggio, Paguat, Taluditi,
Wonosari, Botumoito, Tolinggula, Anggrek,
Kwandang ,Atinggola, Tapa, Telaga Biru,
Tibawa, Mootilanggo, dan Kecamatan
Boliohuto gorontalo

(1.d) Pengadan dukungan logistik bagi kegiatan 1.b dan 1.c./Provision


of Logistical Support (e.g., office equipment/computers).

Dasar Untuk memperlancar operasional dan proses


pertimbangan: pelaksanaan kegiatan diperlukan dukugan
bagi manajemen proyek. Bentuk dukungan
logistik yang diperlukan mencakup
kendaraan operasional roda empat,
kendaraan operasional roda dua, perangkat
keras komputer, perangkat lunak komputer,
peralatan dan perlengkapan kantor,
peralatan dan perlengkapan komunikasi,
kantor operasional dan pimpinan dan staf
pengalola proyek.
Tujuan: Memperlancar pelaksanaan kegiatan untuk
mencapai efektifitas, efisiensi, efikasi dan
akuntabilitas yang sesuai dengan peraturan
dan perundag-undangan.
Sasaran: Satu kantor pusat manajemen organisasi
proyek di Kota Gorontalo dan lima kantor
pelaksana proyek di masing-masing
kabupaten.
Keluaran; Kelancaran operasional proyek
Bentuk Pengadaan barang dan jasa, pengelolaan
Kegiatan; proyek dan pengadaan dukungan logistik
Lokasi: Kota Gorontalo

Kegiatan pokok kedua: Penguatan Perencanaan, koordinasi dan


penegakan sistem Pengelolaan Agribisnis Terpadu Berbasis
Masyarakat/Strengthening Community Planning, Coordination and
Enforcement of Community-based integrated agribusiness
development
(2.a) Pelatihan jangka pendek mengenai inovasi teknologi budidaya
tepat guna yang lebih maju bagi inovator terpilih pada tingkat
kecamatan/Short-term Training on advanced production
technology innovation for sub-district level selected innovator;

Dasar Kekurangan tenaga penyuluh yang memiliki


pertimbangan: kealian dan profesionalisme yang memadai
menjadi kendala dalam proses produksi
usahatani sehingga mengakibatkan
kelemahan dalam peningkatan produkivitas.
Disisi lain pengetahuan petani yang sangat
terbatas dan sangat lambat dalam
peyesuaikan diri dengan introduksi teknologi
memerlukan daya dorong dan semangat
yang kuat. Untuk mengatasi berbagai
permasalahan yang dihadapi dalam
peningkatan produksi diperlukan tenaga
inovatoryang berasal dari petani yang sudah
lebih maju dari rekan seprofesinya sehingga
dapat menjadi tenaga tambahan selain PPL
yang sudah tersedia.
Tujuan: Meningkatkan difusi teknolgi oleh petani
yang pada akhirnya akan mningkatkan
produktivitas. Peningkatan produktivitas
akan menghasilkan peningkatan
keuntungan per satuan luas sehingga
sejalan dengan upaya yang ditempuh
melalui program Sistem Agribisnis Terpadu.
Sasaran: Diperkirakan sebanyak 150 orang inovator
teknologi yang akan mencakup 15
kecamatan yang termasuk dalam target
peningkatan pendapatan.
Keluaran; (1) Tersedianya inovator teknolog produksi
yang mampu menggerakkan dan memberi
semangat dan memberi contoh kepada
seluruh petani mengenai penerapan
teknologi produksi yang efisien dan
mengntungkan; (2) terlatihnya inovator
teknologi sebagaii pendamping penyuluh
(PPL)
Bentuk 1) Memilih inovator tingkat kecamatan yang
Kegiatan; berasal dari petani yang paling berhasil
dalam program pengembangan agribisnis
terpadu pada tahun pertama, dengan
indikator keberhasilan adalah pencapaian
produktivitas tertinggi untuk tanaman
pangan, banyak melakukan inovasi untuk
mengatasi permsalahan keterbatasan
sumberdaya dan faktor produksi; (2)
melakukan need assessment dan
inventarisasi produksi per kelompok tani; (3)
melakukan pelatihan jangka pendek selama
satu bulan; (4) Melantik, mengukuhkan dan
meresmikan keberadaan inovator teknologi
pertanian.
Lokasi: Seluruh Wilayah Provinsi Gorontalo

(2.b). Penerapan teknologi budidaya dengan menggunakan


teknologi tepat guna yang lebih maju/Application of advanced
agricultural production technology;
Dasar Petani tanaman pangan yang berada di
pertimbangan: daerah pertanian tanpa irigasi (irigasi tadah
hujan dan lahan kering) memerlukan
introduksi teknologi tepat guna dalam
melaksanakan usahatani untuk
meningkatkan produktivitas per satuan luas
lahan dalam setiap musim tanam. Kendala
yang dihadapi pada saat pengolahan tanah
dan selama pemeliharaan memerlukan
introduksi teknologi yang diutamakan untuk
memertahankan dan atau meningkatkan
kesuburan lahan. Salah satu contoh aplikasi
teknologi untuk meningktatkan produktivitas
dan optimlalisasi lahan adalah pemanfaatan
pupuk kandang sebagai komplemen pupuk
kimia untuk memperbaiki struktur tanah
sehingga pada saat pengolahan musim
tanam berikutnya lebih mudah diolah.
Dihubungkan dengan pengembangan
agribisnis terpadu, limbah tanaman jagung
dimanfaatkan untuk diolah menjadi suber
bahan pakan hijauan makanan ternak
ruminansia besar. Dari sinergi tersebut
diharapkan selain akan terbentuk
keseimbangan sumberdaya hayati juga
terbentuk ketersediaan pakan dalam jangka
panjang sehingga produktivitas ternak
meningkat.
Tujuan: Membentuk budaya efisiensi usahatani
dengan cara mengintegrasikan berbagai
sumberdaya yang tersedia dengan mudah di
daerah yang tidak memiliki sumberdaya air
yang cukup dan produktivitas komoditas
tanaman pangan yang masih rendah. Dari
peningkatan efisiensi yang terbentuk
diharapkan akan terjadi peningkatan
pendapatan secara simultan.
Sasaran: Sebanyak 4171 KK yang memiliki lahan
pertanian terbatas dengan kondisi lahan
yang tidak berisigasi dan lahan kering yang
tercakup dalam program pengembangan
usahatani terpadu (1) Patilanggio ; 80%;
606KK; (2) Paguat ; 25%; 746KK; (3)
Taluditi ; 30%; 167KK; (4) Wonosari ; 10%;
114KK; (5) Botumoito ; 20%; 244KK; (6)
Tolinggula ; 20%; 144KK; (7) Anggrek ; 20%;
195KK; (8) Kwandang ; 20%; 272KK; (9)
Atinggola ; 20%; 190KK; (10) Tapa ; 10%;
270KK; (11) Telaga Biru ; 15%; 430KK; (12)
Tibawa ; 10%; 275KK; (13) Mootilanggo ;
10%; 157KK; (14) Boliohuto ; 20%; 361KK
Keluaran; Meningkatnya produktivitas usahatani
melalui peningkatan pemahaman dan
pengalaman dalam menerapkan teknologi
tepat guna yang sesuai dengan kondisi
kesuburan lahan.
Bentuk Pelaksanaanproyek percontohan
Kegiatan; pengembangan tanaman pangan-
perkebunan-peternakan terpadu bagi 4171
KK petani miskin yang berada di daerah
yang memiliki produktivitas rendah karena
tidak beririgasi dan lahan kering. Proyek
percontohan dilaksanakan di setiap desa.
Lokasi: Patilanggio, Paguat , Taluditi, Wonosari,
Botumoito, Tolinggula, Anggrek, Kwandang,
Atinggola, Tapa, Telaga Biru, Tibawa,
Mootilanggo, dan Boliohuto

(2.c). Bantuan operasional bagi inovator teknologi tingkat


kecamatan;
Dasar Untuk melakukan kegiatan motivasi dan
pertimbangan: diseminasi informasi kepada seluruh petani
peserta pengembangan agribisnis terpadu
diperlukan biaya untuk melakukan kegiatan
rutin. Perlunya biaya untuk transportasi dan
perbekalan.
Tujuan: Membrikan kemudahan bagi motivator
untuk melaksanakan kegiatan rutinnya.
Sasaran: Inovator melaksanakan seluruh kegiatan
memotivasi sesuai jadwal.
Keluaran; Tersedianya biaya operasional bagi 150
inovator setiap bulannya selama empat
tahun
Bentuk Penyediaan dana rutin operasional
Kegiatan;
Lokasi: Seluruh Wilayah Provinsi pada 15
kecamatan terpilih

(2.d) Karyawisata Bagi petani yang berhasil meningkatkan


produktivitas ke daerah yang melakukan pemanfaatan
sumberdaya lahan secara optimal/Exchange Visits/Tours
Dasar Peningkatan pengetahuan dan pemahaman
pertimbangan: terhadap optimalisasi sumberdaya lahan
memerlukan peningkatan wawasan melalui
contoh yang baik dari daerah lain yang telah
lebih maju. Untuk itu diperlukan peninjauan
bagi petani ke daerah lain sebagai
perbandingan dan dalam rangka
memperoleh pelajaran yang berharga dari
tempat lain untuk lebih memacu semangat
dan peningkatan daya serap informasi..
Tujuan: Peningkatan pengetahuan dan wawasan
teknologi tepat guna dan inovasi metode
pemanfaatan lahan secara optimal dalam
rangka meningkatkan pendapatan petani.
Selanjutnya diharapkan, pengetahun yang
lebih baik yang diperoleh dari studi banding
akan dimanfaatkan untuk meningkatkan
inoasi yang telah terbangun
Sasaran: Inovator terpilih dari 150 inovator yang telah
berhasil mengaplikasikan teknologi tepat
guna secara lebih lanjut sebanyak 30 orang.
Keluaran; (1) Terbangunnya image positif terhadap
inovator teknologi tepat guna; (2)
Meningkatnya pengetahuan dan wawasan
inovator; (3) Meningkatnya hubungan
inovator dengan petani yang telah lebih
maju dalam optimalisasi pemanfaatan
sumberdaya lahan
Bentuk Studi banding ke daerah yang telah lebih
Kegiatan; maju dalam optimalisasi pemanfaatan lahan
Lokasi: Ditentukan kemudian
3.14.1.2.Memperbaiki Kondisi Sumberdaya Alam untuk meningkatkan
produktivitas dan kesejahteraan dalam jangka panjang

Melestarikan sumberdaya alam yang dimiliki oleh Provinsi Gorontalo


merupakan kewajiban mutlak yang harus dilaksanakan agar nilai
manfaat ekonomi dan manfaat terhadap daya dukung wilayah dapat
dipertahankan dalam jangka panjang. Seperti telah diuraikan pada
bagian terdahulu, sebagian kondisi sumberdaya alam telah megalami
degradasi yang diakibatkan oleh kesalahan manajemen dan kesalahan
kebijakan di masa lalu yang lebih berorientasi pada pertumbuhan
ekonomi tanpa mempertimbankan aspek kelestarian lingkungan.
Untuk mengantisipasi terjadinya degradasi sumberdaya lahan yang
lebih lanjut, diperlukan langkah strategis melalui program dan
kegiatan yang bersifat rehabilitatif dan kuratif sebelum terjadinya
bencana yang lebih besar.

Sebagai bagian dari program upaya mitigasi untuk memperbaiki


kondisi sumberdaya alam untuk meningkatkan produktivitas dan
kesejahteraan dalam jangka panjang, diusulkan lima kegiatan pokok
sebagai berikut: (1) Menetapkan dan Mengelola Kawasan Lindung
Laut/Establish and Manage Marine Protected Areas - Protection of Fish
Spawning Aggregation Sites; (2) Penetapan Kawasan lindung laut
untuk Tuna Nursery Ground/Establish Marine Protected Areas (for tuna
nursery ground); (3) Rehabilitasi/pengelolaan hutan mangrove yang
telah rusak Rehabilitate/Manage Degraded Mangrove Area(s); (4)
Optimalisasi Pemanfaatan Sumberdaya Laut Untuk Meningkatkan
Pendapatan Nelayan; dan (5) Penataan Pemanfaatan dan Konservasi
Sumberdaya Lahan Untuk Meningkatkan Produktivitas dan Mencegah
Kerusakan Lingkungan.

(1) Menetapkan dan Mengelola Kawasan Lindung Laut/Establish and


Manage Marine Protected Areas - Protection of Fish Spawning
Aggregation Sites;
Dasar Beberapa kawasan pesisir yang berada di
pertimbangan: sepanjang pantai Kabupaten Gorontalo
Utara, Kabupaten Pohuwato, Kabupaten
Boalemo, Kabupaten Gorontalo dan
Kabupaten Bone Bolango merupakan
tempat berpijah ikan (nursery and spawning
ground), terutama ikan karang. Hasil
interview dan observasi yang telah
dilakukan menunjukkan terjadinya degradasi
ukuran dan stok ikan karang dibandingkan
dengan kondisi lima tahun lalu. Kondisi
tersebut diakibatkan oleh metode
penangkapan yang merusak lingkungan,
diantaranya dengan menggunakan
potasium. Selain rusaknya terumbu karang,
eksploitasi hutan bakau sebagai tempat
berpijah ikan juga telah beralih fungsi
menjadi tambak tradisionil yang umumnya
tidak dikelola secara baik dan tidak ramah
lingkungan. Akibat dari kedua keadaan
tersebut adalah menurunnya daya dukung
kawasan pesisir terutama pada ekosistem
terumbu karang dan hutan mangrove. Untuk
mempertahankan kelestarian stok ikan
diperlukan adanya kawasan yang dilindungi
untuk memberi peluang pada ikan untuk
berpijah.
Tujuan: Menetapkan kawasan lindung laut pada
kawasan pesisir Kecamatan Tolinggula,
Kecamatan Anggrek, Kecamatan Kwandang,
Kecamatan Atinggola, Kecamatan Paguat,
Kecamatan Patilanggio, Kecamatan
Botumoito dan Kecamatan Boliyohuto.
Sasaran: Kawasan pesisir Kecamatan Tolinggula,
Anggrek, Kwandang, Atinggola, Paguat,
Patilanggio, Botumoito dan Kecamatan
Boliyohuto.
Keluaran; Peraturan daaerah mengenai penetapan
kawasan lindung di beberapa tempat yang
akan ditentukan luasan dan jenis
pengelolaan kawasannya setelah diperoleh
data akurat mengenai manfaat, dampak dan
luasan yang akan dikelola.
Bentuk (1) Kajian kawasan yang perlu ditetapkan
Kegiatan; sebagai kawasan lindung, (2) Penyusunan
Peraturan Daerah, (3) Pelatihan mengenai
penetapan dan Pengelolaan; (4) Sosialisasi,
(5) Penegakan hukum.
Lokasi: Kajian dilaksanakan di Kawasan pesisir
Kecamatan Tolinggula, Anggrek, Kwandang,
Atinggola, Paguat, Patilanggio, Botumoito
dan Kecamatan Boliyohuto, Workshop
dilaksanakan di Kota Gorontalo

(2) Penetapan Kawasan lindung laut untuk Tuna Nursery


Ground/Establish Marine Protected Areas (for tuna nursery
ground);
Dasar Menurut hasil observasi, kawasan pesisir
pertimbangan: pantai ilomata merupakan daerah
pengasuhan tuna (tuna nursery ground).
Kekhawatiran terhadap hilangnyad daerah
pengasuhan tersebut terjadi karena semakin
banyaknya praktek penangkapan baby tuna.
Jika kejadian penangkapan baby tuna
dilakukan secara terus menerus dan tanpa
kendali dikhawatirkan akan semakin
mengurangi stok tuna di perairan yang
tercakup dalam kewenangan Provinsi
Gorontalo.
Tujuan: Mengurnagi kegiatan penangkapan pada
daerah pengasuhan tuna, jika perlu
diterbitkan larangan dan pemberian sanksi
bagi nelayan yang tidak mematuhi aturan.
Sasaran: Seluruh nelayan yang beroperasi di kawasan
nursery ground.
Keluaran; Terbentuknya kawasan lindung bagi daerah
pengasuhan tuna.
Bentuk (1) Penyusunan rancangan penetapan dan
Kegiatan; pengelolaan; (2) menyusun kerangka acuan
kerja; (3) Melakukan sosialisasi
berkesinambungan.
Lokasi: pantai ilomata

(3) Rehabilitasi/pengelolaan hutan mangrove yang telah rusak


Rehabilitate/Manage Degraded Mangrove Area(s); Terdiri dari
empat sub kegiatan sebagai berikut:
3.a Penyusunan rencana rinci rehabilitasi/reforestasi hutan
mangrove/ Detailed Planning for Mangrove
Reforestation/Management
Dasar Sebelum melakukan penghutanan
pertimbangan: kembali/peremajaan/rehabilitasi hutan
mangrove yang telah rusak diperlukan
informasi dan rencana rinci mengenai
kegiatan spesifik yang akan dilaksanakan.
Dengan demikian diperlukan kegiatan
pendahuluan dalam bentuk inventarisasi,
penilaian dan perhitungan mengenai lokasi
yang akan direhabilitasi/ditanam
kembali/dikelola sehingga diperoleh
gambaran spesifik dan terinci untuk
memeudahkan kegiatan fisik dan
pengelolaan. Rencana rinci dituangkan
dalam bentuk grand design rehabilitasi dan
pengelolaan hutan mangrove menurut
kawasan yang telah ditentukan berdasarkan
kajian yang bersifat kuantitatif dan
kualitatif.
Tujuan: Menyusun rancangan rinci mengenai luas,
lokasi, jenis species, metoda penanaman,
pihak yang akan dilibatkan, jumlah bibit
yang harus disediakan, biaya yang
diperlukan, jadual pelaksanaan, dan sistem
monitoring dan evaluasi. Selain tujuan
tersebut juga harus dilakukan evaluasi
terhadap konfisi hutan mangrove yang telah
beralih fungsi menjadi tambak dan
kemungkinan/peluang untuk merehabilitasi
kembali menjadihutanmangrove atau
apakah harus melakukan desain ulang
tambak menjadi tambak ramah lingkungan.
Sasaran: kawasan hutan mangrove yang telah rusak
dan beralih fungsi di seluruh wilayah pesisir
Provinsi Gorontalo.
Keluaran; Laporan hasil rancangan rinci termasuk di
dalamnya peta rencana rehabilitasi,
penghutanan kembali, rancang ulang
tambak dan rencana pengelolaannya.
Bentuk Survey, investigasi dan perancangan atas
Kegiatan; kawasan hutan mangrove. Pelaksanaan
kegiatan harus dilakukan oleh konsultan
berpengalaman yang menguasai benar
pokok permasalahan dan sistem kerja pada
penyusunan rancangan rinci.
Lokasi: Provinsi Gorontalo

3.b Pelatihan pembibitan, penanaman dan pengelolaan hutan


mangrove/Training on Mangrove Nursery, Planting and
Management Techniques
Dasar Rancangan rinci yang telah dilaksanakan
pertimbangan: akan menghasilkan rincian mengenai luasan
hutan mangrove yang telah rusak/beralih
fungsi yang harus ditanami kembali. Untuk
memenuhi rencana pengelolaan/
rehabilitasi/penanaman kembali diperlukan
Pengetahuan, kemampuan dan pengalaman
mengenai pembibitan, penanaman dan
pengelolaan kawasan mangrove.
Pengetahuan mengenai teknologi
pembibitan, pemeliharaan dan pengelolaan
hutan mangrove diperlukan pengetahuan,
keterampilan dan pengalaman yang
memadai bagi masyarakat yang akan
dilibatkan dalam kegiatan tersebut. Oleh
karena itu diperlukan pelatihan yang tepat
sasaran bagi masyarakat yang akan
dilibatkan
Tujuan: Memberikan bekal pengetahuan dan
keterampilan bagi masyarakat yang akan
dilibatkan dalam penyediaan boibit,
penanaman kembali, dan pengelolaan hutan
mangrove.
Sasaran: Masyarakat yang bermukim di sekitar hutan
mangrove dan pemilik tambak yang
kemungkinan tambaknya akan direhabilitasi
atau dirancang ulang sesuai kaidah tambak
ramahh lingkungan
Keluaran; Tersedianya bibit species mangrove dalam
jumlah yang mencukupi dan
berkesinambungan.
Bentuk Melaksanakan pelatihan terpadu
Kegiatan;
Lokasi: Tolinggula, Kwandang, Anggrek, Atinggola,
Boliohuto, Botumoito, Patilanggio, dan
Paguat

3.c Pembangunan pusat pembibitan mangrove/Establish


Mangrove Nursery
Dasar Rancangan rinci yang telah dilaksanakan
pertimbangan: akan menghasilkan rincian mengenai luasan
hutan mangrove yang telah rusak/beralih
fungsi yang harus ditanami kembali. Dari
luasan yang telah dianalisis akan diketahui
jumlah bibit yang harus disediakan oleh
pemerintah dan stakeholder terkait. Oleh
karena itu diperlukan pembibitan dalam
jumlah yang mencukupi jika pasokan bibit
yang tersedia dan dapat diperoleh dengan
mudah tidak mencukupi untuk
menghutankan kembali.
Tujuan: Menyediakan bibit species tanaman yang
sesuai untuk kawasan mangrove yang akan
direhabilitasi/ditanam kembali
Sasaran: Masyarakat yang bermukim di sekitar hutan
mangrove dan pemilik tambak yang
kemungkinan tambaknya akan direhabilitasi
atau dirancang ulang sesuai kaidah tambak
ramahh lingkungan
Keluaran; Tersedianya bibit species mangrove dalam
jumlah yang mencukupi dan
berkesinambungan.
Bentuk Membangun pusat pembibitan untuk
Kegiatan; menyediakan pasokan species mangrove
yang sesuai.
Lokasi: Tolinggula, Kwandang, Anggrek, Atinggola,
Boliohuto, Botumoito, Patilanggio, dan
Paguat

3.d Melakukan penghutanan kembali dan pengelolaan hutan


mangrove/Reforest and Manage Mangrove Areas

Dasar Setelah tersedia data dan informasi yang


pertimbangan: akurat disertai rancangan rinci maka
kegiatan penanaman kembali hutan
mangrove dapat dilakukan.
Tujuan: Melakukan penanaman kembali/mengelola
kawasan hutan mangrove yang telah rusak.
Sasaran: Kawasan mangrove yang memerlukan
rehabilitasi/pengelolaan berdasarkan hasil
kegiatan 3.a. Seluas 1423 ha (disesuaikan
dengan hasil rancangan rinci)
Keluaran; Rehabilitasi dan pengelolaan hutan
mangrove yang menyediakan tempat bagi
pemijahan ikan.
Bentuk Kegiatan penanaman, rehabilitasi dan
Kegiatan; pengelolaan.
Lokasi: Tentaif: Tolinggula (400 ha), Kwandang(320
ha), anggrek (410 ha), Atinggola (27ha),
Boliohuto (6 ha), Botumoito (50 ha), dan
Paguat (210 ha)

(4) Optimalisasi Pemanfaatan Sumberdaya Laut Untuk


Meningkatkan Pendapatan Nelayan, teridri dari lima sub-kegiatan
sebagai berikut:
4.a Kampanye Pemanfaatan Sumberdaya Laut Secara Optimal
dan Lestari dengan Menggunakan Teknologi Penangkapan
yang Tepat Guna dan Ramah Lingkungan/Training on
Appropriate and Environment-friendly Fishing Methods

Dasar Menurunnya cadangan sumberdaya ikan


pertimbangan: pada kawasan pesisir akan terus terjadi
seiring dengan degradasi kondisi habitat
ikan di kawasan pesisir. Sumberdaya ikan
yang rtersedia dengan cadangan yang
cukup besar beada jauh di kawasan lepas
pantai. Eksploitasi yang semakin meningkat
diiringi oleh kerusakan habitat ikan di
kawasan pesisir semakin diperparah oleh
kemampuan nelayan dalam pemupukan
modal sehingga operasi yang dilakukan oleh
nelayan hanya sebatas pada kawasan yang
dekat dengan permukiman semakin
memperburuk kondisi kesejahteraan
nelayan. Untuk menyeimbangkan habitat
dan mengembalikan kondisi sumberdaya
perikanan di kawasan pessir memerlukan
waktu yang lama dan tidak dapat dilakukan
hanya dengan sebatas program yang berisi
slogan untuk melakukan kegiatan yang tidak
merusak lingkungan. Kegiatan nyata yang
harus dilakukan adalah mengalihkan secara
bertahap daerah operasi ke daerah
tangkapan yang masih memiliki cadangan
sumberdaya ikan lebih banyak.
Wilayah penangkapan ikan Teluk Tomini dan
Laut Sulawesi pada daerah lepas pantai di
luar garis batas kontinen sampai dengan
batas ZEE masih memiliki cadangan yang
cukup besar bagi operasi perikanan tangkap
skala kecil. Permasalahannya adalah; harus
dilakukan upaya untuk meningkatkan
kemampuan nelayan agar beroperasi di
daerah penangkapan yang lebih jauh seraya
memperbaiki teknologi dengan alat tangkap
dan metode ramah lingkungan.
Tujuan: (1) Meningkatkan kesadarandan kepedulian
nelayan mengenai arti pentingnya
pengelolaan sumberdaya laut secara lestari
dan memberikan pemahaman bahwa
kawasan pesisir mengalami tekanan
terhadap sumberdaya yang semakin hebat
dan semakin rusak. (2) Meningkatkan peran
nelayan dan masyarakat pesisir lainnya
dalam memperlambat laju degradasi dan
merehabilitasi sumberdaya perikanan
pesisir; (3) Membuka wawasan berpikir dan
memberikan gambaran mengenai cadangan
sumberdaya perikanan tangkap di kawasan
pengelolaan perikanan Teluk Tomini dan
Laut Sulawesi sehingga terjadi pemahaman
yang komprehensif bagi nelayan untuk
terlibat secara aktif dalam kegiatan usaha
perikanan tangkap yang produktif dengan
menggunakan teknologi ramah lingkungan
pada daerah tangkapan yang memiliki
cadangan ikan yang masih mlimpah.
Sasaran: Seluruh masyarakat pesisir di Provinsi
Gorontalo
Keluaran; Peningkatan pemahaman dan kepedulian
pelaku usaha perikanan tangkap mengenai
pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap
yang lestari dan efisien.
Bentuk Pelaksnaan Kampanye, Diseminasi Informasi
Kegiatan; dan Edukasi
Lokasi: Seluruh kawasan pesisir Provinsi Gorontalo

4.b Training Menggunakan Alat Tangkap Selektif dan Produktif


untuk mendukung penangkapan pada daerah Tangkapan
Lepas Pantai/Training on Selective and Productive fishing
gear to Support offshore fishing

Dasar Untuk mendukung pelaksanaan kegiatan


pertimbangan: usaha perikanan tangkap seperti diuraikan
pada kegiatan 4.a, diperlukan pelatihan
terpadu dan berkelanjutan bagi nelayan
yang tidak memiliki alat dan sarana
tangkap, nelayan yang menggunakan
perahu tanpa motor dan nelayan yang
menggunakan alat tangkap yang merusak
lingkungan.
Tujuan: Meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan bagi nelayan terpilih pada
delapan kecamatan, yaitu Kecmaatan;
Tolinggula, Kwandang, Anggrek, Atinggola,
Boliohuto, Botumoito, dan Paguat sehingga
mampu melakukan kegiatan produksi
dengan metode dan alat yang sesuai
dengan kegiatan 4.a.
Sasaran: Sebanyak 1383 Nelayan di Kecamatan;
Tolinggula (231 KK), Kwandang (524 KK),
Anggrek (413KK) , Atinggola (215 KK),
Boliohuto (173KK) , Botumoito (114 KK),
dan Paguat (239 KK)
Keluaran; Terlatihnya 1383 RTP Nelayan
Bentuk Pelatihan terpadu in-site selama dua minggu
Kegiatan; dengan frekuensi dua kali
Lokasi: Tolinggula, Kwandang, Anggrek, Atinggola,
Boliohuto, Botumoito, dan Paguat

4.c. Penetapan Peraturan Daerah Mengenai Pemasaran produk


Perikanan Tangkap Selektif/Establish Regional Regulation
on Marketing of Selective Capture Fisheries Product

Dasar Untuk mengendalikan terjadinya


pertimbangan: penangkapan baby tuna, diperlukan aturan
yang melarang pembelian baby tuna.
Tujuan: Melarang perdagangan baby tuna
Sasaran: Seluruh pelaku usaha perikanan tangkap di
Provinsi Gorontalo
Keluaran; Penangkapan ikan selektif
Bentuk Penyusunan PERDA mengenai pelarangan
Kegiatan; penangkapan dan perdagangan baby tuna
Lokasi: Kota Gorontalo

4.d. Pengadaan sarana dan alat tangkap untuk menunjang


perikanan tangkap lepas pantai/Provision of Off-shore
fishing gear and fishing vessel

Dasar Untuk mendukung kegiatan 4.a., diperlukan


pertimbangan: sarana dan alat tangkap ramah lingkungan
sehingga prinsip produktivitas usaha dan
kelestarian lingkungan dapat terjamin dalam
jangka panjang bagi 1383 RTP yang menjadi
pengelola usaha perikanan tangkap dengan
Kapal yang lebih besar dengan alat tangkap
yang sesuai dengan kaidah ramah
lingkungan. Setiap 10 RTP akan menangani
satu unit kapal lengkap dengan alat tangkap
dan alat navigasi.
Tujuan: Meningkatkan pendapatan nelayan
Sasaran: Sebanyak 1383 Nelayan di Kecamatan;
Tolinggula (231 KK), Kwandang (524 KK),
Anggrek (413KK) , Atinggola (215 KK),
Boliohuto (173KK) , Botumoito (114 KK),
dan Paguat (239 KK)
Keluaran; Berdayanya dan meningkatnya pendapatan
1383 nelayan
Bentuk Pengadaan kapal ukuran 21 GT dengan alat
Kegiatan; tangkap pole and line dan pancing tonda
secara bertahap selama dua tahun
sebanyak 139 unit. Tahun 2010 diadakan 40
%, tahun 2011 60%.
Lokasi: Tolinggula, Kwandang, Anggrek, Atinggola,
Boliohuto, Botumoito, dan Paguat

4.e. Pengadaan Sarana Pendukung Perikanan Tangkap Lepas


Pantai Bagi Nelayan Skala Kecil/Provision of Supporting
Facilities for Small-sclae fishermen in implementing
Offshore Fishing

Dasar Untuk mendukung kegiatan 4a, 4b, 4c dan


pertimbangan: 4d diperlukan penyediaan sarana
pendukung bagi penangkapan ikan. Sarana
pendukung tersebut merupakan peralatan
dan perelngkapan yang diperlukan bagi
usaha penangkapan dengan periode waktu
3 - 10 hari per trip. Perlengkapan utama ini
diperlukan untuk mempertahankan kualitas
ikan hasil tangkapan sehingga on-board fish
handling dapat dilakukan sesuai kaidah cold
chain dan HACCP.
Tujuan: Meningkatkan pendapatan nelayan
Sasaran: Sebanyak 1383 Nelayan di Kecamatan;
Tolinggula (231 KK), Kwandang (524 KK),
Anggrek (413KK) , Atinggola (215 KK),
Boliohuto (173KK) , Botumoito (114 KK),
dan Paguat (239 KK)
Keluaran; Berdayanya dan meningkatnya pendapatan
1383 nelayan
Bentuk Pengadaan sarana pendukung berupa
Kegiatan; insulated cool box dan kelengapan lainnya
secara bertahap selama dua tahun
sebanyak 139 unit. Tahun 2010 diadakan 40
%, tahun 2011 60%.
Lokasi: Tolinggula, Kwandang, Anggrek, Atinggola,
Boliohuto, Botumoito, dan Paguat

(5) Penataan Pemanfaatan dan Konservasi Sumberdaya Lahan Untuk


Meningkatkan Produktivitas dan Mencegah Kerusakan
Lingkungan, terdiri dari tiga sub-kegiatan sebagai berikut:
5.a. Perencanaan Ulang tataruang dan tataguna lahan untuk
optimalisasi penggunaan lahan dan konservasi
sumberdaya lahan.
Dasar Produksi pertanian (terutama tanaman
pertimbangan: pangan, dalam hal ini komoditas jagung)
sudah menjadi image positif Provinsi
Gorontalo. Peningkatan produksi jagung dari
tahun ke tahun selalu meningkat yang
membawa konsekuensi pada semakin
tinginya kebutuhan penggunaan lahan
secara ekstensif. Untuk menjamin
keberlanjutan usahatani, kelestarian
sumberdaya alam, kelestarian
keanekaragaman hayati diperlukan suatu
sistem alokasi, penatagunaan dan alokasi
lahan untuk komoditas tanaman pangan.
Tujuan: Melaksanakan penyusunan ulang rencana
tataruang dan tataguna lahan untuk
memperoleh alokasi lahan yang ideal dalam
rangka optimalisasi sumberdaya lahan
sehingga keberlanjutan usahatani dapat
dipertahankan dalam jangka panjang.
Sasaran: Seluruh wilayah kabupaten.dengan satuan
analisis wilayah administratif terkecil adalah
kecamatan.
Keluaran; Tersusunnya rencana alokasi dan tataguna
lahan secara optimal dengan
mempertimbangkan daya dukung dan
manfaat konservasi.
Bentuk Kegiatan penyusunan rencana yang terdiri
Kegiatan; dari; survey, investigasi, desain ulang,
pemetaan dan kuantifikasi sumberdaya
lahan.
Lokasi: Kabupaten Pohuwato, Boalemo, Gorontalo,
Gorontalo Utara, Bone Bolango dan Provinsi
Gorontalo

5.b. Konservasi sumberdaya lahan di kawasan kritis

Dasar Kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh


pertimbangan: penggundulan hutan telah mencapai titik
kritis sehingga mengakibatkan dampak
negatif secara merata pada daerah yang
memiliki topografi berbukit dengan
kemiringan lebih dari 15 %. Kerusakan
leingkungan tersebut telah terbukti
mengurangi kapasitas menahan cadangan
air tanah dan air permukaan terutama pada
musim kemarau dan terjadinya banjir pada
musim hujan. Untuk mengantisipasi
kelanjutan kerusakan lingkungan dan
mengurangi dampak negatif dalam jangka
panjang diperlukan upaya konservasi dalam
bentuk penanaman kembali lahan kritis
(reboisasi). Upaya tersebut harus dilakukan
dalam sebuah pilot project jangka
menengah yang melibatkan rakyat secara
penuh.
Tujuan: Meningkatkan daya dukung lahan dalam
bentuk peningkatan tangkapan air pada
daerah hulu, mempertahankan kesuburan
lahan, mengurangi laju kerusakan
ekosistem.
Sasaran: Daerah tangkapan air pada DAS kritis di
Kabupaten Boalemo, Pohuwato dan
Gorontalo Utara.
Keluaran; Terlaksananya pilot project konservasi dan
meningkatnya daya dukung lahan
Bentuk Penanaman kembali daerah kritis yang
Kegiatan; memiliki kemiringan lebih dari 15 %.
Lokasi: Daerah tangkapan air pada DAS kritis di
Kabupaten Boalemo, Pohuwato dan
Gorontalo Utara.

5.c. Pengembangan hutan rakyat

Dasar Semakin meluasnya areal kritis


pertimbangan: dikhawatirkan akan mengancam kerusakan
ekosistem dan daya dukung sumberdaya
lahan. Penurunan daya dukung sumberdaya
lahan sudah pasti akan mengakibatkan
penurunan produktivitas lahan karena
terjadinya pemiskinan hara dan
ketersediaan air menurun secara signifikan
berbanding lurus dengan penurunan jumlah
tegakan dan meningkatnya
epavotranspirasi. Disisi lain run-off yang
timbul akan mengakibatkan tercucinya hara
pada topsoil sehingga secara kumulatif akan
menurunkan kualitas lahan. Penurunan
kualitas lahan secara agregat terbukti telah
menurunkan produktivitas usahatani
sehingga dalam jangka panjang akan terjadi
pemiskinan bagi pelaku usahatani.
Peningkatan run-off akan membawa
sedimen sehingga mengakibatkan
sedimentasi di daerah hilir. Terjadinya
sedimentasi akan merusak ekosistem laut
dan terjadinya banjir di daerah pesisir.
Sedimentasi dan banjir pada daerah pesisir
akan mengakibatkan terjadinya degradasi
sumberdaya pesisir dan laut yang
ditunjukkan oleh menurunnya cadangan
ikan demersal.
Pada jangka panjang kerusakan ekosistem
daerah pesisir akan menurunkan kapasitas
daerah tersebut sebagai spawning ground
ikan pelagis sehingga pada akhirnya
cadangan ikan pelagis pun menurun
sehingga dalam jangka panjang terjadi
penrunan secara drastis biodiversity. Secara
agregat penurunan sumberdaya tersebut
akan menurunkan kemiskinan seluruh
masyarakat sehingga terjadi kemiskinan
permanen.
Tujuan: Peningkatan pendapatan masyarakat
melalui usahatani berbasis lahan dengan
tetap mempertahankan kelestarian
sumberdaya alam. Upaya konservasi yang
dipadukan dengan kegiatan usahatani
(wanatani) bertujuan untuk mempetahankan
kondisi fisik, kimia dan biologis lahan yang
sudah berada pada ambang kritis.
Sasaran: Petani yang melakukan usahatani di lahan
kritis terutama di daerah tangkapan air (DAS
Kritis bagian hulu) di Kecamatan Tolinggula
(75KK= 75ha), Anggrek (125KK = 125 ha),
Kwandang (75KK = 75 ha), Atinggola
(150KK=150ha), Pulubala (80KK=80ha),
Boliohuto (80KK=80ha), Mootilanggo (80KK
= 80ha), Telaga Biru (125KK=125ha),
Botumoito (225KK=225ha), Wonosari
(250KK=250ha), Paguat (125KK=125ha),
Patilanggio (75KK=75ha), dan Dulupi
(125KK=125ha). Luas Lahan keseluruhan
mencakup 1590 ha.
Keluaran; Meningkatnya pendapatan dan
meningkatnya kesadaran untuk
berusahatani secara berkelanjutan.
Kegiatan; kering terpadu dengan komoditas Jati,
jagung dan ternak sapi. Kegiatan berbentuk
pemberdayaan masyarakat melalui
pendampingan oleh LSM yang sangat
berpegalaman secara teknis dan
manajemen. Keahlian di bidang
pengorganisasian masyarakat, membangun
karakter dan budidaya pertanian dan
peternakan merupakan keharusan mutlak
bagi LSM pelaksana. Kelompok dibangun
dengan jumlah anggota 5 KK per kelompo.
Paket permodalan dalam bentuk natura
untuk bibit jati sebanyak 330 pohon per KK
(densitas tanam 330 pohon/ha), Anak sapi
(bakalan) 12 ekor (10 ekor betina dan 2 ekor
jantan) per 5 kelompok. Dalam 5 tahun
sudah harus terjadi perguliran dari hasil
ternak sapi kepada kelompok lain yang
baru. Perguliran di masing-masing kelompok
hanyalah dalam bentuk anak sapi sehingga
pada masa akhir perguliran masing-masing
KK sudah memiliki sekurangnya satu ekor
sapi.
Lokasi: Lahan kritis terutama di daerah tangkapan
air (DAS Kritis bagian hulu) di Kecamatan
Tolinggula, Anggrek, Kwandang, Atinggola,
Pulubala, Boliohuto, Mootilanggo, Telaga
Biru, Botumoito, Wonosari, Paguat,
Patilanggio, dan Dulupi.

3.14.1. Program Pemberdayaan Masyarakat Melalui Kewirausahaan

Tabungan (simpanan) dan kredit (pinjaman) merupakan dua sisi yang


saling berhubungan. Jika kedua sisi tersebut akan dikembangkan,
pertanyaan yang timbul adalah; Mana yang akan dikembangkan
terlebih dahulu? Ini bagaikan dilemma telur dan ayam. Jika kita
hubungkan dengan konteks pembangunan agribisnis yang lebih
menekankan pada peningkatan pendapatan dan pengentasan
kemiskinan, maka tabungan akan timbul setelah disediakan kredit
yang akan menggerakkan roda kegiatan ekonomi. Kondisi demikian
terjadi karena tabungan akan tumbuh jika ada aktivitas ekonomi.

Aktivitas ekonomi ini harus diciptakan melalui kredit. Kredit tersebut


dapat berbentuk uang atau barang. Dengan adanya kredit maka
masyarakat pantai memiliki kesempatan untuk menggerakkan roda
ekonomi produktif. Selanjutnya diharapkan timbul dampak positif
dalam bentuk peningkatan kesejahteraan. Untuk menjamin
ketersediaan kredit untuk masyarakat masyarakat petani, maka
diperlukan lembaga yang secara sungguh-sungguh bertanggungjawab
dalam menyediakan kemudahan bagi masyarakat pantai untuk
memperoleh kredit bagi pengembangan usahanya.

Salahsatu skenario pemecahan masalah yang telah dilakukan oleh


program Pemberdayaan Masyarakat Melalui Kewirausahaan
adalah dengan mempersiapkan keluarga petani, peternak, nelayan
dan pembudidaya ikan untuk menghadapi ancaman degradasi
sumberdaya. Kegiatan nyata yang harus dilakukan adalah dengan
memberdayakan keluarga nelayan melalui berbagai program
pengembangan produktivitas dan matapencaharian alternatif. Secara
umum, tujuan dilaksanakannya program ini adalah; (1) menyediakan
kekuatan modal dan kapasitas permodalan sehingga meningkatkan
pendapatan keluarga; (2) menyediakan kesempatan kerja bagi
kelompok usia produktif yang belum memperoleh pekerjaan; (3)
meningkatkan nilai tambah produk; (4) mengentaskan kemiskinan dan
pada akhirnya akan (5) menggerakkan perekonomian lokal berbasis
masyarakat untuk meningkatkan daya beli.

Pelaksanaan program tersebut diharapkan dapat mengurangi


ketergantungan terhadap kredit berbunga tinggi, tengkulak atau
kepasrahan pada nasib, artinya dengan tersedianya kekuatan modal
sumber matapencaharian alternatif maka semakin banyak pilihan
kegiatan usaha untuk memperoleh atau meningkatkan pendapatan
keluarga. Dengan demikian, dalam jangka panjang memungkinkan
masyarakat melakukan kegiatan produktif. Pada akhirnya akan terjadi
kekuatan permodalan yang kuat di tingkat masyarakat.

Permodalan yang kuat hanya akan tercipta jika masyarakat sendiri


yang mengembangkan sistem permodalan tersebut. Seluruh program
dan kegiatan yang tercantum dalam program 2 ini merupakan metode
yang termudah untuk dilaksanakan sehingga terbangun kapasitas
pembentukan modal oleh masyarakat. Untuk membangun kekuatan
permodalan pada tingkat petani, nelayan, peternak dan pembudidaya
diusulkan empat subprogram dengan beberapa kegiatan yakni;

Subprogram 2.1: Pengorganisasian dan Penyiapan


Masyarakat/Community Organizing and Social
Preparation
Subprogram 2.2: Meningkatkan Kapasitas Permodalan Bagi
Masyarakat/Improving Community Financial Capital
Capacity.
Subprogram 2.3: Membangun Kapasitas Penciptaan Pendapatan
Bagi Masyarakat/Increasing Income-generating Capacity
of Communities
Subprogram 2.4: Revitalisasi Perkebunan Rakyat/Revitalize Small-
holder Estate Crops.

Uraian masing-masing sub-program dan kegiatan yang telah disusun


untuk meningkatkan kapasitas permodalan adalah sebagai berikut;

3.14.1.1.Subprogram 2.1: Pengorganisasian dan Penyiapan


Masyarakat/Community Organizing and Social Preparation.

Kegiatan utama yang akan dilaksanakan dibawah subprogram 2.1.


terdiri dari; (1) Membentuk Keberdayaan Masyarakat/Community
Empowerment Mobilization; dan (2) Pemberdayaan Masyarakat
Melalui Pengembangan Matapencaharian Alteriatif/Community
Empowerment Through Alternative Livelihood Development;

Kegiatan utama kesatu Membentuk Keberdayaan Masyarakat


dilaksanakan melalui lima kegiatan sebagai berikut; (1.a) Konsultasi
Tingkat Masyarakat Community-level Consultations; (1.b) Kampanye
Kepedulian untuk membangun aset dan menumbuhkan
kewirausahaan/Campaigns for Community Awareness Buiilding on
Assets and Enterpreunership Development; (1.c) Identifikasi dan
Pelatihan Penilaian Peluang Bisnis Bagi Masyarakat /Identification and
Training of Community Business Opportunities Assessment; (1.d)
Training Pengelolaan Organisasi Berbasis Masyarakat/ Training on
Community-base Organization Management; dan (1.e) Pelatihan
Pembangunan Kepemimpinan Tingkat Lanjut Bagi Inovator/Training on
Advance Leadership Skills Development for Innovator

(1a) Uraian Kegiatan Konsultasi Tingkat Masyarakat/Community-level


Consultations;

Dasar Perencanaan pemberdayaan masyarakat


pertimbangan: terpadu yang melibatkan semua sub-sektor
dalam sektor pertanian memerlukan
persiapan yang matang karena merupakan
kegiatan yang berkelanjutan. Prasyarat yang
harus ditempuh pada awal pelaksanaan
kegiatan sebelum memulai rencana
kegiatan pokok adalah terlaksananya
kegiatan persiapan masyarakat yang diawali
dengan konsultasi publik. Kegiatan tersebut
harus dimulai dengan konsultasi tingkat
masyarakat dengan bentuk saresehan untuk
mengidentifikasi kebutuhan dan kapasitas
masyarakat yang akan menjadi penerima
manfaat.
Tujuan: (1) Memperoleh gambaran yang nyata dan
menyeluruh mengenai kebutuhan, kapasitas
dan kondisi yang diperlukan untuk
menyusun kegiatan pokok; (2)
Mengumpulkan danmengolah informasi
pendukung yang diperlukan untuk
melakukan kegiatan pokok; (3) Menyiapkan
bahan dan melakukan seleksi bagi
terselenggaranya kampanye dan training
bagi masyarakat.
Sasaran: Seluruh kelompok tani yang sudah
terbentuk di 15 kecamatan terpilih.
Keluaran; (1) Tersedianya gambaran yang nyata dan
menyeluruh mengenai kebutuhan, kapasitas
dan kondisi yang diperlukan untuk
menyusun kegiatan pokok; (2) Tersedianya
informasi pendukung yang diperlukan untuk
melakukan kegiatan pokok; (3) Tersedianya
bahan dan daftar calon peserta training bagi
terselenggaranya kampanye dan training
bagi masyarakat.
Bentuk (1) Need assessment pada level desa; (2)
Kegiatan; Identifikasi dan inventarisasi kebutuhan
menurut hasil need assessment; (3)
inventasisi dan seleksi calon peserta
training; (4) Penyusunan rencana materi
kampanye dan materi pelatihan yang telah
sesuai dengan hasil need assessment; (5)
Menyusun rencana kegiatan rinci untuk
kegiatan kampanye dan pelatihan.
Lokasi: Pulubala ; Tibawa ; Mootilango ; Boliyohuto
; Telaga Biru ; Botumoito ; Wonosari ;
Tapa ; Taluditi ; Patilanggio ; Paguat ;
Kwandang ; Anggrek ; Tolinggula ;
Atinggola

1.b Kampanye Kepedulian untuk membangun aset dan


menumbuhkan kewirausahaan/Campaigns for Community
Awareness Buiilding on Assets and Enterpreunership
Development

Dasar Hasil yang telah diperoleh pada kegiatan 1.a


pertimbangan: memerlukan tindak lanjut dalam bentuk
kampanye kepedulian untuk membangun
asset dan menumbuhkan kewirausahaan.
Tujuan: Menumbuhkan kesadaran dan kepedulian
masing-masing anggota masyarakat yang
tergabung dalam kelompok untuk terlibat
dalam kegiatan pengembangan
kewirausahaan. Pada kegiatan kampanye
tersebut dilakukan diseminasi informasi
yang meperlihtakanproses pementukan
karakter wirausaha yang akan menjadikan
masyarakat tergugah dan tertatirk untuk
mengembangkan kapasitas dan
keterampilannya.
Sasaran: Seluruh kelompok tani yang sudah
terbentuk di 15 kecamatan terpilih.
Keluaran; Terbangunnya kepedulian dan kesadaran
masyarakat untuk memulai meningkatkan
produktivitas, kapasitas dan kapabilitas
yang dibentuk dari paduan antara
sumberdaya manusia, suberdaya alam dan
sumberdaya finansial.
Bentuk Kapmpanye, diseminasi informasi, edukasi
Kegiatan; dan presentasi contoh keberhasilan.
Lokasi: Pulubala ; Tibawa ; Mootilango ; Boliyohuto
; Telaga Biru ; Botumoito ; Wonosari ;
Tapa ; Taluditi ; Patilanggio ; Paguat ;
Kwandang ; Anggrek ; Tolinggula ;
Atinggola

1.c Identifikasi dan Pelatihan Penilaian Peluang Bisnis Bagi


Masyarakat /Identification and Training of Community
Business Opportunities Assessment

Dasar Peluang bisnis yang timbul sebagai dampak


pertimbangan: bergulirnya program pengembangan sistem
agribisnis terpadu harus dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat. Kelemahan
yang terjadi saat ini adalah pengetahuan
mengenai peluang bisnis yang dapat
dikembangkan oleh masyarakat belum
sepenuhnya dikuasai. Meskipun masyarakat
sudah mengetahui adanya peluang bisnis,
cara memanfaatkan peluang sehingga
menumbuhkan kemampuan untuk berusaha
belum sepenuhnya dikuasai sehingga resiko
dan ketidakpastian seringkali menjadikan
masyarakat tidak dapat mengambil
keputusan yang mudah dan cepat.
Permasalahan tersebut harus diatasi dengan
peningkatan kemampuan dalam mengkaji
peluang bisnis dengan metode sederhana
dan tepat sasaran. Oleh karena itu
diperlukan adanya pelatihan mendasar dan
tepat guna mengenai cara mengkaji dan
melaksanakan bisnis untuk memanfaatkan
peluang menjadi kekuatan.
Tujuan: Meningkatkan kapasitas dan respon
masyarakat untuk memanfaatkan peluang
bisnis melalui pemberdayaan kelompok.
Anggota yang mengikuti pelatihan
selanjutnya harus mampu menularkan
kemampuannya kepada anggota kelompok
lainnya.
Sasaran: Kelompok Tani yang sudah terbentuk,
setidaknya 386 orang atau 2,0 % per tahun
anggota kelompok mengikuti pelatihan
sehingga memperoleh pemahaman dan
memiliki kemampuan dalam mengkaji
peluang bisnis untuk dilaksanakan bersama
anggota kelompoknya. Sehingga dalam lima
tahun terdapat 10 % anggota kelompok
yang mengikuti pelatihan dengan rincian
menurut kecamatan; Pulubala 33; Tibawa
40 ; Mootilango 19; Boliyohuto 17; Telaga
Biru 19; Botumoito 33; Wonosari 58; Tapa
20; Taluditi 30; Patilanggio 22; Paguat 26;
Kwandang 17; Anggrek 12; Tolinggula 16;
Atinggola 24
Keluaran; Terbangunnya kemauan dan kemampuan
masyarakat dalam memanfaatkan peluang
bisnis
Bentuk Pelatihan Jangka Pendek selama 5 hari (on-
Kegiatan; site short term training). Pelaksana kegiatan
pelatihan haruslah lembaga yang
berpengalaman praktisi dan tidak hanya
teori sehingga seluruh hasil pelatihan benar-
benar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.
Materi Training yang disarankan adalah; (1)
Pengetahuan bisnis, (2) Metode/cara
mengkaji peluang bisnis; (3) Merencanakan
memulai usaha; (4) Merencanakan biaya
dan pengeluaran; (5) Teknik negosiasi
bisnis; (6) Memasarkan produk; (7)
Melakukan kajian resiko dan ketidakpastian.
Lokasi: Pulubala ; Tibawa ; Mootilango ; Boliyohuto
; Telaga Biru ; Botumoito ; Wonosari ;
Tapa ; Taluditi ; Patilanggio ; Paguat ;
Kwandang ; Anggrek ; Tolinggula ;
Atinggola

1.d Training Pengelolaan Organisasi Berbasis Masyarakat/


Training on Community-base Organization Management

Dasar Kelemahan dalam membangun organisasi


pertimbangan: masyarakat yang sering dilakukan oleh LSM
maupun universitas pada masa sekarang ini
adalah materi pelatihan lebih dititikberatkan
pada aspek politik sehingga setelah
organisasi terbentuk, peserta tidak
memahami aspek teknis yang berubungan
dengan metode dan cara mengatasi
permasalahan dalam kehidupan dan
meningkatkan kesejahteraan. Keterlanjuran
demokrasi lebih mewarnai materi pelatihan
sehingga peserta tidak memperoleh
manfaat yang dapat diaplikasikan dalam
membangkitkan proses ekonomi di keluarga
atau wilayahnya. Untuk menghindari kondisi
demikian diperlukan pelatihan untuk
membangkitkan semangat berorganisasi
dan semangat kepemimpinan dalam
mengelola organisasi yang berorientasi pada
peningkatan pendapatan.
Tujuan: (1) Membangkitkan semangat berorganiasai
pada masyarakat yang berorientasi pada
peningkatan pendapatan dan penciptaan
lapangan kerja/usaha secara mandiri; (2)
Membangun kepemimpinan lokal yang
mampu mengatasi permasalahan teknis
secara sederhana dan aplikatif; (3)
Menciptakan kader penggerak semangat
dan kreatif dalam menciptakan inovasi baru
dalam teknik dan manajemen usahatani
terpadu; (4) Membangun landasan berpikir
kreatif dan inovatif bagi kader yang terpilih.
Sasaran: Sebanyak 75 orang pemuda/pemudi tani
yang benar-benar terjun dalam kegiatan
usahatani namun memiliki jiwa kreatif dan
inovatif yang dipilih berdasarkan aspek
kemamupan komunikasi, kemampuan teknis
usahatani dan kemampuan negosiasi.
Masing-masing kecamatan diwakili oleh lima
orang sehingga keseluruhan jumlah untuk
15 kecamatan adalah 75 orang.
Keluaran; Terbentuknya kelompok pemuda tani
inovator yang mampu mengatasi berbagai
permasalahan teknis dan manajemen
dengan cara prakis dan cepat; Tersedianya
tenaga inovator yang mampu membantu
petani dalam mengatasi permasalahan
usahatani.
Bentuk Pelatihan Jangka Pendek selama 12 hari.
Kegiatan; Pelaksana kegiatan pelatihan haruslah
lembaga yang berpengalaman praktisi dan
tidak hanya teori sehingga seluruh hasil
pelatihan benar-benar dapat dimanfaatkan
oleh masyarakat. Materi Training yang
disarankan adalah; (1) Basic leadership skill;
(2) Metode/cara mengkaji dan mengatasi
permasalahan; (3) Manajemen organisasi;
(4) Kewirausahaan; (5) Teknik negosiasi.
Lokasi: Gorontalo

1.e Pelatihan Pembangunan Kepemimpinan Tingkat Lanjut Bagi


Inovator/Training on Advance Leadership Skills Development
for Innovator

Dasar Sebagai tindak lanjut dari pelatihan pada


pertimbangan: kegiatan 1.d, diperlukan adanya pelatihan
kepemimpinan dan pengorganisasian
masyarkat bagi inovator yang telah ditunjuk.
Tujuan: Meningkatkan kemampuan dan
keterampilan memimpin dan mengelola
organisasi berbasis masyarakat.
Sasaran: Inovator yang telah ditunjuk
Keluaran; Terbentuknya jiwa kepemimpinan yang kuat
dan tangguh dalam menghadapi berbagai
permasalahan teknis dan permaslahan
sosial kemasyarakatan
Bentuk Pelatihan Jangka Pendek selama 12 hari.
Kegiatan; Pelaksana kegiatan pelatihan haruslah
lembaga yang berpengalaman praktisi dan
tidak hanya teori sehingga seluruh hasil
pelatihan benar-benar dapat dimanfaatkan
oleh masyarakat. Materi Training yang
disarankan adalah; (1) Advance leadership
skill; (2) Metode/cara mengkaji dan
mengatasi permasalahan tingkat lanjut; (3)
Teknik memotivasi; (4) Teknik kajian sosial
sederhana; (5) Teknik monitoring dan
evaluasi program.
Lokasi: Gorontalo

Kegiatan utama kedua yaitu Pemberdayaan Masyarakat


Melalui Pengembangan Matapencaharian
Alterinatif/Community Empowerment Through Alternative
Livelihood Development; dilaksanakan melalui empat kegiatan
yang terdiri dari; (2.a) Pelatihan Pengelolaan Usaha
Bersama/Training on Mutual Microbusiness Group Management; (2.b)
Proyek percontohan Usaha Bersama/Demonstration Project on Mutual
Business Group Development; (2.c) Bantuan Modal untuk Proyek
Percontohan/Financial Assistance for Mutual Business Group; dan (2.d)
Membuka Pemasaran Bagi Produk Kelompok Usaha Bersama/
Microbusiness Marketing Assistance

(2.a) Pelatihan Pengelolaan Usaha Bersama/Training on Mutual


Microbusiness Group Management;

Dasar Setelah terbentuknya Kelompok Usaha


pertimbangan: Bersama (KUB), akan dibutuhkan
kemampuan anggota dan pengurus untuk
mengelola kelompok tersebut. Peningkatan
kapasitas dan keterampilan pengurus dan
anggota harus dibangun melalui kegiatan
pelatihan mengenai pengelolaan kelompok
dari sisi bisnis. Materi yang disampaikan
dalam pelatihan ini sebaiknya terdiri dari (1)
Pengantar manajemen bisnis; (2) Pemasaran
produk; (3) Manajemen keuangan; (4)
Manajemen produksi; (5) Motivasi dan
kewirausahaan.
Tujuan: Membentuk, meningkatkan dan memotivasi
kemampuan dan keterampilan mengelola
usaha.
Sasaran: Seluruh kelompok tani yang sudah
terbentuk di 15 kecamatan terpilih.
Keluaran; Terbentuknya jiwa kewirausahaan yang kuat
dan tangguh dalam menghadapi berbagai
permasalahan teknis dan permaslahan
usaha bersama.
Bentuk (a) Pelatihan kelompok usaha bersama; (b)
Kegiatan; Materi yang disampaikan dalam pelatihan ini
sebaiknya terdiri dari (1) Pengantar
manajemen bisnis; (2) Pemasaran produk;
(3) Manajemen keuangan; (4) Manajemen
produksi; (5) Motivasi dan kewirausahaan; ©
Pelatih seharusnya merupakan komposisi
praktisi bisnis dengan jumlah yang lebih
besar, bukan hanya pengamat atau dosen.
Lokasi: Pulubala; Tibawa; Mootilango; Boliyohuto;
Telaga Biru; Botumoito; Wonosari; Tapa;
Taluditi; Patilanggio; Paguat; Kwandang;
Anggrek; Tolinggula; dan Atinggola

(2.b) Proyek percontohan Usaha Bersama/Demonstration Project on


Mutual Business Group Development;

Dasar Penciptaan kemampuan untuk membangun


pertimbangan: permodalan di tingkat masyarakat tidak
dapat berjalan dengan sendirinya. Oleh
karena itu, pemerintah berkewajiban untuk
membangun sistem yang memungkinkan
masyarakat dalam membangun sistem
permodalannya sendiri. Bangunan
permodalan itu sendiri tidak akan terwujud
jika masyarakat tidak melakukan usaha
yang bersifat produktif. Langkah
percontohan merupakan langkah dasar
untuk membangkitkan kemampuan
masyarakat dalam menciptakan usaha
produktif.
Tujuan: Membentuk, meningkatkan dan memotivasi
kemampuan dan keterampilan membangun
usaha produktif.
Sasaran: Seluruh kelompok tani yang sudah
terbentuk di 15 kecamatan terpilih.
Keluaran; Terbentuknya jiwa kewirausahaan yang kuat
dan tangguh dalam menghadapi berbagai
permasalahan teknis dan permaslahan
usaha bersama.
Bentuk Proyek pembangunan percontohan usaha
Kegiatan; produktif berbasis kelompok
Lokasi: Pulubala; Tibawa; Mootilango; Boliyohuto;
Telaga Biru; Botumoito; Wonosari; Tapa;
Taluditi; Patilanggio; Paguat; Kwandang;
Anggrek; Tolinggula; dan Atinggola
(2.c) Bantuan Modal untuk Proyek Percontohan/Financial Assistance for
Mutual Business Group; dan
Dasar Sebagai tindak lanjut dari upaya
pertimbangan: pembangunan kemampuan permodalan,
pemerintah diwajibkan memberikan
stimulan dalam bentuk kemudahan
perolehan kredit dari perbankan/lembaga
keuangan. Selanjutnya kredit yang telah
diberikan dapat digunakan untuk digulirkan
kepada anggota kelompok lain yang
memerlukan
Tujuan: Membangun kapasitas permodalan
Sasaran: Seluruh kelompok tani yang sudah
terbentuk di 15 kecamatan terpilih.
Keluaran; Terbentuknya jiwa kewirausahaan yang kuat
dan tangguh dalam menghadapi berbagai
permasalahan teknis dan permaslahan
usaha bersama.
Bentuk Proyek percontohan dalam bentuk bantuan
Kegiatan; akses modal
Lokasi: Pulubala; Tibawa; Mootilango; Boliyohuto;
Telaga Biru; Botumoito; Wonosari; Tapa;
Taluditi; Patilanggio; Paguat; Kwandang;
Anggrek; Tolinggula; dan Atinggola

(2.d) Membuka Pemasaran Bagi Produk Kelompok Usaha Bersama/


Microbusiness Marketing Assistance

Dasar Pembangunan sistem agribisnis terpadu


pertimbangan: tidak akan memberikan hasil optimal jika
pelaku usaha hanya mampu melakukan
proses produksi tanpa memiliki kemampuan
memasarkan produk yang dihasilkannnya.
Oleh karena itu diperlukan pembekalan
praktis dan pendampingan berkelanjutan
bagi pelaku usaha dalam memasarkan
produk yang dihasilkannya secara mandiri.
Tujuan: Memberikan pemahaman dan kemampuan
proses pemasaran smpai pelaku usaha
mampu memasarkan produknya secara
mandiri
Sasaran: Seluruh kelompok tani yang sudah
terbentuk di 15 kecamatan terpilih.
Keluaran; Terbentuknya kemampuan memasarkan
Bentuk Pelatihan dan pembinaan teknis dan praktek
Kegiatan; memasarkan yang dibimbing oleh pelaku
usaha yang sudah berhasil
Lokasi: Pulubala; Tibawa; Mootilango; Boliyohuto;
Telaga Biru; Botumoito; Wonosari; Tapa;
Taluditi; Patilanggio; Paguat; Kwandang;
Anggrek; Tolinggula; dan Atinggola

3.14.1.2.Subprogram 2.2: Meningkatkan Kapasitas Permodalan Bagi


Masyarakat/Improving Community Financial Capital Capacity.

Kegiatan pokok yang akan dilaksanakan dibawah subprogram 2.2.


terdiri dari; (1) Membangun Tatanan Permodalan Berbasis Kelompok /
Develop Group Base Financial Capital Framework; dan (2) Membangun
Hubungan Kemitraan dan Menjembatani KUB dengan Lembaga
Keuangan, Pengusaha dan Pemerintah/ Establish Lingkage and
Partnership Between Microenterprise, Financial Institutions, Private
Investor and Local Government;

Kegiatan utama pertama yaitu; Membangun Tatanan Permodalan


Berbasis Kelompok / Develop Group Base Financial Capital Framework
terdiri dari empat kegiatan yang dirinci sebagai berikut;

1.a Membantu Masyarakat Melalui Program Sertifikasi Lahan


(PRODA/PRONA)/ Assist the Community in Land/Properties Certification
Program (PRODA/PRONA)
Dasar Pengaruh penguasaan tanaman tahunan
pertimbangan: bukan oleh pemilik lahan (tanaman kelapa
dimiliki oleh orang lain sementara tanahnya
tetap dimiliki) sangat signifikan terhadap
kapasitas pemupukan modal. Lahan yang
dipertahankan hanyalah lahan sawah.
Praktek ijon banyak ditemukan di hampir
semua kecamatan (14) kecamatan kecuali
Kecamatan Tapa karena luas pemilikan dan
pengusahaan lahan sangat kecil. Umumnya
ijon kurang ditemukan pada daerah dengan
produktivitas tinggi dan pada saat panen
berhasil. Praktek ijon terjadi karena petani
tidak mampu untuk membeli faktor produksi
sehingga petani tidak bebas menjual kepada
pasar yang lebih luas. Disisi lain
permasalahan timbul karena pemerintah
memberikan bantuan input faktor produksi
dalam bentuk benih dan pupuk sehingga
petani tidak berpikir untuk mengembangkan
modalnya karena tidak ada program
berkelanjutan bimbingan teknis manajemen
keuangan secara berkelanjutan. Akibatnya
adalah memperlemah semangat dan daya
juang untuk melakukan pemupukan modal.
Permasalahan ini terjadi hampir di seluruh
desa sentra produksi pangan. Pada saat
pemerintah tidak menyediakan faktor
produksi secara cuma-cuma, petani kembali
tergantung pada tengkulak sehingga
praktek ijon kembali terulang dan menjadi
benang kusut yang tidak pernah berakhir.
Untuk mengatasi permasalahan kompleks
tersebut diperlukan program yang mengikat
dan pemberian bantuan modal dalam
bentuk kredit. Kredit hanya dapat diperoleh
jika petani memiliki agunan dalam bentuk
sertifikat. Permasalahan kedua timbul yaitu
bahwa hampir 80 % lahan usahatani yang
dimiliki petani tidak bersertifikat dan bahkan
masih ada lahan yang berstatus lahan
hutan. Upaya untuk meningkatkan
pendapatan dan meningkatkan kapasitas
pemupukan modal petani akan selalu gagal
tanpa adanya gerakan reformasi pertanian
yang dalam program ini diartikan sebagai
penyediaan bantuan pemerintah dalam
bentuk sertifikasi lahan bagi petani yang
memiliki lahan tetapi belum bersertifikat
dan pemberian hak atas
pemilikian/penguasaan lahan bagi petani
yang belum memiliki lahan.
Tujuan: (1) Mengurangi ketergantungan petani
terhadap pihak pemodal (tengkulak); (2)
Meningkatkan status
kepemilikan/penguasaan lahan bagi petani
yang sudah memiliki lahan tetapi belum
bersertifikat; (3) Memberikan hak
kepemilikan/penguasaan lahan secara
bertahap bagi petani yang memiliki lahan
dengan luasan di bawah satu hektar dan
bagi petani yang belum memiliki lahan ; (4)
Meningkatkan kapasitas pemupukan modal
bagi petani melalui pemberian kredit lunak
dalam jangka panjang
2.800; Boliyohuto 3.239; Telaga Biru 3.268;
Botumoito 2.124; Wonosari 1.192; Tapa
3.149; Taluditi 1.158; Patilanggio 979;
Paguat 3.197; Kwandang 3.402; Anggrek
2.839; Tolinggula 2.101; Atinggola 2.664,
Jumlah 40.597 KK
Keluaran; Terlaksananya program sertifikasi lahan
untuk penerima manfaat sebanyak 40597
KK (tentatif)..
Bentuk Identifikasi jumlah KK yang akan dilibatkan
Kegiatan; dalam program sertifikasi untuk
menetapkan jumlah definitif; (2)
Melaksanakan sosialisasi kegiatan kepada
seluruh stakeholder terkait; (3) Melakukan
pengukuran dan pemetaan luas areal dan
jumlah persil yang akan disertifikasi.
Lokasi: Pulubala; Tibawa; Mootilango; Boliyohuto;
Telaga Biru; Botumoito; Wonosari; Tapa;
Taluditi; Patilanggio; Paguat; Kwandang;
Anggrek; Tolinggula; dan Atinggola

1.b Pembentukan dan PenguatanKelompok Usaha Bersama (KUB)/


Establish and Strengthen Mutual Business Group

Dasar Upaya peningkatan pendapatan dapat


pertimbangan: ditempuh melalui penyediaan kesempatan
berusaha sebagai matapencaharian
alternatif. Pemanfaatan waktu luang yang
tersedia bagi tenaga kerja di sektor
pertanian dan pemanfaatan waktu bagi
tenaga kerja perempuan merupakan suatu
kesempatan untuk merubah peluang
menjadi kekuatan. Kenyataan yang dihadapi
oleh petani, peternak dan nelayan adalah
bahwa kelangkaan modal yang diakibatkan
oleh akses yang rendah dan mahalnya biaya
modal. Disisi lain, upaya pemerintah yang
telah dilakukan dalam bentuk pemberian
sarana produksi mengakibatkan
ketergantungan dan tidak membangkitkan
semangat dalam mengembangkan
permodalan. Dari permasalahan tersebut
diperlukan adanya solusi dengan cara
pembentukan kelompok usaha bersama.
Namun demikian diperlukan upaya
penguatan kelompok tersebut sehingga
mampu menjadi kelompok usaha yang
benar-benar melakukan usahanya.
Kelompok yang terbentu tidak lagi
berorientasi sektoral tetapiberorientasi
wilayah, sehingga menurut konsep ini tidak
dikenal kelompok pertanian, kelompok
perikanan atau kelompok peternakan.
Tujuan: (1) Penyediaan kesempatan berusaha bagi
masyarakat melalui pembentukan kelompok
usaha bersama (KUB). Pembentukan KUB
merupakan salah satu cara untuk
memperkuat keberdayaan petani, peternak,
pembubidaya ikan dan nelayan sehingga
memeliki kesempatan untuk meningkatkan
pendapatan. hasil akhir yang ingin dicapai
adalah bahwa pada akhir masa program
jangka menengah terjadi peningkatan
pendapatan sebesar 20 % dalam tahun
pertama bagi KUB yang paling berhasil. (2)
Terbentuknya KUB yang tidak berorientasi
sektoral tetapi berorientasi wilayah sehingga
semua kelompok tani, kelompok ternak,
kelompok nelayan dapat dileburkan menjadi
satu untuk meningkatkan efisiensi dalam
pembiayaan dan mempermudah koordinasi,
dan memperkuat organisasi berbasis
wilayah.
Sasaran: Pembentukan sebanyak 694 kelompok
usaha bersama berdasarkan hasil
identifikasi yang dilakukan sebagai
pendahuluan. (Data ini tentatif dan masih
perlu direidentifikasi)
Keluaran; Sebanyak 694 kelompok terbentuk dalam
empat tahun.
Bentuk (1) Identifikasi dan Inventarisasi jumlah
Kegiatan; kelompok yang akan dibentuk; (2)
Identifikasi jenis usaha yang sesuai untuk
dilaksanakan di masing-masing wilayah; (3)
Pembentukan KUB; (4) Pelatihan singkat
mengenai pengelolaan KUB.
Lokasi: Pulubala; Tibawa; Mootilango; Boliyohuto;
Telaga Biru; Botumoito; Wonosari; Tapa;
Taluditi; Patilanggio; Paguat; Kwandang;
Anggrek; Tolinggula; dan Atinggola
1.c Membantu dan Membimbing KUB dalam Mengajukan dan
Mengelola Dana Pinjaman/Assist and Advise KUB in Credit and
Registration Requirements Preparation and Fund management

Dasar Pembentukan kelompok usaha bersama


pertimbangan: biasanya berakhir dengan kegagalan karena
tidak pernah didampingi dan dibimbing
dengan baik sesuai dengan kemampuan dan
ketrampilan anggota dan pengurus dalam
mengelola kelompok dan menghasilkan
produk yang sesuai dengan permintaan
pasar atau memasarkan produk sehingga
mampu diterima oleh konsumen dan
berkembang menjadi usaha yang berskala
menguntungkan bagi seluruh anggotanya.
Kegagalam dimasa lalu sebaiknya menjadi
pelajaran bahwa setiap pembentukan
kelompok usaha harus selalu diiringi dengan
pendampingan dan pembinaan yang
berkelanjutan dan komprehensif dan
pembinaan tersebut dilakukan oleh
profesional yang benar-benar mampu
membtnuk, menumbuhkembangkan dan
memberikan manfaat bagi anggota dan
kelompok yang dibentuknya. Kelemahan
dalam pembentukan modal biasanya
menjadi kendala utama dalam memulai
aktivitas berusaha sehingga seringkali
kelompok tidak mampu memulai
kegiatannya tanpa ada kelanjutan sehingga
kelompok tersebut hanya tinggal sebuah
nama.
Mengatasi permasalahan pengajuan
pinjaman tidak dapat dilakukan hanya
dengan upaya singkat sehingga diperlukan
adanya pendampingan dan bimbingan dari
seorang prfesional sehingga kolateral yang
telah dimiliki dalam bentuk sertfikat dapat
dimanfatkan dengan baik dan tidak berujung
pada masalah baru. Selain diperlukan
bimbingan dalam peyiapan persyaratan dan
proses pengajuan, juga dibutuhkan
bimbingan dalam mengajukan, menerima
dan mengelola dana yang sudah diperoleh.
Setelah itu diperlukan proses monitoring
dan evaluasi berkelanjutan untuk menjamin
kelancaran pengebalian dan perolehan
manfaat bagi pembentukan modal.
Tujuan: (1) Membantu kelompok usaha bersama
(anggota dan pengurus) dalam menyiapkan
syarat-syarat dan kebutuhan yang
diperlukan dalam pengajuan kredit; (2)
Menyiapkan anggota dankelompok dalam
memahami dan melaksanakan proses
pengajuan kredit dengan benar sesuai
dengan prosedur yang ditetapkan lembaga
keuangan/bank; (3) memberikan bekal yang
nyata bagi peningkatan kemampuan
masyarakat secara umum; (4) Membimbing
dalam penggunaan dana yang diperoleh dari
pinjaman; (5) Melakukan Monitoring dan
evaluasi; (6) Mengembangkan usaha KUB.
Sasaran: Sebanyak 694 kelompok usaha bersama
berdasarkan hasil identifikasi yang telah
dilakukan pada kegiatan 1.b. (Data ini
tentatif dan masih perlu direidentifikasi)
Keluaran; (1) Sebanyak 694 kelompok dalam empat
tahun, terbina dan mampu mengajukan
kredit secara resmi dan sesuai prosedur
lembaga keuangan/bank; (2) Seluruh
kelompok yang memperoleh pinjaman dapat
mengelola dananya dengan baik dan
berhasil mengembangkan usahanya
sehingga seluruh kelompok dapat
memperoleh predikat kredit lancar dari
lembaga keuangan/bank; (3) Setidaknya 80
% dari seluruh KUB yang terbentuk berhasil
dalam mengembangkan usahanya melalui
pembentukan meodal mandiri.
Bentuk (1) Identifikasi dan inventarisasi persyaratan
Kegiatan; yang dibutuhkan untuk mengajukan kredit;
(2) Menyampaikan informasi mengenai
persyaratan yang diperlukan dalam
pengajuan kredit; (3) Membimbing anggota
dan pengurus dalam menyiapkan
persyaratan kredit; (4) Mendampingi
kelompk dalam proses pengajuan kredit; (5)
Mendampingi dan membimbing kelompok
dalam menggunakan dana yang diperoleh
dari fasiliatas kredit; (6) Melakukan
bombingan manajemen dana kredit dan
proses pengembaliannya; (7) Melakukan
monitoring dan evaluasi secara bersama.
Lokasi: Pulubala; Tibawa; Mootilango; Boliyohuto;
Telaga Biru; Botumoito; Wonosari; Tapa;
Taluditi; Patilanggio; Paguat; Kwandang;
Anggrek; Tolinggula; dan Atinggola

1.d. Melembagakan Pertemuan Reguler dengan KUB untuk Memonitor


dan Mengevaluasi Perkembangan Usaha dan Pengelolaan Dana
Pinjaman dan Mengembangkan Usaha/ Institutionalize regular
meetings with KUB to monitor business activities, loan fund
Management, Evaluating Debtor Performance and Develop their
Business.

Dasar Permasalahan yang sering ditemukan dalam


pertimbangan: mengembangkan usaha bersama dan
mengelola pinjaman adalah saling ketidak
percayaan yang timbul sebagai akibat
ketidakterbukaan antara anggota dan
pengurus. Disisi lain, kegagalan juga sering
disebabkan oleh lemahnya kemampuan dan
keterampilam anggota dan pengurus
kelompok dalam mengelola pinjaman.
Permasalahan tersebut harus diatasi dengan
adanya keterbukaan yang dipastikan terjadi
jika dilakukan pertemuan rutin untuk
membahas seluruh aspek dalam organisasi
kelompok dan aspek usaha.
Tujuan: Untuk menjamin keberhasilan dan
mengurangi resiko kegagalan diperlukan
monitoring, evaluasi dan pengembangan
bagi sebuah sistem yang telah dibentuk.
Sasaran: Seluruh KUB
Keluaran; Terbangunnya kesadaran, kepedulian,
semangat dan kapasitas koordinasi dan
komunikasi bagi seluruh anggota KUB.
Bentuk Pertemuan reguler setiap bulan antara
Kegiatan; pendamping dan pembimbing dalam bentuk
sub-district workshop yang diadakan pada
tingkat kecamatan yang dihadiri oleh
seluruh anggota KUB. Acara workshop
sebaiknya terdiri dari pembahasan
permasalahan dan keberhasilan masing-
masing KUB. Tindak lanjut permaslahan
yang dihadapi harus ditanggapi dan
diselesaikan secara bersama untuk
memperoleh solusi. Tindak lanjut
keberhasilan dilakukan dalam bentuk
presentasi keberhasilan yang diperoleh pada
tingkat yang lebih tinggi yaitu pertemuan
tingkat kabupaten dan provinsi yang
dilakukan enam bulan sekali.
Lokasi: Pulubala; Tibawa; Mootilango; Boliyohuto;
Telaga Biru; Botumoito; Wonosari; Tapa;
Taluditi; Patilanggio; Paguat; Kwandang;
Anggrek; Tolinggula; dan Atinggola

Kegiatan utama kedua yaitu Membangun Hubungan Kemitraan dan


Menjembatani KUB dengan Lembaga Keuangan, Pengusaha dan
Pemerintah/ Establish Lingkage and Partnership Between
Microenterprise, Financial Institutions, Private Investor and Local
Government;

2.a Seminar dan workshop untukmembangun komitmen bersama


antar stakeholder (KUB, Pemerintah, Lembaga Keuangan/Bank,
Pengusaha)/Seminar and workshops on building a partnership
commitment amongs stakeholders.
Dasar Untuk membentuk sinergi antara pelaku
pertimbangan: kelompok usaha bersama dengan
pengusaha, pemerintah, lembaga keuangan
dan stakeholder lain diperlukan
pembangunan komitmen yang akan
menjamin keberhasilan program
pembangunan agribisnis dalam jangka
panjang. Komitmen lisan saja tidak
mencukupi untuk menjadi jaminan
keberhasilan. Diperlukan komitmen tertulis
yang akan menjadi acuan bagi
terlaksananya keberhailan dan sinergi pada
setiap lini.
Tujuan: Membangun komitmen untuk membentuk
sinergi antara pelaku kelompok usaha
bersama dengan pengusaha, pemerintah,
lembaga keuangan dan stakeholder lain
Sasaran: Seluruh KUB, Pelaku usaha yang terlibat,
Pemerintah, Lembaga Keuangan/Bank,
BUMN/BUMD.
Keluaran; Terbangunnya komitmen tertulis antara
semua stakeholder
Bentuk Pertemuan reguler setiap enam bulan yang
Kegiatan; melibatkan semua stakeholder terkait.
Lokasi: Gorontalo
.2.b Workshop berkelanjutan untuk monitoring dan evaluasi
perkembangan kemitraan
Dasar Untuk menjamin keberhasilan pelaksanaan
pertimbangan: dan melakukan pengambilan keputusan
untuk menyelesaikan berbagai
permasalahan yang dihadapi KUB diperlukan
adanya workshop terpadu untuk memonitor
dan mengevaluasi perkembangan setiap
KUB. Selain itu dalam workshop tersebut
dilakukan langkah antisiatif atas
permasalahan yang mungkin terjadi dan
menyusun strategi bagi penyelesaian
permasalahan yang terjadi. Feed back dan
solusi selanjutnya akan dijadikan sebagai
lesson learned bagi KUB.
Tujuan: Monitoring, evaluasi dan feedback
management.
Sasaran: Seluruh KUB, Pemerintah, Lembaga
Keuangan/Bank, dan stakeholder lain.
Keluaran; Terlaksananya proses monitoring, evaluasi
dan feedback management.
Bentuk Pertemuan reguler setiap enam bulan yang
Kegiatan; melibatkan semua stakeholder terkait.
Lokasi: Gorontalo

3.14.1.3.Subprogram 2.3: Membangun Kapasitas Penciptaan Pendapatan


Bagi Masyarakat/Increasing Income-generating Capacity of
Communities.

Kegiatan utama yang akan dilaksanakan dibawah program 2.3.


meliputi; (1) Pelatihan Teknis Bagi Petani Tanaman Pangan,
Perkebunan, Peternakan, Perikanan, Nelayan; (2) Menyediakan Paket
Pilot Project/ Establish Pilot Project;

Kegiatan Utama 2.3.1. yaitu Pelatihan Teknis Bagi Petani Tanaman


Pangan, Perkebunan, Peternakan, Perikanan, Nelayan terdiri dari
kegiatan sebagai berikut
1.a. Pelatihan Teknis Industri Primer Berbasis Pertania/Technical
Training on Agriculture Primary Industries: (i) Pelatihan Teknis
Sistem Agribisnis bagi masyarakat (Petani, Peternak,
Pembudidaya, KUB dan Nelayan) /Community (Farmer Groups,
Fishermen, KUB) Technical Training on Agribusiness System; (ii)
Pelatihan Teknis Agronomi/Training on Agronomy Techniques (10
days); (iii) Pelatihan Teknis Budidaya Laut/Training on
Mariculture Techniques (10 days); (iv) Pelatihan Teknis
Peternakan di Bawah Pohon Kelapa/Training on Integrated
Coconut-Cattle Growing Techniques; (v) Pelatihan Teknis
Usahatani Hortikultura/Training on Horticulture Farming
Techniques; (vi) Pelatihan Usaha Tanaman Perkebunan Rakyat/
Training on Small-scale Estate Crops Development
1.b.. Pelatihan Mambangun Jaringan Pemasaran / Training on
marketing linkages and network building
1.c. Pelatihan Pengembangan Matapencaharian Alternatif/ Training
on Alternative Livelihood Development

Kegiatan Pelatihan Teknis Industri Primer Berbasis Pertania/Technical


Training on Agriculture Primary Industries: meliputi enam sub-kegiatan
yang terdiri dari;

(i) Pelatihan Teknis Sistem Agribisnis bagi masyarakat (Petani,


Peternak, Pembudidaya, KUB dan Nelayan) /Community (Farmer
Groups, Fishermen, KUB) Technical Training on Agribusiness System;

Dasar Pengetahuan umum dan teknis mengenai


pertimbangan: sistem agribisnis sangat diperlukan untuk
membangun kerangka pengembangan dan
menggerakkan agribisnis terpadu sebagai
bekal bagi pateni, peternak dan nelayan
dalam mengembangkan usahanya. Aspek
penyediaan faktor input (sarana produksi),
teknik produksi, pemanenan, penanganan
pasca panen, packaging, pemasaran, sistem
informasi dan kelembagaan haruslah
menjadi kegiatan yang tidak terpisahkan
untuk mencapai efisiensi dan keuntungan
yang rasional sehingga kelestarian usaha
dapat terjadi dengan sendirinya. Untuk
meletakkan dasar-dasar pemahaman dan
pengetahuan teknis umum tersebut
diperlukan suatu pelatihan yang bersifat on-
site training dengan pelatih dan sarana
pelatihan yang mumpuni.
Tujuan: Memberikan pemahaman yang mendasar
bagi petani dalam aspek penyediaan faktor
input (sarana produksi), teknik produksi,
pemanenan, penanganan pasca panen,
packaging, pemasaran, sistem informasi dan
kelembagaan.
Sasaran: Sebanyak 150 orang petani, peternak dan
nelayan setiap tahun memperoleh pelatihan.
Keluaran; Terbentuknya wawasan pengetahuan dasar
menenai teknis agribisnis bagi 750 orang
petani yang mewakili kelompoknya
Bentuk Pelatihan dasar Agribisnis yang mencakup
Kegiatan; aspek penyediaan faktor input (sarana
produksi), teknik produksi, pemanenan,
penanganan pasca panen, packaging,
pemasaran, sistem informasi dan
kelembagaan.
Lokasi: Pulubala; Tibawa; Mootilango; Boliyohuto;
Telaga Biru; Botumoito; Wonosari; Tapa;
Taluditi; Patilanggio; Paguat; Kwandang;
Anggrek; Tolinggula; dan Atinggola

(ii) Pelatihan Teknis Agronomi/Training on Agronomy Techniques (10


days);

Dasar Pengetahuan teknis budidaya pertanian


pertimbangan: tanaman pangan merupakan aspek yang
mutlak untuk dikuasai sepenuhnya oleh
petani sehingga produksi yang dihasilkan
mencapai tingkat yang optimum, efisien dan
menguntungkan dalam jangka panjang
dengan menggunakan sarana produksi yang
tersedia. Kenyataan menunjukkan bahwa di
Kecamatan Pulubala; Tibawa; Mootilango;
Boliyohuto; Telaga Biru; Botumoito;
Wonosari; Tapa; Taluditi; Patilanggio;
Paguat; Kwandang; Anggrek; Tolinggula; dan
Atinggola, sistem produksi belum mencapai
tingkat produksi optimal yang diperlihatkan
dari produktivitas per satuan lahan yang
masih lebih rendah dari rata-rata produksi
optimum. Dari pertimbangan tersebut
diperlukan adanya terobosan nyata dalam
teknis budidaya pertanian melalui pelatihan
yang mendalam bagi jenis komoditas yang
prospektif dan potensial untuk
dikembangkan.
Tujuan: Membangun kapasitas teknis petani dalam
aspek produksi dan meningkatkan
kreatifitas petani dalam memanfaatkan
sarana produksi yang tersedia. Tujuan
pokoknya adalah membentuk keterampilan
petani dalam manajemen produksi sehingga
pengambilan keputusan manajemen
usahatani dapat secara optimal
berpengaruh nyata terhadap tingkat
produktivitas.
Sasaran: Sebanyak 150 orang petani tanaman
pangan setiap tahun memperoleh pelatihan
selama 5 tahun.
Keluaran; Terbentuknya pengetahuan dan
kemampuan teknis produksi bagi 750 orang
petani yang mewakili kelompoknya.
Bentuk Pelatihan teknis budidaya pertanian
Kegiatan; tanaman pangan.
Lokasi: Pulubala; Tibawa; Mootilango; Boliyohuto;
Telaga Biru; Botumoito; Wonosari; Tapa;
Taluditi; Patilanggio; Paguat; Kwandang;
Anggrek; Tolinggula; dan Atinggola

(iii) Pelatihan Teknis Budidaya Laut/Training on Mariculture Techniques


(10 days);

Dasar Potensi perairan pantai di Kecamatan


pertimbangan: Boliyohuto, Botumoito, Paguat, Kwandang,
Anggrek, Tolinggula dan Atinggola sudah
mulai dimanfaatkan untuk pengembangan
budidaya laut dengan jenis komoditas ikan
karang (misalnya kerapu dan kakap) dan
rumput laut. Namun demikian teknik
budidaya bagi jenis komoditas tersebut
belum sepenuhnya mengacu pada teknik
budidaya yang mempertimbangkan aspek
kelestarian produksi, kelestarian lingkungan
dan produktivitas. Manajemen produksi
masih sangat lemah terutama dalam tahap
pemeliharaan. Diperlukan pemahaman
teknis produksi bagi pembudidaya sehingga
usaha budidaya laut memberikan jaminan
hasil yang optimal, efisien dan
berkelanjutan.
Tujuan: Peningkatan pemahaman teknik nudidaya
laut bagi masyarakat pesisisr.
Sasaran: Masyarakat peissir di Kecamatan Boliyohuto,
Botumoito, Paguat, Kwandang, Anggrek,
Tolinggula dan Atinggola
Keluaran; Terbentuknya pemahaman dan penguasaan
teknis budidaya rumput laut dan karamba
jaring apung bagi 405 orang masyarakat di
kecamatan Kecamatan Boliyohuto,
Botumoito, Paguat, Kwandang, Anggrek,
Tolinggula dan Atinggola.
Bentuk Pelatihan bagi 135 orang pada tahun 2009,
Kegiatan; 135 orang pada tahun 2112 dan 135 orang
pada tahun 2114.
Lokasi: Boliyohuto; Botumoito; Paguat; Kwandang;
Anggrek; Tolinggula; dan Atinggola

(iv) Pelatihan Teknis Peternakan di Bawah Pohon Kelapa/Training on


Integrated Coconut-Cattle Growing Techniques;

Dasar Pengaruh penguasaan tanaman tahunan


pertimbangan: bukan oleh pemilik lahan (tanaman kelapa
dimiliki oleh orang lain sementara tanahnya
tetap dimiliki) sangat signifikan terhadap
kapasitas pemupukan modal. Lahan yang
dipertahankan hanyalah lahan sawah.
Praktek ijon banyak ditemukan di hampir
semua kecamatan (14) kecamatan kecuali
Kecamatan Tapa karena luas pemilikan dan
pengusahaan lahan sangat kecil. Umumnya
ijon kurang ditemukan pada daerah dengan
produktivitas tinggi dan pada saat panen
berhasil. Praktek ijon terjadi karena petani
tidak mampu untuk membeli faktor produksi
sehingga petani tidak bebas menjual kepada
pasar yang lebih luas. Disisi lain
permasalahan timbul karena pemerintah
memberikan bantuan input faktor produksi
dalam bentuk benih dan pupuk sehingga
petani tidak berpikir untuk mengembangkan
modalnya karena tidak ada program
berkelanjutan bimbingan teknis manajemen
keuangan secara berkelanjutan. Akibatnya
adalah memperlemah semangat dan daya
juang untuk melakukan pemupukan modal.
Permasalahan ini terjadi hampir di seluruh
desa sentra produksi pangan sehingga
mereka tidak memiliki kemampuan untuk
melakukan proses produksi.
Tujuan: Peningkatan pemahaman teknik budidaya
sapi di bawah pohon kelapa sehingga terjadi
peningkatan pendapatan.
Sasaran: Masyarakat yang memiliki lahan perkebunan
kelapa skala kecil di kecamatan Pulubala;
Tibawa; Mootilango; Boliyohuto; Telaga Biru;
Botumoito; Wonosari; Tapa; Taluditi;
Patilanggio; Paguat; Kwandang; Anggrek;
Tolinggula; dan Atinggola
Keluaran; Terbentuknya pemahaman dan penguasaan
teknis budidaya sapi di bawah pohon kelapa
di Kecamatan Pulubala; Tibawa; Mootilango;
Boliyohuto; Telaga Biru; Botumoito;
Wonosari; Tapa; Taluditi; Patilanggio;
Paguat; Kwandang; Anggrek; Tolinggula; dan
Atinggola
Bentuk Pelatihan teknis seluruh aspek budidaya sapi
Kegiatan; di bawah pohon kelapa bagi 540 orang
selama tahun 209-2014, masing-masing 90
orang setiap tahun.
Lokasi: Pulubala; Tibawa; Mootilango; Boliyohuto;
Telaga Biru; Botumoito; Wonosari; Tapa;
Taluditi; Patilanggio; Paguat; Kwandang;
Anggrek; Tolinggula; dan Atinggola

(v) Pelatihan Teknis Usahatani Hortikultura/Training on Horticulture


Farming Techniques;

Dasar Pengembangan budidaya hortikultura


pertimbangan: dengan teknologi tepatguna dan efisien
dilakukan sebagai upaya diversifikasi
produksi untuk meningkatkan efisiensi
penggunaan lahan pangan pada periode
musim yang tidak sesuai untuk komoditas
pangan. Disisi lain diperlukan tambahan
penghasilan bagi petani skala kecil sehingga
mereka berdaya untuk melakukan proses
produksi dan mencukupi seluruh kebutuhan
konsumsi secara sustainable.
Tujuan: Peningkatan intensitas tanam dan efisiensi
sumberdaya lahan untuk meningkatkan
pendapatan
Sasaran: Sebanyak 675 KK petani di Kecamatan
Pulubala; Tibawa; Mootilango; Boliyohuto;
Telaga Biru; Botumoito; Wonosari; Tapa;
Wonosari
Keluaran; Peningkatan efisiensi pemanfaatan
sumberdaya lahan dan meningkatnya
pendapatan keluarga petani.
Bentuk Pelatihan teknis seluruh aspek budidaya
Kegiatan; hortikultura di bagi 675 orang selama tahun
209-2014, masing-masing 225 orang pada
tahun 2009, 2012, 2014.
Lokasi: Pulubala; Tibawa; Mootilango; Boliyohuto;
Telaga Biru; Botumoito; Wonosari; Tapa;
Wonosari

(vi) Pelatihan Usaha Tanaman Perkebunan Rakyat/ Training on Small-


scale Estate Crops Development

Dasar Pengembangan budidaya tanaman


pertimbangan: perkebunan dengan teknologi tepatguna
dan efisien dilakukan sebagai upaya
diversifikasi produksi untuk meningkatkan
efisiensi penggunaan lahan yang sesuai
untuk komoditas perkebunan. Disisi lain
diperlukan tambahan penghasilan bagi
petani skala kecil sehingga mereka berdaya
untuk melakukan proses produksi dan
mencukupi seluruh kebutuhan konsumsi
secara sustainable.
Tujuan: Peningkatan pemahaman dan pengetahun
praktis untuk memulai budidaya tanaman
perkebunan
Sasaran: Sebanyak 450 orang dari Kecamatan
Pulubala; Tibawa; Mootilango; Boliyohuto;
Telaga Biru; Botumoito; Wonosari; Tapa;
Taluditi; Patilanggio; Paguat; Kwandang;
Anggrek; Tolinggula; dan Atinggola
Keluaran; terbentuknya usaha tanaman perkebunan
skala kecil
Bentuk Pelatihan teknis seluruh aspek budidaya
Kegiatan; perkebunan bagi 450 orang selama tahun
209-2011, masing-masing 225 orang pada
tahun 2009 dan 2011.
Lokasi: Pulubala; Tibawa; Mootilango; Boliyohuto;
Telaga Biru; Botumoito; Wonosari; Tapa;
Taluditi; Patilanggio; Paguat; Kwandang;
Anggrek; Tolinggula; dan Atinggola

1.b. Pelatihan Mambangun Jaringan Pemasaran / Training on marketing


linkages and network building

Dasar Timbulnya tantangan pasar global dan pasar


pertimbangan: domestik merupakan sasaran dengan
diferensiasi produk yang disesuaikan
dengan permintaan dan pola konsumsi .
Penguatan masyarakat pelaku usaha perlu
dilakukan untuk pengembangan pasar, baik
pasar domestik maupun ekspor, utnutk itu
diperlukanpeningkatan pemahaman dan
pengetahun tentang sistem pasar dan cara
menguasai pasar secara praktis.
Tujuan: Peningkatan pemahaman, pengetahuan dan
keterampilan pelaku usaha untuk
menguasai sistem pasar dan pemasaran
sehingga terbentuk kemampuan
membentuk jaringan pasar.
Sasaran: Sebanyak 675 orang pelaku usaha sektor
pertanian skala kecil di Kecamatan Pulubala;
Tibawa; Mootilango; Boliyohuto; Telaga Biru;
Botumoito; Wonosari; Tapa; Taluditi;
Patilanggio; Paguat; Kwandang; Anggrek;
Tolinggula; dan Atinggola
Keluaran; Terbangunnya pemahaman, pengetahuan,
kemampuan untuk membentuk jaringan
pemasaran.
Bentuk Pelatihan teknis seluruh aspek pasar,
Kegiatan; pemasaran dan jaringan pemasaran bagi
675 orang selama tahun 209-2014, masing-
masing 225 orang pada tahun 2009, 2011,
2013.
Lokasi: Pulubala; Tibawa; Mootilango; Boliyohuto;
Telaga Biru; Botumoito; Wonosari; Tapa;
Taluditi; Patilanggio; Paguat; Kwandang;
Anggrek; Tolinggula; dan Atinggola

1.c. Pelatihan Pengembangan Matapencaharian Alternatif/ Training on


Alternative Livelihood Development

Dasar Salahsatu skenario pemecahan masalah


pertimbangan: yang harus dilakukan oleh Pemerintah
Provinsi Gorntalo adalah dengan
mempersiapkan masyarakat yang tidak
memiliki sumberdaya untuk menghadapi
ancaman degradasi sumberdaya dengan
memberdayakan keluarga petani, peternak,
nelayan dan pembudidaya melalui berbagai
program pengembangan matapencaharian
alternatif (MPA).
Tujuan: (1) menyediakan lapangan usaha baru
sehingga meningkatkan pendapatan
keluarga petani, peternak, nelayan dan
pembudidaya; (2) menyediakan kesempatan
kerja bagi kelompok usia produktif yang
belum memperoleh pekerjaan; (3)
meningkatkan nilai tambah bagi produk
pertanian; (4) mengentaskan kemiskinan
masyarakat dan pada akhirnya
menggerakkan perekonomian lokal berbasis
masyarakat.
Sasaran: Sasaran pertama bagi 675 orang anggota
keluarga
petani/peternak/nelayan/pembudidaya
Pulubala; Tibawa; Mootilango; Boliyohuto;
Telaga Biru; Botumoito; Wonosari; Tapa;
Taluditi; Patilanggio; Paguat; Kwandang;
Anggrek; Tolinggula; dan Atinggola
Keluaran; Meningkatnya pengetahuan dan
keterampilan pengembangan usaha
Bentuk Pelatihan bagi 675 orang anggota keluarga
Kegiatan; petani/peternak/nelayan/pembudidaya
Pulubala; Tibawa; Mootilango; Boliyohuto;
Telaga Biru; Botumoito; Wonosari; Tapa;
Taluditi; Patilanggio; Paguat; Kwandang;
Anggrek; Tolinggula; dan Atinggola
Lokasi: Pulubala; Tibawa; Mootilango; Boliyohuto;
Telaga Biru; Botumoito; Wonosari; Tapa;
Taluditi; Patilanggio; Paguat; Kwandang;
Anggrek; Tolinggula; dan Atinggola

3.14.1.4.Subprogram 2.4: Revitalisasi Perkebunan


Rakyat/Revitalize Small-holder Estate Crops.

Kegiatan utama yang akan dilaksanakan dibawah sub-program 2.4.


meliputi; (1) Revitalisasi Perkebunan Kelapa; (2) Revitalisasi dan
Rehabilitasi Cengkeh Rakyat; (3) Pengembangan Komoditas Kakao; (4)
Pengembangan Komoditas Lada

4.1. Revitalisasi Perkebunan Kelapa

1.a. Workshop Revitalisasi dan Reformasi Kepemilikan pohon


Kelapa
Dasar Perkebunan kelapa rakyat saat ini seolah-
pertimbangan: olah sudah mati suri. Tidak banyak program
yang secara sungguh-sungguh membangun
perkebunan rakyat yang mencakup seluruh
aspek agribisnis. Hanya kegiatan
perdagangan yang dilakukan oleh pihak
swasta dan penguasaan tanaman kelapa
oleh pihak pemodal pada saat harga kelapa
jatuh. Akibat semakin besarnya penguasaan
pohon kelapa oleh pemilik modal, kekuatan
petani kelapa semakin melemah yang pada
akhirnya penguasaan lahan pun terjadi.
Kasus di Kecamatan Patilanggio, Paguat,
Botumoito dan Kecamatan-kecamatan lain
membuktikan penguasaan tanaman kelapa
mengakibatkan melemahnya kekuatan
petani pemilik lahan skala kecil.
Meningkatnya harga kopra di Pasar Dunia
Mengakibatkan petani yang ingin kembali
memiliki pohon kelapa yang ada pada lahan
mereka tidak mampu melakukannya karena
harga pohon-pun telah melambung tinggi.
Pemerintah harus bertindak tegas untuk
menyelesaikan masalah tersebut mengingat
lebih dari 30% areal pertanaman kelapa di
Seluruh Provinsi Gorontalo sudah dimiliki
oleh bukan pemilik lahannya.
Pembiayaan untuk membeli kembali pohon
kelapa oleh petani pemilik lahan jelas sulit
dilakukan karena kekuatan pemilik modal
(umumnya etnis China) jauh lebih besar
daripada kekuatan petani dan tidak ada
satupun pihak yang membela petani. Para
pejabat di semua lokasi selalu menutupi
kenyataan ini dan belum pernah
memunculkan permasalahan ini dalam
forum workshop maupun pada saat diskusi.
Data hanya diperoleh dari berbagai
wawancara dengan petani pemilik lahan
yang pohonnya ditandai dengan kata sandi,
misalnya LAE, berarti pemilik pohon kelapa
tersebut adalah Ishak Katili, dsb. Biasanya
pejabat pemerintah (dari tingkat yang paling
rendah) menyatakan bahwa urusan jual-beli
pohon kelapa adalah urusan pribadi yang
tidak dapat diintervensi.
Praktek pemilikan pohon kelapa oleh pihak
selain pemili lahan disebut BUDEL. Sudah
saatnya pemerintah bertindak untuk
membela rakyat, minimal dengan
menjembatani pemilik lahan dengan pemilik
pohon untuk mengatur pengembalian pohon
kepada pemilik lahan. Issue strategis ini
jelas tidak boleh dibiarkan berlarut-larut
karena terbukti bahwa pemilik lahan yang
pohon kelapanya dimiliki orang lain dan
tidak memiliki lahan tanaman pengan,
kapasitas pemupukan modal keluarganya
sangat rendah (bernilai negatif). Kapasitas
pemupukan modal yang bernilai negatif
tersebut memberikan indikasi bahwa daya
beli mereka sangat rendah karena
penghasilan keluarganya hanya bersumber
dari berburuh pada pemilik pohon kelapa.
Sungguh sangat ironis dan dilematis karena
pemilik lahan menjadi buruh di lahannya
sendiri.
Salahsatu upaya awal yang harus dilakukan
adalah membahas permasalahan tersebut
pada workshop yang terbuka yang juga
dihadiri oleh beberapa perwakilan pemilik
lahan dan pemilik pohon kelapa. Pada
workshop tersebut harus dibahas
permasalahan yang sesungguhnya untuk
mencari jalan pemecahan. Bukti bahwa
Kecamatan Patilanggio sebagai sentra
produksi jagung terbesar di Seluruh Provinsi
Gorontalo adalah Benar tetapi IPM
Kecamatan ini adalah terrendah. Salahsatu
penyebab rendahnya IPM Patilanggio
disebabkan oleh adanya praktek Budel
tersebut.
Tujuan: Mencari solusi atas permasalahan yang
timbul akibat praktek BUDEL.
Sasaran: Pemilik lahan yang pohon kelapanya dimiliki
pihak lain
Keluaran; Ditemukannya titik temu untuk
penyelesaian permalahasan BUDEL
Bentuk Workshop
Kegiatan;
Lokasi: Tahap pertama di Masing-masing Ibukota
Kabupaten, Kemudian di Ibukota Provinsi
Gorontalo

1.b. Upaya Penguatan Modal Petani Korban Praktek Budel


Dasar Petani termiskin yang tidak memiliki lahan
pertimbangan: pertanian tanaman semusin mencakup
sekitar 20 % dari jumlah seluruh petani di
Kecamatan Patilanggio, Taluditi, dan Paguat.
Perkiraan yang diperoleh dari hasil observasi
menunjukkan bahwa 50% petani dari
kelompok tersebut bekerja sebagai buruh
tani pada lahannya sendiri. Kondisi tersebut
terjadi karena (1) jarak tanam kelapa yang
cukup rapat sehingga tidak dapat menanam
tanaman semusim di bawah kanopi kelapa;
(2) tidak memiliki modal untuk beternak
sapi. Dari pertimbangan tersebut
diperkirakan terdapat 711 KK petani sangat
miskin yang harus diberi bantuan
permodalan yang dilengkapi dengan
pelatihan dan penyediaan lahan pertanian
tanaman pangan.
Tujuan: Meningkatkan Kapasitas pemupukan modal
dan meningkatkan produktivitas kerja.
Sasaran: 711 KK petani sangat miskin Pemilik lahan
kelapa korban Budel di Kecamatan
Patilanggio, Paguat dan Taluditi.
Keluaran; Tersedianya lahan untuk usahatani tanaman
pangan dan menguatnya kemampuan
permodalan dalam tahun ketiga.
Bentuk Pelatihan Teknis, Penyedian bantuan
Kegiatan; permodalan, pengadaan lahan pertanian
tanaman pangan.
Lokasi: Kecamatan Patilanggio, Taluditi dan Paguat

1.c. Peremajaan Areal Penanaman Kelapa

Dasar Terdapat sekitar 2760 ha tanaman Kelapa


pertimbangan: yang rusak dan atau tidak menghasilkan.
Luas areal tanaman rusak di masing-masing
kecamatan (13 Kecamatan) mencakup;
Pulubala; 21,5ha, Tibawa; 55ha, Mootilango;
155,9ha, Boliyohuto; 146,2ha, Telaga Biru;
129,7ha, Botumoito; 530ha, Tapa; 155ha,
Patilanggio; 135ha, Paguat; 97ha,
Kwandang; 182,55ha, Anggrek; 182,55ha,
Tolinggulaha; 154,5ha dan Atinggola;
816,3ha. Prospek kelapa di masa depan
diperkirakan akan lebih baik dengan
semakin meningkatnya permintaan
terhadap minyak sawit dan minyak jagung.
Disisi lain, menurunnya cadangan bahan
bakar fosil yang berasal dari minyak bumi
secara signifikan meningkatkan permintaan
terhadap minyak nabati sebagai komplemen
minyak bumi dan bahkan sebagai substitusi.
Peningkatan tersebut bersifat permanen
mengingat bahan bakar fosil merupakan
sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui.
Bantuan pemerintah sebagai stimulan dapat
berbentuk penyediaan bibit kelapa dalam
varietas unggul. Masing-masing hektar
mendapat bantuan sebanyak 50 % bibit
kelapa (42 pohon).
Tujuan: Meningkatkan semangat petani untuk
menanam pohon kelapa, meningkatkan
semangat dan daya tarik petani kelapa
dalam meningkatkan produksinya perlu
dilakukan rehabilitasi/ peremajaan terhadap
tanaman yang rusak tersebut. Menyediakan
cadangan bahan baku minyak goreng pada
periode delapan tahun yang akan datang.
Sasaran: 2760 ha tanaman kelapa rusak/tidak
menghasilkan.
Keluaran; Terehabilitasinya areal tanaman kelapa
rusak.
Bentuk Pelatihan Teknis, Penyediaan bibit, distribusi
Kegiatan; bibit
Lokasi: Pulubala, Tibawa, Mootilango, Boliyohuto,
Telaga Biru, Botumoito, Tapa, Patilanggio,
Paguat, Kwandang, Anggrek, Tolinggula dan
Atinggola

4.2. Revitalisasi dan Rehabilitasi Cengkeh


Rakyat

2.a. Reinventarisasi dan Identifikasi Kesesuaian Lahan


Cengkeh

Dasar Secara tradisional, cengkeh merupakan


pertimbangan: komoditas primadona yang pernah
dibudidayakan secara luas di seluruh
Provinsi Gorontalo. Sejak beroperasinya
BPPC harga jual cengkeh pada tingkat
petani sangat rendah sehingga merugikan
petani. Sejak sistem monopoli dan
monopsoni cengkeh oleh BPPC, harga
komoditas tidak pernah meningkat lagi dan
pembentukan harga tidak sesuai dengan
mekanisme pasar sehingga petani tidak
memperoleh harga yang layak, akhirnya
petani tidak memperoleh keuntungan yang
rasional. Akibat berlanjutnya sistem yang
menghancurkan sistem pasar, petani tidak
tertarik lagi untuk memelihara tanaman
cengkeh miliknya. Konsekuensi terakhir
adalah hampir seluruh tanaman cengkeh
dihancurkan oleh petani sendiri. Sejak
berakhirnya monopoli, prospek komoditas
cengkeh kembali membaik yang ditandai
dengan meningkatnya harga. Untuk
meningkatkan pendapatan petani di masa
datang, diperlukan intervensi melalui
revitalisasi dan rehabilitasi areal
pertanaman cengkeh sebagai langkah awal
untuk membangun kembali perkebunan
rakyat.
Tujuan: Mengumpulkan data dan informasi
mengenai luas areal tanaman cengkeh
rakyat, kesesuaian lahan, tingkat produksi
dan sistem usahatani cengkeh.
Sasaran: Sentra produksi cengkeh di Kabupaten
Gorontalo, Pohuwato, Boalemo, Bone-
Bolango dan Gorontalo Utara
Keluaran; Laporan hasil inventarisasi dan identifikasi.
Bentuk Survey, investigasi, desain dan perencanaan
Kegiatan;
Lokasi: Kabupaten Gorontalo (1392ha), Pohuwato
(30ha), Boalemo (10ha), Bone-Bolango
(1376ha) dan Gorontalo Utara (267ha)

2.b. Penyediaan Bibit Cengkeh dan Penanaman Kembali oleh


Petani

Dasar Lahkah kedua proses revitalisasi dan


pertimbangan: rehabilitasi adalah dengan disediakannya
bibit cengkeh sebagai stimulan dari
pemerintah untuk merangsang daya tarik
bagi petani.
Tujuan: Memberikan stimulan sebagai daya tarik
kepada petani cengkeh untuk menanam dan
mengembangkan komoditas cengkeh. Selain
itu diharapkan tanaman yang rusak dan
sudah tidak menghasilkan direhabilitasi dan
dipelihara dengan baik sesuai dengan teknik
budidaya yang baik.
Sasaran: Petani yang pernah menanam cengkeh
tetapi tanamannya rusak dan perlu di
rehabilitasi di Sentra produksi Kabupaten
Gorontalo (Kec. Telaga Biru: 264 ha), dan
Gorontalo Utara (Tolinggula; 66ha,
Atinggola; 152ha))
Keluaran; Tersedianya dan terdistibusinya bibit
cengkeh varietas unggul kepada setiap
petani sasaran.
Bentuk Pengadaan Bibit
Kegiatan;
Lokasi: Kabupaten Gorontalo (Kec. Telaga Biru: 264
ha), dan Gorontalo Utara (Tolinggula; 66ha,
Atinggola; 152ha))

4.3. Pengembangan Komoditas Kakao

3.a. Kajian kesesuaian lahan dan identifikasi wilayah potensial


untuk tanaman kakao

Dasar Kakao merupakan komoditas perkebunan


pertimbangan: yang memiliki prospek pasar yang cerah dan
ditunjukkan dengan semakin meningkatnya
permintaan, terutama permintaan dari pasar
internasional. Seiring dengan peningkatan
kuantitas permintaan pasar, harga kakao di
pasar internasional semakin meningkat.
Sebagai komoditas yang masih dianggap
relatif baru bagi masyarakat petani di
Provinsi Gorontalo, diperlukan adanya upaya
untuk mengembangkan produksi kakao.
Upaya tersebut ditujukan untuk memberikan
pilihan yang lebih luas bagi masyarakat
dalam membangun sumber pendapatan
yang lebih beragam. Perkebunan kakao
rakyat skala kecil lebih sesuai untuk Provinsi
Grorontalo dibandingkan dengan
mengembangkan perkebunan besar karena
manfaat dan dampak ekonomi yang
dihasilkan akan lebih dirasakan oleh
masyarakat. Untuk membangun perkebunan
skala kecil diperlukan identifikasi dan
analisis kesesuaian lahan di beberapa
kecamatan yang secara tradisional sudah
mengembangkan kakao.
Tujuan: Memperoleh gambaran definitif mengenai
wilayah yang sesuai untuk pengembangan
perkebunan kakao rakyat.
Sasaran: Wilayah Kecamatan Botumoito, Taluditi,
Patilanggio, Paguat, Tibawa, Telaga Biru,
Atinggola, Tolinggula, Kwandang, dan
Anggrek
Keluaran; Tersedianya informasi dan data akurat
mengenai kesesuaian lahan dan wilayah
potensial untuk pengembangan komoditas
kakao skala kecil.
Bentuk Survey, investigasi, desain dan perencanaan
Kegiatan; kesesuaian lahan
Lokasi: Kabupaten Gorontalo, Pohuwato, Boalemo,
dan Gorontalo Utara

3.b. Workshop dan Pelatihan Penanaman dan Pemeliharaan


Tanaman kakao

Dasar Sosialisasi dan pemahaman terhadap


pertimbangan: diversifikasi usahatani tanaman perkebunan
sangat diperlukan untuk membangun
tatanan yang lengkap dan serasi diantara
seluruh stakeholder yang akan terlibat
dalam pengembangan usaha perkebunan
skala kecil. Untuk tujuan tersebut diperlukan
adanya worshop dan pelatihan bagi petani
perkebunan yang sudah melaksanakan
usahatani kakao. Mengingat komoditas
kakao memerlukan penanganan khusus
dalam pemeliharan dan penanganan pasca
panen maka diperlukan juga pembekalan
metode pemeliharaan dan penanganan
pasca panen.
Tujuan: Sosialisasi dan pembekalan teknis usaha
perkebunan rkayat skala kecil untuk
komoditas kakao
Sasaran: Petani yang sudah mengusahakan
komoditas kakao secara tradisional, belum
menerapkan teknis budidaya, pemeliharaan
dan penanganan hasil (pasca panen)
Keluaran; Terbentuknya pemahaman mengenai
berbagai aspek budidaya, pemeliharaan dan
pasca panen komoditas kakao.
Bentuk Workshop dan pelatihan singkat
Kegiatan;
Lokasi: Kabupaten Gorontalo, Pohuwato, Boalemo,
dan Gorontalo Utara

3.c. Identifikasi calon petani peserta pengembangan


komoditas kakao

Dasar Pengembangan komoditas kakao sebagai


pertimbangan: alternatif diversifikasi memerlukan
pelaksana usaha yang memiliki dedikasi dan
ketekunan dalam berusaha. Siffat komoditas
kakao yang memerlukan pemeliharaan dan
penanganan pasca panen yang intensif dan
berkelanjutan harus dilakukan oleh petani
yang memiliki keterampilan dan
kemampuan teknis selain memiliki
ketekunan dalam bekerja. Untuk menjamin
keberhasilan proyek percontohan diperlukan
seleksi bagi calon petani yang akan
menerima paket demonstrasi.
Tujuan: Melakukan seleksi calon petani penerima
paket demonstrasi.
Sasaran: Petani yang sudah mengusahakan
komoditas kakao secara tradisional, belum
menerapkan teknis budidaya, pemeliharaan
dan penanganan hasil (pasca panen)
Keluaran; Terpilihnya petani calon penerima manfaat.
Bentuk Kegiatan identidikasi, inventarisasi dan
Kegiatan; seleksi calon petani.
Lokasi: Kabupaten Gorontalo, Pohuwato, Boalemo,
dan Gorontalo Utara

3.d. Penyediaan Bibit kakao varietas unggul

Dasar Impelementasi pelaksanaan pengembangan


pertimbangan: komoditas kakao skala kecil dilakukan
dengan penyediaan paket demostrasi
berupa bibit kakao varietas unggul. Bibit
unggul sebaiknya didatangkan dari sentra
produksi bibit yang sudah memiliki sertifikat
dan diakui keberadaannya oleh Direktorat
Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian.
Tujuan: Menyediakan bibit kakao varietas unggul
663 ha.
Sasaran: Petani yang sudah mengusahakan
komoditas kakao secara tradisional, belum
menerapkan teknis budidaya, pemeliharaan
dan penanganan hasil (pasca panen)
Keluaran; Tersedianya bibit kakao varietas unggul
untuk ditanaman pada areal seluas 597 ha.
Jumlah bibit kakao yang disediakan adalah
sebanyak 663000 bibit.
Bentuk Pengadaan Bibit kakao varietas unggul
Kegiatan;
Lokasi: Botumoito 312 ha, Taluditi 35 ha,
Patilanggio 35 ha, Paguat 35 ha, Tibawa 17
ha, Telaga Biru 25 ha, Atinggola 35 ha,
Tolinggula 35 ga, Kwandang 34 ha, Anggrek
35 ha

4.4. Pengembangan Komoditas Lada

4.a. Kajian kesesuaian lahan dan identifikasi wilayah potensial


untuk tanaman lada

Dasar Lada merupakan komoditas perkebunan


pertimbangan: yang memiliki prospek pasar yang cerah dan
ditunjukkan dengan semakin meningkatnya
permintaan, terutama permintaan dari pasar
internasional. Seiring dengan peningkatan
kuantitas permintaan pasar, harga lada di
pasar internasional semakin meningkat.
Sebagai komoditas yang masih dianggap
relatif baru bagi masyarakat petani di
Provinsi Gorontalo, diperlukan adanya upaya
untuk mengembangkan produksi Upaya
tersebut ditujukan untuk memberikan
pilihan yang lebih luas bagi masyarakat
dalam membangun sumber pendapatan
yang lebih beragam. Perkebunan vanili
rakyat skala kecil lebih sesuai untuk Provinsi
Grorontalo dibandingkan dengan
mengembangkan perkebunan besar karena
manfaat dan dampak ekonomi yang
dihasilkan akan lebih dirasakan oleh
masyarakat. Untuk membangun perkebunan
lada skala kecil diperlukan identifikasi dan
analisis kesesuaian lahan di beberapa
kecamatan yang dianggap potensial untuk
dijadikan sentra produksi.
Tujuan: Memperoleh gambaran definitif mengenai
wilayah yang sesuai untuk pengembangan
perkebunan lada rakyat.
Sasaran: Kabupaten Gorontalo, Pohuwato, Boalemo,
dan Gorontalo Utara
Keluaran; Tersedianya informasi dan data akurat
mengenai kesesuaian lahan dan wilayah
potensial untuk pengembangan komoditas
lada.
Bentuk Survey, investigasi, desain dan perencanaan
Kegiatan; kesesuaian lahan untuk komoditas lada
Lokasi: Kabupaten Gorontalo, Pohuwato, Boalemo,
dan Gorontalo Utara

4.b. Workshop dan Pelatihan Penanaman dan Pemeliharaan


Tanaman lada

Dasar Sosialisasi dan pemahaman terhadap


pertimbangan: diversifikasi usahatani tanaman perkebunan
sangat diperlukan untuk membangun
tatanan yang lengkap dan serasi diantara
seluruh stakeholder yang akan terlibat
dalam pengembangan usaha perkebunan
skala kecil. Untuk tujuan tersebut diperlukan
adanya worshop dan pelatihan bagi petani
perkebunan yang sudah melaksanakan
usahatani lada. Mengingat komoditas lada
memerlukan penanganan khusus dalam
penanaman, pemeliharan, panen dan
penanganan pasca panen maka diperlukan
pembekalan metode pemeliharaan dan
penanganan pasca panen.
Tujuan: Sosialisasi dan pembekalan teknis usaha
perkebunan rakyat skala kecil untuk
komoditas lada
Sasaran: Petani yang sudah mengusahakan
komoditas lada secara tradisional, belum
menerapkan teknis budidaya, pemeliharaan
dan penanganan hasil (pasca panen) dan
petani yang potensial untuk mengikuti
program
Keluaran; Terbentuknya pemahaman mengenai
berbagai aspek budidaya, pemeliharaan,
pasca panen dan pemasaran komoditas
lada.
Bentuk Workshop dan pelatihan singkat
Kegiatan;
Lokasi: Kabupaten Gorontalo, Pohuwato, Boalemo,
dan Gorontalo Utara

4.c. Identifikasi calon petani peserta pengembangan


komoditas lada

Dasar Pengembangan komoditas lada sebagai


pertimbangan: alternatif diversifikasi usaha yang
menunjang ekspor memerlukan pelaksana
usaha yang memiliki dedikasi dan
ketekunan dalam berusaha. Siffat komoditas
lada yang memerlukan keterampilan dalam
penanaman, pemeliharaan dan penanganan
pasca panen yang intensif dan
berkelanjutan harus dilakukan oleh petani
yang memiliki keterampilan dan
kemampuan teknis selain memiliki
ketekunan dalam bekerja. Untuk menjamin
keberhasilan proyek percontohan diperlukan
seleksi bagi calon petani yang akan
menerima paket demonstrasi.
Tujuan: Melakukan seleksi calon petani penerima
paket demonstrasi.
Sasaran: Petani yang sudah mengusahakan
komoditas lada secara tradisional, belum
menerapkan teknis budidaya, pemeliharaan
dan penanganan hasil (pasca panen) dan
petani yang potensial untuk mengikuti
program
Keluaran; Terpilihnya petani calon penerima manfaat.
Bentuk Kegiatan identidikasi, inventarisasi dan
Kegiatan; seleksi calon petani.
Lokasi: Kabupaten Gorontalo, Pohuwato, Boalemo,
dan Gorontalo Utara

4.d. Penyediaan Bibit lada varietas unggul

Dasar Implementasi pelaksanaan pengembangan


pertimbangan: komoditas lada skala kecil dilakukan dengan
penyediaan paket demostrasi berupa bibit
lada varietas unggul. Bibit unggul sebaiknya
didatangkan dari sentra produksi bibit yang
sudah memiliki sertifikat dan diakui
keberadaannya oleh Direktorat Jenderal
Perkebunan Departemen Pertanian.
Tujuan: Menyediakan lada varietas unggul untuk
lahan seluas 50 ha.
Sasaran: Petani yang sudah mengusahakan
komoditas lada secara tradisional, belum
menerapkan teknis budidaya, pemeliharaan
dan penanganan hasil (pasca panen) dan
petani yang potensial untuk mengikuti
program
Keluaran; Tersedianya bibit lada varietas unggul untuk
lahan seluas 50 ha
Bentuk Pengadaan Bibit lada varietas unggul
Kegiatan;
Lokasi: Botumoito 5 ha, Taluditi 5 ha, Patilanggio 5
ha, Paguat 5 ha, Tibawa 5 ha, Telaga Biru 5
ha, Atinggola 5 ha, Tolinggula 5 ga,
Kwandang 5 ha, Anggrek 5 ha
4.5. Pengembangan Komoditas Vanili

5.a. Kajian kesesuaian lahan dan identifikasi wilayah potensial


untuk tanaman vanili

Dasar Vanili merupakan komoditas perkebunan


pertimbangan: yang memiliki prospek pasar yang cerah dan
ditunjukkan dengan semakin meningkatnya
permintaan, terutama permintaan dari pasar
internasional. Seiring dengan peningkatan
kuantitas permintaan pasar, harga vanili di
pasar internasional semakin meningkat.
Sebagai komoditas yang masih dianggap
relatif baru bagi masyarakat petani di
Provinsi Gorontalo, diperlukan adanya upaya
untuk mengembangkan produksi Upaya
tersebut ditujukan untuk memberikan
pilihan yang lebih luas bagi masyarakat
dalam membangun sumber pendapatan
yang lebih beragam. Perkebunan vanili
rakyat skala kecil lebih sesuai untuk Provinsi
Grorontalo dibandingkan dengan
mengembangkan perkebunan besar karena
manfaat dan dampak ekonomi yang
dihasilkan akan lebih dirasakan oleh
masyarakat. Untuk membangun perkebunan
skala kecil diperlukan identifikasi dan
analisis kesesuaian lahan di beberapa
kecamatan yang secara tradisional sudah
mengembangkan vanili dan beberapa
kecamatan yang dianggap potensial untuk
dijadikan sentra produksi.
Tujuan: Memperoleh gambaran definitif mengenai
wilayah yang sesuai untuk pengembangan
perkebunan vanili skala kecil.
Sasaran: Wilayah Kabupaten Boalemo dan Pohuwato
Keluaran; Tersedianya informasi dan data akurat
mengenai kesesuaian lahan dan wilayah
potensial untuk pengembangan komoditas
vanili skala kecil.
Bentuk Survey, investigasi, desain dan perencanaan
Kegiatan; kesesuaian lahan
Lokasi: Kabupaten Pohuwato, dan Boalemo
5.b. Workshop dan Pelatihan Penanaman dan Pemeliharaan
Tanaman vanili

Dasar Sosialisasi dan pemahaman terhadap


pertimbangan: diversifikasi usahatani tanaman perkebunan
sangat diperlukan untuk membangun
tatanan yang lengkap dan serasi diantara
seluruh stakeholder yang akan terlibat
dalam pengembangan usaha perkebunan
skala kecil. Untuk tujuan tersebut diperlukan
adanya worshop dan pelatihan bagi petani
perkebunan yang sudah melaksanakan
usahatani vanili. Mengingat komoditas vanili
memerlukan penanganan khusus dalam
penanaman, pemeliharan, panen dan
penanganan pasca panen maka diperlukan
pembekalan metode pemeliharaan dan
penanganan pasca panen.
Tujuan: Sosialisasi dan pembekalan teknis usaha
perkebunan rkayat skala kecil untuk
komoditas vanili
Sasaran: Petani yang sudah mengusahakan
komoditas vanili , belum menerapkan teknis
budidaya, pemeliharaan dan penanganan
hasil (pasca panen) dan calon petani pada
daerah yang menurut hasil kajian potensial
untuk budidaya vanili.
Keluaran; Terbentuknya pemahaman mengenai
berbagai aspek budidaya, pemeliharaan dan
pasca panen komoditas vanili.
Bentuk Workshop dan pelatihan singkat
Kegiatan;
Lokasi: Kabupaten Pohuwato, dan Boalemo

5.c. Identifikasi calon petani peserta pengembangan komoditas


vanili

Dasar Pengembangan komoditas vanili sebagai


pertimbangan: alternatif diversifikasi usaha yang
menunjang ekspor memerlukan pelaksana
usaha yang memiliki dedikasi dan
ketekunan dalam berusaha. Siffat komoditas
vanili yang sangat memerlukan
keterampilan dalam penanaman,
pemeliharaan dan penanganan pasca panen
yang intensif dan berkelanjutan harus
dilakukan oleh petani yang memiliki
keterampilan dan kemampuan teknis selain
memiliki ketekunan dalam bekerja. Untuk
menjamin keberhasilan proyek percontohan
diperlukan seleksi bagi calon petani yang
akan menerima paket demonstrasi.
Tujuan: Melakukan seleksi calon petani penerima
paket demonstrasi.
Sasaran: Petani yang sudah mengusahakan
komoditas vanilisecara tradisional, belum
menerapkan teknis budidaya, pemeliharaan
dan penanganan hasil (pasca panen)
Keluaran; Terpilihnya petani calon penerima manfaat.
Bentuk Kegiatan identidikasi, inventarisasi dan
Kegiatan; seleksi calon petani.
Lokasi: Kecamatan Paguat dan Kecamatan Wonosari

5.d. Penyediaan Bibit vanili varietas unggul

Dasar Impelementasi pelaksanaan pengembangan


pertimbangan: komoditas vanili skala kecil dilakukan
dengan penyediaan paket demostrasi
berupa bibit vanili varietas unggul. Bibit
unggul sebaiknya didatangkan dari sentra
produksi bibit yang sudah memiliki sertifikat
dan diakui keberadaannya oleh Direktorat
Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian.
Tujuan: Menyediakan bibit vanili varietas unggul
untuk 100 ha.
Sasaran: Petani yang sudah mengusahakan
komoditas vanilisecara tradisional, belum
menerapkan teknis budidaya, pemeliharaan
dan penanganan hasil (pasca panen)
Keluaran; Tersedianya bibit vanili varietas unggul
untuk ditanaman pada areal seluas 100 ha.
Jumlah bibit kakao yang disediakan adalah
sebanyak 100000 bibit.
Bentuk Pengadaan Bibit vanili varietas unggul
Kegiatan;
Lokasi: Kecamatan Paguat dan Kecamatan Wonosari

You might also like