You are on page 1of 4

GANGGUAN BERBAHASA

A.      Pendahuluan
Bahasa adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang
dihasilkan oleh alat ucap manusia. Proses berbahasa sendiri memerlukan pikiran dan
perasaan yang dilakukan oleh otak manusia untuk menghasilkan kata-kata atau kalimat.
Karena secara teoritis proses berbahasa dimulai dengan enkode semantik, enkode
gramatika dan enkode fonologi. Dimana ketiga enkode tersebut berkaitan dalam kegiatan
produksi bahasa seseorang yang juga berkaitan erat dengan hubungan antara otak dan
organ wicara seseorang.
B.   Gangguan Berbahasa
Gangguan berbahasa dalam makalah ini dibagi menjadi dua bagian:
1.    Faktor medis.
2.    Faktor lingkungan sosial.
1)    Gangguan Faktor Medis
Yang dimaksud dengan faktor medis adalah gangguan, baik akibat kelainan fungsi otak
maupun akibat kelainan alat-alat bicara. Menurut Sidharta (1984) gangguan berbahasa itu
dapat dibedakan atas tiga golongan, yaitu: a) Gangguan berbicara, b) Ganguan berbahasa,
dan c) Gangguan berpikir.
a)      Gangguan Berbicara
Berbicara merupakan aktifitas motorik yang mengandung modalitas psikis. Oleh karena
itu, gangguan berbicara ini dapat dua kategori, pertama, gangguan mekanisme berbicara
yang berimplikasi pada gangguan organik Dan yang kedua gangguan berbicara
psikogenik.
Pertama Gangguan Mekanisme Berbicara. Proses berbicara adalah suatu  proses produksi
ucapan  (percakapan) oleh kegiatan  terpadu dari pita suara, otot-otot yang membentuk
rongga mulut serta kerongkongan dan paru-paru. Maka gangguan berbicara berdasarkan
mekanismenya ini dapat dirinci menjadi gangguan berbicara disebabkan kelainan pada
paru-paru (pulmonal), pada pita suara (laringal) pada lidah (lingual),  pada  rongga mulut
dan kerongkongan (resonantal).
 
·          Gangguan akibar faktor pulmonal.
Gangguan ini dialami oleh para penderita paru-paru. Para penderita penyakit paru-paru
ini kekuatan bernafasnya sangat kurang sehingga bicaranya diwarnai oleh nada yang
monoton, volume suara kecil, dan terputus-putus.
 
·          Gangguan Akibat Factor Laringal.
Gangguan pada pita suara sehingga suara menjadi serak atau hilang sama sekali.
 
·          Gangguan Akibat Faktor Lingual.
Lidah yang terluka akan terasa perih jika di gerakan.untuk mencegah timbulnya rasa
pedih aktifitas lidah di kurangi. Dalam keadaan ini maka pengucapan sejumlah fonem
menjadi tidak sempurna.
 
·          Gangguan akibat factor resonasi
Menyebabkan suara yang dihasilkan menjadi bersengau.
Kedua, Gangguan Berbicara Psikogenik. Gangguan ini sebenarnya tidak bisa disebut
sebagai gangguan berbicara. Mungkin lebih tepatnya disebut sebagai variasi cara
berbicara yang normal, tetapi merupakan ungkapan dari gangguan di bidang mental.
Modalitas mental yang tertangkap oleh cara berbicara sebagian besar ditentukan oleh
nada, intonasi, dan intensitas suara, lafal, dan pilihan kata. Ujaran yang berirama lancar
atau tersendat-sendat dapat juga mencerminkan sikap mental si pembicara. Gangguan ini
antara lain:
 
1.         Berbicara manja
Disebut berbicara manja karena cara bicaranya seperti anak kecil. Jadi ada kesan anak
(orang) yang melakukannya meminta perhatian untuk dimanja. Umpamanya, anak-anak
yang baru terjatuh, terluka, atau mendapat kecelakaan, terdengar adanya perubahan pada
cara berbicaranya. Fonem bunyi [s] dilafalkan menjadi [c] sehingga kalimat ”Saya sakit,
jadi tidak mau minum susu atau makan” akan diucapkan menjadi ”Caya cakit, tidak mau
minum cucu atau makan”. Dengan berbicara demikian dia mengungkapkan keinginan
untuk dimanja. Gejala seperti ini kita dapati juga pada orangtua pikun atau jompo
(biasanya wanita).
2.        Berbicara kemayu
Berbicara kemayu berkaitan dengan perangai kewanitaan yang berlebihan. Jika seorang
pria bersifat atau bertingkah laku kemayu jelas sekali gambaran yang dimaksudkan oleh
istilah tersebut. Berbicara kemayu dicirikan oleh gerak bibir dan lidah yang menonjol
atau lemah gemulai. Meskipun berbicara seperti ini bukan suatu gangguan ekspresi
bahasa, tetapi dapat dipandang sebagai sindrom fonologik yang mengungkapkan
gangguan identitas kelamin terutama yang dilanda adalah kaum pria.
3.        Berbicara gagap
Gagap adalah berbicara yang kacau karena sering tersendat-sendat, mendadak berhenti,
lalu mengulang-ulang suku kata pertama, kata-kata berikutnya, dan setelah berhasil
mengucapkan kata-kata itu kalimat dapat diselesaikan. Apa yang menyebabkan terjadinya
gagap ini masih belum diketahui secara pasti, tetapi hal-hal berikut dianggap mempunyai
peranan penting penyebab terjadinya gagap diantaranya:
a.       Faktor stres dalam kehidupan berkeluarga
b.      Pendidikan anak yang dilakukan secara keras dan ketat, dengan membentak-bentak;
serta tidak mengizinkan anak berargumentasi dan membantah.
c.       Adanya kerusakan pada belahan otak (hemisfer) yang dominan.
d.      Faktor neurotik famial.
4.        Berbicara latah
Latah sering disamakan dengan ekolalla, yaitu perbuatan membeo, atau menirukan apa
yang dikatakan orang lain; tetapi sebenarnya latah adalah suatu sindrom yang terdiri atas
curah verbal repetitif yang bersifat jorok (koprolalla) dan gangguan lokomotorik yang
dapat dipancing. Koprolalla pada latah ini berorientasi pada alat kelamin laki-laki. Yang
sering dihinggapi penyakit latah ini adalah orang perempuan berumur 40 tahun ke atas.
Awal mula timbulnya latah ini, menurut mereka yang terserang latah, adalah ketika
bermimpi melihat banyak sekali penis lelaki yang sebesar dan sepanjang belut. Latah ini
punya korelasi dengan kepribadian histeris. Kelatahan ini merupakan ”excuse” atau
alasan untuk dapat berbicara dan bertingkahlaku porno, yang pada hakikatnya
berimplikasi invitasi seksual.

b)     Gangguan Berbahasa


Berbahasa berarti berkomunikasi dengan menggunakan suatu bahasa. Anak-anak yang
lahir dengan alat artikulasi dan auditori yang normal akan dapat mendengar kata-kata
melalui telinganya dengan baik dan juga akan dapat menirukan kata-kata itu.
Untuk dapat berbahasa diperlukan kemampuan mengeluarkan kata-kata. Ini berarti,
daerah Broca (gudang tempat menyimpan sandi ekspresi kata-kata dalam otak) harus
berfungsi dengan baik. Kerusakan pada daerah tersebut dan sekitarnya menyebabkan
terjadinya gangguan bahasa yang disebut afasia.
c)      Gangguan Berfikir
Ganguan ekspresi verbal sebagai akibat dari gangguan pikiran dapat berupa :
·          Pikun, yaitu suatu penurunan daya ingat dan daya pikir lainnya   yang dari hari ke
hari semakin buruk.
·          Sisofernik, yaitu gangguan berbahasa akibat gangguan berpikir.
·          Defresif, orang yang tertekan jiwanya memproyeksikan penderitaannya pada gaya
bahasa dan expresi verbalnya. Volume expresi verbalnya lemah lembut dan terputus-
putus oleh interval yang cukup panjang.
2)    Gangguan Faktor Sosial
Yang dimaksud dengan akibat faktor sosial adalah keterasingan seorang anak, secara
aspek biologis seorang anak tersebut bisa berbahasa normal. Akan tetapi keterasingannya
disebabkan karena diperlakukan dengan sengaja (sebagai eksperimen) bisa juga karena
hidup bukan dalam alam lingkungan manusia, melainkan dipelihara oleh serigala atau
monyet, seperti kasus  Kamala dan Mougli.
Anak yang terasing tidak sama dengan anak tuli. Anak tuli masih bisa hidup dalam
masyarakat. Maka, meskipun dia terasing dari kontak bahasa, tetapi dia masih bisa
berkomunikasi dengan orang di sekitaranya. Sedangkan anak terasing menjadi tidak bisa
berkomunikasi dengan manusia karena dia tidak pernah mendengar suara ujaran manusia.
Jadi, anak terasing karena tidak ada orang yang mengajak dan diajak berbicara, tidak
mungkin dapat berbahasa. Karena dia sama sekali terasing dari kehidupan manusia dan
sosial masyarakat. Maka, sebenarnya anak terasing yang tidak punya kontak dengan
manusia bukanlah lagi manusia, sebab manusia pada hakikatnya adalah makhluk sosial.
Otaknya tidak berkembang sepenuhnya, tidak dapat berfungsi dalam masyarakat
manusia, dan akhirnya menjadi  tidak mampu menjadi manusia normal setelah beberapa
tahun.
Anak terasing tidak sama dengan anak primitif, sebab orang primitif masih hidup dalam
suatu masyarakat. Meskipun taraf kebudayaannya sangat rendah, tetapi tetap dalam suatu
lingkungan sosial. Anak-anak mempunyai segala kemungkinan untuk menjadi manusia
hanya selama masa anak-anak, selepas umur tujuh tahun anak itu tak dapat dididik untuk
mempelajari kebudayaan yang lebih tinggi.
 
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul, 2009, Psikolinguistik Kajian Teoritik, Jakarta; PT Rineka Cipta.
Chaer, Abdul. 2003. Psikolinguistik: Kajian Teoritik. Jakarta: PT. Asdi Mahasatya.
Sidiarto, Lily,  1991, PELLBA: penyunting Bambang Kaswanti Purwo, Jakarta: Kanisius.
Soenjono, 2008, Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia, Cet. III,
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Soenjono, 1991, Language Neurologi: PELBA 4, Jakarta: Lembaga Bahasa UNIKA
Atmajaya.
 

You might also like