You are on page 1of 42

Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan

penyerahan Barang
Kena Pajak (BKP) atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP).

Faktur Pajak dapat berupa faktur penjualan atau dokumen tertentu yang ditetapkan sebagai faktur Pajak oleh Direktur Jenderal
Pajak.

SAAT PEMBUATAN FAKTUR PAJAK

1. Saat penyerahan BKP dan/atau JKP


2. Saat penerimaan pembayaran dalam hal pembayaran terjadi sebelum penyerahan BKP dan/atau JKP.
3. Saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan
4. Saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

SAAT PEMBUATAN FAKTUR PAJAK GABUNGAN

1. Untuk meringankan beban administrasi, PKP diperkenankan untuk membuat satu faktur Pajak yang meliputi semua
penyerahan BKP/JKP yang terjadi selama satu bulan kalender kepada pembeli atau penerima JKP yang sama yang
disebut faktur Pajak gabungan.
2. Faktur Pajak gabungan dibuat paling lama pada akhir bulan penyerahan BKP/JKP meskipun didalam bulan penyerahan
telah terjadi pembayaran baik sebagian maupun seluruhnya.

Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan BKP atau penyerahan JKP yang paling sedikit memuat :

1) Nama, alamat, NPWP yang menyerahkan BKP atau JKP;


2) Nama, alamat, dan NPWP pembeli BKP atau penerima JKP;
3) Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga;
4) PPN yang dipungut;
5) PPn BM yang dipungut;
6) Kode, nomor seri dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan
7) Nama dan tandatangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.

LARANGAN MEMBUAT FAKTUR PAJAK

Orang Pribadi atau Badan yang tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dilarang membuat Faktur Pajak.

 
http://www.pajak.go.id/index.php?
view=article&catid=236%3APPN+&PPnBM=&id=5169%3Afaktur-
pajak&option=com_content&Itemid=171

Apa yang dimaksud dengan faktur pajak ?

Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak
(PKP) karena penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau penyerahan Jasa Kena Pajak
(JKP) atau oleh Ditjen Bea dan Cukai karena impor BKP.

Ada berapa jenis Faktur Pajak menurut UU PPN ?

Terdapat 3 (tiga) jenis Faktur Pajak menurut UU PPN, yaitu:


1. FP Standar, termasuk dokumen-dokumen tertentu yang diperlakukan sebagai
Faktur Pajak Standar;
2. FP Gabungan dan;
3. FP Sederhana.

Apa yang dimaksud dengan faktur pajak standard, bagaimana bentuk dan
ketentuan apa saja yang berkaitan dengannya ?

1. Adalah Faktur Pajak yang dibuat sesuai dengan ketentuan sebagaimana


ditetapkan dalam Kep. Dirjen. Pajak No. Kep-53/PJ./1994 tanggal 29 Desember
1994, yang wajib dibuat oleh PKP yang melakukan penyerahan BKP atau JKP
pada atau setelah tanggal 1 Januari 1995.
2. Bentuk Faktur Pajak Standar dibuat dengan ukuran kuarto yang isinya sesuai
dengan ketentuan yang berlaku (SK. Dirjen Pajak No. Kep-53/PJ/1994 tanggal
29 Desember 1994).
3. Faktur Pajak Standar harus dibuat sekurang-kurangnya dalam rangkap dua yaitu
:
o Lembar ke-1 : Untuk pembeli BKP atau penerima JKP sebagai bukti Pajak
Masukan.
o Lembar ke-2 : Untuk PKP yang menerbitkan Faktur Pajak Standar
sebagai bukti Pajak Keluaran.
4. Dalam hal Faktur Pajak Standar dibuat lebih dari rangkap dua, maka peruntukan
lembar ketiga dan seterusnya harus dinyatakan secara jelas dalam Faktur Pajak
yang bersangkutan; misalnya :

Lembar ke-3 : Untuk KPP dalam hal penyerahan BKP atau JKP dilakukan
kepada Pemungut PPN.

Syarat-syarat apakah yang harus dipenuhi Faktur Pajak Standar?

Faktur Pajak Standar harus memenuhi syarat formal maupun material. Yang dimaksud
dengan syarat formal adalah bahwa Faktur Pajak Standar paling sedikit harus memuat
keterangan:

1. Nama, alamat, dan NPWP yang melakukan penyerahan atau pembelian BKP
atau JKP;
2. Jenis Barang atau Jasa, jumlah harga jual atau penggantian, dan potongan
harga;
3. PPN yang dipungut;
4. PPnBM? yang dipungut;
5. Kode, nomor seri dan tanggal pembuatan FP; dan
6. Nama, jabatan, dan tanda tangan yang berhak.

Adapun yang dimaksud dengan syarat material adalah bahwa barang yang diserahkan
benar, baik secara nilai maupun jumlah. Demikian juga pengusaha yang melakukan
dan yang menerima penyerahan BKP tersebut sesuai dengan keterangan yang
tercantum pada Faktur Pajak.

Apa yang dimaksud dengan faktur pajak gabungan, bagaimana bentuk dan
ketentuan apa saja yang berkaitan dengannya ?

 Adalah Faktur Pajak Standar yang cara penggunaannya diperkenankan kepada


PKP atas beberapa kali penyerahan BKP/JKP kepada pembeli atau penerima
jasa yang sama yang dilakukan dalam satu Masa Pajak, dan harus dibuat
selambat-lambatnya pada akhir bulan berikutnya setelah bulan terjadinya
penyerahan BKP/ JKP.
 Dalam hal terdapat pembayaran sebelum penyerahan BKP/ JKP atau terdapat
pembayaran sebelum Faktur Pajak Gabungan tersebut dibuat, maka untuk
pembayaran tersebut dibuat Faktur Pajak tersendiri pada saat diterima
pembayaran.
 Tanggal penyerahan/ pembayaran pada Faktur Pajak diisi dengan tanggal awal
penyerahan BKP/ JKP sampai dengan tanggal terakhir dari Masa Pajak yang
dibuatkan Faktur Pajak Gabungan, dengan melampirkan daftar tanggal
penyerahan dari masing-masing Faktur Penjualan.

Apa yang dimaksud dengan faktur pajak sederhana, bagaimana bentuk dan
ketentuan apa saja yang berkaitan dengannya ?

1. Faktur Pajak Sederhana adalah dokumen yang disamakan fungsinya dengan


Faktur Pajak, yang diterbitkan oleh PKP yang melakukan penyerahan BKP
dan/atau JKP kepada pembeli BKP dan/atau JKP yang tidak diketahui
identitasnya secara lengkap atau penyerahan BKP/JKP secara langsung kepada
konsumen akhir.
2. Pembeli BKP/penerima JKP yang tidak diketahui identitasnya secara lengkap,
misalnya: pembeli yang tidak diketahui NPWP-nya atau tidak diketahui nama dan
atau alamat lengkapnya.
3. Faktur Pajak Sederhana sekurang-kurangnya harus memuat :
a. Nama, alamat usaha, NPWP serta nomor dan tanggal pengukuhan PKP
yang menyerahkan BKP atau JKP.
b. Macam, jenis dan kuantum dari BKP atau JKP.
c. Jumlah harga jual atau peggantian yang sudah termasuk pajak atau
besarnya pajak dicantumkan secara terpisah.
d. Tanggal pembuatan Faktur Pajak Sederhana.
4. Bentuk Faktur Pajak Sederhana dapat berupa bon kontan, Faktur Penjualan,
segi cash register, karcis, kuitansi, yang dipakai sebagai tanda bukti penyerahan
atau pembayaran atas penyerahan BKP atau JKP oleh PKP yang bersangkutan.
5. Faktur Pajak Standar yang diisi tidak lengkap bukan merupakan Faktur Pajak
Sederhana.
6. Faktur Pajak Sederhana dibuat sekurang-kurangnya rangkap dua :

a. Lembar ke-1 : Untuk pembeli BKP/ penerima JKP


b. Lembar ke-2 : Untuk arsip PKP yang bersangkutan.
o Faktur Pajak Sederhana dianggap telah dibuat rangkap dua atau
lebih,dalam hal Faktur Pajak Sederhana tersebut dibuat dalam satu
lembar yang terdiri dari dua atau lebih bagian atau potongan yang
disediakan untuk disobek atau dipotong, seperti yang terjadi pada karcis.
o Faktur Pajak Sederhana tidak dapat digunakan oleh pembeli BKP atau
penerima JKP sebagai dasar untuk pengkreditan Pajak Masukan.

Dokumen-dokumen apa yang dapat diperlakukan sebagai Faktur Pajak Standar ?

Dokumen-dokumen tertentu dapat diperlakukan sebagai Faktur Pajak Standar


sepanjang dokumen tersebut memuat sekurang-kurangnya :

 Identitas yang berwenang menerbitkan dokumen;


 Nama, alamat, NPWP penerima dokumen;
 Jumlah satuan;
 Dasar Pengenaan Pajak;
 Jumlah pajak terutang.

Dokumen-dokumen tersebut adalah :

 PIB yang dilampiri SSP dan atau bukti pungutan pajak oleh Dirjen Bea dan Cukai
untuk impor BKP;
 PEB yang telah difiat muat oleh pejabat yang berwenang dari Dirjen Bea dan
Cukai dan dilampiri dengan invoice yang merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan dengan PEB tersebut;
 Surat Perintah Penyerahan Barang (SPPB) yang dibuat/ dikeluarkan oleh
BULOG/ DOLOG untuk penyaluran tepung terigu;
 Faktur Nota Bon Penyerahan (PNBP) yang dibuat/dikeluarkan oleh Pertamina
untuk penyerahan BBM dan atau bukan BBM;
 Tanda pembayaran atau kuitansi untuk penyerahan jasa telekomunikasi;
 Ticket, Tagihan Surat Muatan Udara (Airway Bill), atau Delivery Bill, yang dibuat/
dikeluarkan untuk penyerahan jasa angkutan udara dalam negeri;
 SSP untuk pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atas pemanfaatan BKP tidak
berwujud atau JKP dari luar Daerah Pabean;
 Nota Penjualan Jasa yang dibuat/ dikeluarkan untuk penyerahan jasa
kepelabuhan;
 Tanda pembayaran atau kuitansi listrik.

Bagaimana proses pengadaan dan atau penerbitan faktur pajak ?

1. Faktur Pajak Standar


a. Pengadaan Faktur Pajak Standar dilakukan oleh PKP dan dapat dibuat
dengan menggunakan komputer sepanjang memenuhi syarat
sebagaimana dimaksud dalam Kep. Dirjen. Pajak No. Kep-53/PJ./1994
tanggal 29 Desember 1994.
b. Sebelum PKP mencetak Faktur Pajak Standar, diharuskan melaporkan
nomor seri Faktur Pajak Standar yang akan diterbitkan kepada Kepala
KPP tempat PKP dikukuhkan.
c. Apabila diinginkan, PKP dapat menyesuaikan ukuran kolom-kolom Faktur
Pajak, namun tidak diperkenankan menambah atau mengurangi kolom
yang sudah ada.
d. Tidak diperkenankan menghilangkan kolom PPn BM, meskipun PKP tidak
terutang PPn BM.
e. Identitas PKP yang menerbitkan Faktur Pajak dan nomor seri Faktur
Pajak dapat dicetak.
f. Pada ruangan-ruangan yang masih kosong dalam formulir Faktur Pajak
atau di halaman sebaliknya dapat diisi dengan logo, nomor ijin usaha,
nomor telepon, nomor faktur penjualan, dan tanggal jatuh tempo
pembayaran, sepanjang penempatannya tidak mengubah bentuk dan
ukuran Faktur Pajak.
2. Faktur Pajak Sederhana

a. Faktur Pajak Sederhana hanya dapat diterbitkan oleh PKP yang


melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP kepada pembeli BKP dan/atau
JKP yang tidak diketahui identitasnya secara lengkap atau penyerahan
BKP/ JKP secara langsung kepada konsumen akhir.

Kapan saat pembuatan faktur pajak ?

1. Faktur Pajak Standar harus dibuat selambat-lambatnya :


o Pada akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan BKP dan/atau
JKP.
o Pada saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran
terjadi sebelum penyerahan BKP dan/ atau JKP.
o Pada saat pembayaran termijn dalam hal penyerahan sebagian tahap
pekerjaan.
o Pada saat PKP rekanan menyampaikan tagihan kepada Pemungut PPN.
2. Faktur Pajak Gabungan harus dibuat selambat-lambatnya pada akhir bulan
berikutnya setelah bulan penyerahan BKP dan/ atau JKP.
3. Faktur Pajak Sederhana
o Harus dibuat pada saat penyerahan BKP dan/atau JKP
o Pada saat pembayaran apabila pembayaran diterima sebelum
penyerahan BKP dan/ atau JKP.  

Bagaimana tata cara penggantian/pembetulan faktur pajak standard ?

1. Penggantian Faktur Pajak Standar yang hilang


 PKP pembeli mengajukan permohonan tertulis kepada PKP penjual dengan
tindasan kepada Kepala KPP tempat PKP pembeli dan PKP penjual dikukuhkan
sebagai PKP.
 Berdasarkan permohonan tertulis dari PKP pembeli, PKP penjual membuat copy
dari arsip Faktur Pajak Standar yang disimpan untuk dilegalisir oleh KPP tempat
PKP penjual dikukuhkan.
Copy dibuat rangkap 2 (dua) yaitu :

1. Lembar ke-1 : Diserahkan ke PKP pembeli melalui PKP penjual, sebagai


pengganti Faktur Pajak yang hilang.
2. Lembar ke-2 : arsip
 Legalisir diberikan oleh KPP tempat PKP penjual dikukuhkan setelah meneliti
SPT Masa PPN dari PKP penjual tersebut.
 KPP tempat PKP pembeli dikukuhkan, wajib melakukan penelitian atas SPT
Masa PPN dari PKP pembeli, apakah Faktur Pajak yang dilaporkan hilang
tersebut telah dikreditkan sebagai Pajak Masukan atau belum.

2. Pembetulan Faktur Pajak Standar yang rusak atau cacat atau salah dalam pengisian/
penulisan.

 Dapat diganti dengan cara PKP penjual membuat Faktur Pajak Standar sebagai
pengganti.
 Tidak diperkenankan dengan cara menghapus atau mencoret atau dengan cara
lain.
 Penerbitan Faktur Pajak Pengganti dilaksanakan seperti halnya Faktur Pajak
Standar biasa.
 Faktur Pajak Standar pengganti diisi berdasarkan keterangan yang seharusnya
dan dilampiri dengan Faktur Pajak Standar yang rusak atau cacat atau salah
dalam penulisan/pengisian tersebut.
 Faktur Pajak Standar pengganti dibubuhi cap yang mencantumkan nomor seri,
kode dan tanggal Faktur Pajak Standar yang diganti tersebut.
 Faktur Pajak Standar pengganti dilaporkan dalam SPT Masa PPN pada Masa
Pajak yang sama dengan Masa Pajak dilaporkannya Faktur Pajak Standar yang
diganti.
 Penerbitan Faktur Pajak Standar pengganti mengakibatkan adanya kewajiban
untuk membetulkan SPT Masa PPN pada Masa Pajak terjadinya kesalahan
pembuatan Faktur Pajak Standar tersebut.

Adakah ketentuan khusus yang mengatur mengenai faktur pajak ?

 Atas penyerahan BKP/ JKP tertentu yang PPN-nya ditanggung pemerintah


(Keppres. No.18 tahun 1986yang telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Keppres No.4 Tahun 1996), kecuali Perusahaan Air Bersih, tetap harus dibuat
Faktur Pajak sedikit-dikitnya dalam rangkap 3 (tiga).
 Atas penyerahan JKP oleh kontraktor kepada Perum Perumnas atau developer
rumah murah atau rumah sangat sederhana atau bangunan dalam rangka
proyek transmigrasi swakarsa industri, harus dibuat Faktur Pajak sedikit-dikitnya
dalam rangkap 4 (empat).
 Atas penyerahan buku-buku pelajaran umum, Kitab suci, dan buku-buku
pelajaran agama (Keppres. No.2 tahun 1990), dibuat Faktur Pajak sedikit-
dikitnya dalam rangkap 4 (empat).

Apabila Faktur Pajak yang dibuat/ diterbitkan tidak tepat waktu, apakah masih
merupakan Faktur Pajak dan apakah sanksinya?

Faktur Pajak yang diterbitkan sebelum melewati 3 (tiga) bulan sejak berakhirnya batas
waktu penerbitan Faktur Pajak (KepDirjen? Nomor-KEP-549/PJ./2000), dianggap
sebagai Faktur Pajak Standar.

Faktur Pajak yang diterbitkan setelah melewati batas waktu tersebut di atas tidak dapat
dianggap sebagai Faktur Pajak Standar. Dengan demikian, bagi PKP yang menerima
Faktur Pajak tersebut tidak dapat mengkreditkan PPN yang dibayarnya sebagai Pajak
Masukan

PKP yang menerbitkan Faktur Pajak terlambat dikenakan sanksi 2% dari DPP.

Apakah yang dimaksud dengan Nota Retur?

Nota Retur adalah Nota yang dibuat oleh penerima BKP karena adanya pengembalian
atas BKP yang telah dibeli/ diterimanya. Dengan adanya Nota Retur tersebut maka
PKP penjual dapat mengurangkan PPN dan PPn? BM (PK) atas penyerahan BKP yang
dikembalikan, sedangkan bagi PKP pembeli harus mengurangkan PPN dan PPnBM?
(PM) yang telah dikreditkan atau biaya, dan harta. Nota Retur diterbitkan dan dilaporkan
baik oleh PKP penjual maupun PKP pembeli pada Masa Pajak terjadinya pengembalian
BKP tersebut.

Nota Retur sekurang-kurangnya hrs mencantumkan:

1. Nomor urut;
2. Nomor dan tanggal Faktur Pajak dari BKP yang dikembalikan;
3. Nama, alamat, dan NPWP pembeli;
4. Nama, alamat, dan NPWP yang menerbitkan Faktur Pajak;
5. Jenis barang dan harga jual BKP yang dikembalikan;
6. PPN atas BKP yang dikembalikan;
7. PPnBM? atas BKP yang tergolong mewah yang dikembalikan;
8. Tanggal pembuatan Nota Retur;
9. Tanda tangan pembeli.

Dalam hal Nota Retur tidak selengkapnya mencantumkan keterangan-keterangan di


atas maka tidak dapat diperlakukan sebagai Nota Retur, sehingga tidak dapat
mengurangi Pajak Keluaran bagi penjual atau Pajak Masukan atau biaya, dan harta
bagi pembeli.
Dalam hal pengembalian BKP terjadi masih dalam Masa Pajak yang sama dengan
terjadinya penyerahan BKP tersebut, tidak perlu dibuatkan Nota Retur, melainkan dapat
dilakukan dengan pembatalan atau perbaikan Faktur Pajak atas penyerahan BKP
tersebut.

http://www.pajak.net/info/faktur_pajak.htm

Pengertian Faktur Pajak Fiktif (SE - 29/PJ.53/2003)

1. Faktur Pajak yang diterbitkan oleh Pengusaha yang belum dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak (PKP).
2. Faktur Pajak yang diterbitkan oleh Pengusaha dengan menggunakan nama, NPWP dan
Nomor Pengukuhan PKP orang pribadi atau badan lain.
3. Faktur Pajak yang digunakan oleh PKP yang tidak diterbitkan oleh PKP penerbit
4. Faktur Pajak yang secara formal memenuhi ketentuan Pasal 13 ayat (5) Undang-undang
PPN, tetapi secara material tidak terpenuhi yaitu tidak ada penyerahan barang dan atau
uang atau barang tidak diserahkan kepada pembeli sebagaimana tertera pada Faktur
Pajak.
5. Faktur Pajak yang diterbitkan oleh PKP yang identitasnya tidak sesuai dengan keadaan
yang sebenarnya.

http://www.pajakonline.com/engine/learning/view.php?id=478

Faktur Pajak Fiktif Rugikan Negara Rp607


Miliar
Headlines | Mon, May 3, 2010 at 10:26 | Jakarta, matanews.com
Sri Mulyani (*ant/file)

Penyelidik Ditjen Pajak saat ini tengah menginvestigasi kasus pajak yang melibatkan satu grup
usaha, konsultan dan biro jasa pajak dengan total kerugian negara Rp607 miliar.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani, mengatakan modus pengemplangan pajak itu dilakukan dengan
memfiktifkan faktur. Satu grup usaha yang terlibat dalam kasus pajak ini berada di Sumatera
Utara dengan inisial badan usaha PHS dan pimpinannya R.

“Perusahaan tersebut dan pemiliknya diduga melakukan restitusi pajak dengan menggunakan
faktur pajak yang tak berdasarkan transaksi sebenarnya atau  fiktif. Nilai transaksinya mencapai
Rp300 miliar dan pelakunya diduga sudah melarikan diri ke luar negeri,” ungkap Menkeu  dalam
jumpa pers di Gedung Kemenkeu, Jakarta, Senin.

Kasus faktur pajak fiktif lainnya, sebut Sri Mulyani, melibatkan konsultan pajak tak resmi
berinisial SOL. Nilai pajak yang difiktifkan mencapai Rp247 miliar.

Satu kasus lainnya, tambah Menkeu, adalah penerbitan faktur pajak fiktif senilai Rp60 miliar
yang melibatkan sebuah biro jasa dengan inisial W yang dipimpin TKB.

Menkeu mengakui,  PPN restitusi memang rawan disalahgunakan dan kebanyakan menyangkut
dana yang cukup besar dan melibatkan berbagai perusahaan dengan banyak pelaku.

Ia meminta Ditjen Pajak untuk menggarap penyelidikan dan penyidikan kasus ini secara serius
karena nilai kerugian negara yang timbul cukup tinggi. (*/ham)

http://matanews.com/2010/05/03/faktur-pajak-fiktif-rugikan-negara-rp607-miliar/
Kenapa Pengusaha Masih Menggunakan Faktur Pajak Fiktif
Senin, 24 Mei 2010 14:00 WIB
Oleh: Lena Yong

(managementfile – Tax) – Hingga kini, masih saja terjadi pengusaha yang menggunakan Faktur
Pajak Fiktif. Alasan pengusaha menggunakan faktur pajak fiktif ini adalah untuk dapat
mengkreditkan pajak karena bisa mengurangi pembayaran ppn atau bisa juga terjadi restitusi.

Istilah Faktur pajak fiktif ini sudah tidak asing lagi bagi pengusaha-pengusaha. Apa sih
pengertian dari Faktur Pajak Fiktif ini? Faktur pajak Fiktif adalah:faktur pajak yg diterbitkan oleh
pengusaha yg belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), faktur pajak yg
diterbitkan oleh pengusaha yg memakai nama, NPWP orang pribadi atau badan lainnya dan
faktur pajak yang diterbitkan oleh pengusaha kena pajak yg identitasnya tidak sesuai dengan
keadaan sebenarnya.

Hati-hati bagi pengusaha yg menggunakan faktur pajak fiktif karena itu merugikan negara. Baru-
baru ini Dirjen Pajak mengatakan bahwa penerbit faktur pajak fikitif layak disebut sebagai
teroris, karena dia mendapat keuntungan dari menjual faktur fiktif sementara dia tidak memiliki
perusahaan.

Ada kejadian pengusaha kena pajak yang menggunakan faktur fiktif. Beberapa tahun yg lalu
pengusaha kena pajak tersebut tiap bulan mengalami kelebihan bayar pada laporan PPN dan itu
berlangsung terus menerus dilakukan oleh pengusaha tersebut. Pada suatu saat terjadi
pemeriksaan dan pengusaha ini dikenai denda dengan nilai yg cukup besar sehingga membuat
pengusaha tersebut kaget kenapa dia didenda padahal tiap bulan semua laporan pajak dilapor.
Selidik punya selidik ternyata faktur yang selama ini dikreditkan sebagai faktur masukan itu
adalah faktur fiktif.

Mungkinkah kejadian ini terjadi karena tidak mengetahui bahwa yg dipergunakan itu faktur fiktif
atau karena kita berusaha untuk tidak mau membayar pajak nilai yg besar.

Jangan karena kita tidak mau bayar pajak kita akhirnya melakukan kesalahan yg besar,selain kita
kena denda yg besar perusahaan kita bisa mengalami pemeriksaan akan mendapat hukuman.

http://managementfile.com/journal.php?id=618&sub=journal&awal=10&page=tax

Kementerian Keuangan sedang menyelidiki 100 wajib pajak (WP) badan terkait dugaan tindakan
kriminal dalam restitusi pajak dengan modus penggunaan faktur PPN yang tidak berdasarkan
transaksi sebenarnya (transaksi fiktif). ”Kini kita sudah memeriksa 100 WP di lokasi yang
terletak di berbagai kota seperti Medan, Jakarta, Bandung, Surabaya dan beberapa lokasi
lainnya,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, di Kantor Ditjen Pajak, Jakarta, Senin
(3/5).

Beberapa kasus, lanjut Menkeu, bahkan ada kaitannya dengan kasus pemalsuan dokumen
perpajakan seperti surat setoran pajak (SSP) seperti yang terungkap di Surabaya baru-baru ini.
Dia mengungkapkan, dari 100 WP tersebut Dirjtjen Pajak juga telah menginvestigasi, antara lain
terhadap grup PHS di Sumatra Utara dengan Pimpinan R terkait restitusi pajak yang diduga
menggunakan faktur pajak tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya (transaksi fiktif) dengan
nilai sekitar Rp 300 miliar. ”Untuk kasus ini pimpinannya bahkan diduga telah melarikan diri ke
luar negeri,” ungkapnya.

Kemudian investigasi juga dilakukan terhadap seorang konsultan pajak yang berada di Jakarta
berinisial SOL terkait dengan penerbitan faktur pajak tidak berdasarkan transaski yang
sebenarnya dengan nilai Rp 247 miliar. Tidak hanya itu, penyelidikan juga dilakukan terhadap
Biro Jasa dengan inisial W yang dipimpin oleh TKB di Jakarta terkait dengan kasus yang
bermodus sama dengan nilai Rp 60 miliar.

Harus diakui, kata Menkeu, berbagai kasus yang ada ini tidak jarang melibatkan pejabat pajak,
apakah dari pelaksana atau lebih tinggi dari itu. Karena permasalahan yang ada saat ini bersifat
sistemik, struktural, dan disinyalir sudah berlansung cukup lama. ”Kerugian bagi negara cukup
besar akibat kasus transaksi fiktif ini,” sesalnya.

http://ruangberita.com/berbagai-kasus-pajak-fiktif-melibatkan-pejabat-pajak/

Bagaimana tata cara penggantian/pembetulan faktur pajak standard ?


Wednesday, 11 October 2006 03:10 | | |

Penggantian Faktur Pajak Standar yang hilang PKP pembeli mengajukan permohonan tertulis kepada
PKP penjual dengan tindasan kepada Kepala KPP tempat PKP pembeli dan PKP penjual dikukuhkan
sebagai PKP. Berdasarkan permohonan tertulis dari PKP pembeli, PKP penjual membuat copy dari arsip
Faktur Pajak Standar yang disimpan untuk dilegalisir oleh KPP tempat PKP penjual dikukuhkan. Copy
dibuat rangkap 2 (dua) yaitu : Lembar ke-1 : Diserahkan ke PKP pembeli melalui PKP penjual, sebagai
pengganti Faktur Pajak yang hilang. Lembar ke-2 : arsip Legalisir diberikan oleh KPP tempat PKP penjual
dikukuhkan setelah meneliti SPT Masa PPN dari PKP penjual tersebut. KPP tempat PKP pembeli
dikukuhkan, wajib melakukan penelitian atas SPT Masa PPN dari PKP pembeli, apakah Faktur Pajak yang
dilaporkan hilang tersebut telah dikreditkan sebagai Pajak Masukan atau belum. 2. Pembetulan Faktur
Pajak Standar yang rusak atau cacat atau salah dalam pengisian/ penulisan. Dapat diganti dengan cara
PKP penjual membuat Faktur Pajak Standar sebagai pengganti. Tidak diperkenankan dengan cara
menghapus atau mencoret atau dengan cara lain. Penerbitan Faktur Pajak Pengganti dilaksanakan
seperti halnya Faktur Pajak Standar biasa. Faktur Pajak Standar pengganti diisi berdasarkan keterangan
yang seharusnya dan dilampiri dengan Faktur Pajak Standar yang rusak atau cacat atau salah dalam
penulisan/pengisian tersebut. Faktur Pajak Standar pengganti dibubuhi cap yang mencantumkan nomor
seri, kode dan tanggal Faktur Pajak Standar yang diganti tersebut. Faktur Pajak Standar pengganti
dilaporkan dalam SPT Masa PPN pada Masa Pajak yang sama dengan Masa Pajak dilaporkannya Faktur
Pajak Standar yang diganti. Penerbitan Faktur Pajak Standar pengganti mengakibatkan adanya
kewajiban untuk membetulkan SPT Masa PPN pada Masa Pajak terjadinya kesalahan pembuatan Faktur
Pajak Standar tersebut.

http://www.google.com/webhp?
hl=id#hl=id&biw=1024&bih=370&q=pembetulan+faktur+pajak+standar&aq=1&aqi=g2&aql=
&oq=pembetulan+fa&gs_rfai=&fp=898c956165e83f7d

Penanganan Faktur Pajak Fiktif

Abstraksi

Permasalahan faktur pajak fiktif sebenarnya sudah bukan hal yang baru walau tetap menjadi
salah satu sorotan utama atas permasalahan-permasalahan yang terjadi di lingkungan Direktorat
Jenderal Pajak (DJP). Beberapa permasalahan yang berkaitan dengan faktur pajak fiktif yang
melibatkan oknum petugas pajak, wajib pajak, dan pihak-pihak lainnya telah berhasil diungkap
oleh DJP dengan melibatkan pihak aparat hukum yang berwenang. Walaupun beberapa oknum
yang berkaitan dengan faktur pajak fiktif tersebut telah dijatuhi hukuman, ternyata efek jera yang
ditimbulkan tidak begitu berpengaruh, dengan kata lain permasalahan tersebut masih dapat
muncul setiap saat.

Dalam rangka meningkatkan langkah antisipatif untuk menanggulangi terjadinya kasus


penggunaan faktur pajak fiktif, maka perlu kiranya pihak DJP meningkatkan pengendalian
internal terhadap permasalahan tersebut dengan langkah-langkah antara lain sebagai berikut:
Memberikan penegasan kembali tentang pentingnya melakukan langkah-langkah pengamanan
berkaitan dengan faktur pajak fiktif dan klarifikasi/konfirmasi PK-PM sebagaimana diatur dalam
Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP-745/PJ/2001 tanggal 26 Desember 2001 tentang
Tata Cara Pelaksanaan Konfirmasi Faktur Pajak dengan Aplikasi Sistem Informasi Perpajakan.
Pengawasan (klarifikasi) terhadap PK-PM hendaknya dilakukan secara periodik dan tidak hanya
pada saat melakukan pemeriksaan. Bila dijumpai adanya kejanggalan dapat segera diambil
langkah-langkah pencegahan terjadinya penyimpangan lebih lanjut.

Dalam hal permintaan klarifikasi dari KPP tempat PKP Penjual terdaftar belum dijawab, maka
aparat pemeriksa pajak membuat Berita Acara Pelaksanaan Pengujian Arus Kas dan Arus Barang
atas Faktur Pajak yang Dimintakan Klarifikasi, dilengkapi dengan Kertas Kerja Pemeriksaan
beserta dokumen-dokumen yang mendukung hasil pengujian tersebut, seperti rekening koran,
bukti penerimaan barang, voucher, kartu gudang, atau dokumen terkait lainnya. Lebih
meningkatkan pengendalian terhadap data PK-PM dengan melakukan pembatasan terhadap
pejabat yang dapat mengakses menu dan petugas yang melakukan peng-input-an maupun
penggunaan, disertai dengan peningkatan pengawasan atasan langsung sehingga dapat mencegah
terjadinya pengubahan data oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.

Pengertian

Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE – 29/PJ.53/2003 yang dimaksud
dengan Faktur Pajak fiktif antara lain adalah:

1. Faktur Pajak yang diterbitkan oleh Pengusaha yang belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak (PKP).
2. Faktur Pajak yang diterbitkan oleh Pengusaha dengan menggunakan nama, NPWP dan Nomor
Pengukuhan PKP orang pribadi atau badan lain.
3. Faktur Pajak yang digunakan oleh PKP yang tidak diterbitkan oleh PKP penerbit.
4. Faktur Pajak yang secara formal memenuhi ketentuan Pasal 13 ayat (5) Undang-undang PPN,
tetapi tidak memenuhi secara material yaitu tidak ada penyerahan barang dan atau uang atau
barang tidak diserahkan kepada pembeli sebagaimana tertera pada Faktur Pajak.
5. Faktur Pajak yang diterbitkan oleh PKP yang identitasnya tidak sesuai dengan keadaan yang
sebenarnya.

Dasar Hukum dan Petunjuk Pelaksanaan

1. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajaknomor SE-29/PJ.53/2003 tentang Langkah-Langkah


Penanganan atas Penerbitan dan Penggunaan Faktur Pajak Tidak Sah (Fiktif).
2. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak  Nomor SE-27/PJ.52/2003 tentang Daftar dan Sanksi atas
Wajib Pajak yang Diduga Menerbitkan Faktur Pajak Tidak Sah.
3. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-15/PJ.5/2001 tanggal 8 Juni 2001 tentang
Penanganan Faktur Pajak yang Diterbitkan oleh Pengusaha yang Belum Dikukuhkan Sebagai
Pengusaha Kena Pajak.
4. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-755/PJ./2001 tanggal 26 Desember 2001
tentang Penyampaian Keputusan Direktorat Jenderal Pajak Nomor KEP-754/PJ/2001tentang
Tata Cara Pelaksanaan Konfirmasi Faktur Pajak Dengan Aplikasi Sistem Informasi Perpajakan.
5. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-01/PJ.7/2002 tanggal 19 Februari 2002 tentang
Kebijaksanaan Pemeriksaan Pajak Pertambahan Nilai dan PPn BM.
6. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-04/PJ.52/2003 tanggal 8 Januari 2003 tentang
Kewajiban Melaporkan Wajib Pajak yang bermasalah.

Faktur Pajak yang sesuai dengan ketentuan Undang-undang PPN dapat berupa:

1. Faktur Pajak Standar.


2. Faktur Pajak Sederhana sesuai Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-524/PJ./2000
tentang Syarat-syarat Faktur Pajak Sederhana sebagaimana telah diubah dengan KEP-
425/PJ./2001.
3. Dokumen-dokumen tertentu yang diperlakukan sebagai Faktur Pajak Standar sesuai Keputusan
Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-522/PJ./2000 tentang Dokumen-dokumen Tertentu Yang
Diperlakukan Sebagai Faktur Pajak Standar sebagaimana telah diubah dengan KEP-312/PJ./2001,
antara lain:

- Pemberitahuan Impor Barang (PIB) yang dilampiri Surat Setoran Pajak dan atau bukti pungutan
pajak oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk impor Barang Kena Pajak;

- Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) yang telah difiat muat oleh pejabat yang berwenang dari
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan dilampiri dengan invoice yang merupakan satu kesatuan
yang tidak terpisahkan dengan PEB tersebut;

- Surat Setoran Pajak untuk pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atas pemanfaatan Barang Kena
Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean.

Wajib Pajak yang perlu diwaspadai yang diindikasikan sebagai penerbit atau pengguna
Faktur Pajak fiktif antara lain:

1. Wajib Pajak yang menyampaikan SPT Masa PPN, tetapi elemen data SPT beserta lampirannya
tidak dapat direkam karena Wajib Pajak tersebut tidak terdaftar sebagai PKP pada Master File
Lokal.
2. Wajib Pajak yang sering pindah alamat atau selalu mengajukan permohonan perpindahan
alamat atau tempat kedudukan atau permohonan perpindahan lokasi tempat terdaftar (Kantor
Pelayanan Pajak).
3. Wajib Pajak Non Efektif (NE) tiba-tiba aktif dan mempunyai jumlah penyerahan yang cukup
besar tiap bulannya.
4. Wajib Pajak yang baru berdiri langsung mempunyai jumlah penyerahan besar, tetapi kurang
bayarnya relatif kecil.
5. Wajib Pajak-Wajib Pajak yang pengurus dan komisarisnya terdiri dari orang yang sama.
6. Wajib Pajak-Wajib Pajak yang Akta Pendirian badan hukumnya disahkan oleh Notaris yang sama
dan pendiriannya pada waktu yang bersamaan atau berdekatan, demikian juga dengan Nomor
Akta.
7. Wajib Pajak yang melaporkan jumlah penyerahan yang tidak sebanding dengan jumlah modal
atau jumlah harta perusahaan.
8. Wajib Pajak yang melakukan pembetulan SPT Masa PPN yang mengakibatkan jumlah
penyerahan yang terutang PPN (Pajak Keluaran) menjadi besar dan atau jumlah Pajak Masukan
menjadi besar.

Contoh kasus : Faktur Pajak yang semula dinyatakan batal melalui SPT Masa PPN digunakan
lagi untuk transaksi kepada pihak lain sehingga Pajak Keluaran-nya menjadi tinggi, untuk
mengimbanginya Wajib Pajak menambah nilai Pajak Masukan yang dapat dikreditkan
sedemikian rupa sehingga hasil akhirnya tidak mengubah nilai Pajak Pertambahan Nilai kurang
bayar yang telah dilaporkan.

1. Wajib Pajak melakukan kegiatan usaha perdagangan dan melakukan penyerahan Barang Kena
Pajak yang sangat beragam sehingga tidak diketahui dengan pasti core business Wajib Pajak
tersebut.
2. Wajib Pajak yang jumlah pajak kurang bayar-nya relatif kecil jika dibandingkan dengan jumlah
penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai.
3. Wajib Pajak tidak tertib atau tidak pernah melaporkan kewajiban perpajakan Pajak Penghasilan
Pasal 21, 23 dan 25.
4. Wajib Pajak yang melakukan rekayasa pembukuan.
5. Wajib Pajak yang alamatnya tidak ditemukan, begitupula alamat pengurusnya.
6. Wajib Pajak yang jumlah penyerahannya besar, namun PPh Pasal 21 nya kecil.
7. Wajib Pajak yang SPT Masa PPN-nya Lebih Bayar dan dikompensasi terus menerus, dan begitu
dilakukan pemeriksaan tidak ditemukan adanya persediaan.

Langkah-langkah yang harus dilakukan oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP):

1. Agar dalam rangka permohonan PKP baru, petugas Pemeriksaan Lapangan harus mempunyai
keyakinan terhadap kebenaran tempat usaha Wajib Pajak, apabila Wajib Pajak hanya menyewa
tempat usaha, maka petugas harus mempunyai keyakinan terhadap alamat dari pengurus
perusahaan (dewan direksi) dan dewan komisaris.
2. Menginventarisir kegiatan usaha PKP, untuk PKP perdagangan, importir, kontraktor dan supplier
agar dipisahkan.
3. Mempelajari kebenaran berkas Wajib Pajak, KTP pengurus, keterangan domisili dan berkas data
yang ada di Kantor Pelayanan Pajak (KPP), terutama Wajib Pajak yang melakukan kegiatan
perdagangan, importir, kontraktor dan supplier.
4. Menganalisa SPT Masa PPN dengan setoran masa PPh Badan dan PPh 21 untuk mendapatkan
gambaran kegiatan Wajib Pajak dan kewajaran setoran masa PPh Badan, dan indikasi adanya
penyimpangan di dalam penerbitan Faktur Pajak.
5. Agar dalam melakukan konfirmasi atas kebenaran Faktur Pajak pemeriksa mewaspadai
pengkreditan Pajak Masukan tersebut untuk keperluan restitusi.
6. Agar Kepala KPP melakukan pengawasan dan penelitian terhadap Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud di atas dan agar hasil penelitian dilaporkan kepada Kepala Kantor Wilayah DJP berikut
tindak lanjut usulan yang akan dilakukan, setiap 3 (tiga) bulan sekali, dengan tembusan Direktur
Pemeriksaan, Penyidikan dan Penagihan Pajak.
7. Dalam hal klarifikasi Faktur Pajak, apabila terdapat indikasi bahwa Faktur Pajak yang dimintakan
klarifikasi adalah fiktif, maka terhadap PKP Penjual yang menerbitkan Faktur Pajak dengan
indikasi tidak sah tersebut diusulkan kepada Kepala Kantor Wilayah DJP untuk diperiksa.
8. Apabila dari hasil penelitian ditemukan data yang menunjukkan Wajib Pajak sebagai penerbit
dan atau pengguna Faktur Pajak fiktif maka agar terhadap Wajib Pajak tersebut dilakukan
pemeriksaan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
9. Dalam hal hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa Wajib Pajak adalah penerbit dan atau
pengguna Faktur Pajak fiktif, maka terhadap penerbit Faktur Pajak fiktif agar dilakukan
pemeriksaan Bukti Permulaan. Sedangkan terhadap pengguna Faktur Pajak fiktif agar dihimbau
untuk membetulkan SPT Masa PPN yang bersangkutan sesuai dengan Pasal 8 ayat (3) Undang-
undang KUP dan tidak mengkreditkan Faktur Pajak tersebut karena secara formal dan material
tidak memenuhi ketentuan Pasal 13 ayat (5) Undang-undang PPN. Apabila berdasarkan
pembetulan SPT Masa PPN terdapat PPN yang kurang dibayar, agar PPN kurang bayar tersebut
dibayar dengan menggunakan SSP. Apabila pengguna Faktur Pajak fiktif tidak membetulkan SPT
Masa PPN sesuai batas waktu yang ditentukan dalam surat himbauan, agar terhadap Wajib
Pajak itu dilakukan penyidikan.
10. Dalam hal hasil pemeriksaan melibatkan Wajib Pajak lain sebagai penerbit Faktur Pajak fiktif,
maka agar daftar Wajib Pajak-Wajib Pajak tersebut dilaporkan kepada Kepala Kanwil DJP yang
membawahi KPP tempat Wajib Pajak penerbit Faktur Pajak fiktif terdaftar dengan tembusan
Kepala Kanwil DJP yang membawahi KPP tempat Wajib Pajak pengguna Faktur Pajak fiktif
terdaftar. Sedangkan dalam hal hasil pemeriksaan melibatkan Wajib Pajak lain sebagai pengguna
Faktur Pajak fiktif, maka agar daftar Wajib Pajak-Wajib Pajak tersebut dilaporkan kepada Kepala
Kanwil DJP yang membawahi KPP tempat Wajib Pajak pengguna Faktur Pajak fiktif terdaftar
dengan tembusan Kepala Kanwil DJP yang membawahi KPP tempat Wajib Pajak penerbit Faktur
Pajak fiktif terdaftar..
11. Mengusulkan kepada Kepala Kanwil DJP masing-masing agar terhadap Wajib Pajak tersebut
dilakukan pemeriksaan atau penyidikan; dan
12. Dalam hal Faktur Pajak tersebut diterbitkan oleh Pengusaha yang belum dikukuhkan sebagai
PKP segera beritahukan kepada seluruh KPP terkait (KPP domisili PKP yang mengkreditkan
Faktur Pajak yang tidak sah tersebut) bahwa Faktur Pajak yang diterbitkan Wajib Pajak dimaksud
adalah merupakan Faktur Pajak yang tidak sah karena Wajib Pajak tersebut belum dikukuhkan
sebagai PKP, sesuai Pasal 9 ayat (8) Undang-undang PPN maka Pajak Masukan tersebut tidak
dapat dikreditkan.

Langkah-langkah yang harus dilakukan oleh Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak
(Karikpa)*:

1. Apabila permintaan klarifikasi Faktur Pajak dengan aplikasi Sistem Informasi Perpajakan
ditemukan Wajib Pajak termasuk dalam suspect list di program PKPM, maka pemeriksa harus
mewaspadai transaksi tersebut untuk diuji lebih dalam.
2. Selain melakukan permintaan klarifikasi data Pajak Masukan, pemeriksa harus menguji arus
uang, arus utang, arus piutang, arus barang dan arus dokumen.
3. Apabila ditemukan Faktur Pajak fiktif maka Kepala Karikpa harus:

- Membuat daftar Wajib Pajak yang menerbitkan dan atau menggunakan Faktur Pajak fiktif, untuk
diserahkan kepada Kepala KPP tempat Wajib Pajak terdaftar dengan tembusan Direktur P4;

- Membuat alat keterangan (alket) kepada Kepala KPP tempat Wajib Pajak terdaftar atas transaksi
yang menggunakan Faktur Pajak tidak sah (fiktif) tersebut;

- Mengusulkan untuk perluasan pemeriksaan atau bukti permulaan kepada Kepala Kanwil DJP
dengan tembusan Direktur P4 dan Kepala KPP dimana Wajib Pajak terdaftar; dan

- Apabila Wajib Pajak terbukti menerbitkan Faktur Pajak tidak sah, maka dalam Laporan
Pemeriksaan Pajak (LPP) diusulkan untuk disidik dan dicabut PKP-nya.

1. Dalam hal PKP yang diperiksa adalah penerbit Faktur Pajak fiktif agar dilakukan pemeriksaan
Bukti Permulaan. Dalam hal PKP yang diperiksa adalah pengguna Faktur Pajak fiktif agar
dihimbau untuk membetulkan SPT Masa PPN yang bersangkutan sesuai dengan Pasal 8 ayat (3)
Undang-undang KUP dan tidak mengkreditkan Faktur Pajak tersebut karena secara formal dan
material tidak memenuhi ketentuan Pasal 13 ayat (5) Undang-undang PPN. Apabila berdasarkan
pembetulan SPT Masa PPN terdapat PPN yang kurang dibayar, agar PPN kurang bayar tersebut
dibayar dengan menggunakan SSP.
2. Apabila pengguna Faktur Pajak fiktif tidak membetulkan SPT Masa PPN sesuai batas waktu yang
ditentukan dalam surat himbauan, agar terhadap Wajib Pajak itu dilakukan penyidikan.
Ket: * Sebelum adanya penggabungan menjadi KPP Pratama.

Langkah-langkah yang harus dilakukan oleh Kantor Wilayah (Kanwil):

1. Menginventarisir daftar Wajib Pajak yang menerbitkan dan atau menggunakan Faktur Pajak fiktif
yang dilaporkan oleh KPP.
2. Kanwil dapat melakukan pemeriksaan atau penyidikan atas Wajib Pajak sebagaimana tercantum
dalam laporan KPP.
3. mengawasi dan memantau KPP dalam menindaklanjuti data-data tersebut.
4. Selanjutnya, daftar Wajib Pajak-Wajib Pajak yang menerbitkan dan atau menggunakan Faktur
Pajak tidak sah yang telah diinventarisir, serta tindak lanjut yang telah dilakukan baik oleh KPP,
Karikpa maupun Kanwil, agar dilaporkan setiap 3 (tiga) bulan sekali kepada Direktur P4 dengan
tembusan Direktur PPN dan PTLL*.

Direktur PPN dan PTLL akan mengirimkan data-data tersebut kepada Direktur Informasi
Perpajakan.

Direktorat Informasi Perpajakan akan*:

1. Meng input daftar Wajib Pajak penerbit dan pengguna Faktur Pajak fiktif ke dalam intranet dan
menghubungkan dengan program PK PM.
2. Meng up date daftar Wajib Pajak sebagaimana tercantum pada butir a secara teratur.

Dalam menangani Pengusaha yang menerbitkan Faktur Pajak sebelum dikukuhkan sebagai PKP
agar tetap berpedoman pada Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-15/PJ.5/2001
tanggal 8 Juni 2001 tentang Penanganan Faktur Pajak yang Diterbitkan oleh Pengusaha yang
Belum Dikukuhkan Sebagai Pengusaha Kena Pajak dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak
Nomor SE-04/PJ.52/2003 tanggal 8 Januari 2003 tentang Kewajiban Melaporkan Wajib Pajak
yang Bermasalah.

Dalam melakukan pemeriksaan, maka pemeriksa tetap memperhatikan penegasan sebagaimana


dimaksud dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-01/PJ.7/2002tanggal 19
Februari 2002 tentang Kebijaksanaan Pemeriksaan Pajak Pertambahan Nilai dan PPn BM, dan
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-755/PJ./2001 tanggal 26 Desember 2001
tentang Penyampaian Keputusan Direktorat Jenderal Pajak Nomor KEP-754/PJ/2001 tentang
Tata Cara Pelaksanaan Konfirmasi Faktur Pajak Dengan Aplikasi Sistem Informasi Perpajakan.

Ket: * Sebelum adanya perubahan struktur organisasi DJP modern.

Sanksi

Terhadap Wajib Pajak yang termasuk di dalam daftar pada lampiran surat edaran ini agar
dilakukan pemeriksaan dengan tetap memperhatikan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak
Nomor       SE-1/PJ.7/2002 tanggal 19 Februari 2002 tentang Kebijaksanaan Pemeriksaan Pajak
Pertambahan Nilai dan PPn BM, dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-
755/PJ./2001 tanggal 26 Desember 2001 tentang Penyampaian Keputusan Direktorat Jenderal
Pajak Nomor KEP-754/PJ/2001 tentang Tata Cara Pelaksanaan Konfirmasi Faktur Pajak Dengan
Aplikasi Sistem Informasi Perpajakan.

Apabila dalam pemeriksaan, Wajib Pajak terbukti menerbitkan Faktur Pajak tidak sah maka
Wajib Pajak tersebut dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Wajib Pajak yang melakukan transaksi dengan Wajib Pajak yang termasuk di dalam daftar pada
lampiran SE-27/PJ.52/2003 tidak dapat mengkreditkan Pajak Masukannya. Pajak Pertambahan
Nilai yang terutang atas transaksi tersebut akan ditagih lagi beserta sanksinya, apabila dari hasil
pemeriksaan arus uang dan arus barang dapat dibuktikan bahwa transaksi tersebut adalah tidak
benar.

http://pajakpraktis.wordpress.com/2010/03/08/penanganan-faktur-pajak-fiktif/

FAKTUR PAJAK FIKTIF (2)

(Tulisan ini merupakan bagian kedua dari tulisan tentang Faktur Pajak Fiktif)

B. Faktur Pajak Tidak Sah/ Fiktif

Beberapa tahun belakangan ini, marak sekali kita dengar kasus pembobolan uang Negara dengan cara
memanipulasi restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Akibatnya negara pun dirugikan hingga triliunan
Rupiah. Beberapa kasus yang terkenal adalah Kasus KPP Pademangan, Tebet, Grogol Petamburan,
Fadlan, dan kasus penangkapan sindikat pemalsu dokumen restitusi pajak pada awal tahun ini berhasil
diciduk oleh Polres Kesatuan Polisi Pengamanan Pelabuhan (KP3) Tanjung Priok beserta Komisi
Pemberantasan Korupsi yang terdiri dari satu petugas Bea Cukai, tiga pimpinan perusahaan jasa
kepabeanan dan delapan pimpinan perusahaan swasta yang selama sepuluh tahun terakhir telah
merugikan Negara triiunan Rupiah serta masih banyak lagi kasus yang lain. Melihat besarnya jumlah
kasus yang ditangani maupun kerugian Negara yang diakibatkannya, sudah seharusnya menjadi
perhatian kita semua dalam memberantasnya.

Restitusi PPN diartikan sebagai pengembalian PPN karena jumlah pajak masukan (pembelian) melebihi
pajak keluaran (penjualan). Umumnya, perusahaan yang berorientasi ekspor yang akan memohon
restitusi, sebab dalam upaya menggalakkan ekspor dan juga supaya barang Indonesia lebih kompetitif di
luar negeri, pemerintah mengizinkan penjualan ekspor tidak perlu dilakukan pemungutan PPN. Sampai
di sini maksud dan tujuan operasional restitusi masih baik untuk kepentingan usaha di Indonesia. Dan
apabila dianalisis dari logika ini, maka semakin banyak pengusaha yang melakukan restitusi berarti
semakin banyak ekspor yang dilakukan dengan kemungkinan bahan baku lokal yang besar untuk semua
materialnya, baik material langsung maupun pendukung.
Namun kemudahan fasilitas perpajakan yang diberikan pemerintah ini dimanfaatkan secara tidak benar
oleh Wajib Pajak nakal untuk membobol kas Negara. Modus yang dilakukan pun beragam dari mulai
melakukan mark up nilai pajak agar mendapat restitusi lebih besar, sampai pemalsuan faktur pajak yang
digunakan untuk melakukan ekspor fiktif. Faktur pajak palsu yang digunakan dalam kejahatan ini, biasa
disebut faktur pajak tidak sah/ bermasalah/ fiktif, selanjutnya disebut faktur pajak tidak sah.

Di dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE - 29/PJ.53/2003 tentang langkah-langkah
penanganan atas penerbitan dan penggunaan faktur pajak tidak sah (fiktif), yang dimaksud faktur pajak
tidak sah adalah:

Faktur Pajak yang diterbitkan oleh Pengusaha yang belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak (PKP).

Faktur Pajak yang diterbitkan oleh Pengusaha dengan menggunakan nama, NPWP dan Nomor
Pengukuhan PKP orang pribadi atau badan lain.

Faktur Pajak yang digunakan oleh PKP yang tidak diterbitkan oleh PKP penerbit

Faktur Pajak yang secara formal memenuhi ketentuan Pasal 13 ayat (5) Undang-undang PPN,
tetapi secara material tidak terpenuhi yaitu tidak ada penyerahan barang dan atau uang atau
barang tidak diserahkan kepada pembeli sebagaimana tertera pada Faktur Pajak.

Faktur Pajak yang diterbitkan oleh PKP yang identitasnya tidak sesuai dengan keadaan yang
sebenarnya.

Ada beberapa ciri-ciri Wajib Pajak yang diindikasikan sebagai penerbit maupun pengguna faktur pajak
tidak sah, diantaranya:

Wajib Pajak yang menyampaikan SPT Masa PPN, tetapi elemen data SPT beserta lampirannya
tidak dapat direkam karena Wajib Pajak tersebut tidak terdaftar sebagai PKP pada Master File
Lokal.

Wajib Pajak yang sering pindah alamat atau selalu mengajukan permohonan perpindahan alamat
atau tempat kedudukan atau permohonan perpindahan lokasi tempat terdaftar (Kantor Pelayanan
Pajak).

Wajib Pajak Non Efektif (NE) tiba-tiba aktif dan mempunyai jumlah penyerahan yang cukup besar
tiap bulannya.

Wajib Pajak yang baru berdiri langsung mempunyai jumlah penyerahan besar, tetapi kurang
bayarnya relatif kecil.

Wajib Pajak-Wajib Pajak yang pengurus dan komisarisnya terdiri dari orang yang sama.
Wajib Pajak-Wajib Pajak yang Akta Pendirian badan hukumnya disahkan oleh Notaris yang sama
dan pendiriannya pada waktu yang bersamaan atau berdekatan, demikian juga dengan Nomor
Akta.

Wajib Pajak yang melaporkan jumlah penyerahan yang tidak sebanding dengan jumlah modal atau
jumlah harta perusahaan.

Wajib Pajak yang melakukan pembetulan SPT Masa PPN yang mengakibatkan jumlah penyerahan
yang terutang PPN (Pajak Keluaran) menjadi besar dan atau jumlah Pajak Masukan menjadi
besar.

Wajib Pajak melakukan kegiatan usaha perdagangan dan melakukan penyerahan Barang Kena
Pajak yang sangat beragam sehingga tidak diketahui dengan pasti core business Wajib Pajak
tersebut.

Wajib Pajak yang jumlah pajak kurang bayar-nya relatif kecil jika dibandingkan dengan jumlah
penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai.

Wajib Pajak tidak tertib atau tidak pernah melaporkan kewajiban perpajakan Pajak Penghasilan
Pasal 21, 23 dan 25.

Wajib Pajak yang melakukan rekayasa pembukuan.

Wajib Pajak yang alamatnya tidak ditemukan, begitu pula alamat pengurusnya.

Wajib Pajak yang jumlah penyerahannya besar, namun PPh Pasal 21 nya kecil.

Wajib Pajak yang SPT Masa PPN-nya Lebih Bayar dan dikompensasi terus menerus, dan begitu
dilakukan pemeriksaan tidak ditemukan adanya persediaan.

Dalam kasus faktur pajak tidak sah ini, biasanya dilakukan secara berkelompok yang melibatkan banyak
pihak dan tidak terlepas dari peranan dan keikutsertaan oknum aparat pajak, Bea dan Cukai, pengelola
pelabuhan, pengusaha peti kemas, agen pelayaran asing yang menerbitkan dokumen atau bill of lading,
produsen atau pengusaha ekspor, pengusaha ritel, makelar jasa kepabeanan, makelar agen pelayaran,
dan makelar faktur, serta masih banyak instansi lainnya. Misalnya, dalam memeriksa WP, meskipun
oknum pemeriksa pajak mengetahui adanya indikasi faktur pajak fiktif justru tidak dilakukan
pemeriksaan, namun malah menego berapa “bagi hasil” yang bisa didapat. Oknum aparat Bea Cukai juga
berperan dalam menerbitkan dokumen-dokumen kepabeanan serta ekspor impor, misalnya
Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB), Pemberitahuan Impor Barang (PIB), dsb. Sedangkan notaries,
membantu membuat akta pendirian perusahaan fiktif.

Sanksi Faktur Pajak Fiktif


Faktur pajak sebagai bukti pungutan pajak merupakan sarana administrasi yang sangat penting dalam
pelaksanaan ketentuan Pajak Pertambahan Nilai, apabila faktur pajak tersebut disalahgunakan maka hal
tersebut dapat menyebabkan kerugian Negara, dan atas percobaan melakukan tindak pidana itu
merupakan delik tersendiri. Oleh karena itu, di dalam UU KUP yang baru, yaitu Undang-Undang Nomor
28 tahun 2008 pasal 39 dan 39A, sudah diatur sanksi bagi mereka yang menyalahgunakan faktur pajak
maupun mengajukan restitusi dan pengkreditan pajak namun isinya tidak benar.

Dalam pasal 39 disebutkan setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana:

a. menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan
Pengusaha Kena Pajak, atau

b. menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak
lengkap dalam rangka mengajukan permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak atau
pengkreditan pajak,

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun dan denda
paling sedikit 2 (dua) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan
yang dilakukan dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau
kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan.

Sedangkan setiap orang yang dengan sengaja :

a. menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan
pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya;atau

b. menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak

dipidana dengan pidana penjara paling sedikit 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun serta
denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti
pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak dan paling banyak 6 (enam) kali jumlah pajak dalam
faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak.

Contoh Kasus

Berikut kami sampaikan contoh kasus beberapa modus operandi penyalahgunaan faktur pajak tidak sah
yang pernah terjadi dan sering dilakukan oleh WP nakal disertai solusi yang kami tawarkan dalam setiap
kasus.

a. Mengumpulkan dan membeli faktur pajak dari peritel untuk dikreditkan sebagai faktur PM dengan
tujuan ekspor fiktif.

Perusahaan yang nakal mengumpulkan dan membeli dokumen pembelian barang dari
supermarket, mal-mal (peritel), karena biasanya para pembeli ritel tidak mengklaim PPN
masukan dalam faktur pembeliannya. Selanjutnya, dokumen pembelian barang tersebut
diberikan ke Bea Cukai. Pihak perusahaan mengaku bahwa barang-barang yang dibelinya itu
akan diekspor. Dengan begitu, dia bisa menarik kembali dari PPN barang –barang yang dibelinya
di dalam negeri. Berdasarkan keterangan itu, bea cukai pun mengeluarkan dokumen
pemberitahuan ekspor. Selanjutnya, dengan modal dokumen tersebut, si pengusaha
mendatangi kantor pelayanan pajak untuk mengurus restitusi pajaknya. Kecurangan tersebut
baru terbongkar setelah petugas mendapatkan bukti bahwa pengusaha tersebut tidak pernah
melakukan ekspor.

b. Dokumen ekspor lengkap, namun barang yang diekspor ekpor tidak pernah sampai di tempat
tujuan ekspor.

Jika pengusaha eksportir (Indonesia) dengan importer dari Singapura (misalnya) “bekerjasama”
untuk mengeruk kas Negara melalui restitusi PPN, semua dokumen ekspor lengkap, arus barang
dan arus uang juga telah dibuktikan dengan adanya dokumen B/L (bill of lading) dan transfer
uang di bank. Barang yang rencananya akan diekspor tersebut juga telah diberangkatkan melalui
pelabuhan asal, misalnya Tanjung Priok, namun tidak akan sampai di pelabuhan Singapura,
sebab dibelokkan ke Batam (misalnya) dan dijual di sana. Sehingga tidak pernah ada kejadian
ekspor. Pengusaha eksportir akan meminta restitusi pajak ke KPP dengan membawa dokumen-
dokumen tersebut. Petugas pajak tidak akan sampai memeriksa apakah barang ekspor itu telah
sampai di Singapura atau tidak, karena memang tidak ada persyaratan itu, sehingga permohonan
restitusi dikabulkan. Pengusaha diuntungkan dengan tetap menjual barangnya di dalam negeri,
serta restitusi PPN yang didapatkannya dibagi dengan rekanan yang di Singapura.

c. Menggunakan Faktur Pajak fiktif dimana dalam hal ini transaksinya memang jelas tidak ada.
Terhadap cara ini sesungguhnya akan mudah terdeteksi dengan sistem konfirmasi Faktur Pajak,
namun karena jawaban konfirmasi lambat atau karena kepandaian PKP tersebut meyakinkan
petugas KPP, maka ada kemungkinan dapat lolos.

d. Menciptakan PKP-PKP fiktif yang dilibatkan dalam suatu rangkaian transaksi yang fiktif pula.
Dengan cara ini, satu PKP membentuk beberapa PKP lainnya yang biasanya dibuat berlokasi di
beberapa KPP berbeda serta kota yang berbeda/ berjauhan. Selanjutnya antara PKP-PKP tersebut
diciptakan seakan-akan ada transaksi yang didukung dengan faktur pajak. Biasanya beberapa
diantara PKP tersebut merupakan perusahaan "boneka" yang melaporkan SPT Masanya kurang
bayar sedikit, sehingga terlepas dari beberapa kriteria verifikasi lapangan, sedangkan perusahaan
(PKP) intinya atau PKP-PKP pada tempat tertentu akan meminta resitusi dengan menggunakan
Faktur Pajak hasil transaksi Fiktif antar PKP dalam kelompok tersebut. Dalam kasus ini, apabila
diadakan konfirmasi juga akan dijawab "ada" karena Faktur pajak tersebut memang telah diatur
agar dilaporkan sebagai Pajak Keluaran oleh PKP-PKP "bonekanya".

e. Sebuah PKP setiap bulan melaporkan SPT Masa PPN pada KPP. Sebelum dilakukan proses
perekaman dan pemberkasan, SPT Masa PPN tersebut dipinjam tanpa melalui prosedur
peminjaman melalui oknum petugas di seksi PPN. Selanjutnya SPT Masa PPN tersebut
dipalsukan dengan cara merubah rincian faktur Pajak Masukan dan rincian faktur Pajak Keluaran
yang nilainya digelembungkan dan SPT Masa PPN tersebut dimasukkan kembali ke KPP melalui
TPT, yang selanjutnya SPT Masa PPN palsu tersebut dikirim ke bagian komputer untuk direkam.
Dalam keadaan demikian, setiap kali KPP yang bersangkutan menerima permintaan konfirmasi
faktur pajak (Pajak Masukan vs Pajak Keluaran) dari KPP lain dalam rangka restitusi PPN atau
pemeriksaan pajak akan selalu dijawab “ada”.

f. Dan masih banyak lagi modusnya.

Analisis Kelemahan Sistem Restitusi PPN

Dari beberapa contoh kasus di atas dapat diambil beberapa pelajaran dalam rangka penyempurnaan
proses restitusi PPN. Beberapa kelemahan yang bisa dilihat yaitu:

1. Pemberian jawaban konfirmasi hanya didasarkan pada pencocokan Faktur Pajak yang dimintakan
konfirmasi dengan Daftar Pajak Keluaran pada SPT Masa dari PKP yang menerbitkan Faktur
Pajak dimaksud. Dengan cara ini tidak akan dapat terdeteksi apakah PKP yang menerbitkan
Faktur Pajak tersebut benar-benar ada dan aktif berusaha atau hanya berfungsi sebagai PKP
Fiktif atau "papan nama". Didalam kenyataannya, PKP-PKP "boneka" atau "papan nama"
tersebut secara teratur memasukkan SPT Masa PPN serta melunasi pajak yang kurang bayar dan
melaporkan Faktur-faktur Pajak yang diterbitkannya dalam Daftar Pajak Keluaran.

2. Proses permintaan konfirmasi dan jawaban konfirmasi Faktur Pajak berlangsung lambat
(memakan waktu yang cukup lama) sehingga batas waktu penyelesaian restitusi belum diperoleh
atau belum seluruh Faktur Pajak mendapat jawaban konfirmasi. Keterlambatan ini dapat berasal
dari kurang cepatnya respon dari KPP yang diminta konfirmasi, atau karena proses
administrasi/tata usaha surat menyurat yang lama, atau karena pihak KPP yang meminta
konfirmasi sendiri yang lambat mengajukan permintaan sehingga sudah mendekati batas waktu
penyelesaian restitusi. Kondisi demikian akan mengakibatkan para petugas menjadi kurang
waspada karena telah diburu batas waktu.

3. Kebenaran ekspor hanya didukung oleh dokumen PEB yang telah di fiat muat, B/L dan LPSE.
Kelemahan dokumen pendukung ini adalah bahwa fiat muat dari Ditjen Bea dan Cukai pada PEB
ternyata bukan merupakan jaminan bahwa barang benar-benar diekspor, dan demikian pula
dengan B/L. Diantara dokumen tersebut yang paling menjamin kebenaran adanya ekspor adalah
LPSE dari PT. Sucofindo, namun ekspor dengan LPSE ini hanya berlaku untuk jenis-jenis
barang tertentu yang sangat terbatas jumlahnya.

4. Petugas yang melakukan pemeriksaan lapangan dalam rangka pengukuhan Pengusaha Kena Pajak
tidak bekerja secara professional dan benar. Mereka dapat dibohongi Wajib Pajak yang mengaku
mempunyai kegiatan usaha, padahal sebenanya kegiatan usahanya fiktif/ milik orang lain.
Terkadang, mentalitas petugas pajak yang melakukan pemeriksaan lapangan bisa disuap dengan
cara diajak makan di restoran tertentu dengan alasan masih di luar kantor. Atau bahkan parahnya,
terkadang jika lokasi kegiatan usaha jauh dan sulit dijangkau, fiskus malas berangkat ke
lapangan dan hanya mengkonfirmasi melalui telepon. Padahal data (fotokopy KTP, KK,
Keterangan Domisili, dll) yang digunakan untuk pengukuhan NPWP pada umumnya palsu/tidak
sesuai dengan kenyataan.
Saran Perbaikan Sistem Restitusi

Beberapa saran yang dapat kami berikan dalam rangka pengamanan restitusi PPN diantaranya:

1. Fiskus diharuskan untuk melakukan analisa perkembangan usaha PKP yang meminta
restitusi, perkembangan pembayaran PPN-nya dan perkembangan permintaan restitusi untuk
beberapa masa pajak terakhir, serta kepatuhan PKP melaksanakan kewajiban perpajakan
pada umumnya. Hal-hal ini semua sesungguhnya sangat penting untuk menilai apakah PKP
memang telah melaksanakan seluruh kewajiban perpajakan sesuai ketentuan atau hanya
memenuhi persyaratan untuk tujuan tertentu. Selain itu, upaya selanjutnya adalah mencabut
PKP yang tidak efektif. Jika diketahui PKP selama dua tahun tak beraktivitas, maka bisa
diusulkan dihapus pengukuhan PKP-nya. Dengan demikian, hanya PKP yang benar-benar
memiliki kegiatan usaha yang akan dilayani. Konsekuensi bagi yang dicabut adalah tidak
mendapat restitusi.

2. Proses konfirmasi Faktur Pajak seharusnya mendapatkan perhatian dan prioritas sepenuhnya
baik dari Kepala KPP yang meminta konfirmasi maupun Kepala KPP yang diminta
konfirmasi, sehingga jangka waktunya dapat dipersingkat. Misalnya, Memberikan
penegasan kembali tentang pentingnya melakukan langkah-langkah pengamanan berkaitan
dengan faktur pajak fiktif dan klarifikasi/konfirmasi PK-PM sebagaimana diatur dalam
Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. Kep-754/PJ/2001 tanggal 26 Desember 2001 tentang
Tata Cara Pelaksanaan Konfirmasi Faktur Pajak dengan Aplikasi Sistem Informasi
Perpajakan. Pengawasan (klarifikasi) terhadap PK-PM hendaknya dilakukan secara periodik
dan tidak hanya pada saat melakukan pemeriksaan. Bila dijumpai adanya kejanggalan dapat
segera diambil langkah-langkah pencegahan terjadinya penyimpangan lebih lanjut.

Selain itu, perlu dilakukan pembenahan database internal DJP sehingga akan memudahkan
fiskus dalam melakukan konfirmasi faktur pajak yang diperlukan.

3. Lebih meningkatkan pengendalian terhadap data PK-PM dengan melakukan pembatasan


terhadap pejabat yang dapat mengakses menu dan petugas yang melakukan peng-input-an
maupun penggunaan, disertai dengan peningkatan pengawasan atasan langsung sehingga
dapat mencegah terjadinya pengubahan data oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung
jawab.

4. Menyempurnakan aplikasi sistem Pajak Keluaran Pajak Masuk (PK-PM) dan merancang
formulir SPT Masa PPN baru yang lebih sederhana serta berbasis data elektronik. Sehingga
petugas tidak akan merekam ulang secara manual satu per satu ke dalam aplikasi dan waktu
yang dibutuhkan dalam proses entry data dan konfirmasi bisa lebih singkat.

5. Segera merealisasikan jaringan pelabuhan (port net) melalui adanya Indonesian National
Single Window yang nantinya akan merupakan bagian dari ASEAN Single Window atau
bahkan International port net. Jika sistem ini diterapkan, maka ekspor yang berangkat dari
Indonesia akan langsung tercatat dalam dokumen di Singapura atau negara tujuan lainnya.
Dengan begini, maka kemungkinan ekspor fiktif dapat dihindari. Selain itu, penggunaan
sistem ini juga akan membantu memperkecil kemungkinan penyelundupan karena barang
yang dicatat sebagai ekspor Singapura ke Indonesia harus sama dengan barang yang dicatat
sebagai impor dari Singapura di Indonesia. Dan laporan penerimaan barang di pelabuhan
Negara tujuan harus disertakan sebagai lampiran permohonan restitusi.
6. Mempercepat modernisasi DJP di seluruh Indonesia, sehingga profesionalisme, mentalitas dan
moralitas pegawai pajak tidak tercemari lagi oleh adanya suap ataupun langkah licik dari Wajib Pajak
nakal yang ingin membobol uang Negara melalui restitusi PPN. Serta Fiskus dapat meningkatkan
kewaspadaan terhadap adanya indikasi-indikasi kecurangan Wajib Pajak.

http://blogergie.blogspot.com/2008/11/faktur-pajak-fiktif-2.html

Permasalahan
Faktur Pajak
Fiktif
DannyDarussalam Tax Center   
Wednesday, 04 October 2006 17:00
Faktur Pajak Fiktif bisa terus terjadi untuk itu perlu ada upaya serius untuk
menanganinya.
Permasalahan faktur pajak fiktif sebenarnya sudah bukan hal yang baru walau tetap menjadi salah
satu sorotan utama atas permasalahan-permasalahan yang terjadi di lingkungan Direktorat
Jenderal Pajak (DJP). Beberapa permasalahan yang berkaitan dengan faktur pajak fiktif yang
melibatkan oknum petugas pajak, wajib pajak, dan pihak-pihak lainnya telah berhasil diungkap
oleh DJP dengan melibatkan pihak aparat hukum yang berwenang. Walaupun beberapa oknum
yang berkaitan dengan faktur pajak fiktif tersebut telah dijatuhi hukuman, ternyata efek jera yang
ditimbulkan tidak begitu berpengaruh, dengan kata lain permasalahan tersebut masih dapat
muncul setiap saat.

Dalam rangka meningkatkan langkah antisipatif untuk menanggulangi terjadinya kasus


penggunaan faktur pajak fiktif, maka perlu kiranya pihak DJP meningkatkan pengendalian
internal terhadap permasalahan tersebut dengan langkah-langkah antara lain sebagai berikut:
Memberikan penegasan kembali tentang pentingnya melakukan langkah-langkah pengamanan
berkaitan dengan faktur pajak fiktif dan klarifikasi/konfirmasi PK-PM sebagaimana diatur dalam
Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. Kep-745/PJ/2001 tanggal 26 Desember 2001 tentang Tata
Cara Pelaksanaan Konfirmasi Faktur Pajak dengan Aplikasi Sistem Informasi Perpajakan.
Pengawasan (klarifikasi) terhadap PK-PM hendaknya dilakukan secara periodik dan tidak hanya
pada saat melakukan pemeriksaan. Bila dijumpai adanya kejanggalan dapat segera diambil
langkah-langkah pencegahan terjadinya penyimpangan lebih lanjut.

Dalam hal permintaan klarifikasi dari KPP tempat PKP Penjual terdaftar belum dijawab, maka
aparat pemeriksa pajak membuat ?Berita Acara Pelaksanaan PengujianArus Kas dan Arus Barang
atas Faktur Pajak yang Dimintakan Klarifikasi?, dilengkapi dengan Kertas Kerja Pemeriksaan
beserta dokumen-dokumen yang mendukung hasil pengujian tersebut, seperti rekening koran,
bukti penerimaan barang, voucher, kartu gudang, atau dokumen terkait lainnya. Lebih
meningkatkan pengendalian terhadap data PK-PM dengan melakukan pembatasan terhadap
pejabat yang dapat mengakses menu dan petugas yang melakukan peng-input-an maupun
penggunaan, disertai dengan peningkatan pengawasan atasan langsung sehingga dapat mencegah
terjadinya pengubahan data oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. (IRBID II)
http://www.dannydarussalam.com/dd15/artikel-pajak/342-permasalahan-faktur-pajak-fiktif.html

Ketentuan Mengenai Faktur Pajak sesuai UU No 42 Tahun 2009


.

Labels: faktur gabungan, Faktur Pajak ppn, PPN

KETENTUAN MENGENAI FAKTUR PAJAK SESUAI UU NO 42 TAHUN 2009 (UU PPN BARU)

(Mulai Berlaku 1 April 2010)

A. Saat Pembuatan Faktur Pajak (Pasal 13 (1a))

Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap:


a. penyerahan Barang Kena Pajak
b. penyerahan Jasa Kena Pajak
c. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
d. ekspor Jasa Kena Pajak

Faktur Pajak harus dibuat pada: *)


a. saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak
b. saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak;
c. saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap
pekerjaan; atau
d. saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Dikecualikan dari ketentuan diatas*), Pengusaha Kena Pajak dapat membuat 1 (satu)
Faktur Pajak meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan kepada pembeli Barang
Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak yang sama selama 1 (satu) bulan
kalender. Faktur Pajak tersebut harus dibuat paling lama pada akhir bulan
penyerahan.

Contoh:

Dalam hal Pengusaha Kena Pajak A melakukan penyerahan Barang Kena Pajak kepada
pengusaha B pada tanggal 1, 5, 10, 11, 12, 20, 25, 28, dan 31 Juli 2010, tetapi sampai
dengan tanggal 31 Juli 2010 sama sekali belum ada pembayaran atas penyerahan tersebut,
Pengusaha Kena Pajak A diperkenankan membuat 1 (satu) Faktur Pajak gabungan yang
meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan pada bulan Juli, yaitu paling lama tanggal 31
Juli 2010.

B. Syarat Faktur Pajak


Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan Barang Kena
Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang paling sedikit memuat:
a. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena
Pajak atau Jasa Kena Pajak;
b. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau
penerima Jasa Kena Pajak;
c. jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga;
d. Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;
e. Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut;
f. kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan
g. nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.

Faktur Pajak memenuhi persyaratan formal apabila diisi secara lengkap, jelas, dan benar
sesuai dengan persyaratan sebagaimana dimaksud diatas atau persyaratan yang diatur
dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan dokumen tertentu yang


kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak. *)
*) Ketentuan ini diperlukan, antara lain, karena:

a. faktur penjualan yang digunakan oleh pengusaha telah dikenal oleh masyarakat luas,
seperti kuitansi pembayaran telepon dan tiket pesawat udara;

b. untuk adanya bukti pungutan pajak harus ada Faktur Pajak, sedangkan pihak yang
seharusnya membuat Faktur Pajak, yaitu pihak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau
Jasa Kena Pajak, berada di luar Daerah Pabean, misalnya, dalam hal pemanfaatan Jasa Kena
Pajak dari luar Daerah Pabean, Surat Setoran Pajak dapat ditetapkan sebagai Faktur Pajak;
dan

c terdapat dokumen tertentu yang digunakan dalam hal impor atau ekspor Barang Kena
Pajak Berwujud.

Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur
Pajak memenuhi persyaratan material apabila berisi keterangan yang sebenarnya atau
sesungguhnya mengenai penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena
Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud,
ekspor Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan
pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean.

Dengan demikian, walaupun Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya
dipersamakan dengan Faktur Pajak sudah memenuhi ketentuan formal dan sudah dibayar
Pajak Pertambahan Nilainya, apabila keterangan yang tercantum dalam Faktur Pajak atau
dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak tidak sesuai
dengan kenyataan yang sebenarnya mengenai penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena
Pajak Tidak Berwujud, ekspor Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, atau pemanfaatan
Jasa Kena Pajak dan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah
Pabean di dalam Daerah Pabean, Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya
dipersamakan dengan Faktur Pajak tersebut tidak memenuhi syarat material.

C. Sanksi atas Pelanggaran Syarat Formal Faktur Pajak (Pasal 13 (5) jo Pasal 14 (1) e
UU KUP)
PKP tidak dikenai sanksi apabila menerbitkan Faktur Pajak yang tidak memuat:

1. Identitas pembeli; atau

2. Identitas pembeli, serta nama dan tanda tangan untuk FP yang diterbitkan oleh pedagang
eceran.

(Psl 14 (1) huruf e UU KUP

FP tersebut tidak dikategorikan sebagai FP cacat, namun Faktur Pajaknya sendiri tidak dapat
dikreditkan oleh pembelinya.

http://pelayanan-pajak.blogspot.com/2010/01/ketentuan-mengenai-faktur-pajak-sesuai.html

SERBA-SERBI FAKTUR PAJAK

(BENTUK, UKURAN, PROSEDUR PEMBERITAHUAN, TATACARA PENGISIAN,


TATACARA PEMBETULAN ATAU PENGGANTIAN, DAN TATACARA
PEMBATALAN)

Berikut kami coba intisarikan aturan mengenai Faktur Pajak sesuai UU PPN No 42 tahun
2009
Dasar Hukum :
UU PPN No 42 tahun 2009
PMK-38/PMK.03/2010
PER-13/PJ/2010
SE-42/PJ/2010

Kapan Faktur Pajak Dibuat?


Faktur Pajak dibuat pada:
- Saat penyerahan BKP/JKP
- Saat penerimaan pembayaran (dalam hal pembayaran terjadi sebelum penyerahan)
- Saat pembayaran termin (dalam hal peneyrahan sebagian tahap pekerjaan)
- Saat PKP menyampaikan tagihan ke Bendahara Pemerintah

Kelengkapan Faktur Pajak


- Faktur Pajak harus diisi dengan lengkap, jelas dan benar sesuai Pasal 13 ayat 5 UU PPN,
apabila tidak merupakan Faktrur Pajak Cacat
- Faktur pajak Penjualan yang memuat keterangan sesuai Pasal 13 ayat 5 UU PPN
dipersamakan dengan Faktur Pajak
- PPN yang tercantum dalam FP cacat tidak dapat dikreditkan, dan PKP penerbit dikenakan
sanksi administrasi Pasal 14 ayat 4 UU KUP.
- Pengecualian : FP dianggap lengkap dalam hal FP tidak memuat keterangan mengenai
Nama,Alamat,NPWP Pembeli untuk PKP ;
dan
FP dianggap lengkap dalam hal FP tidak memuat keterangan mengenai
Nama,Alamat,NPWP Pembeli dan nama dan tandatangan yangh berhak menandatangani
FP untuk PKP PE

Faktur Pajak Pengganti, Hilang dan Batal


- Faktur pajak yang cacat, rusak, salah dalam pengisian maupun penulisan dapat diganti
dengan cara menerbitkan Faktur Pajak pengganti
- Apabila FP hilang, maka dapat dibuat copy FP tsb dan di stempel KPP (legalisir)
- Apabila terjadi pembatalan transaksi sedangkan FP telah terbit, maka atas FP tersebut
harus dibatalkan oleh PKP yang menerbitkan FP
- Silakan download tatacara menerbitkan FP pengganti, FP Hilang dan Batal disini –
Lampiran VIII PER-13/PJ/2010

Pejabat/ Kuasa yang menandatangani Faktur Pajak


- WP harus menyampaikan surat pemberitahuan nama pejabat/kuasa yang ditunjuk untuk
menandatangani FP (silakan download format surat disini-Lampiran VIA PER-13/PJ/2010)
- Surat pemberitahuan tsb harus disampaikan ke KPP paling lama akhir bulan berikutnya
setelah pejabat /kuasa yang ditunjuk mulai menandatangani FP
- Apabila surat tersebut tidak disampaikan/terlambat disampaikan maka faktur pajak yang
diterbitkan dianggap faktur pajak cacat

Penomoran Faktur Pajak


Pengusaha kena pajak harus menerbitkan faktur pajak dengan menggunakan Kode dan
nomor seri faktur pajak sesuai Lampiran III PER-13/PJ/2010
Apabilaterjadi kesalahan pengisian kode dan nomor seri FP, maka FP yang diterbitkan
merupakan FP cacat.
Format penomoran :
- 2 digit kode transksi
- 1 digit kode status
- 3 digit kode cabang
- 2 digit tahun penerbitan
- 8 digit nomor urut
Contoh : 010.000-10.00000025
Artinya: penyerahan kepada selain pemungut PPN, faktur pajak normal (bukan pengganti),
diterbitkan di tahun 2010 dengan nomor urut 25.
(silakan download tatacara/ketentuan Penomoran Faktur Pajak disini-Lampiran III PER-
13/PJ/2010)
Khusus untuk PKP Eceran (PKP PE) diberikan kemudahan untuk menggunakan nomor
sendiri yang dapat berupa nomor invoice atau nomor struk penjualan sebagaimana telah
dipergunakaan saat ini, sampai dengan tanggal 31 Desember 2010. Mulai 1 Januari 2011
wajib melakukan penomoran faktur pajak sesuai ketentuan dalam lampiran III PER-
13/PJ/2010.

FAKTUR PAJAK PPN (PAJAK PERTAMBAHAN NILAI)


.

Labels: faktur gabungan, Faktur Pajak ppn, faktur sederhana, nota retur, PPN, saat penerbitan

a. Kewajiban membuat Faktur Pajak

Pasal 13 ayat (1) UU PPN 1984 menentukan : “Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur
Pajak untuk setiap penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a
atau huruf f dan untuk setiap penyerahan Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
huruf c.”

b. Pengertian Faktur Pajak.

Berdasarkan fungsinya, Faktur Pajak mengandung tiga macam pengertian, yaitu :


1) Dalam pasal 1 angka 23 UU PPN 1984 dirumuskan bahwa Faktur Pajak adalah bukti pungut-
an pajak yang dibuat oleh PKP Penjual atau Pengusaha Jasa.
2) Ditinjau dari sisi pembeli atau penerima JKP, Faktur Pajak adalah bukti pembayaran pajak
kepada PKP yang menyerahkan BKP atau JKP.
3) Dalam memori penjelasan Pasal 13 ayat (5) UU PPN 1984 antara lain ditegaskan bahwa
Faktur Pajak adalah sarana untuk mengreditkan Pajak Masukan.

c. Jenis Faktur Pajak

Dalam penjelasan Pasal 13 ayat (1) UU PPN 1984, ditegaskan 3 (tiga) macam Faktur Pajak
yaitu:

1) Faktur Pajak Standar

Dalam pasal 1 angka 3 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-159/PJ/2006 tanggal 31
Oktober 2006 yang mengatur tentang Saat Pembuatan, Bentuk, Ukuran, Pengadaan, Tata Cara
Penyampaian, Dan Tata Cara Pembetukan Faktur Pajak Standar menetapkan bahwa Faktur Pajak
Standar adalah Faktur Pajak yang paling sedikit memuat keterangan tentang:
a) Nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan BKP atau JKP
b) Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli BKP atau penerima JKP ;
c) Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga ;
d) Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut ;
e) Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut ;
f) Kode, nomor seri dan tanggal pembuatan Faktur Pajak ; dan
g) Nama, jabatan, dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.
Faktur Pajak Gabungan sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (2) UU PPN 1984 sebenar-nya
adalah Faktur Pajak Standar yang memuat semua penyerahan BKP atau JKP dalam satu Masa
Pajak kepada pembeli BKP atau penerima JKP yang sama..

2) Dokumen tertentu yang dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak di perlaku-kan sebagai
Faktur Pajak Standar.

Berdasarkan Pasal 13 ayat (6) UU PPN 1984 jo Keputusan Direktur Jenderal Nomor 522/PJ/
2000 tanggal 6 Desember 2000 dan Nomor KEP-312/PJ/2001 tanggal 23 April 2001 ditetap-kan
dokumen-dokumen tertentu sebagai Faktur Pajak Standar, yaitu :
a) PIB dan SSP untuk impor BKP
b) PEB yang telah difiat muat Pejabat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dilampiri invoice
c) SPPB (Surat Perintah Pengiriman Barang) dari BULOG/DOOLOG
d) Paktur Nota Bon Penyerahan (PNBP) yang dibuat oleh Pertamina atas penyerahan BBM dan
non BBM
e) Kuitansi atas penyerahan jasa telekomunikasi
f) Tiket, airway bil), delivery bill yang dibuat perusahaan jasa angkutan udara dalam negeri
g) SSP PPN atas pemanfaatan BKP Tidak Berwujud/JKP dari luar Daerah Pabean
h) Nota Penjualan Jasa atas penyerahan jasa kepelabuhanan
i) Tanda pembayaran atau kuitansi langganan listrik.
Dokumen-dokumen tersebut harus memuat sekurang-kurangnya :
a) Identitas yang berwenang menerbitkan dokumen ;
b) Nama, Alamat dan NPWP penerima dokumen sebagai wajib pajak dalam negeri;
c) Jumlah satuan apabila ada ;
d) Dasar Pengenaan Pajak ;
e) Jumlah pajak yang terutang.

3) Faktur Pajak Sederhana.

Dalam Pasal 13 ayat (7) UU PPN 1984 jo Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-
524/KMK.04/2000 tanggal 6 Desember 2000 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Kepu-
tusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-128/PJ/2004 tanggal 25 Agustus 2004 ditetapkan
bah-wa PKP dapat membuat Faktur Pajak Sederhana atas penyerahan BKP atau JKP sepanjang
meme-nuhi syarat sebagai berikut :
1) Faktur Pajak Sederhana boleh dibuat dalam hal :
a) penyerahan BKP atau JKP dilakukan kepada konsumen akhir ; atau
b) pembeli BKP/penerima JKP yang nama, alamat atau NPWP-nya tidak diketahui.
2) Membuat Faktur Pajak Sederhana tidak memerlukan ijin dari siapapun.
3) Faktur Pajak Sederhana dapat berupa bon kontan, faktur penjualan, karcis, kuitansi, segi kas
register, dan sejenisnya.
4) dalam Faktur Pajak Sederhana minimal mencantumkan nama, alamat dan NPWP di Pembuat;
Jenis dan kuantum BKP/JKP; harga.penyerahan termasuk PPN atau ditulis terpisah; tanggal
pembuatan Faktur Pajak
5) Faktur Pajak Sederhana harus dibuat dalam rangkap dua, atau satu lembar dengan pertinggal
berupa potongan/bagian dari Faktur Pajak Sederhana yang diserahkan kepada pembeli/ pene-
rima jasa, seperti pada umumnya yang terjadi pada karcis.
6) Kelemahan Faktur Pajak Sederhana adalah Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan ;
7) Dibuat paling lambat pada saat penyerahan BKP/JKP, atau paling lambat pada saat pembayar-
an dalam hal pembayaran diterima sebelum dilakukan penyerahan.

Penjelasan Lebih Lanjut ttg Faktur Pajak Sederhana - Klik disini

d. Pengadaan Formulir Faktur Pajak Standar

Tata cara pengadaan formulir Faktur Pajak Standar dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1) Setiap Faktur Pajak Standar wajib menggunakan Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak.
2) Bentuk formulir Faktur Pajak Standar disesuaikan dengan kebutuhan administrasi PKP yang
bersangkutan.
3) Formulir Faktur Pajak dapat dicetak dalam warna putih untuk seluruh lembar atau antara
lembar kesatu, kedua dan ketiga dapat dicetak dalam warna yang berbeda-beda sesuai dengan
keinginan atau keperluan PKP.
4) Faktur Pajak Standar dibuat minimal dalam rangkap 2 (dua) dengan peruntukan:
Lembar ke-1 : untuk diberikan kepada Pembeli BKP atau penerima JKP,
Lembar ke-2 : sebagai arsip PKP yang bersangkutan.
Dalam hal dibuat lembar ke-3, peruntukannya supaya disebutkan dengan jelas.
5) Faktur Pajak Standar dapat dibuat dengan menggunakan komputer sepanjang memenuhi sya-
rat yang telah ditentukan.

e. Tata Cara Mengisi Faktur Pajak Standar

Adapun tata cara mengisi Faktur Pajak Standar, ditentukan sebagai berikut:

1) Penjelasan Pasal 13 ayat (5) UU PPN 1984, dan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Direk-
tur Jenderal Pajak Nomor PER-159/PJ./2006 menetapkan bahwa Faktur Pajak harus diisi de-
ngan lengkap, benar dan jelas baik secara formal maupun materiel dan ditandatangani oleh
pejabat perusahaan yang ditunjuk oleh PKP.
Faktur Pajak yang diisi tidak sesuai ketentuan ini menjadi Faktur Pajak cacat, sehingga PPN
yang ada di dalamnya tidak dapat dikreditkan.
Namun, kiranya perlu disadari bahwa tidak mencantumkan keterangan NPPKP Pembeli dalam
Faktur Pajak Standar tidak mengakibatkan Faktur Pajak Standar menjadi cacat. Hal ini
disebabkan oleh :
a) berdasarkan Pasal 3A ayat (1) UU PPN 1984, sejak 1 Januari 2001, UU PPN 1984 tidak
mengakui eksistensi NPPKP;
b) Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-159/PJ./2006 pada
dasarnya menetapkan bahwa keterangan yang ditentukan dalam Pasal 1 angka 3 wajib diisi
dengan lengkap, benar dan jelas oleh PKP. Pasal 1 angka 3 ini merupakan duplikasi dari materi
Pasal 13 ayat (5) UU PPN 1984 yang menentukan syarat minimal keterangan yang wajib
dicantumkan dalam Faktur Pajak Standar. Dalam rincian kete-rangan tersebut tidak tercantum
keterangan tentang NPPKP Pembeli BKP atau Penerima JKP. Oleh karena itu, tanpa
mencantumkan keterangan tentang NPPKP dimaksud, berarti Faktur Pajak Standar ini sudah
diisi sesuai dengan Pasal 13 ayat (5) UU PPN 1984, sehingga tidak tergolong sebagai Faktur
Pajak Standar cacat.

2) Sejak 1 Januari 2007, berdasarkan Pasal 6 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-
159/PJ./2006 ditetapkan bahwa PKP yang membuat Faktur Pajak Standar wajib menggunakan
Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak Standar sebagai berikut :

(1) Kode Faktur Pajak, terdiri atas:


- 2 (dua) digit Kode Transaksi;
- 1 (satu) digit Kode Status, yang meliputi: 0 untuk Normal, 1 untuk Penggantian
- 3 (tiga) digit Kode Cabang.
(2) Nomor Seri Faktur Pajak, terdiri atas:
- 2 (dua) digit tahun penerbitan;
- 8 (delapan) digit Nomor Urut.

3) Penandatanganan Faktur Pajak Standar.

a) PKP wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis nama pejabat yang berhak menanda-tangani
Faktur Pajak Standar disertai dengan contoh tandatangannya kepada Kepala KPP paling lambat
pada saat pejabat dimaksud mulai menandatangani Faktur Pajak Standar, menggunakan formulir
yang telah ditetapkan.
b) Pejabat yang ditunjuk untuk menandatangani Faktur Pajak dapat lebih dari 1 (satu) orang.
c) Dalam hal PKP Orang Pribadi yang tidak memiliki struktur organisasi memberi kuasa kepada
pihak lain untuk menandatangani Faktur Pajak Standar, maka dengan formulir khusus PKP wajib
menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada Kepala KPP paling lambat pada saat pihak yang
diberi kuasa mulai menandatangani Faktur Pajak Standar dan menyertakan Surat Kuasa Khusus.
d) Apabila terjadi perubahan pejabat atau kuasa yang berhak menandatangani Faktur Pajak
Standar, maka PKP wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada KPP paling lambat pada
saat pejabat atau kuasa pengganti mulai menandatangani Faktur Pajak.
4) Dalam hal nama BKP/JKP yang diserahkan tidak dapat ditampung dalam satu Faktur Pajak
Standar, maka PKP dapat :
a) membuat lebih dari 1 (satu) formulir Faktur Pajak Standar yang masing-masing formulir
menggunakan kode, nomor seri, dan tanggal Faktur Pajak Standar yang sama, serta ditan-
datangani dan diberi keterangan nomor halaman pada setiap lembarnya, dan khusus untuk
pengisian baris/kolom “Jumlah, Potongan Harga, Uang Muka yang telah diterima, Dasar
Pengenaan Pajak, Pajak Pertambahan Nilai”, cukup diisi pada formulir terakhir; atau
b) membuat 1 (satu) Faktur Pajak Standar dengan menunjuk nomor dan tanggal Faktur Pen-
jualan yang merupakan lampiran dari Faktur Pajak Standar tersebut.
5) Faktur Pajak yang terdapat kesalahan dalam pengisian supaya dibetulkan dengan cara dibuat
Faktur Pajak Standar Pengganti. Faktur Pajak yang salah tersebut dilampirkan, dan pada Fak-tur
Pajak Standar Pengganti dibubuhi cap yang mencantumkan Nomor Seri, Kode dan tanggal
Faktur Pajak Standar yang diganti.
Pengisian Kode dan Nomor Seri serta tanggal Faktur Pajak Standar yang diganti dapat ditulis
secara manual.
6) Membetulkan Faktur Pajak tidak boleh dilakukan dengan cara lain misalnya dengan coretan
atau dihapus dengan cara apapun. Coretan tidak diperkenankan kecuali pada kolom dengan tanda
asterix (*) dengan catatan “coret yang tidak perlu”, wajib dicoret.
7) Dalam hal Faktur Pajak Standar hilang, PKP yang berkepentingan dapat minta Faktur Pajak
sebagai pengganti kepada PKP Penjual/Pengusaha jasa dengan tembusan kepada Kepala KPP
tempat PKP Penjual/Pengusaha Jasa dan PKP Pembeli dikukuhkan dengan cara:
1) Atas dasar permintaan tersebut, PKP Penjual atau Pengusaha Jasa membuat fotokopi Faktur
Pajak Standar yang disimpan, sebanyak 2 (dua) lembar,
2) Fotokopi tersebut kemudian dilegalisasi oleh KPP tempat PKP Penjual/Pengusaha Jasa
dikukuhkan sebagai PKP. Setelah dilegalisasi, satu lembar disimpan oleh pejabat KPP dan
lembar lainnya dikembalikan kepada PKP yang bersangkutan untuk diserahkan kepada PKP
Pembeli/Penerima JKP.
8) Pengisian yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku akan berakibat Faktur Pajak terse-
but tergolong sebagai Faktur Pajak Standar cacat.

f. Saat Pembuatan FakturPajak

Berdasarkan Pasal 1 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor : PER-159/PJ/2006, Faktur Pajak
dapat wajib dibuat paling lambat :
1) pada akhir bulan berikutnya setelah bulan terjadinya penyerahan BKP dan/atau JKP dalam hal

pembayaran diterima setelah akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan BKP dan/atau
JKP;
2) pada saat penerimaan pembayaran dalam hal pembayaran terjadi sebelum akhir bulan ber-
ikutnya setelah bulan penyerahan BKP dan/atau penyerahan JKP;
3) pada saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penye-
rahan BKP dan/atau sebelum penyerahan JKP;
4) pada saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan;
5) pada saat PKP rekanan menyampaikan tagihan kepada Bendaharawan Pemerintah sebagai
Pemungut PPN.

Faktur Pajak Gabungan dibuat paling lambat :


1) pada akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan BKP dan/atau JKP, dalam hal pemba-
yaran baik sebagian maupun seluruhnya terjadi setelah berakhirnya bulan penyerahan BKP
dan/atau JKP;
2) pada akhir bulan penyerahan BKP dan/atau JKP, dalam hal pembayaran baik sebagian atau
seluruhnya terjadi sebelum berakhirnya bulan penyerahan BKP dan/atau penyerahan JKP.
Pasal 13 Peraturan Direktur Jenderal Pajak dimaksud menetapkan bahwa Faktur Pajak Stan-dar
yang dibuat telah melampaui jangka waktu 3 bulan sejak batas waktu pembuatannya, diper-
lakukan tidak sebagai Faktur Pajak sehingga PKP dianggap belum membuat Faktur Pajak.

g. Penyerahan BKP/JKP yang pembayarannya menggunakan valuta asing

Dalam hal terjadi penyerahan BKP/JKP yang pembayarannya menggunakan valuta asing,
berdasarkan Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 diatur sebagai berikut :
(1) Apabila pembayaran atau Harga Jual atau Penggantian dilakukan dengan mempergunakan
mata uang asing, maka penghitungan besarnya Pajak yang terutang harus dikonversi ke dalam
mata uang rupiah dengan mempergunakan kurs yang berlaku menurut Keputusan Menteri
Keuangan pada saat pembuatan Faktur Pajak.
(2) Dalam hal pembayaran atau Harga Jual atau Penggantian yang dilakukan sehubungan dengan
pelaksanaan Pasal 16A Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai mem-pergunakan mata uang
asing, maka besarnya Pajak yang terutang harus dikonversi ke dalam mata uang rupiah dengan
mempergunakan kurs yang berlaku menurut Ke-putusan Menteri Keuangan pada saat dilakukan
pembayaran oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.
Sejak 1 Januari 2007, apabila terjadi perubahan nilai kurs pada saat pembayaran sehingga
berbeda dengan nilai kurs yang digunakan dalam Faktur Pajak atas penyerahan BKP atau JKP
kepada Pemungut PPN, maka PKP Rekanan wajib melakukan dua macam kegiatan yaitu :
1) Menyesuaikan nilai kurs dalam Faktur Pajak dengan nilai kurs pada saat pembayaran dengan
cara membuat Faktur Pajak Standar Pengganti.
2) Melakukan pembetulan SPT Masa PPN yang terkait

h. Sanksi

1) Berdasarkan Pasal 14 ayat (4) UU KUP ditetapkan bahwa Pengusaha yang telah dikukuhkan
sebagai PKP tetapi tidak membuat Faktur Pajak atau tidak mengisi selengkapnya, dikenakan
sanksi berupa denda administrasi sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak.
2) Berdasaran Pasal 39A UU KUP, bagi setiap orang yang:
a) membuat atau menggunakan Faktur Pajak tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya; atau
b) belum dikukuhkan sebagai PKP dengan sengaja membuat Faktur Pajak,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun atau paling lama 6 (enam) tahun
serta denda paling sedikit dua kali jumlah pajak dalam Faktur Pajak.

i. Nota Retur

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 596/KMK.04/1994 tanggal 29 Desember 1994 yang mulai
berlaku pada tanggal 1 Januari 1995 sebagai peraturan pelaksanaan Pasal 5A UU PPN 1984,
mengatur Nota Retur sebagai berikut :
1) Nota Retur dibuat apabila terjadi pengembalian BKP, kecuali BKP tersebut diganti BKP dari
jenis yang sama, tipenya sama, jumlah dan harganya sama oleh PKP Pen-jual.
2) Nota retur berfungsi mengurangi Pajak Masukan PKP Pembeli dalam SPT Masa PPN dalam
Masa Pajak dibuat Nota Retur, mengurangi Pajak Keluaran PKP Penjual dalam SPT Masa PPN
dalam Masa Pajak diterima Nota Retur.
3) Bentuk Nota Retur dapat dibuat sesuai dengan kebutuhan administrasi PKP, tetapi keterangan
yang tercantum di dalamnya harus memenuhi ketentuan dalam Keputusan Menteri Keuangan ini,
yaitu :
a) Nomor Urut ;
b) Nomor dan Tanggal Faktur Pajak dari Barang Kena Pajak yang dikembalikan ;
c) Nama, alamat dan NPWP pembeli ;
d) Nama, alamat, NPWP dan tanggal pengukuhan PKP yang menerbitkan Faktur Pajak ;
e) Macam, jenis kuantum, dan Harga Jual Barang Kena Pajak yang dikembalikan ;
f) PPN atas Barang Kena Pajak yang dikembalikan ;
g) PPnBM atas Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah yang dikembalikan ;
h) Tanggal pembuatan Nota Retur ;
i) Tanda tangan pembeli.
4) Yang membuat Nota Retur adalah Pembeli.
http://pelayanan-pajak.blogspot.com/2009/03/faktur-pajak-ppn-pajak-pertambahan.html

KETENTUAN MENGENAI FAKTUR PAJAK SESUAI UU NO 42 TAHUN 2009 (UU


PPN BARU)

(Mulai Berlaku 1 April 2010)

A. Saat Pembuatan Faktur Pajak (Pasal 13 (1a))

Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap:


a. penyerahan Barang Kena Pajak
b. penyerahan Jasa Kena Pajak
c. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
d. ekspor Jasa Kena Pajak

Faktur Pajak harus dibuat pada: *)


a. saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak
b. saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak;
c. saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap
pekerjaan; atau
d. saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Dikecualikan dari ketentuan diatas*), Pengusaha Kena Pajak dapat membuat 1 (satu)
Faktur Pajak meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan kepada pembeli Barang
Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak yang sama selama 1 (satu) bulan
kalender. Faktur Pajak tersebut harus dibuat paling lama pada akhir bulan
penyerahan.

Contoh:
Dalam hal Pengusaha Kena Pajak A melakukan penyerahan Barang Kena Pajak
kepada pengusaha B pada tanggal 1, 5, 10, 11, 12, 20, 25, 28, dan 31 Juli 2010, tetapi
sampai dengan tanggal 31 Juli 2010 sama sekali belum ada pembayaran atas
penyerahan tersebut, Pengusaha Kena Pajak A diperkenankan membuat 1 (satu)
Faktur Pajak gabungan yang meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan pada bulan
Juli, yaitu paling lama tanggal 31 Juli 2010.

B. Syarat Faktur Pajak

Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan Barang Kena
Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang paling sedikit memuat:
a. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena
Pajak atau Jasa Kena Pajak;
b. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau
penerima Jasa Kena Pajak;
c. jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga;
d. Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;
e. Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut;
f. kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan
g. nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.

Faktur Pajak memenuhi persyaratan formal apabila diisi secara lengkap, jelas, dan
benar sesuai dengan persyaratan sebagaimana dimaksud diatas atau persyaratan yang
diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan dokumen tertentu yang


kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak. *)

*) Ketentuan ini diperlukan, antara lain, karena:


a. faktur penjualan yang digunakan oleh pengusaha telah dikenal oleh masyarakat
luas, seperti kuitansi pembayaran telepon dan tiket pesawat udara;
b. untuk adanya bukti pungutan pajak harus ada Faktur Pajak, sedangkan pihak yang
seharusnya membuat Faktur Pajak, yaitu pihak yang menyerahkan Barang Kena
Pajak atau Jasa Kena Pajak, berada di luar Daerah Pabean, misalnya, dalam hal
pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, Surat Setoran Pajak dapat
ditetapkan sebagai Faktur Pajak; dan
c. terdapat dokumen tertentu yang digunakan dalam hal impor atau ekspor Barang
Kena Pajak Berwujud.
Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan
Faktur Pajak memenuhi persyaratan material apabila berisi keterangan yang
sebenarnya atau sesungguhnya mengenai penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang
Kena Pajak Tidak Berwujud, ekspor Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak,
atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.

Dengan demikian, walaupun Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya
dipersamakan dengan Faktur Pajak sudah memenuhi ketentuan formal dan sudah
dibayar Pajak Pertambahan Nilainya, apabila keterangan yang tercantum dalam
Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan
Faktur Pajak tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya mengenai penyerahan
Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak
Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, ekspor Jasa Kena Pajak,
impor Barang Kena Pajak, atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan pemanfaatan
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean, Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan
dengan Faktur Pajak tersebut tidak memenuhi syarat material.

C. Sanksi atas Pelanggaran Syarat Formal Faktur Pajak (Pasal 13 (5) jo Pasal 14 (1) e
UU KUP)

PKP tidak dikenai sanksi apabila menerbitkan Faktur Pajak yang tidak memuat:
1. Identitas pembeli; atau
2. Identitas pembeli, serta nama dan tanda tangan untuk FP yang diterbitkan oleh
pedagang eceran.
(Psl 14 (1) huruf e UU KUP)

FP tersebut tidak dikategorikan sebagai FP cacat, namun Faktur Pajaknya sendiri


tidak dapat dikreditkan oleh pembelinya.
http://pelayanan-pajak.blogspot.com/2010/01/ketentuan-mengenai-faktur-pajak-sesuai.html

You might also like