You are on page 1of 30

Fatwa DSN-MUI tentang Uang Muka dan Jaminan Dalam Murabahah

Ditulis oleh Tatang Sutardi


Jumat, 12 Maret 2010 14:37 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 12 Maret 2010 14:47

FATWA DEWAN SYARIAH  NASIONAL MAJELIS ULAMA INDONESIA TENTANG

UANG MUKA DAN JAMINAN DALAM MURABAHAH

Oleh: Drs. Tatang Sutardi, M.HI.

Praktek hukum ekonomi syariah sebenarnya telah ada di Negara Indonesia dalam berbagai
bentuk sejak umat Islam membangun masyarakat, seperti hukum ekonomi syariah dalam
bentuk transaksi jual beli, perjanjian dagang, sewa menyewa, gadai dan sebagainya yang
berjalan sesuai dengan koridor syariat Islam yaitu dengan memperhatikan halal dan haram dan
pelarangan riba. Akan tetapi semua itu pada umumnya dilaksanakan sebagai hukum diyani mur
ni tanpa banyak melibatkan kekuasaan negara dalam bentuk hukum
qadhai
modern dimana terdapat lembaga penyelesaian sengketa dalam hal terjadi sengketa, badan
yang bertanggung jawab dalam melaksanakan setiap putusan yang diambil,
perundang-undangan yang jelas dan lain-lain yang ada relevansinya dengan hukum
qadhai
tersebut
[1]
.

Ekonomi Syariah mencakup bidang ekonomi yang cukup luas, sebagaimana juga dibicarakan
dalam ekonomi modern. Ekonomi syariah tidak hanya membahas tentang aspek perilaku
manusia yang berhubungan dengan cara mendapatkan uang dan membelanjakannya, tetapi
juga membahas segala aspek ekonomi yang membawa kepada kesejahteraan umat. Konsep
kesejahteraan manusia itu tidak mungkin statis, tetapi dinamis dan selalu relatif pada keadaan
yang berubah. Oleh karena itu konsep kesejahteraan yang dikembangkan melalui ekonomi
syariah harus sejalan dengan prinsip-prinsip universal Islam yang tetap dipandang sahih
sepanjang masa. Islam mengatur kegiatan-kegiatan memperoleh uang dan mengeluarkannya
sedemikian rupa sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat [2] .

1 / 30
Fatwa DSN-MUI tentang Uang Muka dan Jaminan Dalam Murabahah

Ditulis oleh Tatang Sutardi


Jumat, 12 Maret 2010 14:37 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 12 Maret 2010 14:47

Perkembangan ekonomi syariah di Indonesia demikian cepat, khususnya perbankan, gadai,


asuransi dan pasar modal. Jika pada tahun 1990-an jumlah kantor layanan perbankan syariah
masih belasan, maka tahun 2000-an, jumlah kantor pelayanan lembaga keuangan syariah itu
melebihi enam ratusan yang tersebar di seluruh Indonesia. Aset perbankan syariah ketika itu
belum mencapai satu triliun rupah, saat ini lebih dari dua puluh dua triliun. Perkembangan
lembaga keuangan syariah yang demikian cepat harus diimbangi dengan fatwa-fatwa hukum
syariah yang valid dan akurat, sehingga seluruh produknya memiliki landasan yang kuat secara
syariah.

Fatwa merupakan salah satu institusi dalam hukum Islam untuk memberikan jawaban dan
solusi terhadap problem yang dihadapi oleh umat Islam. Bahkan umat Islam pada umumnya
menjadikan fatwa sebagai rujukan di dalam bersikap dan bertingkah laku. Sebab posisi fatwa di
kalangan masyarakat umum, laksana dalil di kalangan para mujtahid dalam arti kedudukan
fatwa bagi warga masyarakat yang awam terhadap ajaran Islam, seperti dalil bagi mujtahid.
Dalam relevansinya dengan ekonomi syariah (muamalah maliyah) yang berkembang di
Indonesia secara fungsional, fatwa memiliki fungsi
tabyin
yang berarti  menjelaskan hukum yang merupakan regulasi praktis bagi lembaga keuangan 
dan
tawjih
, yaitu memberi petunjuk (
guidance
) serta pencerahan kepada masyarakat luas tentang norma dan hukum ekonomi syariah
[3]
.

Dewan Syariah Nasional dibentuk tahun 1997 merupakan lembaga otonom di bawah Majelis
Ulama Indonesia. Fungsi utama Dewan Syariah Nasioanal adalah mengawasi produk-produk
lembaga keuangan syariah agar sesuai dengan syariah Islam. Untuk keperluan pengawasan
tersebut, Dewan Syariah Nasional membuat garis panduan produk syariah yang diambil dari
sumber-sumber hukum Islam. Garis panduan ini  menjadi dasar pengawasan bagi Dewan
Pengawas Syariah (DPS) pada lembaga-lembaga keuangan syariah dan menjadi dasar
pengembangan produk-produknya. Fungsi lain dari Dewan Syariah Nasional adalah meneliti
dan memberi fatwa produk-produk yang dikembangkan oleh lembaga keuangan syariah. Selain
itu Dewan Syariah Nasional bertugas memberikan rekomendasi para ulama yang akan
ditugaskan sebagai Dewan Syariah Nasional pada lembaga keuangan syariah [4] .

Dewan Syariah Nasional dapat memberi teguran kepada lembaga keuangan syariah jika

2 / 30
Fatwa DSN-MUI tentang Uang Muka dan Jaminan Dalam Murabahah

Ditulis oleh Tatang Sutardi


Jumat, 12 Maret 2010 14:37 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 12 Maret 2010 14:47

lembaga yang bersangkutan menyimpang dari garis panduan yang telah ditetapkan. Hal ini
dilakukan jika Dewan Syariah Nasional setelah menerima laporan dari Dewan Pengawas
Syariah pada lembaga yang bersangkutan mengenai hal tersebut. Jika lembaga keuangan
syariah tersebut tidak mengindahkan teguran yang diberikan, Dewan Syariah Nasional  dapat
mengusulkan kepada otoritas yang berwenang, seperti Bank Indonesia dan Departemen
Keuangan untuk memberikan sanksi agar perusahaan tersebut tidak mengembangkan lebih
jauh tindakan-tindakannya yang tidak sesuai dengan syariah [5] .

Dewan Syariah Nasional memiliki kewenangan untuk menetapkan fatwa tentang produk dan
jasa dalam Kegiatan Usaha Bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah [6] . Dewan Syariah Nasional  memiliki anggota dari para ahli bidang syariah Islam serta
praktisi ekonomi, terutama sektor keuangan, baik bank maupun non bank yang berfungsi untuk
menjalankan tugas-tugas Majelis Ulama Indonesia.

Dewan Syariah Nasional berwenang untuk (a) memberikan atau mencabut rekomendasi
nama-nama yang akan duduk sebagai anggota Dewan Pengawas Syariah (DPS) pada suatu
lembaga keuangan syariah , dengan memperhatikan pertimbangan PBH-DSN; (b)
mengeluarkan fatwa yang menjadi landasan Dewan Pengawas Syariah di setiap lembaga
keuangan syariah dan menjadi dasar tindakan hukum pihak terkait; (c) mengeluarkan fatwa
yang menjadi landasan bagi ketentuan yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang, seperti
Bank Indonesia dan BAPEPAM; (d) memberikan peringatan kepada lembaga keuangan syariah
untuk menghentikan penyimpangan dari fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional [
7]
.

Dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah, Fatwa Dewan
Syariah Nasional berfungsi untuk menetapkan suatu produk Bank Umum Syariah, Usaha Unit
Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah agar sesuai dengan prinsip syariah
sebagaimana bunyi Pasal 26 yaitu (1) Kegiatan usaha sebagaimana dalam Pasal 19, Pasal 20
dan Pasal 21 [8] dan/atau produk dan jasa syariah, wajib tunduk kepada  Prinsip Syariah. (2)
Prinsip syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia.
(3) Fatwa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia.

Prinsip syariah berlandaskan pada nilai-nilai keadilan, kemanfaatan, keseimbangan, dan


keuniversalan (rahmatan lil alamin) [9] . Selanjutnya dalam Pasal 2 Peraturan Bank Indonesia
Nomor 10/16/PBI/2008 Tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
9/19/PBI/2007 Tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana
Dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan Jasa Bank Syariah disebutkan ayat (2) Dalam

3 / 30
Fatwa DSN-MUI tentang Uang Muka dan Jaminan Dalam Murabahah

Ditulis oleh Tatang Sutardi


Jumat, 12 Maret 2010 14:37 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 12 Maret 2010 14:47

melaksanakan jasa perbankan melalui kegiatan penghimpunan dana, penyeluran dana dan
pelayanan jasa bank, Bank wajib memenuhi Prinsip Syariah. (3) Pemenuhan Prinsip Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan memenuhi ketentuan pokok hukum
Islam antara lain prinsip keadilan dan keseimbangan ( adl
wa tawazun
), kemaslahatan (
maslahah
), dan universalisme (
alamiyah
) serta tidak mengandung
gharar
,
maysir
,
riba
,
zalim
dan objek haram.

Dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005 Tentang Akad Penghimpunan Dan
Penyaluran Dana Bagi Bank Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsp Syariah
dikenal dengan istilah transaksi syariah sebagaimana bunyi Pasal  2 ayat (3) Transaksi syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) [10] tidak boleh mengandung unsur gharar [11] , maysir
[12]
,
riba
[13]
,
zalim
[14]
,
risywah
[15]
, barang haram dan maksiat
[16]
.

Dengan berpijak pada konsep syariah, secara umum konsep lembaga keuangan syariah
dijalankan dengan mengacu kepada nilai-nilai syariah baik secara mikro dan makro. Perspektif
makro merupakan nilai-nalai syariah yang menekankan pada distribusi (dengan prinsip zakat),
pelarangan riba, dan pelarangan kegiatan ekonomi yang tidak memberikan manfaat secara
nyata dalam sistem perekonomian dan melaksanakan prinsip transaksi usaha didasarkan

4 / 30
Fatwa DSN-MUI tentang Uang Muka dan Jaminan Dalam Murabahah

Ditulis oleh Tatang Sutardi


Jumat, 12 Maret 2010 14:37 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 12 Maret 2010 14:47

kepada kemitraan (syirkah)  dengan berbagi keuntungan dan kerugian (profit and loss sharing),
prinsip adanya kerelaan, keadilan dan kemanfaatan  serta prinsip yang mewajibkan zakat.
Perspektif mikro menekankan aspek kompetensi/ profesionalisme dan sikap
amanah
dalam mengelola lembaga keuangan syariah, dan yang termasuk aspek mikro adalah pantulan
dari sunnah Rasulullah saw. berkaitan dengan keteladanan dalam perilaku kehidupan sebaga
aplikasi dari nilai-nilai syariah, yaitu
shiddiq
,
amanah
,
al-hurriyah wa al-mas’uliyyah
dan
tabligh
[17]
.

Fatwa Dewan Syariah Nasional yang sebagian fatwanya telah masuk pada regulasi berupa
Undang-undang, Peraturan Bank Indonesia dan Peraturan Mahkamah Agung, merupakan
politik hukum di dalam arah pentaqninan, artinya berkat political will pemerintahan Indonesia
sangat menentukan tercapainya regulasi tersebut, karena perundang-undangan pada
prinsipnya adalah produk politik, hal ini bisa terjadi karena bahan di dalam pembentukan hukum
nasional adalah hukum adat, hukum barat dan hukum Islam.

Dalam pentaqninan ini, ijthad yang dilakukan pada umumnya adalah ijtihad fi tatbiq al-ahkam
(ijtihad di dalam penerapan hukum) dengan menggunakan metode
ijtihad jama’i
(ijtihad kolektif); prosesnya adalah dengan menghadirkan para pakar di bidang ilmu-ilmu yang
berhubungan dengan materi yang dibahas, untuk memberikan pertimbangan keadaan yang
sesungguhnya dan dihadiri pula oleh para ahli agama, khususnya ahli hukum Islam, untuk
memberikan pertimbangan hukum (
al-hukm qabla bayan dhulmun wa tark al-hukm ba’da bayan dhulmun
). Dengan cara ini diharapkan hasil ijtihadnya lebih benar, lebih baik dan indah serta arif untuk
kemaslahatan hidup bersama
[18]
.

Hubungan pentaqninan dan fiqh adalah materi-materi hukum dalam taqnin sama dengan 
materi hukum yang telah dibahas oleh fuqaha yang lalu, yang membedakannya adalah metode
pembahasan dan penyusunan materi serta pengkodifikasiannya telah dimodifikasi dengan cara

5 / 30
Fatwa DSN-MUI tentang Uang Muka dan Jaminan Dalam Murabahah

Ditulis oleh Tatang Sutardi


Jumat, 12 Maret 2010 14:37 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 12 Maret 2010 14:47

mengikuti cara-cara ilmu hukum yang berlaku, dengan kata lain, substansinya tetap substansi
ilmu fiqh penampilannya yang berbeda yakni fiqh Islam di dalam bajunya yang baru.

Dengan pentaqninan ini, ilmu fiqh sedang mengalami fase baru perubahan; perubahan dengan
tidak meninggalkan jati dirinya yang tercermin di dalam dalil-dalil kulli,
kaidah-kaidah
kulliyah, maqashid al-syari’ah
dan semangat ajarannya yang adil, memberi rahmat, maslahat dan mengandung makna bagi
kehidupan, atau dengan ungkapan lain:
al-muhafadlah  ’ala al-qadim al-shalih wa al-akhdz bi al-jadid al-ashlah
artinya mempertahankan yang lama yang maslahat dan mengambil yang baru yang lebih
maslahat
[19]
.

Lahir dan bermunculan lembaga keuangan syariah, disebabkan umat Islam merasakan sistem
ekonomi yang ada yaitu sistem ekonomi kapitalis dan sosialis tidak sesuai dengan
prinsip-prinsip syariah, karena sistem ekonomi sosialis dan kapitalis berlandasan kepada
falsafah materialisme, sedangkan dalam sistem ekonomi Islam yang menjadi landasan
filosofinya adalah keseimbangan kehidupan antara materi dan spiritual, antara dunia dan
akhirat dengan landasan akidah tauhid. Dilihat dari segi tujuan di dalam sistem ekonomi
kapitalisme dan sosialis  adalah semata-mata untuk menghimpun kekayaan dan kenikmatan
yang bersifat materi (materialis dan hedonis), sedangkan di dalam sistem ekonomi Islam,
bertujuan untuk kesejahteraan individu dan masyarakat yang dijiwai oleh nilai-nilai keadilan,
kerahmatan, dan kemaslahatan, diniati ibadah menuju ridha Allah. Hal ini relevan dengan
aplikasi maqashid al-syari’ah yaitu hifdh al-mal.

Fatwa Dewan Syariah Nasional yang berkaitan dengan uang muka dan jaminan dalam
pembiayaan murabahah adalah Fatwa Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Murabahah yang
berisi tentang Ketentuan Umum Murabahah dalam Bank Syariah,
Ketentuan Murabahah
kepada Nasabah yang didalamnya terdapat kebolehan uang muka, Jaminan dalam
Mur
a
bahah
, Utang dalam
Mur
a
bahah
, Penundaan Pembayaran dalam

6 / 30
Fatwa DSN-MUI tentang Uang Muka dan Jaminan Dalam Murabahah

Ditulis oleh Tatang Sutardi


Jumat, 12 Maret 2010 14:37 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 12 Maret 2010 14:47

Mur
a
bahah
dan Bangkrut dalam
Mur
a
bahah
. Fatwa Nomor 13/DSN-MUI/IX/2000 Tentang Uang Muka Dalam
Mur
a
bahah
., fatwa ini berisi ketentuan khusus tentang uang muka dalam
mur
a
bahah
..

Pembahasan kedua Fatwa Dewan Syariah Nasional tersebut sebagai data dalam menganalisa
hukum uang muka dan jaminan dalam pembiayaan murabahah.

A. F atwa Dewan Syariah Nasional Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Murabahah

Murabahah merupakan produk yang paling populer dalam praktek pembiayaan pada 
perbankan syariah. Selain mudah perhitungannya, baik bagi nasabah ataupun manajemen
bank, produk ini memiliki beberapa kesamaan  (yang bukan prinsipil) dengan sistem kredit pada
perbankan konvensional. Meskipun demikian, secara prinsip, murabahah sangat
jauh berbeda dengan suku bunga dalam perbankan konvensional.

Murabahah adalah transaksi kepercayaan (trustworthness), sebab pembeli telah


mempercayakan penjual untuk menentukan harga asal barang yang dibelinya. Oleh karena itu
ketika bank menawarkan skim pembiayaan
mur
a
bahah

7 / 30
Fatwa DSN-MUI tentang Uang Muka dan Jaminan Dalam Murabahah

Ditulis oleh Tatang Sutardi


Jumat, 12 Maret 2010 14:37 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 12 Maret 2010 14:47

, maka sebenarnya bank menawarkan kepercayaan dan


good-will
yang tinggi kepada nasabah, dan sebaliknya nasabah juga memberikan kepercayaan yang
penuh kepada pihak bank. Konsep amanah dan saling mempercayai inilah yang membedakan
mur
a
bahah
dengan pinjaman yang berbasiskan bunga tetap.

Murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan/margin
yang disepakati. Dalam jual beli ini, penjual harus memberi tahu harga pokok pembelian barang
dan menentukan tingkat keuntungan tertentu sebagai tambahan dan menjelaskannya kepada
pembeli. Murabahah menekankan adanya pembelian komoditas berdasarkan
permintaan nasabah, bukan hanya pinjaman semata sebagaimana dalam sistem kredit di
perbankan konvensional. Dalam praktek pembiayaan murabah
ah ,
nasabah datang mengajukan pembiayaan atas sebuah komoditas dengan kriteria tertentu,
pada tahap ini terjadi negosiasi dan persyaratan yang harus dipenuhi oleh kedua pihak.
Kemudian bank memesan barang kepada
supplie
r sesuai dengan kriteria yang diinginkan nasabah. Setelah barang itu resmi menjadi milik bank,
baru kemudian terjadi kontrak jual beli antara nasabah dan pihak bank. Barang dan dokumen
dikirimkan kepada nasabah, kemudian nasabah melakukan pembayaran sesuai dengan
kesepakatan.

Melihat praktek pembiayaan murabahah, tidak ditemukan adanya unsur bunga, namun hanya
margin sebagai tambahan atas harga pokok pembelian, sehingga tidak bertentangan dengan
syariah. Namun demikian tetap dibutuhkan sebuah fatwa untuk menjawab pertanyaan
masyarakat tentang pembiayaan murabahah,
sekaligus sebagai legalitas
syar’i
atas operasional yang dijalankan.

Dalam pertimbangannya Dewan Syariah Nasional menyebutkan (a) bahwa masyarakat banyak
memerlukan bantuan penyaluran dana dari bank berdasarkan pada prinsip jual beli. (b) bahwa
dalam rangka membantu masyarakat guna melangsungkan dan meningkatkan kesejahteraan
dan berbagai kegiatan, bank syariah perlu memiliki fasilitas murabahah bagi yang
memerlukannnya, yaitu menjual suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada
pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai laba. (c) bahwa oleh
karena itu, DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang

8 / 30
Fatwa DSN-MUI tentang Uang Muka dan Jaminan Dalam Murabahah

Ditulis oleh Tatang Sutardi


Jumat, 12 Maret 2010 14:37 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 12 Maret 2010 14:47

mur
a
bahah
untuk dijadikan pedoman oleh bank syariah.

Adapun isi Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Murabahah
adalah sebagai berikut:

Pertama:    Ketentuan Umum Murabahah dalam Bank Syariah:

1. Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas riba.
2. Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syariah Islam.
3. Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati
kualifikasinya.
4. Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian
ini harus sah dan bebas riba.
5. Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika
pembelian dilakukan secara utang.
6. Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual
senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan ini bank harus memberi tahu secara jujur
harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan.
7. Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu
tertentu yang telah disepakati.
8. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak bank
dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah.
9. Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga,
akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang, secara prinsip, menjadi milik bank.

Kedua:       Ketentuan Murabahah kepada Nasabah

1. Nasabah mengajukan permohonan dan perjanjian pembelian suatu barang atau aset
kepada bank.
2. Jika bank menerima permohonan tersebut, ia harus membeli terlebih dahulu aset yang
dipesannya secara sah dengan pedagang.
3. Bank kemudian menawarkan aset tersebut kepada nasabah dan nasabah harus
menerima (membeli)-nya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakatinya, karena secara
hukum perjanjian tersebut mengikat, kemudian kedua belah pihak harus membuat kontrak jual

9 / 30
Fatwa DSN-MUI tentang Uang Muka dan Jaminan Dalam Murabahah

Ditulis oleh Tatang Sutardi


Jumat, 12 Maret 2010 14:37 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 12 Maret 2010 14:47

beli.
4. Dalam jual beli ini bank dibolehkan meminta nasabah untuk membayar  uang muka saat
menandatangani kesepakatan awal pemesanan.
5. Jika nasabah kemudian menolak membeli barang tersebut, biaya riil bank harus dibayar
dari uang muka tersebut.
6. Jika nilai uang muka kurang dari kerugian yang harus ditanggung oleh bank, bank dapat
meminta kembali sisa kerugiannya kepada nasabah.
7. Jika uang muka memakai kontrak urbun sebagai alternatif dari uang muka, maka (a) jika
nasabah memutuskan untuk membeli barang tersebut, ia tinggal membayar sisa harga. (b) jika
nasabah batal membeli, uang muka menjadi milik bank maksimal  sebesar kerugian yang
ditanggung oleh bank akibat pembatalan tersebut; dan jika uang muka tidak mencukupi,
nasabah  wajib melunasi kekurangannya.

Ketiga:      Jaminan dalam Murabahah

1. Jaminan dalam murabahah dibolehkan, agar nasabah serius dengan pesanannya.


2. Bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan jaminan yang dapat dipegang.

Keempat:   Utang dalam Murabahah

1. Secara prinsip, penyelesaian utang nasabah dalam transaksi murabahah tidak ada
kaitannya dengan transaksi lain yang dilakukan nasabah dengan pihak ketiga atas barang
tersebut. Jika nasabah menjual kembali barang tersebut dengan keuntungan atau kerugian, ia
tetap berkewajiban untuk menyelesaikan utangnya kepada bank.

2. Jika nasabah menjual barang tersebut sebelum masa angsuran berakhir, ia tidak wajib
segera melunasi seluruh angsurannya.
3. Jika penjualan barang tersebut menyebabkan kerugian, nasabah tetap harus
menyelesaikan utangnya sesuai dengan kesepakatan awal.  Tidak boleh memperlambat
pembayaran angsuran atau meminta kerugian itu diperhitungkan.

Kelima:      Penundaan Pembayaran dalam Murabahah

1. Nasabah yang memiliki kemampuan tidak dibenarkan menunda penyelesaian utangnya.


2. Jika nasabah menunda-nunda pembayaran dengan sengaja, atau jika salah satu pihak
tidak menunaikan kewajibannya, maka penyelesaiannya melalui Badan Arbitrase  Syariah
setelah tidak tercapai  kesepakatan melalui musyawarah.

10 / 30
Fatwa DSN-MUI tentang Uang Muka dan Jaminan Dalam Murabahah

Ditulis oleh Tatang Sutardi


Jumat, 12 Maret 2010 14:37 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 12 Maret 2010 14:47

Keenam:   Bangkrut dalam Murabahah

Jika nasabah telah dinyatakan pailit dan gagal menyelesaikan utangnya, bank harus menunda
tagihan utang sampai ia menjadi sanggup kembali, atau berdasarkan kesepakatan.

Murabahah merupakan produk layanan pembiayaan bank syariah yang diperbolehkan, Fatwa
Dewan Syariah Nasional ini menjadikan dasar hukum  ( adillah al-ahkam) dalam  mu
r a
bahah
adalah;

1. Firman Allah Q.S. al-Nisa (4) ayat 29 :

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka..

Ayat ini melarang segala bentuk transaksi yang batil. Diantara transaksi yang dikategorikan batil
adalah yang mengandung bunga (riba) sebagaimana terdapat pada sistem kredit konvensional.
Berbeda dengan murabahah, dalam akad ini tidak ditemukan unsur bunga, namun hanya
menggunakan margin. Disamping itu, ayat ini mewajibkan untuk keabsahan setiap transaksi
mur
a
bahah
harus berdasarkan prinsp kesepakatan antara para pihak yang dituangkan dalam suatu
perjanjian yang menjelaskan dan dipahami segala hal yang menyangkut hak dan kewajiban
masing-masing.

1. Firman Allah Q.S. al-Baqarah (2) ayat 275 :

Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.

11 / 30
Fatwa DSN-MUI tentang Uang Muka dan Jaminan Dalam Murabahah

Ditulis oleh Tatang Sutardi


Jumat, 12 Maret 2010 14:37 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 12 Maret 2010 14:47

Ayat di atas merujuk pada kehalalan jual beli dan keharaman riba. Dalam ayat ini, Allah
mempertegas legalitas dan keabsahan jual beli secara umum, serta menolak dan melarang
konsep ribawi. Berdasarkan ketentuan ini, jual beli murabahah mendapat pengakuan dan
legalitas dari syara, dan sah untuk dioperasionalkan dalam praktek pembiayaan bank syariah
karena ia merupakan salah satu bentuk jual beli dan tidak mengandung unsur ribawi.

1. Firman Allah Q.S. al-Maidah (5) ayat 1 :

  Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.

Ayat ini merujuk pada keharusan untuk memenuhi komitmen dan isi perjanjian (akad) secara
umum. Dalam konteks pembiayaan murabahah, terdapat  janji pihak bank untuk membelikan
komoditas sesuai dengan spesifikasi yang diajukan oleh nasabah, di samping itu, nasabah juga
berjanji untuk membeli komoditas tersebut, jika memang sesuai dengan spesifikasi. Relevan
dengan ayat tersebut, kedua pihak berkewajiban untuk memenuhi komitmen dan perjanjian
yang telah dilakukan oleh keduanya. Selain itu, semua pihak yang melakukan transaksi jual beli
murabahah harus memenuhi semua komitmen
perjanjian yang biasanya tertuang dalam akad/kontrak.

1. Firman Allah QS. Al-Baqarah (2) ayat 280;

Dan jika (orang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai ia berkelapangan.

Ayat di atas merujuk pada pemberian waktu tangguh bagi nasabah yang sedang pailit. Ayat ini
memerintahkan untuk bersabar dan memberikan kelapangan bagi orang yang sedang pailit dan
tidak mampu untuk memenuhi kewajibannya (utang). Relevansinya dengan praktek
pembiayaan murabahah, jika nasabah telah dinyatakan pailit dan gagal dalam menyelesaikan
utangnya, bank harus menunda tagihan utang sampai nasabah menjadi sanggup kembali, atau
sesuai dengan kesepakatan.

1. Hadis Nabi saw. riwayat al-Baihaqi dan Ibnu Majah dari Abi Said al-Khudri

12 / 30
Fatwa DSN-MUI tentang Uang Muka dan Jaminan Dalam Murabahah

Ditulis oleh Tatang Sutardi


Jumat, 12 Maret 2010 14:37 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 12 Maret 2010 14:47

Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka.

Hadis ini merupakan dalil atas keabsahan jual beli secara umum. Hadis ini memberikan
prasyarat bahwa akad jual beli murabahah harus dilakukan dengan adanya kerelaan
masing-masing pihak ketika melakukan transaksi. Segala ketentuan yang terdapat dalam jual
beli murabahah, seperti penentuan harga jual,
margin yang diinginkan, mekanisme pembayaran dan lainnya, harus terdapat persetujuan dan
kerelaan antara pihak nasabah dan bank, tidak bisa ditentukan secara sepihak.

1. Hadis Nabi saw. riwayat Ibnu Majah dari Shuhaib

Ada tiga hal yang mengandung berkah, jual beli secara tidak tunai, muqarradah (mudharabah)
dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga bukan untuk dijual (
H.R. Ibnu Majah dari Shuhaib).

Hadis ini merupakan dalil lain dibolehkannya murabahah yang dilakukan secara tempo.
Kedudukan hadis ini lemah, namun demikian banyak ulama yang menggunakan sebagai dalil
untuk akad mudharabah ataupun jual
beli tempo. Ulama menyatakan bahwa keberkahan dalam arti tumbuh dan menjadi lebih baik,
terdapat pada perniagaan, terlebih pada jual beli yang dilakukan secara tempo ataupun akad
mudh
a
rabah
sebagaimana disabdakan Rasulullah saw. dalam hadis tersebut. Dengan menunjuk adanya
keberkahan ini, hal ini mengindikasikan diperbolehkannya praktek jual beli yang dilakukan
secara tempo, begitu juga dengan pembiayaan
mur
a
bahah
yang dilakukan secara tempo, dalam arti, nasabah diberi tenggang waktu untuk melakukan
pelunasan atas harga komoditas sesuai dengan kesepakatan.

13 / 30
Fatwa DSN-MUI tentang Uang Muka dan Jaminan Dalam Murabahah

Ditulis oleh Tatang Sutardi


Jumat, 12 Maret 2010 14:37 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 12 Maret 2010 14:47

1. Hadis Nabi Muhammad saw. Riwayat al-Tirmizi dari Amr bin Auf

Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan
yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat
mereka, kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau mengharamkan yang halal. (H.R.
al-Tirmizi dari Amr bin Auf).

Hadis di atas merujuk pada kebebasan untuk melakukan transaksi dan diperbolehkannya
menetapkan beberapa syarat dalam transaksi.  Dalam konteks pembiayaan murabahah, kedua
pihak diberikan kebebasan untuk menentukan syarat-syarat sepanjang tidak melanggar
ketentuan syara.

1. Hadis Nabi Muhammad saw. riwayat  Jamaah;

Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang yang mampu adalah suatu
kezaliman.

Hadis riwayat Jamaah (Imam Ahmad dan penulis kitab al-Kutub al-Sittah) merujuk pada
keharaman melakukan penundaan pembayaran. Diharamkan bagi orang yang mampu dan
berkecukupan untuk menunda pembayaran utang, atau mengakhirkan pembayaran atas
kewajiban yang harus ditunaikan tanpa adanya uzur yang syari. Hadis ini memberikan
pemahaman bahwa nasabah yang telah mampu dan memiliki dana yang cukup untuk
melakukan angsuran pembayaran, tidak diperbolehkan untuk menunda pembayaran, karena
hal itu identik dengan tindak kezaliman bagi pihak bank. Untuk itu, seharusnya nasabah
memiliki komitmen untuk melakukan pembayaran angsuran selama tidak ada uzur (halangan)
yang dibenarkan oleh syariah.

1. Hadis Nabi saw. riwayat Nasa’i, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ahmad:

Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu menghalalkan harga diri dan

14 / 30
Fatwa DSN-MUI tentang Uang Muka dan Jaminan Dalam Murabahah

Ditulis oleh Tatang Sutardi


Jumat, 12 Maret 2010 14:37 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 12 Maret 2010 14:47

pemberian sanksi kepadanya.

Hadis riwayat Imam Nasa’i, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Imam Ahmad merujuk pada sahnya
pemberian sanksi bagi orang yang melakukan penundaan pembayaran. Sesuai dengan
kesepakatan ulama, seorang qadli (hakim) diperbolehkan untuk melakukan penahanan fisik (ga
zling
), siksaan fisik, pencemaran reputasi, pemblokiran aset, pemutusan akses atau hal lain yang
bisa dipersamakan dengan hal itu. Berdasarkan hadis ini, pihak bank berhak melakukan
penyitaan aset atau bahkan penahanan fisik  (
gazling
), bagi nasabah yang tidak memiliki komitmen (
defaulter
) untuk melakukan pembayaran angsuran.

1. Hadis Nabi Muhammad saw. riwayat Abd al-Razaq dari Zaid bin Aslam;

Rasulullah saw. ditanya tentang urban (uang muka) dalam jual beli, maka beliau
menghalalkannya.

Hadis ini merujuk pada sahnya pemberian uang muka (down of payment) dalam akad jual beli
mur
a
bahah
, Ulama berbeda pendapat tentang
bai arbun
(
down of payment
), menurut jumhur ulama, ia merupakan jual beli yang dilarang dan tidak sahih, karena  terdapat

gharar
, risiko atau potensi untuk memakan harta orang lain tanpa adanya pembanding. Berbeda
dengan Imam Ahmad bin Hambal,  menurut beliau, jual beli
arbun
(
down of payment
) sah adanya berdasarkan hadis tersebut. Dalam praktek pembiayaan
murabahah
, pihak bank diperbolehkan untuk meminta uang muka  (
down of payment

15 / 30
Fatwa DSN-MUI tentang Uang Muka dan Jaminan Dalam Murabahah

Ditulis oleh Tatang Sutardi


Jumat, 12 Maret 2010 14:37 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 12 Maret 2010 14:47

) dari nasabah, untuk menunjukkan keseriusan nasabah dalam melakukan transaksi.

1. Ijma. Mayoritas ulama tentang kebolehan jual beli dengan murabahah.

Kesepakatan ulama akan bolehnya jual beli secara umum dikutip dari Dr.Wahbah Zuhaili dalam
kitab al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu. Ulama muslim sepakat atas keabsahan akad jual beli, hal
ini disadari bahwa kebutuhan manusia terkadang berhubungan dengan orang lain, dan manusia
itu tidak bisa mengambil secara langsung kebutuhan tersebut tanpa adanya kompensasi, untuk
itu dilakukanlah transaksi jual beli. Dengan jual beli, manusia  dapat mencapai keinginan dan
memenuhi kebutuhannya, karena secara nature, manusia tidak bisa hidup tanpa berhubungan
dan bantuan orang. Ijma ini berlaku secara umum untuk segala jenis transaksi jual beli,
termasuk jual beli murabahah. Dengan demikian jual beli m
ur
a
bahah
mendapat pengakuan ijma ulama.

1. Kaidah Fiqh

Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang
mengharamkannya.

Kaidah fiqh yang dikutip merujuk pada prinsip bahwa semua muamalah itu pada dasarnya
boleh kecuali ada dalil yang mengharamkan. Dengan demikian jual beli murabahah adalah
akad yang boleh karena tidak bertentangan dengan ketentuan syariah yang manapun seperti
tidak mengandung
gharar
,
dharar
,
maisir
, riba dan lain-lain.

Berdasarkan atas penjelasan dalil-dalil hukum di atas, dapat ditetapkan bahwa akad jual beli m
ur
a

16 / 30
Fatwa DSN-MUI tentang Uang Muka dan Jaminan Dalam Murabahah

Ditulis oleh Tatang Sutardi


Jumat, 12 Maret 2010 14:37 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 12 Maret 2010 14:47

bahah
sah adanya dan tidak bertentangan dengan syariah.

Praktek pembiayaan murabahah terdapat beberapa tahapan yang harus dilaksanakan oleh
pihak bank dan nasabah. Dalam jual beli ini, bank bertindak sebagai penjual, sedangkan
nasabah sebagai pembeli. Nasabah mengajukan permohonan pembiayaan barang/komoditas
kepada pihak bank dengan spesifikasi tertentu. Kemudian keduanya membuat kesepakatan
bahwa pihak bank berjanji akan menjual komoditas yang telah dimiliki, dan nasabah berjanji
 akan membeli komoditas dengan adanya tambahan profit/margin tertentu atas harga pokok
pembelian, dalam tahapan ini belum terjadi kontrak jual beli, namun hanya kesepakatan atau
perjanjian.

Kemudian pihak bank membeli komoditas dari supplier atas nama bank sendiri, dan jual beli ini
harus sah dan bebas dari riba. Setelah komoditas tersebut resmi menjadi milik bank, kemudian
bank menawarkan aset tersebut kepada nasabah, dan tentunya aset tersebut harus sesuai
dengan spesifikasi yang telah disepakati. Setelah itu, pihak bank dan nasabah baru bisa
melakukan kontrak jual beli. Dalam hal ini, bank harus menyampaikan segala hal yang
berkaitan dengan pembelian, seperti harga pokok pembelian, besarnya margin, termasuk jika
pembelian dilakukan secara utang. Jika telah terjadi kesepakatan dalam jual beli tersebut,
barang dan dokumen dikirimkan kepada nasabah, dan selanjutnya nasabah membayar harga
barang yang telah disepakati pada jangka waktu yang telah ditentukan.

Jika bank ingin mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga (supplier),
maka kedua pihak harus menandatangani kesepakatan agensi (
agency contract
), di mana pihak bank memberikan hak otoritas kepada nasabah untuk menjadi agennya guna
membeli komoditas dari pihak ketiga atas nama bank, dengan kata lain, nasabah menjadi wakil
bank untuk membelikan komoditas. Kemudian, nasabah membeli komoditas atas nama bank,
dan kepemilikannya  hanya sebatas sebagai agen dari pihak bank. Selanjutnya, nasabah
memberikan informasi kepada pihak bank bahwa ia telah membeli komoditas, kemudian pihak
bank menawarkan komoditas tersebut kepada nasabah, dan terbentuklah kontrak jual beli dan
komoditas kemudian pindah menjadi milik nasabah dengan segala risikonya. Menurut Ahmad
Muhyidin Ahmad dari Kuwait Islamic Bank, transaksi ini diperbolehkan dan lazim disebut
dengan
al-mur
a
bahah lil amri bissyira bil wukalah.

17 / 30
Fatwa DSN-MUI tentang Uang Muka dan Jaminan Dalam Murabahah

Ditulis oleh Tatang Sutardi


Jumat, 12 Maret 2010 14:37 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 12 Maret 2010 14:47

Menurut al-Kasani, jual beli murabahah dapat dikatakan sah jika memenuhi beberapa syarat
berikut (i) mengetahui harga pokok pembelian bagi nasabah, hal ini merupakan syarat mutlak
bagi keabsahan jual beli murabahah, pihak bank harus
men- disclose
harga pokok pembelian kepada nasabah. (ii) adanya kejelasan margin/keuntungan yang
diinginkan oleh pihak bank, keuntungan harus dijelaskan nominalnya kepada nasabah, atau
bisa dengan menyebutkan prosentase dari harga pokok pembelian. (iii) modal yang digunakan
untuk membeli komoditas harus merupakan barang
mitsli
, dalam arti terdapat padanannya di pasaran, alangkah baiknya jika menggunakan uang. (iv)
akad jual beli pertama (antara pihak bank dan
supplier
) harus sah adanya, jika tidak, maka transaksi jual beli yang dilakukan pihak bank dengan
nasabah akan menjadi rusak dan batal akadnya.

Untuk jual beli murabahah yang diterapkan dalam operasional bank syariah, terdapat beberapa
ketentuan yang harus diperhatikan. Ketentuan tersebut misalnya;

1. Dalam jual beli ini, bank diperbolehkan meminta nasabah untuk membayar uang muka
saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan. Hal ini lazim disebut dengan bai
urbun .
Menurut jumhur ulama, hal ini memang tidak diperbolehkan. Namun, jika bersandar pada
pendapat Imam Ahmad bin Hambal, jual beli urbun diperbolehkan berdasarkan hadis yang telah
disebutkan. Jika nasabah memutuskan untuk membeli komoditas tersebut, uang muka tersebut
bisa digunakan sebagai pengurang atas harga yang disepakati. Tapi, jika nasabah batal
membeli, uang muka menjadi milik bank maksimal sebesar kerugian yang ditanggung oleh
bank akibat pembatalan tersebut.

2. Pihak bank diperbolehkan untuk meminta jaminan dari nasabah, hal ini bertujuan agar
nasabah serius dengan kontrak jual beli yang dilakukan. Bank boleh meminta jaminan yang
bernilai ekonomis dan sesuai dengan jumlah transaksi yang dilakukan sebagai pegangan.
Jaminan itu  muncul, karena jual beli yang dilakukan adalah secara tempo, sehingga dirasa
perlu untuk menghadirkan jaminan, hal ini bisa dirujuk pada QS. Al-Baqarah (2) ayat 283.

3. Transaksi jual beli murabahah yang dilakukan pihak nasabah, tidak terkait dengan
transaksi lain yang dilakukan oleh nasabah dengan pihak ketiga. Jika angsuran tersebut belum
lunas, maka nasabah tetap memiliki utang dengan pihak bank, dan tetap harus dilunasi. Jika
nasabah menjual kembali barang tersebut, tetap berkewajiban untuk menyelesaikan utangnya
kepada pihak bank.

Ketentuan murabahah dijelaskan pula pada Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005

18 / 30
Fatwa DSN-MUI tentang Uang Muka dan Jaminan Dalam Murabahah

Ditulis oleh Tatang Sutardi


Jumat, 12 Maret 2010 14:37 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 12 Maret 2010 14:47

Tentang Akad Penghimpunan Dan Penyaluran Dana Bagi Bank Yang Melaksanakan Kegiatan
Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, yaitu Pasal 9 ayat (1) Kegiatan penyaluran dana dalam
bentuk pembiayaan berdasarkan murabahah berlaku persyaratan paling
kurang sebagai berikut:

1. Bank menyediakan dana pembiayaan berdasarkan perjanjian jual beli barang [20] .
2. Jangka waktu pembayaran harga barang oleh nasabah kepada Bank ditentukan
berdasarkan kesepakatan Bank dan nasabah.
3. Bank dapat membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah
disepakati kualifikasinya.
4. Dalam hal Bank mewakilkan kepada nasabah (wakalah) [21] untuk membeli barang,
maka akad murabahah
harus dilakukan setelah barang secara prinsip menjadi milik bank.

5. Bank dapat meminta nasabah untuk membayar uang muka atau urbun saat
menandatangani kesepakatan awal pemesanan barang oleh nasabah.

6. Bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan agunan tambahan selain barang yang
dibiayai bank.
7. Kesepakatan margin harus ditentukan satu kali pada awal akad dan tidak berubah
selama periode akad.
8. Angsuran pembiayaan selama periode akad harus dilakukan secara proporsional [22] .

Dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Kompilasi Hukum Ekonomi
Syariah, jual beli murabahah disebut dalam beberapa pasal, yaitu Pasal 116 (1) Penjual harus
membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati
spesifikasinya. (2) Penjual harus membeli barang yang diperlukan pembeli atas nama penjual
sendiri, dan pembelian ini harus bebas riba. (3) Penjual harus memberi tahu secara jujur
tentang harga pokok barang kepada pembeli berikut biaya yang diperlukan.

Pasal 117 berbunyi, pembeli harus membayar harga barang yang telah disepakati dalam mura
bahah
pada waktu yang telah disepakati. Pasal 118, Pihak penjual dalam murabahah dapat
mengadakan perjanjian khusus dengan pembeli untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan
akad. Pasal 119, Jika penjual hendak mewakilkan kepada pembeli untuk membeli barang dari
pihak ketiga, akad jual beli
mur
a
bahah
harus dilakukan setelah barang secara prinsip sudah menjadi milik penjual. Pasal 120, Jika
penjual menerima permintaan pembeli akan suatu barang atau aset, penjual harus membeli

19 / 30
Fatwa DSN-MUI tentang Uang Muka dan Jaminan Dalam Murabahah

Ditulis oleh Tatang Sutardi


Jumat, 12 Maret 2010 14:37 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 12 Maret 2010 14:47

terlebih dulu aset yang dipesan tersebut dan pembeli harus menyempurnakan jual beli yang
sah dengan penjual.  Pada Pasal 124 ayat (1) Sistem pembayaran dalam akad
mur
a
bahah
dapat dilakukan secara tunai atau cicilan  dalam kurun waktu yang disepakati; (2) Dalam hal
pembeli mengalami penurunan kemampuan dalam pembayaran cicilan, maka ia dapat diberi
 keringanan; (3) Keringanan sebagaimana dimaksud ayat di atas dapat diwujudkan dalam
bentuk konversi dengan membuat akad baru dalam penyelesaian kewajiban.

Apabila dicermati ketentuan murabahah yang terdapat dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional,
Peraturan Bank Indonesia dan Peraturan Mahkamah Agung tersebut di atas, secara prinsip
isinya sama tidak bertentangan antara satu dan lainnya yang memberikan aturan baru jual beli
mur
a
bahah
dalam bentuk pembiayaan.

Di antara aturan baru dalam murabahah adalah jaminan dalam murabahah dibolehkan, agar
nasabah serius dengan pesanannya dan bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan
jaminan yang dapat dipegang.

B. Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 13/DSN-MUI/IX/2000 Tentang Uang Muka Dalam
Mur
a
bahah

Dalam operasional bank syariah, uang muka juga diberlakukan pada transaksi jual beli muraba
hah
. Pihak bank meminta uang muka pada nasabah atas pesanan barang yang dilakukan, agar
pihak nasabah bersungguh-sungguh atas pesanan dan transaksi yang dilakukan. Menurut term
fiqh, uang muka ini lazim disebut dengan istilah
bai arbun
.

20 / 30
Fatwa DSN-MUI tentang Uang Muka dan Jaminan Dalam Murabahah

Ditulis oleh Tatang Sutardi


Jumat, 12 Maret 2010 14:37 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 12 Maret 2010 14:47

Bai arbun adalah sejumlah uang muka yang dibayarkan pemesan/calon pembeli yang
menunjukkan bahwa ia bersungguh-sungguh atas pesanannya tersebut. Bila kemudian
pemesan sepakat atas barang pesanannya, maka terbentuklah transaksi jual beli dan uang
muka tersebut merupakan bagian dari harga barang pesanan (aset) yang disepakati. Bila
kemudian pemesan menolak untuk membeli aset tersebut, maka uang muka tersebut akan
hangus dan menjadi milik penjual.

Dalam operasional bank syariah, uang muka dibayarkan pemesan/calon pembeli sebagai tanda
jadi saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan. Uang muka tersebut berfungsi untuk
menunjukkan kesungguhan nasabah atas pesanan/transaksi yang dilakukan. Jika nasabah
sepakat atas pesanannya, maka uang tersebut merupakan bagian dari harga, dan jika ia
menolak, maka biaya riil yang ditanggung pihak bank harus diganti dengan uang muka
tersebut. Jika uang muka tersebut lebih kecil dari kerugian, pihak bank bisa meminta tambahan
dari nasabah dan sebaliknya. Melihat praktek ini, Dewan Syariah Nasional merasa perlu
menetapkan fatwa agar praktek tersebut  sesuai dengan ketentuan syariah, dan dapat
sekaligus dapat dijadikan pedoman bagi lembaga keuangan syariah dalam menjalankan
operasionalnya.

Dalam pertimbangan Dewan Syariah Nasional  sebagai acuan dasar mengeluarkan fatwa ini
adalah (a) bahwa untuk menunjukkan kesungguhan nasabah dalam permintaan pembiayaan m
ur
a
bahah
dari Lembaga Keuangan Syariah (LKS), LKS dapat meminta uang muka (b) bahwa agar dalam
pelaksanaan akad
mur
a
bahah
dengan memakai uang muka tidak ada pihak yang dirugikan, sesuai dengan ajaran Islam, DSN
memandang perlu menetapkan fatwa tentang
uang muka dalam mur
a
bahah
untuk dijadikan pedoman oleh LKS.

Adapun isi Fatwa Tentang Uang Muka Dalam Murabahah adalah;

21 / 30
Fatwa DSN-MUI tentang Uang Muka dan Jaminan Dalam Murabahah

Ditulis oleh Tatang Sutardi


Jumat, 12 Maret 2010 14:37 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 12 Maret 2010 14:47

Pertama : Ketentuan Umum Uang Muka:

1. Dalam akad pembiayaan murabahah, Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dibolehkan


untuk meminta uang muka apabila kedua belah pihak sepakat.

2. Besar jumlah uang muka ditentukan berdasarkan kesepakatan.


3. Jika nasabah membatalkan akad murabahah, nasabah harus memberikan ganti rugi
kepada LKS dari uang muka tersebut.
4. Jika uang muka lebih kecil dari kerugian, LKS dapat meminta tambahan kepada nasabah.

5. Jika uang muka lebih besar dari kerugian, LKS harus mengembalikan kelebihannya
kepada nasabah.

Kedua :   Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan
diantara  kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah
setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

Fatwa Dewan Syariah Nasional ini menjadikan dasar hukum  (adillah al-ahkam) dalam praktek
pembayaran uang muka dalam jual beli 
mur
a
bahah
adalah;

1. Firman Allah Q.S. al-Baqarah (2) ayat 282 :

Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bermuamalah tidak secara tunai sampa waktu
tertentu, buatlah secara tertulis.

Ayat di atas merujuk pada perintah untuk melakukan pencatatan atas transaksi yang dilakukan
secara tempo. Mujahid dan Ibnu Abbas  berkata, ayat ini diturunkan  oleh Allah untuk
memberikan legalisasi akad salam yang dilakukan secara tempo, Allah telah memberikan izin

22 / 30
Fatwa DSN-MUI tentang Uang Muka dan Jaminan Dalam Murabahah

Ditulis oleh Tatang Sutardi


Jumat, 12 Maret 2010 14:37 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 12 Maret 2010 14:47

dan menghalalkannya, kemudian Ibnu Abbas membacakan ayat tersebut. Berdasarkan


pernyataan Ibnu Abbas ini, dapat dipahami atas keabsahan jual beli secara tempo. Dalam
konteks ini perlu dilakukan pencatatan atas uang muka yang dibayarkan oleh nasabah, untuk
menghindari perselisihan di kemudian hari.

1. Firman Allah Q.S. al-Maidah (5) ayat 1 :

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.

Ayat ini merujuk pada keharusan untuk memenuhi komitmen dan isi perjanjian (akad) secara
umum. Dalam konteks pembayaran uang muka,  harus dijelaskan perjanjian bagaimana
mekanisme nantinya jika nasabah menerima atau menolak transaksi. Relevan dengan ayat
tersebut,  kedua pihak berkewajiban untuk memenuhi komitmen dan perjanjian yang telah
dilakukan oleh keduanya. Selain itu, semua pihak yang melakukan transaksi jual beli dengan
adanya uang muka ini harus memenuhi semua komitmen perjanjian yang biasanya tertuang
dalam akad/kontrak.

1. Hadis Nabi Muhammad saw. Riwayat al-Tirmizi dari Amr bin Auf

Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan
yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat
mereka, kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau mengharamkan yang halal. (H.R.
al-Tirmizi dari Amr bin Auf).

Hadis di atas merujuk pada kebebasan untuk melakukan transaksi dan diperbolehkannya
menetapkan beberapa syarat dalam transaksi.  Berdasarkan hadis ini, terdapat kebebasan
untuk melakukan transaksi ataupun menetapkan beberapa syarat dalam transaksi, sepanjang
syarat tersebut tidak bertentangan dengan nash syar’i. Seperti syarat  tersebut  menyebabkan

23 / 30
Fatwa DSN-MUI tentang Uang Muka dan Jaminan Dalam Murabahah

Ditulis oleh Tatang Sutardi


Jumat, 12 Maret 2010 14:37 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 12 Maret 2010 14:47

adanya unsur riba ataupun gharar dalam


transaksi, syarat  tersebut bertentangan dengan kaidah dan
maqashid al-syariah
, atau syarat tersebut bertentangan dengan tujuan asal dilakukannya transaksi. Dalam konteks
penentuan pembayaran uang muka, kedua pihak diberikan kebebasan untuk menentukan
syarat-syarat sepanjang tidak melanggar koridor yang telah disebutkan.

1. Hadis Nabi Muhammad saw. riwayat  Ibnu Majah dari Ubadah bin Shamit, riwayat Ahmad
dari Ibnu Abbas dan riwayat Malik dari Yahya;

Tdak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh pula membahayakan orang lain.

Hadis ini merujuk pada larangan untuk berbuat madharat (bahaya, kesusahan) kepada orang
lain. Dalam konteks pembayaran uang muka dalam jual beli
mur
a
bahah
, setidak-tidaknya ketentuan yang ada tidak memberatkan dan bisa mendatangkan kerugian
bagi kedua pihak.

1. Kaidah Fiqh:

Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang
mengharamkannya.

Bahaya (beban berat) harus dihilangkan.

Kaidah fiqh yang dikutip merujuk pada prinsip bahwa kita boleh melakukan sesuatu sepanjang
tidak melakukan mafsadah (kerusakan, bahaya), dan mampu mendatangkan maslahat. Jika
memang pembayaran uang muka dalam murabahah bisa
mendatangkan maslahat bagi kesejahteraan dan pemenuhan kebutuhan hidup manusia dan
bisa dihindarkan beberapa hal yang dapat menimbulkan kerusakan, maka pembayaran uang
muka bisa digunakan;

24 / 30
Fatwa DSN-MUI tentang Uang Muka dan Jaminan Dalam Murabahah

Ditulis oleh Tatang Sutardi


Jumat, 12 Maret 2010 14:37 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 12 Maret 2010 14:47

1. Para ulama sepakat bahwa meminta uang muka dalam akad jual beli adalah boleh (jawa
z ). Di
antaranya adalah Dr. Wahbah Zuhaili yang menyatakan bahwa pembayaran uang muka adalah
sah dan halal untuk dilakukan, karena adanya kebiasaan (
urf
) yang telah dipraktekkan dalam masyarakat. Berdasarkan pernyataan ini, maka dapat
dikatakan bahwa pembayaran uang muka dalam jual beli adalah sah dan boleh untuk
dilakukan.

Berdasarkan dalil-dalil hukum beserta penjelasan di atas, Dewan Syariah Nasional menetapkan
 hukum uang muka dalam murabahah adalah sah adanya dan tidak bertentangan dengan
syariah.

Kemudian Dewan Syariah Nasional memberikan penjelasan akad sebagai berikut, pembayaran
uang muka, biasanya  dilakukan oleh nasabah dalam transaksi jual beli murabahah atas
permintaan bank agar nasabah bersungguh-sungguh atas pesanan dan transaksi yang
dilakukan. Jika nasabah setuju dengan aset yang dibawa oleh bank, maka uang muka tersebut
menjadi bagian dari harga yang disepakati, dan jika ia menolak maka uang muka tersebut akan
dijadikan bu
ffer
atas kerugian yang diderita pihak bank..

Pembayaran uang muka dalam transaksi jual beli, dikenal oleh ulama fiqh dengan istilah bai
arbun .
Ulama fiqh berbeda pendapat atas keabsahan transaksi ini. Jumhur ulama mengatakan bahwa
bai arbun
merupakan jual beli yang dilarang dan tidak shahih, menurut mazhab Hanafiyah merupakan jual
beli yang
fasid
(rusak), dan dianggap batil oleh sebagian ulama lainnya. Hal itu dilandasi atas hadis Rasulullah
saw. yang menyatatakan bahwa
Sesungguhnya Nab saw. melarang bai arbun
, kedudukan hadis ini
dhaif
(lemah). Selain itu juga disebabkan bahwa dalam
bai arbun
terdafat
gharar

25 / 30
Fatwa DSN-MUI tentang Uang Muka dan Jaminan Dalam Murabahah

Ditulis oleh Tatang Sutardi


Jumat, 12 Maret 2010 14:37 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 12 Maret 2010 14:47

, resiko dan memakan harta orang lain tanpa kompensasi. Menurut Ahmad bin Hanbal,
bai arbun
diperbolehkan dengan dalil hadis dari Abd al-Razzaq dari hadis Zaid bin Aslam berkata,
Suatu ketika Rasulullah saw. ditanya tentang arbun dalam jual beli, maka Rasulullah saw.
menghalalkannya,
kedudukan hadis ini lemah.

Imam Ahmad menyatakan bahwa hadis yang meriwayatkan tentang bai arbun kedudukannya
adalah lemah, namun demikian,
bai arbun
sudah menjadi bagian dari transaksi jual beli dalam perdagangan dan perniagaan dewasa ini.
Pembayaran uang muka tersebut dijadkan
buffer
atas kemungkinan kerugian yang diderita oleh penjual, jika transaksi batal dilakukan. Dr.
Wahbah Zuhaili membenarkan praktek pembayaran uang muka ini dalam transaksi jual beli
dengan dalil adanya
urf
sebagaimana telah dijelaskan di atas. Berdasarkan pernyataan ini, maka dapat dikatakan
bahwa praktek pembayaran uang muka dalam
murabahah
adalah sah dan dibenarkan oleh syariah.

Ketentuan uang muka dalam murabahah dijelaskan pula pada Peraturan Bank Indonesia
Nomor 7/46/PBI/2005 Tentang Akad Penghimpunan Dan Penyaluran Dana Bagi Bank Yang
Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah yaitu Pasal 9 ayat (2) sebagai
berikut, Dalam hal Bank meminta nasabah untuk membayar uang muka atau
urbun
sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf  e
[23]
maka berlaku ketentuan sebaga berikut:

1. dalam hal uang muka, jika nasabah menolak untuk membeli barang setelah membayar
uang muka, maka biaya riil Bank harus dibayar dari uang muka tersebut dan bank harus
mengembalikan kelebihan uang muka kepada nasabah. Namun jika nilai uang muka kurang
dari nilai kerugian yang harus ditanggung oleh Bank, maka Bank dapat meminta lagi
pembayaran sisa kerugiannya kepada nasabah.
2. dalam hal urbun, jika nasabah batal membeli barang, maka urbun yang telah dibayarkan
nasabah menjadi milik Bank maksimal sebesar kerugian yang ditanggung oleh Bank akibat
pembatalan tersebut, dan jika
urbun
tidak mencukupi, nasabah wajib melunasi kekurangannya.

26 / 30
Fatwa DSN-MUI tentang Uang Muka dan Jaminan Dalam Murabahah

Ditulis oleh Tatang Sutardi


Jumat, 12 Maret 2010 14:37 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 12 Maret 2010 14:47

Dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Kompilasi Hukum Ekonomi
Syariah, pembahasan uang muka dalam murabahah disebutkan dalam tiga pasal, yaitu Pasal
121, Penjual boleh meminta pembeli untuk membayar uang muka saat menandatangani
kesepakatan awal pemesanan dalam jual beli
mur
a
bahah.
Pasal 122, Jika pembeli kemudian menolak untuk membeli barang tersebut, biaya riil penjual
harus dibayar dari uang muka tersebut. Pasal 123, Jika nilai uang muka dari pembeli kurang
dari kerugian yang harus ditanggung oleh penjual, penjual dapat menuntut pembeli untuk
mengganti sisa kerugiannya.

Fatwa Dewan Syariah Nasional, Peraturan Bank Indonesia dan Peraturan Mahkamah Agung di
atas, menetapkan aturan baru dalam jual beli murabahah yaitu dibolehkannya uang muka
dalam murabahah, hal ini disebabkan
murabahah telah
dimodifikasi menjadi salah satu bentuk pembiayaan di perbankan syariah.

[1] Rifyal Ka’bah, “Praktek Hukum Ekonomi Syariah Di Indonesia, Suara Uldilag, Vol.3 No.IX
(September 2006) h.59

[2] Abdul Manan, “Sistem Ekonomi Berdasarkan Syariah”, Suara Uldilag, Vol.3 No.IX
(September 2006) h.6

[3] Zainuddin Ali, Hukum Perbankan Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h.64

27 / 30
Fatwa DSN-MUI tentang Uang Muka dan Jaminan Dalam Murabahah

Ditulis oleh Tatang Sutardi


Jumat, 12 Maret 2010 14:37 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 12 Maret 2010 14:47

[4] Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani,
2001), h.236

[5] Didin Hafidhuddin, “Pengawasan Ekonomi Syariah (Kelembagaan dan Produk Fatwa)”, Sua
ra Uldilag
, Vol. 3 No.IX, (September 2006), h.152.

[6] Pasal 1 ayat (9) Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/24/FBI/2004 tentang Bank Umum
Yang Melaksanakan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.

[7] Rifyal Ka’bah, op.cit, h.67

[8] Pasal 19 dan 20 menjelaskan tentang kegiatan usahan Bank Umum Syariah dan Usaha
Unit Syariah, sedangkan Pasal 21 menjelasakan tentang kegiatan usaha Bank Pembiayaan
Rakyat Syariah, untuk lebih jelasnya dapat dilihat secara lengkap pasal-pasal tersebut dalam
UU No.21/2008

[9] Lihat penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Tentang
Perbankan Syariah (I.Umum).

[10] Pasal 2 ayat (1) Dalam melaksanakan kegiatan penghimpunan dan penyaluran dana Bank
wajib membuat Akad sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Bank ini. (2) Dalam akad
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib ditegaskan jenis transaksi syariah yang digunakan.

[11] Gharar adalah transaksi yang mengandung tipuan dari salah satu pihak sehingga pihak
yang lain dirugkan.

[12] Maysir adalah transaksi yang mengandung unsur perjudian, untung-untungan atau
spekulatif yang tinggi.

28 / 30
Fatwa DSN-MUI tentang Uang Muka dan Jaminan Dalam Murabahah

Ditulis oleh Tatang Sutardi


Jumat, 12 Maret 2010 14:37 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 12 Maret 2010 14:47

[13] Riba adalah transaksi dengan pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli
maupun pinjam meminjam secara batil atau bertentangan dengan ajaran Islam. Pelarangan riba
merupakan salah satu bagian dari dimensi moral ekonomi Islam. Aspek moral mempunyai
kaitan yang cukup erat dengan dilarangnya riba. Dilarangnya riba adalah ketidakadilan karena
terjadinya penghisapan dari kalangan yang kaya terhadap kalangan yang miskin.

[14] Zalim adalah tindakan atau perbuatan yang mengakibatkan kerugian dan penderitaan
pihak lain.

[15] Risywah adalah tindakan suap dalam bentuk uang, fasilitas, atau bentuk lainnya yang
melanggar hukum sebagai upaya mendapatkan fasilitas atau kemudahan dalam suatu
transaksi.

[16] Barang haram dan maksiat adalah barang atau fasilitas yang dilarang dimanfaatkan atau
digunakan menurut hukum Islam.

[17] Fathurrahman Djamil, “Lembaga Keuangan Syariah”, Suara Uldilag, Vol. 3 No. IX
(September 1996), h.80-86

[18] A. Djazuli, Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam, (Jakarta:
Kencana, 2005), h. 165

[19] Ibid, h. 166

[20] Yang dimaksud dengan “barang” adalah barang yang diketahui jelas kuantitas, kualitas
dan spesifikasnya.

[21] Wakalah harus dibuatkan akad secara terpisah dari akad murabahah. Yang dimaksud

29 / 30
Fatwa DSN-MUI tentang Uang Muka dan Jaminan Dalam Murabahah

Ditulis oleh Tatang Sutardi


Jumat, 12 Maret 2010 14:37 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 12 Maret 2010 14:47

dengan secara prinsip barang milik bank dalam


wakalah
pada akad
murabahah
adalah adanya aliran dana yang ditujukan kepada pemasok barang atau dibuktikan dengan
kuitansi pembelian.

[22] Angsuran secara proporsional adalah angsuran yang ditetapkan bank secara proporsional
antara harga pokok dan margin, serta jangka waktu angsuran. Contoh:

- Harga pokok mesn Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah)


- Margin Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah)
- Jangka waktu angsuran = 12 (dua belas) bulan
- Angsuran Nasabah Rp. 12.000.000,-/12 = Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah).

[23] Bunyi ayat (1) huruf e adalah Bank dapat meminta nasabah untuk membayar uang muka
atau urbun saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan barang oleh nasabah.

30 / 30

You might also like