You are on page 1of 17

MEMORANDUM OF UNDERSTANDING (MoU) ANTARA

PEMERITNAH REPUBLIK INDONESIA DAN GERAKAN ACEH


MERDEKA DALAM KAJIAN HUKUM INTERNASIONAL

Oleh :

IRWANSYAH

0603101020037

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
2010
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Gerakan Aceh Merdeka (GAM) adalah Kelompok yang terbentuk dari

berbagai macam kekecewaan rakyat Aceh akan Negara Kesatuan Republik

Indonesia. Karena sebelumnya pemerintah Indonesia dirasa kurang peduli

terhadap nasib rakyat Aceh yang selama puluhan tahun telah diabaikan hak-

hak asasinya sebagai Warga Negara Republik Indonesia. Telah banyak darah

mengucur akibat konflik kepentingan pusat dan para tokoh politik Aceh

sendiri.

Konflik yang berlansung lebih dari 30 tahun lamanya membuat

Negara Indonesia disoroti dunia internasional dalam menangani konflik

separatisme yang terjadi di dalam negerinya. Sejak Mei tahun 2000, wakil

dari Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka menandatangani

sebuah dokumen yang disebut "Saling Pengertian bagi Jeda Kemanusiaan

untuk Aceh" di Jenewa. Meski dengan begitu banyak kesulitan, sebagian

akibat situasi di lapangan, dialog terus melangkah laju sehingga pada Januari

2001 kedua pihak mencapai "Saling Pengertian Sementara" yang berisi

banyak ketentuan yang memungkinkan pengaturan mengenai pemeriksaan

pelanggaran yang terjadi dan menjalankan upaya-upaya membangun saling

kepercayaan.

Sampai pertengahan 2001, pihak Pemerintah terus menawarkan

otonomi khusus, dan kedua pihak sepakat mengadakan dialog informal yang
melibatkan berbagai pihak, yaitu semua sektor masyarakat Aceh, termasuk

GAM. Tetapi selama tujuh bulan sesudah itu, dari Juli 2001 sampai Februari

2002, dialog macet, terutama karena kesulitan-kesulitan di lapangan akibat

meningkatnya kontak senjata.

Sejumlah pengamat telah mengidentifikasi salah satu hambatan paling

ekstrem bagi perdamaian di Aceh, dan itu adalah situasi bahwa praktik

korupsi sedemikian meluas. Pihak-pihak yang menikmati keuntungan dari

praktik ini tidak berniat memecahkan atau menghentikannya. Terdapat

laporan bahwa terus terjadi penyelundupan besar-besaran barang-barang

mewah di pelabuhan bebas Sabang. Pemerasan dan perlindungan bagi

pemeras oleh tentara RI maupun oleh gerilyawan GAM sudah menjadi wabah

yang meluas dari ujung ke ujung Aceh.

Senjata dari sumber-sumber luar secara rutin dibawa masuk lewat

pantai oleh perahu-perahu penangkap ikan. Ini adalah praktik perdagangan

senjata yang membuat GAM dan kelompok-kelompok kriminal lainnya

mendapatkan perlengkapan senjata yang baik.

Pertemuan lanjutan antara GAM dan wakil Pemerintah awal Mei 2002

membuahkan formalisasi dokumen yang dikeluarkan Henri Dunant Centre.

Pada tanggal 10 Mei 2002, kedua pihak menandatangani sebuah Pernyataan

Bersama. Undang-Undang Otonomi Khusus NAD akan menjadi titik awal

bagi dialog semua unsur masyarakat Aceh menuju pemilihan umum 2004.

Masalah-masalah yang belum terselesaikan, termasuk rincian mengenai

waktu dan cara penyerahan senjata oleh GAM dan hal-hal yang mesti
dilakukan oleh TNI. Keseluruhan proses dirancang untuk membuang senjata

dari politik.

Komunitas internasional merasa berkepentingan dalam proses ini dan

menunjukkan dukungannya yaitu menyelenggarakan konferensi negara-

negara donor di Tokyo, 3 Desember 2002, 6 hari menjelang penandatanganan

perjanjian tersebut. Konferensi yang dipandu bersama oleh Jepang, AS dan

badan-badan pendanaan internasional itu bertujuan menghimpun dana bagi

pembangunan kembali Aceh setelah kedua pihak menandatnagani Persetujuan

Penghentian Permusuhan itu. Negara-negara lain yang ambil bagian dalam

konferensi itu adalah Australia, Kanada, Swedia, Denmark, Prancis, Jerman,

Indonesia, Qatar, Malaysia, Pilipina, Swiss, Thailand dan Inggris. Juga hadir

wakil dari Uni Eropa, Bank Pembangunan Asia, Bank Dunia, Program

Pembangunan PBB (UNDP) dan HDC. GAM diundang ke konferensi itu

tetapi tidak menghadirkan wakilnya.

Disepakati dalam konferensi Tokyo tentang Perdamaian dan

Rekonstruksi di Aceh bahwa begitu persetujuan ditandatangani, sebuah misi

multi-agen akan dikirim ke Aceh untuk menghitung kebutuhan bagi

perbaikan sosial-ekonomi di porpinsi itu. Negara-negara dan lembaga-

lembaga internasional yang berpartisipasi kemudian akan mengumpulkan

dana yang dibutuhkan bagi bantuan kemanusiaan, untuk mendukung

pembubaran pasukan, mendorong investasi jangka pendek yang berdaya guna

bagi masyarakat, perbaikan fasilitas pendidikan dan kesehatan dan

pembangunan infrastruktur.
Persetujuan Penghentian Permusuhan ditandatangani di Jenewa 9

Desember 2002. Tetapi pada Januari 2003 sudah mulai kelihatan bahwa jalan

menuju perdamaian benar-benar penuh tantangan, terutama dalam dua bulan

pertama. Banyak hal tergantung pada ketrampilan dan kebijaksanaan Komite

Keamanan Bersama (JSC) di bawah kendali Mayjen Thanungsak Tuvinan

dari Thailand dan wakilnya Brigjen Nogomora Lomodag dari Pilipina.

Melalui kepeminpinan Presiden Megawati, militer dianggap dapat meredam

konflik yang terus berlangsung, upaya tersebut dikenal dengan Operasi

Kemanusian namun upaya tersebut juga masih bersifat represif sehingga tidak

memberikan hasil yang diharapkan.

Musibah gempa dan tsunami ternyata membawa berkah tersendiri bagi

kedamaian Aceh karena dengan musibah yang telah merengut 200.000 lebih

nyawa masyarakat Aceh telah mengerakkan pemerintah RI dan GAM untuk

secepatnya melakukan perdamaian, maka tepat pada tanggal 15 Agustus 2005

pemerintah RI dan GAM telah menandatanggani Nota Kesepahaman

Memorandum of Understanding MoU yang difasilitasi oleh LSM

Internasioanal dan bertempat di Finlandia.

Dalam kajian hukum internasional MoU termasuk dalam salah satu

bentuk perjanjian internasional sedangkan salah satu unsur perjanjian

internasional adalah para pihak dalam perjanjian tersebut merupakan subjek

hukum internasional sedangkan status GAM masih dipertanyakan sebagai

subjek hukum internasional. Hal ini menjadi penting untuk dikaji karena jika

perjanjian damai antara RI dan GAM dikategorikan sebagai MoU maka


tentunya akan berimplikasi terhadap perberlakuan kaidah hukum

internasional.

B. Rumusan Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka permasalahan

yang akan dikaji dalam makalah ini adalah, Apakah Nota Kesepahaman

antara Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka termasuk dalam

Perjanjian Internasioanl ?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pemahaman Perjanjian Internasional

Masalah definisi perjanjian internasional memang salah satu issue

kontroversi dalam literatur hukum perjanjian internasional. Perdebatan sengit

bahkan berlangsung pula dalam perumusan definisi ini pada Konvensi Wina

1969 tentang Perjanjian Internasional. Menurut Konvensi ini, perjanjian

internasional adalah:

“An International Agreement concluded between States and


International Organizations in written form and governed by
International Law, whether embodied in a single instrument or in two
or more related instruments and whatever its particular designation”

Selanjutnya, definisi ini diadopsi oleh Undang-Undang No. 24 Tahun

2000 tentang Perjanjian Internasional yang merumuskan sebagai setiap

perjanjian di bidang hukum publik, yang diatur oleh hukum internasional, dan

dibuat oleh Pemerintah dengan Negara, organisasi internasional, atau subjek

hukum internasional lain.1

Dari pengertian hukum ini, maka terdapat beberapa kriteria dasar yang

harus dipenuhi oleh suatu dokumen untuk dapat ditetapkan sebagai suatu

perjanjian internasional menurut Konvensi Wina 1969 dan Undang-Undang

No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, yaitu:

 an International Agreement;

1
Mohd. Burhan Tsani, Status Hukum Internasional dan Perjanjian Internasional dalam
Hukum Nasional Republik Indonesia (dalam Perspektif Hukum Tata Negara),
www.thereatyroom.blogspot.com, diakses tanggal 22 November 2010.
 by Subject of International Law;
 in Written Form;
 “Governed by International Law” (diatur dalam hukum internasional
serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik);
 Whatever Form.

Parameter tentang ”Governed by International Law” merupakan

elemen yang sering menimbulkan kerancuan dalam memahami perjanjian

internasional tidak hanya di kalangan praktisi namun juga akademisi.

B. Memorandum of Understanding (MoU)

Memorandum Saling Pengertian (Memorandum of Understanding)

merupakan salah satu model dokumen yang memiliki sifat khas/typical.

Terdapat praktek negara, khususnya pada negara-negara common law system,

yang berpandangan bahwa MOU adalah non-legally binding dan perlu

dibedakan dengan Treaties. Namun praktek negara-negara lain termasuk

Indonesia menekankan prinsip bahwa setiap persetujuan yang dibuat antara

negara (termasuk MOU) memiliki daya mengikat seperti Treaties. 2 Para ahli

berpendapat bahwa istilah MOU digunakan dengan alasan politis yaitu ingin

sedapat mungkin menghindari penggunaan Agreement yang dinilai lebih

formal dan mengikat. Adanya pengertian MOU yang non-legally binding

dalam praktek beberapa negara akan menimbulkan suatu situasi bahwa satu

pihak menilai dokumen tersebut sebagai perjanjian internasional yang

mengikat namun pihak yang lain menganggap dokumen itu hanya memuat

komitmen politik dan moral.

2
Ibid
Untuk kebutuhan praktis, pengertian non-legally binding itu sendiri

masih belum memberikan klarifikasi yang berarti. Secara umum pengertian

ini selalu diartikan bahwa salah satu pihak tidak dapat meng-enforce isi MOU

melalui jalur peradilan internasional atau jalur kekuatan memaksa yang lazim

dilakukan terhadap perjanjian internasional. Dari sisi hukum nasional,

khususnya pada negara-negara common law, pengertian non-legally binding

memiliki implikasi bahwa dokumen ini tidak dapat dijadikan alat pembuktian

serta di-enforce oleh pengadilan. Dalam praktek diplomasi Indonesia saat ini,

sebenarnya belum ada kecenderungan untuk mengarahkan penyelesaian

sengketa atas suatu perjanjian internasional melalui pengadilan internasional.

Dengan demikian, pengertian non-legally binding belum menjadi concern

yang berarti bagi Indonesia.

Istilah MOU sendiri ternyata telah sering digunakan sebagai bentuk

yang lebih informal dari ”kontrak” atau ”perjanjian” dalam hubungan perdata

nasional. Dalam rangka menarik dan memberikan jaminan politik terhadap

investor asing, Pemerintah Daerah juga sudah mulai menggunakan format

MOU untuk merefleksikan jaminan Pemerintah Daerah terhadap niat investor

asing untuk melakukan investasi di daerah itu. Status hukum MOU semacam

ini masih menjadi perdebatan.

Perlu pula dicermati bahwa MOU sudah menjadi instrumen yang

digunakan dalam hubungan kerjasama antar wilayah dalam kerangka otonomi

daerah di Indonesia. Pengertian MOU oleh otonomi daerah merupakan


dokumen awal yang tidak mengikat yang nantinya akan dituangkan dalam

bentuk “Perjanjian Kerjasama” yang bersifat mengikat.

Metode yang digunakan dalam praktek Indonesia untuk menentukan

apakah suatu dokumen adalah perjanjian internasional masih belum

konsisten. Hal ini terlihat dari pola sistem penyimpanan perjanjian

(depository system) yang ternyata menyimpan pada Treaty Room Departemen

Luar Negeri semua dokumen sepanjang ditandatangani oleh Pemerintah RI

tanpa melihat apakah dokumen tersebut memenuhi semua elemen sebagai

suatu perjanjian. Jika diteliti lebih dalam seluruh dokumen yang tersimpan

pada Treaty Room berdasarkan materi perjanjian (the merits of the

documents), maka pada hakekatnya dapat dilakukan klasifikasi sbb:

1. Perjanjian seperti yang didefinisikan oleh Vienna Convention on the


Law of Treaties 1969 dan Vienna Convention on the Law of Treaties
between States and International Organizations or between
International Organizations 1986 serta Undang-Undang No. 24 Tahun
2000 tentang Perjanjian Internasional (Multilateral Convention, Border
Treaties, Extradition, Agreement, MOU’s, Exchange of Notes, etc);
2. Perjanjian yang memiliki karakter internasional tetapi tidak tunduk
pada hukum internasional publik (loan agreements, procurement
contracts, etc);
3. Dokumen yang tidak memiliki kekuatan mengikat secara hukum (joint
statements, declarations, agreed minutes, etc).

Terdapat kesulitan baik kalangan praktisi maupun akademisi dalam

menyimpulkan apakah MoU Helsinki yang merupakan Perjanjian Damai

antara Pemerintah RI dengan Gerakan Aceh Merdeka pada tanggal 15

Agustus 2005 yang dimotori oleh Marti Ahtisari yang merupakan mantan

Presiden Finlandia. Karena bagi kalangan yang menyebutkan MoU Helsinki

adalah perjanjian internasional juga memiliki alasan yang kuat.


Memorandum of Understanding merupakan Bentuk dan nama

perjanjian internasional yang mengacu kepada dasar hukum UU No 24 Tahun

2000 Tentang Perjanjian Internasional, yang dijelaskan secara terperinci

dalam Bab II Pasal 4 (1) Pemerintah Republik Indonesia membuat perjanjian

internasional dengan satu negara atau lebih, organisasi internasional, atau

subjek hukum internasional lain berdasarkan kesepakatan; dan para pihak

berkewajiban untuk melaksanakan perjanjian tersebut dengan iktikad baik.

Dimana bentuk dan nama perjanjian internasional dalam praktiknya

cukup beragam, antara lain : treaty, convention, agreement, memorandum of

understanding, protocol, charter, declaration, final act, arrangement, exchange

of notes, agreed minutes, summary records, process verbal, modus vivendi,

dan letter of intent.

Karena MoU merupakan salah satu bentuk perjanjian internasional

yang berlandaskan UU No 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional,

yang dijelaskan secara terperinci dalam Bab II Pasal 4 (1), maka MoU

menjadi sebagai dasar dan acuan hukum. Kemudian, ASNLF/GAM adalah

sebagai subjek hukum internasional lain yang mempunyai kapasitas membuat

perjanjian internasional dengan negara. Dan kapasitas ASNLF/GAM untuk

membuat perjanjian internasional dengan negara telah diterima dan diakui

oleh pihak Pemerintah RI dan Pemerintah Negara lainnya, seperti Amerika,

Jepang, dan Negara-Negara anggota Uni Eropa.  

Hal ini terbukti ketika pada hari Senin, 9 Desember 2002, di Jenewa

yang dihadiri oleh diplomat-diplomat Barat, pihak ASNLF/GAM dan pihak


Pemerintah RI menandatangani Perjanjian Damai RI-GAM tentang Genjatan

Senjata, pihak pihak Pemerintah RI ditandatangani oleh Wiryono

Sastrahandoyo dan dari pihak ASNLF/GAM ditandatangani oleh Zaini

Abdullah. Begitu juga ketika dilakukannya penandatanganan Memorandum

of Understanding RI-GAM 15 Agustus 2005 di Helsinki, yang ditandatangani

oleh Hamid Awaluddin dari pihak Pemerintah RI dan Malik Mahmud dari

pihak ASNLF/GAM.

Hasil produk UU No 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional,

yang dijelaskan secara terperinci dalam Bab II Pasal 4 (1) yang merupakan

bentuk Memorandum of Understanding adalah merupakan dasar hukum dan

acuan hukum bagi hukum-hukum lainnya yang berkaitan.3

Namun ada juga kalangan yang membantah MoU dengan sangat tegas

karena Bila kita cermati lebih teliti, kita akan melihat bahwa sebenarnya MoU

itu sendiri tidak memiliki dasar hukum. Suatu perjanjian internasional hanya

dapat memiliki dasar hukum apa bila pihak-pihak dalam perjanjian tersebut

adalah negara-negara yang berdaulat baik secara de facto atau de jure. Apa

bila pihak lain yang melakukan perjanjian secara internasional, maka

perjanjian tersebut bukan termasuk sebagai perjanjian internasional. Misalnya

Mr X dari negara Y dan Mr W dari negara Z melakukan perjanjian atau PT A

dari negara B dengan Organisasi C dari negara D melakukan kontrak kerja

sama maka perjanjian yang dihasilkan bukan lah perjanjian internasional yang

3
Ahmad Sudirman, GAM Entitas Hukum yang Mempunyai Kapasitas
Membuat Perjanjian Internasional dengan Negara , www.dataphone.se/~ahmad
diakses tanggal 22 November 2010
tunduk pada hukum internasional, melainkan menjadi perjanjian yang tunduk

pada hukum dari negara yang menjadi kewarganegaraan salah satu atau kedua

pihak yang menandatangani perjanjian tersebut, dan sifatnya hukum nasional

dan apabila terjadi pelanggaran maka akan disidangkan di pengadilan

nasional dengan hukum nasional.

Aceh secara de facto dan de jure masih menjadi bagian dari Negara

Kesatuan Republik Indonesia, oleh sebab itu tidak ada pihak yang dapat

mewakili Acheh dalam suatu perjanjian internasional kecuali pemerintah

NKRI atau pihak yang ditunjuk dan diberi kuasa secara hukum oleh

pemerintah/penguasa NKRI.

Sedangkan Gerakan Acheh Merdeka adalah suatu organisasi ilegal

(paling tidak di Indonesia sampai setelah Mou ditandatangani) sehingga

GAM sendiri bukanlah subjek hukum yang berhak melakukan perjanjian

demi hukum baik secara domestik apa lagi internasional. Dengan kata lain

semua perjanjian dengan GAM adalah tidak sah, sama tidak sahnya dengan

perjanjian yang ditandatangani anak berumur 5 tahun.

Lebih jauh lagi, anggota-anggota GAM adalah manusia tidak

berkewarganegaraan (yang sah dari suatu negara berdaulat) sehingga tidak

dapat mengikat suatu perjanjian dengan dilindungi hukum dari suatu negara

tertentu, apalagi hukum internasional (HAM bukan hukum). Kalau kita

menyatakan bahwa anggota GAM berkewarganegaraan Indonesia, maka tidak

ada masalah sama sekali, MoU otomatis tidak berlaku, karena pemerintah

suatu negara tidak melakukan perjanjian internasional dengan warga


negaranya sendiri. Sedangkan anggota GAM yang berkewarganegaraan asing

(Eropa dan lain sebagainya) sama sekali tidak berhak dan tidak signifikan

untuk mewakili Acheh dalam perjanjian apa pun. Dengan kata lain MoU

sama sekali tidak sah secara hukum, dan sangat salah kalau kita

menganggapnya sebagai suatu perjanjian yang mengikat secara hukum.4

4
Luth Key, Tidak Ada Dasar Hukumnya Bagi GAM untuk Menyatakan Sumpah,
www.dataphone.se/~ahmad diakses tanggal 22 November 2010
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dinamika hubungan masyarakat internasional yang sedemikian pesat,

sebagai akibat dari semakin meningkatnya teknologi komunikasi dan

informasi yang membawa dampak pada percepatan arus globlalisasi,

mengakibatkan hukum perjanjian internasional juga mengalami

perkembangan pesat seiring dinamika masyarakat internasional itu sendiri.

Sekalipun literatur hukum internasional, khususnya Konvensi Wina 1969

yang secara khusus mengatur mengenai Perjanjian Internasioanal telah

menyediakan banyak teori dan begitupun dalam praktek tentang perjanjian

internasional yang cenderung ajeg dan konsisten, namun dinamika

masyarakat internasional melalui diplomasi praktis telah memperkaya teori

dimaksud dalam berbagai variasinya dalam bentuk format dan klausula yang

kreatif dan inovatif. Dari uraian diatas maka praktek Indonesia juga ternyata

tidak luput dari dinamika tersebut sehingga MoU Helsinki yang merupakan

Perjanjian Damai antara Pemerintah RI dengan Gerakan Aceh Merdeka tidak

dapat dikategorikan secara jelas apakah termasuk kedalam Perjanjian

Internasional atau tidak, begitu pula terkait dengan Pemahaman Perjanjian

Internasional yang mengacu kepada Konvensi Wina tahun 1969 yang tidak

dapat mengakomodir praktek diplomasi internasional saat ini yang semakin

beragam. Namun yang terpenting adalah hasil yang dicapai dari MoU
Helsinki dimana Perjanjian tersebut telah menjadi solusi dan memberikan

bukti atas penyelesaian konflik berkepanjangan di Aceh.

B. Saran

Terlepas dari bentuk Perjanjiannya MoU Helsinki harus telah dilaksanakan

dengan itikat yang baik karena terkait dengan hajat hidup masyarakat Aceh

yang telah lama mengidam-idamkan bersemainya perdamaian sehingga tidak

melihat secara politis semata.


DAFTAR PUSTAKA

You might also like