Professional Documents
Culture Documents
Oleh :
IRWANSYAH
0603101020037
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
terhadap nasib rakyat Aceh yang selama puluhan tahun telah diabaikan hak-
hak asasinya sebagai Warga Negara Republik Indonesia. Telah banyak darah
mengucur akibat konflik kepentingan pusat dan para tokoh politik Aceh
sendiri.
separatisme yang terjadi di dalam negerinya. Sejak Mei tahun 2000, wakil
akibat situasi di lapangan, dialog terus melangkah laju sehingga pada Januari
kepercayaan.
otonomi khusus, dan kedua pihak sepakat mengadakan dialog informal yang
melibatkan berbagai pihak, yaitu semua sektor masyarakat Aceh, termasuk
GAM. Tetapi selama tujuh bulan sesudah itu, dari Juli 2001 sampai Februari
ekstrem bagi perdamaian di Aceh, dan itu adalah situasi bahwa praktik
pemeras oleh tentara RI maupun oleh gerilyawan GAM sudah menjadi wabah
Pertemuan lanjutan antara GAM dan wakil Pemerintah awal Mei 2002
bagi dialog semua unsur masyarakat Aceh menuju pemilihan umum 2004.
waktu dan cara penyerahan senjata oleh GAM dan hal-hal yang mesti
dilakukan oleh TNI. Keseluruhan proses dirancang untuk membuang senjata
dari politik.
Indonesia, Qatar, Malaysia, Pilipina, Swiss, Thailand dan Inggris. Juga hadir
wakil dari Uni Eropa, Bank Pembangunan Asia, Bank Dunia, Program
pembangunan infrastruktur.
Persetujuan Penghentian Permusuhan ditandatangani di Jenewa 9
Desember 2002. Tetapi pada Januari 2003 sudah mulai kelihatan bahwa jalan
Kemanusian namun upaya tersebut juga masih bersifat represif sehingga tidak
kedamaian Aceh karena dengan musibah yang telah merengut 200.000 lebih
subjek hukum internasional. Hal ini menjadi penting untuk dikaji karena jika
internasional.
B. Rumusan Permasalahan
yang akan dikaji dalam makalah ini adalah, Apakah Nota Kesepahaman
Perjanjian Internasioanl ?
BAB II
PEMBAHASAN
bahkan berlangsung pula dalam perumusan definisi ini pada Konvensi Wina
internasional adalah:
perjanjian di bidang hukum publik, yang diatur oleh hukum internasional, dan
Dari pengertian hukum ini, maka terdapat beberapa kriteria dasar yang
harus dipenuhi oleh suatu dokumen untuk dapat ditetapkan sebagai suatu
an International Agreement;
1
Mohd. Burhan Tsani, Status Hukum Internasional dan Perjanjian Internasional dalam
Hukum Nasional Republik Indonesia (dalam Perspektif Hukum Tata Negara),
www.thereatyroom.blogspot.com, diakses tanggal 22 November 2010.
by Subject of International Law;
in Written Form;
“Governed by International Law” (diatur dalam hukum internasional
serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik);
Whatever Form.
negara (termasuk MOU) memiliki daya mengikat seperti Treaties. 2 Para ahli
berpendapat bahwa istilah MOU digunakan dengan alasan politis yaitu ingin
dalam praktek beberapa negara akan menimbulkan suatu situasi bahwa satu
mengikat namun pihak yang lain menganggap dokumen itu hanya memuat
2
Ibid
Untuk kebutuhan praktis, pengertian non-legally binding itu sendiri
ini selalu diartikan bahwa salah satu pihak tidak dapat meng-enforce isi MOU
melalui jalur peradilan internasional atau jalur kekuatan memaksa yang lazim
memiliki implikasi bahwa dokumen ini tidak dapat dijadikan alat pembuktian
serta di-enforce oleh pengadilan. Dalam praktek diplomasi Indonesia saat ini,
yang lebih informal dari ”kontrak” atau ”perjanjian” dalam hubungan perdata
asing untuk melakukan investasi di daerah itu. Status hukum MOU semacam
suatu perjanjian. Jika diteliti lebih dalam seluruh dokumen yang tersimpan
Agustus 2005 yang dimotori oleh Marti Ahtisari yang merupakan mantan
yang dijelaskan secara terperinci dalam Bab II Pasal 4 (1), maka MoU
Hal ini terbukti ketika pada hari Senin, 9 Desember 2002, di Jenewa
oleh Hamid Awaluddin dari pihak Pemerintah RI dan Malik Mahmud dari
pihak ASNLF/GAM.
yang dijelaskan secara terperinci dalam Bab II Pasal 4 (1) yang merupakan
Namun ada juga kalangan yang membantah MoU dengan sangat tegas
karena Bila kita cermati lebih teliti, kita akan melihat bahwa sebenarnya MoU
itu sendiri tidak memiliki dasar hukum. Suatu perjanjian internasional hanya
dapat memiliki dasar hukum apa bila pihak-pihak dalam perjanjian tersebut
adalah negara-negara yang berdaulat baik secara de facto atau de jure. Apa
sama maka perjanjian yang dihasilkan bukan lah perjanjian internasional yang
3
Ahmad Sudirman, GAM Entitas Hukum yang Mempunyai Kapasitas
Membuat Perjanjian Internasional dengan Negara , www.dataphone.se/~ahmad
diakses tanggal 22 November 2010
tunduk pada hukum internasional, melainkan menjadi perjanjian yang tunduk
pada hukum dari negara yang menjadi kewarganegaraan salah satu atau kedua
Aceh secara de facto dan de jure masih menjadi bagian dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia, oleh sebab itu tidak ada pihak yang dapat
NKRI atau pihak yang ditunjuk dan diberi kuasa secara hukum oleh
pemerintah/penguasa NKRI.
demi hukum baik secara domestik apa lagi internasional. Dengan kata lain
semua perjanjian dengan GAM adalah tidak sah, sama tidak sahnya dengan
dapat mengikat suatu perjanjian dengan dilindungi hukum dari suatu negara
ada masalah sama sekali, MoU otomatis tidak berlaku, karena pemerintah
(Eropa dan lain sebagainya) sama sekali tidak berhak dan tidak signifikan
untuk mewakili Acheh dalam perjanjian apa pun. Dengan kata lain MoU
sama sekali tidak sah secara hukum, dan sangat salah kalau kita
4
Luth Key, Tidak Ada Dasar Hukumnya Bagi GAM untuk Menyatakan Sumpah,
www.dataphone.se/~ahmad diakses tanggal 22 November 2010
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
dimaksud dalam berbagai variasinya dalam bentuk format dan klausula yang
kreatif dan inovatif. Dari uraian diatas maka praktek Indonesia juga ternyata
tidak luput dari dinamika tersebut sehingga MoU Helsinki yang merupakan
Internasional yang mengacu kepada Konvensi Wina tahun 1969 yang tidak
beragam. Namun yang terpenting adalah hasil yang dicapai dari MoU
Helsinki dimana Perjanjian tersebut telah menjadi solusi dan memberikan
B. Saran
dengan itikat yang baik karena terkait dengan hajat hidup masyarakat Aceh