Professional Documents
Culture Documents
BAB 4
DESENTRALISASI DAN PERKEMBANGAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG KESEHATAN:
SEBUAH EVALUASI NORMATIF75
Andi Sandi Ant. T.T
Vivi Lignawati
75 Tulisan ini pernah disampaikan pada Seminar Perjalanan 3 Tahun Desentralisasi Kesehatan di Indonesia: Apa yang sudah dicapai dan apa
yang belum? Apakah lebih baik re-sentralisasi? Tanggal 17-19 Maret 2004 di Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada.
76 M. Fajrul Falaakh, Hukum Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Bahan Kuliah, 2000, Magister Hukum Kenegaraan Universitas Gadjah Mada,
hal. 1
77 lihat hal. 3
78 Lihat Pasal 7 ayat (1) UU No. 22 Tahun 1999.
35
DESENTRALISASI DAN PERKEMBANGAN PERATURAN PERUNDANGAN DI SEKTOR KESEHATAN
Karakteristik bidang kesehatan itulah yang pemerintah pusat dan daerah yang pernah,
perlu dijadikan perhatian bagi daerah-daerah sedang, dan akan diberlakukan di Indonesia.
ketika melaksanakan kewenangannya di bidang Argumen yang akan dibangun adalah, apakah
kesehatan, sehingga pelaksanaan kewenangan di shifting itu lebih memandirikan pemerintah daerah
bidang kesehatan perlu dilakukan secara holistic; atau tidak dalam melaksanakan kewenangannya?
tidak parsial yang dibatasi oleh wilayah kerja. Sistem penyelenggaraan pemerintahan
Dengan melihat karasteristik itulah daerah yang ditentukan dalam Pasal 18 UUD
diperlukan berbagai instrumen yang dapat 1945 Pra-Amademen memang jauh lebih multi
mendukung agar tujuan pelayanan kesehatan interpretable jika dibandingkan dengan Pasal 18,
dapat tercapai. Pada bahasan ini lebih difokuskan Pasal 18 A dan Pasal 18 B UUD 1945
pada salah satu instrumen, yaitu peraturan Pascaamandemen. Hal ini menyebabkan
perundang-undangan. Bahasan ini bertujuan pengaturan kewenangan pemerintah daerah,
memberikan evaluasi nor matif terhadap sangatlah tergantung pada “interpretasi dan
pelaksanaan desentralisasi di bidang kesehatan keinginan” pemerintah pusat yang dituangkan
yang dilakukan sebelum dan sesudah berlakunya dalam undang-undang. Akibatnya, sangat sering
UU No. 22 Tahun 1999. Sebagai suatu evaluasi terjadi shifting kewenangan pemerintah daerah.
normatif, pemaparan dalam bahasan akan dimulai Shifting terhadap luas atau tidaknya kewenangan
dari sistem pemerintahan daerah sebagai basis daerah dapat terlihat dari kewenangan yang
untuk melaksanakan kewenangan desentralisasi. diberikan kepada daerah berdasarkan undang-
Kemudian, berdasarkan sistem itu akan dievaluasi undang yang berkaitan dengan pemerintahan
peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan daerah.
sebagai konsekuensi hukum dari sistem yang Undang-undang pertama yang mengatur
ditentukan pada tingkat nasional. Bahasan ini tentang pemerintahan daerah adalah UU No.1
lebih cenderung melihat kekurangan yang ada dari Tahun 1945 tentang Kedudukan Komite Nasional
setiap sistem pemerintahan daerah yang pernah Daerah. UU ini menggunakan sistem formal
diberlakukan di Indonesia. Dengan berdasarkan dalam penentuan daerah kewenangan. Dengan
kekurangan-kekurangan itulah, kemudian meng gunakan sistem for mal kewenangan
ditawarkan beberapa solusi untuk lebih pemerintah daerah tidak ditentukan secara jelas;
mengoptimalkan sistem yang ada. Evaluasi semua tergantung kepada inisiatif atau prakarsa
79
normatif yang telah dilakukan menggunakan daerah yang bersangkutan . Batasan yang
parameter ketersediaan peraturan pelaksana, diberikan oleh UU No.1 Tahun 1945 hanyalah
konsistensi peraturan pelaksana dengan peraturan bahwa urusan rumah tangga yang dilaksanakan
“payung”-nya (peraturan dasar), dan motivasi dan diatur oleh pemerintah daerah tidak
peraturan payung dan peraturan pelaksana untuk bertentangan dengan peraturan pemerintah pusat
lebih memandirikan daerah dalam pengelolaan atau peraturan daerah yang lebih luas
80
kewenangan di bidang kesehatan. kewenangannya Berdasarkan sistem formal ini,
semua kewenangan bidang pemerintahan
DESENTRALISASI DI INDONESIA: diserahkan kepada pemerintah daerah, sehingga
Perang yang tidak berkesudahan kewenangan yang dimiliki daerah sangat luas.
Pada subjudul ini akan diuraikan shifting Sebelum Komite Nasional Daerah
of gover nance dalam pola hubungan antara melaksanakan kewenangannya, dikeluarkanlah
79 Bagir Manan, (1994).Hubungan antara Pusat dan Daerah menurut UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,hal. 176.
80 Lihat Pasal 2 UU No.1 Tahun 1945 tentang Peraturan mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah menyebutkan bahwa Komite Nasional
Daerah menjadi Badan Perwakilan Rakyat Daerah, yang bersama-sama dengan dan dipimpin oleh Kepala Daerah menjalankan pekerjaan
mengatur rumah tangga daerah, asal tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Pusat dan Peraturan Daerah yang lebih luas daripadanya.
36
BAGIAN IV: Desentralisasi dan Pendanaan Kesehatan
UU No. 22 Tahun 1948, tentang Pemerintahan organik UUDS 1950 baru dikeluarkan pada
Daerah, yang juga masih memberikan tahun 1957 melalui UU No. 1 Tahun 1957 tentang
kewenangan yang luas bagi daerah dalam Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. UU organik
melaksanakan pemerintahan di daerah. UU ini ini menggunakan sistem riil (nyata) ketika
menggunakan sistem material dalam menentukan menentukan kewenangan pemerintah daerah.
kewenangan daerah. Dengan menggunakan Dengan sistem riil, kewenangan daerah didasarkan
sistem material, kewenangan daerah ditentukan pada kebutuhan dan kemampuan daerah secara
81
satu per satu (baca: secara detail) . Walaupun nyata sehingga kewenangan yang menjadi milik
kewenangan daerah ditentukan secara detail, pemerintah daerah dapat diserahkan ataupun
83
wilayah administratif dan hierarkisitas ditarik kembali oleh pemerintah pusat . Realisasi
82
antardaerah belum diatur dalam UU ini . penyerahan kewenangan dilakukan melalui UU
Dorongan untuk lebih mandiri, secara No. 6 Tahun 1959 tentang Penyerahan Tugas-
nasional maupun internasional, lebih terasa tugas Pemerintah Pusat dalam Bidang
pengaruhnya pada saat itu, sehingga terciptalah Pemerintahan Umum, Perbantuan Pegawai
Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949 Negeri dan Penyerahan Keuangannya kepada
(KRIS 1949) sebagai kontrak sosial yang tertinggi Pemerintah Daerah yang akan diberlakukan
di Indonesia. Dengan KRIS 1949, bentuk negara (pada saat itu) melalui sebuah Peraturan
yang disetujui oleh komponen-komponen bangsa Pemerintah (PP). PP itu baru dikeluarkan pada
pada saat itu adalah bentuk negara federal, tahun 1963 melalui PP No. 50 Tahun 1963
sehingga daerah yang ada kemudian menjadi tentang pernyataan mulai berlakunya dan
negara bagian. Berkedudukan sebagai negara Pelaksanaan UU No.6 Tahun 1959. Jadi,
bagian, daerah memiliki kewenangan yang sangat dibutuhkan sekitar 4 tahun untuk merealisasikan
luas untuk mengurus rumah tangganya. Walaupun “janji” yang diberikan oleh UU No.6 Tahun 1959,
demikian, undang-undang pemerintahan daerah sehing ga terlihat adanya “keeng ganan”
tetap menggunakan UU No.22 Tahun 1948 pemerintah pusat agar daerah lebih berkreasi
dengan beberapa modifikasi. dalam melaksanakan kewenangannya.
Selanjutnya, sejarah kembali berulang, Selanjutnya, waktu berjalan begitu singkat
ketika jargon-jargon yang mengatakan bahwa KRIS sampai keluarlah Dekrit Presiden 5 Juli 1959,
1949 adalah produk kolonial Belanda berhasil sehingga UUDS 1950 dinyatakan tidak berlaku
memotivasi rakyat untuk mengubah kontrak lagi dan diberlakukan kembali UUD 1945 oleh
sosial-nya lagi, KRIS 1949 diganti dengan presiden. Presiden melalui Penetapan Presiden
Undang-undang Dasar Sementara 1950 (UUDS No.6 Tahun 1959 dan Penetapan Presiden No.5
1950). Perubahan kontrak sosial itu Tahun 1960 tetap memberlakukan UU No. 1
menyebabkan bentuk negara Indonesia kembali Tahun 1957 dengan beberapa penyempurnaan.
ke negara kesatuan. Meskipun demikian, dengan Hal ini dilakukan agar tidak terjadi kekosongan
singkatnya waktu yang ada dan peraturan hukum yang mengatur tentang pemerintahan
peralihan dalam UUDS 1950, undang-undang daerah. Meskipun telah dilakukan
pemerintahan daerah tetap menggunakan UU penyempurnaan, sistem yang digunakan untuk
No.22 Tahun 1948 sebagai undang-undang menentukan kewenangan daerah tetap
organik Pasal 131 dan Pasal 132 UUDS 1950 menggunakan sistem riil. Kedua Penetapan
sampai terbentuknya undang-undang baru Presiden itu tetap berlaku sampai tahun 1965
berdasarkan UUDS 1950. Undang-undang sebab pada tahun tersebut dikeluarkan UU No.
37
DESENTRALISASI DAN PERKEMBANGAN PERATURAN PERUNDANGAN DI SEKTOR KESEHATAN
18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok otonom dan kepala daerah administratif dijabat
Pemerintahan Daerah dan UU No. 19 Tahun 1965 oleh satu orang yang sama. Kedudukannya
tentang Desapraja yang menggantikan kedua sebagai kepala daerah administratiflah yang
penetapan presiden tersebut. Selain itu, kedua UU menyebabkan kepala daerah harus tunduk dan
inilah yang memperkenalkan adanya wilayah bertanggung jawab pada pemerintah daerah di
adminitratif di daerah-daerah. Oleh sebab itu, atasnya atau pemerintah pusat. Selain itu, watak
hierarkisitas antarpemerintah daerah juga mulai executive heavy dalam UU ini juga sangat kental yang
diberlakukan. Hal ini sangat terkait dengan sistem ditunjukkan dengan adanya 34 pasal yang
pemerintahan yang digunakan pada saat itu, yaitu memberikan delegating provisio kepada pihak
84
sistem demokrasi terpimpin. Dengan eksekutif . Dari 34 pasal tersebut, dibutuhkan
menggunakan demokrasi terpimpin, pimpinan 41 peraturan pelaksana untuk menjalankan UU
daerah harus “tunduk” pada pimpinan ini. Kenyataannya, sampai dengan tahun 1997
pemerintah pusat. pemerintah pusat hanya berhasil mengeluarkan
85
Periode berikutnya, konstelasi politik 24 peraturan pelaksana .
tingkat nasional kembali bergolak dengan “Kental”-nya watak sentralistis dan executive
terjadinya G 30 S/PKI pada tanggal 30 heavy dari UU ini mengakibatkan pemerintah
September 1965, sehingga semua produk hukum daerah lebih didudukan pada posisi “hanya”
yang dihasilkan Pra-G 30 S/PKI ditinjau ulang. sebagai pelaksana terhadap kebijakan yang
Di antara produk hukum yang ditinjau kembali dikeluarkan oleh pemerintah pusat. Keadaan ini
dan dinyatakan tidak berlaku adalah kedua membuat pemerintah daerah selalu tergantung
undang-undang di atas yang dilakukan dengan pada “perintah dari pusat” selama hampir 27
UU No. 6 Tahun 1969. Oleh karena itu, tahun. Hal ini mengakibatkan “mati”-nya daya
pengaturan tentang pemerintahan daerah sempat kreativitas dan responsivitas pemerintah daerah
tidak memiliki dasar aturan hukum selama terhadap kebutuhan masyarakatnya karena
beberapa tahun (vacuum of law). Undang-undang hampir semua bentuk pelayanan yang diberikan
yang mengatur tentang pemerintahan daerah baru merupakan kebijakan pemerintah pusat dan
dikeluarkan pada tang gal 23 Juli 1974 bentuk pelayanan itu disamaratakan untuk setiap
diundangkan UU No.5 Tahun 1974 tentang daerah, sebagai konsekuensi negara kesatuan.
Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah dan UU No.5 Buruknya kondisi perekonomian dan
Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa pada bergulirnya gerakan reformasi pada tahun 1998
tanggal 1 Desember 1979. Seperti UU menyebabkan banyak daerah yang kemudian
sebelumnya, UU No.5 Tahun 1974 tetap melakukan perlawanan terhadap watak
menggunakan sistem riil dalam menentukan sentralistis itu. Mereka menuntut untuk diberikan
kewenangan daerah, sehingga daerah harus kewenangan yang luas dalam menyelenggarakan
menunjukkan kemampuannya kepada pemerintah pemerintahan di daerah. Ancaman yang
pusat agar kewenangan di bidang pemerintahan dikeluarkan, apabila tuntutan itu tidak
dapat diserahkan kepadanya. Selain itu, dalam UU diwujudkan adalah pelepasan diri dari ikatan
ini juga masih mempertahankan keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ancaman
wilayah administratif, di samping wilayah ini ditunjukan oleh beberapa daerah yang memang
otonom, dan hierarkisitas antarpemerintah memiliki natural resources yang cukup besar, seperti
daerah. Uniknya, wilayah kerja daerah Riau, Kalimantan Timur, Irian Jaya (sekarang
administratif dan daerah otonom dijadikan satu Papua), Sulawesi Selatan, dan Aceh. Kondisi
(baca: tumpang tindih) sehingga kepala daerah politik inilah yang mewarnai dikeluarkannya UU
84 Mahfud M.D., (1999). Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Gama Media, 1999, hal. 199-203
85 Josef Riwukaho dan Haryanto. (1997). Kapita Selekta Masalah-masalah Pemerintahan, Makalah, hal. 4-5.
38
BAGIAN IV: Desentralisasi dan Pendanaan Kesehatan
No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dilakukan pembahasan RUU tentang hubungan
sebagai pengganti UU No.5 Tahun 1974 dan UU pusat dan daerah melalui Dewan Perwakilan
No.5 Tahun 1979, yang “kembali” memberikan Daerah (DPD). Mungkin ini adalah harapan yang
kewenangan yang luas bagi daerah untuk terlalu muluk, tetapi setidaknya daerah
mengelola kepentingan daerah. mempunyai kekuatan tambahan.
Kurang lebih selama 3 tahun diberlakukan Uraian di atas menunjukan bahwa shifting
UU ini, pemerintah pusat sudah mulai melakukan terhadap kewenangan pemerintah daerah sangat
“penggerogotan” terhadap kewenangan daerah. sering dilakukan oleh pemerintah pusat. Seringnya
Penggerogotan ini tergambar pada Pasal 9 ayat dilakukan shifting mengakibatkan daerah selalu
(1) Rancangan Undang-Undang tentang dijadikan “bahan eksperimen” oleh pemerintah
Pemerintahan Daerah yang dikeluarkan oleh pusat terhadap kebijakannya. Akibatnya, daerah
Departemen Dalam Negeri yang kembali tidak akan pernah mandiri untuk melaksanakan
menentukan bahwa pemerintah (pusat) kewenangannya.
menyerahkan kewenangan kepada daerah untuk
86
mengatur dan mengurus “urusan pemerintahan” .
Jadi, yang diserahkan hanya kewenangan untuk DESENTRALISASI DI BIDANG
mengatur dan mengurus, sedangkan kewenangan KESEHATAN
lain tetap menjadi milik pemerintah pusat. Selain Evaluasi normatif dalam subjudul ini
itu, RUU ini juga “mencoba” melakukan ditujukan untuk melihat apakah peraturan
hirearkisitas lagi, walaupun menghindari adanya pelaksana yang dikeluarkan oleh pemerintah
kata hirearkisitas dengan menentukan adanya pusat, sebagai tindak lanjut kewenangannya yang
hubungan kewilayahan, kewenangan, keuangan, diatribusikan oleh UU, telah dilakukan sesuai
87
dan administrasi pada Pasal 4 ayat (2) RUU ini. dengan koridor yang ditentukan. Ketika hal itu
Adalah benar dalam batang tubuh RUU ini tidak telah dilakukan sesuai dengan koridor yang ada,
ditemukan adanya kata hierarkisitas, tetapi bila apakah peraturan pelaksanaannya dapat
dilihat dalam penjelasan Pasal 4 ayat (2) akan memotivasi daerah untuk lebih mandiri? Untuk
88
terdapat kata “subordinate” . Bukankah kata itu akan dibandingkan peraturan pelaksana
subordinate mengandung makna pertingkatan atau desentralisasi di bidang kesehatan sebelum dan
hierarkisitas? sesudah berlakunya UU No.22 Tahun 1999, baik
Jika shifting itu dianalogikan sebagai suatu pada tingkat pusat maupun daerah. Karena
perang, pemerintah pusat selalu diposisikan keterbatasan waktu dan fasilitas informasi, untuk
sebagai pemenang, sedangkan pemerintah daerah tingkat daerah hanya akan dilakukan evaluasi
selalu diposisikan sebagai looser. Pemerintah pusat normatif terhadap peraturan pelaksana yang telah
tidak berkeinginan untuk menyelesaikan perang ditetapkan di Provinsi DIY. Argumen yang akan
ini karena dirinya selalu sangat diuntungkan. Jadi, dibangun tetap pada isu besar yaitu mendorong
pemerintah pusat akan selalu berkeinginan untuk kemandirian daerah.
terus melakukan perang itu.
Untuk itulah, perubahan UUD 1945 a. Pra Diberlakukannya UU No.22 Tahun 1999
mencoba menyeimbangkan posisi tawar daerah Berdasarkan sistem pemerintahan daerah
dalam menghadapi “perang kewenangan” itu yang diuraikan sebelumnya, pelaksanaan
dengan melahirkan sebuah lembaga negara baru desentralisasi di bidang kesehatan pra
yang merupakan representasi daerah ketika diberlakukannya UU No.22 Tahun 1999 sangatlah
86 RUU tentang Pemerintahan Daerah, Departemen dalam Negeri, 12 Januari 2004, hal. 6.
87 Lihat Id. Hal. 5
88 Lihat Id. Hal. 62.
39
DESENTRALISASI DAN PERKEMBANGAN PERATURAN PERUNDANGAN DI SEKTOR KESEHATAN
89 www.kompas.com, Dikaji Amandemen UU Kesehatan, (30 Oktober 2002) melalui http://www.kompas.com/kompas-cetak/0210/ 30/
iptek/adik10.htm
40
BAGIAN IV: Desentralisasi dan Pendanaan Kesehatan
Dalam kepmenkes ini pejabat yang berhak dan mengelola desentralisasi di bidang kesehatan,
mengeluarkan izin hampir seluruhnya adalah sehing ga r uang improvisasi daerah dalam
perangkat pemerintah pusat, seperti kanwil dan melaksanakan kewenangannya sangat dibatasi.
kandep kesehatan; tanpa memberikan Secara umum peraturan di tingkat pusat telah
kewenangan apapun kepada pejabat pemerintah mengakibatkan proses pembelajaran dan
daerah yang notabene telah diberikan kewenangan pemberdayaan pemerintah daerah untuk lebih
pengurusan dan pengelolaan bidang kesehatan mandiri dan mendekatkan pelayanan publik
sejak tahun 1995. Selain itu, kepmenkes ini juga kepada masyarakatnya tidak berjalan secara
memperlihatkan bahwa Depkes dalam optimal. Hal ini disebabkan oleh tiga hal, pertama,
mengeluarkan suatu peraturan tidak posisi pemerintah daerah yang selalu didudukkan
mengindahkan peraturan perundang-undangan sebagai “pelaksana” saja sehingga pemerintah
yang berlaku, sebab kepmenkes ini masih daerah cenderung selalu menunggu. Kedua, tidak
menggunakan UU No.5 Tahun 1974 sebagai konsistennya pengaturan yang mengakibatkan
peraturan “payung”-nya, padahal UU No.5 Tahun kurangnya keberanian daerah mengatur
1974 sudah dinyatakan tidak berlaku dengan kewenangannya karena kealpaan jaminan
adanya Pasal 131 UU No.22 Tahun 1999 tanggal kepastian hukum dari peraturan perundang-
7 Mei 1999. undangan yang dikeluarkan oleh pemerintah
Produk-produk hukum tingkat pusat yang pusat; dan, ketiga, over regulated-nya pengaturan
disebutkan sebelumnya menunjukan adanya untuk desentralisasi kesehatan membuat ruang
ketidakkonsistenan dalam pengaturan improvisasi daerah sangat dibatasi.
desentralisasi di bidang kesehatan. Pada tataran lokal di Provinsi DIY,
Ketidakkonsistenan produk hukum itu pengaturan yang dikeluarkan oleh pemerintah
ditunjukkan dengan adanya penyempitan ataupun daerah melalui produk hukum daerah (Peraturan
perluasan norma hukum yang dilakukan oleh Daerah, Keputusan Kepala Daerah Provinsi/
peraturan pelaksana dari produk hukum yang Kabupaten/Kotamadya, Instr uksi Daerah,
lebih tinggi. Padahal dilihat dari sisi ilmu maupun Surat Keputusan Kepala Dinas
perundang-undangan, tidak dibenarkan untuk Kesehatan) mungkin terlihat sangat komprehensif.
melakukan perluasan ataupun penyempitan Ini disebabkan oleh kewenangan yang diberikan
norma hukum peraturan “payung” dalam materi oleh pemerintah pusat sangat sempit dan daerah
90
muatan peraturan pelaksananya . Hal ini hanya diberi kewenangan mengenai hal-hal yang
mengakibatkan kewenangan daerah, dalam “kecil” dan itu pun sangat tergantung pada
mengelola bidang kesehatan, tidak memiliki koridor yang diberikan oleh peraturan yang
jaminan kepastian hukum, sehingga daerah tidak dikeluarkan pemerintah pusat atau pemerintah
memiliki “keberanian” untuk mengatur dan selalu daerah yang lebih tinggi tingkatannya.
hanya menunggu “perintah” dari pemerintah Ditunjukan pada daftar produk hukum
pusat. Ketakutan daerah itu sangat beralasan daerah (Lampiran III), bahwa hampir semua
karena tidak konsistennya pengaturan yang produk hukum daerah yang dikeluarkan hanya
dikeluarkan pemerintah pusat. menetapkan materi muatan yang tidak begitu
Over regulated pengaturan peraturan subtansial dalam pengelolaan desentralisasi
perundang-undangan mengenai desentralisasi kesehatan. Contohnya, dalam pemberian lembaga
kesehatan ditunjukan dengan banyak produk perizinan terdapat satu Keputusan Walikotamadia
hukum yang dikeluarkan hanya untuk mengurus No.322/KD/1988, tetapi itu pun hanya
90 Maria Farida Indrati Soeprapto(1998).Ilmu Perundang-undangan: Dasar-dasar dan Pembentukannya, Penerbit Kanisius, Yogyakarta. hal.179.
41
DESENTRALISASI DAN PERKEMBANGAN PERATURAN PERUNDANGAN DI SEKTOR KESEHATAN
memberikan izin secara sementara, sedangkan izin undang-undang, peraturan pemerintah itu
tetapnya akan dikeluarkan dari pemerintah pusat hanyalah meng-elaborasi lebih lanjut perintah
c.q. Depkes. undang-undang tersebut. Kewenangan bidang
Pembahasan di atas memperlihatkan kesehatan dalam PP No.25 Tahun 2000 diatur
91
bahwa peraturan perundang-undangan mengenai dalam Pasal 2 ayat (3) angka 10 , untuk
desentralisasi kesehatan pra berlakunya UU No.22 kewenangan pemerintah pusat, sedangkan
Tahun 1999 telah diatur dengan komprehensif. kewenangan bidang kesehatan pemerintah daerah
Akan tetapi, pengaturan tersebut tidak provinsi sebagai daerah otonom ditentukan dalam
92
memberikan motivasi kepada daerah untuk asal 3 ayat (5) angka 9 . Kewenangan bidang
mewujudkan kemandiriannya. kesehatan pemerintah daerah provinsi ini
merupakan elaborasi lebih lanjut Pasal 9 UU
b. Pascadiberlakukannya UU No. 22 Tahun No.22 Tahun 1999. Oleh sebab itu, seluruh
1999 kewenangan yang tidak ditentukan dalam UU
Diundangkannya UU No.22 Tahun 1999 No.22 Tahun 1999 dan PP No.25 Tahun 2000
pada tanggal 7 Mei 1999 telah meluluhlantakkan merupakan kewenangan pemerintah daerah
watak sentralistik pola hubungan antara kabupaten dan kota. Konsekuensinya bahwa
pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Hal ini pemerintah daerah kabupaten dan kota
disebabkan dalam UU No.22 Tahun 1999 mempunyai kewenangan untuk mengatur bidang
memberikan kewenangan di seluruh bidang kesehatan yang tidak ditentukan atau di luar
pemerintahan kecuali kewenangan dalam bidang kedua peraturan perundang-undangan tersebut.
politik luar negeri, pertahanan keamanan, Dengan memiliki kewenangan yang
peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta sangat luas, daerah tiba-tiba harus mengubah pola
kewenangan bidang lain (ditentukan pada Pasal kerja yang dilakukannya selama ini, sehingga
7 ayat (2) UU No.22 Tahun 1999). banyak pemerintah daerah yang masih
Sebagaimana dijelaskan pada subbab kebingungan ketika diberi kewenangan yang
sebelumnya, UU No.22 Tahun 1999 begitu besar untuk menjalankan otonomi daerah.
menggunakan sistem residu dalam menentukan Kebingungan ini berimbas pada penyediaan
kewenangan pemerintah daerah, sehingga seluruh pelayanan publik di beberapa daerah. Selain itu,
kewenangan yang tidak dikecualikan, sebagai banyak pemerintah daerah yang masih menunggu
kewenangan pemerintah pusat merupakan instruksi/perintah dari pusat dalam penyediaan
kewenangan daerah. Dalam PP No.25 Tahun pelayanan publik. Salah satu penyebab
2000, yang sebenarnya merupakan penggerogotan kebingungan ini karena belum adanya kesamaan
terhadap UU No.22 Tahun 1999, bidang dan kurangnya pemahaman pemerintah daerah
kesehatan didistribusikan lagi. Ketika sebuah terhadap UU No.22 Tahun 1999. Kesamaan dan
peraturan pemerintah dibentuk sebagai perintah
91 Lihat Pasal 2 ayat (3) PP No.25 Tahun 2000. Catatan: Dalam Pasal tersebut disebutkan kewenangan pemerintah pusat dalam bidang kesehatan
adalah Penetapan standar nilai gizi dan pedoman sertifikasi teknologi kesehatan dan gizi, Penetapan pedoman pembiayaan pelayanan
kesehatan, Penetapan standar akreditasi sarana dan prasarana kesehatan, Penetapan pedoman standar pendidikan dan pendayagunaan tenaga
kesehatan, Penetapan pedoman penggunaan, konservasi, pengembangan dan pengawasan tanaman obat, Penetapan pedoman penapisan,
pengembangan dan penerapan teknologi kesehatan, dan standar etika penelitian kesehatan, Pemberian izin dan pengawasan peredaran obat
serta pengawasan industri farmasi, Penetapan persyaratan penggunaan bahan tambahan (zat aditif) tertentu untuk makanan dan penetapan
pedoman pengawasan peredaran makanan, Penetapan kebijakan sistem jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat, Survailans epidemiologi
serta pengaturan pemberantasan dan penanggulangan wabah, penyakit menular dan kejadian luar biasa, dan Penyediaan obat esensial
tertentu dan obat untuk pelayanan kesehatan dasar sangat esensial (buffer stock nasional).
92 Lihat Pasal 3 ayat (5) PP No.25 Tahun 2000. Catatan: Pasal ini menentukan bahwa kewenangan bidang kesehatan pemerintah daerah provinsi
adalah sebagai berikut: Penetapan pedoman penyuluhan dan kampanye kesehatan, Pengelolaan dan pemberian izin sarana dan prasarana
kesehatan khusus seperti rumah sakit jiwa, rumah sakit kusta, dan rumah sakit kanker, Sertifikasi teknologi kesehatan dan gizi, Survailans
epidemiologi serta penanggulangan wabah penyakit dan kejadian luar biasa, Penempatan tenaga kesehatan strategis, pemindahan tenaga
kesehatan tertentu antar Kabupaten/Kota, serta penyelenggaraan pendidikan tenaga dan pelatihan kesehatan.
42
BAGIAN IV: Desentralisasi dan Pendanaan Kesehatan
pemahaman yang baik diperlukan karena sifat cross perubahan terhadap peraturan yang mengatur
border-nya pelayanan di bidang kesehatan. tentang pedoman, kriteria, dan standar yang
Mungkin penyebab ini tidak begitu besar menjadi kewenangannya tanpa memperhatikan
pengaruhnya terhadap daerah yang memiliki keberadaan peraturan pelaksana teknis yang telah
resources yang besar karena mereka merasa lebih dikeluarkan oleh pemerintah daerah sebagai
mendapat legitimasi dari UU No.25 Tahun 1999 tindak lanjut dari pedoman, kriteria, dan standar
tentang Perimbangan Keuangan antara yang dikeluarkan pemerintah Pusat. Keempat,
Pemerintah Pusat dan Daerah untuk banyak peraturan mengenai pedoman, kriteria,
membelanjakan share resources yang menjadi bagian dan standar itu yang melanggar perintah peraturan
mereka. Akan tetapi, daerah yang tidak memiliki “payung”-nya.
resources yang cukup, kewenangan yang luas itu Pada per masalahan yang pertama,
diartikan sebagai “killing field” karena mereka pengaturan tentang otonomi daerah tidak paralel
dipaksa untuk mandiri meskipun realitas dengan peraturan sektoral yang dikeluarkan
menunjukan bahwa mereka belum dapat setelah berlakunya UU No. 22 Tahun 1999.
membiayai sendiri penyelenggaraan kewenangan Akibatnya, daerah menjadi ragu ketika akan
yang diberikan oleh UU No. 22 Tahun 1999. mengatur bidang yang sudah didelegasikan
Daerah-daerah yang terakhir ini kemudian kewenangannya oleh UU No. 22 Tahun 1999.
melakukan short cut untuk dapat mandiri dalam Salah satu contoh, adanya ketentuan dalam UU
pembiayaan dengan menaikan retribusi maupun No. 13 Tahun 1999 tentang Ketenagakerjaan
pajak-pajak yang menjadi share mereka menurut yang menentukan bahwa pemerintah pusat
UU No. 25 Tahun 1999. Kalaupun tidak mempunyai kewenangan untuk menetapkan
melakukan hal itu, mereka selalu menunggu kebijakan ketenagakerjaan dan perluasan
94
datangnya Dana Alokasi Umum (DAU) atau Dana kesempatan kerja , meskipun Pasal 11 ayat (2)
Alokasi Khusus (DAK) dari pemerintah pusat UU No. 22 Tahun 1999 telah menentukan bahwa
untuk sekedar survive sebagai daerah otonom. bidang ketenagakerjaan merupakan salah satu
Selain permasalahan yang terjadi di kewenangan bidang pemerintahan yang wajib
daerah, permasalahan juga terjadi di tingkat dilaksanakan oleh pemerintah daerah (baca:
pemerintah pusat dalam pelaksanaan UU No.22 kabupaten/kota) agar dapat dipertahankan
Tahun 1999, UU No. 25 Tahun 1999, dan PP No. sebagai daerah otonom. Argumen formal yang
25 Tahun 2000. Permasalahan-permasalahan ditawarkan UU No.13 Tahun 2003 adalah
yang ditemukan dalam evaluasi nor matif. penanganan masalah ketenagakerjaan itu harus
95
Pertama, terjadinya konflik antara kerangka ditangani secara lintas sektoral . Sebenarnya,
hukum desentralisasi dan peraturan perundang- Penjelasan Umum PP No.25 Tahun 2000 telah
93
undangan sektoral . Kedua, ketika pemerintah menawarkan sebuah solusi untuk masalah ini,
pusat c.q. Depkes mengeluarkan beberapa yang menentukan bahwa untuk bidang
peraturan yang mengatur tentang pedoman, pemerintahan yang bersifat lintas sektoral dan
kriteria dan standar terjadi beberapa perluasan lintas kabupaten/kota sebaiknya dilakukan
norma yang sebenarnya tidak boleh dilakukan melalui kerja sama antardaerah terlebih dahulu.
oleh sebuah peraturan pelaksana yang Kalaupun itu dianggap tidak efektif dan efisien,
mendapatkan atribusi dari peraturan “payung”. pemerintah provinsi dapat mengambil alih
Ketiga, peraturan pusat terlalu sering melakukan penanganan masalah itu berdasarkan penyerahan
93 Rainer Rohdewohld.(2004).Arsitektur Pembagian Urusan Pemerintahan UU No.22 Tahun 1999 dan Usulan Penyempurnaannya, 13 Februari
2004, Makalah pada Workshop Penguatan Sekber Kartamantul, GTZ SfDM, hal. 2.
94 Lihat Pasal 41 UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
95 Lihat Penjelasan Pasal 41 UU No.13 Tahun 2003 pada Penjelasan demi pasalnya.
43
DESENTRALISASI DAN PERKEMBANGAN PERATURAN PERUNDANGAN DI SEKTOR KESEHATAN
96 Arnold Heidenheimer.et.al.(1983).Comparative Public Policy: The Politics of Social Choice in Europe and America, St. Martin Press, New York, at 296.
97 Pratikno, et.al.(2004).”Human Rights and Good Governance in Indonesia, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada dan
Agder University Norway, on progress research, 2004.
98 Robert F.Rich and William D. White.(1998).Federalism and Health Care Policy, University of Illinois Law Review. at 861
44
BAGIAN IV: Desentralisasi dan Pendanaan Kesehatan
45
DESENTRALISASI DAN PERKEMBANGAN PERATURAN PERUNDANGAN DI SEKTOR KESEHATAN
46
BAGIAN IV: Desentralisasi dan Pendanaan Kesehatan
oleh peraturan itu. Namun, untuk mengeluarkan penyusunan peraturan daerah dilakukan dalam
102
peraturan pelaksana bidang kesehatan di tingkat suatu prolegda , sedangkan melalui kerja sama
daerah, daerah dapat menggunakan ketentuan- daerah, diharapkan pengaturan dan pelaksanaan
ketentuan yang ada dalam peraturan itu, tetapi kewenangan di bidang kesehatan secara holistic
tidak menempatkan peraturan tersebut sebagai dapat terwujud, sehingga akan tercipta suatu
landasan yuridis pembentukannya. standardisasi pelayanan kesehatan di daerah-
Peraturan pelaksana bidang kesehatan di daerah yang melakukan kerja sama. Cara yang
tataran lokal, khususnya di Provinsi DIY, produk terakhir ini sudah dilakukan oleh beberapa
hukum yang dikeluarkan sejak diberlakukannya kabupaten/kota di wilayah Provinsi DIY melalui
UU No.22 Tahun 1999, belum dapat dikatakan pembentukan Sekretariat Bersama Yogyakarta,
memadai karena produk hukum daerah yang Sleman, dan Bantul (Sekber Kartamantul) sejak
berhasil ditetapkan baru mencakup re-organisasi beberapa tahun yang lalu. Akan tetapi, bidang
perangkat pemerintah daerah dan pengaturan kesehatan belum menjadi salah satu bidang yang
mengenai retribusi di bidang kesehatan dikerjasamakan Sekber Kartamantul. Hal ini
(sebagaimana ditunjukan pada Lampiran V). tidak berarti menutup kemungkinan bahwa bidang
Salah satu contoh yang dapat diberikan adalah kesehatan dapat menjadi salah satu bidang yang
pengaturan tentang SPM. SPM baru diatur oleh dikerjasamakan karena tugas pokok Sekber
Kabupaten Gunungkidul, sedangkan kabupaten Kartamantul adalah memfasilitasi peningkatan
103
dan kota lainnya belum mengatur hal tersebut kerja sama antarketiga daerah .
meskipun SK gubernur mengenai SPM sudah In short, pada tataran peraturan perundang-
dikeluarkan sejak 2003. Kurangnya peraturan undangan desentralisasi bidang kesehatan sudah
pelaksana dan partial-nya pengaturan akan terlihat adanya motivasi dari tingkat UU untuk
menciptakan pelayanan kesehatan yang memandirikan daerah, tetapi motivasi tersebut
“terkotak-kotak”. Pada akhirnya, berimbas pada coba diredupkan dengan peraturan pelaksana dari
mutu pelayanan kesehatan pada masyarakat. UU itu.
Untuk mengatasi permasalahan yang
dihadapi oleh daerah itu dapat dilakukan melalui KESIMPULAN DAN SARAN
dua cara. Pertama, pembuatan program legislasi Berdasarkan hasil evaluasi normatif pada
daerah (prolegda). Kedua, melakukan kerja sama tingkat peraturan perundang-undangan dapat
antardaerah di bidang kesehatan. Sebaiknya, disimpulkan bahwa pelaksanaan desentralisasi
semua peraturan pelaksana yang diperlukan atau berdasarkan UU No.22 Tahun 1999 jo. PP No.25
diperintahkan peraturan yang lebih tinggi untuk Tahun 1999 hanyalah sebuah konsep yang sangat
penyelenggaraan desentralisasi di bidang ideal. Idealnya, konsep ini disebabkan tidak
kesehatan dimasukkan dalam prolegda di setiap adanya kesiapan dari pemerintah pusat c.q.
kabupaten/kota se-Provinsi DIY, agar semua Depkes maupun pemerintah daerah untuk
dapat diukur dan masyarakat pun dapat melaksanakan “hasil kesepakatan nasional”
berpartisipasi dalam pembuatannya. Sebagai dalam pelaksanaan desentralisasi di bidang
tambahan, RUU tentang Tata Cara Pembentukan kesehatan. Pada tingkat nasional, pemerintah
Peraturan Perundang-Undangan yang rencananya pusat c.q. Depkes terlihat telah mencoba untuk
disetujui pada tanggal 1 Maret 2004, telah mempertahankan watak sentralisasi dalam
menentukan dalam Pasal 20 bahwa perencanaan pelaksanaan desentralisasi. Percobaan itu
102 Komisi II DPR RI, RUU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, 2003. Note Status RUU ini sebenarnya akan disetujui pada
tanggal 1 Maret 2004, tetapi karena sesuatu dan lain hal maka RUU ini ditunda persetujuannya sampai batas waktu yang belum ditentukan.
Dalam RUU ini pula diatur tentang tata urutan peraturan perundang-undangan yang akan menggantikan tata urutan peraturan perundang-
undangan yang ditentukan dalam Tap MPR No.III/MPR/2000.
103 Pratikno. et.all (2004). Penguatan Kapasitas Kelembagaan Kerjasama Kartamatul, Interim Report, Sekber Kartamantul- GTZ SfDM, Januari
hal. 19.
47
DESENTRALISASI DAN PERKEMBANGAN PERATURAN PERUNDANGAN DI SEKTOR KESEHATAN
dilakukan melalui beberapa peraturan yang sangat panjang untuk menetapkannya. Akan
pelaksanaan desentralisasi di bidang kesehatan tetapi, dengan banyaknya peraturan
yang secara tidak langsung memperkecil menyebabkan terjadinya over regulated dalam
kewenangan daerah, salah satunya adalah pelaksanaan desentralisasi bidang kesehatan,
Kepmenkes 1189A/Menkes/SK/X/1999 seperti pada kasus penyerahan sebagian
tentang Wewenang Penetapan Perizinan di kewenangan di bidang kesehatan kepada daerah
Bidang Kesehatan. Di lain pihak, ketidaksiapan yang pada akhirnya, hanya menyisakan ruang
pemerintah daerah untuk melaksanakan yang sangat kecil untuk daerah dalam
kewenangan yang diberikan oleh UU No.22 Tahun berimprovisasi.
1999 jo. PP No.25 Tahun 2000, terlihat pada Ketika UU No.22 Tahun 1999
minimnya peraturan pelaksana desentralisasi diberlakukan pun, masih terdapat beberapa
bidang kesehatan di tingkat daerah. Mungkin peraturan pelaksana, di tingkat pusat yang
argumen yang mengatakan bahwa: mencoba untuk mempertahankan watak
“when the economy is strong , the federal sentralistis. Hal itu dilakukan dengan cara
government (baca: central government) is proactive; when menerbitkan peraturan-peraturan yang
the economy is weak, there are proposals for mempersempit kewenangan daerah dan
104
decentralization and devolution ” adalah benar. peraturan-peraturan yang tidak diperintahkan
Hal ini dibuktikan ketika UU No.22 Tahun secara langsung oleh peraturan payungnya. Belum
1999 ditetapkan keadaan ekonomi Indonesia lagi selesai masalah yang ditimbulkan oleh
sangat buruk, sehingga pemerintah pusat peraturan-peraturan di tingkat pusat itu dan
melakukan desentralisasi hampir di semua bidang seiring dengan membaiknya kondisi ekonomi
pemerintahan kepada daerah. Akan tetapi, ketika nasional, pemerintah pusat mulai kembali
kondisi ekonomi Indonesia mulai membaik, mencoba melakukan shifting of governance pada
pemerintah pusat mencoba bersikap proactive pola hubungan kewenangan antara pusat dan
untuk menarik kembali kewenangan tersebut daerah. Keinginan untuk melakukan shifting itu
sebagaimana dilakukan melalui RUU tentang secara ekplisit ditunjukan oleh RUU tentang
Pemerintahan Daerah 2004 yang dikeluarkan oleh Pemerintahan Daerah yang dirancang oleh
Departemen Dalam Negeri. Departemen Dalam Negeri. Padahal, pada saat
Selain tidak adanya kesiapan, kultur yang yang sama, learning process daerah untuk
terlalu sering melakukan shifting terhadap luas atau menentukan sendiri kewenangannya baru
tidaknya kewenangan daerah juga ikut berperan menginjak tahun ketiga. Kalaupun alasan untuk
besar dalam kegagalan desentralisasi di bidang melakukan shifting adalah “ketidakpatuhan”
kesehatan. Akibatnya, daerah tidak pernah kabupaten/kota terhadap pemerintah pusat
mendapatkan pengalaman untuk mengurus (sebagai konsekuensi tidak adanya hubungan
kewenangannya sendiri. Selanjutnya, ketika hierarkisitas antarpemerintah daerah sebagaimana
sangat sentralistisnya kewenangan di bidang ditentukan pada Pasal 4 UU No.22 Tahun 1999)
kesehatan, daerah selalu hanya diposisikan dan partial-nya pengaturan bidang-bidang yang
sebagai pelaksana saja, sehingga daerah tidak borderless oleh daerah kabupaten dan kota, alasan-
terlatih sebagai konseptor untuk merancang alasan itu tidak paralel dengan tindakan
kegiatannya sendiri dan “mematri” pada mental pemerintah yang sangat banyak menyetujui
pemerintah daerah untuk selalu tergantung pada pembentukan kabupaten/kota baru selama 3
pemerintah pusat. Sejalan dengan itu, peraturan tahun diberlakukannya UU No.22 Tahun 1999.
pelaksana desentralisasi bidang kesehatan di Data jumlah kabupaten dan kota yang
tingkat pusat sangat banyak dan memakan waktu dikeluarkan oleh departemen dalam negeri
104 Robert F.Rich and William D. White.(1998).Federalism and Health Care Policy, University of Illinois Law Review.861.hal. 866
48
BAGIAN IV: Desentralisasi dan Pendanaan Kesehatan
49
DESENTRALISASI DAN PERKEMBANGAN PERATURAN PERUNDANGAN DI SEKTOR KESEHATAN
LAMPIRAN I
Daftar Produk Hukum Pusat yang Berwatak Sentralistis
Pasca Penyerahan Secara Nyata Kewenangan di Bidang Kesehatan
50
BAGIAN IV: Desentralisasi dan Pendanaan Kesehatan
LAMPIRAN II
Daftar Produk Hukum Pusat Berwatak Sentralistik
Pasca Ditetapkannya UU No.22 Tahun
51
DESENTRALISASI DAN PERKEMBANGAN PERATURAN PERUNDANGAN DI SEKTOR KESEHATAN
LAMPIRAN III
Daftar Produk Hukum Daerah yang Berkaitan dengan Bidang Kesehatan
Pra-Diberlakukannya UU No.22 Tahun 1999
1. Perda Provinsi DIY 28 Mei 1981 Pembentukan, susunan organisasi dan tata kerja dinas
No.4 Tahun 1981 kesehatan Provinsi DIY.
2. Perda Provinsi DIY 31 Januari 1985 Pungutan klinik bersalin pusat latihan kesehatan
No.2 Tahun 1985 masyarakat di Godean dan RSJ Lali Jiwa di Pakem.
3. Keputusan Gubernur Kepala 10 September Susunan kepegawaian, formasi, jenjang kepangkatan
Daerah Istimewa Yogyakarta 1996 dan jabatan dinas kesehatan Provinsi DIY.
No. 93/Kpts/1986
4. Instruksi Gubernur Kepala 2 Februari 1988 Pelaksanaan program KB Mantap di Provinsi DIY.
Daerah Istimewa Yogyakarta
No.2/Instr/1988
5. Perda Provinsi DIY 12 Juli 1989 Perubahan pertama Perda Provinsi DIY No 2/85
No.9 Tahun 1989 tentang pungutan klinik bersalin pusat latihan
kesehatan masyarakat di Godean dan RSJ Lali Jiwa di
Pakem.
6. Perda Provinsi DIY 20 Desember Pembentukan organisasi dan tata kerja RSJ Daerah
No.14 Tahun 1989 1989 Provinsi DIY.
7. Perda Provinsi DIY 29 April 1996 Pungutan RSJ Provinsi DIY.
No.6 Tahun 1996
8. Keputusan Gubernur Kepala 17 Maret 1997 Pembentukan komisi penanggulangan aids.
Daerah Istimewa Yogyakarta
No.60/kpts/1997
9. Perda Kabupaten Bantul 18 Februari1992 Tarip pelayanan kesehatan pada RSUD Kabupaten
No.8 Tahun 1992 Dati II Bantul.
10. Perda Kabupaten Bantul 27 Maret 1997 Organisasi dan tata kerja Dinkes Kabupaten Dati II
No.7 Tahun 1997 Bantul.
11. Perda Kabupaten Bantul 21 Juni 1997 Tarip pelayanan kesehatan pada RSUD Kabupaten
No.34 Tahun 1997 Dati II Bantul.
12. Perda Kabupaten Bantul 21 Juni 1997 Retribusi pelayanan kesehatan pada pusat kesehatan
No.35 Tahun 1997 masyarakat, pusat kesehatan masyarakat pembantu,
pusat kesehatan masyarakat keliling dan pusat
kesehatan masyarakat dengan tempat perawatan.
13. Perda Kabupaten Bantul 24 September Pembentukan pusat kesehatan masyarakat di
No.39 Tahun 1997 1997 Kabupaten Dati II Bantul.
14. Perda Kabupaten Bantul 24 September Organisasi dan tata kerja pusat kesehatan masyarakat
No.40 Tahun 1997 1997 di Kabupaten Dati II Bantul.
15. Perda Kabupaten Gunungkidul 19 Desember Pelayanan kesehatan dan perawatan RSU Wonosari.
No.7 Tahun 1992 1992
16. Perda Kabupaten Gunungkidul 19 Desember Pelayanan kesehatan dan perawatan pada pusat
No.8 Tahun 1992 1992 kesehatan masyarakat (Puskesmas) di Kabupaten Dati
II Gunungkidul.
17. Keputusan Bupati Gunungkidul 29 Desember Pembentukan komisi penanggulangan aids Kabupaten
No.213/KPTS/1994 1994 Daerah TK II Gunungkidul.
52
BAGIAN IV: Desentralisasi dan Pendanaan Kesehatan
53
DESENTRALISASI DAN PERKEMBANGAN PERATURAN PERUNDANGAN DI SEKTOR KESEHATAN
1. Perda Kabupaten Kulon Progo 22 Desember Organisasi dan tata kerja Dinkes Kab DATI II Kulon
No.15 Tahun 1995 1995 Progo.
2. Perda Kabupaten Kulon Progo 30 Januari 1996 Tarip dan tata laksana pelayanan kesehatan di
No.1 Tahun 1996 puskesmas dan RSUD bagi peserta PT (Persero)
asuransi kesehatan dan anggota keluarganya.
3. Perda Kabupaten Kulon Progo 23 Juni 1997 Tarip pelayanan kesehatan pada puskesmas dan
No.7 Tahun 1997 puskesmas dengan tempat perawatan.
4. Perda Kabupaten Sleman 24 Agustus Tarip pelayanan medis untuk RS dan Pusat Kesehatan
No.11 Tahun 1976 1976 Masyarakat.
5. Perda Kabupaten Sleman 28 Januari 1978 Perubahan / penyempurnaan Perda DATI I Sleman
No.1 Tahun 1978 No 11/76 tentang tarip pelayanan medis untuk RS
dan Pusat Kesehatan Masyarakat.
6. Perda Kabupaten Sleman 4 Maret 1983 Perubahan untuk kedua kali Perda Kab DATI II
No.5 Tahun 1983 Sleman No 11/76 tentang tarip pelayanan kesehatan
untuk RS dan Pusat Kesehatan Masyarakat.
7. Perda Kabupaten Sleman 29 April 1989 Tarip pelayanan kesehatan dasar pada Puskesmas,
No.3 Tahun 1989 Puskesmas Pembantu, Puskesmas Keliling dan
Puskesmas dengan tempat perawatan.
8. Perda Kabupaten Sleman 29 April 1989 Tarip pelayanan kesehatan pada RSU Sleman.
No.4 Tahun 1989
9. Perda Kabupaten Sleman 16 Maret 1991 Pola tarip paket pelayanan rawat nginap di RSUD dan
No.6 Tahun 1991 Puskesmas dengan tempat perawatan bagi peserta
Perum Husada Bhakti.
10. Perda Kabupaten Sleman 7 September Perubahan pertama Perda DATI II Sleman No 4/89
No.11 Tahun 1993 1993 tentang tarip pelayanan kesehatan pada RSU Sleman.
11. Perda Kabupaten Sleman 20 Maret 1995 Pembentukan dan organisasi Dinkes Kab DATI II
No.21 Tahun 1995 Sleman.
12. Perda Kabupaten Sleman 26 Agustus Pembentukan RSUD Kab DATI II Sleman.
No.9 Tahun 1996 1996
13. Perda Kabupaten Sleman 26 Agustus Organisasi dan tata kerja RSUD Kab DATI II
No.12 Tahun 1996 1996 Sleman.
14. Perda Kabupaten Sleman 3 Oktober 1996 Tarip pelayanan kesehatan pada Puskesmas dan
No.17 Tahun 1996 Puskesmas dengan tempat perawatan.
15. Perda Kabupaten Sleman 2 Oktober 1996 Pengawasan kualitas air.
No.18 Tahun 1996
16. Perda Kabupaten Sleman 21 April 1999 Pembentukan Pusat Kesehatan Masyarakat
No.2 Tahun 1999 (Puskesmas) Kab DATI II Sleman.
17. Perda Kabupaten Sleman 21 April 1999 Organisasi dan tata kerja Pusat Kesehatan Masyrakat
No.3 Tahun 1999 (Puskesmas)
54
BAGIAN IV: Desentralisasi dan Pendanaan Kesehatan
LAMPIRAN IV:
Daftar Kepmenkes sebagai Tindak Lanjut PP No.25 Tahun 1999
55
DESENTRALISASI DAN PERKEMBANGAN PERATURAN PERUNDANGAN DI SEKTOR KESEHATAN
56
BAGIAN IV: Desentralisasi dan Pendanaan Kesehatan
57
DESENTRALISASI DAN PERKEMBANGAN PERATURAN PERUNDANGAN DI SEKTOR KESEHATAN
1. SKB Menkes dan Mendagri 27 Tarip dan tata laksana pelayanan Diperintahkan oleh PP
No 1013/Menkes/SKB/IX/2001, September kesehatan di Puskesmas dan RSD No.25 Tahun 2000, tetapi
No 43/2001 2001 bagi peserta PT (Persero) asuransi melanggar batas waktu yang
kesehatan Indonesia dan anggota ditentukan dalam PP tersebut
keluarganya. (6 November 2000)
2. Kepmenkes 27 Tarip dan tata laksana pelayanan Diperintahkan oleh PP
No 1014/Menkes/SK/2001 September di Rumah sakit vertikal bagi No.25 Tahun 2000, tetapi
2001 peserta PT (PERSERO) asuransi melanggar batas waktu yang
kesehatan Indonesia dan anggota ditentukan dalam PP tersebut
keluarganya. (6 November 2000)
3. Kepmenkes 19 Oktober Pembentukan komite nasional
No 1098/Menkes/SK/X/2001 2001 penanggulangan tuberkulosis di
Indonesia.
4. Kepmenkes 30 Oktober Petunjuk teknis pengangkatan Diperintahkan oleh PP
No 1143/Menkes/SK/X/2001 2001 dokter spesialis sebagai pegawai No.25 Tahun 2000, tetapi
tidak tetap. melanggar batas waktu yang
ditentukan dalam PP tersebut
(6 November 2000)
5. Kepmenkes 5 November Rencana strategis nasional Diperintahkan oleh PP
No 1189/Menkes/SK/XI/2001 2001 penanggulangan tuberkulosis No.25 Tahun 2000, tetapi
tahun 2002-2006. melanggar batas waktu yang
ditentukan dalam PP tersebut
(6 November 2000)
6. Kepmenkes 8 November Perubahan Kepmenkes No
No HK.00.SJ.SK.VIII.1292 2001 HK.00.SJ.SK.VIII.1110 tentang
penunjukan peserta pendidikan
lanjut guru/dosen/instruktur
lapangan asal Depkes untuk
mengikuti karya siswa program
diploma IV (D IV), strata satu
(S1) dan strata dua (S2) dalam
negeri tahun akademik 2001.
58
BAGIAN IV: Desentralisasi dan Pendanaan Kesehatan
59
DESENTRALISASI DAN PERKEMBANGAN PERATURAN PERUNDANGAN DI SEKTOR KESEHATAN
60
BAGIAN IV: Desentralisasi dan Pendanaan Kesehatan
61
DESENTRALISASI DAN PERKEMBANGAN PERATURAN PERUNDANGAN DI SEKTOR KESEHATAN
9. Kepmenkes 1 Agustus Klasifikasi status gizi anak bawah Diperintahkan oleh PP No.
No 920/Menkes/SK/VIII/2002 2002 lima tahun (balita). 25 Tahun 2000, tetapi
melanggar batas waktu yang
ditentukan dalam PP tersebut
(6 November 2000)
62
BAGIAN IV: Desentralisasi dan Pendanaan Kesehatan
1. SKB Menes dan Mendagri 23 Agustus Perubahan atas SKB Menkes dan Diperintahkan oleh PP
No 99A/Menkes/SKB/VIII/2002, 2002 Mendagri No No.25 Tahun 2000, tetapi
No 37A/2002 1013/Menkes/SKB/IX/2001 dan melanggar batas waktu yang
Nomor 43/2001 tentang tarip dan ditentukan dalam PP tersebut
tata laksana palayanan kesehatan (6 November 2000)
di Puskesmas dan RS Dearah nagi
peserta PT (Persero) asuransi
kesehatan Indonesia dan anggota
keluarganya.
2. Kepmenkes 23 Agustus Pedoman pelaksanaan Diperintahkan oleh PP
No 1053/Menkes/SK/VIII/2002 2002 penyelenggaraan tugas belajar No.25 Tahun 2000, tetapi
dalam negeri dan luar negeri di melanggar batas waktu yang
lingkungan Depkes. ditentukan dalam PP tersebut
(6 November 2000)
3. Kepmenkes 12 Petunjuk teknis penyususunan
No 1112/Menkes/SK/IX/2002 September formasi jabatan fungsional
2002 kesehatan.
4. Kepmenkes 20 Penunjukan tenaga kesehatan
No HK.01.SJ.SK.H.1737 September untuk mengikuti tugas balajar
2002 program diploma IV, sarjana (S1)
dan maagister (S2) dalam negeri
tahap pertama yang dibiayai oleh
proyek luar negeri dan dalam
negeri (APBN) tahun 2002.
63
DESENTRALISASI DAN PERKEMBANGAN PERATURAN PERUNDANGAN DI SEKTOR KESEHATAN
64
BAGIAN IV: Desentralisasi dan Pendanaan Kesehatan
65
DESENTRALISASI DAN PERKEMBANGAN PERATURAN PERUNDANGAN DI SEKTOR KESEHATAN
66
BAGIAN IV: Desentralisasi dan Pendanaan Kesehatan
67
DESENTRALISASI DAN PERKEMBANGAN PERATURAN PERUNDANGAN DI SEKTOR KESEHATAN
68