You are on page 1of 5

PENGARUH MODERNISASI PERTANIAN TERHADAP PARTISIPASI

PEREMPUAN DI PEDESAAN: SUATU TINJAUAN SOSIOLOGI

HADRIANA MARHEINI MUNTHE


Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik
Jurusan Sosiologi
Universitas Sumatera Utara

Pendahuluan
TAP MPR No: IV/MPR/1999 tentang GBHN di dalam Bab IV tertera arah
kebijakan pembangunan nasional dalam bidang social dan budaya. Kebijakan dalam
bidang ini meliputi tiga hal yaitu :
1. Kesehatan dan kesejahteraan social
2. Kebudayaan, kesenian dan parawisata
3. Kedudukan dan peranan perempuan.
Sehubungan dengan kebijakan pembangunan dalam aspek social budaya ini
maka yang menjadi persoalan adalah tentang kedudukan dan perempuan pada
pembangunan yang telah berlangsung selama tiga dasawarsa di negara ini. Adapun
lengkapnya kebijakan tersebut berbunyi sebagai berikut :
a. Meningkatkan kedudukan dan peranan perempuan dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara melalui kebijakan nasional yang diemban oleh lembaga yang
mampu memperjuangkan terwujudnya kesetaraan dan keadialan gender.
b. Meningkatkan kualitas peran dan kemandirian organisasi perempuan dengan
tetap mempertahankan nilai persatuan dan kesatuan serta nilai
historisperjuangan kaum perempuan, dalam rangka melanjutkan usaha
pemberdayaan perempuan serta kesejahteraan keluarga dan masyarakat.
Menyimak uraian GBHN ini maka isu wanita masih menjadi sorotan penting
dalam pembangunan. Selain itu timbul pula pemikiran mengapa isu utama wanita
dalam pembangunan masih menjadi pokok persoalan ? Apakah pembangunan
merupakan jalan terbaik untuk meningkatkan status maupun peranan perempuan ?
Mengapa saya pertanyakan, karena kalau saya bisa jujur pembangunan yang selama
tiga dasawarsa dilaksanakan di negara ini telah banyak menimbulkan permasalahaan
baru di kalangan perempuan. Khususnya ini terjadi pada kelompok perempuan tani
di pedesaan. Pembangunan telah banyak merugikan mereka dari sisi kedudukan
(baca : status) maupun peranan (baca : partisipasi).
Beberapa pemerhati masalah perempuan dalam pembangunan telah menilai
bahwa pembangunan yang kita laksanakan selama ini gagal memperhatikan nasib
maupun kepentingan perempuan. Partisipasi perempuan yang secara historis dan
traditional yang telah memainkan peranan penting di sector pertanian pedesaan
telah dihancurkan oleh pembangunan melalui program-program yang disebut dengan
Revolusi hijau (baca : pembangunan pertanian ). Khususnya mengenai Revolusi
hijau beberapa ahli social mengatakan (Ester Boserup, 1975, Irene Tinker, 1975,
Partini dan Dewi, 1993) bahwa revolusi hijau sebagai implementasi dari modernisasi
pertanian telah banyak merusak tatanan masyarakat dipedesaan. Pandangan ini
apabila disikapi dari isu gender bahwa pembangunan pertanian telah menciptakan
perubahan struktur masyarakat. Jika sebelum modeernisasi pertanian diintrodusir ke
tengah masyarakat pedesaan pola hubungan antara pria dan perempuan bersifat
hubungan kesetaraan gender atau keseimbangan gender tetapi setelah modernisasi
diterapkan maka dalam perspektif sosiologis hubungan struktural berubah menjadi
ketimpangan gender. Artinya adanya hubungan dominasi dan subordinasi antara pria
dan perempuan didalam setiap aktivitas kehidupan masyarakat termasuk dalam
aktivitas pertanian.

2002 digitized by USU digital library 1


Tentang perspektif modernisasi yang secara teoritis dan praktis telah banyak
mengilhami para pengambil kebijakan pembangunan. Mereka telah melahirkan
kebijakkan-kebijakkan pembanguna disegala bidang. Oleh karena itulah mereka
pulalah pihak yang harus bertanggungjawab tasa kegagalan pembangunan yang
dilaksanakan di Indonesia. Pelaksanaan pembangunan yang diterapkan secara Top-
down Planning dengan asumsi “Tricle down Effect” yang selama ini dianggap berhasil
menaikkan kesejahteraan masyarakat tani ternyata sebaliknya sangat merugikan
mereka. Dalam hal ini adalah kelompok petani perempuan yang secara mayoritas
mereka umumnya adalah petani kelas bawah atau miskin.
Untuk memahami persolan ini maka ada baiknya kita memahami terlebih
dahulu seperti apakah ide modernisasi yang banyak mewarnai kebijakan
pembangunan nasional di Indonesia yang pada akhirnya menimbulkan persoalan
baru khususnya pada petani perempuan di pedesaan.
Perspektif Modernisasi, Revolusi Hijau dan Perubahan Sosial di Pedesaan
Jawa.
Adapun penganut paradiguna modernisasi berpihak pada pandangan bahwa
perubahan sosial terjadi oleh pengaruh modernisasi yang berkembangan dari barat.
Pemikiran modernisasi selalu didasarkan pada peristiwa penting dalam
perkembangan masyarakat barat yaitu Revolusi Industri di Inggris dan Revolusi
Politik di Perancis. Akibat revolusi ini telah membawa perubahan-perubahan di dunia
baik dibidang ilmu pengetahuan, ekonomi, politik, kebudayaan. Perubahan-
perubahan yang membawa masyarakat pada suatu keadaan yang baru,
mewarnaipemikiran tentang proses modernisasi yang terjadi di dunia Barat.
Suwarsono dan So (1991) menulas berbagai pandangan para ahli mengenai hal ini
dan mengidentifikasi pemikiran mereka yang berkaitan dengan perubahan social.
Teori evolusi dan teori fungsionalisme banyak mempengaruhi pemikiran
tentang modernisasi sebagai faktor yang mewujudkan realitas perubahan. Dari sudut
pandang ini,perkembangan masyarakat terjadi melalui proses peralihan dari
masyarakat tradisional ke masyarakat modern. Teori evolusi memandang perubahab
bergerak secara linear dari masyarakat primitif menuju masyarakat maju. Dan
bergerak perubahan itu mempunyai tujuan akhir. Sedangkan teori fungsionalisme,
memandang masyarakat sebagai sebuah sistem yang selalu berada dalam
keseimbangan dinamis. Perubahan yang terjadi dalam unsur sistem itu akan diikuti
oleh unsur sistem lainnya dan membentuk keseimbangan baru.
Penganut modernisasi klasik memandang perkembangan masyarakat akan
menuju pada suatu tata kehidupan masyarakat modern. Smelser, melihat fungsi
kelembagaan modern lebihkomplks dari pada kelembagaan tradisional. Dalam
perkembangan ekonomi menurut Rostow, masyarakat modern berada dalam tahap
komsumsi tinggi dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, sedangkan masyarakat
tradisional mengalami hanya sedikit perubahan baik dibidang ekonomi maupun social
budaya. Sejalan dengan Smelser, Coleman melihat terjadinya dan tumbuhnya prinsip
kesamaan dan keadilan.
Beberapa ahli meneruskan kajian modernisasi klasik dengan mengamati
perkembangan di tingkat masyarakat. Mc. Cleland, meggunakan pendekatan
psikologi. Bagi dia, kemajuan di bidang ekonomi dipengaruhi tingkat kebutuhan
berprestasi. Masyarakat modern di barat memiliki tingkat kebutuhan berprestasi
yang tinggi. Pendapat Inkeles menyatakan manusia modern tidak memperlihatkan
gejala ketegangan atau penyakit psikologis akibat modernisasi, bahkan menunjukkan
pola yang stabil. Selanjutnya ahli sosiologi Max Weber juga ikut memperkaya kajian
modernisasi melalui studinya tentang pengaruh ajaran agama terhadap kemajuan
ekonomi. Bagi Weber nilai agama (etika) Protestan di barat telah menumbuhkan
dorongan pada manusia untuk bekerja keras sebagai suatu tugas suci untuk
mencapai kesejahteraan hidup, Kajian Weber kemudian dikembangkan oleh Bellah

2002 digitized by USU digital library 2


pada masyarakat Jepang. Etika Samurai yang tercermin dalam nilai-nilai agama
Tokugawa resisten dalam perkembangan ekonomi industri modern di Jepang.
Perubahan social dalam pandangan modernisasi klasik, menitikberatkan
kemajuan masyarakat modern terbentuk melalui suatu proses yang sama.
Pandangan ini ditinjau kembali oleh para penganut modernisasi aliran baru. Wong,
misalnya menyatakan, kemajuan ekonomi di Hongkong digerakkan oleh perusahaan-
perusahaan yang memiliki sistem organisasi tradisional yang bersifat nepotis,
paternalistic dan kekeluargaan. Kasus Indonesia yang diamati Dove, memperlihatkan
bahwa budaya local mengalami perubahan yang dinamis dalam dirinya. Sedangkan,
Davis menilai ekonomi kapitalisme di Jepang tumbuh oleh terbentuknya rasionalisasi
agama dan moral dalam lingkar barikade budaya. Dari sudut pandang politik,
Huntington menyatakan budaya atau agama mempunyai korelasi yang tinggi dengan
demokrasi.
Aliran baru teori modernisasi tersebut mengandung pemikiran bahwa nilai
tradisional dapat berubah oleh karena dalam dirinya mengalami proses perubahan
yang digerakkan oleh perkembangan berbagai factor kondisi setempat misalnya,
factor pertumbuhan penduduk, teknik, apresiasi nilai budaya.
Secara keseluruhan perspektif modernisasi pada tahun 1960-an telah
diterapkan sebagai model pembangunan pada masyarakat negara dunia ke III
termasuk di antaranya Indonesia. Khusus untuk Indonesia, Tjondronegoro mengulas
revolusi hijau sebagai suatu program pembangunan pertanian yang diilhami oleh
teori modernisasi. Ia membahas tema revolusi hijau sebagai satu strategi untuk
menimbulkan perubahan social dipedesaan Jawa. Menurutnya, revolusi hijau
sebernarnya suatu program intensifikasi tanaman pangan yang membawa ide
modernisasi. Perubahan-perubahan tersebut dapat dilihat dalam beberapa hal,
antara lain dalam hal pengelolaan tanah, penggunaan bibit unggul, penggunaan
pupuk, penggunaan sarana-saranaproduksi dan pengaturan waktu panen. Disamping
penerapan teknologi, ide modernisasi juga terlihat dalam hal mengatur kelembagaan
produksi. Seiring dengan pengenalan terhadap pola yang baru dilakukan pula
pembenahan terhadap kelembagaan-kelembagaan yang berkaitan dengan
pertanian, seperti : kelompok tani, KUD, PPI, Bank Perkreditan, P3 A dan
sebagainya. Selanjutnya muncul pula pola pengembangan revolusi hijau dalam
bentuk, usaha Ekstensifikasi, Intensifikasi dan Diversifikasi.

Dampak Negatif dari Revolusi Hijau Terhadap Partisipasi Perempuan Desa di


Sektor Pertanian.
Meskipun tak dapat dipungkiri bahwa revolusi hijau telah mendatangkan
kemajuan yaitu tercapainya produksi pertanian yang mencapai puncaknya yaitu
swasembada pangan. Namun dibalik kesuksesan ini semua harus dibayar dengan
penderitaan para petani yang sangat diuntungkan oleh pembangunan ini selebihnya
banyak petani miskin yang tersingkir karena tidak siap menerima perubahan yang
ditimbulkan oleh modernisasi.
Adapun modernisasi di bidang pertanian dengan revolusi hijaunya telah
menyebabkan beberapa masalah di dunia ketiga, khususnya Indonesia seperti : 1.
Peningkatan jumlah pengangguran. 2. Merosotnya nilai-nilai tradisional dan bentuk
ikatan lainnya. 3. Norma-norma saling membutuhkan dan ketergantungan yang
hidup dipedesaan mulai menghilang. 4. Terjadinya polarisasi sosial dan 5.
Terjadinya penurunan status wanita di pedesaan.
Beberapa sosiologi maupun antropologi yang sekaligus sebagai pengamat
pembangunan seperti Margaret Mead, Rae Lesser Blumberg, Fatima Mernissi dan
Tinker menyepakati adanya hubungan negatif antara pembangunan sosio-ekonomi
suatu negara atau modenisasi dengan pembangunan ekonomi, social dan berbagai
perempuannya. Margaret Mead, misalnya, menegaskan dalam suatu penelitiannya

2002 digitized by USU digital library 3


disuatu negara berkembang bahwa perempuan tidak diberi kesempatan terhadap
akses teknik-teknik pertanian modern, sebagian karenan adanya nilai bahwa
perempuan tidak dapat menangani mesin-mesin (T.O. Ihromi, 1995).
Lebih jauh lagi Irene Tinker menyakinkan kepada kita bahwa status dan
peranan perempuan dinegara berkembangan pada awalnya cukup tinggi dan dihargai
oleh masyarakat. Artinya wanita memiliki partisipasi nyang setara dengan pria dalam
kegiatan ekonomi. Tetapi ketika “ Western model middel-class bias “ dan
pembangunan yang “ sex male-bias “ ini telah merasuki pemikiran perencana
pembangunan, mereka telah mengabaikan arti penting dari peran wanita yang
secara tradisional telah dimainkan perempuan di masyarakat dengan sisitem
ekonomi dan pertanian yang subsisten.
Dampak buruk lainnya dari pembangunan yang mengikuti model-model barat
yang telah merugikan perempuan, yaitu mekanisasi dibidang pertanian (dalam arti
luas) yang telah menghapuskan peran ekonomi perempuan yang secara tradisional
menjadi bidangnya. Kondisi seperti ini telah memperlihatkan bagaimana perempuan-
perempuan yang terdesak dari sektor pertanian sebagai konsekuensi dari
pembangunan terdampar ke kota dengan keterampilan yang minim, menembah
barisan/orang miskin kota, sebagai buruh-buruh murah, pelacur. Inilah yang dikenal
dengan konsep “ pemiskinan perempuan “. Perempuan tani pedesaan merupakan
kelompok orang yang tak berupaya yang tercampal dari proses pembangunan.
Kenyataan yang senada juga dikemukakan oleh Mansour Fakih (1999) bahwa
pembangunan di Jawa telah menimbulkan marginalisasi perempuan atau telah
memiskinkan kaum perempuan. Misalnya saja program Revolusi Hijau di Jawa yang
memperkenalkan jenis padi unggul yang tumbuh lebih rendah, dan pendekatan
panen dengan sistemtebang dengan menggunakansabit, tidak memungkinkan lagi
penggunaan ani-ani, masuknya huller juga menggeser peran tradisional perempuan
sebagai pemunbuk padi. Akibatnya banyak kaum perempuan miskin di desa menjadi
termarjinalisasi, partisipasi tradisional mereka sebagai pekerja di sawah menjadi
tersingkir. Ini berarti bahwa program revolusi hijau itu dirancang tanpa
memperhitungkan apek gender perempuan.
Sesuai dengan kenyataan ini maka telaah kepada kita bahwa modernisasi
sebagai perspektif pembangunan di Indonesia telah membawa akibat yang fatal
terhadap perempuanyang bekerja di sector pertanian. Konsekuensi kebijakan
pembangunan yang direncanakan tanpa mempertimbangkan aspek gender,
khususnya gender perempuan telah menciptakan beberapa hal yaitu : 1. Gagal
memperhatikan peran produktif perempuan yang telah dimainkannya yaitu
perempuan partisipasinya sudah tinggi dalam aktivitas ekonomi kemasyarakatannya
berubah menjadi lemah bahkan sama sekali ditiadakan. 2. Mengukuhkan nilai-nilai
dari suatu masyarakat dimana aktivitas perempuan dibatasi di sekitar tugas-tugas
rutin rumahtangga, disekitar mengurus anak dan 3. Perspektif modernisasi sebagai
strategi pembangunan di negara berkembang menciptakan bias nilai mengenai
pekerjaan apa yang paling cocok untuk perempuan modern di masyarakat sedang
berkembang.
Akhirnya kita dapat menarik beberapa garis dari dampak modernisasi
pertanian terhadap partisipasui pembangunan perempuan dipedesaan sebagai
berikut :
1. Perempuan hanya sebagai korban semata dari pembangunan; dengan
demikian perempuan tidak akan pernah menjadi subjek (penikmat) dari
pembangunan.
2. Cita-cita pembangunan nasional yang ingin menaikkan peranan dan
kedudukkan wanita dalam kehidupan bangsa dan juga keinginan negara
untuk meningkatkan kualitas peran dan kemandirian organisasi perempuan
hanya menjadi harapan semata. Harapan ini hanya tingal harapan apabila

2002 digitized by USU digital library 4


model pembangunan yang selama ini diterapkan tidak dapat
mengintegrasikan wanita dalam pembangunan . Pembangunan yang tadinya
bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat khususnya perempuan
sebaliknya hanyalah memperlemah statusnya yaitu wanita menjadi model
pembangunan yang tidak mengindahkan nilai-nilai etis tentang perempuan.
3. Sudah waktunya kita meninggalkan pembangunan yang dalam realita tidak
bersikap ramah kepada perempuan. Perspektif modernisasi sebagai model
pembangunan import ala Barat secara structural dan cultural banyak tidak
cocok diterapakan pada perempuan pedesaan yang bekerja sebagai petani.
Oleh karena itu pembangunan ini harus ditinjau kembali. Kita harus mencari
model pembangunan yang berlandaskan pada nilai-nilai kemanusiaan yang
luhur. Sepatutnyalah kita gali model pembangunan yang peka atau sensitive
terhadap gender perempuan.
Sebagai saran yang penting untuk diperhatikan para perumus kebijakan
pembangunan bahwa sudah saatnya kita menentukan model pembangunan yang
murni dari kesadaran, kepentingan keinginan dan kebutuhan dari masyarakat. Salah
satu bentuk pembangunan yang dapat diperhitungkan adalah pendekatan
partisipatoris baru. Dibawah label “ community based resource management “
(Korten, 1988) atau dengan sebutan lain pendekatan pembangunan sumberdaya
berwawasan komunitas. Pendekatan ini tidak lain merupakan pengembangan dari
pendekatan “ community development “. Pendekatan pengelolaan sumberdaya
berwawasan komunitas ini merupakan suatu elemen dasar dari suatu strategi
pembangunan lebih luas yang bertujuan untuk mencapai suatu transformasi
kemasyarakatan berlandaskan nilai-nilai yang berpusat pada manusia (people
centered development values) dan potensi-potensi yang ditawarkan oleh teknologi-
teknologi maju berlandaskan informasi (information-based technologies).
Pendekatan pengelolaan sumber daya berwawasan komunitas merupakan landasan
berpijaknya, bukan birokrasi dan program-program serta proyek-proyek yang
dirancang dan dikelola secara terpusat. Dengan pengertian lain pendekatan
pembangunan yang berwawasan komunitas sebagai alternatif pembangunan pada
masyarakat pertanian pedesaan merupakan pembangunan yang dirancang dan
dikelola secara oleh masyarakat itu sendiri seperti apa yang menjadi kebutuhan-
kebutuhannya, kemampuan-kemampuannya, dan lebihd ari pada itu penguasaan
atas sumber daya dan nasibnya sendiri. Model pembangunan seperti ini sangat
mendukung terjaganya partisipasi atau peran alami perempuan pedesaan yang hidup
dari sektor pertanian tradisional. Pembangunan yang positif pada perempuan adalah
pembangunan yang dapat mengintegrasikan wanita pada setiap iramanya bukannya
mencampakkan mereka dari proses pembangunan. Mudah-mudahan cita-cita luhur
kebijakan pembangunan yang memperhatikan perempuan sebagaimana yang tertera
di GBHN akan menjadi kenyataan apabila pembangunan yang sedemikian dapat
diterapkan.

2002 digitized by USU digital library 5

You might also like