You are on page 1of 7

Tafsir tematik ayat-ayat haji

Surat Al baqarah 127

Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama


Ismail (seraya berdoa):` Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami),
sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui `.(QS. 2:127)

Pada ayat ini Allah swt. mengingatkan kepada orang-orang Arab bahwa yang
membangun Baitullah itu adalah nenek moyang mereka yang bernama Ibrahim dan
putranya Ismail, kedua beliau itu adalah cikal bakal orang-orang Arab dan Israil. Seluruh
orang-orang Arab mengikuti agamanya, yaitu millatu Ibrahim.

Dari ayat tersebut di atas dapat dipahami bahwa yang membangun Raitullah itu ialah
Nabi Ibrahim dan putranya Ismail. Tujuan mendirikan Baitullah itu adalah untuk
beribadat kepada Allah swt. bukan untuk yang lain, sebagai peringatan bagi dirinya yang
akan diingat-ingat oleh anak cucunya di kemudian hari. Bahan-bahan untuk membangun
Kakbah itu adalah benda-benda biasa sama dengan benda-benda yang lain, dan benda
yang sengaja diturunkan Allah dari langit. Semua riwayat yang menerangkan Kakbah
secara berlebih-lebihan adalah riwayat yang tidak benar, diduga berasal dan Israiliyat
Mengenai Hajarul Aswad Umar bin Khattab r.a. berkata di waktu beliau telah
menciumnya:

‫ إني أعلم أنك حجر لتضر ول تنفع ولو ل أني رأيييت‬:‫عن عمر رضي ال عنه أنه قبل الحجر السود وقال‬
‫رسول ال صلى ال صلى ال عليه وسلم يقبلك ما قبلتك‬

Artinya:

Dari Umar semoga Allah meridainya, bahwa ia telah mencium Hajarul Aswad
dan berkata, "Sesungguhnya aku telah mengetahui bahwa engkau batu yang
tidak dapat memberi mudarat dan tidak pula memberi manfaat. Kalau aku tidak
melihat Rasulullah saw. mencium engkau, tentu aku tidak akan mencium
engkau." (HR Bukhari dan Muslim)

Menurut riwayat Ad-Daruqutni, Rasulullah saw. pernah menyatakan sebelum mencium


Hajarul Aswad bahwa itu adalah batu biasa. Demikian pula halnya Abu Bakar r.a., dan
sahabat-sahabat yang lain.

Dari riwayat-riwayat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa "Hajarul Aswad" itu adalah
batu biasa saja. Perintah menciumnya itu berhubungan dengan ibadah, seperti perintah
salat menghadap ke Kakbah, perintah melempar jumrah di waktu melaksanakan ibadah
haji dan sebagainya. Semuanya ini dilaksanakan semata-mata melaksanakan perintah dari
Allah swt. Maha Pencipta, Maha Penguasa lagi terus-menerus menjaga makhluk-Nya.
Setelah selesai Ibrahim dan Ismail meletakkan fondamen Kakbah, lalu berdoa:

"Terimalah daripada kami....", (maksudnya ialah) terimalah amal kami sebagai amal yang
saleh, ridailah dan berilah pahala...."

"Allah Maha Mendengar" (ialah) Allah Maha Mendengar doa kami dan "Allah Maha
Mengetahui" (ialah) Allah Maha Mengetahui niat-niat dan maksud kami membangun dan
mendirikan Kakbah ini.

Dari ayat di atas dapat diambil hukum bahwa sunat hukumnya berdoa dan menyerahkan
semua amal kita kepada Allah swt. apabila telah selesai mengerjakannya. Dengan
penyerahan itu berarti bahwa tugas seseorang hamba ialah mengerjakan amal-amal yang
saleh karena Allah, dan Allahlah yang berhak menilai amal itu dan memberinya pahala
sesuai dengan penilaian itu.

Dari ayat di atas juga dapat dipahami bahwa Ibrahim a.s. dan putranya Ismail a.s. berdoa
kepada Allah swt. setelah selesai mengerjakan amal yang saleh dengan niat dan maksud
bahwa perbuatan itu semata-mata dilakukan dan dikerjakan karena Allah. Karena sifat
dan bentuk perbuatan yang dikerjakannya itu diyakini sesuai dengan perintah Allah,
maka ayah dan anak itu yakin pula bahwa amalnya itu pasti diterima Allah swt. Hal ini
berarti bahwa segala macam doa yang dipanjatkan kepada Allah swt. yang sifat, bentuk
dan tujuannya sama dengan yang dilakukan oleh Ibrahim a.s. dengan putranya, pasti
diterima Allah pula dan pasti diberinya pahala yang baik dari sisi-Nya. (tapsir depag RI,
http://rumahislam.com/tafsir-depag-ri/157-qs-002-al-baqarah/1063-tafsir-depag-ri--qs-
002-al-baqarah-127-129.html)

Surat al-baqarah ayat 157

Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari syiar Allah. Maka barangsiapa
yang beribadah haji ke Baitullah atau ber-umrah, maka tidak ada dosa baginya
mengerjakan sai antara keduanya. Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan
dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha
Mengetahui.(QS. 2:158)

Pada ayat ini dikuatkan lagi kabar gembira itu dengan menjelaskan bahwa Safa dan
Marwah adalah salah satu syiar agama dan barang siapa ingin mengerjakan ibadat haji,
haruslah ia melakukan sai antara Safa dan Marwah itu.

Dengan demikian nyatalah bahwa kaum muslimin pasti akan berhasil menaklukkan kota
Mekah karena ia adalah tempat melakukan ibadah haji yang menjadi rukun kelima dalam
Islam yang harus dikerjakan oleh setiap muslim yang mampu menunaikannya. Karena itu
Masjidil Haram dan sekelilingnya harus dibersihkan dari berhala dan kemusyrikan.
Menurut riwayat Bukhari, Asim bin Sulaiman bertanya kepada Anas tentang Safa dan
Marwah. Anas bercerita: "Kami mengetahui bahwa Safa dan Marwah itu adalah tempat
beribadat di masa Jahiliah karena di sana terdapat dua berhala yang bernama Usaf dan
Nailah. Orang-orang pada masa jahiliah mengusap kedua berhala itu dengan tangannya.
Setelah datang Islam, kami tidak mau lagi mengerjakan itu di sana karena kami
menganggapnya sebagai perbuatan jahiliah. Maka turunlah ayat ini."

Safa dan Marwah adalah dua tempat yang telah ditetapkan Allah menjadi syiar agama
Islam dan barang siapa yang hendak mengerjakan ibadah haji atau umrah haruslah ia
melakukan sai antara kedua tempat itu.

Meskipun ada perbedaan pendapat antara imam-imam mazhab mengenai hukum sai ini;
ada yang menganggapnya sebagai rukun haji seperti Imam Malik dan Imam Syafii dan
ada pula yang menganggapnya sebagai wajib haji seperti Imam Abu Hanifah namun
sudah terang bahwa sai itu harus dikerjakan dalam menunaikan ibadah haji. Secara
umum, tidak ada perbedaan antara rukun dan wajib.

Tetapi khusus dalam masalah haji dibedakan antara keduanya. Rukun ialah yang harus
dikerjakan atau tidak dapat diganti atau ditebus. Wajib ialah yang musti dikerjakan tapi
jika ditinggalkan harus diganti dengan membayar denda (dam). Yang menjadi pertanyaan
di sini ialah mengapa dalam ayat ini disebutkan "tidak ada dosa baginya mengerjakan sai
antara keduanya" padahal sai itu adalah suatu rukun atau wajib, dan tidak mungkin
seseorang yang menunaikan rukun atau wajib akan berdosa.

Hal ini untuk menghilangkan keragu-raguan kaum muslimin tentang mengerjakan Sai ini
karena kaum musyrikin juga mengerjakan sai dalam ibadah mereka, seakan-akan apa
yang dikerjakan kaum musyrikin itu tidak boleh dilakukan oleh kaum muslimin dan
mereka akan berdosa bila mengerjakannya. Jadi harus dipahami betul bahwa maksud
mengerjakan sai kaum musyrikin amat jauh berbeda dari maksudnya pada kaum
muslimin. Mengerjakan sai itu adalah keimanan dan mempercayai Rasulullah serta
mematuhi perintahnya.

Kemudian Allah menjelaskan bahwa barangsiapa yang membuat kebajikan atau amal
ibadat lebih daripada yang diwajibkan kepadanya (mengerjakan yang sunat-sunat), Allah
akan mensyukuri amal kebaikan itu dan Allah Maha Mengetahui semua amalan hamba-
Nya. Maka janganlah kita ragu-ragu berbuat kebajikan karena semua amal itu akan
dibalas dengan berlipat ganda oleh Allah yang sangat menghargai perbuatan hamba-Nya.

(tafsir depag RI, http://rumahislam.com/tafsir-depag-ri/157-qs-002-al-baqarah/962-tafsir-


depag-ri--qs-002-al-baqarah-158.html)

surat alabaqarah 189

Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah:` Bulan sabit itu adalah
tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; Dan bukanlah kebaktian
memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebaktian itu ialah kebaktian
orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan
bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.(QS. 2:189)

Tentang sebab turun ayat ini banyak riwayat-riwayat yang dikemukakan, antara lain:
(a).Menurut riwayat Ibnu Abu Hatim, para sahabat bertanya kepada Rasulullah tentang
bulan sabit, maka turunlah ayat ini. Dan menurut riwayat dari Ibnu Abu Hatim juga,
bentuk pertanyaan itu ialah: Untuk apa bulan itu diciptakan dengan bentuk yang
demikian? Maka turunlah ayat ini.
(b).Menurut riwayat Abu Nuaim dan Ibnu Asakir, bahwa Muaz bin Jabal, dan Tsa`labah
bin Ganimah bertanya, "Ya Rasulullah, apa sebab bulan itu kelihatan mula-mula halus
seperti benang kemudian bertambah besar lagi, sampai rata dan bundar, kemudian terus
berkurang dan mengecil kembali seperti semula, dan tidak dalam satu bentuk yang
tetap?" Maka turunlah ayat ini.
Menurut riwayat pertama, maka yang ditanya ialah hubungan atau hikmahnya, Allah
menjawab bahwa hikmahnya ialah untuk perhitungan waktu umat manusia. Dengan
demikian jawaban itu sesuai dengan pertanyaan. Menurut riwayat yang kedua, bahwa
yang ditanya sebab hakiki yaitu mengapa bulan itu mula-mula kecil, kemudian membesar
sampai bundar, kemudian mengecil kembali sampai kepada keadaan semula? Dengan
demikian jawaban tidak sesuai dengan pertanyaan karena yang dijawab ialah tentang
gunanya atau hikmahnya, sedang yang ditanyakan ialah hakekatnya.
Menurut riwayat kedua itu para ulama berpendapat, bahwa Allah memberikan jawaban
yang lebih pantas bagi mereka untuk mengetahuinya pada waktu itu, yaitu tentang guna
atau hikmahnya, bukan sebab hakikinya tentang keadaan bulan secara ilmiah. Lagi pula
fungsi seorang nabi atau rasul bukanlah menjelaskan ilmu-ilmu bintang, matematika dan
sebagainya. Tetapi untuk membentuk manusia-manusia mukmin yang berakhlak tinggi
menempuh hidup sebagai hamba Allah untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan
akhirat.
Ini bukan berarti bahwa ajaran Alquran yang dibawa oleh Muhammad saw. mengabaikan
kepentingan dan perkembangan ilmu, malah bukan sedikit ayat Alquran dan Hadis yang
menyuruh untuk memperkembangkan ilmu pengetahuan duniawi sebanyak mungkin,
tetapi tidak memberikan perincian, hanya memberikan petunjuk mencari dan membahas
sesuai dengan kemampuan, keadaan dan perkembangan zaman, sebagai umat yang
diamanatkan Allah menjadi khalifah di bumi ini.
Pada ayat ini Allah mengajar Nabi Muhammad saw. menjawab pertanyaan sahabatnya
tentang guna dan hikmah "bulan" bagi umat manusia, yaitu untuk keperluan perhitungan
waktu dalam melaksanakan urusan ibadah mereka seperti salat, puasa, haji dan
sebagainya dan juga urusan dunia yang diperlukan. Allah menerangkan perhitungan
waktu itu dengan perhitungan bulan Qamariah, karena lebih mudah dari perhitungan
menurut peredaran matahari (Syamsiah) dan lebih sesuai dengan tingkat pengetahuan
bangsa Arab pada zaman itu.
Para ulama tafsir menjelaskan bahwa banyak dari golongan kaum Ansar apabila mereka
telah mengerjakan ihram haji, maka mereka tidak mau lagi memasuki rumah dari
pintunya yang biasa tetapi memasukinya dari belakang. Dalam ayat ini Allah
menerangkan bahwa kebaktian atau kebajikan itu bukanlah menuruti perasaan dan tradisi
yang berbau khurafat, seperti memasuki rumah dari belakang tetapi kebaktian atau
kebajikan itu ialah bertakwa kepada Allah swt. Dan ditetapkan kepada mereka agar
memasuki rumah dari pintunya.
(Tafsir depag, http://rumahislam.com/tafsir-depag-ri/157-qs-002-al-baqarah/754-tafsir-
depag-ri--qs-002-al-baqarah-189.html)

al baqarah 197

Waktu untuk mengerjakan haji itu sudah ada ketetapannya yaitu di dalam bulan-bulan
yang sudah ditentukan dan tidak dibolehkan pada bulan-bulan yang lainnya.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan sudah berlaku di dalam mazhab Abu Hanifah, Syafii
dan Imam Ahmad, bahwa waktu mengerjakan haji itu ialah pada bulan Syawal,
Zulkaidah sampai dengan terbit fajar pada malam 10 Zulhijjah. Ketentuan-ketentuan
waktu haji ini telah berlaku dari sejak Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail dan setelah agama
Islam datang ketentuan-ketentuan itu tidak dirubah, malahan diteruskan sebagaimana
yang berlaku itu. Orang-orang yang sedang mengerjakan haji dilarang bersetubuh,
mengucapkan kata-kata keji, melanggar larangan-larangan agama, berolok-olok dan
bermegah-megah, bertengkar dan bermusuhan.
Semua perhatian ditujukan untuk berbuat kebaikan semata-mata. Hati dan pikiran hanya
tercurah kepada ibadah mencari keridaan Allah dan selalu mengingat-Nya. Apa saja
kebaikan yang dikerjakan seorang muslim yang telah mengerjakan haji, pasti Allah akan
mengetahui dan mencatatnya dan akan dibalas-Nya dengan pahala yang berlipat ganda.
Supaya ibadah haji dapat terlaksana dengan baik dan sempurna maka setiap orang
hendaklah membawa bekal yang cukup, lebih-lebih bekal makanan, minuman, pakatan
dan lain-lain. Yaitu bekal selama perjalanan dan mengerjakan haji di tanah suci dan bekal
untuk kembali sampai di tempat masing-masing. Diriwayatkan oleh Bukhari, Abu Daud
dan Nasai dan lain-lainnya dari Ibnu Abbas, dia mengatakan, "Ada di antara penduduk
Yaman, bila mereka pergi naik haji tidak membawa bekal yang cukup, mereka cukup
bertawakal saja kepada Allah. Setelah mereka sampai di tanah suci, mereka akhirnya
mengemis-ngemis karena kehabisan bekal." Maka bekal yang paling baik ialah bertakwa,
yaitu memelihara diri jangan sampai mengemis-ngemis, hidup terlunta-lunta tidak
bermalu, akhirnya ibadah haji dikerjakan tidak sempurnia dan tidak dengan hati yang
tulus ikhlas.
Allah mengingatkan, supaya ibadah haji itu dikerjakan dengan penuh takwa kepada Allah
dengan mengerjakan segala yang diperintahkan-Nya dan meninggalkan segala yang
dilarang-Nya. Dengan begitu akan dapat dicapai kebahagiaan dan keberuntungan yang
penuh dengan rida dan rahmat Ilahi.( http://rumahislam.com/tafsir-depag-ri/157-qs-002-
al-baqarah/722-tafsir-depag-ri--qs-002-al-baqarah-197.html)

Al baqarah ayat 200

Allah memerintahkan, kalau sudah menyelesaikan ibadah haji supaya berzikir menyebut
nama Allah. Biasanya orang-orang Arab pada zaman jahiliyah, kalau sudah selesai
mengerjakan haji, mereka berkumpul di Mina, antara mesjid dan bukit, sambil berdiri
mereka bermegah-megah dan bersifat sombong menyebut dan membanggakan kebesaran
nenek moyang mereka masing-masing. Bahkan kadang-kadang sambil menari dan
bernyanyi-nyanyi dicampur dengan gelak ketawa mereka membanggakan nenek-moyang
mereka masing-masing, tidak mau kalah dengan yang lain. Maka turunlah ayat ini untuk
mengingatkan mereka, bahwa apa yang mereka perbuat itu, sesudah menyelesaikan
ibadah haji tidaklah baik, malahan merupakan kebiasaan yang buruk.
Yang baik ialah, sesudah menyelesaikan ibadah haji, perbanyakan menyebut nama Allah
sebagaimana mereka dulunya menyebut nama nenek-moyang mereka, atau diusahakan
lebih banyak lagi menyebut nama Allah.
Di dalam khutbah, Nabi Muhammad saw. pada waktu mengerjakan haji wadak pada hari
yang kedua dari hari-hari tasyrik, Nabi memberikan peringatan keras supaya sama-sama
meninggalkan cara-cara lama itu, yaitu bermegah-megah menyebut kelebihan nenek-
moyang mereka masing-masing. Antara lain, Rasulullah mengatakan: "Wahai manusia,
ketahuilah, bahwa Tuhanmu adalah satu dan nenekmu adalah satu (Adam). Ketahuilah,
bahwa tidak ada kelebihan bagi orang Arab atas orang yang bukan Arab, begitu juga
tidak ada kelebihan bagi orang yang bukan Arab atas orang Arab. Tidak ada kelebihan
orang berkulit merah atas yang berkulit hitam dan orang yang berkulit hitam atas yang
berkulit merah. Kelebihan mereka di sisi Allah hanyalah diukur dengan takwanya kepada
Allah." Kemudian Rasulullah menanyakan kepada mereka: "Sudahkah aku sampaikan
peringatan ini?" Lalu hadirin menjawab: "Benar, Rasulullah sudah menyampaikan."
Kemudian Allah membagi tingkat-tingkat manusia yang mengerjakan ibadah haji, yaitu
ada orang yang hanya mendapat keuntungan dunia saja, dan tidak mendapatkan
keuntungan di akhirat; yaitu orang-orang yang perhatiannya hanya tertuju untuk mencari
keuntungan dunia saja, baik di dalam doanya atau di dalam zikirnya. Di dalam berdoa dia
hanya meminta kemegahan, kemuliaan, kemenangan dan harta benda saja.
Perhitungannya hanya laba rugi duniawi saja. Orang-orang yang seperti ini adalah
disebabkan karena belum sampai pengetahuannya perihal rahasia dan hakikat haji yang
sebenarnya, hatinya belum mendapat pancaran sinar hidayat dari Allah. Baginya
keuntungan di dunia lebih utama daripada keuntungan di akhirat. ( tafsir depag :
http://rumahislam.com/tafsir-depag-ri/157-qs-002-al-baqarah/719-tafsir-depag-ri--qs-
002-al-baqarah-200.html )

Surat al imron ayat 97

Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim;


barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan
haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup
mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban
haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari
semesta alam.(QS. 3:97)

Suatu bukti lagi bahwa Nabi Ibrahim lah yang mendirikan Kakbah, adanya makam
Ibrahim di samping Baitullah, yaitu sebuah batu yang dipergunakan sebagai tempat
berdiri oleh Nabi Ibrahim as. ketika mendirikan Kakbah bersama-sama dengan putranya
Ismail as. Bekas telapak kakinya itu tetap ada dan dapat disaksikan oleh siapa yang ingin
melihatnya sampai sekarang.
Dan barang siapa masuk ke tanah Mekah (daerah haram) terjamin keamanan dirinya dari
bahaya musuh dan keamanan itu tidak bagi manusia saja, tetapi sampai pula kepada
binatang-binatangnya, tidak boleh diganggu dan pohon-pohonnya tidak boleh ditebang.

Setelah Nabi Ibrahim as. mendirikan Kakbah lalu beliau disuruh oleh Allah menyeru
seluruh umat manusia agar mereka berziarah ke Baitullah untuk menunaikan ibadah haji.
Ibadah haji ini dianjurkan oleh Nabi Ibrahim as, dan tetap dilaksanakan umat Islam
sampai sekarang sebagai rukun Islam yang kelima. Setiap orang Islam yang mampu
diwajibkan. menunaikan ibadah haji sekurang-kurangnya sekali seumur hidup.

Barang siapa yang mengingkari kewajiban ibadah haji ini, maka ia termasuk golongan
orang-orang kafir.

(tafsir depag RI , http://rumahislam.com/tafsir-depag-ri/158-qs-003-al-imran/1023-tafsir-


depag-ri-qs-003-al-imran-097.html)

You might also like