You are on page 1of 124

HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

OLEH:
CELINA TRI SIWI KRISTIYANTI, S.H., M.Hum.

DOSEN: H. ZULKARNAIN IBRAHIM, S.H., M.Hum.

OLEH:
YOPI PEBRI (hlm 1-32)
02091401012
FARID AKBAR (hlm 33-68)
02091401089
INDAH PERMATA (hlm 69-100)
02091401043
FIRANDHIKA (hlm 101-134)
02091401073
BUNGA SUKMAWATI (hlm 135-170)
02091401049
LANIARI RIZKI (hlm 171-202)
02091401193

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SRIWIJAYA


KAMPUS PALEMBANG
TAHUN AJARAN 2010/2011
BAB 1
LATAR BELAKANG HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

A.PENGANTAR
Hukum perlindungan konsumen dewasa ini mendapat cukup perhatian karena
menyangkut aturan-aturan guna mensejahterakan masyarakat, bukan saja masyarakat
selaku konsumen saja yang mendapat perlindungan, namun pelaku usaha juga
mempunyai hak yang sama untuk mendapat perlindungan, masing-masing ada hak
dan kewajiban. Pemerintah berperan mengatur, mengawasi dan mengontrol, sehingga
tercipta sistem yang kondusif saling berkaitan satu dengn yang lain dengan demikian
tujuan menyejahterakan masyarakat secara luas dapat tercapai.
Perhatian terhada perlindungan konsumen, terutama di amerika serikat (1960-
1970-an) mengalami perkembangan yang sangat signifikan dan menjadi objek kajian
bidang ekonomi, sosial, politik, dan hukum. Banyak sekali artikel dan buku yang
ditulis berkenaan dengan gerakan ini. Di Amerika Serikat bahkan pada era tahun-
tahun tersebut berhasil diundangkan banyak peraturan dan dijatuhkan putusan-putusan
hakim yang memperkuat kedudukan konsumen.
Fokus gerakan perlindungan konsumen (konsumerisme) dewasa ini sebenar nya
masih paralel dengan gerakan pertengahan abad ke-20. Di indonesia, gerakan
perlindungan konsumen menggema dari gerakan serupa di Amerika Serikat. YLKI
yang secara populer di pandang sebagai perintis advokasi konsumen di indonesia
berdiri pada kurun waktu itu, yakni 11 mei 1973. Gerakan di indonesia ini termasuk
cukup responsif terhadap keadaan, bahkan mendahului Resolusi Dewan Ekonomi dan
Sosial PBB (ECOSOC) No. 2111 Tahun 1978 tentang Perlindungan Konsumen.
Sekali pun demikian, tidak berarti sebelum ada YLKI perhatian terhadap
konsumen di Indonesia sama sekali terabaikan. Beberapa produk hukum yang ada,
bahkan yang diberlakukan sejak zaman kolonial menyinggung sendi-sendi penting
perlindungan konsumen. Dilihat dari kuantitas dan materi muatan produk huum itu
dibanding kan dengan keadaan di negara-negara maju (terutama Amerika Serikat),
kondisi di indonesia masih jauh menggembirakan. Walaupun begitu, keberadaan
peraturan hukum bukan satu-satunya ukuran untuk menilai keberhasilan gerakan
perlindungan konsumen. Gerakan ini seharusnya bersifat massal dan membutuhkan
kemauan politik yang besar untuk mengapliksikannya.
Secara umum,sejarah gerakan perlindungan konsumen dapat dibagi dalam empt
tahapan.
1. Tahapan I(1881-1914)
Kurun waktu ini titik awal munculnya kesadaran masrayakat untuk melakukan
gerakan perlindungan konsumen. Pemicunya, histeria massal akibat novel karya
Upton Sinclair berjudul The jungel, yang menggambarkan cara kerja pabrik
pengolahan daging di Amerika Serikat yang sangat tidak memenuhi syarat-syarat
kesehatan.
2. Tahapan II (1920-1940)
Pada kurun waktu ini muncul pula buku berjudul Your Money’s Worth karya
chase dan schlink. Karya ini mampu menggugah konsumen atas hak-hak mereka
dalam jual beli. Pada kurun waktu ini muncul slogan: fair deal, best buy.
3. Tahapan III (1950-1960)
Pada dekade 1950-an ini muncul keinginan untuk mempersatukan gerakan
perlindungan konsumen dalam lingkup internasional. Dengan diprakarsai oleh
wakil-wakil gerakan konsumen dari amerika Amerika Serikat, Inggris, Belanda,
Australia, dan Belgia, pada 1 april 1960 berdirilah internasional Organisasi of
Consumer Union. Semula organisasi ini berpusat di den haag, Belanda, lalu
pindah ke Londen, Inggris, pada 1993. dua tahun kemudian IOCU mengubah
namanya menjadi Consumen Internasional (CI).
4. Tahapan IV (pasca-1965)
Pasca 1965 sebagai masa pemantapan gerakan perlindungan konsumen, baik di
tingkat regional maupun internasional. Sampai saat ini dibentuk lima kantor
regional, yakni Amerika Latin dan karibia berpusat di Cile, Asia pasifik berpusat
di malaysia, Afrika berpusat di Zimbabwe, Eropa Timur dan Tengah berpusat di
Inggris dan negara-negara maju juga berpusat di London, Inggris.

B.LATAR BELAKANG HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

1. Globalisasi Ekonomi dan Perdagangan Bebas


Negri-negri yang sekarang ini disebut negara-negara maju telah menumpuh
pembangunannya melalui tiga tingkat: unifikasi, industrialisasi, dan negara
kesejaheraan. Pada tingkat pertama yang menjadi masalah berat adalah bagaimana
mencapai integrasi politik untuk menciptakan persatuan dan kesatuan nasional.
Tingkat kedua, perjuangan untuk pembangunan ekonomi dan modernisasi politik.
Akhirnya pada tingkat ketiga tugas negara yang terutama adalah melindungi rakyat
dari sisi negatif industrialisasi, membetulkan kesalahan-kesalahan pada tahap-tahap
sebelumnya dengan menekankan kesejahteraan masyarakat.
Tingkat-tingkat tersebut dilalui secara berurutan (consecutive) dan memakan
waktu yang relatife lama. Persatuan nasional adalah persyaratan untuk memasuki
tahap industrialisasi. Industrialisasi merupakan jalan untuk mencapai Negara
kesejahteraan.
Revolusi industri di Inggris yang dimulai pada abad ke-18 kiranya dapat dianggap
sebagai awal proses perubahan pola kehidupan masyarakat yang semula merupakan
masyarakat agraris menjadi masyarakat industri. Berkembang dan semakin majunya
teknologi kemudian mendorong pula peningkatan volume produksi barang dan jasa.
Perkembangan ini juga mengubah hubungan antara penyedia produk dan pemakai
produk yang semakin beranjak. Produk barang dan jasa yang digunakan untuk
memenuhi kebutuhan hidup manusia semakin lama semakin canggih, sehingga timbul
kesenjangan terhadap kebenaran informasi dan daya tanggap konsumen. Kondisi
tersebut kemdian menempatkan konsumen dalam posisi yang lemah.
Sejak dua dasawarsa terakhir ini perhatian dunia terhadap masalah perlindungan
konsumen semakin meningkat. Gerakan perlindungan konsumen sejak lama dikenal
di dunia Barat. Negara-negara di Eropa dan Amerika juga telah lama memiliki
peraturan tentang Perlindungan Konsumen. Organisasi Dunia seperti PBB tidak
kurang perhatiannya terhadap masalah ini. Hal ini terbukti dengan dikeluarkannya
Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa No.39/249 Tahun 1985. Dalam resolusi ini
kepentingan konsumen yang harus dilindungi meliputi.
a. perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan
keamanannya;
b. promosi dan perlindungan kepentingan sosial ekonomi konsumen;
c. tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk
memberikan kemampuan mereka dalam melakukan pilihan yang tepat sesuai
dengan kehendak dan kebutuhan pribadi;
d. pendidikan konsumen;
e. tersedianya upaya ganti rugi yang efektif;
f. kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen;
perlindungan konsumen harus mendapat perhatian yang lebih, karena investasi
asing telah menjadi bagian pembangunan ekonomi indonesia, dimana ekonomi
indonesia juga telah berkait dengan ekonomi dunia. Persaingan perdagangan
internasional dapat membawa implikasi negatif bagi perlindungan konsumen.
Pada masa lalu bisnis internasional hanya dalam bentuk ekspor-impor dan
penanaman modal. Kini transaksi menjadi beraneka ragam dan rumit, seperti kontrak
pembuatan barang, waralaba, imbal beli, turnkey project, alih teknologi, aliansi
strategis internasional, aktivitas finansial, dan lain-lain. Globalisasi menyebabkan
berkembangnya saling ketergantungan pelaku ekonomi dunia. Manufaktur,
perdagangan, investasi melewati batas-batas negara, meningkatkan intensitas
persaingan. Gejala ini dipercepat oleh kemajuan komunikasi dan transportasi
teknologi.
Globalisasi adalah gerakan perluasan pasar, dan disemua pasar yang berdasarkan
persaingan, selalu ada yang menang dan kalah. Perdagangan bebas juga menambah
kesenjangan antara negara maju dan negara pinggiran (periphery), yang akan
membawa akibat pada komposisi masyarakat dan kondisi kehidupan mereka.
Tiadanya perlindungan konsumen adalah sebagian dari gejala negri yang kalah dalam
perdagangan bebas.
Setiap orang, pada suatu waktu, dalam posisi tunggal/sendiri maupun
berkelompok bersama orang lain, dalam keadaan apapun pasti menjadi konsumen
untuk suatu produk barang atau jasa tertentu. Keadaan yang universal ini pada
beberapa sisi menunjukkan adanya beberapa kelemahan pada konsumen sehingga
konsumen tidak mempunyai kedudukan yang “aman’’. Oleh karena itu, secara
mendasar konsumen juga membutuhkan perlindungan hukum yang sifatnya universal.
Mengingat lemahnya kedudukan konsumen pada umumnya dibandingkan dengan
kedudukan produsen yang relatif lebih kuat dalam banyak hal, maka pembahasan
perlindungan konsumen akan terasa aktual dan selalu penting untuk dikaji ulang.
Perlindungan terhadap konsumen dipandang secara material maupun formal
makin terasa sangat penting, mengingat makin lajunya ilmu pengetahuan dan
teknologiyang merupakan motor penggerak bagi produktivitas dan efisiensi produsen
atas barang dan jasa yang dihasilkan dalam rangka mencapai sasaran usaha. Dalam
rangka mengejar dan mencapai kedua hal tersebut, akhirnya baik langsung maupun
tidak langsung, konsumen lah yang pada umumnya merasakan dampaknya. Dengan
demikian, upaya-upaya untuk memberikan perlindungan yang memadai terhadap
kepentingan konsumen merupakan suatu hal yamg penting dan mendesak untuk
segera dicari solusinya, terutama di indonesia, mengingat sedemikian kompleksnya
permasalahan yang menyangkut perlindungan konsumen, lebih-lebih menyongsong
era perdagangan bebas yang akan datang.
Konsumen yang keberadaannya sangat tidak terbatas dengan strata yang sangat
bervariasi menyebabkan produsen melakukan kegiatan pemasaran dan distribusi
produk barang atau jasa dengan cara seefektif mungkin agar dapat mencapai
mencapai konsumen yang sangat majemuk tersebut. Untuk itu semua cara pendekatan
diupayakan sehingga mungkin menimbulkan berbagai dampak, termasuk keadaan
yang menjuruspada tindakan yang bersifat negatf bahkan tidak terpujiyang berawal
dari iktikad buruk. Dampak buruk yang lazim terjadi,antara lain menyangkut kualitas,
atau mutu barang, informasi yang tidak jelas bahkan menyesatkan pemalsuan dan
sebagainya.
Pada situasi ekonomi global dan menuju eraperdagangan bebas, upaya
mempertahankan pelanggan/konsumen atau mempertahankan pasar atau memperoleh
kawasan pasar baru yang lebih luas, merupakan dambaan bagi setiap produsen,
mengingat makin ketatnya persaingan untuk berusaha. Persaingan yang makin ketat
ini juga dapat memberikan dampak negatif terhadap konsumen pada umumnya.
Saat ini sasaran setiap negara, setiap perusahaan (setiap produsen) adalah menuju
pada pemasaran global. Orientasi pemasaran global pada dasarnya dapat mengubah
berbagai konsep, cara pandang dan cara pendekatan mengenai banyak hal termasuk
strategi pemasaran. Perubahan pemasaran tersebut membawa pengaruh pula pada
konsep perlindungan konsumen secara global.
Perlindungan konsumen dalam era pasar global menjadi sangat penting, karena
pertama konsumen disamping mempunyai hak-hak yang bersifat universal juga
mempunyai hak-hak yang bersifat sangat spesifik (baik situasi maupun kondisi).
Era perdagangan bebas merupakan suatu era kemana pemasaran merupakan suatu
disiplin universal. Konsep-konsep dipandang dari strategi pemasaran global telah
berubah dari waktu ke waktu, sebagaimana tahapan berikut:
Pertama, konsep pemasaran pada awalnya adalah memfokuskan pada produk
yang lebih baik yang berdasarkan pada standar dan nilai internal. Hal ini dilakukan
dengan tujuan memperoleh laba, dengan menjual atau membujuk pelanggan potensial
untuk menukar uangnya dengan produk perusahaan.
Kedua, pada dekade enam puluhan fokus pemasaran dialihkan dari produk kepada
pelanggan. Sasaran masih tetap pada laba, tetapi cara pencapaian mejadi luas, yaitu
dengan pembaruan pemasaran marketing mix atau 4p ( product, price, promotion, and
place) produk, harga, promosi dan saluran distribusi.
Ketiga, sebagai konsep baru pemasaran, dengan pembaruan dari konsep
pemasaran menjadi konsep strategi. Konsep strategi pemasaran pada dasrnya
mengubah fokus pemasaran dari pelanggan atau produk kepada pelanggan dalam
konteks lingkungan eksternal yang lebih luas. Disamping itu juga terjadi perubahan
pada tujuan pemasaran, yaitu dari laba menjadi keuntungan pihak yang
berkepentingan (yaitu orang perorangan atau kelompok yang mempunyai kepentingan
dalam kegiatan perusahaan termasuk di dalamnya karyawan,manajemen, pelanggan,
masyarakat dan negara). Untuk itu harus memanfaatkan pelanggan yang ada termasuk
pesaing, kebijakan yang berlaku, peraturan pemerintah serta kekuatan makro,
ekonomi, sosial, politik secara luas.
Bertolak dari rangkaian perubahan konsep pemasaran tersebut, perlindungan
terhadap konsumen juga membutuhkan pemikiran yang luas pula. Pemikiran konsep
secara luas dan kajian dari aspek hukum pun juga membutuhkan wawasan hukum
yang luas, sehingga tidaklah dapat dikaji dari aspek hukum semata-mata. Hal ini
sangat penting mengingat kepentingan konsumen pada dasar nya sudah ada sejak
awal sebelum barang/jasa diproduksi selama dalam proses produksi sampai pada saat
distribusi sehingga sampai ditangan konsumen untuk dimanfaatkan secara maksimal.

2. Hubungan antara Produsen dan Konsumen


Sudah menjadi komitmen Pemerintah Indonesia, melalui bebagai kesepakatan
internasional seperti GATT (General Ageement on Trade and Tarif), WTO (World
Trade Organization), AFTA (Asean Free Trade Area) dan lain-lain. Indonesia
menjadi salah satu pelaku dalam era pedagangan bebas. Berhasil tidaknya Indonesia
memanfaatkan era perdagangan bebas, sangat tergantung pada kesiapan pemerintah,
dunia usaha dan masyarakat konsumen Indonesia. Dibandingkan pemerintah dan
dunia usaha, praktis belum ada pihak yang menyentuh bagaimana mempersiapkan
konsumen Indonesia menghadapi pasar bebas.
Ada dua asumsi dalam melihat posisi konsumen di era pasar bebas. Pertama,
posisi konsumen diuntungkan. Logika gagasan ini adalah, dengan adanya liberalisasi
perdagangan arus keluar masuk barang menjadi semakin lancar. Oleh karena itu,
konsumen lebih banyak pilihan dalam menentukan berbagai kebutuhan, baik berupa
barang dan jasa, dari segi jenis/macam barang, mutu, maupun harga.
Kedua, posisi konsumen khususnya di negara berkembang dirugikan.
Alasannya, masih lemah nya pengawasan dibidang standardisasi mutu barang,
lemahnya produk perundang-undangan, akan menjadikan konsumen negara dunia
ketiga menjadi sampah berbagai produk yang di negara maju tidak memenuhi
persyaratan untuk dipasarkan. Contoh kasus buah impor. Di negara maju buah impor
ditolak karena kandungan/residu pestisida di atas ambang batas yang membahayakan
kesehatan, sementara di negara bekembang bebas masuk karena belum ada
standardisasi mutu buah impor.
Permasalahannya, persyaratan-persyaratan apa yang harus ada dalam pranata
hukum Indonesia, agar era perdagangan bebas bagi konsumen benar-benar menjadi
anugrah, bukan sebaliknya justru menjadi musibah. Anggapan dasar dalam pasar
bebas adalah adanya arus informasi yang sempurna yang memberi kemungkinan pada
pembeli dan penjual untuk memilih barang dan jasa secara rasional, serta adanya
kemudahan keluar masuk barang ke dalam pasar tanpa halangan.
Dalam kenyataan,menurut Customers Internasional (CI) anggapan dasar ini
tidak selalu menjadi kenyataan, mengingat dalam praktik, banyak sekali peraturan-
peraturan yang justru bernuansa anti persaingan. Seperti (1) Tied selling: penjual
memaksa pembeli untuk membeli barang dan jasa lebih daripada yang dibutuhkan
pembeli; (2) Resale price maintenance: penjual merancang harga yang dapat
dibebankan kepada konsumen; (3) exclusive dealing: dua penjual atau lebih
menciptakan monopoli lokal dengan persetujuan untuk berbagai pasarke dalam
wilayah-wilayah; (4) Reciprokal exclusiveity: penjual menyetujui hanya menjual
barang dan jasa dari pemasok saja; (5) Refusal to deal: satu pemasok memaksa
seseorang pembeli untuk menaati satu mandat tertentu dibawah ancaman penarikan
barang dan jasa; (6) Differential pricing: pemasok menentukan harga berbeda kepada
pembeli yang berbeda atas dasar selain mutu dan jumlah yang dilepas; (7) Predatory
pricing: penjual menentukan perbedaan harga dengan tujuan untuk mendorong
pesaing keluar dari bisnis.
1) Cross border business agreement; a) merger dan akuisisi,satu
perusahaan atau lebih bergerak untuk menciptakan monopoli di luar batas
yurisdiksi satu Negara;(b) kartel internasional,satu tindakan bersama dari babaraa
perusahaan dari berbagai negara untuk membagi pasar dan menetapkan harga; (c)
persekongkolan bisnis strategis, persekongkolan diantara perusahaan yang
bersaing untuk mengembangkan produk atau penelitian.
2) Industrial policy: a) kartel ekspor, persetujuan di antara perusahaan
atas harga ekspor; b) kartel impor, satu tanggapan defensif oleh perusahaan-
perusahaan yang membeli barang dari kartel ekspor; c) kartel domestik, satu cara
dari perusahaan untuk membatasi akses pasar bagi perusahaan asing.
3) Trade policy; a) undang-undang anti dumping, satu cara untuk
menangkal purusahaan asing membanjiri barang dan jasa yang lebih murah dari
pada harga yang ditetapkan oleh perusahaan di dalam negri; b) penetapan target
impor; c) penetapan kouta ekspor.
Dari apa yang telah dipaparkan CI diatas, dengan jelas terlihat bahwa kedudukan
konsumendi dalam era perdagangan babas sangat lemah.
Secara umum dan mendasar, hubungan antara produsen (perusahaan penghasilan
barang dan/atau jasa) dengan konsumen (pemakai akhir dari barang dan/atau jasa
untuk dari sendiri ataukeluarganya) merupakan hubungan yang terus-menerus dan
berkesinambungan. Hubungan tersebut terjadi karena keduanya memang saling
menghendaki dan mempunyai tingkat ketergantungan yang cukup tinggi antara yang
satu dengan yang lain.
Produsen sangat membutuhkan dan sangat bergantung atas dukungan konsumen
sebagai pelanggan. Tanpa dukungan konsumen, tidak mungkin produsen dapat
terjamin kelangsungan usahanya. Sebaliknya, konsumen kebutuhannya sangat
bergantung dari hasil produksi produsen.
Saling ketergantungan karena kebutuhan tersebut dapat menciptakan suatu
hubungan yang terus-menerus dan berkesinambungan sepanjang masa, sesuai dengan
tingkat ketergantungan akan kebutuhan yang tidak terputus-putus.
Hubungan antara produsen dan konsumen yang berkelanjutan sejak proses
produksi, distribusi pada pemasaran dan penawaran. Rangkaian kegiatan tersebut
merupakan rangkaian perbuatan dan perbuatan hukum yang tidak mempunyai akibat
hukum dan yang mempunyai akibat hukum baik terhadap semua pihak maupun hanya
terhadap pihak tertentu saja.
Hal tersebut secara sistematis dimanpaatkan oleh produsen dalam suatu sistem
distribusi dan pemasaran produk barang guna mencapai tingkat produktivitas dan
efektivitas dalam rangka mencapai sasaran usaha. Sapai pada tahapan hubungan
penyaluran atau distribusi tersebut menghasilkan suatu hubungan yang sifatnya
massal, yakni adanya permintaan yang meningkat dari masyarakat sehingga produsen
dituntut untuk meningkatkan produktifitasnya, karna sifatnya yang massal, yakni
adanya permintaan yang meningkat dari masyarakat sehingga produsen dituntut untuk
meningkatkan produktivitasnya. Karena sifatnya yang masal tersebut, maka peran
negara sangat dibutuhkandalam rangka melindungi kepentingan konsumen pada
umumnya. Untuk itu perlu diatur perlidungan konsumen berdasarkan undang-undang
antara lain menyangkut mutu barang, cara prosedur produksi, syarat kesehatan, syarat
pengemasan, syarat lingkungan, dan sebagainya.
Perlunya undang-undang perlindungan konsumen tidak lain karena lemahnya
posisi konsumen dibandingkan posisi produsen. Proses sampai hasil produksi barang
atau jasa dilakukan tanpa campur tangan konsumen sedikit pun. Tujuan hukum
pelindungan konsmen secara langsung adalah untuk meningketkan martabat dan
kesadaran konsumen. Secara tidak langsung, hukum ini juga akan mendorong
produsen untuk melakukan usaha dengan penuh tanggung jawab. Namun, semua
tujuan tersebut hanya dapat dicapai bila hukum perlindungan konsumen dapat
diterapkan secara konsekuen. Untuk mewujutkan harapan tersebut, perlu dipenuhi
beberapa persyaratan minimal, antara lain:
(1) hukum perlindungan konsumen harus adil bagi konsumen
maupun produsen, jadi tidak membebani produsen dengan tanggung jawab, tetapi
juga melindungi hak-haknya untuk melakukan usaha dengan jujur:
(2) aparat pelaksa hukumnya harus dibekali dengan sarana yang
memadai dan disertai dengan tanggung jawab;
(3) Peningkatan kesadaran konsumen akan hak-haknya;
(4) mengubah sistem nilai dalam masyarakat ke arah sikap tindak
yang mendukung pelaksanaan perlindungan konsumen.
Dipenghuninya persyaratan diatas akan mengangkat harkat Dan martabat
konsumen, sehingga mereka juga dapat diakui sebagai salah satu subjek dalam sistem
perekonomian nasional di samping BUMN, koprasi, dan usaha swasta.Bertolak dari
luas dan komleksnya hubungan antara produsen dan konsumen serta banyaknya mata
rantai penghubung keduanya, maka untuk melindungi konsumen sebagai pemakai
akhir dari produk barang atau jasa, dibutuhkan berbagai aspek hukum agar konsumen
dapat dilindungi dengan adil sejak awal produksi.
Diawali dengan sistem pengawasan tarhadap mutu dan kesehatan serta ketepatan
pemanfaatan bahan untuk sasaran produk. Untuk itu aspek hukum publik sangat
dominan. Setelah hubungan bersifat personal, hukum perdata lah yang lebih dominan
dalam rangka melindungi masing-masing pihak.
Paa era pasar bebas dimana hubungan produsen dan konsumen menjadi makin
dekat dan makin terbuka. Campur tangan negara, kerja sama antarnegara, dan kerja
sama internasional sangat dibutuhkan, yaitu guna mengatur pola hubungan rodusen,
konsumen dan sistem perlindungan konsumen. Sistem perlindungan tersebut tidak
dapat hanya memanfaatkan perangkat hukum nasional saja, tetapi membutuhkan pula
perangkat hukum internasional dalam jaringan kerja sama antar negara dan kerja sama
internasional. Hal ini sangat penting mengingat konflik antara negara dan pihak
berkepentingan di dalam era perdagangan bebas makin luas, terbuka, dan makin
bervariasi, yaitu antarnegara asosiasi produsen sejenis, antar kawasan ekonomi, dan
bahkan antarpara pihak yang mempunyai pengaruh untuk produk tertentu dalam
rangka memperebutkan pasar.
Hubungan antara produsen dan konsumen yang bersifat massal tersebut
menciptakan hubungan secara individual/personal sebagai hubungan hukum yang
spesifik. Hubungan hukum yang spesifik ini sangat bervariasi, yang sangat
dipengaruhi oleh berbagai keadaan antara lain:
1. kondisi, harga dari satu jenis komoditas tertentu;
2. penawaran dan syarat perjanjian;
3. fasilitas yang ada, sebelum dan purna jual, dan sebagainya;
4. kebutuhan para pihak pada rentang waktu tertentu.
Keadaan-keadaan seperti di atas, pada dasarnya akan sangat mempengaruhi dan
menciptakan kondisi perjanjian yang juga sangat bervariasi. Dalam praktik nya,
hubungan hokum seringkali melemahkan posisi konsumen karena secara sepihak para
produsen/distributor sudah menyiapkan satu kondisi perjanjian dengan adanya
perjanjian baku, yang syarat-syaratnya secara sepihak ditentukan pula oleh produsen
atau jaringan distributornya.
Kedala yang dihadapi dalam upaya perlindungan konsumen di indonesia tidak
terbatas pada rendahnya kesadaran konsumen akan hak, tetapi juga adanya persepsi
yang salah dikalangan sebagian besar produsen bahwa perlindungan terhadap
konsumen akan menimbulkan kerugian terhadap rodusen. Persepsi yang keliru di
kalangan pengusaha ini akan dengan mudah diluruskan apabila disadari beberapa
pertimbangan berikut ini.
(1) bahwa konsumen dan produsen adalah pasangan yang saling membutuhkan; usaha
produsen tidak akan dapt berkembang dengan baik bila konsumen berada pada
kondisi yang tidak sehat akibat banyaknya produk yang cacat;
(2) bahwa ada produsen yang melakukan kecurangan dalam melakukan kegiatan
usahanya. Kecurangan ini tidak hanya merugikan konsumen saja, tetapi juga akan
merugikan produsen yang jujur dan bertanggung jawab;
(3) kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan usaha bagi produsen yang
bertanggung jawab dapat diwujudkan tidak dengan jalan merugikan kepentingan
konsumen, tetai dapat dicapai melalui penindakan terhadap produsen yang
melakukan kecurangan dalam melakukan kegiatan usahanya;
(4) bahwa beban kompensasi atas kerugian konsumen akibat pemakaian produk cacat
telah diperhitungkan dalam komonen produksi, tetapi ditanggung bersama oleh
seluruh konsumen yang memakai produk yang cacat.
Bentrok dari keadaan yang demikian, perlindungan hukum terhadap hak
konsumen tidak dapat diberikan oleh satu aspek hukum saja, melainkan oleh sistem
perangkat hukum yang mampu memberikan perlindungan yang simultan dan
komperehensif sehingga terjadi persaingan yang jujur yang secara langsung atau tidak
langsung akan menguntungkan konsumen.

C.HUKUM KONSUMEN DAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

Istilah“hukum konsumen’’dan“hukum perlindungan konsumen’’sudah sangat


sering terdengar. Namun, belum jelas benar apa yang masuk kedalam materi
keduanya. Juga, apakah kedua“cabang’’ hukum itu identik.
M.J.Leder menyatakan: In a sense there is not such creature as consumer law.
Sekalipun demikian, secara hokum sebenarnya hukum konsumen dan hukum
perlindungan konsumen ini seperti yang dinyatakan oleh Lowe yakni: ….rules of law
which recognize the bargaining weakness of the individual consumer and which
ensure that weakness is not unfairly exploited.
Karena posisi konsumen yang lemah maka ia harus dilindungi oleh hukum. Salah
satu sifat, sekaligus tujuan hukum itu adalah memberikan perlindungan (pengayoman)
kepada masyarakat. Jadi, sebenarnya hukum konsumen dan hukum perlindungan
konsumen adalah dua bidang hukum yang sulit dipisahkan dan ditarik batasnya.
Ada juga yang berpedapat, hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari
hukum konsumen yang lebih luas itu. Az. Nasution, misalnya berpendapat bahwa
hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah bersifat mengatur, dan
juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen. Adapun hukum
konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang
mengatur hubungan hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain
berkaitan dengan barang dan/jasa konsumen, di dalam pergaulan hidup.
Az. Nasution mengakui, asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur
hubungan dan masalah konsumen itu tersebar dalam berbagai bidang hukum, baik
tertulis maupun tidak tertulis. Ia menyebutkan, seperti hukum perdata, hukum dagang,
hukum pidana, hukum administrasi (negara) dan hukum internasional terutama
konvensi-konvensi yang berkaitan dengan kepentingan-kepentingan konsumen.
Adapun yang masih belum jelas dari pernyataan Az. Nasution berkaitan dengan
kaidah-kaidah hukum perlindungan konsumen yang senantiasa bersifat mengatur.
Apakah kaidah yang sifatnya memaksa, tetapi memberikan perlindungan terhadap
konsumen tidak termasuk dalam hukum perlindungan konsumen? Untuk itu jelasnya
dapat dilihat ketentuan Pasal 383 KUHP berikut ini.
Diancam dengan pidana paling lama satu tahun empat bulan, seorang penjual
yang berbuat crang terhadap pembeli: (1) karena sengaja menberikan barang
lain daripada yang ditunjuk untuk dibeli, (2) mengenai jenis keadaan atau
banyaknya barang yang diserahkan dengan menggunakan tipu muslihat.
Seharusnya ketentuan memaksa dalam pasal 383 KUHP juga memenuhi syarat
untuk dimasukkan kedalam wilayah hukum perlindungan konsumen. Artinya, inti
persoalannya bukan terletak pada kaedah yang harus “mengatur“ dan “memaksa“.
Dengan demikian, seyogyanya dikatakan, hukum konsumen berkala lebih luas
meliputi berbagai aspek hukum yang terdapat kepentingan pihak konsumen di
dalamnya. Kata aspek hukum ini sangat bergantung pada kemauan kita mengartikan.

D.GERAKAN PERLINDUNGAN KONSUMEN DI INDONESIA

Jika melihat kemajuan perkembangan konsumen di Amerika Serikat, tentu


Indonesia masih harus “belajar“ banyak. Sebagaimana pernah disinyalir oleh ketua
internasional organization of consumers union (IOCU, sekarang CI) Erna Witoelar,
perlindungan konsumen di Indonesia masih tertinggal. Ketertinggalan itu tidak hanya
dibandingkan dengan Negara-negara sekitar Indonesia, seperti Malaysia, Filipina,
Thailand, dan singapura.
Dalam sambutan guru besar UI, Erman rajagukguk menjelaskan bahwa di
Indonesia untuk pertumbuhan ekonomi dan pemerataan dapat dilaksanakan dalam
waktu bersamaan. Apabila kita ingin tiga tingkat pembangunan di jalani secara
serentak, budaya hokum di Indonesia harus dapat mengakomodasi tujuan-tujuan yang
demikian itu. Kita harus memiliki hukum, institusi hukum dan profesi hukum, yang
mampu menjaga integrasi dan persatuan nasional, dapat mendorong pertumbuhan
perdagangan dan industri, serta berfungsi memajukan keadialan social, kesejahteraan
manusia, pembagian yang adil atas hak dan keistimewaan, tugas dan beban. Persatuan
nasional, pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan social mesti dapat tercermin dalam
setiap pengambilan keputusan. Dalam mencapai tujuan tersebut diperlukan
pembauran hukum, institusi hukum dan profesi hukum. Pembangunan yang
komperhensif harus memperhatikan hak-hak manusia. Keduanya tidak dalam kondisi
yang berlawanan dan dengan demikian pembangunan akan menarik partisipasi
masyarakat. Hal ini menjadi tambah penting karena bangsa kita berada dalam era
globalisasi, atinya harus bersaing dengan bangsa-bangsa lain.
Dilihat dari sejarahnya gerakan perlindungan konsumen di Indinesia baru benar-
benar dipopulerkan sekitar 20 tahun lalu, yakni dengan berdirinya lembaga
swadayamasyarakat (nongovernmental organization) yang bernama yayasan lembaga
konsumen Indonesia (YLKI). Setelah YLKI, kemudian muncul beberapa organisasi
serupa, antara lain lembaga pembinaan dan perlindungan konsumen (LP2K) di
semarang yang berdiri sejak Februari 1988 dan pada 1990 bergabung sebagai anggota
consumers international (CI). Diluar itu, dewasa ini cukup banyak lembaga swadaya
masyarakat serupa berorientasi pada kepentingan pelayanan konsumen, seperti
yayasan lembaga bina konsumen Indonesia (YLBKI) di Bandung dan perwakilan
YLKI di berbagai provinsi di tanah air.
YLKI muncul dari sekelompok kecil anggota masyarakat yang diketuai oleh
lasmidjah hardi, yang semula bertujuan mempromosikan hasil produk Indonesia.
Ajang promosi yang diberi nama pekan swakarya ini menimbulkan ide bagi mereka
untuk mendirikan wadah bagi gerakan perlindungan konsumen di Indonesia. Ide ini
dituangkan dalam anggaran dasar yayasan di hadapan Notaris G.H.S Loemban
Tobing, S.H. dengan akta No. 26, 11 mei 1973.
Yayasan ini sejak semula tidak ingin berkonfrontasi dengan produsen (pelaku
usaha) apalagi dengan pemerintah. Hal ini dibuktikan benar oleh YLKI, yakni dengan
menyelenggarakan pekan promosi swakarya II dan III yang benar-benar dimanfaatkan
oleh kalangan produsen dalam negeri. Dalam suasana kerja sama ini kemudian lahir
motto yang dicetuskan oleh Ny. Kartina Sujono Prawirabisma bahwa YLKI bertujuan
melindungi konsumen, menjaga martabat produsen dan membantu pemerintah.
YLKI memiliki cabang-cabang di berbagai provinsi dan mempunyai pengaruh
yang cukup besar karena didukung oleh media massa. Beberapa harian besar
Nasional, seperti media Indonesia dan Kompas, secara rutin menyediakan kolom
khusus untuk membahas keluhan-keluhan konsumen. Demikian juga dalam berbagai
pertemuan ilmiah dan pembahasan peraturan perundang-undangan, YLKI dianggap
mitra yang representatif.
Hasil-hasil penelitian YLKI yang dipublikasikan di media massa juga membawa
dampak terhadap konsumen. Perhatian produsen terhadap publikasi demikian juga
terlihat dari reaksi-reaksi yang diberikan, baik berupa koreksi maupun bantahan. Hal
ini menunjukan dalam perjalanan memasuki dasawarsa ketiga, YLKI mampu
berperan besar khususnya dalam gerakan menyadarkan konsumen akan hak-haknya.
Jika dibangdingkan dengan perjalanan panjang gerakan konsumen diluar negeri
khususnya di Amerika Serikat, YLKI cukup beruntung karena tidak harus
memulainya dari nol sama sekali. Pengalaman menangani kasus-kasus yang
merugikan konsumen di negara-negara yang lebih maju dapat dijadikan studi yang
bermanfaat sehingga Indonesia tidak perlu lagi harus mengulang keslahan yang
serupa. Demikian pula dengan kasus-kasus kegagalan advokasi konsumen.
Metode kerja YLKI baru pada penelitian terhadap sejumlah produk barang/jasa
dan mempublikasikan hasilnya kepada masyarakat. Gerakan ini belum mempunyai
kekuatan lobi untuk memberlakukan atau mencabut suatu peraturan. YLKI juga tidak
sepenuhnya dapat mandiri seperti food and drug administration (FDA). Alasan yang
utama tentu karena YLKI sendiri bukan badan pemerintah seperti FDA di Amerika
Serikat dan tidak memiliki kekuasaan public untuk menerapkan suatu peraturan atau
menjatuhkan suatu sanksi.
Ditinjau dari kemajuan peraturan perundang-undangan di Indonesia dibidang
perlindungan konsumen, sampai saat ini masih sangat minim, daik dilihat dari kualitas
peraturannya maupun kedalaman materi yang dicakupnya. Dari inventarisasi sampai
1991, pengaturan yang memuat unsur perlindungan konsumen tersebar pada delapan
bidang, yaitu (1) obat-obatan dan bahan berbahaya, (2) makanan dan minuman, (3)
alat-alat elektronik, (4) kendaraan bermotor, (5) metrology dan tera, (6) industri, (7)
pengawasan mutu barang, dan (8) lingkungan hidup. Jenis peraturan perundang-
undangannya pun bervariasi, mulai dari ordonansi dan undang-undang, peraturan
pemerintah atau yang sederajat, instruksi presiden, keputusan mentri, keputusan
bersama dari beberapa mentri, peraturan mentri, keputusan dirjen, instruksi dirjen,
keputusan ketua pelaksana bursa komoditi, dan keputusan gubernur (d.h.i gubernur
KDH DKI Jakarta).
Gerakan konsumen di Indonesia, termasuk yang di prakarsai YLKI mencatat
prestasi besar setelah naskah akademik UUPK berhasil di bawa ke DPR. Selanjut nya
rancangannya di sahkan menjadi undang-undang.
Keberadaan YLKI juga sangat membantu dalam upaya peningkatan kesadaran
atas hak-hak konsumen. Lembaga ini tidak sekedar melakukan penelitian atau
pengujian, penerbitan dan menerima pengaduan, tetapi sekaligus juga mengadakan
upaya advoksasi melalui jalur pengadilan.
Selama ini upaya hukum individual dari konsumen untuk menggugat produsen
baik pemerintah maupun swasta, tidak banyak membuahkan hasil. Sementara itu,
gugatan massal yang mewakili masyarakat luas, masih belum dikenal dengan baik
oleh para penegak hukum di Indonesia. Untuk mewakili gugatan-gugatan di
msyarakat, YLKI dapat menggunakan lembaga hukum gugatan kelompok (class
action). Namun, walaupun ada preseden yang mengakui eksistensi gugatan kelompok
tersebut, banyak hakim yang masih ragu-ragu untuk menerimanya.
Terlepas dari kondisi ini, YLKI mencoba mengajukan gugatan kelompok kepada
pemerintah dalam berbagai kasus, antara lain terhadap PT Persero Perusahaan Listrik
Negara (PLN) dan Telkom. Namun, dari perkara yang dibawa ke pengadilan itu
belum mampu menghasilkan dampak sebesar seperti yang pernah dilakukan Ralph
Nader terhadap General Motors, 1966.
Perkembangan baru dibidang perlindungan konsumen terjadi setelah penggantian
tampuk kekuasaan di Indonsia. Yaitu tatkala undang-undang No. 8 tahun 1999
tentang perlindungan konsumen (UUPK) disahkan dan diundangkan pada 20 April
1999. UUPK ini masih memerlukan waktu satu tahun untuk berlaku efektif. UUPK
ini dihasilkan atas inisiatif DPR, yang notabene hak itu tidak pernah sejak orde baru
berkuasa pada 1966.
Tanpa mengurangi penghargaan terhadap upaya terus menerus yang dilakukan
oleh YLKI, andil terbesar yang “memaksa“ kehadiran UUPK ini adalah juga karena
cukup kuatnya tekanan dari dunia internasional. Setelah pemerintah RI mengesahkan
undang-undang No. 7 tahun 1994 tentang agreement establishing the world trade
organization (persetujuan pembentukan organisasi perdagangan dunia), maka ada
kewajiban bagi Indonesia untuk mengikuti standard-standar hukum yang berlaku dan
diterima luas oleh Negara-negara anggota WTO. Salah satu diantaranya adalah
perlunya eksistensi UUPK.
Hukum yang kondusif bagi pembangunan sedikitnya mengandung lima kualitas,
yaitu stability, predictability, fairness, education dan kemampuan meramalkan adanya
prasyarat untuk berfungsinya system ekonomi. Perlunya predictability sangat besar di
Negara-negara di mana masyarakatnya untuk pertama kali memasuki hubungan-
hubungan ekonomi melampaui lingkungan tradisional mereka. Stabilitas juga berarti
hukum berpotensi untuk menjaga keseimbangan dan mengakomodasi kepentingan-
kepentingan yang saling bersaing. Aspek keadilan (fairness) seperti persamaan
didepan hukum, standard sikap pemerintah, adalah perlu untuk memelihara
mekanisme pasar dan untuk mencegah birokrasi yang berlebihan. Tidak adanya
standar yang adil dan apa yang tidak adil adalah masalah besar yang dihadapi Negara-
negara berkembang. Dalam jangka panjang ketiadaan standar tersebut menjadi sebab
utama hilangnya ligitimilasi pemerintah.

E. PROSPEK GERAKAN KONSUMEN

Perhatian terhadap gerakan perlindungan hak-hak konsumen (konsumerisme)


mendapat pengakuan dan dukungan dari dewan ekonomi dan social PBB, dengan
resolusinya No. 2111 tahun 1978. kemudian pada 16 April 1985 dengan resolusinya
No. A/RES/39/248 juga disuarakan seruan penghormatan terhadap hak-hak
konsumen.
Gerakan konsumen sejak 1960 memiliki wadah yang cukup berwibawa, yang
disebut intenational organization of comsumers unions (IOCU). Kemudian sejak
1995 berubah nama menjadi cnsumers international (CI). Anggota CI mencapai 203
organisasi konsumen berasal dari 90 negara di seluruh dunia. Dalam satu Negara
dapat saja ada lebih dari satu organisasi konsumen yang terdaftar sebagai anggota CI.
Australia, misalnya mempunyai 15 organisasi anggota CI. Sementara Malaysia dan
fhilipina memiliki lima organisasi dan Indonesia ada dua organisasi (YLKI Jakarta
dan LP2K di semarang). Setiap 15 maret CI memperingati “hari hak konsumen
sedunia“ dan memberi tema berbeda-beda tiap tahun. Misalnya pada tahun 1994
dikumandangkan tema sentral hak konsumen untuk memperoleh kebutuhan pokok.
Hak atas kebutuhan pokok ini tidak terbatas pada pangan, sandang, dan papan, tetapi
pada kebutuhan listrik, air minum, pos dan telekomunikasi.
Disamping itu, tuntutan-tuntutan masyarakat dunia internasional, termasuk
masyarakat indonesia, tampak makin kritis. Jika dulu masih banyak yang belum
berani menyuarakan agar di Indonesia dilakukan sertifikasi “halal” untuk produk-
produk tertentu, maka dewasa ini tuntutan itu demikian kuat bergema, bahkan saat ini
sertifikasi itu sudah berjalan, antara ain dengan terbenuknya lembaga pengkajian
pangan, obat-obatan, dan kosmetika majelis ulama Indonesia (LP POM MUI).
Konsumen Indonesia merupakan bagian dari konsumen global, sehingga gerakan
konsumen di dunia internasioanal mau tak mau menembus batas-batas Negara, dan
mempengaruhi kesadaran konsumen lokal untuk berbuat hal yang sama. Persaingan
antar produsen saat ini semakin ketat dan dan yang dihadapi bukan lagi competitor
dalam negeri. Hal ini berarti, konsumen mempunyai banyak pilihan terhadap produk
barang/jasa yang dikonsumsinya. Tentu mereka memilih yang terbaik diantara produk
barang/jasa yang tersedia. Itu berarti masalah mutu barang dari jumlah
ketersediaannya dipasaran tidak lagi menjadi keprihatinan utama karena produsen
dengan sendirinya berlomba-lomba untuk memenuhinya. Jika tidak, produsen
demikian akan kalah dalam persaingan.
Gejala-gejala itu memberi pengaruh pada gerakan konsumen didunia dan di
indonesia, yakni mulai beralihnya isu-isu konsumen dari sekedar mempersoalkan
mutu menuju kearah yang lebih berskala makro dan universal. Perhatian konsumen di
dalam negeri sama dengan perhatian konsumen di berbagai negara. Konsumen kita
menjadi konsumen global.
Menurut Emil Salim, gerakan konsumen global ditandai oleh globalisasi
diberbagai bidang. Pertama, globalisasi produksi. Dalam hal ini berarti, tidak ada
produk yang hanya dibuat di satu negara. Toyota, misalnya, sebagian komponennya
dibuat diberbagai negara di luar jepang. Faktor kedua, globalisasi finansial. Uang
tidak lagi mengenal bendera. Modal seperti air yang mencari tempat yang sesuai.
Ketiga, globalisasi perdagangan. Hal ini tampak dari dihilangkannya dinding-dinding
tarif sehingga dunia menjadi satu pasar. Keempat, globalisasi teknologi. Globalisasi
keempat ini membawa konsekuensi makin tergesernya alat-alat produksi tradissional
mengarah kepada modernisasi dan mekanisasi. Teknologi dibidang pengemasan yang
diterapkan di Amerika Serikat, misalnya cepat diadopsi kenegara lain, dan segera
mengubah pola dibidang terkait.
Globalisasi menyebabkan berkembangnya saling ketergantungan pelaku-pelaku
ekonomi dunia. Manufaktur, perdagangan, investasi melewati batas-batas negara
meningkatkan intensitas persaingan, gejala ini dipercepat oleh kemajuan komunikasi
dan transportasi teknologi.
Bagaimanapun juga karakteristik dan hambatannya, globalisasi ekonomi
menimbulkan akibat yang besar sekali pada bidang hukum. Globalisasi juga
menyebabkan terjadi globalisasi hukum, globalisasi hukum tersebut tidak hanya
didasrkan pada kesepakatan internasional antarbangsa tetapi juga pemahaman tradisi
hukum dan budaya antara barat dan timur.
Globalisasi hukum terjadi melalui usaha-usaha standardinasi hukum, antara lain
melalui perjanjian-perjanjian internasional. General agreement on tariff and trade
(GATT) misalnya, mencantumkan beberapa ketentuan yang harus di penuhi di
Negara-negara anggota berkaitan dengan penanaman modal, hak milik intelektual,
dan jasa prinsip-prinsip non-discrimination, most favored nation, national treatment,
transparency kemudian menjadi substansi peraturan-peraturan nasional Negara-
negara anggota.
Globalisasi hukum akan menyebabkan peraturan-peraturan Negara-negara
berkembang mengenai investasi, perdagangan, jasa-jasa dan bidang-bidang ekonomi
lainnya mendekati Negara-negara maju (converagence). Namun, tidak ada jaminan
peraturan-peraturan tersebut memberikan hasil yang sama disemua tempat. Hal mana
yang dikarenakan perbedaan sitem politik, ekonomi dan budaya. Apa yang disebut
hukum itu tergantung pada persepsi masyarakat. Friedman, mengatakan bahwa
tegaknya peraturan-peraturan hukum tergantung pada budaya hukum anggota-
anggotanya yang dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, lingkungan, budaya,
posisi atau kedudukan bahkan kepentingan-kepentingan.
Dalam hal menghadapi hal yang demikian itu perlu check and balance dalam
bernegara. Check and balance hanya bisa dicapai dengan parlemen yang kuat,
pengadilan yang mandiri dan partisipasi masyarakat melalui lembaga-lembaganya.
Alhasil, gerakan konsumen, baik di dunia internasional maupun di Indonesia, pada
masa-masa mendatang menghadapi suasana yang jauh lebih kompleks. Arus tuntutan
konsumen melalui gerakan-gerakan tadi makin lama makin deras, sehingga tidak
mustahil menimbulkan instabilitas bagi negara-negara yang produsen dan
pemerintahnya belum siap benar. Kesiapan tersebut tidak sekedar dalam arti “siap
bersaing dan berinovasi”. Tetapi terlebih-lebih bagi pemerintahnya, adalah siap
dengan pembangunan unsur-unsur system hukumnya.

BAB 2
PENGERTIAN HAK DAN KEWAJIBAN KONSUMEN SERTA
PELAKU USAHA

A. PENGERTIAN KONSUMEN, HAK, DAN KEWAJIBANNYA


Sebagai suatu konsep, “konsumen“ telah diperkenalkan beberapa puluh tahun lalu
diberbagai negara dan sampai saat ini sudah puluhan negara memiliki undang-undang
atau peraturan khusus yang memberikan perlindungan kepada konsumen termasuk
sarana penyediaan peradilannya. Sejalan dengan perkembangannya itu, berbagai
negara telah pula menetapkan hak-hak konsumen yang digunakan sebagai landasan
pengaturan perlindungan konsumen konsumen. Di samping itu, telah pula berdiri
organisasi konsumen internasional, yaitu international organiztion of consumers
unions (IOCU). Di Indonesia telah pula berdiri berbagai organisasi konsumen seperti
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) di Jakarta, dan organisasi konsumen
lain di bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan sebagainya.
Istilah konsumen berasal dari alih bahasa dari kata consumer (inggris-amerika),
atau consument/konsument (belanda). Pengertian dari consumer atau consument itu
tergantung dalam posisi mana ia berada. Secara harafiah arti kata consumer adalah
(lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang. Tujuan penggunaan
barang atau jasa nanti menentukan termasuk konsumen kelompok mana pengguna
tersebut. Begitu pula kamus indonesia-inggris memberi arti kata consumer sebagai
pemakai atau konsumen.
Di indonesia telah banyak diselenggarakan studi, baik yang bersifat akademis,
maupun untuk tujuan mempersiapkan dasar-dasar penerbitan suatu peraturan
perundang-undangan tentang perlindungan konsumen. Dalam naskah akademik
dan/atau berbagai naskah pembahasan berbagai rancangan peraturan perundang-
undangan, cukup banyak dibahas dan dibicarakan tentang berbagai peristilahan yang
termasuk dalam lingkup perlindungan konsumen. Dari naskah-naskah akademik itu
yang patut mendapat perhatian, antara lain:
a. Badan pembinaan hukum nasional-departemen kehakiman (BPHN),
menyusun batasan tentang konsumen akhir, yaitu pemakai akhir dari barang,
digunakan untuk keperluan diri sendiri atau orang lain, dan tidak untuk
diperjualbelikan.
b. Batasan konsumen dari yayasan lembaga konsumen indonesia: pemakai
barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat bagi kepentingan diri sendiri,
keluarga atau orang lain dan tidak untuk diperdagangkan kembali.
c. Sedang dalam naskah akademis yang dipersiapkan fakultas hukum Universitas
Indonesia (FH-UI) bekerja sama dengan departemen perdagangan RI, berbunyi:
Konsumen adalah setiap orang atau keluarga yang mendapatkan barang untuk
dipakai dan tidak untuk diperdagangkan.
Peraturan perundang-undangan negara lain, memberikan berbagai perbandingan.
Umumny dibedakan antara konsumen antara dan konsumen akhir. Dalam
merumuskannya, ada yang secara tegas mendefenisikannya dalam ketentuan umum
perundang-undangan tertentu, ada pula yang termuat dalam pasal tertentu bersama-
sama dengan pengaturan sesuatu bentuk hubungan hukum.
Pengertian “konsumen“ di Amerika Serikat dan MEE, kata “konsumen“ yang
berasal dari consumer sebenarnya berarti “pemakai“. Namun, di Amerika Serikat kata
ini dapat diartikan lebih luas lagi sebagai “korban pemakaian produk yang cacat“,
baik korban tersebut pembeli, bukan pembeli tapi pemakai, bahkan juga korban yang
bukan pemakai, karna perlindungan hukum dapat dinikmati pula bahkan oleh korban
yang bukan pemakai.
Upaya perlindungan terhadap konsumen dari pemakaian produk-produk yang
cacat di negara-negara anggota European Economic Community (EC/MEE) dilakukan
dengan cara menyusun product liability directive yang nantinya harus diintegrasikan
kedalam instruktur hukum masing-masing negara anggota EC, maupun melalui
statutory orders yang berlaku terhadap warga negara seluruh anggota EC. Ketentuan-
ketentuan dalam directive harus diimplementasikan ke dalam hukum nasional dulu
sebelum dapat diterapkan, sedangkan statutory orders dapat langsung berlaku bagi
semua warga negara dari negara-negara anggota EC.
Directive ini mengedepankan konsep liability without fault. Pengertian
“konsumen” (consumers) tidak dijabarkan secara rinci dalam directive. Untuk
memahaminya dapat dilakukan dengan menelaah pasal 1 dikaji bersama-sama dengan
pasal 9 directive yang isinya sebagai berikut:

Article 1
The producer shall be liable for damage caused by a defect in his product.

Article 9
For the purepos of article 1, “damage” means:
(a) damage caused by death or by personal injuries;
(b) damage to, or destruction of, any item of property other than the detective
product it self, with a lower threshold of 500 ECU, provided that the item of
property:
(i) is a type ordinarily for private use or consumption, and
(ii) was used by the injured person mainly for his own private use or
consumtion.
This article shall be without prejudice to national provisions relating to non material
damage.
dapat disimpulkan bahwa konsumen berdasarkan directive adalah pribadi yang
menderita kerugian (jiwa, kesehatan, maupun benda) akibat pemakaian produk yang
cacat untuk keperluan pribadinya. Jadi, konsumen yang dapat memperoleh
kompensasi atas kerugian yang dideritanya adalah “pemakaian produk yang cacat
untuk keperluan pribadi”. Perumusan ini sedikit lebih sempit dibandingkan dengan
pengertian serupa di Amerika Serikat.
Tampaknya perlakuan hukum yang lebih bersifat mengatur dan/atau mengatur
dengan diimbuhi perlindungan, merupakan pertimbangan tentang perlunya
pembedaan dari konsumen itu. Az Nasution menegaskan beberapa batasan konsumen,
yakni:
a. konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa digunakan
untuk tujuan tertentu.
b. Konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau jasa
untuk digunakan dengan tujuan membuat barang/jasa lain atau untuk
diperdagangkan (tujuan komersial)
c. Konsumen akhir adalah setiap orang alami yang mendapatkan dan
menggunakan barang/jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya pribadi,
keluarga dan atau rumah tangga dan tidak untuk diperdagangkan kembali
(nonkomersial).
Bagi konsumen antara, barang/jasa itu adalah barang/jasa kapital, berupa bahan
baku, bahan penolong atau komponen dari produk lain yang akan diproduksinya
(produsen). Kalau itu distributor atau pedagang berupa barang setengah jadi atau
barang jadi yang menjadi mata dagangannya. Konsumen antara ini mendapatkan
barang/jasa itu dipasar industri atau pasar produsen.
Sedang bagi konsumen akhir, barang/jasa itu adalah barang/jasa konsumen, yaitu
barang/jasa yang biasanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan pribadi, keluaga
atau rumah tangganya (produk konsumen). Barang/jasa konsumen ini umumnya
diperoleh dipasar-pasar konsumen, dan terdiri dari barang/jasa yang umumnya
digunakan di rumah tangga masyarakat.
Unsur untuk membuat barang/jasa lain dan/atau diperdagangkan kembali
merupakan pembeda pokok, antara lain konsumen antara (produk kapital) dan
konsumen akhir (produk konsumen), yang penggunanya bagi konsumen akhir adalah
untuk dirinya sendiri, keluarga atau rumah tangganya. Unsur inilah, yang pada
dasarnya merupakan beda kepentingan masing-masing konsumen yaitu, penggunaan
suatu produk untuk keperluan atau tujuan tertentu yang menjadi tolak ukur dalam
menentukan perlindungan yang diperlukan.
Sebagaimana disinggung sebelumnya, bagi konsumen antara yang sebenarnya
adalah pengusaha atau pelaku usaha, kepentingan mereka dalam menjalankan usaha
atau profesi mereka tidak “tergangu” oleh perbuatan persaingan-persaingan yang
tidak wajar, perbuatan penguasaan pasar secara monopoli atau oligopi, dan yang
sejenis dengan itu. Mereka memerlukan kaedah-kaedah hukum yang mencegah
perbuatan-perbuatan yang tidak jujur dalam bisnis, dominasi pasar dengan berbagai
praktik bisnis yang menghambat masuknya perusahaan baru atau merugikan
perusahaan lain dengan cara-cara yang tidak wajar.
Bagi konsumen akhir (selanjutnya disebut konsumen), mereka memerlukan
produk konsumen (barang/jasa konsumen) yang aman bagi kesehatan tubuh atau
keamanan jiwa, serta pada umumnya untuk kesejahteraan keluarga atau rumah
tangganya. Karena itu yang diperlukan adalah kaedah-kaedah hukum yang menjamin
syarat-syarat aman setiap produk konsumen bagi konsumsi manusia, dilengkapi
dengan informasi yang benar, jujur, dan bertanggung jawab.
Karena pada umumnya konsumen tidak mengetahui dari bahan apa suatu produk
itu dibuat, bagaimana proses pembuatannya serta strategi pasar apa yang dijalankan
untuk mendistribusikannya, maka diperlukan kaedah hukum yang dapat melindungi.
Perlindungan itu sesungguhnya berfungsi menyeimbangkan kedudukan konsumen
dan pengusaha, dengan siapa mereka saling berhubungan dan saling memebutuhkan.
Keadaan seimbang diantara para pihak yang saling berhubungan, akan lebih
menerbitkan keserasian dan keselarasan matriil, tidak sekedar formil, dalam
kehidupan manusia Indonesia sebagaimana dikehendaki oleh falsafah bangsa dan
negara ini.

1. Pengertian konsumen dalam UU No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan


konsumen
Penegrtin konsumen menurut UU No. 8 tahun 1999 tentang hukum perlindungan
konsumen dalam pasal 1 ayat (2) yakni:
Konsumen adalah setiap orang pemakai barang/jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk
hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Unsur-unsur defenisi konsumen:

a. setiap orang
subjek yang disebut sebagai konsumen adalah setiap orang yang berstatus sebagai
pemakai barang/jasa. Istilah “orang” sebetulnya menimbulkan keraguan, apakah
hanya orang individual yang lazim disebut natuurlijke persoon atau termasuk juga
badan hukum (rechtpersoon). Hal ini berbeda dengan pengertian yang diberikan untuk
“pelaku usaha” dalam pasal 1 angka (3), yang secara eksplisit membedakan kedua
pengertian persoon diatas, dengan menyebutkan kata-kata: “orang perseorangan atau
badan usaha“. Tentu yang paling tepat tidak membatasi pengertian konsumen itu
sebatas pada orang perseorangan. Namun konsumen harus juga mencakup juga badan
usaha dengan makna usaha yang lebih luas daripada badan hukum.
UUPK tampaknya berusaha menhindari penggunaan kata “produsen“ sebagai
lawan kata “konsumen“. Untuk itu, digunakan kata “pelaku usaha” yang bermakna
lebih luas. Istilah terakhir ini dipilih untuk memberi arti sekaligus bagi kreditur
(penyedia dana), produsen, penyalur, penjual, dan terminologi lain yang lazim
diberikan. Bahkan, untuk kasus-kasus yang spesifik seperti dalam kasus periklanan,
pelaku usaha ini juga mencakup perusahaan media, tempat iklan ditayangkan.

b. pemakai
sesuai dengan penjelasan pasal 1 angka (2) UUPK, kata “pemakai“ menekankan,
konsumen adalah konsumen akhir (ultimate consumer). Istilah “pemakai” dalam hal
ini tepat digunakan dalam rumusan ketentuan tersebut, sekaligus menunjukan,
barang/jasa yang dipakai tidak serta merta hasil dari transaksi jual beli. Artinya,
sebagai konsumen tidak selalu harus memberikan prestasinya dengan cara membayar
uang untuk memperoleh barang/jasa itu. Dengan kata lain, dasar hubungan hukum
antara konsumen dan pelaku usaha tidak perlu harus kontraktual (the privity of
contract).
Sebagai ilustrasi dari uraian itu dapat diberikan contoh berikut, seseorang
memperoleh paket hadiah atau parsel (parcel) pada hari ulang tahunnya. Isi paketnya
makanan dan minuman yang dibeli si pembeli di pasar swalayan.
Pertanyaannya, apakah penerima paket seorang konsumen juga? Jika ia
menggugat pasar swalayan itu, apakah ada dasar gugatan yang cukup kuat baginya?
Hal ini patut dipertanyakan, jika menggunakan prinsip the privity of contract tentu
tidak ada hubungan kontraktual antara penerima hadiah dan pihak pasar swalayan
karena pembeli parsel adalah orang lain. Dengan demikian, UUPK sedah selayaknya
meninggalkan prinsip yang sangat merugikan konsumen.
Konsumen memang tidak sekedar pembeli (buyer atau koper) tetapi semua orang
(perseorangan atau badan usaha) yang mengonsumsi barang/jasa. Jadi, yang paling
penting terjadinya transaksi konsumen (consumer transaction) berupa peralihan
barang/jasa, termasuk peralihan kenikmatan dalam menggunakannya.
Transaksi konsumen memiliki banyak sekali metode. Dewasa ini, sudah lazim
terjadi sebelum suatu produk dipasarkan, terlebih dahulu dilakukan pengenalan
produk kepada konsumen. Istilahnya product knowladge. Untuk itu, dibagikan sampel
yang diproduksi khusus dan sengaja tidak diperjualbelikan. Orang yang mengonsumsi
produk sampel juga merupakan konsumen. Oleh karena itu wajib dilindungi hak-
haknya.
Mengartikan konsumen secara sempit, seperti hanya sebagai orang yang
mempunyai hubungan kontraktual pribadi (in privity of contract) dengan produsen
atau penjual adalah cara pendefinisian konsumen yang paling sederhana. Di Amerika
Serikat cara pandang seperti itu telah lama ditinggalkan, walau baru dilakukan pada
awal abad ke-20. konsumen tidak lagi diartikan sebagai pembeli dari suatu
barang/jasa, tetapi termasuk bukan pemakai langsung, asalkan memang dirugikan
akibat penggunaan suatu produk.

c. barang dan/atau jasa


berkaitan dengan istialah barang/jasa, sebagai pengganti terminologi tersebut
digunakan kata produk. Saat ini “produk“ sudah berkonotasi barang/jasa. Semula kata
produk hanya mengacu pada pengertian barang. Dalam dunia perbankan, misalnya
istilah produk dipakai juga untuk menamakan jenis-jenis layanan perbankan.
UUPK mengganti barang sebagai setiap benda, baik berwujud maupun tidak
berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik dapat dihabiskan maupun tidak
dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau
dimanfaatkan oleh konsumen. UUPK tidak menjelaskan perbedaan istilah-istilah
“dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan”.
Sementara itu jasa diartikan sebagai setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau
prestasi yang disediakan bagi masyarakat menunjukan, jasa itu harus ditawarkan
kepada masyarakat. Artinya, harus lebih dari 1 orang. Jika demikian halnya, layanan
yang bersifat khusus (tertutup)ndan individual, tidak tercakup dalam pengertian
tersebut.
Kata-kata “ditawarkan kepada masyarakat” itu harus ditafsirkan sebagai bagian
dari transaksi konsumen. Artinya, seseorang yang karena kebutuhan mendadak lalu
menjual rumahnya kepada orang lain, tidak dapat perbuatannya itu sebagai transaksi
konsumen. Si pembeli tidak dapat dikategorikan sebagai “konsumen” menurut
UUPK.

d. yang tersedia dalam masyarakat


barang/jasa yang ditawarkan dalam masyarakat sudah harus tersedia di pasaran
(lihat juga bunyi pasal 9 ayat 1 huruf e UUPK). Dalam perdagangan yang makin
kompleks dewasa ini, syarat itu tidak mutlak lagi dituntut oleh masyarakat konsumen.
Misalnya, perusahaan pengembang (develover) perumahan sudah biasa mengadakan
transaksi terlebih dahulu sebelum bangunannya jadi. Bahkan, untuk jenis-jenis
transaksi konsumen tertentu, seperti futures trading, keberadaan barang yang
diperjualbelikan bukan sesuatu yang diutamakan.

e. bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, makhluk hidup lain
transaksi konsumen ditujukan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain
dan makhluk hidup lain. Unsure yang diletakkan dalam defenisi itu mencoba untuk
memperluas pengertian kepentingan. Kepentingan ini tidak sekedar ditujukan untuk
diri sendiri dan keluaga, tetapi juga barang/jasa itu diperuntukan bagi orang lain
(diluar diri sendiri dan keluarganya), bahkan untuk makhluk hidup lain, seperti hewan
dan tumbuhan. Dari sisi teori kepentingan, setiap tindakan manusia adalah bagian dari
kepentingannya. Oleh sebab itu, penguraian unsur itu tidak menambah makna apa-apa
karena pada dasarnya tindakan memakai suatu barang/jasa (terlepas ditujukan untuk
siapa dan makhluk hidup lain), juga tidak terlepas dari kepentingan pribadi. Seseorang
yang membeli makanan untuk kucing peliharaannya, misalnya, berkaitan dengan
kepentingan pribadi orang itu untuk memiliki kucing yang sehat.

f. barang dan/atau jasa itu tidak untuk diperdagangkan


pengertian konsumen dalam UUPK ini dipertegas, yakni hanya konsumen akhir.
Batasan itu sudah biasa dipakai dalam peraturan perlindungan konsumen di berbagai
negara. Secara teoritis hal demikian terasa cukup baik untuk mempersempit ruang
lingkup pengertian konsumen, walaupun dalam kenyataannya, sulit menetapkan
batas-batas seperti itu.

2. hak-hak konsumen
istilah “perlindungan konsumen” berkaitan dengan perlindungan hukum. Oleh
karena itu, perlindungan konsumen mengandung aspek hukum. Adapun materi yang
mendapatkan perlindungan itu bukan sekadar fisik, melaikan terlebih-lebih hak-
haknya yang bersifat abstrak. Dengan kata lain, perlindungan konsumen identik
dengan perlindungan yang diberikan hukum tentang hak-hak konsumen.
Secara umum dienal ada 4 (empat) hak dasar konsumen, yaitu
1. hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety);
2. hak untuk mendapatkan informasi ( the right to be informed);
3. hak untuk memilih ( the right to choose);
4. hak untuk didengar ( the right to be heard).
Empat hak dasar ini diakui secara internasinaol. Dalam perkembangannya,
organisasi-organisasi konsumen yang tergabung dalam the international organization
of consumers unions (IOCU) menambahkan lagi beberapa hak, seperti hak
mendapatkan pendidikan konsumen, hak mendapatkan gati kerugian, dan hak
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Namun, tidak semua organisasi konsumen menerima penambahan hak-hak
tersebut. Mereka bebas untuk menerima semua atau sebagian. YLKI, misalnya,
memutuskan untuk menambah 1 hak lagi sebagi pelengkap hak dasar konsumen, yaitu
hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sehingga keseluruhannya
dikenal sebagai panca hak konsumen.
Dalam UUPK, empat hak dasar yang dikemukakan oleh John F. Kennedy tersebut
juga di akomodasi.
Hak konsumen untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, tidak
dimasukkan dalam UUPK ini karena UUPK secara khusus mengecualikan hak-hak
atas kekayaan intelektual (HAKI) dan dibidang pengolaan lingkungan. Tidak jelas
kenapa kedua bidang hukum ini yang di kecualikan secara khusus, mengingat sebagai
undang-undang paying (umberella act), UUPK seharusnya dapat mengatur hak-hak
konsumen itu secara komprehensif.
Langkah untuk meningkatkan martabat dan kesadaran konsumen harus diawali
dengan upaya untuk memahami hak-hak pokok konsumen, yang dapat dijadikan
sebagai landasan perjuangan untuk mewujudkan hak-hak tersebut.
Hak konsumen sebagaimana tertuang dalam pasal 4 UU No. 8 tahun 1999 adalah
sebagi berikut:
a. hak atas kenyamanan dan keselamatan dalam mengonsumsi barang/jasa;
b. hak untuk memilih barang/jasa serta mendapatkan barang/jasa tersebut sesuai
dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c. hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang/jasa
d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang/jasa yang
digunakan;
e. hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f. hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. hak untuk mendapatkan konpensasi ganti rugi/ penggantian, apabila
barang/jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana
mestinya;
h. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Disamping hak-hak dalam pasal 4, juga terdapat hak-hak konsumen yang
dirumuskan dalam pasal berikutnya, khususnya dalam pasal 7 yang mengatur tentang
kewajiban pelaku usaha. Kewajiban dan hak merupakan antinomi dalam hukum,
sehingga kewajiban pelaku usaha dapat dilihat sebagai hak konsumen.
Selain hak yang dibutuhkan itu, ada juga hak untuk dilindungi dari akibat negatif
persaingan curang. Hal ini berangkat dari pertimbangan, kegiatan bisnis yang
dilakukan tidak secara jujur, yang dalam hukum dikenal dengan terminologi
“persaingan curang“ (unfair competition).
Dalam hukum positif indonesia, masalah persaingan curang (dalam bisnis) ini
diatur secara khusus pada pasal 382 bis kitab undang-undang hukum pidana.
Selanjutnya, sejak 5 maret 2000 diberlakukan juga UU No. 5 tahun 1999 tentang
larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Ketentuan-ketentuan ini
sesungguhnya diperuntukan bagi sesama pelaku usaha, tidak bagi konsumen
langsung. Kendati demikian, kompetisi tidak sehat diantara mereka pada jangka
panjang pasti berdampak negatif bagi konsumen karena pihak yang dijadikan sasaran
rebutan adalah konsumen itu sendiri. Disini letak arti penting mengapa hak ini perlu
dikemukakan, agar tidak berlaku pepatah: “dua gajah berkelahi, pelanduk mati di
tengah-tengah“.
Akhirnya, jika semua hak-hak yang disebutkan itu disusun kembali secara
sistematis (mulai dari yang diasumsikan paling mendasar), akan diperoleh urutan
sebagai berikut:
a. Hak konsumen Mendapatkan Keamanan
Konsumen berhak mendapatkan keamanan dari barang dan jasa yang ditawarkan
kepadanya. Produk barang dan jasa itu tidak boleh membahayakan jika
dikonsumsi sehingga konsumen tidak dirugikan baik secara jasmani dan rohani.
Hak untuk memperoleh keamanan ini penting ditempatkan pada kedudukan
utama karena berabad-abad berkembang suatu falsafah berpikir bahwa konsumen
(terutama pembeli) adalah pihak yang wajib berhati-hati, bukan pelaku usaha.
Falsafah yang disebut caveat emptor (let the buyer beware) ini mencapai
puncaknya pada abad ke-19 seiring berkembangnya paham rasional
individualisme di Amerika Serikat. Dalam perkembangannya kemudian, prisip
yang merugikan konsumen ini telah ditinggalkan.
Dalam barang dan/atau jasa yang dihasilkan dan dipasarkan oleh pelaku usaha
berisiko sangat tinggi terhadap keamanan konsumen, Pemerintah selayaknya
mengadakan pengawasan secara ketat. Misalnya zat atau obat yang tergolong
narkotika dan psikotropika. Undang-undang No.5 Tahun 1997 tentang
psikotropika dan Undang-undang No.22 Tahun 1997 tentang Narkotika
menetapkan psikotopika dan narkotika golongan I hanya dapat digunakan untuk
kepentingan ilmu pengetahuan, tidak dapat digunakan untuk kepentingan
pelayanan kesehatan.Restriksi demikian perlu dilakukan semata-mata demi
menjaga keamanan masyarakat atas akibat negatif dari produk tersebut.
Satu hal juga seiring dilupakan dalam kaitan dengan hak untuk mendapatkan
keamanan adalah penyediaan fasilitas umum yang memenuhi syarat yang
ditetapkan. Di Indonesia, sebagian besar fasilitas umum, seperti pusat
perbelanjaan, hiburan, rumah sakit,dan perpustakaan belum cukup akomodatif
untuk menopang keselamatan pengunjungnya. Hal ini tidak saja bagi pengguna
produk barang atau jasa (konsumen) yang berfisik normal pada umumnya, tetapi
juga tidak berlebih-lebih mereka yang cacat fisik dan lanjut usia. Akibatnya, besar
kemungkinan mereka ini tidak dapat leluasa berajalan dan naik tangga di tempat-
tempat umum karena tingkat resiko yang sangat tinggi.

b. Hak untuk Mendapatkan Informasi yang Benar


Setiap produk yang diperkenalkan kepada konsumen harus disertai informasi yang
benar. Informasi ini diperlukan agar konsumen tidak sampai mempunyai
gambaran yang keliru atas produk barang dan jasa. Informasi ini dapat
disampaikan dengan berbagai cara, seperti lisan kepada konsumen, melalui iklan
di berbagai media, atau mencantumkan dalam kemasan produk (barang).
Jika dikaitkan dengan hak konsumen atas keamanan, maka setiap produk yang
mengandung risiko terhadap keamanan konsumen, wajib disrtai informasi berupa
petunjuk pemakaian yang jelas. Sebagai contoh, iklan yang secara ideal diartikan
sebagai sarana pemberi informasi kepada konsumen, seharusnya terbebas dari
mani pulasi data. Jika iklan memuat informasi yang tidak benar, maka perbuatan
itu memenuhi kriteria kejahatan yang lazim disebut fraudulent misrepresentation.
Bentuk kejahatan ini ditandai oleh (1)pemakaian pernyataan yang jelas-jelas salah
(false statement), seperti menyebutkan diri terbaik tanpa indikator yang jelas, dan
(2) pernyataan yang menyesatkan (mislead), misalnya menyebutkan adanya
khasiat tertentu padahal tidak.
Menurut Troelstup, konsumen pada saat ini membutuhkan banyak informasi
yang lebih relavan dibandingkan dengan saat sekitar 50 tahun lalu. Alasannya,
saat ini: (1) terdapat lebih banyak produk, merek, dan tentu saja penjualnya, (2)
daya beli konsumen makin meningkat, (3) lebih banyak variasi merek yang
beredar di pasaran, sehingga belum banyak diketahui semua orang, (4) model-
model produk lebih cepat berubah, (5) kemudahan transportasi dan komunikasi
sehingga mem buka akses yang lebih besar kepada bermacam-macam produsen
atau penjual.
Hak untuk mendapatkan informasi menurut Prof.Hans W.Micklitz, seorang
ahli hukum konsumen dari jerman, dalam ceramah di Jakarta, 26-30 Oktober1998
membedakan konsumen berdasarkan hak ini. Ia menyatakan, sebeum kita
melangkah lebih detail dalam perlindungan konsumen, terlebih dulu harus ada
persamaan persepsi tentang tipe konsumen yang akan mendapatkan perlindungan.
Menurutnya, secara garis besar dapat dibedakan dua tipe konsumen, yaitu
a. konsumen yang terinformasi (well-informed)
b. konsumen yang tidak terinformasi.
Ciri-ciri konsumen yang terinformasi sebagai tipe pertama adalah:
Memiliki tingkat pendidikan tertentu ;
• mempunyai sumberdaya ekonomi yang cukup, sehingga dapat berperan dalam
ekonom pasar, dan
• lancer berkomunikasi.
Dengan memiliki tiga potensi, konsumen jenis ini mampu bertanggung jawab dan
relative tidak memerlukan perlindungan.
Ciri-ciri konsumen yang tidak terinformasi sebagai tipe kedua memiliki ciri-
ciri antara lain :
• kurang berpendidikan ;
• termasuk kategori kelas menengah ke bawah ;
• tidak lancar berkomunikasi.
Konsumen jenis ini perlu dilindungi, dan khususnya menjadi tanggung jawab
Negara untuk memberikan perlindungan.
Selain ciri-ciri konsumen yang tidak terinformasikan, karena hal-hal khusus
dapat juga dimasukkan kelompok anak-anak, orang tua, dan orng asin (yang tidak
dapat berkomunikasi dengan bahasa setempat) sbagai konsumen yang wajib
dilindungi oleh negara. Informasi ini harus diberikan secara sama bagi semua
konsumen (tidak diskriminatif). Dalam perdagangan yang sangat mengandalkan
informasi, akses kepada infoasi yang tertutup misalnya dalam praktik insider
trading di bursa efek, dianggap sebagai bentuk kejahatan yang serius.
Penggunaan teknologi tinggi dalam mekanisme produksi barang dan/atau jasa
akan menyebabkan makin banyaknya infomasi yang harus dikuasai oleh
masyarakat konsumen. Di sisi lain mustahil mengharapkan sebagian besar
konsumen memiliki kemampuan dan akse informasi secara sama besarnya. Apa
yang dikenal dengan consumer ignorance, yaitu ketidakmampuan konsumen
menerima infomasi akibat kemajuan teknologi dan keragaman produk yang
dipasarkan dapat saja dimanfaatkan secara tidak sewajarnya oleh pelaku usaha.
Itulah sebabnya, hukum perlindungan konsumen memberikan hak konsumen atas
informasi yang benar, yang didalam nya tercakup juga hak atas infomasi dan
diberikan secara tidak diskriminatif.

c. Hak untuk Didengar


Hak yang erat kaitannya dengan hak untuk mendapatkan informasi adalah hak
untuk didengar. Ini disebabkan oleh informasi dari pihak yang berkepentingan
atau berkompeten erring tidak cukup memuaskan konsumen. Untuk itu konsumen
berhak mengajukan permitaan infomasi lebih lanjut.
Dalam tata karma dan tata cara periklanan Indonesia disebutkan, bila diminta
oleh konsumen, maka baik perusahaan periklanan, media, maupun pengiklan,
harus bersedia memberikan penjelasan mengenai suatu iklan tertentu, Pengaturan
demikian, sekalipun masih berbentuk kode etik (self regulation) akan mengarah
kepada langkah positif menuju penghormatan hak konsumen untuk didengar.
Dalam pasal 44 UU No.32 Tahun 2002 tentang penyiaran dinyatakan lembaga
penyiaran wajib meralatisi siaran dan/atau berita. Penyanggah berita ini mungkin
adalah konsumen dari produk tertentu. Ralat atau pembetulan wajib dilakukan
dalam waktu selambat-lambatnya satu kali 24 jam berikutnya atau pada
kesempatan pertama pada ruang mata acara yang sama, dan dalam bentuk serta
cara yang sama dengan penyampaian isi siaran dan/atau berita yang disanggah.
Ketentuan dalam Undang-Undang penyiaran itu jelas-jelas menunjukkan hak
untuk didengar, yang dalam doctrin hukum dapat diidentikkan dengan hak untuk
membela diri.

d. Hak untuk Memilih


Dalam mengonsumsi suatu produk, konsumen berhak menentukan pilihannya. Ia
tidak boleh mendapat tekanan dari pihak luar sehingga ia tidak lagi bebas untuk
membeli atau tidak membeli. Seandainya ia jadi membeli, ia juga bebas
menentukan
produk mana yang akan dibeli.
Hak untuk memilih ini erat kaitannya dengan ituasi pasar. Jika seseorang atau
suatu golongan diberikan hak monopoli untuk memproduksi dan memasarkan
barang atau jasa, maka besar kemungkinan konsumen kehilangan hak untuk
memilih produk yang satu dengan produk lain.
Undang-Undang No.5 Tahun 1999 tentang Praktik Larangan Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat mengartikan monopoli sebagai penguasaan atas
produksi dan /atau pemasaran dan/atau atas penggunaan jasa tertentu oleh salah
satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha. Dampak dari praktik
monopoli ini adalah adanya persaingan usaha tidak sehat (unfair competition)
yang merugikan jepentingan umum (konsumen).
Jika monopoli itu diberikan kepada perusahaan yang tidak berorientasi pada
kepentingan konsumen, akhirnya konsumen pasti didikte untuk mengonsumsi
barang atau jasa itu tanpa dapat berbuat lain. Dalam keadaan seperti itu, pelaku
usaha dapat secara sepihak mempermainkan mutu barang dan harga jual.
Monopoli juga dapat timbul akibat perjanjian antar pelaku usaha yang bersifat
membatasi konsumen untuk memilih. Dalam dunia perdagangan dikenal apa yang
disebut market sharing agreements, quota agreement, price fixing agreements,
resale price maintenance, maintenance, dan sebagainya (dalam sejarah
perdagangan dikenal sejak 1870-an).

e. Hak untuk Mendapatkan Produk Barang dan/atau Jasa Sesuai dengan Nilai
Tukar yang Diberikan
Dengan hak ini berarti konsumen harus dilindungi dari permainan harga yang
tidak wajar. Dengan kata lain, kuantitas dan kualitas barang dan/atau jasa di
konsumsi harus sesuai dengan nilai uang yang dibayar sebagai penggantinya.
Namun, dalam ketakbebasan pasar, pelaku usaha dapat saja mendikte pasar
dengan menaikkan harga, dan konsumen menjadi korban dari ketiadaan pilihan.
Konsumen dihadapkan pada kondisi : take it or leave it. Jika setuju silakan beli,
jika tidak silakan mencari tempat yang lain (padahal di tempat lain pun pasar
sudah dikuasainya). Dalam situasi demikian, biasanya konsumen terpaksa mencari
produk alternatif (bila masih ada), yang boleh jadi kualitasnya malahan lebih
buruk.
Akibat tidak berimbangnya posisi tawar-menawar antara pelaku usaha dan
konsumen, maka pihak pertama dapat saja mambebankan biaya tertentu yang
sewajarnya tidak ditanggung konsumen. Pratik yang tidak terpuji ini lazim dikenal
dengan istilah externalities.

f. Hak untuk Mendapatkan Ganti Kerugian


Jika konsumen merasakan, kuantitas dan kualitas barang dan/atau yang
dikonsumsinya tidak sesuai dengan nilai tukar yang di berikannya, ia berhak
mendapatkan ganti rugi yang pantas. Jenis dan jumlah ganti rugi itu tentu saja
harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau atas kesepakatan masing-masing
pihak.
Untuk menghindar dari kewajiban memberikan ganti kerugian, sering terjadi
pelaku usaha mencantumkan klausul-klausul eksonerasi di dalam hubungan
hukum antara produsen/penyalur produk dan konsumennya. Klausul seperti
“barng yang dibeli tidak dapat dikembalikan” merupakan hal yanglazim
ditemukan pada toko-toko. Pencantuman secara sepihak demikian tetap tidak
dapat menghilangkan hak konsumen untuk mendapatkan ganti kerugian.
Dalam uraian tentang hak untuk didengar dikatakan, Undang-Undang No.32
Tahun 2002 tentang penyiaran mewajibkan lembaga penyiaran wajib
mencantumkan ralat isi siaran dan/atau berita yang disanggah pihak lain. Jika
penyanggah isi siaran itu konsumen, walaupun ralat dimuat, hak konsumen tidak
berarti dengan sendirinya hilang. Lembaga penyiaran tidak terbebas dari tanggung
jawab atas tuntutan hukum yang tuntutan hukum yang diajukan oleh pihak yang
merasa dirugikan.

g. Hak untuk Mendapatkan Penyelesaian Hukum


Hak untuk mendapatkan ganti kerugian harus ditempatkan lebih tinggi daripada
hak pelaku usaha (produsen/penyalur produk) untuk membuat klausul eksonerasi
secara sepihak. Jika permintaan yang diajukan konsumen dirasakan tidak
mendapat tanggapan yang layak dari pihak-pihak terkait dalam hubungan hukum
dengannya,maka konsumen berhak mendapatkan penyelesaian hukum, termasuk
advokasi. Dengan kata lain, konsumen berhak menuntut pertanggungjawaban
hukum dari pihak-pihak yang dipandang merugikan karena mengonsumsi produk
itu.
Hak untuk mndapatkan penyelesaian hukum ini sebenarnya meliputi juga hak
untuk mendapatkan ganti kerugaian, tetapi kedua hak tersebut tidak berarti
identik. Untuk memperoleh ganti kerugian, konsumen tidak selalu harus
menempuh upaya hukum terlebih dahulu. Sebaliknya, setiap upaya hukum pada
hakikatnya berisikan tuntutan memperoleh ganti kerugian oleh salah satu pihak.
Tentu ada beberapa karateristik tuntutan yang tidak memperbolehkan tuntutan
ganti kerugian ini, seperti dalam upaya legal stnding LSM yang dibuka
kemungkinannya dalam Pasal 46 ayat (1) Huruf c UUPK.

h. Hak untuk Mendapatkan Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat


Hak konsumen atas lingkungan yang baik dan sehat merupakan hak yang diterima
sebagai salah satu hak dasar konsumen oleh berbagai organisasi konsumen di
dunia. Lingkungan hidup yang baik dan sehat berate sangat luas, dan setiap
makhluk hidup adalah konsumen atas lingkungan hidupnya. Lingkungan hidup
meliputi lingkungan hidup dalam arti fisik dan lingkungan nonfisik.
Dalam pasal 22 Undang-undang No.23 Tahun 1992 tentang kesehatan dan
pasal 5 ayat (1) UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup,
hak untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat ini diyatakan dengan
tegas.
Desakan pemenuhan hak konsumen atas lingkungan hidup yang baik dan sehat
makin mengemuka akhir-akhir ini. Misalnya munculnya gerakan konsumerisme
hijau (green consumerism) yang sangat peduli pada kelestarian lingkungan.
Sementara itu, mulai tahun 2000 semua perusahaan yang berkaitan dengan hasil
hutan, baru dapat menjual produknya di Negara-negara yang bergabung dalam
The International Tropical Timber Organazation (ITTO), jika telah memperoleh
ecolabeling certificate.Ketentuan demikian sangat penting artinya, khususnya bagi
produsen hasil hutan tropis, seperti Indonesia, karena praktis pangsa pasar
terbesarnya adalah Negara-negara anggota ITTO. Untuk itu lembaga Ekolabeling
Indonesia (LEI) pada tahun 1998 mulai melakukan audit atas sejumlah perusahaan
perkayuan Indonesia agar dapat diberkan sertifikat ekolabeling yang disebut SNI
5000.

i. Hak untuk Dilindungi dari Akibat Negatif Persaingan Curang


Persaingan curang atau dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1999 disebut dengan
“persaingan usaha tidak sehat” dapat terjadi jika seorang pengusaha berusaha
menarik langganan atau klien pengusaha lain untuk memajukan usahanya atau
memperluas penjualan atau pemasrannya dengan menggunakan alat atau sarana
yang bertentangan dengan iktikad baik dankejujuran dalam pergaulan
perekonomian.
Contoh bentuk yang kerap terjadi dalam persaingan curang adalah permainan
harga (dumping). Satu produsen yang kuat mencoba mendesak produsen
saingannya yang lebih lemah dengan cara membanting harga produk. Tujuannya
untuk merebut pasar, dan produsen saingannya akan berhenti berproduksi. Pada
kesempatan berikutnya, dalam pasar yang monopolistic itulah harga kembali
dikendalikan oleh si produsen yang curng ini. Dalam posisi demikian, konsumen
pula yang dirugikan.
Hak konsumen untuk dihindari dari akibat negatif persaingan curng dapat
dikatakan sebagai upaya pre-emptive yang harus dilakukan, khususnya oleh
pemerintah guna mencegah munculnya akibat-akibat langsung yang merugikan
konsumen.

Dalam Undang-undang No.5 tahun 1999 disebutkan adanya (1) perjanjian


dilarang, dan (2) kegiatan yang dilarang, antara lain dalam pasal 17 sampai
dengan pasal 24. termasuk dalam bentuk perjanjian yang dilarang adalah
oligopoli, penetapan harga, pembagian wilayah, pemboikotan, kartel, trust,
oligopsoni, integrasi vertical, perjanjian tertutup, dan perjanjian dengan pihak luar
negeri yang mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan tidak
sehat.

J. Hak untuk Mendapatkan Pendidikan Konsumen


Masalah perlindungan konsumen di Indonesia termasuk masalah yang baru. Oleh
karena itu, wajar bila masih banyak konsumen

(1) Pihak yang menghasilkan produk akhir berupa barang-barang


manufaktur. Mereka ini bertanggung jawab atas segala kerugian yang timbul dari
barang yang mereka edarkan ke masyarakat, termasuk bila kerugian timbul akibat
cacatnya barang yang merupakan komponen dalam proses produksinya;
(2) Produsen bahan mentah atau komponen suatu produk;
(3) Siapa saja, yang dengan membubuhkan nama, merek, ataupun tanda-
tanda lain pada produk menampakkan dirinya sebagai produsen dari suatu barang.

Selanjutnya Pasal 3 ayat (2) Directive menyebutkan bahwa: siapa pun yang
mengimpor suatu produk ke lingkungan EC adalah produsen. Ketentuan ini sengaja
dicantumkan untuk melindungi konsumen dari kemungkinan harus menggugat
produsen asing (yang pusat kegiatannya) di luar lingkungan EC. Ketentuan ini
mengharuskan importir yang mengimpor barang dari eksportir negara ketiga
mendapatkan jaminan melalui suatu perjanjian yang menyatakan bahwa pihak
eksportir bertanggung jawab sepenuhnya atas barang yang dimasukkan EC. Lebih
lanjut lagi, pedagang/penyalur yang mengedarkan barang yang tidak jelas identitas
produsennya, bertanggung jawab atas barang tersebut. Demikian pula tanggung jawab
penyalur/pedagang ini timbul atas barang yang diimpor dari negara ketiga, tapi tidak
jelas importimya.
Sebagian besar negara anggota EC telah meratifikasi Konvensi tentang
Jurisdiksi, sehingga berdasar Pasal 5 ayat (3) konvensi ini, gugatan atas produk
liability dapat diajukan ke pengadilan yang jurisdiksinya meliputi tempat timbulnya
kerugian.
Hak-hak produsen dapat ditemukan antara lain pada faktor-faktor yang
membebaskan produsen dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh
konsumen, meskipun kerusakan timbul akibat cacat pada produk, yaitu apabila:
1) produk tersebut sebenarnya tidak diedarkan;
2) cacat timbul di kemudian hari;
3) cacat timbul setelah produk berada di luar kontrol produsen;
4) barang yang diproduksi secara individual tidak untuk keperluan produksi;
5) cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan yang ditetapkan oleh penguasa.

Di Amerika Serikat, faktor-faktor yang membebaskan produsen dari tanggung


jawab atas kerugian yang diderita oleh konsumen meliputi:
1) kelalaian si konsumen penderita;
2) penyalahgunaan produk yang, tidak terduga pada saat produk dibuat
(unforseeable misuse);
3) lewatnya jangka waktu penuntutan (daluarsa), yaitu 6 (enam) tahun setelah
pembelian, atau 10 tahun sejak barang diproduksi;
4) produk pesanan pemerintah pusat (federal);
5) kerugian yang timbul (sebagian) akibat kelalaian yang dilakukan oleh
produsen lain dalam kerja sama produksi (di beberapa negara bagian yang
mengakui joint and several liability).

Dalam Pasal 6 UU No. 8 Tahun 1999 Produsen disebut sebagai pelaku usaha yang
mempunyai hak sebagai berikut:
a. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai
kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
b. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang
beriktikad tidak baik;
c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian
hukum sengketa konsumen;
d. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa
kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
e. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

Adapun dalam Pasal 7 diatur kewajiban pelaku usaha, sebagai berikut:


a. beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan,
perbaikan, dan pemeliharaan;
c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak
diskriniinatif,
d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa
yang berlaku;
e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba
barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas
barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat
penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
g. memberi kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/ jasa
yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Dalam UUPK pelaku usaha diwajibkan beriktikad baik dalam melakukan kegiatan
usahanya, sedangkan bagi konsumen diwajibkan beriktikad baik dalam melakukan
transaksi pembelian barang dan/atau jasa.
Dalam UUPK tampak bahwa iktikad baik lebih ditekankan pada pelaku usaha,
karena meliputi semua tahapan dalam melakukan kegiatan usahanya, sehingga dapat
diartikan bahwa kewajiban pelaku usaha untuk beriktikad baik dimulai sejak barang
dirancang/diproduksi sampai pada tahap puma penjualan, sebaliknya konsumen hanya
diwajibkan beriktikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau
jasa. Hal ini tentu saja disebabkan oleh kemungkinan terjadinya kerugian bagi
konsumen dimulai sejak barang dirancang/diproduksi oleh produsen (pelaku usaha),
sedangkan bagi konsumen, kemungkinan untuk dapat merugikan produsen mulai pada
saat melakukan transaksi dengan produsen)
Tentang kewajiban kedua pelaku usaha yaitu memberikan informasi yang benar,
jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi
penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan, disebabkan karena informasi di
samping merupakan hak konsumen, juga karena ketiadaan informasi yang tidak
memadai dari pelaku usaha merupakan salah satu jenis cacat produk (cacat informasi),
yang akan sangat merugikan konsumen.
Pentingnya penyampaian informasi yang benar terhadap konsumen mengenai
suatu produk, agar konsumen tidak salah terhadap gambaran mengenai suatu produk
tertentu. Penyampaian informasi terhadap konsumen tersebut dapat berupa
representasi, peringatan, maupun yang berupa instruksi.
Diperlukan representasi yang benar terhadap suatu produk, karena salah satu
penyebab terjadinya kerugian terhadap konsumen adalah terjadinya misrepresentasi
terhadap produk tertentu. Kerugian yang dialami oleh konsumen di Indonesia dalam
kaitannya dengan misrepresentasi banyak disebabkan karena tergiur oleh iklan-iklan
atau brosur-brosur produk tertentu, sedangkan Man atau brosur tersebut tidak
selamanya memuat informasi yang benar karena pada umumnya hanya menonjolkan
kelebihan produk
Peringatan ini sama pentingnya dengan instruksi penggunaan suatu produk yang
merupakan informasi bagi konsumen, walaupun keduanya memiliki fungsi yang
berbeda yaitu instruksi terutama telah diperhitungkan untuk menjamin efisiensi
penggunaan produk, sedangkan peringatan dirancang untuk menjamin keamanan
penggunaan produk. Peringatan yang merupakan bagian dari pemberian informasi
kepada konsumen ini merupakan pelengkap dari proses produksi. Peringatan yang
diberikan kepada konsumen ini memegang peranan penting dalam kaftan dengan
keamanan suatu produk. Dengan demikian pabrikan (produsen pembuat wajib
menyampaikan peringatan kepada konsumen). Hal ini berarti bahwa tugas produsen
pembuat tersebut tidak berakhir hanya dengan nienempatkan suatu produk dalam
sirkulasi. Produk yang dibawa ke pasar tanpa petunjuk cars pemakaian dan peringatan
atau petunjuk dan peringatan yang sangat kurang/tidak memadai menyebabkan suatu
produk dikategorikan sebagai produk yang cacat instruksi. Hal ini berlaku bagi
peringatan sederhana, misalnya "simpan di luar jangkauan anak-anak" dan berlaku
pula terhadap peringatan mengenai efek samping setelah pemakaian suatu produk
tertentu. Peringatan demikian maupun petunjuk-petunjuk pemakaian harus
disesuaikan dengan sifat produk dan kelompok pemakai.
Selain peringatan, instruksi yang ditujukan untuk menjamin efisiensi penggunaan
produk juga penting untuk mencegah timbulnya kerugian bagi konsumen.
Pencantuman informasi bagi konsumen yang berupa instruksi atau petunjuk prosedur
pemakaian suatu produk merupakan kewajiban bagi produsen agar produknya tidak
dianggap cacat (karena ketiadaan informasi atau informasi yang tidak memadai).
Sebaliknya, konsumen berkewajiban untuk membaca, atau mengikuti petunjuk
informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi
keamanan dan keselarnatan.

Daftar Pertanyaan
1. Apakah terdapat perbedaan konsumen antara dan konsumen akhir? Jelaskan
disertai contoh!
2. Sebut dan jelaskan secara singkat unsur-unsur definisi konsumen!
3. Mengapa tingkat pendidikan konsumen menjadi sangat berpengaruh pada
penyampaian informasi, dan siapa yang paling berhak untuk dilindungi, konsumen
yang terinformasi atau konsumen yang tidak terinformasi? Jelaskan disertai
contoh!
4. Apa yang menjadi alasan sehingga lingkungan hidup yang baik dan sehat juga
mendapat perhatian dan merupakan hak konsumen untuk mendapatkannya,
jelaskan secara singkat!
5. Mengapa pengusaha dalam Pasal 7 UU No. 8 Tahun 1999 diwajibkan untuk
beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya?
BAB 3
PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAMPERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN

A. PENDAHULUAN
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 memiliki ketentuan yang menyatakan bahwa
kesemua undang-undang yang ada dan berkaitan dengan perlindungan konsumen
tetap berlaku, sepanjang tidak bertentangan atau telah diatur khusus oleh undang-
undang. Oleh karena itu, tidak dapat lain haruslah dipelajari juga peraturan
perundang-undangan tentang konsumen dan/atau perlindungan konsumen ini dalam
kaidah-kaidah hukum peraturan perundang-undangan umum yang mungkin atau dapat
mengatur dan/atau melindungi hubungan dan/atau masalah konsumen dengan
penyedia barang atau jasa. Sebagai akibat dari penggunaan peraturan perundang-
undangan umum ini, dengan sendirinya berlaku pulalah asas-asas hukum yang
terkandung di dalamnya pada berbagai pengaturan dan/atau perlindungan konsumen
tersebut. Padahal, nanti akan nyata, di antara asas hukum tersebut tidak cocok untuk
memenuhi fungsi pengaturan dan/atau perlindungan pada konsumen, tanpa setidak-
tidaknya dilengkapi/diadakan pembatasan berlakunya asas-asas hukum tertentu itu.
Pembatasan dimaksudkan dengan tujuan "menyeimbangkan kedudukan" di antara
para pihak pelaku usaha dan/atau konsumen bersangkutan.
Yang dimaksudkan dengan peraturan perundang-undangan umum adalah
semua peraturan perundangan tertulis yang diterbitkan oleh badan-badan yang
berwenang untuk itu, baik di pusat maupun di daerah-daerah. Peraturan perundang-
undangan itu antara lain adalah (di Pusat) Undang-Undang Dasar 1945, Undang-
Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Peraturan Presiden, dan seterusnya, dan (di daerah-daerah) Peraturan Daerah
(Peraturan Daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota serta peraturan Desa dan
sebagainya). Purnadi2) dalam bukunya menyebut perundang-undangan umum ini
sebagai undang-undang dalam arti materiil.
Az. Nasution menjelaskan3) konsekuensi dari upaya menyusun rancangan
undang-undang tentang perlindungan konsumen yang sekarang sudah diberlakukan
dapat disebut sebagai membangun tata hukum konsumen secara tersendiri yang
berada dalam Sistem Hukum Indonesia. Sungguh ini pekedaan yang bukan sederhana
sebagai contoh dapat dikemukakan sebagai berikut.
Pertama, apabila kits mengkaji peraturan yang berkaitan dengan masalah
standar, seperti yang diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan, Menteri Perin-
dustrian dan Perdagangan dan berbagai Menteri lain, dapat dikatakan bahwa standar
yang ditetapkan itu selain dimaksud untuk memberi perlindungan kepada konsumen
juga melindungi konsumen yang berstatus pengusaha, ataupun masyarakat umum
lainnya. Demikian pula pengaturan mengenai ukuran, timbangan, takaran atau
ketentuan mengenai label, ketentuan daluwarsa, dan sebagainya.
Kedua, ketentuan dalam hukum pidana yang berkaitan dengan penipuan,
pemalsuan, penjualan barang dapat membahayakan jiwa manusia (Pasal 383, 263,
202, 382, 383). Ketentuan ini termasuk sebagai delik pidana, yaitu perbuatan yang
bersifat melawan hukum yang dilarang dan diancam dengan pidana. Ketentuan ini
termasuk pula melindungi konsumen, namun juga melindungi masyarakat pada
umumnya.
Ketiga, ketentuan dalam hukum perdata yang berkaitan dengan perikatan
(Pasal 1233, 1234, 1313, 1351) mengatur hubungan perjanjian pars pihak baik yang
berstatus konsumen maupun status pengusaha sebagai produsen barang atau jasa.
Keempat, Ketentuan tentang bidang peradilan, Undang-Undang No. 4 Tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur mengenai peradilan umum yang
disebut Pengadilan Negeri. Pengadilan ini selanjutnya merupakan lembaga peradilan
yang mengadili perkara pidana dan perdata yang bagi perkara yang menyangkut
masyarakat umum termasuk konsumen.
Dari keempat catatan tersebut, ada upaya membangun tata hukum yang
diperuntukkan bagi konsumen Indonesia dalam sistem Hukum Indonesia yang sudah
berlaku dewasa ini.
Alasan yang dapat dikemukakan untuk menerbitkan peraturan perundang-
undangan yang secara khusus mengatur dan melindungi kepentingan konsumen dapat
disebutkan sebagai berikut.
a. Konsumen memerlukan pengaturan tersendiri, karena dalam suatu hubungan
hukum dengan penjual, konsumen merupakan pengguna barang dan jasa untuk
kepentingan diri sendiri dan tidak untuk diproduksi ataupun diperdagangkan.
b. Konsumen memerlukan sarana atau acara hukum tersendiri sebagai upaya
guns melindungi atau memperoleh haknya.

B. SUMBER-SUMBER HUKUM KONSUMEN

Di samping Undang-Undang Perlindungan Konsumen, hukum konsumen


"ditemukan" di dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sebelumnya, telah diuraikan bahwa Undang-Undang Perlindungan Konsumen berlaku
setahun sejak disahkannya (tanggal 20 April 2000). Dengan demikian dan ditambah
dengan ketentuan Pasal 64 (Ketentuan Peralihan) undang-undang ini, berarti untuk
"membela" kepentingan konsumen, masih harus dipelajari semua peraturan
perundang-undangan umum yang berlaku. Tetapi peraturan perundangundangan
umum yang berlaku memuat juga berbagai kaidah menyangkut hubungan dan
masalah konsumen. Sekalipun peraturan perundang-undangan itu tidak khusus
diterbitkan untuk konsumen atau perlindungan konsumen, setidaktidaknya is
merupakan cumber juga dari hukum konsumen dan/atau hukum perlindungan
konsumen. Beberapa di antaranya akan diuraikan berikut ini.1)

1. Undang-Undang Dasar dan Ketetapan MPR


Hukum Konsumen, terutama Hukum Perlindungan Konsumen mendapatkan landasan
hukumnya pada Undang-Undang Dasar 1945, Pembukaan, Alinea ke-4 berbunyi:

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia.

Umumnya, sampai saat ini orang bertumpu pada kata "segenap bangsa"
sehingga ia diambil sebagai asas tentang persatuan seluruh bangsa Indonesia (asas
persatuan bangsa). Akan tetapi, di samping itu, dari kata "melindungi" menurut Az.
Nasution di dalamnya terkandung pula asas perlindungan (hukum) pada segenap
bangsa tersebut. Perlindungan hukum pada segenap bangsa itu tentulah bagi segenap
bangsa tanpa kecuali. Baik ia laki-laki atau perempuan, orang kaya atau orang miskin,
orang kota atau orang desa, orang asli atau keturunan dan pengusaha/pelaku usaha
atau konsumen.

Landasan hukum lainnya terdapat pada ketentuan termuat dalam Pasal 27 ayat
(2) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Ketentuan tersebut berbunyi:
Tiap warga Negara berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Sesungguhnya, apabila kehidupan seseorang terganggu atau diganggu oleh
pihak/pihak lain, maka alai-alai negara akan turun Langan, baik diminta atau tidak,
untuk melindungi dan atau mencegah terjadinya gangguan tersebut. Penghidupan
yang layak, apalagi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan merupakan hak dari
warga negara dan hak semua orang. la merupakan hak dasar bagi rakyat secara
menyeluruh.
Penjelasan autentik Pasal 27 ayat (2) ini berbunyi:
Telah jelas, pasal-pasal ini mengenal hak-hak warga negara.

Selanjutnya, untuk melaksanakan perintah UUD 1945 melindungi segenap


bangsa, dalam hal ini khususnya melindungi konsumen, Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) telah menetapkan berbagai ketetapan MPR, khususnya sejak tahun
1978. Dengan ketetapan terakhir Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1993 (TAP-
MPR) makin jelas kehendak rakyat atau adanya perlindungan konsumen, sekalipun
dengan kualifikasi yang berbeda-beda pada masing-masing ketetapan.
Kalau pada TAP-MPR 1978 digunakan istilah "menguntungkan" konsumen,
TAP-MPR 1988 "menjamin" kepentingan konsumen, maka pada tahun 1993
digunakan istilah "melindungi kepentingan konsumen". Sayangnya, dalam masing-
masing TAP-MPR tersebut tidak terdapat penjelasan tentang apa yang dimaksud
dengan menguntungkan, menjamin atau melindungi kepentingan konsumen tersebut.
Salah satu yang menarik dari TAP-MPR 1993 ini adalah disusunnya dalam
satu napas, dalam satu baris kalimat, tentang kaftan produsen dan konsumen. Susunan
kalimat tersebut berbunyi:
“…………. meningkatkan pendapatan produsen dan melindungi kepentingan
konsumen".
Dengan susunan kalimat demikian, terlihat lebih jelas arahan Majelis
Permusyawaratan Rakyat tentang kekhususan kepentingan produsen (dan semua
pihak yang dipersamakan dengannya) dan kepentingan konsumen.
Sifat kepentingan khas produsen (lebih tepat pelaku usaha atau pengusaha)
telah ditunjukkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Sebelumnya, telah
diterangkan bahwa pengusaha dalam menjalankan kegiatan memproduksi atau
berdagang menggunakan barang atau jasa sebagai bahan baku, bahan tambahan,
bahan penolong, atau bahan pelengkap. Kepentingan mereka dalam menggunakan
barang atau jasa adalah untuk kegiatan usaha memproduksi dan/atau berdagang itu,
adalah untuk meningkatkan pendapatan atau penghasilan mereka (tujuan komersial).
Adapun bagi konsumen akhir, sebagai pribadi penggunaan barang dan/jasa itu
adalah untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri, keluarga atau rumah tangganya
(kepentingan nonkomersial). Nilai barang atau jasa yang digunakan konsumen dalam
memenuhi kebutuhan hidup mereka tidak diukur atas dasar untung rugi secara
ekonomis belaka, tetapi semata-mata untuk memenuhi kebutuhan raga dan jiwa
konsumen. Oleh karena itu, nyata bahwa konsumen tidak sematamata menggunakan
ukuran-ukuran komersial sebagaimana yang menjadi ukuran pelaku usaha dalam
penggunaan barang dan/atau jasa yang mereka konsumsi.
Kepentingan peningkatan pendapatan atau penghasilan pelaku usaha adalah
dalam rangka pelaksanaan kegiatan usaha mereka. Dalam hubungannya dengan pars
konsumen, kegiatan usaha pengusaha adalah dalam rangka memproduksi,
menawarkan, dan/atau mengedarkan produk hasil usaha mereka. Perlindungan hukum
yang mereka perlukan adalah agar penghasilan dalam berusaha dapat meningkat,
tidak merosot atau bahkan hilang sama sekah baik karena:
a. Terdapat kelemahan dalam menjalankan usaha tertentu atau tidak efisien
dalam menjalankan manajemen usaha (perlu ketentuan-ketentuan tentang
pembinaan) atau
b. Adanya praktik-praktik niaga tertentu yang menghambat atau menyingkirkan
pars pengusaha dari pasar, seperti praktik persaingan melawan hukum,
penguasaan pasar yang dominan, dan lain-lain (memerlukan ketentuan-
ketentuan pengawasan).

Kepentingan konsumen dalam kaftan dengan penggunaan barang dan/atau


jasa, adalah agar barang/jasa konsumen yang mereka peroleh, bermanfaat bagi
kesehatan/keselamatan tubuh, keamanan jiwa dan harta benda, diri, keluarga dan/atau
rumah tangganya (tidak membahayakan atau merugikan mereka). Jadi, yang menonjol
dalam perlindungan kepentingan konsumen ini adalah perlindungan pada jiwa,
kesehatan, harta dan/atau kepentingan kekeluargaan konsumen.
Perbedaan prinsipil dari kepentingan-kepentingan dalam penggunaan barang/
jasa dan pelaksanaan kegiatan antara pelaku usaha dan konsumen dengan sendirinya
memerlukan jenis pengaturan perlindungan dan dukungan yang berbeda pula.
Bagi kalangan pelaku usaha perlindungan itu adalah untuk kepentingan
komersial mereka dalam menjalankan kegiatan usaha, seperti bagaimana
mendapatkan bahan bake, bahan tambahan dan penolong, bagaimana
memproduksinya, mengangkutnya dan memasarkannya, termasuk di dalamnya
bagaimana menghadapi persaingan usaha. Haruslah ada peraturan perundang-
undangan yang mengatur tentang usaha dan mekanisme persaingan itu. Persaingan
haruslah berjalan secara wajar dan tidak terjadi kecurangan-kecurangan yang
mengakibatkan kalangan pelaku usaha tidak saja tidak meningkat pendapatannya,
bahkan coati usahanya.
Sekalipun diakui bahwa persaingan merupakan suatu yang biasa dalam dunia
usaha, tetapi persaingan antarkalangan usaha itu haruslah sehat dan terkendali.
Bagi konsumen, kepentingan nonkomersial mereka yang harus diperhatikan
adalah akibat-akibat kegiatan usaha dan persaingan di kalangan pelaku usaha terhadap
jiwa, tubuh atau harta benda mereka. Dalam keadaan bagaimanapun, tetap harus
dijaga keseimbangan, keselarasan, dan keserasian di antara keduanya.
Oleh karena itu, dalam penyusunan peraturan perundang-undangan haruslah
jelas siapa yang dimaksudkan dengan pelaku usaha dan siapa pula konsumen, spa
hak-hak dan/atau kewajiban yang sesuai kepentingan masing-masing pihak.
Pencampuradukan keduanya, seperti pemikiran sementara orang pada saat ini, lebih
banyak menimbulkan kerancuan dan kesulitan daripada kemanfaatan.
Pelaku usaha adalah pelaku usaha, dan konsumen adalah konsumen, haruslah
diciptakan keadaan yang seimbang, serasi, dan selaras dalam kehidupan di antara
keduanya.

2. Hukum Konsumen dalam Hukum Perdata


Dengan hukum perdata dimaksudkan hukum perdata dalam arti lugs, termasuk hukum
perdata, hukum dagang serta kaidah-kaidah keperdataan yang termuat dalam berbagai
peraturan perundang-undangan lainnya. Kesemuanya itu baik hukum perdata tertulis
maupun hukum perdata tidak tertulis (hukum adat).
Kaidah-kaidah hukum perdata umumnya termuat dalam Kitab UndangUndang
Hukum Perdata (KUH Perdata). Di samping itu, tentu saja jugs kaidahkaidah hukum
perdata adat, yang tidak tertulis tetapi ditunjuk oleh pengadilan dalam perkara-perkara
tertentu. Patut kiranya diperhatikan kenyataan yang ada dalam pemberlakuan berbagai
kaidah hukum perdata tersebut.
Pada tahun 1963, Mahkamah Agung menganggap Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (13W) tidak'sebagai undang-undang tetapi sebagai dokumen yang
hanya menggambarkan suatu kelompok hukum tidak tertulis. Selanjutnya
menganggap tidak berlaku beberapa pasal dari KUH Perdata. Akan tetapi, untuk
selebihnya dalam pengalaman di pengadilan sepanjang kemerdekaan sampai waktu
ini, KUH Perdata bahkan tampak seperti lebih dominan berlakunya dibandingkan
dengan kaidah-kaidah hukum adat atau kaidah-kaidah hukum tidak tertulis dan
putusan-putusan pengadilan negeri maupun pengadilan-pengadilan luar negeri yang
berkaitan. KUH Perdata memuat berbagai kaidah hukum berkaitan dengan hubungan
hukum dan masalah antarpelaku usaha penyedia barang dan/atau jasa dan konsumen
pengguna barang-barang atau jasa tersebut. Terutama buku kedua, buku ketiga, dan
buku keempat memuat berbagai kaidah hukum yang mengatur hubungan konsumen
dan penyedia barang atau jasa konsumen tersebut. Begitu pula dalam KURD, baik
buku pertama, maupun buku kedua, mengatur tentang hak-hak dan kewajiban yang
terbit dari, khususnya (jasa) perasuransian dan pelayaran.
Hubungan hukum perdata dan masalahnya dalam lingkungan berlaku Hukum
Adat, sekalipun sudah amat berkurang, masih tampak hidup dan terlihat dalam
berbagai putusan pengadilan. Beberapa putusan pengadilan tentang masalah
keperdataan berkaitan dengan perlindungan konsumen masih terlihat. Adapun
hubungan-hubungan hukum atau masalah antara penyedia barang atau jasa dan
konsumen dari berbagai negara yang berbeda, atau tidak bersamaan hukum yang
berlaku bagi mereka, dapat diberlakukan Hukum Internasional dan asasasas hukum
internasional, khususnya Hukum Perdata Internasional, memuat pula berbagai
ketentuan hukum perdata bagi konsumen.
Akan tetapi di samping itu, dalam berbagai peraturan perundang-undangan
lain, tampaknya termuat puts kaidah-kaidah hukum yang mempengaruhi dan/ atau
termasuk dalam bidang hukum perdata. Antara lain tentang siapa yang dimaksudkan
sebagai subjek hukum dalam suatu hubungan hukum konsumen, hak-hak dan
kewajiban masing-masing, Berta tats cars penyelesaian masalah yang ter adi dalam
Sengketa antara konsumen dan penyedia barang dan/atau penyelenggara jasa yang
diatur dalam peraturan perundang-undangan bersangkutan.
Beberapa di antaranya (yang terbaru) adalah Undang-Undang tentang
Metrologi Legal (Undang-Undang No. 2 Tahun 1981), Undang-Undang tentang
Lingkungan Hidup (Undang-Undang No. 4 Tahun 1982), Undang-Undang tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers (Undang-Undang No. 21 Tahun 1982), Undang-
Undang tentang Perindustrian (Undang-Undang No. 5 Tahun 1984), Undang-Undang
tentang Rumah Susun (Undang-Undang No. 16 Tahun 1985), Undang-Undang
tentang Lalu Lintas danAngkutan Jalan (Undang-Undang No. 14 Tahun 1992),
Undang-Undang tentang Kesehatan ( Undang-Undang No. 23 Tahun 1992), Undang-
Undang tentang Pangan ( Undang-Undang No. 7 Tahun 1996), dan terakhir Undang-
Undang Perlindungan Konsumen (UndangUndang No. 8 Tahun 1999; Lembaran
Negara Tahun 1999 No. 42).
Jadi, kalau dirangkum keseluruhanriya, terlihat bahwa kaidah-kaidah hukum
yang mengatur hubungan dan masalah hukum antara pelaku usaha penyedia barang
dan/atau penyelenggara jasa dengan konsumennya masing-masing terlihat termuat
dalam:
 KUH Perdata, terutama dalam buku kedua, ketiga, dan keempat;
 KURD, Buku Kesatu dan Buku Kedua;
 Berbagai peraturan perundang-undangan lain yang memuat kaidah-kaidah
hukum bersifat perdata tentang subjek-subjek hukum, hubungan hukum dan
masalah antara penyedia barang atau penyelenggara jasa tertentu dan konsumen.

Perbuatan Melawan Hukum (Pasal 1365 KUH Perdata) Dalam Sengketa Antara
Konsumen dan Pelaku Usaha

Perbuatan melawan hukum di Indonesia secara normatif selalu merujuk pada


ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata. Rumusan norma dalam pasal ini unik tidak
seperti ketentuan pasal lainnya. Perumusan norma Pasal 1365 KUH Perdata lebih
merupakan struktur norma daripada substansi ketentuan hukum yang sudah lengkap.
Oleh karena itu, substansi ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata senantiasa memerlukan
materialisasi di luar KUH Perdata. Dilihat dari dimensi waktu, ketentuan ini akan
"abadi" karena hanya merupakan struktur. Dengan kata lain, seperti kiasan yang
sudah kits kenal bahwa Pasal 1365 KUH Perdata ini "Tak lekang kena pangs, tak
lapuk kena hujan". Perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad) sama dengan
perbuatan melawan undang-undang (on wetmatigedaad).
Perbuatan Melawan Hukum Indonesia yang berasal dari Eropa Kontinental
diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1380 KUH Perdata.
Pasal-pasal tersebut mengatur bentuk tanggung jawab atas Perbuatan Melawan
Hukum yang terbagi atas:
Pertama, tanggung jawab tidak hanya karena perbuatan melawan hukum yang
dilakukan diri sendiri tetapi juga berkenaan dengan perbuatan melawan hukum orang
lain dan barang-barang di bawah pengawasannya.
Pasal 1367 ayat (1) KUH Perdata menyatakan:
Seseorang tidak hanya bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan
karena perbuatannya sendiri tetapi juga disebabkan karena perbuatan orang-
orang yang menjadi tanggungannya, atau disebabkan oleh barang-barang
yang berada di bawah pengawasannya.

Kedua, Perbuatan Melawan Hukum terhadap tubuh dan jiwa manusia. Pasal
1370 KUH Perdata menyatakan bahwa dalam hal tedadi pembunuhan dengan sengaja
atau kelalaiannya maka suami atau istri, anak, orang tug korban yang lazimnya
mendapat nafkah dari pekerjaan korban, berhak untuk menuntut ganti rugi yang harus
dinilai menurut keadaan dan kekayaan kedua belah pihak.
Ketiga, Perbuatan Melawan Hukum terhadap nama baik. Masalah penghinaan
diatur dalam Pasal 1372 sampai dengan Pasal 1380 KUH Perdata. Pasal 1372
menyatakan bahwa tuntutan terhadap penghinaan adalah bertujuan untuk mendapat
ganti rugi dan pemulihan nama baik, sesuai dengan kedudukan dan keadaan pars
pihak.
Beberapa tuntutan yang dapat diajukan karena perbuatan melawan hukum
ialah:
1. ganti rugi dalam bentuk uang atas kerugian yang ditimbulkan;
2. ganti rugi dalam bentuk natura atau dikembalikan dalam keadaan semula;
3. pernyataan bahwa perbuatan yang dilakukan adalah melawan hukum;
4. melarang dilakukannya perbuatan tertentu.
Penerapan Pasal 1365 KUH Perdata mengalami perubahan melalui putusan
pengadilan dan undang-undang. Berbagai undang-undang telah secara khusus
mengatur tentang gaud rugi karena perbuatan melawan hukum, misalnya undang-
undang tentang perlindungan konsumen. Sebelum undang-undang tersebut lahir,
gugatan yang berkenaan dengan ganti rugi berkaitan dengan materi yang kemudian
diatur dalam undang-undang tersebut didasarkan pada Pasal 1365 KUH Perdata.
Namun dengan lahirnya undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai
tuntutan ganti kerugian maka telah terjadi perubahan dalam penerapan Pasal 1365
KUH Perdata.
Perkara berikut ini menunjukkan perubahan penerapan Pasal 1365 KUH
Perdata dalam, hubungan dengan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha,
perkara bermula dari pembelian mobil jenis BMW 318i yang dilakukan oleh
Penggugat, menurut Tergugat salah sate kecanggihan mobil BMW adalah sistem
elektroniknya akan memberi keamanan dan kenyamanan, dan kunci elektroniknya
tidak mungkin dipalsukan.
Pada suatu hari penggugat pergi mengantarkan istri penggugat untuk mengurut
kakinya ke suatu tempat dengan mengendarai mobil BMW. Sesampainya di rumah,
penggugat tidak bisa menahan buang air kecil karena menderita suatu penyakit
sehingga terburu-buru masuk ke toilet yang terletak di dalam rumah sambil menutup
pintu mobil yang menggunakan remote control. Sebagaimana yang wring dilakukan
oleh penggugat ketika mengendarai jenis mobil yang lainnya karena sekalipun dikunci
dari luar, penumpang yang masih berada di dalam mobil tetap bisa keluar dari mobil
dengan cara membuka pintu dari dalam.
Karena kondisi kaki istri penggugat masih terasa nyeri maka tidak bisa keluar
mobil bersamaan dengan penggugat dan ketika hendak keluar, istri penggugat lalu
membuka pintu mobil dari dalam namun tidak berhasil sehingga merasa ketakutan
karena terperangkap di dalam mobil. Istri penggugat langsung menekan tombol
klakson mobil BMW untuk mints pertolongan, tetapi klakson tidak berfungsi karena
seluruh sistem elektroniknya coati, lalu ia berusaha mencopot panel yang ada di
dalam mobil namun tidak berhasil memecahkannya. Akhimya, istri penggugat
berteriak sekeras-kerasnya dengan harapan ada yang mendengarkan dan bisa
membantu keluar dari mobil. Harapan istri penggugat temyata jugs sic-sic karena
tidak seorang pun mendengarkan teriakannya karena ia berada dalam ruangan kedap
suara (dalam mobil BMW yang terkunci) sehingga pada saat itu kondisi istri
penggugat sangat lemah dan mengenaskan akibat banyaknya mengeluarkan tenaga
serta kehabisan oksigen.
Setelah empat puluh menit berjuang akhirnya istri penggugat berhasil
meretakkan kaca mobil dengan sebuah bends yang berhasil ditemukan di dalam mobil
BMW. Tanga pikir panjang istri penggugat merobek kaca mobil yang sudah retak
dengan tangannya dan berhasil membentuk lubang angin, tanpa disadari tangan istri
penggugat terluka dan berlumuran darah. Setelah itu barulah ia dapat menghirup
udara segar yang masuk dari lubang kaca mobil. Istri penggugat kembali berteriak
untuk meminta tolong yang temyata dapat didengar oleh penggugat yang sebelumnya
beranggapan bahwa istri penggugat sudah masuk ke dalam rumah. Akhimya jiwa istri
penggugat dapat diselamatkan meskipun dalam keadaan yang sangat menyedihkan.
Berdasarkan kejadian tersebut, penggugat menggugat BMW AG yang
berkedudukan di Jerman sebagai Tergugat I, BMW Group Indonesia sebagai tergugat
II dan PT Astrea International Tbk sebagai tergugat III dengan dalil Perbuatan
Melawan Hukum. Menurut penggugat, tindakan Tergugat I dan Tergugat II
memproduksi mobil BMW dengan menggunakan sistem double lock, serta tindakan
Tergugat III yang tidak memberikan informasi yang jelas tentang kondisi mobil serta
cara pemakaiannya kepada penggugat, sangat berakibat fatal, dan hampir merenggut
nyawa serta menimbulkan kerugian yang besar bagi penggugat, dan menurut
penggugat hal ini jelas merupakan perbuatan melawan hukum.
Lebih lanjut penggugat juga mendalilkan bahwa pars tergugat yang telah
memproduksi mobil BMW dengan sistem penguncian double lock tersebut juga telah
melanggar Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Menurut penggugat, sistem penguncian double lock yang diprodilksi tergugat I dan
tergugat 11 tidak menjamin keamanan dan keselamatan konsumen di dalam memakai
produk tersebut.
Tergugat dalam jawabannya mendalilkan bahwa karena penggugat telah
mengajukan tuntutan pelanggaran Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen di samping Perbuatan Melawan Hukum (Pasal 1365 KUH
Perdata) maka sesuai dengan asas hukum lex specialis derogat lex generalis dan asas
hukum lex posteriori derogat legi priori, hukum yang berlaku dalam perkara ini
adalah Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melalui Putusan No. 385/
Pdt.G/2002/PN.Jkt.Pst berpendapat bahwa Pasal 1365 adalah suatu aturan
umum/generalis dalam hal mengajukan gugatan terhadap suatu Perbuatan Melawan
Hukum yang dilakukan oleh tergugat sedangkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen adalah merupakan suatu aturan khusus yang
mengatur mengenai tanggung jawab dari pelaku usaha terhadap konsumen bila tedadi
suatu kesalahan atau suatu Perbuatan Melawan Hukum dari pelaku usaha tersebut
terhadap konsumennya. Menurut Majelis Hakim dalam hal gugatan mengenai
tanggung jawab dari pelaku usaha terhadap konsumennya yang berlaku adalah
Undang-Undang Perlindungan Konsumen sebagai aturan khusus/specialis (lex
specialis derogat legi generali). Berdasarkan Pasal 23 Undang-Undang Perlindungan
Konsumen, gugatan harus diajukan ke pengadilan negeri di mana
konsumen/penggugat bertempat tinggal, bukan ke Pengadilan Negeri di mana salah
satu Tergugat bertempat tinggal sebagaimana diatur dalam Pasal 118 (2) HIR, hal
tersebut karena adanya aturan khusus (Pasal 23 Undang-Undang Perlindungan
Konsumen) yang didahulukan dari aturan umum (Pasal 118 ayat (2) HIR) lex
specialis derogat legi generali.
Dalam amar putusannya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
menyatakan tidak berwenang mengadili perkara ini. Putusan ini diperkuat oleh
Pengadilan Tinggi Jakarta sebagai Peradilan Banding melalui Putusan No. 210/
Pdt./2004/PT.DKI.

3. Hukum Konsumen dalam Hukum Publik


Dengan hukum publik dimaksudkan hukum yang mengatur hubungan antara negara
dan alai-alai perlengkapannya atau hubungan antara negara dengan perorangan.
Termasuk hukum publik dan terutama dalam kerangka hukum konsumen dan/atau
hukum perlindungan konsumen, adalah hukum administrasi negara, hukum pidana,
hukum acara perdata dan/ataii hukum acara pidana dan hukum internasional
khususnya hukum perdata internasional.
Jadi, segala kaidah hukum maupun asas-asas hukum ke semua cabangcabang
hukum publik itu sepanjang berkaitan dengan hubungan hukum konsumen dan/atau
masalahnya dengan penyedia barang atau penyelenggara jasa, dapat pula
diberlakukan. Dalam kaftan ini antara lain ketentuan perizinan usaha, ketentuan-
ketentuan pidana tertentu, ketentuan-ketentuan hukum acara dan berbagai konvensi
dan/atau ketentuan hukum perdata internasional.
Diantara kesemua hukum publik tersebut, tampaknya hukum administrasi
negara, selanjutnya disebut hukum administrasi, hukum pidana, hukum internasional
khususnya hukum perdata internasional dan hukum acara perdata Berta hukum acara
pidana paling banyak pengaruhnya dalam pembentukan hukum konsumen.
Ketentuan hukum administrasi, misalnya menentukan bahwa Pemerintah
melakukan pengaturan dan pembinaan rumah susun dan pengawasan terhadap
pelaksanaan undang-undang (termuat dalam Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1)
Undang-Undang tentang Rumah Susun, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 LN
Tahun 1985 No. 75).
Selanjutnya dalam Undang-Undang Kesehatan, Undang-Undang No. 23
Tahun 1992, Pasal 73 ditentukan:
Pemerintah melakukan pembinaan terhadap semua kegiatan yang berkaitan
dengan penyelenggaraan upaya kesehatan.

Dalam Pasal 76 undang-undang itu dijelaskan pula peran pengawasan yang


dijalankan oleh pemerintah, sedang Pasal 77 menegaskan wewenang pemerintah
untuk mengambil berbagai tindakan administratif terhadap tenaga kesehatan dan/atau
sarana kesehatan yang melakukan pelanggaran terhadap undangundang ini.
Dari peraturan perundang-undangan di atas terlihat beberapa departemen dan
atau lembaga pemerintah tertentu menj alankan tindakan administratif berupa
pengawasan dan pembinaan terhadap pelaku usaha dengan perilaku tertentu dalam
melaksanakan perundang-undangan tersebut. Misalnya tindakan administratif
terhadap tenaga kesehatan dan/atau sarana kesehatan yang melanggar undang-undang
(Pasal 77 UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan).
Pasal 77 itu berbunyi:
Pemerintah berwenang mengambil tindakan administratif terhadap tenaga
kesehatan dan/atau sarana kesehatan yang melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan ini.

Penjelasan pasal ini menentukan: tindakan administratif dalam pasal ini dapat
berupa pencabutan izin usaha, izin praktik atau izin lain yang diberikan Berta
penjatuhan hukum disiplin berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan yang
berlaku. Tindakan administratif terhadap tenaga kesehatan dilakukan setelah
mendengar pertimbangan Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan.
Begitu pula dengan tindakan administratif Menteri Kehakiman dalam
mengesahkan Anggaran Dasar suatu Perseroan Terbatas atau Perubahannya
sebagaimana termuat dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas. Juga berdasarkan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan,
Pasal 29 menegaskan bahwa tugas pembinaan dan pengawasan bank-bank di
Indonesia dilakukan oleh Bank Indonesia. Ayat (2) pasal ini menentukan bahwa Bank
Indonesia menetapkan ketentuan tentang kesehatan bank dengan memperhatikan
aspek permodalan, kualitas aset, kualitas manajemen, rentabilitas, likuiditas,
solvabilitas dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank. Selanjutnya, Pasal
52 dan -Pasal 53 (Ketentuan Pidana dan sanksi administratif), ditetapkan bahwa Bank
Indonesia dapat menetapkan sanksi administratif kepada bank yang tidak memenuhi
kewajibannya sebagaimana ditentukan pertimbangan kepada Menteri Keuangan untuk
mencabut izin usaha bank bersangkutan.
Secara skematis, hukum konsumen dan/atau hukum perlindungan konsumen
itu berbentuk sebagai berikut.

Struktur Hukum Perlindungan Konsumen

Hukum Konsumen / Hukum


Perlindungan Konsumen

Hukum Perdata
Hukum Publik
(dalam Arti Luas)

Hukum Administrasi
Hukum Perdata

Hukum Pidana
Hukum Dagang

Hukum Perdata
Internasional
Dari skema ini terlihat bahwa pembagian berdasarkan hukum perdata dalam
arti lugs dan hukum publik memberikan gambaran yang menyeluruh tentang struktur
dan permasalahan perlindungan konsumen. Tentunya, terlepas dari apakah
perundang-undangan yang telah ada, memenuhi persyaratan dan/atau cukup untuk
melindungi kepentingan-kepentingan konsumen. Yang harus mendapatkan perhatian
adalah pelanggaran perundang-undangan itu, dilakukan oleh siapa, apakah pelaku
usaha atau konsumen. Peraturan perundangan umum ini sebagaimana telah diuraikan
di atas, tidak menetapkan terpisah pelaku usaha atau konsumen. Keduanya diatur
bersamaan.

Misalnya, sebagai pengguna jasa angkutan (UU No. 14 Tahun 1992) yang
dapat dilakukan oleh pelaku usaha atau oleh konsumen. Keadaannya agak berbeda
dengan pengaturan yang ditentukan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Di dalam undang-undang ini secara tegas ditentukan hak-hak konsumen (Pasal 4) dan
kewajiban-kewajibannya (Pasal 5). Adapun hak-hak dan kewajiban pelaku usaha
(istilah digunakan untuk penglisaha) diatur dalam Pasal 6 dan 7.

C. MASALAH YANG DIHADAPI


Sekalipun berbagai instrumen hukum umum (peraturan perundang-undangan yang
berlaku umum), baik hukum perdata maupun hukum publik dapat digunakan untuk
menyelesaikan hubungan dan/atau masalah konsumen dengan penyedia barang
dan/atau penyelenggara jasa, tetapi hukum umum ini ternyata mengandung berbagai
kelemahan tertentu dan menjadi kendala bagi konsumen atau perlindungan konsumen.

1. KUH Perdata dan KUHD tidak Mengenal Istilah Konsumen


Hal ini mudah dipahami karena pada saat undang-undang itu diterbitkan dan
diberlakukan di Indonesia, tidak dikenal istilah consumers atau consument (istilah
Inggris dan Belanda). Di Negeri Belanda istilah koper atau huurder (istilah Belanda
yang berarti pembeli atau penyewa) digunakan dalam perundangundangannya. Oleh
karena itu, dalam KUH Perdata kits menemukan istilahistilah pembeli (koper, Pasal
1457 dan seterusnya KUH Perdata), penyewa (harder, Pasal 1548 dan seterusnya),
penitip barang (bewaargever, Pasal 1694 dan seterusnya), peminjam (verbruiklener,
Pasal 1754 dan seterusnya), dan sebagainya. Adapun Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang ditemukan istilah tertanggung (verzekerde, Pasal 246 dan seterusnya Buku
Kesatu) dan penumpang (opvarende, Pasal 341 dan seterusnya Buku Kedua).
2. Semua Subjek Hukum tersebut Adalah Konsumen, Pengguna Barang
dan/atau Jasa
Sebagaimana telah diuraikan dalam bab pertama, konsumen itu terdiri dari dua jenis
yang berbeda kepentingan dan tujuan dalam penggunaan barang atau jasanya. Para
pengusaha yang disebut juga sebagai konsumen antara mempunyai tujuan dan
kepentingan tersendiri. Demikian pula dengan konsumen akhir.
Subjek hukum pembeli, penyewa, tertanggung atau penumpang terdapat dalam KUH
Perdata dan KUHD, tidak membedakan apakah mereka itu sebagai konsumen akhir
atau konsumen antara. Keadaan mempersamakan
formal memang memikat, tetapi secara materiil akan terlihat, tanpa pemberdayaan
(empowering) pihak yang historis lemah, is menimbulkan kepincangan tertentu dalam
hubungan hukum atau masalah mereka satu sama lain.

3. Hukum Perjanjian (Buku ke-3 KUH Perdata) Menganut Asas Hukum


Kebebasan Berkontrak, Sistemnya Terbuka dan Merupakan Hukum
Pelengkap
Asas kebebasan berkontrak memberikan pada setiap orang hak untuk dapat
mengadakan berbagai kesepakatan sesuai kehendak dan persyaratan yang disepakati
kedua pihak, dengan syarat-syarat subjektif dan objektif tentang sahnya suatu
persetujuan tetap dipenuhi (Pasal 1320). Dengan sistem terbuka, setiap orang dapat
mengadakan sembarang perjanjian, bahkan dengan bentuk-bentuk perjanjian lain dari
apa yang termuat dalam KUH Perdata (berbeda dengan sistem tertutup yang dianut
Buku Ke-2 KUH Perdata). Keadaan ini kemudian diimbuhi pula dengan catatan
bahwa hukum perjanjian itu merupakan hukum pelengkap, jadi setiap orang dapat saja
mengadakan persetujuan dalam bentukbentuk lain dari yang disediakan oleh KUH
Perdata.
Dengan asas kebebasan berkontrak, sistem terbuka dan bahwa hukum
perjanjian itu merupakan hukum pelengkap saja, lengkaplah sudah kebebasan setiap
orang untuk mengadakan perjanjian, termasuk perjanjian yang dipaksakan kepadanya.
Kalau yang mengadakan perjanjian adalah mereka yang seimbang kedudukan
ekonomi, tingkat pendidikan dan/atau kemampuan days saingnya, mungkin
masalahnya menjadi lain. Dalam keadaan sebaliknya, yaitu pars pihak tidak
seimbang, pihak yang lebih kuat akan dapat memaksakan kehendaknya atas pihak
yang lebih lemah.
Pengalaman nyata memang menunjuk pada keadaan itu. Berbagai penelitian
termasuk penelitian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sejak tahun 19731985, yang
kemudian dijadikan dasar dari keputusan Sidang Umum PBB pada tahun 1985
tentang Perlindungan Konsumen, ternyata pihak konsumenlah, terutama konsumen
dari negara-negara berkembang yang merupakan pihak yang lemah tersebut.
Dilengkapi dengan penelitian yang dilakukan oleh Yayasan Lembaga Konsumen
Indonesia dan Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
Kessler bahkan lebih tajam lagi tinjauannya. la mengatakan bahwa hukum
perjanjian itu adalah pelindung dari pembagian kekuasaan yang tidak merata dalam
masyarakat sehingga memungkinkan pemaksaan kehendak pihak yang kuat atas
pihak-pihak yang lemah.
Apa yang dimaksudkan Kessler, nanti akan terlihat dalam bentuk-bentuk
perjanjian dengan syarat-syarat baku (perjanjian baku/klausul baku). Pedanjian
dengan syarat-syarat baku ini telah sangat mendalam merasuk ke dalam kehidupan
masyarakat. Antara lain mengenai pembelian rumah, alat-alat elektronik, alat-alat
transportasi, alat-alat rumah tangga, jasa perbankan, jasa asuransi, dan sebagainya.

4. Perkembangan Pesat Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek)


Perkembangan pesat ilmu pengetahuan dan teknologi sangat mempengaruhi kegiatan
bisnis di mans pun di dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Berbagai produk
konsumen, bentuk usaha dan praktik bisnis yang pada masa diterbitkannya KUH
Perdata dan KUHD belum dikenal, kini sudah menjadi pengalaman kita. Beberapa hal
pokok tentang subjek hukum dari suatu perikatan, bentuk perjanjian baku, perikatan
beli sews, kedudukan hukum berbagai cars pemasaran produk konsumen seperti
penjualan dari rumah ke rumah, promosipromosi dagang, Man dan yang sejenis
dengan itu, Berta berbagai praktik niaga lainnya yang tumbuh karena kebutuhan atau
kegiatan ekonomi, tidak terakomodasi secara sangat sumir dalam perundang-
undangan itu.
Begitu pula bentuk-bentuk perikatan yang tampaknya berasal dari negaranegara yang
menggunakan sistem hukum berbeda (Anglo Saxon), karena kebutuhan telah pula
dipraktikkan dan kadang-kadang tanpa persyaratan dan pembatasan yang menurut
hukum berlaku bagi perikatan di negeri asalnya. Pencampuradukan sistem hukum
yang melanda masyarakat karena kebutuhannya itu, menyebabkan KUH Perdata dan
KUHD tertinggal di belakang.

5. Hukum Acara
Hukum acara yang dipergunakan dalam proses perkara perdata pun tidak membantu
konsumen dalam mencari keadilan. Pasal 1865 KUH Perdata menentukan pembuktian
hak seseorang atau kesalahan orang lain dibebankan pada pihak yang mengajukan
gugatan tersebut. Beban ini lebih banyak tidakdapat dipenuhi dalam hubungan antara
konsumen dan penyedia barang atau penyelenggara jasa pada masa kini. Hal ini
terutama karena tidak pahamnya konsumen atas pembuatan produk, sistem pemasaran
yang digunakan, maupun jaminan puma jual yang digunakan oleh pelaku usaha.
Proses produksi dan pemasaran produk yang makin canggih, kerahasiaan perusahaan
dan tanggung jawab perusahaan yang hanya pada pemegang sahamnya saja,
memperbesar jarak antara konsumen dengan produk konsumen yang is gunakan di
samping hal-hal yang dikemukakan di atas.
Tingkat-tingkat peradilan (Pengadilan Negeri, Pengadilan Tmggi, Mahkamah
Agung dan kemungkinan Peninjauan kembali di Mahkamah Agung), lamanya masa
proses sampai didapatkan putusan yang efektif, ditambah dengan beban pembuktian
merupakan kendala bagi konsumen dan perlindungannya.
Apalagi bagi konsumen kecil, yaitu konsumen yang jumlah pembeliannya
tidak melebihi suatu jumlah tertentu, misalnya pembelian barang atau jasa yang tidak
melebihi jumlah Rp 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah). Contoh konkret
adalah pembelian 1 (satu) unit televisi berwama dengan harga kurang lebih Rp
2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah). Bayangkan saj a berapa banyak waktu,
berapa besar biaya, tenaga dan hal-hal lain berkaitan dengan pembelian itu, yang
hams dikeluarkan oleh konsumen bersangkutan dalam mempertahankan haknya di
pengadilan-pengadilan Indonesia. Bayangkan pula proses persidangan di Pengadilan
Negeri, Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung, dan/atau proses peninjauan kembali,
yang tidak saja makan waktu berlarutlarut, tetapi juga memakan tenaga dan biaya.
6. Yang Sangat Penting Pula Adalah Dasar Pemikiran Filsafat
Dianut dari KUH Perdata/KUHD dan falsafah hukum yang sekarang hams dijadikan
pangkal tolak pernikiran hukum kita yang sama sekali sudah tidak sejalan lagi.
Doktrin yang dianut KUH Perdata/KUHD adalah liberalisme. Adapun doktrin,
falsafah Indonesia adalah Pancasila yang pemikiran politik ekonominya adalah
kesejahteraan rakyat dengan perikehidupan yang seimbang, serasi, dan selaras.

7. Hukum Publik
Sesuai fungsinya menurut hukum, mempunyai peran yang sangat membantu upaya
perlindungan konsumen, seperti juga bagi pengusaha yang jujur dan beriktikad baik.
Tindakan administratif yang dijalankan oleh instansi berwenang terhadap mereka
yang melanggar ketentuan dari peraturan perundang-undangan (administratif),
melindungi konsumen dan pengusaha yang jujur dan beriktikad baik dari perilaku
pelaku usaha yang menyimpang atau melanggar hukum dan dapat menimbulkan
kerugian pada mereka.
Begitu pula halnya dengan penerapan peraturan perundang-undangan. pidana
(yang termuat dalam KUHP atau di luar KUHP), atas setiap perilaku usaha yang
memenuhi unsur-unsur pidana dan pelaksanaannya dijalankan oleh pejabat yang
berwenang untuk itu.
Kemanfaatan instrumen hukum publik terlihat antara lain:
 Semua pelaksanaan kegiatan pengawasan dan/atau penyelidikan, penyidikan
dan penuntutan diselenggarakan oleh (aparat) pemerintah.
 Pengumpulan bukti-bukti serta semua proses untuk tindakan administratif
dan/atau peradilan atas pelaku dijalankan oleh pemerintah.
 Semua biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan pengawasan dan peradilan
dipikul oleh pemerintah.
Dengan demikian, beban beracara yang terberat bagi konsumen dalam
mengajukan kasus kerugiannya ke pengadilan yaitu beban pembuktian adanya sesuatu
hak dan/atau peristiwa yang melanggar hukum (Pasal 1865 KUH Perdata dan Pasal
163 HIR) serta hal-hal lain tampak menjadi ringan. Dengan cara menggunakan Surat
keputusan suatu tindakan administratif atau putusanputusan pengadilan yang
berkaitan dengan kasus kerugiannya. Bahkan dengan ketentuan-ketentuan termuat
dalam Kitab Undang-Undang HukumAcara Pidana (KUHAP) proses beracara ini
dapat dipermudah lagi.
Akan tetapi, kesemuanya itu masih harus diuji di dalam masyarakat dan
pengadilan-pengadilan kita. Sampai saat ini belum pernah terjadi penggunaan acara
penggabungan perkara sesuai KUHAP dalam suatu perkara pidana, yang secara
perdata juga merugikan kepentingan konsumen. Juga tidak dalam kasus kematian
karena peristiwa biscuit beracun. Di samping itu, sayangnya, terlihat pula berbagai
kelemahannya, antara lain:
1. Putusan pengadilan dan/atau tindakan administratif (larangan mengedarkan,
penarikan nomor daftar produk, pencabutan izin usaha dan sebagainya) terhadap
perilaku pelaku usaha yang menyimpang dan merugikan konsumen, tidak serta-
merta diketahui dan/atau memberikan ganti rugi atau sesuatu penyelesaian tertentu
bagi konsumen. Konsumen masih harus menjalankan acara lainnya lebih lanjut.
2. Pada sementara kasus, juga menjadi pengalaman, suatu tindakan administratif
tidak dijalankan atau dijalankan dengan kualifikasi "akan ditindak tegas" tetapi
tanpa kelanjutan karena satu dan lain alasan, oleh instansi yang berwenang.
Alasan yang paling banyak dikemukakan pada waktu ini adalah karena
industri/bisnis kita masih termasuk "industri bagi" (infant-industry) sehingga
memerlukan waktu agar mereka menjadi mapan dan kuat bersaing.
3. Peralihan pemilikan suatu badan usaha berkali-kali terjadi tanpa ada
pengawasan, dan/atau juga sulit pengawasannya. Terhadap konsumen is menjadi
masalah besar, yaitu siapa yang harus dipertanggungjawabkan tentang sesuatu
perilaku kegiatan perusahaan atau produknya yang menimbulkan kerugian pada
konsumen. Dianutnya pendirian kalangan usaha bahwa tanggung jawab (direksi)
perusahaan hanya pada pemegang sahamnya saja, memberikan dampak negatif
lainnya pada konsumen.

Dari hal-hal terurai di atas terlihat bahwa peraturan-peraturan umum, sekali-


pun dapat dimanfaatkan oleh (hukum) konsumen, tetapi mempunyai berbagai kendala
bahkan juga tentang substansinya. Kalau diperhatikan falsafah bangsa dan negara
Pancasila temyata bahwa banyak hal belum cukup diatur dalam perundang-undangan
yang pada saat ini. Bagi konsumen Indonesia tampaknya tiga peraturan perundang-
undangan yang sangat dibutuhkan, antara lain: UndangUndang tentang Pangan,
Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, dan Undang-Undang tentang
Persaingan Usaha. Peraturan perundang-undangan tentang Pangan mengatur tentang
makanan dan minuman (pangan) baik yang telah diolah maupun tidak, bagi seluruh
rakyat Indonesia, termasuk pengadaan, persediaan dan penggunaan serta segala
sesuatu yang berkaitan dengan itu.
Undang-Undang Persaingan Usaha mengatur tentang perilaku yang harus
diialankan oleh para pelaku usaha penyedia barang dan/atau jasa, sehingga mereka
tidak merusak diri sendiri dan/atau merugikan konsumennya. Sedangkan Undang-
Undang Perlindungan Konsumen mengatur tentang siapa konsumen, hak dan
kewajibannya, bagaimana mereka berhubungan dengan para penyedia barang atau
jasa kebutuhan mereka, tata cara peradilan bagi konsumen keeil, serta segala sesuatu
berkaitan dengan itu.
Kalau Undang-Undang Persaingan Usaha sangat dibutuhkan oleh Para
usahawan beriktikad baik di Indonesia, seperti jugs bagi Para konsumen, karena
dalam undang-undang ini diatur berbagai perbuatan pelaku usaha yang dilarang,
seperti perilaku usaha monopoli, oligopoli, pengaturan atau penetapan harga (price
fixing), persaingan yang mengganggu perdagangan dan industri dan sebagainya.
Bagi masyarakat Indonesia, khususnya konsumen Indonesia agaknya dari
sudut kepentingan konsumen pemecahan masalah perlindungan konsumen tidak lain
adalah diterbitkannya suatu Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen.

Daftar Pertanyaan
1. Apakah dalam UUD 1945 diatur mengenai perlindungan bagi warga negara
(konsumen)? Jelaskan disertai pasalnya!
2. Sebutkan tindakan administratif dari pemerintah di bidang tertentu apabila ada
pihak yang merugikan konsumen (barang/jasa) dan berikan dasar hukumnya!
3. Mengapa dalam KUH Perdata dan KUHD tidak mengenai istilah konsumen?
Jelaskan!
4. Apakah yang dimaksud dengan asas kebebasan berkontrak dan apa kaitannya
dengan hukum perlindungan konsumen? Jelaskan!
5. Mengapa dalam penerapan peraturan-peraturan hukum ada kendalakendala?
Jelaskan dan berikan contohnya!
BAB 4
BERBAGAI ASPEK HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

A. ASPEK-ASPEK KEPERDATAAN
Yang dimaksudkan hukum perdata yakni dalam arti lugs, termasuk hukum perdata,
hukum dagang Berta kaidah-kaidah keperdataan yang termuat dalam berbagai
peraturan perundang-undangan lainnya. Kesemuanya itu baik hukum perdata tertulis
maupun hukum perdata tidak tertulis (hukum adat).
Kaidah-kaidah hukum perdata umumnya termuat dalam Kitab UndangUndang
Hukum Perdata (KUH Perdata). Di samping itu, tentu saja juga kaidahkaidah hukum
perdata adat, yang tidak tertulis, tetapi ditunjuk oleh pengadilanpengadilan dalam
perkara-perkara tertentu.
Kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah hukum antara
pelaku usaha penyedia barang dan/atau penyelenggara jasa dengan konsumennya
masing-masing termuat dalam:
1. KUH Perdata, terutama dalam Buku kedua, ketiga, dan keempat;
2. KUHD, Buku kesatu dan Buku kedua;
3. Berbagai peraturan perundang-undangan lain yang memuat kaidah-kaidah
hukum bersifat perdata tentang subjek-subjek hukum, hubungan hukum dan
masalah antara penyedia barang atau penyelenggara jasa tertentu dan konsumen.

Beberapa hal yang dinilai penting dalam hubungan konsumen dan penyedia
barang dan/atau penyelenggara jasa (pelaku usaha) antara lain sebagai berikut.

Bab 4
Berbagai aspek hukum perlindungan
konsumen
1.Aspek-aspek keperdataan
Yang dimaksudkan hukum perdata yakni dalam arti luas, termasuk hukum perata,
hukum dagang serta kaidah-kaidah keperdataan yang termuat dalam berbagai
peraturan perundang-undangan lainnya. Kesemuanya itu baik hukum perdata tertulis
maupun hukum perdata tidak tertulis (hukum adat).
Kaidah-kaidah hokum perdata umumnya termuat dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUH Perdata). Di samping itu, tentu saja juga kaidah-kaidah hokum
perdata adat, yang tidak tertulis, tetapi ditunjuk oleh pengadilan-pengadilan dalam
perkara-perkara tertentu.
Kaidah-kaidah hokum yang mengatur hubungan dan masalah hokum antara
pelaku usaha penyedia barang/penyelenggara jasa dengan konsumennya masing-
masing termuat dalam :
1. KUP Perdata, terutama dalam Buku Kedua, Ketiga, dan Keempat
2. KUHD, Buku kesatu dan Buku kedua
3. Berbagai peraturan perundang-undangan lain yang memuat kaidah-kaidah
hokum bersifat perdata tentang subjek-subjek hokum, hubungan hokum dan
masalah antara penyedia barang atau penyelenggara jasa tertentu dan
konsumen/
Beberapa hal yang dinilai penting dalam hubungan konsumen dan penyedia
barang/penyelenggara jasa (pelaku usaha) antara lain sebagai berikut :
1. Hal-hal yang berkaitan dengan informasi
Bagi konsumen, informasi tentang barang/jasa merupakan kebutuhan pokok,
sebelum ia menggunakan sumber dananya (gaji,upah,honor.atau apa pun nama
lainnya) untuk mengadakan transaksi konsumen tentang barang/jasa tersebut. Dengan
transasi konsumen dimaksudkan diadakannya hubungan hokum (jual beli, beli-sewa,
sewa-menyewa, pinjam-meminjam, dan sebagainya) tentang produk konsumen
dengan pelaku usaha itu.
Informasi-informasi tersebut meliputi tentang ketersediaan barang/jasa yang
dibutuhkan masyarakat konsumen, tentang kualitas produk, keamanannya, harga,
tentang berbagai persyaratan / cara memperolehnya, tentang jaminan atau garansi
produk, persediaan suku cadang, tersediannya pelayanan jasa jurnal-jual, dan lain-lain
yang berkaitan dengan itu.
Informasi dari kalangan pemerintah dapat diserap dari berbagai penjelasan, siaran,
keterangan, penyusun peraturan perundang-undangan secara umum atau dalam rangka
deregulasi, dan tindakan pemerintah pada umumnya atau tentang sesuatu produk
konsumen. Dari sudut penyusunan peraturan perundang-undangan terlihat informasi
itu termuat sebagai suatu keharusan. Beberapa di antaranya, ditetapkan harus dibuat,
baik secara dicantumkan maupun dimuat didalam wadah atau pembungkusnya (antara
lain label dari produk makanan dalam kemasan). Sedang untuk produk hasil industri
lainnya, informasi tentang produk itu terdapat dalam bentuk standar yang ditetapkan
oleh pemerintah, standar internasional, atau standar lain yang ditetapkan oleh pihak
yang berwenang.
Informasi dari konsumen atau organisasi konsumen tampak pada pembicaraan
dari mulut ke mulut tentang suatu prosuk konsumen, surat-surat pembaca pada media
massa, berbagai siaran kelompok tertentu, tanggapan atau protes organisasi
konsumen, seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) tentang hasil-hasil
penelitian dan riset produk konsumen tertentu, dapat ditemukan pada harian-harian
umum, majalah dan berita resmi YLKI, yaitu Warta Konsumen (WK).
Dari kalangan usaha (penyedia dana, produsen, importer, atau lain-lain pihak yang
berkepentingan), diketahui sumber-sumber informasi itu umumnya terdiri dari
berbagai bentuk iklan baik melalui media nonelektronik atau elektronik, label
termasuk pembuatan berbagai selebaran, seperti brosur, pamphlet, catalog, dan lain-
lain sejenis dengan itu. Bahan-bahan informasi ini pada umumnya disediakan atau di
buat oleh kalangan usaha dengan tujuan memperkenalkan produknya,
mempertahankan dan meningkatkan pangsa pasar produk yang telah atau ingin lebih
lanjut di raih. Adapun label merupakan informasi yang diwajibkan oleh peraturan
perundang-undangan tertentu.

2. `Beberapa bentuk informasi

Diantara berbagai informasi tentang barang atau jasa konsumen yang diperlukan
konsumen, tampaknya yang paling berpengaruh pada saat ini adalah informasi yang
bersumber dari kalangan pelaku usaha. Terutama dalam bentuk iklan atau label, tanpa
mengurangi pengaruh dari berbagai bentuk informasi pengusaha lainnya.
Iklan adalah bentuk informasi yang umumnya bersifat sukarela, sekalipun pada
akhir – akhir ini termasuk juga yang diatur didalam Undang – Undang tentang
Perlindungkan Konsumen (Pasal 9,10,12,13,17 dan Pasal 20)
a. Tentang Iklan
KUH Perdata (Kitab Undang – Undang Hukum Perdata) dan/atau KUHD (Kitab
Undang – Undang Hukum Dagang), keduanya diumumkan pada tanggal 30 April
1847 dalam Staatsblad No.23 dengan segala tambahan dan/atau memuat kaidah –
kaidah tentang periklanan. Satu – satunya ketentuan termuat dalam KUH Perdata
yang tampaknya dapat digunakan adalah ketentuan tentang perbuatan melanggar atau
melawan hokum (Pasal 1365 KUH Perdata), yaitu sepanjang iklan tertentu
menimbulkan kerugian pada pihak lain. Adapun dalam undang-undang kepailitan,
terlepas untuk siapa perundang-undangan itu berlaku, khusus menyangkut prilaku
pengumuman iklan keputusan pengadilan tentang pernyataan pailit dan segala akibat-
akibatnya dari seseorang atau suatu badan usaha (pasal 13 jjs, pasal 16,105,163 c, dan
seterusnya),

Menurut ketentuan dari UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,


Pasal 9 ayat (1) berbunyi:
“pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, meng-iklankan suatu
barang dan jasa secara tidak benar dan seolah-olah dan seterusnya.”

Sayangnya dalam undang-undang ini tidak dicantumkan apa yang dimaksud


dengan iklan. Yang terdapat dalam perundang-undangan ini hanyalah berbagai
larangan dan suruhan berkaitan dengan periklanan saja.
Dari hal-hal terurai diatas tentang kedudukan periklananini dalam masyarakat
usaha, setidak-tidaknya terdapat dua batasan iklan, yang satu ditetapkan oleh
Departmen Kesehatan dan yang lainnya oleh sistem penyiaran nasional. Tentu saja
terlepas dari mana yang baik dan tepat.

Departemen Kesehatan (Peraturan Menteri Kesehatan No. 329 Tahun 1976,


Pasal 1 Butir 13) menetapkan sebagai “iklan adalah usaha dengan cara apa pun untuk
meningkatkan penjualan, baik secara langsung maupun tidak langsung”.

Adapun sistem penyiaran nasional (Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang


penyiaran) Pasal 1 butir (5) merumuskan siaran iklan adalah siaran informasi yang
bersifat komersial dan layanan masyarakat tentang tersedianya jasa, barang, dan
gagasan yang dapat dimanfaatkan oleh khalayak dengan atau tanpa imbalan kepada
lembaga penyiaran yang bersangkutan. Pasal 1 butir (6) menyatakan siaran iklan
niaga adalah siaran iklan komersial yang disiarkan melalui penyiaran radio atau
televisi dengan tujuan memperkenalkan, memasyarakatkan, dan mempromosikan,
barang atau jasa kepada khalayak sasaran untuk memengaruhi konsumen agar
menggunakan produk yang ditawarkan. Keberadaan Undang-Undang No. 32 Tahun
2002 tentang penyiaran diarahkan antara lain untuk memberikan informasi yang
benar, seimbang, dan bertanggung jawab (Pasal 5 butir (1)).

Kedua batasan iklan tersebut berjalan bersama masing-masing untuk bidang


masing-masing. Sampai saat ini tidak terdapat gangguan apa pun baik terhadap
masyarakat pembuat maupun pengguna produk konsumen yang diiklankan
berdasarkan masing-masing rumusan yang bersangkutan. Bagi konsumen, informasi
produk konsumen sangat menentukan shingga haruslah informasi itu memuat
keterangan yang benar, jelas, jujur, dan bertanggung jawab. Kebenaran isi dari
pernyataan atau label tersebut merupakan tanggung jawab dari pihak yang membuat
dan menyiarkan.

Mengenai prilaku periklanan yang lengkap diatur dalam Pasal 17 Undang-


Undang No. 7 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, adalah sebagai berikut:
1) Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang:
a. Mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan
dan harga barang atau tariff jasa serta ketepata waktu penerimaan barang atau
jasa
b. Mengelabui jaminan/garansi tergadap barang atau jasa
c. Memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang
dan jasa
d. Tidak memuat informasi mengenai resiko pemakaian barang dan jasa
e. Mengeksploitasi kejadian dan seseorang tanpa izin yang berwenang
atau persetujuan yang bersangkutan
f. Melanggar etika dan ketentuan peraturan perundang-undangan
mengenai periklanan

2) Pelaku usaha periklanan dilarang melanjutkan peredaran iklan yang


telah melanggar ketentuan pada ayat (1)

Selanjutnya, berkaitan dengan tanggung jawab pelaku usaha periklanan ini diatur
dalam Pasal 20, sebagai berikut.
Pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan
segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut. Berkaitan dengan perilaku
periklanan yang dilarang dan tentang tanggung jawabnya itu,? Dari sudut pelaku
usaha periklanan menurut Azm Nasution terdapat tiga jenis pelaku usaha, yaitu.
1. Pengiklan, yaitu perusahaan yang memesan iklan untuk
mempromosikan, memasarkan, dan menawarkan produk yang mereka edarkan
2. Perusahaan iklan, adalah perusahaan atau biro yang bidang usahanya
adalah mendesain atau membuat iklan untuk para pemesannya
3. Media, media elektronik atau nonelektronik atau bentuk media lain,
yang menyiarkan atau menayangkan iklan-iklan tersebut.
Ketiga jenis pelaku usaha tersebut dalam undang-undang ini termasuk pelaku
usaha. Ketiga pelaku usaha di atas, dapat dipertanggungjawabkanm tetapi secara
tepatnya pelaku usaha manakah yang harus bertanggung jawab sebagaimana
dimaksud dalam pasal 20 tersebut?
Menurut Az. Nasution tergantung bagaimana hakim pengadilan negeri
mengambil putusannya. Sekiranya tanda tangan pengiklan (tanda acc) terdapat pada
konsep iklan itu, maka dialah yang mempertanggung jawabkan.
Kemudian, terdapat timdakan administratif yang dapat dijatuhkan pada pelaku
usaha periklanan yang menyiarkan iklan menyesatkan, menipu atau mengakibatkan
cedera pada konsumen untuk memasang iklan perbaikannya (corrective
advertisement) di surat kabar atau televisi iklan koreksi seperti ini telah tumbuh dan
menjadi hokum di Negara-negara lain. Undang-undang Perlindungan Konsumen
tidak memuat tindakan administratif tersebut, padahal kegunaannya sangat baik
sebagai upaya pencegah “gegabahnya” para pelaku usaha periklanan.
Satu hal yang menarik dari Undang-undang Perlindungan Konsumen berkaitan
dengan periklanan ini yakni dalam Pasal 17 ayat (1) huruf f, undang-undang ini
berbunyi : melanggar etika atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai
periklanan. Apakah yang dimaksud denagn etika periklanan? Penjelasan pasal ini
memuat kalimat “cukup jelas”. Apabila dengan etika itu dimaksudkan kode etik
periklanan, maka berarti Undang-Undang ini telah membeikan “status hokum” pada
kode etik periklanan yang di Indonesia disebut sebagai tata karma dan tata cara
periklanan Indonesia.
b. Tentang Label
Informasi produk konsumen yang bersifat wajib ini, ditetapkan dalam
berbagai peraturan perundang-undangan. Pengaturan tentang informasi yang disebut
dengan berbagai istilah seperti penandaan. Label, atau etiket. Ketentuan tersebut
terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan.

1. UU Barang, UU No. 10 Tahun 1961,memberikan informasi tentang


barang. Pasal 2 ayat (4) UU ini menentukan:
Pemberian nama dan tanda-tanda yang menunjukkan asal, sifat, susunan
bahan, bentuk banyaknya dan kegunaan barang-barang yang baik
diharuskan maupun tidak diperbolehkan dibubuhkan atau dilekatkan pada
barang pengbungkusnya, tempat barang-barang itu diperdagangkan dan
alat-alat reklame, pun cara pembubuhan atau melekatkan nama dan tanda-
tanda itu.

Pemberian nama atau tanda-tanda menunjuk pada label dari barang


bersangkutan. Nama atau tanda-tanda itu memuat asal, sifat, susunan, bahan,
bentuk, dan banyaknya serta kegunaannya. Nama dan tanda-tanda itu harus
dibubuhkan atau dilekatkan pada pembungkusnya tempat barang itu di
perdagangkan dan pada alat-alat reklame. Perbuatan-perbuatan yang
bertentangan dengan atau melanggar ketentuan tersebut di atas, dapat
dinyatakan sebagai tindak pidana ekonomi (Pasal 9). Dengan demikian setiap
perilaku pengusaha yang melanggar ketentuan dalam peraturan perundang-
undangan ini, dapat dikenakan ketentuan pidana ekonomi.

2. Baik produk makanan, maupun obat diwajibkan mencantumkan label


pada wadah atau pembungkusnya. Permenkes No. 79 Tahun 1978 tentang
Label dan periklanan Makanan, Pasal 1 dan 2, menyebutkan :
Etiket adalah label yang dilekatkan, dicetak, diukir, atau dicantumkan dengan
jalan apa pun pada wadah atau pembungkus.

Selanjutnya keterangan yang harus dimuat pada label/etiket tersebut ditetapkan


(Pasal 7 ayat (1) dan (2) terdiri atas :
 Nama makanan atau merk dagang

 Komposisi, kecuali makanan yang cukup diketahui komposisinya


secara umum

 Isi netto
 Nama dan alamat perusahaan yang memproduksi atau mengedarkan

 Nomor pendaftaran

 Kode produksi

 Untuk jenis makanan tertentu yang ditetapkan oleh menteri kesehatan,


harus dicantumkan tanggal kadaluarsa, nilai gizi, petunjuk penggunaan dan
cara penyimpanannya.

Perbuatan mengedarkan makanan tanpa label sebagaimana dimaksudkan dalam


peraturan Menteri Kesehatan tersebut dinyatakan dilarang dan dapat diancam dengan
sanksi-sanksi sebagaimana termuat dalam KUHP dan tindakan administratif berupa
penarikan nomor daftar produk itu dan tindakan lain berdasarkan perundang-
undangan yang berlaku. (pasal 41-45)

Ketentuan tentang sanksi-sanksi atas pelanggaran kewajiban memesang label


pada makanan (dalam kemasan) tersebut memang tidak begitu jelas. Sebagai
akibatnya kemudian dalam perundang-undangan yang lebih baru, Undang-undang
No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, ketentuan tentang pelabelan makanan
ditegaskan lebih lanjut.

Setiap makanan yang dikemas wajib diberi tanda atau label (Pasal 21 ayat (2))
yang memuat tentang :

a. Bahan yang dipakai

b. Komposisi setiap bahan

c. Tanggal, bulan, dan tahun kadaluarsa

d. Ketentuan lainnya

Dalam penjelasan Pasal ini (huruf d) dinyatakan bahwa ketentuan lainnya


misalnya pencantuman kata atau tanda halal menjamin bahwa makanan dan minuman
dimaksud diproduksi dan diproses sesuai persyaratan makanan halal.

Perbuatan mengedarkan makanan tanpa label dinyatakan sebagai tindak pidana


pelanggaran dengan ancaman pidana kurungan maksimum satu tahun dan denda
maksimum Rp15.000.000,00 (Pasal 84 jo. Pasal 85)

SK Menteri Menteri Kesehatan tanggal 21 Agustus 1971 No, 193 Tahun 1971
tentang Pembungkusan dan Penandaan obat, tidak menggunakan istilah label atau
etiket, tetapi penandaan. Pengertian tentang penandaan termuat dalam Pasal 1 angka
4, yang berbunyi :

Tulisan-tulisan dan pernyataan-pernyataan pada pembungkus, etiket atau brosur


yang diikutsertakan pada penyerahan atau penjualan sesuatu obat, baik yang
diberikan bersama obat itu maupun yang diberikan sesudah atau sebelum
penyerahan obat yang bersangkutan.

Adapun dalam Pasal 3 SK Mentei Kesehatan tersebut ditentukan :


Pada bungkus luar dan wadah obat jadi atau obat paten dan bahan kontras
harus dicantumkan tanda atau etiket yang menyebutkan nama jenis atau nama
barang obat, bobot netto atau volume obat, komposisi obat dan susunan kuantitatif
zat-zat berkhasiat, nomor pendaftaran, nomor batch, dosis, cara
penggunaan,indikasi sebagaimana disetujui pada pendaftaran, kontra indikasi yang
ditetapkan pemerintah untuk dicantumkan, nama pabrik dan alamatnya (sedikitnya
nama kota dan negaranya), cara penyimpanan, batas daluarsa dan tanda-tanda lain
yang dianggap perlu

Ketentuan berikut dalam pasal itu dan pasal 4-6 memuat rincian berbagai
keharusan tata cara tentang permuatan isi label atau etiket tersebut. Adapun Pasal 12
Surat Keputusan Menteri Kesehatan ini menetapkan bahwa pelanggaran atas
ketentuan-ketentuan antara lain, khususnya tentang pelabelan tersebut.

Selain mengakibatkan hukuman di bidang pidana dan penyitaan obat, akan


mengakibatkan hukuman di lapangan administratif.

Dalam UU Kesehatan, ketentuan-ketentuan diatas mendapatkan “porsi” baru.


Pasal 41 ayat (2) memuat ketentuan tentang penandaan dan informasi sebagai berikut:

Penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi
persyaratan objektivitas dan kelengkapan serta tidak menyesatkan.

Dari uraian diatas tampak bahwa informasi produk konsumen itu dapat
ditemukan dalam penandaan atau informasi lain, seperti iklan dalam segala bentuk
kreativitasnya, tetapi dengan batas-batas minimum sehingga tidak menyesatkan atau
menipu (iklan melawan hokum). Pada penandaan, label atau etiket pemuatan
informasi yang bersifat wajib dilakukan dengan sanksi-sanksi administratif dan
pidana tertentu apabila tidak dipenuhi persyaratan-persyaratan etiket dan label
tersebut.

Hal ini berkaitan dengan bahan informasi yang selalu mengusik adalah mengapa
suatu hasil uji laboratoris produk konsumen (antara lain oleh instansi pemerintah)
tidak disiarkan kepada masyarakat agar mereka mengetahui bermutu atau bergizi
tidaknya sesuatu produk konsumen (pangan, sandang papan, angkutan, dan lain-lain).

c. Hal-hal yang Berkaitan dengan Perikatan

Dalam KUH Perdata Buku ke-III, tentang Perikatan (van Verbintenissen),


termuat ketentuan-ketentuan tentang subjek-subjek hokum dari perikatan, syarat-
syarat perikatan, tentang resiko jenis-jenis perikatan tertentu, syarat-syarat
pembatalannya, dan berbagai bentuk perikatan yang dapat diadakan (Pasal 1233).
Selanjutnya, Pasal 1233 menyebutkan jenis-jenis perjanjian (prestasi)yang dapat
diadakan terdiri atas memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.

Perikatan yang terjadi karena undang-undang, dapat timbul karena undang-


undang, baik karena undang-undang maupun sebagai akibat perbuatan seseorang.
Perbuatan itu dapat berupa perbuatan yang diperbolehkan (halal) atau perbuatan yang
melanggar hokum (Pasal 1352,1353m dan seterusnya).

Dalam perikatan yang timbul karena perjanjian, tidak dipenuhi atau


dilanggarnya butir-butir perjanjian itu, setelah dipenuhinya syarat tertentu, dapat
mengakibatkan terjadinya cedera janji (wanprestatie). Perbuatan cedera janji ini
memberikan hak pada pihak yang dicederai janji untuk menggugat ganti rugi berupa
biaya, kerugian, dan bunga (Pasal 1236 dalam hal perjanjian memberikan sesuatu,
Pasal 1239, dan Pasal 1242 dalam hal perjanjian berbuat atau tidak berbuat sesuatu,
Pasal 1243,1244,1246), dan seterusnya.

Kerugian-kerugian itu selain dari biaya-biaya yang sungguh-sungguh telah


dikeluarkan, kerugian yang dialami, juga termasuk keuntungan (winstderving) yang
diharapkan yang tidak diterima karena perbuatan ingkar janji tertentu.

Perikatan juga dapat terjadi tanpa adanya perjanjian. Antara lain, yang
terpenting terlihat pada perikatan karena terjadinya perbuatan atau kealpaan yang
melanggar atau melawan hokum (selanjutnya disebut PMH).

Apabila seseorang dirugikan karena perbuatan orang lain, sedang diantara


mereka itu tidak terdapat suatu perjanjian (hubunganhukum perjanjian), maka
berdasarkan undang-undang dapat juga timbul atau terjadi hubungan hokum antara
orang tersebut dan orang yang menimbulkan kerugian itu.

Pasal 1365 KUH Perdata berbunyi :

Setiap perbuatan melanggar hokum yang membawa kerugian pada orang


lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti
kerugian tersebut.

Unsur-unsur Perbuatan Melawan Hukum:

1) Unsur pelanggaran atas hak-hak orang lain.

Yang dimaksudkan adalah hak-hak subjektif orang lain. Kedalamnya


termasuk hak-hak kebendaan dan lain-lain hak yang bersifat mutlak (seperti
hak milik, oktroi, dan hak merk), hak-hak pribadi perseorangan (persoonlijk-
rechten) seperti hak-hak atas integritas (harga diri), kehormatan dan nama
baik seseorang.
2) Unsur bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku

Yang dimaksudkan adalah kewajiban hokum yang diletakkan perundang-


undangan dalam arti materiil, ditetapkan oleh lembaga yang berwenang, baik
bersifat perdata maupun public (misalnya perbuatan pelanggaran atau
kejahatan seperti termuat dalm KUHP).

3) Unsur bertentangan dengan kehati-hatian yang hidup atau harus


diindahkan dalam kehidupan masyarakat.

Sejak tahun 1919, unsur ini tampaknya merupakan unsur yang terpenting
dalam penenruan tolok ukur perbuatan melawan hukum. Ia menunjuk pada
kebiasaan tidak tertulis, yang dapat digunakan dengan berdiri sendiri, baik
secara terlepas dari atau bersama-sama unsure-unsur lainnya. Pada pokoknya
orang haruslah memperhatikan perilaku yang dianggap patut (behoorlijk)
dalam masyarakat dikaitkan dengan kepentingan perorangan satu sama lain.
Mengenai penerapannya harus dilihat kasus per kasus.

2. Aspek hukum publik


Dengan hukum publik dimaksudkan hukum yang mengatur hubungan antara
Negara dan alat-alatnya perlengkapannya atau hubungan Negara dengan
peroranagan. Termasuk hokum publik dalam rangka hokum konsumen dan
hokum perlindungan konsumen, adalah hokum administrasi Negara, hokum
pidana, hokum acara perdata, dan hokum acara pidana dan hokum internasional
khususnya hokum perdata internasional.

1. Hukum Pidana

Pengaturan hokum positif dalam lapangan hokum pidana secara umum


terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Di Indonesia, penerapan
kitab di atas diunifikasikan sejak 1918, yakni sejak pertama kali diberlakukan
wetboek van strfrecht voor Nederlandsch-indie. Jadi, berbeda dengan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata yang masih bersifat pluralistis, kodifikasi hokum
pidana teersebut jauh-jauh hari berlaku untuk semua golongan penduduk. Setelah
Indonesia merdeka, melalui Undang-Undang No. 1 Tahun 1946, Kitab Undang-
Undang itu lalu diadopsi secara total. Karena perkembangan poliik, adopsi
undang-undang yang semula bertujuan untuk unifikasi itu, tidak mencapai
tujuannya. Dualisme hokum tetap terjaddi karena perbedaan penafsiran terhadap
perubahan-perubahan yang di buat pada masa penjajahan belanda dan Jepang.
Baru kemudian dengan Undang-Undang No. 73 Tahun 1958, tujuan unifikasi
yang diinginkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 itu dapat dicapai. Kitab ini
diberlakukan diseluruh Indonesia dengan nama resmi Wetboek van Strafrecht atau
dapat disebut juga Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jadi, berarti secara
resmi sebenarnya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berlaku di
Indonesia itu masih berbahasa Belanda. Adapun terjemahan yang dipakai saat ini
masih merupakan karya individual atau institusi tertentu, antara lain (yang paling
luas dipakai) adalah karya Alm. Prof. Moeljanto,S.H., Guru Besar Fakultas
Hukum Universitas Gadjah Mada. Belum ada satu pun terjemahan yang
dinyatakan resmi.

Hokum pidana sendiri termasuk dalam kategori hokum publik.dalam kategori


ini termasuk pula hokum administrasi Negara,hokum acara, dan hokum
internasional. Di antara semua aspek hokum public itu, yang paling banyak
menyangkut perlindungan konsumen adalah hokum pidana dan hokum
administrasi Negara.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak disebut kata “konsumen”.


Kendati demikian, secara implicit dapat ditarik beberapa pasal yang memberikan
perlindungan hokum bagi konsumen, antara lain :

1. Pasal 204: Barang siapa menjual,menawarkan,menyerahkan atau


membagi-bagikan barang, yang diketahui bahwa membahayakan nyawa atau
kesehatan orang, padahal sifat berbahaya itu tidak diberitahukan, diancam,
dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

Jika perbuatan mengakibatkan matinya orang, yang bersalah dikenakan pidana


penjara seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu paling lam
dua puluh tahun.

2. Pasal 205: Barang siapa karena kealpaannya bahwa barang-barang


yang berbahaya bagi nyawa atau kesehatan orang dijual, diserahkan atau
dibagi-bagikan, tanpa diketahui sifat berbahayanya oleh yang membeli atau
yang memperoleh, diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan
bulan atau kurungan paling lama enam bulan atau denda paling banyak tiga
ratus rupiah.

Jika perbuatan mengakibatkan matinya orang,yang bersalah dikenakan pidana


penjara paling lama stau tahun empat bulan atau kurungan paling lama satu
tahun. Barang-barang itu dapat disita.

3. Pasal 359: Barang siapa karenakealpaannya menyebabkan matinya


orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau
kurungan paling lama satu tahun (LN 1906 No. 1).

4. Pasal 360: Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain


mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara lama lima tahun
atau kurungan paling lama satu tahun. Barangsiapa karena kealpaannya
menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit
atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian selama waktu
tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan atau
kurungan paling lama enam bulan atau denda paling tinggi tiga ratuus rupiah
(LN 1960 No. 1)

5. Pasal 382: Barang siapa mejual, menawarkan,menyerahkan atau


menyerahkan makanan,minuman atau obat-obatan yang diketahui bahwa itu
palsu, dan menyembunyikan hal itu, diancam dengan pidnaan penjara paling
lama empat tahun.

Bahan makanan,minuman atau obat-obatan itu dipalsu,jika nilainya atau


faedahnya menjadi kurang karena dicampur dengan sesuatu bahan lain.

6. Pasal 382 bis: barang siapa untuk mendapatkan, melangsungkan atau


memperluas debit perdagangan atau perusahaan kepunyaan sendiri atau orang
lain, melakukan perbuatan curang untuk menyesatkan khalayak umum atau
seorang tertentu diancam, jika karenanya dapat timbul kerugian bagi
konkuren-konkurrennya atau orang lain itu, karena persaingan curang, dengan
pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak
Sembilan ratus rupiah.

7. Pasal 383: Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun
empat bulan, seorang penjual yang berbuat curang teerhadap pembeli: (1)
karena sengaja menyerahkan barang lain daripada yang ditunjuk untuk dibeli,
(2) mengenai jenis keadaan atau banyaknya barang yang diserahkan, dengan
menggunakan tipu muslihat.

8. Pasal 390: Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri


sendiri atau orang lain secara melawan hokum, dengan menyiarkan kabar
bohong yang menyebabkan harga barang-barang dagangan, dana-dana atau
surat-surat berharga menjadi turun atau naik, diancam dengan pidana penjara
paling lama dua tahun delapan bulan.

Di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terdapat banyak sekali


ketentuan pidana yang beraspekkan perlindungan konsumen. Lapangan pengaturan
yang paling luas kaitannya dengan hokum perlindungan konsumen terdapat pada
bidang kesehatan. Termasuk dalam kelompok ini adalah Undang-Undang No. 7
Tahun 1996 tentang Pangan,yang berlaku sejak 4 November 1996. Ketentuan-
ketentuan dilapangan hokum kesehatan dapat dikatakan merupakan instrumen hokum
yang paling luas namun tidak berarti memadai dalam mengatur hak-hak konsumen
dibandingkan dengan lapangan huukum lainnya.

Selain itu juga dalam pengaturan hak-hak atas kekayaan intelekual, seperti
hak cipta, paten, dan hak atas merk, dewasa ini diberi perhatian yang cukup besar,
khususnya dari sudut penerapan sanksi pidananya. Tindak pidana berupa pembajakan
hak cipta, misalnya sekarang diubah dari deliik aduan menjadi delik biasa.
Sayangnya, peraturan-peraturan di bidang hak aras kekayaan intelektual yang
sebenarnya bersinggungan erat dengan kepentingan konsumen, ternyata belum secara
intens mengarahkan perhatiannya kepada kepentingan tersebut. Perlindungan yang
diberikan porsi terbanyak justru kepada individual atau badan yang menjadi
pemegang hak-hak di atas, bukan pada konsumen sebagai bagian terbesar masyarakat
Indonesia.

Kecenderungan seperti yang terjadi dalam hukum bidang hak atas kekayaan
intelektual ini seharusnya mulai di antisipasi. Seandainya tidak tertampung dalam
undang-undang yang bersifat khusus dan sektoral seperti diatas, dapat
diakomodasikan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang menurut rencana
akkan segera diperbaharui.

Pengakomodasian ini penting, karena berbeda dengan lapangan hokum


perdata, dalam hokum pidana dikenal larangan melakukan analogi-analogi berbeda
pengertiannya dengan penafsiran ekstensi. Dalam penafsiran ekstensi, makna suatu
rumusan diberi pengertian menurut kebutuhan masyarakat saat itu, yang berbeda
dengan makna tatkala rumusan ittu di buat oleh pembentuk undang-undang. Jadi,tetap
ada sandaran peraturannya, Cuma dibari penafsiran yang lebih luas. Sebaliknya, pada
analogi sudah tidak lagi bersandar pada suatu rumusan peraturan. Hanya inti (rasio)
dari aturan itu yang masih dipertahankan. Pada hakikatnya penafsiran ekstensi dan
analogi itu sama, hanya ada perbedaan gradual.

Akibatnya, aparat penegek hokum (dalam hal ini khususnya hakim) tidak
dapat dengan leluasa menetapkan tindak pidana yang baru diluar rumusan undang-
undang. Jika dilakukan, ini berarti bertentangan dengan asas legalitas.

Tentu saja konsekuensi lain adalah dalam mengartikan perbuatan melawan


hokum (wederrechtelijke daad) dilapangan hokum pidana tidak seleluasa dilapangan
hokum perdata. Putusan-putusan pengadilan berkaitan dengan perluasan penafsiran
tentang perbuatan melawan hokum memang juga mempengaruhi pemikiran para ahli
hukum pidana. Vost misalnya, menganut pemikiran agar dalam hokum pidana pun
unsur perbuatan melawan hokum ini dapat ditafsirkan secara luas, sehinggga menjadi
perbuatan yang oleh masyarakat tidak diperbolehkan, tidak sekadar yang oleh
undang-undang dilarang. Cara berpikir Vost ini disebut dengan pendirian material,
sebagai lawan dari pendirian yang formal. Rupanya para ahli hokum lain seperti
Simmons, Jonkers, dan Langemeyers, masih memepertahankan cara berpikir formal.
Suatu rumusan tindak pidana dapat kehilangan sifat melawan hukumnya hanya jika
ada peraturan (minimal) setingkat dengan itu (misalnya sama-sama undang-undang)
yang mengecualikan.

2. Hukum Administrasi Negara

Seperti halnya hokum pidana, hokum administrasi Negara adalah instrumen


hokum publik yang penting dalam perlindungan konsumen. Sanksi-sanksi hokum
secara perdata dan pidana seringkali kurang efektif jika tidak disertai sanksi
administratif.

Sanksi administratif tidak ditujukan pada konsumen pada umumnya, tetapi


justru kepada pengusaha, baik itu produsen maupun para penyalur hasil-hasil
produknya. Sanksi administratif berkaitan dengan perizinan yang diberikan.
Pemerintah RI kepada pengusaha/penyalur tersebut. Jika terjadi pelanggaran, izin-izin
itu dapat dicabut secara sepihak oleh pemerintah.
Pencabutan izin hanya bertujuan menghentikan proses produksi dai
produsen/penyalur. Produksi disini harus diartikan secara luas, dapat berua barang
atau jasa. Dengan demikian, dampaknya secara tidak langsung berarti melindungi
konsumen pula, yakni mencegah jatuhnya lebih banyak korban. Adapun pemulihan
hak-hak korban (konsumen) yang dirugikan bukan lagi tugas instrument hokum
administrasi Negara. Hak-hak konsumen yang dirugikan dapat dituntut dengan
bantuan hokum perdata atau pidana.

Campur tangan administrator Negara idealnya harus dilatarbelakangi iktikad


melindungi masyarakat luas dari bahaya. Pengertian bahaya disini terutama
berkenaan dengan kesehatan daan jiwa. Itulah sebabnya, sejak prakemerdekaan,
peraturan-peraturan tentang produk makanan,obat-obatan dan zat-zat kimia, diawasi
secara ketat. Syarat-syarat pendirian perusahaan yang bergerak dibidang tersebut dan
pengawasan terhadap proses produksinya dilakukan ekstra hati-hati. Peraturan-
peraturan masa kolonial itu bahkan cukup banyak yang masih berlaku sampai
seekarang.

Sanksi administratif ini sering lebih efektif dibandingkan dengan sanksi


perdata atau pidana. Ada beberapa alasan untuk mendukung pernyataan ini.

Pertama,sanksi administratif dapat diterapkan secara langsung dan sepihak.


Dikatakan demikian karena penguasa sebagai pihak pemberi izin tidak perlu meminta
persetujuan terlebih dahulu dari pihak manapun. Persetujuan, kalaupun ini
dibutuhkan, mungkin dari instansi-instansi Pemerintah terkait.sanksi administrati jug
tidak perlu melaui proses pengadilan. Memang, bagi pihak yang terkena sanksi ini
dibuka kesempatan untuk “membela diri”, antara lain mengajukan kasus tersebut ke
pengadilan tata usaha Negara, tetapi sanksi itu sendiri dijatuhkan terlebih dulu,
sehingga berlaku efektif.

Kedua, sanksi perdata atau pidana acapkali tidak membawa efek “jera” bagi
pelakunya. Nilai ganti rugi dan pidana yang dijatuhkan mungkin tidak seberapa
dibandingkan dengan keuntungan yang diraih dari perbuatan negative produsen.
Belum lagi mekanisme penjatuhan putusan itu yang biasanya berbelit-belit dan
membutuhkan proses yang lama, sehingga konsumen sering menjadi tidak sabar.
Untuk gugatan secara perdata, konsumen juga dihadapkan pada posisi tawar-menawar
yang tidak selalu menguntungkan disbanding dengan produsen.

Walaupun secara teoretis instrument hokum administrasi negara ini cukup


efektif, tetap ada kendala dalam penerapannya. Contohnya adalah ketentuan yang
tercantum dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Snksi administratif terhadap perusahaan-perusahaan yang
mencemari lingkungan masih teramat jarang dilkukan. Bahkan, untuk kasus-kasus
teertentu, seperti pencemaran oleh PT Inti Indorayon di Sumatera Utara, Pemerintah
masih mengandalkan inisiatif konsumen untuk mempersalahkannnya. Pemerintah
tampaknya menjadikan sanksi administratif ini sebagai ultimum remedium, karena
dikaitkan dengan pertimbangan tenaga kerja dan perpajakan. Tentuu saja, kedua
pertimbangan tersebut seharusnya tidak menjadi alasan pemaaf bagi pengusaha yang
merugikan konsumen tersebut, sepanjang memang didukung oleh bukti-bukti yang
cukup.
Ketentuan hokum administrasi, misalnya menentukan bahwa: Pemerintah
melakukan pengaturan dan pembinaan rumah susun dan pengawasan terhadap
pelaksanaan undang-undang
(termuat dalam Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 20 Ayat (1) Undang-Undang tentang
Rumah Susun, Undang-Undang No. 16 Tahun 1985 LN Tahun 1985 No. 75)

Selanjutnya dalam Undang-Undang Kesehatan, Undang-Undang No. 23


Tahun 1992, Pasal 73 ditentukan:

Pemerntah melakukan pembinaan terhadap semua kegiatan yang berkaitan


dengan penyelenggaraan upaya kesehatan.

Dalam Pasal 76 undang-undang itu dijelaskan pula peran pengawasan yang


dijalankan oleh pemerintah, sedang Pasal 77 menegaskan wewenang pemerntah untuk
mengambil berbagai tindakan administratif terhadap tenaga kesehatan atau sarana
kesehatan yang melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini.

Dari peraturan perundang-undanagan diatas terlihat beberapa departemen atau


lembaga pemerintah tertentu yang menjalankan tindakan administratif berupa
pengawasan dan pembinaan terhadap pelaku usaha dengan perilaku tertentu dalam
melaksanakan perundang-undangan tesebut. Misalnya tindakan administratif terhadap
tenag kesehatan atau sarana kesehatan yang melanggar undang-undang (Pasal 77 UU
No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan).

Pasal 77 itu berbunyi :

Pemerintah berwenang mengambil tindakan administratif terhadap tenaga


kesehatan atau sarana kesehatan yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan
ini.

Penjelasan pasal ini menentukan tindakan administratif dalam pasal ini dapat
berupa pencabutan izin usaha, izin prakti atau izin lain yang diberikan, serta
penjatuhan hokum disiplin berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Tindakan administratif terhadap tenaga kesehatan dilakukan setelah
mendengar pertimbangan Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan.

Begitu pula dengan tindakan administratif Menteri Kehakiman dalam


mengeshkan Anggaran Dasar suatu Perseroan Terbatas atau Perubahannya
sebagaimana termuat dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas. Juga berdasarkan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Pasal 29
menegaskan tugas pembinaan dan pengawasan bank-bank di Indonesia dilakukan
oleh Bank Indonesia. Ayat (2) pasal ini menentukan bahwa Bank Indonesia
menetapkan ketentuan tentang kesehatan bank dengan memperhatikan aspek
permodalan, kualitas aset, kualitas manajemen,rentabilitas, likuiditas,solvabilitas, dan
aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank. Selanjutnya, Pasal 52 dan 53
(Ketentuan Pidana dan sanksi administratif), ditetapkan bahwa Bank Inndonesia dapat
menetapkan sanksi administrative kepada bank yang tidak memenuhi kewajibannya
sebagaimana ditentukan dalam undang-undang ini atau menyampaikan peritmbangan
kepada Menteri Keuangan untuk mencabut izin usaha bank bersangkutan.
3. Hukum Transnasional

Sebutan “hukum transnasional” mempunyai dua konotasi. Pertama, hukum


transnasional yang berdimensi perdata, yang lazim disebut hukkum perdata
Internasional. Kedua, hukum internasional yang berdimensi public, yang biasanya
dikenal sebagai hukum internasional publik. Hukum perdata internasional
sesungguhnya bukan hukum yang berdiri sendiri, melainkan bagian dari hukum
perdata nasional. Hukum perdata internasional hanya berisi petunjuk tentang hukum
nasional mana yang akan diberlakukan jika tedapat kaitan lebih dari satu kepentingan
hukkum nasional. Melalui petunjuk inilah lalu ditentukan hukum atau pengadilan
mana yang akan menyelesaikan perselisihan hukum tersebut.

Hukum internasonal sering dinilai sebagai instrument yang “mandul” daalm


menangani banyak kasus hukum yang berdimensi lintas Negara. Kepentingan
nasional masing-masing Negara kerapkali membuatnya harus menjadi “macan kertas”
yang dengan sendirinya tidak bergigi dan tidak mempunyai kekuatan memaksa.

Masalh perlindungan konsumen merupakan salah satu bukti diantaranya.


Gerakan ini memang berkembang pesat diberbagai penjuru dunia, namun intensitas
gerakan tersebut tidak selalu sama pada tiap-tiap Negara. Kondisi suatu Negara
sangat dominan menentukan seberapa jauh gerakan ini mendapat tempat di
masyarakat.

Sumber terpenting dari hukum internasional adalah perjanjian antarnegara dan


konvensi-konvensi internasional. Walaupun begitu, keberadaan sumber-sumber
hukum internasional iu tetap tidak banyak artinya jika belum diartifikasi oleh Negara
yang bersangkutan. Demikian pula halnya dengan resolusi-resolusi yang di buat oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang notabene tanpa ratifikasi pun harrusnya berlaku
secara serta-merta terhadap semua Negara anggota badan dunia itu.

PERANAN
C. HUKUM DALAM
PERLINDUNGAN KONSUMEN
Pada era perdagangan bebas dimana arus barang dan jasa dapat masuk ke
semua Negara dengan bebas, maka yang seharusnya terjadi adalah persaingan jujur.
Persaingan jujur adalah suatu persaingan dimana konsumen dapat memiliki barang
atau jasa karena jaminan kualitas dengan harga yang wajar. Oleh karena itu, pola
perlindungan konsumen perlu diiarahkan pada pola kerja sama antarnegara,
antarsemua pihak yang berkepentingan agar terciptanya suatu model perlindungan
yang harmonis berdasarkan atas persaingan jujur.
Sampai saat ini secara universal diakui adanya hak-hak konsumen yang harus
dilindungi dan dihormati, yaitu:

1. Hak keamanan dan keselamatan

2. Hak atas informasi

3. Hak untuk memilih

4. Hak untuk didengar dan

5. Hak atas lingkungn hidup

Aspek-aspek hukum terhadap perlindungan konsumen didalam era pasar


bebas, pada dasarnya dapat dikaji dari dua pendekatan, yakni dari sisi pasar domestic
dan dari sisi pasar globlal.

Keduanya harus diawali dan sejak barang dan jasa diproduksi,


didistribusikan/dipasarkan dan diedarkan sampai barang dan jasa tersebut dikonsumsi
oleh konsumen.

Bertolak dari pemikiran diatas, pada dasarnya negara dapat diketahui bahwa
aspek hukum public dan aspek hukum perdata mempunyai peran dan kesempatan
yang sama untuk melindungi kepentingan konsumen.

Aspek hukum public berperan dan dapat dimanfaatkan oleh Negara,


pemerintahan instansi yang mempunyai peran dan kemenangan untuk melindungi
konsumen. Kemenangan dan peran tersebut dapat diwujudkan mulai dari :

 Politic will/ kemauan politik untuk melindungi kepentingan konsumen


domestic didalam persaingan globlal dan atas persaingan tidak sehat local.

 Birokrasi dengan sadar dan senang hati menciptakan kondisi dengan


berbisnis jujur dalam mewujudkan persaingan sehat.

 Di dalam hukum positif, yang sudah mengandung unsure melindungi


kepentingan konsumen antara lain :

 Undang-undang kesehatan

 Undang-undang barang

 Undang-undang hygiene untuk usaha

 Undang-undang pengawasan atau edar barang

 Peraturan tentang wajib daftar obat

 Peratutan tentang produksi dan peredaran produk tertentu


 Peraturan tentang perizinan, diharapkan diikuti dengan pengawasan,
pembinaan dan pemberian sanksi yang pasti dan tegas apabila terjadi
pelanggaran mengenai syarat dan operasional dari perusahaan produsen.

Dari aspek hkum public, termasuk didalamnya hukum administrasi Negara,


mempunyai sumbangan terbesar dalam rangka melindungi kepentingan konsumen.
Sumbangan yang terbesar pada hukum public disini adalah kemampuan untuk
mengawasi, membina dan mencabut izin sesuai dengan ketentuan apabila terbukti :

 Melanggar ketentuan undang-undang

 Merugikan kepentingan umum/konsumen

Aspek hukum perdata secara umum hanya dapat dimanfaatkan oleh pihak
untuk kepentingan-kepentingan subjektif. Meskipun demikian mengingat hubungan
hukum para pihak terjadi karena berbagai alasan dan factor kebutuhan. Fakta selalu
menunjukkan bahwa posisi calon konsumen dalam keadaan lebih karena factor
ekonomi dan kebutuhan.

Keadaan yang demikian mendorong para pihak produsen, distributor, dan


sebagainya, memperkuat posisinya dengan menyiapkan dokumen yang ditentukan
secara sepihak. Hal inilah yang menyebabkan tidak seimbangnya hubungan hukum
para pihak.

Untuk mengurangi ketidakseimbangan tersebut, maka sudah waktunya apabila


disiapkan adanya syarat-syarat bahkan yang harus dipenuhi apabila ada pihak berniat
menyiapkan perjanjian baku bagi calon konsumennya.\

Syarat-syarat baku minimal antara lain mengenai :

 Waktu atau batas waktu untuk mengajukan keberatan

 Syarat atas pemenuhan janji

 Syarat kesanggupan untuk memenuhi kewajiban sesuai dengan


promosi.

BAB 5
PRINSIP-PRINSIP HUKU PERLINDUNGAN
KONSUMEN
A. PRINSIP-PRINSIP TANGGUnG JAWAB
Prinsip tentang tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting dalam
hukum perlindungan konsumen. Dalam kasus-kasus pelanggaran hak konsumen,
diberlakukan keberhati-hatian daalm menganalisis siapa yang harus bertanggung
jawab dan seberapa jauh tanggung jawab dapat dibebankan kepada pihak-pihak
terkait.

Beberapa sumber formal hukum, seperti peraturan perundang-undangan dan


perjanjian standar di lapangan hukum keperdataan kerap memberikan pembatasan-
pembatasan terhadap tanggungjawab yang dipikul oleh sipelanggar hak konsumen.

Secara umum, prinsip-prinsip tanggungjawab dalam hukum dapat dibedakan


sebagai berikut:

1. Kesalahan

2. Praduga selalu bertanggung jawab

3. Praduga selalu tidak bertanggung jawab

4. Tanggung jawab mutlak

5. Pembatasan tanggung jawab

1. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan

Prinsip tanggungjawab berdasarkan unsure kesalahan adalah prinsip yang


cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan perdata.dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, khususnya Pasal 1365, 1366, dan 1367, prinsip ini di pegang secara
teguh.

Prinsip ini menyatakan, seseorang baru dapat dimintakan


pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsure kesalahan yang dilakukannya.
Pasal 1365 KUH Perdata, yang lazim dikenal sebagai pasal tentang perbuatan
melawan hukum, mengharuskan terpenuhinya empat unsure pokok, yaitu :

1. Adanya perbuatan

2. Adanya unsure kesalahan

3. Adanya kerugian yang diderita

4. Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kealpaan

Yang dimaksud kesalahan adalah unsure yang bertentangan dengan hukum.


Pengertian “hukum” tidak hanya bertentangan dengan undang-undang, tetapi juga
kepatutan dan kesusilaan dalam masyarakat.
Secara common sense, asas tanggung jawab ini dapat diterima karena adalah
adil bagi orang yang berbuat salah untuk mengganti kerugian bagi pihak korban.
Dengan kata lain, tidak adil jika orang yang tidak bersalah harus mengganti kerugian
yang diderita orang lain.

Mengenai pembagian beban pembuktiannya, asas ini mengikuti ketentuan


Pasal 163 (HIR) atau Pasal 283 (Rbg) dan Pasal 1865 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata. Di situ dikatakan, barangsiapa yang mengakui mempunyai suatu hak, harus
membuktikan adanya hak atau peristiwa itu.

Ketentuan diatas juga sejalan dengan teori umum dalam hukum acara, yakni
asas kedudukan yang sama antara semua pihak yang berperkara. Di sini hakim harus
memberi para pihak beban yang seimbang dan patut sehingga masing-masing
memiliki kesempatan yang sama untuk memenangkan perkara tersebut.

Perkara yang perlu diperjelas dalam prinsip ini, yang sebenarnya juga berlaku
umum untuk prinsip-prinsip lainnya adalah definisi tentang subjek pelaku kesalahan
(lihay Pasal 1367 KUP Perdata). Dalam doktrin hukum dikenal asas vicarious
liability dan corporate liability.

Vicarious liability atau disebut juga respondeat superior, let the master
answer, mengandung pengertian majikan bertanggung jawab atas kerugian pihak lain
yang ditimbulkan oleh orang-orang atau karyawan yang berada dibawah
pengawasannya. Jika karyawan itu dipinjamkan kepihak lain,maka tanggung
jawabnya beralih pada si pemakai karyawan tadi.

Corporate liability pada prinsipnya memiliki pengertian yang sama dengan


vicarious liability. Menurut doktrin ini, lembaga yang menaungi suatu kelompok
pekerja mempunyai tanggung jawab terhadap tenaga-tenaga yang dipekerjakannya.
Sebagai contoh, dalam hubungsn hukum antara rumah sakit dan pasien, semua
tanggung jawab atas pekerjaan tenaga medic dan paramedic dokter adalah menjadi
beban tanggung jawab rumah sakit tempat mereka bekerja. Prinsip ini diterapkan
tidak saja untuk karyawan organiknya (digaji oleh runah sakit), tetapi untuk karyawan
nonorganic (misalnay dokter yang dikontrak kerja dengan pembagian hasil).

Latar belakang penerapan prinsip ini adalah konsumen hanya melihat semua
dibalik dinding suatu korporasi itu sebagai sati kesatuan. Ia tidak dapat membedakan
mana yang berhubungan secara organic dengan korporasi dan mana yang tidak.
Doktrin yang terakhir ini disebut ostensible agency. Maksudnya, jika suatu korporasi
(misalnya rumah sakit) memberi kesan kepada masyarakat (pasien), orang yang
bekerja disitu (dokter,perawat,dan lain-lain) adalah karyawan yang tunduk dibawah
perintah korporasi tersebut, maka sudah cukup syarat bagi korporasi itu untuk wajib
bertanggung jawab secara vicarious terhadap konsumen.

2. Prinsip Praduga untuk Selalu Bertanggung Jawab

Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggung jawab, sampai


ia dapat membuktikan ia tidak bersalah. Jadi, beban pembuktian ada pada si tergugat.

Dalam hukum pengangkutan, khususnya pengangkutan udara, prinsip


tanggung jawab ini pernah diakui, sebagaimana dapat dilihat dalam Pasal 17,18 Ayat
(1), Pasal 19 jo, Pasal 20 Konvensi Warsawa 1929 atau Pasal 24,25,28 jo, Pasal 29
Ordonansi Pengangkutan udara No. 100 Tahun 1939, kemudian dalam
perkembangannya dihapuskan dengan Protokol Guatemala 1971.

Berkaitan dengan prinsip tanggung jawab ini, dalam doktrin hukum


pengangkutan khususnya, dikenal empat variasi:

a) Pengangkut dapat membebaskan diri dari tanggung jawab kalau ia


dapat membuktikan, kerugian ditimbulkan oleh hal-hal diluar kekuasannya.

b) Pengangkut dapat membebaskan diri dari tanggung jawab jika ia dapat


membuktikan, ia mengambil suatu tindakan yang diperlukan untuk
menghindari timbulnya kerugian.

c) Pengangkut dapat membebaskan diri dari tanggng jawab jika ia dapat


membuktikan, kerugian yang timbul bukan karena kesalahannya

d) Pengangkut tidak bertanggung jawab jika kerugian itu ditimbulkan


oleh kesalahan/kelalaian penumpang atau karena kualitas/mutu barang yang
diangkut tidak baik

Tampak beban pembuktian terbalik (omkering van bewijslast) diterima dalam


prinsip tersebut. Dalam konteks hukum pidana di Indonesia, omkering van bewijslast
juga diperkenalkan dalam Undang-Undang tentang Tindak Pidana Korupsi, tepatnya
pada Pasal 17 dan 18. Namun, dalam praktiknya pihak kejaksaan RI sampai saat ini
masih keberatan untuk menggunakan kesempatan yang diberikan prinsip beban
pembuktian terbalik. UUPK pun mengadopsi system pembuktian terbalik ini,
ssebagaimana ditegaskan dalam pasal 19,22, dan 23 (lihat ketentuan Pasal 28 UUPK).

Dasar pemikiran dari teori Pembalikan Beban Pembuktian adalah seseorang


dianggpa bersalah, sampai yang bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya. Hal ini
tentu bertentangan dengan asas hukum praduga tidak bersalah yang lazim dikenal
dalam hukum. Namun, jika diterapkan dalam kasus konsumen akan tampak, asas
demikian cukup relevan. Jika digunakan teori ini, maka yang berkewajiban untuk
membuktikan kesalahan itu ada di pihak pelaku usaha yang digugat. Tergugat ini
yang haus menghadirkan bukti-bukti dirinya tidak bersalah. Tentu saja konsumen
tidak lalu berarti dapat sekehendak hati mengajukan gugatan. Posisi konsumen
sebagai penggugat selalu terbuka untuk digugat balik oleh pelaku usaha, jika ia gagal
menunjukkan kesalahan si tergugat.

3. Prinsip Praduga untuk Tidak Selalu Bertanggung Jawab

Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip kedua. Prinsip Praduga untuk tidak
selalu bertanggung jawab hanya dikenal dalamlingkup transaksi konsumen yang
sangat terbatas, dan pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat
dibenarkan.

Contoh dalam penerapan prinsip ini adalah dalam hukum pengangkutan.


Kehilangan atau kerusakan pada bagasi kabin/bagasi tangan, yang biasanya dibawa
dan diawasi oleh sipenumpang (konsumen) adalah tanggung jawab dari penumpang.
Dalam hal ini, pelaku usaha tidak dapat diminta pertanggungjawaban

Sekalipun demikian, dalam Pasal 44 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 40


Tahun 1995 tentang Angkutan Udara, ada penegasan, “prinsip praduga untuk tidak
selalu bertanggungjawab” ini tidak lagi diterapkan secara mutlak, dan mengarah
kepada prinsip tanggung jawab dengan pembatasan uang ganti rugi (setinggi-
tingginya satu juta rupiah). Artinya, bagasi kabin/bagasi tangan tetap dapat
dimintakan pertanggungjawaban sepanjang bukti kesalahan pihak pengangkut (pelaku
usaha) dapat ditunjukkan. Pihak yang dibebankan untuk membuktikan kesalahan itu
ada pada si penumpang.

4. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak

Prinsip tanggung jawab mutlak sering diidentikkan dengan prinsip tanggung


jawab absolut. Kendati demikian ada pula para ahli yang membedakan kedua
terminology di atas.

Ada pendapat yang mengatakan, tanggung jawab mutlak adalah prinsip


tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai factor yang menentukan.
Namun, ada pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari
tanggung jawab, misalnya keadaan force majeur. Sebaliknya, tanggung jawab
absolute adalah prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada
pengecualiannya. Selain itu, ada pandangan yang agak mirip, yang mengaitkan
perbedaaan keduanya pada ada atau tidak adanya hubungan kausalitas antara subjek
yang bertanggungjawab dan kesalahannya. Pada tanggung jawab mutlak ,hubungan
itu harus ada. Sementara pada tanggung jawab absolute hubungan itu tidak selalu ada.

Prinsip tanggung jawab mutlak dalam hukum perlindungan konsumen secara


umum digunakan untuk “menjerat” pelaku usaha, khususnya produsen barang, yang
memasarkan produknya yang merugikan konsumen. Asas tanggungjawab itu dikenal
dengan nama product liability. Menurut asas ini, produsen wajib bertanggung jawab
atas kerugian yang diderita konsumen atas penggunaan produk yang dipasarkannya.
Gugatan product liability dapat dilakukan berdasarkan tiga hal :

A. Melanggar jaminan, misalnya khasiat yang timbul tidak sesuai dengan


janji yang tertera dalam kemasan produk

B. Ada unsure kelalaaiaan, yaitu produsen lalai memenuhi standar


pembuatan oba yang baik

C. Menerapkan tanggung jawab mutlak

Variasi yang sedikit berbeda dalam penerapan tanggung jawab mutlak terletak
pada risk liability. Dalam risk liability, kewajiban mengganti rugi dibebankan kepada
pihak yang menimbulkan resikoadanya kerugian itu. Namun, konsumen tetap
diberikan beban pembuktian, walaupun tidak sebesar si tergugat. Dalam hal ini, ia
hanna perlu membuktikan adanya hubungan kausalitas antara perbuatan pelaku usaha
(produsen) dan kerugian yang dideritanya. Selebihnya dapat digunakan prinsip strict
liability.

5. Prinsip Tanggung Jawab denagn Pembatasan

Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan sangat disenangi oleh pelaku


usaha untuk dicantumkan sebagai klausul eksonerasi dalam perjanjian standar yang
dibuatnya. Dalam perjanjian cuci cetak film misalnya, ditentukan bila film yang ingin
dicetak itu hilang atau rusak (termasuk akibat kesalahan petugas), maka konsumen
hanya dibatasi ganti kerugiannya sebesar sepuluh kali harga saru rol film baru.

\ Prinsip tanggung jawab ini sangat merugikan konsumen bila ditetapkan secara
sepihak oleh pelaku usaha. Dalam UU No. 8 Tahun 1999 seharusnya pelaku usaha
tidak boleh secara sepihak menentukan klausul yang merugikan konsumen, termasuk
membatasi maksimal tanggung jawabnya. Jika ada pembatasan mutlak harus
berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang jelas.

b. product liability
Kebutuhan-kebutuhan akan reformasi hukum, khususnya hukum ekonomi
dalam perkembangan dewasa ini sangatlah mendesak. Apalagi dalam era globlalisasi
seperti sekarang ini, yang ditandai dengan saling ketergantungan antara Negara satu
dengan Negara lainny, pembentukan hukum nasional yang baru perlu memperhatikan
dimensi internasional, Indonesia dituntut memebentuk hukum nasional yang harus
mampu berperan dalam memperlancar lalu lintas hukum ditingkat international.

Adalah fakta bahwa terdapat ketentuan-ketentuan yang baik yang berasal dari
legal culture bangsa lain ataupun konvensi-konvensi internasional yang dapat
dimanfaatkan dalam rangka modernisasi hukum nasional. Salah satu lembaga hukum
yang berdimensi internasional yang perlu diperhatikan dalam revisi maupun
pembentukan hukum ekonomi nasional adalah tanggung jawab produk ( product
liability).

Secara historis, prodct liability lahir karena ketidakseimbangan tanggung


jawab antara produsen dan konsumen. Dengan lembaga ini produsen yang pada
awalnya menerapkan strategi prosuct oriented dalam pemasaran produknya harus
mengubah strateginya menjaddi consumer oriented. Produsen harus berhai-hati
denagn produknya, karena tanggung jawab dalam product.

Menurut Johannes Gunawan, tujuan utama dari dunia memperkenalkan


product liability adalah :

a. Memberi perlindungan kepada konsumen

b. Agar terdapat pembebanan resiko yang adil antara produsen dan


konsumen
1. Pengertian Product Liability

Istilah product liability diterjemahkan secara bervariasi kedalam bahasa


Indonesia seperti “tanggung gugat produk” atau juga “tanggung jawab
produk”.dengan memperbesar saving, sementara capital output ratio ditekan
serendah-rendahnya. Orientasi kegiatan terarah kepada mekanisme pasar, dan
optimalisasi penumpukan dan pemanfaatan capital.

Pengertian product liability dapat ditemukan pada beberapa sumber berikut,


Henry Campbell dalam Black’s Law Dictionary mendefinisikan prouct liability
sebaagi berikut :

Refers to the legal liability of manufacturers and sellers to compensate


buyers, users, and even bystanders, for damages or injuries suffered because of
defect in good purchase.

Pengertian lain dikemukakan oleh zigurds L. Zile:

Product liability denotes the civil liability of developers, makers and


distributors of products for harm the products have caused to other.

Adapun Agnes M.Toar memberikan pengertian product liability sebagai :

Tanggung jawab para produsen untuk produk yang telah dibawanya kedalam
peredaran yang menimbulkan/menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat
pada produk tersebut.

Product liability adalah suatu tanggung jawab secara hukum dari orang atau
badan yang menghasilkan suatu produk atau dari badan yang bergerak dalam suatu
proses untuk menghasilkan suatu produk atau badan yang menjual produk tersebut.
Bahkan dilihat dari konvensi tentang product liability diperluas terhadap orang/badan
yang terlibat dalam rangkaian komersial tentang persiapan atau penyebaran dari
produk, termasuk para pengusaha bengkel dan pergudangan.

Adapun cirri-ciri dari product liability dengan mengambil pengalaman dari


masyarakat eropa dan terutama Negeri Belanda, dapat dikrmukakan secara singkat
sebagai berikut:

1. Yang dapat dikualifikasikan sebagai produsen adalah

 Pembuat produk jadi

 Penghasil bahan baku

 Pembuat suku cadang


 Setiap orang yang menampakkan dirinya sebagai produsen dengan
jalan mencantumkan namanya, tanda pengenal tertentu, atau tanda lain yang
membedakan dengan produk asli, pada produk tertentu

 Importer suatu produk dengan maksud untuk diperjualbelikan,


disewakan, disewagunakan, atau bentuk distribusi lain dalam transaksi
perdagangan

 Pemasok, dalam hal identitas dari produsen atau importer tidak dapat
ditentukan

2. Yang dapat dikualifikasikan sebagai konsumen adalah konsumen


akhir.

3. Yang dapat dikualifikasikan sebagai produk adalah benda bergerak,


sekalipun benda bergerak tersebut telah menjadi komponen/bagian dari benda
bergerak atau benda tetap lain, listrik, dengan pengecualian produk-produk
pertanian dan perburuan.

4. Yang dapat dikualifikasikan sebagai kerugian adalah kerugian pada


manusia dan keugian pada harta benda, selain dari produk yang bersangkutan

5. Produk dikualifikasi sebagai menganduung kerusakan apabila produk


itu tidak memenuhi keamanan yang dapat diharapkan oleh seseorang dengan
mempertimbangkan semua aspek, antara lain:

a. Penampilan produk

b. Maksud penggunaan produk

c. Saat ketika produk ditempatkan dipasaran

Tangggung jawab tersebut sehubungan dengan produk yang cacat/rusak


sehingga menyebabkan atau turut menyebabkan kerugian bagi pihak lain (konsumen),
baik kerugian badaniah, kematian atau harta benda.

Apakah yang dimaksud dengan produk cacat di Indonesia?. Definisi produk


cacat menurut Emma Suratman, adalah:

Setiap produk yang tidak dapat memenuhi tujuan pemuatannya baik karena
kesengajaan atau kealpaan dalam proses produksinya maupun disebabkan hal-hal
lainyang terjadi dalam peredarannya, atau tidak menyediakan syarat-syarat
keamanan bagi manusia atau harta benda dalam penggunaannya, sebagaimana
diharpkan orang.
Dari batasan ini terlihat bahwa pihak yang bertanggung jawab adalah pelaku
usaha pembuat produk tersebut (produsen), tanpa kesalah dari pihaknya.
Perkembangan ini sebenarnya dipicu juga oleh tujuan yang ingin dicapai doktrin ini,
yaitu:

a. Menekan lebih rendah tingkat kecelakaan karena produk cacat


tersebut.

b. Menyediakan sarana hukum ganti rugi bagi (korban) produk cacat


yang tidak dapat dihindari.

Suatu produk dapat disebut cacat (tidak dapat memenuhi tujuan


pembuatannya) karena:

1. Cacat produk atau manufaktur

2. Cacat desain

3. Cacat peringatan atau cacat

1). Cacat produk

Cacat produk adalah keadaan produk yang umumnya berada dibawah tingkat
harapan konsumen. Atau dapat pula cacat itu demikian rupa sehingga dapat
membahayakan harta bendanya, kesehatan tubuh atau jiwa konsumen. Misalnya,
setiap orang mengharapkan air minum dalam botol tidak berisi butir-butir pasir,
seperti juga tepung gandum tidak berisi potongan-potongan kecil besi, saus tomat
tidak terbuat dari labu siam sitambah dengan zat pewarna. Cacat-cacat demikian
dapat pula termasuk cacat desain, sebab kalau desain produk itu dipenuhi
sebagaimana mestinya, tidaklah kejadian merugikan konsumen tersebut dapat terjadi.

2). Cacat peringatan atau intruksi

Cacat peringatan ini adalah cacat produk karena tidak dilengkapi dengan
peringatan-peringatan tertentu atau intruksi penggunaan tertentu. Misalnya peringatan
produk harus disimpan pada suhu kamar atau suhu lemari pendingin (makanan dalam
kemasan). Atau dapat pula peringatan agar dalam penggunaannya harus
menggunakan voltase listrik tertentu, larangan memakai kendaraan, bermotor selama
menggunakannya, atau pengguna yang biasa meminum minuman keras melebihi
ukuran tertentu harus meminta nasehat dokter, dan sebagainya.

Produk yang tidak memuat peringatan tertentu sebagaimana diutarakan diatas,


termasuk produk cacat, yang tanggung jawabnya secara tegas dibebankan pada
produsen dari produk yang bersangkutan. Akan tetapi disamping produsen, dengan
syarat-syarat tertentu, beban tanggung jawab itu dapat pula diletakkan diatas pundak
pelaku usaha lainnya, seperti importir produk, distributor, atau pedagang
pengecernya.

Jadi, tanggung jawab produk cacat ini berbeda dari tanggung jawab pelaku
usaha produk pada umumnya. Tanggung jawab produk cacat terletak pada tanggung
jawab cacatnya produk berakibat pada orang, orang lain atau barang lain. Sedang
tanggung jawab pelaku usaha karena perbuatan melawan hukum adalah tanggung
jawab atas rusaknya atau tidak berfungsinya produk itu sendiri.

Dari perkembangan product liability di berbagai Negara, dapat dikemukakan


bahwa product liability merupakan lembaga hukum yang tetap menggunakan
kontruksi hukum tort (perbuatan melawan hukum). Dengan beberapa modifikasi.
Modifikasi tersebuut adalah :

1. Produsen langsung dianggap bersalah jika terjadi kasus product


liability,sehingga didalamnya dianut prinsip praduga bersalah (presumption of
fault) berbeda dengan praduga tidak bersalah (presumption of no fault)yang
dianut oleh tort.

2. Karena produsen dianggap bersalah,konsenkuensinya ia harus


bertanggung jawab (liable) untuk memberi ganti rugi secara langsung kepada
pihak konsumen yang menderita kerugian.jenis tanggung jawab (liability)
semacam ini disebut no fault liability atau strict liability.

3. Karena produsen sudah dianngap bersalah,maka konsumen yang


menjadi korban tidak perlu lagi membuktikan unsure kesalahan
produsen.Dilihat dari segi ini,konsumen jelas sangat diringankan dari beban
untuk membuktikan kesalahan produsen,yang relative sangat sukar,seperti
yang dianut didalam tort.Dalam hal ini beban pembuktian justru dialihkan
(shifting the burden of proof) kepada pihak produsen ,untuk membuktikan
bahwa ia tidak melakukan kesalahan yang menimbulkan kerugian kepada
konsumen.

Namun demikian,karena karakter dasar dari product liability adalah


tort,konsumen menjadi korban masih harus membuktikan ketiga unsure lainnya,yaitu
perbuatan produsen adalah perbuatan melawan hukum dengan kerugian dan
hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian yang timbul.

Meskipun system tanggung jawab dalam product liability berlaku prinsip


strict liability,pihak produsen dapat membebaskan diri dari tanggung jawabnya,baik
untuk seluruhnya atau untuk sebagian.Hal-hal yang dapat membebaskan tanggung
jawab produsen tersebut adalah

a. Jika produsen tidak mengedarkan produknya (put into circulation);

b. Cacat yang menyebabkan kerugian tersebut tidak ada pada saat produk
diedarkan oleh produsen,atau terjadinya cacat tersebut baru timbul kemudian.

c. Bahwa produk tersebut tidak dibuat oleh produsen baik untuk dijual
atau diedarkan untuk tujuan ekonomis maupun dibuat atau diedarkan dalam
rangka bisnis;

d. Bahwa terjadinya cacat pada produk tersebut akibat keharusan yang


dikeluarkan oleh pemerintah;
e. Bahwa secara ilmiah dan teknis (state of scientic and technical
knowledge,state of art defense) pada saat produk tersebut diedarkan tidak
mungkin terjadi cacat.

Dari cakupan product liability tesebut,menunjukkan luuasnya kepentingan


konsumen yang dapat dijangkau oleh lembaga hukum ini.Dari pengertian produk dan
produsen yang begitu luas,dapat terlindungan karena dapat diketahui apa yang dapat
dituntut dan kepada siapa tuntutan itu harus ditunjukkan.

2.Produk Liability di Indonesia

Seperti telah dikemukakan pada pendahuluan,Indonesia sedang menuju era


industrialisasi.Produuk-produk yang dihasilkan industry itu ditunjukkan baik untuk
memenuhi keperluan dalam negeri maupun untuk keperluan ekspor.Devisa yang
dihasilkan sangat diperlukan bagi keperluan impor produk-produk yang tidak dapat
dihasilkan didalam negeri.

Dalam memasuki era industrialisasi tersebut berbagai hal perlu mendapat


perhatian sungguh-sungguh,mulai dari penyediaan sumber daya manusia yang
berkualitas,penguasaan ilmu dan teknologi,mengatisipasi tuntutan akan barang dan
jasa yang lebih berkualitas, persaingan yang lebih berkualitas,persaingan yang lebih
ketat baik didalam maupun diluar negeri dari sebagai akibat globasasi dan
perdagangan bebas dan sebagainya.Hal penting lain yang perlu mendapat perhatian
serius dalam era industrialisasi adalah bidang hukum,khususnya tentang produk
liability atau tanggung jawab produsen.Masalah produk liability ini erat kaitannya
dengan masalah persaingan dalam era perdagangan bebas maupun dengan makin
meningkatnya perhatian terhadap perlindungan konsumen.Inti masalahnya terletak
pada kulitas produk yang dihasilkan.

Undang-undang No.8 Tahun 1999 telah menggunakan prinsip semi-strict


liability sebagaimana yang diatur dalam pasal 19 Bab IV tentang Tanggung Jawab
Pelaku Usaha,dijelaskan sebagai berikut :

1. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas


kerusakan,pencemaran ,dan atau kerugian konsumen akibat mengonsumsi
barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.

2. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa


pengembalian uang atau penggantian barang dan jasa yang sejenis atau setara
nilainya atau perawatan kesehatan dan atau pemberian santunan yang sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh)


hari setelah tanggal transaksi.

4. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud ada ayat pada ayat (1)
dan ayat (2) tidak mengharuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana
berdasarkan pembuktian lebih jelas mengenai adanya unsure kesalahan.
5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak
berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut
merupakan kesalahan konsumen.

Dalam juga,pasal 20 yang berbunyi bahwa pelaku usaha periklanan


bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan
oleh iklan tersebut.Disamping itu,tanggung gugat juga diberlakukan bagi importir
barang atau jasa sebagai pembuat barang yang diimpor atau sebagia penyedia jasa
asing jika importasi barang tersebut atau penyediaan jasa asing tersebut tidak
dilakukan oleh agen atau perwakilan produsen luar negeri atau perwakilan produsen
luar negeri atau perwakilan penyedia jasa asing.

Selain itu,dalam pasal 28 dinyatakan bahwa pembuktian terhadap ada


tidaknya unsure kesalahan dalam gugatan ganti rugi merupakan beban dan tanggung
jawab pelaku usaha.Hal ini berarti berlaku system pembuktian terbalik,baik dalam
perkara pidana maupun perkara perdata,sesuatu yang menyimpang dari hukum acara
biasa.Didalam hukum acara pidana,beban pembuktian terletak pada jaksa (penuntut
umum),sedangkan didalam hukum acara perdata baik berdasarkan pasal 163 Herziene
Inlands Reglement (HIR),pasal 383 Reglement buitengewesten (RBg),maupun pasal
1865 BW,beban pembuktian diletakkan pada penguggat.

Berdasarkan system hukum yang ada kedudukan konsumen sangat lemah


dibanding produsen.Salah satu usaha untuk melindungi dan menibgkatkan
kedududkan konsumen adalah dengan menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak
(strict liability ) dalam hukum tentang tanggung jawab produsen.Dengan
diberlakukannya prinsip tanggung jawab mutlak diharpkan pula para
produsen/industrawan Indonesia menyadari betapa pentingnya menjaga kwlaitas
produk – produk yangt telah dihasilkannya,sebab bil tidak selain akan merugikan
konsumen juga akan sangat besar resiko yang harus ditanngungnya.Para produsen
akan llebih berhati-hati dalam memproduksi sebelum dilempar ke pasaran sehinnga
para konsumen,baik dalam maupun luar negeri tidak akan ragu-ragu membeli barang
produksi Indonesia.Demlian juga bila kesadaran oara produsen /industriawan
terhadap hukum tentang tanggung jawab produsen tidak ada,dikhawatirkan akan
berakibat tidak baik terhadap perkembangan/eksitensi dunia industry nasional
maupun ada daya saing produk nasional terutama diluar negeri.

Penerapan prinsip tanggung jawab mutlak di Indonesia meliputi 3 bagian


penting.Pertama factor-faktor eksternal hukum yang mempengaruhi perkenbangan
dan pembaharuan hukum perlindungan konsumen teramsuk penerapan prinsip
tanggung jawab mutlak.Kedua,factor internal system hukum yaitu elemen struktur
dan budaya hukum ddalam rangka penerapan prinsip tanggung jawab mutlak di
Indonesia.Ketiga,adalah ruang lingkup materi atau substansi dari prinsip tanggung
jawab mutlak yang perlu diatur dalam undang-undang.

Namun demikian,dengan memberlakukan prinsip strict liability dalam hukum


tentang product liability tidak berarti pihak produsen tidak mendapat
perlindungan.Pihak produsen masih diberi kesempatan untuk membebaskan diri dari
tanggung jawabnya dalam hal – hal tertentu yang dinyatakan dalam undng-
undang.Disamping itu,pihak produsen juga dapat mengasuransikan tanggung
jawabnya sehingga secara ekonomis dia tida mengalami kerugian yang berarti.
Konsekuensinya dari pembalikan beban pembuktian adalah tergugat wajib
membuktikan ketidaksalahannya.Apabila tergugat tidak dapat membuktikan
ketidaksalahanya,maka tergugat harus dikalahkan karena apa yang didalihkan oleh
penggugat terbukti.Dalam perkara pidana,juga berlaku hal sama,bahwa apabila
tersangka tidak dapat membuktikan ketidaksalahannya,ia harus dintakan terbukti
melakukan tindak pidana yang disangkakan kepadanya.Akan tetapi,Undang-undang
No.8 Tahun 1999 tentangg perlindungan Konsumen juga membebaskan pelaku usaha
untuk memberikan ganti rugi apabila pelaku usaha dapat membuktikan kalau
kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen(pasal 19 ayat (5)).Selain
itu,pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dari tanggung jawab atas
kerugian yang diderita konsumen apabila :

a. Barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak


dimaksudkan untuk diedarkan;

b. Cacat barang timbul pada kemudian hari;

c. Cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kulifikasi barang;

d. Kelalaianyang diperjanjikan yang diakibatkan oleh konsumen;

e. Lewatnya waktu pennututan 4 tahun sejak barang dibeli\ atau


lewatnya jangka waktu (pasal 27).

Adapun system beban pembuktian terbalik juga digunakan jika kasus


perlindungan konsumen diangkat sebagai kasus pidana.Hali ini berarti meskipun ganti
rugi telah diberikan namun tidak menghapus kemungkinan adanya tuntutan piadana
berdasrkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsure kesalahan ini digunakan
system beban pembutian terbalik.Pasal 22,menegaskan bahwa pembuktian terhadap
ada tidaknya unsure kesalahan dalam kasus pidana merupakan beban dan tanggung
jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan
pembuktian.

c. PENYALAHGUNAAN KEADAAN (MISBRUIK


VAN OMSTANDIGHEDEN)
“penyalahgunaan keadaan” menguraikan penerapan lembaga ini dalam
sengketa transaksi konsumen yang akan direkomendsikan untuk diterima menjadi
salah satu prinsip penting dalam hukum Indonesia.

Perkjanjian merupakan salah satu sumber perkitan yang dapat dikatakan


sebagai sumber formal hukum yang utama dalam transaksi konsumen.Salah satu isu
pokok dalam transakssi konsumen misalnya terkait dengan keberadaan perjanjian
standar (baku) yang oleh banyak pihak dinilai menggerototi hak kebebasan
berkontrak dari pihak konsumen.

Secara klasik sebagiamana dimuat dalam kitab undang-undang Hukum


Perdata,salah satu asas penting dalam perjanjian adalah prinsip kebebasan
berkonrak.Asas ini pertama kali dapat disimpulkan dari pasal 1320 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata,yang menetapkan empat syarat sah suatu perjanjian, yakni :

1. Kesepakatan kedua belah pihak

2. Kecakapan

3. Suatu pokok persoalan tertentu

4. Suatu sebab yang halal

Dua syarat yang pertama berkaitan dengan syarat subjektif, sedangkan dua
syarat terakhir berhubungan dengan syarat objektif. Menurut Subekti, pelanggaran
syarat subjektif menyebabkan perjanjian itu terancam untuk dapat dimintakan
pembatalannya. Di sisi lain, bila syarat objektif tidak dipenuhi, perjanjian itu
terancam batal demi hukum.

Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menebutkan tiga alas an


untuk melakukan pembatalan perjanjian, yakni :

1. Kekhilafan atau kesesatan

2. Paksaaan

3. Penipuan

Tiga alasan warisan hukum colonial belanda itu tetap berlaku sampai
sekarang, sekalipun di negeri Belanda terjadi satu perkembangan yang sangant
berarti, khususnya dipandang dari sudut hukum perlindungan konsumen. Kemajuan
dimaksud adalah dimasukkannya alasan keempat, yaitu penyalahgunaan keadaan.
Keempat alasan itu dicantumkan dalam Buku III Pasal 44 ayat (1) Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata belanda yang baru.

Penyalahgunaan keadaan berkaitan dengan kondisi yang ada pada saat


kesepakatan terjadi. Kondisi itu membuat ada salah satu pihak berada dalam keadaan
tidak bebas untuk menyatakan kehendaknya. Itu sebabnya, ada ahli yang berpendapat
penyalahgunaan keadaan ini sebagai salah satu bentuk dari cacat kehendak juga.

Satu hal yang harus diingat, penyalahgunaan keadaan sejak semula tidak dapat
dianggap sebagai hal yang dapat dibenarkan oleh hukum. Sebenarnya,
penyalahgunaan keadaan sejak dulu dimasukkan sebagai keadaan yang bertentangan
dengan ketertiban umum atau kebiasaan yang baik. atas dasar itu, suatu perjanjian
dapat dinyatakan tidak berlaku, baik seluruhnya maupun bagian tertentu saja. Dengan
demikian, ada anggapan “sebab” yang terlarang sama dengan “isi” perjanjian yang
tidak di benarkan. Padahal, penyalahgunaan tidak semata-mata berkaitan dengan “isi”
perjanjian. Isinya mungkin tidak terlarang, tetapi ada sesuatu yang lain, yang terjadi
pada saat lahirnya perjanjian, yang menimbulkan kerugian pada salah satu pihak.
Inilah yang dinamakan “penyalahgunaan keadaan”.

Menurut Van Dunne, penyalahgunaan keadaan terjadi karena ada dua unsur,
yaiitu kerugian bagi salah satu pihak dan penyalahgunaan kesempatan oleh pihak lain.
Dari unsure yang kedua itu,timbul sifat perbuatan, yaitu ada keunggulan pada
salah satu pihak, yang bersifat ekonomis/psikologis. Keunggulan ekonomis terjadi
bila posisi kemampuan ekonomi kedua belah pihak tidak seimbang sehingga salah
satu tergantung pada yang lain. Pada keunggulan psikologis, boleh jadi
ketergantungan ekonomis itu tidak ada, tetapi salah satu pihak mendominasi secara
kejiwaan. Kondisi ini tercipta karena :

1. Adanya ketergantungan relatif (misalnya antara orang tua dan anak,


suami dan istri, dokter dan pasien, pendeta dan jemaatnya), dan

2. Salah satu pihak menyalahgunakan keadaan pihak lain untuk


kepentingannya. Keadaan yang dimaksud disebabkan, misalnya yang
bersangkutan belum berpengalaman, gegabah, kurang jelas, dan kurang
informasi.

Melengkapi pandangan Dunne,J.Satrio menambahkan lagi enam factor yang


dapat dianggap sebagai cirri dari penyalahgunaan keadaan, sebagai berikut :

1. Pada waktu menutup perjanjian, salah satu pihak ada dalam keadaan
terjepit

2. Karena keadaan ekonomis, kesulitan keuangan yang mendesak

3. Karena hubungan atasan-bawahan, keunggulan ekonomis pada salah


satu pihak, hubungan majikan-buruh, orang tua/wali-anak belum dewasa

4. Karena keadaan, seperti pasien membutuhkan pertolongan dokter ahli

5. Perjanjian itu mengandung hubungan yang timpang dalam kewajiban


timbale balik antara para pihak (prestasi yang tak seimbang), pembebasan
majikan dari resiko dan menggesernya menjadi tanggungan si buruh

6. Kerugian yang sangat besar dari salah satu pihak.

Factor kerugian disini tidak harus berwujud kerugian materiil, tetapi dapat
meliputi kerugian”subjektif”, seperti segala sesuatu yang menyebabkan orang pada
posisi tidak menguntungkan.

Jelas sekali,”penyalahgunaan keadaan” ini sanagat relevan untuk disinggung


dalam kaitannay dengan persengketaan transaksi konsumen. Keunggulan ekonomis
dan psikologis dari si pelaku usaha sering sangat dominan sehingga mempengaruhi
konsumen untuk memutuskan kehendaknya secara rasional. Sebagai contoh,
konsumen perumahan sering terdesak nutuk menyetujui suatu perjanjian kredit
dengan bank berdasarkan system bunga fluktuatif yang sangat tidak menguntungkan,
karena ia sudah sangat membutuhkan rumah tinggal yang layak dan pemerintah tidak
menyediakan fasilitas perbankan yang lebih ringan daripada itu. Di lain pihak, sering
pelaku usaha secara sistematis memasang iklan di media massa untuk menggiring
psikologi konsumen agar berperilaku konsumtif.

Persoalannya “ penyalahgunaan keadaan”, memang belum diadopsi ke dalam


Kitab undang-Undang Hukum Perdata (eks Kolonial Belanda) yang tetap berlaku di
Indonesia. Walaupun demikian, ketiadaan pengaturan itu tidak
berarti,”penyalahgunaan keadaan” tidak dapat diterapkan dalam penyelesaian kasus-
kasus perdata di Indonesia. Henry P. Pangabean, misalnya menyebutkan ada putusan
hakim yang dapat dianggap sebagai yuris-prudensi, yang dalam konsiderannya
memuat pertimbangan “penyalahgunaan keadaan” oleh salah satu pihak. Putusan itu
termuat dalam putusan MA No. 3431K/Pdt/1985, 4 Maret 1987 dan Putusan No.
1904K/Sip 1982, 28 Januari 1984.

UUPK sendiri secara umum membuka kemungkinan pengajuan gugatan oleh


konsumen kepada pelaku usaha berdasarkan factor penyalahgunaan keadaan ini.
Penjelasan Pasal 2 UUPK menyebutkan adanya lima asas perlindungan konsumen,
yaitu asas :

1. Manfaat

2. Keadilan

3. Keseimbangan

4. Keamanan dan keselamatan

5. Kepastian hukum

Pada asas keadilan, dijelaskan, seluruh rakyat diupayakan agar dapat


berpartisipasi semaksimal mungkin dan agar diberi kesempatan kepada konsumen
dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannnya secara
adil. Kemudian, dalam asas keseimbangan disebutkan, perlu diberi keseimbangan
antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil dan
spiritual.

Pasal 4 huruf g UUPK menyebutkan pula, salah satu hak konsumen adalah
hak untuk diperlakukan atatu dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
Penjelasan dari ketentuan tersebut secara jelas dapat ditafsirkan sebagai keterkaitan
dengan larangan “penyalahgunaan keadaan”. Dalam ketentuan itu dikatakan, setiap
konsumen memiliki hak untuk dilakukan atau di layani secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif berdasarkan suku, agama, budaya, daerah, pendidikan,
kaya, miskin, dan status social lainnya.
Pasal 15 UUPK bahkan secara tegas mengatakan, pelaku usaha dalam
menawarkan barang atau jasa dilarang melakukan dengan cara pemksaan atau cara
lain yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis terhadap konsumen.
Selanjutnya dalam hubungannya dengan perjanjian standar, Pasal 18 UUPK
meletakkan hak-hak yang setara antara konsumen dan pelaku usaha bedasarkan
prinsip kebebasan berkontrak. Pelanggaran terhadap kedua paasl di atas merupakan
tindak pidana menurut ketentuan Pasal 62 UUPK, dengan ancaman pidana penjara
paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak dua miliar rupiah.

Van Dunne melihat, dalam kaitannya dengan perjanjian standar yang banyak
sekali dibuat oleh para pelaku usaha dewasa ini, sebaiknya penerapan ajaran
“penyalahgunaan keadaan” ini tidak sepenuhnya diserahkan pada hakim. Artinya,
perlu “campur tangan” pembentuk undang-undang untuk melindungi kepentingan
konsumen. Pesan ini tampaknya perlu juga diperhatikan oleh lembaga legislatif kita.
d. Norma-norma perlindungan konsumen
Era perdagangan bebas menghendaki bahwa semua barang dan jasa yang
berasal dari Negara lain harus dapat masuk ke Indonesia, bila tidak distigma anti-
world trade organization (WTO). Masuk nya barang dan jasa impor ke Indonesia
bukannya tanpa permasalahan. Permasalahan muncul jika ada pengaduan konsumen
atas barang dan jasa impor tersebut, bagaimana mekanisme penyelesaiannya yang
sederhana, cepat dan biaya ringan. Masih banyak makanan impor yang diketahui
dengan jelas siapa distributornya di Indonesia. Ketidakjelasan ini menyulitkan
konsumen bila ia mengalami kerugian akibat produk barang atau jasa tersebut.

Secara yuridis muncul pula masalah benturan system hukum antara Indonesia
dengan Negara-negara lain. Yaitu, bila perundang-undangan Indonesia bertentangan
dengan ketentuan (WTO). Secara teoritis itu dapat saja diselesaikan, tetapi pada
tataran paktik dan kenyataannya tidak mudah dilakukan karena berbagai sebab yang
bersifat yuris-politis-sosiologis. Paling tidak ada 3 penyebab yang dapat
dikategorikan sabagai hambatan-hambatan dalam perdagangan bebas.

Pertama, karena tidak konsistennya badan peradilan kita atas putusan-


putusannya. Sering terjadi perbedaan-perbedaan putusan pengadilan dalam kasus
serupa. Dalam kasu berskala nasional saja pengadilan belum mampu bessikap
konsisten. Bagaimana dengan kasus-kasus konsumen pada era perdagangan bebas
yang bersuasana internasional.

Kedua, sebagian besar konsumen Indonesia enggan berperkara ke pengadilan,


padahal telah sangat dirugikan oleh pengusaha. “keengganan” ini akan sangat berbeda
jka dibandingkan dengan konsumen-konsumen di Negara-negara peserta perdagangan
bebas lainnya, seperti Amerika Serikat, Inggris, dan lain-lain. Mereka telah terbiasa
mempertanyakan produk-produk yang dikonsumsinya, kalau perlu penyelesaian
melalui jalur hukum. Keengganan konsumen Indonesia ini disamping disebabkan
oleh ketidak kritisan mereka, juga lebih banyak didasarkan pada :

a. Belum dapat diterapkannya norma-norma perlindungan di Indonesia,


dalam hal ini Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, yang relative masih baru, sehingga diperlukan waktu sosialisasi
pemberlakuannya selama 1 tahun

b. Praktik peradilan kita yang tidak sederhana, cepat, dan biaya ringan

c. Sikap menghindari konflik meskipun hak-haknya sebagai konsumen


dilanggar pengusaha.

Ketiga, tarik-menarik berbagai kepentingan diantara para pelaku ekonomi


yang memiliki akses kuat diberbagai bidang, termasuk akses kepada pengambil
keputusan.secara sosiologis, hal ini berada diluar jangkauan hukum. Kalaupun hukum
digunakan untuk menjangkaunya itu pum hanya sebatas kepada mereka yang menjadi
tumbal space-goal tarik-menarik kepentingan tersebut.
Terlampau dini bagi kita untuk memberikan penilaian efektif tidaknya norma-
norma perlindungan konsumen yang integral (Undang-Undang No. 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen) dalam tata hukum kita, karena norma-norma ini
masih dalam taraf sosialisasi selama setahun sejak diundangkan pada tanggal 20 April
1999 yang lalu. Sementara itu, dalam perspektif perlindungan konsumen, hukum
positif yang ada tidak jelas arah dan tujuannya bila digunakan sebagai instrument
hukum dalam melindungi kepentingan (hukum) konsumen.

Dari pada itu, hakikat perlindungan konsumen menyiratkan keberpihakan


kepada kepentingan-kepentingan (hukum) konsumen. Adapun kepentingan konsumen
menurut Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa No. 39/248 tentang Guidelines for
Consumer Protection, sebagai berikut :

a. Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan


keamanannya.

b. Promosi dan perlindungan kepentingan social ekonomi konsumen

c. Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk


memberikan kemampuan mereka melakukan pilihan yang tepat sesuai
kehendak dan kebutuhan pribadi

d. Pendidikan konsumen

e. Tersedianya upaya ganti rugi yang efektif

f. Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen atau organisasi


lainnya yang relevan dan memberikan kesempatan kepada organisasi tersebut
untuk menyuarakan pendapatnya dalam proses pengambilan keputusan yang
menyangkut kepentingan mereka.

Butir (a) kepentingan konsumen tersebut dapat direalisasi melalui penerapan


doktrin product liability kedalam doktrin perbuatan melawan hukum (tort). Idealnya
doktrin product liability sebagai salah satu norma perlindungan konsumen,
dituangkan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

Adanya Undang-Undang Perlindungan Konsumen memberikan dampak


ekonomi yang positif bagi dunia usaha. Yakni, dunia usaha dipacu untuk
meningkatkan kualitas produk barang dan jasa sehingga produknya memilki
keunggulan kompetitif di dalam dan diluar negeri. Kekhawatiran adanya Undang-
Undang Perlindungan Konsumen bias menghancurkan perkembangan industry,
perdagangan, dan pengusaha kecil tidak masuk akal. Pengusaha kecil yang sudah ada
pada awal munculnya isu perlindungan konsumen di Indonesia hamper ¼ abad yang
lalu, sampai saat ini tidak bangkit, bahkan tergilas sepak terjang konglomerat yang
menggurita.

Indonesia sebagai salah satu Negara terkemuka di ASEAN, meskipun


pembangunan hukum dan ekonominya masih tertinggal jika dibandingkan dengan
Negara-negara ASEAN lainnya, hendaknya dapat memprakarsai harmonisasi hukum
di kawasan ASEAN, khususnya menyangkut product liability. Apa yang telah
dilakukan EEC (Masyarakat Ekonomi Eropa/MEE) pada \bulan juli 1985 dengan
memberlakukan Directive Nomor 85/374/EEC on strict Product Liability di seluruh
kawasan Eropa dapat dianggap sebagai salah satu tindakan harmonisasi hukum yang
dilakukan Dewan Menteri Eropa.

Dalam perspektif kebijakan pemerintah pada awalnya Pembangunan Jangka


Panjang Kedua (PJP II) yang menekankan pada pemerataan pembangunan dan hasil-
hasilnya, maka Pemerintah harus menangani kesenjangan ekonomi antarpelaku
ekonomi, dalam hal ini antara pengusaha dan konsumen. Kesenjangan tersebut
tercipta dalam bentuk berbagai kenaikan harga barang dan jasa konsumen tanpa
diikuti dengan daya beli dan kualitas produk yang memadai, sementara itu Undang-
Undang No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan Konsumen masih dalam taraf
sosialisasi. Sebagai bahan perbandingan pada era perdagangan bebas Negara-negara
peratifikasi keputusann-keputusan (WTO) sudah cukup lama memiliki perangkat
Undang-Undaang Perlindungan Konsumen. Mereka siap menghadapi produk-produk
impor terutama dari Negara-negara berrkembang. Sebaliknya, kita baru memulai
sosialisasi norma-norma perlindungan konsumen itu.

BAB 6
LEMBAGA/INSTANSI DAN PERANNYA DALAM PERLINDUNGAN
KONSUMEN

A. BADAN PERLINDUNGAN KONSUMEN NASIONAL

Dalam undang – undang No.8 tahun 1999 tentang Hukum Perlindungan


Konsumen disebutkan

adanya Badan Perlindungan Konsumen Nasional. Badan ini terdiri atas 15 orang
sampai dengan 25 orang anggota yang mewakili unsure : (1.)Pemerintah, (2.) pelaku
usaha, (3.) lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, (4.) akademisi dan
(5.) tenaga ahli. Masa jabatan mereka adalah 3 tahun, dan dapat di amanat kembali
untuk satu kali masa jabatan berikutnya.
Keanggotaan badan perlindungan konsumen nasional / BPKN ini di angkat oleh
presiden atas usulan menteri (bidang perdagangan) setelah dikonsultasikan kepada
dewan perwakilan rakyat. Syarat – syarat keanggotaannya menurut pasal 37 UUPK
adalah :
1. Warga Negara Indonesia

2. Berbadan sehat

3. Berkelakuan baik

4. Tidak pernah dihukum karena kejahatan

5. Memiliki pengetahuan dan pengalaman dibidang perlindungan konsumen

6. Berusia sekurang – kurangnya 30 tahun.

Syarat diatas persis seperti yang juga berlaku untuk menjadi anggota badan
penyelesaian
Konsumen (pasal 49 UUPK). Bedanya adalah dalam UUPK, keanggotaan BPKN
dicantumkan secara tegas batas masa jabatannya dan kapan yang bersangkutan dapat
berhenti sebagai anggota. Anturan demikian tidak disebutkan untuk keanggotaan
badan penyelesaian sengketa konsumen.
Menurut pasal 38 UUPK, keanggotaan BPKN berhenti karena :
1. Meninggal dunia;

2. Mengundurkan diri atas permintaan sendiri;

3. Bertempat tinggal diluar wilayah Negara Republik Indonesia;

4. Sakit secara terus – menerus;

5. Berakhir masa jabatan sebagai anggota; atau

6. Diberhentikan;

Untuk melaksanakan tugas – tugasnya, BPKN dibantu oleh suatu secretariat


yang dipimpin oleh seorang secretariat yang diangkat oleh Ketua BPKN, Sekretariat
ini paling tidak terdiri atas lima bidang, yaitu (1) administrasi dan keuangan, (2)
penelitian, pengkajian dan pengembangan, (3) pengaduan, (4) pelayanan informasi,
dan (5) kerja sama internasional.
BPKN berkedudukan di Jakarta dan bertanggung jawab langsung kepada presiden/
jika diperlukan, BPKN dapat membentuk perwakilan di Ibukota provonsi. Fungsi
BPKN ini hanya memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam
upaya mengembangkan perlindungan konsumen di Indonesia.
Untuk menjalankan fungsi tersebut, badan ini mempunyai tugas (pasal 34 UUPK) :
1. Memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka
penyusunan kebijaksanaan di bidang perlindungan konsumen

2. Melakukan penelitiaan dan pengkajian terhadap peraturan perundang-


undangan yang berlaku dibidang perlindungan konsumen

3. Melakukan penelitian terhadap barang dan jasa yang menyangkut keselamatan


konsumen

4. Mendorong berkembang nya lembaga perlindungan konsumen swadaya


masyarakat

5. Menyebarluaskan informasi melalui media mengenai perlindungan konsumen


dan memasyarakatkan sikap keberpihakan kepada konsumen

6. Menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat,


lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pelaku usaha

7. Melakukan survei yang menyangkut kebutuhan konsumen

Diluar BPKN yang independen, dalam pasal 29 dan 30 UUPK diamanatkan,


pemerintah c.q. menteri yang membidangi perdagangan ditugasi juga untuk
mengkoordinasikan pembinaan dan pengawasan perlindungan konsumen secara
nasional. Pembinaan dan pengawasan yang lebih khusus dilakukan oleh menteri-
menteri teknis sesuai bidang tugas mereka. Menteri yang membidangi perdagangan iu
berwenang membenuk tim koordinasi pengawasan barang dan jasa yang beredar di
pasar. Tim ini terdiri atas wakil instansi terkait, masyarakat, dan lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat (LPKSM). Fungsi tim pun hanya
sebatas memberikan rekomendasi kepada menteri untuk melakukan tindakan konkret,
seperti penghentian produksi atau peredaran barang/jasa yang dinilai melanggar
peraturan yang berlaku.
Dengan demikian, ada perbedaan antara BPKN dan tim di atas. BPKN
berfungsi memberikan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka penyusunan
kebijakan di bidang perlindungan konsumen, sementara tim koordinasi yang di bentuk
oleh menteri itu berfungsi memberikan rekomendasi berupa tindakan konkret atas
setiap permasalahan yang timbul di lapangan.
B. PENGERTIAN DAN PERAN LPKSM (LEMBAGA PERLINDUNGAN
KONSUMEN SWADAYA MASYARAKAT)

Kian ketatnya persaingan dalam merebut pangsa pasar melalui bermacam –


macam produk barang, maka perlu keseriusan Lembaga Perlindungan Konsumen
Swadaya Masyarakat (LPKSM) perlu memantau secara serius pelaku usaha/penjual
yang hanya mengejar profit semata dengan mengabaikan kualitas produk barang.

Problematika yang muncul dengan kehadiran LPKSM adalah dari fungsi


serupa yang selama ini telah dijalankan oleh lembaga – lembaga konsumen sebelum
berlakunya UUPK. Ada pandangan kehadiran LPKSM bentuk intervensi Negara
terhadap kebebasan berserikat dan berkumpul dari kelompok masyarakat, namun di
sisi lain, ia diperlukan untuk memberikan jaminan accountability lembaga – lembaga
konsumen tersebut, sehingga kehadiran LPKSM ini betul – betul dirasakan
manfaatnya pleh masyarakat.

Hal ini disebabkan oleh masih banyaknya produk tidak bermutu yang palsu
yang beredar bebas dimasyarakat, apalagi, masyarakat pedesaan yang belum
memahami efek atau indikasi dari produk barang yang digunakan, misalkan makanan
kaleng, minuman botol, obat – obatan, dan masih banyak lagi. Ketidaktahuan
masyarakat dapat memberi peluang pelaku usaha atau penjual untuk membodohi
masyarakat dengan produk yang tidak memenuhi standar.

Oleh karena itu, LPKSM dan cabangnya di daerah harus mengontrol dengan
sungguh – sungguh kelayakan produk barang yang dipasarkan melalui penyuluhan
kepada masyarakat tentang tertib niaga dan hokum perlindungan konsumen agar
mereka tidak terjebak tindakan pelaku usaha yang hanya memproriotaskan
keuntungan dan mengorbakan masyarakat.

LPKSM diharapkan sering melakukan advokasi melalui media masa agar


masyarakat selektif serta hati – hati dalam membeli produk barang yang muncul deras
dipasaran. Selain itu, unit pengaduan masyarakat perlu dibentuk sebagai sarana
pengaduan masyarakat yang dirugikan dari produk barang yang digunakan. Hasil
temuan LPKSM yang disampaikan masyarakat juga harus mendapat tindak lanjut dan
penyelesaian secara tuntas. Diharapkan pula kehadiran PLKSM bukan justru berpihak
kepada pelaku usaha atau penjual dengan mengorbankan konsumen.

Berkaitan dengan implementasi perlindungan konsumen, Undang – Undang


No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengatur tugas dan wewenang
LPKSM sebagaimana tertuang dalam Pasal 44, yakni sebagai berikut :

(1). Pemerintah mengakui lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat


yang memenuhi syarat.

(2). Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat memiliki kesempatan


untuk berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan konsumen.

(3). Tugas lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat meliputi kegiatan :

a. menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan


kewajiban dan kehati – hatian konsumen dalam mengonsumsi barang dan/atau
jasa;

b. memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya ;

c. bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan


konsumen;

d. membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima


keluhan atau pengaduan konsumen;

e. melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap


pelaksanaan perlindungan konsumen.

C. PERAN SERTA YLKI (YAYASAN LEMBAGA KONSUMEN


INDONESIA) DALAM PERLINDUNGAN KONSUMEN.

Munculnya gerakan “konsumerisme” dalam segala permasalahnnya


kepermukaan masih relative baru. Kepopuleran dan paham konsumerisme ini baru
mulai mendapat perhatian dunia bisnis maupun birokrasi sejak Presiden Amerika
Serikat, Kennedy pada tahun 1962 mengukuhkan adanya hak – hak konsumen.
Pengukuhan ini timbul atas desakan konsumen di Amerika pada tahun 1930-an yang
sudah mulai mempertanyakan adanya ketidakadilan dalam memperoleh pelayanan,
baik jasa pelayanan yang disediakan oleh industry maupun pelayanan umum yang
disediakan oleh pemerintah. Konsumen mulai mempermaslahkan adanya
ketidaksesuaian harga dengan mutu barang atau jasa serta keselamatan penggunaanya.
Pemasaran barang dan jasa serta keselamatan penggunaannya. Pemasaran barang dan
jasa secara bebas dan canggih di Negara liberal itu telah menimbulakan mekanisme
defensive di kalangan konsumen dan mulai terdapat ketidak percayaan akan informasi
sepihak yang disampaikan para produsen.
Di sisi lain Pemerintah dengan inisiatifnya sendiri memang sudah
menyediakan pelayanan umum kepada masyarakat atau konsumen, jauh sebelum
upaya perlindungan konsumen ini ada. Misalnya fasilitas kereta api, pelayanan rumah
sakit umum, jalan raya, dan angkutan transportasi.

Semua ini dilakukan untuk memberikan pelayanan kepada konsumen dan


memastikan konsumen dapat menggunakan fasilitas umum tersebut dengan biaya
yang murah dan bahkan tanpa bayar, tetapi sebenarnya konsumen dalam
menggunakan pelayanan tersebut, tidaklah gratis. Mereka sudah membayarnya
melalui pajak. Hanya saja, sampai saat ini kenyataannya masih banyak konsumen
yang belum memperoleh kepuasan dalam menggunakan pelayanan public meskipun
pemerintah telah berubah status menjadi penyedia jasa monopoli.

Dengan bangkitnya kesadaran konsumen ini tampaknya aparat pemerintah


belum siap menerima tuntutan dan masyarakat baik dalam segi dana maupun SDM-
nya. Keadaan ini mungkin akan diperburuk lagi dengan adanya pernyataan
pemerintah sehingga siapa yang punya uang dialah yang mendapatkan pelayanan.

Berhubungan dengan hamper segala bentuk pelayanan yang disediakan oleh


birokrasi pemerintah dalam kehidupan sehari – hari seperti PAM, listrik, telepon,
KTP, IMB, dan lain – lain sering berakhir dengan kekecewaan. Segala kemudahan
akan segala diperoleh masyarakat jika uang pelicin tersedia. Pada dasarnya para
aparatlah yang tahu apakah suatu pengurusan KTP misalnya, cepat atau lambat.
Merekalah satu system bekerjanya. Masyarakat hanya bisa pasrah. Sebagai anggota
masyarakat yang telah membayar pajak yang mencoba untuk melawan dengan
pelayanan yang diberikan, malah akan merugikan dirinya sendiri baik dari segi waktu
dan tenaga.

Ada berbagai jenis layanan yang disediakan oleh Pemerintah, pelayanan yang
bersifat profit misanya jasa telekomunikasi, air minum, angkutan, pelayanan yang
bersifat monopoli,misalnya PLN dan pelayanan yang bersifat nonprofit seperti KTP,
catatan sipil, IMBm imigrasi, dan lain – lain.

The UN Guidelines for Consumer Protection yang diterima dengan suara bulat
oleh Majelis Umum Perserikatan – Perserikatan Bangsa – Bangsa (PBB) melalui
Resolusi PBB No. A/RES/39/248 tanggal 16 April 1985 tentang Perlindungan
Konsumen, mengandung pemahaman umum dan luas mengenai perangkat
perlindungan konsumen yang asasi dan adil. Satu hal yang diperjuangkan guidelines
itu adalah struktur kelompok – kelompok konsumen yang independen, dimana
dinyatakan dalam paragraph pertama bahwa pemerintah – pemerintah berbagai
Negara sepakat untuk memfasilitasi/mendukung pengembangan kelompok –
kelompok konsumen (guidelines 1e). hal ini merupakan kemajuan yang sangat berarti
di bidang perlindungan konsumen.

Keberadaan kelompok konsumen tentu saja berbeda dengan organisasi


konsumen. Pada hakikatnya kelompok konsumen lebih merupakan pengelompokan
konsumen pada berbagai sector, misalkan kelompok konsumen pemengang kartu
kredit, kelompok komsumen barang – barang elektronik, dan sebagainya. Apabila
dikatakan bahwa kelompok konsumen bertindak dalam kapasitasnya selaku
konsumen. Adapun organisasi – organisasi konsumen merupakan lembaga swadaya
masyarakat yang bergerak di bidang perlindungan konsumen. Didalam segala
aktivitasnya tentu saja organisasi konsumen seperti Yayasan Lembaga Konsumen
Indonesia(YLKI) bertindak dalam kapasitasnya selaku perwakilan konsumen
(consumer representation). Walaupun demikian, keduanya memiliki tujuan yang
sama, yaitu melayani dan meningkatkan martabat dan kepentingan konsumen.

Prinsip kebebasan (idependence) merupaskan karateristik penting, baik bagi


organisasi konsumen maupun kelompok konsumen, mengenai karateristik ini terdapat
6 (enam) kualifikasi kebebasan yang harus memiliki organisasi konsumen dan
kelompok konsumen.

1. Mereka harus secara ekskusif mewakili kepentingan – kepentingan


konsumen.

2. Kemajuan perdagangan akan tidak adanya artinya jika diperoleh dengan


cara – cara yang merugikan konsumen.

3. Mereka harus nonprofit making dalam profil aktivitasnya.

4. Mereka tidak boleh menerima iklan – iklan untuk alasan – alasan


komersial apa pun dalam publikasi – publikasi mereka,

5. Mereka tidak boleh mengizinkan eksploitasi atas informasi dan advis yang
mereka tidak mereka berikan kepada konsumen untuk kepentingan
perdagangan.

6. Mereka tidak boleh mengizinkan kebebasan tindakan dan komentar


mereka dipengaruhi atau dibatasi pesan – pesan sponsor/pesan – pesan
tambahan.

Pada tataran kebijakan (policy) ketika menangani pengaduan – pengaduan


konsumen, organisasi konsumen sering dihadapkan pada konstruksi perwakilan.
Artinya, organisasi konsumen seperti YKLI bertindak mewakili kepetingan –
kepentingan dan pandangan – pandangan konsumen dalam suatu kelembagaan yang
dibentuk, baik atas prakasa produsen dan asosiasinya maupun prakasa pemerintah.
Indah sukmaningsih berpendapat bahwa bertahun – tahun Yayan Lembaga
Konsumen Indonesia berusaha bekerja untuk membuat keadaan sedikit lebih
menguntungkan kondisi konsumen, dengan hasil – hasil survey dan penelitian yang
dilakukan, mencoba untuk mengubah keadaan melalui dialog dengan para pengambil
keputusan dan juga membantu konsumen untuk memecahkan masalhnya dalam
berhadapan dengan birokrasi pemerintah. Hasilnya.? Sebagian dapat tercapai, tapi
lebih banyak yang tak terselesaikan. Pada beberapa tulisan yang ada di media massa
disebutkan bahwa jika pelayanan birokrasi masih seperti sekarang, sulit rasanya bagi
Indonesia untuk dapat bersaing di Abad XXI.
Ada beberapa indicator pelayanan umum yang baik, yakni sebagai berikut :
1. Keterbukaan

Artinya, adanya informasi pelayanan, yang dapat berupa loket informasi yang
dimiliki dan terpampang jelas, kotak saran, dan layanan pengaduan.
Dilengkapi juga dengan petunjuk pelayanan. Dalam keterbukaan, mencakup
upaya publikasi, artinya penyebaran informasi yang dilakukan melalui media
atau benruk penyuluhan tentang adanya pelayanan yang dimaksud.

2. Kesedehanaan

Artinya, mencakup proses pelayanan dan persyaratan pelayanan. Prosedur


pelayanan meliputi pengaturan yang jelas terhadap prosedur yang harus dilalui
oleh masyarakat yang akan menggunakan pelayanan, yang dilengkapi dengan
alur proses. Adapun persyaratan pelayanan adalah administrasi yang jelas.

3. Kepastian

Artinya, ada terpampang dengan jelas waktu pelayanan, biaya pelayanan, dan
petugas pelayanan. Kantor pelayanan hendaknya mencantumkan jam kerja
kantor untuk pelayanan masyarakat., jadwal pelayanan dan pelaksanaannya.
Untuk biaya pelayanan, pengaturan tarif dan penerapannya harus sesuai
dengan ketentuas yang berlaku. Adanya pegaturan tugas dan penunjukkan
petugas haruslah pasti dan sesuai dengan keahlian.

4. Keadilan

Artinya, tidak membedakan si kaya dan si miskin, laki atau perempuan, merata
dalam memberikan subjek pelayanan tidak diskriminatif.

5. Keamanan dan Kenyamanan

Hasil produksi pelayanan memenuhi kualitas tekhnis (aman) dan dilengkapi


dengan jaminan purna pelayanan secara administrasi
(pencatat/dokumentasi,tagihan) maupun jaminan purna pelayanan secara
teknis. Selain itu dilengkapi dengan sarana/prasarana pelayanan ( misalnya
peralatannya ada) dan digunakan secara optimal. Penataan ruangan dan
lingkungan kantor terasa fungsional, rapi, bersih, dan nyaman.

6. Perilaku petugas pelayanan

Pengabdian, keterampilan dan etika petugas. Artinya, seorang petugas


haruslah tanggap dan peduli dalam memberikan pelayanan, termasuk disiplin
dan kemampuan melaksanakan tugas. Dari segi etika keramahan dan sopan
santun juga perlu diperhatikan.
Yayasan sejak semula tidak ingin berkonfrontasi dengan produsen (pelaku
usaha), apalagi dengan pemerintah karena YLKI bertujuan melindungi
konsumen, menjaga martabat produsen dan membantu pemerintah.

D. PENGERTIAN DAN PERAN BPSK (BADAN PENYELESAIAN


SENGKETA KONSUMEN).
Hubungan hokum antara pelaku usaha/pejualan dengan konsumen tidak
tertutup kemungkinan timbulnya perselisihan/sengketa konsumen. Selama ini
sengketa konsumen diselesaikan melalui gugatan dipengadilan, namun pada
kenyataannya yang tidak dapat dipungkiri bahwa lembaga pengadilan pun tidak
akomodatif untuk menampung sengketa konsumen karena proses perkara yang
berlaku lama dan sangat birokratis. Berdasarkan Pasal 45 UUPK setiap konsumen
yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas
menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan
yang berada di lingkungan peradilan umum.
Dilingkungan peradilan umum UUPK membuat trobosan dengan menfasilitasi
para konsumen yang merasa dirugikan dengan mengajukan gugatan kepada pelaku
usaha di luar pengadilan, yaitu Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).
Mekanisme gugatan dilakukan secara suka rela dari kedua belah pihak yang
bersengketa. Hal ini berlaku untuk gugatan secara perorangan, sedangkan gugatan
secara kelompok (class action) dilakukan melalui peradilan umum.
BPSK adalah pengadilan khusus konsumen (small claim court) yang sangat
diharapkan dapat menjawab tuntutan masyarakat agar proses bepekara berjalan cepat,
sederhana dan murah. Dengan demikian, BPSK hanya menerima perkara yang nilai
kerugiannya kecil. Pemeriksaan dilakukan oleh hakim tunggal dan kehadiran penuh
pihak ketiga (pengacara) sebagai wakil pihak yang bersengketa tidak diperkenankan.
Putusan dari BPSK tidak dapat disbanding kecuali bertentangan dengan hokum yang
berlaku.
Badan ini penuh di setiap daerah tingkat II (Pasal 49) BPSK di bentuk untuk
penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan (Pasal 49 ayat 1), dan badan ini
mempunyai anggota – anggota dari unsure pemerintah, konsumen dan pelaku usaha.
Setiap unsure tersebut berjumlah 3 (tiga)orang atau sebanyak – banyaknya 5 (lima)
orang, yang semuanya diangkat dan diberhentikan oleh Menteri (Perindustrian dan
Perdagangan). Kenggotaan Badan terditi atas ketua merangkap anggota, wakil ketua
meranggkap anggota, dan anggota dengan dibantu oleh sebuah sekertariat (Pasal 50
jo. 51).
Tugas dan wewenang BPSK (Pasal 52) meliputi:
a. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara
melalui mediasi, arbitrasi atau konsliasi;

b. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen;

c. Pengawasan klausul baku;

d. Melapor kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran undang – undang


ini;
e. Menerima pengaduan dari konsumen, lisan atau tertulis,tentang dilanggarnya
perlindungan konsumen;

f. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa konsumen;

g. Memanggil pelaku usaha pelanggar;

h. Menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap


melakukan pelanggaran itu;

i. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan mereka tersebut huruf g


apabila tidak mau memenuhi panggilan;

j. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen atau alat – alat bukti
lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan;

k. Memutuskan dan menetapkan ada tidaknya kerugian konsumen;

l. Memberitahukan keputusan kepada pelaku usaha pelanggaran undang –


undang;

m. Menjatuhkan sangsi administrasi kepada pelaku usaha pelanggar undang –


undang.

Dalam menyelesaikan sengketa konsumen dibentuk majelis yang tediri atas


sedikitnya 3 (tiga) anggota dibantu oleh seorang panitera (Pasal 54 ayat (1)
dan (2)). Putusan yang dijatuhkan Majelis BPSK bersifat final dan mengikat
(Pasal 54 ayat (3)). BPSK wajib menjatuhkan putusan selama – lamanya 21
(dua puluh satu) hari sejak dijatuhkan gugatan diterima (Pasal 55). Keputusan
BPSK itu wajib dilaksanakan pelaku usaha dalam jangka 7 (tujuh) hari setelah
diterimanya, atau apabila ia keberatan dapat mengajukannya kepada
Pengadilan Negeri dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari. Pengadilan
Negeri yang menerima keberatan pelaku usaha memutuskan perkara tersebut
dalam jangka waktu 21 hari sejak diterimanya keberatan tersebut (Pasal 58).
Selanjutnya kasasi pada putusan pengadilan negeri ini diberi luang waktu 14
hari untuk mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung. Keputusan
Mahkamah Agung wajib dikeluarkan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari
sejak permohonan kasasi (Pasal 58).

Dari keseluruhan proses persidangan berdasarkan ketentuan Undang – Undang


No.8 Tahun 1999 terlihat setidak – tidaknya dari sudut biaya dan waktu
penyelenggaraan keadilan itu pihak konsumen dan pelaku usaha yang jujur
dan bertanggung jawab dimudahkan dan dipercepat (putusan yang mempunyai
kekuatan hokum pasti dapat dijatuhkan dalam jangka waktu relative pendek,
maksimum 100 (seratus) hari (total dari proses pertama sampai terakhir).

Dari uraian di atas dapat dibuat skema proses penyelesaian sengketa melalui
BPSK sebagai berikut,
Badan Penyelesaian Sengketa

Konsumen Dati II (Pasal 49 ayat 1)

Pemerintah/Pelaku Usaha/Konsumen

3-5 per Unsur Nonmasa Kerja

Tugas dan
Wewenang
Bentuk Keputusan
Pasal 52
21 Hari;Pasal 55

a. Penyelesaian:

Mediasi, arbitrasi, konsiliasi Sanksi administrasi


b. Konsultasi P.K Final dan Mengikat Pelanggaran atas
14 Hari; Keberatan Pasal 19 ayat (2)
c. Pengawasan klau- sul baku Pasal 20.25
Pasal 56 ayat (2)
d. Melapor penyidik Maksimum 200 juta

e. Menerima penga- duan

f. Penelitian dan pe- meriksaan

g. Memanggil pihak, sanksi dan Pengadila Negeri


seba- gainnya
Putusan 21 Hari
h. Meneliti surat, do-kumen alat Pasal 52 ayat (2)
Esekusi PN di tempat
bukti Konsumen
Pasal 57
i. Memutus dan me- netapkan
adanya kerugian

j. Memberitahu putusan
Makamah Agung
k. Menjatuhkan hukuman
administratif putusan 30 Hari
Pasal 58 ayat (3)
Dalam menghadapi Abad XXI, konsumen mengharapkan pelayanan birokrasi
menjadi lebih baik, paling tidak berperan indicator atau criteria yang ditawarkan
diatas semaksimal mungkin dipenuhi. Abdi Negara sudah harusnya melayani
kepentingan masyarakat dan bukan dilayani oleh masyarakat. Mengigat salah satu
tolok ukur dari majunya suatu Negara adalah nilai dari pelayanan terhadap
masyarakat oleh aparatur Negara.

BAB 7
ISU – ISU HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN
A. PENGANTAR

Sebagian besar predikat konsumen diperoleh sebagai konsekuensi mengonsumsi


barang dan jasa melalui suatu transaksii konsumen. Transaksi konsumen adalah
peralihan barang atau jasa termasuk didalamnya peralihan kenikmatan dalam
menggunakannya.
Diluar transaksi konsumen dikenal juga transaksi komersial, yang biasanya
dilakukan oleh produsen sebagai principal dengan sipedagang antara. Pihak yang
disebutkan terakhir inilah yang menjebatani antara produsen dan konsumen akhir.
Itulah sebabnya, para perantara ini disebut juga dengan intermediate consumer.
UUPK tidak menkatagorikan “konsumen antara” ini sebagai konsumen yang
dilindungi oleh UUPK.
Konsumen antara dapat berupa distributor atau agen. Kedua istilah ini memiliki
sejumlah perbedaan. Distributor bertindak atas namanya, sementara melakukan
transaksi atas nama prinsipalnya. Dengan demikian, dalam pelunasan harga barang
atau jasa, pembeli dapat saja tidak membayar melalui perantaraan si agen, tetapi
langsung kepada pihak principal. Hal ini tidak terjadi pada distributor karena produk
yang diperjual belikan menjadi miliknya. Kareteristik yang berbeda ini tentu
mempengaruhi konstruksi hokum dalam transaksi konsumen di antara para pihak
terkait.
Transaksi konsumen merupakan suatu perikatan, yang terutama bersangkut paut
dengan perikatan keperdataan. Dalam kacamata hokum perdata, perikatan transaksi
konsumen itu tidak serta merta terjadi begitu saja. Ada prolog yang mendahuluinya.
Perikatan konsumen merupakan pelaksanaan dari perikatan sebelumnnya, yang dapat
disebut pratransaksi konsumen. Setelah transaksi konsumen dilaksanakan, masih ada
perikatan lain yang harus dipenuhi kedua belah pihak, yang dapat disebut pska
transaksi konsumen. Berikut ini dikemukakan 3 isu pokok dari sekuen – sekuen
transaksi konsumen.
Tahapan pratransaksi konsumen biasanya ditandai oleh penawaran dari penjual
kepada calon pembelinya. Pada saat ini penawaran lazimnya dilakukan melalui media
masa yang dikemas secara menarik. Kemasan penawaran demikian disebut dengan
iklan. Proses untuk menghasilkan iklan itu disebut dengan periklanan, yang
melibatkan 3 unsur utama masyarakat periklanan, yaitu pengiklan, perusahaan
periklanan, dan media masa. Ketiga unsure ini, baik sendiri – sendiri maupun bersama
– sama memiliki potensi untuk melanggar hak – hak konsumen.
Tahapan berikutnya adalah pelaksanaan dari transkasi konsumen itu. Isu yang
banyak dipermasalahkan pada tahap ini adalah existensi dari perjanjian standar atau
perjanjian baku. Disini selalu dipertanyakan apakah dalam perjanjian baku itu masih
tedapat kebebasan kontrak? Hal ini terjadi karena perjanjian standar itu di tentukan
secara sepihak oleh produsen atau penyalur produknya (penjual), sedangakan
konsumen tinggal memutuskan : menerima atau menolaknya. Biasanya konsumen
tidak punya pilihan lain, kecuali menerima alternative yang pertama, sebab
dimanapun ia pergi, ia akan disodorkan perjanjian baku dengan subtansi yang hampir
sama oleh produsen atau penyalur produk (penjual)lainnya.
Tahapan ketiga dari proses transaksi konsumen ini adalah perikatan setelah
peralihan barang atau jasa yang pokok dilakukan. Sering terjadi, untuk pembelian
barang – barang tertentu produsen atau penyalur produk memberikan garansi dalam
jangka waktu terbatas, misalnya tiga tahun. Selama jangka waktu itu, setiap keluhan
konsumen atas barang tersebut, sepanjang bukan disebabkan kesalah pemakaian,
dapat diajukan kepada produsen atau penyalur produk. Inilah yang biasanya disebut
layanan purna jual, disini terkait pada perlindungan hokum bagi konsumen.
B. PERIKLANAN DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN (IKLAN OBAT)

Diantara sekian banyak sector, bidang kesehatan merupakan sector yang relative lebih
lengkap pengaturannya dalam melindungi konsumen dibandingkan bidang – bidang
lain- lainnya. Sekalipun demikian, khusus mengenai periklanan, pada akhir 1992,
Menteri Kesehatan RI pernah melontarkan kritikan yang sangat tajam terhadap iklan
obat – obatan yang beredar dimasyarakat, khususnya yang ditayangkan ditelevisi.
Menurutnya, semua iklan itu menyesatkan.
Dapat dibayangkan jika sinyalemen Menteri Kesehatan itu benar, berarti dari
iklan obat – obatan yang disiarkan ditelevisi, tidak satupun yang memberikan
informasi yang jujur. Itu baru disatu media, belum di media lainnya, seperti media
audio dan media cetak yang tersebar di seluruh Indonesia.
Sesungguhnya apa yang di ungkapkan Menteri Kesehatan sejak lama menjadi
keluhan pengamat dan aktivis perlindungan konsumen. Frekuensi keluhan itu terus
meningkat, terutama sejak diperolehnya kembali siaran iklan ditelevisi. Namun
keluhan – keluhan demikian biasanya tidak mendapat publikasi yang luas karena
berbagai pertimbangan komersial.
Dibandingkan dengan instansi – instansi lainnya, Departemen Kesehatan sebenarnya
memiliki rambu – rambu pengaman yang relative lebih lengkap dalam melindungi
konsumen. Departemen ini mempunyai lembaga tersendiri yang mengawasi peredaran
dan penggunaan obat (termasuk obat tradisional), makanan, kosmetika, dan alat
kesehatan. Tugas demikian dibebankan kepada Direktorat Jenderal Pengawasan Obat
dan Makanan (Ditjen POM).
Untuk melakukan pengawasan demikian, khususnya yang berkaitan dengan
periklanan diterbitkan Surat Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri
Penerangan (NO.252/Menkes/SKB/VIII/80 dan NO.122/Kep/Menpen/1980) tentang
Pengendalian dan Pengawasan Iklan Obat, Makanan, Minuman, Kosmetika, dan Alat
Kesehatan (OMKA). Menurut Surat Keputusan Bersama itu, Menteri Kesehatan
berkewajiban mengawasi menteri periklanan sesuai dengan criteria teknis medis dan
etis, sedangkan Menteri Penerangan melakukan pengawasan materi secara umum.
untuk itu selanjutnya dibentuk panitia khusus/ bersama, yang keanggotaannya berasal
dari dua departemen serta kalangan periklanan dan anggota masyarakat lainnya.
Namun, ide yang di amanatkan SuratKeputusan Bersama tersebut tidak
ditindaklanjuti. Panitia yang dimaksud tidak pernah dibentuk dan kosekuensinya,
surat keputusan itu tidak dapat dijadikan dasar peganganpenerbit periklanan OMKA.
Dengan dihapusnya instansi Departemen Penerangan dalam struktur pemerintah saat
ini, tampaknya amanat tersebut tinggal menjadi kenangan.
Selain mengacu kepada ketentuan Undang – Undang No.23 Tahun 1992
tentang kesehatan, dalam melakukan pengawasan Direktorat Jenderal POM samapai
sekarang masih mendasarkan diri pada Ordonansi Pemeriksaan Bahan – Bahan
Farmasi (Staatsblad 1936 No.660). Sesuai namanya, ordonansi tersebut tidak secara
khusus mengatur masalah periklanan. Ordonansi itu memerlukan penjabaran itu lebih
lanjut dalam peraturan perundang – undangan yang lebih rendah tingkaatannya.
Masalah iklan obat, misalnya antara lain diatur dalam Surat Keputusan Menteri
Kesehatan No. 0282 – 3/A/SK/XI/90 tentang Kriteria Terperinci, Kelengkapan
Permohonan dan Tata Laksana Pendaftaran Obat Jadi.
Dalam ketentuan yang disebutkan terakhiran disyaratkan bahwa setiap iklan
obat harus memuat informasi sesuai dengan persetujuan yang diberikan Departemen
Kesehatan pada saat obat itu didaftarkan. Jenis obat yang boleh diiklankan hanya jenis
obat bebas dan terbatas, bukan obat keras. Selain itu sejak 1989 naskah iklan obat –
obatan harus diserahkan pula kepada Direktorat Jenderal POM untuk mendapatkan
persetujuan.
Untuk obat – obatan tradisional, tidak diperkenankan untuk diiklankan selama
belum didaftarkan di Departemen Kesehatan (Pasal 3 Peraturan Menteri Kesehatan
No.246/Menkes/Per/V/1990). Dalam peraturan itu juga ditegaskan bahwa iklan yang
diberikan tidak boleh menyimpang dari apa yang disetujui dalam pendaftaran. Dalam
praktiknnya, ternyata banyak sekali iklan yang sitayangkan diberbagai media yang
melenceng jauh dari naskah yang diserahkan ked an disetujui oleh Direktorat Jederal
POM. Ironisnya, ancaman sangsi yang diberikan Departemen Kesehatan mulai dari
teguran. Pembatalan pendaftaran, sampai dengan pencabutan izin usaha industry obat
yang bersangkutan, sama sekali tidak membuat “kecut” pelakunya.
Tidak adil rasanya bila segala beban penyimpangan harus dipersalahkan
sepenuhnya ke pihak produsen obat – obatan. Saat ini dapat dipastikan semua iklan
obat di televise yang pernah dipersoalkan oleh Menteri Kesehatan diserahkan
pembuatannya kepada perusahaan periklanan (production house). Ditempat inilah
iklan itu diproduksi, sebelum akhirnya disebarluaskan ke media yang diingini.
Dalam memproduksi iklan, pihak perusahaan periklanan dikawal ketat oleh
kode etik yang ditanda tangani oleh lima asosiasi (termasuk Perusahaan Periklanan
Indonesia) pada 17 September 1981. Tata Cara dan Tata Periklanan Indonesia ini
selalu disempurnakan, dengan penandatangan oleh tujuh instansi pada 19 Agustus
1996. Ketujuh instansi tersebut adalah:\
1. Asosiasi Perusahaan Media Luar Ruang Indonesia (AMLI)

2. Asosiasi Pemrakarsa dan Penyantun Iklan Indonesia (Aspindo)

3. Gabungan Perusahaan Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI)

4. Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI)

5. Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI).

6. Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS), dan


7. Yayasan Televisi Republik Indonesia.

Untuk obat – obatan, kode etik periklanan juga mensyaratkan iklan harus
sesuai dengan indikasi jenis produk yang disetujui oleh Departemen Kesehatan.
Selain itu, iklan tidak boleh memuat kata – kata yang berisi janji penyembuhan
penyakit, tapi hanya boleh menyatakan membantu menghilangkan gejala penyakit.
Juga tidak boleh mencantumkan kata – kata “aman”, “tidak berbahaya”, atau
“bebas resiko” tanpa keterangan lengkap yang menyertainya. Pemakaian tenaga
professional kesehatan sebagai model iklan, seperti dokter, perawat, ahli farmasi,
rumah sakit, atau atribut – atribut profesi medis lainnya juga dilarang.
Dari sebagian kecil rumus kode etik itu saja tampak banyak iklan obat yang
tidak memnuhi persyaratan. Iklan obat yang “tidak sehat” seperti itu tentu saja
merugikan perusahaan obat sejenis, tapi (lebih – lebih) merugikan konsumen yang
tidak berhati – hati.
Mayoritas konsumen di Indonesia masih terlalu rentan dalam menyerap
informasi iklan yang “tidak sehat”. Oleh karena itu, sangat riskan kiranya
bilatidak diadakan pengawasan yang memadai dan konsumen dibiarkan
menimbang – nimbang serta memutuskan sendiri iklan apa yang pantas untuk
dipercaya. Cara berfikir yang dalam hokum dikenal sebagai caveat emtor (let the
buyer beware) demikian hanya cocok untuk Negara kapasitas abad ke – 19, yang
dinegara asalnya (Inggris dan Amerika Serikat) sudah pula ditinggalkan.
Posisi yang tidak berimbang antara produsen dan konsumen akan mudah
disalahgunakan (machtpositie) oleh pihak yang lebih kuat. Apalagi jika pihak
produsen yang lebih kuat itu didukung oleh fasilitas yang memungkinkannya
bertindak secara monopolitis.
Lolosnya penayangan iklan yang menyesatkan (dalam hal ini, iklan obat –
obat ) membuktikan, mekanisme pengawasannya masih berjalan dengan baik.
Sebagai mana diuraikan diatas surat keputusan bersama dari dua menteri (1980)
menyatakan pengawasan periklanandi bidang OMKA dilakukan oleh panitia
tersendiri. Keberadaan panitia itu kiranya cukup urgen untk di wujudkan karena
memudahkan dalam melakukan koordinasi. Kendati demikian, terlebih dahulu
perlu dijabarkan secara jelas batas kewenangan panitia tersebut., agar tidak
tumpang tindih dengan mikanisme pengwasan serupa yang dimiliki instansi
dijajar departemen lain.
Dalam hokum pembentukan panitia bersama di atas tentu akan lebih baik jika
tidak berbentuk surat keputusan bersama. Bentuk peraturan demikian tidak
dikenal dalam tata urutan peraturan perundang – undangan di Indonesia, dan
keputusan setingkat menteri seperti itu tidak berwenang mencantumkan sanksi.
Sebagai perbandingan di Amerika Serikat badan yang mengawasi masalah makan
dan obat (The Food and Drug Administration) dibentuk atas produk hokum
setingakt undang – undang. Demikina juga badan yang kewenangannya antara
lain yang mengawasi masalah periklanan. (The Federal Trade Commission), juga
dibentuk berdasarkan undang – undang.
Dalam Bab Undang – Undang VII No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan,
sesungguhnya ditegaskan bahwa Pemerintah berwenang untuk melakukan
pembinaan dan pengawasan terhadap semua kegiatan yang berkaitan dengan
upaya penyelenggaraan kesehatan. Selanjutnya dinyatakan bahwa pembinaan dan
pengwasan tersebut akan ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Ini berarti
dibuka kesempatan untuk membentuk suatu badan pengawasan yang lebih bergigi.
Khusunya hal periklanan di bidang OMKA dengan dasar hokum yang lebih
sesuai.
Dalam Undang – Undang No.7 Tahun 1996 tentang Pangan disebut secara
jelas mengenai iklan pangan. Pasal 33 dari undang – undang ini menyatakan,
setiap label dan/atau iklan tentang pangan yang diperdagangkan harus memuat
keterangan mengenai pangan dengan benar dan tidak menyesatkan. Untuk itu
pemerintah mengatur, mengawasi dan melakukan tindakan yang diperlukan agar
iklan tentang pangan yang diperdagangkan tidak memuat keterangan yang dapat
menyesatkan.
Dan ketetuan Undang – Undang Pangan ini sebenarnya tidak mempunyai
aspek konstitutif yang berarti banyak karena masih harus menunggu peraturan
pelaksanaannya. Juga masih samar – samar tentang pengertian “pangan yang
diperdagangkan”. Hal ini menimbulakan pertanyaan : bagaimana untuk “pangan
yag tidak diperdagangkan”? dalam kenyataannya dapat dilihat, produk pangan
dengan merek baru yang masih dalam masa perkeenalan kepada konsumen,
biasanya diiklankan terlebih dahulu oleh si produsen. Sementara itu, sampel –
sampel produk itu di bagikan secara ngratis kepada masyarakat, tepatnya ke
sasaran konsumen yang dinilai paling potensial. Sampel – sampel tersebut tentu
tidak untuk diperdagangkan, dan rasa tidak adil jika dikecualikan dari ketentuan
Pasal 33 UU Pangan.
Pasal 34 dari Undang – Undang Pangan juga membawa polemic yang tidak
kalah menariknya. Di situ dinyatakan, bahwa setiap orang yang menyatakan
dalam table atau iklan bahwa pangan yang diperdagangkan adalah sesuai dengan
persyaratan agama tau kepercayaan tertentu bertangguang jawab atas kebenaran
pernyataan berdasarkan agama atau kepercayaan tersebut. Rumusan pasal ini
mengacu kepada pencantuman label “halal” yang sesuai dengan syariah Islam.
Departemen Kesehatan dan Agama menginginkan agar label ini dikeluarkan oleh
Departemen Kesehatan setelah mendapat rekomendari dari Majelis Ulama
Indonesia. Sebaliknya, Kantor Menteri Urusan Pangan dulu ingin menyerahkan
kepada masing – masing produsen. Konsekuensinya, jika produsen melanggar, ia
akan dikenakan sangsi hokum. Polemic ini sesungguhnya tidak akan dapat
dituntaskan jika akar permasalahan. Yakni “memberi rasa nyaman pada
konsumen” tidak ditempatkan pada proritas utama. Artinya, jika label (dan iklan)
itu diserahkan sepenuhnya kepada produsen, tentu akan dipertanyakan, sejauh
mana konsumen akan merasa aman dan yakin kebenaran isinya, dan sejauh mana
pula Pemerintah mampu mencegah dan menindakk tindakan produsen yang tidak
bertangguang jawab.
Selain sarana pengawasan di tingkat aparatur Negara, peranan yang tidak
kalah pentingnya juga harus darang dari masyarakat seperti Yayasan Lembaga
Konsumen Indonesia (YKLI). Peranan YLKI antara lain secara berkala
melakukan pengujian suatu produk tertentu dan mempublikasikannya.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 71 dan 72 Undang – Undang Kesehatan, apa
yang dilakukan YLKI ini seyogyanya disambut dengan positif. Informasi yang
diberikannya paling tidak dapat dijadikan bahan perbandingan bagi masyarakat,
disamping informasi yang sehari – hari mereka dapatkan dari iklan. Iklan adalah
produk kreativitas dan komersial. Dengan demikian, pengawasannya tidak boleh
sampai mematikan dua ciri di atas.
C. PERJANJIAN STANDAR DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN
Perjanjian standar (baku), sebenarnya dikenalkan sejak zaman Yunani Kuno.
Plato (423 – 347 SM), misalnya pernah memaparkan praktik penjualan makanan
yang harganya ditentukan secara sepihak oleh penjual, tanpa memperhatikan
perbedaan mutu makanan tersebut. Dalam perkembangannya, tentu saja penentuan
secara sepihak oleh produsen/penyalur produk (penjual), tidak lagi sekadar
masalah harga, tetapi mencakup syarat – syarat yang lebih detail. Selain itu,
bidang – bidang yang diatur dengan perjanjian standar pun makin bertambah luas.
Menurut sebuah laporan dalam Harvard Law Review pada 1971,99 persen
perjanjian yang dibuat di Amerika Serikat berbentuk perjanjian standar. Di
Indonesia, perjanjian standar bahkan merambah ke sector property dengan cara –
cara yang secara yuridis masih kontrovesial. Misalnya, diperbolehkan system
pembelian satuan rumah susun (strata title) secara inden dalam bentuk perjanjian
standar.
Tentu saja fenomena demikian tidak selamanya berkonotasi negative. Tujuan
dibuatnya perjanjian standar untuk memberikan kemudahan (kepraktisan) bagi
para pihak yang bersangkutan. Oleh karena itu, bertolak dari tujuan itu, Mariam
Darus Badrulzaman lalu mendefenisikan perjanjian standar sebagai perjanjian
yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir.
Sutan Remi Sjahdeini mengartikan perjanjian standar sebagai perjanjian yang
hampir seluruh klausul – klausulnya dibakukan oleh pemakaiannya dan pihak lain
pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta
perubahan. Adapun yang belum dibakukan ada beberapa hal, misalnya yang
menyangkut jenis, harga, jumlah, warna, tempat, waktu, dan beberapa hal yang
spesifik dari objek yang diperjanjikan. Sjahdeini menekankan, yang dibakukan
bukan formulir perjanjian tersebut, melainkan klausal – klausalnya.
Di satu sisi, bentuk perjanjian seperti ini sangat menguntungkan, jika dilihat
dari beberapa banyak waktu, tenaga dan biaya yang dapat dihemat. Akan tetapi, di
sisi yang lain bentuk perjanjian seperti ini tentu saja menempatkan pihak yang
tidak ikut membuat klausul – klausul di dalam perjanjian itu sebagai pihak yang
baik yang langsung maupun tidak sebagai pihak dalam perjanjian itu memiliki hak
memiliki kedudukan seimbang dalam menjalakan perjanjian tersebut, disisi yang
lain ia harus menurut terhadap isi perjanjian yang disodorkan kepadanya.
Sebenarnya. Perjanjian standar tidak perlu selalu dituangkan dalam bentuk
formulir walaupun memang lazim dibuat tertulis. Contohnya dapat dibuat dalam
bentuk pengumuman yang ditempelkan tempat penjual menjalankan usahanya.
Jadi, perjanjian standar adalah perjanjian yang ditetapkan secara sepihak, yakni
oleh produsen/penyalur produk (penjual), dan mengandung ketentuan yang
berlaku umum (massal), sehingga pihak yang lain (konsumen) hanya memiliki
dua pilihan : menyetujui atau menolaknya.
Adanya unsure pilihan ini oleh sementara pihak dikatakan perjanjian standar
tidaklah melanggar atas kebebasan berkontak (Pasal 1320 jo. 1338 KUH Perdata).
Artinya, bagaimana pihak konsumen masih diberi hak untuk menyetujui (take it)
atau menolak perjanjian yang diajukan kepadanya (leave it). Itu sebabnya,
perjanjian standar ini kemudian dikenal dengan nama take it or leave it contract.
Karena lahir dari kebutuhan akan kebutuhan efisiensi serta efektivitas kerja,
maka bentuk perjanjian baku ini pun memiliki karateristik yang khas yang tidak
dimiliki oleh perjanjian yang lain pada umumnya, antara lain perjanjian baku
dibuat oleh salah satu pihak saja dan tidak melalui suatu bentuk perundingan, isi
perjanjian yang telah distandarisasi, klausul yang ada di dalamnya biasanya
merupakan klausul yang telah menjadi kebiasaan secara luas dan berlaku secara
terus menerus dalam waktu yang lama.
Perjanjian baku banyak memberikan keuntungan dalam penggunaannya, tetapi
dari berbagai keuntungan yang ada tersebut terdapat sisi lain dari pengunaan serta
perkembangan perjanjian baku yang banyak mendapat sorotan kritis dari para ahli
hokum, yaitu sisi kelemahannya dalam mengakomodasikan posisi yang seimbang
bagi para pihaknya. Kelemahan – kelemahan perjanjian baku ini bersumber dari
karateristik perjanjian baku yang dalam wujudnya merupakan suatu perjanjian
yang dibuat oleh salah satu pihak dan suatu perjanjian terstandarisasi yang
menyisakan sedikit atau bahkan tidak sama sekali ruang bagi pihak lain untuk
menegosiasikan isi perjanjian itu. Sorotan para ahli hokum dari berlakunya
perjanjian baku selain dari segi keabsahannya adalah adanya klausul – klausul
yang tidak adil dan sangat memberatkan salah satu pihak.
Jika ada yang perlu dikuatirkan dengan kehadiran perjanjian standar, tidak lain
karena dicantumkannya klausul eksonerasi (exemption clause) dalam perjanjian
tersebut. Klausul eksonerasi adalah klausul yang mengandung kondisi membatasi
atau bahkan menghapus sama sekali tanggung jawab yang semestinya dibebankan
kepada pihak produsen/penyalur produk (penjual).
Mariam Darus Badrulzaman, dengan istil
ahnya klausul eksonerasi, memberikan defenisi terhadap klausul tersebut
sebagai klausul yang berisi pembatasan pertanggung jawaban dari kreditor,
terhadap resiko dan kelalaian yang semestinya ditanggungnya.
Demikian juga David Yates, yang lebih memilih mengunakan istilah exclusion
clause, memberikan defenisi any term in a contract restricting, exluding and
modifying aremedy or a ability arising out of breech of a contractual obligation
yang diterjemahkan secara bebassebagai setiap bagian dari suatu perjanjian yang
membatasi, membebaskan atau merekayasa ganti rugi atau tanggung jawab yang
timbul dari pelanggaran terhadap suatu perjanjian.
Dalam pengertiannya yang lebih luas David Yates menunjuk pada
yurisprudensi pada kasus Bensten v. Taylor, Sons & Co (1893) dab Bahama
International Trust Co.V Threadgold (1974) yang mengemukakan bahwa
exemption clause di artikan sebagai …. A clause in a contract or a term in a notice
which appears to exclude or restrict a liability or legal duty that would otherwise
arise, yang diterjemahkan secara bebas adalh klausul yang kehadirannya untuk
membebaskan atau membatasi tanggung jawab yang mungkin saja muncul.
Menurut Engels menyebut adannya tiga bentuk yuridis dari perjanjian dengan
syarat – syarat eksonerasi. Ketiga bentuyk yuridis tersebut terdiri atas:
a. Tanggung jawab untuk akibat – akibat hokum, karena kurang baik dalam
melaksanakan kewajiban – kewajiban perjanjian;

b. Kewajiban – kewajiban sendiri yang biasanya dibebankan kepada pihak untuk


mana syarat dibuat, dibatasi atau dihapuskan (misalnya, perjanjian keadaan
darurat).

c. Kewajiban – kewajiban diciptakan (syarat – syarat pembebasan oleh salah satu


pihak dibebankan dengan memikulkan tanggung jawab pihak yang lain yang
mungkin ada untuk kerugian yang diderita pihak ketiga.

Perjanjian eksonerasi yang membebaskan tanggung jawab seseorang pada


akibat – akibat hokum yang terjadi karena kuraang pelaksanaan kewajiban -
kewajiban yang diharuskan oleh perundang – undangan, antara lain tentang maslah
ganti rugi dalam hal perbuatan ingkar – janji. Ganti rugi tidak dijalankan apabila dala
persyaratan eksonerasi tercantum hal ini.
Dari berbagai defenisi yang ada tersebut maka dapat disimpulkan bahwa
klausul pembebasan adalah klausul yang memberikan pembatasan atau pembebasan
tanggung jawab hokum salah satu pihak atas segala bentuk ketidak terpenuhinya
kewajiban atas perjanjian tersebut.
Contoh dari klausul tersebut adalah :
- Adanya pembebasan tanggung jawab pihak pengembangan dalam perjanjian
pembelian rumah, dalam hal pengembangan tidak dapat memenuhi janjinya untuk
melaksanakan penyelesaian pembangunan atas rumah yang dibeli, tepat pada
waktunya.

- Adanya pembatasan tanggung jawab ganti rugi bagi perusahaan pengangkutan


berkaitan dengan kehilangan barang bawaan penumpang.

- Adanya pembatasan terhadap tanggung jawab terhadap kecelakaan jasmani yang


diderita oleh penumpang.

Disini dilihat betapa tidak adanya keseimbangan posisi tawar menawar antara
produsen/penyalur produk (penjual) yang lazim tersebut kreditor dan konsumen
(debitur) di lain pihak. Sehubungan dengan pertanyaan : apakah ada kebebasan
berkontrak dalam perjanjian standar ini.? Ada beberapa pendapat yang menegaskan
kontroversi di dalamnya.
Pendapat pertama dating dari Sluijter, yang menyatakan perjanjian standar
bukan perjanjian. Alasannya, kedudukan pengusaha dalam perjanjian ini adalah
seperti pembentuk undang – undang swasta (legio particuliere wetgever). Syarat –
syarat yang ditentukan pengusaha didalam perjanjian itu adalah undang – undang,
bukan perjanjian! Pitlo mengatakannya sebagai perjanjian paksa (dwang contract),
walaupun secara teoritis yuridis, perjanjian ini tidak memnuhi ketentuan undang –
undang dan ditolak oleh beberapa ahli hokum. Namun dalam kenyataanya, kebutuhan
masyarakat berjalan dalam arah yang berlawanan dengan keinginan hokum. Pendapat
Pitlo ini mengingatkan kita pada pendapat Hondius, yang dalam disertasinya
menyatakan bahwa perjanjian standar itu mengikat berdasarkan kebiasaan (gebruik)
yang berlaku dilingkungan masyarakat dan lalu lintas perdagangan. Kemudian Stein
mencoba memecahkan masalah ini dengan mengemukakan pendapat, bahwa
perjanjian standar dapat diterima sebagai perjanjian berdasarkab fiksi adanya
kemauan dan kepercayaan yang mengakibatkan keyakian, para pihak mengikatkan
diri pada perjanjian itu. Jika debitur menerima perjanjian itu, berarti ia secara sukarela
setuju pada isi perjanjian tersebut. Akhirnya, dapat disebutkan pedapat yang lebih
tegas dari Asser Rutten, yang mengatakan perjanjian standar itu mengikuti karena
setiap orang yang menandatangani suatu perjanjian harus dianggap mengetahui dan
menyetujui sepenuhnya isi kontrak tersebut.
Ahli Hukum Indonesia, Mariam Darus Badrulzaman menyimpulkan bahawa
perjanjian standar itu bertentang dengan asas kiebebasan kontrak yang bertanggung
jawab, terlebih – lebih lagi ditinjau dari asas – asas hokum nasional, di mana
kepentingan masyarkatlah yang didahulukan. Dalam perjanjian standar, kedudukan
pelaku usaha dan konsumen tidak seiumbang, posisi yang didominasi oleh pihak
pelaku usaha, membuka peluang luas baginya untuk menyalah gunakan
kedudukannya. Pelaku usaha hanya mengatur hak – haknya dan tidak kewajibannya.
Menurutnya, perjanjian standar ini tidak boleh dibiarkan tumbuh secara liar dab
karena itu perlu ditertibkan.
Sutan Remy Sjahdeini berpendapat dalam kenyataanya KUH Perdata sendiri
memberikan pembatasan – pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak itu.
Misanya, terdapat ketetuan yang mengatakan, suatu perjanjian tidak dapat ditarik
kembali selain dengan kata sepakat kedua belah pihak atau karena alasan lain yang
dinyatakan dengan undang – undang. KUHP Perdata juga meyebutkan tiga alasan
yang dapat menyebabkan suatu perjanjian, yakni paksaan (dwang), kekhilafan
(dwaling), dan penipuan (bedrog). Ketiga alas an ini dimaksudkan oleh undang –
undang sebagai pembatasan terhadap belakunya asas kebebasan berkontrak.
Menurut Remy Sjahdeini, agar tidak terjadi penyalahgunaan terhadap asas
kebebasan berkontrak ini oleh pihak yang berkedudukan lebih kuat, maka diperlukan
campur tangan melalui undang – undang dan pengadilan. Dalam hokum perburuhan ,
misalnya, ada pembatasan – pembatasan dalam kontrak kerja. Campur tangan
pengadilan dapat dijumpai dalam penyebab putusnya perjanjian yang dikenal dengan
penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstanddigheden). Dalam KUHP Perdata
Baru Negeri Belanda, penyalahgunaan keadaan ini dikukuhkan sebagai alasan
keempat dari cacat kehendak.
Dengan demikian, jika asas kebebasan berkontrak ingin ditegakkan, dan
kepentingan dunia perdagangan tidak pula dirugikan, satu – satunya cara adalah
dengan membatasi pihak pelaku usaha dalam klausul eksenorasi. Tentu Darus
Barulzaman, harus ada campur tangan pemerintah, kiranya tidak semua perjanjian
standar dapat diperlakukan demikian. Materi perjanjian yang terjadi di masyarakat
sedemikian luasnya dan heterogennya.
Dalam kenyataannya, campur tangan yang disarankan ini dapat dilakukan oleh
pemerintah. Misalnya saja dalam lapangan perburuhan agrarian, sangat banyak
dilakukan standarisasi perjanjian. Akan tetapi, untuk perjanjian – perjanjian
keperdataan yang dibuat oleh notaries, tentu tidak harus distandarisasi. Perjanjian –
perjanjian yang disebutkan berakhir ini tumbuh melalui kebiasaan dan permintaan
masyarakat sendiri. Campur tangan pemerintah lebih diharapkan pada perjanjian –
perjanjian yang berskala luas, walaupun tidak sepenuhnya bersifat public seperti
dibidang perburuhan dan agrarian. Perjanjian berskala luas yang dimaksud berkaitan
dengan keputusan berkaitan dengan kepentingan missal, dank arena itu jika
diserahkan sepenuhnya pembuatannya secara sepihak kepada pelaku usaha,
dikhawatirkan akan dibuat banyak klausul eksonerasi yang merugikan masyarakat.
Dalam UUPK, istilah klausul eksonerasi sendiri tidak ditemukan, yang ada
adalah “klausul baku”. Pasal 1 angka 10 mendefinisikan klausul baku sebagai setiap
aturan atau ketentuan dan syarat – syarat yang dipersiapkan dan ditetapkan terih
dahulu secara sepihakoleh pelaku usaha yang dituangkan dalam usaha dokumen
dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Jadi yang
ditekankan oleh prosedur pembuatannya yang berifat sepihak, bukan mengenai isinya.
Padahal, pengertian “klausul eksonerasi” tidak sekedar mempersoalkan prosedur
pembuatannya, melainkan juga isisnya yang bersifat pengalihan kewajiban atau
tanggung jawab pelaku usaha.
Pasal 18 ayat (1) huruf (a) UUPK menyatakan pelaku usaha dalam
menawwarka barang dan/atau jasa yang ditunjukkan untuk diperdagangkan dilarang
membuat atau mencantumkan klausul baku pada setiap dokumen dan/ atau perjanjian
jika menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha. Ketentuan huruf (b) dan
seterusnya sebenarnya memberikan contoh bentuk – bentuk pengalihan tanggung
jawab itu, seperti pelaku usaha dapat menolak penyerahan kembali barang yang dibeli
konsumen, atau menolak penyerahan kembali uang yang dibayar, dan sebagainya.
Apakah dengan demikian, klausul baku sama dengan klausul eksonerasi? Jika
melihat kepada ketentuan pasal 18 ayat (1) UUPK, dapat diperoleh jawaban
sementara bahwa kedua istilah itu berbeda. Artinya, klausul baku adalah klausul yang
dibuat sepihak oleh pelaku usaha, tetapi isinya tidak boleh mengarah kepada klausul
eksonerasi. Pasal 18 ayat (2) mempertegas pengertian tersebut, dengan mengatakan
bahwa klausul baku harus diletakkan pada tempat yang mudah terlihat dan dapat jelas
dibaca dan mudah dimengerti. Jika hal – hal yang disebutkan dalam ayat (1) dan (2)
itu tidak dipenuhi, maka klausul baku itu menjadi batal hokum.
Tidak disitu saja pengaturan tentang klausul baku ini berhenti karena terhadap
pelanggaran yang dilakukan berkaitan dengan tidak dipenuhinya ketentuan pada Pasal
18 ini juga diberikan ancaman sanksi pidana sebagaimana diatur pada Pasal 62 UUPK
ayat (1) :

Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimasudkan dalam Pasal 8,


Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b,
huruf c, huruf e, dan ayat (2), dan pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp2,000.000.000,00 (dua
miliar rupiah).

Di Amerika Serikat, misalnya pembatasan kewenangan pelaku usaha untuk


membuat klausul eksenorasi lebih banyak diserahkan kepada inisiatif konsumen. Jika
ada konsumen yang meeras dirugikan, berdasarkan Uniform Commercial Code 1978,
ia dapat mengajukan gugatan kepengadilan. Putusan – putusan pengadilan inilah yang
kemudian dijadikan masukan perbaikan legislasi yang telah ada, termasuk sejauh
mana Pemerintah dapat campur tangan dalam penyusunan kontrak.

Di belanda, perjanjian standar dimasukkan pengaturannya dalam Kitab


Undang – Undang Hukum Perdata yang baru. Di situ dinyatakan bahwa bidang –
bidang usaha yang boleh meberapkan perjanjian standar harus ditentukan dengan
peraturan dan perjanjian itu baru dapat ditetapkan, diubah, atau di cabut setelah
mendapat persetujuan Menteri Kehakiman. Kemudian penetapan, perubahan, atau
pencabutan itu baru memperoleh kekuatan hokum setelah mendapat persetujuan
Raja/Ratu yang dituangkan dalam Berita Negara, ketentuan lainnya menyatakan
bahwa perjanjian standar ini dapat pula dibatalkan, jika pihak produsen/penyalur
produk (penjual) atau kreditor mengetahui atau seharusnya mengetahui bahwa pihak
konsumen tidak akan menerima perjanjian tersebut jika ia mengetahuinya isinya.

Bagi kita di Indonesia, ketentuan yang membatasi kewenangan pembuatan


klausul eksonerasi ini belum diatur secara tegas di dalam undang – undang. Ketentuan
satu – satunya beru ditemukan dalam UUPK, walaupun di situ digunakan istilah
“klausul baku” yang ternyata berbeda pengertiannya dengan “klausul eksonerasi”.
Secara umum, memang dapat ditunjukkan beberapa pasal yang ada dalam Kitab
Undang – Undang Hukum Perdata. Salah satunya adalah pasal 1337, yang
menyatakan suatu perjanjian tidak boleh dibuat bertentangan dengan undang –
undang, kesusilaan, atau ketertiban umum. sekalipun demikian, untuk menguji sejauh
mana perjanjian itu bertentangan, perlu diperoses melalui gugatan pengadilan.
Padahal, kekuatan yurisprudensi dalam sisitem hokum Indonesia tidak berlaku seperti
di Negara – Negara Anglo saxon/Anglo Amerika. Dengan demikian. Loangkah yang
ditempuh oleh Belanda, yakni dengan membuat ketentuan khususus mengenai tata
cara pembuatan perjanjian standar, kiranya dapat di pertimbangkan untuk ditiru.
Selain dengan mencantumkannya dalam Kitab Undang – Undang – Undang Hukum
Perdata, juga dapat dimuat dalam undang – undang yang mengatur mengenai
perlindungan konsumen.

Dengan adanya pengaturan terhadap Perlindungan Konsumen terutama pada


peraturan yang berkaitan dengan klausul baku sedikit menyadarkan masyarakat
bahwa mereka sebagai pihak dalam perjanjian memiliki hak yang (semestinya) sejajar
dengan pihak lainnya dalam perjanjian baku.

Selain paling tidak memberikan gambaran bahwa perlu adanya suatu sarana
bagi peningkatan perlindungan terhadap penggunaan perjanjian baku dan segala
atributnya, yang tentu saja merugikan salah satu pihak pada perjanjian. Di mana
pengaturan ini merupakan tonggak awal baginya keseimbangan dalam penempatan
pihak pada suatu perjanjian.

Meski demikian penggunaan perjanjian baku atau jika dapat dikatakan lebih
luas ketidakseimbangan daya tawar para pihak merupakan suatu hal yang sangat sulit
untuk diawasi atau dikendalikan, karena hal ini berkaitan dengan adanya unsure
perlindungan dan kepentingan sepihak yang lebih besar daya tawarnya untuk
melindungi kepentingannya, serta adanya kebutuhan dari pihak yang berdaya tawar
lebih rendah untuk menerima isi dari perjanjian itu.

Secara sederhana dapat kita katakana bahwa yang kuat adalah yang menang
masih berlaku, yang bisa kita hindari, dengan adanya pengaturan terhadap pemakaian
perjanjian baku ini adalah adanya eksploitasi atau keadaan yang sedemikian
merugikan bagi puhak yang lemah akibat adanya pengunaan paksaan maupun
penyalahgunaan keadaan oleh pihak yang lebih kuat.

D. LAYANAN PURNAJUAL DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN

Layanan purnajual (after sales service) merupakan kepentingan konsumen yang


sangat vital dewasa ini. Perkembangan teknologi yang sangat cepat misalnya pada
tegnologi perangkat computer, sering membuat produsen harus mengubah tipe – tipe
produknya mengikuti selera dan kebutuhan konsumen harus mengubah tipe – tipe
produknya mengikuti selera dan kebutuhan konsumen yang terus berganti dalam
waktu singkat. Akibatnya, jika ada kerusakan dari suatu tipe produk, sering konsumen
tentu menghadapi kendala memperbaiki barangnya karena ketiadaan suku cadang.

Masalah lainnya yang menyangkut layanan purnajual adalah soal garansi


dalam jangka waktu tertentu yang memberikan produsen/penyalur produk (penjual)
atau kreditor pada konsumennya. Demikian pula dengan tanggung jawab
produsen/penyalur produk (penjual) atau kreditor dalam memenuhi hak konsumen,
terutama hak untuk memiliki barang/jasa yang sesuai dengan nilai tukar yang
diberikan. Konsumen tidak boleh ditipu memperoleh barang dengan kualitas tertentu,
padahal kenyamanannya tidak demikian. Misalnya, dikatakan jus yang dijual adalah
sari jeruk asli, padahal hanya essence dari bahan – bahan kimia. Kertas tisu yang
dikemas dalam kotak yang dinyatakan beratnya 10 ons, ternyata hanya 9 ons, dan
sebagainya.
Tampak masalah layanan purnajual adalah masalah perlindungan konsumen
yang tidak dapat dipisahkan dengan tahapan – tahapan transaksi konsumen lainnya,
yang berlaku bukan lagi prinsip caveat emptor, tetapi caveat venditor
(produsen/penyalur produk (penjual) atau kreditorlah yang bertanggung jawab, yang
lazim disebut tanggung jawab produk. Tanggung jawab dari si produsen dan pihak –
pihak yang menyalurkan produknya secara tanggungan renteng seluruhnya bersifat
tanggung jawab mutlak (strict liability) atau tanggung jawab tanpa kesalahan (liability
without fault).

Perluasan subjek yang dapat dimintai tanggung jawabnya telah pula


diterapkan diberbagai Negara. Di lingkungan Uni Eropa, misalnya dinyatakan dalam
Pasal 3 Pedoman Masyarakat Eropa, tanggung jawab produk adalah tanggung jawab
dari pembuatan produk cacat yang bersangkutan, yakni:

1. Produsen dari bahan – bahan mentah atau komponen dari produk itu;

2. Setiap orang yang memasang nama, merek perusahaan, atau memberikan tanda
khusus untuk membedakan produknya dengan produk orang lain;

3. Setiap orang yang mengimpor produk untuk dijual, disewakan, atau dipasarkan (tanpa
mengurangi tanggung jawab si pemilik produk);

4. Setiap pemasok produk, jika pembuatnya tidak diketahui atau pembuat produknya
diketahui, tetapi mengimpornya tidak diketahui.

Pengaturan tentang tanggung jawab produk ini belum ada pengaturannya di


Indonesia. Tim Kerja Naskah Akademis Badan Pembinaan Hukum Nasional
pernah menyarakan agar dikembangkan system baru pertanggung jawaban
hokum atau produk, namun baru untuk bidang farmasi. Tujuannya dari
pengembangan itu adalah untuk : 1.

1. Memberikan perlindungan kepada masyaraka terhadap penggunaan produk farmasi


yang cacat;

2. Mengembalikan kesimbangan masyarakat akibat penggunaan dan beredarnya proguk


cacat;

3. Memudahkan proses pembuktian akibat penggunaan produk farmasi yang cacat;

4. Meningkatkan mutu produk farmasi yang beredar, sehingga dapat mencapai tujuan
peruntukan dan penggunaanny.

Seharusnya tanggung jawab produk ini jangan dibatasi hanya pertanggung


jawaban atas produk yang cacat. Tanggung jawab produk adalah bagian dari transaksi
konsumen, yaitu tahapan ketiga ( pasca transaksi konsumen). Membatasi tanggung
jawab produk hanya pada pergantian atas produk yang cacat berarti tidak member
banyak kemajuan bagi perlindungan konsumen.

Sejak dahulu, menjadi kewajiban produsen untuk menjamin barang yang


dijualnya bebas dari cacat tersembunyi. Jaminan ini merupakan perikatan yang
otomatis dibebankan kepada produsen/penyalur produk (penjual) atau kreditor.
Jaminan dalam undang – undang ini pun dalam praktik dicoba untuk diminimalisasi
dengan menyatakan sepihak ( klausul eksenorasi), seperti “barang yang telah dibeli
tidak dapat dikembalikan).

Dalam UUPK tampaknya klausull eksenorasi demikian akan dihilangkan,


walaupun besar kemungkinan secara sosiologis masih digunakan secara luas oleh
produsen. Di sinilah diperlukan sosialisasi UUPK dan upaya gencar pendidikan
konsumen.

Dalam Pasal 19 UUPK secara jelas diatur, pelaku usaha wajib mengganti
kerugian atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian yang diderita konsumen
akibat mengonsumsi barang dan/atau jasa. Ganti rugi ini bersifat serta merta, dan
diberi jangka waktu & hari setelah tanggal transaksi. Namun, ketentuan ini agak
berbeda dengan ketentuan tentang masa garansi dalam Pasal 27 UUPK. Ketentuan
dalam pasal yang disebutkan terakhir ini memberikan tenggang waktu pelayanan
kepada konsumen sampai pada akhir masa garansi.

Layanan purnajual sebenarnya meliputi permasalahan yang lebih luas, dan


terutama mencakup masalah kepastian atas :

1. Ganti rugi jika barang/jasa yang diberikan tidak sesuai dengan perjanjian semula;

2. Barang yang digunakan, jika mengalami kerusakan tertentu, dapat diperbaiki


secara Cuma – Cuma selama jangka waktu garansi;

3. Suku cadang selalu tersedia dalam jumlah cukup dan tersebar luas dalam jangka
waktu yang relative lama setelah transaksi konsumen dilakukan.

Dalam UUPK, layanan purnajual diakomodasikan pula, walaupun hanya


dalam beberapa rumusan yang umum.

Pasal 25 UUPK menyatakan, bahwa pelaku usaha yang memproduksi barang


yang pemanfaatannya berkelanjutan dalam batas waktu sekurang – kurangnya satu
tahun, wajib menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas penjualan dan wajib
memenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan yang diperjanjikan. Pelaku usaha
tersebut wajib bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen
jika pelaku usaha itu tidak menyediakan atau lalai menyediakan suku cadang dan/atau
fasilitas perbaikan, juga jika ia tidak memenuhi atau gagal memenuhi jaminan atau
garansi yang diperjanjikan.

Jelaslah, penyelesaian kasus purnajual seperti dinyatakan dalam Pasal 25


UUPK itu masih memerlukan upaya penuntutan ganti rugi dan/atau gugatan
konsumen. Pasal 27 huruf e UUPK bahkan memberi batas waktu kadaluarsa untuk
melakukan penuntutan atau gugatan ini selama empat tahun sejak barang dibeli atau
setelah lewat masa garansi.

Persoalannya adalah pelaku usaha sering secara sepihak mencantumkan masa


garansi secara tidak proposional. Misalnya, untuk garansi perbaikan alat – alat
elektronika ditetapkan lamanya selam satu tahun sejak barang diserahkan kembali.
Waktu yang demikian pendek sangat mungkin tidak mencukupi bagi konsumen utnuk
meneliti kembali hasil perbaikkan itu secara keseluruhan. Untuk itu, masa garansi itu
perlu ditetapkan batas minimalnya oleh pembentuk undang – undang, bergantung
pada klasifikasi (jenis) barang atau jasa yang diberikan oleh pelaku usaha itu.

Khusus untuk produk elektronika, pengaturan tentang layanan purnajual


dicantumkan dalam keputusan menteri perindustrian dan perdagangan
no.608/MPP/Kep/10/1991 tentang petun juk penggunaan (manual) dan kartu
jaminan/garansi dalam bahasa Indonesia bagi produk elektronika. dalam keputusan itu
disebutkan bahwa manual dan kartu jaminan/garansi produk elektronika tertentu perlu
dilakukan pendaftaran. Tata cara pendaftaran diatur dalam Keputusan Menteri
Perindustrian dan Pedagangan No.7/MPP/Kep/1/2000. Permohonan tanda pendaftaran
diajukan ke Direktorat Jenderal Industri Logam Mesin Elektronika dan Aneka u.p.
Direktur Industri Elektronika (untuk produk dalam negeri) atau ke Direktorat Jenderal
Perdagangan Dalam Negara u.p Direktur Bina Pasar (untuk produk asal impor).
Dalam peraturan yang disebutkan di atas, hanya sebelas jenis produk
elektronika yang wajibkan pendaftaran, yaitu (1) radio cassette/mini compo, (2) alat
perekam atau reproduksi, (3) pesawat televise, (4) printer, (5) monitor computer, (6)
lemari es (refrigerator), (7) mesin pengatur suhu udara (AC), (8) mesin cuci, (9)
kompor gas, (10) pompa air listrik untuk rumah tangga, dan (11) microwave oven.
Dalam keputusan ini tidak jelas alasannya mengapa produk elektronika yang
diwajibkan hanya dibatasi pada sebelas jenis tersebut.
Sebelum jenis produk yang beredar di Indonesia juga wajib dilengkapi kartu
jaminan/garansi dalam bahasa Indonesia. Kartu jaminan/garansi itu berlaku sekurang
– kurangnya 1 tahun, yang antara lain wajib memuat informasi mengenai ongkos
perbaikkan gratis selama garansi dan jaminan ketersediaan suku cadang.
Dalam peredarannya, produk elektronika yang mendapatkan tanda pendaftaran
itu wajib mencantumkan nomor surat tanda pendaftaran tersebut secara manual dan
kartu jaminan/garansi yang dikeluarkan oleh produsen atau inportir tadi. Kewajiban
ini berlaku selama yang bersangkutan menjalankan kegiatan usahanya di Indonesia.
Jika ada perubahan terhadap isi manual dan/atau kartu jaminan/garansinya sebagai
akibat pergantian atau penambahan model (tipe) produk, maka yang bersangkutan
harus mengajukan pendaftaran atas perubahan itu ke instansi yang sama.
Pelaku usaha dapat melakukan permohonan tanda pendaftaran manual dan
kartu jaminan/garansi ini baik secara individual maupun melalui asosiasi usaha atas
perubahan itu ke instansi yang sama.
Pelaku usaha dapat melakukan permohonan tanda pendaftaran manual dan
kartu jaminan/garansi baik secara individual maupun melalui asosiasi usaha terkait.
Permohonan juga dapat dilakukan memalui jasa pos.
Untuk kepentingan perlindungan konsumen, pemerintah pembentuk tim
pemerintah yang terdiri ats unsure kepolisian, kejaksaan, Ditjen Bea dan cukai,Ditjen
Pajak, Ditjen Industri Logam Mesin Elektronika dan Aneka, dab Ditjen Perdagangan
Dalam Negeri. Tim ini akan bekerja sam dengan asosiasi pelaku usaha terkait dan
lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, serta masyarakat konsumen
pada umumnya. Pelaku usaha yang menurut tim pemeriksa melakukan pelanggaran,
dapat dikenakan sanksi administrative, yakni pencabutan izin usaha industry (IUI)
atau tanda daftar industry (TDI). Bagi importer yang melanggar, sanksinya berupa
pencabutan angka mengenal omportir (API) atau angka pengenal importer terbatas
(APIT).
E. HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL
Hak atas kekayaan intelektual (intellectual property rights) dalam garis besarnya
mencakup hak cipta, merek, paten, dan desai produk industry. Tiga jenis hak yang
terakhr dikenal juga sebagai hak milik industry (industrial property rights). Di luar itu,
sering juga disebutkan jenis lain dari hak atas kekayaan intelektual, seperti layout
design, undisclosed information (trade secret), dan sebagainya.
Hak atas kekayaan intelektual adalah hak – hak yang diberikan kepada pelaku
usaha untuk monopoli. oleh karena itu, tidak mengherankan jika dalam Pasal 50
Undang – Undang No.5 Tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat, dinyatakan bahwa larangan monopoli itu tidak berlaku
untuk perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual, seperti lisensi,
paten, merek dagang, hak cipta, desain produk indutri, rangkaiaan elektronika
terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba.
UUPK tidak mengatur lagi bidang hak atas kekayaan intelektual (HAKI) ini.
Maksudnya, UUPK secara khusus mengecualikan pengaturan hak – hak konsumen
yang muncul dalam bidang HAKI. Ini berarti, untuk mengetahui hak – hak konsumen
bidang tersebut, kita perlu melihat pengaturannya dalam undang – undang yang lain,
yakni:
1. Undang – Undang No.14 Tahun 2001 tentang Paten

2. Undang – Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek

3. Undang – Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

Ketiga undang-undang tersebut dilengkapi pula dengan peraturan pelaksanaannya.


Sementara untuk desain produk industri sampai sekarang belum diatur secara khusus
dalam suatu undang-undang.
Dilihat dari kacamata konsumen, sebenarnya konsumen hanya berkepentingan
agar ciptaan,merek, dan paten yang diterapkan untuk suatu barang atau jasa adalah
benar-benar seperti apa yang ditampilkan. Konsumen akan dirugikan jika ciptaan,
merek, dan paten itu ternyata tidak seperti yang dibayangkan karena dipalsukan oleh
pelaku usaha.
Hokum dibidang HAKI ini termasuk subtansi hokum yang sangat pesat
perkembangannya. Ironisnya, perkembangan ini bukan karena pertimbangan untuk
melindungi konsumen, tetapi terlebih—lebih untuk melindungi produsen, kkhususnya
yang ada di luar negeri. Hal ini secara jelas tampak dari dimasukkannya perjanjian
mengenai Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs) sebagai salah
satu perjanjian utama yang dihasilkan oleh perundingan Putaran Uruguay itu setelah
diadakan ratifikasi, Oktober 1994 (Undang-Undang No. 7 Tahun 1994).
Karena perjanjian putaran Uruguay ini diadakan dalam kerangka pembentukan
Badan Perdagangan Dunia (Word Trade Organization) yang menjadi pengganti
GATT, maka prinsip-prinsip GATT dalam bidang HAKI ini juga diterapkan. Prinsip-
prinsip itu antara lain adalah prinsip.
1. National treatment, yakni pemilik hak atas kekayaan intelektual (HAKI) asing harus
diberi perlindungan yang sama dengan warga Negara dari Negara yang bersangkutan.

2. Most favoured-nation atau nondiskriminasi antara pemilik HAKI asing dari suatu
Negara dibandingkan dengan pemilik HAKI asing dari Negara lain

3. Transparancy, yang memaksa Negara anggota untuk lebih terbuka dalam ketentuan
perundang-undangan dan pelaksanaan anturan nasional dalam bidang perlindungan
HAKI.
Salah satu ketentuan yang barangkali termasuk baru dalam masalah HAKI ini, dan
sangat erat kaitannya dengan perlindungan konsumen adalah tentang indikasi geografi
dan indikasi asal. Mengenai hal ini UUPK mencantumkannya dalam Pasal 9 ayat (1)
huruf h.
Undang-undang No. 15 Tahun 2001 memberikan pengertian tentang indikasi
geografis sebagai : “tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang yang karena
factor lingkungan geografis termasuk alam, factor manusia, atau kombinasi dari kedua
factor tersebut memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan.
Indikasi geografis ini bukan termasuk merek, melainkan tanda, misalnya berupa eitket
atau label yang dilekatkan pada barang yang dihasilkan. Tanda teresbut dapat berupa
nama, tempat, daerah atau wilayah, kata, gambar, huruf atau kombinasi dari unsure-
unsur tersebut.
Contoh dari barang yang berindikasi geografis adalah anggur Champaigne, yang
artinya diproduksi oleh produsen anggur dari daerah Champaigne, Prancis. Produsen
dan pelaku usaha anggur manapun diluar daerah itu tidak diperkenalkan memakai
label “anggur Champaigne” dalam produk mereka. Untuk kondisi di Indonesia,
mungkin kita juga dapat menggunakan prinsip yang sama untuk produk seperti “dodol
Garut” atau “ martabak Bangka”, walaupun boleh jadi penerapannya tidak
sesederhana yang dibayangkan.
Sangat menarik, bahwa dalam indifikasi geografis menurut pasal 56 ayat (2)
Undang – Undang No. 15 Tahun 2001 juga di ajukan oleh kelompok konsumen dari
barang – barang tersebut. Di Indonesia memang belum lazim terbentuk asosiasi atau
kelompok konsumen dari barang – barang tertentu. Dimasa mendatang aka nada
kelompok konsumen yang menyebut dirinya sebagai “pencinta dodol Garut” atau “
konsumen tembakau Deli” yang secara sepihak bersedia mengajukan permintaan
perlindungan indikasi geografis atas produk yang mereka konsumsi.
Istilah lain yang diatur dalam Undang – Undang No. 15 Tahun 2001 adalah
tentang Indikasi asal. Dari Pasal 59, dapat disimpulkan ada dua factor pembedaanya
dengan indikasi geogarfis, yaitu:
1. Indikasi asal tidak didaftarkan, sekalipun memenuhi semua unsure untuk disebutkan
sebagai indikasi geografis, dan

2. Indikasi asal itu meliputi produk baik berupa barang maupun jasa.

Factor pertama memberikan petunjuk, indikasi asal tidak perlu didaftarkan karena
secara otomatis akan dilindungi. Oleh karena itu, seharusnya istilah “pemegang hak”
tidak digunakan karena memang hak atas indikasi asal itu. Akan lebih tepat jika
digunakan istilah “pemakai hak”.
Pemakai hak atas indikasi asal dapat saja meningkatkan haknya menjadi
pemegang hak, tetapi harus melalui putusannya pengadilan. Berbekal putusan itu, ia
dapat mengehentikan kegiatan usaha dari pelaku usaha lainnya.
Catatan lain tehadap indikasi asal ini adalah penggunaan kata barang dan jasa.
Padahal dalam indikasi geografis, Undang – Undang No.15 Tahun 2001 menyebutkan
indikasi itu hanya untuk produk barang. Kesalahan ini tentu cukup fundamental dan
sangat berpengaruh terhadap upaya perlindungan hak – hak konsumen.

F. ASURANSI

Yusuf Shofie mengutamakan bahwa bisnis perasuransian di Indonesia hampir sama


tuanya dengan bisnis perbankan. Nama – nama perusahaan asuransi jiwa seperti,
Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 tergolong perusahaan asuransi yang cukup
dikenal masyarakat. Nama – nama terkenal lain seperti Dharmala Manulife, Lippo
Life, New Hamshire Agung, Asuransi Cigna Indonesia, Ansuransi Astra Buana,
Ansuransi Jiwa Buana Putra, Sewu New York Life, dan sebagainya, tak mau kalah
dalam persaingan bisnis ini. Dibandingkan industry perbankan, industry perasuransian
kurang banyak dapat perhatian konsumen. Sebagian konsumen cenderung
memisahkan sebagian penghasilannya untuk disimpan dibank dari pada digunakan
untuk asuransi. Konsumen masih sering merasakan bahwa asuransi tak melindungi
aktivitasnya, bahkan cenderung merugikannya, meskipun kesan itu tak semuanya
benar.
Untuk mendorong kegiatan perarsuransian di Indonesia, tak tanggung –
tanggung pemerintah telah mengeluarkan paket kebijakan 20 Desember 1988. Setelah
dikeluarkannya paket ketentuan itu, terdapat sekitar 130 perusahaan asuransi, meliputi
asuransi kerugian, reasuransi, asuransi jiwa, dan asuransi social. Dalam pada itu,
tradisi berasuransi masih dianggap hal baru oleh sebagian masyarakat konsumen,
padahal sejalan dengan semakin konpleksnya aktifitas pelaku ekonomi (pemerintah,
perusahaan swasta, BUMN, Koprasi, dan konsumen), berbagai resiko senantiasa
mengincar konsumen setiap saat.
H.M.Purwo sudjibto memberikan pengertian resiko tidak lain adalah beban
kerugian yang diakibatkan karena suatu peristiwa diluar kesalahannya, misalnya
rumah seseorang tebakar sehingga pemiliknya mengalami kerugian. Inilah resiko
yang harus ditanggung pemiliknya. Resiko diartikan pula sebagai kerugianyang tidak
pasti, didalamnya terdapat dua unsure, yaitu ketidak pastian dan kerugian. Karena
besarnya resiko ini dapat diukur dengan nilai barang yang mengalami peristiwa diluar
kesalahan pemiliknya, maka resiko ini dapat di alihkan kepada perusahaan asuransi
kerugian dalam bentuk pembayaran klaim asuransi. Pengalihan resiko ini di imbangi
dalam bentuk pembayaran premi kepada perusahaan asuransi kerugian setiap bualan
atau tahun bergantung pada perjanjian yang tetuang dalam polis, manfaat peralihan
resiko inilah yang diperoleh konsumen.
Ditinjau dari sudut sifat dan berlakunya, asuransi dibedakan menjadi dua jenis.
Pertama, asuransi yang bersifat suka rela, misalnya asuransi kerbakaran, asuransi
kendaraan bermotor, asuransi jiwa, dan lain – lain. Kedua, asuransi yang bersifat
wajib berdasarkan ketentuan undang – undang misalnya pertanggungan wajib
kecelakaan penumpang ( Undang - undang No. 33 tahun 1964), petanggungan jawab
kecelakaan lalulintas jalan (Undang – Undang No.33 tahun 1964), jaminan social
tenaga kerja (diselenggarakan astek berdasarkan Undang – Undang No.33 tahun
1964), asuransi social pegawai negeri (dikelola PT.taspen berdasarkan peraturan
pemerintah No.25 tahun 1981), asuransi abri ( dikelola berdasarkan peraturan
pemerintah No.67 tahun 1991).
Keikut sertaan konsumen dalam berbagai program dan jenis asuransi sangat
pergantung pada pemahaman konsumen terhadap produk yang ditawarkan. Tidak
mudah mencari tahu seberapa jauh pemahaman konsumen pada umumnya tehadap
produk – produk asuransi. Menurut sementara pejabat departemen keuangan RI,
produk – produk asuransi tergolong rumit dan sukar dipahami, sehingga produk itu
tidak marketable. Persaingan mendapatkan konsumen memang terjadi dikalangan
perusahaan asuransi, apalagi dalam era perdagangan. Pada tahun 1991 pernah terjadi
persaingan premi perusahaan asuransi telah membuat suatu pilihan untuk
mendapatkan konsumen sebanyak – banyaknya tanpa memperhitungkan apakah
penetapan besarnya premi yang tidak proporsional tersebut dapat dipertanggung
jawabkan dari sisi underwriting, yaitu kemampuan untuk membayar polis kelak
akibatnya klaim asuransi konsumen ditolak tanpa alas an yang benar dan patut. Dalam
keadaan seperti ini, taka ada perlindungan resiko yang dialami konsumen sebaliknya
perusahaan asuransi sudah mendapatkan premi yang dibayarkan konsumen.
Terbitnya undang – undang No.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen
memberi jaminan supaya hak – hak tertanggung lebih diperhatikan. Keluhan –
keluhan konsumen sekarang sudah terjawab dengan hadirnya undang – undang
perlindungan konsumen, yang dibuat dalam semangat reformasi selain memberi
perlindungan kepada konsumen, juga menatapkan mereka dalam posisi tawar yang
lebih kuat.
Bedasarkan undang – undang ini konsumen berhak meminta keterangan segala
sesuatu yang akan diperjanjikan dalam asuransi dan selaku pihak penjual produk,
perusahaan asuransi harus bersedia menjelaskan isi dan makna kontrak dalam polis
hingga konsumen benar –benar memahaminya terhadap konsumen apakah pemakai
produk atau pengguna jasa yang merasa dirugikan karena diperjanjikan atau
sebagaiman mestinya undang – undang ini menjamin agar meraka mendapat
konpensasi atau ganti rugi.
Dalam undang – undang ini ditegaskan juga hak konsumen untuk memperoleh
informasi yang benar jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang atau jasa
yang dibelinya serta hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang atau
jasa yang digunakan. Masih banyak hak – hak yang diatur dalam UU sehingga posisi
konsumen semakin kuat. Sebagai pihak yang berjanji tertangguang dan penanggung
memiliki posisi yang setara dan tidak ada yang dibawah dan di atas. Hak – hak
lainnya yang ditegaskan dalam Undang – undang No.8 tahun1999 antara lain :
1. Hak atas kenyamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang atau jasa;

2. Hak untuk memilih barang atau jasa serta mendapatkan barang atau jasa tersebut
sesuai dengan nilai tukar dan kodis serta jaminan yang dijanjikan.

3. Hak untuk mendapatkan advokasi, pelindungan dan upaya penyelesaian sengketa


secara patuh;

4. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;

5. Hak untuk diberlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminasi;

6. Hak – hak yang diatur dalam ketentuan – ketentuan peraturan perundang – undangan
lain.

Asuransi termasuk jasa yang bisa dinikmati konsumen dengan terlebih dahulu
menandatangani polis sebagai bentuk persetujuan keikut sertaan dengan memenuhi
kewajiab membayar premi setiap bulan atau tahunnya. Permasalahan asuransi adalah
permalahan jamak yang penyelesaian akhirnya seringkali membuat konsumen diposisi
yang lemah. Hubungan antara perusahaan asuransi dan nasabahnya diatur dalam
perjanjian yang mengikat dan disepakati oleh kedua belah pihak. Namun, dalam
pelaksaannya posisi antara nasabah dan perusahan asuransi eringkali timpang, dimana
isi perjanjian dibuat dengan kata-kata yang sulit dipahami dan dibuat dalam tulisan
kecil-kecil(klausul baku) sehingga kesepakatan tersebut terjadi pada saat nasabah
hanya memahami sebagaian kecil dari perjanjian tersebut. Artinya, nasabah hanya
membaca sekilas perjanjian tersebut, tanpa dipahami secara mendalam konsekuensi
yuridisnya, yang membuat para asuransi sering tidak tahu apa yang menjadi haknya.
Padahal konsumen asuransi sebagaimana tertuang daam UU No. 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen mempunyai hak untuk mendapatkan kompensasi,
ganti rugi / penggantian, apabila barang atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan
perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
Keluhan dari konsumen berkaitan dengan klaim asuransi dapat kita lihat dari
contoh kasus yang ditujukan pada YLKI yakni sebagai berikut :
Bapak Imron saat ini sedang mengajukan klaim asuransi kepada PT ASKES atas
perawat di salah satu RS Swasta. Karena masuk RS melalui Gawat Darurat, klaim
dapat diterima. Akan tetapi, dari klaim Rp7,6 juta hanya dikabulkan sebesar Rp 590
ribuan saja dengan alas an obat-obatan yang dipakai bukan yang termasuk dalam
daftar PT ASKES. Dalam hal ini harusbagaimana bersikap, diterima atau ada jalan
lain. masalahnya adalah obat-obatan tersebut yang memilihkan dokter yang merawat.
Saran dari YLKI adalah melihat kembali perjanjian antara PT Askes dengan
Bapak Imron selaku konsumen dari perusahaan asuransi, apabila setelah dicermati
tidak ada aturan tentang pembatasan obat yang harus digunakan maka Bapak Imron
dapat meminta kompensasi sesuai apa yang menjadi kewajiban dari PT ASKES.
Bahwa pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan atau
garansi yang disepakati / yang diperjanjikan.
Apabila ada klausul yang mengatur tentang pembatasan obat yang harus diterima,
perlu dilihat apakah dibuat dalam bentuknya yang sulit terlihat, atau
pengungkapannya sulit dimengerti, sehingga PT ASKES dapat dituntut seperti apa
yang tertuang dalam Pasal 18 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen mengenai klausal baku.
Pelaku usaha dilarang mencantukan klausul baku yang letak atau bentuknya sulit
terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atatu yang pengungkapannya sulit
dimengerti.
Dalam hal ini pelaku usaha dapat diminta tanggung jawab atas kewajibannya
sesuai Pasal 7 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bahwa
kewajiban pelaku usaha adalah beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya,
memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai jaminan barang/jasa
serta member penjelasan penggunaan perbaikan dan pemeliharaan.
Kasus lain seperti yang diuraikan Yusuf Shofie dimana terkadang konsumen
pemegang polis asuransi jiwa yang belum waktunya mengajukan klaim asuransi,
dalam hal ini klaim uang pertanggungan setelah masa pertanggungan berakhir (dalam
praktik disebut pula “klaim habis kontrak”) diminta untuk memperbarui polis
asuransinya dengan alas an petugas penagih premi belum menyerahkan premi
asuransi si konsumem kepada perusahaan. Padahal konsumen sudah membayar
preminya. Pembaruan polis itu membawa akibat jumlah premi yang harus dibayarkan
meningkat.
Apabila konsumen menurut saja, konsekuensinya pengeluaran konsumen akan
bertambah perbulan atau pertahunnya, dan ia akan berada pada posisi yang sangat
dirugikan. Sebab kelalaian petugas penagih premi ( agen asuransi) dalam bentuk tidak
disetorkannya premi kepada perusahaan asuransi, dibebankan kepada konsumen.
Padahal menurut Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian,
petugas penagih premi, baik secara perorangan ataupun badan hokum, bertindak
untuk dan atas nama perusahaan asuransi. Konsekuensinya sepanjang petugas tersebut
telah diberi kuasa untuk itu, segala tindakannya menjadi tanggung jawab perusahaan
asuransi.
Petugas penagih premi memberikan bukti pembayaran premi asuransi yang sah
bersamaan atau pada saat konsumen menyerahkan pembayaran uang premi. Ini
membuktikan bahwa perusahaan asuransi tidak dibenarkan mengelak dari tanggung
jawabnya. Dalam hal petugas premi tidak menyerahkan uang premi konsumen kepada
perusahaan asuransi sekalipun telah diperingatkan atau bahkan malah menghilang,
petugas itu patut diduga melakukan penggelapan asuransi yang dapat diancam
hukkuman maksimal 15 tahun dan denda maksimal Rp 2,5 niliar berdasarka Undang-
Undang Usaha Perasuransian.
Karenanya bila konsumen didatangi petugas sales promotion perusahaan asuransi
jiwa, konsumen diharapkan tidak mudah tergiur terhadap berbagai manfaat mengikuti
asuransi tersebut. Tak jarang petugas itu ternyata masih relasi konsumen sehingga
mudah bagi konsumen untuk mengiyakannya. Padahal kedekatan petugas dengan
konsumen tidak akan berpengaruh terhadap berbagai konsekuensi hokum
keikutsertaan konsumen dalam asuransi. Apabila sudah menjumpai masalah, di mata
hokum tidak ada lagi kawan dan bukan kawan atau relasi dan bukan relasi.
Apabila tidak diminta atas desakan konsumen, sebagian perusahaan asuransi
enggan menjelaskan system perhitungan besarnya premi yang harus dibayarkan, nilai
tunai selama masa pertanggungan, serta syarat-syarat umum polis. Dianjurkan agar
konsumen tidak mudah tertarik dengan besarnya uang pertanggungan. baik dengan
menggunakan mata uang dalam negeri maupun luar negeri. Semakin besar uang
pertanggungan, semakin besar pula premi yang harus dibayarkan. Demikian pula,
semakin muda usia konsumen, semakin kecil besarnya premi.
Kecermatan menghitung besar nya premi dan membandingkannya dengan
penghasilan perbulan, menghindarkan konsumen dari tertunggaknya pembayaran
premi. Apabila besarnya premi yang ditawarkan sangat mempengaruhi pengeluaran
konsumen dalam sebulan atau setahun, lebih baik konsumen tunda dulu kebutuhan
berasuransi. Dalam hal pembayaran premi menunggak, asuransi menjadi lapse atau
perlindungan tak lagi dijamin. Selaanjutnya perusahaan asuransi akan membayarkan
nilai tunainya sesuai masa pertanggungan yang telah dijalani konsumen. Besarnya
nilai tunai itu tercantum dalam daftar atau table yang dilampirkan atau merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari polis asuransi. daftar atau table nilai tunai ini pada
prinsipnya wajib diinformasikan kepada konsumen, ketika petugas sales promotion
menawarkan produk asuransi.
Keterikatan hubungan konsumen dengan pihak perusahaan asuransi muncul sejak
adanya kata sepakat dari pihak konsumen kepada perusahaan asuransi. Secara umum
inilah yang disebut sebagai perjanjian konsensual. Keterikatan itu dibuktikan dengn
diterbitkan polis. Subtansi polis tunduk pada ketentuan-ketentuan tentang
pertanggungan yang diatutr dalam KItab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD),
dalam hal ini Pasal 302-308 KUHD, serta ketentuan-ketentuan instansi Pembina
perasuransian, dalam hal ini Menteri Keuangan Republik Indonesia. Sedangkan
kegiatan perusahaan asuransi tunduk pada Undang-Undang No. 2 Tahun 1992.
Seringkali dengan terbitnya polis itu berarti secara serta merta konsumen tunduk pada
syarat-syarat umum polis yang dibuat secara sepihak oleh perusahaan asuransi.
Semestinya ketentuan yang tertuang, baik dalam polis maupun syarat-syarat
umum polis dibuat secara berimbang dan tidak merugikan konsumen dan perusahaan
asuransi. Terutama dalam penetapan besarnya premi, tidak boleh merugikan
konsumen serta tidak mengancam kelangsungan perusahaan asuransi. Disamping itu
terdapat keharusan menyelesaikan klaim asuransi denagn sebaik-baiknya. Alasan
yang dicari-cari untuk menolak klaim konsumen seharusnya dihindarkan asas iktikad
baik harus diutamakan dalam pelaksanaan perjanjian asuransi.
Secara umum prinsip-prinsip yang berlaku dalam perjanjian asuransi, yaitu:
1. Prinsip Indemnity, yaitu perjanjian asuransi bertujuan memberikan ganti rugi
terhadap kerugian yang diderita oleh tertanggung yang disebabkan oleh bahaya
sebagaimana ditentuka dalam polis.
2. Prinsip kepentingan, yaitu pihak yang bermaksud akan mengasuransikan sesuatu
harus mempunyai kepentingan dengan objek yang diasuransikan, kepentingan mana
dinilai dengan uang.

3. Prinsip kejujuran sempurna yaitu kewajiban tertanggung menginformasikan segala


sesuattu yang diketahuinya mengenai objek yang dipertanggungkan secara benar.

4. Prinsip subrogasi, yaitu bila tertanggung telah menerima ganti rugi ternyata
mempunyai tagihan kepada pihak lain, maka tertanggung tidak berhak menerimanya,
dan hak itu beralih kepada penanggung

Agar is polis tidak merugikan tertanggung, pemerintah telah mengeluarkan


Keputusan Menteri Keuangan Indonesia No. 225/KMK.017/1993 tentang
Penyelenggaraan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan reasuransi. Dalam polis
dilarang pencantuman klausul yang dapat ditafsirkan bahwa tertanggung tidak dapat
melakukan upaya hokum, sehingga harus menolak pembayaran klaim. Dalam hal
dicantumkan klausul pengecualian tentang resiko yang ditutup, klausul itu harus
dicetak sedemikian rupa supaya mudah diketahui.
Sebagai contoh mengenai isi perjanjian asuransi, menguraikan mengenai hal-hal
yang biasanya dituangkan dalam polis asuransi jiwa dan ketentuan umum polis dan
harus diperhatikan adalah sebagai berikut:
1. Pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian, meliputi: penanggung, pemegang polis,
pihak yang ditunjuk untuk menerima uang pertanggungan.

2. Jenis asuransi.pertanggungan jiwa yang diikuti konsumen. Untuk ini diperlukan


pemahaman konsumen terhadap produk-produk asuransi jiwa yang ditawarkan.
Janagn heran, terdapat pula produk asuransi jiwa yang dikemas dengan program
beasiswa berencana. Jenis asuransi ini memberikan beasiswa untuk anak konsumen
pada waktu yang telah ditentukan selama masa pertanggungan. apabila
konsumen meninggal dunia dalam masa pertanggungan, disamping menerima uang
pertanggungan, anak konsumen akan tetap menerima beasiswa pada waktu yang telah
ditentukan dalam polis

3. Jumlah uang pertanggungan sesuai kesepakatan kedua belah pihak. Besarnya jumlah
uang pertanggungan ini akan berpengaruh pula terhadap besarnya premi yang
dibayarkan

4. Besarnya premi yang dibayarkan hendaknya dihitung dan dipahami secara teliti oleh
konsumen sesuai dengan kemampuan keuangan konsumen. Terlalu mudah menurut
besarnya premi yang ditawarkan petugas asuransi akan membuat kesulitan bagi
konsumen dikemudian hari, misalnya akan terjadi penunggakan pembayaran premi
asuransi

5. Masa berlakunya polis berkisar 10,15 atau 20 tahun. Penetapan lamanya masa
pertanggungan atas dasar kesepakatan kedua belah pihak, dengn sendirinya sama
dengan masa pembayaran premi asuransi jiwa yang diikuti konsumen

6. Manfaat asuransi, yakni sejumlah pembayaran dan kompensasi yang menjadi hak
konsumen atau pihak yang ditunjuk untuk menerima pembayaran, baik Karena
terjadinya resiko kematian pada tertanggung atau berakhirnya masa pertanggungan.
Besarnya manfaat yang diperoleh tertanggung / pihak yang ditunjuk bergantung pada
jenis asuransi jiwa yang diikuti. Pemahaman konsumen terhadap produk asuransi jiwa
mutlak sangat diperlukan.

7. Tata cara pembayaran manfaat asuransi. Dalam hal tertanggungmeninggal dunia,


maka pihak yang ditunjuk untuk menerima manfaat asuransi segera mengajukan
klaim pembayaran manfaat asuransi. pengajuan klaim dilengkapi persyaratan :

a. polis asuransi jiwa

b. bukti pembayaran premi terakhir

c. bukti identitas yang bersangkutan

d. surat keterangan dokter/ pejabat yang berwenang menerangkan sebab-sebab


meninggalnya tertanggung

berakhirnya masa pertanggungan dengan sendirinya mewajibkan perusahaan


asuransi membayarkan manfaat asuransi, meskipun tertanggung masih hidup.
Sebelum menerima pembayaran itu, tertanggung menyerahkan polis asuransi
jiwa, bukti pembayaran premi terakhir,dan bukti identitas yang bersangkutan
kepada perusahaan asuransi. Untuk kepentingan hokum konsumen, hendaknya
konsumen membiasakan tertib adminisdtrasi dengan meminta bahkan
mendesak perusahaan asuransi untuk memberikan bukti pengajuan
pembayaran pancairan klaim manfaat asuransi.
8. Tata cara penagihan/pembayaran premi asuransi, sebaiknya konsumen tetap
mewaspadai, atas berbagai bentuk pelayanan pembayaran premi yang ditawarkan
perusahaan asuransi. Kemudahan pelayanan pembayaran premi, seperti penagihan
premi ke alamat rumah/kantor konsumen, penagian premi lewat kartu kredit, dan
sebagainya, pada hakikatnya salah satu bentuk pemasaran asuransi. persoalan muncul
bila petugas penagih premi membawa lari uang premi tertanggung. Polis konsumen
dapat saja terancam batal dengan alas an pembayaran premi tertunggak. Bila
argumentasi konsumen merujuk pada kelalaian petugas, konsumen sering disudutkan
solah –olah menunggak pembayaran premi. Dalam syarat – syarat umum polis yang
tertuang dalam rumusan kalimat yang kecil – kecil (sering kali sulit dibaca saking
kecilnya). Perusahaan asuransi mematahkan argumentasi konsumen dengan rumusan
pasal :” penagihan premi asuransi di alamat penagihan atau melalui cara penagihan
lainnya yang diselenggarakan perusahaan asuransi, tidak membebaskan pemengang
polis dari kewajibannya untuk selalu melunasi premi asuransi”.

9. Pembatalan polis sering dilakukan secara sepihak oleh perusahaan asuransi dalam hal
terpenuhinya satu atau lebih syarat, sebagai berikut:

a. pemengang polis memeberikan keterangan atau persyaratan tidak jujur atau


sengaja dipalsukan pada waktu mengisi formulir – formulir yang disi0-
terlebih dahulu oleh perusahaan asuransi. [pemberian keterangan/ pernyataan
tersebut diberikan sebelum diterbitkannya polis (perjanjian) asuransi.

b. Selambat – lambatnya dalam masa leluasa (biasanya kurang lebih 3 bulan)


sejak tertunggaknya pembayaran premi tertanggung belum juga melunasi
pembayarannya.
Konsekuensi pembatalan polis berdasarkan alas an butir a, tidak memberikan
hak apa pun kepada konsumen untuk menuntut pembayaran, kecuali consumen dapat
membuktikan keterangan atau pernyataannya deiberikan secara jujur dan benar.
Sebaliknya pembatalan polis pada butir b, memberi hak kepada konsumenatas
pembayaran nilai tunai bila polisnya telah mempunyai nilai tunai. perincian besarnya
nilai tunai itu sesuai dengan daftar yang dilampirkan pada polis. Sangat dianjurkan
kepada konsumen untuk meminta penjelasan secara terperinci mengenai peritungan
nilai tunai itu sebelum konsumen menyutujui mengikuti asuransi jiwa. Pastikan pula
informasi nilai tunai yang diinformasikan itu tidak berbeda dengan yang dilampirkan
pada polis asuransi.
10. Penolakan pembayaran klaim manfaat asuransi terjadi dalam hal :

a. tertanggung meninggal dunia karena bunuh diri

b. tertanggung meninggal dunia karena kejahatan yang dilakukannya

c. tertanggung meninggal dunia karena perkelahian, kecuali sebagai pihak yang


membela diri.

Walaupun perusahaan asuransi menolak pembayarannya berdasarkan salah


satu alas an itu, perusahaan asuransi tetap berkewajiban membayar nilai tunainya atas
polis yang telah memiliki nilai tunai. Sebaliknya, bila tertanggung terbukti meninggal
dunia akibat kejahatan yang dilakukan pihak ketiga, yaitu pihak yang ditunjuk untuk
menerima uang pertanggung, maka pihak perusahaan asuransi dibebaskan untuk tidak
membayar apapun kepada pihak ketiga itu.
Dalamperaktik peransuransian, terdapat phenomena untuk mempersulit
pengajuan klaim manfaat asuransi jiwa. Berkas pengajuan klaim sudah dipenuhi pihak
yang ditunujuk untuk menerima manfaat asuransi, ternyata klaimnya ditunda sampai
memakan waktu 3 minggu atau bahkan lebih dengan alas an berkasnya tidak lengkap.
Tidak hanya itu, alas an – alas an sebagai mana disebut pada butir 9 a dan b diatas
digunakan perusahaan asuransi dengan iktikad baik, yaitu menolak klaim yyang
seharusnya dibayarkan. Apabila ini sering terjadi, masyarakat konsumen akan
semakin jauh dari asuransi jiwa. Lebih baik menyimpan dibank yang sewaktu – waktu
bisa diambil kembali ketika diperlukan.
Pada tahun 1996 – 1998 YLKI menerima beberapa pengaduan asuransi yang
dapat diringkas sebagai berikut :
1. penyelewengan uang pembayaran premi konsumen oleh petugas asuransi yang
berakibat dilakukannya “pemutihan” polis asuransi konsumen dengan kondisi
yang baru. Premi yang akan dibayarkan menjadi lebih tinggi dari sebelm
dilakukan pemutihan.

2. Ketidak adilan subtansi syarat – syarat umum polis, yaitu bila tertanggung
mengalami kecelakaan yang berakibat cacat tetap sebagian diberikan santunan
sesuai persentase dalam table polis sebaliknya bila berakibat cacat total tetap
tidak diberikan santunan apapun.

3. Penetapan atau pematokan curve secara sepihak terhadap klaim nilai tunai dan
jatuh tempo pada polis asuransi jiwa yang dippertanggungkan dengan mata uang
asing, terutama dolar amerika serikat padahal polis dan ketentuan umum, polis
menentukan bahwa pembayaran premi asuransi atau klaim asuransi
diperhitungkan menurut kurs Bank Indonesia atau kurs yang berlaku sesuai
pengumuman otoritas moneter pada saat jatuh tempo.

Perusahaan asuransi seharunya melayani dan melindungi sebaik –baiknya


konsumen yang mengalami kejadian ini, bukan dengan melakukan pembatalan
polisnya untuk kemudian diikuti dengan pembaruan polis. Pembatalan polis seperti ini
tentunya sangat merugikan konsumen dengan melakukan pembaruan polis, uang
premi yang dibayarkan oleh konsumen menjadi semakin tinggi: apalagi semakin tua
usia konsumen, semakin besar premi yang harus dibayarkannya, tindakan
pembatalan polis ini sama saja dengan sikap mengelakn dari tanggung jawab yang
dibebakan hokum kepada perusahaan asuransi.bukan kah petugas premi, baik
perorangan atau pun badan hokum, bertindak untuk dan atas nama perusahaan
asuransi..? konsekuensinya, tindakkan petugas itu menjadi tanggung jawab
perusahaan asuransi.
Menyikapi hak konsumen atas informasi produk asuransi, seharusnya pihak
asuransi tidak hanya membekali petugas pemsarannya dengan berbagai keunggulan
produk asuransinya tetapi mengenai juga ketentuan umum polis, tata cara perhitungan
premi dan nilai tunai. Yang terakhir ini wajib pula diinformasikan kepada calon
konsumen secara jujur da proposional. Hendaknya petugas asuransi tidak mendesak
konsumen untuk segera mengikuti perjanjian asuransi sebelum calon konsumen
mempelajari dasn mengalami betul seluk beluk produk asuransi yang ditawarkan
informasi yang disampaiikan secara tidak jujur dan proposioanal kepada calon
konsumen sebenarnya menunujukan adanya dugaan kejahatan penipuan terhadap
konsumen. Iklim deregulasi hokum, bahkan Undang – undang No. 8 Tahun 1999
tentang perlindungan konsumen belum cukup untuk melindungi konsumen. Ibarat
berjalan di atas buih air, konsumen harus tetap was pada.
Semartono selaku kepala disperindag sekaligus ketua BPSK kota malang
memberikan masukan agar konsumen lebih berhati – hati serta teliti dalam membeli
produk asuransi, karena terkadang informasi awal dari suatu produk asuransi belum
belum tentu sesuai dengan yang dijanjikan dalam pelksanaannya sebaliknya meminta
bukti otentik sebagai dokumen tertulis pasda waktu pembayaran premi.
Mengenai perjanjian asuransi terkadang terjadi karena rotasi petugas asuransi
maka polis tersebut hilang dalam kerangka hokum perusahaan asuransi harus
melakukan pengawasan terhadap petugasnya yang ada dilapangan sebagai bentuk
tanggung jawab dan perlindungan hokum bagi konsumen dengan memberikan
informasi yang benar dalam polis perusahaan asuransi dikelola lebih proposional,
melakukan praktik dengan benar, tidak ada perebutan nasabah di lapangan, efesiensi
birokrasi dalam pencairan klaim, serta ada pelayanan optimal bagi konsumen.
Menurut Laily Zuriah selaku sekretaris BPSK Kota malang untuk kasus
asuransi, dari isi perjanjian memang menjanjikan bagi konsumen karena masing –
masing perusahaan asuransi mempunyai aturan – aturan sendiri, namun konsumen
harus hati – hati, lebih teliti dan menyerap informasi produk dari perusahaan asuransi
tersebut. Apabila konsumen ragu – ragu supaya tidak memberi harapan pada pihak
pemasaran. Laily memperjelaskan dengan memberikan contoh mengenai perusahaan
asuransi swasta, premi dari tertanggung (konsumen) berupa emas. Namun domisili
perusahaan asuransi tersebut tidak tetap, tempat kedudukan tidak jelas, kurang
kompeten, modal tidak jelas akhirnya waktu jatuh tempo premi yang berupa emas
tersebut dilarikan. dalam kasus ini konsumen jelas dirugikan karena terikat dengan
perjanjian yang tidak jelas dan dalam pelaksanaannya tidak ada iktikad baik dari
pelaku usaha.
Menurut Aloysius R. Entah salah satu pakar hokum perjanjian dan akademisi
di malang menjelaskan bahwa dengan pelaksanaan “asas kebebasan berkontrak” yang
melahirkan perjanjian baku termasuk asuransi polis asuransi secara umum terbatasi
atau dikendalikan oleh ketentuan – ketentuan sebagi berikut:
1. Pasal 1337 BW menentukan: suatu kausa adalah terlarang, apabila kausa itu
dilarang oleh undang – undang atau bertentangan dengan modal atau dengan
ketertiban umum. pasal ini ditafsirkan bahwa isi atau klausul – klausul suatu
perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang – undang, modal, dan/atau
ketertiban umum.

2. Pasal 1338 ayat (3) BW menentukan semua perjanjian yang dibuat pihak – pihak
harus dilaksanakan dengan iktikad baik.

3. Pasal 1339 BW menentukan : perjanjian – perjanjian tidak hanya mengikat untuk


hal – hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya tetapi juga untuk segala
sesuatu yang menurut sifat dari persetujuan itu diharuskan oleh kepatutan,
kebiasaan, atau undang – undang. Pasal ini haruslah ditafsirkan bahwa bukan
hanya ketentuan kebiasaan dan undang – undang yang membolehkan atau berisi
suruhan saja yang mengikat atau berlaku bagi suatu perjanjian tetapi juga
ketentuan yang melarang mengikat atau berlaku bagi perjanjian itu. Dengan kata
lain, larangan yang ditentukan oleh kepatutan, kebiasaan dan undang – undang
merupakan juga syarat – syarat dari satu perjanjian.

Terhadap syarat – syarat baku terhadap masyarakat kita belum memperhatikan


kecuali mereka yang pernah mengajukan klaim ganti rugi. Oleh karena itu perjanjian
baku dalam hal ini termasuk polis asuransi mengandung aspek positif dan asfek
negative. Aspek positifnya ialah perjanjian baku yang dibuat sepihak oleh penangguh
mengurangi biaya pembuatan dan waktu berunding di antara para pihak. Aspek
negatifnya pihak yang berminat, memakai jasa konsumen, pelanggan dan lain – lain
tidak dapat berbuat sesuatu kecuali terpaksa menerima persyaratan yang disodorkan
embel – embel take it or leave it baru menyadari kalau dia berada dalam posisi yang
lemah kalau mengalami kerugian.

BAB 8
PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN
A. PENYELESAIAN SENGEKETA DIPERADILAN UMUM

Sengketa konsumen dibatasi pada sengketa perdata. Masuknya suatu sengketa


kedepan pengadilan bukanlah karena kegiatan sang hakim, melainkan karena inisiatif
dari pihak yang sengketa dalam hal ini pengugat baik itu produsen atau pun konsumen
pengadilan yang memberikan pemecahan atas hokum perdata yang tidak dapat
bekerja di antara para pihak secara suka rela. Istilah produsen berperkara didahului
dengan pendaftaran surat gugatan dikepanitraan perkara perdata dipengadilan negeri.
Sebelumnya itu berarti surat gugatan harus sudah dipersiapkan terlebih dahulu secara
teliti dan cermat. Pasal 45 ayat 1 UUPK menyatakan :
1. Setiap konsumen yang dirugikan dapat mengugat pelaku usaha melalui
lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku
usaha atau melalui pradilan yang berada di lingkungan umum.
2. Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau
diluar pengadilan berdasarkan pilihan suka rela para pihak yang bersengketa.

3. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat 2


tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagai mana diatur dalam
undang – undang.

4. Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar


pengadilan gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya
tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh pihak yang
bersengketa.

Dari pernyataan pasal 45 ayat 3 jelas seharusnya bukan hanya tanggung jawab
pidana yang tetap dibuka kesempatannya untuk diperkarakan melainkan juga
tanggung jawab lainnya, misalnya dibidang administrasi Negara, konsumen yang
dirugikan haknya, tidak hanya diwakilkan oleh jaksa dalam penuntutan peradilan
umum untuk kasus pidana tetapi ia sendiri dapat juga mengugat pihak lain lingkungan
peradilan tata usaha Negara jika terdapat sengeketa administrasi didalamnya. Hal
yang dikemukan terakhir ini dapat terjadi, misalnya dalam kaitannya dengan
kebijakan aparat pemerintah yang ternyata dipandang merugikan konsumen secara
individual bahkan, mengingat makin banyaknya perusahaan multinasional yang
beroprasi di Indonesia juga tidak menutup kemungkinan ada konsumen yang
menggugat pelaku usaha diperadilan Negara lain, sehingga sengketa konsumen ini
pun dapat bersifat trans nasional.
Dalam kasus perdata diperadilan negeri . pihak konsumen yang diberikan hak
konsumen mengajukan gugatan menurut pasal 46 UUPK adalah :
1. Seorang konsumen yang dirugikan yang bersangkutan

2. Sekelompok konsumen yang mempunyai yang sama

3. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu


berbentuk badan hokum atau yayasan yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan
dengan tegas bahwa tujuan yang didirikannya organisasi itu ialah untuk kepentingan
perlindungan konsumen dan melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggran dasar.

4. Pemerintah terkait jika barang dan jasa yang konsumsi mengakibatkan kerugian
materi yang besar dan korban yang tidak sedikit.

You might also like