Professional Documents
Culture Documents
OLEH:
CELINA TRI SIWI KRISTIYANTI, S.H., M.Hum.
OLEH:
YOPI PEBRI (hlm 1-32)
02091401012
FARID AKBAR (hlm 33-68)
02091401089
INDAH PERMATA (hlm 69-100)
02091401043
FIRANDHIKA (hlm 101-134)
02091401073
BUNGA SUKMAWATI (hlm 135-170)
02091401049
LANIARI RIZKI (hlm 171-202)
02091401193
A.PENGANTAR
Hukum perlindungan konsumen dewasa ini mendapat cukup perhatian karena
menyangkut aturan-aturan guna mensejahterakan masyarakat, bukan saja masyarakat
selaku konsumen saja yang mendapat perlindungan, namun pelaku usaha juga
mempunyai hak yang sama untuk mendapat perlindungan, masing-masing ada hak
dan kewajiban. Pemerintah berperan mengatur, mengawasi dan mengontrol, sehingga
tercipta sistem yang kondusif saling berkaitan satu dengn yang lain dengan demikian
tujuan menyejahterakan masyarakat secara luas dapat tercapai.
Perhatian terhada perlindungan konsumen, terutama di amerika serikat (1960-
1970-an) mengalami perkembangan yang sangat signifikan dan menjadi objek kajian
bidang ekonomi, sosial, politik, dan hukum. Banyak sekali artikel dan buku yang
ditulis berkenaan dengan gerakan ini. Di Amerika Serikat bahkan pada era tahun-
tahun tersebut berhasil diundangkan banyak peraturan dan dijatuhkan putusan-putusan
hakim yang memperkuat kedudukan konsumen.
Fokus gerakan perlindungan konsumen (konsumerisme) dewasa ini sebenar nya
masih paralel dengan gerakan pertengahan abad ke-20. Di indonesia, gerakan
perlindungan konsumen menggema dari gerakan serupa di Amerika Serikat. YLKI
yang secara populer di pandang sebagai perintis advokasi konsumen di indonesia
berdiri pada kurun waktu itu, yakni 11 mei 1973. Gerakan di indonesia ini termasuk
cukup responsif terhadap keadaan, bahkan mendahului Resolusi Dewan Ekonomi dan
Sosial PBB (ECOSOC) No. 2111 Tahun 1978 tentang Perlindungan Konsumen.
Sekali pun demikian, tidak berarti sebelum ada YLKI perhatian terhadap
konsumen di Indonesia sama sekali terabaikan. Beberapa produk hukum yang ada,
bahkan yang diberlakukan sejak zaman kolonial menyinggung sendi-sendi penting
perlindungan konsumen. Dilihat dari kuantitas dan materi muatan produk huum itu
dibanding kan dengan keadaan di negara-negara maju (terutama Amerika Serikat),
kondisi di indonesia masih jauh menggembirakan. Walaupun begitu, keberadaan
peraturan hukum bukan satu-satunya ukuran untuk menilai keberhasilan gerakan
perlindungan konsumen. Gerakan ini seharusnya bersifat massal dan membutuhkan
kemauan politik yang besar untuk mengapliksikannya.
Secara umum,sejarah gerakan perlindungan konsumen dapat dibagi dalam empt
tahapan.
1. Tahapan I(1881-1914)
Kurun waktu ini titik awal munculnya kesadaran masrayakat untuk melakukan
gerakan perlindungan konsumen. Pemicunya, histeria massal akibat novel karya
Upton Sinclair berjudul The jungel, yang menggambarkan cara kerja pabrik
pengolahan daging di Amerika Serikat yang sangat tidak memenuhi syarat-syarat
kesehatan.
2. Tahapan II (1920-1940)
Pada kurun waktu ini muncul pula buku berjudul Your Money’s Worth karya
chase dan schlink. Karya ini mampu menggugah konsumen atas hak-hak mereka
dalam jual beli. Pada kurun waktu ini muncul slogan: fair deal, best buy.
3. Tahapan III (1950-1960)
Pada dekade 1950-an ini muncul keinginan untuk mempersatukan gerakan
perlindungan konsumen dalam lingkup internasional. Dengan diprakarsai oleh
wakil-wakil gerakan konsumen dari amerika Amerika Serikat, Inggris, Belanda,
Australia, dan Belgia, pada 1 april 1960 berdirilah internasional Organisasi of
Consumer Union. Semula organisasi ini berpusat di den haag, Belanda, lalu
pindah ke Londen, Inggris, pada 1993. dua tahun kemudian IOCU mengubah
namanya menjadi Consumen Internasional (CI).
4. Tahapan IV (pasca-1965)
Pasca 1965 sebagai masa pemantapan gerakan perlindungan konsumen, baik di
tingkat regional maupun internasional. Sampai saat ini dibentuk lima kantor
regional, yakni Amerika Latin dan karibia berpusat di Cile, Asia pasifik berpusat
di malaysia, Afrika berpusat di Zimbabwe, Eropa Timur dan Tengah berpusat di
Inggris dan negara-negara maju juga berpusat di London, Inggris.
BAB 2
PENGERTIAN HAK DAN KEWAJIBAN KONSUMEN SERTA
PELAKU USAHA
Article 1
The producer shall be liable for damage caused by a defect in his product.
Article 9
For the purepos of article 1, “damage” means:
(a) damage caused by death or by personal injuries;
(b) damage to, or destruction of, any item of property other than the detective
product it self, with a lower threshold of 500 ECU, provided that the item of
property:
(i) is a type ordinarily for private use or consumption, and
(ii) was used by the injured person mainly for his own private use or
consumtion.
This article shall be without prejudice to national provisions relating to non material
damage.
dapat disimpulkan bahwa konsumen berdasarkan directive adalah pribadi yang
menderita kerugian (jiwa, kesehatan, maupun benda) akibat pemakaian produk yang
cacat untuk keperluan pribadinya. Jadi, konsumen yang dapat memperoleh
kompensasi atas kerugian yang dideritanya adalah “pemakaian produk yang cacat
untuk keperluan pribadi”. Perumusan ini sedikit lebih sempit dibandingkan dengan
pengertian serupa di Amerika Serikat.
Tampaknya perlakuan hukum yang lebih bersifat mengatur dan/atau mengatur
dengan diimbuhi perlindungan, merupakan pertimbangan tentang perlunya
pembedaan dari konsumen itu. Az Nasution menegaskan beberapa batasan konsumen,
yakni:
a. konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa digunakan
untuk tujuan tertentu.
b. Konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau jasa
untuk digunakan dengan tujuan membuat barang/jasa lain atau untuk
diperdagangkan (tujuan komersial)
c. Konsumen akhir adalah setiap orang alami yang mendapatkan dan
menggunakan barang/jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya pribadi,
keluarga dan atau rumah tangga dan tidak untuk diperdagangkan kembali
(nonkomersial).
Bagi konsumen antara, barang/jasa itu adalah barang/jasa kapital, berupa bahan
baku, bahan penolong atau komponen dari produk lain yang akan diproduksinya
(produsen). Kalau itu distributor atau pedagang berupa barang setengah jadi atau
barang jadi yang menjadi mata dagangannya. Konsumen antara ini mendapatkan
barang/jasa itu dipasar industri atau pasar produsen.
Sedang bagi konsumen akhir, barang/jasa itu adalah barang/jasa konsumen, yaitu
barang/jasa yang biasanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan pribadi, keluaga
atau rumah tangganya (produk konsumen). Barang/jasa konsumen ini umumnya
diperoleh dipasar-pasar konsumen, dan terdiri dari barang/jasa yang umumnya
digunakan di rumah tangga masyarakat.
Unsur untuk membuat barang/jasa lain dan/atau diperdagangkan kembali
merupakan pembeda pokok, antara lain konsumen antara (produk kapital) dan
konsumen akhir (produk konsumen), yang penggunanya bagi konsumen akhir adalah
untuk dirinya sendiri, keluarga atau rumah tangganya. Unsur inilah, yang pada
dasarnya merupakan beda kepentingan masing-masing konsumen yaitu, penggunaan
suatu produk untuk keperluan atau tujuan tertentu yang menjadi tolak ukur dalam
menentukan perlindungan yang diperlukan.
Sebagaimana disinggung sebelumnya, bagi konsumen antara yang sebenarnya
adalah pengusaha atau pelaku usaha, kepentingan mereka dalam menjalankan usaha
atau profesi mereka tidak “tergangu” oleh perbuatan persaingan-persaingan yang
tidak wajar, perbuatan penguasaan pasar secara monopoli atau oligopi, dan yang
sejenis dengan itu. Mereka memerlukan kaedah-kaedah hukum yang mencegah
perbuatan-perbuatan yang tidak jujur dalam bisnis, dominasi pasar dengan berbagai
praktik bisnis yang menghambat masuknya perusahaan baru atau merugikan
perusahaan lain dengan cara-cara yang tidak wajar.
Bagi konsumen akhir (selanjutnya disebut konsumen), mereka memerlukan
produk konsumen (barang/jasa konsumen) yang aman bagi kesehatan tubuh atau
keamanan jiwa, serta pada umumnya untuk kesejahteraan keluarga atau rumah
tangganya. Karena itu yang diperlukan adalah kaedah-kaedah hukum yang menjamin
syarat-syarat aman setiap produk konsumen bagi konsumsi manusia, dilengkapi
dengan informasi yang benar, jujur, dan bertanggung jawab.
Karena pada umumnya konsumen tidak mengetahui dari bahan apa suatu produk
itu dibuat, bagaimana proses pembuatannya serta strategi pasar apa yang dijalankan
untuk mendistribusikannya, maka diperlukan kaedah hukum yang dapat melindungi.
Perlindungan itu sesungguhnya berfungsi menyeimbangkan kedudukan konsumen
dan pengusaha, dengan siapa mereka saling berhubungan dan saling memebutuhkan.
Keadaan seimbang diantara para pihak yang saling berhubungan, akan lebih
menerbitkan keserasian dan keselarasan matriil, tidak sekedar formil, dalam
kehidupan manusia Indonesia sebagaimana dikehendaki oleh falsafah bangsa dan
negara ini.
a. setiap orang
subjek yang disebut sebagai konsumen adalah setiap orang yang berstatus sebagai
pemakai barang/jasa. Istilah “orang” sebetulnya menimbulkan keraguan, apakah
hanya orang individual yang lazim disebut natuurlijke persoon atau termasuk juga
badan hukum (rechtpersoon). Hal ini berbeda dengan pengertian yang diberikan untuk
“pelaku usaha” dalam pasal 1 angka (3), yang secara eksplisit membedakan kedua
pengertian persoon diatas, dengan menyebutkan kata-kata: “orang perseorangan atau
badan usaha“. Tentu yang paling tepat tidak membatasi pengertian konsumen itu
sebatas pada orang perseorangan. Namun konsumen harus juga mencakup juga badan
usaha dengan makna usaha yang lebih luas daripada badan hukum.
UUPK tampaknya berusaha menhindari penggunaan kata “produsen“ sebagai
lawan kata “konsumen“. Untuk itu, digunakan kata “pelaku usaha” yang bermakna
lebih luas. Istilah terakhir ini dipilih untuk memberi arti sekaligus bagi kreditur
(penyedia dana), produsen, penyalur, penjual, dan terminologi lain yang lazim
diberikan. Bahkan, untuk kasus-kasus yang spesifik seperti dalam kasus periklanan,
pelaku usaha ini juga mencakup perusahaan media, tempat iklan ditayangkan.
b. pemakai
sesuai dengan penjelasan pasal 1 angka (2) UUPK, kata “pemakai“ menekankan,
konsumen adalah konsumen akhir (ultimate consumer). Istilah “pemakai” dalam hal
ini tepat digunakan dalam rumusan ketentuan tersebut, sekaligus menunjukan,
barang/jasa yang dipakai tidak serta merta hasil dari transaksi jual beli. Artinya,
sebagai konsumen tidak selalu harus memberikan prestasinya dengan cara membayar
uang untuk memperoleh barang/jasa itu. Dengan kata lain, dasar hubungan hukum
antara konsumen dan pelaku usaha tidak perlu harus kontraktual (the privity of
contract).
Sebagai ilustrasi dari uraian itu dapat diberikan contoh berikut, seseorang
memperoleh paket hadiah atau parsel (parcel) pada hari ulang tahunnya. Isi paketnya
makanan dan minuman yang dibeli si pembeli di pasar swalayan.
Pertanyaannya, apakah penerima paket seorang konsumen juga? Jika ia
menggugat pasar swalayan itu, apakah ada dasar gugatan yang cukup kuat baginya?
Hal ini patut dipertanyakan, jika menggunakan prinsip the privity of contract tentu
tidak ada hubungan kontraktual antara penerima hadiah dan pihak pasar swalayan
karena pembeli parsel adalah orang lain. Dengan demikian, UUPK sedah selayaknya
meninggalkan prinsip yang sangat merugikan konsumen.
Konsumen memang tidak sekedar pembeli (buyer atau koper) tetapi semua orang
(perseorangan atau badan usaha) yang mengonsumsi barang/jasa. Jadi, yang paling
penting terjadinya transaksi konsumen (consumer transaction) berupa peralihan
barang/jasa, termasuk peralihan kenikmatan dalam menggunakannya.
Transaksi konsumen memiliki banyak sekali metode. Dewasa ini, sudah lazim
terjadi sebelum suatu produk dipasarkan, terlebih dahulu dilakukan pengenalan
produk kepada konsumen. Istilahnya product knowladge. Untuk itu, dibagikan sampel
yang diproduksi khusus dan sengaja tidak diperjualbelikan. Orang yang mengonsumsi
produk sampel juga merupakan konsumen. Oleh karena itu wajib dilindungi hak-
haknya.
Mengartikan konsumen secara sempit, seperti hanya sebagai orang yang
mempunyai hubungan kontraktual pribadi (in privity of contract) dengan produsen
atau penjual adalah cara pendefinisian konsumen yang paling sederhana. Di Amerika
Serikat cara pandang seperti itu telah lama ditinggalkan, walau baru dilakukan pada
awal abad ke-20. konsumen tidak lagi diartikan sebagai pembeli dari suatu
barang/jasa, tetapi termasuk bukan pemakai langsung, asalkan memang dirugikan
akibat penggunaan suatu produk.
e. bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, makhluk hidup lain
transaksi konsumen ditujukan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain
dan makhluk hidup lain. Unsure yang diletakkan dalam defenisi itu mencoba untuk
memperluas pengertian kepentingan. Kepentingan ini tidak sekedar ditujukan untuk
diri sendiri dan keluaga, tetapi juga barang/jasa itu diperuntukan bagi orang lain
(diluar diri sendiri dan keluarganya), bahkan untuk makhluk hidup lain, seperti hewan
dan tumbuhan. Dari sisi teori kepentingan, setiap tindakan manusia adalah bagian dari
kepentingannya. Oleh sebab itu, penguraian unsur itu tidak menambah makna apa-apa
karena pada dasarnya tindakan memakai suatu barang/jasa (terlepas ditujukan untuk
siapa dan makhluk hidup lain), juga tidak terlepas dari kepentingan pribadi. Seseorang
yang membeli makanan untuk kucing peliharaannya, misalnya, berkaitan dengan
kepentingan pribadi orang itu untuk memiliki kucing yang sehat.
2. hak-hak konsumen
istilah “perlindungan konsumen” berkaitan dengan perlindungan hukum. Oleh
karena itu, perlindungan konsumen mengandung aspek hukum. Adapun materi yang
mendapatkan perlindungan itu bukan sekadar fisik, melaikan terlebih-lebih hak-
haknya yang bersifat abstrak. Dengan kata lain, perlindungan konsumen identik
dengan perlindungan yang diberikan hukum tentang hak-hak konsumen.
Secara umum dienal ada 4 (empat) hak dasar konsumen, yaitu
1. hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety);
2. hak untuk mendapatkan informasi ( the right to be informed);
3. hak untuk memilih ( the right to choose);
4. hak untuk didengar ( the right to be heard).
Empat hak dasar ini diakui secara internasinaol. Dalam perkembangannya,
organisasi-organisasi konsumen yang tergabung dalam the international organization
of consumers unions (IOCU) menambahkan lagi beberapa hak, seperti hak
mendapatkan pendidikan konsumen, hak mendapatkan gati kerugian, dan hak
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Namun, tidak semua organisasi konsumen menerima penambahan hak-hak
tersebut. Mereka bebas untuk menerima semua atau sebagian. YLKI, misalnya,
memutuskan untuk menambah 1 hak lagi sebagi pelengkap hak dasar konsumen, yaitu
hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sehingga keseluruhannya
dikenal sebagai panca hak konsumen.
Dalam UUPK, empat hak dasar yang dikemukakan oleh John F. Kennedy tersebut
juga di akomodasi.
Hak konsumen untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, tidak
dimasukkan dalam UUPK ini karena UUPK secara khusus mengecualikan hak-hak
atas kekayaan intelektual (HAKI) dan dibidang pengolaan lingkungan. Tidak jelas
kenapa kedua bidang hukum ini yang di kecualikan secara khusus, mengingat sebagai
undang-undang paying (umberella act), UUPK seharusnya dapat mengatur hak-hak
konsumen itu secara komprehensif.
Langkah untuk meningkatkan martabat dan kesadaran konsumen harus diawali
dengan upaya untuk memahami hak-hak pokok konsumen, yang dapat dijadikan
sebagai landasan perjuangan untuk mewujudkan hak-hak tersebut.
Hak konsumen sebagaimana tertuang dalam pasal 4 UU No. 8 tahun 1999 adalah
sebagi berikut:
a. hak atas kenyamanan dan keselamatan dalam mengonsumsi barang/jasa;
b. hak untuk memilih barang/jasa serta mendapatkan barang/jasa tersebut sesuai
dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c. hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang/jasa
d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang/jasa yang
digunakan;
e. hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f. hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. hak untuk mendapatkan konpensasi ganti rugi/ penggantian, apabila
barang/jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana
mestinya;
h. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Disamping hak-hak dalam pasal 4, juga terdapat hak-hak konsumen yang
dirumuskan dalam pasal berikutnya, khususnya dalam pasal 7 yang mengatur tentang
kewajiban pelaku usaha. Kewajiban dan hak merupakan antinomi dalam hukum,
sehingga kewajiban pelaku usaha dapat dilihat sebagai hak konsumen.
Selain hak yang dibutuhkan itu, ada juga hak untuk dilindungi dari akibat negatif
persaingan curang. Hal ini berangkat dari pertimbangan, kegiatan bisnis yang
dilakukan tidak secara jujur, yang dalam hukum dikenal dengan terminologi
“persaingan curang“ (unfair competition).
Dalam hukum positif indonesia, masalah persaingan curang (dalam bisnis) ini
diatur secara khusus pada pasal 382 bis kitab undang-undang hukum pidana.
Selanjutnya, sejak 5 maret 2000 diberlakukan juga UU No. 5 tahun 1999 tentang
larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Ketentuan-ketentuan ini
sesungguhnya diperuntukan bagi sesama pelaku usaha, tidak bagi konsumen
langsung. Kendati demikian, kompetisi tidak sehat diantara mereka pada jangka
panjang pasti berdampak negatif bagi konsumen karena pihak yang dijadikan sasaran
rebutan adalah konsumen itu sendiri. Disini letak arti penting mengapa hak ini perlu
dikemukakan, agar tidak berlaku pepatah: “dua gajah berkelahi, pelanduk mati di
tengah-tengah“.
Akhirnya, jika semua hak-hak yang disebutkan itu disusun kembali secara
sistematis (mulai dari yang diasumsikan paling mendasar), akan diperoleh urutan
sebagai berikut:
a. Hak konsumen Mendapatkan Keamanan
Konsumen berhak mendapatkan keamanan dari barang dan jasa yang ditawarkan
kepadanya. Produk barang dan jasa itu tidak boleh membahayakan jika
dikonsumsi sehingga konsumen tidak dirugikan baik secara jasmani dan rohani.
Hak untuk memperoleh keamanan ini penting ditempatkan pada kedudukan
utama karena berabad-abad berkembang suatu falsafah berpikir bahwa konsumen
(terutama pembeli) adalah pihak yang wajib berhati-hati, bukan pelaku usaha.
Falsafah yang disebut caveat emptor (let the buyer beware) ini mencapai
puncaknya pada abad ke-19 seiring berkembangnya paham rasional
individualisme di Amerika Serikat. Dalam perkembangannya kemudian, prisip
yang merugikan konsumen ini telah ditinggalkan.
Dalam barang dan/atau jasa yang dihasilkan dan dipasarkan oleh pelaku usaha
berisiko sangat tinggi terhadap keamanan konsumen, Pemerintah selayaknya
mengadakan pengawasan secara ketat. Misalnya zat atau obat yang tergolong
narkotika dan psikotropika. Undang-undang No.5 Tahun 1997 tentang
psikotropika dan Undang-undang No.22 Tahun 1997 tentang Narkotika
menetapkan psikotopika dan narkotika golongan I hanya dapat digunakan untuk
kepentingan ilmu pengetahuan, tidak dapat digunakan untuk kepentingan
pelayanan kesehatan.Restriksi demikian perlu dilakukan semata-mata demi
menjaga keamanan masyarakat atas akibat negatif dari produk tersebut.
Satu hal juga seiring dilupakan dalam kaitan dengan hak untuk mendapatkan
keamanan adalah penyediaan fasilitas umum yang memenuhi syarat yang
ditetapkan. Di Indonesia, sebagian besar fasilitas umum, seperti pusat
perbelanjaan, hiburan, rumah sakit,dan perpustakaan belum cukup akomodatif
untuk menopang keselamatan pengunjungnya. Hal ini tidak saja bagi pengguna
produk barang atau jasa (konsumen) yang berfisik normal pada umumnya, tetapi
juga tidak berlebih-lebih mereka yang cacat fisik dan lanjut usia. Akibatnya, besar
kemungkinan mereka ini tidak dapat leluasa berajalan dan naik tangga di tempat-
tempat umum karena tingkat resiko yang sangat tinggi.
e. Hak untuk Mendapatkan Produk Barang dan/atau Jasa Sesuai dengan Nilai
Tukar yang Diberikan
Dengan hak ini berarti konsumen harus dilindungi dari permainan harga yang
tidak wajar. Dengan kata lain, kuantitas dan kualitas barang dan/atau jasa di
konsumsi harus sesuai dengan nilai uang yang dibayar sebagai penggantinya.
Namun, dalam ketakbebasan pasar, pelaku usaha dapat saja mendikte pasar
dengan menaikkan harga, dan konsumen menjadi korban dari ketiadaan pilihan.
Konsumen dihadapkan pada kondisi : take it or leave it. Jika setuju silakan beli,
jika tidak silakan mencari tempat yang lain (padahal di tempat lain pun pasar
sudah dikuasainya). Dalam situasi demikian, biasanya konsumen terpaksa mencari
produk alternatif (bila masih ada), yang boleh jadi kualitasnya malahan lebih
buruk.
Akibat tidak berimbangnya posisi tawar-menawar antara pelaku usaha dan
konsumen, maka pihak pertama dapat saja mambebankan biaya tertentu yang
sewajarnya tidak ditanggung konsumen. Pratik yang tidak terpuji ini lazim dikenal
dengan istilah externalities.
Selanjutnya Pasal 3 ayat (2) Directive menyebutkan bahwa: siapa pun yang
mengimpor suatu produk ke lingkungan EC adalah produsen. Ketentuan ini sengaja
dicantumkan untuk melindungi konsumen dari kemungkinan harus menggugat
produsen asing (yang pusat kegiatannya) di luar lingkungan EC. Ketentuan ini
mengharuskan importir yang mengimpor barang dari eksportir negara ketiga
mendapatkan jaminan melalui suatu perjanjian yang menyatakan bahwa pihak
eksportir bertanggung jawab sepenuhnya atas barang yang dimasukkan EC. Lebih
lanjut lagi, pedagang/penyalur yang mengedarkan barang yang tidak jelas identitas
produsennya, bertanggung jawab atas barang tersebut. Demikian pula tanggung jawab
penyalur/pedagang ini timbul atas barang yang diimpor dari negara ketiga, tapi tidak
jelas importimya.
Sebagian besar negara anggota EC telah meratifikasi Konvensi tentang
Jurisdiksi, sehingga berdasar Pasal 5 ayat (3) konvensi ini, gugatan atas produk
liability dapat diajukan ke pengadilan yang jurisdiksinya meliputi tempat timbulnya
kerugian.
Hak-hak produsen dapat ditemukan antara lain pada faktor-faktor yang
membebaskan produsen dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh
konsumen, meskipun kerusakan timbul akibat cacat pada produk, yaitu apabila:
1) produk tersebut sebenarnya tidak diedarkan;
2) cacat timbul di kemudian hari;
3) cacat timbul setelah produk berada di luar kontrol produsen;
4) barang yang diproduksi secara individual tidak untuk keperluan produksi;
5) cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan yang ditetapkan oleh penguasa.
Dalam Pasal 6 UU No. 8 Tahun 1999 Produsen disebut sebagai pelaku usaha yang
mempunyai hak sebagai berikut:
a. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai
kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
b. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang
beriktikad tidak baik;
c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian
hukum sengketa konsumen;
d. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa
kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
e. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam UUPK pelaku usaha diwajibkan beriktikad baik dalam melakukan kegiatan
usahanya, sedangkan bagi konsumen diwajibkan beriktikad baik dalam melakukan
transaksi pembelian barang dan/atau jasa.
Dalam UUPK tampak bahwa iktikad baik lebih ditekankan pada pelaku usaha,
karena meliputi semua tahapan dalam melakukan kegiatan usahanya, sehingga dapat
diartikan bahwa kewajiban pelaku usaha untuk beriktikad baik dimulai sejak barang
dirancang/diproduksi sampai pada tahap puma penjualan, sebaliknya konsumen hanya
diwajibkan beriktikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau
jasa. Hal ini tentu saja disebabkan oleh kemungkinan terjadinya kerugian bagi
konsumen dimulai sejak barang dirancang/diproduksi oleh produsen (pelaku usaha),
sedangkan bagi konsumen, kemungkinan untuk dapat merugikan produsen mulai pada
saat melakukan transaksi dengan produsen)
Tentang kewajiban kedua pelaku usaha yaitu memberikan informasi yang benar,
jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi
penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan, disebabkan karena informasi di
samping merupakan hak konsumen, juga karena ketiadaan informasi yang tidak
memadai dari pelaku usaha merupakan salah satu jenis cacat produk (cacat informasi),
yang akan sangat merugikan konsumen.
Pentingnya penyampaian informasi yang benar terhadap konsumen mengenai
suatu produk, agar konsumen tidak salah terhadap gambaran mengenai suatu produk
tertentu. Penyampaian informasi terhadap konsumen tersebut dapat berupa
representasi, peringatan, maupun yang berupa instruksi.
Diperlukan representasi yang benar terhadap suatu produk, karena salah satu
penyebab terjadinya kerugian terhadap konsumen adalah terjadinya misrepresentasi
terhadap produk tertentu. Kerugian yang dialami oleh konsumen di Indonesia dalam
kaitannya dengan misrepresentasi banyak disebabkan karena tergiur oleh iklan-iklan
atau brosur-brosur produk tertentu, sedangkan Man atau brosur tersebut tidak
selamanya memuat informasi yang benar karena pada umumnya hanya menonjolkan
kelebihan produk
Peringatan ini sama pentingnya dengan instruksi penggunaan suatu produk yang
merupakan informasi bagi konsumen, walaupun keduanya memiliki fungsi yang
berbeda yaitu instruksi terutama telah diperhitungkan untuk menjamin efisiensi
penggunaan produk, sedangkan peringatan dirancang untuk menjamin keamanan
penggunaan produk. Peringatan yang merupakan bagian dari pemberian informasi
kepada konsumen ini merupakan pelengkap dari proses produksi. Peringatan yang
diberikan kepada konsumen ini memegang peranan penting dalam kaftan dengan
keamanan suatu produk. Dengan demikian pabrikan (produsen pembuat wajib
menyampaikan peringatan kepada konsumen). Hal ini berarti bahwa tugas produsen
pembuat tersebut tidak berakhir hanya dengan nienempatkan suatu produk dalam
sirkulasi. Produk yang dibawa ke pasar tanpa petunjuk cars pemakaian dan peringatan
atau petunjuk dan peringatan yang sangat kurang/tidak memadai menyebabkan suatu
produk dikategorikan sebagai produk yang cacat instruksi. Hal ini berlaku bagi
peringatan sederhana, misalnya "simpan di luar jangkauan anak-anak" dan berlaku
pula terhadap peringatan mengenai efek samping setelah pemakaian suatu produk
tertentu. Peringatan demikian maupun petunjuk-petunjuk pemakaian harus
disesuaikan dengan sifat produk dan kelompok pemakai.
Selain peringatan, instruksi yang ditujukan untuk menjamin efisiensi penggunaan
produk juga penting untuk mencegah timbulnya kerugian bagi konsumen.
Pencantuman informasi bagi konsumen yang berupa instruksi atau petunjuk prosedur
pemakaian suatu produk merupakan kewajiban bagi produsen agar produknya tidak
dianggap cacat (karena ketiadaan informasi atau informasi yang tidak memadai).
Sebaliknya, konsumen berkewajiban untuk membaca, atau mengikuti petunjuk
informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi
keamanan dan keselarnatan.
Daftar Pertanyaan
1. Apakah terdapat perbedaan konsumen antara dan konsumen akhir? Jelaskan
disertai contoh!
2. Sebut dan jelaskan secara singkat unsur-unsur definisi konsumen!
3. Mengapa tingkat pendidikan konsumen menjadi sangat berpengaruh pada
penyampaian informasi, dan siapa yang paling berhak untuk dilindungi, konsumen
yang terinformasi atau konsumen yang tidak terinformasi? Jelaskan disertai
contoh!
4. Apa yang menjadi alasan sehingga lingkungan hidup yang baik dan sehat juga
mendapat perhatian dan merupakan hak konsumen untuk mendapatkannya,
jelaskan secara singkat!
5. Mengapa pengusaha dalam Pasal 7 UU No. 8 Tahun 1999 diwajibkan untuk
beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya?
BAB 3
PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAMPERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN
A. PENDAHULUAN
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 memiliki ketentuan yang menyatakan bahwa
kesemua undang-undang yang ada dan berkaitan dengan perlindungan konsumen
tetap berlaku, sepanjang tidak bertentangan atau telah diatur khusus oleh undang-
undang. Oleh karena itu, tidak dapat lain haruslah dipelajari juga peraturan
perundang-undangan tentang konsumen dan/atau perlindungan konsumen ini dalam
kaidah-kaidah hukum peraturan perundang-undangan umum yang mungkin atau dapat
mengatur dan/atau melindungi hubungan dan/atau masalah konsumen dengan
penyedia barang atau jasa. Sebagai akibat dari penggunaan peraturan perundang-
undangan umum ini, dengan sendirinya berlaku pulalah asas-asas hukum yang
terkandung di dalamnya pada berbagai pengaturan dan/atau perlindungan konsumen
tersebut. Padahal, nanti akan nyata, di antara asas hukum tersebut tidak cocok untuk
memenuhi fungsi pengaturan dan/atau perlindungan pada konsumen, tanpa setidak-
tidaknya dilengkapi/diadakan pembatasan berlakunya asas-asas hukum tertentu itu.
Pembatasan dimaksudkan dengan tujuan "menyeimbangkan kedudukan" di antara
para pihak pelaku usaha dan/atau konsumen bersangkutan.
Yang dimaksudkan dengan peraturan perundang-undangan umum adalah
semua peraturan perundangan tertulis yang diterbitkan oleh badan-badan yang
berwenang untuk itu, baik di pusat maupun di daerah-daerah. Peraturan perundang-
undangan itu antara lain adalah (di Pusat) Undang-Undang Dasar 1945, Undang-
Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Peraturan Presiden, dan seterusnya, dan (di daerah-daerah) Peraturan Daerah
(Peraturan Daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota serta peraturan Desa dan
sebagainya). Purnadi2) dalam bukunya menyebut perundang-undangan umum ini
sebagai undang-undang dalam arti materiil.
Az. Nasution menjelaskan3) konsekuensi dari upaya menyusun rancangan
undang-undang tentang perlindungan konsumen yang sekarang sudah diberlakukan
dapat disebut sebagai membangun tata hukum konsumen secara tersendiri yang
berada dalam Sistem Hukum Indonesia. Sungguh ini pekedaan yang bukan sederhana
sebagai contoh dapat dikemukakan sebagai berikut.
Pertama, apabila kits mengkaji peraturan yang berkaitan dengan masalah
standar, seperti yang diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan, Menteri Perin-
dustrian dan Perdagangan dan berbagai Menteri lain, dapat dikatakan bahwa standar
yang ditetapkan itu selain dimaksud untuk memberi perlindungan kepada konsumen
juga melindungi konsumen yang berstatus pengusaha, ataupun masyarakat umum
lainnya. Demikian pula pengaturan mengenai ukuran, timbangan, takaran atau
ketentuan mengenai label, ketentuan daluwarsa, dan sebagainya.
Kedua, ketentuan dalam hukum pidana yang berkaitan dengan penipuan,
pemalsuan, penjualan barang dapat membahayakan jiwa manusia (Pasal 383, 263,
202, 382, 383). Ketentuan ini termasuk sebagai delik pidana, yaitu perbuatan yang
bersifat melawan hukum yang dilarang dan diancam dengan pidana. Ketentuan ini
termasuk pula melindungi konsumen, namun juga melindungi masyarakat pada
umumnya.
Ketiga, ketentuan dalam hukum perdata yang berkaitan dengan perikatan
(Pasal 1233, 1234, 1313, 1351) mengatur hubungan perjanjian pars pihak baik yang
berstatus konsumen maupun status pengusaha sebagai produsen barang atau jasa.
Keempat, Ketentuan tentang bidang peradilan, Undang-Undang No. 4 Tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur mengenai peradilan umum yang
disebut Pengadilan Negeri. Pengadilan ini selanjutnya merupakan lembaga peradilan
yang mengadili perkara pidana dan perdata yang bagi perkara yang menyangkut
masyarakat umum termasuk konsumen.
Dari keempat catatan tersebut, ada upaya membangun tata hukum yang
diperuntukkan bagi konsumen Indonesia dalam sistem Hukum Indonesia yang sudah
berlaku dewasa ini.
Alasan yang dapat dikemukakan untuk menerbitkan peraturan perundang-
undangan yang secara khusus mengatur dan melindungi kepentingan konsumen dapat
disebutkan sebagai berikut.
a. Konsumen memerlukan pengaturan tersendiri, karena dalam suatu hubungan
hukum dengan penjual, konsumen merupakan pengguna barang dan jasa untuk
kepentingan diri sendiri dan tidak untuk diproduksi ataupun diperdagangkan.
b. Konsumen memerlukan sarana atau acara hukum tersendiri sebagai upaya
guns melindungi atau memperoleh haknya.
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia.
Umumnya, sampai saat ini orang bertumpu pada kata "segenap bangsa"
sehingga ia diambil sebagai asas tentang persatuan seluruh bangsa Indonesia (asas
persatuan bangsa). Akan tetapi, di samping itu, dari kata "melindungi" menurut Az.
Nasution di dalamnya terkandung pula asas perlindungan (hukum) pada segenap
bangsa tersebut. Perlindungan hukum pada segenap bangsa itu tentulah bagi segenap
bangsa tanpa kecuali. Baik ia laki-laki atau perempuan, orang kaya atau orang miskin,
orang kota atau orang desa, orang asli atau keturunan dan pengusaha/pelaku usaha
atau konsumen.
Landasan hukum lainnya terdapat pada ketentuan termuat dalam Pasal 27 ayat
(2) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Ketentuan tersebut berbunyi:
Tiap warga Negara berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Sesungguhnya, apabila kehidupan seseorang terganggu atau diganggu oleh
pihak/pihak lain, maka alai-alai negara akan turun Langan, baik diminta atau tidak,
untuk melindungi dan atau mencegah terjadinya gangguan tersebut. Penghidupan
yang layak, apalagi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan merupakan hak dari
warga negara dan hak semua orang. la merupakan hak dasar bagi rakyat secara
menyeluruh.
Penjelasan autentik Pasal 27 ayat (2) ini berbunyi:
Telah jelas, pasal-pasal ini mengenal hak-hak warga negara.
Perbuatan Melawan Hukum (Pasal 1365 KUH Perdata) Dalam Sengketa Antara
Konsumen dan Pelaku Usaha
Kedua, Perbuatan Melawan Hukum terhadap tubuh dan jiwa manusia. Pasal
1370 KUH Perdata menyatakan bahwa dalam hal tedadi pembunuhan dengan sengaja
atau kelalaiannya maka suami atau istri, anak, orang tug korban yang lazimnya
mendapat nafkah dari pekerjaan korban, berhak untuk menuntut ganti rugi yang harus
dinilai menurut keadaan dan kekayaan kedua belah pihak.
Ketiga, Perbuatan Melawan Hukum terhadap nama baik. Masalah penghinaan
diatur dalam Pasal 1372 sampai dengan Pasal 1380 KUH Perdata. Pasal 1372
menyatakan bahwa tuntutan terhadap penghinaan adalah bertujuan untuk mendapat
ganti rugi dan pemulihan nama baik, sesuai dengan kedudukan dan keadaan pars
pihak.
Beberapa tuntutan yang dapat diajukan karena perbuatan melawan hukum
ialah:
1. ganti rugi dalam bentuk uang atas kerugian yang ditimbulkan;
2. ganti rugi dalam bentuk natura atau dikembalikan dalam keadaan semula;
3. pernyataan bahwa perbuatan yang dilakukan adalah melawan hukum;
4. melarang dilakukannya perbuatan tertentu.
Penerapan Pasal 1365 KUH Perdata mengalami perubahan melalui putusan
pengadilan dan undang-undang. Berbagai undang-undang telah secara khusus
mengatur tentang gaud rugi karena perbuatan melawan hukum, misalnya undang-
undang tentang perlindungan konsumen. Sebelum undang-undang tersebut lahir,
gugatan yang berkenaan dengan ganti rugi berkaitan dengan materi yang kemudian
diatur dalam undang-undang tersebut didasarkan pada Pasal 1365 KUH Perdata.
Namun dengan lahirnya undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai
tuntutan ganti kerugian maka telah terjadi perubahan dalam penerapan Pasal 1365
KUH Perdata.
Perkara berikut ini menunjukkan perubahan penerapan Pasal 1365 KUH
Perdata dalam, hubungan dengan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha,
perkara bermula dari pembelian mobil jenis BMW 318i yang dilakukan oleh
Penggugat, menurut Tergugat salah sate kecanggihan mobil BMW adalah sistem
elektroniknya akan memberi keamanan dan kenyamanan, dan kunci elektroniknya
tidak mungkin dipalsukan.
Pada suatu hari penggugat pergi mengantarkan istri penggugat untuk mengurut
kakinya ke suatu tempat dengan mengendarai mobil BMW. Sesampainya di rumah,
penggugat tidak bisa menahan buang air kecil karena menderita suatu penyakit
sehingga terburu-buru masuk ke toilet yang terletak di dalam rumah sambil menutup
pintu mobil yang menggunakan remote control. Sebagaimana yang wring dilakukan
oleh penggugat ketika mengendarai jenis mobil yang lainnya karena sekalipun dikunci
dari luar, penumpang yang masih berada di dalam mobil tetap bisa keluar dari mobil
dengan cara membuka pintu dari dalam.
Karena kondisi kaki istri penggugat masih terasa nyeri maka tidak bisa keluar
mobil bersamaan dengan penggugat dan ketika hendak keluar, istri penggugat lalu
membuka pintu mobil dari dalam namun tidak berhasil sehingga merasa ketakutan
karena terperangkap di dalam mobil. Istri penggugat langsung menekan tombol
klakson mobil BMW untuk mints pertolongan, tetapi klakson tidak berfungsi karena
seluruh sistem elektroniknya coati, lalu ia berusaha mencopot panel yang ada di
dalam mobil namun tidak berhasil memecahkannya. Akhimya, istri penggugat
berteriak sekeras-kerasnya dengan harapan ada yang mendengarkan dan bisa
membantu keluar dari mobil. Harapan istri penggugat temyata jugs sic-sic karena
tidak seorang pun mendengarkan teriakannya karena ia berada dalam ruangan kedap
suara (dalam mobil BMW yang terkunci) sehingga pada saat itu kondisi istri
penggugat sangat lemah dan mengenaskan akibat banyaknya mengeluarkan tenaga
serta kehabisan oksigen.
Setelah empat puluh menit berjuang akhirnya istri penggugat berhasil
meretakkan kaca mobil dengan sebuah bends yang berhasil ditemukan di dalam mobil
BMW. Tanga pikir panjang istri penggugat merobek kaca mobil yang sudah retak
dengan tangannya dan berhasil membentuk lubang angin, tanpa disadari tangan istri
penggugat terluka dan berlumuran darah. Setelah itu barulah ia dapat menghirup
udara segar yang masuk dari lubang kaca mobil. Istri penggugat kembali berteriak
untuk meminta tolong yang temyata dapat didengar oleh penggugat yang sebelumnya
beranggapan bahwa istri penggugat sudah masuk ke dalam rumah. Akhimya jiwa istri
penggugat dapat diselamatkan meskipun dalam keadaan yang sangat menyedihkan.
Berdasarkan kejadian tersebut, penggugat menggugat BMW AG yang
berkedudukan di Jerman sebagai Tergugat I, BMW Group Indonesia sebagai tergugat
II dan PT Astrea International Tbk sebagai tergugat III dengan dalil Perbuatan
Melawan Hukum. Menurut penggugat, tindakan Tergugat I dan Tergugat II
memproduksi mobil BMW dengan menggunakan sistem double lock, serta tindakan
Tergugat III yang tidak memberikan informasi yang jelas tentang kondisi mobil serta
cara pemakaiannya kepada penggugat, sangat berakibat fatal, dan hampir merenggut
nyawa serta menimbulkan kerugian yang besar bagi penggugat, dan menurut
penggugat hal ini jelas merupakan perbuatan melawan hukum.
Lebih lanjut penggugat juga mendalilkan bahwa pars tergugat yang telah
memproduksi mobil BMW dengan sistem penguncian double lock tersebut juga telah
melanggar Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Menurut penggugat, sistem penguncian double lock yang diprodilksi tergugat I dan
tergugat 11 tidak menjamin keamanan dan keselamatan konsumen di dalam memakai
produk tersebut.
Tergugat dalam jawabannya mendalilkan bahwa karena penggugat telah
mengajukan tuntutan pelanggaran Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen di samping Perbuatan Melawan Hukum (Pasal 1365 KUH
Perdata) maka sesuai dengan asas hukum lex specialis derogat lex generalis dan asas
hukum lex posteriori derogat legi priori, hukum yang berlaku dalam perkara ini
adalah Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melalui Putusan No. 385/
Pdt.G/2002/PN.Jkt.Pst berpendapat bahwa Pasal 1365 adalah suatu aturan
umum/generalis dalam hal mengajukan gugatan terhadap suatu Perbuatan Melawan
Hukum yang dilakukan oleh tergugat sedangkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen adalah merupakan suatu aturan khusus yang
mengatur mengenai tanggung jawab dari pelaku usaha terhadap konsumen bila tedadi
suatu kesalahan atau suatu Perbuatan Melawan Hukum dari pelaku usaha tersebut
terhadap konsumennya. Menurut Majelis Hakim dalam hal gugatan mengenai
tanggung jawab dari pelaku usaha terhadap konsumennya yang berlaku adalah
Undang-Undang Perlindungan Konsumen sebagai aturan khusus/specialis (lex
specialis derogat legi generali). Berdasarkan Pasal 23 Undang-Undang Perlindungan
Konsumen, gugatan harus diajukan ke pengadilan negeri di mana
konsumen/penggugat bertempat tinggal, bukan ke Pengadilan Negeri di mana salah
satu Tergugat bertempat tinggal sebagaimana diatur dalam Pasal 118 (2) HIR, hal
tersebut karena adanya aturan khusus (Pasal 23 Undang-Undang Perlindungan
Konsumen) yang didahulukan dari aturan umum (Pasal 118 ayat (2) HIR) lex
specialis derogat legi generali.
Dalam amar putusannya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
menyatakan tidak berwenang mengadili perkara ini. Putusan ini diperkuat oleh
Pengadilan Tinggi Jakarta sebagai Peradilan Banding melalui Putusan No. 210/
Pdt./2004/PT.DKI.
Penjelasan pasal ini menentukan: tindakan administratif dalam pasal ini dapat
berupa pencabutan izin usaha, izin praktik atau izin lain yang diberikan Berta
penjatuhan hukum disiplin berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan yang
berlaku. Tindakan administratif terhadap tenaga kesehatan dilakukan setelah
mendengar pertimbangan Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan.
Begitu pula dengan tindakan administratif Menteri Kehakiman dalam
mengesahkan Anggaran Dasar suatu Perseroan Terbatas atau Perubahannya
sebagaimana termuat dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas. Juga berdasarkan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan,
Pasal 29 menegaskan bahwa tugas pembinaan dan pengawasan bank-bank di
Indonesia dilakukan oleh Bank Indonesia. Ayat (2) pasal ini menentukan bahwa Bank
Indonesia menetapkan ketentuan tentang kesehatan bank dengan memperhatikan
aspek permodalan, kualitas aset, kualitas manajemen, rentabilitas, likuiditas,
solvabilitas dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank. Selanjutnya, Pasal
52 dan -Pasal 53 (Ketentuan Pidana dan sanksi administratif), ditetapkan bahwa Bank
Indonesia dapat menetapkan sanksi administratif kepada bank yang tidak memenuhi
kewajibannya sebagaimana ditentukan pertimbangan kepada Menteri Keuangan untuk
mencabut izin usaha bank bersangkutan.
Secara skematis, hukum konsumen dan/atau hukum perlindungan konsumen
itu berbentuk sebagai berikut.
Hukum Perdata
Hukum Publik
(dalam Arti Luas)
Hukum Administrasi
Hukum Perdata
Hukum Pidana
Hukum Dagang
Hukum Perdata
Internasional
Dari skema ini terlihat bahwa pembagian berdasarkan hukum perdata dalam
arti lugs dan hukum publik memberikan gambaran yang menyeluruh tentang struktur
dan permasalahan perlindungan konsumen. Tentunya, terlepas dari apakah
perundang-undangan yang telah ada, memenuhi persyaratan dan/atau cukup untuk
melindungi kepentingan-kepentingan konsumen. Yang harus mendapatkan perhatian
adalah pelanggaran perundang-undangan itu, dilakukan oleh siapa, apakah pelaku
usaha atau konsumen. Peraturan perundangan umum ini sebagaimana telah diuraikan
di atas, tidak menetapkan terpisah pelaku usaha atau konsumen. Keduanya diatur
bersamaan.
Misalnya, sebagai pengguna jasa angkutan (UU No. 14 Tahun 1992) yang
dapat dilakukan oleh pelaku usaha atau oleh konsumen. Keadaannya agak berbeda
dengan pengaturan yang ditentukan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Di dalam undang-undang ini secara tegas ditentukan hak-hak konsumen (Pasal 4) dan
kewajiban-kewajibannya (Pasal 5). Adapun hak-hak dan kewajiban pelaku usaha
(istilah digunakan untuk penglisaha) diatur dalam Pasal 6 dan 7.
5. Hukum Acara
Hukum acara yang dipergunakan dalam proses perkara perdata pun tidak membantu
konsumen dalam mencari keadilan. Pasal 1865 KUH Perdata menentukan pembuktian
hak seseorang atau kesalahan orang lain dibebankan pada pihak yang mengajukan
gugatan tersebut. Beban ini lebih banyak tidakdapat dipenuhi dalam hubungan antara
konsumen dan penyedia barang atau penyelenggara jasa pada masa kini. Hal ini
terutama karena tidak pahamnya konsumen atas pembuatan produk, sistem pemasaran
yang digunakan, maupun jaminan puma jual yang digunakan oleh pelaku usaha.
Proses produksi dan pemasaran produk yang makin canggih, kerahasiaan perusahaan
dan tanggung jawab perusahaan yang hanya pada pemegang sahamnya saja,
memperbesar jarak antara konsumen dengan produk konsumen yang is gunakan di
samping hal-hal yang dikemukakan di atas.
Tingkat-tingkat peradilan (Pengadilan Negeri, Pengadilan Tmggi, Mahkamah
Agung dan kemungkinan Peninjauan kembali di Mahkamah Agung), lamanya masa
proses sampai didapatkan putusan yang efektif, ditambah dengan beban pembuktian
merupakan kendala bagi konsumen dan perlindungannya.
Apalagi bagi konsumen kecil, yaitu konsumen yang jumlah pembeliannya
tidak melebihi suatu jumlah tertentu, misalnya pembelian barang atau jasa yang tidak
melebihi jumlah Rp 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah). Contoh konkret
adalah pembelian 1 (satu) unit televisi berwama dengan harga kurang lebih Rp
2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah). Bayangkan saj a berapa banyak waktu,
berapa besar biaya, tenaga dan hal-hal lain berkaitan dengan pembelian itu, yang
hams dikeluarkan oleh konsumen bersangkutan dalam mempertahankan haknya di
pengadilan-pengadilan Indonesia. Bayangkan pula proses persidangan di Pengadilan
Negeri, Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung, dan/atau proses peninjauan kembali,
yang tidak saja makan waktu berlarutlarut, tetapi juga memakan tenaga dan biaya.
6. Yang Sangat Penting Pula Adalah Dasar Pemikiran Filsafat
Dianut dari KUH Perdata/KUHD dan falsafah hukum yang sekarang hams dijadikan
pangkal tolak pernikiran hukum kita yang sama sekali sudah tidak sejalan lagi.
Doktrin yang dianut KUH Perdata/KUHD adalah liberalisme. Adapun doktrin,
falsafah Indonesia adalah Pancasila yang pemikiran politik ekonominya adalah
kesejahteraan rakyat dengan perikehidupan yang seimbang, serasi, dan selaras.
7. Hukum Publik
Sesuai fungsinya menurut hukum, mempunyai peran yang sangat membantu upaya
perlindungan konsumen, seperti juga bagi pengusaha yang jujur dan beriktikad baik.
Tindakan administratif yang dijalankan oleh instansi berwenang terhadap mereka
yang melanggar ketentuan dari peraturan perundang-undangan (administratif),
melindungi konsumen dan pengusaha yang jujur dan beriktikad baik dari perilaku
pelaku usaha yang menyimpang atau melanggar hukum dan dapat menimbulkan
kerugian pada mereka.
Begitu pula halnya dengan penerapan peraturan perundang-undangan. pidana
(yang termuat dalam KUHP atau di luar KUHP), atas setiap perilaku usaha yang
memenuhi unsur-unsur pidana dan pelaksanaannya dijalankan oleh pejabat yang
berwenang untuk itu.
Kemanfaatan instrumen hukum publik terlihat antara lain:
Semua pelaksanaan kegiatan pengawasan dan/atau penyelidikan, penyidikan
dan penuntutan diselenggarakan oleh (aparat) pemerintah.
Pengumpulan bukti-bukti serta semua proses untuk tindakan administratif
dan/atau peradilan atas pelaku dijalankan oleh pemerintah.
Semua biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan pengawasan dan peradilan
dipikul oleh pemerintah.
Dengan demikian, beban beracara yang terberat bagi konsumen dalam
mengajukan kasus kerugiannya ke pengadilan yaitu beban pembuktian adanya sesuatu
hak dan/atau peristiwa yang melanggar hukum (Pasal 1865 KUH Perdata dan Pasal
163 HIR) serta hal-hal lain tampak menjadi ringan. Dengan cara menggunakan Surat
keputusan suatu tindakan administratif atau putusanputusan pengadilan yang
berkaitan dengan kasus kerugiannya. Bahkan dengan ketentuan-ketentuan termuat
dalam Kitab Undang-Undang HukumAcara Pidana (KUHAP) proses beracara ini
dapat dipermudah lagi.
Akan tetapi, kesemuanya itu masih harus diuji di dalam masyarakat dan
pengadilan-pengadilan kita. Sampai saat ini belum pernah terjadi penggunaan acara
penggabungan perkara sesuai KUHAP dalam suatu perkara pidana, yang secara
perdata juga merugikan kepentingan konsumen. Juga tidak dalam kasus kematian
karena peristiwa biscuit beracun. Di samping itu, sayangnya, terlihat pula berbagai
kelemahannya, antara lain:
1. Putusan pengadilan dan/atau tindakan administratif (larangan mengedarkan,
penarikan nomor daftar produk, pencabutan izin usaha dan sebagainya) terhadap
perilaku pelaku usaha yang menyimpang dan merugikan konsumen, tidak serta-
merta diketahui dan/atau memberikan ganti rugi atau sesuatu penyelesaian tertentu
bagi konsumen. Konsumen masih harus menjalankan acara lainnya lebih lanjut.
2. Pada sementara kasus, juga menjadi pengalaman, suatu tindakan administratif
tidak dijalankan atau dijalankan dengan kualifikasi "akan ditindak tegas" tetapi
tanpa kelanjutan karena satu dan lain alasan, oleh instansi yang berwenang.
Alasan yang paling banyak dikemukakan pada waktu ini adalah karena
industri/bisnis kita masih termasuk "industri bagi" (infant-industry) sehingga
memerlukan waktu agar mereka menjadi mapan dan kuat bersaing.
3. Peralihan pemilikan suatu badan usaha berkali-kali terjadi tanpa ada
pengawasan, dan/atau juga sulit pengawasannya. Terhadap konsumen is menjadi
masalah besar, yaitu siapa yang harus dipertanggungjawabkan tentang sesuatu
perilaku kegiatan perusahaan atau produknya yang menimbulkan kerugian pada
konsumen. Dianutnya pendirian kalangan usaha bahwa tanggung jawab (direksi)
perusahaan hanya pada pemegang sahamnya saja, memberikan dampak negatif
lainnya pada konsumen.
Daftar Pertanyaan
1. Apakah dalam UUD 1945 diatur mengenai perlindungan bagi warga negara
(konsumen)? Jelaskan disertai pasalnya!
2. Sebutkan tindakan administratif dari pemerintah di bidang tertentu apabila ada
pihak yang merugikan konsumen (barang/jasa) dan berikan dasar hukumnya!
3. Mengapa dalam KUH Perdata dan KUHD tidak mengenai istilah konsumen?
Jelaskan!
4. Apakah yang dimaksud dengan asas kebebasan berkontrak dan apa kaitannya
dengan hukum perlindungan konsumen? Jelaskan!
5. Mengapa dalam penerapan peraturan-peraturan hukum ada kendalakendala?
Jelaskan dan berikan contohnya!
BAB 4
BERBAGAI ASPEK HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN
A. ASPEK-ASPEK KEPERDATAAN
Yang dimaksudkan hukum perdata yakni dalam arti lugs, termasuk hukum perdata,
hukum dagang Berta kaidah-kaidah keperdataan yang termuat dalam berbagai
peraturan perundang-undangan lainnya. Kesemuanya itu baik hukum perdata tertulis
maupun hukum perdata tidak tertulis (hukum adat).
Kaidah-kaidah hukum perdata umumnya termuat dalam Kitab UndangUndang
Hukum Perdata (KUH Perdata). Di samping itu, tentu saja juga kaidahkaidah hukum
perdata adat, yang tidak tertulis, tetapi ditunjuk oleh pengadilanpengadilan dalam
perkara-perkara tertentu.
Kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah hukum antara
pelaku usaha penyedia barang dan/atau penyelenggara jasa dengan konsumennya
masing-masing termuat dalam:
1. KUH Perdata, terutama dalam Buku kedua, ketiga, dan keempat;
2. KUHD, Buku kesatu dan Buku kedua;
3. Berbagai peraturan perundang-undangan lain yang memuat kaidah-kaidah
hukum bersifat perdata tentang subjek-subjek hukum, hubungan hukum dan
masalah antara penyedia barang atau penyelenggara jasa tertentu dan konsumen.
Beberapa hal yang dinilai penting dalam hubungan konsumen dan penyedia
barang dan/atau penyelenggara jasa (pelaku usaha) antara lain sebagai berikut.
Bab 4
Berbagai aspek hukum perlindungan
konsumen
1.Aspek-aspek keperdataan
Yang dimaksudkan hukum perdata yakni dalam arti luas, termasuk hukum perata,
hukum dagang serta kaidah-kaidah keperdataan yang termuat dalam berbagai
peraturan perundang-undangan lainnya. Kesemuanya itu baik hukum perdata tertulis
maupun hukum perdata tidak tertulis (hukum adat).
Kaidah-kaidah hokum perdata umumnya termuat dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUH Perdata). Di samping itu, tentu saja juga kaidah-kaidah hokum
perdata adat, yang tidak tertulis, tetapi ditunjuk oleh pengadilan-pengadilan dalam
perkara-perkara tertentu.
Kaidah-kaidah hokum yang mengatur hubungan dan masalah hokum antara
pelaku usaha penyedia barang/penyelenggara jasa dengan konsumennya masing-
masing termuat dalam :
1. KUP Perdata, terutama dalam Buku Kedua, Ketiga, dan Keempat
2. KUHD, Buku kesatu dan Buku kedua
3. Berbagai peraturan perundang-undangan lain yang memuat kaidah-kaidah
hokum bersifat perdata tentang subjek-subjek hokum, hubungan hokum dan
masalah antara penyedia barang atau penyelenggara jasa tertentu dan
konsumen/
Beberapa hal yang dinilai penting dalam hubungan konsumen dan penyedia
barang/penyelenggara jasa (pelaku usaha) antara lain sebagai berikut :
1. Hal-hal yang berkaitan dengan informasi
Bagi konsumen, informasi tentang barang/jasa merupakan kebutuhan pokok,
sebelum ia menggunakan sumber dananya (gaji,upah,honor.atau apa pun nama
lainnya) untuk mengadakan transaksi konsumen tentang barang/jasa tersebut. Dengan
transasi konsumen dimaksudkan diadakannya hubungan hokum (jual beli, beli-sewa,
sewa-menyewa, pinjam-meminjam, dan sebagainya) tentang produk konsumen
dengan pelaku usaha itu.
Informasi-informasi tersebut meliputi tentang ketersediaan barang/jasa yang
dibutuhkan masyarakat konsumen, tentang kualitas produk, keamanannya, harga,
tentang berbagai persyaratan / cara memperolehnya, tentang jaminan atau garansi
produk, persediaan suku cadang, tersediannya pelayanan jasa jurnal-jual, dan lain-lain
yang berkaitan dengan itu.
Informasi dari kalangan pemerintah dapat diserap dari berbagai penjelasan, siaran,
keterangan, penyusun peraturan perundang-undangan secara umum atau dalam rangka
deregulasi, dan tindakan pemerintah pada umumnya atau tentang sesuatu produk
konsumen. Dari sudut penyusunan peraturan perundang-undangan terlihat informasi
itu termuat sebagai suatu keharusan. Beberapa di antaranya, ditetapkan harus dibuat,
baik secara dicantumkan maupun dimuat didalam wadah atau pembungkusnya (antara
lain label dari produk makanan dalam kemasan). Sedang untuk produk hasil industri
lainnya, informasi tentang produk itu terdapat dalam bentuk standar yang ditetapkan
oleh pemerintah, standar internasional, atau standar lain yang ditetapkan oleh pihak
yang berwenang.
Informasi dari konsumen atau organisasi konsumen tampak pada pembicaraan
dari mulut ke mulut tentang suatu prosuk konsumen, surat-surat pembaca pada media
massa, berbagai siaran kelompok tertentu, tanggapan atau protes organisasi
konsumen, seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) tentang hasil-hasil
penelitian dan riset produk konsumen tertentu, dapat ditemukan pada harian-harian
umum, majalah dan berita resmi YLKI, yaitu Warta Konsumen (WK).
Dari kalangan usaha (penyedia dana, produsen, importer, atau lain-lain pihak yang
berkepentingan), diketahui sumber-sumber informasi itu umumnya terdiri dari
berbagai bentuk iklan baik melalui media nonelektronik atau elektronik, label
termasuk pembuatan berbagai selebaran, seperti brosur, pamphlet, catalog, dan lain-
lain sejenis dengan itu. Bahan-bahan informasi ini pada umumnya disediakan atau di
buat oleh kalangan usaha dengan tujuan memperkenalkan produknya,
mempertahankan dan meningkatkan pangsa pasar produk yang telah atau ingin lebih
lanjut di raih. Adapun label merupakan informasi yang diwajibkan oleh peraturan
perundang-undangan tertentu.
Diantara berbagai informasi tentang barang atau jasa konsumen yang diperlukan
konsumen, tampaknya yang paling berpengaruh pada saat ini adalah informasi yang
bersumber dari kalangan pelaku usaha. Terutama dalam bentuk iklan atau label, tanpa
mengurangi pengaruh dari berbagai bentuk informasi pengusaha lainnya.
Iklan adalah bentuk informasi yang umumnya bersifat sukarela, sekalipun pada
akhir – akhir ini termasuk juga yang diatur didalam Undang – Undang tentang
Perlindungkan Konsumen (Pasal 9,10,12,13,17 dan Pasal 20)
a. Tentang Iklan
KUH Perdata (Kitab Undang – Undang Hukum Perdata) dan/atau KUHD (Kitab
Undang – Undang Hukum Dagang), keduanya diumumkan pada tanggal 30 April
1847 dalam Staatsblad No.23 dengan segala tambahan dan/atau memuat kaidah –
kaidah tentang periklanan. Satu – satunya ketentuan termuat dalam KUH Perdata
yang tampaknya dapat digunakan adalah ketentuan tentang perbuatan melanggar atau
melawan hokum (Pasal 1365 KUH Perdata), yaitu sepanjang iklan tertentu
menimbulkan kerugian pada pihak lain. Adapun dalam undang-undang kepailitan,
terlepas untuk siapa perundang-undangan itu berlaku, khusus menyangkut prilaku
pengumuman iklan keputusan pengadilan tentang pernyataan pailit dan segala akibat-
akibatnya dari seseorang atau suatu badan usaha (pasal 13 jjs, pasal 16,105,163 c, dan
seterusnya),
Selanjutnya, berkaitan dengan tanggung jawab pelaku usaha periklanan ini diatur
dalam Pasal 20, sebagai berikut.
Pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan
segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut. Berkaitan dengan perilaku
periklanan yang dilarang dan tentang tanggung jawabnya itu,? Dari sudut pelaku
usaha periklanan menurut Azm Nasution terdapat tiga jenis pelaku usaha, yaitu.
1. Pengiklan, yaitu perusahaan yang memesan iklan untuk
mempromosikan, memasarkan, dan menawarkan produk yang mereka edarkan
2. Perusahaan iklan, adalah perusahaan atau biro yang bidang usahanya
adalah mendesain atau membuat iklan untuk para pemesannya
3. Media, media elektronik atau nonelektronik atau bentuk media lain,
yang menyiarkan atau menayangkan iklan-iklan tersebut.
Ketiga jenis pelaku usaha tersebut dalam undang-undang ini termasuk pelaku
usaha. Ketiga pelaku usaha di atas, dapat dipertanggungjawabkanm tetapi secara
tepatnya pelaku usaha manakah yang harus bertanggung jawab sebagaimana
dimaksud dalam pasal 20 tersebut?
Menurut Az. Nasution tergantung bagaimana hakim pengadilan negeri
mengambil putusannya. Sekiranya tanda tangan pengiklan (tanda acc) terdapat pada
konsep iklan itu, maka dialah yang mempertanggung jawabkan.
Kemudian, terdapat timdakan administratif yang dapat dijatuhkan pada pelaku
usaha periklanan yang menyiarkan iklan menyesatkan, menipu atau mengakibatkan
cedera pada konsumen untuk memasang iklan perbaikannya (corrective
advertisement) di surat kabar atau televisi iklan koreksi seperti ini telah tumbuh dan
menjadi hokum di Negara-negara lain. Undang-undang Perlindungan Konsumen
tidak memuat tindakan administratif tersebut, padahal kegunaannya sangat baik
sebagai upaya pencegah “gegabahnya” para pelaku usaha periklanan.
Satu hal yang menarik dari Undang-undang Perlindungan Konsumen berkaitan
dengan periklanan ini yakni dalam Pasal 17 ayat (1) huruf f, undang-undang ini
berbunyi : melanggar etika atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai
periklanan. Apakah yang dimaksud denagn etika periklanan? Penjelasan pasal ini
memuat kalimat “cukup jelas”. Apabila dengan etika itu dimaksudkan kode etik
periklanan, maka berarti Undang-Undang ini telah membeikan “status hokum” pada
kode etik periklanan yang di Indonesia disebut sebagai tata karma dan tata cara
periklanan Indonesia.
b. Tentang Label
Informasi produk konsumen yang bersifat wajib ini, ditetapkan dalam
berbagai peraturan perundang-undangan. Pengaturan tentang informasi yang disebut
dengan berbagai istilah seperti penandaan. Label, atau etiket. Ketentuan tersebut
terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
Isi netto
Nama dan alamat perusahaan yang memproduksi atau mengedarkan
Nomor pendaftaran
Kode produksi
Setiap makanan yang dikemas wajib diberi tanda atau label (Pasal 21 ayat (2))
yang memuat tentang :
d. Ketentuan lainnya
SK Menteri Menteri Kesehatan tanggal 21 Agustus 1971 No, 193 Tahun 1971
tentang Pembungkusan dan Penandaan obat, tidak menggunakan istilah label atau
etiket, tetapi penandaan. Pengertian tentang penandaan termuat dalam Pasal 1 angka
4, yang berbunyi :
Ketentuan berikut dalam pasal itu dan pasal 4-6 memuat rincian berbagai
keharusan tata cara tentang permuatan isi label atau etiket tersebut. Adapun Pasal 12
Surat Keputusan Menteri Kesehatan ini menetapkan bahwa pelanggaran atas
ketentuan-ketentuan antara lain, khususnya tentang pelabelan tersebut.
Penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi
persyaratan objektivitas dan kelengkapan serta tidak menyesatkan.
Dari uraian diatas tampak bahwa informasi produk konsumen itu dapat
ditemukan dalam penandaan atau informasi lain, seperti iklan dalam segala bentuk
kreativitasnya, tetapi dengan batas-batas minimum sehingga tidak menyesatkan atau
menipu (iklan melawan hokum). Pada penandaan, label atau etiket pemuatan
informasi yang bersifat wajib dilakukan dengan sanksi-sanksi administratif dan
pidana tertentu apabila tidak dipenuhi persyaratan-persyaratan etiket dan label
tersebut.
Hal ini berkaitan dengan bahan informasi yang selalu mengusik adalah mengapa
suatu hasil uji laboratoris produk konsumen (antara lain oleh instansi pemerintah)
tidak disiarkan kepada masyarakat agar mereka mengetahui bermutu atau bergizi
tidaknya sesuatu produk konsumen (pangan, sandang papan, angkutan, dan lain-lain).
Perikatan juga dapat terjadi tanpa adanya perjanjian. Antara lain, yang
terpenting terlihat pada perikatan karena terjadinya perbuatan atau kealpaan yang
melanggar atau melawan hokum (selanjutnya disebut PMH).
Sejak tahun 1919, unsur ini tampaknya merupakan unsur yang terpenting
dalam penenruan tolok ukur perbuatan melawan hukum. Ia menunjuk pada
kebiasaan tidak tertulis, yang dapat digunakan dengan berdiri sendiri, baik
secara terlepas dari atau bersama-sama unsure-unsur lainnya. Pada pokoknya
orang haruslah memperhatikan perilaku yang dianggap patut (behoorlijk)
dalam masyarakat dikaitkan dengan kepentingan perorangan satu sama lain.
Mengenai penerapannya harus dilihat kasus per kasus.
1. Hukum Pidana
7. Pasal 383: Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun
empat bulan, seorang penjual yang berbuat curang teerhadap pembeli: (1)
karena sengaja menyerahkan barang lain daripada yang ditunjuk untuk dibeli,
(2) mengenai jenis keadaan atau banyaknya barang yang diserahkan, dengan
menggunakan tipu muslihat.
Selain itu juga dalam pengaturan hak-hak atas kekayaan intelekual, seperti
hak cipta, paten, dan hak atas merk, dewasa ini diberi perhatian yang cukup besar,
khususnya dari sudut penerapan sanksi pidananya. Tindak pidana berupa pembajakan
hak cipta, misalnya sekarang diubah dari deliik aduan menjadi delik biasa.
Sayangnya, peraturan-peraturan di bidang hak aras kekayaan intelektual yang
sebenarnya bersinggungan erat dengan kepentingan konsumen, ternyata belum secara
intens mengarahkan perhatiannya kepada kepentingan tersebut. Perlindungan yang
diberikan porsi terbanyak justru kepada individual atau badan yang menjadi
pemegang hak-hak di atas, bukan pada konsumen sebagai bagian terbesar masyarakat
Indonesia.
Kecenderungan seperti yang terjadi dalam hukum bidang hak atas kekayaan
intelektual ini seharusnya mulai di antisipasi. Seandainya tidak tertampung dalam
undang-undang yang bersifat khusus dan sektoral seperti diatas, dapat
diakomodasikan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang menurut rencana
akkan segera diperbaharui.
Akibatnya, aparat penegek hokum (dalam hal ini khususnya hakim) tidak
dapat dengan leluasa menetapkan tindak pidana yang baru diluar rumusan undang-
undang. Jika dilakukan, ini berarti bertentangan dengan asas legalitas.
Kedua, sanksi perdata atau pidana acapkali tidak membawa efek “jera” bagi
pelakunya. Nilai ganti rugi dan pidana yang dijatuhkan mungkin tidak seberapa
dibandingkan dengan keuntungan yang diraih dari perbuatan negative produsen.
Belum lagi mekanisme penjatuhan putusan itu yang biasanya berbelit-belit dan
membutuhkan proses yang lama, sehingga konsumen sering menjadi tidak sabar.
Untuk gugatan secara perdata, konsumen juga dihadapkan pada posisi tawar-menawar
yang tidak selalu menguntungkan disbanding dengan produsen.
Penjelasan pasal ini menentukan tindakan administratif dalam pasal ini dapat
berupa pencabutan izin usaha, izin prakti atau izin lain yang diberikan, serta
penjatuhan hokum disiplin berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Tindakan administratif terhadap tenaga kesehatan dilakukan setelah
mendengar pertimbangan Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan.
PERANAN
C. HUKUM DALAM
PERLINDUNGAN KONSUMEN
Pada era perdagangan bebas dimana arus barang dan jasa dapat masuk ke
semua Negara dengan bebas, maka yang seharusnya terjadi adalah persaingan jujur.
Persaingan jujur adalah suatu persaingan dimana konsumen dapat memiliki barang
atau jasa karena jaminan kualitas dengan harga yang wajar. Oleh karena itu, pola
perlindungan konsumen perlu diiarahkan pada pola kerja sama antarnegara,
antarsemua pihak yang berkepentingan agar terciptanya suatu model perlindungan
yang harmonis berdasarkan atas persaingan jujur.
Sampai saat ini secara universal diakui adanya hak-hak konsumen yang harus
dilindungi dan dihormati, yaitu:
Bertolak dari pemikiran diatas, pada dasarnya negara dapat diketahui bahwa
aspek hukum public dan aspek hukum perdata mempunyai peran dan kesempatan
yang sama untuk melindungi kepentingan konsumen.
Undang-undang kesehatan
Undang-undang barang
Aspek hukum perdata secara umum hanya dapat dimanfaatkan oleh pihak
untuk kepentingan-kepentingan subjektif. Meskipun demikian mengingat hubungan
hukum para pihak terjadi karena berbagai alasan dan factor kebutuhan. Fakta selalu
menunjukkan bahwa posisi calon konsumen dalam keadaan lebih karena factor
ekonomi dan kebutuhan.
BAB 5
PRINSIP-PRINSIP HUKU PERLINDUNGAN
KONSUMEN
A. PRINSIP-PRINSIP TANGGUnG JAWAB
Prinsip tentang tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting dalam
hukum perlindungan konsumen. Dalam kasus-kasus pelanggaran hak konsumen,
diberlakukan keberhati-hatian daalm menganalisis siapa yang harus bertanggung
jawab dan seberapa jauh tanggung jawab dapat dibebankan kepada pihak-pihak
terkait.
1. Kesalahan
1. Adanya perbuatan
Ketentuan diatas juga sejalan dengan teori umum dalam hukum acara, yakni
asas kedudukan yang sama antara semua pihak yang berperkara. Di sini hakim harus
memberi para pihak beban yang seimbang dan patut sehingga masing-masing
memiliki kesempatan yang sama untuk memenangkan perkara tersebut.
Perkara yang perlu diperjelas dalam prinsip ini, yang sebenarnya juga berlaku
umum untuk prinsip-prinsip lainnya adalah definisi tentang subjek pelaku kesalahan
(lihay Pasal 1367 KUP Perdata). Dalam doktrin hukum dikenal asas vicarious
liability dan corporate liability.
Vicarious liability atau disebut juga respondeat superior, let the master
answer, mengandung pengertian majikan bertanggung jawab atas kerugian pihak lain
yang ditimbulkan oleh orang-orang atau karyawan yang berada dibawah
pengawasannya. Jika karyawan itu dipinjamkan kepihak lain,maka tanggung
jawabnya beralih pada si pemakai karyawan tadi.
Latar belakang penerapan prinsip ini adalah konsumen hanya melihat semua
dibalik dinding suatu korporasi itu sebagai sati kesatuan. Ia tidak dapat membedakan
mana yang berhubungan secara organic dengan korporasi dan mana yang tidak.
Doktrin yang terakhir ini disebut ostensible agency. Maksudnya, jika suatu korporasi
(misalnya rumah sakit) memberi kesan kepada masyarakat (pasien), orang yang
bekerja disitu (dokter,perawat,dan lain-lain) adalah karyawan yang tunduk dibawah
perintah korporasi tersebut, maka sudah cukup syarat bagi korporasi itu untuk wajib
bertanggung jawab secara vicarious terhadap konsumen.
Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip kedua. Prinsip Praduga untuk tidak
selalu bertanggung jawab hanya dikenal dalamlingkup transaksi konsumen yang
sangat terbatas, dan pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat
dibenarkan.
Variasi yang sedikit berbeda dalam penerapan tanggung jawab mutlak terletak
pada risk liability. Dalam risk liability, kewajiban mengganti rugi dibebankan kepada
pihak yang menimbulkan resikoadanya kerugian itu. Namun, konsumen tetap
diberikan beban pembuktian, walaupun tidak sebesar si tergugat. Dalam hal ini, ia
hanna perlu membuktikan adanya hubungan kausalitas antara perbuatan pelaku usaha
(produsen) dan kerugian yang dideritanya. Selebihnya dapat digunakan prinsip strict
liability.
\ Prinsip tanggung jawab ini sangat merugikan konsumen bila ditetapkan secara
sepihak oleh pelaku usaha. Dalam UU No. 8 Tahun 1999 seharusnya pelaku usaha
tidak boleh secara sepihak menentukan klausul yang merugikan konsumen, termasuk
membatasi maksimal tanggung jawabnya. Jika ada pembatasan mutlak harus
berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang jelas.
b. product liability
Kebutuhan-kebutuhan akan reformasi hukum, khususnya hukum ekonomi
dalam perkembangan dewasa ini sangatlah mendesak. Apalagi dalam era globlalisasi
seperti sekarang ini, yang ditandai dengan saling ketergantungan antara Negara satu
dengan Negara lainny, pembentukan hukum nasional yang baru perlu memperhatikan
dimensi internasional, Indonesia dituntut memebentuk hukum nasional yang harus
mampu berperan dalam memperlancar lalu lintas hukum ditingkat international.
Adalah fakta bahwa terdapat ketentuan-ketentuan yang baik yang berasal dari
legal culture bangsa lain ataupun konvensi-konvensi internasional yang dapat
dimanfaatkan dalam rangka modernisasi hukum nasional. Salah satu lembaga hukum
yang berdimensi internasional yang perlu diperhatikan dalam revisi maupun
pembentukan hukum ekonomi nasional adalah tanggung jawab produk ( product
liability).
Tanggung jawab para produsen untuk produk yang telah dibawanya kedalam
peredaran yang menimbulkan/menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat
pada produk tersebut.
Product liability adalah suatu tanggung jawab secara hukum dari orang atau
badan yang menghasilkan suatu produk atau dari badan yang bergerak dalam suatu
proses untuk menghasilkan suatu produk atau badan yang menjual produk tersebut.
Bahkan dilihat dari konvensi tentang product liability diperluas terhadap orang/badan
yang terlibat dalam rangkaian komersial tentang persiapan atau penyebaran dari
produk, termasuk para pengusaha bengkel dan pergudangan.
Pemasok, dalam hal identitas dari produsen atau importer tidak dapat
ditentukan
a. Penampilan produk
Setiap produk yang tidak dapat memenuhi tujuan pemuatannya baik karena
kesengajaan atau kealpaan dalam proses produksinya maupun disebabkan hal-hal
lainyang terjadi dalam peredarannya, atau tidak menyediakan syarat-syarat
keamanan bagi manusia atau harta benda dalam penggunaannya, sebagaimana
diharpkan orang.
Dari batasan ini terlihat bahwa pihak yang bertanggung jawab adalah pelaku
usaha pembuat produk tersebut (produsen), tanpa kesalah dari pihaknya.
Perkembangan ini sebenarnya dipicu juga oleh tujuan yang ingin dicapai doktrin ini,
yaitu:
2. Cacat desain
Cacat produk adalah keadaan produk yang umumnya berada dibawah tingkat
harapan konsumen. Atau dapat pula cacat itu demikian rupa sehingga dapat
membahayakan harta bendanya, kesehatan tubuh atau jiwa konsumen. Misalnya,
setiap orang mengharapkan air minum dalam botol tidak berisi butir-butir pasir,
seperti juga tepung gandum tidak berisi potongan-potongan kecil besi, saus tomat
tidak terbuat dari labu siam sitambah dengan zat pewarna. Cacat-cacat demikian
dapat pula termasuk cacat desain, sebab kalau desain produk itu dipenuhi
sebagaimana mestinya, tidaklah kejadian merugikan konsumen tersebut dapat terjadi.
Cacat peringatan ini adalah cacat produk karena tidak dilengkapi dengan
peringatan-peringatan tertentu atau intruksi penggunaan tertentu. Misalnya peringatan
produk harus disimpan pada suhu kamar atau suhu lemari pendingin (makanan dalam
kemasan). Atau dapat pula peringatan agar dalam penggunaannya harus
menggunakan voltase listrik tertentu, larangan memakai kendaraan, bermotor selama
menggunakannya, atau pengguna yang biasa meminum minuman keras melebihi
ukuran tertentu harus meminta nasehat dokter, dan sebagainya.
Jadi, tanggung jawab produk cacat ini berbeda dari tanggung jawab pelaku
usaha produk pada umumnya. Tanggung jawab produk cacat terletak pada tanggung
jawab cacatnya produk berakibat pada orang, orang lain atau barang lain. Sedang
tanggung jawab pelaku usaha karena perbuatan melawan hukum adalah tanggung
jawab atas rusaknya atau tidak berfungsinya produk itu sendiri.
b. Cacat yang menyebabkan kerugian tersebut tidak ada pada saat produk
diedarkan oleh produsen,atau terjadinya cacat tersebut baru timbul kemudian.
c. Bahwa produk tersebut tidak dibuat oleh produsen baik untuk dijual
atau diedarkan untuk tujuan ekonomis maupun dibuat atau diedarkan dalam
rangka bisnis;
4. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud ada ayat pada ayat (1)
dan ayat (2) tidak mengharuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana
berdasarkan pembuktian lebih jelas mengenai adanya unsure kesalahan.
5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak
berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut
merupakan kesalahan konsumen.
2. Kecakapan
Dua syarat yang pertama berkaitan dengan syarat subjektif, sedangkan dua
syarat terakhir berhubungan dengan syarat objektif. Menurut Subekti, pelanggaran
syarat subjektif menyebabkan perjanjian itu terancam untuk dapat dimintakan
pembatalannya. Di sisi lain, bila syarat objektif tidak dipenuhi, perjanjian itu
terancam batal demi hukum.
2. Paksaaan
3. Penipuan
Tiga alasan warisan hukum colonial belanda itu tetap berlaku sampai
sekarang, sekalipun di negeri Belanda terjadi satu perkembangan yang sangant
berarti, khususnya dipandang dari sudut hukum perlindungan konsumen. Kemajuan
dimaksud adalah dimasukkannya alasan keempat, yaitu penyalahgunaan keadaan.
Keempat alasan itu dicantumkan dalam Buku III Pasal 44 ayat (1) Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata belanda yang baru.
Satu hal yang harus diingat, penyalahgunaan keadaan sejak semula tidak dapat
dianggap sebagai hal yang dapat dibenarkan oleh hukum. Sebenarnya,
penyalahgunaan keadaan sejak dulu dimasukkan sebagai keadaan yang bertentangan
dengan ketertiban umum atau kebiasaan yang baik. atas dasar itu, suatu perjanjian
dapat dinyatakan tidak berlaku, baik seluruhnya maupun bagian tertentu saja. Dengan
demikian, ada anggapan “sebab” yang terlarang sama dengan “isi” perjanjian yang
tidak di benarkan. Padahal, penyalahgunaan tidak semata-mata berkaitan dengan “isi”
perjanjian. Isinya mungkin tidak terlarang, tetapi ada sesuatu yang lain, yang terjadi
pada saat lahirnya perjanjian, yang menimbulkan kerugian pada salah satu pihak.
Inilah yang dinamakan “penyalahgunaan keadaan”.
Menurut Van Dunne, penyalahgunaan keadaan terjadi karena ada dua unsur,
yaiitu kerugian bagi salah satu pihak dan penyalahgunaan kesempatan oleh pihak lain.
Dari unsure yang kedua itu,timbul sifat perbuatan, yaitu ada keunggulan pada
salah satu pihak, yang bersifat ekonomis/psikologis. Keunggulan ekonomis terjadi
bila posisi kemampuan ekonomi kedua belah pihak tidak seimbang sehingga salah
satu tergantung pada yang lain. Pada keunggulan psikologis, boleh jadi
ketergantungan ekonomis itu tidak ada, tetapi salah satu pihak mendominasi secara
kejiwaan. Kondisi ini tercipta karena :
1. Pada waktu menutup perjanjian, salah satu pihak ada dalam keadaan
terjepit
Factor kerugian disini tidak harus berwujud kerugian materiil, tetapi dapat
meliputi kerugian”subjektif”, seperti segala sesuatu yang menyebabkan orang pada
posisi tidak menguntungkan.
1. Manfaat
2. Keadilan
3. Keseimbangan
5. Kepastian hukum
Pasal 4 huruf g UUPK menyebutkan pula, salah satu hak konsumen adalah
hak untuk diperlakukan atatu dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
Penjelasan dari ketentuan tersebut secara jelas dapat ditafsirkan sebagai keterkaitan
dengan larangan “penyalahgunaan keadaan”. Dalam ketentuan itu dikatakan, setiap
konsumen memiliki hak untuk dilakukan atau di layani secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif berdasarkan suku, agama, budaya, daerah, pendidikan,
kaya, miskin, dan status social lainnya.
Pasal 15 UUPK bahkan secara tegas mengatakan, pelaku usaha dalam
menawarkan barang atau jasa dilarang melakukan dengan cara pemksaan atau cara
lain yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis terhadap konsumen.
Selanjutnya dalam hubungannya dengan perjanjian standar, Pasal 18 UUPK
meletakkan hak-hak yang setara antara konsumen dan pelaku usaha bedasarkan
prinsip kebebasan berkontrak. Pelanggaran terhadap kedua paasl di atas merupakan
tindak pidana menurut ketentuan Pasal 62 UUPK, dengan ancaman pidana penjara
paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak dua miliar rupiah.
Van Dunne melihat, dalam kaitannya dengan perjanjian standar yang banyak
sekali dibuat oleh para pelaku usaha dewasa ini, sebaiknya penerapan ajaran
“penyalahgunaan keadaan” ini tidak sepenuhnya diserahkan pada hakim. Artinya,
perlu “campur tangan” pembentuk undang-undang untuk melindungi kepentingan
konsumen. Pesan ini tampaknya perlu juga diperhatikan oleh lembaga legislatif kita.
d. Norma-norma perlindungan konsumen
Era perdagangan bebas menghendaki bahwa semua barang dan jasa yang
berasal dari Negara lain harus dapat masuk ke Indonesia, bila tidak distigma anti-
world trade organization (WTO). Masuk nya barang dan jasa impor ke Indonesia
bukannya tanpa permasalahan. Permasalahan muncul jika ada pengaduan konsumen
atas barang dan jasa impor tersebut, bagaimana mekanisme penyelesaiannya yang
sederhana, cepat dan biaya ringan. Masih banyak makanan impor yang diketahui
dengan jelas siapa distributornya di Indonesia. Ketidakjelasan ini menyulitkan
konsumen bila ia mengalami kerugian akibat produk barang atau jasa tersebut.
Secara yuridis muncul pula masalah benturan system hukum antara Indonesia
dengan Negara-negara lain. Yaitu, bila perundang-undangan Indonesia bertentangan
dengan ketentuan (WTO). Secara teoritis itu dapat saja diselesaikan, tetapi pada
tataran paktik dan kenyataannya tidak mudah dilakukan karena berbagai sebab yang
bersifat yuris-politis-sosiologis. Paling tidak ada 3 penyebab yang dapat
dikategorikan sabagai hambatan-hambatan dalam perdagangan bebas.
b. Praktik peradilan kita yang tidak sederhana, cepat, dan biaya ringan
d. Pendidikan konsumen
BAB 6
LEMBAGA/INSTANSI DAN PERANNYA DALAM PERLINDUNGAN
KONSUMEN
adanya Badan Perlindungan Konsumen Nasional. Badan ini terdiri atas 15 orang
sampai dengan 25 orang anggota yang mewakili unsure : (1.)Pemerintah, (2.) pelaku
usaha, (3.) lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, (4.) akademisi dan
(5.) tenaga ahli. Masa jabatan mereka adalah 3 tahun, dan dapat di amanat kembali
untuk satu kali masa jabatan berikutnya.
Keanggotaan badan perlindungan konsumen nasional / BPKN ini di angkat oleh
presiden atas usulan menteri (bidang perdagangan) setelah dikonsultasikan kepada
dewan perwakilan rakyat. Syarat – syarat keanggotaannya menurut pasal 37 UUPK
adalah :
1. Warga Negara Indonesia
2. Berbadan sehat
3. Berkelakuan baik
Syarat diatas persis seperti yang juga berlaku untuk menjadi anggota badan
penyelesaian
Konsumen (pasal 49 UUPK). Bedanya adalah dalam UUPK, keanggotaan BPKN
dicantumkan secara tegas batas masa jabatannya dan kapan yang bersangkutan dapat
berhenti sebagai anggota. Anturan demikian tidak disebutkan untuk keanggotaan
badan penyelesaian sengketa konsumen.
Menurut pasal 38 UUPK, keanggotaan BPKN berhenti karena :
1. Meninggal dunia;
6. Diberhentikan;
Hal ini disebabkan oleh masih banyaknya produk tidak bermutu yang palsu
yang beredar bebas dimasyarakat, apalagi, masyarakat pedesaan yang belum
memahami efek atau indikasi dari produk barang yang digunakan, misalkan makanan
kaleng, minuman botol, obat – obatan, dan masih banyak lagi. Ketidaktahuan
masyarakat dapat memberi peluang pelaku usaha atau penjual untuk membodohi
masyarakat dengan produk yang tidak memenuhi standar.
Oleh karena itu, LPKSM dan cabangnya di daerah harus mengontrol dengan
sungguh – sungguh kelayakan produk barang yang dipasarkan melalui penyuluhan
kepada masyarakat tentang tertib niaga dan hokum perlindungan konsumen agar
mereka tidak terjebak tindakan pelaku usaha yang hanya memproriotaskan
keuntungan dan mengorbakan masyarakat.
Ada berbagai jenis layanan yang disediakan oleh Pemerintah, pelayanan yang
bersifat profit misanya jasa telekomunikasi, air minum, angkutan, pelayanan yang
bersifat monopoli,misalnya PLN dan pelayanan yang bersifat nonprofit seperti KTP,
catatan sipil, IMBm imigrasi, dan lain – lain.
The UN Guidelines for Consumer Protection yang diterima dengan suara bulat
oleh Majelis Umum Perserikatan – Perserikatan Bangsa – Bangsa (PBB) melalui
Resolusi PBB No. A/RES/39/248 tanggal 16 April 1985 tentang Perlindungan
Konsumen, mengandung pemahaman umum dan luas mengenai perangkat
perlindungan konsumen yang asasi dan adil. Satu hal yang diperjuangkan guidelines
itu adalah struktur kelompok – kelompok konsumen yang independen, dimana
dinyatakan dalam paragraph pertama bahwa pemerintah – pemerintah berbagai
Negara sepakat untuk memfasilitasi/mendukung pengembangan kelompok –
kelompok konsumen (guidelines 1e). hal ini merupakan kemajuan yang sangat berarti
di bidang perlindungan konsumen.
5. Mereka tidak boleh mengizinkan eksploitasi atas informasi dan advis yang
mereka tidak mereka berikan kepada konsumen untuk kepentingan
perdagangan.
Artinya, adanya informasi pelayanan, yang dapat berupa loket informasi yang
dimiliki dan terpampang jelas, kotak saran, dan layanan pengaduan.
Dilengkapi juga dengan petunjuk pelayanan. Dalam keterbukaan, mencakup
upaya publikasi, artinya penyebaran informasi yang dilakukan melalui media
atau benruk penyuluhan tentang adanya pelayanan yang dimaksud.
2. Kesedehanaan
3. Kepastian
Artinya, ada terpampang dengan jelas waktu pelayanan, biaya pelayanan, dan
petugas pelayanan. Kantor pelayanan hendaknya mencantumkan jam kerja
kantor untuk pelayanan masyarakat., jadwal pelayanan dan pelaksanaannya.
Untuk biaya pelayanan, pengaturan tarif dan penerapannya harus sesuai
dengan ketentuas yang berlaku. Adanya pegaturan tugas dan penunjukkan
petugas haruslah pasti dan sesuai dengan keahlian.
4. Keadilan
Artinya, tidak membedakan si kaya dan si miskin, laki atau perempuan, merata
dalam memberikan subjek pelayanan tidak diskriminatif.
j. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen atau alat – alat bukti
lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan;
Dari uraian di atas dapat dibuat skema proses penyelesaian sengketa melalui
BPSK sebagai berikut,
Badan Penyelesaian Sengketa
Pemerintah/Pelaku Usaha/Konsumen
Tugas dan
Wewenang
Bentuk Keputusan
Pasal 52
21 Hari;Pasal 55
a. Penyelesaian:
j. Memberitahu putusan
Makamah Agung
k. Menjatuhkan hukuman
administratif putusan 30 Hari
Pasal 58 ayat (3)
Dalam menghadapi Abad XXI, konsumen mengharapkan pelayanan birokrasi
menjadi lebih baik, paling tidak berperan indicator atau criteria yang ditawarkan
diatas semaksimal mungkin dipenuhi. Abdi Negara sudah harusnya melayani
kepentingan masyarakat dan bukan dilayani oleh masyarakat. Mengigat salah satu
tolok ukur dari majunya suatu Negara adalah nilai dari pelayanan terhadap
masyarakat oleh aparatur Negara.
BAB 7
ISU – ISU HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN
A. PENGANTAR
Diantara sekian banyak sector, bidang kesehatan merupakan sector yang relative lebih
lengkap pengaturannya dalam melindungi konsumen dibandingkan bidang – bidang
lain- lainnya. Sekalipun demikian, khusus mengenai periklanan, pada akhir 1992,
Menteri Kesehatan RI pernah melontarkan kritikan yang sangat tajam terhadap iklan
obat – obatan yang beredar dimasyarakat, khususnya yang ditayangkan ditelevisi.
Menurutnya, semua iklan itu menyesatkan.
Dapat dibayangkan jika sinyalemen Menteri Kesehatan itu benar, berarti dari
iklan obat – obatan yang disiarkan ditelevisi, tidak satupun yang memberikan
informasi yang jujur. Itu baru disatu media, belum di media lainnya, seperti media
audio dan media cetak yang tersebar di seluruh Indonesia.
Sesungguhnya apa yang di ungkapkan Menteri Kesehatan sejak lama menjadi
keluhan pengamat dan aktivis perlindungan konsumen. Frekuensi keluhan itu terus
meningkat, terutama sejak diperolehnya kembali siaran iklan ditelevisi. Namun
keluhan – keluhan demikian biasanya tidak mendapat publikasi yang luas karena
berbagai pertimbangan komersial.
Dibandingkan dengan instansi – instansi lainnya, Departemen Kesehatan sebenarnya
memiliki rambu – rambu pengaman yang relative lebih lengkap dalam melindungi
konsumen. Departemen ini mempunyai lembaga tersendiri yang mengawasi peredaran
dan penggunaan obat (termasuk obat tradisional), makanan, kosmetika, dan alat
kesehatan. Tugas demikian dibebankan kepada Direktorat Jenderal Pengawasan Obat
dan Makanan (Ditjen POM).
Untuk melakukan pengawasan demikian, khususnya yang berkaitan dengan
periklanan diterbitkan Surat Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri
Penerangan (NO.252/Menkes/SKB/VIII/80 dan NO.122/Kep/Menpen/1980) tentang
Pengendalian dan Pengawasan Iklan Obat, Makanan, Minuman, Kosmetika, dan Alat
Kesehatan (OMKA). Menurut Surat Keputusan Bersama itu, Menteri Kesehatan
berkewajiban mengawasi menteri periklanan sesuai dengan criteria teknis medis dan
etis, sedangkan Menteri Penerangan melakukan pengawasan materi secara umum.
untuk itu selanjutnya dibentuk panitia khusus/ bersama, yang keanggotaannya berasal
dari dua departemen serta kalangan periklanan dan anggota masyarakat lainnya.
Namun, ide yang di amanatkan SuratKeputusan Bersama tersebut tidak
ditindaklanjuti. Panitia yang dimaksud tidak pernah dibentuk dan kosekuensinya,
surat keputusan itu tidak dapat dijadikan dasar peganganpenerbit periklanan OMKA.
Dengan dihapusnya instansi Departemen Penerangan dalam struktur pemerintah saat
ini, tampaknya amanat tersebut tinggal menjadi kenangan.
Selain mengacu kepada ketentuan Undang – Undang No.23 Tahun 1992
tentang kesehatan, dalam melakukan pengawasan Direktorat Jenderal POM samapai
sekarang masih mendasarkan diri pada Ordonansi Pemeriksaan Bahan – Bahan
Farmasi (Staatsblad 1936 No.660). Sesuai namanya, ordonansi tersebut tidak secara
khusus mengatur masalah periklanan. Ordonansi itu memerlukan penjabaran itu lebih
lanjut dalam peraturan perundang – undangan yang lebih rendah tingkaatannya.
Masalah iklan obat, misalnya antara lain diatur dalam Surat Keputusan Menteri
Kesehatan No. 0282 – 3/A/SK/XI/90 tentang Kriteria Terperinci, Kelengkapan
Permohonan dan Tata Laksana Pendaftaran Obat Jadi.
Dalam ketentuan yang disebutkan terakhiran disyaratkan bahwa setiap iklan
obat harus memuat informasi sesuai dengan persetujuan yang diberikan Departemen
Kesehatan pada saat obat itu didaftarkan. Jenis obat yang boleh diiklankan hanya jenis
obat bebas dan terbatas, bukan obat keras. Selain itu sejak 1989 naskah iklan obat –
obatan harus diserahkan pula kepada Direktorat Jenderal POM untuk mendapatkan
persetujuan.
Untuk obat – obatan tradisional, tidak diperkenankan untuk diiklankan selama
belum didaftarkan di Departemen Kesehatan (Pasal 3 Peraturan Menteri Kesehatan
No.246/Menkes/Per/V/1990). Dalam peraturan itu juga ditegaskan bahwa iklan yang
diberikan tidak boleh menyimpang dari apa yang disetujui dalam pendaftaran. Dalam
praktiknnya, ternyata banyak sekali iklan yang sitayangkan diberbagai media yang
melenceng jauh dari naskah yang diserahkan ked an disetujui oleh Direktorat Jederal
POM. Ironisnya, ancaman sangsi yang diberikan Departemen Kesehatan mulai dari
teguran. Pembatalan pendaftaran, sampai dengan pencabutan izin usaha industry obat
yang bersangkutan, sama sekali tidak membuat “kecut” pelakunya.
Tidak adil rasanya bila segala beban penyimpangan harus dipersalahkan
sepenuhnya ke pihak produsen obat – obatan. Saat ini dapat dipastikan semua iklan
obat di televise yang pernah dipersoalkan oleh Menteri Kesehatan diserahkan
pembuatannya kepada perusahaan periklanan (production house). Ditempat inilah
iklan itu diproduksi, sebelum akhirnya disebarluaskan ke media yang diingini.
Dalam memproduksi iklan, pihak perusahaan periklanan dikawal ketat oleh
kode etik yang ditanda tangani oleh lima asosiasi (termasuk Perusahaan Periklanan
Indonesia) pada 17 September 1981. Tata Cara dan Tata Periklanan Indonesia ini
selalu disempurnakan, dengan penandatangan oleh tujuh instansi pada 19 Agustus
1996. Ketujuh instansi tersebut adalah:\
1. Asosiasi Perusahaan Media Luar Ruang Indonesia (AMLI)
Untuk obat – obatan, kode etik periklanan juga mensyaratkan iklan harus
sesuai dengan indikasi jenis produk yang disetujui oleh Departemen Kesehatan.
Selain itu, iklan tidak boleh memuat kata – kata yang berisi janji penyembuhan
penyakit, tapi hanya boleh menyatakan membantu menghilangkan gejala penyakit.
Juga tidak boleh mencantumkan kata – kata “aman”, “tidak berbahaya”, atau
“bebas resiko” tanpa keterangan lengkap yang menyertainya. Pemakaian tenaga
professional kesehatan sebagai model iklan, seperti dokter, perawat, ahli farmasi,
rumah sakit, atau atribut – atribut profesi medis lainnya juga dilarang.
Dari sebagian kecil rumus kode etik itu saja tampak banyak iklan obat yang
tidak memnuhi persyaratan. Iklan obat yang “tidak sehat” seperti itu tentu saja
merugikan perusahaan obat sejenis, tapi (lebih – lebih) merugikan konsumen yang
tidak berhati – hati.
Mayoritas konsumen di Indonesia masih terlalu rentan dalam menyerap
informasi iklan yang “tidak sehat”. Oleh karena itu, sangat riskan kiranya
bilatidak diadakan pengawasan yang memadai dan konsumen dibiarkan
menimbang – nimbang serta memutuskan sendiri iklan apa yang pantas untuk
dipercaya. Cara berfikir yang dalam hokum dikenal sebagai caveat emtor (let the
buyer beware) demikian hanya cocok untuk Negara kapasitas abad ke – 19, yang
dinegara asalnya (Inggris dan Amerika Serikat) sudah pula ditinggalkan.
Posisi yang tidak berimbang antara produsen dan konsumen akan mudah
disalahgunakan (machtpositie) oleh pihak yang lebih kuat. Apalagi jika pihak
produsen yang lebih kuat itu didukung oleh fasilitas yang memungkinkannya
bertindak secara monopolitis.
Lolosnya penayangan iklan yang menyesatkan (dalam hal ini, iklan obat –
obat ) membuktikan, mekanisme pengawasannya masih berjalan dengan baik.
Sebagai mana diuraikan diatas surat keputusan bersama dari dua menteri (1980)
menyatakan pengawasan periklanandi bidang OMKA dilakukan oleh panitia
tersendiri. Keberadaan panitia itu kiranya cukup urgen untk di wujudkan karena
memudahkan dalam melakukan koordinasi. Kendati demikian, terlebih dahulu
perlu dijabarkan secara jelas batas kewenangan panitia tersebut., agar tidak
tumpang tindih dengan mikanisme pengwasan serupa yang dimiliki instansi
dijajar departemen lain.
Dalam hokum pembentukan panitia bersama di atas tentu akan lebih baik jika
tidak berbentuk surat keputusan bersama. Bentuk peraturan demikian tidak
dikenal dalam tata urutan peraturan perundang – undangan di Indonesia, dan
keputusan setingkat menteri seperti itu tidak berwenang mencantumkan sanksi.
Sebagai perbandingan di Amerika Serikat badan yang mengawasi masalah makan
dan obat (The Food and Drug Administration) dibentuk atas produk hokum
setingakt undang – undang. Demikina juga badan yang kewenangannya antara
lain yang mengawasi masalah periklanan. (The Federal Trade Commission), juga
dibentuk berdasarkan undang – undang.
Dalam Bab Undang – Undang VII No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan,
sesungguhnya ditegaskan bahwa Pemerintah berwenang untuk melakukan
pembinaan dan pengawasan terhadap semua kegiatan yang berkaitan dengan
upaya penyelenggaraan kesehatan. Selanjutnya dinyatakan bahwa pembinaan dan
pengwasan tersebut akan ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Ini berarti
dibuka kesempatan untuk membentuk suatu badan pengawasan yang lebih bergigi.
Khusunya hal periklanan di bidang OMKA dengan dasar hokum yang lebih
sesuai.
Dalam Undang – Undang No.7 Tahun 1996 tentang Pangan disebut secara
jelas mengenai iklan pangan. Pasal 33 dari undang – undang ini menyatakan,
setiap label dan/atau iklan tentang pangan yang diperdagangkan harus memuat
keterangan mengenai pangan dengan benar dan tidak menyesatkan. Untuk itu
pemerintah mengatur, mengawasi dan melakukan tindakan yang diperlukan agar
iklan tentang pangan yang diperdagangkan tidak memuat keterangan yang dapat
menyesatkan.
Dan ketetuan Undang – Undang Pangan ini sebenarnya tidak mempunyai
aspek konstitutif yang berarti banyak karena masih harus menunggu peraturan
pelaksanaannya. Juga masih samar – samar tentang pengertian “pangan yang
diperdagangkan”. Hal ini menimbulakan pertanyaan : bagaimana untuk “pangan
yag tidak diperdagangkan”? dalam kenyataannya dapat dilihat, produk pangan
dengan merek baru yang masih dalam masa perkeenalan kepada konsumen,
biasanya diiklankan terlebih dahulu oleh si produsen. Sementara itu, sampel –
sampel produk itu di bagikan secara ngratis kepada masyarakat, tepatnya ke
sasaran konsumen yang dinilai paling potensial. Sampel – sampel tersebut tentu
tidak untuk diperdagangkan, dan rasa tidak adil jika dikecualikan dari ketentuan
Pasal 33 UU Pangan.
Pasal 34 dari Undang – Undang Pangan juga membawa polemic yang tidak
kalah menariknya. Di situ dinyatakan, bahwa setiap orang yang menyatakan
dalam table atau iklan bahwa pangan yang diperdagangkan adalah sesuai dengan
persyaratan agama tau kepercayaan tertentu bertangguang jawab atas kebenaran
pernyataan berdasarkan agama atau kepercayaan tersebut. Rumusan pasal ini
mengacu kepada pencantuman label “halal” yang sesuai dengan syariah Islam.
Departemen Kesehatan dan Agama menginginkan agar label ini dikeluarkan oleh
Departemen Kesehatan setelah mendapat rekomendari dari Majelis Ulama
Indonesia. Sebaliknya, Kantor Menteri Urusan Pangan dulu ingin menyerahkan
kepada masing – masing produsen. Konsekuensinya, jika produsen melanggar, ia
akan dikenakan sangsi hokum. Polemic ini sesungguhnya tidak akan dapat
dituntaskan jika akar permasalahan. Yakni “memberi rasa nyaman pada
konsumen” tidak ditempatkan pada proritas utama. Artinya, jika label (dan iklan)
itu diserahkan sepenuhnya kepada produsen, tentu akan dipertanyakan, sejauh
mana konsumen akan merasa aman dan yakin kebenaran isinya, dan sejauh mana
pula Pemerintah mampu mencegah dan menindakk tindakan produsen yang tidak
bertangguang jawab.
Selain sarana pengawasan di tingkat aparatur Negara, peranan yang tidak
kalah pentingnya juga harus darang dari masyarakat seperti Yayasan Lembaga
Konsumen Indonesia (YKLI). Peranan YLKI antara lain secara berkala
melakukan pengujian suatu produk tertentu dan mempublikasikannya.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 71 dan 72 Undang – Undang Kesehatan, apa
yang dilakukan YLKI ini seyogyanya disambut dengan positif. Informasi yang
diberikannya paling tidak dapat dijadikan bahan perbandingan bagi masyarakat,
disamping informasi yang sehari – hari mereka dapatkan dari iklan. Iklan adalah
produk kreativitas dan komersial. Dengan demikian, pengawasannya tidak boleh
sampai mematikan dua ciri di atas.
C. PERJANJIAN STANDAR DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN
Perjanjian standar (baku), sebenarnya dikenalkan sejak zaman Yunani Kuno.
Plato (423 – 347 SM), misalnya pernah memaparkan praktik penjualan makanan
yang harganya ditentukan secara sepihak oleh penjual, tanpa memperhatikan
perbedaan mutu makanan tersebut. Dalam perkembangannya, tentu saja penentuan
secara sepihak oleh produsen/penyalur produk (penjual), tidak lagi sekadar
masalah harga, tetapi mencakup syarat – syarat yang lebih detail. Selain itu,
bidang – bidang yang diatur dengan perjanjian standar pun makin bertambah luas.
Menurut sebuah laporan dalam Harvard Law Review pada 1971,99 persen
perjanjian yang dibuat di Amerika Serikat berbentuk perjanjian standar. Di
Indonesia, perjanjian standar bahkan merambah ke sector property dengan cara –
cara yang secara yuridis masih kontrovesial. Misalnya, diperbolehkan system
pembelian satuan rumah susun (strata title) secara inden dalam bentuk perjanjian
standar.
Tentu saja fenomena demikian tidak selamanya berkonotasi negative. Tujuan
dibuatnya perjanjian standar untuk memberikan kemudahan (kepraktisan) bagi
para pihak yang bersangkutan. Oleh karena itu, bertolak dari tujuan itu, Mariam
Darus Badrulzaman lalu mendefenisikan perjanjian standar sebagai perjanjian
yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir.
Sutan Remi Sjahdeini mengartikan perjanjian standar sebagai perjanjian yang
hampir seluruh klausul – klausulnya dibakukan oleh pemakaiannya dan pihak lain
pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta
perubahan. Adapun yang belum dibakukan ada beberapa hal, misalnya yang
menyangkut jenis, harga, jumlah, warna, tempat, waktu, dan beberapa hal yang
spesifik dari objek yang diperjanjikan. Sjahdeini menekankan, yang dibakukan
bukan formulir perjanjian tersebut, melainkan klausal – klausalnya.
Di satu sisi, bentuk perjanjian seperti ini sangat menguntungkan, jika dilihat
dari beberapa banyak waktu, tenaga dan biaya yang dapat dihemat. Akan tetapi, di
sisi yang lain bentuk perjanjian seperti ini tentu saja menempatkan pihak yang
tidak ikut membuat klausul – klausul di dalam perjanjian itu sebagai pihak yang
baik yang langsung maupun tidak sebagai pihak dalam perjanjian itu memiliki hak
memiliki kedudukan seimbang dalam menjalakan perjanjian tersebut, disisi yang
lain ia harus menurut terhadap isi perjanjian yang disodorkan kepadanya.
Sebenarnya. Perjanjian standar tidak perlu selalu dituangkan dalam bentuk
formulir walaupun memang lazim dibuat tertulis. Contohnya dapat dibuat dalam
bentuk pengumuman yang ditempelkan tempat penjual menjalankan usahanya.
Jadi, perjanjian standar adalah perjanjian yang ditetapkan secara sepihak, yakni
oleh produsen/penyalur produk (penjual), dan mengandung ketentuan yang
berlaku umum (massal), sehingga pihak yang lain (konsumen) hanya memiliki
dua pilihan : menyetujui atau menolaknya.
Adanya unsure pilihan ini oleh sementara pihak dikatakan perjanjian standar
tidaklah melanggar atas kebebasan berkontak (Pasal 1320 jo. 1338 KUH Perdata).
Artinya, bagaimana pihak konsumen masih diberi hak untuk menyetujui (take it)
atau menolak perjanjian yang diajukan kepadanya (leave it). Itu sebabnya,
perjanjian standar ini kemudian dikenal dengan nama take it or leave it contract.
Karena lahir dari kebutuhan akan kebutuhan efisiensi serta efektivitas kerja,
maka bentuk perjanjian baku ini pun memiliki karateristik yang khas yang tidak
dimiliki oleh perjanjian yang lain pada umumnya, antara lain perjanjian baku
dibuat oleh salah satu pihak saja dan tidak melalui suatu bentuk perundingan, isi
perjanjian yang telah distandarisasi, klausul yang ada di dalamnya biasanya
merupakan klausul yang telah menjadi kebiasaan secara luas dan berlaku secara
terus menerus dalam waktu yang lama.
Perjanjian baku banyak memberikan keuntungan dalam penggunaannya, tetapi
dari berbagai keuntungan yang ada tersebut terdapat sisi lain dari pengunaan serta
perkembangan perjanjian baku yang banyak mendapat sorotan kritis dari para ahli
hokum, yaitu sisi kelemahannya dalam mengakomodasikan posisi yang seimbang
bagi para pihaknya. Kelemahan – kelemahan perjanjian baku ini bersumber dari
karateristik perjanjian baku yang dalam wujudnya merupakan suatu perjanjian
yang dibuat oleh salah satu pihak dan suatu perjanjian terstandarisasi yang
menyisakan sedikit atau bahkan tidak sama sekali ruang bagi pihak lain untuk
menegosiasikan isi perjanjian itu. Sorotan para ahli hokum dari berlakunya
perjanjian baku selain dari segi keabsahannya adalah adanya klausul – klausul
yang tidak adil dan sangat memberatkan salah satu pihak.
Jika ada yang perlu dikuatirkan dengan kehadiran perjanjian standar, tidak lain
karena dicantumkannya klausul eksonerasi (exemption clause) dalam perjanjian
tersebut. Klausul eksonerasi adalah klausul yang mengandung kondisi membatasi
atau bahkan menghapus sama sekali tanggung jawab yang semestinya dibebankan
kepada pihak produsen/penyalur produk (penjual).
Mariam Darus Badrulzaman, dengan istil
ahnya klausul eksonerasi, memberikan defenisi terhadap klausul tersebut
sebagai klausul yang berisi pembatasan pertanggung jawaban dari kreditor,
terhadap resiko dan kelalaian yang semestinya ditanggungnya.
Demikian juga David Yates, yang lebih memilih mengunakan istilah exclusion
clause, memberikan defenisi any term in a contract restricting, exluding and
modifying aremedy or a ability arising out of breech of a contractual obligation
yang diterjemahkan secara bebassebagai setiap bagian dari suatu perjanjian yang
membatasi, membebaskan atau merekayasa ganti rugi atau tanggung jawab yang
timbul dari pelanggaran terhadap suatu perjanjian.
Dalam pengertiannya yang lebih luas David Yates menunjuk pada
yurisprudensi pada kasus Bensten v. Taylor, Sons & Co (1893) dab Bahama
International Trust Co.V Threadgold (1974) yang mengemukakan bahwa
exemption clause di artikan sebagai …. A clause in a contract or a term in a notice
which appears to exclude or restrict a liability or legal duty that would otherwise
arise, yang diterjemahkan secara bebas adalh klausul yang kehadirannya untuk
membebaskan atau membatasi tanggung jawab yang mungkin saja muncul.
Menurut Engels menyebut adannya tiga bentuk yuridis dari perjanjian dengan
syarat – syarat eksonerasi. Ketiga bentuyk yuridis tersebut terdiri atas:
a. Tanggung jawab untuk akibat – akibat hokum, karena kurang baik dalam
melaksanakan kewajiban – kewajiban perjanjian;
Disini dilihat betapa tidak adanya keseimbangan posisi tawar menawar antara
produsen/penyalur produk (penjual) yang lazim tersebut kreditor dan konsumen
(debitur) di lain pihak. Sehubungan dengan pertanyaan : apakah ada kebebasan
berkontrak dalam perjanjian standar ini.? Ada beberapa pendapat yang menegaskan
kontroversi di dalamnya.
Pendapat pertama dating dari Sluijter, yang menyatakan perjanjian standar
bukan perjanjian. Alasannya, kedudukan pengusaha dalam perjanjian ini adalah
seperti pembentuk undang – undang swasta (legio particuliere wetgever). Syarat –
syarat yang ditentukan pengusaha didalam perjanjian itu adalah undang – undang,
bukan perjanjian! Pitlo mengatakannya sebagai perjanjian paksa (dwang contract),
walaupun secara teoritis yuridis, perjanjian ini tidak memnuhi ketentuan undang –
undang dan ditolak oleh beberapa ahli hokum. Namun dalam kenyataanya, kebutuhan
masyarakat berjalan dalam arah yang berlawanan dengan keinginan hokum. Pendapat
Pitlo ini mengingatkan kita pada pendapat Hondius, yang dalam disertasinya
menyatakan bahwa perjanjian standar itu mengikat berdasarkan kebiasaan (gebruik)
yang berlaku dilingkungan masyarakat dan lalu lintas perdagangan. Kemudian Stein
mencoba memecahkan masalah ini dengan mengemukakan pendapat, bahwa
perjanjian standar dapat diterima sebagai perjanjian berdasarkab fiksi adanya
kemauan dan kepercayaan yang mengakibatkan keyakian, para pihak mengikatkan
diri pada perjanjian itu. Jika debitur menerima perjanjian itu, berarti ia secara sukarela
setuju pada isi perjanjian tersebut. Akhirnya, dapat disebutkan pedapat yang lebih
tegas dari Asser Rutten, yang mengatakan perjanjian standar itu mengikuti karena
setiap orang yang menandatangani suatu perjanjian harus dianggap mengetahui dan
menyetujui sepenuhnya isi kontrak tersebut.
Ahli Hukum Indonesia, Mariam Darus Badrulzaman menyimpulkan bahawa
perjanjian standar itu bertentang dengan asas kiebebasan kontrak yang bertanggung
jawab, terlebih – lebih lagi ditinjau dari asas – asas hokum nasional, di mana
kepentingan masyarkatlah yang didahulukan. Dalam perjanjian standar, kedudukan
pelaku usaha dan konsumen tidak seiumbang, posisi yang didominasi oleh pihak
pelaku usaha, membuka peluang luas baginya untuk menyalah gunakan
kedudukannya. Pelaku usaha hanya mengatur hak – haknya dan tidak kewajibannya.
Menurutnya, perjanjian standar ini tidak boleh dibiarkan tumbuh secara liar dab
karena itu perlu ditertibkan.
Sutan Remy Sjahdeini berpendapat dalam kenyataanya KUH Perdata sendiri
memberikan pembatasan – pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak itu.
Misanya, terdapat ketetuan yang mengatakan, suatu perjanjian tidak dapat ditarik
kembali selain dengan kata sepakat kedua belah pihak atau karena alasan lain yang
dinyatakan dengan undang – undang. KUHP Perdata juga meyebutkan tiga alasan
yang dapat menyebabkan suatu perjanjian, yakni paksaan (dwang), kekhilafan
(dwaling), dan penipuan (bedrog). Ketiga alas an ini dimaksudkan oleh undang –
undang sebagai pembatasan terhadap belakunya asas kebebasan berkontrak.
Menurut Remy Sjahdeini, agar tidak terjadi penyalahgunaan terhadap asas
kebebasan berkontrak ini oleh pihak yang berkedudukan lebih kuat, maka diperlukan
campur tangan melalui undang – undang dan pengadilan. Dalam hokum perburuhan ,
misalnya, ada pembatasan – pembatasan dalam kontrak kerja. Campur tangan
pengadilan dapat dijumpai dalam penyebab putusnya perjanjian yang dikenal dengan
penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstanddigheden). Dalam KUHP Perdata
Baru Negeri Belanda, penyalahgunaan keadaan ini dikukuhkan sebagai alasan
keempat dari cacat kehendak.
Dengan demikian, jika asas kebebasan berkontrak ingin ditegakkan, dan
kepentingan dunia perdagangan tidak pula dirugikan, satu – satunya cara adalah
dengan membatasi pihak pelaku usaha dalam klausul eksenorasi. Tentu Darus
Barulzaman, harus ada campur tangan pemerintah, kiranya tidak semua perjanjian
standar dapat diperlakukan demikian. Materi perjanjian yang terjadi di masyarakat
sedemikian luasnya dan heterogennya.
Dalam kenyataannya, campur tangan yang disarankan ini dapat dilakukan oleh
pemerintah. Misalnya saja dalam lapangan perburuhan agrarian, sangat banyak
dilakukan standarisasi perjanjian. Akan tetapi, untuk perjanjian – perjanjian
keperdataan yang dibuat oleh notaries, tentu tidak harus distandarisasi. Perjanjian –
perjanjian yang disebutkan berakhir ini tumbuh melalui kebiasaan dan permintaan
masyarakat sendiri. Campur tangan pemerintah lebih diharapkan pada perjanjian –
perjanjian yang berskala luas, walaupun tidak sepenuhnya bersifat public seperti
dibidang perburuhan dan agrarian. Perjanjian berskala luas yang dimaksud berkaitan
dengan keputusan berkaitan dengan kepentingan missal, dank arena itu jika
diserahkan sepenuhnya pembuatannya secara sepihak kepada pelaku usaha,
dikhawatirkan akan dibuat banyak klausul eksonerasi yang merugikan masyarakat.
Dalam UUPK, istilah klausul eksonerasi sendiri tidak ditemukan, yang ada
adalah “klausul baku”. Pasal 1 angka 10 mendefinisikan klausul baku sebagai setiap
aturan atau ketentuan dan syarat – syarat yang dipersiapkan dan ditetapkan terih
dahulu secara sepihakoleh pelaku usaha yang dituangkan dalam usaha dokumen
dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Jadi yang
ditekankan oleh prosedur pembuatannya yang berifat sepihak, bukan mengenai isinya.
Padahal, pengertian “klausul eksonerasi” tidak sekedar mempersoalkan prosedur
pembuatannya, melainkan juga isisnya yang bersifat pengalihan kewajiban atau
tanggung jawab pelaku usaha.
Pasal 18 ayat (1) huruf (a) UUPK menyatakan pelaku usaha dalam
menawwarka barang dan/atau jasa yang ditunjukkan untuk diperdagangkan dilarang
membuat atau mencantumkan klausul baku pada setiap dokumen dan/ atau perjanjian
jika menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha. Ketentuan huruf (b) dan
seterusnya sebenarnya memberikan contoh bentuk – bentuk pengalihan tanggung
jawab itu, seperti pelaku usaha dapat menolak penyerahan kembali barang yang dibeli
konsumen, atau menolak penyerahan kembali uang yang dibayar, dan sebagainya.
Apakah dengan demikian, klausul baku sama dengan klausul eksonerasi? Jika
melihat kepada ketentuan pasal 18 ayat (1) UUPK, dapat diperoleh jawaban
sementara bahwa kedua istilah itu berbeda. Artinya, klausul baku adalah klausul yang
dibuat sepihak oleh pelaku usaha, tetapi isinya tidak boleh mengarah kepada klausul
eksonerasi. Pasal 18 ayat (2) mempertegas pengertian tersebut, dengan mengatakan
bahwa klausul baku harus diletakkan pada tempat yang mudah terlihat dan dapat jelas
dibaca dan mudah dimengerti. Jika hal – hal yang disebutkan dalam ayat (1) dan (2)
itu tidak dipenuhi, maka klausul baku itu menjadi batal hokum.
Tidak disitu saja pengaturan tentang klausul baku ini berhenti karena terhadap
pelanggaran yang dilakukan berkaitan dengan tidak dipenuhinya ketentuan pada Pasal
18 ini juga diberikan ancaman sanksi pidana sebagaimana diatur pada Pasal 62 UUPK
ayat (1) :
Selain paling tidak memberikan gambaran bahwa perlu adanya suatu sarana
bagi peningkatan perlindungan terhadap penggunaan perjanjian baku dan segala
atributnya, yang tentu saja merugikan salah satu pihak pada perjanjian. Di mana
pengaturan ini merupakan tonggak awal baginya keseimbangan dalam penempatan
pihak pada suatu perjanjian.
Meski demikian penggunaan perjanjian baku atau jika dapat dikatakan lebih
luas ketidakseimbangan daya tawar para pihak merupakan suatu hal yang sangat sulit
untuk diawasi atau dikendalikan, karena hal ini berkaitan dengan adanya unsure
perlindungan dan kepentingan sepihak yang lebih besar daya tawarnya untuk
melindungi kepentingannya, serta adanya kebutuhan dari pihak yang berdaya tawar
lebih rendah untuk menerima isi dari perjanjian itu.
Secara sederhana dapat kita katakana bahwa yang kuat adalah yang menang
masih berlaku, yang bisa kita hindari, dengan adanya pengaturan terhadap pemakaian
perjanjian baku ini adalah adanya eksploitasi atau keadaan yang sedemikian
merugikan bagi puhak yang lemah akibat adanya pengunaan paksaan maupun
penyalahgunaan keadaan oleh pihak yang lebih kuat.
1. Produsen dari bahan – bahan mentah atau komponen dari produk itu;
2. Setiap orang yang memasang nama, merek perusahaan, atau memberikan tanda
khusus untuk membedakan produknya dengan produk orang lain;
3. Setiap orang yang mengimpor produk untuk dijual, disewakan, atau dipasarkan (tanpa
mengurangi tanggung jawab si pemilik produk);
4. Setiap pemasok produk, jika pembuatnya tidak diketahui atau pembuat produknya
diketahui, tetapi mengimpornya tidak diketahui.
4. Meningkatkan mutu produk farmasi yang beredar, sehingga dapat mencapai tujuan
peruntukan dan penggunaanny.
Dalam Pasal 19 UUPK secara jelas diatur, pelaku usaha wajib mengganti
kerugian atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian yang diderita konsumen
akibat mengonsumsi barang dan/atau jasa. Ganti rugi ini bersifat serta merta, dan
diberi jangka waktu & hari setelah tanggal transaksi. Namun, ketentuan ini agak
berbeda dengan ketentuan tentang masa garansi dalam Pasal 27 UUPK. Ketentuan
dalam pasal yang disebutkan terakhir ini memberikan tenggang waktu pelayanan
kepada konsumen sampai pada akhir masa garansi.
1. Ganti rugi jika barang/jasa yang diberikan tidak sesuai dengan perjanjian semula;
3. Suku cadang selalu tersedia dalam jumlah cukup dan tersebar luas dalam jangka
waktu yang relative lama setelah transaksi konsumen dilakukan.
2. Most favoured-nation atau nondiskriminasi antara pemilik HAKI asing dari suatu
Negara dibandingkan dengan pemilik HAKI asing dari Negara lain
3. Transparancy, yang memaksa Negara anggota untuk lebih terbuka dalam ketentuan
perundang-undangan dan pelaksanaan anturan nasional dalam bidang perlindungan
HAKI.
Salah satu ketentuan yang barangkali termasuk baru dalam masalah HAKI ini, dan
sangat erat kaitannya dengan perlindungan konsumen adalah tentang indikasi geografi
dan indikasi asal. Mengenai hal ini UUPK mencantumkannya dalam Pasal 9 ayat (1)
huruf h.
Undang-undang No. 15 Tahun 2001 memberikan pengertian tentang indikasi
geografis sebagai : “tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang yang karena
factor lingkungan geografis termasuk alam, factor manusia, atau kombinasi dari kedua
factor tersebut memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan.
Indikasi geografis ini bukan termasuk merek, melainkan tanda, misalnya berupa eitket
atau label yang dilekatkan pada barang yang dihasilkan. Tanda teresbut dapat berupa
nama, tempat, daerah atau wilayah, kata, gambar, huruf atau kombinasi dari unsure-
unsur tersebut.
Contoh dari barang yang berindikasi geografis adalah anggur Champaigne, yang
artinya diproduksi oleh produsen anggur dari daerah Champaigne, Prancis. Produsen
dan pelaku usaha anggur manapun diluar daerah itu tidak diperkenalkan memakai
label “anggur Champaigne” dalam produk mereka. Untuk kondisi di Indonesia,
mungkin kita juga dapat menggunakan prinsip yang sama untuk produk seperti “dodol
Garut” atau “ martabak Bangka”, walaupun boleh jadi penerapannya tidak
sesederhana yang dibayangkan.
Sangat menarik, bahwa dalam indifikasi geografis menurut pasal 56 ayat (2)
Undang – Undang No. 15 Tahun 2001 juga di ajukan oleh kelompok konsumen dari
barang – barang tersebut. Di Indonesia memang belum lazim terbentuk asosiasi atau
kelompok konsumen dari barang – barang tertentu. Dimasa mendatang aka nada
kelompok konsumen yang menyebut dirinya sebagai “pencinta dodol Garut” atau “
konsumen tembakau Deli” yang secara sepihak bersedia mengajukan permintaan
perlindungan indikasi geografis atas produk yang mereka konsumsi.
Istilah lain yang diatur dalam Undang – Undang No. 15 Tahun 2001 adalah
tentang Indikasi asal. Dari Pasal 59, dapat disimpulkan ada dua factor pembedaanya
dengan indikasi geogarfis, yaitu:
1. Indikasi asal tidak didaftarkan, sekalipun memenuhi semua unsure untuk disebutkan
sebagai indikasi geografis, dan
2. Indikasi asal itu meliputi produk baik berupa barang maupun jasa.
Factor pertama memberikan petunjuk, indikasi asal tidak perlu didaftarkan karena
secara otomatis akan dilindungi. Oleh karena itu, seharusnya istilah “pemegang hak”
tidak digunakan karena memang hak atas indikasi asal itu. Akan lebih tepat jika
digunakan istilah “pemakai hak”.
Pemakai hak atas indikasi asal dapat saja meningkatkan haknya menjadi
pemegang hak, tetapi harus melalui putusannya pengadilan. Berbekal putusan itu, ia
dapat mengehentikan kegiatan usaha dari pelaku usaha lainnya.
Catatan lain tehadap indikasi asal ini adalah penggunaan kata barang dan jasa.
Padahal dalam indikasi geografis, Undang – Undang No.15 Tahun 2001 menyebutkan
indikasi itu hanya untuk produk barang. Kesalahan ini tentu cukup fundamental dan
sangat berpengaruh terhadap upaya perlindungan hak – hak konsumen.
F. ASURANSI
2. Hak untuk memilih barang atau jasa serta mendapatkan barang atau jasa tersebut
sesuai dengan nilai tukar dan kodis serta jaminan yang dijanjikan.
5. Hak untuk diberlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminasi;
6. Hak – hak yang diatur dalam ketentuan – ketentuan peraturan perundang – undangan
lain.
Asuransi termasuk jasa yang bisa dinikmati konsumen dengan terlebih dahulu
menandatangani polis sebagai bentuk persetujuan keikut sertaan dengan memenuhi
kewajiab membayar premi setiap bulan atau tahunnya. Permasalahan asuransi adalah
permalahan jamak yang penyelesaian akhirnya seringkali membuat konsumen diposisi
yang lemah. Hubungan antara perusahaan asuransi dan nasabahnya diatur dalam
perjanjian yang mengikat dan disepakati oleh kedua belah pihak. Namun, dalam
pelaksaannya posisi antara nasabah dan perusahan asuransi eringkali timpang, dimana
isi perjanjian dibuat dengan kata-kata yang sulit dipahami dan dibuat dalam tulisan
kecil-kecil(klausul baku) sehingga kesepakatan tersebut terjadi pada saat nasabah
hanya memahami sebagaian kecil dari perjanjian tersebut. Artinya, nasabah hanya
membaca sekilas perjanjian tersebut, tanpa dipahami secara mendalam konsekuensi
yuridisnya, yang membuat para asuransi sering tidak tahu apa yang menjadi haknya.
Padahal konsumen asuransi sebagaimana tertuang daam UU No. 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen mempunyai hak untuk mendapatkan kompensasi,
ganti rugi / penggantian, apabila barang atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan
perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
Keluhan dari konsumen berkaitan dengan klaim asuransi dapat kita lihat dari
contoh kasus yang ditujukan pada YLKI yakni sebagai berikut :
Bapak Imron saat ini sedang mengajukan klaim asuransi kepada PT ASKES atas
perawat di salah satu RS Swasta. Karena masuk RS melalui Gawat Darurat, klaim
dapat diterima. Akan tetapi, dari klaim Rp7,6 juta hanya dikabulkan sebesar Rp 590
ribuan saja dengan alas an obat-obatan yang dipakai bukan yang termasuk dalam
daftar PT ASKES. Dalam hal ini harusbagaimana bersikap, diterima atau ada jalan
lain. masalahnya adalah obat-obatan tersebut yang memilihkan dokter yang merawat.
Saran dari YLKI adalah melihat kembali perjanjian antara PT Askes dengan
Bapak Imron selaku konsumen dari perusahaan asuransi, apabila setelah dicermati
tidak ada aturan tentang pembatasan obat yang harus digunakan maka Bapak Imron
dapat meminta kompensasi sesuai apa yang menjadi kewajiban dari PT ASKES.
Bahwa pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan atau
garansi yang disepakati / yang diperjanjikan.
Apabila ada klausul yang mengatur tentang pembatasan obat yang harus diterima,
perlu dilihat apakah dibuat dalam bentuknya yang sulit terlihat, atau
pengungkapannya sulit dimengerti, sehingga PT ASKES dapat dituntut seperti apa
yang tertuang dalam Pasal 18 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen mengenai klausal baku.
Pelaku usaha dilarang mencantukan klausul baku yang letak atau bentuknya sulit
terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atatu yang pengungkapannya sulit
dimengerti.
Dalam hal ini pelaku usaha dapat diminta tanggung jawab atas kewajibannya
sesuai Pasal 7 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bahwa
kewajiban pelaku usaha adalah beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya,
memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai jaminan barang/jasa
serta member penjelasan penggunaan perbaikan dan pemeliharaan.
Kasus lain seperti yang diuraikan Yusuf Shofie dimana terkadang konsumen
pemegang polis asuransi jiwa yang belum waktunya mengajukan klaim asuransi,
dalam hal ini klaim uang pertanggungan setelah masa pertanggungan berakhir (dalam
praktik disebut pula “klaim habis kontrak”) diminta untuk memperbarui polis
asuransinya dengan alas an petugas penagih premi belum menyerahkan premi
asuransi si konsumem kepada perusahaan. Padahal konsumen sudah membayar
preminya. Pembaruan polis itu membawa akibat jumlah premi yang harus dibayarkan
meningkat.
Apabila konsumen menurut saja, konsekuensinya pengeluaran konsumen akan
bertambah perbulan atau pertahunnya, dan ia akan berada pada posisi yang sangat
dirugikan. Sebab kelalaian petugas penagih premi ( agen asuransi) dalam bentuk tidak
disetorkannya premi kepada perusahaan asuransi, dibebankan kepada konsumen.
Padahal menurut Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian,
petugas penagih premi, baik secara perorangan ataupun badan hokum, bertindak
untuk dan atas nama perusahaan asuransi. Konsekuensinya sepanjang petugas tersebut
telah diberi kuasa untuk itu, segala tindakannya menjadi tanggung jawab perusahaan
asuransi.
Petugas penagih premi memberikan bukti pembayaran premi asuransi yang sah
bersamaan atau pada saat konsumen menyerahkan pembayaran uang premi. Ini
membuktikan bahwa perusahaan asuransi tidak dibenarkan mengelak dari tanggung
jawabnya. Dalam hal petugas premi tidak menyerahkan uang premi konsumen kepada
perusahaan asuransi sekalipun telah diperingatkan atau bahkan malah menghilang,
petugas itu patut diduga melakukan penggelapan asuransi yang dapat diancam
hukkuman maksimal 15 tahun dan denda maksimal Rp 2,5 niliar berdasarka Undang-
Undang Usaha Perasuransian.
Karenanya bila konsumen didatangi petugas sales promotion perusahaan asuransi
jiwa, konsumen diharapkan tidak mudah tergiur terhadap berbagai manfaat mengikuti
asuransi tersebut. Tak jarang petugas itu ternyata masih relasi konsumen sehingga
mudah bagi konsumen untuk mengiyakannya. Padahal kedekatan petugas dengan
konsumen tidak akan berpengaruh terhadap berbagai konsekuensi hokum
keikutsertaan konsumen dalam asuransi. Apabila sudah menjumpai masalah, di mata
hokum tidak ada lagi kawan dan bukan kawan atau relasi dan bukan relasi.
Apabila tidak diminta atas desakan konsumen, sebagian perusahaan asuransi
enggan menjelaskan system perhitungan besarnya premi yang harus dibayarkan, nilai
tunai selama masa pertanggungan, serta syarat-syarat umum polis. Dianjurkan agar
konsumen tidak mudah tertarik dengan besarnya uang pertanggungan. baik dengan
menggunakan mata uang dalam negeri maupun luar negeri. Semakin besar uang
pertanggungan, semakin besar pula premi yang harus dibayarkan. Demikian pula,
semakin muda usia konsumen, semakin kecil besarnya premi.
Kecermatan menghitung besar nya premi dan membandingkannya dengan
penghasilan perbulan, menghindarkan konsumen dari tertunggaknya pembayaran
premi. Apabila besarnya premi yang ditawarkan sangat mempengaruhi pengeluaran
konsumen dalam sebulan atau setahun, lebih baik konsumen tunda dulu kebutuhan
berasuransi. Dalam hal pembayaran premi menunggak, asuransi menjadi lapse atau
perlindungan tak lagi dijamin. Selaanjutnya perusahaan asuransi akan membayarkan
nilai tunainya sesuai masa pertanggungan yang telah dijalani konsumen. Besarnya
nilai tunai itu tercantum dalam daftar atau table yang dilampirkan atau merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari polis asuransi. daftar atau table nilai tunai ini pada
prinsipnya wajib diinformasikan kepada konsumen, ketika petugas sales promotion
menawarkan produk asuransi.
Keterikatan hubungan konsumen dengan pihak perusahaan asuransi muncul sejak
adanya kata sepakat dari pihak konsumen kepada perusahaan asuransi. Secara umum
inilah yang disebut sebagai perjanjian konsensual. Keterikatan itu dibuktikan dengn
diterbitkan polis. Subtansi polis tunduk pada ketentuan-ketentuan tentang
pertanggungan yang diatutr dalam KItab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD),
dalam hal ini Pasal 302-308 KUHD, serta ketentuan-ketentuan instansi Pembina
perasuransian, dalam hal ini Menteri Keuangan Republik Indonesia. Sedangkan
kegiatan perusahaan asuransi tunduk pada Undang-Undang No. 2 Tahun 1992.
Seringkali dengan terbitnya polis itu berarti secara serta merta konsumen tunduk pada
syarat-syarat umum polis yang dibuat secara sepihak oleh perusahaan asuransi.
Semestinya ketentuan yang tertuang, baik dalam polis maupun syarat-syarat
umum polis dibuat secara berimbang dan tidak merugikan konsumen dan perusahaan
asuransi. Terutama dalam penetapan besarnya premi, tidak boleh merugikan
konsumen serta tidak mengancam kelangsungan perusahaan asuransi. Disamping itu
terdapat keharusan menyelesaikan klaim asuransi denagn sebaik-baiknya. Alasan
yang dicari-cari untuk menolak klaim konsumen seharusnya dihindarkan asas iktikad
baik harus diutamakan dalam pelaksanaan perjanjian asuransi.
Secara umum prinsip-prinsip yang berlaku dalam perjanjian asuransi, yaitu:
1. Prinsip Indemnity, yaitu perjanjian asuransi bertujuan memberikan ganti rugi
terhadap kerugian yang diderita oleh tertanggung yang disebabkan oleh bahaya
sebagaimana ditentuka dalam polis.
2. Prinsip kepentingan, yaitu pihak yang bermaksud akan mengasuransikan sesuatu
harus mempunyai kepentingan dengan objek yang diasuransikan, kepentingan mana
dinilai dengan uang.
4. Prinsip subrogasi, yaitu bila tertanggung telah menerima ganti rugi ternyata
mempunyai tagihan kepada pihak lain, maka tertanggung tidak berhak menerimanya,
dan hak itu beralih kepada penanggung
3. Jumlah uang pertanggungan sesuai kesepakatan kedua belah pihak. Besarnya jumlah
uang pertanggungan ini akan berpengaruh pula terhadap besarnya premi yang
dibayarkan
4. Besarnya premi yang dibayarkan hendaknya dihitung dan dipahami secara teliti oleh
konsumen sesuai dengan kemampuan keuangan konsumen. Terlalu mudah menurut
besarnya premi yang ditawarkan petugas asuransi akan membuat kesulitan bagi
konsumen dikemudian hari, misalnya akan terjadi penunggakan pembayaran premi
asuransi
5. Masa berlakunya polis berkisar 10,15 atau 20 tahun. Penetapan lamanya masa
pertanggungan atas dasar kesepakatan kedua belah pihak, dengn sendirinya sama
dengan masa pembayaran premi asuransi jiwa yang diikuti konsumen
6. Manfaat asuransi, yakni sejumlah pembayaran dan kompensasi yang menjadi hak
konsumen atau pihak yang ditunjuk untuk menerima pembayaran, baik Karena
terjadinya resiko kematian pada tertanggung atau berakhirnya masa pertanggungan.
Besarnya manfaat yang diperoleh tertanggung / pihak yang ditunjuk bergantung pada
jenis asuransi jiwa yang diikuti. Pemahaman konsumen terhadap produk asuransi jiwa
mutlak sangat diperlukan.
9. Pembatalan polis sering dilakukan secara sepihak oleh perusahaan asuransi dalam hal
terpenuhinya satu atau lebih syarat, sebagai berikut:
2. Ketidak adilan subtansi syarat – syarat umum polis, yaitu bila tertanggung
mengalami kecelakaan yang berakibat cacat tetap sebagian diberikan santunan
sesuai persentase dalam table polis sebaliknya bila berakibat cacat total tetap
tidak diberikan santunan apapun.
3. Penetapan atau pematokan curve secara sepihak terhadap klaim nilai tunai dan
jatuh tempo pada polis asuransi jiwa yang dippertanggungkan dengan mata uang
asing, terutama dolar amerika serikat padahal polis dan ketentuan umum, polis
menentukan bahwa pembayaran premi asuransi atau klaim asuransi
diperhitungkan menurut kurs Bank Indonesia atau kurs yang berlaku sesuai
pengumuman otoritas moneter pada saat jatuh tempo.
2. Pasal 1338 ayat (3) BW menentukan semua perjanjian yang dibuat pihak – pihak
harus dilaksanakan dengan iktikad baik.
BAB 8
PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN
A. PENYELESAIAN SENGEKETA DIPERADILAN UMUM
Dari pernyataan pasal 45 ayat 3 jelas seharusnya bukan hanya tanggung jawab
pidana yang tetap dibuka kesempatannya untuk diperkarakan melainkan juga
tanggung jawab lainnya, misalnya dibidang administrasi Negara, konsumen yang
dirugikan haknya, tidak hanya diwakilkan oleh jaksa dalam penuntutan peradilan
umum untuk kasus pidana tetapi ia sendiri dapat juga mengugat pihak lain lingkungan
peradilan tata usaha Negara jika terdapat sengeketa administrasi didalamnya. Hal
yang dikemukan terakhir ini dapat terjadi, misalnya dalam kaitannya dengan
kebijakan aparat pemerintah yang ternyata dipandang merugikan konsumen secara
individual bahkan, mengingat makin banyaknya perusahaan multinasional yang
beroprasi di Indonesia juga tidak menutup kemungkinan ada konsumen yang
menggugat pelaku usaha diperadilan Negara lain, sehingga sengketa konsumen ini
pun dapat bersifat trans nasional.
Dalam kasus perdata diperadilan negeri . pihak konsumen yang diberikan hak
konsumen mengajukan gugatan menurut pasal 46 UUPK adalah :
1. Seorang konsumen yang dirugikan yang bersangkutan
4. Pemerintah terkait jika barang dan jasa yang konsumsi mengakibatkan kerugian
materi yang besar dan korban yang tidak sedikit.