You are on page 1of 10

I.

Pendahuluan

Bisnis adalah bagian (aktivitas) yang penting dalam masyarakat. Bisnis


dilakukan antara manusia yang satu dengan manusia lainnya. Bisnis
menyangkut hubungan antar manusia. Bisnis juga membutuhkan etika sebagai
pemberi pedoman dan orientasi bagi keputusan, kegiatan dan tindak tanduk
manusia dalam hubungan (bisnis) satu dengan yang lainnya (Keraf, 1986). Di
sinilah etika sosial menjadi asas atau kekuatan fundamentalnya (Burhanuddin,
1997).

Tiga hal pokok yang dibutuhkan perusahaan untuk mencapai kesuksesan


dalam suatu bisnis menurut Richard De George, yaitu :

1. Produk yang baik

2. Manajemen yang mulus

3. Etika

Selama perusahaan memiliki produk yang bermutu serta berguna bagi


masyarakat dan di samping itu dikelola dengan manajemen yang tepat di bidang
produksi, finansial, sumber daya manusia, dan lain-lain, tetapi tidak mempunyai
etika, maka cepat atau lambat akan hancur dengan sendirinya.

Beberapa dekade terakhir ini, etika dalam bisnis dianggap sangat penting.
Dibandingkan dengan usaha dan program yang diadakan untuk meningkatkan
kemampuan manajemen dalam bisnis, perhatian bagi etika dalam bisnis masih
terbatas. Namun akhir-akhir ini peranan etika mulai diakui dan diperhatikan.

Menurut Magnis Suseno, bahwa yang memberi kita norma tentang


bagaimana berhubungan dengan sesama, bagaimana harus merumuskan dan
mengimplementasikan pembangunan, dan bagaimana berelasi dengan
kepentingan lainnya adalah moralitas (etika atau ilmu tentang moralitas,
Burhanudin 1997).

Dalam bisnis ada nilai manusiawi yang dipertaruhkan. Cara memperoleh


keuntungan atau untuk menang mau tidak mau juga harus manusiawi. Bisnis
perlu dilandasi oleh pertimbangan-pertimbangan yang etis. Dengan
1
menggunakan pandangan ideal, bisnis tidak hanya bertujuan untuk mencari
keuntungan melainkan untuk memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan. Jika
dalam bisnis tidak memperhatikan etika, maka bisnis itu akan mengorbankan
hidup banyak orang, bahkan hidup orang bisnis itu sendiri.

2
II. Aspek Peranan Etika dalam Bisnis

2.1. Bisnis dalam konteks moral

Bisnis merupakan suatu unsur penting dalam masyarakat. Hampir semua


orang terlibat di dalamnya. Kita membeli barang atau jasa untuk bisa bertahan
hidup ataupun setidaknya kita bisa hidup dengan lebih nyaman. Kita terlibat
dalam produksi barang atau jasa yang dibutuhkan oleh orang lain. Bisnis
merupakan suatu unsur mutlak yang diperlukan dalam masyarakat modern.
Bisnis tidak bisa dilepaskan dari aturan-aturan main yang harus diterima dalam
pergaulan sosial, termasuk juga aturan-aturan moral. Tetapi kadang-kadang
kehadiran etika bisnis masih diragukan.

2.2. Mitos mengenai bisnis amoral

Dalam masyarakat beredar opini bahwa bisnis tidak ada hubungannya


dengan etika atau moralitas. Pebisnis hanya menjalankan pekerjaannya saja.
Richard De George menyebut pandangan ini the myth of morl business. MItos ini
mengatakan bahwa bisnis itu moral saja. Dalam bisnis, orang menyibukkan diri
dengan jual beli, dengan membuat produk atau menawarkan jasa, dengan
merebut pasaran, dengan mencari untung juga, tapi orang tidak berurusan
dengan etika atau moralitas. Moralitas menjadi urusan individu, tetapi kegiatan
bisnis itu sendiri tidak berkaitan langsung dengan etika. Moralitas tidak punya
relevansi bagi bisnis. Bisnis itu amoral (tapi itu tentu tidak berarti immoral!)

Namun mitos itu lambat laun ditinggalkan. Bisnis itu netral terhadap
moralitas, jadi bisnis moral itu hanya sekedar mitos atau cerita dongeng saja. De
George mengemukakan tiga gejala dalam masyarakat yang menunjukkan
sirnanya mitos tersebut :

1) Bisnis disorot tajam oleh masyarakat melalui media massa.


Masyarakat tidak ragu-ragu langsung mengaitkan bisnis dengan
moralitas.

3
2) Bisnis diamati dan dikritik oleh banyak LSM, terutama LSM konsumen
dan LSM pecinta lingkungan hidup. Apa yang disimak oleh LSM-LSM
tersebut jelas-jelas berkonotasi etika.

3) Bisnis mulai prihatin dengan dimensi etis dalam kegiatannya. Hal ini
tampak pada refleksi yang mereka buat mengenai aspek-aspek etis
dari bisnis serta timbulnya kode-kode etik yang disusun oleh banyak
perusahaan.

Hal-hal di atas secara tidak langsung telah menunjukkan bahwa bisnis


tidak terlepas dari segi-segi moral. Bisnis tidak hanya berurusan dengan angka-
angka penjualan (sales figures) atau adanya profit pada akhir tahun anggaran.
Good business memiliki suatu makna moral.

2.3. Mengapa bisnis harus berlaku etis?

Pertanyaan di atas dalam sejarah pemikiran sudah lama diberikan


jawaban. Jawaban pertama berasal dari agama, jawaban kedua berasal dari
filsafat modern, dan jawaban ketiga sudah ditemukan dalam filsafat Yunani
Kuno. Berikut penjelasannya :

1) Tuhan adalah hakim kita

Semua yang kita lakukan pasti akan dimintai pertanggungjawabannya


oleh Tuhan Yang Maha Esa. Begitu juga jika kita melakukan bisnis yang tidak
bermoral, pasti di akhirat kelak kita akan diberi hukuman atas kejahatan kita.
Pandangan ini didasarkan atas iman dan kepercayaan dan karena itu termasuk
perspektif teologis, bukan perspektif filosofis. Untuk itulah dalam berbisnis
diharapkan pebisnis menggunakan iman dan kepercayaannya untuk tetap
berpegang teguh pada motivasi moral ini.

2) Kontrak sosial

Pandangan ini melihat perilaku manusia dalam perspektif sosial. Setiap


kegiatan yang kita lakukan bersama-sama dalam masyarakat, menuntut adanya
norma-norma dan nilai-nilai moral yang kita sepakati bersama. Hidup dalam
masyarakat berarti mengikat diri untuk berpegang pada norma-norma dan nilai-
nilai tersebut. Kalau tidak, hidup bersama dalam masyarakat menjadi kacau tak
4
karuan. Hidup sosial menjadi tidak mungkin lagi, jika tidak ada moralitas yang
disetujui bersama.

Oleh karena itu beberapa filsuf modern menganggap kontrak sosial


sebagai dasar moralitas. Umat manusia seolah-olah pernah mengadakan
kontrak yang mewajibkan setiap anggotanya untuk berpegang pada norma-
norma moral. Kontrak ini mengikat kita sebagai manusia, sehingga tidak ada
seorang pun yang bisa melepaskan diri darinya.

De George menegaskan : “morality is the oil as well as the glue of


society, and, therefore, of business”. Moral diibaratkan minyak pelumas, karena
moralitas memperlancar kegiatan bisnis dan semua kegiatan lain dalam
masyarakat. ibarat lem, karena moralitas mengikat dan mempersatukan orang-
orang bisnis, seperti juga semua anggota masyarakat lainnya. Moralitas
merupakan syarat mutlak yang harus diakui semua orang, jika kita ingin terjun
dalam kegiatan bisnis.

3) Keutamaan

Menurut Plato dan Aristoteles, manusia harus melakukan yang baik,


justru karena hal itu baik. Yang baik mempunyai nilai intrinsik, artinya yang baik
adalah baik karena dirinya sendiri. Keutamaan sebagai disposisi tetap untuk
melakukan yang baik, adalah penyempurnaan tertinggi dari kodrat manusia.
Manusia yang berlaku etis adalah baik begitu saja, baik secara menyeluruh,
bukan menurut aspek tertentu saja.

Pikiran tersebut bisa diterapkan dalam situasi bisnis. Orang bisnis juga
harus melakukan yang baik, karena hal itu baik. Atau dirumuskan dengan
terminologi modern, orang bisnis juga harus mempunyai integritas. Dalam
pekerjaannya, si pebisnis memang mencari untung. Perusahaan memang
perusahaan for profit. Tetapi pebisnis atau perusahaan tidak mempunyai
integritas, kalau mereka mengumpulkan kekayaan tanpa pertimbangan moral.
Selama pebisnis itu seorang manusia, maka ia tidak bisa dipisahkan dari
moralitas.

5
2.4. Kode Etik Perusahaan

2.4.1 Manfaat dan kesulitan aneka macam kode etik perusahaan

Fenomena kode etik perusahaan mencuat sekitar tahun 1970-an, antara


lain karena terjadinya beberapa skandal korupsi dalam kalangan bisnis. Karena
pengalaman pahit itu, mulai tumbuh keinsyafan bahwa sebaiknya perusahaan
mempunyai peraturan-peraturan ketat dan jelas guna mencegah terjadinya hal-
hal negatif seperti itu.

Patrick Murphy menggunakan istilah ethics statements dan


membedakannya menjadi 3 macam. Pertama, terdapat values statements atau
pernyataan nilai. Misi sebuah perusahaan seringkali menjadi nilai-nilai yang
dijunjung tinggi oleh pendiri perusahaan. Kedua, corporate credo atau kredo
perusahaan, yang biasanya merumuskan tanggungjawab perusahaan terhadap
para stakeholder, khususnya konsumen karyawan, pemilik saham, masyarakat
umum, dan lingkungan hidup. Ketiga, kode etik (dalam arti sempit) yang disebut
juga code of conduct atau code of ethical conduct. Kode etik ini menyangkut
kebijakan etis perusahaan berhubungan dengan kesulitan yang bisa timbul (dan
mungkin di masa lalu pernah timbul), seperti konflik kepentingan, hubungan
dengan pesaing dan pemasok, menerima hadiah, dll.

Pembuatan kode etik perusahaan adalah cara ampuh untuk


melembagakan etika dalam struktur dan kegiatan perusahaan. Jika perusahaan
memiliki kode etik sendiri, ia mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan
dengan perusahaan yang tidak memiliki kode etik.

Manfaat kode etik perusahaan dapat dilukiskan sebagai berikut :

1) Dapat meningkatkan kredibilitas suatu perusahaan, karena etika


telah dijadikan sebagai corporate culture. Dengan adanya kode
etik, secara intern semua karyawan terikat dengan standar etis
yang sama sehingga diharapkan akan mengambil keputusan yang
sama pula.

6
2) Dapat membantu dalam menghilangkan grey area atau kawasan
kelabu di bidang etika. Beberapa ambiguitas moral yang sering
merongrong kinerja perusahaan dapat dihindarkan.

3) Dapat menjelaskan bagaimana perusahaan menilai


tanggungjawab sosialnya. Sangat diharapkan perusahan tidak
membatasi diri pada standar minimal. Melalui kode etiknya
perusahaan dapat menyatakan bagaimana ia memahami
tanggungjawab sosial dengan melampui minimum tersebut.

4) Kode etik menyediakan bagi perusahaan-perusahaan dan dunia


bisnis pada umumnya kemungkinan untuk mengatur dirinya
sendiri (self regulation). Dengan demikian, Negara tidak perlu
campur tangan.

Namun dalam kenyataan konkret sering menimbulkan harapan terlalu


besar dengan adanya kode etik perusahaan. Membuat sebuah kode etik ternyata
tidak merupakan solusi yang cukup untuk memecahkan semua kesulitan moral
bagi perusahaan. Karena itu tidak mengherankan bila kode etik perusahaan
menemui kritik juga, antara lain :

1) Kode etik perusahaan seringkali merupakan formalitas belaka.


Fungsinya sebatas windows dressing - membuat pihak luar kagum
dengan perusahaan.

2) Banyak kode etik perusahaan dirumuskan dengan terlalu umum,


sehingga tidak menunjukkan jalan keluar bagi masalah moral
konkret yang dihadapi oleh perusahaan.

3) Kritik yang paling berat adalah bahwa jarang sekali tersedia


enforcement untuk kode etik perusahaan. Jarang sekali ada
sanksi untuk pelanggaran.

Meskipun kode etik masih menuai kritikan, akan tetapi kode etik
perusahaan masih digunakan untuk merumuskan standar etis yang jelas dan
tegas untuk semua karyawan dan tanggungjawab sosial perusahaan. Supaya
kode etik bisa berhasil, berikut ada beberapa faktor yang bisa membantu :

7
1) Kode etik dirumuskan berdasarkan masukan semua karyawan,
sehingga mencerminkan kesepakatan semua pihak yang terikat
olehnya.

2) Harus dipertimbangkan dengan teliti bidang-bidang apa dan topik-


topik mana sebaiknya tercakup oleh kode etik perusahaan.

3) Kode etik perusahaan sewaktu-waktu harus direvisi dan


disesuaikan dengan perkembangan intern maupun ekstern.

4) Paling penting adalah bahwa kode etik perusahaan ditegakkan


secara konsekuen dengan menerapkan sanksi. Tetapi tentu saja
hal itu harus dilakukan secara adil.

2.4.2. Ethical auditing

Untuk menilai kinerja finansial sebuah perusahaan sudah lama ada


standar-standar accounting yang diterima secara nasional dalam suatu negara
dan malah secara internasional. Jika perusahaan memiliki sebuah kode etik,
ethical auditing itu secara khusus terfokuskan pada kode etik tersebut. Hal itu
bisa mudah dimengerti, sehingga dengan demikian metode tersebut bisa
digunakan untuk menegakkan kode etik perusahaan secara sadar dan
konsekuen. Kode etik tidak lagi sebatas perhiasan saja. Pemeriksaan atas
kinerja etis dan sosial itu tidak saja dilakukan terhadap perusahaan, tapi juga
terhadap organisasi nirlaba. Organisasi-organisasi seperti itupun harus
berpegang pada standar-standar etis, entah mereka memiliki kode etik tertulis
atau tidak.

The Body Shop sebagai contoh

The Body Shop adalah sebuah perusahaan internasional yang


berasal dari Inggris dan bergerak di bidang kosmetika serta toiletries.
Perusahaan ini didirikan oleh Anita Roddick pada 1976, dan 20 tahun
kemudian sudah mempunyai omzet setengah miliar dollar AS. Kini
The Body Shop mempunyai toko tersebar di seluruh dunia, antara lain
sekitar 300 toko di Amerika Serikat. Perusahaan ini selalu
8
menitikberatkan manajemen yang etis. “First and foremost are the
values” merupakan ungkapan terkenal dari Anita Roddick. Rupanya
Roddick pula yang pertama kali melontarkan gagasan mengenai audit
sosial etis.

Setiap dua tahun The Body Shop membiarkan dirinya diaudit dari segi
sosial dan etis. Audit pertama itu dilakukan oleh Institute of Social and
Ethical Accountability dan diterbitkan dengan judul The Values Report
1995 (1996). Dalam audit ini antara lain diperiksa pelaksanaan dua
dokumen etik yang dimiliki perusahaan ini yaitu, The Body Shop
Mission Statement dan The Body Shop Trading Charter.

2.4.3. Good ethics, good business

Ethics pay (etik membawa untung), Good business is ethical business,


Corporate ethics: a prime business asset. Dalam kode etiknya, kini banyak
perusahaan mengakui pentingnya etik untuk bisnis mereka. Bahkan telah
ditunjukkan secara empiris bahwa perusahaan yang mempunyai standar etis
tinggi tergolong juga perusahaan yang sukses.

Kendatipun tidak ada jaminan mutlak, pada umumnya perusahaan yang


etis adalah perusahaan yang mencapai sukses juga. Good ethics, good
business. Keyakinan ini sekarang terbentuk cukup umum. Namun demikian, hal
itu tidak berarti bahwa harapan akan sukses boleh menjadi satu-satunya motivasi
atau justru menjadi motivasi utama untuk berperilaku etis. Yang baik harus
dilakukan karena hal itu baik, bukan karena membuka jalan menuju sukses,
walaupun motivasi itu tidak senantiasa perlu dihayati secara eksplisit. Sudah
sejak Aristoteles, hal itu disebut bertingkah laku “menurut keutamaan”.

9
III. Penutup dan Kesimpulan

Dari sudut pandang bisnis, semakin disadari bahwa bisnis yang berhasil
adalah bisnis yang memperhatikan norma-norma moral. Hal ini benar-benar
diakui oleh orang bisnis berdasarkan pengalaman bisnis mereka. Pebisnis itu
punya kesadaran yang tinggi bahwa kalau mau berhasil dalam bisnis, kegiatan
bisnisnya harus tetap mengindahkan prinsip-prinsip etika. Mereka sadar bahwa
bisnisnya akan hancur kalau konsumen (langganan), mitra bisnis atau
masyarakat secara keseluruhan tidak lagi percaya padanya, akibat ulah mereka
yang tidak etis. Orang bisnis yang bersaing dengan tetap memperhatikan norma-
norma etis pada iklim bisnis yang semakin professional justru akan menang,
karena telah dipercaya masyarakat. Untuk jangka pendek mungkin sekali mereka
yang berbisnis secara tidak etis akan menang tetapi bukan bisnis tulen. Bisnis
yang tulen dan baik adalah bisnis yang tahan lama, dan untuk norma dan nilai
etik ikut menentukan, kejujuran, mutu barang dan jasa, aspek keamanan dan
kesehatan dalam suatu produk ikut menentukan baiknya suatu bisnis.

10

You might also like