You are on page 1of 13

MAKALAH FISIOLOGI TUMBUHAN

Peran Enzim di Bidang Diagnosis dan Pengobatan

Disusun Oleh:
Sitta Maulina M (J2B009021)
Arnie Setyaningrum (J2B009027)
Mega Risqi Utami (J2B009033)

JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MIPA


UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG
2010
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan YME yang telah melimpahkan rahmat
dan hidayah-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Fisiologi
Tumbuhan ini dengan tepat pada waktunya, guna memenuhi nilai tugas mata kuliah Fisiologi
Tumbuhan.

Semoga dengan membaca makalah ini, para pembaca mampu mendapat


pengetahuan yang lebih dalam mengenai Peran Enzim di Bidang Diagnosis dan Pengobatan
dan apabila dalam penulisan makalah ini terdapat kekeliruan kami mohon maaf. Tak lupa
kami mengharap kritik dan saran yang membangun dari para pembaca yang budiman untuk
perbaikan makalah ini selanjutnya.

Semarang, Oktober 2010

Penyusun
DAFTAR ISI

Halaman Judul……………………………………………………………………………….1

Kata Pengantar ………………………………………………………………………………2

Daftar Isi ……………………………………………………………………...……………...3

BAB I PENDAHULUAN ………...………………………………………...……….……...4


BAB II PEMBAHASAN……………………………………….……….……………..…….5
BAB III KESIMPULAN……………………......………………………………………..

Daftar Pustaka ……………………………………………………………………………...


BAB I
PENDAHULUAN

Enzim adalah biomolekul berupa protein yang berfungsi sebagai katalis (senyawa yang
mempercepat proses reaksi tanpa habis bereaksi) dalam suatu reaksi kimia organik.[1][2]
Molekul awal yang disebut substrat akan dipercepat perubahannya menjadi molekul lain yang
disebut produk. Jenis produk yang akan dihasilkan bergantung pada suatu kondisi/zat, yang
disebut promoter. Semua proses biologis sel memerlukan enzim agar dapat berlangsung
dengan cukup cepat dalam suatu arah lintasan metabolisme yang ditentukan oleh hormon
sebagai promoter.
Enzim bekerja dengan cara bereaksi dengan molekul substrat untuk menghasilkan senyawa
intermediat melalui suatu reaksi kimia organik yang membutuhkan energi aktivasi lebih
rendah, sehingga percepatan reaksi kimia terjadi karena reaksi kimia dengan energi aktivasi
lebih tinggi membutuhkan waktu lebih lama. Sebagai contoh:
X + C → XC (1)
Y + XC → XYC (2)
XYC → CZ (3)
CZ → C + Z (4)
Meskipun senyawa katalis dapat berubah pada reaksi awal, pada reaksi akhir molekul katalis
akan kembali ke bentuk semula.
Sebagian besar enzim bekerja secara khas, yang artinya setiap jenis enzim hanya dapat
bekerja pada satu macam senyawa atau reaksi kimia. Hal ini disebabkan perbedaan struktur
kimia tiap enzim yang bersifat tetap. Sebagai contoh, enzim α-amilase hanya dapat digunakan
pada proses perombakan pati menjadi glukosa.
Kerja enzim dipengaruhi oleh beberapa faktor, terutama adalah substrat, suhu, keasaman,
kofaktor dan inhibitor. Tiap enzim memerlukan suhu dan pH (tingkat keasaman) optimum
yang berbeda-beda karena enzim adalah protein, yang dapat mengalami perubahan bentuk
jika suhu dan keasaman berubah. Di luar suhu atau pH yang sesuai, enzim tidak dapat bekerja
secara optimal atau strukturnya akan mengalami kerusakan. Hal ini akan menyebabkan enzim
kehilangan fungsinya sama sekali. Kerja enzim juga dipengaruhi oleh molekul lain. Inhibitor
adalah molekul yang menurunkan aktivitas enzim, sedangkan aktivator adalah yang
meningkatkan aktivitas enzim. Banyak obat dan racun adalah inihibitor enzim.

Etimologi dan Sejarah Enzim

Eduard Buchner
Hal-ihwal yang berkaitan dengan enzim dipelajari dalam enzimologi. Dalam dunia
pendidikan tinggi, enzimologi tidak dipelajari tersendiri sebagai satu jurusan tersendiri tetapi
sejumlah program studi memberikan mata kuliah ini. Enzimologi terutama dipelajari dalam
kedokteran, ilmu pangan, teknologi pengolahan pangan, dan cabang-cabang ilmu pertanian.
Pada akhir tahun 1700-an dan awal tahun 1800-an, pencernaan daging oleh sekresi perut dan
konversi pati menjadi gula oleh ekstrak tumbuhan dan ludah telah diketahui. Namun,
mekanisme bagaimana hal ini terjadi belum diidentifikasi.
Pada abad ke-19, ketika mengkaji fermentasi gula menjadi alkohol oleh ragi, Louis Pasteur
menyimpulkan bahwa fermentasi ini dikatalisasi oleh gaya dorong vital yang terdapat dalam
sel ragi, disebut sebagai "ferment", dan diperkirakan hanya berfungsi dalam tubuh organisme
hidup.

Ia menulis bahwa "fermentasi alkoholik adalah peristiwa yang berhubungan dengan


kehidupan dan organisasi sel ragi, dan bukannya kematian ataupun putrefaksi sel tersebut.
Pada tahun 1878, ahli fisiologi Jerman Wilhelm Kühne (1837–1900) pertama kali
menggunakan istilah "enzyme", yang berasal dari bahasa Yunani ενζυμον yang berarti "dalam
bahan pengembang" (ragi), untuk menjelaskan proses ini. Kata "enzyme" kemudian
digunakan untuk merujuk pada zat mati seperti pepsin, dan kata ferment digunakan untuk
merujuk pada aktivitas kimiawi yang dihasilkan oleh organisme hidup.

Pada tahun 1897, Eduard Buchner memulai kajiannya mengenai kemampuan ekstrak ragi
untuk memfermentasi gula walaupun ia tidak terdapat pada sel ragi yang hidup. Pada sederet
eksperimen di Universitas Berlin, ia menemukan bahwa gula difermentasi bahkan apabila sel
ragi tidak terdapat pada campuran. Ia menamai enzim yang memfermentasi sukrosa sebagai
"zymase" (zimase). Pada tahun 1907, ia menerima penghargaan Nobel dalam bidang kimia
"atas riset biokimia dan penemuan fermentasi tanpa sel yang dilakukannya". Mengikuti
praktek Buchner, enzim biasanya dinamai sesuai dengan reaksi yang dikatalisasi oleh enzim
tersebut. Umumnya, untuk mendapatkan nama sebuah enzim, akhiran -ase ditambahkan pada
nama substrat enzim tersebut (contohnya: laktase, merupakan enzim yang mengurai laktosa)
ataupun pada jenis reaksi yang dikatalisasi (contoh: DNA polimerase yang menghasilkan
polimer DNA).
Penemuan bahwa enzim dapat bekerja diluar sel hidup mendorong penelitian pada sifat-sifat
biokimia enzim tersebut. Banyak peneliti awal menemukan bahwa aktivitas enzim
diasosiasikan dengan protein, namun beberapa ilmuwan seperti Richard Willstätter
berargumen bahwa proten hanyalah bertindak sebagai pembawa enzim dan protein sendiri
tidak dapat melakukan katalisis.
Namun, pada tahun 1926, James B. Sumner berhasil mengkristalisasi enzim urease dan
menunjukkan bahwa ia merupakan protein murni. Kesimpulannya adalah bahwa protein
murni dapat berupa enzim dan hal ini secara tuntas dibuktikan oleh Northrop dan Stanley
yang meneliti enzim pencernaan pepsin (1930), tripsin, dan kimotripsin. Ketiga ilmuwan ini
meraih penghargaan Nobel tahun 1946 pada bidang kimia.
Penemuan bahwa enzim dapat dikristalisasi pada akhirnya mengijinkan struktur enzim
ditentukan melalui kristalografi sinar-X. Metode ini pertama kali diterapkan pada lisozim,
enzim yang ditemukan pada air mata, air ludah, dan telur putih, yang mencerna lapisan
pelindung beberapa bakteri.

Struktur enzim ini dipecahkan oleh sekelompok ilmuwan yang diketuai oleh David Chilton
Phillips dan dipublikasikan pada tahun 1965. Struktur lisozim dalam resolusi tinggi ini
menandai dimulainya bidang biologi struktural dan usaha untuk memahami bagaimana enzim
bekerja pada tingkat atom.
BAB II
PEMBAHASAN

Enzim merupakan biomolekul yang mengkatalis reaksi kimia, di mana hampir semua
enzim adalah protein.

Pada reaksi-reaksi enzimatik, molekul yang mengawali reaksi disebut substrat, sedangkan
hasilnya disebut produk. Cara kerja enzim dalam mengkatalisis reaksi kimia substansi lain
tidak merubah atau merusak reaksi ini.

Peran enzim dalam metabolism


Metabolisme merupakan sekumpulan reaksi kimia yang terjadi pada makhluk hidup untuk
menjaga kelangsungan hidup. Reaksi-reaksi ini meliputi sintesis molekul besar menjadi
molekul yang lebih kecil (anabolisme) dan penyusunan molekul besar dari molekul yang
lebih kecil (katabolisme). Beberapa reaksi kimia tersebut antara lain respirasi, glikolisis,
fotosintesis pada tumbuhan, dan protein sintesis. Dengan mengikuti ketentuan bahwa suatu
reaksi kimia akan berjalan lebih cepat dengan adanya asupan energi dari luar (umumnya
pemanasan), maka seyogyanya reaksi kimia yang terjadi pada di dalam tubuh manusia harus
diikuti dengan pemberian panas dari luar. Sebagai contoh adalah pembentukan urea yang
semestinya membutuhkan suhu ratusan derajat Celcius dengan katalisator logam, hal tersebut
tidak mungkin terjadi di dalam suhu tubuh fisiologis manusia, sekitar 37° C.

Adanya enzim yang merupakan katalisator biologis menyebabkan reaksi-reaksi tersebut


berjalan dalam suhu fisiologis tubuh manusia, sebab enzim berperan dalam menurunkan
energi aktivasi menjadi lebih rendah dari yang semestinya dicapai dengan pemberian panas
dari luar. Kerja enzim dengan cara menurunkan energi aktivasi sama sekali tidak mengubah
ΔG reaksi (selisih antara energi bebas produk dan reaktan), sehingga dengan demikian kerja
enzim tidak berlawanan dengan Hukum Hess 1 mengenai kekekalan energi. Selain itu, enzim
menimbulkan pengaruh yang besar pada kecepatan reaksi kimia yang berlangsung dalam
organisme. Reaksi-reaksi yang berlangsung selama beberapa minggu atau bulan di bawah
kondisi laboratorium normal dapat terjadi hanya dalam beberapa detik di bawah pengaruh
enzim di dalam tubuh.

Pemanfaatan enzim sebagai alat diagnosis


Pemanfaatan enzim untuk alat diagnosis secara garis besar dibagi dalam tiga kelompok:
1. Enzim sebagai petanda (marker) dari kerusakan suatu jaringan atau organ akibat
penyakit tertentu.
Penggunaan enzim sebagai petanda dari kerusakan suatu jaringan mengikuti prinsip
bahwasanya secara teoritis enzim intrasel seharusnya tidak terlacak di cairan ekstrasel dalam
jumlah yang signifikan. Pada kenyataannya selalu ada bagian kecil enzim yang berada di
cairan ekstrasel. Keberadaan ini diakibatkan adanya sel yang mati dan pecah sehingga
mengeluarkan isinya (enzim) ke lingkungan ekstrasel, namun jumlahnya sangat sedikir dan
tetap.
Apabila enzim intrasel terlacak di dalam cairan ekstrasel dalam jumlah lebih besar dari yang
seharusnya, atau mengalami peningkatan yang bermakna/signifikan, maka dapat diperkirakan
terjadi kematian (yang diikuti oleh kebocoran akibat pecahnya membran) sel secara besar-
besaran. Kematian sel ini dapat diakibatkan oleh beberapa hal, seperti keracunan bahan kimia
(yang merusak tatanan lipid bilayer), kerusakan akibat senyawa radikal bebas, infeksi (virus),
berkurangnya aliran darah sehingga lisosom mengalami lisis dan mengeluarkan enzim-
enzimnya, atau terjadi perubahan komponen membrane sehingga sel imun tidak mampu lagi
mengenali sel-sel tubuh dan sel-sel asing, dan akhirnya menyerang sel tubuh (penyakit
autoimun) dan mengakibatkan kebocoran membrane.

Contoh penggunaan enzim sebagai petanda adanya suatu kerusakan jaringan adalah sebagai
berikut:
 Peningkatan aktivitas enzim renin menunjukkan adanya gangguan perfusi darah ke
glomerulus ginjal, sehingga renin akan menghasilkan angiotensin II dari suatu protein
serum yang berfungsi untuk menaikkan tekanan darah
 Peningkatan jumlah Alanin aminotransferase (ALT serum) hingga mencapai seratus
kali lipat (normal 1-23 sampai 55U/L) menunjukkan adanya infeksi virus hepatitis,
peningkatan sampai dua puluh kali dapat terjadi pada penyakit mononucleosis
infeksiosa, sedangkan peningkatan pada kadar yang lebih rendah terjadi pada keadaan
alkoholisme.
 Peningkatan jumlah tripsinogen I (salah satu isozim dari tripsin) hingga empat ratus
kali menunjukkan adanya pankreasitis akut, dan lain-lain.

2. Enzim sebagai suatu reagensia diagnosis.


Sebagai reagensia diagnosis, enzim dimanfaatkan menjadi bahan untuk mencari petanda
(marker) suatu senyawa. Dengan memanfaatkan enzim, keberadaan suatu senyawa petanda
yang dicari dapat diketahui dan diukur berapa jumlahnya. Kelebihan penggunaan enzim
sebagai suatu reagensia adalah pengukuran yang dihasilkan sangat khas dan lebih spesifik
dibandingkan dengan pengukuran secara kimia, mampu digunakan untuk mengukur kadar
senyawa yang jumlahnya sangat sedikit, serta praktis karena kemudahan dan ketepatannya
dalam mengukur. Contoh penggunaan enzim sebagai reagen adalah sebagai berikut:
 Uricase yang berasal dari jamur Candida utilis dan bakteri Arthobacter globiformis
dapat digunakan untuk mengukur asam urat.
 Pengukuran kolesterol dapat dilakukan dengan bantuan enzim kolesterol-oksidase
yang dihasilkan bakteri Pseudomonas fluorescens.
 Pengukuran alcohol, terutama etanol pada penderita alkoholisme dan keracunan
alcohol dapat dilakukan dengan menggunakan enzim alcohol dehidrogenase yang
dihasilkan oleh Saccharomyces cerevisciae, dan lain-lain.

3. Enzim sebagai petanda pembantu dari reagensia.


Sebagai petanda pembantu dari reagensia, enzim bekerja dengan memperlihatkan reagensia
lain dalam mengungkapkan senyawa yang dilacak. Senyawa yang dilacak dan diukur sama
sekali bukan substrat yang khas bagi enzim yang digunakan. Selain itu, tidak semua senyawa
memiliki enzimnya, terutama senyawa-senyawa sintetis. Oleh karena itu, pengenalan
terhadap substrat dilakukan oleh antibodi.
Adapun dalam hal ini enzim berfungsi dalam memperlihatkan keberadaan reaksi antara
antibodi dan antigen. Contoh penggunaannya adalah sebagai berikut:
 Pada teknik imunoenzimatik ELISA (Enzim Linked Immuno Sorbent Assay), antibodi
mengikat senyawa yang akan diukur, lalu antibodi kedua yang sudah ditandai dengan
enzim akan mengikat senyawa yang sama. Kompleks antibodi-senyawa-antibodi ini
lalu direaksikan dengan substrat enzim, hasilnya adalah zat berwarna yang tidak dapat
diperoleh dengan cara imunosupresi biasa. Zat berwarna ini dapat digunakan untuk
menghitung jumlah senyawa yang direaksikan. Enzim yang lazim digunakan dalam
teknik ini adalah peroksidase, fosfatase alkali, glukosa oksidase, amilase,
galaktosidase, dan asetil kolin transferase.
 Pada teknik EMIT (Enzim Multiplied Immunochemistry Test), molekul kecil seperti
obat atau hormon ditandai oleh enzim tepat di situs katalitiknya, menyebabkan
antibodi tidak dapat berikatan dengan molekul (obat atau hormon) tersebut. Enzim
yang lazim digunakan dalam teknik ini adalah lisozim, malat dehidrogenase, dan
gluksa-6-fosfat dehidrogenase.

Pemanfaatan enzim di bidang pengobatan


Pemanfaatan enzim dalam pengobatan meliputi penggunaan enzim sebagai obat, pemberian
senyawa kimia untuk memanipulasi kinerja suatu enzim dengan demikian suatu efek tertentu
dapat dicapai (enzim sebagai sasaran pengobatan), serta manipulasi terhadap ikatan protein-
ligan sebagai sasaran pengobatan.

1. Penggunaan enzim sebagai obat biasanya mengacu kepada pemberian enzim untuk
mengatasi defisiensi enzim yang seyogyanya terdapat di dalam tubuh manusia untuk
mengkatalis rekasi-reaksi tertentu. Berdasarkan lamanya pemberian enzim sebagai
pengobatan, maka keadaan defisiensi enzim dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu keadaan
defisiensi enzim yang bersifat sementara dan bersifat menetap. Contoh keadaan defisiensi
enzim yang bersifat sementara adalah defisiensi enzim-enzim pencernaan. Seperti yang
diketahui, enzim-enzim pencernaan sangat beragam, beberapa di antaranya adalah protease
dan peptidase yang mengubah protein menjadi asam amino, lipase yang mengubah lemak
menjadi asam lemak, karbohidrase yang mengubah karbohidrat seperti amilum menjadi
glukosa serta nuklease yang mengubah asam nukleat menjadi nukleotida. Adapun defisiensi
enzim yang bersifat menetap menyebabkan banyak kelainan, yang biasanya juga disebut
sebagai kelainan genetic mengingat enzim merupakan protein yang ditentukan oleh gen.
Contoh kelainan akibat defisiensi enzim antara lain adalah hemofilia. Hemofilia adalah suatu
keadaan di mana penderita mengalami kesulitan penggumpalan darah (cenderung untuk
pendarahan) akibat defisiensi enzim-enzim terkait penggumpalan darah. Saat ini telah
diketahui ada tiga belas faktor, sebagian besar adalah protease dalam bentuk proenzim, yang
diperlukan dalam proses penggumpalan darah. Pada penderita hemofilia, terdapat
gangguan/defisiensi pada faktor VIII (Anti-Hemophilic Factor), faktor IX, dan faktor XI.
Kelainan ini dapat diatasi dengan transfer gen yang mengkode faktor IX. Diharapkan gen
tersebut dapat mengkode enzim-enzim protease yang diperlukan dalam proses penggumpalan
darah.
2. Enzim sebagai sasaran pengobatan merupakan terapi di mana senyawa tertentu digunakan
untuk memodifikasi kerja enzim, sehingga dengan demikian efek yang merugikan dapat
dihambat dan efek yang menguntungkan dapat dibuat. Berdasarkan sasaran pengobatan,
dapat dibagi menjadi terapi di mana enzim sel individu menjadi sasaran dan terapi di mana
enzim bakteri patogen yang menjadi sasaran.

a) Pada terapi di mana enzim sel individu sebagai sasaran kinerja terapi, digunakan senyawa-
senyawa untuk mempengaruhi kerja suatu enzim sebagai penghambat bersaing. Contoh
penyakit yang dapat diobati dengan terapi ini adalah:

 Diabetes Melitus. Pada penyakit Diabetes Melitus, senyawa yang diinduksikan adalah
akarbosa (acarbose), di mana akarbosa akan bersaing dengan amilum makanan untuk
mendapatkan situs katalitik enzim amilase (pankreatik α-amilase) yang seyogyanya
akan mengubah amilum menjadi glukosa sederhana. Akibatnya reaksi tersebut akan
terganggu, sehingga kenaikan gula darah setelah makan dapat dikendalikan.
 Penumpukan cairan. Enzim anhidrase karbonat merupakan enzim yang mengatur
pertukaran H dan Na di tubulus ginjal, di mana H akan terbuang keluar bersama urine,
sedangkan Na akan diserap kembali ke dalam darah. Adalah senyawa turunan
sulfonamida, yaitu azetolamida yang berfungsi menghambat kerja enzim tersebut
secara kompetitif sehingga pertukaran kation di tubulus ginjal tidak akan terjadi. Ion
Na akan dibuang keluar bersama dengan urine. Sifat ion Na yang higroskopis
menyebabkan air akan ikut keluar bersamaan dengan ion Na; hal ini membawa
keuntungan apabila terjadi penumpukan cairan bebas di ruang antar sel (udem).
Dengan kata lain senyawa azetolamida turut berperan dalam menjaga kesetimbangan
cairan tubuh.
 Pengendalian tekanan darah diatur oleh enzim renin-EKA dan angiosintase. Enzim
renin-EKA berperan dalam menaikkan tekanan darah dengan menghasilkan produk
angiotensin II, sedangkan angiosintase bekerja terbalik dengan mengurangi aktivitas
angiotensin II. Untuk menghambat kenaikan tekanan darah, maka manipulasi
terhadap kerja enzim khususnya EKA dapat dilakukan dengan pemberian obat
penghambat EKA (ACE Inhibitor).
 Mediator radang prostaglandin yang dibentuk dari asam arakidonat melibatkan dua
enzim, yaitu siklooksigenase I dan II (cox 1 dan cox II). Ada obat atau senyawa
tertentu yang mempengaruhi kinerja cox 1 dan cox II sehingga dapat digunakan untuk
mengurangi peradangan dan rasa sakit.
 Dengan menggunakan prinsip pengaruh senyawa terhadap enzim, maka enzim yang
berfungsi untuk memecah AMP siklik (cAMP) yaitu fosfodiesterase (PD) dapat
dihambat oleh berbagai senyawa, antara lain kafein (trimetilxantin), teofilin,
pentoksifilin, dan sildenafil. Teofilin digunakan untuk mengobati sesak nafas karena
asma, pentoksifilin digunakan untuk menambah kelenturan membran sel darah merah
sehingga dapat memasuki relung kapiler, sedangkan sildenafil menyebabkan relaksasi
kapiler di daerah penis sehingga aliran darah yang masuk akan bertambah dan
tertahan untuk beberapa saat.
 Penyakit kanker merupakan penyakit sel ganas yang harus dicegah penyebarannya.
Salah satu cara untuk mencegah penyebarannya adalah dengan menghambat mitosis
sel ganas. Seperti yang diketahui, proses mitosis memerlukan pembentukan DNA
baru (purin dan pirimidin).
Pada pembentukan basa purin, terdapat dua langkah reaksi yang melibatkan formilasi
(penambahan gugus formil) dari asam folat yang telah direduksi. Reduksi asam folat
ini dapat dihambat oleh senyawa ametopterin sehingga sintesis DNA menjadi tidak
berlangsung. Selain itu penggunaan azaserin dapat menghambat biosintesis purin
yang membutuhkan asam glutamate. 6-aminomerkaptopurin juga dapat menghambat
adenilosuksinase sehingga menghambat pembentukan AMP (salah satu bahan DNA).

 Pada penderita penyakit kejiwaan, pemberian obat anti-depresi (senyawa) inhibitor


monoamina oksidase (MAO inhibitor) dapat menghambat enzim monoamina oksidase
yang mengkatalisis oksidasi senyawa amina primer yang berasal dari hasil
dekarboksilasi asam amino. Enzim monoamina oksidase sendiri merupakan enzim
yang mengalami peningkatan jumlah ada sel susunan saraf penderita penyakit
kejiwaan.

b) Pada terapi di mana enzim mikroorganisme yang menjadi sasaran kerja, digunakan prinsip
bahwa enzim yang dibidik tidak boleh mengkatalisis reaksi yang sama atau menjadi bagian
dari proses yang sama dengan yang terdapat pada sel pejamu. Hal ini bertujuan untuk
melindungi sel pejamu, sekaligus meningkatkan spesifitas terapi ini. Karena yang dibidik
adalah enzim mikroorganisme, maka penyakit yang dihadapi kebanyakan adalah penyakit-
penyakit infeksi. Contoh terapi dengan menjadikan enzim mikroorganisme sebagai sasaran
kerja antara lain:
 Pada penyakit tumor, sel tumor dapat dikendalikan perkembangannya dengan
menghambat mitosisnya. Mitosis sel tumor membutuhkan DNA baru (purin dan
pirimidin baru). Proses ini membutuhkan asam folat sebagai donor metil yang dapat
dibuat oleh mikroorganisme sendiri dengan memanfaatkan bahan baku asam p-
aminobenzoat (PABA), pteridin, dan asam glutamat. Suatu analog dari PABA, yaitu
sulfonamida dan turunannya dapat dimanfaatkan untuk menghambat pemakaian
PABA untuk membentuk asam folat.
 Penggunaan antibiotika, yaitu senyawa yang dikeluarkan oleh suatu mikroorganisme
di alam bebas dalam rangka mempertahankan substrat dari kolonisasi oleh
mikroorganisme lain dalam memperebutkan sumber daya, juga berperan dalam terapi.
Contohnya adalah penisilin, suatu antibiotik yang menghambat enzim transpeptidase
yang mengkatalisis dipeptida D-alanil D-alanin sehingga peptidoglikan di dinding sel
bakteri tidak terbentuk dengan sempurna. Bakteri akan rentan terhadap perbedaan
tekanan osmotik sehingga gampang pecah.
 Perbedaan mekanisme sintesis protein antara mikroorganisme dan sel pejamu juga
dapat dimanfaatkan sebagai salah satu prinsip terapi. Penggunaan antibiotika tertentu
dapat menghambat sintesis protein pada mikroorganisme. Contohnya antara lain:
Ø Tetrasiklin yang menghambat pengikatan asam amino-tRNA pada situs inisiator subunit
30S dari ribosom sehingga asam amino tidak dibawa oleh tRNA.
Ø Streptomisin yang berikatan langsung dengan subunit 50S dari ribosom sehingga laju
sintesis protein berkurang dan terbentuk protein yang tidak semestinya akibat kesalahan baca
kodon mRNA.
Ø Kloramfenikol yang menyaingi mRNA untuk duduk di ribosom
Ø Neomisin B yang mengubah pengikatan asam amino-tRNA ke kompleks mRNA ribosom.
3. Interaksi protein-ligan sebagai sasaran pengobatan. Pengobatan dengan sasaran interaksi
protein-ligan mengacu kepada prinsip interaksi sistem mediator-reseptor, di mana apabila
mediator disaingi oleh molekul analognya sehingga tidak dapat berikatan dengan reseptor,
sehingga efek dari mediator tersebut tidak terjadi. Contoh pengobatan dengan menjadikan
interaksi protein-ligan sebagai sasarannya antara lain:

a) Pengendalian tekanan darah yang diatur oleh hormon adrenalin.


Reseptor yang terdapat pada hormon adrenalin, yaitu α-reseptor dan β-reseptor dapat
dihambat oleh senyawa-senyawa yang berbeda. Penghambatan pada β-reseptor dapat
menimbulkan efek pelemasan otot polos dan penurunan detak jantung. Obat-obatan yang
bekerja dengan cara tersebut dikenal sebagai β-blocker.

b) Penggunaan antihistamin untuk tujuan tertentu.


Histamin merupakan turunan asam amino histidin yang berperan sangat luas, mulai dari
neuromediator, mediator radang pada kapiler, meningkatkan pembentukan dan pengeluaran
asam lambung HCl, kontraksi otot polos di bronkus, dan lain-lain. Tidak jarang ketika
misalnya terjadi peradangan yang memicu pengeluaran histamin, terjadi efek-efek lain seperti
sakit perut dan lain-lain. Untuk itu dikembangkan senyawa spesifik yang mampu bekerja
sebagai pesaing histamin, yaitu antihistamin. Dengan adanya antihistamin ini, maka respon
yang ditimbulkan akibat kerja histamin dapat ditekan.
BAB III
SIMPULAN

Enzim merupakan biomolekul berupa protein yang berfungsi sebagai katalis dalam
suatu rekasi kimia organic. Dalam bidang pengobatab enzim dimanfaatkan sebagai alat
diagnosis yaitu dalam petanda dari kerusakan suatu jaringtan atau organ akibat penyakit
tertentu, digunakan sebagai suatu reagensia diagnosis, dan sebagai petanda pembantu dari
regensia. Dalam pengobatanenzim yang berfungsi dalam memperlihatkan rekasi antara
antibody dan antigen. Pemanfaatan enzim dalam bidang pengobatan meliputi enzim yang
sebagai obat pemberian senyawa kimiawi untuk manipulasi kerja suatu energy dengan
demikian suatu efek tertentu dapat dicapai, misalnya mengacu pada pembesaran enzim untuk
mengatasi defisiensi energy seyogyanya terdapat dalam tubuh manusia untuk mengatalis
reaksi-reaksi tertentu. Pemanfaatan merup-akan reaksi dimana senyawa tertentu digunakan
untuk memodifikasi kerja enzim dan interaksi protein-ligan sebagai sarana pengobata.
DAFTAR PUSTAKA

Campbell N, Reece J, Mitchell L. Biologi. 5th ed. Jakarta: Erlangga; 2002. p. 98-9. (Biologi;
vol 1).

Sherwood L. Fisiologi manusia dari sel ke sistem. 2nd ed. Jakarta: EGC;2001. p. A4-5.

Sadikin M. Seri biokimia: biokimia enzim. Jakarta: Widya Medika; 2002.

You might also like