You are on page 1of 4

Budaya Asli Jepang

Budaya Jepang mencakup interaksi antara budaya asli Jomon yang kokoh dengan
pengaruh dari luar negeri yang menyusul. Mula-mula Cina dan Korea banyak membawa
pengaruh, bermula dengan perkembangan budaya Yayoi sekitar 300SM. Gabungan tradisi
budaya Yunani dan India, mempengaruhi seni dan keagamaan Jepang sejak abad ke-6 Masehi,
dilengkapi dengan pengenalan Agama Buddha sekte Mahayana. Sejak abad ke-16, pengaruh
Eropa menonjol, disusul dengan pengaruh Amerika Serikat yang mendominasi Jepang setelah
berakhirnya Perang Dunia II. Jepang turut mengembangkan budaya yang original dan unik, dalam
seni (ikebana, origami, ukiyo-e), kerajinan tangan (pahatan, tembikar, persembahan (boneka
bunraku, tarian tradisional, kabuki, noh, rakugo), dan tradisi (permainan jepang, onsen, sento,
upacara minum teh,taman jepang), serta makanan jepang.

Kini, Jepang merupakan salah sebuah pengekspor budaya pop yang terbesar. Anime,
manga, mode, film, kesusastraan, permainan video, dan music Jepang menerima sambutan
hangat di seluruh dunia, terutama di negara-negara Asia yang lain. Pemuda Jepang gemar
menciptakan trend baru dan kegemaran mengikut gaya mereka mempengaruhi mode dan trend
seluruh dunia. Pasar muda-mudi yang amat baik merupakan ujian untuk produk-produk
elektronik konsumen yang baru, di mana gaya dan fungsinya ditentukan oleh pengguna Jepang,
sebelum dipertimbangkan untuk diedarkan ke seluruh dunia.

Orang Jepang biasanya gemar memakan makanan tradisi mereka. Sebagian besar acara
TV pada waktu petang dikhususkan pada penemuan dan penghasilan makanan tradisional yang
bermutu. Makanan Jepang mencetak nama di seluruh dunia dengan sushi, yang biasanya dibuat
dari berbagai jenis ikan mentah yang digabungkan dengan nasi dan wasabi. Sushi memiliki
banyak penggemar di seluruh dunia. Makanan Jepang bertumpu pada peralihan musim, dengan
menghidangkan mi dingin dan sashimi pada musim panas, sedangkan ramen panas dan shabu-
shabu pada musim dingin.

Etos Kerja dan Budaya Kerja Bangsa Jepang


● Masyarakat Jepang: masyarakat yang tidak peduli pada agama

Saya mulai dari ciri-ciri khusus masyarakat Jepang dibandingkan dengan masyarakat
Indonesia. Perbedaan yang paling besar antara masyarakat Jepang dengan Indonesia adalah
masyarakat Jepang tidak peduli pada agama. Dalam undang-undang dasar Jepang, pemerintah
tidak boleh ikut campur dalam urusan agama. Dilarang keras memakai anggaran negara untuk
hal-hal agama. ( Dalam pasal 20 tertulis bahwa semua lembaga agama tidak boleh diberi hak
istimewa dari negara dan tidak boleh melaksanakan kekuatan politik, negara dan instansinya
tidak boleh melakukan kegiatan agama dan pendidikan agama tertentu. Dan dalam pasal 89
tertulis bahwa uang negara tidak boleh dipakai untuk lembaga agama.
Maka di Jepang tidak ada ruangan untuk sembahyang seperti mushala di instansi negara
(termasuk sekolah), tidak ada Departmen Agama, tidak ada sekolah agama negara (seperti IAIN
di Indonesia).
Menurut beberapa penelitian, sekitar 70% orang Jepang menjawab tidak memeluk agama.
Terutama, pemuda Jepang sangat tidak peduli agama. (Pada tahun 1996, mahasiswa yang
mempercayai agama tertentu hanya 7.6%).
Orang Jepang tidak peduli orang lain agamanya apa, dan kalau dia mempercayai agama tertentu,
biasanya dia tidak suka memamerkan agamanya sendiri. Orang Jepang tidak ikut campur urusan
pribadi orang lain, dan masalah agama dianggap sebagai urusan pribadi.
Di Jepang pernah orang Kristen menjadi Perdana Menteri, namanya OHIRA Masayoshi, Masa
jabatannya dari tahun 1978 sampai 1980. Memang jumlah orang Kristen cuma 1% dari penduduk
Jepang, tapi sama sekali tidak menjadi masalah dan sama sekali tidak mempengaruhi
kebijakannya. Hal itu tidak dikatakan karena toleransi pada agama, lebih tepat disebut karena
ketidakpedulian orang Jepang pada agama. (Tetapi beberapa sekte tidak disukai banyak orang.)

● Etika orang Jepang tidak berdasar atas agama

Robert N Bellah, menerbitkan buku berjudul Tokugawa Religion: The Cultural Roots of
Modern Japan (1957) menganalisis kemajuan Jepang berdasar teori Max Weber yaitu Die
Protestantische Ethik und der “Geist” des Kapitalismus (1905), menjelaskan peranan nilai agama
pramodern itu dalam proses modernisasi. Tetapi menurut saya teori Bellah ini sangat diragukan.
Bellah mengatakan ajaran “Sekimon shingaku” (Ilmu moral oleh ISHIDA Baigan) itu
memerankan sebagai etos untuk modernisasi ekonomi. Selain itu, ada yang menilai ajaran salah
satu sekte Buddha Jepang Jodo Shinshu sebagai etos seperti Protestan. Tentu saja ajaran-ajaran
itu mementingkan kerja keras, mirip dengan ajaran Puritanisme (memang Islam juga). Di Jepang
modernisasi di dalam bidang ekonomi dilakukan oleh pemerintah Meiji. Ideologi pemerintah
Jepang adalah Shinto versi negara. Jadi, teori Max Weber tidak bisa diterapkan kepada Jepang.
Di Jepang tidak ada agama yang mendorong proses kapitalisme.
Jepang dipenuhi dengan porno, dilimpah dengan tempat judi, orang Jepang suka sekali minum
minuman keras. Tetapi pada umumnya orang Jepang masih berdisiplin, bekerja keras,
masyarakat Jepang sedikit korupsi, lebih makmur, tertib, efisien, bersih dan aman (setidak-
tidaknya tidak terjadi konflik antar agama) daripada Indonesia. Bagi orang Jepang, porno, judi,
minuman keras, semua hanya sarana hiburan saja untuk menghilangkan stres. Kebanyakan orang
Jepang tidak sampai adiksi/kecanduan. Kalau begitu, etika orang Jepang berdasar atas apa?

● Etika orang Jepang: etika demi komunitas

Etika orang Jepang itu, tujuan utamanya membentuk hubungan baik di dalam komunitas.
Kebesaran komunitas bergantung pada situasi dan zaman. Negara, desa, keluarga, perusahaan,
pabrik, kantor, sekolah, partai, kelompok agama, tim sepak bola dll, bentuknya apapun, orang
Jepang mementingkan komunitas termasuk diri sendiri. Sesudah Restorasi Meiji, pemerintah
Meiji sangat menekankan kesetiaan pada negara. Sesudah perang dunia kedua, objek kesetiaan
orang Jepang beralih pada perusahaan. Tindakan pribadi dinilai oleh mendorong atau merusak
rukun komunitas. Maka misalnya minum minuman keras juga tidak dimasalahkan, bahkan
minum bersama diwajibkan untuk mendorong rukunkomunitas. Ajaran agama juga digunakan
untuk memperkuat etika komunitas ini. Sedangkan Semitic monoteisme (agama Yahudi, Kristen
dan Islam) mengutamakan Allah daripada komunitas, dan memisahkan seorang sebagai diri
sendiri dari komunitas. Jadi Pemerintahan Tokugawa melarang Kristen. Tentu saja agama
Buddha juga mengutamakan Kebenaran Darma daripada komunitas, tetapi ajaran sisi seperti itu
ditindas. Sementara Konfusianisme sengat cocok dengan etika demi komunitas ini.
Tetapi, orang Jepang tidak mengorbankan sendiri tanpa syarat demi komunitas. Hal ini jelas
terutama di dalam etos kerja orang Jepang.

● Etos kerja dan budaya kerja orang Jepang

Sesudah perang dunia kedua, perusahaan Jepang yang besar membentuk 3 sistem.
yaitu,(1). Sistem ketenagakerjaan sepanjang hidup, yakni perusahaan biasanya tidak putus
hubungan kerja.(2). Sistem kenaikan gaji sejajar umur, yakni perusahaan menaikan gaji
pekerjanya tergantung umur mereka. (3). Serikat pekerja yang diorganisasi menurut perusahaan,
yakni, berbeda dengan pekerja yang diorganisasi menurut jenis kerja, semua pekerja sebuah
perusahaan, jenis kerja apapun, diorganisasi satu serikat pekerja. Oleh ketiga sistem ini, pekerja
menganggap kuat diri sendiri anggota perusahaannya dan merasa kesetiaan kepada
perusahaannya. Di atas ketiga sistem ini, etos kerja dan budaya kerja orang Jepang berkembang.
Kenyataannya, ketiga sistem ini dibentuk hanya di perusahaan besar, tidak ada di perusahaan
kecil. Tetapi ketiga sistem ini menjadi teladan bagi perusahaan kecil juga.
Ciri-ciri etos kerja dan budaya kerja orang Jepang adalah,
1. Bekerja untuk kesenangan, bukan untuk gaji saja. Tentu saja orang Jepang juga tidak bekerja
tanpa gaji atau dengan gaji yang rendah. Tetapi kalau gajinya lumayan, orang Jepang bekerja
untuk kesenangan. Jika ditanya “Seandainya anda menjadi milyuner dan tidak usah bekerja, anda
berhenti bekerja ?”, kebanyakan orang Jepang menjawab, “Saya tidak berhenti, terus bekerja.”
Bagi orang Jepang kerja itu seperti permainan yang bermain bersama dengan kawan yang akrab.
Biasanya di Jepang kerja dilakukan oleh satu tim. Dia ingin berhasil dalam permainan ini, dan
ingin menaikkan kemampuan diri sendiri. Dan bagi dia kawan-kawan yang saling mempercayai
sangat penting. Karena permainan terlalu menarik, dia kadang-kadang lupa pulang ke rumah.
Fenomena ini disebut “work holic” oleh orang asing.

2. Mendewakan langganan Memang melanggar ajaran Islam, etos kerja orang Jepang
mendewakan client/langganan sebagai Tuhan. “Okyaku sama ha kamisama desu.” (Langganan
adalah Tuhan.) Kata itu dikenal semua orang Jepang. Kata ini sudah motto bisinis Jepang.
Perusahaan Jepang berusaha mewujudkan permintaan dari langganan sedapat mungkin, dan
berusaha berkembangkan hubungan erat dan panjang dengan langganan..
3. Bisnis adalah perang Orang Jepang yang di dunia bisnis menganggap bisnis sebagai perang
yang melawan dengan perusahaan lain. Orang Jepang suka membaca buku ajaran Sun Tzu ( 孫
子) untuk belajar strategis bisnis. Sun Tzu adalah sebuah buku ilmu militer Tiongkok kuno, pada
abad.

4. Sebelum masehi. Sun Tzu itu suka dibaca oleh baik samurai dulu maupun orang bisinis
sekarang. Untuk menang perang, perlu strategis dan pandangan jangka panjang. Budaya bisinis
Jepang lebih mementingkan keuntungan jangka panjang. Supaya menang perang seharusnya
diadakan persiapan lengkap untuk bertempur setenaga kuat. Semua orang Jepang tahu pribahasa
“Hara ga hette ha ikusa ha dekinu.” (Kalau lapar tidak bisa bertempur.) Oleh karena itu orang
Jepang tidak akan pernah menerima kebiasaan puasa. Bagi orang Jepang, untuk bekerja harus
makan dan mempersiapkan kondisi lengkap. Tentu saja di medang perang,
kedisiplinan paling penting. Dalam buku Sun Tzu untuk mengajar kedisiplinan dilakukan cara
yang sangat kejam. Tetapi sekarang disiplin diajarkan di sekolah dasar. Pendidikan di sekolah
sangat penting. Masuk sekolah setiap hari tidak terlambat, ikut pelajaran secara rajin, hal-hal itu
dasar disiplin untuk kerja di dunia bisinis. Pada setelah Restorasi Meiji, pendidikan disiplin di
sekolah dasar lebih berguna untuk berkembang kapitalisme daripada ajaran agama apapun.

● Introduksi “performance-paid system” dan gagalnya

Sejak runtuhnya ekonomi Jepang pada awal 1990-an, banyak perusahaan Jepang
memPHK secara massal. Mereka mengintroduksi sistem gaya Amerika, yakni performance-paid
system pada tahun 1990-an untuk mengirit biaya tenaga kerja. Sistem ini gajinya dibayar
menurut hasil kerjanya. Tetapi sistem ini merusakkan team work di dalam perusahaan dan
menghilangkan kesetiaan pekerja pada perusahaannya. Rupanya bagi orang Jepang, gajinya tidak
menjadi motivasi kuat. Mungkin performance-paid system dicabut lagi dan direkonstruksi sistem
yang tradisional. Etos kerja dan budaya kerja Jepang mungkin tidak begitu berubah
Tetapi perusahaan Jepang memilih menjadi lebih langsing dan ringan. Pekerja tetap menjadi
terbatas, kebanyakan pekerja adalah yang non tetap. Etos kerja pekerja non tetap ada
kemungkinan berubah drastis.

You might also like