Professional Documents
Culture Documents
religions in Indonesia.
Jelaslah bahwa ada hubungan antara sila Ketuhanan Yang Maha
Esa dalam
Pancasila dengan ajaran tauhid dalam teologi Islam. Jelaslah pula
bahwa
sila pertama Pancasila yang merupakan “prima causa” atau sebab
pertama
itu, sejalan dengan beberapa ajaran tauhid Islam, dalam hal ini ajaran
Tuhan itu Esa dalam sifat-Nya dan perbuatan-Nya. Ajaran ini juga
diterima oleh agama-agama lain di Indonesia.
Bahwa prinsip ke-Tuhanan Soekarno itu didapat dari - atau
sekurang-kurangnya diilhami oleh uraian-uraian dari para pemimpin
Islam
yang berbicara mendahului Soekarno dalam Badan Penyelidik itu,
dikuatkan
dengan keterangan Mohamad Roem. Pemimpin Masyumi yang ter-
kenal ini
menerangkan bahwa dalam Badan Penyelidik itu Soekarno
merupakan
pembicara terakhir; dan membaca pidatonya orang mendapat kesan
bahwa
fikiran-fikiran para para anggota yang berbicara sebelumnya telah
tercakup di dalam pidatonya itu, dan dengan sendirinya perhatian
tertuju
kepada (pidato) yang terpenting”, komentar Roem, “pidato penutup
yang
bersifat menghimpun pidato-pidato yang telah diucapkan
sebelumnya”.
Penting untuk dicatat bahwa Soekarno sendiri secara tegas menolak
anggapan bahwa dia “pencip-ta” pancasila. Dalam pidato inaugurasi
penerimaan gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gadjah
Mada, dia
menyatakan : “janganlah dikatakan saya ini pembentuk ajaran
Pancasila.
Saya hanya seorang penggali daripada ajaran Pancasila itu”.
Atas anjuran Presiden Soeharto, maka dibentuk-lah Panitia Pancasila
yang
terdiri atas lima orang, yakni : Mohammad Hatta, Ahmad Subardjo,
A.A.
Maramis, Sunario dan A.G. Pringgodigdo, yang dianggap dapat
memberikan
pengertian sesuai dengan alam fikiran, dan semangat lahir batin para
berkesimpulan, bahwa hal itu bukanlah asli dari Soekarno, karena dia
sendiri mengakui :
Namanya bukan Panca Dharma, tetapi - saya namakan ini dengan
petunjuk
seorang teman kita ahli bahasa - namanya Pancasila. Sila artinya
asas
atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara
Indonesia kekal abadi. ?
Apa yang disampaikan dalam tulisan ini adalah masalah lama yang
menghangat kembali dalam beberapa bulan terakhir, terkait dengan
dua peristiwa. Pertama, ialah peluncuran buku karya sohib saya di
SMA, Bang Ridwan Saidi (RS) yang berjudul Status Piagam Jakarta,
Tinjauan Hukum dan Sejarah (21 Juli 2007). Kedua, ialah
penyelenggaraan Konferensi Khilafah Internasional di Jakarta, pada
12 Agustus 2007. Perlu diingatkan kembali sebagian dari perjalanan
sejarah bangsa yang cukup penting agar kita, khususnya warga NU
yang jumlahnya cukup besar, mempunyai gambaran menyeluruh.
Dalam perjalanan kesejarahan itu, tokoh dan organisasi NU
memainkan peranan penting.
Pasang surut
Piagam Jakarta (PJ) mengalami perjalanan panjang didalam
kehidupan bangsa Indonesia. Dalam perjalanan itu, yang dialami
lebih banyak surutnya. Pada 22 Juni 1945 PJ disetujui oleh Badan
Penyelidik Usaha Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK),
tetapi pada 18 Agustus 1945 tujuh kata "dengan kewajiban
menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya", dicoret atas
dasar kesepakatan sejumlah tokoh Islam dengan Bung Hatta.
Tetapi, lepas dari setuju atau tidak terhadap pendapat RS itu, realitas
politik menunjukkan bahwa parpol pendukung PJ tidak menganggap
bahwa pengertian pasal 29 UUD adalah ditambah 'tujuh kata PJ itu'.
Indikatornya ialah perjuangan sejumlah parpol Islam untuk
memasukkan 'tujuh kata PJ' dalam Pasal 29 UUD pada SU MPR
2001. Realitas politik lainnya ialah fakta bahwa ormas Islam terbesar
(Muhammadiyah dan NU) sudah tidak mendukung gagasan itu.
Secara de facto, dalam realitas politik orientasi para tokoh parpol dan
ormas Islam sudah berubah dibanding orientasi mereka pada tahun
1945, 1959 dan 1970-an. Kalau dulu tidak menerima Pancasila,
maka kini kebanyakan dari mereka sudah menerima Pancasila.
Tetapi sikap itu bertentangan dengan sikap banyak anggota DPRD di
sejumlah daerah, termasuk dari Partai Golkar, yang menginginkan
berlakunya perda syariah Islam.
Apakah sikap para tokoh parpol dan ormas Islam itu juga merupakan
sikap dari umat Islam? Survei PPIM IAIN Ciputat tahun 2001-2006
menunjukkan bahwa masih banyak umat Islam yang menghendaki
berlakunya syariah Islam, walaupun kebanyakan dari mereka
menentang hukum potong tangan. Pada 2001, 57,8 persen
responden mendukung pemerintahan atas dasar ajaran Alquran dan
Sunnah di bawah kepemimpnan ulama dan kiai.
Persentase itu meningkat pada 2002 (67,1 persen), pada 2004 (72,2
persen), dan pada 2006 (72,2 persen). Tentang negara harus
mewajibkan pelaksanaan syariah Islam bagi Muslimin dan Muslimah,
dukungan 61,4 persen (2001) naik menjadi 70,6 persen (2002), lalu
75,5 persen (2004), dan 82,6 persen (2006).
Mendorong konvergensi
Perubahan sikap para tokoh dan ulama dalam NU terjadi berkat
diluncurkannya 'Deklarasi Hubungan Antara Islam dan Pancasila'
pada Munas Alim Ulama NU (1983) di Asembagus. Rumusan
Deklarasi itu didasarkan pada presentasi KH Achmad Siddiq, Rais
Aam Syuriyah PBNU 1984-1991, dan makalahnya setebal 34
halaman. Dalam penjelasannya, KH Ahmad Siddik secara bergurau
mengatakan bahwa ibarat makanan, Pancasila sudah kita kunyah
selama 38 tahun, namun baru sekarang dipersoalkan halal dan
haramnya.
Ikhtisar
- Dalam beberapa bulan terakhir, wacana mengenai Piagam Jakarta
kembali dibincangkan di kalangan politisi. - Kenyataan menunjukkan
bahwa peta dukungan terhadap Piagam Jakarta pada Sidang Umum
MPR 2001 lalu tidak sebesar di Konstituante. - Di balik dukungan
terhadap Piagam Jakarta itu adalah keinginan untuk menjalankan
syariah Islam sebagai dasar negara. - Dalam beberapa waktu
mendatang, Aceh bisa menjadi laboratorium hudup pemberlakuan
syariah Islam di sebuah negara-bangsa.