You are on page 1of 40

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sumberdaya lahan (land resources) berperan sebagai penyangga


aktivitas kegiatan masyarakat dan dapat berfungsi sebagai bagian
dari sistem perlindungan ekosistem. Lahan yang dikelola secara
berkelanjutan akan memberikan manfaat yang optimal bagi
masyarakat secara ekonomi, sosial dan ekologis. Sebaliknya lahan
yang mengalami degradasi dapat menjadi ancaman bagi stabilitas
tatanan kehidupan masyarakat.

Degradasi lahan di propinsi Jawa Barat yang makin meluas


ditunjukkan dengan bertambahnya lahan kritis, baik pada lahan
Kehutanan, Perkebunan Besar, Tanah Negara lainnya, lahan milik
BUMN/BUMD dan Perusahaan Swasta maupun lahan milik
masyarakat, termasuk lahan sempadan jalan, sempadan sungai,
sempadan pantai, halaman kantor, halaman hotel, halaman pabrik,
halaman sekolah dan lahan pekarangan.

Berdasarkan data hasil inventarisasi tahun 2005, lahan kritis di


Propinsi Jawa Barat adalah 608.813 Ha*, terdiri lahan kritis pada
kawasan hutan seluas 158.274 Ha dan lahan kritis di luar kawasan
hutan (lahan masyarakat) seluas 450.539 ha. atau sekitar 74 % dari
total luas lahan kritis. Kondisi ini secara cepat mempengaruhi
kualitas lingkungan dan berdampak pada penurunan daya dukung
lahan bagi kepentingan usaha pertanian maupun kehidupan
masyarakat lainnya.

Upaya penanganan lahan kritis secara umum dapat ditempuh


melalui beberapa kegiatan sebagai berikut :

1
a. Melaksanakan rehabilitasi lahan dengan ditanami tanaman
tahunan yang mempunyai fungsi konservasi dan nilai ekonomi,
yang maksudnya disamping agar lahan-lahan tersebut dapat
segera berfungsi kembali sebagai daerah resapan air dan atau
daerah tangkapan air, juga diharapkan dapat berdampak positif
terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat.

b. Melaksanakan pemberdayaan masyarakat di bidang ekonomi,


terutama bagi masyarakat yang berdomisili di sekitar Hutan
Negara dan Perkebunan Besar, yang maksudnya disamping
memberikan kesempatan berusaha kepada masyarakat di
daerah setempat, juga agar tidak menjarah/merambah Hutan
Negara ataupun Perkebunan Besar.

Dalam rangka pengembalian fungsi lahan kritis, pemerintah pusat


maupun daerah telah menetapkan kebijakan untuk mengembalikan
fungsi lahan kritis melalui program Gerakan Rehabilitasi Nasional
(Gerhan) dan Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis (GRLK). Program ini
dilaksanakan melalui kegiatan penanaman tanaman kehutanan
(kayu-kayuan) atau tanaman multi purpose species (MPTS) pada
lahan kritis baik dalam kawasan maupun diluar kawasan hutan.
Namun demikian program tersebut belum menunjukkan hasil yang
menggembirakan. Kendala muncul terutama akibat perencanaan,
operasional dan pemeliharaan tanaman yang tidak terintegrasi
dengan aspirasi masyarakat selaku pelaku utama pengelolaan lahan.
Selain itu program Gerhan dan GRLK lebih memfokuskan pada
upaya penutupan lahan sebagai bagian dari ekosistem tanpa
memperhatikan permasalahan ekonomi masyarakat jangka pendek.

Oleh karena itu untuk mendukung program Gerhan dan GRLK perlu
diupayakan suatu program pendukung yang berbasis pada
pemanfaatan lahan untuk kepentingan ekonomi jangka pendek tanpa
menghilangkan kaidah ekologi.

2
Upaya untuk meningkatkan pendapatan jangka pendek bagi
masyarakat adalah dengan mengoptimalkan ruang pada kawasan
lahan kritis untuk kegiatan usaha pertanian. Selama ini kegiatan
usaha pertanian telah berjalan dalam bentuk tumpangsari yang
menjadi kegiatan bersamaan dengan pelaksanaan tanaman kayu.
Namun terbatas hanya untuk pemenuhan kebutuhan pangan.
Padahal pengembangan usaha pertanian bisa lebih ditingkatkan
dalam skala usaha yang mampu memberikan kontribusi pendapatan
apabila dikembangkan secara sinergis dengan pihak-pihak industri
pertanian. Dengan pengembangan tanaman tumpangsari secara
sinergis dengan pihak industri diharapkan dapat membantu dalam
penyediaan peluang usaha bagi masyarakat pemilik/penggarap
lahan kritis.

Komitmen bersama bersama juga perlu disadari oleh masyarakat


daerah penyangga lingkungan yaitu masyarakat hulu sungai dengan
masyarakat didaerah hilir sungai yang umumnya merupakan
masyarakat perkotaan yang kegiatan usahanya bertumpu pada
usaha industri dan perdagangan. Sementara masyarakat hulu
umumnya memiliki kegiatan usaha yang bertumpu pada kegiatan
pertanian yang berbasis pada lahan.

Masyarakat hulu yang umumnya masuk dalam kelompok masyarakat


marjinal dituntut untuk menjaga/memperbaiki kondisi lahan
sekitarnya perlu mendapatkan bentuk kegiatan atau usaha ekonomi
yang tidak mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan
disekitarnya. Hal ini perlu disadari oleh masyarakat hilir yang selama
ini merasa berkepentingan atas kondisi lingkungan yang baik di
daerah hulu tanpa memikirkan kegiatan perekonomian masyarakat
hulu yang terkait dengan lahan. Kondisi ini tentunya akan dapat
berjalan apabila pemerintah dapat menggerakkan program kegiatan
baik untuk masyarakat hilir maupun masyarakat sekitar hulu sungai.

3
Subsidi hilir-hulu melalui sinergitas sektor-sektor ekonomi khususnya
ekonomi pertanian perlu digalang sehingga kegiatan akan berjalan
secara proporsional. Kegiatan penghijauan lahan dan tumpangsari
dengan dukungan permodalan dan kepastian pasar merupakan
program yang diharapkan dapat berjalan pada penanganan lahan
kritis di Jawa Barat sekaligus sebagai langkah nyata pemberdayaan
masyarakat desa yang berdomisili pada kawasan hulu.

Kegiatan penghijauan dan tumpangsari tanaman pertanian


diarahkan untuk menciptakan suatu hubungan timbal-balik antara
masyarakat daerah lahan kritis dengan sumberdaya lahan sebagai
satu kesatuan manajemen pengelolaan lahan yang saling
menguntungkan.

Mengacu pada pola hutan kemasyarakatan sesuai SK Menhut No.


622/Kpts-II/1995, prinsip-prinsip dasar yang terkandung dalam
pengelolaan lahan kritis adalah :
a. Masyarakat berposisi sebagai pelaku utama dalam
pengambilan manfaat.
b. Masyarakat sebagai pihak pengambilan keputusan yang
menentukan sistem pengusahaan.
c. Pemerintah bertindak sebagai fasilitator dan pemantau bagi
masyarakat dalam kemitraan usaha dengan pihak
berkepentingan dan permodalan.
d. Terjamin adanya kepastian hak dan kewajiban semua pihak.
e. Bentuk kelembagaan pengusahaan ditentukan oleh
masyarakat.
f. Kerangka pendekatan didasarkan pada
keanekaragaman hayati dan keanekaragaman budaya.

Untuk memperkuat permodalan dan jaminan pasar perlu dilakukan


sharing dalam bentuk kerjasama usaha dengan pihak-pihak terkait
(stakeholders) yang berkepentingan terhadap komoditi yang

4
dikembangkan. Pihak-pihak yang dapat dilibatkan kerjasama dalam
kegiatan usaha ini adalah :
1. Badan Usaha Milik Swasta (BUMS);
2. Mitra Usaha dibidang Pertanian (industri pakan ternak,
perusahaan perdagangan komoditi pertanian);
3. Masyarakat pemilik dan atau penggarap lahan kritis.
4. Pemerintah melalui instansi terkait.

Legalitas hukum dan teknis yang digunakan sebagai dasar


kerjasama dalam pelaksanaan PLKBM mengacu pada :
1. Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan;
2. Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya;
3. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah;
4. Perda Propinsi Jawa Barat Nomor 2 Tahun 2003
5. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.01/Menhut-II/2004 tentang
Pemberdayaan Masyarakat Setempat di Dalam dan atau Sekitar
Hutan dalam rangka Sosial Forestry.
6. Peraturan Gubernur No 11 Tahun 2006 Tentang Pemberdayaan
Masyarakat Desa Sekitar Hutan Negara dan Perkebunan Besar.

1.2 Maksud dan Tujuan

Maksud dilaksanakan kegiatan ini adalah memulihkan kembali


kondisi lahan kritis sehingga berfungsi optimal secara ekologis,
konservasi, ekonomi dan estetika melalui sistem pengelolaan lahan
kritis yang dilakukan bersama oleh kelembagaan dan masyarakat
dengan pihak yang berkepentingan (stakeholders) dengan jiwa

5
berbagi, sehingga kepentingan bersama untuk mencapai
keberlanjutan fungsi dan manfaat lahan dapat diwujudkan secara
optimal dan proporsional.

Tujuan dari kegiatan ini adalah :


a. Mengurangi dampak ekologis akibat lahan kritis yang umumnya
berupa lahan kosong.
b. Meningkatkan kualitas lingkungan hidup untuk memperbaiki
stabilitas tata air.
c. Menjadi stimulan dan menggalang partisipasi masyarakat untuk
memperbaiki kondisi lingkungan disekitarnya.
d. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat melalui
optimalisasi potensi lahan, menciptakan peluang usaha,
sinergitas sektor-sektor usaha di bidang pertanian dan
kehutanan serta membangun struktur pasar yang lebih pasti.

1.3 Pengertian Umum

1. Lahan kritis adalah lahan yang secara fisik, kimia ataupun biologi
telah mengalami kerusakan dan berkurang fungsinya, seperti
lahan kosong, lahan yang kurang vegetasinya, lahan terlantar
serta lahan rawan longsor. Kriteria lahan yang tergolong sebagai
lahan kritis adalah sebagai berikut :
 Lahan kosong tidak produktif; dan atau
 Lapisan olah tanah (solum) kurang dari 30 cm; dan atau
 Lahan bekas penambangan yang tidak direklamasi; dan atau
 Lahan kosong dengan kemiringan di atas 15 %; dan atau
 Lahan dengan penutupan vegetasi di bawah 25 %; dan atau
 Lahan yang telah mengalami erosi di atas ambang batas;
dan atau
 Lahan rawan bencana longsor

6
2. Pengelolaan sumberdaya lahan kritis bersama masyarakat
(PLKBM) adalah sistem pengelolaan sumberdaya lahan kritis
yang dilakukan bersama oleh Badan Usaha Milik Swasta
(BUMS) dan Masyarakat Desa Hutan (MDH) dengan pihak yang
berkepentingan (stakeholders) dengan jiwa berbagi, sehingga
kepentingan bersama untuk mencapai keberlanjutan fungsi dan
manfaat suberdaya lahan dapat diwujudkan secara optimal dan
proporsional.

3. Tumpangsari atau agroforestry merupakan suatu sistem


penanaman tanaman campuran antara tanaman kayu (jati)
dengan tanaman pertanian dalam hal ini tanaman pertanian
semusim atau tahunan.

4. Penghijauan adalah kegiatan penanaman tanaman kayu-kayuan


dan atau tanaman multi pupose trees species (MPTS) pada
lahan diluar kawasan hutan negara.

5. Kawasan Hutan Negara, adalah kawasan yang ditunjuk sebagai


hutan baik berupa lahan kosong maupun lahan yang bertegakan
kayu-kayuan.

II. PROGRAM

Objek Kegiatan

Objek kegiatan dari Program Penghijauan Lahan kritis adalah


kegiatan :

a. Budidaya penanaman tanaman jati mencakup semua tahapan


mulai dari pengadaan bibit, penanaman, pemeliharaan,
pemanenan sampai dengan pemasaran.

7
b. Budidaya penanaman tanaman rami mencakup semua tahapan
mulai dari pengadaan benih, penanaman, pemeliharaan,
pemanenan, proses pengolahan pasca panen sampai dengan
pemasaran.

c. Pengolahan hasil budidaya tanaman rami mencakup


pengumpulan bahan baku, proses produksi serat dan proses
pengemasan sampai dengan pemasaran.

2.2 Sasaran Kegiatan dan Lokasi

Sasaran kegiatan pada program pengelolaan lahan kritis ini meliputi


kegiatan perencanaan s/d implementasinya sebagai berikut :

1, Perencanaan dan Penyusunan Program PLKBM

a. Inventarisasi, identifikasi dan pemantapan lokasi PLKBM


b. Penyusunan rancangan teknis Program PLKBM
c. Sosialisasi gagasan mengenai pentingnya PLKBM
d. Pekerjaan Rancangan Teknis Detail Sarana Prasarana

2. Pengembangan Kelembagaan

a. Pelatihan
b. Pendampingan oleh LSM
c. Penyuluhan dan bimbingan teknis
d. Pembentukan Forum PLKBM
e. Terbangunnya lembaga masyarakat lahan kritis
f. Tersusunnya nota kesepahaman antara masyarakat dengan
pihak donatur dan mitra usaha
g. Terbentuknya kerjasama operasional antara masyarakat
dengan mitra usaha yang dituangkan dalam perjanjian
kerjasama (Akta Notaris

3. Penghijauan Lahan Kritis Budidaya Tanaman Jati Unggul

8
a. Pembangunan sarana prasarana
b. Pengadaan bibit
c. Penanaman

4. Terlaksana Pengembangan Usaha Pertanian/perkebunan yang


mampu meningkatkan pendapatan masyarakat.

Adapun sasaran lokasi program penghijauan lahan kritis adalah


kawasan lahan kritis diluar kawasan hutan negara di wilayah propinsi
Jawa Barat khususnya daerah priangan timur antara lain kabupaten
Tasikmalaya dan kabupaten Ciamis. Penetapan rencana lokasi
didasarkan pada pertimbangan :

 Kesesuaian lahan.
 Ketersediaan jalan angkutan sebagai pertimbangan ekonomis
(maksimal 2 km dari jalan angkutan).
 Lokasi relatif mengelompok.
 Kondisi dan dukungan masyarakat.

9
Potensi lahan pada kawasan lahan kritis di propinsi Jawa Barat yang
dapat dikerjasamakan digambarkan seperti bagan pada Gambar 1
dan Tabel 1 berikut :

Tabel 1. Data Luas Lahan Kritis Di Propinsi Jawa Barat

LAHAN KRITIS
LAHAN KRITIS DALAM KAWASAN HUTAN [Ha]
DILUAR KAWASAN
NO KABUPATEN / KOTA
HUTAN / TANAH
Hutan Hutan Jum lah
Hutan Lindung MILIK (Ha)
Konservasi Produksi (3+4+5)
1 2 3 4 5 6 7
1 KAB BOGOR 551 - 21.917 22.468 21.329
2 KAB SUKABUMI 2.417 392 12.683 15.492 36.794
3 KAB CIANJUR 4.313 2.179 10.639 17.130 27.911
4 KAB CIREBON - - - - 8.056
5 KAB KUNINGAN 33 1.177 3.530 4.740 22.766
6 KAB INDRAMAYU - - 6.957 6.957 13.304
7 KAB MAJALENGKA 7.635 8.866 4.039 20.540 33.880
8 KAB BEKASI 2.108 290 2.929 5.327 18.960
9 KAB KARAWANG 4,113 10.341 1.410 15.865 88.580
10 KAB PURWAKARTA 50 - 216 266 10.987
11 KAB SUBANG 9 - 14.271 14.280 16.630
12 KAB BANDUNG 7.635 8.866 4.039 20.540 33.880
13 KAB SUMEDANG 2.108 290 2.929 5.327 18.960
14 KAB GARUT 4.113 10.341 1.410 15.865 88.580
15 KAB TASIKMALAYA - - 14.523 14.523 30.030
16 KABUPATEN CIAMIS 106 - 2.789 2.895 26.893
JUMLAH 31.085 42.746 104.286 182.221 497.547
Sumber : Dinas Kehutanan Prop. Jabar, Perum Perhutani Unit III, Dinas Kehutanan Kab/Kota dan BP DAS.

10
KAWASAN LAHAN KAWASAN
KRITIS TANAH LAHAN KRITIS
NEGARA TANAH MILIK

HUTAN PEMANFAATAN
HUTAN RAKYAT LAHAN SEBELUM
KEMASYARAKATAN
REBOISASI

2-5 THN

AGROFORESTRY BUDIDAYA
TANAMAN KAYU & SETELAH 5 TANAMAN
TANAMAN PERTANIAN TAHUN PERTANIAN

KERJASAMA
KERJASAMA PEMASARAN
PEMASARAN KAYU
KOMODITI PERTANIAN

Gambar 1. Potensi Lahan Kritis Di Propinsi Jawa Barat Dalam


Rangka Kerjasama Penghijauan dan Tumpangsari
Tanaman Pertanian.

2.3 Prospek Usaha Budidaya Tanaman Jati

Produk berbahan baku jati memiliki pangsa pasar yang luas, baik
dalam maupun luar negeri, karena jati termasuk kayu berkualitas
tinggi. Beragamnya penggunaan kayu jati yang menyebabkan
tingginya permintaan akan bahan baku kayu jati, selama ini tidak
diimbangi dengan laju produksi tanamannya. Produksi hutan jati
yang dikelola Perum Perhutani rata-rata 600.000 m 3/tahun,
sementara kebutuhan untuk industri furniture dalam negeri saat ini
berkisar 2 juta m3 per tahun sehingga masih terdapat kekurangan
cukup tinggi (Asosiasi Meubel Indonesia, 2001). Sebagian besar
produksi hutan jati (85%) di jual dalam bentuk log, sedangkan

11
sisanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri
milik Perum Perhutani dan Industri Mitra Kerja Sama Pengelolaan
(Mitra KSP) Perhutani dengan swasta.

Walaupun permintaan dalam negeri belum terpenuhi semua, kayu


jati Indonesia juga ikut mengisi pasar dunia. Volume ekspor kayu jati
ke pasaran dunia seperti Amerika, Taiwan, Hongkong, Korea, Emirat
Arab dan Itali dari tahun ke tahun cenderung meningkat, meskipun
akhir-akhir ini terjadi penurunan justru terjadi akibat kurangnya bahan
baku. Adanya peningkatan eksport furniture berbahan baku kayu jati
pada tiga tahun terakhir mengakibatkan semakin besarnya
permintaan kayu jati. Perlu diketahui bahwa sebagian besar industri
furniture yang berorientasi eksport menggunakan bahan baku kayu
jati sebagai bahan bakunya. Pasokan kayu jati di Indonesia hanya
berasal dari pasokan Perum Perhutani dan dari hutan rakyat.

Sejalan dengan perkembagan teknologi banyak diperoleh tanaman


Jati yang memiliki daur tebang lebih pendek. Beberapa klon
tanaman jati dengan rekayasa genetik (kultur jaringan) dan hasil
pemulian pohon antara lain jati emas, jati super dan Jati Genjah
serta Jati Perhutani Plus (JPP) memiliki daur tebang antara 15 tahun
s/d 25 tahun. Dengan dukungan perkembangan teknologi dalam
budidaya jati dan adanya peluang pasar yang tinggi, usaha budidaya
tanaman jati mempunyai peluang bagus.

2.4 Prospek Budidaya Usaha Tanaman Rami

Industri tekstil di Indonesia mengalami perkembangan yang pesat


sehingga pada tahun 1992 menjadi penghasil devisa tertinggi di
antara komoditas nonminyak dan nongas dengan nilai ekspor
sebesar US $ 3.5 milyar. Industri tekstil tersebut tidak berbasis pada
produksi bahan baku domestik yang kuat.

12
Bahan baku tekstil yang berupa serat kapas harus diimpor. Setiap
tahun Indonesia mengimpor kapas dalam jumlah besar. Pada tahun
1993 Indonesia mengimpor 414 000 ton atau di atas 96% total
kebutuhan nasional dan kurang dari 4% yang dapat disediakan dari
hasil kapas dalam negeri (Baharsjah, 1993).

Dalam kondisi keuangan negara mengalami krisis sejak pertengahan


tahun 1997, banyak pabrik tekstil berhenti berproduksi sebagaimana
dinyatakan Menteri Perdagangan dan Peridustrian RI. Bukti di
lapangan bahwa sektor industri yang terpuruk akibat krisis moneter
adalah, pertama, sektor automotif, kedua, sector produksi elektronik,
ketiga, sektor tekstil dan produk tekstil, dan keempat, sector industri
alas kaki (foot wear). Dari empat sektor industri tersebut, yang paling
banyak menyerap tenaga kerja adalah sektor tekstil. Kesulitan dalam
industri tekstil diakibatkan oleh serat kapas yang masih harus
diimpor, sedangkan produksi kapas dalam negeri sangat sulit
ditingkatkan.

Indonesia sebagai negara agraris sampai saat ini masih


mendatangkan kapas sebagai bahan baku industri tekstil sebanyak
92% - 95% dari kebutuhan nasional, karena produksi kapas dalam
negeri hanya mampu memenuhi 5% – 8% dari kebutuhan tersebut
(Sumarno, 1980). Salah satu upaya untuk mengurangi
ketergantungan pada kapas sebagai bahan baku utama tekstil
adalah penggunaan serat alam lain yang berasal dari tanaman rami
yang memiliki karakteristikanya mirip kapas dan dapat digunakan
sebagai bahan baku tekstil.

Keunggulan lain dari rami adalah produktivitas per hektarnya yang


jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kapas, yaitu 5.65 : 1
(Sumantri, 1989). Berhubung pentingnya tanaman rami, pemerintah
memandang perlu mengeluarkan surat keputusan berupa Keputusan
Menteri Negara Koperasi dan UKM/Kepala Pengembangan Sumber

13
Koperasi, Usaha Kecil, dan Menengah nomor
34/KEP/MENEG/VI/2001 tentang pembentukan tim terpadu
pengembangan usaha koperasi dan usaha kecil dan menengah di
bidang agroindustri serat rami (Kementerian Koperasi dan UKM,
2003).

PT. Cakrawala Pengembangan Agrosejahtera (2002) melaporkan


bahwa selain untuk konsumen dalam negeri, permintaan akan serat
rami juga datang dari Cina.

Pabrik pemintalan (Patal) PT Wastra Indah yang berada di Batu


Malang telah mulai membeli serat china-grass rami dari PT Agrina
Prima di daerah Wonosobo Jawa Tengah.

2.5 Mekanisme Pasar

Perdagangan/pemasaran komoditas agribisnis biasanya sudah


merupakan kegiatan yang terintegrasi dengan industri pengolahan
(agro-industri). Tetapi ada kecendrungan pandangan yang demikian
menjadikan kegiatan perdagangan/pemasaran hanya merupakan
bagian lanjutan kegiatan setelah produk dihasilkan. Padahal
kegiatan perdagangan/pemasaran memiliki banyak fungsi selain
fungsi menjual barang. Fungsi informasi mengenai spesifikasi dan
jumlah produk yang diminta konsumen, harga dan kecendrungan
perubahan jenis serta selera konsumen merupakan beberapa contoh
fungsi pemasaran yang informasinya dibutuhkan dalam
pengembangan sistem dan usaha agribisnis. Mengingat hingga saat
ini masih banyak dijumpai adanya berbagai kelemahan dan distorsi
dalam perdagangan/pemasaran di dalam negeri, maka diperlukan
berbagai kebijaksanaan yang dapat mengefektifkan fungsi-fungsi
perdagangan/pemasaran untuk memperlancar arus barang dan jasa.
Mekanisme transparasi pembentukan harga (price discovery)

14
merupakan salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk
meningkatkan efisiensi pemasaran. Bentuk-bentuk pasar seperti
bursa komoditi dan pasar lelang merupakan bentuk pasar yang perlu
dikembangkan. Sudah tentu peningkatan kemampuan nilai tukar
petani harus menjadi priotitas perhatian dalam kebijaksanaan
perdagangan ini.

Untuk mendukung pengembangan agribisnis, kantor-kantor


perwakilan Indonesia di negara-negara lain (kantor duta besar dan
konsulat) perlu didayagunakan untuk mendukung pembangunan
agribisnis di Indonesia selain kepentingan politik luar negeri. Kantor-
kantor perwakilan tersebut harus menjadi pusat promosi produk-
produk agribisnis Indonesia di negara tersebut. Dengan demikian,
kantor-kantor perwakilan Indonesia di luar negeri dapat berfungsi
sebagai entry point usaha-usaha agribisnis Indonesia untuk
memasuki pasar negara lain. Selain itu, kantor perwakilan kita perlu
secara proaktif “market intelegance“ diantaranya melakukan kegiatan
pemantauan peluang-peluang pasar produk agribisnis yang
berprospek dan perusahaan-perusahaan yang dapat diajak menjadi
partner pengusaha agribisnis Indonesia.

Pemasaran kayu jati dan serat rami merupakan salah satu tahapan
yang sangat menentukan, karena merupakan jaminan akan
kelangsungan kegaitan agribisnis jati dan rami dengan pola
agroforestry.

Untuk menjamin pemasaran kayu jati dan serat rami perlu ada
jaminan dari pihak lain baik badan usaha maupun perorangan yang
memproses atau mengolah kayu jati dan serat rami.

Agar jaminan pasar dapat berlangsung terus menerus, kerjasama


pemasaran baik kayu jati maupun serat rami harus dilakukan dengan

15
menganut pola kemitraan yaitu kerjasama dengan prinsip saling
membutuhkan, memperkuat, menguntungkan dan dapat
menciptakan pengembangan usaha yang mandiri, sehat dan
tangguh.

Mekanisme pasar produk hasil budidaya tanaman jati dapat


dilaksanakan melalui pasar bebas (lelang) maupun kontrak. Selain
melalui penjualan langsung oleh pengelola, pelaksanaan penjualan
dapat juga melalui kerjasama pemasaran dengan Perum Perhutani.
Gambaran alur pasar kayu jati dan rami secara umum dapat
digambarkan seperti pada gambar 2 berikut :

Pasar Kontrak Mitra Kerjasama


Kerjasama Pasar
Jati & Rami

Produksi Hasil
Kerjasama Budidaya Penjualan langsung
Tanaman Jati & Rami

Industri Kayu
Pasar Lelang Pertukangan/Rami

Gambar 2. Alur Pasar Kayu Jati dan Rami.

2.6 Analisis Usaha

Analisis usaha agribisnis Jati dan Rami dengan pola agroforestry


selama satu kali daur jati (25 tahun) yaitu tahun ke - 1 s/d tahun ke -
25 untuk luasan 1 (satu) Ha dapat dilihat pada Tabel 2 sebagai
berikut :

16
Tabel 2. Analisis Usaha Agribisnis Jati dan Rami Dengan Pola
Agroforestry.

NO. KOMPONEN BIAYA TAHUN KE - KETERANGAN


1 2 3 4
A PENGELUARAN
I. Non Tenaga Kerja 368.950.000,00
II. Tenaga Kerja 183.300.000,00

Total Pengeluaran 552.250.000,00

B PENERIMAAN
I. Jati
1 Penjarangan I 40.000.000,00
2 Penjarangan II 160.000.000,00
3 Pemanenan 2.072.000.000,00
Sub Total I 2.272.000.000,00
II. Rami
1 Serat rami 210.000.000,00
2 Daun pakan ternak 12.600.000,00
3 Kompos 80.640.000,00
Sub Total II 303.240.000,00

Total Penerimaan 2.575.240.000,00

LABA - RUGI 2.022.990.000,00

2.7 Analisis Kelayakan Finansial (25 Tahun)

Untuk menghitung kelayakan usaha selama 25 tahun pertama, perlu


dihitung mengenai break event point (BEP) dan benefit cost ratio
(B/C).

Break Event Point (BEP)

BEP = Biaya Tetap


_____________________

17
1 – Biaya Tidak Tetap
Penjualan
Rp 2.610.000.000,00
BEP = _________________________________

1 – Rp 4.652.470.000,00
Rp 7.262.470.000,00
BEP = Rp 7.262.470.000,00

Hasil BEP tersebut menandakan bahwa pada pendapatan


Rp 7.262.470.000,00 usaha agribisnis jati dan rami dengan pola
agroforestry tidak untung maupun tidak rugi.

Benefit Cost Ratio (B/C)

Keuntungan
B/C = ______________________

Total Pengeluaran

Rp 9.334.120.000,00
B/C = ____________________________

Rp 7.262.470.000,00

B/C = 1,29

Dengan hasil B/C sebesar 1,29, berarti dari modal yang ditanam
akan menghasilkan keuntungan sebesar 1,29 kalinya.

III. KELEMBAGAAN

Kelembagaan yang dibentuk pada kerjasama pengelolaan budidaya


tanaman Jati dan Rami pada lahan kritis dilakukan dengan Pola
Kerjasama antara masyarakat dan pihak terkait yang implemantasinya
diperkuat dengan struktur kelembagaan yang dibagi dalam tiga kelompok
yaitu :

18
1. Kelompok Pemerintah
Terdiri dari jajaran pemerintah kabupaten yang meliputi beberapa
instansi terkait, sebagai Pembina.

2. Kelompok Profesional
Kelompok professional terdiri dari tenaga-tenaga ahli yang bersifat
temporer (konsultan, LSM, Perguruan tinggi) yang dapat dilibatkan
dalam kontribusi saran pengembangan usaha.

3. Kelompok Teknisi Pelaksana


Merupakan kelompok yang akan melaksanakan pengelolaan lahan
kritis secara lestari dari meta fasilitator, fasilitator lapangan, yang
berasosiasi dengan Unit Kesatuan Business Pengelolaan areal yang
dikerjasamakan. Kelompok ini terdiri dari unsur yaitu Penggagas/
BUMS dan Masyarakat.

DEPHUT DEP. TERKAIT

PEMERINTAH PROPINSI /
KABUPATEN
Kelompok Pelaksana
Forum Pengelolaan Lahan
KTH & BUMS
Kritis Daerah

KORWIL KABUPATEN
FASILITATOR KEGIATAN
KORWIL
KORWIL
KORWIL
KECAMATAN
KECAMATAN

19
KELOMPOK TANI MITRA
DESA - BUMS Industri Kayu/Rami
- BANK

Gambar 3. Hubungan Kelembagaan

Kemitraan Pengelolaan Lahan didasarkan pada prinsip saling berbagi


yang secara umum terdiri dari :

1. Berbagi Rencana
Pengelolaan lahan kritis dengan melibatkan Mitra dan Masyarakat
Desa Hutan (MDH) pada saat penyusunan rencana mikro pada
wilayah kelola bersama atau hutan pangkuannya.

2. Berbagi Ruang
Pengelolaan kawasan lahan kritis dengan memanfaatkan ruang
diantara baris tanaman pokok (pemanfaatan secara horizontal) dan
ruang diantara tajuk tanaman pokok (pemanfaatan secara vertical)

3. Berbagi Waktu
Pengelolaan kawasan lahan kritis dengan memanfaatkan pergiliran
tanaman sebelum tanaman pokok ditanam.

4. Berbagi Kegiatan
Pengelolaan kawasan lahan kritis dengan membagi seluruh kegiatan
dan komponen-komponen mulai persemaian, penanaman,
pemeliharaan pemanenan dan pengolahan pasca panennya serta
pemasaran.

5. Berbagi Modal
Pengelolaan kawasan lahan kritis dengan penyertaan modal bersama.
Dalam berbagi modal dimungkinkan berbagi modal di luar kawasan
pengelolaan dengan perhitungan bagi hasil pada akhir daur
disesuaikan dengan komposisi kontribusi modal yang diberikan.

6. Berbagi Hasil

20
Pada prinsipnya konsep bagi hasil didasarkan atas kontribusi modal
yang dikeluarkan oleh masing-masing pihak yang berkerjasama dalam
budidaya Tanaman Kayu atau Budidaya Tanaman Pertanian/
Perkebunan (BUMS, Mitra, dan Masyarakat).

Kelembagaan Yang Sudah Ada

Pada Kawasan Hutan Negara untuk wilayah Jawa Barat dan Banten
telah ada kelembagaan dengan nama Kelompok Tani Hutan Andalan
(KTH-A) yang bekerjasama dengan pihak pengelola hutan negara
yaitu Perum Perum Perhutani Unit III Jawa Barat & Banten. KTH-A
dilibatkan secara aktif dalam pengelolaan hutan pada kawasan hutan
Perum Perhutani Unit III Jawa Barat & Banten dengan pola PHBM
(Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat).

Dengan mengacu pada Peraturan Gubernur Nomor 11 Tahun 2006


tentang Pemberdayaan Masyarakat Desa Sekitar Hutan Negara dan
Perkebunan Besar, keberadaan KTH Andalan (KTH-A) tingkat
Propinsi Jawa Barat yang berkantor pusat di Bandung telah
dikukuhkan oleh Kepala Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan
Banten pada tanggal 11 Oktober 2004. Untuk selanjutnya KTH-A
Propinsi Jawa Barat melalui AD/ART nya telah menyusun
kepengurusan KTH-A tingkat Kabupaten dan Kecamatan. Selain itu
dalam rangka kepentingan usaha KTH-A juga telah membentuk
koperasi usaha sesuai jenis komoditi dan kewilayahannya.

Pola Kemitraan PHBM pada pelaksanaan kegiatannya telah disusun


sebagai berikut :

PHT – KTH – DINAS


PIHAK TERKAIT

BERBAGI
(Samamanis PHBM 21
Sapapait)
KAWASAN
HUTAN RAKYAT HUTAN
1.000 Ha

HP TS HL NON TS
(Palawija) (Lebah madu, MPTS, Rumput)

Gambar 4. Kemitraan PHBM.

3.2 Kelembagaan baru

Kelembagaan baru dibentuk apabila diwilayah yang direncanakan


belum terbentuk suatu kelembagaan sejenis atau untuk memperkuat
kelembagaan yang ada yaitu KTH-A dengan menambah
stakesholders yang lebih luas. Kelembagaan baru dapat dibentuk
pada tingkat kecamatan atau kabupaten dan tetap menginduk pada
KTH-A tingkat Propinsi yang sudah ada dengan sasaran lokasinya
diprioritaskan pada areal diluar kawasan hutan negara (tanah milik
dan tanah negara non budidaya kehutanan).

3.3 Organisasi Pelaksana Program

Pada pelaksanaan program perlu dibentuk organisasi yang


melibatkan para pihak pelaksana operasional. Masing-masing pihak
berhak dan berkewajiban untuk mengajukan nama-nama tenaga
kerja sebagai pelaksana dan penanggung jawab pekerjaan.

22
Susunan organisasi pelaksana lapangan dapat dibentuk berdasarkan
kesepakatan antara kelompok tani dengan pihak penggagas untuk
menetapkan susunan Ketua, wakil ketua, sekertaris dan bendahara
serta seksi-seksi yang dibutuhkan.

Adapun hak dan kewajiban masing-masing pihak dapat mengacu


sebagai berikut :

a. Penggagas/BUMS

Hak – Hak :

 Mendapatkan sharing hasil Budidaya Tanaman Jati dan


Budidaya Tanaman Rami.
 Menentukan waktu pelaksanaan panen tanaman Jati & Rami
 Menentukan teknis penanaman, pemeliharaan, penjarangan,
dan pemanenan budidaya tanaman kayu sesuai pedoman
yang berlaku.

Kewajiban :

 Memberikan bimbingan teknis penanaman, pemeliharaan


dan pemanenan budidaya tanaman kayu.
 Menanggung biaya perencanaan, persiapan lapangan, biaya
penjarangan, persiapan tebangan, biaya perlindungan, biaya
monitoring evaluasi dan bimbingan teknis sesuai dengan
tahapan kegiatan pada budidaya tanaman kayu.
 Menyediakan bibit tanaman jati dan rami siap tanam
(minimum 30 cm) termasuk sulaman dan tanaman pengisi
sesuai dengan jarak tanam
 Mengangkut bibit sampai lokasi tanaman
 Menanggung biaya penanaman, angkutan bibit, biaya
perlindungan, biaya monitoring evaluasi dan bimbingan
teknis sesuai dengan tahapan kegiatan dengan beban biaya
sesuai kesepakatan para pihak.

23
 Menyediakan benih, pupuk dan insektisida-herbisida sesuai
kebutuhan fisik budidaya tanaman Jati dan Rami.
 Membeli/Memasarkan seluruh kayu dan rami dari hasil
produksi kerjasama ini dengan harga yang ditetapkan dalam
perjanjian sesuai dengan administrasi penjualan yang
berlaku.
 Bersama para pihak melaksanakan pengawasan
pengamanan tanaman kayu dan tanaman rami.

b. Kelompok Tani

Hak – Hak :

 Mendapat bibit tanaman Jati dan tanaman rami beserta


pupuk dan obat-obatan yang dibutuhkan sesuai standar
budidaya yang ditetapkan.
 Mendapat sharing kayu dan sebagaimana ditetapkan dalam
kesepakatan
 Mendapatkan hasil panen dari lahan masing-masing secara
proporsional.
 Bersama para pihak mengadakan monitoring dan evaluasi
 Mengetahui jumlah produksi kayu dari lahan masing-masing

Kewajiban :

 Menyediakan lahan untuk ditanami tanaman kayu dan


tanaman rami secara tumpangsari.
 Melaksanakan : Pengolahan Tanah, Pembuatan larikan
tanaman, Pengadaan dan pemasangan ajir, Pembuatan
lubang tanaman, Penanaman kayu dan tanaman pertanian &

24
penyulaman, Pemeliharaan tanaman Jati dan tanaman
Rami.
 Melaksanakan kegiatan pengelolaan budidaya tanaman Jati
& Rami sesuai dengan bimbingan teknis dari pihak
penggagas/BUMS.
 Menanggung biaya upah kerja pengolahan lahan dan
pelaksanaan penanaman tanaman kayu dan tanaman
pertanian, serta angkutan hasil panen sesuai dengan
tahapan kegiatan.
 Mengembalikan seluruh pinjaman modal yang digunakan
untuk budidaya tanaman kayu dalam bentuk hasil panen
berupa kayu bulat. Nilai rupiah kayu bulat ditetapkan dalam
perjanjian (sesuai harga pasar).

3.4 Sharing Hasil dan Pola Kemitraan Stakesholders

Nilai sharing ditetapkan sesuai nilai proporsi/kontribusi modal


masing-masing pihak.

Dengan adanya kerjasama melalui PLKBM, nilai tambah bagi


masing-masing Pihak :

 Modal yang dikeluarkan masing-masing lebih ringan


 Adanya kepastian pasar, dan jaminan suplai
 Keamanan usaha lebih terjamin karena adanya dukungan
masyarakat dan pihak-pihak terkait lainnya.

Pola Kemitraan pelaksanaan dengan pihak terkait dapat dilihat


sebagai berikut :

1. Penggagas dengan Kelompok Tani Binaan


Kerjasama melalui PKLBM dalam rangka usaha bersama untuk
membentuk adanya jaminan supply bahan baku komoditi
perdagangan (Jati & Rami).

25
2. PLKBM dengan Pelaksana Lapangan
Kerjasama penyediaan modal kerja/equity dari Rencana Kerja
Anggaran Jangka Pendek, Jangka Menengah dan Jangka
Panjang pada budidaya tanaman Jati dan tanaman Rami.

3. PLKBM dengan Badan Usaha Produsen Saprotan


Kemitraan dalam rangka jaminan supply Sarana-prasarana
Produksi Petani (Saprotan), Benih, Pupuk, Obat-obatan dan Alat-
alat Pertanian

4. PLKBM dengan Badan Usaha Produsen Produk Turunan Industri


Rami dan Industri Perkayuan
Kemitraan dalam rangka jaminan pasar komoditi yang
dihasilkan.

5. PLKBM dengan Fasilitator


Kemitraan dalam penyusunan rencana, pengawasan dan
penilaian.

26
IV. PELAKSANAAN PROGRAM

SKIM Program

Kegiatan pengelolaan lahan kritis diharapkan dapat melibatkan


pihak-pihak pelaksana operasional, pengambil kebijakan dan
sumber-sumber pendanaan serta pihak-pihak yang menguasai
teknologi. Untuk itu skim program diharapkan dapat dilaksanakan
seperti pada gambar 5 sebagai berikut :

27
Penyelenggara Dana Hibah

Konsultan Penggagas/Kontraktor
Program Penghijauan Lahan Kritis (MSK/LSM)
Perencana, Pengawas, (PLKBM) Pelaksana Kegiatan
Penilai & Pengendali - Pelatihan – transformasi skill
- Pembuatan Tanaman Hutan
- Agroforestry & KTA
- Pengembangan Kelembagaan &
Usaha Pertanian

Fungsi VERIFIKASI
Perencanaan

Fungsi Pelaksana Program Pengarahan Bimbingan


Pengawasan
Teknis, Strategi
Pelaksanaan
Data Realisasi Program

Kurang baik
Fungsi
Penilaian Penapisan Fungsi Pengendalian
Baik

KONDISI IDEAL PROGRAM PENGELOLAAN LAHAN KRITIS


YANG DIHARAPKAN

Program Penghijauan Lahan Kritis

Masy. Sekitar Lahan Kritis Harmonisasi Optimalisasi Program Penghijauan Lahan Kritis

Pola Interaksi

Peningkatan Nyata :
Fungsi Lahan, Pendapatan & Kesejahteraan
Masyarakat

28
Gambar 5. SKIM Program Kegiatan PLKBM

4.2 Perencanaan Wilayah

Berdasarkan kebutuhan untuk kegiatan ini, skema kerangka kegiatan


perencanaan wilayah dapat dibuat lebih rinci sesuai dengan tahap
pekerjaan yang akan dilakukan sebagai berikut :

Data Atribut Data Spasial Data Atribut


Sosial Ekologis

Data Peta Rupa Bumi


Biofisik Skala 1 : 25.000

Kompilasi

Peta Kesesuaian Jenis Pohon Sosialisasi


Program
Skala 1 : 5000

Penataan Blok
Penanaman

Kegiatan
Rehabilitasi Lahan
Kritis

Gambar 6. Kerangka Kegiatan Perencanaan Wilayah PLKBM.

29
Kegiatan perencanaan wilayah pada kegiatan ini meliputi kegiatan
Pengumpulan data, Kompilasi data, Inventarisasi lapangan, Analisis,
dan Pelaporan.

Metoda yang digunakan adalah Analisis berdasarkan aplikasi


Geografic Information System (GIS), dengan melakukan
pengumpulan data primer/ skunder, data kuantitatif/ kualitatif dan
Inventarisasi Lapangan. Pengolahan data melalui proses analisis
overlay peta dengan menggunakan software aplikasi yang memiliki
akurasi tinggi seperti AutoCAD dan Arc View GIS ver. 3.3, yang
mampu mengolah data raster, data vektor dan data base, serta
kompatibel dengan data GIS.

Pengumpulan Data

Data merupakan faktor penentu dari suatu rangkaian proses, data


dipisahkan dalam dua kategori, yaitu :

1. Data spasial / keruangan : data ini menvisualisasikan


keberadaan objek dalam suatu sistem koordinat posisi yang
mengacu pada kenyataan di lapangan (georeferensi) atau
dikenal dengan Peta. Kandungan informasi dalam suatu peta
bisa hanya satu jenis informasi, bisa juga lebih. Data Spasial
yang diperlukan dan dipakai sebagai referensi dalam
melaksanakan kegiatan ini adalah:

Tabel 3. Data Spasial yang Dipakai Sebagai Referensi.

DATA SPASIAL TEMA FEATURES


Topografi Jaringan Utilitas Garis pantai, sungai, danau
1 : 25.000 (RBI) Batas Administrasi Adm kab/kota, kec., desa.
Elevasi Kontur
Boundary Pemukiman
Peta Penutupan Lahan Vegetasi Batasan Vegetasi Menurut Klasifikasi
Peta Sistem Lahan Kesesuaian Lahan Bentuk Lahan
Jenis Batuan/ Mineral Batuan Dominan

30
Tipe Penggunaan Lahan
Peta Jenis Tanah/ Jenis tanah menurut Struktur dan Komposisi Tanah
Tanah Tinjau kepekaan

Peta Curah Hujan Intensitas hujan. Curah Hujan Rata-rata

2. Data non-spasial / atribut : data yang menerangkan atau


melengkapi data spasial. Bentuknya bervariasi, disesuaikan
dengan penyajian data spasial yang diinginkan. Data atribut akan
menentukan tingkat ke-informatif-an data spasial.

Data atribut sosial-ekonomi, meliputi :


- Bentuk dan jenis kegiatan ekonomi yang telah berlangsung
- Lokasi ukuran, dan volume kegiatan ekonomi yang berkaitan
dengan masyarakat.

Data atribut ekologis, meliputi :


- Ketersediaan sumber air.
- Kondisi iklim / curah hujan (10 tahun terakhir).

Kompilasi Data

a. Pemilihan Jenis Data

Kualitas data sebagai sumber basis data spasial merupakan hal


penting dalam proses Kompilasi Data. Subtansi data yang
diperlukan dalam penyusunan basis data meliputi data spasial,
data atribut social-ekonomi dan data atribut ekologis.

b. Penyiapan Basis Data Spasial

Tersusunnya basis data yang meliputi :

 Standar jenis data. Jenis-jenis data fisik, harus


menjadi standar, dengan asumsi bahwa data tersebut dapat
berlaku untuk seluruh sistem.

 Standar sistem klasifikasi yang akan digunakan


terhadap data yang dikumpulkan akan mengacu pada sistem

31
yang telah dibakukan. Bakosurtanal (RBI), Kehutanan (untuk
penggunaan lahan dan bentuk lahan), Puslitanak (untuk
tanah), dan sebagainya.

 Standar sumber data, cara perolehan, dan cara


analisis sumber data di pandang sebagai salah satu penentu
layak tidaknya suatu jenis data dapat dimanfaatkan. Begitu
pula halnya dengan cara perolehan data dan cara
analisisnya. Pada pekerjaan ini, sumber data yang
digunakan antara lain :
1. Bakosurtanal
2. Puslitanak
3. BPS
4. Bappeda Propinsi dan Kabupaten/ Kota
5. BMG, dll

 Standar kualitas data

Standar kualitas data perlu diperhatikan, baik selama


kompilasi maupun setelah diproses. Pada kegiatan ini
mengacu ke peta topografi/rupabumi (RBI) Bakosurtanal,
maka data yang dikompilasi dapat dinilai kualitasnya.

 Standar perangkat keras, perangkat lunak,


format dan cara konversi antar format memperhatikan hal-
hal sebagai berikut :

o Konfigurasi perangkat keras yang mampu mendukung


penyimpanan dan pengolahan data digital dalam ukuran
sangat besar.

o Konfigurasi perangkat lunak (dapat lebih dari satu) yang


mampu menangani Analisis data SIG (processing
overlay Peta, misalnya Arc View) dan data vektor
bertopologi (misalnya Arc/Info)

32
o Format data vektor dapat dikonversi mengacu ke
Standard Exchange Format-nya Bakosurtanal.

c. Proses Digitalisasi Peta.

Digitasi peta bertujuan untuk mendigitalkan peta analog ke


dalam format digital. Untuk masuk ke sistem digital (Sistem
Informasi Geografis), maka garis besar pengelompokkan peta
dan data berikut ini dapat dijadikan acuan :

1) Tema peta skala 1 : 25.000 atau lebih besar

 Peta topografi/ peta rupabumi


 Peta Batas Administrasi
 Peta bentuk lahan
 Peta penggunaan lahan
 Peta DAS

2) Tema peta skala 1 : 250.000

 Peta jenis tanah


 Peta curah hujan

Digitasi peta dilakukan menggunakan dua cara :

1) Digitasi on screen/ langsung pada monitor, yaitu


proses digitasi untuk memperoleh format vektor setelah data
analog dalam bentuk digital dengan format raster yang
diperoleh melalui proses scanning.

2) Digitasi mengunakan Meja Digitizer, dengan


mendigit/ menyalin objek/ detail pada peta.

d. Transformasi

Transformasi koordinat adalah perubahan suatu sistem koordinat


ke suatu sistem koordinat lainnya yang diakibatkan oleh adanya
faktor rotasi, translasi dan skala. Aplikasi transformasi koordinat

33
yang digunakan pada pekerjaan ini adalah transformasi
koordinat dua dimensi (planimetris).

e. Editing Peta

Hal-hal yang perlu diedit adalah :

1.Kehalusan dalam bentuk.

2.Sambungan garis antara peta satu dengan peta lainnya yang


perlu disempurnakan sebagai konsekuensi penggabungan
sumber peta yang berbeda-beda bahan dan skalanya.

3.Perbaikan/ penyesuaian jenis huruf, layer, warna detail sesuai


dengan ketentuan Layer.

4.Melengkapi nama daerah kelurahan, kecamatan dan batas


administrasi.

f.Pembagian dan Penomoran Lembar Peta

Pembagian lembar peta dilakukan terhadap peta output


diantaranya peta kerja skala 1 : 10.000 dan peta final plot skala
1 : 5.000. Penyusunan peta hasil penafsiran mengikuti pola
pembagian peta standar BAKOSURTANAL. Kaidah-kaidah
kartografi dijadikan landasan dalam penyusunan peta,
diantaranya penulisan teks, sistem pewarnaan pada masing-
masing obyek, menyertakan sumber dan tahun pembuatan, dan
lain-lain.

Penyusunan peta menggunakan software Arc View GIS ver. 3.3.


Pemilihan software ini dengan alasan mudah dioperasikan,
powerfull, mampu mengelola data raster dan vektor, serta
memiliki kompatibelitas dengan software lainnya.

Penetapan Pemilihan Lokasi

34
Keberhasilan dalam kegiatan rehabilitasi lahan atau penghijauan di
suatu areal sangat ditentukan oleh keadaan tempat tumbuh dan
teknik silvikultur yang diterapkan untuk jenis Jati dan Rami.

Pertimbangan-pertimbangan yang harus diperhatikan oleh pelaksana


kegiatan penghijauan harus didasarkan pada persyaratan ekologis
dan silvikultur, serta dukungan aspek sosial, sebagai berikut :

a. Persyaratan Ekologis

Keadaan ekologis yang perlu diperhatikan dalam pemilihan jenis


pohon (Jati dan Rami) untuk kegiatan rehabilitasi atau
penghijauan adalah iklim, tanah, ketinggian tempat, kebutuhan
cahaya matahari, keadaan lapangan, drainase, dan asosiasi
antar jenis.

b. Persyaratan Silvikultur

Pertimbangan silvikultur sangat diperlukan untuk mendukung


keberhasilan penanaman dan keberlanjutannya di suatu tempat
atau areal. Beberapa aspek silvikultur yang penting diperhatikan
adalah :

 Kelayakan bibit
 Pola Tanam dan Teknis Penanaman
 Kemampuan Pertumbuhan
 Tingkat Penguapan
 Kegiatan Pemeliharaan

Penataan Blok Penanaman

Areal rehabilitasi ini dibagi menjadi beberapa blok penanaman yang


dinamakan zona, berdasarkan nama blok / kampung / dusun / desa.

Kegiatan Rehabilitasi

35
Kegiatan rehabilitasi dilakukan dengan penanaman pohon di areal
rehabilitasi tersebut, yang melibatkan peran aktif dari masyarakat
sekitar areal untuk ikut berpartisipasi sesuai dengan kemampuan
dan kemauan masing-masing individu. Keterlibatan masyarakat
diperlukan karena yang melakukan pemeliharaan sehari-hari
terhadap tanaman adalah tenaga kerja dari desa setempat.

Kegiatan rehabilitasi yang akan dilakukan meliputi kegiatan sebagai


berikut:

 Pemancangan ajir
 Pembuatan piringan dan lubang tanam
 Pengangkutan bibit
 Penanaman;
 Penyiangan / Pendangiran;
 Pemupukan
 Penyulaman.

4.3 Implemantasi Program

Tahapan Implemantasi Program adalah meliputi Tahap :

1. Sosialisasi, merupakan kegiatan penyampaian program


sehingga para pihak menjadi tahu dan paham serta sepakat
untuk melaksanaan program secara bersama;

2. Dialog, merupakan proses persiapan meliputi inventarisasi


potensi dan penyusunan rencana yang disusun secara bersama
dan partIsipatif;

3. Kelembagaan, merupakan tahapan pembentukan organisasi


pelaksana mulai tingkat kecamatan s/d kabupaten dalam bentuk
kelompok maupun forum;

36
4. Negoisasi, tahapan penyusunan kesepakatan atas hak-hak dan
kewajiban para pihak;

5. Jaminan Hukum, merupakan kegiatan dalam upaya


melegitimasi kesepakatan dalam bentuk MOU, Nota
Kesepekatan Bersama (NKB) dan Perjanjian Kerjasama yang
didaftarkan pada notaris;

6. Pelaksanaan Program, merupakan kegiatan teknis operasional


penghijauan dan usaha budidaya tanaman pertanian oleh
kelompok.

Implementasi program PKLBM dilaksanakan melalui proses tahapan


seperti pada gambar 7, sebagai berikut :

PELAKSANAAN

JAMINAN
HUKUM •
Teknis

• T
NEGOSIASI td:
Mou
NKB
PKS

KELEMBAGAAN
Hak/Wajib •
• Notaris
Berbagi :
DIALOG - Peran
• K - T. Jawab
TH - Hasil

Forum : EV
• - Desa
SOSIALISASI Kesiapan - Kabupaten AL

Potensi UA
• Tahu desa/sda Pendampingan
• Paham - Pengawalan
SI

Sepakat

Gambar 7. Proses Implementasi Program PLKBM

37
4.4 Monitoring dan Evaluasi

Pelaksanaan kegiatan pengawasan, Penilaian dan Pengendalian


Pelaksanaan Kegiatan Pengelolaan Lahan Kritis dimaksudkan
sebagai kegiatan untuk memperoleh kepastian data dan informasi
(valid dan akurat) secara series, kontinu dan teratur tentang realisasi
dan kualitas hasil kegiatan fisik penanaman Jati & Rami pada lahan
kritis sehingga selanjutnya dapat dianalisa, dan dilakukan fungsi
pengendalian menuju terselesaikannya seluruh komponen pekerjaan
program.

Adapun lingkup kegiatan monitoring dan evaluasi secara garis besar


terdiri dari 7 (tujuh) kelompok kegiatan yang meliputi :

1. Pengawasan, penilaian teknis dan pengendalian terhadap


kegiatan pelatihan;

2. Pengawasan, penilaian teknis dan pengendalian terhadap


kegiatan rancang bangun;

3. Pengawasan, penilaian teknis dan pengendalian kegiatan


pengembangan kelembagaan;

4. Pengawasan, penilaian teknis dan pengendalian terhadap


kegiatan pembuatan tanaman dan tindakan konservasi;

5. Pengawasan, penilaian teknis dan pengendalian terhadap


kegiatan usaha budidaya pertanian dan kayu serta pengolahan
pasca panen dan pemasarannya;

6. Pengawasan, penilaian teknis dan pengendalian terhadap


kegiatan pembangunan prasarana dan sarana;

7. Pengawasan, penilaian teknis dan pengendalian terhadap


kegiatan peserta program termasuk peran serta dalam
pelaksanaan fisik teknik.

38
V. PENUTUP

Untuk target dari rencana kegiatan usaha yang disusun perlu


diperhatikan faktor-faktor/syarat yang akan mempengaruhi tercapainya
tujuan usaha, yaitu :

 Dukungan dan kerja keras semua pihak dalam jajaran BUMS untuk
merealisasikan KERJASAMA USAHA.

 Adanya kesepakatan bagi hasil sesuai proporsi yang ditetapkan


masing-masing Pihak.

 Konsistensi masing-masing pihak dalam menjalankan usaha.

39
LAMPIRAN
Agribisnis Jati (Tectona grandis Lf.) dan Rami (Boehmeria nevia)
dengan Pola Kemitraan Agroforestry

40

You might also like