You are on page 1of 28

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Narkotika (Menurut Undang-Undang RI Nomor 22 tahun 1997
tentang Narkotika) adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman baik sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan1. WHO
sendiri memberikan definisi tentang narkotika sebagai berikut: "Narkotika
merupakan suatu zat yang apabila dimasukkan ke dalam tubuh akan
memengaruhi fungsi fisik dan/atau psikologi (kecuali makanan, air, atau
oksigen)."
Zat-zat narkotika atau yang berasal dari narkotika sering digunakan
dalam pilihan terapi terhadap penyakit tertentu. Dari tiga golongan narkotika
menurut Undang-Undang RI Nomor 22 tahun 1997 hanya golongan I dan II
saja yang diperbolehkan digunakan dalam terapi. Hal ini dikarenakan
golongan I memiliki potensi untuk menimbulkan ketergantungan yang sangat
tinggi 1.
Sejarah penggunaan narkotika oleh manusia telah tercatat sejak zaman
purbakala. Benih tanaman poppy (Papaver somniferum) yang getahnya
merupakan bahan dasar opium telah ditemukan di antara peninggalan zaman
batu, bahkan di Mesopotamia tanaman tersebut telah ditanam oleh bangsa
Sumeria sejak 4000 - 3000 sebelum Masehi. Data penggunaannya tercatat
dalam papyrus Ebers (1600 - 1500 sebelum Masehi) sebagai hipnotik,
analgesik, dan untuk efek konstipasi. Galen juga menyebutnya sebagai obat
untuk mengatasi nyeri. Di masa modern, awal abad 19, Serturner di Jerman
telah berhasil memisahkan morfin dari opium (bahan dasar tanaman poppy),
disusul dengan formulasi kodein oleh Robiquet pada tahun 1817. Sejak itu
penggunaannya mulai popular di kalangan masyarakat saat itu. Opium pernah
popular dan bahkan diiklankan sebagai obat pereda nyeri dan obat batuk.

1
Efek ketergantungan mulai muncul/menjadi perhatian sejak tahun 1700-an,
tetapi baru menjadi masalah di Eropa sekitar tahun 1890, sejak itu dibuat
peraturan untuk membatasi penggunaannya, meskipun demikian, problemnya
makin luas menjadi masalah medis dan sosial sampai saat ini 2.
Berdasarkan data yang dihimpun Badan Narkotika Nasional, jumlah
kasus penyalahgunaan narkoba meningkat dari sebanyak 3.478 kasus pada
tahun 2000 menjadi 8.401 pada tahun 2004, atau meningkat rata-rata 28,9%
pertahun. Jumlah tersangka tindak kejahatan narkoba pun meningkat dari
4.955 orang pada tahun 2000 menjadi 11.315 kasus pada tahun 2004, atau
meningkat rata-rata 28,6% pertahun. Hasil penelitian yang telah dilakukan
oleh Puslitbang Info BNN, menyebutkan jumlah penyalahguna narkoba yang
teratur pakai dan pecandu di Indonesia tahun 2004 sekitar 3,2 juta orang
dengan kisaran 2,9 sampai 3,6 juta orang. Data dari Rumah Sakit
ketergantungan obat tahun 1999, 80% pasien berusia antara 16-24 tahun.
Angka kematian pecandu 1,5% per tahun2.
B. TUJUAN PENULISAN
1. Memperoleh informasi lebih lanjut mengenai pengaruh narkotika
terhadap susunan saraf pusat.
2. Memenuhi syarat mengikuti ujian program pendidikan profesi di
bagian Ilmu Penyakit Saraf RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo
Purwokerto.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Jenis-jenis Narkotika
Narkotika (Menurut Undang-Undang RI Nomor 22 tahun 1997 tentang
Narkotika) adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman baik sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan1.
Narkotika dibedakan kedalam golongan-golongan 1:
1. Narkotika Golongan I : Narkotika yang hanya dapat digunakan
untuk tujuan ilmu pengetahuan, dan tidak ditujukan untuk terapi serta
mempunyai potensi sangat tinggi menimbulkan ketergantungan, (Contoh :
heroin/putauw, kokain, ganja).
2. Narkotika Golongan II : Narkotika yang berkhasiat pengobatan
digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi atau
tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi
mengakibatkan ketergantungan (Contoh : morfin, petidin).
3. Narkotika Golongan III : Narkotika yang berkhasiat pengobatan
dan banyak digunakan dalam terapi atau tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan
ketergantungan (Contoh : kodein). Narkotika yang sering disalahgunakan
adalah Narkotika Golongan I :
a. Opoid : morfin, herion (putauw), petidin, candu, dan lain-lain
b. Ganja atau kanabis, marihuana, hashis
c. Kokain, yaitu serbuk kokain, pasta kokain, daun koka.
Berdasarkan potensi farmakoterapetiknya, opiod analgesik dapat dibagi
menjadi 3 kelompok sebagai berikut 3:

3
a. Berpotensi tinggi dan bekerja berat, digunakan terbatas untuk menekan
nyeri yang hebat seperti patah tulang, kena tembak (obat penyerang), luka
bakar yang hebat, operasi/anestesi. Termasuk kelompok ini adalah morfin,
petidin, fentanyl, heroin dan putaw. Dua yang terakhir sering digunakan
oleh para pecandu dan termasuk golongan I yang dilarang digunakan
dalam klinik.

b. Berpotensi sedang, bekerja lambat dan tahan lebih lama, digunakan


sebagai analgesik khusus untuk penyakit kronis yang tidak dapat
disembuhkan (fase terminal) seperti kanker. Juga digunakan sebagai terapi
substitusi KO pada opiod kelompok satu tersebut di atas.

c. Berpotensi ringan, digunakan sebagai;

1) Analgesik umum, misalnya propoksifen dan tramadol. Obat


ini dapat diganti dengan analgesik non narkotik yang lebih aman.

2) Obat batuk, misalnya kodein.

3) Obat diare, misalnya, imodium sebaiknya obat ini tidak


dipakai lagi. Diare non spesifik hanya memerlukan cairan oralit,
sebab penyakit akan sembuh sendiri.

B. Mekanisme Kerja
Morfin (bentuk dasar opioid) terdiri atas cincin benzen dengan gugus
phenolic hydroxyl pada posisi 3 dan sebuah gugus alkohol pada posisi 6 dan
pada atom nitrogen. Kedua gugus hidroksil dapat dirubah menjadi eter
maupun ester. Sebagai contoh, codein adalah morfin dengan O-methylated
pada posisi 3, sedangkan heroin pada posisi 3 dan 6 4.

4
Gambar 2.1. Struktur Morfin5
Morfin dan penggantinya bergabung secara selektif pada banyak tempat
yang telah dikenal di seluruh tubuh untuk menghasilkan efek farmakologi.
Lokus otak yang terlibat dalam hantaran nyeri dan dalam perubahan
reaktivitas rangsangan nosiseptif (nyeri) terlibat sebagai tempat kerja utama
opoid tetapi bukan satu-satunya. Pada umumnya, tempat yang
memperlihatkan afinitas yang tinggi bagi ligand opoid eksogen seperti
morfin, juga mengandung peptida endogen dalam konsentrasi tinggi yang
mempunyai sifat seperti opoid. Walaupun ada banyak gambaran yang sama
dalam kimia dan farmakologi peptida ini, terdapat banyak perbedaan jelas
dengan memperhatikan lintasan biokimia dan sarafnya. Nama generik yang
digunakan untuk senyawa ini adalah endorfin, gabungan kata “endogen” dan
“morfin”. Tetapi istilah ini telah menyebabkan banyak kekacauan karena
hubungannya dengan salah satu prototipe peptida opioid utama, β-endorfin.
Dari semua peptida ilmiah, profil farmakologi senyawa terakhir ini tampak
paling mirip dengan morfin. Sebagai akibatnya telah diusulkan istilah
“opiopeptin” sebagai nama generik peptida opiod alamiah dan istilah endorfin
dicadangkan untuk jenis peptida yang sangat berhubungan dengan β-endorfin
3
.
Peptida terkecil yang mempunyai aktivitas opioid langsung adalah 2
pentapeptida: metiotin-enkefalin (met-kefalin) dan leusin-enkefalin

5
(leuenkefalin). Dengan kekecualian gugusan ujung metionin atau leusin,
rangkaian asam amino enkefalin identik (tirosin, glisin, glisin, fenilalanin)
satu atau kedua dari 2 peptida ini terkandung dalam 3 protein prekursor utama
yang mempunyai jumlah asam amino serupa (antara 257 dan 265) dengan
rangkaian peptida berurutan yang berbeda 3,4.
Pro-enkefalin A yang mengandung 6 salinan met-enkefalin dan satu
salinan leu-enkefalin yang merupakan bagian dari beberapa peptida yang
lebih besar dengan aktivitas opioid yang kuat. Pro-dinorfin (atau pro-
enkefalin B), dengan pengolahan menghasilkan beberapa peptida aktif yang
mengandung leu-enkefalin sebagai suatu fragmen. Yang terkuat terlihat
sebagai peptida 17 asam amino, dinorfin; lainnya meliputi neo-endorfin,
dinorfin F (rimorfin) dan fragmen lebih kecil tertentu dari dinorfin. Protein
prekursor ketiga, pro-opiomelanokortin (POMC) mengandung metenkefalin,
tetapi senyawa terakhir bukan salah satu produk akhir pengolahan. Fragmen
terpenting mempunyai sifat umum seperti opoid yaitu β-endorfin, suatu
peptida 31 asam amino dengan met-enkefalin sebagai ujung karboksinya.
Pengurangan apapun dalam panjang rantai β-endorfin menghasilkan
pengurangan besar dalam aktivitas opioid. Peptidan penting lain terkandung
dalam POMC tetap tanpa sifat sebagai opoid; ia meliputi hormon perangsang
melanosit (MSH) dan ACTH. Jadi sistem alamiah yang terdapat dalam tubuh
dapat melepaskan secara selektif berbagai opiopeptin dalam respon terhadap
nyeri dan stimulus lain. Morfin dan analgensik narkotika lain jelas
menyerupai kerja ligand endogen ini karena berikatan dengan reseptornya;
interaksi ini menimbulkan efek farmakologi 3,4,5.
Terdapat beberapa reseptor opioid dalam susunan saraf pusat dan
jaringan perifer. Reseptor-reseptor ini secara noramal terstimulasi oleh
peptida endogen (endorphin, enkephalin, dan dynorphin) yang diproduksi
akibat stimulus yang merugikan. Reseptor tersebut adalah 6,7:
1. Mu (μ) (agonist morphine)
Reseptor ini terutama ditemukan di batang otak dan thalamus medial.
Reseptor ini bertanggung jawab atas supraspinal analgesia, depresi

6
respirasi, euforia, sedasi, penurunan motilitas gastrointestinal, dan
ketergantungan.
2. Kappa (κ) (agonist ketocyclazocine)
Reseptor ini ditemukan di limbik dan area diencephalik lainnya dan
bertanggung jawab atas analgesia supraspinal, sedasi, dispneu,
ketergantungan, dysphoria, dan depresi respirasi.
3. Delta (δ) (agonist delta-alanine-delta-leucine-enkephalin)
Terdapat pada sebagian besar jaringan otak tetapi efeknya belum
diketahui secara pasti. Namun dicurigai bertanggung jawab atas efek
psikomimetik dan disforik
4. Sigma (σ) (agonist N-allylnormetazocine)
Bertanggung jawab atas efek psikomimetik, disforia, dan depresi
terinduksi stres.
Pengikatan opoid atau tempat pengenalannya telah diidentifiksi dengan
teknik pengikatan radioligand, autoradiografik dan imunohistokimia. Densitas
tempat pengikatan yang tinggi terdapat dalam kornu dorsalis medula spinalis
dan regio subkorteks otak tertentu. Beberapa tempat pengikatan opoid otak
yang berhubungan dengan hantaran nyeri meliputi nukleus rafe magnus dan
lokus seruleus batang otak, area abu-abu periakueduktal mesensefalon serta
beberapa nukleus hipotalamus dan talamus. Pengikatan opoid pada tempat
supraspinal ini sangat meningkatkan efek pada tingkat spinal untuk
mengurangi masukan nosiseptif hingga meningkatkan ambang rangsang
nyeri. Sel medula spinalis tertentu yang mengandung transmitter peptida
senyawa P. Neuron senyawa P telah dihipotesiskan menghantarkan nyeri
serta opoid dan endorfin telah terbukti menghambat pelepasan senyawa P
3,4,7
.
Tempat otak yang terlibat dalam perubahan reaktivitas terhadap nyeri
belum dikenali dengan baik. Diusulkan bahwa lintasan antara diensefalon
dan korteks frontals terlibat, karena efek analgeik narkotika menghasilkan
sejumlah kemiripan dengan yang timbul setelah lobotomi prafontalis.
Individu ini menyadari nyeri tetapi menyatakan bahwa ia tidak lagi

7
menyusahkan. Beberapa dukungan bagi postulat seperti itu diberikan oleh
kenyataan bahwa beberapa nukleus talamus dan hipotalamus telah ditemukan
mempunyai densitas tempat pengikatan opoid yang tinggi 3.

Tabel 2.1. Hubungan antara reseptor dengan peptida 5

Secara umum mekanisme dari opioid adalah sebagai berikut 5:


1. Menghambat Adenilyl cyclase

8
2. Pada neuron post sinaps efek opioid adalah meningkatkan pengeluaran ion K+
dan menyebabkan hiperpolarisasi post sinaps .
3. Pada bagian pre sinaps mengurangi uptake Ca2+ sehingga menghambat
pelepasan neurotransmiter seperti senyawa P, acetylcholine, norepinefrin,
glutamat, dan serotonin.
4. Opioid menghasilkan efek depresan dan efek stimulan yang sangat spesifik
dengan bertindak di lokasi yang berlainan di Susunan saraf pusat. Sebagai
contoh, morfin merangsang inti vagal di medula sementara menekan pusat
pernafasan.
5. Mekanisme neuron tersering adalah inhibisi .

9
Gambar 2.2. Mekanisme Kerja Opioid 5
C. Neurofisiologi Sistem Saraf Pusat
Otak manusia terdiri dari 10 juta neuron dengan milyaran interaksi
elektrokimiawi yang terus menerus berlangsung antarsel saraf yang
terstruktur dan tersistem ke dalam kelompok-kelompok fungsional.
Kelompok fungsional ini bekerja sebagai pusat koordinasi yang mengatur
semua proses kegiatan/ aktivitas psikologis dan fisiologis. Kegiatan jiwa dan
raga. Proses konotif kejiwaan yang meliputi proses yang bersumber pada
perasaan kehendak dan dorongan hati yang semuanya ini merupakan

10
kompleks proses yang menggerakkan sikap dan perilaku seseorang, sesuai
dengan motivasi dan imajinasinya. Proses konatif ini berpusat pada limbic
system otak. limbic system ini menerima sinyal-sinyal neurotransmitter dari
reticular activating system (RAS) di batang otak. RAS berfungsi sebagai step
down/down biolistrik memodulasi kekuatan sinyal-sinyal yang masuk dari
alat indrawi 3,4.
Antarsel pusat koordinasi ada celah sinap. Di dalam sinap impul saraf
diteruskan dengan sinyal-sinyal molekul zat kimia yang ditransmisikan dari
ujung urat syaraf presinap ke saraf postsinap yang disebut Neurotransmitter
(NT). Pada saraf postsinap ada reseptor yang sesuai sebagai pasangan yang
menggerakkan efektor 3,4.
Mekanisme kerja opioid adalah mempengaruhi proses elektrofisiologi
membran saraf, mengubah keberadaan konstalasi neurotransamitter dan
berperan sebagai agonis atau antagonis neurotransmitter pada pasangan
reseptor sehingga kinerja sentra-sentra otak berubah secara dinamik sesuai
dangan konstalasi NT 3,5.
Keberadaan Neurotransmitter dapat mempengaruhi pada prose sintesis,
penyimpanan (storage), pelepasan (release), metabolisme (termination).
Tonus suasana hati dan organ-organ tubuh pada prinsipnya berada dalam
suatu kontinum yang dapat naik turun dari rendah menjadi lebih tinggi atau
sebaliknya. Semua sentra-sentra otak dihubangkan oleh lintas eksitasi untuk
menaikkan tonus dan lintas inhibisi untuk menurunkannya, yang bekerja
secara otomatis dalam memelihara keadaan harmoni homeostatik kejiwaan
dan keragaan. Masing-masing lintasan sinap mempunyai NT sendiri,
sehingga NT dapat dibagi menjadi 2 kelompok 3 :
1. NT Lintas eksitasi
• Acetylcholin
• Norepinephrine
• Dopamin
• Serotonin
• Glutamat

11
• Aspartat
• Histamin
2. NT lintas inhibisi
• GABA
• Glysin
• Peptide seperti enkefalin dan endorfin
D. Pengaruh Narkotika Terhadap Susunan Saraf Pusat
Ada dua tempat kerja obat opioid yang utama, yaitu susunan saraf pusat
dan visceral. Di dalam susunan saraf pusat opoid berefek di beberapa daerah
termasuk korteks, hipokampus, thalamus, hipothalamus, nigrostriatal, sistem
mesolimbik, locus coreleus, daerah periakuaduktal, medula oblongata dan
medula spinalis. Di dalam sistem saraf visceral, opoid bekerja pada pleksus
myenterikus dan pleksus submukous yang menyebabkan efek konstipasi 8.
Penelitian awal menunjukkan bahwa opoid terikat pada reseptor
spesifik di otak, selanjutnya melalui penelitian menggunakan teknik
radioimmunoassay, receptor opoid diketahui terdapat di hampir semua area
otak, kecuali serebelum (otak kecil), kepadatannya paling tinggi di daerah:
1. Traktus spinotalamikus ventralis
2. Periaquaduktal
3. Nuklei interlaminaris thalami
4. Sistem ekstrapiramidal, terutama amigdala
Juga ditemukan di substansia gelatinosa medulla spinalis, bahkan akhir-
akhir ini juga ditemukan di sekitar terminal serabut saraf presinap Adanya
reseptor yang spesifik terhadap opoid di dalam susunan saraf pusat
menyebabkan para peneliti menduga adanya zat serupa opoid endogen yang
memang diproduksi dan terdapat di dalam tubuh. Zat tersebut ditemukan pada
tahun 1975 berupa pentapeptida yang diberi nama met-enkephalin dan leu-
enkephalin. Enkephalin ini berfungsi serupa dengan opoid 9.
1. Efek Analgesia 3,4,6
Efek analgetik morfin dan opioid lain sangat selektif dan tidak
disertai oleh hilangnya fungsi sensorik lain yaitu rasa raba, rasa getar

12
(vibrasi), penglihatan dan pendengaran, bahkan persepsi stimulasi nyeri
pun tidak selalu hilang setelah pemberian morfin dosis terapi. Yang terjadi
adalah suatu perubahan reaksi terhadap stimulus nyeri itu, penderita sering
mengatakan bahwa nyeri masih ada akan tetapi ia tidak menderita lagi.
Hilangnya rasa nyeri disertai dengan rasa tenang ini diduga karena efek
analgesik morfin lebih banyak pada komponen afektif dibandingkan
dengan pengaruhnya terhadap ambang nyeri.
Opioid agonis menimbulkan analgesia akibat berikatan dengan
reseptor spesifik yang berlokasi di otak dan medula spinalis, sehingga
mempengaruhi transmisi dan modulasi nyeri. Terdapat 3 jenis reseptor
yang spesifik, yaitu reseptor μ (mu), δ (delta) dan κ (kappa). Di dalam otak
terdapat tiga jenis endogeneus peptide yang aktivitasnya seperti opoid,
yaitu enkephalin yang berikatan dengan reseptor δ, β endorfin dengan
reseptor μ dan dynorpin dengan resptor κ. Reseptor μ merupakan reseptor
untuk morfin (heroin). Ketiga jenis reseptor ini berhubungan dengan
protein G dan berpasangan dengan adenilsiklase menyebabkan penurunan
formasi siklik AMP sehingga aktivitas pelepasan neurotransmitter
terhambat.

13
Gambar 2.3. Mekanisme Analgesia Opioid

Pengaruh morfin terhadap modalitas nyeri yang tidak tajam (dull


pain) dan berkesinambungan lebih nyata dibandingkan dengan pengaruh
morfin terhdap nyeri tajam dan intermiten. Dengan dosis terapi morfin
dapat meredakan nyeri kolik renal atau kolik empedu. Nyeri mendadak
yang menyertai tabes dorsalis (tabetic crise), tidak dapat dihilangkan
dengan sempurna oleh morfin. Berbeda dengan salisilat, morfin dapat
mengatasi nyeri yang berasal dari alat dalam maupun yang berasal dari
integumen, otot dan sendi.
Efek analgetik morfin timbul berdasarkan 3 mekanisme. (1) morfin
meninggikan ambang rangsang nyeri. Mekanisme ini berperan penting jika
morfin diberikan sebelum terjadi stimulasi nyeri, mekanisme lain lebih
penting. (2) morfin dapat mempengaruhi emosi, artinya, morfin dapat
mengubah reaksi yang timbul di korteks serebri dari talamus. Setelah
pemberian morfin penderita masih tetap merasakan nyeri, tetapi reaksi
terhadap nyeri yaitu kuwatir, takut, reaksi menarik diri (withdrawal) tidak

14
timbul, (3) morfin memudahkan tidur dan pada waktu tidur ambang
rangsang nyeri meningkat.
Antara nyeri dan efek analgetik (juga efek depresi napas) morfin dan
opioid lain terdapat antagonisme, artinya nyeri merupakan antagonis
faalan bagi efek analgetik dan efek depresi napas morfin. Bila nyeri sudah
dialami beberapa waktu sebelum pemberian morfin, efek analgetik obat ini
tidak begitu besar. Sebaliknya bila stimulus nyeri ditimbulkan setelah efek
analgetik morfin mencapai maksimum, dosis morfin yang diperlukan
untuk meniadakan nyeri itu jauh lebih kecil. Penderita yang sedang
mengalami nyeri hebat dan memerlukan morfin dosis besar untuk
menghilangkan penderitaannya, dapat tahan terhadap depresi napas
morfin. Tetapi, jika nyeri itu tiba-tiba hilang, maka besar kemungkinan
timbul gejala depresi napas oleh morfin.
2. Efek Terhadap Sistem Limbik
Sistem limbik mengandung reseptor opoid dalam jumlah besar,
sistem ini antara lain berperan dalam timbulnya rasa nyeri menetap dan
kronik (dull and chronic pain) yang efektif diatasi dengan opoid.
3. Efek Terhadap Mood (Suasana Hati) 3,4,6
Penggunaan morfin pada individu sehat sering menyebabkan
disforia, juga rasa takut, gelisah, mual, dan muntah. Pada dosis terapeutik
menyebabkan letargi, kesadaran berkabut, dan kesulitan konsentrasi;
bicara pelo dan gangguan koordinasi motorik jarang dijumpai. Pada
penggunaan kronik, efek tersebut berangsur-angsur menghilang.
Morfin dosis kecil (5-10 mg) menimbulkan euforia pada penderita
yang sedang menderita nyeri, sedih, dan gelisah. Sebaliknya, dosis yang
sama pada orang normal seringkali menimbulkan disforia berupa perasaan
kuatir atau takut disertai mual dan muntah. Morfin menimbulkan pula rasa
kantuk, tidak dapat berkonsentrasi, sukar berpikir, apatis, aktivitas motorik
berkurang, letargi, ketajaman penglihatan berkurang, ekstremitas terasa
berat, badan terasa panas, muka gata; dan mulut terasa kering, depresi
napas dan miosis.

15
4. Perubahan EEG 3,5,6
Pemberian morfin menyebabkan gambaran frekuensi lambat dan
voltase tinggi, yang mirip dengan gambaran EEG saat tidur atau pada
pemberian barbiturat dosis rendah. Terdapat pengurangan fase REM don
non REM deep sleep, sedangkan fase non REM light sleep dan keadaan
jaga bertambah panjang. Jenis opoid lain dapat memberikan efek berbeda,
heroin dihubungkan dengan gambaran EEG bifasik yang agaknya
berkaitan dengan kedaan euphoria. Penggunaan metadon jangka panjang
dikaitkan dengan penurunan irama alfa, beta, dan peningkatan irama theta,
tetapi relevansi klinisnya belum jelas.
5. Efek Terhadap Sistem Serotonin 6
Efek terhadap sistem serotonin ini merupakan hipotesis terhadap
efek analgesik dari morfin, karena serotonin diketahui berperan dalam
modulasi persepsi nyeri. Pada binatang, pemberian 5HT intraventrikel
(otak) mempotensiasi efek analgesik morfin, sedangkan inhibisi produksi
5HT dikaitkan dengan pengurangan efek analgesia dan berkurangnya
kemungkinan dependensi dan toleransi. Lesi nucleus raphe magnus daerah
padat 5HT menyebabkan hilangnya efek analgetik dari morfin yang dapat
dipulihkan melalui injeksi 5 HT.
6. Efek Terhadap Sistem Noradrenergik 4,6
Efek analgesik opoid juga diduga melalui pengaruhnya terhadap
sistem noradrenergik karena aktivasi sistem noradrenergik (A2)
menghambat sensasi nyeri dan memberikan efek sinergi terhadap
analgesik oleh opioid (mu reseptor).
7. Efek Terhadap Sistem Dopamin 3,4,6
Metabolisme dopamin di otak distimulasi oleh narkotika;
menyebabkan peningkatan turn over dopamin; efek ini dihambat oleh
nalokson. Selain itu zat antagonis dopamin ternyata memperkuat efek
analgesik dari morfin.

16
8. Efek Terhadap Aksis Hipotalamus-Hipofisis 6
Percobaan binatang menunjukkan pengaruh morfin terhadap aksis
hipotalamus hipofisis. Injeksi morfin berulang-ulang menyebabkan
penurunan sekresi ACTH yang berhubungan dengan berkurangnya sekresi
corticotropin releasing, factor (CRF) yang menyebabkan menurunnya
aktivitas kortikoadrenal; siklus diurnal dari kortikosteroid juga terganggu.
Penggunaan kronik menurunkan fungsi korteks adrenal, tetapi lama
kelamaan timbul toleransi. Penghentian penggunaan morfin menyebabkan
efek rebound berupa peningkatan sekresi hormon secara mendadak, yang
dapat berhubungan dengan gejala abstinensi. Morfin menekan sekresi
TSH; pecandu heroin dan pengguna metadon umumnya eutiroid meskipun
dijumpai peningkatan kadar T3 dan T4, mungkin akibat peningkatan
thyroxin binding globulin.
Sekresi GH juga meningkat pada pengguna khronik, selain itu juga
menstimulasi sekresi ADH sehingga dapat menyebabkan berkurangnya
diuresis.
9. Efek Terhadap Respirasi 6
Morfin menimbulkan depresi napas secara primer dan bersinambung
berdasarkan efek langsung terhadap pusat napas di batang otak. Pada dosis
kecil morfin sudah menimbulkan depresi napas tanpa menyebabkan tidur
atau kehilangan kesadaran. Depresi pernafasan pada dosis terapeutik
disebabkan oleh efek langsung terhadap pusat respirasi di batang otak.
Efek ini maksimal dalam 7 menit setelah pemberian intravena; dalam 30
menit setelah pemberian intramuskular dan dalam 90 menit setelah
pemberian subkutan, dan kembali normal setelah 2 - 3 jam.
Dosis toksik dapat menyebabkan frekuensi napas 3-4 kali/menit dan
kematian pada keracunan morfin hampir selalu disebabkan oleh depresi
napas. Pada depresi napas, terjadi penurunan frekuensi napas, volume
semenit dan tidal exchange , akibatnya Pco2 dalam darah dan udara alveolar
meningkat dan kadar O2 dalam darah menurun.

17
Morfin juga mengurangi sensitivitas kemoreseptor terhadap
peningkatan kadar C02, Kepekaan pusat napas terhadap CO2 berkurang.
Kadar CO2 5% tidak lagi menimbulkan peninggian ventilasi pulmonal hal
ini penting diperhatikan dalam penanganan kasus-kasus overdosis yang
pernafasannya semata- mata tergantung dari derajat hipoksia, ditambah
dengan usaha nafas secara sadar yang juga menurun.
Morfin dan analgesik oploid lain berguna untuk menghambat refleks
batuk. Depresi refleks batuk ini ternyata tidak berjalan sejajar dengan
depresi napas. Efek depresi napas lebih besar pada morfin dan efek depresi
batuknya lebih lemah; sedangkan efek depresi batuk kodein kuat dan efek
depresi napasnya tidak begitu kuat. Efek dionin terhadap napas mirip efek
kodein. Obat yang menekan refleks batuk tanpa disertai depresi napas
misalya noskapin.
10. Mual Dan Muntah 3,4,6
Efek emetin morfin terjadi berdasarkan stimulasi langsung pada
emetic chemoreceptor trigger zone di area postrema medula oblongata,
bukan oleh stimulasi pusat emetik sendiri. Apomorfin menstimulasi CTZ
paling kuat. Efek emetik kodein, heroin, metildihidromorfinon dan
mungkin juga dihidromorfin lebih kecil daripada efek emetik morfin. Obat
emetik lain tidak efektif setelah pemberian morfin. Derivat fenotiazin,
yang merupakan bioker dopamin dapat mengatasi mual dan muntah akibat
morfin.
Dengan dosos terapi (15mg morfin subkutan) pada penderita yang
berbaring, jarang terjadi mual dan muntah, tetapi 40% penderita berobat
jalan mengalami mual dan 15% penderita mengalami muntah. Efek mual
dan muntah akibat morfin diperkuat oleh stimulasi vestibular, sebaiknya
analgetik oploid sinetik meningkatkan sensitivitas vestibular. Obat-obat
yang bermanfaat untuk motion sickness kadang-kadang dapat menolong
mual akibat oploid pada penderita obat jalan.

18
11. Miosis 3
Morfin dan kebanyakan agonis opioid yang bekerja pada reseptor µ
dan σ menyebabkan miosis. Miosis ditimbulkan akibat stimulasi pada
nukleus Edinger Westphal pada segmen otonom inti saraf okulomotor.
Miosis ini dapat dilawan oleh atropin dan skopolamin. Pada intoksikasi
morfin, pin poin pupils merupakan gejala yang khas. Dilatasi berlebihan
hanya timbul pada stadium akhir intoksikasi morfin, yaitu jika sudah ada
asfiksia. Meskipun toleransi ringan dapat terjadi akan tetapi penderita
adiksi dengan kadar oploid dalam sirkulasi yang tinggi akan selalu
mengalami miosis. Morfin dalam dosis terapi mempertinggi daya
akomodasi dan menurunkan tekanan intraokuler, baik pada orang normal
maupun pada penderita glaukoma.
12. Eksitasi 3,4,6
Morfin dan opioid lain sering menimbulkan mual dan muntah,
sedangkan delirium dan konvulsi lebih jarang timbul. Faktor yang dapat
mengubah efek eksitasi morfin ialah idiosinkrasi dan tingkat eksitasi
refleks (reflex excitory level) SSP. Beberapa individu, terutama wanita
dapat mengalami eksitasi oleh morfin, misalnya mual dan muntah yang
mendahului depresi, tetapi delirium dan konvulsi jarang timbul.
Kemungkinan timbulnya eksitasi ini lebih besar pada beberapa derivat
morfin dan alkaloid alam lain. Kodein tidak menyebabkan depresi
progresif bila dosisnya dibesarkan, tetapi justru menyebabkan eksitasi;
sedangkan heroin menimbulkan eksitasi sentral. Morfin dan obat
konvulsan sentral mengadakan sinergisme, maka morfin tidak cocok untuk
terapi konvulsi.
Pada beberapa spesies efek eksitasi morfin jauh lebih jelas. Misalnya
pada kucing morfin menimbulkan mania, midriasis, hipersalivasi, dan
hipertermia, konvulsi tonik dan klonik yang dapat berakhir dengan
kematian. Fenomen ini juga timbul pada kucing tanpa korteks serebri
(decorticated cat), maka efek ini tidak dapat disamakan dengan release
mechanism pada stadium II anestesi umum.

19
E. Toksisitas dan Efek Lain Yang Tidak Diinginkan.
Secara umum Intoksikasi Opioid menunjukkan adanya perubahan
perilaku maladaptif, retardasi psikomotor, mengantuk atau koma, bicara
cadel, gangguan daya ingat dan perhatian setelah penggunaan opioid yang
belum lama. Keadaan putus opioid (tanpa/dengan delirium) terjadi setelah
penghentian opioid atau setelah pemberian suatu antagonis opioid. Dan
menunjukkan gejala-gejala mirip terkena flu 5.
Berikut ini adalah kriteria diagnostik menurut DSM-IV dari kedua
kondisi tersebut di atas.
Intoksikasi Opioid:
A. Pemakaian opioid yang belum lama
B. Perilaku maladapif atau perubahan psikologis yang bermakna secara kilnis
yang berkembang selama atau segera setelah pemakaian opioid
C. Konstriksi pupil (atau dilatasi pupil karena anoksia akibat overdosis berat)
dan satu (atau lebih) tanda berikut, yang berkembang selama, atau segera
pemakaian opioid:
(1) mengantuk atau koma
(2) bicara cadel
(3) gangguan atensi atau daya ingat
D. Gejala tidak karena kondisi media umum dan gangguan mental lain
Gejala intoksikasi akut (overdosis):
1. Kesadaran menurun, sopor - koma
2. Depresi pernafasan, frekuensi pernafasan rendah 2-4 kali semenit,
dan pernafasan mungkin bersifat Cheyene stokes
3. Pupil kecil (pin point pupil), simetris dan reaktif
4. Tampak sianotik, kulit muka kemerahan secara tidak merata
5. Tekanan darah pada awalnya baik, tetapi dapat menjadi hipotensi
apabila pernafasan memburuk danterjadi syok
6. Suhu badan rendah (hipotermia) dan kulit terasa dingin
7. Bradikardi
8. Edema paru

20
9. Kejang
Kematian biasanya disebabkan oleh depresi pernafasan. Angka kematian
meningkat bila pecandu narkotik menggabungkannya dengan obat-obatan
yang menimbulkan reaksi silang seperti alkohol, tranquilizer.
- Angka kematian heroin + alkohol → 40 %
- Angka kematian heroin + tranquilizer → 30 %
Addiksi heroin menunjukkan berbagai segi:
1. Habituasi, yaitu perubahan psikis emosional sehingga penderita ketagihan akan
obat tersebut.
2. Ketergantungan fisik, yaitu kebutuhan akan obat tersebut oleh karena faal dan
biokimia badan tidak dapat berfungsi lagi tanpa obat tersebut
3. Toleransi, yaitu meningkatnya kebutuhan obat tersebut untuk mendapat efek
yang sama. Walaupun toleransi timbul pada saat pertama penggunaan opioid,
tetapi manifes setelah 2-3 minggu penggunaan opioid dosis terapi. Toleransi
akan terjadi lebih cepat bila diberikan dalam dosis tinggi dan interval
pemberian yang singkat. Toleransi silang merupakan karakteristik opioid yang
penting, dimana bila penderita telah toleran dengan morfin, dia juga akan
toleran terhadap opioid agonis lainnya, seperti metadon, meperidin dan
sebagainya.
Mekanisme terjadinya toleransi dan ketergantungan obat
Mekanisme secara pasti belum diketahui, kemungkinan oleh adaptasi seluler
yang menyebabkan perubahan aktivitas enzym, pelepasan biogenic amin tertentu
atau beberapa respon imun 7.
Nukleus locus ceruleus diduga bertanggung jawab dalam menimbulkan gejala
withdrawal. Nukleus ini kaya akan tempat reseptor opioid, alpha-adrenergic dan
reseptor lainnya. Stimulasi pada reseptor opioid dan alpha-adrenergic memberikan
respon yang sama pada intraseluler. Stimulasi reseptor oleh agonis opioid
(morfin) akan menekan aktivitas adenilsiklase pada siklik AMP 5.
Bila stimulasi ini diberikan secara terus menerus, akan terjadi adaptasi
fisiologik di dalam neuron yang membuat level normal dari adeniliklase walaupun
berikatan dengan opoid. Bila ikatan opoid ini dihentikan dengan mendadak atau

21
diganti dengan obat yang bersifat antagonis opioid, maka akan terjadi peningkatan
efek adenilsilase pada siklik AMP secara mendadak dan berhubungan dengan
gejala pasien berupa gejala hiperaktivitas 7.
Gejala putus obat (gejala abstinensi atau withdrawl syndrome) terjadi bila
pecandu obat tersebut menghentikan penggunaan obat secara tiba-tiba. Gejala
biasanya timbul dalam 6-10 jam setelah pemberian obat yang terakhir dan
puncaknya pada 36-48 jam 8.
Withdrawl dapat terjadi secara spontan akibat penghentian obat secara tiba-
tiba atau dapat pula dipresipitasi dengan pemberian antagonis opioid seperti
naloxon, naltrexone. Dalam 3 menit setelah injeksi antagonis opioid, timbul gejala
withdrawl, mencapai puncaknya dalam 10-20 menit, kemudian menghilang
setelah 1 jam 9.
Gejala putus obat:
1. 6 – 12 jam , lakrimasi, rhinorrhea, bertingkat, sering menguap, gelisah
2. 12 - 24 jam, tidur gelisah, iritabel, tremor, pupil dilatasi (midriasi),
anoreksia
3. 24-72 jam, semua gejala diatas intensitasnya bertambah disertai adanya
kelemahan, depresi, nausea, vornitus, diare, kram perut, nyeri pada otot dan
tulang, kedinginan dan kepanasan yang bergantian, peningkatan tekanan
darah dan denyut jantung,gerakan involunter dari lengan dan tungkai,
dehidrasi dan gangguan elektrolit
4. Selanjutnya, gejala hiperaktivitas otonom mulai berkurang secara
berangsurangsur dalam 7-10 hari, tetapi penderita masih tergantung kuat pada
obat. Beberapa gejala ringan masih dapat terdeteksi dalam 6 bulan. Pada bayi
dengan ibu pecandu obat akan terjadi keterlambatan dalam perkembangan
dan pertumbuhan yang dapat terdeteksi setelah usia 1 tahun.
Berdasarkan kriteria DSM IV keadaan putus opioid adalah:
A. Salah satu berikut ini
(1) penghentian (atau penurunan) pemakaian opioid yang telah lama dan berat
(beberapa minggu atau lebih)
(2) pemberian antagonis opioid setelah suatu periode pemakaian opioid

22
B. Tiga (atau lebih) berikut ini, yang berkembang dalam beberapa hari setelah
kriteria A:
(1) mood disforik; (2) mual/muntah; (3) nyeri otot; (4) lakrimasi/rinorea
(5) dilatasi pupil, pioenksi, keringatdiai (6) diare; (7) menguap;(8) demam
(9) insomnia.
C. Gejala dalam kriteria B menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis
atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain.
D. Gejala bukan karena kondisi medis umum dan gangguan mental lain.
PENATALAKSANAAN
Intoksikasi akut (over dosis) 5
1. Perbaiki dan pertahankan jalan nafas sebaik mungkin
2. Oksigenasi yang adekuat
3. Naloxone injeksi, dosis awal 0,4 – 2,0 mg IV (anak-anak 0,01 mg/kgBB)
Efek naloxane terlihat dalam 1 – 3 menit dan mencapai puncaknya pada 5-10
menit. Bila tidak ada respon naloxane 2 mg dapat diulang tiap 5 menit hingga
maksimum 10 mg. Naloxone efektif untuk memperbaiki derjat kesadaran,
depresi pernafasan, ukuran pupil. Pasien masih harus diobservasi terhadap
efek naloxone dalam 2-3 jam. Oleh karena duration of action yang pendek.
Untuk mencegah rekulensi efek opoid dapat diberikan infus naloxone 0,4-
0,8mg/jam hingga gejala minimal (menghilang).
Intoksikasi kronis
Hospitalisasi
Hospitalisasi dilakukan untuk pasien pasien adiksi zat, terutama ditujukan untuk:
1. Terapi kondisi withdrawl
2. Terapi detoksifikasi
3. Terapi rumatan (maintenance)
4. Terapi komplikasi
5. Terapi aftercare
Dengan masuknya pasien adiksi ke RS, evaluasi medis fisik perlu mendapat
prioritas. Disamping pemeriksaan urine drug screen (untuk mengetahui apakah

23
pasien menggunakan zat lain yang tidak diakuinya), pemeriksaan laboratorium
rutin (termasuk fungsi faal hati, ginjal, dan jantung), juga dilakukan foto thorak 9.
Terapi detoksifikasi bertujuan agar pasien memutuskan penggunaan zatnya
dan mengembalikan kemampuan kognitifnya. Tidak ada bentuk terapi lain yang
harus dilakukan sebelum kedua tujuan tersebut berhasil dicapai.
Tujuan hospitalisasi lainnya adalah membantu pasien agar dapat
mengidentifikasi konsekwensi yang diperoleh sebagai akibat penggunaan zat dan
memahami resikonya bila terjadi relaps. Dari segi mental, hospitalisasi membatu
mengendalikan suasana perasaannya seperti depressi, paranoid, quilty feeling
karena penyesalan perbuatannya dimasa lalu, destruksi diri dan tindakkekerasan 8.
Hospitalisasi jangka pendek sangat disarankan bagi adiksi zat yang memang
harus mendapatkan perawatan karena kondisinya. Selama perawatan jangka
pendek, pasien dipersiapkan untuk mengikuti terapi rumatan. Untuk kondisi
adiksinya, pasien tidak pernah disarankan untuk perawatan jangka panjang 5.
Fermakoterapi
Terapi withdrawl opioid
1. Withdrawl opioid tidak mengancam jiwa, tetapi berhubungan dengan
gangguan fisikologis dan distress fisik yang cukup berat.
2. Kebanyakan pasien dengan gejala putus obat yang ringan hanya
membutuhkan lingkungan yang mendukung mereka tanpa memerlukan obat
3. Klonidin dapat digunakan untuk mengurangi gejala putus obat dengan
menekan perasaan gelisah, lakrimasi, rhinorrhea dan keringat berlebihan.
Dosis awal diberikan 0,1-0,2 mg tiap 8 jam. Kemudian dapat dinaikkan bila
diperlukan hingga 0,8 –1,2 mg/hari, selanjutnya dapat ditappering off setelah
10-14 hari.
4. Terapi non spesifik (simptomatik)
5. Gangguan tidur (insomnia) dapat diberikan hipnotik sedatif
6. Nyeri dapat diberikan analgetik
7. Mual dan muntah dapat diberikan golongan metoklopamide
8. Kolik dapat diberikan antispasmolitika
9. Gelisah dapat diberikan antiansietas

24
10. Rhinorrhea dapat diberikan golongan fenilpropanolamin

Terapi detoksifikasi adiksi opioid 5


1. Metadon merupakan drug of choice dalam terapi detoksifikasi adiksi
opioid. Namun bila dosis metadon diturunkan, kemungkinan relaps sering
terjadi. Kendala lain adalah membutuhkan waktu lama dalam terapi
detoksifikasi, dan bila menggunakan opioid antagonis maka harus menunggu
gejala abstinensia selama 5-7 hari. Dosis metadon yang dianjurkan untuk
terapi detoksifikasi heroin (morfin) adalah 2-3 x 5-10 mg perhari peroral.
Setelah 2-3 hari stabil dosis mulai ditappering off dalam 1-3 minggu.
2. Buprenorphine dosis rendah (1,5-5 mg sublingual setiap 2-3 x seminggu)
dilaporkan lebihefektif dan efek withdrawl lebih ringan dibandingkan
metadone.
3. Terapi alternatif lain yang disarankan adalah rapid detoxification yang
mempersingkat waktu terapi deteksifikasi dan memudahkan pasien untuk
segera masuk dalam terapi opoid antagonis. Jenis teknik rapid deteksifikasi
antara lain klinidin naltrexon.
Terapi rumatan (maintenance) adiksi opioid 5
1. Metadon dan Levo alfa acetyl;methadol (LAAM) merupakan standar
terapi rumatan adiksi opioid. Metadon diberikan setiap hari, sedangkan
LAAM hanya 3 kali seminggu. Pemberian metadon dan LAAM pada terapi
rumatan sangat membantu menekan prilaku kriminal. Untuk terapi
maintenance, dosis metadon dapat ditingkatkan (biasanya 40-100 mg/hari).
Untuk menjaga pasien tetap menyenangkan dan diturunkan secara perlahan-
lahan.
Terapi after care
Meliputi upaya pemantafan dalam bidang fisik, mental, keagamaan, komunikasi
interaksi sosial,edukasional, bertujuan untuk mencapai kondisi prilaku yang lebih
baik dan fungsi yang lebih baik dari seorang mantan penyalahguna zat. Peranan
keluarga pada saat ini sangat diperlukan.

25
BAB III
KESIMPULAN

1. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman baik sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.
2. Pengaruh narkotika terhadap susunan saraf pusat adalah:
a. Efek Analgesia
b. Efek Terhadap Sistem Limbik berupa sistem timbulnya rasa nyeri
menetap dan kronik (dull and chronic pain) yang efektif diatasi dengan
opoid.
c. Efek Terhadap Mood (Suasana Hati)
d. Perubahan EEG, Pemberian morfin menyebabkan gambaran
frekuensi lambat dan voltase tinggi, yang mirip dengan gambaran EEG
saat tidur atau pada pemberian barbiturat dosis rendah
e. Efek Terhadap Sistem Serotonin ini merupakan hipotesis terhadap
efek analgesik dari morfin, karena serotonin diketahui berperan dalam
modulasi persepsi nyeri
f. Efek Terhadap Sistem Noradrenergik, Efek analgesik opoid juga
diduga melalui pengaruhnya terhadap sistem noradrenergik
g. Efek Terhadap Sistem Dopamin, Metabolisme dopamin di otak
distimulasi oleh narkotika; menyebabkan peningkatan turn over dopamin
h. Efek Terhadap Aksis Hipotalamus-Hipofisis, Injeksi morfin
berulang-ulang menyebabkan penurunan sekresi ACTH serta
meningkatkan GH dan ADH.

26
i. Efek Terhadap Respirasi, Morfin menimbulkan depresi napas
secara primer dan bersinambung berdasarkan efek langsung terhadap
pusat napas di batang otak.
j. Mual Dan Muntah terjadi berdasarkan stimulasi langsung pada
emetic chemoreceptor trigger zone di area postrema medula olongata,
bukan oleh stimulasi pusat emetik sendiri
k. Miosis, Miosis ditimbulkan akibat stimulasi pada nukleus Edinger
Westphal pada segmen otonom inti saraf okulomotor
l. Eksitasi, Morfin dan opioid lain sering menimbulkan mual dan
muntah, sedangkan delirium dan konvulsi lebih jarang timbul.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Kesehatan RI, Undang-Undang Republik Indonesia No. 22


tahun 1997 tentang Narkotika, Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
Jakarta.
2. Rustyawati. Beberapa Faktor Risiko Yang Berhubungan Dengan
Penyalahgunaan Narkoba Pada Penderita Yang Dirawat di Panti Rehabilitasi
(Studi Kasus Di Semarang Dan Sekitarnya). Epidemiology. 2005;21 : 121.
3. Betram G. Katzung. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC; 1999.
4. Goodman G dan Gilman. Pharmacological Basis of Therapeutics.
Singapore: McGraw-Hill; 1992.
5. Iskandar Japardi. Efek Neurologis Pada Penggunaan Heroin (Putauw).
Fakultas Kedokteran Bagian Bedah Universitas Sumatera Utara.[Serial
Online] [Cited 2010 Mei 14]; 1(1). Available from: URL:
http://www.usu.ac.id.
6. Sulistia G. Ganiswarna. Farmakologi dan Terapi ed 4. Jakarta: FK UI;
1995
7. Parham Gharagozlou et al. Pharmacological Profiles Of Opioid Ligands
At Kappa Opioid Receptors. BMC Pharmacology 2006, 6:3.
8. Andrea M. Trescot, Sukdeb Datta, Marion Lee, and Hans Hansen. Opioid
Pharmacology. Pain Physician. 2008; 11:S133-S153.
9. Tania M. R , GregoryW. H, Geoff St, Marc S. Intranasal
Naloxone Is A Viable Alternative To Intravenous Naloxone For Prehospital
Narcotic Overdose. Prehospital Emergency Care. 2009;13:512–515.

28

You might also like