You are on page 1of 8

PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA

PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA


I. Pengertian dan Fungsi Ideologi
Nama ideologi berasal dari kata ideas dan logos. Idea berarti gagasan,konsep, sedangkan logos
berarti ilmu. Pengertian ideologi secara umum adalah sekumpulan ide, gagasan, keyakinan,
kepercayaan yang menyeluruh dan sistematis dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan
keagamaan.
Ciri-ciri ideologi adalah sebagai berikut :
1. Mempunyai derajat yang tertinggi sebagai nilai hidup kebangsaan dan kenegaraan.
2. Oleh karena itu, mewujudkan suatu asas kerohanian, pandanagn dunia, pandangan hidup,
pedoman hidup, pegangan hidup yang dipelihara diamalkan dilestarikan kepada generasi
berikutnya, diperjuangkan dan dipertahankan dengan kesediaan berkorban.
Fungsi ideologi menurut beberapa pakar di bidangnya :
1. Sebagai sarana untuk memformulasikan dan mengisi kehidupan manusia secara individual.
(Cahyono, 1986)
2. Sebagai jembatan pergeseran kendali kekuasaan dari generasi tua (founding fathers) dengan
generasi muda. (Setiardja, 2001)
3. Sebagai kekuatan yang mampu member semangat dan motivasi individu, masyarakat, dan
bangsa untuk menjalani kehidupan dalam mencapai tujuan. (Hidayat, 2001)
ARTI IDEOLOGI TERBUKA
Ciri khas ideologi terbuka ialah bahwa nilai-nilai dan cita-citanya tidak dipaksakan dari luar,
melainkan digali dan diambil dari kekayaan rohani, moral dan budaya masyarakatnya sendiri.
Dasarnya dari konsensus masyarakat, tidak diciptakan oleh negara, melainkan ditemukan dalam
masyarakatnya sendiri. Oleh sebab itu, ideologi terbuka adalah milik dari semua rakyat dan
masyarakat dapat menemukan dirinya di dalamnya. Ideologi terbuka bukan hanya dapat
dibenarkan melainkan dibutuhkan. Nilai-nilai dasar menurut pandangan negara modern bahwa
negara modern hidup dari nilai-nilai dan sikap-sikap dasarnya.
Ideologi terbuka adalah ideologi yang dapat berinteraksi dengan perkembangan zaman dan
adanya dinamika secara internal. Sumber semangat ideologi terbuka itu sebenarnya terdapat
dalam Penjelasan Umum UUD 1945, yang menyatakan, “... terutama bagi negara baru dan
negara muda, lebih baik hukum dasar yang tertulis itu hanya memuat aturan-aturan pokok,
sedangkan aturan-aturan yang menyelenggarakan aturan pokok itu diserahkan kepada undang-
undang yang lebih mudah cara membuatnya, mengubahnya dan mencabutnya“. Selanjutnya
dinyatakan, “... yang sangat penting dalam pemerintahan dan dalam hidupnya bernegara ialah
semangat, semangat para penyelenggara negara, semangat para pemimpin pemerintahan“.
Sehingga Hatta pernah berpendapat bahwa elite bangsa sendiri akan bisa lebih kejam daripada
penjajah bila tidak dikontrol dengan demokrasi. Apakah di Indonesia sudah berjalan demokrasi
yang kita dambakan ?.
Suatu ideologi yang wajar ialah bersumber dan berakar pada pandangan hidup bangsa dan
falsafah hidup bangsa. Dengan demikian, ideologi tersebut akan dapat berkembang sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan kecerdasan kehidupan bangsa. Hal ini adalah suatu
prasyarat bagi suatu ideologi. Berbeda halnya dengan ideologi yang diimpor, yang akan bersifat
tidak wajar (artifisial) dan sedikit banyak memerlukan pemaksaan oleh sekelompok kecil
manusia (minoritas) yang mengimpor ideologi tersebut. Dengan demikian, ideologi tersebut
menjadi bersifat tertutup. Pancasila berakar pada pandangan hidup bangsa dan falsafah bangsa,
sehingga memenuhi prasyarat sebagai suatu ideologi terbuka. Sekalipun suatu ideologi itu
bersifat terbuka, tidak berarti bahwa keterbukaannya adalah sebegitu rupa sehingga dapat
memusnahkan atau meniadakan ideologi itu sendiri, yang merupakan suatu yang tidak logis.
Suatu ideologi sebagai suatu rangkuman gagasan-gagasan dasar yang terpadu dan bulat tanpa
kontradiksi atau saling bertentangan dalam aspek-aspeknya. Pada hakikatnya berupa suatu tata
nilai, dimana nilai dapat kita rumuskan sebagai hal ikhwal buruk baiknya sesuatu. Yang dalam
hal ini ialah apa yang dicita-citakan.
II. Pancasila sebagai Ideologi Bangsa
Pancasila sebagai ideologi bangsa adalah Pancasila sebagai cita-cita negara atau cita-cita yang
menjadi basis bagi suatu teori atau sistem kenegaraan untuk seluruh rakyat dan bangsa Indonesia,
serta menjadi tujuan hidup berbangsa dan bernegara Indonesia.
Berdasarkan Tap. MPR No. XVIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Ketetapan MPR tentang P4,
ditegaskan bahwa Pancasila adalah dasar NKRI yang harus dilaksanakan secara konsisten dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
III. Pancasila sebagai Ideologi Terbuka
Makna dari ideologi terbuka adalah sebagai suatu sistem pemikiran terbuka.
Ciri-ciri ideologi terbuka dan ideologi tertutup adalah :
Ideologi Terbuka
a. merupakan cita-cita yang sudah hidup dalam masyarakat.
b. Berupa nilai-nilai dan cita-cita yang berasal dari dalam masyarakat sendiri.
c. Hasil musyawarah dan konsensus masyarakat.
d. Bersifat dinamis dan reformis.
Ideologi Tetutup
a. Bukan merupakan cita-cita yang sudah hidup dalam masyarakat.
b. Bukan berupa nilai dan cita-cita.
c. Kepercayaan dan kesetiaan ideologis yang kaku.
d. Terdiri atas tuntutan konkret dan operasional yang diajukan secara mutlak.
Menurut Kaelan, nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi Pancasila sebagai ideologi terbuka
adalah sebagai berikut :
a) Nilai dasar, yaitu hakekat kelima sila Pancasila.
b) Nilai instrumental, yang merupakan arahan, kebijakan strategi, sasaran serta lembaga
pelaksanaanya.
c) Nilai praktis, yaitu merupakan realisasi nilai-nilai instrumental dalam suatu realisasi
pengamalan yang bersifat nyata, dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, berbangsa dan
bernegara.
Sebab Indonesia menggunakan ideology terbuka Karena Indonesia adalah sebuah negara dan
sebuah negara memerlukan sebuah ideologi untuk menjalankan sistem pemerintahan yang ada
pada negara tersebut, dan masing-masing negara berhak menentukan ideologi apa yang paling
tepat untuk digunakan, dan di Indonesia yang paling tepat adalah digunakan adalah ideologi
terbuka karena di Indonesia menganut sistem pemerintahan demokratis yang di dalamnya
membebaskan setiap masyarakat untuk berpendapat dan melaksanakan sesuatu sesuai dengan
keinginannya masing-masing. Maka dari itu, ideologi Pancasila sebagai ideologi terbuka adalah
yang paling tepat untuk digunakan oleh Indonesia.
Cara menumbuhkan kadar dan idealism yang terkandung Pancasila sehingga mampu
memberikan harapan optimisme dan motivasi untuk mewujudkan cita-cita disebabkan Kita harus
menempatkan Pancasila dalam pengertian sebagai moral, jiwa, dan kepribadian bangsa
Indonesia. Pancasila sebagai jiwa bangsa Indonesia keberadaanya/lahirnya bersamaan dengan
adanya bangsa Indonesia. Selain itu,Pancasila juga berfungsi sebagai kepribadian bangsa
Indonesia. Artinya, jiwa bangsa Indonesia mempunyai arti statis dan dinamis. Jiwa ini keluar
diwujudkan dalam sikap mental, tingkah laku, dan amal perbuatan bangsa Indonesia yang pada
akhirnya mempunyai cirri khas. Sehingga akan muncul dengan sendirinya harapan optimisme
dan motivasi yang sangat berguna dalam mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia.
IV. Faktor Pendorong Keterbukaan Ideologi Pancasila
Faktor yang mendorong pemikiran mengenai keterbukaan ideologi Pancasila adalah sebagai
berikut :
a. Kenyataan dalam proses pembangunan nasional dan dinamika masyarakat yang berkembang
secara cepat.
b. Kenyataan menunjukkan, bahwa bangkrutnya ideologi yang tertutup dan beku dikarenakan
cenderung meredupkan perkembangan dirinya.
c. Pengalaman sejarah politik kita di masa lampau.
d. Tekad untuk memperkokoh kesadaran akan nilai-nilai dasar Pancasila yang bersifat abadi dan
hasrat mengembangkan secara kreatif dan dinamis dalam rangka mencapai tujuan nasional.
Keterbukaan ideologi Pancasila terutama ditujukan dalam penerapannya yang berbentuk pola
pikir yang dinamis dan konseptual dalam dunia modern. Kita mengenal ada tiga tingkat nilai,
yaitu nilai dasar yang tidak berubah, nilai instrumental sebagai sarana mewujudkan nilai dasar
yang dapat berubah sesuai keadaan dan nilai praktis berupa pelaksanaan secara nyata yang
sesungguhnya. Nilai-nilai Pancasila dijabarkan dalam norma - norma dasar Pancasila yang
terkandung dan tercermin dalam Pembukaan UUD 1945. Nilai atau norma dasar yang
terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 ini tidak boleh berubah atau diubah. Karena itu adalah
pilihan dan hasil konsensus bangsa yang disebut kaidah pokok dasar negara yang fundamental
(Staatsfundamentealnorm). Perwujudan atau pelaksanaan nilai-nilai instrumental dan nilai-nilai
praktis harus tetap mengandung jiwa dan semangat yang sama dengan nilai dasarnya. Kebenaran
pola pikir seperti yang terurai di atas adalah sesuai dengan ideologi yang memiliki tiga dimensi
penting yaitu Dimensi Realitas, Dimensi Idealisme dan Dimensi Fleksibilitas.

V. Batas-Batas Keterbukaan Ideologi Pancasila


Sungguhpun demikian, keterbukaan ideologi Pancasila ada batas-batasnya yang tidak boleh
dilanggar, yaitu sebagai berikut :
a. Stabilitas nasional yang dinamis.
b. Larangan terhadap ideologi marxisme, leninisme dan komunisme.
Mencegah berkembangnya paham liberal.
Larangan terhadap pandangan ekstrim yang mengelisahkan kehidupan masyarakat.
c. Penciptaan norma yang baru harus melalui konsensus.
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari penjabaran pemahaman kerangka berfikir terhadap Pancasila ditinjau dari segi Ideologi
Terbuka diatas, patutlah kiranya diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Pancasila sebagai ideologi nasional dapat diartikan sebagai suatu pemikiran yang memuat
pandangan dasar dan cita-cita mengenai sejarah, manusia, masyarakat, recht dan negara
Indonesia, yang bersumber dari kebudayaan Indonesia.
2. Pancasila merupakan nilai dan cita bangsa Indonesia yang tidak dipaksakan dari luar,
melainkan digali dan diambil dari kekayaan rohani, moral dan budaya masyarakat kita sendiri.
Sumber semangat ideologi terbuka itu sebenarnya terdapat dalam Penjelasan Umum UUD 1945.
3. Keterbukaan ideologi Pancasila terutama ditujukan dalam penerapannya yang berbentuk pola
pikir yang dinamis dan konseptual dalam dunia modern. Perwujudan atau pelaksanaan nilai-nilai
instrumental dan nilai-nilai praktis harus tetap mengandung jiwa dan semangat yang sama
dengan nilai dasarnya. Sungguhpun demikian, keterbukaan ideologi Pancasila ada batas-batasnya
yang tidak boleh dilanggar.
Sehingga ideologi Pancasila sebagai ideologi terbuka sebenarnya sangat relevan dengan suasana
pemikiran di alam reformasi ini yang menuntuk transparansi di segala bidang namun masih tetap
menjunjung kaidah nilai dan norma kita sebagai bangsa timur yang beradab. Namun dalam
kenyatannya di masyarakat masih ada yang berfikir seperti orde lama atau orde baru dikarenakan
masih kuatnya doktrin dari penguasa terdahulu, bahkan tidak sedikit yang acuh terhadapnya.
Jadi, setiap negara berhak dalam memilih sistem pemerintahannya sendiri, Indonesia juga pernah
menerapkan beberapa sistem pemerintahan. Namun, yang paling cocok dengan kepribadian
bangsa Indonesia adalah ideologi terbuka karena sinkron dengan sistem pemerintahan yang
demokratis yang menjamin kebebasan warga negaranya dalam mengeluarkan pendapat
sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 pasal 28.
SARAN
Sebagai suatu pemikiran yang memuat pandangan dasar dan cita-cita mengenai sejarah, manusia,
masyarakat, recht dan negara Indonesia, yang bersumber dari kebudayaan Indonesia yang digali
dan diambil dari kekayaan rohani, moral dan budaya masyarakat kita sendiri. Alangkah baiknya
jika masih tetap menggunakan dan mempertahankannya sebagai nilai dasar sebagai ciri khas kita
sebagai suatu bangsa. Tanpa takut untuk mengembangkannya secara dimamis sesuai dengan
perkembangan jaman

Pancasila Ideologi Terbuka

1. Ideologi Pancasila Kuktur Politik Bangsa Indonesia:

Secara historis dapat dijelaskan, bahwa istilah “ideologi” adalah berasal dari sejarah Perancis
ketika mengalami pencerahan, sebagai sebuah ilmu penge tahuan tentang hasil pemikiran atau
idea manusia, artinya ideologi merupakan sebuah konsep ilmiah, yang mempergunakan racikan
atau pola empirik maupun logika berfikir rasional. Ideologi dengan demikian sebagai bagian dari
ilmu politik, yang mencoba mempersatukan usaha manusia yang bersifat politik bagi terbentuk
dan terselenggaranya pemerintahan yang dianggap baik dan benar.

Pada awal sejarahnya itu, ideologi dianggap sebagai alat politik yang membawakan pemikiran
revolusioner untuk menghancurkan pemerintahan model lama dengan strukturnya yang dianggap
tidak lagi sesuai dengan suasana baru yang demokratis. Tetapi istilah ideologi atau ideologues
pernah mengalami konotasi negatif sebagai doktrin bukan bersifat ilmiah seperti awalnya yang
bersifat destruktif, oleh pengaruh Revolusi Perancis. Hal ini sebagai pengakuan ahli politik
Perancis : Antoine Revarol (1753-1801) yang mengatakan, bahwa ideologi telah berubah
menjadi doktrin yang destruktif dan ini telah menjadi kenyataan sejarah bahkan sebagai doktrin
yang berbahaya bagi tertib politik yang baik; ideologi menjadi idea yang berbahaya, karena ingin
merobek-robek tiang-tiang dunia yang ada. Di Perancis pada zaman revolusi itu para pemuda
dengan berteriak keras berusaha merobohkan semua rintangan yang ada, sekalipun dengan
kekerasan, membawa panji-panji ideologi. Memang Revarol hidup di zaman berkecamuknya
revolusi dahsyat.

Setelah itu, terbawa oleh revolusi modern di Inggris, ideologi memperoleh kembali arti aslinya
yang rasional, yakni ketika kaum Liberal maupun Konservatif, ketika hendak menyerang sebuah
doktrin yang mereka tidak sukai, mereka mengenakan senjata ideologi secara rasional, tidak
seperti di Perancis. Dalam mengritik kaum sosialis misalnya, kaum Liberal menggunakan
ideologi untuk memperbaiki masyarakat. Sebaliknya kaum Sosialis atau Marxis juga menempuh
jalan yang sama, yakni menggunakan ideologi sebagai senjata untuk menghadapi lawan politik.
Walaupun demikian sering kali sifat destruktif ideologi, sebagai yang disinyalir Antoine Revarol
(bukunya, De la Philosophie Moderne”, Paris 1802) bisa muncul kembali kepermukaan, ketika
situasi pertentangan memanas.

Seorang ahli politik dan sosiologi terkenal Robert Mac Iver, dalam bukunya “European
Ideologies”, New York, Philosophical Library, 1948, memberikan definisi tentang ideologi
sebagai berikut : “ a political and social ideology is a system of political, economic and social
values and idea from which objectives are derived. These objectives from the nucleus of a
political program” (bahwa ideologi politik dan sosial adalah sebuah sistem nilai dan pemikiran
politik, ekonomi dan sosial, yang memunculkan sasaran-sasaran. Sedang sasaran-sasaran ini
membentuk intisari sebuah program politik). Dengan pengertian itu, maka ideologi akan
memunculkan serangkaian gagasan, berupa sasaran-sasaran yang dinamis yang bisa
mempengaruhi bahkan membimbing masa depan harapan bisa menentukan nasib masa depan
manusia banyak. Definisi Mac Iver itu mengisyaratkan secara jelas bahwa ideologi hendaknya
memiliki sifat mengatur atau “normatif”, berupa kaidah dasar, disamping juga memiliki fungsi
memberikan “ilham atau inspirasi” bagi pemilik ideologi serta sifat ideologi haruslah rasional
dengan tata logika yang benar, tepat dan singkat.

Apabila kita hubungkan dengan Pancasila sebagai ideologi, maka terlihat relevansi yang begitu
nyata, bahwa sebagai ideologi, maka Pancasila adalah sebuah alat politik bangsa Indonesia,
untuk mencapai cita-citanya dalam penyelenggaraan “Negara Bangsa”, bukan sebagai doktrin
yang destruktif sebagai keluhan Revarol, tetapi sebagai sebuah kaidah yang konstruktif, untuk
menciptakan masa depan bangsa yang adil dan bahagia. Bila mengikuti definisi Mac Iver, maka
jelas kiranya bahwa Pancasila memiliki dasar kebenaran, artinya berkarakteristik “normatif”
sebagai dasar negara, memberikan “inspirasi atau ilham” terus-menerus sebagai pedoman bagi
sebuah Weltanschaung manusia bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, sedang prinsip
pemikiran atau “ideas” yang dikandungnya jelas menggunakan “tertib logika yang rasional”,
berarti open to any soiontific debate.

Seterusnya Pancasila sebagai ideologi mampu memberikan skema yang lengkap bagi seluruh
aspek kehidupan manusia, baik sosial, politik, ekonomi maupun tertib keamanan, berarti sebuah
gagasan yang bisa mengilhami usaha mencapai tujuan atau sasaran luhur manusia berbangsa dan
bernegara secara lengkap. Oleh karena itu tidak berlebihan kiranya apabila ideologi Pancasila
adalah merupakan “kultur politik bangsa Indonesia”.

Untuk lebih jauh membahas mengenai konotasi ideologi politik, baiklah kita simak pendapat
Profesor Samuel H. Beer, dalam bukunya yang berjudul “Patterns of Government”, New York
1958, dia membuat deskripsi tentang watak politik. Watak politik terlihat ketika sebuah
masyarakat atau pemerintahan mengadakan aktivitas, mereka sebenarnya mempertontonkan
sebuah “watak politik”, dan watak ini karena berlaku terus-menerus dalam jangka panjang, maka
terbentuklah apa yang dinamakan “kultur politik”, yang menurut Beer, kultur ini memiliki tiga
komponen penting, yakni (1) nilai, (2) kepercayaan dan (3) sikap.

Khusus mengenai (1) nilai, Beer membedakan antara (a) nilai prosedural dan (b) nilai tujuan.
Ketika pemerintahan terbentuk atas dasar ideologi politik yang ada, maka otoritas pemerintahan
dijalankan sesuai prosedur yang disepakati, dengan berpedoman kepada ideologi politik yang
dimiliki, misalnya menjalankan prinsip-prinsip yang demokratis, membentuk lembaga-lembaga
negara, menyelenggarakan Pemilu, dan sebagainya. Ini adalah “nilai prosedural”. Sedang “nilai
tujuan” ialah berupa hasil pekerjaan yang dijalankan pemerintahan negara, misalnya terwujudnya
masyarakat yang berkeadilan sosial serta berkemakmuran. Selanjutnya mengenai (2)
kepercayaan, Beer menunjuk keinginan rakyat tentang jalannya ideologi politik atau ideologi
politik dalam praktek kenegaraan. Beer membedakan antara “nilai” dengan “kepercayaan”,
bahwa nilai politik adalah berbicara tentang apa “yang seharusnya” dijalankan atau diwujudkan,
sedang kepercayaan politik adalah berbicara tentang apa adanya, bukannya What ought to be,
tetapi What is saja.

Oleh sebab itu sebuah “kepercayaan politik” adalah sebuah gambaran tentang politik yang hidup
dalam masyarakat, berupa adat-kebiasaan, agama, budaya, tingkah-laku dan seterusnya. Disini
kiranya dapat menjelaskan sejarah, ketika Bung Karno mencoba menggali Pancasila dari bumi
Indonesia, maka dia ketemukan dari lubuk hatinya rakyat Indonesia, yakni telah adanya (What
is) prinsip-prinsip Pancasila, sehingga di sinilah letaknya Pancasila sebagai “kepercayaan atau
keyakinan Politik” bangsa Indonesia. Ini apa adanya, dan sekaligus sebagai nilai yang harus
diwujudkan dalam realitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Berdasarkan analisa Beer
tersebut, maka ideologi Pancasila adalah sekaligus Nilai/Value dan Kepercayaan/Belief. Bisa
dibandingkan dengan pendapat Bung Karno, bahwa Pancasila adalah landasan statis sekaligus
Leidster dinamis.

Komponen (3) Sikap, menurut Beer sikap ini biasanya sentimentil atau emosional. Ini adalah
bawah sadar masyarakat politik. Ujudnya seperti gunung es hanya tampak sedikit, sedang bagian
terbesar tersimpan di bawah wadar. Dalam sikap politik banyak mengemukakan hal-hal yang
bersifat peranan, misalnya sentimen nasionalisme, yang oleh dorongan ideologi politik bisa
membara apabila tersinggung oleh sebuah kondisi yang menantang, jadi sifatnya sangat
emosional. Namun sebenarnya disini sebagai ukuran apakah sebuah ideologi politik telah benar
berakar dalam kehidupan masyarakat atau belum. Sikap sentimental yang besar terhadap
nasionalisme yang sedang tersinggung adalah cermin langsung telah menebalnya kultur politik
yang dibina oleh ideologi politik yang ada pada mereka. Sebaliknya tidak adanya reaksi sikap
nasional yang emosional terhadap keterpurukan ideologi tersebut yang timbul dari masyarakat.

Apabila teori Profesor Beer benar, maka seharusnya Pancasila sebagai ideologi dan yang
diharapkan menjadi kultur politik nasional itu berparameter “nilai prosedural maupun tujuan,
kepercayaan politik dan sekaligus memiliki sikap sentimental yang tinggi”, sehingga tidak akan
tergoyahkan oleh badai besar maupun yang bisa menimpa bangsa Indonesia, dari manapun
datangnya serta kapanpun.
2. Pancasila Ideologi Terbuka

Nilai luhur yang terkandung dalam ideologi Pancasila tentunya perlu implementasi, yang
menjalankan adalah seluruh rakyat warganegara, tanpa aktualisasi maka nilai tersebut tidak
mempunyai arti apa-apa. Disinilah perlunya partisipasi, sedang partisipasi adalah dukungan
nyata. Hal ini memerlukan keterbukaan antar warganegara sendiri, antara yang kebetulan
menjadi penyelenggara negara maupun rakyat jelata, bahkan keterbukaan sistem politik nasional
termasuk ideologi Pancasila sendiri. maka suatu keharusan adanya ideologi Pancasila yang
terbuka. Masyarakat pluralistik memerlukan keterbukaan sistem, sehingga semua aspirasi
mereka dapat tertampung.

Sejarah perjalanan politik sendiri menunjukkan, bahwa sejak berkembangnya pemikiran


demokrasi, orang telah mengembangkan keterbukaan di semua aspek kehidupan, lebih-lebih
dalam bidang politik. Karakteristik keyakinan politik serta kultur politik modern menuntut
adanya “perubahan yang terus menerus” bagi perbaikan hidup manusia. Idealisme kuno yang
statis sudah lama ditinggalkan. Modernisme selalu berisi pemikiran-pemikiran untuk terus maju,
kemudian disemua aspek hidup itu terus berkembang dalam tamansarinya perdamaian,
kebebasan, keadilan, kesejahteraan dan ketentraman, dan menentang serta mengeliminasi semua
bentuk kemiskinan, penindasan, kekerasan, kejahatan, penyakit dan ketidak tertiban.

Ketika Marquis de Condorcet diguillotine dalam revolusi Perancis, dia lantang


mengumandangkan perbaikan masyarakat untuk terus maju menuju “kesempurnaan” hidup.
Condorcet meninggal, namun idea kemajuan telah dicatat sejarah. Condorcet yakin, bahwa
manusia mampu untuk mencapai perbaikan hidup menuju kesempurnaan yang tidak terbatas,
dengan kemampuan reason yang dimiliki manusia. Di kalangan umat Nasrani, dalam memasuki
zaman modern dan industri, dikembangkan apa yang dinamakan “Work Ethics” atau etika kerja
keras untuk mencapai kesejahteraan yang maksimal di bumi yang telah diberikan Tuhan bagi
manusia. Juga umat Islam dianjurkan oleh agamanya untuk : Merubah suatu ni’mat yang telah
dianugerahkan-Nya (Allah) kepada sesuatu bangsa, sehingga bangsa itu merubah apa yang ada
pada diri mereka sendiri” (Surat Al-Anfal 53).

Sila-sila dalam Pancasila bisa tetap sebagai landasan statis, namun dalam menuju nilai tujuan,
ideologi Pancasila akan tetap terbuka untuk mencapai sasaran-sasaran yang dinamis. Tuhan
sebagai Maha Pencipta alam semesta saja membebaskan manusia untuk merubah dan
memperbaiki sikapnya di dunia untuk merubah ni’mat Tuhan kepada posisi yang lebih baik.
Maka Pancasila sebagai ideologi bangsa adalah terbuka bagi pemahaman yang konstruktif untuk
mencapai nilai tujuan yang diciptakan bersama.

Sebagai landasan statis, sebagai istilah Bung Karno, maka sila-sila dalam Pancasila pun dapat
dibahas terbuka secara ilmiah, seperti yang pernah dikemukakan Prof. Notonegoro dari
Universitas Gajah Mada dan pakar-pakar lainnya secara akademik. Namun sila-sila tersebut
nyatanya telah teruji secara sejarah akan authentisitasnya bersumber dari rakyat, yang dalam
istilah Prof. Beer sebagai “Political Belief”, maka ideologi politik adalah realitas apa adanya
(what is), ini berarti tetap terbuka juga untuk penyelidikan ilmiah kapan saja. Pendapat Beer ini
kelihatan juga tidak jauh dari pandangan pendekar demokrasi liberal John Locke, ketika
mengemukakan prinsip-prinsip ideologis demokrasi liberalnya, bahwa prinsip itu telah menjadi
hukum alam yang tetap, namun kapanpun orang bisa berdebat tentang itu. Oleh karena itu,
Pancasila sebagai ideologi, baik dilihat dari sandaran “Landasan Statis” maupun sasaran
“Leidster dinamis”, akan tetap terbuka bagi pembahasan yang mendalam atau deliberatif. Dalam
keterbukaan itu orang tidak perlu menakutkan timbulnya kondisi akan melemahkan posisi
maupun eksistensi ideologi bangsa, akan tetapi justru sebaliknya akan menemukan penguatan
kondisi maupun eksistensinya, sebab sekali lagi sebagai sebuah kultur yang telah memiliki label
political belief, eksistensinya tidak perlu diragukan lagi.

Mungkin perlu sekali lagi kita mendengar pendapat filosuf politik humanitarian Marquis de
Condorcet (1743-1794) yang banyak berpengaruh ketika ideologi politik sedang banyak
diluncurkan di Europa, bahwa manusia akan tetap selalu menuju kearah “Perfektibilitas”, oleh
sebab itu sebuah ideologi politik harus terbuka untuk menuju ke sana. Perfektibilitas harus
dicapai melalui perjuangan politik, sedang perjuangan untuk pencapaian usaha perbaikan
intellektual, perbaikan moral dan kemampuan fisik, dengan intensifikasi pendidikan di semua
lapisan penduduk.

Bagi masa depan bangsa dan negara, maka tidak ada ruang lain bagi ideologi Pancasila kecuali
tetap membuka diri sebagai ideologi terbuka.

You might also like