Professional Documents
Culture Documents
Pancasila Ideologi Terbuka
Secara historis dapat dijelaskan, bahwa istilah “ideologi” adalah berasal dari sejarah Perancis
ketika mengalami pencerahan, sebagai sebuah ilmu penge tahuan tentang hasil pemikiran atau
idea manusia, artinya ideologi merupakan sebuah konsep ilmiah, yang mempergunakan racikan
atau pola empirik maupun logika berfikir rasional. Ideologi dengan demikian sebagai bagian dari
ilmu politik, yang mencoba mempersatukan usaha manusia yang bersifat politik bagi terbentuk
dan terselenggaranya pemerintahan yang dianggap baik dan benar.
Pada awal sejarahnya itu, ideologi dianggap sebagai alat politik yang membawakan pemikiran
revolusioner untuk menghancurkan pemerintahan model lama dengan strukturnya yang dianggap
tidak lagi sesuai dengan suasana baru yang demokratis. Tetapi istilah ideologi atau ideologues
pernah mengalami konotasi negatif sebagai doktrin bukan bersifat ilmiah seperti awalnya yang
bersifat destruktif, oleh pengaruh Revolusi Perancis. Hal ini sebagai pengakuan ahli politik
Perancis : Antoine Revarol (1753-1801) yang mengatakan, bahwa ideologi telah berubah
menjadi doktrin yang destruktif dan ini telah menjadi kenyataan sejarah bahkan sebagai doktrin
yang berbahaya bagi tertib politik yang baik; ideologi menjadi idea yang berbahaya, karena ingin
merobek-robek tiang-tiang dunia yang ada. Di Perancis pada zaman revolusi itu para pemuda
dengan berteriak keras berusaha merobohkan semua rintangan yang ada, sekalipun dengan
kekerasan, membawa panji-panji ideologi. Memang Revarol hidup di zaman berkecamuknya
revolusi dahsyat.
Setelah itu, terbawa oleh revolusi modern di Inggris, ideologi memperoleh kembali arti aslinya
yang rasional, yakni ketika kaum Liberal maupun Konservatif, ketika hendak menyerang sebuah
doktrin yang mereka tidak sukai, mereka mengenakan senjata ideologi secara rasional, tidak
seperti di Perancis. Dalam mengritik kaum sosialis misalnya, kaum Liberal menggunakan
ideologi untuk memperbaiki masyarakat. Sebaliknya kaum Sosialis atau Marxis juga menempuh
jalan yang sama, yakni menggunakan ideologi sebagai senjata untuk menghadapi lawan politik.
Walaupun demikian sering kali sifat destruktif ideologi, sebagai yang disinyalir Antoine Revarol
(bukunya, De la Philosophie Moderne”, Paris 1802) bisa muncul kembali kepermukaan, ketika
situasi pertentangan memanas.
Seorang ahli politik dan sosiologi terkenal Robert Mac Iver, dalam bukunya “European
Ideologies”, New York, Philosophical Library, 1948, memberikan definisi tentang ideologi
sebagai berikut : “ a political and social ideology is a system of political, economic and social
values and idea from which objectives are derived. These objectives from the nucleus of a
political program” (bahwa ideologi politik dan sosial adalah sebuah sistem nilai dan pemikiran
politik, ekonomi dan sosial, yang memunculkan sasaran-sasaran. Sedang sasaran-sasaran ini
membentuk intisari sebuah program politik). Dengan pengertian itu, maka ideologi akan
memunculkan serangkaian gagasan, berupa sasaran-sasaran yang dinamis yang bisa
mempengaruhi bahkan membimbing masa depan harapan bisa menentukan nasib masa depan
manusia banyak. Definisi Mac Iver itu mengisyaratkan secara jelas bahwa ideologi hendaknya
memiliki sifat mengatur atau “normatif”, berupa kaidah dasar, disamping juga memiliki fungsi
memberikan “ilham atau inspirasi” bagi pemilik ideologi serta sifat ideologi haruslah rasional
dengan tata logika yang benar, tepat dan singkat.
Apabila kita hubungkan dengan Pancasila sebagai ideologi, maka terlihat relevansi yang begitu
nyata, bahwa sebagai ideologi, maka Pancasila adalah sebuah alat politik bangsa Indonesia,
untuk mencapai cita-citanya dalam penyelenggaraan “Negara Bangsa”, bukan sebagai doktrin
yang destruktif sebagai keluhan Revarol, tetapi sebagai sebuah kaidah yang konstruktif, untuk
menciptakan masa depan bangsa yang adil dan bahagia. Bila mengikuti definisi Mac Iver, maka
jelas kiranya bahwa Pancasila memiliki dasar kebenaran, artinya berkarakteristik “normatif”
sebagai dasar negara, memberikan “inspirasi atau ilham” terus-menerus sebagai pedoman bagi
sebuah Weltanschaung manusia bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, sedang prinsip
pemikiran atau “ideas” yang dikandungnya jelas menggunakan “tertib logika yang rasional”,
berarti open to any soiontific debate.
Seterusnya Pancasila sebagai ideologi mampu memberikan skema yang lengkap bagi seluruh
aspek kehidupan manusia, baik sosial, politik, ekonomi maupun tertib keamanan, berarti sebuah
gagasan yang bisa mengilhami usaha mencapai tujuan atau sasaran luhur manusia berbangsa dan
bernegara secara lengkap. Oleh karena itu tidak berlebihan kiranya apabila ideologi Pancasila
adalah merupakan “kultur politik bangsa Indonesia”.
Untuk lebih jauh membahas mengenai konotasi ideologi politik, baiklah kita simak pendapat
Profesor Samuel H. Beer, dalam bukunya yang berjudul “Patterns of Government”, New York
1958, dia membuat deskripsi tentang watak politik. Watak politik terlihat ketika sebuah
masyarakat atau pemerintahan mengadakan aktivitas, mereka sebenarnya mempertontonkan
sebuah “watak politik”, dan watak ini karena berlaku terus-menerus dalam jangka panjang, maka
terbentuklah apa yang dinamakan “kultur politik”, yang menurut Beer, kultur ini memiliki tiga
komponen penting, yakni (1) nilai, (2) kepercayaan dan (3) sikap.
Khusus mengenai (1) nilai, Beer membedakan antara (a) nilai prosedural dan (b) nilai tujuan.
Ketika pemerintahan terbentuk atas dasar ideologi politik yang ada, maka otoritas pemerintahan
dijalankan sesuai prosedur yang disepakati, dengan berpedoman kepada ideologi politik yang
dimiliki, misalnya menjalankan prinsip-prinsip yang demokratis, membentuk lembaga-lembaga
negara, menyelenggarakan Pemilu, dan sebagainya. Ini adalah “nilai prosedural”. Sedang “nilai
tujuan” ialah berupa hasil pekerjaan yang dijalankan pemerintahan negara, misalnya terwujudnya
masyarakat yang berkeadilan sosial serta berkemakmuran. Selanjutnya mengenai (2)
kepercayaan, Beer menunjuk keinginan rakyat tentang jalannya ideologi politik atau ideologi
politik dalam praktek kenegaraan. Beer membedakan antara “nilai” dengan “kepercayaan”,
bahwa nilai politik adalah berbicara tentang apa “yang seharusnya” dijalankan atau diwujudkan,
sedang kepercayaan politik adalah berbicara tentang apa adanya, bukannya What ought to be,
tetapi What is saja.
Oleh sebab itu sebuah “kepercayaan politik” adalah sebuah gambaran tentang politik yang hidup
dalam masyarakat, berupa adat-kebiasaan, agama, budaya, tingkah-laku dan seterusnya. Disini
kiranya dapat menjelaskan sejarah, ketika Bung Karno mencoba menggali Pancasila dari bumi
Indonesia, maka dia ketemukan dari lubuk hatinya rakyat Indonesia, yakni telah adanya (What
is) prinsip-prinsip Pancasila, sehingga di sinilah letaknya Pancasila sebagai “kepercayaan atau
keyakinan Politik” bangsa Indonesia. Ini apa adanya, dan sekaligus sebagai nilai yang harus
diwujudkan dalam realitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Berdasarkan analisa Beer
tersebut, maka ideologi Pancasila adalah sekaligus Nilai/Value dan Kepercayaan/Belief. Bisa
dibandingkan dengan pendapat Bung Karno, bahwa Pancasila adalah landasan statis sekaligus
Leidster dinamis.
Komponen (3) Sikap, menurut Beer sikap ini biasanya sentimentil atau emosional. Ini adalah
bawah sadar masyarakat politik. Ujudnya seperti gunung es hanya tampak sedikit, sedang bagian
terbesar tersimpan di bawah wadar. Dalam sikap politik banyak mengemukakan hal-hal yang
bersifat peranan, misalnya sentimen nasionalisme, yang oleh dorongan ideologi politik bisa
membara apabila tersinggung oleh sebuah kondisi yang menantang, jadi sifatnya sangat
emosional. Namun sebenarnya disini sebagai ukuran apakah sebuah ideologi politik telah benar
berakar dalam kehidupan masyarakat atau belum. Sikap sentimental yang besar terhadap
nasionalisme yang sedang tersinggung adalah cermin langsung telah menebalnya kultur politik
yang dibina oleh ideologi politik yang ada pada mereka. Sebaliknya tidak adanya reaksi sikap
nasional yang emosional terhadap keterpurukan ideologi tersebut yang timbul dari masyarakat.
Apabila teori Profesor Beer benar, maka seharusnya Pancasila sebagai ideologi dan yang
diharapkan menjadi kultur politik nasional itu berparameter “nilai prosedural maupun tujuan,
kepercayaan politik dan sekaligus memiliki sikap sentimental yang tinggi”, sehingga tidak akan
tergoyahkan oleh badai besar maupun yang bisa menimpa bangsa Indonesia, dari manapun
datangnya serta kapanpun.
2. Pancasila Ideologi Terbuka
Nilai luhur yang terkandung dalam ideologi Pancasila tentunya perlu implementasi, yang
menjalankan adalah seluruh rakyat warganegara, tanpa aktualisasi maka nilai tersebut tidak
mempunyai arti apa-apa. Disinilah perlunya partisipasi, sedang partisipasi adalah dukungan
nyata. Hal ini memerlukan keterbukaan antar warganegara sendiri, antara yang kebetulan
menjadi penyelenggara negara maupun rakyat jelata, bahkan keterbukaan sistem politik nasional
termasuk ideologi Pancasila sendiri. maka suatu keharusan adanya ideologi Pancasila yang
terbuka. Masyarakat pluralistik memerlukan keterbukaan sistem, sehingga semua aspirasi
mereka dapat tertampung.
Sila-sila dalam Pancasila bisa tetap sebagai landasan statis, namun dalam menuju nilai tujuan,
ideologi Pancasila akan tetap terbuka untuk mencapai sasaran-sasaran yang dinamis. Tuhan
sebagai Maha Pencipta alam semesta saja membebaskan manusia untuk merubah dan
memperbaiki sikapnya di dunia untuk merubah ni’mat Tuhan kepada posisi yang lebih baik.
Maka Pancasila sebagai ideologi bangsa adalah terbuka bagi pemahaman yang konstruktif untuk
mencapai nilai tujuan yang diciptakan bersama.
Sebagai landasan statis, sebagai istilah Bung Karno, maka sila-sila dalam Pancasila pun dapat
dibahas terbuka secara ilmiah, seperti yang pernah dikemukakan Prof. Notonegoro dari
Universitas Gajah Mada dan pakar-pakar lainnya secara akademik. Namun sila-sila tersebut
nyatanya telah teruji secara sejarah akan authentisitasnya bersumber dari rakyat, yang dalam
istilah Prof. Beer sebagai “Political Belief”, maka ideologi politik adalah realitas apa adanya
(what is), ini berarti tetap terbuka juga untuk penyelidikan ilmiah kapan saja. Pendapat Beer ini
kelihatan juga tidak jauh dari pandangan pendekar demokrasi liberal John Locke, ketika
mengemukakan prinsip-prinsip ideologis demokrasi liberalnya, bahwa prinsip itu telah menjadi
hukum alam yang tetap, namun kapanpun orang bisa berdebat tentang itu. Oleh karena itu,
Pancasila sebagai ideologi, baik dilihat dari sandaran “Landasan Statis” maupun sasaran
“Leidster dinamis”, akan tetap terbuka bagi pembahasan yang mendalam atau deliberatif. Dalam
keterbukaan itu orang tidak perlu menakutkan timbulnya kondisi akan melemahkan posisi
maupun eksistensi ideologi bangsa, akan tetapi justru sebaliknya akan menemukan penguatan
kondisi maupun eksistensinya, sebab sekali lagi sebagai sebuah kultur yang telah memiliki label
political belief, eksistensinya tidak perlu diragukan lagi.
Mungkin perlu sekali lagi kita mendengar pendapat filosuf politik humanitarian Marquis de
Condorcet (1743-1794) yang banyak berpengaruh ketika ideologi politik sedang banyak
diluncurkan di Europa, bahwa manusia akan tetap selalu menuju kearah “Perfektibilitas”, oleh
sebab itu sebuah ideologi politik harus terbuka untuk menuju ke sana. Perfektibilitas harus
dicapai melalui perjuangan politik, sedang perjuangan untuk pencapaian usaha perbaikan
intellektual, perbaikan moral dan kemampuan fisik, dengan intensifikasi pendidikan di semua
lapisan penduduk.
Bagi masa depan bangsa dan negara, maka tidak ada ruang lain bagi ideologi Pancasila kecuali
tetap membuka diri sebagai ideologi terbuka.