You are on page 1of 49

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan salah satu

masalah kesehatan di seluruh dunia, baik dinegara maju maupun di negara

berkembang termasuk Indonesia. Hal ini disebabkan masih tingginya

angka kesakitan dan angka kematian karena ISPA khususnya pneumonia

atau bronchopneumonia, terutama pada bayi dan anak balita (Prayitno,

dkk,. 2008).

Balita yaitu anak yang berusia di bawah lima tahun, merupakan

generasi yang perlu diperhatikan, karena beberapa hal yaitu balita merupakan

generasi penerus dan modal dasar untuk kelangsungan hidup bangsa. Balita

amat peka terhadap penyakit infeksi dan tingkat kematian balita yang masih

tinggi. Salah satu penyebab tingginya angka kematian bayi dan balita adalah

penyakit infeksi pernafasan akut atau yang dikenal ISPA. Hal ini dapat

dikemukakan bahwa dari 10 besar penyakit menular, penyakit ISPA

merupakan masalah kesehatan utama khususnya pada anak balita . Kematian

akibat ISPA pada anak, khususnya balita di Negara sedang berkembang

dinyatakan bahwa dari 100.000 jiwa, 75 % penyebab kematiannya adalah

penyakit ISPA (Endi , 1999).

Di Amerika pneumonia merupakan peringkat ke 6 dari semua

penyebab kematian dan peringkat pertama dari seluruh penyakit infeksi,

angka kematian akibat pneumonia mencapai 25% di Spanyol dan 12 %


2

atau 25. 30 per 100.000 penduduk di Inggris dan Amerika (Prayitno, dkk,.

2008).

Di Indonesia, Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) selalu

menempati urutan pertama penyebab kematian pada kelompok bayi dan balita.

Selain itu ISPA juga sering berada pada daftar 10 penyakit terbanyak di rumah

sakit. Survei mortalitas yang dilakukan oleh Subdit ISPA tahun 2005

menempatkan ISPA/Pneumonia sebagai penyebab kematian bayi terbesar di

Indonesia dengan persentase 22,30% dari seluruh kematian balita (Anonim,

2008). Penemuan penderita ISPA pada balita di Sulawesi Tenggara, sejak

tahun 2006 hingga 2008, berturut–turut adalah 74.278 kasus (36,26 %),

62.126 kasus (31,45%), 72.537 kasus (35,94%) (Syair, 2009).

Dari studi pendahuluan jumlah penderita ISPA di Kabupaten kolaka

pada tahun 2009 sebanyak 47690 kasus terdiri dari ISPA bukan Peneumonia

sebanyak 47126 kasus dan Pneumonia sebanyak 564 kasus. Dimana untuk

wilayah kerja Puskesmas Ladongi Welala, angka kejadian terdapat 2.039

kasus dengan jumlah terbanyak berada di Desa Lembah Subur dengan jumlah

penderita sebanyak 786 kasus yang tercatat pada bulan Januari sampai

Oktober 2009 (PKM Ladongi Welala, 2009).

Berdasarkan uraian latar belakang diatas sehingga peneliti tertarik

untuk mengadakan penelitian dengan judul “Identifikasi Perumahan Dan

Sosial Ekonomi Pada Balita Penderita Ispa di Desa Lembah Subur Kecamatan

Ladongi Kebupaten Kolaka tahun 2010 “


3

B. Rumusan Masalah

Dengan adanya uraian di atas maka dapat dirumuskan masalah sebagai

berikut : Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian infeksi saluran

pernafasan (ISPA) di Desa Lembah Subur Kecamatan Ladongi Kebupaten

Kolaka tahun 2010.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Diperolehnya informasi tentang faktor-faktor yang mempengaruhi

penyakit Infeksi Saluran Pernafasan (ISPA) di Desa Lembah Subur

Kecamatan Ladongi Kebupaten Kolaka tahun 2010.

2. Tujuan khusus

a. Untuk mengedintifikasi keadaan perumahan di Desa Lembah Subur

Kecamatan Ladongi Kabupaten Kolaka Tahun 2010.

b. Untuk mengedintifikasi tingkat sosial ekonomi di Desa Lembah Subur

Kecamatan Ladongi Kabupaten Kolaka Tahun 2010.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat ilmiah

Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai

sumbangan ilmiah atau bahan bacaan bagi seluruh lapisan masyarakat

dalam memahami faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian ISPA.

2. Manfaat institusi

Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah

satu sumber informasi bagi institusi terkait dalam hal penentu kebijakan
4

untuk menangani masalah penyakit yang banyak tejadi di masyarakat

khususnya ISPA

3. Manfaat praktikan

Hasil penelitian ini diharapkan dapt dijadikan sebagai bahan rujuk

bagi peneliti berikutnya dalam melakukan penelitian yang relevan dengan

topik penelitian ini.


5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)

1. Pengetian ISPA

ISPA merupakan singkatan dari infeksi saluran pernafasan akut,

istilah ini diadaptasi dari istilah dalam bahasa Inggris Acute Respiratory

Infections (ARI). Istilah ISPA meliputi tiga unsur yakni infeksi, saluran

pernafasan dan akut, dengan pengertian sebagai berikut (Yasir, 2009) :

a. Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh

manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit.

b. Saluran pernafasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli

beserta organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah

dan pleura. ISPA secara anatomis mencakup saluran pernafasan

bagian atas, saluran pernafasan bagian bawah (termasuk jaringan paru-

paru) dan organ adneksa saluran pernafasan. Dengan batasan ini,

jaringan paru termasuk dalam saluran pernafasan (respiratory tract)

(Yasir, 2009).

Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14

hari. Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun

untuk beberapa penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA proses ini

dapat berlangsung lebih dari 14 hari. Infeksi saluran pernafasan akut

merupakan kelompok penyakit yang komplek dan heterogen, yang

disebabkan oleh berbagai etiologi. Etiologi ISPA terdiri dari 300 lebih

jenis virus, bakteri dan riketsia serta jamur. Virus penyebab ISPA antara
6

lain golongan miksovirus (termasuk di dalamnya virus influensa, virus

para-influensa dan virus campak), dan adenovirus. Bakteri penyebab

ISPA misalnya: Streptokokus Hemolitikus, Stafilokokus, Pneumokokus,

Hemofilus Influenza, Bordetella Pertusis, dan Korinebakterium Diffteria

(Achmadi, dkk dalam Yasir, 2009).

Kriteria untuk menggunakan pola tatalaksana penderita ISPA

adalah: balita, dengan gejala batuk dan atau kesukaran bernapas. Pola

tatalaksana penderita ini terdiri dari 4 (empat) bagian yaitu (Yasir, 2009)::

1) Pemeriksaan

2) Penentuan ada tidaknya tanda bahaya

3) Penentuan klasifikasi penyakit

4) Pengobatan dan tindakan

Penentuan klasifikasi dibedakan atas dua kelompok, yaitu

kelompok untuk umur 2 bulan hingga < 5 tahun dan kelompok untuk

umur < 2 bulan.

2. Etiologi ISPA

Bakteri tersebut di udara bebas akan masuk dan menempel pada

saluran pernafasan bagian atas yaitu tenggorokan dan hidung. Biasanya

bakteri tersebut menyerang anak-anak yang kekebalan tubuhnya lemah

misalnya saat perubahan musim panas ke musim hujan. (Yasir, 2009).

Untuk golongan virus penyebab ISPA antara lain golongan

miksovirus (termasuk di dalamnya virus para-influensa, virus influensa,

dan virus campak), dan adenovirus. Virus para-influensa merupakan


7

penyebab terbesar dari sindroma batuk rejan, bronkiolitis dan penyakit

demam saluran nafas bagian atas. Untuk virus influensa bukan penyebab

terbesar terjadinya terjadinya sindroma saluran pernafasan kecuali hanya

epidemi-epidemi saja. Pada bayi dan anak-anak, virus-virus influenza

merupakan penyebab terjadinya lebih banyak penyakit saluran nafas

bagian atas daripada saluran nafas bagian bawah (Siregar dan Maulany

dalam Yasir, 2009).

3. Faktor Risiko

Faktor-faktor yang meningkatkan risiko kematian akibat ISPA

adalah umur di bawah dua bulan, kurang gizi, berat badan lahir rendah,

tingkat pendidikan ibu rendah, rendahnya tingkat pelayanan (jangkauan)

pelayanan kesehatan, lingkungan rumah imunisasi yang tidak memadai

dan menderita penyakit kronis (Yasir, 2009).

4. Tanda dan Gejala

Sebagian besar anak dengan infeksi saluran nafas bagian atas

memberikan gejala yang sangat penting yaitu batuk. Infeksi saluran nafas

bagian bawah memberikan beberapa tanda lainnya seperti nafas yang

cepat dan retraksi dada. Semua ibu dapat mengenali batuk tetapi mungkin

tidak mengenal tanda-tanda lainnya dengan mudah (Harsono dkk dalam

Yasir, 2009).

Selain batuk gejala ISPA pada anak juga dapat dikenali yaitu flu,

demam dan suhu tubuh anak meningkat lebih dari 38,5 º Celcius dan

disertai sesak nafas.


8

Menurut derajat keparahannya, ISPA dapat dibagi menjadi tiga golongan

yaitu (Suyudi dalam yasir 2009) :

a. ISPA ringan bukan pneumonia

b. ISPA sedang, pneumonia

c. ISPA berat, pneumonia berat

Khusus untuk bayi di bawah dua bulan, hanya dikenal ISPA berat

dan ISPA ringan (tidak ada ISPA sedang). Batasan ISPA berat untuk bayi

kurang dari dua bulan adalah bila frekuensi nafasnya cepat (60 kali per

menit atau lebih) atau adanya tarikan dinding dada yang kuat. Pada

dasarnya ISPA ringan dapat berkembang menjadi ISPA sedang atau ISPA

berat jika keadaan memungkinkan misalnya pasien kurang mendapatkan

perawatan atau daya tahan tubuh pasien sangat kurang. Gejala ISPA

ringan dapat dengan mudah diketahui orang awam sedangkan ISPA

sedang dan berat memerlukan beberapa pengamatan sederhana (Suyudi

dalam yasir 2009 ).

a. Gejala ISPA ringan.

Seorang anak dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan gejala

sebagai berikut:

1) Batuk.

2) Serak, yaitu anak bersuara parau pada waktu

mengeluarkan suara (misalnya pada waktu berbicara atau

menangis).
9

3) Pilek yaitu mengeluarkan lendir atau ingus dari

hidung.

4) Panas atau demam, suhu badan lebih dari 37ºC

atau jika dahi anak diraba dengan punggung tangan terasa panas.

Jika anak menderita ISPA ringan maka perawatan cukup

dilakukan di rumah tidak perlu dibawa ke dokter atau Puskesmas.

Di rumah dapat diberi obat penurun panas yang dijual bebas di

toko-toko atau Apotik tetapi jika dalam dua hari gejala belum

hilang, anak harus segera di bawa ke dokter atau Puskesmas

terdekat

b. Gejala ISPA sedang

Seorang anak dinyatakan menderita ISPA sedang jika di jumpai gejala

ISPA ringan dengan disertai gejala sebagai berikut:

1) Pernapasan lebih dari 50 kali /menit pada anak umur

kurang dari satu tahun atau lebih dari 40 kali/menit pada anak satu

tahun atau lebih.

2) Suhu lebih dari 39ºC.

3) Tenggorokan berwarna merah.

4) Timbul bercak-bercak pada kulit menyerupai bercak

campak

5) Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang

telinga.

6) Pernafasan berbunyi seperti mendengkur.

7) Pernafasan berbunyi seperti mencuit-cuit.


10

Dari gejala ISPA sedang ini, orangtua perlu hati-hati karena jika

anak menderita ISPA ringan, sedangkan anak badan panas lebih dari

39ºC, gizinya kurang, umurnya empat bulan atau kurang maka anak

tersebut menderita ISPA sedang dan harus mendapat pertolongan

petugas kesehatan (Yasir, 2009).

c. Gejala ISPA berat

Seorang anak dinyatakan menderita ISPA berat jika ada gejala

ISPA ringan atau sedang disertai satu atau lebih gejala sebagai berikut:

1) Bibir atau kulit membiru.

2) Lubang hidung kembang kempis (dengan cukup lebar) pada waktu

bernapas.

3) Anak tidak sadar atau kesadarannya menurun.

4) Pernafasan berbunyi mengorok dan anak tampak gelisah.

5) Pernafasan menciut dan anak tampak gelisah.

6) Sela iga tertarik ke dalam pada waktu bernapas

7) Nadi cepat lebih dari 60 x/menit atau tidak teraba.

8) Tenggorokan berwarna merah.

Pasien ISPA berat harus dirawat di rumah sakit atau puskesmas karena

perlu mendapat perawatan dengan peralatan khusus seperti oksigen

dan infus.

5. Pencegahan ISPA
11

Keadaan gizi dan keadaan lingkungan merupakan hal yang penting

bagi pencegahan ISPA. Beberapa hal yang perlu dilakukan untuk

mencegah ISPA adalah (Yasir, 2009) :

a. Mengusahakan agar anak mempunyai gizi yang baik

1) Bayi harus disusui sampai usia dua tahun karena

ASI adalah makanan yang paling baik untuk bayi.

2) Beri bayi makanan padat sesuai dengan umurnya.

3) Pada bayi dan anak, makanan harus mengandung

gizi cukup yaitu mengandung cukup protein (zat putih telur),

karbohidrat, lemak, vitamin dan mineral.

4) Makanan yang bergizi tidak berarti makanan yang

mahal. Protein misalnya dapat di peroleh dari tempe dan tahu,

karbohidrat dari nasi atau jagung, lemak dari kelapa atau minyak

sedangkan vitamin dan mineral dari sayuran,dan buah-buahan.

5) Bayi dan balita hendaknya secara teratur ditimbang

untuk mengetahui apakah beratnya sesuai dengan umurnya dan

perlu diperiksa apakah ada penyakit yang menghambat

pertumbuhan.

b. Mengusahakan kekebalan anak dengan imunisasi

Agar anak memperoleh kekebalan dalam tubuhnya anak perlu

mendapatkan imunisasi yaitu DPT (Depkes RI, 2002). Imunisasi DPT

salah satunya dimaksudkan untuk mencegah penyakit Pertusis yang

salah satu gejalanya adalah infeksi saluran nafas (Gloria Cyber

Ministries dalam Yasir, 2009).


12

c. Menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan.

Perilaku hidup bersih dan sehat merupakan modal utama bagi

pencegahan penyakit ISPA, sebaliknya perilaku yang tidak

mencerminkan hidup sehat akan menimbulkan berbagai penyakit.

Perilaku ini dapat dilakukan melalui upaya memperhatikan rumah

sehat, desa sehat dan lingkungan sehat (Suyudi dalam Yasir, 2009).

d. Pengobatan segera

Apabila anak sudah positif terserang ISPA, sebaiknya orang

tua tidak memberikan makanan yang dapat merangsang rasa sakit

pada tenggorokan, misalnya minuman dingin, makanan yang

mengandung vetsin atau rasa gurih, bahan pewarna, pengawet dan

makanan yang terlalu manis. Anak yang terserang ISPA, harus segera

dibawa ke dokter (Yasir, 2009):

Pengobatan pada ISPA.

1) Pneumonia berat : dirawat di rumah sakit, diberikan

antibiotik melalui jalur infus , di beri oksigen dan sebagainya.

2) Pneumonia: diberi obat antibiotik melaui mulut. Pilihan

obatnya Kotrimoksasol, jika terjadi alergi / tidak cocok dapat

diberikan Amoksilin, Penisilin, Ampisilin.

3) Bukan pneumonia: tanpa pemberian obat antibiotik.

Diberikan perawatan di rumah, untuk batuk dapat digunakan obat

batuk tradisional atau obat batuk lain yang tidak mengandung zat

yang merugikan.
13

Bila demam diberikan obat penurun panas yaitu parasetamol.

Penderita dengan gejala batuk pilek bila pada pemeriksaan

tenggorokan didapat adanya bercak nanah disertai pembesaran

kelenjar getah bening di leher, dianggap sebagai radang

tenggorokan oleh kuman streptococcuss dan harus diberi

antibiotik selama 10 hari (Yasir, 2009).

Pencegahan ISPA dapat dilakukan dengan :

1) Menjaga keadaan gizi agar tetap baik.

2) Immunisasi.

3) Menjaga kebersihan prorangan dan lingkungan.

4) Mencegah anak berhubungan dengan penderita

ISPA.

Pemberantasan ISPA yang dilakukan adalah :

1) Penyuluhan kesehatan yang terutama di tujukan pada para ibu.

2) Pengelolaan kasus yang disempurnakan.

3) Immunisasi

Sedangkan kegiatan yang dapat dilakukan oleh kader kesehatan adalah

diharapkan dapat membedakan kasus pneumonia (pneumonia berat

dan pneumonia tidak berat) dari kasus-kasus bukan pneumonia

sehingga dapat (Yasir, 2009) :

1) Memberikan penjelasan dan komunikasi

perihal penyakit batuk pilek biasa (bukan pneumonia) serta

penyakit pneumonia kepada ibu-ibu serta perihal tindakan yang

perlu dilakukan oleh ibu yang anaknya menderita penyakit.


14

2) Memberikan pengobatan sederhana untuk

kasus-kasus batuk pilek (bukan pneumonia) dengan tablet

parasetamol dan obat batuk tradisional obat batuk putih.

3) Merujuk kasus pneumonia berat ke

Puskesmas/Rumah Sakit terdekat.

4) Atas pertimbangan dokter Puskesmas maka

bagi kader-kader di daerah-daerah yang terpencil (atau bila

cakupan layanan Puskesmas tidak menjangkau daerah tersebut)

dapat diberi wewenang mengobati kasus-kasus pneumonia (tidak

berat) dengan antibiotik kontrimoksasol.

5) Mencatat kasus yang ditolong dan dirujuk

B. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyakit ISPA

1. Pendidikan Ibu

Orang dengan tingkat pendidikan formalnya lebih tinggi cenderung

akan mempunyai pengetahuan yang lebih dibandingkan orang dengan

tingkat pendidikan formal yang lebih rendah, karena akan lebih mampu

dan mudah memahami arti serta pentingnya kesehatan. Tingkat pendidikan

mempengaruhi kesadaran akan pentingnya arti kesehatan bagi diri dan

lingkungan yang dapat mendorong kebutuhan akan pelayanan kesehatan

(Muhiman dalam Mubarak, 2008).

Dalam pengalaman sehari-hari kita sering mendapati bahwa

pendidikan berperan penting dalam meningkatkan kesejahteraan

seseorang. pendidikan yang lebih baik, diberikan upah yang lebih baik
15

dibandingkan mereka yang berpendidikan kurang (Gatti dalam Mubarak

2008).

Menurut Potter & Perry (1997), menyatakan bahwa ibu yang

memiliki pendidikan relatif tinggi cenderung memperhatikan kesehatan

anak-anaknya dibandingkan dengan ibu-ibu yang berpendidikan rendah

(Mubarak, 2008).

Para ibu yang tidak pernah bersekolah mengalami kematian balita

35% dibandingkan dengan ibu yang pernah bersekolah, tetapi tidak

menyelesaikan sekolah dasarnya. Perbedaan itu menjadi sangat mencolok,

mencapai 97% dibandingkan para ibu yang berhasil menyelesaikan

pendidikan sekolah dasarnya. Pendidikan adalah salah satu jalan

menjadikan perempuan sebagai agen perubahan, bukan sekedar penerima

pasif program pemberdayaan. Pendidikan menjadi salah satu faktor yang

memungkinkan perempuan memiliki independensi ekonomi. Hal ini

membuat perempuan memiliki suara dalam rumah tangga maupun di

masyarakat, antara lain dalam mengatur pembagian “harta” keluarga

seperti makanan, biaya kesehatan, pendidikan dan sebagainya. Perempuan

juga memiliki sumber penghasilan di tangannya, cenderung

membelanjakan penghasilan itu untuk kesejahteraan anak-anaknya sebagai

generasi penerus bangsa (Gatti dalam Mubarak, 2008).

Seringkali ibu yang mempunyai balita terjangkit ISPA harus

belajar melakukan praktik kontrol infeksi di rumah. Teknik pencegahan

penyakit ISPA hampir menjadi sifat kedua bagi perawat yang

melakukannya tiap hari. Namun, ibu yang mempunyai balita terjangkit


16

ISPA kurang menyadari faktor-faktor yang meningkatkan penyebaran

infeksi atau cara-cara untuk mencegah penularannya. Perawat harus

mengajarkan ibu yang mempunyai bayi terjangkit ISPA tentang infeksi

dan teknik untuk mencegah atau mengontrol penyebarannya (Potter &

Perry dalam Mubarak, 2008).

2. Status Gizi

            Makanan adalah kebutuhan hidup yang sangat penting di antara

kebutuhan pokok hidup manusia dan pemenuhannya tidak dapat ditunda-

tunda lagi. Makanan adalah bahan yang menyebabkan tubuh manusia

dapat bekerja, kalau kita umpamakan maka tubuh manusia itu bagaikan

sebuah mesin, di mana dalam kegiatannya diperlukan energi. Energi

dibutuhkan untuk bernapas, berjalan, berdiri serta untuk tumbuh kembang.

Manusia mendapatkan energi dari makanan yang dimakan (Sutadjo dalam

Mubarak, 2008).

Gizi merupakan salah satu faktor penting yang menentukan tingkat

kesehatan dan kesejahteraan manusia. Ada hubungan erat antara tingkat

keadaan gizi dengan konsumsi makanan. Tingkat keadaan gizi optimal

akan tercapai apabila konsumsi gizi makanan pada seseorang tidak

seimbang dengan kebutuhan tubuh mereka (Winarno dalam Mubarak,

2008).

Gizi adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang

dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi, transportasi,

penyimpanan, metabolisme dan pengeluaran zat-zat yang tidak digunakan


17

untuk mempertahankan kehidupan, pertumbuhan dan fungsi normal dari

organ-organ, serta menghasilkan energi. Status gizi adalah ekspresi dari

keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu. Sebagai contoh

pada gondok endemik merupakan keadaan tidak seimbang pemasukan dan

pengeluaran yodium dalam tubuh (Nyoman Supariasa dalam Mubarak,

2008).

Sedangkan Liwidjaya (1989) mengemukakan bahwa status gizi

adalah keadaan gizi balita yang diukur secara antropometri untuk melihat

keadaan gizi sekarang.

Status gizi buruk balita ditetapkan berdasarkan atas salah satu hal berikut :

a.   Perbandingan berat badan dari umur atau berat badan jatuh pada

daerah garis merah pada KMS.

b.   Anak yang dalam tiga kali penimbangan berturut-turut berat badannya

tidak mengalami peningkatan.

c.   Balita yang dalam pemeriksaan ditemukan menderita xeroptalmia

(kurang vitamin A).

d.   Balita yang mempunyai pembesaran kelenjar thyroid akibat dari

kekurangan unsur yodium yang diperlukan untuk produksi hormon

thyroid.

e.   Balita yang menderita anemia. di mana keadaan akibat kadar Hb

kurang, akibat kekurangan salah satu zat pembentuk (zat besi, asam

folat, vitamin B12) (Depkes RI, 1990).

Menurut (dr. Hamam Hadi, 2005) balita yang mengalami

kekurangan gizi juga bisa dipengaruhi oleh kekurangan zat gizi yang
18

diterima dari ibu yang menyusuinya. Jika zat gizi yang diterima dari

ibunya tidak mencukupi maka balita tersebut akan mengalami kurang gizi

yang mempunyai konsekuensi kurang menguntungkan dalam kehidupan

berikutnya.

3. Status Imunisasi

Imunisasi berasal dari “kata imun”. Imunisasi adalah suatu upaya

untuk mendapatkan kekebalan terhadap suatu penyakit dengan cara

memasukkan kuman atau produk kuman yang sudah dilemahkan atau bibit

penyakit tersebut diharapkan tubuh dapat menghasilkan zat anti yang pada

suatu saat nanti digunakan untuk melawan kuman atau bibit penyakit yang

menyerang tubuh (Sudarmanto dalam Mubarak, 2008).

            Menurut Karn Garna Baratawijaya dalam Markum (2000),

disebutkan bahwa imunisasi adalah suatu prosedur untuk meningkatkan

derajat imunitas seseorang terhadap kuman patogen tertentu. Hal ini

dimaksudkan agar orang yang diberikan imunisasi tertentu akan kebal

terhadap penyakit yang disebabkan oleh kuman patogen sesuai dengan

jenis vaksin yang diberikan (Mubarak, 2008).

            Imunisasi terdiri atas imunisasi aktif dan pasif. Imunisasi aktif

adalah suntikan ke dalam tubuh anak kuman yang sudah dimatikan atau

diperlemah, suntikan ini akan merangsang tubuh mengembangkan daya

tahan tubuhnya dengan memproduksi antibodi yang memiliki ketahanan

sampai seumur hidup. Sedangkan imunisasi pasif yaitu suntikan yang


19

berasal dari serum atau darah binatang, imunisasi ini memiliki ketahanan

sementara (Ibrahim. S dalam Mubarak, 2008).

            Imunisasi adalah salah satu bentuk intervensi yang sangat efektif

untuk menurunkan angka kematian dan kesakitan bayi serta balita dari

jenis-jenis penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (Depkes RI

dalam Mubarak, 2008).

            Namun menurut Ibrahim. S dalam Mubarak (2008), beberapa

faktor yang menyebabkan anak tidak bisa dilindungi dari penyakit-

penyakit berbahaya adalah ketidaktahuan para orang tua tentang adanya

vaksin dan kurangnya kesadaran betapa kerugian yang bisa diderita oleh

anak jika sakit.

Pertusis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi

tenggorok dengan bakteri Bordetella pertussis. Penyakit ini dapat dicegah

dengan imunisasi pada usia 2, 4 dan 6 bulan. Pertusis terjadi dalam wabah

tiap 3 sampai 5 tahun. Sebelum imunisasi tersedia, banyak bayi dan anak

mati karena pertusis. Biasanya pertusis mulai seperti pilek saja dengan

ingus, kecapaian dan adakalanya demam ringan. Kemudian timbulnya

batuk, biasanya bertubi-buti, diikuti dengan rejan. Adakalanya orang

muntah setelah batuk. Pertusis mungkin parah sekali bagi anak kecil, yang

mungkin membiru atau berhenti bernapas sewaktu batuk dan mungkin

harus dibawa ke rumah sakit (Mubarak,2008).

Anak yang lebih besar dan orang dewasa mungkin mengalami

penyakit yang lebih ringan dengan batuk yang berkelanjutan selama

berminggu-minggu, tanpa memperhatikan perawatan. Pertusis ditularkan


20

kepada orang lain melalui tetesan (dari batuk atau bersin). Tanpa

perawatan, orang yang menderita pertusis dapat menularkannya kepada

orang lain selama sampai 3 Minggu setelah batuk mulai. Waktu antara

eksposur dan penyakit biasanya antara 7 sampai 10 hari, tetapi mungkin

berkelanjutan sampai 3 Minggu. Vaksin DPT ini tidak memberi

perlindungan seumur hidup terhadap pertusis, dan perlindungan ini

adakalanya tidak lengkap. Anak-anak harus diimunisasikan pada usia 2, 4

dan 6 bulan (NSW Multicultural Health Communication Service dalam

Mubarak, 2008).

Di Indonesia saat ini, imunisasi menjadi salah satu program

pelayanan kesehatan yang sedang digalakkan oleh pemerintah. Hal ini

disebabkan karena adanya pergeseran pelayanan kesehatan dari yang

bersifat promotif ke preventif. Pengembangan Program Imunisasi (PPI)

dilakukan dalam bentuk pelaksanaan kegiatan-kegiatan imunisasi massal

seperti Pekan Imunisasi Nasional (PIN), Bulan Imunisasi Anak Sekolah

(BIAS), Program Eliminasi Tetanus Neonatorum (ETN) dan lain

sebagainya. Tujuan akhir dari PPI tersebut adalah tercapainya Universal

Child Immunization (UCI) pada tahun 2002 (Depkes dalam Mubarak,

2008).

4. Lingkungan 

            Lingkungan yang sehat merupakan suatu persyaratan untuk

memelihara tubuh sehat, kelembaban yang rendah dapat mengeringkan


21

selaput lendir hidung dan mulut yang berpengaruh pada masalah

pernapasan (Dwidjoseputro dalam Mubarak, 2008).

            Menurut (Entjang Indan dalam Mubarak, 2008), keadaan

perumahan adalah salah satu faktor yang memerlukan keadaan higiene dan

sanitasi lingkungan seperti dikemukakan oleh WHO bahwa perumahan

yang tidak cukup dan terlalu sempit mengakibatkan pula tingginya

kejadian penyakit dalam masyarakat. Hubungan rumah yang terlalu sempit

dan kejadian penyakit di antaranya mempengaruhi kebersihan udara,

karena rumah terlalu sempit maka ruangan-ruangan akan kekurangan

oksigen sehingga akan menyebabkan menurunnya daya tahan tubuh

karena mudahnya perpindahan bibit penyakit dari manusia yang satu ke

manusia yang lain, sehingga memudahkan terjadinya penyakit seperti

penularan penyakit saluran pernapasan.

            Rumah sehat harus memenuhi kebutuhan-kebutuhan, yaitu :

kebutuhan fisiologis, suhu ruangan antara 18-200 C, penerangan siang dan

malam baik terutama penerangan listrik, pertukaran hawa baik dengan luas

seluruh ventilasi adalah 15% dari luas lantai, dan mempunyai isolasi suara,

kebutuhan psikologis (keindahan, jaminan kebebasan, privasi, ruangan

berkumpul keluarga, dan ruang tamu), terhindar dari kecelakaan, serta dari

penyakit (luas kamar tidur 5m2 perkapita perluas lantai) (Entjang Indan

dalam Mubarak, 2008).

Lingkungan fisik tempat di mana seseorang bekerja atau tinggal

dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya penyakit tertentu. Polusi

udara, air dan suara dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit.


22

Lingkungan fisik rumah dapat menyebabkan risiko bagi individu terutama

anak khususnya balita. Tempat tinggal yang tidak bersih, sistem

penghangat atau pendingin ruangan yang buruk dan lingkungan yang

padat dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya penyebaran penyakit.

Konflik atau masalah lain dalam keluarga mungkin dapat menjadi stressor

yang menyebabkan individu atau seluruh keluarga mengalami peningkatan

risiko terjadinya penyakit (Edelman dan Mandle dalam Mubarak, 2008).

C. Tinjauan Umum Tentang Perumahan.

Ketika akan membangun rumah, semua orang tentunya mengharapkan

jika rumah yang dibangun tersebut nantinya bisa memenuhi dan disebut

sebagai rumah yang indah, sehat dan nyaman. Untuk aspek keindahan

tentunya bersifat relatif, karena pandangan seseorang biasanya tidak sama jika

menyangkut soal keindahan bangunan. Tapi jika menyangkut aspek

kesehatan, biasanya standarnya adalah seragam. Dalam hal ini, kita mungkin

akan sepakat bila rumah yang sehat itu memenuhi beberapa kriteria,

diantaranya: sirkulasi udara yang baik, ruangan yang mendapat cukup cahaya

alami dari matahari, tata letak ruangan yang memudahkan pergerakan

penghuni untuk beraktifitas, tersedianya lahan terbuka untuk menanam

tanaman, dan sebagainya (Aria, 2009)

Rumah sehat harus memiliki beberapa persyaratan sebagai berikut :

a. Memenuhi kebutuhan fisiologis dengan ketentuan

1) Suhu ruangan
23

Suhu ruangan harus dapat dijaga agar jangan berubah, sebaiknya

tetap berkisar antara 18-20º c, suhu ruangan ini bergantung pada suhu

udara, pergerakan udara, kelembaban udara dan suhu benda-benda

sekitarnya.

2) Harus cukup mendapat penerangan

Pencahayaan Pada Ruangan Sebaiknya Bersumber Pada Cahaya

Alami. Sehingga selain sehat juga dapat menghemat energi. Tidak

perlu menyalakan lampu di siang hari. Bagaimanapun juga kita

beruntung tinggal di wilayah yang kaya akan sinar matahari sepanjang

tahun. Selain sebagai sumber vitamin D, sinar matahari juga bisa

berfungsi untuk membunuh beberapa jenis jamur dan bakteri negatif.

Cahaya alami (yang berasal dari matahari) yang masuk ke dalam

ruangan dapat membersihkan ruangan sekaligus menghangatkan

ruangan agar tidak lembab. (Aria, 2009)

Untuk itu pada setiap ruangan sebaiknya dibuat jendela kaca

yang berhubungan dengan ruang luar. Dalam menentukan besar dan

letak jendela, harus diperhatikan arah matahari. Cahaya matahari yang

langsung dari barat akan membuat ruangan sangat panas. Gunakan

kanopi/overstek jendela untuk menaungi jendela dari cahaya matahari

langsung dan menjaga ventilasi jendela dari tempias ketika musim

hujan. (Aria, 2009)

Penerangan baik harus cukup pada siang maupun malam hari,

yang ideal unutk malam hari adalah penerangan listrik. Diusahakan

setiap ruangan agar mendapat sinar matahari terutama pada pagi hari.
24

Karena sinar matahari ini berguna untuk penerangan juga dapat

mengurangi kelembaban ruangan, mengusir nyamuk, membunuh

kuman-kuman penyebab penyakit menular seperti : tuberculosis

(TBC), infeksi Saluran pernafasan (ISPA) dan lain-lain.

3) Harus cukup dapat pertukaran hawa

(Ventilasi) .

Sistem sirkulasi udara pada bangunan rumah tinggal biasanya

didapatkan melalui ventilasi atau lubang angin. Untuk ruangan

diwilayah terluar bangunan menggunakan ventilasi untuk mengalirkan

udara, sementara untuk ruangan yang posisinya ditengah bangunan

bisa menggunakan channel penangkap angin, atau biasa disebut

saluran penangkap angin atau menara penangkap angin. Untuk

membuat udara bisa mengalir alami biasanya lubang ventilasi dibuat

pada dua buah bidang dinding. Perbedaan tekanan didalam dan diluar

bangunan akan membantu udara mengalir dari ventilasi pada bidang

dinding yang satu menuju vetilasi pada bidang dinding yang lain.

Jumlah ventilasi udara pada bangunan (rumah) harus cukup untuk

mendukung proses sirkulasi udara , mengalirkan udara segar dari luar

kedalam ruangan. (Aria, 2009)

Bentuk ventilasi udara yang biasa digunakan adalah jendela

konvensional dengan daun jendela dari kaca atau panel kayu yang bisa

dibuka lebar pada siang hari. Kemudian ada pula jendela bouvenlicht,

yaitu jendela dengan 2 bilah kaca yang memiliki celah diantara


25

keduanya yang memungkinkan terjadinya pertukaran udara.

Bouvenlicht biasanya dipasang pada kamar mandi atau toilet. Ada

pula jenis jendela kaca nako dengan bilah-bilah kaca yang bisa dibuka

tutup. Selain itu, juga bisa dibuat ventilasi udara berbentuk lubang

kisi-kisi angin dengan susunan horizontal pada dinding bangunan.

Metode untuk membuat lubang ventilasi juga bervariasi mulai dengan

membuat lubang dinding, kusen kayu dengan kisi-kisi arah horizontal

ataupun menggunakan rooster dari bahan beton, metal, aluminium

atau kayu. (Aria, 2009)

Sistem yang paling baik digunakan untuk merancang sistem

sirkulasi udara (penghawaan) yang alami adalah dengan sistem

ventilasi silang (cross ventilation), pada sistem ventilasi silang

sirkulasi udara diatur sedemikian rupa agar bisa mengalir dari satu

titik ventilasi udara menuju titik ventilasi udara lain, dan begitu

sebaliknya. Dengan adanya perbedaan tekanan didalam dan diluar

bangunan, maka aliran udara tidak akan terjebak di dalam rumah, yang

menyebabkan rumah terasa pengap dan panas. Cara yang lain juga

bisa dilakukan dengan membuat taman yang disertai void di dalam

rumah, taman dan void didalam rumah akan membantu proses

sirkulasi udara ditengah-tengah ruangan didalam rumah yang berjarak

lumayan jauh dari bidang dinding. (Aria, 2009)

Jika penggunaan ventilasi udara dirasakan masih kurang, maka

dapat dilakukan cara-cara alternatif yaitu metode ventilasi aktif

dengan menambahkan exhauster (exhaust fan dibagian dinding atau


26

blower dibagian atap) yang secara aktif dengan bantuan energi listrik

akan menyedot dan mengalirkan udara keluar dari dalam ruangan,

untuk dipaksa bertukar dengan udara yang lebih segar dari luar

melalui lubang ventilasi. (Aria, 2009)

Hal ini sependapat dengan Depkes RI (1997 : 15) bahwa

ventilasi/ jendela yang baik dalam ruangan harus memenuhi syarat

seperti:

a) Temperatur udar dalam ruangan, harus lebih rendah

paling sedikit 4º c dari temperatur udara luar untuk daerah tropis

b) Luas ventilasi 10-20% dari luas lantai ruangan

c) Udara yang masuk harus udara yang bersih tidak

dicemari oleh asap debu, dan lain-lain

d) Aliran udara diusahakan cross ventilasi dengan

menempatkan lubang hawa berhadapan antara dua dinding

ruangan.

e) Aliran udara jaringan menyebabkan orang masuk

angina, untuk itu jangan menempatkan tempat tidur atau tempat

duduk pada aliran udara.

b. Memenuhi kebutuhan psikologi dengan ketentuan :

1) Keadaan rumah dan sekitarnya, cara pengaturannya harus memenuhi

rasa keindahan sehingga rumah tersebut menjadi pusat kesenagan

rumah tangga sehat.


27

2) Adanya jaminan kebebasan yang cukup, baik setiap anggota

keluarga yang tinggal di rumah tersebut.

3) Kamarisasi

Kamarisasi adalah pembatas yang merupaka sekat antara ruang-

ruangan di dalam rumah agar penghuni merasa privasinya tetap terjaga

Secara umum pengaturan dibagi atas ruang untuk tidur, tamu,

makan, dapur, kamar mandi dan water closet (WC)

a) Ruang tidur

Agar sinar matahari pagi dapat masuk ke ruang ini, letakkan

ruang tidur di sebelah tenggara sampai timur laut. Sinar yang

masuk membuat anda tidak malas bangun pagi. Selain itu, sisi ini

tidak menerima panas sore hari sehingga nyaman jika digunakan

untuk beristirahat (Aria, 2009)

b) Ruang tamu

Ruang tamu yaitu suatu ruangan khusus biasanya tersedia

dan ditempatkan di bagian mudah dicapai oleh tamu yang datang

dari luar. Oleh Karena itu, sebaiknya ruang tamu ditempatkan

bagian depan rumah. Ruang tamu mempunyai ukuran 6 m².

c) Ruang makan

Ruang makan sebaiknya mempunyai ruang khusus, ruang

tersendiri sehingga bila ada anggota keluarga yang sedang makan

tidak akan terganggu untuk kegiatan anggota keluarga lainnya.

Ruang makan mempunyai ukuran minimal 8 m².

d) Ruang dapur
28

Dapur mempunyai ruangan tersendiri Karen asap dari hasil

pembakaran (asap dari kayu bakar) dapat mencemari udara dan

dampaknya menjadi negatif terhadap kesehatan. Ruang dapur ini

ventilasinya harus baik, agar udara atau asap dari dapur dapat

tersalurkan keluar (ke udara bebas) dapur mempunyai ukuran

minimal 4 m².

Di dapur harus tersedia alat-alat pengolahan makanan, alat-

alat memasak, tempat cuci peralatan serta tempat

penyimpanannya. Tersedia air bersih yang memenuhi syarat

kesehatan dan mempunyai system pembuangan air limbah yang

baik serta mempunyai penampungan sampah. Selain itu juga dapur

harus tersedia tempat penyimpanan bahan makan siap disajikan.

Tempat ini terhindar dari pengotoran atau pencemaran (debu) juga

terhindar dari gangguan serangga (lalat) dan tikus.

e) Kamar mandi dan water closet (WC)

Lantai kamar mandi dan WC harus kendap air dan selalu

terpelihara kebersihannya agar tidak licin. Dindingnya minimal

1,5 m².

c. Mencegah terjadinya kecelakaan dengan ketentuan :

1) Konstruksi rumah dan bahan-bahan bangunan harus kuat sehingga

tidak mudah ambruk.

2) Saran pencegahan terjadinya kecelakaan di sumur, kamar mandi,

dan di tempat-tempat lainnya.


29

3) Diusahakan agar tidak mudah terbakar.

4) Adanya alat pemadam kebakaran terutama yang menggunakan

gas.

d. Mencegah penularan penyakit dengan ketentuan :

1) Adanya sumber air yang sehat, cukup

berkualitas dan kuantitas.

2) Harus ada tempat pembuangan kotoran,

sampah dan air limbah yang baik.

3) Harus dapat mencegah perkembangbiakan

faktor penyakit seperti nyamuk, lalat, tikus, dan sebagainya.

4) Kepadatan penghuni.

Suatu yang untuk penghuni padat sangat memungkinkan

terjadinya penularan (kontak) bibit penyakit dari manusia ke manusia

lain. Selain itu kebersihan udara akan mengalami perubahan struktur

yang tidak sesuai dengan kebutuhan psikologis tubuh. Penghuni padat

juga akan mengakibatkan kontak yang terlalu dekat dengan penderita

penyakit sehingga mudah terjadi penularan.

Suatu rumah dikatakan padat apabila hunian kamar tidur 2 orang

atau lebih dalam satu kamar dalam ukuran 9 m².

D. Tinjauan Tentang Sosial Ekonomi

1. Definisi

Kata ekonomi sendiri berasal dari kata Yunani oikos yang berarti

keluarga, rumah tangga dan nomos, atau peraturan, aturan, hukum, dan

secara garis besar diartikan sebagai aturan rumah tangga atau manajemen
30

rumah tangga. Ekonomi adalah adanya ketidakseimbangan antara

kebutuhan manusia yang tidak terbatas dengan alat pemuas kebutuhan

yang jumlahnya terbatas.(Anonim, 2009)

Menurut Departemen Kesehatan, selama 30 tahun terakhir,

anggaran yang dialokasikan untuk perbaikan sanitasi hanya sekitar 820

juta dollar AS atau setara Rp 200/orang/tahun. Padahal, kebutuhannya

mencapai Rp 470/rupiah/tahun. Versi Bank Pembangunan Asia, perlu Rp

50 triliun untuk mencapai target MDGs 2015, dengan 72,5 persen

penduduk akan terlayani oleh fasilitas air bersih dan sanitasi dasar.Dalam

APBN tahun 2008, anggaran untuk sanitasi itu, menurut seorang

narasumber, hanya 1/214 dari anggaran subsidi bahan bakar minyak

(BBM). Selain lemahnya visi menyangkut pentingnya sanitasi, terlihat

pemerintah belum melihat anggaran untuk perbaikan sanitasi ini sebagai

investasi, tetapi mereka masih melihatnya sebagai biaya (cost).Padahal,

menurut perhitungan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan sejumlah

lembaga lain, setiap 1 dollar AS investasi di sanitasi, akan memberikan

manfaat ekonomi sebesar 8 dollar AS dalam bentuk peningkatan

produktivitas dan waktu, berkurangnya angka kasus penyakit dan

kematian ( Sri Hartati, 2008).

Pemerintah Indonesia selama ini selalu memberikan perhatian yang

besar terhadap upaya penanggulangan kemiskinan karena pada dasarnya

pembangunan yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat Indonesia. Perhatian pemerintah terhadap


31

penanggulangan kemiskinan semakin besar lagi setelah krisis ekonomi

melanda Indonesia pada pertengahan 1997. pemerintah secara tegas

menetapkan upaya penanggulangan kemiskinan sebagai salah satu

prioritas pembangunan sebagaimana termuat dalam undang-undang nomor

25 tahun 2000 tentang program pembangunan nasional (PROPENAS).

Target yang ditetapkan pada periode tahun 2000-2004 adalah

berkurangnya persentase penduduk miskin, dari 19% pada tahun 1999

menjadi 14% pada tahun 2004. keseriusan pemerintah ini juga terlihat

dengan dikeluarkannya keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 124

tahun 2001 pembentukan komite penanggulangan kemiskinan (KPK).

Tidak lama setelah itu pada tahun 2002 KPK juga telah menerbitkan

dokumen interim strategi penanggulangan kemiskinan (Ritonga, 2008).

a. Tindakan Ekonomi

Tindakan ekonomi adalah setiap usaha manusia yang dilandasi

oleh pilihan yang paling baik dan paling menguntungkan. Misalnya :

Ibu memasak dengan kayu bakar karena harga minyak tanah sangat

mahal (Anonim, 2009).

Tindakan ekonomi terdiri dari dua aspek, yaitu (Anonim, 2009):

1) Tindakan ekonomi rasional, setiap usaha manusia yang dilandasi

oleh pilihan yang paling menguntungkan dan kenyataannya

demikian.

2) Tindakan ekonomi irrasional, setiap usaha manusia yang dilandasi

oleh pilihan yang paling menguntungkan namun kenyataannya

tidak demikian.
32

b. Motif Ekonomi

Motif ekonomi adalah alasan ataupun tujuan seseorang

sehingga seseorang itu melakukan tindakan ekonomi. Motif ekonomi

terbagi dalam dua aspek (Anonim, 2009):

1) Motif intrinsik, disebut sebagai suatu keinginan

untuk melakukan tindakan ekonomi atas kemauan sendiri.

2) Motif ekstrinsik, disebut sebagai suatu keinginan

untuk melakukan tindakan ekonomi atas dorongan orang lain.

Pada prakteknya terdapat beberapa macam motif ekonomi:

1) Motif memenuhi kebutuhan

2) Motif memperoleh keuntungan

3) Motif memperoleh penghargaan

4) Motif memperoleh kekuasaan

5) Motif sosial atau menolong sesama

c. Prinsip Ekonomi

Prinsip ekonomi merupakan pedoman untuk melakukan

tindakan ekonomi yang didalamnya terkandung asas dengan

pengorbanan tertentu diperoleh hasil yang maksimal (Anonim, 2009)

Keluarga di Indonesia dikategorikan dalam lima tahap, yakni

keluarga pra sejahtera, keluarga sejahtera I, keluarga sejahtera II,

keluarga sejahtera III dan keluarga sejahtera III plus. Keluarga pra

sejahtera adalah keluarga yang belum mampu memenuhi kebutuhan

dasar seperti sandang, pangan dan papan. Keluarga sejahtera I adalah


33

keluarga yang walaupun kebutuhan dasar telah terpenuhi, namun

kebutuhan sosial psikologis belum terpenuhi. Keluarga sejahtera II

adalah keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasar, sosial-

psikologisnya, tapi belum dapat memenuhi kebutuhan pengembangan.

Keluarga sejahtera III adalah keluarga yang sudah dapat memenuhi

kebutuhan dasar, sosial-psikologis, pengembangan tapi belum dapat

memberi sumbangan secara teratur pada masyarakat sekitarnya.

Keluarga sejahtera tahap III plus adalah keluarga yang telah dapat

memenuhi kebutuhan dasar, sosial-psikologis, pengembangan, serta

telah dapat memberikan sumbangan yang teratur dan berperan aktif

dalam kegiatan kemasyarakatan.( Chandra B., 2006)

Masalah ekonomi yang perlu mendapatkan perhatian serius

adalah kemiskinan. kemiskinan adalah kekurangan dan

keterbelakangan. di Indonesia batas garis kemiskinan yang ditetapkan

badan puasat statistik (BPS), dalam statisitik Indonesia 1999 mengacu

pada kebutuhan minimum non makanan yang merupakan kebutuhan

dasar seseorang yang meliputi kebutuhan dasar untuk sandan dan

pangan serta kebutuahan mendasar lainnya (Yudistira, 2007).

Kriteria keluarga miskin berdasarkan Jaminan Pendanaan

Sosial-Badan Kemiskinan (JPS – BK) adalah :

1) Keluarga tidak bisa makan dua kali sehari

2) Keluarga tidak mampu mengobati anak / keluarga yang sakit

kepelayanan kesehatan.

3) Kepala keluarga terkena PHK massal


34

4) Pada keluarga terdapat anak yang drop out karena masalah

ekonomi.

Sistem ekonomi Indonesia mempunyai acuan yang telah diatur

dalam undang – undang dasar 1945 yang menentukan demokrasi

ekonomi sebagai dasar pelaksana pembangunan ekonomi Indonesia

guna kemakmuran masyarakat utamanya bukan kemakmuran individu

atau golongan.

Beberapa masalah ekonomi dengan skala prioritas tinggi di

Indonesia yaitu : (yudistira, 2007).

1) Kemiskinan

Menurut BPS tahun 2003 tercatat sekitar 40.000.000

penduduk Indonesia berada pada garis kemiskinan, ada dua macam

ukuran kemiskinan yang umum dipergunakan yaitu kemiskianan

absolut dan kemiskinan relatif.

2) Keterbelakangan

Keterbelakangan tampak pada banyak hal seperti tingkat

pendidikan masyarakat yang masih rendah daya saing dan kualitas

manusia yang rendah, infrastruktur pembangunan, penguasaan

tekhnologi dan lain – lain.

3) Pengangguran

Banyaknya angkatan kerja yang tidak tertampung karena

sempitnya lapangan kerja, masalah ini menyangkut infastruktur

maupun kualitas kerja.


35

Kemiskinan didefinisikan sebagai suatu tingkat kekurangan

materi pada sejumlah orang dibandingkan dengan standar

kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang

bersangkutan. Kemiskinan bukan semata-mata kekurangan dalam

ukuran ekonomi, tapi juga melibatkan kekurangan dalam ukuran

kebudayaan dan kejiwaan (Suburratno dalam Ingga, 2008).

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan penyebab

tingginya jumlah orang miskin di daerah-daerah ini karena

perekonomiannya sangat bergantung pada empat bidang utama yang

seluruhnya dikuasai oleh pelaku ekonomi yang tidak berbasiskan usaha

kecil dan menengah. Keempat bidang utama tersebut adalah

perkebunan, pertambangan, kehutanan, dan perdagangan. Dengan

penghasilan pas-pasan, cukup untuk makan saja, mereka sering

dijadikan contoh kasus kemiskinan yang melandasi masyarakat terus

berusaha mendapat kucuran dana lebih dari pemerintah pusat (Slamet,

2002).

Data kemiskinan Badan Penelitian dan Pengembangan

(Balitbang) menekankan delapan indikator penilaian, yaitu: frekuensi

makan yang minimal dua kali sehari, konsumsi lauk-pauk yang

berprotein, kepemilikan pakaian, aset, luas lantai hunian per kapita

minimal delapan meter persegi, jenis lantai, ketersediaan air bersih, dan

kepemilikan jamban (Slamet, 2002).

Persoalan ekonomi di Indonesia ini tidak hanya terbatas pada

indikator-indikator itu. Keberadaan mereka di daerah-daerah terisolasi


36

sering luput dari sentuhan pembagunan, seperti terjangkitnya diare dan

penyakit kulit dari kontaminasi air dan tanah akibat kotoran manusia di

sepanjang kawasan pesisir pantai dan sungai (Suburratno dalam Ingga,

2008)

Pola penyakit di Indonesia ini setara dengan negara-negara lain

yang berpenghasilan kurang lebih sama. Hal ini tampak jelas bahwa

negara tergolong miskin keadaan gizinya rendah, pengetahuan tentang

kesehatannyapun rendah, sehingga keadaan kesehatan lingkungannya

juga buruk dan status kesehatannya buruk pula (Slamet, 2002).


37

BAB III

KERANGKA KONSEP

A. Dasar Pemikiran

Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan salah satu

masalah kesehatan di seluruh dunia, baik dinegara maju maupun di negara

berkembang termasuk Indonesia. Hal ini disebabkan masih tingginya

angka kesakitan dan angka kematian karena ISPA khususnya pneumonia

atau bronchopneumonia, terutama pada bayi dan anak balita (Prayitno,

dkk, 2008).

Di Indonesia, Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) selalu

menempati urutan pertama penyebab kematian pada kelompok bayi dan balita.

Selain itu ISPA juga sering berada pada daftar 10 penyakit terbanyak di rumah

sakit. Survei mortalitas yang dilakukan oleh Subdit ISPA tahun 2005 (Syair,

2009).

B. Bagan Kerangka Konsep

Perumahan
Kejadian Penyakit
ISPA
Sosial Ekonomi

C. Variabel Penelitian
38

1. Variabel Dependen/terikat pada penelitian ini yaitu kejadian

penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA)

2. Variabel Independent/bebas pada penelitian ini yaitu:

a) Perumahan

b) Sosial Ekonomi

D. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif

1. Perumahan adalah kondisi sanitasi rumah yang

memenuhi syarat kesehatan mencakup ventilasi, cahaya, dan kepadatan

penghuni. Dengan mengacu pada skala nominal dimana jawaban ya diberi

nilai= 1 dan jawaban tidak diberi nilai=0

Memenuhi syarat : jika memenuhi kategori rumah sehat

Tidak memenuhi syarat : tidak memenuhi kategori rumah sehat

2. Sosial ekonomi yang dimaksud dalam penelitian ini

adalah pendapatan orangtua balita dalam sebulan .Dengan mengacu pada

skala ordinal dimana jawaban ya diberi nilai= 1 dan jawaban tidak diberi

nilai=0

a. Tinggi : jika responden berpenghasilan > 2.500.000/bulan

b. Sedang : jika responden berpenghasilan 800.000 – 2.500.000/bulan

c. Rendah : jika responden berpenghasilan < 800.000/bulan (UMR,

Sultra)
39

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Dalam penelitian yang akan dilakukan, peneliti menggunakan metode

deskriptif sederhana yang bertujuan untuk memperoleh suatu gambaran atau

informasi secara objektif tentang faktor- faktor yang menyebabkan tingginya

angka kejadian ISPA Di Desa Lembah Subur Kecamatan Ladongi Kabupaten

Kolaka Tahun 2010.

B. Tempat Dan Waktu Penelitian

Penelitian ini telah dilaksanakan pada Tanggal 18 Juni sampai dengan

18 Juli Tahun 2010 di Desa Lembah Subur Kabupaten Kolaka

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi pada penelitian yaitu semua ibu yang berjumlah 786

orang yang berada di Desa Lembah Subur .

2. Sampel
40

Sampel pada penelitian ini adalah sebagian ibu yang berjumlah 70

orang yang memiliki balita yang menderita ISPA. Penentuan sampel

menggunakan purposive sampling dengan memenuhi kriteria inklusi :

a. Bersedia menjadi responden.

b. Ibu yang berdomisili di Desa Lembah Subur.

c. Bisa baca tulis.

D. Jenis Dan Cara Pengumpulan Data

Data Primer yaitu data yang diperoleh langsung dari responden

dengan menggunakan kuisioner disertai dengan pengamatan

E. Pengolahan Dan Penyajian Data

1. Pengolahan Data.

Langkah-langkah yang dilakukan dalam pengolahan Data adalah

sebagai berikut :

a. Coding yaitu pemberian kode masing-masing kelompok

atau jenis data oleh kuisioner yang telah diisi oleh responden.

b. Editing yaitu pemeriksaan kegiatan pengumpulan data

oleh responden pada kuisioner yang telah diisi.

c. Scoring yaitu dilakukan pada jawaban responden yang

telah diisi pada kuisioner dari berbagai variabel meliputi pengetahuan

ibu tentang ISPA dan sanitasi rumah yang dinilai dalam beberapa
41

kriteria sehingga dapat dientry ( dimasukkan ) menjadi kategori yang

jelas dan berbeda.

d. Entry yaitu data yang telah diberi kode dimasukkan

dalam kartu tabulasi.

2. Penyajian Data.

Data yang telah terkumpul diolah secara deskriptif sederhana yaitu

semua data yang diperoleh diseleksi dan diolah secara manual dan

disajikan dalam bentuk tabel persentase dan diuraikan dalam bentuk

narasi.

BAB V

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Karakteristik Demografi Responden

a. Umur

Tabel 1.
Distribusi Responden Berdasarkan Umur di Desa Lembah Subur
Kecamatan Ladongi Kabupaten Kolaka Juli 2010

No. Umur Responden n (%)


1. 20-24 tahun 10 14,28
2. 25-29 tahun 16 22,85
3. 30-34 tahun 4 5,71
4. 35-39 tahun 9 12,85
5. > 40 tahun 31 44,28
Jumlah 70 100

Tabel 1, menunjukkan bahwa dari 70 responden umur responden

yang paling banyak di Desa Lembah Subur yaitu kelompok umur >40
42

tahun sebanyak 31 orang (44,28 %) dan yang paling sedikit adalah

kelompok umur 30-34 tahun sebanyak 4 orang (5,71 %).

b. Jenis Kelamin

Tabel 2.
Distribusi responden berdasarkan Jenis Kelamin di Desa Lembah Subur
Kecamatan Ladongi Kabupaten Kolaka Juli 2010

No. Jenis Kelamin n (%)


1. Laki-Laki 23 32,9
2. Perempuan 47 67,1
Jumlah 70 100

Tabel 2, menunjukkan bahwa dari 70 responden Jenis Kelamin

yang paling banyak di Desa Lembah Subur yaitu Perempuan sebanyak

47 orang (67,1 %) dan yang paling sedikit adalah Laki-Laki sebanyak 23

orang (32,9 %).

c. Tingkat Pendidikan

Tabel 3.
Distribusi responden berdasarkan Tingkat Pendidikan di Lembah Subur
Kecamatan Ladongi Kabupaten Kolaka Juli 2010

No. Tingkat Pendidikan N (%)


1. Tidak sekolah 16 22,9
2. SD sederajat 29 41,4
3. SMP sederajat 11 15,7
4. SMA sederajat 9 12,9
5. PT 5 7,1
Jumlah 70 100

Tabel 3, menunjukkan bahwa dari 70 responden Tingkat

Pendidikan yang paling banyak di Desa Lembah Subur yaitu SD

Sederajat sebanyak 29 orang (41,4 %) dan yang paling sedikit adalah

Tingkat Perguruan Tinggi yaitu sebanyak 5 orang (7,1 %).


43

d. Pekerjaan

Tabel 4.
Distribusi Responden Menurut Jenis pekerjaan di Desa Lembah Subur
Kecamatan Ladongi Kabupaten Kolaka Juli 2010

No. Pekerjaan N (%)


1. Petani 43 61,4
2. PNS/TNI/POLRI 8 11,4
3. Wiraswasta 10 14,3
4. IRT 9 12,9
Jumlah 70 100

Tabel 4, menunjukkan bahwa dari 70 responden Jenis Pekerjaan

yang paling banyak di Desa Lembah Subur yaitu Petani sebanyak 43

orang (61,4 %) dan yang paling sedikit adalah PNS/TNI/POLRI yaitu

sebanyak 8 orang (11,4 %).

2. Variabel yang diukur

a. Perumahan

Tabel 5.
Distribusi Responden Tentang Perumahan Di Desa Lembah Subur
Kecamatan Ladongi Kabupaten Kolaka Juni 2010

No. Perumahan N (%)


1. Memenuhi Syarat 29 41,3
2. Tidak Memenuhi Syarat 41 58,7
Jumlah 70 100

Tabel 5, menunjukkan bahwa dari 70 responden Perumahan yang

paling banyak di Desa Lembah Subur adalah yang tidak memenuhi

syarat sebanyak 41 orang (58,7 %) dan yang memenuhi syarat sebanyak

29 orang (41,3 %).

b. Tingkat Sosial Ekonomi

Tabel 6.
44

Distribusi Responden Tentang Tingkat Sosial Ekonomi di Desa Lembah


Subur Kecamatan Ladongi Kabupaten Kolaka Juni 2010

No. Sosial Ekonomi N (%)


1. Tinggi 13 18,57
2. Sedang 30 42,86
3. Rendah 27 38,57
Jumlah 70 100

Tabel 6, menunjukkan bahwa dari 70 responden Tingkat Sosial

Ekonomi yang paling banyak di Desa Lembah Subur adalah Sedang

sebanyak 30 orang (42,86 %) dan rendah sebanyak 27 orang (38,57%)

dan yang paling sedikit adalah Tingkat Ekonomi Tinggi yaitu sebanyak

13 orang (18,57 %).

B. Pembahasan

Setelah dilakukan penelitian dan pengolahan data mengenai faktor-

faktor yang mempengaruhi tingginya angka kejadian ispa di Desa Lembah

Subur Kecamatan Ladongi Kabupaten Kolaka dari tanggal 18 juni sampai

dengan 18 Juli 2010, diperoleh 70 responden yang memenuhi kriteria. untuk

lebih jelasnya hasil penelitian tersebut dibahas menurut variabel yang diteliti

adalah sebagai berikut:

1. Perumahan

Berdasarkan data hasil penelitian sebagaimana yang telihat pada

tabel 5 di atas menunjukkan bahwa sanitasi rumah tinggal responden

sebagian besar tidak memenuhi syarat kesehatan yaitu berjumlah 41 orang

(58,6%) sedangkan sisanya yang memenuhi syarat kesehatan yaitu

sejumlah 29 orang (41,4%).


45

Dengan besarnya jumlah responden yang memiliki sanitasi rumah

tinggal tidak memenuhi syarat kesehatan terutama proses pertukaran udara

dalam ruangan (ventilasi) dan luas ruangan yang memenuhi syarat kriteria

8 m untuk setiap orang yang dapat mempercepat proses penularan

penyakit.

Seperti yang dikemukakan oleh Aria (2009) Suatu tempat yang

penghuni padat sangat memungkinkan terjadinya penularan (kontak) bibit

penyakit dari manusia ke manusia lain. Selain itu kebersihan udara akan

mengalami perubahan struktur yang tidak sesuai dengan kebutuhan

psikologis tubuh. Penghuni padat juga akan mengakibatkan kontak yang

terlalu dekat dengan penderita penyakit sehingga mudah terjadi penularan.

Ketika akan membangun rumah, semua orang tentunya

mengharapkan jika rumah yang dibangun tersebut nantinya bisa

memenuhi dan disebut sebagai rumah yang indah, sehat dan nyaman.

Menyangkut aspek kesehatan, biasanya standarnya adalah seragam.

Dalam hal ini, kita mungkin akan sepakat bila rumah yang sehat itu

memenuhi beberapa kriteria, diantaranya: sirkulasi udara yang baik,

ruangan yang mendapat cukup cahaya alami dari matahari, tata letak

ruangan yang memudahkan pergerakan penghuni untuk beraktifitas,

tersedianya lahan terbuka untuk menanam tanaman, dan sebagainya (Aria,

2009).

Pencahayaan Pada Ruangan Sebaiknya Bersumber Pada Cahaya

Alami. Sehingga selain sehat juga dapat menghemat energi. Tidak perlu

menyalakan lampu di siang hari. Bagaimanapun juga kita beruntung


46

tinggal di wilayah yang kaya akan sinar matahari sepanjang tahun. Selain

sebagai sumber vitamin D, sinar matahari juga bisa berfungsi untuk

membunuh beberapa jenis jamur dan bakteri negatif. Cahaya alami (yang

berasal dari matahari) yang masuk ke dalam ruangan dapat membersihkan

ruangan sekaligus menghangatkan ruangan agar tidak lembab. (Aria,

2009)

Untuk itu pada setiap ruangan sebaiknya dibuat jendela kaca yang

berhubungan dengan ruang luar. Dalam menentukan besar dan letak

jendela, harus diperhatikan arah matahari. Cahaya matahari yang langsung

dari barat akan membuat ruangan sangat panas. Gunakan kanopi/overstek

jendela untuk menaungi jendela dari cahaya matahari langsung dan

menjaga ventilasi jendela dari tempias ketika musim hujan. (Aria, 2009)

2. Sosial Ekonomi

Dari data hasil penelitian tentang tingkat sosial ekonomi dapat

dilihat pada tabel 6. yang menunjukkan bahwa sebagian besar responden

berpenghasilan sedang yaitu sebanyak 33 orang (47,2%), yang

berpenghasilan rendah sebanyak 25 orang (35,7%) yang mempunyai

jumlah paling sedikit yaitu responden berpenghasilan tinggi atau yang

berpenghasilah diatas Rp.2.500.000/Bulan berjumlah 12 orang (17,1 %).

Dengan penghasilan responden yang dibawah rata-rata sehingga

dapat menimbulkan masalah-masalah kesehatan. hal ini sependapat yang

dikemukakan oleh Slamet (2009) bahwa Indonesia saat ini setara dengan

negara-negara lain yang berpenghasilan kurang lebih sama. Hal ini tampak
47

jelas bahwa negara tergolong miskin keadaan gizinya rendah, pengetahuan

tentang kesehatannyapun rendah, sehingga keadaan kesehatan

lingkungannya juga buruk dan status kesehatannya buruk pula.

Masalah ekonomi yang perlu mendapatkan perhatian serius adalah

kemiskinan. kemiskinan adalah kekurangan dan keterbelakangan. di

Indonesia batas garis kemiskinan yang ditetapkan badan puasat statistik

(BPS), dalam statisitik Indonesia 1999 mengacu pada kebutuhan minimum

non makanan yang merupakan kebutuhan dasar seseorang yang meliputi

kebutuhan dasar untuk sandan dan pangan serta kebutuahan mendasar

lainnya (Yudistira, 2007).


48

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Desa Lembah Subur

Kecamatan Ladongi Kabupaten Kolaka tentang faktor-faktor yang

mempengaruhi angka kejadian ISPA, maka dapat disipulkan sebagai berikut:

1. Perumahan responden sebagian

besar adalah tidak memenuhi syarat kesehatan yaitu 41 orang (58,6%)

sedangkan yang memenuhi syarat kesehatan hanya berjumlah 29 orang

(31,4 %)

2. Tingkat sosial ekonomi responden

sebagian besar adalah yang berpenghasilan sedang yaitu 33 orang

(47,2%), sedangkan yang berpenghasilan rendah sebanyak 25 orang

(35,7%) dan yang berpenghasilan tinggi yaitu sebanyak 12 orang (17,1

%).
49

B. Saran

Dengan memperhatikan hasil penelitian dengan segala keterbatasan

yang dimiliki peneliti, maka adapun syarat yang dapat penulis sampaikan

adalah:

1. Kepada masyarakat Desa Lembah Subur agar memperhatikan

sanitasi rumah tinggal khususnya ventilasi ruangan maupun kebersihan

ruangan agar sirulasi udara tetap lancar dan dapat memenuhi standar

kesehatan.

2. Kepada pemerintah yang bertanggung jawab atas wilayah

kecamatan ladongi maupun petugas yang bersangkutan agar terus

memotivasi masyarakatnya agar dapat berperilaku hidup sehat.

You might also like