You are on page 1of 67

LAPORAN KEGIATAN BELAJAR

STUDENT CENTER LEARNING

Disusun Oleh Kelompok SCL 3 :

1. Dina Ayu P E2A008041 11. Gangsar Lukmanjaya E2A008053


2. Dwi Emakartikasari E2A008043 12. Hana Abdullah E2A008056
3. Dyah Darlinta E2A008044 13. Putri Dwijayanti E2A008110
4. Ermayani Dwi A E2A008045 14. Ratih Devianti E2A008112
5. Fahriza Risnawati E2A008046 15. Reisma W E2A008115
6. Faqihani Ganiajri E2A008047 16. Riama H E2A008117
7. Febri Indra P E2A008049 17. Rizka Yuliana E2A008126
8. Febriana Supriati E2A008050
9. Febrina Pongky S E2A008051
10. Fikri Abdillah E2A008052

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2010

1
A. Kasus
Jangan Kucilkan Daku

Seorang perawat di Rumah Sakit Swasta “Ben Waras” menderita suatu penyakit
dengan tanda-tanda batuk tak kunjung sembuh, diare dan sariawan terus-
menerus. Badannya semakin kurus disertai bercak-bercak kemerahan sebesar
uang logam Rp 100. Saat berusia 32 tahun dan belum menikah. Dalam 10 tahun
terakhir, pasien yang menderita penyakit yang sama dirawat di rumah sakit
tersebut minimal sebanyak 3 orang per tahun. Dari amnanesis dokter rumah
sakit diperoleh keterangan bahwa si X pernah tertusuk jarum setelah menyuntik
pasien dengan tanda-tanda yang sama sekitar 10 tahun yang lalu. Dokter
mendiagnosis penyakit X dengan penyakit menular penurunan kekebalan tubuh.
Saat pulang ke desa, orang yang mengantar mengatakan bahwa ia menderita
penyakit kotor. Masyarakat mengucilkan dia, karena takut tertular dan merasa
ketakutan apabila berdekatan dengan si X.

2
B. Klarifikasi Istilah atau Konsep dalam Masalah
1. Anamnesis
2. Bercak merah sebesar uang logam
3. Diare
4. Penyakit kotor
5. Batuk tak kunjung sembuh
6. Diagnosis
7. Badan semakin kurus
8. Kekebalan tubuh
9. Sariawan terus menerus
10. Tertusuk jarum suntik
11. Penyakit menular
12. Perawat

C. Daftar Masalah Berdasarkan Fakta dan Fenomena dalam Kasus


1. Sariawan dikarenakan defisiensi vitamin C dan undernutrition
2. Sariawan, batuk tak kunjung sembuh, diare, dikarenakan penurunan
kekebalan tubuh
3. Penurunan kekebalan tubuh karena virus yang telah masuk dengan
media jarum suntik yang terjadi 10 tahun yang lalu.
4. Terjadi penyakit akibat kerja pada perawat
5. Perawat kemungkinan menularkan pada pasien
6. Bercak merah muncul karena gejala penyakit maupun penyakit penyerta
(infeksi oppoturnistik)
7. Tubuh yang semakin kurus dikarenakan diare terus-menurus dan nutrisi
belum terserap
8. Sariawan menyebabkan malas makan sehingga badan menjadi kurus
9. Perawat berumur 32 tahun belum menikah, kemungkinan tertular bisa
lewat hubungan seks atau hal lain, karena belum menikah belum tentu
tidak berhubungan seks
10. Penyakit yang ditularkan bukan karena hubungan seks tetapi cenderung
tertusuk jarum pada tempat kerja.
11. Penyakit kotor adalah penyakit menular seksual (PMS) dari anggapan
masyarakat
12. Gejala-gejala yang muncul pada kasus dikarenakan HIV

3
13. Dikucilkan oleh masyarakat karena anggapan penyakit kotor penyakit
yang tidak wajar, takut tertular, dan dianggap berkelakuaan buruk
14. Terdapat inveksi nosokomial
15. Tertusuk jarum dikarenakan : kecerobohan, kepatuhan prosedur, kerja,
dan kesalahan system.
16. Prevalensi tinggi pada rumah sakit diduga lingkungan sekitar perilaku tidak
sehat, banyak pengguna narkoba suntik, seks bebas atau diduga rumah
sakit tersebut merupakan rumah sakit rujukan.
17. Penyakit dalam kasus mempunyai masa inkubasi selama 10 tahun

D. Analisis Masalah
Dari kasus tersebut, kami berhipotesis bahwa masalah yang dialami
perawat tersebut adalah terinfeksi penyakit HIV/AIDS sehingga menimbulkan
berbagai manifestasi klinis dan dampak sosial lainnya. Kami juga
beranggapan bahwa perawat tersebut mengalami penyakit akibat kerja lewat
tertusuk jarum suntik yang terinfeksi virus HIV, walaupun tidak menutup
kemungkinan bahwa perawat tersebut melakukan hubungan seks tidak baik
atau perilaku beresiko lainnya. Asumsi bahwa perawat tersebut terinfeksi
HIV/AIDS adalah dari gejala-gejala yang timbul, seperti sariawan terus
menerus, batuk tak kunjung sembuh, diare, berat badan yang terus menyusut,
dan bercak-bercak kemerahan sebesar uang logam 100. Orang yang
terinfeksi HIV, sistem imunnya terganggu sehingga mudah untuk terserang
penyakit.
Dari amnesis, diketahui bahwa perawat tersebut pernah tertusuk jarum
setelah menyuntik orang dengan gejala sama seperti yang dai alami
sekarang, 10 tahun lalu. Jarum suntik tersebut kemungkinan mengandung
darah yang terinfeksi HIV, sehingga ketika tertusuk, terjadi penularan HIV
kepada perawat. Gejala yang timbul terjadi 10 tahun kemudian karena
penyakit HIV/AIDS mempunayi fase tanpa gejala bisa sampai 10 tahun sejak
terjadi penularan. Gejala gejala yang nampak terjadi karena penurunan
sistem imun tubuh, sehingga mudah untuk terinfeksi penyakit lain.
Sariawan yang diderita perawat kemungkinan terjadi karena defisiensi
vitamin C, atau bisa juga itu bukan sariawan tetapi penaykit yang disebabkan
oleh jamur atau bakteri, yang gejalanya mirip sariawan. Sariawan yang
dialami menyebabkan asupan gizinya kurang karena sulit untuk makan.

4
Padahal penurunan sistem imun tubuh akan menyebakan sistem metabolisme
tubuh berubah dan membutuhkan lebih banyak nutrien. Asupan nutrien
semakin sedikit karena diare yang dialami. Kombinasi antara sariawan dan
diare tersebut menyebabkan badan penderita semakin lama semakin kurus.
Bercak merah yang diderita kemungkinan merupakan penyakit
penyerta akibat infeksi HIV. Bercak merah ini mempunayi beberapa
kemungkinan, yaitu herpes, sarkoma, atau yang lainnya. Batuk yang diderita
secara terus menerus kemungkinan juga karena penyakit oportunistik, seperti
tuberkulosis atau yang lainnya. Batuk terus menerus bisa terjadi selama lebih
dari 1 bulan sehingga bisa diindikasikan sebagai penyakit TB.
Perilaku berisiko yang menyeababkan perawat tersebut terinfeksi HIV
adalah tertusuknya jarum yang mengandung darah terinfeksi virus HIV.
Tertusuknya jarum bisa disebabkan karena faktor, diantaranya kecerobohan
perawat; kesalahan prosedur; dan kesalahan sistem pada rumah sakit
ersebut.tempat kerja seperti rumah sakit, memiliki peluang sebagai tempat
penularan penyakit, dan pasien maupun petugas kesehatan juga berisiko
terkena infeksi nosokomial lainnya.
Mengenai banyaknya pasien (dengan gejala sama) yang dirawat di
rumah sakit tersebut, yaitu sedikitnya 3 orang pertahun, hal ini dapat
disebabkan karena lingkungan sekitar rumah sakit yang masyarakatnya
mempunyai perilaku tidak sehat seperti, perilaku seks tidak baik, banyak
pengguna narkoba suntik, dan perilaku berisiko lainnya. Selain itu hal lain
yang mungkin adalah karena rumah sakit tersebut merupakan rumah sakit
rujukan untuk pasien HIV/AIDS. Banyaknya pasien HIV/AIDS yang dirawat di
rumah sakit tersebut membuat para perawat, dokter, laborat, maupun petugas
yang kontak langsung dengan pasien membuat mereka lebih beresiko tertular
jika tidak berhati-hati dan melakukan prosedur yang benar.
Ketika perawat tersebut kembali desanya, dia mendapatkan
perlakuaan tidak mengenakkan dari masyarakat, yaitu dikucilkan. Hal ini
terjadi karena stigma yang dimasyarakat bahwa HIV/AIDS adalah penyakit
yang selalu berhubungan dengan perilaku tidak baik seperti seks bebas,
narkoba, dan lain sebagainya. Oleh karenya, masyarakat menganggap
HIV/AIDS adalah penyakit kotor. Orang yang mengantar perawat tersebut
pulang ke desa, membocorkan rahasia kepada masyarakat bahwa perawat
tersebut menderita penyakit HIV/AIDS. Hal ini menjadi pertanyaan,

5
bagaimana orang tersebut bisa mengetahuinya. Padahal kerahasiaan
informasi mengenai catatan kesehatan pasien adalah rahasia bagi orang lain
yang tidak berkepentingan. Bisa dimungkinkan bahwa sistem kerahasiaan
informasi di rumah sakit tersebut kurang baik.

E. Kerangka Konsep

LINGKUNGAN
Pengelolaan
limbah PERILAKU
infeksius Kepatuhan
Infeksi prosedur KEBIJAKAN
Nosokomial kerja Kode Etik
Prevalensi Perilaku sex Sistem
penderita kurang Prosedur
HIV tinggi baik Kerja

Patofisiolo
Penyebab gi HIV -
AIDS
Etiologi Perawat Terkena
Penyakit
AIDS HIV/AIDS

Penanganan Akibat

Asupan Nutrisi SOSIAL PSIKOLOGI


Baik Dikucilkan Depresi
Terapi ARV Stigma Keinginan
Konseling Kurang untuk
Penanganan di pengetahu menulark
Puskesmas an an
Kebijakan
Kesehatan
Masyarakat
Sipil
Pencegahan

6
F. Tujuan Pembelajaran
1. Menjelaskan penyebab HIV
a. Lingkungan
b. Perilaku
c. Kebijakan
2. Mendiskripsikan patofisiologi HIV-AIDS
3. Menjelaskan etiologi penyakit AIDS
4. Mendiskripsikan penanganan HIV
a. Asupan nutrisi baik
b. Konseling
c. Terapi ARV
d. Kebijakan
5. Mendiskripsikan Penyebab HIV
a. Lingkungan
(1) Penglolaan limbah infeksius
(2) Infeksi nosokimial
(3) Prevalensi penderita HIV
b. Perilaku
(1) Kepatuhan prosedur kerja
(2) Perilaku seks yang kurang baik
c. Kebijakan rumah sakit
(1) Kode etik dokter
(2) Sistem prosedur kerja
6. Mendiskripsikan akibat dari terkena HIV
a. Psikologi
b. Sosial

G. Tinjauan Pustaka
1. Pengertian HIV
Virus human immunodeficiency (HIV) adalah sebuah retrovirus
yang menginfeksi sel-sel dari sistem kekebalan tubuh, menghancurkan
atau merusak fungsi mereka.. Sebagai infeksi berlangsung, sistem
kekebalan tubuh menjadi lemah, dan orang menjadi lebih rentan
terhadap infeksi. Tahap paling maju infeksi HIV diperoleh
immunodeficiency syndrome (AIDS). Hal ini dapat mengambil 10-15

7
tahun bagi orang yang terinfeksi HIV untuk mengembangkan AIDS, obat
antiretroviral dapat memperlambat proses lebih jauh. (WHO, 2010). Ada
dua jenis HIV, HIV-1 dan HIV-2. Di Amerika Serikat, kecuali dinyatakan
lain, istilah "HIV" terutama mengacu pada HIV-1. Kedua jenis kerusakan
HIV tubuh seseorang dengan menghancurkan sel-sel darah tertentu,
yang disebut sel CD4 + T, yang penting untuk membantu memerangi
penyakit tubuh.(CDC, 2010)

2. Penyebab HIV
a. Lingkungan
1) Pengolahan Limbah Infeksius
Dalam upaya menigkatkan derajat kesehatan masyarakat,
khususnya di kota-kota besar semakin meningkat pendirian rumah
sakit (RS). Sebagai akibatnya, kualitas efluen limbah rumah sakit
tidak memenuhi syarat. Limbah rumah sakit dapat mencemari
lingkungan penduduk di sekitar rumah sakit dan dapat
menimbulkan masalah kesehatan. Hal ini dikarenakan dalam
limbah rumah sakit dapat mengandung berbagai jasad renik
penyebab penyakit pada manusia termasuk demam typoid,
kholera, disentri dan hepatitis sehingga limbah harus diolah
sebelum dibuang ke lingkungan (BAPEDAL, 1999).
Sampah dan limbah rumah sakit adalah semua sampah
dan limbah yang dihasilkan oleh kegiatan rumah sakit dan
kegiatan penunjang lainnya. Secara umum sampah dan limbah
rumah sakit dibagi dalam dua kelompok besar. Yang pertama
adalah sampah atau limbah klinis yang berupa limbah benda
tajam (jarum hipodermik, perlengkapan intravena, pipet pasteur,
pecahan gelas, pisau bedah), limbah infeksius (limbah yang
berkaitan dengan pasien yang memerlukan isolasi penyakit
menular), limbah kimia (limbah yang dihasilkan dari penggunaan
bahan kimia dalam tindakan medis, veterinari, laboratorium,
proses sterilisasi, dan riset), dan limbah radioaktif (bahan yang
terkontaminasi dengan radio isotop yang berasal dari penggunaan
medis atau riset radio nukleida). (Dino Rimantho, 2007)

8
Selain sampah klinis, dari kegiatan penunjang rumah sakit
juga menghasilkan sampah non klinis atau dapat disebut juga
sampah non medis. Sampah non medis ini bisa berasal dari
kantor / administrasi kertas, unit pelayanan (berupa karton,
kaleng, botol), sampah dari ruang pasien, sisa makanan buangan;
sampah dapur (sisa pembungkus, sisa makanan/bahan makanan,
sayur dan lain-lain). Limbah cair yang dihasilkan rumah sakit
mempunyai karakteristik tertentu baik fisik, kimia dan biologi.
Limbah rumah sakit bisa mengandung bermacam-macam
mikroorganisme, tergantung pada jenis rumah sakit, tingkat
pengolahan yang dilakukan sebelum dibuang dan jenis sarana
yang ada (laboratorium, klinik dll). Tentu saja dari jenis-jenis
mikroorganisme tersebut ada yang bersifat patogen. Limbah
rumah sakit seperti halnya limbah lain akan mengandung bahan-
bahan organik dan anorganik, yang tingkat kandungannya dapat
ditentukan dengan uji air kotor pada umumnya seperti BOD, COD,
pH, mikrobiologik, dan lain-lain. (Arifin. M, 2008)
Pengelolaan limbah rumah sakit yang sudah lama
diupayakan dengan menyiapkan perangkat lunaknya yang berupa
peraturan-peraturan, pedoman - pedoman dan kebijakan -
kebijakan yang mengatur pengelolaan dan peningkatan kesehatan
di lingkungan rumah sakit. Disamping peraturan-peraturan
tersebut secara bertahap dan berkesinambungan Departemen
Kesehatan terus mengupayakan dan menyediakan dana untuk
pembangunan insilasi pengelolaan limbah rumah sakit melalui
anggaran pembangunan maupun dari sumber bantuan dana
lainnya. Namun disadari bahwa pengelolaan limbah rumah sakit
masih perlu ditingkatkan permasyarakatan terutama dilingkungan
masyarakat rumah sakit. (Depkes RI, 1992).
Prosedur pengelolaan limbah yang memenuhi hukum dan
praktek nasional harus memberikan perhatian khusus pada limbah
infeksious dan benda tajam dan harus mencakup : (ILO, 2005)
1. pengemasan dan penandaan limbah per kategori;
2. pembuangan awal dari limbah dalam daerah dimana tidak
dihasilkan limbah;

9
3. pengumpulan dan transportasi limbah keluar dari daerah
dimana dia dihasilkan;
4. penyimpanan, pengolahan dan pembuangan akhir limbah
sebagimana dituntut oleh peraturan dan pedoman teknis yang
relevan.
Dalam profil kesehatan Indonesia (Departement
Kesehatan, 1997) diungkapkan seluruh rumah sakit di Indonesia
berjumlah 1090 dengan 121.996 tempat tidur. Hasil kajian
terhadap 100 Rumah Sakit di Jawa dan Bali menunjukkan bahwa
rata-rata produksi sampah sebesar 3,2 kg pertempat tidur perhari.
Analisa lebih jauh menunjukkan produksi sampah berupa limbah
domestic sebesar 76,8 persen dan berupa limbah infeksius
sebesar 23,2 persen. Diperkirakan secara nasional produksi
sampah Rumah Sakit sebesar 376.089 ton per hari dan produksi
air limbah sebesar 48.985,70 ton per hari. Dari gambaran tersebut
dapat dibayangkan betapa besar potensi Rumah Sakit untuk
mencemari lingkungan dan kemungkinan menimbulkan
kecelakaan serta penularan penyakit. (Shanty bio, 2007)
Dari keseluruhan limbah rumah sakit, sekitar 10 sampai 15
persen diantaranya merupakan limbah infeksius yang
mengandung logam berat, antara lain mercuri (Hg). Sebanyak 40
persen lainnya adalah limbah organik yang berasal dari makanan
dan sisa makan, baik dari pasien dan keluarga pasien maupun
dapur gizi. Selanjutnya, sisanya merupakan limbah anorganik
dalam bentuk botol bekas infus dan plastik. (Shanty bio, 2007)
Limbah rumah sakit, khususnya limbah medis yang
infeksius, belum dikelola dengan baik. Sebagian besar
pengelolaan limbah infeksius disamakan dengan limbah medis
noninfeksius. Selain itu, kerap bercampur limbah medis dan
nonmedis. Percampuran tersebut justru memperbesar
permasalahan limbah medis. Limbah medis memerlukan
pengelolaan khusus yang berbeda dengan limbah nonmedis.
Yang termasuk limbah medis adalah limbah infeksius, limbah
radiologi, limbah sitotoksis, dan limbah laboratorium. Limbah
infeksius misalnya jaringan tubuh yang terinfeksi kuman. Limbah

10
jenis itu seharusnya dibakar, bukan dikubur, apalagi dibuang ke
septic tank. (Shanty bio, 2007)
Jenis - jenis limbah rumah sakit meliputi bagian sebagai
berikut ini (ILO, 2005) :
1. Limbah klinik
2. Limbah dihasilkan selama pelayanan pasien secara rutin
pembedahan dan di unit - unit resiko tinggi. Limbah ini
mungkin berbahaya dan mengakibatkan resiko tinggi infeksi
kuman dan populasi umum dan staf rumah sakit. Oleh karena
itu perlu diberi label yang jelas sebagai resiko tinggi. Contoh
limbah jenis tersebut ialah perban atau pembungkusyang
kotor, cairan badan, anggota badan yang diamputasi, jarum-
jarum dan semprit bekas, kantung urine dan produk darah.
3. Limbah patologi
4. Limbah ini juga dianggap beresiko tinggi dan sebaiknya
diautoclaf sebelum keluar dari unit patologi. Limbah tersebut
harus diberi label biohazard.
5. Limbah bukan klinik
6. Limbah ini meliputi kertas-kertas pembungkus atau kantong
dan plastik yang tidak berkontak dengan cairan badan.
Meskipun tidak menimbulkan resiko sakit, limbah tersebut
cukup merepotkan karena memerlukan tempat yang besar
untuk mengangkut dan menbuangnya.
7. Limbah dapur
8. Limbah ini mencakup sisa-sisa makanan dan air kotor.
Berbagai serangga seperti kecoa, kutu dan hewan pengerat
seperti tikus merupakan gangguan bagi staf maupun pasien di
Rumah Sakit.
9. Limbah radioaktif
10. Walaupun limbah ini tidak menimbulkan persoalan
pengendalian infeksi di rumah sakit, pembuangan secara
aman perlu diatur dengan baik. Pemberian kode warna yang
berbeda untuk masing-masing sangat membantu pengelolaan
limbah tersebut

11
Pengolahan limbah rumah sakit dilakukan dengan
berbagai cara. Yang diutamakan adalah sterilisasi, yakni berupa
pengurangan (reduce) dalam volume, penggunaan kembali
(reuse) dengan sterilisasi lebih dulu, daur ulang (recycle), dan
pengolahan (treatment) (Slamet Riyadi, 2000). Berikut adalah
beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam merumuskan
kebijakan kodifikasi dengan warna yang menyangkut hal-hal
berikut (Koesno Putranto. H, 1995).:
1. Pemisahan Limbah
a. Limbah harus dipisahkan dari sumbernya
b. Semua limbah beresiko tinggi hendaknya diberi label jelas
c. Perlu digunakan kantung plastik dengan warna-warna yang
berbeda yang menunjukkan kemana kantong plastik harus
diangkut untuk insinerasi atau dibuang
2. Penyimpanan Limbah
Dibeberapa Negara kantung plastik cukup mahal sehingga
sebagai gantinya dapat digunkanan kantung kertas yang tahan
bocor (dibuat secara lokal sehingga dapat diperloleh dengan
mudah) kantung kertas ini dapat ditempeli dengan strip
berwarna, kemudian ditempatkan ditong dengan kode warna
dibangsal dan unit-unit lain.
3. Penanganan Limbah
a. Kantung-kantung dengan warna harus dibuang jika telah
terisi 2/3 bagian. Kemudian diikiat bagian atasnya dan
diberik label yang jelas
b. Kantung harus diangkut dengan memegang lehernya,
sehingga jika dibawa mengayun menjauhi badan, dan
diletakkan ditempat-tempat tertentu untuk dikumpulkan
c. Petugas pengumpul limbah harus memastikan kantung-
kantung dengan warna yang sama telah dijadikan satu dan
dikirimkan ketempat yang sesuai
d. Kantung harus disimpan pada kotak-kotak yang kedap
terhadap kutu dan hewan perusak sebelum diangkut
ketempat pembuangan.
4. Pengangkutan limbah

12
Kantung limbah dipisahkan dan sekaligus dipisahkan
menurut kode warnanya. Limbah bagian bukan klinik misalnya
dibawa ke kompaktor, limbah bagian klinik dibawa ke
insenerator. Pengangkutan dengan kendaraan khusus.
Kendaraan yang digunakan untuk mengangkut limbah tersebut
sebaiknya dikosongkan dan dibersihkan setiap hari, jika perlu
dibersihkan dengan menggunakan larutan klorin.
5. Pembuangan limbah
Setelah dimanfaatkan dengan kompaktor, limbah bukan
klinik dapat dibuang ditempat penimbunan sampah (Land-fill
site), limbah klinik harus dibakar (insenerasi) atau jika harus
ditimbun dengan kapur dan ditanam, limbah dapur sebaiknya
dibuang pada hari yang sama sehingga tidak sampai
membusuk. (Shanty bio, 2007)

Rumah sakit yang besar mungkin mampu memberli


inserator sendiri, insinerator berukuran kecil atau menengah
dapat membakar pada suhu 1300-1500 ºC atau lebih tinggi dan
mungkin dapat mendaur ulang sampai 60% panas yang
dihasilkan untuk kebutuhan energi rumah sakit. Suatu rumah
sakit dapat pula mempertoleh penghasilan tambahan dengan
melayani insinerasi limbah rumah sakit yang berasal dari rumah
sakit yang lain. Insinerator modern yang baik tentu saja
memiliki beberapa keuntungan antara lain kemampuannya
menampung limbah klinik maupun limbah bukan klinik,
termasuk benda tajam dan produk farmasi yang tidak terpakai
lagi.
Jika fasilitas insinerasi tidak tersedia, limbah klinik dapat
ditimbun dengan kapur dan ditanam. Langkah-langkah
pengapuran (Liming) tersebut meliputi sebagai berikut (Djoko,
2001) :
1. Menggali lubang, dengan kedalaman sekitar 2,5 meter
2. Tebarkan limbah klinik didasar lubang samapi setinggi 75
cm
3. Tambahkan lapisan kapur

13
4. Lapisan limbah yang ditimbun lapisan kapur masih bisa
ditanamkan samapai ketinggian 0,5 meter dibawah
permukaan tanah
5. Akhirnya lubang tersebut harus ditutup dengan tanah
Semua petugas yang menangani limbah klinik perlu
dilatih secara memadai dan mengetahui langkah-langkah apa
yang harus dilakukan jika mengalami inokulasi atau
kontaminasi badan. Semua petugas harus menggunakan
pakaian pelindung yang memadai, imunisasi terhadap hepatitis
B sangat dianjurkan dan catatan mengenai imunisasi tersebut
sebaiknya tersimpan dibagian kesehatan kerja.(Djoko, 2001)
Dengan pendekatan sistem Sistem Manajemen
Lingkungan rumah sakit, pengelolaan lingkungan adalah suatu
usaha untuk meningkatkan kualitas dengan menghasilkan
limbah yang ramah lingkungan dan aman bagi masyarakat
sekitar. (Menteri Negara Lingkungan Hidup, 2004)
Cara pengelolaan limbah
1. Untuk limbah padat dipergunakan suatu insenerator yang sederhana,
tidak memakan lahan, dengan biaya tidak terlalu mahal dan sesuai
dengan kondisi serta situasi Rumah Sakit. Salah satu contoh/model
incenerator seperti model pada halaman berikut.
2. Salah satu proses pengolahan limbah cair adalah dengan cara
sedimentasi : air limbah yang ke luar dari Rumah Sakit ditampung
pada bak "intermediate" equilisasi yang kemudian diaduk cepat,
sehingga terbentuk partikel-partikel, lalu diaduk lambat/fluktuasi,
kemudian terjadiproses sedimentasi filtrasi, netralisasi dan efluen
yang ke luar dapat digunakan untuk proses biologi atau dibuang
tanpa ada efek pencemaran. Sebagai contoh antara lain Waste
Oxidation Ditch Treatment System. Sistem ini diperoleh untuk
pengolahan air limbah Rumah Sakit yang terletak di tengah-tengah
kota karena tidak memerlukan lahan yang luas. Kolam oksidasi
dibuat bulat/elip dan air limbah dialirkan secara berputar agar ada
kesempatan kontak lebih lama dengan oksigen dari udara. Lalu
dialirkan ke dalam tank sedimentasi untuk mengendapkan benda-
benda padat dan lumpur. Air yang sudah ampak jernih dialirkan ke

14
bak klorinasi lalu dibuang ke sungai atau badan air lain. Lumpur yang
mengendap diambil dan dikeringkan pada Sludge Drying Bed.
(Henny Djuhaeni, 2001)
Kegiatan rumah sakit yang sangat kompleks tidak saja
memberikan dampak positif bagi masyarakat sekitarnya tetapi juga
mungkin dampak negatif itu berupa cemaran akibat proses kegiatan
maupun limbah yang dibuang tanpa pengelolaan yang benar.
Pengelolaan limbah rumah sakit yang tidak baik akan memicu resiko
terjadinya kecelakaan kerja dan penularan penyakit dari pasien ke
pasien yang lain maupun dari dan kepada masyarakat pengunjung
rumah sakit. Oleh karena itu untuk menjamin keselamatan dan
kesehatan tenaga kerja maupun orang lain yang berada dilingkungan
rumah sakit dan sekitarnya perlu kebijakan sesuai manajemen
keselamatan dan kesehatan kerja dengan melaksanakan kegiatan
pengelolaan dan monitoring limbah rumah sakit sebagai salah satu
indikator penting yang perlu diperhatikan. Rumah sakit sebagai institusi
yang sosial ekonominya karena tugasnya memberikan pelayanan
kesehatan kepada masyarakat tidak terlepas dari tanggung jawab
pengelolaan limbah yang ditimbulkan. (Henny Djuhaeni, 2001)
2) Inveksi Nosokomial
Infeksi merupakan interaksi antara mikroorganisme dengan
pejamu rentan yang terjadi melalui kode transmisi kuman yang
tertentu. Cara transmisi mikroorganisme dapat terjadi melalui darah,
udara baik droplet maupun airbone, dan dengan kontak langsung. Di
Rumah Sakit dan sarana kesehatan lainnya, infeksi dapat terjadi antar
pasien, dari pasien ke petugas, dari petugas ke petugas, dari petugas
ke pasien dan antar petugas. (Sulianto Saroso, 2010)
Infeksi Nosokomial adalah infeksi silang yang terjadi pada
perawat atau pasien saat dilakukan perawatan di rumah sakit. Jenis
yang paling sering adalah infeksi luka bedah dan infeksi saluran kemih
dan saluran pernafasan bagian bawah (pneumonia). Tingkat paling
tinggi terjadi di unit perawatan khusus, ruang rawat bedah dan ortopedi
serta pelayanan obstetri (seksio sesarea). Tingkat paling tinggi dialami
oleh pasien usia lanjut, mereka yang mengalami penurunan kekebalan
tubuh (HIV/AIDS, pengguna produk tembakau, penggunaan

15
kortikosteroid kronis), TB yang resisten terhadap berbagai obat dan
mereka yang menderita penyakit bawaan yang parah (Alvarado, 2000).
Penyebab terjadinya infeksi nosokomial adalah : (Manajemen
keperawatan, 2008)
a) Suntikan yang tidak aman dan seringkali tidak perlu
b) Penggunaan alat medis tanpa ditunjang pelatihan maupun
dukungan laboratorium
c) Standar dan praktek yang tidak memadai untuk pengoperasian
bank darah dan pelayanan transfusi
d) Penggunaan cairan infus yang terkontaminasi, khususnya di RS
yang membuat cairan sendiri
e) Meningkatnya resistensi terhadap antibiotik karena penggunaan
antibiotik spektrum luas yang berlebih atau salah
Indikasi rawat pasien akan semakin ketat, pasien akan datang
dalam keadaan yang semakin parah, sehingga perlu perawatan yang
lebih lama yang juga berarti pasien dapat memerlukan tindakan invasif
yang lebih banyak. Secara keseluruhan berarti daya tahan pasien lebih
rendah dan pasien cenderung untuk mengalami berbagai tindakan
invasif yang akan memudahkan masuknya mikroorganisme penyebab
infeksi nosokomial. Sementara itu jenis infeksi yang dialami dapat
berupa berbagai jenis infeksi yang baru diketahui misalnya infeksi
HIV / AIDS atau Ebola dan infeksi lama yang semakin virulen,
misalnya tuberkulosis yang resisten terhadap pengobatan. Mutu
pelayanan di Rumah Sakit dapat berpengaruh karena pasien
bertambah sakit akibat infeksi nosokomial. (Sulianto Saroso, 2010)
Resiko infeksi nosokomial selain terjadi pada pasien yang
dirawat di Rumah Sakit, dapat juga terjadi pada para petugas Rumah
Sakit tersebut. Berbagai prosedur penanganan pasien memungkinkan
petugas terpajan dengan kuman yang berasal dari pasien. Infeksi
petugas juga berpengaruh pada mutu pelayanan karena petugas
menjadi sakit sehingga tidak dapat melayani pasien. (Sulianto Saroso,
2010)
Berikut ini adalah beberapa dampak dari infeksi nosokomial :
a) Menyebabkan cacat fungsional, stress emosional dan dapat menyebabkan cacat
yang permanen dan kematian

16
b) Dampak tertinggi pada negara-negara sedang berkembang dengan prevalensi
HIV/AIDS yang tinggi
c) Meningkatkan biaya kesehatan di berbagai negara yang tidak mampu dengan
meningkatkan lama perawatan di rumah sakit, pengobatan dengan obat-obat
mahal dan penggunaan layanan lain. (Manajemen keperawatan, 2008)
Pekerja dalam pelayanan kesehatan, seperti pekerja tempat
lain, mungkin menghadapi potensi bahaya kimia, fisik, ergonomik, atau
potensi bahaya psikososial (seperti stres, pelecehan dan kekerasan).
Disamping itu dalam pelayanan kesehatan terdapat potensi bahaya
khusus yaitu infeksi patogen yang memerlukan upaya preventif dan
perlindungan yang khusus pula. Risiko terpajan patogen seperti HIV
dan hepatitis B dan C harus diberitahukan secara komprehensif untuk
memastikan bahwa pencegahan dan perlindungan yang sedang
berjalan, juga profilaksis yang segera diberikan bila terjadi pajanan
okupasi dilaksanakan dengan baik. Perhatian terhadap patogen tular
darah tidak menghilangkan atau mengurangi kebutuhan untuk
memperhatikan risiko dari patogen yang ditularkan melalui saluran
pernafasan, saluran pencernaan dan kontak lain. (ILO,2005)

Pekerja sektor kesehatan yang memberi pelayanan terhadap


komunitas pasien dengan prevalensi HIV/AIDS yang tinggi, juga
mempunyai risiko lebih tinggi terpajan tuberkulosis. Dalam situasi
tersebut, sangat penting bahwa rencana pengendalian pajanan
tuberkulosis akibat kerja yang komprehensif juga dibuat untuk
melengkapi rencana pengendalian pajanan HIV/AIDS. Masalah
masalah pencegahan dan perlindungan yang berkaitan dengan
tuberkulosis dijelaskan dalam pedoman khusus yang dibuat bersama
oleh ILO dan WHO. (ILO, 2005)
Sesuai dengan peraturan nasional dan protokol imunisasi yang
relevan, pengusaha harus menyediakan satu seri vaksinasi hepatitis B
bagi semua pekerja sektor kesehatan yang mungkin terpajan terhadap
darah dan cairan tubuh. Pengusaha harus menjaga agar mereka
secara teratur mendapat informasi dari kemajuan dalam
pengembangan dan ketersediaan vaksin baru. Tujuan pengendalian
risiko adalah mengikuti hirarki pengendalian, dan memilih cara yang
paling efektif dalam urutan prioritas untuk ke-efektifannya dalam

17
meminimalisasi pajanan terhadap darah dan cairan tubuh. Hirarki
tersebut adalah: . (ILO, 2005)
Eliminasi:
Upaya yang paling efektif adalah membuang secara
sempurna potensi bahaya dari tempat kerja. Eliminasi adalah cara
yang disukai untuk mengendalikan potensi bahaya dan harus
dipilih bila mungkin. Contohnya mencakup membuang benda-
benda tajam dan jarum dan mengeliminasi semua suntikan yang
tidak perlu dan menggantinya dengan pengobatan oral dengan
efek yang sama. Jet injector dapat mengeliminasi beberapa
penggunaan suntikan dan jarum. Contoh lain mencakup eliminasi
dari benda tajam yang tidak perlu seperti jepitan handuk, sistem
intra-venous (IV) tanpa jarum (non-needle connectors for
supplemental atau “piggyback” connection to intravenous lines).
Substitusi:
Dimana eliminasi tidak mungkin, pengusaha harus
mengganti cara kerja dengan cara lain yang menimbulkan risiko
lebih kecil. Contohnya adalah mengganti dengan bahan kimia
yang lebih kurang beracun untuk disinfektan, seperti asam
parasetat bagi glutaraldehida.
Pengendalian rekayasa:
Pengendalian ini mengisolasi atau membuang potensi
bahaya dari tempat kerja. Dapat mencakup penggunaan
mekanisme, metoda dan peralatan yang tepat untuk mencegah
pajanan pekerja. Upaya yang dikembangkan untuk meminimalisir
pajanan terhadap darah atau cairan tubuh harus
memperhitungkan:
(1) Wadah benda tajam, juga dikenal sebagai kotak pengaman;
(2) peralatan tehnologi yang lebih baru seperti alat yang lebih
aman dengan pencegahan kecelakaan yang direkayasa;
(3) faktor-faktor ergonomi seperti perbaikan pencahayaan,
pemeliharaan tempat kerja dan tata ruang tempat kerja;
(4) pengecekan regular dari instrumen dan peralatan yang
digunakan dalam tempat kerja, seperti otoklaf dan peralatan

18
dan proses sterilisasi lain, dengan reparasi atau mengganti
dengan tepat.
Pengendalian cara kerja:
Pengendalian ini mengurangi pajanan terhadap potensi
bahaya pekerjaan melalui cara bagaimana pekerjaan dilakukan,
melindungi kesehatan dan meningkatkan kepercayaan diri pekerja
sektor kesehatan dan pasien mereka. Contoh mencakup tidak ada
penutupan ulang jarum, menempatkan kemasan benda tajam
setinggi mata dan dalam jangkauan tangan, kosongkan kemasan
benda tajam sebelum dia penuh dan membangun cara untuk
penanganan dan pembuangan yang aman dari alat-alat tajam
sebelum memulai suatu prosedur. Pengusaha harus memastikan
bahwa cara kerja aman dilaksanakan, dan cara kerja tidak aman
dimodifikasi setelah pengendalian risiko lainnya telah diterapkan.

3) Prevalensi HIV Tinggi


ICN (International Council Of Nurse) 2005 melaporkan bahwa
estimasi sekitar 19 - 35 % semua kematian pegawai kesehatan
pemerintah di Afrika disebabkan oleh HIV/AIDS dan di negara lain juga
para perawat menolak merawat penderita AIDS yang sudah mendekati
ajal. Di Indonesia data ini tidak tersedia dengan baik, perawat sebagai
salah satu tenaga kesehatan adalah kategori orang – orang yang
rentan yaitu orang – orang yang karena lingkup pekerjaan sehingga
rentan terhadap penularan HIV. (Dedi Fahrudin, 2009)
HIV dan virus-virus sejenisnya umumnya ditularkan melalui kontak
langsung antara lapisan kulit dalam (membran mukosa) atau aliran
darah, dengan cairan tubuh yang mengandung HIV, seperti darah, air
mani, cairan vagina, cairan preseminal, dan air susu ibu. Penularan
dapat terjadi melalui hubungan intim (vaginal, anal, ataupun oral),
transfusi darah, jarum suntik yang terkontaminasi, antara ibu dan bayi
selama kehamilan, bersalin, atau menyusui, serta bentuk kontak
lainnya dengan cairan-cairan tubuh tersebut. (Divisions of HIV/AIDS
Prevention, 2003), (San Francisco AIDS Foundation, 2006)

19
Jalur penularan ini terutama berhubungan dengan pengguna
obat suntik, penderita hemofilia, dan resipien transfusi darah dan
produk darah. Berbagi dan menggunakan kembali jarum suntik
(syringe) yang mengandung darah yang terkontaminasi oleh
organisme biologis penyebab penyakit (patogen), tidak hanya
merupakan risiko utama atas infeksi HIV, tetapi juga hepatitis B dan
hepatitis C. Berbagi penggunaan jarum suntik merupakan penyebab
sepertiga dari semua infeksi baru HIV dan 50% infeksi hepatitis C di
Amerika Utara, Republik Rakyat Cina, dan Eropa Timur. Resiko
terinfeksi dengan HIV dari satu tusukan dengan jarum yang digunakan
orang yang terinfeksi HIV diduga sekitar 1 banding 150. Post-exposure
prophylaxis dengan obat anti-HIV dapat lebih jauh mengurangi risiko
itu. (Fan, H, 2005).
a) Pekerja fasilitas kesehatan (perawat, pekerja laboratorium, dokter,
dan lain-lain) juga dikhawatirkan walaupun lebih jarang. Jalur
penularan ini dapat juga terjadi pada orang yang memberi dan
menerima rajah dan tindik tubuh. Kewaspadaan universal sering kali
tidak dipatuhi baik di Afrika Sub Sahara maupun Asia karena
sedikitnya sumber daya dan pelatihan yang tidak mencukupi. WHO
memperkirakan 2,5% dari semua infeksi HIV di Afrika Sub Sahara
ditransmisikan melalui suntikan pada fasilitas kesehatan yang tidak
aman. Oleh sebab itu, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa,
didukung oleh opini medis umum dalam masalah ini, mendorong
negara-negara di dunia menerapkan kewaspadaan universal untuk
mencegah penularan HIV melalui fasilitas kesehatan. (WHO, 2003).
b) HIV dapat ditularkan dari orang ke orang melalui kontak seksual,
penggunaan jarum dan syringes yang terkontaminasi, transfusi darah
atau komponen-komponennya yang terinfeksi; transplantasi dari
organ dan jaringan yang terinfeksi HIV. Sementara virus kadang-
kadang ditemukan di air liur, air mata, urin dan sekret bronkial,
penularan sesudah kontak dengan sekret ini belum pernah dilaporan.
Risiko dari penularan HIV melalui hubungan seks lebih rendah
dibandingkan dengan Penyakit Menular Seksual lainnya. Namun
adanya penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual terutama
penyakit seksual dengan luka seperti chancroid, besar kemungkinan

20
dapat menjadi pencetus penularan HIV. Determinan utama dari
penularan melalui hubungan seksual adalah pola dan prevalensi dari
orang orang dengan “sexual risk behavior” seperti melakukan
hubungan seks yang tidak terlindung dengan banyak pasangan seks.
Tidak ada bukti epidemiologis atau laboratorium yang menyatakan
bahwa gigitan serangga bisa menularkan infeksi HIV, risiko
penularan melalui seks oral tidak mudah diteliti, tapi diasumsikan
sangat rendah. (WHO, 2003)

b. Perilaku
1) Kepatuhan Prosedur Kerja
Penggunaan APD adalah upaya pengendalian yang
menempatkan rintangan dan saringan antara pekerja dan potensi
bahaya. Pengusaha harus menyediakan peralatan untuk
melindungi pekerja dari pajanan terhadap darah atau cairan tubuh.
Mereka harus memastikan bahwa: (ILO,2005)
(1)terdapat pasokan alat-alat pelindung diri yang cukup;
(2)peralatan dipelihara dengan benar;
(3)pekerja mempunyai akses terhadap alat-alat tersebut dengan
gratis;
(4)pekerja dilatih dengan memadai dalam cara penggunaannya,
dan tahu bagaimana memeriksa APD untuk mencari kerusakan
dan prosedur untuk melaporkan dan menggantikannya;
(5)terdapat kebijakan penggunaan APD yang jelas dan pekerja
sektor kesehatan sangat waspada tentang itu;
(6)alat-alat berikut harus disediakan, bila sesuai :
1) berbagai perban tidak berpori dan kedap air untuk pekerja
sektor kesehatan dengan kulit yang lecet atau terluka
2) berbagai sarung tangan dengan berbagai ukuran, steril dan
non-steril, termasuk lateks berat, vinil,kulit kedap air dan
bahan-bahan tahan tusukan lainnya; mereka harus dipakai
bilamana pekerja sektor kesehatan diduga akan kontak
dengan darah atau cairan tubuh atau menangani sesuatu
yang terkontaminasi dengan darah atau cairan tubuh;

21
3) pelindung pernafasan yang tepat, termasuk masker untuk
resusitasi mulut ke mulut bila kantong sistem(bagging
system) tidak tersedia atau tidak efektif;
4) celemek plastik, gaun kedap air, pelindung mata, masker
tahan cairan, overal dan overboot bagi pekerja yang
mungkin terpercik atau tersemprot darah dalam pekerjaan
mereka.
Inti dari cara kerja aman untuk mengurangi risiko
penularan HIV dan infeksi melalui darah lainnya di tempat kerja
adalah kewaspadaan standar, higene perseorangan, dan program
pengendalian infeksi. Pimpinan rumah sakit harus memastikan
bahwa sarana cuci tangan tersedia pada tempat yang ditandai
dengan jelas dalam tempat kerja. Sarana cuci tangan harus
dilengkapi dengan pasokan air yang cukup, sabun dan handuk
sekali pakai. Dimana tidak mungkin menggunakan air mengalir,
cara alternatif untuk cuci tangan harus disediakan, seperti alkohol
70% untuk pengoles tangan. Pekerja harus mencuci tangan
mereka pada awal dan akhir setiap shift, sebelum dan sesudah
merawat pasien, sebelum dan sesudah makan, minum, merokok
dan pergi ke kamar kecil, dan sebelum atau sesudah keluar dari
daerah kerja mereka. Pekerja harus mencuci dan mengeringkan
tangan mereka setelah kontak dengan darah atau cairan tubuh
dan segera setelah membuka sarung tangan. Mereka harus juga
mengecek apakah ada sayatan atau lecet pada bagian tubuh yang
terpajan, dan gunakan perban kedap air untuk menutup setiap
temuan. Pekerja harus didorong untuk melaporkan setiap reaksi
yang mereka dapat terhadap cuci tangan yang sering dan bahan-
bahan yang digunakan, untuk tindakan yang tepat oleh
pengusaha. (ILO, 2005)
Pengusaha harus membuat prosedur untuk menangani dan
membuang benda-benda tajam, termasuk alat-alat suntik, dan
memastikan bahwa pelatihan, pemantauan dan evaluasi
penerapannya dilaksanakan dengan baik. Prosedur tersebut harus
mencakup (ILO, 2005):

22
2. penempatan wadah tahan tusukan yang diberi tanda dengan
jelas untuk membuang benda-benda tajam ditempatkan
sedekat mungkin ke daerah dimana benda-benda tajam
tersebut digunakan atau ditemukan;
3. penempatan ulang yang teratur dari wadah benda-benda tajam
sebelum mereka mencapai garis isi dari manufaktur atau bila
mereka sudah setengan penuh; wadah harus ditutup sebelum
dibuang;
4. pembuangan dari benda tajam yang tidak bisa dipakai ulang
dalam wadah yang ditempatkan dengan aman, yang memenuhi
peraturan nasional yang relevan dan pedoman teknis;
5. hindari penutupan ulang dan manipulasi jarum dengan tangan
lainnya, dan, bila penutupan jarum diperlukan, gunakan tehnik
sekop dengan satu tangan;
6. tanggung jawab untuk pembuangan yang benar oleh orang
yang menggunakan benda-benda tajam;
7. tanggung jawab untuk pembuangan yang tepat dan
melaporkan setiap kejadian oleh setiap orang yang
menemukan benda tajam.
Infeksi nosokomial sebagian besar dapat dicegah dengan
berbagai cara pencegahan infeksi yang telah tersedia dan relatif
murah yaitu : (Manajemen keperawatan, 2008)
a) Menerapkan Tindakan Pencegahan Baku khususnya cuci
tangan (atau penggunaan larutan cuci tangan antiseptik) dan
memakai sarung tangan
b) Memproses alat dan benda bekas pakai dengan benar
c) Mengurangi suntikan yang tidak aman dan tidak perlu
d) Meningkatkan praktek pencegahan infeksi di Kamar Operasi
dan ruang lain yang beresiko tinggi untuk mencegah infeksi
luka bedah dan mencegah penyakit yang ditularkan melalui
darah.
Selain itu, salah satu strategi yang sudah terbukti bermanfaat
dalam pengendalian infeksi nosokomial adalah peningkatan
kemampuan petugas kesehatan dalam metode Universal
Precautions atau dalam bahasa Indonesia Kewaspadan Universal

23
(KU) yaitu suatu cara penanganan baru untuk meminimalkan
pajanan darah dan cairan tubuh dari semua pasien, tanpa
memperdulikan status infeksi. Dasar KU adalah cuci tangan
secara benar, penggunaan alat pelindung, desinfeksi dan
mencegah tusukan alat tajam, dalam upaya mencegah transmisi
mikroorganisme melalui darah dan cairan tubuh. (Sulianto Saroso,
2010)
Dengan pelatihan ini, seorang petugas kesehatan
diharapkan mampu mengubah sikap dalam bekerja sehingga
dapat melindungi pasien, dirinya dan lingkungan kerja terhadap
infeksi nosokomial. Petugas kesehatan yang selesai mengikuti
pelatihan diharapkan memahami dasar Kewaspadaan Universal
dan dapat menilai keadaan yang potensial untuk terjadi penularan
infeksi bagi pasien, dirinya dan orang lain. Petugas juga
diharapkan dapat merencanakan kebutuhan sistem, sarana dan
penunjang lainnya sehingga dapat menyediakan tempat kerja
yang aman terhadap infeksi. (Sulianto Saroso, 2010)

c. Kebijakan
Sejak 1987, jumlah kasus HIV dan AIDS dalam kurun
waktu 13 tahun yang semula meningkat perlahan-lahan, mulai
2000 menunjukkan peningkatan yang sangat tajam.
Bayangan ancaman pada 2010 akan ada sekitar 100.000
orang yang menderita /meninggal karena AIDS. dan sekitar 1
juta orang yang mengidap virus HIV. Peraturan Presiden No.
75 Tahun 2006 mengamanatkan perlunya peningkatan upaya
penanggulangan HIV dan AIDS di seluruh Indonesia.
Respons harus ditujukan untuk mengurangi semaksimal
mungkin peningkatan kasus baru dan kematian. (Kurniawan,
2010)
Pada 2010 ini, Pemerintah Indonesia telah menyusun
beberapa kebijakan maupun program secara nasional untuk
pencegahan HIV-AIDS. Dalam Rencana Aksi Nasional
mengenai HIV-AID, ada beberapa kebijakan yang diatur di

24
dalamnya. Kebijakan-kebijakan yang ada dalam Rencana
Aksi Nasional mengenai HIV-AIDS tersebut antara lain:
(Kurniawan, 2010)
1) Meningkatkan kegiatan pencegahan dampak buruk
untuk menjangkau 80% Penasun (pengguna narkoba
suntuk)
2) Mempromosikan penggunaan 100% kondom di
wilayah hotspot untuk menjangkau 80% pekerja seks
komersil
3) Menyediakan layanan pencegahan komprehensif
untuk menjangkau 80% Penasun di penjara/rutan
lapas
4) Menyediakan layanan ARV kepada seluruh ODHA
yang membutuhkan
Menyediakan informasi pencegahan untuk seluruh
golongan remaja dan dewasa muda.

Pemerintah pada tahun 2006 mengeluarkan


Peraturan Presiden RI Nomor 75 tahun 2006 yang
menetapkan kembali pembentukan Komisi Penanggulangan
AIDS Nasional (KPAN) untuk membuat suatu rencana
penanggulangan HIV AIDS secara lebih menyeluruh dan
terkoordinasi. Salah satu tugas dari KPAN ini adalah
penyusunan rencana strategis nasional dan rencana aksi
nasional (RAN).(Kurniawan, 2010)
Dalam program ini, masyarakat sipil terutama
masyarakat daerah mendapat posisi yang cukup penting
untuk kontribusi mereka. Kontribusi ini didapatkan melalui
sistem perwakilan baik di tingkat pusat maupun daerah.
Yang akan dikaji lebih lanjut dalam tulisan ini adalah
bagaimana sistem perwakilan ini bisa memberikan kontribusi
dalam program penanggulangan HIV AIDS dan siapa yang
dimaksud dengan masyarakat sipil disini. Rencana Aksi
Nasional (RAN) adalah suatu.sistem penanggulangan HIV
AIDS jangka panjang yang komprehensif mencakup program

25
pencegahan, perawatan, dukungan dan pengobatan.
(Kurniawan, 2010)
Beberapa Kebijakan terhadap AIDS sesuai bidang-
bidangnya antara lain :
1) Kebijakan terhadap AIDS di bidang Kesehatan
Masyarakat
Penanggulangan epidemi HIV melalalui
perspektif kesehatan masyarakat merupakan langkah
utama tapi harus berbarengan dengan kebijakan
penanganan klinis yaitu pengobatan. Kebijakan
penanggulangan epidemi HIV dari aspek kesehatan
masyarakat diutamakan karena menyangkut
penyebaran HIV yang terjadi tanpa disadari. Dalam
kaitan inilah kebijakan yang menyangkut kesehatan
masyarakat, khususnya terkait dengan perilaku seks,
merupakan langkah utama yang ditempuh untuk
melindungi masyarakat dari penyebaran HIV. (JOTHI,
2009)
Kebijakan klinis merupakan langkah untuk
meningkatkan kualitas hidup dan juga menurunkan
potensi penularan HIV. Program pengobatan dengan
obat antiretroviral (ARV) merupakan langkah klinis yang
mendukung penanggulangan dari aspek kesehatan
masyarakat. Selain meningkatkan kualitas hidup ODHA
pengobatan dengan ARV juga menurunkan potensi
menularkan HIV karena jumlah virus dalam darah tidak
mencukupi lagi untuk ditularkan.(JOTHI,2009)

2) Kebijakan terhadap AIDS di bidang Sosial Budaya


Masyarakat
Kebijakan yang berkaitan dengan kehidupan
sosial bermasyarakat diantaranya adalah mengenai
BKKBN yang telah mengembangkan PIK-KRR (Pusat
Informasi dan Konseling Kesehatan Reproduksi
Remaja) untuk remaja SMA dan Perguruan Tinggi di

26
seluruh Indonesia (satu PIK-KRR per kecamatan) yang
mengangkat issue pencegahan HIV-AIDS secara intens.
Akan tetapi masih belum ada program yang mengaitkan
gender dan pencegahan HIV(JOTHI,2009).
Departemen Kesehatan RI juga telah
mengembangkan Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja
(PKPR) diseluruh Indonesia (satu PKPR per kecamatan)
yang juga termasuk program pencegahan dan
pengobatan HIV-AIDS. Demikian juga dengan
Departemen Pendidikan Nasional telah
mengembangkan modul pembelajaran pencegahan
HIV-AIDS bagi siswa SMP dan SMA. Akan tetapi
beberapa isu seperti kekerasan berbasis gender, hak
reproduksi dan seksual serta materi tentang seks yang
aman tidak dimasukan dalam modul tersebut dan masih
bersifat pilot project.(JOTHI,2009)
Peraturan Presiden RI Nomor 75 tahun 2006
yang menetapkan kembali pembentukan Komisi
Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) untuk
membuat suatu rencana penanggulangan HIV AIDS
secara lebih menyeluruh dan terkoordinasi diantaranya
melibatkan secara nyata masyarakat. Salah satu tugas
dari KPAN ini adalah penyusunan rencana strategis
nasional dan rencana aksi nasional (RAN) .
(KPAN,2006)

Dalam program ini, masyarakat sipil terutama


masyarakat daerah mendapat posisi yang cukup penting
untuk kontribusi mereka. Kontribusi ini didapatkan
melalui sistem perwakilan baik di tingkat pusat maupun
daerah. Yang akan dikaji lebih lanjut dalam tulisan ini
adalah bagaimana sistem perwakilan ini bisa
memberikan kontribusi dalam program penanggulangan
HIV AIDS dan siapa yang dimaksud dengan masyarakat
sipil.(JOTHI,2009)

27
3) Kebijakan terhadap AIDS di bidang Perlindungan
Hak Asasi Manusia
Direktur Eksekutif UNAID mengidentifikasi lima
wilayah praktis di mana Komnas-Komnas HAM dapat
memperkuat kerja mereka berkenaan dengan HIV/AIDS,
sebagai berikut: (UNAID,2003)
a) Melakukan penyelidikan atas kasus-kasus
pelanggaran Ham yang terjadi dalam konteks
HIV/AIDS;
b) Melakukan penyelidikan umum yang
dipusatkan pada pelanggaran Ham yang berkaitan
dengan HIV/AIDS;
c) Menerima dan di mana memadai
menanggapi pengaduan pelanggaran Ham yang
berkaitan dengan HIV/AIDS;
d) Menyediakan nasihat dan bantuan kepada
pemerintah berkenaan dengan masalah Ham dan
HIV/AIDS;
e) Melakukan pendidikan Ham dalam konteks
HIV/AIDS.

KOMNAS-HAM Indonesia berdasarkan UU No.


39 Tahun l999 tentang HAM, mempunyai kompetensi
untuk menjalankan fungsi-fungsi pemantauan, mediasi,
penyuluhan dan pengkajian di bidang Ham. Lima
wilayah yang didentifikasi tersebut tentu dapat dilakukan
oleh Komnas-Ham Indonesia, dalam hal ini Sub-Komisi
Perlindungan Kelompok Masyarakat khusus, termasuk
namun tidak terbatas masyarakat ODHA.(Nusantara,
2005)
Sebagai upaya antidiskriminasi terhadap ODHA,
diperlukan adanya pemahaman yang lebih mengenai
ODHA itu sendiri. Walaupun pendampingan ODHA
dapat dilakukan secara personal, pendidikan merupakan

28
wadah yang dapat dikatakan efektif untuk memperoleh
pemahaman yang cukup mendasar mengenai
HIV/AIDS. Karena semakin tinggi pendidikan seseorang,
semakin tinggi pula pengetahuan dan wawasan dia dan
akan semakin tinggi pula tingkat toleransi dan
kepeduliannya terhadap sesama, terlebih kepada orang-
orang seperti ODHA yang seharusnya didampingi dan
didekati, bukan justru dijauhi dan didiskriminasikan
(UNAIDS,2003)
4) Kebijakan terhadap AIDS di lingkup dunia
pekerjaan
Dalam pembahasan kasus kali ini,kaitan erat ada
pada lingkup dunia kerja. Di dalam dunia pekerja juga
diperlukan adanya kebijakan – kebijakan mengenai
HIV/AIDS. Dasar Hukum Kebijakan Perlindungan
Pekerja dengan HIV/AIDS diantaranya:
a) Undang-undang no. 23 tahun 1992 pasal 23
tentang kesehatan, dimana pelayanan kesehatan
dilaksanakan disetiap tempat kerja yang memiliki
karyawan 10 orang atau lebih dari 10 orang.
b) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor KEP.68/MEN/2004 tentang
pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS di
tempat kerja pada tanggal 28 April 2004.
c) Komitmen Tri Partit. Pemerintah Indonesia,
Organisasi pengusaha dan pekerja telah
mendeklarasikan Komitmen Tripartit dalam
seminar mengenai HIV/AIDS, ”Aksi Menentang
HIV/AIDS di Dunia kerja” pada 25 Februari 2003 di
Jakarta.
d) Kaidah ILO. ILO telah mengadopsi Kaidah
tentang HIV/AIDS di Tempat Kerja yang
merupakan hasil konsultasi dengan konstituen ILO
pada 21 Juni 2001. Kaidah ini dimaksudkan untuk
membantu mengurangi penyebaran HIV dan

29
dampak terhadap pekerja dan keluarganya.
Kaidah tersebut berisikan prinsip-prinsip dasar
bagi pengembangan kebijakan dan petunjuk
praktis ditingkat perusahaan dan komunitas.(ILO,
2005)

Sepuluh prinsip-prinsip kunci dari Kaidah ILO


tentang HIV/AIDS dan Dunia Kerja yang berlaku bagi
semua semua aspek pekerjaan dan semua tempat
kerja,termasuk sektor kesehatan.(ILO,2005)
a. Isu tempat kerja: HIV/AIDS adalah isu
tempat kerja, karena dia mempengaruhi angkatan
kerja, dan karena tempat kerja dapat memainkan
peran vital dalam membatasi penularan dan
dampak epideminya.
b. Non-diskriminasi: Seharusnya tidak ada
diskriminasi atau stigma terhadap pekerja
berdasarkan status HIV yang nyata atau dicurigai.
c. Kesetaraan gender: Hubungan gender yang
lebih setara dan pemberdayaan wanita adalah
penting untuk mencegah penularan HIV dan
membantu masyarakat mengelola dampaknya.
d. Lingkungan kerja yang sehat: Tempat kerja
harus meminimalkan risiko pekerjaan, dan
disesuaikan dengan kesehatan dan kemampuan
pekerja.
e. Dialog sosial: Kebijakan dan program
HIV/AIDS yang sukses membutuhkan kerjasama
dan saling percaya antara pengusaha, pekerja dan
pemerintah.
f. Tidak boleh melakukan skrining untuk
tujuan pekerjaan: Tes HIV di tempat kerja harus
dilaksanakan sebagaimana dijelaskan dalam kaidah
ILO, harus bersifat sukarela dan rahasia, dan tidak

30
boleh digunakan untuk menskrining pelamar atau
pekerja.
g. Kerahasiaan: Akses kepada data
perseorangan, termasuk status HIV pekerja, harus
dibatasi oleh aturan dan kerahasiaan yang
ditentukan dalam instrumen ILO yang ada.5
h. Melanjutkan hubungan pekerjaan: Pekerja
dengan penyakit yang berkaitan dengan HIV harus
dibolehkan bekerja dalam kondisi yang sesuai
selama dia mampu secara medik.
i. Pencegahan: Mitra sosial mempunyai posisi
yang unik untuk mempromosikan upaya
pencegahan melalui informasi, pendidikan dan
dukungan bagi perubahan perilaku.
j. Kepedulian dan dukungan: Pekerja berhak
mendapat pelayanan kesehatan yang terjangkau
dan mendapat santunan dari jaminan yang bersifat
wajib dan jaminan yang berkaitan dengan
pekerjaan.

5) Kebijakan terhadap AIDS terkait teknis pelayanan


Rumah Sakit sebagai Sarana Pelayanan Kesehatan
Pada umumnya tidak memerlukan perawatan
tersendiri (isolasi) kecuali bila muncul gejala gejala yang
mungkin membahayakan lingkungannya (source
isolation) atau kemungkinan lingkungan yang dapat
membahayakan penderita (protective isolation). (RS Dr.
Saiful Anwar. 2009)
Yang paling penting adalah penyiapan tenaga
kesehatan mengingat perawatan penderita tidak dapat
hanya dibebankan pada tenaga khusus saja, namun
harus pula melibatkan seluruh staf rumah sakit baik dari
tingkatan struktral sampai fungsional bedah dan medik,
serta tenaga penunjang termasuk tenaga teknis. Pada
awalnya tim dokter dan perawat seyogyanya dipilih pada

31
mereka yang mempunyai kecakapan bekerja, mental
yang stabil, berdedikasi tinggi untuk rela bekerja demi
keselamatan semua pihak.Namun demikian bila kondisi
lingkungan RS sudah tidak phobi lagi, maka perawatan
penderita HIV/AIDS dilaksanakan seperti halnya
penderita lainnya. (RS Dr. Saiful Anwar. 2009)
Untuk masalah penjagaan kerahasiaan, sesuai
dengan kode etik kedokteran pasal 11 yang menyatakan
bahwa setiap dokter harus memberikan kesempatan
kepada pasien agar senantiasa dapat berhubungan
dengan keluarga dan penasehatnya dalam beribadat
dan atau dalam masalah lainnya. Begitupun dengan
pasal 12 yakni setiap dokter wajib merahasiakan segala
sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien,
bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia. Ini
menjadi sebuah pelayanan utama bagi pasien yang
bertujuan untuk menghindari diskriminasi pasien.(IDI,
2004)

Kebijakan dan pengembangan program


penanggulangan HIV/AIDS Indonesia sudah cukup banyak
dibuat namun tetap masih lemah akibat dari berbagai macam
sebab, termasuk kurangnya data yang dapat diandalkan dari
luas dan jangkauan epidemi, penyebab dan konsekuensinya,
dan perkiraan arahnya di masa depan. Riset operasional dan
perilaku masih dibutuhkan untuk pembuatan kebijakan.
Terbatasnya dana yang tersedia untuk program nasional
(terutama dana dari dalam negeri dibandingkan dengan dana
dari negara donor) menunjukkan rendahnya prioritas yang
diberikan pada epidemi ini. Perencanaan strategis masih
belum dilakukan secara konsisten untuk menentukan cara
alokasi dana yang terbatas, terutama mengenai intervensi
yang efektif dan efisien. Pengumpulan data statistik yang
akurat dan teratur di setiap propinsi dan kabupaten juga
sangat penting untuk mendukung Pemerintah Daerah dalam

32
mengembangkan program mereka secara efektif.
(JOTHI,2009)
Untuk mencapai hasil yang optimal dalam
pelaksanaan program-program tersebut diatas,peran serta
masyarakat beserta pemerintah baik daerah,propinsi maupun
nasional harus ditingkatkan. Pelaksanaan dan pengawasan
yang menjadi hal utama terlaksananya program menjadi kunci
penting keberhasilan program tersebut. Mekanisme
kepemimpinan, koordinasi pelaksanaan, kemitraan, serta
keterlibatan masyarakat sipil sangatlah penting. Selain itu
perlunya suatu evaluasi berkala oleh pihak-pihak terkait yang
dilakukan secara serius terutama masalah kualitas dan
kapabilitas orang-orang yang mengisi posisi perwakilan
masyarakat di dalam program juga menjadi salah satu fokus
penting yang terlupakan. Maka dari itu sistem yang baik juga
sangat berpengaruh terhadap keberhasilan program.
(JOTHI,2009)

3. Patofisiologis HIV
HIV / AIDS dipandang sebagai penyakit kronis saat ini, karena
orang HIV positif dapat hidup dengan infeksi selama bertahun-tahun jika
mereka terlihat setelah sistem kekebalan tubuh mereka. Terutama obat
antiretroviral memungkinkan banyak orang yang sudah sangat sakit
dengan HIV / AIDS, untuk menjadi sepenuhnya berfungsi lagi - dengan
viral load rendah atau bahkan tidak terdeteksi. Hal ini juga tidak mungkin
untuk mengatakan apa gejala dan penyakit akan terkait dengan infeksi
HIV pada orang tertentu. Karena cara yang unik di mana HIV menyerang
dan melucuti sistem kekebalan tubuh, semua jenis bakteri, jamur,
protozoa, virus dan kanker dapat menyerang tubuh. Itulah alasan
mengapa AIDS merupakan sindrom - kumpulan banyak penyakit dan
infeksi.(Scott,2007)
1. Infeksi HIV primer (sero-konversi akut penyakit)
2. Fase laten tanpa gejala
3. Fase gejala minor.
4. Tahap gejala utama dan infeksi oportunistik

33
5. Kondisi terdefinisi AIDS: tahap gejala parah.
Menurut definisi WHO ada empat tahap klinis berdasarkan ada
atau tidak adanya tanda-tanda, gejala dan infeksioportunistik. Ini lebih
umum digunakan dan dikenal sebagai WHO stadium klinis HIV / AIDS
untuk orang dewasa dan remaja. Sedangkan menurut CDC terdapat tiga
kategori klinis infeksi HIV yang didasarkan pada jumlah T-sel CD4 plus
ada atau tidak adanya tanda-tanda, gejala dan infeksi oportunistik. Ini
dikenal sebagai sistem klasifikasi CDC untuk infeksi HIV dan tidak banyak
digunakan. Kategori tersebut antara lain (WHO, 2007):
1. Kategori A (Asimtomatik)
Seperti namanya, biasanya tidak ada tanda-tanda atau gejala
hadir dalam fase ini - tanda-tanda pertama infeksi HIV (tahap satu)
tidak lagi jelas. Fase ini bisa bertahan selama 7 sampai 10 tahun
tetapi dapat lebih lama atau lebih pendek tergantung pada sejumlah
faktor. Jumlah T-sel CD4 biasanya di atas 500 sel/mm3, namun,
beberapa pasien dengan jumlah T-sel CD4 di bawah 500 sel/mm3
tetapi biasanya di atas 350 sel/mm3 juga mungkin berada dalam fase
ini.
2. Kategori B (Sedikit Gejala Penyakit atau Gejala Dini Infeksi HIV)
Pada fase infeksi HIV, gejala persisten atau berulang menjadi
jelas. Ini adalah fase transisi antara menjadi asimptomatik dan
pengembangan AIDS. Tahap ini biasanya berkorelasi dengan jumlah
T-sel CD4 kurang dari 500 sel/mm3, bagaimanapun, jumlah CD4 bisa
lebih tinggi pada beberapa pasien.
3. Kategori C
Akhir dari infeksi HIV adalah apa yang disebut sebagai AIDS
(Acquired Immune Deficiency Syndrome) dan ini didasarkan pada
adanya penyakit tertentu (dikenal sebagai penyakit terdefinisi AIDS)
dan / atau jumlah CD4 T-sel lebih rendah dari 200 sel/mm3. Sebuah
jumlah CD4 menurun dan viral load meningkat lebih lanjut akan
berfungsi untuk mengkonfirmasi bahwa ini adalah penyakit terdefinisi
AIDS.

34
Menurut teori, perjalanan penyakit mulai dari infeksi sampai timbul
gejala dan keluhan adalah sebagai berikut : (Scott, 2007)
1. Fase Infeksi HIV Primer (Sero-konversi Penyakit Akut)
Fase infeksi HIV akut (sero-konversi penyakit akut) dimulai segera
setelah sero-konversi telah terjadi. Sero-konversi berarti titik waktu ketika
mengubah status HIV seseorang atau perubahan dari yang HIV negatif
untuk HIV-positif. Hal ini juga biasanya bertepatan dengan waktu ketika
tes antibodi HIV akan menunjukkan bahwa seseorang adalah HIV
positif(Scott, 2007).
Sero-konversi biasanya terjadi 4-8 minggu setelah seseorang
telah terinfeksi HIV. Sekitar 30% -60% dari orang yang terinfeksi HIV
mengalami gejala flu seperti sakit tenggorokan, sakit kepala, demam
ringan, kelelahan, nyeri otot dan sendi, pembengkakan kelenjar getah
bening, ruam, dan kadang-kadang ulkus oral. Ini biasanya berlangsung
dari antara satu dan dua minggu gejala(Scott, 2007).
Karena cepat replikasi virus, viral load HIV biasanya sangat tinggi
selama fase akut. Segera dan agresif pengobatan dengan terapi anti-
retroviral (ART) pada tahap ini mungkin efektif dalam mengurangi viral
load ke tingkat tidak terdeteksi, atau bahkan dalam pemberantasan virus
oleh antibodi (Scott, 2007).

2. Fase Laten Tanpa Gejala


Tahap kedua dari infeksi HIV adalah laten tanpa gejala atau fase
diam. Pada tahap ini, orang yang terinfeksi tidak menampilkan gejala.
Individu yang terinfeksi seringkali bahkan tidak menyadari bahwa mereka
membawa HIV dalam tahap ini. Oleh karena itu, mungkin tanpa disadari
menginfeksi pasangan seks yang baru. Meskipun orang yang terinfeksi
mungkin tidak peduli terhadap kehadirannya, virus namun tetap aktif
dalam tubuh selama tahap ini dan terus kerusakan dan merusak sistem
kekebalan tubuh korban-nya. Tes HIV antibodi positif seringkali
merupakan satu-satunya indikasi infeksi HIV selama fase laten(Scott,
2007).
Orang yang terinfeksi HIV dapat tetap sehat untuk waktu yang
lama, tidak menunjukkan gejala dan melanjutkan dengan pekerjaan
mereka secara normal. Beberapa orang tetap HIV positif selama

35
bertahun-tahun tanpa ada manifestasi dari penyakit klinis sedangkan
yang lain mungkin memburuk dengan cepat, mengembangkan AIDS dan
mati dalam beberapa bulan. Dalam beberapa kasus, gejala hanya selama
fase ini adalah kelenjar bengkak(Scott, 2007).

3. Fase Gejala Penyakit HIV Minor


Pada tahap ketiga gejala infeksi, gejala awal penyakit HIV
biasanya mulai terwujud. Fase ini biasanya dimulai ketika orang-orang
dengan antibodi HIV mulai hadir dengan satu atau lebih dari gejala
berikut(Scott, 2007):
a. Pembengkakan kelenjar getah bening di ketiak leher, dan pangkal
paha pada ting ringan sampai sedang
b. Sesekali demam
c. Shingles (atau Herpes zoster)
d. Ruam kulit dan infeksi kuku
e. Luka terbuka di mulut berulang
f. Infeksi saluran pernapasan bagian atas berulang
g. Berat badan turun sampai dengan 10% dari berat badan biasa
seseorang
h. Perasaan kelelahan

4. Fase Gejala Utama Infeksi HIV dan Penyakit Oportunistik


Gejala mayor dan penyakit oportunistik mulai muncul sebagai
sistem kekebalan terus memburuk. Pada titik ini, jumlah CD4 menjadi
sangat rendah sementara viral load menjadi sangat tinggi. Gejala-gejala
berikut ini biasanya merupakan indikasi defisiensi imun lanjut (Scott,
2007):
a. Infeksi jamur oral dan vagina persisten dan berulang (Candida)
b. Herpes simpleks berulang
c. Herpes zoster (atau shingles) berulang
d. Infeksi kulit bakteri dan ruam kulit
e. Demam lebih dari sebulan
f. Berkeringat pada malam
g. Diare selama lebih dari satu bulan
h. Berat badan turun (lebih dari 10 persen dari berat badan biasa)

36
i. Limfadenopati umum (dalam beberapa kasus, menyusutnya kelenjar
getah bening yang sebelumnya membesar)
j. Ketidaknyamanan perut, sakit kepala
k. Oral hairy leucoplakia (bercak putih menebal di sisi lidah)
l. Batuk persisten dan reaktivasi tuberculosis
m. Oportunistik penyakit dari berbagai macam

5. AIDS kondisi terdefinisi: fase bergejala parah


Hanya ketika pasien memasuki fase terakhir dari infeksi HIV dapat
mereka dikatakan memiliki full-blown AIDS. Biasanya diperlukan waktu
sekitar 18 bulan untuk tahap gejala utama untuk berkembang menjadi
AIDS. Pada tahap akhir AIDS, gejala penyakit HIV menjadi lebih akut,
pasien menjadi terinfeksi oleh organisme yang relatif langka dan tidak
biasa yang tidak merespon terhadap antibiotik, sistem kekebalan tubuh
memburuk, dan kondisi oportunistik lebih parah dan tidak dapat diobati
dan kanker mulai terwujud. Sementara orang dengan AIDS (fase terakhir
dari penyakit HIV) biasanya meninggal dalam waktu dua tahun, terapi
anti-retroviral dan pencegahan dan pengobatan infeksi oportunistik dapat
memperpanjang periode ini. Pasien AIDS di tahap akhir biasanya diliputi
oleh banyak masalah berikut (Scott, 2007):
a. Pasien AIDS biasanya sangat tipis dan kurus akibat terus menerus,
mual diare dan muntah (yang dapat berlangsung selama beberapa
minggu atau bahkan selama berbulan-bulan).
b. Kondisi di mulut (seperti sariawan dan luka) bisa menjadi sangat
menyakitkan bahwa pasien tidak lagi bisa makan.
c. Perempuan menderita terus-menerus, infeksi vagina berulang dan
kanker leher rahim.
d. Limfadenopati umum persisten (PGL) muncul - kelenjar getah bening
yang lebih besar dari satu sentimeter diameter, dalam dua atau lebih
situs selain dari daerah selangkangan untuk jangka waktu setidaknya
tiga bulan.
e. Infeksi kulit berat, kutil dan kurap.
f. Infeksi pernafasan, batuk terus-menerus, nyeri dada dan demam.
g. Pneumonia, terutama pneumonia Pneumocystis carinii (PCP).
h. Parah herpes zoster (atau shingles).

37
i. Masalah sistem saraf - sering mengeluh sakit, mati rasa atau
"kesemutan" pada tangan dan kaki.
j. Neurologis kelainan dengan gejala seperti kehilangan memori, kurang
konsentrasi, tremor, sakit kepala, kebingungan, kehilangan visi dan
kejang. pasien AIDS bisa terjadi infeksi pada sistem saraf pusat atau
otak.
k. Sarkoma Kaposi, atau bentuk yang jarang dari kanker kulit (membran
coklat kemerahan atau kebiruan-ungu pembengkakan pada kulit dan
lendir tidak menyakitkan seperti di mulut). Sarkoma Kaposi juga bisa
terjadi di paru-paru dan saluran gastrointestinal. Ia bereaksi dengan
baik untuk kemoterapi atau alfa-interferon, tetapi dapat
mengembangkan lesi terbuka invasif dan menyebabkan kematian jika
tidak segera diobati. Sarkoma kaposi kurang umum di Afrika hitam.
l. Limfoma atau kanker kelenjar getah bening.
m. Tuberkulosis adalah infeksi oportunistik yang sangat serius yang
mempengaruhi orang-orang dengan Aids. Menurut Laporan UNAIDS
tahun 2000, hingga 50 persen dari orang yang terinfeksi HIV di Afrika
TB aktif.
n. Penyakit menular seksual lainnya.

Grafik Sel T CD4


1. Awal Infeksi
Grafik disebelah menunjukkan
kelanjutan infeksi pada beberapa
bulan pertama (masa infeksi akut).
Segera setelah virus masuk ke aliran
darah kita, HIV mulai replikasi secara
cepat, dan viral load meloncat tajam
(garis merah). Oleh karena itu, banyak
sel CD4 dihancurkan, dan jumlah sel
CD4 turun drastis (garis biru).
(Yayasan Spiritia, 2006)
Setelah beberapa minggu,
sistem kekebalan mulai membentuk
antibodi terhadap HIV (garis hijau),

38
dan antibodi ini mulai melawan dengan virus, sehingga viral load mulai
menurun dan jumlah CD4 meningkat kembali. Antibodi baru dapat
terdeteksi oleh tes HIV setelah beberapa minggu (masa jendela). (Yayasan
Spiritia, 2006)
Pada masa ini, viral load dan daya menular paling tinggi. Kadang
kala infeksi akut, yang terjadi 2-3 minggu setelah kita terinfeksi HIV, dapat
menimbulkan penyakit primer atau akut. Penyakit ini dapat ditandai oleh
demam, rasa letih, sakit pada otot dan sendi, sakit menelan, dan
pembesaran kelenjar getah bening. Jadi gejalanya mirip gejala flu, dan
jarang diketahui atau didiagnosis sebagai awal infeksi HIV. Di negara maju,
diperkirakan 30-60% orang mengalami penyakit akut setelah terinfeksi HIV;
di Indonesia, gambarnya belum jelas. (Yayasan Spiritia, 2006)

2. Kelanjutan Infeksi

Grafik berikut menunjukkan kelanjutan infeksi setelah infeksi akut.


Tahap ini biasanya mulai dengan masa tanpa gejala, yang bertahan rata-
rata 7-10 tahun dan dapat jauh lebih lama, atau pun lebih pendek juga.
Selama masa ini viral load meningkat pelan-pelan, sementara jumlah CD4
terus-menerus merosot. HIV replikasi terus dengan puluhan miliar virus
dibuat dan dihancurkan setiap hari. Kemudian viral load mulai meningkat
tajam, sementara jumlah CD4 menurun di bawah 200, yang

39
mendefinisikan AIDS. Karena sistem kekebalan tubuh semakin rusak
(ditandai oleh CD4 yang semakin rendah), infeksi oportunistik (IO) mulai
muncul. Dan semakin rendah CD4, IO akan menjadi semakin berat dan
semakin sulit diobati. Akhirnya, viral load menjadi sangat tinggi dan
jumlah CD4 dapat menjelang nol. (Yayasan Spiritia, 2006)
Pada tahap penyakit lanjutan, jumlah antibodi mulai menurun,
seperti dilihat pada garis hijau. Hal ini terjadi karena antibodi dibuat oleh
sistem kekebalan, dan bila sudah rusak, sistem tersebut tidak mampu
membuat antibodi lagi. Walaupun jarang, pada masa ini, tes HIV dapat
menunjukkan hasil non-reaktif (negatif), karena tinggal terlalu sedikit
antibodi untuk menunjukkan hasil positif. Hal ini disebut sebagai sero-
reversi, tetapi tidak berarti kita sembuh; justru sangat jelas pada saat itu.
(Yayasan Spiritia, 2006)
Namun, karena umumnya gejala penyakit yang kita alami tidak
langsung disebabkan oleh infeksi, melainkan oleh reaksi sistem
kekebalan tubuh terhadap infeksi, dengan sistem kekebalan tubuh begitu
rusak, sering kali gejala penyakit mulai hilang sebagaimana jumlah CD4
menjelang nol. Hal ini bukan berarti tidak sakit; hanya tidak mengalami
gejalanya. Harus ditekankan bahwa kelanjutan ini terjadi bila kita tidak
memakai terapi antiretroviral (ART). Kalau memulai ART sebelum jumlah
CD4 turun di bawah 200, kemungkinan tidak akan mengalami infeksi
oportunistik yang berat, dan tidak akan melanjutkan ke tahap AIDS.
Tetapi jelas keadaan yang baik ini hanya akan berlaku terus-menerus jika
pemakaian ART dengan kepatuhan yang tinggi. (Yayasan Spiritia, 2006)

4. Etiologi Penyakit AIDS


Penyebab AIDS adalah sejenis virus yang tergolong Retrovirus
yang disebut Human Immunodeficiency Virus (HIV). Virus ini pertama
kali diisolasi oleh Montagnier dan kawan-kawan di Prancis pada tahun
1983 dengan nama Lymphadenopathy Associated Virus (LAV),
sedangkan Gallo di Amerika Serikat pada tahun 1984 mengisolasi (HIV)
III. Kemudian atas kesepakatan internasional pada tahun 1986 nama
firus dirubah menjadi HIV.(Siregar, 2004)
Human Immunodeficiency Virus adalah sejenis Retrovirus RNA.
Dalam bentuknya yang asli merupakan partikel yang inert, tidak dapat

40
berkembang atau melukai sampai ia masuk ke sel target. Sel target virus
ini terutama sel Lymfosit T, karena ia mempunyai reseptor untuk virus
HIV yang disebut CD-4. Didalam sel Lymfosit T, virus dapat berkembang
dan seperti retrovirus yang lain, dapat tetap hidup lama dalam sel
dengan keadaan inaktif. Walaupun demikian virus dalam tubuh pengidap
HIV selalu dianggap infectious yang setiap saat dapat aktif dan
dapatditularkan selama hidup penderita tersebut. (Siregar, 2004)
Secara mortologis HIV terdiri atas 2 bagian besar yaitu bagian inti
(core) dan bagian selubung (envelope). Bagian inti berbentuk silindris
tersusun atas dua untaian RNA (Ribonucleic Acid). Enzim reverce
transcriptase dan beberapa jenis prosein. Bagian selubung terdiri atas
lipid dan glikoprotein (gp 41 dan gp 120). Gp 120 berhubungan dengan
reseptor Lymfosit (T4) yang rentan. Karena bagian luar virus (lemak)
tidak tahan panas, bahan kimia, maka HIV termasuk virus sensitif
terhadap pengaruh lingkungan seperti air mendidih, sinar matahari dan
mudah dimatikan dengan berbagai disinfektan seperti eter, aseton,
alkohol, jodium hipoklorit dan sebagainya, tetapi telatif resisten terhadap
radiasi dan sinar utraviolet. Virus HIV hidup dalam darah, savila, semen,
air mata dan mudah mati diluar tubuh. HIV dapat juga ditemukan dalam
sel monosit, makrotag dan sel glia jaringan otak. (Siregar, 2004)

5. Penanganan HIV-AIDS
a. Asupan nutrisi baik
Asuhan gizi dan terapi gizi medis bagi ODHA sangat penting
bila mereka juga mengkonsumsi obat-obat antiretroviral. Makanan
yang dikonsumsi mempengaruhi penyerapan ARV dan obat infeksi
oportunistik dan sebaliknya penggunaan ARV-OI dapat
menyebabkan gangguan gizi. Beberapa jenis ARV-OI harus
dikonsumsi pada saat lambung kosong, beberapa obat lainnya tidak.
Pengaturan diet dapat juga digunakan untuk mengurangi efek
samping ARV-OI (Depkes, 2003).
Asupan zat gizi yang tidak memenuhi kebutuhan akibat infeksi
HIV akan menyebabkan kekurangan gizi yang bersifat kronis dan
pada stadium AIDS terjadi keadaan kurang gizi yang kronis dan
drastis yang mengakibatkan penurunan resistensi terhadap infeksi

41
lainnya. Untuk mengatasi hal tersebut penatalaksanaan gizi yang
baik untuk ODHA amat berguna untuk meningkatkan kualitas hidup
seseorang dengan HIV/AIDS (Depkes, 2003).
1) Paket asuhan gizi
Asuhan gizi bagi ODHA dilakukan melalui tiga kegiatan yang
merupakan paket kegiatan yang terdiri dari (Depkes, 2003):
a) Pemantauan status gizi, meliputi anamnesis diet, pengukuran
antropometri, dan pemeriksaan laboratorium.
b) Intervensi gizi
Upaya promotif sangat perlu dilakukan untuk menyebarluaskan
informasi tentang pentingnya mempertahankan status gizi yang
optimal agar orang yang terinfeksi HIV tidak cepat masuk
dalam stadium AIDS. ODHA yang mendapatkan obat ARV dan
OI perlu diperhatikan efek ARV-OI terhadap fungsi pencernaan
seperti mual, muntah, diare karena keadaan ini dapat
mempengaruhi asupan gizi dan status gizi mereka.
c) Konseling gizi
Konseling mencakup penyuluhan tentang HIV/AIDS dan
pengaruh infeksi HIV pada status gizi. Konseling juga meliputi
tatalaksana gizi, terapi gizi medis serta penyusunan diet,
termasuk pemilihan bahan makanan setempat, cara memasak
dan cara penyajian, keamanan makanan dan minuman, serta
aspek psikologis dan efek samping dari ARV-OI yang
mempengaruhi nafsu makan.
2) Terapi gizi medis
Tujuan terapi gizi medis pada orang dengan HIV/AIDS
(Depkes,2003):
a) Meningkatkan status gizi dan daya tahan tubuh
b) Mencapai dan mempertahankan berat badan normal
c) Memberi asupan zat gizi makro dan mikro sesuai dengan
kebutuhan
d) Meningkatkan kualitas hidup
e) Menjaga interaksi obat dan makanan agar penyerapan obat
lebih optimal
3) Prinsip gizi medis pada ODHA

42
Tinggi kalori tinggi protein (TKTP) diberikan bertahap secara
oral (melalui mulut). Kaya vitamin dan mineral, dan cukup air.
Syarat diet pada orang dengan HIV (Depkes, 2003):
a) Kebutuhan zat gizi dihitung sesuai dengan kebutuhan individu
b) Mengkonsumsi protein yang berkualitas dari sumber hewani
dan nabati seperti daging, telur, ayam, ikan, kacang-kacangan
dan produk olahannya
c) Banyak makanan sayuran dan buah-buahan secara teratur,
terutama sayuran dan buah-buahan berwarna yang kaya
vitamin A (beta-karoten), zat besi
d) Minum susu setiap hari
e) Menghindari makanan yang diawetkan dan makanan yang
beragi (tape, brem)
f) Makanan bersih bebas dari pestisida dan zat-zat kimia
Bila ODHA mendapatkan obat antiretroviral, pemberian
makanan disesuaikan dengan jadwal minum obat di mana ada
obat yang diberikan saat lambung kosong, pada saat lambung
harus penuh, atau diberikan bersama-sama dengan makanan
g) Menghindari makanan yang merangsang alat penciuman
(untuk mencegah mual)
h) Menghindari rokok, kafein dan alcohol
Syarat diet pada pasien AIDS:
a) Kebutuhan zat gizi ditambah 10-25% dari kebutuhan minimum
dianjurkan
b) Diberikan dalam porsi kecil tetapi sering
c) Disesuaikan dengan syarat diet dengan penyakit infeksi yang
menyertainya
d) Mengkonsumsi protein yang berkualitas tinggi dan mudah
dicerna
e) Sayuran dan buah-buahan dalam bentuk jus
f) Minum susu setiap hari, susu yang rendah lemak dan sudah
dipasteurisasi; jika tidak dapat menerima susu sapi, dapat
diganti dengan susu kedelai
g) Menghindari makanan yang diawetkan dan makanan yang
beragi (tape, brem)

43
h) Makanan bersih bebas dari pestisida dan zat-zat kimia
i) Bila ODHA mendapatkan obat antiretroviral, pemberian
makanan disesuaikan dengan jadwal minum obat di mana ada
obat yang diberikan saat lambung kosong, pada saat lambung
harus penuh, atau diberikan bersama-sama dengan makanan
j) Menghindari makanan yang merangsang alat penciuman
(untuk mencegah mual)
k) Rendah serat, makanan lunak/cair, jika ada gangguan saluran
pencernaan
l) Rendah laktosa dan rendah lemak jika ada diare
m) Menghindari rokok, kafein dan alkohol
n) Sesuaikan syarat diet dengan infeksi penyakit yang menyertai
(TB, diare, sarkoma, oral kandidiasis)
o) Jika oral tidak bisa, berikan dalam bentuk enteral dan
parenteral secara aman (Naso Gastric Tube = NGT) atau
intravena (IV)

44
4) Kebutuhan zat gizi makro
Umunya ODHA mengkonsumsi zat gizi di bawah optimal.
Biasanya mereka hanya mengkonsumsi 70% kalori dan 65% protein
dari total yang diperlukan oleh tubuh. Konsumsi zat gizi yang
demikian tidak memenuhi kecukupan kalori yang meningkat karena
peningkatan proses metabolisme sehubungan dengan infeksi akut
(Depkes, 2003).
Kebutuhan kalori ODHA sekitar 2000-3000 Kkcal/hari dan
protein 1,5-2 gram/kgBB/hari. Untuk mencukupi kebutuhan kalori dan
protein sehari diberikan dengan memberikan makanan lengkap 3 kali
ditambah makanan selingan 3 kali sehari. Kebutuhan kalori yang
berasal dari lemak dianjurkan sebesar 10-15% dari total kalori sehari,
khusus pada ODHA dianjurkan mengkonsumsi lemak yang berasal
dari MCT agar penyerapan lebih baik dan mencegah
diare.Kebutuhan zat gizi makro tersebut harus dipenuhi untuk
mencegah penurunan berat badan yang drastic (Depkes, 2003) .
5) Suplementasi zat gizi mikro
Prinsip pemberian terapi gizi adalah pemberian zat gizi untuk
pembentukan sel-sel dalam tubuh. Namun di pihak lain HIV bersifat
merusak sel-sel tersebut sehingga terjadi suatu persaingan dalam
tubuh ODHA. Apabila pada saat terjadi penrusakan sel-sel dalam
tubuh terdapat pula kekurangan zat gizi maka fase AIDS akan terjadi
lebih cepat (Depkes, 2003).
Selain penurunan berat badan, ODHA sangat rentan
terhadap kekurangan zat gizi mikro, oleh karena itu perlu suplemen
multizat gizi mikro terutama yang mengandung vitamin B12, B6, A, E,
dan mineral Zn, Se dan Cu. Pemberian Fe dianjurkan pada ODHA
dengan anemia. Pada ODHA yang mengalami infeksi oportunistik,
pemberian Fe dilakukan 2 minggu setelah pengobatan infeksi.
Mereka dianjurkan untuk mengkonsumsi 1 tablet multivitamin dan
mineral setiap hari (Depkes, 2003).
Pemberian suplemen vitamin dan mineral dalam jumlah
besar (megadosis)agar berkonsultasi ke dokter karena pemberian
yang berlebihan justru akan menurunkan imunitas tubuh. Mereka
dianjurkan untuk mengkonsumsi paling sedikit 8 gelas cairan sehari

45
untuk memperlancar metabolisme terutama pada penderita yang
demam. Dianjurkan untuk tidak mengkonsumsi minuman atau
makanan yang mengandung kafein dan alkohol serta zat lainnya
yang dapat meningkatkan pengeluaran air kencing (Depkes, 2003).

6) Bahan makanan Indonesia yang dianjurkan dikonsumsi ODHA


Berbagai bahan makanan yang banyak didpatakan di
Indonesia seperti tempe, kelapa, wortel, kembang kol, sayuran dan
kacang-kacangan, dapat diberikan dalam penatalaksanaan gizi pada
ODHA (Depkes, 2003).
a) Tempe atau produknya mengandung protein dan Vitamin B12
untuk mencukupi kebutuhan ODHA dan mengandung bakterisida
yang dapat mengobati dan mencegah diare.
b) Kelapa dan produknya dapat memenuhi kebutuhan lemak
sekaligus sebagai sumber energi karena mengandung MCT
(medium chain trigliseride) yang mudah diserap dan tidak
menyebabkan diare. MCT merupakan enersi yang dapat
digunakan untuk pembentukan sel.
c) Wortel mengadung beta-karoten yang tinggi sehingga dapat
meningkatkan daya tahan tubuh juga sebagai bahan pembentuk
CD4. Vitamin E bersama dengan vitamin C dan beta-karoten
berfungsi sebagai antiradikal bebas. Seperti diketahui akibat
perusakan oleh HIV pada sel-sel maka tubuh menghasilkan
radikal bebas
d) Kembang kol, tinggi kandungan Zn, Fe, Mn, Se untuk mengatasi
dan mencegah defisiensi zat gizi mikro dan untuk pembentukan
CD4
e) Sayuran hijau dan kacang-kacangan, mengandung vitamin
neurotropik B1, B6, B12 dan zat gizi mikro yang berguna untuk
pembentukan CD4 dan pencegahan anemia
f) Buah alpukat mengandung lemak yang tinggi, dapat dikonsumsi
sebagai makanan tambahan. Lemak tersebut dalam bentuk MUFA
(mono unsaturated fatty acid) 63% berfungsi sebagai antioksidan
dan dapat menurunkan LDL. Di samping itu juga mengandung
glutathion tinggi untuk menghambat replikasi HIV.

46
b. Konseling
Konseling HIV / AIDS adalah konseling yang secara khusus
memberi perhatian terhadap permasalahan yang berkaitan dengan
HIV / AIDS, baik terhadap orang yang terinfeksi ataupun terhadap
lingkungan yang terpengaruh. Tujuan dari konseling HIV / AIDS
adalah memberi dukungan sosial dan psikologik kepada ODHA dan
keluarganya, serta mengubah perilaku yang beresiko sehingga dapat
menurunkan penularan infeksi HIV / AIDS (Puskesmas Peusangan.
2008).
Setiap tes atau pemeriksaan harus disertai konseling pra tes
dan pasca tes, serta informed consent dan pada pelaporan hasil
pemeriksaan laboratorium paling sekali untuk mempertimbangkan
informasi klinis maupun epidemiologis (Puskesmas Peusangan.
2008).
VCT yaitu singkatan dari Voluntary Counseling and Testing,
ialah suatu proses yang bertujuan memungkinkan perorangan
maupun pasangan untuk melakukan tes HIV. Proses ini disebut
"voluntary" karena sifatnya sukarela. Artinya, konseling dalam rangka
tes HIV dan tes HIV itu sendiri pada prinsipnya tidak bisa diharuskan.
Hal ini terutama untuk mencegah terjadinya diskriminasi (FHI. 2003).
VCT terdiri dari Pre-test counseling (konseling sebelum tes
HIV) dan Post-test counseling (Konseling setelah tes HIV). Pre-test
counseling disebut sebagai konsultasi, yaitu proses tanya jawab yang
dilakukan antara Peserta dan Konselor sebelum tes HIV, yang
bertujuan membantu peserta mengerti perlunya melakukan tes HIV
dan mengetahui faktor risiko penularan yang dihadapinya serta
memastikan kesiapan peserta untuk menerima hasil tes HIVnya nanti
(FHI. 2003).
Jika peserta memutuskan untuk melakukan tes HIV, maka ia
akan menerima hasil tesnya setelah menjalani Post-test counseling.
Post-test counseling disebut sebagai konsultasi lanjutan, di mana
konselor akan membantu peserta merencanakan perilakunya ke
depan yang bisa melindungi dirinya maupun diri orang lain dari
penularan HIV, serta memberikan informasi tentang berbagai tempat

47
pelayanan yang dibutuhkannya. Peserta tidak perlu khawatir hasil
tesnya akan diketahui orang, kecuali jika peserta yang bersangkutan
secara sukarela mengungkapkan jati dirinya kepada untuk keperluan
tertentu (FHI. 2003).
c. Terapi ARV
Terapi HIV/AIDS kini semakin memberikan harapan. Bahkan,
pemberian kombinasi dua obat-obatan antiretroviral (ARV)bisa
melemahkan virus HIV sampai 85-95% selama enam bulan (.

d. Penangan Pengobatan HIV di Puskesmas


Selama ini, obat untuk HIV/AIDS masih terus disubsidi
pemerintah. Namun, obat HIV/AIDS seperti ARV hingga saat ini
belum bisa diakses di puskesmas. Hanya obat Metadon-lah yang
sudah bisa diakses warga di puskesmas. ARV baru bisa didapatkan
di rumah sakit. Pasalnya, obat tersebut termasuk obat yang kompleks
dan tidak bisa didistribusikan secara luas, termasuk ke puskesmas
(Menkes RI. 2010).
Puskesmas melayani para penderita HIV/AIDS atau penyakit
penyertaan ini dengan memberikan obat Metadon yang memang
tersedia di sana. Metadon sudah ada di puskesmas sejak tahun
2007. Metadon adalah obat yang berbentuk cairan yang diberikan
kepada pengguna jarum suntik untuk memutus mata rantai penularan
HIV AIDS. Obat ini membuat para penderita tidak akan menggunakan
jarum suntik yang dipakai secara bergantian. Bersifat aman dan
tergolong murah yaitu hanya lima ribu rupiah. Meski murah, bukan
berarti para penderita bisa minum seenaknya. Obat ini diminum
hanya satu kali sehari saja. Jika dikonsumsi berlebih bisa over dosis
(Menkes RI, 2010).

e. Pencegahan
Mengingat sampai saat ini obat untuk mengobati dan vaksin
untuk mencegah AIDS belum ditemukan, maka alternatif untuk
menanggulangi masalah AIDS yang terus meningkat ini adalah
dengan upaya pencegahan oleh semua pihak untuk tidak terlibat
dalam lingkaran transmisi yang memungkinkan dapat terserang HIV.

48
Pada dasarnya upaya pencegahan AIDS dapat dilakukan oleh
semua pihak asal mengetahui cara-cara penyebaran AIDS. Ada 2
cara pencegahan AIDS yaitu jangka pendek dan jangka panjang
(KPA, 2010):
1) Upaya Pencegahan AIDS Jangka Pendek
Upaya pencegahan AIDS jangka pendek adalah dengan
KIE, memberikan informasi kepada kelompok resiko tinggi
bagaimana pola penyebaran virus AIDS (HIV), sehingga dapat
diketahui langkah-langkah pencegahannya. Ada 3 pola
penyebaran virus HIV (KPA, 2010) :
a) Pencegahan Infeksi HIV Melaui Hubungan Seksual
HIV terdapat pada semua cairan tubuh penderita tetapi
yang terbukti berperan dalam penularan AIDS adalah mani,
cairan vagina dan darah. HIV dapat menyebar melalui
hubungan seksual pria ke wanita, dari wanita ke pria dan dari
pria ke pria. Setelah mengetahui cara penyebaran HIV melaui
hubungan seksual maka upaya pencegahan adalah dengan
cara (KPA, 2010) :
(1) Tidak melakukan hubungan seksual. Walaupun cara ini
sangat efektif, namun tidak mungkin dilaksanakan sebab
seks merupakan kebutuhan biologis.
(2) Melakukan hubungan seksual hanya dengan seorang mitra
seksual yang setia dan tidak terinfeksi HIV (homogami)
(3) Mengurangi jumlah mitra seksual sesedikit mungkin
(4) Hindari hubungan seksual dengan kelompok rediko tinggi
tertular AIDS.
(5) Tidak melakukan hubungan anogenital.
(6) Gunakan kondom mulai dari awal sampai akhir hubungan
seksual dengan
(7) Kelompok resiko tinggi tertular AIDS dan pengidap HIV.
b) Pencegahan Infeksi HIV Melalui Darah
Darah merupakan media yang cocok untuk hidup virus
AIDS. Penularan AIDS melalui darah terjadi dengan (KPA,
2010) :
(1) Transfusi darah yang mengandung HIV.

49
(2) Jarum suntik atau alat tusuk lainnya (akupuntur, tato,
tindik) bekas pakai orang yang mengidap HIV tanpa
disterilkan dengan baik.
(3) Pisau cukur, gunting kuku atau sikat gigi bekas pakai orang
yang mengidap virus HIV.
(4) Langkah-langkah untuk mencegah terjadinya penularan
melalui darah, darah yang digunakan untuk transfusi
diusahakan bebas HIV dengan jalan memeriksa darah
donor. Hal ini masih belum dapat dilaksanakan sebab
memerlukan biaya yang tingi serta peralatan canggih
karena prevalensi HIV di Indonesia masih rendah, maka
pemeriksaan donor darah hanya dengan uji petik.
(5) Menghimbau kelompok resiko tinggi tertular AIDS untuk
tidak menjadi donor darah. Apabila terpaksa karena
menolak, menjadi donor menyalahi kode etik, maka darah
yang dicurigai harus di buang.
(6) Jarum suntik dan alat tusuk yang lain harus disterilisasikan
secara baku setiap kali habis dipakai.
(7) Semua alat yang tercemar dengan cairan tubuh penderita
AIDS harus disterillisasikan secara baku.
c) Pencegahan Infeksi HIV Melalui Ibu
Ibu hamil yang mengidap HIV dapat memindahkan virus
tersebut kepada janinnya. Penularan dapat terjadi pada waktu
bayi di dalam kandungan, pada waktu persalinan dan sesudah
bayi di lahirkan. Upaya untuk mencegah agar tidak terjadi
penularan hanya dengan himbauan agar ibu yang terinfeksi HIV
tidak hamil (KPA, 2010).
(1) Upaya Pencegahan AIDS Jangka Panjang
Penyebaran AIDS di Indonesia (Asia Pasifik)
sebagian besar adalah karena hubungan seksual, terutama
dengan orang asing. Kasus AIDS yang menimpa orang
Indonesia adalah mereka yang pernah ke luar negeri dan
mengadakan hubungan seksual dengan orang asing. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa resiko penularan dari
suami pengidap HIV ke istrinya adalah 22% dan istri

50
pengidap HIV ke suaminya adalah 8%. Namun ada
penelitian lain yang berpendapat bahwa resiko penularan
suami ke istri atau istri ke suami dianggap sama.
Kemungkinan penularan tidak terganggu pada frekuensi
hubungan seksual yang dilakukan suami istri (KPA, 2010).
Mengingat masalah seksual masih merupakan
barang tabu di Indonesia, karena norma-norma budaya
dan agama yang masih kuat, sebetulnya masyarakat kita
tidak perlu risau terhadap penyebaran virus AIDS. Namun
demikian kita tidak boleh lengah sebab negara kita
merupakan negara terbuka dan tahun 1991 adalah tahun
melewati Indonesia. Upaya jangka panjang yang harus
kita lakukan untuk mencegah merajalelanya AIDS adalah
merubah sikap dan perilaku masyarakat dengan kegiatan
yang meningkatkan norma-norma agama maupun sosial
sehingga masyarakat dapat berperilaku seksual yang
bertanggung jawab. Yang dimaksud dengan perilaku
seksual yang bertanggung jawab adalah (KPA, 2010):
(a) Tidak melakukan hubungan seksual sama sekali.
(b) Hanya melakukan hubungan seksual dengan mitra
seksual yang setia dan tidak terinfeksi HIV
(monogamy).
(c) Menghindari hubungan seksual dengan wanita-wanita
tuna susila.
(d) Menghindari hubungan seksual dengan orang yang
mempunyai lebih dari satu mitra seksual.
(e) Mengurangi jumlah mitra seksual sesedikit mungkin.
(f) Mengurangi jumlah mitra seksual sesedikit mungkin
(g) Hindari hubungan seksual dengan kelompok resiko
tinggi tertular AIDS.
(h) Tidak melakukan hubungan anogenital.
(i) Gunakan kondom mulai dari awal sampai akhir
hubungan seksual.
Kegiatan tersebut dapat berupa dialog antara tokoh-
tokoh agama, penyebarluasan informasi tentang AIDS

51
dengan bahasa agama, melalui penataran P4 dan lain-lain
yang bertujuan untuk mempertebal iman serta norma-
norma agama menuju perilaku seksual yang bertanggung
jawab. Dengan perilaku seksual yang bertanggung jawab
diharapkan mampu mencegah penyebaran penyakit AIDS
di Indonesia (KPA, 2010).

7) Akibat HIV
a) Psikologis
Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) banyak sekali mengalami
problem dalam menjalani hidupnya, baik problem fisiologis maupun
problem psikologis. Problem atau dalam bahasa positifnya
“tantangan” adalah suatu keniscayaan. Problem memang “diciptakan”
untuk menguji kualitas kemanusiaan, apakah seseorang akan terus
tumbuh dan menjadi mulia (khalifah) atau sebaliknya malah semakin
uzur dan akhirnya menyerah (Mahendrato, 2007).
Pengelolaan problem biasanya berbentuk siklus dan mengikuti
“pola” tertentu. Apakah seseorang akan menjadi semakin tumbuh
(eros) ataupun semakin uzur (thanatos) biasanya sangat ditentukan
oleh “pola respon” seseorang (Mahendratto, 2007). Menurut
Mahendrato (2007) Pada pola eros manusia akan menghadapi
segala problem dengan sabar dan senantiasa mensyukuri hasil yang
mereka peroleh. Sedangkan pada pola thanatos, cara manusia
merespon problem mengalami kesalahan. Kondisi seperti ini akan
menimbulkan trauma psikis dan gangguan mental (fiksasi), sehingga
manusia akan berinteraksi dengan sumber stress dan akan timbul
kecemasan, ketakutan, fobia, panik, gugup dsb.
Bastian dan Wawan (2003) mengutarakan ketika seseorang
didiagnosa terinfeksi HIV / AIDS, maka hampir selalu ini merupakan
pengalaman emosional yang tidak menyenangkan. Meskipun terkena
karena perilaku mereka sendiri, diagnosa HIV bisa terasa berat untuk
dapat diterima. Reaksi bisa beragam. Ada yang bereaksi dengan
kemarahan, ketakutan yang amat sangat, membantah kebenaran tes,
atau kadang, dengan reaksi tumpul.

52
Abdullah (2008) mengemukakan bahwa keyakinan diri yang
rendah pada penderita HIV/AIDS akan menyebabkan penderita
mengalami hypocondria, dimana penderita Seringkali memikirkan
mengenai kehilangan, kesepian dan perasaan berdosa di atas segala
apa yang telah dilakukan sehingga menyebabkan mereka kurang
menitik beratkan langkah-langkah penjagaan kesehatan dan
kerohanian mereka.
Suryadi (2007) mengutarakan bahwa seorang pasien yang
telah didiagnosis HIV positif dan mengetahuinya, kondisi mental
penderita akan mengalami fase yang sering disingkat SABDA
(Shock, Anger, Bargain, Depressed, Acceptance). Halim dan Atmoko
(2005) dalam hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa kecemasan
akan HIV/AIDS berkorelasi negatif dengan Psychological Well Being
(kesejahteraan psikologis), Ini menunjukkan bahwa semakin tinggi
tingkat kecemasan pada penderita HIV/AIDS, maka Psychological
Well Being (kesejahteraan psikologis) pada penderita HIV/AIDS akan
semakin rendah.
Dampak setelah menderita HIV/AIDS yang sering ditemukan
adalah meninggal dunia, kebanyakan penderita HIV/AIDS akan
meninggal dunia setelah mengalami kegagalan fungsi organ, sakit
saluran pencernaan ataupun sakit saluran paru-paru. Akan tetapi ada
beberapa dari penderita HIV/AIDS akan mendapatkan bintik merah
pada kulitnya. Selain dampak fisik ada beberapa penderita yang
mengalami dampak psikologis yaitu stres yang kemudian bunuh diri
(Holifah, 2006)
Sampai sekarang masih belum ditemukan cara penyembuhan
(cure) dan jenis vaksin pencegah penyakit AIDS, sehingga penyakit
AIDS/HIV juga membawa dampak sosial dan psikologis yang hebat
pada penderita maupun masyarakat. Reaksi psikologis penderita HIV
positif asimptomatik (tanpa gejala) maupun pada penderita AIDS full
blown hampir sama dan mengalami suatu tahapan proses tertentu.
Penderita dapat mengalami suatu penyakit psikologis (psychological
morbidity) misalnya depresi, frustrasi atau kematian psikologis
(psychological mortality) seperti misalnya bunuh diri. Dampak
psikologis ini dapat bermanifestasi lebih berat dari gejala klinik AIDS

53
itu sendiri atau memperberat gejala AIDS yang sudah ada. Penyakit
ini dikenal dapat menyerang sistem saraf pusat, dan bila ditambah
dengan dampak psikologis tersebut maka penderita dapat mengalami
kelainan neuropsikiatri. (Imran Lubis, 1992)
Tak hanya masalah medis, ODHA sering kali menghadapi
masalah-masalah psikologis dan sosial. Untuk itu, ODHA (97%)
membutuhkan layanan pertemuan antar ODHA. Hampir semua
ODHA amat berharap agar dipersering acara-acara kumpul sesama
ODHA. Pertemuan itu membuat ODHA merasa tidak sendirian
menghadiri masalah yang dihadapi, dapat saling bertukar kisah dan
harapan. Sering kali ODHA mengaku bahwa seusai menghadiri
pertemuan antar ODHA, timbul semangat dan kekuatan baru untuk
menjalani kehidupan yang lebih bermakna dan berjiwa optimis
(Kasrepo, 2007).
ODHA ternyata amat berminat untuk menjadi penyuluh
HIV/AIDS bagi masyarakat umum. Namun ketika menyuluh, mereka
(97%) tidak mau bercerita bahwa dirinya seorang yang HIV positif.
Yang penting, ODHA memberikan kontribusinya secara nyata agar
jangan sampai masyarakat tertular HIV. Prosentase ODHA yang siap
tampil di muka umum sebagai orang HIV positif memang jauh lebih
kecil, yaitu sebanyak 66%. Kondisi ini amat dimaklumi, karena ODHA
harus siap secara mental dan telah memperhitungkan segala
risikonya dengan matang jika ingin terbuka kepada masyarakat
tentang status HIV-nya. (Kesrepro, 2007)
b) Sosial
Stigma AIDS ada di seluruh dunia dalam berbagai cara,
termasuk pengucilan, diskriminasi penolakan, dan penghindaran
orang yang terinfeksi HIV; wajib tes HIV tanpa persetujuan atau
perlindungan kerahasiaan; kekerasan terhadap orang yang terinfeksi
HIV atau orang yang dianggap terinfeksi HIV; dan karantina individu
terinfeksi HIV. Stigma kekerasan yang berhubungan atau ketakutan
kekerasan mencegah banyak orang dari mencari tes HIV, kembali
untuk hasil mereka, atau mengamankan pengobatan, mungkin
mengubah apa yang bisa menjadi penyakit kronis dikelola menjadi

54
kalimat kematian dan mengabadikan penyebaran HIV. (Chai, dkk.
2010)
Stigma AIDS telah dibagi menjadi tiga kategori berikut (Chai,
dkk. 2010):
(1)''Instrumental AIDS stigma''-refleksi dari ketakutan dan
kekhawatiran yang mungkin terkait dengan penyakit mematikan
dan menular.
(2)''Simbolik AIDS stigma''-penggunaan HIV / AIDS untuk
mengekspresikan sikap terhadap kelompok-kelompok sosial atau
gaya hidup yang dianggap berhubungan dengan penyakit.
(3)Sering, stigma AIDS diekspresikan dalam hubungannya dengan
satu atau lebih stigma lainnya, terutama yang berkaitan dengan
homoseksualitas, biseksualitas, persetubuhan, prostitusi, dan
penggunaan narkoba intravena
Stigma sering kali menyebabkan terjadinya diskriminasi dan
mendorong munculnya pelanggaran HAM bagi ODHA dan
keluarganya. Stigma dan diskriminasi memperparah epidemi
HIV/AIDS karena ditutupi. Mereka menghambat usaha pencegahan
dan perawatan dengan memelihara kebisuan dan penyangkalan
tentang HIV/AIDS seperti juga mendorong keterpinggiran ODHA dan
mereka yang rentan terhadap infeksi HIV. (Erny Tandanu, 2009)
Kurang atau bahkan tidak adanya dukungan keluarga sendiri.
Umumnya disebabkan oleh masih kurangnya informasi dan
pengetahuan mengenai HIV/AIDS yang dimiliki keluarga. Sebagian
ODHA bahkan tidak berani menyatakan diri kepada keluarga karena
takut keluarga tidak dapat menerima keadaan ODHA sehingga situasi
menjadi lebih buruk. Akibatnya mereka tidak berhasil memperoleh
dukungan yang seharusnya mereka terima dari keluarga secara fisik
dan psikologis karena keluarga tidak memahami kebutuhan tersebut
(Irwanto dan Laurike Moeliono, 2005).
Di rumah sakit (dan juga lembaga pemasyarakatan) ketiadaan
keluarga yang mendampingi pasien merupakan salah satu hambatan
memperoleh layanan dan obat-obatan secara memadai (Irwanto dan
Laurike Moeliono, 2005). Tetapi diskiriminasi paling sering terasa bila
berhadapan dengan petugas kesehatan di berbagai tempat layanan

55
kesehatan. Hampir semua ODHA yang pernah mengakses layanan
baik untuk tes, konseling, terapi, maupun perawatan merasakan
diskriminasi sehingga menjadikan ODHA bersikap tidak kooperatif.
Stigmatisasi yang mengakibatkan isolasi sosial seperti ini mempunyai
akibat tambahan, yaitu membuat hubungan ODHA dengan petugas
kesehatan dan LSM sering bermasalah karena menjadi oversensitif.
(Irwanto dan Laurike Moeliono, 2005).
Stigma dan diskriminasi – baik yang dilakukan oleh pekerja
sektor kesehatan terhadap pekerja sektor kesehatan lainnya,
terhadap pasien, atau oleh pengusaha terhadap pekerja sektor
kesehatan, merupakan masalah serius dalam lingkungan pelayanan
kesehatan, yang akan menurunkan penyediaan perawatan dan
program-program pencegahan. Bentuknya berbagai macam dan
dapat menyebabkan pengobatan yang terlambat, tidak tepat atau
terganggu, merusak kerahasiaan, perilaku yang tidak pantas atau
tidak etis, dan penggunaan kewaspadaan yang berlebihan (ILO,
2005).
Dalam pelayanan kesehatan, stigma dan diskriminasi dapat
dikurangi secara bermakna melalui kombinasi intervensi yang saling
mendukung seperti (ILO, 2005):
(1) Penerapan kebijakan tempat kerja yang secara tegas melarang
diskriminasi dalam pekerjaan dan dalam melaksanakan
tanggung jawab profesional;
(2) Penyediaan perawatan yang komprehensif, termasuk program
kesejahteraan dan penyediaan TAR untuk meningkatkan kualitas
kehidupan;
(3) Pelatihan yang sesuai bagi personil pada semua tingkat
tanggung jawab, untuk meningkatkan pengertian terhadap
HIV/AIDS dan mengurangi sikap negatif dan diskriminatif
terhadap kolega dan pasien yang hidup dengan penyakit ini.
Pelatihan ini harus menyediakan pekerja kesehatan dengan:
(1) Informasi tentang cara penularan HIV/AIDS dan penyakitinfeksi
lainnya, tingkat risiko pekerjaan, untuk mengatasi ketakutan
terhadap kontak fisik dengan pasien dan memberikan landasan
untuk belajar terus-menerus;

56
(2) ketrampilan inter-personal, untuk membantu pekerja
kesehatan mengerti dampak HIV/AIDS dan beban stigma, dan
memberi mereka ketrampilan untuk berkomunikasi
(3) dengan pasien, kolega dan lainnya dengan cara yang
saling menghargai dan nondiskriminatif;
(4) tehnik mengelola stres dan menghindari kehabisan tenaga,
seperti melalui ketentuan tingkat personalia yang memadai; lebih
banyak kesempatan untuk bekerja secara mandiri dan
meningkatkan keterlibatan dalam bagaimana cara tersebut
dilaksanakan; menetapkan pola-pola kerja shift; rotasi kerja;
promosi dan pengembangan pribadi; pengenalan awal dari stres;
pengembangan ketrampilan berkomunikasi untuk supervisi;
kelompok pendukung staf; dan waktu diluar tempat kerja;
(5) kewaspadaan terhadap peraturan perundangan yang
berlaku yang melindungi hak-hak pekerja sektor kesehatan dan
pasien, tanpa memandang status HIV mereka.
Pengobatan ARV memberikan harapan bagi kualitas hidup
ODHA, meskipun masih terdapat perlakuan yang berbeda
terhadap mereka. Berdasarkan hasil penelitian Irwanto (2007)
tentang ODHA dan akses pelayanan kesehatan disimpulkan
bahwa sekitar 31% orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di Indonesia
masih ditolak dari pusat pelayanan kesehatan. Hal ini
disebabakan masih adanya stigma dan diskriminasi terhadap
ODHA di masyarakat (Khairurrahmi, 2009).
Sebuah hasil penelitian lainnya tentang pelanggaran hak
asasi manusia terhadap ODHA yang dilakukan pada tahun 2001
menyimpulkan bahwa 31% responden mempunyai pengalaman
pernah ditolak oleh rumah sakit atau dokter, bahkan 15%
responden tertunda perawatan atau pengobatannya karena
masalah status HIV yang positif. Satu dari sepuluh responden
atau 9,5% juga diketahui tidak memanfaatkan pelayanan
kesehatan, baik atas saran teman dan keluarga atau lainnya
(Khairurrahmi, 2009).

57
H. Pembahasan
Dalam kasus disebutkan bahwa perawat yang tertusuk jarum
menderita penyakit dengan tanda – tanda batuk tak kunjung sembuh, diare,
sariawan terus menerus, badan semakin kurus, disertai bercak – bercak
merah kemerahan sebesar uang logam Rp 100, 00. Menurut anamnesis
dokter rumah sakit diperoleh keterangan bahwa perawat tersebut pernah
tertusuk jarum suntik setelah menyuntik pasien dengan tanda – tanda yang
sama sekitar 10 tahun yang lalu. Dokter mendiagnosis penyakit yang diderita
perawat sebagai penyakit menular penurun kekebalan tubuh.
Dari diagnosis dokter, anamnesis, tanda – tanda, dan waktu yang
dibutuhkan untuk muncul gejala, maka dapat disimpulkan bahwa penyakit
tersebut merupakan AIDS. Penyakit AIDS membutuhkan waktu kurang lebih
10 tahun untuk timbuh gejala yang parah. Bercak kemerahan pada tubuh
perawat kemungkinan adalah sarkoma kaposi. Sarkoma Kaposi adalah
suatu tumor yang tidak nyeri, berwarna merah sampai ungu, berupa bercak-
bercak yang menonjol di kulit. Diare merupakan manifestasi dari gangguan
gastroinsetestinal. Badan kurus dapat disebabkan oleh tinggi oleh diare
maupun meningkatnya metabolisme tubuh yang tidak diikuti oleh
penambahan asupan nutrisi. Sariawan yang dialami oleh perawat
kemungkinan merupakan akibat dari flora normal yang hidup dalam mulut
dan menimbulkan infeksi.
AIDS merupakan gabungan dari penyakit penyakit yang muncul atau
semakin tinggi keparahannya akibat turunnya kekebalan tubuh. AIDS
merupakan akibat dari infeksi virus HIV. Virus ini memiliki masa inkubasi
kurang lebih 10 tahun. Penularan virus HIV dapat lalui jarum suntik yang
terkontaminasi virus ini.
Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) banyak sekali mengalami problem
dalam menjalani hidupnya, baik problem fisiologis maupun problem
psikologis. Problem atau dalam bahasa positifnya “tantangan” adalah suatu
keniscayaan. Problem memang “diciptakan” untuk menguji kualitas
kemanusiaan, apakah seseorang akan terus tumbuh dan menjadi mulia
(khalifah) atau sebaliknya malah semakin uzur dan akhirnya menyerah
(Mahendrato, 2007).
Perawat dalam kasus ini mengalami banyak masalah dalam
menjalani hidupnya setelah terdiagnosa HIV/AIDS. Masalah – masalah yang

58
dapat mengganggu keadaan fisik maupun mental perawat ini diantaranya
tidak diterima di lingkungan masyarakat karena muncul anggapan buruk.
Anggapan buruk masyarakat mengenai penyakit kotor yang selalu berkaitan
dengan perilaku seks bebas menjadikan masyarakat mengucilkan ODHA .
Padahal, belum tentu penyebab HIV/AIDS karena seks bebas. HIV/AIDS
juga dapat disebabkan oleh transfusi darah, penggunaan jarum suntik
ataupun kecelakaan kerja.
Kondisi seperti ini akan menimbulkan trauma psikis dan gangguan
mental (fiksasi), sehingga manusia akan berinteraksi dengan sumber stress
dan akan timbul kecemasan, ketakutan, fobia, panik, gugup dsb. Bastian dan
Wawan (2003) mengutarakan ketika seseorang didiagnosa terinfeksi HIV /
AIDS, maka hampir selalu ini merupakan pengalaman emosional yang tidak
menyenangkan. Meskipun terkena karena perilaku mereka sendiri, diagnosa
HIV bisa terasa berat untuk dapat diterima. Reaksi bisa beragam. Ada yang
bereaksi dengan kemarahan, ketakutan yang amat sangat, membantah
kebenaran tes, atau kadang, dengan reaksi tumpul.
Abdullah (2008) mengemukakan bahwa keyakinan diri yang rendah
pada penderita HIV/AIDS akan menyebabkan penderita mengalami
hypocondria, dimana penderita Seringkali memikirkan mengenai kehilangan,
kesepian dan perasaan berdosa di atas segala apa yang telah dilakukan
sehingga menyebabkan mereka kurang menitik beratkan langkah-langkah
penjagaan kesehatan dan kerohanian mereka. Suryadi (2007) mengutarakan
bahwa seorang pasien yang telah didiagnosis HIV positif dan
mengetahuinya, kondisi mental penderita akan mengalami fase yang sering
disingkat SABDA (Shock, Anger, Bargain, Depressed, Acceptance).
Tak hanya masalah medis, ODHA sering kali menghadapi masalah-
masalah psikologis dan sosial. Untuk itu, ODHA membutuhkan layanan
pertemuan antar ODHA agar timbul semangat dan kekuatan baru untuk
menjalani kehidupan yang lebih bermakna dan berjiwa optimis. Pemberian
semangat dan motivasi kepada ODHA baik oleh keluarga maupun
masyarakat lingkungan sekitar sangat dibutuhkan untuk menguatkan kondisi
mental ODHA.
Dari contoh kasus, dampak sosial yang terjadi pada perawat adalah
dia dikucilkan oleh orang – orang di sekitarnya karena dianggap mempunyai
penyakit kotor. Mereka takut tertular penyakit tersebut dan memandang

59
bahwa si Perawat tersebut memiliki perilaku seks yang tidak baik.
Pengetahuan masyarakat yang masih kurang akan penyakit AIDS
menimbulkan stigma masyarakat kepada ODHA dengan berpikiran bahwa
ODHA memiliki kelakuan yang tidak baik seperti free sex hingga dapat
tertular virus mematikan tersebut. Padahal virus HIV tidak hanya menular
melalui free sex saja, tetapi masih ada faktor lain yang memungkinkan
terjadinya penularan penyakit tersebut. Sepertin halnya pada contoh kasus
tersebut tertular akibat tertusuk jarum suntik yang telah terkontaminasi oleh
virus HIV.
Dalam kasus yang dipelajari, perawat yang didiagnosa terserang
AIDS ini mengalami masalah pendiskriminasian baik oleh pihak rumah sakit
tempat bekerja yang seharusnya memberikan bantuan perawatan dan
penanganan HIV/AIDS yang dialaminya. Selain itu pendiskriminasian dalam
bentuk pengasingan oleh warga sekitar tempat tinggal ODHA ini juga
melanggar HAM. Pengetahuan yang kurang dan stigma tradisional akan
HIV/AIDS juga menambah bentuk diskriminasi tersebut.
Permasalahan yang masih dihadapi para pengidap AIDS di Indonesia
atau yang biasa disebut ODHA adalah masalah diskriminasi sosial. Sebagai
upaya antidiskriminasi, KOMNAS HAM telah menetapkan UU No. 39 tahun
1999 tentang HAM mempunyai kompetensi untuk menjalankan fungsi-fungsi
pemantauan, mediasi, penyuluhan dan pengkajian di bidang Ham. Lima
wilayah yang didentifikasi tersebut tentu dapat dilakukan oleh Komnas-Ham
Indonesia, dalam hal ini Sub-Komisi Perlindungan Kelompok Masyarakat
khusus termasuk, namun tidak terbatas masyarakat ODHA. Namun dalam
kasus ini, perawat yang juga penderita HIV AIDS tersebut mengalami
diskriminasi HAM dari masyarakat sosial di sekitarnya. Orang tersebut
dikucilkan masyarakat karena penyakit yang dideritanya dianggap sebagai
penyakit kotor.
Kebijakan untuk pekerja ODHA belum dijalankan secara semestinya.
Kasus Perawat yang didiagnosa HIV/AIDS dan mengalami pemulangan
terindikasi adanya pendiskriminasian hak pekerja. Padahal dalam Undang-
undang yang menjadi dasar hukum berdasarkan kaidah ILO tentang
HIV/AIDS dan dunia kerja prinsip kedua mengenai Non-diskriminasi yang
mana seharusnya tidak ada diskriminasi atau stigma terhadap pekerja
berdasarkan status HIV yang nyata atau dicurigai.

60
Untuk kerahasiaan hasil tes nya sendiri seharusnya dijaga,
sebagaimana semestinya menurut kode etik kedokteran Pasal 11 yang
menyatakan setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien
agar senantiasa dapat berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya
dalam beribadat dan atau dalam masalah lainnya dan pada pasal 12 yang
menyatakan setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang
diketahui tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal
dunia. Kode etik kedokteran ini menjadi salah satu bentuk dari hukum anti
diskriminasi atas ODHA.
Dalam kasus ini, jarum suntik adalah alat yang cukup berbahaya, dan
dapat menimbulkan masalah kesehatan bagi pasien atau pekerja rumah
sakit tersebut itu. Jarum suntik dapat digolongkan dalam salah satu contoh
dari limbah rumah sakit, apabila tidak dimusnahkan dapat juga menimbulkan
masalah kesehatan. Jarum suntik termasuk dalam limbah infeksius yaitu
limbah yang berbahaya yang bisa menularkan virus ke pasien atau
perawatnya. Dan cara pemusnahannya sebaiknya dibakar dan jangan
membuang atau meletakkan disembarang tempat karena dapat tertusuk ke
orang lain dan itu sangat berbahaya. Limbah infeksius adalah limbah yang
memerlukan isolasi penyakit menular dan berbahaya.
Dari kasus diatas, perawat memiliki kemungkinan besar dapat
terkena jarum suntik dari pasiennya sendiri. Ketidak hati-hatian seorang
perawat atau tidak menggunakan APD (Alat Pelindung Diri) dapat
membahayakan perawat tertular penyakit dari limbah infeksius di rumah
sakit, yaitu jarum suntik.
Dalam kasus ini dijelaskan bahwa pasien yang menderita penyakit
yang kemungkinan besar adalah penyakit HIV dalam 10 tahun terakhir,
terdapat minimal 3 orang pertahun pasien yang terinfeksi virus HIV di rumah
sakit tersebut. Penyebab penularan HIV selain akibat hubungan intim,
transfusi darah, dan jarum suntik yang terkontaminasi dari darah yang
mengandung virus HIV dapat menular ke orang lain.
Resiko terinfeksi dengan HIV dari tusukan jarum yang digunakan
oranng yang terinfeksi diduga sekitar 1 banding 150. Nilai itu memang lebih
kecil dibandingkan dengan penularan HIV melalui hubungan intim. Di
lingkungan rumah sakit, banyak ditemukan penderita HIV yang bisa jadi
rumah sakit tersebut merupakan rumah sakit rujukan penderita HIV atau di

61
sekitar rumah sakit tersebut termasuk daerah yang memilki prevalensi
HIV/AIDS yang tinggi. Perawat yang sering kali berhubungan langsung
dengan pasien HIV memiliki resiko yang cukup tinggi tertular virus tersebut
misalnya saja pada kasus tersebut perawat tertusuk jarum.
Sesuai dengan segitiga epidemiologi, terdapat tiga penyebab
penyakit, yaitu agen, host, dan environment. Jika lingkungan mendukung,
agen akan mudah masuk ke tubuh host. Hal ini terlihat pada rumah sakit
dengan prevalensi penderita tinggi berarti memiliki lingkungan yang
mendukung dan agen yang berjumlah banyak sehingga agen mudah masuk
ke tubuh host. Host yang dimaksud disini adalah pekerja kesehatan, pekerja
di rumah sakit tersebut, pasien lain, ataupun pengunjung rumah sakit. Jika
kondisi host dalam keadaan yang kurang fit, tentu saja hal ini memudahkan
agen masuk ke tubuh host.
Perawat yang biasanya menangani pasien HIV sangat rentan sekali
terinfeksi virus dari pasien yang dirawatnya. Jika perawat mulai tertular,
dalam jangka waktu yang lama akan mengalami gejala - gejala seperti
penderita HIV.
Dalam kasus ini, perawat sangat rawan terpapar infeksi nosokomial.
Hal ini terlihat dari tugasnya yakni merawat pasien sehingga mudah terpapar
mikroorganisme yang menjadi penyebab penyakit si pasien. Salah satu
contohnya adalah pada pasien HIV/AIDS, mereka mudah sekali
memaparkan virusnya pada si perawat sehingga diperlukan upaya khusus
dengan berbagai peraturan ketat agar penularan dapat diminimalisir atau
tidak terjadi sama sekali.
Perawat yang tidak sengaja tertusuk jarum pasien yang terpapar
penyakit HIV/AIDS, memiliki kemungkinan yang besar tertular penyakit yang
sama karena virus yang tertempel pada jarum akan langsung masuk ke
tubuh perawat dan terinfeksi. Diperlukan upaya yang mengatur kebijakan
bagi pekerja kesehatan khususnya pencegahan infeksi nosokomial yang
terdapat di rumah sakit sehingga penularan yang terjadi baik dari pasien ke
petugas kesehatan ataupun sesama pasien dapat terkurangi angka
kesakitannya.
Kewaspadaan standar merupakan kombinasi segi-segi utama dari
kewaspadaan universal (dirancang untuk mengurangi risiko penularan
patogen melalui darah dari darah dan cairan tubuh) dan isolasi zat tubuh

62
(dirancang untuk mengurangi risiko penularan penyakit dari zat tubuh yang
lembab). Kewaspadaan standar diterapkan untuk:
1. Darah
2. Seluruh cairan tubuh, sekresi dan eksresi, kecuali keringat, tidak
tergantung apakah ada atau tidak kandungan darah yang terlihat
3. Kulit yang tidak utuh
4. Selaput Lendir.
Kewaspadaan standar dimaksudkan untuk mengurangi risiko
penularan mikroorganisme dari kedua sumber dari infeksi di rumah sakit yang
dikenal maupun yang tidak dikenal. Dalam prinsip kewaspadaan standar,
semua darah dan cairan tubuh harus dipertimbangkan secara potensial
terinfeksi dengan penyakit menular-darah termasuk HIV dan hepatitis B dan
C, tanpa terkait dengan status ataupun faktor-faktor risiko seseorang.
Penggunaan alat pelindung diri yang kurang memenuhi standar dapat
mengakibatkan penularan infeksi nosokomial. Dalam kasus tersebut,
penderita yang berprofesi sebagai perawat rumah sakit tertular HIV/AIDS
karena tertusuk jarum bekas yang sebelumnya ia suntikkan ke pasiennya.
Ada kemungkinan pada saat itu perawat tersebut tidak menggunakan alat
pelindung diri atau alat pelindung diri yang perawat tersebut gunakan kurang
memenuhi standar. Contoh alat-alat pelindung diri tersebut antara lain :
sarung tangan, pakaian, masker, kapan saja menyentuh atau terpajan cairan
tubuh pasien perlu diantisipasi.
Kepatuhan perawat tersebut terhadap Standar Operasional
Procedure kemungkinan masih kurang. Sehingga dia melakukan
kecerobohan seperti meletakkan jarum suntik di sembarang tempat,
kurangnya kehati-hatian pada saat melakukan pekerjaannya. Perlunya
pendisiplinan akan prosedur kerja dan pengawasan pelaksanaannya sangat
dibutuhkan.

I. Kesimpulan
Berdasarkan kasus “Jangan Kucilkan Daku” dapat disimpulkan bahwa
perawat tersebut menderita penyakit AIDS. Perawat terinfeksi virus HIV dari
jarum suntik ketika sedang melakukan perawatan kepada pasien yang
menderita penyakit yang sama sekitar 10 tahun yang lalu. Setelah terinfeksi
dan virus mengalami masa inkubasi maka imunitas tubuh semakin menurun

63
dan muncul gejala-gejala seperti diare, sariawan terus menerus yang
diakibatkan adanya flora normal dan candida, TBC, dan sarkoma yang
berupa bercak-bercak kemerahan. Dengan menurunnya sistem imun tubuh
menurun dan asupan nutrisi yang kurang maka berat badannya semakin
menurun.
Akibat dari penyakit yang diderita, perawat mengalami dampak social
dari lingkungan masyarakat sekitar. Masyarakat menganggap penyakit HIV
AIDS adalah penyakit kotor. Stigma masyarakat terhadap penyakit AIDS
menunjukkan bahwa mereka masih beranggapan bahwa AIDS disebabkan
karena perilaku yang buruk seperti seks bebas.

J. Saran
1. Peningkatan pengobatan kasus HIV dan upaya pencegahannya.
2. Pengelolaan limbah infeksius lebih diperhatikan pengelolaannya.
3. Memperketat kebijakan mengenai PAK (penyakit akibat kerja).
4. Kepatuhan terhadap prosedur kerja lebih ditingkatkan kepada seluruh
petugas kesehatan.
5. Intervensi pemerintah dalam kebijakan penanganan AIDS sebaiknya
melibatkan masyarakat.
6. Pada setiap orang yang rentan ataupun melakukan perbuatan yang
beresiko sebaiknya dideteksi secara dini dan melakukan terapi akan tidak
mencapai fase AIDS
7. Membuat perkumpulan sesama ODHA dan mengadakan pertemuan
sesering mungkin untuk memberikan tempat sharing terhadap sesama
ODHA untuk menimbulkan hal yang positif.

64
Daftar Pustaka
CDC.2010.Basic Information about HIV and AIDS.(online)
(http://www.cdc.gov/hiv/topics/basic/index.htm) diakses tanngal
28 oktober 2010 jam 11.19
Chai,dkk.2010.AIDS Stigma. (online) (http://www.news-medical.net/health/AIDS-
Stigma.aspx) diakses pada 26 Oktober 2010
Depkes RI. 2003.Pedoman Nasional Perawatan, Dukungan dan Pengobatan
bagi ODHA: Buku pedoman untuk petugas kesehatan dan
petugas lainnya, diterbitkan oleh Direktorat Jenderal
Pemberantasa Penyakit Menular & Penyehatan Lingkungan,
Departemen Kesehatan RI, 2003, halaman 108-117. (online).
(http://spiritia.or.id/cst/bacacst.php?
artno=1019&menu=polamenu gizi2 (diunduh tanggal 26
Oktober 2010)
Divisions of HIV/AIDS Prevention. (2003). HIV and Its Transmission. (online).
(www.cdc.gov/HIV/AIDS).diakses pada 27 Oktober 2010.
Fan, H., Conner, R. F. and Villarreal, L. P. eds. ed. AIDS: science and society
(edisi ke-4th
FHI. 2003. Voluntary counseling and testing for HIV: a strategic framework. VCT
Toolkit.(online)(http://www.mautau.com/index.php?
option=com_content&task=view&id=20&Itemid=93&lang=en)
diakses tanggal 25 Oktober 2010
Imran Lubis.1992.Reaksi Psikologis akibat HIV Positif pada Homoseks
Asimptomatik di Australia. (online).
(http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/13_ReaksiPsikologisAkib
atHIV.pdf/13_ReaksiPsikologisAkibatHIV.html). diakses
tanggal 26 Oktober 2010, pukul 11.23 wib.
IDI. 2004. Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Kedokteran Indonesia. (online)
(http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/652/1/Kode
%20Etik%20Kedokteran.pdf) diakses pada 25 Oktober 2010
ILO. 2005. Pedoman Bersama ILO/WHO tentang Pelayanan Kesehatan dan
HIV/AIDS. (online)
(http://www.who.int/hiv/pub/guidelines/who_ilo_guidelines_ind
onesian.pdf) diakses pada 26 Oktober 2010
Irwanto dan Laurike Moeliono. 2005. ODHA Dan Akses Pelayanan Kesehatan
Dasar. Jakarta : UNAIDS

65
JOTHI. 2009. Menanggulangi Epidemi HIV dengan Kebijakan Kesehatan
Masyarakat dan Kebijakan Klinis secara Simultan. (online)
(http://www.jothi.or.id/menga menanggulangi-epidemi-hiv-
dengan-kebijakan-kesehatan-masyarakat-dan-kebijakan-
klinis-secara-simultan.html)
www.rssamalang.com/mycontentnsuploads200912aids.pdf
Kesrepro. 2007. (online). (http://www.kesrepro.info/?q=node/302) . Diakses pada
tanggal 27 Oktober 2010
Khairurrahmi. 2009. Pengaruh Faktor Predisposisi, Dukungan Keluarga dan
Level Penyakit Orang dengan HIV/AIDS Terhadap Pemanfaatan
VCT di Kota Medan. Medan: Universitas Sumatera Utara. (tesis)
Komisi Penanggulangan AIDS.2010.Pencegahan. (online)
(http://www.aidsindonesia.or.id/dasar-hiv-aids/pencegahan)
diunduh tanggal 26 Oktober 2010
Kurniawan,Harry.2010. Kebijakan dan Program Nasional Terhadap Pencegahan
HIV/AIDS.(online)
(http://kalyanamitra.or.id/newsdetail.php?id=0&iddata=77)
diakses pada 27 Oktober 2010
Nusantara, Abdul Hakim. 2005. Perlindungan Hak Asasi Orang dengan
HIV/AIDS.(Online)
(www.komnasham.go.idportalfilesAHGN-
Perlindungan_Hak.pdf) diakses pada 26 Oktober
Physicians for Human Rights. 2003. HIV Transmission in the Medical Setting: A
White Paper by Physicians for Human Rights. (online).
(www.partnersinhealth.com). diakses pada 27 Oktober
2010.
Puskesmas Peusangan. 2008. Infeksi HIV. (online )(http://puskesmas-
peusangan.blogspot.com/2008/07/infeksi-hiv.html)
diunduh tanggal 26 Oktober 2010
UNAIDS.2003.Challenges Opportunities. (online)
(http://data.unaids.org/topics/partnership-
menus/challenges-opportunities_id.pdf) diakses pada 26
Oktober 2010

66
Republika, 11 Maret 2010 (online) (http://www.aidsindonesia.or.id/obat-hivaids-
belum-bisa-diakses-puskesmas.html)di unduh 26 Oktober
2010
San Francisco AIDS Foundation. 2006. How HIV is spread. (online). (www.aids-
foundation/how_hiv_is_spread).diakses pada 27 Oktober
2010
Scott, M.D, dkk. 2007. Symptoms and phases of HIV infection & AIDS. (online)
(http://www.health.am/aids/more/symptoms_and_phases_
of_hiv_infection_aids/). Diakses 26 Oktober 2010.
Siregar, Faidhaha. 2004. Pengenalan dan Pencegahan AIDS. (online)
(http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-fazidah4.pdf)
diakses pada 27 Oktober 2010
Saroso, Sulianto. 2010. Kewaspadaan Universal Pengendalian Infeksi
Nosokomial ( KUPIN ). (online).(www.infeksi.com).
diakses pada 26 Oktober 2010
Tandanu, Erny. 2009. Gambaran Pengetahuan Dan Sikap Masyarakat Awam
Terhadap Penderita Hiv/Aids Di Kelurahan Petisah
Tengah Tahun 2009. Medan : FK USU
Wahyu Widianto. 2009. Strategi Koping Penderita HIV/AIDS. (online). (
http://etd.eprints.ums.ac.id/4800/1/F100040102.PDF).
Diakses pada tanggal 26 Oktober 2010, pukul 11.20 wib.
WHO. 2010. HIV/AIDS (online) (http://www.who.int/topics/hiv_aids/en/) diakses
tangal 28 oktober 2010 jam 10.54
WHO. 2007. WHO case definitions of HIV for surveillance and revised clinical
staging and immunological classification of HIV-related
disease in adults and children.(online)
(http://www.who.int/hiv/pub/guidelines/HIVstaging150307.
pdf) diakses pada 26 Oktober 2010
WHO. 2003. Condom Facts and Figures. (online)
(www.who.int/condom_facts_and_figures). diakses pada
27 Oktober 2010.
Yayasan Spiritia.2006. Perjalanan Penyakit. (online)( http://spiritia.or.id/) diakses
pada 26 Oktober 2010

67

You might also like