You are on page 1of 11

Tujuan Pendidikan Pancasila

Dalam UU No. 2 Tahun 1989 tentang system Pendidikan Nasional dan juga termuat dalam SK Dirjen Dikti. No.38/DIKTI/Kep/2003,
dijelaskan bahwa tujuan Pendidikan Pancasila mengarahkan perhatian pada moral yang diharapkan terwujud dalam kehidupan sehari-hari, yaitu
perilaku yang memancarkan iman dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam masyarakat yang terdiri atas berbagai golongan agama,
kebudayaan, dan beraneka ragam kepentingan, perilaku yang mendukung kerakyatan yang mengutamakan kepentingan bersama di atas
kepentingan perorangan dan golongan sehingga perbedaan pemikiran diarahkan pada perilaku yang mendukung upaya terwujudnya keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.Tuuan pendidikan diartikan sebagai seperangkat tindakan intelektual penuh tanggung jawab berorientasi pada
kompetensi mahasiswa pada bidang profesi masing-masing. Kompetensi lulusan pendidikan Pancasila adalah seperangkat tindakan intelektual,
penuh tanggung jawab sebagai seorang warga negara dalam memecahkan berbagai masalah dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara dengan menerapkan pemikiran yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila. Sifat intelektual tersebut tercermin pada kemahiran, ketepatan
dan keberhasilan bertindak, sdangkan sifat penuh tanggung jawab diperlihatkan sebagai kebenaran tindakan ditilik dari aspek iptek, etika ataupun
kepatutan agama serta budaya.

Pendidikan Pancasila bertujuan untuk menghasilkan peserta didik yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
dengan sikap dan perilaku :
1. Memiliki kemampuan untuk mengambil sikap yang bertanggungjawab sesuai dengan hati nuraninya.

2. Memiliki kemampuan untuk mengenali masalah hidup dan kesejahteraan serta cara-cara pemecahannya.

3. Mengenali perubahan-perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.

4. Memiliki kemampuan untuk memaknai peristiwa sejarah dan nilai-nilai budaya bangsa untuk menggalang persatuan Indonesia.

Melalui Pendidikan Pancasila, warga negara Republik Indonesia diharapkan mampu memahami, menganilisis dan menjawab masalah-
masalah yang dihadapi oleh masyarakat bangsanya secara berkesinambungan dan konsisten berdasarkan cita-cita dan tujuan bangsa Indonesia.

Pancasila Sebagai dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia telah diterima secara luas dan telah bersifat final. Namun walaupun
pancasila saat ini telah dihayati sebagai filsafat hidup bangsa dan dasar negara, yang merupakan perwujudan dari jiwa bangsa,sikap
mental,budaya dan karakteristik bangsa, saat ini asal usul dan kapan di keluarkan/disampaikannnya Pancasila masih dijadikan kajian yang
menimbulkan banyak sekali penafsiran dan konflik yang belum selesai hingga saat ini.

Namun dibalik itu semua ternyata pancasila memang mempunyai sejarah yang panjang tentang perumusan-perumusan terbentuknya pancasila,
dalam perjalanan ketata negaraan Indonesia. Sejarah ini begitu sensitif dan salah-salah bisa mengancam keutuhan Negara Indonesia. Hal ini
dikarenakan begitu banyak polemik serta kontroversi yang akut dan berkepanjangan baik mengenai siapa pengusul pertama sampai dengan
pencetus istilah Pancasila.

Dari beberapa sumber, setidaknya ada beberapa rumusan Pancasila yang telah atau pernah muncul. Rumusan Pancasila yang satu dengan
rumusan yang lain ada yang berbeda namun ada pula yang sama. Secara berturut turut akan dikemukakan rumusan dari Muh Yamin, Sukarno,
Piagam Jakarta, Hasil BPUPKI, Hasil PPKI, Konstitusi RIS, UUD Sementara, UUD 1945 (Dekrit Presiden 5 Juli 1959), Versi Berbeda, dan Versi
populer yang berkembang di masyarakat.

Rumusan I: Muh. Yamin

Pada sesi pertama persidangan BPUPKI yang dilaksanakan pada 29 Mei – 1 Juni 1945 beberapa anggota BPUPKI diminta untuk menyampaikan
usulan mengenai bahan-bahan konstitusi dan rancangan “blue print” Negara Republik Indonesia yang akan didirikan. Pada tanggal 29 Mei 1945
Mr. Muh. Yamin menyampaikan usul dasar negara dihadapan sidang pleno BPUPKI baik dalam pidato maupun secara tertulis yang disampaikan
kepada BPUPKI.

Rumusan Pidato

Baik dalam kerangka uraian pidato maupun dalam presentasi lisan Muh Yamin mengemukakan lima calon dasar negara yaitu:

1.Peri Kebangsaan
2.Peri Kemanusiaan
3.Peri ke-Tuhanan
4.Peri Kerakyatan
5.Kesejahteraan Rakyat

Selain usulan lisan Muh Yamin tercatat menyampaikan usulan tertulis mengenai rancangan dasar negara. Usulan tertulis yang disampaikan
kepada BPUPKI oleh Muh Yamin berbeda dengan rumusan kata-kata dan sistematikanya dengan yang dipresentasikan secara lisan, yaitu:

1.Ketuhanan Yang Maha Esa


2.Kebangsaan Persatuan Indonesia
3.Rasa Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
4.Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5.keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Rumusan II: Ir. Soekarno

Selain Muh Yamin, beberapa anggota BPUPKI juga menyampaikan usul dasar negara, diantaranya adalah Ir Sukarno[1]. Usul ini disampaikan
pada 1 Juni 1945 yang kemudian dikenal sebagai hari lahir Pancasila.

Usul Sukarno sebenarnya tidak hanya satu melainkan tiga buah usulan calon dasar negara yaitu lima prinsip, tiga prinsip, dan satu prinsip.
Sukarno pula- lah yang mengemukakan dan menggunakan istilah “Pancasila” (secara harfiah berarti lima dasar) pada rumusannya ini atas saran
seorang ahli bahasa (Muh Yamin) yang duduk di sebelah Sukarno. Oleh karena itu rumusan Sukarno di atas disebut dengan Pancasila, Trisila,
dan Ekasila.

Rumusan Pancasila

1.Kebangsaan Indonesia
2.Internasionalisme,-atau peri-kemanusiaan
3.Mufakat,-atau demokrasi
4.Kesejahteraan sosial
5.ke-Tuhanan yang berkebudayaan

Rumusan Trisila

1.Socio-nationalisme
2.Socio-demokratie
3.ke-Tuhanan

Rumusan Ekasila

1.Gotong-Royong

Rumusan III: Piagam Jakarta

Usulan-usulan blue print Negara Indonesia telah dikemukakan anggota-anggota BPUPKI pada sesi pertama yang berakhir tanggal 1 Juni 1945.
Selama reses antara 2 Juni – 9 Juli 1945, delapan orang anggota BPUPKI ditunjuk sebagai panitia kecil yang bertugas untuk menampung dan
menyelaraskan usul-usul anggota BPUPKI yang telah masuk.

Pada 22 Juni 1945 panitia kecil tersebut mengadakan pertemuan dengan 38 anggota BPUPKI dalam rapat informal. Rapat tersebut memutuskan
membentuk suatu panitia kecil berbeda (kemudian dikenal dengan sebutan “Panitia Sembilan”) yang bertugas untuk menyelaraskan mengenai
hubungan Negara dan Agama.

Dalam menentukan hubungan negara dan agama anggota BPUPKI terbelah antara golongan Islam yang menghendaki bentuk teokrasi Islam
dengan golongan Kebangsaan yang menghendaki bentuk negara sekuler dimana negara sama sekali tidak diperbolehkan bergerak di bidang
agama. Persetujuan di antara dua golongan yang dilakukan oleh Panitia Sembilan tercantum dalam sebuah dokumen “Rancangan Pembukaan
Hukum Dasar”.

Dokumen ini pula yang disebut Piagam Jakarta (Jakarta Charter) oleh Mr. Muh Yamin. Adapun rumusan rancangan dasar negara terdapat di akhir
paragraf keempat dari dokumen “Rancangan Pembukaan Hukum Dasar” (paragraf 1-3 berisi rancangan pernyataan kemerdekaan/proklamasi/
declaration of independence).

Rumusan ini merupakan rumusan pertama sebagai hasil kesepakatan para “Pendiri Bangsa”.
Rumusan kalimat

“… dengan berdasar kepada: ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan
yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta
dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Alternatif pembacaan

Alternatif pembacaan rumusan kalimat rancangan dasar negara pada Piagam Jakarta dimaksudkan untuk memperjelas persetujuan kedua
golongan dalam BPUPKI sebagaimana terekam dalam dokumen itu dengan menjadikan anak kalimat terakhir dalam paragraf keempat tersebut
menjadi sub-sub anak kalimat.

“… dengan berdasar kepada: ke-Tuhanan


[A] dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar,
[A.1] kemanusiaan yang adil dan beradab,
[A.2] persatuan Indonesia, dan
[A.3] kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan[;] serta
[B] dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Rumusan dengan penomoran (utuh)


1.Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
2.Menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab
3.Persatuan Indonesia
4.Dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5.Serta dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Rumusan populer

Versi populer rumusan rancangan Pancasila menurut Piagam Jakarta yang beredar di masyarakat adalah:

1.Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya


2.Kemanusiaan yang adil dan beradab
3.Persatuan Indonesia
4.Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5.Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Rumusan IV: BPUPKI

Pada sesi kedua persidangan BPUPKI yang berlangsung pada 10-17 Juli 1945, dokumen “Rancangan Pembukaan Hukum Dasar” (baca Piagam
Jakarta) dibahas kembali secara resmi dalam rapat pleno tanggal 10 dan 14 Juli 1945.

Dokumen “Rancangan Pembukaan Hukum Dasar” tersebut dipecah dan diperluas menjadi dua buah dokumen berbeda yaitu Declaration of
Independence (berasal dari paragraf 1-3 yang diperluas menjadi 12 paragraf) dan Pembukaan (berasal dari paragraf 4 tanpa perluasan sedikitpun).

Rumusan yang diterima oleh rapat pleno BPUPKI tanggal 14 Juli 1945 hanya sedikit berbeda dengan rumusan Piagam Jakarta yaitu dengan
menghilangkan kata “serta” dalam sub anak kalimat terakhir. Rumusan rancangan dasar negara hasil sidang BPUPKI, yang merupakan rumusan
resmi pertama, jarang dikenal oleh masyarakat luas.

Rumusan kalimat

“… dengan berdasar kepada: ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan
yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat-kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan,
dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Rumusan dengan penomoran (utuh)

1.Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya


2.Menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab
3.Persatuan Indonesia
4.Dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat-kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5.Dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Rumusan V: PPKI

Menyerahnya Kekaisaran Jepang yang mendadak dan diikuti dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang diumumkan sendiri oleh Bangsa
Indonesia (lebih awal dari kesepakatan semula dengan Tentara Angkatan Darat XVI Jepang) menimbulkan situasi darurat yang harus segera
diselesaikan. Sore hari tanggal 17 Agustus 1945, wakil-wakil dari Indonesia daerah Kaigun (Papua, Maluku, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan
Kalimantan), diantaranya A. A. Maramis, Mr., menemui Sukarno menyatakan keberatan dengan rumusan “dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya” untuk ikut disahkan menjadi bagian dasar negara.

Untuk menjaga integrasi bangsa yang baru diproklamasikan, Sukarno segera menghubungi Hatta dan berdua menemui wakil-wakil golongan
Islam. Semula, wakil golongan Islam, diantaranya Teuku Moh Hasan, Mr. Kasman Singodimedjo, dan Ki Bagus Hadikusumo, keberatan dengan
usul penghapusan itu. Setelah diadakan konsultasi mendalam akhirnya mereka menyetujui penggantian rumusan “Ketuhanan, dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dengan rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai sebuah “emergency exit” yang
hanya bersifat sementara dan demi keutuhan Indonesia.

Pagi harinya tanggal 18 Agustus 1945 usul penghilangan rumusan “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”
dikemukakan dalam rapat pleno PPKI. Selain itu dalam rapat pleno terdapat usulan untuk menghilangkan frasa “menurut dasar” dari Ki Bagus
Hadikusumo.

Rumusan dasar negara yang terdapat dalam paragraf keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar ini merupakan rumusan resmi kedua dan
nantinya akan dipakai oleh bangsa Indonesia hingga kini. UUD inilah yang nantinya dikenal dengan UUD 1945.

Rumusan kalimat

“… dengan berdasar kepada: ke-Tuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.”
Rumusan dengan penomoran (utuh)
1.ke-Tuhanan Yang Maha Esa
2.Kemanusiaan yang adil dan beradab,
3.Persatuan Indonesia
4.Dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5.Serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Rumusan VI: Konstitusi RIS

Pendudukan wilayah Indonesia oleh NICA menjadikan wilayah Republik Indonesia semakin kecil dan terdesak. Akhirnya pada akhir 1949
Republik Indonesia yang berpusat di Yogyakarta (RI Yogyakarta) terpaksa menerima bentuk negara federal yang disodorkan pemerintah kolonial
Belanda dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS) dan hanya menjadi sebuah negara bagian saja.

Walaupun UUD yang disahkan oleh PPKI pada 18 Agustus 1945 tetap berlaku bagi RI Yogyakarta, namun RIS sendiri mempunyai sebuah
Konstitusi Federal (Konstitusi RIS) sebagai hasil permufakatan seluruh negara bagian dari RIS. Dalam Konstitusi RIS rumusan dasar negara
terdapat dalam Mukaddimah (pembukaan) paragraf ketiga. Konstitusi RIS disetujui pada 14 Desember 1949 oleh enam belas negara bagian dan
satuan kenegaraan yang tergabung dalam RIS.

Rumusan kalimat

“…, berdasar pengakuan ke-Tuhanan Yang Maha Esa, perikemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan dan keadilan sosial.”

Rumusan dengan penomoran (utuh)

1.ke-Tuhanan Yang Maha Esa,


2.perikemanusiaan,
3.kebangsaan,
4.kerakyatan
5.dan keadilan sosial

Rumusan VII: UUD Sementara

Segera setelah RIS berdiri, negara itu mulai menempuh jalan kehancuran. Hanya dalam hitungan bulan negara bagian RIS membubarkan diri dan
bergabung dengan negara bagian RI Yogyakarta.

Pada Mei 1950 hanya ada tiga negara bagian yang tetap eksis yaitu RI Yogyakarta, NIT, dan NST. Setelah melalui beberapa pertemuan yang
intensif RI Yogyakarta dan RIS, sebagai kuasa dari NIT dan NST, menyetujui pembentukan negara kesatuan dan mengadakan perubahan
Konstitusi RIS menjadi UUD Sementara.

Perubahan tersebut dilakukan dengan menerbitkan UU RIS No 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia
Serikat menjadi Undang-Undang Dasar Sementara (LN RIS Tahun 1950 No 56, TLN RIS No 37) yang disahkan tanggal 15 Agustus 1950.
Rumusan dasar negara kesatuan ini terdapat dalam paragraf keempat dari Mukaddimah (pembukaan) UUD Sementara Tahun 1950.

Rumusan kalimat

“…, berdasar pengakuan ke-Tuhanan Yang Maha Esa, perikemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan dan keadilan sosial, …”

Rumusan dengan penomoran (utuh)

1.ke-Tuhanan Yang Maha Esa,


2.perikemanusiaan,
3.kebangsaan,
4.kerakyatan
5.dan keadilan sosial

Rumusan VIII: UUD 1945

Kegagalan Konstituante untuk menyusun sebuah UUD yang akan menggantikan UUD Sementara yang disahkan 15 Agustus 1950 menimbulkan
bahaya bagi keutuhan negara. Untuk itulah pada 5 Juli 1959 Presiden Indonesia saat itu, Sukarno, mengambil langkah mengeluarkan Dekrit
Kepala Negara yang salah satu isinya menetapkan berlakunya kembali UUD yang disahkan oleh PPKI pada 18 Agustus 1945 menjadi UUD
Negara Indonesia menggantikan UUD Sementara.

Dengan pemberlakuan kembali UUD 1945 maka rumusan Pancasila yang terdapat dalam Pembukaan UUD kembali menjadi rumusan resmi yang
digunakan. Rumusan ini pula yang diterima oleh MPR, yang pernah menjadi lembaga tertinggi negara sebagai penjelmaan kedaulatan rakyat
antara tahun 1960-2004, dalam berbagai produk ketetapannya, diantaranya:

1.Tap MPR No XVIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No. II/MPR/1978 tentang
Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa) dan Penetapan tentang Penegasan Pancasila sebagai Dasar Negara,
dan
2.Tap MPR No III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan.
Rumusan kalimat

“… dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.”

Rumusan dengan penomoran (utuh)

1.Ketuhanan Yang Maha Esa,


2.Kemanusiaan yang adil dan beradab,
3.Persatuan Indonesia
4.Dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
5.Serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Rumusan IX: Versi Berbeda

Selain mengutip secara utuh rumusan dalam UUD 1945, MPR pernah membuat rumusan yang agak sedikit berbeda. Rumusan ini terdapat dalam
lampiran Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata
Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia.

Rumusan

1.Ketuhanan Yang Maha Esa,


2.Kemanusiaan yang adil dan beradab,
3.Persatuan Indonesia
4.Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
5.Keadilan sosial.

Rumusan X: Versi Populer

Rumusan terakhir yang akan dikemukakan adalah rumusan yang beredar dan diterima secara luas oleh masyarakat. Rumusan Pancasila versi
populer inilah yang dikenal secara umum dan diajarkan secara luas di dunia pendidikan sebagai rumusan dasar negara. Rumusan ini pada
dasarnya sama dengan rumusan dalam UUD 1945, hanya saja menghilangkan kata “dan” serta frasa “serta dengan mewujudkan suatu” pada sub
anak kalimat terakhir.

Rumusan ini pula yang terdapat dalam lampiran Tap MPR No II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
(Ekaprasetya Pancakarsa)

Rumusan

1.Ketuhanan Yang Maha Esa,


2.Kemanusiaan yang adil dan beradab,
3.Persatuan Indonesia
4.Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5.Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Catatan Kaki

1.^ Sidang Sesi I BPUPKI tidak hanya membahas mengenai calon dasar negara namun juga membahas hal yang lain. Tercatat dua anggota Moh.
Hatta, Drs. dan Supomo, Mr. mendapat kesempatan berpidato yang agak panjang. Hatta berpidato mengenai perekonomian Indonesia sedangkan
Supomo yang kelak menjadi arsitek UUD berbicara mengenai corak Negara Integralistik
2.^ Negara Indonesia Timur, wilayahnya meliputi Sulawesi dan pulau-pulau sekitarnya, Kepulauan Nusa Tenggara, dan seluruh kepulauan
Maluku
3.^ Negara Sumatra Timur, wilayahnya meliputi bagian timur provinsi Sumut (sekarang)
“Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia
harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara” (Pasal 1 Ketetapan MPR No XVIII/MPR/1998 jo Ketetapan MPR No.
I/MPR/2003 jo Pasal I Aturan Tambahan UUD 1945).

Referensi

1.Undang Undang Dasar 1945


2.Konstitusi RIS (1949)
3.UUD Sementara (1950)
4.Berbagai Ketetapan MPRS dan MPR RI
5.Saafroedin Bahar (ed). (1992) Risalah Sidang BPUPKI-PPKI 29 Mei 1945-19 Agustus 1945. Edisi kedua. Jakarta: SetNeg RI
6.Tim Fakultas Filsafat UGM (2005) Pendidikan Pancasila. Edisi 2. Jakarta: Universitas Terbuka
7.http://id.wikipedia.org/wiki/Rumusan-rumusan_Pancasila#Rumusan_I:_Muh._Yamin.2C_Mr

Pengertian Hukum
Hukum merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindarkan dalam kehidupan masyarakat dan harus ditegakkan apabila kita menginginkan suatu
kehidupan yang damai dan tentram. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa hukum merupakan suatu upaya perbaikan, setidak-tidaknya
bagi pelaku kejahatan. Dalam kehidupan masyarakat kita juga jumpai ada seseorang melakukan kejahatan, membuat keresahan dan
ketidaknyamanan, Padahal, Apabila kita pahami bahwa sesungguhnya orang yang berbuat baik hakikarnya adalah untuk dirinya sendiri.
Begitupula sebaliknya, sesungguhnya bagi orang yang berbuat jahat, kejahatan itu akan menimpa dirinya sendiri.

Pengertian Hukum
Hukum merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindarkan dalam kehidupan masyarakat dan harus ditegakkan apabila kita menginginkan suatu
kehidupan yang damai dan tentram. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa hukum merupakan suatu upaya perbaikan, setidak-tidaknya
bagi pelaku kejahatan. Dalam kehidupan masyarakat kita juga jumpai ada seseorang melakukan kejahatan, membuat keresahan dan
ketidaknyamanan, Padahal, Apabila kita pahami bahwa sesungguhnya orang yang berbuat baik hakikarnya adalah untuk dirinya sendiri.
Begitupula sebaliknya, sesungguhnya bagi orang yang berbuat jahat, kejahatan itu akan menimpa dirinya sendiri.

Para ahli hukum di Indonesia berkesimpulan bahwa Hukum itu memiliki unsur-unsur dan ciri-ciri hukum.

Unsur-unsur hukum meliputi :


1. Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam bermasyarakat
2. Peraturan tersebut dibuat oleh badan yang berwenang
3. Peraturan itu secara umum bersifat memaksa
4. Sanksi dapat dikenakan bila melanggarnya sesuai dengan ketentuan atau perundang-undangan yang berlaku.

Maksud dari uraian unsur-unsur hukum di atas adalah bahwa hukum itu berisikan peraturan dalam kehidupan bermasyarakat, hukum itu diadakan
oleh badan yang berwenang yakni badan legislatif dengan persetujuan badan eksekutif begitu pula sebaliknya, secara umum hukum itu bersifat
memaksa yakni hukum itu tegas bila dilanggar dapat dikenakan sanksi ataupun hukumna sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Sedangkan Ciri-ciri hukum antara lain :


1. terdapat perintah ataupun larangan dan
2. perintah atau larangan tersebut harus dipatuhi oleh setiap orang

Tiap-tiap orang harus bertindak demikian untuk menjaga ketertiban dalam bermasyarakat. Oleh karena itu, hukum meliputi berbagai peraturan
yang menentukan dan mengatur hubungan antara orang yang satu dengan orang yang lain yang dapat disebut juga kaedah hukum yakni
peraturan-peraturan kemasyarakatan.

Kami menyadari bahwa blog belajar hukum ini masih sangat jauh dari sempurna. Oleh karena itu Anda dapat memberikan kritik dan saran di
Contact Us. Anda juga dapat berpartisipasi di blog Belajar Hukum Indonesia dengan ikut menyumbangkan artikel di Kirim Artikel. Wassalam

Tujuan Hukum

Sama halnya dengan pengertian hukum, banyak teori atau pendapat mengenai tujuan hukum. Berikut teori-teori dari para ahli :

1. Prof Subekti, SH :
Hukum itu mengabdi pada tujuan negara yaitu mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya dengan cara menyelenggarakan keadilan.
Keadilan itu menuntut bahwa dalam keadaan yang sama tiap orang mendapat bagian yang sama pula.
2. Prof. Mr. Dr. LJ. van Apeldoorn :
Tujuan hukum adalah mengatur hubungan antara sesama manusia secara damai. Hukum menghendaki perdamaian antara sesama. Dengan
menimbang kepentingan yang bertentangan secara teliti dan seimbang.
3. Geny :
Tujuan hukum semata-mata ialah untuk mencapai keadilan. Dan ia kepentingan daya guna dan kemanfaatan sebagai unsur dari keadilan.

Pada umumnya hukum ditujukan untuk mendapatkan keadilan, menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat serta mendapatkan
kemanfaatan atas dibentuknya hukum tersebut. Selain itu, menjaga dan mencegah agar tiap orang tidak menjadi hakim atas dirinya sendiri,
namun tiap perkara harus diputuskan oleh hakim berdasarkan dengan ketentuan yang sedang berlaku.

Secara singkat Tujuan Hukum antara lain:

 keadilan
 kepastian
 kemanfaatan

Menurut kami sendiri hukum bertujuan untuk mencapai kehidupan yang selaras dan seimbang, mencegah terjadinya perpecahan dan mendapat
keselamatan dalam keadilan.
Fungsi Hukum

Untuk mencapai tujuannya, hukum harus difungsikan menurut fungsi-fungsi tertentu. Apakah fungsi dari hukum? Jawabnya tergantung yang
ingin kita capai apa? Dengan lain perkataan, fungsi hukum itu luas, tergantung tujuan-tujuan hukum umum dan tujuan-tujuan yang spesifik yang
ingin dicapai. Tujuan umum dari hukum telah kita bicarakan di atas dan apapun dari hukum, seyogyanya dilaksanakan dalam rangka pencapaian
tujuan tersebut.

Joseph Raz melihat fungsi hukum sebagai fungsi sosial, yang dibedakannya hukum ke dalam:

1. Fungsi langsung
2. Fungsi tak langsung

Sedangkan penulis sendiri membedakannya ke dalam:

1. fungsi hukum sebagai “a tool of social control”


2. fungsi hukum sebagai “a tool of social engineering”
3. fungsi hukum sebagai simbol
4. fungsi hukum sebagai “a political instrument”
5. fungsi hukum sebagai integrator.

Joseph Raz (1983 V 163-177) membedakan fungsi sosial hukum atas:

Fungsi langsung

Fungsi langsung yang bersifat primer, mencakup

(+) pencegahan perbuatan tertentu dan mendorong dilakukannya perbuatan tertentu,

(+) penyediaan fasilitas bagi rencana-rencana privat,

(+) penyediaan servias dan pembagian kembali barang-barang

(+) penyelesaian perselisihan di luar jalur reguler.

Fungsi langsung yang bersifat sekunder, mencakup:

(+) prosedur perubahan hukum, meliputi antara lain:

constitution making bodies,

parliements,

local authorities

administrative legislation

custom

judicial law-making

regulations made by independent public bodies

dan lain-lain

(+) prosedur bagi pelaksana hukum


Fungsi Tidak Langsung

Termasuk di dalam fungsi hukum yang tidak langsung ini adalah memperkuat atau memperlemah kecenderungan untuk menghargai nilai-nilai
normal tertentu, sebagai contoh:

1. kesucian hidup
2. memperkuat atau memperlemah penghargaan terhadap otoritas umum,
3. mempengaruhi perasaan kesatuan nasional
4. dan lain-lain.
5. Kami menyadari bahwa blog belajar hukum ini masih sangat jauh dari sempurna. Oleh karena itu Anda dapat memberikan kritik dan
saran di Contact Us. Anda juga dapat berpartisipasi di blog Belajar Hukum Indonesia dengan ikut menyumbangkan artikel di Kirim
Artikel. Wassalam

Macam Macam Hukum

Hukum itu dapat dibedakan / digolongkan / dibagi menurut bentuk, sifat, sumber, tempat berlaku, isi dan cara mempertahankannya.

Menurut bentuknya, hukum itu dibagi menjadi :


1. Hukum Tertulis, adalah hukum yang dituliskan atau dicantumkan dalam perundang-undangan. COntoh : hukum pidana dituliskan pada
KUHPidana, hukum perdata dicantumkan pada KUHPerdata.

2. Hukum Tidak Tertulis, adalah hukum yang tidak dituliskan atau tidak dicantumkan dalam perundang-undangan. Contoh : hukum adat tidak
dituliskan atau tidak dicantumkan pada perundang-undangan tetapi dipatuhi oleh daerah tertentu.

Hukum tertulis sendiri masih dibagi menjadi dua, yakni hukum tertulis yang dikodifikasikan dan yang tidak dikodifikasikan. Dikodifikasikan
artinya hukum tersebut dibukukan dalam lembaran negara dan diundangkan atau diumumkan. Indonesia menganut hukum tertulis yang
dikodifikasi. Kelebihannya adalah adanya kepastian hukum dan penyederhanaan hukum serta kesatuan hukum. Kekurangannya adalah hukum
tersebut bila dikonotasikan bergeraknya lambat atau tidak dapat mengikuti hal-hal yang terus bergerak maju.

Menurut sifatnya, hukum itu dibagi menjadi :


1. Hukum yang mengatur, yakni hukum yang dapat diabaikan bila pihak-pihak yang bersangkutan telah membuat peraturan sendiri.
2. Hukum yang memaksa, yakni hukum yang dalam keadaan apapun memiliki paksaan yang tegas.

Menurut sumbernya, hukum itu dibagi menjadi :


1. Hukum Undang-Undang, yakni hukum yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan.
2. Hukum Kebiasaan (adat), yakni hukum yang ada di dalam peraturan-peraturan adat.
3. Hukum Jurisprudensi, yakni hukum yang terbentuk karena keputusan hakim di masa yang lampau dalam perkara yang sama.
4. Hukum Traktat, yakni hukum yang terbentuk karena adanya perjanjian antara negara yang terlibat di dalamnya.

Menurut tempat berlakunyanya, hukum itu dibagi menjadi :


1. Hukum Nasional adalah hukum yang berlaku dalam suatu negara.
2. HUkum Internasional adalah hukum yang mengatur hubungan antar negara.
3. Hukum Asing adalah hukum yang berlaku di negara asing.

Menurut isinya, hukum itu dibagi menjadi :


1. Hukum Privat (Hukum Sipil), adalah hukum yang mengatur hubungan antara perseorangan dan orang yang lain. Dapat dikatakan hukum
yang mengatur hubungan antara warganegara dengan warganegara. Contoh : Hukum Perdata dan Hukum Dagang. Tetap dalam arti sempit hukum
sipil disebut juga hukum perdata.
2. Hukum Negara (Hukum Publik) dibedakan menjadi hukum pidana, tata negara dan administrasi negara.
a. Hukum Pidana adalah hukum yang mengatur hubungan antara warganegara dengan negara
b. Hukum Tata Negara adalah hukum yang mengatur hubungan antara warganegara dengan alat perlengkapan negara.
c. Hukum Administrasi Negara adalah hukum yang mengatur hubungan antar alat perlengkapan negara, hubungan pemerintah pusat dengan
daerah.

Menurut cara mempertahankannya, hukum itu dibagi menjadi :


1. Hukum Materiil, yaitu hukum yang mengatur kepentingan-kepentingan dan hubungan-hubungan yang berwujud perintah dan larangan.
Contoh Hukum Pidana, Hukum Perdata. Yang dimaksudkan adalah Hukum Pidana Materiil dan Hukum Perdata Materiil.
2. Hukum Formil, yaitu hukum yang mengatur cara-cara mempertahankan dan melaksanakan hukum materiil. Contoh Hukum Acara Pidana dan
Hukum Acara Perdata.
PANCASILA SEBAGAI SUMBER DARI SEGALA SUMBER HUKUM ATAU SUMBER TERTIB HUKUM BAGI NEGARA REPUBLIK

INDONESIA

Pancasila dalam pengertian ini disebutkan dalam ketetapan MPRS Nomor.XX/MPRS/1966. (70 ketetapan MPR Nomor.V/MPR/1973

dan ketetapan Nomor IX/MPR/1978). Dijelaskan bahwa sumber tertib hukum Republik Indonesia adalah pandangan hidup, kesadaran dan cita-

cita hukum serta watak Bangsa Indonesia, selanjutnya dikatakan bahwa cita-cita itu meliputi cita-cita mengenai kemerdekaan individu,

kemerdekaan Bangsa, perikemanusiaan, keadilan sosial, perdamaian Nasional dan Mondial. Ciri-ciri politik mengenai sifat, bentuk, dan tujuan

Negara, cita-cita moral mengenai kehidupan kemasyarakatan dan keagamaan pengejawatahan budi pekerti nurani manusia.

TUJUANNEGARA

1)   Teori Kekuasaan

1. Shang Yang, yang hidup di negeri China sekitar abad V-IV SM menyatakan bahwa tujuan negara adalah pembentukan kekuasaan
negara yang sebesar-besarnya. Menurut dia, perbedaan tajam antara negara dengan rakyat akan membentuk kekuasaan negara. “A
weak people means a strong state and a strong state means a weak people. Therefore a country, which has the right way, is concerned
with weakening the people.”

Sepintas ajaran Shang Yang sangat kontradiktif karena menganggap upacara, musik, nyanyian, sejarah, kebajikan, kesusilaan, penghormatan
kepada orangtua, persaudaraan, kesetiaan, ilmu (kebudayaan, ten evils) sebagai penghambat pembentukan kekuatan negara untuk dapat
mengatasi kekacauan (yang sedang melanda China saat itu). Kebudayaan rakyat harus dikorbankan untuk kepentingan kebesaran dan kekuasaan
negara.

1. Niccolo Machiavelli, dalam bukunya Il Principe menganjurkan agar raja tidak menghiraukan kesusilaan maupun agama. Untuk
meraih, memertahankan dan meningkatkan kekuasaannya, raja harus licik, tak perlu menepati janji, dan berusaha selalu ditakuti
rakyat. Di sebalik kesamaan teorinya dengan ajaran Shang Yang, Machiavelli menegaskan bahwa penggunaan kekuasaan yang
sebesar-besarnya itu bertujuan luhur, yakni kebebasan, kehormatan dan kesejahteraan seluruh bangsa.

2)   Teori Perdamaian Dunia


Dalam bukunya yang berjudul De Monarchia Libri III, Dante Alleghiere (1265-1321) menyatakan bahwa tujuan negara adalah untuk
mewujudkan perdamaian dunia. Perdamaian dunia akan terwujud apabila semua negara merdeka meleburkan diri dalam satu imperium di bawah
kepemimpinan seorang penguasa tertinggi. Namun Dante menolak kekuasaan Paus dalam urusan duniawi. Di bawah seorang mahakuat dan
bijaksana, pembuat undang-undang yang seragam bagi seluruh dunia, keadilan dan perdamaian akan terwujud di seluruh dunia.

3)   Teori Jaminan atas Hak dan Kebebasan Manusia

1. Immanuel Kant (1724-1804) adalah penganut teori Perjanjian Masyarakat karena menurutnya setiap orang adalah merdeka dan
sederajat sejak lahir. Maka Kant menyatakan bahwa tujuan negara adalah melindungi dan menjamin ketertiban hukum agar hak dan
kemerdekaan warga negara terbina dan terpelihara. Untuk itu diperlukan undang-undang yang merupakan penjelmaan kehendak
umum (volonte general), dan karenanya harus ditaati oleh siapa pun, rakyat maupun pemerintah. Agar tujuan negara tersebut dapat
terpelihara, Kant menyetujui azas pemisahan kekuasaan menjadi tiga potestas (kekuasaan): legislatoria, rectoria, iudiciaria (pembuat,
pelaksana, dan pengawas hukum).

Teori Kant tentang negara hukum disebut teori negara hukum murni atau negara hukum dalam arti sempit karena peranan negara hanya sebagai
penjaga ketertiban hukum dan pelindung hak dan kebebasan warga negara, tak lebih dari nightwatcher, penjaga malam). Negara tidak turut
campur dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

Pendapat Kant ini sangat sesuai dengan zamannya, yaitu tatkala terjadi pemujaan terhadap liberalisme (dengan semboyannya: laissez faire,
laissez aller). Namun teori Kant mulai ditinggalkan karena persaingan bebas ternyata makin melebarkan jurang pemisah antara golongan kaya
dan golongan miskin. Para ahli berusaha menyempurnakan teorinya dengan teori negara hukum dalam arti luas atau negara kesejahteraan
(Welfare State). Menurut teori ini, selain bertujuan melindungi hak dan kebebasan warganya, negara juga berupaya mewujudkan kesejahteraan
bagi seluruh warga negara.

1. Kranenburg termasuk penganut teori negara kesejahteraan. Menurut dia, tujuan negara bukan sekadar memelihara ketertiban hukum,
melainkan juga aktif mengupayakan kesejahteraan warganya. Kesejahteran pun meliputi berbagai bidang yang luas cakupannya,
sehingga selayaknya tujuan negara itu disebut secara plural: tujuan-tujuan negara. Ia juga menyatakan bahwa upaya pencapaian
tujuan-tujuan negara itu dilandasi oleh keadilan secara merata, seimbang.
Selain beberapa teori tersebut, ada pula ajaran tentang tujuan negara sebagai berikut:

1. Ajaran Plato: Negara bertujuan memajukan kesusilaan manusia sebagai individu dan makhluk sosial.
2. Ajaran Teokratis (Kedaulatan Tuhan): Negara bertujuan mencapai kehidupan yang aman dan ternteram dengan taat kepada Tuhan.
Penyelenggaraan negara oleh pemimpin semata-mata berdasarkan kekuasaan Tuhan yang dipercayakan kepadanya. Tokoh utamanya:
Augustinus, Thomas Aquino)
3. Ajaran Negara Polisi: Negara bertujuan mengatur kemanan dan ketertiban masyarakat (Immanuel Kant).
4. Ajaran Negara Hukum: Negara bertujuan menyelenggarakan ketertiban hukum dan berpedoman pada hukum (Krabbe). Dalam
negara hukum, segala kekuasaan alat-alat pemerintahannya didasarkan pada hukum. Semua orang – tanpa kecuali – harus tunduk dan
taat kepada hukum (Government not by man, but by law = the rule of law). Rakyat tidak boleh bertindak semau gue dan menentang
hukum. Di dalam negara hukum, hak-hak rakyat dijamin sepenuhnya oleh negara, sebaliknya rakyat berkewajiban mematuhi seluruh
peraturan pemerintah/ negaranya.
5. Negara Kesejahteraan (Welfare State = Social Service State): Negara bertujuan mewujudkan kesejahteraan umum. Negara adalah
alat yang dibentuk rakyatnya untuk mencapai tujuan bersama, yaitu kemakmuran dan keadilan sosial.

Fungsi Negara
Tujuan negara merupakan suatu harapan atau cita-cita yang akan dicapai oleh negara, sedangkan fungsi negara merupakan upaya atau kegiatan
negara untuk mengubah harapan itu menjadi kenyataan. Maka, tujuan negara tanpa fungsi negara adalah sia-sia, dan sebaliknya, fungsi negara
tanpa tujuan negara tidak menentu.

Minimal, setiap negara harus melaksanakan fungsi:

1. penertiban (law and order): untuk mencapai tujuan bersama dan mencegah terjadinya konflik, negara harus melaksanakan penertiban,
menjadi stabilisator;
2. mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat;
3. pertahanan, menjaga kemungkinan serangan dari luar;
4. menegakkan keadilan, melalui badan-badan pengadilan.

Menurut Charles E. Merriam, fungsi negara adalah: keamanan ekstern, ketertiban intern, keadilan, kesejahteraan umum, kebebasan. Sedangkan
R.M. MacIver berpendapat bahwa fungsi negara adalah: ketertiban, perlindungan, pemeliharaan dan perkembangan.

Beberapa teori fungsi negara:

1)      Teori Anarkhisme, Secara etimologis, anarkhi (kata Yunani: αν = tidak, bukan, tanpa; αρκειν = pemerintah, kekuasaan) berarti tanpa
pemerintahan atau tanpa kekuasaan.

Penganut anarkhisme menolak campurtangan negara dan pemerintahan karena menurutnya manusia menurut kodratnya adalah baik dan
bijaksana, sehingga tidak memerlukan negara/pemerintahan yang bersifat memaksa dalam penjaminan terpeliharanya keamanan dan ketertiban
masyarakat. Fungsi negara dapat diselenggarakan oleh perhimpunan masyarakat yang dibentuk secara sukarela, tanpa paksaan, tanpa polisi,
bahkan tanpa hukum dan pengadilan. Anarkhisme menghendaki masyarakat bebas (tanpa terikat organisasi kenegaraan) yang mengekang
kebebasan individu.

a)      Anarkhisme filosofis menganjurkan pengikutnya untuk menempuh jalan damai dalam usaha mencapai tujuan dan menolak penggunaan
kekerasan fisik. Tokohnya: William Goodwin (1756-1836), Kaspar Schmidt (1805-1856), P.J. Proudhon (1809-1865), Leo Tolstoy (1828-1910).

b)      Anarkhisme revolusioner mengajarkan bahwa untuk mencapai tujuan, kekerasan fisik dan revolusi berdarah pun boleh digunakan. Contoh
ekstrim anarkhisme revolusioner terjadi di Rusia pada tahun 1860 dengan nama nihilisme, yaitu gerakan yang mengingkari nilai-nilai moral,
etika, ide-ide dan ukuran-ukuran konvensional. Tujuan menghalalkan cara. Tokohnya: Michael Bakunin (1814-1876).

2) Teori Individualisme

Individualisme adalah suatu paham yang menempatkan kepentingan individual sebagai pusat tujuan hidup manusia. Menurut paham ini, negara
hanya berfungsi sebagai sarana pemenuhan kebutuhan setiap individu. Negara hanya bertugas memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat
(penjaga malam), tidak usah ikut campur dalam urusan individu, bahkan sebaliknya harus memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada
setiap individu dalam kehidupannya. Individualisme berjalan seiring dengan liberalisme yang menjunjung tinggi kebebasan perseorangan. Di
bidang ekonomi, liberalisme menghendaki persaingan bebas. Yang bermodal lebih kuat/ besar layak memenangi persaingan. Sistem ekonomi
liberal biasa disebut kapitalisme.

3) Teori Sosialisme

Sosialisme merupakan suatu paham yang menjadikan kolektivitas (kebersamaan) sebagai pusat tujuan hidup manusia. Penganut paham ini
menganggap bahwa dalam segala aspek kehidupan manusia, kebersamaan harus diutamakan. Demi kepentingan bersama, kepentingan individu
harus dikesampingkan. Maka, negara harus selalu ikut campur dalam segala aspek kehidupan demi tercapainya tujuan negara, yaitu kesejahteraan
yang merata bagi seluruh rakyat.

Pelaksanaan ajaran sosialisme secara ekstrim dan radikal-revolusioner merupakan embrio komunisme yang tidak mengakui adanya hak milik
perorangan atas alat-alat produksi dan modal. Yang tidak termasuk alat-alat produksi dijadikan milik bersama (milik negara). Di negara komunis
selalu diseimbangkan status quo keberadaan dua kelas masyarakat: pemilik alat produksi dan atau modal serta yang bukan pemilik alat produksi
(buruh).
Fungsi negara menurut ajaran komunisme adalah sebagai alat pemaksa yang digunakan oleh kelas pemilik alat-alat produksi terhadap kelas/
golongan masyarakat lainnya untuk melanggengkan kepemilikannya.

Sosialisme dan komunisme memiliki tujuan yang sama, yaitu meluaskan fungsi negara dan menuntut penguasaan bersama atas alat-alat produksi,
sedangkan perbedaannya adalah:
Sosialisme

1. usaha pencapaian tujuan negara harus menempuh cara-cara damai


2. masih mengakui hak milik pribadi/ perorangan dalam batas-batas tertentu

Komunisme

1. menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan negara, bila perlu dengan revolusi berdarah
2. sama sekali tidak mengakui hak milik perorangan

You might also like