You are on page 1of 8

FUNGSI BAHASA DAN KEDUDUKAN BAHASA 

INDONESIA
FUNGSI BAHASA DAN KEDUDUKAN BAHASA INDONESIA

Sejarah bahasa Indonesia;


Bahasa indonesia adalah dialek kaku dari bahasa Melayu Klasik dan bahasa Melayu Kuno. Secara
sosiologis, bolehlah kita katakan bahwa bahasa Indonesia baru dianggap “lahir” atau diterima
keberadaannya pada tanggal 28 Oktober 1928 atas usulan Mohammad Yamin. Secara yuridis, baru
tanggal 18 Agustus 1945 bahasa Indonesia secara resmi diakui keberadaannya.tepatnya pada saat hari
Kemerdekaan
Bahasa Indonesia menggunakan dua jenis kata ganti orang pertama jamak, yaitu “kami” dan “kita”.
“Kami” adalah kata ganti eksklusif yang berarti tidak termasuk sang lawan bicara, sedangkan “kita”
adalah kata ganti inklusif yang berarti kelompok orang yang disebut termasuk lawan bicaranya.
Susunan kata dasar adalah Subjek – Predikat – Objek-Keterangan (SPOK), walaupun susunan kata lain
juga mungkin. Kata kerja tidak di bahasa berinfleksikan kepada orang atau jumlah subjek dan objek.
Bahasa Indonesia juga tidak mengenal kala/waktu (tense). Waktu dinyatakan dengan menambahkan kata
keterangan waktu (seperti, “kemarin” atau “besok”), atau indikator lain seperti “sudah” atau “belum”.Dan
Bahasa Indonesia di atur dalam UUD 1945 pada pasal 36 yaitu “Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia”.
Berdasarkan fungsinya bahasa Indonesia dibagi menjadi 5 fungsi;
1. Ekspresif
Contohnya;mampu menggungkapkan gambaran,maksud ,gagasan, dan perasaan.

2. Komunikasi
Contohnya; sebagai alat berinteraksi atau hubungan antara dua manusia dan sehingga pesan yang
dikmaksudkan dapat dimengerti.

3. Kontrol sosial
contohnya; tulisan “dilarang merokok” bahasa tersebut berfungsi sebagai pengatur atau pengontrol

4. Adaptasi
Contohnya;bila kita berada di wilayah atau daerah yang asing atau diluar ibu kota, kita dapat
menggunakan bahasa Indonesia tersebut sebagai alat untuk adaptasi dengan lingkungan baru tersebut.

5. Integrasi/pemersatu
Contohnya;bahasa-bahasa yang berbeda atau beraneka ragam dan dipersatukan oleh bahasa Nasional yang
dapat dipakai di seluruh Indonesia yang menjadi satu kesatuan yang utuh dan bulat.

Kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional di ikrarkan pada 28 oktober 1928 yaitu hari
“Sumpah Pemuda” yang memilki fungsi-fungsi sebagai;
1. Lambang identitas Nasional.
2. Lambang kebanggaan kebangsaan.
3. Bahasa indonesia sebagai alat komunikasi.
4. Alat pemersatu bangsa yang berbeda Suku,Agama,ras,adat istiadat dan Budaya.
Hasil perumusan seminar polotik bahasa Nasional yang diselenggarakan di jakarta pada tangal 25 s.d. 28
Februari 1975 dikemukakan berdasarkan Kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa Negara adalah;
1. Sebagai bahasa resmi kenegaraan.
2. Sebagai alat pengantar dalam dunia pendidikan.
3. Sebagai penghubung pada tingkat Nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan serta pemerintah, dan
4. Sebagai pengembangan kebudayaan Nasional, Ilmu dan Teknologi.
Fungsi Dan Kedudukan Bahasa Indonesia

Bahasa indonesia merupakan bahasa resmi Republik Indonesia (RI) dimana tercantum dalam Pasal 36
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 yang tertulis bahwa “Bahasa Negara ialah Bahasa
Indonesia”. Bahasa Indonesia juga disiratkan dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 pada bagian ketiga
yang berbunyi “KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGJOENJOENG BAHASA
PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA”.

Sejak awal kemerdekaan, bahasa Indonesia telah mengalami pekembangan karena didorong oleh bebeapa
faktor, seperti saya kutip dari buku “sejarah nasional Indonesia” faktor pertama yaitu bangkitnya semangat
kebangsaan Indonesia yang telah mengatasi kedaerahan dan kesukuan. Faktor kedua karena telah terbitnya
kitab “logat melayu” pada tahun 1901 karangan Van Ophuyzen, yang digunakan di sekolah-sekolah yang
mengajarkan bahasa melayu. Faktor ketiga adalah didirikannya Commissie voor de Volkslecture pada
tahun 1908, yang kemudian menjadi Balai Pustaka. Hal ini mendorong perkembangan dibidang bahasa
dan sastra, terutama dengan lahirnya kelompok “Pujangga baru”.

Faktor-faktor diatas medasari terpenuhinya fungsi bahasa tersebut sebagai bahasa baku yang telah
memperkuat sikap masyarakat Indonesia terhadapnya. Jika melihat dari kedudukannya, Bahasa Indonesia
ialah status relatif bahasa Indonesia sebagai lambang nilai budaya Indonesia yang dirumuskan atas dasar
nilai sosial Indonesia.

Dalam kedudukannya sebagai bahasa Negara, bahasa Indonesia berfungsi sebagai :

1. Bahasa resmi kenegaraan dimana kedudukannya berada di atas bahasa-bahasa daerah.


2. Bahasa pengantar resmi di dalam dunia pendidikan.
3. Alat penghubung resmi pada tingkat nasional.

Namun jika melihat dari kondisi negara Indonesia yang memiliki keanekaragaman suku dan bahasa,
wajarlah penerapan bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari menjadi sulit dikarenakan
keanekaragaman bahasa daerah itu sendiri. Masyarakat Indonesia lebih terbiasa menggunakan bahasa
daerahnya sendiri ketimbang menggunakan Bahasa Indonesia yang merupaka bahasa kenegaraan.
KEDUDUKAN DAN FUNGSI BAHASA INDONESIA

KEDUDUKAN DAN FUNGSI BAHASA INDONESIA

Oleh Masnur Muslich

Konsep Dasar Kedudukan dan Fungsi Bahasa

Istilah kedudukan dan fungsi tentunya sering kita dengar, bahkan pernah kita pakai. Misalnya
dalam kalimat “Bagaimana kedudukan dia sekarang?”, “Apa fungsi baut yang Saudara pasang pada
mesin ini?”, dan sebagainya. Kalau kita pernah memakai kedua istilah itu tentunya secara tersirat
kita sudah mengerti maknanya. Hal ini terbukti bahwa kita tidak pernah salah pakai menggunakan
kedua istilah itu. Kalau demikian halnya, apa sebenarnya pengertian kedudukan dan fungsi bahasa?
Samakah dengan pengertian yang pernah kita pakai?

Kita tahu bahwa bahasa sebagai alat komunikasi lingual manusia, baik secara terlisan maupun
tertulis. Ini adalah fungsi dasar bahasa yang tidak dihubungkan dengan status dan nilai-nilai sosial.
Setelah dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari, yang di dalamnya selalu ada nilai-nilai dan
status, bahasa tidak dapat ditinggalkan. Ia selalu mengikuti kehidupan manusia sehari-hari, baik
sebagai manusia anggota suku maupun anggota bangsa. Karena kondisi dan pentingnya bahasa
itulah, maka ia diberi ‘label’ secara eksplisit oleh pemakainya yang berupa kedudukan dan fungsi
tertentu.

Kedudukan dan fungsi bahasa yang dipakai oleh pemakainya (baca: masyarakat bahasa) perlu
dirumuskan secara eksplisit, sebab kejelasan ‘label’ yang diberikan akan mempengaruhi masa depan
bahasa yang bersangkutan. Pemakainya akan menyikapinya secara jelas terhadapnya.
Pemakaiannya akan memperlakukannya sesuai dengan ‘label’ yang dikenakan padanya.

Di pihak lain, bagi masyarakat yang dwi bahasa (dwilingual), akan dapat ‘memilah-milahkan’
sikap dan pemakaian kedua atau lebih bahasa yang digunakannya. Mereka tidak akan memakai
secara sembarangan. Mereka bisa mengetahui kapan dan dalam situasi apa bahasa yang satu
dipakai, dan kapan dan dalam situasi apa pula bahasa yang lainnya dipakai. Dengan demikian
perkembangan bahasa (-bahasa) itu akan menjadi terarah. Pemakainya akan berusaha
mempertahankan kedudukan dan fungsi bahasa yang telah disepakatinya dengan, antara lain,
menyeleksi unsur-unsur bahasa lain yang ‘masuk’ ke dalamnya. Unsur-unsur yang dianggap
menguntungkannya akan diterima, sedangkan unsur-unsur yang dianggap merugikannya akan
ditolak.

Sehubungan dengan itulah maka perlu adanya aturan untuk menentukan kapan, misalnya, suatu
unsur lain yang mempengaruhinya layak diterima, dan kapan seharusnya ditolak. Semuanya itu
dituangkan dalam bentuk kebijaksanaan pemerintah yang bersangkutan. Di negara kita itu disebut
Politik Bahasa Nasional, yaitu kebijaksanaan nasional yang berisi perencanaan, pengarahan, dan
ketentuan-ketentuan yang dapat dipakai sebagai dasar bagi pemecahan keseluruhan masalah
bahasa.

Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Nasional

Janganlah sekali-kali disangka bahwa berhasilnya bangsa Indonesia mempunyai bahasa


Indonesia ini bagaikan anak kecil yang menemukan kelereng di tengah jalan. Kehadiran bahasa
Indonesia mengikuti perjalanan sejarah yang panjang. (Untuk meyakinkan pernyataan ini, silahkan
dipahami sekali lagi Sejarah Perkembangan Bahasa Indonesia.) Perjalanan itu dimulai sebelum
kolonial masuk ke bumi Nusantara, dengan bukti-bukti prasasti yang ada, misalnya yang didapatkan
di Bukit Talang Tuwo dan Karang Brahi serta batu nisan di Aceh, sampai dengan tercetusnya inpirasi
persatuan pemuda-pemuda Indonesia pada tanggal 28 Oktober 1928 yang konsepa aslinya
berbunyi:

Kami poetera dan poeteri Indonesia


mengakoe bertoempah darah satoe,

Tanah Air Indonesia.


Kami poetera dan poeteri Indonesia
mengakoe berbangsa satoe,

Bangsa Indonesia.
Kami poetera dan poeteri Indonesia

mendjoendjoeng bahasa persatoean,


Bahasa Indonesia.

Dari ketiga butir di atas yang paling menjadi perhatian pengamat (baca: sosiolog) adalah butir
ketiga. Butir ketiga itulah yang dianggap sesuati yang luar biasa. Dikatakan demikian, sebab negara-
negara lain, khususnya negara tetangga kita, mencoba untuk membuat hal yang sama selalu
mengalami kegagalan yang dibarengi dengan bentrokan sana-sini. Oleh pemuda kita, kejadian itu
dilakukan tanpa hambatan sedikit pun, sebab semuanya telah mempunyai kebulatan tekad yang
sama. Kita patut bersyukur dan angkat topi kepada mereka.

Kita tahu bahwa saat itu, sebelum tercetusnya Sumpah Pemuda, bahasa Melayu dipakai sebagai
lingua franca di seluruh kawasan tanah air kita. Hal itu terjadi sudah berabad-abad sebelumnya.
Dengan adanya kondisi yang semacam itu, masyarakat kita sama sekali tidak merasa bahwa bahasa
daerahnya disaingi. Di balik itu, mereka telah menyadari bahwa bahasa daerahnya tidak mungkin
dapat dipakai sebagai alat perhubungan antar suku, sebab yang diajak komunikasi juga mempunyai
bahasa daerah tersendiri. Adanya bahasa Melayu yang dipakai sebagai lingua franca ini pun tidak
akan mengurangi fungsi bahasa daerah. Bahasa daerah tetap dipakai dalam situasi kedaerahan dan
tetap berkembang. Kesadaran masyarakat yang semacam itulah, khusunya pemuda-pemudanya
yang mendukung lancarnya inspirasi sakti di atas.

Apakah ada bedanya bahasa Melayu pada tanggal 27 Oktober 1928 dan bahasa Indonesia pada
tanggal 28 Oktober 1928? Perbedaan ujud, baik struktur, sistem, maupun kosakata jelas tidak ada.
Jadi, kerangkanya sama. Yang berbeda adalah semangat dan jiwa barunya. Sebelum Sumpah
Pemuda, semangat dan jiwa bahasa Melayu masih bersifat kedaerahan atau jiwa Melayu. Akan
tetapi, setelah Sumpah Pemuda semangat dan jiwa bahsa Melayu sudah bersifat nasional atau jiwa
Indonesia. Pada saat itulah, bahasa Melayu yang berjiwa semangat baru diganti dengan nama
bahasa Indonesia.

“Hasil Perumusan Seminar Politik Bahasa Nasional” yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal
25-28 Februari 1975 antara lain menegaskan bahwa dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional,
bahasa Indonesia berfungsi sebagai (1) lambang kebanggaan nasional, (2) lambang identitas
nasional, (3) alat pemersatu berbagai-bagai masyarakat yang berbeda-beda latar belakang sosial
budaya dan bahasanya, dan (4) alat perhubungan antarbudaya antardaerah.

Sebagai lambang kebanggaan nasional, bahasa Indonesia ‘memancarkan’ nilai-nilai sosial budaya
luhur bangsa Indonesia. Dengan keluhuran nilai yang dicerminkan bangsa Indonesia, kita harus
bangga dengannya; kita harus menjunjungnya; dan kita harus mempertahankannya. Sebagai
realisasi kebanggaan kita terhadap bahasa Indonesia, kita harus memakainya tanpa ada rasa rendah
diri, malu, dan acuh tak acuh. Kita harus bngga memakainya dengan memelihara dan
mengembangkannya.

Sebagai lambang identitas nasional, bahasa Indonesia merupakan ‘lambang’ bangsa Indonesia. Ini
beratri, dengan bahasa Indonesia akan dapat diketahui siapa kita, yaitu sifat, perangai, dan watak
kita sebagai bangsa Indonesia. Karena fungsinya yang demikian itu, maka kita harus menjaganya
jangan sampai ciri kepribadian kita tidak tercermin di dalamnya. Jangan sampai bahasa Indonesia
tidak menunjukkan gambaran bangsa Indonesia yang sebenarnya.

Dengan fungsi yang ketiga memungkinkan masyarakat Indonesia yang beragam latar belakang
sosial budaya dan berbeda-beda bahasanya dapat menyatu dan bersatu dalam kebangsaan, cita-
cita, dan rasa nasib yang sama. Dengan bahasa Indonesia, bangsa Indonesia merasa aman dan
serasi hidupnya, sebab mereka tidak merasa bersaing dan tidak merasa lagi ‘dijajah’ oleh
masyarakat suku lain. Apalagi dengan adanya kenyataan bahwa dengan menggunakan bahasa
Indonesia, identitas suku dan nilai-nilai sosial budaya daerah masih tercermin dalam bahasa daerah
masing-masing. Kedudukan dan fungsi bahasa daerah masih tegar dan tidak bergoyah sedikit pun.
Bahkan, bahasa daerah diharapkan dapat memperkaya khazanah bahasa Indonesia.

Dengan fungsi keempat, bahasa Indonesia sering kita rasakan manfaatnya dalam kehidupan sehari-
hari. Bayangkan saja apabila kita ingin berkomunikasi dengan seseorang yang berasal dari suku lain
yang berlatar belakang bahasa berbeda, mungkinkah kita dapat bertukar pikiran dan saling
memberikan informasi? Bagaimana cara kita seandainya kita tersesat jalan di daerah yang
masyarakatnya tidak mengenal bahasa Indonesia? Bahasa Indonesialah yang dapat menanggulangi
semuanya itu. Dengan bahasa Indonesia kita dapat saling berhubungan untuk segala aspek
kehidupan. Bagi pemerintah, segala kebijakan dan strategi yang berhubungan dengan ideologi,
politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan kemanan (disingkat: ipoleksosbudhankam) mudah
diinformasikan kepada warganya. Akhirnya, apabila arus informasi antarkita meningkat berarti akan
mempercepat peningkatan pengetahuan kita. Apabila pengetahuan kita meningkat berarti tujuan
pembangunan akan cepat tercapai.

Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Negara/Resmi

Sebagaimana kedudukannya sebagai bhasa nasional, bahasa Indonesia sebagai bahasa


negara/resmi pun mengalami perjalanan sejarah yang panjang. Hal ini terbukti pada uraian berikut.

Secara resmi adanya bahasa Indonesia dimulai sejak Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Ini tidak
berarti sebelumnya tidak ada. Ia merupakan sambungan yang tidak langsung dari bahasa Melayu.
Dikatakan demikian, sebab pada waktu itu bahasa Melayu masih juga digunakan dalam lapangan
atau ranah pemakaian yang berbeda. Bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa resmi kedua oleh
pemerintah jajahan Hindia Belanda, sedangkan bahasa Indonesia digunakan di luar situasi
pemerintahan tersebut oleh pemerintah yang mendambakan persatuan Indonesia dan yang
menginginkan kemerdekaan Indonesia. Demikianlah, pada saat itu terjadi dualisme pemakaian
bahasa yang sama tubuhnya, tetapi berbeda jiwanya: jiwa kolonial dan jiwa nasional.

Secara terperinci perbedaan lapangan atau ranah pemakaian antara kedua bahasa itu terlihat
pada perbandingan berikut ini.

Bahasa Melayu: Bahasa Indonesia:


a. Bahasa resmi kedua di samping a. Bahasa yang digunakan dalam
bahasa Belanda, terutama untuk gerakan kebangsaan untuk
tingkat yang dianggap rendah. mencapai kemerdekaan Indonesia.

b. Bahasa yang diajarkan di sekolah- b. Bahasa yang digunakan dalam


sekolah yang didirikan atau penerbitan-penerbitan yang
menurut sistem pemerintah Hindia bertuju-an untuk mewujudkan
Belanda. cita-cita perjuangan kemerdekaan
Indonesia baik berupa:
c. Penerbitan-penerbitan yang dikelola
oleh jawatan pemerintah Hindia 1) bahasa pers,
Belanda.
2) bahasa dalam hasil sastra.

Kondisi di atas berlangsung sampai tahun 1945.

Bersamaan dengan diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945,


diangkat pulalah bahasa Indonesia sebagai bahasa negara. Hal itu dinyatakan dalam Uud 1945, Bab
XV, Pasal 36. Pemilihan bahasa sebagai bahasa negara bukanlah pekerjaan yang mudah dilakukan.
Terlalu banyak hal yang harus dipertimbangkan. Salah timbang akan mengakibatkan tidak stabilnya
suatu negara. Sebagai contoh konkret, negara tetangga kita Malaysia, Singapura, Filipina, dan India,
masih tetap menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa resmi di negaranya, walaupun sudah
berusaha dengan sekuat tenaga untuk menjadikan bahasanya sendiri sebagai bahasa resmi.

Hal-hal yang merupakan penentu keberhasilan pemilihan suatu bahasa sebagai bahasa negara
apabila (1) bahasa tersebut dikenal dan dikuasai oleh sebagian besar penduduk negara itu, (2)
secara geografis, bahasa tersebut lebih menyeluruh penyebarannya, dan (3) bahasa tersebut
diterima oleh seluruh penduduk negara itu. Bahasa-bahasa yang terdapat di Malaysia, Singapura,
Filipina, dan India tidak mempunyai ketiga faktor di atas, terutama faktor yang nomor (3).
Masyarakat multilingual yang terdapat di negara itu saling ingin mencalonkan bahasa daerahnya
sebagai bahasa negara. Mereka saling menolak untuk menerima bahasa daerah lain sebagai bahasa
resmi kenegaraan. Tidak demikian halnya dengan negara Indonesia. Ketig faktor di atas sudah
dimiliki bahasa Indonesia sejak tahun 1928. Bahkan, tidak hanya itu. Sebelumnya bahasa Indonesia
sudah menjalankan tugasnya sebagai bahasa nasional, bahasa pemersatu bangsa Indonesia. Dengan
demikian, hal yang dianggap berat bagi negara-negara lain, bagi kita tidak merupakan persoalan.
Oleh sebab itu, kita patut bersyukur kepada Tuhan atas anugerah besar ini.

Dalam “Hasil Perumusan Seminar Politik Bahasa Nasional” yang diselenggarakan di Jakarta pada
tanggal 25 s.d. 28 Februari 1975 dikemukakan bahwa di dalam kedudukannya sebagai bahasa
negara, bahasa Indonesia befungsi sebagai

(1) bahasa resmi kenegaraan,


(2) bahasa pengantar resmi di lembaga-lembaga pendidikan,
(3) bahasa resmi di dalam perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan
dan pelaksanaan pembangunan serta pemerintah, dan

(4) bahasa resmi di dalam pengembangan kebudayaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan serta
teknologi modern.

Keempat fungsi itu harus dilaksanakan, sebab minimal empat fungsi itulah memang sebagai ciri
penanda bahwa suatu bahasa dapat dikatakan berkedudukan sebagai bahasa negara.

Pemakaian pertama yang membuktikan bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi
kenegaran ialah digunakannya bahasa Indonesia dalam naskah proklamasi kemerdekaan RI 1945.
Mulai saat itu dipakailah bahasa Indonesia dalam segala upacara, peristiwa, dan kegiatan
kenegaraan baik dalam bentuk lisan maupun tulis.

Keputusan-keputusan, dokumen-dokumen, dan surat-surat resmi yang dikeluarkan oleh


pemerintah dan lembaga-lembaganya dituliskan di dalam bahasa Indonesia. Pidato-pidato atas nama
pemerintah atau dalam rangka menuanaikan tugas pemerintahan diucapkan dan dituliskan dalam
bahasa Indonesia. Sehubungan dengan ini kita patut bangga terhadap presiden kita, Soeharto yang
selalu menggunakan bahasa Indonesia dalam situsi apa dan kapan pun selama beliau
mengatasnamakan kepala negara atau pemerintah. Bagaimana dengan kita?

Sebagai bahasa resmi, bahasa Indonesia dipakai sebagai bhasa pengantar di lembaga-lembaga
pendidikan mulai dari taman kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi. Hanya saja untuk
kepraktisan, beberapa lembaga pendidikan rendah yang anak didiknya hanya menguasai bahasa
ibunya (bahasa daerah) menggunakan bahasa pengantar bahasa daerah anak didik yang
bersangkutan. Hal ini dilakukan sampai kelas tiga Sekolah Dasar.

Sebagai konsekuensi pemakaian bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di lembaga


pendidikan tersebut, maka materi pelajaran ynag berbentuk media cetak hendaknya juga berbahasa
Indonesia. Hal ini dapat dilakukan dengan menerjemahkan buku-buku yang berbahasa asing atau
menyusunnya sendiri. Apabila hal ini dilakukan, sangatlah membantu peningkatan perkembangan
bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmu pengetahuan dan teknolologi (iptek). Mungkin pada saat
mendatang bahasa Indonesia berkembang sebagai bahasa iptek yang sejajar dengan bahasa Inggris.

Sebagai fungsinya di dalam perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan
dan pelaksanaan pembangunan serta pemerintah, bahasa Indonesia dipakai dalam hubungan
antarbadan pemerintah dan penyebarluasan informasi kepada masyarakat. Sehubungan dengan itu
hendaknya diadakan penyeragaman sistem administrasi dan mutu media komunikasi massa. Tujuan
penyeragaman dan peningkatan mutu tersebut agar isi atau pesan yang disampaikan dapat dengan
cepat dan tepat diterima oleh orang kedua (baca: masyarakat).

Akhirnya, sebagai fungsi pengembangan kebudayaan nasional, ilmu, dan teknologi, bahasa
Indonesia terasa sekali manfaatnya. Kebudayaan nasional yang beragam itu, yang berasal dari
masyarakat Indonesia yang beragam pula, rasanya tidaklah mungkin dapat disebarluaskan kepada
dan dinikmati oleh masyarakat Indonesia dengan bahasa lain selain bahasa Indonesia. Apakah
mungkin guru tari Bali mengajarkan menari Bali kepada orang Jawa, Sunda, dan Bugis dengan
bahasa Bali? Tidak mungkin! Hal ini juga berlaku dalam penyebarluasan ilmu dan teknologi modern.
Agar jangkauan pemakaiannya lebih luas, penyebaran ilmu dan teknologi, baik melalui buku-buku
pelajaran, buku-buku populer, majalah-majalah ilmiah maupun media cetak lain, hendaknya
menggunakn bahasa Indonesia. Pelaksanaan ini mempunyai hubungan timbal-balik dengan
fungsinya sebagai bahasa ilmu yang dirintis lewat lembaga-lembaga pendidikan, khususnya di
perguruan tinggi.

Perbedaan Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Nasional dan Bahasa Indonesia sebagai
Bahasa Negara/Resmi

Perbedaan dari Segi Ujudnya

Apabila kita mendengarkan pidato sambutan Menteri Sosial dalm rangka peringatan Hari Hak-hak
Asasi Manusia dan pidato sambutan Menteri Muda Usaha wanita dalam rangka peringatan Hari Ibu,
misalnya, tentunya kita tidak menjumpai kalimat-kalimat yang semacam ini.

“Sodara-sodara! Ini hari adalah hari yang bersejarah. Sampeyan tentunya udah tau, bukan?
Kalau kagak tau yang kebacut, gitu aja”.
Kalimat yang semacam itu juga tidak pernah kita jumpai pada waktu kita membaca surat-surat
dinas, dokumen-dokumen resmi, dan peraturan-peraturan pemerintah.

Di sisi lain, pada waktu kita berkenalan dengan seseorang yang berasal dari daerah atau suku yang
berbeda, pernahkah kita memakai kata-kata seperti ‘kepingin’, ‘paling banter’, ‘kesusu’ dan
‘mblayu’? Apabila kita menginginkan tercapainya tujuan komunikasi, kita tidak akan menggunakan
kata-kata yang tidak akan dimengerti oleh lawan bicara kita sebagaimana contoh di atas. Kita juga
tidak akan menggunakan struktur-struktur kalimat yang membuat mereka kurang memahami
maksudnya.

Yang menjadi masalah sekarang ialah apakah ada perbedan ujud antara bahasa Indonesia sebagai
bahasa negara/resmi sebagaimana yang kita dengar dan kita baca pada contoh di atas, dan bahasa
Indonesia sebagai bahasa nasional, sebagaimana yang pernah juga kita lakukan pada saat
berkenalan dengan seeorang lain daerah atau lain suku? Perbedaan secara khusus memang ada,
misalnya penggunaan kosakata dan istilah. Hal ini disebabkan oleh lapangan pembicaraannya
berbeda. Dalam lapangan politik diperlukan kosakata tertentu yang berbeda dengan kosakata yang
diperlukan dalam lapangan administrasi. Begitu juga dalam lapangan ekonomi, sosial, dan yang lain-
lain. Akan tetapi, secara umum terdapat kesamaan. Semuanya menggunakan bahasa yang berciri
baku. Dalam lapangan dan situasi di atas tidak pernah digunakan, misalnya, struktur kata ‘kasih
tahu’ (untuk memberitahukan), ‘bikin bersih’ (untuk membersihkan), ‘dia orang’ (untuk mereka),
‘dia punya harga’ (untuk harganya), dan kata ‘situ’ (untuk Saudara, Anda, dan sebagainya), ‘kenapa’
(untuk mengapa), ‘bilang’ (untuk mengatakan), ‘nggak’ (untuk tidak), ‘gini’ (untuk begini), dan kata-
kata lain yang dianggap kurang atau tidak baku.

Perbedaan dari Proses Terbentuknya

Secara implisit, perbedaan dilihat dari proses terbentuknya antara kedua kedudukan bahasa
Indonesia, sebagai bahasa negara dan nasional, sebenarnya sudah terlihat di dalam uraian pada
butir 1.2 dan 1.3. Akan tetapi, untuk mempertajamnya dapat ditelaah hal berikut.

Sudah kita pahami pada uraian terdahulu bahwa latar belakang timbulnya kedudukan bahasa
Indonesia sebagai bahasa nasional dan kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara jelas-
jelas berbeda. Adanya kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional didorong oleh rasa
persatuan bangsa Indonesia pada waktu itu. Putra-putra Indonesia sadar bahwa persatuan
merupakan sesuatu yang mutlk untuk mewujudkan suatu kekuatan. Semboyan “Bersatu kita teguh
bercerai kta runtuh” benar-benar diresapi oleh mereka. Mereka juga sadar bahwa untuk
mewujudkan persatuan perlu adanya saran yang menunjangnya. Dari sekian sarana penentu, yang
tidak kalah pentingnya adalah srana komunikasi yang disebut bahasa. Dengan pertimbangan
kesejarahan dan kondisi bahasa Indonesia yang lingua franca itu, maka ditentukanlah ia sebagai
bahasa nasional.

Berbeda halnya dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara/resmi. Terbentuknya bahasa
Indonesia sebagai bahasa negara/resmi dilatarbelakangi oleh kondisi bahasa Indonesia itu sendiri
yang secara geografis menyebar pemakiannya ke hampir seluruh wilayah Indonesia dan dikuasai
oleh sebagian besar penduduknya. Di samping itu, pada saat itu bahasa Indonesia telah disepakati
oleh pemakainya sebagai bahasa pemersatu bangsa, sehingga pada saat ditentukannya sebagai
bahasa negara/resmi, seluruh pemakai bahasa Indonesia yang sekaligus sebagai penduduk
Indonesia itu menerimanya dengan suara bulat.

Dengan demikian jelaslah bahwa dualisme kedudukan bahasa Indonesia tersebut dilatarbelakangi
oleh proses pembentukan yang berbeda.

Perbedaan dari Segi Fungsinya

Setelah kita menelaah uraian terdahulu, kita mengetahui bahwa fungsi kedudukan bahasa Indonesia
sebagai bahasa nasional berbeda sekali dengan fungsi kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa
negara. Perbedan itu terlihat pada wilayah pemakaian dan tanggung jawab kita terhadap pemakaian
fungsi itu. Kapan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara/resmi dipakai, kiranya sudah kita
ketahui.

Yang menjadi masalah kita adalah perbedaan sehubungan dengn tanggung jawab kita terhadp
pemakaian fungsi-fungsi itu. Apabila kita menggunakan bahasa Indonesia sebagai fungsi tertentu,
terdapat kaitan apa dengan kita? Kita berperan sebagai apa sehingga kita berkewajiban
moralmenggunakan bahasa Indonesia sebagai fungsi tertentu? Jawaban atas pertanyaan itulah yng
membedakan tanggung jawab kita terhadap pemakaian fungsi-fungsi bahasa Indonesia baik dalam
kedudukannya sebagai bahasa nasional maupun sebagai bahasa negara/resmi.

Kita menggunakan sebagai bahasa negara/resmi dipakai sebagai alat penghubung antarsuku,
misalnya, karena kita sebagai bangsa Indonesia yang hidup di wilayah tanah air Indonesia.
Sehubungan dengan itu, apabila ada orang yang berbangsa lain yang menetap di wilayah Indonesia
dan mahir berbahasa Indonesia, dia tidak mempunyai tanggung jawab moral untuk menggunakan
bahasa Indonesia sebagai fungsi tersebut.

Lain halnya dengan contoh berikut ini. Walaupun Ton Sin Hwan keturunan Cina, tetapi karena dia
warga negara Indonesia dan secara kebetulan menjabat sebagai Ketua Lembaga Bantuan Hukum,
maka pada saat dia memberikan penataran kepada anggotnyan berkewajiban moral untuk
menggunakan bahasa Indonesia. Tidak perduli apakah dia lancar berbahasa Indonesia atau tidak.
Tidak perduli apakah semua pengikutnya keturunan Cina yang berwarga negara Indonesia ataukah
tidak.

Jadi seseorang menggunakan bahasa Indonesia sebagai penghubung antarsuku, karena dia
berbangsa Indonesia yang menetap di wilayah Indonesia; sedangkan seseorang menggunakan
bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi, karena dia sebagai warga negara Indonesia yang
menjalankan tugas-tugas ‘pembangunan’ Indonesia.

You might also like