You are on page 1of 21

makalah

Masalah Globalisasi Terkait dengan Herbal


Indonesia

Disusun oleh

Kelompok I

Inggrid Tania

Ghesyka Andini

Ellen Hauw

Ika Narishantika

Aprilia Astika Prima

Rahmi Fithria

Fenny Yunita

Khaira Mardhatillah

Mira Gustia Rinata

Randy Adistya

Ipak Ridmah Rikenawaty

Dwi Ratna sari Handayani

Daratia Junjun Sari

Tugas mata kuliah Konsep Herbal Indonesia

Program S2 Herbal Universitas Indonesia

September 2010
BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Istilah globalisasi dalam pengertian yang luas digunakan untuk
mendeskripsikan perubahan yang diamati dari suatu seri ekonomi, sosial,
teknologi, dan kebudayaan yang kompleks, yang timbul karena meningkatnya
interdependensi, integrasi, dan interaksi antara masyarakat dari berbagai lokasi
yang berbeda di seluruh dunia. Melalui globalisasi, dunia terlihat sebagai suatu
entitas tunggal dengan nilai-nilai dan ide-ide bersama.1 Menurut Jamli, et al
(2005), globalisasi pada hakikatnya adalah suatu proses dari gagasan yang
dimunculkan, kemudian ditawarkan untuk diikuti oleh bangsa lain yang akhirnya
sampai pada suatu titik kesepakatan bersama dan menjadi pedoman bersama bagi
bangsa-bangsa di seluruh dunia.2 Eriksen (1991), menyimpulkan bahwa batas-
batas antara masyarakat atau peradaban menjadi membaur dan bercampur karena
adanya perubahan nilai-nilai dan ide-ide dalam masyarakat.1 Globalisasi membuat
seolah-olah tidak ada lagi batas di antara bangsa, antara lain dalam bidang
ekonomi dan perdagangan.
Aplikasi globalisasi di negara-negara ASEAN (Association of Southeast
Asian Nations) yang meliputi negara Indonesia, Brunei, Malaysia, Filipina,
Singapura, Thailand, Vietnam, Laos, Myanmar, dan Kamboja, dikenal dengan
ASEAN Free Trade Area (AFTA) yang ditanda tangani tanggal 28 Januari 1992.
AFTA merupakan perjanjian perdagangan yang ditetapkan oleh ASEAN untuk
mendukung industri lokal di masing-masing negara anggota ASEAN. AFTA
bertujuan untuk meningkatkan daya saing ASEAN sebagai basis produksi dalam
pasar dunia melalui penghapusan bea masuk dan halangan lainnya dalam ASEAN,
dan juga bertujuan untuk menarik investasi asing ke ASEAN.3
Saat ini, perjanjian perdagangan bebas di negara-negara ASEAN telah
berkembang hingga mencakup negara-negara non-ASEAN, seperti Australia dan
New Zealand (AANZFTA), Cina (ACFTA), India (AIFTA), Jepang (AJCEP),
serta Republik Korea (AKFTA). Pada 1 Januari 2010, perdagangan bebas antara
negara-negara ASEAN dengan Australia dan New Zealand, Cina, India, serta
Republik Korea resmi dimulai.3 Di bidang herbal khususnya, hal dapat menjadi
tantangan dan sekaligus menjadi peluang yang besar bagi setiap negara.
Menkokesra HR Agung Laksono mengatakan bahwa pelaksanaan pemberlakuan
ACFTA merupakan tantangan bagi produk dalam negeri, khususnya jamu.4

Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menganalisis dan
menyimpulkan efek globalisasi (perdagangan bebas) terhadap perkembangan
herbal Indonesia, serta memberikan saran-saran untuk memajukan perkembangan
herbal Indonesia.
BAB II
PERMASALAHAN

Konsekuensi Globalisasi dan Pemberlakuan AFTA/ACFTA


Globalisasi membuat seolah-olah tidak ada lagi batas di antara bangsa
terutama dalam bidang ekonomi dan perdagangan. Apabila berbicara mengenai
herbal, maka ada beberapa negara yang akan terlintas di benak kita, diantaranya
adalah Cina, India, Jepang, dan Indonesia. Namun demikian tidak dapat disangkal
bahwa Cina (dalam hal ini Traditional Chinese Medicine) telah melangkah jauh di
depan dibandingkan dengan negara lainnya.
Indonesia mungkin merasa terancam dan tertantang dengan adanya
ACFTA (ASEAN-China Free Trade Agreement) yang mulai diberlakukan sejak
tanggal 1 Januari 2010. Setelah pemberlakuan ACFTA, Indonesia mulai dibanjiri
produk herbal dari luar dan klinik asing terutama dari Cina. Harga yang murah
dan adanya persepsi masyarakat bahwa Cina unggul dalam produk herbal
menyebabkan masyarakat memberi ruang yang cukup bagi produk herbal dan
klinik herbal Cina.

Kurangnya Pengawasan terhadap Produk Herbal dari Luar


Banyaknya produk herbal dari luar yang membanjiri pasar obat di
Indonesia serta maraknya praktek klinik-klinik asing, sayangnya, tidak dibarengi
dengan pengawasan yang baik. Kurangnya pengawasan menyebabkan maraknya
peredaran ramuan tradisional asing yang belum mendapat registrasi dari BPOM
(badan Pengawas Obat dan makanan). Bahkan beberapa produk herbal impor
yang berbahaya lolos ke pasaran dan berpotensi membahayakan masyarakat,
diantaranya karena beberapa produk herbal mengandung bahan kimia obat
(BKO). BPOM bahkan telah mengeluarkan public warning terkait beredarnya
obat herbal yang mengandung bahan kimia obat.4,5,6

Produk Herbal Indonesia masih Kalah Saing


Produk herbal Indonesia yang mestinya bisa bersaing menembus pasar
global, belum bisa berbuat banyak. Hal ini disebabkan beberapa masalah,yakni:
1. Masih banyak beredar obat herbal yang mengandung BKO dibuat oleh
produsen herbal dalam negeri sehingga menurunkan citra herbal Indonesia.
2. Pada umumnya petani herbal belum terlalu paham tentang cara bertani dan
pengolahan pasca panen tumbuhan obat, sehingga mutu simplisia yang
dihasilkan tidak terlalu baik.
3. Pada umumnya produsen herbal di Indonesia berasal dari kalangan industri
kecil bahkan berskala rumah tangga dengan ilmu yang terbatas dan hanya
berpegang pada pengalaman turun-temurun. Banyak dari mereka tidak
mempunyai R and D (Research and Development) yang memadai untuk
pengembangan produk secara ilmiah.
4. Ada missing link antara pihak perguruaan tinggi dengan industri herbal.
Banyak penelitian tentang manfaat herbal yang dilakukan oleh beberapa
perguruan tinggi, tapi tidak dipublikasikan sehingga tidak dapat dimanfaatkan
secara luas.
5. Belum tuntasnya penelitian tentang herbal mengenai dosis, uji klinik dan
praklinik, menyebabkan peredaran obat herbal mendapat perlawanan dari
praktisi medis konvensional.

Kendala Sistem Pelayanan Kesehatan di Indonesia Dibandingkan dengan


Negara Lain
Berdasarkan kriteria WHO, ada 3 sistem yang berlaku terkait dengan
penerimaan negara-negara di dunia terhadap sistem pengobatan tradisional, yaitu
sistem integratif, inklusif, dan toleran. Sistem integratif adalah dimana negara
sudah mengakui keberadaan obat tradisional, dan mendorong pemakaian obat
tradisional di rumah sakit, lembaga penelitian dan asuransi, serta sudah terdapat
aturan baku yang mengatur sistem produksi, regulasi dan pengawasan obat
tradisional. Negara yang menganut sistem ini adalah Cina, Korea, dan Vietnam.
Sistem kedua adalah sistem inklusif dimana obat tradisional sudah diakui, tetapi
belum diintegrasikan pada pelayanan kesehatan nasional, sistem ini biasanya
dianut oleh negara-negara maju seperti Inggris, Jerman dan Kanada. Sedangkan
sistem toleran adalah dimana negara masih menganut sistem pelayanan kesehatan
konvensional, dan sistem inilah yang paling banyak dianut oleh negara-negara di
dunia termasuk Indonesia.7 Sistem yang masih dianut oleh Indonesia inilah yang
turut mengakibatkan kurang pesatnya perkembangan herbal di Indonesia.
Cina sebagai negara yang paling maju dalam bidang produk herbal,
memiliki 940 perusahaan obat tradisional dengan nilai penjualan domestik
mencapai 6 milyar USD dengan pangsa pasar mencapai 33% dari total pasar obat
dunia. Di India 60-70% penduduk menggunakan sistem pengobatan alami, dengan
nilai penjualan mencapai 3 milyar USD pada tahun 2002. Di Korea output dari
obat herbal mencapai 500 juta USD yang merupakan 12% dari total penjualan
obat dunia. Di Malaysia, nilai perdagangan produk herbal tahun 2000 mencapai
1,2 milyar USD, dengan trend pasar meningkat 13% per tahun. Perdagangan
dunia untuk produk tumbuhan obat (herbal) pada tahun 2000 sekitar US$ 20
milyar dengan pasar terbesar adalah di Asia (39%), diikuti dengan Eropa (34%),
Amerika Utara (22%), dan belahan dunia lainnya (5%) (Pramono, 2002).
Sementara itu, pada tahun 2001 terjadi peningkatan penjualan yang cukup
signifikan mencapai US$ 45 milyar.8

Kurang Optimalnya Peran ABGC (Academic, Business, Government,


Community)
Masalah yang dihadapi dalam pemanfaatan obat herbal untuk pelayanan
kesehatan formal, sebagai sumber devisa dan PDB di Indonesia adalah:
1. belum ada dukungan politik yang kuat dari pemerintah untuk menjadikan obat
herbal sebagai obat resmi dan salah satu sumber kesejahteraan rakyat,
2. belum ada program menyeluruh dan terpadu dari hulu hingga hilir untuk
pengembangan dan pemanfaatan obat herbal nasional ;
3. kurangnya koordinasi dan sinkronisasi program antar instansi pemerintah,
swasta dan litbang, sehingga program yang ada menjadi kurang terarah,
kurang efektif dan kurang efisien.
Oleh karena itu peran Pemerintah (government) dan badan legislatif sangatlah
dibutuhkan dalam mengatasi permasalahan di atas.
Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) mencatat penggunaan obat
tradisional (termasuk herbal) di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke
tahun, tercatat dari 19,9% dari tahun 1980 menjadi 23,3% tahun 1986 dan
meningkat menjadi 31,7% tahun 2001.9 Data tahun 2004 menggambarkan
penggunaan obat tradisional meningkat lagi menjadi 32,8%. Permintaan tersebut
sewajarnya diikuti dengan ketersediaan. Di sinilah dibutuhkan peran kalangan
produsen obat tradisional (business) dan kalangan peneliti dari perguruan tinggi
(academic) untuk melakukan penelitian dan pengkajian, baik mengenai khasiat,
efek samping, legalitas, maupun pemasaran obat herbal.
Di Jerman, hampir 90% penduduknya pernah menggunakan herbal untuk
tujuan pengobatan, dan disebutkan antara tahun 1995-2000 tercatat ada 10.800
dokter yang mengambil pelatihan khusus dalam bidang pengobatan tradisional.
Sementara itu, atas rekomendasi The National Institute of Health, sebanyak 75
dari sekitar 125 sekolah kedokteran di Amerika Serikat memasukkan materi obat
tradisional dalam kurikulum kegiatan belajar-mengajarnya.7 Sedangkan fakultas
kedokteran di Indonesia belum memasukkan materi obat tradisional dalam
kurikulumnya. Maka tidaklah mengherankan jika para dokter dan praktisi
kesehatan lainnya masih belum mendukung pemakaian obat herbal dalam
pelayanan kesehatan.
Pemahaman masyarakat Indonesia (community) mengenai berbagai obat
tradisional (herbal) dan pemanfaatannya dalam bidang kesehatan juga sangatlah
minim. Hal ini disebabkan kurangnya informasi dan edukasi kepada keluarga-
keluarga sebagai anggota masyarakat tentang manfaat herbal dan cara
mengkonsumsi herbal secara bijak.
BAB III
PEMBAHASAN

Apakah Obat Asli Indonesia dapat menjadi Tuan Rumah di Negeri Sendiri?
Keanekaragaman hayati di bumi pertiwi ini menduduki peringkat dua
dunia setelah Brazil. Dari 40 000 jenis flora yang ada di dunia, ada 30.000 spesies
tumbuhan di Indonesia, dan 940 diantaranya diketahui berkhasiat sebagai obat.
Adanya sumber daya tanaman obat yang berlimpah, tentunya menjadi keunggulan
komparatif bagi Indonesia. Persoalannya sekarang adalah, bagaimana keunggulan
ini secara ekonomis dapat dimanfaatkan untuk menyehatkan bangsa. Keunggulan
komparatif melalui pengembangan obat asli Indonesia (Indonesian indigenous
herbal medicines) harus dikelola, agar memenuhi tiga kriteria dasar, yaitu:10
1. layak pakai iptek (scientific and technologically viable),
2. layak ekonomis (economically feasible), dan
3. diterima oleh masyarakat luas termasuk masyarakat profesi kesehatan
(socially acceptable).
Beberapa herbal Indonesia telah diekspor ke luar negeri, dan dimanfaatkan
untuk penelitian; dikembangkan, diproduksi, kemudian dipasarkan. Hal ini
dikarenakan obat herbal Indonesia juga mempunyai kualitas yang cukup baik.
Sekarang ini, banyak obat-obatan Cina yang bahan bakunya justru dibeli dari
Indonesia (Jonosewoyo,2008).10
Dapatkah potensi-potensi besar di atas menggiring obat dan suplemen
herbal asli Indonesia menjadi tuan rumah di negeri sendiri? Apakah tidak akan
tergerus oleh produk impor yang kini memang terus merangsek masuk ke pasar
Indonesia semenjak era globalisasi, khususnya setelah dimulainya
AFTA/ACFTA?

Analisis SWOT Industri Herbal Indonesia


Untuk menjawab pertanyaan apakah obat dan suplemen herbal asli
Indonesia dapat menjadi tuan rumah di negeri sendiri, kita perlu melakukan
analisis terhadap industri herbal Indonesia agar bisa merumuskan solusi untuk
memajukan herbal Indonesia. Salah satu metode analisis yang sering dipakai
adalah analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, and Threat). Strength
atau kekuatan adalah variabel atau faktor-faktor internal yang dimiliki yang
menjadi faktor penentu utama dalam menghasilkan keunggulan industri herbal
Indonesia. Sedangkan weakness atau kelemahan adalah faktor-faktor internal
yang menyebabkan industri herbal indonesia kurang mampu bersaing dengan
kompetitornya. Sementara itu, yang disebut dengan opportunity atau peluang
adalah faktor-faktor eksternal yang dapat mendukung perkembangan dan
kemajuan industri herbal Indonesia. Sedangkan threat atau ancaman adalah
faktor-faktor eksternal yang dapat mengancam perkembangan dan kemajuan
industri herbal Indonesia.11 Berikut ini akan dipaparkan analisis SWOT yang
dirangkum dari beberapa kepustakaan:

1. Strengths (Kekuatan-kekuatan):12,13,14
• Megabiodiversitas Indonesia terbesar kedua di dunia setelah Brazil.
• Iklim tropis yang mendukung untuk tanaman obat.
• Populasi penduduk yang tinggi mengakibatkan potensi pasar yang
besar/luas.
• Banyaknya industri obat lokal/domestik, khususnya yang
memproduksi/mensuplai bahan baku lokal.
• Kekayaan budaya dan kearifan lokal yang beraneka ragam.

2. Weaknesses (kelemahan-kelemahan): 12,13,14,15


• Kurangnya keseriusan pemerintah dalam melakukan pemetaan lokasi
(mapping) tanaman obat di Indonesia.
• Sistem regulasi pemerintah yang belum jelas (bias).
• Rumitnya birokrasi pemerintah.
• Belum rampungnya pembuatan database yang baku tentang tanaman
obat Indonesia.
• Kurangnya alokasi dana dari pemerintah untuk penelitian-penelitian
tanaman obat Indonesia.
• Kurangnya bukti ilmiah khasiat tanaman obat Indonesia.
• Koordinasi yang kurang diantara berbagai institusi/lembaga penelitian.
• Belum dimasukkannya materi obat tradisional dalam kurikulum
pendidikan kedokteran.
• Kurangnya informasi dan edukasi kepada masyarakat tentang obat
tradisional (herbal).
• Sinergi yang kurang diantara ABGC (academic, business, government,
and community).
• Banyak spesies tanaman obat yang punah dan/atau tidak dibudidayakan.
• Umumnya tanaman obat merupakan tanaman musiman.
• Kurangnya penerapan standar dan metode yang baku, misalnya GAP.
• kurangnya koordinasi aktivitas penanaman (cultivation) skala besar.
• Kurangnya perkembangan dan aplikasi teknologi.
• Kurangnya sumber daya manusia yang terdidik dan terampil.
• Kurangnya jaminan kualitas produk.
• Kurangnya partisipasi perusahaan-perusahaan besar.
• Kurangnya supply chain management (manajemen rantai penyaluran).
• Masih adanya ketergantungan terhadap bahan baku impor.
• Pasaran obat di Indonesia adalah yang terendah di Asia.
• Pasaran obat palsu di Indonesia mencapai 20%.
• Adanya penjualan obat melalui jalur illegal.
• Belum adanya asuransi kesehatan yang meng-cover pengobatan dengan
herbal.

3. Opportunities (peluang-peluang atau kesempatan-kesempatan): 12,13,14,15


• Meningkatnya kebutuhan akan obat berbiaya rendah.
• Pemberlakuan AFTA dan ACFTA menghasilkan peluang pasar domestik
dan internasional yang luas).
• Adanya upaya-upaya pemerintah dalam menggiatkan ekspor.
• Adanya rencana pemerintah untuk mengkonsolidasikan industri lokal
dalam rangka mengurangi biaya-biaya.
• Semakin tingginya kesadaran para produsen obat untuk menerapkan
standar GMP.
• Adanya usaha-usaha untuk mengembangkan produk baru dan
penyempurnaan (peningkatan kualitas) produk yang sudah ada.
• Adanya perkembangan teknologi, misalnya bioteknologi, dan lain-lain.
• Adanya edukasi dan kampanye tentang wirausaha (enterpreneurship).
• Adanya upaya-upaya penggiatan industri rumah tangga.
• Adanya upaya-upaya konservasi biodiversitas dan ekosistem.
• Adanya upaya-upaya pelestarian kebudayaan.
• Ketersediaan input-input produksi, misalnya tersedianya pupuk, dan
sebagainya.
• Adanya trend dalam masyarakat untuk “back to nature”.

4. Threats (ancaman-ancaman): 12,13,14


• Lemahnya perlindungan atas hak kekayaan intelektual (HAKI).
• Masih mengakarnya budaya korupsi.
• Adanya program reduksi tarif obat dalam AFTA dapat mengancam
industri lokal.
• Pasaran dibanjiri oleh produk impor dengan harga yang lebih murah
dibanding produk lokal.
• Adanya kompetisi dengan negara-negara lain.
• Adanya kerusakan ekologi.
• Kurang terwarisinya pengetahuan tentang budaya dan kearifan lokal pada
generasi selanjutnya.
• Adanya penyalahgunaan tanaman obat (misalnya menghisap kecubung
sebagai psikotropika atau penambahan bahan kimia obat); dan
penyelundupan tanaman obat Indonesia ke luar negeri.
• Adanya ancaman kepunahan pada beberapa spesies.
• Kurangnya pembinaan dan kolaborasi diantara para pengobat tradisional.

Peran ABGC (Academic, Business, Government, and Community)


Kita dapat mencontoh negara Cina yang secara serius telah menggarap
TCM (Traditional Chinese Medicine) sejak revolusi komunis Kuo Min Tang
tahun 1949, mulai dengan penyediaan bahan baku yang baik sesuai GAP (Good
Agricultural Practice), pengolahan yang baik sesuai GMP (Good Manufacturing
Practice), mengkoordinasi berbagai penelitian, serta dalam bidang pendidikan
dengan mendidik ahli-ahli yang kompeten di bidang TCM, dan menyediakan
fasilitas di bidang pendidikan maupun praktek yang terintegrasi antara pengobatan
modern dan tradisional.16 Banyak obat herbal yang telah digunakan di rumah sakit
Cina sebagai bagian dari proses pengobatan formal. Hal ini tentunya disertai
pengawasan yang baik.10
Di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini telah dibuat beberapa
keputusan menteri untuk mendukung dan meningkatkan pelayanan kesehatan
dengan menggunakan obat tradisional antara lain: Kep.Menkes
no.1109/Menkes/Per/SK/II tahun 2007 tentang penyelenggaraan pelayanan
kesehatan. Selain itu juga Kep.Menkes No.121/Menkes/SK/II tahun 2008 tentang
standar pengobatan herbal, dan juga Kep.Menkes 003/Menkes/Per/I/2010 tentang
saintifikasi jamu dalam penelitian berbasis pelayanan kesehatan.9,17
Dalam Kep.Menkes 003/Menkes/Per/I/2010 tentang Saintifikasi Jamu
disebutkan bahwa tujuan pengaturan saintifikasi jamu adalah untuk:17
a. Memberikan landasan ilmiah (evidence-based) penggunaan jamu secara
empiris melalui penelitian berbasis pelayanan kesehatan.
b. Mendorong terbentuknya jejaring dokter atau dokter gigi dan tenaga
kesehatan lainnya sebagai peneliti dalam rangka upaya preventif, promotif,
rehabilitatif dan paliatif melalui penggunaan jamu.
c. Meningkatkan kegiatan penelitian kualitatif terhadap pasien dengan
penggunaan jamu.
d. Meningkatkan penyediaan jamu yang aman, memiliki khasiat nyata yang
teruji secara ilmiah, dan dimanfaatkan secara luas baik untuk pengobatan
sendiri maupun dalam fasilitas pelayanan kesehatan.
Pasca upaya saintifikasi jamu yakni dilakukannya revitalisasi Sentra Pusat
Pengembangan Pengobatan Tradisional (SP3T) yang merupakan penghubung
antara penelitian-pengembangan dengan pelayanan jamu sebagai salah satu obat
tradisional, pemerintah juga telah memberikan kepercayaan kepada 17 RS
Pendidikan, 15 RS diantaranya telah ditetapkan dengan SK Dirjen Bina Yanmed
untuk mengembangkan integrasi jamu ke dalam pelayanan kesehatan.18
Untuk menjamin keberlangsungan agribisnis dan agroindustri berbasis
tanaman obat dari hulu hingga ke hilir perlu dukungan kebijakan dari pemerintah
(government) agar citra, khasiat dan nilai tambah pemanfaatan tanaman obat
menjadi setara dengan obat-obatan sintetis. Dukungan kebijakan yang dibutuhkan
diantaranya sebagai berikut:19
• Keputusan politik pemerintah untuk menetapkan penggunaan obat bahan
alami yang bahan bakunya antara lain tanaman obat sebagai bagian dari
pelayanan kesehatan formal.
• Amandemen dan revisi Undang-undang dan Peraturan Pemerintah yang belum
sejalan dengan keputusan politik.
• Penyusunan program nasional pengembangan obat bahan alam berbasis
tanaman obat asli Indonesia (temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng)
secara terpadu, yang melibatkan semua pihak terkait dari hulu sampai hilir.
• Memanfaatkan kelembagaan yang ada khusus yang memiliki otoritas
memadai yang akan merencanakan, mengkoordinir dan mengawasi
pelaksanaan program nasional.
Selain dari dukungan pada kebijakan yang dibuat pemerintah, perlu juga
adanya dukungan kepada pihak akademisi (academic), misalnya membangun dan
melengkapi sarana dan prasarana pendukung seperti (a) Universitas yang akan
mendidik tenaga medis untuk pelayanan kesehatan dengan obat bahan alami, (b)
Rumah Sakit dan Apotek yang melayani masyarakat dengan obat bahan alami, (c)
Jalan, transportasi dan telekomunikasi ke daerah-daerah sentra produksi tanaman
obat.
Berjalannya peran pemerintah dan pihak akademisi tidak menjamin
pengobatan berbasis obat bahan alam akan berjalan dengan baik dan dapat dikenal
oleh masyarakat selain dari adanya peran pihak industri (business), dukungan
yang dapat diberikan pada pihak industri diantaranya dapat berupa bantuan modal
untuk petani dan pengusaha yang akan berusaha dalam agribisnis dan agroindustri
berbasis tanaman obat (temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng) baik di
hulu maupun di hilir. Selain dari bantuan modal, pihak industri perlu juga
difasilitasi dengan memunculkan iklim usaha dan kemitraan yang sinergis dengan
prinsip win-win solution diantara para pelaku agribisnis dan agroindustri berbasis
obat bahan alam di Indonesia.19
Pemahaman masyarakat Indonesia mengenai berbagai obat tradisional dan
pemanfaatannya dalam bidang kesehatan juga sangatlah minim. Sebagai salah
satu contoh, berdasarkan hasil survei terhadap siswa-siswi sekolah dasar di
berbagai daerah beberapa waktu yang lalu, hampir 80 % anak-anak tidak
mengenal apa itu obat bahan alam (obat tradisional) yang bahan dasar
pembuatannya dari tumbuhan-tumbuhan obat yang banyak tersebar di berbagai
daerah di Indonesia. Dengan pertimbangan itu, Kementerian Negara Riset dan
Teknologi melalui Asisten Deputi Urusan Pengembangan Budaya Iptek, Deputi
Bidang Dinamika Masyarakat menerbitkan Buku Pendidikan Dasar Obat Bahan
Alam. Buku dicetak dalam bentuk komik sebagai suplemen bacaan anak-anak
sekolah dasar, sebagai upaya untuk mengubah pola pikir, pola sikap, dan pola
tindak serta menumbuhkan minat dan kecintaan generasi penerus terhadap obat
bahan alam.20 Itu adalah salah satu upaya pemerintah untuk memberikan
informasi dan edukasi kepada anggota masyarakat (community).
Dalam pasal 17 UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dinyatakan
bahwa pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan akses terhadap informasi,
edukasi, dan fasilitas pelayanan kesehatan untuk meningkatkan dan memelihara
derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Selanjutnya dalam pasal 18 dinyatakan
bahwa pemerintah bertanggung jawab memberdayakan dan mendorong peran
aktif masyarakat dalam segala bentuk upaya kesehatan.21
Pada pasal 61 ayat 1 UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan juga
dinyatakan bahwa masyarakat diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk
mengembangkan, meningkatkan dan menggunakan pelayanan kesehatan
tradisional yang dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya.
Selanjutnya dalam ayat 2 disebutkan bahwa pemerintah mengatur dan mengawasi
pelayanan kesehatan tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan
didasarkan pada keamanan, kepentingan, dan perlindungan masyarakat.21
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
1. Megabiodiversitas Indonesia terbesar kedua di dunia setelah Brazil. Dari 40
000 jenis flora yang ada di dunia, ada 30.000 spesies tumbuhan di Indonesia,
dan 940 diantaranya diketahui berkhasiat sebagai obat.
2. Obat herbal Indonesia masih belum lazim digunakan dalam pelayanan
kesehatan, disebabkan oleh berbagai masalah/kendala. Salah satu diantaranya
adalah belum adanya bukti ilmiah yang mencukupi (evidence-based)
mengenai khasiat obat herbal.
3. Globalisasi dan pemberlakuan AFTA/ACFTA merupakan tantangan sekaligus
peluang untuk industri obat herbal Indonesia.
4. Kurangnya pengawasan terhadap obat herbal yang beredar di pasaran
domestik, baik produk herbal dari dalam negeri maupun dari luar negeri.
5. Produk herbal Indonesia masih kalah saing dibanding produk dari luar, baik di
pasaran domestik maupun pasaran global.
6. Sistem pelayanan kesehatan di Indonesia masih belum mendukung pemakaian
obat herbal secara luas.
7. Peran masing-masing ABGC (Academic, Business, Government, and
Community) masih belum optimal dan belum bersinergi (masih ada missing
link).
8. Penulis berharap agar obat herbal Indonesia, khususnya jamu, dapat menjadi
tuan rumah di negeri sendiri dan menjadi tamu terhormat di negara lain.

Saran untuk ABGC15,18,19,20


1. Keanekaragaman tumbuhan obat di Indonesia merupakan aset potensial yang
perlu dikembangkan. Oleh karena itu, kelangkaan suatu spesies tumbuhan obat
harus dimbangi dengan upaya konservasi. Melihat kenyataan bahwa
ketersediaan lahan untuk budidaya tumbuhan obat di Indonesia masih cukup
luas sehingga memungkinkan pertanaman tumbuhan obat dalam skala besar
guna menjamin pasokan bahan baku obat secara kontinyu ke industri-industri
obat tradisional yang ada di dalam maupun di luar negeri. Untuk perluasan
penanaman tersebut perlu didirikan sentra produksi tumbuhan obat yang
dilengkapi dengan teknologi budidaya termasuk penyediaan bibit yang
bermutu, proses panen dan penanganan pasca panen. Disamping program
perluasan pertanaman (ekstensifikasi), program intensifikasi juga perlu
diterapkan di daerah sentra produksi yang sudah ada sehingga produksi hasil
meningkat.
2. Perlu pemberdayaan petani dan menciptakan hubungan kemitraan antara
petani yang lemah modal selaku produsen dengan pengusaha/pihak industri
selaku konsumen.
3. Ekspor bahan baku dan simplisia tumbuhan obat Indonesia yang pasang surut
akibat mutu dan suplai bahan baku dan simplisia yang tidak konsisten, perlu
diatasi. Oleh karena itu diperlukan upaya untuk menggugah peneliti serta
menyediakan dana untuk keperluan penelitian dan pengembangan produk obat
alami yang bermutu, aman dan bermanfaat.
4. Guna membangun agribisnis dan agroindustri berbasis tanaman obat yang
kuat, mandiri dan berdaya saing untuk peningkatan kesehatan dan
kesejahteraan rakyat Indonesia dibutuhkan Kebijakan Nasional dan Keputusan
Politik pemerintah pada level paling atas yaitu Presiden RI dan jajaran
birokrasi di bawahnya, yang didukung penuh oleh DPR dan seluruh
masyarakat. Kebijakan pemerintah tersebut diwujudkan dengan menyusun
Program Nasional Pengembangan Obat Bahan Alam, yang ditindak lanjuti
oleh masing-masing pihak terkait, yaitu: Badan POM, Depkes, Deptan,
Dephut, Deperin, Depdag, Depdagri, Depag, Kementerian Ristek/BPPT, LIPI,
Pemda, Perguruan Tinggi, dunia usaha, petani maupun oleh berbagai
organisasi yang terkait dengan pengembangan dan pemanfaatan tanaman obat
lainnya. Target program tersebut adalah menjadikan Indonesia sebagai
produsen nomor satu di dunia dalam industri obat berbasis bahan alami (world
first class herbal medicine country) pada tahun 2020.
5. Guna mencapai target yang telah ditetapkan di dalam Program Nasional
Pengembangan Obat Bahan Alam, maka perlu disusun Grand Strategi
Pengembangan Tanaman Obat Indonesia yang merupakan bagian dari
Program Nasional tersebut, yang meliputi:
- Penetapan komoditas tanaman obat unggulan,
- Penetapan wilayah pengembangan tanaman obat unggulan,
- Peningkatan produksi, mutu dan daya saing komoditas tanaman obat
unggulan,
- Penetapan produk turunan dari tanaman obat unggulan dan bentuk
industri pengolahannya,
- Peningkatan kompetensi sumberdaya manusia,
- Pengembangan infrastruktur dan kelembagaan, peningkatan pelayanan
informasi, promosi dan pemasaran, penyusunan kebijakan perpajakan
dan insentif investasi yang kondusif di subsistem hulu sampai hilir
dalam agribisnis dan agroindustri berbasis tanaman obat.
6. Berdasarkan klaim khasiat, jumlah serapan oleh industri obat tradisional,
jumlah petani dan tenaga yang terlibat, prospek pengembangan dan trend
investasi ke depan, maka disarankan untuk dipilih lima komoditas tanaman
obat potensial yaitu temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng. Program
yang dibutuhkan untuk pengembangan tanaman obat unggulan tersebut
adalah:
- Penetapan wilayah pengembangan tanaman obat unggulan berdasarkan
potensi, kesesuaian lahan dan agroklimat, sumberdaya manusia dan
potensi serapan pasar.
- Peningkatan produksi, mutu dan daya saing komoditas tanaman obat
unggulan melalui: (a) peningkatan produtivitas dan mutu dengan
penerapan praktek pertanian yang baik sesuai GAP (Good Agricultural
Practices) yang didasarkan atas SOP (Standard Operational
Procedures) untuk masing-masing komoditas, (b) Panen dan
pengolahan produk sesuai dengan GMP (Good Manufacturing
Practices).
- Peningkatan produksi produk turunan dari tanaman obat unggulan serta
bentuk industri pengolahannya yang dapat memacu ekonomi rakyat dan
pedesaan.
- Peningkatan kompetensi sumberdaya manusia melalui: (a) pelaksanaan
pendidikan dan pelatihan untuk menyediakan SDM yang kompeten baik
dalam penyediaan bahan baku obat bahan alam dari hulu sampai hilir,
juga yang akan terlibat di dalam sistem pelayanan kesehatan berbasis
obat bahan alam, (b) penerapan teknologi produksi bahan tanaman.
- Pengembangan infrastruktur dan kelembagaan melalui: (a)
pembangunan sarana dan prasarana penunjang transportasi,
telekomunikasi ke daerah sentra produksi tanaman obat, (b)
pengembangan kemitraan antara petani dengan industri dan pemerintah.
- Peningkatan pelayanan informasi, promosi dan pemasaran melalui: (a)
pengembangan website, publikasi di media masa dan forum-forum
terkait, (b) pembentukan jejaring kerja dan sistem informasi pasar.
- Penyusunan kebijakan perpajakan dan insentif investasi yang kondusif
di sub sistem hulu sampai hilir dalam agribisnis dan agroindustri
berbasis tanaman obat melalui: (a) deregulasi peraturan yang tidak
sesuai, (b) menciptakan lingkungan usaha agribisnis dan agroindustri
yang kondusif.
- Pembuatan mapping dan database tanaman obat yang valid, meliputi
jenis tanaman, luas areal, produksi, jumlah petani yang terlibat, serapan,
jumlah industri yang terlibat, ekspor, impor, yang akan digunakan
sebagai acuan di dalam perencanaan program nasional pengembangan
tanaman obat.
7. Memasukkan materi tentang obat tradisional ke dalam kurikulum pendidikan
kedokteran dan pendidikan ilmu kesehatan lainnya.
8. Pemerintah perlu mengalokasikan dana khusus untuk penelitian-penelitian.
Penelitian sangat dibutuhkan untuk menentukan landasan ilmiah yang jelas
terhadap pemakaian obat herbal Indonesia dalam pelayanan kesehatan.
9. Meningkatkan koordinasi penelitan diantara institusi-institusi pendidikan dan
penelitian.
10. Pemerintah perlu membuat regulasi yang jelas dan birokrasi yang sederhana.
11. Perlunya koordinasi dan kerjasama/sinergi yang saling terbuka, ekual dan
tidak ego-sektoral diantara ABGC. Untuk itu diperlukan komitmen dan
keterlibatan unit kerja lintas sektor, berbagai disiplin ilmu, organisasi seminat
dan industri. Berbagai institusi seperti Departemen Pertanian, BPPT, LIPI,
Kem.Ristek, Badan POM, Perguruan Tinggi dan organisasi profesi seperti
IDI, PDGI, Ikatan Apoteker indonesia (IAI) dan GP Jamu berperan serta untuk
terlaksananya grand design dibentuknya sistem jamu nasional atau minimal
integrasi jamu ke pelayanan kesehatan.
12. Kecintaan akan produk-produk hasil penelitian bangsa Indonesia, yang berupa
kearifan lokal, terutama obat bahan alam perlu terus ditingkatkan. Generasi
penerus sedapat mungkin sejak dini telah diperkenalkan dengan kearifan lokal
sebagai bagian dalam kehidupannya sehari-hari dan sebagai salah satu
kekayaan budaya bangsa Indonesia.20 Untuk itu diperlukan edukasi pada unit
masyarakat terkecil, yaitu keluarga, untuk lebih memperkenalkan dan mulai
mengkonsumsi obat herbal Indonesia, terutama sejak kanak-kanak.
13. Perlu ikut sertanya setiap lapisan masyarakat, mulai dari setiap individu,
organisasi kemasyarakatan, LSM, dan sebagainya, untuk bersama-sama
memajukan obat tradisional Indonesia/ jamu.
14. Perlunya implementasi secara sungguh-sungguh dan partisipasi semua pihak
pada setiap program, grand strategy, dan lain-lain yang telah dijabarkan di
atas.
DAFTAR PUSTAKA

1. Glozah, F.N. Globalization and Social Change into Herbal Medicine,


http://www.authorsden.com/ArticlesUpload/43197.doc
2. Jamli, Edison, et al. Kewarganegaraan. Jakarta: Bumi Aksara, 2005.
3. ASEAN Secretariat. "AFTA and FTAs." Association of Southeast Asian Nations.
2009, http://www.aseansec.org/4920.htm (accessed September 6, 2010).
4. Pikiran Rakyat Online. Pemberlakuan ACFTA Tantangan Produk Jamu,
http://www.pikiran-rakyat.com/node/114905
5. http://www.menkokesra.go.id/content/produk-jamu-tertantang-pemberlakuan-
acfta
6. BPOM RI. Public Warning/Peringatan nomor KH.00.01.1.43.2397 tanggal 4 Juni
2009 tentang Obat Tradisional dan Suplemen Makanan Mengandung Bahan
Kimia Obat.
7. Redaksi Trubus, Herbal Indonesia Berkhasiat, Trubus Info Kit vol 8, PT Trubus
Swadaya, halaman 11
8. Pusat Studi Biofarmaka-IPB. 2002. Tanaman Obat Indonesia: Keragaan Pasar,
Standar Mutu dan Permasalahannya. Bogor: Pusat Studi Biofarmaka-LP IPB
bekerjasama dengan Direktorat THSAT, Dirjen B2HP Deptan
9. Dirjen Bina Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI. Keputusan Menteri
Kesehatan RI tentang Standar Pelayanan Medik Herbal. Jakarta: Depkes RI; 2008.
10. Karyanto. Obat dan Suplemen Kesehatan Herbal, Kian Digandrungi. Kabar Sehat,
Edisi 002, Juli – September 2008.
11. Wardoyo. Analisis SWOT . www.wardoyo.staff.gunadarma.ac.id,
http://idyasin.blogspot.com/2010/04/analisis-swot.html
12. Indonesia pharmaceutical and healthcare industry SWOT. In: Pharmaceuticals and
Healthcare Report Q3 2010. ISSN 1748-1945. Business Monitor International
Ltd. www.businessmonitor.com
13. Lien Sien Ngan. Global and Local Scenarios of Herbal/Phytochemical Industry.
http://www.slideshare.net/sienngan41/anti-aging-cancer-herbalcam
14. Endashaw Bekele. Study on Actual Situation of Medicinal Plants in Ethiopia
http://www.endashaw.com
15. Saerang Charles. Medicinal Plants as a Source of Raw Materials for Making
Jamu in Indonesia. Jakarta: a half-day seminar “Toward Increased Understanding
and Utilization of Bioresources in Indonesia”, September 17, 2010.
16. Huang Kee Chang. The Pharmacology of Chinese Herbs. Second edition, CRC
Press LLC, Boca Raton, 1999, p v
17. Dirjen Bina Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI. Keputusan Menteri
Kesehatan RI tentang Saintifikasi Jamu. Jakarta: Depkes RI; 2010.
18. Obat Tradisional Masuk dalam Sistem Pelayanan Kesehatan Formal.
http://www.infeksi.com/newsdetail.php?lng=in&doc=4995
19. Prospek Pengembangan Tanaman Obat Indonesia (Kajian Potensi Indonesia
terhadap Pasar Herbal Dunia).
http://ridiah.wordpress.com/2010/06/13/%E2%80%9Dpospek-pengembangan-
tanaman-obat-indonesia%E2%80%9D-kajian-potensi-indonesia-terhadap-pasar-
herbal-dunia/
20. Sosialisasi Makanan Tradisional Indonesia dan Obat Bahan Alam.
http://rosmellix.wordpress.com/2009/09/16/sosialisasi-makanan-tradisional-
indonesia-dan-obat-bahan-alam/
21. Undang-undang No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

You might also like