Professional Documents
Culture Documents
Disusun oleh
Kelompok I
Inggrid Tania
Ghesyka Andini
Ellen Hauw
Ika Narishantika
Rahmi Fithria
Fenny Yunita
Khaira Mardhatillah
Randy Adistya
September 2010
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Istilah globalisasi dalam pengertian yang luas digunakan untuk
mendeskripsikan perubahan yang diamati dari suatu seri ekonomi, sosial,
teknologi, dan kebudayaan yang kompleks, yang timbul karena meningkatnya
interdependensi, integrasi, dan interaksi antara masyarakat dari berbagai lokasi
yang berbeda di seluruh dunia. Melalui globalisasi, dunia terlihat sebagai suatu
entitas tunggal dengan nilai-nilai dan ide-ide bersama.1 Menurut Jamli, et al
(2005), globalisasi pada hakikatnya adalah suatu proses dari gagasan yang
dimunculkan, kemudian ditawarkan untuk diikuti oleh bangsa lain yang akhirnya
sampai pada suatu titik kesepakatan bersama dan menjadi pedoman bersama bagi
bangsa-bangsa di seluruh dunia.2 Eriksen (1991), menyimpulkan bahwa batas-
batas antara masyarakat atau peradaban menjadi membaur dan bercampur karena
adanya perubahan nilai-nilai dan ide-ide dalam masyarakat.1 Globalisasi membuat
seolah-olah tidak ada lagi batas di antara bangsa, antara lain dalam bidang
ekonomi dan perdagangan.
Aplikasi globalisasi di negara-negara ASEAN (Association of Southeast
Asian Nations) yang meliputi negara Indonesia, Brunei, Malaysia, Filipina,
Singapura, Thailand, Vietnam, Laos, Myanmar, dan Kamboja, dikenal dengan
ASEAN Free Trade Area (AFTA) yang ditanda tangani tanggal 28 Januari 1992.
AFTA merupakan perjanjian perdagangan yang ditetapkan oleh ASEAN untuk
mendukung industri lokal di masing-masing negara anggota ASEAN. AFTA
bertujuan untuk meningkatkan daya saing ASEAN sebagai basis produksi dalam
pasar dunia melalui penghapusan bea masuk dan halangan lainnya dalam ASEAN,
dan juga bertujuan untuk menarik investasi asing ke ASEAN.3
Saat ini, perjanjian perdagangan bebas di negara-negara ASEAN telah
berkembang hingga mencakup negara-negara non-ASEAN, seperti Australia dan
New Zealand (AANZFTA), Cina (ACFTA), India (AIFTA), Jepang (AJCEP),
serta Republik Korea (AKFTA). Pada 1 Januari 2010, perdagangan bebas antara
negara-negara ASEAN dengan Australia dan New Zealand, Cina, India, serta
Republik Korea resmi dimulai.3 Di bidang herbal khususnya, hal dapat menjadi
tantangan dan sekaligus menjadi peluang yang besar bagi setiap negara.
Menkokesra HR Agung Laksono mengatakan bahwa pelaksanaan pemberlakuan
ACFTA merupakan tantangan bagi produk dalam negeri, khususnya jamu.4
Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menganalisis dan
menyimpulkan efek globalisasi (perdagangan bebas) terhadap perkembangan
herbal Indonesia, serta memberikan saran-saran untuk memajukan perkembangan
herbal Indonesia.
BAB II
PERMASALAHAN
Apakah Obat Asli Indonesia dapat menjadi Tuan Rumah di Negeri Sendiri?
Keanekaragaman hayati di bumi pertiwi ini menduduki peringkat dua
dunia setelah Brazil. Dari 40 000 jenis flora yang ada di dunia, ada 30.000 spesies
tumbuhan di Indonesia, dan 940 diantaranya diketahui berkhasiat sebagai obat.
Adanya sumber daya tanaman obat yang berlimpah, tentunya menjadi keunggulan
komparatif bagi Indonesia. Persoalannya sekarang adalah, bagaimana keunggulan
ini secara ekonomis dapat dimanfaatkan untuk menyehatkan bangsa. Keunggulan
komparatif melalui pengembangan obat asli Indonesia (Indonesian indigenous
herbal medicines) harus dikelola, agar memenuhi tiga kriteria dasar, yaitu:10
1. layak pakai iptek (scientific and technologically viable),
2. layak ekonomis (economically feasible), dan
3. diterima oleh masyarakat luas termasuk masyarakat profesi kesehatan
(socially acceptable).
Beberapa herbal Indonesia telah diekspor ke luar negeri, dan dimanfaatkan
untuk penelitian; dikembangkan, diproduksi, kemudian dipasarkan. Hal ini
dikarenakan obat herbal Indonesia juga mempunyai kualitas yang cukup baik.
Sekarang ini, banyak obat-obatan Cina yang bahan bakunya justru dibeli dari
Indonesia (Jonosewoyo,2008).10
Dapatkah potensi-potensi besar di atas menggiring obat dan suplemen
herbal asli Indonesia menjadi tuan rumah di negeri sendiri? Apakah tidak akan
tergerus oleh produk impor yang kini memang terus merangsek masuk ke pasar
Indonesia semenjak era globalisasi, khususnya setelah dimulainya
AFTA/ACFTA?
1. Strengths (Kekuatan-kekuatan):12,13,14
• Megabiodiversitas Indonesia terbesar kedua di dunia setelah Brazil.
• Iklim tropis yang mendukung untuk tanaman obat.
• Populasi penduduk yang tinggi mengakibatkan potensi pasar yang
besar/luas.
• Banyaknya industri obat lokal/domestik, khususnya yang
memproduksi/mensuplai bahan baku lokal.
• Kekayaan budaya dan kearifan lokal yang beraneka ragam.
Kesimpulan
1. Megabiodiversitas Indonesia terbesar kedua di dunia setelah Brazil. Dari 40
000 jenis flora yang ada di dunia, ada 30.000 spesies tumbuhan di Indonesia,
dan 940 diantaranya diketahui berkhasiat sebagai obat.
2. Obat herbal Indonesia masih belum lazim digunakan dalam pelayanan
kesehatan, disebabkan oleh berbagai masalah/kendala. Salah satu diantaranya
adalah belum adanya bukti ilmiah yang mencukupi (evidence-based)
mengenai khasiat obat herbal.
3. Globalisasi dan pemberlakuan AFTA/ACFTA merupakan tantangan sekaligus
peluang untuk industri obat herbal Indonesia.
4. Kurangnya pengawasan terhadap obat herbal yang beredar di pasaran
domestik, baik produk herbal dari dalam negeri maupun dari luar negeri.
5. Produk herbal Indonesia masih kalah saing dibanding produk dari luar, baik di
pasaran domestik maupun pasaran global.
6. Sistem pelayanan kesehatan di Indonesia masih belum mendukung pemakaian
obat herbal secara luas.
7. Peran masing-masing ABGC (Academic, Business, Government, and
Community) masih belum optimal dan belum bersinergi (masih ada missing
link).
8. Penulis berharap agar obat herbal Indonesia, khususnya jamu, dapat menjadi
tuan rumah di negeri sendiri dan menjadi tamu terhormat di negara lain.