Professional Documents
Culture Documents
Kalian masih iingat, mengapa sistem penyerahan wajib dan sistem sewa
tanah
tidak berhasil diterapkan di Indonesia? Kemudian kebijakan apa yang akan
diterapkan oleh pemerintah kolonial di Indonesia? Supaya lebih jelas baca
materi
berikut ini!
Pada tahun 1830 terjadi perubahan. Ketika itu negeri Belanda sangat payah
keuangannya karena harus membiayai perang Diponegoro dan usaha
mencegah
Belgia memisahkan diri. Johannes Van den Bosch, yang kemudian menjadi
gubernur
jenderal mengajukan rencana untuk dapat meningkatkan produksi tanaman
ekspor
di Indonesia. Hasilnya dijamin akan dapat menolong keuangan negeri
Belanda. Sistem
ini dinamakan Cultuur Stelsel yang oleh bangsa Indonesia
dinamakan Tanam Paksa. Sistem tanam paksa itu mewajibkan
petani di Jawa untuk menanami sawah ladangnya dengan tanaman
yang hasilnya laku dijual ke luar negeri
. Tetapi pengaruh sistem tanam paksa mempunyai akibat yang lebih luas
dari pada cara penyerahan wajib pada zaman kompeni dulu. Berlainan
dengan sistem pajak tanah Raffles, maka sistem tanam paksa Van
den Bosch ini justru menyuruh rakyat untuk membayar pajaknya
dengan hasil tanaman. Hasil tanaman paksa itu dikirim ke negeri
Belanda, dan di sana dijual kepada penduduk Eropa dan Amerika.
Ketentuan-ketentuan pokok dari sistem tanam paksa tertera dalam
Staatsblad
(Lembaran Negara) tahun 1834, No. 22 jadi beberapa tahun setelah
sistem tanam paksa
mulai dijalankan di pulau Jawa. Ketentuan-ketentuan pokok itu bunyinya
memang
bagus dan baik. Tetapi dalam pelaksanaannya, pada umumnya menyimpang
jauh
dan banyak merugikan rakyat. Ketentuan-ketentuan itu, antara lain:
1. Persetujuan-persetujuan akan diadakan dengan penduduk agar
mereka
menyediakan sebagian dari tanahnya untuk penanaman tanaman
dagangan yang
dapat dijual di pasaran Eropa. Jadi jelas, rakyat akan menyerahkan
tanahnya
dengan sukarela. Tanpa ada rasa ketakutan karena didesak dan ditekan.
Tetapi
dalam kenyataannya tidak demikian. Dengan perantaran bupati dan kepala
desa,
rakyat dipaksa menyerahkan sebagian tanahnya. Lagi pula pegawai
pemerintah
Belanda langsung mengawasi dan ikut mengatur. Tiap pegawai akan
mendapat
persen tertentu (cultuur procenten) kalau berhasil menyerahkan hasil
tanaman
kepada pemerintah. Makin banyak setoran, makin banyak persennya.
Akibatnya
para pegawai itu berlomba-lomba mengejar untung, dengan seringkali
melanggar ketentuan. Terjadilah banyak penyelewengan. Dalam
menjalankan
tanam paksa itu.
2. Bagian dari tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk
tujuan ini tidak
boleh melebihi seperlima dari tanah pertanian yang dimiliki
penduduk desa.
Bunyinya sudah jelas, hanya 20% tanah rakyat yang akan digunakan untuk
cultuur stelsel. Tetapi dalam praktik sungguh sulit untuk dilaksanakan. Tanah
petani itu kecil-kecil, seperlima bagiannya tentu akan lebih kecil lagi. Lagi
pula
tempatnya berserak-serak. Padahal, pertanian untuk tebu, nila, kopi,
tembakau,
dan teh, membutuhkan tanah pertanian yang luas. Karena itu pemerintah
mengambil jalan yang mudah. Tanah-tanah milik petani itu dipersatukan dan
diambil sebagian untuk tanam paksa. Tentu dipilih yang paling tepat untuk
tanaman ekspor, biasanya juga yang paling subur. Belum lagi adanya
penyelewengan, pegawai-pegawai pemerintah itu mengambil lebih dari
seperlima tanah penduduk. Kadang-kadang malah mencapai separoh
bagiannya.
3. Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman cultuur
stelsel itu
tidak boleh melebihi pekerjaan yang diperlukan untuk menanam
padi.
Maksud ketentuan di atas tentu baik, yakni supaya petani tidak habis
waktunya untuk menggarap kebun tanam paksanya dan masih cukup waktu
untuk menggarap tanahtanahnya sendiri. Tetapi dalam praktik, para petani
itu dipaksa
mencurahkan lebih banyak perhatian dan waktu serta tenaga
untuk tanam paksa, sehingga mereka tidak sempat mengerjakan sawah
ladangnya. Pekerjaan yang paling berat dilakukan di perkebunan nila. Pernah
petani-petani di daerah Simpur, Jawa Barat, dipaksa bekerja selama tujuh
bulan,
jauh dari desa dan kampung halamannya. Ketika mereka pulang, ternyata
sawah
ladangnya terlantar.
4. Bagian dari tanah yang disediakan untuk cultuur stelsel,
dibebaskan dari
pembayaran pajak. Ketentuan ini tentu masuk akal. Tetapi dalam
kenyataannya,
tidak dihiraukan, petani seringkali masih harus membayar pajak tanah untuk
tanah yang dipakai tanam paksa. Buktinya, pajak-pajak tanah tidak makin
turun, tetapi malahan naik terus.
5. Tanaman hasil cultuur stelsel itu diserahkan kepada pemerintah.
Jika harganya
lebih besar dari jumlah pajak tanah yang harus dibayarkan, maka selisihnya
dikembalikan kepada rakyat. Tetapi jangan harap bahwa ketentuan ini
dipegang
teguh. Tentu para petani itu kebanyakan buta huruf. Mereka tidak
mengetahui
duduk perkara yang sebenarnya. Lagi pula, para petani mempercayakan
segala
sesuatunya kepada kepala desa dan bupati. Sedangkan di antara pegawai
pemerintah itu, banyak pula yang sampai hati mengelabuhi para petani
dengan
akibatnya bahwa ketentuan itu tidak dapat dijalankan.
6. Panen tanaman dagangan yang gagal harus dibebankan kepada
pemerintah,
sedikit-sedikitnya jika kegagalan ini tidak disebabkan oleh kurang
rajin atau
ketekunan dari pihak rakyat, misalnya, bencana alam banjir,
kekeringan, hama,
dan lain-lain. Ketentuan yang bagus itupun pernah dijalankan. Pegawai-
pegawai
pemerintah Hindia Belanda seringkali melihat panen yang gagal sebagai
kesalahan petani. Jarang yang dapat melihat keadaan yang sebenarnya.
7. Penduduk desa mengerjakan tanah-tanah mereka di bawah
pengawasan kepalakepala mereka, sedangkan pegawai-pegawai
Eropa hanya membatasi diri pada pengawasan apakah membajak
tanah, panen, dan pengangkutan tanamantanaman berjalan dengan
baik dan tepat pada waktunya.
Di antara jenis tanaman kultur yang diusahakan itu, tebu dan nila, adalah
yang
terpenting. Tebu adalah bahan untuk gula, sedangkan nila bahan untuk
mewarnai
kain. Pada bad ke -19 itu pengetahuan kimia tentang bahan pewarna kain
belum
berkembang, karena itu nila dibutuhkan. Kemudian menyusul kopi, yang
merupakan
bahan ekspor yang penting.
Selama tanam paksa, jenis tanaman yang memberi untung banyak ialah kopi
dan gula. Karena itu kepada kedua jenis tanaman itu pemerintah memberi
perhatian
yang luar biasa. Tanah yang dipakai juga luas. Jumlah petani yang terlibat
dalam
tanam paksa gula dan kopi adalah besar, laba yang diperoleh juga banyak.
Tanam paksa mencapai puncak perkembangannya sekitar tahun
1830-1840.
Pada waktu itu Negeri Belanda menikmati hasil tanam paksa yang
tertinggi. Tetapi
sesudah tahun 1850, mulai terjadi pengendoran. Rakyat di negeri Belanda
tidak
banyak mengetahui tentang tanam paksa di Indonesia. Maklumlah waktu itu
hubungan masih sulit, radio dan hubungan telekomunikasi belum ada, surat
kabar
masih kurang. Tetapi sesudah tahun 1850 terjadi perubahan. Malapetaka di
Cirebon, Demak, dan Grobogan lambat laun sampai pula terdengar di negeri
Belanda. Mereka
juga mendengar tentang sikap pegawai-pegawai Belanda yang sewenang-
wenang.
Sementara itu pada tahun 1860 di negeri Belanda terbit
dua buah buku yang menentang tanam paksa sehingga semakin
besar kalangan masyarakat yang menghendaki agar tanam
paksa dihapus. Kedua buku itu ialah Max Havelaar yang
dikarang oleh Douwes Dekker dengan nama samaran
Multatuli. Buku kedua ialah Suiker Contracten (Kontrakkontrak
gula) ditulis oleh Frans van de Putte. Karena pendapat
umum yang membalik, sejak itu tanam paksa berangsurangsur
akhirnya dihapuskan. Pada tahun 1860, tanam paksa lada
dihapuskan, pada tahun 1865 menyusul nila dan teh. Tahun
1870 boleh dikata semua tanam paksa sudah hapus, kecuali
kopi di daerah Priangan yang baru dihapuskan pada tahun
1917.