You are on page 1of 134

Ramadhan,

“Marhaban bil Muthahhir”

Tidak berapa lama lagi, kita akan memasuki


Bulan Ramadhan. Bagi umat Islam, Ramadhan
merupakan satu bulan mulia yang senantiasa ditunggu
secara khusus dan penuh kegembiraan. Bulan ibadah
dan bulan pengampunan. Keyakinan ini telah mengakar
hingga tampak pada prilaku orang-orang dalam
menyambutnya dan menghormatinya. Berbekas pula
pada adat kebiasaan anak negeri, khususnya
dibeberapa daerah yang masih kokoh dengan adat
budayanya.
Ramadhan adalah penghulu sekalian bulan, dinamai
bulan puasa sesuai ibadah yang dilaksanakan
sepanjang bulan itu. Orang Minang menyebutnya juga
dengan “bulan basaha” (saha = sahur, satu bentuk
Sunnah Rasul yang diujudkan dalam makan parak siang
sebelum terbitnya fajar, menurut bimbingan ibadah
shaum (puasa) mendahului imsak).

Tatkala Ramadhan datang menjelang, Rasulullah


SAW menyambut dengan ucapan :” marhaban bil-
muthahhir”, artinya, “selamat datang wahai

H. Mas’oed Abidin 1
pembersih”. Sahabat yang mendengar
bertanya,“Wa mal muthahhiru ya Rasulullah?,
(siapakah yang di maksud pembersih itu, wahai
Rasulullah?)”. Rasulullah SAW menjawab “al-
muthahhiru syahru Ramadhana, yuthahhiruna
min dzunubii wal ma’ashiy (pembersih itu adalah
Ramadhan, dia membersihkan kita dari dosa dan
ma’shiyat)”.

Marhaban artinya, ’ruangan luas tempat


perbaikan untuk mendapatkan keselamatan dalam
perjalanan’. Kata-kata ini kerap dipakai untuk
menyambut dan menghormat tamu yang mulia.
Bermakna ungkapan selamat datang. Ucapan ini
menyiratkan makna kegembiraan menyambut
kedatangan tamu mulia –bulan Ramadhan— disertai
kesiapan dan kelapangan waktu maupun tempat,
hingga orang dapat leluasa melakukan amalan (tindak-
perbuatan) yang berkaitan dengan mengasuh dan
mengasah jiwa untuk mewujudkan keberhasilan dan
kebersihan bersamanya. Bersih (diri dan jiwa) adalah
bukti ketaqwaan seseorang. Puasa (shaum) merupakan
ibadah khusus dalam bulan Ramadhan, niscaya sangat
berperan membersihkan diri pelakunya (shaimin),
manakala bisa menerapkan sikap dan amalan-amalan
terpuji tadi.
Bimbingan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, jelas
menyebutkan di dalam Al Quranul Karim, yang artinya ;
            
             
 

2 H. Mas’oed Abidin
”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas
kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu (pengikut Taurat dan
Injil) agar kamu bertaqwa (tetap terpelihara,
bersih dari dosa dan makshiayat)”. (QS.2, al
Baqarah,ayat 183).

Ramadhan telah ditetapkan sebagai bulan


pelaksanaan puasa juga terhadap umat terdahulu
(dalam Taurat, Zabur dan Injil), dan dipilih sebagai bulan
turunnya Kitabullah (AlQuran) kepada Muhammad SAW.
Al Quran dipersiapakan sebagai petunjuk, bimbingan,
pembeda untuk benar dan salah, dan berisikan
penjelasan-penjelasan paradigma hidup manusia.
Dalam kehidupan orang Minang yang beradat dengan
indikasi beragama Islam, maka bulan Ramadhan
mendapat tempat yang khusus sejak doeloe. Setiap
Mukmin bila datang bulan Ramadhan wajib
mengerjakan ibadah shaum (puasa). Bila telah mukallaf
(baligh berakal) mesti mengerjakan ibadah puasa
secara sadar dan penuh ketaatan (ketaqwaan). Allah
telah menyediakan rukhsah (keringanan) dengan
mengganti puasa Ramadhan dihari (bulan) lain atau
menukarnya dengan pembayaran fidyah (memberi
makan orang miskin) bagi orang-orang sakit (tua),
musafir (melakukan perjalanan) dan tidak memiliki
kesanggupan berpuasa dibulan suci itu. Keringanan ini
merupakan bukti kasih sayang Allah, dan bukti pula
bahwa Agama Islam adalah ajaran yang tidak
memberatkan, sehingga tidak ada alasan seseorang
Mukmin menolak melaksanakannya.

H. Mas’oed Abidin 3
Pada hakekatnya semua ibadah (termasuk puasa)
adalah pembuktian seorang apakah ia benar beriman
dan mampu bersyukur (berterima kasih) kepada Allah
yang telah menjadikan dirinya, menyiapkan kehidupan
baginya dan menyediakan segala sesuatu keperluannya
untuk hidup ini. Dengan demikian haruslah dipahami
bahwa umumnya ibadah (diantaranya puasa)
sesungguhnya bukti nyata kesiapan seseorang dalam
melaksanakan perintah-perintah Allah dengan jujur.
Kejujuran kepada Allah tampak secara pasti pada
kesediaan melaksanakan imsak (menahan) nafsu dari
makan, minum, bersebadan (sanggama) suami istri di
siang hari (sejak mulai imsak hingga datangnya waktu
berbuka), atau selama masa basaha itu, juga kesediaan
menunaikan semua aturan-aturan berkenaan dengan
ibadah yang tengah dilakukan itu. Bagi orang Minang
sangat dimengerti puasa dibulan Ramadhan tidak
sekedar hanya menahan makan dan minum dalam
pengertian umumnya. Lebih khusus lagi, melatih diri
senantiasa teguh dalam “menjauhi tegah dan
mengerjakan suruh.”
Bertindak tidak senonoh dan kurang terpuji
seperti bersuara keras, berbohong, memperkatakan
orang (bergunjing), menyakiti perasaan orang lain,
berakibat mendapatkan peringatan keras dari warga
masyarakat sejak doeloe karena dianggap bisa
membuat puasa seseorang bata (batal). Inilah yang
senantiasa diingatkan, maka bulan puasa dijadikan
arena pelatihan fisik dan kejiwaan, pada akhirnya
berbekas kepada tindak laku disiplin diri dalam
mengangkat harkat martabat (izzatun-nafs) ditengah
pergaulan bermasyarakat.

4 H. Mas’oed Abidin
Ibadah puasa adalah ibadah besar yang tegolong
kepada jihadun-nafs (pembentukan watak) sabar, setia,
taat, dan sifat utama lainnya, sesuai bimbingan
Rasulullah SAW;
“Man shaama Ramadhana Imanan wah tisaaban,
ghufira lahu maa taqaddama min dzanbihi” (Al
Hadist).
Artinya,”Siapa saja yang melaksanakan puasa (shaum)
Ramadhana dengan iman dan ihtisab (perhitungan-
perhitungan menurut syarat-syarat puasa, memelihara
segala aturan-aturan puasa), maka di ampuni dosa-
dosanya terdahulu”.
Inilah suatu kesempatan besar yang di janjikan
kepada setiap orang yang menunaikan badah puasa
didalam Ramadhan, semoga kita semua sempat
melaksanakan dan merasakan nikmatnya tahun ini.
Insya Allah.

Balimau,
persenyawaan adat dan agama
di Minangkabau

Bagi orang Minangkabau (Sumatera Barat),


Ramadhan yang dipandang sebagai bulan agung
merupakan suatu peristiwa yang dinantikan dan sangat
di rindui. Kita sudah terbiasa menyambutnya dengan
suatu acara yang khas dan hampir teradatkan, bahkan
merupakan penggambaran nyata dari rangkaian adat
bersendi syarak, syarak bersedi kitabullah.

H. Mas’oed Abidin 5
Kedatangannya dinanti dengan acara balimau.
Walaupun tidak ada nash syar’ii sebagai satu kaitan
ibadah wajib atau sunat dalam menyambut Ramadhan,
tetapi masyarakat Minang secara sadar
mengadopsinya sebagai suatu upacara yang tidak
dapat dilepas dari kegiatan ritual ibadah Ramadhan
(shaum).
Acara balimau dinilai berdampak positif dalam
tataran kehidupan masyarakat Minangkabau masa
dahulu. Pada masa lalu terlihat yang di kembangkan
pada “acara balimau” diantaranya kegiatan “jelang
menjelang” antara anak-menantu menjelang orang tua
dan mertua, kemenakan mendatangi mamak serta karib
kerabat. Acara balimau dipakai sebagai sarana untuk
penyegaran jiwa pembersihan hati membasuh raga
mengangkat daki. Satu jalinan antara kegiatan adat
dengan kemasan ajaran agama Islam, sehingga
menjadikan peristiwa balimau ini indah sekali.
Penekanan ajaran agama Islam dalam kehidupan
bermasyarakat yang awalnya dari memelihara
hubungan silaturrahmi dan saling memaafkan
kesilapan/kesalahan sesama sangat berperan
menumbuhkan perangai mulia (akhlaqul karimah)
diantaranya pemurah kepada semua orang dikalangan
keluarga sekampung ‘karib bait’, akan pasti melahirkan
jalinan hubungan harmonis dalam struktur kekeluargaan
masyarakat Minangkabau. Yang jauh pulang menjelang,
yang dekat datang bertandang. Sedikit banyak dibawa
pula antaran berupa buah tangan cenderahati pertanda
telah datang hari baik bulan baik.

6 H. Mas’oed Abidin
Wajah yang cerah, hati bersih dengan muka
berseri-seri mengawali masuknya Ramaadhan setiap
tahunnya pembuka ibadah shalat tarawih, tadarus Al
Quran di masjid-masjid dan surau-surau, dengan segala
aturan jelas terpelihara. Yang tua-tua dihormati, yang
muda disayangi, begitu gambaran susunan kehidupan
bermasyarakat dengan ikatan aturan-aturan adat yang
terpelihara turun temurun, dalam satu garisan ajaran
Islam. Melalui tatanan ini dirasakan nikmat datangnya
Ramadhan setiap tahun, merupakan idaman dan
penantian.

Pada tahun-tahun terakhir ini dambaan dan


idaman serupa jarang ditemui. Kecendrungan
membaurkan antara hak dan bathil, antara suruhan
dan tegah, antara ibadah dan makshiyat, menjadi
nyata dalam kebiasaan keseharian dan amat
mencemaskan.
Acara-acara balimau, tidak lagi menggambarkan
rasa persaudaraan (ukhuwwah). Perilaku bersih (ikhlas)
telah banyak di bumbui oleh hura-hura dan foya-foya.
Perubahan dan pergeseran nilai-nilai budaya terasa
sekali menerpa. Corak warna penyambutan suatu
ibadah yang sakral ini mulai sirna. Yang banyak tersua
adalah pembauran muda remaja melepaskan rindu
dendam, mungkin karena sebulan mendatang ada
kemungkinan jarang boleh bersua. Masjid dan langgar
tetap juga ramai tetapi diluar dalam langgam dan
ragam nan mudo-mudo. Seakan-akan orang
Minangkabau tidak lagi hidup didalam keindahan kultur
budayanya.Mereka mulai larut dalam kebudayaan tak

H. Mas’oed Abidin 7
berbudaya. Budaya sinkretik (lapis atas campur aduk)
dan gaya hidup hedonistik (mambuek apo nan katuju).
Budaya menurut alur yang pantas dan patut dianggap
sudah ketinggalan zaman, minta dirombak dan ditukar.
Lubuk, teluk, sungai, danau, pantai, ngarai, lembah,
bukit, semak belukar jadi ramai dikunjungi pencinta
acara balimau. Jalan raya dipadati kenderaan yang
berpacu tak beraturan. Meningkatnya angka kecelakaan
dan pelanggaran lalulintas, sudah dianggap indikasi
meriahnya acara-acara balimau kini.
Petugas keamanan menambah jumlah dan waktu
tugas. Rumah-rumah sakit ikut memperbanyak tenaga
para medis, dan obat-obatan. Ambulance disiap
siagakan penuh melebihi jumlah sebelumnya.
Wartawan sibuk memantau berita kecelakaan, membuat
catatan perbandingan dengan tahun sebelumnya.
Besok hari dikala Ramadhan mulai masuk surat-surat
kabar akan memberitakan korban yang jatuh dalam
acara balimau menyambut bulan puasa.
Itulah yang sering kita temui pada beberapa
tahun terakhir ini. Keadaan yang sebenarnya jauh
panggang dari api. Acara balimau tidak lagi indah dan
bersih, tapi mulai suram dan sedih.
Raso jo pareso mulai kurang berperan. Raso
dibao turun, pareso kaalam nyato hanya ada pada
sebutan. Pergaulan sangat permisif, sawah tak lagi
berpematang, ladang tidak lagi berbintalak. Anak
dipangua kamanakan dilantiangkan, adalah bentuk
kehidupan permisivistik yang tidak bertemu dalam
tataran kebudayaan Minangkabau sejak dahulu. Ninik
mamak nan gadang basa batuah, berperan

8 H. Mas’oed Abidin
mengamankan anak kemenakan, bertukar sebut
dengan memakan kemenakan.
Semua kondisi itu berubah karena alam fikiran
adat kita menjadi dangkal sebatas pidato dalam
rangkaian pepatah dan petuitih. Begitulah jadinya kalau
ajaran agama hanya pada sebutan dan adat menjadi
mainan. Bila hal ini diingatkan,tidak jarang tuduhan dan
cacian akan dialamatkan dengan gelaran sumbang
“kolot tak mengenal kemajuan zaman”.
Na’udzubillah.
.
Ramadhan dan tahun baru.
Tahun ini bulan puasa berdekatan dengan tahun
baru miladiyah (1998). Penyambutan tahun baru yang
sudah menjadi trendy-nya kaum muda, sungguh
berbeda dengan menanti Ramadhan, syahrul mubarak.
Penyambutan Ramadhan didorong oleh kesadaran diri
dari dalam (inner side) untuk siap memelihara
kebersihan yang berbekas pada ketundukan dan
kepatuhan, serta berbuah kepada iman, shabar, syukur
dan bertaqwa (berhati-hati) senantiasa.
Sungguh beda dengan old and new ditahun-baru.
Penyambutan tahun baru terlihat meriah dengan
banyaknya remaja turun kejalanan dengan kegembiraan
hura-hura disungkup kabut pemabukan diri.
Tepat sekali kebijakan Pemda DKI Jaya, yang
mengeluarkan pengumuman jauh hari, supaya
perayaan tahun baru yang sulit memisahkan dari
perlakuan mabuk-mabukan, istimewa dalam acara old

H. Mas’oed Abidin 9
and new itu tidak diadakan lagi,(minimal sebagai
menghormati bulan suci Ramadhan, yang kebetulan
datangnya bersamaan). Suatu himbauan simpatik yang
perlu didengarkan oleh segala pihak.
Tahun Baru (1998) yang kali ini beriringan dengan
Ramadhan (1418 H), baiknya kita peringati dengan
banyak dzikir di Masjid, melakukan hisab dan
introspeksi. Kelak pasti akan berbuah pada percepatan
tindakan dalam memacu kemajuan masa datang.
Pembangunan fisik sungguh amat ditentukan
keberhasilannya dengan lebih dahulu diawali oleh
pembangunan jiwa (mental spiritual).
Seorang penyair Muslim (Syauqy Bey) telah
mengingatkan dalam sebuah hasil sastranya yang
berhikmah,
“innama umamul akhlaqu maa baqiyat, wa
inhumu dzahabat akhlaquhum dzahabu”,
yang bila diartikan bermaksud “tegaknya rumah di atas
sendi, sendi runtuh rumah binasa., tegaknya bangsa
karena budi, budi hilang, han curlah Bangsa”.
Inilah rahasia dalam Ajaran Rasulullah SAW, bahwa
bangsa yang kuat adalah bangsa yang kokoh taqwanya,
dan baik akhlaqnya. Nabi mengingatkan bahwa
kehadiran beliau; “innama bu’its-tu li utammi
makarimul akhlaq”, yakni “aku di utus untuk
menyempurnakan akhlaq (buidi pekerti) manusia”.
Di ranah bundo Minangkabau, senantiasa kita
diingatkan dengan sebuah untaian kata-kata indah ;
“nan kuriak kundi, nansirah sago, nanbaik budi nan
indah baso”,

10 H. Mas’oed Abidin
atau kata-kata penyair Minangkabau yang amat dalam
artinya ;
“Pulau Pandan jauh di tangah, dibaliak pulau si angso
duo, hancua badan di kanduang tanah, budi baik dikana
juo.”
Sumatera Barat di Minangkabau sebagai “negeri
beradat”, dengan adatnya bersendi syarak, dan syarak
bersendi Kitabullah , selamanya tetap bisa berperan
dalam pembangunan bangsa dan negara, bila selalu
terjaga adat dan agama berjalinan berkulindan dalam
tindak perbuatan sehari-hari,dalam seluruh starata
masyarakat dan pimpinannya.
Insya Allah, Wallahu a’lamu bish-shawaab.
Marhaban Ramadhan

Tinggal berapa hari lagi, kita sudah berada di


bulan suci Ramadhan. Umat Islam, menunggu
Ramadhan sebagai satu bulan mulia yang didalamnya
ada satu ibadah khusus, ibadah puasa, karena itu
Ramadhan adalah bulan pengampunan. Keyakinan yang
mengakar ini terlihat pada prilaku orang-orang dalam
menyambutnya dan menghormatinya, juga adat
kebiasaan anak negeri yang masih kokoh dengan adat
budayanya.
Ramadhan adalah penghulu sekalian bulan. Orang
Minang di Sumatera Barat menyebutnya dengan “bulan
basaha” (saha = sahur, satu bentuk Sunnah Rasul yang
diujudkan dalam makan parak siang sebelum terbitnya

H. Mas’oed Abidin 11
fajar, menurut bimbingan ibadah shaum (puasa)
mendahului imsak).
Tatkala Ramadhan datang, Rasulullah SAW
menyambut dengan ucapan : ”marhaban bil-
muthahhir”, artinya, “selamat datang wahai
pembersih”. Tersirat makna kegembiraan jiwa menuju
kebersihan melalui pelaksanaan ibadah khusus dibulan
itu, sesuai firman Allah :”Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu (pengikut
Taurat dan Injil) agar kamu bertaqwa (tetap terpelihara,
bersih dari dosa dan makshiayat)”. (QS.2, al
Baqarah,ayat 183).
Disamping sebagai bulan pelaksanaan ibadah
shaum (puasa), juga dihormati sebagai bulan turunnya
Kitabullah (Al Quran el Karim) yang berisi petunjuk,
bimbingan, pembeda antara benar dan salah,
penjelasan tentang paradigma hidup manusia.
Seorang Mukmin yang memasuki bulan Ramadhan
wajib melaksanakan ibadah shaum (puasa), tidak ada
alasan untuk meninggalkannya. Bagi yang tidak mampu
Allah memberikan keringanan( rukhsah), menggantinya
dengan berpuasa dihari (bulan) lainnya. Yang masih
tidak sanggup, bisa dengan membayar fidyah (memberi
makan orang miskin). Keringanan ini diberikan kepada
orang sakit (tua), musafir (melakukan perjalanan) dan
tidak sanggup untuk berpuasa. Begitu kemudahan dari
Allah untuk umat manusia. Tidak ada yang akan
menolak kalau ia termasuk seorang yang percaya
(mukmin).

12 H. Mas’oed Abidin
Semua ibadah pada hakekatnya adalah pembuktian
keimanan dan tanda kerelaan mensyukuri nikmat Allah
yang telah memberikan segala sesuatu keperluan
dalam hidup ini.
Kewajiban puasa Ramadhan (QS:2,Al Baqarah, ayat 183-
187), adalah kesiapan melaksanakan perintah Allah
secara jujur, kesediaan melaksanakan imsak (menahan)
nafsu dari makan, minum, bersebadan (sanggama)
suami istri di siang hari (sejak mulai imsak hingga
datangnya waktu berbuka). Lebih jauh melatih diri
secara teguh menghindari semua tegah dan
mengamalkan segala suruh.
Orang Minang menyadari puasa di bulan Ramadhan
tidak sekedar hanya menahan makan dan minum yang
umum itu. Bertindak kurang senonoh tidak terpuji
(seperti bersuara keras, berbohong, memperkatakan
orang (bergunjing), menyakiti perasaan orang lain, tidak
menghormati orang yang tengah beribadah), akan
mendapatkan peringatan keras dan sangat dibenci
ditengah pergaulan. Inilah yang senantiasa diingatkan
oleh orang tua-tua turun temurun sejak dahulu.
Puasa Ramadhan adalah arena pelatihan fisik dan
kejiwaan, yang berbekas kepada tindak laku disiplin diri
dalam mengangkat harkat martabat (izzatun-nafs).
Ibadah puasa adalah ibadah besar yang tegolong
kepada jihadun-nafs (pembentukan watak) sabar, setia,
taat, dan sifat utama lainnya.
Sesuai bimbingan Rasulullah SAW; “Man shaama
Ramadhana Imanan wah tisaaban, ghufira lahu maa
taqaddama min dzanbihi” (Al Hadist).

H. Mas’oed Abidin 13
Artinya,”Siapa saja yang melaksanakan puasa
(shaum) Ramadhana dengan iman dan ihtisab
(perhitungan-perhitungan menurut syarat-syarat puasa,
memelihara segala aturan-aturan puasa), maka di
ampuni dosa-dosanya terdahulu”.
Inilah suatu kesempatan yang di janjikan kepada orang
yang beribadah puasa
Ramadhan,semoga kita semua sempat merasakannya
tahun ini. Insya Allah***

Balimau adat dan agama

Khusus di Minangkabau (Sumatera Barat),


Ramadhan telah dipandang sebagai bulan yang
dinantikan dan sangat dirindukan. Kita terbiasa
menyambutnya dengan acara khas yang teradatkan,
merupakan penggambaran indah jalinan adat bersendi
syarak, syarak bersendi kitabullah. Kedatangannya
dinanti dengan acara balimau yang diperlakukan oleh
masyarakat Minang sebagai suatu kegiatan yang punya
hubungan erat dengan Ramadhan.
Pada awalnya acara balimau didominasi oleh
kegiatan kekeluargaan berbentuk “jelang manjelang”
antara anak menantu dengan orang tua-tua,
kemenakan dengan mamak, dan selingkungan orang
sekampung. Tujuannya memperdalam hubungan
silaturrahmi, memaafkan yang sudah tersalah, berbuat
baik kepada karib bait. Yang jauh dijelang, yang dekat

14 H. Mas’oed Abidin
didatangi. Memperlihatkan putih hati dalam keadaan
yang sebenarnya, sebagai pembuktian bahwa telah
datang hari baik bulan baik (diantaranya Ramadhan)..
Fa’fuu wash-fahuu. Tindakan ini selain bernuansa adat,
lebih dalam adalah suruhan agama. Syara’ (Agama
Islam) mangato adat memakai.
Gejala itu hari ini sudah mulai melemah. Lubuk,
teluk, sungai, pantai, danau, ngarai, lembah, bukit,
hutan dan semak belukar menjadi tempat ramai
dikunjungi pencinta acara balimau. Jalan raya dipadati
kenderaan dipacu tak beraturan. Angka kecelakaan dan
pelanggaran lalulintas meningkat sebagai indikasi
meriahnya acara-acara balimau kini. Petugas keamanan
melipat gandakan jumlahnya. Rumah sakitpun
menambah tenaga para medis, UGD, obat-obatan,
ambulance disiapkan secara istimewa. Wartawan sibuk
memantau berita-berita, membuat perbandingan
(kecelakaan) dengan tahun-tahun sebelumnya. Dihari-
hari pertama Ramadhan suratkabar berisikan berita
korban yang jatuh dalam acara balimau menyambut
bulan puasa. Jauh panggang dari api. Itulah yang sering
dialami tahun-tahun terakhir ini. Acara balimau tidak
lagi indah dan bersih, tapi mulai suram dan sedih.
Demikian jadinya kalau agama hanya pada sebutan
dan adat menjadi mainan.
Kalaulah kita kembali ke akar kata “balimau”,
ditemui sebuah pengertian yang luar biasa. Balimau
dalam pengertian istilah, digunakan oleh orang Minang
untuk menyatakan kegiatan mandi wajib, mandi
sesudah junub.. Seseorang akan dipertanyakan
“kebersihan”nya dengan pertanyaan: “Alah balimau ko
tadi?” Dengan kata lain, orang Minang

H. Mas’oed Abidin 15
mempertanyakan kebersihan orang sebelum memasuki
Ramadhan tanpa balimau sebagai sebuah kegiatan
mensucikan diri dari “hadats besar.” Melalui kebiasaan
ini orang Minang menterjemahkan semua perintah
agama dalam kebudayaan yang luar biasa indah. Begitu
indahnya, sehingga kita tidak mampu lagi menyatakan
itu sebagai pelaksanaan ajaran agama atau sebuah
kegiatan budaya.
Beberapa kegiatan dalam siklus kehidupan seorang
Minangkabau terlihat sangat Islami sekaligus sangat
khas Minangkabauwi. Sebutlah antara lain, turun mandi
yang dilanjutkan dengan aqiqah yang mengawali
keberagamaan dan keberadatan orang Minang.
Kemudian ada acara basunaik atau berkhitan. Khatam
Qur’an. Sampai kegiatan meminang, nikah-kawin yang
semuanya berjalin berkulindan dangan isi budaya dan
syariat Islam, termasuk pemberian nama anak turunan
yang sangat agamis (baca: merujuk kepada Kitabullah),
juga maanta pabukoan di bulan puasa, mengisi surau
dan langgar dengan kegiatan ibadah tarawih dan
tadarus. Sebuah jalinan kebudayaan yang tidak lagi
terlihat batas perintah adat dan aturan syariat. Semua
menyatu bagai jarum dan kelindan. Dilaksanakan yang
satu maka terlaksana yang lain, dan seperangkat
kegiatan yang sangat indah terjalin bersama dengan
syariat Islam.
Kemajuan zaman membawa pergeseran, jalan di
aliah urang lalu, tapian di asak urang mandi. Seakan-
akan orang Minangkabau tidak lagi hidup didalam
keindahan kultur budayanya. Mereka mulai larut dalam
kebudayaan tak berbudaya. Dengan budaya sinkretik

16 H. Mas’oed Abidin
(lapis atas campur aduk) dan gaya hidup hedonistik
(mambuek apo nan katuju).
Kultur menurut alur dan patut (baca: yang pantas )
mulai ditinggalkan, berpindah kepada yang opatut
dialur. Raso jo pareso mulai kurang berperan. Raso
dibao turun, pareso ka alam nyato hanya ada pada
sebutan. Pergaulan sangat permisif, sawah tak lagi
berpematang, ladang tidak lagi berbintalak. Anak
dipangua kamanakan dilantiangkan, penggambaran
kehidupan permisivistik yang tidak bertemu dalam
tataran kebudayaan Minang masa dahulu.
Ninik mamak nan gadang basa batuah dengan peran
mengamankan anak kemenakan, bertukar sebut
dengan ‘memakan’ kemenakan. Kondisi itu berubah
karena alam fikiran kita tentang adat menjadi dangkal
hanya berupa pidato petatah-petitih, atau karena ritual
agama hanya berbentuk ceremonial. Tidak jarang bila
hal ini diingatkan, cacian bergelar sumbang akan
dilekatkan, seperti “kolot tak mengenal kemajuan
zaman”. Na’udzubillah.

Ramadhan dan tahun baru.


Tahun ini bulan puasa bersamaan dengan tahun baru
miladiyah (1998). Penyambutan Ramadhan didorong
oleh kesadaran diri dari dalam (inner side) untuk siap
memelihara kebersihan yang berbekas pada
ketundukan dan kepatuhan, serta berbuah kepada
iman, shabar, syukur dan bertaqwa (berhati-hati)
senantiasa.

H. Mas’oed Abidin 17
Sungguh beda dengan acara penyambutan
tahunbaru terlihat meriah dengan banyaknya remaja
turun ke jalanan dengan kegembiraan hura-hura yang
seringkali diiringi mabuk-mabukan.
Tahun Baru (1998) yang beriringan dengan Ramadhan
(1418 H), baiknya kita peringati dengan banyak dzikir di
Masjid, melakukan hisab dan introspeksi. Kelak pasti
berbuah tindakan positif memacu kemajuan masa
datang. Pembangunan fisik amat ditentukan oleh
berhasilnya pembangunan jiwa (mental spiritual).
Seorang penyair Islam menyenandungkan
seungkaian kata, “innama umamul akhlaqu maa
baqiyat, wa inhumu dzahabat akhlaquhum
dzahabu”, artinya “tegaknya rumah di atas sendi,
sendi runtuh rumah binasa., tegaknya bangsa karena
budi, budi hilang, hancurlah Bangsa”.
Inilah rahasia Ajaran Islam, bahwa bangsa yang kuat
adalah bangsa yang kokoh taqwanya, dan baik
akhlaqnya.“Innama bu’isttu li utammi makarimul
akhlaq”, yakni “aku di utus untuk menyempurnakan
akhlaq yang mulia”.
Diranah bundo Minangkabau, kita diingatkan
dengan “nan kuriak kundi, nan sirah sago, nanbaik budi
nan indah baso”, atau ungkapan sastrawan
Minangkabau ,“Pulau Pandan jauh di tangah, dibaliak
pulau si angso duo, hancua badan di kanduang tanah,
budi baik dikana juo”
Sumatera Barat yang dikenal “negeri beradat,
dengan adatnya bersendi syarak, dan syarak bersendi
Kitabullah , bisa berperan dalam pembangunan bangsa

18 H. Mas’oed Abidin
dan negara, selama adat dan agama terjaga jalinan
berkulindan tertuang di dalam tindak perbuatan sehari-
hari.
Insya Allah.***

Balimau Gadang
Perbauran Adat dengan Agama Islam
di Minangkabau

Oleh: H.Mas’oed Abidin

T
idak berapa lama lagi, kita akan memasuki Bulan
Ramadhan. Bagi umat Islam, Ramadhan
merupakan satu bulan mulia yang senantiasa
ditunggu secara khusus dan penuh kegembiraan. Bulan
ibadah dan bulan pengampunan. Keyakinan ini telah
mengakar hingga tampak pada prilaku orang-orang
dalam menyambutnya dan menghormatinya. Berbekas
pula pada adat kebiasaan anak negeri, khususnya
dibeberapa daerah yang masih kokoh dengan adat
budayanya.

Ramadhan adalah penghulu sekalian bulan, dinamai


bulan puasa sesuai ibadah yang dilaksanakan
sepanjang bulan itu. Orang Minang menyebutnya juga

H. Mas’oed Abidin 19
dengan “bulan basaha” (saha = sahur, satu bentuk
Sunnah Rasul yang diujudkan dalam makan parak siang
sebelum terbitnya fajar, menurut bimbingan ibadah
shaum (puasa) mendahului imsak).

Tatkala Ramadhan datang menjelang, Rasulullah


SAW menyambut dengan ucapan :” marhaban bil-
muthahhir”, artinya, “selamat datang wahai
pembersih”. Sahabat yang mendengar
bertanya,“Wa mal muthahhiru ya Rasulullah?,
(siapakah yang di maksud pembersih itu, wahai
Rasulullah?)”. Rasulullah SAW menjawab “al-
muthahhiru syahru Ramadhana, yuthahhiruna
min dzunubii wal ma’ashiy (pembersih itu adalah
Ramadhan, dia membersihkan kita dari dosa dan
ma’shiyat)”.
Marhaban artinya, ’ruangan luas tempat perbaikan
untuk mendapatkan keselamatan dalam perjalanan’.
Kata-kata ini kerap dipakai untuk menyambut dan
menghormat tamu yang mulia. Bermakna ungkapan
selamat datang.
Ucapan ini menyiratkan makna kegembiraan
menyambut kedatangan tamu mulia –bulan Ramadhan
— disertai kesiapan dan kelapangan waktu maupun
tempat, hingga orang dapat leluasa melakukan amalan
(tindak-perbuatan) yang berkaitan dengan mengasuh
dan mengasah jiwa untuk mewujudkan keberhasilan
dan kebersihan bersamanya. Bersih (diri dan jiwa)
adalah bukti ketaqwaan seseorang. Puasa (shaum)
merupakan ibadah khusus dalam bulan Ramadhan,

20 H. Mas’oed Abidin
niscaya sangat berperan membersihkan diri pelakunya
(shaimin), manakala bisa menerapkan sikap dan
amalan-amalan terpuji tadi.
Sesuai firman Allah :”Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu (pengikut
Taurat dan Injil) agar kamu bertaqwa (tetap terpelihara,
bersih dari dosa dan makshiayat)”. (QS.2, al
Baqarah,ayat 183).
Ramadhan ditetapkan sebagai bulan pelaksanaan puasa
sejak umat terdahulu, dan turunnya Kitabullah
(AlQuran)kepada Muhammad SAW untuk
petunjuk,bimbingan,pembeda antara benar dan salah,
penjelasan tentang paradigma hidup manusia.
Dalam kehidupan orang Minang yang beradat dengan
indikasi beragama Islam, maka bulan Ramadhan
mendapat tempat yang khusus sejak doeloe.
Setiap Mukmin bila datang bulan Ramadhan wajib
mengerjakan ibadah shaum (puasa). Bila telah mukallaf
(baligh berakal) mesti mengerjakan puasa. Allah hanya
memberikan keringanan( rukhsah), mengganti puasa
Ramadhan dengan puasa dihari (bulan) lainnya atau
dengan membayar fidyah (memberi makan orang
miskin) untuk orang sakit (tua), musafir (melakukan
perjalanan) yang tidak sanggup berpuasa. Keringanan
ini adalah bukti kasih sayang Allah.
Agama Islam adalah ajaran yang tidak memberatkan.
Tidak ada alasan seseorang Mukmin menolak
melaksanakannya.Pada hakekatnya semua ibadah
(termasuk puasa) adalah pembuktian apakah seorang

H. Mas’oed Abidin 21
itu benar beriman dan mampu bersyukur (berterima
kasih) kepada Allah yang telah menjadikan manusia dan
menyediakan segala sesuatu keperluan dalam hidup ini.
Dapat dipahami, bahwa ibadah pada umumnya
(diantaranya puasa) adalah kesiapan melaksanakan
perintah Allah dengan jujur, yang secara pasti terlihat
pada kesediaan melaksanakan imsak (menahan) nafsu
dari makan, minum, bersebadan (sanggama) suami istri
di siang hari (sejak mulai imsak hingga datangnya
waktu berbuka), atau basaha itu.
Orang Minang memandang puasa dibulan Ramadhan
tidak sekedar hanya menahan makan dan minum yang
umum itu. Lebih khusus lagi, melatih diri dengan teguh
menjauhi semua tegah dan mengerjakan semua suruh.
Bertindak tidak senonoh dan kurang terpuji (seperti
bersuara keras, berbohong, memperkatakan orang
(bergunjing), menyakiti perasaan orang lain), akan
mendapatkan peringatan keras karena dianggap bisa
menyebabkan puasa seseorang bata (batal). Inilah yang
senantiasa diingatkan oleh orang tua-tua turun temurun
sejak dahulu.
Karenanya puasa adalah arena pelatihan fisik dan
kejiwaan, yang berbekas kepada tindak laku disiplin diri
dalam mengangkat harkat martabat (izzatun-nafs).
Ibadah puasa adalah ibadah besar yang tegolong
kepada jihadun-nafs (pembentukan watak) sabar, setia,
taat, dan sifat utama lainnya.
Sesuai bimbingan Rasulullah SAW; “Man shaama
Ramadhana Imanan wah tisaaban, ghufira lahu
maa taqaddama min dzanbihi” (Al Hadist).

22 H. Mas’oed Abidin
Artinya,”Siapa saja yang melaksanakan puasa (shaum)
Ramadhana dengan iman dan ihtisab (perhitungan-
perhitungan menurut syarat-syarat puasa, memelihara
segala aturan-aturan puasa), maka di ampuni dosa-
dosanya terdahulu”.
Inilah suatu kesempatan yang di janjikan kepada orang
yang beribadah puasa Ramadhan,semoga kita semua
sempat merasakannya tahun ini. Insya Allah.

Balimau
Khusus bagi kita di Minangkabau (Sumatera Barat),
Ramadhan telah dipandang sebagai bulan yang
dinantikan dan sangat di rindui. Kita sudah terbiasa
menyambutnya dengan suatu acara khas yang hampir
teradatkan,dan hampir merupakan penggambaran dari
rangkaian adat bersendi syarak, syarak bersedi
kitabullah. Satu contoh kedatangannya kita nanti
dengan acara balimau.
Walaupun tidak ada nash yang mendukung sebagai satu
kaitan ibadah wajib atau sunat dalam menyambut
Ramadhan, akan tetapi kebanyakan masyarakat kita
telah mengadopsinya sebagai suatu kegiatan yang
punya kaitan erat dengan ibadah Ramadhan (shaum).
Kondisi ini sesungguhnya bisa dinilai positif. Karena
pada masa dulu itu kita melihat yang di kembangkan
dalam acara balimau adalah yang dikenal dengan
“jelang men-jelang”, yakni anak dan menantu
mendatangi orang tua dan mertua, kemenakan
mendatangi mamak dan karib kerabat. Indah sekali.

H. Mas’oed Abidin 23
Kegiatan seperti itu menjalin satu hubungan harmonis
dengan makin eratnya tali silaturrahmi diantara
keluaarga dekat dan jauh, serta terhubungkannya
persaudaraan sesama. Yang jauh pulang menjelang,
yang dekat datang bertandang.
Sedikit banyak dibawa pula antaran sebagai tanda telah
datang hari baik dan bulan baik. Semua wajah jadi
gembira, hati bersih dan muka berseri-seri. Insya Allah
malam harinya masjid, surau dan langgar penuh oleh
semua lapisan keluarga untuk menunaikan ibadah
shalat tarawih, tadarus Al Quran dan sebagainya.
Keteraturan jelas sekali, yang tua-tua menduduki
tempat di depan, anak-anak tertib di belakang,
tergambar nyata satu susunan kehidupan masyarakat
dengan ikatan aturan-aturan ketat yang terpelihara
turun temurun.Yang tua di hormati, yang kecil
disayangi. Melalui tatanan itu terasa sekali nikmat
datangnya Ramadhan setiap tahun menjadi idaman dan
penantian.
Akan tetapi, pada masa akhir-akhir ini dambaan dan
idaman serupa jarang ditemui. Kecendrungan
membaurkan antara yang hak dan yang bathil, antara
suruhan dan tegah, antara ibadah dan makshiyat,
sudah menjadi suatu kebiasaan dalam kenyataan yang
sangat mencemaskan.
Acara-acara balimau, tidak lagi menggambarkan rasa
persaudaraan (ukhuwwah).Kebersihan (ikhlas) telah
banyak di bumbui oleh hura-hura dan foya-foya.
Perubahan dan pergeseran nilai-nilai budaya terasa
sekali menerpa. Corak warna penyambutan suatu
ibadah yang sakral dan ritual telah mulai hilang sirna.

24 H. Mas’oed Abidin
Yang banyak tersua adalah pembauran muda remaja
melepaskan rindu dendam, karena sebulan mendatang
diri terkekang jarang boleh bersua.
Seakan-akan orang Minangkabau tidak lagi hidup
didalam keindahan kultur budayanya.Mereka mulai larut
dalam kebudayaan tak berbudaya. Bila hal ini
diingatkan,tidak jarang tuduhan dan cacian akan
dialamatkan dengan satu gelaran sumbang kolot tak
mengenal kemajuan zaman. Na’udzubillah.
Lubuk, teluk, sungai, pantai, ngarai, bukit, lembah,
semak ramai dikunjungi pencinta acara balimau. Jalan-
jalan raya dipadati kenderaan dipacu tak beraturan.
Kerapkali terjadi peningkatan angka kecelakaan dan
pelanggaran lalulintas. Petugas keamanan melipat-
gandakan jumlah dan waktu tugas. Rumah-rumah sakit
ikut menambah tenaga para medis, dan obat-obatan.
Sekedar berjaga-jaga, ambulance disiap siagakan
melebihi jumlah sebelumnya.
Wartawan sibuk memantau jumlah kecelakaan,
membuat catatan perbandingan dengan tahun
sebelumnya. Besok hari dikala Ramadhan mulai masuk
tentulah surat-surat kabar akan memberitakan jumlah
korban yang jatuh dalam acara balimau menyambut
bulan puasa.
Itulah yang sering kita temui pada beberapa tahun
belakangan ini. Suatu keadaan yang jauh panggang dari
api. Acara balimau tiedak lagi indah tapi suram.
Tahun ini bulan puasa berdekatan dengan tahun baru
miladiyah (1998).

H. Mas’oed Abidin 25
Penyambutan Ramadhan adalah kesiapan penuh
kesadaran dari dalam (inner side) untuk siap
memelihara kebersihannya selalu, yang berbekas pada
ketundukan dan kepatuhan. Membuahkan iman, shabar,
syukur dan bertaqwa (berhati-hati) senantiasa.
Pada tahun lalu yang terlihat dalam penyambutan
Tahun Baru (baca: acara-acara Old and New) adalah
turun kejalanan dengan kegembiraan hura-hura
disungkup kabut pemabukan diri.
Tepat sekali kebijakan Pemda DKI Jaya, yang
mengeluarkan pengumuman jauh hari, supaya
perayaan tahun baru yang sulit memisahkan dari
perlakuan mabuk-mabukan, istimewa dalam
acara old and new itu tidak diadakan
lagi,(minimal sebagai menghormati bulan suci
Ramadhan, yang kebetulan datangnya
bersamaan). Suatu himbauan simpatik yang perlu
didengarkan oleh segala pihak.
Bagaimana dengan daerah kita Sumatera Barat, yang
semboyannya adalah “negeri beradat, dengan adatnya
bersendi syarak, dan syarak bersendi Kitabullah ??
Siapakah yang akan menjawabnya ???

Bulan Basaha

Bismillahir Rahmanir Rahim; dengan


mempersembahkan syukur kepada Allah SWT atas
”rahmat-Nya” kepada kita semua, di hari ini kita telah

26 H. Mas’oed Abidin
berada pada satu bulan mulia yang kita nantikan
semua, yaitu bulan Ramadhan, yang berasal dari kata
“ramadha ”, berarti “membakar”, sesuai pernyataan
Nabi Muhammad SAW ; “innama summiya ramadhana li
annahu yarmidhuz-zunuba”,artinya;“sesungguhnya
telah diberi nama “ramadhan” karena pada bulan itu
dibakar dosa-dosa”. Makna yang lebih dalam adalah
bahwa setiap diri (manusia) diberi kesempatan paling
berharga dalam satu bulan Ramadhan itu dapat
membakar dosa-dosa yang telah terlakukan sebelum
ini. Siapakah kiranya diantara manusia yang terlepas
dari dosa ?? Adakalanya dosa itu yang datang kepada
kita tanpa kesengajaan seperti; mengumpat,
membeberkan aib orang lain atau seumpamanya. Ada
juga yang diperbuat dengan sadar seumpama; sumpah
palsu, menipu, korupsi, kolusi, hingga mengganggu
ketenteraman orang banyak,baik yang bertalian dengan
tindakan merusak ekonomi, yang berdampak kepada
terganggunya keamanan atau rusaknya lingkungan,
pendek kata semua perbuatan yang menyangkut
hubungan bermasyarakat dan lazimnya disebut
“hablum minan-naas”. Ada dosa yang diberikan karena
sengaja menunda-nuda melaksanakan perintah Allah
yang dibebankan kepada setiap diri, seumpama lalai
ibadah, lalai shalat, lalai zakat, yang disebut “hablum
minallah” itu. Banyak pula dosa yang mengundang dosa
yang lebih besar bobotnya. Pada mulanya berawal dari
rasa tersinggung atau marah diatas peringatan yang
disampaikan seorang teman agar meninggalkan tabiat
(kebiasaan) buruk berbuah dosa, yang pada akhirnya
disambut dengan perasaan benci bahkan
memusuhinya. Jangan dianggap dosa hanya yang besar

H. Mas’oed Abidin 27
tampak kepermukaan saja, malah yang tersembunyi
didalam diri, yang kita sendiri hanya yang tahu.
Semua kondisi seperti itu, pada bulan Ramadhan
yang mulia ini dibukakan peluang oleh Allah Yang Maha
Rahman dan Rahim untuk mendapatkan “keampunan”
bagi setiap hambaNya yang beriman dan bersungguh-
sungguh mengharapkan keampunanNya itu. Disinilah
makna besar dari bulan Ramadhan, yang sangat
dinantikan kedatangannya oleh seluruh mukmin setiap
tahun.
“Selamat datang wahai bulan pembersih”, begitu
Nabi Muahmmad SAW menyambutnya dan
menyatakan;“man shama Ramadhana imaanan
wahtisaaban ghufira lahuu
mataqaddama”maksudnya “siapa yang
mempuasakan Ramadhan dengan iman dan
perhitungan (menjaga segala aturan-aturan
puasa) niscaya Allah akan ampuni dosa-dosanya
terdahulu”. Kuncinya adalah “melaksanakan puasa”
yang diwajibkan pada bulan Ramadhan. Jadi tidak asal
berada di bulan suci Ramadhan, kemudian tidak ikut
melaksanakan ibadah puasa yang diwajibkan pada
bulan mulia ini. Sungguh berat peringatan dari
Rasulullah SAW; “barangsiapa yang sengaja
menanggalkan (baca: membatalkan atau membukakan)
puasanya sehari saja di bulan Ramadhan tanpa ada
halangan (baca: rukhsah yang membenarkan untuk
tidak berpuasa), maka tidak akan ada waktu baginya
(baca: pengganti puasa sehari yang sengaja
dibatalkannya), walaupun dianya berpuasa setahun
penuh”. (Al Hadist). Masyarakat umumnya di
Minangkabau (Sumatera Barat) menilai suatu aib besar

28 H. Mas’oed Abidin
bila ditemui ada seorang Minangkabau yang tidak ikut
puasa di bulan yang disebut oleh orang awak sebagai
“bulan basaha”artinya bulan menahan haus dan
lapar, menahan nafsu amarah, menahan perasaan yang
diawali dengan ba-saha (=ber-sahur, makan sahur
sebelum fajar) sebagai persyaratan ibadah puasa
(shaum). Kekokohan masyarakat seperti ini wajib
selalu dipelihara untuk dijadikan modal utama
memasuki zaman globalisasi dikawasan Asean ini yang
pasti akan berbenteng kepada tamaddun (adat budaya
dan agama) itu. Semoga.

NIAT

"Innama al-a'maalu bin-niyaat", artinya sungguh


amal itu di awali dengan niat, begitu bimbingan sesuai
sabda Nabi Muhammad Sallallahu 'Alaihi Wasallam.
Dapat disimpulkan bahwa amal (ibadah) adalah suatu
perbuatan sesuai dengan suruhan (syari'at) dan
dilakukan dengan kesengajaan. Bukan ibadah namanya
sesuatu perbuatan bila dikerjakan tanpa kesadaran.
Amal ibadah (besar atau kecil) menurut pengertian ini
adalah mengerjakan sesuatu perbuatan karena suruhan
atau meninggalkan sesuatu larangan secara sadar
karena semata-mata mematuhi perintah (suruhan atau
larangan ) dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Syariat Islam
secara jelas membebankan suatu ibadah terhadap
orang yang sehat akalnya (akil baligh) cukup umur tidak

H. Mas’oed Abidin 29
tergolong kepada anak-anak dan sehat rohani, artinya
tidak hilang ingatan, dan tidak pula sakit jiwa atau gila.
Puasa (shiyam) di bulan Ramadhan, adalah satu ibadah
wajib yang diperintahkan oleh Allah kepada setiap
Mukmin, semestinya dikerjakan dengan sadar.
Kesadaran ini dibuktikan dengan niat bahwa seseorang
mengerjakan amal ibadah (puasa) ini hanya karena
melaksanakan satu kewajiban yang diperintahkan oleh
Allah SWT.
Jadi, puasa Ramadhan yang dilakukan bukan karena
segan terhadap tetangga, atau karena terpaksa dan
ingin dihormati oleh orang lain. Namun disadari
sungguh-sungguh bahwa puasa yang dikerjakan hanya
karena tunduk dan patuh kepada Allah Subhanahu Wa
Ta'ala. Sadar bahwa Allah yang telah menjadikan diri
kita dan Allah juga yang telah memberikan kepada kita
segala sesuatu yang ada dikeliling kita sebagai nikmat
anugerah NYA.
Dalam sebuah hadist qudsi, Allah berfirman :
"Seluruh amalan manusia (anak cucu Adam)
diperuntukkan bagi manusia itu kecuali puasa (shiyam).
Puasa (shiyam) itu diperuntukkan bagi KU, dan Aku
semata yang akan membalasinya".
Hadist qudsi ini mengandung makna hanya Allah yang
mengatahui nilai puasa seseorang itu. Allah sendiri
yang mengetahui apakah puasa seseorang itu dilakukan
untuk kepentingan orang lain atau karena
kepatuhannya kepada Allah. Apakah puasa seseorang
itu benar-benar berarti puasa, atau hanya sekedar
menahan haus dan lapar saja. Karena Nabi Muhammad
SAW telah bersabda; "Berapa banyak orang yang telah

30 H. Mas’oed Abidin
berpuasa, tetapi dia tidak mendapatkan hasil apapun
dari puasanya itu, kecuali hanya lapar dan haus
semata." (Al; Hadist).
Dari ungkapan Rasulullah SAW ini kita dapat
memahami bahwa puasa itu sesungguhnya tidaklah
sebatas menahan makan dan minum (atau menunda
waktu makan dan minum dari jadwal yang sudah
dibiasakan). Tetapi artinya lebih dalam dari itu, yakni
menahan diri dari segala yang dilarang dan dari segala
yang tidak baik. Inilah yang disebut menahan atau
mengendalikan hawa nafsu. Menahan hawa nafsu dari
kebiasaan-kebiasaan buruk dan tercela, seperti
bergunjing, berkata kasar, berbohong, melihat hal-hal
yang tidak baik, atau meninggalkan kelakuan yang
kurang senonoh, dan sebagainya itu ternyata sangat
berat dari pada menahan makan dan minum atau
bergaul suami istri di siang hari. Namun semuanya
akan terasa ringan bila dikerjakan karena patuh kepada
Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Disinilah peran utama dari
"niat" karena Allah itu.
Niat itu letaknya di hati. Dan bisa di lafazkan
(diucapkan) oleh lidah. Dalam kenyataannya, jauh
sebelum lidah mengucapkan, hati telah lebih dahulu
menyatakan, karena hati itu sesuatu yang tak pernah
berbohong, begiytulah ucapan hati nurani.
Niat harus mendahului setiap perbuatan, intinya
bahwa perbuatan itu dilaksanakan karena ingin
mendapatkan redha Allah dalam upaya senantiasa
mematuhi atau menerima perintahNYA dengan segala
senang hati.

H. Mas’oed Abidin 31
"Man lam yardhaa bi qadhaa-i wa lam yashbir 'alaa
balaa-i fal yathlub rabban siwaai", artinya "kalau tak
redha dengan ketentuanKU dan tidak mau shabar
dengan cobaanKU, silahkan cari Tuhan yang lain selain
Aku", begitu Allah memperingatkan. Jadi, amal ibadah
yang kita kerjakan justeru karena kita telah redha
dengan segala ketentuanNYA ( yakni segala hukum-
hukum dan perintah dari Allah), atau karena kita telah
sabar dengan segala ujian yang diberikanNYA.
Hendaknya dalam puasa yang kita lakukan selama
bulan Ramadhan ini dan juga semua amal ibadah (wajib
atau sunat) selalu di niatkan karena Allah saja, sesuai
ikrar kita sehari-hari "Iyyaka na'buduu wa iyyaka
nasta'iin", artinya "Engkau semata yang kai sembah,
Engkau semata tempat kami meminta".
Semoga sedemikianlah hendaknya, Amin.

IMSAK

Imsak artinya menahan atau menjauhkan


diri dari sesuatu. Puasa (shiyaam) menurut
pengertian bahasa adalah menahan (imsak) dari
makan dan minum serta bergaul (sanggama)
suami istri disiang hari. Pengertian lebih dalam
menurut syar’i (aturan Islam) adalah menahan
diri dari melakukan perbuatan yang membatalkan
puasa pada siang hari, mulai terbitnya fajar

32 H. Mas’oed Abidin
hingga datangnya masa berbuka (terbenamnya
matahari), disertai dengan niat karena Allah.
Shaum (Puasa) merupakan rukun Islam
yang keempat, yang wajib dilaksanakan pada
bulan Ramadhan, sesuai dengan firman Allah
“Bulan Ramadhan adalah bulan di turunkan Al
Quran, menjadi petunjuk bagi manusia, berisi
penjelasan-penjelasan dari petunjuk itu, dan
merupakan furqan (atau pembeda antara suruh
dan tegah, antara halal dan haram, antara
mukmin dan kafir). Maka siapapun yang
memasuki bulan Ramadhan itu, wajib mereka
pelakukan puasa” (QS.2:185)
Nabi Muhammad Rasulullah SAW
menyebutkan dalam sabdanya ;” ‘ura al-Islamu
wa qawa’idu ad-diiny tsalatsatun, ‘alaihinna
ussisa al-islaamu, man taraka wahidatan
minhunna bihaa kaafirun halalu ad-dami;
syahadatu an laa ilaaha illa allahu, wa as-shalatu
al-maktuubatu, wa shaumu ramadhana”, artinya,
“ikatan Islam dan kaedah agama itu ada tiga,
diatasnya diasaskan Islam. Barangsiapa yang
meninggalkan salah satu dari padanya maka ia
adalah kafir dan halal darahnya, yaitu bersaksi
bahwasanya tiada tuhan yang berhak disembah
selain Allah, dan mendirikan shalat yang di
fardhukan, dan berpuasa di bulan Ramadhan”
(HR.Abu Ya’la, Ad Dailami dan disahkan oleh az
Zahabi).
Maka dipahami dengan hadist ini puasa
Ramadhan merupakan salah satu asas dari Islam,

H. Mas’oed Abidin 33
sama halnya dengan kewajiban asasi setiap
muslim untuk mengerjakan shalat yang wajib
(lima kali sehari semalam) dan pengakuan
(syahadat) bahwa tiada tuhan yang berhak
disembah selain Allah.
Tentang keutamaan puasa (shaum)
Ramadhan ini di sebutkan oleh Nabi Muhammad
SAW dalam hadist beliau ; “apabila tiba bulan
Ramadhan pintu-pintu sorga dibuka, pintu-pintu
neraka ditutup, dan setan-setan dibelenggu”
(HR.Bukhari dan Muslim).
Bermakna bahwa selama Ramadhan setiap diri
berkewajiban untuk menahan diri dari perbuatan
tercela yang menyebabkan dia bisa masuk neraka
atau menjauhi perbuatan penghuni neraka karena
pintu neraka itu sudah tertutup. Maka semestinya
yang dikerjakan adalah amalan ahli sorga yaitu
amalan yang baik-baik saja. Tidaklah pula pantas
seseorang melakukan perbuatan tercela
sebagaimana perangai setan, karena setan itu
sendiri dibulan Ramadhan sudah terbelenggu.
Selanjutnya Rasulullah SAW telah berkata;”
Puasa itu adalah perisai. Apabila seseorang itu
berpuasa maka janganlah dia berkata-kata
omongan tidak karuan, seandainya ada orang
yang mencela atau hendak memukulnya maka
katakanlah “Aku berpuasa, Aku berpuasa”. Demi
diri Muhammad yang berada di dalam kekuasaan
Allah, “bau mulut orang yang berpuasa lebih
harum dari kasturi”. Bagi orang yang berpuasa
itu ada dua kegembiraan, yaitu dikala dia

34 H. Mas’oed Abidin
berbuka (saat matahari telah terbenam, masa
imsak telah berakhir), ia bergembira dengan
makanan berbukanya, dan apabila dia berjumpa
dengan tuhannya (kelak di akhirat) ia bergembira
dengan ibadah puasanya” (HR.Bukhari Muslim
dari Abi Hurairah RA).
Puasa adalah suatu yang membanggakan di
hadapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Inti dari puasa adalah “imsak”atau
menahan diri ini. Suatu sikap jiwa yang mulia dan
amat tinggi nilainya disisi manusia dan dalam
pandangan Allah SWT. Seorang yang bijak dan
berani bukanlah yang mampu mengganyang
lawannya hingga babak belur, tetapi yang mampu
menahan diri dalam situasi kritis sekalipun. Sikap
menahan diri ini bisa menjadikan seseorang
sentiasa menjaga kepentingan umat banyak,
menyebabkan seseorang tidak melakukan
pencolengan dan penipuan, bahkan
menghindarkan seseorang dari kolusi dan
korupsi, dan bisa menahan diri dari menghalalkan
setiap cara. Maka dapat di yakini, walaupun
seseorang telah memasuki bulan Ramadhan,
tetapi tidak menumbuhkan sikap dan sifat terpuji
sesudahnya, sebuah pertanda dia tidak pernah
mengamalkan ajaran shaum (puasa) itu secara
benar. Puasanya sama dengan orang yang tidak
berpuasa, dia hanya melakukan imsak terhadap
hal-hal yang ringan-ringan (makan,minum) tapi
tidak mampu menahan yang berat, tidak mampu
meninggalkan sifat tercela. Puasa sedemikian
tidak punya makna apa-apa. Mudah-mudaham

H. Mas’oed Abidin 35
kita semua terhindar dari puasa yang mubadzir
atau puasa yang di tolak sehingga tidak
mendapatkan apa-apa dan puasa yang tidak
mampu menjadi perisai diri. Na’udzubillahi min
dzalik.

SAHUR

Sabda Rasulullah SAW Bersahurlah kamu, karena


dalm sahur itu ada keberkatan (Al Hadist riwayat enam
perawi hadist kecuali Abu Daud). Sahur adalah pertanda
awal pelaksanaan ibadah puasa di setiap hari. Bersahur
adalah suatu suruhan (sunnah) Rasulullah SAW, yang
juga merupakan rahmat dari Allah. Sebab itu, sahur
memiliki kaitan erat dengan ibadah puasa di bulan
Ramadhan. Satu lagi anjuran Rasulullah tentang sahur
ini ialah supaya men-takkhir-kan atau melambatkan
waktu makan sahur mendekati waktu subuh. Di
samping maksudnya supaya dapat dipersiapakan
kekuatan jasmani di siang hari di kala menahan (imsak),
juga supaya shalat shubuh sebagai salah satu sendi
asas Agama Islam itu tidak tercecerkan.

36 H. Mas’oed Abidin
Sahur merupakan pembeda antara puasa umat
Islam dengan kalangan non Islam (Yahudi, Nasrani dan
sebagainya Bagi masyarakat kita (Minangkabau) makan
sahur disebut makan parak siang atau makan sebelum
fajar pertanda siang datang. Selanjutnya bimbingan
Allah dalam firmanNya menyebutkan bahwa pada
malam hari bulan Ramadhan itu seseorang Muslim
dapat melakukan hubungan dengan keluarganya dan
juga dibenarkan untuk makan dan minum hingga
terbitnya fajar, sebagaimana isi Wahyu Al Quran
berbunyi ; wa kuluu wa asyrabuu hatta yatayyana
lakum al khiatul abyadhu min al khaitil aswadi minal
fajr, tsumma atimmu ash-shiyaama ila al-laili” artinya
“makanlah dan minumlah hingga kamu dapat
membedakan antara benang putih dan hitam di waktu
fajar, dan kemudian sempurnakan puasamu hingga
datang malam (QS.2:187). Agama Islam tidak
membenarkan seseorang untuk berpuasa sepanjang
hari dan malam, sebagaimana dilakukan oleh orang-
orang Yahudi dan Nasrani yang telah merobah hukum-
hukum Allah. Untuk itu puasa diawali dengan sahur dan
diakhiri dengan ifthar(berbuka) setiap harinya.
Demikianlah hudud (ketentuan hukum) dari Allah. Maka
pelaksanaan makan sahur sebelum fajar datang adalah
kesiapan diri dalam melaksanakan hukum-hukum Allah
secara benar dan tanpa reserve.
Lebih jauh adalah mengajarkan seseorang Muslim itu
teguh dalam memegang serta mengamalkan hukum-
hukum yang telah digariskan dan ditetapkan dalam
hidupnya. Ini bermakna bahwa sebenarnya seseorang
Muslim itu melalui ibadah-ibadah yang dikerjakan
terdidik menjadi seorang yang teguh untuk mengatakan

H. Mas’oed Abidin 37
dan mengamalkan hukum-hukum kemshlahatan yang
berlaku. Dia akan berani mengatakan yang hak itu
benar dan yang bathil itu adalah salah. Hukum adalah
kebenaran dari Allah, bukan kekuasaan hawa nafsu.
Sebagaimana halnya juga dengan puasa (shaum) akan
melahirkan sifat sabar (tabah dengan kejujuran) dan
istiqamah (konsisten, teguh berpendirian) serta qanaah
(sikap merasa cukup sesuai dengan hak yang dimiliki).
Ketiga sifat utama ini dilatih dengan intensif pada setiap
rukun puasa dengan penuh kedisiplinan diri. Disiplin
yang tidak dipaksakan dari luar tapi disiplin yang
ditumbuhkan dari dalam, yang mengakar pada sikap
dan berbuah dalam tindakan.
Dalam keseharian hidup di tengah kemajuan
zaman seringkali diri bersedia dijual dengan harga
materi bernilai rendah. Nilainya hanya sebatas
kenikmatan sesaat, bahkan bisa berakibat ditukarkan
dengan kesengsaraan berkepanjangan di hadapan
mahkamah Rabbun Jalil, suatu kesengsaraan yang
dipikil sendiri, tidak seorang pun bisa meringankannya.
Karena itu melalui berbagai kegiatan ibadah, terutama
ibadah pusa (shaum) inilah setiap mukmin dilatih
bahkan dididik menjadi seorang yang tahu hukum dan
bisa mengamalkannya, tanpa harus dipaksa oleh
kekuatan penegak hukum di sekelilingnya. Dari dalam
dirinya terlahir sikap hemat menggantikan loba sebagai
perangai nafsu. Selama bulan-bulan Ramadhan dengan
pengamalan ibadah yang ihtisab (penuh pengendalian)
itu, seseorang muslim berlati pandai mencukupkan apa
yang ada (qanaah) dan menghindari diri dari berfoya-
foya (mubadzir). Dalam pelaksanaan sahur Nabi
Muhammad SAW menasehatkan; “makanlah dengan

38 H. Mas’oed Abidin
makanan yang ringan-ringan,” artinya tidak terlalu
berat pada pencernaan, tidak lain adalah untuk
terjaganya kesehatan di siang hari kala puasa.
Sungguh benar Rasulullah SAW dengan tugasnya
sebagai ”rahmatan lil-alamin”.

Ifthar

Sabda Rasulullah Shallalahu ‘alaihi Wa Sallam,


“laa yazaalu an-naasu bi-khairin maa ‘ajjaluu al-
fithra”, artinya “manusia akan selalu berada dalam
kebaikan selama mereka menyegerakan ifthar (berbuka
puasa)” (HR.Bukhari, Muslim dan lain-lainnya).
Berbuka puasa (iftharus-shaim) dikala terbenamnya
matahari (masuknya waktu maghrib) suatu keharusan
(sunnah) dilakukan oleh setiap orang yang berpuasa,
sama seperti suruhan mengerjakan sahur sebelum fajar
masuk. Puasa seorang muslim dimulai dengan makan
sahur dan diakhiri dengan ifthar setiap harinya sebagai
dikuatkan oleh Firman Allah QS.2:187. Dengan demikian
tersimpullah bahwa “berbuka puasa (ifthar)” dan
“makan sahur” adalah pembeda antara puasanya
orang-orang Muslim dengan kalangan lainnya secara

H. Mas’oed Abidin 39
umum sejak masa dahulu hingga zaman modern
sekarang dengan tumbuhnya beragam bentuk ritual-
upawasa tanpa bimbingan wahyu Allah, seperti
dicontohkan dalam pemahaman kepercayaan-
kepercayaan hasil rekayasa pikiran manusia tanpa
bimbingan agama samawi.
Pentingnya urusan berbuka puasa ini ditemui
dalam banyak penjelasan atau sunnah Rasulullah
Shallalahu ‘alaihi wa sallam antara lain,“idza
quddimal-‘isyaa-u fa-abda-uu bihi qabla shalatil-
maghribi, wa laa ta’-jaluu ‘an-‘asyaa-
ikum”,artinya“ Apabila dihidangkan makanan malam
hendaklah kamu dahulukan makan sebelum shalat
maghrib, dan janganlah kamu menagguhkannya”
(HR.Bukhari Muslim) yang merupakan salah satu
sunnah qauliyah (ucapan Rasulullah SAW), dan dalam
fi’liyah (perbuatan Rasulullah SAW) di temui kesaksian
hadist “kaana Rasulullahi shallallahu ‘alaihi wa
sallam yafthuru ‘ala ruthabaatin qabla an
yushalli, fa-in lam takun fa ‘alaa tamaraatin, fa-in
lam takun hasaa hasawaatin min maa-in,” artinya
“Rasulullah SAW berbuka puasa dengan beberapa biji
ruthab sebelum shalat. Seandainya tidak ada, beliau
berbuka dengan beberapa biji tamar dan bila (tamar)
itu pun tidak ada, beliau berbuka dengan beberapa
teguk air.” (HR.Abu Daud dan Daruquthni). Bimbingan
Sunnah Rasulullah ini sangat menganjurkan
pelaksanaan berbuka puasa sesederhana mungkin,
supaya terhindar dari celaan perangai syaithan. Maka
berbuka puasa tidak mesti dengan persiapan materi
“perbukaan” yang jumlahnya berlimpah, jenisnya yang
beragam, harga yang mahal dan pada akhirnya

40 H. Mas’oed Abidin
terbuang percuma seperti banyak ditemui dalam
sebahagian acara-acara “berbuka bersama”.
Semestinya melalui ajaran berbuka puasa (iftharus-
shaaim) ditanamkan dengan benar sikap sederhana,
hemat, tidak mubazir, tidak loba dan tamak
terhadap materi, pandai meletakkan sesuatu
pada tempatnya sehingga mengerti mana yang
berguna dan tidak membuang-buang secara percuma.
Lebih jauh melalui ajaran berbuka puasa (ifthar)
dipupuk sikap pribadi terpuji dengan moral yang tinggi
yang ukurannya tidak lagi semata materi duniawi. Etika
akhlaq mulia itu terpantau dari kesiapan diri sesorang
yang akrab lingkungan dan peduli dengan nasib orang
lain yang hidup disekitarnya. Ajaran berbuka puasa
secara lebih mendalam dibuktikan pada kesediaan
seseorang mengulurkan tangan (iftharus-shaaim)
kepada orang lain disekitarnya terutama orang-orang
yang belum bernasib baik (fakir dan miskin) sehingga
dengan demikian mereka pun berkesempatan
menikmati betapa nikmat sedap dan nikmat gembira
berbuka puasa bersama (ifthar al-jamaa’i) itu.
Di Ranah Minang kebiasaan seperti ini
sebenarnya telah lama tumbuh dalam hubungan
kekeluargaan Muslim di kampung-kampung dalam suatu
persenyawaan adat dan Islam sesuai kaedah yang
berlaku secara turun temurun dalam “adat basandi
syarak, syarak basandi kitabullah” dengan tata istilah
yang sangat tepat ”ma anta pabukoan” yang
kemudian dikembangkan dengan buka bersama di
masjid-masjid dan di sudahi dengan shalat maghrib
berjamaah. Kepuasan berbuka puasa sungguh tidak
terletak kepada pesta hidangan perbukaan untuk diri

H. Mas’oed Abidin 41
sendiri. Namun secara hakiki tersimpan pada
kemampuan membersitkan kelebihan dalam melipat
gandakan pahala puasa melalui kerelaan memberikan
perbukaan kepada orang lain manakala waktu berbuka
tiba walau hanya berupa sebiji korma, sebuah pisang,
bahkan mungkin hanya seteguk air yang dihadiahkan
kepada orang yang ingin berbuka puasa secara ikhlas
karena mengharap redha Allah. Disinilah letak makna
sebenarnya dari berbuka puasa (ifthar) itu. Sabda
Rasulullah SAW, “siapa saja yang memberikan
perbukaan kepada orang yang berpuasa, maka dia akan
mendapatkan pahala sebesar pahala puasa orang yang
diberinya perbukaan, tanpa mengurangi sedikitpun
pahala puasa orang yang diberi itu,” (Al Hadist).
Melalui ifthar (berbuka puasa) kita semua
mendapatkan peluang besar dalam meningkatkan
pemahaman kualitas serta kuantitas pahala puasa di
bulan Ramadhan pintu pahala dan kesempatan
merebutnya telah terbuka. Semoga kita mampu
meraihnya Insya Allah.

Do’a

Salah satu firman Allah disebutkan; “Dan


apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu
tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku

42 H. Mas’oed Abidin
adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan
orang-orang yang berdo’a apabila ia bermohon
kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu
memenuhi segala perintah-Ku dan hendaklah
mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu
berada pada kebenaran.” (QS.2:186).
Secara implisit wahyu ini beriisikan pemberitaan
kemuliaan Ramadhan dengan tersedianya kesempatan
luas bagi setiap Muslim untuk melakukan suatu ritual
yang disebut “do’a”.
Do’a adalah suatu ibadah dalam memenuhi
kebutuhan hidup ruhaniyah manusia
(spiritual,immateriil), yang tak kalah pentingnya dari
kebutuhan-kebutuhan materiil lainnya.Di dalam Al
Quranul Karim ditampilkan kata-kata do’a pada 203
ayat dengan arti yang banyak kaitannya, antara lain
berarti ibadah, memanggil, memuji dan sebagainya.
Dalam ayat ini “do’a” bermakna meminta, memohon
dan mengharap kepada Allah Yang Maha Kuasa.
Manusia adalah makhluk lemah dengan segala
keterbatasan alamiah ataupun ilmiah, secara fisikal
maupun mental emosional. Kenyataan dalam hidup,
manusia selalu dilingkari serba kekurangan dalam
meraih harapan dan keinginan-keinginan yang sulit
dibatasi. Bila situasi seperti ini kurang disadari acap kali
menyeret manusia kepada akibat sangat fatal serta
berpeluang menyisakan derita frustrasi dan hidup
hilang pegangan. Lebih jauh ketenteraman bathin dan
kebahagian yang didambakan tidak kunjung terwujud.
Untuk mengatasi kekurangan daya keterbatasan
ini, dilakukan upaya meminta pertolongan kepada yang

H. Mas’oed Abidin 43
lebih kuasa di luar diri, mengadukan segala kekurangan,
kegelisahan serta kesusuhan yang menghimpit jiwa
(soul,ruhani) agar ada yang bisa mengobatnya atau
mengatasinya. Upaya dilakukan dengan cara berdo’a
kepada Yang Maha Kuasa. Namun, sering dijumpai
kerancuan tindakan, yang tampil dikala nikmat telah
datang mengganti kesusahan dan keresahan, tanpa
sadar manusia melupakan Yang Maha Kuasa tempat
do’a di arahkan memohon segala permintaan. Begitulah
kebanyakan watak hakiki manusia yang tidak beriman
sebagai disebutkan oleh Allah dalam firman-Nya
(QS.41,Fusshilat:51).Na’udzubillah.
“Do’a adalah puncak ibadah,”begitu Sunnah
Rasul menyebutkan. Maka semestinya sebagai ibadah
do’a hanya ditujukan kepada Allah, tidak boleh
ditujukan kepada benda-benda keramat, juga tidak
kepada kekuatan alam selain dari Allah. Semestinya
pula langsung di arahkan kepada Allah Yang Maha
Kuasa tanpa perantaraan. Do’a bisa diucapkan dengan
bahasa apa saja yang dimengerti oleh yang meminta,
karena Allah sungguh amat mengerti dengan apa yang
tergerak dalam hati seseorang yang mendo’a itu.
Beberapa persyaratan do’a perlu dipersiapkan
lebih dahulu, antara lain pembersihan bathin melalui
istighfar, menanamkan keyakinan (iman) bahwa do’a
akan berterima disisi Allah dengan terlebih dahulu
melakukan istighfar, memelihara makanan, minuman,
pakaian benar-benar halal, tidak meminta hal-hal yang
mustahil, tidak berlaku zalim (melanggar aturan-aturan
Allah), dilakukan dengan khidmat, khusyu’ dengan
tunduk hati kepada Allah, merendahkan suara dalam
bahasa sederhana indah dan dimengerti, memuliakan

44 H. Mas’oed Abidin
Allah dengan mengambil do’a yang utama dari Al Quran
atau Hadist Rasulullah, tidak bosan dalam bermohon
kepada Allah. Paling utama dilakukan di waktu yang
mustajab, antara lain di kala berpuasa, di saat berbuka,
di waktu sahur, di malam lailatul qadar, di saat bersujud
shalat menghadap kiblat, di bulan Ramadhan.
Merugi sekali orang yang tidak memanfaatkan
kesempatan emas yang hanya sekali dalam setahun.
Sangat tidak pantas Ramadhan di isi dengan hiruk
pikuk, gelegar bunyi petasan, mondar-mandir diluar
rumah ibadah, asmara subuh, kuncar tarawih
sementara orang lain khusyuk beribadah, bahkan
sangat tidak patut melewatkan masa di “warung-ota”,
atau hanya mendatangi masjid bersafari diluar redha
Allah. Kalau itu yang terjadi, tak usah ditanyakan,
kenapa “do’a tak berjawab??”.

MUSTAJAB

Ramadhan datang setiap tahun membawa


berkat dan rahmat untuk umat manusia (terutama
muslim-mukmin), dalam menjelaskan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menyebutkan;

H. Mas’oed Abidin 45
“Ramadhan awwalu-hu rahmah, awsathu-hu
maghfirah, akhiru-hu ‘itqun minan-naar,”(Al
Hadist). Gambaran selengkapnya mengenai keutamaan
Ramadhan ini disampaikan Nabi Muhammad SAW dalam
satu khutbah yang panjang pada akhir bulan Sya’ban
disaat perintah puasa (shaum) pertama kali di wajibkan
Allah untuk orang-orang yang beriman (mukmin).
Di antaranya Rasulullah SAW bersabda; “.. bahwa
sesungguhnya saudara-saudara sekalian kini dinaungi
oleh suatu bulan yang besar, bulan yang agung, bulan
penuh keberkatan, bulan yang di dalamnya di lipat-
gandakan amal ibadah serta rezki untuk orang yang
beriman, bulan kelapangan dan bulan keampunan….,
siapapun di bulan itu mengerjakan suatu kewajiban
karena Allah niscaya dia akan mendapatkan pahala
seperti tujuhpuluh kali kebajikan yang diwajibkan pada
bulan yang lain, dan siapapun yang mengamalkan
suatu amalan sunat karena Allah di bulan Ramadhan
akan samalah nilainya dengan amalan wajib di bulan
lainnya…, karena itu difardhukan kepadamu untuk
berpuasa di siang harinya, dan menghidupkan
malamnya (qiyamul-lail)….,Ramadhan itu awalnya
rahmat, pertengahannya maghfirah dan akhirnya
adalah pembebasan dari api neraka…”,(Hadist Shahih).
Khutbah Nabi SAW terlengkap ini,sudah teramat cukup
dijadikan pegangan atau rujukan bagi seorang yang
hendak memilih mengerjakan amalan terbaik di bulan
Ramadhan yang mulia. Keagungan Ramadhan sebagai
bulan turunnya Al Quran, menyediakan di dalamnya
satu malam rahmah yakni “malam lailatul-qadri” yang
memiliki keutamaan melebihi seribu bulan (QS.97:1-5).

46 H. Mas’oed Abidin
Berdo’a kepada Allah dibulan ini akan “maqbul”
terutama saat sedang berpuasa, atau pada saat
mustajab di waktu sahur dan berbuka puasa,
sebagaimana disabdakan Nabi Muhammad SAW ;
“inna lis-shaaimi ‘indal fithri-hi da’watan maa
turaddu”, artinya,“Do’a orang berpuasa ketika sedang
berbuka tidak ditolak,”(Hadist dari Ibnu Umar
Radhiallahu “anhuma).
Di bulan ini ada ibadah khusus yang disebut
“shalat tarawih”, artinya shalat secara santai.
Rasulullah SAW pernah mengerjakan shalat tarawih ini
selama tiga malam berturut-turut di Masjid Nabawi
Madinah, yang di ikuti oleh para Shahabat sebagai
makmum dibelakang Nabi Muhammad SAW. Walau
hanya tiga malam, namun berita shalat tarawih ini
cepat menyebar ketengah umat, dan pada malam-
malam berikutnya umat bertambah banyak yang ingin
shalat dengan Rasulullah SAW. Akan tetapi Rasulullah
SAW tidak pernah keluar dari kamar (bilik) ‘Aisyah RA,
disanalah beliau kerjakan shalat tarawih beliau, sebagai
dikhabarkan oleh Ummul Mukminin ‘Aisyah RA. Rasul
SAW keluar di waktu shubuh mengimami orang banyak
dan sahabat menanya Rasulullah SAW kenapa beliau
tidak keluar untuk shalat malam dimana umat banyak
yang menunggu? Rasulullah SAW menjawab bahwa;
“beliau takut, seandainya Allah SWT mewajibkan shalat
sunat (tarawih) ini, namun ummatku menjadi keberatan
mengerjakannya”. Ironis sekali ummat kini, rajin pergi
shalat sunat tarawih berjamaah, sementara shalat
maktubah acap terlalaikan bahkan mungkin sudah
tertinggalkan.

H. Mas’oed Abidin 47
Ramadhan adalah bulan paling mustajab tempat
bermunajah kepada Allah, saat taubatan nashuha
dengan lidah basah membaca istighfar,mengharapkan
ampunan dan maghfirah dari Allah. Namun,
semuanya tidak berarti, bila mata hati tertutup melihat
dhu’afa (fakir-miskin) yang papa dengan nasib, tidak
punya sesuatu untuk di nikmati, diperberat oleh
kepahitan hidup dan himpitan ekonomi dibebani pikulan
krisis moneter karena pukulan spekulan. Terhadap
kalangan “berpunya”yangtidak mau mengulurkan
bantuan, Allah SWT mencapnya sebagai “pendusta-
pendusta agama?”, karena “mata mereka tertidur
disebabkan perut terlalu kenyang, tetapi disampingnya
tergeletak saudaranya yang fakir-miskin dengan bola-
mata mereka tidak mau tertidur karena kelaparan”.
Do’a si fakir miskin sangat mustajab. Yang tak peduli
nasib simiskin, sesungguhnya bukanlah golonganku,
kata Muhammad SAW. Na’udzubillahi min Dzalik.

Kendali

Sabda Rasulullah SAW mengungkapkan arti dari


jihad artinya; "Seseorang tidak dikatakan pemberani
karena melompati musuh di medan laga. Tetapi orang
yang berani berjihad itu adalah yang mampu menahan
diri ( artinya,memiliki ke-sabaran)".
Berani tanpa perhitungan bukanlah sebuiah
kesabaran. Perhitungan yang matang dengan segala

48 H. Mas’oed Abidin
ketabahan menahan diri senantiasa mendorong
seseorang untuk bertindak benar. Berpegang teguh
kepada yang haq (kebenaran dari Allah) akhirnya
menjadikan seseorang berani dalam bertindak. Berani
untuk berjuang mempertahankan kebenaran itu.
Kesabaran akan terlihat pada kemampuan seseorang
mengendalikan diri yang menjadi pakaian para
ekselensi seperti para petinggi negara, para diplomat,
para ilmuwan (intelektual), sangat dituntut memiliki
kesabaran sebelum bertindak di dalam mengemban
tugas-tugasnya. Kemampuan pengendalian diri bukan
urusan sepele. Kemampuan adalah urusan besar dan
berat, sehingga Baginda Rasulullah SAW
menyebutkannya sebagai "jihad akbar", atau
"perjuangan yang berat".
Sejarah mencatat peristiwa besar sepulangnya
rombongan para mujahid dari Perang Badar yang
terkenal tempat berkuburnya para syuhada, Baginda
Rasulullah SAW bekata, "Kita baru saja keluar dari jihad
(perang) yang kecil dan akan memasuki jihad (perang)
yang lebih besar lagi" (Al Hadist). Pernyataan Rasulullah
SAW ini, mengundang rasa heran dan tanya para
sahabat pengikut beliau,"MANA LAGI PERANG (JIHAD)
YANG BESAR ITU, WAHAI BAGINDA RASUL?". Karena,
para sahabat menilai bahwa perang yang baru
ditinggalkan tadi sungguh dirasakan sebagai perang
yang paling besar, yang pernah dialami mereka.
Baginda Rasulullah SAW memberikan rumusan,
“JIHADUL AKBAR, JIHADUN NAFSI"(Al Hadist), artinya
“Jihad (perang) yang besar itu, adalah perang
mengalahkan nafsu”, maknanya kemampuan
mengendalikan diri. Pengendalian diri dalam artian yang

H. Mas’oed Abidin 49
lebih jauh adalah kemampuan suatu bangsa tegak pada
prinsip kebangsaan yang telah disepakati bersama,
sikap patriotisme yang mendalam berkemampuan
mandiri dan tidak tergantung banyak oleh pengendalian
dari luar.
Jihadun nafs (perjuangan mengendalikan diri) ini,
tempat latihannya adalah ibadah shaum atau ibadah
puasa. Shaum atau puasa itu, diawali dan diakhiri oleh
“pengendalian diri", dengan merasakan sungguh-
sungguh menahan sejak sahur sampai datangnya waktu
berbuka.Tiada semenit pun masa toleransi walaupun
perut masih meminta, namun rela membasuh jari
mengakhiri makan sahur tanda imsak mulai
dijalankan.Begitu pula, dikala berbuka puasa,
sungguhpun penganan telah tersedia dihadapan muka,
tak akan mau memakannya sampai waktunya datang,
menit dan detik rela dinanti. Alangkah dalamnya
perlajaran ini. Latihan disiplin yang tinggi, dan
pengendalian diri yang utuh.
Sebuah latihan, hanya bisa dilihat hasilnya
setelah masa latihan terlewati. Keberhasilan
melaksanakan puasa (shaum) terlihat berbekas, jika
mampu melahirkan sifat-sifat disiplin dalam
mengendalikan diri, nanti sesudah Ramadhan pergi.
Makin tinggi nilai latihan makin lama bekasnya di dalam
diri.
Di dalam pembangunan bangsa PJPT-II dan
memasuki era globalisasi abad keduapuluhsatu
kehadapan, tugas setiap individu semakin berat. Masa
kedepan sangat memerlukan manusia yang
berkualitas. Memiliki disiplin yang tinggi dalam setiap

50 H. Mas’oed Abidin
kondisi. Kita amat memerlukan bangsa yang tangguh
dan ampuh dalam menjalankan misi pembangunan,
disegala bidang. Yang diperlukan adalah sumber daya
manusia yang rela menahan diri, berhemat, sanggup
memikul beban bersama dan memiliki rasa solidaritas
(ukhuwah) yang men-dalam.
Semuanya hanya bisa diciptakan, melalui latihan
latihan yang terus menerus. Kesempatan selalu
dibukaan oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala, melalui
ibadah puasa (shaum) ini.
Akankah kita biarkan saja Ramadhan tahun ini
berlalu tampa kesan. Tampa ada usaha kita mengambil
nilai-nilai mulia yang terkandung di dalamnya. tentu
tidak.
Maka, sewajarnyalah setiap kita berusaha sekuat
daya, supaya lingkungan kita dimanapun kita berada,
bisa menerapkan amalan puasa (shaum) ini.
Inilah tujuan utama, Allah Subhanahu Wa Ta'ala
memerintahkan shaum (puasa) itu. La'allakum
Tattaquuna. Supaya kamu menjadi orang-orang yang
terpelihara, terlindungi. Bangsa yang bertaqwa, adalah
bangsa yang mawas diri.

Izzah

DALAM pergaulan hidup Muslim sehari-hari


didapati kewajiban melaksanakan tugas
kemasyarakatan yang paling asasi yaitu “memberikan

H. Mas’oed Abidin 51
nasehat kepada sesama saudaranya”, yang merupakan
pengamalan “amar ma’ruf nahi munkar”. Tugas ini
wajib ditunaikan agar masyarakat berkehidupan dalam
suasana yang baik dan tidak terperosok kedalam jurang
kehinaan, sehingga tercipta tatanan masyarakat utama
(khaira ummah). “Amar ma’ruf nahi munkar” adalah
kewajiban kembar yang mesti berjalan seiring dan
ditunaikan secara tulus dan ikhlas dalam kerangka
mardhatillah. Esensinya dalam rumusan
“tawashii bil haqqi dan tawashii bis-shabri”, yaitu
berwasiat dengan kebenaran (al-haq min rabbika) dan
ketabahan (shabar), yang di alaskan kepada sabda
Rasulullah SAW; “agama itu adalah nasehat” (ad-diin
an-nashihah) yang datang dari Allah SWT menjadi
sangat menentukan dalam penciptaan kemashlahatan
umat banyak. Bila tugas kembar ini dilalaikan, maka
yang akan tampil kepermukaan adalah segala bentuk
kekacauan dan kebringasan dengan kemasan fitnah
serta berbagai isu yang sulit dibendung. Sebab itu,
"amar ma'ruf-nahi munkar" di ketengahkan tanpa
kebencian dan dendam, jauh dari perasaan iri dan
hasad dengki. Tugas ini tidak mengenal sakit hati, tetapi
harus berbingkai asih-asuh berisi cinta sejati sesama
hidup, karena “sama-sama ingin masuk surga, sama-
sama ingin terhindar dari neraka, dan terbebas dari
godaan iblis-syaitan”.
Tujuan yang ingin dicapai adalah kehidupan
bermartabat kemanusiaan dengan beralaskan
mahabbah dan kasih sayang.
Sabda Baginda Rasulullah SAW bahwa di bulan
Ramadhan ini, “di bukakan pintu syurga, di tutup pintu
neraka, dan dirantai syaithan", hakikinya mengandung

52 H. Mas’oed Abidin
makna mendalam dengan pembuktian pada
amalan-amalan yang mendekatkan kepada pintu sorga,
yakni segala "kebaikan" sesuai ajaran Allah dan
Rasulullah. Kebaikan yang menjadi warna "fitrah"
kemanusiaan. Inilah bulan tempat kita berpacu dan
berlomba melakukan kebajikan, sebagai
penggambaran-kebaikan. Itulah keyakinan mukmin
yang utama. Dan yang sudah terbiasa melakukan
kejahatan, bertaubat adalah tindakan yang paling tepat.
Karena puasa (shaum) tidak hanya sekedar menahan
haus dan lapar, tetapi adalah kemampuan menahan diri
untuk tidak berbuat kejahatan.
Akan halnya "di tutup pintu neraka", sebenarnya
adalah sebuah peringatan sangat keras untuk tidak
melakukan tindakan-tindakan yang bisa berakibat
terbawanya badan kedalam neraka. Selanjutnya supaya
tidak berteman dengan syaitan. Jangan di tiru
lagak-lagu syaithan, seperti melakukan segala tipu daya
yang tidak senonoh.
Dakwah ilaa-Allah menjadi kewajiban pribadi
(fardhu-‘ain) setiap muslim yang beriman. Dakwah
adalah gerakan masal “mempuasakan masyarakat dari
segala perangai tidak terpuji", seperti perangai
konsumeris, indiviualis, materialis, spekulatip yang
berdampak sangat dalam terhadap kemelut moneter
yang tengah melanda bangsa, bila kita jujur
mengkajinya lebih disebabkan oleh hilangnya
kepercayaan diri (baca: rupiah) dan terlampau besarnya
kepercayaan kepada milik orang lain (baca: dollar).
Ramadhan menumbuhkan “izzatun-nafsi”, yakni
taqwa yang terlihat dalam percaya diri, hemat, mawas

H. Mas’oed Abidin 53
diri, istiqamah (teguh-prinsip) dalam menanam nilai
kebersamaan (ukhuwwah) ditengah hidup
bermasyarakat, dan terjauh dari hanya mementingkan
diri sendiri. Sudahkah kini tercipta?? Jawabnya
tersimpan dalam “Gerakan Fastabiqul Khairat”.***

Jihad Besar

JIHAD adalah satu keberanian berkemampuan


tinggi dalam mengendalikan diri sebagai di ungkapkan
Rasulullah SAW sesuai sabdanya; "Seseorang tidak
dikatakan pemberani karena melompati musuh di
medan laga. Tetapi orang yang berani berjihad itu
adalah yang mampu menahan diri ( artinya,memiliki
ke-sabaran)" (Al Hadist).
Berani dengan perhitungan (iman dan ihtisab)
adalah bukti sebuah kesabaran. Perhitungan matang di
topang oleh ketabahan dan kemampuan menahan diri
akan mendorong seseorang untuk bertindak benar.
Berpegang teguh kepada kebenaran (haq dari Allah)
membuahkan keberanian dalam bertindak dan akhirnya
bersedia untuk berjuang mempertahankan kebenaran
itu. Kesabaran adalah kemampuan mengendalikan diri
dan menjadi pakaian para ekselensi dan pimpinan
dalam mengemban tugas-tugasanya. Kenanam dan
menumbuhkan kesabaran bukan satu urusan sepele

54 H. Mas’oed Abidin
tetapi adalah kerja besar dan berat, sesuai sabda
Rasulullah SAW menyebutnya sebagai "jihad akbar",
atau "perjuangan yang berat".
Sejarah mencatat peristiwa besar di bulan
Ramadhan dari Perang Badar yang adalah ladang
perkuburan para syuhada, sebagai dikatakan oleh
Rasulullah SAW, "Kita baru saja keluar dari jihad
(perang) yang kecil dan akan memasuki jihad (perang)
yang lebih besar lagi" (Al Hadist). Pernyataan Rasulullah
SAW ini menimbulkan tanya keheranan para sahabat
pengikut Rassulullah yang mohon di jelaskan; "MANA
LAGI PERANG (JIHAD) YANG BESAR ITU, WAHAI BAGINDA
RASUL?". Para sahabat menilai dan mengalami sendiri
perang yang baru ditinggalkan tadi adalah yang paling
akbar, paling besar, yang pernah mereka alami.
Baginda Rasulullah SAW memberikan rumusan,
“JIHADUL AKBAR, JIHADUN NAFSI"(Al Hadist), artinya
“Jihad (perang) yang besar itu, adalah perang
mengalahkan nafsu”, maknanya kemampuan
mengendalikan diri.
Pengendalian diri dalam arti mendalam adalah
kemampuan suatu bangsa tegak pada prinsip
kebangsaan yang telah disepakati bersama, teguh
bertindak dengan sikap patriotisme yang mendalam
berakar pada kemampuan untuk mandiri dan tidak
banyak tergantung dari kendali orang luar. Disinilah
suatu perjuangan besar (jihadul akbar) yang berawal
dari jihadun nafs (perjuangan mengendalikan diri).
Arena latihannya adalah ibadah shaum atau
ibadah puasa. Shaum atau puasa itu, diawali dan
diakhiri oleh “pengendalian diri", mulai sejak sahur

H. Mas’oed Abidin 55
sampai datangnya waktu berbuka dengan menahan
(imsak), tiada semenit pun masa toleransi walaupun
perut lapar dan kerongkongan kering dahaga. Kerelaan
menahan sampai datang waktunya dibolehkan berbuka
merupakan latihan disiplin yang tinggi, dan
pengendalian diri yang utuh. Sebuah latihan, hanya bisa
dilihat hasilnya setelah masa latihan terlewati.
Keberhasilan melaksanakan puasa (shaum) terlihat
berbekas, jika mampu melahirkan sifat-sifat disiplin
dalam mengendalikan diri, baik selama atau sesudah
Ramadhan pergi. Makin tinggi nilai latihan makin lama
bekasnya di dalam diri.
Di dalam pembangunan bangsa (PJPT-II dan
seterusnya) dan memasuki persaingan ketat era
globalisasi abad keduapuluhsatu kehadapan, tugas
setiap individu semakin berat. Masa kedepan sangat
memerlukan manusia yang berkualitas. Memiliki disiplin
yang tinggi dalam setiap kondisi. Kita amat memerlukan
bangsa yang tangguh dan ampuh dalam menjalankan
misi pembangunan, disegala bidang. Yang diperlukan
adalah sumber daya manusia yang rela menahan diri,
berhemat, sanggup memikul beban bersama dan
memiliki rasa solidaritas (ukhuwah) yang men-dalam.
Semuanya hanya bisa diciptakan, melalui latihan
kebersamaan dan disiplin yang terus menerus.
Kesempatan ini dibukaan oleh Allah Subhanahu Wa
Ta'ala, melalui ibadah puasa (shaum) di bulan
Ramadhan ini.
Konsekwensinya adalah jangan dibiarkan
Ramadhan berlalu tanpa ada usaha memetik nilai-nilai
mulia yang terkandung di dalamnya, dan sewajarnya
setiap diri berusaha sekuat daya, supaya lingkungan

56 H. Mas’oed Abidin
dimanapun berada, bisa menerapkan amalan puasa
(shaum), ”La'allakum Tattaquuna” artinya, “supaya
kamu menjadi orang-orang yang terpelihara,
terlindungi”. Bangsa yang bertaqwa, adalah bangsa
yang mawas diri, yang hemat, dan tidak menahan hak
orang lain, sesuai firman Allah; “Dan berikanlah
kepada keluarga-keluarga yang dekat akan
haknya, kepada orang miskin dan orang yang
dalam perjalanan; dan janganlah kamu
menghambur-hamburkan hartamu secara boros.
Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah
saudara-saudara syaithan dan syaithan itu adalah
sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS.17-Al
Isra’,ayat 26-27).

Ad-Din an Nashihah.
DALAM Pergaulan hidup Muslim sehari-hari ada
suatu tugas bermasyarakat yang mesti di tunaikan yaitu
“memberikan nasehat kepada sesama saudaranya”,
sebagai suatu kewajiban asasi dalam mengamalkan
ajaran “amar ma’ruf nahi munkar”, supaya masyarakat
hidup dalam suasana yang baik, aman dan tenteram,
sehingga tercipta tatanan masyarakat utama (khaira
ummah). “Amar ma’ruf nahi munkar” adalah kewajiban
kemanusiaan yang mesti dijalankan dan di tunaikan
secara tulus ikhlas dalam kerangka mardhatillah,
menurut bingkai “tawashii bil haqqi dan tawashii bis-
shabri”, yaitu berwasiat dengan kebenaran (al-haq min
rabbika) dan ketabahan (shabar), beralaskan sabda
Rasulullah SAW; “agama itu adalah nasehat” (ad-diin
an-nashihah).

H. Mas’oed Abidin 57
Bila tugas kembar ini dilalaikan, maka yang
akan tampil kepermukaan adalah segala bentuk
kekacauan dan kebringasan dengan kemasan fitnah
serta berbagai isu yang sulit dibendung. Sebab itu,
"amar ma'ruf-nahi munkar" di ketengahkan tanpa
kebencian dan dendam, jauh dari perasaan iri dan
hasad dengki. Tugas ini tidak mengenal sakit hati, tetapi
harus berbingkai asih-asuh berisi cinta sejati sesama
hidup, karena “sama-sama ingin masuk surga, sama-
sama ingin terhindar dari neraka, dan terbebas dari
godaan iblis-syaitan”. Tujuan yang ingin dicapai adalah
kehidupan bermartabat kemanusiaan dengan
beralaskan mahabbah dan kasih sayang.
Sabda Baginda Rasulullah SAW menyebutkan
bahwa di bulan Ramadhan, “di bukakan pintu syurga,
di tutup pintu neraka, dan di rantai syaithan", hakikinya
bermakna setiap orang berketeguhan sikap dalam
melaksanakan amal perbuatan yang hanya
mendekatkan ke sorga (taqarrub ila Allah), yakni
mengerjakan segala "kebaikan" sesuai ajaran Allah dan
Rasulullah, karena kebaikan itu adalah “warna fitrah"
kemanusiaan. Perlombaan menabur-tanam kebaikan (al
khairi, ma’ruf) dan konsekwen dalam menanggalkan
keburukan (maksiat, munkarat) merupakan keyakinan
mukmin yang tak bisa ditawar-tawar, dalam hal ibadah
shaum harusalah diterjemahkan bahwa “puasa (shaum)
tidak hanya sekedar menahan haus dan lapar, tetapi
adalah kemampuan menahan diri”. Karena itu ibadah
shaum (puasa) mampu menghindarkan seseorang dari
segala kejahatan pribadi dan kejahatan di tengah
kehidupan bermasyarakat, serta menjauhkan seseorang
dari sikap ceroboh dan perbuatan tidak senonoh meniru

58 H. Mas’oed Abidin
perangai syaithan dengan segala bentuk tipu daya, adu
domba, fitnah, isue dengan rentetan kepalsuan demi
kepalsuan.
Dakwah ilaa-Allah menjadi kewajiban pribadi
(fardhu-‘ain) setiap muslim yang beriman. Dakwah
adalah gerakan massal “mempuasakan masyarakat dari
segala tindakan tidak terpuji", seperti perangai
konsumeris, individualis, materialis, spekulatip yang
berakibat terhadap gejolak moneter dan kehidupan
ekonomi yang tengah melanda bangsa. Bila kita mau
secara jujur mengkaji gejolak moneter yang kita alami
hari ini, terjadinya tidak semata-mata di karenakan
oleh faktor fisik ekonomi semata, namun sebenarnya
bertumbuh tambah besar adalah karena hilangnya
kepercayaan kepada diri, atau hilangnya kecintaan
bangsa kepada negaranya, hilangnya kepercayaan
rakyat kepada pemimpin atau hilangnya kepercayaan
pemimpin terhadap rakyatnya, yang secara timbal balik
menimbulkan hilangnya kepercayaan kepada milik
sendiri (baca: rupiah) dan terlampau besarnya
kepercayaan kepada milik orang lain (baca: dollar).
Sebagai bangsa kita cenderung merasa lebih aman
menyimpankan kekayaan di Lembaga-Lembaga
Keuangan Luar Negeri daripada menanamkan kekayaan
dimaksud dinegeri sendiri, dan lebih suka
mengkonsumsi produk-produk luar negeri dan
menganggap hasil dalam negeri sendiri rendah
derajatnya. Lebih jauh sebenarnya yang hilang adalah
patriotisme kebangsaan dan kecintaan kepada tanah
air, sehingga sulit untuk mengharapkan timbulnya
kerelaan berkorban, karena sebagai bangsa sudah
kehilangan ruhul-jihad (jiwa perjuangan).

H. Mas’oed Abidin 59
Ramadhan melahirkan “izzatun-nafsi” (harga
diri) berakar taqwa yang terlihat pada sikap percaya
diri, hemat, senantiasa berhati-hati (mawas diri),
istiqamah (teguh-prinsip) dalam menanam nilai
kebersamaan (ukhuwwah) ditengah hidup
bermasyarakat dan berbangsa. Sikap yang mewarnai
izzatun nafsi akan berperan dalam membentuk watak
bangsa yang besar, yang tidak hanya semata-mata
terikat kepada tabiat bernafsi-nafsi atau hanya
menyelamatkandiri sendiri, akan tetapi lebih
mendahulukan sikap kebersamaan (kegotong royongan)
sebagai penggambaran dari suatu budaya bangsa yang
ditopang oleh ajaran wahyu agama yang benar yakni
“ta ‘aa-wanuu ‘ala al-birri wa at-taqwa” artinya “saling
membantu bersama-sama (bergotong royong) dalam
kebajikan dan taqwa”.
Prinsip inilah sesungguhnya yang telah
melahirkan pengorbanan besar para pejuang bangsa
dalam merebut kemerdekaan, dan sikap ini pula yang
perlu di pelihara dan di tumbuhkan lagi dalam
mempertahankan kemerdekaan dan mengisinya melalui
program-program pembangunan. Semua jawabannya
tersimpan dalam kesediaan kita semua mengamalkan
satu jihad besar yang disebut “Gerakan Fastabiqul
Khairat” yang melibatkan seluruh lapisan umat. Inilah
jihad besar sepanjang masa sesuai bimbingan Allah
SWT dalam firman-NYA; ”Dan berjihadlah kamu pada
jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya.
Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak
menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu
Ibrahim AS. Dia (Allah) telah menamai kamu

60 H. Mas’oed Abidin
sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan
(begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul
itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu
semua menjadi saksi atas segenap manusia,
maka dirikanlah shalat (sembahyang),
tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada
tali Allah. Dia (Allah) lah Pelindungmu, maka
Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik
Penolong” (QS.22-Al-Hajj,ayat 78).

H. Mas’oed Abidin 61
Iman Yang Kokoh Melahirkan
Moral Yang Stabil

Masalah akhlak merupakan persoalan mendasar


dalam hidup manusia. Akhlak memberi corak warna
bagi kehidupan manusia. Syauqiy Beyk, seorang
sastrawan dan filosof mesir mengungkapkan;
Tegak rumah karena sendi. Sendi hancur rumah binasa.
Tegaknya bangsa karena budi. Budi rusak, hancurlah
bangsa.
Di ranah Minangkabau, dikenal sebuah pantun
yang sering dengan ungkapan di atas.
Nan kunak kundi. Nan sirah sago. Nan baiak budi. Nan
indah baso. (basa-basi, sopan santun).

62 H. Mas’oed Abidin
Pendidikan akhlak (moral) berkaitan erat dengan
iman. Iman yang kokoh akan melahirkan akhlak
(moral) yang stabil. Iman yang labil, akan
membuahkan akhlak yang tidak menentu. Nilai akhir
yang paling tinggi yang ingin dicapai oleh manusia
adalah nilai keakhiratan. Artinya ada kesadaran atas
nilai keduniaan yang dimiliki sekarang ini, berfungsi
ganda.
Nilai keduniaan yang beraspek materil maupun
intelektual berperan dalam membentuk nilai
keakhiratan. Di samping manfaat pemenuhan
kebutuhan manusia di dunia.
Dunia dibangun dengan amal. Yang dimaksud
amal saleh. Yang baik, yang konstruktif, membangun
dan memperbaiki (ishlah).
Tentu dunia tidak mau seiring dengan amal salah.
Amal saleh dilakukan secara terang-terangan.
Sementara amal salah sering dilakukan
sembunyi-sembunyi. Begitulah hakekat amal yang
terjadi.
Amal saleh lahir dari insan bermoral. Amal salah
tumbuh dari jiwa yang rusak (a-moral).
Amal saleh berisi sikap atau nilai-nilai amanah,
jujur, ikhlas, sabar, istiqomah, peduli terhadap orang
lain. Sementara amal salah bertendensi individualistik,
merusak, jahil (bodoh), fasik, munafik, dan khianat.
Karena itu mutlak diperlukan niat (motivasi) yang
jelas dikala sebuah amal akan digerakkan.
Motivasi amal saleh adalah menuju ridha Allah. v

H. Mas’oed Abidin 63
64 H. Mas’oed Abidin
Selamat Datang Bulan Ramadhan

Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya


diturunkan (permulaan) Al Qur'an sebagai petunjuk bagi
manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk
itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil).
Karena itu, barang siapa diantara kamu hadir (dinegeri
tempat tinggalnya) dibulan itu, maka hendaklah dia
berpuasa dibulan itu, dan barang siapa yang sakit atau
dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka wajiblah
baginya berpuasa, sebanyak hari yang ditinggalkannya
itu, pada hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan
bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.
Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya, dan
hendaknya kamu mengagungkan Allah atas
petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu
bersyukur. (QS. Al-Baqarah, 2 : 185)
Setiap kali bulan Ramadhan datang, semasa
hidupnya Baginda Rasullullah Shallahu 'Alaihi
Wassallam, selalu beliau menyambut kedatangan bulan
ini dengan perasaan haru, gembira dan penuh harap.
Baginda Rasulullah, mengelu-elukan kedatangan
bulan suci Ramadhan ini, dengan ucapan "Ahlan wa
sahlan, wamarhaban yaa syahral mubarak". Artinya,
selamat datang dengan penuh kegembiraan dan penuh
harap kasih sayang, kami sambut kedatangan-mu,
wahai bulan yang membawa keberkatan. Begitu
kira-kira, Baginda Rasulullah mempersiapkan diri dalam
menerima bulan yang suci ini.

H. Mas’oed Abidin 65
Kebesaran bulan Ramadhan, terletak pada ibadah
yang terkandung di dalamnya. Juga terletak kepada
kemuliaan yang diberikan Allah Subhanahu Wa Ta'ala
atas bulan itu. Yang paling istimewa adalah, bahwa
Tuhan Allah sendiri yang menberikan nama terhadap
bulan ini. Itu terhadap dalam Wahyu Allah, Surah Al
Baqarah, ayat 185, seperti tertera di dalam
mukaddimah tulisan ini.
Tidak ada penamaan urutan nama-nama bulan di
dalam Al'Qur'an, kecuali hanya untuk bulan ini. Yaitu
Syahru Ramadhan, dalam bahasa Indonesia disebut
bulan Ramadhan.
Dalam rumpun bahasa Al Qur'an atau Arab,
Ramadhan berakar dari kata Ramadhan artinya
pembakaran. Baginda Rasulullah mengartikan, innama
summiyya Ramadhan li annahu yarmidhu dzunuuba.
Yang artinya, sungguh hanya dinamakan bulan
Ramadhan karena di sana kesempatan membakar dosa.
Membakar dosa berarti, bahwa di dalam bulan ini
umat manusia, lebih khusus lagi orang beriman,
berkesempatan menghapuskan dosa-dosanya melalui
ibadah yang khusus pula ada di bulan Ramadhan ini.
Ibadah khusus di bulan ini ialah shaum (puasa)
wajib. Wajibnya terletak kepada dijadikan puasa
ramadhan itu, merupakan satu arkaan atau rukun Islam.
Seorang Muslim, belum lengkap sebagai muslim, jika
dia meninggalkan shaum (puasa) Ramadhan ini. v

66 H. Mas’oed Abidin
Hormati Orang Berpuasa

PUASA (shaum) memiliki nilai ibadah yang


tinggi. Pelaksanaannya, bertitik berat kepada diri
pribadi orang yang melaksanakannya.
Puasa membentuk keikhlasan dan kejujuran
mendalam. Orang lain bisa melihat orang yang tengah
berpuasa. Tetapi, orang yang melaksanakan shaum itu
sendirilah yang amat tahu, apakah dia sebenarnya
berpuasa atau hanya pamer dan main-main.
Begitulah Allah Subhanahu Wa Ta'ala mejelaskan
dengan perantaraan Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wassalam, dalam sebuah hadist Qudist:
Ash-shaumu lii wa anaa ajziy bihi.
Artinya "Puasa (shaum) itu untuk aku semata (kata
Allah), dan Aku (Allah) pulalah yang akan menilai
balasannya."
Hadist ini mengandung hikmah yang dalam.
Bahwa seseorang berpuasa hanya karena Allah semata.
Inilah yang disebut ikhlas. Allah yang mengetahui,
apakah shaum (puasa) seseorang itu baik, sempurna
atau buruk dan kurang nilainya.
Karena itu, perlulah diingat. Jika kita melihat
seseorang tengah berpuasa disamping kita, maka
hormatilah dia. Menghormati orang yang tengah
berpuasa, berarti menghormati Allah jua adanya.
Inilah, satu dari firman Allah;
Wa litukabbiru 'illaha 'alaa maa hadaakum.

H. Mas’oed Abidin 67
Artinya, "Dan hendaklah kamu mengagungkan Allah,
atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu." (QS. Al
Baqarah, 2 : 185).
Begitu tingginya nilai ibadah puasa (shaum) ini,
sehingga bagi orang yang menghormati dan
memuliakan orang-orang yang tengah berpuasa,
mendapatkan balasan (imbalan) sebesar nilai puasa
orang yang tengah berpuasa itu.
Baginda Rasulullah menjelaskan, "Orang yang
memberikan perbukaan bagi orang yang tengah
berpuasa, mendapatkan pahala sebesar pahala puasa
yang dilaksanakan oleh shaa-im (orang yang tengah
berpuasa itu), “(Al Hadist).
Begitulah suatu ungkapan Baginda Rasulullah.
Besar pahala bagi orang yang menghormati orang yang
tengah berpuasa. Betapakah lagi pahala yang diterima
oleh orang yang tengah berpuasa. Tentu lebih besar
lagi. v

68 H. Mas’oed Abidin
Tahan Rasa Tahan Kata

Pemerintah Republik Indonesia dalam


pengamalan Pancasila, khususnya sila Ketuhanan Yang
Maha Esa, selalu berupaya memuliakan Ramadhan ini.
Tiap tahun mengajak rakyat Indonesia (yang Muslim)
untuk mengamalkan ajaran puasa ini, dan meminta
non-Muslim menghargainya.
Pemerintah Daerah Sumbar, mulai dari Gubernur,
kepala-kepala Daerah Tingkat II, selalu mengingatkan
agar menghormati orang Islam yang tengah
melaksanakan ibadah puasanya. Seyogyanyalah kita
menghormati kedua ajakan ini. Ajakan pemerintah
supaya tercipta "kerukunan umat ber-agama", tercipta
pula ketenangan umat di dalam mengamalkan ajaran
agama mereka, yaitu berpuasa (Shaum). Ajakan Allah,
yang terang merupakan perintah kepada setiap umat
Islam, untuk mengamalkan ibadah puasa ini.
Dengan itu, terciptalah kemuliaan hidup. Hablum
minallah, yakni hubungan vertikal dengan allah Yang
Maha Esa, dalam kaitan pelaksanaan ibadah. Dan
hablum minan-naasi, terbinanya hubungan yang
langgeng dan kemasyarakatan yang indah sesama
anggota masyarakat (manusia), secara menyamping
(horisontal), itu.
Jikalah masih ada ummat manusia, khususnya di
daerah kita Sumatera Barat (Indonesia), yang
menganggap enteng suasana Ramadhan ini, niscaya
kita tidak dapat mengatakan bahwa mereka itu telah
memiliki kesadaran bernegara yang tinggi. Apalagi

H. Mas’oed Abidin 69
kesadaran sebagai ummat yang beragama.
Mudah-mudahan itu tidak bakal terjadi lagi ditahun ini.
Karena itulah , kepada ummat yang telah
bersaksi, bahwa mereka adalah Muslim, seharusnya kita
memaksakan diri kita, bagaimanapun beratnya, "Wajib
Puasa". Hendaknya jangan ada lagi seorangpun ummat
Islam, yang meninggalkan puasa Ramadhan ini.
Kalau toh, karena satu dan lain hal kita tidak atau
belum memiliki kemampuan mengamalkannya.
Sewajibnya kita tidak memakan makanan disembarang
tempat, sehingga mengganggu ketentraman
saudara-saudara kita yang tengah beribadah puasa.
Selain dari itu, karena yang dikatakan puasa
(shaum) tidak hanya semata-mata menahan rasa haus
dan lapar, juga menahan diri dari berkata-kata yang
tidak senonoh dan tidak berkata cabul.
Menahan diri pula dari perbuatan-perbuatan yang
tidak baik. Agar tidak berlaku heboh, tidak melakukan
perbuatan-perbuatan yang mengundang masyarakat
lainnya menjadi terganggu ketentramannya. v

70 H. Mas’oed Abidin
Pendidikan Ramadhan

SATU hal tidak dapat dilupakan, Ramadhan


merupakan bulan pendidikan. Disebut juga syahrul
tarbiyyah.
Pendidikan mempunyai artian lebih dalam dari
sekadar latihan. Keberhasilan pendidikan bisa dilihat
dari tumbuhnya sikap-sikap dari buah pendidikan itu.
Pendidikan juga dilaksanakan terus-menerus.
Berkesinambungan sepanjang usaha manusia. Terus
menerus, tidak semasa-semasa. Sasarannya, generasi
demi generasi dari manusia, yang menghuni bumi ini.
Tujuan utamanya membentuk kader-kader
manusia. Manusia dalam arti seutuhnya. Tidak
sebahagian-sebahgian. Merupakan rajutan indah dari
yang disebut generasi manusia turun temurun.
Manusia yang diminati untuk dibentuk, adalah
manusia menurut kriteria “Yang Maha Menjadikan”
manusia itu. Menurut istilah, hakikat ‘alan-naas atau
hakikat manusia sebenarnya.
Sehingga melalui pendidikan itu, manusia dapat
berperan optimal sebagai makhluk sentral di tengah
alam. Memberi warna kehidupan pada alam yang ada
sekelilingnya. Menjadi makhluk bijak dalam mengikuti
kebijakan Allah Maha Pencipta.
Sebagaimana dipesankan oleh Rasulullah SAW.
AKU (yakni Allah ‘Azza Jalla) telah menjadikan
kamu (manusia) untuk Ku (untuk mengabdi kepada Ku),

H. Mas’oed Abidin 71
dan Aku telah pula menjadikan seluruh alam (baik yang
sudah dicerna oleh ilmu pengetahuan, maupun yang
tengah/akan diteliti, dalam proses eksperimental masa
datang), seluruh alam itu untuk mu (untuk manusia). (Al
Hadist Qudsi, Shahih)
Bila kita bertitik tolak dari bimbingan (hadist)
Rasul Allah ini, terang sekali alam diciptakan untuk kita,
untuk manusia. Untuk dimanfaatkan bagi sebesar
kemanfaatan dan kepentingan manusia yang hidup di
alam ini jua adanya. Dari setiap kurun dalam setiap
kondisi.
Lebih lanjut, manusia bukanlah objek dari
alam. Tetapi sebaliknya, alam adalah objek bagi
manusia. Objek bagi kepentingan, kebutuhan dan
penelitian oleh manusia. Manusia adalah subjek
terhadap alam itu.
Bila ilmu pengetahuan alam mengenal adanya
geo-centris dimana bumi sebagai pusar kendali
kehidupan alamiyah, maka Allah Yang Maha Pencipta,
menciptakan manusia sebagai titik sentral dari
kehidupan di bumi yang alamiyah ini.
Bumi tidak akan menjadi pusat perhatian, bila
ditakdirkan tidak dihuni oleh manusia. Sekarang planit-
planit lain sudah menjadi pusat perhatian dan bahan
penelitian, justeru karena adanya manusia penghuni
bumi. v

72 H. Mas’oed Abidin
Meninggalkan Lalai,
Menanggalkan Malas

BAGINDA Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wa Salam,


menyebutkan pula bahwa Ramadhan itu, disebut
dengan syahrun yuzadu fihi rizqul mukmin, Berarti,
"bulan dimana di dalamnya terdapat pertambahan
rezeki bagi orang ber-iman".
Dalam konteks ini, bermakna Ramadhan adalah
bulan pertambahan. Pertambahan rezeki, untuk segala
bidang. Rezeki dalam bentuk materi. Rezeki dalam
bentuk pahala amaliyah-ubudiyah.
Dapat diyakini, bahwa dalam hal mendapatkan
rezeki, Islam mengajarkan supaya giat berusaha.
Permulaan dari jihad, adalah Meninggalkan lalai.
Menanggalkan malas. Menggantinya dengan giat dan
rajin. Dalam segala bentuk kegiatan, segala aktivitas.
Untuk keperluan dunia dan akhirat, sama saja.
Sama-sama hasanah, indah, baik, dan sempurna.
Dalam Islam, kebaikan akhirat itu, tergambar
dalam kebaikan dunianya. Amal akhirat diperdapat
melalui amalan nyata didunia ini. Akhirat, tegasnya
adalah padanan dunia ini. Amalan baik disini, balasan
baik disana. Amalan buruk disini, siksaan neraka disana.
Pada hakekatnya, Akhirat yang baik, adalah hasil
rekayasa di dunia ini. Begitu pula sebaliknya.
Begitulah konsepsi Islam, tentang akhirat. Akhirat
tidak diperoleh tampa dunia. Begitu pula Baginda
Rasulullah Shallallahu 'alahi Wa Sallam, bersabda;

H. Mas’oed Abidin 73
"Wa’mal Li Dunyaa Ka Kaannaka Ta'isyu Abadan,
(berkarya-lah anda untuk keperluan duniamu, seolah
olah anda akan mendiami dunia ini selama-lamanya).
"Wa'mal li Akhirat Ka-annaka Tamuutu Ghadan"
(ber-amal-lah anda untuk keperluan akhirat anda,
seolah-olah anda akan mati sebentar lagi). (Al Hadist).
Kaedah ini bermakna, bahwa tiada hari tanpa
'amal. Tiada waktu untuk berlalai-lalai. Tiada masa
bersantai-santai. Semua kita dikejar waktu. Semua
manusia berburu masa, Berburu untuk mengumpulkan
persediaan yang banyak, untuk keperluan bukan
setahun dua tahun. Tetapi untuk pemenuhan kebutuhan
dunia selama- lamanya (abadi). Untuk itu, dituntut rajin
dan giat. Hemat dan penuh perhitungan. Ini, pandangan
pertama. Dalam kaitan pemenuhan kebutuhan duniawi.
Materials needs, pemenuhan kebutuhan materi, kata
orang.
Selanjutnya, untuk li-akhiratika, kepentingan hari
depan, atau hari akhir kita??? Bagaimana pula ajaran
Islam mengatisipasinya??? sebuah pertanyaan yang
cukup ilmiah, barangkali.
Islam mengajarkan, bahwa kehidupan bukan
hanya sekedar, ada disini dan sekarang saja. Not here
and now, kata orang di sebelah barat.
Hidup itu, untuk hari ini dan esok. Not here and
now, but here and after. Kata orang-orang bijak
cendikia. Bahasa surau-nya, adalah hidup itu, adalah
untuk masa semasa hidup ini, dan untuk hidup sesudah
hidup ini. Hidup sebelum mati, dan hidup sesudah mati.

74 H. Mas’oed Abidin
Terang sekali, untuk itu perlu persiapan-persiapan
matang. Untuk keperluan hidup sebelum mati, banyak
bersifat materi. Karena hidup sebelum mati itu, sifatnya
kebendaan. Alam takambang jadi guru.
Hidup sesudah mati, tidak lagi memerlukan
kebendaan. Hidup setelah mati sifatnya "immateriil",
kata orang sono-nya. Dan mati sesudah siang. Bahkan
perlu dinantikan. Ibarat menantii datangnya berbuka.
Karena itu, konsepsi Baginda Rasulullah amatlah
jelasnya.
"Beramal-lah untuk akhirat-mu (keperluan hidup
sesudah hidup ini) seolah-olah kamu akan mati besok
pagi".
Maka sebenarnya, aktifitas untuk mempersiapkan
kebutuhan hidup sesudah hidup ini, waktunya tidak
memadai. Walaupun setiap detik diperuntukkan hanya
untuk persiapan-persiapan hidup sesudah mati itu,
sebetulnya belum cukup waktu. Sebab hidup sesudah
hidup ini, akan panjang sekali. Begitu panjangnya, tiada
berbatas. Khalidina fiiha abadan, "masuk kita
kedalamnya, selamanya, 'abadi". Jadikan Ramadhan
tambahan pertambahan ubudiyah ukhrawi dan
amaliyah duniawi. v

H. Mas’oed Abidin 75
Pintu Surga Terbuka

DI Bulan Ramadhan, Tertutup Pintu Neraka.


Dibukakan sekalian pintu Syorga. Dirantai iblis dan
Syaithan.
Demikian gambaran yang dijelaskan Baginda
Rasulullah, kepada kita ummat ber-iman.
Satu lagi dari kemuliaan bulan suci Ramadhan ini.
Telah menjadi pengetahuan kita, bahwa Neraka
diperun tukkan bagi orang-orang berdosa. Orang yang
kena kutukan Allah. Orang-orang kafir dan aniaya.
Memang tidak lain, hanya itulah yang akan mengisi
Neraka itu.
Seorang yang kafir, yang dzalim, yang aniaya,
yang jahat, dan banyak lagi pelaku-pelaku perangai
tercela. Sebenarnya tidak usah marah, jika dikabarkan
bahwa tempat mereka adalah Neraka. Karena itulah,
terminal akhir dari semua bentuk kejahatan.
Begitu pula halnya, bahwa syorga hanya
disiapkan untuk orang-orang yang ber-iman. Yang
ber-amal baik. Yang Amanah, Yang beribadah. Yang
jujur. Yang berperangai baik. Pendek kata seluruh yang
bermodal mulia, berperangai terpuji, akan menempati
syorga.
Tidak perlu iri, kalau syorga tidak dibagikan
kepada para pelaku kejahatan.
Telah dikabarkan juga, bahwa iblis dan Syaitan,
adalah teman ke neraka. Perangai-perangai yang buruk,

76 H. Mas’oed Abidin
diidentikkan dengan kelakuan syaithan. Tindakan
kejahatan, diserupakan dengan godaan iblis.
Sebenarnya tidak perlu marah, jika syaitan dan iblis itu
selalu bersama-sama dengan pelaku-pelaku kejahatan
(kemaksiatan).
Cuma saja, karena pelaku-pelaku itu, adalah
manusia, seperti saudara-saudara kita. Maka wajar
kalau kita merasa sedih. v

H. Mas’oed Abidin 77
Akhlak Memberi Keringanan

Perintah Shaum adalah kewajiban azasi menurut


Al- Qur'an. Dibebankan kepada setiap orang. Hingga
orang sakit ataupun dalam perjalanan, bahkan tua
sekalipun memiliki kewajiban yang sama. Tetap
melaksanakan puasa ini.
Akan tetapi, Allah Subhanahu Wa Ta'ala
memberikan rukhsah atau keringanan dalam
pelaksanaannya. Bagi yang sakit atau tidak berpuasa di
hari bulan Ramadhan ini. Namun menggantinya di bulan
bulan lainnya.
Penggantian itu, bisa berbentuk puasa qadha
sebagai pembayaran hutang shaum Ramadhan. Boleh
pula dengan memberikan makanan untuk orang miskin,
satu orang miskin untuk satu hari puasa yang
ditinggalkannya. Cara yang kedua ini disebut fidyah.
Shaum atau puasa Ramadhan mesti dilaksanakan
sebulan penuh. Tidak boleh kurang. Begitu ketentuan
Allah menurut Wahyu-Nya. "Wailitukmilul- 'iddah" yang
artinya adalah "Dan hendaklah kamu mencukupkan
bilangannya". Yaitu sebulan penuh, tidak kurang
seharipun.
Adapun pelaksanaan shaum atau puasa sudah
jelas, yakni membesarkan Allah Yang Maha Agung. Di
dalam agama kita, puasa dijadikan bukti kerelaan di
dalam melaksanakan perintah Allah. Puasa juga
dijadikan suatu ibadah yang utama, dii dalam
mengganti denda yang harus ditunaikan kepada Allah.

78 H. Mas’oed Abidin
Suatu contoh yang kongrit dapat dilihat. Jika
seseorang yang tengah menunaikan ibadah haji, atau
umrah ke Masjidil Haram, terlalai melaksanakan rukun
hajinya, maka ia harus membayar berbentuk denda
(dam). Andaikata dia tidak bisa bayar hudya atau
pemotongan hewan qurban, maka para hujjaj itu
dibenarkan mengganti dengan shaum (puasa). Puasa
tiga hari dimusim haji (ditanah Haram), dan tujuh hari
dikampung halaman, setibanya dari haji. Inilah salah
satu peran shaum, pengganti hudya.
Begitu pula, dikala seseorang membayar kifarat
atau sumpah, maka dia juga menghapuskan kifarat itu
dengan shaum atau puasa. Sering juga terjadi, dikala
seseorang menyampaikan nazar terkabulnya cita-cita,
maka dia juga berpuasa. v

H. Mas’oed Abidin 79
Nikmat Memberi, Syukur Menerima

Baginda Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wassalam


menyebutkan bulan Ramadhan ini, dengan sebutan
Syahru- 'ilmuwasah atau bulan-berlapang-lapang".
Lapang-lapang adalah adat manusia yang
beradat.
Sifat yang terpuji ini hanya ada pada seseorang
yang mau memperhatikan nasib dan keadaan orang
lain. Lapang-melapangi adalah sifat yang dipunyai
orang yang memilikii kepedulian sosial yang tinggi.
Memiliki kepekaan sosial yang mendalam.
Kepedulian sosial dan kepekaaan sosial amatlah
mustahil dipunyai oleh orang-orang yang egoistis.
Perangai yang hanya mau mementingkan dirinya sendiri
akan merupakan benalu bagi pohon masyarakat.
Kepekaan sosial yang mendalam itu, akan melahirkan
hidup bertenggang rasa. Dan pada akhirnya
menciptakan kehidupan masyarakat tolong bertolongan.
Ta'aawanuu 'Alal birri wat taqwa. Saling
tolong-menolong dalam kebaikan dan taqwa. (QS. Al
Maidah, 5 : 2).
Sikap kegotong royongan atau kebersamaan,
yang merupakan modal di dalam gerak pembangunan,
hanya akan tumbuh pada masyarakat yang memiliki
kepedulian sosial yang tinggi.
Rasa peduli, adalah hikmah lain dari shaum
(puasa).

80 H. Mas’oed Abidin
Baginda Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wassalam,
menyebutkan dalam sabda beliau sebagai berikut;
"Seseorang yang mampu memberikan perbukaan
kepada orang yang berpuasa dikala datang masanya
berbuka. Walaupun itu hanya seteguk air, atau sebuah
tamar (korma) saja. Niscaya dia akan mendapatkan
pahala. Sebesar pahala puasa yang tengah dipuasakan
orang yang diberikannya itu. Tampa mengurangi
sedikitpun pahala puasa orang yang diberi itu". (Al
Hadist).
Berdasarkan hadist tersebut, maka seseorang
dalam bulan ini, dianjurkan untuk memperbanyak
pahala puasanya setiap hari. Dengan jalan "pemurah".
Dengan cara peduli terhadap orang yang tengah
berpuasa. Suka mengulurkan tangan memberi kepada
orang lain.
Yang pada akhirnya, tindakan tersebut memiliki
nilai pelajaran yang mendalam. Yaitu, ikut memikirkan
orang yang ada disekitarnya. Tidak hanya
mementingkan dirinya sendiri saja.
Dengan demikian, pada hakekatnya seseorang
bisa saja melipatgandakan jumlah nilai puasanya.
Melalui cara memperbanyak usaha "memberi", kepada
orang lain.
Memberi dan menerima adalah 'adat hidup
bermasyarakaat. Take and give, kata orang.
Masyarakat yang hanya mau menerima saja, dan tidak
hendak memberi, adalah masyarakat yang sudah mati.

H. Mas’oed Abidin 81
Agama Islam, memulai pendekatannya dari
"memberi". Menumbuhkan rasa ni'mat dalam memberi.
Menambahkan rasa syukur dalam menerima.
Al Yaadul 'ulya. Khairun Minal Yadis-Sufla...", kata
Baginda Rasulullah. Maknanya tiada lain adalah,
“Tangan di atas (yang memberi), lebih baik dari tangan
yang dibawah (yang hanya menerima)". (Al Hadist).
Hikmah yang terkandung di dalam bimbingan
Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wa Sallam ini, tegas sekali.
Bahwa setiap manusia Muslim harus menjadi ummat
terbaik Ummat berkualitas, kata orang sekarang. Dan
itu tergambar dari satu sikap yang mulia (khairin). Yakni
menjadi ummat berkualitas tangan di atas. Ummat yang
mampu untuk memberi. Untuk ummat yang mampu
memberi tidaklah mudah. Karena kemampuan untuk
memberi itu harus ditopang oleh adanya syarat dan
rukunnya. Satu dari rukunnya adalah harus berpunya.
"Punya" dalam tanda kutip.
Punya meteri untuk diberikan. Punya sikap suka
memberi. Punya kualitas tidak senang menerima. Punya
izzatun-nafs atau harga diri yang tinggi. Suka memberi
yang didorong oleh sikap jiwa dari dalam. Dan yang
memberi sedemikian itu, perlambang dari "tangan yang
di atas". Memberi, karena merasa mempunyai
kewajiban untuk memberi. Bukan memberi, dengan
maksud menerima lebih banyak.
Bukan kerena berbatu dibalik udang, ucap
kebalikan kata pepatah.
Karena itu, memberi yang berkualitas itu, tidak
akan pernah menumbuhkan sikap angkuh dan

82 H. Mas’oed Abidin
sombong. Apalagi ria atau pamer. Satu dari sikap yang
paling tercela dalam Islam.
Memberi yang berkualitas itu, melahirkan rasa
solidaritas (ukhuwah) yang dalam. Menanamkan
kepekaan sosial yang tinggi. Bahkan meghilangkan
sikap tak acuh dan membunuh sikap egoistis yang
merusak tatanan kemasyarakatan.
Lebih jauh, "memberi" yang berkualitas itu,
karena berkewajiban untuk memberi. Akan berdampak
makin dangkalnya jurang pemisah antara kalangan
berpunya dan tidak berpunya.
Sementara, orang yang berada pada posisi
"menerima", seharusnya dapat pula menjadi "ummat
yang bersyukur". Dengan menjadikan "menerima" itu
berkualitas.
Pihak yang "memberi" dan yang "menerima",
memiliki derajat yang sama. Sama-sama memiliki
kemuliaan.
Yang memberi memiliki kemuliaan, memiliki
tangan di atas. Memiliki kewajiban, dan berhak
melaksanakan kewajiban itu. Dia akan memberikan
haknya kepada pihak yang berhak menerimakan. Fii
Ammalihim Haqqum Ma'luum. Lissa-il wal mahrum.
Artinya: di dalam harta harta mereka, ada hak orang
lain yang wajib ditunaikan", bagi yang meminta hak itu,
atau yang tidak mau meminta haknya itu (tetapi
sesungguhnya merreka yang tidak meminta itu,
mempunyai hak di dalamnya". (QS. Al Ma'arij, 70 :
24-25).

H. Mas’oed Abidin 83
Yang menerima juga memiliki kemuliaan. Dia
menerima, karena pantas menerimakan hak. Dia
menerima karena memiliki kewajiban untuk menerima
hak yang dibayarkan oleh yang memberi. Dia tidak
menerima, lantaran yang memberi merasa terpaksa.
Dia menerima, karena hendak menyelamatkan yang
memberi dari dhalim lantaran menahan hak orang lain.
Demikianlah prinsip ajaran Islam. Memberi dan
menerima, akhirnya menciptakan tatanan hidup
"aman". Karena adanya kelompok yang rela memberi,
dan rela pula menerima. Kedua-duanya sama
bermanfaat. Sama-sama memiliki kemuliaan. Tidak
perlu ada golongan yang dibeli. Tidak pula mesti ada
kelompok yang harus menjual martabat. Kepedulian
sosial yang ber-keadilan sosial.
Ibadah shaum (puasa), memupuk rasa memberi
itu. Memberikan hanya sekedar sebutir korma, untuk
pembukaan bagi yang berpuasa. Nilainya sama dengan
upah puasa orang yang diberi. Yang menerima
pemberian, walaupun hanya sebutir tamar, terimalah
dengan kemuliaan. Karena pemberian yang diterima itu,
tidak bakalan mengurangi nilai puasanya sidikit-pun.
Ibadah shaum melahirkan keikhlasan yang tinggi.
Yang memberi telah memberi dengan ikhlas. Yang
menerima, juga menerima dengan ikhlas. La'allakum
Tasykuruuma (supaya kamu bersyukur).
Bersyukur adalah pandai berterima kasih.
Bersyukur tidak semata sebatas mengucapkan
Alhamdulillah. Bersyukur, bermakna juga memelihara
apa yang ada. Mempergunakan ni'mat dikeliling,

84 H. Mas’oed Abidin
menurut ketentuan si pemberi ni'mat yaitu Allah
Subhanahu Wa Ta'ala. v
Melatih Kesabaran

Jika seluruh tuntunan agama di dalam


mengamalkan nilai-nilai Ramadhan ini dapat
dilaksanakan, kita yakin sungguh, bahwa Allah
Subhanau Wa Ta'ala benar-benar telah menjadikan
ibadah ini sebagai suatu sarana bagi pendidikan
masyrakat se-umumnya.
Kita yakin, bila nilai-nilai Ramadhan ini
teramalkan, sudah barang tentu, selesai Ramadhan ini,
masyarakat kita telah terlatih memiliki cara-cara hidup
yang baik. Telah terlatih menahan diri. Telah terlatih
pula untuk hidup sederhana. Telah dapat pula
berperangai "tenggang rasa" terhadap sesama
manusia. Bisa bersikap saling hormat- menghormati.
Dan yang paling utama adalah, akan lahir masyarakat
yang bisa saling tolong menolong.
Sikap-sikap terpuji, seperti kita sebutkan tadi,
adalah hasil dari latihan selama Ramadhan. Sikap laku
perangai (mental attitude) sedemikian, teranglah sudah
merupakan sikap jiwa yang diperlukan di dalam
pembangunan bangsa dan negara.
Disinilah kita mendapatkan bahwa nilai ibadah
shaum Ramadhan memiliki nilai ibadah yang tinggi.
Baik untuk pribadi-pribadi maupun secara ijtima'i
(kemasyrakatan).
Dalam kaitannya dengan keagungan yang
terkandung di dalam Ramadhan ini, Baginda Rasulullah

H. Mas’oed Abidin 85
Shallallahu 'alaihi Wa Sallam menyebutkan beberapa
keutamaan bulan Ramadhan ini.
Ramadhan disebut sebagai syahru-syabri, yakni
bulan melatih kesabaran.
Semua manusia mengetahui, bahwa sabar itu
adalah sikap yang utama. Seseorang panglima di
medan perang, hanya berhasil karena kesabaran yang
dimilikinya. Seorang guru yang tengah mendidik, akan
berhasil karena memiliki kesabaran. Seorang pencari
berita, fakta dan data, akan Terkumpul karena adanya
kesabaran.
Pedagang di tengah pasar memerlukan
kesabaran. Dokter yang sedang menghadapi pasien di
meja operasi, akan berhasil lantaran memiliki
kesabaran.
Kesabaran tiada sekolahnya. Tidak ada juga
apotik penjual "pel tablet sabar"itu.
Kesabaran hanya bisa diperdapat dan
ditumbuhkan melalui latihan latihan. Latihan yang
paling utama ialah menahan diri. Agama menyebutkan
sebagai imsak. v

86 H. Mas’oed Abidin
Puasa Membentuk Manusia Sukses

"Sesungguhnya kami telah manjadikan apa yang ada


dibumi sebagai perhiasan baginya
(pakaian/olahraga/alat bagi manusia), agar kami
menguji mereka siapakah diantara mereka yang terbaik
perbuatannya. (QS. Al-Kahfi, 18 : 7)
Di dalam pernyataan ini terselip tentang sarana
untuk keberhasilan manusia dibumi.
Keberhasilan, hanya diperuntukkan bagi orang-
orang yang disebut ayyuhum ahsanu 'amalan, sesiapa
yang terbaik amalan, usaha atau fikrah mereka.
Begitulah garis dari Yang Maha Pencipta manusia.
Pendidikan Ramadhan diarahkan kepada insan-
insan Mukmin. Dilakukan sangat intensif. Mencakup
segi- segi ruhiyat (kejiwaan) dan jismiyat (fisik),
sehingga terbentuk insan kamil. Yang mampu
melahirkan dari geraknya sebagai jawaban nyata.
ayyuhum ahsam 'amalan, siapakah yang terbaik
amalan mereka.
Untuk menciptakan ahsam amalan (amalan
terbaik) itu, manusia memerlukan beberapa sikap
positif.
Antara lain berbentuk ketahanan lahir dan bathin.
Selain itu juga ketabahan jiwa, keteguhan pendirian
serta keandalan keyakinan.
Ketelatenan dalam berusaha, atau yang disebut
istiqomah (consistence), merupakan hasil dari
kejernihan berfikir (positif thinking) dan kedisiplinan

H. Mas’oed Abidin 87
dalam penggunaan waktu serta pemakaian benda dan
tenaga yang tepat.
Secara implisit kesemua sikap positif tadi
diperdapat sebagai hasil nyata dari ibadah shaum
Ramadhan.
Shaum (puasa) Ramadhan yang dilakukan tidak
hanya sebagai ceremonial ritual (kebiasaan yang
mengarah kepada tradisi), berpeluang besar untuk
membentuk watak manusia yang berpuasa.
Watak yang dilahirkan oleh tindakan puasa yang
benar adalah "memperisai diri" dari segala sikap yang
tidak baik. Ashshiyaamu jumatun, (puasa itu adalah
benteng), yang akan melindungi diri dari sikap-sikap
tercela. Begitu gambaran yang akan disampaikan oleh
Rasulullah.
Maka, shaum yang benar pasti membentuk
manusia- manusia sukses, berhasil dan utuh. Sesuai
sabda Rasululllah,
"Sesiapa yang tidak meninggalkan kesia-siaan (laghwi)
dan kecabulan (rafats), maka tidak bermakna puasa
baginya"
(Al Hadist).
Jelaslah sudah, mereka yang melaksanakan
shaum sesuai dengan bimbingan Rasul (mengikuti
sunnah dengan benar), tentulah tidak akan melakukan
hal yang sia-sia (percuma/waste). Selain itu, tentu tidak
akan melakukan kecabulan (dalam arti seluasnya).
Apakah kecabulan dalam arti pelecehan sexual, atau
dalam arti perbantahan, perkelahian, kerusakan,
kata-kata kotor, pemboroson, dan semacam itu.

88 H. Mas’oed Abidin
Yang lahir adalah sikap sikap terpuji, saling
menghormati, saling membantu, saling merasakan
beban sesama, rasa kebersamaan yang dalam,
kepedulian sosial yang tinggi. Kesemuanya merupakan
modal utama manusia mencapai sukses dan berhasil
dalam hidup. v

H. Mas’oed Abidin 89
Tagwa Membutuhkan Watak Sabar

NILAI taqwa merupakan nilai puncak yang


diminati dan dikejar oleh setiap mukmin.
Muttaqin (orang-orang bertaqwa) mendapatkan
jaminan untuk:
1. Mampu mendapatkan dari Al Quran (Wahyu Allah)
untuk petunjuk, penerangan, contoh-contoh dan
pelajaran di dalam menata kehidupan meteriil
maupun immateriil. (lihat
QS.2:2/2:66/3:138/5:46/21:48/24:34 dan 69:48).
Karena itu mereka akan mudah memahami makna
terkandung dalam Al Quran (Wahyu Allah)
(QS.19:98).
2. Mendapatkan sorga, tempat kembali terbaik.
Memperoleh kehormatan dari Allah
(QS.3:133/26:90/38:49/50:31 dan 68:34). Mewarisi
kehidupan akhirat yang kekal abadi , sebagai balasan
terbaik dari Allah (QS.43:35).
3. Memperoleh kemenangan (QS.78:31), karena mereka
selalu disertai oleh Allah (QS.2:194/9:36 dan 123).
Dan akan menjadi tamu terhormat dari Allah pada
hari setiap manusia dikumpulkan di Yaumil Mahsyar
(QS.19:85).
4. Selalu dicintai oleh Allah Maha Pencipta. Karena
keteduhan dalam memelihara sifat-sifat terpuji,
menepati janji, tak suka berbuat angkuh, berlaku
jujur dan lurus, selalu konsisten (istiqomah),
(QS.3:76/9:4,7).

90 H. Mas’oed Abidin
5. Selalu mendapatkan jalan keluar (way out) dari
setiap problema hidup yang dihadapi. Selalu
mendapatkan rezeki yang baik dari sumber-sumber
yang tidak disangka. Senantiasa berserah diri
(tawakal) kepada Allah. Dan Allah mencukupkan
keperluan baginya dalam hidup. Redha dengan
ketentuan Allah, sehingga Allah pula yang akan
memberikan kemudahan dalam setiap urusan.
6. Bahkan mereka akan mendapatkan penghapusan dari
kesalahan-kesalahan karena mereka selalu kembali
kepada Allah. Untuk mereka dilipatgandakan amalan
dan pahala mereka (QS.65 ayat 2,3,4 dan5).
Disinilah terlihat tingginya nilai taqwa.
Membentuk watak sabar sebagai ciri-ciri orang Muhsinin
(orang dan pahala mereka (QS.12:90). v

H. Mas’oed Abidin 91
Lima Asas
Pembentukan Manusia Mukmin

Betapa banyaknya para shaimin (orang yang ikut


berpuasa, ikut bertanggung dan menahan dari makan
dan minum), tetapi tidak sesuatupun (dari nilai-nilai
puasa) yang mereka peroleh, selain hanya lapar dan
dahaga. (Al Hadist).
Mana yang lebih banyak ditemui, antara yang
mendapatkan nilai positif shaum, ataukah hanya
sekedar lapar dan haus? Pertanyaan ini mengundang
kita untuk merenungi lebih dalam.
Nilai-nilai positif dari shaum adalah terbentuknya
watak terpuji lagi mulia. Watak yang mendorong
pemiliknya bertindak baik dan positif. Menjadikan lagak
lakunya bermakna bagi dirinya, keluarga,
masyarakatnya secara umum. Positif dan indah dalam
bertetangga, berkorong- kampung, berbangsa dan
bernegara.
Setidak-setidaknya terdapat lima bentuk
pendidikan itu tidak ada, patutlah kita bercemas diri
dalam meninggalkan generasi sesudah kita. Pendidikan
shaum Ramadhan itu,
1. Tarbiyyah ruhiyah, pendidikan kerohanian, atau
kejiwaan.
2. Tarbiyyah ubudiyyah, pendidikan ibadah.
3. Tarbiyyah 'aqliyah (fikriyyah), pendidikan, akal, fikir.
4. Tarbiyyah akhlaqiyyah, pendidikan moral, akhalaq.

92 H. Mas’oed Abidin
5. Tarbiyyah jismiyahad diniyah, pendidikan fisik
keagamaan.
Kelima bentuk pendidikan ini, berkembang
menjadi asas bagi pembentukan generasi manusia
mukmin sepanjang masa. Dan merupakan fundamental
basic dalam menciptakan generasi yang kuat. Generasi
Rabbani yang mandiri.
Generasi besok dibentuk oleh generasi hari ini.
Apa yang akan dituang esok hari, adalah dari yang
ditanam sebelumnya. Bahkan ditentukan juga oleh
pemeliharaan generasi yang intensif dari apa yang
sudah ditanam. Salah satu usaha pemeliharaan
generasi adalah melalui pendidikan yang sambung
bersambung itu.
Rohani adalah pasangan erat jasmani. Yang
menyebabkan ditemuinya arti kehidupan. Bila satu dari
keduanya sakit maka kehidupan ini tidak akan
bermakna lagi.
Kedua unsur ini perlu dipelihara dengan baik.
Dirawat dengan telaten. Dan segala kebutuhan dari
keduanya menjadi wajib diperhatikan sungguh-sungguh.
Sebuah ungkapan kuno menyatakan , “Men
sana in carpore sano, “ atau "di dalam tubuh yang
sehat terdapat jiwa yang kuat".
Kenyataannya yang bertemu adalah "jiwa yang
kuat" dan "jiwa yang sehat" lebih menjamin terciptanya
"tubuh yang sehat".
Ironis sekali, bahwa titik penekanan manusia
lebih banyak kepada pemenuhan kebutuhan jasmani
(fisik). Seringkali terlupakan pemenuhan kebutuhan

H. Mas’oed Abidin 93
rohani (kejiwaan). Akibatnya bisa jadi fatal bagi manusia
itu.
Seharusnya, bila kebuthan rohani tidak bisa
diutamakan, setidak-tidaknya antara kedua kebutuhan
(rohani dan jasmani) wajib mendapatkan pemenuhan
yang sama-seimbang. v

94 H. Mas’oed Abidin
Keberhasilan Ibadah,
Karena Kesediaan Mengatur Diri

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan


supaya menyembah-Ku (beribadah kepada-Ku) "(QS.
Adz Zariat,51 : 56)
"Ibadah" atau pengabdian kepada Allah Khaliqul
'Alam selalu hanya didasari kepercayaan dan kepatuhan
(ketaatan) kepada-Nya. Ibadah adalah sesuatu yang
digariskan oleh Maha Pencipta. Ibadah adalah sesuatu
yang ditentukan oleh Ma'bud (=Yang Disembah). Ibadah
sama sekali bukan ditentukan oleh yang menyembah
('abid). Ibadah mengandung makna dan jangkauan
yang mendalam.
Di dalamnya terlihat makna dari pengakuan
atau syahadah. Terlihat nyata tindakan berupa
pengabdian atau penghambaan, secara utuh.
Disertai kerelaan dan kesetiaan.
Gambaran ibadah seperti itu dirasakan langsung
oleh setiap shaimin (orang yang berpuasa), dibulan
Ramadhan.
Sari pati yang diperdapat dengan Ramadhan
adalah kemenangan dari satu perjuangan berat.
Perjuangan yang disebut jihadun nafsi. Melalui ibadah
yang teratur rapi, sejak dari makan sahur, imsak
(menahan) sehari penuh. Dan kemudian berbuka (ifthar)
dengan cara sederhana tidak berlebihan. Hingga
mendirikan (qiyamul-lail) malam Ramadhan. Baik

H. Mas’oed Abidin 95
berupa shalat tarawih, tadarus (membaca ayat-ayat Al
Quran) atau istiqhfar, zikir, dan ibadah lainnya.
Semua itu dirangkaikan secara teratur dan
disiplin yang terjaga. Kerangka ini adalah suatu
kesungguhan (jihad) yang amat memerlukan ketepatan
yang sungguh-sungguh.
Tidak bisa dilakukan dengan keengganan atau sambil-
sambilan. Keberhasilan ibadah ini hanya dimungkinkan
karena adanya tekad yang kuat, untuk mangatur diri
(self control).
Jihadun nafsi dalam suatu ibadah, tampak dalam
perjuangan mengendalikan diri, menjinakkan hawa
nafsu, yang selalu bersikap pantang kerendahan dan
pantang pula terlangkahi.
Rasulullah SAW memberikan ukuran yang jelas.
"Bukanlah dimaksud berpuasa, hanya sekedar tidak
makan dan tidak minum belaka. Berpuasa itu
sesungguhnya adalah kesanggupan mengendalikan diri
dari berbuat dusta, dari berbuat keonaran dan
kebathilan, dan dari segala kelancangan (omongan
yang tidak berguna) "(Al Hadist).
Keberhasilan lainnya adalah "kemampuan
membentuk diri melakukan ibadah yang berguna".
Ibadah sebagai suatu deklarasi dari ajaran tauhid.
Laa ilaaha illallah. Tidak ada Tuhan yang berhak
disembah selain hanya Allah. Ini berarti, setiap manusia
yang mengakui ajaran tauhid, akan selalu menyembah
kepada-Nya. Selalu pula meng-Esa-kan Nya. v

96 H. Mas’oed Abidin
Mengendalikan Diri Berjihad Akbar

BAGINDA Rasulullah mengungkapkan di dalam


sabda beliau, artinya "Seseorang tidak dikata mujahid
karena melompati musuh di medan laga. Tetapi yang
mujahid itu, adalah menahan diri (memiliki
ke-sabaran)".
Berani tampa perhitungan, bukanlah contoh
orang yang sabar. Perhitungan yang matang, dan
kesabaran jualah yang sebenarnya mendorong
seseorang untuk bertindak benar. Pada akhirnya,
kebenaran pula yang menyebabkan seseorang berani
dalam bertindak. Berani untuk berjuang
mempertahankan kebenaran itu.
Jadi, kesabaran terlihat pada kemampuan
seseorang mengendalikan dirinya. Para petinggi negara,
para diplomat, para ilmuwan, pendek kata para
intelektual, dituntut memiliki kesabaran sebelum
mereka bertindak di dalam mengemban
tugas-tugasnya.
Kemampuan pengendalian diri ini, tidaklah
urusan sepele. Dia merupakan urusan besar dan berat.
Begitu beratnya, maka Baginda Rasulullah
menyebutkannya sebagai "jihad akbar", atau
"perjuangan yang berat".
Sepulangnya dari Perang Uhud yang terkenal itu,
dimana para syuhada banyak berguguran, Baginda
Rasulullah bekata, "Kita baru saja keluar dari jihad
(perang) yang kecil saja. Kita akan memasuki jihad
(perang) yang lebih besar lagi", kata beliau.

H. Mas’oed Abidin 97
Pernyataan Baginda Rasulullah ini, mengundang
heran dan tanya para sahabat setia dan pengikut
beliau. Keterheranan mereka ini, diungkapkan dengan
tanya yang langsung ditujukan kepada Baginda
Rasulullah, "MANA LAGI PERANG (JIHAD) YANG BESAR
ITU, WAHAI BAGINDA RASUL?"
Seolah-olah dengan pertanyaan itu, para sahabat
menilai bahwa perang baru ditinggalkan tadi, sudah
dirasakan sebagai perang yang paling besar, yang
pernah dialami mereka.
Serta-merta Baginda Rasulullah menjawab,
“JIHADUL AKBAR, JIHADUN NAFSI"(Al Hadist). Jihad
(perang) yang besar itu, adalah jihad (perang)
mengalahkan nafsu (mengendalikan diri), kata beliau.
Jihadun nafs (perjuangan mengendalikan diri) ini,
tempat latihannya adalah ibadah shaum atau ibadah
puasa.
Shaum atau puasa itu, diawali dan diakhiri
pengendalian diri". Kita bisa merasakan sungguh,
bagaimana kita mulai menahan, sesudah sahur berakhir
pagi tadi. Tiada semenit- pun masa toleransi. Jika
waktunya telah tiba, walaupun perut masih meminta,
kita rela membasuh jari mengakhiri makan sahur tadi.
Begitu pula, dikala kita sebentar lagi, disore nanti
akan berbuka puasa. Sungguhpun penganan telah
tersedia dimeja dihadapan muka. Kita belun akan mau
menjangkaunya, jika waktunya belum tiba. Tinggal
semenit lagi, kita rela menanti.
Alangkah dalamnya perlajaran ini. Latihan disiplin
yang tinggi, dan pengendalian yang utuh.

98 H. Mas’oed Abidin
Sebuah latihan, hanya bisa dilihat berhasil atau
tidaknya, setelah masa latihan itu terlewati. Begitu pula,
keberhasilan kita melaksanakan puasa (shaum) ini,
terlihat berbekas, jika kita mampu memiliki sifat-sifat
disiplin, dan terkendali diri, sesudah Ramadhan pergi.
Makin tinggi nilai latihan kita, makin lama
bekasnya di dalam diri.
Di dalam pembangunan bangsa yang tengah kita
alami sekarang, yaitu PJPT-II (Pembangunan Jangka
Panjang Tahap Kedua) dihadapan mata kita. Teranglah
tugas setiap individu semakin berat.
Kita memerlukan manusia yang berkualitas.
Memiliki disiplin yang tinggi dalam setiap kondisi. Kita
amat memerlukan bangsa yang tangguh dan ampuh
manjalaankan misi pembangunan, disegala bidang. Kita
juga amat menghajatkan manusia yang rela menahan
diri, berhemat, dan ikut merasakan penanggungan
teman lainnya. Memiliki rasa solidaritas (ukhuwah) yang
men-dalam.
Semuanya hanya bisa diciptakan, melalui latihan
latihan yang terus menerus. Kesempatan selalu
dibukaan oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala, melalui
ibadah puasa (shaum) ini.
Akankah kita biarkan saja Ramadhan tahun ini
berlalu tampa kesan. Tampa ada usaha kita mengambil
nilai-nilai mulia yang terkandung di dalamnya. tentu
tidak.
Maka, sewajarnyalah setiap kita berusaha sekuat
daya, supaya lingkungan kita dimanapun kita berada,
bisa menerapkan amalan puasa (shaum) ini.

H. Mas’oed Abidin 99
Inilah tujuan utama, Allah Subhanahu Wa Ta'ala
memerintahkan shaum (puasa) itu. La'allakum
Tattaquuna. Supaya kamu menjadi orang-orang yang
terpelihara, terlindungi. Bangsa yang bertaqwa, adalah
bangsa yang mawas diri.
Demikian hendaknya. v

100 H. Mas’oed Abidin


Manusia Yang Taqwa Tidak Sombong

PENDIDIKAN rohani adalah penanaman aqidah


imaniyah sedari dini. Pertalian antara Khaliq dengan
makhluk-Nya. Aqidah Tauhid, mempercayai hanya Allah
Yang Maha Esa, tidak ada yang berhak disembah selain
dari pada-Nya.
Kalimat Tauhid adalah kalimat thayyibah.
Yang bersemi di dalam kalbu mukmin, ibarat sebuah
pohon yang baik dan subur. Uratnya menghujam bumi,
dan pucuknya melambai awan. Dari setiap rantingnya
muncul buah yang ranum setiap masa. Melahirkan
amalan-amalan yang baik dengan izin (bimbingan)
Tuhannya. Begitulah perumpamaan yang diberikan
Allah terhadap manusia, supaya mereka memikirkan..
(QS.Ibrahim, 14 : 24-25).
Taqwa, artinya terpelihara. Orang yang bertaqwa
selalu memelihara diri untuk senantiasa mengerjakan
apa- apa yang disuruhkan oleh Allah. Dan juga
memelihara diri dari apa yang dilarangkan oleh Allah.
Taqwa itu, sebagaimana dirumuskan,
"mengerjakan yang disuruhkan dan meninggalkan yang
dilarangkan oleh Allah." Terlihat disini adanya unsur
kepatuhan kepada Allah semata.
Lebih dalam lagi, setiap yang dikerjakannya, dan
semua yang ditinggalkannya, adalah karena Allah
semata. Hanya karena mengharapkan redha Allah.

H. Mas’oed Abidin 101


Taqwa merupakan buah dari iman. Bukan sekadar
polesan dari luar. Maka dapat dimengerti, taqwa adalah
sikap jiwa yang mantap dan mengakar dari iman.
Taqwa letaknya di sini (sambil Rasulullah
menunjuk ke dada beliau. Dan diucapkan sampai tiga
kali). Begitulah bila kita lihat rumusan Rasulullah
tentang peranan taqwa dalam pembentukan jiwa
manusia.
Manusia bertaqwa memiliki sikap-sikap perbuatan yang
terpuji. Diantaranya, memiliki kesabaran yang tinggi.
Tidak angkuh dan tidak sombong. Tidak diperbudak
oleh benda tetapi mampu menguasai benda/materi (QS.
11:49).
Tidak suka berbuat kerusakan dan kebencanaan dalam
hidup (QS.28:83).
Menjadi panutan di tengah kehidupan (QS.25:74).
Mewarisi kesuksesan dalam hidup di bumi. Dan
memiliki peluang akhri yang lebih baik (QS.7:128).
Dalam perjalanan hidupnya orang-orang
bertaqwa selalu memilih yang terbaik. Senantiasa
bertindak dengan perangai terpuji. Tidak pernah
terhalang dirinya untuk berbuat kebaikan. Segera
menyambut amal baik denan ikhlas. Begitulah sikap
yang menonjol yang selalu dikenal oleh Allah (QS. 3
:115, 9 : 44). v

102 H. Mas’oed Abidin


Kesetiaan Manusia Hanya untuk Allah

Pengakuan terhadap eksistensi Allah, karena


hanya Dia lah Maha Pencipta. Allah Yang Maha Agung,
pemilik segala jagadraya beserta segala isinya. Bahkan
seluruh mekanisme alam ini tunduk kepada
hukum-hukum menurut ketentuan Allah semata.
Allah, Dialah Yang Maha Besar. Allahu Akbar.
Laailaaha Ilallah. Tiada Tuhan selain Allah.
Pengakuan yang menggambarkan pengabdian tanpa
reserve.
Hubungan manusia dengan Khaliq (hablum
minallah) penaka hubungan seorang hamba sahaya
yang setia terhadap tuannya.
Dalam hubungan ibadah seperti itu, seorang
hamba sanggup dan rela mengorbankan apa jua, yang
diminta oleh Tuhannya.
Dalam hubungan ibadah itu tercipta rasa bahagia
yang hakiki..
Seorang insan yang berikrar dengan kalimat
tauhid ini, akan bersedia mematuhi kehendak Allah,
dimana dan kapan saja. Demikianlah bukti suatu
ibadah. Buah atau bukti dari pengakuan terhadap
kekuasaan Allah semata.
"Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, dan ibadahku,
dan hidupku, dan matiku, hanyalah untuk Allah,
Penguasa semesta Alam. Tiada sekutu bagi Nya. Dan
demikian itulah diperintahkan kepadaku, dan aku

H. Mas’oed Abidin 103


adalah orang yang pertama- tama menyerahkan diri
kepada Allah." (QS. Al An'am, 6: 162-163).
Allah Rabbul 'Alamin, pengatur, pemelihara dan
mengasihi serta menyempurnakan seluruh alam. Dialah
hanya yang berhak mendapatkan pujian.
Di sinilah letak persoalan yang sebenarnya.
Bahwa ketaatan, kepasrahan, ketundukan dan
kesetiaan manusia-sebagai makhluk, hanya teruntuk
kepada Allah.
Semua aturan tentang alam ini ada pada kuasa
Nya semata.
Berulang kali, di kala para utusan (Rasul Allah)
datang ke tengah kehidupan manusia, selalu
membawakan Risalah yang sama.
Wahai kaum-ku (ummat manusia seklian),
Sembahlah hanya kepada Allah,
Tiada Tuhan yang berhak disembah olehmu,
kecuali hanya Allah semata,
Deklarasi "Tiada Tuhan selain Allah", merupakan
kunci pembebasan manusia. Pembebasan jiwa manusia
dari setiap jerat dan belenggu.
Deklarasi itu pula yang mendorong kekuatan
intelektual maupun material supaya terbebaskan dari
belenggu perbudakan. Yang ada hanya penghambaan
kepada Allah semata.
Kekuatan itu telah memberikan dorongan hidup
bagi jiwa yang ingin merdeka dari penindasan
penjajahan.

104 H. Mas’oed Abidin


Di limapuluh tahun silam, kekuatan ini terbukti
berkekuatan ampuh memutus belunggu penjajahan atas
bahwa ini. Sehingga kekuatan yanglahir dari kalimat
tauhid ini berperan besar memanggil para putra terbaik
bangsa ini. Untuk menyerahkan jiwa dan raga.
Menggantikan dengan syahid dan kemerdekaan bangsa.
v

H. Mas’oed Abidin 105


Manusia Modern Dapat Menjadi
Manusia Biadab.

Kalimah Thaiyyibah dapat melepaskan manusia


dari beban mental psikologis. Kalimat thaiyyibah
mampu mengobati jiwa yang kacau balau. Kalimat
tauhid ini pula yang akan memberikan piagam sejati
bagi kemerdekaan dan kebebasan manusiawi, dari
segala macam bentuk perbudakan kebendaan.
Implementasi dari kalimat tauhid akan
mengangkat derajat manusia. Dari kaula yang dikuasai
materialistik, kepada kaula yang menguasai
materialistik. Dari genggaman erat kebendaan kepada
menggenggam erat benda duniawi untuk kemaslahatan
hidup duniawi dan ukhrawi.
Disinilah ditemui hakikat tertinggi dari satu
tindakan ibadah. Suatu pendidikan ubudiyah yang
terlahir dari ajaran Tauhid yang authentik.
Setiap incan yang arif akan mengerti, bahwa
Ramadhan merupakan arena untuk menyahuti
panggilan Allah. Menghidpkan rohani, menyehatkan
jasmani dan menggairahkan akal fikiran.

Di setiap relung-relung hari Mu


Sekujur muslim menyahuti panggilan Mu
dengan ingatan dan sebutan,
dengankalimat tasbih memuji Mu

106 H. Mas’oed Abidin


dengan bacaan Al Qur'an Kitab Mu
Di sana,
kelak setiap jiwa pasti
membaca kitab amalan-Nya
dan
alangkah malangnya wahai badan,
yang membiarkan kedua kakinya tergelincir
terjerembab.
Betapapun pandai dan modernnya manusia,
ternyata mereka tetap memerlukan Tuhan. Sejak
sejarah manusia masa lalu, hingga ke masa kini telah
menunjukkan bukti. Bahwa tanpa pedoman Wahyu,
akhirnya manusia akan tergelincir, terjerembab.
Manusia akhirnya akan mengalami kefatalan
dalam bertindak. Hanya karena mengandalkan
kedigjayaan akan fikiran yang berkemampuan amat
terbatas itu. Manusia sedang meniti kepunahan dari
manusia-manusia pandai dan modern. Di satu ketika
mereka sampai kepada satu pengakuan bahwa
sebenarnya mereka tidak tahu apa-apa.
Manusia modern dengan peradaban dapat saja
menjadi manusia yang paling biadab. Bahkan bertindak
paling mengerikan. Dikala kemampuan akal fikiran
mulai meninggalkan atau menyisihkan norma-norma
Tuhan. v

H. Mas’oed Abidin 107


Kehancuran Bermula dari
Kesewenangan Para Mutrafin

PENDIDIKAN akal, tidak hanya sebatas ilmu


pengetahuan dan teknologi saja. tercakup juga jiwa dari
akal sehat itu, nilai-nilai agama dan nilai-nilai ajaran
tauhid.
Hikmahnya, semua gerak dan tujuan kehidupan
baik secara individual (pribadi) maupun kolektif
(masyarakat) tidak hanya dalam batas ruang lingkup
kecil. Tetapi mencakup lingkungan yang luas (dunia dan
akhirat).
Maka akal pikiran manusia dididik untuk
diarahkan pada pencapaian mardhatillah. Mendapatkan
redha Allah.
Firman Allah SWT, "Jikalau seandainya penduduk
negeri- negeri beriman dan bertaqwa, pastilah kami
akan melimpahkan kepada meraka keberkatan dari dan
bumi, tetapi mereka mendustakan ayat-ayat kami itu,
maka kami siksa mereka disebabkan perbuatannya
(sebagai buah dari pikiran yang kosong dari pendidikan
ketauhidan)" (QS. Al Isra, 7: 96).
Peringatan Allah selanjutnya, “Dan jika kami
hendak membinasakan suatu negeri, maka kami
perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah
dinegeri itu (supaya mereka mentha'ati Allah), tetapi
merekamelakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka
sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan

108 H. Mas’oed Abidin


(ketentuan), kami kemudian hancurkan negeri itu
sehancur-hancurnya". (QS. Al Isra', 17 : 16).
Jadi kehancuran dari saru negeri, kaum maupun
bangsa, bermula dari kesewenangan para mutrafin
(pemegang posisi dinegeri itu). Apakah mereka itu para
penguasa atau pemilik ilmu pengetahuan.
Pada saatnya kita sekarang menolehkan
pandangan ke kiri atau ke kanan untuk saling
mengulurkan tangan dalam melaksanakan amar
makmur dan nahi munkar itu. v
Jangan Berbuat Bencana di Bumi

DIKALA norma-norma Tuhan dalam kehidupan


ditinggalkan secara sadar, manusia mulain mengelola
kepentingannya menurut pola sendiri. Ambisi dan
individualistis akan menjadi raja yang wajib diikuti.
Terbitlah perlombaan keinginan nafsu. Dalam
perjuangan keras, sering kali manusia terjaring dalam
perangkap memperturutkan kecendrungan gila yang
datang dari dalam dirinya. Dorongan menyelamatkan
diri sendiri lebih dominan daripada mengutamakan
kepentingan orang banyak.
Kemajuan yang diperdapat selain
mempertahankan mati-matian. Sering kali bisa menjadi
ibarat pisau bermata dua. Bisa mencelakakan
kehidupan manusia itu sendiri. Yang demikian bisa
terjadi karena kesenjangan yang terciptakan ditengah
kehidupan maju, berupa hilangnya keseimbangan.

H. Mas’oed Abidin 109


Keadilan, kesejahteraan, rasa persamaan,
keamanan, yang menjadi dambaan sudah sulit ditemui.
Yang tersua sering kali kebalikannya.
Penindasan dan destruksi terhadap jaringan
hidup masyarakat pada gilirannya melahirkan
keresahan dan kekalutan.
Kenapa semua bisa terjadi? Karena manusia tidak
merasa bertanggung jawab terhadap kekuasaan Allah.
Kehidupan manusia hanya menuntut batas
pertanggungjawaban usaha sebatas diri manusia
sendiri.
Hukum Allah sudah sering ditinggalkan. Manusia
kehilangan kesadaran. Sebenarnya dirinya memikul
keterbatasan. Dalam berbagai urusan sebenarnya
manusia tidak memiliki kesanggupan yang cukup untuk
memahami seluruh aspek realitas kehidupan ini. Bahkan
secara nyatanya hanya berkemampuan menangkap
beberapa segi saja dari aspek yang kompleks ini.
Sebenarnya manusia selalu dikaburkan
pandangannya oleh kepentingan atau keinginan nafsu
yang picik dan tidak bijak. Sebenarnya mengandalkan
semata-mata akal pikiran bukan satu-satunya jawaban
dalam hidup.
Akal dan pikiran yang jernih pasti akan
menangkap jelas, bahwa batas-batas yang ditetapkan
mutlak diperlukan oleh manusia. Melalui
batasan-batasan yang dibuatkan oleh Allah sebenarnya
manusia bisa membuat legislasi, motivasi dan
modernisasi dalam seluruh segi kehidupannya. Allah
menerangkan dengan jelas, “Janganlah kamu berbuat

110 H. Mas’oed Abidin


bencana dibumi. Sungguh Allah tidak menyukai
pembuat bencana (pelanggaran batas-batas yang
ditetapkan Allah)" (QS. Al Qashash, 28 : 77). v

H. Mas’oed Abidin 111


Nasehat Tanda Kasih,
Larangan Tanda Cinta

DALAM tatanan-gaul, setiap Muslim mempunyai


kewajiban asasi. Kewajiban untuk memberikan nasehat
kepada sesama saudaranya. Kewajiban untuk
menyampaikan yang ma'ruf (amar ma'ruf). Kewajiban
memperingatkan agar tidak terjerambab kejurang
ke-munkar-an atau nahyun'anil munkar. Kewajiban itu
dilakukan secara tulus. Kaena Iman kepada Allah.
Agama itu nasehat ucap Baginda Rasulullah.
"Amar ma'ruf-nahi munkar" dilaksanakan bukan
karena benci. Bukan karena iri. Apalagi karena sakit
hati. Dilaksanakan dalam kerangka
nasehat-menasehati. Dan disampaikan hanya
semata-mata karena kecintaan sejati. Sama-sama ingin
masuk surga. Sama-sama ingin terhindar dari neraka.
Sama-sama terbebas dari godaan iblis-syaitan. Apakah,
usaha amar-ma'ruf dan nahi-munkar itu tidak sesuai
dengan harkat-martabat kemanusiaan?
Amar ma'ruf nahi-munkar dilaksanakan,
semata-mata supaya maratabat manusia tetap berada
dalam peri- kemanusiaannya. Hanya bisa dilakukan
karena mahabbah. Karena kasih sayang sesama
manusia.
Dalam kaitannya dengan bimbingan Baginda
Rasulullah. Bahwa di bulan Ramadhan ini, “dibukakan
pintu syurga". Maka yang paling pantas dikerjakan
adalah amalan-amalan yang mendekatkan kepada pintu
syurga itu. Yaitu segala usaha kepada "kebaikan" dalam

112 H. Mas’oed Abidin


arti yang hakiki. Kebaikan yang diajarkan Allah dan
Rasulullah. Kebaikan yang menjadi warna "fitrah"
kemanusiaan itu.
Andai kata, selama sebelas bulan dalam setahun,
masih terlalaikan amal-amal kebaikan. Selama sebulan
Ramadhan ini, jangan pula sempat diabaikan. Inilah
bulan, tempat kita berpacu berbuat kebaikan kebaikan
itu.
Terhadap arti dzahir hadist Baginda Rasulullah,
memang kita yakini bahwa dibulan Ramadhan ini, pintu
syurga memang dibuka. Itulah keyakinan mukmin,
terhadap sabda Baginda Rasulullah. Namun maknanya
akan lebih tepat, bla kita meyakini, bahwa kebaikan
lebih utama dilaksnakan dihari ini.
Bagi yang melakukan kejahatan, bertaubat
adalah tindakan yang paling tepat. Maka puasa (shaum)
di sini, tidak hanya sekedar menahan haus dan lapar.
Tetapi lebih utama disamping itu, menahan dari berbuat
kejahatan.
Akan halnya "dikunci pintu neraka", merupakan
peringatan keras, bahwa dibulan Ramadhan ini jangan
lakukan juga perbuatan yang membawa ke neraka itu.
Jangan berteman dengan syaitan. Jangan ditiru-tiru
lagak-lagu syaithan. Dengan segala tipu daya yang
tidak senonoh itu.
Jelaslah, bahwa di bulan Ramadhan ini, setiap
muslim yang beriman, akan menjadikannya sebagai
bulan lomba dan bina. Berlomba-lomba kepada
kebaikan. Saling menanamkan kebaikan. Bulan gerakan
masal memasyarakatkan puasa (shaum) dan nilai-nilai

H. Mas’oed Abidin 113


Ramadhan", serta "mempuasakan (shaum) masyarakat
dari segala perbuatan dan kelakuan yang tidak terpuji".
Sebagai ucapan yang lazim kita pakai sehari-hari,
dewasa ini.
Sudahkan tujuan dan jiwa Ramadhan seperti itu,
kita tebar luaskan dalam kenyataan. Sebuah
pertanyaan, yang mengundang setiap individu untuk
menjawabnya.
Dengan amal perbuatan sendiri, mudah-mudahan
tercipta...Fastabiqul khairat! v

114 H. Mas’oed Abidin


Di Dunia Menanam di Akhirat Menuai

Dikatakan lagi, dalam bimbingan Baginda


Rasulullah, bahwa masa di dunia ini ibarat menanam.
Akhirat nanti menuai buahnya.
Baginda Rasulullah 'alaihi Wa Sallam bersabda: "Ada
dunya daarur'amal, wal akhirah daarul jazaa". "Dunia ini
tempatnya berbuat 'amal (karya), dan di akhirat adalah
tempat mendapatkan balasan (dari amalan semasa di
dunia ini)" (Hadist).
Manalah mungkin ada beras, bila tidak ada padi.
Buah padi itu adalah hasil dari benih padi yang
ditanamkan jua. Buah padi tidak tumbuh dari benih
jagung atau lainnya.
Di bulan Ramadhan, kata Baginda Rasulullah,
yang maksudnya: "amalan-amalan yang wajib, seperti
tujuh puluh kali lebih baik dari pada amalan serupa
diluar bulan Ramadhan. Amalan yang sunat-sunat
dibulan Ramadhan, seumpama nilainya wajib diluar
Ramadhan."
Ini adalah suatu kelebihan lain dari bulan
Ramadhan itu. Maka, bermakna bahwa Ramadhan
sebetulnya adalah sarana bagi pertambahan nilai
ibadah kita yang kurang- kurang selama ini.
Penekanannya terletak kepada "aktifitas" Kepada
gerak untuk melaksanakan 'amalan.
Nilai sebuah 'amal (karya) tidak akan berarti apa-
apa. Jika tidak ada usaha merealisir amal (karya) itu.

H. Mas’oed Abidin 115


Sebuah bangunan belum akan berwujud bangunan,
kalau masih di atas blue-print, gambaran saja.
Bagaimanapun tingginya nilai Ramadhan,
tingginya nilai pahala amalan selama bulan Ramadhan,
besarnya balasan bagi orang-orang di dalam bulam
Ramadhan, namun, nilainya yang tinggi, pahala yang
besar, keutamaan yang ada, hanya akan diperoleh bagi
mereka yang beramal jua adanya.
Bagi yang senang menghitung-hitung, tetapi tak
kunjung berbuat, hasilnya akan nihil. Kosong
melompong.
Yang mendapatkan bangunan yang indah,
tidaklah si pembawa gambar blue-print. Yang
mendapatkan bangunan yang indah adalah yang
berusaha membuat bangunan itu (merealisirnya) sesuai
gambar blue-print.
Yang memiliki aktifitas, akan mendapatkan hasil
sesuai dengan aktifitasnya. Demikian sebuah realita
dalam ajaran Islam.
Maka dapatlah dikatakan, dorongan tinggi nilai
ibadah dalam Ramadhan, semata-mata adalah
dorongan supaya manusia memiliki ethos kerja yang
tinggi. Ramadhan membentuk watak pekerja, bukan
pemimpi.
Firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala.
Wa likullin darajaatun mimma 'amiluu. (Dan masing-
masing orang memperoleh derajat-derajat-yang
seimbang dengan apa yang dikerjakannya). "Wa maa
rabbuka bi- ghafilin 'amma ya 'maluuna (Dan, Tuhanmu

116 H. Mas’oed Abidin


Allah tidak pernah lengah dari apa-apa yang mereka
telah kerjakan) (QS. Al An'aam, 6 : 132).
Derajat sebuah kaum, tidak terletak kepada
konsepsi pemikiran saja. Tetapi kepada "pengamalan"
konsepsi itu. Lihatlah contoh konkrit. Ummat Muslim,
tidak dipilih menjadi "Ummat Tauladan". Ketauladanan
itu, tidak akan pernah ada, bila ummat Muslim tidak
kunjung mengamalkan ajaran-ajaran Islam itu, "Islam
itu tinggi, dan tidak ada, yang mampu mengatasi
ketinggiannya". kata Baginda Rasulullah. Tetapi di
tengah kehidupan ummat Islam, Islam tidak akan tinggi,
selama ummat Islam pula yang
merendah-rendahkannya. v

H. Mas’oed Abidin 117


Tuju Hal yang Pasti,
Tinggalkan Spekulasi

Bila kita menyimak lebih mendalam, maka kita


akan sampai pada kesimpulan, bahwa ibadah dalam
Islam tidak menyebabkan kegiatan-kegiatan rutin
mestui dihentikan sepenuhnya. Agama Islam dtidak
mengenal adanya penyendirian dalam ibadah.
Berjamaah (bersama-sama) memiliki nilai lebih
dibandingkan dilakukan sendiri-sendiri. Contohnya
untuk shalat berjamaah. Sungguhpun dianjurkan
melaksanakan shalat tahajjud (shalat malam), tetapi itu
dilakukan sejenak setelah tertidur. Masih tidak disuruh
lebih dahulu mengasingkan diri. Hidup terpisah dari
lingkungan bukan begitu ajaran Islam.
Masih dalam hubungan ibadah shalat. Jika datang
seruan untuk shalat Jum'at (lihat firman Allah, QS. AL
Jumu'ah, 62 : 9) lengkapnya berarti; "Wahai orang yang
ber-iman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada
hari Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada
mengingat Allah dan tinggalkan jual beli. Yang demikian
itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui."
Perintah Allah sesungguhnya memberikan
dorongan besar. Pertama, shalat Jum'at lebih baik dari
pekerjaan berharga sekalipun seperti jual beli yang
menghasilkan keuntungan (laba). Karena itu
laksanakanlah shalat Jum'at karena labanya lebih besar
dari perdagangan (jual beli).

118 H. Mas’oed Abidin


Kedua, sebenarnya umat muslimin itu kalau tidak
sedang beribadah (shalat), kehidupannya tentulah
dipasar (ditempat-tempat berusaha). Ayat ini juga
menggambarkan kehidupan yang seimbang antara
kehidupan duniawi dan ukhrawi.
Ketiga, selesai beribadah laksanakan tugas-tugas
rutin. Dalam melaksanakan tugas rutin itu panduannya
adalah mencari redha Allah.
Keempat, bahwa sebenarnya orang-orang
mukmin itu menghitung secara matematis. Ibadah
shalat Jum'at sebagai contoh yang waktunya hanya
beberapa puluh menit saja menjanjikan keuntungan
ukhrawi yang berkali-kali lipat. Sementara perdagangan
yang memakan waktu lebih panjang masih menjanjikan
keuntungan yang spekulatif. Maka secara sistematis,
seorang mukmin dengan dorongan iman dan ilmu
memilih hal yang pasti dan meninggalkan hal yang
bersifat spekulasi.
Dalam beribadah, motivasinya adalah mencari
redha Allah. Redha Allah ini mutlak, karena Allah telah
menyediakan segala-galanya untuk hidup kita.
Kehidupan manusia dan hidupnya nilai-nilai
kemanusiaan, yang berperikemanusiaan. v

H. Mas’oed Abidin 119


Kesediaan Jadi Kader
Pembangunan Umat

ALHAMDULILLAH, pada bulan Muharram 1416 H,


seluruh Jemaah Hajji kloter dari Sumbar telah sampai
kembali ke kampung halaman masing-masing.
Semoga semuanya menjadi hajji yang mabrur
dan makbul dan berterima disisi Allah Subhanahu Wa
Ta'ala. Sesuai doa yang dibisikkan dibawah lindungan
ka'bah dipelataran Masjidil Al Haram ditanah Suci
Makkah Al Mukkaramah dalam beberapa hari yang
lewat itu. Dalam thawaf dan sa'i serta wukuf di 'Arafah.
Di antara mereka memang ada yang tidak
sempat kembali ke kampung halaman. Menemui sanak
keluarga. Karena Allah telah memanggil mereka pulang
kehadirat-Nya. Ada yang menempati pekuburan Ma'laa
di Makkah atau Baqii di Madinah, bahkan juga di Jeddah.
Semua mereka dipanggil ditengah-tengah perjalanan
suci, menyahut panggilan-Nya jua.
"Panggilan-Mu, aku taati,
Ya Allah, panggilan-Mu ku patuhi
Tak ada sekutu bagi-Mu"
"Sungguh kepunyaan-Mu-lah segala puja dan puji.
Nikmat dan Kekuasaan.
Tak ada sekutu bagi-Mu."
Kalimat talbiyyah seperti ini telah berkumandang.
Sedangkan berangkat meninggalkan rumah.

120 H. Mas’oed Abidin


Meninggalkan kampung halaman. Menuju rumah tua
(baitil/atiiq) di Makkah Al Mukarramah. Hanya
berselimutkan dua potong handuk putih. Tak berjahit
membalut badan. Tampa ada pakaian dalam
sepotongpun. Menanggalkan segala atribut yang
sehari-harian biasanya dipakai. Meninggalkan segala
kemewahan dan keharuman.
Bertanggang mata, berdiang terik panas mentari
padang pasir. Yang suhunya di atas 50 (lima puluh)
derajat Celcius. Melebihi setengah titik didih, menerpa
kepala tampa penutup.
'Panggilan-Mu ku ta'ati, Ya Allah'.
Rasulullah mengibaratkan perjalanan hajji itu
seperti perjalanan seorang yang rambutnya dan
pakaiannya kusut masai berdebu dalam perjalanan
musafir menempuh perjalanan yang jauh. Atau
orang-orang yang bau badannya menusuk hidung
lantaran tidak sempat membersihkan serta pula
berharum-harumman.
Semuanya terjadi karena masing-masing
disibukkan oleh kerja keras dan ibadah semata. Maka
perkalanan hajji di sebut pula sebagai rihlah ibadah.
Karena itu, maka Rasulullah menyebutkan upah
mereka, dengan ungkapan bersahaja berisikan makna
mendalam.
"Hajji yang mabruur tidak ada baginya pembalasan
selain Syorga" (HR Imam Ahmad dan Baihaqi).
Kemabruran itu ada karena adanya pembinaan
peribadi. Setelah menempuh latihan-latihan berat dan
masa-masa sulit. Kesabaran dalam menghadapi setiap

H. Mas’oed Abidin 121


rintangan alam. Meninggalkan kemewahan dan
kesenangan. Mencari keredhaan Allah Khaliqul Rahman.
Dan mematuhi setiap aluran, kepatuhan dan peraturan
(sunnah dan syari'at), yang tergambar dalam setiap
gerak manasik.
Dapatlah dikatakan, kemabruran hajji 'para hujjaj'
terlihat nyata sekembalinya dari menunaikan ibadah
hajji. Selain dari pakaian jubah, kaffieh putih, dan
selendang di bahu yang mewarnai para hujjaj turun
tangga pesawat dibandara. Maka yang lebih utama
adalah pakaian jiwa berupa libaasut taqwa = perhiasan
taqwa membalut hati dan jiwa para hujjaj kita. Inilah
jawaban yang paling diharapkan.
Jawaban itu terlihat dikeseharian kita dalam
membasmi kelaparan, kemiskinan dan menyebarkan
keselamatan melalui usaha-usaha pribadi, berkelopok
atau bermasyarakat. Kesaabran yang tinggi,
kebersamaan yang mendalam dengan saling membantu
(ta'awunitas). Serta kesediaan diri menjadi kader
pembangunan ummat. Tugas ini sungguh berat, namun
tinggi nilainya sebagai mata rantai pembangunan
bangsa, dalam mencari redha Allah.
Hendaknya jangan ada antara para hujjaj kita
yang pulang dengan membawa hajji marduud. Haji yang
ditolak. Yang kalau dia pedagang, masih tetap
membumbui tipu-tepok. Kalau dia seorang guru, masih
mengajarkan nilai-nilai contoh yang negatif. Bahkan
kalau pejabat, masih tidak melaksanakan tanggung
jawab secara amanah.
Sikap perilaku yang negatif, semestinya terjauh
dari tindak perbuatan para hujjaj. Yang tentunya

122 H. Mas’oed Abidin


senantiasa mengharap kepadanya diberikan
kemabruuran itu.
Dalam usaha mensyukuri dan melestarikan
nikmat Allah kepada setiap kita, perlu senantiasa
menyucikan dan membersihkan iman-tauhuid dengan
selalu meningkatkan pemahaman kita terhadap
ke-Agungan Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Membersihkan
diri dan pemahaman kita dari anasir- anasir syirk dan
kekufuran. Dengan disertai pengembalian puja dan
syukur kepada Allah semata.
Permohonan istighfar yang tak henti-hentinya
atas segala tindak tanduk kita adalah pencerminan dari
kesediaan masing-masing diri melakukan introspeksi
dan retrospeksi yang jujur dalam mengevaluasi
tindakan (perjuangan hidup) yang telah lalu.
Kesediaan untuk melakukan usaha-usaha
peningkatan Iman dan keinginan melakukan evaluasi
setiap saat dan akhirnya menampilkan citra amaliyah
yang lebih sempurna, niscaya akan melahirkan sikap
istiqomah (=konsisten).
Istiqomah (konsisten) itu penting adanya bagi
insan pejuang. Yakni tetap berada dalam garis jalan
Allah, dimedan juang apapun kita berada. Dalam
mengisi hidup dan kehidupan nyata ini.
Nilai-nilai mulia itulah kiranya yang dijemput dan
direbut dalam perjalanan hajji seorang Muhtadin (orang
yang mendapat petunjuk). v

H. Mas’oed Abidin 123


Pendayagunaan Alam, Ilmu, dan Amal

AGAMA ISLAM, dengan berpedoman kepada Al


Quranul Karim (Kitabullah) dan Sunnah Rasulullah
adalah agama yang paling intensif menggerakkan
pendaya gunaan alam untuk kepentingan ummat
manusia. Intensivitas yang dipunyai Agama Islam (Al
Quran) tidak dapat disetarakan dengan ajaran
manapun. Baik itu dalam anutan ummat terdahulu atau
malah mungkin dalam pemahaman ummat belakangan.
Al Quran memulainya dengan menanamkan
pemahaman iman, yang merupakan keyakinan setiap
penganut Islam. Dasarnya "ke- Iman-an kepada Khalik,
Allah yang Maha Kuasa dan Maha Menjadikan". Bahwa
apapun yang dimiliki oleh manusia, pada hakekatnya
adalah 'pemberian Allah' untuk kemaslahatan ummat
manusia itu sendiri, atas aluran dan petunjuk Allah.
"Sesungguhnya Kami jadikan apa yang dibumi ialah
untuk menjadi hiasan baginya( manusia), karena Kami
hendak menguji (manusia) siapakah diantara mereka
yang paling kerjanya. Sesungguhnya Kami jadikan pula
dibumi tanah yang kosong". (QS. Al Kahfi, 18 : 7-8).
Sementara itu, manusia diberi kewenangan
dengan pemberian untuk mencari kehidupan akhirat
dan kebahagiaan duniawiyah. Berbuat baik sesama
insan, dan tidak menabur kebencanaan dipermukaan
bumi.
"Dan carilah dengan kekayaan yang diberikan Allah
kepada engkau (manusia)-kebahagian-kampung
akhirat. Jangan engkau lupakan bagian engkau di dunia

124 H. Mas’oed Abidin


ini. Buatlah kebaikan sebagaimana Allah telah berbuat
kebaikan kepada engkau. Janganlah engkau membuat
bencana di muka bumi. Sesungguhnya Allah tiada
mencintai orang-orang yang membuat bencana". (QS.
Al Qashas, 28 : 77).
Al Quran juga memberikan isyarat, bahwa
manusia hidup dengan keinginan, perasaan berhasrat,
nafsu duniawiyah.
"Manusia itu diberi perasaan berhasrat atau bernafsu,
misalnya kepada perempuan (istri), anak-anak
(keturunan), kekayaan yang berlimpah-limpah, dari
emas dan perak, kuda yang bagus (kendaraan dan alat
angkutan), binatang ternak dan sawah ladang
(perkebunan). Itulah kesenangan hidup dunia. Dan
disisi Allah ada tempat kembali yang sebaik- baiknya.
(QS. Ali Imran, 3 : 14).
Tempat kembali yang terbaik ada disisi Allah.
Itulah hidup akhirat yang menjadi tujuan setiap insan
yang hidup didunia ini. Disana ada syorga dan
keridhaan Allah yang menjadi idaman dan hasrat setiap
insan yang ber-Iman.
Untuk mencapai keredhaan Allah, jalan yang
mesti ditempuh adalah pernyataan iman kepada Allah,
permohonan keampunan dari dosa-dosa dengan
bersumber dari introspeksi dan restrospeksi dari setiap
kegiatan (amal) yang lalu. Evaluasi serta kesediaan
membuat sesuatu yang lebih baik di masa mendatang,
baik itu madiyah (material) maupun ruhaniyah
(spiritual). Selanjutnya adanya keteguhan pendirian
menjadi segala kemungkaran dan selalu berharap
supaya dihindarkanlah kami dari azab neraka.

H. Mas’oed Abidin 125


Orang-orang yang akan memperoleh tempat
kembali yang baik disisi Allah harus memiliki sifat dan
sikap jiwa yang konsisten (istiqomah).
1. Orang-orang yang sabar (tabah, tahan uji, intens)
2. Orang-orang yang benar (jujur, amanah, shiddiq)
3. Orang-orang yang patuh kepada Allah
4. Orang-orang yang menafkahkan hartanya dijalan
kebaikan (Al Munfiqiina).
5. Orang-orang yang selalu memohon ampun kepada
Allah (selalu melakukan koreksi di akhir malam pada
setiap tahapan pekerjaan hariannya) (lihat QS. Ali
Imran, 2 : 16-17).
Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah menyediakan
alam sebagai sumber daya (material resources) bagi
manusia yang hidup di alam (bumi) ini.
Alam memang tidak menyiapkan segalanya serba
jadi (ready to used). Dia perlu diolah oleh tangan
manusia. Sehingga alam itu bisa mendatangkan nilai
lebih dan nilai guna yang optimal bagi manusia.
Untuk itu, manusia memerlukan alat dan ilmu.
Di dalam Islam, setip insan didorong agar
memiliki ilmu pengetahuan yang cukup dan memadai.
"Sesiapa yang menginginkan dunia dia
peroleh dengan ilmu, sesiapa yang inginkan
(kebahagiaan) akhirat juga dengan ilmu, bahkan
yang menginginkan keduanya, juga hanya
dengan ilmu".

126 H. Mas’oed Abidin


Menurut ilmu pengetahuan merupakan asasi bagi
setiap Muslim. Demikian dianjurkan oleh Rasulullah
Shallallahu alihi wa salam. Diantara sabda beliau
menyatakan,
"Tuntutlah ilmu dari ayunan hingga ke liang lahat". (Al
Hadist).
Nilai ajaran Rasulullah (Islam), tiada lain
berintikan kewajiban belajar sepanjang hayat,
sepanjang usia.
Menambah ilmu pengetahuan tidak hanya
terbatas pada batas wilayah negeri saja. Malah
dianjurkan jika perlu dinegeri lain. "Tuntutlah ilmu walau
di/dengan Cina". Begitu bimbingan Islam.
Beberapa dorongan ini dicatat oleh sejarah dunia
bahwa Islam sejak awalnya telah mengubah sikap
manusia. Dari apatis, statis menjadi pribadi-pribadi
yang optimis dan dinamis.
Hingga tidak dapat dipungkiri, Islam telah
mendatangkan perubahan sikap bagi manusia yang
menganut ajarannya.
Melahirkan pakar-pakar ilmu pengetahuan,
seperti Avicienna (Ibnu Sina), Avierroes (Ibnu Rusyid), Al
Khawarizmi (logaritma), dan amat banyak lagi yang
lainnya.
Ilmu pengetahuan semata belum mempunyai arti
yang besar sebelum ada usaha untuk
meng-amal-kannya.
Setinggi apapun ilmu pengetahuan belum akan
mendatangkan manfaat sebelum diaplikasi di dalam

H. Mas’oed Abidin 127


kenyataan hidup manusia. Ilmu hanyalah alat semata
untuk mendapatkan atau menciptakan kebahagiaan
hidup.
Dalam realitas hidup, ilmu dan amal itulah yang
mendatangkan hikmah.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala amat mencela
seseorang yang memiliki ilmu tetapi tak mau kunjung
mau meng-amal- kan ilmunya.
Perhatikanlah ancaman Allah dalam Al Quranul
Karim, artinya,
“Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu
ucapakan apa-apa yang tiada kamu perbuat? Sangat
dibenci oleh Allah, bahwa kamu ucapkan apa- apa yang
tiada kamu perbuat". (QS. Ash Shaaf, 61 : 2-3).
Ayat ini juga bermakna bahwa ilmu tanpa amal
akan mengundang bencana dan kutukan.
Kualitas suatu ummat dilihat dari kemampuannya
menerapkan ilmu pengetahuan mereka ,pendaya guna
ilmu. Dalam mengelola alam kelilingnya hingga lebih
bermanfaat dan bernilai guna. Untuk kesejahteraan
ummat manusia secara umum. Untuk kesejahteraan diri
mereka dan lingkungan mereka dengan amal usaha
mereka sendiri.
Kualitas ummat itu akan menurun jika mereka
ditimpa penyakit enggan dan malas.
Suatu indikasi yang menggejala ditengah
generasi kini, keengganan itu ternyata ada. Hingga
mengundang banyaknya under employment
(pengangguran tek kentara) di tengah masyarakat.

128 H. Mas’oed Abidin


Gejala itu terlihat dari enggan membaca dan
enggan mendengar. Tertupnya kemungkinan
penambahan ilmu pengetahuan. Kemudian disusul
dengan keengganan memanfaatkan waktu dan tenaga.
Akhirnya enggan mengolah alam keliling.
Sesungguhnya Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah
memberikan batasan dalam firmannya.
Allah tidak akan mengubah apa-apa (keadaan, nasib,
tingkat kehidupan) suatu kaum, hingga (lebih dahulu)
kaum itu mengubah apa-apa (yang ada) di dalam diri
mereka. (QS. Ar Ra'du, 13 : 11).
Mudah-mudahan kita semua dapat meningkatkan
pendayagunaan ilmu, alam, amal kita berdasarkan iman
serta hidup berkualitas. v

H. Mas’oed Abidin 129


Pendekatan Partisipatif Pengembangan Dakwah
di Mentawai

Di tengah gencarnya pembicaraan


pengembangan kepulauan Mentawai, permasalahan
pertama yang mencuat ke permukaan adalah modal
pendekatan macam apakah yang paling cocok untuk
upaya pengembangan dakwah di kepulauan ini.
Disadari, upaya menggelindingkan
pembangunan, ibarat 'perjalanan sebuah kereta
kencana'. Akselerasi roda besar sangat ditentukan oleh
percepatan roda-roda kecil yang ada dibelakangnya.
Analogisnya, bagaimanapun majunya
daerah-daerah sentra yang ada, tetapi kalau
daerah-daerah kecil yang mengelilingi, di kawasan
sentra itu masih tetap seperti sediakala, maka
keberhasilan secara umum belumnya berarti apa-apa.
Secara khusus untuk Sumatera Barat, realitas
akan dirasakan, maju atau berhasilnya Sumatera Barat
akan dilihat orang secara keseluruhan, termasuk
pengembangan dan pembangunan kepulauan
Mentawai.
Lebih khusus lagi, dalam pengembangan Dakwah
Islamiyah di kepulauan Mentawai. Kita merasakan
permasalahan yang mendasar dan masih dicarikan jalan
pemecahannya. Adalah pola pendekatan yang efektif
untuk masyarakat Isalam di kepulauan penyangga
Samudera ini.

130 H. Mas’oed Abidin


Selama kita melihat, begitu tercurahnya
perhatian sesama ummat Islam terhadap perbaikan
taraf 'Iman' dari saudara-saudara kita disana. Dilihat
dari aspek aqidah. Begitu pula semestinya terhadap
aspek sosial ekonominya. Perhatian itu betul-betul
mengambarkan bagaimana rasa Ukhuwah Islamiyah
dikalangan ummat cukup berkembang.
Pertanyaan yang masih tetap pada posisinya,
apakah pendekatan yang dilakukan sudah mengarah
kepada sasaran yang kita inginkan.
Kalau dalam pengembangan dakwah di
kepulauan Mentawai, orientasi kita kepada hasil.
Jujur kita akui, sasaran yang ingin kita tuju masih
jauh, baik secara kualitas maupun kuantitas.
Dari segi kuantitas, masyarakat Islam Mentawai
masih merupakan jumlah yang minoritas di daerahnya.
Sementara di daerah lainnya di Sumatera Barat, agama
Islam merupakam mayoritas. Sehingga antara adat dan
agama di Sumatera Barat diakui berjalan berkelindan.
Adatnya sendiri syara', dan syara' bersendi Kitabullah
(Islam).
Dari segi kualitas jangan dikata. Ukuran kualitas
suatu ummat memang tidak jelas. Tetapi berbagai
indikasi kentara terlihat nyata. Antara lain tingkat
pendidikan, kondisi ekonomi, need of achievment-nya,
serta indikasi- indikasi sosial budaya lainnya.
Yang menonjol dalam menatap kualitas suatu
ummat, diantaranya, bagaimana posisi tawar-
menawarnya (bergaining posisition). Tidak mungkin

H. Mas’oed Abidin 131


posisi tawar-menawar akan kuat kalau kondisi sosial
ekonominya lemah.
Melihat sumber daya alam (natural resources)
Mentawai termasuk daerah yang termasuk subur.
Berbagai jenis tanaman dapat tumbuh di kepulauan ini.
Yang belum ada mungkin pemanfaatan sumber daya
alam itu secara optimal.
Demikian lagi dengan sumber daya menusia
(human resources) Mentawai. Masyarakat Mentawai
tergolong memiliki jumlah yang relatif banyak di daerah
kepulauan itu. Memiliki kekuatan fisik yang prima. Lagi
pula sangat beradapsi dengan lingkungannya. Potensi
ini kalau diberi bekal ketrampilan tentu merupakan
asset yang besar. Karena didukung Inteligence
qoutiente yang tinggi.
Permasalahannya sekarang, bagaimana
mempergunakan sumber daya tersebut. Model
pendekatan yang efektif untuk pengembangan potensi
masyarakat Mentawai adalah dengan pola pendekatan
'partisipatif'. Sehingga, tiada sebarang pihak yang
berpangku tangan.
Perlu dicatat, sikap meniru masyarakat Mentawai
masih tergolong tinggi. Sebagaimana lazimnya pada
kehidupan masyarakat yang belum tercemar polusi.
Kondisi ini sebenarnya dapat dimanfaatkan kepada
hal-hal yang positif. Proses pengembangan dan
pembangunan.
Bila dikaitkan dengan da'wah Islam di daerah
sana, terlihatlah kekurangan kita. Secara kuantitas 'para
mujahid da'wah' yang betul-betul intens (bersitungkin)

132 H. Mas’oed Abidin


untuk pembangunan jamaah Muthadin masih sedikit
jumlahnya.
Selain itu para Mujahid da'wah itu masih ada
yang belum utuh istiqomah-nya dalam berda'wah.
Pendekatan yang dilakukan masih bersifat monotoin
(lisan maqaal) saja. Sehingga hasilnya belum optimal.
Pembekalan kepada dakwah bil hal, ternyata
masih perlu ditingkatkan lagi.
Untuk itu, tentu dibutuhkan tenaga-tenaga yang
ahli dibidangnya. Seperti spesialisasi pertanian,
pertukangan, perikanan, industri rumah tangga, industri
kecil dan bentuk lainnya. Sesuai kebutuhan ummat
yang sedang dikembangkan. Motivasinya tidak bergeser
dari membangun ummat, dengan kewajiban dakwah
Ilallah.
Jika kita bandingkan dengan lembaga lembaga
keagamaan lain, selain dari memiliki intensitas tinggi
juga mereka melakukan pendekatan pastisipasi aktif itu,
sesuai dengan kebutuhan yang dihajatkannya. Sistem
pembinaan mereka berkesinambungan, menggunakan
pola rotasi. Sehingga tidak ada kejenuhan dari para
penyeru mereka. Walaupun dari beberapa aspek
didapatkan kecenderungan kurang mendidik.
Sebetulnya kita bukan tidak mempunyai potensi
untuk itu. Permasalahannya bukan tidak ada waktu atau
tidak bisa. Ketrampilan, ilmu, motivasi sebagai
pembekalan bisa ditambah.
Yang esensial barangkali, kita baru bekerja
selama ini 'masih setengah hati'. Setidak-tidaknya
menghadapi saudara-saudara kita didaerah yang masih

H. Mas’oed Abidin 133


perlu dibuka, seperti Mentawai. Kalau bekerja setengah
hati, dalam dakwah hasilnya tentu menjadi 'setengah
Islam'.
Agaknya ini perlu renungan kita bersama. Siapa
yang mau dan mampu untuk itu. Jawabannya ada pada
diri kita masing-masing. Setiap muslim berkewajiban
menjadi Agen of Change, bisa untuk Mentawai dan
dapat pula untuk daerah-daerah lain yang serupa.
Masa menunggu tanggapan kita, mereka pun
menunggu uluran tangan kita. Kini hanya itulah yang
dapat mereka lakukan. Jangan hanya janji tinggal janji,
berbuat untuk Mentawai hanya mimpi.
; Ingat selalu do’a munajat
‫الهي انت مقصودي ورضاك مطلوبي‬
!Ya Allah, Ya Tuhanku
Engkaulah tujuan hidup dan matiku
dan keredhaan-Mu adalah yang ku cari

134 H. Mas’oed Abidin

You might also like