Professional Documents
Culture Documents
BAB I
PENDAHULUAN
Kelompok 6 1
Distribusi Pendapatan dan Pemerataan Pembangunan
tahun 1987-1996 ketika angka rata-rata kemiskinan berada di bawah 20%, dan yang
paling baik adalah pada tahun 1996 ketika angka kemiskinan hanya mencapai 11,3%.
Di Indonesia pada awal orde baru para pembuat kebijaksanaan dan perencana
pembangunan di Jakarta masih sangat percaya bahwa proses pembangunan ekonomi
yang pada awalnya terpusatkan hanya di Jawa, Khususnya Jakarta dan sekitarnya, dan
hanya di sector-sektor tertentu saja, pada akhirnya akan menghasilkan “Trickle Down
Effects”. Didasarkan pada pemikiran tersebut, pada awal orde baru hingga akhir tahun
1970-an, strategi pembangunan ekonomi yang dianut oleh pemerintahan Orde Baru lebih
berorientasi kepada pertumbuhan ekonomi yang tinggi tanpa memperhatikan pemerataan
pembangunan ekonomi.
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka pusat pembangunan ekonomi nasional di
mulai di Pulau Jawa dengan alasan bahwa semua fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan,
seperti transportasi, telekomunikasi, dan infrastruktur lainnya lebih tersedia di pulau
jawa, khususnya Jakarta, dibandingkan dengan provinsi lainnya di Indonesia.
Pembangunan saat itu juga hanya terpusatkan pada sektor-sektor tertentu saja yang
secara potensial memiliki kemampuan besar untuk menyumbang nilai pendapatan
nasional yang tinggi. Pemerintah saat itu percaya bahwa nantinya hasil dari
pembangunan itu akan menetes ke sektor-sektor dan wilayah Indonesia lainnya.
Ada berbagai cara untuk mengetahui prestasi pembangunan suatu negara yaitu
dengan pendekatan ekonomi dan pendekatan non-ekonomi. Dalam pendekatan ekonomi
dapat dilakukan berdasarkan tinjauan aspek pendapatan maupun aspek non pendapatan.
Dalam aspek pendapatan digunakan konsep pendapatan perkapita, namun hal tersebut
belum cukup untuk menilai prestasi pembangunan karena tidak mencerminkan
bagaimana pendapatan nasional sebuah negara terbagi di kalangan penduduknya,
sehingga tidak memantau unsur keadilan atau kemerataan. Untuk itu diperlukan data
mengenai kemerataan distribusi pendapatan dimana perhatiannya bukan hanya pada
distribusi pendapatan nasional tapi juga distribusi proses atau pelaksanaan pembangunan
itu sendiri.
Krisis yang terjadi secara mendadak dan diluar perkiraan pada akhir dekade
1990-an merupakan pukulan yang sangat berat bagi pembangunan Indonesia. Bagi
Kelompok 6 2
Distribusi Pendapatan dan Pemerataan Pembangunan
kebanyakan orang, dampak dari krisis yang terparah dan langsung dirasakan,
diakibatkan oleh inflasi. Antara tahun 1997 dan 1998 inflasi meningkat dari 6% menjadi
78%, sementara upah riil turun menjadi hanya sekitar sepertiga dari nilai sebelumnya.
Akibatnya, kemiskinan meningkat tajam. Antara tahun 1996 dan 1999 proporsi orang
yang hidup di bawah garis kemiskinan bertambah dari 18% menjadi 24% dari jumlah
penduduk. Pada saat yang sama, kondisi kemiskinan menjadi semakin parah, karena
pendapatan kaum miskin secara keseluruhan menurun jauh di bawah garis kemiskinan.
Kelompok 6 3
Distribusi Pendapatan dan Pemerataan Pembangunan
Kelompok 6 4
Distribusi Pendapatan dan Pemerataan Pembangunan
BAB II
ISI
1. Kurva Lorenz
Kurva Lorenz menggambarkan distribusi kumulatif pendapatan nasional di
kalangan lapisan-lapisan penduduk. Kurva ini terletak di dalam sebuah bujur sangkar
yang sisi tegaknya melambangkan persentase kumulatif pendapatan nasional, sedangkan
sisi datarnya mewakili persentase kumulatif penduduk. Kurvanya sendiri ditempatkan
pada diagonal utama bujur sangkar tersebut. Kurva Lorenz yang semakin dekat ke
Kelompok 6 5
Distribusi Pendapatan dan Pemerataan Pembangunan
`
Nasional
1 n n
Kelompok 6 6
Distribusi Pendapatan dan Pemerataan Pembangunan
Namun dalam studi studi empiris terutama dalam single country, ternyata
kemiskinan tidak identik dengan kesejahteraan. Artinya ukuran ukuran diatas belum
mencerminkan tingkat kesejahteraan. Studi yang dilakukan oleh Ranis (1977) dalam
Tulus Tambunan (2003) mengemukakan bahwa di Republik Cina dan Ravallion dan
Datt (1996) dalam Tulus Tambunan (2003) mengemukakan bahwa di India,
menunjukkan kedua negara tersebut dilihat dari ti ngkat pendapatan per kapita maupun
ukuran Gini ( Gini ratio) menunjukkan tingkat kemikskinan yang cukup parah. Namun
dilihat dari tingkat kesejahteraan, kedua negara tersebut masih lebih baik dari beberpa
negera Amerika Latin yang mempunyai tingkat Gini ratio rendah dan tingkat
pendapatan perkapita tinggi. Ranis, Ravallion dan Datt memasukan faktor seperti tingkat
kemudahan mendapatkan pendidikan yang murah, hak mendapatkan informasi, layanan
kesehatan yang mudah dan murah, perasaan aman baik dalam mendapatkan pendidikan
dan lapangan kerja, dan lain lain.
Intinya adalah dalam mengukur kemiskinan, banyak variabel non keuangan
yang harus diperhatikan. Variabel keuangan (tingkat pendapatan) bukanlah satu satunya
variabel yang harus dipakai dalam menghitung kemiskinan.
Namun kalau pengambil keputusan, lebih menitikberatkan pada cross variable
study dalam mengatasi masalah kemiskinan, maka berarti kemiskinan akan diatasi
dengan cara meningkatkan kesejahteraan dalam arti yang luas.
Kelompok 6 7
Distribusi Pendapatan dan Pemerataan Pembangunan
maka ketimpangan atau kesenjangan dikatakan lunak dan distribusi pendapatan nasional
dianggap cukup merata.
4. Hipotesis Kuznets
Data data ekonomi periode 1970 – 1980, terutama mengenai pertumbuhan
ekonomi dan distribusi pendapatan terutama di LDS (Less Developing Countries),
terutama di negara negara yang mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup
pesat, seperti Indonesia, menunjukan seakan akan korelasi positif antara laju
pertumbuhan ekonomi dan tingkat kesenjangan ekonomi. Semakin tinggi pertumbuhan
produk domestik bruto, atau semakin tinggi tingkat pendapatan per kapita, maka
semakin besar perbedaan antara kaum miskin dan kaum kaya. Bahkan studi yang
dilakukan di negara negara Eropa Barat, menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi
tidak atau justru membuat ketimpangan antara kaum miskin dan kaum kaya semakin
melebar. Jantti (1997) dalam Tulus Tambunan (2003) mengemukakan bahwa fenomea
tersebut timbul karena adanya perubahan suplly of labor (masuknya buruh murah dari
Turki, atau negara Eropa Timur kedalam pasar buruh di Eropa Barat). Berdasarkan
fakta tersebut, muncul pertanyaan: mengapa terjadi trade-off antara pertumbuhan dan
kesenjangan ekonomi dan untuk berapa lama? Kerangka pemikiran ini yang melandasi
Hipotesis Kuznets. Yaitu, dalam jangka pendek ada korelasi positip antara pertumbuhan
pendapatan perkapita dengan kesenjangan pendapatan. Namun dalam jangka panjang
hubungan keduanya menjadi korelasi yang negatif. Artinya, dalam jangka pendek
meningkatnya pendapatan akan diikuti dengan meningkatnya kesenjangan pendapatan,
namun dalam jangka panjang peningkatan pendapatan akan diikuti dengan penurunan
kesenjangan pendapatan. Fenomena ini dikenal dengan nama “Kurva U terbalik dari
Hipotesis Kuznets”.
Namun, hipotesis Kuznets ini mulai dipertanyakan. Beberapa studi yang
mengambil data time series membuktikan bahwa dalam beberapa negara yang masih
bertumpu pada sektor pertanian (rural economy) menunjukan hubungan negatif. Ini
berarti bertolak belakang dari hipotesis Kuznets.
Kelompok 6 8
Distribusi Pendapatan dan Pemerataan Pembangunan
5. Indeks Theil
Digunakan untuk mengukur ketimpangan pendapatan antar individu di dalam
provinsi dan ketimpanan pendapatan antar provinsi. Untuk megukurnya digunakan
rumus sebagai berikut:
Keterangan:
Y ij = Total pendapatan di prvinsi i, grup j
Ŷij = Rata-rata pendapatan per kapita di provinsi i, grup j
Ŷ = Total pendapatan nasional
Kemiskinan,
dan
Ketimpangan.
Kelompok 6 9
Distribusi Pendapatan dan Pemerataan Pembangunan
Distribusi Ukuran
(personal distribution of income)
Kelompok 6 10
Distribusi Pendapatan dan Pemerataan Pembangunan
sangat miskin dan kelompok yang sangat kaya di dalam suatu negara.
Rasio ketidakmerataan dalam contoh di atas adalah 14 dibagi dengan
51, atau sekitar 1 berbanding 3,7 atau 0,28.
Kurva Lorenz
Kelompok 6 12
Distribusi Pendapatan dan Pemerataan Pembangunan
Kelompok 6 13
Distribusi Pendapatan dan Pemerataan Pembangunan
Figur (a):
Figur (b):
(ketimpangannya parah)
Kelompok 6 14
Distribusi Pendapatan dan Pemerataan Pembangunan
Kelompok 6 15
Distribusi Pendapatan dan Pemerataan Pembangunan
http://ridhoassegaf.blogspot.com/2008/12/kemiskinan-distribusi-
pendapatan.html
A. Latar Belakang
Kesenjangan ekonomi atau ketimpangan dalam distribusi pendapatan antara kelompok
masyarakat berpendapatan tinggi dan kelompok masyarakat berpandapatan rendah serta
tingkat kemiskinan atau jumlah orang yang berada dibawah garis kemiskinan merupakan
dua masalah besar yang dihadapi negara-negara yang sedang berkembang, tidak
terkecuali Indonesia.
Pada awal periode orde baru hingga akhir dekade 1970-an strategi pembangunan
ekonomi lebih terfokus pada bagaimana mencapai suatu laju pertumbuhan yang tinggi
dalam suatu periode yang sangat singkat. Pada akhir dekade itu strategi pembangunan
diubah , tidak lagi hanya pertumbuhan tetapi juga untuk kesejahteraan rakyat. Hingga
menjelang krisis nilai tukar, program yang dilakukan pemerintah yang bertujuan untuk
mengurangi jumlah orang miskin dan perbedaan pendapatan antara kelompok miskin
dan kelompok kaya, seperti Inpres Desa tertinggal (IDT).
Di negara-negara miskin, perhatian utama terfokus pada dilema kompleks antara
pertumbuhan versus distribusi pendapatan. Keduanya sama-sama penting, namun
hampir selalu sangat sulit diwujudkan secara bersamaan. Pengutamaan yang satu akan
menuntut dikorbankannya yang lain. Pembangunan ekonomi mensyaratkan GNP yang
lebih tinggi, dan untuk itu tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi merupakan pilihan
yang harus diambil. Namun, yang menjadi masalah bukan hanya soal bagaimana
caranya memacu pertumbuhan, tetapi juga siap melakukan dan berhak menikmati hasil-
hasilnya
Persoalan kemiskinan merupakan salah satu persoalan mendasar yang menjadi pusat
perhatian pemerintah. Salah satu aspek penting untuk mendukung strategi
penanggulangan kemiskinan adalah tersedianya data kemiskinan yang akurat dan tepat
sasaran. Pengukuran kemiskinan yang dapat dipercaya dapat menjadi instrument
tangguh bagi pengambil kebijakan dalam memfokuskan perhatian pada kondisi hidup
orang miskin. Data kemiskinan yang baik dapat digunakan untuk mengevaluasi
kebijakan pemerintah terhadap kemiskinan, membandingkan kemiskinan antar waktu
dan daerah, serta menentukan target penduduk miskin dengan tujuan untuk memperbaiki
posisi mereka.
Kelompok 6 16
Distribusi Pendapatan dan Pemerataan Pembangunan
1. Kemiskinan relative (yang mengaju pada garis kemiskinan) yaitu suatu ukuran
mengenai kesenjangan didalam distribusi pendapatan, biasanya dapat didefisisikan
didalam kaitannya dengan tingkat rata-rata dari distribusi yang dimaksud. Dinegara-
negara maju, kemiskinan relative diukur sebagai suatu proporsi dari tingkat pendapatan
rata-rata perkapita. Standar minimum disusun berdasarakan kondisi hidup suatu negara
pada waktu tertentu dan perhatian terfokus pada golongan penduduk “termiskin”,
misalnya 20 persen atau 40 persen dari total penduduk yang telah diurutkan menurut
pendapatan/pengeluaran. Kelompok ini merupakan penduduk relative miskin. Dengan
demikian, ukuran kemiskinan relative sangat tergantung pada distribusi
pendapatan/pengeluaran penduduk sehingga dengan menggunakan definisi ini berarti
“orang miskin selalu hadir bersama kita”.Dalam hal mengidentifikasi dan menentukan
sasaran penduduk miskin, maka garis kemiskinan relative cukup untuk untuk digunakan,
dan perlu disesuaikan terhadap tingkat tingkat pembangunan negara secara keseluruhan.
Garis kemiskinan relative tidak dapat dipakai untuk membandingkan tingkat kemiskinan
antar negara dan waktu karena tidak mencerminkan tingkat kesejahteraan yang sama.
3. Kemiskinan Lainnya
Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang ditengarai bersebab dari kondisi struktur
atau tatanan kehidupan yang tak menguntungkan.
Kemiskinan Cultural disebabkan oleh faktor-faktor adat dan budaya suatu daerah
tertentu yang membelenggu seseorang tetap melekat dengan indicator kemiskinan.
Kelompok 6 17
Distribusi Pendapatan dan Pemerataan Pembangunan
2) Kurva Lorenz
Kurva Lorenz memperlihatkan hubungan kuantitatif actual antara persentase jumlah
penduduk penerima pendapatan tertentu dari total penduduk dengan persentase
pendapatan yang benar-benar mereka peroleh dari total pendapatan.
Kurva Lorenz
Semakin jauh jarak kurva Lorenz dari garis diagonal, maka semakin timpang atau tidak
merata distribusi pendapatannya. Kasus ekstrem dari ketidakmerataan yang sempurnah
yaitu apabila hanya seseorang saja yang menerima seluruh pendapatn nasional,
sementara orang-orang lainnya sama sekali tidak menerima pendapatan akan
diperlihatkan oleh kurva Lorenz yang berhimpit dengan sumbu horizontal sebelah
bawah dan sumbu vertical di sebelah kanan.
Koefisien Gini adalah ukuran ketidakmerataan atau ketimpangan
(pendapatan/kesejahteraan) agregat yang angkanya berkisar antara nol (pemerataan
sempurnah) hingga satu (ketimpangan yang sempurnah).
Intervensi pemerintah:
1. Intervensi jangka pendek adalah terutama pembangunan sektor pertanian dan ekonomi
pedesaan;
2. Manajemen lingkungan dan sumber daya alam, ini penting karena hancurnya
lingkungan dan habisnya SDA akan dengan sendirinya menjadi factor pengerem proses
pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, yang berarti juga sumber peningkatan
kemiskinan.
3. Intervensi jangka menegah dan panjang yang penting adalah:
a. Pembangunan Sektor Swasta, sebagai motor utama penggerak ekonomi/sumber
pertumbuhan dan penentu daya saing perekonomian nasional harus ditingkatkan.
b. Kerjasama Regional, kerjasama yang baik dalam bidang ekonomi, industry, dan
perdagangan, maupun non ekonomi.
c. Manajemen Pengeluaran Pemerintah (APBN) dan Administrasi, sangat membantu
Kelompok 6 19
Distribusi Pendapatan dan Pemerataan Pembangunan
Ekonomi Perdesaan di 27 provinsi; serta (3) penguatan akses modal di sektor kelautan
dan perikanan dalam bentuk penguatan akses modal kerja untuk masyarakat pesisir
melalui penyediaan jasa lembaga keuangan di sentra-sentra kegiatan nelayan.
Berbagai kegiatan tersebut menghasilkan angka kemiskinan yang semakin membaik.
Dalam 3 tahun terakhir jumlah penduduk miskin mengalami penurunan, dari sebesar
37,17 juta (16,58%) pada tahun 2007, menjadi 34,96 juta (15,42%) pada tahun 2008, dan
pada tahun 2009 angkanya menjadi 32,53 juta (14,15%).
Ketahanan Pangan
Ketahanan Energy
Stabilitas Harga
Stabilitas Ekonomi dan stimulus fiscal
Iklim Investasi yang kondusif
Pengembangan Infrastruktur untuk mendukung daya saing sector riil.
Mandiri Energi (DME) yang berbasis NonBBN (Bahan Bakar Nabati) dan berbasis
BBN; 5) penyelesaian beberapa peraturan, antara lain UU No. 30 tahun 2007 tentang
Energi; PP No. 59 Tahun 2007 tentang Kegiatan Usaha Panas Bumi; dan Perpres No.
104 tahun 2007 tentang Penyediaan dan Pendistribusian LPG Tabung 3 Kilogram Untuk
Rumah Tangga dan Usaha Kecil; Perpres No. 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi
Nasional.
Sementara itu, dalam pembangunan kelistrikan telah dilaksanakan: 1) penambahan
kapasitas pembangkit listrik sebesar 5.457 MW; 2) pembangunan pembangkit listrik
skala kecil di berbagai wilayah di Indonesia yang menggunakan pembangkit listrik
tenaga hidro dan panas bumi; 3) percepatan pembangunan PLTU 10.000 MW; 4)
pembangunan jaringan transmisi sebesar 4.137 km; 5) pencapaian rasio elektrifikasi
sebesar 65,1%; 6) pencapaian rasio desa berlistrik dari 86,26% (2004) menjadi 92,2%
(2008); dan 7) pengembangan Energi Baru Terbarukan dalam bentuk Pembangkit Listrik
Tenaga Surya (PLTS), Pembangkit Listrik Tenaga Mikro-Hidro (PLTMH), Pembangkit
Listrik Tenaga Bayu (PLTB), dan Biofuel.
Beberapa kebijakan di bidang perdagangan dan industri adalah: (i) melakukan upaya
penetrasi pasar global melalui diversifikasi produk dan pasar tujuan ekspor; (ii)
meningkatkan fasilitas perdagangan melalui pelayanan elektronik; (iii) kerjasama
perdagangan internasional untuk peningkatan akses pasar; (iv) perlindungan konsumen;
dan (v) standarisasi produk. Selain itu, dalam rangka stabilisasi harga bahan pokok
dalam negeri telah dilakukan berbagai upaya, antara lain kebijakan PPN ditanggung
Pemerintah (PPn DTP) untuk minyak goreng dan terigu, penurunan PPN impor untuk
gandum, kedelai dan terigu, serta peluncuran program MAKITA.
Upaya lain yang dilakukan di bidang perdagangan adalah mewujudkan penyediaan
layanan elektronik perdagangan dalam bentuk Penerapan E-Licensing dalam rangka
National Single Window (NSW) serta penerapan otomasi Surat Keterangan Asal (SKA).
Sedangkan untuk peningkatan akses pasar telah dilaksanakan market intelligence,
penyediaan layanan buyers reception desk, serta promosi dagang. Kerja sama
perdagangan internasional dilaksanakan melalui ratifikasi berbagai perjanjian dan
kesepakatan internasional. Sementara itu dalam kerangka standardisasi produk telah
ditetapkan 905 SNI di mana 173 diantaranya sudah harmonis dengan standar
internasional.
Kebijakan dalam infrastruktur sumber daya air ditujukan untuk menjaga ketersediaan air
secara memadai, baik dari sisi kuantitas maupun kualitasnya, antara lain melalui
pengembangan pola hubungan hulu-hilir dalam mencapai pola pengelolaan yang lebih
berkeadilan serta melakukan percepatan pembangunan tampungan-tampungan air skala
kecil/menengah.
Di bidang prasarana jalan, kebijakan pokok diarahkan untuk: (i) memulihkan fungsi
arteri dan kolektor serta mengoptimalkan pemeliharaan dan rehabilitasi jalan dan
jembatan nasional terutama pada lintas-lintas strategis untuk mempertahankan dan
meningkatkan baik daya dukung, kapasitas, maupun kualitas pelayanannya, baik di
daerah yang perekonomiannya berkembang pesat, maupun dalam membuka akses ke
daerah terisolir dan belum berkembang; (ii) meningkatkan dan membangun jalan dan
jembatan nasional pada lintas strategis; (iii) mengembangkan jalan bebas hambatan pada
koridor-koridor jalan berkepadatan tinggi; (iv) dukungan pembebasan tanah dalam
pembangunan jalan tol; serta (v) melakukan koordinasi di antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah untuk mengharmonisasikan keterpaduan sistem dalam konteks
pelayanan intermoda dan sistem transportasi nasional (Sistranas).
Kebijakan di bidang perkeretaapian antara lain: (i) melanjutkan deregulasi pada
angkutan kereta api; (ii) melaksanakan program Roadmap to Zero Accident; (iii)
meningkatkan kapasitas lintas dan angkutan perkeretaapian untuk meningkatkan share
angkutan barang; (iv) meningkatkan akuntabilitas dan efektivitas skema pendanaan
public service obligation (PSO), infrastructures maintenance and operation (IMO), dan
track access charge (TAC); (v) meningkatkan peran swasta dalam penyelenggaraan
perkeretaapian; (vi) meningkatkan pangsa angkutan barang pada pusat-pusat
pertambangan nasional; serta (vii) mengaktifkan jalur-jalur kereta api yang sudah tidak
dioperasikan.
Kebijakan di bidang transportasi laut antara lain: meningkatkan peran armada laut
nasional terutama untuk angkutan domestik antarpulau; melanjutkan kewajiban
pemerintah dalam angkutan perintis; menghilangkan biaya ekonomi tinggi dalam
kegiatan bongkar muat di pelabuhan; menambah dan memperbaiki pengelolaan
prasarana dan sarana transportasi laut untuk pelabuhan yang terbuka bagi perdagangan
luar negeri; mengetatkan pengecekan kelaikan laut baik kapal maupun peralatan Sarana
Bantu Navigasi Pelayaran; dan meningkatkan fasilitas keselamatan dan keamanan
pelayaran sesuai dengan standar International Maritime Organization (IMO).
Di bidang transportasi udara, beberapa kebijakan yang ditempuh antara lain:
melanjutkan kebijakan multioperator angkutan udara; restrukturisasi kewenangan antara
pemerintah dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam aspek keselamatan
penerbangan; melanjutkan pelayanan keperintisan untuk wilayah terpencil; memperketat
pengecekan kelaikan udara baik pesawat maupun peralatan navigasi; peningkatan
fasilitas keselamatan penerbangan dan navigasi sesuai dengan standar (International
Civil Aviation Organization) ICAO; serta memperketat pengecekan kelaikan udara baik
pesawat maupun peralatan navigasi.
Berdasarkan pelaksanaan berbagai kebijakan tersebut, telah diperoleh hasil dan
pencapaian dalam berbagai bentuk infrastruktur. Hasil pembangunan infrastruktur
sumber daya air antara lain berupa waduk, embung, atau sarana pengamanan bendungan
di berbagai lokasi.
Kelompok 6 24
Distribusi Pendapatan dan Pemerataan Pembangunan
http://hendragforce.blogspot.com/2010/06/kemiskinan-dan-distribusi-
pendapatan.html
Distribusi Pendapatan
1 Distribusi Pendapatan
Para ekonom pada umumnya membedakan dua ukuran pokok distribusi
pendapatan, yang keduanya digunakan untuk tujuan analisis dan kuantitatif tentang
keadilan distribusi pendapatan. Kedua ukuran tersebut adalah distribusi ukuran, yakni
besar atau kecilnya bagian pendapatan yang diterima masing-masing orang; dan
distribusi “fungsional” atau distribusi kepemilikan faktor-faktor produksi. Dari kedua
jenis distribusi pendapatan ini kemudian dihitung indikator untuk menunjukkan
distribusi pendapatan masyarakat.
1.1 Distribusi Pendapatan Ukuran
Distribusi pendapatan perorangan (personal distribution of income) atau distribusi
ukuran pendapatan (size distribution of income) merupakan ukuran yang paling sering
digunakan oleh para ekonom. Ukuran ini secara langsung menghitung jumlah
Kelompok 6 25
Distribusi Pendapatan dan Pemerataan Pembangunan
pendapatan yang diterima oleh setiap individu atau rumah tangga tanpa memperdulikan
sumbernya.
Contoh, Tabel 1 di bawah ini yang memperlihatkan distribusi pendapatan yang
walaupun datanya hipotetis, namun biasa ditemui di satu negara berkembang.
Tabel 1: Distribusi Ukuran Pendapatan Perorangan di Satu Negara Berdasarkan Pangsa Pendapatan –
Kuintil dan Desil
Individu Pendapatan/orang Pangsa (%) Pangsa (%)
(unit uang) Kuintil Desil
1 0,8
2 1,0 1,8
3 1,4
4 1,8 5 3,2
5 1,9
6 2,0 3,9
7 2,4
8 2,7 9 5,1
9 2,8
10 3,0 5,8
11 3,4
12 3,8 13 7,2
13 4,2
14 4,8 9,0
15 5,9
16 7,1 22 13,0
17 10,5
18 12,0 22,5
19 13,5
20 15,0 51 28,5
Total (pendapatan nasional) 100 100 100
Ukuran ketimpangan = jumlah pendapatan dari 40 persen rumah tangga termiskin dibagi dengan jumlah
pendapatan dari 20 persen rumah tangga terkaya = 14/51 = 0,28.
Dalam tabel tersebut, semua penduduk negara tersebut diwakili oleh 20 individu
(atau lebih tepatnya rumah tangga). Kedua puluh rumah tangga tersebut kemudian
Kelompok 6 26
Distribusi Pendapatan dan Pemerataan Pembangunan
diurutkan berdasarkan jumlah pendapatannya per tahun dari yang terendah (0,8 unit),
hingga yang tertinggi (15 unit). Adapun pendapatan total atau pendapatan nasional yang
merupakan penjumlahan dari pendapatan semua individu adalah 100 unit, seperti tampak
pada kolom 2 dalam tabel tersebut. Dalam kolom 3, segenap rumah tangga digolong-
golongkan menjadi 5 kelompok yang masing-masing terdiri dari 4 individu atau rumah
tangga. Kuintil pertama menunjukkan 20 persen populasi terbawah pada skala
pendapatan. Kelompok ini hanya menerima 5 persen (dalam hal ini adalah 5 unit uang)
dari pendapatan nasional total. Kelompok kedua (individu 5-8) menerima 9 persen dari
pendapatan total. Dengan kata lain, 40 persen populasi terendah (kuintil 1 dan 2) hanya
menerima 14 persen dari pendapatan total, sedangkan 20 persen teratas (kuintil ke lima)
dari populasi menerima 51 persen dari pendapatan total.
Ada tiga alat ukur tingkat ketimpangan pendapatan dengan bantuan distribusi
ukuran, yakni: (1) Rasio Kuznets, (2) Kurva Lorenz, dan (3) Koefisien Gini.
Kelompok 6 27
Distribusi Pendapatan dan Pemerataan Pembangunan
maka akan didapat jumlah keseluruhan pembayaran upah, yang terkadang disebut
dengan istilah tersendiri, yakni total pengeluaran upah (total wage bill).
1.3 Perkembangan Indeks Ketimpangan
Sebagai hasil dari penerapan berbagai cara untuk mencapai ukuran pembagian
pendapatan di bawah ini disampaikan data mengenai koefisien Gini untuk periode
1964/65 sampai 1976 dan untuk periode 2002-2007, dan persentase pendapatan yang
diterima oleh berbagai kelompok masyarakat di Indonesia dari 2002 sampai 2007 untuk
menghitung koefisien Kuznets.
Tingkat ketimpangan pembagian pendapatan secara keseluruhan pada tahun
1964/65 hampir sama untuk perkotaan dan pedesaan dan termasuk pada ketimpangan
yang sedang. Sedangkan pembagian pendapatan perkotaan di Jawa lebih merata
dibandingkan di pedesaan Jawa, namun sebaliknya terjadi di Luar Jawa, yakni di
pedesaan lebih merata. Kalau kita bergerak dari tahun 1964/65 maka distribusi
pendapatan di perkotaan Jawa selalu menjadi lebih timpang, sedangkan di daerah
pedesaan di Jawa selalu menjadi lebih merata sampai pada tahun 1976. Hal ini mungkin
disebabkan oleh karena UUPMA dan UUPMDN dan beberapa kebijaksanaan lainnya
yang mulai dilaksanakan pada awal pemerintahan Suharto lebih banyak dimanfaatkan
oleh orang-orang kaya perkotaan di Jawa sehingga distribusi pendapatan di perkotaan
Jawa menjadi lebih timpang. Hal yang sebaliknya terjadi di pedesaan di Jawa, yakni
program pembangunan pertanian dan pedesaan, terutama program BIMAS-INMAS,
lebih banyak dinikmati oleh golongan miskin di Jawa sehingga distribusi pendapatannya
menjadi lebih merata (koefisien Gini menurun). Koefisien Gini secara keseluruhan di
perkotaan menjadi lebih timpang, sedangkan di pedesaan sedikit menjadi lebih baik bila
kita bergerak dari 1964/65 menuju 1976.
Kalau kita bergerak dari periode 1970an ke periode 2000an, maka dapat kita
katakan bahwa tidak terjadi perubahan yang berarti mengenai ketimpangan distribusi
pendapatan di Indonesia, masih tetap secara umum berada pada ketimpangan yang
sedang baik ditunjukkan oleh koefisien Kuznets maupun koefisien Gini. Pada awal
periode (2002-2004) bagian pendapatan yang diterima oleh 40 persen termiskin relatif
tetap sekitar 20 persen dan bagian yang diterima oleh 20 persen terkaya juga tetap
Kelompok 6 29
Distribusi Pendapatan dan Pemerataan Pembangunan
(sekitar 42 persen), sehingga koefisien Kuznets juga relatif konstan (bedanya 0,01
karena pembulatan), dan koefisien Gini juga menunjukkan hal yang sama dari 0,33
(pada tahun 2002) menjadi 0,32 pada dua tahun setelah itu. Dari tahun 2004 ke 2005
distribusi pendapatan menjadi sedikit lebih buruk, bagian yang diterima oleh 40 persen
termiskin menurun dan bagian yang diterima oleh 20 persen terkaya meningkat sehingga
koefisien Kuznets mengalami penurunan. Hal ini juga ditunjukkan oleh koefisien Gini
yang menunjukkan distribusi pendapatan menjadi lebih timpang. Memburuknya
distribusi pendapatan dari tahun 2006 ke 2007 (ditunjukkan oleh menurunnya koefisien
Kuznets dan menaiknya koefisien Gini) mungkin dapat dijelaskan karena adanya
kenaikan harga-harga sebagai akibat naiknya harga bensin ketika itu. Kenaikan harga-
harga rupanya lebih menguntungkan kelompok kaya dibandingkan dengan kelompok
miskin, sebagaimana diperjuangkan oleh para demonstran yang menentang kenaikan
harga premium waktu itu.
2 Kemiskinan
Yang dimaksud dengan kemiskinan di sini adalah penduduk miskin, yakni
penduduk yang tidak mampu mendapatkan sumber daya yang cukup untuk memenuhi
kebutuhan dasar. Mereka hidup di bawah tingkat pendapatan riil minimum tertentu –
atau di bawah “garis kemiskinan internasional”. Garis tersebut tidak mengenal tapal
batas antar negara, tidak tergantung pada tingkat pendapatan per kapita di satu negara,
dan juga memperhitungkan perbedaan tingkat harga antar negara dengan mengukur
penduduk miskin sebagai orang yang hidup kurang dari US$1 per hari dalam dolar
paritas daya beli (ppp). Kemiskinan absolut dapat dan memang terjadi di mana-mana, di
Jakarta, di Bali, di Nusa Penida, di Medan, walaupun persentasenya terhadap jumlah
penduduk berbeda-beda dari satu tempat ke tempat lainnya.
2.1 Mengukur Kemiskinan absolut
Kemiskinan absolut dapat diukur dengan angka, atau “hitungan per kepala
(headcount)”, H, untuk mengetahui seberapa banyak orang yang penghasilannya berada
di bawah garis kemiskinan absolut, Yp. Ketika hitungan per kepala tersebut dianggap
sebagai bagian dari populasi total, N, kita memperoleh indeks per kepala (headcount
index), H/N. Garis kemiskinan ditetapkan pada tingkat yang selalu konstan secara riil,
Kelompok 6 30
Distribusi Pendapatan dan Pemerataan Pembangunan
Kelompok 6 31
Distribusi Pendapatan dan Pemerataan Pembangunan
Kelompok 6 32
Distribusi Pendapatan dan Pemerataan Pembangunan
Kelompok 6 33
Distribusi Pendapatan dan Pemerataan Pembangunan
terdapat redistribusi pendapatan atau aset dari golongan kaya ke golongan miskin,
bahkan jika melalui pajak progresif, terdapat kekhawatiran bahwa jumlah tabungan akan
menurun, Namun, sementara tingkat tabungan golongan menengah biasanya adalah
yang tertinggi, tingkat tabungan marjinal golongan miskin pun sebenarnya tidak kecil,
jika dipandang dari perspektif menyeluruh. Selain tabungan keuangan, golongan miskin
cenderung membelanjakan tambahan pendapatan untuk memperoleh gizi yang lebih
baik, pendidikan untuk anak-anak mereka, perbaikan kondisi rumah, dan pengeluaran-
pengeluarn lain yang lebih mencerminkan investasi dan bukan konsumsi, khususnya jika
dilihat dari sudut pandang kaum miskin. Paling tidak terdapat lima alasan mengapa
kebijaksanaan yang ditujukan untuk mengurangi kemiskinan tidak harus memperlambat
laju pertumbuhan.
Pertama, kemiskinan yang meluas menciptakan kondisi yang membuat kaum
miskin tidak mempunyai akses terhadap pinjaman kredit, tidak mampu membiayai
pendidikan anaknya, dan dengan ketiadaan peluang investasi fisik maupun moneter,
mempunyai banyak anak sebagai sumber keamanan keuangan di masa tuanya nanti.
Faktor-faktor ini secara bersama-sama menyebabkan pertumbuhan per kapita lebih kecil
daripada jika distribusi pendapatan lebih merata.
Kedua, akal sehat yang didukung dengan banyaknya data empiris terbaru,
menyaksikan fakta bahwa, tidak seperti sejarah yang pernah dialami oleh negara-negara
yang sekarang sudah maju, kaum kaya di negara-negara miskin sekarang tidak dikenal
karena hematnya atau hasrat mereka untuk menabung atau menginvestasikan bagian
yang besar dari pendapatan mereka di dalam perekonomian negara mereka sendiri.
Ketiga, pendapatan yang rendah dan standar hidup yang buruk yang dialami oleh
golongan miskin, yang tercermin dari kesehatan, gizi, dan pendidikan yang rendah,
dapat menurunkan produktivitas ekonomi mereka dan akibatnya secara langsung
maupun tidak langsung menyebabkan perekonomian tumbuh lambat.
Keempat, peningkatan tingkat pendapatan golongan miskin akan mendorong
kenaikan permintaan produk kebutuhan rumah tangga buatan lokal, seperti makanan dan
pakaian, secara menyeluruh, sementara golongan kaya cenderung membelanjakan
sebagian besar pendapatannya untuk barang-barang mewah impor.
Kelompok 6 34
Distribusi Pendapatan dan Pemerataan Pembangunan
2 Pilihan Kebijaksanaan
Pilihan kebijaksanaan berikut ini berlaku untuk mengubah/memperbaiki distribusi
pendapatan dan sekaligus memerangi kemiskinan. Ada beberapa pilihan, yakni:
a. Upah buruh, dilaksanakan dengan menentukan tingkat upah minimum nasional dan
regional, seperti yang dilaksanakan di Indonesia. Pemerintah menentukan tingkat upah
minimum yang lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat upah yang ditentukan di pasar
bebas atas permintaan dan penawaran. Dengan kebijaksanaan ini para investor
menganggap buruh menjadi terlalu mahal dan mereka memilih teknologi produksi yang
hemat tenaga kerja. Bagian upah pada perekonomian nasional menjadi lebih kecil, dan
kemungkinan jumlah orang miskin menjadi lebih besar.
b. Bunga modal, dilaksanakan dengan menentukan harga modal terlalu murah
dibandingkan dengan harga modal yang ditetapkan atas permintaan dan penawaran. Ini
bisa dikerjakan dengan, misalnya, pemberian kemudahan prosedur investasi, keringanan
pajak bagi pengusaha, subsidi tingkat bunga (tingkat bunga yang lebih rendah untuk
investasi), penetapan kurs valuta asing yang terlalu tinggi, dan penurunan bea masuk
bagi impor barang-barang modal seperti traktor dan mesin-mesin otomatis relatif
terhadap barang konsumsi.
Kelompok 6 35
Distribusi Pendapatan dan Pemerataan Pembangunan
Kiranya kita bisa simpulkan bahwa penghapusan distorsi harga faktor produksi sangat
bermanfaat dan penyesuaian harga memungkinkan satu negara meraih pemerataan
pendapatan dan sekaligus memperbaiki taraf hidup kaum miskin, namun apa yang telah
dikerjakan oleh Indonesia selama ini bertentangan, sehingga distribusi pendapatan tetap
dan malah makin timpang dan jumlah orang miskin tetap dalam jumlah yang besar.
Hal ini dilaksanakan melalui UUPA (Undang-undang Pokok Agraria) 1960, yang
membatasi jumlah pemilikan tanah pertanian. Pajak dividen obligasi dan pajak terhadap
hasil (bagian laba) saham, berbagai jenis bea siswa dan bantuan sekolah sampai
perguruan tinggi, wajib belajar, dan asuransi kesehatan bagi rakyat miskin. Cara lain
dapat dilakukan melalui pemberian kredit komersial dengan bunga pasar yang wajar
(bukannya dengan bunga rentenir yang sangat tinggi) bagi para wirausaha kecil (kredit
ini bisa disebut “pinjaman mikro” seperti kredit usaha rakyat, kredit usaha tani,dan
sebagainya.
3. Pengurangan distribusi ukuran golongan atas melalui pajak yang progresif. Satu
contoh yang diterapkan di Indonesia adalah pajak penghasilan perorangan dan
badan yang mempunyai sifat progresif. Pajak kekayaan, (akumulasi aset dan
penghasilan) merupakan pajak properti perorangan dan perusahaan yang bersifat
progresif, yang biasanya dikenakan kepada mereka yang kaya raya.
4. Pembayaran transfer secara langsung dan penyediaan berbagai barang dan jasa
publik. Transfer langsung dilaksanakan melalui BLT (bantuan langsung tunai)
kepada orang miskin yang berhak menerima. Penyediaan barang dan jasa publik
dilaksanakan melalui beras murah untuk orang miskin (raskin), penyediaan
asuransi kesehatan bagi golongan miskin (jamkesmas).
Kelompok 6 36
Distribusi Pendapatan dan Pemerataan Pembangunan
Kesimpulan
Ada dua jenis distribusi pendapatan, ukuran dan fungsional. Dari distribusi
ukuran dapat dibuat kurva Lorens, atau dihitung koefisien Kuznets dan koefisien Gini
yang dapat dipakai untuk tujuan analisis dan kuantitatif tentang keadilan distribusi
pendapatan. Ukuran yang paling biasa dipakai di Indonesia adalah Koefisien Kuznets,
koefisien Gini, sedangkan kurva Lorens tidak. Distribusi fungsional memberikan
kerangka analisis kebijaksanaan yang menjelaskan keadilan distribusi pendapatan
berdasarkan kepemilikan faktor produksi. Dari data mengenai koefisien Gini dapat
dikatakan bahwa ketimpangan pembagian pendapatan secara keseluruhan pada tahun
1964/65 hampir sama untuk perkotaan dan pedesaan dan termasuk pada ketimpangan
yang sedang. Sedangkan pembagian pendapatan perkotaan di Jawa lebih merata
dibandingkan di pedesaan Jawa, namun sebaliknya terjadi di Luar Jawa, yakni di
pedesaan lebih merata. Kalau kita bergerak dari tahun 1964/65 maka distribusi
pendapatan di perkotaan Jawa dan juga di Indonesia pada umumnya selalu menjadi lebih
timpang, sedangkan di daerah pedesaan di Jawa dan di Indonesia pada umumnya selalu
menjadi lebih merata sampai pada tahun 1976, namun tetap pada ketimpangan sedang.
Bergerak dari periode 1970an ke periode 2000an, maka dapat kita katakan bahwa tidak
terjadi perubahan yang berarti mengenai ketimpangan distribusi pendapatan di
Indonesia, masih tetap pada ketimpangan yang sedang baik ditunjukkan oleh koefisien
Kuznets maupun koefisien Gini, meskipun pada awalnya (2032-2004) sedikit membaik
Kelompok 6 37
Distribusi Pendapatan dan Pemerataan Pembangunan
untuk kemudian menjadi sedikit lebih timpang pada 2005 dan membaik lagi 2006 untuk
akhirnya memburuk lagi tahun 2007.
Perpaduan tingkat pendapatan per kapita yang rendah dan distribusi pendapatan
yang tidak merata akan menghasilkan kemiskinan absolut yang parah, atau dengan kata
lain, banyak penduduk yang hidup di bawah tingkat pendapatan riil minimum tertentu –
atau di bawah “garis kemiskinan internasional”. Ada beberapa ukuran untuk penduduk
miskin, yakni dengan menghitung jumlah mereka atau disebut “hitungan per kepala
(headcount)”, indeks per kepala (headcount index), jurang kemiskinan (poverty gap,
total atau average atau normalized), Indeks Poster-Greer-Thornbeck (FGT) dan human
poverty index (indeks kemiskinan manusia = IKM). Ada beberapa kriteria ukuran
kemiskinan yang diinginkan, yang telah diterima secara luas oleh para ekonom, yakni
prinsip-prinsip anonimitas, independensi populasi, monotonisitas, dan sensitivitas
distribusional. Kriteria yang sering dipakai di Indonesia adalah jumlah penduduk miskin
dan persentase penduduk miskin. Data menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi
telah menurunkan persentase penduduk miskin dari lebih dari 40 persen dari jumlah
penduduk (atau sekitar 54 juta orang) pada tahun 1976 menjadi sekitar 11,34 persen dari
jumlah penduduk (atau sekitar 22,5 juta orang) pada tahun 1996, untuk kemudian
sebagai akibat dari krisis ekonomi meningkat menjadi sekitar 23 persen dari jumlah
penduduk (atau sekitar 49 juta orang) pada tahun 1999. Setelah itu terus mengalami
penurunan sehingga menjadi sekitar 16 persen dari jumlah penduduk (atau sejumlah 37
juta orang) pada tahun 2007.
Jumlah penduduk miskin yang banyak ini merupakan tugas penting dan berat
mengingat tujuan pembangunan milenium yang sekarang didengungkan dan untuk
keperluan itu pemerintah perlu mengetahui siapa penduduk miskin tersebut beserta
karakteristiknya, serta menentukan sikap yang tegas apakah pertumbuhan yang tinggi
selalu dibarengi dengan kemiskinan untuk dapat menyusun berbagai kebijakan yang
memihak kaum miskin. Berbagai kebijaksanaan yang bertujuan untuk memperbaiki
distribusi pendapatan kukuran dan fungsional telah dilaksanakan oleh pemerintah,
namun sampai sejauh ini tampaknya baru berhasil mempertahankan pembagian
pendapatan pada tingkat ketimpangan sedang dan belum begitu berhasil menurunkan
Kelompok 6 38
Distribusi Pendapatan dan Pemerataan Pembangunan
jumlah orang miskin. Hal yang terakhir ini mungkin disebabkan oleh karena banyak
penduduk yang mestinya tidak berhak atas program pemerintah tertentu namun
menikmatinya.
http://dedysuarjaya.blogspot.com/2010/09/distribusi-pendapatan.html
Kelompok 6 39