You are on page 1of 39

Distribusi Pendapatan dan Pemerataan Pembangunan

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Ketimpangan yang besar dalam distribusi pendapatan atau kesenjangan
ekonomi dan tingkat kemiskinan merupakan dua masalah besar di banyak negara
berkembang, tak terkecuali di Indonesia. Berawal dari distribusi pendapatan yang tidak
merata yang kemudian memicu terjadinya ketimpangan pendapatan sebagai dampak dari
kemiskinan. Hal ini akan menjadi sangat serius apabila kedua masalah tersebut berlarut-
larut dan dibiarkan semakin parah, pada akhirnya akan menimbulkan konsekuensi
politik dan sosial yang dampaknya cukup negatif.
Negara Indonesia secara geografis dan klimatalogis merupakan negara yang
mempunyai potensi ekonomi yang sangat tinggi. Dengan garis pantai yang terluas di
dunia, iklim yang memungkinkan untuk pendayagunaan lahan sepanjang tahun, hutan
dan kandungan bumi Indonesia yang sangat kaya, merupakan bahan (ingredient) yang
utama untuk membuat negara menjadi negara yang kaya. Suatu perencanaan yang bagus
yang mampu memanfaatkan semua bahan baku tersebut secara optimal, akan mampu
mengantarkan negara Indonesia menjadi negara yang makmur. Ini terlihat pada hasil
hasil Pelita III sampai dengan Pelita V yang dengan pertumbuhan ekonomi rata rata 7% -
8% membuat Indonesia menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi dan
pendapatan penduduk yang tinggi. Dan Indonesia menjadi salah satu negara yang
mendapat julukan “Macan Asia”.
Namun ternyata semua pertumbuhan ekonomi dan pendapatan tersebut ternyata
tidak memberikan dampak yang cukup berarti pada usaha pengentasan kemiskinan.
Indonesia adalah sebuah negara yang penuh paradoks. Negara ini subur dan kekayaan
alamnya melimpah, namun sebagian cukup besar rakyat tergolong miskin. Pada puncak
krisis ekonomi tahun 1998-1999 penduduk miskin Indonesia mencapai sekitar 24% dari
jumlah penduduk atau hampir 40 juta orang. Tahun 2002 angka tersebut sudah turun
menjadi 18%, dan pada menjadi 14% pada tahun 2004. Situasi terbaik terjadi antara

Kelompok 6 1
Distribusi Pendapatan dan Pemerataan Pembangunan

tahun 1987-1996 ketika angka rata-rata kemiskinan berada di bawah 20%, dan yang
paling baik adalah pada tahun 1996 ketika angka kemiskinan hanya mencapai 11,3%.
Di Indonesia pada awal orde baru para pembuat kebijaksanaan dan perencana
pembangunan di Jakarta masih sangat percaya bahwa proses pembangunan ekonomi
yang pada awalnya terpusatkan hanya di Jawa, Khususnya Jakarta dan sekitarnya, dan
hanya di sector-sektor tertentu saja, pada akhirnya akan menghasilkan “Trickle Down
Effects”. Didasarkan pada pemikiran tersebut, pada awal orde baru hingga akhir tahun
1970-an, strategi pembangunan ekonomi yang dianut oleh pemerintahan Orde Baru lebih
berorientasi kepada pertumbuhan ekonomi yang tinggi tanpa memperhatikan pemerataan
pembangunan ekonomi.
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka pusat pembangunan ekonomi nasional di
mulai di Pulau Jawa dengan alasan bahwa semua fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan,
seperti transportasi, telekomunikasi, dan infrastruktur lainnya lebih tersedia di pulau
jawa, khususnya Jakarta, dibandingkan dengan provinsi lainnya di Indonesia.
Pembangunan saat itu juga hanya terpusatkan pada sektor-sektor tertentu saja yang
secara potensial memiliki kemampuan besar untuk menyumbang nilai pendapatan
nasional yang tinggi. Pemerintah saat itu percaya bahwa nantinya hasil dari
pembangunan itu akan menetes ke sektor-sektor dan wilayah Indonesia lainnya.
Ada berbagai cara untuk mengetahui prestasi pembangunan suatu negara yaitu
dengan pendekatan ekonomi dan pendekatan non-ekonomi. Dalam pendekatan ekonomi
dapat dilakukan berdasarkan tinjauan aspek pendapatan maupun aspek non pendapatan.
Dalam aspek pendapatan digunakan konsep pendapatan perkapita, namun hal tersebut
belum cukup untuk menilai prestasi pembangunan karena tidak mencerminkan
bagaimana pendapatan nasional sebuah negara terbagi di kalangan penduduknya,
sehingga tidak memantau unsur keadilan atau kemerataan. Untuk itu diperlukan data
mengenai kemerataan distribusi pendapatan dimana perhatiannya bukan hanya pada
distribusi pendapatan nasional tapi juga distribusi proses atau pelaksanaan pembangunan
itu sendiri.
Krisis yang terjadi secara mendadak dan diluar perkiraan pada akhir dekade
1990-an merupakan pukulan yang sangat berat bagi pembangunan Indonesia. Bagi

Kelompok 6 2
Distribusi Pendapatan dan Pemerataan Pembangunan

kebanyakan orang, dampak dari krisis yang terparah dan langsung dirasakan,
diakibatkan oleh inflasi. Antara tahun 1997 dan 1998 inflasi meningkat dari 6% menjadi
78%, sementara upah riil turun menjadi hanya sekitar sepertiga dari nilai sebelumnya.
Akibatnya, kemiskinan meningkat tajam. Antara tahun 1996 dan 1999 proporsi orang
yang hidup di bawah garis kemiskinan bertambah dari 18% menjadi 24% dari jumlah
penduduk. Pada saat yang sama, kondisi kemiskinan menjadi semakin parah, karena
pendapatan kaum miskin secara keseluruhan menurun jauh di bawah garis kemiskinan.

1.2 Perumusan masalah


Berkaitan dengan permasalahan distribusi dan pemertaan pembangunan yang
telah di jelaskan sebelumnya, ada beberapa pertanyaan yang diajukan sebagai
perumusan masalah dengan tujuan agar pembahasan dapat terfokus pada masalah yang
telah di jabarkan diatas. Adapun perumusan masalah adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana distribusi pendapatan berpengaruh terhadap pemerataan
pembangunan nasional?
2. Bagaimana distribusi pendapatan berpengaruh terhadap kemiskinan di
Indonesia?
3. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi ketimpangan distribusi
pendapatan?

Kelompok 6 3
Distribusi Pendapatan dan Pemerataan Pembangunan

Faktor-faktor yang mempengaruhi ketimpangan


perekonomian antar
daerah di Indonesia
Carlos Chrisyanto
Deskripsi Dokumen: http://www.lontar.ui.ac.id//opac/themes/libri2/detail.jsp?id=90373&lokasi=lokal
---------------------------------------------------------------------------
---------------
Abstrak
Terjadinya perbedaan dari distribusi pendapatan antar daerah dan distribusi pengeluaran
pemerintah pusat
dan daerah merupakan satu permasalahan dalam pelaksanaan pembangunan di berbagai
daerah di Indonesia.
Perbedaan tersebut terjadi selama bertahun-tahun lamanya sehingga menyebabkan
terjadinya ketimpangan
antar daerah satu dengan yang lain. Dilakukannya satu kebijakan pemerintah yaitu
otonomi daerah masih
belum mampu memperkecil adanya ketimpangan tersebut, dimana terlihat adanya
perbedaan tingkat
pembangunan antara lain perbedaan tingkat pendapatan per kapita dan infrastruktur di
daerah yang
disebabkan karena minimnya pengeluaran pembangunan di daerah.
Mengacu pada perumusan masalah, penelitian ini bertujuan untuk menganalisa faktor-
faktor yang
mempengaruhi ketimpangan ekonomi daerah melalui Indeks Williamson, faktor-faktor
yang dianalisa
tersebut adalah PDRB, Pendapatan Per Kapita dan Pengeluaran daerah untuk
Pembangunan selama masa
sebelum dan sesudah krisis.
Metode analisa yang digunakan adalah regresi linier berganda dengan menggunakan
data 30 propinsi di
Indonesia tahun 1989-2003, dengan variabel terikat adalah ketimpangan daerah (yang
diukur dengan Indeks
Williamson) dan variabel bebas berupa pendapatan per kapita, pengeluaran daerah dan
Dummy Krisis untuk
pembangunan. Pendugaan dilakukan dengan metode ordinary Least Square (OLS).
Dari hasil analisa ditemukan bahwa terjadinya ketimpangan ekonomi antar daerah
disebabkan oleh
tingginya pendapatan perkapita DKI Jakarta yang menyebabkan ketimpangan di Pulau
Jawa dan tingginya
pendapatan perkapita di Kalimantan Timur yang menyebabkan ketimpangan di luar
Pulau Jawa.

Kelompok 6 4
Distribusi Pendapatan dan Pemerataan Pembangunan

Interprestasi analisa model regresi menunjukan bahwa ketimpangan daerah dengan


melihat faktor migas
dipengaruhi oleh pengeluaran pemerintah daerah pada saat 2 tahun sebelumnya dan
terjadinya krisis
ekonomi. Sedangkan ketimpangan daerah tanpa melihat faktor migas dipengaruhi oleh
pendapatan perkapita
daerah dan pengeluaran pemerintah.
Kebijakan terhadap peningkatan alokasi pengeluaran pemerintah daerah khusus untuk
daerah-daerah miskin
atau daerah yang tidak kaya dengan migas akan memperkecil ketimpangan antar daerah
sebab hasil
penelitian melihat bahwa pengeluaran pemerintah lebih banyak dialokasikan kepada
daerah kaya (DKI
Jakarta) dan daerah kaya migas (Kalimantan Timur dan Riau).

BAB II
ISI

2.1 Konsep Dan Teori Distribusi Pendapatan

Distribusi pendapatan mencerminkan merata atau timpangnya pembagian hasil


pembangunan suatu negara di kalangan penduduknya. Ada beberapa cara yang dijadikan
sebagai indikator untuk mengukur kemerataan distribusi pendapatan, diantaranya yaitu :

1. Kurva Lorenz
Kurva Lorenz menggambarkan distribusi kumulatif pendapatan nasional di
kalangan lapisan-lapisan penduduk. Kurva ini terletak di dalam sebuah bujur sangkar
yang sisi tegaknya melambangkan persentase kumulatif pendapatan nasional, sedangkan
sisi datarnya mewakili persentase kumulatif penduduk. Kurvanya sendiri ditempatkan
pada diagonal utama bujur sangkar tersebut. Kurva Lorenz yang semakin dekat ke

Kelompok 6 5
Distribusi Pendapatan dan Pemerataan Pembangunan

diagonal (semakin lurus) menyiratkan distribusi pendapatan nasional yang semakin


merata. Sebaliknya, jika kurva Lorenz semakin jauh dari diagonal (semakin lengkung),
maka ia mencerminkan keadaan yang semakin buruk, distribusi pendapatan nasional
semakin timpang dan tidak merata.
Persentase Pendapatan

`
Nasional

Persentase Jumlah Penduduk


Sumber : Tulus Tambunan (2003)

2. Indeks atau Rasio Gini


Gini ratio merupakan alat ukur yang umum dipergunakan dalam studi empiris,
yaitu dengan formula:

1 n n

Gini = ---------- ∑ ∑ yi - yj 


2n2 – y I=1 j=1

Sumber: Tulus Tambunan (2003)

Nilai Gini antara 0 dan 1, dimana nilai 0 menunjukkan tingkat pemerataan


yang sempurna, dan semakin besar nilai Gini maka semakin tidak sempurna tingkat
pemerataan pendapatan.

Kelompok 6 6
Distribusi Pendapatan dan Pemerataan Pembangunan

Namun dalam studi studi empiris terutama dalam single country, ternyata
kemiskinan tidak identik dengan kesejahteraan. Artinya ukuran ukuran diatas belum
mencerminkan tingkat kesejahteraan. Studi yang dilakukan oleh Ranis (1977) dalam
Tulus Tambunan (2003) mengemukakan bahwa di Republik Cina dan Ravallion dan
Datt (1996) dalam Tulus Tambunan (2003) mengemukakan bahwa di India,
menunjukkan kedua negara tersebut dilihat dari ti ngkat pendapatan per kapita maupun
ukuran Gini ( Gini ratio) menunjukkan tingkat kemikskinan yang cukup parah. Namun
dilihat dari tingkat kesejahteraan, kedua negara tersebut masih lebih baik dari beberpa
negera Amerika Latin yang mempunyai tingkat Gini ratio rendah dan tingkat
pendapatan perkapita tinggi. Ranis, Ravallion dan Datt memasukan faktor seperti tingkat
kemudahan mendapatkan pendidikan yang murah, hak mendapatkan informasi, layanan
kesehatan yang mudah dan murah, perasaan aman baik dalam mendapatkan pendidikan
dan lapangan kerja, dan lain lain.
Intinya adalah dalam mengukur kemiskinan, banyak variabel non keuangan
yang harus diperhatikan. Variabel keuangan (tingkat pendapatan) bukanlah satu satunya
variabel yang harus dipakai dalam menghitung kemiskinan.
Namun kalau pengambil keputusan, lebih menitikberatkan pada cross variable
study dalam mengatasi masalah kemiskinan, maka berarti kemiskinan akan diatasi
dengan cara meningkatkan kesejahteraan dalam arti yang luas.

3. Kriteria Bank Dunia


Kriteria ketidakmerataan versi Bank Dunia didasarkan atas porsi pendapatan
nasional yang dinikmati oleh tiga lapisan penduduk, yakni 40% penduduk
berpendapatan rendah, 40% penduduk berpendapatan menengah, serta 20% penduduk
berpendapatan tinggi. Ketimpangan atau ketidakmerataan distribusi pendapatan
dinyatakan parah apabila 40% penduduk berpendapatan rendah menikmati kurang dari
12% pendapatan nasional. Ketidakmerataan dianggap sedang atau moderat apabila 40%
penduduk miskin menikmati antara 12-17% pendapatan nasional. Sedangkan jika 40%
penduduk yang berpendapatan rendah menikmati lebih dari 17% pendapatan nasional,

Kelompok 6 7
Distribusi Pendapatan dan Pemerataan Pembangunan

maka ketimpangan atau kesenjangan dikatakan lunak dan distribusi pendapatan nasional
dianggap cukup merata.

4. Hipotesis Kuznets
Data data ekonomi periode 1970 – 1980, terutama mengenai pertumbuhan
ekonomi dan distribusi pendapatan terutama di LDS (Less Developing Countries),
terutama di negara negara yang mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup
pesat, seperti Indonesia, menunjukan seakan akan korelasi positif antara laju
pertumbuhan ekonomi dan tingkat kesenjangan ekonomi. Semakin tinggi pertumbuhan
produk domestik bruto, atau semakin tinggi tingkat pendapatan per kapita, maka
semakin besar perbedaan antara kaum miskin dan kaum kaya. Bahkan studi yang
dilakukan di negara negara Eropa Barat, menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi
tidak atau justru membuat ketimpangan antara kaum miskin dan kaum kaya semakin
melebar. Jantti (1997) dalam Tulus Tambunan (2003) mengemukakan bahwa fenomea
tersebut timbul karena adanya perubahan suplly of labor (masuknya buruh murah dari
Turki, atau negara Eropa Timur kedalam pasar buruh di Eropa Barat). Berdasarkan
fakta tersebut, muncul pertanyaan: mengapa terjadi trade-off antara pertumbuhan dan
kesenjangan ekonomi dan untuk berapa lama? Kerangka pemikiran ini yang melandasi
Hipotesis Kuznets. Yaitu, dalam jangka pendek ada korelasi positip antara pertumbuhan
pendapatan perkapita dengan kesenjangan pendapatan. Namun dalam jangka panjang
hubungan keduanya menjadi korelasi yang negatif. Artinya, dalam jangka pendek
meningkatnya pendapatan akan diikuti dengan meningkatnya kesenjangan pendapatan,
namun dalam jangka panjang peningkatan pendapatan akan diikuti dengan penurunan
kesenjangan pendapatan. Fenomena ini dikenal dengan nama “Kurva U terbalik dari
Hipotesis Kuznets”.
Namun, hipotesis Kuznets ini mulai dipertanyakan. Beberapa studi yang
mengambil data time series membuktikan bahwa dalam beberapa negara yang masih
bertumpu pada sektor pertanian (rural economy) menunjukan hubungan negatif. Ini
berarti bertolak belakang dari hipotesis Kuznets.

Kelompok 6 8
Distribusi Pendapatan dan Pemerataan Pembangunan

Pemahaman atas variabel variable tersebut akan membuktikan bahwa negara


pertanian tidak identik dengan kemiskinan atau mungkin lebih tepatnya adalah
kesejahteraan pun bisa meningkat di negara-negara yang berbasis pertanian.

5. Indeks Theil
Digunakan untuk mengukur ketimpangan pendapatan antar individu di dalam
provinsi dan ketimpanan pendapatan antar provinsi. Untuk megukurnya digunakan
rumus sebagai berikut:

Theil = Σi Σj (Y ij/Y)1n(Ŷij /Ŷ)


Sumber : Tulus Tambunan (2003

Keterangan:
Y ij = Total pendapatan di prvinsi i, grup j
Ŷij = Rata-rata pendapatan per kapita di provinsi i, grup j
Ŷ = Total pendapatan nasional

Untuk mengakses dan mendownload tugas kuliah ini selengkapnya


anda harus berstatus Paid Member

Kemiskinan,

Distribusi Pendapatan, Masalah Kemiskinan,

dan

Ketimpangan.

Kelompok 6 9
Distribusi Pendapatan dan Pemerataan Pembangunan

Pertumbuhan versus Pemerataan

 Simon Kuznets (1955) membuat hipotesis adanya kurva U


terbalik (inverted U curve) bahwa mula-mula ketika
pembangunan dimulai, distribusi pendapatan akan makin tidak
merata, namun setelah mencapai suatu tingkat pembangunan
tertentu, distribusi pendapatan makin merata.

INDIKATOR DISTRIBUSI PENDAPATAN

 Distribusi Ukuran (Distribusi Pendapatan Perorangan)


 Kurva Lorenz
 Koefisien Gini

Distribusi Ukuran
(personal distribution of income)

 Distribusi pendapatan perseorangan (personal distribution of


income) atau distribusi ukuran pendapatan (size distribution of
income) merupakan indikator yang paling sering digunakan oleh
para ekonom. Ukuran ini secara langsung menghitung jumlah
penghasilan yang diterima oleh setiap individu atau rumah
tangga.
 Yang diperhatikan di sini adalah seberapa banyak pendapatan
yang diterima seseorang, tidak peduli dari mana sumbernya,
entah itu bunga simpanan atau tabungan, laba usaha, utang,
hadiah ataupun warisan.

 Lokasi sumber penghasilan (desa atau kota) maupun sektor atau


bidang kegiatan yang menjadi sumber penghasilan (pertanian,
industri, perdagangan, dan jasa) juga diabaikan.
 Bila si X dan si Y masing-masing menerima pendapatan yang
sama per tahunnya, maka kedua orang tersebut langsung
dimasukkan ke dalam satu kelompok atau satu kategori
penghasilan yang sama, tanpa mempersoalkan bahwa si X
memperoleh uangnya dari membanting tulang selama 15 jam

Kelompok 6 10
Distribusi Pendapatan dan Pemerataan Pembangunan

sehari, sedangkan si Y hanya ongkang-ongkang kaki menunggu


bunga harta warisan yang didepositokannya.

 Berdasarkan pendapatan tsb, lalu dikelompokkan menjadi lima


kelompok, biasa disebut kuintil (quintiles) atau sepuluh kelompok
yang disebut desil (decile) sesuai dengan tingkat pendapatan
mereka, kemudian menetapkan proporsi yang diterima oleh
masing-masing kelompok.
 Selanjutnya dihitung berapa % dari pendapatan nasional yang
diterima oleh masing-masing kelompok, dan bertolak dari
perhitungan ini mereka langsung memperkirakan tingkat
pemerataan atau tingkat ketimpangan distribusi pendapatan di
masyarakat atau negara yang bersangkutan.

 Indikator yang memperlihatkan tingkat ketimpangan atau pemerataan


distribusi pendapatan diperoleh dari kolom 3, yaitu perbandingan antara
pendapatan yang diterima oleh 40 persen anggota kelompok bawah
(mewakili lapisan penduduk termiskin) dan 20 persen anggota
kelompok atas (lapisan penduduk terkaya).
 Rasio inilah yang sering dipakai sebagai ukuran tingkat
ketidakmerataan antara dua kelompok ekstrem, yaitu kelompok yang
Kelompok 6 11
Distribusi Pendapatan dan Pemerataan Pembangunan

sangat miskin dan kelompok yang sangat kaya di dalam suatu negara.
Rasio ketidakmerataan dalam contoh di atas adalah 14 dibagi dengan
51, atau sekitar 1 berbanding 3,7 atau 0,28.

 Peta pendapatan jika total populasi dibagi menjadi sepuluh kelompok


(desil) yang masing-masing menguasai pangsa 10 persen pada kolom 4.
 10 persen populasi terbawah (dua individu atau rumah tangga yang
paling miskin) hanya menerima 1,8 persen dari total pendapatan,
sedangkan 10 persen kelompok teratas (dua individu atau rumah tangga
terkaya) menerima 28,5 persen dari pendapatan nasional.
 Bila ingin diketahui berapa yang diterima oleh 5 persen kelompok
teratas, maka jumlah penduduknya harus dibagi menjadi 20 kelompok
yang masing-masing anggotanya sama (masing-masing kelompok
terdiri dari satu individu) dan kemudian dihitung persentase total
pendapatan yang diterima oleh lima kelompok teratas dari pendapatan
nasional atau total pendapatan yang diterima oleh kedua puluh
kelompok tersebut.
 Dari Tabel 5-1, kita bisa mengetahui bahwa pendapatan 5 persen
penduduk terkaya (20 individu) menerima 15 persen dari pendapatan,
lebih tinggi dibandingkan dengan total pendapatan dari 40 persen
kelompok terendah (40 persen rumah tangga yang paling miskin).

Kurva Lorenz

 Sumbu horisontal menyatakan jumlah penerimaan pendapatan dalam


persentase kumulatif. Misalnya, pada titik 20 kita mendapati populasi
atau kelompok terendah (penduduk yang paling miskin) yang
jumlahnya meliputi 20 persen dari jumlah total penduduk. Pada titik 60
terdapat 60 persen kelompok bawah, demikian seterusnya sampai pada
sumbu yang paling ujung yang meliputi 100 persen atau seluruh
populasi atau jumlah penduduk.
 Sumbu vertikal menyatakan bagian dari total pendapatan yang diterima
oleh masing-masing persentase jumlah (kelompok) penduduk tersebut.
Sumbu tersebut juga berakhir pada titik 100 persen, sehingga kedua
sumbu (vertikal dan horisontal) sama panjangnya.

Kelompok 6 12
Distribusi Pendapatan dan Pemerataan Pembangunan

 Setiap titik yang terdapat pada garis diagonal melambangkan persentase


jumlah penerimanya (persentase penduduk yang menerima pendapatan
itu terdapat total penduduk atau populasi). Sebagai contoh, titik tengah
garis diagonal melambangkan 50 persen pendapatan yang tepat
didistribusikan untuk 50 persen dari jumlah penduduk.
 Titik yang terletak pada posisi tiga perempat garis diagonal
melambangkan 75 persen pendapatan nasional yang didistribusikan
kepada 75 persen dari jumlah penduduk.
 Garis diagonal merupakan garis "pemerataan sempurna" (perfect
equality) dalam distribusi ukuran pendapatan.
 Persentase pendapatan yang ditunjukkan oleh titik-titik di sepanjang
garis diagonal tersebut persis sama dengan persentase penduduk
penerimanya terhadap total penduduk.
 Titik A menunjukkan bahwa 10 persen kelompok terbawah (termiskin)
dari total penduduk hanya menerima 1,8 persen total pendapatan
(pendapatan nasional).
 Titik B menunjukkan bahwa 20 persen kelompok terbawah yang hanya
menerima 5 persen dari total pendapatan, demikian seterusnya bagi
masing-masing 8 kelompok lainnya. Perhatikanlah bahwa titik tengah,
menunjukkan 50 persen penduduk hanya menerima 19,8 persen dari
total pendapatan.
 Semakin tinggi derajat ketidakmerataan, kurva Lorenz akan semakin
melengkung (cembung) dan semakin mendekati sumbu horizontal
sebelah bawah.

Kelompok 6 13
Distribusi Pendapatan dan Pemerataan Pembangunan

Figur (a):

Distribusi pendapatan yang relatif merata

(ketimpangannya tidak parah).

Figur (b):

Distribusi pendapatan yang relatif tidak merata

(ketimpangannya parah)

Koefisien Gini dan Ukuran Ketimpangan

 Pengukuran tingkat ketimpangan atau ketidakmerataan pendapatan yang


relatif sangat sederhana pada suatu negara dapat diperoleh dengan
menghitung rasio bidang yang terletak antara garis diagonal dan kurva
Lorenz dibagi dengan luas separuh bidang di mana kurva Lorenz itu
berada.
 Pada Figur 5-6, rasio yang dimaksud adalah rasio atau perbandingan
bidang A terhadap total segitiga BCD. Rasio inilah yang dikenal sebagai
rasio konsentrasi Gini (Gini concentration ratio) yang seringkali
disingkat dengan istilah koefisien Gini (Gini coefficient).
 Istilah tersebut diambil dari nama seorang ahli statistik Italia yang
pertama kali merumuskannya pada tahun 1912.

Kelompok 6 14
Distribusi Pendapatan dan Pemerataan Pembangunan

Koefisien Gini dan Ukuran Ketimpangan Agregat

 Pengukuran tingkat ketimpangan atau ketidakmerataan


pendapatan yang relatif sangat sederhana pada suatu negara
dapat diperoleh dengan menghitung rasio bidang yang terletak
antara garis diagonal dan kurva Lorenz dibagi dengan luas
separuh bidang di mana kurva Lorenz itu berada.
 Pada Figur 5-6, rasio yang dimaksud adalah rasio atau
perbandingan bidang A terhadap total segitiga BCD. Rasio inilah
yang dikenal sebagai rasio konsentrasi Gini (Gini concentration
ratio) yang seringkali disingkat dengan istilah koefisien Gini (Gini
coefficient).
 Istilah tersebut diambil dari nama seorang ahli statistik Italia yang
pertama kali merumuskannya pada tahun 1912.

 Koefisien Gini adalah ukuran ketidakmerataan atau ketimpangan


(pendapatan/ kesejahteraan) agregat (secara keseluruhan) yang
angkanya berkisar antara nol (pemerataan sempurna) hingga
satu (ketimpangan yang sempurna).
 Angka ketimpangan untuk negara-negara yang ketimpangan
pendapatan di kalangan penduduknya dikenal tajam berkisar
antara 0,50 hingga 0,70.
 Untuk negara-negara yang distribusi pendapatannya dikenal
relatif paling baik (paling merata), berkisar antara 0,20 sampai
0,35.

Kelompok 6 15
Distribusi Pendapatan dan Pemerataan Pembangunan

http://ridhoassegaf.blogspot.com/2008/12/kemiskinan-distribusi-
pendapatan.html

KEMISKINAN DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN


KEMISKINAN DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN

A. Latar Belakang
Kesenjangan ekonomi atau ketimpangan dalam distribusi pendapatan antara kelompok
masyarakat berpendapatan tinggi dan kelompok masyarakat berpandapatan rendah serta
tingkat kemiskinan atau jumlah orang yang berada dibawah garis kemiskinan merupakan
dua masalah besar yang dihadapi negara-negara yang sedang berkembang, tidak
terkecuali Indonesia.
Pada awal periode orde baru hingga akhir dekade 1970-an strategi pembangunan
ekonomi lebih terfokus pada bagaimana mencapai suatu laju pertumbuhan yang tinggi
dalam suatu periode yang sangat singkat. Pada akhir dekade itu strategi pembangunan
diubah , tidak lagi hanya pertumbuhan tetapi juga untuk kesejahteraan rakyat. Hingga
menjelang krisis nilai tukar, program yang dilakukan pemerintah yang bertujuan untuk
mengurangi jumlah orang miskin dan perbedaan pendapatan antara kelompok miskin
dan kelompok kaya, seperti Inpres Desa tertinggal (IDT).
Di negara-negara miskin, perhatian utama terfokus pada dilema kompleks antara
pertumbuhan versus distribusi pendapatan. Keduanya sama-sama penting, namun
hampir selalu sangat sulit diwujudkan secara bersamaan. Pengutamaan yang satu akan
menuntut dikorbankannya yang lain. Pembangunan ekonomi mensyaratkan GNP yang
lebih tinggi, dan untuk itu tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi merupakan pilihan
yang harus diambil. Namun, yang menjadi masalah bukan hanya soal bagaimana
caranya memacu pertumbuhan, tetapi juga siap melakukan dan berhak menikmati hasil-
hasilnya
Persoalan kemiskinan merupakan salah satu persoalan mendasar yang menjadi pusat
perhatian pemerintah. Salah satu aspek penting untuk mendukung strategi
penanggulangan kemiskinan adalah tersedianya data kemiskinan yang akurat dan tepat
sasaran. Pengukuran kemiskinan yang dapat dipercaya dapat menjadi instrument
tangguh bagi pengambil kebijakan dalam memfokuskan perhatian pada kondisi hidup
orang miskin. Data kemiskinan yang baik dapat digunakan untuk mengevaluasi
kebijakan pemerintah terhadap kemiskinan, membandingkan kemiskinan antar waktu
dan daerah, serta menentukan target penduduk miskin dengan tujuan untuk memperbaiki
posisi mereka.

B. Konsep dan Defenisi


Defenisi kemiskinan terbagi dua,

Kelompok 6 16
Distribusi Pendapatan dan Pemerataan Pembangunan

1. Kemiskinan relative (yang mengaju pada garis kemiskinan) yaitu suatu ukuran
mengenai kesenjangan didalam distribusi pendapatan, biasanya dapat didefisisikan
didalam kaitannya dengan tingkat rata-rata dari distribusi yang dimaksud. Dinegara-
negara maju, kemiskinan relative diukur sebagai suatu proporsi dari tingkat pendapatan
rata-rata perkapita. Standar minimum disusun berdasarakan kondisi hidup suatu negara
pada waktu tertentu dan perhatian terfokus pada golongan penduduk “termiskin”,
misalnya 20 persen atau 40 persen dari total penduduk yang telah diurutkan menurut
pendapatan/pengeluaran. Kelompok ini merupakan penduduk relative miskin. Dengan
demikian, ukuran kemiskinan relative sangat tergantung pada distribusi
pendapatan/pengeluaran penduduk sehingga dengan menggunakan definisi ini berarti
“orang miskin selalu hadir bersama kita”.Dalam hal mengidentifikasi dan menentukan
sasaran penduduk miskin, maka garis kemiskinan relative cukup untuk untuk digunakan,
dan perlu disesuaikan terhadap tingkat tingkat pembangunan negara secara keseluruhan.
Garis kemiskinan relative tidak dapat dipakai untuk membandingkan tingkat kemiskinan
antar negara dan waktu karena tidak mencerminkan tingkat kesejahteraan yang sama.

2. Kemiskinan absolute (derajat kemiskinan di bawah, dimana kebutuhan-kebutuhan


minimum untuk bertahan hidup tidak dapat terpenuhi. Yaitu suatu ukuran tetap didalam
bentuk suatu kebutuhan kalori minimum ditambah komponen-komponen non makanan
yang juga sangat diperlukan untuk survive. Kemiskinan absolute ditentukan berdasarkan
ketidakmampuan untuk mencukupi kebutuhan pokok minimum seprti pangan, sandang,
kesehatan, perumahan dan pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja.
Kebutuhan minimum diterjemahkan sebagai ukuran finansial dalam bentuk uang. Nilai
kebutuhan minimum kebutuhan dasar tersebut dikenal dengan istilah garis kemiskinan.
Penduduk yang pendapatannya di bawah garis kemiskinan digolongkan sebagai
penduduk miskin.
Garis kemiskinan absolute sangat penting jika seseorang akan mencoba menilai efek dari
kebijakan anti kemiskinan antar waktu, atau memperkirakan dampak dari suatu proyek
terhadap kemiskinan (misalnya, pemberian kredit skala kecil). Angka kemiskinan akan
terbanding antara satu Negara dengan Negara lain hanya jika garis kemiskinan absolute
yang sama digunakandi kedua Negara tersebut. Bank Dunia memerlukan garis
kemiskinan absolute agar dapat membandingkan angka kemiskinan antar Negara. Hal ini
bermanfaat dalam menentukan kemana menyalurkan sumber daya financial (dana) yang
ada, juga dalam menganalisis kemajuan dalam memerangi kemiskinan. Pada umumnya
ada dua ukuran yang digunakan oleh Bank Dunia, yaitu:
a) US $1 per hari dimana diperkirakan ada sekitar 1,2 miliar penduduk dunia yang hidup
dibawah ukuran tersebut;
b) US $2 per hari dimana lebih dari 2 miliar penduduk yang hidup kurang dari batas
tersebut. Kedua batas ini adalah garis kemiskinan absolute.

3. Kemiskinan Lainnya
Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang ditengarai bersebab dari kondisi struktur
atau tatanan kehidupan yang tak menguntungkan.
Kemiskinan Cultural disebabkan oleh faktor-faktor adat dan budaya suatu daerah
tertentu yang membelenggu seseorang tetap melekat dengan indicator kemiskinan.
Kelompok 6 17
Distribusi Pendapatan dan Pemerataan Pembangunan

C. Metodologi dan Konsep Penghitungan Penduduk Miskin, Distribusi dan


Ketimpangan Pendapatan
1) Badan Pusat Statistik
Untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi
kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang
sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan
dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Metode yang digunakan adalah
menghitung Garis Kemiskinan (GK), yang terdiri dari dua komponen yaitu Garis
Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non-Makanan (GKMN), sebagai
berikut :
GK = GKM + GKNM
Penghitungan Garis Kemiskinan dilakukan secara terpisah untuk daerah perkotaan dan
perdesaan. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran
perkapita per bulan dibawah garis kemiskinan.

2) Kurva Lorenz
Kurva Lorenz memperlihatkan hubungan kuantitatif actual antara persentase jumlah
penduduk penerima pendapatan tertentu dari total penduduk dengan persentase
pendapatan yang benar-benar mereka peroleh dari total pendapatan.

Kurva Lorenz

Semakin jauh jarak kurva Lorenz dari garis diagonal, maka semakin timpang atau tidak
merata distribusi pendapatannya. Kasus ekstrem dari ketidakmerataan yang sempurnah
yaitu apabila hanya seseorang saja yang menerima seluruh pendapatn nasional,
sementara orang-orang lainnya sama sekali tidak menerima pendapatan akan
diperlihatkan oleh kurva Lorenz yang berhimpit dengan sumbu horizontal sebelah
bawah dan sumbu vertical di sebelah kanan.
Koefisien Gini adalah ukuran ketidakmerataan atau ketimpangan
(pendapatan/kesejahteraan) agregat yang angkanya berkisar antara nol (pemerataan
sempurnah) hingga satu (ketimpangan yang sempurnah).

Pengukuran tingkat ketimpangan atau ketidakmerataan pendapatan yang relative sangat


sederhana pada suatu negara dapat diperoleh dengan menghitung rasio bidang yang
terletak antara garis diagonal dan kurva loronz dibagi dengan luas separuh bidang di
mana kurva Lorenz itu berada.

3) Indeks Kemiskinan Manusia


Tidak puas dengan ukuran pendapatan perhari yang digunakan oleh bank Dunia, UNDP
berusaha mengganti ukuran kemiskinan “pendapatan “ Bank dunia dengan ukuran
kemiskinan “Manusia”. Diukur dengan keyakinan bahwa kemiskinan manusia harus
diukur dalam satuan hilangnya tiga hal utama. Yaitu kehidupan, pendidikan dasar, serta
keseluruhan ketetapan ekonomi (diukur oleh persentase penduduk yang tidak memiliki
akses terhadap pelayanan kesehatan dan air bersih ditambah persentase anak-anak di
Kelompok 6 18
Distribusi Pendapatan dan Pemerataan Pembangunan

bawah usia 5 Tahun yang kekurangan berat badan.

D. Faktor-faktor yang menyebabkan kemiskinan:


1) Tingkat Pendidikan;
2) Tingkat dan laju pertumbuhan;
3) Tingkat upah neto;
4) Distribusi pendapatan
5) Kesempatan kerja
6) Tingkat Inflasi
7) Pajak dan Subsidi
8) Investasi
9) Alokasi serta kualitas sumber daya alam
10) Ketersediaan fasilitas umum
11) Penggunaan teknologi
12) Kondisi fisik dan alam disuatu wilayah, etos kerja dan motivasi pekerja

Dilihat secara sektoral, pusat kemiskinan di Indonesia terdapat disektor pertanian,


terutama disektor perikanan. Ini disebabkan karena:
a) Tingkat produktivitas yang rendah disebabkan karena jumlah pekerja disektor tersebut
terlalu banyak, sedangkan tanah, capital, dan teknologi terbatas, dan tingkat pendidikan
petani masih sangat rendah.
b) Daya saing petani atau dasar tukar domestic antara komoditi pertanian terhadap
output industri semakin lemah.
c) Tingkat diversifikasi usaha di sektor pertanian ke jenis-jenis komoditi nonfood yang
memiliki prospek pasar dan harga yang lebih baik masih sangat terbatas.

E. Kebijakan Pemerintah dalam Kemiskinan dan Distribusi Pendapatan


Strategi dalam pengurangan kemiskinan yaitu:
1. Pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan yang prokemiskinan
2. Pemerintahan yang baik (good Governance)
3. Pembangunan Sosial

Intervensi pemerintah:
1. Intervensi jangka pendek adalah terutama pembangunan sektor pertanian dan ekonomi
pedesaan;
2. Manajemen lingkungan dan sumber daya alam, ini penting karena hancurnya
lingkungan dan habisnya SDA akan dengan sendirinya menjadi factor pengerem proses
pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, yang berarti juga sumber peningkatan
kemiskinan.
3. Intervensi jangka menegah dan panjang yang penting adalah:
a. Pembangunan Sektor Swasta, sebagai motor utama penggerak ekonomi/sumber
pertumbuhan dan penentu daya saing perekonomian nasional harus ditingkatkan.
b. Kerjasama Regional, kerjasama yang baik dalam bidang ekonomi, industry, dan
perdagangan, maupun non ekonomi.
c. Manajemen Pengeluaran Pemerintah (APBN) dan Administrasi, sangat membantu
Kelompok 6 19
Distribusi Pendapatan dan Pemerataan Pembangunan

usaha untuk meningkatkan cost effectiveness dari pengeluaran pemerintah untuk


membiayai penyediaan/ pembangunan/penyempurnaan fasilitas-fasilitas umum.
d. Desentralisasi, sangat membantu usaha pengurangan kemiskinan dalam negeri
e. Pendidikan dan Kesehatan,
f. Penyediaan Air Bersih dan Pembangunan Perkotaan.

Kebijakan-kebijakan yang telah dilakukan pemerintah antara lain:


A. Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan dan Kesenjangan
Dalam kurun waktu 2005-2008 program penanggulangan kemiskinan dilaksanakan
melalui sinkronisasi berbagai kebijakan lintas sektor yang diarahkan untuk penciptaan
kesempatan usaha bagi masyarakat miskin, pemberdayaan masyarakat miskin,
peningkatan kemampuan masyarakat miskin, serta pemberian perlindungan sosial bagi
masyarakat miskin. Sejak tahun 2009, program penanggulangan kemiskinan diarahkan
pada 4 fokus, yaitu: (i) pembangunan dan penyempurnaan sistem perlindungan sosial
dan keberpihakan terhadap rakyat miskin; (ii) perluasan akses masyarakat miskin
terhadap kesehatan serta keluarga berencana; (iii) penyempurnaan dan perluasan
cakupan program pembangunan berbasis masyarakat; dan (iv) peningkatan usaha rakyat.

Pembangunan dan penyempurnaan sistem perlindungan sosial dan keberpihakan


terhadap rakyat miskin dilaksanakan melalui kegiatan: (1) pemberian Bantuan Langsung
Tunai/BLT bagi 18,5 juta rumah tangga miskin; (2) pelaksanaan Program Harapan
Keluarga/PKH bagi 720.000 rumah tangga sangat miskin di 13 provinsi; (3) subsidi
pangan untuk masyarakat miskin dengan sasaran 18,5 juta rumah tangga sasaran; (4)
peningkatan akses dan kualitas pendidikan dalam bentuk dana Bantuan Operasional
Sekolah (BOS) dalam rangka mendukung Wajib belajar 9 tahun, serta pemberian
beasiswa bagi mahasiswa miskin; (5) peningkatan kepastian kepemilikan dan
penguasaan tanah dengan membantu masyarakat miskin dalam memperoleh sertifikat
hak atas tanah; (6) peningkatan akses terhadap air bersih dengan membangun prasarana
air minum perpipaan di perkotaan dan perdesaan.
Perluasan akses masyarakat miskin terhadap kesehatan serta keluarga berencana
dilaksanakan melalui kegiatan: (1) peningkatan akses masyarakat miskin terhadap
kesehatan melalui program Jaminan Pengamanan Sosial Bidang Kesehatan (JPSBK)
dalam bentuk asuransi kesehatan bagi masyarakat miskin bagi 76,4 juta penduduk
miskin dan (2) Peningkatan Akses Terhadap Pelayanan Keluarga Berencana.
Penyempurnaan dan perluasan cakupan program pembangunan berbasis masyarakat
yang dilaksanakan melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM)
Mandiri yang terdiri atas kegiatan-kegiatan: kelanjutan Program Pengembangan
Kecamatan (PPK) untuk daerah perdesaan, Program Penanggulangan Kemiskinan
Perkotaan (P2KP) untuk daerah perkotaan, Program Pembangunan Daerah Tertinggal
dan Khusus (P2DTK), Program Pengembangan Infrastruktur Sosial Ekonomi wilayah
(PISEW) dan Program Peningkatan Infrastruktur Perdesaan (PPIP), kegiatan
pengembangan usaha agribisnis pertanian (PUAP), serta program pemberdayaan bidang
kelautan dan perikanan. Sementara itu, peningkatan usaha rakyat dilaksanakan melalui:
(1) pemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR); (2)
penguatan modal di sektor pertanian melalui dana penguatan modal-Lembaga Usaha
Kelompok 6 20
Distribusi Pendapatan dan Pemerataan Pembangunan

Ekonomi Perdesaan di 27 provinsi; serta (3) penguatan akses modal di sektor kelautan
dan perikanan dalam bentuk penguatan akses modal kerja untuk masyarakat pesisir
melalui penyediaan jasa lembaga keuangan di sentra-sentra kegiatan nelayan.
Berbagai kegiatan tersebut menghasilkan angka kemiskinan yang semakin membaik.
Dalam 3 tahun terakhir jumlah penduduk miskin mengalami penurunan, dari sebesar
37,17 juta (16,58%) pada tahun 2007, menjadi 34,96 juta (15,42%) pada tahun 2008, dan
pada tahun 2009 angkanya menjadi 32,53 juta (14,15%).

Pertumbuhan Ekonomi membutuhkan:

Ketahanan Pangan
Ketahanan Energy
Stabilitas Harga
Stabilitas Ekonomi dan stimulus fiscal
Iklim Investasi yang kondusif
Pengembangan Infrastruktur untuk mendukung daya saing sector riil.

B. Kebijakan Penunjang Penanggulangan Kemiskinan dan Kesenjangan


1. Kebijakan di bidang energi
Selama kurun waktu 2005-2009 bidang energi termasuk tenaga listrik menghadapi
beberapa permasalahan, antara lain masih tingginya ketergantungan kepada produk
minyak bumi; keterbatasan infrastruktur; pertumbuhan dan intensitas energi yang masih
tinggi; dan keterbatasan dana untuk pengembangan infrastruktur. Beberapa langkah
kebijakan yang telah ditempuh, antara lain: 1) meningkatkan pemanfaatan gas bumi
nasional sesuai dengan Rencana Induk Jaringan Transmisi dan Distribusi Gas Bumi
Nasional (RIJTDGBN); 2) melanjutkan program konversi (diversifikasi) energi, melalui
pengalihan pemanfaatan minyak tanah ke Liquefied Petroleum Gas (LPG); 3)
percepatan pembangunan pembangkit listrik 10.000 MW; 4) pengembangan usaha Hilir
Migas dilaksanakan melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan
transparan; 5) restrukturisasi sektor energi; serta 5) meningkatkan koordinasi lintas
sektor dalam pengelolaan energi.
Hasil-hasil di bidang energi yang dicapai hingga Juni 2009 antara lain: 1) pembangunan
pipa transmisi gas bumi Sumatera Selatan-Jawa Barat tahap I dan tahap II yang akan
meningkatkan pasokan gas untuk daerah Jawa Barat, Jakarta, dan Banten. 2)
pengembangan wilayah distribusi gas bumi di Jawa Bagian Barat yang melalui Domestic
Gas Market Development Project; 3) pembangunan 2 kilang mini minyak bumi dan 3
kilang mini LPG; 4) pembangunan kilang Liquefied Natural Gas (LNG) di Tangguh; 5)
pelaksanaan program pengalihan dari minyak tanah ke LPG; 4) pengembangan Desa
Kelompok 6 21
Distribusi Pendapatan dan Pemerataan Pembangunan

Mandiri Energi (DME) yang berbasis NonBBN (Bahan Bakar Nabati) dan berbasis
BBN; 5) penyelesaian beberapa peraturan, antara lain UU No. 30 tahun 2007 tentang
Energi; PP No. 59 Tahun 2007 tentang Kegiatan Usaha Panas Bumi; dan Perpres No.
104 tahun 2007 tentang Penyediaan dan Pendistribusian LPG Tabung 3 Kilogram Untuk
Rumah Tangga dan Usaha Kecil; Perpres No. 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi
Nasional.
Sementara itu, dalam pembangunan kelistrikan telah dilaksanakan: 1) penambahan
kapasitas pembangkit listrik sebesar 5.457 MW; 2) pembangunan pembangkit listrik
skala kecil di berbagai wilayah di Indonesia yang menggunakan pembangkit listrik
tenaga hidro dan panas bumi; 3) percepatan pembangunan PLTU 10.000 MW; 4)
pembangunan jaringan transmisi sebesar 4.137 km; 5) pencapaian rasio elektrifikasi
sebesar 65,1%; 6) pencapaian rasio desa berlistrik dari 86,26% (2004) menjadi 92,2%
(2008); dan 7) pengembangan Energi Baru Terbarukan dalam bentuk Pembangkit Listrik
Tenaga Surya (PLTS), Pembangkit Listrik Tenaga Mikro-Hidro (PLTMH), Pembangkit
Listrik Tenaga Bayu (PLTB), dan Biofuel.

2. Kebijakan di bidang pangan


Di bidang pangan, pemerintah telah merumuskan berbagai kebijakan dan
program/kegiatan yang diarahkan pada pencapaian swasembada pangan dan
kemandirian pangan sehingga ketersediaan dan konsumsi pangan dapat dipenuhi dalam
jumlah yang cukup, aman, bergizi, seimbang, dan berkelanjutan baik di tingkat nasional,
daerah, maupun di tingkat rumah tangga. Di samping itu, dalam arti luas, kebijakan juga
diarahkan untuk menjamin kebutuhan pangan masyarakat, memenuhi kebutuhan bahan
baku industri, meningkatkan pertumbuhan sektor pertanian, meningkatkan
kemampuan/keterampilan petani, meningkatkan perlindungan terhadap petani dari
dampak pasar global dan daya saing produk pertanian, meningkatkan mutu produk
pertanian, meningkatkan efisiensi usaha tani, meningkatkan dukungan infrastruktur
pertanian dan regulasi yang kondusif serta pengelolaan sumber daya pertanian secara
lestari dan berkelanjutan.

3. Kebijakan di bidang industri


Untuk meningkatkan daya saing industri nasional, dan menjadi negara industri tangguh
pada tahun 2020, pada tahun 2005 telah diterbitkan buku Kebijakan Pembangunan
Industri Nasional yang kemudian dikukuhkan melalui Peraturan Presiden No.28 Tahun
2008 yang antara lain menetapkan bangun industri nasional dalam jangka panjang,
strategi pembangunan industri, serta 6 industri prioritas dan 1 industri kompetensi
daerah.
Mengantisipasi dampak negatif krisis global tahun 2008 terhadap industri dalam negeri,
telah diterbitkan Instruksi Presiden tahun 2009 tentang penggunaan produk dalam negeri
dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah. Selanjutnya untuk lebih mengoptimalkan
pembinaan industri, pada tahun 2009 ditetapkan Peraturan Pemerintah No. 24 tentang
Kawasan Industri.

4. Kebijakan di bidang perdagangan


Kelompok 6 22
Distribusi Pendapatan dan Pemerataan Pembangunan

Beberapa kebijakan di bidang perdagangan dan industri adalah: (i) melakukan upaya
penetrasi pasar global melalui diversifikasi produk dan pasar tujuan ekspor; (ii)
meningkatkan fasilitas perdagangan melalui pelayanan elektronik; (iii) kerjasama
perdagangan internasional untuk peningkatan akses pasar; (iv) perlindungan konsumen;
dan (v) standarisasi produk. Selain itu, dalam rangka stabilisasi harga bahan pokok
dalam negeri telah dilakukan berbagai upaya, antara lain kebijakan PPN ditanggung
Pemerintah (PPn DTP) untuk minyak goreng dan terigu, penurunan PPN impor untuk
gandum, kedelai dan terigu, serta peluncuran program MAKITA.
Upaya lain yang dilakukan di bidang perdagangan adalah mewujudkan penyediaan
layanan elektronik perdagangan dalam bentuk Penerapan E-Licensing dalam rangka
National Single Window (NSW) serta penerapan otomasi Surat Keterangan Asal (SKA).
Sedangkan untuk peningkatan akses pasar telah dilaksanakan market intelligence,
penyediaan layanan buyers reception desk, serta promosi dagang. Kerja sama
perdagangan internasional dilaksanakan melalui ratifikasi berbagai perjanjian dan
kesepakatan internasional. Sementara itu dalam kerangka standardisasi produk telah
ditetapkan 905 SNI di mana 173 diantaranya sudah harmonis dengan standar
internasional.

5. Kebijakan di bidang investasi


Kebijakan untuk meningkatkan investasi dilaksanakan melalui penetapan berbagai
peraturan perundangan guna memberikan kepastian usaha bagi para penanam modal.
Beberapa peraturan penting yang telah ditetapkan, antara lain: UU No. 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal, Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan
Terpadu Satu Pintu (PTSP) di bidang penanaman modal, serta beberapa peraturan yang
langsung atau tidak langsung terkait dengan perbaikan iklim usaha, yaitu: UU No. 20
Tahun 2008 tentang UMKM; UU No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas
UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan; UU No. 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara; UU No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan;
Peraturan Pemerintah No. 62 tahun 2008 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah
No. 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di
Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu; Peraturan
Pemerintah No. 2 Tahun 2009 tentang Perlakuan Kepabeanan, Perpajakan, dan Cukai
serta Pengawasan Atas Pemasukan dan Pengeluaran Barang ke dan dari serta Berada di
Kawasan yang Telah Ditunjuk Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan
Bebas; dan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2009 tentang Kawasan Industri.
Pelaksanaan berbagai perangkat peraturan tersebut menghasilkan realisasi investasi
Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) yang meningkat dari Rp 15,4 triliun pada
tahun 2004 menjadi Rp 20,4 triliun pada akhir tahun 2008 atau rata-rata tumbuh sebesar
7,2%, bahkan pada tahun 2007 mencapai Rp 34,9 triliun. Demikian pula untuk
Penanaman Modal Asing (PMA) pada periode yang sama mengalami lonjakan dari USD
4,6 miliar menjadi USD 14,9 miliar atau rata-rata tumbuh sebesar 34,3%.

6. Kebijakan di bidang infrastruktur


Pada dasarnya, permasalahan yang dihadapi di bidang infrastruktur adalah kualitas dan
kuantitas yang terbatas serta sebarannya yang belum merata di seluruh wilayah.
Kelompok 6 23
Distribusi Pendapatan dan Pemerataan Pembangunan

Kebijakan dalam infrastruktur sumber daya air ditujukan untuk menjaga ketersediaan air
secara memadai, baik dari sisi kuantitas maupun kualitasnya, antara lain melalui
pengembangan pola hubungan hulu-hilir dalam mencapai pola pengelolaan yang lebih
berkeadilan serta melakukan percepatan pembangunan tampungan-tampungan air skala
kecil/menengah.
Di bidang prasarana jalan, kebijakan pokok diarahkan untuk: (i) memulihkan fungsi
arteri dan kolektor serta mengoptimalkan pemeliharaan dan rehabilitasi jalan dan
jembatan nasional terutama pada lintas-lintas strategis untuk mempertahankan dan
meningkatkan baik daya dukung, kapasitas, maupun kualitas pelayanannya, baik di
daerah yang perekonomiannya berkembang pesat, maupun dalam membuka akses ke
daerah terisolir dan belum berkembang; (ii) meningkatkan dan membangun jalan dan
jembatan nasional pada lintas strategis; (iii) mengembangkan jalan bebas hambatan pada
koridor-koridor jalan berkepadatan tinggi; (iv) dukungan pembebasan tanah dalam
pembangunan jalan tol; serta (v) melakukan koordinasi di antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah untuk mengharmonisasikan keterpaduan sistem dalam konteks
pelayanan intermoda dan sistem transportasi nasional (Sistranas).
Kebijakan di bidang perkeretaapian antara lain: (i) melanjutkan deregulasi pada
angkutan kereta api; (ii) melaksanakan program Roadmap to Zero Accident; (iii)
meningkatkan kapasitas lintas dan angkutan perkeretaapian untuk meningkatkan share
angkutan barang; (iv) meningkatkan akuntabilitas dan efektivitas skema pendanaan
public service obligation (PSO), infrastructures maintenance and operation (IMO), dan
track access charge (TAC); (v) meningkatkan peran swasta dalam penyelenggaraan
perkeretaapian; (vi) meningkatkan pangsa angkutan barang pada pusat-pusat
pertambangan nasional; serta (vii) mengaktifkan jalur-jalur kereta api yang sudah tidak
dioperasikan.
Kebijakan di bidang transportasi laut antara lain: meningkatkan peran armada laut
nasional terutama untuk angkutan domestik antarpulau; melanjutkan kewajiban
pemerintah dalam angkutan perintis; menghilangkan biaya ekonomi tinggi dalam
kegiatan bongkar muat di pelabuhan; menambah dan memperbaiki pengelolaan
prasarana dan sarana transportasi laut untuk pelabuhan yang terbuka bagi perdagangan
luar negeri; mengetatkan pengecekan kelaikan laut baik kapal maupun peralatan Sarana
Bantu Navigasi Pelayaran; dan meningkatkan fasilitas keselamatan dan keamanan
pelayaran sesuai dengan standar International Maritime Organization (IMO).
Di bidang transportasi udara, beberapa kebijakan yang ditempuh antara lain:
melanjutkan kebijakan multioperator angkutan udara; restrukturisasi kewenangan antara
pemerintah dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam aspek keselamatan
penerbangan; melanjutkan pelayanan keperintisan untuk wilayah terpencil; memperketat
pengecekan kelaikan udara baik pesawat maupun peralatan navigasi; peningkatan
fasilitas keselamatan penerbangan dan navigasi sesuai dengan standar (International
Civil Aviation Organization) ICAO; serta memperketat pengecekan kelaikan udara baik
pesawat maupun peralatan navigasi.
Berdasarkan pelaksanaan berbagai kebijakan tersebut, telah diperoleh hasil dan
pencapaian dalam berbagai bentuk infrastruktur. Hasil pembangunan infrastruktur
sumber daya air antara lain berupa waduk, embung, atau sarana pengamanan bendungan
di berbagai lokasi.
Kelompok 6 24
Distribusi Pendapatan dan Pemerataan Pembangunan

7. Kebijakan di bidang ketenagakerjaan


Dua kebijakan utama dalam mengatasi permasalahan pengangguran terbuka adalah
melalui: (i) kebijakan yang dapat mendorong penciptaan lapangan kerja dan (ii)
mendorong program-program pembangunan agar mengarah pada penciptaan lapangan
kerja sebanyak-banyaknya. Berdasarkan dua kebijakan pokok tersebut, langkah
kebijakan yang ditempuh adalah: (1) mendorong pembukaan lapangan kerja baru
melalui pengembangan UMKM; (2) meningkatkan kualitas dan kompetensi tenaga kerja
melalui penyelenggaraan pelatihan kerja; (3) memperbaiki mekanisme penempatan dan
perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri melalui peningkatan kualitas
pelayanan; (4) melaksanakan konsolidasi program-program perluasan kesempatan kerja
melalui peningkatan sinergi proyek Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN),
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dan UMKM; (5) membuka akses
informasi pasar kerja; dan (6) memperkuat hubungan industrial antara pekerja dan
pemberi kerja dengan mendorong tercapainya perundingan bipartit.

http://hendragforce.blogspot.com/2010/06/kemiskinan-dan-distribusi-
pendapatan.html

Distribusi Pendapatan

1 Distribusi Pendapatan
Para ekonom pada umumnya membedakan dua ukuran pokok distribusi
pendapatan, yang keduanya digunakan untuk tujuan analisis dan kuantitatif tentang
keadilan distribusi pendapatan. Kedua ukuran tersebut adalah distribusi ukuran, yakni
besar atau kecilnya bagian pendapatan yang diterima masing-masing orang; dan
distribusi “fungsional” atau distribusi kepemilikan faktor-faktor produksi. Dari kedua
jenis distribusi pendapatan ini kemudian dihitung indikator untuk menunjukkan
distribusi pendapatan masyarakat.
1.1 Distribusi Pendapatan Ukuran
Distribusi pendapatan perorangan (personal distribution of income) atau distribusi
ukuran pendapatan (size distribution of income) merupakan ukuran yang paling sering
digunakan oleh para ekonom. Ukuran ini secara langsung menghitung jumlah

Kelompok 6 25
Distribusi Pendapatan dan Pemerataan Pembangunan

pendapatan yang diterima oleh setiap individu atau rumah tangga tanpa memperdulikan
sumbernya.
Contoh, Tabel 1 di bawah ini yang memperlihatkan distribusi pendapatan yang
walaupun datanya hipotetis, namun biasa ditemui di satu negara berkembang.

Tabel 1: Distribusi Ukuran Pendapatan Perorangan di Satu Negara Berdasarkan Pangsa Pendapatan –
Kuintil dan Desil
Individu Pendapatan/orang Pangsa (%) Pangsa (%)
(unit uang) Kuintil Desil
1 0,8
2 1,0 1,8
3 1,4
4 1,8 5 3,2
5 1,9
6 2,0 3,9
7 2,4
8 2,7 9 5,1
9 2,8
10 3,0 5,8
11 3,4
12 3,8 13 7,2
13 4,2
14 4,8 9,0
15 5,9
16 7,1 22 13,0
17 10,5
18 12,0 22,5
19 13,5
20 15,0 51 28,5
Total (pendapatan nasional) 100 100 100
Ukuran ketimpangan = jumlah pendapatan dari 40 persen rumah tangga termiskin dibagi dengan jumlah
pendapatan dari 20 persen rumah tangga terkaya = 14/51 = 0,28.

Dalam tabel tersebut, semua penduduk negara tersebut diwakili oleh 20 individu
(atau lebih tepatnya rumah tangga). Kedua puluh rumah tangga tersebut kemudian

Kelompok 6 26
Distribusi Pendapatan dan Pemerataan Pembangunan

diurutkan berdasarkan jumlah pendapatannya per tahun dari yang terendah (0,8 unit),
hingga yang tertinggi (15 unit). Adapun pendapatan total atau pendapatan nasional yang
merupakan penjumlahan dari pendapatan semua individu adalah 100 unit, seperti tampak
pada kolom 2 dalam tabel tersebut. Dalam kolom 3, segenap rumah tangga digolong-
golongkan menjadi 5 kelompok yang masing-masing terdiri dari 4 individu atau rumah
tangga. Kuintil pertama menunjukkan 20 persen populasi terbawah pada skala
pendapatan. Kelompok ini hanya menerima 5 persen (dalam hal ini adalah 5 unit uang)
dari pendapatan nasional total. Kelompok kedua (individu 5-8) menerima 9 persen dari
pendapatan total. Dengan kata lain, 40 persen populasi terendah (kuintil 1 dan 2) hanya
menerima 14 persen dari pendapatan total, sedangkan 20 persen teratas (kuintil ke lima)
dari populasi menerima 51 persen dari pendapatan total.
Ada tiga alat ukur tingkat ketimpangan pendapatan dengan bantuan distribusi
ukuran, yakni: (1) Rasio Kuznets, (2) Kurva Lorenz, dan (3) Koefisien Gini.

(1) Rasio Kuznets


Ukuran umum yang memperlihatkan tingkat ketimpangan pendapatan dapat
ditemukan dalam kolom 3, yaitu perbandingan antara pendapatan yang diterima oleh 20
persen anggota kelompok teratas dan 40 persen anggota kelompok terbawah. Rasio
yang sering disebut sebagai rasio Kuznets inilah (dinamai berdasarkan nama pemenang
Nobel Simon Kuznets), yang sering dipakai sebagai ukuran tingkat ketimpangan antara
dua kelompok ekstrem, yaitu kelompok yang sangat miskin dan kelompok yang sangat
kaya di satu negara. Rasio ketimpangan dalam contoh ini adalah 14 dibagi dengan 51,
atau sekitar 0, 28.
(2) Kurva Lorenz

Kurva Lorenz menunjukkan hubungan kuantitatif aktual antara persentase penerima


pendapatan dengan persentase pendapatan total yang benar-benar mereka terima selama,

Kelompok 6 27
Distribusi Pendapatan dan Pemerataan Pembangunan

misalnya, satu tahun.

(3) Koefisien Gini dan Ukuran Ketimpangan Agregat


Rasio konsentrasi Gini (Gini concentration ratio) atau sederhananya disebut
koefisien Gini (Gini coefficient), mengambil nama dari ahli statistik Italia yang
merumuskannya pertama kali pada tahun 1912. Koefisien Gini adalah ukuran
ketimpangan agregat yang angkanya berkisar antara nol (pemerataan sempurna) hingga
satu (ketimpangan sempurna). Koefisien Gini untuk negara-negara yang derajat
ketimpangannya tinggi berkisar antara 0,50 hingga 0,70, sedangkan untuk negara-negara
yang distribusi pendapatannya relatif merata, angkanya berkisar antara 0,20 hingga
0,35.
1.2 Distribusi Fungsional
Distribusi pendapatan fungsional atau pangsa distribusi pendapatan per faktor
produksi (functional or factor share distribution of income) berfokus pada bagian dari
pendapatan nasional total yang diterima oleh masing-masing faktor produksi (tanah,
tenaga kerja, dan modal). Teori distribusi pendapatan fungsional ini pada dasarnya
mempersoalkan persentase pendapatan tenaga kerja secara keseluruhan, bukan sebagai
unit-unit usaha atau faktor produksi yang terpisah secara individual, dan
membandingkannya dengan persentase pendapatan total yang dibagikan dalam bentuk
sewa, bunga, dan laba (masing-masing merupakan perolehan dari tanah, modal uang,
dan modal fisik). Walaupun individu-individu tertentu mungkin saja menerima seluruh
hasil dari segenap sumber daya tersebut, tetapi hal itu bukanlah merupakan perhatian
dari analisis pendekatan fungsional ini.
Kurva permintaan dan penawaran diasumsikan sebagai sesuatu yang menentukan
harga per satuan (unit) dari masing-masing faktor produksi. Apabila harga-harga unit
faktor produksi tersebut dikalikan dengan kuantitas faktor produksi yang digunakan
bersumber dari asumsi utilitas (pendayagunaan) faktor produksi secara efisien (sehingga
biayanya berada pada taraf minimum), maka kita bisa menghitung total pembayaran atau
pendapatan yang diterima oleh setiap faktor produksi tersebut. Sebagai contoh,
penawaran dan permintaan terhadap tenaga kerja diasumsikan akan menentukan tingkat
upah. Lalu, bila upah ini dikalikan dengan seluruh tenaga kerja yang tersedia di pasar,
Kelompok 6 28
Distribusi Pendapatan dan Pemerataan Pembangunan

maka akan didapat jumlah keseluruhan pembayaran upah, yang terkadang disebut
dengan istilah tersendiri, yakni total pengeluaran upah (total wage bill).
1.3 Perkembangan Indeks Ketimpangan
Sebagai hasil dari penerapan berbagai cara untuk mencapai ukuran pembagian
pendapatan di bawah ini disampaikan data mengenai koefisien Gini untuk periode
1964/65 sampai 1976 dan untuk periode 2002-2007, dan persentase pendapatan yang
diterima oleh berbagai kelompok masyarakat di Indonesia dari 2002 sampai 2007 untuk
menghitung koefisien Kuznets.
Tingkat ketimpangan pembagian pendapatan secara keseluruhan pada tahun
1964/65 hampir sama untuk perkotaan dan pedesaan dan termasuk pada ketimpangan
yang sedang. Sedangkan pembagian pendapatan perkotaan di Jawa lebih merata
dibandingkan di pedesaan Jawa, namun sebaliknya terjadi di Luar Jawa, yakni di
pedesaan lebih merata. Kalau kita bergerak dari tahun 1964/65 maka distribusi
pendapatan di perkotaan Jawa selalu menjadi lebih timpang, sedangkan di daerah
pedesaan di Jawa selalu menjadi lebih merata sampai pada tahun 1976. Hal ini mungkin
disebabkan oleh karena UUPMA dan UUPMDN dan beberapa kebijaksanaan lainnya
yang mulai dilaksanakan pada awal pemerintahan Suharto lebih banyak dimanfaatkan
oleh orang-orang kaya perkotaan di Jawa sehingga distribusi pendapatan di perkotaan
Jawa menjadi lebih timpang. Hal yang sebaliknya terjadi di pedesaan di Jawa, yakni
program pembangunan pertanian dan pedesaan, terutama program BIMAS-INMAS,
lebih banyak dinikmati oleh golongan miskin di Jawa sehingga distribusi pendapatannya
menjadi lebih merata (koefisien Gini menurun). Koefisien Gini secara keseluruhan di
perkotaan menjadi lebih timpang, sedangkan di pedesaan sedikit menjadi lebih baik bila
kita bergerak dari 1964/65 menuju 1976.
Kalau kita bergerak dari periode 1970an ke periode 2000an, maka dapat kita
katakan bahwa tidak terjadi perubahan yang berarti mengenai ketimpangan distribusi
pendapatan di Indonesia, masih tetap secara umum berada pada ketimpangan yang
sedang baik ditunjukkan oleh koefisien Kuznets maupun koefisien Gini. Pada awal
periode (2002-2004) bagian pendapatan yang diterima oleh 40 persen termiskin relatif
tetap sekitar 20 persen dan bagian yang diterima oleh 20 persen terkaya juga tetap

Kelompok 6 29
Distribusi Pendapatan dan Pemerataan Pembangunan

(sekitar 42 persen), sehingga koefisien Kuznets juga relatif konstan (bedanya 0,01
karena pembulatan), dan koefisien Gini juga menunjukkan hal yang sama dari 0,33
(pada tahun 2002) menjadi 0,32 pada dua tahun setelah itu. Dari tahun 2004 ke 2005
distribusi pendapatan menjadi sedikit lebih buruk, bagian yang diterima oleh 40 persen
termiskin menurun dan bagian yang diterima oleh 20 persen terkaya meningkat sehingga
koefisien Kuznets mengalami penurunan. Hal ini juga ditunjukkan oleh koefisien Gini
yang menunjukkan distribusi pendapatan menjadi lebih timpang. Memburuknya
distribusi pendapatan dari tahun 2006 ke 2007 (ditunjukkan oleh menurunnya koefisien
Kuznets dan menaiknya koefisien Gini) mungkin dapat dijelaskan karena adanya
kenaikan harga-harga sebagai akibat naiknya harga bensin ketika itu. Kenaikan harga-
harga rupanya lebih menguntungkan kelompok kaya dibandingkan dengan kelompok
miskin, sebagaimana diperjuangkan oleh para demonstran yang menentang kenaikan
harga premium waktu itu.
2 Kemiskinan
Yang dimaksud dengan kemiskinan di sini adalah penduduk miskin, yakni
penduduk yang tidak mampu mendapatkan sumber daya yang cukup untuk memenuhi
kebutuhan dasar. Mereka hidup di bawah tingkat pendapatan riil minimum tertentu –
atau di bawah “garis kemiskinan internasional”. Garis tersebut tidak mengenal tapal
batas antar negara, tidak tergantung pada tingkat pendapatan per kapita di satu negara,
dan juga memperhitungkan perbedaan tingkat harga antar negara dengan mengukur
penduduk miskin sebagai orang yang hidup kurang dari US$1 per hari dalam dolar
paritas daya beli (ppp). Kemiskinan absolut dapat dan memang terjadi di mana-mana, di
Jakarta, di Bali, di Nusa Penida, di Medan, walaupun persentasenya terhadap jumlah
penduduk berbeda-beda dari satu tempat ke tempat lainnya.
2.1 Mengukur Kemiskinan absolut
Kemiskinan absolut dapat diukur dengan angka, atau “hitungan per kepala
(headcount)”, H, untuk mengetahui seberapa banyak orang yang penghasilannya berada
di bawah garis kemiskinan absolut, Yp. Ketika hitungan per kepala tersebut dianggap
sebagai bagian dari populasi total, N, kita memperoleh indeks per kepala (headcount
index), H/N. Garis kemiskinan ditetapkan pada tingkat yang selalu konstan secara riil,

Kelompok 6 30
Distribusi Pendapatan dan Pemerataan Pembangunan

sehingga kita dapat menelusuri kemajuan yang diperoleh dalam menanggulangi


kemiskinan pada level absolut sepanjang waktu. Gagasan yang mendasari penetapan
level ini adalah satu standar minimum di mana seseorang hidup dalam “kesengsaraan
absolut manusia”, yaitu ketika kesehatan seseorang sangat buruk.
Dalam banyak hal, metode dan penyederhanaan perhitungan jumlah penduduk
yang masih hidup di bawah garis kemiskinan itu sendiri memang masih mengandung
banyak keterbatasan. Oleh karena itu beberapa ekonom mencoba mengalkulasikan
indikator jurang kemiskinan (poverty gap) yang mengukur pendapatan total yang
diperlukan untuk mengangkat mereka yang masih di bawah garis kemiskinan ke atas
garis itu. Pada peraga di bawah ini, meskipun di negara A dan B, 50 persen
penduduknya sama-sama masih berada di bawah garis kemiskinan, namun jurang
kemiskinan di A ternyata lebih lebar daripada yang ada di negara B. Dengan demikian
negara A harus berusaha lebih keras guna memerangi kemiskinan absolut penduduknya.
Seperti dalam ukuran ketimpangan, ada beberapa kriteria ukuran kemiskinan
yang diinginkan, yang telah diterima secara luas oleh para ekonom, yaitu prinsip-prinsip
anonimitas, independensi populasi, monotonisitas, dan sensitivitas distribusional. Kedua
prinsip yang pertama (anonimitas dan independensi populasi) sangat mirip karakteristik
yang digunakan untuk membahas indeks ketimpangan. Ukuran cakupan kemiskinan
tidak boleh tergantung pada siapa yang miskin atau apakah negara tersebut mempunyai
jumlah penduduk yang banyak atau sedikit. Prinsip monotonisitas berarti bahwa dan
jika anda memberi sejumlah uang kepada seseorang yang berada di bawah garis
kemiskinan, jika semua pendapatan yang lain tetap, maka kemiskinan yang terjadi tidak
mungkin lebih tinggi dari pada sebelumnya. Jika ukuran kemiskinan selalu lebih rendah
setelah pemberian transfer tersebut, sifat ini disebut mempunyai monotonisitas yang kuat
(strong monotonicity). Rasio headcount memenuhi asas monotonisitas, namun bukan
yang kuat. Prinsip sensitivitas distribusional menyatakan bahwa, dengan semua hal lain
konstan, jika anda mentransfer pendapatan dari orang miskin ke orang kaya, maka
akibatnya perekonomian akan menjadi lebih miskin.
2.2 Karakteristik Ekonomi Kelompok Masyarakat Miskin

Kelompok 6 31
Distribusi Pendapatan dan Pemerataan Pembangunan

Kita telah memahami dari pembicaraan sebelumnya bahwa perpaduan tingkat


pendapatan per kapita yang rendah dan distribusi pendapatan yang sangat tidak merata
akan menghasilkan kemiskinan absolut yang parah. Pada tingkat distribusi pendapatan
tertentu, semakin tinggi pendapatan per kapita yang ada, maka akan semakin rendah
jumlah kemiskinan absolut. Akan tetapi sebagaimana telah diungkapkan, tingginya
tingkat pendapatan per kapita tidak menjamin lebih rendahnya tingkat kemiskinan
absolut. Pemahaman terhadap hakikat distribusi ukuran pendapatan merupakan
landasan dasar bagi setiap analisis masalah kemiskinan satu negara yang berpendapatan
rendah.
Di Indonesia, nelayan ikan sangat miskin dibandingkan dengan petani. Hal ini
disebabkan karena nelayan tidak punya tanah dan proses produksinya tidak bersifat
cultivation, seperti halnya di pertanian. Pendapatan nelayan tiap hari sangat tergantung
pada berapa jumlah ikan yang ia bisa tangkap di laut dan jual di pasar pada hari itu.
Jelas jumlah ikan yang ia bisa kumpulkan selama, misalnya, tiga bulan jauh lebih sedikit
daripada hasil seorang petani pada saat panen. Ditambah lagi, industri ikan di Indonesia
tidak berkembang seperti industri-industri pengolahan komoditas-komoditas pertanian.
Dengan demikian, di Indonesia nilai tambah produk pertanian jauh lebih tinggi daripada
nilai tambah dari produk-produk ikan.
Pertanyaannya sekarang: kenapa sektor pertanian merupakan pusat kemiskinan
di Indonesia. Kemungkinan ada tiga faktor penyebab utama. Pertama, tingkat
produktivitas yang rendah disebabkan karena jumlah pekerja di sektor tersebut terlalu
banyak, sedangkan tanah, kapital, dan teknologi terbatas dan tingkat pendidikan petani
yang rata-ratanya sangat rendah. Kedua, daya saing petani atau dasar tukar domestik
(terms of trade) antar komoditas pertanian terhadap komoditas industri semakin lemah.
Perbedaan harga ini disebabkan antara lain oleh perbedaan nilai tambah antara hasil
pertanian dan hasil industri serta tata niaga yang lebih menguntungkan produsen di
sektor industri. Ketiga, tingkat diversifikasi usaha di sektor pertanian ke jenis-jenis
komoditas bukan bahan makanan yang memiliki prospek pasar (terutama ekspor) dan
harga yang lebih baik masih sangat terbatas.
2.4 Faktor-faktor Penyebab Kemiskinan

Kelompok 6 32
Distribusi Pendapatan dan Pemerataan Pembangunan

Tidak sulit mencari faktor-faktor penyebab kemiskinan, tetapi dari faktor-


faktor tersebut sangat sulit memastikan mana yang merupakan penyebab sebenarnya
atau utama serta mana yang berpengaruh langsung dan tidak langsung terhadap
perubahan kemiskinan. Sebagai contoh, sering dikatakan bahwa salah satu penyebab
kemiskinan adalah tingkat pendidikan yang rendah. Sekarang ini, seseorang hanya
dengan tingkat pendidikan SD akan sangat sulit mendapatkan pekerjaan, terutama di
sektor modern (formal) dengan pendapatan yang baik. Akan tetapi, pertanyaannya
adalah: apakah tingkat pendidikan yang rendah itu adalah penyebab utama/sebenarnya?
Apabila banyak orang di Indonesia hanya berpendidikan SD karena orang tua mereka
tidak sanggup membiayai pendidikan lanjutan, maka jelas penyebab sebenarnya adalah
masalah biaya atau lebih tepatnya lagi disebabkan oleh kemiskinan (orang tua mereka).
Kalau ditelusuri ke belakang, pertanyaan selanjutnya adalah: kenapa orang tua mereka
miskin dan jawabannya juga karena pendidikannya rendah? Jadi terdapat semacam
“lingkaran setan” (vicious circle) dalam masalah timbulnya kemiskinan.
Hal Ini selanjutnya disebabkan oleh sejumlah faktor lainnya, termasuk sistem
penghargaan (rewarding) yang kurang baik, dan kinerja yang buruk. Di Eropa Barat
atau Amerika Serikat, setiap jenis pendidikan atau keahlian sudah mempunyai bidang
kegiatan (sektor atau subsektor) sendiri dan mendapat penghargaan yang baik sesuai
dengan jenis pekerjaan. Sedangkan di Indonesia, banyak bengkel mobil atau motor
berupa kegiatan informal dengan upah yang rendah.
2.5. Pertumbuhan dan Kemiskinan
Biasanya, banyak yang berpendapat bahwa pertumbuhan yang cepat berakibat
buruk kepada kaum miskin, karena mereka akan tergilas dan terpinggirkan oleh
perubahan struktural pertumbuhan modern. Di samping itu, terdapat pendapat yang
santer terdengar di kalangan pembuat kebijakan bahwa pengeluaran publik yang
digunakan untuk menanggulangi kemiskinan akan mengurangi dana yang dapat
digunakan untuk mempercepat pertumbuhan. Pendapat yang mengatakan bahwa
konsentrasi penuh untuk mengurangi kemiskinan akan memperlambat tingkat
pertumbuhan sebanding dengan argumen yang menyatakan bahwa derajat ketimpangan
yang rendah akan mengalami tingkat pertumbuhan yang lambat juga. Khususnya, jika

Kelompok 6 33
Distribusi Pendapatan dan Pemerataan Pembangunan

terdapat redistribusi pendapatan atau aset dari golongan kaya ke golongan miskin,
bahkan jika melalui pajak progresif, terdapat kekhawatiran bahwa jumlah tabungan akan
menurun, Namun, sementara tingkat tabungan golongan menengah biasanya adalah
yang tertinggi, tingkat tabungan marjinal golongan miskin pun sebenarnya tidak kecil,
jika dipandang dari perspektif menyeluruh. Selain tabungan keuangan, golongan miskin
cenderung membelanjakan tambahan pendapatan untuk memperoleh gizi yang lebih
baik, pendidikan untuk anak-anak mereka, perbaikan kondisi rumah, dan pengeluaran-
pengeluarn lain yang lebih mencerminkan investasi dan bukan konsumsi, khususnya jika
dilihat dari sudut pandang kaum miskin. Paling tidak terdapat lima alasan mengapa
kebijaksanaan yang ditujukan untuk mengurangi kemiskinan tidak harus memperlambat
laju pertumbuhan.
Pertama, kemiskinan yang meluas menciptakan kondisi yang membuat kaum
miskin tidak mempunyai akses terhadap pinjaman kredit, tidak mampu membiayai
pendidikan anaknya, dan dengan ketiadaan peluang investasi fisik maupun moneter,
mempunyai banyak anak sebagai sumber keamanan keuangan di masa tuanya nanti.
Faktor-faktor ini secara bersama-sama menyebabkan pertumbuhan per kapita lebih kecil
daripada jika distribusi pendapatan lebih merata.
Kedua, akal sehat yang didukung dengan banyaknya data empiris terbaru,
menyaksikan fakta bahwa, tidak seperti sejarah yang pernah dialami oleh negara-negara
yang sekarang sudah maju, kaum kaya di negara-negara miskin sekarang tidak dikenal
karena hematnya atau hasrat mereka untuk menabung atau menginvestasikan bagian
yang besar dari pendapatan mereka di dalam perekonomian negara mereka sendiri.
Ketiga, pendapatan yang rendah dan standar hidup yang buruk yang dialami oleh
golongan miskin, yang tercermin dari kesehatan, gizi, dan pendidikan yang rendah,
dapat menurunkan produktivitas ekonomi mereka dan akibatnya secara langsung
maupun tidak langsung menyebabkan perekonomian tumbuh lambat.
Keempat, peningkatan tingkat pendapatan golongan miskin akan mendorong
kenaikan permintaan produk kebutuhan rumah tangga buatan lokal, seperti makanan dan
pakaian, secara menyeluruh, sementara golongan kaya cenderung membelanjakan
sebagian besar pendapatannya untuk barang-barang mewah impor.

Kelompok 6 34
Distribusi Pendapatan dan Pemerataan Pembangunan

Kelima dan yang terakhir, penurunan kemiskinan secara massal dapat


menstimulasi ekspansi ekonomi yang lebih sehat karena merupakan insentif materi dan
psikologis yang kuat bagi meluasnya partisipasi publik dalam proses pembangunan.
Sebaliknya, lebarnya kesenjangan pendapatan dan besarnya kemiskinan absolut dapat
menjadi pendorong negatif materi dan psikologis yang sama kuatnya terhadap kemajuan
ekonomi.
Oleh karena itu, kita dapat menyimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang cepat dan
penanggulangan kemiskinan bukanlah tujuan yang saling bertentangan.

2 Pilihan Kebijaksanaan
Pilihan kebijaksanaan berikut ini berlaku untuk mengubah/memperbaiki distribusi
pendapatan dan sekaligus memerangi kemiskinan. Ada beberapa pilihan, yakni:

1. Perbaikan distribusi pendapatan fungsional melalui serangkaian kebijakan yang


khusus dirancang untuk mengubah harga-harga relatif faktor produksi.
Kebijaksanaan ini dapat berupa:

a. Upah buruh, dilaksanakan dengan menentukan tingkat upah minimum nasional dan
regional, seperti yang dilaksanakan di Indonesia. Pemerintah menentukan tingkat upah
minimum yang lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat upah yang ditentukan di pasar
bebas atas permintaan dan penawaran. Dengan kebijaksanaan ini para investor
menganggap buruh menjadi terlalu mahal dan mereka memilih teknologi produksi yang
hemat tenaga kerja. Bagian upah pada perekonomian nasional menjadi lebih kecil, dan
kemungkinan jumlah orang miskin menjadi lebih besar.
b. Bunga modal, dilaksanakan dengan menentukan harga modal terlalu murah
dibandingkan dengan harga modal yang ditetapkan atas permintaan dan penawaran. Ini
bisa dikerjakan dengan, misalnya, pemberian kemudahan prosedur investasi, keringanan
pajak bagi pengusaha, subsidi tingkat bunga (tingkat bunga yang lebih rendah untuk
investasi), penetapan kurs valuta asing yang terlalu tinggi, dan penurunan bea masuk
bagi impor barang-barang modal seperti traktor dan mesin-mesin otomatis relatif
terhadap barang konsumsi.

Kelompok 6 35
Distribusi Pendapatan dan Pemerataan Pembangunan

Kiranya kita bisa simpulkan bahwa penghapusan distorsi harga faktor produksi sangat
bermanfaat dan penyesuaian harga memungkinkan satu negara meraih pemerataan
pendapatan dan sekaligus memperbaiki taraf hidup kaum miskin, namun apa yang telah
dikerjakan oleh Indonesia selama ini bertentangan, sehingga distribusi pendapatan tetap
dan malah makin timpang dan jumlah orang miskin tetap dalam jumlah yang besar.

2. Perbaikan distribusi ukuran melalui redistribusi progresif kepemilikan aset. Hal


ini akan sangat tergantung pada distribusi kepemilikan aset (sumber daya atau
faktor produksi) di antara berbagai kelompok masyarakat, terutama modal fisik
dan tanah, modal finansial seperti saham dan obligasi, serta sumber daya
manusia dalam bentuk pendidikan dan kesehatan yang lebih baik.

Hal ini dilaksanakan melalui UUPA (Undang-undang Pokok Agraria) 1960, yang
membatasi jumlah pemilikan tanah pertanian. Pajak dividen obligasi dan pajak terhadap
hasil (bagian laba) saham, berbagai jenis bea siswa dan bantuan sekolah sampai
perguruan tinggi, wajib belajar, dan asuransi kesehatan bagi rakyat miskin. Cara lain
dapat dilakukan melalui pemberian kredit komersial dengan bunga pasar yang wajar
(bukannya dengan bunga rentenir yang sangat tinggi) bagi para wirausaha kecil (kredit
ini bisa disebut “pinjaman mikro” seperti kredit usaha rakyat, kredit usaha tani,dan
sebagainya.

3. Pengurangan distribusi ukuran golongan atas melalui pajak yang progresif. Satu
contoh yang diterapkan di Indonesia adalah pajak penghasilan perorangan dan
badan yang mempunyai sifat progresif. Pajak kekayaan, (akumulasi aset dan
penghasilan) merupakan pajak properti perorangan dan perusahaan yang bersifat
progresif, yang biasanya dikenakan kepada mereka yang kaya raya.

4. Pembayaran transfer secara langsung dan penyediaan berbagai barang dan jasa
publik. Transfer langsung dilaksanakan melalui BLT (bantuan langsung tunai)
kepada orang miskin yang berhak menerima. Penyediaan barang dan jasa publik
dilaksanakan melalui beras murah untuk orang miskin (raskin), penyediaan
asuransi kesehatan bagi golongan miskin (jamkesmas).

Kelompok 6 36
Distribusi Pendapatan dan Pemerataan Pembangunan

Meskipun pemerintah Indonesia telah melaksanakan berbagai program pemerataan


distribusi dan program pengentasan kemiskinan seperti disajikan di atas, ternyata
ketimpangan distribusi masih belum memuaskan dan masih banyak jumlah orang miskin
yang luput dari program, di samping dalam jumlah yang tidak sedikit, sangat sulit untuk
menyaring orang-orang yang benar-benar tidak mampu dengan orang-orang yang
sebenarnya tidak berhak atas bantuan yang disediakan

Kesimpulan
Ada dua jenis distribusi pendapatan, ukuran dan fungsional. Dari distribusi
ukuran dapat dibuat kurva Lorens, atau dihitung koefisien Kuznets dan koefisien Gini
yang dapat dipakai untuk tujuan analisis dan kuantitatif tentang keadilan distribusi
pendapatan. Ukuran yang paling biasa dipakai di Indonesia adalah Koefisien Kuznets,
koefisien Gini, sedangkan kurva Lorens tidak. Distribusi fungsional memberikan
kerangka analisis kebijaksanaan yang menjelaskan keadilan distribusi pendapatan
berdasarkan kepemilikan faktor produksi. Dari data mengenai koefisien Gini dapat
dikatakan bahwa ketimpangan pembagian pendapatan secara keseluruhan pada tahun
1964/65 hampir sama untuk perkotaan dan pedesaan dan termasuk pada ketimpangan
yang sedang. Sedangkan pembagian pendapatan perkotaan di Jawa lebih merata
dibandingkan di pedesaan Jawa, namun sebaliknya terjadi di Luar Jawa, yakni di
pedesaan lebih merata. Kalau kita bergerak dari tahun 1964/65 maka distribusi
pendapatan di perkotaan Jawa dan juga di Indonesia pada umumnya selalu menjadi lebih
timpang, sedangkan di daerah pedesaan di Jawa dan di Indonesia pada umumnya selalu
menjadi lebih merata sampai pada tahun 1976, namun tetap pada ketimpangan sedang.
Bergerak dari periode 1970an ke periode 2000an, maka dapat kita katakan bahwa tidak
terjadi perubahan yang berarti mengenai ketimpangan distribusi pendapatan di
Indonesia, masih tetap pada ketimpangan yang sedang baik ditunjukkan oleh koefisien
Kuznets maupun koefisien Gini, meskipun pada awalnya (2032-2004) sedikit membaik

Kelompok 6 37
Distribusi Pendapatan dan Pemerataan Pembangunan

untuk kemudian menjadi sedikit lebih timpang pada 2005 dan membaik lagi 2006 untuk
akhirnya memburuk lagi tahun 2007.
Perpaduan tingkat pendapatan per kapita yang rendah dan distribusi pendapatan
yang tidak merata akan menghasilkan kemiskinan absolut yang parah, atau dengan kata
lain, banyak penduduk yang hidup di bawah tingkat pendapatan riil minimum tertentu –
atau di bawah “garis kemiskinan internasional”. Ada beberapa ukuran untuk penduduk
miskin, yakni dengan menghitung jumlah mereka atau disebut “hitungan per kepala
(headcount)”, indeks per kepala (headcount index), jurang kemiskinan (poverty gap,
total atau average atau normalized), Indeks Poster-Greer-Thornbeck (FGT) dan human
poverty index (indeks kemiskinan manusia = IKM). Ada beberapa kriteria ukuran
kemiskinan yang diinginkan, yang telah diterima secara luas oleh para ekonom, yakni
prinsip-prinsip anonimitas, independensi populasi, monotonisitas, dan sensitivitas
distribusional. Kriteria yang sering dipakai di Indonesia adalah jumlah penduduk miskin
dan persentase penduduk miskin. Data menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi
telah menurunkan persentase penduduk miskin dari lebih dari 40 persen dari jumlah
penduduk (atau sekitar 54 juta orang) pada tahun 1976 menjadi sekitar 11,34 persen dari
jumlah penduduk (atau sekitar 22,5 juta orang) pada tahun 1996, untuk kemudian
sebagai akibat dari krisis ekonomi meningkat menjadi sekitar 23 persen dari jumlah
penduduk (atau sekitar 49 juta orang) pada tahun 1999. Setelah itu terus mengalami
penurunan sehingga menjadi sekitar 16 persen dari jumlah penduduk (atau sejumlah 37
juta orang) pada tahun 2007.
Jumlah penduduk miskin yang banyak ini merupakan tugas penting dan berat
mengingat tujuan pembangunan milenium yang sekarang didengungkan dan untuk
keperluan itu pemerintah perlu mengetahui siapa penduduk miskin tersebut beserta
karakteristiknya, serta menentukan sikap yang tegas apakah pertumbuhan yang tinggi
selalu dibarengi dengan kemiskinan untuk dapat menyusun berbagai kebijakan yang
memihak kaum miskin. Berbagai kebijaksanaan yang bertujuan untuk memperbaiki
distribusi pendapatan kukuran dan fungsional telah dilaksanakan oleh pemerintah,
namun sampai sejauh ini tampaknya baru berhasil mempertahankan pembagian
pendapatan pada tingkat ketimpangan sedang dan belum begitu berhasil menurunkan

Kelompok 6 38
Distribusi Pendapatan dan Pemerataan Pembangunan

jumlah orang miskin. Hal yang terakhir ini mungkin disebabkan oleh karena banyak
penduduk yang mestinya tidak berhak atas program pemerintah tertentu namun
menikmatinya.

http://dedysuarjaya.blogspot.com/2010/09/distribusi-pendapatan.html

Kelompok 6 39

You might also like