You are on page 1of 431

Dadan Rusmana, M.

Ag

TOKOH DAN PEMIKIRAN


Tokoh dan Pemikiran Semiotik 3

DARI SEMIOTIK STRUKTURAL HINGGA DEKONSTRUKSI

TAZKIYA PRESS
2005
4 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

SEPENGGAL
CATATAN PAMUKA

A. Kendala Metodologi dan Sitematika


Buku yang ada di hadapan Anda ini tidak lebih dari
kumpulan tulisan yang isinya mungkin saja menjadi
semacam korpus tautologi, yakni repetisi tulisan dari
tek-teks sebelumnya yang tidak menambah kejelasan.
Dengan demikian, pembaca diharapkan berhati-hati
sejak awal hingga akhir pembacaan isi tulisan dalam
buku ini, agar tidak tertipu, terjebak pada kesalahan,
atau kekaguman yang disebabkan karena
ketidakmengertian. Dalam konteks yang terakhir,
seringkali terjadi dalam kehidupan manusia, orang
mengaku terkagum-kagum pada hal-hal baru, padahal
ia sendiri sebenarnya tidak mengerti. Seyogyanyalah
memahami buku ini harus selalu diikuti oleh pembacaan
buku lain atau mencari informasi-informasi lain, sebagai
penyeimbang, mengenai isi buku ini. Dalam agama
Islam, setiap pembaca selalu diingatkan bahwa,
“apabila datang kepadamu kabar yang belum jelas
(apakah benar atau salah) lakukanlah verifikasi”, atau
“bertanyalah kepada ahl dzikr (profesional).”
Isi buku ini sekalipun mengusung tajuk ‘semiotik’,
namun isinya tidak semuanya berkutat pada persoalan
semiotik. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, yakni:
Pertama, penulisan buku ini bertumpu pada eksposisi
pemikiran dari tokoh-tokoh yang diklaim orang sebagai
tokoh semiotik; klaim itu dapat saja benar, namun dapat
juga salah. Dengan kata lain, mungkin saja buku ini
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 5

mengulang kesalahan klaim dari teks sebelumnya ketika


mengeksposisi pemikiran tokoh. Mungkin saja banyak
tokoh yang justru pantas dimasukkan sebagai tokoh
semiotik namun tidak ditulis dalam buku ini; hanya
karena buku lain tidak menulis. Kedua, tidak semua
tokoh secara eksplisit menyebut pemikiran dan
analisisnya sebagai proses semiologis, namun karena
mereka berbicara tentang tanda, signifikasi, atau
makna; kemudian secara simplistis mereka diklaim
sebagai tokoh semiotik.
Ketiga, pencandraan buku ini sebagai buku semiotik
tidaklah terlalu tepat pula, karena tokoh-tokoh yang
ditulis di dalamnya juga mewakili tradisi ilmu
pengetahuan lainnya. Misalnya, apakah Ferdinand de
Sasussure harus ditempatkan sebagai tokoh strukturalis,
linguis, strukturalis-linguis, linguis-strukturalis,
strukturalis-semiotik, atau semiotik-strukturalis? Hal ini
merupakan permasalah yang sampai kini tidak berujung
pangkal. Demikian pula memosisikan tokoh-tokoh
lainnya, itu pun hal yang cukup rumit. Lechte (2001)
misalnya, menempatkan Roman Jakobson dan Jacques
Lacan sebagai bagian dari strukturalis; Ferdinand de
Saussure, Charles Sanders Peirce, A.J. Greimas, Louis
Hjelmslev, Roland Barthes, Umberto Eco, Julia Kristeva,
dan Tzvetan Todorov ditempatkan sebagai tokoh
semiotik, sedangkan Jacques Derrida ditempatkan
sebagai tokoh Post-strukturalis. Tetapi, Alex Sobur
(2003) memberikan preferensi tokoh semiotik, yaitu
Charles Sanders Peirce, Ferdinand de Saussure, Roman
Jakobson, Louis Hjelmslev, Roland Barthes, Umberto
Eco, Julia Kristeva, Michael Riffaterre, dan Jacques
Derrida. Lihatlah posisi Roman Jakobson, Greimas,
Riffaterre, dan Todorov, di hadapan Lechte dan Alex
Sobur!
Dalam kertas kerja ini, semua tokoh tersebut
dikategorikan sebagai tokoh “bernuansa” semiotik,
6 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

dengan asumsi karena mereka mewacanakan tentang


analisis tanda di antara sekian wacana lainnya yang
dimunculkan oleh mereka. Demikian pula tokoh-tokoh
lainnya, seperti Halliday, Paul Ricoeur, dan Riffaterre
akan dieksplor pemikiran tentang semiotiknya..
Sekalipun demikian, kompleksitas pemikiran mereka
tidak dipaksa (atau bahkan dimanipulasi) agar persis
dengan konsep semiotik. Ibarat nada-nada instrumen
dalam orkestra, tulisan ini berusaha menonjolkan suara-
suara instrumen tertentu tanpa mengabaikan suara-
suara yang lain yang membentuk sebuah simponi.
Keempat, dari hal tersebut maka tema-tema
pemikiran yang berada di dalam buku ini, seringkali
tidak bernuansa khas semiotik, melainkan justru
bernuansa linguistik struktural, formalisme,
strukturalisme, dekonstruksi, atau bahkan hermeneutik,
yang aromanya cukup tajam menusuk pencerapan
nalar. Keadaan seperti ini, bagi sebagian kalangan
memang biasa, sungguh sukar dihindari, sebab sudah
begitu terbiasanya ketumpangtindihan batas-batas
ataupun konsep-konsep di dalam tradisi pemikiran di
sekitar “ilmu tentang tanda” (the science of signs).
Namun tentunya bagi sebagian kalangan keadaan ini
tidak dapat diterima, karena buku yang baik bagi
kalangan kedua ini adalah buku yang mampu mengurai
benang-benang kusut dan merajutnya sedemikian rupa
hingga mampu menyajikan, meminjam istilah Barthes,
tulisan yang enak dibaca (lisible) dan sekaligus enak
ditulis (scriptible).

Tujuan Penulisan Buku Ini


Buku ini merupakan buku yang sifatnya
mengantarkan pembaca untuk mengenal pemikiran-
pemikiran semiotik dari tokoh-tokoh yang diangkat di
dalam buku ini. Setiap tokoh disertakan biografi
singkatnya agar pembaca mengerti akar-akar
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 7

intelektualitas dan sosial-budaya dari setiap tokoh. Dari


pemahaman ini dapat diketahui apa, mengapa, dan
bagaimana si tokoh memormulasikan pemikiran
semiotiknya. Dengan kata lain, buku ini ingin mengajak
pembaca untuk memahami konteks ruang dan waktu
dari pemiiran tokoh semiotik.
Sebagaimana buku lainnya, buku ini disusun bukan
hanya diinginkan sebagai science for science atau
knowlegde for knowledge melainkan diharapkan
berbagai ilmu atau pengetahuan tentang tanda akan
menumbuhkan kesadaran, pemahaman, interpretasi,
dan reproduksi tanda. Pada tingkat keadaran,
diharapkan pembaca memiliki kesadaran tentang tanda
atau menyadari dirinya sebagai homo semioticus, yakni
makhluk yang hidup dari, oleh, dan untuk “tanda”. Ia
harus sadar bahwa tanda ada di mana-mana dan
mengepung kehidupannya ada tanda yang “baik” dan
ada tanda yang “buruk”, jelas keduanya perlu direspon.
Apabila kesadaran ini telah tumbuh, maka
diharapkan ia mau dan mampu memahami tentang
bagaimana tanda itu tumbuh dan berkembang di setiap
ruang dan waktu. Pada tahap selanjutnya, diharapkan
pembaca mampu mau dan mampu menginterpretasi
dan mereproduksi tanda agar tanda-tanda itu menjadi
bermanfaat untuk peningkatan kualitas kehidupan
manusia, baik tingkat individu maupun kolektif.

Cara Membaca Buku Ini


Membaca buku ini dapat diawali dari mana saja
atau dapat dilakukan secara acak, dari awal atau dari
tengah, ataupun dari akhir. Namun sebaiknya dibaca
secara urut agar dapat diketahui kontinuitas dan
kesinambungan pemikiran para tokoh semiotik, karena
sebagian tokoh memiliki geneologis intelektual dan
pemikiran yang sinambung.
8 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

Ucapan Terima Kasih


Penulisan buku ini mungkin saja dapat dikatakan
selesai, dalam arti ia diinginkan untuk dianggap selesai,
namun ini bukan berarti isi teks telah berakhir. Hal ini,
mengikuti penalaran Roland Barthes dalam The Death
of Author, bahwa ketika teks selesai ditulis maka
eksistensi author pun secara perlahan juga hilang (mati)
mengikuti rangkaian penulisan, namun teks terus hidup
secara otonom. Saya kini adalah sebagai pembaca
(reader) yang kedudukannya sama dengan pembaca
yang lain. Dengan demikian, usaha yang dilakukan oleh
saya kini adalah sama yaitu berupaya untuk
reenacment (reproduksi makna) dari teks yang ditulis
oleh saya masa lalu. Karenanya wajar bila kemudian
saya melakukan autokritik terhadap isi tulisan ini, dan
merupakan keharusan bagi saya untuk berdiskusi atau
mendapatkan informasi yang lebih akurat dalam upaya
reproduksi makna dari isi buku ini. Wajar pula bila saran
dan kritik pedas dilontarkan terhadap buku ini, agar ia
dapat direkonstruksi di masa yang akan datang.
Tulisan ini terwujud karena adanya keterlibatan
jalinan seluruh kosmik, mikrokosmos, makrokosmos,
dan metakosmos. Oleh karena itu, seharusnyalah bila
ucapan syukur selalu terpanjatkan kepada Dzat yang
telah “mengajarkan” al-asma kepada manusia melalui
perantara kalam. Shalawat serta salam semoga selalu
tercurah kepada junjunan alam, dambaan kalbu,
tambatan spiritual suci, dan sumber mata air para
kekasih Allah, sayyidina Muhammad saw., keluarga suci,
para sahabat nabi terpilih, dan seluruh manusia.
Curahan kasih dan sayang terlebih saya haturkan
kepada mutiara kalbu, tambatan hati, dan pelita zaman,
Didah Saidah, Salsabila Nadya Pratami Rusmana, dan
Tazkiya Zahratul Aulia Aqilah Rusmana, yang dalam
setiap tarikan napas dan degupan jantung selalu
melantunkan do’a-do’a tulus untuk kehidupan yang
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 9

lebih baik di masa yang akan datang. Tak lupa ucapan


terima kasih, saya sampaikan kepada teman-teman,
terutama Pak Agus Salim, Pak Hannan, Awang, dan Dani
yang telah memberikan kontribusi pemikiran
konstruktifnya dan memberi motivasi sehingga tercipta
goresan-goresan dalam teks ini; ma kasih banget deh
untuk semuanya. Akhirnya saya berlindung kepada
Allah dari bisikan-bisikan iblis dan syetan yang
bergelayutan di benak, hati, dan dada; juga berlindung
dari salah dan kesalahan yang telah, sedang, dan akan
diperbuat.
10 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

DAFTAR ISI

Sepenggal Catatan Pamuka iii


Daftar Pustaka vi
1 Semiotik Di Eropa Zaman Klasik dan 1
Pertengahan
2 Semiotik Modern dan Kompleksitas Kajian 5
3 Akar dan Madzhab Semiotik di Eropa dan
Amerika Modern 17
4 Semiologi Signifikasi Ferdinand de Saussure 29
5 Semiotik Komunikasi Charles Sanders Peirce 49
6 Analisis Struktural Roman Jakobson 58
7 Metasemiotik dan Glosematik Louis 75
Hjelmslev
8 Wacana Naratif dan Analisis Aktansial A.J. 84
Greimas
9 Roland Barthes: Dari Struktural ke Post- 96
Struktural
1 Semiotik Sosial M.A.K. Halliday 12
0 4
1 Semiotik Long Road Paul Ricoeur 13
1 3
1 Semiotik Psikoanalisis Jacques Lacan 13
2 7
1 Dekosntruksi Jacques Derrida 15
3 3
1 Semiotik Model Petofi Umberto Eco 18
4 0
1 Semanalisis dan Semiotik Revolusioner Julia 20
5 Kristeva 3
1 Semiotik Narasi Formalis Tzvetan Todorov 21
6 6
1 Semiotik Superreader Michael Riffaterre 22
7 4
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 11

1 Al-Qur’an dan Interpretasi Semiotik 23


8 Mohammed Arkoun 6
Daftar Pustaka 28
6
12 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

SEMIOTIK DI EROPA ZAMAN


KLASIK DAN PERTENGAHAN

A. Prolog
Semiotik bukanlah istilah baru, istilah ini berasal dari
kata Yunani, semeion (berarti tanda) atau dari kata
semeiotikos (berarti ‘teori tanda’). Di Yunani sendiri,
pemakaian semeion dan semeiotikos digunakan oleh
para musisi untuk mencari not-not lagu pada alat musik,
sebagaimana dipergunakan pula oleh para ahli bedah
atau dokter untuk menditeksi penyakit. Embrio semiotik
dalam kajian tanda-tanda dalam bahasa dan budaya
seringkali dikaitkan dengan Plato dan Aristoteles. Plato
dianggap sebagai orang yang pertama kali meneliti asal
muasal bahasa dalam Cratylus. Sedangkan Aristoteles
selalu mencermati kata benda dalam bukunya Poetics
dan On Interpretation. Tanda pun telah menjadi bahan
polemik kira-kira tahun 300 SM antara madzhab Stoik
dan Epicurian. Dalam Madzhab Stoik, pengamatan
masalah semiotik sudah tumbuh sejak tahun 330-264
SM, yaitu melalui kajian Zeno, tokoh aliran Stoa yang
berasal dari Kition (Cyprus, Yunani). Ia melakukan
penelitian lewat tanda-tanda tangis dan tertawa. Hasil
penelitian Zeno ini membuahkan perbedaan tanda dari
aspek penanda dan petandanya. Berdasarkan
pengamatan Zeno ini tangis seseorang yang terlihat
dalam bentuk penampilannya merupakan penandanya.
Hal ini disebabkan bahwa ekspresi tangis itu secara
cepat dapat diamati melalui gerak, penampilan, suara,
atau nada tangisnya. Di balik gerak ekspresi lahiriyah,
yaitu makna menangis, merupakan petandanya.
Mengapa seseorang menangis? Apa sebabnya ia
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 13

menangis? Jawaban dari pertanyaan tersebut


merupakan penelusuran makna yang dapat dipahami
dari tangisan seseorang.
Pengkajian masalah tertawa yang dilakukan Zeno
pun dapat menimbulkan aspek penanda dan petanda.
Apa yang terlihat dalam penampilan, gerak tertawanya
merupakan penandanya. Sebaliknya, apa yang menjadi
maksud dan tujuan tertawa, misalnya sinis, mengejek,
lucu, jengkel, dan gembira merupakan petandanya.
Bentuk tangis dan tawa secara semiotik mengandung
dwimakna. Seseorang yang menangis belum tentu
bersedih hati. Adakalanya menangis karena
mendapatkan kegembiraan, yaitu sebagai luapan emosi
atau perasaannya yang meledak-ledak dan tidak
tertahankan. Penyaluran dari rasa emosi yang tidak
tertahankan itulah wujud dari tangisnya. Seseorang
tertawa pun bukan berarti selalu mendapat kesenangan,
adakalanya tertawa karena terkenang akan masa lalu,
sakit ingatan, jengkel, marah, atau sekedar
melampiaskan segala kesedihannya. Bermula dari
kajian semiotik Zeno tentang tangis dan tawa itulah
maka ilmu semiotik mulai dikembangkan.
Puji Santosa (1993:8-9) memberikan contoh yang
sama tentang kedwimaknaan antara tangis dan tawa
yang ditemukan dalam salah satunya puisi Sutardji
Calzoum Bachri yang berjudul Luka. Ekspresi luka dalam
sajak itu adalah “ha ha”. Makna kata luka berdasarkan
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 1989:535)
memiliki arti leksikal (1) belah (pecah, cedera, lecet,
dsb) pada kulit karena kena barang yang tajam atau
lainnya; (2) menderita luka. Biasanya, orang yang
terkena luka ia akan mengaduh, bersakit hati, atau
menangis. Mengapa Sutardji justru mengekspresikan
luka dengan ha ha (tawa). Kata ha-ha berdasarkan KBBI
(1989:290) mempunyai arti leksikal, (1) kata seru
menyatakan girang; (2) kata seru untuk mengejek; (3)
kata seru untuk menyatakan lega; (4) suara orang
14 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

tertawa. Puisi Sutardji yang berjudul Luka dan isi


puisinya ha ha, menyiratkan makna tertawa dan
menangis. Jika hasil pengamatan Zeno tidak dikenal,
barangkali puisi Sutardji tersebut sulit dipahami.
Mungkin, kontradiksi atau kemenduaan jiwa manusia
(masochisme) lah yang ingin diungkapkan oleh puisi
Sutardji di atas.
Dalam kultur abad pertengahan, semiotik menjadi
ilmu tentang wacana (scientia sermocinalis; sermo
berarti wacana), yaitu kajian tentang lambang atau
simbol kebahasaan dengan mengacu pada logika
Aristoteles. Eugenio Coseriu menyebut bahwa pemikir
keagamaan yang merintis semiotik, terutama
terorientasikan pada “kitab suci” adalah Saint
Agustinus, yakni seorang uskup Roma yang hidup
sekitar abad kelima Masehi. Bahkan Coseriu mengklaim
bahwa St. Agustinus merupakan ‘pendiri semiotik
sebenarnya’, sekalipun menurut Winfred Noth banyak
ahli menyandarkan asal mula tradisi semiotik kitab suci
kepada nama Coseriu sendiri (Meuleman, 1996b:36).
Pengkajian intensif Agustinus terhadap kitab suci,
bermula dari pergolakan batin yang radikal yang
menghantarkannya bertobat kepada Tuhan untuk
menjadi manusia saleh dan alim. Kelak, selaku
pemimpin agama yang terkemuka, Saint Agustinus
meletakkan dasar sistem tanda di dalam mengkaji al-
Kitab.
Menurut Saint Agustinus, tanda tidak secara
langsung menunjuk pada sesuatu; ia hanya
mengekspresikan. Akan tetapi, apa yang diekspresikan
bukanlah individualitas pengirim tanda, melainkan
sesuatu yang bersifat internal dan prelinguistik, yang
ditentukan oleh berbagai faktor antara lain 1)
pengetahuan yang melekat pada sebuah tanda, dan 2)
pengetahuan imanen, yang sumber awalnya tidak lain
dari Tuhan (Yasraf, 2002:2). Segala sesuatu dapat
Divine Power
Immanent Knowledge
Object of Knowledge
Inner World (Thought)
Outer World (spoken)Outer World

Tokoh dan Pemikiran Semiotik 15

menjadi tanda, selama ia dapat membawa sebuah


makna tertentu. Satu-satunya yang tidak dapat menjadi
tanda adalah Tuhan itu sendiri; Tuhan justru memberi
warna pada setiap petanda akhir (ultimate signified). Ia
melihat hubungan yang tidak dapat dipisahkan antara
setiap tanda yang digunakan manusia dalam proses
komunikasi, dan sumber-sumber kekuasaan Tuhan yang
memberi fondasi jaminan makna akhir pada setiap
tanda tersebut. St. Agustinus mengatakan bahwa ada
tanda dan makna yang lebih dalam lagi, yaitu petanda
dan makna-makna yang berkaitan dengan tanda-tanda
ketuhanan (divine signs).
Signs denotation connotation
myth divine signified
Atau

St. Agustinus mengklasifikasikan empat makna kitab


suci, yaitu
1. Analogi, yaitu penggunaan gambaran
sebuah teks untuk menjelaskan teks yang
lain (intertekstualitas; munasabah);
2. Etiologi (etiology), yaitu upaya mencari
sebab dari sebuah peristiwa yang dilukiskan
dalam kitab suci. Ini tentunya mendekati
pengertian indeks dalam terminologi
semiotik;
16 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

3. Alegori (allegory), yaitu sebuah cerita yang


mengandung makna kedua yang
tersembunyi di balik makna literal atau
makna yang tampak; dan
4. makna historis atau makna literal.
St. Agustinus memandang bahwa ‘tanda’ memainkan
peranan penting dalam teologi Kristen, karenanya wajar
bila persoalan tanda dan signifikasi menjadi perhatian
utama sejak awal sejarah gereja. St. Agustinus
beranggapan bahwa dunia ciptaan mengandung tanda
kehendak Allah. Bertolak dari pandangan ini, St.
Agustinus tidak membatasi berfungsinya tanda pada
bidang kebahasaan saja, namun ia menekankan adanya
pan-semiotik (semua yang ada adalah tanda dari
kehendak Tuhan). Pandangan St. Agustinus mengenai
pentingnya tanda, lambang dan parabel dalam teks al-
Kitab, telah mempengaruhi seluruh visi dunia Kristen
pada Abad Pertengahan dan menimbulkan apa yang
disebut oleh Noth sebagai pandangan ‘pan-semiotik
mengenai jagat raya”.
Berkat kegiatan dan ketekunannya yang tidak
pernah mengenal lelah, Agustinus berhasil
menerjemahkan bahasa al-Kitab dari bahasa Ibrani ke
dalam bahasa Roma. Terlahir dari konsep-konsep
Agustinus-lah, sampai sekarang, al-Kitab dapat
diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk
bahasa Indonesia. Selain usaha kerasnya dalam
menerjemahkan bahasa al-Kitab, Augustinus juga
meletakkan dasar-dasar pendidikan dengan melalui
tanda. Seseorang tidak akan dapat mengajar tanpa
dibantu adanya tanda-menanda. Lebih jauh, Augustinus
menegaskan bahwa tanpa menggunakan tanda, suatu
pengajaran atau pendidikan tidaklah memuaskan.
Peranan tanda menjadi penting sebagai media
pendidikan, yaitu dalam melaksanakan proses belajar-
mengajar yang lebih luas dan tinggi. Jika dalam
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 17

melaksanakan proses belajar-mengajar itu tanpa


menggunakan tanda-tanda, maka hanya dapat
mencapai tataran yang rendah.
Pengamatan Saint Agustinus ini membantu sekali
bila seseorang akan mengajarkan sastra kepada siswa.
Petunjuk dengan menggunakan tanda-tanda dapat
berupa teks sastra, baik itu berupa puisi, cerita pendek,
novel, film, maupun drama (sastra lakon). Lebih jauh
diharapkan, melalui pengajaran sastra dengan
menggunakan tanda-menanda dapat mendorong subjek
didik memiliki rasa kecintaan terhadap sastra. Setelah
rasa kecintaan itu tumbuh, rasa memiliki pun mendasari
rasa penghargaan terhadap karya sastra, yaitu sebagai
potensi karya budaya manusia. Rasa kecintaan dan rasa
memiliki akan karya sastra itu sendiri, merupakan
bagian dari kehidupan yang tidak terpisahkan dari
dirinya.
18 Tokoh dan Pemikiran Semiotik
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 3

SEMIOTIK MODERN
DAN KOMPLEKSITAS KAJIAN

A. Menyoal Nama dan Definisi


Semiotik atau semiologi merupakan pseudo-
scientific yang memokuskan kajiannya untuk
membedah tanda. Term pseudo-scientific dipergunakan
sebagai sebuah kompromi pandangan antara kubu yang
menyatakan bahwa semiotik merupakan sebuah ilmu
sebagaimana dikonstruk oleh Ferdinand de Saussure,
sebagian lagi menyebutkan bahwa semiotik hanya
merupakan sudut pandang, metode analisis, atau
pendekatan. Dalam buku, ini semiotik ditempatkan
sebagai “semacam” ilmu yang berisi objek kajian,
metode, pendekatan, dan teknik analisis; sebagai studi
sistematis mengenai reproduksi dan interpretasi makna,
bagaimana cara kerjanya, dan apa manfaatnya
terhadap kehidupan manusia.
Sebagaimana disebutkan di awal bahwa term
semiotik bukanlah istilah baru. Istilah ini berasal dari
kata Yunani, semeion, yang berarti tanda atau dari kata
semeiotikos yang berarti ‘teori tanda’. Menurut Paul
Colbey, kata dasar semiotik dapat pula diambil dari kata
seme (Yunani) yang berarti “penafsir tanda”. Namun,
meski semiotik sudah dikenal sejak masa Yunani, tetapi
sebagai satu cabang keilmuan, semiotik baru
berkembang sekitar tahun 1900-an. Istilah semiotik
sendiri baru digunakan pada abad XVIII oleh Lambert,
seorang filosof Jerman. Selain Lambert, menurut R.H.
Robin (1995:258), bahwa terdapat beberapa ahli yang
mempersoalkan tanda ini, yaitu Wilhelm von Humbolt
4 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

dan Schliercher.
Perbincangan sistematis semiotik baru menempati
posisi signifikan dalam khazanah ilmu pada abad
keduapuluh, yakni ketika logosentrisme menempati
posisi yang amat penting dalam filsafat. Arus
wacananya digulirkan dua tokoh founding father
semiotik, yaitu Ferdinand de Saussure dan Charles
Sander Peirce, masing-masing melalui karya anumerta
mereka. Meskipun hidup sejaman, kedua orang ini
tidaklah saling mengenal, karena tempat tinggal mereka
berjauhan, Saussure berada di daratan Eropa dan Peirce
berada di daratan Amerika. Arus wacana semiotik yang
mereka intodusir hampir berbarengan, sekalipun
menyandarkan prinsip semiotik mereka pada landasan
yang berbeda hingga melahirkan konsep-konsep yang
berbeda pula. Oleh karena disiplin yang mereka tekuni
berbeda, Peirce seorang pakar bidang linguistik dan
logika sedangkan Saussure seorang pakar linguistik
modern, menyebabkan adanya perbedaan yang
mendasar dalam penerapan konsep-konsep semiotik
sekarang ini.
Berkat penemuannya di bidang semiotik, Ferdinand
de Saussure (1875-1913) dinobatkan sebagai "Bapak
Semiotik Modern” bersama-sama Charles Sanders
Peirce (1839-1914). Semiotik pun kemudian menjadi
trend dalam wacana pemikiran dengan lahirnya
berbagai karya yang dilabeli semiotik atau sign, seperti
Elements de Semiologie (Barthes; 1953), Massge et
Signaux (L.J. Prieto; 1966), Semieotike (Julia Kristeva,
1969), Introduction a la semiologie (G. Mounin, 1970),
Writings on the General Theory of Sign (Charles Morris,
1971), The Problem of l’arbitraine du signe (Gam
Krelidze, 1974), Coup d’Oeil sur le Development de la
semiotique (Jakobson, 1975), A Theory of Semiotics
(Eco, 1976), dan Contribution to the Doctrine of Sign
(Sebeok, 1977) (Robin, 1995:258-282).
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 5

Dalam konteks Eropa dan Amerika modern, ada dua


istilah populer yang digunakan untuk menyebut ‘ilmu”
tentang tanda ini, yaitu semiologi dan semiotics. Bagi
para penutur dan lingkungan bangsa Eropa, terutama
dalam bahasa dan kebudayaan Prancis, nama semiologi
menjadi istilah yang populer. Mereka beramai-ramai
menggunakan istilah semiologi itu ke dalam berbagai
dunia ilmu pengetahuan, yang tidak terbatas pada ilmu
bahasa dan ilmu susastra, tetapi juga dalam disiplin
pengetahuan yang lain, misalnya seni lukis, arsitektur,
interior, antropologi budaya, filsafat, dan psikologi
sosial. Ferdinand de Saussure merupakan salah satu
tokoh yang gencar menggunakan istilah semiologi,
yang mula-mula merupakan bagian dari psikologi
sosial. Dalam definisi Saussure, semiologi merupakan
sebuah ilmu yang mengkaji kehidupan tanda-tanda di
tengah masyarakat. Beberapa buku dan kertas kerja
pun segera muncul dengan menggunakan istilah
semiologi, antara lain Barthes (1964), Derrida (1968),
Todorov (1966), Pierre Guiraud (1971), dan Kristeva
(1971), Eco (1976), L. Hjemslev, A.J. Greimas,
Leutricchia (1980), dan Aart van Zoest (1987) (Puji
Santosa, 1993:2). Mereka mempertahankan istilah
semiologi bagi kajiannya untuk menegaskan perbedaan
mereka dengan karya-karya semiotik yang menonjol di
Eropa Timur, Italia, dan Amerika Serikat.
Para penutur bahasa Inggris dan dalam dunia Anglo
Saxon (negeri Paman Sam), nama semiotics telah
menjadi istilah umum. Istilah ini pertama kali terlahir
dari buah pemikiran sang filusuf Amerika, Charles
Sanders Peirce. Semiotik Peirce merujuk pada “doktrin
formal tentang tanda-tanda”. Ia menyamakan semiotik
dan logika serta mengembangkan semiotik dalam
hubungannya dengan filsafat pragmatisme. Filsafat
pragmatisme Amerika yang digagas Peirce
dikembangkan oleh pengikut-pengikutnya, antara lain
6 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

William James (1842-1910), John Dewey (1859-1952),


dan George Herbert Mead (1863-1931) (Puji Santosa,
1993:3).
Menyoal penggunaan dua istilah yang berbeda
untuk menyebut studi tentang tanda ini, yakni semiologi
dan semiotik, sering diartikan sebagai dialektika antara
dua kubu semiotik modern, yakni kubu Ferdinand de
Saussure dan kubu Charles Sanders Peirce, yang
tentunya menyiratkan variasi-variasi penting dalam
penerapan konsep antara kedua kiblat semiotik tersebut
(Alex Sobur, 2001:110). Variasi-variasi tersebut bukan
hanya berkutat pada persoalan istilah, tetapi
menyangkut paradigma pemikiran tentang tanda, ranah
semiotik, metode interpretasi semiotik, dan proses
pengaplikasian analisis semiotiknya. Ada sebagian besar
pakar semiotik yang berkiblat pada Saussure, terutama
penerapan semiotik dari konsep-konsep linguistik dan
psikologi sosial. Ada sebagian pakar semiotik yang lain
berkiblat pada teori Peirce, terutama penerapan
semiotik dari konsep-konsep filsafat pragmatisme dan
logika. Bahkan ada pakar yang menggabungkan konsep
semiotik Peirce dan Saussure dalam menelaah bidang
disiplin ilmu pengetahuan lain, seperti Umberto Eco.
Sebagaimana disinggung di atas, Ferdinand de
Saussure memaksudkan semilogi sebagai “A science
that studies the life of signs within society is
conceivable, it would be a part of social psychology and
consequently of general psychology; I shall call it
semiology (from the Greek semeion ‘sign’. Semiology
would show what conastitutes signs, what laws govern
them (sebuah ilmu yang mengkaji tanda-tanda di dalam
masyarakat. Ia bakal menjadi bagian dari psikologi
sosial dan, dengan begitu, psikologi general; saya akan
menamakannya semiologi [dari bahasa Latin semeion
‘tanda’]. Semiologi akan menunjukkan hal-hal apa yang
membangun tanda-tanda, hukum-hukum apa yang
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 7

mengaturnya). Implikasinya, tanda itu berperan


sebagai bagian dari kehidupan sosial dan juga sebagai
aturan sosial yang berlaku. Semiologi Saussure
dikembangkan di atas fundamen teori linguistik umum.
Kekhasan teoriya terletak pada kenyataan bahwa ia
menganggap bahasa sebagai sebuah sistem tanda.
Ketertarikan de Saussure ini berkisar pada persoalan
bahasa dan struktur yang digunakan oleh manusia
dalam menyingkap relasi-relasi unsur-unsur yang
membentuk suatu totalitas kompleks pada fenomena-
fenomena termasuk bahasa sebagai tanda. Subjek tidak
dianggap penting karena hanya pengguna, begitu pula
pertanyaan tentang sejarah dan perubahan. Ia
mengkonsentrasikan pada struktur atau seperangkat
unsur-unsur dalam satu sistem dan satu waktu tertentu
(sinkronik).
Peirce memaknai semiotik sebagai “studi tentang
tanda dan segala yang berhubungan dengannya; cara
berfungsinya (sintaksis semiotik), hubungan dengan
tanda-tanda lain (semantik semiotik), serta pengirim
dan penerimanya oleh mereka yang menggunakannya
(pragmatik semiotik)” (Panuti dan van Zoest, 1996:5-6).
Karenanya, menurut Peirce, tanda tidak hanya menjadi
otoritas bahasa dan kebudayaan melainkan dapat
dikembangkan pada seluruh gejala alam (pansemiotik).
Menurut Peirce, logika harus mempelajari bagaimana
orang menalar. Penalaran itu, menurut hipotesis teori
Peirce yang mendasar dilakukan melalui tanda-tanda.
Tanda-tanda memungkinkan manusia berhubungan
dengan orang lain dan memberi makna pada fenomena
alam.
Beberapa pakar susastra lain telah mencoba
mendefinisikan semiotik yang berkaitan dalam bidang
keilmuannya. Khusus dalam bidang susastra, menurut
A. Teeuw (1982: 42) “semiotik adalah tanda sebagai
tindak komunikasi.” Dalam buku yang lain, A. Teeuw
8 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

menyempurnakan definisi semiotik sebagai “model


sastra yang mempertanggungjawabkan semua faktor
dan aspek hakiki untuk pemahaman gejala susastra
sebagai alat komunikasi yang khas di dalam masyarakat
manapun juga”. Mempelajari semiotik susastra berati
pula mempelajari ilmu kebahasan yang tidak terlepas
pada pemahaman masalah tanda-menanda. Hal ini
dikarenakan bahwa susastra bermediumkan bahasa
yang tidak mungkin tidak dapat dihilangkan oleh
pengarang. Oleh karena itu, Teeuw (1983:12)
menyatakan bahwa dalam mengkaji semiotik susastra
kode pertama yang harus dikuasai adalah kode bahasa,
selain harus mengetahui pula kode sastra dan kode
budaya. Bagaimanapun karya sastra tidak dapat
memisahkan dan mengasingkan diri dari setting sosio-
historis-kultural.
Dick Hartoko (1984:42) memberi batasan semiotik
sebagai “bagaimana karya itu ditafsirkan oleh para
pengamat dan masyarakat lewat tanda-tanda atau
lambang-lambang.” Sedangkan Luxemburg (1984:48)
menyatakan bahwa semiotik merupakan “ilmu yang
secara sistematis mempelajari tanda-tanda dan
lambang-lambang, sistem-sistemnya dan proses
pelambangan.” Aart van zoest mendefinisikan semiotik
sebagai “studi tentang tanda dan segala yang
berhubungan dengannya, yakni cara berfungsinya,
hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengirimannya,
dan penerimaannya oleh mereka yang
mempergunakannya.” Sebuah batasan yang dapat
dianggap sempurna adalah batasan yang diberikan
Sutadi Wiryaatmadja (1981:4) yang mendefinisikan
semiotik sebagai “ilmu yang mengkaji kehidupan tanda
dalam maknanya yang luas di dalam masyarakat, baik
yang lugas (literal) maupun yang kias (figuratif), baik
yang menggunakan bahasa maupun non-bahasa.”
Pendapat ini didukung oleh Rene Wellek (1956) yang
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 9

memasukkan image (citra), metaphor (metafora),


symbol (lambang) dan myth (mitos) ke dalam cakupan
semiotik.

B. Polemik tentang Tapal Batas Semiotik


Menanggapi pertanyaan tentang tapal batas
semiotik, beberapa ahli semiotik, seperti Umberto Eco
(1979:7-14), Roland Barthes (1967:109), serta Coward
dan Ellis (1977:1), tampaknya bersepakat tentang satu
hal, bahwa apapun bentuk tanda yang digunakan, siapa
pun ‘subyek’ yang terlibat, selama ia digunakan dalam
suatu sistem pertandaan dan komunikasi, serta
berlandaskan pada kesepakatan sosial (konvensi atau
kode) tertentu, dengan asumsi ‘makna’ tertentu, maka
ia merupakan fenomena semiotik (termasuk komunikasi
di dalam ilmu-ilmu agama).
Tanda ada di mana-mana; ia mencakup segala hal,
mulai dari bahasa, gerak-gerik, pakaian, boneka, menu
makanan, musik, lukisan film, sabun, bahkan dunia itu
sendiri. Pokoknya segala sesuatu yang secara
konvensional dapat menggantikan atau mewakili
sesuatu yang lain dapat disebut tanda. Sedemikian
banyaknya tanda yang “mengepung” manusia, sampai-
sampai manusia tidak menyadari bahwa apa pun yang
ada di sekelilingnya adalah tanda. Dalam kaitan dengan
hal ini, Charles Sanders Pierce menegaskan bahwa
manusia hanya dapat berpikir dengan sarana tanda.
Sudah pasti tanpa sarana tanda ini, manusia pun tidak
dapat berkomunikasi (Panuti & van Zoest, 1996:vii). Tak
seorang pun sanggup berhubungan dengan realitas,
kecuali bermediumkan berbagai tanda. Oleh karena itu,
salah satu cara untuk memahami manusia adalah
berupaya mengkaji bagaimana manusia menciptakan
dan menggunakan tanda.
Semiotik menganggap bahwa semua fenomena
masyarakat dan kebudyaan sebagai tanda. Semiotika
10 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

mempelajari sistem, aturan-aturan, dan konvensi-


konvensi yang memungkinkan tandatnada tersebut
mempunyai arti. Dengan demikian, jika semiotik atau
semiologi merupakan ilmu yang secara sistematik
mempelajari tanda, lambang, dan proses perlambangan,
menurut Ferdinad de Saussure, maka ilmu bahasa pun
dapat dikatakan sebagai semiologi, karena bahasa
merupakan salah satu sistem tanda di antara sekian
sistem tanda yang ada. Kata atau proposisi adalah
tanda sebagaimana gerak, lampu lalu lintas, bendera,
dan sebagainya. Bahkan bahasa Tuhan pun dapat
dikatakan “tanda”, baik itu yang ada dalam alam
maupun tanda tanda yang terdapat dalam firman-
firman-Nya (kitab suci atau wahyu). Struktur karya
sastra, struktur riil, bangunan, artefak, nyayian, mode
pakaian, atau sejarah dapat dianggap sebagai tanda.
Langkah Saussure selanjutnya adalah mengembangkan
pengertian semiologi menjadi ilmu yang bertugas
meneliti berbagai sistem tanda (Teeuw, 1984:46-47).
Bila salah satu bidang garapan semiotik adalah
mempelajari fungsi tanda dalam teks, maka tujuannya
adalah untuk memahami sistem tanda yang ada dalam
teks agar berperan membimbing pembacanya agar bisa
menangkap pesan yang terkandung di dalamnya.
Dengan ungkapan lain, semiotik berperan untuk
melakukan 'interograsi" terhadap kode-kode yang
dipasang penulis agar pembaca bisa memasuki bilik-
bilik makna yang tersimpan dalam sebuah teks.
Berkenaan dengan masalah tanda-tanda dalam bahasa,
Charles Morris, sebagaimana dikutip Alex Sobur,
(2001:102) membagi tiga klasifikasi semiotik sebagai
berikut:
1. Semiotik sintaktika (studi relasi formal tanda-
tanda), yakni studi tentang tanda yang berpusat
pada penggolongan, hubungan antar-tanda,
proses kerja samanya dalam menjalankan
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 11

fungsinya.
2. Semiotik semantika (studi relasi dengan
penafsirannya), yaitu studi tentang tanda yang
menonjolkan hubungan tanda-tanda dengan
acuannya dan dengan interpretasi yang
dihasilkannya.
3. Semiotik Pragmatika, yaitu studi tentang tanda
yang mementingkan hubungan antaa tanda
dengan pengirim dan penerimanya.
Dalam lapangan kritik sastra, semiotika meliputi
analisis sastra sebagai penggunaan bahasa yang
bergantung pada konvensi-konvensi tambahan dan
yang meneliti ciri-ciri atau sifat-sifat yang memberi
makna bermacam-macam cara wacana (Nyoman Kutha
Ratna, 2004:96).
Jika semiotik menggarap semua tanda yang ada,
maka ruang lingkup kajian semiotik akan menjadi begitu
luas. Hal ini, menurut Umberto Eco (1976), mungkin
akan menimbulkan kesan ‘imperialistis’. Kesan ini tidak
perlu dipersalahkan begitu saja karena semiotik, dengan
sejarahnya yang cukup panjang dan kepustakaannya
yang sangat luas, memang menyangkut makna
sehingga, sebagai konsekuensinya, cakupannya
menjadi begitu luas. Karenanya tidak salah jika
Ferdinand de Saussure dan Charles Sanders Peirce,
keduanya sebagai penggagas semiotik, meramalkan
bahwa semiotik akan banyak berguna bagi pelbagai
disiplin. Ramalan keduanya, dari hari ke hari,
menampakkan kebenarannya. Semiotik, yang mula-
mula diterima di lingkaran-lingkaran akademis terbatas,
semakin merambah ke dalam relung-relung disiplin
lainnya; bukan hanya ilmu sastra dan linguistik yang
dapat mengklaim pendekatan semiotik sebagai bagian
darinya. Namun, kuantitas dan kualitas intervensi
semiotik terhadap disiplin ilmu yang lain masih
diperdebatkan.
12 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

Pertanyaannya, menurut Yasraf (2002a:1) apakah


semiotik melingkupi segala jenis dan bentuk tanda,
mulai ekspresi muka, praktek ibadat, ritual, matahari,
arsitektur, seni fashion, film, sastra, dan ekspresi muka?
apakah semiotik melingkupi semua bentuk penggunaan
tanda, komunikasi, serta segala subjek yang terlibat di
dalamnya? Harus disadari bahwa karena wujud tanda
menyebar begitu luas, yaitu maka kemudian ranah
semiotik pun memiliki cakupan yang sangat luas.
Menurut Yasraf (2002a:1), setidaknya terdapat lima
‘subyek’ dalam berbagai rantai komunikasi, yaitu 1)
manusia, 2) makhluk lain, 3) alam, 4) benda/mesin, dan
5) Tuhan. Hubungan komunikasi antar manusia dikaji
dalam semiotik umum. Hubungan komunikasi antar-
fauna dikaji secara khusus dalam zoo-semiotics
(semiotik binatang). Komunikasi antara manusia-
komputer dikaji melalui semiotik formal. Namun, apakah
fenomena komunikasi manusia dengan jin atau malaikat
atau makhluk atau Tuhan atau lainnya merupakan
semiotik juga?
Semiotik pun merasuk ke dalam ilmu medis, dikenal
medical semiotics. Dokter mendiagnosa atau mengkaji
hubungan antara gejala (symptom) sebagai sebuah
‘tanda’ dengan penyakit tertentu. Dalam medical
semiotics, terdapat beberapa ranah khusus, seperti
neurosemiotik dan psikosemiotik. Neurosemiotik lebih
khusus lagi dibanding psikosemiotik, yakni mencakup
kajian mengenai bagaimana realitas-realitas kognitif
yang ditunjukkan psikosemitotik direalisasikan secara
fisik di dalam otak, dengan implikasi bagi disiplin
afasiologi dan neurologi. Sedangkan, psikosemitik
mencakup seluruh aspek teori semiotik yang didasarkan
atas temuan-temuan psikologi, baik secara
eksperimental atau observasional. Secara lebih
spesisfik, psikosemiotik meliputi 1) eksperimetasi
psikologi yang didesain untuk mengukur sistem-sistem
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 13

semiotik yang ada di dalam benak manusia; 2) kajian


atas perkembangan penguasaan sistem-sistem semiotik
tersebut pada anak-anak; 3) penyusunan berbagai teori
semiotik yang dapat mengakomodasi dan menjelaskan
data psikologis tentang bagaimana manusia belajar dan
mengingat sistem-sistem semiotik selain bahasa; 4)
penerapan-penerapan psikologi terhadap semiotik
diakronis; dan zoosemiotik (Kris Budiman, 1999:96).
Meteorologi, membaca kondisi cuaca sebagai tanda
untuk mengetahui perubahan cuaca. Ilmu ekonomi
melihat kondisi pasar sebagai ‘tanda’ untuk mengetahui
trend pasar. Di negara-negara maju, seperti Amerika,
Prancis, atau Jepang, semiotik telah ikut merasuk ke
dalam displin-displin tradisional seperti antropologi,
arsitektur, ilmu politik, ilmu komunikasi, ilmu
pendidikan, geografi, seni dan desain, bahkan sampai
pada kajian bisnis, pemasaran, akuntansi, manajemen
periklanan, hukum, pariwisata, dan kesehatan. Secara
keseluruhan, luas atau tidaknya cakupan semiotik
tergantung pada batasan pengertian terhadap fokus
kajiannya, yakni tanda. Sementara itu, Mansoer Pateda
(2001:29) menyebutkan sembilan macam semiotik,
yaitu:
1. Semiotik analitik, yakni semiotik yang
menganalisis sistem tanda. Peirce menyatakan
bahwa semiotik berobjekkan tanda dan
menganalisisnya menjadi ide, objek, dan makna.
Ide dapat dikatakan sebagai lambang, sedangkan
makna adalah beban yang terdapat dalam
lambang yang mengacu kepada objek tertentu.
2. Semiotik deskriptif, yakni semiotik yang
memperhatikan sistem tanda yang dapat dialami
oleh setiap orang, meskipun ada tanda yang
sejak dahulu tetap seperti yang disaksikan
sekarang. Misalnya, langit mendung sebagai
tanda bahwa hujan akan segera turun,
14 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

merupakan tanda permanen dengan interpretasi


tunggal (monosemiotik).
3. Semiotik faunal (zoosemiotics), yakni semiotik
yang menganalisis sistem tanda dari hewan-
hewan ketika berkomunikasi di antara mereka
dengan menggunakan tanda-tanda tertentu, yang
sebagiannya dapat dimengerti oleh manusia.
Misalnya, ketika ayam jantan berkokok pada
malam hari, dapat dimengerti sebagai penunjuk
waktu, yakni malam hari sebentar lagi berganti
siang. Induk ayam berkotek-kotek sebagai
pertanda ayam itu telah bertelur atau ada yang
ditakuti.
4. Semiotik kultural, yakni semiotik yang khusus
menelaah sistem tanda yang berlaku dalam
kebudayaan masyarakat tertentu. Olah karena
semua suku, bangsa, atau negara memiliki
kebudayaan masing-masing, maka semiotik
menjadi metode dan pendekatan yang diperlukan
untuk ‘membedah’ keunikan, kronologi,
kedalaman makna, dan berbagai variasi yang
terkandung dalam setiap kebudayaan tersebut.
5. Semiotik naratif, yakni semiotik yang menelaah
sistem tanda dalam narasi yang berujud mitos
dan cerita lisan (foklorer). Menurut Mansoer
Pateda (2001:31), ancangan ini dipraktekkan
oleh Greimas.
6. Semiotik natural, yakni semiotik yang khusus
menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh
alam. Misalnya, Badan Meteorologi dan Geofisika
(BMG) melihat “awan yang bergulung di atas Kota
Jakarta”, sebagai dasar perkiraan “hujan akan
turun mengguyur kota Jakarta”. Misal lainnya,
“petir” yang menyertai hujan menandakan bahwa
“terdapat awan yang bergulung tebal, dan hujan
dipastikan turun dengan lebat”.
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 15

7. Semiotik normatif, yakni semiotik yang khusus


menelaah sistem tanda yang dibuat manusia
yang berujud norma-norma.
8. Semiotik sosial, yaitu semiotik yang khusus
menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh
manusia berujud lambang, baik lambang berujud
kata aatau pun kalimat. Ancangan ini
dipraktekkan oleh Halliday. Tokoh yang satu ini
memaksudkan judul bukunya Language and
Social Semiotik, sebagai semiotik sosial yang
menelaah sistem tanda yang terdapat dalam
bahasa.
9. Semiotik struktural, yaitu semiotik yang khusus
menelaah sistem tanda yang dimanifestasikan
melalui struktur bahasa.
Sebagian ahli mengelompokan aliran semiotika
berdasarkan bidang-bidang kajian yang lebih
sederhana, yaitu:
1. Aliran semiotika komunikasi, dengan intensitas
kualitas tanda dalam kaitannya dengan pengirim dan
penerima, tanda yang disertai dengan maksud yang
digunakan secara sadar sebagai signal, seperti
rambu-rambu lalu lintas. Aliran ini dipelopori oleh
Buyssens, Prieto, dan Mounin.
2. Aliran semiotika konotatif, atas dasar-dasar ciri
denotasi kemudian diperoleh makna-makna
konotasinya, arti pada bahasa sebagai sistem model
kedua, tanda-tanda maksud langusng, sebagai
symptomp (gejala), di samping dalam sastra juga
diterapkan dalam berbagai bidang kemasyarakatan.
Aliran ini dipelopori oleh Roland Barthes.
3. Aliran semiotika ekspansif, diperluas dengan bidang
psikologi (terutama deepty psychology Freudian) dan
sosiologi Marxis, termasuk filsafat. Aliran ini
dipelopori oleh Julia Kristeva.
16 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

D. Bahan Dasar Semiotik


Kedua aliran besar semiotik bersepakat mengenai
komponen dasar semiotik. Komponen dasar semiotik
tidak terlepas dari masalah-masalah pokok mengenai
tanda (sign), lambang (symbol), dan isyarat (signal),
yang ketiganya memungkinkan terjadinya komunikasi
antara subjek dan objek dalam jalur pemahaman.
Pemahaman masalah lambang akan mencakup
pemahaman masalah penanda (signifier; signans;
signifant) dan petanda (signified; signatum; signifie).

1. Tanda (sign)
Tanda diartikan sebagai representasi dari gejala
yang memiliki sejumlah kriteria seperti nama, peran,
fungsi, tujuan, dan makna. Tanda tersebut. berada di
seluruh kehidupan manusia dan dengan demikian ia
menjadi nilai intrinsik dari setiap kebudayaan manusia
dan menjadi sistem tanda yang digunakannya sebagai
pengatur kehidupannya. Oleh karena itu, tanda-tanda
itu (yang berada dalam sistem tanda) sangatlah akrab
dan bahkan melekat pada kehidupan manusia yang
penuh makna (meaningful action) seperti teraktualisasi
pada bahasa, religi, seni, sejarah, dan ilmu pengetahuan
(Alex Sobur, 2001:124).
Tanda merupakan sesuatu yang menandai sesuatu
hal atau keadaan untuk menerangkan atau
memberitahukan objek kepada subjek. Tanda-tanda
bersifat tetap, statis, tidak berubah, tanpa kreatif
apapun atau tanda adalah arti yang statis, umum, lugas,
dan objektif (Puji Santosa, 1993:4). Dalam hal ini tanda
selalu menunjukkan pada sesuatu hal yang nyata,
misalnya benda, kejadian, tulisan, bahasa, tindakan,
peristiwa, dan bentuk-bentuk tanda yang lain. Contoh
konkret, yaitu adanya hujan selalu ditandai oleh adanya
mendung yang mendahuluinya. Wujud tanda-tanda
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 17

alamiah ini merupakan satu bagian dari hubungan


secara alamiah pula, yang menunjuk pada bagian yang
lain, yakni adanya hujan dikarenakan adanya awan
bergulung. Tanda-tanda juga dibuat oleh manusia yang
dilekatkan pada makhluk lain yang tidak memilki sifat-
sifat kultural, misalnya bunyi-bunyi binatang
(onomatopea) yang menunjuk pada nama binatang itu
seniri. Seolah-olah bunyi yang ditimbulkan oleh binatang
itu tidak mempunyai makna apa-apa, kecuali sebagai
petanda dari binatang itu sendiri. Tiruan bunyi seperti
“kotek-kotek” akan menunjuk nama binatang ayam ,
“embe” menunjuk nama binatang kambing, “aum”
menunjuk nama binatang harimau, dsb.

2. Symbol (Lambang)
Lambang adalah sesuatu hal atau keadaan yang
membimbing pemahaman si subjek kepada objek.
Hubungan antara subjek dan objek terselip adanya
pengertian sertaan. Suatu lambang selalu dikaitkan
dengan adanya tanda-tanda yang sudah diberi sifat-sifat
kultural, situasional, dan kondisional. Warna merah
putih pada bendera bangsa Indonesia merupakan
lambang kebanggan bangsa Indonesia. Warna merah
diberi makna secara situasional, kondisional, dan
kultural oleh bangsa Indonesia adalah gagah, berani,
dan semangat yang berkobar-kobar untuk meraih cita-
cita luhur bangsa Indonesia, yaitu masyarakat adil
makmur. Di samping itu warna merah pada bendera
Indonesia melambangkan semangat yang tak mudah
dipadamkan, yakni semangat juang dan semangat
membangun. Demikian pula pada warna putih, secara
kondisional, situasional, dan kultural diberi makna: suci,
bersih, mulia, luhur, bakti, dan penuh kasih-sayang. Jadi,
lambang adalah tanda yang bermakna dinamis, khusus,
subjektif, kias, dan majas.
Dalam karya sastra, baik yang berupa puisi, cerita
18 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

rekaan maupun drama, terdapat berbagai lambang,


antara lain lambang warna, lambang benda, lambang
bunyi, lambang suasana, lambang nada, dan lambang
viusalisasi imajinatif yang ditimbulkan dari tata wajah
atau tifografi. Sebaliknya, tanda yang terdapat dalam
karya sastra hanya bermanfaat untuk mengenal aspek
formal atau bentuk struktur fisiknya. Unsur-unsur cerita
rekaan seperti alur, penokohan, latar, sudut pandang,
gaya, dan suasana dapat dikenali dari pemahaman
tanda-tanda struktur sebuah cerita rekaan. Peirce
berpendapat bahwa lambang merupakan bagian dari
tanda. Setiap lambang adalah tanda, tetapi tidak setiap
tanda itu berarti lambang. Adakalanya tanda dapat
menjadi lambang secara keseluruhan, yaitu dalam
bahasa. Hal ini dimungkinkan karena bahasa merupakan
sistem tanda yang arbitrer sehingga setiap tanda dalam
bahasa merupakan lambang. Khusus dalam puisi
terdapat lambang bunyi, baik bunyi vokal maupun bunyi
konsonan yang menyiratkan makna tertentu.

Tanda

Lambang

Subjek Pengertian
Objek
lain
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 19

Gambar: Perbedaan antara Tanda dan Lambang (Puji


Santosa, 1993:5)

Bahasa sesungguhnya merupakan kesatuan yang


tidak dapat dipisahkan antara penanda dan petandanya.
Penanda adalah yang menandai dan sesuatu yang
segera terserap dan teramati, mungkin terdengar
sebagai bunyi atau terbaca sebagai tulisan, misalnya
(cinta), tetapi mungkin pula terlihat dalam bentuk
penampilan, msalnya: wajahnya memerah, nafasnya
terengah-engah, gerakannya gemetaran, tampangnya
menyeramkan, dan sebagainya. Petanda adalah sesuatu
yang tersimpulkan, tertafsirkan, terpahami maknanya
dari ungkapan bahasa dan non-bahasa.
Hubungan antara penanda dan petanda terdapat
berbagai kemungkinan dalam penggunaan bahasanya.
Pemahaman akan berbagai kemungkinan yang terjadi
dalam penggunaan bahasa akan menjadi dasar struktur
semiotis. Penanda adalah sesuatu yang ada dari
seseorang bagi sesuatu (yang lain) dalam suatu
pandangan. Penanda itu dapat bertindak menggantikan
sesuatu, dan sesuatu itu adalah petandanya. Penanda
itu menggantikan sesuatu bagi seseorang; seseorang ini
adalah penafsir. Penanda ini kemudian menggantikan
sesuatu bagi seseorang dari suatu segi pandangan; segi
pandangan ini merupakan dasarnya. Jadi, dalam
komponen dasar semiotik ini akan dikenal adanya
empat istilah dasar, yaitu penanda (signifier), petanda
(signified), penafsir (representament), dan dasar
(ground). Gejala hubungan antara keempat hal tersebut
akan menentukan hakikat yang tepat mengenai
semiosis sehingga dalam menghadapi berbagai
persoalan susastra-baik secara wajar berdasarkan
20 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

konvensi maupun yang tidak secara wajar (dengan


pemutarbalikan konvensi atau penyimpangan kaidah)
dapat diatasi dengan baik melalui ancangan semiotik.

3. Isyarat (signal)
Isyarat adalah sesuatu hal atau keadaan yang
diberikan oleh si subjek kepada objek. Dalam keadaan
ini si subjek selalu berbuat sesuatu untuk
memberitahukan kepada si objek yang diberi isyarat
pada waktu itu juga. Jadi, isyarat selalu bersifat
temporal (kewaktuan). Apabila ditangguhkan
pemakaiannya, isyarat akan berubah menjadi tanda
atau perlambang. Ketiganya (tanda, lambang, dan
isyarat) terdapat nuansa, yakni perbedaan yang sangat
kecil mengenai bahasa, warna, dan lainnya.
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 21
3
Tokoh dan Pemikiran Semiotik

AKAR DAN MADZHAB SEMIOTIK


DI EROPA DAN AMERIKA MODERN

Isi tulisan yang terkandung di bawah judul di atas


tentunya tidaklah sehebat judulnya. Yang ingin dicapai
adalah sekedar indeks-metonimik, yakni hanya
menyebutkan sebagiannya untuk menggambarkan
sesuatu yang besar. Indeks-metonimik ini ibarat “teori
gunung es di lautan”, yang muncul hanya sebagian
kecil, sedangkan sebagian besarnya berada di dalam
lautan. Oleh karena itu, tulisan bagian ini berusaha
memaparkan sebagian kecil kecendrungan dan
pemikiran ‘tokoh semiotik’ (atau tepatnya beberapa
tokoh yang diklaim mewakili ‘tokoh semiotik’) di
belahan dunia Eropa dan Amerika Modern. Sekali lagi,
pembaca tidak usah membayangkan bahwa buku ini
memaparkan ‘tokoh-tokoh semiotik’ yang ada di dua
benua tersebut satu per satu. Yang ada adalah upaya
‘meng-ekor’ terhadap klaim-klaim dalam memilih dan
memilah tokoh dan pemikiran. Mungkin saja, tulisan ini
masih mempraktekkan logosentrisme, yakni terjebak ke
dalam “opini logo” yang dipromosikan orang lain.
Menurut Noth ada empat tradisi yang
melatarbelakngi kelahiran semiotika, yaitu semantik,
logika, retorika, dan hermeneutika.

A. Marginalisasi Teks
Dalam sejarah di dua benua tersebut, teks memiliki
sejarah panjang, hampir sebanding dengan sejarah
manusia. Namun demikian teks tidak pernah menduduki
posisi yang mapan di sepanjang zaman. Selama abad
ke-19, misalnya, ketika kaum Romantik dan
Ekspresionis mendominasi praktek kajian teks,
4 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

perhatian utama teori dan studi teks terfokus kepada


pengarang sebagai penghasil karya sastra. Tolok ukur
penilaian karya sastra (literary work) adalah persoalan
orisinalitas, jenialitas, kreativitas, dan individualitas
pengarang (penulis), bukan karya sastra sendiri sebagai
teks. Teks dimarjinalkan sebagai komplemen dari sang
pengarang (dirinya, jiwanya, daya ciptanya, intensinya,
dan sebagainya).
Pada abad ke-20, teks yang semula marginal
diangkat pamornya sebagai objek vital di tangan kaum
Formalisme di Rusia tahun 1914-1915, yang kemudian
disusul oleh Strukturalisme di Praha 1930-an, dan
terwujud pula gerakan New Criticism di Amerika. Dapat
dikatakan bahwa kemunculan Formalisme, yang
merupakan reaksi terhadap Romatisme dan
Ekpresionisme pada abad ke-19, telah membawa
tranformasi menuju babak baru kajian teks, terutama
dalam ilmu sastra. Pergeseran itu terjadi karena para
teoritikus menyadari bahwa teks merupakan fakta
objektif, wilayah otonom, dan terlepas dari pengarang
dan pembaca. Dalam konteks studi sastra, misalnya,
teks menjadi perhatian utama, bukan lagi hal-hal yang
berkaitan dengan pengarang dengan berbagai
atributnya. Hal ini sesuai dengan ungkapan Dresden
(Teeuw, 1991:218) yang menyatakan, “hal terpenting
adalah dunia dalam kata”.
Kendati keyakinan otonomi teks (sastra) berhasil
menggeser pemikiran teori teks (sastra) abad ke-19,
pada masa-masa selanjutnya (dalam abad ke-20 dan
21) timbul kesadaran baru bahwa ternyata bahasa
sastra tidak mampu menyajikan seluruh idealitas,
impian, harapan, pengalaman, dan kekecewaan
manusia. Orientasi pemikiran teori sastra bergerak dari
otonomi teks (sastra) ke arah pembaca yang diberi
kebebasan relatif sampai absolut untuk merekonstruksi
bahkan mendekonstruksi teks. Sehingga, teks sastra
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 5

secara radikal tidak lagi diklaim sebagai wilayah otonom


yang mampu memenuhi dirinya sendiri, tetapi memiliki
kebergantungan yang tinggi dengan wilayah di luarnya,
misalnya dengan teks-teks lain (interteks) atau dengan
respons-respons pembaca. Berkaitan dengan respons-
respons pembaca, terlihat bahwa penafsiran teks
merupakan sifat yang sangat mencolok mengenai kritik
sastra di abad ke-20. Untuk menafsir teks dibutuhkan
pendekatan yang dapat digunakan untuk membedah
teks, misalnya teks kesusastraan.
Semiotik, sebagai salah satu alternatif untuk
mengkaji teks, terutama teks karya sastra, mucul sejak
perhatian pakar sastra memfokuskan diri pada
hubungan antara petanda dan penanda. Dalam proses
memahami, makna bukan secara tiba-tiba tampil di
hadapan pembaca, melainkan melalui proses panjang
sebagai kelanjutan dari ancangan sebelumnya, yakni
formalisme Rusia dan Strukturalisme Praha. Kaum
formalisme Rusia berpendirian bahwa ada hubungan
antara perkembangan karya sastra dan sikap terhadap
karya sastra itu sendiri. Dalam hal ini nilai susastra terus
menerus berubah sehingga sukar untuk menentukan
sebuah batasan tentang pengertian susastra itu sendiri.
Perubahan inilah yang tampaknya mendominasi
pandangan para Formalis Rusia itu. Penganut faham
Formalisme Rusia ini sama sekali tidak memahami karya
sastra sebagai media tanda yang memungkinkan
terjadinya komunikasi, baik karya itu sendri secara
otonom, karya sastra dengan pembaca, karya sastra
dengan semesta, karya sastra dengan pengarangnya
sendiri, maupun. dialog antara pengarang dan
pembaca. Semua yang diabaikan Formalisme Rusia
tersebut menjadi pusat perhatian kaum strukturalisme
Praha. Menurut anggapan faham ini karya sastra
sebagai teks atau naskah adalah tanda yang otonom
dalam proses komunikasi. Ia sama sekali bukan ekspresi
6 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

langsung pengarangnya dan juga bukan cermin jiwa


pembacanya. Jadi, karya sastra dalam kedudukannya
yang otonom dalam proses komunikasi akan hilang
eksistensinya sebagai karya seni. Karya sastra hanyalah
artefak atau benda seni, yang tidak mungkin dipahami
tanpa diberi makna oleh pembacanya (Puji Santosa,
1993:1).
Mengatasi terjadinya kemacetan komunikasi dalam
merebut makna karya sastra ini, maka diciptakan
sebuah acangan semiotik. Dasar dari semiotik ini adalah
tanda sebagai tindak komunikasi (Teeuw, 1982:18).
Berdasarkan pengertian ini maka setiap tanda yang
terdapat dalam karya sastra baik mengenai penanda
maupun petandanya selama masih dapat
memungkinkan terjadinya komunikasi dengan berbagai
pihak terkait, terutama insan susastra, maka dapat
dikategorikan termasuk ancangan semiotik. Bermula
dari bahasa sebagai sistem tanda, maka karya sastra
yang bermediumkan bahasa merupakan sistem semiotik
atau sistem tanda. Pengarang pun ketika
mengekspresikan idenya menggunakan bahasa,
karenanya pengarang pun harus memanfaatkan
semiotik dalam karya sastranya. Jadi, sastra merupakan
sistem tanda tingkat kedua karena menggunakan
bahasa sebagai bahasa dasarnya (Puji Santosa, 1993:2).
Bila sudut pandang ini dapat diterima, maka
semiotik merupakan hasil atau respon terhadap
stagnasi formalisme dan strukturalisme. Namun
demikian, dapat dikatakan bahwa formalisme,
strukturalisme, dan semiotika, masing-masing berakar
pada kondisi yang berbeda sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, seni,
sosial, dan budaya yang menghasilkannya. Keterkaitan
sejarah dan tradisi intelektual antara strukturalisme dan
semiotik kemudian memunculkan anggapan bahwa teori
keduanya menjadi identik, sebagaimana dikatakatan
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 7

Culler, yakni strukturalisme memokuskan kajiannya


pada karya, sedangkan semiotik memokuskannya pada
tanda. Raman Selden menganggap keduanya berada
wilayah kajian yang sama sehingga dapat dioperasikan
secara bersama-sama. Menurut Selden, untuk
menemukan makna terdalam dari sebuah karya harus
dikaji melalui kajian struktural yang dilanjutkan dengan
kajian semiotik. Dengan demikian, masih menurut
Selden, kajian semiotik mengharuskan adanya kajian
struktural. Dalam hubungan ini, proses dan cara kerja
analisis keduanya bagaikan dua sisi mata uang, yang
tidak dapat saling dipisahkan.

B. Pertentangan Filosofis Materialisme dan


Idealisme
Pada dasarnya, wacana semiotik modern pun
dilatarbelakangi oleh pertentangan filosofis, khusunya
yang berkaitan dengan hubungan antara ‘tanda’,
‘makna’, dan ‘realitas’, yaitu antara paham
materialisme dan idealisme (Yasraf, 2002a:2). Paham
materialisme menegaskan bahwa realitas itu otonom—
dari dan untuk dirinya sendiri—yang melingkupi seluruh
realitas, serta mengikuti hukumnya sendiri, tanpa
campur tangan sesuatu yang melampauinya. Menurut
paham ini, makna atau pertandaan sistem komunikasi
diproduksi oleh manusia di dunianya dengan sistem dan
kodenya sendiri, tanpa campur tangan kode-kode
transendental.
Sebaliknya, menurut paham idealisme dalam sistem
penandaan dan komunikasi, makna dari tanda
dikatakan bersifat transenden, yakni melampaui realitas
itu sendiri. Dengan kata lain, paham ini menuntut
adanya satu fondasi atau titik pusat (centre), tempat
bersandarnya suatu sistem tanda. Sifat transenden
dalam pertandaan seperti diyakini oleh paham
idealisme, dikatakan, melekat pada pemikiran semiotik
8 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

Saussure. Hal ini disebabkan pemahamannya bahwa


individu itu tidak lebih dari “pengguna” kode-kode sosial
yang telah tersedia. Pemahaman Saussure ini kemudian
membuatnya tidak tertarik lagi untuk mengkaji bahasa
secara diakronik, yakni dari sudut pandang sejarah dan
perkembangan penggunaan bahasa, melainkan lebih
tertarik pada struktur yang menopang bahasa tersebut
(Yasraf, 2002a:2).
Pemikiran Saussure ini melahirkan lingkaran
intelektual yang sangat berpengaruh dalam jangka
waktu antara tahun 1950-1960. Madzhab pemikirannya
ini kemudian diberi identitas sebagai madzhab
strukutralisme. Sesuai namanya, strukturalisme
berkaitan dengan “penyingkapan struktur berbagai
aspek pemikiran dan tingkah laku”. Strukturalisme
tidaklah berusaha untuk menyoroti mekanisme sebab-
akibat dari suatu fenomena, melainkan tertarik pada
konsep, bahwa satu totalitas yang kompleks dapat
dipahami sebagai satu rangkaian unsur-unsur yang
saling berkaitan. Sebuah unsur hanya dapat dipahami
sebagai satu rangkaian secara total. Fokus utama
strukturalisme terletak pada analisis relasi antar
berbagai unsur, bukan pada hakikat unsur tersebut.
Menurut strukturalisme, ‘makna’ dari setiap unsur, pada
situasi tertentu, tidak dapat diungkapkan di dalam unsur
itu sendiri, melainkan hubungan antara unsur tersebut
dengan unsur-unsur lainnya. Misalnya, kata ayam
seperti yang terlihat pada realitas, ia bukan ‘ayah’,
‘maya’, ‘ayat’, atau ‘azan’.
Pemikiran strukturalisme ini secara singkat dapat
disimpulkan sebagai berikut; 1) strukutralisme tidak
menganggap penting individu sebagai “subjek”
pencipta, dan melihatnya lebih sebagai pengguna kode
yang tersedia; 2) Strukturalisme memberikan perhatian
yang sedikit pada masalah sebab akibat, dan
memusatkan dirinya pada kajian tentang struktur; 3)
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 9

Strukturalisme tidak menganggap penting pertanyaan


tentang sejarah dan perubahan, dan lebih
berkonsentrasi pada jalinan hubungan antara
seperangkat unsur-unsur di dalam satu sistem pada
satu waktu tertentu (Yasraf, 2002:4). Lebih jauh lagi,
langkah-langkah kritik sastra strukturalis adalah sebagai
berikut:
1. Mereka menganalisi prosa naratif, dan merealisasikan
teks pada tataran yang lebih besar berdasarkan
pada struktur, seperti a) Konvensi dari genre sastra
secara partikular, atau b) Jaringan kerja dari koneksi-
koneksi intertekstual, atau c) Model relasi sebuah
struktur naratif yang universal, atau d) Gagasan
naratif dianggap sebagai pengulangan pola yang
kompleks.
2. Mereka menginterpretasikan sastra dalam suatu
tatanan yang berhubungan dengan struktur bahasa
sebagaimana diungkapkan dalam linguistik modern.
Contohnya, mitem (mytheme) dari Levi Strauss,
mendenotasikan sebuah unit terkecil dari pengertian
(sense) naratif yang dianalogikan sebagai morfem,
yang dalam linguistik berarti unit terkecil dari
penngertian (sense) gramatikal.
3. Mereka meletakkan konsep peolaan dan penstrukturan
sistematik pada seluruh wilayah kebudayaah barat,
dan lintas budaya, menganggap kebudayaan
sebagai ‘sistem tanda’; apapun mulai dari mitos
Yunani kuno hingga merk sabun dan bedak (Barry,
1995:49).
Menurut Fages, sebagaimana dikutip oleh Noth
(1995:295), analisis struktural biasanya mengikuti
sebagian atau keseluruhan dari ketujuh kaidah sebagai
berikut:
1. Imanensi. Analisis struktural melihat struktur
dalam rangkan sistem dan dalam perspektif
sinkronis. Jadi, struktur adalah suatu bangun yang
10 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

abstrak yang komponen-komponennya terikat


dalam suatu jaringan relasi, baik di dalam
struktur (secara sintagmatis) maupun ke luar
struktur (secara asosiatif).
2. Petinensi. Analisis struktural melihat makna suatu
komponen struktur denganmengidentifikasi ciri
pembeda di antara komponen tersebut dengan
komponen(-komponen) yang lain dalam rangka
suatu sistem. Akhirnya, ciri pembeda itu sendiri
menjadi lebih dipentingkan daripada
komponennya sendiri.
3. Komutasi. Analisis struktural menggunakan tes
komutasi, yakni tes oposisi pasangan minimal
untuk mengindektifikasi ciri pembeda antar-
komponen dalam suatu sistem.
4. Kompabilitas. Analisis struktural melihat
komponen-komponen struktur dalam rangka
kombinasi dan kesesuaian antarkomponen (relasi
sintagmatis).
5. Integrasi. Analisis struktural melihat struktur
sebagai suatu kesatuan (totalitas) dalam suatu
sistem.
6. Sinkroni sebagai dasar analisis. Analisis diakronis
adalah analisis berdasarkan poros waktu
(memperlihatkan perkembangan), sedangkan
analisis sinkronis adalah analisis pada satu
lapisan waktu dan ruang dalam poros waktu.
Dalam melakukan kajian diakronis, analisis
struktural bertumpu pada lapisan-lapisan analisis
sinkronis.
7. Fungsi. Analisis struktural melihat komponen-
komponen struktur dalam suatu sistem sebagai
memiliki fungsi tertentu (dalam hal bahasa, fungsi
dilihat dalam rangka komunikasi).
Melihat Ferdinand de Saussure yang menggagas
semiologi dan di sisi lain ia dianggap sebagai perintis
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 11

strukturalisme, maka kemudian muncul anggapan


bahwa semiotik tidaklah mungkin dipisahkan dari
strukturalisme. Bagi sebagian kalangan, perbincangan
tentang semiotik harus diletakkan dalam konteks
perkembangan strukturalisme, karena seolah-olah
semiotik lahir sesudah strukturalisme. Hal yang jelas
adalah bahwa lahirnya semiotik, khususnya di Eropa,
tidak dapat dilepaskan dari bayangan strukturalisme
yang mendahuluinya dalam perkembangan ilmu
pengetahuan budaya. Dalam upaya menjelaskan
budaya, teori strukturalisme dapat dipergunakan,
namun itu tidak cukup karena strukturalisme seringkali
tidak dapat menjelaskan beberapa gejala budaya secara
tuntas. Karenanya, semiotik muncul sebagai langkah
selanjutnya. Dengan demikian, kebudayaan tidak hanya
dilihat sebagai struktur, tetapi juga sistem tanda.
Noth (1990:258-386) mengetengahkan bahwa pada
perkembangan strukturalisme, pada tahap tertentu,
berujung di semiotik. Perkembangan dari strukturalisme
ke semiotik terbagi dua, yakni 1) yang sifatnya
melanjutkan sehingga ciri-ciri strukturalisme masih
sangat kental kelihatan (kontinuitas); seperti nampak
dalam konsep-konsep semiotik Roland Barthes (pada
fase awal) (1915-1980), Roman jakobson (1896-1982),
atau Greimas (1917-1992). Sudut pandang kelompok
pertama ini sering dikenal sebagai dikotomis atau diadik
(masih dekat dengan strukturalisme), dan 2) yang
sifatnya mulai meninggalkan sifat-sifat strukturalisme
untuk lebih menonjolkan kebudayaan sebagai sistem
tanda (evolusi). Usaha ini nampak pada pemikiran
Kristeva, Lacan, dan Umberto Eco. Tokoh terakhir
terkenal dengan padangan trikotomis atau triadik (tidak
ada hubungan dengan strukturalisme). Namun, bertolak
dari tujuh kaidah strukturalis (imanensi, pertinensi,
komutasi, kompabilitas, integrasi, sinkroni sebagai
dasar diakronis, dan fungsi), terlihat bahwa para
12 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

semiotikus (semiotician) masih mempertahankan atau


menyinggung analisis struktur.
Pada perkembangannya, sekalipun semiotik diklaim
sebagai salah satu ujung strukturalisme, namun
terdapat perbedaan yang mendasar antara kajian
strukturalisme dan semiotik. Para semiolog melihat
bahwa kajian-kajian strukturalisme bersifat idealistik
serta tertutup dalam strukturnya. Disebut idealistik
karena kognisi manusia merupakan acuan dasar
strukturalisme dalam memahami realitas dunia. De
Saussure sendiri menyatakan bahwa bahasa merupakan
suatu sistem (atau struktur) yang abstrak. Bahasa
berada dalam wilayah kognisi masyarakat serta tidak
mempunyai referensi dengan realitas. Bersifat tertutup
dalam arti bahwa relasi antar-unsur dalam struktur dan
sistem bersifat terbatas. Strukturalisme hanya
mengenai relasi sintagamatik (relasi antara unsur dalam
struktur yang sama atau relasi im presenstia) dan relasi
paradigmatik (relasi antar-unsur dalam satu struktur
dengan unsur di luar struktur atau relasi im absentia).
Adapun semiotik mengusulkan bahwa sistem tanda
mempunyai hubungan erat dengan realitas. Semiolog
seperti Peirce mamandang bahwa pemberian makna
(signifikasi) menjadi penting ketika manusia berhadapan
dengan realitas seperti memberi nama pada benda.
Pada Eco, dunia merupakan opera operta (kaya terbuka)
yang mengundang manusia untuk menafsirkannya,
yakni realitas tidak otonom tetapi dibentuk oleh
manusia.

D. Madzhab dan Pemikiran Semiotik Eropa dan


Amerika Modern
Berbagai teori yang lahir di Eropa dan Amerika
umumnya lahir sebagai sebuah respon atau penajaman
analisis terhadap unsur yang terdapat dalam sistem
komunikasi bahasa, termasuk komunikasi sastra.
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 13

Unsur-unsur itu, minimal, terdiri dari penulis (pengirim),


pembaca (penerima), tulisan (teks; wicara), kode, dan
konteks. Teori-teori yang lahir dalam penajaman analisis
tersebut adalah romantik (dan ekspresionisme),
marxisme, formalisme, strukturalisme, dan orientasi-
pembaca.
Teori-teori romantik (dan ekspresionisme)
menekankan proses kreatif penulis dan kehidupannya.
“Kritik sastra-pembaca” (kritik sastra fenomenologis)
memusatkan diri pada pembaca. Teori-teri formalis
berpusat pada kodrat tulisan secara otonom. Kritik
sastra marxis memandang konteks kemasyarakatan dan
kesejarahan sebagai dasar. Selanjutnya, poetika
strukturalis memberikan penekanan pada kode-kode
yang digunakan untuk menyusun arti. Menurut Raman
Selden (1996:xi), tidak ada satu pun teori-teori itu
mengabaikan dimensi komunikasi sastra yang lain
secara total. Misalnya, dalam kritik sastra Marxis,
penulis, pembaca, dan teks semuanya terangkum dalam
sebuah perspektif kemasyarakatan secara umum.
Namun sebaliknya, tidak ada satupun teori yang benar-
benar memberikan penekanan pada seluruh dimensi
komunkasi sastra tersebut. Apabila semiotik kemudian
ditempatkan sebagai evolusi dari strukturalisme, maka
dalam hal ini fokus kajian utama semiotik adalah kode.
Namun demikian, sekian banyak tokoh semiotik tetap
saja memperhatikan unsur-unsur lain, bahkan sebagian
semiotik bergerak memberi penekanan-penekanan pada
unsur-unsur lain, selain kode.

Konteks
Penulis Tulisan Pembaca
Kode
14 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

Marxis
Formalist Orientasi-
Romatik Pembaca
ik
Struktura
lis

Dalam sejarahnya, banyak tokoh semiotik (atau


mungkin para pencinta semiotik mengelompokkan
tokoh-tokoh tersebut sebagai tokoh semiotik) yang lahir.
Demikian pula dengan madzhab-madzhab semiotik.
Namun dalam konteks madzhab semiotik, jarang
seorang tokoh menyebutkan madzhab yang
dilahirkannya, tetapi kebanyakan orang yang hidup
belakangan (terutama murid-murid, atau penganut
paham seorang tokoh), mengidentikkan pemikiran
seorang tokoh kepada madzhab tertentu. Katakanlah
Ferdinand de Saussure ketika ia mengintrodusir
pemikiran dalam bidang linguistik dan semiologi, ia
tidak memproklamirkan madzhab strukturalisme atau
semiologi-strukturalis. Para murid dan penganut
pemikirannya lah yang menyebutkan bahwa Saussure
merupakan pendiri strukturalisme atau semiologi
struktural. Dalam hal ini tentunya pula, sebagaimana
disebutkan di awal tulisan ini, tipologi madzhab-
madzhab semiotik di bawah ini berdasarkan anggapan
populer tentang identitas seorang tokoh dalam bidang
semiotik; dengan kata lain, apa identitas madzhab
semiotik yang diberikan oleh para penulis sebelumnya,
maka penulis ikuti di sini.
Sebagaimana diklaim banyak orang bahwa terdapat
semacam ‘kubu-kubu’-an dalam semiotik Eropa dan
Amerika. Semiotik Eropa atau dikenal pula sebagai
semiotik kontinental dibangun di atas temuan
intelektual Ferdinand de Sasussure dalam bidang
linguistik. Pandangan semiotik de Saussure
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 15

dikembangkan lebih lanjut oleh Roland Barthe dan


Hjelmslev (seorang strukturalis asal Denmark).
Sedangkan semiotik Amerika atau dikenal pula sebagai
semiotik Anglo Saxon dikembangkan oleh Charles
Sanders Peirce yang berdiri di atas filsafat pragmatisme.
Tentunya seperti diklaim, bahwa perbedaan pijakan
dari de Saussure dan Peirce menyebabkan hasil kajian
keduanya menjadi berbeda.
Di samping penyebutan madzhab semiotik
berdasarkan geografis di atas, masih banyak penamaan
madzhab atau nama aliran semiotik lainnya yang
disandarkan kepada fokus kajian atau konsep yang
dimunculkan oleh tokoh tersebut. Misalnya, Panuti
Sudiman dan Zoest (1922:3-4) menyebutkan adanya
aliran semiotik konotasi yang dipelolpori oleh Roland
Barthes, aliran semiotik ekspansionis yang dipelopori
Julia Kristeva, dan aliran semiotik behavioris yang
dipelopori oleh Charles Moris. Prinsipnya, penamaan ini
dibuat secara berbeda oleh setiap penulis, tergantung
kepada pemahaman dan perspektif para penulis ketika
mengapresiasi karya-karya dari para tokoh semiotik
tersebut. Sekali lagi, nama-nama ini merupakan kerjaan
orang yang hidup belakangan atau orang yang ingin
menyimpelkan saja. Misal, karena Roland Barthes lebih
banyak menganalisis aspek konotatif dari objek-objek
telaahnya, maka secara serampangan saja orang
menyebutnya sebagai tokoh semiotik konotasi.
Demikian pula aliran-aliran lainnya.
Memang terdapat banyak arus utama (madzhab)
pemikiran semiotik semenjak Saussure merancang
bangun semiologi dan Peirce mengkonstruksi semiotik,
namun rata-rata tidak menyebut nama alirannya. Oleh
karena itu, ketika setiap orang memberi ‘label’ kepada
hasil “olah intelektual’ para tokoh tersebut, adalah
menjadi sah dan menjadi hak setiap orang, ya.. demi
kebebasan ekspresi dan reproduksi makna. Tentunya,
16 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

penamaan yang terdapat dalam tulisan ini pun ingin


didudukkan dalam ‘koridor’ tersebut, yakni kebebasan
ekspresi dan repsroduksi makna, namun tentunya tidak
melepaskan alasan ‘rasionalitas’ penamaan. Ada banyak
tokoh dan penamaan semiotik yang ditulis di sini, yiatu
Ferdinand de Saussure (Praha) dengan semiotik
signifikasi, Peirce (Amerika) dengan semiotik
komunikasi, Roman Jakobson (imigran asal Rumania,
menetap di Prancis) dengan semiotik struktural,
Hjemslev (Swedia) dengan Glosematika, Greimas
(imigran asal Lithuania menetap di Prancis) dengan
aktansial-wacana Naratif, Roland Barthes (Prancis)
dengan semiotik transisi dari Strukturalis ke Post-
Strukturalis, Haliday dengan semiotik sosial, Paul
Ricoeur dengan Semiotik Long Road, Jaques Lacan
(Prancis) dengan Psikoanalisis, Jacques Derrida (terlahir
di Aljajair kemudian berimigrasi ke Prancis) dengan
dekonstruksi, Umberto Eco (terlahir di Alexandria, Italia)
dengan Semiotik Model Petofi, Julia Kristeva (imigran
asal Bulgaria menetap di Prancis) dengan semiotik
revolusioner, Todorov (imigran asal Rusia menetap di
Prancis dengan semiotik narasi, dan terakhir Riffaterre
dengan semiotik Superreader. Selain itu, Mohammed
Arkoun ditambahkan di sini sebagai bahan
perbandingan.
Namun demikian, terdapat hal yang perlu dieliminir
bahwa membaca dan memahami berbagai aliran dan
pemikiran semiotik tersebut, biasanya, pembaca
dihadapkan pada pelbagai stream of thought,
meminjam istilah William James, dengan segala
implikasi pemikirannya. Misalnya, ketika pembaca
memahami ‘hubungan antar tanda dan realitas’, maka
pembaca dihadapkan pada dua pendapat bertentangan,
yakni Saussure dan Peirce. Saussure menyatakan
bahwa tanda merupakan akumulasi sistem bahasa yang
berada pada kognisi manusia dan terlepas dari
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 17

realitasnya; sementara Peirce justru menekankan


bahwa ‘hubungan erat antara tanda dengan realitas’ lah
yang memungkinkan dinamisasi eksplorasi tanda.
Contoh lain, de Saussure menyatakan bahwa tidak
diperlukan medium dalam penandaan; sedangkan ahli
semiotik lainnya justru memperkuat keberadaan
medium dalam penandaan; Roland Barthes menyebut
medium tersebut sebagai relasi, Eco menyebutnya
signifikasi, sedangkan Peirce menyebutnya interpretant.
Semiotik Saussure menekankan pada makna denotatif,
tidak bermotif, dan arbiter; sedangkan sifat pemaknaan
pada semiotik lainnya membuat makna tanda yang
bermotif. Keunikan-keunikan yang dipikirkan dan
dikonstruk oleh para ahli semiotik inilah yang ingin
dipotret dalam bagian tulisan selanjutnya.
Madzhab dan pemikiran tokoh semiotik pun oleh
sebagian penulis, sebagaimana dijelaskan Richard
Harland, dapat diposisikan pada tipologi madzhab
strukturalisme dan post-strukturalisme. Tentunya, untuk
kesekian kalinya perlu disebutkan bahwa generalisir
seperti ini hanya ditujukan untuk membuat opini atau
sekedar ingin menyederhanakan pemahaman. Richard
Harland dalam bukunya Superstructuralisme (1987),
secara garis besar membedakan strukturalisme dan
poststrukturalism. Strkturalisme masih bertolak dari
upaya “mengetahui” dan “menemukan” sesuatu dalam
dunia manusia, mencari “objektivitas” dan “kebenaran”
sesuai dengan kaidah ilmu (terutama ilmu alam),
sekalipun sebagain strukturalis sudah menetapkan
bahwa struktur ada pada kognisi manusia sebagai
warga masyarakat (artinya sudah meluas dari sekedar
ilmu alam, seperti diungkapkan Piaget yang melingkupi
ilmu alam, biologi, dan matematika). Objektivitas yang
dimaksud adalah dalam melihat sebuah struktur dalam
suatu gejala sosial budaya ditinjau dari pandangan
manusia. Namun, dalam kepanjangannya, teori
18 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

strukturalis lebih mengutamakan kebudayaan sebagai


objek analisis daripada alam. Kalaupun gejala alam yang
dibicarakan, maka itu ditinjau dalam kerangka
kebudayaan. Analisis tanda pada masa strukturalis ini
masih terikat pada kaidah-kaidah yang mengikat
masyarakat atau interpreter (seperti langue pada
konsep Saussure; atau superstuktur pada konsep
Harland).
Pada kalangan post-strukturalis sikap ini
berkembang menjadi mementingkan tanda dan
pemaknaannya sebagai objek kajian, sehingga tidak lagi
mengutamakan “objektivitas” ilmu, sekalipun konsep
yang menggambarkan adanya “struktur” masih tetap
ada (Beny H. Hoed, 2003:23). Post-strukturalisme yang
dimaksudkan di sini merupakan sebuah wacana
multidispliner dan heterogen yang lahir dari lingkaran
strukturalisme Prancis. Pengaruh yang paling utama
terhadap teori-teori pascastrukturalis adalah seorang
filosof dekonstruksionis Prancis (Jacques derrida) dan
teoritikus kultural (Michael Foucault), selain juga melalui
karya-karya psikoanalisis Jacques Lacan. Pemikiran-
pemikiran pascastrukturalis memberikan dampak yang
besar terhadap kritik sastra di Amerika sejak tahun
1970-an, khususnya terhadap kelompok kritikus yang
bermarkas di universitas Yale atau dikenal dengan
“Dekonstruksionis Yale”. Pentolan utama kelompok ini
antara lain adalah Paul de Man yang pendapat-
pendapatnya banyak sependapat dengan difference-nya
Derrida (Kris Budiman, 1999:90).
Pada periode poststrukturalisme ini, terlihat makin
besarnya kebebasan dalam melihat dan menganalisis
gejala sosial budaya sebagai tanda. Initinya adalah
bahwa segala gejala sosial budaya mempunyai nilainya
melalui kognisi, melalui pikiran manusia yang hidup
berkonvensi sosial. Jadi, yang dicari adalah suatu
superstruktur untuk mendasari teori mereka. Namun,
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 19

pada perkembangan selanjutnya, pencarian semakin


dalam, tidak hanya superstruktur yang mereka cari,
tetapi makna yang diberikan oleh manusia kepada
tanda sebagai gejala sosial budaya dalam kerangka
sebuah superstruktur. Yang dicari adalah sebuah
“struktur utama” yang memayungi struktur-struktur
bawahan.
Foucault, misalnya, berbicara mengenai episteme
yang dasarnya adalah sistem representasi dalam
kehidupan manusia yang mencakup tiga ranah, yakni
bahasa (“kata” mewakili realitas), ekonomi (“uang”
sebagai tanda), dan alam (“flora” dan “fauna” sebagai
tanda yang mewakili alam). Episteme adalah konsep
tentang realitas di tiga ranah itu dan merupakan
semacam superstruktur yang memayungi realitas di tiga
ranah itu. Apa yang dibicarakan adalah episteme dan
bukan realitasnya sendiri. Realitas di sini dilihat dari
kacamata budaya, yakni melalui pandangan manusia
sebagai warga dalam hidup bermasyarakat. Dari kajian
tentang episteme itu, makna yang diberikan oleh
manusia tentang bahasa, ekonomi, dan alam dapat
diperoleh (Beny H. Hoed, 2003:24).
Lacan berusaha membentuk superstruktur dalam
teori psikoanalisisnya. Ia mencari suatu model
pemaknaan atas “bawah sadar” atau “Yang Lain” yang
menurutnya tidak dapat ditemukan kecuali melalui apa
yang ada di dalam penanda sistem “bawah sadar”. Hal
ini karena dalam bahasa “bawah sadar” batas antara
penanda dan petanda sulit ditembus sehingga
pemaknaan harus dilakukan dengan mempelajari
hubungan antarpenanda agar dapat ditafsirkan apa
yang ada dalam tataran petanda “bawah sadar”. Model
seperti ini adalah sebuah superstruktur pula.
20 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

SEMIOLOGI SIGNIFIKASI
FERDINAND DE SAUSSURE

A. Sekedar Mengenalkan
Siapa kenal strukturalisme, seyogyanyalah ia
mengenal Ferdinand de Sauusure, seorang linguist asal
Jenewa. Hal ini karena strukturalisme, sebagai arus
pemikiran paling dominan di kalangan intelektual
mondial, terutama Prancis abad ke-20, kelahirannya
dibidani oleh Saussure, sang arsitek linguistik sinkronik.
Karenanya tidaklah heran jika salah satu ciri utama
strukturalisme terletak pada usaha para intelektualnya
untuk menerapkan model linguistik Saussure dalam
objek-objek studinya.
Sarjana yang punya nama lengkapnya Mongin-
Ferdinand de Saussure ini lahir di Jenewa pada 26
November 1857 dari keluarga Protestan Prancis
(Huguenot) yang beremigrasi dari daerah Lorraine
ketika perang agama pada akhir abad ke-16. Talentanya
dalam bidang linguistik sudah nampak sejak kecil. Pada
umur 15 tahun, ia menulis karangan “Essay sur
Langues” dan pada 1874 ia mulai belajar Sansakerta.
Mula-mula ia—sesuai dengan tradisi keluarga-- belajar
ilmu kimia dan fisika di Universitas Jenewa. Kemudian ia
belajar linguistik di Leipzig (1876-1878) dan di Berlin
(1878-1879). Talentanya dalam kajian linguistik semakin
menonjol ketika ia belajar kepada dua tokoh besar
linguistik waktu itu, yaitu Brugmann dan Hübschmann.
Selain itu, ia juga terobsesi dengan karya ahli linguistik
Amerika, William Dwight Whitney, pengarang The Laife
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 21

and Growth of Language: An Outline of Linguistic


Science (1875), yang sangat mempengaruhi teori
linguistiknya kelak. Ia mendapat gelar doktor summa
cum laude dari Universitas Leipzig pada 1880 dengan
disertasi De l’emploi du genitif absolu en sanscrit.
Dua tahun sebelum memperoleh gelar doktor, yaitu
pada 1878, Saussure telah membuktikan
kecemerlangan dirinya sebagai linguist historis dengan
meluncurkan karya Memoire sur le systeme primitif des
voyeles dans les langues Indo-europeennes (Catatan
tentang sistem vokal purba dalam bahasa-bahasa Indo-
Eropa). Karya ini merupakan masterpiece pertama
Saussure yang telah mempopulerkan dirinya sebagai
salah seorang linguist handal di kelompok
Junggrammatiker. Karya ini berisi penerapan metode
rekonstruksi-internal guna menjelaskan hubungan
ablaut dalam bahasa-bahasa Eropa. Saussure
menformulasikan analisis fonologis atas pola-pola
morfologis. Hipotesis Saussure ini dikuatkan
kebenarannya ketika bahasa Hatti ditemukan oleh
sarjana Polandia J. Kurylowicz pada 1927.
Setelah meraih gelar doktor, Saussure mengajar
bahasa Sansakerta, Gotik, Jerman Tinggi, serta linguistik
komparatif Indo-Eropa di Ecole Pratique des Hautes
Etudes Universitas Paris hingga 1891. Setelah itu, ia
pindah dan mengajar di Jenewa. Di Jenewa-lah ia
memperoleh gelar professor dalam bidang linguistik dan
mendirikan Madzhab Jenewa. Di antara para linguist
sezaman yang dikenalnya adalah Baudouin de Courtnay
dan Kruszewski; keduanya dikenal sebagai pelopor teori
fonologi. Sedangkan di antara murid-muridnya terdapat
linguist terkenal seperti Meillet dan Grammont.
Saussure telah berjasa besar memberikan
sumbangan bagi linguistik historis, namun ia lebih
dikenal karena sumbangannya dalam linguistik umum.
Ia menjadi sangat populer karena sebuah buku yang
22 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

tidak pernah ditulisnya. Buku tersebut merupakan


kumpulan tiga seri kuliahnya tentang linguistik umum
yang dikumpulkan oleh murid-muridnya, yaitu Ch. Bally,
A. Sechehaye, dan A. Riedlinger. Ketiganya menerbitkan
versi masing-masing. Kumpulan kuliah itu diberi judul
Cours de Linguistique Generale terbit pada tahun 1916.
Buku ini seringkali dianggap sebagai magnum opus
Saussure yang mengantarkannya sebagai peletak dasar
linguistik modern dan lebih jauh jauh dianggap sebagai
peletak dasar strukturalisme.
Namun, karena ketiga murid Saussure tersebut
menulis buku dengan versi yang berbeda, menurut
Harimukti Kridalaksana, maka wajar apabila dalam
masing-masing edisi buku tersebut terdapat kelemahan;
di antaranya a). sistematika, urutan logis, dan
argumentasi penyajiannya mungkin tidak seperti yang
dibuat Saussure; b) pembahasan tentang tanda bahasa
tidak setuntas dalam catatan kuliahnya; c) uraian
tentang bunyi bahasa tidak secermat yang disangka
dilakukan Saussure. Oleh karena itu, kemudian muncul
beberapa sejumlah eksegesis buku Cours de
Linguistique Generale seperti dilakukan oleh R. Godel
(1957) dan R. Engler (1967).
Dalam konteks sejarah linguistik, pendekatan
Saussure tentang bahasa merupakan sistensis dari dua
pandangan mainstream, yaitu padangan ‘rasional’
tentang bahasa dan pendekatan linguistik historis abad
ke-19. Pandangan ‘rasional’ tentang bahasa diusulkan
oleh Lancelot pada tahun 1660 dan Arnaud dalam
Grammaire de Port Royal. Pandangan ini mengusulkan
bahwa bahasa merupakan cerminan pikiran sehingga
terdapat keterkaitan yang erat antara konstruk pikiran
dengan obyek yang dinamakan. Konsep ini berlaku
universal.
Pendekatan linguistik historis abad ke19
berpandangan bahwa sejarah sauatu bahasa dapat
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 23

menjelaskan situasi ragam bahasa pada saat yang


sama. Neogrammarian karya Franz Bopp merupakan
representasi pendekatan ini. Bopp mengatakan bahwa
struktur bahasa Sansakerta sebagai bahasa suci India
kuno dapat memberikan keterkaitan hubungan dengan
bahasa lain. Bahasa-bahasa di dunia ketika dikaji dalam
konteks pendahulunya dengan cara mundur ke
belakang akan mendekatkan dengan penyatuan sejarah
dan bahasa. Sebenarnya, pendekatan historis ini,
terutama ketika ia tergabung dalam Junggrammatiker,
yang telah mempopulerkan nama de Saussure pertama
kali. Namun ketidakpuasan de Saussure kepada kedua
mainstrem yang ada di dunia linguistik saat itu, telah
mengantarkannya untuk melakukan inovasi dalam
linguistik. Untuk itulah ia mencanangkan semiologi
sebagai induk baru kajian linguistik dan budaya, sebagai
pengganti filsafat.
Dalam linguistik, sebenarnya pendekatan rasional
dan linguistik historis (terutama, sinkronik) mempunyai
keterkaitan khusus. Bahasa dipahami sebagai proses
penamaan—melabelkan nama pada realitas. Jika nama
suatu benda atau verba dikaitkan dengan gagasan
pemikiran tertentu maka perspektif ini dapat ditarik
mundur kebelakang dengan cara melihat rangkaian
historis dari bahasa-bahasa lain yang mempengaruhinya
sehingga penamaan mempunyai kesatuan dengan
nama dan penamaan pada bahasa lain. Saussure
menyebutkan konteks bahasa ini sebagai nomenklatur
(penamaan), sekumpulan nama bagi obyek dan
gagasan.
Semenjak Saussure, kajian tentang struktur menjadi
trend di Prancis, terutama dalam kajian bahasa.
Selebihnya, Jean Piaget, seorang guru besar psikologi di
Universitas Jenewa, Swiss, melalui Structuralism (1971)
menjadi corong yang fasih tentang pengarus-utamaan
strukturalisme di Eropa. Melalui buku tersebut, Jean
24 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

Peaget menunjukkan bahwa strukturalisme tidak hanya


berkembang di wilayah linguistik tetapi mengintervensi
bidang sastra, sejarah, aristektur, psikologi, biologi,
fisika, botani, ekonomi, bahkan manajemen. Metode
strukturalisme menjadi kajian multidisipliner
sebagaimana dikembangkan oleh Levi-Strauss dalam
etnologi, Jacques Lacan dalam psikoanalisis, Louis
Althusser di Sosiologi, L.S. Vgotsky dalam psikologi, dan
Guenther Schiwy dalam bidang agama.
B. Semiologi Ferdinand de Saussure
Strukturalisme Saussure merupakan sebuah aliran
pemikiran yang memandang dunia sebagai realitas
berstruktur dan menstruktur. Kemudian bagian
terpenting suatu struktur adalah adanya hubungan satu
sama lain antar sub-sub dalam struktur maupun di luar
struktur. Hubungan-hubungan fungsional antar sub-sub
struktur inilah yang kemudian membentuk sistem. Maka
untuk meneliti keabsahannya adalah dengan menguji
bagian-bagian di dalam hubungan terhadap perbedaan,
pertukaran, dan pergantian.
Sebagai sebuah struktur, bahasa selalu tersusun
dengan cara tertentu karena ia merupakan suatu sistem
(atau struktur) di mana setiap struktur yang menjadi
bagiannya menjadi tidak bermakna jika dilepaskan dari
struktur yang lain. Dengan demikian, bahasa tidak
ditentukan oleh nilai intrinsiknya melainkan oleh
hubungan diferensial antara struktur yang terkait.
Menurut Saussure, bahasa tertentu tidak diikat oleh
kata dan benda melainkan oleh hubungan antar-struktur
yang membentuk totalitas dari bahasa tersebut.
Misalnya, bahasa Arab atau Inggris, secara keseluruhan
mempunyai nilai unggul ketika dibandingkan dengan
bahasa lainnya. Strukturnya lebih lengkap dan
sistematis dibanding bahasa lain, kosa katanya lebih
lengkap dibanding bahasa lain, dan stratifikasi sosialnya
lebih lunak dibanding dengan bahasa lainnya.
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 25

Dalam kaitan dengan bahasa pula, Saussure


menginginkan otonomi relatif bahasa dalam kaitannya
dengan realitas yang membedakannya dengan
pandangan sebelumnya. Ia menekankan bahwa suatu
tanda bahasa ‘bermakna’, bukan karena referensinya
dengan realitas. Yang ingin ditandakan dalam tanda
bahasa bukan benda, melainkan konsep tentang tanda.
Bagi Saussure, setiap tanda memiliki objek sebagai
acuannya (referensi). Keberadaan objek tersebut tidak
niscaya bersifat fisik, melainkan mungkin saja hanya
berupa buah pikiran tertentu, suatu sosok dalam mimpi,
atau mungkin makhluk imajiner. Dengan demikian
bahasa tidaklah berhubungan dengan realitas. Realitas
benda-benda bukanlah bahasa karena bahasa adalah
tanda atau simbol. Individu bebas menyebutkan kata
‘pesawat terbang’, plane, atau ‘avion’ tanpa harus
merujuk pada realitas bendanya. Dengan kata lain
akumulasi bahasa merupakan konvensi masyarakat
sebagai pengguna bahasa tentang konstruksi
pemikirannya. Dengan demikian, bagi Saussure, kata-
kata memperoleh maknanya dari struktur paradigmatik,
yakni hubungannya dengan tanda-tanda lain yang
terdapat di dalam bahasa, sehingga sifat referensi
menjadi arbitrer, sesaat, dan --dalam beberapa kasus—
berada di luar ruang lingkup kajian semiotik.
Untuk sampai ke dalam hubungan sistemik dalam
struktur, Saussure memperkenalkan sejumlah distingsi
yang memainkan peran penting dalam semiologinya,
yaitu langage-langue-parole, signifier-sigfied, sikronik-
diakronik, dan sintagma-paradigma. Dengan sejumlah
distingsi tersebut, Saussure ingin menjelaskan bahwa
bahasa pada dasarnya merupakan suatu sistem yang
saling berkait satu sama lain. Pengertian bahasa
sebagai suatu sistem inilah yang menjadi landasan atau
dasar bagi pengertian struktur. Pemakaian kata struktur
dalam strukturalisme adalah senantiasa disertai oleh
26 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

seluruh konteks distingsi-distingsi di atas. Dalam kaitan


dengan hal tersebut, Barthes mengemukakan bahwa
untuk menjelaskan perbedaan strukturalisme dengan
aliran pemikiran lainnya, pastilah harus kembali kepada
distingsi-distingsi yang diperkenalkan Saussure.

1. Distingsi Sinkronik dan Diakronik


Dalam abad ke-19, para junggrammatiker
berpandangan bahwa satu satunya cara ilmiah
mempelajari bahasa adalah melalui pendekatan historis
atau diakronis (diachronous), yakni dengan melihat
perkembangan bahasa dari masa ke masa. Pendekatan
ini merupakan pendekatan yang populer terutama di
kalangan para antropolog bahasa. Sekalipun Saussure
terdidik dalam paradigma historis di Leipzig dan Berlin,
namun ia senantiasa merasakan ketidakpuasan
terhadap penelitian bahasa yang dilakukan secara
historis (diakronik) ini. Menurut Harimurti Kridalaksana
(1996:5), Ketidakpuasan itu memuncak ketika ia
mempelajari buku Emile Durkheim (1858-1917) yang
bertajuk Des Regles de la Methode Sosiologiques
(1855). Kebetulan, saat Saussure masih mengajar di
Paris, teori Durkheim sedang naik daun.
Beberapa pemikiran Durkheim memberikan stimulus
kepada Saussure dalam penyelidikan bahasa. Bahasa
dapat dianggap sebagai organisme (benda) terlepas
dari pemakaian penuturnya sekarang, karena mayoritas
unsur bahasa bersifat turun temurun. Dengan demikian,
bahasa merupakan fakta sosial karena meliputi suatu
masyarakat, yang mengikat dan membatasi individu
dalam masyarakat bahasa. Oleh karena itu, bahasa
dalam taraf tertentu merupakan kesadaran kolektif yang
sangat sedikit memberi ruang bagi individu untuk
berkreasi. Bahasa sebagai fakta sosial berada lepas dari
perkembangan historisnya; bahasa yang ada sekarang
secara kualitatif berbeda dengan bahasa sebelumnya
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 27

karena memperoleh unsur baru dan kehilangan unsur


lain. Bahasa sebagai fakta sosial dapat dipelajari secara
tepat terpisah dari perilaku penuturnya. Dengan kata
lain, bahasa dapat dipelajari secara sinkronik
(syncrhronic) dalam pengertian hubungan di antara
unsur dalam satu ‘wadah waktu yang abadi’ (Saussure,
1989:13-14). Penelitian diakronis berarti mengkaji
bahasa dalam perkembangan sejarah dari waktu ke
waktu, studi tentang evolusi bahasa, studi mengenai
elemen-elemen individual pada waktu berbeda,
sedangkan penelitian sinkronis berarti mengkaji bahasa
pada masa tertentu, hubungan elemen-elemen bahasa
yang saling berdampingan. Perbedaan di antara
keduanya sebanding dengan pemotongan kayu.
Diakronis seperti memotong kayu secara memanjang,
sedangkan sinkronik apabila memotong secara
melintang sehingga akan tampak hubungan antarserat
kayu.
Menurut Harimurti Kridalaksana (1996:5), dua di
antara pemikiran Emile Durkheim yang mempengaruhi
pemikiran Saussure adalah (a) penyelidikan sosiologi
yang bersifat sinkronik dan (b) dikotomi kesadaran
kolektif dan kesadaran individu dalam budaya. Emile
Durkheim mengemukakan bahwa masyarakat pantas
diteliti secara ilmiah karena interaksi anggota-
anggotanya menimbulkan adat istiadat, tradisi, dan
kiadah perilaku yang seluruhnya membentuk kumpulan
data mandiri. Fenomena yang disebutnya sebagai fakta
sosial tersebut dapat diteliti secara ilmiah, sebagaimana
penyelidikan fisika dan kimia terhadap objek benda.
Sekalipun fakta sosial itu terlahir di dalam dan mengatur
budi manusia, fenomena itu ada di luar individu.
Fenomena itu, mayoritas bukan ciptaan individu itu,
melainkan telah ada sebagai warisan budayanya.
Karenanya, fenomena itu ada di luar kehendak si
individu, mengendalikan impuls-impuls dasar dari
28 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

jiwanya dan mengatur perilakunya agar sesuai dengan


standard masyarakat. Atas dasar itu, Durkheim
membedakan kesadaran kolektif dan kesadaran
individu.
Pengaruh pemikiran pertama nampak dalam
komitmen Saussure untuk menerapkan penyelidikan
sinkronik dalam linguistik. Ia berkesimpulan bahwa
kajian mengenai bahasa dapat bersifat ilmiah tanpa
harus kembali ke sejarah. Ia berpendapat bahwa
beberapa aspek bahasa dapat dipahami dengan
mempelajari sejarah bahasa, tetapi ada fakta-fakta lain
yang hanya dapat diperoleh bila dipandang secara
sinkronis. Untuk menjelaskan kedua sudut pandang itu,
ia mengilustrasikan perbedaan batang pohon yang
dipotong secara horisontal dan yang dipotong secara
vertikal, seperti disebutkan di atas. Pengaruh pemikiran
kedua Durkheim nampak dalam penjelasan Saussure
mengenai langage, langue dan parole. Nampaknya,
Saussure mengasosiasikan langage dengan budaya,
langue dengan kesadaran kolektif, dan parole dengan
kesadaran individu.

2. Distingsi Langage, Langue, dan Parole


Dalam suratnya kepada Antoine Meillet, salah satu
muridnya, pada tahun 1894, Saussure mengeluh bahwa
hingga saat itu linguistik tidak pernah berusaha
menentukan hakekat objek yang diselidikinya. Padahal
tanpa operasi yang elementer seperti itu, suatu ilmu
tidak dapat mengembangkan metode yang tepat. Dari
keresahan itu, terformulasinya pertanyaan dihadapan
Saussure, yaitu “Apa wujud objek otentik dan konkret
bagi linguistik?” dan “Apakah hubungan antara kata
dan benda?” Untuk menjawab permasalah tersebut,
Saussure mengemukakan suatu perbedaan antara
langue dan parole dalam langage. Saussure
memaksudkan langage sebagai fenomena bahasa
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 29

secara umum, artinya langage memiliki segi sosial dan


segi individual. Karenanya, dalam langage harus
dibedakan antara langue (segi sosial) dan parole (segi
individual).
Menurut Saussure (1990:75), langue merupakan
produk masyarakat dari langage yang berisi himpunan
konvensi seluruh masyarakat. Langue juga merupakan
suatu benda tertentu di dalam kumpulan heteroklit
peristiwa-peristiwa langage. Langue berisi sistem kode
yang diketahui oleh semua anggota masyarakat
pemakai bahasa tersebut telah disepakati bersama di
masa lalu oleh pemakai bahasa. Langue bersumber dari
keseluruhan kebiasaan yang diperoleh secara pasif yang
diajarkan oleh masyarakat bahasa, yang memungkinkan
para penutur saling memahami dan menghasilkan
unsur-unsur yang dipahami dalam masyarakat. Oleh
karena itu, menurut Saussure, langue merupakan fakta
sosial, seperti halnya bahasa nasional merupakan fakta
sosial. Dapat dikatakan bahwa langue adalah
setengahnya dari langage, meupakan suatu institusional
sekaligus juga sebagai sistem nilai. Sebagai sistem
sosial, langue bukan tindakan dan tidak direncanakan
sendiri individu tidak dapat membuatnya dan
mengubahnya. Ia harus berdasarkan suatu kesepakatan
bersama atau konvensi. Jadi dalam kehidupan sosial
orang harus mengikuti konvensi tersebut dan konvensi
itu bersifat otonom yaitu orang tidak dapat
menggunakannya kecuali telah mempelajarinya terlebih
dahulu.
Yang dimaksud parole adalah manifestasi atau
penggunaan bahasa secara individual atau tindakan
individual, namun bukan semata-mata sebentuk kreasi-
otonom. Dengan kata lain parole adalah keseluruhan
apa yang diujarkan orang, termasuk konstruk-konstruk
individu yang muncul dari pilihan penutur, atau
pengucapan-pengucapan yang diperlukan untuk
30 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

menghasilkan konstrukasi-konstruksi ini berdasarkan


pilihan bebas. Penutur seolah-olah memilih unsur
tertentu dari kamus umum tersebut. Menurut Saussure,
parole itu bukan merupakan fakta sosial, karena
seluruhnya merupakan hasil individu yang sadar.
Jika seorang Indonesia mendengar ucapan (parole)
dari masyarakat lain yang tidak dikenal bahasanya,
maka ia hanya mendengar bunyi, bukan fakta sosial dari
bahasa. Ia tidak dapat menghubungkan bunyi-bunyi itu
dengan fakta-fakta sosial yang oleh masyarakat bahas
itu dengan bunyi-bunyi itu. Dengan demikian, pertama-
tama, parole dapat dipandang sebagai kombinasi
tindakan individual terseleksi dan terakulturasi yang
memungkinkan subjek (penutur) sanggup menggunakan
kode bahasa untuk mengungkapkan pemikirannya. Lalu
parole juga dapat ditempatkan sebagai mekanisme
psiko-fisik yang memungkin menampilkan kombinasi-
kombinasi tadi. Aspek kombinatif ini mengimplikasikan
bahwa parole tersusun dari tanda-tanda yang identik
dan senantiasa berulang. Karena adanya keberulangan
inilah, setiap tanda dapat menjadi elemen langue.
Bila seorang Inodesia mendengar ucapan (parole)
dalam masyarakat yang dikenal bahasanya, maka ia
menghubungkan bunyi-bunyi itu dengan fakta-fakta
sosial menurut seperangkat kaidah. Kaidah-kaidah ini
lazimnya disebut tata bahasa (grammar) dan
merupakan hasil konvensi serta ditransfer secara
kontinyu dan simultan melalui pengajaran. Kaidah-
kaidah ini bersifat universal meliputi dan mengikat
seluruh masyarakat bahasa, sehingga individu
(pengguna bahasa) tidak diberi pilihan lain dalam
mengaitkan bunyi dengan fakta sosial untuk
berkomunikasi. Kaidah-kaidah inilah yang dimaksudkan
oleh Saussure sebagai langue. Jika langue merupakan
produk yang direkam individu secara pasif dan bukan
merupakan abstraksi, maka parole merupakan kegiatan
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 31

aktif individu untuk mengungkapkan gagasannya.

Pengungkapan tidak pernah dilakukan secara massal;


pengungkapan selalu individual, dan individu selalu
menjadi tuan pengungkapannya sendiri. Kita akan
menyebutnya parole. Sedangkan langue bukanlah
kegiatan penutur, melainkan langue merupakan produk
yang direkam individu secara pasif. Langue tidak pernah
mengasumsikan kegiatan premeditasi, dan penalaran
hanya turut dalam kegiatan klasifikasi. Parole sebaliknya
adalah satu tindak individual dari kemauan dan
kecerdasan dan dalam tindak ini perlu dibedakan: 1)
kombinasi-kombinasi kode bahasa yang dipergunakan
penutur untuk mengungkapkan gagasan-gagasan
pribadinya; 2) mekanisme psiko-fisik yang memungkinkan
dia mengungkapkan kombinasi-kombinasi tersebut
(Saussure, 1990:80).

Dengan demikian, langage merupakan gabungan


dari langue dan parole. Langage memiliki makna
sepenuhnya kecuali dengan parole dialektik yang
menghubungkannya satu sama lain. Jadi kedua unsur di
atas bagaikan dua sisi mata uang yang satu sama
lainnya sangat bergantung. Tidak ada langue tanpa
parole dan tidak ada parole yang berada diluar langue
dan dengan hubungan inilah terletak aktivitas linguistik.
Langue dan parole ini beroposisi tapi sekaligus
bergantung. Ini tidak berarti tidak ada yang lebih utama
antara keduanya. Di satu pihak , sistem yang berlaku
dalam langue adalah hasil dari kegiatan parole; di lain
pihak pengungkapan parole serta pemahamannya
hanya mungkin berdasarkan penelusuran langue
sebagai sebuah sistem. Dikotomi ini, secara simplistis,
menimbulkan dua model bahasa, yaitu 1) bahasa
sebagai sebuah sistem (langue), dan 2) bahasa
sebagaimana dipraktekkan oleh penutur (parole).
Sebagai sebuah totalitas struktur, maka bahasa tertata
dengan cara tertentu, sehingga individu, yang menjadi
32 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

bagian dari bahasa, menjadi tidak bermakna


(meaningless) keberadaannya, jika dilepaskan dari
struktur tersebut.
Contoh terkenal yang diberikan Saussure untuk
menjelaskan langue sebagai sistem ini adalah sebuah
permainan catur. Pelaksanaan permainan catur
ditetapkan oleh “aturan-aturan” seperti cara
menjalankan “kuda” (mengikuti huruf L), “raja”
(selangkah-selangkah ke segala arah, kecuali
“diagonal”) atau “ratu” (dapat berjalan dengan langkah
tak terbatas ke segala arah, kecuali “diagonal”). Setiap
pemain catur dipedomani oleh langue (tata aturan
abstrak) permainan catur untuk diwujudkan dalam
parole (praktik) permainan catur. Aturan-aturan
(langue) itu disepakati bersama oleh para pemain catur.
Menurut Saussure yang paling penting dalam permainan
catur adalah aturan-aturannya. Jadi hubungan antara
unsur yang satu dengan unsur lainnya serta fungsi dari
setiap unsur (raja, bidak, dll). Permainan itu sama
dengan langage. Bagi setiap pemain tersedia
seperangkat unsur dan aturan-aturan yang mengatur
hubungan antar unsur. Setiap pemain terikat pada
aturan permainan tersebut, namun si pemain dapat
menentukan sendiri kapan ia mau memainkan unsur
(anak catur) yang ditentukannya sendiri dan bagaimana
ia memainkannya. Itu semua merupakan tindakan
bebas si pemain sendiri, sama halnya dengan parole
sebagai penggunaan langue secara individual. Dengan
begitu dapat dikatakan bahwa menurut Saussure,
sebuah unsur bahasa baru mempunyai arti setelah
pengguna bahasa menentukan nilainya dalam sistem
bahasa bersangkutan dengan menyebutkan
pertentangan dengan unsur-unsur lainnya. Arti sebuah
unsur bahasa ditentukan oleh sejauh mana unsur itu
membedakan diri dengan unsur lainnya dalam sistem
yang sama.
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 33

Secara keseluruhan, menurut Saussure, langue lah


yang dapat dijadikan objek kajian linguistik, karena ia
bersifat permanen, stabil (setidaknya dalam jangka
waktu tertentu), dan konkret karena merupakan
seperangkat tanda bahasa yang disepakati secara
kolektif. Langue bukan merupakan fakta fisik, tetapi
sepadan dengan fakta sosial karena mengandung pola-
pola di belakang ujaran-ujaran pada penutur.
Sedangkan parole tidak dapat diselidiki karena bersifat
heterogen dan tidak mungkin digambarkan secara
terinci karena ucapan kata yang terkecil sekalipun
melibatkan gerak otot yang tidak terhitung jumlahnya
yang sulit sekali dikenali dan ditandai dengan tulisan.
Menurut Saussure, sekalipun langue memiliki
determinasi terhadap parole, namun sebagai sistem
total konvensi bahasa. Dari sisi individu manapun yang
menggunakannya, sistem tersbut telah tersedia—
pengguna bahasa tidak menciptakan konvensi ini,
sehingga walaupun yang menggunakan bahasa
tersebut beraneka ragam gaya, pilihan, dan kombinasi
katanya, hal ini tidak akan mempengaruhi kemapanan
sistem tadi.
Ambil contoh lain, yaitu gedung. Tentu di sini dapat
dibedakan sistem langage, langue, dan parole yang
berbeda sesuai dengan realitas yang digunakan dalam
komunikasi. Dalam bangunan yang tertulis atau
rancangan yang digambarkan oleh seorang arsitek
dengan bantuan bahasa yang diucapkan dapat
dikatakan di sini parole tidak ada. Rancangan yang
digambarkan tidak pernah sesuai dengan aturan-aturan
yang pembangunan, itu merupakan suatu ketentuan
sistem tanda dan aturan atau dengan kata lain adalah
langue dalam keadaan yng murni. Langue dalam
pembangunan gedung terdiri dari: 1) Oposisi
pembangunan ukuran-ukuran, unsur-unsur yang rinci
yang variasinya menimbulkan perubahan makna
34 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

(memakai cerobong asap, dll). 2) Aturan-aturan yang


mendahului penguraian satuan-satuan pembangunan
gedung. Sedangkan, parole mencakup semua fakta
produksi yang sudah mengikuti aturan, atau cara
penggunaan gedung tersebut (ukuran gedung, tingkat
pemeliharaan dsb). Dialektika di sini menghubungkan
bangunan (langue) dan penggunaaan gedung (parole).
Misal lain lagi adalah tentang ‘makanan’. Langue
‘makanan’ terbentuk dari, 1) Aturan-aturan yang
mengucilkan (larangan memakan suatu macam
makanan); 2) Oposisi (misalnya: oposisi antara rasa asin
dan manis); 3) Aturan-aturan dan asosiasi makanan baik
yang bersamaan (gabungan dalam suatu
hidangan/menu); atau 4) Protokol penggunaan makanan
yang mungkin berperan sebagai suatu retorika umum.
Adapun parolenya adalah terdiri dari semua variasi
pribadi atau keluarga dalam menghidangkan dan dalam
asosiasi (tetap dapur keluarga yang mempunyai
kebiasaan-kebiasaan tertentu sebagai idiolek).
Perbedaan antara langue dan parole dalam bahasa
ini mempunyai pengaruh yang sangat penting terhadap
disiplin keilmuan lain selain semiotik. Hal ini karena
pada hakekatnya distingsi ini menggambarkan
hubungan antara sebuah ‘institusi’ dan ‘ peristiwa’ yang
dimungkinkan oleh adanya institusi ini; antara sistem
yang menopang, dan tingkah laku aktual yang
dimungkinkannya. Menurut Jonathan Culler,
sebagaimana dikutip Yasraf (2002:3), melalui model
bahasa ini, segala praktek sosial dapat dianggap
sebagai satu sistem pertukaran tanda dan makna di
antara subyek-subyek yang terlibat, yang bersandar
pada kode sosial yang telah melembaga. Istilah ‘kode’
ini sendiri dapat dijelaskan sebagai seperangkat aturan
atau konvensi yang disepakati bersama dalam
pengkombinasian tanda-tanda untuk memungkinkan
disampaikannya pesan.
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 35

Claude Levi Strauss, misalnya, melihat tingkah laku


kultural, upacara, ritus, hubungan kekerabatan, serta
cara memasak dan menghidangkan masakan, tidak
sebagai satu fenomena sosial yang berdiri sendiri dan
bersifat intrinsik, melainkan dapat dipandang sebagai
suatu sistem pertandaan dan pemaknaan, yang
bersandar pada kode sosial tertentu. Hubungan
kekerabatan, misalnya, diatur oleh seperangkat kode
sosial, yang berkaitan misalnya dengan kode siapa yang
boleh atau tidak boleh mengawini siapa di dalam satu
masyarakat. Perkawinan menandai posisi seseorang
dalam satu masyarakat, dengan demikian ia juga
merupakan ‘tanda’ (Hawkes, 1979:34; Leach, 1976:44).
Demikian pula, Roland Barthes melihat fenomena
kultural seperti fashion, furniture, periklanan, media
massa, dan arsitektur sebagai satu sistem tanda, yang
dapat menandai posisi sosial tertentu bagi orang yang
menggunakannya. Pakaian, misalnya, lewat bentuk,
warna, bahan, dan motifnya dapat mengkomunikasikan
kepada masyarakat tentang makna-makna status, kelas
sosial, ideologi, atau kepercayaan pemakainya (Roland
Barthes, 1967:109.
3. Distingsi Signifier dan Signified
Bentuk determinasi oposisi biner seperti di atas
masih dijumpai pada pemikiran tentang distingsi
signifier dan signified, yang pada gilirannya sangat
mempengaruhi pemikiran aliran semiotik strukturalis
secara keseluruhan. Distingsi bentuk ini adalah tanda
yang oleh Saussure diletakkan dalam konteks manusia
dengan pemilahan antara signifier (signifiant atau
penanda) dan signified (signifie atau petanda). Signifier
berkaitan dengan aspek sensoris dari tanda-tanda, yang
dalam bahasa lisan mengambil bentuk sebagai citra
bunyi atau citra akustik (sound image) atau kesan
mental dari sesuatu yang bersifat verbal atau visual,
seperti tulisan, suara, atau benda. Substansi signifier
36 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

senantiasa bersifat material, yakni bunyi-bunyi, objek-


objek, imaji-imaji, dan sebagainya. Hakikat signifier
adalah murni sebagai sebuah relatum yang
pembatasannya tidak mungkin dilepaskan dari signified.
Kosep signified (signifie atau petanda) merupakan
aspek abstrak atau aspek mental atau makna yang
dihasilkan oleh tanda. Signified (petanda) juga seringkali
diidentikan dengan konsep. Term Signified bukanlah
“sesuatu yang diacu oleh tanda” (referen), melainkan
sebuah representasi mental dari “apa yang diacu”.
Pengertian signified seperti ini seringkali dianggap
terlalu kaku dan metalistik oleh Roland Barthes dan ahli
semiologi setelah Saussure lainnya. Namun demikian,
pengertian tentang signified dari Saussure tetap
bermanfaat sebagai suatu cara untuk menganalisis
makna tanda tanpa dirancukan dengan referensi.
Signifier dan signified ini berelasi dalam sebuah ikatan
yang disebut signification (pertandaan) atau hubungan
antara penanda dan petanda, yaitu cara tertentu
sebuah citraan mental berhubungan dengan sebuh
makna. Keterkaitan kedua unsur tersebut seperti dua
sisi (atas-bawah) selembar kertas.

Tanda bahasa menyatukan, bukan hal nama, melainkan


konsep dengan gambaran akustis. Yang terakhir ini
bukannya bunyi materiil sesuatu yang murni fisik
melainkan kesan psikis yang ditinggalkan bunyi tersebut,
pengungkapan yang diberikan kepada kita oleh kesaksian
indera kita pada bunyi tersebut; ia bersifat sensoral dan
kalau kita terpaksa menyebutnya materil, itu hanyalah
dengan makna di atas dan berbeda dengan istilah lain
dalam asosiasi, yaitu konsep yang pada umumnya
anstrak. Jadi lambang bahasa adalah satuan psikis yang
bermuka dua. Kedua unsur itu bersatu dan saling memicu
(Saussure, 1990:148).
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 37

Signifie Arbor Sound image


r (pohon (penanda)
Sign tand )
a Konsep
(petanda)

Signifie
d Ç
Menurut Saussure hubungan antara penanda dan
petanda itu bersifat semena (arbiter), artinya tidak ada
kaitan ilmiah antara petanda dan penanda. Kerabitreran
hubungan penanda dan petanda berlangsung pada
awalnya, namun kemudian menjadi permanen (stabil)
ketika terjadi konvensi. Hanya kesepakatan atau
konvensi sosial sajalah yang mengatur. Dalam contoh di
atas, kata ‘arbor’ atau ‘pohon’ tidak merujuk pada
‘pohon yang ada di mana pun’. Kata ‘arbor’ itu hanya
merupakan sound image (bunyi). Ketika sesorang
menyebut kata ‘pohon’, maka penamaan ‘sesuatu’
dengan kata ‘pohon’ tersebut tidak mempunyai
hubungan langsung dan alamiah dengan konsep ‘pohon’
tersebut. Hubungannya hanya dilegitimasi oleh
konvensi. Setiap orang boleh menamakan Çdengan kata
apapun, terbukti dengan beragamnya kata untuk
menamakan Ç tersebut, seperti ‘pohon’, ‘tangkal’,
‘arbor’, ‘tree’, dan sebagainya.
Misal lainnya, “supermarket” dimaknai sebagai
“tempat untuk belanja bergaya modern, yang
dibedakan dengan “pasar tradisional”, dan tidak
dimaknai dengan “tempat untuk memancing”.
Mengambil contoh lain dari hubungan sosial ibadah,
dapat dijelaskan, bahwa adalah konvensi sosial yang
mengatur, bahwa ‘menepuk tangan’ adalah ‘tanda’
38 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

yang digunakan oleh makmun wanita untuk menandai


kekeliruan imam dalam shalat. Imamnya sendiri
memahami bahwa ‘tepuk atangan’ itu merupakan
‘teguran’ dari makmun wanita. ‘Tepuk tangan’ itu
secara konvensi berbeda dengan siulan, suitan,
teriakan, pluit, atau bahkan dengan ‘tepuk tangan
pramuka’ misalnya. Di lain pihak, bentuk teguran ‘tepuk
tangan’ yang dilakukan makmun wanita secara
konvensi dibedakan dengan cara teguran makmun pria,
yakni perkataan subhâna Alah. Salah satu alasan yang
sering diungkapkan adalah karena secara konvensi
Muslim (terutama Arab-Muslim) bahwa suara wanita
merupakan aurat. Jadi suara wanita sedapat mungkin
diminumalisir, temasuk dalam shalat (Yasraf, 2002:3).
Saussure (1990:148) menyebutkan bahwa ‘Ikatan
yang mempersatukan penanda dan petanda bersifat
semena, atau juga, karena lambang bahasa diartikan
sebagai keseluruhan yang dihasilkan oleh asosiasi suatu
penanda dengan suatu petanda, maka dapat dikatakan
bahwa tanda bersifat semena. Saussure menyebutkan
pula bahwa masalah bahasa itu pada dasarnya tidak
lebih dari masalah diferensi (difference) atau
“perbedaan yang sepenuhnya negatif”, dan tidak dapat
diperoleh di luar tuturan. Dengan kata lain, menurut
Saussure, di dalam bahasa hanya ada perbedaan-
perbedaan tanpa terma positif. Di dalam aspek penanda
dan petanda bahasa, tidak terkandung bunyi-bunyi atau
gagasan-gagasan yang ada sebelum sistem bahasa itu
sendiri, kecuali hanya perbedaan-perbedaan fonik dan
koseptual yang dihasilkan oleh sistem itu.
Persoalan kepermanenan (kestabilan) hubungan
penanda danpetanda dari Saussure mengundang kritik
dari para ahli sesudahnya. Roland Barthes dan Jacques
Lacan menolak kaitan yang stabil di antara penanda dan
petanda. Menurut mereka, penanda-penanda
“mengapung” atau “melayang” atau “ mengambang”
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 39

dengan bebas. Sebagai konsekuensinya, mereka


kemudian mengedepankan aspek penanda dan
merancukan perbedaan antara penanda dan petanda
(Kris Budiman, 1999:93).

4. Distingsi Sintagmatik dan paradigmatik


Distingsi selanjutnya dalam semiologi Saussure
adalah hubungan sintagmatis dan paradigmatis. Bagi
Saussure, kunci untuk mengerti tanda adalah dengan
memahami hubungan strukturalnya dengan tanda yang
lain. Ada dua tipe hubungan struktural, yaitu hubungan
paradigmatis (lebih mengacu pada pilihan) dan
hubungan sintagmatis (lebih mengacu pada kombinasi).
Sifat dasar lain dari hubungan penanda dan petanda
adalah susunannya yang linear dan berlangsung dalam
waktu. Menurut Saussure, hal ini terutama tampak
dalam penanda, yang unsur-unsurnya dilafalkan satu
persatu dan membentuk rangkaian, dan karenanya
selalu berada dalam garis waktu. Jenis hubungan ini
disebut oleh Saussure sebagai sintagma. Hubungan
sintagmatik merupakan hubungan in praesentia antar-
kata, antar-gramatika, antar-ujaran, atau antar-tindak
tutur.

Di satu pihak, di dalam wacana, kata-kata bersatu demi


kesinambungan, hubungan yang didasari oleh sifat langue
yang linear, yang meniadakan kemungkinan untuk
melafalkan dua unsur sekaligus. Unsur-unsur itu mengatur
diri yang satu sesudah yang lain di rangkaian parole.
Kombinasi tersebut yang ditunjang oleh keluasan, dapat
disebut sintagma. Jadi sintagma selalu dibentuk oleh dua
bentuk atau sejumlah satuan berurutan (Saussure,
1990:219).

Hubungan paradigmatik (atau hubungan asosiatif)


merupakan relasi terma-terma secara in absentia
(secara potensial di dalam rangkaian memori). Di dalam
40 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

bahasa, sebuah kata berhubungan secara paradigmatik


dengan sinonim-sinonim atau antonim-antonimnya; juga
dengan kata-kata lain yang memiliki bentuk dasar yang
sama atau berbunyi mirip dengannya. Kata-kata yang
mempunyai kesamaan tertentu saling berasosiasi di
dalam memori (benak) sebagai bagian dari gudang
batiniah membentuk bahasa masing-masing penutur.
Struktur paradigmatik ini menyajikan sebuah ruang
substitusi potensial yang dapat menghasilkan metafora
(Kris Budiman, 1999:89).
Cobley dan Jansz (1999: 16-17) memberikan contoh
sebagai berikut: kata mengambil sekumpulan tanda
“seekor kucing berbaring di atas karpet”. Kata “kucing”
dapat menjadi bermakna sebab ia dapat dibedakan
dengan “seekor, berbaring, dan karpet”. Kemudian kata
kucing ini dikombinasikan dengan elemen-elemen
lainnya, maka kata kucing akan menghasilkan
rangkaian yang membentuk sebuah sintagma
(kumpulan tanda yang berurut secara logis). Melalui
cara ini kata “kucing“ dapat dikatakan memiliki
hubungan paradigmatik (hubungan yang saling
menggantikan) dengan singa, anjing, dan lain
sebagainya.

D. Dari Distingsi ke Semiologi


Distingsi-distingsi yang diusulkan oleh de Saussure
merupakan fundamen semiologi yang dicanangkannya.
Distingsi-distingsi tersebut dapat diletakkan sebagai
oposisi biner. Oposisi sendiri diartikan sebagai
“pengaturan terma-terma secara internal di dalam
suatu medan asosiatif atau paradigmatik”. Sedangkan
oposisi biner dimaksudkan sebagai “segala hubungan
oposisional yang di dalamnya penanda dari sauatu
terma dicirikan oleh kehadiran sebuah elemen signifikan
(marka) yang tidak dimiliki oleh penanda dari terma
yang lain. Distingsi-distingsi tersebut merupakan unsur
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 41

utama semilogi Saussure. Ferdinand de Saussure


memaksudkan semilogi sebagai “A science that studies
the life of signs within society is conceivable, it would be
a part of social psychology and consequently of general
psychology; I shall call it semiology (from the Greek
semeion ‘sign’. Semiology would show what
conastitutes signs, what laws govern them (sebuah ilmu
yang mengkaji tanda-tanda di dalam masyarakat dapat
dibayangkan; ia bakal menjadi bagian dari psikologi
sosial dan, dengan begitu, psikologi general; saya akan
menamakannya semiologi [dari bahasa Latin semeion
‘tanda’]. Semiologi akan menunjukkan hal-hal apa yang
membangun tanda-tanda, hukum-hukum apa yang
mengaturnya).
Jika Saussure mendefinisikan semilogi sebagai “ilmu
yang mengkaji peran tanda sebagai bagian dari
kehidupan sosial”, maka implikasinya, tanda itu
berperan sebagai bagian dari kehidupan sosial dan juga
sebagai aturan sosial yang berlaku. Fokus utama
kajiannya berkisar pada persoalan bahasa dan struktur
yang digunakan oleh manusia dan menyingkap reasi-
relasi unsur-unsur yang membentuk suatu totalitas
kompleks pada fenomena-fenomena termasuk bahasa
sebagai tanda. Subjek tidak dianggap penting karena
hanya pengguna, begitu pula dengan sejarah dan
perubahan. Istilah semiologi atau semiotik sudah
terdapat dalam karya Saussure. Tanda memang
merupakan unsur utama dalam teori Saussure tentang
bahasa. Ia menjadikan sistem tanda dalam linguistik
sebagai landasan semiologinya. Ia menyatakan bahwa
teori tentang tanda linguistik perlu menemukan
tempatnya dalam sebuah teori yang lebih umum, dan
untuk hal itulah ia mengusulkan nama semiologi.
Linguistik, ia posisikan sebagai bagian dari ilmu umum
(semiologi) itu; hukum yang akan ditemukan oleh
semiologi akan dapat diterapkan pada linguistik dan
42 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

linguistik akan berkaitan dengan suatu bidang khusus.


“Adalah tugas psikolog untuk menempatkan tempat
yang tepat bagi semiologi, sedangkan tugas para
linguist untuk merumuskan apa yang membuat langue
menjadi suatu sistem khas dari kumpulan peristiwa
semiologis, “ tegas Saussure.
Secara simplistis semiologi yang dikembangkan de
Saussure berdiri di atas beberapa prinsip, yakni:
Pertama, prinsip struktural yaitu memandang relasi
tanda sebagai relasi struktural, yang di dalamnya tanda
dilihat sebagai sebuah kesatuan antara sesuatu yang
bersifat material, yang disebut Penanda (signifier) dan
sesuatu yang bersifat konseptual yang disebut Petanda
(signified). Oleh karena itu, semiotik yang
dikembangkan oleh de Saussure sering disebut sebagai
semiologi struktural (structural semiotics) dan
kecendrungan ke arah pemikiran ini disebut
structuralism. Strukturalisme dalam semiotik tidak
menaruh perhatiannya terhadap realsi kausalitas antara
suatu tanda dan causa prima-nya, antara bahasa dan
realitas yang direpresentasikannya, melainkan pada
relasi yang secara total unsur-unsur yang ada di dalam
sebuah sistem bahasa. Sehingga, yang diutamakan
bukanlah unsur itu sendiri melainkan relasi di antara
unsur-unsur tersebut. Apa yang disebut sebagai ‘makna’
tidak dapat ditemukan sebagai bagian intrinsik dari
sebuah unsur, melainkan sebagai akibat dari relasi total
yang ada dengan unsur-unsur lain secara total.
Kedua, prinsip kesatuan (unity). Sebuah tanda
merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan
antara bidang penanda yang bersifat konkret atau
material (suara, tulisan, gambar, objek) dan bidang
petanda (konsep, ide, gagasan, makna). Meskipun
penanda yang abstrak non-material tersebut bukan
bagian dari intrinsik dari sebuah petanda tapi ia
dianggap hadir bersama penandanya yang konkret, dan
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 43

kehadirannya adalah absolut, sehingga ada konsep


metafisika, di mana sesuatu yang bersifat non-fisik
(petanda, konsep, makna, dan kebenaran) dianggap
hadir di dalam sesuatu yang bersifat fisik (penanda).
Ketiga, prinsip konvensional yaitu kesepakatan sosial
tentang bahasa (tanda dan makna) di antara komunitas
bahasa. Tanda disebut konvensional dalam pengertian
bahwa relasi antara penanda dan petandanya
disepakati sebagai konvensi sosial.
Keempat, prinsip sinkronik yaitu kajian tanda sebagai
sebuah sistem yang tetap di dalam konteks waktu yang
dianggap konstan, stabil, dan tidak berubah. Dengan
demikian, ia mengabaikan dinamika, perubahan, serta
transformasi bahasa sendiri di dalam masyarakat.
Kelima, prinsip representasi, yaitu suatu tanda
merepresentasikan suatu realitas yang menjadi rujukan
atau refresentasinya. Keenam, prinsip kontinuitas, yaitu
sebuah relasi waktu yang berkelanjutan dalam bahasa
selalu secara berkelanjutan mengacu pada sebuah
sistem atau struktur yang tidak pernah berubah,
sehingga di dalamnya tidak dimungkinkan adanya
perubahan radikal pada tanda, kode, dan makna.
Perubahan hanya dimungkinkan secara evolutif, yaitu
perubahan kecil pada berbagai elemen bahasa, sebagai
akibat logis dari perubahan sosial itu sendiri.
Lebih lanjut ia mengeleminir bahwa untuk membuat
orang mengerti hakikat semiologi dan disajikan secara
representatif, langue harus dikaji secara internal dan
intensif. Sementara ini, mayoritas orang senantiasa
memposisikan langue hanya sebagai tatabahasa
(structure) dan dipahami secara artifisial. Hal inilah
yang telah menyebabkan omnipotensi langue pada
posisi dan fungsi sebenarnya. Saussure juga mengkritik
pandangan para psikolog yang mengkaji mekanisme
tanda hanya sebagai fenomena individul ansich.
Baginya, sudut pandang ini memang mudah, tetapi
44 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

tidak membawa pemahaman seseorang tentang simbol-


individual, yang hakikatnya juga bersifat sosial.
Saussure juga mengingatkan bahwa apabila orang
mendapat tanda harus dikaji secara sosial; orang hanya
memperhatikan ciri-ciri bahasa yang mengaitkan
dengan pranata-panata lain, yaitu pranata yang kurang
lebih tergantung kepada kemauan manusia.
Bagi Saussure, tanda-tanda muncul secara jelas
hanya dalam langue. Untuk memahami langue,
seseorang harus menandai kesamaan (similaritas)
semua sistem organisasi dan juga memperhatikan
faktor-faktor kebahasaan beserta berbagai medianya
(seperti peran alat wicara). Dengan cara ini, seseorang
tidak hanya memfokuskan kajiannya pada aspek
linguistik murni, tetapi disertai perhatian terhadap ritus,
adat istiadat, dan lainnya sebagai tanda. Seseorang
harus berpikir bahwa fakta bahasa muncul dalam
bentuk lain (tanda tidak tersurat misalnya) dan harus
mengelompokkannya di dalam semiologi diserta
penjelasan kaidah-kaidah tanda tersebut. Dengan kata
lain, Saussure mencoba mengelaborasi tanda ke luar
lintas batas linguistik, sebagaimana dibuktikan nanti
oleh Roland Barthes (ketika mengkaji mitologis dan
fenomena pakaian) dan Levi Strauss (ketika membahas
fenomena antropologis).
Berkaitan dengan konsep semiologi itu, Saussure
selanjutnya menjelaskan kembali tentang
kesinambungan langue dalam waktu. Waktu, kata
Saussure, memungkinkan tanda-tanda bahasa diganti
dalam rentang ruang dan waktu tertentu. Meskipun
demikian, lanjutnya, perubahan dan keterbukaan dari
segi tertentu sama-sama merupakan ciri tanda bahasa.
Fakta tersebut bersifat solider, artinya tanda selalu
berganti tetapi selalu berkesinambungan. Sekalipun
terjadi perubahan, namun unsur lama masih ada,
sekecil apapun ia; ketidaksertaan unsur baru pada masa
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 45

lalu, sifatnya relatif. Itulah sebabnya, Saussure


menyandarkan prinsip pergantian (perubahan) pada
prinsip kesinambungan (ruang dan waktu).
Pergantian tanda dalam ruang dan waktu beraneka
ragam bentuknya dan faktor pemicunya. Perubahan ini
selalu meniscayakan perubahan proses signifikasi,
perubahan antara signifian (penanda) dan signifie
(petanda). Setiap langue sama sekali tidak berkekuatan
untuk mempertahankan diri terhadap faktor-faktor yang
setiap waktu mendorong perubahan hubungan
penanda-petanda. Inilah, menurut Saussure, adalah
konsekuensi dari kesamaan lambang. Menurut
Saussure, pranata manusia selain bahasa--seperti adat
istiadat, hukum, dan lainnya--, semuanya didasari—
dengan tarap yang berbeda—oleh hubungan wajar antar
berbagai tanda. Di dalam pranata terdapat keniscayaan
adanya keselarasan antara sarana (media) yang
digunakan dengan tujuan yang ingin dicapai. Mode
pakaian, misalnya, tidak seluruhnya arbitrer (semena),
karena orang tidak mungkin melepaskan diri dari syarat-
syarat yang ditetapkan oleh tubuh manusia dan
standard sosial.
Usaha Whitney untuk menonjolkan bahwa langue
merupakan pranata murni dan menekankan sifat
kearbitreran tanda linguistik, dinilai Saussure sebagai
langkah tepat. Namun, Whitney dianggap Saussure
tidak cukup melangkah jauh dan tidak memisahkan
kearbiteran langue dari pranata lainnya. Menurut
Saussure, tanda-tanda lingual, selain bersifat linear,
mempunyai karakteristik primordial yang lain, yaitu
arbitrer. Paduan antara penanda dan petanda pada
dasarnya bersifat manasuka (arbitrer). Misalnya saja
gagasan tentang ‘kucing” sama sekali tidak berkaitan
secara intrinsik dengan rangkaian kata k-u-c-i-n-g yang
menjadi penandanya di dalam bahasa Indoensia. Hal ini
bukan berarti bahwa pemilihan penanda-penanda
46 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

tersebut sepenuhnya terserah pada diri si penutur,


melainkan bahwa pemilihan tersebut unmotivated (tak
bermotivasi), tidak berhubungan secara alamiah dengan
hal yang ditandai (petanda) (Kris Budiman, 1999:6-7).
Pemikiran semiotik a la Saussure ini tentunya tidak
memiliki jangkauan yang cukup luas untuk berhadapan
dengan berbagai bentuk tanda yang bukan termasuk
arbitrary signs (tand-tanda yang berifat sewenang-
wenang), seperti yang dicontohkan di atas. Maka untuk
memperluasnya, tipologi tanda yang diajukan oleh
Charles Sasnders Peirce akan sangat membantu. Teori
dari Peirce, sebagaimana teori Saussure, menjadi grand
theory dalam semiotik. Hal ini karena gagasannya
tersebut bersifat menyeluruh, deskripsi struktural dari
semua sistem penandaan. Peirce ingin mengidentifikasi
partikel dasar dari tanda dan menggabungkan kembali
semua komponen dalam struktural tunggal (Alex Sobur,
2001:97). Dengan pemikiran de Saussure seperti di
atas, maka wajar apabila kaum strukturalis, sebagai
penerus dan turunan dari pemikiran Saussure,
mendapat kritikan pedas. Kelemahannya terletak
karakter pemikiran strukturalisme yang bersifat yang
statis, metafisis, dogmatis, dan transenden. Sifatnya
yang mekanistik “terlalu menyandarkan pada struktur
yang tidak berubah”, maka menghambat proses
perubahan struktur itu sendiri. Ia membatas gerak yang
unthinkable (tak terpikirkan), unimaginable (tak
terbayangkan), dan unrepresentable (tak
terrepresentasikan), sebagaimana dikritik oleh Jacques
Derrida.
Namun demikian, Pada perkembangannya, distingsi-
distingsi Saussurean tersebut telah memberikan
kontribusi besar dalam linguistik dan kritik sastra. dalam
bidang linguistik, madzhab strukturalisme yang
dimunculkan Saussure ini diadaptasi oleh Noam Avram
Chomsky, yang melakukan modifikasi dualitas struktur
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 47

bahasa, yakni struktur dalam (deep structure) dan


struktur luar (surface structure). Selain Chomsky, Levi
Strauss yang dikenal sebagai bapak strukturalisme
antropologis Prancis, mengadaptasi pemikiran Saussure
terutama menyangkut oposisi biner dalam struktur
alaminya (Alex Sobur, 2001:103). Dalam konteks yang
terakhir, kritik sastra strukturalis-Saussurean
memperlakukan teks sastra sebagai ‘sistem tanda’.
Kritikus strukturalis beranggapan bahwa tugas mereka
adalah mempelajari struktur sastra, dengan mengamati
secara objektif hakekat sastra yang khas dan
penggunaan alat-alat fonemis dalam karya sastra, dan
bukan mempelajari amanat, sumber, atau sejarah
sastra. Puisi terjadi dari kata-kata, bukan subjek-subjek
puitis, jadi perhatian kritikus sastra haruslah
ditumpukan pada bahasa dari seni sastra itu sendiri.
48 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

SEMIOTIK KOMUNIKASI
CHARLES SANDERS PEIRCE

A. Sekilas Identitas Pemikiran Peirce


Bila ada tokoh semiotik terkemuka yang tidak
bersentuhan dengan sesuatu yang berbau
‘strukturalisme’, tentulah salah satunya yang harus
disebut terlebih dahulu adalah Peirce. Tokoh populer
yang satu ini bernama lengkap Charles Sanders Peirce
dan berkebangsaan Amerika. Peirce, yang terlahir pada
tahun 1839 dan meninggal pada tahun 1914, belajar di
Harvard University pada tahun 1859. Karir
intelektualnya berawal sebagai ahli matematika dan
fisikawan ketika ia bergabung dengan Coast Survey
(1891). Ia pernah juga menjadi dosen di Universitas
John Hopkins antara tahun 1879-1884. Namun ia tidak
pernah mendapat jabatan akademis, disebabkan
sikapnya yang keras dan emosional sehingga tidak
banyak yang menyukai kepribadiannya. Karena
kepribadiannya ini pula yang menyebabkan tidak
banyak orang yang mengenal biografi Peirce.
Dalam konteks semiotik ia dikenal sebagai seorang
filosof yang mengembangkan filsafat pragmatisme
melalui kajian semiotik. Sekalipun ia tidak menulis buku,
sebagaimana Saussure, namun beberapa kertas kerja
pernah dihasilkannya di antaranya adalah Collected
Papers, Semiotics and Significs: The Correspondence
between Charles S. Peirce abd Victoria Lady welby (Kris
Budiman, 1999:90-91). Disebutkan bahwa Peirce
merupakan tokoh semiotik yang memberikan kontribusi
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 49

mengenai paradigma probabilitas dalam ilmu tanda. Hal


ini menunjukkan bagaimana keterpengaruhan semiotik
oleh logika, matematika, dan fisika.

B. Ragangan Semiotik Peirce dan Tipologi Tanda


Peirce memaknai semiotik sebagai “studi tentang
tanda dan segala yang berhubungan dengan tanda;
cara berfungsi (sintaktik semiotik) dan hubungan antar-
tanda (semantik semiotik), serta mengkaji pengirim dan
penerimanya oleh mereka yang menggunakan tanda
(pragmatik semiotik)” (Panuti dan van Zoest, 1996:5-6).
Karenanya, menurut Peirce, tanda bukan hanya melekat
pada bahasa dan kebudayaan melainkan menjadi sifat
intrinsik pada seluruh fenomena alam (pansemiotik).
Melalui tanda lah, manusia mampu memaknai
kehidupannya dengan realitas. Dalam hal itu, bahasa
menempati posisi terpenting sebagai suatu sistem
tanda yang paling fundamental bagi manusia,
sedangkan tanda-tanda non-verbal seperti gerak-gerik
serta beraneka praktik sosial konvensional lainnya,
dapat dipandang sebagai sejenis bahasa yang tersusun
dari tanda-tanda bermakna yang dikomunikasikan atas
dasar-relasi-relasi.
Bagi Peirce, terdapat prinsip mendasar dari sifat
tanda, yakni 1) sifat representatif, dan 2) sifat
interpretatif. Sifat representatif tanda berarti tanda
merupakan sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain
(something that represents something else). Sedangkan
sifat interpretatif artinya bahwa tanda tersebut
memberikan peluang bagi interpretasi tergantung
kepada siapa yang memakai dan menerimanya. Dalam
konteks ini Peirce memandang bahwa proses
pemaknaan (signifikasi) menjadi penting karena
manusia memberi makna pada realitas yang
ditemuinya. Hal ini secara tegas mengandaikan bahwa,
menurut Peirce, bahasa memiliki keterkaitan yang erat
50 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

dengan realitas. Bagi Peirce, tanda beranjak dari kognisi


manusia secara dinamis.
Berbeda dengan Saussure, Peirce memandang tanda
bukanlah sebagai sebuah struktur, melainkan bagian
dari proses pemahaman (signifikasi). Tanda merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari objek referensinya
serta pemahaman subjek atas tanda. Ia menyebutnya
representamen. Sedangkan apa yang ditunjuknya atau
diacunya disebut objek. Tanda yang diartikan sebagai
“sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain” bagi
seseorang berarti menjadikan tanda bukan sebagai
entitas otonom:

Tahap Manusia mempersepsi dasar (ground) tanda


1 (disebut juga representamen), misalnya
(R)
melihat asap dari jauh.

Tahap Ia mengaitkan dasar (ground) dengan suatu


2 pengalaman, misalnya asap dikaitkan dengan (O
kebakaran. Jadi, kebakaran dirujuk oleh asap )
atau dasar (asap) merujuk kepada objek
(kebakaran).

Tahap Kemudian ia menafsirkan kebakaran itu


3 terjadi pada sebuah pertokoan yang (I)
dikenalnya. Proses ini disebut dengan
interpretant.

Ketiganya (R-O-I) menjadikan semiotik sebagai


sesuatu yang tidak terbatas. Selama gagasan penafsir
tersebut dapat dipahami oleh penafsir lainnya, maka
posisi penafsir pun penting sebagai agent yang
mengaitkan tanda dengan objeknya. Pemahaman akan
struktur semiotik tersebut menjadi hal mendasar yang
tidak dapat diabaikan oleh seorang penafsir. Seorang
penafsir, dalam hal ini, berkedudukan sebagai peneliti,
pengamat, dan pengkaji objek yang dipahaminya.
Object
Representament/ ground
Interpretant

Tokoh dan Pemikiran Semiotik 51

Dengan demikian Peirce memandang adanya relasi


triadik dalam semiotik, yakni antara representament
(R), object (O), dan interpretant (I). Dengan demikian,
semiosis adalah suatu proses pemaknaan tanda yang
bermula dari persepsi atas dasar (ground;
representament), kemudian dasar (ground;
representament) itu merujuk pada objek, akhirnya
terjadi proses interpretant. Bagi Peirce, setiap tanda
yang dipahami oleh seseorang akan berasosiasi dengan
tanda lain di benaknya. Tanda ini kemudian merupakan
interpretant dari yang pertama; pada gilirannya sebuah
interpretant akan menjadi tanda, dan seterusnya ad
infinitum. Misalnya, sebuah gambar singa menyebabkan
munculnya kata singa sebagai interpretan di dalam
benak seorang Indonesia. Seringkali pula, seseorang
menginterpretasikan sebuah ikon melalui simbol atau,
sebaliknya simbol melalui ikon. Berdasarkan pengertian
tentang tanda yang diinterpretasikan lewat tanda lain
ini, sebagai gerakan yang tidak berujung pangkal, Eco
dan Derrida kemudian merumuskan semiosis yang tak-
berkesudahan (Kris Budiman, 1999:51).
Sebagaimana disebutkan bahwa Peirce memandang
bahwa bahasa sangat terkait dengan realitas, karena
semiosis merupakan konfigurasi metode memaknai
52 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

realitas secara bertahap. Dalam rangka memaknai


realitas tersebut maka subyek memahaminya
berdasarkan keberlakuan tanda. Keberlakuan Tanda ini
bersifat trikotomis, yaitu:

Firstne Tingkat pemahaman subyek dan eksistensi


ss : tanda-tanda masih potensial, penuh
probabilitas dan perasaan. Tahap ini dapat
disebut sebagai tahap pencerarapan potensi.
Secon Tingkat pemahaman dan eksistensi tanda
dness: sudah berhadapan atau konfrontasi dengan
realitas ketika subyek memahami eksistensi
realitas. Tahap ini dsapat disebut sebagai
pencerapan aktualitas.
Thirdn Tingkat pemahaman dan eksistensi tanda
ess: ketika sudah terformulasikan aturan atau
hukum yang berlaku umum untuk
mengkonstitusi pemahaman subyek terhadap
realitas. Tahap terakhir ini dapat diebut
sebagai abstaksi.

Selanjutnya Peirce, dalam mengkaji objek yang


dipahaminya, seorang penafsir yang jeli dan cermat,
segala sesuatunya akan dilihat dari tiga jalur logika,
yaitu.
1. Hubungan representament (R) dengan jenis
representament:
a. Qualisign (dari quality signs): representament
yang bertalian dengan kualitas atau warna
b. Sinsign (dari singular sign): representament yang
bertalian dengan fakta real.
c. Legisign (dari legitatif sign; lex=hukum):
representament yang bertalian dengan kaidah atau
aturan.
Contoh berikut ini berusaha menjelaskan ketiga
trikotomi kategori pertama ini. Tahap qualisign; jika
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 53

ada ‘kertas minyak berwarna kuning’ (tanda), maka


tanda ini masih bersifat potensial untuk dimaknai
apapun, termasuk diartikan sebagai “(tanda) ada
orang yang meninggal”, karena tingkat
probabilitasnya masih mungkin. ‘Kertas minyak
berwarna kuning’ berada pada level qualisign karena
representamentnya dibentuk oleh kualitas atau
warna.
Tahap sinsign; jika ‘kertas minyak berwarna
kuning’ tersebut dijadikan bendera dan dipancang di
tepi jalan, maka ‘kertas minyak berwarna kuning’ di
sana sudah memiliki makna khusus, yakni ‘[tanda]
ada orang yang meninggal di daerah itu’. ‘Kertas
minyak berwarna kuning’ ini telah representament
yang diletakkan pada konteks tertentu atau pada
fakta real. Tahap legisign; “Kertas minyak berwarna
kuning’ yang dipancang di tepi jalan menunjukkan
adanya sebuah kesepakatan (lex=hukum) tentang
sebuah tanda dari masyarakat pemakai tanda
tersebut.

2. Hubungan objek (O) dengan jenis representement (R;


dasar/ground):
Di antara pemikiran Peirce yang cukup penting
adalah pemilahan tanda dari sisi acuannya (tipologi
tanda) pada tiga jenis yaitu ikon, indeks, dan simbol.
a. Icon: Hubungan representement (R) dan obyek (O)
yang memiliki keserupaan (similitude atau
resemblance) atau ‘tiruan tak serupa’ dengan bentuk
objek (terlihat pada gambar atau lukisan). Misalnya,
patung Soekarno adalah ikon dari Soekarno
sebenarnya; tiruan suara burung merujuk pada
burungnya; peta geografis merupakan ikon dari
geografi wilayah yang sebenarnya. Dalam hal ini,
Eco menyebutkan bahwa bayangan cermin
merupakan tanda ikonik yang mutlak.
54 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

b. Indeks: Hubungan representement (R) dan obyek (O)


yang terjadi karena terdapat keterkaitan atau
hubungan kausal antara dasar dan objeknya.
Misalnya, asap (R) adalah indeks dari kebakaran (O);
bau daging dibakar (R) adalah indeks dari warung
sate (O).
c. Symbol atau ‘tanda sebenarnya’: Hubungan
representement (R) dan obyek (O) yang terbentuk
karena adanya konvensi. Hubungannya bersifat
arbitrer, seperti dimaksudkan oleh Saussure
(Barthes, 1967:109, sebagaimana dikutip Yasraf,
2002a:4). Simbol merupakan ekuivalen dari tanda
dalam pengertian Saussure. Misalnya, lampu rambu
lalu-lintas dengan tiga warna; warna merah merujuk
pada larangan, kuning merujuk pada pengertian
hati-hati, dan hijau merujuk pada izin untuk berjalan
(terus). Demikian juga, kode-kode morse dengan
kombinasi bunyi panjang dan pendek merujuk pada
setiap huruf.
Dalam tradisi semiotik Peirce, keberadaan ikon dan
indeks ditentukan oleh hubungan referen-referennya,
sementara simbol ditentukan oleh posisinya di dalam
suatu sistem yang arbitrer dan konvensional. Melalui
pandangan ini Peirce telah memberikan suatu
fleksibilitas bagi hal-hal yang sebelumnya telah ditolak,
baik oleh penganut empirisme maupun semiotik
ekstrem.

3. Hubungan interpretant (I) dengan jenis


representament (R):
a. Rheme or seme: Representament yang masih
memiliki berbagai kemungkinan (probabilitas) untuk
diinterpretasi oleh interpreter;
b. Dicent or dicisign: Representament yang sudah dapat
dijadikan fakta real dan memiliki makna tertentu;
c. Argument: representament yang sudah dihubungkan
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 55

dengan kaidah atau preposisi tertentu.

Trikotomi Representa Relasi Relasi ke


Ketegori ment ke Interpretan
Obyek
Firstness
Qualisign Icon Rhema
(Kualitas)
Secondness
Sinsign Indeks Dicent
(fakta real)
Thirdness
(Kaidah/atura Legisign Simbol Argument
n)

Kesembilan tipe penanda sebagai struktur semiosis


itu dapat dipergunakan sebagai dasar kombinasi satu
dengan yang lainnya. Sebagai contoh sinsign indexical
rhematis: (tertawa tiba-tiba). Tertawa tiba-tiba itu
menandai kenyataan, yaitu kenyataannya tertawa
(sinsign). Ekspresi tertawanya yang tiba-tiba itu
mengisyaratkan sesuatu, mungkin lucu atau berubah
pikiran (indexical). Mungkin juga ia tertawa tiba-tiba itu
objek yang didengar atau dilihatnya ataupun yang
dirasakan dapat terpahamkan (rhematis) (Puji Santosa,
1993:11).
Sebagai contoh yang lain, sinsign indexial dicent:
(karung angin). Karung angin yang terpasang pada
salah satu bandar udara itu dapat menandai kenyataan,
yaitu kenyataannya ada sehelai karung angin di pasang
di salah satu bandar udara, misalnya Bandar Udara
Soekarno Hatta (sinsign). Karung angin yang bergerak
itu menandakan atau mengisyaratkan adanya angin
bertiup. Akan tetapi, jika karung angin itu diam tidak
bergerak, maka akan mengisyaratkan tidak ada angin
yang bertiup (indexical). Dari bergerak atau tidaknya
karung angin akan dapat menginformasikan sesuatu,
yaitu memberikan informasi akan adanya angin yang
bergerak dengan kencang, pelan-pelan, angin itu
56 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

bergerak dari arah mana dan menuju ke mana (dicent).


Jadi, suatu tanda dapat merangkum beberapa sifat dari
tipe-tipe strutur semiosis di atas (Puji Santosa, 1993:11).
Peirce lebih lanjut menjelaskan bahwa tipe-tipe
tanda seperti ikon, indeks, dan simbol memiliki nuansa-
nuansa yang dapat dibedakan (Hawkes, 1978:128-130).
Penggolongan yang berdasarkan pada hubungan
kenyataan dengan jenis dasarnya itu melihat atas
pelaksanaan fungsi sebagai tanda. Pada ikon, terdapat
kesamaan yang tinggi antara yang diajukan sebagai
penanda dan yang diterima oleh pembaca sebagai hasil
petandanya. Sebuah tanda bersifat ikonik apabila
terdapat kemiripan (resemblance) antara tanda dan hal
yang diwakilinya. Di dalam hubungan antara tanda dan
objek-ya terwujud sebagai “kesamaan dalam beberapa
kualitas”, yakni kesamaan atau “kesesuaian” rupa yang
terungkap oleh tanda dan dapat dikenali oleh
penerimanya. Bentuk-bentuk diagram, lukisan, gambar,
sketsa, patung, kaligrafi, ukiran-ukiran, yang tampak
sebagai tata wajah (grafika atau tipografi dalam bentuk-
bentuk puisi ikonis) merupakan contoh bagi tanda-tanda
ikonis. Ciri ini juga nampak di dalam bahasa sebagai
gejala onomatope, misalnya embe, embe, embe… di
dalam bahasa Indonesia yang pada batas tertentu
meniru suara kambing.
Dalam indeks terdapat hubungan antara tanda
sebagai penanda dan petandanya yang memiliki
hubungan fenomenal atau eksistensial atau memiliki
sifat-sifat konkret, aktual, sekuensial, kausal, dan selalu
mengisyaratkan sesuatu. Misalnya, bunyi bel rumah
merupakan indeksial bagi kehadiran tamu; gerak
dedaunan pada pohon merupakan indeksial andanya
angin yang bertiup; asap yang mengepul merupakan
indeksial bagi api yang menyala; dan sebagainya. Pada
simbol menampilkan hubungan antara pananda dan
petanda dalam sifat yang arbiter. Kepada penafsir
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 57

dituntut untuk menemukan hubungan penandaan itu


secara kreatif dan dinamis. Tanda yang berubah
menjadi simbol dengan sendirinya akan dibubuhi sifat-
sifat kultural, situasional, dan kondisional. Oleh sebab
itu, bahasa sebenarnya merupakan prestasi
kemanusiaan yang besar mengenai penanda yang
bersifat arbitrer. Lihat contoh di bawah ini:
Ikonis Indeksikal Simbolis
a. Lukisan Julius a. Suara Julius a. Diucapkan kata Julius
Caesar Caesar Caesar
b. Gambar Julius b. Suara Julius b. Makna gambar Julius
Caesar Caesar Caesar
c. Patung Julius c. Bau Julius c. Makna suara Julius
Caesar Caesar Caesar
d. Lukisan Julius d. Gerak Julius
d. Makna bau Julius Caesar
Caesar Caesar
e. Sektsa Julius e. Makna gerak Julius
Caesar Caesar

Dari gambar diagram di atas dapat dikenali bahwa


sesuatu yang berupa gambar, lukisan, patung, sketsa,
dan foto merupakan hal-hal yang berisifat ikonis.
Sesuatu yang mengisyaratkan sesuatu hal melalui
suara, langkah-langkah, bau, dan gerak adalah tanda-
tanda yang bersifat indeksikal. Sesuatu tanda yang
dapat diucapkannya baik secara oral maupun dalam
hati, arti atau makna dari: gambar, bau, lukisan, dan
gerak, merupakan sesuatu yang bersifat simbolis.
Sesuatu tanda dapat dikatakan penuh apabila
penandanya teramati dan petandanya pun terpahami.
Kata mawar dapat dikatakan penuh sebagai tanda
apabila penandanya sudah tertulis atau terucapkan dan
petandanya pun--makna yang diacunya--telah
terpahami, yaitu sejenis tanaman hias yang tumbuh di
taman, bunganya indah ada yang berwarna putih,
merah, atau seroja (KBBI, 1996:936). Akan tetapi,
sebagai penanda saja kata mawar itu dikatakan kosong
apabila mawar tidak terpahami maknanya, misalnya,
dihadapkan kepada orang asing yang belum mengenal
58 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

bahasa Indonesia (Puji Santosa, 1993:13).

C. Makna Bahasa dan Makna Mitis


Menurut teori Peirce, setiap tanda tentunya memiliki
dua tataran, yaitu tataran kebahasaan dan tataran mitis
(Hawkes, 1978:132). Tataran kebahasaan disebut
sebagai penanda primer yang penuh, yaitu tanda yang
telah penuh dikarenakan penandanya telah mantap
acuan maknanya. Hal ini karena berkat prestasi
semiosis tataran kebahasaan, yaitu kata sebagai tanda
tipe simbol telah dikuasai secara kolektif oleh
masyarakat pemakai bahasa. dalam hal ini kata atau
bahasa tersebut sebagai penanda mengacu pada makna
lugas petandanya. sebaliknya, pada penanda sekunder
atau pada tataran mitis, tanda yang telah penuh pada
tataran kebahasaan itu dituangkan ke dalam pananda
kosong. Petanda pada tataran mitis ini sesuatunya
harus direbut kembali oleh penafsir karena tataran mitis
bukan lagi mengandung arti denotatif, melainkan telah
bermakna kias, majas, figuratif, khusus, subjektif, dan
makna-makna sertaan yang lain. Secara skematis Peirce
melukiskan dua tataran tanda itu sebagai berikut

Tataran Bahasa 1. 2. Petanda


Penanda
3. Tanda
I. Penanda 1 II.
Petanda ?

Tataran mitis
III. Tanda
Skema tersebut memerikan model penandaan
primer yang telah penuh makna acuannya, yaitu sudah
dapat dianggap penuh karena penandanya telah
mantap acuan maknanya. Pada skema di atas, arti
denotatif--arti yang menunjuk pada arti kamus atau
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 59

leksikal--mencakup penanda, petanda, dan tanda.


wilayah denotatif menjadi tataran kebahasaan karena
bermakna lugas, objektif, dan apa adanya, yaitu sebagai
model primer bahasa. Tanda dalam tataran kebahasaan
itu berubah menjadi penanda pada tataran mitis,
sehingga petanda harus dikemukakan sendiri oleh
penafsir agar petanda itu dapat penuh acuan
maknanya. dengan dikemukakannya petanda oleh
penafsir, maka menjadi penuhlah tanda sebagai makna
tataran mitis. Misalnya, “Aku melihat rembulan berjalan
di atas panggung juara”. Makna kata “rembulan” dalam
kalimat tersebut bukan lagi bermakna denotatif seperti
arti leksikal dalam kamus, melainkan telah memiliki
makna konotatif atau makna-makna sertaan yang lain,
yakni wanita cantik. Makna pada tataran mitis ini harus
dapat ditemukan sendiri oleh si penafsir (pembaca)
secara kreatif dan dinamis.
Namun, ternyata membaca dan menafsirkan itu
merupakan aktivitas yang diatur oleh kaidah-kaidah
(tataran kebahasaan) (rule-governed activity), yang
memerlukan kreativitas (rule-hanging creativity)dengan
kaidah yang berubah-ubah (tataran mitis). Model primer
merupakan wilayah denotatif (arti lugas) dan model
sekunder merupakan wilayah konotatif (makna kias,
majas, khusus, figuratif, dan subjektif). Penanda-
penanda pada wilayah konotatif dibentuk dari tanda-
tanda yang ada di wilayah denotatif. Petanda pada
wilayah konotatif bersifat “mengambang” dan
“menggantung”, yang harus ditemukan sendiri oleh
penafsir secara kreatif dan dinamis. Gagasan Peirce ini
jelas sangat kontras dengan pemikiran semiologi de
Saussure. Andai saja Peirce bertemu Saussure, maka
pemikiran Peirce ini dapat dianggap sebagai reaksi
terhadap pemikiran Saussure yang menyederhanakan
makna tanda dalam konteks kearbitreran hubungan
petanda dan penanda dalam setiap bahasa. Bagi Peirce,
60 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

hal ini jelas mempersempit ruang lingkup semiotik


ketika harus berhadapan dengan berbagai bentuk tanda
yang pastinya tidak selalu bersifat sewenang-wenang
seperti di atas.
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 61

ANALISIS STRUKTURAL
ROMAN JAKOBSON

A. Sesobek Tanda Pengenal


Roman Jakobson, seorang linguist Amerika-imigran,
lahir di Moskow 1896. Ia merupakan murid dari ahli
fonologi Rusia Nikolai Troubetzkoy. Ia memperoleh gelar
kesarjanaannya di Lazarev Institute of Oriental
Languages (Moskow), Universitas Moskow dan
Universitas Praha. Dia menjabat sebagai profesor dan
dosen tamu di Moscow Dramatic School, Universitas
Masaryk. Diapun menjadi anggota dari banyak akademi
dan masyarakat ilmiah serta dianugerahi banyak
penghargaan akademis. Jakobson mengabdikan diri
pada Universitas Harvard sebagai Samuel Hazzard Cross
Profesor di bidang bahasa Slavia, kesusastraan, dan
linguistik umum. Pada saat yang sama dia juga menjadi
Institute Professor pada Massachusetts Instutute of
Technology.
Pada tahun 1914 Roman Jakobson memasuki
fakultas historiko-filologis di Universitas Moskow dan
mengambil konsentrasi bahasa di jurusan Slavia dan
Rusia. Baginya, telaah bahasa menjadi kunci dalam
upaya memahami sastra dan folklore (cerita rakyat)
secara umum. Pada tahun 1915 Roman Jakobson
mendirikan lingkungan linguistik di Moskow dan
terpengaruh oleh Husserl. Akibatnya, fenomologi
Husserl menjadi cukup penting dalam membentuk
pemikiranya saat ia berusaha melihat hubungan antara
“bagian” dengan “keseluruhan” dalam bahasa dan
kultur. Kata puitis menunjukan salah satu kaitan yang
62 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

paling jelas antara bagian dengan keseluruhannya.


Puisi memiliki bentuk yang paling dekat dengan suatu
struktrur, karena bagian-bagiannya sama dengan
keseluruhannya. Menjelang akhir tahun 1920 Jakobson
meningalkan Moskow dan tinggal di Praha dan sejak
awal pembentukannya tahun 1926, ia menjadi linguist
yang paling berpengaruh dalam lingkungan linguistik di
Praha. Di kota inilah Jakobson melalui tertarik untuk
mempelajari perbedaan antara struktur fonik dan
prosodik dalam bahasa Rusia dan bahasa-bahasa Slavik
lainnya. Di bawah pengawasan lingkungan atau
lingkaran studi linguistik Praha, pada tahun 1929
Jakobson menerbitkan Romarques sur I’evolution
phonologique du russe comparree a celle des autres
langues slaves (Catatan tentang evolusi fonologis
bahasa Rusia yang dibandingkan dengan bahasa Slavia
lainnya).
Pada tahun 1930 Jakobson bekerja sama dengan
guru sekaligus temannya, Nikolai Trubetskoy,
melakukan penelitian tentang pola suara pada bahasa.
Sebagai pengikut Saussure, Trabetskoy mengarahkan
Jakobson pada gagasan bahwa suara dalam bahasa
berfungsi secara diferensial: mereka tidak memiliki
makna intrinsik. Selama akhir 1930 an akhir,
bersamaan dengan bangkitnya Nazisme dan
mendekatnya peperangan, Jakobson melakukan tour ke
Swedia dan Denmark. Di Copenhegen (Denmark) ia
bekerja sama dengan Louis Hijlemslev dan lingkungan
linguistik Copenhagen. Karya yang debutaannya,
Kindersprache, Aphasie und allgemeine (Bahasa anak-
anak, Afasia dan Universal fonologis) ditulisnya di
Swedia pada tahun 1940-1941 sesaat sebelum
berangkat ke New York. Meskipun pada tahun 1950an
ia menjadi korban prasangka MacCarthisme karena
hubungannya dengan Eropa Timur yang komunis yang
akhirnya Jakobson diangkat menjadi staf di Harvard dan
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 63

Massachusett Institute of Techonology, dan ia terus


tinggal di Amerika sampai meninggalnya di Boston pada
tahun 1982.
Buah intelektualnya cukup banyak, mencakup
poetika dan linguistik umum, filologi Slavia, sejarah
sastra, foklor, serta bahasa-bahasa Paleo-Siberia
tercantum di dalam bunga rampai For Roman Jakobson
(1956). Karyanya yang sangat berpengaruh dan telah
menjadi klasik dalam perkembangan linguistik modern
adalah Fundamentals of Language (bersama M. Halle).
Sedangkan karyanya yang cukup penting bagi kajian
poetika adalah “Linguistics and Poetics” yang dimuat
dalam Thomas Sebeok (Ed.), Style in Language (1960).
Karya intelektual Roman Jakobson yang cukup banyak,
sekalipun kini telah mulai usang, menandakan tahapan
perkembangan intelektualnya; namun, hal yang tidak
dapat disangkal bahwa tahap strukturalis Jakobson,
yakni antara 1920-1939, masih membekas dalam teori-
teorinya tentang bahasa, puisi, dan komunikasi.
Pengaruh Roman Jakobson pada semiotik abad ke-20
sangat besar. Umberto Eco sampai berkomentar,
“Alasan mengapa Jakobson tidak pernah menulis satu
buku tentang semiotik adalah karena seluruh eksistensi
keilmuannya merupakan contoh hidup dari pencarian
semiotik” (Cobley dan Jansz, 1999:142). Pemikiran
Roman Jakobson pada gilirannya mempengaruhi Levi-
Straus dalam bidang antroplogi. Hal ini karena minat
Levi-Straus pada antropologi tidak dapat dipisahkan dari
upaya untuk memisahkan pertentangan antara yang
“bertanda” dengan yang “tidak bertanda”, serta upaya
untuk menganalisis masyarakat sebagai hubungan
antara model yang “invariant” dengan sejarah yang
bersifat “variable”. Pengaruh tersebut diperkuat saat
mereka berdua sama-sama mengajar di New York
selama berlangsungnya perang dunia II, yakni di New
School of Social Research yang didirikan di Universitas
64 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

Columbia.

B. Fungsi-Fungsi bahasa
Roman Jakobson dianggap seorang ahli linguistik
yang berupaya mempopulerkan pendekatan strukturalis
pada bahasa, khususnya karena ia sangat menekankan
bahwa pola suara bahasa (wilayah penelitian Jakobson
yang pertama dan utama) pada hakikatnya bersifat
relasional. Hubungan antar suara dalam konteks
tertentu menghasilkan makna dan signifikansi
(significance). Ia terus berusaha menjelaskan berbagai
tataran struktur linguistik melalui identifikasi dan
penjelasan tentang hal-hal invariant di tengah
keanekaragaman yang berlipat ganda. Para ahli
linguistik untuk melakukan pendekatan relasional
karena pertama “setiap komponen pembentuk sistem
liguistik dibangun atas pertentangan dua hal yang
berlawanan secara logis; sifat yang ada pada sesuatu
(kebertandaan) yang dipertentangkan dengan tiadanya
sifat itu (ketakbertandaan), dan kedua “saling
keterkaitan antara hal-hal yang tidak pernah berubah
dengan yang berubah terbukti merupakan ciri bahasa
yang paling pokok dan paling mendasar pada setiap
tingkatannya.”
Mula-mula Roman Jakobson mengembangkan
teorinya mengenai fungsi-fungsi bahasa. Di sini, ia
melihat bahasa masih sebagai struktur. Pertama, ia
masih secara jelas menggunakan enam konsep 1)
pengirim, 2) penerima, 3) kode, 4) kontak, 5) pesan, dan
6) acuan. Konsepnya tentang pengirim, penerima, dan
kode (sistem tanda bahasa), meskipun sudah lebih luas,
namun nuansa strukturalis Saussurenya masih kental.
Menurutnya, Dalam setiap komunikasi, seorang
pembicara (pengirim) mengirimkan sebuah pesan
kepada pendengar (penerima). Pesan itu
mempergunakan sebuah kode (biasanya bahasa yang
Pengirim/ Pesan/ fungsi puitik
Kontak/fungsi fatik
Konteks/ fungsi referensial Penerima/ fungsi konatif
Fungsi Emotif Kode/fungsi metalingual

Tokoh dan Pemikiran Semiotik 65

diakrabi oleh pembicara dan pendengar). Untuk


memperoleh pesan, diperlukan adanya kontak antara
pengirim dan penerima, baik dalam bentuk lisan,
lihatan, atau elektronik. Pesan komunkasi diperoleh
dengan memahami kode, dalam hal ini kode dapat
berupa tuturan, penomoran, formula bunyi, atau tanda-
tanda lain. Pesan harus disampaikan melalui sebuah
konteks (rujukan) agar tercapai pengertian pesan
tersebut. Konteks tersebut harus dipahami dalam
situasi, kondisi, dan kultur si pengirim dan penerima.

Kedua, selain strukturalis Saussure, rumusan


Jakobson tentang pengirim, penerima, dan referen (atau
acuan) merupakan perluasan dari teori Karl Buhler.
Menurut Karl Buhler, setiap orang menekankan salah
satu dari ketiga aspek (pengirim, penerima, atau
referen) ketika melakukan komunikasi (Benny H. Hoed,
2003:8-11). Ketiga faktor bahasa di atas merupakan
dikembangkan Roman Jakobson berdasar pada teori
Buhler. Kemudian Jakobson menambahnya tiga faktor
lagi, yaitu kontak, kode (sistem tanda), dan massage.
Secara general, keenam faktor bahasa (dan enam fungsi
bahasa) Roman Jakobson adalah sebagai berikut:
1. Faktor pengirim. Pengirim adalah orang yang
menyampaikan pesan. Ia dapat saja seorang
66 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

penulis, penutur, pembicara, atau sebuah teks.


Bila faktor pengirim diberi tekanan dalam proses
komunikasi, maka ini berarti bahasa digunakan
dengan fungsi emotif atau fungsi ekspresif.
Dalam hal ini, pribadi pengirim menjadi menonjol.
Dengan demikian bahasa mempunyai fungsi
emotif bila pembicara mengarahkan ekspresi
langsung dari sikapnya terhadap topik atau
situasi. Contoh:
Tulisan/Tuturan Fungsi emotif
Alangkah indahnya Menonjolkan perasaan
rumah itu! pembicara tentang sebuah
rumah
Saya lebih suka warna Menonjolkan preferensi
merah daripada hitam. pembicara terhadap warna
merah
Sebagai Direktur, Memperlihatkan otoritas
sayalah yang berkuasa pembicara
di sini.
Contoh seperti di atas, cenderung menimbulkan
kesan emosi tertentu, baik emosi asli atau emosi
terkondisikan. Oleh karena itu, istilah ‘emotif’ yang
diperkenalkan oleh Marty, lebih disukai dariapada
‘emosional’. Disebutkan bahwa strata emotif yang
paling murni dalam bahasa (tulisan) dapat terlihat
dalam bentuk kata seru. Bentuk itu berbeda dengan
sarana referensial bahasa, baik melalui pola bunyi
(sekuen bunyi aneh atau bahkan bunyi-bunyi yang
tidak biasa), maupun melalui peran sintaksis (kata-
kata itu bukan komponen, tetapi padanan kalimat-
kalimat). Jakobson memberi contoh “Tut! Tut!” kata
McGinty. Kata-kata tersebut, yang merupakan
ucapan McGinty, tokoh Conan Doyle, terdiri dari dua
kata onomatopea yang menirukan suara orang yang
mengisap sesuatu. Fungsi emotif dibentang secara
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 67

nyata dengan tanda seru dan terasa pada seluruh


ucapan, baik pada tataran bunyi, gramatikal,
maupun leksikal. Jakobson (1996:71) menyatakan
“Apabila kita menganalisis bahasa dan segi
keterangan yang dianutnya, kita tidak dapat
membatasi pengertian informasi pada aspek kognitif
bahasa”. Menurutnya, seseorang yang
menggunakan unsur-unsur ekspresif untuk
menunjukkan kemarahan dan sikap ironisnya,
dengan jelas memberi tambahan informasi dan tentu
saja perilaku verbal ini tidak dapat disamakan
dengan kegiatan non-semiotik nutritif.
2. Faktor penerima. Penerima adalah yang
menerima pesan dalam komunikasi. Ia dapat saja
seorang pembaca atau pendengar. Apabila faktor
penerima diberi tekanan, maka ini berarti bahasa
digunakan dengan fungsi konatif, atau konatif,
atau reseptif, atau pragmatik. Fungsi yang
diharapkan adalah penggunaan bentuk vokatif
dan imperatif meminta perhatian orang lain atau
menyuruh orang lain melakukan sesuatu. Contoh
Tulisan/Tuturan/wicar Fungsi Konatif
a
Buka pintu itu, nak! Pendengar diharap
membuka pintu
Tolong buka buku itu, Pendengar diharap
Din! membuka buku
Panas sekali ruangan Pendengar diharap
ini, Nas. menyalakan AC

3. Faktor konteks. Setiap pembicaran (komunikasi)


membicarakan sesuatu, yakni hal yang diacu,
dibicarakan, yang berada di luar bahasa. Bila
tekanan diberikan pada acuan, maka baik
pengirim maupun penerima dilesapkan. Fungsi
68 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

bahasa yang bekerja di dalam struktur


komunikasi seperti itu adalah fungsi referensial
atau fungsi acuan.
Tulisan/Tuturan Fungsi
Referensial
Kemarin ada kecelakaan di tol Penonjolan
Padaleunyi peristiwa
149 orang tewas dalam musibah Penonjolan
longsor di Cibeber Leuwigajah peristiwa

4. Faktor kontak. Setiap komunikasi verbal akan


efektif apabila terjadi kontak antara pengirim dan
penerima (atau terjadi dialog). Tanpa kontak (dan
dialog) antara pengirim dan penerima,
komunikasi tidak akan terjadi atau bersifat satu
arah (monolog), bahkan tidak menghasilkan
pesan apa pun. Berbicara kepada orang yang tuli
tidak akan menghasilkan komunikasi yang efektif
atau menulis surat kepada orang yang buta
(dengan tulisan “biasa”). Demikian pula, tidak
terjadi komunikasi apabila si pembicara berbicara
kepada si penerima yang tidak mengerti bahasa
si pembicara. Apabila tekanan diberikan pada
faktor kontak, maka bahasa memiliki fungsi
sentuhan atau fungsi fatik, yakni fungsi
membangun kontak.
Tulisan/Tuturan Fungsi Fatik
Kata halo, pada dasarnya tidak
mempunyai makna, tetapi
Halo! Halo!? (dalam
dalam komunikasi mempunyai
pembicaraan
fungsi sebagai ‘pembuka
telpon)
kontak’ antara pengirim dan
penerima.
Maaf, mas. Di Kata ‘Maaf, mas” berfungsi
mana BSM berada? sebagai ‘pembuka dialog’, tidak
dimaksudkan untuk meminta
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 69

maaf, karena tidak ada yang


perlu dimaafkan.

5. Faktor kode. Kode adalah sistem tanda (bahasa)


yang digunakan dalam komunikasi (verbal).
Apabila komunikasi memberikan tekanan pada
faktor kode, maka bahasa di sini mempunyai
fungsi metalinguistik atau fungsi sosial-budaya.

Tulisan/Tuturan Fungsi
Metalingui
stik
Kuda adalah hewan menyusui,
Definisi
bertulang belakang, dan berkaki empat
Eksplorasi adalah penjelajahan lapangan
dengan tujuan memperoleh
pengetahuan lebih banyak (tentang
Definisi
keadaan), terutama sumber-sumber
alam yang terdapat di tempat itu (KBBI,
1993)
Dua contoh di atas merupakan suatu model
persamaan yang dapat dilambangkan dengan rumus
A=A’. Inilah yang disebut dengan model definisi.
6. Faktor pesan. Pesan adalah isi suatu komunikasi.
Apabila komunikasi memberikan tekanan pada
pesan, maka dikatakan bahwa bahasa
mengandung fungsi puitik atau fungsi estetis.
Fungsi puitik ditandai oleh antara lain perulangan,
penyimpangan, penonjolan, ataupun keambiguan.
Ditinjau dari kacamata strukturalis semua itu
menyangkut segi penanda (atau ekspresi) dan
petanda (atau isi).
Tulisan/Tuturan Fungsi
emotif
Amin Rais adalah rais amin (pemimpin Repetisi dan
yang terpercaya)! (muncul ketika pembalikan
kampanye calon presiden 2004)
70 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

kata
Vini, Vidi, Vici Repetisi V-i
Bukan basa basi Repetisi b-a
ke b-i

Pada contoh di atas, meskipun terdapat


perulangan seperti terlihat pada segi ekspresi,
namun semua contoh tersebut sebenarnya
penyimpangan, penonjolan, bahkan keambiguan.
Pengulangan itu terjadi pada bentuk dan makna,
serta pada skala yang lebih luas adalah pesan.
Dalam hal ini, pada contoh di atas memberi
penekanan pada faktor pesan. Contoh pertama,
memberikan kesan dan pesan agar memilih Amin
Rais karena dari segi arti namanya saja berarti
‘pemimpin yang terpercaya’. Contoh kedua adalah
ungkapan bahasa Latin dari Julius Caesar yang
memberi pesan “kemenangan”. Contoh ketiga
merupakan sebuah tuturan yang mengandung pesan
yang nampaknya jauh menyimpang dari tuturannya
sendiri, yakni bahwa apa yang dikemukakan tentang
kualitas produk (baca: rokok) yang diiklankan tidak
Cuma ‘omongan’ belaka yang kemudian
berkembang menjadi ‘rokok anak muda’

Model Jakobson ini secara sangat jelas


mempertunjukkan masalah-masalah yang mencoba
untuk menyusun semacam taksonomi yang memiliki
kategori sebanyak dua kali lipat. Politomik dari faktor
dan fungsi bahasa yang dikembangkan oleh Roman
Jakobson di atas, pada dasarnya merupakan
pengembangan dari strukturalisme Saussure. Jakobson
menggunakan fungsi sebagai pengembangan
pengertian difference (pembedaan) dalam suatu sistem
dan Jakobson masih berpegang pada teori tanda dari
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 71

Saussure. Teri fungsionalisme Jakobson tentang ‘faktor


dan fungsi bahasa’ masih merupakan perkembangan
dari strukturalisme. Dalam fungsionalisme, relasi
sistemis yang menjiwai struktur dan jaringan
antarkomponen struktur menjelma menjadi relasi
antarfungsi, karena komponen-komponen suatu sistem
justru terlihat sebagai unsur berfungsi tertentu sebagai
akibat relasi sistemis itu (Benny H. Hoed, 2003:11).
Mengometari enam unsur Jakobson di tas, menurut
Raman Selden (1996:x), dalam pembicaraan sastra,
faktor bahasa “kontak” dapat dihilangkan, karena
pembacaan sastra dapat dilakukan sekalipun tidak ada
“kontak” langsung. Faktor hubungan, lazimnya,
diabaikan oleh para teoritikus sastra, dalam konteks
sastra tulis; karena hubungan berlangsung antara
pembaca dengan teks, kecuali dalam drama. Oleh
karena itu, skema di atas dapat diskemakan kembali
menjadi:

Konteks
Penulis Tulisan Pembaca
Kode

Dengan demikian, fungsi bahasa pun dapat


direkonstruksi sebagai berikut:

Referensial

Emotif Poetik Konotatif

Metalinguis
tik

D. Bahasa Puitik dalam Puisi


Dari keenam faktor bahasa dan fungsi bahasa di
atas, Roman Jakobson memberikan penekanan khusus
pada faktor pesan dan fungsi puitik. Fungsi puitik
72 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

bertumpu pada orientasi spesifik pembaca ke arah


pesan, yang dirangsang oleh kualitas-kualitas tertentu
dari pesan itu. Fungsi puitik itu kerap didefiniskan oleh
Jakobson sebagai “seperangkat (einstellung) yang
mengarah kepada pesan secara terpusat” atau “fungsi
dari ekspresi bahasa puitik (Artur Asa Berger, 2000:16).
Menurut Jakobson, salah satu fungsi dari pesan-pesan
tersebut adalah penggunaan alat-alat literatur sebagai
metafora dan metonimi. Pesan-pesan juga memiliki
fungsi emotif dan referensial (Artur Asa Berger,
2000:208).
Fungsi puitik dapat dijumpai dalam semua proses
komunikasi verbal, jika perhatiannya hanya diarahkan
pada pesan itu sendiri. Jakobson sendiri mengakui
bahwa fungsi puitik atau estetik, tidak terbatas pada
teks sastra khususnya dan karya seni umumnya, tetapi
muncul juga dalam artikel surat kabar, ceramah, dan
sebagainya. Seseorang dapat mengimajinasikan bahwa
dalam bacaan, misalnya dalam studi sejarah, fungsi
puitik (yang disebabkan oleh pemakaian bahasa
“sastra”) bersaing keras dengan fungsi referensial
(suatu deskripsi tertentu tentang situasi-situasi tertentu
dalam sejarah). Fungsi puitik yang diperkenalkan
Jakobson ini telah menerobos pemikiran beku tentang
puisi. Ia mengemukakan bahwa setiap produksi verbal
dapat memiliki fungsi puitik selama memenuhi sifat-sifat
seperti perulangan, penyimpangan, penonjolan, atau
keambiguan. Pendapat ini diperkuat oleh tokoh lain,
antara lain Koch (1966). Namun Koch secara lebih
berhati-hati mengemukakan bahwa sesuatu yang
memiliki kepuitikan (poeticalness) baru berpotensi
sebagai puisi, dan belum tentu sebuah puisi, yang
biasanya merupakan bagian dari sastra.
Sebelum Jakobson, usaha untuk menentukan secara
sistematis kekhasan bahasa puisi ataupun bahasa
kesastraan mulai dilakukan lagi pada abad ini oleh kaum
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 73

formalis di Rusia. Mereka adalah kelompok sastrawan


daan peneliti bahasa dan sastra yang muncul di Rusia
disekitar akhir tahun 1915 dan yang melanjutkan
usahanya sebagai kelompok sampai tahun 1930, pada
tahun itu pendekatan sastra ini secara resmi dilarang
oleh para penguasa Soviet. Kaum formalis ini tidak
puas dengan penelitian sastra yang bersifat sosiologis
atau psikologis ataupun yang bersifat sejarah, mereka
juga tidak tertarik oleh penelitian positivis yang khusus
memperlihatkan masalah pokok, tema, motif, lepas dari
karya sastra yang konkret. Para formalis itu ingin
kembali ke hakikat puisi, yaitu pemakaian bahasa
“poetry is verbalact”(puisi adalah tindak kata); mereka
ingin mengetahui apa yang merupakan ciri khas sebuah
karya sastra, apakah literariness-nya, sifat
kesastraannya. Roman Jakobson, pada waktu itu
seorang linguist yang berusia muda, pada tahun 1921
sudah merumuskan prinsip sastra yang sampai
sekarang terus dianutnya “poetry is an utterance
oriented towards the mode of expression”(puisi adalah
ungkapan yang terarah ke ragam ekspresinya); definisi
ini diulang pada tahun 1960, dalam bentuk yang agak
lain tetapi prinsipnya tetap sama.
Dalam telaah dalam praktek perpuisian, Jakobson
menjadi pelopor dalam menunjukan cara bagaimana
segala bentuk pertentangan, tetapi secara khusus
pertentangan antara konsonan-konsonan muncul dalam
kelahiran puisi. Ia juga adalah orang pertama yang
menekankan pentingnya irama alam puisi karya
Mayakovski dan Khlebnikov. Singkatnya, belum pernah
ada ahli linguistik yang berhasil menganalisis puisi dan
menyingkapkan struktur diskursus poetika. Di sini
Jakobson menyatukan dimensi-dimensi “literer”dan
linguitik secara keseluruhan, melalui pengertian tentang
struktur yang mempersatukannya.
Yang menarik bagi Jakobson bukanlah puisi,
74 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

melainkan fungsi poetika yang terkandung dalam


keanekaragaman bentuk-bentuk tertulis dan lisan.
Poetika menjadi bagian niscaya dalam telaah bahasa
dan realitas atau kata dan benda, tanda dan penanda
tidak saling bersinggungan bahwa makna dalam bahasa
hanya terkait dalam minimal dengan keterujukan. Bagi
Jakobson subjek yang dipelajari oleh ilmu sastra atau
poetika bukanlah sastra itu sendiri sebagai sebuah
totalitas, melainkan kesastraan (literatur-nost), yakni
sesuatu yang membuat sebuah karya menjadi karya
sastra.
Menurut Jakobson, hal penting dalam fungsi puitik
bukanlah referensi, acuan diluar ungkapan bahasa itu.
Pemakaian bahasa dan kata merupakan hal yang
menjadi pusat perhatian, walaupun fungsi-fungsi lain
bukan tidak ada ada dalam puisi. Dalam puisi, hal
utama yang harus diambil adalah message itu saja.
Misalnya makna aku dalam puisi Chairil Anwar tidak
seperti dalam bahasa sehari-hari yang mengacu pada
pembicara, pemakai kata itu, yaitu Chairil Anwar,
melainkan pada seseorang yang ke-aku-annya dapat
dijabarkan dari isi sajak itu sendiri, lepas dari acuan
yang konkret dalam kenyataan. Demikian pula dengan
binatang jalang, yang dipakai sebagai metafora, maka
puisi mungkin sekali menjadi ambigu, bermakna ganda;
terlebih lagi pula pengirim dan penerima pesan itu
sendiri tidak jelas orangnya. Yang ada hanya pesan itu
sendiri, dan pesan itu, yaitu sajak, menjadi sesuatu
yang langgeng, lestari dari pada pemakaian bahasa
yang formal yang prinsipnya hanya sampah, karena
fungsinya sudah terpenuhi kalau pesannya telah
diterima dengan baik oleh pendengar. Dalam hal sajak,
justru sajak yang tunggal, sedangkan acuan, pengirim
dan penerima tidak jelas, itulah yang disebut reification
(pembendaan) ungkapan puisi sajak itu menjadi benda,
lepas dari pengirim dan penerimanya; sajak sekaligus
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 75

benda dan tanda.


Teori Jakobson tentang analisis puisi masih sangat
memperlihatkan aroma strukturalis karena ia
menggunakan kaidah-kaidah fonologi. Prinsipnya adalah
bahwa dalam puisi ada struktur. Konsep strukturalis
sebelumnya tentang struktur puisi adalah bahwa puisi
harus dikaji dari segi ekspresi, yakni bentuk yang
terbaca (atau terdengar), khususnya gejala fonologis
dan struktural. Kemudian, analisis puisi pun diarahkan
untuk mengkaji isi puisi, biasnya dari segi
‘penyimpangan semantis’ dan ‘pesan’. Meskipun bagi
Jakobson dan para tokoh lain, puisi cenderung bergerak
ke arah kutub metaforis dari pencarian linguistik, yang
mendorong penenelitian awal Jakobson dalam bidang ini
adalah pola bunyi puisi yang pada awalnya muncul
dalam perbedaan antara puisi Rusia dan Ceko dan
bukannya peranan metaphor itu sendiri. Hasilnya
Jakobson menemukan bahwa perbedaan antara puisi
Ceko dan Rusia adalah dalam iramanya.
Dari telaah irama puisi inilah berkembang fonologi
Jakobson. Secara khusus, dengan menitikberatkan
perhatian kepada kaitan antara bunyi dan makna,
Jakobson menyimpulkan bahwa bunyi dan makna di
antarai oleh perbedaan yang kemudian disebutnya
sebagai “ciri khusus”. Dapat juga karena dalam
pandangan Jakobson, bahasa dietampatkan sebagai
suatu sistem makna wicara yang tidak tersusun dari
bunyi atau suara, melainkan dari fonem. Dari dasar
inilah Jakobson mengarahkan analisis strukturalnya atas
fonem, yakni untuk 1) mencari distinctive features (ciri
pembeda) yang membedakan tanda-tanda kebahasaan
satu dengan yang lain. Tanda-tanda ini harus berbeda
seiring dengan ada-tidaknya ciri pembeda dalam tanda-
tanda tersebut; b) memberikan suatu ciri menurut
features tersebut pada masing-masing istilah, sehingga
tanda-tanda ini cukup berbeda satu dengan yang lain;
76 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

c) merumuskan dalil-dalil sintagmatis mengenai istilah-


istilah kebahasaan--melalui distinctive features—yang
dapat berkombinasi dengan tanda-tanda kebahasaan
yang lainnya; d) menentukan perbedaan-perbedaan
antartanda yang penting secara paradigmatis, yakni
perbedaan-perbedaan antartanda yang masih dapat
saling menggantikan (Hedy Ahimsa-Putra, 2001:56).
Karena pengertian fonem ini yang masih bertitik
pusat pada kualitas intrinsik dari unsur-unsur linguistik
meskipun mengarah pada aspek diferensialnya,
Jakobson menggunakan istilah “distinctive features (ciri
pembeda)” yang pertama kali dipakai dalam karya dua
orang linguist yaitu Bloomfield dan Sapir. Distinctive
features merupakan “satuan pembeda makna yang
paling sederhana seperti sonoritas, nasalitas dan
sebagainnya. Satuan pembeda makna yang hanya
dapat ditentukan secara diferensial ini menjadi penting
dalam upaya pembentukan makna. Distinctive features
antar-fonem yang tampaknya sederhana, namun ia
menjadi penting dalam pembentukan makna. Sebelum
diterbitkannya karya Jakobson dalam bidang ini, fonem
dianggap mirip seperti “atom” suara yang tidak
menuntut adanya “lawan”. Analisis lebih lanjut
menunjukan bahwa sekalipun fonem itu sendiri tidak
pernah meminta lawan (oposisi), namun pada
realitasnya fonem tersebut selalu dikerangkakan dalam
oposisi. Misal, kata basa dan basi, yang hanya berbeda
fonem a dan i, tetapi mengakibatkan perbedaan makna
di antara keduanya.
Jakobson yakin bahwa fungsi utama dari suara dalam
bahasa adalah untuk memungkinkan manusia
membedakan unit-unit semantis, unit-unit yang
bermakna, dan ini dilakukan dengan mengetahui ciri-ciri
pembeda (distinctive features) dari suatu suara yang
memisahkannya dengan ciri-ciri suara yang lain.
Misalnya saja /c/ dan /j/ dalam kata ‘pancang’ dan
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 77

‘panjang’. Keduanya adalah konsonan yang


diartikulasikan dengan melekatkan bagian tengah lidah
pada langit-langit mulut. Keduanya bukan huruf hidup,
bukan bunyi sengau (nasal), bukan bilabial, bukan pula
dental. Keduanya memiliki ciri-ciri positif dan negatif
tersebut. Meskipun begitu, ciri-ciri itu tidak begitu saja
dapat ditangkap, diketahui, dan dijelaskan serta ciri-ciri
itu tidak menjelaskan perbedaan di antara keduanya.
Ciri pembeda yang beroperasi di antara keduanya
adalah suara. Dalam kata voiced saja, fonem /c/ tidak
disuarakan, yang terdengar adalah fonem /j/.
Yang paling kontroversial dengan kaitannya dengan
teori Jakobson tentang ciri yang menonjol adalah
klaimnya tentang ciri yang sama ada dalam setiap
bahasa, dan mereka membentuk suatu kategori aspek-
aspek linguistik yang tak berubah. Berdasarkan hal ini,
ciri khusus menjadi salah satu bagian tak terubahkan
dalam sistem komunikasi itu sendiri. Suara dalam
bahasa juga melandasi teori Jakobson tentang poetika.
Walaupun begitu, istilah suara ini dapat menyesatkan
bila pendekatan Jakobson disalah-pahami. Karena suara
itu merupakan suatu entitas fisik, Jakobson lebih suka
untuk membandingkan wicara dengan musik yang
“mengatur suara dalam skala yang berubah secara
teratur”, sedangkan bahasa meletakkan ke dalam
dirinya skala dikotomis yang hanya menjadi
konsekuensi peranan diferensial yang dimainkan oleh
entitas fonemik.
Meskipun Jakobson berhasil melakukan
pembaharuan dalam beberapa aspek, Jakobson masih
tetap terbelenggu dalam kerangka fenomenologi
bahasa yang mempengaruhinya dalam awal karier
sebagai seorang ahli linguistik. Sebagai akibatnya ia
selalu konsisten mempertahankan model bahasa
sebagai sarana pengiriman pesan dari pengirim ke
penerima. Meskipun Jakobson terus menekankan
78 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

perlunya peranan pengirim seperti halnya penerima


dalam lingkaran komunikasi, ia masih tetap
memposisikan pengirim dan penerima sebagai entitas
psikologi dan bukan linguistik yang membentuk bagian
sistem yang paling penting. Masalah utama dengan
model ini adalah adanya suatu kesadaran bahwa bahasa
bukan hanya milik pengirim, tetapi fakta dan konvensi
sosial, yakni ia hanya dapat dipahami dengan benar
sebagai suatu sistem yang merupakan prasyarat dari
individualitas dan kolektifitas.

E. Ekuivalensi, Metafora, dan Metonimi


Menurut Jakobson, dalam upaya menganalisis puisi,
pembaca perlu membedakan antara poros sintagmatik
dan paradigmatik. Pada poros sintagmatik, penyair
memakai kaidah bahasanya dengan melakukan
penggabungan (kombinasi) kata-kata sesuai dengan
daya ciptanya. Pada poros paradigmatik, penyair
melakukan seleksi dari sekian banyak kata atau struktur
sintaksis yang ia kenal dalam bahasanya. Seleksi
dilakukan berdasarkan kesepadanan (equivalence),
keserupaan dan ketidakserupaan (similarity and
dissimilarity), atau kesinoniman dan kentoniman
(synonymity and antonymity). Jadi proses seleksi sama
pentingnya dengan proses penggabungan (kata-kata).
Kreativitas penyair bertumpu pada proses tersebut.
Proses tersebut terjadi secara simultan atau pun
berurutan.
Bertumpu pada teorinya tentang faktor dan fungsi
bahasa (seperti dijelaskan di atas), Jakobson
mengemukakan bahwa kepuitikan (poeticalness)
dihasilkan pada tingkat ekspresi dengan ciri
keberulangan (recurrance), sedangkan pada tingkat isi
dihasilkan dengan pemberian isi yang umumnya berupa
penyimpangan semantis. Menurut Benny H. Hoed
(2003:12), penyimpangan yang dimaksud adalah
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 79

‘hubungan yang “lazim” antara penanda dan petanda.


Dalam kelanjutannya, Jakobson mengemukakan bahwa
setiap satuan semantik dalam puisi selalu membangun
kesepadanan (equation). Kespadanan ini, misalnya
dapat ditemukan dalam pantun, seperti :

Berakit-rakit ke hulu,
Berenang-renang ke tepian
(yang sepadan dengan)
Besakit-sakit dahulu,
Bersenang-senang kemudian.

Jadi, bait pertama (yang maknanya, nampaknya,


tidak ada hubungan), bersepadan dengan ‘isi’nya
dengan bait kedua.
Jakobson kemudian menguraikan lebih lanjut
mengenai prinsip konstitutif puisi, yakni ekuivalensi.
Dengan rumusan yang cukup terkenal dikatakannya,
“The poetic function projects the principle of
equivalence from the axis of selection into the axis
combination (fungsi puitik memproyeksikan prinsip
ekuivalensi dari poros seleksi (parataksis atau
paradigmatik) ke poros kombinasi (Jakobson, 1968:358).
Ekuivalensi, dalam hal ini, merupakan sebuah
pengertian umum yang dapat membantu pembaca
untuk memahami sifat bahasa yang khusus ketika
digunakan secara puitik. Menurut Jakobson, di antara
kemungkinan yang disediakan oleh sistem bahasa,
dalam bahasa puitik dipilih kemungkinan yang dari segi
tertentu menonjolkan segi equivalensi. Ekuivalensi itu
dapat terwujud dalam gejala yang sangat beraneka
ragam; ekuivalensi bunyi, dalam bentuk irama, aliterasi,
asonansi tetapi juga dalam skema matra seperti dalam
kidung yang mempunyai kesejajaran antara lirik dan
larik. Demikian pula irama didasarkan pada kesejajaran
tertentu. Tetapi kesejajaran dapat pula bersifat
80 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

morfologi atau sintaktik, yang diulang secara sistematis


dalam bentuk puisi tertentu, sedangkan gejala sebagai
majas, misalnya metafora atau metonimi.
Dua figur retorik pokok, metafora dan metonimi,
merupakan figur ‘ekuivalensi’ dalam arti bahwa
keduanya secara khas mengajukan suatu entitas yang
berbeda sebagai hal yang mempunyai status
ekuivalensi dengan apa yang menjadi subjek pokok
figur. Dalam puisi, menurut Jakobson, beroperasi dua
aspek dasar struktrur bahasa, yakni gambaran metafor
retoris (kesamaan), dan metonimia (kesinambungan).
Metafora dan metonimik berbeda pada tataran
individual dan pada tataran pola-pola wacana yang lebih
luas. Khususnya di dalam karya sastra, wacananya
mungkin dapat bergeser dari satu topik ke topik lain
sesuai dengan hubungan similaritas (proses metafisik)
atau mungkin pula kontiguitas (proses metonimik).
Pada garis besarnya, metafora mendasarkan diri
pada persamaan atau analogi antara subjek harfiah dan
substitusi metaforiknya. Istilah metafora, dapatnya
mengacu pada gejala pergantian sebuah kata yang
harfiah dengan sebuah kata lain yang figuratif. Yang
menjadi penggantian ini adalah kemiripan atau analogi
di antara yang harfiah dan penggatinya yang metaforik
(Kris Budiman, 1999:73). Sedangkan, metonimi pada
asosiasi kontiguitas (atau keberurutan) antara subjek
harfiah dan pengganti yang ‘mendampingi’nya.
Pergantian metonimik terjalin atas dasar asosiatif di
antara kata yang harfiah dan penggantinya. Hal yang
berkaitan secara logis (sebab akibat), keseluruhan dan
bagian, atau yang biasa ditemukan berbarengan di
dalam konteksnya yang familiar, semuanya
membangun hubungan metonimik satu dengan yang
lain. Menurut Jakobson metonimik tidak boleh
dikacaukan dengan sinekdoke (synecdoche) yang sering
di definisikan sebagai bagian yang sering mewakili
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 81

seluruhnya. Yang ada pada anekdoke adalah hubungan


internal antara bagian dengan keseluruhan (layar untuk
kapal), sedangkan dalam metonimia, hubungan yang
ada bersifat eksternal (pena untuk penulis).
Jakobson dalam banyak studi khas yang
mengandung analisis sajak tertentu memperlilhatkan
apa yang dimaksudkannya dengan prinsip ekuivalensi.
Contoh yang terkenal dalam hubungan ini adalah tulisan
yang terkenal di dalamnya mereka mengupas Levi-
Strauss, seorang antropolog yang terkenal; di dalamnya
mereka mengupas sebuah sajak yang terkenal Charles
Baudelaire yang berjudul Les Chats (1962). Dalam
tulisan ini sajak tersebut dikupas secara sangat
mendetail dengan menunjukan segala macam
ekuivalensi yang terdapat di dalamnya; ekuivalensi
bunyi, tata bahasa dan ekuivalensi semantik yang
memang berlimpah-limpah dalam sajak tersebut. Perlu
dijelaskan sebagai tambahan hal yang ditekankan
Jakobson bahwa sebagai variasi terhadap ekuivalensi
justru juga sering kali dipakai penyimpangan dari
ekuivalensi dan yang disebut antisimetri, misalnya
penyimpangan dari segi rima atau matra yang
diharapkan.

C. Afasia dan Shifter


Jakobson juga terkenal sebagai salah satu linguist
abad ke-20 yang pertama kali meneliti secara secara
serius baik pembelajaran bahasa maupun bagaimana
fungsi bahasa dapat hilang seperti yang berlangsung
pada afasia. Pemikiran awal mengenai afasialogi ini
tetap beranjak dari penekanan pada dua aspek dasar
struktur bahasa yang diwakilki oleh gambaran retoris
(kesamaan) dan mentonimia (kesinambungan).
Memahami berbagai bentuk afasia mempengaruhi
fungsi bahasa, berarti memahami bagaimana kerusakan
pada bagian pemilihan dan substitusi kutub metaforis –
82 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

atau dalam gabungan dan kontekstualisasi – kutub


metonimia. Yang pertama memperlihatkan
ketidakmampuan pada lingkaran metalinguistik,
sedangkan yang kedua berarti adanya masalah dalam
upaya menjaga hierarki satuan-satuan linguistik. Pada
yang pertama, yang hilang adalah hubungan kesamaan,
sedangkan pada yang kedua adalah
kesinambungannya.
Meskipun ia tidak menemukan istilahnya, “shifter”
adalah aspek lain bahasa yang dipelajari lebih dalam
oleh Jakobon dan terkait erat dengan kemampuan untuk
melakukan kontekstualisasi. Shifter bekerja dalam kata
ganti orang (saya, kamu dan sebagainya). Dalam
pembelajaran bahasa, penggunaan shifter istilah yang
dapat dipakai pada konteks khusus manapun
merupakan satu dari beberapa kemampuan terakhir yan
diperlukan seorang anak. Secara khusus shifter tekait
dengan fungsi artikulatif dari bahasa; maknanya tidak
dapat ditangkap secara independen, lepas dari konteks
pemakaiannya. Mereka membentuk “struktur dupleks”
yang berarti bahwa makna mereka secara serentak
meminta kode dan pesan. Shifter memungkinkan para
pembicara dapat menggunakan bahasa secara
individual, ini berarti bahwa shifter ini menjadi tempat
masuknya sejarah ke dalam bahasa. Dengan kata lain
untuk dapat memahami pernyataan seperti L’etat
c’estmoi, si pendengar harus dapat melihat konteks dan
identitas pengucap kalimat ini seperti juga arti kata-kata
yang dipakai pada tataran kode. Seperti yang telah
ditunjukan Jakobson, situasinya dapat menjadi lebih
rumit dalam hal pesan yang merujuk pada kode. Secara
umum shifter dapat membentuk kaitan antara langue
dan parole, sehingga bahasa dapat menjadi sebentuk
interaksi antara langue dan parole yang berlangsung
terus menerus.
Karena adanya struktur duplek ini, Jakobon
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 83

mengungkapkan bahwa bahasa bukan hanya bersifat


jauh lebih “primitif” daripada sifat denotatifnya bahasa,
namun kegunaan shifter adalah sebagai suatu
kemampuan terakhir yang dikuasai anak dalam proses
belajar bahasa. Dalam afasia, kemampuan inilah yang
pertama kali hilang. Dilihat dari sudut yang sedikit
berbeda, dapat dikatakan bahwa shifter merupakan
suatu kategori kosong sedikit mirip dengan penanda
yang mengambang dalam karya Mauss sebagaimana
ditafsirkan oleh Levi Strauss. Melalui shifterisasi kode
ini dapat ditafsirkan dalam banyak ragam konteks,
sehingga memungkinkan dibentuknya sekumpulan
pesan yang heterogen, dan oleh karena itu, dapat
dianggap menjadi kaitan langsung bahasa dengan
sejarah.
Hal ini paling tidak dapat menjadi argument yang
diungkapkan Jakobson saat ia dituduh mengabaikan
dimensi sosial historis dari bahasa, puisi, dan seni serta
saat mendukung prinsip seni untuk seni. Pada
tahun1930-an Jakobson mengatakan bahwa baik dirinya
maupun kaum formalis Rusia lainnya tidak pernah
memproklamirkan bahwa seni itu cukup dengan dirinya
sendiri. Kemudian ia mengatakan, “Bahwa yang hendak
kami tunjukan adalah bahwa seni itu merupakan bagian
integral dari struktur sosial, sebuah komponen yang
berinteraksi dengan semua yang lain dan dapat
mengalami perubahan, karena baik lingkup maupun
hubungannya dengan struktur sosial selalu memiliki
aliran dialektis. Yang kami bela bukanlah terpisahnya
seni melainkan otonomi fungsi-fungsi estetis”. Jakobson
mengatakan bahwa antinomi antara bahasa dan realitas
berarti tanpa kontradiksi tidak ada mobilitas konsep,
tidak ada mobilitas tanda dan hubungan antara konsep
dengan tanda menjadi otomatis.
84 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

Demikianlah Jakobson mengembangkan teori


tentang kekhasan fungsi puitik dan prinsip yang
mendasari puisi yang sekaligus menjadi kerangka
analisis struktural sebuah karya sastra seperti yang
diharapkan oleh kebanyakan peneliti dari berbagai
mazhab atau aliran struktural. Karya sastra
dianggap sebagai struktur mandiri yang dapat dan
harus dianalisis dalam kebulatannya sebagai struktur
kebahasaan, tetapi lepas dari acuan pada kenyataan,
realitas di luar sajak itu. Sudah tentu Jakobson
sendiri tidak pernah lupa bahwa walaupun fungsi
puitik menjadi dominan dalam sastra, namun tidak
pernah berada dalam kedudukan terisolasi; dan
dalam publikasi lain dalam kerangka yang berbeda,
Jakobson menunjukan relevansi sastra dari segi
kemasyarakatan.
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 85

METASEMIOTIK DAN GLOSEMATIK


LOUIS HJELMSLEV

A. Sejumput Identitas Intelektual


Louis Hjelmslev terlahir di Kopenhagen, Denmark,
pada tahun 1899. Ayahnya seorang professor di bidang
matematika. Ia menyelesaikan studi dari sekolah
dasarnya hingga mendapat gelar master-nya di kotanya
sendiri, Kopenhagen. Ia menyelesaikan master-nya
tersebut pada tahun 1923 dalam bidang linguistik
komparatif. Pada tahun 1923, ia pun hijrah ke Praha,
Paris, dan di kota inilah ia mengikuti perkuliahan-
perkuliahan Linguitik dari Ferdinand de Saussure sekitar
4 tahun lamanya (dari tahun 1923 hingga tahun 1927).
Pengetahuan-pengetahuan linguistik yang didapatkan
Hjelmslev dari Saussure inilah yang kelak
mengantarkannya menjadi penerus teori-teori linguistik
Saussusre yang berpengaruh (Masinambow, 2000:iii).
Pada tahun 1928, Hjelmslev kembali ke kotanya,
Kopenhagen, dan pada tahun yang sama ia menerbitkan
karyanya Principles de Grammaire Générale. Banyak
karya tulis yang lahir menyusul bukunya tersebut
Popularitasnya sebagai linguist pun mulai menanjak
terlebih ketika ia mendirikan organisasi Cercle
Linguistique de Copenhague (1931) dan menerbitkan
majalah Acta Linguistica bersama Viggo Brøndal pada
tahun 1939. Prolegomena to a Language Theory, buku
utamanya, diterbitkan dalam bahasa Denmark pada
tahun 1943 dan dalam edisi Bahasa Inggris pada tahun
1953. Di dalam bukunya ini dia mengusulkan untuk
menetapkan terminologi yang paling luas tentang
86 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

sebuah tataruang yang konseptual untuk teori apapun.


Resumenya, yang diedarkan di dalam beberapa salinan,
dan diterbitkan antara tahun 1941 sampai 1943 dan
selanjutnya diterbitkan pada tahun 1975, secara teknis
adalah kumpulan tentang terminologi, lambang, definisi,
aturan, dan catatan. Gagasannya sering berdasarkan
pada Saussure, tetapi gagasannya itu, dalam suatu cara
yang ambivalen, dan lebih radikal.
Pada tahun 1934, ia pun menerbitkan buku Omkring
Sprogteoriens Grundlæggelse. Beberapa tahun
kemudian ia menerbitkan Travaux You Cercle
Linguistique de Copenhague (1945). Pada tanggal 30
Mei 1965, Hjelmslev meninggal dunia, dan mewariskan
seabreg buah intelektualnya yang cukup banyak
meliputi, linguistik umum, linguistik khusus, linguistik
komparatif, dan lainnya. Karenanya, Louis Hjelmslev
diklaim sebagia orang yang sangat produktif dalam
menulis. Di bawah ini disebutkan beberapa karya Louis
Hjelmslev baik berupa buku, makalah, atau pun berupa
artikel yang telah dimuat di media massa.
• Principes de Grammaire Générale.
Diterbitkan di Kopenhagen oleh penerbit E.
Munksgaard pada tahun 1928.
• "Structure Genérale Correlations of the
Linguistiques." Dalam Hjelmslev, Louis,
Essais of Linguistiques II. Terbit di
Kopenhagen oleh penerbit Nordisk Sprog og
Kulturforlag pada tahun 1933.
• La Catégorie Cas. Étude de Grammaire
Générale. Diterbitkan pertama kali pada
tahun 1935, dan menyusul cetakan kedua
pada tahun 1937 di Aarhus oleh penerbit
Universitetsforlaget. Diterbitkan di Munich
oleh W. Finch pada tahun 1972.
• Le Nature You Pronom. Diterbitkan di Paris
oleh penerbit Klincksieck pada tahun 1937.
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 87

• "Edward Sapir." Dalam Acta Linguistica


Hafniensia 1:76 77. diterbitkan di
Kopenhagen pada tahun 1939.
• “Note sur les Opposition Supprimables.”
Dalam Travaux de l'Institut de Linguistique.
Terbit di Kopenhagen pada tahun 1939.
• "La Structure Morphologique (Type de
Système)." Makalah disampaikan sebagai
pengantar pada Kongres Ahli Linguistik
Internasional (The Internationally Congress
of Linguists) pada tahun 1939.
• "La Notion de Rection." Dalam Acta
Linguistica Hafniensia 1:10 23. Diterbitkan di
Kopenhagen pada tahun 1939.
• “Structural Linguistics.” Dalam Studia
Linguistica I diterbitkan pada tahun 1947.
• Omkring Sprogteoriens Grundlaeggelse.
Diterbitkan di Kopenhagen oleh penerbit E.
Munksgaard pada tahun 1943, dan oleh
penerbit Akademisk Forlag pada tahun 1966.
• "Éditorial. [ programs de la linguistique
structurale ]." Dalam Acta Linguistica
Hafniensia 4:v-xi. diterbitkan di Kopenhagen
pada tahun 1944.
• Prolegomena ton of A Theory of Language.
Diterbitkan di Baltimore oleh penerbit
Universitas Indiana pada tahun 1953 dan di
Madison oleh penerbit Universitas Wisconsin
(tahun 1961 dan 1974).
• Sur l'indépendance de l'épithète. Diterbitkan
di Kopenhagen oleh penerbit Munksgaard
pada tahun 1956.
• "Animé et inanimé, personnel et non
personnel." Dalam Travaux de l'Institut de
Linguistique. Terbit di Kopenhagen pada
88 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

tahun 1956.
• "Pour une Sémantique Structurale." Makalah
disampaikan sebagai pengantar pada
Kongres Ahli Linguistik Internasional (The
Internationally Congress of Linguists) pada
tahun 1958.
• Essais of Linguistiques. Diterbitkan di
Kopenhagen oleh penerbit Nordisk Sprog og
Kulturforlag pada tahun 1959.
• The Language; An Introduction.
Diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh
Francis J. Whitfield dan diterbitkan di
Madison oleh penerbit Universitas Wisconsin
pada tahun 1970 dan di Darmstadt oleh
penerbit Scientific Book Company pada
tahun 1968.
• Essais of Linguistiques. Diterbitkan di Paris
oleh penerbit Éd. de Minuit pada tahun 1971.
• “The Aim of Linguistic Theory.” Dalam J. P.
Allen dan S. Pit Corder (ed.) Reading for
Applied Linguistics. Diterbitkan di Oxford
oleh penerbit Universitas Oxford pada tahun
1973.
• Essais of Linguistiques II. Diterbitkan di
Kopenhagen oleh penerbit Nordisk Sprog og
Kulturforlag pada tahun 1973.
• Essays to the Linguistics. Diterbitkan di
Stuttgart, Jerman oleh penerbit Klett pada
tahun 1974.
• Prolegomena to a Language Theory.
Diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh
Francis J. Whitfield dan terbit di Bloomington
oleh penerbit Universitas Indiana pada tahun
1953. Dicetak ulang di Madison oleh penerbit
Universitas Wisconsin (1963). Dicetak ulang
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 89

lagi di Muenchen oleh penerbit Hueber


(1974).
• Résumé of A Theory of Language.
Diterbitkan di Madison oleh penerbit
Universitas Wisconsin pada tahun 1975.

B. Metasemiotik Louis Hjelmslev.


Lanigan (1988:124-128) menyebutkan bahwa Louis
Hjelmslev merupakan salah satu linguist yang berperan
dalam pengembangan semiologi pasca-Saussure.
Pemikiran pokoknya ia tuangkan dalam beberapa karya
tulis, antara lain lewat karyanya yang terbaik, yaitu
Prolegomena to Theory of Language (1943; yang
kemudian diterjemahkan oleh Francis J. Whitfield pada
tahun 1963) dan Language: An Introduction. Inti-inti
pemikiran Louis Hjelmslev dalam bidang linguistik
antara lain:
a. Menggunakan metode-metode formal untuk
mempelajari suara atau bunyi dan makna.
b. Menolak dengan keras untuk mendeskripsikan
linguistik.
c. Tugas utama linguistik adalah menemukan teori-
teori pendekatan terhadap linguistik (glosematik)
berlandaskan pada prinsip-prinsip empiris bahwa
teori itu seharusnya bebas dari kontradiksi,
lengkap, dan sesederhana mungkin (tanpa
menyebutkan hubungannya terhadap sebuah
data yang nyata).
d. “Induktivisme” membawa pembaca ke
pemahaman konsep-konsep abstrak yang sudah
dihipotesis secara nyata. Induktivisme adalah
konsep penyamarataan; namun Hjelmslev tidak
pernah dapat menghasilkan deskripsi “yang
empiris” tentang bahasa.
e. “Induksi” tidak membawa pembaca pada
ketetapan akan tetapi membawa pembaca pada
90 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

kebetulan.
f. Linguistik “memerlukan deduktif”.
Beberapa pemikiran Hjelmslev di atas telah
memberikan kontribusi kepada semiotik Saussure, yakni
penegasan perlunya sebuah “Sains yang mempelajari
bagaimana tanda hidup dan berfungsi dalam
masyarakat” (Cobley & Jansz, 1999:39). Hjelmslev
berhasil membuat kemajuan dalam memperjelas
perbedaan antara langue dan parole yang telah
dilakukan Saussure. Hjelmslev mendefinisikan “sistem
bahasa” (langue menurut Saussure) sebagai sesuatu
yang bebas dari teks. Tampaknya, dia ingin mengatakan
bahwa bahasa itu pada dasarnya adalah suatu sistem
otonom –karena apabila bahasa tanpa teks itu masih
dapat dibayangkan, maka teks tanpa bahasa itu tidak
dapat. Konsekuensinya adalah ia mereduksikan bahasa
menjadi semacam model linguistik bahasa (language),
dan mengabaikan dua tataran bahasa (model dan
pemakaian) yang integrated.
Seperti Saussure, teori Hjelmslev berawal dari
pendirian bahwa bahasa adalah suatu lembaga supra-
individu yang harus dipelajari dan dianalisis secara
tersendiri, bukannya diamati sebagai sarana atau
peralatan pengetahuan, pikiran, dan emosi, atau lebih
umum lagi, sebagai cara untuk melakukan kontak
dengan yang berada di luarnya (Lechte, 2001: 213).
Singkatnya, pendekatan transenden (bahasa sebagai
suatu cara) seharusnya memberikan jalan kepada
pendekatan imanen (telaah tentang bahasa itu sendiri).
Untuk tujuan ini, Hjelmslev mengembangkan sistem
konsep dan istilah yang dianggapnya sebagai sesuatu
yang sederhana dan ketat, yang pada tingkat
generalitasnya yang paling tinggi akan memperjelas
sifat bahasa sekaligus membuat telaah tentang
realisasinya menjadi semakin mudah.
Menurut Hjelmslev, sistem suatu bahasa mempunyai
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 91

dua sistem (dyadic system), yaitu segi expression


(ekspresi; E) dan segi content (isi; C). Dua istilah ini
sejajar dengan signifier dan signified dari Saussure.
Apabila segi ekspresi (E) adalah segi seleksi kata-kata
(rangkaian signifier), maka rangkaian kata-kata tadi
dapat memberi makna khusus (signified, C), yaitu
umpamanya dengan memindahkan tempat kata-kata
sehingga didengar lebih indah dan halus; seperti halnya
yang terjadi pada puisi. Hjelmslev juga mengatakan
bahwa, selain ekspresi (E) dan isi (C), bahasa juga
mempunyai dua segi lain, yaitu form (bentuk, F) dan
substance (substansi, S). Form (bentuk, F) adalah apa
yang diberi kepada kata yang dipakainya, atau apa yang
dapat diperikan secara lengkap, sederhana, dan
koheren (tiga butir kriteria epistemologi) oleh linguistik
tanpa memperhitungkan premis-premis ekstra-lingual
sedikitpun (Kris Budiman, 1999:12). Sedangkan
substance (substansi; S) adalah kata atau ucapannya.
Melalui bentuk yang dipilih oleh pembicara maka
suatu kata mempunyai arti dan makna. Sehingga kini
dalam sistem bahasa beropersasi empat unsur, yaitu 1)
expression form (bentuk ekspresi) dan 2) content form
(bentuk isi), 3) expression substance (substansi
ekspresi) dan 4) content substance (substansi isi). Maka,
dengan perluasan ini, diperoleh gambaran bahwa
sebelum expression form terbentuk, terdapat bahan
tanpa bentuk (amorphous matter atau purport) yang
melalui expression substance memperoleh batasan
yang akhirnya terwujud dalam expression form
tersebut. Expression form (bentuk ekspresi) tersusun
dari kaidah-kaidah paradigmatik dan sitagmatik,
sementara ekspression substance (bentuk isi)
merupakan organisasi formal petanda-petanda melalui
hadir-tidaknya sebuah marka semantik. Demikian pula,
content form terbentuk dari content substance.
Hjelmslev sendiri memberikan metafora bahwa form
92 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

adalah ibarat jala yang dilempar di laut, pada saat


pelemparan terlihat bayangan jala itu yang diibaratkan
sebagai substance yang memberikan batasan pada
hamparan laut. Hamparan laut itu diibaratkan sebagai
bahan omorphaus, yang tanpa bentuk (Alex Sobur,
2003:61).
Expression Form Content Form
(EF) (CF)

Expression Content
Substance Substance
(ES) (CS)
Hjelmslev menegaskan bahwa tanda-tanda tidak
dapat dibangun secara sederhana sebagai kombinasi
diferensial dari penanda dan petanda. Ia pun
menegaskan tentang hakikat dari sebuah tanda dalam
koneksi logisnya dengan tanda-tanda lain. Menurut
Hjelmslev, logika digital Saussurean dan diferensiasi
either/or (korelasi) membatasi sebuah sistem yang tidak
lengkap. Dia juga mengusulkan bahwa diferensiasi
both/and mempertahankan relasi dalam sebuah proses.
Baginya, sebuah tanda merupakan self-reflexive dalam
artian bahwa sebuah penanda dan petanda masing-
masing secara konsekuensial menjadi membentuk
kemampuan dari ekspresi dan persepsi. Ia beranggapan
bahwa fungsi simbolik bahasa memuat representasi
eidetik dan representasi empiris dari pemaknaan. Fungsi
simbolik bahasa ini berajak dari semiotik konotatif ke
semiotik denotatif dan akhirnya sampai pada
metasemiotik dari referensi yang “riil”.
Semiotik Konotatif Semiotik denotatif
Metasemiotik
Hjelmslev mengatakan bahwa sebuah semiotik
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 93

denotatif adalah “sebuah semiotik yang mana


bidangnya bukanlah semiotik”, sedangkan semiotik
konotatif adalah “sebuah semiotik yang mana
bidangnya bersifat semiotik”. Walaupun demikian,
realitasnya tidak sesederhana seperti itu. Ranah kajian
pun dapat juga menjadi semiotik, dan menurut
Hjelmslev hal ini disebut sebagai sebuah
“metasemiotik”. Metasemiotik dimaksudkannya sebagai
“bentuk penghubugan tanda-tanda dalam teks (sastra)
sebagai fakta semiotis hingga membuahkan gambaran
semiotisnya” (Alex Sobur, 2003:61).
Hjelmslev mencanangkan metasemiotik sebagai
scientific semiotic, yakni sebagai rekonstruksi sistemis
yang memiliki beberapa karakter, yakni 1) dilakukan
interpreternya, dan 2) mengandung hubungan
multiplanar, dalam arti tanda dalam teks mempunyai
hubungan antar tanda dalam teks dan intertektualitas
(memiliki jaringan hubungan dengan subsistem yang
lain secara eksternal), dan 3) dalam kesadaran batin
interpreter, metasemiotik ada sebagai lambang
kebahasaan yang memiliki kerangka hubungan secara
internal maupun eksternal. Metasemiotik sebagai
rekonstruksi interpreter tidak mempunyai pengetahuan
tentang sistem tanda yang ditafsirkannya dan tidak
mampu mengadakan formulasi dan rekonstruksi
(Aminudin, 2000:47).
Linguistik, Menurut Hjelmslev, merupakan sebuah
contoh dari metasemiotik, yaitu telaah tentang bahasa
yang juga adalah bahasa itu sendiri. Para penulis lain
seperti Barthes, Todorov, dan Eco pun menggunakan
pengertian tentang semiotik konotatif dan denotatif,
namun, mereka masih berhati-hati sehubungan dengan
pengertian tentang metasemiotik ini. Hjelmslev,
misalnya, memberikan contoh analisis mengenai jargon
manifest destiny. Menurutnya jargon manifest destiny
dapat dipahami secara tepat bila dirujuk pada persepsi
94 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

orang-orang Amerika pada saat jargon ini muncul.


Menurut Cobley dan Jansz (1999), cukup mudah untuk
menelusuri akar dari jargon ini. Arti denotatifnya
bermakna “tandir yang tak terhindarkan”. Lebih jauh
Cobley dan Jansz (1999:42) menyebutkan:
What strikes the readers of these two words—if he or she
is suffciently versed in history—is a whole set of
assocoations to do with American expansion (the frontier,
the 19th century, heroic pioneers, the railroad, the
claiming of land from the East to the Pacific, the removal
of Native Americans) (Apa yang mungkin dipahami oleh
pembaca dua kata ini—apabila mereka memahami
sejarah Amerika—adalah kumpulan ide yang berkaitan
dengan ekspansi Amerika ke daerah-daerah perbatasan,
pada abad ke-19, perintis-perintis yang heroik, klaim
pemilikan tanah dari Timur sampai pesisir pasifik , dan
penggusuran penduduk asli Amerika)
Kenyataannya, kata Cobley dan Jansz (1999:42),
Manifest Destiny terlahir pada 1846 merupakan jargon
yang dilontarkan presiden Amerika pada abad ke-19
untuk melegitimasi upaya kolonisasi seluruh dantaran.
Karena itu, dalam tanda manifest destiny tersebut
mengandung konotasi. Sebagaimana tanda yang lain,
secara potensian konotasi tersebut dapat mengektifkan
keseluruhan sistem penandaan yang ada dalam
masyarakat.

C. Glosematika Hjelmslev
Pada dasarnya, pemikiran Louis Hjelmslev berusaha
memperjelas dan mempertajam teori umum tentang
bahasa dan linguistik dari Ferdinand de Saussure.
Secara khusus, Louis Hjelmslev dikenal sebagai penemu
“glosematika” dan memberikan penajaman baru
tentang konotasi. Hjelmslev melihat bahwa tetap
adanya suatu penjabaran bahasa sebagai objek utama
linguistik, yang solusinya hampir sudah dapat dipastikan
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 95

komprehensif dan holistik. Untuk menandai


perbedaannya dari pendekatan studi linguistik
sebelumnya, ia mengusulkan untuk mengganti studi ini
dengan nama yang khusus menurut usulannya sendiri
yaitu 'glossematics' (glosematika; berasal dari bahasa
Yunanai "glossa" yang berarti "suatu bahasa") untuk
menunjukkan inovasi dan pendekatannya.
Glosematika dapat disebut sebagai sebuah aljabar
bahasa yang bekerja dengan berbagai entitas tanpa
nama, ilmu yang obyeknya adalah “aljabar bahasa yang
imanen”. Alasan pendekatan baru ini berakar dari
situasi linguistik yang sudah terlalu lama mempelajari
bahasa dari sudut yang transenden, yang berarti bahwa
linguistik mempergunakan hal-hal non-linguistik dalam
upaya memberikan penjelasan tentang bahasa. Oleh
karena itu, glosematika ini berupaya memberikan suatu
kerangka terminologi yang komprehensif dan holistik
untuk memberikan penjelasan tentang realitas dan
penggunaan bahasa.
Dengan glosematika, Hjelmslev sebenarnya
menawarkan sebuah penelitian tentang bahasa dan
jenisnya yang bukan secara umum (seperti Bloomfield
dan Sapir), bukan pula sebuah teori linguistik umum
(seperti Hartmann dan Saussure), tetapi sebuah teori
tentang 'kata pendahuluan' pada perumusan tentang
'teori bahasa'. Sebagai sebuah 'pendahuluan' teori
ilmu bahasa, konsep ini berusaha menemukan dan
merumuskan pendapat tentang suatu linguistik yang
real, logis, sistematik. Suatu ilmu bahasa yang
sistematis tidak hanya menjadi penyokong atau menjadi
pengetahuan derivatif saja, tapi ia harus mencoba
untuk menyerap bahasa, bukan sebagai penimbun ilmu
bahasa saja. Dengan cara inilah bahasa dapat
diperlakukan sebagai objek penelitian ilmiah linguistik.
Seperti ahli-ahli teori yang lain, Hjelmslev
menyatakan rasa hormatnya terhadap bahasa sebagai
96 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

hasil indera manusia. Menurut Hjelmslev, bahasa


--ujaran manusia-- adalah suatu limpahan harta benda
yang tidak akan ada putusnya dan sekaligus menjadi
tanda yang dapat membedakan kepribadian dari setiap
manusia itu sendiri. Bahasa menjadi instrumen di
dalam, format pikir, perasaan, suasana hati, cita-cita,
dan tindakan manusia. Bahasa tidak dapat dipisahkan
dari manusia dan semua tindak-tanduknya. Bahasa
adalah suatu kekayaan warisan yang diterima oleh
setiap individu dan suku bangsa. Bahasa adalah fondasi
yang paling dasar dan yang terakhir bagi umat manusia.
Secara keras, Hjelmslev mengkritik “linguistik
konvensional”. Ia menyatakan bahwa sejarah tentang
teori ilmu bahasa tidak dapat ditulis. Menurut
pendapatnya, linguistik sering disalahgunakan sebagai
nama untuk suatu studi bahasa yang gagal. Hingga
sekarang, ilmu pengetahuan tentang bahasa
mempunyai makna yang samar-samar. Menurut
Hjelmslev, dalam penelitiannya ini ia lebih memilih
menelitinya dengan cara yang berlawanan dengan ilmu
bahasa yang sudah ada sebelumnya, dan dari
penelitiannya ini ia berusaha untuk menyimpulkan
istilah-istilah yang lebih jelas dan terang tentang teori-
teori ilmu bahasa.
Untuk memenuhi tujuan ini, Hjelmslev mencurahkan
sebagian besar tenaganya untuk mengembangkan dan
memperbaiki berbagai kosa kata teknis. Salah satu di
antaranya adalah konsep katalis, sebagai bagian dari
glosematika. Konsep katalis beroposisi dengan analisis.
Jika analisis bersifat memiliah-milah hal yang
teobservasi langsung, maka katalis melibatkan
penyusunan atas hal-hal yang tidak dapat diobservasi
secara langsung. Katalis mengidentifikasi penanda di
balik “substansi” yang secara langsung dapat diakses
lewat pengamatan inderawi. Dengan kata lain, katalis
adalah upaya untuk memahami struktur tanda melalui
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 97

pengenalan atas struktur yang berada di balik data


indrawi. Proses ini, tentu saja, mengandaikan bahwa
analisis terhadap data juga telah dilakukan sebelumnya.
Analisis mesti dilakukan terlebih dahulu (atau dalam
praktiknya, berbarengan dengan) katalis. Data
merupakan bahan mentah bagi analisis, sedangkan
analisis merupakan bahan mentah bagi katalis.
Walaupun pada dasarnya Hjelmslev adalah seorang
tokoh linguistik penganut ajaran Saussure dan tidak ada
perbedaan yang mencolok antara keduanya, akan tetapi
hal ini tidak mengurangi minat pemikir-pemikir linguistik
lain untuk mengutip pemikiran-pemikiran Hjelmslev itu
sendiri. Hal ini juga tidak mengurangi pengaruhnya di
kalangan akademisi, khususnya dalam bidang ilmu
bahasa (linguistik). Pemikir-pemikir besar seperti Eco,
Derrida, Greimas, dll banyak terpengaruh oleh
pemikiran-pemikiran Hjelmslev ini. Walaupun pemikiran-
pemikiran Hjelmslev rumit untuk dikaji, namun tidak
mengurangi niat Eco untuk “terpengaruh” oleh pemikir
ini. Seperti yang dikatakan Eco, teori-teori Hjelmslev
sering menyentak para pembaca sebagai yang tampak
“memiliki kerumitan yang sangat”. Selain Eco, Derrida
pun terpengaruh oleh tokoh ini. Derrida berupaya
memperkenalkan kerangka semiotik dekonstruksi yang
menggoyang struktur metafisis di jantung “teori
transenden tentang tanda dan sistem penandaan.”

WACANA NARATIF DAN ANALISIS


AKTANSIAL A.J. GREIMAS

A. Serpihan identitas Diri


98 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

Greimas, yang bernama lengkap Algirdas Julien


Greimas, terlahir di Lithuania pada tahun 1917 dan
meninggal dunia pada tahun 1992. Ia pertama kali
datang ke Prancis untuk belajar hukum di Universitas
Grenoble. Di kota inilah, minatnya pada kultur Abad
Pertengahan muncul secara menggebu. Sesudah
menyelesaikan Licence es lettres pada tahun 1939,
Greimas mulai mempelajari dialek Franco-provencale. Ia
kembali ke Lituania pada tahun 1940, hanya untuk
menyaksikan invasi yang dilakukan oleh Jerman dan
Russia. Setelah kembali ke Prancis pada tahun 1944, ia
memulai program doktoralnya yang berpuncak, dan
berhasil menyelesaikan tesisnya pada tahun 1948
tentang mode bertajuk Le Mode de l’epoque (mode
pada tahun 1830-an). Inti tulisannya merupakan essai
deskriptif tentang pembendaharaan kata vestimentary
dalam surat kabar masa itu. Buku ini, pada gilirannya
memberikan nuansa pada karya Roland Barthes, The
Fashion System, yang pada awalnya dibuat sebagai
tesis doktor Barthes.
Pada tahun 1956, Greimas menerbitkan sebuah
artikel yang berpengaruh dan penting tentang karya
Saussure, yang memanfaatkan karya dua tokoh penting
lainnya, yaitu Maurice Merlaeu-Ponty dan Claude Levi-
Strauss. Sepuluh tahun kemudian, dalam tahun-tahun
penuh kenangan strukturalisme, terutama tahun 1966,
bersama Roland Barthes, J. Dubois, dan tokoh lainnya,
Greimas mendirikan jurnal Langages dan menerbitkan
karya awalnya tentang semantik struktural, yaitu
semantique structurale (semantik struktural). Bersama
Todorov, Kristeva, Genette, Metz, dan lainnya, Greimas
juga menjadi anggota penelitian semiotik milik
kelompok Levi-Strauss di College de France.
Kertas kerja yang pernah diselesaikan oleh A.J.
Greimas di antaranya adalah Structural semiotics: An
Attempt at a Method (1966), On Meaning: Selected
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 99

Writings In Semiotics Theory (1970), Maupassant: The


Semiotics of the Text (1976), The Social Sciences: A
Semiotic View (1976), Du Sens II: Essais Semiotique
(1983; diterjemahkan menjadi Narrative Semiotics and
Cognitive Discourse oleh Paul Perron dan Frank Collins),
Of Gods and Men: Studies in Lithuanian Mythology
(1985), dan The Semiotics of Passion (1991).

B. Figurasi Wacana Naratif


Dalam sebuah pernyataan terbuka yang ditulis pada
tahun 1975 tentang hubungan antara karyanya dengan
karya Vladimir Propp, A.J. Greimas menuliskan:
Sekarang ini meskipun nilai heuristiknya agak berkurang
dan meskipun pandangan itu tidak terlalu asli, kita masih
tergoda untuk mengikuti contoh Propp, dan menggunakan
prinsip untuk bergerak dari yang diketahui ke hal yang
tidak diketahui, dari yang sederhana ke hal yang rumit,
dari cerita rakyat (sastra lisan) ke sastra tulisan, dalam
upaya kita untuk membenarkan model teoretis parsial dan
bahkan pada fakta yang tidak teratur, agar pengetahuan
kita tentang narasi dan organisasi diskursif menjadi
semakin meningkat.
Tulisan Greimas ini pada dasarnya mengandung
beberapa kritiknya; Pertama, bahwa “contoh dari Propp”
dalam mengembangkan model cerita rakyat Rusia—
meskipun terkenal sangat kaku—masih mempengaruhi
karya para ahli semiotik dalam tahun 1970-an yang
terilhami secara ilmiah. Kedua, Greimas mengingatkan
pembaca tentang kekeliruan pandangan mengenai
konsep metafisis. Konsep metafsisis disebutkan, yakni
“pegerakan dari ‘yang diketahui ke hal yang tidak
diketahui’, ‘dari yang sederhana ke yang rumit’, dan
bahkan ‘dari sastra lisan ke tulisan’. Hal ini tampaknya
datang dari suatu perwatakan filosofis tertentu yang
memberi momentum pada semiologi Greimas, namun
pada saat yang sama sangat ingin ia hindari atau ia
10 Tokoh dan Pemikiran Semiotik
0

ingin ubah. Mengikuti Greimas, upaya untuk


menyandarkan diri, secara implisit, pada kerangka
metafisis seperti itu atau pada sekumpulan asumsi,
akan berakibat dikacaukannya semiotik dengan
lingkungan ontologi atau ke-mengada-an itu sendiri.
Penyebabnya adalah karena saat ingin memisahkan
lingkungannya dari lingkungan ekstra-lingual, linguistik
cenderung memunculkan masalah yang bersifat
konseptual bahkan bersifat empiris. Greimas tidak lari
dari masalah ini, tetapi bergerak lebih jauh dari ahli
semiotik lainnya dalam mengembangkan teori wacana
semiosis (naratif) dan dalam menyadari segala kesulitan
yang datang saat mengaplikasikannya. Buah dari upaya
untuk pembacaan kritis Greimas ini dimaksudkan agar
semiotik menjadi ilmiah, sekalipun beresiko menjadi
positivistik.
Secara implisit di dalam kutipan di atas bahwa
Greimas menyinggung persoalan wacana naratif.
Konsep wacana Greimas, merujuk pada konsep wacana
Benveniste, yaitu “bahasa sebagaimana yang dipakai
oleh penutur bahasa’. Oleh sebab itu, wacana itu adalah
bahasa sebagaimana ia dipakai. Bagi Gerimas, wacana
naratif tidak akan sempurna, tanpa wacana deskriptif.
Untuk itu, Greimas berusaha memformulasikan suatu
teori untuk menganalisis berbagai wacana yang dapat
berlaku secara universal, yakni bertumpu pada wacana
naratif dan deskriptif. Melalui kedua wacana ini, Greimas
berusaha keras melakukan konfigurasi intelektual dalam
bidang ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan. Ia menulis
wacana hukum, khususnya hukum Prancis yang terkait
dengan berbagai perusahaan, dagang, dan
menunjukkan bahwa “dalam kaitannya dengan bentuk,
setiap diskursus hukum datang dari tata bahasa hukum
yang berbeda dari tatabahasa alami yang memunculkan
diskursus ini”.
Greimas menamakan teorinya sebagai semantik
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 10
1
generatif. Dalam teori ini, Greimas membedakan tiga
ranah bagi pemaknaan sebuah wacana, yaitu ranah
“struktur teks”, “struktur semio-naratif”, dan “struktur
kewacanaan. Yang pertama, “struktur teks”, merupakan
ranah permukaan teks yang tidak merupakan isi teks
itu, tetapi sesuatu yang dapat diindera (dicerap oleh
pancaindera). Akan tetapi, ia merupakan suatu
perangkat struktur yang berlapis-lapis yang terdiri atas
“tataran bawah” dan “tataran atas”. Ini mirip dengan
“teori tataran” (theorie des niveaux) yang antara lain
dikemukakan oleh Benveniste (1974), yang
mengemukakan bahwa setiap tataran dalam bahasa
(fonem, morfem, sintagma, klausa, kalimat, atau teks)
membentuk suatu kesatuan dari “bawah” ke “atas” dan
satuan “bawah” terintegrasikan dengan satuan di
atasnya untuk memperoleh makna. Bagi Greimas, pada
“tataran bawah” terdapat unsur-unsur yang belum
menjadi tanda dan belum bermakna. Unsur-unsur
“tataran bawah” itu (yakni fonem-fonem dalam bahasa)
baru bermakna bila terintegrtasi pada “tataran atas”,
yakni tataran tekstual.
Pada analisis Greimas, hal yang diutamakan adalah
teks yang mengintegrasikan semua unsur pada tataran
di bawahnya. Dua ranah lainnya adalah yang terdapat
pada tataran di dalam dan merupakan isi wacana yang
bersangkutan, yaitu struktur semio-naratif dan struktur
kewacanaan. Dalam struktur semio-naratif dapat
ditemukan kaidah-kaidah umum (semacam langue). Jadi
struktur semio-naratif dapat ditemukan pada berbagai
jenis sistem kode (verbal dan non-verbal). Struktur
semio-naratif tidak terikat konteks atau pun setting
(tempat dan waktu). Struktur kewacanaan berkaitan
dengan berbagai jenis aktor dalam berbagai setting,
sehingga berada lebih di “atas” (lebih dekat dengan
struktur teks) dibandingkan dengan struktur semio-
naratif (Benny H. Hoed, 2003:20-21).
10 Tokoh dan Pemikiran Semiotik
2

Satuan-satuan analisis dari konsep Greimas yang


berbeda dari linguistik konvensional adalah salah satu
petunjuk tentang adanya tata bahasa satuan yang
diformalisasikan, dan tentang adanya kemungkinan
model hubungan antara satuan-satuan ini. Greimas
menyadari pentingnya suatu sistem; baginya satu buah
tanda tidak melakukan penandaan. Walaupun demikian,
tidak seperti Saussure, Greimas menekankan bahasa
sebagai suatu “kesatuan struktur penandaan” yang
mensyaratkan bahwa suatu sistem itu sebelumnya
sudah ada, tetapi ia tetap harus diartikulasikan atau
dibentuk. Oleh sebab itu, cara kerja tatabahasa menjadi
pusat perhatian penelitian Greimas, sebagaimana
dilakukan oleh Merleau-Ponty. Selain itu, meskipun
Greimas mempelajari hubungan antar usnur wacana—
paling tidak wacana naratif—namun bukan hanya
kualitas substanstif unsur-unsur ini, ia juga mengambil
jarak terhadap dorongan idealis Saussure.
Perbedaan analisis wacana naratif yang dicanangkan
Greimas dari linguistik konvensional adalah ketika
analisis wacana naratif tidak terlalu memfokuskan
kajiannya pada ‘kata’ maupun ‘kalimat’, tetapi
bertumpu pada suatu jaringan yang memunculkan
makna di dalamnya (discourse; wacana). Bagi Greimas
pengertian tentang suatu ‘jaringan hubungan’ berjalan
seiring dengan pemakaian bahasa, suatu semantik
struktural akan menjadi suatu semiotik naratif saat
makna diubah menjadi satuan-satuan analisis yang
menjelaskan pembentukan makna dalam satu konteks
tertentu. Semiotik naratif menguraikan makna dari
makna. Makna ini tidak bersifat intensional (terkait
dengan subjek psikologis) atau hermeneutik (makna
yang ada sebelum bahasa dipakai). Singkatnya, Greimas
berusaha mempelajari pembentukan makna dalam
wacana, makna sebagai suatu proses penandaan
(signification).
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 10
3
Greimas menempatkan proses pemaknaan
(signification) ini sebagai konsep utama. Sebagaimana
Saussure, bagi Greimas, pemaknaan adalah hasil proses
pembedaan antara dua unsur yang berbeda dalam
suatu relasi sistemis. Salah satu contoh yang dapat
diambil adalah perbedaan antara ibu dan bapak atau
isteri dan suami. Kedua pasang kata itu dimaknai
dengan perbedaan antara “perempuan” dan “laki-laki”.
Ini adalah prinsip disjungsi (hubungan kontras). Namun,
lebih lanjut, perbedaan itu sebenanrnya didasari oleh
persamaan pada tataran yang lebih “atas”, yakni “jenis
kelamin”. Oleh karena itu, sekaligus ada prinsip
konjungsi (hubungan setara). Prinsip ganda (disjungsi
dan konjungsi) ini merupakan struktur elementer
pemaknaan.
Dalam upaya mengembangkan jalinan istilah
autentik, yakni sebuah kosa kata yang sebenarnya
berguna untuk menguraikan dan melakukan analisis
secara semiotik pada lingkup wacana, Greimas
mengikuti langkah Hjelmslev. Greimas mengembangkan
kosa kata khusus untuk struktur elementer pemaknaan
atau “satuan analisis dalam wacana” ini, seperti seme
(satuan arti minimal), sememe (inti semie dan semes
kontekstual yang sesuai dengan ‘arti kata tertentu’),
classeme (atau semes kontekstual), anapora (yang
mengaitkan ujaran atau paragraf). Kosa kata semacam
ini berbeda dari terminologi linguistik konvensional
karena satuan analisisnya itu bukan kalimat melainkan
diskursus. Meskipun demikian, Greimas juga tetap
mengikuti beberapa konsep linguistik konvensional, baik
pada term-term teknis seperti ‘inventarisasi’, ‘pra-
anggapan’, atau ‘praktis’, maupun pada payung baru
bagi linguistik (semiotik)—yang dalam kata-kata
Greimas sendiri ‘menjadi disiplin semiotik yang paling
berkembang’ menjadi yang ‘dianggap memiliki klaim
terkuat dalam statusnya sebagai ilmu’.
10 Tokoh dan Pemikiran Semiotik
4

Term sem (seme) dimaksudkan sebagai struktur


elementer pemaknaan. Term ini jika dikaitkan dengan
teori tanda Hjemslev. Greimas menempatkan sem pada
tataran substansi petanda atau bagian dari content-
substance, jadi belum sampai pada tataran form yang
merupakan unsur tanda (sign) yang efektif. Ini berarti
sem masih belum merupakan unsur tanda, tetapi sudah
terstruktur (semiotically formed). Sem merupakan
satuan terkecil yang membedakan makna dalam proses
pemaknaan dalam bentuk semem-semem. Perwujudan
sem dan semem dapat dicerap dalam bentuk leksikon
pada lapisan teratas (struktur teks), yang sebenarnya
tidak bermakna kecuali pada tataran semem-nya. Dari
semua itu (sem, semem, leksikon), sem merupakan
bagian dari kategori konseptual pikiran manusia.
Kelihatannya di sini sudah ada struktur, yaitu struktur
semio-naratif ada pada tataran sem ini. ini dapat
dipahami karena pada dasarnya struktur adalah suatu
bangun yang abstrak (Benny H. Hoed, 2003:21).
Dari uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
bagi Greimas tanda terdiri dari penanda dan petanda,
yang masing-masing terdiri dari tiga lapisan. Pada segi
penanda (signifer) terdapat tiga lapisan, yaitu 1)
penanda (expression-form) sebagai bagian integral
tanda (tidak terpisahkan dari petandanya), 2) materi
penanda (expression-substance) yang belum memiliki
kedudukan sebagai bagian dari tanda, tetapi sudah
mulai terstruktur (semiotically formed) sebagai materi
penanda, dan 3) materi penanda yang masih belum
memiliki nilai semiotis. Pada segi petanda (signifed)
terdapat tiga lapisan, yaitu 1) petanda (content-form)
sebagai bagian integral tanda (tidak terpisahkan dari
penandanya); 2) substansi petanda (content-substance)
yang belum merupakan bagian integral tanda, tetapi
telah mulai terstruktur sebagai suatu konsep
(semiotically formed); dan 3) substansi calon penanda
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 10
5
yang masih belum memiliki nilai semiotis.

Expression Form Content Form


(EF) (CF)

Expression Content
Substance Substance
(ES) (CS)

omorphaus (bahan)

C. Analisis Aktansial
Bila ‘wacana’ yang dimaksudkan oleh Greimas
sebagai “bahasa sebagaimana yang dipakai oleh
penutur bahasa’ atau wacana itu adalah “bahasa
sebagaimana ia dipakai”, maka bila dipahami dengan
cara ini, akan jelas bahwa Greimas itu pertama-tama
lebih tertarik pada sisi parole dalam distingsi langue-
parole. Walaupun demikian, langue (atau sistem
bahasa) tetap merupakan satuan analisis yang harus
dipakai, karena apabila seseorang ingin membangun
suatu ‘kata bahasa’, maka ujaran harus dipahami
sebagai yang tertata dengan cara tertentu. Ujaran tidak
bersifat kontingen atau sembarang saja. Berdasar pada
alasan ini, maka semiotik struktural etnografi dari
Bourdie lebih diorientasikan pada strategi daripada
aturan. Aturan mensyaratkan adanya seorang pelaku di
balik suatu tindakan yang patuh pada aturan ini.
Pengertian ‘aturan’ banyak mendominasi pemikiran
para ahli strukturalis awal, yang akibatnya
mengutamakan para pelaku di balik tindakan.
Sebaliknya bagi Greimas, yang ada hanyalah para
actant—entitas yang dibentuk oleh konfigurasi tindakan-
tindakan diskursif itu sendiri. Dengan cara yang sama,
pada suatu semiotik struktural jenis Greimasian, tidak
10 Tokoh dan Pemikiran Semiotik
6

ada subjek di balik wacana, yang ada hanyalah subjek


yang dibentuk oleh tindakan diskursif itu sendiri. Dapat
saja ada suatu subjek puncak, namun tidak menjadi
bahan pemikiran semiotik selain ontologi. Oleh ssebab
itu, Greimas mengatakan bahwa ‘pelaku sintaksis’
(syntactic actant) bukan ‘orang’ yang berbicara (subjek
ontologis) melainkan ‘orang yang berbicara’—manusia
semua yang dibentuk oleh tindak bercakapnya. Selain
itu, seperti para pemikir strukturalis lainnya, Greimas
berusaha untuk tidak mempsikologisasikan subjek
diskursif. Seorang pelaku dapat sama dengan dua orang
pelaku psikologis, misalnya sepasang suami istri yang
bersama-sama membentuk satu fungsi dalam suatu
narasi. Sebuah kota dapat menjadi actan, seperti kota
Paris dalam “Two Friends” karya Maupassant.
Dalam usaha untuk menyajikan seperangkat peran
atau aktan yang universal, Greimas mengembangkan
sebuah model aktansial yang mendasari setiap
“pertunjukkan” makna, entah itu berupa kalimat
ataupun cerita. Makna menjadi sebuah totalitas, karena
ia didasari oleh struktur aktansial ini. Tidak ada satu pun
cerita yang dapat menjadi suatu totalitas yang
bermakna tanpa didasari oleh struktur aktansial ini (Kris
Budiman, 1999:76). Menurut Greimas, di dalam tahap
pemikiran pra-bahasa, proses signifikasi bermula dari
oposisi-oposisi biner dasariah yang mengambil bentuk
antroposentris. Melalui tahap ini oposisi-oposisi yang
murni bersifat logis dan konseptual berubah menjadi
aktan-aktan yang berada dalam situasi yang penuh
polemik, yang akan membentuk sebuah cerita
seandainya dibiarkan secara temporal. Aktan-aktan ini,
apabila memperoleh kualitas sosio kultural, akan
membentuk peran-peran (roles) di dalam tindakan-
tindakan fiksional. Namun, apabila mendapatkan
kualitas individual, mereka menjadi pelaku-pelaku
(acteurs) atau tokoh-tokoh (characters) (Kris Budiman,
>
Pengirim Objek Penerima

Tokoh
Penolong dan Pemikiran
Subjek SemiotikPenghalang 10
7
1999:3).

Model aktansial di atas berfokus pada objek yang


dikehendaki atau dicari oleh subjek dan yang
disituasikan di antara pengirim (sender) dan penerima
(receiver). Berbarengan dengan itu, keinginan subjek
didukung oleh penolong (helper) dan dihambat oleh
penghalang (opponent). Yang menjadi poros-poros dari
model ini adalah keinginan, komunikasi, dan partisipasi.
Ketiganya menghubungkan aktan-aktan atau “pelaku-
pelaku” secara mendasar (Kris Budiman, 1999:76-77).
Di lain pihak, Sebuah sekuens naratif pada dasarnya
tersusun karena adanya transfer suatu nilai atau objek
dari satu aktan kepada aktan yang lain, meskipun
aktan-aktan yang pokok di dalam sebuah wacana naratif
hanya berjumlah dua buah. Aktan-aktan tersebut, pada
dasarnya memerankan dua peran pokok, yaitu disjungsi
dan konjungsi (penyatuan dan pemisahan; perjuangan
dan rekonsiliasi). Aktan-aktan tersebut masih dapat
dijabarkan lagi ke dalam enam peran yang bervariasi,
yaitu 1) subjek, 2) objek, 3) pengirim (destinateur); 4)
penerima (destinaire), 5) lawan (opposant), serta
pembantu (adjuvant). Inventarisasi aktan-aktan ini,
dalam padangan Greimas, sekaligus menyusun sebuah
leksikon bagi paradigma naratif ((Kris Budiman, 1999:3)
Apabila penginventarisasian aktan-aktan dapat
dianggap membentuk suatu leksikon paradigma wacana
naratif, maka suatu daftar tambahan berupa struktur-
struktur sintaktik atau prinsip-prinsip strukturasi pun
dibutuhkan untuk melengkapi sebuah gramatika naratif.
Untuk itu, Greimas mencoba memilah tiga tipe sintagma
10 Tokoh dan Pemikiran Semiotik
8

yang masing-masing berlainan; 1) sintagma kontraktual


(syntagmes contractuels), yang mengarahklan situasi
secara menyeluruh untuk membina atau mematahkan
kontrak, pengasingan, dan atau integrasi, dan
seterusnya; 2) sintagma performatif (syntagmes
performanciels), yang terdiri dari pengujian-pengujian,
perjuangan, pelaksanaan tugas-tugas, dan seterusnya;
dan 3) sintagma disjungional (syntagmes
disjonctionnels), yang terdiri dari gerakan-gerakan
peralihan, kepergian, kedatangan, dan seterusnya (Kris
Budiman, 1999:109-110).
Untuk memahami cara aktan berfungsi, khususnya
dalam suatu wacana naratif, Greimas mengembangkan
sejumlah istilah kunci yang harus dipahami, yaitu
‘modalitas’, ‘aspektualitas’, ‘isotopi’. Istilah kunci
pertama adalah ‘modalitas’. Dalam linguistik, pada
awalnya istilah ini menunjuk pada ‘yang mengubah
predikat pada sebuah ujaran’. Dalam ujaran ‘John harus
menulis surat’, predikatnya ada dalam cara kewajiban.
Dalam logika, modalitas terkait dengan cara bagaimana
sesuatu itu dapat berarti dalam suatu hal atau lainnya,
benar atau salah. Misalnya, bila seseorang mengatakan
‘ia sakit pada tahun 2005’ adalah memberikan
modalitas temporal kepada satu keadaan sakit. Mungkin
penggunaan modalitas Greimas lebih dekat kepada
‘pengertian logis’ daripada ‘pengertian linguistik”,
karena ia ingin memberikan status aksiomatik pada
pengertian ini. Maka dari itu, modalisasi merupakan ciri
yang membatasi setiap situasi aktansial yang memang
selalu ada dalam situasi semacam itu.
Oleh sebab itu, ‘ingin untuk’, ‘harus’, ‘mengetahui’,
‘mampu untuk’, ‘melakukan’, ‘adalah’, dan lainnya
membentuk nilai-nilai modal dasar yang sesuai dengan
tingkatan-tingkatan eksistensi tertentu pada jagat
semiotik mikro yang otonom. ’Ingin untuk’ dan ‘mampu
untuk’ berkaitan dengan eksistensi pada tataran
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 10
9
abstrak nilai modal, ‘mengetahui’ dan ‘mampu untuk’
berhubungan dengan tataran aktualitas, sedangkan
‘melakukan’ dan ‘adalah’ berjalinan dengan tataran
realisasi. Singkatnya, modalisasi adalah upaya
‘meletakkan’ bentuk suatu ‘deklarasi aksiomatik’, yang
didasarkan pada ‘prosedur hipotetiko-deduktif’, bukan
bersifat induktif.
Modalisasi bersikap berlebihan dalam menemukan
tidakan para aktan, yaitu subjek dalam wacana naratif,
Karena secara khusus mereka terkait dengan tindakan,
secara niscaya mereka tidak bersifat kontinyu. Oleh
sebab itu, mereka tidak mampu memasukkan keadaan-
keadaan yang kontinyu, seperti pada nafsu dan emosi,
atau kepada perwatakan—‘modalisasi pada keadaan
subjek’—lebih daripada dalam upaya bertindak. Lebih
lanjut, jika modalitas datang dari suatu aksiomatik yang
membangkitkan suatu tatanan dan sistem, maka nafsu
akan membangkitkan ketidakteratutaran,
ketidaklengkapan, kekusutan, dan ketidakstabilan—
proses-proses yang sulit untuk distabilkan.
Untuk menghadapi hal ini, Greimas memperkenalkan
istilah ‘aspektualitas’ dalam telaah semiotik tentang
nafsu. Di sini aspektualitas kelihatan dominan dalam
karya puisi-puisi tertentu yang menitikberatkan
ketidaklengkapan dari pada ‘nilai semantik yang
diidamkan objek itu’ Oleh sebab itu, ‘cinta hanya dapat
diraih pada saat-saat pertama, ‘tatapan saat kelopak
mata terbuka; hari saat fajar; kehidupan manusia saat
kecil’. Kata atau frase atau kalimat seperti itulah yang
sering muncul sebagai penggambaran ‘situasi
permulaan’. Hal kunci pada aspektualitas adalah
kedudukan penting yang dianggapnya ada pada tubuh
dalam kaitannya dengan nafsu dan perwatakan subjek,
suatu hal yang dapat mengawali bidang penelitian yang
tampaknya bersifat sangat abstrak dan sarat pemikiran
(cerebral).
11 Tokoh dan Pemikiran Semiotik
0

Konsep kedua, isotopi adalah kata kunci lainnya


untuk memahami semiotik Greimas. Melalui konsep ini,
Greimas mampu memindahkan titik pusat perhatian
semiotik dari kalimat ke wacana. Terpinjam dari ilmu
kimia (atau ilmu-ilmu alam), isotopi terkait dengan
tingkatan-tingkatan makna yang sejajar dalam suatu
diskursus homogen yang tunggal. Hal ini berbeda
dengan pertentangan hirarkis ‘permukaan laten’ yang
mirip dengan struktur permainan kata. Isotopi
memungkinkan berbagai unsur berbeda (makna,
tindakan, ujaran) menjadi terkait dengan suatu wacana
yang sama. Dalam telaahnya terhadap cerita pendek
karya Maupassant “Two Fiends”, Greimas menunjukkan
bahwa suatu isotopi dapat berupa aktorial, diskursif,
figuratif, atau tematis. Isotopi bentuk aktorial berfungsi
saat kalimat yang mengungkapkan berbagai tindakan
pada akhirnya menunjuk ke satu pelaku--, “Paris”.
Isotopi diskursif berfungsi saat kalimat-kalimat yang
dibuat secara independen dilihat merujuk pada subjek
yang sama. Isotopi figuratif berfungsi saat
naskah menjadi sarana berbagai alegori atau
perumpamaan. Sedangkan isotopi tematis berfungsi
saat naskah ini menyarankan adanya pengetahuan yang
berkembang di luar naratif. Greimas meyakini bahwa
yang dikandung isotopi berupa ‘pembedaan kandungan
mimpi antara yang ‘laten’ dan ‘yang tampil’, seperti
yang diyakini Freud, sudah tidak berlaku lagi. Tanpa
menolak baik wawasan yang mendalam dari ‘isotopi’
maupun kerumitan masalah, Greimas menangani
naskah yang homogen menjadi homogen. Upaya
Greimas ini berbeda dengan apa yang dilakukan oleh
Freud yang seringkali berhadapan dengan naskah yang
heterogen dan diusahakan menjadi naskah yang
homogen. Hasilnya, pemahaman yang ‘tampil’ dan
‘laten’ tampak menjadi berbeda dalam kedua kasus
tersebut.
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 11
1
Isotopi aktorial Satu pelaku

Isotopi diskurfis Subjek yang sama

Isotopi figuratif Alegori

Isotopi tematis Pengetahuan

Untuk sampai pada pemahaman seperti itu, Greimas


mengingatkan kepada pembaca tentang homologi
empat terma. Konsep homologi empat terma
bersangkutan dengan kondisi-kondisi tentang persepsi
makna. Di saat pembaca sedang mengkonstruk objek-
objek kultural, pikiran pembaca harus mematuhi aneka
kendala yang menentukan “kondisi-kondisi keberadaan
objek-objek semiotik”. Kendala paling mendasar adalah
‘struktur signifikasi elementer’ yang mengambil bentuk
homologi empat terma (A:B:-A:-B) dan memperlengkapi
sebuah model semiotik yang dirancang untuk
menjelaskan artikulasi-artikulasi makna di dalam
semesta semantik bertataran mikro (micro-semantic
universe). Karena sifatnya yang diakritik, maka setiap
makna bergantung pada oposisi-oposisi, dan struktur
empat terma ini menghubungkan satuan sekaligus
dengan kebalikan dan lawan-lawannya (hitam:putih:
tidak hitam: tidak putih). Konfigurasi dasar ini tetap
berlaku pula bagi representasi makna yang paling
sederhana dari sebuah teks secara keseluruhan serta
dapat dipahami sebagai suatu korelasi di antara dua
pasang terma yang beroposisi (Kris Budiman, 1999:46).

D. Kasus “Two Friends”


11 Tokoh dan Pemikiran Semiotik
2

Two Friends merupakan karya Maupassant yang


dibedah wacana naratifnya oleh Greimas. Namun dari
250 halaman Two Friends hanya 5 halaman saja yang
dianalisis oleh Greimas. Kontras semacam ini yang
menjadi ciri khas Greimas, tampaknya mulai
mempertanyakan kemungkinan praktis dalam
melakukan analisis, bukan hanya naskah yang panjang,
tetapi juga naskah yang lebih rumit. Potongan kisah
yang dianalisis Greimas berawal dari kisah dua sekawan
yang sedang memancing tertangkap oleh tentara
Prussia. Setelah tertangkap oleh tentara Prussia (waktu
itu sedang berlangsung perang Prancis-Prussia), pada
saat sedang memancing, dua orang bersahabat (the
two friends) itu ditembak karena dianggap sebagai
mata-mata Prancis. Tubuh mereka diberi beban dan
dimasukkan ke dalam sungai tempat ikan yang sedang
mereka pancing. Eksekusi selesai, perwira Prussia yang
memerintahkan eksekusi ini kemudian memerintahkan
agar ikan yang ada untuk dimasak. Segera setelah itu,
pada akhir baris terakhir tertulis, ‘kemudian ia mulai
mengisap pipanya lagi’.
Di sini para pembaca akan terhenyak oleh adanya
kontras yang tajam antara baris terakhir dengan yang
mendahuluinya. Dapat ditafsirkan bahwa (karena
nampak tidak bersatu dengan bagian sebelumnya dan
tampak seperti begitu saja diletakkan) baris terakhir ini
mejadi kunci muatan emosional cerita ini, muatan yang
dimunculkan oleh ketidakpedulian tanpa rasa iba
sedikitpun dalam hati si perwira Prussia. Meskipun—
melalui penggunaan isotopi—ia sering merujuk ke
simbolisme Kristen dan yang lainnya, namun dalam
kaitan dengan kisah ini Greimas tidak meninjaunya
sedikit pun. Ini adalah yang dituliskan Greimas dalam
bagian yang terkait dengan baris terakhir kisah ini.
‘Mengisap pipa’ jelas merupakan representasi figuratif
dari keadaan tenang, yang dicirikan dengan tiadanya
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 11
3
gangguan somatik atau nologis.
Bagi Greimas, baris terakhir ini adalah unsur yang
memberikan sumbangan pada sebagian wacana naratif
yang dibangunnya. Dalam terang ini ia berusaha
menyingkapkan struktur naratif, kemungkinan yang
dibentuk oleh modalitas, isotop, tindakan kognitif dan
pragmatis, dan sebagainya. Tata bahasa ini akan
menjadi sebuah sistem yang implisit terdapat dalam
diskurus narasi. Ia (tata bahasa) lebih mendahulukan
strategi daripada aturan. Secara mendasar tata bahasa
ini masih berada di luar sistem yang ingin
diisolasikannya; ia masih mendominasi naskah ajar
(tutor text) dan tampaknya ingin menjadikan naskah
ajar ini sebagai sasaran kuncinya, yang sekaligus
disepadankan dengan upaya menghindari penguasaan
(atau mistifikasi) naskah oleh tata bahasa. Berdasarkan
hal ini, semangat ilmiah yang berada di belakang proyek
Greimas ini mensyaratkan adanya keterbukaan dalam
upaya melakukan modifikasi teori bila menemui
kesulitas. Oleh sebab itu, mungkin pada prinsipnya
muatan emosional pada naskah ini seharusnya ikut
dikaji, sekalipun itu berarti bahwa semiotik struktural
terpaksa harus menerima tantangan yang paling berat.
11 Tokoh dan Pemikiran Semiotik
4

ROLAND BARTHES:
DARI STRUKTURAL KE POST-
STRUKTURAL

A. Sekilas Tentang Roland Barthes


Tokoh satu ini lahir di Cherbourg pada tahun 1915,
tetapi dibesarkan di dua kota di Prancis, yakni di
Bayonne, sebuah kota kecil dekat pantai Atlantik di
sebelah barat daya Prancis, serta di Paris. Ia berasal dari
keluarga kelas menengah Protestan. Ayahnya adalah
seorang perwira Angkatan Laut yang terbunuh dalam
tugas kala usia Barthes masih kecil. Ia dapat bermain
piano berkat bimbingan bibinya. Masa kecilnya, ia
habiskan di Bayonne dan baru pindah ke Paris ketika
berumur sembilan tahun beserta ibunya yang bekerja
sebagai penjilid buku. Masa hidupnya didasari oleh
budaya borjuis dan dia sering mendengarkan para
nyonya bergosip waktu minum teh. Pada 1934, Barthes
terobsesi masuk Ecole Normale Superiure, tetapi
niatnya urung karena sakit TBC. Karenanya ia terpaksa
harus berobat di beberapa sanatoria di Pyreness dan
Alps (1942-1947). Selama berobat, banyak hal yang
dilakukan Barthes. Ia luangkan waktu untuk menggeluti
Marxisme dan Eksistensialisme Sartre; karenanya
intelektualisme awal Barthes cenderung Marxian dan
Sartrean. Setelah satu tahun berobat, Barthes masuk di
Universitas Sorbone dan mengambil studi bahasa dan
sastra Prancis dan studi klasik (Latin, Romawi, dan
Yunani). Ia juga aktif dalam teater dan drama-drama
klasik bersama beberapa koleganya.
Pada 1948, ia menjadi dosen bahasa dan sastra
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 11
5
Prancis di Bukarest (Rumania) dan Kairo (Mesir). Selama
di Rumania, Barthes banyak belajar kepada salah
seorang linguist terkenal, yaitu A.J. Greimas.
Sekembalinya ke Prancis, ia bekerja untuk Centre
national de recherche Scientifique (Pusat Nasional untuk
Penelitian Ilmiah) dan melahirkan sejumlah artikel
tentang sastra. Pada tahun 1952, ia mendapat beasiswa
untuk mengerjakan tesis leksikologi (tentang kamus
sosial abad XIX). Sebelum merampungkan proyek
tersebut, Barthes mempublikasikan dua kritik sastra,
yaitu Le Degree Zero de l’ecriture (Nol Derajat di Bidang
Menulis; 1953) dan Micheletpar Lui Meme (1954). Buku
pertama berisi kritik Barthes terhadap kebudayaan
borjuis; dalam hal ini ia sejalan dengan Sartre dan
beberapa Marxis Prancis saat itu .
Kreativitas pemikirannya sangatlah dinamis dan
plural. Pemikirannya dapat dikatakan sebagai ikonoklas
(antikemapanan) dan menentang segala macam
kontinuitas dan kesatuan; sebaliknya ia menekankan
diskontinuitas dan pluralitas. Ia hampir mengalami
semua trend pemikiran pada zamannya, seperti
eksistensialisme, Marxisme, dan strukturalisme. Tahun
1955, ia kehilangan beasiswa sebelum sempat
menyelesaikan karya leksikologi-nya. Ia kemudian
bekerja di sebuah penerbitan sambil menulis banyak
artikel. Kegagalan dalam bidang akademik ini tidaklah
membuat Barthes kehilangan elan intelektual kritisnya.
Ia justru memiliki kebebasan dalam mengaktualisasikan
Pergulatan intelektual Barthes kali ini menghasilkan
sebuah karya yaitu Mythologies (1957). Kertas kerja
Barthes ini berisi analisis kritis fakta-fakta kultural
populer seperti mobil Citroen DS, balap sepeda Tour de
France, dan reklame dalam media massa yang
merepresentasikan gejala masyarakat borjuis dan ia
berusaha menunjukkan verisimilitude (ideologi
tersembunyi) dari fakta-fakta tersebut.
11 Tokoh dan Pemikiran Semiotik
6

Pengembaraan intelektualnya semakin tak


tertahankan kala ia membaca karya Ferdinand de
Saussure, Course de Linguistic Generale, pada tahun
1956. Ia menyadari adanya kemungkinan penerapan
semiologi di luar bidang linguistik. Tetapi berbeda
dengan Saussure, sang maestro linguistik panutannya,
Barthes beranggapan bahwa semiologi haruslah
merupakan bagian dari linguistik dan tidak sebaliknya.
Ia sepakat dengan E. Benveniste, linguist Prancis asal
Libanon yang menekankan bahwa sekelompok tanda
hanya baru bermakna bila terbahasakan. Karenanya,
bahasa mempunyai suatu prioritas di atas semua sistem
tanda yang lain.
Sejak 1960, ia menjadi asisten dan kemudian
menjadi “direktur studi” di Ecole Praqtiquea des hautes
etudes. Berkat pengabdiannya, pada tahun 1976, ia
diangkat sebagai professor untuk “semiologi literer” di
College de France. Masa ini merupakan masa
pergulatan intensif Barthes dengan strukturalisme,
khususnya semiologi. Hasilnya, pada tahun 1964 ia
mengintrodusir dua karya yang berkaitan dengan
semiologi, yaitu Elements de Semilogie (Beberapa Unsur
Semilogi) dan Sur Racine (tentang Racine). Sebagian
penulis menyebutkan bahwa Sur Racine ditulis pada
tahun 1963, yakni sebelum Elements de Semiologie,
sedangkan penulis lainnya menyebutkan bahwa
sebaliknya, yakni Sur Racine lahir pada 1964 setelah
Elements de Semiologie [Bentens, 1996:210]. Dalam
Elements de Semiologi, Barthes melukiskan prinsip-
prinsip linguistik dan relevansinya di bidang-bidang lain.
Kertas kerja inilah yang berjasa menempatkan Barthes
sebagai salah seorang empu semiologi struktural.
Sedangkan dalam buku keduanya, menurut para
strukturalis sezamannya, Barthes sedang memberikan
suatu interpretasi baru tentang dramawan besar dari
sastra Prancis abad ke-17, Jean Racine. Barthes
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 11
7
menawarkan pendekatan baru dalam mendedah karya
sastra, yang disebutnya sebagai Nouvelle Critique (kritik
sastra yang baru); pendekatan ini ia aplikasikan untuk
mengulas Jean Racine. Interpretasi baru tentang Racine
mendapat kritikan tajam dari Raymond Picard, seorang
Professor di Universitas Sorbone, yang menulis Nouvelle
Critique ou Nouvelle Imposture? Picard berusaha
membela dan mempertahankan pandangan tradisional
tentang Racine. Tulisan Picard pun dijawab Barthes
dengan mempublikasikan Critique et Verite (1966).
Polemik pun terjadi di antara para pendukung
keduanya, yang terdikotomikan antara modernis dan
tradisionalis. Namun, satu hal dapat dicatat bahwa
peristiwa ini justru semakin mengokohkan Barthes
sebagai tokoh mondial, sejajar dengan Michel Foucault,
Jacques Derrida, dan Jacques Lacan.
Eksperimentasi Barthes dalam menerapkan analisis
struktural-semiologis semakin nampak dalam karya
berikutnya, yaitu Systeme de la Mode (Sistem Mode;
1967). Ia menerapkan analisis struktural-semiologis atas
mode pakaian wanita. Dalam pandangan umum, mode
pakaian merupakan sesuatu yang kebetulan dan sepele;
namun analisis Barthes menunjukkan bahwa di
belakang mode-mode pakaian wanita tersimpan suatu
sistem (tersembunyi). Ia menggunakan artikel-artikel
mode pakaian dalam dua majalah dari tahun 1958-
1959. Mode-mode pakaian itu diperlakukannya sebagai
sebuah korpus (satuan objek) dan ditafsirkannya
sebagai suatu “bahasa” yang ditandai sistem relasi-
relasi dan oposisi-oposisi (seperti antara perbagai
warna, bahan tekstil yang tertentu, dan krah tertutup
atau terbuka) (Bertens, 1996:20).
Dasawarsa terakhir hidupnya merupakan masa
keemasan intelektualnya. Hampir setiap tahun ia
melahirkan satu karya. Di antara karya pertama yang
monumental masa ini adalah S/Z (1970). Buku ini
11 Tokoh dan Pemikiran Semiotik
8

merupakan kerja intelektual Barthes dalam


strukturalisme. Ia menganalisis sebuah novel kecil yaitu
Sarrasine karya Honore de Balzac, sastrawam Prancis
abad ke-19. Uniknya, ulasan Barthes panjangnya enam
kali karya novel aslinya. Tahun 1980 merupakan tahun
duka cita bagi para pengikut, kolega, dan para
pengagumnya, karena ia wafat pada usia 64 tahun
karena tertabrak mobil di Paris sebulan sebelumnya.

B. Persetubuhan dengan “teks” dan Sistem


Reproduksi Makna
Dalam sistem semiologi Saussure, para ahli semiotik
seringkali membedakan berbagai tingkatan, yang saling
mempengaruhi. Semiologi struktural dikembangkan
dengan cara lain oleh Hjelmslev, kemudian oleh
Greimas (l. 1917), dan "aliran Paris"-nya, yang terkenal
antara lain karena analisis mereka tentang interaksi
yang terjadi antara berbagai pemegang peran (subjek
dan objek suatu tindakan, pengirim dan penerima suatu
pesan, dsb.) di dalam teks tertentu. Setelah Hjemslev
dan Greimas, semiologi Saussure menapaki puncaknya
di tangan seorang ilmuwan Prancis yang
mengembangkan teori Saussure mengenai tanda di
aneka ragam bidang, yaitu Roland Barthes. Namun, di
tangan Roland Barthes pula, semiologi struktural mulai
beranjak ke tradisi post-struktural, beranjak dari struktur
teks menuju analisis orientasi-pembaca dan lainnya.
Sebagaimana Saussure, Roland Barthes meyakini
bahwa hubungan antara sebuah petanda dan penanda
bukanlah terbentuk secara alamiah, melainkan bersifat
arbitrer, yaitu hubungan yang terbentuk berdasarkan
konvensi, maka sebuah penanda pada dasarnya
membuka berbagai peluang petanda atau makna.
Roland Barthes menyatakan bahwa apapun jenis tanda
yang digunakan dalam sistem pertandaan, menurut
semiotik struktural, ia tetap harus menyandarkan
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 11
9
dirinya pada hubungan struktural dalam sistem langue.
Dengan demikian, dalam tahap ini, Roland Barthes
masih mempertahankan kaidah-kaidah strukturalisme,
namun dia tidak terpaku pada konsep diadik signifier-
signified Saussure. Barthes menyebut proses
pemaknaan tanda dengan signification (signifikasi). Bagi
Barthes, signifikasi merupakan proses memadukan
pananda (signifier) dan petanda (signified) sehingga
menghasilkan tanda. Signifikasi tidak mempersatukan
entitas-entitas yang unilateral, tidak pula memadukan
dua terma semata-mata, sebab baik penanda maupun
pertanda itu sekaligus merupakan terma-terma dari
relasi. Namun kemudian dia lebih banyak
mengembangkan konsep pemaknaan konotasi dan tidak
hanya berhenti pada pemaknaan denotatif (makna
primer). Karenanya, wajar bila orang belakangan
menyebut Barthes sebagai tokoh semiotik konotasi
(Panuti dan van Zoest, 1992:3-4).
Salah satu area penting yang dirambah Barthes
dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca
(the reader). Untuk menjelaskan konsepnya ini, Roland
Barthes mencoba membedakan antara “teks yang enak
dibaca” (lisible) dan “teks yang enak ditulis” (scriptible).
Menurut Barthes “teks yang enak dibaca” (lisible)
adalah teks yang sekedar dapat dibaca ‘begitu saja’. Di
dalam teks seperti ini peralihan dari penanda ke
petanda berlangsung dengan jelas, lancar, tetap, dan
wajib. Teks yang enak dibaca bersifat statis, seolah-olah
“dengan sendirinya” dapat dibaca. Teks semacam ini
juga melestarikan pandangan yang mapan tentang
realitas dan nilai-nilai yang usang dan membeku, namun
tetap berperan sebagai model bagi dunia. Teks jenis ini
mempra-anggapkan dan tergantung pada anggapan-
anggapan lugu tersebut, di dalamnya hubungan yang
pasti antara penanda dan petanda. Di dalam teks ini
penanda-penanda berbaris rapi dan, sebagai
12 Tokoh dan Pemikiran Semiotik
0

paradoksnya, sering kali justru hal itu disebut sebagai


teks yang ‘gampang dibaca’ (Kris Budiman, 1999:31).
Sedangkan “teks yang enak ditulis” (scriptible)
adalah teks yang secara sadar diri mengundang
pembaca untuk membacanya, “terlibat” dan waspada
terhadap kaitan antara menulis dan membaca, dan
yang serentak memberikan kebahagiaan kooperatif
kepada pembaca, semacam kemitraan dengan
pengarang, atau bahkan ada moment yang paling
intens, yaitu “persetubuhan”. Dalam teks jenis ini
penanda-penanda bebas bermain-main, tidak dituntut
untuk mengacu secara otomatis kepada petanda-
petanda. Teks yang enak ditulis mengajak pembaca
untuk tidak melihat hakikat bahasa itu sendiri melalui
bahasa di dunia nyata yang belum ditakdirkan. Teks-
teks semacam ini justru melibatkan pembaca dalam
aktivitas penciptaan dunia kini dengan cara yang penuh
bahaya namun menyenangkan bersama-sama dengan
pengarangnya. “Teks yang enak ditulis” tidak
mempraanggapkan apapun, ia justru mengakui bahwa
peralihan dari penanda ke petanda tidak pernah terbuka
bagi permainan kode-kode. Di dalam teks semacam ini,
penanda-penanda menari-nari, namun—paradoksnya—
justru dikatakan sebagai teks “yang sukar dibaca” (Kris
Budiman, 1999:31-2).
Pengalaman yang diperoleh dalam aktivitas
membaca kedua teks di atas, pada dasarnya,
melibatkan dua jenis kenikmatan, yaitu plaisir
(kenikmatan) dan jouissance (kesukacitaan, ekstasi,
bahkan kenikmatan seksual yang orgasmik). Plassir
diperoleh melalui proses membaca yang ‘tembak
langsung’ (straight forward), sedangkan jouissance
melalui sebuah perasaan tersendat-sendat dan
terganggu. Hal ini menyiratkan bahwa-sementara plaisir
melekat di dalam tatanan bahasa yang serba jelas, yang
tersedia sebagai material bagi teks yang enak dibaca,
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 12
1
jouissance terlahir dari teks-teks yang enak ditulis atau
pada detik-detik klimaks ketika membaca teks yang
enak dibaca, ketika tatanannya hancur berantakan,
ketika bahasa yang serba jelas tiba-tiba jungkir balik
(subverted) dan muncrat seperti sebuah orgasme. Teks
plaisir merupakan teks yang berisi, kesenangan yang
pasti, teks yang bersumber dari kultur dan enggan
melepaskan diri darinya, terkait dengan praktik
membaca yang membuat kerasan (comfortable).
Sebaliknya, teks jouissance adalah teks yang
mendedahkan suatu rasa kehilangan, teks yang tidak
membuat kerasan, yang bahkan-pada moment tertentu
membosankan, serta menggoncangkan asumsi-asumsi
historis, kultural, dan psikologis pembacanya, teks yang
merusak konsistensi selera, nilai-nilai, serta ingatan
pembacanya, yang membawanya ke arah krisis
hubungan dengan bahasa (Kris Budiman, 1999:56-7).
Dengan demikian, maka metode dalam mendekati
suatu teks atau menilainya dilihat dari bagaimana
pembaca memproduksi makna terdalam (atau makna
tingkat kedua) itu. Berdasarkan pada asumsi di atas,
dalam S/Z (1974: 1-5), Barthes mengajak untuk menilai
suatu teks dengan dua cara: Writerly dan Readerly.
Kedua cara ini menghasilkan dua teks, Writerly text dan
Readerly text. Bathes tidak secara jelas mendefinisikan
kedua istilah ini kecuali secara negatif, Barthes (1974:
5) menulis, The writerly adalah novelistik tanpa novel,
perpuisian tanpa puisi, esai tanpa desertasi, tulisan
tanpa gaya, produksi tanpa produk, strukturasi tanpa
struktur. Namun apakah readerly texts? Mereka adalah
produk-produk [dan bukan produksi], mereka
menciptakan sejumlah besar massa dunia sastra.”
Namun dapatlah kiranya dipahami bahwa writerly text
adalah apa yang dapat ditulis pembaca sendiri terlepas
dari apa yang ditulis pengarangnya. Sedangkan
readerly text adalah apa yang dapat dibaca, tetapi tidak
12 Tokoh dan Pemikiran Semiotik
2

mendorong pembaca untuk menulis, yakni teks terbaca


yang merupakan nilai reaktif dari writerly text. Barthes
sendiri memilih writerly text sebagai penilaian. Hal ini
karena Barthes beralasan, “Karena tujuan dari karya
sastra [tujuan sastra sebagai karya] adalah untuk
membuat pembaca tak selamanya seorang konsumen,
tapi seorang produsen teks.”
Dalam “teks yang enak ditulis” (scriptible) atau
writerly text, teks kemudian menjadi terbuka terhadap
segala kemungkinan. Pembaca akan berhadapan
dengan pluralitas signifikasi. Hal paling mendasar dari
pengaruh tersebut terlihat dari penggantian epistimologi
dengan pleasure (kenikmatan). "The text you write must
prove me that it desires me. This proof is exists; it is
writing. Writing is: the science of various blisses of
language, its Kama Sutra (this science has but one
treatise: writing it self" (Barthes, The Pleasure of the
Text, 1975). Bagi Barthes, jika sebuah teks tidak
menggetarkan buhul-buhul darah para pembacanya,
tidaklah memiliki meaning apa pun. Ia harus
menggelinjang keluar dari bahasa yang dipergunakan-
tak ubahnya seperti seni bercinta Kama Sutra. Bagi
Barthes pernyataan "bikinan melulu" atau "seperti
kristal" tidak berarti apa-apa kalau pembaca tidak
merasakan pengalaman yang sama saat mengarungi
dahsyatnya teks, terjerambab dalam belantara imajinasi
yang tertetak secara leksikal.
Barthes mencoba membantu para penggiat masalah
semiotik, bahwa jika ingin mengaktifkan pleasure,
pembaca mesti mengganti meaning (dalam pengertian
Saussurean) hanya dengan kode, signification dengan
signifiance, the will to knowledge dengan will to desire.
Barthes menjelaskan secara aforistis dan metaforis
dalam buku The Pleasure of the Text, bahwa
pemfokusan ulang perlu dilakukan agar pleasure
menemukan tandanya sendiri melalui teks; hal ini boleh
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 12
3
jadi tak ditemukan sebelumnya karena seluruh beban
pengetahuan terkendali oleh struktur. Strukturlah yang
menjadi final dari semua proses komunikasi, signifikasi,
dialektika, dan (secara garis besar) budaya. Semiotik
menjadi metode membaca masalah-masalah
kemanusiaan, termasuk membaca sebuah teks.
Berdasarkan pengertian seperti ini struktur dikhayalkan
tidak akan mengalami kemajalan dan penyimpangan.
Padahal strukturalisme dalam sebagian besar
penampakannya hanya menjadi hegemonisasi
pengetahuan atas nama kepastian (exactness).
Di dalam buku From Work to Text (1971) sikap
Barthes tentang jouissance and plaisir mengemuka
dalam tulisan-tulisan setelahnya-menunjukkan jejak
referensial yang otentik. Dalam buku ini, ia men-
decentering posisi subyek-dengan mengambil beberapa
konsepsi yang dicatat Lacan, Althusser, dan Foucault-
bahwa pekerjaan terhadap teks bukanlah pekerjaan
mengonsumsi semata tetapi a work of art yang
mencerap aspek-aspek keutamaan, esensial, bobot
yang terkandung dalam teks itu sendiri, di mana seluruh
tindakan selanjutnya adalah mencari inti bacaan,
menggeledah, mendiskusikannya dan lain-lain-
disimpulkan dengan istilah rekonsepsionalisasi seluruh
teks. Pekerjaan seperti ini-seperti juga menulis dan
wicara (speech)-mungkin akan menghilangkan beberapa
keutamaan awal (dari work) karena langkah berikutnya
berhubungan dengan lapangan interaksi, yang disebut
dengan bermain (play/simulacrum). Kesimpulan akhir
dari sikap bermain-main adalah rasa bosan karena
kepenuhan diri terhadap seluruh teks (tulisan). Istilah
yang agak garang namun pas untuk maksud di atas
terungkap dalam buku Art in Theory, "bahwa tujuan
akhir bermain adalah anti-hierarkial"; penegasan bahwa
kebenaran tentang eksistensi the author (pemegang
wewenang terhadap writing) tidaklah sedemikian
12 Tokoh dan Pemikiran Semiotik
4

penting lagi.
Pada titik ini Barthes mengkritik pendekatan tunggal
yang selama ini merupakan cara represif yang tidak
produktif. Pergeseran pusat dari perhatian kepada
pengarang (author) kepada pembaca merupakan
konsekuensi logis dari semiologi Barthes yang
menekankan semiologi tingkat kedua yang memberi
peran besar bagi pembaca untuk memproduksi makna.
Inilah titik kulminasi semiologi struktural Barthes, yang
menurut Bathes, seperti dikutip Culler (1988: 82),
“Strukturalisme berusaha untuk memahami bagaimana
pembaca menciptakan makna dari sebuah teks yang
membawa orang untuk berpikir tentang sastra tidak
sebagai sebuah representasi atau komunikasi, tetapi
sebagai sebuah seri-seri dari bentuk-bentuk yang
diproduksi oleh institusi sastra dan kode-kode diskursif
dari sebuah budaya.” Pembaca kemudian dapat
melakukan interpretasi terhadap suatu karya, tetapi
interpretasi di sini berbeda dari pemahaman umum
tentang penemuan makna-makna tersembunyi atau
makna ultimate dari suatu teks. Interpretasi dalam
pengertian Barthes (1974:5) adalah: “Untuk
menginterpretasi sebuah teks bukanlah untuk
memberikannya sebuah makna [yang lebih kurang
dikukuhkan, lebih kurang bebas], tetapi sebaliknya
untuk mengapresiasikan kejamakan apa yang
mengkonstitusinya.”
Bagi Barthes, setiap citra atau imaji niscaya memiliki
sifat polisemik, menyiratkan serangkaian petanda-
petanda yang “mengambang” di balik penanda-
penandanya. Menurutnya, berbagai teknik telah
dikembangkan dalam upaya untuk “menangkap” (to fix)
serangkaian penanda yang “mengambang” tersebut
dan untuk menghindari deviasi makna. Salah satunya,
amanat lingual –yang biasanya menyertai sebuah citra
(judul, caption, dialog di dalam film, balon dialog pada
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 12
5
komik, dan sebagainya), merupakan salah satu dari
beragam teknik tersebut. Amanat lingual ini, dalam
relasinya dengan amanat ikonik, memiliki dua macam
fungsi, yaitu fungsi penambat dan fungsi pemancar.
Amanat lingual terutama dalam tataran denotasi
akan berkorespondensi secara tepat dengan sebuah
fungsi yang dapat “menambat” atau “mengunci”
berbagai kemungkinan makna-maknanya. Dalam
fungsinya sebagai penambat, amanat lingual dapat
membantu pembaca dalam memilih tataran persepsi
yang tepat, memfokuskan pandangan, dan memahami
wacana. Di tengah tengah amanat ikonik, eksistensi
sebuah amanat lingual bermanfaat untuk memandu
proses identifikasi dan interpretasi. Tentu saja sebuah
penambat pun dapat berkarakter ideologis, dan
sesusngguhnya hal inilah yang justru merupakan
fungsinya yang paling mendasar. Teks akan menuntun
pembaca dalam menelusuri petanda-petanda citrawi
sehingga dia mampu memilih petanda yang satu dan
mengabaikan petanda-petanda yang lain. Sebagai
penambat, fungsi teks ini seolah-olah seperti alat
kontrol jarak-jauh (remote control) bagi pembaca agar
dia dapat memilih dan menentukan makna sebuah citra
(Kris Budiman, 1999:92)
Fungsi pemancar memang cukup jarang ditemukan;
secara khusus ia dapat disaksikan di dalam kartun,
komik, atau film. Melalui fungsi ini teks (biasanya
berupa dialog) dan citra saling berhubungan secara
komplementer. Sebagaimana halnya citra-citra, di sini
kata-kata merupakan fragmen dari sebuah sintagma
yang lebih general dan keutuhan amanatnya
terealisasikan pada tataran yang lebih tinggi, yakni
cerita atau diegesis. Fungsi teks sebagai pemancar ini
sangatlah penting bagi film yang di dalamnya dialog-
dialog bukan hanya berfungsi sebagai penjelas,
melainkan sungguh-sungguh mengembangkan tindakan
12 Tokoh dan Pemikiran Semiotik
6

melalui makna-makna yang tidak dapat ditemukan


semata-mata di dalam citra itu sendiri (Krris Budiman,
1999:91-2).

C. The Death of Author


Sebagai konsekuensi konsep writerly text, yakni
ketika kemudian menjadi terbuka terhadap segala
kemungkinan dan pembaca akan berhadapan dengan
pluralitas signifikasi, maka Roland Barthes kemudian
memproklamirkan the death of author (kematian sang
pengarang). Sebagaimana kaum strukturalis lainnya,
Barthes tidak mengikutsertakan pengarang dalam
menentukan makna. Persoalannya, bagaimanapun
mereka meyakinkan pembaca bahwa pengarang telah
mati. John Bayley yang antistrukturalis menyatakan
bahwa dosa semiotik adalah mencoba menghancurkan
rasa kenyataan manusia dalam cerita rekaan dalam
cerita yang bagus kenyataan mendahului cerita rekaan
dan tetap terpisah darinya (Selden, 1986:21). Barthes
memperkuat pandangan strukturalis tersebut dengan
menyatakan bahwa penulis hanya mempunyai kekuatan
mencampur tulisan-tulisan yang pernah ada
sebelumnya, mengumpulkan atau menyusun kembali.
Penulis-penulis tidak dapat mengungkapkan diri tetapi
hanya mempergunakan kamus bahasa dan kebudayaan
amat luas itu yang selalu telah tertulis (Selden, 1986:53-
54).
Dengan kata lain, Barthes sepakat dengan kaum
strukturalis bahwa author telah mati ketika teks
tercipta. Dalam “The Death of Author” (kematian sang
pengarang) (1977, dalam Herety, ed., 2000), ia banyak
memaparkan tentang peran pengarang, buku dan
teksnya. Dikatakan, penggusuran pengarang, peran
sang pengarang yang mungkin mengecil (seperti
pemain yang menghilang pada ujung panggung) bukan
hannya suatu fakta sejarah atau suatu tindakan menulis
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 12
7
saja: hal ini sama sekali mengubah teks modern atau,
dengan lain perkataan, teks diproduksi, dibaca, dan
pegarang tidak hadir di san, pada setiap tingkat).
“Pembaca tahu bahwa suatu teks terdiri bukan dari
suatu barisan kata-kata yang melepaskan suatu ‘makna
teologis’ (artinya, pesan dari tuhan Pengarang), tetapi
suatu ruang multidimensi yang telah mengawinkan dan
mempertentangkan beberapa tulisan, tidak ada yang
asli darinya: teks adalah suatu tenunan dari kutipan,
berasal dari seribu sumber budaya.”
Semiologi Barthes kemudian sungguh-sungguh
merayakan pluralitas dan memproklamirkan kematian
pengarang. Dalam bahasanya sendiri Barthes (1977:
148) menyatakan: “Kelahiran pembaca pastilah dibayar
dengan kematian pengarang.” Hal yang kurang lebih
sama terjadi pada cara Barthes menulis semacam
autobiografi dirinya sendiri dalam Roland Barthes par
Roland Barthes. Dalam bukunya itu Barthes lebih
menggunakan kata ganti orang ketiga, “dia”, atau inisial
namanya, “RB”, dan kadang-kadang dengan “kamu”.
Dalam buku itu ditegaskannya bahwa, “Aku tidak
mengatakan: “Aku akan melukiskan diriku,” tetapi: “Aku
akan menulis sebuah teks, dan aku menyebutnya R.B.”
Barthes sebenarnya ingin melepaskan subyek, yakni ke-
pengarang-an yang biasa melekat pada sebuah teks
autobiografi konvensional. Barthes (1985: 215)
menyatakan bahwa: “Aku ingin merajut sebuah jenis
moire [katun rayon yang bercorak gelombang] dengan
sebuah kata ganti ini untuk menulis sebuah buku yang
dalam wujudnya berupa buku image-repertoar,
’imaginaire, tetapi sebuah image-repertoar yang
mencoba untuk membatalkan dirinya mengurai dirinya,
memecah dirinya melalui struktur-struktur mental yang
tak lagi sebatas image-repertoar ini tanpa adanya—
untuk semua itu—struktur kebenaran.”
Dengan demikian, maka sebuah teks autobiografi
12 Tokoh dan Pemikiran Semiotik
8

kehilangan “kebenaran”-nya dan kembali menjadi teks


belaka yang sama fiktifnya dengan teks-teks sastra.
Implikasi dari pandangan ini membuat analisis struktural
dan semiologi Barthes tak lagi sekedar berada di lingkup
sastra. Tetapi sudah meluas mencakup filsafat, apalagi
sejak awal Barthes tidak memilah-milah antara teks
sastra, teks filsafat, atau teks keagamaan (ayat suci
dalam kitab suci, misalnya). Baginya semuanya sama
saja dan diperlakukan secara sama. Semua teks itu
kemudian berarti pula tak memiliki makna substansial
atau yang tersembunyi seperti selama ini di cari-cari
oleh para filsuf atau agamawan ketika
menginterpretasikan teks filsafat atau teks keagamaan.
Akibatnya, seperti diakui sendiri oleh Barthes (1977:
147), “…Tepatnya dengan cara ini sastra [lebih baik
mulia sekarang disebut tulisan], dengan menolak untuk
menetapkan sebuah “rahasia”, sebuah makna ultimate
terhadap teks [dan dunia sebagai teks], membebaskan
apa yang disebut kegiatan inti-teologis, sebuah kegiatan
yang sungguh-sungguh revolusioner sejak menolak
untuk menuntaskan makna dan pada akhirnya untuk
menolak Tuhan dan hipotesa-hipotesa tentangnya—
akal, ilmu, hukum.”
Pernyataan tentang kematian author menjadi sentral
yang cukup penting dalam pemikiran Barthes berkaitan
dengan martabat sebuah tulisan. Kata author tidaklah
mengacu kepada pengertian writer ansich. Definisi yang
lebih memuaskan tentang author adalah kompetensi
atau wewenang yang dimiliki para pihak atau lembaga
untuk menentukan makna final atau paling absah dari
sebuah teks. Pemikiran ini sendiri mengundang banyak
ulasan dari para semiotisian. Umberto Eco misalnya,
dalam tulisan "language, Force, and Power" (Eco,
Travels in Hiperreality, 1986: 239-255) menyatakan
bahwa Barthes sejak awal ingin menjadikan semiotik
tidak sebagai ilmu terusan tentang tanda semata, tetapi
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 12
9
juga sebagai kekuatan eksentrik budaya modern. Salah
satunya adalah dengan konsepnya tentang the author
yang ia sampaikan saat pengukuhan guru besar di
Colleg de France. Menurut Eco, Barthes menyadari
bahwa kekuasaan modern telah lahir dengan begitu
lembut melalui mekanika sosial dan sangat mungkin
masuk dalam relung-relung kepentingan, tidak hanya
negara, kelas, grup, tetapi juga di dalam fashion, opini
publik, hiburan, olahraga, berita, informasi, keluarga
dan hubungan pribadi. Barthes menyebutkan dengan
istilah wacana kekuasaan (discource of power) yang
membuat manusia merasa bersalah sebagai penerima.
Barthes dengan retoris mengatakan, "You carry out a
revolution to destroy power, and it will be reborn, within
the new state of affairs"(Eco, 1986:240).
Barthes melihat peran kuasa (power) dalam wacana
dapat berubah menjadi srigala pemangsa yang
menghancurkan kreativitas pembaca saat menerima
sebuah informasi atau teks (Barthes juga berbicara
tentang kamar-kamar non-linguistik, seperti foto, menu
masakan, atau mode pakaian). Kuasa tak ubahnya
seperti parasit yang terhubung dalam seluruh sejarah
manusia, tidak hanya sejarah politiknya, tetapi juga
dimensi historis dari sejarah itu sendiri. Oleh Karena
sejak semula telah berusaha untuk mengurangi peran
authorithy dari teks, maka teks tidak harus berhenti
dalam menemukan aspek signifier barunya. Teks tidak
terpengaruh oleh signifier yang memang dengan
sengaja telah dimunculkan oleh author lama. Arena baru
harus menyediakan tempat untuk "menggantung" suara
"Tuhan" (Barthes memakai metafor ini mungkin untuk
mengejek ketakutan dan sikap grogi manusia), dan
mengganti dengan suara manusia sendiri, suara
pembaca.
Begitu berada di tangan pembaca yang liar dan
agresif, tulisan dapat terkelupas, meledak, dan tersebar
13 Tokoh dan Pemikiran Semiotik
0

sehingga tidak mampu dikendalikan lagi oleh


penciptanya (St Sunardi, 2002:271). Kini otoritas sebuah
tulisan menjadi labil dan lemah di tangan author-God,
beralih wewenang dalam bahasa itu sendiri. Hidup
matinya author berada di tangan pembaca yang sedang
menikmati teks tersebut. Barthes menekankan analisis
tekstual pada kondisi seperti ini. Ruang demokratis
terbuka lebar karena tak ada yang berhak menganggu.
Pembaca sedang belajar mendewasakan diri di hadapan
teks untuk menjadi “author" baru. Pembaca bukanlah
lagi pribadi-pribadi nomina, tetapi ia telah menjadi
seseorang yang telah menduduki sebuah wilayah
okupasi dengan seluruh jejak yang tertinggal dari tulisan
dalam teks tersebut. Ia merupakan korektor dan
pemersatu fungsi teks yang heterogen. Di sini pembaca
melihat bahwa konsep yang dibangun adalah posisi di
sela-sela (in-betweeness) antara pembaca dan teks.
Ia tidak main-main untuk hal tersebut. Seakan tidak
berhenti dengan sebuah penjelasan leksikal semata
terhadap ide kematian author, dengan bersemangat ia
menutup frasa tulisan tersebut dengan sebuah advokasi
politis, bahwa cukup lama sudah manusia berslogan
tentang lahirnya tulisan baru atas nama humanisme.
Tetapi nyatanya dengan sikap hipokrit penulis telah
berpaling muka dari hak-hak pembaca. Kritisisme klasik
tidak pernah membayar kepentingan para pembaca.
Barthes mengajak semua insan budaya untuk tidak lagi
bersikap bodoh, arogan, saling tuduh-menuduh dan
mabuk gelar sebagai masyarakat terhormat, tetapi
masih saja menempatkan pembaca di sudut jauh
apresiasi, mengabaikannya, mencekik hingga muntah,
bahkan yang paling kriminal, membunuh pembaca.
Masa depan tulisan harus dibayar dengan sebuah harga
yang cukup berimbang "kelahiran pembaca harus
seiring dengan kematian sang author"
Apa yang dilakukan Barthes terhadap beragam teks
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 13
1
itu memberi peluang besar terhadap interpretasi-
interpretasi baru. Hal ini pula berarti pula memberikan
kebaharuan makna pada teks tersebut. Untuk teks
sastra, misalnya, semiologi Barthes telah memberikan
sumbangan yang banyak terhadap kritik sastra.
Sementara untuk teks keagamaan, misalnya, semiologi
Barthes menawarkan cara lain memahaminya, yang
secara positif akan memberikan keluasan makna pada
teks tersebut. Teks-teks tersebut terus menerus
dihidupkan melalui persinggungan-persinggungannya
dengan realitas aktual.
Persoalan yang muncul kemudian adalah bahwa
Barthes tidak memberikan pertanggungjawaban filosofis
yang cukup terhadap klaim yang dibuatnya ini. Apakah
teks filsafat dan agama sunguh-sungguh sama dengan
teks sastra? Dari sudut linguistik jelas memang sama,
karena keduanya memerlukan bahasa sebagai alat
untuk mengkomunikasikan sesuatu. Baik teks filsafat
maupun teks keagamaan sama-sama mematuhi aturan-
aturan bahasa, dan ini berarti pula memang mungkin
untuk didekati dengan beragam metode, entah dengan
metode linguistik, semiologi, atau analisis struktural.
Namun, haruslah diingat bahwa interpretasi atas teks
keagamaan harus disikapi secara hati-hati, karena ini
menyangkut keimanan suatu kaum, yang sangat
berbeda implikasinya terhadap interpretasi terhadap
suatu teks sastra.
Persoalannya memang terletak pada Barthes yang
memandangnya sebagai bentuk, dan karena
memandangnya sebagai bentuk maka tak ada kesatuan
dalam pengertian esensial. Pengandaian Barthes
dengan membandingkan teks dengan sebuah bawang,
disatu sisi memang memiliki kebenaran. Tak akan ada
apa-apa bila penulis dan pembaca mengupas (menolak
teks sebagai suatu sebuah komunitas). Barthes hanya
melihatnya sebagai seri-seri bawang, karena pada
13 Tokoh dan Pemikiran Semiotik
2

kupasan terakhir bawangnya sendiri telah tiada.


Bawang hanyalah bawang ketika kulit-kulitnya menyatu
dalam suatu kesatuan ke-bawangan-an. Hal ini sama
dengan mengurai air (H2O) menjadi hidrogen dan
oksigen, dan tepat ketika air terurai saat itu pula dia
bukanlah air lagi, tetapi dua jenis gas belaka.
Autobiografi yang melawan cara bertutur autobiografi
konvensional ini kemudian berubah menjadi semata
teks, sama fiktifnya dengan karya sastra pada
umumnya. Terlihat di sini kecenderungannya untuk
menghilangkan subyek (pengarang); yang adalah
dirinya sendiri.
Penjelasan serba ringkas yang diurut di atas menjadi
bukti bahwa Barthes sama sekali tidak berhenti dalam
tulisan. Capaian terakhir dalam sebuah tulisan juga
bukan tentang tulisan itu sendiri, tetapi adalah apa yang
tertinggal sebagai desire, jouissance, estetika, wacana,
atau tulisan baru. Pernah suatu ketika Barthes
mengungkapkan bahwa ia lebih memilih mati sebagai
pembaca yang writerly daripada readerly. Dengan
menempatkan diri di antara sisa-sisa tulisan dan barang
daur ulang yang bermanfaat, pembaca dapat
menentukan hubungan sosial, moral, atau ideologis
sesuai kemauan sejarah masa depannya yang lebih
bernyali sebagai author. "Tidak ada yang lebih
menggairahkan daripada mendengar suara-suara
nyaring yang timbul dari bahasa (language) dan wacana
yang tercampur-baur." Karena bahasa bukan terminal,
maka ia menjadi tempat singgah bagi imajinasi dan
ketaktertebakkan. Semiotik negativa Barthes bukanlah
obsesi taksonomik atau klasifikasif bahan bacaan yang
hanya berfungsi dalam ranah strukturalisme. Semiotik
negativa tidak menapaki jalan semiotik tingkat pertama
yang hubungannya bersifat positivistik, logis,
sekuensial, tetapi hubungan yang muncul merupakan
pengalaman kebuntuan, salah kamar, yang menguras
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 13
3
habis seluruh energi faktual dari sebuah tulisan.

D. Analisis Naratif Struktural


Di wilayah perbincangan kesusastraan dan linguistik,
Barthes dikenal melalui analisis tekstual (tektual
analysis) atau analisis naratif struktural (struktural
analysis of naratif) yang dikembangkannya. Analisis
struktural yang dikembangkan Barthes ini digunakan
sebagai pisau bedah untuk menganalisis berbagai
bentuk naskah, seperti novel Sarrasine karya Balzac,
naskah karya Edgar Alan Poe, maupun ayat-ayat dari
kitab Injil. Semua narasi itu dipandang dan diperlakukan
sama oleh Barthes dengan bantuan semiologi yang
dikembangkannya. Dalam hal ini, Barthes keluar dari
kecendrungan umum analasis naratif teks (sastra) kaum
strukturalis pada zamannya. Culler (1988:80-81),
menyebutkan empat aspek dari studi sastra para
strukturalis pada zaman Bathes, yaitu:
1. Usaha untuk melukiskan bahasa sastra
dalam istilah-istilah linguistik
sedemikian rupa untuk menangkap
kejelasan struktur-struktur literer.
2. Perkembangan dari ‘naratologi’ yang
mengidentifikasi konstituen-konstituen
narasi dan kombinasi-kombinasi yang
mungkin dalam teknik-teknik narasi
yang berbeda. Strukturalis Prancis
memusatkan secara khusus pada plot
dengan menanyakan apakah unsur-
unsur dasarnya, bagaimana mereka
berkombinasi, apakah struktur-struktur
plot mendasarnya, dan bagaimana
kelengkapan dan ketidaklengkapan
dihasilkan.
3. Strukturalisme mempromosikan analisis
dari peran pembaca dalam
13 Tokoh dan Pemikiran Semiotik
4

memproduksi makna dan dengan cara


itu karya-karya sastra memperoleh
efek-efeknya dengan mempertahankan
atau mematuhi harapan-harapan
pembacanya.
Sementara bagi Barthes (1988: 221-222), analisis
naratif struktural, karena secara metodologis berasal
dari perkembangan awal dari linguis struktural, namun
analisisnya akhirnya harus berujung pada semiologi.
Jadi, secara sederhana analisis naratif struktural dapat
disebut juga sebagai semiologi teks karena
memfokuskan diri pada naskah. Intinya sama, yakni
mencoba memahami makna suatu karya dengan
menyusun kembali makna-makna yang tersebar dalam
karya tersebut dengan suatu cara tertentu. Barthes
sebenarnya mengalami sikap gamang yang sama
parahnya dengan Saussure, ketika harus bersikap
antara kecemasan kehilangan signified dan atau
berbalik arah menatap hanya kepada signifier murni.
Signifier merupakan penanda yang menjadi inti atom
bahasa untuk memulai mendefinisikan sesuatu. Orang
mengerti akan arti kata cinta atau love atau amor
karena ada bahasa yang dipergunakan untuk
mendeskripsikan tentang sikap atau tindakan tersebut
di alam nyata. Pembaca mengerti tentang kata itu
karena ada bukti yang menyejarah dalam bahasa
manusia. Namun, sikap Barthes dalam hal ini jelas
bukan sikap yang "biasa". Setiap perajin gagasan
Fredinand de Saussure mempercayai bahwa rumusan
untuk mendapatkan signification (makna komunikasi
atau dialektika) seseorang harus menyerap signifier dari
signified. Tetapi Barthes mengharapkan lain, yakni ia
menginginkan hadirnya signifier yang tidak lagi
tergantung pada signified. Kalau dapat fotokopi tidak
lagi perlu dijiplak dari apa pun atau siapa pun. Signifier
harus menjadi barang asli yang membentuk signified
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 13
5
baru.
Barthes mengingatkan poin ini karena banyak hal
yang dianggap baru dan mempengaruhi ide-ide kerja
tidak datang dari internal recasting masing-masing
disiplin pengetahuan di era modern. Modernisme
dikenal melalui taksonomi beragam pengetahuan. Akan
tetapi karena keangkuhan the author, pengetahuan
yang dikonsumsi menjadi terasing (terideologisasi).
Psikologi, bahasa, antropologi, sosiologi, atau sejarah
melakukan persaingan monolog dengan start dan finish
sendiri-sendiri. Tidak ada ukuran untuk menilai. Baru
saja pembaca mengentahui tentang masa depan ilmu
pengetahuan dalam istilah interdiciplinary, yakni
pengetahuan yang mengambil kebajikan utama
penelitian dari proses persinggungannya dengan
berbagai disiplin ilmu.
Interdiciplinary memang menghasilkan banyak teks,
muncul bagai cendawan di musim hujan dalam berbagai
bukti tulisan. Tetapi, dapat saja ia berkembang-biak
menjadi kekuatan pemaksa, mungkin melalui sentakan
fashion atau berbagai kepentingan yang tersangkut
pada objek dan bahasa-bahasa baru. Gejala ini apabila
tak diantisipasi sejak dini dapat mengarah kepada
proses fasisme bahasa-dalam style dan writing. Langkah
yang paling baik menurutnya adalah memperlakukan
teks dengan netral, yaitu merelativisasi hubungan
antara penulis (writer), pembaca (reader), dan
pengamat (observer). Dengan tegas ia mengingatkan
bahwa teks bukanlah untaian kata-kata yang siap
melepaskan makna "teologis" tunggal semata, yaitu
pesan dari sang penciptanya saja, tetapi berasal dari
ruang multidimensi yang terbaring dalam beragam
tulisan "Teks tidak lain sejumput kutipan yang
tergambar dari pusat-pusat budaya yang tak tereja
jumlahnya", lanjut Barthes. "We know that a text is not
line of words releasing a single 'theological' meaning
13 Tokoh dan Pemikiran Semiotik
6

(the message of Author-God) but a multi-dimensional


space in which a variety of writing, none of original,
blend and clash. The text is a tissue of quatations drawn
from the innumerable centres of culture" (Barthes, The
Death of Author, dalam Image Music Text, 1977 : 146).]
Persoalannya adalah tidak adanya suatu mesin
pembaca makna. Mesin penerjemah memang ada,
tetapi mesin ini hanya mampu mentransformasikan
makna-makna denotatif atau lateral dan bukan makna-
makna kedua atau makna konotatif atau makna pada
level asosiatif dari sebuah teks (sistem retoris).
Akibatnya pastilah operasi pembacaan bersifat
individual dan tak ada metode tunggal dalam operasi
tersebut. Mulai tampaklah di sini bagaimana
strukturalisme Barthes memberi tempat berarti bagi
pembaca. Analisis struktur sama sekali tidak bermaksud
menemukan makna-makna rahasia atau tersembunyi.
Hal ini ditegaskan Barthes dengan mengandaikan
sebuah karya itu seperti bawang, yang dikupas teruspun
tidak akan menemukan apa-apa di dalamnya. Barthes
menyatakan bahwa: “Sebuah karya itu mirip bawang.
Sebuah kontruksi dari lapisan [atau tingkat, atau sistem]
yang tubuhnya memuat [pada akhirnya] bukan jantung,
bukan inti, bukan rahasia, bukan prinsip yang tak
tereduksi. Tak ada apapun kecuali ketakterbatasan
pembungkus-pembungkusnya yang membungkusnya
sendiri tak lain daripada kesatuan dari permukaan-
permukaannya” (Culler, 1988: 82-83).
Di mata Barthes, suatu karya atau teks merupakan
sebentuk konstruksi belaka. Bila hendak menemukan
maknanya, maka yang dilakukan adalah rekonstruksi
dari bahan-bahan yang tersedia, yang tak lain adalah
teks itu sendiri. Sebagai sebuah proyek rekonstruksi,
maka pertama-tama teks tersebut dipenggal-penggal
terlebih dahulu menjadi beberapa leksia atau satuan
bacaan tertentu. Leksia atau satuan-satuan terkecil
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 13
7
pembacaan, sepotong bagian teks, yang apabila
diisolasikan dapat berdampak atau memiliki fungsi yang
khas dibandingkan dengan potongan teks lain di
sekitarnya. Dalam S/Z, Barthes melakukan upaya
tersebut, dengan memotong-motong novel Sarassine
karya Balzac menjadi 561 leksia.
Leksia ini dapat berupa satu kata, beberapa kata,
satu kalimat, beberapa kalimat, sebuah paragraf, atau
beberapa paragraf. Leksia-leksia pdat ditemukan 1)
pada tataran kontak pertama di antara pembaca dan
teks atau 2) pada saat satuan-satuan ini dipilah-pilah
sedemikian rupa sehingga diperoleh aneka fungsi pada
tataran-tataran pengorganisasian yang lebih tinggi.
Dengan memenggal-menggal teks itu maka pengarang
tak lagi menjadi perhatian. Maksud dari pengarang yang
selama ini dijadikan pusat perhatian dalam upaya
menginterpretasikan suatu teks sudah ditinggalkan.
Teks itu bukan lagi milik pengarang, tetapi sudah
menjadi milik pembaca. Dengan demikian tak perlu lagi
bersibuk diri mencari-cari makna yang (mungkin)
disembunyikan pengarang, tetapi bagaimana pembaca
memproduksi makna itu.
Produksi makna dari pembaca itu sendiri akan
menghasilkan kejamakan. Tugas para semiolog atau
pembaca kemudian adalah menunjukkan sebanyak
mungkin makna yang mungkin dihasilkan. Barthes
menyebut proses ini sebagai semiolog yang memasuki
“dapur makna” (Barthes, 1988: 158). Hal ini terjadi
karena semiologi atau analisis struktural tak dapat
melihat makna hanya dalam sebuah bentuk yang
terisolasi, karena ini akan memiskinkan proses
interpretasi itu sendiri. Misalnya, bila pembaca
menginterpretasikan jeans sekedar sebagai gaya trendy
remaja atau mencari maknanya di kamus, itu sama saja
pembaca tidak menemukan makna apa-apa di sana.
Pembaca kemudian aktif menghasilkan tulisan, dalam
13 Tokoh dan Pemikiran Semiotik
8

istilah Barthes (1974: 5) sebagai “writerly text”, yakni


teks yang ditulis sendiri. Teks itu harus ditulis sendiri
karena sistem-sistem tunggal selama ini telah
mengungkung dan membatasinya, sehingga pemikiran-
pemikiran dan pemahaman-pemahaman sempitlah yang
terlahir. Barthes (1974: 5) menegaskan: “…Sebelum
drama tak terbatas dari dunia [dunia sebagai fungsi]
dijelajahi, dipotong, dan dihentikan oleh semacam
sistem tunggal [ideologi, genus, kritik] yang mereduksi
kemajemukan pintu-pintu masuk, terbukanya jaringan-
jaringan, ketakterbatasan bahasa.”
Semiologi dengan kata lain berupaya melakukan
“pembebasan makna”, karena selama ini makna telah
dijajah oleh sistem-sistem yang telah mapan yang
hanya menghasilkan interpretasi tunggal yang dianggap
benar dan tuntas. Itulah sebabnya mengapa Barthes,
misalnya, menolak cara pandang klasik terhadap novel
Sarrasine karya Balzac yang menganggap karya itu
sebagai karya realisme dalam sastra. Dengan
menganalisisnya dala S/Z, Barthes menunjukkan bahwa
betapa karya tersebut lebih kompleks dan lebih rumit
dari yang selama ini dianggap. Realisme Balzac bukan
seperti lukisan (meniru yang real), tetapi meniru suatu
tiruan dari yang real (Barthes, 1985: 406). Pembebasan
makna ini dimungkinkan dengan penggandaan tulisan
dari sebuah teks, yang berarti pula membuka eksistensi
tulisan secara total. Di sana berdirilah bukan
pengarangnya, tetapi pembaca. Pembaca adalah ruang
tempat semua kutipan yang menciptakan sebuah
tulisan yang dilukiskan tanpa satu pun dari mereka
hilang, karena kesatuan teks terletaj bukan pada asal-
usulnya, tetapi pada tempat tujuannya (Barthes, 1977:
148).

D. Oposisi Biner Konotasi dan Denotasi


Sebagaimana halnya para ahli lainnya, Barthes
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 13
9
membagi makna pada dua tataran, yakni denotatif
(sistem makna primer) konotatif (sistem makna kedua).
Menurut Roland Barthes, denotasi (denotation)
merupakan tanda yang penandanya mempunyai tingkat
konvensi atau kesepakatan yang tinggi—dan sebaliknya
tingkat keterbukaan maknanya rendah—; dengan kata
lain, denotasi merupakan tanda yang menghasilkan
makna-makna eksplisit. Denotasi biasanya dimengerti
sebagai makna harfiah, makna yang ‘sesungguhnya’
bahkan kadangkala juga dirancukan dengan referensi
atau acuan. Proses signifikasi yang secara tradisional
disebut sebagai denotasi. Ini biasanya mengacu pada
penggunaan bahasa dengan arti yang sesuai dengan
apa yang terucap. Akan tetapi, di dalam semiologi,
Roland Barthes dan para pengikutnya, denotasi
merupakan sistem signifikasi tingkat pertama. Reaksi
yang paling ekstrim melawan keharfiahan denotasi yang
bersifat operasif ini, Barthes mencoba menyingkirkan
dan menolaknya. Baginya yang ada hanyalah konotasi
semata-mata. Penolakan ini mungkin terasa berlebihan,
namun ia tetap berguna sebagai sebuah koreksi atas
kepercayaan bahwa makna “harfiah” merupakan
sesuatu yang bersifat alamiah. Barthes berpendapat
bahwa denotasi sebagai suatu sistem signifikasi tingkat
pertama.
Dalam konteks yang terakhir, menurut Barthes,
walaupun konotasi merupakan sifat asli tanda,
membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi.
Barthes secara panjang lebar mengulas apa yang sering
disebut sebagai sistem pemakanaan tataran kedua ini,
yang dibangun dia atas sistem lain yang telah ada
sebelumnya. Sastra merupakan contoh paling jelas
sistem pemaknaan tataran kedua yang dibangun di atas
bahasa sebagai sistem yang pertama. Sistem
pemaknaan tataran kedua atau disebut konotatif yang
digagas Barthes pada dasarnya melanjutkan studi
14 Tokoh dan Pemikiran Semiotik
0

Hjelmslev, selain untuk menciptakan peta tentang


bagaimana tanda bekerja (Cobley & Jansz, 1999). Lihat
skema yang dipetakan Barthes di bawah ini:

1. 2. Signified
Signifier (petanda)
(penanda
)
3. denotative sign
(tanda denotatif)
4. Conotative Signifier 5. Conotative Signified
(Penanda Konotatif) (Petanda Konotatif)
6. Conotative Sign (Tanda Konotatif)

Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda


denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2).
Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif
adalah juga penanda konotatif (4). Denotasi menempati
tingkat pertama dan Barthes mengasosiasikan terhadap
“ketertutupan makna”, atau dengan kata lain suatu kata
yang pertama mewakili ide atau gagasan atau sebenar-
benarnya makna. Denotasi adalah aspek makna sebuah
atau sekelompok kata yang didasarkan atas perasaan
atau pikiran yang timbul atau ditimbulkan pada
pembicaraan (penulis) dan pendengar.
Sementara itu, Konotasi (connotation) merupakan
tanda yang penandanya mempunyai keterbukaan
petanda atau makna. Dengan kata lain, konotasi adalah
makna yang dapat menghasilkan makna lapis kedua
yang bersifat implisit, tersembunyi atau makna konotatif
(connotative meaning). Biasanya, konotasi mengacu
pada makna yang menempel pada suatu kata karena
sejarah pemakaiannya. Akan tetapi di dalam semiologi
Roland Barthes, konotasi dikembalikan lagi secara
retoris. Bagi Barthes, tanda konotatif tidak sekadar
memiliki makna tambahan, namun juga mengandung
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 14
1
kedua bagian tanda denotatif yang melandasi
keberadaannya. Menurut Barthes sebuah sistem
konotasi adalah sistem yang berlapis ekspresinya
sendiri sudah berupa sistem penandaan. Pada
umumnya kasus-kasus konotasi terdiri dari sistem-sitem
kompleks yang di dalamnya bahasa menjadi sistem
pertama, sebagaimana terlihat dalam sastra. Misalnya,
bila pendengar dihadapkan pada kalimat, 1) Salsabila
bunga desa; dan 2) Tazkiya sedang kedatangan bulan.
Konsep bunga dan bulan yang telah ada lebih dulu
dipikiran manusia kini berubah maknanya atau
mengalami konotasi. Sehingga diperlukan kata-kata lain
untuk menjelaskan kata-kata bunga dan bulan. Kata
bunga pada contoh kalimat di atas berarti gadis,
tentulah bunga dan gadis sebelumnya tidak berkaitan,
tapi bunga dan gadis diinterpretasikan memiliki sifat
yang sama seperti cantik, indah dipandang, dan
menarik hati. Begitupun contoh yang kedua, bulan
berarti haid. Kata bulan dan haid di sini bermakna
waktu. Pada ‘bulan’ yang memiliki jumlah 30 hari dan
haid adalah kodrat wanita yang mengalami haid di
waktu-waktu tertentu di bilangan 30 hari tersebut.
Konotasi sebagai sistem tersendiri tersusun oleh
penanda-penanda, petanda-petanda serta proses yang
memadukannya (signifikasi). Signifier dari konotasi
(disebut sebagai ‘konotator’) dibentuk oleh tanda-tanda
(kesatuan signifier dan signified) dari sistem denotasi,
secara predikat gabungan tanda-tanda denotasi dapat
tergabung dalam sebuah konotator unggul. Sementara
itu, petanda-petanda konotasi, yang sekaligus
berkarakter general, global, dan tersebar, merupakan
suatu fragmen ideologi (Kris Budiman, 1999:66).
Menginduk pada ajaran diadik (dikotomis) Saussure,
Barthes menyibak rahasia tanda, simbol dan
representasi kolektif. Sesunguhnya, inilah sumbangan
Barthes yang sangat berarti bagi penyempurnaan
14 Tokoh dan Pemikiran Semiotik
2

semiologi Saussure, yang berhenti pada penandaan


dalam tataran denotatif. Apa yang ditulis oleh Roland
Barthes dalam Mythologies, sebenarnya ingin
memperkuat keberadaan fondasi atau kaidah
strukturalisme Saussure.
Konsep diadik Saussure tentang signifier-sginified
dikembangkan oleh Barthes menjadi expression (E) dan
content (C). Dalam hal ini, Barthes meminjam konsep
expression (E; untuk signifiant) dan contenu (C; untuk
signifie) dari Hjelmslev. Ekspresi (E) mengacu pada
lapisan penanda-penanda (signifier), sedangkan content
(C) mengacu pada lapisan petanda-petanda (signified).
Di antara E dan C harus ada relation (R) tertentu
sehingga terbentuk tanda (sign, Sn). Konsep relasi (R)
memungkinkan tanda lebih berkembang secara dinamis
karena relasi digunakan oleh pemakai. Jadi, dalam
setiap konteks pemakaian tanda mencakupi pola E-R-C
ini. Berdasarkan E-R-C ini, jaringan tanda dalam
masyarakat dapat dipahami dan didefinisikan
berdasarkan pada dua sistem, yaitu:
a. Sistem primer atau first order (lapis pertama),
yaitu ketika tanda diproduksi dan dipahami pada
taraf pemaknaan pertama. Pada tahap ini
kesatuan antara penanda dan petanda
membentuk tanda. Sistem ini dinamakan sistem
pemaknaan language atau pemaknaan denotasi.
b. Sistem sekuder atau second order (lapis kedua),
yaitu ketika tanda mengembangkan segi
ekspresinya (E) serta memperoleh perluasan
content (C). Sistem ini dinamakan sistem
konotasi dan metabahasa (metalanguage).
Konotasi merupakan penilaian yang diberikan
oleh penerima (atau pemakai) tanda. Konotasi
merupakan perluasan content (C) sebuah tanda
sehingga secara keseluruhan tanda tersebut
mempunyai content yang baru. Adapun
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 14
3
metabahasa terjadi apabila dalam suatu
masyarakat mengembangkan dimensi ekspresi
(E) dengan content (C) yang sama dalam sistem
sekundernya. Metabahasa terjadi dalam konteks
ilmu pengetahuan di mana content (C) tetap
dipertahankan relasinya dengan ekspresi (E)
meskipun dapat berubah-ubah. Hal ini ditandakan
bahwa sifat relasi antara C dengan E tetap
konsisten serta bertolak dari language object
pada sistem primer.
Dengan demikian, menurut Roland Barthes,
perkembangan tanda selalu mengikuti dua arah, yaitu
sistem primer ke metabahasa atau konotasi. Mengacu
pada Hjelmslev, Barthes sependapat bahwa bahasa
dapat dipilih menjadi dua sudut artikulasi demikian.
Sistem pemaknaan konotasi dan metabahasa dapat
diskemakan sebagai berikut:

1. Konotasi
Metabahasa

2. Denotasi
Objek Bahasa

E1 C2
Sistem sekunder
(Ekspresi R2 (content
(Konotasi)
primer) baru)
Sistem primer
(language object,
denotasi)
E1 C1
(ekspresi R1 (content
primer) primer)
14 Tokoh dan Pemikiran Semiotik
4

E2 C1
Sistem sekunder
(ekspresi R2 (content-
(metabahasa)
baru) primer)

Pada artkulasi pertama (sebelah kiri), sistem primer


(E-R-C) mengkonstitusi tingkat ekspresi untuk sistem
kedua: (E-R-C) R-C. Di sini sistem 1 berkorepondesi
dengan tingkat denotasi dan sistem 2 dengan tingkat
konotasi. Pada artikulasi kedua (sebelah kanan), E-R (E-
R-C). Di sini sistem 1 berkorespondesi dengan objek
bahasa dan sistem 2 dengan metabahasa
(metalanguage) (Kurniawan, 2001:67).

Metabahasa Primer
konotasi
(sekunder)
(sekunder)

Pada “lapis pertama” (denotasi), kata, seperti, meja


hijau, memang berarti “meja yang berwarna hijau”,
namun dalam kehidupan sosial budaya, kata “meja
hijau” merujuk pada makna yang sama, yaitu
pengadilan seperti terdapat pada kalimat, “Kasus
korupsi para pejabat eselon I sudah mulai di-mejahijau-
kan”. Akhir-akhir ini, kata jender (gender) banyak
digunakan, sangat menarik bahwa jender yang makna
pertamanya adalah jenis kelamin (pada lapis pertama),
namun kemudian dalam penggunaan sosial budaya,
jender menjadi sama dengan ‘perempuan’ (pada lapis
kedua).
Untuk lebih memperjelas hubungan expression (E),
relasi (R), dan content (C) serta hubungannya dengan
sistem relasi primer dan sekunder, contoh di bawah ini
akan memperjelas hal tersebut. Bendera Merah-Putih,
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 14
5
bagai masyarakat Indonesia tidak hanya
menggambarkan bendera bangsa Indonesia. Konsep
‘bendera Merah-Putih’ (E) dan ‘lambang bendera bangsa
Indonesia’ (C), ber-relasi (R) pada sistem primer-nya.
Namun, relasi (R) antara E-C dapat berkembang,
misalnya menuju relasi (R) sekundernya; hal ini terjadi
karena ada perluasan content (C)-nya, misalnya menjadi
lambang ‘nasionalisme’, lambang ‘keberanian dan
kesucian’.

Expression (E) Relasi Content (C)


(R)
Bendera Merah-
Primer Lambang Negara RI
Putih
Bendera Merah
Sekunder Nasionalisme
Putih
Keberanian dan
Sekunder
Kesucian

Barthes memang sangat gencar mempromosikan


sistem penandaan konotatif ini untuk melaukan kritik
budaya. Kritik budaya dilakukan dengan
memperlihatkan bahwa hal-hal yang dianggap wajar
sebenarnya merupakan hasil pembiasaan pada sesuatu
yang dimaknai oleh masyarakat selama beberapa waktu
yang berkaitan dengan kehidupan mereka. Barthes
mengatakan bahwa segala sesuatu yang kelihatannya
biasa itu sebenarnya pada bahasa “lapis kedua”
merupakan suatu pemaknaan baru berdasarkan
pandangan sebagian anggota masyarakat terhadap
kedua gejala budaya itu. Di dalamnya, terdapat makna
“terselubung” yang justru memberi nilai khusus sesusi
dengan perkembangan kebudayaan pada masanya.
Dalam kerangka teorinya, Barthes mengidentikan
konotasi dengan sistem ideologi. Petanda-petanda
dalam konotasi merupakan fragmen-fragmen ideologi,
14 Tokoh dan Pemikiran Semiotik
6

yang menjalin hubungan komunikasi yang sangat erat


dengan kebudayaan, pengetahuan, dan sejarah. Melalui
petanda-petanda ini, dapat dikatakan, dunia atau
lingkungan sekitar terresapkan ke dalam sistem.
Mungkin juga dikatakan bahwa ideologi merupakan
forma (istilah Hjelmslev) dari petanda-petanda konotasi,
sementara retorika merupakan forma dari penanda-
penanda konotasi, yang disebut sebagai konotator (Kris
Budiman, 1999:49). Retorik dalam statement terakhir ini
mengacu kepada konsep “retorik’ dari Genette, yakni
mengacu pada tradisi untuk “sistem kiasan-kiasan”.
Sebagai suatu disiplin tradisional, retorik berupaya
menentukan sesuatu yang tidak pasti,
mengkodifikasikan hal-hal yang tidak terkodifikasikan,
mebicarakan apa-apa yang sesungguhnya merupakan
suatu sistem yang self-regulating, yaitu sejumlah kiasan
tertentu seperti metafora, metonimik, sinekdoke, dan
sebagainya (Kris Budiman, 1999:102).
Sistem ideologi ini yang dalam kehidupan
masyarakat, perkembangan ‘tanda’ dan ‘makna’ pada
tahap sekunder seringkali terartikulasi menjadi sistem
myth (mitos). Barthes menghubungkan ideologi dengan
mitos karena, baik di dalam mitos maupun ideologi,
hubungan antara penanda konotatif dan petanda
konotatif terjadi secara termotivasi (Budiman, 2001:28).
Barthes kemudian menerapkan teorinya itu dalam
analisis kritis tentang kehidupan sosial budaya di
Prancis dalam bukunya Mythologie (1957). Salah
satunya adalah mengenai anggur (wine). Menurut
Barthes, anggur (wine) dalam ekspresi (E) lapis pertama
bermakna ‘minuman alkohol yang terbuat dari buah
anggur’. Namun, pada lapisan kedua, anggur (E)
dimaknai sebagai suatu ciri “ke Prancisan” yang
diberikan oleh masyarakat dunia kepada jenis minuman
ini. Ada yang mengatakan “anggur, ya Prancis”. Pdahal
minuman anggur diproduksi di berbagai negara seperti
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 14
7
Spanyol, Portigal,Italia, Amerika, dan Australia. Dengan
contoh ini, Barthes ingin memperlihatkan bahwa suatu
gejala budaya dapat memeproleh konotasi sesuai
dengan sudut pandang suatu masyarakat. Jika konotasi
itu sudah mantap, maka ia menjadi mitos; serta mitos
yang matap akan menjadi ideologi.
Seperti Marx, Barthes juga memahami ideologi
sebagai kesadaran palsu yang membuat orang hidup di
dalam dunia yang imajiner dan ideal, meski realitas
hidupnya yang sesungguhnya adalah demikian. ideologi
ada selama kebudayaan ada, dan begitulah sebabnya di
dalam S/Z Barthes berbicara konotasi sebagai suatu
ekpresi suatu budaya. Kebudayaan mewujudkan dirinya
di dalam teks-teks dan, dengan demikian ideologi pun
mewujudkan dirinya melalui berbagai kode yang
merembes masuk ke dalam teks dalam bentuk
penanda-penanda penting, seperti tokoh, latar, sudut
pandang, dan lain-lain.
Dalam padangan Roland Barthes, mitos bukanlah
realitas unresonable atau unspeakable, tetapi mitos
merupakan sistem komunikasi atau sebuah pesan
(massage) yang berfungsi untuk mengungkapkan dan
memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang
berlaku dalam suatu periode tertentu (Budiman,
2001:28). Mitos selalu ditampilkan dalam bentuk
wacana sehingga yang penting dari pesan tersebut
bukan hanya isi pesannya (obyek) melainkan cara
pesan tersebut diujarkan (dalam hal ini, mitos dapat
diartikan sebagai model ujaran). Rumusan lain
menyebutkan bahwa Myth (mitos), dalam pemahaman
semiotik Barthes, adalah pengkodean makna dan nilai-
nilai sosial (yang sebetulnya arbitrer atau konotatif)
sebagai sesuatu yang dianggap alamiah (natural).
Dengan demikian, Roland Barthes menempatkan myth
(mitos) sebagai makna terdalam, akan tetapi lebih
bersifat konvensional. Tingkatan makna Barthes ini
14 Tokoh dan Pemikiran Semiotik
8

dapat digambarkan sebagai berikut:

Signs denotation connotation


myth

Segala realitas di dunia ini (obyek) dapat dijadikan


mitos (model ujaran sebuah gagasan) karena mitos
mengasumsikan sistem penandaan yang dibangun oleh
penanda (signifier), petanda (signified), dan tanda
(sign). Sistem penandaan mitos ini merupakan hasil
rantai semiologis yang telah hadir sebelumnya. Pada
tingkat myth, tanda pada sistem primer tadi menjadi
penanda baru, yang melalui kesatuannya dengan
petanda baru membetuk tanda. Di sini dapat dilihat
bahwa makna pada language object (semiotik)
bersandar pada sistem makna pada tingkat ideologis,
dengan segala kode-kodenya yang telah melembaga.

Sign 1
Language Objek
Signifie Signifie
r1 d1

Sign 2 Myth
(metabahasa atau
konotasi)
Signifie
Signifier 2
d2

Sign 3
Signifier 3 Signified 3

Tanda (sign) yang dihasilkan pada penandaan lapis


Tokoh dan Pemikiran Semiotik 14
9
pertama (language object) mempunyai bentuk material,
tapi ketika masuk pada penandaan lapis kedua
(metabahasa atau konotasi atau myth), tanda tersebut
direduksi menjadi sekedar fungsi penandaan. Tanda
yang menjadi hasil akhir rantai semiologis language
object, dalam mitos menjadi awal penanda (signifier)
sistem penandaan yang lebih luas. Pada level language
object, tanda awal disebut bentuk (form). Pergeseran
dari language object ke myth menyebabkan perubahan
penafsiran. Makna (meaning) dalam language object
hanya menjadi bentuk (form) dalam sistem myth.
Hal ini dapat digambarkan lewat contoh jilbab.
Pakaian jilbab pada tingkat semiotik dapat menandai
‘kesopanan’ dan ‘ketertutupan’ tubuh. Makna
‘kesopanan’ ini, selanjutnya pada tingkat ideologis
dapat menandai ‘kesalehan’, ‘kepatuhan kepada
Tuhan’, dan selanjutnya. Dapat dikatakan bahwa ketika
seorang muslimah mengenakan jilbab, ia jelas tidak
sekedar berfikir tentang fungsi utilitas jilbab sebagai
konsep ‘penutup tubuh’, tetapi ada satu ‘gagasan lebih
tinggi’ yang menyertainya, seperti konsep ‘kesalehan’
dan ‘ketaatan kepada Tuhan’.
Dapat dilihat dari skema di atas, bahwa dalam
semiotik Barthes, mitos merupakan lapisan petanda dan
makna yang paling dalam. Ini tentunya berbeda dengan
semiotik St. Agustinus, yang mengatakan bahwa ada
tanda dan makna yang lebih dalam lagi, yaitu petanda
dan makna-makna yang berkaitan dengan tanda-tanda
ketuhanan (divine signs).

Signs denotation connotation


myth divine signified

Dalam merefleksikan mitos, seorang semiolog tidak


lagi memperhatikan tanda dalam detail skema linguistik
melainkan berusaha melihatnya sebagai bentuk tanda
15 Tokoh dan Pemikiran Semiotik
0

(global sign atau total term) yang merujuk pada skema


yang lebih luas. Contoh; sabun mandi (lux), pada level
language object, ia hanya merupakan salah satu
perlengkapan mandi (jadi hanya perluasan bentuk), tapi
pada level kedua, sabun mandi menjadi alat kecantikan
(perluasan content; konotasi), sehingga menjadi bagian
dari myth, “belum lengkap mandi kalau tidak
menggunakan sabun mandi lux. Yang perlu diperhatikan
pula adalah cara penyampaiannya dengan
menggunakan bintang film, model, “sensual”, dan lain
sebagainya.

E. Mengurai Kode-Kode Wacana


Pada periode peralihan ke post-strukturalis, Roland
Barthes tetap mempertahankan signifikasi “struktur”. Ia
tidak lantas membuang begitu saja pemikiran struktur a
la Saussure. Namun, ia kemudian memperlakukan
“struktur” dan “makna” sebagai sesuatu yang bersifat
dinamis, labil, bergerak, berubah, bertransformasi, dan
berinteraksi, sehingga dengan sifat-sifat demikian
produktivitas “struktur” dan “makna” dapat diciptakan.
Dalam fase post-strukturalisnya, Roland Barthes
menngalihkan objek analisisnya dari “struktur tanda dan
makna” ke analisis kode, yaitu cara kombinasi tanda-
tanda di dalam teks. Struktur tanda dan tafsir makna
tidak lagi dianggap penting atau bahkan oleh Derrida
dianggap sebagai sebuah “kemustahilan”. Barthes
dalam S/Z mengemukakan lima jenis kode yang lazim
beroperasi dalam sebuah teks.
1. Kode hermeneutik (hermeneutik code) yaitu kode
yang melahirkan sebuh teks menampilkan
pertanyaan atau teka-teki dengan berbagai cara,
respons-respons terhadap pertanyaan tersebut,
mencari solusi, menunda jawaban atau
meninggalkan sebuah enigma. Kode ini
merupakan kode “penceritaan” yang dapat
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 15
1
mempertajam permasalah suatu narasi,
menciptakan ketegangan dan misteri, sebelum
memberikan pemecahan atau jawaban. Huruf al-
Muqaththa’ah (huruf-huruf pembuka beberapa
surat al-Qur’an), seperti Alif Lâm Mìm (dalam
pembukaan surat al-Baqarah) mengandung
enigma seperti itu, yang menimbulkan teka-teki
yang harus dijawab.
2. Kode semantic (semantic code) atau kode
konotatif (connotative code), yaitu kode konotasi
yang memberikan isyarat, petunjuk, “kilasan
makna” atau kemungkinan makna yang
ditawarkan oleh sebuah penanda. Misalnya,
tambahan huruf “ta” dalam verba Arab ‘fa’alat’
menunjukkan verba feminin (muannats),
demikian pula tambahan huruf –wati dalam
wisudawati menunjukkan “feminimitas”. Pada
tataran tertentu kode semantik atau konotatif ini,
serupa dengan “tema” atau “struktur tematik”
yang populer di kalangan kritikus sastra Anglo-
Amerika
3. Kode simbolik (symbolic code), yaitu kode yang
menawarkan “kontras” atau “anti-tesis” pada
sebuah teks, seperti siang-malam, feminin-
maskulin, dan terbuka-tertutup. Frase ‘mimpi-
siang’ mengandung sifat antitesis ini, sebab
mimpi biasanya konotasinya dengan ‘malam’.
Kode ini pun merupakan kode “pengelompokan”
atau “konfigurasi yang gampang dikenali,
berulang-ulang secara teratur melalui berbagai
cara dan sarana tekstual.
4. kode proairetik (proairetic code), yaitu kode
‘tindakan’ atau ‘narasi”, yakni urutan-urutan di
dalam sebuah tindakan atau cerita. Kode ini
didasarkan atas konsep proairesis, yakni
“kemampuan untuk menentukan hasil atau akibat
15 Tokoh dan Pemikiran Semiotik
2

dari suatu tindakn secara rasional”. Misalnya di


dalam al-Qur’an, penggambaran proses turunnya
ayat-ayat merupakan sebuah kode proairetik.
5. Kode budaya (cultural code) atau referensial,
yaitu kode yang berasal dari ‘suara-suara kolektif’
yang anonim dan otoritatif mengenai
pengetahuan atau kebijaksanaan atau moralitas
yang “diterima bersama”, misalnya kesucian,
kesakralan, atau baik dan buruk.
Roland Barthes menandai berbagai kategori kode
tersebut berdasarkan batas epistemologisnya, seperti
kode gaya (gaya fashion, gaya furniture, dsb.), kode
citraan visual (iklan, film, dsb.), kode tingkah laku
(upacara, etika, bahasa tubuh, dsb.), kode ideologi
(agama, lembaga moral, struktur keluarga, dsb.), dan
kode narasi (mitos, komik, dsb.). kode-kode Barthes
tersebut didaptasi oleh Yasraf (2003:255) untuk
menjelaskan estetika posmodernisme hubungannya
dengan makna dan ekspresi. Adaptasi Yasraf tersebut
sebagaimana terlihat dalam diagram berikut:

Kode Makna Ekspresi


Hermeneuti - Efek provokatif - Parodi
ka - Enigma
Semantik - Konotatif - Pastich
- Feminim/makskulin e
- Pervesitas - Kitsch
- Normal/Abnormal Camp
Simbolik - Fargmen-fragmen
Makna - Skizofrenik
- Ketidakmungkinan
Makna
- Makna kontradiktif
Proairetik - Naratif atau - Pastich
antinaratif e
- Linear/Sirkular - Kitsch
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 15
3
- Camp
Kultural - Mitologis
- Ideologis - Pastiche
- Spiritual
15 Tokoh dan Pemikiran Semiotik
4

SEMIOTIK SOSIAL
M.A.K. HALLIDAY

A. Prolog
Linguistik pada dasarnya merupakan bagian-bagian
dari semiotik yang khusus mempelajari bahasa. Bahasa
sebagai sistem sistem tanda atau simbol untuk
mengekpresikan nilai dan norma kultural dan sosial
suatu masyarakat tertentu di dalam suatu proses sosial
kebahasaan. Adalah M.A.K Halliday dengan koleganya
beserta muridnya mengembangkan semiotik sosial
sebagai pendekatan studi makna. Pendekatan ini tidak
melihat bahasa sebagai suatu entitas yang secara
otomatis dirujuk sebagai hubungan antara ‘yang
ditandai’ dan ‘yang menandai’. Aliran semiotiknya
dikenal pula dengan sebutan semiotik behavioris yang
mengembangkan teori semiotik dengan jalan
memanfaatkan temuan-temuan baru dalam psikologi
yang tentunya berpengaruh pada linguistik.
Pendekatan psikologi Halliday berbeda dengan kaum
Behavioris lainnya. Kaum behavioris, misalnya
Bloomfield, dalam linguistik membahas makna bahasa
sebagai siklus stimuli dan respon. Orang berbahasa
karena adanya stimulus dan respon, yang harus mereka
respon melalui bahasa. Dengan demikian, Blommfield
melihat bahasa bukan sebagai fenomena semiotis
melainkan fenomena psikologis behavioristik atau
perilaku. Tidak ada yang salah dalam pandangan
Bloomfield ini, hanya saja pandangan seperti ini
menegasikan kenyataan bahwa bahasa merupakan
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 15
5
sistem simbol yang digunakan untuk berinteraksi di
dalam masyarakat.
Sebenarnya, aliran semiotik Halliday memiliki
banyak sebutan, terutama sebutan yang “berbau”
linguistik, antara lain adalah: Tata Bahasa madhab
Halliday, Scale and Category Linguistics dan Systemic
Linguistics; yang istilah bahasa Indonesianya adalah
Linguistik Sistematik. Mengapa madhab ini cenderung
disebut sebagai Linguistik Sistematik karena dalam
Linguistik Sistematik terdapat pengetian bahwa
linguistik membedakan fungsi dalam konteks paradigma
dan fungsi dalam konteks sistematika. Konteks
sistematik dikenal juga sebagai struktur bahasa. Sistem
menyebabkan orang dapat menginterpretasikan
hubungan paradigmatik sedangkan struktur bahasa
memungkinkan orang menginterpretasikan hubungan
sistematika. Madzhab Halliday juga sering disebut
sebagai neo-Firthian karena madzhab ini diilhami oleh
madzhab Firthian yang dikembangkan oleh seorang
guru besar general linguistics di universitas London
yaitu Firth.
Pendekatan ini lebih melihat bahasa sebagai 1)
suatu realitas, 2) realitas sosial dan sekaligus sebagai 3)
realitas semiotik. Sebagai suatu realitas bahasa
merupakan fenomena pengalaman fisis, logis, psikis,
atau fenomena filosofis penuturnya dalam konteks
situasi dan konteks kultural tertentu. Kemudian sebagai
realitas sosial, bahasa merupakan fenomena sosial yang
digunakan masyarakat penuturnya untuk berinteraksi
dan berkomunikasi di dalam konteks situasi dan konteks
kultural tertentu. Yang terakhir, bahasa sebagai realitas
semiotik, bahasa merupakan simbol yang
merealisasikan realitas-realitas sosial di atas dalam
konteks situasi dan konteks kultural tertentu pula. Oleh
karena itu, ketiga realitas tersebut berfungsi atau
bekerja secara simultan dalam mengekspresikan makna
15 Tokoh dan Pemikiran Semiotik
6

atau fungsi sosial tertentu.


Dengan demikian konsep semiotik ini lebih melihat
bahasa sebagai sistem makna yang diperoleh melalui
jaringan hubungan antara sistem sosio kultural suatu
masarakat dan sistem bahasa yang dipakainya. Sistem
sosio kultural suatu masyarakat sebetulnya menjadi
sumber sistem makna (meaning system resources)
sedangkan bahasa merupakan bidang
pengungkapannya (semiotic resources). Akhirnya dari
penjelasan di atas akan diperoleh batapa pentingnya
mempelajari bahasa dalam perspektif semiotik sosial,
selain dapat meluruskan kembali bidang semiotik yang
sebenarnya juga yang paling penting adalah dengan
pendekatan ini pembaca akan memperoleh pemahaman
holistik dari suatu fenomena proses sosial yang
menggunakan bahasa.

B. Kebudayaan Sebagai Jaringan Sistem Semiotik


Seperti telah dikemukakan di atas kebudayaan
merupakan sumber makna yang sekaligus merupakan
sumber semiotik sehingga kebudayaan sekaligus
merupakan suatu jaringan sistem makna dan sistem
semiotik. Kebudayaan yang memiliki nilai norma-norma
dan nilai-nilai kultural dapat diperoleh melalui warisan
dan juga melalui kontak sosio-kultural dengan
masyarakat lainnya. Nilai-nilai dan norma-noram
kultural ini mempunyai kecenderungan untuk berubah
secara imanen karena adanya inteaksi budaya dengan
masyarakat yang lain.
Nilai/norma kultural

Proses sosial Proses sosial


Non- verbal verbal
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 15
7
Diadaptasi dari Riyadi Santoso (2003:10)

Nilai-nilai dan norma-norma kultural itu muncul ke


permukaan sebagai suatu proses sosial yakni suatu
interaksi antra anggota masarakat baik yang bensifat
verbal atau kebahasaan maupun yang bersifat non-
verbal atau non-kebahasaan. Proses verbal berkenaan
dengan interaksi bahasa yang menggunakan bahasa
sebagai medium yang dominan. Sedangkan proses
sosial non-verbal merujuk pada proses sosial yang tidak
menggunakan bahasa sebagai medium sentralnya.
Dalam suatu masyarakat bentuk-bentuk proses
sosial seperti musyawarah, diskusi dan sebagainya
merupakan contoh-contoh proses sosial yang
menggunakan bahasa sebagai medium utamanya.
Dalam proses sosial sepeti ini aktivitas sosial
partisipannya terjadi melalui penggunaan bahasa yang
disesuaikan dengan sosial dan situasional penuturnya
yang disebut register tidak hanya itu proses sosial ini
juga mempunyai medium non-kebahasaan seperti
proksemik atau letak dan jarak antara partisipannya,
cara duduk dan lain sebagainya. Tetapi medium non-
kebahasaan ini hanya bersifat periferal, artinya
kehadiran dalam proses sosial tersebut bukan menjadi
bahasan utama, walaupun medium non-kebahasaan
tersebut juga merupakan realisasi dari salah satu norma
kultural dari masyarakat tersebut.
Dari penjelasan di atas dapat diperoleh suatu
pemaknaan bahwa nilai nilai kultural masyarakat yang
direalisasikan melalui suatu prosses sosial dengan
setting terentu akan menimbulkan penggunaan bahasa
tertentu pula (pemilihan register). Dari penggambaran
di atas proses sosial dan kultural dalam interaksi yang
menunculkan pemilihan register yang dipengaruhi oleh
situasi penutur dan petuturnya secara langsung disebut
konteks situasi, sedangkan bahasa yang sedang
Register/bahasa sebagai teks:
Uniti: struktur teks
Proses sosial/genre Tekstur:
Nilai/ Konteks situasi
placeMeta fungsi bahasa: -fonologi/grafologi
rma kultural (field, tenor, mode
sional, interpersonal, tekstual) -leksigogramatika
-kohesi
15 Tokoh dan Pemikiran Semiotik
8

digunakan untuk mengekpresikan proses sosial dengan


fungsi dan tata caranya yang muncul pada konteks
tersebut disebut teks.

konteks kultural

Sumber: Riyadi Santoso (2003:14)

C. Bahasa Sebagai Teks


Teks adalah bahasa yang sedang melaksanakan
tugas untuk mengekpesikan fungsi atau makna sosial
dalam suatu konteks situasi dan konteks kultural. Oleh
karena itu teks lebih merupakan suatu sistem bahasa
yang bersifat semantis sekaligus fungsional. Bahasa
yang digunakan (fonologi, grafologi, leksikogramatika,
serta semantik wacananya) merupakan pilihan lingusitik
penuturnya dalam rangka merealisasikan fungsi sosial
teks. Di sini teks dapat dilihat dari dua sisi. Pertama,
teks dapat dipandang dari suatu ‘proses ‘ yaitu proses
dari interaksi dan aktifitas sosial antara partisispannya
dalam mengekpresikan fungsi sosialnya. Contohnya
papan bertulis ‘bahaya’ interaksi sosialnya diperoleh
melalui proses mengidentifikasi pesan melalui unit-unit
kebahaasaan melaui konteks yang mengelilnginya.
Dalam pengertian kedua, teks dapat dipahami sebuah
produk. Dalam pengetian seperti ini sebuah teks dapat
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 15
9
didekontruksi untuk memperoleh elemen-elemen
linguistik, semantis, retoris dan fungsionalnya yang
sistematik sebelum dibentuk untuk mempeoleh sistem
pemaknaan yang holistik yang terdapat dalam teks
tesebut.
Dalam linguistik sistematik yang digagas Halliday
terdapat pengetian bahwa linguistik membedakan
fungsi dalam konteks paradigma dan fungsi dalam
konteks sistematika. Yang disebut pertama yang umum
dikenal sebagai sistem, sedang yang kedua dikenal
sebagai struktur bahasa. Sistem menyebabkan orang
dapat menginterpretasikan hubungan paradigmatik
sedangkan struktur bahasa memungkinkan orang
menginterpretasikan hubungan sistematik. Dalam hal
ini, linguistik sistematik yang digagas Halliaday bukan
merupakan sistem resmi bahasa, lebih tepat dikatakan
sebagai suatu cara berpikir tentang bahasa dan lebih
kenal lagi dikatakan sebagai cara bertanya tentang
bahasa sebagai objek. Pertanyaan-pertanyaan itu
terutama tentang sifat dan fungsi bahasa.
Halliday mengembangkan gagasan gurunya Firth,
menampilkan empat gagasan penting sebagai kategori
umum dalam bahasa. Keempat kategori ini adalah unit,
struktur, kelas dan sistem. Chaedar Alwasilah
menjabarkan keempat unsur systemic Grammar; yang
dikutip dari Hartman dan Stork, sebagai berikut:

Seperangkat kategori-kategori dan level-level yang disusun


untuk menjelaskan aspek ‘formal’ dari bahasa. Tiga ‘level’
pokoknya adalah: Form (Organisasi dari substansi bagi
peristiwa yang padat arti, yaitu grammar dan leksis),
substance (materi fonik dan grafik), dan context
(hubungan-hubungan antara ‘form’ dan ‘situation’, yaitu
semantik). Keempat kategori dasarnya adalah: unit (suatu
segmen pembawa pola pada segala level, misalnya
kalimat, dari pola-pola misalnya ‘struktur klausa subjek –
predicator – complementer – adjunct), class (seperangkat
16 Tokoh dan Pemikiran Semiotik
0

butir-butir yang beroperasi dengan fungsi tertentu dalam


akar kata) dan system (penyusunan paradigmatik dari
kelas kata dalam hubungan ‘pilihan’). Selain dari itu, tiga
‘skala’ disusun untuk saling menghubungkan kategori-
kategori dalam teori dan peristiwa-peristiwa ujaran yang
teramati: skala rank mengacu pada penyusunan tata urut
unit-unit, misalnya dari kalimat sampai morfem atau dari
tone group ke fonem; skala exponence menghubungkan
kategori-kategori dengan data misalnya kelas ‘noun’
dinyatakan dengan butir leksis tertentu: dan skala delicacy
membedakan hubungan-hubungan tertentu dalam
kedalaman, misalnya pembagian lanjut ‘klausa’ ke dalam
‘concessive’ dan jenis-jenis lain dari klausa. Beberapa
prinsip pokok dari sistematik diterapkan pada pemerian
variasi-variasi bahasa Inggris (misalnya register) dan pada
pengajaran bahasa Inggris di sekolah-sekolah.

Pokok-pokok pandangan Systemic Language adalah


sebagai berikut: Pertama: Systemic Language (SL)
memberikan perhatian penuh pada segi
kemasyarakatan bahasa, terutama mengenai
kemasyarakatan bahasa dan bagaimana fungsi
kemasyarakatan itu terlaksana dalam bahasa. Kedua, SL
memandang bahasa sebagai "pelaksana". SL mengakui
pentingnya perbedaan langue dari parole (seperti yang
dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure). Parole
merupakan perilaku kebahasaan yang sebenarnya,
sedangkan langue adalah jajaran pikiran yang dapat
dipilih oleh seorang penutur bahasa. Ketiga, SL lebih
mengutamakan pemerian cari-ciri bahasa tertentu
beserta variasi-variasinya, tidak atau kurang tertarik
pada kesemestaan bahasa. Keempat, SL mengenal
adanya gradasi atau kontinum. Batas butir-butir bahasa
seringkali tidak jelas. Misalnya saja tentang bentuk-
bentuk yang grammatikal dan yang tidak gramatikal.
Skala kegramatikalan tidak terbagi atas "gramatikal"
dan “tidak grammatikal”. Kelima, SL menggambarkan
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 16
1
tiga tataran utama bahasa sebagai terlihat pada bagan
berikut:
3
Tokoh dan Pemikiran Semiotik

SUBSTANSI FORMA 010009 SITUASI


000003
2a0200
000200
a20100
000000
a20100
002606
0f003a0
3574d4
643010
000000
000010
0cfc000
000000
010000
001803
000000
000000
180300
000100
00006c
000000
000000
000000
000035
000000
6f00000
000000
000000
00000e
c09000
0f60400
002045
4d4600
000100
180300
001200
000002
000000
000000
000000
000000
000000
501300
007218
0000d1
000000
090100
000000
4
Tokoh dan Pemikiran Semiotik
5
Tokoh dan Pemikiran Semiotik
6
Tokoh dan Pemikiran Semiotik
7
Tokoh dan Pemikiran Semiotik
8
Tokoh dan Pemikiran Semiotik
9
Tokoh dan Pemikiran Semiotik
10
Tokoh dan Pemikiran Semiotik

Substansi fonik Fonologi Leksis Konteks Tesis


substansi grafologi gramma- situasi langsung
grafis tika situasi
luas

Yang dimaksud substansi adalah bunyi yang


diucapkan waktu seseorang berbicara, dan lambang
yang digunakan waktu seseorang menulis. Substansi
bahasa lisan disebut substansi fonis, sedangkan yang
dimaksud dengan forma adalah susunan substansi
dalam pola yang bermakna. Forma ini terbagi menjadi
dua: (1) leksis, yakni yang menyangkut butir-butir itu
terletak; (2) grammatika, yakni yang menyangkut kelas-
kelas butir bahasa dan pola-pola tempat terletaknya
butir bahasa tersebut. Situasi meliputi tesis, situasi
langsung, dan situasi luas. Yang dimaksud dengan tesis
suatu tuturan adalah apa yang sedang dibicarakan;
situasi langsung adalah situasi pada waktu suatu
tuturan benar-benar diucapkan orang, sedang situasi
luas dari suatu tuturan yang diucapnya atau ditulisnya.
Selain ketiga tataran utama itu, ada dua tataran lain
yang menghubungkan tataran-tataran utama. Yang
menghubungkan substansi fonik dengan forma adalah
fonologi, dan yang menghubungkan substansi grafik
dengan forma adalah grafologi. Sedangkan yang
menghubungkan forma dengan situasi disebut konteks.
Adapun langkah-langkah Systemic Linguistics
meliputi:
1. Konteks budaya yang mengandung genre atau
tipe teks;
11
Tokoh dan Pemikiran Semiotik

Teks di dalam konteks disebut genre. Genre


mengandung tujuan sosial tertentu, misalnya
menghibur atau mengajarkan kepada masyarakat
suatu perilaku. Genre biasanya berbentuk narasi dan
penulisannya dimulai dengan orientasi (pengenalan
masalah).
2. Konteks situasi yang mengandung unsur field,
tenor dan mode;
Konteks situasi mengandung teks dengan tujuan
sosial di dalam lingkup tertentu. Unsur field adalah
apa yang sedang terjadi, berisi pengertian tentang
topik atau isi teks. Field (medan) yaitu cenderung
mengacu pada apa yang dibicarakan. Bidang juga
merupakan sistem pilihan yang potensial, yaitu
tentang pilihan yang diharapkan akan terjadi dalam
konteks sosial. Pilihan-pilihan tersebut dapat jelas
dimengerti dari kosakata dan tata bahasa teks.
Tenor berkaitan dengan sifat hubungan antara
pemakai bahasa di dalam konteks sosial tertentu. Di
dalam tulisan, tenor dinyatakan melalui hubungan
pembaca dan penulis. Tenor (pelibat) yaitu
cenderung mengacu pada hubungan status sosial
yang berpean pada suatu tututan yang di tuturkan
Sedangkan mode berkaitan dengan saluran
komunikasi, yaitu tentang penggunaan bahasa apa
untuk suatu konteks situasi tertentu. Mode yaitu
mengacu pada cara atau bagaimana peran yang
digunakan bahasa dalam suatu tuturan yang sedang
berlangsung pada situasi tertentu
3. Semantik wacana yang berisi rangkaian lexies,
konjungsi dan referensi, yang menentukan
kerekatan teks. Semantik wacana mengikat
bahasa dalam kesatuan utuh;
4. Tata bahasa ideasional yang meliputi proses,
partisipan dan suasana, yang menentukan
bagaimana pengalaman dipresentasikan dalam
12
Tokoh dan Pemikiran Semiotik

bentuk bahasa melalui sistem transivitas;


5. Tata bahasa tekstual yang meliputi theme dan
rheme dan given and new information, yang
menentukan cara yang digunakan dalam
bahasa untuk memberi penekanan informasi
tertentu dalam teks.
a. Theme
Tata bahasa teks di dalam bahasa Inggris
menyediakan beberapa pilihan tentang hal yang
akan dimuatkan pada tema. Tema yang berbeda-
beda mencapai titik berangkat informasi yang
berbeda-beda dari klausa. Tema juga merupakan
cara mengaitkan informasi di dalam klausa
dengan potongan-potongan lain dalam teks. Titik
berangkat informasi bagi sebagian besar klausa
semacam itu adalah partisipan. Penggunaan
tema seperti ini mengaitkan klausa dengan
bagian-bagian terdahulu dari teks. Jadi pemilihan
tema menjadi dasar metode bagi pengembangan
teks, yaitu cara bagaimana pengembangan itu
mengungkap kalimat demi kalimat.
b. Rheme (Tema antar-partisipan dan tema
penyambung)
Ada juga kemungkinan makna antar-partisipan
sebagai bagain dari tema. Menempatkan unsur
antar-partisipan dalam posisi tema menjadikan
mendapat tekanan (penonjolan) yang besar. Hal
itu menjadikan unsur antarpartisipan alat bagi si
pembicara atau si penulis untuk ikut terlibat di
dalam teks dan menjadikan titik berangkat dalam
informasi dari klausa itu.
c. Given and New information
Erat terkait dengan ide rheme adalah cara
informasi dipaparkan di dalam klausa. Secara
khusus, informasi yang diasumsikan telah
diketahui pembaca atau pendengar, atau yang
13
Tokoh dan Pemikiran Semiotik

telah dimuat di dalam teks, ditempatkan pada


posisi theme. Sebaliknya informasi baru secara
khas ditempatkan pada posisi rheme.
Menurut model bahasa berdasar Sistematik
Linguistik terdapat ikatan yang tidak eksklusif antara
tiap fase situasi di atas— yaitu bidang, tenor dan
modus. Halliday melihat ketiga konteks situasi ini secara
harmonis terkait dengan tiga metafungsi penggunaan
bahasa di dalam proses sosial di suatu masyarakat.
Ketiga metafungsi ini adalah:
1. Ideasional, termasuk di dalamnya; ekperensial
dan logikal; interpersonal dan tekstual. Fungsi
idesional ekperensial meupakan penggunaan
bahasa untuk merefleksikan realitas pengalaman
partisipannya. Makna ide berhubungan dengan
bagaimana bahasa mengungkapkan pengalaman
manusia yang berkaitan dengan orang, tempat,
benda-benda dan aktivitas yang mewujudkan
lingkungan fisik dan psikologis manusia.
Ideational Meaning dalam bahasa melalui tata
bahasa sistem transitif. Unsur pokok sistem
transitif adalah proses kejadian (atau segala
sesuatu yang terjadi), partisipan (orang, tempat
atau benda yang terlibat di dalam proses), dan
suasana kejadian (tempat, waktu, cara,
penyebab, dsb.) yang terkait dengan proses itu.
2. Intepersonal, yang secara unum
menggambarkan hubungan sosial antara
partisipan. Hubungan sosial seperti apa yang
sedang berjalan: memberi atau meminta
informasi (proposisi), atau memberi atau
meminta barang dan jasa. Fungsi ini dapat
direalisasikan melalui sistem fonologinya: intonasi
dan tekanan kata. Apabila bahasa diperikan
menurut unsur-unsur interaksinya, maka bahasa
tersebut diperikan menurut fungsi interpersonal
Field Ideational Meaning

Tenor Interpersonal Meaning


14
Tokoh dan Pemikiran Semiotik
Mode Textual Meaning

meaning (makna antarpartisipan).


3. Tekstual, suatu makna simbol yang
merealisasikan kedua makna sebelumnya,
ideasional dan interpersonal. Karena simbol ini
berupa bahasa ia mempunyai sistem tersendiri
yang bebeda dengan simbol yang lainnya. Makna-
makna tekstual ini direalisasikan ke dalam
fonologi (jika lisan) dan grafologi (jika tulisan).
Kawasan makna ketiga di dalam tata bahasa teks
terkait dengan cara bagaimana informasi
didistribusikan lewat klausa dan kalimat.
Informasi tidak secara sama tersebar lewat klausa
– ada puncak-puncak penekanan. Puncak-puncak
trsebut memberikan tekanan tertentu pada
potongan informasi tertentu

Context Language

Disamping itu dalam buku Exploration In the


Function of Language (1973). Halliday menemukan
tujuh fungsi bahasa (Tarigan. 1968: 5-7)
1. Fungsi instrumental, melayani pengolahan
lingkungan, menyebabkan peristiwa-peristiwa
tertentu terjadi. Contonya ‘Kamu mencuri karena
itu kamu dihukum’.
2. Fungsi regulasi, bertindak untuk mengawasi serta
mengendalikan peristiwa-peristiwa. Misal ‘Kalo
mencuri pasti kamu akan dihukum!’.
3. Fungsi presentasional, adalah menggunakan
bahasa untuk membuat pernyataan-penyataan,
15
Tokoh dan Pemikiran Semiotik

menyampaikan fakta-fakta dan pengetahuan,


menjelaskan, atau melaporkan atau
menggambarkan realitas sebenarnya yang
digambarkan orang. Contohnya ‘matahari panas’.
4. Fungsi interaksional, bertugas untuk menjamin
dan memantapkan ketahanan dan kelangsungan
komunikasi sosial.
5. Fungsi personal, memberi kesempatan pada
pembicara untuk mengekpresikan perasaan’
emosinya serta reaksinya yang mendalam.
6. Fungsi heuristik, melibatkan penggunaan bahasa
untuk mempeoleh ilmu pengetahuan,
mempelajari seluk beluk lingkungan.
7. Fungsi imaginatif, melayani penciptaan atau
sistem sistem gagasan yang besifat imaginatif.
16
Tokoh dan Pemikiran Semiotik

SEMIOTIK LONG ROAD


PAUL RICOEUR

A. Pamuka
Salah seorang tokoh semiotik yang tidak mungkin
dilupakan adalah Paul Ricoeur. Ia berangkat dari tradisi
fenomenologi Husserl serta banyak mengembangkan
hermeneutik. Keunikan tokoh satu ini adalah kerena ia
mengembangkan filsafatnya melalui metode long road,
yaitu penjelajahan intelektual yang memaksanya untuk
banyak berwacana tentang semiotik secara intensif
dengan de Saussure, Greimas, Austin, dan Searle.
Karenanya, wajar bila kemudian sebagian orang
menemukan bukti-bukti keterpengaruhan Ricoeur oleh
Saussure (Bambang, 2002:2).
Dalam The Conflic of Interpretation (1974), Ricoeur
mengatakan bahwa filsafat pada dasarnya adalah
sebuah hermeneutik karena melakukan pengupasan
makna tersembunyi di balik teks. Dengan demikian,
setiap usaha interpretasi dilakukan untuk membongkar
makna yang terkandung dalam teks. Dalam hal ini,
Ricoeur membuat dikotomi serupa dengan konsep
langue dan parole-nya de Saussure, yakni text dan
discourse. Konsep teks merujuk pada model langue,
yaitu sistem tanda yang membentuk bahasa, sedangkan
discourse merujuk pada parole, yaitu totalitas ujaran
individu termasuk konstruksi-konstruksi individu yang
muncul dari pilihan bebas penutur. Dalam From Text to
Action (1991), Ricoeur mendefinisikan text sebagai “…
any discourse fixed by writing” (wacana yang difiksasi
17
Tokoh dan Pemikiran Semiotik

atau dibakukan melalui tulisan). Sedangkan discourse


diartikan sebagai peristiwa bahasa atau penggunaan
bahasa sebagai lawan dari sistem bahasa atau sistem
kode linguistik. Discourse menunjukkan bahasa sebagai
peristiwa bukan sebagai sistem. Sebagai peristiwa
bahasa maka diskursus mempunyai sifat-sifat
(Bambang, 2002:4):
1. Diskursus selalu terjadi dalam matra waktu (tidak
ada diskursus yang melewati faktisitas yang
spasio temporal)
2. Diskursus merujuk kembali pada subyeknya
(penutur) melalui serangkaian petunjuk spserti
kata ganti atau lainnya
3. Diskursus selalu tentang sesuatu. Ia merujuk
pada suatu ‘dunia’ yang digambarkan serta
direpresentasikan melalui fungsi simbolik bahasa
yang diaktualisasikan
4. Diskurus merujuk pula pada penutur lainnya
(sebagai lawan wicara si subyek)
Apa yang membedakan antara teks dengan
diskursus? Dalam hal ini, Ricoeur meminjam teori tindak
ujar (speech act) dari Austin dan Searle. Menurut teori
ini, tindakan diskursus disusun secara hirarkis dari
tingkatan tindakan; a) lokusioner (locutionary) atau
tindakan proporsional atau tindakan mengatakan
sesuatu, b) ilokusioner (illocutionary) atau tekanan
(force) yang merujuk pada apa yang dilakukan manusia
dalam mengatakan sesuatu, dan c) perlokusioner
(perlucutionary) merujuk pada apa yang dilakukan
manusia dengan fakta bahwa manusia mengatakan
sesuatu. Berdasarkan teori speech act, tindakan
perlokusioner tidak dapat digambarkan sepenuhnya
oleh teks. Teks tidak dapat dirujuk pada apa yang
dilakukan oleh penutur dengan fakta bahwa ia
membicarakan sesuatu. Maksud tindakan perlokusioner
tidak dapat dipahami secara pasti karena maksud itu
18
Tokoh dan Pemikiran Semiotik

tidak tercantum dalam teks. Ketika difiksasi melalui


tulisan maka sifat-sifat diskursus menjadi hilang. Proses
fiksasi menghilangkan makna diskursus sebagai
peristiwa bahasa karena proses tersebut hanya
mengambil intisari dari tindak ujar atau noema dari
pernyataan dan bahasa. Konsekuensinya teks menjadi
tidak terikat pada konteks waktu (Bambang, 2002:4).
Dengan demikian, ada yang hilang dari diskursus
dalam teks yaitu keterkaitan teks dengan suatu ‘dunia
khusus’ yang dirujuk oleh diskursus. Teks tidak lagi
terkait dengan suatu peristiwa bahasa khusus. Di sinilah
perbedaan Ricoeur dengan para strukturalis
Saussurean. Para Saussurean memahami teks berifat
otonom, terlepas dari penulis, dari konteks penulisan
bahkan terlepas dari sejarah. Menurut Ricoeur, teks
selalu merujuk pada sesuatu (penulis, konteks ruang
dan waktu, dan sejarah) sehingga teks selalu terbuka
untuk interpretasi. Rujukan (kritik ideologi, dekonstruksi,
dan analogi permainan) merupakan batasan untuk
menghindari kesewang-wenangan dalam penafsiran dan
diskursus terbebas dari belenggu situasi dialogisnya
yang sempit (Bambang, 2002:4).
Hal ini terjadi karena, menurut Ricoeur, teks tidak
dapat dipahami melalui model ujaran lisan. Teks
memutuskan relasi dengan realitas (dunia) serta
memisahkan relasi subyektif yang ada pada tuturan
lisan artinya sifat subyektifitas diskursus yang
mengarah pada pembicara (subyek) berubah ketika
mengalami proses fiksasi. Konsep fiksasi atau inskripsi
dimaksudkan sebagai upaya pemertahanan makna-
makna wacana di dalam teks (tulisan). Ketika seseorang
berbicara, ujaran-ujarannya lenyap dengan segera
seolah-olah menguap ke udara, kecuali kalau apa yang
dibicarakan itu tertera (inscribed) dalam tulisan atau
alat perekam lain yang mungkin. Walaupun sudah
terekam, tetap tak ada yang dapat menjamin bahwa
19
Tokoh dan Pemikiran Semiotik

ujaran-ujaran itu tidak lenyap, namun makna-maknanya


—yang diucapkan (the said), noema, bukan
pengucapannya (the saying), noesis—akan tetap
bertahan, paling tidak pada batas waktu tertentu. Ciri ini
tidak Cuma berlaku bagi makna-makna di dalam
wacana, melainkan juga bagi tindakan (action), pada
umumnya. Makna tindakan di dalam sebuah peristiwa,
seperti juga dalam prilaku lainnya, mampu bertahan
dengan suatu cara yang tidak dapat terjadi pada
aktualitasnya. Melalui suatu proses yang ekuivalen
dengan fiksasi makna ke dalam tulisan ini, tindakan-
tindakan—sebagai sesuatu yang bermakna—akan
mampu meninggalkan jejak-jejaknya, mengendap di
dalam rekaman sejarah (Kris Budiman, 1999:35-6).
Ketika proses fikasi berjalan, teks tidak hanya
mengarah pada subyek pembicaraannya. Teks menjadi
terbuka untuk siapa saja yang membacanya. Teks
menjadi berhubungan dengan keberadaan manusia
secara umum di dunia. Teks menjadi otonom yaitu
bebas dari, apa yang disebut Ricoeur dengan,
ostensive reference (produk inisal teks), yaitu matra
waktu, kepada siapa teks ditujukan, serta maksud
(intensi) penulis (Bambang, 2002:4). Tapi bukan berarti
teks menjadi tanpa rujukan sehingga kesewenangan
dalam penafsiran diperbolehkan. Ricoeur hanya
berusaha menghindari subyektifitas yang sempit dalam
penafsiran. Dalam hal ini menjadi tugas penafsir untuk
memberikan rujukan pada teks. Menurut Ricoeur,
menginterpretasi teks bukan bermaksud mengadakan
interpretasi intersubyektif antara subyektivitas
pengarang dengan subyektivitas pembaca, melainkan
suatu interpretasi terhadap hubungan antara wacana
teks dengan wacana penafsir. Yang ingin dicapai adalah
‘pembauran’ antara dunia teks dengan dunia penafsir.
Rujukan dalam proses penafsiran adalah kritik
ideologi, dekonstruksi, dan analogi permainan. Kritik
20
Tokoh dan Pemikiran Semiotik

ideologi akan membatasi kesewenang-wenangan dalam


penafsiran karena kritik ideologi berusaha mengkritik
prasangka-prasangka serta ilusi dari penafsir. Adapun
dekonstruksi dilakukan sebagai upaya untuk
membongkar motivasi-motivasi alam ketaksadaran dan
sadar penafsir. Analogi permainan bermaksud bahwa si
penafsir harus mengambil jarak (distansiasi) dari teks
dengan cara ‘bermain’. Dalam matra ini, bermain berarti
lepas dari segala beban, kesusahan, dan penderitaan
disertai usaha-usaha untuk mencari kemungkinan lain
(Bambang, 2002:5).
Menurut Ricoeur, setiap teks merupakan suatu
‘karakter yang dapat dibaca’ (readability characters)
karena teks selalu meninggalkan jejak dan menjadi
inskripsi (inscription=prasasti) dan interpretasi
mengarahkan perhatiannya pada makna obyektivitas
teks. Makna obyektivitas teks dapat dicapai dengan
membuat fiksasi makna teks, melepaskan intensi
ataumaksud pengarang, melihat kondisi sosial ketika
teks dibuat serta memahami untuk siapa teks tersebut
ditujukan. Kategori interpretasi (dalam hermeneutika)
Ricoeur merupakan proses obyektivasi dan subyektivasi.
Proses obyektivasi mengandung dua hal yaitu
obyektivasi melalui struktur dan fiksasi melalui tulisan.
Obyektivasi melalui struktur bermakna teks tidak dapat
lagi mengacu pada rujukan ketika teks ditulis baik oleh
pengarang maupun kepada wacana yang dibakukan.
Sedangkan proses subyektivasi juga mengandung dua
elemen yaitu mencari benang merah dari teks (la chose
du texte) agar terjadi kesepakatan dan apropriasi atau
pemahaman diri (la comprehension du soi) (Bambang,
2002:5).
Bagaimana menentukan makna utama dari teks?
Makna utama teks dicapai dengan ‘logika probabilitas’
dan bukan ‘logika identitas’. Logika probabilitas artinya
mencari kemungkinan alternatif dari sekian banyak
21
Tokoh dan Pemikiran Semiotik

alternatif yang paling mendekati kebenaran. Dalam


konteks ini, bahasa yang terkandung dalam teks
dipahami sebagai bahasa metafora yaitu bahasa yang
menggunakan citra, kiasan, dan contoh-contoh alegori
berdasarkan analogi. Pemahaman berdasarkan bahasa
metafora ini akan menghasilkan pelbagai alternatif
makna dengan tingkat probabilitasnya masing-masing.
Alternatif makna ini kemudian dipilih oleh si penafsir
yang memiliki kemungkinan yang paling mendekati
kebenaran. Proses penafsiran yang dilakukan
merupakan ‘tindakan teks itu sendiri’ karena teks
mendukung upaya penafsiran terhadap dirinya. Dengan
begitu, dapat dikatakan bahwa kegiatan penafsiran
merupakan suatu penafsiran intertekstual karena
makna diperoleh berdasarkan makna yang inheren
dalam teks setelah menguraikan teks serta tanda-tanda
yang tersebar dalam teks (Bambang, 2002:5).
22
Tokoh dan Pemikiran Semiotik

SEMIOTIK PSIKOANALISIS
JACQUES LACAN

A. Sketsa Intelektual Jacques Lacan


Pada bagian ini, tulisan diarahkan untuk
mewacanakan salah satu pendekatan yang bersifat
modern dalam kajian teks (sastra). Pendekatan modern
dalam teks sastra didasari oleh perubahan pandangan
mendasar. Kedudukan kritikus dan ahli sastra menjadi
sama tinggi dengan kedudukan pengarang karena kritik
sastra menjadi suatu genre sastra. Pendekatan modern
melihat karya sastra terutama sebagai teks, yang lebih
merupakan milik pengamatnya daripada pengarangnya.
Pendekatan modern dalam kesusastraan diilhami dan
didasari oleh tiga ilmu humaniora, yaitu psikoanalisis,
sosiologi, dan linguistik. Masing-masing merupakan
suatu sistem yang berbeda. Dalam urutan kronologis,
pendekatan psikoanalisis lahir lebih awal. Pendekatan
ini menekankan bahwa eksistensi pertama-tama adalah
dorongan dan hasrat, dan karenanya, mempertanyakan
sastra dalam kaitan dengan mite, fantasi, dan simbol
serta meletakkan sastra di antara gejala kultural
lainnya. Psikoanalisis mengajak pembaca untuk
membaca sastra sebagai bahasa hasrat, menganalisis
seni sastra dengan sarana teori tentang ilusi. Secara
tepat dan ringkas, Fayolle menggambarkan bahwa
psikoanalisis melihat manusia sebagai seorang penidur
atau seorang pemimpi, dan bukan sebagai seorang
pemikir.
Di Prancis pendekatan psikoanalisis sangat
23
Tokoh dan Pemikiran Semiotik

dibedakan dengan pendekatan psikologis untuk


mengkaji teks sastra, umumnya yang berjenis cerita
atau roman psikologis, cenderung mencari atau
mempertimbangkan kausalitas, suatu tuntunan konsep
intelektualitas yang deterministik. Psikoanalisis sastra
menjelaskan suatu konsep taksadar, yang anti-
intelektualis. Salah satu kecendrungan pendekatan
psikoanalisis pasca Freud dalam kajian teks sastra
nampak dalam sosok Jacques Lacan.

Ia berdandan dengan cara yang sama dengan tata


kalimat baroknya. Segera setelah perpisahannya yang
pertama, ia pindah ke amfiteater di Sainte-Anne. Di
sana dalam kurun waktu 10 tahun, ia tampil dengan
suara berubah-rubah, kadang-kadang lemah, kadang-
kadang mengguntur. Ia akan menuliskan terlebih
dahulu apa-apa yang akan dikatakannya, dan
kemudian di depan para hadirin ia melakukan
improvisasi seperti seorang aktor dari Royal
Shakespeare Company yang mendapatkan pelajaran
diksi dari Greta Garbo dan dibimbing oleh Arturo
Toscaini. Lacan melakukannya dengan salah karena ia
mengatakan dengan benar, seolah berusaha
membangkitkan cerminan rahasia ketidaksadaran,
seolah memperlihatkan tanpa kena menyerah di tepi
ajal. Sebagai seorang tukang sihir tanpa sihir, tanpa
hipnotis, nabi tanpa dewa, ia mengagungkan hadirin
dalam bahasa yang mengagumkan, dan
membangkitkan pencerahan yang sudah berlangsung
satu abad (Lechte, 2001).

Itulah ilustrasi Lechte tentang sosok Lacan (1901-


1981), seorang psikoanalisis Prancis yang karya-
karyanya banyak mempengaruhi teori sastra. Hal
tersebut berkaitan dengan usaha pembacaan kembali
terhadap Freud tentang subjektivitas dan seksualitas
dengan meletakkan bahasa sebagai landasannya. Lacan
telah menonjolkan bahasa pada pembentukan subjek
24
Tokoh dan Pemikiran Semiotik

Freud. Psikoanalisisnya ini mampu mengubah orientasi


psikoanalisis di Prancis dan tempat-tempat lainnya.
Retorika pertama Lacan tentang bahasa adalah bahwa
bahasa mampu mengungkapkan lain dari apa yang
dikatakannya atau singkatnya bahasa berbicara melalui
manusia sema seperti manusia mengucapkannya. Tidak
mengherankan bila kemudian pembentukan subjek
tidak pernah lepas dari ruang lingkup bahasa ketika
subjek yang merupakan manusia atau individu
diciptakan dalam bahasa.
Lacan dilahirkan di Paris dan belajar kedokteran
serta psikiatri di kota asalnya. Tahun 1932, ia meraih
gelar doktor dalam ilmu keokteran dengan sebuah
disertasi yang berjudul Psiko Paranoia dalam Hubungan
dengan Kepribadian. Sekitar waktu yang sama ia
mencari kontrak langsung dengan aliran surealisme.
Tahun 1936, ia memberi ceramah pada kongres ke-14
dari Himpunan Internasional untuk Psikoanalisis di
Mrienbad dengan teoring yang disebut Fase Cermin.
Pada kongres ke-16 himpunan yang sama di Zurich
(1949), ia memberi ceramah lanjutan mengenai teori
yang sama. Tahun 1953, Lacan dikeluarkan dari
keanggotaan himpunan itu, disebabkan ia dianggap
menyimpang dari psikoanalisis ortodoks; misalnya
bahwa lamanya pengobatan psikoanalitisnya kadang-
kadang tidak melebihi tiga atau lima menit saja dan
juga latihan analisis-analisis baru. Tetapi pada latar
belakang pasti juga berperan perbedaan pendapat
teoritis. Lacan secara intensif mengkritik beberapa
tendensi himpunan tersebut, khususnya di antara
anggota-anggota Amerika. Ia menolak sikap empirisitis
dan scientisis mereka, ia menantang bertambah
pentingnya ego psikologi di kalangan mereka. Ia juga
mempersoalkan tendensi medikalisasi para analis
Amerika, yaitu tendensi untuk mengaitkan secara
eksklusif psikoanalisis profesi medis. Dalam hal terakhir
25
Tokoh dan Pemikiran Semiotik

ia dekat dengan ikhtiar Freud sendiri dalam Masalah


Analisis Awam (1972). Di Paris, ia mendirikan suatu
himpunan baru yang mengakui sebagai tujuannya untuk
secara konsekuen kembali pada psikoanalisis Freud
sendiri, dan menggunakan sebagai organnya majalah La
Psychanalyse.
Karya lacan yang penting adalah Ecrits (1966)
(Karangan-Karangan) terdiri dari ceramah-ceramah
yang diberikannya di berbagai seminar tentang
masalah-masalah psikoanalitis. Seminar-seminar ini
menarik semakin banyak peminat dan menjalankan
pengaruh besar sekali atas kehidupan intelektual di
Paris pada tahun 60-an dan 70-an. Karena jumlahnya
yang semakin besar, seminar diberikan di berbagai
tempat, sekalipun di Universiter di Vincennes yang
terkenal radikal. Seperti halnya dengan Bapak
Psikoanalisis dulu, berbagai konsep Lacan pun banyak
disalahartikan di kalangan murid-muridnya.

B. Bahasa dan Signifikasi


Pemikiran Lacan, dapat dikatakan, sebagai ‘hasil’
campuran dari berbagai aliran pemikiran yang
mengitarinya. Ia berangkat dari teori struktural
Saussure, sekalipun tentunya Lacan sudah jauh
berkembang. Dalam hal ini, Lacan menggunakan kaidah
analisis pertinensi dan komutasi, yakni melakukan
opoisi biner. Teori linguistik Saussure masih
menampakkan dominasinya dalam teori psikoanalisis
Lacan. Lacan bertolak dari teori Freud bahwa manusia
menggunakan bahasanya pada dua lapisan, yakni
lapisan “sadar” yang sebenarnya berada dalam
“konflik” dengan lapisan “bawah sadar”nya.
Teori psikoanalisis Freud (Freudianisme), seperti
diterangkan oleh Eagleton (1983:157), menerangkan
bahwa ada tiga aspek dalam kepribadian manusia, yaitu
Id (aspek biologis), Ego (aspek psikologis), dan Super
26
Tokoh dan Pemikiran Semiotik

Ego (aspek sosiologis). Ketiga aspek ini, dalam kondisi


yang normal, bekerja sama dengan dikendalikan oleh
Ego yang melakukan represi-represi. Seorang anak yang
sedang berkembang atau seorang dewasa
mengembangkan identitas individualnya dalam
hubungan-hubungan keluarga, seksual, dan sosial di
bawah moralitas, rasa bersalah, hukum, dan semua
otoritas sosial dan religi. Hal ini hanya dapat terjadi
dengan mematahkan keinginan-keinginan yang salah
dan menekannya ke dalam ketidaksadaran
(unconciousness).
Seorang manusia dewasa selalu berada di antara the
concious dan the unconcious, dan the unconcious.
Mimpi, sebagai salah satu jalan ke the unconcious,
dikatakan Eagleton sebagai symbolic fulfilments of
unconscious wishes and they are cast in symbolic form
(1983:157). The unconcious, dalam hal ini, menutupi,
menghaluskan, dan menyimpangkan makna-makna
sehingga manusia menjadi teks-teks simbolis. Hal ini
sesuai dengan apa yang diidentifikasi oleh Roman
Jakobson, salah seorang Formalis Rusia, seperti yang
dikutip oleh Eagleton (1983:99), yaitu bahwa ada dua
operasi utama dalam bahasa manusia yang keduanya
bersifat simbolis yaitu metafora (atau substitusi satu
tanda oleh tanda lainnya karena adanya kesamaan) dan
metonimi (atau asosiasi satu tanda oleh tanda lainnya).
Menurut Eagleton (1983:157), hal inilah yang mendasari
perkatan Lacan bahwa the unconcious …is structered
like a language. Keduanya bekerja dengan metafora dan
metonimi.
Lacan menegaskan bahwa sebenarnya bahasa
“bawah sadar” merupakan bahasa dari “yang Lain”
(“the Other”); artinya, “aku sadar” berbeda dengan
“aku tak sadar”. Jadi, bahasa pada lapisan “tak sadar”
atau “bawah sadar” mempunyai strukturnya sendiri
yang berbeda dengan bahasa pada lapisan “sadar”
27
Tokoh dan Pemikiran Semiotik

pada manusia. Inti teori Lacan adalah “bawah sadar”


mempunyai penanda dan petandanya sendiri, dan
merupakan bahasa “Yang Lain”. Hanya saja ia
menambahkan bahwa dalam hal ini 1) penanda lebih
dominan daripada petanda, dan 2) antara penanda dan
petanda ada batas yang sulit ditembus. Dalam bahasa
“bawah sadar” ini makna sering harus ditentukan oleh
relasi antarpenanda dalam bahasa yang bersangkutan.
Jadi, dalam bahasa “bawah sadar” tidak akan terjadi
pemahaman tanpa mengaitkan satu penanda dengan
penanda yang lain dalam wacana yang bersangkutan
sehingga pemahaman tidak segera dapat sesuai dengan
petanda yang diperkirakan. Akhirnya, Lacan
mengemukakan bahwa bahasa “bawah sadar” memiliki
struktur dan sistemnya sendiri, yang dalam psikoanalisis
harus dipelajari terlepas dari bahasa “sadar” (Beny H.
Hoed, 2003:15).
Lacan, dalam teorinya, menginterpretasi
Freudianisme dengan perhatian yang lebih pada
perlakuan Freud terhadap the unconciousness dengan
cara-cara dan struktur yang relevan dalam
hubungannya dengan bahasa. Salah satu teori Lacan
yang berhubungan dengan hal ini adalah teorinya yang
disebut the mirror stage. Teori ini memisalkan seorang
anak kecil yang memperhatikan dirinya sendiri dalam
sebuh cermin. Tahap ini adalah tahap awal
perkembangan ego si anak yang disebut Lacan (1949,
dalam Davis, 1994:382) sebagai an identification, yakni
ketika anak tersebut, yang dirinya terefleksi dalam
cermin dan secara fisik masih belum terkoordinasi,
menemukan suatu image. Walau hubungannya dengan
image ini masih imajiner (imaginary)—image yang ada
dalam cermin adalah dirinya sendiri dan juga bukan
dirinya sendiri—hubungan tersebut telah memulai
proses konstruksi suatu pusat atau the Ideal-I (Lacan
dalam Davis, 1994:383). Situasi di depan cermin ini
28
Tokoh dan Pemikiran Semiotik

dapat dilihat sebagai semacam metafora: suatu item (si


anak) menemukan kesamaan dari dirinya pada dirinya
pada item lainnya (refleksi). Namun, the ideal-I ini,
seperti yang dinyatakan oleh situasi di depan cermin,
bersifat narcissitic (Lacan dalam Davis, 1994:385) yaitu
terobsesi pada diri sendiri. Image yang dilihat oleh anak
tersebut dalam cermin, dengan pemahaman ini, adalah
image yang asing. Anak tersebut gagal mengenali
dirinya sendiri di dalamnya. Ia menemukan the image
suatu kesatuan atau kesamaan (yang sebetulnya adalah
kemiripan) yang menyenangkan, tetapi yang sebetulnya
tidak dialaminya dalam tubuh sendiri. Ketika si anak
tumbuh dewasa, dia akan terus membuat identifikasi
imajiner seperti itu dengan objek-objek yang
ditemuinya. Dengan inilah ego dibangun.
Bagi Lacan, ego hanyalah proses. Identitas terjadi
hanya karena ada perbedaan. Penemuan pertama si
anak akan adanya perbedaan terjadi bersamaan dengan
penemuannya akan bahasa. Si anak, dikatakan Eagleton
(1983:167) terpaksa menerima fakta bahwa dia tidak
akan pernah mempunyai akses langsung kepada
realitas. Anak tersebut terhalau dari apa yang
dimilikinya secara imajiner dan penuh ke dalam dunia
bahasa yang kosong. Eagleton (1983:167) menyatakan
juga bahwa bahasa adalah kosong karena it is just an
endless process of differnce and absence. Si anak
secara tidak sengaja belajar suatu tanda (sign) hanya
memiliki arti jika ada perbedaan dengan tanda-tanda
(signs) lainnya, sesuai dengan apa yang dikemukakan
Saussure bahwa in the linguistics system there are only
differences dan bahwa bahasa merupakan suatu sistem
yang unit dasarnya (yaitu tanda atau sign) memiliki
makna hanya dengan relasi dengan unit lainnya. Si anak
juga belajar bahwa satu sign mengibaratkan absennya
objek yang disignifikansikannya. Bahasa, karenanya,
menggantikan tempat objek-objek, atau dengan kata
29
Tokoh dan Pemikiran Semiotik

lain bersifat metaforis.


Dalam konteks bahasa, anak kecil yang memeriksa
dirinya sendiri di depan cermin itu dapat diartikan
sebagai signifier –sesatu yang dapat mengajukan makna
—dan image yang dilihat si anak sebagai semacam
signified—konsep makna. Jadi, si anak bukannya
memiliki sesuatu yang penuh tetapi pada dasarnya yang
terus bertumbuh dewasa hanya bergerak dari satu
signifier ke signifier lainnya dalam sutu rantai
signifikasi. Dunia “situasi cermin” yang metaforis telah
memberikan dasar pada dunia bahasa yang metonimis
sehingga bahasa juga bekerja dalam pola yang sama.
Davis (1994:376) mengemukakan bahwa ide Lacan
mengenai teks berkaitan dengan interpretasi adalah an
unending interplay of signifiers… a network of signifiers,
suatu jaringan signifikansi. Ide Lacan ini berkesesuaian
dengan gagasan Barthes dalam essai “Literature and
Signification” (1972:268) yang memberi batasan
mengenai kesusastraan (literature) sebagai unfulfilled
system of signification yang diartikannya bahwa the
writer is concerned to multiply significations without
filling or clossing them, and that he uses language to
constitute a world which is emphatically signifying but
never finally signified, yang berarti bahwa proses
signifikansi adalah proses yang berulang-ulang.
Pernyataan-pernyataan ini semakin menguatkan teori
mengenai proses bahasa, teks, dan kesusastraan
sebagai proses signifikansi yang metaforis.

C. Psikoanalisis Lacanian dan Bahasa


Dapat dikatakan dialog pemikiran Marxis dan
psikoanalisis dimulai pada 1963 ketika Louis Althusser,
filsuf komunis terkemuka di Prancis, mengundang
Jacques Lacan untuk memberikan seminar di Ecole
Normale. Selama periode itu, aktivitas interdisipliner
berkembang pesat. Setahun setelah dialog itu, Althusser
30
Tokoh dan Pemikiran Semiotik

mempublikasikan artikel yang sangat terkenal “Freud


and Marx”. Ia mengatakan, baik Marx maupun Freud
menciptakan ilmu baru. Masing-masing menemukan
objek pengetahuan yang baru. Freud “menciptakan”
penemuannya dengan konsep biologi, mekanika, dan
psikologi pada zamannya. Sementara itu, Marx
menciptakan penemuannya dengan subjek Hegelian.
Sementara itu, teori psikoanalisis Lacan untuk
sebagian didasarkan pada penemuan antropologi dan
linguistik struktural. Salah satu keyakinan utama teori
ini adalah bahwa ketidaksadaran merupakan struktur
tersembunyi yang mirip dengan bahasa. Bahasa
merupakan prakondisi tindak menjadi sadar bahwa
manusia adalah entitas yang berbeda. Namun, bahasa
juga merupakan pembawa yang terberi secara sosial,
kebudayaan larangan, dan hukum. Lacan mengatakan
berkat kemampuan metamorfosis manusia, kata dapat
menyampaikan pelbagai macam makna dan manusia
dapat menggunakan kata untuk menyampaikan sesuatu
yang berbeda dengan makna konkretnya. Kemungkinan
menandakan sesuatu yang berbeda dengan apa yang
dikatakan itu menentukan otonomi bahasa atas makna.
Lacan menekankan otonomi penanda. Ia
mengasimilasikan proses-proses metaforis dan
memetonimis dalam bahasa dengan kondensasi dan
penggantian. Semua formasi ketidaksadaran
menggunakan piranti stilistik ini untuk memperdaya
penyensoran.
Dalam keseluruhan karyanya, Lacan berupaya
menyerang ilusi-ilusi umum yang menyamakan ego
dengan diri. Berbeda dengan mereka yang mengatakan
“saya berpikir, maka saya ada”, Lacan mengatakan;
“Saya berpikir maka saya tidak ada. Oleh karena itu,
saya ada ketika saya tidak berpikir”. Atau, “Saya
berpikir maka saya tidak dapat mengatakan saya ada”.
Jacques Lacan memfokuskan diri pada ‘kegalauan’ atau
31
Tokoh dan Pemikiran Semiotik

‘turbulensi’ dalam sistem pertandaan. Di dalam model


komunikasi yang dikemukakan Lacan, yang disebut
model komunikasi ‘skizofrenia’, terjadi semacam
‘keterputusan’ rantai pertandaan (antara penanda
dengan petanda, atau antara penanda dengan penanda
lainnya), yang menciptakan serangkaian penanda-
penanda yang satu sama lainnya tidak berkaitan,
sehingga tidak mampu menghasilkan sebuah ungkapan
bermakna. Di dalam bahasa skizofrenia, semua penanda
dapat digunakan untuk menyatakan satu konsep atau
petanda. Dengan perkataan lain, konsep atau petanda
tidak dikaitkan dengan satu penanda dengan cara yang
stabil, sehingga menciptakan semacam
kesimpangsiuran penanda-penanda.
Semboyan yang dapat dipasang di atas seluruh
usaha Lacan adalah “kembali kepada Freud”. Karangan-
karangan Freud selama ini tidak pernah mengalami
kekurangan peminat. Psikoanalisis Freud telah
diinterpretasikan dari sudut pandang biologi, sosiologi,
kulturalisme, dan lain-lain. Di samping Freud telah
diseret ke gelanggang perhatian masyarakat ramai,
sehingga dalam apa yang dikatakan dan dipikirkan
tentang dia hampir tidak ada kaitannya lagi dengan
maksud sesungguhnya. Untuk fenomena terakhir ini
dengan cara menyindir, Lacan menciptakan istilah
frofreudisme, Freudisme yang semu. “Sudah waktunya
kita kembali kepada Freud sendiri”, ujar Lacan. Untuk
mengerti maksud dan pemikiran Freud, pembaca
sekarang mempunyai suatu alat yang sangat berharga
yang belum dikenal oleh penemu psikoanalisis itu
sendiri, yaitu linguistik modern. Lacan ingin membuat
psikoanalisis menjadi suatu antropologi otentik dengan
mengambil ilmu bahasa sebagai pedoman.
Sebagai penemuan Freud yang paling mencolok
mata dapat dianggap bahwa ia memperlihatkan suatu
decentrement atau decentering pada manusia. Ia
32
Tokoh dan Pemikiran Semiotik

memperkenalkan manusia dengan kenyataan bahwa


manusia “seakan tergeser dari pusatnya”. Sesudah
Freud kesadaran tidak mungkin dipandang lagi sebagai
pusat manusia yang mutlak dan otonom. “Manusia tidak
lagi tuan dan penguasa dalam rumahnya sendiri”,
dikatakan Freud. Anggapan ini tidak kurang dari suatu
revolusi dalam cara memandang. Untuk itu pembaca
akan teringat akan peranan yang dimainkan oleh
kesadaran dalam seluruh pemikiran Barat sejak
Descartes. Dengan menyelami ketidaksadaran, Freud
memperlihatkan pada manusia suatu lapisan lebih
mendalam yang tidak terduga sebelumnya, suatu taraf
tak sadar serta anonim.
Dalam hal tersebutlah Lacan menjelaskan
ketidaksadaran itu dalam plot penemuan tentang
bahasa. Pembedaan Saussure antara penanda dan
petanda banyak dipakai oleh Lacan. Mimpi, gejala
neurotis, salah tindak, dan lain-lain merupakan
penanda. Seluruh percakapan si analis (psikiater)
dengan si analisan (pasien) merupakan seuntai rantai
penanda-penanda. Bahasa (dalam artian langue seperti
dikonsep Saussure) merupakan satu sistem yang terdiri
dari relasi-relasi dan oposisi-oposisi yang mempunyai
prioritas terhadap subyek yang berbicara. Manusia tidak
merancang sistem itu, tetapi sebaliknya takluk
kepadanya. Justru ketaklukan ini memungkinkan dia
berbicara. Menurut Lacan hal yang sama berlaku juga
untuk ketidaksadaran. Ketidaksadaran semacam logos
yang mendahului manusia perseorangan. Manusia
menyesuaikan diri dengannya dan mendengarkannya.
Ketidaksadaran merupakan suatu struktur, tetapi
manusia sendiri tidak menguasai struktur ini (Bertens,
2001).
Khusus mengenai komunikasi kebahasaan, Lacan
memiliki teorinya sendiri. Bagi Lacan, komunikasi tidak
hanya terdiri dari satu dimensi, yakni pengirim di satu
O

33
Tokoh dan Pemikiran Semiotik
Symptoms Signals
S x y R
pihak dan penerima di pihak lain. Komunikasi terjadi
antara “Aku” dan “reaksi penerima” yang dimaknai oleh
“Aku”. Jadi bagi Lacan, komunikasi adalah suatu proses
di mana pengirim menerima pesannya sendiri melalui
penerima dalam bentuk sebaliknya. Ini kelihatannya
sejajar dengan “Model Organon”, yang intinya adalah
bahwa tanda bahasa yang digunakan oleh pengirim
untuk menyampaikan pesannya (symptoms) dapat
dipahami secara berbeda oleh penerima (signals)
sehingga isi pesan yang diterima belum tentu sama. Ini
adalah prinsip dasar dalam pragmatik. Lacan
kelihatannya berpendapat bahwa makna pesan yang
dikirimkan oleh pengirim adalah apa yang dipahami
oleh penerima, yang ditangkap kembali oleh pengirim.

Model ini menggambarkan komunikasi antara


pengirim (sender, S) dan penerima (receiver, R), yang
menggunakan tanda (sign, Sn) yang merujuk pada hal
diluar tanda (objects and states of affairs, O). Yang
menarik dalam teori ini ialah tanda (Sn) tidak selalu
dipahami maknanya secara sama oleh S (sisi x) dan R
(sisi y). Dengan kata lain, symptoms yang dikirim tidak
selalu sama dengan signals yang diterima. Contohnya,
apabila seseorang mengungkapkan, “Mari kita basmi
terorisme dari muka bumi”. Oleh S, yang dimaksudkan
teorisme adalah semua jenis terorisme yang dilakukan
oleh siapa saja. Dalam pada itu, R mungkin saja
memahaminya sama atau dapat juga terorisme
34
Tokoh dan Pemikiran Semiotik

dipersempit pemahamannya menjadi “kelompok Osama


bin Laden” atau “orang Islam”. Dengan demikian, dalam
hal terakhir ini, O yang dirujuk oleh S berbeda masing-
masing S dan R.
Mengenai bahasa dan manusia pemakainya, Lacan
melihat manusia terkungkung oleh struktur bahasa.
Bahasa seolah-olah menjadi penjara bagi manusia yang
tidak dapat keluar dari penjara itu. Kebudayaan manusia
dengan demikian sangat dikuasai oleh struktur dan
sistem bahasanya. Manusi akhirnya bukan lagi
penguasa pikirannya, karena yang menguasai
pikirannya itu adalah bahasa yang digunakannya.

D. Symbolic Order
Istilah Lacan yang terkenal lainnya adalah symbolic
Order. Berkaitan dengan pernyataan Claude Levi-
Strauss bahwa setiap masyarakat diatur oleh
seperangkat tanda, aturan, dan ritual. Sehingga setiap
anak bisa memasuki realitas tanpa memasuki symbolic
order ini. Pengenalan terhadap symbolic order ini dilakui
dengan memasuki sistem bahasa maka bila seorang
anak akan memasuki symbolic order maka dia harus
tunduk terhadap aturan-aturan linguistik yang nantinya
akan menghuni daerah ketidaksadarannya. Sepanjang
dia menggunakan bahasa symbolic order maka dia
akan mengikuti aturan gender dan kelas sosial. Untuk
memasukinya ada tiga tahap yang secara halus
merupakan ketundukan terhadap hukum ayah (law of
the father).
Tahap pertama, pra-oedipal, atau fase imajiner –
tahap ini merupakan antitesis symbolic order. Seorang
bayi (bayi=infant; enfans=belum bersuara) yang
berumur antara 6 dan 18 bulan yang belum bisa
mengenali bayangannya sendiri di cermin. Pada tahap
ini ego seorang bayi masih terikat pada sang ibu,
bahkan dia belum bisa membedakan batasan antara
35
Tokoh dan Pemikiran Semiotik

tubuh ibunya dan tubuhnya sendiri. Sepanjang bayi ini


merasakan, dia dan ibunya adalah satu.
Tahap kedua, atau cermin, fase ini masih
merupakan bagian dari fase imajiner. Seorang bayi
mengenali image dirinya melalui atau sebagaimana
direfleksikan melalui cermin pandangan ibunya sebagai
dirinya yang real. Tahap ini merupakan perkembangan
normal dari perkembangan dirinya. Seorang bayi harus
pertama kali mengenal dirinya sebagaimana ibunya
melihat dirinya atau sebagai yang lain (the other).
Sebelum dia bisa mengenai dirinya sebagaimana dirinya
sendiri. Lacan menganggap bahwa proses penemuan
diri pada infantil merupakan paradigma untuk semua
relasi yang mengikutinya. (The self) selalu menemukan
dirinya melalui refleksi dari yang lain (the other).
Tahap ketiga, Oedipal, dalam fase ini merupakan
periode perkembangan perpisahan antara ibu dan bayi,
dari bayi infant menjadi seorang anak. Tidak seperti
hanya infant, seorang anak tidak memandang dirinya
sebagai unit; juga dalam tahap ini seorang anak
menganggap ibunya sebagai yang lain (the other).
Seseorang yang pada dirinya mengkomunikasikan
harapan dan juga seseorang yang berkembang ke
dalam batasan bahasa, yang tidak pernah dapat
sepenuhnya memenuhi mereka. Di antara fase Oedipal
ini hubungan ibu dan anak mendapat intervensi dari
sang ayah. Identitas yang diasumsikan pada fase
imajiner tersebut dikonstruksikan oleh symbolic order,
alam sang ayah yang melarang incest ibu-anak.
Pengalaman yang dialami anak laki-laki dalam
perpisahan dengan sang ibu berbeda dengan yang
dialami anak perempuan. Anak laki-laki ketika berpisah
dengan ibunya dan mengidentifiksai dirinya dengan
ayah makan dia sudah memasuki dunia symbolic order
karena dia melihat sebuah penanda yang sama pada
dirinya dengan sang ayah, yaitu phallus yang
36
Tokoh dan Pemikiran Semiotik

merupakan kekuatan seksual di alam petanda. Karena


phallus merupakan simbol kekuasaan bahasa maka
dengan demikian anak laki-laki pun terlahir dalam dunia
bahasa; anak laki-laki merupakan bagian dari bahasa,
bahasa merupakan dunia laki-laki. Sedangkan pada
anak perempuan dilihat dari anatominya, mereka tidak
bisa memasuki dunia symbolic order karena ketika ia
berusaha untuk mengidentifisikan dirinya dengan sang
ayah mereka ternyata tidak mempunyai penanda yang
merupakan simbol kekuasaan bahasa, yaitu phallus
sehingga dalam psikoanalisis Lacanian anak perempuan
tidak sepenuhnya menerima dan memasuki symbolic
order. Hal tersebut menimbulkan dua kesmpulan.
Pertama, bahwa mereka direpresi pada dunia symbolic
order. Bila pembaca ingat dengan pernyataan Freud
bahwa anak perempuan tidak dapat mengalami
kompleks kontraksi (contraction complex) seperti halnya
anak laki-laki, maka perempuan diklaim bahwa
perkembangan kepribadiannya tidaklah sempurna.
Dalam psikoanalisis Lacanian bisa disimpulkan
bahwa tidak dapat ditemukan posisi yang nyaman untuk
perempuan. Pembentukan subjektivitas perempuan
hanya sampai pada proses imajiner. Mereka
terkecualikan selamanya dan diasingkan sebagai the
other dan terbungkamkan oleh sistem patriarkhi. Meski
dalam psikoanalisis Lacanian posisi perempuan tidak
mendapatkan tempat yang nyaman, Lacan tetap
memberikan perhatian khusus dalam wacana
feminisme. Lacan ingin memahami penyebab
inferioritas perempuan melalui terminologi psikoanalisis.
Pengalaman, dilihat sebagai suatu pra-kondisi untuk
menyebut diri manusia sebagai manusia; perolehan
pengalaman tentang keberadaan sebagai subjek
memberikan jalan masuk bagi manusia ke dalam
masyarakat dan budaya.
Menurut Lacan, paling tidak ada beberapa alasan
37
Tokoh dan Pemikiran Semiotik

sebagai pembenaran situasi inferioritas perempuan


berdasarkan teori Frued melalui argumentasi tentang
pembedaan jenis kelamin. Pertama, pembedaan jenis
kelamin itu dibangun melalui bahasa, pemikiran, dan
akhirnya kebudayaan. Kedua, pembedaan jenis kelamin
itu haruslah tersetruktur sebagai kelemahan perempuan
dan presentasi laki-laki. Berdasarkan argumentasi di
atas, dapat disimpulkan oleh Lacan bahwa presentasi
laki-laki lebih kuat dan perempuan selalu tertingal
dalam wacana simbolik.

E. Modernitas dan Konsumerisme Skizofrenia


Di beberapa bagian dunia, khususnya Eropa dan
Amerika, ada sebuah pengalaman penting yang sama-
sama dialami sebagai akibat perkembangan masyarakat
post-industri. Betapapun berbeda intensitasnya, di
beberapa kelompok masyarakat pengalaman ini
berkaitan dengan metamorfosis kondisi kehidupan
kondisi modernitas menuju kondisi yang tengah
diperdebatkan sebagai kondisi posmodernitas.
Metamorfosis ini memantulkan–-dan masih
memantulkan--gema sosial dan kebudayaan melintasi
seni, sastra, arsitektur, dan banyak lagi bentuk
kebudayaan lainnya. Kebudayaan posmodernisme telah
meninggalkan jauh rasionalitas, universalitas, kepastian,
dan sekaligus keangkuhan kebudayaan modern; dan
kini, dunia –khususnya dunia seni dan filsafat-
dihadapkan pada semacam ketidaktentuan arah
(indeterminancy), ketidakjelasan hukum dan
ketidakpastian nilai. Sementara itu, dunia akademis
dihadapkan pada semacam kegalauan epistimologis,
yaitu kegalauan tentang teori yang mampu menjelaskan
vakupan, metode, dan keabsahan pengetahuan yang
digunakan dalam diskursus posmodernisme sebagai
strategi intelektual dan landasan (ground) bagi
penciptaan karya. Terdapat ketidakpastian mengenai
38
Tokoh dan Pemikiran Semiotik

apakah konsep-konsep pengetahuan tertentu


merupakan hak prerogatif diskursus modernisme atau
posmodernisme.
Akhir dari modernitas adalah argumen yang sering
dikemukakan–disamping argumen lainnya yang
senada--untuk menjelaskan kebangkrutan modernitas di
hadapan posmodernitas. Namun, apakah modernitas itu
sendiri? Dapatkah modernitas itu didefinisikan sebagai
satu konsep yang utuh? Apakah kaitan antara konsep
modernisme, modern, dan modernitas? Secara singkat
perbedaan di antara konsep-konsep ini dapat dijelaskan
berikut ini. Konsep modernisme pada umunya selalu
dikaitkan dengan fenomena dan kategori kebudayaan,
khususnya yang berkaitan dengan estetika atau gaya.
Sedangkan konsep modern sering dikaitkan dengan
eksistensi manusia dala ruang dan waktu, Heidegger
menjelaskan dalam dalam karyanya tentang Nietzsche,
sebagaimana yang dikutip oleh David Michel Levin,
bahwa apa yang disebut dengan periode modern,
“...dapat dijelaskan berdasarkan kenyataan bahwa
manusia menjadi pusat dan ukuran dari semua ada
(beings).”
Dunia modern di Barat telah dimulai dari periode
Renaisans –periode yang merupakan awal dari
perkembangan sains dan teknologi, perluasan dan
ekspansi perdagangan, perkembangan wawasan
modern tentang humanisme; sebagai tantangan
terhadap kepercayaan keagmaan Abad pertengahan
dan sebagai satu bentuk pendewaan rasionalitas dalam
pemecahan-pemecahan masalah manusia. Semangat
Renaisans terlihat pada pemikiran Descartes, yang
melalui wawasan humanismenya, menjadikan manusia –
dengan segala kemampuan rasionalnya--sebagai aku
(subjek) yang sentral dalam pemecahan masalah dunia.
Hegel menyebut dunia baru ini sebagai zaman baru
(new age) dengan spirit yang baru seperti yang
39
Tokoh dan Pemikiran Semiotik

dikemukakan bahwa : “zaman kita adalah sebuah


zaman kelahiran dan periode peralihan menuju satu era
baru. Spirit telah teputus dari dunia yang sebelumnya
dihuni dan diimajinasikannya, dari pikiran yang telah
menenggelamkannya dimasa lalu, dan ia dalam proses
tranformasi. Spirit tidak pernah diam di tempat, akan
tetapi selalu dalam proses bergerak ke depan...
ketidakstabilan dan kebosanan yang mengguncang
orde yang mapan, ramalan samar-samar tentang
sesuatu yang belum diketahui di depan, semuanya ini
adalah petanda dari perubahan yang tengah
menjelang.” Hegel, dalam hal ini, melihat periode
modern sebagai satu periode, ketika manusia sebagai
subjek, menentukan sendiri landasan nilai dan kriteria-
kriteria dalam kehidupannya di dunia. Manusia modern
tidak memerlukan landasan nilai, kebenaran, atau
legitimasi selain dari dalam dan untuk dirinya sendiri –
manusia modern bertanggungjawab terhadap dirinya
sendiri. Bagi Hegel, tidak ada landasan lain yang dapat
menopangi subjek yang merdeka selain dari akal budi
sang subjek itu sendiri-- akal budi yang mencari
kebenaran melalui ilmu pengetahuan.
Zeitgeist, atau semangat zaman adalah istilah yang
digunakan Hegel untuk menjelaskan pengalaman
modernitas, yaitu semangat menjadi di dalam ruang dan
waktu–pengalaman yang menjadi karakteristik
modernitas. Jurgen Habermas menjelaskan konsep
zeitgeist Hegel ini sebagai dicirikan oleh”...masa kini
sebagai suatu transisi yang dikonsumsi berdasarkan
kesadaran akan percepatan serta harapan akan
perbedaan di masa depan.” Konsumsi sebagai satu
sistem diferensiasi–yaitu sistem pembentukan
perbedaan-perbedaan status, simbol, dan prestise
sosial- adalah sistem yang menandai kedatangan
masyarakat konsumer. Di dalam era konsumerisme,
masyarakat hidup di dalam satu bentuk relasi subjek
40
Tokoh dan Pemikiran Semiotik

dan objek yang baru, yaitu relasi konsumerisme. Di


dalam masyarakat konsumer, objek-objek konsumsi
dipandang sebagai ekspresi diri atau eksternalisasi para
konsumer (bukan melalui kegiatan penciptaan), dan
sekaligus sebagai internalisasi nilai-nilai sosial budaya
yang terkandung di dalamnya. Pandangan, bahwa
konsumsi adalah satu kegiatan eksternalisasi
dikemukakan oleh Judith Williamsons. Menurut
Williamsons, di dalam masyarakat konsumer sekarang,
“konsumsi memberikan kesempatan tertentu bagi daya
kreativitas, seperti sebuah mainan di mana seluruh
bagian-bagiannya telah ditentukan, akan tetapi
kemungkinan kombinasinya berlipat ganda...membeli
dan memiliki, di dalam masyrakat kita memberikan rasa
mengontrol. Bila Anda membeli sesuatu, Anda
cenderung merasa, bahwa Anda mengontrolnya.”
Di dalam konsumsi yang dilandasi oleh nilai tanda
dan citraan ketimbang nilai utilitas, logika yang
mendasarinya bukan lagi logika kebutuhan (need)
melainkan logika hasrat (desire). Bila kebutuhan dapat
dipenuhi –setidak-tidaknya secara parsial- melalui objek,
hasrat sebaliknya, tidak akan pernah terpenuhi, oleh
karena satu-satunya objek yang dapat memenuhi hasrat
adalah objek hasrat (seksual) yang muncul secara
bawah sadar pada tahap imajiner, dan objek hasrat ini
telah hilang untuk selamanya, dan hanya dapat mencari
substitusi-substitusinya dalam dunia objek atau simbol-
simbol yang dikonsumsi, seperti yang dijelaskan Lacan.
Menurut Deleuze dan Guattari, hasrat atau hawa nafsu
tidak akan pernah terpenuhi, oleh karena ia selalu
direproduksi dalam bentuk yang lebih tinggi oleh apa
yang disebutnya mesin hasrat (desiring machine) –
istilah yang mereka gunakan untuk menjelaskan
reproduksi perasaan kekurangan (lack) di dalam diri
secara terus-menerus. Sekali hasrat dicoba dipenuhi
lewat substitusi objek-objek hasrat, maka yang muncul
41
Tokoh dan Pemikiran Semiotik

hanya hasrat yang lebih tinggi, yang lebih sempurna


lagi. Manusia mempunyai hasrat akan sebuah objek
tidak disebabkan kekurangan yang telah diproduksi
manusia dan reproduksi sendiri. Bagi Deleuze dan
Guattari, “...kehadiran hasrat sebagai sesuatu yang
ditopang oleh kebutuhan, sementara kebutuhan ini, dan
hubungannya dengan objek sebagai sesuatu yang
‘kurang’ atau hilang, secara terus-menerus merupakan
dasar bagi produktivitas hasrat.”
Objek-objek konsumsi yang mengalir tak putus-
putusnya dalam kecepatan tinggi di dalam arena
konsumerisme tidak pernah (dan tidak akan pernah)
memenuhi kebutuhan, sebagaimana hasrat tidak akan
pernah terpenuhi oleh objek hasrat selamanya. Produk,
gaya, citraan yang datang dan pergi silih berganti,
hanya menciptakan hutan rimba tanda-tanda yang
silang-menyilang dan saling kontadiktif, menciptakan
jaringan pertandaan tumpang tindih nyang disebut
Lacan ‘skizoprenia’. Dalam kerangka seperti inilah,
Deleuze dan Guattari menyebut masyarakat kapitalis
akhir sebagai skizoprenia. Menurut Deleuze dan
Guattari, “...skizoprenia...menggoreskan pada tubuhnya
doa-doa keterputusan, dan menciptakan bagi dirinya
dunia tangkisan-tangkisan, di mana setiap perpindahan
tempat (permutasi) dianggap sebagai tanggapan
terhadap situasi baru atau jawaban terhadap
pertanyaan iseng.”
Skizoprenia adalah sebuah istilah psikoanalisis, yang
pada awalnya digunakan untuk menjelaskan fenomena
psikis dalam diri manusia. Akan tetapi, kini –terutama
dalam diskursus intelektual di Barat- istilah ini
digunakan secara metaforik untuk menjelaskan
fenomena yang lebih luas, termasuk di antaranya
fenomena bahasa (Lacan), fenomena estetik (Jameson).
Jacques Lacan, sebagaimana yang dikutip oleh Fredric
Jameson, mendefinisikan skizoprenia sebagai
42
Tokoh dan Pemikiran Semiotik

“...putusnya rantai pertandaan, yaitu rangkaian


stigmatis penanda yang bertautan dan membentuk satu
ungkapan atau makna.” Definisi skizofrenia Lacan
berkaitan dengan tantangan para pemikir postrukturalis
terhadap pemikiran linguistik struktural Saussure, yang
mengatakan, bahwa makna itu semata merupakan
hubungan logis antara penanda (signifer) dan petanda
(signified). Menurut Jameson, ketika hubungan penanda
dan petanda, atau di antara penanda-penanda ini
terganggu, yaitu ketika sambungan rantai pertandaan
terputus, maka manusia menghasilkan ungkapan
skizofrenia, dalam bentuk serangkaian penanda yang
tidak berkaitan satu sama lainnya.
Skizofrenia, menurut menurut pandangan Lacan,
sebagaimana yang dijelaskan oleh Anthony Wilden,
menganggap kata-kata sama seperti benda-benda
sebagai referensi, dengan pengertian sebuah kata tidak
lagi mempresentasikan sesuatu sebagai referensi,
melainkan referensi itu sendiri menjadi kata. Oleh
karena itulah, seorang skizofrenia tidak mengenal kata
aku atau saya untuk mempresentasikan dirinya dalam
bahasa, sebab ia menganggap dirinya sendiri setara
objek dan kata. Tidak terikatnya satu penanda pada
satu petanda seperti ini merupakan satu ciri dari bahasa
skizofrenia, “...di mana keterkaitan bahasa satu subjek
dengan realitas yang dapat diterima dalam diskursus
bahasa yang normal tidak terjadi sama sekali, sehingga
yang terbentuk adalah seorang skizofrenia, yang berada
pada posisi puncak dari oposisi biner semantik, yang
secara struktural serupa dengan ekspresi semantik atau
fonemik yang pertama dialami anak-anak, namun di
dalamnya oposisi itu sendiri lebih dihargai ketimbang
kandungan makna.” Anika Lemaire, mengupas
pemikiran-pemikiran Lacan secara komprehensif di
dalam bukunya, Jacques Lacan, mengenai bahasa
skizofrenia, ia mengemukakan bahwa di dalam bahasa
43
Tokoh dan Pemikiran Semiotik

tersebut, “...semua kata atau penanda dapat digunakan


untuk menyatakan satu konsep atau petanda tidak
dikaitkan dengan satu penanda dengan cara yang
stabil, dan dengan demikian persimpangan kata atau
penanda untuk menyatakan satu konsep
dimungkinkan.”
Dialog skizofrenia dengan masa lalu, dengan
demikian, merupakan suatu dialog dengan gangguan
bahasa. Pandangan Lacan ini, sebenarnya bersesuaian
degnan pandangan R.D.Laing, yang menyatakan dirinya
antipsikoanalisis. Laing, mendefinisikan skizofrenia
sebagai, “... sebuah individu yang totalitas
pengalamannya terpecah... ia tidak mengalami dirinya
sendiri sebagai seorang yang komplit, akan tetapi lebih
sebagai sesuatu yang terpecah dalam berbagai cara,
mungkin sebgai sebuah jiwa yang secara samar-samar
berkaitan dengan sebuah badan, sebagai dua atau lebih
diri, dan sebagainya. Ia melihat dirinya sebagai aku dan
bukan aku secara bersamaan.”
Laing mengatakan bahwa seorang skizofrenia bisa
mengatakan, bahwa “Aku adalah air dan api !”, atau
“Aku adalah primitif dan modern!” di dalam kebudayaan
dan seni, istilah skizofrenia digunakan hanya sebagai
satu metafora, utnuk menggambarkan persimpangan
dalam penggunaan bahasa. Kekacauan pertandaan –
selain pada kalimat- juga terdapat pada gambar, teks,
atau objek di dalam seni, karya skizofrenik dapat dilihat
dari keterputusan dialog di antara elemen-elemen
dalam karya, yaitu tidak berkaitannya elemen-elemen
tersebut satu sama lain, sehingga makna karya tersebut
sulit untuk ditafsirkan.
44
Tokoh dan Pemikiran Semiotik

DEKONSTRUKSI
JACQUES DERRIDA

A. Sekelumit Karir Intelektual


Jacques Derrida adalah filsuf post-modern yang
paling akurat, menurut salah seorang profesor teologi
dan etika di British Columbia. Filosof yang dilahirkan
tahun 1930 dalam sebuah keluarga Yahudi di El-Biar, Al-
Jazair ini, dibesarkan dalam tradisi pemikiran era 1950-
an sampai 1970-an. Pada masa era tersebut
dimeriahkan oleh pergeseran-pergeseran yang sangat
luar biasa dengan cara besar-besaran dari pemikiran
modernitas ke posmodernitas dan dari strukturalisme
menuju postrukturalisme.
Derrida merupakan seorang professor di Ecole Oks
Hautes Etudes en Sciences Sociales, Paris, serta menjadi
Professor tamu untuk Universitas California, Irvine dan
Universitas Cornell. Ia memiliki latar belakang filsafat
yang sangat kuat dan ia belajar di Ecole Normale
Superiever dan setelah menyelesaikan studinya ia
mengajar sebagai Maitre-Assistent, dosen tetap bidang
filsafat di lembaga pendidikan tersebut. Setiap tahun ia
juga mengajar untuk beberapa waktu sebagai dosen
tamu di Yale University, Amerika Serikat. Pada masa
mudanya ia pernah menjadi anggota Partai Komunis
Prancis. Sejak tahun 1974 Derrida ikut aktif dalam
kegiatan-kegiatan himpunan dosen filsafat yang
memperjuangkan tempat yang wajar untuk filsafat pada
taraf sekolah menengah : Greph (Grouple de recherche
sur I’enseigment Philosophique), yaitu kelompok
penelitian tentang pengajaran filsafat. Kelompok ini
45
Tokoh dan Pemikiran Semiotik

didirikan ketika dalam rangka rencana pembaruan


pendidikan peranan filsafat pada sekolah menengah
mulai dipersoalkan (Bertens, 1996 : 326 – 328).
Ia dapatkan gelar sarjana pada study filsafat. Lalu
pergi ke Prancis untuk melanjutkan studi di Ecole
Normale Suverieur, mengkaji permasalahan filsafat
yang berhubungan dengan literatur. Ia yakin bahwa
sastra adalah suatu bentuk genre sastra. Pada tahun
1974, Derida mulai aktif di kegiatan himpunan dosen
filsafat yang memperjuangkan posisi wajar bagi
pengajaran filsafat di tingkat sekolah menengah. Ia
banyak menulis artikel-artikel tentang filsafat yang
kemudian dibukukannya pada tahun 1990 dengan judul
“tentang hak atas filsafat” ia mulai mendapatkan
perhatian publik pada tahun 1976 setelah
mengeluarkan bukunya yang terkenal dengan tajuk “Of
Grammatologi” karya tulisnya yang cukup sulit untuk
ditafsirkan. Ia mengatakan bahwa filsafat hanya menilai
dan mengkritisi jenis sastra yang lain tapi menolak
untuk digolongkan ke dalamnya. Ia tak sependapat
dengan para filosof yang mengklaim diri mereka
sebagai penganut objektivitas dan hanya mereka saja
yang berhak mengajukan pertanyaan mendasar
mengenai ilmu-ilmu lainnya. Dengan mengomentari
suatu teks, ia menciptakan satu teks yang baru, lalu ia
susun teks sendiri dengan membongkar teks lain,
dengan begitu ia berusaha untuk melebihi teks tersebut
dengan penambahan-penambahan yang dianggap
kurang dan tidak terdapat dalam teks itu sendiri.
Prosedur seperti inilah yang ia sebut sebagai proses
deconstruction (dekonstruksi) atau pembongkaran.
Derida hendak melucuti cita-cita modern yang
memandang filsafat sebagai ilmu murni dan penelitian
objektif. Tujuannya yang bersifat dekonstruktif ini
adalah untuk melawan tradisi logosentrisme Barat,
terutama ia berhadapan dengan faham yang
46
Tokoh dan Pemikiran Semiotik

berpengaruh pada masa itu, yakni strukturalisme.

B. Buah Tangan Intelektual Derrida


Bla ditinjau dari segi kreativitasnya karya Derrida
termasuk filsuf yang sangat cerdas, namun banyak juga
yang menyatakan bahwa pemikiran filosofisnya sulit
dimengerti karena sangat rumit. Namun demikian dari
karya-karyanya yang menonjol ia banyak membahas
tentang filsafat bahasa terutama dalam kaitannya
dengan hermeneutika. Jacques Derrida bisa dimasukkan
ke dalam kelompok penulis hermeneutika sejauh karya-
karya berhubungan dengan bahasa dan makna. Banyak
komentator yang menyatakan bahwa Derrida termasuk
filsuf dan sastrawan ‘post strukturalis’, meskipun dia
menyangkal pernyataan tersebut (Derrida, 1972:95).
Selain itu, Derrida juga diklaim sebagai tokoh-tokoh
yang mengembangkan wacana ‘postmodernisme’
(Kaelan, 1998: 241).
Kiprah dalam bidang filsafat mengantarkannya untuk
menulis pada bidang ini. Maka tak mengherankan
jikalau banyak karya-karyanya pada bidang filsafat. Di
samping itu tak kalah menariknya lagi Derrida pun
banyak membahas tentang filsafat bahasa terutama
dalam kaitannya dengan hermeneutika khususnya yang
berhubungan dengan bahasa dan makna. Berawal dari
tahun 1962 ia menerbitkan terjemahan karangan
Husserl Asal Usul Ilmu Ukur bersama suatu
pendahuluan. Tahun 1967 terbit tiga buku sekaligus.
L’eccrutre et la difference (tulisan dan perbedaan) dan
De la Grammatologie (tentang gramatologi),
mengumpulkan karangan-karangan yang sebagian
terbesar sudah terbit dalam berbagai majalah. Buku
ketiga berjudul La Voix et le Phenomene. Introduction
an Probleme du Signe dans La Phenomenologie de
Husserl (Suara dan Fenomena. Pengantar pada Masalah
Tanda dalam Fenomenologi Husserl) memberi komentar
47
Tokoh dan Pemikiran Semiotik

panjang lebar atas uraian Husserl tentang tanda dalam


buku Penelitian-penelitian Logika, Bab I, pasal 1 sampai
dengan 9. Pada tahun 1972, di tahun yang sama terbit
kembali tiga buku yaitu Marges de la Philosophis
(Pinggiran-pinggiran Filsafat), menyajikan serangkaian
studi tentang Heidegger, Hegel, Husserl, Valery,
Aristoteles, Austin dan yang lainnya. La dissemination
(Penyebaran) memuat studi-studi Plato dan Mallarme
(Sastrawan Prancis). Ketiga Possitions (Posisi-posisi)
mengumpulkan tiga wawancara yang pernah diberikan
Derrida tentang pemikiran dan karyanya.
Essai sur I’origine des Connaissances Humaines
(Usaha untuk Menjelaskan asal-usul Pengetahuan
Manusia), terbit pada tahun 1973. Pada tahun
berikutnya sekitar tahun 1976 terbit juga sebagai buku
tersendiri yang berjudul L’archeologie du Frivole
(Arkeologi tentang yang Sembrono). Tahun 1974
menerbitkan buku yang cukup mencolok karena terlena
dengan bentuknya yaitu Glas. Dalam buku ini tiap
halaman terdiri atas dua kolom, kolom kiri memberikan
komentar atas suatu teks Hegel tentang keluarga,
sedangkan yang di sebelah kanan menganalisis suatu
teks Jean Genet, sastrawan Prancis. Buku ini dapat
dibaca dari kiri ke kanan dengan menggabungkan teks
Hegel dan Genet. Tahun 1976, ia menerbitkan kembali
buku yang tak kalah menarik perhatian karena
bentuknya adalah Eperons yang terbit di Versia. Buku ini
memberi teks yang sama dalam empat bahasa yaitu
Inggris, Italia, Jerman dan Prancis, teks ini sebagian
besar sama dengan ceramah yang pernah diberikannya
tentang Nietzsche. Pada tahun 1978 terbit kembali teks
yang sama tapi hanya dalam bahasa Prancis, dalam
edisi buku saku berjudul Eperons Les Style de
Nietzsche. Masih tahun yang sama 1978 lahirlah sebuah
kumpulan karangan berjudul La Verite en Peinture
(Kebenaran dalam Seni Lukis) membahas baik tentang
48
Tokoh dan Pemikiran Semiotik

pendapat beberapa filsuf mengenai seni lukis maupun


tentang beberapa pelukis. Di tahun 1980 terbit lagi La
Carte Postale de Socrate a Freud et au-dela (Kartu Pos
dari Sokrates kepada Freud dan di seberangnya). Di
antara buku-buku yang diterbitkan kemudian boleh
disebut : De Lesprit. Heidegger et la Question (1987),
tentang spirit Heidegger dan pertanyaan. Tahun 1993,
Spectres de Marx (Spectre berarti : baik momok maupun
spektrum). Selanjutnya tahun 1994 terbit lagi buku
Poliques de Lamitie tentang Politik Persahabatan.
Selain buku yang terus bergulir, Derrida pun aktif
dan rajin dalam menulis artikel-artikel terbitan
himpunan GREPH (Groupe de Recherche Sur
L’enseignement Philosophique), yaitu kelompok
penelitian tentang pengajran filsafat. Di antara artikel-
artikelnya adalah Quia peru de la philosophie? (Siapa
takut pada filsafat?) yang terbit pada tahun 1977. Selain
beberapa artikel, ditambah pula dengan karangan-
karangan terbarunya, yang dikumpulkan dalam buku Du
Droit a la Philosophie (tentang Hak atas Filsafat), buku
kumpulan karangan ini diluncurkan pada tahun 1990.
Sebenarnya masih banyak buah karyanya yang belum
terkupas pada makalah ini karena keterbatasan
referensi. Buku-buku karya Jacques Derrida: Speech and
Phenomena (1973), The Origin of Geometry (1977),
Limited Inc (1977), Writing and Difference (1978),
Spurs; Nietzsche’s Style (1979), Positions (1981),
Dissemination (1981), The Archeology of the Frivolus:
Reading Condillac (1981), Margins of Philosophy (1982),
Signsponge (1984), dan The Post Card (1987).

C. Dekonstruksi Berbasis Ontologi Bahasa


1. Kritik terhadap strukturalisme Saussure
Semiotik strukturalis yang dikembangkan oleh
Saussure dan (pemikiran awal) Roland Barthes banyak
mendapat kritik dari berbagai pemikir--yang seringkali
49
Tokoh dan Pemikiran Semiotik

secara serampangan-- dikelompokkan ke dalam pemikir


post-strukturalis. Semiotik struktural dianggap
mengandung banyak kelemahan, terutama sifatnya
yang statis, metafisis, dogmatik, dan transenden.
Semiotik struktural dianggap bersifat mekanistik, yaitu
terlalu menyandarkan diri pada struktur yang tidak
mengalami perubahan, sehingga menutup bagi peran
manusia sebagai subjek (subject), yang mempunyai
potensi-potensi kreativitas dan produktivitas dalam
berbahasa, serta menghambat “perubahan struktur”
sebagai sebuah proses, yang disebut “strukturasi”
(structuration).
Strukturalisme yang dikembangkan de Saussure dan
para pengikutnya, dianggap tertalu bersandar pada apa
yang disebut sebagai “pusat” (centre) atau “asal-usul
tetap” (fixed origin), yang padanya setiap makna akan
bermuara, yang dengan sendirinya akan menghalangi
perkembangan struktur atau makna-makna baru
(Yasraf, 2002b:4). Otoritas sentral dalam pemaknaan
telah memaksakan pola interpretasi dan membatasi
ruang gerak tanda dan kerativitas produksi makna,
sehingga menutup kreatifitas dan kemungkinan baru
yang unthinkable (tak terpikirkan), unimaginable (tidak
terbayangkan), atau bahkan unrepresentable (tidak
terrepresentasikan) di dalam bahasa. Derrida mengkritik
atas terlalu bergantungnya bahasa pada langue, pada
struktur dan kode, sehingga setiap tanda pada akhirnya
harus bermuara pada kebenaran makna tunggal, pada
logos (kebenaran maha benar), termasuk pada Tuhan.
Derrida melihat bahwa sejarah strukturalisme adalah
sejarah perpindahan dari satu “pusat” ke “pusat” yang
lainnya, sebagai sejarah peralihan determinasi pusat-
pusat. Pusat-pusat itu hanya diberikan nama yang
berbeda-beda saja, akan tetapi sebagaimana
diperlihatkan Derrida, semuanya bermuara pada fondasi
atau prinsip-prinsip akhir, seperti eidos, arche, telos,
50
Tokoh dan Pemikiran Semiotik

energeia, onsia (hakikat, eksistensi, substansi, subyek),


transendentalitas, kesadaran, kebajikan, Tuhan,
manusia, dan lain-lain. Lebih jauh lagi, semua pusat
tersebut bersifat transenden, yang meskipun demikian
dianggap dapat menjadi fondasi atau jaminan bagi
keberadaan sebuah tanda atau sistem pertandaan.
Derrida dalam karyanya “Structure, Sign, and Play”,
seperti dikutip oleh Yasraf (2002b:2), kemudian
menggunakan istilah “metafisika kehadiran”
(metaphysic of presence) untuk menjelaskan bagaimana
pusat-pusat yang dianggap bersifat metafisika tersebut
dipercayai dapat “hadir” (present) sebagai jaminan dan
fondasi bagi setiap tanda.
Melaui buku yang sama seperti dikutif oleh Yasraf
(200b2:4), Derrida melihat bahwa semiotik struktural
yang dikembangkan oleh Saussure dan pengikut
strukturalisme yang lain (seperti Levi Strauss dan
Barthes pada periode awal) sarat dengan kecendrungan
transendensi dan metafisika tersebut. Kecenderungan
ini tampak pada berbagai bentuk determinasi
transendental dalam pemikiran Saussure, misalnya
determinasi speech atas writing, langue atas parole, dan
signified atas signifier. Determinasi seperti ini menjadi
sebab utama dari “penutupan” (foreclosure) berbagai
kemungkinan yang disediakan oleh bahasa dan tanda,
yang tidak terpikirkan, tak terbayangkan, dan tak
terrepresentasikan. Strukturalisme, dalam hal ini,
sangat bersandar pada apa yang disebut Derrida
sebagai “petanda transenden” (transendental signified),
yaitu petanda “…yang dari dan untuk dirinya, yang di
dalam hakekatnya, tidak mengacu pada satu petanda
apa pun, yang melampaui rantai tanda, yang ia sendiri
tidak lagi berfungsi sebagai penanda”. Inilah sifat-sifat
sebagaimana yang dikatakan oleh Agustinus sebagai
sifat-sifat Tuhan, satu-satunya yang tidak mungkin
menjadi penanda, akan tetapi menjadi sumber akhir
51
Tokoh dan Pemikiran Semiotik

bagi berbagai kemungkinan penanda.

2. Figurasi Dekonstruksi Derrida


Semiotik struktural menyiratkan bahwa bahasa tidak
lebih sebuah sistem mekanik. Subyek harus
menggunakannya berdasarkan khazanah tenda-tanda
yang telah tersedia dan dengan seperangkat kode yang
telah disepakati, kalau ia ingin menjadi anggota
komunitas bahasa. Dengan mengambil analogi dari
sistem syari’ah, subyek pengguna bahasa harus
menggunakan bahasa secara taqlid, yakni mengikuti
secara total (kaffah) berbagai kode yang telah
dikonvensi (ijma’, baik ijma’ vertikal maupun horisontal).
Apa yang absen dari pemikiran semiotik struktural
adalah kemungkinan pembaharuan (ijtihâd), kreatifitas,
dan produktivitas dalam bahasa. Bila potensi
kreatifitas, produktivitas, dan kemungkinan untuk
membongkar yang tak terpikirkan itu dibuka luas, maka
bahasa harus melepaskan sandarannya pada struktur
dan cara berpikir struktural. Inilah salah satu pijakan
kritik post-strukturalis terhadap strukturalis, yang salah
satunya direpresentesikan oleh Jacques Derrida.
Sebenarnya apa yang dikemukakan oleh Derrida adalah
suatu proses pemaknaan dengan cara membongkar (to
dismantle) dan menganalisis secara kritis (critical
analysis); penamaan lain dari usaha ini adalah
dekonstruksi. Derrida sendiri kemudian diidentikkan
dengan dekonstruksionisme, yang mempunyai pendapat
diameteral dengan strukturalismenya de Sasussure.
Dalam kehidupan sehari-hari, dekonstruksi dapat
dikatakan sebagai sebuah tindakan dari subjek yang
membongkar sebuah objek yang tersusun dari berbagai
unsur. Dekonstruksi sebagai sebuah tindakan yang
dilakukan si subjek tentu tidak kosong, dia mesti
melibatkan pelbagai cara atau metode untuk
membongkar suatu objek yang memang patut
52
Tokoh dan Pemikiran Semiotik

dibongkar” (Norris, 2003:5). Namun, dekonstruksi


dihubungkan dengan nama Derrida, maka dekonstruksi
bukan proses bongkar membongkar yang sederhana.
Dalam hal ini diungkapkan bahwa “Dekonstruksi adalah
suatu metode analisis yang dikembangkan Jacques
Derrida dengan membongkar struktur dan kode-kode
bahasa, khususnya struktur oposisi, sedemikian rupa,
sehingga menciptakan suatu permainan tanpa tanda
akhir dan tanpa makna akhir” (Derrida, 2002:8- 9).
Pada awalnya dekonstruksi adalah cara atau metode
membaca teks. Adapun yang khas dalam cara baca
dekonstruktif, sehingga pada perjalanan selanjutnya dia
sangat bermuatan filosofis, adalah bahwa unsur-unsur
yang dilacaknya, untuk kemudian dibongkar, pertama-
tama bukanlah inkonsistensi logis, argumen yang lemah
ataupun premis yang tidak akurat yang terdapat dalam
teks, sebagaimana yang biasanya dilakukan pemikiran
modernisme, melainkan unsur yang secara filosofis
menjadi penentu atau unsur yang memungkinkan teks
tersebut menjadi filosofis (Norris, 2003 : 12). Pada
perjalanan sejarahnya, dekonstruksi mendapat
pengakuan luas sebagai gerakan intelektual garda
depan terpenting di Prancis dan Amerika Serikat.
Sebagian memandang, dekonstruksi pada dasarnya
adalah gerakan post-fenomenologis dan post-
strukturalis. Melalui berbagai karyanya, Derrida
melontarkan kritik tajam terhadap fenomenologi
(Husserl), linguistik (Saussurean), psikoanalisis
(Lacanian), dan strukturalisme (Levi-Strauss).
Derrida, terutama menaruh perhatian pada
persoalan peran dan fungsi bahasa. Ia dikenal luas
karena mengembangkan prosedur yang disebut
dekonstruksi. Ini adalah sebuah metode membaca teks
secara sangat cermat hingga pembedaan konseptual
hasil ciptaan penulis yang menjadi landasan teks
tersebut tampak tidak konsisten dan paradoks dalam
53
Tokoh dan Pemikiran Semiotik

menggunakan konsep-konsepnya dalam teks secara


keseluruhan. Dengan kata lain, teks tersebut gagal
memenuhi kriterianya sendiri; standar atau definisi yang
dibangun teks digunakan secara reflektif untuk
mengguncang dan menghancurkan pembedaan
konseptual awal teks itu.
Setiap bahasa dapat merangsang sesuatu untuk
membuat suatu kritik. Setiap kata mempunyai arti atau
makna, namun tandanya berbeda-beda. Membaca
sebuah teks pada hakikatnya merupakan suatu
perumusan kembali pandangan dunia yang terdapat
dalam proses membaca. Kritik termasuk dalam
pandangan dunia dari perangsang, sedangkan
membaca termasuk dalam arti tanda-tanda dalam kata.
Dalam hal ini, hermeneutika memegang peranan
penting. Hermeneutika dimaksudkan sebagai
pemahaman karya, tujuannya adalah untuk
membongkar rahasia pandangan dunia dari pengarang
dan memungkinkan pembaca untuk menyadur bahwa
esensi fenomenologis dari memahami tidak lain adalah
kemampuan seseorang untuk mendengarkan sendiri
tentang apa yang sedang ia katakan. Pemberi tandanya
adalah orang yang dapat merasakan nafas pengarang
dan maksud dari isyarat atau makna yang melekat pada
pengarang. Interpreter kemudian berusaha untuk
melepaskan makna dari kata-kata yang diucapkan atau
yang tertulis tepat pada saat kata-kata itu diucapkan
(Sumaryono, 1993 : 126).
Puncak dekonstruksi Derrida yang berkaitan dengan
bahasa adalah tentang dua pokok yaitu: mimesis tanpa
asal-usul dan apokalips tanpa akhir. Mimesis adalah
cara untuk mendekonstruksi metafisika, asal-usul
dengan mendalami penyelidikan atas “menulis” karena
menulis adalah sebentuk mimesis dan melukis atau
menggambar. Gerakan yang ada ketika menulis adalah
gerakan pembentukan figur dan imaji yang tidak dapat
54
Tokoh dan Pemikiran Semiotik

diasalkan pada ucapan yang mendahuluinya.


Sedangkan apokalips tanpa akhir adalah suatu
penyikapan yang tak pernah berakhir. Seperti yang
terdapat pada kata datang yang tak dapat diurai atau
ditafsirkan dalam suatu analisis, suatu objek tanpa
subjek, tak tahu dari siapa dan untuk siapa, dan tidak
dapat disituasikan secara temporal. Akhirnya, ciri
dekontruksi pemahaman adalah meruntuhkan berbagai
upaya konseptual atau linguistik untuk memutuskan
suatu makna. Pembaca tidak bisa mengimajinasikan
kebenaran dalam penyingkapan makna transendental.

3. Revolusi Pemaknaan melalui Differance


Dekonstruksi Derrida juga merupakan penyangkalan
terhadap oposisi ucapan atau tulisan, ada atau tak ada,
murni atau tercemar dan akhirnya penolakan terhadap
kebenaran tunggal atau logos itu sendiri. Menurut
Derrida bila tulisan dilihat dengan cara lain akan
merupakan pra-kondisi dari bahasa dan bahkan telah
ada sebelum ucapan oral. Dengan demikian tulisan lebih
‘istimewa’ dari pada tuturan. Tulisan adalah bentuk
permainan bebas unsur-unsur bahasa dan komunikasi.
Dia merupakan proses perubahan makna secara terus
menerus dan perubahan ini menempatkan dirinya di
luar jangkauan kebenaran mutlak (logos). Dalam hal ini
Derrida melihat bahwa tulisan sebagai jejak, bekas-
bekas tapak kaki yang harus ditelusuri secara terus
menerus untuk menemukan yang empunya kaki
tersebut. Proses berpikir, menulis dan berkarya
berdasarkan prinsip jejak inilah yang disebut Derrida
sebagai differance. Konsep ‘differance’ merupakan term
dekonstruksi Derrida yang sangat populer.
Differance adalah permainan sistematis difference
(perbedaan), berupa sebuah pergerakan dari satu
penanda ke penanda lainnya—dengan mempeti-eskan
petanda—untuk menghasilkan perbedaan-perbedaan
55
Tokoh dan Pemikiran Semiotik

baru (Yasraf, 2002:5). Dengan begitu, penafsiran tidak


lagi bergantung pada konvensi, langue, logos, ataupun
pusat-pusat semacamnya, tetapi pada interpretasinya
sendiri. Kata differance harus dibedakan dari kata
differennce. Namun, perbedaan terminologi ‘difference’
dan ‘differance’ tidak mungkin dapat dijelaskan hanya
berdasarkan struktur morfologisnya saja, melainkan
harus dianalisis secara filosofis (berdasar filsafat
bahasa). Menurut Derrida perbedaan kedua terminologi
tersebut terletak dalam ruang dan waktu. Derrida
menghubungkan dalam kerangka ruang dan waktu
dalam pengertian ‘tanda dan penulisannya’. Tanda
menggantikan bendanya, yaitu benda yang ada, tanda
menyatakan kehadiran sesuatu yang belum hadir. Jika
yang tampak itu tidak menyatakan dirinya, maka yang
menyatakan dirinya, maka yang menyatakan dirinya
adalah sesuatu yang lain, yaitu tanda. Dalam pemikiran
ini Derrida membuat piramida huruf untuk membuktikan
bahwa teks atau tulisan dapat diciptakan tanpa
mengikuti sejarah dan makna kamusnya. Derrida ini
dapat pula membuktikan bahwa proses penciptaan teks
atau tulisan baru dapat dilakukan melalui permainan-
perbedaan (perbedaan ontologis) makna kata atau
bahasa inilah bangunan piramida hurufnya.
56
Tokoh dan Pemikiran Semiotik

Pembuktian melalui permainan-pembedaan adalah


bahwa antara difference (Bahasa Kamus Inggris) dan
difference (Bahasa Kamus Prancis) menghasilkan
differance (Bahasa Kamus Derrida). Permainan-
perbedaan ini tidak dapat diketahui melalui ucapan atau
lisan, melainkan melalui teks atau tulisan. Bagi Derrida,
teks atau tulisan lebih utama dari pada ucapan atau
lisan. Hanya dengan mengganti huruf ke-7 (huruf ‘e’)
dari kata difference (baik bahasa Inggris maupun
Prancis) dengan huruf “a”. Derrida telah keluar dari
kamus bahasa Inggris dan Prancis dengan mengambil
jalan tengah menjadi differance.
Differance dimaksudkan oleh Derrida bukan hanya
sekedar konsep. Pertama, differance mengacu kepada
gerak (aktif dan pasif)—yang terjadi karena penundaan.
Ia tidak didahului oleh sesuatu kesatuan asali dan tak
terbagi. Gerak ini sebagai sesuatu yang bersifat
membeda-bedakan, merupakan akar dari seluruh
konsep oposisional yang menjadi ciri bahasa seperti
rasa-pikir, alam-budaya, dan seterusnya. Selain itu,
differance pun merupakan produksi perbedaan-
perbedaan yang menjadi syarat bagi signifikasi dan
struktur. Perbedaan-perbedaan merupakan dampaknya.
Akhirnya, differance juga merupakan suatu sebutan
yang digunakan untuk menjabarkan perbedaan antara
being dan beings seperti dilakukan oleh Heidegger.
Menurut Derrida pemikiran tentang differance itu
dapat dikatakan dengan unsur-unsur pikiran yang
57
Tokoh dan Pemikiran Semiotik

tampak dalam zaman dewasa ini. Derrida menunjuk


pada pemikiran Saussure tentang pemikiran hakikat
bahasa secara strukturalis. Menurut Saussure pertama
kali ia menunjuk kepada sifat deferensial tanda-tanda.
Hal ini berarti bahwa makna suatu tanda tidak
disebabkan oleh substansinya karena adanya tanda-
tanda yang berbeda. Dalam pemikiran Derrida dan
lainnya, bila semiotik signifikasi Saussure berusaha
untuk menyingkap struktur bahasa, maka semiotik
dekonstruktif berupaya menyingkap keterbatasan
struktur. Menurut Derrida, butir-butir kritis yang
diajukan oleh para strukturalis adalah bahwa bagi para
pendukung post-strukturalis; 1) bahasa tidak sekedar
masalah perbedaan (difference), melainkan differance,
2) penandaan dan petanda tidak merupakan satu
kesatuan tak terpisahkan, melainkan dua hal yang
terpisah; 3) petanda (makna) tidak harus diterima
sebagai konvensi, ia harus dibongkar dan
didekonstruksi, dan 4) hubungan antara penanda dan
petanda tidak bersifat simetris atau baku, akan tetapi
terbuka bagi free play (permainan bebas), sebagai
sebuah permainan yang akan membawa pada
pembaharuan (Yasraf, 2002a:4).
Dengan demikian, Derrida menciptakan konsep
differance untuk menonjolkan konsepnya tentang
makna tanda yang bersifat dinamis sebagai hasil proses
dekonstruksi. Konsep differance memperlihatkan bahwa
pemaknaan tanda adalah suatu yang kompleks. Dia
mengakui bahwa differance merupakan dasar bagi
eksistensi sebuah tanda, tetapi selanjutnya tanda itu
harus dipahami dalam waktu dan situasi yang berbeda-
beda sehingga kemudian akan terlihat maknanya. Jadi,
makna tanda tidak hanya terlihat dalam satu kali jadi,
melainkan pada waktu dan situasi yang berbeda-beda
dengan makna yang berbeda-beda pula. Logika teori
Derrida ini bertolak belakang dengan Husserl.
58
Tokoh dan Pemikiran Semiotik

Implikasi teori Derrida ini memberikan kontribusi


signifikan pada kritik sastra. Pemahaman teks sastra,
menurut Derrida, tidak hanya sekedar memahami teks
secara sistematis, melainkan harus “dekonstruktif”,
yakni menunda kaitan antara unsur teks (penanda) dan
isi unsur teks (petanda) untuk memperoleh makna lain
atau makna baru. Di sini teori pragmatik tentunya
berlaku, karena pembaca sastra mempunyai
kesempatan untuk memahami teks yang dibacanya
sesuai dengan hasil dekonstruksinya. Bahkan,
sebenarrya teori Derrida sudah banyak digunakan
dalam pemahaman dan analisis teks-teks non sastra,
termasuk teks-teks politik dan keagamaan. Dengan
demikian, pemaknaan secara statis melalui difference
(Saussure) oleh Derrida dikembangkan menjadi cara
pemaknaan yang dinamis melalui difference, melalui
proses dekonstruksi tak terbatas (Benny H. Hoed,
2003:17).

D. Ontologi Dinamika Tanda


1. Ontologi dan Pengejawantahan Tanda
Bertentangan dengan semiotik struktural yang
mengandalkan keabadian, kestabilan, dan kemantapan
tanda dalam mewakili suatu makna, Derrida
mengakomodasikan dinamika ketidakpastian dan
kegelisahan dalam pemaknaan suatu tanda yang
mencirikan budaya “chaos”, atau ketidakberaturan.
Setiap makna menjadi bentuk ungkapan baru dari
makna yang berikutnya. Ungkapan yang berbeda pada
konteks yang lain tentu saja akan menampilkan makna
yang berlainan pula hingga tak terhingga, inilah yang
disebut Derrida “semiotics of chaos” atau semiotik tak
beraturan. Jadi, semiotik chaos Derrida adalah
kegamangan pemahaman terhadap suatu tanda.
Menurut Derrida setiap tanda bersifat arbitrer dan
tidak menurut kodratnya sebagaimana adanya. Dalam
59
Tokoh dan Pemikiran Semiotik

pengertian inilah maka dalam bidang filsafat bahasa


Derrida memiliki pemikiran yang terkenal bahwa
prioritas utama adalah bahasa tulis. Hal ini tidak berarti
bahwa bahasa tulis itu lebih penting daripada bahasa
lisan, melainkan menurut Derrida bahwa setiap bahasa
itu baik lisan maupun tulis menurut kodratnya adalah
tulisan (ecrituc). Menurut bahasa Inggris scripture.
Konsep Saussure tentang hakikat bahasa adalah bahwa
hakikat bahasa itu yang pertama dan yang primer
adalah bahasa lisan, adapun bahasa tulisan itu sebagai
derivasi bahasa lisan. Tapi menurut Derrida
berpendapat sebaliknya bahwa yang bersifat primer itu
adalah tulisan dan bukannya tuturan lisan, hal ini
didasari dengan argumen metafisisnya.
Ketika orang belum mengucapkan kata-kata, maka
tulisan sudah siap untuk dicurahkan. Menurutnya tulisan
dibatasi oleh bahasa yang diucapkan secara lisan dan
karena ucapan maka makna tertunda dalam tulisan.
Tulisan merupakan suatu fait accompli, sesuatu yang
sudah selesai dan terlaksana pada saat orang berbicara.
Tulisan adalah impersonal, jauh dari kehidupan tidak
seperti ungkapan lisan. Ucapan penuh dengan
kehidupan dan makna, pembicaraannya hadir sendiri
dan makna yang diungkapkannya jelas akan
tergambarkan.
Menurut Derrida, penanda (signifier) tidak berkaitan
langsung dengan petanda (signified). Menurut pemikiran
Saussurean, tanda dilihat sebagai satu kesatuan;
petanda dan penanda berkorespondensi satu-satu,
murni, dan sederhana. Tapi menurut Derrida, pada
kenyataannya kata dan benda atau pemikiran, tidak
pernah menjadi satu. Bagi Derrida hubungan penanda
dan petanda tidak bersifat tetap, melainkan dalam
kenyataannya dapat ditunda untuk memperoleh
hubungan yang lain (baru). Oleh karena itu, maka suatu
tanda diperoleh tidak berdasarkan pembedaan
60
Tokoh dan Pemikiran Semiotik

antartanda yang hubungan antara penanda-petanda


bersifat tetap (statis), melainkan dapat berubah-ubah
sesuai dengan kehendak pemakai tanda. Apa yang
terjadi dalam proses pemahaman makna tanda bukan
sekedar karena ada proses oposisi (difference), tetapi
karena ada proses ‘penundaan’ hubungan
antar penanda (bentuk tanda) dan petanda (makna
tanda) untuk menemukan makna lain. Hubungan baru
ini masihtercakup dalam dimensi differance.
Derrida melihat tanda sebagai struktur perbedaan:
sebagian darinya selalu “tidak disana”, dan sebagian
yang lain selalu ”bukan yang itu”. Penanda dan petanda
terus terpisah dan menyatu kembali dengan kombinasi-
kombinasi baru. Dengan demikian, menyingkap
ketidakmemadaian model tanda Saussurean, yang
melihat penanda dengan petanda berhubungan seolah-
olah keduanya adalah dua sisi dari selembar kertas
yang sama. Memang, tidak ada pemisahan yang pasti
antara penanda dan penanda. Bila menjawab
pertanyaan anak atau melihat kamus, orang akan
segera mendapati bahwa satu tanda akan merujuk pada
tanda lain dan tanda lain akan merujuk ke tanda yang
lain lagi dan seterusnya, tidak berkesudahan. Penanda
terus berubah menjadi petanda terakhir yang dalam
dirinya sendiri bukan penanda.
Dengan kata lain, Derrida mengatakan ketika
membaca suatu penanda, makna tidak serta merta
menjadi jelas. Penanda menunjuk pada apa yang tidak
ada, maka dalam arti tertentu makna juga tidak ada.
Makna terus-menerus bergerak di sepanjang mata
rantai penanda, dan pembaca tidak dapat memastikan
“posisi” persisnya, karena makna tidak pernah terikat
pada satu tanda tertentu. Selain itu, bahasa merupakan
proses temporal. Ketika pembaca membaca kalimat,
makna sering kali muncul ketika kalimat itu selesai
dibaca, dan bahkan makna tersebut dapat saja
61
Tokoh dan Pemikiran Semiotik

dimodifikasi oleh penanda yang muncul kemudian. Pada


setiap tanda terdapat jejak-jejak kata-kata lain yang
dipinggirkan tanda itu, agar tanda tersebut dapat
menjadi dirinya sendiri. Setiap kata juga memuat jejak
kata yang telah hilang sebelumnya. Setiap kata dalam
kalimat, setiap tanda dalam mata rantai makna,
memiliki jejak-jejak tersebut dalam kompleksitas yang
tidak ada habisnya.
Makna tidak pernah identik dengan dirinya sendiri
karena muncul pada konteks yang berbeda-beda. Tanda
tidak pernak memiliki makna yang mutlak sama dari
satu konteks ke konteks yang lain, petanda akan selau
diubah oleh pelbagai macam mantarantai penanda yang
menjeratnya. Kata Eagleton: “tak ada apa pun yang
hadir sepenuhnya dalam tanda. Saya tidak percaya saya
dapat mengada sepenuhnya di hadapan anda melalui
apa yang saya katakan atau tuliskan. Dengan
menggunakan tanda, makna saya akan selalu
berantakan, terpecah belah, dan berubah menjadi tidak
sama dengan apa yang saya maksudkan. Tidak hanya
maksud saya, diri saya juga menjadi tidak sama, karena
bahasa bukan alat yang saya ciptakan sendiri,
melainkan alat yang paling mungkin saya gunakan,
akibatnya keseluruhan gagasan bahwa saya adalah
entitas yang utuh dan stabil pasti juga akan berubah
menjadi ilusi belaka.”
Apa yang dikembangkan Derrida lebih jauh adalah
berupa penolakan terhadap adanya petanda atau
makna absolut, hal ini disebabkan karena selalu adanya
celah antara penanda dan petanda, atau antara tanda
(teks) dan makna. Celah inilah yang memustahilkan
adanya makna atau petanda absolut. Lebih lanjut, ia
mengatakan bahwa ada penanda dari penanda (signifier
of signifier), yaitu suatu gerak langkah bahasa yang
menyembunyikan atau menghapus dirinya sendiri.
Ketika inilah, petanda berfungsi menjadi penanda.
62
Tokoh dan Pemikiran Semiotik

Paradigma bahasa yang bersandar pada determinasi


Saussurean seperti di atas, menurut Derrida, akan
mudah terperangkap di dalam apa yang disebutnya
sebagai ”kecendrungan teologis”, oleh karena itu
diyakini bahwa “[T]anda dan Tuhan mempunyai tempat
dan waktu kelahiran yang sama”. Segitiga (referent,
signified, dan signifier) dalam struktur tanda akan
bermuara pada sebuah petanda akhir, yang berujung
pada tuhan” (Yasraf, 2002b:5). Konsekuensinya, ketika
bahasa selalu bersandar pada makna akhir dan penutup
tersebut, maka setiap interpretasi tanda atau teks akan
memerangkap setiap orang pada pencarian terminal
akhir tersebut, serta menutup berbagai prospek-prospek
kekayaan tanda, makna, atau kode yang disediakan
oleh bahasa, tetapi tak terpikirkan atau tak
terbayangkan. Makna, bagi Derrida, bukan sekedar arti
kata, bukan sekedar sign yang disepakati oleh banyak
orang, melainkan bagaimana mengartikannya. Apa yang
kemudian dilakukan oleh Derrida adalah “membongkar”
semua kecendrungan metafisika “strukturalis” di atas.
Dengan ‘mempeti-eskan’ petanda bersama sandaran
langue, logos, dan metafisikanya; dengan membongkar
rantai hubungan yang stabil antara penanda dan
petanda, Derrida melalui filsafat ‘semiotik
dekonstruktifnya’ memusatkan diri pada ‘permainan’
penanda (signifier).

2. Dinamika Makna dan Cara menafsir


Makna senantiasa akan berubah, dan metafora
adalah istilah bagi proses perubahan tersebut. Metafora
merupakan ancaman bagi bahasa yang teratur dan
memungkinkan kemunculan keragaman makna.
Pertama, tidak ada batas jumlah metafora untuk suatu
gagasan tertentu. Kedua, metafora adalah sejenis
retorika yang berisi ganda, yang menyatakan sesuatu
tapi mensyaratkan pengetahuan tentang sesuatu yang
63
Tokoh dan Pemikiran Semiotik

lain. Metafora menciptakan pola hubungan, dan proses


penciptaan pola hubungan ini merupakan tugas
pendengar atau pembaca. Memang, memahami
metafora merupakan upaya yang tidak kalah kreatif
dengan proses pembuatannya, dan tidak banyak
dibantu peraturan. Metafora berserak di mana-mana
dan tidak mungkin dilenyapkan begitu saja.
Berbasis metafora, Derrida menawarkan metode
“pembaca-mendalam” atas teks yang sangat mirip
dengan pendekatan psikoanalitik pada gejala-gejala
neurotis. Setelah “menginterogasi”, “pembacaan-
mendalam” dekonstruktif ini menghancurkan
pertahanan teks tersebut dan memperlihatkan
serangkaian oposisi biner yang dapat ditemukan
“tertulis” dalam teks tersebut. Pada kasus oposisi biner
berikut: pribadi-publik, maskulin-feminim, sama-beda,
rasional-irrasional, benar-salah, pusat-pinggiran, dan
lain-lain, pengertian yang pertama diposisikan istimewa.
Dekonstruktor menunjukan bahwa identitas kata yang
“diistimewakan” itu tergantung pada peminggiran
pengertian yang diistimewakan dan bahwa
keistimewaan tersebut sebenarnya merupakan milik
pengertian yang disub-ordinasi itu. Operasi
dekonstruksi, dalam kasus ini, adalah upaya untuk,
“menemukan teks marginal yang menjanjikan,
menyingkap, membongkar moment yang tidak dapat
dipastikan dengan alat penanda yang positif,
membalikan hierarki yang ada, agar dapat diganti,
membongkar agar dapat membangun kembali apa yang
selalu telah tertulis”.
Dekontruksi menekankan keniscayaan metafora,
faktor pembeda yang bermain di dalam proses
pembentukan makna literal. Perlu dicatat bahwa
dekontruksi bukan semata-mata pembalikan strategis
kategori-kategori yang jelas-jelas berbeda dan tidak
saling mempengaruhi. Dekontruksi merupakan aktivitas
64
Tokoh dan Pemikiran Semiotik

pembacaan ketika teks harus dibaca dengan cara yang


sama sekali baru. Dalam proses ini, harus ada
kesadaran pada ambivalensi, yakni ketidaksesuaian
antara makna dan pernyataan sang pengarang. Derrida
menemukan adanya rangkaian tema-tema paradoks
yang tidak sesuai dengan argumen yang dipaparkan.
Metode Derrida meliputi upaya menunjukan bagaimana
pengertian yang diistimewakan tersebut ditempatkan
pada posisi yang lebih tinggi oleh kekuatan metafora
yang dominan dan bukan, seperti tampaknya, oleh
logika konklusif apa pun. Metafora sering mengacaukan
logika argumen.
Derrida mengatakan manusia memiliki semacam
hasrat metafisik untuk membuat tujuan berkoinsidensi
dengan sarana, menciptakan pembatasan, membuat
definisi berkoinsidensi dengan yang didefinisikan,
“ayah” dengan “anak”; dalam logika persamaan untuk
menyeimbangkan persamaan, menutup lingkaran.
Pendek kata, Derrida meminta pembaca mengubah
pola-pola kebiasaan berpikir manusia yang tertentu; ia
mengatakan kepada pembaca bahwa otoritas teks
adalah sementara, dan asal usulnya adalah jejak.
Dengan logika yang kontrakdiktif, pembaca harus
belajar menggunakan dan sekaligus “menyilang” (sous
rature) bahasa manusia. Derrida ingin pembaca
“menyilang” semua bentuk oposisi, menghancurkan,
tapi pada saat yang sama mempertahankannya juga.
Dekonstrusionis cenderung mengatakan bahwa jika
sebuah teks merujuk ke luar dari dirinya, rujukan itu
pada akhirnya pasti adalah teks lain. Sama seperti
tanda yang pasti merujuk ke tanda yang lain, teks pun
merujuk pada teks lain, dengan menciptakan jaringan
yang saling-silang dan dapat meluas sampai tak
terbatas, yang disebut intertekstualitas. Dalam jaringan
ini, penafsiran berkembang, dan tidak ada penafsiran
yang final. Di sini, Derrida sering dikatakan menolak
65
Tokoh dan Pemikiran Semiotik

kemungkinan kebenaran. Pendapat tersebut keliru.


Yang lebih tepat adalah Derrida berusaha menghindari
pernyataan tentang hakikat kebenaran.
Karya Derrida membuat pembaca berhadapan
dengan sejumlah persoalan. Dengan mengatakan tidak
ada dunia pertanda yang bebas dari penanda, ia
membuka pandangan pembaca tentang permainan
penanda abadi yang merujuk bukan pada petanda
melainkan pada penanda lain, sehingga makna selalu
bersifat tidak pernah dapat dipastikan. Derrida
menggunakan ketidakpastian pernyataan yang sering
dikemukakan Plato tentang aktivitas menulis sebagai
obat, “pharmakon” sebagai contoh ketidakpastian ini.
Kosa kata Yunani ini dapat berarti “racun” atau “obat”,
sama seperti obat (drug), bagaimana kata tersebut
diterjemahkan (translated) akan membuat perbedaan.
Perhatikan kasus penting lain ketidakpastian ini, seperti
pada sebuah catatan yang terisolasi yang ditemukan di
antara naskah-naskah Nietzche yang tidak
dipublikasikan, tertulis sebuah kalimat “Saya lupa
payung saya”. Dalam satu pengertian, pembaca semua
tentu tahu apa yang dimaksudkan dengan kalimat itu,
meskipun pembaca sama sekali tidak punya gambaran
apa pun tentang maksud kalimat itu, pada kasus ini.
Apakah ini sekedar catatan untuk diri sendiri, kutipan,
atau kalimat yang baru saja didengar dan dicatat untuk
keperluan yang lebih lanjut? Mungkin, payung dipahami
sebagai ancaman pertahanan diri, perlindungan dari
cuaca yang buruk? Nietzche, menjelang munculnya
kesulitan, mungkin lupa membawa alat pertahanan
dirinya, ketika tejebak hujan badai, ia lupa membawa
payung. Tentu saja, kalimat itu juga dapat dianalisis
dalam kerangka Freudian, karena psikoanalisis sering
memusatkan perhatian pada arti penting pada
fenomena lupa dan objek phalic. “Saya lupa payung
saya”: kalimat itu tidak dapat dipastikan. Ilustrasi ini
66
Tokoh dan Pemikiran Semiotik

dapat menjadi metafora untuk keseluruhan teks


Derrida.
Dekonstruksi memisahkan konsepsi tradisional
pengarang dan karyanya, serta menghancurkan konsep
bacaan dan sejarah yang konvensional. Selain
menawarkan teori-teori sastra mimetik, ekspresif, dan
didaktis, dekontruksi juga menawarkan tekstualitas.
Dekontruksi mungkin membunuh sang pengarang,
mengubah sejarah dan tradisi menjadi intertekstualitas,
dan meninggikan harkat pembaca. Derrida pun lalu
membedakan dua cara penafsiran, yang pertama
penafsiran “restropektif” (restropective), yaitu upaya
untuk merekonstruksi makna dan kebenaran awal atau
orisinil. Yang kedua adalah penafsiran “prospektif”
(prospective), yang secara eksplisit membuka pintu bagi
indeterminasi makna, di dalam sebuah “permainan
bebas” (free play) (Sturrock, 1979:158, sebagaimana
dikutip Yasraf, 2002:5). Di satu pihak, terdapat
kecendrungan untuk melihat ke belakang (regresi),
sebuah teks, yaitu upaya mencari makna-makna
transenden atau metafisisnya, seperti yang terdapat
pada semiotik strukturalisme; di lain pihak ada tawaran
untuk “melihat ke depan” (progress), yaitu mencoba
untuk memberikan tafsir-tafsir baru sebuah teks,
dengan melepaskan diri dari setiap bentuk detrminasi
transendensi, logosentrisme, dan tanda-tanda
ketuhanan.
Hanya dengan melepaskan diri dari determinasi dan
penjara logosentrisme, petanda transenden dan asumsi
teologis, serta tanda-tanda ketuhanan, maka kreativitas
dan produktivitas dalam bahasa dapat ditingkatkan,
khususnya kreativitas dan produktivitas tafsiran. Di
sinilah urgensi istilah differance yang digunakan
Derrida, yakni utuk menjelaskan sebuah proses
permainan bebas penanda, yakni berupa pergerakan
atau interaksi dari satu penanda ke penanda yang
67
Tokoh dan Pemikiran Semiotik

lainnya, dengan melepaskan diri dari determinasi dan


fondasi-fondasi metafisis. Ia juga menggunakan istilah
“diseminasi” (disemination) untuk menjelaskan sebuah
situasi “ketidak-terisian makna” disebabkan absennya
petanda (Harland, 1987:135, sebagaimana dikutip
Yasraf, 2002:5). Skema semiotik “dekonstrusi”-nya
Derrida dapat digambarkan sebagai berikut:
Signs signifier of signifier
Tampak dari uraian di atas, pemikiran Derrida,
seperti juga para pemikir post-strukturalis lainnya, pada
dasarnya tidaklah “antistruktur” atau “anti-makna”,
melainkan melihat struktur dan makna tersebut sebagai
sesuatu yang bersifat dinamis, labil, bergerak, berubah,
bertransformasi, berinteraksi, sehingga hanya dengan
demikianlah dapat diciptakan produktivitas makna
dalam bahasa. Dalam analisis teks, yang ditekankan
Derrida dan para pemikir post-strukturalis, bukanlah
struktur itu sendiri melainkan proses, produktivitas
tanda, makna, dan kode.

E. Fonosenstrisme, Grammatologi, dan


Logosentrisme
1. Orientasi Fonosentris
Sekalipun tulisan lebih istimewa dari pada ujaran,
namun dalam analisis Derrida, ujaran lebih
diprioritaskan daripada tulisan. Pemrioritasan ini oleh
Derrida disebut sebagai fonosentrisme. Derrida
memaksudkan fonosentrisme sebagai pemusatan yang
ada dalam linguistik, memberikan posisi yang sentral
bagi bunyi (phone) sedemikian menyatu bersama
sebuah ilusi bahwa tuturan (lisan) lebih alamiah dari
pada tulisan (Kris Budiman, 1999 :36). Ujaran dianggap
lebih penting karena lebih dekat dengan kemungkinan
kehadiran, karena ujaran menunjukan kesertamertaan,
spontanitas, autentisitas, dan tak terdimensikan
68
Tokoh dan Pemikiran Semiotik

(unmediated). Dalam ujaran, makna tampak imanen,


terutama ketika, menggunakan suara batin kesadaran,
yakni ketika seseorang bicara pada dirinya sendiri. Pada
saat bicara, seseorang tampak memahami makna dan
dengan demikian dapat merasakan kehadiran, seolah-
olah makna ditetapkan sekali dan untuk selamanya.
Dengan demikian, berbeda dengan tulisan, yang jelas-
jelas dimediasi, ujaran dihubungkan dengan saat dan
tempat kehadiran yang jelas, dan oleh karena itu, lebih
diutamakan dibanding tulisan. Oleh karena itu, menurut
Derrida, fonosentrisme merupakan salah satu akibat
kehadiran. Upaya Derrida mendekonstruksikan oposisi
antara ujaran dan tulisan dihubungkan dengan
penyingkapan metafisika kehadiran secara keseluruhan.
Derrida berusaha meruntuhkan opini publik tentang
“bunyi tidak akan bermakna kecuali melalui medium
bahasa” dan “permutasian-permutasian fonemik yang
membangun bahasa hanya dapat dijelaskan sebagai
suatu sistem tulisan yang menggunakan huruf-huruf
(gramma). Untuk tujuan tersebut, Derrida menyarankan
agar setiap pembaca bergerak melampaui linguistik
Saussure yang berlandaskan pada tuturan (speecch-
based) dan menjangkau alternatif baru yang
berlandaskan pada tulisan (writing-based), gramatologi.
Menurut Derrida, peradaban Barat telah melakukan
kesalahan fatal dengan menganggap tulisan tergantung
kepada tuturan secara parasitik. Padahal sebaliknya,
tuturanlah yang justru tergantung kepada tulisan—
bukan tulisan ortografi, melainkan tulisan fonemik yang
telah menuliskan tuturan seseorang sebelum dia
berbicara, yaitu aktivitas differensiasi fonemik pokok
yang disebut sebagai archi-ecriture oleh Derrida, yang
memberi peluang kepada tutuan itu sendiri.
Usaha Derrida ini bersifat melawan hegemoni
wacana filsafat Barat kala itu. Filsafat Barat lebih fokus
pada ujaran dan menekankan suara atau fonosentrisme.
69
Tokoh dan Pemikiran Semiotik

Dalam tradisi ini, struktur fenomenologis suara


dipandang sebagai bukti kehadiran diri yang paling
langsung. Oleh karena itu, selain “fonosentris”, filsafat
Barat juga bersifat “logosentris”. Derrida mengatakan
fonosentrisme sama dengan logosentrisme berkaitan
dengan sentrisme itu sendiri, yakni hasrat manusia
untuk menempatkan kehadiran yang “sentral” di titik
berangkat dan titik akhir. Ia mengatakan hasrat pada
pusat, tekanan yang memberi otoritas, inilah yang
melahirkan konsep hierarkis. Pengertian yang lebih
tinggi kedudukannya dalam oposisi tersebut masuk
dalam katagori kehadiran dan logos, sementara
pengertian yang lebih rendah berfungsi mendefinisikan
statusnya dan berarti kemunduran. Oposisi antara yang
dapat diindra dan yang dapat dinalar, jiwa dan tubuh,
tampaknya mengakhiri “sejarah filsafat barat”, dengan
mewariskan bebannya pada linguistik modern melalui
oposisi makna dan kata, oposisi ujaran dan tulisan
terjadi dalam pola tersebut.
Derrida memberikan prioritas pada posisi “suara”
(voix/voice) pada kedudukannya sebagai medium
makna dan konsekwensinya mendudukan tulisan
sebagai betuk turunan ekspresi. Bagi Derrida, suara
merupakan sumber bahasa. Bagi Derrida, bahasa
bersifat memenuhi dirinya sendiri (self-sufficient), dan
bahkan terbebas dari manusia. Ucapan, menurut
Saussurean adalah kesatuan antara petanda dan
penanda yang menyatu dan sepadan untuk membentuk
suatu tanda. Kebenaran adalah petanda atau makna
yang diartikulasikan oleh penanda atau bentuk.
Kebenaran melekat bersama penanda. Model kesatuan
bentuk dan makna inilah yang disebut derida sebagai
“metafisika ada”, bahwa suatu yang bersifat fisik dan
non-fisik hadir secara bersamaan. Menurut Saussure,
metafisika hanya ada pada tataran ucapan, karena
ucapan asal-muasal bahasa (tulisan), karena ucapan
70
Tokoh dan Pemikiran Semiotik

mendahului tulisan. Tulisan hanyalah sebuah tambahan,


topeng, atau pakaian yang dipakai oleh ucapan. Tulisan
merupakan representasi palsu dari sebuah ucapan,
sebab pakaian belum tentu mencerminkan jiwa, dan
tulisan belum tentu melambangkan kebenaran, karena
terbatasi oleh media. Ucapan adalah spirit murni,
karena menyandang kebenaran antara ikatan alam,
suara, dan rasa.

2. Meretas Grammatologi
Jika Husserl melihat bahasa sebagai bersumber dari
“suara” manusia, yakni dari dalam diri manusia, maka
sebaliknya Derrida melihat bahasa bersumber pada
tulisan (encriture/writing). Tulisan adalah bahasa yang
secara maksimal memenuhi dirinya sendiri karena
tulisan menguasai ruang secara maksimal pula.
Sehingga bahasa, tulisan tidak terdapat di dalam pikiran
manusia atau di dalam gelombang udara, tetapi konkrit
di atas halaman. Tulisan terlepas dari penulisnya begitu
ia berada di ruang halaman, sedangkan ketika dibaca,
tulisan langsung berkaitan dan terbuka untuk dipahami
pembacanya. Jadi, bahasa yang sebenarnya (the true
level of language) adalah tulisan, bukan suara (Benny H.
Hoed, 2003:16).
Untuk tujuan tersebut, Derrida dalam bukunya
bertajuk Grammatologi mencoba membangun salah
satu paradigma utamanya, yaitu grammatologi. Konsep
gram adalah struktur sekaligus pergerakan yang tidak
lagi dimungkinkan dipandang berdasarkan hubungan
langue dan parole yang stabil, serta di dalamnya proses
pembaharuan terus menerus dilakukan. Derrida
memaksudkan grammatologi sebagai suatu ilmu
tentang tanda-tanda tertulis. Melalui pengukuhan
grammatologi, Derrida berupaya menetapkan kembali
kodrat dan status tulisan, yakni sebagai ‘pelengkap’
eksternal dari tuturan tradisional, bukan pula sebagai
71
Tokoh dan Pemikiran Semiotik

versi ‘terkode; dari bahasa lisan yang telah tereduksi


dan kehadirannya yang ‘murni’ lebih diutamakan di
dalam manifestasi oral-aural, melainkan sebagai suatu
entitas di dalam dirinya sendiri (Kris Budiman, 1999:42).
Menurut Derrida tulisan adalah bahasa ‘asing’ yang
masuk ke dalam sistem bahasa. Sudah menjadi suatu
keyakinan umum bahwa penulisan abjad menghadirkan
ucapan dan sesaat kemudian hilang di balik kata-kata
yang diucapkannya (Kaelan, 1998:254). Dalam
pembahasan linguistik dikatakan bahwa bahasa pada
hakikatnya adalah suatu sistem tanda yang bermakna.
Oleh karena itu, menurut linguistik strukturalisme
bahwa bahasa itu hakikatnya adalah struktur dan
makna. Atas dasar pemikiran ini Derrida menyangkal
pernyataan tadi bahwa struktur bahasa itu benar-benar
ada. Derrida pun menolak argumentasi dari Noam
Chomsky yang mengatakan bahwa bahasa itu
diprogramkan dalam pikiran manusia dan manusia
sebagai pembicara begitu saja mengikuti struktur yang
ada.
Berdasarkan pemahaman Derrida makna tidak dapat
disusun di mana pun juga dalam pikiran manusia,
selama makna itu merupakan produk dari pengalaman.
Dalam hal ini, Derrida menerapkan konsep
dekonstruksinya. Ia menangguhkan atau memberi tanda
petik hubungan yang dianggap terdapat di antara
pikiran, makna dan konsep tentang metode yang
mempersatukan ketiga hal ini. Ia menyatakan bahwa
jika makna ditempatkan di bawah suatu ruang lingkup,
maka makna tidak dapat dihasilkan oleh metodologi
yang terstruktur karena makna bukanlah urusan
struktur.
Derrida mengkritik Course in General Linguistics-nya
Saussure, yang membuat perbedaan yang tegas antara
penanda dan petanda, perbedaan yang sama dan
sebangun dengan oposisi tradisional tubuh dan roh atau
72
Tokoh dan Pemikiran Semiotik

subtansi dan pikiran. Secara tradisional, oposisi ini


selalu dipaparkan dengan cara yang mengistimewakan
roh dan atau pikiran sebagai hal yang lebih bernilai
daripada materi atau subtansi. Derrida mengatakan
perbedaan penanda dan petanda hanya dapat
dipertahankan jika salah satu pengertian dianggap telah
mencapai titik final, tidak dapat lagi merujukkan diri
pada pengertian lain. Jika pengertian itu tidak ada,
setiap petanda pada gilirannya juga akan berfungsi
sebagai penanda, dalam lingkaran penandaan yang
tidak berujung.
Pendek kata, Derrida mengkritik konsep tanda
Saussure dan mengatakan konsepsi penanda dan
petanda tradisional dapat dimasukkan dalam episteme
fonsentrisme-logosentrisme. Salah satu ciri epos
logosentrisme adalah fenomena penurunan kedudukan
tulisan dan peninggian kedudukan tulisan fonetis
(tulisan sebagai tiruan ujaran). Dengan demikian, di sini
terdapat prasangka Barat yang telah mengakar, yang
mencoba mereduksi tulisan menjadi makna stabil yang
disamakan dengan sifat ujaran. Sering dikatakn bahwa
dalam bahasa lisan, makna “hadir” bagi pembicara
melalui tindakan pengawasan diri ke dalam, yang
menjamin “kesesuaian” intuitif yang mendekati
sempurna antara maksud dan ucapan.
Derrida menunjukan bahwa dalam linguistik
Saussurean, ujaran diistimewakan dari pada tulisan.
Suara menjadi metafora kebenaran dan otentisitas,
sumber ujaran “hidup” yang menghadirkan diri yang
dilawankan dengan sumber tulisan yang tidak hidup,
atau sekunder. Secara sistematis, tulisan didegradasi
dan dipandang sebagai ancaman bagi pandangan
tradisional yang mengasosiasikan kebenaran dengan
kehadiran diri. Penindasan tulisan ini sangat mengakar
dalam metodologi yang ditawarkan Saussure dan
tampak dalam penolakannya pada semua bentuk notasi
73
Tokoh dan Pemikiran Semiotik

linguistik, di luar notasi fonetis-alfabetis kebudayaan


Barat. Ketika menyerang pandangan tersebut, Derrida
mengatakan, sebenarnya tulisan merupakan pra-kondisi
bahasa dan harus dipandang lebih penting daripada
ujaran. Tulisan merupakan “permainan bebas” atau
elemen ketidakpastian dalam setiap sistem komunikasi.
Perlu dicatat bahwa bagi Derrida, “tulisan” tidak
merujuk pada konsep empiris tulisan (yang berarti
sistem notasi pada substansi material yang dapat
dipahami). Tulisan merupakan nama struktur yang
selalu telah berisi jejak-jejak. Perluasan pengertian ini,
menurut Derrida, dimungkinkan oleh Sigmund Freud.
Derrida memang ingin menghancurkan sifat logosentris
teori tanda. Secara tradisional, penanda merujuk pada
petanda, yakni suatu citra suara yang menandakan
konsep ideal tertentu, keduanya ada dalam kesadaran.
Penanda “anjing” menunjuk pada gagasan “anjing”;
anjing yang sebenarnya, yang dirujuk, tidak ada.
Menurut Derrida, tanda menandakan kehadiran yang
tidak ada. Manusia menggunakan tanda untuk
menggantikan kehadiran objek; namun, makna tanda
itu selalu ditunda atau ditangguhkan.
Untuk menopang pemikiran ini, Derrida
merekonstruksi satu konsep penting lainnya yang harus
dipahami adalah gagasannya tentang sous rature,
pengertian yang biasanya diterjemahkan sebagai “diberi
tanda silang” (under erasure). Melakukan sous rature,
berarti menuliskan kata, memberi tanda silang pada
kata tersebut, dan mencetak, baik kata maupun tanda
silang tersebut. Inti gagasanya adalah “karena kata
tidak akurat, atau lebih tepatnya tidak memadai, dalam
menggambarkan realitas, kata itu diberi tanda silang.”
Karena masih berguna, kata tersebut dibiarkan tetap
dapat dibaca. Alat yang secara strategis penting ini
diadopsi Derrida dari Martin Heidegger, yang sering
menyilang kata “mengada” dan membiarkan, baik kata
74
Tokoh dan Pemikiran Semiotik

maupun tanda silang itu (seperti ini mengada) karena


meskipun tidak memadai kata tersebut masih berguna.
Heidegger merasa konsep “mengada” tidak dapat
termuat, selalu mendahului, dan memang melampaui
penandaan. Mengada adalah petanda terakhir yang
dirujuk semua penanda, atau disebut juga sebagai
“petanda transenden“.
Menurut Derrida, oposisi biner metafisika meliputi:
penanda/petanda, yang dapat diindra/yang dapat
dinalar, ujaran/tulisan, percakapan (parole)/bahasa
(language), diakroni/sinkroni, ruang/waktu,
pasivitas/aktivitas. Bagi Derrida, sebagai kritiknya pada
para pemikir strukturalis, bahwa kaum strukturalis tidak
meletakkan konsep-konsep tersebut di bawah “tanda
silang”, bahwa mereka tidak mempersoalkan oposisi
biner tersebut. Ia mengatakan pembaca harus
menghancurkan oposisi yang biasa digunakan untuk
berpikir dan yang melestarikan metafisika dalam pola
pikir manusia, seperti misalnya: materi-roh, subjek-
objek, topeng-kebenaran, tubuh-jiwa, teks-makna,
interior-eksterior, representasi-kehadiran, kenampakan-
esensi, dan lain-lain. Ia menganjurkan metode yang
dapat digunakan untuk menghancurkan oposisi tersebut
dan menunjukan bahwa satu pengertian tergantung
pada dan ada dalam pengertian yang lain.

3. Logosentrisme dan Metafisika Kehadiran


Seperti disebutkan di atas bahwa filsafat Barat
bersifat “fonosentrisme” dan sekaligus “logosentris”.
Derrida menggunakan istilah “logosentris” sebagai ganti
“metafisika” untuk mengedepankan logos yang telah
menentukan sistem pemikiran metafisik,
ketergantungannya pada logos. Filsafat Barat
mengasumsikan bahwa terdapat esensi, atau kebenaran
yang berperan sebagai dasar semua keyakinan
pembaca. Oleh karena itu, pasti ada disposisi,
75
Tokoh dan Pemikiran Semiotik

kerinduan, pada “penanda transendental” yang


langsung menghubungkan, berkaitan, dengan “penanda
transenden” yang stabil, kokoh (yaitu logos). Contoh
tanda tersebut antara lain: gagasan, materi, roh, dunia,
Tuhan dan lain sebagainya. Masing-masing konsep
tersebut berperan sebagai dasar sistem pemikiran dan
pembentukan poros yang menjadi pusat semua tanda
lain. Derrida mengatakan setiap makna itu transenden
ilusif.
Menurut Derrida, logosentrisme (logocentrism)
merupakan bentuk lain dari penutupan kecendrungan
bahasa untuk merayakan pusat-pusat metafisik dan
makna-makna transenden, dengan menutup proses
permainan dan produktivitas tanda. Kecendrungan
tersebut dapat berupa kecendrungan final, kebenaran
tertinggi, atau kebenaran metafisika. Derida
mendefinisikan “logosentrisme” sebagai suatu faham
yang berkeinginan pada satu pusat yaitu perjanjian
baru, yang berdasar pada sabda Tuhan. Karena sabda
adalah berupa ucapan, dan bersifat fonetik atau bunyi,
maka logosentrisme disebut juga sebagai
fonosentrisme. Logosentrisme adalah anggapan tentang
adanya sesuatu yang ada diluar sistem bahasa yang
dapat dijadikan acuan untuk sebuah karya tulis agar
kalimatnya dapat dikatakan benar.
Dalam Hipersemiotik, karya Piliang (2003:),
logosentrisme adalah sebuah kecenderungan pemikiran
yang mencari legitimasinya berdasarkan dalil kebenaran
universal atau jaminan makna sentral dan orisinil,
seperti wahyu dalam tradisi Barat. Filsafat selalu ditekan
untuk dasar transenden bagi bahasa. Bagi Derrida, tidak
ada tulisan yang mempunyai acuan lain di luar dirinya.
Prinsip utama filsafat adalah berupa simbol-simbol yang
tidak berarti apapun selain bahasa. Dekontruksi,
menurut Derrida adalah sebuah alternatif untuk
menolak segala keterbatasan penafsiran ataupun
76
Tokoh dan Pemikiran Semiotik

bentuk kesimpulan, yang dalam “grammatologi,” ia


menegaskan bahwa konsepsi tidak pernah membangun
arti tanda secara murni, karena mengandung artikulasi
lain.
Dengan demikian sebenarnya Derrida secara radikal
berbalik dari apa yang disebut ‘logosentrisme’.
Logosentrisme adalah sebagai keinginan akan suatu
pusat (Faruk, 2001:179), pemikiran tentang ‘ada’
sebagai kehadiran. Derrida seolah-olah
memutarbalikkan pandangan metafisika dengan
mengatakan bahwa kehadiran harus dimengerti
berdasarkan sistem tanda. Menurutnya tanda adalah
sebagai ‘trace’ (bekas) suatu kata yang sebelumnya
sudah dipakai sebagai istilah teknis dalam filsafat
misalnya Platonian dan Heideggers (Bertens, 1985 :
495).
Suatu tanda yang dikatakan bekas pada hakikatnya
tidak mempunyai substansi serta kualitas sendiri
melainkan hanya menunjuk. Bekas tidak dapat
dimengerti sendiri tapi hanya menunjuk pada orang lain.
Bekas mendahului objek dan bukan efek, melainkan
penyebab. Maka kehadiran tidak lagi merupakan
sesuatu yang asli melainkan diturunkan dari bekas.
Dengan demikian sulit memang untuk mengerti ‘ada’
yang hadir pada dirinya sendiri itu justru muncul karena
efek dari bekas. Dari konsep Derrida tadi, ia dapat
menganalogikan pada segelas air teh, bahwa setelah air
teh diminum maka tinggalah gelas bekas air teh.
Menurut Derrida gelas tersebut adalah sebagai bekas,
yang menunjuk kepada air teh, dapur atau orang yang
meminumnya. Adapun air teh, dapur atau orang yang
meminumnya juga akan menunjuk kepada hal-hal yang
lain dan seterusnya. Dengan demikian sesuatu yang
menunjuk kepada dirinya sendiri saja menjadi mustahil.
Bekas selalu mendahului objek dan objek timbul dalam
jaringan tanda dan tidak pernah diberikan bagi sesuatu
77
Tokoh dan Pemikiran Semiotik

intuisi dasar seperti halnya benda itu sendiri (Kaelan,


1998: 244).
Terdapat sejumlah petanda atau makna yang
diakaitkan dengan penanda-penanda tersebut, seperti
otoritas, kebebasan, struktur yang dihargai tinggi di
masyarakat. Kadang pembaca melihat makna-makna itu
sebagai asal-usul semua makna yang lain. Namun,
dapat dikatakan bahwa agar makna-makna itu mungkin,
tanda-tanda lain harus lebih dulu. Setiap kali pembaca
membahas asal-usul, pembaca sering ingin kembali,
bahkan ke titik berangkat pembaca. Makna-makna itu
tidak selalu dilihat dalam pengertian asal-usul, makna-
makna itu sering dilihat dalam pengertian tujuan, yang
merupakan tujuan semua makna yang lain. Melihat
sesuatu dari otoritasnya pada telos atau titik tujuan,
yang merupakan salah satu cara mengorganisasikan
makna dalam hirarki penandaan.
Derrida menyebut semua sistem pemikiran yang
mendasarkan diri pada suatu dasar, landasan, atau
prinsip dasar sebagai “pemikiran metafisik”. Prinsip
dasar sering didefinisikan berdasarkan apa yang ditolak,
dengan semacam “oposisi biner” pada konsep yang lain.
Prinsip tersebut dan “oposisi biner” yang dinyatakan
selalu dapat didekonstruksikan. Oposisi biner adalah
cara pandang yang agak mirip ideologi. Seperti
diketahui, ideologi menarik garis batas yang tegas di
antara oposisi konseptual, seperti kebenaran dan
kekeliruan, bermakna dan tidak bermakna, pusat dan
pinggiran. Derrida mengatakan semua oposisi
metafisika konseptual merujuk pada kehadiran masa
kini sebagai rujukan pokok. (Derrida sering
menggunakan istilah “metafisika” untuk menyebut
“mengada sebagai kehadiran” di atas).
Sebagaimana halnya Heidegger dan Levinas, Derrida
pun membicarakan, mengkritik dan mempersoalkan
seluruh tradisi filsafat Barat, khususnya metafisika.
78
Tokoh dan Pemikiran Semiotik

Memang pemikirannya sangat dipengaruhi oleh dua


aliran filsafat yaitu fenomenologi dan strukturalisme. Hal
ini nampak dalam karyanya terutama ‘Ucapan dan
Fenomena’, seperti halnya Heidegger, Derrida berupaya
mengkritik tradisi filsafat Barat. Bagi Derrida filsafat
tidak dapat dipertentangkan dengan ilmu pengetahuan.
Tidak masuk akal jikalau filsafat telah disingkirkan ilmu
pengetahuan dan bahwa filsafa sudah tidak memiliki
ruang gerak lagi karena perkembangan ilmu
pengetahuan. Menurut Derrida, filsafat dan ilmu
pengetahuan pada dasarnya merupakan hal yang sama,
karena keduanya dalam rasionalitas yang sama.
Dengan tiga puncak yaitu Plato, Hegel dan Husserl
maka filsafat merupakan sejarah dari pengakhiran
rasionalitas yang mengarahkan ilmu pengetahuan juga,
bahkan bilamana ilmu pengetahuan akan melebihi dan
menonjolkan filsafat. Rasionalitas itu tidak lain daripada
pemikiran Barat yang lahir di Yunani dan berlangsung
terus sampai saat ini. Sesuatu yang merupakan ciri khas
filsafat Barat adalah ‘kehadiran’ (suatu pemikiran yang
berasal dari Heidegger). Pemikiran ada sebagai
‘kehadiran’ oleh Derrida disebut juga ‘metafisika’. Kalau
dalam metafisika dipikirkan bahwa ada itu hadir, maka
pertanyaannya adalah hadir bagi apa atau siapa. Dalam
metafisika terdapat berbagai macam pengandaian,
bahwa ‘ada’ itu hadir dalam ‘pemikiran’ bagi Tuhan,
bagi manusia, bagi kesadaran bagi subjek dan lain
sebagainya.
Hegel meneruskan pemikiran itu sampai pada
konsekuensinya yang terakhir yang dikatakannya
bahwa ‘ada’ itu bagi dirinya sendiri, atau dengan
perkataan lain bahwa ‘ada’ memikirkan dirinya sendiri
atau ‘ada’ harus dimengerti sebagai roh. Pengandaian
tentang kehadiran itu menjiwai seluruh fenomenologi
Husserl dan pada akhir hidunya membuat dia menerima
adanya suatu subjek transendental, suatu anggapan
79
Tokoh dan Pemikiran Semiotik

yang seperti diketahui ditolak oleh kebanyakan


muridnya. Pemikiran metafisis fenomenologi Husserl
dianggap Derrida sebagai puncak pemikiran metafisika
modern. Oleh karena itu, dekonstruksi Derrida yang
lebih mendasar tertuju pada Husserl ini. Husserl mencari
bahasa yang “sebenarnya” (true) dengan
mengetengahkan pemikiran bahwa setiap
pengungkapan (expression) adalah sesuatu yang
diinginkan (willed) dan dimaksudkan (intended) oleh
pengungkapannya. Seperti diungkapkan Harland
(1987:126), “Mening thus understood is not just
meaning in the sense that words, but in the sense that
someone means them to mean. Jadi, makna adalah
sesuatu yang dimaksudkan oleh pemberi makna. Yang
dimaksud pemberi makna adalah pengirim dan
penerima.
Dengan demikian seluruh tradisi metafisis condong
ke arah ‘ada’ yang hadir bagi dirinya sendiri, ‘ada’ yang
benar bagi dirinya sendiri, terlepas dari cerita di mana
‘ada’ dikemukakan atau dikisahkan. Demikianlah dasar
ontologis filsafat Derrida, yang merupakan titik tolak
filsafatnya termasuk filsafat bahasa (Bertens,
1985:494). Pandangan tentang kehadiran, menurut
Derrida adalah tampak jelas, apalagi bila pembaca
mempelajari metafisika mengenai tanda. Derrida
menyerang Husserl dan hampir semua filsuf lain bahwa
mereka menyadarkan diri pada asumsi wilayah
kepastian yang serta-merta tersedia. Cikal bakal dan
dasar teori sebagian besar filsuf adalah kehadiran. Pada
kasus Husserl, pencarian bentuk ekspresi murni pada
saat yang sama juga merupakan pencarian yang serta
merta hadir; dengan demikian, secara implisit, dengan
kehadiran tanpa termediasi dan hadir dihadapan dirinya
sendiri, pencarian tersebut adalah kepastian yang tidak
dapat disangkal.
Husserl membuat pembedaan penting antara
80
Tokoh dan Pemikiran Semiotik

ekspresi dan indikasi dalam bukunya “The Logical


Investigations”. Ekspresi yang dihubungkan dengan
maksud pembicara, adalah apa yang disebut sebagai
“makna tanda yang murni”, dan dibedakan dari indikasi,
yang memiliki penunjuk dan dapat muncul tanpa makna
intensional apa pun. Derrida menyatakan ekspresi murni
selalu menyertakan elemen indikatif. Indikasi tidak
pernah dapat dikeluarkan sepenuhnya dari ekspresi.
Tanda tidak dapat merujuk pada sesuatu yang sama
sekali bukan dirinya sendiri. Tidak ada petanda yang
bebas dari penandanya. Tidak ada wilayah makna yang
dapat diisolasikan dari tanda yang digunakan untuk
menunjuknya.
Setelah mengatakan tidak ada wilayah petanda yang
bebas, Derrida menyimpulkan: pertama, bahwa tidak
ada tanda apa pun yang dapat dianggap merujuk pada
petanda tertentu; dan kedua, bahwa pembaca mungkin
melepaskan diri dari sistem penanda. Jika digabungkan,
kesimpulain ini menunjukan bahwa kehadiran yang
lengkap itu tidak ada. Pandangan kehadiran akan
nampak jelas bilamana memahami metafisika yang
membahas tanda. Dalam tradisi metafisika tanda
menghadirkan sesuatu yang tidak hadir, tanda
menggantikan sesuatu yang tidak hadir. Dengan
demikian dalam pandangan metafisika tanda akhirnya
selalu menunjuk kepada objek itu sendiri, tanda hanya
sekedar pengganti yang untuk menunda hadirnya objek
itu sendiri. Menurut Derrida suatu kehadiran bukanlah
merupakan suatu instansi yang bersifat independen
yang mendahului tuturan dan tulisan manusia dalam
tanda yang dipakai. Kata-kata menunjuk pada kata-kata
lain, dan setiap teks menunjuk juga kepada teks-teks
yang lain, setiap kajian dalam diskursus menunjuk pada
bagian-bagian yang lain. Jadi, kalau Husserl memikirkan
tanda dalam rangka ‘ada’ sebagai kehadiran, maka
Derrida sebenarnya memutarbalikkan keadaan dengan
81
Tokoh dan Pemikiran Semiotik

memikirkan kehadiran dalam rangka jaringan tanda


yang menunjuk antara yang satu kepada yang lain.
Nampak dari paparan di atas, dekonstruksi Derrida
masih menggunakan paradigma model linguistik
modern Saussure. Sasaran utama Derrida adalah
mendekonstruksikan cara berfikir metafisika dengan
melakukan peninjauan bahkan pembongkaran dan
penyusunan yang terbaru tetapi bukan penghancuran
yang dapat memusnahkan. Derrida juga mengkritik
Saussure yang mengatakan linguistik mestinya hanya
mempelajari ujaran, bukan tulisan. Penekanan yang
sama juga dikatakan oleh Jakobson, Levi-Strauss dan
semua pemikir struktural semiologis. Derrida
mengatakan dalam “Of Grammatology” bahwa
penolakan pada tulisan sebagai sekedar embel-embel,
sekedar teknik dan ancaman bagi ujaran, dan
akibatnya, sebagai kambing hitam, merupakan gejala
kecenderungan yang jauh lebih luas. Derrida
menghubungkan fonosentrisme ini dengan
logosentrisme, yakni keyakinan bahwa yang pertama
dan terakhir adalah Logos, kata pikiran Ilahi, yakni
kehadiran-diri dan kesadaran-diri yang penuh.
82
Tokoh dan Pemikiran Semiotik

SEMIOTIK MODEL PETOFI


UMBERTO ECO

A. Identitas Diri Umberto Eco


Umberto Eco lahir pada tanggal 5 Januari 1932 di
Alexandria, wilayah Piedmont (sebagian menyebutnya
lahir di Milan), Italia. Ayahnya Giuleo Eco, seorang
akuntan dan veteran dari tiga perang berbeda. Kakek
Umberto konon bayi buangan, dan nama Eco
diperolehnya dari seorang pegawai sipil. Nama itu
adalah akronim dari ex caelis oblatus, "ditawarkan oleh
langit". Ketika ayah bunda Eco menikah, keduanya
sepakat menjauhkan diri dari politik demi
mempertahankan kewarasan dan keriangan dalam
keluarga. Di samping berasal dari pengalaman pahit
atas politik Italia, keputusan mereka itu tampaknya juga
dipengaruhi oleh pandangan dari neneknya tentang
politik. Eco sangat suka mengenang neneknya itu, dan
seperti Borges atau Garcia-Marquez, Eco mengaku
bahwa ia mengembangkan kesukaannya pada hal-hal
yang tampak absurd dari rasa humor neneknya yang
istimewa. Konon karena tidak punya banyak waktu
untuk mengontrol anak-anak dan cucu-cucunya dengan
pukulan, neneknya mengatur semuanya dengan humor.
Neneknya tampaknya tak pernah menduga bahwa
cucunya kelak tumbuh dengan minat intelektual yang
mencakup seluruh kebudayaan dan memandang
segenap obyek dan peristiwa sebagai tanda yang
menunggu tafsir.
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 83

Awalnya ia belajar hukum, namun kemudian


mempelajari filsafat dan sastra sebelum akhirnya
menjadi ahli semiotik. Sebelum menjadi intelektual
termasyhur dalam bidang semiotik, ia mempelajari
teori-teori estetika Abad Tengah. Di Universitas Turin, ia
menulis tesisnya tentang estetika Thomas Aquinas dan
meraih gelar doktor dalam bidang filsafat pada tahun
1954, saat usia Eco baru 22 tahun. Dia kemudian
memasuki dunia jurnalisme sebagai editor untuk
program budaya di jaringan televisi RAI milik
pemerintah Italia (Alex Sobur, 2003:72).
Dari 1956 sampai 1970 ia mengajar estetika dan
semiotik di berbagai universitas di Italia. Pada 1956, ia
menerbitkan tesis yang pernah ia pertahankan sebagai
buku pertamanya. Pada 1959 muncul karya keduanya,
Sviluppo Dell’estetico Medievale. Pada tahun 1962, Eco
menerbitkan Opera Operta (The Open Work). Tulisan-
tulisannya muncul dalam II Giorno, La Stampa, Corriere
Della Sera, La Republica, L’Espresso dan II Manifesto.
Pada 1966 ia pindah ke Milan dan menerbitkan Le
Poetische di Joyce : Dall “Summa” al “Finnegans Wake”.
Pada tahun 1971 ia menjadi profesor semiotik di
Universitas Bologna. Sejak itu Eco telah pula menjadi
sebagai profesor pada beberapa universitas di Amerika
Serikat, di antaranya adalah New York Universitas, Yale,
dan Columbia.
Di Milan ia mulai menyusun teorinya tentang
semiotik La Structura Absente (The Absent Structure).
Tahun 1976, ia menerbitkan A Theory of Semiotics.
Dalam bukunya A Theory of Semiotics, Eco mencoba
menggali kemungkinan teoritis dan fungsi sosial sebuah
pendekatan yang utuh terhadap tiap gejala signifikasi
dan atau komunikasi. Eco memastikan diri untuk
menyelidiki sifat-sifat dinamis tanda dalam bukunya A
Theory of Semiotics. Dia menjelaskan pandangan
epistemologinya dengan menggunakan suatu
84 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

perbandingan. Objek semiotik boleh diibaratkan dengan


permukaan laut tempat kumbang segera lenyap begitu
kapal lewat, atau hutan tempat jejak bekas pedati atau
jejak kaki mengakibatkan sedikit banyak munculnya
modifikasi abadi. Eco menganggap tugas ahli semiotik
bagaikan menjelajahi hutan, dan ingin memusatkan
perhatian pada modifikasi sistem tanda. Ini mendorong
dia untuk mengganti konsep tanda dengan konsep
fungsi tanda.
Pada tahun 1979 Eco menyunting A Semiotic
Landscape, Kumpulan esai semiotik. Kemudian disusul
dengan The Role of The Reader: Explorations in the
Semiotics of Texts (1981), dan Semiotics and the
Philosophy of Language (1984). Dalam buku terakhir ini,
Eco membahas tentang tanda dan penandaan. (Alex
Sobur, 2003:73). Umberto Eco semakin menanjak
popularitasnya karena novel dan roman yang ditulisnya.
Il Nome Della Rosa (1980; The Name of Rose, 1983),
suatu cerita misteri pembunuhan yang terjadi di dalam
biara, merupakan novel yang melambungkan namanya.
Novel ini merupakan salah satu karya yang mengarah
ke aspek-aspek masa lalu dan masa kini dalam teori
tentang tanda. The Name of the Rose penggemarnya
terentang dari kalangan penggila kisah-kisah misteri,
profesor sastra klasik, ahli sejarah Kristen, pecinta
sastra postmodern, peminat fiksi ilmiah dan fantasi,
matematikawan dan ahli linguistik sudah menunjukkan
hal tersebut. Pertama kali terbit pada 1980 dengan judul
Il nome della rosa, novel pertama Eco ini langsung
mengukuhkan dirinya salah satu cerita misteri terbaik
yang ditulis dalam 100 tahun terakhir.
Sebagai susulan dari novelnya The Name of the
Rose, Eco telah menulis beberapa roman lain yang
mendukung pengetahuan sejarah, filosofi, dan literatur
atau sastra. Roman ini di antaranya adalah Il Pendolo
de Foucault (Pendulum Foucault (1988; Bandul
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 85

Foucault, 1989) dan Corpus Hermetiaum, suatu


khayalan tentang pendekatan masyarakat rahasia yang
universal dan berisi referensi berharga keagamaan abad
tengah. Satu roman filosofis lain pun ditulis, yaitu Isola
del giorna prima (1994; The Island of the Day Before,
1995), suatu syair roman kepahlawanan yang terjadi di
Constantinopel sepanjang Perang salib keempat,
menguji kecenderungan manusia untuk menemukan
proses dalam sejarah perekaman. Tiga novel Eco, yang
ditulis dengan sejumlah kutipan dalam berbagai bahasa
Eropa, memang adalah novel Eropa: benua yang ribuan
tahun dibikin babak-belur oleh hasrat maniak pada
Kebenaran. Kini Eropa menggunakan segala bentuk
pengetahuan manusia untuk mencapai sesuatu setelah
pengetahuan: kearifan. Dipenuhi dengan tanda-tanda
intelektual yang tercecer dalam arus waktu, novel-novel
Eco mencoba bermain dengan sesuatu yang tak gayut
waktu, suatu kearifan yang dilupakan dunia, kalau
bukannya kearifan yang belum jadi milik dunia.
Dalam satu kesempatan, ia pernah memberikan
pengakuannya tentang pengalaman religiusnya.
Menurutnya, sejak 1952, ia merupakan praktisi Katholik
sampai umur dua puluh dua tahun. Meski begitu, ia
tidak marah atau bersikap anti-agama setelah menjadi
eks-Katholik. Pada suatu waktu dengan sangat
menyesal ia pernah menceritakan bagaimana telah
kehilangan iman, dan menekankan bahwa konsep
moralitas yang kokoh yang menggaris bawahi hidup dan
tulisannya mungkin berasal dari informasi awal
kekatholikannya (Alex Sobur, 2003:72). Namun
demikian, dalam tulisannya Eco seringkali menulis
tentang culture, termasuk ke-Kristen-an. kekhasan
dalam tulisannya ini memiliki suatu temperament
writing yang seringkali diungkapkan melalui ungkapan:
"Certain elements remain as the basis for my world
vision: a skepticism and an aversion to rhetoric. Never
86 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

to exaggerate, never to make bombastic assertions".


Eco sering menyinggung latar kulturalnya yang unik ini
sebagai salah satu sumber tempramen khas pada
tulisan-tulisannya; unsur-unsur tertentu bertahan
sebagai dasar bagi pandangan dunianya: sebuah
skeptisisme dan sebentuk keengganan pada retorika.
Satu-satunya hal yang membuatnya mirip dengan Italia
umumnya adalah “jika ia bicara, ia berteriak.”
Upaya intelektual dan artistik Profesor Semiotik
Universitas Bologna yang telah menulis 20-an buku itu,
termasuk fiksi anak-anak, mengingatkan pada
penggambaran diri Isaac Newton sebagai bocah kecil
yang bermain di pantai mencari lokan, atau pada sajak
Sitor Situmorang tentang seorang tua di tepi sungai
Indus. Bocah Newton mencari lokan-lokan yang lebih
indah, teori-teori yang lebih unggul untuk menjelaskan
hukum-hukum semesta fisik; orang tua Sitor memunguti
batu-batu halus yang menyimpan waktu dan keabadian.
Adapun Eco, ia memasuki rimba belantara sejarah dan
peradaban manusia, mengumpulkan segala bentuk
gagasan dan penanda yang bisa dijangkaunya, dan
membentuknya taman untuk melawan amnesia
epistemik: pelupaan patologis atas watak fiktif seluruh
pengetahuan manusia, sekaligus menghadirkan kembali
pengetahuan-pengetahuan terlupakan yang tertimbun
endapan-endapan sejarah.
Dengan humornya yang khas, Eco mengajak
pembacanya rileks di depan antek-antek kebenaran
universal, di depan kedahsyatan pikiran dan impian-
impian agungnya. Kebenaran universal, kepastian-
kepastian yang dikejar seluruh species manusia,
rupanya seperti jalan kampung dan harapan dalam
sajak Lu Xun: kian banyak yang lewat, kian banyak jiwa
yang percaya, maka yang tadinya tak ada akan menjadi
ada, dan akan terus memperkukuh adanya dalam
kenyataan. Alangkah sedih memang bila kebenaran dan
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 87

kepastian itu kemudian menjadi jurang atau benteng


tertutup yang tak terlintasi oleh harapan dan keceriaan
hidup.

B. Konfigurasi Semiotik Eco


1. Ranah Kajian Semiotik
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 3

Pemikiran Umberto Eco kebanyakan dalam bidang


linguistik. Ia banyak memberikan sumbangan terhadap
perkembangan linguistik. Pemikirannya tentang
semiotik juga banyak dijadikan tolok ukur bagi para
pemikir lainnya. Ia menyatakan tentang hal-hal lainnya,
antara lain tentang ambigu; menurutnya ambiguitas
harus dirumuskan bagai sebuah cara untuk melanggar
kaidah-kaidah dalam hal ini sastra dan seni pada
umumnya merupakan sebuah cara untuk mengaitkan
amanat bersama-sama dalam rangka menghasilkan
teks, yang di dalamnya peran ambiguitas sebagai
“langgar kaidah” dikembangkan dan diorganisasikan
sedemikian rupa sehingga pembaca tidak akan pernah
sampai pada decoding final atas amanat estetik. Hal ini
terjadi karena masing-masing ambiguitas tersebut
menghasilkan “pelanggaran kaidah” lebih lanjut pada
tataran-tataran berikutnya, yang secara
berkesinambungan mengundang pembaca untuk
mengupas atau menata ulang apa yang seakan-akan
dikemukakan oleh suatu karya seni (Kris Budiman,
1999:5). Selain itu juga, ia mengemukakan tentang
definisi arti, yaitu “Arti dari sebuah wahana tanda (sign-
vehicle) adalah satuan kultural yang diperagakan oleh
wahana-wahana tanda yang lainnya serta, dengan
begitu, secara semantic mempertunjukkan pula ketika
tergantungannya pada wahana tanda yang
sebelumnya” (Kris Budiman, 1999:7). Dari pemikirannya
yang demikian itu, maka ia pun memberikan
pemikirannya dalam bidang tanda, yang kemudian
disebut sebagai ilmu semiotik. Pemikirannya ini
kemudian dijadikan sebagai landasan-landasan
pemikiran-pemikiran yang lainnya.
Dalam pandangan para pengulasnya, Eco dianggap
sebagai ahli semiotik yang menghasilkan teori
mengenai tanda yang paling komprehensif dan
kontemporer. Teori Eco mengintegraskan teori-teori
4 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

semiotik sebelumnya dan membawa semiotik secara


lebih mendalam. Karya-karyanya dalam bidang semiotik
merupakan sintesis produktif dari hampir semua
madzhab semiotik abad ke-20, terutama Saussure dan
Peirce, dan didukung oleh pengetahuan yang luas
berupa kajian-kajian klasik tentang tanda (Cobley dan
Jansz, 2002:155). Oleh karena itu, Eco “membangun”
semiotiknya tidak lepas dari pemikiran dua orang tokoh
semiotik modern tersebut, yaitu Saussure dan Peirce.
Eco mulai dengan menggunakan definisi yang
disusun dua sarjana terkemuka tersebut. Ia mengutip
Sasussure tanda mempunyai dua entitas yaitu signifier
dan signified atau wahana ‘tanda’ dan makna, atau
‘penanda’ dan petanda’. Dalam hal lain, Eco masih
melanjutkan semiotik Saussure, terutama terlihat dalam
konsep supraindividual principles dan individual
autonomy yang mirip dengan konsep langue-parole.
Prinsip ‘supraindividual’ merupakan seperangkat sistem
yang menguasai kehidupan masyarakat, yang pada
suatu ketika berdialog dengan dimensi kognitif manusia
(individual autonomy). Namun di sisi lain, Eco
mengkritik Sasussure, bahwa Saussure tidak
memberikan batasan secara jelas mengenai pengertian
petanda; dia baru sampai pada imaji mental, sebuah
konsep, dan realitas psikologis (Alex Sobur, 2002:109).
Eco, juga membandingkan antara semiotik-nya
Saussure dan Peirce. Berdasar semiotik Saussure, tanda
“mengekspresikan” gagasan sebagai kejadian mental
yang berhubungan dengan pikiran manusia. Secara
implisit, tanda itu alat komunikasi antara dua orang
manusia yang secara disengaja dan bertujuan
menyatakan maksud. Di sini, Eco sepakat dengan Peirce
dengan mengatakan bahwa semiotik Peirce lebih luas
dan berhasil. Eco pun berusaha melepaskan diri dari
kesempitan semiotik Saussure dan mengembangkan
unlimited semiosis dari Peirce. Dalam pandangan Eco,
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 5

definisi yang diberikan Peirce lebih luas dan secara


semiotis lebih berhasil. Semiotik bagi Peirce adalah
suatu tindakan (action), pengaruh (influence), atau kerja
sama tiga subjek, yaitu tanda (sign), objek (object), dan
interpretan (interpretant). Yang dimaksud subjek pada
semiotik Peirce bukan subjek manusia, tetapi tiga
entitas semiotik yang sifatnya abstrak sebagaimana
disebutkan di atas, yang tidak dipengaruhi kebiasaan
berkomunikasi secara konkrit (Alex Sobur, 2002:109).
Eco juga menanggapi masalah yang berkaitan
apakah semiotik itu bidang kajian atau disiplin ilmu. Jika
ia sebagai disiplin ilmu yang khusus, maka ia mesti
memiliki metodenya sendiri dan objek tertentu.
Selanjutnya ia mengemukakan bahwa bidang semiotik
kenyataannya adalah dalam keberagamaan, variasinya,
dan semua kekacauannya. Sehingga membutuhkan
suatu model penelitian yang sederhana. Akan tetapi
harus terus menerus disempurnakan. Ia juga
membedakan antara komunikasi dan signifikansi. Proses
komunikasi sering diartikan sebagai penerimaan isyarat
—tidak selalu tanda—dari suatu sumber melalui
pemancar dan saluran ke tujuan, yang dimiliki adalah
informasi. Misalnya mesin ke mesin, tetapi jika adresse
—penerimanya, manusia maka ada proses signifikasi
karena menimbulkan respon interpretatif. Proses ini
memungkinkan adanya kode.
Usaha selanjutnya adalah Eco berusaha
mengembangkan teori semiotik umum, yang mampu
menjelaskan semua permasalahan fungsi tanda.
Rancangan semiotik umum ini, mesti
mempertimbangkan teori kode dan teori produksi tanda.
Untuk itu, terlebih dulu mesti membedakan antara
‘tanda’ dan yang ‘bukan tanda’. Akan tetapi, teori kode
dan teori produksi tanda ini tidak sejalan dengan teori
langue dan parole, competence dan performance, atau
sintaktik (dan semantik) dan pragmatik yang
6 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

dikemukakan Saussure. Sebab itu, Eco berusaha untuk


mengatasi perbedaan tersebut, dan menyusun teori
kode secara garis besar yang memperhitungkan kaidah-
kaidah kompetensi wacana, formasi teks, kepastian
konteks dan lingkungan (situasi). Bertolak dari trikotomi
Peirce (icon, index, symbol), ia berusaha
mengembangkan tipologi tanda, baik pada segi fungsi
maupun pada “penghasil tanda’-nya. Tipologi model
produksi tanda ini bertujuan merencanakan kategori-
kategori untuk memerikan fungsi tanda, bahkan fungsi
tanda yang belum dikodekan, yang biasanya
ditempatkan dalam tiap-tiap peristiwa atau kejadian
yang merupakan awal kemunculannya. Sesuai dengan
permasalahan itu, menurutnya, penelitian semiotik
umum akan dihadapkan pada tiga ranah penelitian,
yaitu: ranah budaya (politik), ranah alam, dan ranah
epistemologi.
Dalam ranah alami dikenal dua tipe tanda yang
terlepas dari batasan komunikasi, yaitu pertama
kejadian/peristiwa fisik yang berasal dari sumber alam,
misalnya kepulan asap—adanya api, tanah basah—
diguyur hujan, kasusu-kasus ini disebut inferensi—
peristiwa inferensial. Tanda ada setiap saat ketika
sekelompok manusia memutuskan untuk menggunakan
dan mengenali sesuatu sebagai wahana sesuatu yang
lain. Jadi, peristiwa yang berasal dari sumber alami
adalah tanda, karena di situ ada konvensi yang
menempatkan korelasi kode antara ekspresi (peristiwa)
dan isi (sebab atau akibatnya). Asap menjadi tanda api,
api sendiri tidak identik dengan asap, akan tetapi asap
menjadi wahana tanda yang melambangkan api yang
tidak tampak, sesuai dengan kaidah sosial yang selalu
mengasosiasikan asap dengan api.
Kedua prilaku manusia yang secara tidak sengaja
dipancarkan oleh pengirimnya, mengisyaratkan sinyal
meskipun prilakunya tidak disadarinya; misalnya gerak
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 7

isyarat (gestural behavior), kadang prilaku


memungkinkan diketahuinya latar budaya pelaku,
karena prilakunya mempunyai konotasi yang jelas.
Sekalipun pembaca tidak mengetahui makna-makna
yang diasosiasikan itu, pembaca dapat mengenali
pelakunya sebagai orang Itali, Inggris, dan lain
sebagainya.
Berkaitan dengan peristiwa non-kemanusiaan, Eco
mengatakan bahwa segala sesuatu itu dapat dipahami
sebagai tanda hanya jika ada konvensi yang
memungkinkannya berlaku untuk sesuatu yang lain,
sehingga stimuli (rangsangan) tidaklah dianggap
sebagai tanda, sebab ia tidak diperoleh melalui
konvensi. Dan dengan demikian semiotik itu berurusan
dengan tindakan yang bertujuan, peristiwa
kemanusiaan dan non-kemanusiaan yang tidak
bertujuan bukanlah tanda. Eco juga menyatakan
sebaiknya objek informasi tidak dianggap tanda,
melainkan hanya satuan-satuan transmisi yang dapat
dihitung secara kuantitatif. Dan disebut isyarat bukan
tanda. Begitu juga informasi fisik seperti neuro-
psikologis dan genetis, sirkulasi darah, gerak paru-paru
tidak boleh dianggap permasalahan semiotik.
Eco juga menyajikan berbagai bidang yang mungkin
dapat dijadikan sebagai kajian semiotik, di antaranya
adalah: (1) semiotik binatang (zoosemiotics), bahwa
pada tahap binatang pun ada pola-pola signifikansi yang
—sampai tingkat tertentu—dapat dijelaskan sebagi pola-
pola kultural dan sosial, (2) Tanda-tanda Bauan
(Olfactory Signs) jika da bau yang bernilai konotatif
dalam arti emotif, maka ada juga bau dengan nilai
acuan yang pasti, (3) Komunikasi Rabaan (Tactile
Communication) mencakup prilaku sosial yang jelas
dikodekan seperti ciuman, pelukan, tamparan, tepukan
di bahu dan lain-lain—dipelajari oleh psikologi.
Kemudian (4) Kode-kode cecapan (Code of Taste)
8 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

dikaji oleh antropologi budaya; praktik masak-memasak,


(5) Paralinguistik (Paralinguistics) mengkaji tanda-tanda
supra-segmental dan varian bebas yang membenarkan
komunikasi linguistik dan yang semakin tampak
dilembagakan dan disistematiskan, (6) Semiotik Medis,
(7) Kinesik dan Proksemik, gagasan bahwa gerak tangan
tergantung pada kode-kode budaya kini merupakan
makna antropologi budaya. (8) kode-kode musik
(Musicak codes) musik menyajikan masalah sistem
semiotik tanpa tingkat semantik atau tingkat isi, di
samping itu ada “tanda” musik atau sintagmen dengan
nilai denotatif yang jelas (terompet dalam militer) dan
ada sintagmen atau “teks-teks” yang memiliki nilai
konotatif prabudaya; misal musik pastoral.
Dan (9) Bahasa yang diformalkan(formalized
languages) seperti dalam ilmu kimia, aljabar,
matematika, serta bahasa yang diformalkan untuk
komputer, (10) Bahasa tertulis, Alfabet tak dikenal, Kode
Rahasia: menentukan welstanschauung, (11) Bahasa
Alam (natural languages) bidang ini harus mengacu ke
bibliografi umum mengenai linguistik, logika, filsafat,
antropologi budaya,psikologi, dan sebagainya, (12)
Komunikasi visual melliputi wilayah yang luas; sistem
grafik, warna, tanda-tanda ikon, serta rangkaian tanda
yang lebih kompleks dari kategori tripartisi Peirce
mengenai tanda simbol, ikon, indeks, (13) Sitem Objek
merentang mulai arsitektur ke objek-objek pada
umumnya.
Serta (14) Struktur alur (Plot structure); melingkupi
kajian mitologi, cerita rakyat, permainan dan lain-lain,
(15) Teori Teks, pemahaman arti teks sebagai suatu unit
makro, (16) Kode-kode budaya; sistem kebiasaan atau
sistem nilai. Melingkupi sistem kekeluargaan, organisasi
sosial, dan lain-lain merupakan gambaran cara pandang
masyarakat tertentu, (17) Teks estetik; berorientsai
pada seni, hubungan bentuk estetik dengan wujud alam,
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 9

(18) Komunikasi massa, studi komunikasi massa


menawarkan suatu objek yang terpadau, sesuai dengan
pernyataanya bahwa industrialisasi komunikasi tidak
hanya mengubah kondisi penerimaan dan pengiriman
pesan, tetapi lebih menekankan makna pesan. Untuk
melakukan studi ini, harus menggunakan metode yang
berbeda yang bertitik tolak dari psikologi, sosiologi, dan
stilistika, dan (19) Retorika.
Melihat dari apa yang diungkap Eco, mengenai ranah
kajian semiotik, semiotik seolah-olah “menjarah”
semua bidang kajian, bahkan keseluruhan dan keutuhan
budaya dianggap sebagi gejala semiotik. Maksudnya,
keseluruhan dan keutuhan budaya harus dikaji sebagai
gejala komunikatif yang berlandaskan sistem signifikasi.
Sistem signifikasi juga harus diarahkan untuk
mengkritisi sistem aturan. Menurut Eco, sistem aturan,
yaitu kode yang terdiri atas hierarki sub kode-sub kode
yang kompleks, sebagian darinya kuat dan stabil,
sedangkan yang lainnya lemah dan bersifat sementara
(Alex Sobur, 2003:76-77). Tambahan lagi, budaya yang
berbeda-beda dapat memberikan bermacam-macam
konotasi terhadap nama tertentu. Eco yakin bahwa kode
bukanlah kondisi alami dunia semantik global, dan juga
bukan struktur tetap yang mendasari kompleks
hubungan dan cabang-cabang setiap proses semiotik.
Dengan begitu menurutnya, penelitian semiotik
terutama berurusan dengan tanda-tanda sebagai
“kekuatan sosial”. Menjelaskan perkembangan dan
pembaruan kode, Eco menggunakan apa yang disebut
konsep “abduksi”, seperti yang diajukan Peirce. Ia
melihat bahwa “suatu konteks ambigu yang tidak
terkodekan yang ditafsirkan secara konsisten, jika
diterima masyarakat, menghasilkan sebuah konvensi,
dan dengan demikian menimbulkan pasangan
pengkodean (Alex Sobur, 2003:76-77).
10 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

2. Tanda dan Reproduksi Makna


Tanda dirumuskan oleh Eco sebagai “sesuatu bukti
tidak langsung yang membawa pada beberapa
kesimpulan tentang keberadaan sesuatu yang bukan
merupakan bukti tidak langsung tersebut” (Kurniawan,
2001: 8). Ia juga mengutip Peirce bahwa tanda adalah
segala sesuatu yang ada pada seseorang untuk
menyatakan sesuatu yang lain dalam beberapa hal atau
kapasitas. Ia juga mengkritisi definisi tanda menurut
Morris, dikatakannya bahwa penafsiran terhadap tanda
yang diberikan oleh seorang interpreter harus dipahami
sebagai kemungkinan penafsiran oleh kemungkinan
interpreter. Eco menyimpulkan bahwa “satu tanda
bukanlah entitas semiotik yang dapat ditawar,
melainkan suatu tempat pertemuan bagi unsur-unsur
yang independen.” Tanda adalah segala sesuatu yang
ada pada seseorang untuk menyatakan sesuatu yang
lain dalam beberapa hal atau kapasitas.
Tanda itu dapat berarti sesuatu bagi seseorang jika
hubungan yang “berarti” ini diperantarai oleh
interpretant. Ia juga sepakat dengan Peirce dalam
mengartikan interpretant sebagai peristiwa psikologis
dalam pikiran interpreter, hanya saja harus dipahami
secara non-antropomorfis. Definisi Peirce ini tidak
menuntut kualitas keadaan yang secara sengaja
diadakan dan secara artifisial diupayakan. Lebih dari itu,
tripartisi Peirce dapat juga digunakan untuk gejala yang
tidak dihasilkan manusia, tetapi apa yang dapat
diterima manusia. Karena menurut Peirce, esensi tanda
adalah kemampuannya “mewakili”. Dalam konteks
relasi sosial, Eco mencontohkan komunikasi sebagai
sebuah proses interpretasi. Agar komunikasi berjalan
baik maka harus ada kesatuan antara pengirim pesan,
pesan, dan penerima pesan. Namun ketiga komponen
tersebut belum menjamin terjadinya tindak komunikasi.
Perbedaan sosial budaya dan geografis dapat menjadi
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 11

permasalahn antara pengirim dan penerima. Dalam


matra ini, untuk menjadikan suatu teks itu komunikatif
makan pengirim pesan harus dapat mengandaikan atau
memperkirakan bahwa kode pesan yang digunakan
dapat dimengerti oleh penerimanya.
Menurut Eco, setiap tanda pada akhirya mengalami
proses signifikasi, yaitu pemaknaan oleh pemakai
(pengirim, penerima) tanda. Dengan demikian,
interpretasi merupakan paktor terpenting dalam
semiotik karena interpretasi merupakan hakikat
individual autonomy manusia. Eco mengemukakan
bahwa makna (meaning) tidak sepenuhnya ditentukan
oleh struktur, tapi pesan pembaca (interpreter), yang
secara aktif ikut serta mengkonstruksi makna. Ada dua
konsep utama yang digunakan pembaca dalam proses
tersebut, yaitu menggunakan ‘dunia yang mungkin’
(possible world) ke dalam teks untuk menghubungkan
makna teks secara imajinatif dan memberi ‘bingkai’
(frames) dari runtutan situasi dan kejadian. Dalam
konteks ini akan terlihat bahwa proses interpretasi
menjadi signifikasi yang kreatif dan dapat diperluas
menjadi unlimited semiosis (semiosis tak terbatas).
Semiosis tak terbatas ini adalah hasil dari fakta bahwa
tanda dalam bahasa terkait dengan tanda lain, dan
suatu naskah selalu menawarkan kesempatan
penafsiran yang tak terhingga banyaknya. Dalam hal ini,
Eco ingin menghindari kemungkinan makna tunggal di
satu sisi melawan makna yang tak terhingga di sisi lain.
John Lechte menyatakan “walaupun A Theory of
Semiotics secara eksplisit terkait dengan suatu teori
tentang pembangkitan kode dan tanda, titik tolak yang
mendasarnya adalah pengertian Pierce tentang
Semiotik yang tak terbatas”.
Untuk tujuan tersebut, Eco mengembangkan suatu
model yang disebutnya mengikuti quillian, sebagai
suatu “model Q” model kode yang meninjau semiosis
12 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

tak terbatas. Menurut Eco, unsur-unsur pokok dalam


tipologi cara pembentukan tanda adalah :
1. Kerja fisik : upaya yang dilakukan untuk membuat
tanda
2. Pengenalan : objek atau peristiwa dilihat sebagai
suatu ungkapan kandungan tanda, seperti tanda,
gejala, atau bukti.
3. Penampilan : suatu objek atau tindakan menjadi
contoh jenis objek atau tindakan.
4. Replika : kecenderungan ke arah ratio difficilis secara
prinsip tetapi mengambil bentuk-bentuk kodifikasi
melalui pengayaan. Contohnya : emblim, notasi
musik, dan tanda-tanda matematika.
5. Penemuan kasus yang paling jelas dari ratio difficilis.
Menurut Lechte, yang Eco usulkan melalui model Q
dan melalui penemuan pembentuk kata adalah
kebutuhan dalam melakukan peninjauan kemampuan
sistem bahasa agar pembaruan dan penyegaran bisa
dilakukan. Bukannya bersifat statis dan tertutup, sistem
tanda itu menurut Eco bersifat terbuka dan dinamis.

C. Teks Terbuka dan Teks Tertutup


Bidang kajian teoritis dalam semiotiknya telah
mempengaruhi ilmu pengetahuan. Karena beberapa
karyanya mengenai sejarah Abad Pertengahan, Umberto
Eco dikenal pula sebagai seorang sejarahwan pakar
tentang Abad Pertengahan, penulis esai, novelis, dan
barangkali di atas semuanya, dia adalah seorang
semiotisi. Karya-karyanya merupakan sintesis produktif
dari hampir semua madzhab semiotik abad ke-20 yang
didukung oleh pengetahuan yang luas berupa warisan
kajian-kajian klasik tentang tanda (Cobley dan Jansz,
2002:155). Di samping upaya Eco untuk menghindarkan
diri dari skolastisisme, dia terkesan tidak pernah
kewalahan menghadapi bahan-bahan semiotik yang
demikian melimpah ruah. Dalam esai populernya,
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 13

“Fragmen-Fragmen” (1959), dia membedah dan


menafsirkan sebuah artefak peradaban Kutub (Artic)
dari era pos-apokaliptik:

“Sekarang kita memiliki satu baris—sayang sekali, satu-


satunya yang bisa ditemukan—dari sesuatu yang
dahulunya merupakan sebuah ode berisi kutukan
terhadap kepedulian duniawi: ‘sebuah dunia yang
material!’. Tepat setelah itu , kita dihadapkan pada baris-
baris dari fragmen yang berbeda, seperti sebuah himne
perdamaian atau kesuburan yang dipersembahkan untuk
alam: ‘aku bersenandung dalam hujan, senandung dalam
hujan, sebuah perasaan penuh keagungan.’ Sangat
mudah membayangkan bahwa ode ini dinyanyikan oleh
sebuah paduan suara gadis-gadis muda: kata-kata yang
indah membangkitkan citra tentang dara muda dengan
selendang putih. Mereka menari-nari saat musim tanam
dalam sebuah pervigilium” (Cobley dan Jansz, 2002:155).

Eco, dari pembedahannya itu, mengungkapkan


bahwa dengan terbatasnya bukti-bukti peradaban Kutub
yang ada di tangan, pembaca memiliki ruang yang
sangat luas bagi kemungkinan interpretasi yang
berlebih-lebihan. Pada waktu yang kurang lebih sama
dengan saat dia menulis “Fragmen-Fragmen”, Eco juga
—di bawah pengaruh teori informasi—membuat tulisan
yang berisi konsepsi-konsepsinya tentang “teks
terbuka” (open text). Sekilas karya ini seperti hendak
menegaskan kembali garis demarkasi antara
kebudayaan “tinggi” dan “rendah”. Dalam identifikasi
yang mengaitkan “keterbukaan” dengan “modern” dan
“tertutup” dengan “populer”, Eco seakan mengulang
formulasi yang dibuat oleh pemikir-pemikir lain, baik di
Prancis (Barthes dalam konsep tentang tertulis dan
wicara), di Inggris (Colin MacCabe dalam teks klasik-
realis dan teks revolusioner).
Konsep teks terbuka” dan teks tertutup merupakan
perluasan dari konsep diadik para pendahulunya,
14 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

seperti Saussure dan Peirce. Menurut Eco, suatu tanda,


ia dapat merupakan teks atau tanda tertutup, dan bisa
juga sebagai teks terbuka. Hal ini sangat ditentukan
bagaimana konteks yang melatari kemunculan tanda
tersebut. Teks terbuka yang dimaksud adalah teks yang
masih dapat memberikan peluang penafsiran, atau
makna dari sebuah teks belum ditentukan secara
konvensi, kesepakatan. Dengan kata lain, menurutnya,
sebuah teks terbuka (open text) adalah teks yang
dapat menggerakkan jenis pembaca tertentu, karena ia
terbuka luas (opera operta) terhadap berbagai
probabilitas interpretasi, sehingga mungkin saja bersifat
ambigu atau polisemi seperti yang terdapat dalam puisi,
teks prosa, dan teks sastra lainnya. Teks terbuka
menuntut “pembaca model” (pembaca yang baik,
misalnya, dapat mengekstrapolasi bacaan Ulysses dari
dalam teksnya sendiri) dan dapat digambarkan dalam
skenario berikut: ‘sang pengalamat’ membimbing yang
‘dialamati’, untuk kemudian membiarkannya memilih
dan lalu, pada titik tertentu dalam teks tersebut, dia
berhenti untuk mempertimbangkan interpretasi dari
keseluruhan langkah sebelumnya.
Hal ini berbeda sekali dengan teks tertutup (closed
text), yaitu karya yang hanya membutuhkan “pembaca
kebanyakan”. Teks tertutup adalah teks yang maknanya
sudah disepakati. Teks tertutup (closed text)
memungkinkan jaring-jaring interpretasi pada setiap
titik, meskipun ia dirangkai oleh sebuah logika yang
lurus yang tampak sebagai berikut: ‘sang pengalamat’
(bukan si penulis, memainkan struktur teks itu sendiri)
memberi tawaran kepada yang ‘dialamati’ kejadian-
kejadian untuk dia pilih dan putuskan. Misalnya,
petunjuk yang yang mengarah pada kesudahan sebuah
misteri seperti dalam cerita-cerita detektif, iklan, dan
komik (Cobley dan Jansz, 2002:157).
Sebagai ilustrasi, warna merah yang terdapat pada
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 15

trafic light (lampu merah) merupakan teks atau tanda


tertutup. Makna atau pengertian yang didapat dari
tanda tersebut sudah menjadi konvensi harus berhenti.
Ke-tertutup-an dan ke-terbuka-an ini dapat bertingkat,
maksudnya adalah suatu tanda bisa sebagai tanda
tertutup bagi komunitas atau masyarakat tertentu.
Contoh warna merah di atas merupakan teks tertutup
pada tingkat internasional dan konvensi yang berlaku
bagi seluruh dunia. Masih warna merah, kali ini warna
merah yang berbentuk bendera. Merah yang ada pada
bendera Indonesia dimaknai sebagai berani, semangat.
Pemaknaan ini sudah menjadi konvensi kolektif yang
hanya berlaku di Indonesia. Namun ketika warna merah
(masih yang sama), dan juga berbentuk bendera, itu
menjadi lain dan maknanya berbeda, saat warna merah
itu berada pada bendera Polandia. Berbeda dengan
warna merah yang terdapat pada Trafic light, ia sudah
menjadi konvensi pada tingkat yang lebih luas, berlaku
di semua negara. Sementara warna merah yang
berbentuk bendera, dilatarbelakangi oleh wilayah,
kebudayaan, dan masyarakat tertentu. Jadi, suatu tanda
dapat menjadi teks terbuka, dan di sisi lain ia dapat
menjadi teks tertutup. Hal tersebut, senada dengan
ungkapan bahwa suatu tanda itu bermakna ketika ia
memperoleh bentuknya. Misalnya warna merah yang
berbentuk bendera akan dipahami sebagai lambang
sosialis, atau warna merah dari sekuntum bunga
menurut konvensi masyarakat Indonesia diartikan
sebagai simbol cinta.
Dari contoh di atas, menunjukkan bahwa suatu
pesan dapat dipahami kodenya dari sudut pandang
yang berbeda. Hal ini karena adanya bermacam ragam
kode, konteks, dan situasi. Sebagaimana diungkap
Barthes, bahwa pada tingkat denotasi menghadirkan
konvensi atau kode-kode sosial yang bersifat eksplisit,
makna tandanya segera nampak ke permukaan
16 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

berdasarkan relasi penanda dan petandanya.


Sebaliknya, pada tingkat konotasi menghadirkan kode-
kode yang makna tandanya bersifat implisit,
tersembunyi.

Dalam hal kaitan antara kode dengan produksi teks,


Eco menjelaskan lebih lanjut, bahwa kode-kode ini
sendiri berasal dari segmentasi kebudayaan atau unit
kebudayaan yang berbeda-beda dan dapat
mempengaruhi satu sama lainnya. Dalam hal ini ia
mengungkapkan, “Bermacam-ragam kode, konteks,
situasi, memperlihatkan kepada kita, bahwa pesan yang
sama dapat dipahami kodenya dari sudut pandang yang
berbeda, dan dengan referensi pada sistem-sistem
konvensi yang beragam” (Piliang, 2003:169). Itulah
sebabnya, warna merah di Indonesia dimaknai sebagai
keberanian atau semangat (Bendera pusaka),
sementara merah pada bendera polandia atau negara
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 17

lainnya, belum tentu demikian.

D. Analisis Semiotik Model Petofi


Dalam pandangan Eco, yang sesungguhnya terjadi
dalam pembacaan sebuah teks adalah proses
pengonkretan. Pembaca menempuh rangkaian gerak
untuk menguraikan tanda-tanda. Namun dalam
penguraian ini, sangat mungkin terjadi apa yang oleh
Peirce diistilahkan dengan “rantai-semiosis-abadi”, satu
tanda membiarkan dirinya terhubung dengan tanda
yang lain dalam satu rangkaian, yang secara potensial
tak berhingga. Jika demikian halnya, mungkinkah
semiosis mengenai sasarannya? Bisakah pembaca
melepaskan diri dari kecenderungan melakukan
interpretasi yang terlalu percaya diri, apakah kemudian
dapat diartikan bahwa teks dapat memiliki kemungkinan
interpretasi sebanyak pembaca teks tersebut?
Pertanyaan Eco ini diarahkan dengan membandingkan
Peirce dan Hermetisme (seperti alkemi atau okultisme)
di zaman Renaisans. Yan terakhir meyakini bahwa
setiap simbol terhubung dengan simbol-simbol lain
karena kemiripannya, secara berurutan. Misalnya,
Hermetisme meyakini bahwa bunga anggrek (orchis)
memiliki bagian yang mirip dengan buah dzakar
(testikel). Dalam bahasa Yunani, orkhis berarti testikel.
Dengan demikian, setiap akibat opersi tertentu pada
bunga angrek akan memberikan akibat yang sama pula
jika dikenakan pada manusia. Tentu ini sangat
bermasalah. Bagaimanapun, “testikel” pada anggrek
terbentuk dan punya fungsi yang sangat berbeda
dengan testikel manusia, meskipun wujud fisik kedunya
boleh dibilang mirip.
Sebuah kebiasaan (Habit), demikian menurut Peirce,
adalah “hal-hal yang menentukan cara manusia
menalar menurut satu alur berpikir tertentu, dan bukan
alur yang lain”. Karena itu, ia bersifat “dirancang atau
18 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

diperoleh”. Dalam pandangan Eco, jika operasi pada


orchis tersebut tidak sesuai dengan kebiasaan (Habit),
berarti semiosis telah gagal. Kebiasaan berasosiasi
dengan makna (interpretant) yang, dalam dirinya
sendiri, adalah wilayah keketigaan (Thirdness) dari
penalaran. Tidak seperti diferance ala Derrida, tujuan
akhir dari rantai-abadi-semiosis ala Peirce adalah
menentukan tanda tersebut berdiri demi apa. Eco
menunjukkan, semiosis berarti aliran dari satu makna ke
makna berikutnya. Bagi Peirce ini semua berlangsung
bukan tanpa tujuan.
Asosiasi antara satu tanda dengan tanda yang lain
tidak berlangsung secar arbitrer di atas landasan yang
bersifat chaotic; namun ia dibimbing oleh peranti-
peranti kebiasaan yang dengannya—manusia—
melakukan penalaran. Tanda yang digunakan
menyertakan sebuah Representamen, yang dengan
perantar makna, dapat dihasilkan sebuah objek
pertama (objek sebagaimana ia tampak). Kita tidak
pernah benar-benar bisa menggenggam yang sejati,
yaitu objek dinamis, meskipun sudah pasti bahwa yang
sejati tersebut merupakan sebab dari objek pertama.
Pencarian melalui rantai-abadi-semiosis diarahkan
pada tujuan yang hendak dicapai oleh makna akhir.
Makna akhir adalah juga sebuah kebiasaan, sebuah
watak untuk bertindak dalam dunia. Semiosis itu
sendirilah yang membangun dunia melalui relasi antara
makna pertama dan makna akhir. (Objek) yang sejati
adalah apa yang terakhir akan dihasilkan oleh informasi
dan penalaran. Dapat dikatakan: yang sejati adalah
makna intersubjektif yang hadir dalam sebuah
komunitas melalui semiosis. Komunitas ini dapat
dibayangkan mirip sebuah rumah kaca untuk penelitian
tetek-bengek tentang semiosis. Jika tanda tidak berhasil
menyingkapkan sesuatu tentang benda itu sendiri,
dalam jangka panjang proses semiosis dalam
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 19

masyarakat akan menghasilkan pandangan-pandangan


tertentu tentang benda tersebut yang secara sosial
disepakati dan diterima sebagai kebenaran.
Tak dapat diragukan, di sana terdapat teks terbuka
yang menyediakan kemungkinan untuk rupa-rupa
penafsiran. Namun, interpretasi tersebut tidak tak-
berhingga. Interpretasi yang telah dibuat akan
didasarkan pada prinsip-prinsip konsensus, yang sampai
sekarang masih sulit dirumuskan dan karena itu menjadi
tugas semiotik. Berdasarkan hal tersebut, dalam
pandangan Eco, semiotik yang serius mestinya
berupaya untuk menyingkirkan interpretasi sampah dan
memapankan prinsip-prinsip yang tahan uji dari
semiosis yang berhasil, yang tetap bersinar sampai
akhir, barang kali, pada makna akhir.
Menurut Eco, pembaca harus melalui beberapa
tahapan untuk sampai pada pemahaman yang baik
terhadap seluruh teks. Pembaca dapat menggunakan
model petofi untuk menunjukkan bagaimana proses
penafsiran makna dapat terjadi. Pada awalnya teks
merupakan manifestasi linier. Pada tahap ini, pembaca
berusaha memahami kode dengan cara menggali kode
dan subkode untuk mengetahui makna yang
tersembunyi (verisimilitude) di baliknya. Bambang
Wahyu Hidayat (2002:9) memberikan contoh mengenai
model petofi ini. Misalnya, terdapat penyataan “Once
upon a time, there was a young princess called snow
white. She was very pretty”, maka pembaca harus
menemukan:
1. Basic dictionary, menghubungkan apa yang
tertulis dalam teks dengan referensi yang paling
dasar (basic dictionary). Pembaca langsung dapat
membuat analisis semantik dari kata ‘princess’
yakni ‘snow white’ pastilah seorang perempuan,
kemudian dihubungkan dengan manusia dan
direpresentasikan atribut-atribut keperempuan
20 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

seperti organ tubuh, kecantikan, dsb.


2. Rules of co-reference, pembaca
mempertimbangkan co-reference dengan
pemahaman lexical atau semantik. Pembaca
misalnya dapat menentukan bahwa yang
dimaksud ‘she’ adalah pasti merujuk pada ‘snow
white’.
3. Contextual dan circumstancial selection,
pembaca melihat kemungkinan-kemungkinan
kode abstrak dapat dipertemukan dengan istilah-
istilah lain yang sama dalam sistem semantik
serta melihat makna dari lingkungan eksternal
suatu term. Misalnya, istilah ‘whale’ dalam
konteks kuno hanya dipahami sebagai ‘ikan’ saja
tapi untuk koteks modern dipahami sebagai
‘makhluk mamalia’.
4. rhetorical dan stylistic overcoding, pembaca
menggunakan kemampuannya untuk melihat
metafora-metafora di dalam teks agar dapat
menghindari pemaknaan yang naif dan denotatif.
Istilah “Once upon a time’ dapat dimaknai
sebagai a) peristiwa yang terjadi dalam matra
waktu non-historis, b) peristiwa yang tidak nyata,
dan c) penulis menceritakan suatu fiksi.
5. Common frames dan intertextual frames,
terdapat dua bingkai yang membantu pembaca
dalam membatasi pemaknaan sebuah teks.
‘Princess’ dapat dijadikan common frames,
sedangkan ‘snow white’ dan ‘pretty’ dijadikan
intertextual frames.
6. Ideological overcoding, proses penafsiran
melibatkan latar belakang ideologis walaupun
tanpa disadari.
Selain menguak eksistensi kode dan subkode,
pembaca juga harus memahamki keadaan ujaran
(circumstance of utterance) dalam sebuah teks.
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 21

Diagramnya dapat digambarkan sebagai berikut:

Kondisi Awal Teks Expression Linier Text Manifestation


Rancangan Intentional Extentional
Pemaknaan
Obyek Pemaknaan Codes & Subcodes Circumstance of
dan Eksplorasi Utterances
1. Basic Dictionary 1. Bracketed Extentions
2. Rules of co-refernce 2. Discursive structure
3. Contextual & (semantic disclosure)
Circumtancial 3. Narrative Structures
Langkah-Langkah 4. Rhetorical & 4. Actantial Structures
stylistic 5. Elementary ideological
Overcoding Structures
5. Common & 6. Forecast & nferential
intextual Walks
Frames 7. World structures
6. idoelogical
overcoding
Keadaan ujaran (circumstance of utterance) menjadi
penting untuk mengetahui informasi tentang matra
waktu, konteks sosial budaya dari suatu pesan, sifat-
sifat tindak tutur, dan lain sebagainya. Dalam diagram
di atas makan pembaca menaruh bracketed extention
(dalam kurung), apabila terdapat ketidaksesuaian
antara karakter dan teks dengan dunia real. Pada
wilayah discursif structures, pembaca akan dibantu oleh
textual operator (topik). Selain topik, yang membantu
pemahaman pembaca adalah isotopi, yakni kategori
semantik (komponen makna) yang dominan sehingga
memungkinkan pembacaan yangterarah pada suatu
teks. Isotopi akan menetukan motif-motif cerita dan
kemudian ke tema cerita sehingga pembaca akan
menemukan narrative structures cerita. Dalam narrative
structures terdapat dua istilah, yaitu fibula dan plot.
Term Fabula merujuk pada bahan cerita, logika
tindakan, atau sistaks karakter dalam teks. Adapun plot
merupakan alur dengan cerita segala pembalikan,
penyimpangan, dan lain-lain. Dalam konteks ini,
pembaca melakukan abstraksi serta mampu mencapai
actantial structures dari teks baru kemudian
22 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

menegaskan struktur ideologis yang diwakilkan teks.


Dalam langkah selanjutnya, pembaca membuat ramalan
(forecast) yang diharapkan serta kesimpulan pembaca
(misalnya, happy ending, sad ending). Level terakhir
yang akan dicapai oleh pembaca adalah menemukan
world structures dari teks seperti memilah struktur
aktual dari teks, membandingkan matra dunia teks
untuk menemukankebenaran tekstual dan kontekstual.

E. Teori Dusta
Semiotik yang dikemukakan oleh Umberto Eco,
bahwa semiotik pada prinsipnya adalah sebuah disiplin
yang mempelajari segala sesuatu yang dapat digunakan
untuk berdusta. “Bila sesuatu tidak dapat digunakan
untuk mengungkapkan dusta (lie), maka sebaliknya ia
tidak dapat pula digunakan untuk mengungkapkan
kebenaran (truth), pada kenyataannya tidak dpat
digunakan untuk “mengungkapkan” apa-apa definisi
sebagai sebuah teori kedustaan sudah sepantasnya
diterima sebagai sebuah program komprehensif untuk
semiotik umum (general semiotics). Kecendrungan
“dusta’ dalam semiologi dikenal sebagai hipersemiotik
Dari apa yang diungkapkan Eco tersebut, nampak
jelas sekali bahwa konsep dusta merupakan salah satu
tema sentral dalam wacana semiotik, sehingga dusta
sepertinya menjadi prinsip utama semiotik. Hal ini
dikarenakan semiotik sebagai satu bentuk representasi
pada dasarnya adalah sesuatu yang hadir namun
menunjukkan bahwa sesuatu di luar dirinyalah yang dia
coba hadirkan. Representasi tidak menunjuk pada
dirinya sendiri, namun kepada yang lain. Misalnya tanda
anjing (tulisan atau citra bunyi), ia tidak menunjuk pada
dirinya sendiri, melainkan ia menunjuk kepada apa yang
ia coba hadirkan, yaitu konsep ke-anjing-an. Anjing
sesungguhnya (objek) bisa saja dari jenis buldog, pudel,
atau herder.
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 23

Meskipun demikian, implisit dalam definisi Eco di


atas adalah bahwa bila semiotik adalah sebuah teori
kedustaan, maka ia sekaligus adalah teori kebenaran,
sebab bila sebuah tanda tidak dapat digunakan untuk
mengungkapkan kebenaran, maka ia tidak dapat pula
digunakan untuk mengungkapkan kedustaan. Dengan
demikian, meskipun Eco menjelaskan semiotik sebagai
teori kedustaan. Implisit di dalamnya adalah teori
kebenaran, seperti kata siang yang implisit dengan kata
malam (Yasraf, 2003:44-45). Tanda dusta adalah tanda
yang menggunakan penanda yang salah untuk
menjelaskan sebuah konsep, dengan demikian juga
salah. Tanda (A) digunakan untuk menjelaskan realitas
yang sesungguhnya adalah (B). Terdapat hubungan
asimetris antara tanda dan realitas. Tanda dapat
digunakan sebagai alat dusta. Tanda palsu dapat
berubah menjadi tanda menipu bila tanda yang
ditampilkan sama sekali tidak mengandung unsur
kebenaran di dalamnya sekecil apapun. Tanda dusta
sama sekali tidak mengandung kebenaran tersebut.
Artinya, seperti yang dikatakan Eco, ia adalah alat dusta
yang murni (Yasraf, 2003:56).
Makna kata dusta yang dikemukakan Eco
didefinisikan sebagai “mengatakan atau menulis
sesuatu yang anda tahu itu benar”, artinya, antara yang
dikatakan atau ditulis tidak sesuai dengan realitas yang
sesungguhnya. Terdapat hubungan tak simetris antara
tanda dan realitas. Dalam terminologi semiotik, terdapat
jurang yang dalam antara sebuah tanda dan
referensinya pada realitas. Konsep, isi, atau makna dari
apa dibicarakan atau ditulis tidak sesuai dengan realitas
yang dilukiskan.
Pada dasarnya semiotik berhubungan dengan segala
sesuatu yang dapat dianggap tanda. Tanda adalah
segala sesuatu yang dapat dianggap sebagai pengganti
sesuatu yang lain secara signifikan. Sesuatu yang lain
24 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

itu tidak harus ada atau benar-benar ada di suatu


tempat pada saat tanda menggantikannya. Sebab itu,
Eco mengajukan “teori dusta” sebagai dasar kajian
semiotik umum yang komprehensif, karena pada
prinsipnya semiotik adalah disiplin ilmu yang mengkaji
segala sesuatu yang dapat digunakan untuk mendustai,
mengelabui, atau mengecoh.
Sebagaimana disebut Eco, bahwa semiotik dapat
digunakan untuk berdusta, di samping untuk
mengungkap kebenaran. Sebagai ilustrasi masalah
tersebut, pembaca dapat melihatnya pada kasus
periklanan. Ambil saja satu contoh, yaitu iklan bir. Pada
salah satu iklan bir, ditampilkan (penandanya/signifier)
seorang pria dewasa sedang memegang segelas bir
dalam posisi hendak meminumnya, di belakang pria
tersebut berdiri seorang wanita yang tampak separuh
mukanya sehingga yang menonjol adalah bibirnya yang
dipoles lipstik warna merah. Wanita itu menggunakan
baju yang terbuka dadanya, sehingga menonjolkan
payudaranya. Pada bagian bawahnya ada teks yang
berbunyi “Angker Stout, Lebih Baik” serta “Bir Hitam
yang Memberi Lebih” .
Itulah yang ditampilkan pada iklan tersebut pada
tingkat denotatif. Akan tetapi bila dikaji lebih mendalam
(pada tingkat konotatif), tampilan payudara dan bibir
sebagai elemen penanda dari iklan ini memberikan
konotasi sensualitas. Posisi payudara itu persis di antara
gelas bir dan wajah pria sehingga ketiga elemen tadi
mempunyai relasi: pria (keperkasaan—bir—wanita
(sensualitas). Itulah konteks iklan tersebut. Berdasar
komposisi iklan itu, mempunyai konotasi yang kuat
tentang daya lebih seksualitas yang diberikan oleh bir
hitam. Akan tetapi apakah betul demikian? Bukankah
berdasar penelitian, bir sebaliknya justru lebih banyak
menggiring orang pada berbagai problem seksual,
masalah psikis, dan bahkan penyebab kematian. Jelas
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 25

yang ditawarkan iklan ini adalah informasi yang salah. Ia


merupakan distortion mirror of reality (Yasraf,
2003:281-282).
Berawal dari pendapat Eco tersebut, telah
menjadikan orang banyak tercengang yang secara
eksplisit menjelaskan betapa sentralnya konsep dusta di
dalam wacana semiotik, sehingga dusta tampaknya
menjadi prinsip utama dalam semiotik. Maksud Eco
dengan ungkapan itu bukanlah ia sedang bermain-main,
melainkan ia sedang konsentrasi menjelaskan sebuah
teori semiotik, seperti yang ia ungkapkan sebagai
berikut:

“Bila sesuatu tidak dapat digunakan untuk


mengungkapkan dusta, maka sebaliknya ia tidak dapat
pula digunakan untuk mengungkapkan suatu kebenaran,
ia pada kenyataannya tidak dapat digunakan untuk
mengungkapkan apap. Saya fikir definisi ini sebagai
sebuah teori kedustaan sudah sepantasnya diterima
sebagai sebuah program komprehensif untuk semiotik
umum (general semiotic).

Dalam pandangan Harvey Cox tentang Eco lewat


novel-novelnya cenderung lebih diwarnai dengan
refleksi keagamaan yang cukup intens, nyaris bertolak
belakang dengan suasana kehidupan masa lalu Eco
yang pernah mengaku telah kehilangan Iman. Dalam
pandangan Cox, Eco merupakan salah satu orang bijak
dewasa yang tidak tertarik pada penyangkalan
keberadaan orang-orang beriman namun dengan
sungguh-sungguh berusaha mencari iluminasi yang
berbeda dan dasar umum yang sama.

D. Konsep Warna Umberto Eco


Pendekatan yang dilakukan oleh Umberto Eco
terhadap semiotik salah satunya adalah pendekatan
tentang warna. Dalam hal ini bisa dikatakan bahwa
26 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

penjelasan tentang warna yang dilakukannya


merupakan contoh aplikasi semiotik. Eco menjelaskan
tentang warna tidak secara konkrit, atau dari sisi
seorang painter; akan tetapi ia melihatnya seolah-olah
dia adalah seorang yang buta warna. Ini sampai
dituliskan dalam sebuah novel The Island of the Day
Before, novel ketiga Umberto Eco yang semakin
mengukuhkan reputasi cendekiawan berkebangsaan
Italia itu sebagai salah satu penulis fiksi terbaik dunia.
Ceritanya berawal pada di sebuah malam yang
digantungi purnama di pertengahan tahun 1643, ketika
Roberto terbangun dan memergoki dirinya terapung di
sisi sebuah kapal kosong. Kisah Roberto tak saja
kembali memperlihatkan apa yang paling menyentuh
dalam diri manusia: harapan yang abadi untuk
membuat masuk akal segala hal muskil yang terjadi
pada dirinya, dengan cara yang sepintas lalu kadang tak
masuk akal. Novel yang dikisahkan dengan kesadaran
akan kemampuan narasi dan narator untuk memiuh
kebenaran itu kembali menegaskan keluasan minat
intelektual dan program ilmiah Eco yang terentang
beraneka warna. Salah satu warna pokok tersebut,
sejauh yang sanggup dipahami, bahwa seluruh
karyanya, fiksi dan nonfiksi, dengan satu dan lain cara
bergulat dengan bagaimana manusia mempersepsi
dunia dan membentuk makna dengan bantuan
kemampuan kognitif yang ditumbuhkan dari evolusi
biologisnya, dan sumber-sumber linguistik yang
ditumpuknya dari perjalanan sejarah dan
kebudayaannya.
Dalam tulisannya yang berjudul “How Culture
Conditions the Culture We See” bagian pertama ia
menjelaskan tentang warna dengan objek kajiannya
berupa interview antara Gellius dengan Fronto, seorang
penyair dan Favorinus, seorang filsuf. Percakapan itu,
menurut Eco merupakan sebuah puzzle dalam
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 27

lingkungan sosial. Meraeka memperbandingkan


persepsi mereka masing-masing mengenai warna.
Persepsi mereka masing-masing berbeda, akan tetapi
bukan karena mereka buta warna, melainkan mereka
masing-masing memiliki sudut pandang yang berbeda-
beda. Mereka memandangnya dari teks yang berbeda
dari abad yang berbeda pula. Dan ini menurut Eco
bukan lah dipandang dari segi psikologikal ataupun
aestetiknya, melainkan dari sisi kulturalnya dalam
sebuah sistem kebahasaan.
Dalam tulisannya juga, ia mengutip dari Arthur
Linksz, yaitu tentang warna yang dihubungkan dengan
kultur. Selain itu juga ia menghubungkannya dengan
aspek-aspek semantik, yaitu meaing dan reference. Di
mana keduanya ada dalam pengujaran konsep
warnanya. Pembedaan terhadap warna dapat
dilakukan dibawah kondisi laboratories. Sama halnya
dengan penelitian terhadap manusia yang dapat
dilakukan dengan berbagai macam pendekatan,
psikologi contohnya. Setiap manusia memiliki psikologi
yang berbeda-beda. Begiu juga cara mereka
memandang warna. Pada orang-orang Amerika
contohnya. Secara teoritis, mereka memiliki jarak
pandang yang berbeda. Selain itu juga, mereka dapat
membeda-bedakan berjuta-juta warna, antara 7,5 juta
sampai 10 juta warna. Terdapat juga perhitungan-
perhitungan tentang warna yang dilakukan dibawah
penelitian laboratorium. Berikut adalah data yang
diperoleh dari hasil penelitian tersebut:

Colour combination per cent


Red/white/blue 16.8
Red/white 9.5
Red/yellow/green 7.3
Red/white/green 6.6
Red/white/green/black 6.6
28 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

Blue/white 6.0
Red/yellow/blue 5.8

58.6
(Cobley, Paul, The Communication Theory Reader,
hal.168)

Itulah kombinasi warna yang dapat dideteksi dengan


penelitian laboratorium. Atas dasar itu, maka Umberto
Eco menyimpulkan bahwa penelitian laboratorium tidak
dapat mendeteksi semua jenis warna, dan ini sangat
mempengaruhi pemikiran Eco tentang bagaimana
warna dijadikan tanda dalam tradisi kehidupan manusia.
Akhirnya inilah yang dihasilkan oleh Umberto Eco
tentang bagaimana kultur mengkondisikan warna-
warna yang terlihat. Ini bergantung pada bagaimana
orang-orang meihatnya dari sudut pandangnya masing-
masing. Dengan kata lain interpretasi seseorang
tentang tanda akan berbeda-beda berdasarkan
pemikirannya juga. Yang terpenting adalah bagaimana
orang memberikan tanda terhadap apa yang dilihatnya
dan yang didengarnya.
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 29

SEMANALIS DAN SEMIOTIK


REVOLUSIONER JULIA KRISTEVA

A. Sketsa Biografi Julia Kristeva


Julia Kristeva dikenal sebagai seorang pemikir yang
berpengaruh dalam teori semiotik aliran postrukturalis.
Ia dikenal sebagai seorang linguis dan ahli semiotik
dengan reputasi yang briliant, terlebih ketika bergabung
dengan kelompok Tel Quel di Paris pada akhir 1960-an.
Ia merupakan salah satu dari tiga pemikir Prancis yang
banyak dipengaruhi oleh psikoanalisis Lacanian,
terutama pandangannya tentang subjektivitas,
seksualitas, bahasa, dan hasrat. Dua pemikir lainnya
yaitu Helena Cixous, dan Luce Irigaray. Feminist yang
lahir Bulgaria tahun 1941 ini, melalui semiotik
revolusionernya mengembangkan kemungkinan bentuk-
bentuk pelanggaran, subversi, dan kreativitas antisosial
dalam bahasa. Melalui analisis psikoanalis kritis, ia
memokuskan analisisnya tentang feminitas dan selalu
menaruh segala minat melalui sifat bahasa dan segala
manifestasinya. Karenanya, aliran semiotiknya disebut
dengan semiotik revolusioner karena semiotiknya
mencoba merobah pandangan dunia yang bersifat
patriarkis ke arah keseimbangan antara simbolisme
maskulin dan feminin secara radikal.
Alirannya juga disebut semiotik ekspansi karena
berusaha memadukan semiotik linguistik dengan
konsep psikoanalisis dan sosiologi. Ia dianggap sebagai
pencetus munculnya semiotik ekspansif (Van Zoest,
1993:4), dengan cirri-ciri adanya sasaran akhir untuk
30 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

kelak mengambil alih kedudukan filsafat atau ilmu total


baru. Dalam penelitiannya, tanda menjadi kehilangan
tempat sentralnya yang berubah dan diganti dengan
pengertian produksi arti. Penelitian yang menilai tanda
terlalu statis, terlalu nonhistoris, dan terlalu
reduksionistis, diganti oleh penelitian praktik arti. Para
ahli semiotik jenis ini, tanpa merasa keliru dalam bidang
metodologi, mencampurkan analisis mereka dengan
pengertian-pengertian dari dua aliran heurmeneutika
yang sukses pada zaman itu yakni psikoanalisis dan
Marxisme.
Model umum dari prinsip-prinsip penandaan Kristeva
berasal dari atau banyak dipengaruhi oleh psikoanalisis-
struktural jaques lacan yang mengintegrasikan analisis
Freudian dan semiologi struktural. Diklaim bahwa
konsep-konsep yang dibangun oleh Julia Kristeva berada
di bawa interilluminating konsep-konsep psikoanalisis
Lacanian. Secara umum karakteristik Lacanisme dalam
pemikiran Kristeva adalah;
a. terbiasa dengan karya-karya Sigmund Freud yang
menyeruak di antara penggerak-penggerak pra-
Oedipal dan seksual Oedipal serta memiliki
pengetahuan teori lacanian yang luas.
b. menerima anti humanisme lacan, komitmen pada
peran-peran penting bahasa dalam kehidupan
psikis dan pemahaman tentang posisi yang pasti
bersifat seksual yang diausmsikan subjek dalam
dunia symbol.
c. memfokuskan diri pada pola hubungan yang
kabur dalam karya-karya Freud dan Lacan
d. menerima kekuatan kuna pradedipal, yang
walaupun ditindas tetap dipertahankan secara
permanen dan utuh
e. menerima status menyimpang dorongan libidinal
yang polimorf dan cair.
Semua karekteristik teori Kristeva tersebut berasal
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 31

dari jaring-jaring metodologis dan konseptual


psikoalnalisis Lacan dan konsep tataran simbolik serta
subjek Lacan untuk membangun teori politik
penandaan. Dengan kata lain, Kristeva melihat landasan
ideologis dan filosofis linguistik modern pada dasarnya
bersifat otoritarian dan menindas. Ia mengontrol
beragam proses-proses semiosis yang bagaimanapun
bersifat rapuh dan bisa rusak atau pudar pada momen-
momen penting historis, linguistik dan psikologik
tertentu. Hasilnya adalah teks yang bisa dipahami
(understandable text) yang lahir dari pergolakan norma-
norma halus. Semiotik jadinya meluapi batas- batas teks
tersebut dalam momen-momen istimewa yang khas
Kristeva, yakni tiga serangkai kekuatan subversif:
kegilaan kekudusan dan puisi. Karya-karya Kristeva
mengenai bahasa, subjektivitas, dan seksualitas yang
secara khusus dilandasi oleh psikoanalisis Lacanian ini
telah menjadi bahan perdebatan di kalangan feminis
kontemporer.
Profesor di bidang linguistik pada Universitas Paris
VIII yang sekaligus seorang psikoanalisian ini mulai
merenungkan sifat feminitas (yang dilihatnya sebagai
sumber yang tak bernama dan tak terungkapkan). ia
selalu menaruh minat pada sifat bahasa dan
manifestasinya. Ia bahkan telah menunjukan minatnya
pada tahun 1990 dengan menerbitkan salah satu
karyanya yang berjudul Les Samourais. Buku terakhir ini
merupakan sebuah roman a cle, yang menurut Lechte
(2001:220-225) merupakan roman yang berisi suatu
pembongkaran pada kehidupan dan cinta kaum avant-
garde intelektual di Paris. Selain dari itu, Lechte melihat
pergulatan Kristeva dalam hubungan antara bahasa dan
pentingnya bahasa bagi pembentukan suatu subjek
telah mendorngnya untuk mulai mengembangkan teori
tentang semiotik seperti pada tesis doktornya tahun
1974 dengan judul; La revolution du langage poetique
32 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

(Revolusi dalam Bahasa Puisi). Yang isinya membahas


tentang pembedaan semiotik “konvensional” dengan
yang “simbolik”-lingkungan representasi, imaji, dan
semua bentuk bahasa yang sepenuhnya terartikulasi.
Kristeva mengawalinya dengan mendesain sebuah
sains tentang teks yang disebutnya semanalisis.
Ancangan semanalisis ini dimaksudkan untuk membuka
kemungkinan bentuk-bentuk avant-garde dan subversif
dalam bahasa. Semanalisis dibangun di atas konsep
“dialogis”-nya Bakhtin. Karenanya, Kristeva menjadi
seorang teoritis bahasa dan sastra dengan konsepnya
yang khas yaitu “semanalisis” adalah sebuah
pendekatan terhadap bahasa sebagai suatu proses
penandaan (signifying process) yang heterogen dan
terletak pada subjek-subjek yang berbicara (speaking
subjects). Menurutnya, semanalisis berbeda dengan
“semiotik sistem-sistem” yang melakukan deskripsi
sistematis terhadap kendala-kendala social dan simbolik
di setiap praktik penandaan. Titik berangkat semanalisis
adalah suatu teori makna yang niscaya menyesuaikan
dirinya dengan teori temntang subjek yang berbicara.
Semanalisis mengkaji strategi-strategi bahasa yang
khas, ia merupakan pengkajian terhadap bahasa
sebagai wacana yang spesifik, bukan sebagai sistem
(langue) yang berlaku umum. Sebagai suatu teori
tekstual yang tidak berorientasi pada sistem,
semanalisis mendekati dan memahami makna secara
kontekstual, menganggap bahwa pengkajian teks
beserta dengan konteksnya masing-masing adalah
sama pentingnya (Kris Budiman, 1999:106). Semanalisis
memahami makna bukan lagi sebagai tanda, melainkan
sebagai proses penandaan yang memperlihatkan
pelepasan dan artikulasi lebih lanjut dari “drives” yang
dikendalai oleh kode sosial dan belum tereduksi ke
dalam sistem bahasa .
Senada dengan Derrida, Kristeva melihat bahwa
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 33

semiotik struktural merupakan satu wacana yang hanya


menawarkan makna tunggal dan stabil, sebab dalam
proses produksi tanda atau pertandaan; semiotik
struktural, menurut Kristeva, menolak kehadiran subyek
sebagai ‘agen perubahan’ dalam bahasa. Semiotik
struktural—Saussure—cenderung ingin
mempertahankan stabilitas dalam bahasa. Sebaliknya
apa yang diinginkan Kristeve adalah ‘revolusi’ dan
‘pembaharuan’. Semanalisis yang diancangnya
mengarah pada ‘semiotik revolusioner’ sebagai suatu
wacana “pengguncangan’ atau ‘dekonstruksi’
(penghancuran) identitas-identitas makna transenden.
Melalui semiotik revolusionernya, Kristeva mengingkan
penciptaan semacam ‘krisis’ dan ‘pengguncangan’
segala sesuatu yang telah melembaga secara sosial,
dan menolak kemantapan atas makna dan identitas
tersebut.
Teks, dalam wacana Kristeva merupakan objek riset
semiotik. Lebih lanjut Kristeva mendefinisikan teks
sebagai alat translinguistik yang mendistribusikan
kembali aturan-aturan bahasa berkaitan dengan parole
komunikatif yang mengarahkan secara langsung
informasi pada tipe yang berbeda dengan ungkapan
sinkronik sebelumnya. Teks, dengan demikian,
merupakan sebuah produktivitas yang berarti berkaitan
dengan bahasa yang kondisinya diredistribusikan
(destructivo-constructivo atau perusakan konstruksi
bahasa) dan merupakan perubahan teks itu sendiri atau
sebuah intertekstualitas yang dalam satu teks selalu
berkaitan dengan teks lainnya untuk saling mengisi.
Maka teks dengan bahasa sebagai sistem adalah
bertentangan dalam hubungan dialektik. Dalam hal ini
teks terlihat sebagai transformasi revolusioner terhadap
sistem bahasa.
Jadi, apa yang dilihat Kristeva dalam sebuah teks,
tidaklah sesederhana relasi-relasi antara “bentuk” dan
34 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

“makna” atau relasi “penanda” (sifnifier) dan “petanda”


(signified), sebagaimana yang dipertahankan oleh
semiotik konvensional. Sebaliknya, Kristeva melihat
pentingnya dimensi ruang dan waktu dalam analisis
teks. Sebuah teks atau karya seni dibuat di dalam ruang
dan waktu yang konkrit. Oleh sebab itu, mesti ada
relasi-relasi antara satu teks atau karya dengan teks
atau karya lainnya dalam ruang, dan antara satu teks
atau karya seni dengan teks atau karya seni di dalam
garis waktu. Singkatnya, Kristeva melihat bahwa satu
teks atau karya seni tidak berdiri sendiri, tidak
mempunyai ‘landasan’ atau kriteria dalam dirinya
sendiri—atau dengan kata lain teks atau karya itu tidak
otonom.
Model semiotik revolusioner Kristeva, secara singkat,
didasarkan pada pembedaan di antara dua model
pemahaman dalam wacana bahasa, yaitu 1) signifikasi,
yakni pemaknaan tempat makna-makna dilembagakan
dan dikontrol secara sosial lewat konvensi—serupa
dengan apa yang dikonstruk oleh kaum strukturalis, dan
2) signifiance, yakni pemaknaan yang menghasilkan
makna-makna yang subversif dan kreatif, suatu proses
penciptaan yang tanpa batas dan tak terbatas; proses
penyaluran kapasitas-kapasitas subyektifitas pada diri
manusia melalui ungkapan bahasa. Signifiance
merupakan pergalian batas terjauh dari kapasitas
subjek, sekaligus pembongkaran batas terjauh konvensi
sosial dalam satu komunitas bahasa (Yasraf, 2002a:5).
Dikotomi semiotik antara signifikasi dan signifiance,
sekaligus menggambarkan dikotomi antara langue dan
parole, dan pada tingkat filosofis antara paham
idealisme dan materialisme. Ada kecendrungan di
antara pada wacana bahasa di Barat untuk melihat
dikotomi ini seperti multiple-choice, yakni pilihan-pilihan
terkutubkan secara ekstrim. Misalnya, untuk membuka
keratifitas dan produktivitas dalam bahasa, maka segala
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 35

bentuk konvensi dan kode-kode sosial ‘dapat’ atau


bahkan ‘dicurigai’, ‘diabaikan’, dan ‘didekontruksi’,
sehingga berkembanglah produksi tanda yang anarkis.

B. Teks Sebagai Praktek Penandaan dan


Produktivitas
Dalam perumusan teorinya, Kristeva bertolak dari
teks itu sendiri. Menurutnya, teks merupakan alat
kebahasaan yang mempunyai dua sifat, yakni 1) ia
meredistribusi aturan gramatikal kata-kata sesuai
dengan tujuannya, 2) pemaknaan yang bersifat
intelektual dan oleh karenanya bersifat plural. Dengan
demikian, teks bersifat produktif, sehingga teks tidak
lagi sekedar mengungkapkan realitas, tetapi
mentransformasikan realitas itu sendiri. Akibatnya,
“realitas teks” berbeda dengan realitas di luar teks. Ini
sesuai dengan prinsip yang dikemukakan oleh Lacan,
bahwa akhir bahasa itu sendiri membangun realitas.
Lacan mengemukakan bahwa manusia sebenarnya
sudah terpenjara oleh bahasa (Benny H. Hoed,
2003:18).
Kristeva menolak pandangan bahwa pemahaman
tekstual antara penerima pesan dan pemberi pesan
dihubungkan oleh model komunikasi yang sederhana,
seperti yang dirumuskan Roman Jakobson. Bahkan
Kristeva menganalisis teks sebagai proses pergantian
sosial. Kristeva memang tertarik pada analisis teks
sebagai aktivitas generatif, yang disebutnya sebagai
praktek penandaan dan produktivitas (signifying
practice and productivity). Pemaknaan, apalagi dalam
sastra, bersifat plural; artinya tidak ada makna tunggal
dalam setiap teks tertulis maupun lisan. Pemaknaan
plural diakibatkan oleh antara lain adanya hubungan
dan proses intertekstualitas, yakni kaitan antara satu
teks dengan teks lain yang mempengaruhi pemaknaan
oleh pembaca. Sebuah teks sastra memiliki makna yang
36 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

berlapis-lapis. Dengan demikian dalam komunikasi


terjadi proses produktif, yakni sebuah prose pemaknaan
oleh setiap penerima teks yang bertolak dari teks itu
sendiri dan bukan hanya sekedar pertukaran pesan.
Aktivitas pemahaman sebuah teks dari pembaca,
biasanya berangkat dari penguasaan term-term kunci.
Kristeva menyebut term-term kunci ini dengan
sebutan anagram. Term anagram ini, mulanya
dipergunakan oleh de Saussure untuk menyebut sebuah
‘teknik untuk menyembunyikan nama-diri penyair di
dalam bait-bait sajaknya’. Berdasarkan inspirasi dari
Saussure ini, Kristeva menemukan sebuah teori yang
menekankan materialitas teks (Kris Budiman, 1999:6).
Praktek penandaan dijelaskan sebagai aktivitas subjek
yang plural (plural subject) berdasarkan pada dialektika
yang kontradiksi. Ketentuan aktivitas ini akan jelas
secara partikular dalam pandangan objek tertentu
seperti sastra yang oleh Kristeva dikarakteristikan
sebagai yang “plural”, atau kadang-kadang disebut
plurallinguistic (bahasa yang plural), atau seringkali
polyphonic (banyak suara) dan sebagai yang
“menghadirkan potensial tak terbatas”. Dengan konsep
produktivitas teks, Kristeva ingin memfokuskan pada
“dinamika produksi yang melebihi produk yang aktual”.
Produksi ini terlihat sebagai proses kerja; jadi tidak
seperti dalam pemikiran Karl Marx yang lebih banyak
memperhatikan pada produk dalam pertukaran sosial;
dan juga tidak seperti pemikiran Sigmund Freud yang
mengakselerasikan cara kerja tak sadar (mimpi). Freud
menyatakan bahwa produksi hanya sebagai proses
bukan sebagai pertukaran (atau penggunaan) atau
makna tetapi permainan perubahan sepenuhnya, yang
menyediakan model terbaru untuk produksi. Freud
dengan demikian membuka problematika karya atau
teks sebagai sistem semiotik secara partikular, sebagai
perbedaan dari pertukaran.
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 37

Bagi Kristeva, teks merupakan suatu ruang yang di


dalamnya huruf-huruf dapat digolongkan secara
berbeda untuk menghasilkan aneka pola tersembunyi.
Hal ini sudah tentu dapat memberikan peluang bagi
sebuah teknik interpretasi. Apabila seorang pembaca
menemukan pola-pola term-term kunci (anagram) yang
memperkaya pembacaannya, maka dia pun telah
menguasai seuatu prosedur interpretasi yang kuat. Pada
tataran yang sifatnya tekstual, semiotik simbolik
berkorespondensi dengan apa yang disebut sebagai
“genoteks” (genotexte) dan “fenoteks” (phenotexte).
Menurut Kristeva, genoteks itu “bukan linguistik, ia
hanya suatu proses”; sedangkan “fenoteks” sesuai
dengan bahasa komunikasi.
Fenoteks adalah apa yang terbaca (terdengar) di
permukaan, sedangkan genoteks adalah apa yang
terdapat di bawah permukaan. Proses pemaknaan justru
terjadi di bawah permukaan, yaitu genoteks. Dalam
genoteks, pembaca tidak melihat sesuatu yang
terstruktur atau menstruktur, sehingga memberikan
kemungkinan pemaknaan yang tidak terhingga. Teks
seolah-olah ‘dirusak’ atau ‘dimusnahkan’ pada tataran
genoteks untuk menjadi ‘teks baru’. Dalam arti yang
lebih luas genoteks adalah teks yang mempunyai
kemungkinan tak terbatas, yang menjadi substratum
bagi teks-teks aktual. Genoteks dapat pula dianggap
sebagai suatu sarana yang membuat seluruh evaluasi
historis bahasa dan aneka praktik penandaan. Seluruh
kemungkinan yang dimiliki pada waktu masa lampau,
sekarang, dan masa yang akan datang--sebelum
tertimbun dan tenggelam di dalam fenoteks-- tercakup
di dalamnya (Kris Budiman, 1999:41).
Sedangkan fenoteks adalah teks aktual yang
bersumber dari genoteks. Fenoteks meliputi seluruh
fenomena dan ciri-ciri yang dimiliki oleh sturktur
bahasa, kaidah-kaidah genre, bentuk melismatik yang
38 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

terkode, idiolek pengarang, dan gaya interpretasi.


Singkatnya segala sesuatu di dalam performansi bahasa
yang berfungsi untuk komunikasi, representasi dan
ekspresi; segala sesuatu yang dapat diperbincangkan,
yang membentuk rangkaian nilai-nilai budaya, yang
secara langsung berhubungan dengan alibi-alibi
ideologis di suatu zaman (Budiman 1999a:35). Namun
demikian, kedua koresponden tersebut baik genoteks
dan fenoteks tidak bisa berdiri sendiri, mereka selalu
ada bersama dalam suatu proses yang menurut Kristeva
adalah sebagai proses penandaan.
Salah satu ciri yang sangat menonjol lainnya pada
karya Kristeva adalah keinginannya untuk melakukan
analisis pada yang tidak bisa dianalisis; yang tak bisa
diungkapkan, yang heterogen, hal lain yang bersifat
radikal pada kehidupan individu dan cultural. Meskipun
ini bisa membuka jalan pada hal yang berbau
mistisisme, Kristeva menunjukkan minat yang sama
kepada penerapan simbolik terhadap lingkup yang tak
teranalisis ini. Kristeva melihat bahwa dalam sejarah
sistem-sistem pembentukan tanda, khususnya dalam
seni, agama, dan ritual, di sana acapkali muncul jika
seseorang melakukan retrospeksi fenomena terpisah-
pisah yang tertahan dalam latar belakang sistem-sistem
penandaan komunal atau paling tidak yang secara
sangat cepat berintegrasi ke dalamnya untuk
menunjukkan proses sangat penting dari proses
pembentukan tanda atau signifikasi. Dalam hal ini ia
beranggapan bahwa wacana seperti magis,
shamanisme, esoterisme, karnaval dan puisi (seni)
“yang sukar dipahami” (incomprehensible), sebagai
upaya untuk menggarisbawahi batas-batas wacana
yang bisa berguna secara social sekaligus
memperlihatkan dengan jelas represi-represi apa yang
terkandung di dalamnya; sebuah proses yang
melampaui subjek berikut struktur-struktur
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 39

komuniatifnya. Subjek dalam hal ini adalah subjek yang


tidak berdiri sendiri sebagai subjek yang statis yang
hanya berada dalam satu bentuk imajiner saja.
Sehingga dalam proses menjawab persoalan yang
berkaitan dengan perubahan sosial, perubahan sosial-
ekonomi bahkan terhadap revolusi, Kristeva
mengetengahkan sebuah distingsi antara apa yang
disebut dengan semiotik dan simbolik tadi. Dalam
pandangan Kristeva, kedua elemen itulah
mengkomposisikan seluruh peristiwa penandaan.
Elemen semiotik adalah pengerak-penggerak jasmaniah
atau apa yang bersifat menubuh yang berlangsung
dalam signifikasi yang berhubungan dengan ritme,
nada, dan dimensi gerak dari praktik-praktik
penandaan. Sedangkan elemen simbolik berhubungan
dengan tatabahasa dan sturktur signifikasi. Ia adalah
apa yang membuat rujukan (reference) menjadi
mungkin. Dalam mencermati hal ini Kristeva
memberikan contoh bahwa kata-kata memiliki makna-
makan rujukan (referential meaning) oleh karena
struktur simbolik bahasa. Pada sisi lain, kata-kata
menberi makna hidup (life meaning) atau makna non-
referensial oleh karena kandungan semiotiknya .

C. Intertekstualitas
Kristeva juga merupakan seorang pemikir
postrukturalis Prancis yang pertama kali
memperkenalkan istilah intertekstual (intertekstuality).
Istilah intertekstualitas (intertextuality) yang pertama
kali diperkenalkan oleh Kristeva tersebut di dalam
karyanya Revolution in Poetic Language (1974) dan
Desire in Language: A Semiotic Approach to Literature
and Art (1979). Dalam kedua buku ini Kristeva
membawa term intertekstualitas sebagai satu konsep
kunci dari paham poststrukturalisme, yang sekaligus
menantang model berfikir struktur, sinkronik, dan
40 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

bersistem dari paham strukturalis yang dipelopori oleh


Saussure. Kristeva menjadikan semiotik struktural
Saussure sebagai objek subversi dan pembongkaran.
Menurutnya semiotik Saussurean sebagai satu wacana
yang hanya menawarkan makan tungggal, hal ini
disebabkan di dalam menjelajahi ruang
epistemologinya, menolak hadirnya subjek sebagai agen
perubahan dan subversi bahasa (Yasraf, 1999:269).
Berdasar pada konsep dialog dialogisme Mikhail
Bakhtin, Kristeva menggunakan istilah intertekstualitas
untuk menjelaskan saling ketergantungan suatu teks
dengan teks-teks sebelumnya.
Menurut Kristeva, prinsip yang paling mendasar dari
intertekstualitas adalah bahwa setiap teks mengacu
kepada teks-teks yang lain atau intertekstualitas dapat
dirumuskan secara sederhana sebagai hubungan antara
sebuah teks tertentu dengan teks-teks lain. Gerakan
intertekstualitas ini tanpa batas, sejajar dengan proses
semiosis yang juga tak berujung pangkal. Bagi Kristeva
sebuah teks (dalam pengertian yang umum) bukanlah
sebuah fenomena kebudayaan yang berdiri sendiri dan
bersifat otonom. Kristeva menegaskan, “Setiap teks
memperoleh bentuknya sebagai mosaik kutipan-
kutipan, setiap teks merupakan rembesan dan
transformasi dari teks-teks lain.” Sebuah karya hanya
dapat dibaca dalam kaitannya dengan atau dalam
pertentangannya terhadap teks-teks lain yang menjadi
resapannya. Melalui inilah seseorang beserta harapan-
harapannya, dapat membaca dan menstrukturkan teks,
menemukan ciri-ciri yang menonjol di dalam sebuah
teks dan memberikannya sebuah struktur. Kristeva,
sebuah teks hanya dapat eksis apabila, “Di dalam ruang
teks tersebut, keaneka ragaman ungkapan-ungkapan
yang diambil dari teks-teks lain. Saling menyilang dan
saling menetralisir satu sama lain.”
Dalam modelnya, Kristeva menjelaskan bahwa
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 41

semua teks dan produk budaya merupakan hasil proses


dialektis. Interaksi antara dua kekuatan historis yang
saling mengubah kekuatan yang pertama adalah
tatacara setempat, pembentukan sistem yang
teregulasi, atau kesatuan yaitu simbolik. Di balik dan
yang mensubversi simbolik adalah semiotik yaitu
gerakan menerobos yang menghancurkan kesatuan.
Ketika terjadi keterputusan kontrol, renovasi dan
revolusi (menurut Kristeva sebagai ledakan simptomatik
garda depan) tatanan simbolik tidak lagi sanggup
mengerahkan energi semiotik ke saluran-saluran social
yang telah dikodekan. Energi semiotik yang subversif ini
meluap melewati batas-batas garis batas simbolik yang
dapat ditoleransi. Cepat atau lambat penyebaran ini
bergantung pada besar kecilnya ancaman yang
ditimbulkan semiotic akan dikodekan kembali, di susun
kembali menjadi sistem simbolik yang baru. Dengan
kata lain, peristiwa yang saling mendasar dari
intertekstualitas adalah bahwa seperti halnya tanda-
tanda mengacu kepada teks-teks yang lain, setiap teks
mengacu kepada yang lain.
Konsep ruang dalam intertekstualitasnya, Kristeva
dengan konsep yang sama milik Barthes dalam Matinya
Sang Pengarang dan Derrida dalam dekonstruksi
memiliki keterkaitan yang kuat. Jika Barthes
mengemukakan bahwa pembaca (dalam hal ini
pikirannya) adalah ruang tempat berinteraksinya
kutipan-kutipan, maka Kristeva mengatakan bahwa teks
atau karya merupakan ruang tempat saling
menyilaukannya kutipan tersebut. Sedang Derrida
menggunakan konsep dan ruang yang serupa, meskipun
dalam konteks yang berbeda.
Kristeva mengelaborasi konsep intertekstualitas ini
dalam pengaruh Bakhtin yang mendeskripsikan bahwa
teks sastra sebagai mosaik kutipan yang beragam,
bentukan struktur yang dialogis dan polyphonous.
42 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

Menurutnya, salah satu faktor yang menentukan


tekstual polyphony adalah karena adanya
intertekstualitas. Lagi-lagi Kristeva mengambil insprirasi
dari konsep dialogisme Bakhtin, yang di dalam beberapa
karyanya mengkritik strategi inteletual dan pendekatan
Formalisme dalam seni—baik Formalisme Rusia maupun
Formalisme Eropa, yang dianggap tidak mempunyai
‘landasan’ sosial yang memadai (ideologi, mitos, kode
sosial) kecuali penampakan formal teks atau karya itu
sendiri. Makna dari suatu teks atau karya terletak pada
relasi-relasi yang internal di dalam teks atau karya itu
sendiri bukan relasi-relasi pertandaan yang eksternal,
bahkan juga bukan pencaran ‘jiwa’ atau ‘suara’ sang
seniman sendiri. Bakhtin menjelaskan hal ini di dalam
bukunya yang ditulis bersama M.M. Medvedev, The
Formal in Literary Scholarship (1928). Bagi Bakhtin,
dialogisme merupakan jalan keluar dari keterasingan
teks atau karya dari masyarakat, jalan keluar dari
sifatnya yang otonom dan referensi-diri. Upaya yang
serupa dilakukan avant-garde terhadap modernisme
tinggi, meskipun tidak menghasilkan hasil yang
diidealkan.
Sebagai sebuah proses linguistik dan proses
diskursif, Kristeva menguraikan intertekstualitas sebagai
pelintasan dari satu sistem tanda (sign sistem) ke
sistem tanda lainnya. Kristeva menggunakan istilah
transposition (transposisi) untuk menjelaskan pelintasan
ini, yang di sepanjang pelintasan ini, satu (atau
beberapa) sistem tanda digunakan untuk ‘merusak’
(destruct) satu (atau beberapa) sistem tanda
sebelumnya. Perusakan ini, misalnya, dapat berupa
penghapusan bagian dari sistem yang menjadi
referensi, dan menggantinya dengan satu sistem tanda
yang baru, sebagaimana halnya dengan teks allegoris.
Perusakan bisa juga dengan semata menghapus,
mencoret, atau menyilang bagian dari sistem tanda teks
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 43

referensi, sebagaimana umumnya dengan teks


dekosntruksi.
Dalam bentuknya yang lebih bernuansa politis,
perusakan dapat dilakukan dengan cara mendistorsi,
merubah, atau mempermainkan tanda dari teks parodi.
Perusakan sistem tanda secara fisik dari teks referensi,
dapat diartikan juga sebagai perusakan makna teks
tersebut. Dengan merusak makna teks asli, sebuah teks
dapat menghasilkan makna baru, atau bisa menjadi
transparan—tak bermakna apa-apa. Dalam proses
transposisi menuju satu sistem pertandaan baru,
menurut Kristeva, sistem pertandaan referensi dan
sistem pertandaan baru bisa saja menggunakan
material yang sama; atau di lain pihak material tersebut
dapat dipinjam dari sumber-sumber yang berbeda.
Misalnya, sebuah karya tulis dapat meminjam material
dari kisah dongeng, atau seni patung dapat meminjam
material pertandaan dari aristektur, dan sebagainya.
Akan tetapi, perlintasan dari satu sistem ke sistem
lainnya bisa saja untuk tujuan bukan perusakan akan
tetapi penghargaan dan nostalgia. Satu sistem atau teks
referensi diapresiasi, dilestarikan, atau diterjemahkan
ke dalam konteks kebudayaan kontemporer.
Model penggalian sistem tanda masa lalu untuk
tujuan nostalgia ini dapat dilihat pada teks-teks pastiche
pada umumnya. Sebagai satu strategi intelektual,
penggunaan konsep intertekstualitas oleh Kristeva
memang tampak sejajar dengan konsep antropologis,
bricolage yang diperkenalkan oleh Levi Strauss di dalam
The Savage Mind (1979). Bricolage menurut Lavi Strauss
adalah satu strategi intelektual atau proses berkarya
dengan membangun sesuatu dari material yang ada di
hadapan. Material tersebut, dalam hal ini, dapat
diinterpretasikan sebagai material dalam pengertian
fisik atau ide, konsep, atau gaya. Bricolage, dengan
demikian, juga satu pelintasan dari satu sistem ke
44 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

sistem tanda lainnya, kalau dilihat secara konseptual.


Baik intertekstualitas dan bricolage merupakan dua
konsep atau strategi intelektual kunci dalam
postmodernisme, meskipun beberapa pemikir
menggunakan istilah-istilah lain untuk menerangkan
hakikat yang sama.
Charles Jencks (1986:20), sebagai contoh,
menggunakan istilah double coding (pengkodean
ganda) dan eklektisisme (eclecticism) untuk
menerangkan hakikat karya psotmodernisme. Istilah
double coding, pada dasarnya digunakan oleh Jencks
untuk menerangkan proses dialogisme sebagaimana
yang dimaksudkan Bakhtin, yaitu dialog antara teknik-
teknik modern dan kode-kode kebudayaan masa lalu,
dan juga dialog antara elit/populer atau baru/lama.
Jencks (1986:14), dalam hal ini, mendefinisikan post-
modernisme (dalam arsitektur) sebagai “kombinasi
teksnik-teknik modern dengansesuatu yang lain
(biasanya bangunan tradisional) agar arsitektur dapat
berkomunikasi dengan publik dan minoritas yang
terkait, biasanya arsitek yang lain”. Dalam pengertian
intertekstualitas dan dialogisme yang sama, Frederic
Jameson (1991:20) melihat para seniman atau
pengarang postmodernis sebagai operator dari konotasi
baru ke masa-laluan. Mereka mengoperasikan sejarah
gaya dan idiom-idiom estetik dengan cara dan
pendekatan baru, untuk menggantikan sejarah yang
nyata.
Kristeva mengenai pemikirannya dengan karya seni
menyebut bahwa bahasa puitik merupakan sebagai
produk dari signifiance, yang dikatakannya merupakan
satu-satunya bahasa yang dapat menghasilkan revolusi.
Menurutnya bahasa puitik adalah bahasa yang melalui
kekhususan operasi pertandaannya, merupakan satu
proses pengguncangan (penghancuran) identitas
makna-makna dan transendensi termasuk di dalamnya
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 45

subversi terhadap kecenderungan agama. Yang dicari


dalam proses pertandaan bahasa puitik bukanlah
kepaduan dan kemantapan identitas dan makna,
melainkan penciptaan krisis-krisis dan proses
pengguncangan segala sesuatu yang telah melembaga
secara sosial. Bahasa puitik menghasilkan tidak saja
penjelajahan estetik yang baru, namun juga efek-efek
kehampaan makna melalui penghancuran, tidak saja
kepercayaan dan penandaan yang sudah melembaga,
tetapi dalam tata bahasa sendiri.
Perusakan sistem secara fisik dan teks referensi,
dapat diartikan juga sebagai perusakan makna yang
asli, di mana sebuah teks dapat menghasilkan makna
baru, atau bisa juga menjadi transparan (tak bermakna
apa-apa). Dalam proses transposisinya menuju sistem
peretandaan referensi dan sistem pertandaan baru bisa
saja menggunakan material yang sama atau dipihak lain
material tersebut dapat dipinjam dari sumber-sumber
yang berbeda. Sebagai contoh sebuah karya sastra tulis
dapat meminjamkan material pertandaan dari kisah
dongeng dan seni patung dapat meminjamkan material
pertandaan dari arsitektur dan sebagainya. Namun
demikian, perlintasan dari sistem tanda ke sistem
lainnya dapat saja bukan bertujuan untuk perusakan
akan tetapi penghargaan dan nostalgia umpamanya.
Sistem tanda atau teks referensi diapresiasikan dan
ditransliterasikan ke dalam konteks kebudayaan yang
sifatnya kontemporer. Model penggalian sistem tanda
masa lalu untuk tujuan nostalgia ini dapat dilihat pada
teks-teks praktik. Sebagai satu strategi intelektual
penggunaan konsep intertekstualitas oleh Kristeva
disejajarkan dengan konsep antropologis Levi (Strauss
Bricolagi). Menurut Levi Strauss adalah satu starategi
intelektual atau proses berkarya dengan membangun
sesuatu dari material yang ada di tangan. Material yang
dimaksud Levi di sini dapat berasal dari sisa-sisa
46 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

material dari proses membangun sebelumnya material


tersebut. dalam hal ini dapat diinterpretasikan sebagai
material dalam pengertian fisik atau mayterial dalam
pengertian gaya atau idenya. Dengan demikian
Bricolage juga merupakan suatu perlintasan dari suatu
sistem ke sistem tanda lainnya, bila dilihat secara
konseptual. Baik intertekstualitas dan Bricolagi (Levi-
Strauss) merupakan dua buah konsep (strategi
intelektual atau kunci) dalam faham posmodernisme,
meskipun beberapa pemikir menggunakan istilah lain
untuk menerangkan hakikat yang sama.
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 47

SEMIOTIK NARASI FORMALIS


TZVETAN TODOROV

A. Serpihan Identitas Diri Todorov


Todorov terlahir di Bulgaria, sebuah kota yang sama
dengan tempat kelahiran Julia Kristeva. Ia datang ke
Paris pada tahun 1963. Setelah menyelesaikan sarjana
tingkat pertamanya dan dengan rekomendasi yang
diperolehnya dari universitas Sofia, ia kemudian hijrah
ke Paris. Di sinilah ia mengalami pergulatan pertama
Todorov dengan karakter dan lingkungan konservatif
Universitas Sorbone pra-1968. Hal ini berlangsung saat
ia melamar untuk melakukan penelitian tentang teori
sastra di fakultas sastra di universitas ini. Dekan
fakultas tersebut menanggapi permintaan tersebut
dengan mengatakan bahwa ‘teori sastra” tidak
dipelajari di fakultasnya dan tidak ada keinginan untuk
melakukannya.
Todorov tidak mundur dengan penolakan tersebut,
lalu ia mulai membaca di perpustakaan universitas
Sorbone, dan melalui salah seorang staf perpustakaan
ini ia mulai berhubungan dengan Gerard Gennete yang
menyarankan agar Todorov mengikuti seminar Roland
Barthes di Ecole des Hautes Etudes en Sciences
Sociales. Hubugan dengan Barthes—yang menjadi
pembimbingnya dalam penyelesaian doctorat de
toisteme cycle pada tahun 1966—memungkinkannya
untuk menyumbang artikel pada jurnal semiotik
interdisipliner yang berpengaruh, yaitu
communications. Dua artikel awalnya pun diterbitkan,
salah satu di antara keduanya adalah ‘La description de
48 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

la signification en litterature’ meninjau berbagai


tingkatan analisis struktural dan menekankan bahwa
dalam analisis struktural ini bentuk objek literer lebih
utama dari pada substansi isinya yang terkait dengan
semantik. Pada saat itu, seperti para teoretisi struktural
lainnya (misalnya Barthes dan Gennete), Todorov
mengaitkan telaah tentang makna dengan kerangka
hermenutika (yang berarti juga humanis). Baru setelah
karya-karya A.J. Greimas dikenal secara luas, suatu
paradigma strukturalis kemudian dapat dikaitkan
dengan bidang semantik.
Banyak karya yang lahir sebagai buah intelektualitas
Todorov, yaitu Grammaire du Decameron (1969), The
Fantastic: A Structural Approach to a Literary
Genre(1970), Genre of Discourse (1978), An
Introduction to Poetics (1981), The Conquest of
America: The Question of the Other (1982), Mikhail
Bakhtin, The Dialogical Principle (1981), Literature and
its Theories: A Personal View of Twentieth Century
Criticism (1984), Frele bonheur: essai sur Rousseau
(1985), La Nation de Litterature et autres essais (1987),
On Human Diversity: Nationalism, Racisme, and
Exoticism in French Thought (1989; ; diterjemahkan oleh
Chaterine Porter dari Nous et les autres: La Reflexion
Francaise sur la diversite humaine), Les Immorales de
l’histoire (1991), dan Face a l’exteme (1991). Secara
umum, ouvre Todorov cukup menarik dan penting
sehubungan dengan ketegangan antara keketatan
analisis struktural dengan tulisan komitmen moral—
tulisan Todorov dalam tahap post-strukturalis.
Salah satu artikel penting Todorov lainnya
menunjukkan keterpengaruhannya oleh Formalisme
Rusia, yaitu ‘Les categories du recit litteraire’. Di sini
Todorov menyatakan bahwa ‘uraian pada suatu karya
sastra itu: kritikus sastra tampaknya berupaya
memberikan interpretasi padanya”. Todorov
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 49

berpendapat bahwa ‘makna’ suatu karya datang dari


hubungannya dengan karya-karya lain yang ada dalam
sejarah sastra. Dengan demikian suatu makna itu
bersifat relasional, yakni unsur-unsur makna ini
membentuk suatu sistem; mereka tertata dengan cara
tertentu dan tidak hanya berbentuk suatu kumpulan
yang bersifat ad hoc.
Dengan mengikuti prisnip-prinsip narasi (recit),
Todorov terus melakukan analisis tingkatan ‘kisah’
(histoire) dan diskursus, sebagaimana dia praktekan
ketika dalam Litterature et signification. Pada setiap
narasi terdapat berbagai tindakan atau peristiwa,
namun tidak berlangsung dengan mengikuti suatu
kronologi ideal. Tindakan dan peristiwa tersebut
membentuk suatu kerangka yang sering agak rumit dan
kemudian menyatu pada satu titik. Hanya bila
tingkatan-tingkatan peristiwa dan tindakan dipelajari
dengan cukup memadai, logika dapat dipelajari dari
segala jalinan ini. Dengan menggunakan Les Liaisons
Dengereuses sebagai contoh, Todorov menunjukkan
bahwa 1) segala tindakan dalam suatu narasi itu tidak
sebarang, tetapi mengikuti logika tertentu; 2) sebuah
narasi dapat memiliki lebih dari satu struktur yang
muncul saat dua model yang berbeda dapat berjalan
sama baiknya dalam analisis ini; dan 3) di sini tidak
mungkin mengisolasi tingkatan tindakan dalam rangka
melakukan analisis padanya bila ‘tindakan’ yang
berlangusng dalam suatu narasi itu setara dengan
keragaman situasi psikologis para pelakunya.
Secara umum, Todorov berupaya memperjelas
berbagai proses (procedes) yang memunculkan narasi.
Segala proses ini harus tetap relatif tidak nampak bagi
para pembaca agar narasi ini dapat tampil sebagai kisah
yang penuh intrik. Prose-proses ini juga setara dengan
fungsi atau makna (sens) setiap unsur yang ada dalam
narasi itu. Seperti Gennete, Todorov juga tertarik untuk
50 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

melakukan analisis waktu, narasi, subjektivitas (atau


konteks atau prose narasi), dan objektivitas (narasi
sebagai penyebutan atau tindak linguistik yang lengkap)
pada suatu naskah tertentu.
Dalam bukunya, Litterature et signification (1967),
Todorov mengembangkan analisis tentang Les Liasons
dangeruses yang dimulai dalam artikelnya yang dibuat
pada tahun 1966. Bahkan pada inti argumennya
terdapat sebuah genre (jenis) yang didasarkan atas
berhasilnya harapan melalui peniruan saat novel
epistolari abad kedelapan belas karya Laclos tersebut
didasarkan atas sejumlah proses yang ada di dalam
struktur novel, baik laku bahasa (enonciation)—yang
memunculkan gaya dan subjektivitas)—maupun suatu
kisah (enonce). Meskipun demikian, apakah dalam
setiap novel ada kisah semacam ini? Todorov
mengatakan ini adalah kisah yang disiptakan novel ini
sendiri. Dengan merangkum pandangannya dalam
Litterature et signification, Todorov merangkum
pandangan banyak kaum teoretis strukturalis generasi
tahun 1960-an. Maka dari itu, ia lalu menulis ‘melalui
rangkaian peristiwa setiap karya, setiap novel,
mengisahkan kembali kisah penciptaanya, ceritanya
sendiri’.
Upaya penelitian Todorov diorientasikan pada
analisis genre. Konsep genre ini mengacu pada fungsi
konvensional bahasa, sebuah relasi khusus dengan
dunia, dan menjadi norma atau ekspektasi yang
menuntun pertemuan pembaca dengan teks. Upaya-
upaya penelitian terhadap genre akan sekaligus pula
menjadi upaya penentuan kelas-kelas fungsional dalam
proses membaca dan menulis, penentuan perangkat-
perangkat ekspektasi yang memungkinkan pembaca
untuk menaturalisasikan teks serta hubungannya
dengan dunia atau fungsi-fungsi potensial bahasa
yangtersedia bagi para pengarang pada suatu periode
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 51

tertentu. Todorov membeda-beda genre menjadi dua


bagian, yaitu 1) genre teoritis dan 2) genre historis.
Genre teoritis merupakan hasil deduksi dari sebuah teori
satra umum, sedangkan genre teoritis merupakan hasil
observasi terhadap fakta-fakta kesastraan. Genre
teoritis kemudian dibedakan pula menjadi genre teoritis
elementer dan genre teoritis kompleks. Yang pertama
(genre teoritis elementer) ditentukan oleh ciri tunggal
seperti, misalnya, tampak pada penggolongan baku
antara lirik, epik, dan dramatik. Sedangkan genre
teoritis kompleks ditentukan oleh hadir tidaknya ciri-ciri
yang berkombinasi. Tugas pokok poetika, menurut
Todorov, adalah untuk menentukan pertautan antara
genre-genre teoritis yang kompleks dengan genre-genre
aktual yang ditemukan di dalam dunia sastra (Kris
Budiman, 1999:41-3)
Pencarian makna akhir ini akan sia-sia karena
“makna suatu karya adalah untuk mengungkapkan
dirinya sendiri—mengisahkan eksistensinya sendiri
kepada pembacanya. Hal ini ia jelakan pada surat
terakhir dari Les Liaisons dengereuses yang
menjelaskan penerbitan kumpulan surat yang
menyusun novel ini. Pada satu tataran, fakta dari karya
fiktif ini bukan suatu fiksi; akan tetapi, perbedaan antara
fiksi dan non-fiksi menjadi problematis bila karya fiktif
ini dilihat sebagai proses penciptaannya sendiri karena
sekarang, fakta dari fiksi ini (yaitu yang berupa non-
fiksi) tampaknya menjadi sifat pokok dari fiksi.
Saat Todorov berbicara tantang pencarian makna
akhir suatu karya yang berada di luar karya itu sendiri—
yaitu pencarian makna yang berada di luar eksistensi
karya yang bersangkutan—secara implistis ia
mengambil jarak dari pendekatan hermeneutik pada
naskah, pendekatan yang sering diarahkan untuk
menangkap pesan akhir naskah (yang sering bersifat
ideologis). Cukup menerik bahwa setelah membuat
52 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

tulisan yang cukup berpengaruh tentang Decameron,


tentang strukturalisme, dan literatur tentang yang
fantastik—semua didasarkan pada pengertian tentang
otonomi relatif dari naskah literer arah oeuvre Todorov
muai berubah ke telaah sejarah dan teori tentang
simbol. Salah satu kesimpulan yang diambil Todorov
adalah bahwa dalam zaman strukturalisme sekalipun,
pengaruh Romantisisme tidak dapat dihindari.
Pada tahun 1981, Todorov kembali menggeluti
Formalisme Rusia, yakni di saat ia menjadi interpreter
atau juru bicara kaum formalis, sekalipun ia tidak terlalu
banyak menggunakan metode-metode formalis dalam
karya-karyanya. Dengan cara ini, upayanya untuk
membaca kembali oeuvre Bakhtin menjadi suatu titik
balik seluruh pendekatannya pada teorui sastra. Bila
pada tahun 1960-an Todorov menggunakan formalisme
melalui strukturalisme sebagai cara untuk menolak
pendekatan terhadap realitas sosial yang benar secara
ideologis, maka pada awal 1980-an Todorov mulai
berusaha mempergunakan kerangka yang lebih bersifat
interpretatif yang ditujukan untuk melawan pendekatan
politis pada analisis tekstual formal. Yang paling
Todorov hargai dalam karya Bakhtin adalah ‘antropologi
filosofis’ yang memikirkan masalah tentang ‘yang lain’.
Bagi Todorov, ‘yang lain’ dalam prinsip dialogis yang
diartikulasikan oleh Bakhtin menduduki tempat yang
sangat penting. Dari sini ia berpendapat bahwa
pandangan mendasar pada Bakhtin adalah menyadari
tidak hanya karya seni, sesudah Dostoyevski, yang tidak
bisa menangkap ‘yang lain”, “penolakan kesatuan yang
ada pada ‘saya’ memiliki pasangannya dalam
pengakuan baru ‘engkau’ pada yang lain. Oleh sebab
itu, ‘yang lain’ tidak lagi menjadi objek, tetapi subjek.
Pandangan ini diperoleh Todorov dari Dostoyevski
melalui karya-karya Bakhtin.
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 53

B. Keterkaitan Sejarah Eropa


Todorov mengusulkan sebuah ‘asumsi dasar’ dalam
penelitian, yakni ‘penelitian harus dilihat sebagai hal
yang terkait di dalam objek telaah atau harus
mengalami dialog dengannya’. Berdasarkan ‘asumsi
dasar’ ini, Todorov mulai melakukan sederetan
penelitian yang melihat bagaimana sejarah dan kultur
Eropa dan Prancis saling terlibat satu sama lain. Dua
tulisan penting mengenai hal tersebut adalah The
Conquest of Amerika (1982) dan Nous et les autres
(1989).
Dalam The Conquest of America, Todorov
menganalisis dan melakukan interpretasi dokumen
tentang Columbus dan penemuan benua Amerika pada
tahun 1492. Ini adalah sebuah telaah yang penuh
pengabdian—telaan yang dilakukan oleh moralis yang
memikirkan hubungan antara orang-orang Eropa
dengan Indian, diri pribadi dengan yang lain, identitas
dan perbedaan. Seperti yang sering ditujukkan Todorov,
jika Columbus memiliki tingkatan sadar dan tidak sadar,
suatu cara yang sangat khas dan tidak berubah dalam
memahami kehidupan (termasuk padangan tentang apa
yang akan ditemuinya di belahan dunia lain), yang
penting adalah mengetahui bagaimana phal ini
berpengaruh pada sikapnya saat ia benar-benar
bertemu dengan orang-orang Amerika Tengah.
Pada satu tingkat, ini berarti bahwa perilaku
Columbus dapat diramalkan bahwa ia akan bertemu
dengan yang lain melalui prasangka kulturalnya
(termasuk religi). Orang-orang Indian dilihat dan
diperlakukan sebagai binatang liar, yang hanya cocok
untuk menjadi budak bangsa Eropa. Dapat juga, orang-
orang Indian diserang—diperlakukan seperti ‘anjing
buduk’—dalam pertemuan nyata, sedangkan di satu
sisi mereka juga diidealkan sebagai prang liar yang
mulia, seperti yang dikatakan Kitab Suci. Menurut
54 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

Todorov, “pada saat yang sama alteritas manusia


ditolak sekaligus diterima” oleh orang-orang Eropa.
Todorov ingin menampilkan dua spek dalam
penaklukan Amerika; pertama, ia ingin menunjukkan
bagaimana tanda dan interpretasinya—bahasa dan
komunikasi—memainkan peranan yang sangat penting
dalam kontak yang dilakukan oleh orang-orang Spanyol
dan Azetc pada abad ke-16—Abad Penaklukan. Kedua,
reproduksi makna dapat menimbulkan dua hal, yakni
destruksi makna simbol atau rekonstruksi positif makna
simbol.
Mengenai hal pertama, Todorov berpendapat bahwa
orang-orang Spanyol memenangkan perang penaklukan
atas pimpinan Hernando Cortes sebagian besar karena
penakluk ini mampu bertindak berdasarkan
pengetahuan yang diperoleh dari pengamatan: Cortes
berusaha mendapatkan informasi tentang –dan dengan
demikian memahami—cara hidup orang-orang yang
akan dia perangi. Sebaliknya, Moctezuma dan orang-
orang Aztec terbelenggu oleh pandangannya tentang
dunia yang bergantung pada upaya membaca masa kini
secara kaku melalui prisma masa lalu. Orang-orang
Aztec ini menyandarkan diri pada nubuat dan
pemahaman nasib yang terkait erat dengannya.
Misalnya, orang Aztec melihat kedatangan orang-
orang Eropa sebagai suatu pertanda buuruk dan
mengambil perwatakan psikologis yang negatif dalam
hubungannya dengan itu. Hal ini berbeda dengan
Cortes, yang walaupun dipengaruhi agama Kristen,
Cortes berusaha mempelajari bahasa-bahasa orang-
orang yang dijumpainya dengan banyak cara. Ia tidak
hanya mengandalkan informasi yang datang dari para
informannya, tetapi ia juga mempergunakan mitos-
mitos orang-orang Aztec dalam sebuah muslihat untuk
menyesatkan musuhnya. Oleh karena itu, Cortes
memupuk ilusi kaum Aztec bahwa ketika ia menipu para
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 55

penduduk asli pulau yang sekarang adalah kepulauan


Bahama agar mereka berpikir bahwa mereka akan
dibawa ke tanah terjanji milik para nenek moyang
mereka, saat meraka dijadikan budak oleh Cortes ini.
Singkatnya, Cortes menyadari pentingnya bahasa dan
pengetahuan tentang kultur Aztec, dan ia memanipulasi
situasi yang ditemuinya demi keuntungannya.
Mengenai hal kedua, reproduksi makna simbol yang
dilakukan Cortes menimbulkan destruksi
(penghancuran) makna simbol. Meskipun Cortes
memiliki pengetahuan tentang kultur orang Aztec,
namun karena motivasi reproduksi makna bermotif
kekuasaan dan kekayaan (ingat tentang Gold, Gospel,
and Grlory), maka Cortez berperan dalam penghancuran
cultur Aztec. Cotes hanya melihat mereka sebagai
‘tambang emas’ dan tidak mampu melihat mereka
sebagai manusia. Kengerian tentang hal ini mencapai
puncaknya selama berlangsungnya kolonialisme
Spanyol. Saat itu antara 1500-1600 mereka tidak hanya
diperbudak, tetapi juga populasi Amerika Selatan yang
pada saat itu berjumlah sekitar 80 juta jiwa menjadi
hanya tinggal satu juta jiwa saat penduduk dunia
berjumlah 400 juta jiwa. Meskipun ia mempu melakukan
pengenalan dan pemahaman tentang ‘yang lain’,
perjuangan Cortes ini akhirnya membawa kehancuran
bagi peraban Aztec.
Dalam kesimpuannya, Todorov menegaskan lagi
komitmennya pada prinsip dialog Mikhail Bakhtin. Dialog
sejati, di mana suara yang lain (the other) dapat
didengar dengan cara tidak mendengarkan suara ‘kita’
saja atau dengan cara tidak membungkam suara orang
lain, dialog seperti inilah yang dapat dan mungkin
dilakukan. Dialog adalah pengakuan Rimbaud bahwa
‘saya adalah kamu’ mucul bersamaan. Dialog ini
menyaratkan adanya kualitas lain semakin
direalisasikan kemampuan untuk melakukan improvisasi
56 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

—menghadapi situasis ebagaimana adanya dan


bertindak dengan tepat. Walaupun demikian, salah satu
pendirian Todorov yang dapat diperdebatkan adalah
ketika ia berpandangan bahwa perdaban Barat (Eropa)
sebagai asal-usul dialaog dan karya penulisan, serta
kemampuan improvisassi yang dibawa oleh karya
penulisan ini. Walaupun tokoh ini tidak bermaksud
untuk mengklaim bahwa kultur Eropa itu lebih tinggi
derajatnya daripada kultur-kultur lain.
Dalam salah satu karyanya lainnya berjudul Nous et
les autres (Diri Sendiri dan Orang Lain)—tentang dialog
antara diri dan orang lain, Todorov meninjau tema-tema
tentang ras, bangsa, tulisan-tulisan yang universal dan
eksotik dalam karya berbagai penulis—Levi-Strauss,
Montaigne, Gobineau, Renan, Tocqueville,
Chateaubriand, Autaud, dan lain-lain. Dalam karya di
atas, Todorov mencoba membongkar dua pandangan
dari beberapa pemikir Prancis, yaitu 1) pandangan
etnosentrisme yang bertumpu pada eurosentrisme dan
menganggap yang lain sebagai ‘objek’; pandangan
pertama ini diwakili oleh Renan dan Barres 2)
relativisme-etnosentris yang menganggap yang lain
segalanya sedangkan diri sendiri bukan apa-apa;
pandangan kedua ini diwakili oleh Levi-Strauss. Karena
Todorov biasanya bersikap hati-hati untuk tidak tergesa-
gesa mengambil sikap sehubungan dengan rasisme,
kolonialisme, atau universalisme, tampak bahwa ia
memang lebih siap untuk melakukan analisis semiotik
pada naskah daripada menangani masalah-masalah
filosofis dan moral. Sebagai contoh, dalam membahas
pandangannya tentang ‘humanisme yang beretika
positip”, ia bersandar pada pengertian apriori bahwa
pada dasarnya kebebasan manusia sebagai suatu
spesies adalah masalah pribadi. Dikatakan bahwa
kebebasan adalah ciri khas sepesies manusia, “Jelas
bahwa lingkungan saya mendorong saya untuk
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 57

mereproduksi perilaku yang diunggulkannya; akan


tetapi, saya masih memiliki kemungkinan untuk
tercerabut darinya.” Di sini ada banyak pertanyaan
yang dapat dilontarkan kepada Todorov; Dapatkah
seseorang berbicara tentang manusia sebagai suatu
spesies tanpa jatuh ke biologisme? Apa bentuk
hubungan yang sejati antara kemanusiaan dan individu?
Jika kebebasan itu khas pada individu, apakah ini tidak
berati bahwa pada individu ini terdapat kebebasan
terhadap kemanusiaan? Akan tetapi, yang paling
penting adalah, apakah, sebagaimana diungkapkan
Todorov, kebebasan itu pasti melawan determinasi?
Apakah tidak mungkin suatu keadaan di mana seorang
individu memilih satu nilai yang ada dalam masyarakat?
Bukankah ini lebih tepat sebagai soal pilihan moral atau
politik konservatif? Singkatnya, bukannya Todorov tidak
membangkitkan hal-hal penting dalam Nous et les
autres, melainkan ia Cuma memberikan jawaban atas
masalah-masalah filosofis yang rumit secara tidak
lengkap dalam buku yang bertujuan untuk
mengembangkan pemahaman tentang pengalaman
kontemporer mengenai interaksi antara pribadi dan
yang lain.
58 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

SEMIOTIK SUPERREADER
MICHAEL RIFFATERRE

A. Konfigurasi Semiotik Riffaterre


Michael Riffaterre mencuat namanya sejak ia
meluncurkan karyanya Semiotic of Poetry (1978).
Konfigurasi konstruk semiotik yang diusung Riffaterre
terfokus pada a dilektic between text and reader
(dialektika antara teks dan pembaca). Menurut
Riffaterre, dilektika atau tarik menarik atau ketegangan
antara teks dan pembaca mengambil bentuk dialektika
antara tataran mimetik dan tataran semiotik. Tataran
mimetik dimaksud sejajar dengan konsep tataran
kebahasaan atau tataran denotatif dalam semiotik
Peirce; sedangkan tataran semiotik sejajar dengan
konsep tataran mitis atau konotatif dalam semiotik
Peirce. Selain itu, dialektika juga mengambil bentuk
berupa pertentangan antara meaning (arti) dan
significance (makna). Satu sisi meaning (arti) dari sebuh
karya sastra selalu berhubungan dengan tema dan
bersifat lugas, objektif, dan umum; namun di sisi lain
karya sastranya sendiri berhubungan dengan amanat
dan bersifat kias, majas, sobjetif, dan khusus. Jadi,
maksud karya sastra adalah arti yang dihubungkan
dengan konsep, karakter, situasi, dan lainnya
sebagaimana dimajinasikan; akan tetapi dalam
pencarian makna karya sastra mestilah dilakukan
berdasarkan fakta yang ada. Jika tanpa berdasarkan
bukti-bukti, maka makna yang ditangkap itu akan
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 59

bergeser dan berubah-rubah (Puji Santosa, 1993:29-30).


Riffaterre lebih suka menyebut proses pemaknaan
tanda dengan semiosis. Baginya, semiosis merupakan
lawan dari mimesis. Secara tradisional, mimesis dapat
dipersamakan dengan imitasi atau representasi. Dalam
wacana kontemporer, pengertian mimesis untuk
mengacu kepada dua hal yang lebih spsesifik. Pertama,
mimesis diperlawankan dengan diegesis; mimesis
bukanlah pengimajinasian peristiwa-peristiwa
berdasarkan pada suatu teks verbal, melainkan
pemeranan dari apa-apa yang direpresentasikan.
Pembaca sebuah lakon, misalnya terlibat di dalam
aktivitas diegesis, namun tidak demikian halnya dengan
aktor-aktor yang memainkan lakon tersebut. Mereka ini,
sebaliknya, justru terlibat di dalam mimesis, yakni
memerankan, mengucapkan perkataan, dan menirukan
tindakan-tindakan seperti diungkapkan oleh teks. Pada
dasarnya, diegesis dan mimesis mempunyai relasi yang
sama, yaitu merupakan aspek-aspek dari tindakan-
tindakan atau peristiwa-peristiwa. Secara lebih
sederhana dapat dikatakan bahwa mimesis adalah hal-
hal yang dipertunjukkan atau diperagakan, sementara
diegesis adalah hal-hal yang dikisahkan atau dilaporkan.
Dengan sebuah rumusan yang lebih ketat, diegesis
adalah sebuah sekuens tindakan-tindakan atau
peristiwa-peristiwa di dalam teks naratif yang dapat
dipahami oleh seorang pembaca (Kris Budiman,
1999:74).
Kedua, mimesis diperlawankan dengan semiosis,
mimesis merupakan sebuah upaya untuk
memperlakukan bahasa sebagai sesuatu yang harfiah
representasional. Apabila upaya ini tidak mungkin
seperti pada metafora, metonimi, atau kiasan-kiasan
lainnya, maka seorang pembaca harus bergeser dari
mimetik ke semiosis. Artinya, dia hanrus menyerah
karena usahanya untuk beralih dari kata-kata ke benda-
60 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

benda telah mengalami kegagalan. Sampai di sini, mau


tidak mau, dia harus menerima prinsip semiosis yang
bergerak dari kata ke kata, dari satu tanda ke tanda
lain, tiada akhir (Kris Budiman, 1999:74).
Dalam pandangan Riffaterre, semiosis beroposisi
secara langsung dengan diegesis dan mimesis. Dalam
konteks lain, istilah semiosis Riffaterre ini sejajar
dengan konsep signifikasi dalam semiotik Barthes.
Dalam pembacaan sebuah puisi atau figur verbal apa
pun, seorang penafsir akan menemukan bahwa
pembacaan yang bersifat ‘harfiah’ ataumimetik tidak
bakal memadai. Sebaliknya, proses pembacaan figuratif,
yang dinamakan sebagai semiosis, melibatkan suatu
tilikan ke arah struktur paradigmatik yang mengelilingi
kata-kata dan struktur intertekstual yang mengelilingi
suatu teks puitik.

B. Superreader
Riffaterre memunculkan istilah superreader, yaitu
sintesis pengalaman membaca dari sekelompok
pembaca dengan kompetensi yang berbeda-beda (Alex
Sobur, 2003:86-7). Kelompok pembaca ini diharapkan
dapat mengungkap potensi semantik dan pragmatik
dari pesan teks melalui stilistika. Kesulitan akan muncul
bila terdapat penyimpangan gaya, yang munkin hanya
dipahami dengan referensi lain di luar teks. Dalam hal
ini, pembaca didorong untuk menemukan makna ayng
dikandung sebuah karya secara kreatif dan dinamis. Hal
ini disebabkan bahwa pembaca merupakan satu-
satunya pelaku yang menciptakan pertalian antara teks,
penafsir, dan interteks. Di samping itu, dalam batinnya
juga berlangsung transfer semiotik dari tanda yang satu
ke tanda yang lain secara kontinyu.
Berdasarkan alasan inilah Riffaterre mengritik model
komunikasi Roman Jakobson tentang pesan estetiknya.
Riiffaterre tidak setuju dengan model komunikasi sastra
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 61

yang diajukan oleh Jakobson, yaitu ketika Jakobson


menyejajarkan enam faktor bahasa dan enam fungsi
bahasa (Puji Santosa, 1993). Menurutnya, Jakobson
hanya memperhatikan aspek kebahasaan dalam artian
terbatas saja dengan mengabaikan aspek-aspek lain.
Potensi kebahasaan, sebagai alat komunikasi dengan
sesama manusia, lepas dalam arti kata tidaklah cukup.
Model komunikasi sastra Jakobson yang demikian itu
dapat menghilangkan relevansi sosial budaya.
Riffaterre menjelaskan bahwa bahasa hanya
merupakan media bagi pembaca dalam penelusuran
makna. Dengan demikian, pembaca merupakan unsur
dominan yang menentukan makna sebuah karya sastra.
Pembaca merekonstruksi makna berdasarkan
pengalamannya sebagai pembaca susastra; pembaca
mempergunakan segala kemampuan dan
pengetahuannya untuk menentukan apa yang relevan
dengan fungsi puitik karya sastra. Analisis linguistik,
pada satu sisi, tidaklah cukup, sekalipun ia dapat
melampaui batas kemampuan pembacanya. Oleh
karena itu, karya sastra lebih daripada struktur bahasa
dan menonjolkan karya satra sebagai sarana
komunikasi dan berfungsi sebagai konteks stilisitika
yang sama dengan konteks harapan pembaca. Pola
harapan pembaca ini ditentukan oleh segala sesuatu
yang pernah dibaca atau didengarnya sehingga susastra
mendapatkan maknanya secara menyeluruh.
Jika Julia Kristeva mengemukakan bahwa setiap teks
merupakan mosaik kutipan-kutipan dan merupakan
penyerapan serta transformasi teks-teks lain, maka
secara khusus Riffaterre menunjukkan bahwa terdapat
teks tertentu yang menjadi latar penciptaan sebuah
karya, yang ia sebut hipogram; teks yang menyerap dan
mentransformsikan hipogram itu disebut sebagai teks
transformasi (Rachmat Joko Pradopo, 2003:82). Menurut
Riffaterre, produksi tanda-tanda puitik ditentukan oleh
62 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

derivasi yang bersifat hipogramatik, yakni sebuah kata


atau frase akan menjadi puitik apabila mengacu pada
tanda atau memolakan diri menurut sekelompok kata
yang pra-ada (pre-existent). Sebuah hipogram selalu
sudah merupakan sistem tanda-tanda yang setidak-
tidaknya terdiri dari sebuah prediksi, meskipun mungkin
pula merupakan sebuah teks. Hipogram mungkin saja
Cuma bersifat potensial (dapat diamati di dalam
bahasa), mungkin pula aktual (dapat diamati di dalam
teks lain yang mendahuluinya). Dalam rangka
mengaktifkan kepuitikan di dalam teks, tanda yang
mengacu kepada sebuah hipogram juga mesti menjadi
varian dari sebuah matriks teks tersebut. Apabila tidak,
tanda puitik ini Cuma berfungsi sebagai sebuah leksem
atau sintagma yang sekedar bersifat stilistik (Kris
Budiman, 1999:45-6). Untuk hal tersebut, paradigma
intertekstualitas Kristeva menjadi sangat berarti untuk
membandingkan, menjajarkan, dan mengontraskan
sebuah teks transformasi dengan hipogram-nya.
Misalnya, tampak bahwa beberapa sajak Chairil Anwar
itu merupakan transformasi sajak-sajak Amir Hamzah.
Demikian pula, Di Bawah Lindungan Ka’bah merupakan
hipogram bagi Atheis, sedangkan Layar Terkembang
merupakan hipogram dari Belenggu (Rachmat Joko
Pradopo, 2003:82).
Sekalipun Superreader Riffaterre mempunyai akar
yang sama dengan analisis Roiman Jakobson dan Levi
Strauss yakni berpijak pada metode analitik, namun
superreader Riffaterre merupakan analisis resepsi,
sedangkan Jakobson dan Levi-Strauss berpijak pada
struktural deskriptif. Orientasi analisis Jakobson dan
Levi-Strauss adalah teks, sedangkan orientasi analisis
Riffaterre adalah pembaca (ideal). Perbedaan-
perbedaan analisis dan orientasi dari Jakobson dan Levi-
Strauss serta Riffaterre ini tergambar ketika tokoh-tokoh
tersebut menganalisis puisi Baudelaire bertajuk “Les
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 63

Chats”.
Hipotesis yang menjadi landasan analisis Riffaterre
terhadap “Les Chats” adalah bahwa “fenomena puitik,
yang bersifat linguistik, bukanlah memlulu suatu pesan,
sebuah puisi, tetapi seluruh tindakan komunikasi”.
Ketika sebuah teks dianalisis, ada dua faktor yang
penting, yaitu teks dan pembaca. Pertama-tama
Riffaterre menganalisis proses resepsi yang didasarkan
pada seorang pembaca ideal atau superreader. Dalam
kasus ini superreader dari Riffaterre terdiri dari
beberapa lapisan yaitu 1) Baudelaire sendiri (yang
memutuskan untuk menganalisis soneta dalam Les
fleurs du mal), 2) Gautier (yang memprafrasekan
soneta), 3) aneka penerjemah puisi, kritikus (termasuk
Jakobson dan Levi-Strauss), 4) Dictionnaire du XIXeme
slecle karya Larausse untuk kutipan-kutipan soneta-
soneta, dan 5) informan-informan seperti murid-murid
Riffaterre. Superreader mensintesiskan beberapa sikap
komunikasional dan dia memliki informasi-informasi
yang maksimum. Karena dia tidak mempunyai
hubungan dengan dunia nyata, ia mempu mengambil
sikap subjektif terhadap teks; karena konsentrasi
superhuman-nya, ia mungkin menyadari benar-benar
proses resepsi ini (Alex Sobur, 2003:88).
Berkenaan dengan superreader Riffaterre ini, Roland
Posner (seperti dikutip Alex Sobur {2003:88] dari
Segers) menekankan keuntungan perspektif pembaca
dalam interpretasi Riffaterre ini. Menurut Roland Posner,
pembaca merupakan masalah yang tampaknya tidak
dapat dipecahkan dalam pendekatan Jakobson,
sekalipun pemecahan Riffaterre juga tidaklah bersifat
sempurna. Riffaterre, misalnya, tidak dapat
meneggelamkan dirinya sendiri dalam karakteristik
tekstual yang amat banyak karena hanya karakteristik
yang menerangkan pengalaman tertentu itu yang
dipertimbangkan. Keuntungan lebih lanjut dari analisis
64 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

Riffaterre adalah penekanannya pada intersubjektivitas.


Ia tidak menilai struktur tetapi bermacam-macam
struktur. Menurut Posner, “Riffaterre tidak
menggholongkan unsur-unsur teks abstrak, melainkan
pembaca yang ditandai oleh penilaian yang ketat. Ia
tidak menilai struktur melainkan menyusun kelompok
penilaian yang sudah pasti”.
Selain penekanan peran pembaca dalam pemaknaan
sebuahkarya, Riffaterre pun memasukkan faktor waktu.
Riffaterre membagi dua bentuk waktu ‘pemaknaan’,
yaitu pertama, waktu memegang peranan dalam proses
membaca; kedua, Riffaterre mengunakan konsep
“pengalaman kontras” dalam menentukan struktur
puitik oleh pembaca, “setiap hal dalam teks yang
mengajukan superreader (pembaca super) secara
tentatif dianggap sebagai komponen struktur puitik.
Kontras muncul ketika harapan pembaca mengenai
struktur repetitif terbukti salah dan kemungkinan
meramal diperkecil. Tanpa menolak prinsip ekuivelensi
(Riffaterre ternyata memerlukannya untuk menetapkan
pola-pola harapan), ia membuatnya tergantung pada
persepesi pembaca selama rangkaian waktu dalam
proses membaca. Menurut Riffaterre, bila “pengalaman
kontras” terjadi, ia dapat mempengaruhi makna secara
retroaktif dalam teks yang telah dirasakan, setelah
pemenuhan proses membaca, pengaruh ini tampak
jelas, “Maka, keseluruhan data dan pengetahuan akhir,
menggelora lagi untuk memodifikasi apa yang telah
dirasakan sebelumnya”.
Analisis Jakobson dan Levi-Strauss terhdap “Les
Chats” oleh Riffaterre dianggap berhasil dalam
pengetian bahwa analisis tersebut menyajikan
demonstrasi yang meyakinkan mengenai jalinan yang
luar biasa dan mereka mampu menjaga kesatuan
bagian-bagian teks tersebut. Namun, Riffaterre
mempunyai keberatan-teoritis mengenai ekuivalensi
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 65

yang menghindarkan perseptibilitas. Pembagian teks


puisi, misalnya, mejadi beberapa satuan analisis oleh
Jakobson dan Lavi-Strauss dianggap berhasil
mempertahankan keutuhan pemaknaan puisi.
Penekanan pada bentuk bahasa yang diperlukan demi
efek puitik, sekurang-kurangnya harus ‘tampak’.
Riffaterre sepenuhnya menyetujui keberadaan
ekuivalensi sebagaimana diusulkan Jakobson dan Levi-
Strauss, namun dalam koteks ‘kontak antara teks
dengan pembaca’. Kontak ini menentukan akseptabilitas
observasi ekuivalensi dan kepentingan estetisnya.
Perbedaan ekuivalensi di antara mereka adalah
Jakobson dan LeviStrauss mengumpulkan sebanyak
mungkin potensi relasi ekuivalensi, sedangkan Riffaterre
berkeinginan untuk hanya memikirkan relasi-relasi
ekuivalensi yang direalisasi. Dengan acara itu, Riffaterre
menemukan pemecahan masalah hirarkisasi.
Analisis resepsi Riffaterre memiliki keuntungan
dibanding analisis struktural Jakobson dan Levi Strauss,
namun pada sisi lain konstruk Rifaterre pun menyimpan
celah-celah kelemahan. Posner menyebutkan bahwa
analisis Riffaterre hanya cukup komprehensif hingga
taraf tertentu dan secara teoritik tidak menentu.
Misalnya, seseorang dapat menanyakan bagaimana
pembaca ideal dikonstruksikan dan elemen-elemen
mana yang harus dimiliki atau diikatnya. Bauer,
misalnya, menanyakan apakah tidak lebih benar
mendasarkan analisis pada sejumlah riil (dan bukannya
pada seorang pembaca super) dan menyelidiki respons-
respons mereka mengenai teks sebagai suatukelompok.
Selanjutnya ia mengemukakan alasan bahwa materi
Riffaterre telah dirakit denganmenggunakan kuesioner
sehingga dasar dan hasil analisis resepsi dapat dicek.
Akan tetapi, kritik ini tidak diterapkan pada analisis
resepsi historis.
66 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

C. Konvensi Ketaklangsungan Ekspresi


Dalam Semiotic of Poetry, Riffaterre menggagas
pengkajian puisi dari perspektif semiotik. Riffaterre
memandang aktivitas dan hakikat puisi dan bersajak
sebagai ‘bermain-main dengan kata belaka tanpa isi
atau kosong dari pesan, apakah itu perasaan, moral,
atau filsafat (this is an extreme case but exemplary, for
it may tell us much about petry’s being more of a game
than anything else. Ia menyatakan bahwa a poem says
one things and means another (sebuah puisi
mengatakan sesuatu yang berbeda dari makna yang
dikandungnya). Namun demikian, Riffaterre
berpendapat bahwa untuk dapat memberi makna sajak
secara semiotik, pertama kali dapat dilakukan dengan
pembacaan heuristik dan hermeneutik atau retrokatif.
Pembacaan heuristik adalah pembacaan
berdasarkan struktur kebahasaannya atau secara
semiotik adalah berdasarkan konvensi sistem semiotik
tingkat pertama. Menurut Rachmat Djoko Pradopo
(2003:84), aplikasi pembacaan heuristik pada sajak dan
cerita rekaan (cerkan) pastilah ada perbedaan,
meskipun pada prinsipnya sama. Hal ini disebabkan
cerita rekaan bahasanya tidak begitu menyimpang dari
tata bahasa baku. Pembacaan heuristik cerita rekaan
adalah pembacaan “tata bahasa” ceritanya, yaitu
pembacaan dari awal sampai akhir cerita secara
berurutan. Untuk mempermudah pembacaan ini dapat
berupa pembuatan sinopsis cerita. Cerita yang beralur
sorot balik (dapat) dibaca secara alur lurus. Pembacaan
heuristik dapat berupa penerangan bagian-bagian cerita
secara berurutan atau pula analisi bentuk formalnya.
Pembacaan heuristik harus diulang kembali dengan
pembacaan retrokatif dan ditafsirkan secara
hermeneutik. Pembacaan heremenutik adalah
pembacaan karya sastra beradasarkan sistem semiotik
tingkat kedua atau berdasarkan konvensi sastranya.
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 67

Pembacaan hermenetik adalah pembacaan ulang


(retroaktif) sesudah pembacaan heuristik dengan
memberikan konvensi sastranya.
Menurutnya, puisi itu dari dahulu hingga sekarang
selalu berubah-ubah karena evolusi selera dan konsep
estetik yang selalu berubah dari periode ke periode.
Riffaterre berbicara dalam kaitannya dengan
pemaknaan puisi, tetapi sesungguhnya dapat dikenakan
juga pada prosa. Jadi, ketaklangsungan ekspresi yang
tidak langsung, yaitu menyatakan pikiran atau gagasan
secara tidak langsung atau dengan cara lain. Riffaterre
sebagaimana dikutip Kris Budiman (2002:1:22)
menyebutkan pemaknaan seperti ini dinamainya
sebagai indirection (ketidaklangsungan). Menurutnya,
indirection terjadi oleh beberapa hal, yakni 1) displacing
of meaning,; 2) distorting of meaning; dan 3) creating of
meaning.

1. Displacing of Meaning
Displacing of meaning, yaitu sebuah tanda bergeser
dari satu makna ke makna lain atau berfungsi mewakili
tanda lain. Dengan arti lain, displacing of meaning
berarti pula penggantian arti. Penggantian ini, menurut
Riffaterre, disebabkan oleh penggunaan metafora dan
metonimi dalam karya sastra. Metafora dan metonimi ini
dalam arti luasnya untuk menyebut figuratif language
(bahasa figuratif) pada umumnya, tidak terbatas pada
bahasa kiasan metafora dan metonimi saja. Hal itu
disebabkan metafora dan metonimi merupakan bagian
dari figuratif language yang sangat penting hingga
untuk menggati bahasa figuratif lainnya, seperti simile,
personifikasi, senekdok, perbandingan epos, dan alegori
(Rachmat Djoko Pradopo, 2001:70).
Metafora merupakan figuratif language yang
menggunakan atau mengganti sesuatu hal yang tidak
menggunakan kata pembanding (bagai, bak, seperti,
68 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

dan sebagainya). Contoh, Bumi ini perempuan Jalang


(dalam sajak Subagio Sastrowardojo “Dewa Telah
Mati”), Sorga hanya permainan sebentar (dalam puisi
Chairil Anwar “Tuti Artic”), dan Aku boneka engkau
boneka atau penghibur dalam mengatur tembang
(dalam puisi Amir Hamzah “Sebab Dikau”). Contoh-
contoh tersebut disebut metafora eksplisit, karena tenor
(yang dibandingkannya) dan vehicle (pembandingnya)
dinyatakan secara eksplisit. Di samping itu, terdapat
metafora implisit, yakni yang hanya disebutkan vehicle
(pembandingnya) saja, misalnya Di hitam matamu
kembang mawar dan melati (“Sajak Putih” Chairil
Anwar).

2. Distorting of Meaning
Distorting of meaning, yaitu adanya ketaksaan
kontradiksi, atau kekosongan makna. Hal ini, menurut
Riffaterre, disebabkan oleh tiga hal, yaitu ambiguitas,
kontradiksi, dan nonsese. Hal pertama (ambiguitas)
disebabkan oleh bahasa sastra itu berarti ganda
(polyinterpretable), lebih-lebih bahasa puisi. Kegandaan
arti itu dapat berarti kegandaan arti sebuah kata, frase,
ataupun kalimat. Sebuah contoh adalah sajak Chairil
Anwar “Doa”:

Tuhanku
Aku hilang bentuk
Remuk

Tuhanku
Aku mengembara di negeri asing

Tuhanku
Di [intumu mengetuh
Aku tak bisa berpaling
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 69

“Hilang bentuk” berarti ganda meskipun arti


pokoknya itu “penderitaan”, yaitu menderita, sdih dan
penderitaannya tidak dapat digambarkan lagi, dan
lainnya. “Remuk” berarti hancur luluh hidupnya, dalam
arti hidupnya tanpa harapan, penuh penderitaan, dan
malang. “Mengembara di negeri asing” berarti sangat
bingung, tidak tahu arah, tidak tahu apa yang
dikerjakan, terasing, dan kesunyian. “Tidak bisa
berpaling” dalam arti tidak dapat pergi lagi, tidak ada
pilihan lain lagi, dan tidak mungkin meninggalkannya
lagi (Rachmat Joko Pradopo, 2001: 77).
Hal kedua, Kontradiksi berarti mengandung
pertentangan, disebabkan oleh ironi dan paradoks. Ironi
digunakan untuk menyatakan suatuhal secara
kebalikan, biasanya untuk mengejek atau menyindir
suatu keadaan. Paradoks misalnya terdapat pada puisi
Toto S. Bachtiar “Pusat”

Serasa hidup yang terbaring mati


Memandang musim yang mengandung luka

“hidup tetapi mati” pengertian ini sangat


bertentangan atau berlawanan; artinya hidup tanpa
harapan, tanpa perubahan, dan selalu menderita.
Hal ketiga, nonsense adalah “kata-kata” yang secara
linguistik tidak mempunyai arti, sebab hanya berupa
rangkaian bunyi tidak terdapat dalam kamus. Akan
tetapi, dalam puisi, non-sense itu mempunyai makna,
yaitu arti sastra karena konvensi sastra, misalnya
konvensi mantra. Non-sense itu untuk menimbulkan
kekuatan gaib atau magis, untuk mempengaruhi dunia
gaib. Non sense itu banyak terdapat dalam puisi matra
atau puisi bergaya matra, misalnya sajak Sutardji
Calzoum Bachri. Sajak bergaya mantra memang untuk
berhubungan dengan dunia gaib, dunia yang bersifat
mistik, atau yang biasa disebut sebagai puisi sufistik
70 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

(Rachmat Djoko Prodopo, 2001:78-79). Salah satu


contohnya adalah satu bait dalam puisi Sutardji
Calzoum Bachri “amuk” (1981:68)

Amuk

Aku bukan penyair sekedar


Aku depan
Depan yang memburu
Membebaskan kata
Memanggil-Mu
pot pot pot
pot pot
kalau pot tak mau pot
biar pot semau pot
mencari pot
pot
Hei kau dengar manteraku
Kaudengar kucing memanggil-Mu
Izukalizu
Mapakazaba itasatali
Tutulita
Papaliko arukabazaku kodega zuzukalibu
Tutukaliba dekodega zamzam lagotokoco
Zukuzangga zegezegeze zukuzangga zege
Zegeze zukuzangga zegezegeze zukuzang
ga zukuzangga zegezegeze zegezegeze zu
kuzangga zegezegeze aahh….!
Nama kalian bebas
Carilahtuhan semaumu

3. Creating of meaning
Creating of meaning, yaitu sebuah teks memberi
peluang bagi pemaknaan unsur-unsur bahasa yang
tidak bermakna seandainya berada di luar teks tersebut.
Menurut Riffaterre, creating of meaning merupakan
konvensi kepuitisan yang berupa bentuk visual yang
secara linguistik tidak mempunyai arti, tetapi
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 71

menimbulkan makna dalam karya sastra. Jadi


penciptaan arti ini merupakan organisasi teks, di luar
linguistik. Di antaranya adalah pembaiatan,
enjambement, persajakan (irama) tipografi, dan
homologues. Contohnya adalah sajak Sutardji
yangberjudul “Tragedi Winka & Sihka” (1981:38).
Sajak ini terdiri dari dua kata, yaitu kawin dan kasih.
Kedua kata itu diputus-putus dan dibalik secara
metatesis. Secara linguistik tidak ada artinya kecuali
kata kawin dan kasih itu. Dalam sajak kata kasih dan
kawin mengandung arti konotasi, yiatu perkawinan itu
menimbulkan angan-angan hidup penuh kebahagiaan,
lebih-lebih disertai kasih sayang. Dalam sajak itu, kawin
dideretkan sampai lima periode, entah lima tahun, lima
bulan, lima minggu, atau lima hari, perkawinan itu
berjalan seperti ide semula yaitu penuh kebahagiaan.
Hal ini memberi sugesti bahwa ideal perkawinan yang
penuh kebahagiaan itu sudah tidak utuh lagi, misalnya
saja pasangan suami istri mulai bertengkar tiap hari
karena masalah kehidupan. Bahkan kemudian terbalik
kawin menjadi “neraka”. Pada akhirnya terjadi tragedi
winka dan sihka itu, misalnya saja terjadi perceraian,
atau bahkan suami membunuh istrinya atau sebaliknya.
Itulah tragedi. Tipologi Zigzag itu memberi sugesti bahw
aperkawinan yang semula bermakna kebahagiaan itu,
setelah melalui jalan yang berliku-liku, yang penuh
bahaya, pada akhirnya terjadilah bencana, terjadi
tragedi (Rachmat Joko Pradopo, 2001:80-81).

TRAGEDI WINKA & SIHKA

Kawin
Kawin
Kawin
Kawin
Kawin
Ka
Win
72 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

Ka
Win
Ka
Win
Ka
Win
Ka
Winka
Winka
Winka
sihka
sihka
sihka
sih
ka
sih
ka
sih
ka
sih
ka
sih
ka
sih
sih
sih
sih
sih
sih
ka

Homologues merupakan bentuk sajak pantun yang


berisi baris-baris yang sejajar. Baris-baris yang sejajar
baik bentuk visulnya ataupun bentuk kata-katanya,
penjajaran suara itu menyebabkan timbulnya arti yang
sama. Konsep homologeus ini sejajar dengan konsep
kesepadanan (equation) yang digagas Roman Jakobson.
Contoh, bait sajak W.S. Rendra dari sajak “Ada Tilgram
Tiba Senja”.
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 73

Elang yang gugur tergeletak


Elang yang gugur terebah
Satu harapanku pada anak
Ingatkan pulang pabila perlu
74 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

AL-QUR’AN DAN INTERPRETASI


SEMIOTIK MOHAMMED ARKOUN

A. Dasar Pemikiran Arkoun dalam Pembacaan al-


Qur’an
1. Penjelajahan Metodologi
Dalam wacana pemikiran Islam kontemporer, kajian
"pemikiran Islam" model Arkoun mempunyai corak khas
dan unik. Corak telaah pemikiran Islamnya berbeda
dengan corak telaah pemikiran Islamnya model
orientalis (Arkoun, 1990a:267-268; Arkoun, 1990b:182),
berbeda dengan pemikiran Islam model Hasan Hanafi
yang kental dengan bobot kalam dan filsafatnya,
berbeda dengan pemikiran Islam model Seyyed Hosein
Nasr yang kental dengan bobot pemikiran tasawuf dan
filsafatnya, serta berbeda dengan pemikiran Islam
Isma'il Razi al-Faruqi dan Syed Muhammad Naquib al-
Attas yang nuansa pemikiran islamisasi sainsnya sangat
mencolok (Amin Abdullah, 1996:2).
Dalam beberapa hal, pemikiran Islam a la Arkoun,
menurut Amin Abdullah, sangat dekat dengan alur
pemikiran Fazlur Rahman, khususnya dalam alur
pemikirannya yang sangat kritis terhadap warisan
intelektual Islam era klasik-Skolastik, abad pertengahan
(Amain Abdullah, 1996:3). Jika Fazlur Rahman secara
tegas mengkritik terhadap cara pemahaman umat Islam
terhadap hadits dan kemudian menyusun sistematika
pemahaman komprehensif al-Qur'an, maka Arkoun lebih
banyak menyentuh "bangunan" pemikiran Islam secara
menyeluruh, baik yang menyangkut pemikiran kalam,
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 75

tasawuf, fikih, akhlak, maupun interpretasi al-Qur'an.


Karya-karya Fazlur Rahman mengantarkan pada
kesimpulan perlunya segera diupayakan sytematic
reconstruction dalam pemikiran Islam, terutama dalam
hal yang menyangkut bidang teologi, filsafat, dan ilmu-
ilmu sosial (Rahman, 1982:152-151-161). Meskipun
demikian, Fazlur Rahman belum begitu tegas dan
tandas dalam menguraikan metodologi dan piranti
keilmuan yang diperlukan untuk mencapai tujuan
systematic reconstruction tersebut. Bahkan, menurut
Amin Abdullah, Fazlur Rahman sering kali ragu jika
harus dihadapkan pada pilihan harus memilih model
pemikiran Islam yang bernuansa "normatif" atau
"historis empiris". Kekosongan dalam bidang metodologi
yang harus digunakan inilah yang diisi oleh Arkoun
(Amin Abdullah, 1991:3).
Arkoun menilai bahwa pemikiran Islam belum
membuka diri pada kemodernan, kecuali dalam
beberapa usaha pembaruan kritis yang masih bersifat
jarang, marginal, periferal, dan mempunyai ruang
perkembangan yang sempit. Oleh karena ketertutupan
ini, pemikiran Islam belum--atau bahkan tidak--dapat
menjawab tantangan yang dihadapi umat Muslim
kontemporer. Pemikiran Islam, dalam penilaian Arkoun
(1994:194), bersifat "naif" karena hal-hal sebagai
berikut. 1) pemikiran Islam mendekati agama atas dasar
kepercayaan langsung dan tanpa kritik; 2) Pemikiran
Islam tidak menyadari jarak antara makna potensial
terbuka yang diberikan dalam wahyu Ilahi dan
aktualisasi makna itu dalam sejumlah makna yang
diaktualisasikan dan dijelmakan dalam berbagai cara
pemahaman, penarasian, dan penalaran khas
masyarakat tertentu, ataupun dalam berbagai wacana
ajaran khas aliran teologis dan fikih tertentu; 3)
Pemikiran Islam juga tidak sadar akan berbagai faktor
sosial, budaya, psikis, politis, dan lain-lain yang
76 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

mempengaruhi proses aktualisasi tersebut; 4) Pemikiran


islam juga tidak menyadari bahwa dalam proses itu
bukan hanya pemahaman dan interpretasi tertentu
ditetapkan dan diakui, melainkan pemahaman dan
interpretasi lain justru disingkirkan. Hal-hal itu baru
dialami oleh berbagai ilmu pengetahuan modern yang
dimasukkan Arkoun ke dalam pemikiran Islam. Akibat
proses aktualisasi dan penjelmaan, yang sifat dan
dimensinya tidak disadari, adalah pembekuan dan
penutupan pemikiran Islam, lahirnya banyak hal yang
tak dipikirkan atau tak terpikir, perkembangan sejumlah
aliran dan kelompok yang berhadapan dengan sikap
polemis, apologetis, dan menolak, dan akhirnya
ketakmauan pemikiran Islam itu untuk menjawab
masalah umat.
Menurut Arkoun (1994:272&283), sifat "naif"
pemikiran Islam adalah umum, tetapi ditunjukkan
secara khusus dalam karya sejumlah 'ulamâ' dan
fuqahâ' yang menjadi objek kajian Arkoun dalam banyak
tulisannya. Bahkan "neo-ijtihad" yang dilakukan setelah
"pintu ijtihad dibuka kembali" pada abad ke-19 oleh
para reformis dan modernis, yang disusul para
pendukung dan pembangunan nasional, bersifat
pragmatis dan belum membuka diri pada kemodernan
pemikiran yang sebenarnya. Dalam suatu ulasan
terhadap karya Thâhâ Husain dan 'Ali 'Abd al-Râziq,
Arkoun secara ringkas mengkritik tradisi pemikiran
Islam di kalangan Muslim sebagai dua cara pemikiran
yang dicirikan pembatasan yang berlawanan; Pertama,
pemikiran Islam yang hanya memperhatikan "fakta
positif dan historis" dan menginkari “angan-angan”
(usturah) dan mitis; Kedua, pemikiran Islam yang
mempertahankan berbagai unsur angan-angan sebagai
"fakta positif dan historis".

"...Demikian pula halnya Thâhâ Husein dan 'Ali 'Abd al-


Tokoh dan Pemikiran Semiotik 77

Râziq menunjukkan kenaifan intelektualnya ketika


mengira dapat menyentuh dua pokok masalah yang
dibebani berbagai penampilan mitis-keagamaan,
sementara postulat-postulat positivis dalam metode
filologis dan historisis justru membuangnya jauh-jauh ke
dalam wilayah gelap dan tidak padu dari angan-angan
yang dibesarkan. Seperti di barat, kelompok itu ingin
menghayati kesejarahan dengan menyangkal status dan
fungsi mitos; sedangkan lawan mereka, atas nama Islam
dan tradisi Arab, terus membela sejarah "benar", dengan
menonjolkan data yang mitologis dan ideologis (Arkoun,
1994:63).

Arkoun menghimbau para peneliti Islam agar


melampaui batas studi Islam yang tradisional--baik di
Barat maupun di dunia Islam sendiri--, yang mendekati
Islam melalui karya tertulis berbagai tokoh klasik
mengenai hal yang menyangkut pemikiran logis dan
rasional, fikih, dan terutama teologi. Walaupun begitu,
kebanyakan kajian Arkoun sendiri pun tampaknya
terfokuskan pada berbagai teks dari tokoh-tokoh klasik
yang besar, seperti Miskawaih, Abû al-Hassan al-'Amirî,
al-Syâfi'î, al-Ghazalî, Ibn Rusyd, Ibn Khaldûn, al-Maqrîzî,
al-Syâtibî, dan al-Thabarî; atau juga beberapa tokoh
lebih modern yang mewakili tradisi besar tertentu,
seperti Anwar al-Jundî, Al-Sayyid Husein Yûsuf Makkî
al-'Amilî, dan Abu Zahrah.
Cara Arkoun menganalisis teks-teks tersebut
melewati batas tradisi studi Islam karena meminjam
berbagai unsur dari filsafat, ilmu-ilmu sosial, dan
humaniora Barat mutakhir yang belum diterapkan
dalam studi Islam terdahulu. Dengan demikian, Arkoun
sekaligus memberikan contoh dari apa yang merupakan
tujuan seluruh karyanya, yaitu: Pertama, penggabungan
hasil berbagai ilmu pengetahuan Barat mutakhir dengan
pemikiran Islam guna membebaskan pemikiran Islam
tersebut dari kejumudan dan ketertutupan yang
78 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

mencirikannya sampai kini, dan kedua, melahirkan


suatu pemikiran islami yang menjawab tantangan yang
dihadapi manusia Muslim di dunia modern (Meuleman,
1994:6).
Sementara itu, Arkoun juga mengkritik cara
orientalisme, dan secara khusus islamologinya, dalam
mendekati Islam dan menganggapnya sebagai
ancangan yang harus dilampaui. Arkoun
mempersalahkan islamologi tradisional-Barat karena
alasan-alasan sebagai berikut
a. Pada masa silam Islamologi sering kali bertolak dari
prasangka kaku dan negatif terhadap Islam ataupun
menjadi alat aneksasi, imperialisasi, dan
pengdeskreditan dunia Islam oleh Barat;
b. Para islamolog secara prinsip berada di luar objek
penelitiannya (outsiders) dan menolak bertanggung
jawab secara intelektual atas pokok bahasan
mereka. Sikap itu, yang dibenarkan dengan mengacu
pada cita-cita objektivitas, membuat islamolog yang
serius hanya “berperilaku seperti pemandu museum
yang sabar”. Akibatnya islamologi Barat tidak dapat
menjawab persoalan nyata yang dihadapi oleh kaum
Muslim dewasa ini (Arkoun, 1994:125-166). Sebagai
contoh Snouck Hurgroye banyak melakukan kajian
dan penelitian tentang Islam dan masyarakat Muslim
di Nusantara, terutama Aceh. Hasil dari kajian dan
penelitiannya banyak dipergunakan pemerintah
Belanda untuk menaklukan Aceh.
c. Islamologi Barat tradisional sering kali mendekati
Islam melalui karangan tertulis dari para pemikir
yang dianggap besar dan “mewakili”
(logosentrisme), dengan mengabaikan pengecualian-
pengecualian. Dengan demikian, Islamologi
mengabaikan apa yang harus diungkapkan secara
lisan atau yang karena tekanan tertentu sama sekali
diungkapkan baik secara tertulis maupun secara
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 79

lisan. Karena alasan yang sama islamologi juga


mengabaikan tulisan yang dianggap tidak
"representatif" atau berbagai aspek Islam yang
terdapat di luar kerasionalan, seperti angan-angan
sosial.
d. Karya tulis para tokoh besar yang menjadi kunci para
islamolog untuk memahami Islam malahan didekati
dari sudut pandang interaksi antar “sejarah ide”
atau “sejarah gagasan”. Maksudnya, tulisan para
tokoh besar dianggap oleh para islamolog sebagai
berbagai himpunan gagasan dan anggitan lain, tanpa
pertimbangan apapun dalam relasi interaktif dengan
realitas sosial, ekonomi, bahasa, dan
perkembangannya.
Dalam dua kritik terakhirnya, Arkoun menganggap
mayoritas islamolog telah terjebak dalam tradisi kajian
filologisme, yang menganggap bahwa kajian tekstual
telah representatif dalam mengungkap realitas yang
terjadi. Namun menurut Arkoun, walaupun filologisme
ini jasanya tidak dapat disangkal, namun seringkali
filologisme menjadi cara tertentu untuk mendekati,
membatasi, dan memahaminya menurut suatu
interpretasi naif dari teks tersebut. Interpretasi naif
dimaksudkannya bahwa seolah-olah suatu teks
merubakan replikasi suatu gambaran langsung, total,
dan komprehensif dari realitas.
"Tradisi" filologis inilah, menurut Arkoun, yang
membuat islamologi, demi memusatkan perhatian pada
cabang ilmu pengetahuan itu, mengabaikan pendapat
kelompok minoritas dan anggapan golongan di luar elite
kekuasaan dan pengetahuan, dan kurang
memperhatikan aspek sosial dan budaya dari Islam,
serta hanya mencatat yang diungkapkan dan dipikirkan
tanpa menaruh perhatian pada yang justru tak
dipikirkan atau tak terpikir (Meuleman, 1994:9). Arkoun
mengemukakan bahwa terdapat kemiripan dalam sifat-
80 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

sifat tersebut antara pendekatan islmologi Barat


terhadap objek studinya dan ancangan para ilmuwan
agama di kalangan Muslim sendiri. Karena sikap
tersebut dan karena dangkalnya dari sudut pandang
teoritis, islmologi--salah satu cabang ilmu pengetahuan
Barat--dapat dianggap terbelakang dibandingkan
dengan banyak cabang ilmu pengetahuan Barat lainnya.
Islamologi belum menyerap hasil mutakhir berbagai
ilmu pengetahuan Barat, yang justru begitu dihargai
Arkoun (1994: 43, 113, & 245). Kritik keras Arkoun
terhadap islamologi Barat ini menyebabkan pandangan
pejoratif dari kalangan islamolog sendiri. Pieter Sjoerd
van Koningsveld, seorang islamolog Belanda, menulis
bahwa Arkoun kurang mengakui perkembangan
mutakhir dalam islamologi Barat yang sudah melewati
keterbatasannya yang lama (Meuleman, 1994:10).
Namun, walaupun tahu akan semua kelemahan
islamologi Barat tersebut, Arkoun tidak menyetujui
penolakan terhadapnya yang mutlak dan tak bernuansa,
karena di dalam batasnya yang jelas, para ahli
islamologi yang terbaik, melalui penelitian mereka yang
sangat teliti, telah menyelamatkan berbagai dari
warisan pemikiran Arab dan Islam dari keadaan
terlupakan dan menyumbang pada perkembangan
pemikiran islami. Sebagai solusi dari kelemahan-
kelemahan islamologi (klasik) ini, Arkoun mengajukan
islamologi terapan yang bertumpu pada praktik ilmiah
yang interdisipliner dan pluridisiplin, tanpa
mengabaikan temuan-temuan sebelumnya (Nasir
Tamara, 1989:45-51).
Dalam berbagai karya yang diintrodusirnya,
pembaca akan melihat usaha gigih Arkoun yang
berusaha menggabungkan hasil ilmu pengetahuan Barat
mutakhir dalam berbagai bidang--seperti filsafat dan
Antropologi--, sikap teliti dan kritis yang mencirikan--
kelompok terbaik dari--para "orientalis" (Islamolog), dan
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 81

semangat keagamaan yang ditemukan di kalangan


'ulamâ', serta angan-angan sosial yang memainkan
peran begitu besar dalam religiositas massa Muslim.
Namun, justeru karena pemaduan yang ketat,
ensiklopedis, dan usaha luar biasa, dalam setiap bidang
kajian, pemikiran Arkoun sampai sekarang tidak
mendapat perhatian atau bahkan mendapat respon
negatif. Di kalangan filosof, teolog, antropolog, dan
ilmuwan lain di Prancis atau di dunia Barat umumnya,
Arkoun bekerja secara terisolir. Di kalangan ahli ilmu
Islam dari dunia Islam sendiri, Arkoun cenderung
ditakfirkan dalam tulisan polemis yang tidak memenuhi
ukuran perdebatan ilmiah terbuka (Muhammad Barîsy
dari Maroko, Nu'mân 'Abd al-Razzâq al-Sâmarrâ'î dari
Arab Saudi, dan lain-lain).
Misalnya, Arkoun seringkali menekankan hubungan
erat antara pemikiran dan perkembangan sosial dan
politis. Menurutnya, perkembangan intelektual, sosial,
dan politis erat kaitannya. Dalam proses pembekuan
dan penutupan pemikiran yang terjadi di dunia Islam
pada tahap dini pun, misalnya, terkait erat dengan
faktor sosial dan politis. Dalam hal ini, Arkoun berusaha
mewujudkan pembukaan kembali pemikiran islami
dengan mendorong emansipasi Muslim dari berbagai
perbudakan yang dibuatnya sendiri dan tidak terbatas
pada bidang intelektual belaka (Arkoun, 1994:73). Ia
seringkali mengambil alih unsur tertentu dari ilmu sosial
dan sejarah, tetapi ia tidak menampakkan diri sebagai
seorang sosiolog, antropolog, ilmuwan politik, atau
sejarawan. Ia bertindak sebagai seorang pengkritik
pemikiran Islam. Kritik dimaksudkannya dalam arti
filsafat, yakni penelitian mengenai dasar dan batas
pemikiran atau dengan kata lain, mengenai syarat-
syarat keshahihan pemikiran tertentu. Kritik dalam arti
itu, yang menggunakan berbagai hasil pemikiran Barat
mutakhir, dianggapnya jalan tepat untuk melampaui
82 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

kekakuan pemikiran Islam.

2. Tradisi Pengkajian Teks


Pandangan tradisional mengenai teks adalah bahwa
teks--lisan atau tertulis merupakan mimesis (gambaran)
dari kenyataan dan bahwa bahasa terdiri atas sejumlah
kata yang mewakili atau merujuk pada hal dan benda
dalam kenyataan itu secara langsung. Visi itulah, yang
pada abad ke 19 dengan berbagai cara, semakin
dipermasalahkan oleh sejumlah ahli bahasa, filosof, dan
ilmuwan lain. Peranan penting dalam kritik yang
ditujukan pada pandangan tradisional tersebut
dimainkan oleh Ferdinand de Saussure, seorang ahli
bahasa dari Swiss (1875-1913). Ia mengemukakan
bahwa bahasa pada intinya terdiri dari sejumlah tanda
yang tidak langsung merujuk pada sekian banyak benda
dalam kenyataan.
Tanda adalah gabungan dari dua unsur, suatu unsur
material--bunyi tertentu dalam bahasa lisan, coretan
grafis dalam bahasa tulis--dan suatu unsur mental--
anggitan atau konsep. Kedua unsur tidak dapat
dilepaskan satu sama lain. Karena itu, tidaklah wajar
bila terdapat pertanyaan unsur apa yang lebih dahulu.
Saussure juga menganggap bahwa tidak relevan dalam
ilmu bahasa bila timbul pertanyaan "apa hubungan
antara unsur mental--misalnya konsep "pohon"--dan
suatu hal atau benda dalam realitas--benda pohon--.
Saussure menciptakan istilah "signifiant" (penanda)
untuk unsur material dan istilah "signifié" (petanda)
untuk unsur mental dari tanda (signe, Prancis). Istilah
ini kemudian menjadi istilah baku di dalam ilmu bahasa
dan semiotik.
Saussure menambahkan bahwa inti bahasa adalah
aturan tertentu (konvensi) yang menentukan hubungan
antara berbagai unsurnya. Setiap penutur harus tunduk
pada aturan itu. Aturan yang menentukan hubungan
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 83

antara berbagai unsur bahasa tidak mempunyai kaitan


langsung dengan hubungan yang terdapat antara
"benda-benda" dalam realitas. Fokus kajian Saussure
bukan terletak pada persoalan hubungan antara bahasa
dengan "kenyataan", melainkan terletak pada hubungan
dan aturan antar-unsur bahasa. Contoh aturan yang
terdapat dalam bahasa dan pemakaiannya menyangkut
hubungan antara petanda dan penanda tertentu, kaidah
tata bahasa, kaidah sintaksis, konvensi-konvensi sosial,
dan cara penalaran tertentu. Apabila manusia memakai
bahasa, ia tidak langsung berbicara tentang
"kenyataan", melainkan tunduk pada beraneka ragam
aturan yang pada umumnya tidak disadari. Konsep
diadik tanda dari Saussure, secara simplistis, tergambar
dalam skema di bawah ini.
1) Kata = benda = makna

Penanda

(2) Tanda gambar mental

Petanda

Referensi (acuan objektif)

Struktur Penampilan

Skema 2: Relasi tanda dan referensi (Arkoun, 1994:71)


Tokoh dan Pemikiran Semiotik 3

Skema di atas diadaptasi dari skema Roland Barthes


untuk menampilkan apa yang disebutnya
"metabahasa", yaitu suatu sistem semiotis bertingkat
dua: tanda tingkat pertama menjadi petanda pada
tingkat kedua. Ferdinand de Saussure membedakan
dalam seluruh gejala kebahasaan (langage) ke dalam
dua segi, yaitu sistem kebahasaan (langue) dan
pemakaian bahasa dalam ungkapan nyata (parole).
Parole dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
menjadi "wicara", tetapi untuk langage dan langue
hanya memilki satu kosa kata Indonesia, yaitu bahasa.
Saussure membedakan parole dan langue sebagai
berikut. Parole adalah penggunaan bahasa secara
individual. Langue adalah bahasa yang dipilih dari
kamus umum. Secara implisit dapat ditangkap bahwa
langue dan parole beroposisi-biner, tetapi sekaligus juga
saling tergantung. Hal itu berarti bahwa tidak ada yang
lebih utama. Di satu pihak sistem yang berlaku dalam
langue adalah hasil produksi dari kegiatan parole, dan di
lain pihak pengungkapan parole serta pemahamannya
hanya mungkin berdasarkan penelusuran langue
sebagai sistem (Panuti Sudjiman & Zoest, 1992:57).
Perbedaan antara langue dan parole selanjutnya
memainkan peran besar dalam ilmu bahasa. Namun,
dalam analisis bahasanya, Saussure membatasi diri
pada segi langue (sistem bahasa).

Salah satu fokus kajian Arkoun adalah proses


perkembangan interpretasi al-Qur'an dan pemikiran
manusia secara universal. Arkoun mengeliminir bahwa
teks al-Qur'an dibekukan secara grafis dan Arkoun
memperhadapkan karya tulis dan wacana liturgis.
Dalam proses perkembangan interpretasi al-Qur'an dan
pemikiran manusia secara umum tersebut, Arkoun
membedakan pelbagai tahapan. Adapun peralihan
antara tahap itu Arkoun mengemukakan anggapan yang
4 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

memandang tiga unsur penting; Pertama, ia


menghubungkan proses pembakuan dan penutupan
dalam penafsiran (pengartian) al-Qur'an dengan
pengalihannya dari bentuk lisan ke bentuk tulisan;
Kedua, ia beranggapan bahwa dalam pemikiran
manusia terjadi peralihan antara dua cara pemaknaan
(pemakaian) bahasa; ketiga, ia berpendapat bahwa
bahasa lisan adalah bentuk bahasa yang lebih awal dari
bahasa tulis. Arkoun menyadari betul pergeseran nalar
lisan ke nalar tulis berdasarkan pengamatan dan
pengalamannya pada pergeseran budaya Kabilia
(Berber) yang bertumpu pada nalar lisan ke budaya Aljir
dan Prancis, yang bertumpu pada nalar grafis.
Pertama, pendirian pertama ini mengindikasikan
bahwa Arkoun menganggap proses pencatatan teks al-
Qur'an sebagai faktor pembekuan interpretasi al-Qur'an
(Arkoun, 1996a:5). Arkoun menghubungkan proses
pembakuan dan pembekuan dalam penafsiran al-Qur'an
dengan pengalihannya dari bentuk lisan ke bentuk
tulisan. Objek kajian-kajiannya bukan berpusar pada
status ontologis al-Qur'an, melainkan proses
pembekuan dalam penafsiran al-Qur'an (Arkoun,
1996a:6).
Ia berpandangan bahwa peralihan dari bentuk lisan
ke bentuk tulis, dalam proses pencatatan pemikiran
manusia, sebagai faktor utama dari pembekuan makna
al-Qur'an. Dalam cara ia mempertentangkan bahasa
lisan dan tulis, Arkoun sangat dipengaruhi oleh
antropolog Inggris, Jack Goody, yang mengembangkan
nalar grafis, yaitu nalar khas masyarakat tulisan.
Kebanyakan tulisan Arkoun tidak membicarakan al-
Qur'an, melainkan karya Fikih atau teologi tertentu yang
dibahas dari segi fungsi dan kedudukannya dalam
proses pemikiran Muslim.
Kedua, Arkoun beranggapan bahwa dalam pemikiran
manusia terjadi peralihan cara pemaknaan bahasa,
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 5

yakni dari kalam kenabian (kalam yang dipergunakan


para rasul, peramal, dan penyair) ke wacana akademis
(wacana pengajaran). Kalam kenabian atau wacana
kenabian, inilah yang mendominasi pemikiran awal
manusia. Kalam kenabian, baik lisan maupun dicatat
menjadi teks tertulis bersifat terbuka, dalam arti
maknanya tidak bisa ditentukan menjadi penafsiran
kaku dan tertentu. Sifat keterbukaan kalam kenabian
juga karena kalam kenabian tidak membicarakan benda
atau fakta-fakta tertentu, tetapi menunjukkan makna-
makna dan nilai-nilai universal seperti asal dan tujuan
eksistensi manusia, kasih sayang, kehidupan, dan
kematian. Namun, disebabkan Plato dan Aristoteles,
kata Arkoun, dasar pemikiran manusia berubah dari
kalam kenabian menjadi menjadi wacana akademis.
Wacana akademis menganggap objek sebagai benda-
benda yang dideskripsikan dan diklasifikasikan
sedefinitif mungkin dengan interpretasi-interpretasi dan
konsep-konsep kaku. Dengan demikian, kalam kenabian
sendiri telah menjadi objek wacana akademis. Sebagian
hasil dari peralihan tersebut, teks menjadi preteks
(dalih) sebagai pengabsahan kekuatan kelompok
tertentu. Teks menjadi tradisi yang hanya diulang-ulang
dengan pengertian yang kaku dan tidak dipikirkan
secara mendalam, sehingga hilanglah karakteristik
kalam kenabiannya (Arkoun, 1994:78). Perubahan
tersebut mempunyai pengaruh luas terhadap
perkembangan pemikiran manusia secara umum,
termasuk dalam interpretasi al-Qur'an (Arkoun,
1994:79). Peralihan yang sama juga dirumuskan
sebagai peralihan bahasa mitis atau bahasa yang
bersusunan mitis ke bahasa denotatif dan logis ataupun
bahasa logosentris (Arkoun, 1998:55-57). Dalam hal
menjelaskan peralihan bahasa mitis ke bahasa denotatif
dan logis (bahasa logosentris), Arkoun terpengaruh oleh
pemikiran Roland Barthes.
6 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

ketiga, Arkoun berpendapat bahwa bahasa lisan


adalah bentuk bahasa yang lebih awal dari bahasa tulis.
Peralihan dari kalam kenabian ke wacana pengajaran
dikaitkan Arkoun dengan peralihan dari bahasa lisan ke
dalam bahasa tulis. Nalar grafis (raison graphique)
mendominasi cara berberfikir umat dalam memahami
wahyu. Sabda atau logos kenabian (prophétique)
didesak oleh logos pengajaran (professoral). Ia
menegaskan bahwa telah terjadi pemiskinan
kemungkinan untuk memahami segala dimensi wahyu.
Firman kenabian dimiskinkan menjadi firman yang
berorientasi pada pengajaran, yaitu berorientasi pada
abstraksi tanpa memperhitungkan secara serius pihak
yang mula-mula dituju oleh firman itu. Dalam kategori
semiotik, al-Qur'an sebagai parole didesak oleh teks
sebagai langue. Arkoun berpendapat bahwa teks al-
Qur'an kini tetap merupakan parole bagi para mukmin,
meskipun al-Qur'an sekarang lebih berfungsi sebagai
teks tertulis.
Untuk menghindari kesalahpahaman bahwa seakan-
akan Arkoun melakukan sakrilegi terhadap al-Qur'an
Arkoun membedakan tiga konsep tentang wahyu.
Pertama, wahyu sebagai Logos Ilahi yang transenden,
tidak terbatas, tidak diketahui oleh manusia. Untuk
menunjuk realitas wahyu semacam ini biasanya dipakai
konsep al-Lauh al-Mahfûdz atau Um al-Kitâb. Tingkat
kedua, menunjukkan penampakan wahyu dalam
sejarah. Berkenaan dengan al-Qur'an, konsep ini
menunjuk pada realitas Firman Allah sebagaimana
diwahyukan dalam bahasa Arab kepada Nabi
Muhammad. Tingkat ketiga menunjuk wahyu
sebagaimana sudah tertulis dalam mushaf dengan huruf
dan berbagai macam tanda di dalamnya (Arkoun,
1993:36).
Dalam analisisnya, Arkoun menyebut mushaf
Utsmâni sebagai the clossed official corpus (kanon
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 7

resmi tertutup) atau mushaf standar-resmi-final.


Penyebutan ini dimaksudkan untuk menekankan aspek
historis dari mushaf. Menurut Arkoun, untuk memahami
kandungan al-Qur'an sedalam-dalamnya serta melucuti
pemahaman yang berbau ideologis dan teologis yang
beku, pembaca (penafsir) tidak dapat mengabaikan
aspek historis ini. Arkoun mengatakan, "This is extremly
important: it refers to many historical facts depending
on social and political agents, not on God. Let us
elaborate it more clearly". Sedangkan untuk menunjuk
pewahyuan yang diujarkan oleh Nabi, Arkoun
menyebutnya sebagai ujaran 1 (discours Coranique)
atau "kata-kata yang diungkapkan oleh Nabi yang tidak
dialami lagi oleh orang-orang yang tidak hidup
bersamanya". Dengan kata lain ujaran 1 adalah ujaran
dari penutur pertama. Ujaran 1 ini dipakai untuk
membedakan ujaran 2 yaitu ujaran yang ada dalam
mushaf atau “ujaran yang ditranskripsikan”.

KA SP KA = Kalam Allah
WQ = Wacana
Qurani
WQ KRT = Korpus
Resmi Tertutup
KI = Korpus
Interpretatif
KRT SP = Sejarah
Penyelamatan
(Salvation
History)
KI SD = Sejarah
Dunia

KI = Komunitas
Interpreter
KI SD

Skema 3: Pembakuan nalar grafis dan


8 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

pembekuan interpretasi

Untuk membuka buhul-buhul yang menghambat


akses-objektif dalam menggali khazanah intelektual dan
ruhani al-Qur'an, Arkoun menyerukan untuk
memanfaatkan perkembangan baru dalam linguistik dan
semiotik. Seruan Arkoun tersebut diarahkan pada para
pemikir Muslim, Yahudi, dan Kristen. Semuanya diajak
untuk memahami Firman Allah lewat kitab suci dengan
memanfaatkan temuan-temuan linguistik dan semiotik,
karena tak seorang pun dapat mempunyai akses pada
Firman Allah kecuali lewat teks (Arkoun, 1998:92).
Arkoun melihat bahwa semiotik memberikan
preskripsi-metodologis untuk memahami teks al-Qur'an
secara komprehensif dengan memandang teks kitab
suci secara integral sebagai suatu sistem relasi internal.
Manfaat pertama yang disebutkannya, dengan merujuk
kepada L. Hjelmslev, adalah bahwa pendekatan semiotis
memandang suatu teks sebagai keseluruhan dan
sebagai suatu sistem dari hubungan-hubungan internal.
Pendekatan ini memungkinkan untuk memahami
banyak aspek dari sebuah teks yang tidak dapat
ditangkap atas dasar suatu analisis yang bertolak dari
unsur-unsur tertentu yang terpisah dan berdiri sendiri
dari teks yang bersangkutan (Arkoun, 1998:102).
Kelebihan lain menurut Arkoun adalah bahwa analisis
semiotik membuat pembaca mendekati suatu teks
tanpa interpretasi atau pra-anggapan lain (Arkoun,
1996a:6).

3. Dekonstruksi Teks
Teks-teks keagamaan memegang peranan penting di
kalangan orang-orang beragama. Di antara teks-teks
tersebut, teks kitab suci memegang posisi sentral,
karena dalam teks tersebut terkandung pewahyuan ilahi
kepada manusia. Pewahyuan ini bersifat unik, artinya
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 9

terjadi satu kali untuk selamanya, jadi tidak tergantikan.


Berkaitan dengan al-Qur'an, Arkoun memposisikan al-
Qur'an sebagai Korpus ujaran-ujaran (affirmations) yang
berbatas dan terbuka dalam bahasa Arab (di mana jalan
menuju kepadanya dimungkinkan hanya melalui teks
karena diturunkan hanya melalui teks), dan dijadikan
tulisan pada abad ke-4 H. Keseluruhan teks yang begitu
tertata rapi itu memiliki fungsi sebagai karya tulis dan
liturgi lisan (Arkoun, 1996a:5). Korpus adalah suatu
himpunan terbatas--atau juga berbatas--dari unsur yang
memilki sifat bersama tertentu dan tunduk pada aturan
yang sama dan karena itu dapat dianalisis secara
keseluruhan (Meuleman, 1994:15).
Al-Qur'an sebagai korpus berbatas dimaksudkan
bahwa al-Qur'an--dalam bentuknya yang diakui dan
digunakan sekarang secara umum--terdiri dari sejumlah
ujaran yang mempunyai bentuk tetap. [Dengan
menggunakan peristilahan sangat semiotis] Arkoun
menulis bahwa korpus (al-Qur'an) tersebut bersifat
"selesai dari segi bentuk ungkapan dan bentuk isi”. Ia
tuliskan dalam bahasa Prancis “achevé quant à la forme
de l’expression et â la forme du contenu” ditambah lagi
dalam tanda kurung “modes d’articulation des
signifiants et des signifiés” (Arkoun, 1998:94). Namun,
karakteristik al-Qur'an pertama ini merupakan tahap
pertama dalam analisis. Arkoun menambahkan bahwa
“korpus itu terbuka.” Dengan karakteristik kedua ini
dimaksudkan bahwa al-Qur'an bersifat dinamis dan
terbuka pada konteks yang beraneka ragam, yakni
terbuka terhadap segala bentuk interpretasi, sejak
dahulu hingga masa yang akan datang.
Arkoun memakai konsep korpus tertutup yang
berasal dari tradisi analisis linguitik strukltural, terutama
dari Roland Barthes. Namun, analisis Arkoun tidak
berhenti di sana. Ia langsung menambahkan bahwa
korpus itu terbuka. Arkoun meninggalkan wilayah ilmu
10 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

bahasa struktural, sekaligus meninggalkan wilayah


semiotik secara umum. Objek kajian Arkoun tidak
tertumpu pada status ontologis al-Qur'an sebagai
korpus tertutup, melainkan ia lebih menaruh perhatian
pada proses penutupan interpretasi. Oleh Karena itu,
pembahasannya tidak terbatas pada analisis sinkronik,
melainkan mengutamakan analisis diakronis. Dengan
demikian, analisis diakronik Arkoun bertumpu pada
analisis peralihan yang terjadi di dalam suatu teks
antara keadaan struktur awal dan keadaan struktur
akhir dan dilanjutkan dengan analisis perkembangan
teks dan interpretasi teks dari masa ke masa. Arkoun
membedakan antara dua bentuk korpus dan
menganalisis hubungan antara keduanya: yaitu, "korpus
Teks suci-resmi-tertutup" (genoteks) dan "korpus-korpus
yang ditafsirkan" (hasil dari kegiatan menafsirkan
korpus yang pertama oleh umat sebagai fenoteks).
Genoteks adalah teks (sumber) utama, sedangkan
fenoteks adalah teks hasil penafsiran dari genoteks
yang kental dengan intervensi subjektif penafsir (lihat
Kris Budiman, 1999:35 & 41). Konsep 'korpus" tidak
hanya dipakai oleh Arkoun dalam kaitannya dengan al-
Qur'an, melainkan juga ketika membicarakan himpunan
terbatas dan beku dari teks-teks populer lainnya dalam
bidang fikih atau teologi, misalnya.
Merujuk pada analisis historis, Arkoun memandang
teks al-Qur'an sebagai hasil dari suatu tindakan
pengujaran (énonciation). Artinya, teks ini berasal dari
bahasa lisan yang akhirnya ditranskripsi ke dalam
bahasa tulisan dalam wujud teks. Dengan demikian,
pembaca al-Qur'an dihadapkan dengan teks
transendental yang diyakini oleh kaum muslim sebagai
logos Tuhan pada tataran ontologi-eksistensialnya.
Arkoun memandang bahwa keyakinan umat Islam
terhadap status al-Qur’an ini tidaklah menjadi
pertimbangan serius bagi pencarian makna al-Qur'an.
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 11

Hal ini karena, Kitab suci, termasuk al-Qur'an,


merupakan bagian dari korpus linguistik yang memuat
logos Tuhan. Dari satu sisi, teks al-Qur'an dapat
dikatakan sebagai sebuah karya sastra atau puisi yang
indah. Namun, di sisi lain, teks tersebut bukanlah
sekedar puisi, karena ia adalah Kalam Tuhan, Wahyu.
Dimanakah kedudukan teks tersebut dalam seluruh
wahyu atau pewahyuan? Untuk mengikuti pemikiran
Arkoun, pertanyaan ini signifikan untuk menghindari
salah paham seakan-akan Arkoun melakukan sakrilegi
terhadap al-Qur'an. Arkoun memang kritis, namun
analisisnya tidak mempengaruhi keyakinannya sebagai
seorang Muslim akan status wahyu dari al-Qur'an .
Untuk menjelaskan hal tersebut, secara umum,
Arkoun membedakan dua bentuk tradisi. Dalam karya-
karyanya, ia secara bersamaan menggunakan dua kata
Tradition dan Turats, dan membagai keduanya kepada
dua jenis. Tradisi atau Turats (dengan T kapital), yaitu
tradisi yang transenden yang selalu dipahami dan
dipersepsi sebagai tradisi ideal, yang datang dari Tuhan
dan tidak dapat diubah-ubah oleh kejadian historis.
Tradisi semacam ini adalah abadi dan absolut. Tradisi
atau turats jenis kedua (dengan t kecil) merupakan hasil
bentukan sejarah dan budaya, baik yang merupakan
warisan turun-temurun sepanjang sejarah kehidupan,
atau penafsiran manusia atas wahyu Tuhan lewat teks
kitab suci (Arkoun, 1987:17-24).
Antara dua jenis tradisi ini, Arkoun
mengesampingkan jenis yang pertama, karena
menurutnya, tradisi tersebut berada di luar
pengetahuan dan kapasitas akal manusia. Dengan
demikian, target dan objek kajian yang dilakukannya
adalah turâts jenis kedua, yakni turâts yang dibentuk
oleh kondisi sejarah (kondisi ruang dan waktu).
Membaca turâts adalah membaca teks, seluruh jenis
teks. Karena turâts tersebut dibentuk dan dibakukan
12 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

dalam sejarah, ia pun harus dibaca melalui kerangka


sejarah, inilah historisisme. Menurut Arkoun, salah satu
tujuan membaca teks, teks suci khususnya, adalah
untuk mengapresiasi teks tersebut di tengah-tengah
perubahan yang terus terjadi. Dengan kata lain, ajaran-
ajaran agama yang berasal dari teks suci tersebut harus
selalu sesuai dan tidak bertentangan dengan segala
keadaan, inilah salah satu pesan Islam, al-Islâm yashluh
li kulli zamân wa makân.

B. Pusaran Intelektual Interpretasi Semiotik


Arkoun
1. Pusaran Bahasa dan Budaya
Mohammed Arkoun lahir pada tanggal 1 Pebruari
1928 di Tourit-Mimoun, Kabilia, suatu daerah
pegunungan berpenduduk Berber di sebelah timur Aljir.
Sejak kecil Arkoun telah dihadapkan pada tiga bahasa
yang sangat signifikan dalam pembentukan
intelektualisme Arkoun, yaitu (a) bahasa Kabilia yang
merupakan salah satu bahasa Berber yang diwariskan
Afrika Utara sejak zaman pra Romawi dan pra-Islam. (b)
bahasa Arab yang dibawa bersama ekspansi Islam sejak
abad pertama hijriah, dan (c) bahasa Prancis yang
dibawa oleh bangsa yang menguasai Aljazair antara
tahun 1830-1962 (Meuleman, 1994:1). Arkoun sangat
intensif dengan ketiga bahasa tersebut, bahasa Kabilia
dalam kehidupan sehari-hari, bahasa Prancis di sekolah
dan dalam urusan administratif, dan akhirnya bahasa
Arab yang baru didalaminya ketika ia masuk sekolah
menengah di Oran, kota utama di Aljazair bagian barat
(1993:93).
Ketiga bahasa tersebut mewakili tiga tradisi dan
orientasi budaya yang berbeda. Bahasa Kabilia
merupakan wadah penyampaian sehimpunan tradisi
dan nilai pengarah yang menyangkut kehidupan sosial-
ekonomi yang sudah beribu-ribu tahun lamanya. Bahasa
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 13

Arab adalah alat pengungkapan dan pelestarian tradisi


bidang keagamaan, yang mengaitkan Aljazair dengan
daerah dan bangsa lain di Afrika Utara dan Timur
Tengah. Bahasa Prancis merupakan bahasa
pemerintahan dan sarana pemasukan nilai dan tradisi
ilmu Barat yang disampaikan melalui sekolah-sekolah
Prancis yang didirikan oleh penguasa penjajah dalam
jumlah yang relatif besar di daerah Kabilia. Sampai
batas tertentu juga, ketiga bahasa itu mewakili cara
berpikir dan memahami yang berbeda.
Arkoun sangat sadar akan persaingan yang terdapat
antara berbagai bahasa dan cara berpikir. Perbedaan
antara bahasa lisan dan bahasa tulis serta hubungan
antara bahasa, pemikiran, sejarah, dan kekuasaan
termasuk persoalan yang banyak menarik Arkoun.
Usaha memadukan berbagai cara berpikir, terutama
semangat keagamaan, yang lebih terpelihara di
kalangan massa penganut Islam, dan sikap rasional
serta kritis yang lebih berkembang di dunia Barat
merupakan cita-citanya.
Pendidikan yang dijalani Arkoun mempererat
pergaulannya dengan berbagai bahasa dan tradisi
pemikiran, terutama tradisi Islam, yang sebagian besar
diungkapkan dalam bahasa Arab, dan tradisi Barat,
terutama yang berkembang dalam bahasa dan di
negara Prancis. Pendidikan Arkoun dimulai pada sekolah
dasar di desa asalnya, kemudian belajar sekolah
menengah di kota pelabuhan Oran. Dari tahun 1950-
1954 ia belajar bahasa dan sastra Arab di Universitas
Aljir. Kemudian, di tengah perang pembebasan Aljazair
dari Prancis (1954-1962), ia mendaftarkan diri sebagai
mahasiswa di Paris. Sejak saat itu ia menetap di Prancis.
Pergaulannya dengan budaya Prancis yang sudah
dimulai sejak di sekolah dasar--yang berpola Prancis--di
desa asalnya, kini berlanjut semakin intensif. Namun,
bidang kajian utama dari studi dan kajian (area of
14 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

concern) Arkoun tidak berubah, yaitu bahasa dan sastra


Arab serta pemikiran Islam (Meuleman, 1993:93).
Doktor dalam bidang sastra diselesaikan Arkoun
pada tahun 1969 di Universitas Sorbone, Paris dengan
disertasi mengenai humanisme dalam pemikiran etis Ibn
Miskawaih [seorang pemikir muslim abad ke 11 Masehi
(w. 1030 M)]. Disertasinya diterbitkan dengan judul
Traite d’ethique (Damaskus, 1969), dan Contribution la
’etude de l’humanisme Arabe IVe/Xe siecle (Edisi kedua,
Paris, 1982). Jenjang pendidikan formal yang dilalui
Arkoun ini selanjutnya semakin mempererat
pergaulannya dengan tiga bahasa di atas--Kabilia, Arab,
Prancis-- dan tradisi pemikiran, terutama tradisi Islam
(yang sebagian diungkapkan dalam bahasa Arab) dan
tradisi Barat (terutama yang berkembang dalam bahasa
dan di negeri Prancis). Dari sini dapat diketahui bahwa
Arkoun menjalani kehidupannya di antara pelbagai
tradisi dan kebudayaan. Keterlibatannya dalam tiga
bahasa di atas, kelak menjadi faktor penting yang
mempengaruhi perkembangan intelektualismenya. Hal
ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan
perhatiannya pada peran bahasa dan pergeseran
nalarnya dalam pemikiran serta masyarakat manusia
demikian besar.
Satu hal yang menarik perhatian adalah bahwa
Arkoun menerbitkan kebanyakan tulisannya dalam
bahasa Prancis. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor.
Pertama, Bahasa Kabilia sebagai bahasa ibunya tidak
tertulis sedangkan bahasa Arab (sebagai bahasa resmi
negara) baru dipelajarinya di sekolah menengah. Ia
lebih intensif dengan bahasa Prancis yang dikenalnya
sebagai bahasa di sekolah dan bahasa administrasi
pemerintahan, terlebih lagi ketika ia sekolah dan
kemudian tinggal di Prancis. Kedua, Arkoun menemukan
banyak masalah dalam menungkapkan pemikirannya
dalam bahasa Arab.
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 15

Dalam artikel yang diterbitkan pada tahun 1983--dan


sejak itu keadaan belum banyak berubah--Arkoun
menulis bahwa kemajuan yang paling menentukan yang
terjadi dalam pemikiran ilmiah sejak tahun 1950-an
belum tersedia dalam bahasa Arab atau bahasa Islam
manapun. Acuan apapun pada epistemologi kritis, kritik
wacana atau sejarah dekonstruktif belum mungkin
dalam bahasa-bahasa itu karena persoalan seperti itu
belum dipikirkan oleh pemakai bahasa tersebut
(Meuleman, 1994:3). Ia merujuk secara khusus pada
masalah yang dihadapinya ketika pernah dicoba untuk
mengalihkan ke bahasa Arab pengertian "bahasa mitis"
yang diterapkannya pada al-Qur'an. Konsep mitos
diterjemahkan dengan ustùrah, yang pada umumnya
dimengerti sebagai dongeng. Terjemahan seperti ini
dapat menimbulkan reaksi keras (Arkoun, 1994:53).
Namun, akhir-akhir ini Arkoun rupanya membuka diri
pada penerbitan bahasa Arab. Selain itu, Arkoun, yang
sering mengunjungi Inggris dan terutama Amerika
Serikat, menulis beberapa artikel dalam bahasa Inggris.
Selama kehidupannya yang lama di Barat, terutama
di Prancis, Arkoun sangat intens dengan berbagai ilmu
pengetahuan Barat mutakhir. Menurut Arkoun,
keunggulan ilmu pengetahuan dan pemikiran Barat
pada umumnya berasal dari rasionalitasnya, yang
menjadi basis pemikiran Barat modern. Arkoun
menyesalkan bahwa perkembangan mutakhir ilmu
pengetahuan Barat tersebut belum atau kurang
diapresiasi--bahkan ditolak--oleh kaum Muslim,
terutama yang menyangkut ilmu agama dan pemikiran
Islami. Padahal menurutnya, pengadopsian dan
penginternalisasian pemikiran Barat tersebut sama
sekali tidak mengancam pemikiran dan masyarakat
islami, jika dijadikan sarana untuk memahami dan
membuka asal-usul dan proses pembekuan, kekakuan,
dan ketertutupan pemikiran Islam.
16 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

Dalam banyak hal, pemikiran Arkoun banyak


dipengaruhi oleh pemikiran strukturalisme Prancis,
termasuk dalam persoalan linguistik dan semiotik, di
samping pemikir-pemikirn lainnya. Di antara rujukan
Arkoun yang paling penting terdapat ahli bahasa Swiss
Ferdinand de Saussure; para filosof Prancis seperti Paul
Ricoeur, Michel Foucault, dan Jacques Derrida; ahli
semiotik Prancis Roland Barthes; antropolog Inggris Jack
Goody dan antropolog Prancis Pierre Bourdieu; dan
ilmuwan kesusastraan Kanada Northop Frye.
Konsep langage, parole dan langue Arkoun
dipengaruhi oleh Ferdinand Saussure. Namun, satu hal
yang tidak memudahkan pembacaan Arkoun--kedua
istilah pertama tidak digunakannya dalam arti de
Saussure yang sudah menjadi klasik. Pembedaan antara
langage, langue, dan parole dirumuskan dengan cara
lain oleh Arkoun. Langue dirumuskan Arkoun sebagai
"harta asal milik bersama [suatu masyarakat]”.
Sedangkan langage dipakai dalam arti sebuah alat yang
tersedia bagi manusia untuk mengungkapkan diri
secara lisan atau tertulis. Selain itu juga, Arkoun
mencoba mengutak-atik persoalan perbedaan dan jarak
penulis teks, teks, dan pembaca teks. Persoalan terakhir
ini tidak masuk dalam wilayah kajian de Saussure;
melainkan dikembangkan oleh hermeneutika.
Bagi paham strukturalisme linguistik, bahasa
mencapai puncak perwujudannya dalam tulisan. Sebuah
kebenaran akan bertahan abadi dan komunikatif ketika
diekspresikan dalam bentuk tulisan, bukan person. Oleh
karena itu, teks memiliki jangkauan yang lebih jauh dari
pada ujaran (enonciation). Teks itu bersifat otonom dan
memiliki "emosi" yang stabil sementara kebenaran yang
diucapkan oleh pembicara (locutor) mudah dipengaruhi
oleh situasi psikologis pembicaranya (Peaget, 1995: 62).

Berbagai teori, metode, dan Konsep lingusitik-


Tokoh dan Pemikiran Semiotik 17

semiotis kritis yang dikebangkan Roland Bathes, L.


Hjemslev, dan A.J. Greimas, pada gilirannya diadopsi
dan diinternalisasi oleh Arkoun. Bagi Arkoun,
pengadopsian tersebut bermanfaat untuk memperkaya
pisau analisis kajian keislaman. Analisis semiotis
mengenai teks Qur'an, menurut Arkoun memandang
suatu teks, termasuk al-Qur'an, sebagai keseluruhan
dan sebagai sistem dari hubungan-hubungan internal.
Pendekatan ini memungkinkan untuk memahami
banyak aspek sebuah teks yang tidak ditangkap atas
dasar suatu analisis yang bertolak dari unsur-unsur
tertentu yang terpisah dan berdiri sendiri dari suatu teks
bersangkutan. Kelebihan lain menurut Arkoun adalah
bahwa analisis semiotis membuat pembaca mendekati
teks tanpa pra-anggapan lain.
Namun demikian, menurut Arkoun, analisis semiotis
memiliki keterbatasan-keterbatasan yang harus
dilampaui. Oleh karena itu, Arkoun secara sadar
mengkritik pendekatan totalitas semiotis. Arkoun tidak
secara total memfokuskan kajian pada tanda-tanda
pada teks atau wacana, melainkan meneruskannya ke
dalam kajian hubungan antara wacana, kenyataan
(realitas, alam), dan persepsi (dari wacana dan
kenyataan itu oleh manusia) yang diperantarai oleh
bahasa. Selain itu, Arkoun banyak menaruh perhatian
pada hubungan antara teks, penutur (pembicara,
penulis) teks, dan pembaca teks. Akhirnya bukan
tanda-tanda dan hubungan antara berbagai tanda yang
menjadi inti perhatian Arkoun, melainkan makna serta
pembentukan dan transformasi (perubahan) makna,
serta interpretasi makna dan perubahan dalam
interpretasi tersebut. Oleh karena itu, analisis semiotis
dan linguistik yang terdapat dalam karya Arkoun hanya
merupakan bagian dari suatu analisis yang lebih umum
dan yang menggunakan ilmu sejarah dan berbagai ilmu
sosial.
18 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

Konsep mitos Arkoun dipengaruhi oleh pemikiran


Roland Barthes, Paul Ricoeur, dan Frye. Konsep
arkeologi pemikiran Arkoun dipengaruhi oleh Michael
Foucault. Konsep logosentrisme dan dekonstruksi
Arkoun dipengaruhi oleh Jacques Derrida. Sedangkan
dalam cara mempertentangkan bahasa lisan dan tulis,
Arkoun sangat dipengaruhi oleh Antropolog Inggris Jack
Goody. Namun demikian, Arkoun melakukan
internalisasi dan modifikasi perkembangan baru dalam
lingustik dan semiotik tersebut supaya dapat
diaplikasikan dalam kajian al-Qur'an. Sebagai contoh,
pemaknaan konsep korpus yang dilakukan Arkoun.
Konsep ini memainkan peranan penting dalam analisis
sejumlah besar ahli semiotik. Nöth, misalnya, ketika
membicarakan semiotik Roland Barthes, menjelaskan
bahwa Barthes, sesuai dengan prinsip ilmu bahasa
strukturalis, mengambil suatu korpus tertutup sebagai
sasaran analisisnya yang bersifat sinkronik. Arkoun juga
menganggap sasaran pembahasannya--dalam hal ini al-
Qur'an--sebagai "berbatas". Namun, analisis Arkoun
tidak berhenti di sana. Ia langsung menambahkan
bahwa korpus itu terbuka.
Anggapan Arkoun bahwa bahasa lisan adalah lebih
awal dan lebih kaya daripada bahasa tulisan agak
bertentangan dengan visi Jacques Derrida, padahal
dalam hal lain Arkoun justeru banyak dipengaruhi oleh
pemikir Prancis mutakhir ini. Sementara Derrida
menekankan bahwa dekonstruksi tidak sama dengan
destruksi (pemusnahan), maka Arkoun lebih jelas lagi
bahwa dekonstruksi harus disertai rekonstruksi. Arkoun
mengadopsi pemikiran Derrida dalam menentang
“kebekuan“ bahasa, khususnya interpretasi teks,
disebabkan terlalu bersandarnya bahasa pada sistem,
tanda, dan makna konvensional, yang sesungguhnya
tidak lebih dari sebuah interpretasi juga. Tetapi Arkoun
justeru menerima bahkan mengukuhkan keberadaan
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 19

“petanda transendental”, sesuatu yang tidak diakui oleh


Derrida; sambil Arkoun berasumsi tentang kemungkinan
membuka tabir dari hal-hal yang tak terpikirkan atau
ditutupi dalam bahasa.
Tampak di sini, ada semacam jebakan kontradiksi
dalam pemikiran Arkoun, yaitu prinsip bahwa dalam
upaya menampakkan hal-halyang tak terpikirkan
(unthinkable) dalam bahasa secara total hanya
dimungkinkan dengan melapaskan bahasa dari segala
kungkungan determinasi, termasuk determinasi tanda-
tanda ketuhanan, seperti diinginkan Derrida. Namun,
Arkoun menginginkan tetapnya petanda transendental,
hal ini berarti tidak semua hal yang tak terpikirkan itu
dapat disingkapkan. Sebab kalau demikian adanya,
dapat saja munculnya kontradiksi dengan nilai-nilai
transendental itu sendiri (misalnya tafsiran anarkis).
Tampaknya posisi Arkoun (1994: ) adalah berupaya
menyingkap hal-hal yang tak terpikirkan dalam bahasa
teks, sambiltetap berpegang pada determinasi
transendental untuk hal-hal yang khusus. Pemikiran
semiotik Arkoun secara sederhana dapat diskemakan
seperti di bawah ini:

Signs denotation ideaisation myth divine power


(Transendeta
l signified)

C. Konstruk Interpretasi Semiotik Arkoun


Kajian batas-batas dan hukum-hukum semiotik harus
dimulai dengan menentukan apakah (a) yang dimaksud
dengan istilah "semiotik" adalah suatu disiplin ilmu yang
khusus dengan metodenya sendiri dan objek tertentu
ataukah (b) semiotik adalah bidang kajian-kajian; jadi
sekumpulan minat yang sama ini belum sepenuhnya
dipadukan. Analisi semantik menunjukkan bahwa
semiotik berasal dari semeion yang berarti tanda.
20 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

Saussure merumuskan bahwa bahasa adalah salah satu


sistem tanda di antara sekian sistem tanda yang ada.
Bidang kajian semiotik adalah mempelajari fungsi tanda
dalam teks, yakni bagaimana memahami siatem tanda
yang ada dlam teks yang berperan membimbing
pembacanya agar bisa menangkap pesan yang
terkandung di dalamnya. Dengan ungkapan lain,
semiotik berperan untuk melakukan 'interograsi"
terhadap kode-kode yang dipasang penulis agar
pembaca bisa memasuki bilik-bilik makna yang
tersimpan dalam sebuah teks (Panuti & Zoest, 1996:5-
6).
Arkoun melihat bahwa semiotik memberikan
preskripsi-metodologis untuk memahami teks al-Qur'an
secara komprehensif dan integral sebagai suatu sistem
relasi internal. Hal ini memungkinkan untuk memahami
banyak aspek dari sebuah teks yang tidak dapat
ditangkap atas dasar suatu analisis yang bertolak dari
unsur-unsur tertentu yang terpisah dan berdiri sendiri
dari teks yang bersangkutan. Kelebihan lain adalah
bahwa analisis semiotik membuat pembaca mendekati
suatu teks tanpa interpretasi tertentu sebelumnya atau
pra-anggapan lain (Arkoun, 1996a:5).
Dalam analisis teks, khususnya al-Qur’an, Arkoun
telah berusaha meninggalkan wilayah ilmu bahasa
struktural, sekaligus meninggalkan wilayah semiotik
secara umum. Terlebih lagi, Arkoun lebih menaruh
perhatian pada proses penutupan interpretasi korpus itu
dari pada al-Qur'an sebagai korpus tertutup. Karena itu,
pembahasannya tidak terbatas pada analisis sinkronik,
melainkan mengutamakan analisis diakronis. Analisis
diakronik Arkoun tidak begitu saja mengikuti aliran
semiotik Paris yang bertumpu pada analisis peralihan
yang terjadi di dalam suatu teks antara keadaan
struktur awal dan keadaan struktur akhir, melainkan
sebagai analisis perkembangan teks itu sendiri dan
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 21

terutama interpretasi teks dari saat ke saat lain.

1. Semiotik Sebagai Pembacaan Linguistik


Mohammed Arkoun, mengajukan hipotesis kerja
berkenaan dengan prinsip-prinsip pembacaan al-Qur’an.
Pertama, al-Qur’an merupakan sejumlah pemaknaan
(signification) potensial bagi seluruh umat manusia
sehingga dapat ditafsirkan secara beraneka ragam.
Kedua, pada tahap pemaknaannya yang potensial, al-
Qur’an mengacu kepada Islam (dalam arti ideal) yang
transenden dan transhistoris. Sedangkan pada tahap
pemaknaan aktual (interpretasi) seperti tercermin
dalam berbagai doktrin teologis, yuridis, filsafat, etis,
dan politis, al-Qur’an lalu menjadi mitologi dan ideologi
yang diberikan makna transenden. Ketiga, al-Qur’an
adalah korpus terbuka. Tidak seorangpun yang berhak
mengklaim penafsiran yang dihasilkannya merupakan
penafsiran yang paling benar, tetap, dan ortodoks.
Sebaliknya semua aliran yang disebut Muslim
merupakan gerakan ideologis yang mendukung dan
mengesahkan kehendak kekuatan berbagai kelompok
sosial yang bersaing untuk memperoleh kekuasaan.
Keempat, de jure, teks al-Qur’an tidak mungkin
disempitkan menjadi ideologi, karena teks itu menelaan
khususnya berbagai situasi batas kondisi manusia:
eksistensi, cinta kasih, hidup, mati (Arkoun, 1996b:60).
Untuk memetakan hipotesis kerja di atas, sebagian
usaha Arkoun adalah melakukan adaptasi dan
internalisasi penemuan-penemuan baru linguistik dan
semiotik agar dapat dioperasionalkan secara tepat-guna
dalam pembacaan al-Qur'an. Namun, menurut Arkoun,
analisis semiotik membatasi diri pada pembahasan
hubungan antara, misalnya, pelbagai aktan di dalam
suatu teks atau wacana. Oleh karena itu, bagi Arkoun,
analisis semiotis hanya merupakan pengantar untuk
menganalisis hubungan pembicara-penulis-pengirim dan
22 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

pendengar-pembaca-penerima yang memang


diperantarai teks. Arkoun menilai lebih tepat untuk
menggunakan istilah pembahasan linguitik dari pada
pembahasan Semiotik untuk analisis-analisisnya yang
menggunakan sebagian unsur-unsur dari semiotik
(Arkoun, 1998:99).
Pembahasan linguistik dimaksudkan dalam arti
bahwa pertama-tama data dipakai adalah data
linguistis. Pembacaan linguistisnya bersifat kritis dalam
arti Arkoun memanfaatkan temuan baru yang sedang
dicobanya untuk diintegrasikan dalam suatu pembacaan
kembali al-Qur'an. Contoh paling jelas dari pembahasan
linguistik dengan memanfaatkan temuan-temuan baru
lingusitik dan semiotik dapat dilihat dalam satu penggal
dalam terjemahan:
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 3

"Kami di sini membawakan pengertian aktan yang


sukar hanya karena, menurut hemat kami, pengertian itu
lebih baik mempertanggungjawabkan cara kerja teks kita
secara sintaksis dan semantis. Jika kami membatasi diri
pada pengertian subjek klasik, tidak mungkin
menganalisis ungkapan dasar al-hamdu li-llâhi dengan
seluruh ketepatan yang dikehendaki.

Dari sudut pandang sintaksis, klausa tersebut adalah


klausa nominal, inkoatif (mubtada') dan predikat (khabar).
Tindakan ditampilkan seperti dikirim kepada Allah tanpa
acuan apa pun kepada seorang penutur dan pada waktu.
Jadi Al-lâh adalah penerima tetap dari suatu tindakan (al-
hamd) yang niscaya memiliki pelaku-pengirim. Namun,
yang terakhir ini tidak sama dengan pengujar: Saya bisa
mengujarkan al-hamdu li-llâhi sebagai contoh tata bahasa
saja (Arkoun, 1998:106).
3
Tokoh dan Pemikiran Semiotik

Dalam penggal yang diterjemahkan di atas, Arkoun


melakukan analisis sintaksis naratif, yang sekaligus
dihubungkan dengan analisis semantis, a la Greimas
dan kawan-kawan (Arkoun, 1996b:43).

Arkoun melanjutkan dengan menerapkan berbagai


aspek lain dari analisis semiotis pada teks surat al-
Fâtihah, seperti pembagian teks atas satuan diskursif
(analisis sintaksis diskursif dalam peristilahan Greimas
dkk.) dan penunjukkan berbagai kode dalam teks
tersebut.

Tetapi, jika kita beralih dari tataran sintaksis ke tataran


semantis, pengujar lebih sulit memisahkan diri dari
pelaku-pengirim. Sesungguhnya, hubungan (antara
pengirim dan penerima) ditambah dengan fungsi baru:
tindakan pemujian mempraanggapkan secara semantis
suatu pelaku-pengirim kebaikan dan suatu aktan
penerima kebaikan itu. Dengan demikian, kita sampai ke
suatu model aktansial tempat Al-lâh adalah aktan
pengirim kebaikan, penerima tindakan pemujian; pengujar
adalah aktan penerima kebaikan, pengirim tindakan
pemujian. Kita melihat bahwa pengertian aktan memenuhi
keperluan untuk menunjukkan sekumpulan fungsi
sintaksis dan sematis yang dilaksanakan oleh 'subjek'
yang sama" (Arkoun, 1998:106).

Bagi Muhammad Arkoun (1990:82), analisis lingusitik


(pendekatan objektif) hanya merupakan satu stase
menuju pemaknaan artikulatif al-Qur’an. Baginya,
wahyu al-Qur’an merupakan fenomena linguistik.
Struktur sintaksis, semantik, dan semiotik wacana al-
Qur’an menyediakan suatu ruang yang demikian
artikulatif untuk mengutarakan pemikiran dan isi wahyu.
Unsur-unsur linguistik ini sangat berguna untuk dapat
mengadakan analisis tentang proses pengujaran. Lewat
tanda-tanda bahasa itu dapat ditelusuri pihak yang
mengirimkan dan yang dituju. Arkoun (1998:110)
4 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

mengatakan bahwa semakin pembaca dapat


menegaskan modalisateurs du discours, akan semakin
memahami maksud (intention) dari locuteur (penutur).
Dalam pemikiran Arkoun, linguistik merupakan
metode yang digunakan untuk menelaah dan
memahami wahyu, terutama al-Qur'an. Arkoun tidak
menerjemahkan istilah wahy ke dalam bahasa lain,
karena dia berpendapat bahwa tidak ada sinonim kata
yang tepat dalam bahasa manapun untuk
menerjemahkan kata wahy itu Konsepsi Islam tentang
wahyu yang disebut tanzil, bagi Arkoun, merupakan
sebuah metafora fundamental yang menunjukkan
bahwa Tuhan mengundang manusia untuk menuju diri-
Nya. Tanzil merujuk pada objek dari sebuah wahyu; al-
Qur'an juga berbicara tentang wahyu yang merupakan
tindakan dasar pewahyuan Tuhan kepada para nabi. Al-
Qur'an menerangkan mekanisme pewahyuan kepada
para nabi sbb: "Allah tidak mungkin berbicara pada
seorang manusia pun, kecuali melalui wahyu, atau di
balik tabir, atau Dia mengutus seorang utusan
(malaikat) yang berbicara melalui wahyu. Demikianlah
kami memberikan wahyu kepada manusia dengan satu
ruh dari perintah Kami" [Q.S. al-Syu'arâ: 51-53].
Dalam karya-karyanya, tidak menerjemahkan istilah
wahy ke dalam bahasa lain, karena dia berpendapat
bahwa tidak ada padananan kata yang tepat dalam
bahasa manapun untuk menerjemahkan kata wahy itu.
Dalam hal ini, Arkoun kurang memperhatikan
perbedaan istilah dalam al-Qur’an khususnya mengenai
konsep tanzîl, nuzûl, dan inzâl yang masing-masing
menerangkan adanya wilayah di atas dan di bawah
dalam konteks yang berbeda (Stefan Wild, 1996:32).
Surat al-Ikhlâs, misalnya, dapat menerangkan tema-
tema utama wahyu dan memiliki posisi sentral dalam
wacana al-Qur’an. Dalam surat ini terdapat kata qul,
yang mengimplikasikan adanya tiga persona dalam
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 5

suatu hirarki. Hirarki ini menentukan batas-batas


lingkup praktik komunikatif, bukan saja dalam wacana
al-Qur’an, tetapi juga dalam penampakan kitab suci
lainnya dari wacana kenabian (Arkoun, 1999:162). Di
sana terdapat tiga persona aktif, yakni (a) penutur-
penulis-pengirim (yakni Allah dalam konsep keimanan
Islam, Yahwe dalam konsep keimanan Yahudi, dan
Tuhan Bapak dalam konsep keimanan Kristen); (b)
penutur-penerima I yang melafalkan dengan bahasa
(Nabi), dan (c) penerima II dan terakhir dari risalah
(yakni manusia).
Dalam hirarki yang demikian terdapat interaksi
hakiki antara Allah, alam, manusia, dan sejarah. Ada
ketegangan dialektis-permanen antara Tuhan (Kami)
dan manusia (dia, mereka) (Arkoun, 1999:162). Satu
sisi, wahyu dimaksudkan sebagai penyeru sekaligus
membimbing manusia kepada jalan yang benar, jalan
keselamatan yang abadi. Sedangkan di sisi lain,
manusia sering tidak bersedia mematuhi perintah dan
larangan yang ada di dalamnya. Ketegangan itu pada
akhirnya selain memberikan kesadaran kepada manusia
mengenai kesalahannya, juga mengingatkan manusia
akan tanggung jawabnya mengenai apa yang dipikirkan
dan dilakukan dalam hidup (Arkoun, 1993:36).
Pengirim I
SP 1
(Aku, Objek SP 2 Pengirim-
Kami) (Pesan) (Muhamma Pengantar
d, Engkau) a
Penerima I

Skema 4: Status ujaran 1 dan ujaran 2.

Eksplisitas kategorisasi Arkoun di atas sangat


penting, khususnya untuk mengikuti jalan pikirannya
yang sangat banyak dipengaruhi oleh teori-teori
semiotik. Ia sadar betul bahwa temuan-temuan ini harus
6 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

dimanfaatkan untuk menggali khazanah intelektual dan


ruhani al-Qur'an. Dari teori tersebut, teks merupakan
faktor terpenting untuk menghasilkan makna, selain
penulis dan pembaca. Tentang hal ini Arkoun
(1989:527) menyebutkan:

"[M]odern linguistics and semiotics have developed a


theory of text. What is text? How is meaning generated by
a text? In a composition canon- such as the Hebrew Bible,
the New Testamen, the Qur'an- how can we define a
typology of discourse, each one using particular tools or
rhetorical devices to generate meaning? What are the
roles of the 'authors and the 'reader', and what is their
interacting impact on the text?"

Kutipan di atas mengisyaratkan bahwa seruan


Arkoun tersebut tidak hanya diarahkan pada para
pemikir Muslim, melainkan juga kepada orang-orang
Yahudi dan Kristen. Semuanya diajak untuk memahami
Firman Allah lewat kitab suci dengan mamanfaatkan
temuan-temuan linguistik dan semiotik, karena tak
seorang pun dapat mempunyai akses pada Firman Allah
kecuali lewt teks.

2. Lintas Batas Semiotik Menuju Hermeneutika


Fungsi analisis semiotik dalam karya Arkoun terbatas
saja. Arkoun (1998:111) menyebutkan bahwa semiotik
sampai sekarang mengabaikan sifat khas dari teks-teks
keagamaan dan para ahli semiotik, terutama Greimas,
belum menggembangkan praktik analisis khusus untuk
teks tersebut. Teks-teks keagamaan berbeda dengan
segala teks lain karena berpretensi transendental dan
memberi petanda terakhir (le signifié dernier) atau
paling sedikit memberikan kunci untuk mencapai
petanda terakhir itu. Semiotik cenderung menghindari
dengan sadar dan sengaja persoalan dari jenis teks
tersebut.
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 7

Menuju kesesuian ideal


Yang Nyata
Wacana

BAHASA

PERSEPSI

Skema 5: Ada-Dunia

Selain itu, semiotik tidak memperhatikan aspek


dasar dari teks tersebut. Arkoun (1998:44) (memandang
analisis semiotik sebagai suatu metode ilmiah yang
bersifat sementara yang membatasi diri pada analisis
teks dalam prosedur singkat yang tidak mampu
merekonstruksi proses pembentukan makna secara
komprehensif (lihat skema Ada-Dunia). Karenanya,
semiotik haruslah dilanjutkan dengan analisis yang lebih
komprehensif, yakni hermeneutika. Sebagai contoh,
menurut Arkoun, semiotik mungkin dapat menerangkan
perbedaan antara bahasa mitis dan bahasa denotatif,
tetapi iatidak akan mampu menerangkan alasan-alasan
terjadinya peralihan dari bahasa pertama ke bahasa
yang kedua.
Kritik Arkoun terhadap keterbatasan semiotik yang
ditujukan secara khusus kepada Greimas dan kalangan
teolog Kristen yang mengunggulkan pendekatan
Greimas dan aliran semiotik Paris. Kritik ini pun
ditujukan kepada beberapa tokoh semiotik lain yang
disinggung dalam karya Arkoun, misalnya kritik kepada
Roland Barthes. Arkoun juga mengkritik pemikiran
Muslim yang tidak lagi mampu menangkap sifat mitis
8 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

dari al-Qur'an. Pemikiran Muslim, terutama dalam fikih


dan teologi, yang memperlakukan struktur bahasa al-
Qur'an sebagai bahasa logis (bertumpu pada nalar
grafis yang literal dan positif) sebagai sumber suatu
korpus legislatif dan normatif.
Arkoun secara sadar melampaui batas analisis
semiotik karena ia menaruh perhatian bukan saja pada
wacana tekstual, melainkan pada hubungan antara
wacana, realitas (alam), dan persepsi (dari wacana dan
kenyataan itu oleh manusia) yang diperantarai oleh
bahasa. Analisis semiotik yang membatasi diri pada
pembahasan hubungan antara, misalnya, pelbagai
aktan di dalam suatu teks atau wacana, bagi Arkoun itu
paling banyak merupakan pengantar untuk hubungan
pembicara-penulis-pengirim dan pendengar-pembaca
penerima yang memang diperantarai teks, tetapi berada
di luar teks. Arkoun banyak menaruh perhatian pada
hubungan antara teks, penutur teks, dan pembaca teks
(1994:7). Oleh karena alasan-alasan yang disebutkan,
Arkoun menilai lebih tepat untuk menggunakan istilah,
pembahasan linguistis dari pada pembahasan semiotis
untuk bagian itu dari analisis-analisisnya yang
menggunakan--antara lain--unsur tertentu dari semiotik.
Karena keterbatasan yang dimiliki pembahasan
linguistis, pengkajian al-Qur'an Arkoun selalu disusuli
pembahasan historis dan antropologis.
Dengan demikian, inti perhatian Arkoun bukan pada
tanda-tanda dan hubungan pelbagai tanda, melainkan
makna, pembentukan dan perubahan makna, serta
interpretasi makna dan perubahan interpretasinya (lihat
skema Ada-Dunia-Ciptaan). Analisis semiotik dan
linguistik hanya merupakan bagian dari suatu analisis
yang lebih umum dan yang menggunakan ilmu sejarah
dan pelbagai ilmu sosial. Orientasi kajian Arkoun tidak
hanya bersifat semiotik, melainkan bersifat
hermeneutik--dalam arti luas dan melampaui batas
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 9

hermeneutika tradisional.

Ungkapan Simbolis
Alam
Wacana al-Qur’an

BAHASA

PERSEPSI
Skema 6: Ada-Dunia-Ciptaan

Kritik epistemologi Arkoun (1994:247) terhadap


konsepsi dan bangunan pembacaan al-Qur'an bukanlah
untuk melakukan dekonstruksi tanpa tujuan.
Menurutnya umat Islam menyadari kembali adanya
interelasi bahasa-pemikiran-sejarah yang erat. Umat
Islam, menurut Arkoun, perlu menyadari sepenuhnya
akan adanya pertautan yang berbentuk lingkaran tanpa
putus antara ketiga unsur tersebut. Dalam pandangan
Arkoun, bahasa merupakan salah satu unsur yang hidup
dalam ruang budaya tertentu. Bahasa merupakan
penyampaian pemikiran dari zaman dan tempat
tertentu. Sedangkan pemikiran adalah respons dari
situasi politik tertentu yang disebut sejarah. Pemikiran
akan senantiasa mempengaruhi tindakan manusia
termasuk bahasanya. Oleh karena itu, bahasa manusia
dapat berubah sesuai dengan dinamika pemikiran
manusia itu sendiri sehingga tiga unsur tersebut akan
melahirkan lingkaran hermeneutik yang saling
mempengaruhi.
Salah satu fokus kajian Arkoun berkaitan dengan
interelasi bahasa-pemikiran dan sejarah adalah proses
10 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

pemitosan, pemitologian, pemistikan, dan


pengideologian serta cara pembebasan dari berbagai
keterbatasan penafsiran dan pemahaman. Kaitan antara
mitologi dan ideologi pernah dianalisis dalam rangka
semiotik, secara khusus oleh Roland Barthes, tetapi
sekali lagi analisis semiotik bersifat terbatas. Arkoun
tidak menentang unsur tertentu dari definisi dan uraian
mengenai mitos, mitologi, dan ideologi, namun ia lebih
menaruh perhatian pada fungsi dan disfungsi sosialnya
dan pada proses perkembangan dan penghapusan
disfungsi tersebut (lihat kembali skema Ada-Dunia-
Ciptaan; hlm. 33).
Mitos adalah unsur penting yang disebut Arkoun
sebagai angan-angan sosial. Kebanyakan islamolog
tradisional dan ilmuwan Barat kontemporer
menganggap angan-angan sosial sebagai sisa suatu
bentuk pemikiran yang terbelakang atau menyeleweng,
atau sebagai suatu marjinal, ataupun sebagai hal yang
sama sekali tidak relevan untuk penelitian ilmiah.
Arkoun menerjemahkan mitos dengan ustûrah.
Terjemahan ini mengundang reaksi yang sangat keras
dari kalangan Muslim karena seolah-olah Arkoun
menyamakan al-Qur’an dengan asâtîr al-awwalîn
(dongeng-dongeng orang dahulu kala). Bertentangan
dengan pandangan di atas, Arkoun mengakui bahwa
angan-angan sosial memainkan peran penting dalam
perkembangan pemikiran dan masyarakat Muslim,
bahkan merupakan bagian tak terpisah dari pemikiran
Islam yang diperbaharui, sebagaimana dicita-citakan
Arkoun. Angan-angan sosial, menurut Arkoun, memberi
identitas pada kelompok dan makna pada sejarahnya
(Lee, 2000:165). Angan-angan sosial dibangun dari
berbagai unsur sejarah nyata, realitas sosial, dan
lingkungan fisik kelompok yang bersangkutan, tetapi
unsur itu diungkapkan kembali menjadi berbagai citra,
cerita, dan nilai (Arkoun, 1994: 65).
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 11

"Mitos", tulis Arkoun (1994:250), mempunyai fungsi


menjelaskan, menunjukkan, mendasari bagi kesadaran
kolektif kelompok yang mengukir suatu oroyek tindakan
bersejarah yang baru di dalam suatu kisah pendirian; itu
merupakan mitos dalam tahap pemunculan berbagai
kemungkinan baru bagi eksistensi sosial-historis: suatu
kelompok penggerak menyulih suatu tatanan kuno
dengan suatu tatanan baru simbol. Seperti juga kisah-
kisah dalam Alkitab, wacana al-Qur'an menggambarkan
tingkatan ungkapan mitis: tindakan sosial-historis dari
kelompok yang dipimpin oleh Muhammad saw. disertai
suatu wacana bersusunan mitis di dalam al-Qur'an.
Arkoun (1994:261) memandang bahwa mitos yang
sama akan dapat mengisi fungsi pelestari dan pembeku
yang dapat disebut pesimistik, yaitu ketika mulai
digunakan kelompok tertentu yang dominan untuk
mempertahankan dan membenarkan suatu hirarki sosial
yang telah dilembagakan. Sejajar dengan perubahan itu
dalam keadaan sosial-historis, wacana al-Qur'an
berubah menjadi korpus resmi tertutup. Mitos oleh
Arkoun tidak dianggap sebagai khayalan prarasional
atau antirasional belaka yang mesti dimarjinalkan
manusia modern, melainkan dihargai sebagai suatu
yang positif dan mendasar dalam masyarakat manusia.
Arkoun tidak menentang mitos, ia menentang
penyelewengan mitos dalam apa yang disebut
pemistikan, pemitologisan, dan ideologisasi.
"Pemistikan" berarti menggunakan mitos, bertentangan
dengan fungsi dan maknanya yang sebenarnya, sebagai
himpunan norma yang membenarkan keadaan sosial
dan politis tertentu.
Pemikiran mitos dan pemistikan tersebut diadaptasi
Arkoun dari Paul Ricoeur. Bagi Rocoeur, mitos
memegang peranan penting dalam kehidupan manusia.
Hanya, menurut Ricoeur, dalam pemikiran manusia
mitos sudah menjadi penyembahan "idola-idola", segala
12 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

jenis benda atau hal yang disakralkan walaupun tidak


layak dipuja--katakanlah berhala dalam bentuknya yang
"primitif" dan yang lebih "modern". Proses
penyelewengan mitos, yang berdasarkan simbol,
menjadi penyembahan idola, disebut Ricoeur sebagai
"pemistikan". Bukan mitos yang harus disingkirkan,
melainkan pemistikan, sehingga makna berbagai mitos--
misalnya dalam kitab wahyu--dapat dipulihkan atau
"diingatkan kembali" (recollection of meanings).
Ricoeur, seorang pemikir Kristen Protestan, menerapkan
anggitan mitos antara lain pada Alkitab.
"Pemistikan" harus dibedakan dari "pemitosan" dan
"pemitologian". "Pemitosan" berarti pengungkapan
secara simbolis dari keadaan-keadaan yang membatasi
kondisi manusia, seperti maut, kehidupan, dan cinta,
secara simbolis, sebagaimana dilakukan oleh para nabi
dan penyair. "Pemitologian" adalah penegasan berbagai
kepercayaan dan gambaran yang menggerakkan
kelompok besar di balik selubung ilmiah dan rasional,
dengan kata lain, penggunaan danpenegasan mitos
dengan mengingkari atau menyelubungi sifatnya
sebagai mitos.
Dengan cara serupa dengan pembedaan
"pemitosan" dan "pemitologian", Arkoun membedakan
antara "pengidean" dan "ideologi". Sementara mitos
berupa citra-citra dan simbol-cimbol, ide adalah
gagasan. "Pengidean" adalah upaya untuk membuka,
memperbaharui, dan memperkaya gagasan-gagasan
yang tersedia di dalam suatu sistem pemikiran tertentu.
"Ideologi" adalah penggunaan sejumlah gagasan yang
terbatas yang disederhanakan untuk mengarahkan
kekuatan-kekuatan sosial menuju tindakan-tindakan
tertentu. Tujuan Arkoun mengangkat kembali
"kewibawaan" mitos-pemitosan dan penentangan
ideologisasi, pemistikan, dan pemitologisan adalah
penciptaan suatu pemikiran Islami yang
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 13

menggabungkan rasionalitas modern dan kritis,


sebagaimana berkembang di Barat, dan angan-angan
sosial, termasuk dalam pembacaan al-Qur'an.

D. Pembacaan Semiotik terhadap Surat al-Fatihah


1. Makna Pembacaan Kembali al-Fâtihah
Al-Fâtihah, teks yang paling terkenal di kalangan
Muslim, menduduki nomor pertama dalam Mushaf
Utsmâni. Penempatan ini jelas menunjukkan betapa
pentingnya surat itu. Dalam sejarah umat Islam, surat
al-Fâtihah, suatu masa, dipandang sebagai "teks
penyembuhan" (al-Syifâ); Sebutan ini mengikuti sebuah
hadits yang berbunyi, “Berkatalah Rasulullah, ‘Fâtihat
al-Kitâb adalah penyembuhan (Syifâ) segala penyakit”.
Dalam masa lain disebut sebagai al-Shalâh, karena
selalu dibaca dalam setiap shalat. Masih banyak nama-
nama lainnya yang mencerminkan pandangan orang
tentang teks al-Fâtihah. Cara membaca teks kitab suci
ini pun dipengaruhi oleh pandangan orang itu tentang
teks bersangkutan.
Teks al-Fâtihah, demikian pula surat-surat al-Qur'an
lainnya, menurut Arkoun, merupakan hasil dari tindakan
pengujaran (énonciation). Arkoun mengamati bahwa
dengan kelahiran teks al-Qur'an, yaitu lewat penulisan
telah terjadi perubahan mendasar di kalangan umat
dalam memahami wahyu. Nalar grafis (raison
graphique) telah mendominasi cara berberfikir umat
dalam memahami wahyu. Sabda atau logos kenabian
(prophétique) didesak oleh logos pengajaran
(professoral). Arkoun ingin menegaskan bahwa telah
terjadi pemiskinan kemungkinan untuk memahami
wahyu dari segala dimensinya. Firman kenabian
dimiskinkan menjadi firman yang berorientasi pada
pengajaran, yaitu berorientasi pada abstrasi tanpa
memperhitungkan secara serius pihak yang mula-mula
dituju oleh firman itu. Kalau diungkapkan dalam
14 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

kategori semiotik, teks al-Qur'an sebagai parole didesak


oleh teks sebagai langue. Arkoun berpendapat bahwa
al-Qur'an harus tetap merupakan parole bagi para
mukmin, meskipun al-Qur'an sekarang lebih berfungsi
sebagai teks tertulis.
Lewat analisisnya, Arkoun sedang mengusahakan
pemahaman yang intensif dan bukannya ekstensif
terhadap teks al-Fâtihah Tujuan qirâ'ah (pembacaan),
menurut Arkoun, adalah untuk mengerti (comprendre),
yakni mengerti komunikasi kenabian dan mencari
makna yang hendak disampaikan melalui teks tersebut.
Pencarian dan (re)produksi makna mempersyaratkan
usaha optimal dari pembacanya dengan jalan melihat
berbagai macam tanda dan simbol yang berkaitan
dengan teks tersebut sedemikian rupa, sehingga
pembaca menjadi akrab dengan tanda dan simbol
(sekalipun implisit). Tanda ini dapat berupa kata (al-
hamd, Allâh), struktur kalimat (mis. iyyâka na'budu wa
iyyâka nasta'în), tanda-tanda bahasa (misalnya al-), dan
sebagainya.
Untuk mengoptimalisasi interaksi yang penuh makna
antara teks dan pembacanya, Arkoun mengajukan
langkah-langkah (moment) cara baca. Langkah-langkah
ini ia rumuskan dengan memperhatikan perkembangan
teori-teori teks terutama di Prancis. Lewat langkah-
langkah tersebut ia seakan-akan hendak melakukan re-
enactment (napak tilas) proses pengujaran (énonciation)
al-Fâtihah. "Napak tilas" dimaksudkan untuk menangkap
seluruh dimensi yang terkandung dalam al-Fâtihah
(Sunardi, 1996:88). Langkah-langkah ini, secara
metodologis, tidak dapat dilakukan, karena proses
pengujaran hanya terjadi satu kali, unik, dan tidak akan
pernah dapt diulang lagi. Yang dapat dilakukan
pembaca tidak lebih dari pada re-enactment (napak
tilas) proses pengujaran lewat ujaran-ujaran yang ada
(dengan segala keterbatasannya) supaya al-Fâtihah
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 15

tidak hanya menjadi langue, namun juga parole bagi


orang-orang yang hidup pada zaman sekarang.
Bagi Arkoun, teks dapat dipandang sebagai
komunikasi. Surat al-Fâtihah, kata Arkoun, "mengatakan
sesuatu, mengungkapkan suatu komunikasi,
memberikan sesuatu untuk dipikirkan". Kini medan
komunikasi itu berupa kanon resmi tertutup yang dapat
didekati secara linguitis. Data-data linguistis ini sudah
saatnya dibaca dengan metode yang dapat dikontrol;
dan pembacaan semacam ini harus mendahului setiap
spekulasi teologis, tidak sebaliknya seperti dilakukan
selama berabad-abad. Akan tetapi harus diakui bahwa
tujuan bacaan pada akhirnya adalah dimaksudkan untuk
mencari makna (signification). Karena, sekali lagi, teks
itu tidak lain adalah suatu komunikasi.
Pembaca sebuah teks agar sampai pada makna
harus menempuh langkah awal. Pembaca, terlebih
dahulu, harus tahu arti (Prancis sens/Inggris sense) dari
teks yang dibacanya. Arti selalu muncul dalam suatu
kalimat atau proposisi. Kata pada dirinya tidak
mempunyai arti. Hal lain yang harus diperhatikan
adalah referensi (acuan). Referensi merupakan klaim-
kebenaran dari kalimat (atau satuan yang lebih luas).
Jadi, di samping hendak mengatakan sesuatu (to make
sense), kalimat juga hendak mengatakan kebenaran
sesuatu (to refer). Makna akan terbentuk lewat
hubungan dialektis antara arti dan referensi (lihat
Skema relasi tanda dan referensi). Makna, dengan
demikian, sebenarnya merupakan suatu peristiwa.
Dengan kata lain, tujuan qirâ'ah bukan semata-mata
untuk mengerti arti teks, melainkan untuk mendapatkan
makna teks. Dengan kata lain, tujuan pembacaan bukan
dimaksudkan untuk mencari makna literal, melainkan
untuk mencari makna tekstual (Sunardi, 1996:67).
Berkenaan dengan surat al-Fâtihah, misalnya,
pembaca bisa saja mendapatkan makna tanpa harus
16 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

mengerti arti tekstualnya. Menyadari bahwa pembacaan


dimaksudkan untuk mencari makna, maka pembaca
sebenarnya sedang menghadapi sesuatu yang "lebih"
sekedar teks, yakni sesuatu yang diujarkan lewat teks.
Dengan menggunakan ketegori linguistik, pembaca
sedang dihadapkan pada suatu wacana (discours).
Kategori ini pulalah yang dipakai oleh Arkoun dalam
analisisnya. Ia memberikan definisi discours sebagai
"apa yang diujarkan ketika seseorang berbicara" atau
"ketika berbicara, seseorang mengungkapkan suatu
makna (sens) dan, setelah itu, membentuk sebuah
forma linguistis atas dasar pemaknaan itu"

2. Cara Pembacaan Kembali al-Fâtihah


Berkenaan dengan cara pembacaan al-Fâtihah al-
Qur'an, terlihat bagaimana kategori-kategori teori teks
kontemporer sedikit banyak sudah mentradisi di
kalangan mufassir klasik. Di satu pihak Arkoun
mengakui bahwa inspirasi untuk mencari cara baca ini
didapatkan dari tradisi pemikiran kristen. Akan tetapi ia
mengatakan bahwa apa yang ia lakukan bukanlah
merupakan suatu usaha apologetis bagi al-Qur'an. Al-
Qur'an, menurut Arkoun, tidak membutuhkan suatu
apologi guna menunjukkan kekayaan yang terkandung
di dalamnya.
Arkoun menyarankan tiga macam pembacaan
terhadap surat al-Fâtihah (lebih jauh dapat diaplikasikan
pada al-Qur'an seluruhnya). Tiga model pembacaan ini
dapat berfungsi sebagai alat untuk mempermudah
memahami fungsi-fungsi dan pelbagai isi ujaran
tersebut. Pertama, cara pembacaan liturgis. Cara
pembacaan ini, yang dilakukan oleh kaum Muslim dalam
ritual, berarti "mereaktualisasi saat awal atau waktu
peresmian ketika Rasulullah mengujarkannya pertama
kali." Dengan pembacaan ini berarti pembaca
menemukan kembali situation de discours (situasi
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 17

wacana) dari "ujaran satu". Cara pembacaan liturgis


mempersyaratkan adanya sikap-sikap ritual,
persekutuan spiritual dengan orang-orang beriman, baik
yang hadir maupun tidak hadir, keterlibatan masing-
masing pribadi Mukmin dalam perjanjian (mitsâq) yang
menghubungkannya dengan Tuhan, penghayat seluruh
ajaran wahyu yang dipadatkan dalam tujuh ayat
perantara, penyelamat, dan terbuka pada keseluruhan
agama. Dengan cara itulah pembaca melakukan
komunikasi ruhani, baik secara horisontal maupun
vertikal, sekaligus melakukan pembatinan kandungan
wahyu dalam surat al-Fâtihah Pembacaan demikian
malampaui batas ruang dan waktu, serta rasionalitas
yang mengendalikan wacana ilmiah. Hal ini disebabkan
pembaca cara ini lebih menekankan pada konsep relasi
hamba-Tuhan, melalui kegiatan membaca al-Qur'an,
sebagai suatu ibadah yang bisa mendekatkan
pembacanya kepada Tuhan.
Kedua, pembacaan secara eksegesis (interpretasi).
Pembacaan model ini diikuti oleh kaum Muslim sejak
mereka memperoleh pengetahuan mengenai ujaran
satu. Pembacaan penafsiran mempunyai ciri
pengadopsian ujaran dua sebagai teks penyangga
dikacaukan dengan ujaran satu dan dibaca dengan
bantuan prinsip-prinsip yang secara spontan
diberlakukan dalam tata cara liturgis. Prinsip-prinsip ini
tetap tidak boleh diganggu-gugat sampai sekarang. Ia
membatasi setiap pembacaan kembali al-Fâtihah dalam
batas-batas yang tidak mungkin dilanggar, sekalipun
oleh filsafat. Artinya, dalam pembacaan ini belum ada
pembedaan yang dilakukan oleh kaum Muslim antara
ujaran satu dengan ujaran dua. Salah satu dari teks
yang paling kaya dalam hal ini karena berhasil
mengumpulkan usaha pembentukan doktrin selama
enam abad adalah tulisan Fakhr al-Dîn al-Râzi
(606H/1209 M).
18 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

Fakhr al-Dîn al-Râzi menulis beberapa tafsir di


antaranya adalah Mafâtih al-Ghaib dan Asrâr wa Anwâr
al-Ta'wîl. Ilmu-ilmu 'aqliyah sangat mendominasi
pemikiran al-Râzi dalam tafsirnya, sehingga ia
mencapuradukkan ke dalamnya berbagai kajian
mengenai kedokteran, logika, filsafat, dan hikmah. Ini
semua mengakibatkan kitabnya keluar dari makna-
makna al-Qur'an dan jiwa ayat-ayat serta membawa
nash-nash kitab kepada persoalan-persoalan ilmu
'aqliyah dan peristilahan ilmiah, yang menurut Manna'
al-Qaththân, bukan untuk nash-nash itu diturunkan.
Oleh karena itu, menurut Manna' al-Qaththân
(1973:238), kitab al-Râzi tidak memiliki ruh tafsir dan
hidayah Islam, sampai-sampai sebagian ulama tafsir
mengatakan, "di dalamnya terdapat segala sesuatu
selain tafsir itu sendiri".
Ketiga, tata cara linguistik kritis. Cara pembacaan
yang dilakukan dengan memanfaatkan temuan-temuan
metodologis yang disumbangkan oleh ilmu-ilmu
humaniora dan ilmu bahasa. Cara ketiga ini bertujuan
menonjolkan nilai-nilai teks yang betul-betul linguitis,
namun harus dengan sikap kritis, dalam pengertian
bahwa apa pun yang akan dikatakan hanyalah
mempunyai nilai heuristis. Dengan cara ini Arkoun
memandang al-Qur'an, sebagaimana Bibel dan Injil,
sebagai teks yang harus dibaca dalam semangat
penelitian, karena kitab-kitab itu sesungguhnya dapat
mendukung perkembangan dan kemajuan sains
manusia.
Cara pembacaan ketiga yang diajukan oleh Arkoun
di atas terdiri dari tahap-tahap yang dapat dibagi
menjadi dua, tahap linguistik kritis dan hubungan kritis.
Tahap pertama menunjukkan status linguistik dari
wacana Qur'ani dan tahap kedua menunjukkan bentuk-
bentuk isi komunikasi.
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 19

E. Tahapan Pembacaan Semiotik terhadap al-


Fatihah
1. Momentum Linguistik
a. Linguistik Kritis
Arkoun mengakui bahwa upaya pembacaan secara
linguistik kritis dalam memahami teks semaksimal
mungkin dari berbagai dimensinya, telah dipikirkan atau
dianggap penting oleh para mufassir Muslim, pada masa
lampau dan sekarang. Namun, Arkoun mempunyai
komitmen lebih besar untuk mengintegrasikannya pada
perkembangan teori teks yang berkembang pada zaman
sekarang.
Pembacaan bersifat linguistis dimaksudkan Arkoun
dalam arti bahwa pertama-tama data dipakai adalah
data linguistis sebagaimana tertulis. Pembacaan
linguistis Arkoun bersifat kritis dalam arti ia
memanfaatkan temuan-temuan baru yang sedang
dicobanya untuk diintegrasikan dalam suatu pembacaan
kembali (re-lecture) al-Qur'an. Ia sadar bahwa cara-
bacanya belum diterima di kalangan umat Islam. Oleh
karena itu, ia menempatkan semua unsur baru itu
dalam posisi heuristis. Unsur-unsur ini dipilih untuk
melihat makna atau isi komunikasi yang tidak ditangkap
kecuali lewat unsur-unsur tersebut.
Dalam bacaannya terhadap surat al-Fâtihah, Arkoun
menempat Al-Fâtihah sebagai teks ke 46 (sesuai dengan
kronologi nuzul al-Qur'an). Arkoun membedakan antara
apa yang dia sebut ujaran satu, yaitu kalimat-kalimat
yang benar-benar diucapkan oleh Nabi yang tidak dapat
dijumpai lagi dan ujaran kedua, yaitu teks yang dapat
dibaca, dilafalkan, dan diletakkan pada permulaan
mushaf. Pengertian al-Fâtihah pada hakikatnya merujuk
pada semua nilai liturgis, teologis, linguistik, dan
kontekstual, yang ditangkap atau diproyeksikan dalam
ujaran dua oleh suatu tradisi penafsiran yang panjang
dan tidak dapat dipisahkan dari praktek keagamaan.
20 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

Penempatan surat al-Fâtihah pada urutan pertama,


misalnya, sangat erat kaitannya dengan kepentingan
ritual.
Metode linguistik dengan pembedaan terhadap dua
bentuk ujaran seperti di atas, menurut Arkoun,
sedikitnya mempunyai dua fungsi. Pertama,
memungkinkan pembaca untuk menilai tingkat dan
cara-cara intervensi subjek yang berbicara selama
terjadinya pengujaran, sehingga memungkinkan untuk
sampai pada ujaran dalam bentuknya yang sudah
selesai guna mengkaji produktivitasnya. Kedua,
pendefinisian secara ketat terhadap modalitas-
modalitas wacana akan semakin mendekatkan pembaca
pada maksud pembicara (Machasin, 1996:10).
Dalam tahap linguistik kritis, Arkoun mengawali
bacaannya dengan memeriksa "tanda-tanda bahasa"
(modalisateurs du discours). Setiap bahasa mempunyai
"tanda-tanda bahasa" yang ikut mempengaruhi proses
produksi makna. Karena "kanon resmi tertutup" ditulis
dalam bahasa Arab, maka "tanda-tanda bahasa" yang
perlu diperhatikan adalah "tanda-tanda bahasa" bahasa
Arab. Karenanya mau tidak mau Arkoun harus
mendasarkan bacaannya pada teks Arab dan bukan
pada teks terjemahan.
Unsur-unsur linguistis ini sangat berguna untuk
dapat mengadakan analisis tentang proses pengujaran.
Lewat "tanda-tanda bahasa" itu dapat ditelusuri pihak
yang "mengirimkan” dan "yang dituju". Arkoun
mengatakan bahwa semakin dapat menegaskan
modalisateurs du discours, pembaca akan semakin
memahami maksud (intention) dari locuteur (qâil,
penutur) [lihat skema di bawah].

Pembicara BAHASA
Penulis-Pembicara
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 21

Wicara bahasa-bahasa
tulisan (teks)

Skema 8: relasi modalisteur du discourse


Untuk memasuki proses pengujaran dalam teks surat
al-Fâtihah, Arkoun menganalisis unsur-unsur linguistis
seperti determinan (ism ma'rifah), kata ganti orang
(pronomina, dhamîr), sistem kata kerja (fi'il), sistem
kata benda (ism dan musammâ), struktur sintaksis, dan
prosodis.

• Analisis Berbagai Determinan


Berkenaan dengan penggunaan determinan (ism
ma'rifah), Arkoun memeriksa kata-kata benda yang
merupakan ism ma'rifah. Secara umum dapat dikatakan
bahwa fungsi ism ma'rifah adalah untuk menunjukkan
bahwa kata yang bersangkutan ma'rûf (diketahui,
definite) atau untuk ta'rîf. Ta'rîf ini dapat dibentuk lewat
artikel al- (mis. al-hamd) maupun lewat struktur idhâfah
(rab al-'âlamîn). Arkoun menunjukkan bahwa dalam
surat al-Fâtihah hampir semua kata benda yang ma'rûf
berkaitan dengan kata Allâh (seperti al-rahmân, al-
rahîm). Kata Allâh menempati subjek gramatikal hanya
satu kali, yaitu dalam an'amta. Dari tanda-tanda bahasa
berupa ism ma'rifah ini, pembaca sudah melihat betapa
petingnya kedudukan Allah dalam struktur surat al-
Fâtihah. Kata Allâh, menurut Arkoun, secara semantis
menduduki posisi sentral.
Permasalahannya adalah Allâh yang mana? Bagi
kaum Muslim sekarang, kata Allâh dalam surat al-
Fâtihah sudah ma'rûf par excellence. Dalam lingkungan
orang-orang Arab pada abad ke-7, kata Allâh belum
merupakan "tanda" yang dengan sendirinya
memberikan rujukan yang jelas. Arkoun mengatakan
bahwa Allah dalam surat al-Fâtihah adalah Allâh
22 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

sebagaimana sudah diwahyukan dalam surat 1 sampai


dengan surat 45. Jadi, kalau dalam al-Fâtihah (surat ke
46) disebut Allâh atau ditemukan tanda-tanda yang
berkaitan dengan Allâh, itu harus dipahami lewat Allah
sebagaimana digambarkan dalam surat-surat yang
mendahuluinya. Dalam al-Fâtihah bahkan ditemukan
sebutan-sebutan seperti al-rahmân, al-rahîm, rabb
al-'âlamîn, mâlik yaum al-dîn. Untuk memahami secara
lebih persis dan mendalam rujukan dari sebutan-
sebutan tersebut, tidak diragukan lagi bahwa orang
harus mendalami surat-surat yang mendahuluinya.
Selanjutnya Arkoun menunjukkan bahwa beberapa
ism ma'rifah tidak dikaitkan dengan Allah. Kata-kata
tersebut al-hamd, al-shirâth, al-maghdhûb, dan al-
dhâllîn. Dalam al-hamd, ism ma'rifah berfungsi sebagai
generalisasi baik secara ruang maupun waktu. Dalam
al-shirât, al-maghdhûb, dan al-dhâllîn, ism ma'rifah
mempunyai fungsi untuk ketegorisasi. Maksudnya lewat
ism ma'rifah itu, dalam surat al-Fâtihah ditunjukkan dua
kategori jalan (shirât). Pertama adalah jalan yang lurus
(al-mustaqîm). Jalan ini adalah jalan orang-orang yang
mendapatkan nikmat dari Allah. Kategori kedua adalah
jalan bagi orang-orang orang yang dimurkai (al-
maghdhûb ['alaihim]) atau jalan orang yang sesat (al-
Dhâllîn). Dua kategorisasi ini ditempatkan sedemikian
rupa sehingga menunjukkan kontras yang tajam.

• Analisis Pronomina (Dhamîr) dan Verbal


Setelah memeriksa kata benda, Arkoun beralih pada
kata ganti (pronomina; dhamîr). Sebelum memulai
kajiannya, Arkoun mengakui:

"[Pronomina] juga merupakan kategori determinan [atau


ism ma'rifah] yang menunjukkan kita menelusuri campur
tangan pengujar (intervention du locuteur). Untuk qirâ'ah
yang sedang kita lakukan, analisis tentang kata ganti
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 23

orang merupakan saat yang menentukan, karena hal itu


mau tidak mau mengajak kita memasuki persoalan
sensitif tentang pembuat (auteur) teks tersebut".

Tujuan analisis pronomina dimaksudkan untuk


mengidentifikasikan siapa yang sedang berbicara dalam
teks tersebut. Dalam berbagai teks, persoalan ini sering
kali akan segera terpecahkan, karena banyak ujaran
yang dimulai dengan kata seperti qul (katakanlah) atau
Inna (kemudian disambung dengan kata ganti pertama
tunggal).
Sehubungan dengan pronomina, Arkoun pertama-
tama memeriksa "kata ganti orang kedua" (dhamîr al-
mukhâthab). Dalam surat al-Fâtihah, dhamîr al-
mukhâthab tampak paling jelas dalam kata iyyâ-ka
("kepada-Mu"), di mana terdapat dhamîr al-nasb al-
mufashil (kata ganti berkasus objek dan terpisah). Kata
ganti orang kedua tunggal ini diawali dengan partikel
iyyâ. Kati ganti ini tidak lain ditujukan pada Allah. Jadi
Allah merupakan pihak yang dituju dari penyembahan
(na'budu) dan permohonan pertolongan (nasta'în). Allah
dalam kedudukannya sebagai orang kedua tungga juga
tampak dalam kata kerja imperatif (amr) ihdinâ
(tunjukanlah kepada kami) dan an'amta (Engkau
memberikan nikmat). Arkoun juga memperhatikan -ta
yang secara eksplisit dikatakan aktif dan -ta pasif
(majhûl) dalam ghair al-maghdhûb. Bentuk-bentuk
seperti ini, menurut Arkoun, dapat dipandang sebagai
tanda.
Dhamîr kedua yang diperiksa adalah dhamîr al-
mutakallim (kata ganti orang pertama). Kata ganti ini
tampak sebagai subjek dalam kata-kata na'budu dan
nasta'în dam sebagai objek dalam kata ihdinâ.
Persoalannya, siapakah yang tercakup dalam kata ganti
orang pertama jamak di sini? "Saya dan kamu" atau
"saya dan mereka"? Dalam bahasa Indonesia, persoalan
ini tidak akan pernah muncul, karena kedua hal itu
24 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

dibedakan dengan "kita" dan "kami". Dalam surat al-


Fâtihah, kata ganti orang pertama jamak tidak lain
kecuali berarti "kami", yakni "saya dan mereka".
Persoalannya tidak berhenti sampai di situ. Apakah
"kami" di sini hanya meliputi "kami" yang sedang
mengucapkan (misalnya dalam shalât) ataukah juga
meliputi "mereka" yang tidak hadir (dan tidak
mengucapkan)? Arkoun melihat pembahasan kata ganti
orang pertama jamak ini sangat penting untuk
menjelaskan berbagai makna, termasuk fungsi
performatifnya yang masih akan dibahas kemudian.

• Analisis Aktansial
Arkoun memilih unsur-unsur linguistis tersebut
dimaksudkan untuk menganalisis aktan-aktan (actants),
yaitu pelaku yang melaksanakan suatu tindakan yang
ada dalam suatu teks atau narasi. Dalam semiotik,
analisis actantial mengembangkan fungsi-fungsi
sintaksis dalam ujaran dan kalimat. Mula-mula analisis
actantial berkembang di lingkungan pembacaan dan
analisis narasi, akan tetapi semiotik telah
mengembangkannya menjadi aparat untuk membaca
teks-teks lebih umum, seperti teks filsafat dan
keagamaan.
Dengan kategori aktan, ujaran (Prancis énoncé/
Inggris utterance) dipandang sebagai "suatu hubungan
antara berbagai aktan yang membentuknya". Secara
lebih khusus dapat dikatakan bahwa ujaran harus dilihat
dari kategori hubungan antar-aktan. Dilihat dari kategori
ini, paling tidak ada tiga macam "poros" hubungan
antar-aktan. (a) Poros pertama dan yang terpenting
adalah poros Subjek-Objek, di mana orang dapat
memeriksa siapa melakukan apa. (b) Poros kedua
menjawab persoalan siapa melakukan dan untuk siapa
itu dilakukan. Poros ini berupa Pengirim-Penerima. (C)
Poros ketiga dimaksudkan untuk mencari aktan yang
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 25

mendukung dan aktan yang menentang subjek, yang


berada dalam poros Pendukung-Penerima. Inilah tiga
macam pasangan aktan yang dapat membantu
pembaca untuk mengidentifikasi aktan dan
kedudukannya. Aktan dapat berupa orang (pribadi) dan
berupa nilai. Demikianlah Arkoun memandang teks
dalam kategori aktan.
Pada akhir analisisnya tentang kata ganti
(pronomina, dhamîr), misalnya Arkoun memberikan
kesimpulan dalam kategori-kategori aktan, khususnya
dengan poros Pengirim-Penerima. Ia mengatakan, "Allâh
adalah aktan Pengirim-Penerima 1; pengujar--yaitu
manusia--adalah aktan Penerima-Pengrim 2". Dari
statement ini dapat dikatakan bahwa dalam surat al-
Fâtihah, Allah adalah aktan Pengirim (destinateur)
pesan. Sedangkan manusia adalah aktan Penerima
(destinaire) pesan. Akan tetapi Arkoun, memperhatikan
bahwa struktur hubungan aktan-aktan tersusun
sedemikian rupa, sehingga sebaliknya juga dapat
diterima. Maksudnya, manusia juga dapat menjadi
"Pengirim" dan Allah menjadi "Penerima".

Allah Pesan
Manusia
(locuteur)

Aktan destinateur modalisateurs du discours


Aktan destinaire

Skema 9: Analisis Aktansial

Dalam menganalisis actancial struktur al-hamd li-llâh


(sebagai jumlah ismiyah (kalimat nominal) dengan al-
hamd sebagai mubtadâ dan li-llâh sebagai khabar],
Arkoun bergeser dari aras sintaksis ke aras semantik.
Secara semantis, al-hamd (pujian) mengandaikan
26 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

actant-destinateur (aktan pengirim) dan actant-


destinaire (aktan-penerima). Analisis actantial sangat
mementingkan fungsi-fungsi sintaksis, yang tidak hanya
diterapkan pada tingkat ujaran atau kalimat, melainkan
diterapkan terhadap seluruh teks sebagai kesatuan atau
seluruh narasi. Oleh karena itulah dalam analisis
actantial suatu teks atau narasi tidak lain daripada satu
ujaran atau kalimat panjang. Arkoun juga menerapkan
cara pandang ini dalam memendang seluruh teks surat
al-Fâtihah yang mencerminkan pandangannya bahwa
selurih teks surat al-Fâtihah (dari Bi-smi-l-llâhi sampai
al-dhâllîn) adalah satu kalimat yang panjang. Skema di
bawah ini dibuat berdasarkan analisis tanda-tanda
bahasa dan fungsi-fungsi sintaksis pada tingkat ujaran.
Arkoun memasukkan surat al-Fâtihah ke dalam empat
leksis dan tujuh predikat.

1. bi-smi-l-llâhi ar-rahmâni-r-rahîmi
2. al-hamdu li-llâhi 1. rabbi-l-'âlamîna
2. ar-rahmâni-r-rahîmi
3. Mâliki yaumi-d-dîni
3. iyyâka na'budu wa
iyyaâka nastaîn
4. ihdinâ-sh-shirâtha-l- 1. Shirâtha-l-ladzîna
mustaqîm an'amta 'alaihîm
2. Ghairi-l-maghdhûbi
'alaihîm
3. Wa lâ-dh-dhâllîna
Skema: Pembagian al-Fâtihah berdasarkan ujaran (tanda bahasa dan
fungsi sintaksis)

Kritik linguistik hanyalah satu langkah dari qirâah


yang diajukan Arkoun, yang sebenarnya banyak hal dari
kritik linguistik di atas telah dipikirkan oleh para
mufassir klasik. Para mufassir seringkali mementingkan
analisis sintaksis. Arkoun melihat bahwa pentingnya
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 27

kritik linguistik ini terletak pada kemungkinan untuk


"mengungkapkan tatanan yang mnedalam yang ada di
balik penampakan teks yang seakan-akan tidak teratur
(un ordre profond sous un désordre apparent)”. Analisis
ini dilakukan sedemikian rupa sehingga pembaca dapat
menangkap keseluruhan teks sebagai sistem hubungan-
hubungan internal. Hubungan internal dianalisis
berdasarkan tanda-tanda bahasa yang ada. Demikianlah
teks tidak hanya tampak sebagai kumpulan kata-kata,
melainkan tampak sebagai suatu sistem hubungan
internal.

b. Hubungan Kritis al-Fâtihah sebagai Ujaran


Pada bagian kritik linguistik, fokus analisis Arkoun
terarah pada "tanda-tanda bahasa" dan kalimat-kalimat
atau analisisnya terarah pada aras sintaksis dan
semantik. Untuk menganalisis suatu teks, terlebih lagi
teks suci seperti al-Fâtihah, pendekatan ini jelas kurang
memadai. Dalam pendekatan di atas, pembaca belum
memperhitungkan hubungan antara pembaca dengan
apa yang sedang dibaca. Kedudukan pembca
dipinggirkan oleh kepentingan analisis seobjektif
mungkin. Tidak mengherankan bahwa teks menjadi
terasa kering, dingin.
Oleh karena itu, pada langkah selanjutnya Arkoun
berusaha melepaskan diri dari keterbatasan-
keterbatasan metodologis tersebut, melalui analisis
"hubungan kritis" (relation critique). Ungkapan
"hubungan kritis" ini dipinjam oleh Arkoun dari J.
Starobinski, seorang profesor linguistik dari Swiss.
Starobinski mengartikan "hubungan" sebagai "a
transcoding, a free transcription of various data
presented in the 'interior'of the 'text'" Keberhasilan
suatu kritik teks bukan pertama-tama terletak pada
keberhasilannya untuk "mengupas". Kritik teks, katanya,
harus diarahkan kepada hubungan-hubungan yang ada
28 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

di dalam teks yang tidak lain adalah "the driving force


behind the text". Oleh karena itulah Starobinski
mengusulkan penggunaan kata "hubungan" sebagai
penggati kata "kritik".
Asumsi Starobinski ini berlaku tertama kalau orang
berhadapan dengan teks-teks keagamaan. Anlisi
linguistik kritis memberikan kesan yang deterministis.
Hal ini juga disadari oleh Arkoun. Oleh karena itulah
Arkoun berusaha untuk melampaui keterbatasan
tersebut. Dalam hal ini Starobinski telah memberi andil
dalam usaha Arkoun untuk memberi
pertanggungjawaban metodologis kajian linguistik.
Arkoun kemudian meninggalkan aras kritis dan analitis
menuju ke aras relasional. Pada aras relasional ini
qirâ'ah tidak lagi diarahkan untuk re-enactment (napak
tilas) lewat peran-peran yang ada dalam teks,
melainkan--lebih jauh lagi—yakni diarahkan pada anlisis
kritis le signifié dernier (petanda terakhir).
Arkoun berusaha keras mencari le signifié dernier
(petanda terakhir) dalam pembacaan al-Fâtihah. Di
kalangan filosof yang mempunyai concern pada bahasa,
le signifié dernier (petanda terakhir) tidak selalu diakui.
Jacques Derrida, misalnya menolak adanya petanda
terakhir. Bahasa, menurut Derrida, adalah metafora
yang tidak mempunyai rujukan final. Makna muncul
karena pertukaran metafora. Makna akan berubah
ketika para pelakunya berubah. Makna, dengan kata
lain, selalu bersifat dinamis dan relasional. Karenanya,
rujukannya bersifat tidak terbatas.
Di satu pihak Arkoun memang banyak dipengaruhi
oleh Derrida, akan tetapi dalam hal le signifié dernier
(petanda terakhir), Arkoun dan Derrida berbeda
pendirian. Untuk mencari le signifié dernier (petanda
terakhir) ini Arkoun menempuh dua langkah: eksplorasi
historis dan eksplorasi antropologis. Untuk eksplorasi
historis, Arkoun memilih karya salah seorang mufasir
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 29

kenamaan, yaitu Fakhr al-Din al-Râzi.

2. Momentum Historis
Eksplorasi historis bertujuan untuk membaca
kembali salah satu khazanah tafsir klasik dan mencari
petanda terakhir di dalamnya. Lewat eksplorasi
antropologis, Arkoun ingin mencari petanda terakhir
dengan teori-teori tentang mitos, yang memeprlihatkan
bagaimana bahasa dipakai dalam berbagai jenis simbol.
Selanjutnya Arkoun juga ingin melihat sejauh mana
kemiripan antara petanda terakhir yang ditunjukkan
oleh Fakhr al-Dîn al-Râzi dan petanda terakhir yang
ditujukan oleh surat al-Fâtihah yang dibaca dengan
metode yang sedang diajukan oleh Arkoun.
Dalam lingkaran qirâ'ah surat al-Fâtihah, Arkoun
menempatkan Fakhr al-Dîn al-Râzi dalam tahap historis.
Dalam tahap ini Arkoun bermaksud memeriksa
"pencapaian dan keterbatasan dari tafsir logiko-
leksikografis dan eksegesis imajinatif yang sudah
diupayakan oleh orang-orang Muslim hingga sekarang".
Arkoun juga menunjukkan bahwa inteligibilitas karya al-
Râzi harus ditelusuri juga lewat pengandaian-
pengandaian yang bersifat implisit sebagai sebuah
totalitas fungsional.
Tak seorang pun meragukan eruditas al-Razi di
bidang pemikiran Islam, yang telah menulis Mafâtîh al-
Ghaib (masyhur disebut al-Tafsîr al-Kabîr). Akan tetapi
para mufassir muslim lainnya meragukan apakah betul
bahwa yang dilakukan oleh al-Râzi itu benar-benar
suatu tafsir. Al-Suyûthî bahkan mengatakan bahwa
dalam Mafâtîh al-Ghaib dapat ditemukan segalanya
kecuali tafsir. Al-Râzi membutuhkan 99 halaman untuk
menafsirkan al-Fâtihah. Keraguan terhadap usaha al-
Râzi ini tiada lain karena kecendrungan al-Râzi yang
memasukkan berbagai pengetahuan untuk menafsirkan
al-Qur'an, sehingga ada kesan ia justeru mengabaikan
30 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

tafsir itu sendiri.


Kekhasan tafsir al-Râzi memang justeru terletak
pada usahanya untuk mengintegrasikan
pengetahuannya yang luas dalam kerangka al-Qur'an.
Michael lagard, seorang sarjana yang concern pada al-
tafsîr al-Kabîr, menunjukkan paling tidak ada enam
persoalan yang meliputi sekaligus mengarahkan al-
Tafsîr al-Kabîr. Keenam persoalan ini adalah persoalan
linguistik, semantik, i'jâz, teologis-filosofis, dan yuridis-
ritual. Berkenaan dengan persoalan yuridis-ritual,
misalnya, Lagard menyoroti bagaimana al-Râzi melihat
ayat-ayat surat al-Fâtihah bagaikan abwâb al-jannah
(pintu-pintu surga). Ketujuh ayat tersebut merupakan
tujuh pintu (bâb), yang masing-masing adalah:

Bâb al-Dzikr (pintu zikir, Bi-smi-l-llâhi-r-rahmâni-r-


pengingatan [nama rahîmi
Allah])
Bâb al-syukûr (pintu Al-hamd li-llâhi rabbi-
syukur) l-’âlamîn
Bâb al-rajâ’ (pintu Al-rahmâni-r-rahîm
harapan)
Bâb al-khauf (pintu mâliki yaumi-d-dîni
ketakutan)
Bâb al-ikhlâsh (pintu iyyâka na’budu wa iyyâka
ikhlas) nasta’înu
Bâb al-du’â wa al- ihdinâ-sh-shirâtha-l-
tadharru’ (pintu do’a mustaqîm
dan tadharru)
Bâb al-iqtidhâ wa al- shirâtha-l-ladzîna an’amta
ihtidâ (pintu ‘alaihîm, ghairi-l-maghdhûbi
keteladanan dan ‘alaihîm wa lâ-dh-dhâllîn
bimbingan)
Skema: Pembagian al-Fâtihah menurut al-Razi (translieterasi dibuat
berdasarkan transvokal)
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 31

Dalam mendekati al-Tafsîr al-Kabîr, secara tematis


Arkoun dan M. Lagard. Memiliki kesamaan, walaupun
secara metodologis menempuh cara yang berbeda. M.
Lagard memiliki akselerasi pada usaha sistematisasi
pemikiran-pemikiran al-Râzi, sedangkan Arkoun
cenderung untuk mempertanyakan dan menjelaskan
mengapa al-Râzi menafsirkan al-Qur'an dengan cara
seperti itu. Untuk membaca dan menilai al-Tafsîr al-
Kabîr, Arkoun memberikan lima macam kode yang
meliputi kode linguistik, kode keagamaan, kode
simbolis, kode kultural, dan kode anagogis. Dalam
semiotik, kode adalah sistem tanda yang menghasilkan
suatu teks. Kode adalah semacam filter yang
menentukan pemilihan makna oleh pihak pembicara.
Arkoun memasukkan kategori kode dengan maksud
mencari "tuntunan" untuk membimbing pembacaan
karya al-Râzi.

a. Kode Linguistik
Analisis linguistik ditempatkan pada tahapan awal,
karena al-Râzi dan secara umum para ushuli atau para
ahli dasar hukum, memulai pembahasannya dengan
pengantar linguitik secara panjang lebar . Kode
linguistik meruakan bagian paling andal dan paling
aktual dalam karya-karya ilmu tafsir dan ushul. Tentu
saja, pembahasan linguistik ini sangat bersifat Arab
dalam pemikiran Islam. Penggunaan kode dapat
membantu memisahkan data linguistik yang kerap
digabungkan dengan pertimbangan dalam ulasan itu.
Kekaburan sering terjadi dalam berbagai rancangan dan
menjadi parah sejak campur tangan teori i'jaz.

b. Kode Keagamaan
Kode ini berupa sejumlah dogma, keyakinan, dan
ritus yang mengendalikan suatu orientasi pemikiran
tertentu. Jadi, orientasi wacana. Karena itu perlu dipilah
32 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

bidang sakral yang diselubungi oleh kode keagamaan


ini. Pemilahan kode ini dimaksudkan untuk memaparkan
bagaimana agama memasukkan dalam wacana ulasan-
ulasan itu, seluruh lingkup (topoi) pemaknaan.

c. Kode Simbolis
Kode simbolis yang inheren dan artikulatif dalam
naskah al-Qur'an menuntut kekuatan imajinasi.
Kekuatan imajinasi ini dibutuhkan untuk menjembatani
kecendrungan pembaca al-Qur'an dalam pengingatan
eskatologis, pendekatan danpenjelasan simbol,
antisipasi dan koordinasi yang mengalihkan jiwa dalam
suatu alam simbol yang terlampau dibakukan. Namun,
tugas imajinasi ini, menurut Arkoun, telah
didiskualifikasi dalam dunia Islam (sebagaimana terjadi
di Yunani klasik dan Barat modern) oleh nalar yang
merasionalisasikan. Ia melihat bahwa pembakuan kode
simbolis yang dilakukan oleh al-Razi telah membekukan
reproduksi pemaknaan simbol-simbol yang ada dalam
al-Qur'an.

d. Kode Budaya
Pada sisi ini Arkoun menyebutkan bahwa al-Razi
telah maksimal dalam memahami makna dengan
menggunakan seluruh yang tersedia di masanya.
Namun, al-Razi, menurut Arkoun, telah mengarahkan
metode-metode itu secara khas menurut madzhab
teologinya atau politiknya. Kewajiban pembaca adalah
mengenali segala tingkat dan momentum wacananya di
mana kode budaya menjadi suatu kode ideologis.

e. Kode Anagogis
Menurut Arkoun, dari keenam kode, kode anagogis
adalah kode yang paling penting. Tentang kode
anagogis, Arkoun menulis:
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 33

[Kode anagogis] merupakan kode terpenting, karena dari


sudut pandang mufassir, kode ini merupakan kode yang
mempersatukan seluruh (kelima) kode di atas untuk
memahami petanda terakhir dari teks Qur'ani. Kode ini
memepunai arti penting untuk menunjukkan bahwa al-
Râzi dan seluruh mufassir klasik, dalam Qur'an pasti ada
petanda terakhir, ada 'suara hati' orang-orang Muslim.
Dalam qirâ'ah kita sekarang tentang al-Fâtihah terdapat
dua persoalan (1) dapatkah kita sekarang ini
mengungkapkan petanda terakhir ini? (2) pada tingkat
manakah al-Râzi dan para mufassir klasik lainnya
menempatkan petanda terakhir; pada tingkat keagamaan,
simbolis, kultural atau ontologis? Dengan kata lain,
apakah yang memisahkan dan yang masih
mempersatukan penelitian kita akan makn adan
penelitian akan pemikiran muslim klasik?"

Kode anagogis, dari sudut pandang mufassir,


merupakan kode yang mempersatukan seluruh kode
yang ada untuk memahami le signifié dernier (petanda
terakhir) dari teks al-Qur'an. Kode ini mempunyai arti
penting untuk menunjukkan bahwa al-Râzi dan seluruh
mufassir klasik bersepakat dan mempunyai konsepsi
yang sama yang mengikat mereka. Pemaknaan dan
penafsiran yang disepakati di kalangan para mufassir,
menujukkan eksistensi le signifié dernier dalam
pemaknaan al-Fatihah ini.

3. Momentum Antropologis
Lewat eksplorasi antropologis, Arkoun berusaha
mencari le signifié dernier (petanda terakhir) melalui
penjelajahan teori-teori mitos (analisis mitis), yang
memperlihatkan bagaimana bahasa dipakai dalam
berbagai jenis simbol. Analisis mitis banyak dilakukan
oleh ilmu antropologi, khususnya antropologi sosial dan
budaya. Arkoun melihat bahwa antropologi memberikan
sumbangan besar dalam menghidupkan kembali
kekayaan mitos yang, sejak zaman Aristoteles,
34 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

cenderung dipandang remeh. Struktur mitis digantikan


dengan struktur logosentris.
Selama ini antropologi sudah mengembangkan
seperangkat analisis yang dapat menyingkapkan
struktur-struktur mitos dari berbgai kebudayaan. Arkoun
yakin bahwa analisis antropologis juga dapat diterapkan
pada surat al-Fâtihah. Karenanya, dalam qirâ'ah al-
Fâtihah, ia memberikan ruang kepada moment
(langkah) antropologis guna mengungkapkan "struktur
bahas mitis yang ada dalam al-Qur'an"
Arkoun menggunakan analisis mitis, karena ia yakin
bahwa dengan cara ini ia dapat memahami teks dari
berbagai segi dan dimensi. Analisis ini dapat melengkapi
analisis-analisis tradisional yang berpusat pada analisis
leksiko-gramatikal, teologis, dsb. Arkoun menandaskan
bahwa analisis semacam ini justeru membantu
pembacanya untuk menggali kekayaan teks-teks
keagamaan yang, menurutnya, lebih bersifat simbolis
daripada naratif. Dalam sejarah kebudayaan, orang
mencurigai bahasa mitis, khususnya sejak Aristoteles
memperkenalkan konsep akal. Melalui analisis mitis,
menurut Arkoun, orang dapat melihat "ungkapan
simbolis dari realitas dan universal manusia". Artinya,
lewat mitos orang dapat menemukan realitas primordial
atau asasi yang dialami oleh semua orang untuk
mendapatkan hasil interpretasi yang maksimal.
Pembaca, tentu saja perlu melakukan kajian
antropologis tentang kebudayaan Timur Tengah.
Salah seorang filosof yang sudah mencoba
melakukan analisis mitis adalah Paul Ricoeur lewat
karyanya La Symbolique du ma (1969). Dalam buku itu,
Ricoeur menganalisis berbagai simbol kejahatan yang
diambil dari berbagai kebudayaan, antara lain dari
kebudayaan Semit sebagaimana tampak dalam kisah
kejatuhan Adam. Kisah Adam, menurut analisis Ricoeur,
bukanlah kisah tentang seorang manusia yang
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 35

kebetulan bernama Adam. Kisah Adam, menurut


Ricoeur, adalah kisah tentang semua dan setiap
manusia. Kesimpulan semacam ini tentu saja ditarik
lewat penelitian dan analisis tidak lagi hanya berhenti
sebagai tanda-tanda, melainkan berfungsi sebagai kata
simbolis. Kata "Adam", misalnya, tidak hanya seseorang
yang kebetulan bernama Adam, melainkan--sesuai
dengan struktur mitis--mempunyai makna (simbolis)
"manusia".
Analisis mitis sangat mirip dengan analisis simbol.
Mitos adalah sejenis simbol atau salah satu jenis khusus
dari simbol. Mitos adalah sejenis simbol yang
diungkapkan dalam kisah atau cerita. Sebagai cerita,
mitos terjadi dalam waktu dan tempat. Akan tetapi
waktu dan tempat mitos tidak dapat diukur dengan
kategori waktu dan tempat sebagaimana dipahami
dalam konteks sejarah. Mitos lahir dan berkembang
lewat dan dari sejarah. Bahkan dapat dikatakan bahwa
setiap sejarah secara potensial dapat berubah menjadi
mitos. Cerita mitis sangat kental dan sublim, karena
struktur ceritanya dapat dijadikan sebagai wahana
untuk mengungkapkan dan memikirkan hidup manusia
yang dalam dan rumit.
Lewat mitos, orang berbicara tentang dirinya sendiri.
Dalam mitos, makna diungkapkan dalam suatu struktur
sedemikian rupa, sehingga dtruktur itu dapat dujadikan
sebagai sarana baru untuk berbicara tentang sesuatu
yang lain (misalnya tentang pengalaman-pengalaman
dasar dan eksistensial manusia). Hidup manusia begitu
rumit, dalam, bahkan tak terpahami, sehingga orang
tidak pernah dapat membicarakannya secara langsung.
Mitos adalah salah satu sarana efektif yang dapat
dipakai untuk membicarakan hidup manusia. Dalam
semiotik dan antropologi,ditemukan bahwa mitos bukan
hanya menjadi monopoli orang-orang yang
dikategorikan "primitif", melainkan menjadi bagian tak
36 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

terpisakan dalam komunikasi orang-orang modern.


Pada akhirnya, setiap qirâ'ah berurusan dengan
persoalan bagaimana suatu teks dapat menghasilkan
makna (signification). Salah satu pengandaian dasar
Arkoun berbunyi bahwa manusia adalah problem
konkret bagi dirinya sendiri ("L'homme est un probléme
concret pour l'homme"; "inna-l-insân asykala 'alaihi-l-
insân."). Sebagai animal rationale, manusia
mengusahakan pengetahuan tentang dunia, hidup, dan
dirinya sendiri untuk mengatasi problem tersebut.
Tujuan Arkoun membaca surat al-Fâtihah adalah untuk
memahami makna, agar dengan pemahaman tersebut
dapat mengatasi problem absolut, yaitu manusia itu
sendiri. Pengandaian lainnya mengatakan bahwa teks
yang dibaca adalah suatu corpus (yakni al-Qur'an) yang
bersifat terbuka. Teks Qur'ani, kata Arkoun, mengatakan
sesuatu, mengungkapkan suatu komunikasi,
memberikan sesuatu untuk dipikirkan. Isi komunikasi
inilah yang dicari terus-menerus ketika seseorang
membaca suatu teks. Isi komunikasi ini tidak cukup
kalau hanya dicari lewat anaisis linguistik kritis,
melainkan juga harus dicari lewat hubungan kritis.
Untuk mendapatkan hubungan-hubungan kritis ini,
Arkoun menggunakan analisis mitis.
Arkoun melihat bahwa dalam al-Qur'an terdapat
banyak simbolisme yang mengungkapkan realitas asli
dan universal manusia. Justeru aspek itiulah yang
memudahkan orang dari berbagai kebudayaan begitu
terpikat akan pesan-pesan al-Qur'an. Selama berabad-
abad, orang menyatakan bahwa salah satu
kemukjizatan al-Qur'an tampak dalam keindahan
kesusastraannya. Kemukjizatan al-Qur'an salah-satunya
terdapat dalam simbolisme yang begitu primordial dan
universal. Arkoun melihat bahwa dalam al-Qur'an
terdapat dalam paling tidak empat macam simbolisme:
(1) simbolisme tentang kesadaran manusia akan
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 37

kesalahan, (2) simbolisme manusia akan cakrawala


eskatologi atau kehidupan "yang akan datang", (2)
simbolisme tentang kesadaran manuais sebagai umat,
dan (3) simbolisme tentang hidup dan mati.
Untuk melakukan analisis makna simbolis dan mitis
teks surat al-Fâtihah, dibutuhkan kemampuan untuk
menghubungkan berbagai unsur-unsur intrinsik teks
yang terkadang bersifat metabahasa. Lewat analisis
linguistiknya, Arkoun mencari berbagai kemungkinan
munculnya tanda. Perluasan ini juga dapat dilakukan
dengan analisis semantis. Kedua analisis ini sudah
banyak dilakukan para mufassir klasik. Al-Thabarî,
misalnya, menjelaskan al-rahmân dengan al-rafîq, al-
ham li-llâh dengan al-syukr li-llâh, rabb al-'âlamîn
dengan sayyid al-'âlamîn, shirâth dengan al-tharîq, dan
sebagainya. Penggunaan al-tharîq sebagai interpretasi
dari al-shirât oleh al-Thabarî merupakan designatum
(rujukan) pertama yang secara konvensional diterima
oleh orang-orang Arab. Karena ditempatkan dalam
suatu teks wahyu, tanda al-shirâth digunakan untuk
mengungkapkan isi wahyu yang hendak disampaikan
kepada manusia. Pembaca dihadapkan dengan sesuatu
yang "seperti al-shirâth". Hal ini menunjukkan bahwa
tanda al-shirât mengalami simbolisiasi menjadi simbol
al-shirâth.
Analisis mitis terhadap surat al-Fâtihah dilakukan
dalam pelbagai tahapan. Pertama-tama, pembaca harus
memperlakukan data linguistik pertama-tama sebagai
"kata sebagai simbol" (mot-symbole) dan bukan "kata
sebagai tanda" (mot-signe). Dengan cara itu, Arkoun
melihat adanya simbolisme tentang kesadaran manusia
akan kejahatan. Simbolisme ini terungkap dalam simbol-
simbol iyyâka na'budu, shirâth al-mustaqîm, an'amta,
maghdhûb 'alaihîm, dan dhâllîn. Harus diakui bahwa
Arkoun sendiri tidak menjelaskan secara terinci
(sebagaimana dilakukan Paul Ricoeur atas kisah Adam)
38 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

tentang simbolisme kejahatan dalam surat al-Fâtihah. Ia


baru menunjukkan adanya simbolisme. Dari sini dapat
dikatakan bahwa ungkapan-ungkapan iyyâka na'budu,
shirâth al-mustaqîm, an'amta, maghdhûb 'âlaihîm, dan
dhâllîn merupakan ungkapan kesadaran asli akan
masalah kejahatan yang merupakan salah satu
persoalan dasar dalam kehidupan manusia.
Simbolisme menyangkut kesadaran akan kejahatan
juga nampak dalam oposisi yang terungkap dalam
ungkapan al-ladzîna an'amta 'alaihîm dan ghair al-
maghdhûb 'alahîm. Dengan berdasar pada kategori
teologis, metafisis, etis, psikologis, dan logis, pandangan
tafsir tradisonal telah membangun dua tipe
kemanusiaan antinomis. Pertama, tipe ideal manusia
sempurna (nabi, orang bijak, imam, orang suci) yang
selalu mengayomi dan menujunkkan kasih Ilahi. Kedua,
tipe manusia yang (hidupnya) selalu dicurahkan pada
kejahatan, kesesatan, dan objek dari kemurkaan dan
kutukan Allah. Dengan ungkapan ini, pengujar
menyatakan kesadarannya akan keadaan hidupnya
yang terdiri dari atas kebaikan maupun kejahatan.
Keadaan ini membuat kehidupan eksistensialnya berada
dalam ketidakpastian dan pengujar menyerahkan diri
pada dan mengandalkan Dzat yang berkuasaan untuk
mengadili.
Simbolisme menyangkut kesadaran akan "ada"
(yang meliputi hidup dan mati) manusia terungkap
dalam kata Allâh dan rabb al-'âlamîn. Persoalannya,
apakah makna yang terkandung dalam kata Allâh ketika
kata itu diucapkan? Secara filologis, kata Allâh berasal
dari artikel al- dan kata ilâh. Secara filologis dana
etimologis orang memang dapat memastikan (paling
tidak secara teoritis) asal muasal dari suatu kata. Akan
tetapi secara simbolis, yakni pada tataran analisis mitis,
orang selalu terbuka kepada berbagai makna yang
ditunjuk oleh suatu simbol.
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 39

Bagi Arkoun, kata Allâh (dan rabb al-'âlamîn) dalam


surat al-Fâtihah merupakan ungkapan simbolisme
kesadaran manusia akan kehidupan dan kematian.
Bentukan ungkapan ini merupakan konsep ke-Allah-an
orang Muslim yang dimaksudkan untuk
membedakannya dengan konsep ke-Allâh-an orang-
orang pra-Islam. Data filologis ini saja sudah
mengundang pembaca untuk tahu lebih banyak tahu
konsep ke-Allâh-an pra-Islam, supaya pembaca tahu
lebih tajam kekayaan makna ke-Allâh-an al-Qur'an.
Dalam status simbolisnya, ungkapan Allâh dan rabb
al-'âlamîn merupakan simbolisasi eksistensi manusia itu
sendiri.

Rujukan
al-hamd li-llâhi rabbi- Simbolisme akan “ada” (yang
l-’âlamîn. al-rahmâni- meliputi hidup dan mati.
r-rahîm [Mengacu pada ilmu-ilmu
dasar ontologis dan
metodologis dari
pengetahuan (‘Ilm Ushûl)]
mâliki yaumi-d-dîni simbolisme manusia akan
cakrawala eskatologis
iyyâka na’budu wa Simbolisme kesadaran
iyyâka nasta’înu, manusia akan kesalahan
shirâth al-mustaqîm, (peribadatan)
an'amta, maghdhûb
'alaihîm, dan dhâllîn
ihdinâ-sh-shirâtha-l- etika
mustaqîm
shirâtha-l-ladzîna Simbolisme kesadaran
an’amta ‘alaihîm, manusia akan kejahatan
(ilmu profetik)
ghairi-l-maghdhûbi Simbolisme akan kejahatan
‘alaihîm wa lâ-dh- (Sejarah spiritual
dhâllîn kemanusiaan. Tema-tema
40 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

perlambang yang buruk yang


diuraikan pada kisah-kisah
umat terdahulu)
Skema: Pemaknaan Simbol al-Fâtihah menurut Arkoun

Pada tahap antropologis ini, Arkoun juga berbicara


tentang fungsi denotatif. Fungsi ini tidak identik dengan
fungsi denotatif pada tingkat analisis tanda, ketika
fungsi denotatif sejajar dengan makna leksikal atau
makna sesuai dengan kamus. Surat al-Fâtihah
mempunyai fungsi denotatif dalam arti bahwa seluruh
strukturnya mempunyai kekuatan untuk menunjuk
realitas hidup manusia yang terdalam. Arkoun
menyebut realitas ini sebagai originaire, yaitu
menyangkut "pengalaman-pengalaman batas hidup
manusia seperti kehidupan, kematian, waktu, cinta,
nilai, kekuasaan, kekudusan, dan kekerasan".
Singkatnya, surat al-Fâtihah bagaikan pintu gerbang
untuk melihat ada manusia dari seginya yang paling
dalam.
Kekuatan denotatif sangat dipengaruhi oleh
keakraban pembaca dengan berbagai macam
simbolisme yang dipakai dalam kebudayaan Timur-
Tengah, tempat al-Qur'an diturunkan. Dengan kata lain,
analisis mitis yang ditawarkan Arkoun harus juga
disertai dengan kajian antropologis kebudayaan Arab
khususnya dan Timur Tengah pada umumnya. Kajian ini
dapat mengantarkan pembaca pada berbagai
simbolisme yang pernah atau masih hidup di daerah
Timur Tengah, baik di lingkungan agama-agama
monoteis atau bukan. Ini berarti bahwa perlu dilakukan
kajian antropologis-komparatif. Selama ini, kata Arkoun,
kajian sejarah agama-agama monoteis cenderung
hanya bersifat linier. Kajian ini tidak hanya menutup
kemungkinan untuk saling mengayakan antara berbagai
tradisi keagamaan, namun justru saling memiskinkan,
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 41

karena masing-masing sibuk dengan soal-soal seperti


keaslian ajaran.
Arkoun juga menunjukkan bahwa analisis simbolis
memungkinkan bahasa keagamaan dapat menjadi
bahasa performatif atau bahasa yang mempunyai
kekuatan kreatif (force effectuante). Dalam wacana
keagamaaan, ciri performatif merupakan salah satu ciri
yang paling mencolok. Ciri ini, menurut Arkoun, juga
berlaku pada al-Qur'an dan tentu saja, juga pada surat
al-Fâtihah. Wacana performatif, menurut Arkoun,
merupakan parole yang mengatakan apa yang saya
perbuat dan pada waktu yang sama merupakan parole
yang membuat saya menyempurnakan atau
menyelesaikan tindakan saya (Sunardi, 1996:87).
Dengan kata lain, kalau pembaca mengatakan suatu
wacana performatif, pembaca tidak hanya mengatakan
atau mengartikulasikan fonem saja, melainkan juga
melainkan juga melakukan tindakan atau membentuk
aksi. Wacana performatif bukanlah wacana tentang
suatu aksi, melainkan wacana yang diucapkan
bersamaan dengan dilakukannya suatu aksi. Wacana
performatif mempersyaratkan adanya "kesadaran untuk
mewujud" sebagai jalan untuk "menghadirkan diri di
dunia" secara benar.
Segi performatif inilah yang memungkinkan al-
Fâtihah menjadi parole lagi bagi siapa saja yang
mengujarkannya sebagaimana dulu pernah menjadi
parole bagi Nabi Muhammad. Segi ini menunjukkan
kekuatan kreatif dari bahasa. Berkaitan dengan surat al-
Fâtihah, kalau pembaca mengatakan "al-rahmân al-
rahîm", pembaca tidak hanya mengatakan atau
melakukan konstatasi suatu keadaan atau tindakan,
melainkan pembaca sedang menciptakan tindakan,
entah itu berupa pengakuan (bahwa Allâh adalah al-
Rahmân dan al-Rahîm), pengharapan (akan
pengampunan dari al-Rahmân dan al-Rahîm), atau
42 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

penyerahan diri (kepada al-Rahmân dan al-Rahîm), atau


tindakan-tindakan lainnya sesuai dengan keadaan orang
yang sedang mengucapkannya.

Pamunah
Penjelajahan intelektual yang dilakukan Arkoun
dalam memformulasikan metodologi interpretasi al-
Qur'an masih dirasakan asing dan "liar"; bahkan
seringkali dirasakan kebingungan mengenai apa yang
ingin disumbangkannya. Oleh karena itu, diperlukan
kajian intensif dan kontinyu untuk menggali berbagai
sumbangan yang ingin diberikan oleh Arkoun pada
pembangunan khazanah pemikiran Islam. Pencapaian
intelektual Arkoun bagaikan "kanzan makhfiyyan"
(khazanah tersembunyi) yang masih menyimpan
berbagai misteri dalam dialognya dengan peradaban
Muslim dan peradaban Barat kontemporer, terutama
postmodernisme. Penelitian ini baru menguak
penjelajahan Arkoun dalam memformulasikan
metodologi interpretasi al-Qur'an melalui semiotik.
Masih banyak pemikiran Arkoun yang belum tersentuh,
seperti pemikiran logosentrisme, arkeologi
pengetahuan, islamologi klasik dan kontemporer, dialog
antaragama, kritik nalar Islam dan nalar modern, serta
Islam autentik.
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 43

DAFTAR PUSTAKA
Alex Sobur. 2001/2. Analisis Teks Media Suatu
Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik,
dan Analisis framing. Bandung: Rosda Karya.
Arkoun, Mohammed. 1987. Al-Fikr al-Islâm: Qirâ’ah
al-’Ilmiyyah. Diterjemahkan oleh Hasyim Shalih.
Beirut: Markaz al-Inmâ al-Qaumî.
________________. 1990a. al-Fikr al-Islâmî. Naqd wa
Ijtihâd. Diterjemahkan oleh Hâsyim Shâlih. London:
Dâr al-Syâqî.
________________. 1990b. Al-Islâm: al-Akhlâq wa al-
Siyâsah. Diterjemahkan oleh Hâsyim Shâlih. Beirut:
Markaz al-Inmâ al-Qaumî.
________________. 1990. “Menuju Pendekatan Baru Islam”
(hasil wawancara oleh Hamid Husyaib). Dalam
Ulumul Qur’an, No. 7, Vol. 2, 1990. Hlm. 82-87.
________________. 1993. “Pemikiran tentang Wahyu: Dari
Ahl al-Kitâb sampai Masyarakat Kitab”. Dalam
Ulumul Qur’an, No. 2, Vol. IV, tahun 1993. Hlm. 36-
50.
________________. 1994. Nalar Islami dan Nalar Modern.
Diterjemahkan oleh Rahayu Hidayat. Jakarta: INIS.
________________. 1994. “Metode Kritik Akal Islam” (hasil
wawancara dengan Hashem Shalih. Dalam Ulumul
Qur’an, No. 5 & 6, Vol. V, tahun 1994. Hlm. 156-169.
________________1996a. Pemikiran Arab. Diterjemahkan
oleh Yudian W. Asmin. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
________________1996b. Rethinking Islam. Diterjemahkan
oleh Yudian W. Asmin. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
_______________ dan Louis Gardet. 1996. Islam Kemarin
dan Hari Esok. Diterjemahkan oleh Ahsin
Mohammad. Bandung: Pustaka.
_______________. 1998. Kajian Kontemporer al-Qur’an.
Diterjemahkan oleh Hidayatullah. Bandung: Pustaka.
_______________. 1999. Membongkar Wacana Hegemonik
44 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

dalam Islam dan Postmodernisme. Diterjemahkan


oleh Jauhari dkk. Surabaya: al-Fikr.
Arthur Asa Berger. 2000. Tanda-tanda Dalam
Kebudayaan Kontemporer, Yogyakarta: Tiara
Wacana.
Attas, Syed Muhammd Naquib al-. 1989. Islam and the
Philosophy of Science. Kuala Lumpur: ISTAQ.
Baba, Kamil al-. 1992. Dinamika Kaligrafi Islam. Daul
Ulum Press.
Bakker, Anton dan Achmad Charris Zubair. 1999.
Metodologi Penelitian Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
Barry. 1995. Beginning Theory: An Introduction to
Literary and Cultural Theory. Manchester University
Press.
Barthes, Roland. 1967. Element of Semiology. New York:
Hill & Wang.
__________. 1972 & 1983. Mythologies. London: Paladin
Beny H. Hoed. 2003. “Strukturalisme de Saussure di
Prancis dan Perkembangannya”. Dalam Irzanti
Sutanto dan Ari Anggari Harapan. 2003. Prancis dan
Kita. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Cobley, Paul dan Litza Jansz.2002. Mengenal Semiotika
For Beginners, Bandung: Mizan.
Coward, Rosalind dan John Ellis. 1977. Language and
Materialism: Development in Semiology and the
Theory of Subjects. Routlegde.
Derrida, Jacques. 1972. “Structure, Sign, and Play”.
Dalam Richard Macksey (Ed). 1972. The Structuralist
Controversy: The Language of Criticism of the
Sciences of Man. The John Hopkins Press.
______________. 1987. Positions. London: The Athlone
Press.
______________. 1994. Of Grammatology. The John
Hopkins Press.
Derrida, Jacques. 2002. Dekonstruksi Spiritual.
Yogyakarta. Jalasutra.
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 45

Dick Hartoko. 1984. Manusia dan Seni. Yogyakarta:


Kanisius.
Eco, Umberto. 1979a. A Theory of Semiotics. A Midland
Book.
____________. 1979b. The Role of the Reader:Exploration
in the Semiotics of Texts . Bloomington: Indiana UP.
Faruk. 1999. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Farûqî, Isma’il R al-. dan Abdullah Omar Naseef (Ed.).
1981. Social and Natural Sciences. The Islamic
Perspective. Jeddah: Horder and Stoughon: King
Abdul Aziz University.
Fokkema, D.W. dan Elurd Kunne Ibsch. 1998. Teori
Sastra Abad Kedua Puluh. Diterjemahkan oleh J.
Praptadiharja dan K.Silaban. Jakarta: Gramedia.
Hanafi, Hassan. 1961. Dirâsât Islâmiyah. Kairo:
Maktabah al-Anglu al-Mishriyah
_______________. 1966. Min al-’Aqidah ilâ al-Tsaurah.
Kairo: Maktabah Madbûli.
Harimurti Kridalaksana. 1996. “Mongin-Ferdinand de
Saussure (1857-1913) Bapak Linguistik Modern dan
Pelopor Strukturalisme”. Dalam Ferdinand de
Saussure. 1996. Pengantar Linguistik Umum.
Yogyakarta: Gadjah Mada University.
Harland, Richard. 1987. Superstructuralism: The
Philosophyof Structuralism and Post-Structuralism.
London: Methuen.
Hava, J.G. 1982. Al-Farâ’id al-Durriyyah ‘Arabi-Inklîzî
atau Al-Farâid Arabic-English Dictionary. Beirut: Dâr
al-Masyriq).
Hawkes, Terence. 1978. Structuralism and Semiotics.
London, Methuen.
Imam Chanafie Jauhari. 1999. Hermeneutika Islam:
Membangun Peradaban Tuhan di Pentas Global.
Yogyakarta: Ittaqa Press.
Kaelan. 1998. Filsafat Bahasa Masalah dan
46 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

Perkembangannya. Yogyakarta. Paradigma.


Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1989. Jakarta: Balai
Pustaka
Komaruddin Hidayat.. 1996. Memahami Bahasa Agama:
Sebuah Kajian Hermeneutik. Jakarta: Paramadina.
______________. 1996. “Arkoun dan Tradisi
Hermeneutika”. Dalam J.H. Meuleman (penyunting).
Tradisi, Kemodernan dan Metamodernisme.
Yogyakarta: LKiS. Hlm. 23-34.
___________. 2003. Wahyu di Langit Wahyu di Bumi.
Jakarta: Paramadina.
Krampen, Martin. 1996. “Ferdinand de Saussure dan
Perkembangan Semiologi”. Dalam Panuti Sudjiman
dan Aart van Zoest. 1996. Serba-Serbi Semiotika.
Jakarta: Gramedia.
Kris Budiman. 1999. Kosa Semiotika. Yogyakarta: LKiS.
Kristeva, Julia. 1979. Desire in Language. New York:
Columbia University.
Kurniawan. 2001. Semiologi Roland Barthes. Magelang:
Yayasan Indonesiatera.
Leach, Edmund. 1976. Levi Strauss. Fontana Press.
Lechte, John. 2001. 50 Filsafat Kontemporer dari
Strukturalisme sampai Posmodernisme. Yogyakarta.
Kanisius.
Lee, Robert d. 2000. Mencari Islam Autentik: Dari Nalar
Puitis Iqbal hingga Nalar Kritis Arkoun. Bandung:
Mizan.
Luxemburg, Jan van. 1984. Pengantar Ilmu Sastra.
Terjemahan oleh Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia.
Machasin. 1996. “Tawaran Arkoun dalam Kajian al-
Qur’an”. Makalah Seminar yang diselenggarkan HMJ
Tafsir Hadits Fak. Ushuluddin IAIN SGD Bandung.
Makaryk, I.R. (red). 1993. Encyclopedia of
Contemporary Literacy Theory. Toronto/London:
University of Toronto Press.
Manzûr, Abû Fadl Jamâl al-Dîn Muhammad ibn Mukarram
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 47

ibn. T.T. Lisân al-‘Arab. Beirut: Dâr al-Shadr.


Martin, Richard. 1994. “Analisis struktural dan al-
Qur’an”. Dalam jurnal Ulumul Qur’an, no. 4, Vol. V,
tahun 1994. Hlm. 34-47.
Meuleman, Johan Hendrik.. 1993. “Nalar Islam dan Nalar
Modern: Pemikiran Mohammed Arkoun”. Dalam
jurnal Ulumul Qur’an, No. 4, vol. IV, tahun 1993.
Hlm. 93-105.
________________. 1994 “Riwayat Hidup dan Latar
Belakang Mohammed Arkoun”, dalam Mohammed
Arkoun, Nalar Islam dan Nalar Modern.
Diterjemahkan oleh Rahayu S. Hidayat. Jakarta: INIS.
Hlm. 1-37.
_______________ (penyunting). 1996a. Tradisi
Kemodernan dan Metamodernisme. Yogyakarta:
LKiS.
_______________. 1996b. “Sumbangan dan Batas
Semiotika dalam Ilmu Agama. Studi Kasus tentang
Pemikiran Mohammed Arkoun”. Dalam J.H.
Meuleman (penyunting). Tradisi, Kemodernan, dan
Metamodernisme. Yogyakarta: LKiS. Hlm. 35-57.
_______________. 1996c. “Islam dan Pascamodernisme
dalam Pemikiran Mohammed Arkoun”. Dalam J.H.
Meuleman (penyunting). Tradisi, Kemodernan, dan
Metamodernisme. Yogyakarta: LKiS. Hlm. 119-130.
_____________. 1996d. “Beberapa Catatan Kritis tentang
karya Mohammed Arkoun”. Dalam J.H. Meuleman
(penyunting). Tradisi, Kemodernan, dan
Metamodernisme. Yogyakarta: LKiS. Hlm. 151-162.
M. Amin Abdullah. 1996. “Arkoun dan Kritik Nalar Islam”.
Dalam J.H. Meuleman (penyunting). Tradisi,
Kemodernan, dan Metamodernisme. Yogyakarta:
LKiS. Hlm. 1-22.
Mohammad Nasir Tamara. 1989. “Mohammed Arkoun
dan Islamologi Terapan” dalam jurnal Ulumul
Qur’an, nomor 3, volume 1, tahun 1989, hlm. 45-51.
48 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

Na’im, Abdullah Ahmad al-. 1990. Dekonstruksi Syari’ah.


Yogyakarta: LkiS.
Nasr, Sayyed Husein. 1966. Knowledge and the Sacred.
Lahore: Suhail Academy.
___________. 1993. Spiritualitas dan Seni Islam. Bandung:
Mizan.
Noeng Muhajir. 1998. Metode Penelitian Kualitatif.
Yogyakarta: Rekesarasin.
Norris, Christopher. (2003). Membongkar Teori
Dekonstruksi Jacques Derrida. Jogjakarta. Ar-Ruzz.
Noth, Winfried. 1995. Handbook of semiotics.
Bloomington: Indiana University Press.
Nyoman Kutha Ratna SU. 1994. Teori-Metode-Teknik
Penelitian Sastra; Dari Strukturalisme hingga post-
strukturalisme: Persepektif Wacana Naratif.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Panuti Sudjiman dan Aart van Zoest (Penyunting). 1996.
Serba-Serbi Semiotika. Jakarta: Gramedia.
Peaget, Jean. 1995. Strukturalisme. Diterjemahkan oleh
Hermoyo. Jakarta:. YOI.
Peirce, Ch. S. 1991. Peirce on Signs: Writings on
Semiotics by C.S. Peirce. Edited by James Hope.
Vhapel Hill: North Carolina UP.
Perrice, John. 1971. A Dictionary and Glossary of the
Koran, with copius Grammatical References and
Explanation of the text. London/Dublin: Curzon.
Panuti Sudjiman dan Aart van Zoest. 1996. Serba-Serbi
Semiotika. Jakarta: Gramedia
Puji Santosa. 1993. Ancangan Semiotika dan Pengkajian
Susastra. Bandung: Angkasa.
Quraish Shihab. 1997. Tafsir al-Qur’an al-Karim: Tafsir
atas Surat-Surat Pendek Berdasarkan Urutan
Turunnya Wahyu. Bandung: Pustaka Hidayah.
Rahman, Fazlur. 1982. Islam and Modernity,
Transformation of Intellectual Tradition. Chicago and
London: The University of Chicago Press
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 49

_____________. 1985. “Approaches to Islam in Religious


Studies: Review Essay”. Dalam Richard C. Martin
(Ed.). 1985. Approaches to Islam in Religious
Studies. Hlm. 189-202. Berkeley: University of
California Press.
Selden, Roman. (1996). Panduan Pembaca Teori Sastra
Masa Kini. Yogyakarta. Gadjah mada University
Press.
Rachmat Djoko Pradopo. 2001. “Penelitian Sastra
dengan Pendekatan Semiotik”. Dalam Jabrohim dkk.
2001. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Hanindita.
Ricoeur, Paul. 2003. Filsafat Wacana.
Riyadi Santoso. 2003. Semiotika Sosial: Pandangan
Terhadap Bahasa. Surabaya: Eureka & JP Press.
Robin, R.H. 1995. Sejarah Singkat Linguistik. Alih bahasa
oleh Asril Mayohan. Bandung: ITB.
Ruslani. 2000. Masyarakat Kitab dan Dialog
Antaragama: Studi atas Pemikiran Mohammed
Arkoun. Yogyakarta: Bentang.
Sarup Madan Sarup. Post-Strukturalism and Post-
Modernism, Sebuah Pengantar Kritis. Jendela.
Yogyakarta. 2003.
Saussure, Ferdinand de. 1990. Pengantar Linguistik
Umum. Yogyakarta: UGM Press.
Schimel, Annemarie. 1999. Dan Muhammad adalah
Utusan Allah. Bandung: Mizan.
Selden, Raman. 1996. Panduan Pembaca teori Sastra
Masa Kini. Yogyakarta: Gadjah Mada University.
Sirojuddin AR. 2000. Seni Kaligrafi Islam. Bandung:
Rosda Karya.
Steenbrink, Karel. 1995. Kawan dalam Pertikaan.
Bandung: Mizan.
Suadi Putro. 1996. “Islam Menghadapi Tantangan
Kemodernan. Pandangan Mohammed Arkoun”.
Dalam J.H. Meuleman (penyunting). Tradisi,
50 Tokoh dan Pemikiran Semiotik

Kemodernan, dan Metamodernisme. Yogyakarta:


LKiS. Hlm. 97-118.
___________. 1997. Mohammed Arkoun tentang Islam
dan Modernitas. Jakarta: Paramadina.
Sumaryono, E. 1993. Hermeneutika: Sebuah Metode
Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
Sturroock, John. 1979. Structuralismand Since: From
Levi Strauss to Derrida. Oxford University Press.
Sunardi, St. 1996. “Membaca Qur’an Bersama
Mohammed Arkoun”. Dalam J.H. Meuleman
(penyunting). Tradisi, Kemodernan, dan
Metamodernisme. Yogyakarta: LKiS. Hlm. 59-96.
Sutadi Wiryaatmaja. 1981. Memahami Cerita Rekaan
Secara Semiotika. Surakarta: Universitas Sebelas
Maret.
Sutarji Calzoum Bahri. 1981. O Amuk Kapal. Jakarta:
Sinar Harapan.
Syafiq Hasyim. 1996. “Islam dan Politik: sebuah Studi
Keterkaitan. Telaah Awal Mengenai Pemikiran
Mohammed Arkoun”. Dalam J.H. Meuleman
(penyunting). Tradisi, Kemodernan dan
Metamodernisme. Yogyakarta: LKiS. Hlm. 131-150.
Tarigan. Pengajaran Pragmatik. Bandung: Angkasa.
Teeuw, A. 1982. Khazanah Sastra Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka.
_________. 1983. Membaca dan Menilai Sastra, Jakarta,
Gramedia.
_________. 1984. Sastra dan Ilmu Susastra: Pengantar
Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya
Todorov, Tzvetan. 1987. Theories of Symbol. New York:
Cornell University Press.
Wehr, Hans. 1980. A Dictionary of Modern Written
Arabic. Beirut: Libraire du Liban/London, MacDonald
& Evans.
Wild, Stefan. 1996. “We Have Sent Down to Thee the
Book”. Dalam Stefan Wild (Ed.). 1996. The Qur’an as
Tokoh dan Pemikiran Semiotik 51

Text. Leiden: E.J. Brill.


Yasraf Amir Piliang. 2002. “Semiotika Teologis: Metode
Pemahaman Teks Kitab Suci”. Makalah seminar
Hermeneutika dan Semiotika dalam Memahami
Kitab Suci, yangdiselenggarakan oleh Research for
Quranic Studies, Pascasarjana IAIN Sunan Gunung
Djati Bandung. Tidak diterbitkan.
Yasraf Amir Piliang. 2002a. “Kontribusi Semiotika
terhadap Ilmu-Ilmu Agama”. Makalah.
____________. 2002b. “Semiotika Teologis Sebagai
Metode Pemahan Teks Kitab Suci”. Makalah.
_____________. 2003. Hipersemiotika; Tafsir Cultural
Studies Atas Matinya Makna, Yogyakarta: Jalasutra
Zaid. Nasr Hamid Abu. 2001. Tekstualitas al-Qur’an.
Yogyakarta: LkiS.
Zoest, Aart van. 1992. “Peranan Konteks, Kebudayaan,
dan Ideologi di dalam Semiotika”. Dalam Panuti
Sudjiman dan Aart van Zoest. Jakarta: Gramedia.

You might also like