You are on page 1of 13

MAHKAMAH KONSTITUSI

REPUBLIK INDONESIA

---------

PENYELESAIAN PERSELISIHAN HASIL PEMILUKADA KEPALA


DAERAH OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI1
Dr. H. M. Arsyad Sanusi, S.H., M.H. 2

I. Kewenangan Konstitusional MK dalam Perselisihan Hasil


Pemilihan Umum
Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai salah satu pelaku
kekuasaan kehakiman sebagaimana ditentukan oleh Pasal 24C ayat
(1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(UUD 1945) dan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) juncto Pasal 29 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, diberi kewenangan mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final, salah satunya untuk
memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum (Pemilu). Pada
awalnya, MK hanya menyesaikan Perselisihan Hasil Pemilihan
Umum (PHPU) calon anggota DPR, DPD, dan DPD serta Presiden dan
Wakil Presiden, sedangkan keberatan berkenaan dengan hasil
Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
(Pemilukada) diajukan ke Mahkamah Agung (MA)

Dalam perkembangannya, pembuat undang-undang


sebagaimana termuat dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum
1
Disampaikan dalam , 8 November 2010 di Makasar.
2
Hakim Mahkamah Konstitusi.
memasukkan Pemilukada dalam rezim Pemilu dan selanjutnya atas
kuasa undang-undang yakni Pasal 236C Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kewenangan untuk
menyelesaikan perselisihan hasil Pemilukada dialihkan kepada MK.
Pengalihan ini secara efektif berlaku sejak 1 November 2010 yakni
setelah dilakukannya serah terima secara resmi pengalihan
wewenang mengadili Pemilukada dari MA ke MK pada tanggal 29
Oktober 2008.

Berdasarkan uraian di atas, maka kewenangan


konstitusional MK untuk menyelesaikan PHPU meliputi:
1) PHPU Calon Anggota DPR, DPD, dan DPRD;
2) PHPU Presiden dan Wakil Presiden;
3) PHPU Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

II. Penyelesaian PHPU Pemilukada


Untuk memperlancar pelaksanaan kewenangan MK dalam
PHPU Pemilukada, MK telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah
Konstitusi (PMK) Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara
dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah (PMK
15/2008). PMK ini merupakan produk hukum MK yang berfungsi
sebagai pedoman beracara dan mengisi kekosongan hukum yang
belum diatur dalam peraturan perundang-undangan. Acuan awal
penyusunan PMK 15/2008 di antaranya adalah UU 32/2004 juncto
UU 12/2008 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) terutama
materi yang berkaitan dengan Pemilukada dan hukum acara PHPU
dalam Pasal 74 sampai dengan Pasal 79 UU MK.

PMK 15/2008 menentukan tenggat waktu penyelesaian PHPU


Kepala Daerah paling lambat 15 hari kerja, sedangkan permohonan
PHPU Kepala Daerah harus sudah diajukan ke MK paling lambat 3
(tiga) hari kerja setelah ditetapkan hasil penghitungan suara
Pemilukada di daerah yang bersangkutan. Permohonan yang
diajukan setelah melewati tenggang waktu tidak dapat diregistrasi.

2
Selain itu, ditentukan mengenai pihak dan objek dalam PHPU Kepala
Daerah. Para pihak yang mempunyai kepentingan langsung dalam
perselisihan hasil Pemilukada ini adalah Pasangan Calon sebagai
Pemohon dan KPU/KIP provinsi atau KPU/KIP kabupaten/kota sebagai
Termohon. Pasangan Calon selain Pemohon dapat juga menjadi
Pihak Terkait dalam perselisihan hasil Pemilukada. Adapun sebagai
objek PHPU Kepala Daerah adalah hasil penghitungan suara yang
ditetapkan oleh Termohon yang memengaruhi penentuan Pasangan
Calon yang dapat mengikuti putaran kedua Pemilukada atau
terpilihnya Pasangan Calon sebagai kepala daerah dan wakil kepala
daerah.

Dilihat dari tenggat waktu pengajuan permohonan dan


penyelesaiannya oleh MK serta para pihak dan objek dalam PHPU
Kepala Daerah, maka mempunyai kesamaan dengan PHPU Presiden
dan Wakil Presiden. Oleh karena itu, PMK PHPU Presiden dan Wakil
Presiden juga dijadikan acuan dalam penyusunan PMK 15/2008.

Pengaturan lain yang ditentukan dalam PMK 15/2008 yakni


dikenalkannya pemeriksaan melalui persidangan jarak jauh (video
conference). Hal ini didasarkan pertimbangan bahwa MK merupakan
lembaga peradilan yang berkedudukan di Ibukota Negara, Jakarta,
sehingga para pencari keadilan (justice seeker) yang berada di
daerah dapat mengakses keadilan (acces to justice) tanpa perlu
datang ke Jakarta yang nota bene membutuhkan biaya yang tidak
sedikit. Dikaitkan dengan PHPU Kepala Daerah, maka pemanfaatan
video conference merupakan salah satu ikhtiar MK untuk
mewujudkan peradilan PHPU Kepala Daerah yang cepat (speedy
trial) dan sederhana sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 PMK
15/2008.

Berkaitan dengan amar putusan PHPU Kepala Daerah, PMK


15/2008 menentukan ada 3 (tiga) jenis, yakni permohonan tidak
dapat diterima, permohonan dikabulkan, dan permohonan ditolak.
Permohonan tidak dapat diterima apabila permohonan tidak

3
memenuhi syarat antara lain; tidak mempunyai kepentingan
langsung dalam PHPU atau tidak memiliki legal standing yaitu bukan
sebagai pasangan calon (vide Pasal 3 PMK 15/2008), bukan objek
perselisihan berupa hasil penghitungan suara yang ditetapkan
KPU/KIP Provinsi atau KPU/KIP Kabupaten yang mempengaruhi
keikutsertaan dalam putaran kedua atau keterpilihan sebagai
kepala daerah dan wakil kepala daerah (error in objecto) ataupun
bukan merupakan kewenangan MK (vide Pasal 4 PMK 15/2008),
telah melewati tenggat waktu yang ditentukan yakni 3 (tiga) hari
kerja setelah penetapan hasil penghitungan suara (vide Pasal 5 PMK
15/2008), dan tidak memenuhi syarat formil sebuah permohonan
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 PMK 15/2008. Adapun
permohonan dikabulkan apabila beralasan, dan sebaliknya
permohonan ditolak apabila tidak beralasan.
Di samping ketiga jenis putusan di atas, PMK 15/2008
mengenalkan adanya putusan sela yang terkait dengan
penghitungan suara ulang untuk kepentingan pemeriksaan. Dalam
perkembangannya, putusan MK dalam PHPU Kepala Daerah tidak
terbatas pada hal-hal di atas, namum terdapat juga putusan sela
yang terkait dengan pemungutan suara ulang baik sebagai putusan
sela maupun putusan akhir. Bahkan perkembangan selanjutnya
menunjukkan adanya praktik putusan yang terkait dengan
pendiskualifikasian salah satu pasangan calon. Adanya terobosan
hukum oleh MK dalam putusan-putusan tersebut karena memang
UUD 1945 tidak secara eksplisit mengatur mengenai pengertian dan
ruang lingkup PHPU.

III. Ruang Lingkup PHPU Kepala Daerah


Perselisihan tentang hasil pemilihan umum sebagaimana
ditentukan oleh Pasal 24C UUD 1945 adalah menjadi salah satu
kewenangan MK untuk menyelesaikannya. Ketentuan tersebut tidak
secara eksplisit menjelaskan mengenai pengertian dan ruang
lingkupnya. Oleh karena itu, pembentuk undang-undang kemudian

4
mengaturnya sebagaimana termuat dalam UU MK, Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD,
dan DPRD, Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, dan UU Pemda.

Berkaitan dengan Pemilukada, pengertian dan ruang


lingkupnya dapat diketemukan dalam Pasal 106 UU Pemda. Dari
ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa:
a. Perselisihan hasil Pemilu Kepala Daerah adalah perselisihan
antara pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah
sebagai Peserta Pemilukada dan KPU provinsi dan/atau KPU
kabupaten/kota sebagai penyelenggara Pemilu;
b. Perselisihan tersebut berkaitan dengan penetapan
penghitungan suara hasil Pemilukada yang ditetapkan oleh KPU
provinsi atau KPU kabupaten/kota yang mempengaruhi
penentuan calon untuk masuk ke putaran kedua Pemilukada atau
terpilihnya pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala
daerah.

Dari uraian di atas, undang-undang nampaknya membatasi


masalah PHPU Kepala Daerah hanya pada persoalan perselisihan
secara kuantitatif, yakni angka-angka hasil perolehan suara Peserta
Pemilu yang ditetapkan oleh KPU. Dengan demikian tidak termasuk
di dalamnya proses yang mempengaruhi hasil perolehan suara,
seperti berbagai pelanggaran administratif dan pelanggaran pidana
yang ternyata dari pengalaman empiris tampaknya tidak tertangani
secara efektif oleh institusi yang berwenang. MK hanya diminta
mengkoreksi kalkulasi suara secara teknis matematis yang telah
dilakukan oleh KPU dan jajarannya sebagai penyelenggara Pemilu
dengan mengabaikan berbagai pelanggaran dalam proses Pemilu
(electoral process). Oleh karena itu, apabila MK terpaku pada bunyi
undang-undang an sich maka MK turut menyebabkan ketiadaan
penyelesaian sengketa dalam proses dan tahapan-tahap
Pemilukada, padahal hal tersebut sangat berpengaruh secara

5
mendasar pada hasil akhir. Dalam kerangka itulah MK sebagai
peradian konstitusi yang diberi mandat sebagai pengawal konstitusi
dengan didasarkan pada prinsip-prinsip dan spirit yang terkandung
dalam UUD 1945, menilai bobot pelanggaran dan penyimpangan
yang terjadi dalam keseluruhan tahapan proses Pemilukada dan
kaitanya dengan perolehan hasil suara bagi para pasangan calon.

IV. Penghitungan dan Pemungutan Suara Ulang Pemilukada


Jawa Timur3

Putusan sela dalam Pemilukada Jawa Timur selain membuat


terobosan dengan mempermasalahkan dan mengadili setiap
pelanggaran yang berakibat pada hasil penghitungan suara, juga
dikenalkannya putusan sela yang tidak hanya terkait dengan
penghitungan suara ulang namun juga pemungutan suara ulang.
Selain itu, adanya ukuran secara kualitas bobot pelanggaran
Pemilukada sebagai penilaian MK yakni dilakukan secara sistematis,
tersruktur, dan masif yang mempengaruhi hasil Pemilukada.
Terobosan hukum ini dilakukan dengan didasarkan bahwa fungsi MK
sebagai peradilan konstitusi sehingga tidak boleh membiarkan
keadilan prosedural (procedural justice) memasung dan
mengesampingkan keadilan substantif (substantive justice) jika
secara nyata dan faktual terjadi pelanggaran terhadap konstitusi.
MK tidak akan terbelenggu dan terpasung dengan apa yang
ditetapkan dalam teks undang-undang dalam menggali sedalam-
dalamnya nilai keadilan substantif.

Pelanggaran dikatakan bersifat sistematis karena


direncanakan dan dilakukan dengan matang melalui langkah-
langkah tertentu, seperti adanya kontrak politik untuk
memenangkan pasangan calon tertentu. Pelanggaran itu juga
bersifat tersruktur, yakni dilakukan oleh aparat pemerintah,
penyelenggara pemilu, dan pasangan calon secara hierarkis dan
berjenjang. Selain itu, pelanggaran bersifat massif, artinya

3
Perkara Nomor 41/PHPU.D-V1/2008 tanggal 2 Desember 2008

6
pelanggaran tersebut dilakukan dalam skala yang besar. Ketiga
pelanggaran tersebut dinilai secara kumulatif sehingga
mempengaruhi perolehan suara pasangan calon. Penilaian terhadap
pelanggaran-pelanggaran ini dapat dikatakan sebagai penilaian
yang bersifat kualitatif. Penilaian ini dilakukan disebabkan banyak
hal-hal yang seharusnya selesai sebelum diajukan ke MK, misalnya
pelanggaran administrasi dan pidana Pemilu, ternyata dalam
persidangan terungkap bahwa hal-hal tersebut belum terselesaikan
secara tuntas oleh institusi yang berwenang, oleh karenanya MK
tidak dapat membiarkan pelanggaran-pelanggaran itu terjadi
sehingga terdapat pihak-pihak yang diuntungkan. Bagi MK
sebagaimana prinsip yang telah diterima secara universal bahwa
“tidak seorang pun boleh diuntungkan oleh penyimpangan dan
pelanggaran yang dilakukannya sendiri dan tidak seorang pun boleh
dirugikan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukan oleh
orang lain” (nullus/nemo commodum capere potest de injuria sua
propria). Adapun yang diamatkan oleh undang-undang kepada MK
adalah hanya terhadap permasalahan yang bersifat kuantitatif,
yakni menyangkut murni kesalahan penghitungan suara oleh KPU.
Terhadap permasalahan ini, MK menyatakan mengabulkan atau
menolak permohonan dengan menetapkan perolehan suara yang
benar.

Berkaitan dengan putusan sela yang tidak hanya berarti


penghitungan ulang, MK menyatakan dalam pertimbangan
hukumnya bahwa jika hanya terpaku dan terpasung pada bunyi
undang-undang sehingga hanya menghitung ulang suara, maka
tidak ada manfaatnya dan tidak terwujud keadilan. Hal ini
disebabkan pelanggaran terjadi sebelum pemungutan suara.
Demikian juga halnya apabila MK tidak memperhitungkan suara
salah satu pasangan calon atau memberikan suara di daerah-daerah
tertentu kepada salah satu pasangan calon maka samal saja dengan
tidak menghargai suara rakyat yang nota nebe sebagai pemegang
kedaulatan rakyat dan terjadi ketidakadilan terhadap salah satu

7
pasangan calon. Pendiskualifikasian terhadap pasangan calon yang
melakukan pelanggaran juga tidak dipilih dengan alasan menciderai
hak-hak demokrasi pemilih pasangan tersebut yang mempunyai
itikad baik memilih pasangan calon tersebut. Berdasarkan hal
tersebut MK memilih opsi untuk melakukan penghitungan dan
pemungutan suara ulang dibeberapa daerah dengan didasarkan
pada tingkat intensitas dan bobot pelanggaran yang terjadi di
wilayah pemilihan tersebut, yakni untuk Kabupaten Bangkalan dan
Kabupaten Sampang diperintahkan untuk dilakukan pemungutan
ulang, sedangkan untuk Kabupaten Pamekasan diperintahkan untuk
dilakukan penghitungan suara ulang.

Putusan sela dalam Pemilukada Jawa Timur menjadi


yurisprudensi bagi penanganan PHPU di daerah lainnya sehingga
pada dasarnya terdapat kesamaan dasar pertimbangan hukum MK
menjatuhkan putusan sela untuk melaksanakan pemungutan ulang
dan/atau penghitungan ulang di beberapa daerah. Pertimbangan
tersebut yakni terjadinya pelanggaran selama proses Pemilukada
yang bersifat sistematis, tersruktur, dan masif yang mempengaruhi
sendi-sendi Pemilukada yang langsung, umum, bebas, dan rahasia
serta jujur dan adil sehingga mempengaruhi hasil Pemilukada.
Berbeda halnya dengan putusan-putusan Pemilukada sebelum Jawa
Timur yang pada umumnya didasarkan pada asumsi-asumsi dan
tanpa memberikan bukti hukum secara konkret, signifikan, dan sah
menurut hukum. Kalaupun ada pelanggaran maka tidaklah
signifikan dan lebih banyak bersifat personal.

Dasar konstitusional MK dalam dalam mengadili sengketa


Pemilukada yang tidak hanya membedah permohonan dengan
melihat hasil perolehan suara an sich, melainkan MK juga meneliti
secara mendalam adanya pelanggaran yang bersifat terstruktur,
sistematis, dan masif yang memengaruhi hasil perolehan suara
yakni Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Di dalam ketentuan tersebut
jelas dinyatakan bahwa MK mengadili dan memutus “hasil

8
pemilihan umum” dan bukan sekadar “hasil penghitungan
suara pemilihan umum” saja. MK sebagai lembaga peradilan
menjadi lebih tepat jika mengadili “hasil pemilihan umum” dan
bukan sebagai peradilan angka hasil penghitungan suara,
melainkan sebagai peradilan yang mengadili masalah-masalah yang
juga terjadi dalam proses-proses pelaksanaan Pemilu dan
Pemilukada.

V. Pembatalan dan Pendiskualifikasian Pasangan Calon


Pemilukada Bengkulu Selatan4

Dalam perkara sengketa Pemilukada, MK juga pernah


memutus menyatakan batal demi hukum (void ab initio), yakni
dalam Pemilukada Bengkulu Selatan periode 2008-2013. Selain itu,
MK memerintahkan untuk dilaksanakannya pemungutan suara
ulang, tanpa mengikutsertakan salah satu pasangan calon
(Pasangan Calon Nomor Urut 7, H. Dirwan Mahmud dan H.
Hartawan, SH). MK berpendapat bahwa Pemilukada Bengkulu
Selatan sejak awal telah cacat yuridis dan telah melanggar asas-
asas pemilu khusunya jujur yang dilakukan bukan hanya oleh
penyelenggara Pemilu tetapi juga oleh salah satu pasangan calon.
Pelanggaran tersebut yakni Pasangan Calon Nomor Urut 7
khususnya H. Dirwan Mahmud, telah secara sengaja dan dengan
niat menyembunyikan perbuatan pidana yang pernah dilakukannya.
Hal ini jelas melanggar asas-asas Pemilu yang termaktub dalam Pasal
22E ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 56 ayat (1) UU Pemda.

Meskipun secara legal formil MK tidak berwenang menetapkan


peserta Pemilukada, yang note bene merupakan ranah
penyelenggaran Pemilu in casu KPU, sebagaimana ditentukan oleh
undang-undang, namun MK sebagai pengawal konstitusi jika
dihadapkan pada pilihan undang-undang dan konstitusi, maka MK
harus memilih konstitusi dan mengesampingkan norma undang-
undang. Dalam hal kelalaian yang terjadi tidak dapat ditolerir
4
Perkara Nomor 57/PHPU.D-VII/2008 tanggal 8 Januari 2009.

9
(intolerable condition), maka MK berwenang meluruskan keadaan
sehingga Pemilukada dapat berjalan serasi sesuai dengan
keseluruhan asas-asas demokrasi yang termaktub dalam konstitusi.
Dalam putusan ini, MK juga menegaskan lagi bahwa MK tidak dapat
dipasung hanya oleh bunyi undang-undang an sich melainkan juga
harus menggali rasa keadilan dengan berpedoman pada makna
substantif undang-undang itu sendiri. Oleh karena itu agar tercipta
keadilan maka harus dilakukan pemungutan ulang untuk seluruh
Kabupaten Bengkulu Selatan dengan mendiskualifikasi Pasangan
Calon Nomor Urut 7, karena salah satunya, H. Dirwan Mahmud, S.H.,
telah mengakibatkan Pemiluakada Bengkulu Selatan cacat yuridis,
yakni tidak memenuhi syarat formil sebagai peserta Pemilukada.

Berdasarkan uraian terhadap perkara ini maka pelanggaran


tentang persyaratan menjadi calon yang bersifat prinsip dan dapat
diukur, seperti seperti syarat tidak pernah dijatuhi pidana penjara
dapat dijadikan dasar untuk membatalkan hasil Pemilu atau
Pemilukada dan pendiskualifikasian peserta yang tidak memenuhi
syarat sejak awal. Syarat pencalonan dukungan minimal baik yang
berasal dari partai politik ataupun calon perseorangan juga dapat
juga dapat dijadikan alasan pembatalan dan/atau
pendiskualifikasian namun sampai sekarang dari sengketa
Pemiluakda di berbagai daerah yang diajukan ke MK, belum ada
yang dapat dibuktikan secara hukum di hadapan persidangan MK.

VI. Pendiskualifikasian dan Penetapan Pemenang


Pemilukada Kotawaringin Barat5
Pelanggaran-pelanggaran secara kualitatif yang sering
diajukan ke MK yakni terjadinya tindak pidana Pemilu, seperti
halnya yang diajukan dalam sengketa Pemilukada Kabupaten
Kotawaringin Barat yang mempermasalahkan adanya money politic,
intimidasi, dan penganiayaan. Pada dasarnya jenis-jenis
5
Perkara Nomor 57/PHPU.D-VII/2008 tanggal 8 Januari 2009.

10
pelanggaran tersebut ditangani oleh instansi yang fungsi dan
wewenangnya telah ditentukan oleh undang-undang. Namun, MK
yang berfungsi sebagai pengawal konstitusi telah memaknai dan
memberikan penafsiran yang luas demi tegaknya keadilan, yakni
tidak hanya mengadili perkara Pemilukada sebatas pada hasil
penghitungan suara akan tetapi juga telah memasuki proses
peradilan dengan memutus fakta hukum yang nyata-nyata
menciderai hak asasi manusia dan demokrasi. MK tidak dapat
membiarkan terjadinya pelanggaran atas prinsip Pemilu yang Luber
dan Jurdil sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi.

Dalam menjatuhkan putusan terhadap sengketa Pemilukada


Kotawaringin Barat, MK mendasarkan bahwa telah terjadi adanya
pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan Pasangan Calon Nomor
Urut 1 secara massive yang sangat berpengaruh terhadap
perolehan suara pasangan calon. Pelanggaran-pelanggaran tersebut
berupa money politic disertai intimidasi, tekanan atau ancaman
yang dilakukan sebelum berlangsungnya pemungutan suara.
Pelanggaran-pelanggaran tersebut juga dilakukan secara sistematis
dan terstruktur, yakni dengan melakukan persiapan pendanaan
secara tidak wajar untuk membayar relawan, melakukan rekrutmen
warga sebagai relawan yang dipersiapkan dengan organisasi yang
tersusun dari tingkatan paling atas Pasangan Calon Nomor Urut 1,
Tim Kampanye sampai dengan relawan di tingkat RT. Oleh karena
itu, dengan mendasarkan pada tingkat pelanggaran yang dilakukan
oleh Pasangan Calon Nomor Urut 1 yang merupakan pelanggaran
serius di seluruh wilayah Kabupaten Kotawaringin Barat, maka
pasangan tersebut perlu diskualifikasi sebagai Pasangan Calon
Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Kotawaringin Barat Tahun 2010.

Permasalahan hukum akan muncul jika hanya membatalkan


Pemilukada, sementara peserta Pemilukada hanya 2 pasangan
calon dan salah satunya secara hukum tidak diperbolehkan
mengikuti pemungutan suara ulang apabila dilaksanakan sebagai

11
konsekuensi adanya pembatalan Pemiliukada. Atas dasar itu dan
dengan memaknai dan memberikan penafsiran yang luas atas Pasal
77 ayat (3) UU 24/2003 juncto Pasal 13 ayat (3) huruf b PMK
15/2008, maka MK menyatakan berwenang menetapkan pemenang
dalam Pemilukada Kotawaringin Barat.

VII. Penutup
Salah satu kewenangan konstitusional MK adalah memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Dalam
perkembangannya, atas kuasa undang-undang, MK diberi
kewenangan untuk menyelesaikan perselisihan hasil Pemilukada.
Untuk mendukung kelancaran penyelesaian perselisihan Pemilukada
yang oleh undang-undang diberi tenggat waktu 14 hari kerja, MK
mengeluarkan PMK 15/2008 sebagai salah satu pedoman beracara.

Kewenangan MK dalam Pemilukada sebagaimana terlihat


dalam putusan-putusannya tidak hanya sebatas membedah
permohonan dengan melihat hasil perolehan suara an sich
sebagaimana ditentukan dalam undang-undang, melainkan juga
meneliti secara mendalam adanya pelanggaran yang bersifat
terstruktur, sistematis,dan masif yang mempengaruhi perolehan
suara. Apabila diketemukan pelanggaran-pelanggaran yang
mengandung ketiga sifat tersebut secara kumulatif, baik
pelanggaran administrasi maupun pidana, maka MK sebagai
pengawal konstistui tidak akan membiarkannya karena
pelanggaran-pelanggaran tersebut sama dengan pelanggaran
terhadap konstitusi yang mengamanatkan prinsip-prinsip
Pemilukada yang Luber dan Jurdil. Oleh karena itu, dalam
menjatuhkan putusannya, MK tidak saja dihadapkan untuk
mengabulkan atau menolak penghitungan yang benar menurut
Pemohon, tetapi juga dapat memerintahkan untuk dilakukan
penghitungan suara ulang atau pemungutan suara ulang.
Penghitungan atau pemungutan suara ulang baik melalui putusan
sela maupun putusan akhir dapat diperintahkan untuk dilaksanakan

12
pada seluruh wilayah atau sebagian wilayah tergantung dari fakta
hukum yang terungkap dalam proses pembuktian di persidangan.
Bahkan dalam perkembangannya, MK telah mendiskualifikasi
pasangan calon dan menetapkan pemenang Pemilukada.

***

13

You might also like