You are on page 1of 5

KONSIL KEDOKTERAN INDONESIA ( KKI )

Dalam rangka memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum, untuk meningkatkan,
mengarahkan dan memberi landasan hukum serta menata kembali berbagai perangkat hukum yang
mengatur penyelenggaraan praktik kedokteran agar dapat berjalan sesuai dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi maka perlu diatur praktik kedokteran dalam suatu undang undang.
Untuk itu dibentuk Undang Undang tentang Praktik Kedokteran. Dalam Undang Undang ini diatur:
1. Azas dan tujuan penyelenggaraan praktik kedokteran yang menjadi landasan yang didasarkan
pada nilai ilmiah, manfaat, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan serta perlindungan dan
keselamatan pasien.
2. Pembentukan Konsil Kedokteran Indonesia yang terdiri dari Konsil Kedokteran dan Konsil
Kedokteran Gigi disertai susunan organisasi, fungsi, tugas dan kewenangan.
3. Registrasi dokter dan dokter gigi.
4. Penyusunan, penetapan dan pengesahan standar pendidikan profesi dokter dan dokter gigi.
5. Penyelenggaraan praktik kedokteran.
6. Pembentukan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia ( MKDKI )
7. Pembinaan dan pengawasan praktik kedokteran.
8. Pengaturan ketentuan pidana.

KKI merupakan suatu badan yang independen yang akan menjalankan fungsi regulator, yang terkait
dengan peningkatan kemampuan dokter dan dokter gigi dalam pelaksanaan praktik kedokteran.
Disamping itu, peran dari berbagai organisasi profesi, asosiasi institusi pendidikan yang ada saat ini
juga perlu di berdayakan dalam rangka peningkatan mutu pelayanan kesehatan yang diberikan oleh
dokter atau dokter gigi.

Dengan demikian, dokter dan dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran selain tunduk pada
ketentuan hukum yang berlaku, juga harus menaati ketentuan kode etik yang disusun oleh
organisasi profesi dan didasarkan pada disiplin ilmu kedokteran atau kedokteran gigi.

Dalam menjalankan fungsinya KKI bertugas:


1. Melakukan registrasi terhadap semua dokter dan dokter gigi yang akan menjalankan praktik
kedokteran.
2. Mengesahkan standar pendidikan profesi dokter dan dokter gigi.
3. Melakukan pembinaan bersama lembaga terkait lainnya terhadap penyelenggaraan praktik
kedokteran.

Dalam menjalankan tugas Konsil Kedokteran Indonesia mempunyai wewenang :


1. menyetujui dan menolak permohonan registrasi dokter dan dokter gigi;
2. menerbitkan dan mencabut surat tanda registrasi dokter dan dokter gigi;
3. mengesahkan standar kompetensi dokter dan dokter gigi;
4. melakukan pengujian terhadap persyaratan registrasi dokter dan dokter gigi;
5. mengesahkan penerapan cabang ilmu kedokteran dan kedokteran gigi;
6. melakukan pembinaan bersama terhadap dokter dan dokter gigi mengenai pelaksanaan etika
profesi yang ditetapkan oleh organisasi profesi; dan
7. melakukan pencatatan terhadap dokter dan dokter gigi yang dikenakan sanksi oleh organisasi
profesi atau perangkatnya karena melanggar ketentuan etika profesi.

Standar Profesi adalah batasan kemampuan (knowledge, skill and professional attitude) minimal
yang harus dikuasai oleh seorang Individu untuk dapat melakukan kegiatan profesionalnya pada
masyarakat secara mandiri yang dibuat oleh organisasi profesi;

KKI mengesahkan standar pendidikan profesi dokter, dokter spesialis, dokter gigi dan dokter gigi
spesialis yang telah ditetapkan asosiasi institusi pendidikan kedokteran dan asosiasi institusi
pendidikan kedokteran gigi, kolegium kedokteran, kolegium kedokteran gigi dan asosiasi rumah sakit
pendidikan

Sumber: Buku Petunjuk Teknis Praktik Kedokteran Tahun 2005

MAJELIS KEHORMATAN DISIPLIN KEDOKTERAN INDONESIA ( MKDKI )


Untuk menegakkan disiplin dokter dan dokter gigi dalam penyelenggaraan praktik kedokteran,
dibentuk Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia adalah lembaga yang berwenang untuk
menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam penerapan disiplin
ilmu kedokteran dan kedokteran gigi, dan menetapkan sanksi.

Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia merupakan lembaga otonom dari Konsil
Kedokteran Indonesia, dan dalam menjalankan tugasnya bersifat independen, serta bertanggung
jawab kepada Konsil Kedokteran Indonesia. Berkedudukan di ibu kota negara Republik Indonesia.
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran di tingkat provinsi dapat dibentuk oleh Konsil Kedokteran
Indonesia atas usul Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.

Pimpinan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia terdiri atas seorang ketua, seorang
wakil ketua, dan seorang sekretaris.
Keanggotaan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia terdiri atas 3 (tiga) orang dokter gigi
dan organisasi profesi masing-masing, seorang dokter dan seorang dokter gigi mewakili asosiasi
rumah sakit, dan 3 (tiga) orang sarjana hukum.

Anggota Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia ditetapkan oleh Menteri atas usul
organisasi profesi.
Masa bakti keanggotaan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 60 adalah 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
Pimpinan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia dipilih dan ditetapkan oleh rapat pleno
anggota. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan pimpinan Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia diatur dengan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia.

Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia bertugas:


1. Menerima pengaduan, memeriksa, dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin dokter dan dokter
gigi yang diajukan; dan
2. Menyusun pedoman dan tata cara penanganan kasus pelanggaran disiplin dokter atau dokter gigi.
Pelanggaran disiplin adalah pelanggaran terhadap aturan aturan dan/atau ketentuan penerapan
keilmuan dalam pelaksanaan pelayanan yang seharusnya diikuti oleh dokter dan dokter gigi.
Sebagian dari aturan dan ketentuan tersebut terdapat dalam UU Praktik Kedokteran, dan sebagian
lagi tersebar didalam Peraturan Pemerintah, Permenkes, Peraturan KKI, Pedoman Organisasi Profesi,
KODEKI, Pedoman atau ketentuan lain.
Pelanggaran disiplin pada hakikatnya dibagi menjadi:
1. Melaksanakan praktik kedokteran dengan tidak kompeten.
2. Tugas dan tanggung jawab profesional pada pasien tidak dilaksanakan dengan baik.
3. Berperilaku tercela yang merusak martabat dan kehormatan profesi kedokteran.

Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau gigi dalam
menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia. Pengaduan sekurang-kurangnya harus memuat:
1. identitas pengadu;
2. nama dan alamat tempat praktik dokter atau dokter gigi dan waktu tindakan dilakukan dan
3. alasan pengaduan.
Pengaduan sebagaimana dimaksud diatas, tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan
adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang dan/atau menggugat kerugian perdata
ke pengadilan.

Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia memeriksa dan memberikan keputusan terhadap
pengaduan yang berkaitan dengan disiplin dokter dan dokter gigi. Apabila dalam pemeriksaan
ditemukan pelanggaran etika, Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia meneruskan
pengaduan pada organisasi profesi. Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia
mengikat dokter, dokter gigi, dan Konsil Kedokteran Indonesia.
Keputusan dapat berupa dinyatakan tidak bersalah atau pemberian sanksi disiplin. Sanksi disiplin
dapat berupa:
1. pemberian peringatan tertulis;
2. rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin praktik; dan/atau
3. kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran atau
kedokteran gigi.

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan fungsi dan tugas Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia, tata cara penanganan kasus, tata cara pengaduan, dan tata cara pemeriksaan
serta pemberian keputusan diatur dengan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia.

Sumber: Buku Himpunan Peraturan tentang MKDKI Tahun 2008

BENTUK PELANGGARAN DISIPLIN KEDOKTERAN


1. Melakukan praktik kedokteran dengan tidak kompeten.
2. Tidak merujuk pasien kepada dokter atau dokter gigi lain yang memiliki kompetensi
sesuai.
3. Mendelegasikan pekerjaan kepada tenaga kesehatan tertentu yang tidak memiliki
kompetensi untuk melaksanakan pekerjaan tersebut.
4. Menyediakan dokter atau dokter gigi pengganti sementara yang tidak memiliki kompetensi
dan kewenangan yang sesuai, atau tidak melakukan pemberitahuan perihal penggantian
tersebut.
s. Menjalankan praktik kedokteran dalam kondisi tingkat kesehatan fisik ataupun mental
sedemikian rupa sehingga tidak kompeten dan dapat membahayakan pasien.
6. Dalam penatalaksanaan pasien, melakukan yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak
melakukan yang seharusnya dilakukan, sesuai dengan tanggung jawab profesionalnya, tanpa
alasan pembenar atau pemaaf yang sah, sehingga dapat membahayakan pasien.
7. Melakukan pemeriksaan atau pengobatan berlebihan yang tidak sesuai dengan kebutuhan
pasien.
8. Tidak memberikan penjelasan yang jujur, etis dan memadai kepada pasien atau
keluarganya dalam melakukan praktik kedokteran.
9. Melakukan tindakan medik tanpa memperoleh persetujuan dari pasien atau keluarga dekat
atau wali atau pengampunya.

10. Dengan sengaja tidak membuat atau menyimpan Rekam Medik sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang undangan atau etika profesi.
11. Melakukan perbuatan yang bertujuan untuk menghentikan kehamilan yang tidak sesuai
dengan ketentuan, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang undangan dan etika
profesi.
12. Melakukan perbuatan yang dapat mengakhiri kehidupan pasien atas permintaan sendiri
dan atau keluarganya.
13. Menjalankan praktik kedokteran dengan menerapkan pengetahuan atau ketrampilan atau
teknologi yang belum diterima, atau diluar tata cara praktik kedokteran yang layak.
14. Melakukan penelitian dalam praktik kedokteran dengan menggunakan manusia sebagai
subyek penelitian, tanpa memperoleh persetujuan etik dari lembaga yang diakui pemerintah.
15, Tidak melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, padahal tidak
membahayakan dirinya, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu
melakukannya.
16. Menolak atau menghentikan tindakan pengobatan terhadap pasien tanpa alasan yang
layak dan sah sebagaimana diatur dalam perundang undangan atau etika profesi.
17. Membuka rahasia kedokteran, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang undangan
atau etika profesi.
18. Membuat keterangan medik yang tidak didasarkan kepada hasil pemeriksaan yang
diketahuinya secara benar dan patut.
19. Turut serta dalam perbuatan yang termasuk tindakan penyiksaan atau eksekusi hukuman
mati.
20. Meresepkan atau memberikan obat golongan narkotika, psikotropika dan zat adiktif
lainnya ( NAPZA ) yang tidak sesuai dengan perundang undangan dan etika profesi.
21. Melakukan pelecehan seksual, tindakan intimidasi atau tindakan kekerasan terhadap
pasien, ditempat praktik.
22. Menggunakan gelar akademik atau sebutan profesi yang bukan haknya.
23. Menerima imbalan sebagai hasil dari merujuk atau meminta pemeriksaan atau
memberikan resep obat/alat kesehatan.
24. Mengiklankan kemampuan /pelayanan atau kelebihan kemampuan/pelayanan yang
dimiliki, baik lisan ataupun tulisan, yang tidak benar atau menyesatkan.
25. Ketergantungan pada narkotika, psikotropika, alkohol serta zat adiktif lainnya.
26. Berpraktik dengan menggunakan STR atau SIP dan/atau sertifikat kompetensi yang tidak
sah.
27. Ketidakjujuran dalam menentukan jasa medik.
28. Tidak memberikan informasi, dokumen dan alat bukti lainnya yang diperlukan MKDKI
untuk pemeriksaan pengaduan dugaan pelanggaran disiplin.

Sumber: Buku Pedoman Penegakan Disiplin Kedokteran

You might also like