You are on page 1of 38

Bab I

1.1 Latarbelakang
Irian jaya atau sekarang disebut dengan Papua adalah pulau terbesar kedua di
dunia setelah Greenland. Pulau ini terbagi atas 2 daerah kekuasaan, yaitu
belahan timur yang merupakan daerah kekuasaan pemerintahan Papua Nugini
sedangkan daerah seluas 260.000 kilometer persegi yang berada di belahan
barat, yaitu Papua termasuk daerah wilayah pemerintahan Republik Indonesia.

Di Papua ini terdiri dari beberapa kabupaten dan suku-suku yang beraneka
ragam. Suku Asmat adalah salah satu suku yang ada di Papua. Populasi suku
asmat terbagi dua yaitu mereka yang tinggal di pesisir pantai dan mereka yang
tinggal di bagian pedalaman. Kedua populasi ini saling berbeda satu sama lain
dalam hal cara hidup, struktur sosial dan ritual.

Mendengar suku Asmat, mungkin sekilas terpikir di benak kita mengenai


pengayauan kepala orang dan kanibalisme. Hal tersebut sempat mewarnai
kehidupan sehari-hari orang Asmat. Kehidupan suku Asmat pada jaman dahulu
banyak dipenuhi dengan peperangan antar clan atau antar desa. Pada umumnya,
pangkal persengketaan adalah antara lain adanya perzinahan, pelanggaran batas
daerah sagu, pencurian ulat sagu, ataupun hanya sekedar mencari gara-gara
karena terjadinya salah paham atau tersinggung.
Konflik antara dua orang biasanya meningkat menjadi konflik antar keluarga,
kemudian antar clan, hingga akhirnya melibatkan seluruh kampung. Konflik
semacam inilah yang mengakibatkan masyarakat Asmat terbagi ke dalam
beberapa clan dan menyusutnya penduduk desa di daerah Asmat. Sebagai
kelanjutan dari peperangan tersebut adalah terjadinya kayau-mengayau serta
kanibalisme.
Di dalam masyarakat Asmat pada jaman dahulu, banyak ritual, kesenian, serta
aspek-aspek mengenai kebudayaan yang menarik untuk dijelaskan.
Perkembangan suku Asmat dahulu hingga sekarang pun telah banyak berubah.
Kini pengayauan kepala orang serta kanibalisme sudah merupakan bagian
legenda dan sejarah dari suku Asmat. Hal tersebut disebabkan adanya campur
tangan pemerintah dan misi-misi penyebaran agama yang dilakukan oleh para
misionaris. Kontak dari dunia luar pun sedikit banyak mempengaruhi
perubahan-perubahan yang terjadi di suku Asmat sendiri. Mereka pun mulai
mengenal kebudayaan lingkungan luar yang dianggap lebih maju.

Saat ini, banyak kebudayaan hasil dari tangan-tangan orang Asmat yang patut
membanggakan bagi bangsa ini. Semua hasil kebudayaan itu merupakan bagian
dari kekayaan budaya yang dimiliki oleh bangsa ini. Oleh karena itu, saya
merasa tertarik untuk memaparkan hal-hal yang berkaitan dengan suku Asmat
tersebut melalui karangan etnografi ini, yang dimana lebih menekankan pada
segi kebudayaanya pada jaman dahulu.

Karangan etnografi ini membahas mengenai lokasi, lingkungan alam, dan


demografi, asal mula/ sejarah suku Asmat, bahasa, sistem Teknologi, sistem
Mata pencaharian, organisasi sosial, sistem pengetahuan, sistem religi, dan
kesenian yang ada di tengah-tengah kehidupan masyarakat Asmat.
1.2 Tujuan
Tujuan saya dalam menyusun karangan etnografi mengenai suku Asmat ini
adalah sebagai berikut :
A. Untuk mengetahui keberadaan suku Asmat di Papua dari jaman dahulu
hingga sekarang.
B. Untuk mendapatkan informasi mengenai suku Asmat berdasarkan 7 unsur
kebudayaan universal.
C. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan mengenai aktivitas budaya
yang dilakukan suku Asmat.
D. Memenuhi nilai final test mata kuliah Social Anthropology.

Bab II
Etnografi Suku Asmat

2.1 Lokasi, Lingkungan Alam, dan Demografi

2.1.1 Lokasi
Suku Asmat berdiam di daerah-daerah yang sangat terpencil dan daerah tersebut
masih merupakan alam yang ganas (liar). Mereka tinggal di pesisir barat daya
Irian jaya (Papua). Mulanya, orang Asmat ini tinggal di wilayah administratif
Kabupaten Merauke, yang kemudian terbagi atas 4 kecamatan, yaitu Sarwa-
Erma, Agats, Ats, dan Pirimapun. (Saat ini Asmat telah masuk ke dalam
kabupaten baru, yaitu kabupaten Asmat).
2.1.2 Batas-batas geografis

Batas-batas geografi daerah tempat dimana suku Asmat dahulu tinggal adalah
sebagai berikut :
Sebelah utara dibatasi pegunungan dengan puncak-puncak bersalju abadi,
sebelah selatan berbatasan dengan Laut Arafura, sebelah timur berbatasan
dengan Sungai Asewetsy, sebelah barat berbatasan dengan Sungai Pomats.
Pertemuan Sungai Pomats, Undir (Lorentz), dan Asewetsy,bersama-sama
kemudian menjadi satu dan mengalir ke dalam teluk Flamingo. Di daerah hilir
Sungai Asewetsy terletak Agats, tempat kecamatan Agats, salahs atu dari empat
kecamatan yang membentang di wilayah Asmat.
Batasan-batasan alamiah inilah yang melindungi orang-orang Asmat dari
serangan luar. Pada masa Perang Dunia II, daerah tersebut merupakan semacam
daerah yang tak bertuan di antara wilayah kekuasaan tentara Jepang di sebelah
barat dan tentara Australia di sebelah timur.

2.1.3 Kondisi lingkungan alam


Suku Asmat mendiami daerah dataran rendah yang berawa-rawa dan berlumpur,
serta ditutupi dengan hutan tropis. Sungai-sungai yang mengalir di daerah ini
tidak terhitung banyaknya, dan rata-rata berwarna gelap karena tertutup dengan
lumpur. Daerah tersebut landai yang dimana dialiri oleh tidak kurang dari 10
sungai besar dan ratusan anak sungai. Sungai-sungai besar itu dapat dilayari
kapal dengan bobot 1.000-2.000 ton samapi sejauh 50 kilometer ke hulu. Sejauh
20 kilometer ke hulu, air sungai-sungai itu masih terasa payau. Lingkungan
alam di sekitarnya masih terpencil dan penuh dengan rawa-rawa berlumpur
yang ditumbuhi pohon bakau, nipah, sagu, dan tumbuhan rawa lainnya.
Perbedaan pasang dan surut mencapai 4-5 meter sehingga dapat dimanfaatkan
untuk berlayar dari satu tempat ke tempat lain. Pada pasang surut, orang
berperahu ke arah hilir atau pantai dan kembali ke hulu ketika pasang sedang
naik.

Keadaan alam seperti itu disebabkan antara lain adalah karena curah hujan yang
turun sebanyak 200 hari setiap tahunnya. Selain itu, perembesan air laut ke
pedalaman menyebabkan tanahnya tidak dapat ditanami dengan jenis-jenis
tanaman seperti pohon kelapa, bambu, pohon buah-buahan, dan jenis tanaman
kebun seperti sayur-mayur, tomat, mentimun, dan sebagainya. Walaupun
tanaman seperti itu ada, namun jumlahnya pun sedikit/ terbatas.

Namun demikian, daerah rawa-rawa berair payau dengan suhu udara minimal
21 derajat Celcius dan maksimal 32 derajat Celcius ini sangat kaya akan aneka
jenis tanaman palem, hutan-hutan bakau, pohon-pohon sejenis kayu balsal,
umbi-umbian, tanaman rambat, dan rotan.

Batu sangat langka di daerah-daerah lumpur berawa-rawa ini. Alat-alat batu


yang ditemukan hanya berupa kapak, dan ini pun bukan buatan penduduk
setempat melainkan didapatkan melalui perdagangan barter dengan penduduk
yang tinggal di daerah dataran tinggi. Orang-orang Asmat juga tidak mengenal
besi. Selain itu, tidak juga ditemukan tanah liat pada daerah ini sehingga tidak
mengenal barang-barang keramik. Oleh karena itu, orang-orang Asmat biasa
memasak makanannya di atas api terbuka.

2.1.4 Data demografi


Jumlah penduduk di daeah Asmat tidak diketahui dengan pasti. Diperkirakan
pada tahun 2000 ada kurang lebih 70.000 jiwa, 9.000 di antaranya bermukim di
Kecamatan Pirimapun. Pertambahan penduduk sangat pesat, berkisar antara 28
samapi 84 jiwa setiap 1.000 orang.
Secara keseluruhan, angka kelahiran di pedalaman adalah 13 persen, di pesisir 9
persen. Angka kematian pun cukup tinggi, yaitu berksiar antara 21 sampai 45
jiwa tiap 1.000 orang. Pada jaman dahulu, rata-rata dua setengah persen
kematian orang Asmat disebabkan oleh peperangan antar clan atau antar desa.
Seiring berkembangnya jaman, saat ini penyebab kematian anak-anak dan bayi ,
terutama pada bulan-bulan pertama banyak disebabkan oleh pneumonia, diare,
malaria, dan penyakit campak. Tragisnya pada kasus-kasus tertentu, si ibu
berperan dalam mempercepat proses kematian karena kurangnya pengetahuan.
Sebagai contoh seorang anak yang menderita diare, tidak diberi minum
sehingga mengalami dehidrasi yang menyebabakan kematian pada akhirnya.

Perkampungan orang Asmat yang jumlahnya tidak kurang dari 120 buah
tersebar dengan jarak yang saling berjauhan. Kampung mereka didirikan dengan
pola memanjang di tepi-tepi sungai dan dibangun sedemikian rupa sehingga
mudah mengamati musuh. Sedikitnya ada 3 kategori kampung bila dilihat dari
jumlah warganya. Kampung besar, yang umumnya terletak di bagian tengah,
dihuni oleh sekitar 500-1000 jiwa. Kampung di daerah pantai, rata-rata dihuni
oleh sekitar 100-500 jiwa. Kampung di bagian hulu sungai, jumlah warganya
lebih kecil , berpenduduk sekitar 50-90 jiwa.

2.1.5 Ciri-ciri fisik

Bentuk tubuh orang Asmat berbeda dengan penduduk lainnya yang berdiam di
pegunungan tengah atau di nagian pantai lainnya. Tinggi badan kaum laki-laki
antara 1,67 hingga 1,72 meter, sedangkan kaum perempuan tingginya antara
1,60 hingga 1,65 meter. Ciri-ciri bagian tubuh lainnya adalah bentuk kepala
yang lonjong (dolichocephalic), bibir tipis, hidung mancung, dan kulit hitam.
Orang Asmat pada umumnya tidak banyak menggunakan kaki untuk berjalan
jauh, oleh karena itu betis mereka terlihat menjadi kecil. Namun, setiap saat
mereka mendayung dengan posisi berdiri sehingga otot-otot tangan dan dadanya
tampak terlihat tegap dan kuat. Tubuh kaum perempuan kelihatan kurus karena
banyaknya perkerjaan yang harus mereka lakukan.

2.2 Sejarah / Asal Mula Suku Asmat


2.2.1 Sejarah proses penemuan daerah Asmat
Nama Asmat sudah dikenal dunia sejak tahun 1904. Tercatat pada tahun 1770
sebuah kapal yang dinahkodai James Cook mendarat di sebuh teluk di daerah
Asmat. Tiba-tiba muncul puluhan perahu lesung panjang didayungi ratusan laki-
laki berkulit gelap dengan wajah dan tubuh yang diolesi warna-warna merah,
hitam, dan putih. Mereka ini menyerang dan berhasil melukai serta membunuh
beberapa anak buah James Cook. Berabad-abad kemudian pada tepatnya
tanggal 10 Oktober 1904, Kapal SS Flamingo mendarat di suatu teluk di pesisir
barat daya Irian jaya. Terulang peristiwa yang dialami oleh James Cook dan
anak buahnya pada saat dahulu. Mereka didatangi oleh ratusan pendayung
perahu lesung panjang berkulit gelap tersebut. Namun, kali ini tidak terjadi
kontak berdarah. Sebaliknya terjadi komunikasi yang menyenangkan di antara
kedua pihak. Dengan menggunakan bahasa isyarat, mereka berhasil melakukan
pertukaran barang.

Kejadian ini yang membuka jalan adanya penyelidikan selanjutnya di daerah


Asmat. Sejak itu, orang mulai berdatangan ke daerah yang kemudian dikenal
dengan daerah Asmat itu. Ekspedisi-ekspedisi yang pernah dilakukan di daerah
ini antara lain ekspedisi yang dilakukan oleh seseorang berkebangsaan Belanda
bernama Hendrik A. Lorentz pada tahun 1907 hingga 1909. Kemudian
ekspedisi Inggris dipimpin oleh A.F.R Wollaston pada tahun 1912 sampai 1913.

Suku Asmat yang seminomad itu mengembara sampai jauh keluar daerahnya
dan menimbulkan peperangan dengan penduduk daerah yang didatanginya.
Untuk mengatasi kekacauan yang sering terjadi tersebut, Pemerintah Belanda
pada waktu itu, melancarkan usaha-usaha dalam rangka mengurangi peperangan
dan memulihkan ketertiban. Pada tahun 1938, didirikan suatu pos pemerintahan
yang berlokasi di Agats. Namun terpaksa ditinggalkan ketika pecah perang
dengan Jepang pada tahun 1942. Selama perang itu berlangsung, hubungan
denga orang-orang Asmat tidak terjalin. Hubungan tetap dengan masyarakat
Asmat terjalin kembali dengan didirikannya suatu pos polisi pada tahun 1953.

Mei 1963, daerah Irian Jaya resmi masuk menjadi wilayah kekuasaan Republik
Indonesia. Sejak saat itu pula, Pemerintah Indonesia melaksanakan usaha-usaha
pembangunan di Irian Jaya termasuk daerah Asmat. Suku Asmat yang tersebar
di pedalaman hutan-hutan dikumpulkan dan ditempatkan di perkampungan-
perkampungan yang mudah dijangkau. Biasanya kampung-kampung tersebut
didirikan di dekat pantai atau sepanjang tepi sungai. Dengan demikian
hubungan langsung dengan Suku Asmat dapat berlangsung dengan baik.
Dewasa ini, sekolah-sekolah, PUSKESMAS (Pusat Kesehatan Masyarakat) dan
rumah-rumah ibadah telah banyak juga didirikan peemrintah dalam rangka
menunjang pembangunan daerah dan masayarakat Asmat.

2.2.2 Asal orang Asmat tercipta


Dari bahan-bahan yang dikumpulkan oleh Pastor Zegwaard, seorang misionaris
Katolik berbangsa Belanda, orang-orang Asmat mempercayai bahwa mereka
berasal dari Fumeripits (Sang Pencipta). Konon, Fumeripits terdampar di pantai
dalam keadaan sekarat dan tidak sadarkan diri. Namun nyawanya diselamatkan
oleh sekolompok burung sehingga ia kembali pulih. Kemudian ia hidup
sendirian di sebeuah daerah yang baru. Karena kesepian, ia membangun sebuah
rumah panjang yang diisi dengan patung-patung dari kayu hasil ukirannya
sendiri. Namun ia masih merasa kesepian, kemudian ia membuat sebuah tifa
yang ditabuhnya setiap hari.
Tiba-tiba, bergeraklah patung-patung kayu yang sudah dibuatnya tersebut
mengikuti irama tifa yang dimainkan. Sungguh ajaib, patung-patung itu pun
kemudian berubah menjadi wujud manusia yang hidup. Mereka menari-nari
mengikuti irama tabuhan tifa dengan kedua kaku agak terbuka dan kedua lutut
bergerak-gerak ke kiri dan ke kanan.

Semenjak itu, Fumeripits terus mengembara dan di setiap daerah yang


disinggahinya, ia membangun rumah panjang dan menciptakan manusia-
manusia baru yang kemudian menjadi orang-orang Asmat seperti saat ini.

2.3 Bahasa
Bahasa-bahasa yang digunakan orang Asmat termasuk kelompok bahasa yang
oleh para ahli linguistik disebut sebagai Language of the Southern Division,
bahasa-bahasa bagian selatan Irian Jaya. Bahasa ini pernah dipelajari dan
digolongkan oleh C.L Voorhoeve (1965) menjadi filum bahasa-bahasa Irian
(Papua) Non-Melanesia.

2.3.1 Penyebaran bahasa2. Setan yang tidak membahayakan hidupIlmu sihir


hitam juga banyak dipraktikan di wilayah masyarakat Asmat, terutama oleh
kaum wanita. Seseorang yang mempunyai kekuatan ini dapat menyakiti atau
membunuh manusia. Ilmu ini biasanya diturunkan oleh seorang ibu kepada anak
perempuannya untuk senjata perlindungan diri.

Bahasa-bahasa tersebut dibedakan pula antara orang Asmat pantai atau hilir
sungai dan Asmat hulu sungai. Lebih khusus lagi, oleh para ahli bahasa dibagi
menjadi bahasa Asmat hilir sungai dibagi menjadi sub kelompok Pantai Barat
Laut atau pantai Flamingo, seperti misalnya bahasa Kaniak, Bisman, Simay, dan
Becembub dan sub kelompok Pantai Baratdaya atau Kasuarina, seperti misalnya
bahasa Batia dan Sapan.Sedangkan Asmat hulu sungai dibagi menjadi sub
kelompok Keenok dan Kaimok.

2.3.2 Kosakata umum

Berikut ini adalah beberapa kosakata yang digunakan oleh orang Asmat :
Kata benda
1. Gurita = mutir
2. Kaki = kamter
3. Jangkrik = oset
4. Tang = jokmen
5. burung = Warat
6. Katak = eco
7. Tombak = ocen
8. Pisang = usawic
9. Laut = jicemup
10. Suami = mo

b) Kata sifat
1. Besar = awut nucur
2. lebar = par
3. Panjang = Juruw
4. Basah = moco
5. Tua = akmat
6. Lembut = jico
7. Lama (waktu) = tari
8. Keras = fek
9. Kurus = foco cakamkaj
10. Sangat baik = akat cowak

c) Kata kerja
1. Memanjat (pohon) = ap temet
2. Berpikir = minaf
3. Menangis = moc
4. Meninggal = namir
5. Mencari = nimir
6. Tersesat (hutan) = nimus
7. Menari = niomitum
8. Berkelahi = owen
9. Menikah = ower
10. menyelam = niompuw

2.3.3 Istilah khusus


Orang-orang Asmat juga memiliki beberapa istilah khusus yang digunakan
dalam kehidupan sehari-hari. Berikut ini adalah beberapa istilah khusus yang
ada di wilayah Asmat :
1. Aipmu ep = rumah bujang yang terbagi atas dua bagian utama yang
menghadap ke udik
2. Aipmu sene = rumah bujang yang terbagi atas dua bagian utama
yang menghadap ke hilir
3. Aipmu = bagian utama yang ada di tiap rumah bujang dan
memiliki seorang kepala
4. Asmat-ow = manusia sejati
5. Bis = patung leluhur
6. Bivak = rumah di hutan yang berfungsi sebagai tempat tinggal
sementara
7. Cemen = bagian terpenting pada patung bis
8. Cicemen = ukiran pada ujung perahu lesung panjang
melambangkan anggota
keluarga yang telah meninggal
9. Fumiripits = Sang pencipta
10.Iguana = sejenis kapal
11.Je = rumah panjang yang berfungsi sebagai rumah bujang
12.Je-ti = rumah bujang utama
13.Mbeter = membawa lari
14.Papis = saling tukar menukar istri
15.Persem = perkawinan yang terjadi akibat adanya hubungan rahasia
antara seorang pemuda dan pemudi yang kemudian diakui sah oleh
kedua orang tua masing-masing
16.Pomerem = emas kawin
17.Ti = kayu kuning
18.Tinis = perkawinan yang direncanakan
19.Wow-ipits = pemahat Asmat
20.Yerak = sejenis kayu
21.
2.4 Sistem Teknologi

Teknologi yang telah dimiliki dan ditemukan oleh suku Asmat adalah sebagai
berikut:

2.4.1 Alat-alat produktif


Orang Asmat telah memiliki peralatan serta cara untuk mempertahankan
hidupnya. Mereka telah memiliki kemampuan untuk membuat jaring sendiri
yang terbuat dari anyaman daun sagu. Jaring tersebut digunakan untuk
menjaring ikan di muara sungai. Caranya pun sederhana sekali, yaitu dengan
melemparkan jaring tersebut ke laut untuk kemudian ditarik bersama-sama.
Pekerjaan ini tidaklah mudah karena di muara sungai terdapat lumpur yang
sangat banyak dan memberatkan dalam penarikan jaring. Oleh karena itu, jala
ditambatkan saja pada waktu air pasang dan kemudian ditarik pada air surut.

Untuk membuat suatu karya kesenian, orang Asmat juga mengenal alat-alat
tertentu yang memang sengaja digunakan untuk membuat ukir-ukiran. Alat-alat
sederhana seperti kapak batu, gigi binatang dan kulit siput yang bisa digunakan
oleh wow-ipits untuk mengukir. Kapak batu merupakan benda yang sangat
berharga bagi orang Asmat sehingga kapak yang hanya bisa didapatkan melalui
pertukaran barang itu diberi nama sesuai dengan nama leluhurnya, bisanya
nama nenek dari pihak ibu. Dengan masuknya pengaruh dari luar, orang Asmat
sekarang sudah menggunakan kapak besi dan pahat besi. Kulit siput diganti
dengan pisau. Untuk menghaluskan dan memotong masih digunakan kulit siput.
2.4.2 Senjata

Perisai digunakan oleh orang Asmat untuk melindungi diri dari tombak dan
panah musuh dalam peperangan. Pola ukiran pada perisai melambangkan
kejantanan. Senjata ini terbuat dari akar besar pohon bakau atau kayu yang
lunak dan ringan.
Tombak pada masyarakat Asmat terbuat dari kayu keras seperti kayu besi atau
kulit pohon sagu. Ujungya yang tajam dilengkapi dengan penutup yang terbuat
dari paruh burung atau kuku burung kasuari.

2.4.3 Makanan

Orang-orang Asmat tidak mengenal besi. Selain itu, tidak juga ditemukan tanah
liat pada daerah ini sehingga tidak mengenal barang-barang keramik. Oleh
karena itu, orang-orang Asmat biasa memasak makanannya di atas api terbuka.
Berapa jenis makanan yang biasa dikonsumsi oleh orang Asmat adalah :

a) Makanan pokok (sagu)


Sagu sebagai makan pokok dapat banyak ditemukan di hutan oleh masyarakat
Asmat. Untuk mendapatkan makanan dari pohon sagu, pohon itu harus
ditebang, kulitnya dibuka sebagian, dan isinya ditumbuk hingga hancur.
Kemudian, isi tersebut dipindahkan ke dalam suatu saluran air sederhana yang
terbuat dari daun sagu untuk dibersihkan. Tepung sagu yang diperoleh diolah
menjadi adonan yang beratnya kira-kira 5 kilogram. Adonan ini kemudian
dibakar untuk mendapatkan bentuk yang semipadat supaya mudah dibawa dan
disimpan sampai diperlukan.
Proses pembuatan sagu, mulai dari penebangan pohon hingga terbentuknya
adonan siap masak memakan waktu sehari penuh, dari matahari terbit hingga
terbenam.
b) Makanan tambahan
Sebagai makanan tambahan, suku Asmat juga mengumpulkan ulat sagu yang
didapatkan di dalam batang pohon sagu yang sudah membusuk. Ulat sagu yang
merupakan sumber protein dan lemak adalah makanan yang lezat dan bernilai
tinggi bagi mereka. Telur-telur ayam hutan yang ditemukan di pasir delata-delta
yang sering tertutup air pada waktu air pasang juga dikumpulkan. Telur-telur ini
dikumpulkan dan dibungkus dakan daun dan dipanggang hingga keras. Apapun
yang ditemukan di hutan, seperti babi hutan, kuskus, burung, dan segala jenis
daun-daunan yang dapat dimakan, dikumpulkan sebagai tambahan makanan
pedamping sagu.

Orang Asmat juga memburu iguana (sejenis kadal) untuk mengambil dagingnya
yang kemudian dipanggang dan dimakan. Tikus hutan pun mereka tangkap dan
dijadikan makanan tambahan.

c) Makanan lainnya
Orang Asmat pun terkadang memiliki bahan makan lainnya yang tidak setiap
harinya ada. Musuh yang telah mati ditombak saat perang, dibawa pulang ke
kampung dengan perahu lesung panjang diiringi dengan nyanyian. Setiba di
kampung, mayatnya dipotong-potong dan dibagi-bagikan kepada seluruh
penduduk untuk dimakan bersama. Sambil menyanyikan lagu kematian, kepala
musuh tersebut dipotong dan dipanggang, sedangkan otaknya dibungkus dengan
daun sagu untuk kemudian dipanggang.
2.4.4 Perhiasan
Orang Asmat juga memiliki beberapa jenis perhiasan yang biasa dikenakan
sehari-hari dalam kehidupannya. Seperti kebanyakan orang, orang Asmat
berhias untuk mempercantik dirinya masing-masing. Sesuai kepercayaan,
mereka biasa berhias dengan menidentikan diri seperti burung. Seperti misalnya
titik-titik putih pada tubuh yang diidentikan pada burung.

Untuk hiasan kepala, mereka menggunakan bulu dari burung kasuari atau
kuskus. Sekeliling matanya diwarnai merah bagaikan mata burung kakatua
hitam bila sedang marah.

Hiasan dahi terbuat dari kulit kuskus, lambang dari si pengayau kepala yang
perkasa. Hiasan-hiasan hidung terbuat dari semacam keong laut, atau kadang-
kadang terbuat dari tulang manusia atau tulang babi.

Anting-anting wanita terbuat dari bulu kuskus. Gigi-gigi anjing diuntai untuk
dijadikan kalung penghias leher. Untuk mendapatkan gigi-gigi itu, anjing
tersebut tidaklah dibunuh, namun ditunggu hingga anjing tersebut mati. Oleh
karena itu, gigi-gigi anjing tersebut dinilai tinggi bagi mereka, dan sering
dijadikan sebagai emas kawin (pomerem) bagi keluarga pihak wanita.

2.4.5 Tempat berlindung dan perumahan


Menurut tradisi orang Asmat, dalam sebuah kampung terdapat 2 macam
bangunan, yaitu rumah bujang dan rumah keluarga. Rumah bujang (je)
ditempati oleh pemuda-pemuda yang belum menikah dan tidak boleh dimasuki
oleh kaum wanita dan anak-anak. Rumah yang terdiri dari satu ruangan ini
dibangun di atas tiang-tiang kayu dengan panjang 30-60 meter dan lebar sekitar
10 meter. Rumah ini biasa digunakan untuk merencanakan suatu pesta, perang,
dan perdamaian. Pada waktu senggang, rumah ini digunakan untuk
menceritakan dongeng-dongeng suci para leluhur. Setiap clan memiliki rumah
bujang sendiri.
Sedangkan rumah keluarga, biasanya didiami oleh satu keluarga inti yang terdiri
dari seorang ayah, seorang atau beberpa istri, dan anak-anaknya. Setiap istri
memiliki dapur, pintu, dan tangga sendiri. Lima tahun sekali, rumah-rumah
tersebut diperbaharui oleh kaum pria. Perumahan yang dibangun menyerupai
rumah panggung, kira-kira satu setengah meter dari atas tanah. Atap rumah
terbuat dari anyaman daun sagu, gaba-gaba sagu membentuk dinding rumah,
dan lantai tertutupi tikar yang terbuat dari daun sagu juga.

Kemudian, di hutan orang Asmat biasa mendirikan semacam rumah besar,


bernama bivak. Bivak merupakan tempat tinggal sementara bagi orang Asmat
disaat mereka mencari bahan makanan di hutan.

2.4.6 Alat musik


Alat musik yang biasa digunakan oleh orang Asmat adalah tifa yang terbuat dari
selonjor batang kayu yang dilobangi. Pahatan tifa berbentuk pola leluhur atau
binatang yang dikeramatkan. Pada bagian atas dibungkus dengan kulit kadal
dan kulit tersebut diikat dengan rotan yang tahan api. Tifa biasanya diberi nama
sesuai dengan orang yang telah meninggal.

2.4.7 Alat transportasi dan perlengkapannya


Masyarakat Asmat mengenal perahu lesung sebagai alat transportasinya.
Pembuatan perahu dahulunya digunakan untuk persiapan suatu penyerangan
dan pengayauan kepala. Bila telah selesai, perahu tersebut dicoba menuju ke
tempat musuh dengan maksud memanas-manasi musuh dan memancing suasana
musuh agar siap berperang. Selain itu, perahu lesung juga digunakan untuk
keperluan pengangkutan dan pencarian bahan makanan.

Setiap 5 tahun sekali, orang-orang Asmat membuat perahu-perahu baru.


Walaupun daerah Asmat kaya akan berbagai jenis kayu, namun pembuatan
perahu mereka memilih jenis kayu khusus yang jumlahnya tidak begitu banyak.
Yang digunakan adalah kayu kuning (ti), ketapang, bitanggur atau sejenis kayu
susu yang disebut yerak.

Setelah pohon dipilih, ditebang, dikupas kulitnya dan diruncingkan kedua


ujungnya, batang itu telah siap dibawa ke tempat pembuatan perahu. Untuk
membuat perahu dibutuhkan waktu kurang lebih 5 minggu. Proses pembuatan
perahu dari bentuk batang hingga selesai diukir dan dicat meliputi beberapa
tahap. Pertama, batang yang masih kasar dan bengkok diluruskan. Setelah
bagian dalam digali, dihaluskan dengan kulit siput, sama halnya dengan bagian
luar. Bagian bawah perahu dibakar supaya perahu menjadi ringan dan laju
jalannya. Bagian muka perahu disebut cicemen, diukir menyerupai burung atau
binatang lainnya perlambang pengayauan kepala. Atau ukiran manusia yang
melambangkan saudara yang telah meninggal. Perahu kemudian dinamakan
sesuai dengan nama saudara yang telah meninggal itu. Panjang perahu
mencapai 15-20 meter. Setelah semua ukiran dibuat di perahu maka perahu pun
di cat. Bagian dalam dicat putih, bagian luar dicat putih dan merah. Setelah itu
perahu dihiasi dengan dahun sagu. Sebelum dipergunakan, semua perahu harus
diresmikan melalui upacara.
Ada 2macam perahu yang biasa digunakan, yaitu perahu milik keluarga yang
tidak terlalu besar dan memuat 2-5 orang dengan panjang 4-7 meter. Sedangkan
perahu clan biasa memuat antara 20-20 orang dengan panjang 10-20 meter.

Dayung terbuat dari kayu yang tahan lama, misalnya kayu besi. Karena dipakai
sambil berdiri, maka dayung orang Asmat sangat panjang ukurannya. Benda ini
wajib dimiliki oleh setiap orang Asmat karena daerah tempat tinggal banyak
dikelilingi dengan rawa-rawa.
2.5 Sistem Mata pencaharian
2.5.1 Kehidupan sehari-hari
Mata pencaharian hidup orang Asmat di daerah pantai adalah meramu sagu,
berburu binatang kecil, (yang terbesar adalah babi hutan), dan mencari ikan di
sungai, danau, maupun pinggir pantai. Mereka juga terkadang menanam buah-
buahan dan tumbuhan akar-akaran. Kadang mereka juga dengan sengaja
menanamnya di kebun-kebun ekcil yang sederhana berada di tengah-tengah
hutan. Orang Asmat hulu yang tinggal di daerah yang tak ada pohon sagunya
lagi, lebih menggantungkan hidupnya pada kebun-kebunnya

Dahulu, orang Asmat hidup di hutan-hutan, menetap di suatu tempat untuk


beberapa bulan, kemudian pidanh mencari tempat baru bila bahan makanan di
sekitarnya sudah berkurang. Hidup di hutan berarti hidup bebas, maka hal inilah
yang membuat mereka terkadang kembali ke hutan meninggalkan kampun yang
telah disediakan.

Hari Senin mereka biasa berangkat ke hutan dan kembali ke kampung pada hari
Sabtu. Sebagian besar waktu dilewati di hutan dengan mendirikan rumah besar,
yang disebut dengan Bivak.

2.5.2 Kehidupan di perkampungan


Dengan didirikannya perkampungan-perkampungan bagi orang-orang Asmat,
maka kehidupan mereka yang seminomad itu mulai berubah. Biasanya,
kampung yang satu berjauhan dengan kampung yang lain. Hal ini disebabkan
adanya perasaan takut akan diserang musuh yang sudah tertanam di pikiran
orang-orang Asmat. Populasi suatu kampung biasanya terdiri dari 100 hingga
1000 jiwa. Kampung-kampung tersebut terdiri dari beberapa rumah keluarga
dan rumah bujang. Tiap-tiap kampung memiliki daerah sagu dan daerah ikan
yang merupakan sumber makanan bagi seluruh warganya. Oleh karena itu,
berburu dan menangkap ikan merupakan kesibukan pokok masyarakat Asmat.

Dalam masyarakat Asmat, kaum wanita yang bekerja mencari dan


mengumpulkan bahan makan serta mengurus anak-anak. Kebiasaan ini sudah
membudaya dalam kehidupan mereka karena kaum pria dahulunya sering
disibukkan dengan berperang. Pada dasarnya, kegiatan kaum laki-laki terpusat
di dalam rumah bujang yang dimana mereka berkumpul untuk mendengarkan
ritual-ritual yang berhubungan dengan peperangan dahulu serta menceritakan
dongeng para leluhur.
Pagi-pagi sebelum matahari terbit, kaum ibu dan wanita muda berangkat ke laut
mencari ikan. Mereka menjaring ikan di muara sungai dengan jaring yang
terbuat dari anyaman daun sagu. Caranya pun sederhana, dengan melemparkan
jaring itu ke laut untuk kemudian ditarik bersama-sama. Pekerjaan ini tidaklah
mudah karena banyaknya lumpur di daerah itu sehingga memberatkan dalam
penarikan jaring. Selain menangkap ikan, kaum wanita juga mengolah sagu,
mencari umbi-umbian, dll untuk dijadikan bahan makanan.

2.6 Organisasi Sosial


2.6.1 Status dan Peran
Dalam kehidupan orang Asmat, peran kaum laki-laki dan perempuan adalah
berbeda. Kaum laki-laki memiliki tugas menebang pohon dan membelah
batangnya. Pekerjaan selanjutnya, seperti mulai dari menumbuk sampai
mengolah sagu dilakukan oleh kaum perempuan. Secara umumnya, kaum
perempuan yang bertugas melakukan pencarian bahan makanan dan menjaring
ikan di laut atau di sungai. Sedangka kaum laki-laki lebih sibuk dengan
melakukan kegiatan perang antar clan atau antar kampung. Kegiatan kaum laki-
laki juga lebih terpusat di rumah bujang.
2.6.2 Sistem kekerabatan/ keluarga
Dasar kekerabatan masyarakat Asmat adalah keluarga inti monogami, atau
kadang-kadang poligini, yang tinggal bersama-sama dalam rumah panggung
(rumah keluarga) seluas 3 m x 5 m x 4 m yang sering disebut dengan tsyem.
Walaupun demikian, ada kesatuan-kesatuan keluarga yang lebih besar, yaitu
keluarga luas uxorilokal (keluarga yang sesudah menikah menempati rumah
keluarga istri), atau avunkulokal (keluarga yang dudah menikah menempati
rumah keluarga istri dari pihak ibu). Karena itu, keluarga-keluarga seperti itu,
biasanya terdiri dari 1 keluarga inti senior dan 2-3 keluarga yunior atau 2
keluarga senior, apabila ada 2 saudara wanita tinggal dengan keluarga inti
masing-masing dalam satu rumah. Jumlah anggota keluarga inti masyarakat
Asmat biasanya terdiri dari 4-5 atau 8-10 orang.

2.63 Lembaga pernikahan


Sistem kekerabatan orang Asmat yang mengenal sistem clan itu mengatur
pernikahan berdasarkan prinsip pernikahan yang mengharuskan orang mencari
jodoh di luar lingkungan sosialnya, seperti di luar lingkungan kerabat, golongan
sosial, dan lingkungan pemukiman (adat eksogami clan). Garis keturunan
ditarik secara patrilineal (garis keturunan pria), dengan adat menetap sesudah
menikah yang virilokal. Adat virilokal adalah yang menentukan bahwa
sepasang suami-istri diharuskan menetap di sekitar pusat kediaman kaum
kerabat suami. Dalam masyarakat Asmat, terjadi juga sistem pernikahan
poligini yang disebabkan adanya pernikahan levirat. Pernikahan levirat adalah
pernikahan antara seorang janda dengan saudara kandung bekas suaminya yang
telah meninggal dunia berdasarkan adat-istiadat yang berlaku dalam masyarakat
yang bersangkutan.

Pernikahan seorang anak dalam masyarakat Asmat, biasanya diatur oleh kedua
orang tua kedua belah pihak, tanpa diketahui oleh sang anak. Peminangan
biasanya dilakukan oleh pihak kerabat perempuan. Namun, dalam hal pencarian
jodoh, mereka juga mengenal kawin lari, yang artinya seorang laki-laki
melarikan gadis yang disenanginya. Kawin lari ini biasanya berakhir dengan
pertikaian dan pembunuhan.
Perkawinan dalam masyarakat Asmat sebanyak lebih dari 25% adalah poligini,
dan di antara perkawinan-perkawinan poligini itu hampir separuhnya adalah
perkawinan yang telah diatur (perse tsyem).
2.6.4 Sistem pemerintahan

a) Pemerintahan secara tradisional (struktur paroh masyarakat)


Di setiap kampung yang didirikan di wilayah masyarakat Asmat, terdapat satu
rumah panjang yang merupakan semacam balai desa dimana para warga
kampung berkumpul membicarakan masalah-masalah yang menyangkut
kepentingan seluruh warga. Rumah panjang ini merupakan cerminan kehidupan
mereka di masa lampau. Rumah panjang dauhulunya berfungsi sebagai rumah
bujang, atau Je dalam bahasa Asmat, dimana kaum pria membicarakan dan
merembukan penyerangan serta pengayauan kepala.
Rumah bujang terdiri 2 bagian utama yang tiap bagian dinamakan aipmu, yang
dimana masing-masingnya dipimpin oleh kepala aipmu. Sedangkan
kepemimpinan Je secara keseluruhan dipimpin oleh kepala Je. Kepala Je adalah
orang yang diakui kekuasaannya berdasarkan kemampuan-kemampuan yang
menonjol. Kedudukan kepala Je, tidak harus diberikan kepada orang yang
paling tua, sehingga mungkin ada kekosongan pimpinan sebelum kepala baru
terpilih.

Seringkali kepala Aipmu adalah kepala perang juga. Dia adalah orang yang
mampu mengatur dan merencanakan strategi-strategi penyerangan secara besar-
besaran dan meliputi satu kampung. Untuk dapat menggerakkan rakyatnya
maka kekerasan merupakan sifat utama dan sifat itulah yang membantu dalam
mempertahankan kekuasaannya. Kepala Aipmu dipilih berdasarkan kepribadian
dan keberhasilannya. Umur juga merupakan faktor penting. Pada umumnya,
orang-orang muda belum mempunyai bobot bila mereka belum berkeluarga dan
membuktikan keberaniannya dalam berperang. Dalam hal-hal tertentu , peranan
pimpinan adat dapat dijalankan orang-orang yang ahli dalam berbagai lapangan.
Misalnya, ahli bidang keagamaan memimpin upacara keagamaan, ahli
menyanyi dan menabuh tifa berperan dalam upacara adat, bahkan ahli kebatinan
adakalanya memimpin suatu upacara. Ada ahli lain yang sering dianggap lebih
terhormat dibandingkan para pemimpin lainnya oleh masyarakat Asmat, yaitu
seniman pahat patung (wow-ipits).

b) Pemerintahan baru (non tradisional)


Berbeda degan pola tradisional, pola kepemimpinan dan kekuasaan saat ini
tidak berada pada satu orang secara pribadi saja. Kepala desa, di dalam
penyelenggaraan ketertiban hukum dibantu oleh beberapa orang pembantu.
Kepala desa dan pembantu-pembantunya juga bertanggungjawab atas
pemeliharaan kebersihan kampung, pemeliharaan jalan-jalan dan juga menjaga
agar warga desa memelihara rumahnya dengan sebaik-baiknya.
Umumnya, jabatan kepala desa ini diserahkan kepada orang muda yang telah
mendapat sedikit pendidikan dari misi agama pada akhir lima puluhan. Di
dalam tuganya, ia dibantu oleh seorang asisten kepala desa yang biasanya
adalah seorang yang sudah berumur dan dihormati oleh warga desa.
Di samping itu, terdapat seorang kepala distrik yang membawahi para ”polisi”
desa yang mengatur hansip setempat. Kepala distrik inilah yang memutuskan
hukuman apabila terjadi pelanggaran yang cukup serius. Tampak adanya suatu
pembagian kekuasaan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Di satu
pihak, terdapat kepala desa beserta pembantu-pembantunya dan di pihak lain
terdapat kepala distrik yang menangani pelangaran-pelanggaran khusus.
2.7 Sistem Pengetahuan
Sistem pengetahuan yang dimiliki oleh suku Asmat adalah sebagai berikut :

2.7.1 Pengetahuan mengenai alam sekitar


Orang Asmat berdiam di lingkungan alam terpencil dan ganas dengan rawa-
rawa berlumpur yang ditumbuhi pohon bakau, nipah, sagu dan lainnya.
Perbedaan pasang dan surut mencapai 4-5 meter. Pengetahuan itu dimanfaatkan
oleh orang Asmat untuk berlayar dari satu tempat ke tempat lain. Pada waktu
pasang surut, orang berperahu ke arah hilir atau pantai dan kembali ke hulu
ketika pasang sedang naik.

2.7.2 Pengetahuan mengenai alam flora dan fauna di daerah tempat tinggal
Pohon sagu banyak tumbuh di daerah dimana orang Asmat tinggal. Oleh karena
itu, makanan pokok orang Asmat adalah sagu dengan makanan tambahan
seperti ubi-ubian dan berbagai jenis daun-daunan. Mereka juga memakan
berbagai jenis binatang seperti, ulat sagu, tikus hutan, kuskus, babi hutan,
burung, telur ayam hutan, dan ikan. Sagu diibaratkan sebagai wanita.
Kehidupan dianggap keluar dari pohon sagu sebagaimana kehidupan keluar dari
rahim ibu. Selain itu, gigi-gigi anjing yang telah mati biasa digunakan sebagai
perhiasan.

2.7.3 Pengetahuan mengenai zat-zat, bahan mentah, dan benda-benda


dalam lingkungannya
Orang-orang Asmat hanya mengenal 3 warna dalm kehidupannya, yaitu warna
merah, putih, dan hitam. Warna merah didapatkan dari campuran tanah merah
dengan air. Untuk warna putih, orang Asmat membakar semacam kerang yang
kemudian ditumbuk dan dicampur dengan air. Sedangkan warna hitam
diperoleh dengan cara mencampurkan arang dengan air. Ketiga warna ini biasa
terlihat pada hasil ukiran dan juga cara berhias yang dilakukan oleh orang-orang
Asmat.

2.7.4 Pengetahuan mengenai sifat dan tingkah laku (kebutuhan) antar


manusia
Tempat tinggal suku Asmat yang berada di daerah dataran rendah membuat
mereka perlu mengatasi kesulitan di dalam kehidupannya. Seperti misalnya batu
sangat langka di daerah-daerah lumpur berawa-rawa tempat dimana suku Asmat
tinggal. Oleh karena itu, mereka telah mengatahui kekurangan dan kelebihan
yang dimiliki oleh masyarakat merekas sendiri maupun masyarakat di luar
daerahnya. Untuk mengatasi kesulitan tersebut, suku Asmat telah mengenal
sistem barter. Mereka telah biasa melakukan barter dengan masyarakat lain
yang tinggal di daerah dataran tinggi untuk mendapatkan alat-alatseperti kapak,
batu, dsb yang memudahkan mereka dalam kehidupannya.

2.7.5 Pengetahuan mengenai ruang dan waktu


Untuk memeperoleh bahan makanan di hutan, orang-orang Asmat pun
berangkat pergi pada hari Senin dan kembali ke kampung pada hari Sabtu.
Selama di hutan, mereka tinggal di rumah sementara yang bernama bivak.

Apabila orang-orang Asmat ingin mengambil air minum, maka air minum
diambil pada saat air surut, sewaktu air sungai tidak terlalu asin. Air tersebut
disimpan dalam tabung bambu yang diperoleh dari hasil penukaran dengan
penduduk desa di lereng-lereng gunung.
2.8 Kesenian
2.8.1 Seni ukir/ pahat
Ragam kesenian suku Asmat yang banyak dilakukan adalah seni pahat/ ukir.
Benda-benda kesenian hasil ukiran Asmat yang menarik adalah perisai-perisai,
tiang-tiang mbis (patung bis/ leluhur), dan tifa.
Aneka warna gaya kesenian Asmat berdasarkan bentuk dan warna dapat
diklasifikasikan ke dalam 4 daerah :
a. Hiasan ukiran simbolis ini juga terdapat di ujung perahu lesung, di bagian
belakang perahu, datung perahu, dinding tifa, ujung tombak, ujung panah,
dll.
b. Gaya Seni Asmat Barat Laut (Northwest Asmat) Perisai pada golongan
ini berbentuk lonjong dengan bagian bawah yang agak melebar dan
biasanya lebih padat dari pada perisai-perisai lainnya. Bagian kepala
terpisah dengan jelas dari bagian lainnya dan berbenruk kepala kura-kura
atau ikan. Kadang-kadang ada gambar nenek moyang di bagian kepal,
sedangkan hiasan bagian badan berbentuk musang terbang, katak, kepala
burung tanduk, ualr, dll.
c. Gaya seni Asmat Timur (Citak)
Kekhususan seni pada golongan ini tampak pada bentuk hiasan perisai
yang biasanya berukuran sangat besar, kadang-kadang sampai melebihi
tinggi orang Asmat yang berdiri tegak. Bagian-bagian atasnya tidak
terpisah secara jelas dari bagian badan perisai dan sering terisi dengan
garis-garis hitam atau merah yang diberi titik-titik putih.
d. Gaya seni Asmat daerah sungai Brazza
Perisai pada golongan ini hampir sama besar dan tinggi dengan perisai
pada golongan Asmat Timur. Bagian kepala juga biasanya terpisah dari
bagian badannya. Walaupun motif sikulengan sering dipakai untuk hiasan
perisai, motif yang biasa digunakan adalah motif geometri, lingkaran,
spiral, siku-siku, dll.
2.8.2 Seni musik
Orang Asmat memiliki alat musik khusus yang biasa digunakan dalam
upacara-upacara penting. Tifa adalah alat musik yang paling umum
digunakan oleh masyarakat Asmat dalam kehidupannya. Tifa-tifa ini
biasa diukir dan dipahat oleh wow-ipits setempat.

2.8.3 Seni tari


Orang-orang Asmat kerapkali melakukan gerakan-gerakan tarian tertentu
saat upacara sakral berlangsung. Adanya gerakan-gerakan erotis dan
dinamis yang dilakukan oleh kaum laki-laki dan perempuan di depan
rumah bujang (Je) dalam rangka upacara mbis.

2.9 Sistem Religi


2.9.1 Simbol-simbol (lambang) yang dipercayai/ digunakan

a. Simbol manusia dan burung pada perahu


Orang Asmat biasa membuat ukiran di ujung perahu yang digunakannya.
Ukiran tersebut bersimbol manusia dan burung. Ukiran yang berbentuk
manusia itu melambangkan keluarga yang sudah meninggal. Mereka
percaya bahwa almarhum akan senang karena diperhatikan, dan
kemanapun perahu dan penumpangnya pergi akan selalu dilindunginya.
Ukiran burung dan binatang terbang lainnya dianggap melambangkan
orang yang gagah berani dalam pertempuran dan lambang burung juga
digunakan sebagai lambang pengayauan, terutama burung atau binatang
terbang yang berwarna gelap atau hitam.
b. Hiasan
Untuk hiasan kepala, menggunakan simbol burung kasuari atau kuskus.
Sekeliling matanya diwarnai merah bagaikan mata burung kakatua hitam
bila sedang marah. Hiasan dahi yang terbuat dari kulit kuskus merupakan
lambang dari si pengayau kepala yang perkasa.
c. Pohon
Orang Asmat menyebut dirinya Asmat-ow, yang berarti manusia pohon.
Pohon merupakan benda yang amat luhur dalam pandangan orang Asmat.
Dalam pandangan mereka, pohon adalah manusia dan manusia adalah
pohon. Akar pohon melambangkan kaki manusia, batangnya adalah tubuh
manusia, dahan-dahannya adalah tangan manusia, dan daun-daun adalah
kepala manusia. Semua anggapan itu memiliki alasan yang mendasar.
Keadaan lingkungan alam yang ganas, berawa-rawa dan berlumpur
menyebabkan pohon atau kayu menjadi penting bagi kehidupan orang
Asmat.
d. Sagu
Sagu selain dijadikan bahan makan oleh masyarakat Asmat, sagu juga
memilki arti khusus tersendiri bagi orang Asmat. Sagu diibaratkan
sebagai wanita. Suatu kehidupan dipercaya oleh orang Asmat keluar dari
pohon sagu sebagaimana kehidupan keluar dari rahim seorang ibu.

2.9.2 Mitos dan dongeng


Dongeng Fumeripits Orang Asmat percaya bahwa mereka berasal dari Sang
Pencipta (Fumeripits). Pada suatu masa, Fumeripits terdampar di pantai dalam
keadaan sekarat dan tidak sadarkan diri. Namun nyawanya diselamatkan oleh
sekolompok burung sehingga ia kembali pulih. Kemudian ia hidup sendirian di
sebeuah daerah yang baru. Karena kesepian, ia membangun sebuah rumah
panjang yang diisi dengan patung-patung dari kayu hasil ukirannya sendiri.
Namun ia masih merasa kesepian, kemudian ia membuat sebuah tifa yang
ditabuhnya setiap hari. Tiba-tiba, bergeraklah patung-patung kayu yang sudah
dibuatnya tersebut mengikuti irama tifa yang dimainkan. Sungguh ajaib,
patung-patung itu pun kemudian berubah menjadi wujud manusia yang hidup.
Mereka menari-nari mengikuti irama tabuhan tifa dengan kedua kaku agak
terbuka dan kedua lutut bergerak-gerak ke kiri dan ke kanan. Semenjak itu,
Fumeripits terus mengembara dan di setiap daerah yang disinggahinya, ia
membangun rumah panjang dan menciptakan manusia-manusia baru yang
kemudian menjadi orang-orang Asmat seperti saat ini. Semua itu ada di dalam
dongeng suci Fumeripits.

b) Mitos pengayauan kepala


Awal mula pengayauan kepala orang dan kanibalisme di wilayah masyarakat
Amat adalah berdasarkan dari mitos yang hidup di dalam masyarakat Asmat
sendiri mengenai kakak beradik Desoipits dan Biwiripits. Desoipits mendesak
adiknya, Biwiripits untuk memenggal kepalanya. Pada mulanya Biwiripits
enggan, tetapi karena terus didesak, ia pun memenggal kepala Desoipits.
Sungguh aneh, kepala Desoipits yang putus itu tetap hidup dan berbicara
menuyuruh adiknya untuk memisahkan bagian-bagian dari tubuhnya, untuk
dibagikan sebagai makanan kepada para pahlawan yang kembali perang. Sejak
saat itu, munculah kebiasaan memakan daging dan memenggal kepala manusia.
Tengkorak manusia pun dihormati dan disimpan, terutama tengkorak orang
yang sanagt dicintai. Tengkorak saudara atau kerabat terdekat selalu digunakan
sebagai bantal kepala ataupun kalung, sedangkan tengkorak musuh dipajang
untuk memperlihatkan kebesaran dan keperkasaan atau juga penolak bala.

2.9.3 Roh-roh dan kekuatan magis

a) Roh setan
Kehidupan orang-orang Asmat sangat terkait erat dengan alam
sekitarnya. Mereka memiliki kepercayaan bahawa alam ini didiami oleh
roh-roh, jin-jin, makhluk-makhluk halus, yang semuanya disebut dengan
setan. Setan ini digolongkan ke dalam 3 kategori :
1. Setan yang membahayakan hidup
Setan yang membahayakn hidup ini dipercaya oleh orang Asmat sebagai
setan yang dapat mengancam nyawa dan jiwa seseorang. Seperti setan
perempuan hamil yang telah meninggal atau setan yang hidup di pohon
beringin, roh yang membawa penyakit dan bencana (Osbopan).
2. Setan yang tidak membahayakan hidup
Setan dalam kategori ini dianggap oleh masyarakat Asmat sebagai setan
yang tidak membahayakan nyawa dan jiwa seseorang, hanya saja suka
menakut-nakuti dan mengganggu saja. Selain itu orang Asmat juga
mengenal roh yang sifatnya baik terutama bagi keturunannya., yaitu
berasal dari roh nenek moyang yang disebut sebagai yi-ow.
b) Kekuatan magis dan Ilmu sihir
Orang Asmat juga percaya akan adanya kekuatan-kekuatan magis yang
kebanyakan adalah dalam bentuk tabu. Banyak hal-hal yang pantang
dilakukan dalam menjalankan kegiatan sehari-hari, seperti dalam hal
pengumpulan bahan makanan seperti sagu, penangkapan ikan, dan
pemburuan binatang.

Kekuatan magis ini juga dapat digunakan untuk menemukan barang yang
hilang, barang curian atau pun menunjukkan si pencuri barang tersebut. Ada
juga yang mempergunakan kekuatan magis ini untuk menguasai alam dan
mendatangkan angin, halilintar, hujan, dan topan.
2.9.4 Ritual/ upacara

a) Ritual Kematian
Orang Asmat tidak mengenal dalam hal mengubur mayat orang yang telah
meninggal. Bagi mereka, kematian bukan hal yang alamiah. Bila seseorang
tidak mati dibunuh, maka mereka percaya bahwa orang tersebut mati karena
suatu sihir hitam yang kena padanya. Bayi yang baru lahir yang kemudian mati
pun dianggap hal yang biasa dan mereka tidak terlalu sedih karena mereka
percaya bahwa roh bayi itu ingin segera ke alam roh-roh. Sebaliknya kematian
orang dewasa mendatangkan duka cita yang amat mendalam bagi masyarakat
Asmat.

Apabila ada orang tua yang sakit, maka keluarga terdekat berkumpul mendekati
si sakit sambil menagis sebab mereka percaya ajal akan menjemputnya. Tidak
ada usaha-usaha untuk menogbati atau memberi makan kepada si sakit.
Keluarga terdekat si sakit tidak berani mendekatinya karena mereka percaya si
sakit akan ”membawa” salah seorang dari yang dicintainya untuk menemani. Di
sisi rumah dimana si sakit dibaringkan, dibuatkan semacam pagar dari dahan
pohon nipah. Ketika diketahui bahwa si sakit meninggal maka ratapan dan
tangisan menjadi-jadi. Keluarga yang ditinggalkan segera berebut memeluk si
sakit dan keluar rumah mengguling-gulingkan tubuhnya di lumpur.

Sementara itu, orang-orang di sekitar rumah kematian telah menutup semua


lubang dan jalan masuk (kecuali jalan masuk utama) dengan maksud
menghalang-halangi masuknya roh-roh jahat yang berkeliaran pada saat
menjelang kematian. Orang-orang Asmat menunjukkan kesedihan dengan cara
menagis setiap hari sampai berbulan-bulan, melumuri tubuhnya dengan lumpur
dan mencukur habis rambutnya. Yang sudah menikah berjanji tidak akan
menikah lagi (meski nantinya juga akan menikah lagi) dan menutupi kepala dan
wajahnya dengan topi agar tidak menarik bagi orang lain.

Mayat orang yang telah meninggal biasa diletakkan di atas para (anyaman
bambu), yang telah disediakan di luar kampung dan dibiarkan sampai busuk.
Kelak, tulang belulangnya dikumpulkan dan disipan di atas pokok-pokok kayu.
Tengkorak kepala diambil dan dipergunakan sebagai bantal petanda cinta kasih
pada yang meninggal. Orang Asmat percaya bahwa roh-roh orang yang telah
meninggal tersebut (bi) masih tetap berada di dalam kampung, terutama kalau
orang itu diwujudkan dalam bentuk patung mbis, yaitu patung kayu yang
tingginya 5-8 meter. Cara lain yaitu dengan meletakkan jenazah di perahu
lesung panjang dengan perbekalan seperti sagu dan ulat sagu untuk kemudian
dilepas di sungai dan seterusnya terbawa arus ke laut menuju peristirahatan
terakhir roh-roh.

Saat ini, dengan masuknya pengaruh dari luar, orang Asmat telah mengubur
jenazah dan beberapa barang milik pribadi yang meninggal. Umumnya, jenazah
laki-laki dikubur tanpa menggunakan pakaian sedangkan jenazah wanita
dikubur dengan menggunakan pakaian. Orang Asmat juga tidak memiliki
pemakaman umum, maka jenazah biasanya dikubur di hutan, di pinngir sungai
atau semak-semak tanpa nisan. Dimanapun jenazah itu dikubur, keluarga tetap
dapat menemukan kuburannya.
c) Setiap 5 tahun sekali, masyarakat Asmat membuat perahu-perahu baru.
Dalam proses pembuatan prahu hingga selesai, ada berapa hal yang perlu
diperhatikan. Setelah pohon dipilih, ditebang, dikupas kulitnya dan
diruncingkan kedua ujungnya, batang itu telah siap untuk diangkut ke
pembuatan perahu. Sementara itu, tempat pegangan untuk menahan tali
penarik dan tali kendali sudah dipersiapkan. Pantangan yang harus
diperhatikan saat mngerjakan itu semua adalah tidak boleh membuat
banyak bunyi-bunyian di sekitar tempa itu. Masyarakat Asmat percaya
bahwa jika batang kayu itu diinjak sebelum ditarik ke air, maka batang itu
akan bertambah berat sehingga tidak dapat dipindahkan.

Untuk menarik batang kayu, si pemilik perahu meminta bantuan kepada


kerabatnya. Sebagian kecil akan mengemudi kayu di belakang dan selebihnya
menarik kayu itu. Sebelumnya diadakan suatu upacara khusus yang dipimpin
oleh seorang tua yang berpengaruh dalam masyarakat. Maksudnya adalah agar
perahu itu nantinya akan berjalan seimbang dan lancar.

Perahu pun dicat dengan warna putih di bagian dalam dan di bagian luar
berwarna merah berseling putih. Perahu juga diberi ukiran yang berbentuk
keluarga yang telah meninggal atau berbentuk burung dan binatang lainnya.
Setelah dicat, perahu dihias dengan daun sagu. Sebelum dipergunakan, semua
perahu diresmikan terlebih dahulu. Pra pemilik perahu baru bersama dengan
perahu masing-masing berkumpul di rumah orang yang paling berpengaruh di
kampung tempat diadakannya pesta sambil mendengarkan nyanyi-nyanyian dan
penabuhan tifa. Kemudian kembali ke rumah masing-masing untuk
mempersiapkan diri dalam perlombaan perahu. Para pendayung menghias diri
dengan cat berwarna putih dan merah disertai bulu-bulu burung. Kaum anak-
anak dan wanita bersorak-sorai memberikan semangat dan memeriahkan
suasana. Namun, ada juga yang menangis mengenang saudaranya yang telah
meninggal.

Dulu, pembuatan perahu dilaksanakan dalam rangka persiapan suatu


penyerangan dan pengayauan kepala. Bila telah selesai, perahu-perahu ini
dicoba menuju tempat musuh dengan maksud memanas-manasi mereka dan
memancing suasana musuh agar siap berperang. Sekarang, penggunaan perahu
lebih terarahkan untuk pengangkutan bahan makanan.
d) Upacara bis merupakan salah satu kejadian penting di dalam kehidupan
suku Asmat sebab berhubungan dengan pengukiran patung leluhur (bis)
apabila ada permintaan dalam suatu keluarga. Dulu, upacara bis ini
diadakan untuk memperingati anggota keluarga yang telah mati terbunuh,
dan kematian itu harus segera dibalas dengan membunuh anggota
keluarga dari pihak yang membunuh.

Untuk membuat patung leleuhur atau saudara yang telah meninggal diperlukan
kurang lebih 6-8 minggu. Pengukiran patung dikerjakan di dalam rumah
panjang (bujang) dan selama pembuatan patung berlangsung, kaum wanita tidak
diperbolehkan memasuki rumah tersebut.

Dalam masa-masa pembuatan patung bis, biasanya terjadi tukar-menukar istri


yang disebut dengan papis. Tindakan ini bermaksud untuk mempererat
hubungan persahabatan yang sangat diperlukan pada saat tertentu, seperti
peperangan. Pemilihan pasangan terjadi pada waktu upacara perang-perangan
antara wanita dan pria yang diadakan tiap sore. Upacara perang-perangan ini
bermaksud untuk mengusir roh-roh jahat dan pada waktu ini, wanita
berkesempatan untuk memukul pria yang dibencinya atau pernah menyakiti
hatinya.

Sekarang ini, karena peperangan antar clan sudah tidak ada lagi, maka upacara
bis ini baru dilakukan bila terjadi malapetaka di kampung atau apabila hasil
pengumpulan bahan makanan tidak mencukupi. Menurut kepercayaan, hal ini
disebabkan roh-roh keluarga yang telah meninggal yang belum diantar ke
tempat perisitirahatan terakhir, yaitu sebuah pulau di muara sungai Sirets.

Patung bis menggambarkna rupa dari anggota keluarga yang telah meninggal.
Yang satu berdiri di atas bahu yang lain bersusun dan paling utama berada di
puncak bis. Setelah itu diberikan warna dan diberikan hiasan-hiasan. Usai
didandani, patung bis ini diletakkan di atas suatu panggung yang dibangun di
rumah panjang. Pada saat itu, keluarga yang ditinggalkan akan mengatakan
bahwa pembalasan dendam telah dilaksanakan dan mereka mengharapkan agar
roh-roh yang telah meninggal itu berangkat ke pulau Sirets dengan tenang.
Mereka juga memohon agar keluarga yang ditinggalkan tidak diganggu dan
diberikan kesuburan. Biasanya, patung bis ini kemudian ditaruh dan ditegakkan
di daerah sagu hingga rusak
d) Upacara pengukuhan dan pembuatan rumah bujang (yentpokmbu)
Orang –orang Asmat mempunyai 2 tipe rumah, yaitu rumah keluarga dan rumah
bujang (je). Rumah bujang inilah yang amat penting bagi orang-orang Asmat.
Rumah bujang ini dinamakan sesuai nama marga (keluarga) pemiliknya.

Rumah bujang merupakan pusat kegiatan baik yang bersifat religius maupun
yang bersifat non religius. Suatu keluarga dapat tinggal di sana, namun apabila
ada suatu penyerangan yang akan direncanakan atau upacara-upcara tertentu,
wanita dan anak-anak dilarang masuk.

Orang-orang Asmat melakukan upacara khusus untuk rumah bujang yang baru,
yang dihadiri oleh keluarga dan kerabat. Pembuatan rumah bujang juga diikuti
oleh beberapa orang dan upacara dilakukan dengan tari-tarian dan penabuhan
tifa.
lBab III
Penutup

3.1 Kesimpulan

Banyak hal lain yang dapat kita ketahui setelah menelaah lebih lanjut mengenai
kehidupan orang Asmat yang ada di Indonesia ini. Banyaknya orang asing
melalui bukunya yang telah mengungkapkan bagaimana kehidupan masyarakat
Asmat pada jaman dahulu menandakan bahwa orang Asmat memiliki ciri khas
tertentu. Hal itu dapat dilihat dari adanya keahlian yang dimiliki masyarakat
Asmat (wow-ipits/ pengukir Asmat)dalam hal mengukir dan memahat sehingga
menghasilkan benda-benda seni yang indah dan mengagumkan. Walaupun
hanya menggunakan alat-alat yang sederhana, mereka tetap dapat menghasilkan
karya yang indah.

Di balik kekaguman itu, mungkin tertanam dalam pikiran masyarakat bahwa


suku Asmat adalah suku yang primitif, manusia kanibal yang suka mengayau
kepala orang -orang luar di sekitarnya. Kebiasaan papis dianggap sebagai
kegiatan seksual yang tidak bermoral. Namun semua itu hanyalah sejarah bagi
masyarakat Asmat pada saat ini.
Saat ini masyarakat Asmat lebih terkenal dengan hasil karyanya dalam bidang
seni pahat dan ukir. Semua kebudayaan yang dimiliki oleh orang Asmat
merupakan bagian dari kebudayaan bangsa Indonesia ini

3.2 Saran
Perlu dipikirkan bagaimana melestarikan bakat dan karya-karya yang dimiliki
oleh orang-orang Asmat tersebut sehingga dapat dinikmati oleh generasi
penerusnya. Dengan begitu, hasil karya seni yang indah itu dapat terus terjaga
keberadaannya dan tetap dimiliki oleh bangsa Indonesia ini.
Untuk pembuatan karya etnografi selanjutnya, diharapakan dapat menjelaskan
keadaan demografi secara tepat mengenai masyarakat Asmat saat ini, serta
membahas lebih mendetail mengenai tata cara bahasa yang digunakan oleh
orang-orang Asmat, seperti dialeknya, cara membacanya, dll.

Daftar Pustaka

Boelaars, Jan. Dahulu, Sekarang, Masa Depan. Jakarta: Gramedia, 1986.

Ensiklopedi Nasional Indonesia. Jakarta: PT Delata Pamungkas, 1997.

Koentjaraningrat, dkk. Masyarakat Terasing di Indonesia. Jakarta: Departemen


Sosial,
Dewan Nasional Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama, 1993.

Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Rineka Cipta, 1990.

Smidt, Dirk. Asmat Art:Woodcarving of Southwest New Guinea. New York:


George
Braziller, 1993.

Sudarman, Dea. Asmat: Menyingkap Budaya Suku Pedalaman Irian Jaya.


Jakarta:
Sinar Harapan, 1984.

Voorhoeve, Clemens Lambertus. The Flamingo Bay Dialect of The Asmat


Language. De
Nederlandsche: S-Gravenhage, 1965.

You might also like