You are on page 1of 5

1

PERMENDAGRI NOMOR 37 TAHUN 2010:


BELANJA HIBAH KEPADA PEMERINTAH (INSTANSI VERTIKAL)

1. PENDAHULUAN
Peraturan Pemerintah No.58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah telah
mengatur dengan jelas apa yang dimaksud dengan belanja hibah. Belanja daerah meliputi
semua pengeluaran dari Rekening Kas Umum Daerah yang mengurangi ekuitas dana
lancar, yang merupakan kewajiban daerah dalam satu tahun anggaran yang tidak akan
diperoleh pembayarannya kembali oleh Daerah (pasal 20 ayat 3). Belanja hibah termasuk
dalam komponen Belanja Tidak Langsung di dalam struktur APBD (pasal 27 ayat 7) dan
semua penerimaan dan pengeluaran daerah baik dalam bentuk uang, barang dan/atau jasa
dianggarkan dalam APBD (pasal 17 ayat 1).
Berdasarkan bunyi ketiga pasal yang tercantum dalam PP No.58/2005 tersebut di
atas, dapat diambil beberapa simpulan, yakni:
1) Hibah harus dicantumkan pada komponen belanja tidak langsung dalam
APBD.
2) Pengeluaran yang dilakukan untuk hibah berasal dari Rekening Kas Umum
Daerah.
3) Hibah akan mengurangi ekuitas dana lancar.
4) Hibah dapat diberikan dalam bentuk uang, barang dan/atau jasa.

1. Penganggaran Belanja Hibah untuk Tahun 2011


Permendagri No.37/2010 tentang Pedoman Penyusunan APBD TA 2011 memberi
penjelasan tentang kebijakan terkait belanja hibah, terutama untuk instansi vertikal
(Pemerintah). Namun, jika dicermati lebih jauh, ada beberapa hal yang perlu didiskusikan
lebih mendalam, khususnya berkenaan dengan peraturan lain yang “harus” dipedomani
oleh Pemerintah Daerah. Ada dua pernyataan yang sangat penting di dalam Permendagri
37 tersebut, yakni:
1) Belanja hibah dari Pemerintah Daerah kepada instansi vertikal, mekanisme
penganggaran dan pemberiannya mengacu pada ketentuan pengelolaan
keuangan daerah, dan bagi instansi penerima dalam pelaksanaan dan
pertanggungjawabannya memperhatikan Peraturan Menteri Keuangan terkait
hibah daerah. (lihat Bagian II: Pokok-pokok Kebijakan Penyusunan APBD, 2:
Belanja Daerah, a. Belanja Tidak Langsung, 4: Belanja Hibah dan Bantuan
Sosial, hurup b).
2

2) Penganggaran belanja barang modal yang akan diserahkan kepemilikannya


kepada pihak ketiga/masyarakat pada tahun anggaran berkenaan, dialokasikan
pada belanja barang dan jasa. (lihat  Bagian II: Pokok-pokok Kebijakan
Penyusunan APBD, 2: Belanja Daerah, b. Belanja Langsung, 4: Belanja
Barang dan Jasa, hurup b).
Oleh karena Hibah boleh dianggarkan, maka akan dicantumkan di dalam APBD
terlebih dahulu sebelum disalurkan/diserahkan kepada penerima hibah. Dengan demikian,
pencantuman di dalam APBD pun tidak boleh lari dari aturan main yang sudah ditetapkan
dalam PP No.58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan PP No.24/2005 tentang
Standar Akuntansi Pemerintahan. Pada kedua PP ini dinyatakan bahwa APBD
menggunakan basis kas dan pembayarannya dilakukan melalui rekening kas daerah!
Jika Hibah yang akan diberikan kepada penerima hibah (pihak ketiga/masyarakat)
berupa barang atau aset daerah, maka akan muncul permasalahan dalam penganggarannya.
Bunyi pengaturan dalam Permendagri No.37/2010 di atas mengharuskan penggunaan jenis
rekening Belanja Barang dan Jasa, padahal dalam kode rekening di Lampiran AVIII
Permendagri No.13/2006 rekening tersebut tidak ada. Apakah hal ini bermakna Pemda
harus menambah kode rekening baru? Jika iya, apa nama rekening baru tersebut?

2. Hibah kepada Pemerintah (Instansi Vertikal)


Hibah dapat berbentuk uang, barang, dan jasa. Untuk hibah berupa uang, Pasal 26
ayat (2) PMK 168/2008 menyatakan bahwa:
“Penyaluran hibah berupa uang dari Pemerintah Daerah kepada Pemerintah dilakukan
dengan pemindahbukuan dari RKUD ke RKUN.”

Sementara SE Mendagri 2667/2007 menyatakan:


“Hibah dalam bentuk uang dianggarkan oleh PPKD dalam kelompok belanja tidak
langsung, yang penyalurannya dilakukan melalui transfer dana kepada penerima hibah.
Pelaksanaan pengadaan barang di lakukan oleh penerima hibah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.”

Dan sebelumnya, Permendagri No.59/2007 tentang perubahan Permendagri No.13/2006


menyatakan pada pasal 42 ayat 1:
“Belanja Hibah digunakan untuk menganggarkan pemberian hibah dalam bentuk uang,
barang, dan/atau jasa kepada Pemerintah atau Pemerintah Daerah lainnya, Perusahaan
Daerah, masyarakat dan organisasi kemasyarakatan yang secara spesifik telah ditetapkan
peruntukannya.”

Ada perbedaan makna di antara kedua pengaturan tersebut. Jika transfer atau
pemindahbukuan dilakukan dari rekening kas umum daeran (RKUD) ke rekening kas
umum negara (RKUN), maka yang menampung dana hibah dari Pemda tersebut adalah
rekening yang dikelola oleh Menteri Keuangan sebagai Bendahara Umum Negara (BUN).
3

Hal ini berbeda dengan makna dalam SE Mendagri 2667/2007, dimana transfer dana
dilakukan “langsung” kepada penerima hibah, yakni instansi vertikal yang mengajukan
proposal hibah kepada Pemda. Dengan demikian, pertanyaan yang kemudian muncul di
Pemda adalah:
1) Aturan mana yang harus diikuti? Apakah PMK atau SE Mendagri yang wajib
dipedomani oleh Pemda? Apakah Pemda boleh mengatur sendiri sesuai
dengan kebutuhan dan kondisi di daerah?
2) Kalau ditransfer ke RKUN, berarti dana tersebut tidak langsung bisa digunakan
oleh instansi vertikal yang ada di daerah, karena harus dianggarkan dulu dalam
APBN dan DIPAnya sudah turun ke Kementerian/Lembaga yang menaungi
instansi vertikal dimaksud. Artinya, di APBD dianggarkan hibah tahun ke “n”,
maka penggunaannya oleh instansi vertikal kemungkinan pada akhir tahun ke
“n”, yakni setelah dicantumkan dalam APBN Perubahan, atau pada tahun ke
“n+1″, yakni setelah dicantumkan dalam APBN tahun berikutnya. Bukankah
praktik seperti ini “merugikan” Pemda yang ingin menerima “faedah”
secepatnya dari hibah tersebut?

3. Aspek Oportunisme dan Politik dalam Pemberian Hibah kepada Pemerintah


(Instansi Vertikal)
Pemberian hibah kepada instansi vertikal menempatkan Kepala Daerah dan pimpinan
instansi vertikal di daerah berada pada posisi “nyaman”. Kedua belah pihak bisa
melakukan kerja sama yang bersifat saling menguntungkan. Sementara di sisi lain,
menempatkan DPRD selalu pemilik fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan pada
posisi sulit dan serba salah.
Dalam melaksanakan fungsi legislasinya, DPRD akan membahas usulan alokasi
anggaran untuk belanja hibah di dalam rancangan KUA, PPAS dan APBD, termasuk di
dalamnya hibah untuk instansi vertikal. Pada kondisi dimana Pemda masih kekurangan
dana untuk menyediakan fasilitas publik dan peningkatan kualitas pelayanan kepada
masyarakat, maka pemberian hibah kepada instansi vertikal mungkin saja tidak termasuk
ke dalam prioritas daerah.
Di sisi lain, hibah menjadi cara Pemerintah untuk “menghemat” anggaran untuk
instansi vertikal yang ada di daerah. Bagaimanapun juga, pendanaan untuk instansi vertikal
tersebut cukup menyedot dana APBD, sehingga diperlukan kecerdasan dalam pembuatan
“kebijakan pengelolaan keuangan daerah” dari pusat, yang dalam hal ini dilaksanakan oleh
Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan.

Pendapat A:
4

Sesuai dengan azas brutto dalam penerimaan maka seluruh penerimaan hibah yang
diterima oleh Satker milik pemerintah pusat harus dicatat di UAKPA. saya lupa nomor
PMK nya tapi jika penerimaan hibah (baik dari luar negeri atau dari mana saja termasuk
dipungut dari masyarakat jika terjadi bencana dan lain-lain) harus didaftarkan ke
Kementerian Keuangan untuk diterbitkan DIPAnya…. mekanismenya bisa RK maupun PL
tergantung kehendak dari pemberi hibah yang dituangkan dalam naskah hibah.
Jika Satker tidak mengungkapkan atau tidak mendaftarkan hibahnya maka pada saat
pemeriksaan BPK akan diungkapkan terdapat penerimaan hibah yang off budget dan off
balance sheet yang dapat mempengaruhi opini tergantung asas materialitas.
Praktik menempatkan belanja modal ke dalam barang/jasa dan dihitung sebagai
persediaan adalah untuk menghindarkan ketentuan perijinan jika menyerahkan barang
modal yang telah tercatat dalam asset di aktiva tetap. Ketentuan Permendagri tentang
penghapusan atau pemindahan barang modal akan lebih berbelit belit sementara barang
modal tersebut adalah bagian untuk melayani masyarakat. Tetapi perlu dibedakan jika
barang tersebut adalah menjalankan kewenangan pemerintah maka dia masuk ke dalam
belanja modal sedangkan jika untuk kepentingan bantuan sosial sebaiknya dipisahkan
menjadi persediaan lain-lain yang tidak ada hubungan dengan pelayanan. Ketentuan ini
tidak berlaku jika belanja modal tersebut ditempatkan di Dinas Sosisla karena tugas pokok
dan fungsi Dinas Sosial memang untuk menjalankan kewenangan yang berkenaaan dengan
pelayanan sosial.

Pendapat B :
Saya telah membaca tulisan Saudara2 tentang hibah Pemerintah Daerah kepada
Instansi vertikal, semua komentar yang ditulis menggunakan pendekatan peraturan
/perundangan pengelolaan keuangan (Daerah). Dalam Undang – Undang 17 Tahun 2003,
Permendagri 59 Tahun 2007 jo Permendagri 13 Tahun 2006, SE Mendari Tahun
Nomor . . . Tahun 2007, disampaikan bahwa hibahUang, barang, jasa dari Pemerintah
Daerah kepada Pemerintah dapat dilakukan.
Selanjutnya dengan pendekatan Pengelolaan Barang Milik Daerah, dalam PP nomor
6 Tahun 2006, Ketentuan Umum Permendagri 17 Tahun 2007 menyebutkan bahwa hibah
dari Pemerintah Daerah kepada Pemerintah dapat dilaksanakan. Namun demikian pada
lampiran Permendagri 17 Tahun 2007 terdapat klausul bawah Hibah adalah antar tingkat
Pemerintahan (Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah dan antar Pemerintah Daerah).
Hal ini memerlukan penafsiran hukum yang tepat agar Para pelaksana Pemerintahan di
Daerah tidak keliru dalam mengartikan dan akan keliru pula dalam mengambil kebijakan
hibah kepada instansi vertikal sehingga berakiibat hukum (negatif) di kemudian hari.
Dalam hal ini perlu kejelasan penafsiran dari Kementerian dalam Negeri tentang hal
tersebut terutama atas ketentuan umum Permendagri 17 tahun 2007 yang menyebutkan
5

bahwa Pemerintah Daerah dapat memberikan hibah barang kepada Pemerintah diklausul
yang lain (lampiran Permendagri 17 Tahun 2007) disebutkan bahwa Hibah antar tingkat
Pemerintahan (Pemerintah pusat kepada Pemerintah Daerah, dan antar Pemerintah Daerah)
Saya butuh sharing pendapat.. . ,
Kementrian Dalam Negeri perlu jeli dalam pembuatan Peraturan agar tidak menimbulkan
multi tafsir terima kasih

Pendapat C :
Kebetulan saya adalah seorang PNS yang bertugas di Sekretariat KPU dan saya
masih bingung mengenai Hibah ini. Khususnya tentang Penyelenggaraan Pilkada di tingkat
Kabupaten/Kota. KPUD sebagai Instansi Vertikal di daerah yang dalam menyelenggarakan
PILKADA mendapatkan Sumber Dana Hibah dari Bupati/Walikota yang bersangkutan.
Sebagai tindak lanjut dari penerimaan Hibah ini maka KPUD menunjuk salah satu staf di
satkernya yang berperan sebagai Bendahara APBD dan membuat satu rekening baru untuk
menampung dana tersebut. Pencairan dana yang diperlukan untuk setiap kegiatan
dilakukan oleh Bendahara APBD tersebut secara langsung.
Nah, yang jadi pertanyaan saya adalah:
1) Apakah boleh satker vertikal membentuk bendahara APBD
2) Apakah boleh membuat satu rekening yang tidak dilaporkan ke BUN
3) Apakah proses pencairan dana secara langsung tanpa proses SPM dan SP2d
boleh dilaksanakan oleh KPUD
4) Sebagai kesimpulan, apakah hasil pemenang PILKADA Sah menurut Hukum
sebab KPUD mendapat dana hibah pemkab/pemkot tanpa memasukkannya ke
dalam DIPA terlebih dahulu.
lampiran Permendagri tidak memikat dapat ditambahkan rincian perobjeknya sesuai
kebutuhan, namun masih dalam kelompok Belanja Barang dan Jasa- Barang yang
Diserahkan Kepada Masyarakat (hibah ini jika diberikan dalam bentuk barang dan masuk
persediaan dulu, jika dalam bentuk uang harus dianggarkan pada Belanja Hibah pada
SKPKD)

You might also like