You are on page 1of 33

UPAYA PENEGAKKAN ,PENERAPAN DAN

FATWA MUI BERKAITAN DENGAN HUKUM


ISLAM DI INDONESIA
Makalah
Diajukan Sebagai Tugas Mata Kuliah
Studi Hukum Islam

Disusun Oleh :

M. DWI FIDIQSA D31208034


NIDA’ IRYANIKA D31208048
NURUL AFIYANI D31208055
NURUL HASANAH D31208064
SITI ROHMAWATI D31208066

Dosen Pembimbing
CHOIRUL MAHFUDZ , MFil.I

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA


F A K U L T A S T A R B I Y A H S U R A B A Y A
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
2010
KATA PENGANTAR

Alhamdulilah,kami panjatkan rasa puja dan puji syukur kehadirat Allah


SWT yang telah memberkahi kami, sehingga makalah ini dapat selesai dengan tepat
waktu. Sholawat serta salam tak lupa kami ucapkan kepada junjungan Nabi besar kita
MuhammadSAW yang telah memberi jalan yang terang dan mengentas kita dari
kebodohan.
Tak lupa kami ucapkan terima kasih kepada Bapak dosen yang setia
membimbing kami selama masa perkuliahan serta proses penyelesaian laporan ini. Tak
lupa kami ucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu kita dalam
penyelasian laporan ini, terutama kepada orang tua kami yang selalu mendoakan kami
dimana pun berada.
Dan tak lupa kami ucapkan maaf atas segala khilaf atas penulisan makalah
ini.Karena kami jua hanyalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan. Semoga apa
yang kami sajikan ini berguna bagi kita semua dan dapat membantu dalam segala hal.

Surabaya , 20 November 2010

Penulis

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam adalah agama yang akan membawa rahmat bagi pemeluknya tidak
terkecuali siapappun itu. Islam jua adalah suatu lembaga dan wadah di dalalm
menyelesaikan suatu permasalahan yang berkaitan dengan segi kehidupan
umatnya. Seperti, dalam bidang ibadah makhdoh kita mengenal di situ ada
beberapa hal seperti salat, puasa, dan ibadah lainnya yang telah diatur di dalam
Al-Qur’an dan Hadis . Namun adakalanya permasalahan yang kotemporer saat-
saat ini yang sangat rumit memeng tidak dapat dibantah kembali dalm penerimaan
kehujjahan kita butuh bantuan Ijtihad dari kaum ulama’ yang berkompeten dalam
bidang yang bermasalah ,yang berupa produk ijma’ dan qiyas.
Itu semua adalah sumber hukum Islam yang telah dapat dipercaya dan
masih banyak yang lainnya seperti Ihtisan, Urf dll. Itu semuanya akan dibahas
secara lengkap pada pokok pembahasan Usul Fiqh. Namun pada kenyataan masih
banyak hal yang perlu dijadikan patokan agar tercapinya hukum yang baik dan
benar secara syariat dan aturan yang berlaku di suatu wilayah.
Dengan ketentuan di atas , maka di Indonesia dibentuklah sebuah lembga
perkumpulan sekumpulan ulama yang akan membantu di dalam penyelesaian
masalah kontemporer yang sedang melanda negeri ini lebih-lebih berhubungan
dengan akidah dan syari’at. Lembaga tersebut adalah Majelis Ulama Indonesia
(MUI). Tugas yang mereka emban adalah menyampaikan fatwa atau himbauan
yang berhubungn dengan masalah tersebut. Inilah yang akan kami bahas
bagaimnakah keterkaitannya MUI yang sebagai subjek Hukum Islam di Indonesia
dengan upaya pegakan dan penerapan Hukum Islam di Indonesia.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah upaya-upaya agar hukum islam dapt ditegakkan di
Indonesia ?
2. Berikan contoh Fatwa MUI pada bidang akidah dan syariat !
3. Bagimana korelasi Fatwa MUI dengan Hukum Islam dan Hukum Positif
di Indonesia ?
3
BAB II
PEMBAHASAN

A. UPAYA MENEGAKAN DAN PENERAPAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA

Tidak dapat dipungkiri bahwa umat Islam di Indonesia adalah unsur paling
mayoritas. Dalam tataran dunia Islam internasional, umat Islam Indonesia bahkan dapat
disebut sebagai komunitas muslim paling besar yang berkumpul dalam satu batas
teritorial kenegaraan.
Salah satu masalah yang dihadapi bangsa ini adalah tidak adanya kepastian
hukum. Belum terciptanya law enforcement di negeri ini terpotret secara nyata dalam
lembaga peradilan. Media masa bercerita banyak tentang hal ini, mulai dari mafia
peradilan, suap ke hakim, pengacara tidak bermoral sampai hukum yang berpihak pada
kalangan tertentu.
Hingga kini proses penegakan hukum masih buram. Menurut Munarman hal ini
terjadi akibat proses panjang sistem politik masa lalu yang menempatkan hukum sebagai
subordinasi politik. Sistem peradilan yang tidak independen dan memihak dengan dalih
dan banyaknya kepentingan. Reformasi hukum yang dilakukan hingga kini belum
menghasilkan keadilan bagi seluruh masyarakat. Keadilan masih dibayangi oleh
kepentingan dan unsur kolusi para aparat penegak keadilan dinegeri yang ber-keadilan
sosial bagi seluruh bangsa Indonesia ini.
Intervensi terhadap hukum masih belum dapat dihindari. Hal ini mempengaruhi
mentalitas penegak hukum. Padahal mentalitas yang bermoral adalah kekuatan penegak
hukum sebagai dasar dari profesionalismenya. Moral dan keberanian dalam menegakan
supremasi hukum masih minim dimiliki oleh penegak hukum di Indonesia. Sehingga
banyak kasus-kasus hukum diselesaikan tetapi tidak memuaskan pelbagai pihak atau pun
merugikan dilain pihak. Timbul pertanyaan apakah keadilan hanya milik ‘penguasa’ ?
Penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang
terjabarkan dalam kaidah-kaidah, pandangan-pandangan yang mantap dan
mengejawantahkannya dalam sikap, tindak sebagai serangakaian penjabaran nilai tahap
akhir untuk menciptakan kedamaian pergaulan hidup (Soejono Soekamto, 1989)1.
1
Soejono Soekamto, Tata Negara dan Hukum Konstitusi, (Jakarta: Media Press,1989),33

4
Kepastian hukum hanya dibuat untuk dalih meraih keuntungan sepihak. Yang dikatakan
”demi kepastian hukum” sering hanya retorika untuk membela kepentingan pihak
tertentu. Akhirnya, proses hukum di luar dan di dalam pengadilan menjadi eksklusif milik
orang tertentu yang berkecimpung dalam profesi hukum. Proses hukum menjadi ajang
beradu teknik dan keterampilan. Siapa yang lebih pandai menggunakan hukum akan
keluar sebagai pemenang dalam berperkara. Bahkan, advokat dapat membangun
konstruksi hukum yang dituangkan dalam kontrak sedemikian canggihnya sehingga
kliennya meraih kemenangan tanpa melalui pengadilan.
Berbicara masalah menegakan hukum, tentu tidak terlepas dari peran berbagai
pihak termasuk aparatur dan institusi yang bergerak di bidang hukum. Peran yang jelas
tidak akan berarti apa-apa tanpa dukungan dan keterlibatan pihak lain terutama aparatur
pemerintah yang bergerak diluar bidang hukum dan masyarakat secara umum. Peran ini
tentu saja tidak hanya terletak pada bagaimana sistem hukum yang ada bisa dibenahi, tapi
juga bagaimana sistem hukum yang diformulasikan dalam bentuk aturan-aturan hukum
baik materiil maupun formal itu ditegakkan secara konsekuen. Dalam situasi dimana
institusi formal yang bertanggung jawab melakukan reformasi di bidang hukum belum
memberikan perubahan yang berarti, kehadiran state auxiliary agencies seperti KPK,
Komnas HAM, KON dan KHN tentu diharapkan mampu memainkan peran yang
signifikan dalam upaya pembaharuan hukum. (Sudi Prayitno, S.H., LL.M, dalam
artikelnya Peran Beberapa State Auxiliary Agencies Dalam Mendukung Reformasi
Hukum Di Indonesia)2.
Sistem hukum yang baik harus dimulai dari moral penegak hukum yang baik. Ada
adagium yang melekat dalam proses hukum kita, yaitu kalau berurusan dengan hukum,
ketika kehilangan kambing maka akan kehilangan sapi. Karena baik oknum polisi, jaksa,
hakim, maupun pengacara terlibat dalam suatu mafia peradilan. Mereka melakukan
proses jual beli, berdagang hukum diantara pelaku hukum tersebut. Itulah tantangan besar
bagi masyarakat untuk memperjuangkan hukum yang bersih, independen, dan bebas dari
kepentingan politik ataupun kepentingan lainnya. Itu agenda yang teramat penting dan
seharusnya dipelopori oleh institusi penegak hukum.

2
Sudi Prayitno, Peran Beberapa State Auxiliary Agencies Dalam Mendukung Reformasi Hukum Di
Indonesia.(Jakarta: Kompas,2004),22. Artikel ini tertulis pada Koran Kompas pada edisi Selasa, 23
November 2004 pada kolom Politik halaman 22.

5
Proses demokratisasi yang melanda Indonesia di tahun 1997-an, telah memaksa
Rezim Orde Baru lengser dan digantikan era Reformasi. Lantas, diskursus tentang
penerapan hukum Islam di Indonesia, menjadi signifikan adanya di era reformasi.
Abdurrahman Wahid dan Amien Rais merupakan segelintir tokoh, di antara tokoh-tokoh
lainnnya, yang merespons gagasan penerapan hukum Islam di Indonesia. Meskipun
keduanya bukanlah teoritisi dan praktisi hukum, namun keduanya secara langsung atau
tidak, juga terlibat dalam diskursus mengenai penerapan hukum Islam dalam bingkai
kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis.
Hal ini tentu saja memberikan kesempatan kepada penyusun untuk menyingkap
pemikiran Abdurrahman Wahid dan Amien Rais tentang gagasan penerapan hukum Islam
di Indonesia, di mana antara kedua tokoh tersebut memiliki latar belakang pemikiran,
karakteristik pemikiran serta pengaruh pemikiran keduanya terhadap khalayak. Karena
penelitian ini merupakan kajian sejarah pemikiran, maka pendekatan yang digunakan
adalah pendekatan sosio-historis, yaitu pendekatan yang digunakan untuk mengetahui
latar belakang sosio-kultural seorang tokoh. Selain itu, pendekatan geneologi dan
paradigma, juga mewarnai penelitian ini.
Teori geneologi diperlukan untuk melacak aspek-aspek “sejarah-nya sejarah”.
Paradigma digunakan untuk mengetahui cara pandang seorang tokoh dalam memaknai
sebuah gagasan. Abdurrahman Wahid, sebagai pemikir keIslaman di Indonesia yang
termasuk ke dalam kategori neo-modernisme, cenderung mendialektikakan antara
“tradisi” Islam dengan realitas dan konteks kekinian, dalam hal ini modernitas secara
indegenist. Ia percaya bahwa Islam itu universal, namun dalam prakteknya. Islam tidak
dapat dilepaskan dari konteks budaya setempat.
Gagasan ini, secara diametral bertentangan dengan gagasan penerapan hukum
Islam (formalisasi ajaran Islam) di Indonesia. Sebab, demokratisasi senantiasa meliputi
aspek pluralisme dan toleransi. Penekanan terhadap keduanya akan berbenturan dengan
gerakan yang lebih mengutamakan formalisasi ajaran Islam, di mana penerapan hukum
Islam menjadi salah satu gagasan yang diusung tersebut. Jadi, secara eksplisit, Gus Dur
menolak penerapan hukum Islam di Indonesia.
Sementara itu, Amien Rais yang termasuk kategori universalisme, cenderung
beranggapan bahwa; Islam dan seluruh perangkat nilainya dapat dijadikan alternatif dari

6
kemerosotan nilai-nilai Barat. Kelompok pemikiran ini percaya bahwa al-Qur’an dan
Hadits yang dibawa Nabi Muhammad saw, sudah sangat sempurna dan dapat diterapkan
langsung pada masyarakat apapun. Karena itu, sebagai seorang yang cenderung pada
pemikiran Islam yang universalisme”, Amien memiliki tanggung jawab moral untuk
mengejawantahkan keinginan sebagian kalangan umat Islam guna menerapkan hukum
Islam di Indonesia. Jadi, secara implisit sebenarnya Amien Rais mendukung penerapan
hukum Islam di Indonesia.
Sebagian masyarakat muslim Indonesia menginginkan pemberlakuan hukum
Islam di Indonesia. Namun menerapkan hukum Islam atau menjadikan Indonesia sebagai
Negara Islam seperti Pakistan, Mesir dan lain lain tidaklah semudah membalikkan
telapak tangan. Indonesia merupakan Negara kesatuan. Negara yang berpenduduk
beraneka ragam warna kulit, agama, suku dan pendirian seseorang, maka dalam konteks
Negara Islam, mereka yang beragama lain tidak ingin diperlakukan secara diskriminatif.
Kalau mengutip pernyataan M. Imdadun Rahmat 3penerapan syariat Islam bagi
kalangan mainstream umat tidak mesti berwujud pemberlakuan fiqh Islam sebagai
hukum positif Negara. Tapi penerapan fiqh itu bisa dilakukan dalam kehidupan sehari-
hari tanpa harus menjadi hukum Negara. Lebih lanjut, M. Imdadun Rahmat menulis,
bentuk Negara ‘nation state’ dengan system demokrasinya cukup menyediakan peluang
bagi terwujudnya Negara yang Islami. Artinya Negara yang mampu melindungi
kemaslahatan rakyatnya sehingga hak-hak mereka sebagai warga Negara terpenuhi,
termasuk hak untuk mengekspresikan agamanya secara leluasa4.
Sebagai Negara kesatuan, Indonesia tidak bisa mendirikan Negara Islam. Karena
kalau kita mendirikan negara Islam -meminjam istilah Supomo- berarti kita bukan negara
kesatuan, sebab negara itu menghubungkan dengan golongan terbesar yaitu golongan
Islam. Akan timbul persoalan ‘minderheden’, persoalan agama yang kecil-kecil,
walaupun sudah ditegaskan bahwa suatu Negara Islam akan menjamin kepentingan
golongan lain sebaik-baiknya. Menurut Supomo cita-cita negara Islam tidak sesuai
dengan cita-cita negara kesatuan yang kita idam-idamkan. Supomo menganjurkan
pembentukan Negara nasional yang bersatu, yang mengatasi segala golongan dan akan
mengindahkan dan menghormati keistimewaan segala golongan, baik golongan yang
3
M Imdadun Rahmat, Islam dan Indonesia. (Bandung : Rosdakarya ,2000),35
4
Ibid.,

7
besar maupun golongan yang kecil. Dalam negara nasional yang bersatu itu, urusan
agama akan diserahkan kepada golongan agama yang bersangkutan. Setiap orang atau
golongan akan merdeka memeluk agama yang disukainya. Baik golongan agama yang
besar maupun yang kecil akan merasa bersatu dalam negara.
Mengutip pendapat Hatta5 yang menegaskan bahwa dalam negara kesatuan seperti
Indonesia, masalah kenegaraan harus dipisahkan dari masalah agama. Selanjutnya
Supomo6 mengatakan adanya dua pendapat mengenai hal tersebut. Pertama, dari para ahli
agama menyatakan bahwa Indonesia haruslah menjadi Negara Islam, dan pendapat kedua
yang disarankan Hatta, suatu Negara kesatuan nasional yang memisahkan masalah
kenegaraan dari masalah keagamaan, dengan lain kata bukan Negara Islam. Menurut
Supomo perkataan Negara Islam lain artinya dengan perkataan ‘negara berdasar atas cita-
cita luhur dari agama Islam’.
Supomo juga mengingatkan agar jangan meniru negara lain di Timur Tengah
yang dianggap sebagai Negara Islam sebab berbagai kondisi dan latar belakangnya
berbeda. Di negara-negara Islam sendiri-mengutip pernyataan Supomo-juga terjadi
perbedaan, khususnya mengenai bagaimana syariah Islam harus disesuaikan dengan
kebutuhan internasional, dengan persyaratan masa kini, dengan pikiran modern. Jadi
kalau kita mendirikan Negara Islam, pertentangan pendirian itu akan terjadi juga. Dalam
pandangan Muhammad ‘Abduh, syariah Islam bisa diubah melalui ijma’ asal tidak
bertentangan dengan Al-Qur’an dan Al-Hadist. Bahkan yang lebih radikal menurut ‘Ali
‘Abd al-Raziq mengatakan bahwa agama terpisah dari hukum yang mengenai
kepentingan Negara.
Dan salah satu kelemahan besar umat Islam di Indonesia ialah tidak adanya
pemimpin Islam yang diterima oleh semua golongan. Islam Indonesia bukan ‘ummatan
wahidan’ –seperti yang disebut dalam Al-Qur’an- tetapi umat yang “kamu kira mereka
itu bersatu sedang hati mereka berpecah-belah”.
Bagaimana mungkin Pancasila dirubah kepada hukum Islam sementara umat
Islam sendiri dalam keadaan berpecah-belah. Kalau kita baca sejarah, perpecahan-
perpecahan yang terjadi justru sangat erat hubungannya dengan umat Islam Indonesia.

5
Ibid.,40
6
Ibid.,

8
Terutama sejak institusi besar seperti partai, sampai himpunan terkecil seperti Dewan
Keluarga Masjid.
Seperti Syarikat Islam berkembang dengan memobilisasikan berbagai kekuatan
Islam dan mencapai puncaknya dalam pertikaian internal. Masyumi dimulai dengan
mempersatukan umat Islam dan berakhir dengan perpecahan. Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) berusaha mengumpulkan berbagai partai Islam dalam satu wadah
dan mengisi kegiatannya dengan perpecahan dan kehancuran (sehingga ada yang
menyebut PPP bukan partai, bukan persatuan, dan bukan pembangunan) . Pada tataran
intelektual, kita melihat pertentangan antara pemikir kelompok yang memandang Islam
sebagai alternatif dengan kelompok pemikir yang melihat Islam hanya sebagai suplemen
saja; antara kaum tradisionalis, modernis, dan “fundamentalis”; antara orang yang ingin
“mengindonesiakan” Islam dengan orang yang ingin “mengislamkan” Indonesia7.

B. FATWA – FATWA MUI BERKENAAN DENGAN HUKUM ISLAM di


INDONESIA

• Fatwa MUI Tentang Merokok8

Akhir-akhir ini merak keluar desakan untuk MUI mengeluarkan Fatwa Merokok itu
HARAM.Mengapa merokok haram? selama ini merokok hukumnya adalah makruh lebih
condong ke haram, tetapi tidak haram.Selasa 12 Agustus 2008 dari dewan syariah MUI
menyampaikan fatwa terbarunya tentang merokok, yaitu :

“Merokok Hukumnya adalah HARAM bagi anak-anak dibawah usia 17 Tahun”

Ada beberapa alasan yang melatar belakanginya, antara lain :

1. Selama ini hukum merokok makruh cenderung atau lebih dekat ke haram
2. Larangan pemerintah melalui PP/Perda yang sudah ada dan berlaku sampai
sekarang tidak banyak yang mengindahkannya atau banyak di langgar. Misalnya
7
Ibid.,
8
http://ardansirodjuddin.wordpress.com/2008/08/15/fatwa-haram-majlis-ulama-
indonesia-mui-tentang-rokok/

9
larangan merokok di taman atau di ruang tertentu yang dikeluarkan pemda, masih
juga ada yang merokok di ruang tersebut. (di UII masih adakah merokok di
tempat umum?)
3. Perokok khususnya anak-anak tidak ada manfaatnya sedikitpun, dll

Dari fatwa ini menurut pendapat saya akan membawa dampak yang luas, kenapa?

1. Barang yang sedikitnya haram berarti banyaknya juga haram hukumnya, hati-
hatilah orang tua yang merokok, janganlah anda merokok, apalagi diketahui oleh
anak-anak, mereka mencontoh anda!
2. Perokok anak-anak di lingkungan industri rokok, mereka itu usia 2 atau 5 tahun
merokok merupakan hal yang biasa.
3. Pekerjaan terkait yang haram, maka hukumnya menjadi haram. Para pekerja
industri rokok, penjual rokok, dll … berhati-hatilah. Rejeki anda dari rokok
menentukan nasih hidup anda di dunia dan akhirat. Anda konsumsi makanan
haram dalam tubuh, maka barang tersebut akan berada dalam tubuh anda selama
40 hari dan ibadah anda selama itu tidak diterima oleh Allah. Subhanallah.
4. Ayo’ hidup sehat, karena merokok dapat menyebabkan kanker, stroke dan
gangguan janin dan kehamilan.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) akan mengeluarkan fatwa tentang rokok pada Forum
Ijtima Ulama Komisi Fatwa yang akan diselenggarakan pada Januari 2009. Demikian
disampaikan Ketua MUI KH Ma’ruf Amin dalam seminar "Fatwa MUI versus wacana
antirokok" di Jakarta, Senin (24/11), yang diselenggarakan oleh PWI Koordinatoriat
Departemen Agama dan MUI Pusat.

"Fatwa apakah hukum merokok bisa haram, makruh (tidak baik), mubah
(diperbolehkan), mukhtalaf (diperselisihkan) dan tawaquf (ditunda)," kata KH Ma’ruf
Amin.

Forum Ijtima Ulama itu, katanya, akan diselenggarakan pada pertengahan Januari
2009, tetapi lokasinya belum ditentukan, apakah di Sumatra Barat atau di Pulau Jawa.
Menurut dia, masalah rokok merupakan masalah berat, karena itu harus ada "hujjah"

10
(alasan) yang kuat, sehingga bagaimana masalah selesai tanpa mengundang masalah lain.
"Masih ada pro dan kontra," ujarnya.

Sejumlah pihak, katanya, telah meminta MUI mengeluarkan fatwa tentang rokok, di
antaranya LSM Anti Rokok dan Departemen Kesehatan. Ia menjelaskan, secara
substansial rokok bisa masuk dalam kategori hukum haram, makruh, atau ikhtilaf
(diperselisihkan). "Kalau orang berpendapat rokok itu makruh karena ada kejelekan
apabila mengonsumsinya," terangnya.

Karena berbagai perbedaan sudut pandang itu, serta penafsiran terhadap bahaya
merokok, katanya, para ulama belum sepakat untuk mengharamkan rokok. "Baru sebatas
memakruhkan saja," ujarnya.

Sementara itu, dr Muchtar Ikhsan, pakar kesehatan yang berbicara pada seminar itu
mengatakan, racun yang terdapat pada rokok merupakan ancaman bagi kehidupan umat
manusia. "Satu batang rokok dapat memotong kehidupan kita selama 5 menit," katanya.

Meski demikian, lanjutnya, Indonesia ternyata tergolong sebagai "surga" bagi para
perokok.Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) Ismanu
Soemizan meminta MUI mempertimbangkan fatwa tentang rokok. Pasalnya, 95 persen
dari 6,2 juta pekerja di pabrik rokok adalah umat Islam.

• Fatwa MUI Tentang Facebook9

FACEBOOK, diluncurkan pertama kali pada tanggal 4 Februari 2004 oleh Mark
Zuckerberg sebagai media untuk saling mengenal bagi para mahasiswa Harvard.

Dalam waktu dua minggu setelah diluncurkan, separuh dari semua mahasiswa
Harvard telah mendaftar dan memiliki account di facebook. Tak hanya itu, beberapa
kampus lain di sekitar Harvard pun meminta untuk dimasukkan dalam jaringan facebook.
Zuckerberg pun akhirnya meminta bantuan dua temannya untuk membantu
mengembangkan facebook dan memenuhi permintaan kampus-kampus lain untuk
9
http://www.cybermq.com/berita/detail/Teknologi/708/fatwa-mui-facebook-haram-

11
bergabung dalam jaringannya. Dalam waktu 4 bulan semenjak diluncurkan,facebook
telah memiliki 30 kampus dalam jaringannya.Dengan kesuksesannya tersebut,
Zuckerberg beserta dua orang temannya memutuskan untuk pindah ke Palo Alto dan
menyewa apartemen di sana.

Facebook merupakan sebuah website social networking yang sedang ramai


dibicarakan dan di gemari oleh semua kalangan masyarakat pada saat ini, dan mulai
menjadi perhatian pengguna internet di Indonesia.Facebook cukup mengejutkan dengan
tingkat pemakai yang cukup besar termasuk Indonesia, akan tetapi,kehadiran facebook di
ibaratkan akan dua mata uang" ada yang negatif dan ada yang negatif". facebook dapat
dijadikan sebagai sarana menyambung komunikasi antara seseorang denga orang lain
yang bisa saja selama ini mereka sudah jarang atau tidak pernah bertemu lagi, karena di
pisahkan oleh waktu maupun jarak.

MUI menyatakan bahwa FaceBook bisa menjadi haram dan tidak haram. Menurut
mereka, FaceBook haram tergantung dari cara pemakaian. Kalau tujuan baik dan benar,
maka tak ada larangan menggunakannya, tapi sebaliknya, bila untuk tujuan negatif maka
haram.

Jadi itu semua juga kembali kepada kita sebagai pengguna dari facebook, jika kita
mempunyai keinginan untuk menggunakan facebook untuk melakukan aktifitas yang
negatif mungkin saja kita dapat mengatakan bahwa facebook itu haram, dan jika kita
menggunakan facebook dengan menjalin tali silaturahmi antar sesama maka facebook
mungkin belum dapat dikatakan haram

Pada tanggal 20-21 Mei 2009 telah dilakukan pertemuan di Ponpes Lirboyo Kediri
yang dihadiri oleh perwakilan dari 50 pondok pesantren di Jawa Timur dalam rangka
pertemuan para anggota bahtsul masail yang membahas salah satu hukum penggunaan
internet. Salah satu keputusan dari pertemuan tersebut adalah memberi putusan bahwa
facebook (situs jejaring sosial) yang sangat populer hukumnya haram. Tapi dengan
catatan jika digunakan sebagai media untuk mendapat pacar atau mencari calon istri.
Selain itu juga apabila digunakan untuk sesuatu yang bersifat porno alias bokep juga

12
haram. Tidak hanya facebook tapi semuanya diinternet yang digunakan untuk hal negatif
hukumnya haram. Bahkan para kiyai Jawa Timur telah konon tengah menyusun team
untuk membahas khusus penggunaan internet dan menghukuminya dalam kacamata fiqih.
Jasa pembuatan web hanya Rp.55.000 GRATIS DOMAIN(com,net,org,info),HOSTING
300MB,CMS,EMAIL,MAINTANCE ( COCOK UNTUK TOKO ONLINE),

• Fatwa MUI Tentang Arah Kiblat10

Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa terkait arah kiblat sebagai
konsekuensi dari pergeseran lempeng bumi. Dalam konferensi pers di Jakarta, Senin
(22/3), MUI menegaskan pergeseran tersebut tak mempengaruhi arah kiblat. Untuk itu,
MUI mengingatkan umat Islam agar tak perlu bingung dengan arah kiblat. Terlebih,
dengan mengubah bahkan membongkar masjid atau musala agar mengarah ke kiblat.

Konferensi pers tersebut disampaikan oleh Ketua MUI Drs. H. Nazri Adlani,
didampingi Sekretaris MUI Dr. H Amrullah Ahmad, Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI
Prof. Dr. KH Ali Mustafa Yaqub, MA, dan Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI Drs. H.
Aminudin Yakub, MA.

Diktum Fatwa

Tentang diktum dari fatwa MUI No. 03 Tahun 2010 tentang Kiblat disebutkan,
pertama, tentang ketentuan hukum. Dalam kententuan hukum tersebut disebutkan bahwa:
(1) Kiblat bagi orang shalat dan dapat melihat ka’bah adalah menghadap ke bangunan
Ka’bah (ainul ka’bah). (2) Kiblat bagi orang yang shalat dan tidak dapat melihat Ka’bah
adalah arah Ka’bah (jihat al-Ka’bah). (3). Letak georafis Indonesia yang berada di bagian
timur Ka’bah/Mekkah, maka kiblat umat Islam Indonesia adalah menghadap ke arah
barat.

10
http://www.mui.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=147:fatwa-
tentang-arah-kiblat&catid=1:berita-singkat&Itemid=50
13
Kedua, rekomendasi. MUI merekomendasikan agar bangunan masjid/mushalla di
Indonesia sepanjang kiblatnya menghadap ke arah barat, tidak perlu diubah, dibongkar,
dan sebagainya.

• Fatwa MUI Tentang Suntik Anti Haid Saat Sedang Melakukan Ibadah Haji11

Mengkonsumsi Obat Anti Haid

• Tinjauan Medis

Menstruasi atau haid bagi sebagian perempuan merupakan peristiwa yang


ditunggu-tunggu setiap bulannya, tetapi ada sebagian yang ingin menundanya.
Contohnya, pasangan pengantin baru yang akan berbulan madu dan perempuan yang
akan menjalankan ibadah haji. Larangan perempuan sedang haid menjalankan ibadah haji
membuat banyak pihak mencari upaya untuk menunda kedatangan “tamu bulanan”
tersebut.

“Di masa lalu, penundaan haid dilakukan dengan mengkonsumsi makanan


tertentu seperti daun pepaya. Namun, upaya itu tidak terlalu efektif, karena haid bisa saja
datang tiba-tiba. Biasanya, perempuan yang siap berhaji akan merasa menyesal yang luar
biasa. Karena haji kan dilaksanakan satu tahun sekali, selain itu biayanya juga mahal,”
kata Prof Dr Ali Baziad Sp OG (K), Kepala Divisi Imunoendokrinologi, Departemen
Obgin, FKUI/RSCM. Namun, Prof Ali menambahkan, teknologi kedokteran yang
berkembang pesat memungkinkan penundaan haid melalui terapi hormonal. Haid bisa
diatur sesuai dengan keinginan, yaitu bisa dimajukan atau dimundurkan. Kebanyakan
pasien meminta untuk dimundurkan.

Menurut Prof Ali Baziad, SpOG (K), pengaturan siklus haid bisa dilakukan
dengan menggunakan pil hormon. Saat ini ada tiga jenis hormon yang bisa dipilih, yakni
progestin (progesteron saja), kombinasi estrogen dan progesterone (pil KB), serta GnRH

11
http://www.mui.or.id/index.php?option=com_docman&Itemid=84
14
agonis yang berbentuk suntik.“Pil progesteron tersebut dikonsumsi satu bulan sebelum
ibadah haji atau 14 hari sebelum haid”.

Haid merupakan peristiwa terjadinya peluruhan lapisan dalam dinding rahim yang
timbul pada suatu periode tertentu. Pada periode siklus haid dikenal adanya fase-fase
haid, yaitu fase prolifase, yang berlangsung pada hari ke 5-14. Pada fase itu pematangan
folikel di ovarium didominasi hormon estrogen untuk pembentukan lapisan fungsionalis.

Selanjutnya fase transformasi yang berlangsung pada hari ke 14-21 yang mana sel
telur (ovum) siap untuk dibuahi. Fase itu didominasi hormon progesteron. Fase sekresi
berlangsung pada hari ke 21-28. Pada fase itu terjadi penurunan kadar hormon estrogen
dan progesteron bila sel telur tidak dibuahi.“Penurunan kadar hormon progesteron itulah
yang menyebabkan terjadinya peluruhan dinding rahim yang tadinya menebal sebagai
persiapan lokasi implantasi atau berkembangnya janin. Peluruhan itu disebut fase
menstruasi”. Cara kerja pil hormon, haid berhenti karena tubuh memperoleh hormon dari
luar, akibatnya kerja hormon di otak terhambat dan sel telur tidak bisa matang.

Riset yang dilakukan Prof Dr Biran Affandi, SpOG (K) selama 10 tahun terhadap
45 perempuan berusia 25-42 tahun, yang menginginkan penundaan haid untuk ibadah
haji menunjukkan bahwa pil hormon progesterone “norethisterone” efektif menunda haid
hingga 100 persen.

Meski penggunaan pil hormon tergolong aman namun orang yang ingin
mengonsumsinya sebaiknya dikonsultasikan dengan dokter.

Kendati penelitian telah menunjukkan keberhasilan pil hormon dalam menunda


haid, namun tetap ada efek samping yang perlu diketahui. Pada beberapa orang bisa
muncul vlek atau spotting noda darah. Namun hal itu normal dan bukan darah haid
sehingga ibadah tetap bisa dilanjutkan.

• Tinjauan Syari’ah

Lalu bagaimana hukum mengkonsumsi obat anti haid?

15
Ada dua kemungkinan seseorang mengkonsumsi obat anti haid, pertama,
menunda haid sedangkan yang kedua adalah sebaliknya, yaitu menyegerakannya.
Namun, sebelum kita menelaah lebih jauh tentang hukum mengkonsumsi obat anti haid
ini, ada beberapa hal yang harus kita ketahui bersama:

1. Pengajuan atau penundaan haid akan berdampak pada masa iddah bagi seorang
wanita.
2. masalah ini juga akan berkaitan dengan masalah hubungan suami-istri bagi para
suami yang biasa mengadakan safar panjang.
3. akan berkaitan erat juga dengan puasa, shalat, membaca al-quran, haji dan yang
lainnya.
4. Seorang muslim tidak dibebani untuk mencari sebab-sebab yang mewajibkannya
melakukan suatu ibadah. Contoh sederhana, seorang tidak diwajibkan untuk
mengumpulkan harta agar dia dapat mengeluarkan zakat.

Jika seorang wanita mengkonsumsi obat anti haid sebelum datang atau sebelum habis
masa kebiaannya apakah dia menjadi suci? Sehingga hukum-hukum yang berlaku bagi
wanita haid tidak lagi harus diindahkannya?

Atau sebaliknya, jika seorang wanita mengkonsumi obat untuk meyegerakan


datangnya haid, apakah dia dihukumi sebagai wanita haid? Sehingga diberlaukan
padanya hukum-hukum yang berlaku bagi wanita haid secara normal?.

Tidak ada ulama dari kalangan salaf yang membahas masalah ini secara detail
selain ulama Malikiah.

Mari kita lihat jawaban dari dua pertanyaan di atas satu demi satu.
Jawaban untuk pertanyaan pertama, para ulama Malikiah berbeda pendapat dalam hal ini,
pendapat pertama, melihat bolehnya melakukan hal ini, namun hukumnya makruh karena
berpotensi mendatangkan efeksamping negatif.

16
Imam Ash Shawi mengatakan, “Wanita yang mengkonsumsi obat anti haid agar
darahnya tidak keluar pada waktu kebiasaannya, dan usahanya itu berhasil, maka dia
dihukumi sebagai wanita suci”. Perkataan ini beliau nukil dari Ibn Qasim.

Sementara Ibnu Kinanah mengutarakan, “Wanita yang memiliki kebiasaan haid


delapan hari misalnya, lalu dia mengkonsumsi obat anti haid pada hari keempat untuk
mencegah keluarnya darah pada lima hari sisanya, maka wanita itu dihukumi suci.

Maka berdasarkan pendapat ini, wanita tesebut dihukumi suci dari haid, maka
wajib baginya menjalankan seluruh ibadah yang diwajibkan kepada wanita suci.

Pendapat kedua, melarang mengkonsumsi obat anti haid. Dan wanita yang
mengkonsumsinya tetap dianggap sebagai wanita haid. Pendapat ini adalah pendapat
tunggal dari kalangan ulama malikiah, yaitu pendapat Ibnu Firhaun.

Jawaban untuk pertanyaan kedua, yaitu hukum mengkonsumsi obat untuk


mempercepat turunnya darah haid sebelum datang waktu kebiasaannya. Hukumnya
adalah makruh, darah yang keluar pun tidak dianggap darah haid pada kaitannya dengan
hukum iddah dan istibra`, karena darah tersebut tidak keluar secara alami. Adapun
kaitannya dengan ibadah, Abdullah al Manufi tidak memberikan pendapat, karena tidak
adanya dalil yang secara jelas dari al-quran atau pun hadits. Namun muridnya
berpendapat, bahwa wanita tersebut tetap dikategorikan sebagai wanita suci. Hanya saja
pendapat tersebut diselisihi oleh Al Ajhuri yang mengatakan bahwa wanita tersebut harus
menginggalkan shalat dan puasa pada saat darahnya keluar, sebab ada kemungkinan
darah tersebut memang benar-benar darah haid, sebagaimana wanita tersebut juga harus
mengqada ibadahnya, sebab darah tersebut juga berpotensi bukan darah haid.

Imam As Shawi mengatakan, “Jika darah haid keluar karena pengaruh obat pada saat
waktu haid (kebiasaan) atau setelahnya, maka itu dikategorikan darah haid”.

• Mengkonsumsi Obat Anti Haid di Bulan Ramadhan,

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah pernah ditanya :

17
Sebagian wanita sengaja mengkonsumsi pil anti haid pada bulan Ramadhan, agar
bisa puasa penuh sehingga tidak perlu mengqadha’ pada waktu yang lain. Apakah ini
boleh dilakukan ? Apakah ada persyaratan yang bisa dilakukan oleh kaum wanita ?

Beliau menjawab: Menurut saya, dalam masalah seperti ini sebaiknya seorang wanita
tidak melakukannya dan membiarkan dirinya sebagaimana yang telah ditakdirkan oleh
Allah Ta’ala dan menjalani apa yang telah tetapkan buat kaum Hawa. Allah Ta’ala
menakdirkan kejadian bulanan ini pasti untuk suatu hikmah. Dan hikmah ini sesuai
dengan tabi’at kaum wanita. Jika ini kemudian dihalangi, maka tidak diragukan lagi akan
menimbulkan reaksi negatif bagi tubuh, padahal Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wassallam bersabda :

“Tidak boleh memudharatkan diri dan tidak boleh memudharatkan orang lain.”

Ini tanpa memandang bahaya yang dapat ditimbulkan oleh pil-pil ini bagi rahim,
sebagaimana dijelaskan oleh para dokter. Jadi menurut saya, sebaiknya kaum wanita
tidak menggunakan pil-pil ini. Dan alhamdulillah atas takdir dan hikmah-Nya, jika tiba
masa haid bagi kaum wanita yang berpuasa, maka dia tidak boleh puasa dan shalat. Kalau
sudah selesai, baru memulai puasa dan shalat. Kalau bulan Ramadhan sudah usai, maka
dia bisa mengqadha’ puasa yang terlewatkan.

Namun demikian, para ulama melihat hal ini menjadi rukhsah bagi para wanita pada
saat pelaksanaan ibadah haji. Penggunaan terapi hormonal diperbolehkan. Bahkan
Majelis Ulama Indonesia secara tegas telah mengeluarkan fatwa dengan tanggal 12
Januari 1979 yang menyebutkan, bahwa penggunaan obat anti haid untuk kesempurnaan
ibadah haji hukumnya adalah mubah.

• Fatwa MUI Tentang Aliran Ahmadiyah12

KEPUTUSAN FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA


Nomor : 11/MUNAS VII/MUI/15/2005

12
http://media-islam.or.id/2007/09/26/fatwa-mui-ahmadiyah-qadiyan-sesat/

18
TentangALIRAN AHMADIYAH
Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam Musyawaran Nasional MUI VII, pada 19-22
Jumadil Akhir 1426H./ 26-29 Juli 2005 M.
Setelah MENIMBANG :
o Bahwa sampai saat ini aliran Ahmadiyah terus berupaya untuk
mengembangkan pahamnya di Indonesia, walaupun sudah ada fatwa MUI dan
telah dilarang keberadaannya;
o Bahwa upaya pengembangan paham Ahmadiyah tersebut telah menimbulkan
keresahaan masyarakat;
o Bahwa sebagian masyarakat meminta penegasan kembali fatwa MUI tentang
faham Ahmadiyah sehubungan dengan timbulnya berbagai pendapat dan
berbagai reaksi di kalangan masyarakat;
o Bahwa untuk memenuhi tuntutan masyarakat dan menjaga kemurnian aqidah
Islam, MUI memandang perlu menegaskan kembali fatwa tentang aliran
Ahmadiyah.

MENGINGAT:

Firman Allah SWT.,Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-
laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi; dan adalah
Allah Maha mengetahui segala sesuatu (QS. Al-Ahzab [33]: 40)Dan bahwa (yang
kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah
kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan itu menceraiberaikan kamu dari
jalan-Nya. Yang demikian itu di perintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa
(QS. Al- An’am [6]: 153) Hai orang-orang yang beriman! Jagalah dirimu. Tiadalah
orang yang sesat itu akan memberi mudarat kepadamu apabila kamu telah mendapat
petunjuk….(QS. Al-Ma’idah [5]: 105)
Hadist Nabi S.A.W.; A.l.:Rasulullah bersabda: Tiadak ada Nabi sesudahku (HR.
al-Bukhari).Rasulullah bersabda: “Kerasulan dan kenabian telah terputus; karena itu,
tidak ada Rasul maupun Nabi sesudahku (HR Tirmidzi)

19
MEMPERHATIKAN :

Keputusan Majma al-Fiqh al-Islami Organisasi Konferensi Islam (OKI) Nomor 4


(4/2) dalam Muktamar II di Jeddah, Arab Saudi, pada tanggal 10-16 Rabi’ al-Tsani
1406H./22-28 Desember 1985M tentang Aliran Qodiyaniyah, yang antara lain
menyatakan; bahwa aliran Ahmadiyah yang mempercayai Mirza Ghulam Ahmad
sebagai Nabi sesudah Nabi Muhammad dan menerima wahyu adalah murtad dan
keluar dari Islam karena mengingkari ajaran Islam yang qath’i dan di sepakati oleh
seluruh Ulama Islam bahwa Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rasul terakhir.
Keputusan Majma’ al-Fiqh Rabitha’ Alam Islami.Keputusan Majma’ al-
Buhuts.keputusan Fatwa MUNAS II MUI pada tahun1980 tentang Ahmadiyah
Qodiyaniyah.Pendapat Sidang Komisi C Bidang Fatwa pada Munas VII MUI 2005
Dengan bertawakkal kepada Allah SWT

MEMUTUSKAN
MENETAPKAN : FATWA TENTANG ALIRAN AHMADIYAH
Menegaskan kembali keputusan fatwa MUI dalam Munas II Tahun 1980 yang
menetapkan bahwa Aliran Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat dan
menyesatkan, serta orang Islam yang mengikutinya adalah murtad (keluar dari
Islam)’
Bagi mereka yang terlanjur mengikuti Aliran ahmadiyah supaya segera
kembali kepada ajaran Islam yang haq (al-ruju’ ila al-haqq), yang sejalan dengan al-
Qur’an dan al-Hadis.
Pemerintah berkewajiban untuk melarang penyebaran faham Ahmadiyah di
seluruh Indonesia dan membekukan organisasi serta menutup semua tempat
kegiatannya.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 22 Jumadil Akhir 1426 H29
Juli 2005 M
MUSYAWARAH NASIONAL VII
MAJELIS ULAMA INDONESIA,

20
Pimpinan Sidang Komisi C
Bidang FatwaKetua ,
ketua
K.H. MA’RUF AMIN
sekretaris
HASANUDIN

C. MENCERMATI FATWA MUI


Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah lembaga yang mewadahi ulama dan para
cendikiawan Islam di Indonesia untuk membimbing, membina dan mengayomi kaum
muslimin di seluruh Indonesia. Berdiri tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, sebagai hasil
dari pertemuan musyawarah para ulama, cendikiawan yang datang dari berbagai
penjuru tanah air. Ada lima fungsi dan peran utama MUI, yaitu13: (1) sebagai pewaris
tugas-tugas para Nabi; (2) sebagai pemberi fatwa; (3) sebagai pembimbing dan
pelayan umat; (4) sebagai gerakan islah wa tajdid; (5) sebagai penegak amar ma`ruf
nahi munkar7.
Fatwa MUI ini merupakan bentuk dari fatwa kolektif (al-fatwa alijma`). Adalah
fatwa yang dihasilkan oleh ijtihad sekelompok orang, tim, atau panitia yang sengaja
dibentuk. Pada dasarnya fatwa kolektif ini dihasilkan melalui suatu diskusi dalam
lembaga ilmiah yang terdiri atas para personal yang memiliki kemampuan tinggi
dalam bidang fikih pemahaman problema keagamaan dan berbagai ilmu lainnya
sebgai penunjang dalam arti syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seseorang yang
akan berijtihad. Fatwa yang dihasilkan melalui lembaga ilmiah ini harus mampu
menetapkan hukum dengan berani dan bebas dari pengaruh dan tekanan politik,
sosial, dan budaya yang dianut bangsa.
Ide terbentuknya suatu organisasi MUI tidak lain adalah dimaksudkan agar
organisasi ini mampu melakukan ijtihad untuk mengeluarkan fatwa-fatwa hukum

13
http://www.mui.or.id/index.php?
option=com_content&view=article&id=147:mencermati-fatwa-mui&catid=1:berita-
singkat&Itemid=50

21
Islam dari sumber hukum asalnya, terutama dalam menghadapi persoalan-persoalan
yang timbul di alam Indonesia. Organisasi ini seharusnya berusaha semaksimal
mungkin menangani, meyelesaikan, dan mengeluarkan fatwa keagamaan hukum
Islam dengan model dan ala Indonesia yang tentunya tidak bertentangan dengan
sumber-sumber hukum Islam, yakni al-Qur`an dan al-Hadits.
Dalam majelis ini berkumpul para pakar atau ahli, sehingga persoalan yang timbul
dapat dipecahkan dengan belbagai displin ilmu (interdsipliner) yang diarahkan agar
hukum Islam dapat diterapkan dan diaplikasikan secara proporsional.

Kedudukan Fatwa MUI dalam Perspektif Hukum Islam


Fatwa dalam kedudukannya dalam hukum Islam dapat dikaji dari pengertian
fatwa itu sendiri, sehingga bila berbicara mengenai fatwa itu sendiri, maka tidak akan
lepas dari aspek siapa atau organisasi apa yang memuat fatwa tersebut. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa berbicara tentang fatwa, maka tidak terlepas pembicaraan tersebut
terhadap konsep ijtihad. Fatwa dikeluarkan oleh para ulama atau ahli fikih Islam yang
mampu mengangkat permasalahan akibat kebutuhan siapa yang butuh dasar jawaban
sebagai landasan hukum suatu perbuatan atau kegiatan yang sifatnya bisa keagamaan
atau non-keagamaan.
Adanya korelasi yang erat antara fatwa dan ijtihad menunjukkan bahwa secara
otomatis memperkokoh posisi ijtihad. Fatwa itu sendiri merupakan hasil ijtihad para ahli
atau pakar yang mampu menggali syari`at Islam secara canggih, kemudian dari hasil
ijtihad tersebut dituangkan dalam bentuk keagamaan, baik yang bersifat lisan ataupun
tidak.
Dengan adanya fatwa dan ijtihad maka secara konkret ajaran-ajaran Islam akan
berkembang dengan pesat ke seluruh penjuru dunia, sekaligus Islam akan kokoh dan
memasyarakat di alam ini. Oleh karena itu sangat tepat apabila dikatakan bahwa maju
mundurnya masyarakat Islam dalam menggali ajarannya tergantung dari fatwa dan
ijtihad. Tanpa adanya fatwa dan ijtihad, ajaran-ajaran Islam kurang berkembang bahkan
nyaris statis. Sebab kita mengetahui bahwa inspirasi yang murni dalam menggali ajaran-
ajaran Islam itu idealnya melalui proses ijtihad yang kemudian dituangkan dalam bentuk
fatwa keagamaan yang mantap dan dapat dipertanggungjawabkan.

22
Fatwa dan ijtihad terjadi hubungan saling interdependensi, sebab hasil ijtihad para
ahli itu akan lahir dalam bentuk fatwa-fatwa yang berharga untuk kepentingan
masyarakat Islam. Dapat dibuktikan bahwa hasil fatwa atau ijtihad hukum Islam dapat
hidup dan berkembang sesuai dengan ruang dan waktu dimana saja penganutnya hidup.
Hakikatnya hukum-hukum yang dikembangkan itu selaras dengan masyarakat itu
sendiri yang senantiasa disesuaikan dengan kondisi masyarakat. Dalam arti iijtihad dan
fatwa akan selalu mengikuti perkembangan pemikiran masyarakat pada umumnya.
Dalam hukum Islam, dalam proses istinbath pengambilan hukum diatur dalam
suatu kajian keilmuan tersendiri. Dalam ilmu hukum Islam disebut ilmu Ushul Fiqh.
Secara umum pengertiannya adalah pengertian tentang kaidah-kaidah yang dijadikan
sarana (alat) untuk menggali hokum-hukum fiqh, atau dengan kata lain adalah kaidah-
kaidah yang menjelaskan tentang cara (metode) pengambilan (penggalian) hukum-hukum
yang berkaitan dengan perbuatan manusia dari dalil-dalil syar`i14.
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa objek pembahasan ushul fiqh adalah
segala sesuatu yang berhubungan dengan metodologi yang dipergunakan oleh ahli fiqh di
dalam menggali hukum syara` sehingga ia tidak keluar dari jalur yang benar. Jadi objek
pembahasan ushul fiqh meliputi klasifikasi dalil, orang-orang yang dibebani hukum
syara` sesuai dengan aplikasi dalil-dalil tersebut, orang-orang yang berhak (ahli) untuk
hukum syara`, serta orang-orang yang tidak berhak, kaidah-kaidah bahasa yang dijadikan
petunjuk oleh ahli fiqh untuk menetapkan hukum syara` dari nash, kaidah-kaidah dalam
menggunakan qiyas dan menetapkan titik persamaan (`illat jami`ah) yang diqiyaskan,
kemaslahatan yang diperhatikan oleh syara`, kaidah-kaidah umum yang dijadikan
landasan oleh qiyas, atau menjadikan qiyas sebagai hukum asal lantaran tidak ada nash
yang khusus mengqiyaskan hukum-hukum cabang15.
Juga meliputi pembahasan tentang maslahat yang bertentangan dengan qiyas yang
secara global disebut ihtihsan. Juga pemabahasannya menjelaskan tentang hukum-hukum
syara` beserta tujuannya, pembagiannya, rukhsah, `azimah dan lain-lain sebagainya
sebagai kategori metodologi yang dipergunakan oleh ahli fiqh untuk menggali hukum
syara`.

14
Prof Rahmat,Ushul Fiqh.(Bandung: Pustaka Setia,2007),17
15
Ibid.,23

23
Ilmu ushul fiqh selalu mengembalikan dalil-dalil hukum syara` kepada Allah
SWT. Karena pada dasarnya yang berhak menetapkan hukum-hukum syara` hanyalah
Allah SWT. Sedangkan dalil-dalil yang ada hanyalah berfungsi sebagai sarana untuk
mengetahui hukum-hukum Allah. Al-Qur`an-lah yang menyatakan hukum-hukum Allah
terhadap manusia, sementara Hadits berfungsi sebagai penjelas yang merinci al- Qur`an,
karena Rasulullah SAW tidak mengucapkan sesuatu menurut kemauan hawa nafsunya.
Sedangkan dalil yang lain adalah merupakan cabang (bagian) yang mengikut pada kedua
sumber tersebut.
Dalam kaedah landasan hukum yang dipakai dalam ilmu ushul fiqh secara urut
adalah sebagai berikut; al-Qur`an, al-Hadits, Ijma`, Qiyas, Istihsan, `Urf, Maslahah
Mursalah, al-Dzari`ah, Istihsab, dan syari`at umat terdahulu.16
Seorang mufti dapat mengeluarkan suatu fatwa apabila terpenuhi dua syarat
mutlak, yakni (1) orang tersebut harus dan memahami bahasa arab dengan sempurna dari
segala seginya; (2) orang tersebut mengetahui ilmu al-Qur`an dengan sempurna dari
segala seginya, yakni berkaitan dengan hukum-hukum yang dibawa oleh al-Qur`an dan
mengetahui secara persis cara-cara pengambilan hukum (istinbath al-hukmi) dari ayat-
ayat tersebut.
Fatwa merupakan hasil ijtihad para ahli (mujtahid dan mufti) yang dapat
dilahirkan dalam bentuk lisan ataupun tulisan. Bentuk tulisan inilah yang dikenal dengan
fatwa-fatwa yang berharga untuk kepentingan umat manusia. Oleh karena itu, kaitan
antara ijtihad dengan fatwa sangat erat sekali, sebab ijtihad itu merupakan suatu usaha
yang masksimal pada ahli untuk mengambil atau meng-istinbath-kan hukum-hukum
tertentu, sedangkan fatwa itu hasil dari ijtihad itu sendiri. Kita tahu bahwa hukum Islam
yang berlandaskan al-Qur`an dan al-Hadits sebagian besar bentuknya ditentukan
berdasarkan hasil ijtihad para mujtahid yang dituangkan dalam bentuk fatwa keagamaan
oleh para mufti. Apabila tidak ada ijtihad maka tidak ada fatwa.

Kedudukan Fatwa MUI dalam Perspektif Hukum Positif

16
Ibid.,49

24
Secara hierarkhi dalam pengaturan perundangan dalam UU No. 10 Tahun 2004
adalah (1) Undang-Undang Dasar 1945; (2) Undang-Undang/ Perpu; (3) Peraturan
Pemerintah; (4) Peraturan Presiden; (5) Peraturan Daerah. Kalau dilihat secara hierarkhi,
maka posisi Fatwa tidak ada. Akan tetapi dalam sumber hukum kita dengan Pancasila
sebagai groundnorm bangsa secara falsafi demi kepastian hukum dengan mewujudkan
negara hukum.
Pada hakikatnya sumber hukum dapat dibedakan atas dua macam, yaitu; sumber
hukum materiil dan formil17. Sumber hukum materiil adalah beberapa faktor yang dapat
menentukan isi hukum. Diantara beberapa faktor yang dapat menentukan isi hukum,
yaitu faktor idiil dan riil. Faktor idiil adalah beberapa patokan yang tetap tentang keadilan
yang harus ditaati oleh pada pembentuk undang-undang maupun para pembentuk hukum
lainnya dalam melaksanakan tugasnya. Sedangkan faktor riil adalah hal-hal yang benar-
benar hidup dalam masyarakat dan merupakan petunjuk hidup bagi masyarakat yang
bersangkutan. Yang termasuk faktor riil ini adalah (1) struktur ekonomi dan kebutuhan
masyarakat; (2) adat istiadat dan kebiasaan yang dilakukan berulang-ulang dan menjadi
pola tingkah laku yang tetap; (3) keyakinan tentang agama dan kesusilaan; (4) berbagai
gejala dalam masyarakat.
Sedangkan yang dimaksud dengan sumber hukum formal adalah sumber hukum
ditinjau dari segi pembentukannya, yaitu perasaan hukum atau keyakinan hukum individu
dan pendapat umum yang menjadi faktor penentu dari isi hukum, sedangkan sumber-
sumber hukum formal, yaitu yang menjadi determinan formal membentuk hukum,
menentukan berlakunya hukum18.
Adapun sumber umum sumber hukum formal dapat dibedakan menjadi lima,
yaitu (1) undang-undang (statue); (2) kebiasaan dan adat (custom); traktat (treaty); (4)
yurisprudensi (case law, judge made law); (5) pendapat ahli hukum terkenal (doctrine).
Dalam keadaan yang sangat terbuka sebagai konsekuensi era reformasi dan dalam waktu
bersamaan dalam kondisi yang krisis seperti sekarang ini, hukum Islam atau fiqh
mempunyai peran besar sebagai sumber hukum nasional. Arti sumber di sini akan
mengalami perkembangan yang sangat signifikan, bukan saja dalam sistem peradilan

17
Dudu Duswar Machmudin, Pengantar Ilmu Hukum; Sebuah Sketsa, PT. Refika Adhitama;
Bandung, 2003, hal. 77-102
18
Ibid.,

25
yang sudah tegas dalam lingkungan peradilan agama, seperti selama ini. Namun juga
dalam sistem peradilan (meliputi materi hukum dan sistem kerja peradilan dalam rangka
supremasi hukum) yang lebih luas. Termasuk dalam konteks menempatkan fiqh sebagai
salah satu bentuk ilmu hukum dalam dunia hukum, yang dapat memberi arti bahwa fiqh
atau hukum Islam menjadi sumber kajian sekaligus sumber hukum matriil.19
Bukan pula hanya sekadar mentransfer fiqh yang merupakan produk beberapa
abad yang lalu. Tapi juga tidak berarti harus membuang begitu saja hasil pemikiran
fuqaha` masa yang silam. Pemikiran atau karya fuqaha` masa lalu merupakan living
knowledge yang sangat berarti bagi pemikir masa kini. Bahkan juga tidak mustahil kalau
juga menjadi sumber pemikiran sekarang, sebagai proses historical continuity dalam
tradisi akademik.20
Kalau menempatkan fiqh atau hukum Islam dalam jajaran sumber ilmu hukum
secara umum, maka dalam takaran oprasional atau hukum materiil, fiqh dapat dijadikan
sumber melalui beberapa jalur atau alur, antara lain adalah21; pertama adalah dalam
peraturan perundang-undangan.
Ini mencakup Undang-Undang Dasar, Undang- Undang/Peaturan Pengganti
Undang-Undang (perpu), Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan daerah;
bahkan peraturan yang dikeluarkan oleh lembaga eksekutif, namun mempunyai kekuatan
legislasi. Di sini fiqh dapat berperan baik sebagai hukum materiil (esensi hukum) ataupun
fiqh dalam konteks etika atau moralitas hukum. Perlu kita sadari bahwa al-ahkam al-
khamsah itu pada dasarnya konsep etika atau moral, yang sangat mudah untuk berkiprah
dalam dunia ilmu hukum atau filsafat hukum. Dengan kata lain, kitab-kitab yang
membahas fiqh dapat diposisikan sebagai rechboek, di satu sisi; dan isinya yang
merupakan pendapat ahli hukum Islam dapat diposisikan sebagai doktrin atau pendapat
ahli hukum. Baik sebagai rechboek maupun sebagai doktrin, fiqh atau hukum Islam
dengan jelas dapat menjadi sumber pembuatan perundang-undangan.
Kedua adalah sumber kebijakan pelaksanaan pemerintahan yang tidak secara
langsung dalam pengertian legislasi sebagaimana Peraturan Pemerintah; namun dalam
konteks kedisiplinan secara administratif, meskipun pada akhirnya berkaitan dengan nilai
19
Qodry Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional; Kompetensi Antara Hukum Islam dan Hukum Umum, Gama
Media; Yogyakarta, 2004, hal. 247-52.
20
Ibid.,
21
Ibid.,

26
legislasi pula. Bahkan dapat masuk dalam pengertian ini, yang dasarnya hanya Instruksi
Presiden.
Ketiga adalah yurisprudensi. Ini jelas sekali dengan sistem hukum yang dianut di
Indonesia bahwa setiap hakim dapat menjadi sumber hukum itu sendiri, terutama sekali
ketika hukum tertulis itu diwujudkan. Ungkapan bahwa hakim tidak boleh menolak untuk
memutuskan perkara dengan asalan hukum belum ada adalah kesempatan emas untuk
menjadikan fiqh disebut dengan ijtihad. Suatu Hadits yang sering dikutip dalam
pembahasan mengenai ilmu hukum Islam. Hakim dapat melakukan analogi dan
interpretasi hukum, sebagaimana biasa sekali dibahas dalam ilmu ushul fiqh dan ilmu
fiqh. Fiqh secara legal formal dapat dijadikan landasan dan pertimbangan hakim untuk
memberi putusan hukum.22
Keempat adalah sumber bagi penegak hukum, polisi, jaksa, dan pengacara. Kalau
kita amati perjalanan hukum di Indonesia tampak akan menuju pada kedudukan arbitrase.
Artinya, seorang Hakim akan mengeluarkan putusan hukum tidak lepas sama sekali dari
proses yang dilakukan oleh mereka yang berperkara, yang dalam hal ini melibatkan
secara langsung pengacara, jaksa, saksi, dan lainnya.
Kelima adalah sumber ilmu hukum atau filsafat hukum (jurisprudence atau
philosophy of law). Dengan arah kebijakan pembangunan hukum nasional yang kita
miliki, sebagaimana uraian cukup panjang diatas, sudah waktunya untuk meletakkan pada
posisi yang proporsional bahwa secara umum hukum Islam mempunyai kedudukan yang
sama dengan hukum barat. Akan tetapi, untuk masyarakat Indonesia dengan mayoritas
beragama Islam, seharusnya mempunyai kedudukan yang lebih besar juga, oleh karena
dapat ditempatkan pada posisi kesadaran umat Islam untuk mempraktekkannya.
Keenam adalah sumber hukum nilai-nilai budaya masyarakat dan sekaligus
sebagai sumber kebiasaan (customary law atau living law). Ini yang biasanya disebut
dengan pembudayaan nilai-nilai Islam atau Islam kultural. Dalam pembahasan ushul fiqh
dikenal istilah `urf (kebiasaan) dan `adah (adat), sehingga ada kaidah al`adah
muhakkamah (adat dapat dijadikan landasan penetapan hukum).

22
Ibid.,

27
BAB III
PENUTUP

A. Upaya Penerapan dan Penegakan Hukum Islam di Indonesia


Proses demokratisasi yang melanda Indonesia di tahun 1997-an, telah memaksa
Rezim Orde Baru lengser dan digantikan era Reformasi. Lantas, diskursus tentang
penerapan hukum Islam di Indonesia, menjadi signifikan adanya di era reformasi.
Abdurrahman Wahid dan Amien Rais merupakan segelintir tokoh, di antara tokoh-tokoh
lainnnya, yang merespons gagasan penerapan hukum Islam di Indonesia. Meskipun
keduanya bukanlah teoritisi dan praktisi hukum, namun keduanya secara langsung atau

28
tidak, juga terlibat dalam diskursus mengenai penerapan hukum Islam dalam bingkai
kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis.
Sebagian masyarakat muslim Indonesia menginginkan pemberlakuan hukum
Islam di Indonesia. Namun menerapkan hukum Islam atau menjadikan Indonesia sebagai
Negara Islam seperti Pakistan, Mesir dan lain lain tidaklah semudah membalikkan
telapak tangan. Indonesia merupakan Negara kesatuan. Negara yang berpenduduk
beraneka ragam warna kulit, agama, suku dan pendirian seseorang, maka dalam konteks
Negara Islam, mereka yang beragama lain tidak ingin diperlakukan secara diskriminatif.
Mengutip pendapat Hatta23 yang menegaskan bahwa dalam negara kesatuan
seperti Indonesia, masalah kenegaraan harus dipisahkan dari masalah agama. Selanjutnya
Supomo24 mengatakan adanya dua pendapat mengenai hal tersebut. Pertama, dari para
ahli agama menyatakan bahwa Indonesia haruslah menjadi Negara Islam, dan pendapat
kedua yang disarankan Hatta, suatu Negara kesatuan nasional yang memisahkan masalah
kenegaraan dari masalah keagamaan, dengan lain kata bukan Negara Islam. Menurut
Supomo perkataan Negara Islam lain artinya dengan perkataan ‘negara berdasar atas cita-
cita luhur dari agama Islam’.
Supomo juga mengingatkan agar jangan meniru negara lain di Timur Tengah
yang dianggap sebagai Negara Islam sebab berbagai kondisi dan latar belakangnya
berbeda. Di negara-negara Islam sendiri-mengutip pernyataan Supomo-juga terjadi
perbedaan, khususnya mengenai bagaimana syariah Islam harus disesuaikan dengan
kebutuhan internasional, dengan persyaratan masa kini, dengan pikiran modern. Jadi
kalau kita mendirikan Negara Islam, pertentangan pendirian itu akan terjadi juga. Dalam
pandangan Muhammad ‘Abduh, syariah Islam bisa diubah melalui ijma’ asal tidak
bertentangan dengan Al-Qur’an dan Al-Hadist. Bahkan yang lebih radikal menurut ‘Ali
‘Abd al-Raziq mengatakan bahwa agama terpisah dari hukum yang mengenai
kepentingan Negara.
Dan salah satu kelemahan besar umat Islam di Indonesia ialah tidak adanya
pemimpin Islam yang diterima oleh semua golongan. Islam Indonesia bukan ‘ummatan
wahidan’ –seperti yang disebut dalam Al-Qur’an- tetapi umat yang “kamu kira mereka
itu bersatu sedang hati mereka berpecah-belah”.
23
M Imdadun Rahmat, Islam dan Indonesia. (Bandung : Rosdakarya ,2000),40
24
Ibid.,

29
Bagaimana mungkin Pancasila dirubah kepada hukum Islam sementara umat
Islam sendiri dalam keadaan berpecah-belah. Kalau kita baca sejarah, perpecahan-
perpecahan yang terjadi justru sangat erat hubungannya dengan umat Islam Indonesia.
Terutama sejak institusi besar seperti partai, sampai himpunan terkecil seperti Dewan
Keluarga Masjid.
Seperti Syarikat Islam berkembang dengan memobilisasikan berbagai kekuatan
Islam dan mencapai puncaknya dalam pertikaian internal. Masyumi dimulai dengan
mempersatukan umat Islam dan berakhir dengan perpecahan. Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) berusaha mengumpulkan berbagai partai Islam dalam satu wadah
dan mengisi kegiatannya dengan perpecahan dan kehancuran (sehingga ada yang
menyebut PPP bukan partai, bukan persatuan, dan bukan pembangunan) . Pada tataran
intelektual, kita melihat pertentangan antara pemikir kelompok yang memandang Islam
sebagai alternatif dengan kelompok pemikir yang melihat Islam hanya sebagai suplemen
saja; antara kaum tradisionalis, modernis, dan “fundamentalis”; antara orang yang ingin
“mengindonesiakan” Islam dengan orang yang ingin “mengislamkan” Indonesia25.
B. Beberapa Fatwa MUI
• Fatwa MUI Tentang Merokok

Akhir-akhir ini merak keluar desakan untuk MUI mengeluarkan Fatwa Merokok
itu HARAM.Mengapa merokok haram? selama ini merokok hukumnya adalah
makruh lebih condong ke haram, tetapi tidak haram.Selasa 12 Agustus 2008 dari
dewan syariah MUI menyampaikan fatwa terbarunya tentang merokok, yaitu :

“Merokok Hukumnya adalah HARAM bagi anak-anak dibawah usia 17 Tahun”

Ada beberapa alasan yang melatar belakanginya, antara lain :

4. Selama ini hukum merokok makruh cenderung atau lebih dekat ke haram
5. Larangan pemerintah melalui PP/Perda yang sudah ada dan berlaku sampai
sekarang tidak banyak yang mengindahkannya atau banyak di langgar. Misalnya
larangan merokok di taman atau di ruang tertentu yang dikeluarkan pemda, masih

25
Ibid.,

30
juga ada yang merokok di ruang tersebut. (di UII masih adakah merokok di
tempat umum?)
6. Perokok khususnya anak-anak tidak ada manfaatnya sedikitpun, dll

• Fatwa MUI Tentang Facebook

MUI menyatakan bahwa FaceBook bisa menjadi haram dan tidak haram.
Menurut mereka, FaceBook haram tergantung dari cara pemakaian. Kalau tujuan
baik dan benar, maka tak ada larangan menggunakannya, tapi sebaliknya, bila
untuk tujuan negatif maka haram.

Jadi itu semua juga kembali kepada kita sebagai pengguna dari facebook,
jika kita mempunyai keinginan untuk menggunakan facebook untuk melakukan
aktifitas yang negatif mungkin saja kita dapat mengatakan bahwa facebook itu
haram, dan jika kita menggunakan facebook dengan menjalin tali silaturahmi
antar sesama maka facebook mungkin belum dapat dikatakan haram

• Fatwa MUI Tentang Perubahan Arah Kiblat

Tentang diktum dari fatwa MUI No. 03 Tahun 2010 tentang Kiblat
disebutkan, pertama, tentang ketentuan hukum. Dalam kententuan hukum tersebut
disebutkan bahwa: (1) Kiblat bagi orang shalat dan dapat melihat ka’bah adalah
menghadap ke bangunan Ka’bah (ainul ka’bah). (2) Kiblat bagi orang yang shalat dan
tidak dapat melihat Ka’bah adalah arah Ka’bah (jihat al-Ka’bah). (3). Letak georafis
Indonesia yang berada di bagian timur Ka’bah/Mekkah, maka kiblat umat Islam
Indonesia adalah menghadap ke arah barat.

Kedua, rekomendasi. MUI merekomendasikan agar bangunan masjid/mushalla di


Indonesia sepanjang kiblatnya menghadap ke arah barat, tidak perlu diubah, dibongkar,
dan sebagainya.

31
• Fatwa MUI Tentang Obat Anti Haid saat Haji

Para ulama melihat hal ini menjadi rukhsah bagi para wanita pada saat pelaksanaan
ibadah haji. Penggunaan terapi hormonal diperbolehkan. Bahkan Majelis Ulama
Indonesia secara tegas telah mengeluarkan fatwa dengan tanggal 12 Januari 1979 yang
menyebutkan, bahwa penggunaan obat anti haid untuk kesempurnaan ibadah haji
hukumnya adalah mubah.

• Fatwa MUI Tentang Aliran Ahmadiyah

Menegaskan kembali keputusan fatwa MUI dalam Munas II Tahun 1980 yang
menetapkan bahwa Aliran Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan,
serta orang Islam yang mengikutinya adalah murtad (keluar dari Islam)’
Bagi mereka yang terlanjur mengikuti Aliran ahmadiyah supaya segera kembali
kepada ajaran Islam yang haq (al-ruju’ ila al-haqq), yang sejalan dengan al-Qur’an dan
al-Hadis.Pemerintah berkewajiban untuk melarang penyebaran faham Ahmadiyah di
seluruh Indonesia dan membekukan organisasi serta menutup semua tempat kegiatannya.

DAFTAR PUSTAKA

http://ardansirodjuddin.wordpress.com/2008/08/15/fatwa-haram-majlis-ulama-indonesia-
mui-tentang-rokok/
http://ibuprita.suatuhari.com/makalah/topics/penegakan-hukum-di-indonesia-antara-
hukum-positif-dan-hukum-islam
http://media-islam.or.id/2007/09/26/fatwa-mui-ahmadiyah-qadiyan-sesat/
http://www.cybermq.com/berita/detail/Teknologi/708/fatwa-mui-facebook-haram-

32
http://www.mui.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=147:fatwa-
tentang-arah-kiblat&catid=1:berita-singkat&Itemid=50
http://www.mui.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=298:mui-
upayakan-pencegahan-terorisme-&catid=1:berita-singkat&Itemid=50
Rahmat,M Imadadun.2000. Islam dan Indonesia. Bandung : Rosdakarya
Rahmat,Prof.2007.Ushul Fiqh.Bandung: Pustaka Setia
Soejono Soekamto,Soejono.1989. Tata Negara dan Hukum Konstitusi, Jakarta: Media
Press
Sudi Prayitno,Sudi.2004. Peran Beberapa State Auxiliary Agencies Dalam Mendukung
Reformasi Hukum Di Indonesia.Jakarta: Kompas

33

You might also like