Professional Documents
Culture Documents
Disusun oleh:
Falma Kemalasari
10608038
Kelompok 9
Asisten
Tejo Bawono
BANDUNG
2010
BAB I
PENDAHULUAN
Dewasa ini, banyak terjadi perubahan pada berbagai ekosistem di Indonesia. Beberapa
perubahan tersebut disebabkan oleh kejadian yang alami, misalnya akibat bencana alam
seperti gunung meletus,dsb. Beberapa perubahan ekosistem lainnya terjadi akibat kegiatan
manusia, seperti penebangan pohon, pembukaan hutan untuk pembuatan ladang, pencurian
spesies-spesies dilindungi, dsb. Perubahan ekosistem dapat mengakibatkan banyak hal.
Berkurangnya keanekaragaman hayati, berubahnya struktur suatu komunitas, perubahan
fungsi – fungsi ekologi, hingga hilangnya beberapa spesies akibat dominansi spesies lain
serta berbagai permasalahn lingkungan merupakan contoh dampak perubahan ekosistem.
Berbagai usaha mulai dilakukan guna menanggulangi akibat perubahan-perubahan yang
terjadi pada ekosistem tersebut, salah satunya dengan penetapan berbagai lokasi tertentu
sebagai kawasan taman nasional dan hutan lindung. Menurut UU no. 5 tahun 1990, tentang
konservasi sumber daya alam dan hayati dan ekosistemnya, taman nasional didefinisikan
sebagai kawasan pelestarian alam yang memiliki ekosistem asli, dengan sistem zonasi yang
dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya,
pariwisata, dan rekreasi. Taman nasional merupakan bentuk pengelolaan dalam menjalankan
peran konservasi sebagai pendukung usaha pelestarian lingkungan.
Taman Nasional Meru Betiri adalah salah satu taman nasional yang ada di Indonesia.
Taman nasional ini dikenal sebagai hutan tropis dataran rendah di Propinsi Jawa Timur
bagian Selatan, memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Keanekaragaman hayati
tersebut meliputi kekayaan flora dengan berbagai jenis tumbuhan yang bermanfaat sebagai
obat, habitat fauna serta sebagai obyek dan daya tarik wisata alam. Adapun Pantai Sukamade
dan pantai Sukamade di kawasan TNMB. Pantai Rajegwesi yang masih alami bersebelahan
dengan bukit, karang, dan kampung nelayan. Dalam sejarahnya, dahulu di pantai ini terdapat
perkampungan besar, namun terjadinya tsunami tahun 1994 menghancurkan perkampungan
tersebut dan merubah fungsi lahannya.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.03/Menhut-V/2007 tanggal 1
Februari 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Taman Nasional, Taman Nasional
Meru Betiri mempunyai tugas pokok melaksanakan pengelolaan ekosistem kawasan TNMB
dalam rangka konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Berbagai nilai yang terdapat dalam taman nasional seperti
perkonservasian fungsi hidrologi, potensi flora fauna, dan potensi obyek dan daya tarik
wisata alam, sangat besar manfaatnya bagi kepentingan kesejahteraan masyarakat. Di sisi
lain, taman nasional dengan besarnya keanekaragaman hayati yang terkandung di dalamnya
menjalankan berbagai fungsi ekologis, antara lain adalah sebagai penyimpanan cadangan
karbon dalam bentuk biomassa. Hutan memegang peranan penting dalam hal emisi gas
rumah kaca. Di satu sisi, deforestasi hutan dapat meningkatkan emisi karbon dioksida, di sisi
lain, hutan juga dapat menyerap karbon dioksida tersebut sehingga menekan laju emisi
karbon dioksida dari berbagai sumber. Menurut Boer dan Gintings (1998), pada tahun 1990,
emisi CO2 dari sektor kehutanan mencapai 339 Gt CO2 diimbangi dengan tingkat penyerapan
CO2 mencapai 686 Gt CO2. Hal ini menunjukkan bahwa Taman Nasional Meru Betiri, yang
wilayahnya berupa hutan hujan tropis dengan keanekaragaman tinggi, berpotensi untuk
menjadi wilayah yang dialokasikan sebagai tempat cadangan karbon serta dikonservasi
sebagai usaha penyerapan emisi karbon dioksida dalam menanggulangi pemanasan global.
Selain itu, Taman Nasional Meru Betiri juga menjadi habitat bagi berbagai spesies, baik
spesies budidaya maupun spesies endemik.
Area Pantai Sukamade pada taman nasional ini merupakan tempat berbagai spesies
penyu mendarat untuk bertelur. Hingga saat ini, pantai Sukamade di Desa Sarongan,
Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi tersebut merupakan satu-satunya pantai di
Jawa Timur yang menjadi tempat bertelurnya empat dari tujuh jenis penyu yang ada di
dunia. Berdasarkan fakta kondisi populasi penyu yang semakin berkurang, lokasi bertelur
yang semakin terbuka dan tidak aman, serta jumlah produksi telur yang semakin menurun,
upaya-upaya penyelamatan perlu dilakukan. Upaya tersebut antara lain dengan melindungi
telur penyu di alam dan melepaskan tukik kembali ke laut. Upaya penyelamatan ini
harus berkelanjutan meskipun biaya yang disediakan dalam kegiatan ini cukup besar. Salah
satu upaya penyelamatan tersebut telah dilakukan oleh Unit Pengelolaan Konservasi Penyu
Pantai Sukamade, Taman Nasional Meru Betiri, Provinsi Jawa Timur.
Hal-hal tersebut menyebabkan kawasan Meru Betiri turut menjalankan peran dan
fungsi dalam usaha pengkonservasian penyu. Upaya – upaya yang dilakukan dalam program
konservasi tersebut dengan mengamankan telur-telur penyu dari pencurian dan meningkatkan
peluang hidup tukik pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan populasi penyu – penyu
tersebut di alam.
Begitu banyak dan penting peranan yang dimiliki oleh Taman Nasional Meru Betiri
dengan berbagai ekosistem terintegrasi. Atas dasar hal – hal tersebut, penulis mengadakan
penelitian terkait kondisi ekosistem di wilayah Taman Nasional Meru Betiri dengan cakupan
penelitian meliputi cadangan karbon berdasarkan biomassa, vegetasi hutan, komunitas
burung, serangga, dan mamalia, serta kondisi mikroklimat di beberapa ekosistem dan
mengemukakan judul “ Analisis Ekosistem Kawasan Pantai Sukamade Taman Nasional Meru
Betiri”.
1.2 Tujuan
1.2.1 Mengestimasi kandungan stok karbon yang terkandung dalam tanaman dan
tanah di wilayah Taman Nasional Meru Betiri
1.2.2 Menganalisis vegetasi Taman Nasional Meru Betiri dengan metode kuarter
1.2.3 Menganalisis komunitas burung Taman Nasional Meru Betiri dengan metode
point
1.2.4 Mengestimasi populasi mamalia Taman Nasional Meru Betiri dengan metode
life trap
1.2.6 Mengamati kondisi ekosistem estuari dan upaya konservasi penyu di area
Pantai Sukamade Taman Nasional Meru Betiri
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pada wilayah bumi yang mengalami iklim subtropis sampai daerah dingin,
fungsi estuari bukan hanya sebagai daerah pembesaran bagi berjuta hewan
penting, bahkan menjadi titik daerah bagi jutaan jenis burung pantai.
Kawasan estuari ini di gunakan sebagai daerah persinggahan untuk
beristirahat bagi perjalanan panjang jutaan burung dalam mencari daerah
yang ideal untuk perkembanganya. Disamping itu juga di gunakan oleh
sebagian besar mamalia dan hewan-hewan lainnya untuk mencari makan.
Keistimewaan lingkungan perairan estuari lainnya adalah sebagai penyaring
dari berjuta bahan buangan cair yang bersumber dari daratan. Sebagai
kawasan yang sangat dekat dengan daerah hunian penduduk, daerah estuari
umumnya di jadikan daerah buangan bagi limbah-limbah cair (kita tidak
membahas limbah padat di sini yang benar-benar merusak sebagian besar
lingkunagn estuary). Limbah cair ini mengandung banyak unsur
diantaranya nutrisi dan bahan-bahan kimia lainnya. Dalam kisaran yang
dapat di tolelir, Kawasan estuary umumnya bertindak sebagai penyaring
dari limbah cair ini, mengendapkan partikel-partikel beracun dan
menyisakan badan air yang lebih bersih. Inipun dengan kondisi dimana
terjadi suplai yang terus-menerus dari air sungai dan laut yang cenderung
lebih bersih dan mentralkan sebagaian besar bahan polutan yang masuk ke
daerah estuari tersebut (Kaswadji, 2001). .
Kombinasi pengaruh air laut dan air tawar seperti pada ekosistem estuari
akan menghasilkan suatu komunitas yang khas, dengan lingkungan yang
bervariasi, antara lain:
Berdasarkan pola sirkulasi dan stratifikasi air terdapat tiga tipe estuaria:
1. Estuaria berstratifikasi sempurna/nyata atau estuaria baji garam,
dicirikan oleh adanya batas yang jelas antara air tawar dan air asin.
Estuaria tipe ini ditemukan di daerah-daerah dimana aliran air tawar
dari sungai besar lebih dominan dari pada intrusi air asin dari laut yang
dipengaruhi oleh pasang-surut.
2. Estuaria berstratifikasi sebagian/parsial merupakan tipe yang paling
umum dijumpai. Pada estuaria ini, aliran air tawar dari sungai seimbang
dengan air laut yang masuk melalui arus pasang. Pencampuran air dapat
terjadi karena adanya turbulensi yang berlangsung secara berkala oleh
aksi pasang-surut.
3. Estuaria campuran sempurna atau estuaria homogen vertikal. Estuaria
tipe ini dijumpai di lokasi-lokasi dimana arus pasang-surut sangat
dominan dan kuat, sehingga air estuaria tercampur sempurna dan tidak
terdapat stratifikasi.
Perpaduan antara beberapa sifat fisik estuaria mempunyai peranan yang
penting terhadap kehidupan biota estuaria. Beberapa sifat fisik yang penting
adalah sebagai berikut:
1. Salinitas
Estuaria memiliki gradien salinitas yang bervariasi, terutama bergantung
pada masukan air tawar dari sungai dan air laut melalui pasang-surut.
Variasi ini menciptakan kondisi yang menekan bagi organisme, tapi
mendukung kehidupan biota yang padat dan juga menangkal predator dari
laut yang pada umumnya tidak menyukai perairan dengan salinitas yang
rendah.
2. Substrat
Sebagian besar estuaria didominasi oleh substrat berlumpur yang berasal
dari sedimen yang dibawa melalui air tawar (sungai) dan air laut. Sebagian
besar partikel lumpur estuaria bersifat organik, sehingga substrat ini kaya
akan bahan organik. Bahan organik ini menjadi cadangan makanan yang
penting bagi organisme estuaria.
3. Sirkulasi air
Selang waktu mengalirnya air dari sungai ke dalam estuaria dan masuknya
air laut melalui arus pasang-surut menciptakan suatu gerakan dan
transport air yang bermanfaat bagi biota estuaria, khususnya plankton
yang hidup tersuspensi dalam air.
4. Pasang-surut
Arus pasang-surut berperan penting sebagai pengangkut zat hara dan
plankton. Di samping itu arus ini juga berperan untuk mengencerkan dan
menggelontorkan limbah yang sampai di estuaria
5. Penyimpanan zat hara
Peranan estuaria sebagai penyimpan zat hara sangat besar. Pohon
mangrove dan lamun serta ganggang lainnya dapat mengkonversi zat hara
dan menyimpannya sebagai bahan organik yang akan digunakan
kemudian oleh organisme hewani
Hutan mangrove tumbuh subur dan tersebar luas di daerah delta yang
dialiri aliran sungai besar dengan muara yang lebar. Di pantai yang tidak ada
sungainya, daerah ekosistem mangrove relatif sempit. Karakteristik utama dari
hutan mangrove ini adalah toleransinya yang tinggi terhadap kadar garam dan
kemampuannya berkembang di daratan bersalinitas tinggi dimana tanaman biasa
tidak dapat tumbuh. (Anonim, 2008)
Secara umum hutan mangrove dapat berkembang dengan baik pada habitat dengan
ciri-ciri sebagai berikut :
a. Jenis tanah berlumpur, berlempung atau berpasir, dengan bahan bentukan
berasal dari lumpur, pasir atau pecahan karang/koral
b. Habitat tergenang air laut secara berkala, dengan frekuensi sering (harian) atau
hanya saat pasang purnama saja. Frekuensi genangan ini akan menentukan
komposisi vegetasi hutan mangrove
c. Menerima pasokan air tawar yang cukup, baik berasal dari sungai, mata air
maupun air tanah yang berguna untuk menurunkan kadar garam dan menambah
pasokan unsur hara dan lumpur
d. Berair payau (2-22 ‰) sampai dengan asin yang bisa mencapai salinitas 38 ‰
Penyu pada sebagian besar usianya hidup di laut dan hanya mendarat pada waktu – waktu
tertentu saja, seperti untuk bertelur. Laut yang merupakan habitat dari penyu mempunyai ciri
– ciri air yang bersih dan dingin seperti air pada samudera. Laut dalam merupakan daerah
yang disukai penyu. Daerah pantai dangkal, kurang dari 200 meter,dan berbatu merupakan
tempat paling tepat bagi penyu dalam mencari makan. Pada daerah dengan kedalaman
kurang dari 200 meter banyak terdapat rumput – rumputan dan jenis ganggang di mana jenis
ganggang tersebut merupakan makanan pokok bagi penyu. Pada kedalaman tersebut biasanya
ditemukan ikan kecil, udang, molusca, spon. Hampir sebagian besar dari penyu mempunyai
sifat omnivora, tapi sebagian lain bersifat karnivora dan herbivora sehingga daerah tersebut
cocok untuk penyu mencari makan ( Prihanta, 2007 ).
Reproduksi penyu adalah proses regenerasi yang dilakukan penyu dewasa jantan dan betina
melalui tahapan perkawinan, peneluran sampai menghasilkan generasi baru (tukik).
reproduksi penyu dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Perkawinan
Penyu melakukan perkawinan dengan cara penyu jantan bertengger di atas punggung penyu
betina. Tidak banyak regenerasi yang dihasilkan seekor penyu, dari ratusan butir telur
yang dikeluarkan oleh seekor penyu betina, paling banyak 1–3% yang berhasil mencapai
dewasa. Penyu melakukan perkawinan di dalam air laut, terkecuali pada kasus penyu
tempayan yang akan melakukan perkawinan meski dalam penangkaran apabila telah tiba
masa kawin. Pada waktu akan kawin, alat kelamin penyu jantan yang berbentuk ekor akan
memanjang ke belakang sambil berenang mengikuti kemana penyu betina berenang. Penyu
jantan kemudian naik ke punggung betina untuk melakukan perkawinan. Selama perkawinan
berlangsung, penyu jantan menggunakan kuku kaki depan untuk menjepit tubuh penyu betina
agar tidak mudah lepas. Kedua penyu yang sedang kawin tersebut timbul tenggelam di
permukaan air dalam waktu cukup lama, bisa mencapai 6 jam lebih. (Yayasan Alam Lestari,
2000). Setiap jenis penyu melakukan kopulasi di daerah sub-tidal pada saat menjelang sore
hari atau pada matahari baru terbit. Setelah 2-3 kali melakukan kopulasi, beberapa minggu
kemudian penyubetina akan mencari daerah peneluran yang cocok sepanjang pantai yang
diinginkan.
Musim bertelur penyu terjadi sepanjang tahun, tiap penyu akan bertelur sekitar 4 sampai 6
kali setiap tahun dengan interval masa peneluran selama 12 sampai 14 hari. Meskipun
demikian, pada musim-musim tertentu, biasanya selama 2 sampai 5 bulan dalam setahun
terjadi produksi telur melimpah. Di Indonesia produksi paling melimpah terjadi pada musim
kemarau, yaitu antara bulan Juli dan Oktober (Prihanta, 2007 ). Penentuan jenis kelamin
penyu dapat dilihat dari ukuran kepala dan ekor. Penyu janttan mempunyai unuran kepala
yang lebih kecil dibandingkan dnegan penyu betina. Penyu betina memiliki ekor yang lebih
pendek dan agak besar apabial dibandingkan dengan penyu jantan.
b. Perilaku Peneluran
Ketika akan bertelur penyu akan naik ke pantai. Hanya penyu betina yang datang ke daerah
peneluran, sedangkan penyu jantan berada di daerah sub-tidal. Penyu bertelur dengan tingkah
laku yang berbeda sesuai dengan spesies masing-masing. Setiap spesies penyu memiliki
waktu peneluran yang berbeda satu sama lain. Lama antara peneluran yang satu dengan
peneluran berikutnya dipengaruhi oleh suhu air laut. Semakin tinggi suhu air laut, maka
interval peneluran cenderung makin pendek. Sebaliknya semakin rendah suhu air laut, maka
interval peneluran cenderung makin panjang. Tahapan bertelur pada berbagai jenis penyu
umumnya berpola sama.
c. Pertumbuhan Embrio
Telur yang baru keluar dari perut penyu betina diliputi lendir, berbentuk bulat seperti bola
pingpong, agak lembek dan kenyal. Pertumbuhan embrio sangat dipengaruhi oleh suhu.
Embrio akan tumbuh optimal pada kisaran suhu antara 24–33 0C, dan akan mati apabila di
luar kisaran suhu tersebut. Kondisi lingkungan yang sangat mempengaruhi pertumbuhan
embrio sampai penetasan, antara lain:
• Suhu pasir
Semakin tinggi suhu pasir, maka telur akan lebih cepat menetas. Penelitian terhadap telur
penyu hijau yang ditempatkan pada suhu pasir berbeda menunjukkan bahwa telur yang
terdapat padasuhu pasir 320C menetas dalam waktu 50 hari, sedangkan telur pada suhu pasir
24 0C menetas dalam waktu lebih dari 80 hari.
• Kandungan air dalam pasir
Diameter telur sangat dipengaruhi oleh kandungan air dalam pasir. Makin banyak penyerapan
air oleh telur dari pasir menyebabkan pertumbuhan embrio makin besar yang berakibat
diameter telur menjadi bertambah besar. Sebaliknya, pasir yang kering akan menyerap air
dari telur karena kandungan garam dalam pasir lebih tinggi. Akibatnya embrio dalam telur
tidak akan berkembang dan mati.
• Kandungan oksigen
Oksigen sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan embrio. Air hujan yang menyerap ke dalam
sarang ternyata dapat menghalangi penyerapan oksigen oleh telur, akibatnya embrio akan
mati.
d) Proses penetasan
Embrio dalam telur akan tumbuh menjadi tukik mirip dengan induknya, masa inkubasi yang
dilewati kurang lebih 2 bulan. Jenis kelamin tukik semasa inkubasi sangat dipengaruhi oleh
suhu.
e) Tukik menuju laut
Tukik menetas setelah sekitar 7-12 minggu. Kelompok tukik memerlukan waktu dua hari
atau lebih untuk mencapai permukaan pasir, biasanya pada malam hari. Untuk menemukan
arah ke laut tukik berpatokan pada arah yang paling terang serta menggunakan topografi garis
horison di sekitarnya. Begitu mencapai laut tukik menggunakan berbagai kombinasi petunjuk
(arah gelombang, arus dan medan magnet) untuk orientasi ke daerah lepas pantai yang lebih
dalam. Kegiatan tukik melewati pantai dan berenang menjauh adalah upaya untuk merekam
petunjuk-petunjuk yang diperlukan untuk menemukan jalan pulang saat mereka akan
kawin. Saat tukik sudah berada di laut diduga memasuki kawasan dimana arus-arus laut
bertemu. Tukik-tukik tersebut menggunakan rumput-rumput laut yang mengapung, benda
apung lain yang terperangkap oleh arus laut serta hewan-hewan laut kecil sebagai makanan.
Tukik jarang terlihat lagi hingga karapasnya mencapai ukuran 20-40 cm dengan usia sekitar
5-10 tahun setelah menetas.
m (Sumber: ãSeaPics.com)
Secara keseluruhan, terdapat 7 spesies penyu di dunia yaitu Penyu Agar/Penyu pulau
(Green)- Chelonia mydas., Penyu Belimbing Leatherback (Dhermochelys coriacea), Penyu
Karah/ Penyu Sisik,Hawksbill (Eretmochelys imbricata), Penyu Lekang, Olive Ridley
(Lepidochelys olivacea), Penyu Lekang kempii (Lepidochelys kempii), Penyu Pipih, Flatback
(Natator depressus), Penyu Tempayan (Caretta caretta, L). Di Indonesia terdapat enam dari
ketujuh spesies penyu yang ada. Spesies yang tidak terdapat di Indonesia adalah
Lepidochelys kempii (Sukotjo, 1997; Ismu,1997).
a. Penyu Hijau
b. Penyu Belimbing
d. Penyu Tempayan
e. Penyu Sisik
f. Penyu Pipih
g. Penyu Kempi
Konservasi Penyu
Secara internasional, penyu masuk ke dalam ‘red list’ di IUCN dan Appendix I CITES yang
berarti keberadaannya di alam telah terancam punah sehingga segala bentuk pemanfaatan dan
peredarannya harus mendapat perhatian secara serius. Oleh karena itu, upaya konservasi
penyu merupakan program penting dan mendesak untuk melindungi dan menyelamatkan
populasi penyu, terutama di Indonesia karena di Indonesia terdapat 6 dari 7 spesies penyu
yang masih ada saat ini yaitu penyu hijau (Chelonia mydas), penyu sisik (Eretmochelys
imbricata), penyu abu-abu (Lepidochelys olivacea), penyu pipih (Natator depressus), penyu
belimbing (Dermochelys coriacea), serta penyu tempayan (Caretta caretta). Jumlah ini
sebenarnya masih menjadi perdebatan karena Nuitja (1992) menyebutkan hanya lima jenis
yang ditemukan, dimanaCaretta caretta dinyatakan tidak ada. Namun demikian, beberapa
peneliti mengungkapkan bahwa Caretta caretta memiliki daerah jelajah yang meliputi
Indonesia (Limpus et al. 1992, Charuchinda et al. 2002).Pergeseran fungsi lahan yang
menyebabkan kerusakan habitat pantai dan ruaya pakan, kematian penyu akibat kegiatan
perikanan, pengelolaan teknik-teknik konservasi yang tidak memadai, perubahan iklim,
penyakit, pengambilan penyu dan telurnya serta ancaman predator merupakan faktor-faktor
penyebab penurunan populasi penyu. Selain itu, karakteristik siklus hidup penyu sangat
panjang (terutama penyu hijau, penyu sisik dan penyu tempayan) dan untuk mencapai kondisi
“stabil” (kelimpahan populasi konstan selama 5 tahun terakhir) dapat memakan waktu cukup
lama sekitar 30–40 tahun, maka sudah seharusnya pelestarian terhadap satwa langka ini
menjadi hal yang mendesak. Kondisi inilah yang menyebabkan semua jenis penyu di
Indonesia diberikan status dilindungi oleh Negara sebagaimana tertuang dalam PP Nomor 7
tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis-jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi.
Konservasi penyu secara internasional mulai bergaung saat The First World Conference on
the Conservation of Turtles di Washington DC, 26 sampai 30 Nopember 1979. Konferensi
tersebut dihadiri sekitar 300 orang ahli ekologi penyu, biologi satwa, biologi perikanan dan
konservasionis yang membahas lebih dari 60 paper dan melakukan analisa dalam
menyelamatkan populasi setiap spesies yang hidup di masing- masing negara (Nuitja, 2006).
Sejauh ini berbagai kebijakan terkait pengelolaan penyu sudah cukup banyak dilakukan, baik
oleh Departemen Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, maupun Departemen
Kelautan dan Perikanan.
BAB III
METODOLOGI
Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) secara geografis terletak pada 113o58’38” –
113o58’30” BT dan 8o 20’48” – 8o 33’48” LS. Taman nasional ini berada di Provinsi Jawa
Timur, dan berbatasan dengan kawasan-kawasan berikut:
a. Sebelah Utara berbatasan dengan kawasan PT. Perkebunan Treblasala dan Perum
Perhutani RPH Curahtakir.
b. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Sarongan, Kecamatan Pesanggaran
Kabupaten Banyuwangi dan kawasan PTPN XII Sumberjambe.
c. Sebelah Selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia
d. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Curahnongko, Andongrejo,Sanenrejo
Kecamatan Tempurejo Kabupaten Jember, kawasan PTPN XII Kalisanen PTPN XII
Kota Blater dan Perum Perhutani RPH Sabrang.
Taman Nasional Meru Betiri luas kawasannya mencakup dua kabupaten sekaligus di Jawa
Timur, yaitu Kabupaten Jember dan Kabupaten Banyuwangi. Oleh karena itu, letak
administratif pemerintahnya pun, TNMB dibagi menjadi dua yaitu kawasan taman nasional
seluas 37.626 ha terletak dibagian barat yaitu Kabupaten Jember dan kawasan taman nasional
bagian timur termasuk Kabupaten Banyuwangi dengan luas 20.374 ha. Luas seluruh kawasan
TNMB adalah 58.000 Ha, terdiri atas 57.155 Ha luas daratan dan 845 Ha perairan. Kawasan
ini juga meliputi dua perkebunan besar, yaitu perkebunan milik PT. Sukamade Baru dan
milik PT. Bandealit. Kini, luas total awasan Taman Nasional Meru Betiri menjadi 58. 000 ha
yang terdiri dari daratan 55.000 ha, dan lautan 845 Ha yang dikelola dibawah Balai Taman
Meru Betiri (Anonim 3, 2010). Kawasan TNMB termasuk hutan hujan tropis dengan formasi
hutan bervariasi yang terbagi ke dalam tiga (3) tipe ekosistem yaitu ekosistem hutan pantai,
ekosistem payau dan ekosistem hutan hujan dataran rendah. Keadaan hutannya selalu hijau
dan terdiri dari jenis pohon yang beraneka ragam serta bercampur jenis bambu yang tersebar
di seluruh areal ini.
1.Ekosistem Pantai
Ekosistem ini dapat dijumpai di sekitar Bandealit, Teluk Sukamade dan Meru. Vegetasi yang
ada terdiri dari dua formasi yaitu formasi Pescaprae dan formasi Baringtonia. Formasi
Pescaprae terdiri dari tumbuhan yang tumbuh rendah dan kebanyakan terdiri dari jenis herba,
sebagian tumbuh menjalar. Jenis yang paling banyak adalah Ubi Pantai (Ipomoea pescaprae)
dan Rumput Lari-Lari (Spinifex squarosus). Formasi Baringtonia terdiri dari Keben
(Baringtonia asiatica), Nyamplung (Calophyllum inophyllum), Waru (Hibiscus tiliaceus),
Ketapang (Terminalia catappa), Pandan (Pandanus tectorius) dan lain-lain (Departemen
kehutanan, 2008).
3. Hutan Hujan TropikaSebagian besar kawasan hutan TNMB merupakan tipe vegetasi hutan
hujan tropika dataran rendah. Pada tipe ekosistem ini juga tumbuh banyak jenis epifit, seperti
anggrek dan paku-pakuan serta liana. Jenis tumbuhan yang banyak dijumpai diantaranya jenis
Walangan (Pterospermum diversifolium), Winong (Tetrameles nudiflora), Gondang (Ficus
variegata), Budengan (Diospyros cauliflora), Pancal Kidang (Aglaia variegata), Rau
(Dracontomelon mangiferum), Glintungan (Bischoffia javanica), Ledoyo (Dysoxylum
amoroides), Randu Agung (Gossampinus heptaphylla), Nyampuh (Litsea sp), serta Rotan
Warak (Plectocomia elongata) dan lainnya (Departemen kehutanan, 2008).
3.1.2. Topografi
Kondisi topografi kawasan Taman Nasional Meru Betiri secara umum adalah
bergelombang, berbukit dan bergunung-gunung. Ketinggian wilayahnya sangat
bervariasi, mulai dari dataran pantai sampai dengan ketinggian 1.223 meter di atas
permukaan Iaut. Di bagian selatan, topografinya cenderung berbukit-bukit dan makin ke
arah pantai keadaan yang bergelombang. Pada beberapa tempat, laut berbatasan langsung
dengan tebing-tebing yang curam.
Daerah pantai berpasir terletak dari arah timur ke barat kawasan taman nasional
ini. Antara lain Pantai Sukamade, Pantai Permisan, Pantai Meru dan Pantai Bandealit.
Sedangkan daerah dataran yang lebih landai terletak di sekitar Teluk Rajegwesi. Sungai
yang terdapat di kawasan TNMB antara lain Sungai Sukamade dan Sungai Meru yang
berair sepanjang tahun. Pada bagian barat TNMB terdapat Sungai Bandealit dan Sungai
Permisan yang merupakan sumber air minum bagi satwa yang hidup di kawasan Meru
Betiri. (Pusat Konservasi Alam Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi
Alam, 2006).
Menurut John Seidenticker dkk. (1976), Taman Nasional Meru Betiri sedikitnya
memiliki 3 (tiga) jenis tanah yaitu tanah aluvial, regosol, dan latosol. Tanah alluvial
umumnya dijumpai di daerah tembah dan dataran rendah sampai daerah pantai,
sedangkan tanah regosol dan latosol umumnya dapat ditemukan di lereng dan puncak
gunung. Tanah di bagian selatan merupakan campuran tanah Mediteran Kuning dan yang
kurang subur, sedangkan di bagian utara tanahnya subur karena mengandung batuan
vulkanik (Pusat Konservasi Alam Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan
Konservasi, 2006)
Berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson, bagian utara dan tengah
TNMB dikategorikan ke dalam tipe iklim B, yaitu daerah tanpa musim kering dan hutan
huujan tropika yang selalu hijau. Sedangkan bagian lainnya termasuk tipe iklim C, yaitu
daerah dengan musim kering nyata dan merupakan peralihan hutan tropika ke hutan
musim. Curah hujan rata-rata di TNMB ini adalah berkisar antara 2.300 sampai dengan
4.000 mm/tahun dengan kelembapan 65 – 80% (Komarayanti, 2007). Curah hujan di
kawasan TNMB banyak dipengaruhi oleh banyaknya angin muson, dimana pada bulan
November sampai bulan Maret angin bertiup dari arah barat yang mengakibatkan turun
hujan, sedangkan pada musim kemarau terjadi pada April sampai bulan Oktober.
Kawasan Taman Nasional Meru Betiri merupakan titik terbasah di Pulau Jawa. Pada
musim kemarau saja dapat terjadi banjir karena tingginya curah hujan yaitu pada bulan
Juni hingga Agustus.
3.1.4. Zonasi
Zona Inti seluas 27.915 Ha terletak di bagian timur dan sebagian bagian barat
kawasan Taman Nasional Meru Betiri. Zona ini mutlak dilindungi, didalamnya tidak
diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktifitas manusia. Kegiatan yang
diperbolehkan pada zona ini hanya yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan,
pendidikan dan penelitian. Pada zona ini meliputi 620 ha hutan pantai, 23,870 ha
hutan hujan tropis, dan 3.425 ha Hutan Bambu.
b. Zona Rimba
Zona Rimba seluas 22.622 Ha terletak di bagian barat dan sebagian kecil
bagian selatan kawasan TNMB. Pada zona ini dapat dilakukan kegiatan sebagaimana
kegiatan pada zona inti dan kegiatan wisata alam yang terbatas
c. Zona Pemanfaatan
Zona Pemanfaatan Intensif seluas 1.285 Ha terletak di Resort Bandealit
(Pantai Bandealit), Resort Sukamade (Pantai Sukamade), dan Resort Sarongan (Pantai
Rajegwesi, Teluk Hijau dan Teluk Damai) di kawasan TNMB.
d. Zona Rehabilitasi
Zona rehabilitasi seluas 4.023 Ha terletak di bagian utara dan sebagian kecil
bagian timur kawasan TNMB, dimana pada zona ini dapat dilakukan kegiatan
rehabilitasi kawasan yang sudah rusak akibat perambahan. Kawasan ini merupakan
eks hutan tanaman Jati (Tectona grandis).
e. Zona Penyangga
Zona penyangga seluas 2.155 Ha. terletak di areal bekas perkebunan PT.
Bandealit Kabupaten Jember dan PT. Sukamade Baru, Kabupaten Banyuwangi. Zona
ini adalah zona yang dikelola secara khusus dimana merupakan bagian dari sistem
pengelolaan taman nasional, bertujuan untuk mengakomodir kepentingan
perlindungan dan pelestarian Taman Nasional, wisata alam dan wisata agro (Anonim
4, 2010).
Pantai Sukamade yang memiliki panjang berkisar antara 2,8 km dengan lebar
intertidal berkisar 22-52 m dan supratidal berkisar antara 16- 32 m. Bencana tsunami
pada tahun 1997 menyebabkan bPantai Sukamade
b mengalami penyusutan panjang
i i
pantai sehingga terjadi abrasi. Penyebab lain penyusutan panjang pantai ini adalah
k k
meluasnya muara sungai yang berhubungan
i ke laut.
i Bentuk pantai yang semula datar
n menjadi landai
karena terjadi penumpukan pasir n sampai agak curam. Perubahan
i i
t t
u u
d d
a a
w w
a a
l l
i i
3.2. Metode Kerja d d
e e
3.2.1. Pengukuran Kondisi Ekosistemn n
g g
3.2.1.1. Estimasi Stok Karbon a a
n n
Estimasi karbon adalah jumlah C yang tersimpan dalam setiap penggunaan
lahan tanaman, serasah dan tanah.mDalam ekosistem,
m CO2 di udara diserap oleh tubuh
i i
tanaman lalu diubah dalam bentuk
n lain dan ndisimpan dalam bentuk biomassa,
nekromassa, dan bahan organik u u itu, untuk mengukur banyaknya
tanah. Oleh karena
m m
kadar CO2 di udara yang diserap oleh tanaman dapat dilakukan dengan mengukur
biomassa suatu lahan. k k
o o
p
Pengukuran C yang tersimpan p
ini dapat dilakukan dengan metode destruktif
i i
(pengrusakan tanaman), ataupun metode non destruktif (tanpa pengrusakan tanaman).
, ,
Estimasi stok karbon dapat dilakukan
b dengan metode
b pencuplikan plot bertingkat.
i
Berikut merupakan desain plot brtingkat: i
s s
m m
i i
l l
l l
a a
4 x 25h h
, ,
d d
a a
n n
20 x
c c
o o
v v
e e
Gambar 4 . Desain Plot Bertingkat
r r
, ,
d d
i i
a a berbeda, yaitu plot besar dan plot
Plot bertingkat dibagi menjadi 2 plot ukuran
k k
kecil atau disebut sub plot. Plot yang
h
pertma akali
h
dibuat saat melakukan perhitungan
stok karbon pada suatu lahan, adalah
i sub plot. Plot
i ini memiliki ukuran yaitu 4 x 25
r r
meter. Tali rafia dibentangkan pada masing-masing sisi plot untuk menandai batasan
i i
sub plot. Kemudian, bila di dalam d sub plot terdapat
d pohon yang batangnya memiliki
e e
n n
g g
a a
n n
b b
i i
n n
g g
u u
DBH >30 cm, maka plot diperbesar
n ukurannya menjadi
n plot besar dengan ukuran 20 x
50 m. Seluruh pohon dalam plotg dan sub plot kemudian
g diukur DBH (Diameter at
Breast High)-nya menggunakan meteran.
d Pohon dengan
d DBH antara 5-30 cm diukur
a
di dalam sub plot (4 x 25 m), sedangkan a
pohon dengan DBH > 30 cm diukur dalam
n n
plot besar (20 x 50 m). Analisis data stok karbon dari pengukuran DBH digunakan
rumus : t t
i i
d d
u u
r r
. .
Kemudian setelah itu, dilakukan pula pencuplikan core sampler di dalam sub
plot sebanyak 3x untuk diuji kandungan bulk density di laboratorium. Stok karbon
dalam tanah dapat diestimasi dari nilai konsentrasi karbon dan bulk density tanah:
(MacDicken, 1997).
Metode kuarter merupakan salah satu metode analisis vegetasi yang berbasis
pada jarak tanpa menggunakan plot. Metode analisis vegetasi berbasis jarak ini
merupakan metode analisis vegetasi yang area samplinngnya sapat bervariasi namun
dengan jumlah sampel yang telah ditentukan sebelumnya (Newton, 2007). Dalam
metode kuarter ini, titik-titik pengamatan dibuat dan disebar secara acak ataupun
sistematis sebanyak empat titik pengamatan, yang kemudian masing-masing titik
diberi tanda. Setiap titik pengamatan masing-masing dibagi menjadi empat kuadran
yang sesuai dengan arah mata angin, yakni utara, selatan, barat, dan timur. Di dalam
setiap kuadran, pohon yang berada paling dekat dari titik pusat pengamatan dan
memiliki diameter ≥ 10 cm diukur jaraknya dari titik pusat pengamatan ke spesies,
dan diukur diameter serta tingginya. Diagram metode kuarter dapat digambar sebagai
berikut:
Pengerjaan metode kuarter hanya berupa titik sehingga sering juga metode ini
dilakukan tanpa plot. Metode ini sering dipakai untuk analisis vegetasi berbentuk
hutan atau vegetasi kompleks lainnya. Sama halnya dengan metode analisis yang
menggunakan plot (metode kuadrat), dalam memperoleh nilai penting harus terlebih
dahulu dihitung kerapatan, dominasi, dan frekuensinya.
Tabel 1 . Skala Urutan Kelimpahan pada Metode Encounter Rate (Sumber : MacKinnon,
1997)
Mamalia kecil merupakan salah satu bagian dari komunitas yang kompleks
karena mamalia kecil, seperti tikus dan tupai merupakan sumber makanan bagi
predator muda. Oleh karena itu, keberadaan mamalia kecil ini dapat menjadi penentu
keberlangsungan tingkatan trofik di atasnya. Selain itu, jumlah dan komposisi
mamalia kecil di dalam suatu komunitas dapat menggambarkan secara umum suatu
struktur dari suatu komunitas. Dengan menaksir populasi mamalia kecil, dapat
diketahui secara umum bagaimana struktur komunitas di daerah tersebut sehingga
dapat menjadi pembahasan seperti penurunan keberadaan karnivora besar yang
semakin menurun jumlahnya.
Dalam kuliah lapangan ini, perangkap yang digunakan adalah sebanyak lima
buah. Perangkap diberi umpan yaitu selai kacang yang dioleskan pada kapas.
Kemudian, perangkap diletakkan setiap 10 m pada suatu transek garis lurus sepanjang
50 meter mengarah ke dalam hutan dari tepi jalan. Pemasangan perangkap dilakukan
dimulai dari titik terjauh dari tepi jalan (hutan) menuju ke arah jalan. Setelah
memestikan perangkap telah siap digunakan, maka perangkap ditinggalkan dengan
kondisi sekitar yang tidak terganggu. Serasah yang ada di sekitar perangkap
dikembalikan pada keadaan awal.
Adapun metode linear yaitu metode paling akurat dengan menaksir populasi
dengan rumus :
Jumlah serangga yang berhasil ditangkap oleh perangkap ini dipengaruhi oleh
beberapa faktor. Diantaranya adalah: sumber cahaya buatan yang digunakan, kondisi
iklim serta cuaca, dan stimulus-stimulus alami lainnya. Selain itu, dipengaruhi pula
oleh faktor-faktor lingkungan seperti temperatur dan kelembapan, serta penempatan
perangkap. Penempatan light trap secara vertikal harus diatur sesuai dengan serangga
pada ketinggian mana yang dijadikan sebagai target jebak.
Pada TNMB, ekosistem ini dapat dijumpai di bagian timur Teluk Rajegwesi
yang merupakan Muara Sungai Lembu dan Karang Tambak, Teluk Meru dan
Sukamade. Jenis-jenis yang mendominasi adalah jenis bakau-bakauan (Rhizophora
sp), Api-Api (Avicenia sp) dan Tancang (Bruguiera sp). Sedangkan di muara Sungai
Sukamade terdapat Nipah (Nypa fruticans) yang baik formasinya.
(Sumber : http://www.seagrant.umn.edu/fisheries/img/bottom_gill_net_sm.gif)
3.2.2.3. Penyu
Salah satu hal yang membuat Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) spesial
dari taman nasional lainnya adalah karena TNMB ini merupakan taman nasional yang
sering ditempati sebagai tempat bertelurnya 4 dari 7 jenis penyu laut yang masih
hidup di dunia. Jenis penyu bertelur di kawasan taman nasional ini antara lain adalah
Chelonia mydas (penyu hijau), Eretmochelys imbricata (penyu sisik), Lepidochelys
olivacea (penyu lekang), dan Dermochelys coriacea (penyu belimbing)
b. Tanda-tanda khusus pada karapas (jumlah, bentuk, dan pola, serta warna)
c. Jejak dan ukuran sarang (diameter dan kedalaman sarang) serta kebiasaan bertelur
a. Karapaks, yaitu bagian bagian punggung penyu yang tersusun dari zat tanduk
dan berfungsi sebagai pelindung. Biasa juga disebut sebagai tempurung penyu.
c. Tungkai depan, yaitu kaki berenang di dalam air yang berfungsi sebagai alat
dayung.
d. Tungkai belakang, yaitu kaki bagian belakang (pore fliffer) yang berfungsi
sebagai alat penggali saat bertelur atau sebagai alat bantu saat berjalan di atas
pasir.