You are on page 1of 42

LAPORAN KULIAH LAPANGAN PROYEK EKOLOGI BI-3102

ANALISIS EKOSISTEM KAWASAN PANTAI SUKAMADE TAMAN


NASIONAL MERU BETIRI
Tanggal Kuliah Lapangan: 30 Oktober – 4 November 2010

Tanggal Pengumpulan Laporan : 23 November 2010

Disusun oleh:

Falma Kemalasari

10608038

Kelompok 9

Asisten

Tejo Bawono

PROGRAM STUDI BIOLOGI

SEKOLAH ILMU TEKNOLOGI HAYATI

INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG

BANDUNG

2010
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dewasa ini, banyak terjadi perubahan pada berbagai ekosistem di Indonesia. Beberapa
perubahan tersebut disebabkan oleh kejadian yang alami, misalnya akibat bencana alam
seperti gunung meletus,dsb. Beberapa perubahan ekosistem lainnya terjadi akibat kegiatan
manusia, seperti penebangan pohon, pembukaan hutan untuk pembuatan ladang, pencurian
spesies-spesies dilindungi, dsb. Perubahan ekosistem dapat mengakibatkan banyak hal.
Berkurangnya keanekaragaman hayati, berubahnya struktur suatu komunitas, perubahan
fungsi – fungsi ekologi, hingga hilangnya beberapa spesies akibat dominansi spesies lain
serta berbagai permasalahn lingkungan merupakan contoh dampak perubahan ekosistem.
Berbagai usaha mulai dilakukan guna menanggulangi akibat perubahan-perubahan yang
terjadi pada ekosistem tersebut, salah satunya dengan penetapan berbagai lokasi tertentu
sebagai kawasan taman nasional dan hutan lindung. Menurut UU no. 5 tahun 1990, tentang
konservasi sumber daya alam dan hayati dan ekosistemnya, taman nasional didefinisikan
sebagai kawasan pelestarian alam yang memiliki ekosistem asli, dengan sistem zonasi yang
dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya,
pariwisata, dan rekreasi. Taman nasional merupakan bentuk pengelolaan dalam menjalankan
peran konservasi sebagai pendukung usaha pelestarian lingkungan.
Taman Nasional Meru Betiri adalah salah satu taman nasional yang ada di Indonesia.
Taman nasional ini dikenal sebagai hutan tropis dataran rendah di Propinsi Jawa Timur
bagian Selatan, memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Keanekaragaman hayati
tersebut meliputi kekayaan flora dengan berbagai jenis tumbuhan yang bermanfaat sebagai
obat, habitat fauna serta sebagai obyek dan daya tarik wisata alam. Adapun Pantai Sukamade
dan pantai Sukamade di kawasan TNMB. Pantai Rajegwesi yang masih alami bersebelahan
dengan bukit, karang, dan kampung nelayan. Dalam sejarahnya, dahulu di pantai ini terdapat
perkampungan besar, namun terjadinya tsunami tahun 1994 menghancurkan perkampungan
tersebut dan merubah fungsi lahannya.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.03/Menhut-V/2007 tanggal 1
Februari 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Taman Nasional, Taman Nasional
Meru Betiri mempunyai tugas pokok melaksanakan pengelolaan ekosistem kawasan TNMB
dalam rangka konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Berbagai nilai yang terdapat dalam taman nasional seperti
perkonservasian fungsi hidrologi, potensi flora fauna, dan potensi obyek dan daya tarik
wisata alam, sangat besar manfaatnya bagi kepentingan kesejahteraan masyarakat. Di sisi
lain, taman nasional dengan besarnya keanekaragaman hayati yang terkandung di dalamnya
menjalankan berbagai fungsi ekologis, antara lain adalah sebagai penyimpanan cadangan
karbon dalam bentuk biomassa. Hutan memegang peranan penting dalam hal emisi gas
rumah kaca. Di satu sisi, deforestasi hutan dapat meningkatkan emisi karbon dioksida, di sisi
lain, hutan juga dapat menyerap karbon dioksida tersebut sehingga menekan laju emisi
karbon dioksida dari berbagai sumber. Menurut Boer dan Gintings (1998), pada tahun 1990,
emisi CO2 dari sektor kehutanan mencapai 339 Gt CO2 diimbangi dengan tingkat penyerapan
CO2 mencapai 686 Gt CO2. Hal ini menunjukkan bahwa Taman Nasional Meru Betiri, yang
wilayahnya berupa hutan hujan tropis dengan keanekaragaman tinggi, berpotensi untuk
menjadi wilayah yang dialokasikan sebagai tempat cadangan karbon serta dikonservasi
sebagai usaha penyerapan emisi karbon dioksida dalam menanggulangi pemanasan global.
Selain itu, Taman Nasional Meru Betiri juga menjadi habitat bagi berbagai spesies, baik
spesies budidaya maupun spesies endemik.
Area Pantai Sukamade pada taman nasional ini merupakan tempat berbagai spesies
penyu mendarat untuk bertelur. Hingga saat ini, pantai Sukamade di Desa Sarongan,
Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi tersebut merupakan satu-satunya pantai di
Jawa Timur yang menjadi tempat bertelurnya empat dari tujuh jenis penyu yang ada di
dunia. Berdasarkan fakta kondisi populasi penyu yang semakin berkurang, lokasi bertelur
yang semakin terbuka dan tidak aman, serta jumlah produksi telur yang semakin menurun,
upaya-upaya penyelamatan perlu dilakukan. Upaya tersebut antara lain dengan melindungi
telur penyu di alam dan melepaskan tukik kembali ke laut. Upaya penyelamatan ini
harus berkelanjutan meskipun biaya yang disediakan dalam kegiatan ini cukup besar. Salah
satu upaya penyelamatan tersebut telah dilakukan oleh Unit Pengelolaan Konservasi Penyu
Pantai Sukamade, Taman Nasional Meru Betiri, Provinsi Jawa Timur.
Hal-hal tersebut menyebabkan kawasan Meru Betiri turut menjalankan peran dan
fungsi dalam usaha pengkonservasian penyu. Upaya – upaya yang dilakukan dalam program
konservasi tersebut dengan mengamankan telur-telur penyu dari pencurian dan meningkatkan
peluang hidup tukik pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan populasi penyu – penyu
tersebut di alam.
Begitu banyak dan penting peranan yang dimiliki oleh Taman Nasional Meru Betiri
dengan berbagai ekosistem terintegrasi. Atas dasar hal – hal tersebut, penulis mengadakan
penelitian terkait kondisi ekosistem di wilayah Taman Nasional Meru Betiri dengan cakupan
penelitian meliputi cadangan karbon berdasarkan biomassa, vegetasi hutan, komunitas
burung, serangga, dan mamalia, serta kondisi mikroklimat di beberapa ekosistem dan
mengemukakan judul “ Analisis Ekosistem Kawasan Pantai Sukamade Taman Nasional Meru
Betiri”.

1.2 Tujuan

1.2.1 Mengestimasi kandungan stok karbon yang terkandung dalam tanaman dan
tanah di wilayah Taman Nasional Meru Betiri

1.2.2 Menganalisis vegetasi Taman Nasional Meru Betiri dengan metode kuarter

1.2.3 Menganalisis komunitas burung Taman Nasional Meru Betiri dengan metode
point

1.2.4 Mengestimasi populasi mamalia Taman Nasional Meru Betiri dengan metode
life trap

1.2.5 Menentukan kelimpahan dan menganalisis keanekaragaman serangga malam


Taman Nasional Meru Betiri dengan metode light trap

1.2.6 Mengamati kondisi ekosistem estuari dan upaya konservasi penyu di area
Pantai Sukamade Taman Nasional Meru Betiri
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Karakteristik ekosistem hutan dataran rendah, estuari dan mangrove

2.1.1. Ekosistem hutan dataran rendah

Hutan dataran rendah merupakan hutan yang tumbuh di wilayah dataran


dengan ketinggian 0 - 1200 m. (Farb, Peter.1982). Berdasarkan klasifikasi
Smith (1990), hutan hujan tropis memiliki ciri rata-rata suhu tahunan yang
tinggi (26° C), kelembaban udara yang cukup tinggi (80%), rata-rata curah
hujan tahunan yang tinggi, dan tingkat keanekaragaman flora yang tinggi.
Stratifikasi vegetasi pada hutan tropis dataran rendah juga sangat beragam
hingga dapat mencapai lima stratum. Ada karakteristik tertentu yang
dimiliki oleh masing – masing vegetasi yang membedakan satu vegetasi
dengan vegetasi lainnya. Dua karakteristik utama yang membedakan hutan
dataran rendah dengan bioma terestrial lainnya antara lain adalah tingginya
kerapatan jenis pohon, besarnya nilai keanekaragaman, dan status
konservasi tumbuhannya yang hampir sebagian besar dikategorikan jarang
ditemui secara lokal (Clark et al., 1999). Hutan dataran rendah adalah
hutan yang tumbuh dan terdapat di daerah yang tidak pernah tergenangi
air. Komposisi jenis dan keanekaragaman tumbuhan di hutan tergantung
pada beberapa faktor lingkungan seperti kelembaban, nutrisi, cahaya
matahari, topografi, batuan induk, karateristik tanah, struktur kanopi dan
sejarah tataguna lahan (Hutchincson et al., 1999). Kondisi hutan dataran
rendah di daerah tropis mendukung tumbuhnya berbagai jenis spesies
sehingga memungkinkan hutan tersebut memiliki nilai keanekaragaman
yang tinggi.Vegetasi pohon yang biasa hidup di ekosistem ini adalah jati,
sengon,dan meranti.
Gambar 1 Hutan Dataran rendah
(sumber : http://tnalaspurwo.org/index.php/webpage/)

Di dalam kanopi hutan, terutama di hutan dataran rendah, banyak terjadi


hubungan timbal balik antara hewan invertebrate dan vertebrata. Beberapa
tumbuhan, yang disebut Myrmecophytes, menyediakan tempat
perlindungan untuk semut di dalam organ yang dimodifikasi.

2.1.2. Ekosistem estuari

Estuari adalah bagian dari ekosistem perairan yang merupakan


percampuran antara air laut dan air tawar yang berasal dari sungai, sumber
air tawar lainnya (saluran air tawar dan genangan air tawar). Lingkungan
estuari merupakan peralihan antara darat dan laut yang sangat di
pengaruhi oleh pasang surutnya air, seperti halnya pantai, namun
umumnya terlindung dari pengaruh gelombang laut. Lingkungan estuari
umumnya merupakan pantai tertutup atau semi terbuka yang terlindung
oleh pulau-pulau kecil, terumbu karang dan bahkan gundukan pasir dan
tanah liat. Tidak terlalu sulit untuk menetukan batas lingkungan estuari
dalam suatu kawasan tertentu. Hanya dengan melihat sumber air tawar
yang ada di sekitar pantai dan juga dengan mengukur salinitas perairan
tersebut maka dapat ditentukan apakah wilayah tersebut merupakan
ekosistem estuari atau bukan karena perairan estuari memiliki salinitas
yang lebih rendah dari lautan dan lebih tinggi dari air tawar. Kisaran
salinitasnya berada antara 5 – 25 ppm (Kaswadji, 2001).
Gambar 2. Ekosistem Estuari

Lingkungan estuari merupakan kawasan yang sangat penting bagi berbagai


hewan dan tumbuhan, terutama yang habitatnya di area dengan karakteristik
khusus seperti estuari. Pada daerah-daerah tropis, lingkungan estuari pada
umumnya di tumbuhi oleh tumbuhan khas yang di sebut Mangrove. Estuari
merupakan sebuah ekosistem dengan salinitas yang cukup tinggi. Hewan-
hewan yang hidup pada lingkungan perairan ini adalah hewan yang mampu
beradaptasi dengan kisaran salinitas tersebut. Walaupun kondisi
salinitasnya tergolong tinggi, lingkungan perairan estuari merupakan
lingkungan yang sangat kaya akan nutrien yang menjadi unsur penting bagi
pertumbuhan fitoplankton. Karena kawasan ini sangat kaya akan unsur
hara, estuari di kenal dengan sebutan daerah pembesaran (nursery ground)
bagi berbagai ikan, invertebrata seperti Crustacean, Bivalve,
Echinodermata, maupun annelida. Terlihat juga ikan-ikan dengan
ekonomis penting seperti siganus, baronang, serta sunu yang menjadikan
daerah estuari sebagai daerah pemijahan dan pembesaran.

Pada wilayah bumi yang mengalami iklim subtropis sampai daerah dingin,
fungsi estuari bukan hanya sebagai daerah pembesaran bagi berjuta hewan
penting, bahkan menjadi titik daerah bagi jutaan jenis burung pantai.
Kawasan estuari ini di gunakan sebagai daerah persinggahan untuk
beristirahat bagi perjalanan panjang jutaan burung dalam mencari daerah
yang ideal untuk perkembanganya. Disamping itu juga di gunakan oleh
sebagian besar mamalia dan hewan-hewan lainnya untuk mencari makan.
Keistimewaan lingkungan perairan estuari lainnya adalah sebagai penyaring
dari berjuta bahan buangan cair yang bersumber dari daratan. Sebagai
kawasan yang sangat dekat dengan daerah hunian penduduk, daerah estuari
umumnya di jadikan daerah buangan bagi limbah-limbah cair (kita tidak
membahas limbah padat di sini yang benar-benar merusak sebagian besar
lingkunagn estuary). Limbah cair ini mengandung banyak unsur
diantaranya nutrisi dan bahan-bahan kimia lainnya. Dalam kisaran yang
dapat di tolelir, Kawasan estuary umumnya bertindak sebagai penyaring
dari limbah cair ini, mengendapkan partikel-partikel beracun dan
menyisakan badan air yang lebih bersih. Inipun dengan kondisi dimana
terjadi suplai yang terus-menerus dari air sungai dan laut yang cenderung
lebih bersih dan mentralkan sebagaian besar bahan polutan yang masuk ke
daerah estuari tersebut (Kaswadji, 2001). .

Kombinasi pengaruh air laut dan air tawar seperti pada ekosistem estuari
akan menghasilkan suatu komunitas yang khas, dengan lingkungan yang
bervariasi, antara lain:

1. Tempat bertemunya arus air tawar dengan arus pasang-surut, yang


berlawanan menyebabkan suatu pengaruh yang kuat pada sedimentasi,
pencampuran air, dan ciri-ciri fisika lainnya, serta membawa pengaruh
besar pada biotanya;
2. Pencampuran kedua macam air tersebut menghasilkan suatu sifat fisika
lingkungan khusus yang tidak sama dengan sifat air sungai maupun sifat
air laut;
3. Perubahan yang terjadi akibat adanya pasang-surut mengharuskan
komunitas mengadakan penyesuaian secara fisiologis dengan
lingkungan sekelilingnya
4. Tingkat kadar garam di daerah estuaria tergantung pada pasang-surut air
laut, banyaknya aliran air tawar dan arus-arus lainnya, serta topografi
daerah estuaria tersebut.

Berdasarkan pola sirkulasi dan stratifikasi air terdapat tiga tipe estuaria:
1. Estuaria berstratifikasi sempurna/nyata atau estuaria baji garam,
dicirikan oleh adanya batas yang jelas antara air tawar dan air asin.
Estuaria tipe ini ditemukan di daerah-daerah dimana aliran air tawar
dari sungai besar lebih dominan dari pada intrusi air asin dari laut yang
dipengaruhi oleh pasang-surut.
2. Estuaria berstratifikasi sebagian/parsial merupakan tipe yang paling
umum dijumpai. Pada estuaria ini, aliran air tawar dari sungai seimbang
dengan air laut yang masuk melalui arus pasang. Pencampuran air dapat
terjadi karena adanya turbulensi yang berlangsung secara berkala oleh
aksi pasang-surut.
3. Estuaria campuran sempurna atau estuaria homogen vertikal. Estuaria
tipe ini dijumpai di lokasi-lokasi dimana arus pasang-surut sangat
dominan dan kuat, sehingga air estuaria tercampur sempurna dan tidak
terdapat stratifikasi.
Perpaduan antara beberapa sifat fisik estuaria mempunyai peranan yang
penting terhadap kehidupan biota estuaria. Beberapa sifat fisik yang penting
adalah sebagai berikut:
1. Salinitas
Estuaria memiliki gradien salinitas yang bervariasi, terutama bergantung
pada masukan air tawar dari sungai dan air laut melalui pasang-surut.
Variasi ini menciptakan kondisi yang menekan bagi organisme, tapi
mendukung kehidupan biota yang padat dan juga menangkal predator dari
laut yang pada umumnya tidak menyukai perairan dengan salinitas yang
rendah.
2. Substrat
Sebagian besar estuaria didominasi oleh substrat berlumpur yang berasal
dari sedimen yang dibawa melalui air tawar (sungai) dan air laut. Sebagian
besar partikel lumpur estuaria bersifat organik, sehingga substrat ini kaya
akan bahan organik. Bahan organik ini menjadi cadangan makanan yang
penting bagi organisme estuaria.
3. Sirkulasi air
Selang waktu mengalirnya air dari sungai ke dalam estuaria dan masuknya
air laut melalui arus pasang-surut menciptakan suatu gerakan dan
transport air yang bermanfaat bagi biota estuaria, khususnya plankton
yang hidup tersuspensi dalam air.
4. Pasang-surut
Arus pasang-surut berperan penting sebagai pengangkut zat hara dan
plankton. Di samping itu arus ini juga berperan untuk mengencerkan dan
menggelontorkan limbah yang sampai di estuaria
5. Penyimpanan zat hara
Peranan estuaria sebagai penyimpan zat hara sangat besar. Pohon
mangrove dan lamun serta ganggang lainnya dapat mengkonversi zat hara
dan menyimpannya sebagai bahan organik yang akan digunakan
kemudian oleh organisme hewani

Secara umum estuaria mempunyai peran ekologis penting sebagai berikut:


1. Sebagai sumber zat hara dan bahan organik yang diangkut lewat sirkulasi
pasang-surut (tidal circulation).
2. Penyedia habitat bagi sejumlah spesies hewan (ikan, udang...) yang
bergantung pada estuaria sebagai tempat berlindung dan tempat mencari
makanan (feeding ground).
3. Sebagai tempat untuk bereproduksi dan/atau tempat tumbuh besar
(nursery ground) terutama bagi sejumlah spesies ikan dan udang.

2.1.3. Ekosistem mangrove

Hutan mangrove merupakan ekosistem kompleks yang terdiri atas flora


dan fauna daerah pantai yang hidup di habitat antara batas air pasang dan
surut. Mangrove merupakan ekosistem yang spesifik karena pada umumnya
hanya dijumpai pada pantai yang berombak relatif kecil atau bahkan
terlindung dari ombak di sepanjang delta dan estuari yang dipengaruhi oleh
masukan air dan lumpur dari daratan. Ekosistem ini berperan dalam
melindungi garis pantai dari erosi, gelombang laut, dan angin topan.
Tanaman mangrove berperan juga sebagai buffer dan menstabilkan tanah
dengan menangkap dan memerangkap endapan material dari darat yang
terbawa air sungai yang kemudian terbawa ke tengah laut oleh arus..
Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di daerah pantai yang selalu atau
secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut
tetapi tidak terpengaruh oleh iklim. Sedangkan daerah pantai adalah daratan
yang terletak di bagian hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berbatasan
dengan laut dan masih dipengaruhi oleh pasang surut, dengan kelerengan
kurang dari 8% (Departemen Kehutanan, 1994 dalam Santoso, 2000).
Menurut Nybakken (1992), hutan mangrove adalah sebutan umum yang
digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik
yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-
semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin.
Hutan mangrove meliputi pohon-pohon dan semak yang tergolong ke dalam
8 famili, dan terdiri atas 12 genera tumbuhan berbunga : Avicennie,
Sonneratia, Rhyzophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lummitzera,
Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus
(Bengen,2000).

Hutan mangrove tumbuh subur dan tersebar luas di daerah delta yang
dialiri aliran sungai besar dengan muara yang lebar. Di pantai yang tidak ada
sungainya, daerah ekosistem mangrove relatif sempit. Karakteristik utama dari
hutan mangrove ini adalah toleransinya yang tinggi terhadap kadar garam dan
kemampuannya berkembang di daratan bersalinitas tinggi dimana tanaman biasa
tidak dapat tumbuh. (Anonim, 2008)

Pada umumnya kondisi-kondisi fisik mangrove sangat berpengaruh


terhadap pertumbuhan hutan mangrove. Jika kondisi fisik ini berada dalam
keadaan normal, maka mangrove dapat hidup dengan baik, namun apabila terjadi
gangguan,maka akan menimbulkan ganguan bagi ekosistem mangrove, misalkan
jika aliran air tawar dari permukaan terhambat masuk ke hutan mangrove, maka
salinitas di dalam hutan mangrove akan meningkat. (Reid, 1961)

Komunitas fauna hutan mangrove membentuk percampuran antara dua


kelompok, yaitu kelompok fauna ekosistem daratan (terestial) yang umumnya
menempati bagian atas pohon mangrove. Komunitas tersebut terdiri atas insekta,
ular, primata, dan burung, sedangkan kelompok fauna ekosistem perairan
(akuatik) terdiri atas dua tipe, yaitu yang hidup di kolom air terutama berbagai
jenis ikan dan udang, yang menempati substrat baik keras (akar dan batang pohon
mangrove) maupun lunak (lumpur), terutama kepiting, kerang, dan berbagai jenis
invertebrata lainnya. Fungsi dan manfaat hutan mangrove secara umum adalah
sebagai peredam gelombang dan angin, pelindung dari abrasi, penahan lumpur
dan perangkap sedimen, penghasil sejumlah detritus, penghasil kayu untuk bahan
konstruksi dan kayu bakar, pemasok larva ikan, dan juga dapat dijadikan sebagai
tempat pariwisata. Ada beberapa istilah yang digunakan untuk menyebut hutan
mangrove. Antara lain tidal forest, coastal woodland, vloedbosschen, h utan
payau dan hutan bakau.

Ekosistem mangrove terbentuk dari unsur-unsur :


a. Spesies pohon dan semak yang benar-benar memiliki habitat terbatas di
lingkungan mangrove (exclusive mangrove)
b. Spesies pohon dan semak yang mampu hidup di lingkungan mangrove dan di
luar lingkungan mangrove (non-exclusive mangrove)
c. Berbagai biota yang hidupnya berasosiasi dengan lingkungan mangrove, baik
biota yang keberadaannya bersifat menetap, sekedar singgah mencari makan
maupun biota yang keberadaannya jarang ditemukan di lingkungan mangrove
d. Berbagai proses yang terjadi di ekosistem mangrove untuk mempertahankan
keberadaan ekosistem mangrove itu sendiri
e. Hamparan lumpur yang berada di batas hutan sebenarnya dengan laut
f. Sumber daya manusia yang berada di sekitar ekosistem mangrove
g. Hutan mangrove dapat ditemukan di pesisir pantai wilayah tropis sampai sub
tropis, terutama pada pantai yang landai, dangkal, terlindung dari gelombang besar
dan muara sungai.

Secara umum hutan mangrove dapat berkembang dengan baik pada habitat dengan
ciri-ciri sebagai berikut :
a. Jenis tanah berlumpur, berlempung atau berpasir, dengan bahan bentukan
berasal dari lumpur, pasir atau pecahan karang/koral
b. Habitat tergenang air laut secara berkala, dengan frekuensi sering (harian) atau
hanya saat pasang purnama saja. Frekuensi genangan ini akan menentukan
komposisi vegetasi hutan mangrove
c. Menerima pasokan air tawar yang cukup, baik berasal dari sungai, mata air
maupun air tanah yang berguna untuk menurunkan kadar garam dan menambah
pasokan unsur hara dan lumpur
d. Berair payau (2-22 ‰) sampai dengan asin yang bisa mencapai salinitas 38 ‰

Secara umum hutan mangrove memiliki karakteristik sebagai berikut :


a. Tidak dipengaruhi oleh iklim, tetapi dipengaruhi oleh pasang surut air laut
(tergenang air laut pada saat pasang dan bebas genangan air laut pada saat surut)
b. Tumbuh membentuk jalur sepanjang garis pantai atau sungai dengan substrat
anaerob berupa lempung (firm clay soil), gambut (peat), berpasir (sandy soil) dan
tanah koral
c. Struktur tajuk tegakan hanya memiliki satu lapisan tajuk (berstratum tunggal).
Komposisi jenis dapat homogen (hanya satu jenis) atau heterogen (lebih dari satu
jenis). Jenis-jenis kayu yang terdapat pada areal yang masih berhutan dapat berbeda
antara satu tempat dengan lainnya, tergantung pada kondisi tanahnya, intensitas
genangan pasang surut air laut dan tingkat salinitas
d. Penyebaran jenis membentuk zonasi. Zona paling luar berhadapan langsung
dengan laut pada umumnya ditumbuhi oleh jenis-jenis Avicennia spp
dan Sonneratia spp (tumbuh pada lumpur yang dalam, kaya bahan organik). Zona
pertengahan antara laut dan daratan pada umumnya didominasi oleh jenis-
jenis Rhizophoraspp. Sedangkan zona terluar dekat dengan daratan pada umumnya
didominasi oleh jenis-jenis Brugieraspp.

Manfaat Ekosistem Hutan Mangrove


Fungsi ekologis dan ekonomis hutan mangrove antara lain adalah (Santoso dan
H.W. Arifin, 1998) :
1. Fungsi ekologis :
• pelindung garis pantai dari abrasi,
• mempercepat perluasan pantai melalui pengendapan,
• mencegah intrusi air laut ke daratan,
• tempat berpijah aneka biota laut,
• tempat berlindung dan berkembangbiak berbagai jenis burung, mamalia, reptil, dan
serangga,
• sebagai pengatur iklim mikro.
2. Fungsi ekonomis :
• penghasil keperluan rumah tangga (kayu bakar, arang, bahan bangunan, bahan
makanan, obat-obatan),
• penghasil keperluan industri (bahan baku kertas, tekstil, kosmetik, penyamak kulit,
pewarna),
• penghasil bibit ikan, nener udang, kepiting, kerang, madu, dan telur burung,
• pariwisata, penelitian, dan pendidikan.
I.1 Biologi dan konservasi penyu

Penyu termasuk reptili yang memiliki habitat di laut. Penyu memiliki


tempurung yang menutupi bagian badannya, sedangkan bagian punggung
diselubungi oleh karapak. Perbedaan penyu dengan kura-kura ialah pada bagian
rongga di dalam tempurung, kura – kura memiliki rongga di dalam
tempurungnya, sehingga ketika terdapat ancaman kura – kura dapat melindungi
anggota tubuhnya dengan memasukkan kepala dan keemat kakinya ke dalam
rongga di tempurungnya. Sedangkan penyu tidak memiliki rongga tersebut
( Prihanta, 2007 ).

Penyu pada sebagian besar usianya hidup di laut dan hanya mendarat pada waktu – waktu
tertentu saja, seperti untuk bertelur. Laut yang merupakan habitat dari penyu mempunyai ciri
– ciri air yang bersih dan dingin seperti air pada samudera. Laut dalam merupakan daerah
yang disukai penyu. Daerah pantai dangkal, kurang dari 200 meter,dan berbatu merupakan
tempat paling tepat bagi penyu dalam mencari makan. Pada daerah dengan kedalaman
kurang dari 200 meter banyak terdapat rumput – rumputan dan jenis ganggang di mana jenis
ganggang tersebut merupakan makanan pokok bagi penyu. Pada kedalaman tersebut biasanya
ditemukan ikan kecil, udang, molusca, spon. Hampir sebagian besar dari penyu mempunyai
sifat omnivora, tapi sebagian lain bersifat karnivora dan herbivora sehingga daerah tersebut
cocok untuk penyu mencari makan ( Prihanta, 2007 ).
Reproduksi penyu adalah proses regenerasi yang dilakukan penyu dewasa jantan dan betina
melalui tahapan perkawinan, peneluran sampai menghasilkan generasi baru (tukik).
reproduksi penyu dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Perkawinan
Penyu melakukan perkawinan dengan cara penyu jantan bertengger di atas punggung penyu
betina. Tidak banyak regenerasi yang dihasilkan seekor penyu, dari ratusan butir telur
yang dikeluarkan oleh seekor penyu betina, paling banyak 1–3% yang berhasil mencapai
dewasa. Penyu melakukan perkawinan di dalam air laut, terkecuali pada kasus penyu
tempayan yang akan melakukan perkawinan meski dalam penangkaran apabila telah tiba
masa kawin. Pada waktu akan kawin, alat kelamin penyu jantan yang berbentuk ekor akan
memanjang ke belakang sambil berenang mengikuti kemana penyu betina berenang. Penyu
jantan kemudian naik ke punggung betina untuk melakukan perkawinan. Selama perkawinan
berlangsung, penyu jantan menggunakan kuku kaki depan untuk menjepit tubuh penyu betina
agar tidak mudah lepas. Kedua penyu yang sedang kawin tersebut timbul tenggelam di
permukaan air dalam waktu cukup lama, bisa mencapai 6 jam lebih. (Yayasan Alam Lestari,
2000). Setiap jenis penyu melakukan kopulasi di daerah sub-tidal pada saat menjelang sore
hari atau pada matahari baru terbit. Setelah 2-3 kali melakukan kopulasi, beberapa minggu
kemudian penyubetina akan mencari daerah peneluran yang cocok sepanjang pantai yang
diinginkan.
Musim bertelur penyu terjadi sepanjang tahun, tiap penyu akan bertelur sekitar 4 sampai 6
kali setiap tahun dengan interval masa peneluran selama 12 sampai 14 hari. Meskipun
demikian, pada musim-musim tertentu, biasanya selama 2 sampai 5 bulan dalam setahun
terjadi produksi telur melimpah. Di Indonesia produksi paling melimpah terjadi pada musim
kemarau, yaitu antara bulan Juli dan Oktober (Prihanta, 2007 ). Penentuan jenis kelamin
penyu dapat dilihat dari ukuran kepala dan ekor. Penyu janttan mempunyai unuran kepala
yang lebih kecil dibandingkan dnegan penyu betina. Penyu betina memiliki ekor yang lebih
pendek dan agak besar apabial dibandingkan dengan penyu jantan.
b. Perilaku Peneluran
Ketika akan bertelur penyu akan naik ke pantai. Hanya penyu betina yang datang ke daerah
peneluran, sedangkan penyu jantan berada di daerah sub-tidal. Penyu bertelur dengan tingkah
laku yang berbeda sesuai dengan spesies masing-masing. Setiap spesies penyu memiliki
waktu peneluran yang berbeda satu sama lain. Lama antara peneluran yang satu dengan
peneluran berikutnya dipengaruhi oleh suhu air laut. Semakin tinggi suhu air laut, maka
interval peneluran cenderung makin pendek. Sebaliknya semakin rendah suhu air laut, maka
interval peneluran cenderung makin panjang. Tahapan bertelur pada berbagai jenis penyu
umumnya berpola sama.
c. Pertumbuhan Embrio
Telur yang baru keluar dari perut penyu betina diliputi lendir, berbentuk bulat seperti bola
pingpong, agak lembek dan kenyal. Pertumbuhan embrio sangat dipengaruhi oleh suhu.
Embrio akan tumbuh optimal pada kisaran suhu antara 24–33 0C, dan akan mati apabila di
luar kisaran suhu tersebut. Kondisi lingkungan yang sangat mempengaruhi pertumbuhan
embrio sampai penetasan, antara lain:
• Suhu pasir
Semakin tinggi suhu pasir, maka telur akan lebih cepat menetas. Penelitian terhadap telur
penyu hijau yang ditempatkan pada suhu pasir berbeda menunjukkan bahwa telur yang
terdapat padasuhu pasir 320C menetas dalam waktu 50 hari, sedangkan telur pada suhu pasir
24 0C menetas dalam waktu lebih dari 80 hari.
• Kandungan air dalam pasir
Diameter telur sangat dipengaruhi oleh kandungan air dalam pasir. Makin banyak penyerapan
air oleh telur dari pasir menyebabkan pertumbuhan embrio makin besar yang berakibat
diameter telur menjadi bertambah besar. Sebaliknya, pasir yang kering akan menyerap air
dari telur karena kandungan garam dalam pasir lebih tinggi. Akibatnya embrio dalam telur
tidak akan berkembang dan mati.
• Kandungan oksigen
Oksigen sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan embrio. Air hujan yang menyerap ke dalam
sarang ternyata dapat menghalangi penyerapan oksigen oleh telur, akibatnya embrio akan
mati.
d) Proses penetasan
Embrio dalam telur akan tumbuh menjadi tukik mirip dengan induknya, masa inkubasi yang
dilewati kurang lebih 2 bulan. Jenis kelamin tukik semasa inkubasi sangat dipengaruhi oleh
suhu.
e) Tukik menuju laut
Tukik menetas setelah sekitar 7-12 minggu. Kelompok tukik memerlukan waktu dua hari
atau lebih untuk mencapai permukaan pasir, biasanya pada malam hari. Untuk menemukan
arah ke laut tukik berpatokan pada arah yang paling terang serta menggunakan topografi garis
horison di sekitarnya. Begitu mencapai laut tukik menggunakan berbagai kombinasi petunjuk
(arah gelombang, arus dan medan magnet) untuk orientasi ke daerah lepas pantai yang lebih
dalam. Kegiatan tukik melewati pantai dan berenang menjauh adalah upaya untuk merekam
petunjuk-petunjuk yang diperlukan untuk menemukan jalan pulang saat mereka akan
kawin. Saat tukik sudah berada di laut diduga memasuki kawasan dimana arus-arus laut
bertemu. Tukik-tukik tersebut menggunakan rumput-rumput laut yang mengapung, benda
apung lain yang terperangkap oleh arus laut serta hewan-hewan laut kecil sebagai makanan.
Tukik jarang terlihat lagi hingga karapasnya mencapai ukuran 20-40 cm dengan usia sekitar
5-10 tahun setelah menetas.
m (Sumber: ãSeaPics.com)

Habitat Bertelur Penyu


Pasir merupakan tempat yang mutlak diperlukan untuk penyu bertelur. Habitat peneluran bagi
setiap penyu memiliki kekhasan. Umumnya tempat pilihan bertelur merupakan pantai yang
luas dan landai serta terletak di atas bagian pantai. Rata-rata kemiringan 30 derajat di pantai
bagian atas. Jenis tanaman atau formasi vegetasi pantai yang biasanya terdapat di sepanjang
daerah peneluran penyu secara umum dari daerah pantai ke arah daratan adalah sebagai
berikut:
a) Tanaman Pioner
b) Zonasi jenis-jenis tanaman yang terdiri dari Hibiscus tiliaceus, Gynura procumbens, dan
lainnya
c) Zonasi jenis-jenis tanaman seperti Hernandia peltata, Terminalia catappa, Cycas rumphii,
dan lainnya
d) Zonasi terdalam dari formasi hutan pantai Callophyllum inophyllum, Canavalia
ensiformis, Cynodon dactylon, dan lainnya.

Secara keseluruhan, terdapat 7 spesies penyu di dunia yaitu Penyu Agar/Penyu pulau
(Green)- Chelonia mydas., Penyu Belimbing Leatherback (Dhermochelys coriacea), Penyu
Karah/ Penyu Sisik,Hawksbill (Eretmochelys imbricata), Penyu Lekang, Olive Ridley
(Lepidochelys olivacea), Penyu Lekang kempii (Lepidochelys kempii), Penyu Pipih, Flatback
(Natator depressus), Penyu Tempayan (Caretta caretta, L). Di Indonesia terdapat enam dari
ketujuh spesies penyu yang ada. Spesies yang tidak terdapat di Indonesia adalah
Lepidochelys kempii (Sukotjo, 1997; Ismu,1997).

a. Penyu Hijau

Penyu hijau merupakan anggota Famili Chelonioidea, Marga Chelonia


dengan nama jenis Chelonia mydas. Penyu hijau memiliki nama lokal
penyu daging. Penyu ini tersebar di seluruh kepulauan Indonesia, dan
masih dapat ditemukan dalam jumlah yang besar, seperti di Pantai
Pangumbahan Jawa Barat dan Kepulauan Derawan Kabupaten Berau,
Kalimantan Timur. Penyu hijau termasuk dalam 6 jenis penyu yang
dilindungi sejak PP No. 7/1999 rentang pengawetan Tumbuhan dan
Satwa dikeluarkan. Penyu hijau dapat dengan mudah dibedakan dengan
penyu lain karena memiliki sepasang sisik di depan matanya sedangkan
jenis lain memiliki lebih dari dua pasang. Penyu hijau memiliki panjang
lebih 3 kaki s/d 5 kaki dengan berat mencapai 871 pounds. Memiliki
cakar yang tajam pada kaki depannya. Interval bertelur antara 2-3 tahun
Sekali musim dapat 3-5 kali bertelur dengan jarak sekitar 12 hari. Sekali
bertelur dapat menghasilkan 115 butir, masa inkubasi sekitar 60 hari.
Ketika penyu hijau masih muda makan berbagai jenis biota laut seperti
cacing laut, udang remis, rumput laut juga alga. Ketika tubuhnya
mencapai ukuran 20-30 cm, penyu hijau berubah menjadi herbivora dan
makanan utamanya adalah rumput laut.

b. Penyu Belimbing

Penyu belimbing merupakan anggota Famili Dermochelidae, Marga


Dermochelysdengan nama jenis Dermochelys coriacea. Penyu
belimbing merupakan jenis penyu yangpaling mudah dikenali oleh
masyarakat. Hal ini disebabkan oleh keadaan morfologi tubuhyang
berukuran paling besar dibandingkan penyu yang lain (seperti Chelonia
mydas danEretmochelys imbricata). . Berat penyu ini dapat mencapai 1
ton dengan panjang dari ujung ekor sampai moncongnya lebih dari 215
cm, sementara jenis penyu yang lainnya sekitar 100 cm. Prithcard
(1971) telah menghitung berat rata-rata penyu belimbing sekitar 300-
600 kg dan dengan panjang tubuh rata-rata sekitar 160-180 cm. Bentuk
kepala dari penyu belimbing kecil, bulat dan tanpa adanya sisik-sisik
seperti halnya penyu yang lain. Penyu belimbing berukuran sekitar
lebar17 sampai 22,3 % dari seluruh panjang karapas; mempunyai paruh
yang lemah, tetapi berbentuk tajam, tidak punya permukaan
penghancur/pelumat makanan. Bentuk tubuh penyu jantan dewasa lebih
pipih dibandingkan dengan penyu betina, plastron mempunyai
cekungan ke dalam, pinggul menyempit dan orseletnya tidak sedalam
pada penyu betina. Warna karapas penyu dewasa kehitam-hitaman atau
coklat tua. Di bagian atas dengan bercak-bercak putih dan putih dengan
bercak hitam di bagian bawahPenyu belimbing dikenal oleh beberapa
masyarakat dengan sebutan penyu raksasa, kantong atau mabo. Daerah
peneluran penyu belimbing dapat ditemukan di pantai barat Sumatera;
selatan Jawa: dan daerah tertutup di Nusa Tenggar. Lokasi peneluran
penyu belimbing tersebar di Indonesia terletak di Pantai Jamursba Medi,
Sorong Irian Jaya dan merupakan pantai peneluran penyu belimbing
terbesar ketiga di kawasan Indo-Pasifik. Penyu ini dilindungi sejak
tahun 1987 berdasarkan keputusan Menteri Pertanian no.
327/Kpts/Um/5/1978.
c. Penyu Lekang

Penyu lekang merupakan anggota Famili Cheloniidae, Marga


Lepidochelys dengan nama jenis Lepidochelys olivacea. Di Indonesia
selain dikenal dengan nama penyu lekang. Penyu ini juga populer
dengan nama penyu abu-abu. Pemberian nama tersebut didasarkan pada
warna cangkang penyu dewasa yaitu abu-abu. Tubuh bagian atas penyu
ditutup oleh karapas dan bagian bawah ditutup plastron. Kedua bagian
tersebut disusun oleh sisik-sisik dengan lapisan zat tanduk yang keras.
Ciri khas karapaks penyu lekang dewasa selain berdasarkan bentuk
karapas yang lebar dan tidak terlalu cembung, juga berdasarkan jumlah
sisik costal (rusuk) yang terletak di kedua sisi tubuh. Warna karapas
penyu dewasa keabu-abuan dan plastron berwarna krem atau keputih-
putihan. Anak penyu yang baru keluar dari telur (tukik), dalam keadaan
basah berwarna hitam, dan dalam keadaan kering berwarna abu-abu
gelap. Penyu lekang adalah hewan yang bersifat karnivora fakultatif,
artinya hewan yang dapat mengkonsumsi hanya satu jenis makanan
dalam suatu periode yang panjang. Tetapi tidak tertutup kemungkinan
adanya sifat herbivora pada penyu lekang. Hal ini terbukti dari
ditemukannya berbagai jenis tumbuhan laut setelah diadakan analisa
lambung. Penyu Lekang, yang juga dikenal dengan nama lokal
slengkrah atau Ridel. Penyu Lekang ditemukan di beberapa wilayah
Indonesia, wilayah penetasannya antara lain di sumatera; Alas Purwo,
Jawa Timur; Paloh, Kalimantan Barat; dan Nusa Tenggara Timur (Salm
dan Halim, 1984; Kitchener, 1996). Penyu lekang dilindungi sejak
tahun 1980 berdasarkan keputusan menteri Pertanian No. 716/Kpts-
Um/10/1980.

d. Penyu Tempayan

Penyu tempayan merupakan anggota Famili Cheloniidae, Marga Caretta


dengan nama jenis Caretta caretta. Penyu ini dapat mudah dibedakan
dari jenis penyu lainnya karena memiliki kepala nampak relative besar
dibandingkan dengan jenis penyu lainnya. Penyu dewasa memiliki berat
lebih dari 350 pounds dan memiliki karapak berwarna merah kecoklatan
dengan plastron coklat sampai kuning, panjang karapak berkisar 82-105
cm. interval bertelur antara 2-3 tahun, bulan-bulan bertelur antara Mei
sampai dengan September satu kali musim dapat bertelur 4-7 kali.
Jumlah telur dapat mencapai 100-126 dengan masa inkubasi 60 hari.
Penyu tempayan memiliki rahang yang kuat untuk menghancurkan kulit
kerang. Penyu Tempayan, yang dikenal dengan nama penyu karet atau
penyu bromo, bersifat karnivora dengan makanan utama kerang-
kerangan, kepiting, bulu babi, dan ubur-ubur; penyu ini jarang
ditemukan di Indonesia, namun daerah penelurannya masih dapat
ditemukan di Provinsi Maluku, dan di perairan Taman Nasional Lut
Taka Bona Rate, Sulawesi Selatan. Penyu tempayan dilindungi sejak
tahun 1980 berdasarkan Keputusan menteri Pertanian no.
176/Kpts/Um/10/1980.

e. Penyu Sisik

Penyu sisik merupakan anggota Famili Cheloniidae, Marga


Eretmochelys dengan nama jenis Eretmochelys imbricatae. Penyu ini
sangat berbeda dengan yang lain karena memiliki karapak yang nampak
bersisik dengan susunan bertumpuk-tumpuk seperti susunan genting.
Sisik berwarna hitam mengkilat, orang-orang membunuhya dengan
tujuan mendapatkan sisiknya yang indah untuk digunakan sebagai
barang perhiasan. Merupakan penyu dengan ukuran terkecil dengan
panjang sekitar 76-91 cm dengan berat 40-60 kg. Memiliki kepala
menyempit dengan mulut seperti paruh burung. Penyu sisik bertelur
dengan interval 2-3 tahun dengan 2-4 kali bertelur dalam satu musim
dengan jarak 15 hari. Jumlah telur yang dihasilkan mencapai 160 butir
alam satu kali peneluran. Dengan masa inkubasi sekitar 60 hari. Paruh
penyu sisik agak runcing sehingga memungkinkan mampu menjangkau
makanan yang berada di celah-celah karang sponge dan anemone.
Mereka juga memakan udang dan cumi-cumi. Penyu sisik dikenal
dengan nama lokal Fonu loka, Penyu genteng, Penyu kembang, Penyu
katungkera dan Wau. Penyu sisik bersifat karnivora dengan makanan
utama sponge, karang lunak, dan kerang-kerangan. Populasi penyu ini
mengalami penurunan drastis, namun masih bertelur di beberapa
wilayah Indonesia. Wilayah penelurannya terdapat di Anambas dan
Natuna, Kepulauan Riau; Lima Momperang; Pasemut,Belitung;
Kepulauan Segamat-Lampung; selatan Ujung Pandang; Bira-Birahan,
dan Kepulauan Derawan di Kalimantan Timur. Di Kepulauan Seribu-
DKI Jakarta, penyu sisik bertelur di P. Peteloran Timur, P. Peteloran
Barat, P. Penjaliran timur, P. Penjaliran Barat serta Gosong rengat
hampir sepanjang tahun, dengan puncaknya pada bulan Februari-April
Penyu ini dilindungi berdasarkan Keputusan menteri Kehutanan no.
882/Kpt-II/1992.

f. Penyu Pipih

Penyu pipih merupakan anggota Famili Cheloniidae, Marga Natator


dengan nama jenis Natator depessus. Penyu pipih dewasa dapat
mencapai berat 198 pounds dengan ukuran panjang 39 inci. Mudah
dikenali dari bentuknya yang sangat pipih dibanding penyu lain. Banyak
ditemukan di karang-karang dan di padang lamun (rumput laut),
bertelur 4 kali dalam semusim dengan jumlah sekitar 50 butir namun
dengan ukuran yang relative besar. Jenis ini karnivora sekaligus
herbivora. Penyu pipih memakan timun laut, ubur-ubur, kerang-
kerangan, udang, dan invertebrata lainnya. Penyu ini berada di perairan
Indonesia hanya untuk mencari makan dan melakukan peneluran di
Australia. Penyu jenis ini sering ditemukan mencari makan di perairan
Irian jaya, tetapi belum pernah ditemukan bertelur di wilayah tersebut.
Penyu ini dilindungi sejak tahun 1992 berdasarkan Keputusan Menteri
Kehutanan no. 882/Kpts- I/1992.

g. Penyu Kempi

Penyu merupakan anggota Famili Cheloniidae, Marga Lepidochelys


dengan nama jenis Lepidochelys kempii. Penyu kempi merupakan
penyu paling langka di dunia, denganukuran paling kecil. Ukuran penyu
dewasa dengan panjang 62-70 cm dengan berat 35-45 kg. karapak
berwarna abu-abu dengan plastron berwarna kuning, penyu ini memiliki
cakar yang kuat. Bertelur tiap tahun dengan 2 kali bertelur dalam satu
musim, jumlah telur mencapai 10 butir dengan masa inkubasi sekitar 55
hari. Bulan bertelur antara April sampai dengan Juni. Seperti halnya
penyu tempayan, mereka juga karnivora. Mereka juga memakan
kepiting, kerang, udang dan kerang remis.

Konservasi Penyu
Secara internasional, penyu masuk ke dalam ‘red list’ di IUCN dan Appendix I CITES yang
berarti keberadaannya di alam telah terancam punah sehingga segala bentuk pemanfaatan dan
peredarannya harus mendapat perhatian secara serius. Oleh karena itu, upaya konservasi
penyu merupakan program penting dan mendesak untuk melindungi dan menyelamatkan
populasi penyu, terutama di Indonesia karena di Indonesia terdapat 6 dari 7 spesies penyu
yang masih ada saat ini yaitu penyu hijau (Chelonia mydas), penyu sisik (Eretmochelys
imbricata), penyu abu-abu (Lepidochelys olivacea), penyu pipih (Natator depressus), penyu
belimbing (Dermochelys coriacea), serta penyu tempayan (Caretta caretta). Jumlah ini
sebenarnya masih menjadi perdebatan karena Nuitja (1992) menyebutkan hanya lima jenis
yang ditemukan, dimanaCaretta caretta dinyatakan tidak ada. Namun demikian, beberapa
peneliti mengungkapkan bahwa Caretta caretta memiliki daerah jelajah yang meliputi
Indonesia (Limpus et al. 1992, Charuchinda et al. 2002).Pergeseran fungsi lahan yang
menyebabkan kerusakan habitat pantai dan ruaya pakan, kematian penyu akibat kegiatan
perikanan, pengelolaan teknik-teknik konservasi yang tidak memadai, perubahan iklim,
penyakit, pengambilan penyu dan telurnya serta ancaman predator merupakan faktor-faktor
penyebab penurunan populasi penyu. Selain itu, karakteristik siklus hidup penyu sangat
panjang (terutama penyu hijau, penyu sisik dan penyu tempayan) dan untuk mencapai kondisi
“stabil” (kelimpahan populasi konstan selama 5 tahun terakhir) dapat memakan waktu cukup
lama sekitar 30–40 tahun, maka sudah seharusnya pelestarian terhadap satwa langka ini
menjadi hal yang mendesak. Kondisi inilah yang menyebabkan semua jenis penyu di
Indonesia diberikan status dilindungi oleh Negara sebagaimana tertuang dalam PP Nomor 7
tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis-jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi.
Konservasi penyu secara internasional mulai bergaung saat The First World Conference on
the Conservation of Turtles di Washington DC, 26 sampai 30 Nopember 1979. Konferensi
tersebut dihadiri sekitar 300 orang ahli ekologi penyu, biologi satwa, biologi perikanan dan
konservasionis yang membahas lebih dari 60 paper dan melakukan analisa dalam
menyelamatkan populasi setiap spesies yang hidup di masing- masing negara (Nuitja, 2006).
Sejauh ini berbagai kebijakan terkait pengelolaan penyu sudah cukup banyak dilakukan, baik
oleh Departemen Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, maupun Departemen
Kelautan dan Perikanan.
BAB III

METODOLOGI

3.1. Deskripsi Area Studi

3.1.1. Letak Geografis Taman Nasional Meru Betiri

Gambar 2 . Taman Nasional Meru Betiri (Sumber: http://merubetiri.com )


Gambar 3 Peta Area Taman Nasional Meru Betiri (Sumber: www.googleearth.com,
2010)

Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) secara geografis terletak pada 113o58’38” –
113o58’30” BT dan 8o 20’48” – 8o 33’48” LS. Taman nasional ini berada di Provinsi Jawa
Timur, dan berbatasan dengan kawasan-kawasan berikut:

a. Sebelah Utara berbatasan dengan kawasan PT. Perkebunan Treblasala dan Perum
Perhutani RPH Curahtakir.
b. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Sarongan, Kecamatan Pesanggaran
Kabupaten Banyuwangi dan kawasan PTPN XII Sumberjambe.
c. Sebelah Selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia
d. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Curahnongko, Andongrejo,Sanenrejo
Kecamatan Tempurejo Kabupaten Jember, kawasan PTPN XII Kalisanen PTPN XII
Kota Blater dan Perum Perhutani RPH Sabrang.

Taman Nasional Meru Betiri luas kawasannya mencakup dua kabupaten sekaligus di Jawa
Timur, yaitu Kabupaten Jember dan Kabupaten Banyuwangi. Oleh karena itu, letak
administratif pemerintahnya pun, TNMB dibagi menjadi dua yaitu kawasan taman nasional
seluas 37.626 ha terletak dibagian barat yaitu Kabupaten Jember dan kawasan taman nasional
bagian timur termasuk Kabupaten Banyuwangi dengan luas 20.374 ha. Luas seluruh kawasan
TNMB adalah 58.000 Ha, terdiri atas 57.155 Ha luas daratan dan 845 Ha perairan. Kawasan
ini juga meliputi dua perkebunan besar, yaitu perkebunan milik PT. Sukamade Baru dan
milik PT. Bandealit. Kini, luas total awasan Taman Nasional Meru Betiri menjadi 58. 000 ha
yang terdiri dari daratan 55.000 ha, dan lautan 845 Ha yang dikelola dibawah Balai Taman
Meru Betiri (Anonim 3, 2010). Kawasan TNMB termasuk hutan hujan tropis dengan formasi
hutan bervariasi yang terbagi ke dalam tiga (3) tipe ekosistem yaitu ekosistem hutan pantai,
ekosistem payau dan ekosistem hutan hujan dataran rendah. Keadaan hutannya selalu hijau
dan terdiri dari jenis pohon yang beraneka ragam serta bercampur jenis bambu yang tersebar
di seluruh areal ini.

1.Ekosistem Pantai
Ekosistem ini dapat dijumpai di sekitar Bandealit, Teluk Sukamade dan Meru. Vegetasi yang
ada terdiri dari dua formasi yaitu formasi Pescaprae dan formasi Baringtonia. Formasi
Pescaprae terdiri dari tumbuhan yang tumbuh rendah dan kebanyakan terdiri dari jenis herba,
sebagian tumbuh menjalar. Jenis yang paling banyak adalah Ubi Pantai (Ipomoea pescaprae)
dan Rumput Lari-Lari (Spinifex squarosus). Formasi Baringtonia terdiri dari Keben
(Baringtonia asiatica), Nyamplung (Calophyllum inophyllum), Waru (Hibiscus tiliaceus),
Ketapang (Terminalia catappa), Pandan (Pandanus tectorius) dan lain-lain (Departemen
kehutanan, 2008).

2. Ekosistem Payau / Mangrove


Ekosistem ini dapat dijumpai di bagian timur Teluk Rajegwesi yang merupakan Muara
Sungai Lembu dan Karang Tambak, Teluk Meru dan Sukamade yang tersusun atas vegetasi
hutan yang tumbuh di garis pasang surut. Jenis-jenis yang mendominasi adalah bakau-
bakauan (Rhizophora sp), Api-Api (Avicenia sp) dan Tancang (Bruguiera sp). Semua jenis
pohon yang terdapat dalam tipe vegetasi ini mempunyai pembentukan akar yang spesifik. Di
muara Sungai Sukamade terdapat Nipah (Nypa fruticans) yang baik formasinya (Departemen
kehutanan, 2008).

3. Hutan Hujan TropikaSebagian besar kawasan hutan TNMB merupakan tipe vegetasi hutan
hujan tropika dataran rendah. Pada tipe ekosistem ini juga tumbuh banyak jenis epifit, seperti
anggrek dan paku-pakuan serta liana. Jenis tumbuhan yang banyak dijumpai diantaranya jenis
Walangan (Pterospermum diversifolium), Winong (Tetrameles nudiflora), Gondang (Ficus
variegata), Budengan (Diospyros cauliflora), Pancal Kidang (Aglaia variegata), Rau
(Dracontomelon mangiferum), Glintungan (Bischoffia javanica), Ledoyo (Dysoxylum
amoroides), Randu Agung (Gossampinus heptaphylla), Nyampuh (Litsea sp), serta Rotan
Warak (Plectocomia elongata) dan lainnya (Departemen kehutanan, 2008).

3.1.2. Topografi

Kondisi topografi kawasan Taman Nasional Meru Betiri secara umum adalah
bergelombang, berbukit dan bergunung-gunung. Ketinggian wilayahnya sangat
bervariasi, mulai dari dataran pantai sampai dengan ketinggian 1.223 meter di atas
permukaan Iaut. Di bagian selatan, topografinya cenderung berbukit-bukit dan makin ke
arah pantai keadaan yang bergelombang. Pada beberapa tempat, laut berbatasan langsung
dengan tebing-tebing yang curam.
Daerah pantai berpasir terletak dari arah timur ke barat kawasan taman nasional
ini. Antara lain Pantai Sukamade, Pantai Permisan, Pantai Meru dan Pantai Bandealit.
Sedangkan daerah dataran yang lebih landai terletak di sekitar Teluk Rajegwesi. Sungai
yang terdapat di kawasan TNMB antara lain Sungai Sukamade dan Sungai Meru yang
berair sepanjang tahun. Pada bagian barat TNMB terdapat Sungai Bandealit dan Sungai
Permisan yang merupakan sumber air minum bagi satwa yang hidup di kawasan Meru
Betiri. (Pusat Konservasi Alam Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi
Alam, 2006).

3.1.3. Tanah dan Iklim

Menurut John Seidenticker dkk. (1976), Taman Nasional Meru Betiri sedikitnya
memiliki 3 (tiga) jenis tanah yaitu tanah aluvial, regosol, dan latosol. Tanah alluvial
umumnya dijumpai di daerah tembah dan dataran rendah sampai daerah pantai,
sedangkan tanah regosol dan latosol umumnya dapat ditemukan di lereng dan puncak
gunung. Tanah di bagian selatan merupakan campuran tanah Mediteran Kuning dan yang
kurang subur, sedangkan di bagian utara tanahnya subur karena mengandung batuan
vulkanik (Pusat Konservasi Alam Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan
Konservasi, 2006)

Berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson, bagian utara dan tengah
TNMB dikategorikan ke dalam tipe iklim B, yaitu daerah tanpa musim kering dan hutan
huujan tropika yang selalu hijau. Sedangkan bagian lainnya termasuk tipe iklim C, yaitu
daerah dengan musim kering nyata dan merupakan peralihan hutan tropika ke hutan
musim. Curah hujan rata-rata di TNMB ini adalah berkisar antara 2.300 sampai dengan
4.000 mm/tahun dengan kelembapan 65 – 80% (Komarayanti, 2007). Curah hujan di
kawasan TNMB banyak dipengaruhi oleh banyaknya angin muson, dimana pada bulan
November sampai bulan Maret angin bertiup dari arah barat yang mengakibatkan turun
hujan, sedangkan pada musim kemarau terjadi pada April sampai bulan Oktober.
Kawasan Taman Nasional Meru Betiri merupakan titik terbasah di Pulau Jawa. Pada
musim kemarau saja dapat terjadi banjir karena tingginya curah hujan yaitu pada bulan
Juni hingga Agustus.

3.1.4. Zonasi

Berdasarkan SK Ditjen PKA nomor: 185/Kpts/DJV/1999 13 Desember 1999,


ditetapkan sistem zonasi pada Taman Nasional Meru Betiri:
a. Zona Inti

Zona Inti seluas 27.915 Ha terletak di bagian timur dan sebagian bagian barat
kawasan Taman Nasional Meru Betiri. Zona ini mutlak dilindungi, didalamnya tidak
diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktifitas manusia. Kegiatan yang
diperbolehkan pada zona ini hanya yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan,
pendidikan dan penelitian. Pada zona ini meliputi 620 ha hutan pantai, 23,870 ha
hutan hujan tropis, dan 3.425 ha Hutan Bambu.

b. Zona Rimba
Zona Rimba seluas 22.622 Ha terletak di bagian barat dan sebagian kecil
bagian selatan kawasan TNMB. Pada zona ini dapat dilakukan kegiatan sebagaimana
kegiatan pada zona inti dan kegiatan wisata alam yang terbatas
c. Zona Pemanfaatan
Zona Pemanfaatan Intensif seluas 1.285 Ha terletak di Resort Bandealit
(Pantai Bandealit), Resort Sukamade (Pantai Sukamade), dan Resort Sarongan (Pantai
Rajegwesi, Teluk Hijau dan Teluk Damai) di kawasan TNMB.

d. Zona Rehabilitasi
Zona rehabilitasi seluas 4.023 Ha terletak di bagian utara dan sebagian kecil
bagian timur kawasan TNMB, dimana pada zona ini dapat dilakukan kegiatan
rehabilitasi kawasan yang sudah rusak akibat perambahan. Kawasan ini merupakan
eks hutan tanaman Jati (Tectona grandis).

e. Zona Penyangga
Zona penyangga seluas 2.155 Ha. terletak di areal bekas perkebunan PT.
Bandealit Kabupaten Jember dan PT. Sukamade Baru, Kabupaten Banyuwangi. Zona
ini adalah zona yang dikelola secara khusus dimana merupakan bagian dari sistem
pengelolaan taman nasional, bertujuan untuk mengakomodir kepentingan
perlindungan dan pelestarian Taman Nasional, wisata alam dan wisata agro (Anonim
4, 2010).

3.1.5. Pantai Sukamade, Taman Nasional Meru Betiri

Pantai Sukamade yang memiliki panjang berkisar antara 2,8 km dengan lebar
intertidal berkisar 22-52 m dan supratidal berkisar antara 16- 32 m. Bencana tsunami
pada tahun 1997 menyebabkan bPantai Sukamade
b mengalami penyusutan panjang
i i
pantai sehingga terjadi abrasi. Penyebab lain penyusutan panjang pantai ini adalah
k k
meluasnya muara sungai yang berhubungan
i ke laut.
i Bentuk pantai yang semula datar
n menjadi landai
karena terjadi penumpukan pasir n sampai agak curam. Perubahan

kemiringan pantai ini disebabkan


l karena terjadinya
l pemindahan massa pasir oleh
a
ombak. Kemiringan Pantai Sukamade a derajat membuat pantai ini sering
sebesar 5–17
p p
dijadikan penyu sebagai tepat bertelur (Pusat Konservasi Alam Direktorat Jenderal
o o
Perlindungan Hutan dan Konservasi
r Alam, 2006).r
a a
n n

i i
t t
u u

d d
a a
w w
a a
l l
i i
3.2. Metode Kerja d d
e e
3.2.1. Pengukuran Kondisi Ekosistemn n
g g
3.2.1.1. Estimasi Stok Karbon a a
n n
Estimasi karbon adalah jumlah C yang tersimpan dalam setiap penggunaan
lahan tanaman, serasah dan tanah.mDalam ekosistem,
m CO2 di udara diserap oleh tubuh
i i
tanaman lalu diubah dalam bentuk
n lain dan ndisimpan dalam bentuk biomassa,
nekromassa, dan bahan organik u u itu, untuk mengukur banyaknya
tanah. Oleh karena
m m
kadar CO2 di udara yang diserap oleh tanaman dapat dilakukan dengan mengukur
biomassa suatu lahan. k k
o o
p
Pengukuran C yang tersimpan p
ini dapat dilakukan dengan metode destruktif
i i
(pengrusakan tanaman), ataupun metode non destruktif (tanpa pengrusakan tanaman).
, ,
Estimasi stok karbon dapat dilakukan
b dengan metode
b pencuplikan plot bertingkat.
i
Berikut merupakan desain plot brtingkat: i
s s
m m
i i
l l
l l
a a
4 x 25h h
, ,
d d
a a
n n
20 x
c c
o o
v v
e e
Gambar 4 . Desain Plot Bertingkat
r r
, ,
d d
i i
a a berbeda, yaitu plot besar dan plot
Plot bertingkat dibagi menjadi 2 plot ukuran
k k
kecil atau disebut sub plot. Plot yang
h
pertma akali
h
dibuat saat melakukan perhitungan
stok karbon pada suatu lahan, adalah
i sub plot. Plot
i ini memiliki ukuran yaitu 4 x 25
r r
meter. Tali rafia dibentangkan pada masing-masing sisi plot untuk menandai batasan
i i
sub plot. Kemudian, bila di dalam d sub plot terdapat
d pohon yang batangnya memiliki
e e
n n
g g
a a
n n
b b
i i
n n
g g
u u
DBH >30 cm, maka plot diperbesar
n ukurannya menjadi
n plot besar dengan ukuran 20 x
50 m. Seluruh pohon dalam plotg dan sub plot kemudian
g diukur DBH (Diameter at
Breast High)-nya menggunakan meteran.
d Pohon dengan
d DBH antara 5-30 cm diukur
a
di dalam sub plot (4 x 25 m), sedangkan a
pohon dengan DBH > 30 cm diukur dalam
n n
plot besar (20 x 50 m). Analisis data stok karbon dari pengukuran DBH digunakan
rumus : t t
i i
d d
u u
r r
. .

Kemudian setelah itu, dilakukan pula pencuplikan core sampler di dalam sub
plot sebanyak 3x untuk diuji kandungan bulk density di laboratorium. Stok karbon
dalam tanah dapat diestimasi dari nilai konsentrasi karbon dan bulk density tanah:

(MacDicken, 1997).

3.2.1.2. Analisis Vegetasi dengan Metode Kuarter

Metode kuarter merupakan salah satu metode analisis vegetasi yang berbasis
pada jarak tanpa menggunakan plot. Metode analisis vegetasi berbasis jarak ini
merupakan metode analisis vegetasi yang area samplinngnya sapat bervariasi namun
dengan jumlah sampel yang telah ditentukan sebelumnya (Newton, 2007). Dalam
metode kuarter ini, titik-titik pengamatan dibuat dan disebar secara acak ataupun
sistematis sebanyak empat titik pengamatan, yang kemudian masing-masing titik
diberi tanda. Setiap titik pengamatan masing-masing dibagi menjadi empat kuadran
yang sesuai dengan arah mata angin, yakni utara, selatan, barat, dan timur. Di dalam
setiap kuadran, pohon yang berada paling dekat dari titik pusat pengamatan dan
memiliki diameter ≥ 10 cm diukur jaraknya dari titik pusat pengamatan ke spesies,
dan diukur diameter serta tingginya. Diagram metode kuarter dapat digambar sebagai
berikut:

Gambar . Diagram Metode Kuarter (Sumber:


http://people.hws.edu/mitchell/PCQM.jpg)

Pengerjaan metode kuarter hanya berupa titik sehingga sering juga metode ini
dilakukan tanpa plot. Metode ini sering dipakai untuk analisis vegetasi berbentuk
hutan atau vegetasi kompleks lainnya. Sama halnya dengan metode analisis yang
menggunakan plot (metode kuadrat), dalam memperoleh nilai penting harus terlebih
dahulu dihitung kerapatan, dominasi, dan frekuensinya.

3.2.1.3. Analisis Komunitas Burung

Teknik pengamatan burung dengan metode titik hitung (point count)


dilakukan untuk mengetahui keanekaragaman dan kelimpahan burung. Teknik
tersebut merupakan studi komunitas burung yang paling sering digunakan oleh
pengamat. Kelemahan dari metode tersebut adalah tidak menggambarkan pola
pergerakan burung. Metode ini dilakukan dengan berjalan ke suatu tempat tertentu,
memberi tanda kemudian selanjutnya mencatat semua burung yang ditemukan dalam
jangka waktu tertentu, misalnya selama satu jam. Selama pengamatan, keberadaan
burung dan habitatnya merupakan hal penting untuk diamati. Jika terlihat adanya
gerakan burung atau terdengar suara burung, maka posisi burung dicari dengan
bantuan binokuler. Setelah posisi burung tersebut ditemukan, burung kemudian
diamati ciri-cirinya dan dibuatkan sketsa kasarnya, serta dicatat pula kondisi sekitar,
seperti tempat dan waktu pengamatan.

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan tersebut, identifikasi jenis burung


dapat dilakukan. Dalam mengidentifikasi burung, informasi yang dibutuhkan antara
lain adalah penampilan tubuh, suara, perilaku dan tempat hidup burung. Oleh karena
itu, catatan yang rinci disertai sketsa tentang burung yang ditemukan merupakan
sarana penting dalam identifikasi lebih lanjut terutama bagi burung-burung yang
tidak dapat dikenal langsung di lapangan (MacKinnon, 1993).

Metode yang digunakan dalam kuliah lapangan ini untuk menentukan


kelimpahan burung pada suatu daerah adalah metode tingkat pertemuan (encounter
rate). Data pada metode ini berupa jumlah individu setiap jenis yang teramati serta
lama pengamatan. Penghitungan tingkat pertemuan dilakukan dengan membagi
jumlah burung yang tercatat dengan jumlah pengamatan, dengan demikian akan
didapatkan jumlah burung per jam untuk setiap jenis. Data tingkat pertemuan dapat
dibagi dalam beberapa kategori urutan kelimpahan sederhana. Berikut ini skala urutan
kelimpahan sederhana pada metode tingkat pertemuan.

Tabel 1 . Skala Urutan Kelimpahan pada Metode Encounter Rate (Sumber : MacKinnon,
1997)

Nilai kelimpahan (jumlah Skala urutan Kategori kelimpahan


individu/ 100 jam)
<0,1 1 Jarang
0,1-0,2 2 Tidak umum
2,1-10 3 Sering
10,1-40 4 Umum
>40 5 Melimpah
3.2.1.4. Estimasi Populasi Mamalia Kecil dengan Metode Life Trap

Mamalia kecil merupakan salah satu bagian dari komunitas yang kompleks
karena mamalia kecil, seperti tikus dan tupai merupakan sumber makanan bagi
predator muda. Oleh karena itu, keberadaan mamalia kecil ini dapat menjadi penentu
keberlangsungan tingkatan trofik di atasnya. Selain itu, jumlah dan komposisi
mamalia kecil di dalam suatu komunitas dapat menggambarkan secara umum suatu
struktur dari suatu komunitas. Dengan menaksir populasi mamalia kecil, dapat
diketahui secara umum bagaimana struktur komunitas di daerah tersebut sehingga
dapat menjadi pembahasan seperti penurunan keberadaan karnivora besar yang
semakin menurun jumlahnya.

Untuk pencuplikan mamalia kecil ordo Rodentia dan Insektivora, digunakan


metode removal method dengan menggunakan perangkap hidup atau life trap. Metode
removal method ini merupakan metode pencuplikan ynag hasil tangkapannya
dihilangkan sementara dari habitatnya sementara pencuplikan selanjutnya
berlangsung. Life trap ini merupakan perangkap jebak dengan menggunakan selai
kacang. Umumnya, perangkap ini diletakkan pada semak belukar atau menyesuaikan
dengan tujuan daerah pencuplikan. Pada kuliah lapangan ini, life trap diletakkan
lantai hutan. Sebelum life trap digunakan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
dalam penggunaan perangkap ini, yaitu:

1. Mengecek mekanisme kerja dari perangkap. Seperti apa mekanisme


perangkap tersebut membuka, menutup, dan bagaimana perangkap
terpicu. Serta apakah mekanisme kerja dari perangkap dalam kondisi
baik atau rusak.

2. Memastikan bahwa perangkap telah bebas dari bau manusia. Oleh


karena itu, selama proses transportasi dan pemindahan, perangkap
dimasukkan dalam kantung plastik. Begitu juga saat pemasangan
perangkap di lokasi, penggunaan sarung tangan plastik menjadi wajib
digunakan. Hal ini dilakukan agar perangkap terhindar dari bau
manusi yang akan sangat peka terdeteksi oleh mamalia, sehingga
dapat mengacaukan pengamatan.
3. Selalu siapkan kantung plastik yang baru untuk umpan baru, umpan
bekas, dan sarung tangan.

4. Memastikan bahwa perangkap tidak hilang terbawa oleh satwa dengan


cara mengikatkan perangkap dengan tali rafia pada pasak.

Metode ini digunakan untuk menginventarisasi mamalia kecil di lantai hutan,


seperti tikus. Karena perangkap yang digunakan merupakan perangkap life trap, satwa
yang tertangkap tidak akan mati.

Gambar 5 . Life trap (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Dalam kuliah lapangan ini, perangkap yang digunakan adalah sebanyak lima
buah. Perangkap diberi umpan yaitu selai kacang yang dioleskan pada kapas.
Kemudian, perangkap diletakkan setiap 10 m pada suatu transek garis lurus sepanjang
50 meter mengarah ke dalam hutan dari tepi jalan. Pemasangan perangkap dilakukan
dimulai dari titik terjauh dari tepi jalan (hutan) menuju ke arah jalan. Setelah
memestikan perangkap telah siap digunakan, maka perangkap ditinggalkan dengan
kondisi sekitar yang tidak terganggu. Serasah yang ada di sekitar perangkap
dikembalikan pada keadaan awal.

Setelah pemasangan perangkap life trap di lapangan, dilakukan pengecekan


terhadap perangkap, dan pemindahan hasil tangkapan apabila ada mamalia yang
terperangkap. Kemudian perangkap dapat digunakan kembali namun sebelumnya
umpan yang lama diganti dengan umpan baru. Hasil tangkapan yang diperoleh
kemudian dicatat, lalu diidentifikasi.
Analisis data penangkapan mamalia kecil dapat dilakukan dengan berbagai
metode analisa. Salah satunya adalah dengan metode pendek. Metode pendek
menggunakan rumus sebagai berikut :

(Y1 = jumlah individu tertangkap periode 1 ; Y2 = jumlah individu tertangkap


periode 2)

Adapun metode linear yaitu metode paling akurat dengan menaksir populasi
dengan rumus :

Nilai a da b diketahui dari regresi grafik, seperti pada metode grafik.

3.2.1.5. Kelimpahan dan Keanekaragaman Serangga Malam dengan Metode Light


Trap

Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk mengumpulkan sampel


serangga. Salah satunya adalah metode light trap. Yaitu metode yang merupakan
jenis perangkap untuk menangkap serangga, khususnya serangga malam. Light trap
prinsipnya adalah menggunakan ketertarikan dan kesensitivan serangga terhadap
cahaya pada malam hari untuk menangkapnya. Perangkap ini menggunakan
blacklight yang memancarkan sinar UV-A pada panjang gelombang 320-400
nanometer yang cukup efektif dalam menarik serangga. Biasanya, perangkap ini
diletakkan di atas wadah seperti ember, dengan dinding pembatas transparan yang
ditempatkan di dekat pusat blacklight. Kemudian, light trap yang telah lengkap
dengan ember ditempatkan menggantung di atas pohon yang disekitarnya tidak ada
sumber cahaya lain. Sehingga, saaat serangga datang menuju sumber cahaya,
serangga kemudian akan menabrak dinding pembatas, lalu terjatuh ke dalam ember
melewati corong. Corong ini berfungsi untuk menghalangi serangga yang telah masuk
untuk keluar lagi. Sementara itu, di dalam wadah telah disediakan agen pembunuh
(killing agent) seperti etil asetat atau amonium karbonat. Agen pembunuh ini akan
menghilangkan tegangan pada permukaan, sehingga serangga yang masuk ke
dalamnya akan langsung tenggelam dan mati.

Gambar 6 . Light trap yang telah terpasang (Sumber : Dokumentasi pribadi)

Jumlah serangga yang berhasil ditangkap oleh perangkap ini dipengaruhi oleh
beberapa faktor. Diantaranya adalah: sumber cahaya buatan yang digunakan, kondisi
iklim serta cuaca, dan stimulus-stimulus alami lainnya. Selain itu, dipengaruhi pula
oleh faktor-faktor lingkungan seperti temperatur dan kelembapan, serta penempatan
perangkap. Penempatan light trap secara vertikal harus diatur sesuai dengan serangga
pada ketinggian mana yang dijadikan sebagai target jebak.

3.2.2. Pengamatan Kondisi Ekosistem

3.2.2.1. Ekosistem Mangrove

Struktur vegetasi mangrove merupakan bentuk representasi dari zonasi,


tahapan suksesi yang terjadi, keberadaan jenis, pertumbuhan, dan aktivitas primer,
mortalitas, kelulushidupan, serta penyebaran propagul pada beberapa bentuk tegakan
yakni semal, pancang, dan pohon (McGowan. 2006). Jenis vegetasi mangrove sendiri
dibagi menjadi dua komponen utama yaitu mangrove mayor dan mangrove minor.
Mangrove mayor adalah jenis vegetasi mangrove yang spesifik tumbuh pada kondisi
dengan salinitas tinggi, sementara vegetasi mangrove minor dapat tumbuh diluar
kondisi lingkungan yang bersalinitas.

Kondisi existing ekosistem mangrove dapat diketahui dengan melakukan


pengamatan secara visual untuk mengetahui keanekaragaman jenis mangrove yang
ada. Dilakukan pula pengamatan dan pecatatan biota lain yang berasosiasi dengan
ekosistem mangrove.

Pada TNMB, ekosistem ini dapat dijumpai di bagian timur Teluk Rajegwesi
yang merupakan Muara Sungai Lembu dan Karang Tambak, Teluk Meru dan
Sukamade. Jenis-jenis yang mendominasi adalah jenis bakau-bakauan (Rhizophora
sp), Api-Api (Avicenia sp) dan Tancang (Bruguiera sp). Sedangkan di muara Sungai
Sukamade terdapat Nipah (Nypa fruticans) yang baik formasinya.

3.2.2.2. Ekosistem Estuari

Kondisi existing estuari dapat diketahui dengan melakukan pengamatan visual


karakteristik habitat, pengukuran berbagai parameter fisika-kimia lingkungan dan juga
dengan pencuplikan biota perairan. Ikan adalah salah satu biota perairan yang dapat
digunakan untuk menggambarkan kondisi exsisting perairan. Metode pencupilikan
ikan dilakukan dengan pemasangan jaring (gill net). Hasil tangkapan yang didapat
menunjukukkan hasil tangkapan dalam sekali periode penangkapan dan dapat
menggambarkan frekuensi penangkapan yang memiliki hubungan dengan kepadatan
ikan pada periode waktu tersebut.

Metode penangkapan ikan yang digunakan adalah dengan cara pemasangan


gill net . Gill net dipasang pada interval waktu tertentu (misalnya satu malam) dan
selanjutnya hasil tangkapan diidentifikasi, dihitung kelimpahan dan
keanekaragamannya hingga tingkat famili. Pengukuran parameter fisika-kimia
perairan dilakukan setiap interval jarak tertentu dari arah yang paling hilir menuju ke
arah hulu perairan.
Gambar 7. Gill net untuk menangkap ikan

(Sumber : http://www.seagrant.umn.edu/fisheries/img/bottom_gill_net_sm.gif)

3.2.2.3. Penyu

Salah satu hal yang membuat Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) spesial
dari taman nasional lainnya adalah karena TNMB ini merupakan taman nasional yang
sering ditempati sebagai tempat bertelurnya 4 dari 7 jenis penyu laut yang masih
hidup di dunia. Jenis penyu bertelur di kawasan taman nasional ini antara lain adalah
Chelonia mydas (penyu hijau), Eretmochelys imbricata (penyu sisik), Lepidochelys
olivacea (penyu lekang), dan Dermochelys coriacea (penyu belimbing)

Pengamatan penyu dilakukan untuk mengetahui jenis penyu yang mendarat di


pantai untuk bertelur dengan mengaati morfologinya. Selain itu juga dilakukan
perhitungan jumlah induk penyu dan jumlah telur serta mangamati perilaku saat
penyu bertelur.

Identifikasi jenis penyu dapat dilakukan berdasarkan pada hal-hal berikut:

a. Bentuk luar (morfologi)

b. Tanda-tanda khusus pada karapas (jumlah, bentuk, dan pola, serta warna)

c. Jejak dan ukuran sarang (diameter dan kedalaman sarang) serta kebiasaan bertelur

d. Pilihan habitat peneluran


Oleh karena itu, pengenalan terhadap bagian-bagian tubuh penyu beserta fungsinya
sangat diperlukan agar dapat melakukan identifikasi dengan baik. Tubuh penyu terdiri
dari bagian-bagian sebagai berikut:

a. Karapaks, yaitu bagian bagian punggung penyu yang tersusun dari zat tanduk
dan berfungsi sebagai pelindung. Biasa juga disebut sebagai tempurung penyu.

b. Infra Marginal, yaitu keping penghubung antara bagian pinggir karapas


dengan plastrón. Bagian ini dapat digunakan sebagai alat identifikasi.

c. Tungkai depan, yaitu kaki berenang di dalam air yang berfungsi sebagai alat
dayung.

d. Tungkai belakang, yaitu kaki bagian belakang (pore fliffer) yang berfungsi
sebagai alat penggali saat bertelur atau sebagai alat bantu saat berjalan di atas
pasir.

Kunci utama dalam identifikasi penyu umumnya mengandalkan pada karakter


karapaks, penampakan dan jumlah scutes, dan penampakn jumlah prefrontal pada
bagian dorsal kepala. Hal ini menjadi begitu penting, sebab mengingat bahwa hampir
semua penyu yang hidup saat ini merupakan anggota famili yang sama. Berikut
merupakan kunci determinasi yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi penyu:
Gambar 8 . Kunci determinasi Penyu (Sumber : Yayasan Alam Lestari, 2000)

You might also like