You are on page 1of 22

PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN  

MASYARAKAT (PNPM) MANDIRI: 
PROYEK BUTA TULI TERHADAP  
ASPIRASI MASYARAKAT DESA 

Team Riset PNPM INFID: 
George Junus Aditjondro (koordinator) 
Delima Silalahi (KSPPM Parapat) 
Milita Priatna Utami (LSBH NTB) 
Wendy Bullan  (Cis Timor) 
DAFTAR ISI

PENGANTAR 1

METODOLOGI PENELITIAN 3

PEMILIHAN LOKASI PENELITIAN 4

HASIL PENGAMATAN LAPANGAN 6

KESIMPULAN 17

REKOMENDASI 19

DAFTAR SINGKATAN 20
PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN
MASYARAKAT (PNPM) MANDIRI:
PROYEK BUTA TULI TERHADAP
ASPIRASI MASYARAKAT DESA

PENGANTAR
Pendekatan pemberdayaan masyarakat selama ini telah banyak diupayakan melalui berbagai kegiatan
pembangunan sektoral maupun regional. Namun berbagai kegiatan itu masih dianggap kurang efektif dan
dilaksanakan secara parsial dan tidak berkelanjutan, sehingga digulirkanlah Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat (PNPM) Mandiri oleh Presiden RI pada tanggal 30 April 2007 di kota Palu, Sulawesi Tengah. PNPM
dianggap sebagai penyempurna program-program penanggulangan kemiskinan yang pernah dilaksanakan. PNPM
Mandiri adalah program nasional dalam wujud kerangka kebijakan yang menjadi dasar dan acuan pelaksanaan
program-program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat
merupakan upaya untuk menciptakan/meningkatkan kapasitas masyarakat menuju kemandiriannya dalam
pembangunan dari, oleh, dan untuk masyarakat. Secara umum PNPM Mandiri bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat miskin dan meningkatkan kesempatan kerja.

Penanggulangan kemiskinan tidak dapat dilaksanakan secara instan dan bersifat sementara tetapi harus terus
menerus dan berkelanjutan. Perlu penanganan menyeluruh dan intervensi dari semua fihak baik pemerintah,
masyarakat dan kelompok peduli (swasta, asosiasi, perguruan tinggi, media, ornop, dll). Untuk itu struktur
kelembagaan PNPM Mandiri mencakup unsur pemerintah, fasilitator dan konsultan pendamping serta masyarakat
baik di pusat maupun daerah.

Demi harmonisasi, efektifitas dan keberlanjutan program pemberdayaandibentuklah Tim Pengendali PNPM yang
terdiri dari Tim Pengarah dan Tim Pelaksana. MenKo Kesra mengetuai Tim Koordinasi Penanggulangan
Kemiskinan. Sementara di tingkat provinsi dan kabupaten/kota dibentuk satuan kerja.

Implementasi program ini didukung dengan sumber dana yang berasal dari APBN dan APBD dalam bentuk cost
sharing system. Kecamatan menjadi locus program untuk mengharmonisasikan perencanaan, pelaksanaan dan
pengendalian program. Masing-masing kecamatan diberikan kewenangan mengelola anggaran dengan besaran
antara Rp 900 juta s/d Rp 3 milyar. Tugas dan kewenangan Pemerintah Daerah hanyalah pengawasan dan
memastikan pemberdayaan. Sedangkan pelaksanaan program sepenuhnya tanggungjawab dan wewenang Unit
Pengelola Kegiatan (UPK). Pemerintah daerah tidak terlibat langsung dalam pelaksanaan program karena PNPM
adalah murni program pemberdayaan dari, oleh dan untuk masyarakat sehingga ada ketakutan jika pemerintah
terlibat dalam pelaksanaan program terjadi konflik kepentingan.

Sejarahnya, PNPM ini merupakan program lanjutan dari Program Pengembangan Kecamatan (PPK) yang dimulai
tahun 1998. Awalnya proyek PPK ini hanya dilakukan di beberapa propinsi sebagai uji coba, namun karena dianggap
berhasil dalam mengurangi kemiskinan maka program ini dijadikan menjadi program nasional yang disebut dengan
PNPM di seluruh Provinsi di Indonesia. Misalnya, s/d tahun 2010, total alokasi Bantuan Langsung Masyarakat (BLM)
di Sumatera Utara mencapai Rp.1.658.325.000.000,-.

1
Sesungguhnya, jika melihat ke belakang, klaim bahwa program PPK berhasil perlu dipertanyakan. Dari hasil
penelitian INFID tahun 2007 di Sulawesi Tengah ditemukan berbagai kegagalan dari proyek ini1. Bahkan proyek
UEP PPK lebih banyak yang gagal daripada yang sukses. Di Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara, tidak ada
UEP yang berjalan dengan baik. Kegagalan-kegagalam PPK yang tidak berhasil menumbuhkan kemandirian
masyarakat tidak menjadi acuan pemerintah dalam melanjutkan proyek PNPM ini.

Pelaksanaan PNPM di Indonesia mendapat banyak pujian dari berbagai fihak, baik oleh pejabat pemerintah, maupun
Bank Dunia. Indonesia dijadikan sebagai contoh sukses pelaksanaan PNPM dalam upaya pengentasan kemiskinan
dan pencipataan lapangan kerja di desa.

Makanya, bertitiktolak dari klaim keberhasilan proyek PNPM tersebut, INFID melakukan penelitian untuk menguji
klaim-klaim tersebut.

1Lihat Laporan Tim Riset PPK, Dahniar dan Danel Lasimpo (2008). Menebar Dana, Menuai
Kemiskinan: PPK (Program Pengembangan Kecamatan), Program Pengentasan Kemiskinan
Bank Dunia di Sulawesi Tengah. Working Paper No. 2. Jakarta: INFID (International NGO Forum
on Indonesian Development).

2
METODOLOGI PENELITIAN

Riset ini menggunakan metode semi-grounded multiple case study di mana para peneliti merupakan instrumen
penelitian yang utama, dan bukan kuesioner yang diaplikasikan kepada sejumlah responden. Metode pengumpulan
data yang dipergunakan adalah studi kepustakaan yang dituangkan ke dalam metode grafis, khususnya web chart,
untuk mengkonsolisasikan informasi yang ada. Metode grafis yang dihasilkan menjadi pedoman untuk pengamatan
lapangan dan wawancara mendalam.

Analisis terhadap data yang terkumpul di lapangan dipertajam dengan menggunakan asumsi dari fihak Bank Dunia
atau mereka yang mendukung PNPM Mandiri, maupun dari Tim Riset INFID. Asumsi-asumsi tersebut adalah
sebagai berikut :

Asumsi-asumsi Bank Dunia, yang diambil dari Pedoman Umum PPNPM, adalah :

1. Meningkatnya partisipasi seluruh masyarakat;


2. Meningkatnya kapasitas kelembagaan masyarakat yang mengakar, representatif dan akuntabel;
3. Meningkatnya kapasitas pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat (pro-poor
budgeting);
4. Meningkatnya sinergi masyarakat, pemerintah daerah dan kelompok peduli dalam upaya penanggulangan
kemiskinan;
5. Meningkatnya modal sosial masyarakat yang berkembang sesuai dengan potensi sosial dan budaya serta
untuk melestarikan kearifan lokal;
6. Meningkatnya inovasi dan pemanfaatan teknologi tepat guna, informasi dan komunikasi dalam
pemberdayaan masyarakat.

Sementara asumsi-asumsi Tim Riset INFID, diturunkan dari hasil penelitian Tim Riset PPK INFID di Sulawesi
Tengah, tahun 20082, yang menunjukkan bagaimana program pendahulu PNPM, yakni PPK, dihinggapi kelemahan-
kelemahan sebagai berikut, yakni:

1. Rawan korupsi;
2. Mendorong konflik horizontal;
3. Pelaksanaan proyek asal habis dialokasikan;
4. Membuka akses bagi masuknya investasi ke daerah-daerah di mana program itu dilaksanakan;
5. Semakin memperluas ruang diskriminasi kaya dan miskin.

2 Lihat Dahniar dan Lasimpo (2008). Op. cit.

3
PEMILIHAN LOKASI PENELITIAN:

Ada tiga provinsi yang dipilih sebagai daerah penelitian, yakni Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur
(NTT), dan Sumatera Utara. Kedua provinsi kepulauan itu dipilih karena IPM (Indeks Pembangunan Manusia) atau
HDI (Human Development Index3) nya termasuk yang terendah di Indonesia, yakni 62,4 untuk NTB dan 63,6 untuk
NTT, menurut survei HDI Indonesia tahun 2005. Sementara Sumatera Utara (dengan HDI sebesar 72,0, termasuk
delapan provinsi dengan HDI tertinggi tahun 2005) dipilih sebagai pembanding terhadap kedua provinsi dengan HDI
terendah di Indonesia itu.

Selanjutnya, di setiap provinsi, dipilih sejumlah kabupaten untuk melihat kinerja PNPM di desa-desa di mana ada
program PNPM, yang bervariasi. Misalnya, di NTT dipilih empat desa di Kabupaten Sumba Timur, yang paling
rendah HDInya untuk seluruh NTT, yakni 59,6, serta empat desa di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), di
mana HDInya termasuk yang terendah di daratan Timor, yakni 62,7. Salah satu desa penelitian di TTS berada di
wilayah konsesi tambang mangan PT Soe Makmur Resources (SMR).

Di NTB, dipilih empat desa di Kabupaten Lombok Barat, yang paling rendah HDInya untuk seluruh NTB, bahkan
paling rendah untuk seluruh Indonesia, yakni 57,8. Sementara itu, satu di antara desa-desa pilihan di Lombok Barat,
Ombe Baru, dianggap berhasil oleh Bank Dunia, karena sudah tidak ada busung lapar lagi di desa itu, setelah
Posyandu memberikan pelayanan PMT (pemberian makanan tambahan). Kondisi empat desa itu dikontraskan
dengan empat desa di Kabupaten Sumbawa Barat, dengan HDI sebesar 63,4, dekat tambang emas Batu Hijau yang
dikelola perusahaan tambang emas AS, Newmont. Adapun di Sumatera Utara, dipilih tiga kabupaten di tengah dan
tepi Danau Toba, yakni Samosir (dua desa), Toba Samosir (tiga desa), dan Tapanuli Utara (empat desa). HDI di
ketiga kabupaten itu berkisar antara 72,1 (Tapanuli Utara) dan 74,5 (Toba Samosir).

3 ) Human Development Index (HDI) atau IPM (Indeks Pembangunan Manusia) adalah angka

yang diolah berdasarkan tiga dimensi, yaitu panjang usia (longevity), pengetahuan
(knowledge) dan standar hidup (standard of living) suatu bangsa. Secara teknis, ketiga
dimensitu itu dijabarkan menjadi beberapa indicator, yaitu kesehatan dan kependudukan,
pendidikan, serta ekonomi. Indikator kesehatan menyangkut angka kematian bayi (infant
mortality rate), angka kematian balita (under-five mortality rate), dan lainnya. Indikator
kependudukan menyangkut usia harapan hidup (life expectancy), serta penduduk yang tak
mempunyai harapan hidup sampai 60 tahun (people not expected to survive to age 60).
Indikator pendidikan menyangkut angka melek huruf (literacy rate), anak yang berpendidikan
sampai kelas lima SD (children reaching grade 5), dan angka partisipasi pendidikan (enrollment
ratio).

4
Untuk jelasnya, daftar desa yang dijadikan lokasi penelitian itu adalah:

Desa Kecamatan Kabupaten Provinsi


Kesetnana Mollo Selatan Timor Tengah Selatan Nusa Tenggara Timur
(TTS) (NTT)
Boentuka Batu Putih TTS NTT
Supul Kuatnana TTS NTT
Tublopo Amanuban Barat TTS NTT
Kadahang Haharu Sumba Timur NTT
Humbapriang Kanatang Sumba Timur NTT
Praibokul Mentawai Lapau Sumba Timur NTT
Kambatatana Pandawai Sumba Timur NTT
Sekongkang Atas Sekongkang Sumbawa Barat Nusa Tenggara Barat
(NTB)
SP 1 Sekongkang Sumbawa Barat NTB
Sapugara Brang Rea Sumbawa Barat NTB
Bree Brang Rea Sumbawa Barat NTB
Ombe Baru Kediri Lombok Barat NTB
Montong Are Kediri Lombok Barat NTB
Kekeri Gunung Sari Lombok Barat NTB
Dopang Gunung Sari Lombok Barat NTB
Siabal-abal 3 Sipahutar Tapanuli Utara Sumaera Utara (Sumut)
Sigumbang Siborongborong Tapanuli Utara Sumut
Sipahutar Sipoholon Tapanuli Utara Sumut
Lumban Silintong Pagaran Tapanuli Utara Sumut
Narumonda Porsea Toba Samosir Sumut
Janji Matogu Partoruan Uluan Toba Samosir Sumut
Parhabinsaran Uluan Toba Samosir Sumut
Buhit Pardugul Pangururan Samosir Sumut
Ronggur Ni Huta Ronggur Ni Huta Samosir Sumut

5
HASIL PENGAMATAN LAPANGAN :

1. Rendahnya Partisipasi Masyarakat:

Jika dalam laporan-laporan pengelola PNPM dikatakan bahwa partisipasi masyarakat cukup tinggi, namun dari
wawancara dan pengamatan di Sumatera Utara ternyata partisipasi masyarakat sangat rendah. Warga desa
masih banyak yang tidak mengetahui PNPM. Masalahnya, definisi partisipasi bagi pengelola PNPM sangat
sempit, hanya dilihat dari dua hal, yaitu:

a. Kehadiran mengikuti musyawarah desa:

Padahal dari segi kehadiran warga mengikuti musyarah terbilang cukup rendah. Dalam setiap sosialisasi di
desa, yang hadir hanya rata-rata 25-80 orang. Padahal penduduk dari setiap desa bisa mencapai 450 KK.

Memang di setiap kabupaten ada kesepakatan jumlah batas minimal kehadiran dalam setiap musyawarah.
Seperti di Tapanuli Utara, musyawarah desa dikatakan mewakili jika dihadiri minimal 30 warga. Sedangkan
di Samosir harus dihadiri minimal 25% warga. Warga yang menghadiri musyawarah pada umumnya adalah
warga yang memiliki kedekatan dengan Kepala Desa. Warga Dusun Huta Simbolon Desa Sigumbang,
Kecamatan Siborongborong, Kabupaten Tapanuli Utara mengatakan mereka tidak hadir karena sebagai
keluarga miskin mereka tidak mengetahui apa itu PNPM dan berangkat dari pengalaman di desanya,
musyawarah sejenis hanya didominasi oleh tokoh-tokoh di desa dan yang dekat dengan Kepala Desa. Hal
yang sama juga dikatakan oleh warga di Desa-Desa Siabal-abal III , Lumban Silintong, Buhit Pardugul,
Narumonda, Janji Matogu Partoruan, Parhabinsaran, dan Ronggur Ni Huta.

b. Keterlibatan warga dalam pembangunan infrastruktur disesuaikan dengan Harian Orang Kerja (HOK):

Partisipasi juga dilihat dari keterlibatan warga dalam pembangunan infrastruktur. Padahal menurut sebagian
warga, mereka terlibat dalam proyek tersebut karena mengharapkan imbalan upah. Bukan karena
kesadaran berpartisipasi seperti yang di kalaim pengelolan PNPM. HOK yang diberikan ditentukan pada
saat musyawarah desa dan besarannya minimal sama dengan HOK yang berlaku di desanya.

Partisipasi warga masih sangat rendah ini diakui para pelaku PNPM. Pengurus TPK di Desa Buhit Pardugul
mengatakan bahwa sosialiasi sudah dilakukan melalui pengumuman di gereja, namun penduduk desa yang
hadir hanya sekitar 30 orang. Menurut mereka ketidakhadiran ini karena pendidikan masyarakat desa masih
rendah dan tidak mau belajar.

Pengurus UPK di Pangururan mengatakan bahwa partisipasi yang rendah ini juga disebabkan anggapan
warga desa bahwa program ini tidak jauh berbeda dari musrembang di desa yang berjalan selama ini.

Partisipasi yang rendah ini juga disebabkan oleh minimnya sosialisasi yang dilakukan oleh pelaku PNPM di
desa. Mereka hanya terpaku pada tahapan proses. Sosialisasi dilakukan pada saat Musyawarah Antar
Desa (MAD) Sosialisasi di kecamatan yang hanya dihadiri minimal enam orang utusan setiap desa.
Dilanjutkan dengan sosialisasi di desa yang disebut dengan Musyawarah Desa (MD) I. Dalam MD I, ini
yang hadir juga sangat sedikit.

Panitia-panitia yang dibentuk di tingkat desa dan kecamatan pun tidak mampu menjelaskan kegiatan PNPM
ini dengan baik. Walapun sudah menjadi tim, tidak mengetahui apa tugasnya. Selain pengurus TPK (Tim
Pengelola Kegiatan), panitia lainnya di desa sama sekali tidak berperan.

6
c. Tingkat partisipasi juga sangat dipengaruhi peran Kepala Desa:

Banyak Kepala Desa yang kurang mendukung proyek ini karena tidak banyak memberikan keuntungan bagi
dirinya. Kepala desa lebih setuju proyek PNPM ini digunakan untuk pembangunan infrastruktur tapi tidak
untuk dana bergulir. Karena jika dana bergulir mengalami kemacetan atau bermasalah, maka desa mereka
akan mendapat catatan hitam bagi proyek PNPM.

Di daerah penelitian di Nusa Tenggara Barat, tidak semua warga masyarakat berpartisipasi dan dilibatkan
dalam proses pembangunan. Hanya tokoh masyarakat saja yang terlibat dalam proses perencanaan
sampai pada evaluasi proyek. Untuk menjadi UPK syaratnya adalah perwakilan dari desa-desa. Padahal,
hanya tokoh-tokoh masyarakat yang dipilih untuk menjadi anggota UPK.

2. Proyek PNPM berorientasi pada pelaksanaan program bukan pada hasil pemberdayaan:

Dari penelitian di Sumatera Utara ditemukan bahwa pelaksanaan proyek PNPM lebih berorientasi pada target
pelaksanaan program secara fisik. Misalnya jumlah bangunan yang sudah selesai dan jumlah dana simpan pinjam
yang sudah dicairkan. Sehingga pemberdayaan yang diharapkan sama sekali tidak ada atau tidak sebanding dengan
uang yang dihamburkan.

Pembangunan infrastruktur yang didanai PNPM di sembilan desa di Sumatera Utara, hampir semuanya tidak
memberikan dampak langsung terhadap peningkatan perekonomian dan kesejahteraan rakyat.

Proyek Peningkatan jalan sepanjang 800 m di Desa Lumban Silintong yang merupakan proyek PNPM Perdesaan
tahun 2009 baru selesai April 2010 yang lalu. Namun proyek yang menghabiskan dana Rp. 148 juta tersebut sudah
tidak bisa digunakan sejak Juni 2010. Tidak ada satu fihak pun -- baik TPK, UPK, atau pemerintah -- yang
bertanggungjawab dengan kerusakan jalan ini. Masyarakat pun tidak mau bergotong royong untuk memperbaiki
jalan tersebut karena bukan usulan mayoritas warga. Jalan ini menuju hutan pinus mantan Kepala Desa dan
beberapa orang warga. Sedangkan pihak TPK menganggap bahwa proyek sudah selesai dan diserahkan kepada
pemerintah desa. Kepala Desa pun berdalih bahwa itu dibangun bukan pada masa jabatannya, sehingga bukan
tanggungjawabnya. Proyek asal jadi ini juga terjadi di Desa Buhit Pardugul. Pompanisasi yang selesai tahun 2009
ini tidak berfungsi sama sekali. Bahkan saat ini sudah menjadi bangunan tidak terpelihara.

Temuan ini semakin menguatkankenyataan bahwa program PNPM dilakukan tanpa melihat potensi lokal yang
dimiliki masyarakat. Dalam laporan pencairan dan kemajuan kegiatan PNPM terlihat bahwa semua kegiatan di
masyarakat termasuk pertemuan hanya untuk memastikan semua tahapan terlaksana, pelatihan yang dilakukan pun
hanya untuk mereka yang terekrut sebagai TPK, UPK, Fasilitator dan pelaku manajemen PNPM baik dari tingkat
desa sampai kabupaten. Fasilitator PNPM Kabupaten Sumba Timur ketika diwawancarai mengatakan: “Pelatihan
untuk pendamping ada sebelas jenis. Ada pelatihan yang dilakukan oleh fasilitator dan UPK untuk kelompok SPP
tentang petunjuk-petunjuk teknis pedmbukuan, namun tidak ada pelatihan regular tentang penguatan kelompok,
yang ada hanyalah pendampingan dalam bentuk pengontrolan terhadap kemampuan pengembalian pinjaman,
selama masa peminjaman”.

Di Sumba Timur beberapa tokoh desa dan masyarakat mengeluh berkaitan dengan RAB yang yang dibuat, mereka
tidak mengerti sekalipun RAB infrastruktur diperlihatkan bagi mereka dengan spesifikasi karena itu bukan keahlian
kami untuk tahu mana yang bermutu atau tidak untuk jalan yang baik. Hal ini dikuatkan dengan pernyataan seorang
warga masyarakat TTS yang sebenarnya lebih memilih pelatihan penguatan kapasitas pertanian yang berhubungan
denga pekerjaanya, tetapi karena dalam tahap sosialisasi diumumkan bahwa dan pagu dana untuk infrastruktur
sehingga lebih memilih infrastruktur. Bagi masyarakat desa lebih memilih fisik karena belum ada prasarana untuk
pelayanan dasar di desa.

7
3. Sinerja yang tidak terbangun antara Masyarakat, Pemerintah, pengelola PNPM dan kelompok-kelompok
peduli:

a. Koordinasi kerja antara pemerintah dan pengelola PNPM tidak berjalan dengan baik:

Pelaku PNPM di daerah pada umumnya mengatakan bahwa dukungan pemerintah sangat minim terhadap
proyek ini. Menurut B. Purba, Kepala Bagian Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD) Tapanuli Utara,
sesuai dengan MOU Bank Dunia dan Pemerintah Republik Indonesia bahwa program ini adalah dari, oleh,
dan untuk masyarakat. Jadi peran pemerintah memang sangat kecil. Seakan bersembunyi di balik prinsip
mengutamakan “partisipasi masyarakat” pihak pemerintah kabupaten terkesan lepas tangah dari
pelaksanaan proyek ini.

Koordinasi yang tidak baik ini terjadi dari tingkat desa . Di desa, partisipasi masyarakat rendah mulai dari
tahap awal sampai pada tahap pemeliharaan. Peran kepala desa dalam menggalang swadaya dan
partisipasi sangat menentukan keberhasilan proyek ini. Namun dalam kenyataannya banyak kepala desa
yang tidak sepenuhnya memberikan dukungan terhadap pelaksanaan kegiatan PNPM di desanya. Bagi
informan, proyek ini ibarat makan buah simalakama, menerima atau tidak,kepala desa celaka. Padahal
kepala desa tidak menerima bagian apapun dari proyek ini.

Peranan Kepala Desa sangat menentukan dalam pelaksanaan kegiatan PNPM di desanya. Di desa-desa
yang diteliti di Sumatera Utara ditemukan beberapa dampak buruk dari tidak adanya koordinasi ini. Dampak
paling nyata adalah pemeliharaan yang tidak jalan paska pelaksanaan kegiatan.

Contoh lain lagi adalah proyek pompanisasi di Desa Buhit Pardugul yang dibangun tahun lalu, tapi sekarang
sudah tidak berfungsi sama sekali. Proyek yang tadinya diharapkan mampu memompa air dari Danau Toba
ke sawah warga sudah menjadi bangunan yang mubazir. Menurut warga hal ini disebabkan karena
berbagai kecurangan dalam proses pembangunan tersebut, misalnya pemenang tender yang tidak kredibel
tapi dimenangkan karena dekat dengan pengurus TPK. Warga lain mengatakan bahwa proyek ini salah
rancaang bangun (design), karena fasilitator teknik dari Kecamatan tidak mau mendengarkan pendapat
warga. Tapi ketika dikonfirmasi kepada UPK Pangururan, hal ini disebabkan peran masyarakat yang tidak
ada dan Kepala Desa tidak mendukung program ini. Menurut UPK harusnya Kepala Desa sebagai
pemerintahan desa mampu mengusahakan dana untuk memperbaiki pompa tersebut melalui swadaya
masyarakat. Namun Kepala Desa merasa bahw a itu bukan kewajiban desa, tapi merupakan
tanggungjawab pengelola PNPM.

b. PNPM menambah tumpang tindihnya program pemberdayaan di masyarakat:

Begitu banyak program pemberdayaan di masyarakat termasuk dari berbagai dinas-dinas yang programnya
hampir sama dan terkadang untuk lokasi yang sama. Hasil wawancara dengan Kepala Bagian UEM
BPMPD Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) mengatakan tidak masalah sasaran yang sama untuk
beberapa program, kami ingin agar masyarakat terbantu dengan berbagai program yang dilakukan.
Ketidakefektifan ini membuat program pemberdayaan yang dilakukan sangat tumpang tindih dan
masyarakat sendiri ketika diminta untuk mengukur seberapa besar pengaruh yang diberikan dari berbagai
program hanya mampu menunjukkan bukti fisik tanpa bisa mengukur perubahan dalam diri mereka.

Tumpang tindihnya program menunjukkan system koordinasi yang tidak bagus antara lembaga sehingga
program pemberdayaan yang dilakukan sekedar untuk menghabiskan dana yang telah dialokasikan. Hal ini
ditegaskan lagi oleh Kepala Seksi Ekonomi BPMD Sumba Timur, banyak sekali program pemberdayaan
untuk kesejahteraan orang miskin, yang terbesar adalah PNPM. Salah satu bentuknya lewat pembangunan

8
fisik. Misalkan bantuan untuk sekolah, kalau dilihat sudah ada dana BOS untuk sekolah dari Dinas
Pendidikan, tetapi ada juga dari PNPM. Program membuka dan perbaikan jalan, merupakan tugas dinas PU
yang jika dilihat dari sisi anggaran yang enak orang PU, anggarannya tidak keluar lagi, padahal plot
anggaran telah ada.

Dahulu BPM mengadakan bantuan PLTS ke desa-desa di pegunungan dan memberikan pelatihan
perawatannya, tetapi itu sudah diambil oleh Dinas Pertambangan, sehingga peran BPM dipotong.
Seharusnya PNPM belajar dari proses yang terjadi sebelumnya. PNPM melakukan kegiatan pemberdayaan
yang berkaitan dengan pertanian, peternakan, pembangunan jalan, posyandu yang juga dilakukan
pemerintah (SKPD). Harus ada yang langkah- langkah yang diakukan sehingga yang dilakukan PNPM tidak
tumpang tindih dengan program dinas lain yang bersumber dari pemerintah juga.

Program pemberdayaan seharusnya disesuaikan dengan potensi desa, sehingga harus berbasis data dari
desa bukan langsung ditentukan oleh pusat, karena yang lebih mengetahui keadaan daerah adalah daerah
sendiri. Menyinggung soal data base yang belum bagus, Kepala Bapeda NTT dalam sambutannya ketika
pembukaan Workshop Inisiasi Pembangunan Perdamaian di NTT yang dilaksanakan oleh UNDP
membenarkan bahwa ketiadaan data desa membuat program yang dilakukan tidak bisa menjawab
kebutuhan masyarakat. Kesiapan pemerintah desa dalam menerima berbagai program belum dioptimalkan
agar semua program yang ada di desa mampu memberikan mafaat bagi masyarakat. Tentang pengelolaan
data dan informasi program, pada kenyataannya memang menjadi sebuah ironi. PNPM Mandiri
Perdesaan sebagai satu-satunya program pemberdayaan masyarakat terbesar di Indonesia bahkan dunia,
walaupun sudah menginjak usianya lebih dari satu dasawarsa, dalam urusan data dan informasi masih
kedodoran (Laporan Bulanan KMN PNPM periode Februari 2009).

Berbagai pendekatan yang dipakai PNPM diklaim sudah melibatkan masyarakat, tetapi kesiapan
masyarakat dengan berbagai pendekatan tersebut belum sepenuhnya dipersiapkan. Mengapa orang yang
sama sebagai sasaran berbagai program pemberdayaan namun orang- orang itu juga yang masih tergolong
masyarakat miskin dan setiap tahunnya masih masuk dalam daftar RTM.

c. Di beberapa tempat proyek PNPM menimbulkan disharmoni di tingkat desa, serta antara kelompok
penerima dan yang tidak:

Disharmoni terjadi ketika kelompok-kelompok merasa adanya ketidakadilan dalam pencairan dana SPP.
Hal ini dialami oleh kelompok SPP Bulu Torus, desa Buhit Pardugul. Tahun 2010 ini merupakan tahun
ketiga mereka dan dua kelompok lain dari desa mereka akan menerima dana perguliran. Sebelumnya
mereka merupakan kategori kelompok terbaik di kecamatan Pangururan. Tidak sabar menunggu pencairan
dana bergulir ketiga, mereka pun ramai-ramai meminta penjelasan ke kantor UPK Pangururan. Karena tidak
terima dikunjungi ramai-ramai, akhirnya mereka dikenakan sanksi pelanggaran etika dan dicoret sebagai
calon penerima dana bergulir oleh UPK dengan menggunakan mekanisme rapat Badan Koordinasi Antar
Desa (BKAD).

Disharmoni muncul karena salah satu dari tiga kelompok yang mengajukan permohonan tersebut sudah
melakukan pencairan. Menurut informan kelompok yang dananya sudah cair tersebut merupakan kerabat
pengurus TPK di desa mereka dan juga kerabat dari pengurus UPK Pangururan. Disharmoni juga terjadi di
Desa Sigumbang dan desa lain akibat penyaluran pinjaman yang tidak adil.

Disharmoni antar desa juga timbul di Nusa Tenggara Barat, karena pemerintah seolah-olah mendorong
kompetisi antar desa dalam memperebutkan dana PNPM. Rancang bangun (design) proyek PNPM yang
mengalokasikan sejumlah dana di tingkat kecamatan, kemudian mempersilakan desa-desa yang ada di

9
kecamatan tersebut berkompetisi memperebutkan dana tersebut, telah mengkonstruk setiap desa
mengerahkan segenap potensi dan kemampuan yang dimiliki untuk menjadi salah satu penerima dana,
hasil temuan di lapangan menunjukkan bahwa yang secara konkrit dimaksud dengan potensi dan
kemampuan di sini terdiri dari : 1). Kemampuan menyusun proposal (kemampuan menuangkan fakta dan
gagasan desa melalui tulisan), 2). Kemampuan melobi dan mempengaruhi, para pengambil keputusan yang
dalam hal ini UPK dan tim verifikasi kecamatan.

Sebagaimana lazimnya kompetisi, “ pertandingan “ merebut dana PNPM juga pada ujungnya melahirkan
pemenang yang merupakan tim terunggul, dengan kemampuan dan potensi paling mumpuni di satu sisi dan
disisi lain melahirkan pihak kalah sebagai konsekuensi dari kemampuan dan potensinya yang kalah dari
pemenang. Desa miskin dan tertinggal tidak seperti SP 1, SP 2, SP 3 di Kecamatan Sekongkang tidak bisa
mendapatkan dana bantuan PNPM karena tidak sesuai dengan kriteria dan pagu yang sudah ditetapkan
oleh UPK Kecamatan Sekongkang.

Kemenangan satu desa atas sejumlah dana untuk melaksanakan sebuah proyek pembangunan telah
melahirkan kecemburuan bagi desa yang tidak mendapatkan dana sekalipun kebutuhan pembangunannya
sebanding bahkan mungkin lebih dari desa pemenang, dalam banyak protes, PNPM selalu tampil konsisten
untuk tidak mengubah keputusannya atas pemenang kompetisi. Begitupun PNPM tidak pernah merubah
sedikitpun nilai tender yang sudah ditentukan. “Kami tidak mau bagi rata dana proyek sekedar untuk
kompromi menghindari konflik seperti yang terjadi dalam banyak kasus pembagian beras miskin atau dana
BLT,“ ucap Nurul fasilitator kabupaten PNPM Lombok Barat. Masih menurut Nurul, PNPM khususnya para
fasilitatornya sejak awal memang menyadari bahwa akan terjadi kecemburuan, protes, konflik dan lain
sebagainya. “ Kesadaran ini yang memotivasi kami untuk memastikan bahwa proses kompetisinya berjalan
sesuai standart dan prosedur yang telah ditetapkan, sekaligus secara intens memberikan penjelasan
kepada para desa yang tidak menang, bahwa keputusan bukanlah di tangan PNPM tetapi keputusan
partisipatif warga, ” ucap Nurul melanjutkan.

Kompetisi yang berlangsung di PNPM membuat rasa kebersamaan yang telah lama dipupuk antar Kepala
Desa khususnya di dalam Asosiasi Kepala Desa ( AKAD ) Lombok Barat (Lobar)menjadi sedikit luntur.
“Kami sangat susah tampil menjadi satu kesatuan, “ ucap Amrul Jihadi Ketua AKAD Lobar resah. “Kami
sebenarnya pernah mencoba bersama-sama untuk tampil menjadi delegator desa, semacam senator desa
yang akan bersama-sama melakukan langkah aktif untuk membawa dana dan program-program
pembangunan yang ada di level kabupaten ke desa secara adil dan proporsional, sekaligus sebagai
lembaga kontrol bagi pemerintahan kabupaten. AKAD mencobanya pada proses Musyawarah Perencanaan
Pembangunan (Musrenbang) penyusunan APBD, mereka bersepakat untuk tidak berkompetisi
memperebutkan dana dan program pembangunan yang diusulkan melalui Musrenbang, melainkan
bermusyawarah untuk memastikan bahwa program pembangunan di desa di gelontorkan secara adil dan
proporsional ke desa. Alhamdulillah, ini mulai berjalan, “ terang Amrul, tapi PNPM mensyaratkan kompetisi
dalam mekanismenya sehingga tidak memungkinkan para kepala desa bermusyawarah. Walhasil terjadi
kecemburuan, susah untuk saling percaya dan ini menjadi virus yang menggerogoti tatanan kebersamaan
yang selama ini sudah coba dibangun. “ Hal ini sangat mengkhawatirkan, konflik ini bisa pecah kapan saja,“
Amrul menambahkan.

d. Kecemburuan antara pelaku PNPM karena kesenjangan pendapatan

Gaji Fasilitator Provinsi (Fasprov) dan Fasilitator Kabupaten (Faskab) lebih besar dibandingkan dengan
yang menjadi kader- kader di desa (BPMPD) yang tugasnya memantau segala program di desa berjalan
baik atau tidak. Padahal mereka cuma menunggu laporan dari bawah. Menurut Ketua KPMD Desa Tublopo
Kabupaten TTS, “yang kami tahu ada dana operasional untuk kami, saya mendapat Rp 600 ribu, tetapi
tidak tahu untuk berapa bulan dan hak kami untuk menerimanya sampai kapan saya tidak tahu”.

10
Pendampingan masyarakat sangat lemah, mengapa tidak digaji orang untuk mengawal di tiap desa tetapi
diberikan gaji besar untuk orang- orang yang hanya duduk saja, apakah ini yang dikatakan mengurangi
pengangguran.

Gaji fasilitator kecamatan antara Rp 3,8-5 juta, sedangkan fasilitator Kabupaten antara Rp 11-14 juta.
Sedangkan untuk pelaku PNPM yang langsung bersentuhan dengan masyarakat gajinya sangat kecil.
Kesenjangan ini berlapis membuat kecemburuan pun berlapis. UPK, KPMD, TPK, TPU mencemburui
fasilitator kecamatan sedangkan fasilitator kecamatan merasa kurang balas jasa yang diberikan baginya
dibandingkan fasilitator kabupaten.

4. Penggalakan Korupsi sampai ke tingkat Desa:

Salah satu prinsip dan unggulan proyek ini adalah mengurangi angka korupsi. Jika dalam proyek pemerintah
lainnya korupsi dilakukan oleh para pejabat di daerah dengan jumlah yang besar, mungkin untuk dana PNPM
akses mereka sangat kecil. Namun disayangkan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme semakin meningkat di
desa.

Praktek korupsi ditemukan di UPK Pangururan, ibukota Kabupaten Samosir. Sekitar tahun 2007 terjadi
penyelewengan dana oleh seorang pengurus UPK Pangururan sebesar Rp 20 juta. Namun tidak ada sanksi
hukum yang dikenakan padanya kecuali perjanjian pengembalian uang yang dia gunakan.

Kejadian serupa terjadi tahun 2008, penyelewengan dilakukan tiga orang anggota pengurus UPK Pangururan
masa itu. Sekitar Rp 120 juta dana perguliran tidak bisa dipertanggungjawabkan. Lagi-lagi proses
penyelesaiaan kasus ini tidak lewat jalur hukum, melainkan secara musyawarah yang mengharuskan ketiga
orang anggota pengurus UPK tersebut menggantinya.

Pemberantasan korupsi dengan sistem ini tidak memberikan efek jera pada pelaku dan yang lainnya, karena
tidak ada sanksi hukum yang diberikan. Bahkan seorang pejabat daerah yang ikut bertarung dalam Pilkada
2010 yang lalu memberikan sumbangan sebesar Rp 60 juta untuk menutupi utang yang
bersangkutan.Alasannya adalah supaya Kabupaten Samosir tidak di black list dari PNPM. Alasan lainnya
menyatakan bahwa yang bersangkutan memberikan bantuan dalam rangka memperoleh suara pada Pilkada.
Terbukti memang yang bersangkutan banyak dielu-elukan oleh pengurus UPK dan TPK di Kecamatan
Pangururan.

Penyelesaian kasus ini hanya ditekankan pada pengembalian uangnya, bukan memberikan efek jera pada
pelaku korupsi. Kolusi juga semakin berkembang di desa. Dalam pengadaan infrastruktur khususnya proses
tender persekongkolan sangat kental. Pengurus TPK, Kepala Desa dan pemenang tender merupakan tiga
pihak yang berperan aktif dalam praktek kolusi dan nepotisme ini.

Tender proyek drainase jalan (selokan) sepanjang 350 m di Lumban Holbung Desa Simarhompa dimenangkan
oleh CV milik seorang anggota DPRD Kabupaten Tapanuli Utara yang memiliki kedekatan dengan ketua TPK.
Dari informan di desa tersebut juga kami ketahui bahwa tiga CV yang ikut dalam tender proyek tersebut dimiliki
oleh orang yang sama. Hal yang sama terjadi pada proyek peningkatan jalan di Desa Lumban Silintong,
pemengang tender juga merupakan teman dari Kepala Desa yang memiliki kedekatan dengan pengurus TPK.

Kasus serupa terjadi di NTB, di mana TPK yang menentukan pemenang tender pengadaan barang
dan jasa maka jika ada anggota TPK yang punya CV, biasanya dia memenangkan CV nya sendiri.
Seperti yang terjadi di Desa Sekongkang Atas. Pemenang tender adalah CV milik bendahara TPK.
Alasannya penawaran terendah datang dari CV tersebut.

11
Sementara itu, di Ombe Baru memang ada empat CV yang memasukkan dokumen untuk pelelangan
tender tetapi keempat CV tersebut milik satu orang sehingga penawaran mana pun yang akan
memenangkan tender tetap saja CV orang yang bersangkutan yang menang.

Penentuan siapa yang berhak memenangkan tender sepenuhnya diserahkan kepadan Tim Pengelola
Kegiatan. Dalam pengelolaan proyek para anggota Pelaksana Kegiatan (Paket) sering melakukan
mark up terhadap harga bahan bangunan. Seperti yang terjadi di Desa Montong Are, harga semen di
mark up menjadi Rp 60 ribu. “Harus pintar-pintar belanja”, ucap salah seorang anggota Paket yang
tidak mau disebutkan namanya. Dalam pengerjaan proyek untuk PAUD, mereka harus menggandeng
Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (Dikpora), dan dalam pembangunan jembatan
menggandeng Dinas Pekerjaan Umum (DPU). Jika proyek sudah selesai dilaksanakan maka harus
segera dibuatkan laporan. Untuk laporan semua harus tanda tangan, baik orang yang kerja di Paket
maupun dinas terkait. Ketika dinas-dinas ini diminta tanda tangan, mereka diberikan uang sekitar Rp
200 ribu dan dianggap sebagai harga rokok. Uangnya diambil dari hasil mark up biaya tadi.

Temuan lapangan di NTT menunjukkan manipulasi pembangunan proyek yang lain. Misalnya, dalam
musyawarah PNPM di Desa Praibokul Kecamatan Metawai Lapau-Sumba Timur, diputuskan
pengerasan jalan. Ternyata yang terjadi jalan tersebut hanya dilapisi sirtu, kemudian diratakan.

Dalam program Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang ada di Desa Ronggur Ni Huta, nepotisme juga terjadi.
Istri Kepala Desa yang menjadi pengelola PAUD tersebut mengangkat anaknya menjadi tenaga guru di sana.
PAdahal dalam pengajuan proposal tenaga pengajar yang dibutuhkan hanya dua orang. Konsekuensi
penambahan tenaga guru ini adalah berkurangnya upah dua orang guru PAUD sebelumnya.

Praktek nepotisme lainnya terjadi dalam proses pemilihan pengurus TPK dan KPMD. Berawal dari rendahnya
partisipasi masyarakat menghadiri tahapan-tahapan Musyawarah Desa, maka yang hadir pada umumnya
adalah yang memiliki kedekatan dengan Kepala Desa. Akhirnya yang terpilih adalah pengurus-pengurus TPK.
Kepala Desa juga memiliki sarana dalam membagi-bagi pekerjaan kepada orang-orang yang memilihnya
menjadi Kepala Desa. Hal ini terjadi di Desa-Desa Narumonda, Siabal-abal III, Lumban Silintong, dan
Sipahutar.

5. Kegiatan Simpan Pinjam Perempuan (SPP) bukan untuk rakyat miskin:

Tidak hanya pembangunan infrastruktut, kegiatan simpan pinjam ini, juga tidak mencerminkan adanya unsur
pemberdayaan untuk rakyat miskin yang menjadi prioritas proyek ini. Hal ini tercermin dari:

a. Minimnya keterlibatan rumah tangga miskin

Dana bergulir yang dipinjamkan kepada kelompok SPP pada umumnya tidak tepat sasaran. Kelompok
simpan pinjam ini tidak menjangkau Rumah Tangga Miskin (RTM) yang sesungguhnya menjadi sasaran
proyek. RTM bahkan sangat sedikit yang masuk dalam kelompok SPP. Penerima manfaat dana bergulir di
desa banyak dimonopoli oleh kelompok menengah ke atas yang sebenarnya sudah memiliki akses
terhadap perolehan modal. Contohnya, seorang anggota kelompok SPP di Desa Siantar Narumonda,
adalah seorang bidan PNS yang secara ekonomi sudah mapan. Seorang istri anggota DPRD yang
menjabat sebagai Sekretaris Desa sekaligus ketua SPP di desanya juga merupakan salah seorang
penerima manfaat dana bergulir SPP di Desa Sipahutar kecamatan Sipoholon.

Selain PNS, ada juga anggota SPP yang berprofesi sebagai pedagang yang memanfaatkan dana PNPM.
Hanya sebagian kecil keluarga miskin yang ikut bergabung. Menurut pengurus-pengurus SPP, mereka tidak
berani meminjamkan uang kepada rakyat miskin karena takut pengembaliannya tidak lancar. Sistem

12
tanggung renteng yang diterapkan dalam simpan pinjam ini, mendorong pengurus SPP hanya
meminjamkan kepada keluarga yang secara ekonomi mampu mengembalikannya.

b. Keberhasilan program simpan pinjam hanya dilihat dari kelancaran pengembalian pinjaman ke UPK:

Kelompok Simpan Pinjam yang bagus menurut pengelola PNPM adalah jika pengembaliannya lancar. Dari
mana sumber pengembaliannya tidak menjadi urusan mereka selagi pengembalian lancar. Pengelola
PNPM di desa dan kecamatan sama sekali tidak pernah melakukan monitoring pemanfaatan pinjaman oleh
anggota SPP.

Padahal pinjaman pada umumnya tidak digunakan untuk usaha produktif. Sangat banyak yang digunakan
untuk konsumsi keluarga. Akibatnya pada saat pengembalian peminjam mengalami kesulitan. Menurut
seorang anggota kelompok SPP di Desa Siantar Narumonda, untuk mengembalikan angsuran setiap bulan
mereka meminjam ke rentenir terlebih dahulu. Pembayaran akan dilakukan pada masa panen padi dan
panen ikan. Ini terjadi karena pada saat pencairan Desember lalu, pinjaman digunakan untuk keperluan
Natal dan Tahun Baru. Hal yang sama dikatakan Ketua TPK di Desa Buhit, bahwa proyek ini sebagai
proyek gali lubang tutup lubang. Untuk mengembalikan angsuran harus meminjam lagi. Jika tidak
mendapatkan pinjaman, yang terjadi adalah kredit macet. Dia juga mengatakan, secara kasat mata tidak
terlihat perubahan peningkatan ekonomi anggota kelompok SPP di desanya.

Hampir di semua desa yang diteliti ditemukan masalah pengembalian pinjaman atau kredit macet. Bagi
anggota yang macet mengatakan bahwa mereka tidak bisa mengembalikan uang karena pada saat
meminjam tidak digunakan untuk usaha produktif, namun digunakan untuk biaya pendidikan anak, biaya
konsumsi keluarga dan biaya lainnya. Hanya sedikit menggunakannya untuk usaha produktif. Di Kecamatan
Sipahutar, menurut Ketua UPK Sipahutar, Herbert Simanjuntak, sampai Juni lalu, terdapat kredit macet
sekitar dua ratusan juta rupiah. Menurutnya kemacetan ini disebabkan tidak adanya niat baik
mengembalikan dana tersebut. Padahal sudah ada kesepakatan tanggung renteng sejak awal, namun ini
tidak berjalan karena banyak kelompok yang muncul dadakan.

c. Kelompok SPP merupakan kelompok dadakan:

Pembentukan kelompok SPP tidak didasari keinginan untuk mandiri, tetapi hanya karena mengharapkan
pinjaman. Pengelola PNPM mulai dari TPK, KPMD dan UPK tidak melakukan pembinaan terlebih dahulu
terhadap kelompok. Monitoring terhadap pemanfaatan dana bergulir juga tidak dilakukan. Pengelola PNPM
sama sekali tidak melakukan pembinaan yang intensif kepada kelompok-kelompok binaannya. Sehingga
dana yang dipinjam menjadi beban baru bagi anggota yang hidupnya pas-pasan. Peningkatan
kesejahteraan yang diharapkan semakin jauh dari harapan, karena setiap bulan mereka harus mencari
pinjaman dari fihak lain untuk bisa mengangsur pinjaman ke PNPM.

Menurut pengurus UPK Siborongborong,pembinaaan dilakukan terhadap kelompok SPP, tetapi masih
sebatas teknis pembukuan saja. Hal senada disampaikan oleh Pengurus UPK Samosir dan Fasilitator
Kabupaten Taput. Minimnya pemberdayaan ini, menurut Surya Dharma, Kordinator Provinsi (Korprov)
Sumut, disebabkan oleh keterbatasan kapasitas fasilitator di kecamatan dan kabupaten mempengaruhi
lambatnya proses pemberdayaan dalam program ini. Saat ini setiap kecamatan hanya memiliki dua orang
fasilitator. Bahkan ada beberapa kecamatan yang tidak ada fasilitator programnya.

Minimnya pelatihan untuk pemberdayaan masyarakat ini juga dibenarkan oleh seorang anggota DPRD
Tobasa, yang juga pernah menjadi fasilitator PPK di Toba Samosir. Menurutnya program PNPM yang
bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat ini bertolak belakang dengan program yang dilakukan.
Perbandingan antara alokasi anggaran untuk pembangunan fisik/infrastruktur dengan pembangunan
manusia sangat timpang. Dia juga mengatakan bahwa manajemen SDM lebih mengutamakan pelaporan.

13
Akibatnya fasilitator di kecamatan lebih disibukkan dengan tugas-tugas administratif bukan melakukan
fungsi pemberdayaan.

Fenomena munculnya kelompok sporadis ini bukanlah hal yang baru. Sejak jaman Orde Baru sudah
banyak kelompok terbentuk sebagai syarat mendapatkan bantuan uang atau fasilitas dari pemerintah dan
lembaga non pemerintah. Namun kelompok –kelompok ini tidak mampu bertahan lama, karena proses
pemberdayaan tidak berjalan dengan baik. Hadirnya proyek PNPM dengan tujuan pemberdayaan tapi tetap
menggunakan cara yang sama dengan program lainnya menjadi sia-sia.

6. Dampak tekanan berlebihan proyek-proyek PNPM pada proyek-proyek fisik, khususnya pembangunan
proyek-proyek prasarana (infrastruktur):

a. Program pengurangan pengangguran “sementara” sejalan dengan pengalihan daya bertahan hidup
masyarakat berbasis pertanian dan peternakan:

Dari Hasil Sakernas Februari 2008 diketahui bahwa dari 2.086.105 penduduk NTT yang bekerja, hampir
70%, atau 1.448.074 orang, bekerja di sektor pertanian. Untuk Kabupaten TTS, 85% penduduknya bekerja
di sektor pertanian, sedangkan untuk Kabupaten Sumba Timur 66,37% penduduknya bekerja di sektor
pertanian.

Sektor pertanian untuk tahun 2004-2008 menyumbang rerata 40,74% bagi pembentukan PDRB Provinsi
NTT, menurut BPS Provinsi NTT. Potensi inilah yang seharusnya menjadi pertimbangan ketika program
pemberdayaan untuk mengurangi pengangguran dengan mengembangkan berbagai potensi yang ada di
masyarakat.

Sejak awal PNPM selalu mendengungkan tujuannya untuk pengurangan penggangguran, yang terjadi
pengurangan pengangguran bukan untuk masyarakat di desa tetapi mereka yang direkrut sebagai fasilitator
dan konsultan untuk implementasi program PNPM. Pengurangan pengangguran diukur pada jumlah hari
atau jam di mana warga masyarakat bekerja karena ada program PNPM, bukan pada pekerjaan yang bisa
memberikan jaminan hidup bagi masyarakat.

Ketika bisa membuat jalan atau infrastruktur lain, pengetahuan itu dijadikan alat ukur oleh warga
masyarakat untuk dapat mencari pekerjaan nantinya, karena pengelolaan potensi lokal seperti pertanian
dan peternakan untuk bertahan hidup belum menjadi alat ukur ataupun menjadi capaian ketika program
dilaksanakan. Hal itu dibiarkan berjalan secara alamiah di masyarakat.

Pengurangan pengangguran terus didengungkan tetapi tingkat migrasi ke kota terus meningkat, banyak
orang desa yang meninggalkan desa untuk mencari pekerjaaan di kota demi mendapatkan uang dengan
bekerja sebagai buruh, tukang, padahal lahan produktif yang bisa diolah masih banyak. Persiapan kebun
seringkali dilakukan oleh para perempuan karena merekalah yang masih tinggal di desa, sedangkan
suaminya bekerja di luar desa (atau kota) dan akan kembali setelah musim tanam. Musim panen di
Kabupaten TTS adalah bulan Maret- April, sedangkan musim paceklik biasanya di bulan Oktober-Januari.
Biasanya di saat bulan paceklik masyarakat mulai mencari alternatif pekerjaan untuk bisa terus hidup.
Banyak orang bermigrasi ke kota untuk menjadi buruh, tukang, dll.

Di beberapa daerah dengan masuknya investasi tambang lebih menggiurkan masyarakat untuk bekerja
sebagai penambang dibandingkan bekerja di kebun ataupun memelihara ternak yang tidak memberikan
kepastian untuk mendapat uang. Seharusnya pengembangan kemandirian masyarakat dilakukan dengan
melihat potensi yang ada di daerah, tidak membuat masyarakat desa harus ke kota karena
ketidakmampuan mengelola apa yang menjadi potensi desa.

14
b. Ketersediaan prasarana menjamin akses terhadap pasar:

Intervensi pasar masih sebatas membangun infrastruktur agar akses orang ke pasar lebih mudah tapi
penguatan untuk akses modal atapun diversifikasi hasil untuk dijual agar menarik orang, serta bagaimana
agar harga tetap stabil sehingga petani tidak dirugikan.

Pinjaman yang diberikan kepada kelompok untuk mengembangkan kegiatan ekonomi masyarakat tetapi
apakah bantuan- bantuan ini punya manfaat bagi masyarakat? Belum bisa dipastikan karena yang menjadi
alat ukur masih sebatas bisa dikembalikan atau tidak, jika ya maka menjadi kesimpulan bahwa masyarakat
punya usaha. Hal ini juga dibenarkan Sekertaris Desa Kadahang Kecamatan Haharu Kabupaten Sumba
Timur bahwa tidak terlalu ada usaha produktif dari kelompok, hanya pinjam entah dikelola atau tidak, tetapi
bisa dikembalikan itu saja. Di desa Kadahang ada delapan kelompok, jumlah anggota dalam satu kelompok
ada 20 orang jadi sekitar 160 orang, bisa dibayangkan jika seperempat anggota kelompok yang meminjam
punya usaha produktif, kebanyakan disini usaha kios dan semua ramai-ramai membuka kios di desa yang
kecil dengan jumlah penduduk sedikit dan pendapatan yang rendah, siapa yang menjual siapa yang beli.
Yang terjadi adalah pemberian pinjaman hanya untuk menghabiskan alokasi 25% dari pagu dana untuk
kecamatan, sedangkan pengembangan masyarakat untuk berpikir lebih ekonomis bukanlah menjadi fokus.
Ketika tambahan modal diberikan yang diukur seringkali berdasarkan bertambahnya jumlah simpanan di
rekening terus meningkat. Belum memiliki standar khusus sehingga tambahan modal bisa memberdayakan.
Masyarakat peminjam ketika diminta menghitung seberapa besar peningkatan pendapatan terhadap
perubahan modal usaha masih kebingungan dan menjawab yang penting pinjaman bisa dikembalikan.

Jalan inilah yang akan dipakai masyarakat untuk bisa pergi ke pasar atau akses lain. Akses masyarakat
hanya diukur pada ketersediaan sarana prasarana tetapi posisi tawar masyarakat di dalam pasar untuk
menentukan harga yang sesuai dengan apa yang dijual belum menjadi fokus.

7. Pengikisan modal sosial akibat maraknya proyek-proyek PNPM:

a. Kegiatan PNPM turut mengikis budaya gotong royong yang ada di desa:

Banyak proyek infrastruktur PNPM yang tadinya dikerjakan warga desa dengan bergotongroyong, paska
pembangunan oleh PNPM menjadi terlantar. Hal ini disebabkan pemberian HOK kepada warga. Tidak
terpeliharanya proyek-proyek infrastruktur PNPM di desa Lumban Silintong, Desa Buhit Pardugul dan
Lumban Tamba Sigumbang menunjukkan bahwa masyarakat tidak lagi mau memberikan waktu dan
tenaganya untuk bergotong royong memperbaikinya. Sebelumnya mereka selalu bergotongroyong
memperbaiki irigasi dan membersihkan jalan ke ladang mereka, namun saat ini itu sudah hilang karena
mereka sudah merasakan nikmatnya upah HOK.

b. Politisasi PNPM yang mendorong pelanggengan label sosial masyarakat desa

Dengan hadirnya PNPM masyarakat desa dituntut untuk memikirkan dan menanggung sebagian (sistim
swakelola) apa yang mejadi tanggung jawab Negara untuk mengadakan fasilitas umum bagi masyarakat
desa yang juga mempunyai hak sebagai warga Negara. Membangun jalan, jembatan dan berbagai
prasarana baik kesehatan maupun pendidikan sudah seharusnya dilakukan Negara tanpa harus
membebani rakyat. Masyarakat berkewajiban untuk menjaga sarana prasarana tersebut.

Bantuan yang diberikan seolah-olah menggambarkan bahwa masyarakat di desa sebagai peminta yang tak
berdaya, sejalan dengan itu pelanggengan label sosial bagi masyarakat desa yang miskin, bodoh, tak
berdaya, tergantung terus berjalan. Selama ini rakyat terus dituntut untuk melakukan kewajibannya sebagai

15
warga Negara (mis: membayar pajak), tetapi pelayanan dasar yang diberikan belum sepenuhnya
menyentuh semua masyarakat. PNPM dengan program kemandiriannya yang menjadi gaung kesuksesan
berharap mental ketergantungan masyarakat bisa hilang tetapi sejalan dengan itu program pengurangan
kemiskinan yang dijalankan cenderung focus pada bantuan fisik dan upaya penyaluran bantuan sosial
dibandingkan program- program penguatan kapasitas masyarakat untuk dapat mandiri dengan potensi yang
ada. Pelabelan masyarakat desa sebagai masyarakat miskin dan bodoh tetap bejalan seirama dengan
banyaknya pogram yang hanya focus pada bantuan fisik (sarana prasarana) yang adalah kewajiban
Negara, program-program bantuan yang ingin menunjukkan kedermawanan pemerintah bagi warga
negaranya yang miskin.

Menurut, sekertaris Desa Supul Kecamatan Kuatnana kabupaten TTS, yang mereka tahu PNPM adalah
bantuan dari Bank Dunia dan pemerintah pusat untuk masyarakat miskin. Masyarakat sebagai penerima
“kejutan” pun merasa seperti mendapat “berkat” di tengah krisis, dan yang penting terima saja tanpa perlu
tahu dari mana berkah itu datang, apakah membawa konsekuensi beban utang atau tidak. Masyarakat
desa yang lemah posisi tawar serta akses terhadap pelayanan dasar di perdaya dengan bantuan atas
nama kesejahteraan dan pemberdayaan, namun disaat yang bersamaan mereka disibukkan untuk bekerja
mandiri memenuhi apa yang menjadi pelayanan dasar yang seharusnya diterima dari Negara, sementara
waktu untuk memikirkan hak- hak mereka atas kehidupan yang lebih layak di masa yang akan datang
lewat akses terhadap berbagai sumber daya yang bisa diinvestasikan terlalaikan. Hal ini dibenarkan
masyarakat di TTS, “Kami (baca; masyarakat) secara swadaya membangun jalan atau pustu karena itu
untuk kepentingan bersama, nantinya masyarakat yang bekerja akan diberikan uang sirih pinang, tetapi
kadang- kadang banyak masyarakat yang tidak mau kerja karena mereka tidak setuju tanah mereka
diambil untuk bangun jalan”.

16
KESIMPULAN:

1. Salah satu tujuan khusus PNPM adalah meningkatnya keberdayaan dan kemandirian masyarakat serta
pemerintah dalam serta kelompok peduli setempat dalam menanggulangi kemiskinan di wilayahnya. Namun dari
penelitian yang dilakukan, ditemukan bahwa pelaksanaan proyek PNPM tidak berdampak terhadap peningkatan
keberdayaan dan kemandirian masyarakat khususnya rakyat miskin, karena:

a) Target proyek adalah terlaksanannya program, bukan pembangunan manusianya. Di tiga provinsi hasil
yang dicapai hanya terfokus pada jumlah bangunan yang sudah selesai dan jumlah dana simpan
pinjam yang sudah kembali.
b) Di tiga provinsi juga ditemukan bahwa program Simpan Pinjam Perempuan (SPP) tidak menyentuh
kelompok-kelompok miskin karena target program ini tetap pada kelancaran pengembalian.
c) Pembangunan beberapa infrastruktur pedesaan asal jadi dan merupakan kepentingan elite-elite desa,
seperti peningkatan jalan di Desa Lumban Silintong, Pagaran.
d) Secara umum ditemukan bahwa kapasitas SDM pelaku PNPM di daerah tidak dibekali kemampuan
dalam bidang pemberdayaan masyarakat desa tetapi fokus pada teknis adminstratif semata.

2. Salah satu tujuan dari Proyek PNPM adalah meningkatnya modal sosial masyarakat yang berkembang sesuai
dengan potensi social dan budaya serta untuk melestarikan kearifan local. Proyek dijalankan dengan melihat
potensi dan kearifan serta kemampuan swadaya dari masyarakat.

Salah satu modal sosial yang utama di ketiga wilayah penelitian adalah tradisi gotong royong dan kesediaan
berswadaya biasanya lahir dari inisiatif dan rasa memiliki dari masyarakat. Hal ini dapat terlihat dari
pembangunan jalan kampung, perbaikan saluran irigasi dan penyediaan makanan bagi orang yang bekerja.
Inisiatif dan rasa kepemilikan inilah yang mendorong masyarakat untuk rela dan ikhlas berswadaya.

Tetapi, kenyataannya swadaya yang dimaksud hanya terbatas pada orang-orang yang terlibat dalam proyek-
proyek prasarana di ketiga wilayah penelitian. Rancang bangun program PNPM yang menganut sistem
kompetisi dan pemberian upah telah merusak budaya gotong royong di masyarakat. Masyarakat yang terlibat
dalam proyek tersebut karena mengharapkan imbalan upah yang diberikan berdasarkan HOK (hari orang kerja).
Gotong royong merupakan potensi sosial dan budaya tetapi budaya ini mulai terkikis dengan sistem pemberian
HOK.

3. Tujuan PNPM adalah meningkatnya sinergi masyarakat, pemerintah daerah dan kelompok peduli (swasta,
asosiasi, perguruan tinggi, media, media, ornop dll) untuk lebih mengefektifkan upaya-upaya penanggulangan
kemiskinan. Setiap program penanggulangan kemiskinan merupakan penjabaran dari Rencana Pmbangunan
Jangka Panjang Daerah, sehingga program PNPM yang merupakan program usaha penanggulangan
kemiskinan harus menyesuaikan setiap kegiatannya dengan program yang dilaksanakan daerah.

Kenyataannya Program yang dilaksanakan oleh PNPM sama sasarannya dengan yang dilaksanakan oleh
pemerintah daerah melalui SKPD yang ada, sehingga PNPM hanyalah proyek “numpang lewat” dan
menghambur-hamburkan duit. Terjadi tumpang tindih program, program pemberdayaan yang dilakukan oleh
BPMD, dengan sasaran masyarakat miskin juga dilakukan oleh PNPM. Dinas pendidikan sudah ada bantuan
operasional sekolah, tetapi PNPM juga melakukan program yang sama.

4. Sesuai dengan tujuan umum PNPM-MP adalah meningkatkan kesempatan kerja masyarakat miskin secara
mandiri, yang akhirnya bisa mengurangi tingkat penggangguran di pedesaan. Namun kenyataannya:

17
a) Beberapa daerah di Sumatra Utara, NTB dan NTT, proyek PNPM hanya menciptakan lapangan
pekerjaan musiman untuk pelaksanaan program dengan memberikan upah bagi warga masyarakat
yang bekerja membangun proyek-proyek prasarana, dihitung dalam jumlah hari orang kerja (HOK).
b) Proyek PNPM di Kabupaten TTS semakin mendorong pengalihan mata pencaharian dari beternak dan
bertani dengan tidak mempertimbangkan potensi lokal dalam penciptaan lapangan kerja, yang juga
diperparah dengan masuknya investasi tambang mangan yang dipercayai masyarakat lebih bisa
memberikan jaminan hidup.
c) Di dua provinsi yang diteliti yakni NTT dan NTB banyak warga masyarakat desa memilih berurbanisasi
atau bermigrasi ke luar provinsi untuk alasan mencari pekerjaan yang lebih menjamin.

5. Salah satu prinsip dasar PNPM Mandiri adalah Transparansi dan Akuntabel. Maksudnya, masyarakat harus
memiliki akses yang memadai terhadap segala informasi dan proses pengambilan keputusan sehingga
pengelolaan kegiatan dapat dilaksanakan secara terbuka dan dipertanggunggugatkan baik secara moral, teknis,
legal, maupun administratif. Berarti, diharapkan bahwa peluang untuk mengkorup dana PNPM peluang untuk
sangat kecil.

Kenyataannya, praktek korupsi semakin meningkat di desa-desa di mana ada proyek PNPM Mandiri di ketiga
wilayah penelitian. Misalnya, antara tahun 2007 dan 2008, di Sumatera Utara ditemukan penyelewengan dana
antara Rp 20 juta sampai Rp 120 juta oleh anggota-anggota pengurus UPK Pangururan. Penyelesaian kasus-
kasus korupsi itu di mana para pelaku hanya dituntut mengembalikan uang hasil penyelewengannya tidak
memberikan efek jera pada pelaku, karena para pelaku tidak mendapat sanksi hukum.

Selain itu, dalam tender proyek-proyek PNPM ditemukan berbagai bentuk kolusi antara aparat Desa dengan
pemenang tender yang memiliki tiga sampai empat CV. Ini terjadi di Sumatera Utara dan NTB. Berbarengan
dengan itu, mutu pelaksanaan proyek-proyek itu diperburuk oleh mark up biaya proyek, seperti mark up harga
semen yang terjadi di Desa Montong Are, NTB, serta manipulasi pembangunan jalan seperti terjadi di Desa
Praibakul, Sumba Timur, di mana jalan bukannya diperkeras, sesuai dengan keputusan musyawarah desa,
melainkan hanya dilapisi sirtu.

Berawal dari rendahnya partisipasi masyarakat menghadiri tahapan-tahapan Musyawarah Desa, di mana yang
hadir umumnya dekat dengan Kepala Desa. Akhirnya yang terpilih adalah anggota-anggota pengurus TPK. Ada
Kepala Desa yang membagi-bagi pekerjaan kepada para pemilihnya, seperti terjadi di Desa-Desa Narumonda,
Siabal-abal III, Lumban Silintong, dan Sipahutar di Sumatera Utara.

Bentuk korupsi yang ketiga adalah nepotisme, yang terjadi dalam program Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di
Desa Ronggur Ni Huta, Sumatera Utara, serta dalam proses pemilihan pengurus TPK dan KPMD di provinsi
yang sama.

18
REKOMENDASI:

1. Melihat kenyataan dari ketiga daerah penelitian ini, yakni NTB, NTT, dan Sumatera Utara, Program Nasional
Pembangunan Masyarakat (PNPM) Mandiri sepantasnya dihentikan, karena pelaksanaannya bertentangan
dengan berbagai tujuan dan prinsip-prinsip dasarnya sendiri, yakni:

a) tidak menimbulkan dampak positif yang berarti terhadap peningkatan keberdayaan dan kemandirian
rakyat miskin, karena prioritasi pada pembangunan proyek-proyek prasarana serta program simpan
pinjam yang hanya menekankan pengembalian pinjaman dan tidak menjangkau rumah-rumah tangga
miskin;

b) mengikis modal sosial masyarakat berupa tradisi gotong royong dan semangat swadaya dalam
pembangunan dan pemeliharaan prasarana publik di desa;

c) Hanya menciptakan kesempatan kerja sementara yang terbatas pada pengerahan tenaga warga
masyarakat yang dibayar dengan sistim pengupahan berdasarkan hari orang kerja (HOK), serta
mendorong pengalihan profesi sebagian warga masyarakat dari bidang pertanian dan peternakan,
untuk selanjutnya bermigrasi ke kota dan ke luar provinsi, hal mana dipacu di Nusa Tenggara Timur
dengan masuknya investor-investor di bidang pertambangan mangan ;

d) Berbagai proyek PNPM di ketiga wilayah penelitian telah menularkan praktek-praktek korupsi dari
birokrasi nasional ke aras desa, terbukti dari banyaknya bentuk korupsi, seperti manipulasi anggaran
proyek oleh pengurus UKP sendiri, penetapan pemenang tender yang dekat dengan elit desa, yang
menguasai lebih dari satu CV, dan sarat dengan nepotisme dan kolusi dalam penentuan proyek-proyek
PNPM itu sendiri.

2. Melihat kenyataan bahwa penyelesaian kasus-kasus korupsi anggaran proyek-proyek PNPM Mandiri yang
hanya didasarkan pada pengembalian uang yang diselewengkan tidak menimbulkan efek jera terhadap para
pelakunya, hendaknya mulai saat ini aparat penegakan hukum dilibatkan dalam penindakan terhadap pelaku-
pelaku tersebut.

Jakarta, 18 Juli 2010

Team Riset PNPM INFID:


George Junus Aditjondro (koordinator)
Delima Silalahi (KSPPM Parapat)
Milita Priatna Utami (LSBH NTB)
Wendy Bullan (Cis Timor)

19
DAFTAR SINGKATAN
AKAD : Asosiasi Kepala Desa
APBN : Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
APBD : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
BLM : Bantuan Langsung Masyarakat
BKAD : Badan Kerjasama Antar Desa
BPMPD : Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Desa
BOS : Bantuan Operasional Sekolah
Cost Sharing System : Dana penyertaan dari APBD, untuk tahun 2009 dana penyertaan dari APBD
sebesar 20%.
Dikpora : Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga
DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Faskab : Fasilitator Kabupaten
Fasprov : Fasilitator Provinsi
HDI : Human Development Index
HOK : Harian Orang Kerja
KPMD : Komite Pemberdayaan Masyarakat Desa
LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat
MAD : Musyawarah Antar Desa
MD : Musyawarah Desa
MOU : Memory Of Understanding
Musrenbang : Musyawarah Perencanan Pembangunan
Paket : Pelaksana Kegiatan
PMD : Pemberdayaan Masyarakat dan Desa
PLTS : Pembangkit Listrik Tenaga Surya
PPK : Program Pengembangan Kecamatan
PMT : Pemberian Makanan Tambahan
PU : Pekerjaan Umum
SKPD : Satuan Kerja Perangkat Daerah yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan
tugas pemerintahan di bidang tertentu di daerah provinsi, kabupaten, atau kota.
SPP : Simpan Pinjam Perempuan
PT SMR : PT Soe Makmur Resources
TTS : Timor Tengah Selatan
TPU : Tim Penulis Usulan
TPK : Tim Pengelola Kegiatan
UPK : Unit Pengolola Kegiatan
UEM : Unit Ekonomi Masyarakat
UEP : Usaha Ekonomi Produktif
UNDP : United Nation Development Program

20

You might also like