Professional Documents
Culture Documents
Pernahkah kita bertanya dan tidak mengikutinya secara buta. Adakah kita
merasa bebas atau, kebebasan kita hanyalah kebebasan yang terikat. Seperti
seekor kambing yang terikat pada pohon. Kebebasannya hanya sepanjang tali
yang mengikatnya.
Kita bisa memilih menjadi bonsai atau pohon rindang. Menjadi bonsai
bukanlah sifat alami kita. Bonsai tercipta karena bentukan dari sistem buatan kita.
Bonsai memang indah untuk dilihat. Ya, hanya itu saja. Pohon rindang memberi
keindahan, keteduhan, menjaga ekosistem dan memberi kehidupan.
Rosyid Adiatma
K5409053
FKIP Geografi Rising In Love II
Cara Baru Memaknai Cinta
Rising in Love
Cara Baru Memaknai Cinta
Jatuh cinta, kata itulah yang kita gunakan untuk menyebut keadaan
manakala kita berkenalan dengan cinta. Barangkali kita tak menyadarinya, kenapa
pertemuan kita dengan cinta yang begitu indah kita beri label “ jatuh”. Apakah
cinta malah menjatuhkan. Kita beranggapan, itukan hanya istilah. Tahukah bahwa
setiap kata adalah do’a. Setiap kata adalah pengingat.
Ketika jatuh cinta kita berharap pada orang yang kita cintai, bahwa kita
akan selalu dimengerti, akan selalu bahagia di sampingnya. Begitu harapan kita
tak terpenuhi kita kecewa.
Kita mencari orang lain yang bisa memenuhi harapan kita kembali. Kita
jatuh cinta lagi. Tak terpenuhi lagi. Dan kembali mencari, kita belum cukup sadar,
bahwa menaruh harapan pada seseorang atau sesuatu akan selalu menimbulkan
resiko kekecewaan.
Jangan sandarkan diri pada orang lain. Kehidupan memang seharusnya
tanpa sandaran. Kita datang sendiri dan harus kembali seorang diri pula. Mungkin
apa yang kita cari dalam hubungan kita dengan orang lain adalah kebahagiaan.
Kebahagiaan yang kita cari dapat tumbuh dengan sendirinya tanpa pemicu luaran.
Rising in Love akan menjawab pertanyaan itu.
Nama saya adalah Narayan Tagore, saya tinggal di Praha. Praha adalah ibukota
dan kota terbesar di Republik Ceko, yang terletak di bagian barat tengah negara
itu, di wilayah Bohemia. Kota ini sering disebut Kota Seratus menara karena
terdapat banyaknya gereja dan menara. Saya sekarang berada di kelas tiga SMA.
Saya suka membaca sepanjang hari, khususnya novel dan puisi. Saya tidak tahu
mengapa saya sangat menyukai membaca. Tapi novel dan puisi telah menjadi
segalanya untuk saya sejak saya masih di SD. Banyak orang bertanya-tanya
mengapa saya belum mempunyai pacar padahal mereka bilang saya cantik,
bahkan yang paling cantik di daerah saya setelah tahun ini saya dinobatkan
sebagai Putri Bohemia 2010.
Hari ini, Senin 11 Agustus 2010 saya pergi ke sekolah seperti biasa. saya bangun
lebih awal dari biasanya. Saya begitu antusias karena ada guru baru dari
Indonesia. Sebenarnya saya tidak pernah mendengar sebuah negara bernama
Indonesia tetapi tampaknya Negara tersebut sangat menarik untuk saya karena
guru baru itu akan mengajar pelajaran favorit saya, Pengantar Kajian Puisi.
Bel berbunyi begitu keras, dan menunjukkan bahwa sekolah segera dimulai. Saya
terburu-buru pergi masuk ke kelas karena saya tahu bahwa saya hampir datang
terlambat untuk pertemuan pertama. Tapi saya kira itu tidak apa-apa karena saya
pernah mendengar tentang budaya Indonesia, terlambat adalah sesuatu yang
umum di sana, dan saya sebenarnya sedikit terkejut mengenai hal tersebut.
Untungnya, setelah terlambat selama lima menit saya membuka pintu dan saya
menemukan pak Darwin, guru puis yang akan pindah berdiri di depan kelas.
"maaf pak, saya datang terlambat"
pak Darwin menatap saya lalu tersenyum.
"Sudahlah, Ambil kursi Anda" katanya.
saya menuju ke tempat duduk saya dan menenangkan nafas saya yang masih
ngos-ngosan. Saya lalu membuka ritsleting tas pink dan mengambil buku saya.
Saya membuka buku di halaman pertama.
Tiba-tiba pintu terbuka, seorang laki-laki berumur sekitar 25 tahunan masuk, Dia
memperkenalkan dirinya di depan kelas sebagai guru baru yang akan
menggantikan pak Darwin, ia mengatakan bahwa namanya adalah pak Drajad
Sujatmiko, nama khas Indonesia yang terdengar aneh di telinga saya. Saya tidak
tahu kenapa, tapi saat saya menatap matanya, waktu seakan beku. Mungkin, saya
bisa menggambarkannya sebagai orang yang tidak menarik tetapi ada sesuatu
dalam dirinya yang membuatnya begitu istimewa bagi saya. Dia tidak terlalu
tinggi sebenarnya, saya bisa mengatakan hal itu karena tinggi saya sekitar 178 dan
saya pikir dia hanya 170. Dia memiliki kulit gelap, berjenggot tebal dan
hidungnya yang pesek, oh tuhan saya, ia seperti datang dari planet yang lain, saya
pikir pada waktu itu, tetapi senyumnya yang begitu indah sehingga ia tampaknya
bisa menghipnotis siapa saja yang melihatnya termasuk siswa-siswi seisi kelas.
Suasana beku yang saya rasakan mulai mencair saat ia memulai pelajaran puisi
pagi itu. Dia membaca kutipan puisi dari "lagu cinta J. Alfred Prufrock".
"Oke anak-anak, silakan ulangi puisi yang saya baca" kata guru tersebut
"Baiklah, bagus, tapi kalian semua harus mengisi perasaan puisi ini dengan penuh
rasa cinta, ini adalah lagu cinta dari J. Alfred Prufrock, ingat?!" Kata guru itu.
Kami mengulangi puisi itu, dan tidak satupun yang ingin saya lihat dengan liar
kecuali matanya. Saya tidak ingin melewatkan kesempatan itu. Semua yang ingin
saya amati adalah hatinya, menyadari bahwa hati saya berdebar terus dan terus
lagi.
Astaga, apakah ini cinta pada pandangan pertama tuhan?
Nama saya Narayan Tagore dan sekarang saya berpikir bahwa saya telah jatuh
cinta dengan guru saya sendiri. Seminggu setelah pengenalan guru baru, saya
berpikir itu adalah minggu yang sangat indah. Saya ingat bahwa akhirnya hari ini
adalah hari Sabtu dan merupakan hari libur. Terima kasih tuhan ini adalah hari
Sabtu. Hari Sabtu ini saya benar-benar malas untuk pergi ke manapun. Saya hanya
ingin menikmati hidup saya saat ini.
Pagi ini saya baru saja selesai sarapan dan membaca 'Harian Bohemia', menghirup
secangkir kopi susu favorit saya saat ponsel saya mulai menari dan bernyanyi di
meja makan di mana ia berbaring, saya pikir itu hanya sms yang masuk tapi
ternyata itu adalah sebuah panggilan dari nomor yang tidak saya kenal. Saya tidak
tahu siapa yang menelepon saya, dan kemudian saya angkat saja telepon itu.
"Halo, Nara di sini" kata saya.
"Halo" jawab seseorang di sana, itu adalah suara seorang laki-laki,
Tiga detik kemudian, seorang pria misterius di seberang sana yang memanggil
saya hanya diam.
orang tersebut diam cukup lama sampai saya memutuskan untuk berbicara.
"Halo, siapa ini?" kata saya
"...."
"Halo" teriak saya
"Halo, apakah ini benar-benar Nara" kata dia
"Ya" jawab saya
"Ini adalah pak Drajad, Nara" katanya
Ya Tuhan pak Drajad, mengapa dia menelepon saya dan bagaimana ia bisa
mendapatkan nomor saya? Jantung saya berdetak begitu cepat dan otak saya
mengajukan banyak pertanyaan untuk diri saya, tetapi saya tidak tahu jawabannya
lalu saya menjawab dia.
"Ya, pak, ada yang bisa saya bantu?"
"Ya, bisakah kita bertemu sore ini di plaza de café?"
"Apakah ada sesuatu yang penting pak?" tanya saya
"Ya, tapi kita bisa membicarakan tentang hal itu kemudian, ketika kita bertemu,
oke? saya akan menunggu kamu pada jam 1 siang nanti, terima kasih "katanya
"Tapi pak?" jawab saya, kemudian tuut tuut tuut, panggilan terputus.
Oh sial, saya bersumpah dalam hati. Saya benar-benar terkejut dengan apa yang
baru saja terjadi pada saya. Rasanya seperti mimpi atau saya hanya bermimpi?
Hati saya jadi bingung, bahagia, gemetar, dan seperti segala sesuatu yang saya
rasakan menjadi satu campuran. Hati saya ingin menjerit pada waktu itu.
berharap ini benar-benar nyata.
saya meletakkan telepon saya kembali ke meja dan terus melanjutkan membaca
'Harian Bohemia'. Saat itu pukul 07.30 pagi dan saya merasa sangat bahagia.
Setelah membaca koran, saya pergi ke kamar saya di lantai dua. Saya mulai
mempersiapkan diri saya untuk bertemu pak Drajad. Saya mandi selama satu jam
dan kemudian berdandan dengan baju terbaik yang pernah saya miliki. Ketika
saya selesai berdandan, jam dikamar menyatakan pukul 12:00 siang. Saya
langsung pergi ke garasi dan menyiapkan mobil saya.
saya tiba di plaza de café tepat waktu tetapi saya belum melihat pak Drajad. Saya
berbicara dengan diri saya bahwa saya harus menunggunya. Dan akhirnya sepuluh
menit kemudian dia datang.
"Hei Nara" pak Drajad tiba-tiba menyapa saya dari belakang kursi, saya
berbalik dan menjawab salam nya.
"Hei pak"
Dia berjalan menuju kursi di depan saya dan ketika ia berjalan saya bisa melihat
wujud dirinya sebenarnya dan sejelas-jelasnya. Dia adalah makhluk tampan yang
pernah dibuat. Dia mengenakan kemeja biru dan sangat rapi. Dia juga
mengenakan parfum dari Indonesia, entah apa merknya. Dia begitu sempurna hari
ini dan senyumnya membuat hati saya begitu berdebar-debar. saya tidak bisa
mengalihkan pandangan darinya. Suatu perasaan aneh sudah menguasai saya
ketika dia mengikuti saya dengan mata hitamnya yang besar. pak Drajad
menjelaskan sesuatu dan saya mengangguk tanpa memahami sesuatupun. Hati
saya, saya tidak bisa merasakannya lagi, seperti telah dicuri oleh dewa dengan
mata hitam, representasi dari dia. pak Drajad menjelaskan sesuatu lagi dan saya
terkejut, benar-benar terkejut yang dalam. pak Drajad memberitahu bahwa ia jatuh
cinta dengan saya dari pertama kali dia melihat saya. Dia mengatakan bahwa dia
benar-benar percaya pada cinta pada pandangan pertama sehingga setelah
mengajar saya di kelas, ia bertanya pak Darwin tentang arsip siswa sehingga ia
dapat menemukan semua informasi tentang saya. Dia mengatakan bahwa dia
seperti orang gila mencari data saya.
Astaga, apakah itu benar? Ini adalah saat yang indah yang pernah saya alami
sepanjang hidup saya. Dan kemudian setelah dia selesai berbicara, ia bertanya
apakah saya ingin menerima cintanya atau tidak.
saya menatapnya dan berkata
"apakah semua yang Anda katakan benar-benar apa yang Anda lakukan pak?"
"Ya" jawabnya.
Ketika ia berkata demikian, hati saya berdebar begitu cepat seperti seorang atlet
lari dalam perlombaan dan ingin menang. Bahkan, saya tidak bisa
menyembunyikan wajah saya yang mengatakan kepadanya "ya, saya ingin
menjadi gadis Anda. saya merasa sangat malu dengan perilaku saya terhadap dia
seperti itu, seperti bahwa saya perempuan yang tidak baik, perempuan yang tidak
memiliki cinta sehingga harus menerima cinta dari gurunya sendiri. Selain itu,
wajah saya terbakar oleh rasa malu dan menjadi merah seperti kepiting rebus.
Saat saya masih diam, dia juga diam seribu bahasa juga. Hal ini seperti kita
tenggelam dalam pikiran kita.
saya menatapnya lagi, mencari kebenaran yang bisa saya lihat. Saya tidak tahu
mengapa tapi saya sudah membuat keputusan besar dalam hidup saya, saya ingin
menerima perasaannya pada saya. Meskipun, saya benar-benar tahu bahwa kami
batu bertemu selama seminggu, itu berarti tujuh hari, itu berarti 168 jam, itu
berarti 10.080 menit, itu berarti 604.800 detik tapi hati saya mantap untuk
memberikan jawaban sekarang.
saya menatapnya sekali lagi, melepaskan napas dalam-dalam dan memberinya
senyum terbaik yang pernah saya miliki. Tiba-tiba setelah saya tersenyum ke
arahnya, dia memeluk saya erat sesaat dan berkata.
"Terima kasih untuk percaya pada saya dan terima kasih untuk menerima cinta
saya"
"sama-sama pak" jawab saya malu-malu
"Jangan panggil saya Pak, saya kan suami masa depan kamu. Di kelas kamu
adalah murid saya tetapi di luar kelas, kamu adalah calon istriku, kamu mengerti?"
kata dia
"Ya" kata saya.
nama saya Narayan Tagore dan sekarang pekerjaan saya adalah sebagai istri pak
Drajad Sujatmiko, guru saya sendiri ketika saya masih di sekolah menengah. saya
tidak pernah menyesal tentang semua yang terjadi dalam hidup saya termasuk
perihal saya jatuh cinta pada pandangan pertama dengan guru saya sendiri.
Menurut pendapat saya, cinta adalah hal yang baik. Meskipun menyapa kamu
ketika kamu belum siap tapi cinta selalu menunggu sampai kamu siap. Itu akan
datang kepadamu di waktu yang tepat dan di tempat yang tepat jadi jangan
menolak cinta yang sudah menyambutmu.
Sri Asih dan Sri Dewi yang berkostum kemben dengan elemen estetik yang
menghias kepala seperti tokoh-tokoh cerita dalam komik pewayangan itu sama
gagah dan saktinya dengan Superman. Malahan, Sri Asih dan Sri Dewi tidak
punya kelemahan, sebagaimana kesaktian Superman akan lenyap bila dihadapkan
pada batu kryptonite yang berasal dari Planet Krypton. Dalam konteks yang
demikian, R.A. Kosasih seakan-akan ingin menghadirkan kekuatan nilai-nilai
lokal yang tidak kalah dengan nilai-nilai lainnya yang datang dari Barat. Meski
pada satu sisi mutu gambar (drawing) yang dikreasi oleh para komikus dari Barat
sana lebih unggul, dengan teknik cetak yang lebih canggih.
Gundala Putera Petir muncul pertamakali pada 1969, lewat lakon Gundala Putera
Petir, terbitan Kentjana Agung. Selain itu, Hasmi juga menciptakan tokoh
superhero Kalong, Sembrani, dan Merpati yang cantik jelita, yang kemudian
menjadi istri Gundala Putera Petir dalam komik yang diberi judul "Pengantin Buat
Gundala". Teman Hasmi, Wid N.S., menciptakan tokoh superhero Godam Si
Penakluk. Godam dan Gundala kerap hadir dalam komik yang dikreasi oleh
Hasmi dan Wid N.S., bahu-membahu menumpas kejahatan di bumi Indonesia.
Komik serial Gundala saat ini diterbit-ulang oleh Bumi Langit, Jakarta.
Tokoh komik superhero lainnya yang nyaris sama punya kekuatan seperti
Gundala Putera Petir adalah Kapten Halilintar hasil kreasi Jan Mintaraga. Beda
antara Gundala dan Kapten Halilintar adalah, Gundala bisa lari kencang secepat
kilat, sedangkan Kapten Halilintar bisa terbang. Kapten Halilintar nyaris sama
dengan superhero The Almighty Thor dari Amerika Serikat, yakni sama-sama
putera kesayangan Dewa Petir, Odin. Semua tokoh komik yang mengagumkan itu
kini sulit dicari di pasaran. Begitu pula tokoh-tokoh komik lainnya karya para
komikus Indonesia yang berjaya pada 1970-an.
Sama seperti Sri Asih dan Sri Dewi, eksistensi Kapten Bayangan, Gundala,
Godam, Kapten Nusantara, Kapten Mar, Tora, Aquanus, dan lain-lain, seakan-
akan tenggelam oleh kehadiran tokoh komik atau manga Doraemon hasil kreasi
Fujiko F. Fujio, Detektif Conan hasil kreasi Aoyama Gosho, dan Naruto hasil
kreasi Masashi Kisimoto, untuk menyebut sejumlah tokoh manga yang datang
dari Jepang. Tentu saja masih banyak tokoh-tokoh manga lainnya dari Jepang
yang datang ke Indonesia, dan bukan hanya manga-nya saja, tetapi juga berupa
film animasi (anime) yang diangkat dari manga-nya.
**
Pada 1992 penerbitan komik diserahkan kepada Erlina karena Markus Hadi mulai
sakit-sakitan. Sejak itu penerbitan komik Maranatha berubah jadi penerbit komik
Erlina. Markus Hadi pun meninggal dunia dalam usia 66 tahun, pada 1996. Sejak
itu tak ada komik baru yang diterbitkan, selain penerbitan ulang. Itu pun sebagian
besar komik wayang.
"Untuk superhero, akan diterbitkan ulang pula. Naskah-naskah itu sudah kami beli
pada zamannya. Akan tetapi, dalam penerbitannya yang sekarang berbagi hasil
dengan memberikan royalti 10 persen dari hasil penjualan. Dalam satu tahun
untuk menjual 1.000 eksemplar saat ini sulitnya bukan main. Dulu tidak sampai
satu tahun sudah habis," tutur Erlina.
Meski demikian, Erlina tetap berharap bahwa komik Indonesia bisa bangkit lagi.
Terbukanya pasar bebas pada satu sisi bukannya malah menghidupi para komikus
Indonesia, tetapi malah membunuh daya kreativitas mereka karena komik yang
dikreasi oleh mereka mentok di pasaran. Kalau apa yang diproduksi oleh mereka
tidak laku di pasar, yang gulung tikar bukan hanya penerbit, tetapi juga para
komikus itu sendiri.
Dalam konteks ini, Erlina bilang, mungkin para komikus harus banting setir
dengan menciptakan cerita baru dengan latar belakang yang baru, walau tokoh
komik yang mereka buat masih tokoh komik yang lama, atau digarap ulang oleh
para komikus dari generasi terkini.
"Saat ini, sebagian besar komikus yang tergabung dengan Maranatha sudah
pindah tempat dari Bandung, dan bahkan ada juga yang sudah meninggal dunia.
Kejayaan komik Indonesia tinggal kenangan," ujar Erlina.
Ia mengenang kembali usaha penerbitan komik yang dulu dirintis oleh suami itu.
Semua bermula dari hobi suaminya mengoleksi sejumlah komik, dan corat-coret
bikin komik. "Komik yang dibuat oleh suami saya itu tanpa nama, karena kurang
laku," kata Erlina sambil tertawa, mengenang masa lalunya yang indah. (Soni
Farid Maulana/"PR")
Hiperbola Damhuri itu merupakan gusar besar terhadap kritikus sastra yang
gencar memburu kelemahan karya sastra dan malas melacak kekuatannya.
Kritikus sastra serupa itu adalah seteru karya sastra lantaran nafsunya lebih
bergelora untuk berkonfrontasi ketimbang berkomunikasi dengan karya sastra.
Gusar Damhuri itu bukan perkara anyar dalam dunia sastra Indonesia; dan fakta-
fakta perkara itu masih merajalela - sekurangnya menurut Damhuri.
Kritik sastra memproduksi nilai atau tafsir karya sastra. Penilaian dan penafsiran
niscaya bertopang perspektif tertentu dan berkonsekuensi menerima resepsi,
tanggapan, ataupun reaksi. Kritik sastra memanggul risiko konflik lantaran isi
kritik sastra lahir dari rahim perspektif tertentu yang tak mungkin mewakili semua
perspektif.
Menurut saya, kritik sastra mesti dibebaskan dari ketunggalan definisi. Akan
tetapi, kritik sastra sama sekali bukan tanpa "konsensus" atau "versi" sebagai
perspektif yang memungkinkan kritik sastra terselenggara.
Nirwan Dewanto mengaku "kritik sastra baru bisa berlaku di atas karya sastra
yang memperlihatkan anasir kritis dalam dirinya sendiri. Kritik sastra tiada lain
daripada perpanjangan watak kritis tersebut." Maka, karya sastra yang baiklah
yang potensial merangsang kritik sastra.
Pengakuan Nirwan dan penegasan Suminto itu merupakan perspektif kritik sastra
yang mereka yakini atau harapkan. Perspektif selalu punya batas; dan kritik sastra
dibatasi perspektifnya. Tiada perspektif total-sempurna.
Konflik kritikus sastra versus sastrawan "melegenda" dalam dunia sastra kita.
Pada 1940-an Chairil Anwar dan H.B. Jassin bertikai gara-gara Chairil tak suka
kritik Jassin terhadap beberapa puisinya. Pada 1980-an Ahmad Tohari
melancarkan "reaksi keras" terhadap keluhan F. Rahardi ihwal cacat representasi
dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk. Dan pada 2000-an Hudan Hidayat terlibat
debat dengan Taufiq Ismail ihwal erotika.
Barangkali sikap tepat menghadapi konflik kritik sastra adalah menyadari kritik
sastra yang baik tak bisa semena-mena dinihilkan oleh sekadar reaksi sastrawan.
Sebaliknya, kritik sastra yang buruk akan menggugurkan dirinya sendiri. Sikap itu
bakal dianggap bijak atau justru terlalu lunak. Menurut saya, kritik sastra yang
polemis atau yang tanpa "reaksi keras" bukanlah ukuran kritik sastra yang baik
atau buruk.
Sukar dielak adanya "kuasa pembaca" dalam diri kritikus/khalayak pembaca yang
cenderung bertarung dengan "kuasa sastrawan" sebagai pencipta karya sastra.
Karya sastra seolah dijadikan "objek"; dan kritik sastra menjelma "subjek". Posisi
objek-subjek itu berlaku searah: karya sastra "dinilai" oleh kritikus sastra, dan
bukan sebaliknya.
Menurut saya, kritik sastra yang baik adalah laku komunikasi yang memperkaya
pemahaman dan pemaknaan karya sastra, bukan memiskinkannya. Pujian kritikus
sastra bukan jaminan memperkaya pemahaman dan pemaknaan karya sastra.
Sebaliknya, hujatan kritikus sastra tak selalu memelaratkan pemahaman dan
pemaknaan karya sastra. Produk kritik sastra yang baik adalah pantulan karya
sastra itu sendiri melalui cermin perspektif kritik sastra tertentu.
Hiperbola Damhuri ada "kritikus sastra serupa hama tikus perusak tanaman di
ladang sastra" itu berlaku bagi kritikus sastra jadi-jadian yang menyusup ke
ladang sastra. Gusar Damhuri terhadap kritikus sastra jadi-jadian itu tak
menihilkan kritik sastra yang baik. Tudingan Damhuri itu sebuah perspektif
terhadap sejumlah fakta kritik sastra yang ia temukan.
Bagi saya, kritik sastra yang baik niscaya bukan "hama sastra". Kritik sastra yang
melancarkan "misi perusakan" bakal luruh dengan sendirinya atau lumpuh
menghadapi karya sastra yang kuat. Hama cenderung menjangkiti tanaman yang
lemah, bukan? "Hama sastra" akan disfungsi atau mati menghadapi daya karya
sastra yang kuat. Sejarah telah dan akan membuktikan itu…***
Binhad Nurrohmat, penyair
"Saya mengamati sastra Indonesia sejak akhir 1970-an, ketika saya mahasiswa
bahasa dan sastra Indonesia di Universitas Köln. Sebagai pencinta sastra, tentu
saja saya tertarik pada sastra Indonesia. Karya sastra suatu bangsa merupakan
cermin kebudayaannya, juga sumber yang sangat penting untuk memahaminya,"
ujar Berthold Damshäuser yang oleh para sastrawan dan publik sastra di Indonesia
akrab disapa Pak Trum ini.
Menurut Pak Trum, dalam rangka kerja sama kebudayaan, teks, termasuk teks
kesastraan, seharusnya diberi peranan yang menonjol. Dalam sejarah pertukaran
budaya, tekslah (teks agama, filsafat, sastra, juga sains) yang sejak dulu
merupakan faktor yang paling menentukan. Penyebaran ide-ide baru terutama
dilakukan melalui teks yang diterjemahkan.
"Karya sastra tentu saja sanggup memberi sumbangan pada proses itu, karena
sastra pun cenderung mengandung unsur pembaruan ide, filsafat. Maukah Jerman
dan Indonesia saling memperkaya? Kalau, ya, karya sastra sebanyak mungkin
mesti diterjemahkan ke dalam bahasa masing-masing, lalu disebarkan," tutur salah
seorang pendiri Komisi Jerman-Indonesia untuk Bahasa dan Sastra yang tahun ini
dipilih sebagai Presidential Friend of Indonesia.
Sebelum terbitnya Seri Puisi Jerman, terjemahan Indonesia dari puisi Jerman
hanya terdapat dalam bentuk satu-dua antologi dan di berbagai majalah. Boleh
dikatakan, puisi Jerman belum hadir di Indonesia. Termasuk puisi Goethe, Brecht,
Rilke, dan Nietzsche. Oleh karena itu, sudah waktunya untuk menghadirkan puisi
Jerman di Indonesia. "Dan saya kira, ada baiknya juga bila publik Indonesia kini
dapat membaca puisi Goethe yang bernafaskan agama Islam, puisi Paul Celan
yang mengangkat tema holocaust terhadap bangsa Yahudi, atau puisi
Enzensberger yang berkaitan dengan keadaan masyarakat Jerman yang modern,"
tutur pak Trum.
Oleh karena itu, dalam pandangan Pak Trum, filsafat dan kesenian abad ke-20
akan berbeda andai tak ada Friedrich Nietzsche. Ia semacam perintis filosofi
eksistensial dan filosofi kehidupan, juga filosofi analitis. Filosof-filosof seperti
Wittgenstein, Sarte, Heidegger -untuk menyebut beberapa nama saja- terilhami
oleh karya-karya Nietzsche. Tak terhitung juga jumlah seniman-sastrawan,
pelukis, pemusik- yang menghasilkan karya di bawah pengaruh Nietzsche,
misalnya komponis Richard Strauss dengan simfoninya Also Sprach Zarathustra.
Dan, dampak pemikirannya terasa sampai kesusastraan Jerman yang kontemporer.
Sulit memang bagi tiap cendekiawan, tiap seniman untuk lepas dari daya tarik
Nietzsche. Di Indonesia, hal itu terasa juga, tiada pemikir atau sastrawan Jerman
yang diminati seperti Nietzsche.
"Saya ingin sebutkan satu-dua dari sekian banyak gagasan atau pikiran Nietzsche
yang patut direnungkan, bukan saja oleh orang Indonesia melainkan oleh manusia
mana pun. Yakni, kesangsian Nietzsche akan kebenaran mutlak, juga sikap skeptis
terhadap keyakinan sendiri, dan cara penilaian yang perspektivistis. Dan, tentu
saja ide Nietzsche tentang pribadi mandiri, manusia yang "bukan domba", yang
bukan budak yang tenggelam dalam massa, yang dengan gampang digerakkan
atau dihasut untuk memenuhi kehendak otak-otak yang kerdil dan jahat,"
ujarlelaki kelahiran Wanne-Eickel Jerman tahun 1957 ini. (Ahda Imran)
Gairah pada keabadian dan keberulangan yang akan membawa kembali segala
sesuatu dalam hidup manusia, selalu menjadi seruan utama Zarahustra. Figur fiktif
yang bertahun-tahun menyendiri dalam roh kesunyian di atas perbukitan, lalu
turun menuju kota dan mengajarkan apa yang disebutnya dengan Ubermensch.
Dalam ajaran itu Zarahutra tak hanya meyakini bahwa tuhan sudah mati, tetapi
juga mengajarkan sebuah iman ihwal kehendak manusia untuk berkuasa (will to
power).
Dengan kehendak berkuasa inilah manusia bisa menikmati totalitas hidup dalam
kepenuhannya. Gagasan puitik demi memaklumatkan posisi manusia yang
melepaskan makna dirinya dari segala ikatan. Tak hanya moralitas tetapi juga
ikatan dari berbagai harapan, termasuk harapan yang masih disisakan oleh masa
lalu atau yang dijanjikan oleh masa depan.
Tak ada harapan pada apa pun kecuali pada dunia itu sendiri. Kekinian
diyakininya sebagai keabadian sepanjang manusia setia pada gairah dan kuasa
nasibnya sebagai manusia (amor fati). Kesetiaan inilah yang akan menjadi bukti
bahwa segala sesuatu akan berulang sebagai keabadian. Gairah pada keabadian
yang jauh lebih agung dari penderitaan, seperti ia juga menyeru; gairah-lebih
dalam dari nestapa/.../Tapi segala gairah hasratkan keabadian/ ("Nyanyian
Mabuk"). Gairah pada keabadian akan membawa manusia sebagai makhluk
suprahistoris. Mahluk yang mengatasi nestapa dan keriangan.
**
BERBEDA dari para filsuf lainnya, Nietzsche tak bisa disendirikan dari puisi.
Banyak kalangan menghubungkan Nietzsche dan puisi karena gaya penulisannya
yang aforistik dan tidak sistematis sebagaimana halnya gaya penulisan sejumlah
filsuf. Mungkin saja benar, terlebih gaya aforisme itu lebih dari sekadar disadari
oleh Nietzsche. Akan tetapi, juga merepresentasikan kebenciannya pada gaya
penulisan yang sistematis, yang dipandangnya sebagai penjara. Meski begitu,
hubungan Nietzsche dan puisi tak berhenti sampai di situ. Dari riwayat hidupnya
diketahui bahwa pada usia 14 tahun, semasa tinggal di asrama Profta, bersama
sejumlah temannya ia mendirikan klub sastra Germania. Sejak itulah ia terus
berlatih mengungkapkan berbagai pemikirannya ke dalam puisi.
Dengan kata lain, Nietzsche adalah filsuf sekaligus juga seorang penyair.
Terutama dalam karyanya yang monumental Also Sprach Zarahustra atau Der
Wille zur Macht (Kehendak untuk Berkuasa), dengan gaya aforismenya yang
menakjubkan, Nietzsche menyuguhkan berbagai gagasan yang mencengangkan
ihwal tuhan dan dunia manusia. Dan satu hal yang selalu dilekatkan pada gagasan
pemikiran Nietzsche adalah provokasinya yang ekstrem tentang kematian tuhan,
dan kehendak manusia untuk berkuasa sebagai ubermensch, keabadian, nihilisme
segala nilai, dan penolakannya pada moralitas dan kebenaran mutlak. Dan inilah
yang memosisikan Nietzsche, yang oleh sebagian kalangan, dianggap sebagai
"nabi pasca-modernitas".
Buku ini juga menyuguhkan sejumlah periode yang menjadi jejak pemikiran
Nietzsche yang hadir dalam bentuk puisi. Puisi-puisi itu dipilih dan diambil dari
sejumlah karya Nietzsche, mulai dari Die Frohliche Wissenschaft (Sains Girang)
hingga Also Sprach Zarahustra. Perkembangan pemikiran Nietzsche hadir dalam
puisi yang merepresentasikan biografi gagasan dan kegelisahannya. Baik semasa
ia masih menyebut Tuhan dengan pilu; Di malam seram ngeri/ Aku menatapMu,
harus merengkuhMu (Engkau Memanggil, Tuhan, Kuhampiri); hingga ketika ia
dengan "lancang" menulis, "baik dan jahat cuma prasangka/ Tuhan"- ucap ular,
lalu menghilang (Dari Surga).
Sebagai puisi ide, karya-karya Nietzsche berlimpah dengan sinisme kepada Tuhan
dan agama. Keduanya lebih dari sekadar merujuk pada konteks cara pandang
Nietzsche terhadap gereja Eropa ketika itu, yang dianggapnya melulu menjadikan
manusia sebagai segerombolan domba. Melainkan juga merepresentasikan
penolakannya akan kebenaran dan moralitas mutlak yang membelenggu manusia.
Hilangnya kesadaran manusia sebagai individu karena suatu kebenaran mutlak,
dimetaforakannya dengan tabiat dombawi. Sebaliknya, kebebasan manusia
sebagai individu yang memberontaki segenap kebenaran mutlak dibayangkannya
sebagai burung rajawali.
**
PUISI-puisi Nietzsche adalah puisi seorang Dynosian. Nafsu dan gairah seorang
penyendiri yang menentang kesantunan moralitas serta kebenaran umum. Nafsu
seorang nihilistik yang mempertanyakan segenap nilai kebenaran seraya terus
mencari kebenaran itu sendiri. Oleh karena itulah, ia kerap dipandang sebagai
manusia yang dirundung oleh berbagai kontradiksi. Ia dihujat sebagai orang gila
sekaligus dipuja sebagai seorang pencari Tuhan seraya juga ia menolak
keberadaan-Nya demi kehendak untuk berkuasa.
Sebagai filsuf dan penyair, kontradiksi gagasan Nietzsche juga berada di antara
keduanya. Termasuk ihwal keabadian dan kepercayaannya bahwa segala sesuatu
akan berulang. Bagi Paul Strathern (1997), misalnya, pengulangan abadi yang
diserukan Nietzsche lebih merupakan sebuah gagasan puitik yang menarik agar
manusia menikmati hidup sampai pada kepenuhannya. Akan tetapi, sebagai
gagasan moral atau filosofis, hal itu sangatlah dangkal.
Demikian pula bagi Bertold Damshäuser. Dalam tulisan pengantarnya di buku ini,
ia menyebut gagasan Keberulangan Abadi itu hanyalah sebuah ide yang tak
berdasar, jelas tak terbuktikan, tak masuk akal. Ide itu dicari-cari oleh Nietzsche
yang haus akan makna keabadian, yang sekaligus juga menolak metafisika dan
oleh karena itu melarang diri untuk mencari makna dalam transendentalitas.
(Ahda Imran)
Jika Anda mendengar lagu dangdut dengan sentuhan gitar rock yang keras-kasar
distortif, maka itu adalah gagasan Raden Haji Oma Irama atau Rhoma Irama.
Sekitar pertengahan era 1970-an, ia meletakkan suatu gaya musik dengan
sentuhan rock yang di kemudian hari menjadi semacam ”genre” tersendiri dari apa
yang dulu disebut sebagai musik melayu. Musik melayu yang kemudian disebut
dangdut di tangan Rhoma bersama Soneta Grup-nya terdengar dinamis, agresif
dan progresif.
Itu peran sejarah dan kontribusi Rhoma untuk musik dangdut yang bisa dikatakan
telah menjadi musik rakyat. Rhoma menyebut terobosannya itu sebagai ”revolusi”
pertama.
Revolusi kedua versi Rhoma belum selesai saat ini.
Setidaknya, Rhoma baru merilis single ”Azza” dan akan segera menyusul album
penuh. Satu paket dengan revolusi itu, muncullah Ridho Rhoma, putra Rhoma
yang kini tengah populer.
Anda seperti bangkit lagi, di tengah pentas musik yang berbeda dengan masa
ketika anda menampilkan ”Begadang” pada era 1970-an?
Ya, saya pernah mengumumkan adanya revolusi dangdut kedua. Itu setelah
revolusi musik pertama yang saya buat tahun 1970-an dari musik melayu ke
dangdut. Revolusi pertama itu untuk mengimbangi derasnya musik rock. Orkes
melayu seperti Soneta itu pun musiknya berwarna rock,” kata pria kelahiran
Tasikmalaya, Jawa Barat, 11 Desember 1946, itu.
”Itu sebetulnya strategi untuk mengimbangi musik rock, supaya (dangdut) equal
dengan rock. Setelah itu dangdut eksis dan bahkan menjadi musik primadona di
Tanah Air. Indikator yang paling kuat adalah tidak ada televisi yang tidak punya
program dangdut.”
Rhoma lalu bicara soal terpuruknya dangdut sekitar tiga tahun terakhir. Rhoma
menuding salah satu penyebab menyurutnya dangdut dari belantika musik Tanah
Air adalah maraknya erotisisme yang menyertai penampilan artis dangdut.
Apa yang disebut Rhoma sebagai erotisisme itu mungkin saja bukan penyebab
menyurutnya dangdut. Namun, faktanya musik pop saat ini sangat dominan di
pentas musik, termasuk di televisi. ”Saya terpikir untuk membuat revolusi seperti
tahun 1970. Revolusi kedua ini ada satu format dangdut yang baru, style yang
baru, bahkan ikon yang baru.”
Siapa itu?
Ikon itu, kan, Ridho. Kemudian Sonet2 Band itu (dibaca Sonet two). Dari nama
saja sudah revolusioner. Dulu, kan, namanya Orkes Melayu Soneta, Orkes Melayu
Purnama. Dengan revolusi saya, Soneta menjadi Soneta Grup. Enggak ada lagi
orkes melayu Soneta, bahkan sekarang Sonet2 itu band. Itu juga revolusioner.
Iya. Karena Sonet2 ini, kan, proyek saya. Kalau dulu untuk mengimbangi rock,
sekarang untuk mengimbangi musik pop. Karena musik dewasa ini didominasi
oleh pop. Style, performance, harus seperti pop sebagaimana dulu Soneta harus
seperti rock.
Alhamdulillah revolusi kedua ini juga berhasil. Sonet2 Band ternyata bisa sejajar
dengan grup-grup pop papan atas. Jadi, alhamdulillah revolusi pertama berhasil
sehingga dangdut bisa menjadi musik primadona di Indonesia. Alhamdulillah
revolusi kedua juga berhasil. Ridho bersama Sonet2 Band berhasil, katakanlah
kalau ukurannya RBT, Ridho yang tertinggi peringkatnya.
(Menurut Ridho, pengguna nada sambung pribadi atau ring back tone lagu Sonet2,
antara lain ”Menunggumu”, sekitar lima juta.)
Ya. Ini ada benang merahnya, antara lahirnya Sonet2 Band dan revolusi kedua. Ini
(film) memang bercerita soal itu. Kalau Anda lihat filmnya, itu memang kisah
tentang revolusi kedua.
Dalam film-film Anda, seorang Rhoma Irama tampil sebagai Rhoma yang heroik.
Prinsip saya di film memang menjadi diri sendiri. Itu prinsip. Saya tidak mau
main film menjadi aktor. Makanya, 25 kali main film, saya tidak merasa menjadi
aktor karena saya memerankan diri saya sendiri supaya saya bisa
mempertanggungjawabkan itu kepada masyarakat. Supaya masyarakat tidak
merasa itu sesuatu yang fiksi. Biasanya, kan, bintang-bintang film yang
digandrungi penggemar karakternya tidak seperti itu di luar (film). Saya tidak
ingin mengelabui masyarakat. Saya ingin masyarakat melihat Rhoma di film,
itulah Rhoma di luar.
Saya juga ingin Ridho seperti itu. Jangan dia menjadi sesuatu yang fiksi di
masyarakat. Jadi, konsepnya masih sama dan masih drama musikal karena kalau
dulu saya start-nya sebagai penyanyi yang main film, bukan sebaliknya. Saya kira
Ridho juga sama, dia penyanyi yang main film. Jadi, dia dikenal lebih dulu
sebagai penyanyi, baru dia main film. Jadi, kalau filmnya tidak menyanyi,
masyarakat akan kecewa. Orang datang melihat Rhoma, pasti dia ingin melihat
Rhoma menyanyi karena saya dikenal terlebih dahulu sebagai penyanyi. Begitu
juga Ridho. Pasti yang mereka mau lihat Ridho menyanyi. Makanya, filmnya
musikal. Konsepnya sama.
Tahun lalu, Rhoma melempar wacana seputar Ridho yang ia sebut sebagai
”Pangeran Dangdut”. Julukan itu mengacu pada sebutan ”Raja Dangdut” yang
dilekatkan kepada sosok Rhoma Irama. Sonet2 Band dan film Dawai 2 Asmara
menjadi penanda hadirnya sang ”Pangeran”.
Ya, kalau dulu saya lewat jalan berdebu, berkeringat, dan berdarah-darah.
Makanya, filmnya juga berbeda. Filmnya tidak berdarah-darah.
Sampai ada istilah ”dangdut tai anjing”, ”rock terompet setan”. Itu, kan, perang.
Bahkan, saya sampai (berjuang) dengan jiwa. Saya pertaruhkan jiwa itu untuk
dangdut. Ini sangat jauh berbeda dengan Ridho. Ridho ini ibaratnya sudah
disediakan karpet merahlah. Jadi, romantika Ridho dan Rhoma itu sangat-sangat
berbeda.
Anda sebut Ridho sebagai ”Pangeran Dangdut” karena Anda berjuluk ”Raja
Dangdut”?
”Predikat raja, superstar itu, kan, bukan berasal dari pemerintah, tetapi dari rakyat,
dari fans. Ini, kan, bentuk apresiasi atas prestasi seseorang. Maka, diberikan
julukan raja, superstar, apalah. Saya memberanikan diri me-launching Ridho
sebagai Pangeran Dangdut, tetapi itu bukan dalam konteks dia anak ”Raja”, tetapi
potensi yang ada pada Ridho itu berani saya pertaruhkan bahwa he is the best
sebagai generasi muda penerus dangdut”.
Kita tengok era 1970-an. Band rock Inggris, seperti Deep Purple, Led Zeppelin,
dan Black Sabbath digemari kaum muda di negeri ini. Grup rock pun
bermunculan di Tanah Air, seperti God Bless, Giant Step, AKA, serta Super Kid
dan mendapat tempat di hati anak muda.
Rhoma Irama—saat itu masih dikenal sebagai Oma Irama—tengah populer lewat
lagu ”Begadang”, ”Rupiah”, sampai ”Penasaran”, yang belum terasa bau rocknya.
Ia mengatur strategi untuk mengakomodasikan dangdut dengan realitas musik
pada zamannya. Lahirlah seperti ”Begadang 2”, ”Takwa”, ”Judi”, dan ”Kiamat”,
yang kental rasa rock lewat cita suara gitar yang keras-keras distortif khas rock.
Tarikan gitar Rhoma pada lagu-lagu tersebut mengingatkan orang pada Ritchie
Blackmore, gitaris Deep Purple. Sound gitar rock ala Rhoma sejak itu menjadi
unsur ”wajib” dalam dangdut sampai hari ini.
Pengaruh musik apa yang membentuk dangdut versi Rhoma Irama?
Memang sejak kecil, saya menyukai dua kutub musik: India dan Barat. Kalau
India, misalnya, Lata Mangeskhar, Mohammed Rafi. Itu bintang-bintang penyanyi
India tahun 1960-an. Yang Barat saya suka Everly Brothers, Tom Jones, Elvis
Presley. Jadi, sejak kecil saya sudah menyanyikan lagu Barat dan lagu India. Itu
terus tumbuh. Ketika saya remaja, saya punya band dan
grup orkes melayu. Jadi, pada suatu malam Minggu, kita bisa main di Menteng,
lagu-lagu Barat. Di malam minggu yang lain, kita main di kampung-kampung
yang becek, kami mainkan lagu-lagu India. Dua kutub ini terus berkembang
sampai suatu saat saya putuskan untuk membela orkes melayu, membela dangdut.
Pengaruh rock rasa Deep Purple sangat kuat pada gitar Anda.
Ya, itulah revolusi musik itu. Saya declare revolusi musik tahun 1970-an ketika
rock melanda dunia, ada rock fever (demam rock). Kalau Orkes Melayu tidak
melakukan revolusi ketika itu, ya, orkes melayu akan hilang. Ada pengaruh Deep
Purple dan Led Zeppelin. Lagu-lagu Deep Purple itu yang saya suka. Dia itu hard
rock, tetapi melodius. Dahsyat itu... untuk ukuran dangdut ketika itu....
Makanya, Soneta itu ada unsur rock. Sound rock itu strategi yang saya katakan
tadi. Makanya, saya kan rock juga, pop juga. Penyanyi rock gondrong, kami juga
gondrong. Rock bisa jungkir balik, kami juga jungkir balik. Kemudian rock
dengan kapasitas sound system ratusan ribu watt, kita juga pakai gitu. Jadi, dalam
konteks persaingan sehat, kita eksis.
Lagu ”Orang Buta” itu apa inspirasinya ”When A Blind Man Cries”-nya Deep
Purple.
Kurang lebih begitu ha-ha-ha! Pasti ada influence dari Deep Purple. Ya, itulah
dangdut, musik yang revolusioner waktu itu. Revolusi musik itu saya declare
tahun 70. Ada yang bertanya-tanya, Rhoma Irama mau ke mana ini, kok, dangdut
jadi begitu. Ada riff gitar, ada drum segala.
Dakwah
Pada tahun 1980-an Anda memasukkan unsur tiup logam (brass) dalam dangdut.
Apa alasannya waktu itu?
Ada brass section, lalu ada Soneta Femina sebagai koor itu dalam rangka kita bisa
bersaing dengan jenis-jenis musik lain. Karena musik dangdut itu, kan, melodius
dan indah. Nah, untuk mencapai keindahan-keindahan itu kita gunakan backing
vocal, Soneta Femina. Kemudian ada brass section untuk lagu-lagu yang
katakanlah dinamis. Kadang-kadang ada lagu-lagu yang dari sisi aransemen
memang membutuhkan stressing. Konsep saya pertama, easy listening, kedua
harmoni, ketiga touching (menyentuh). Sebuah musik dakwah itu harus enak
didengar. Kalau lagu tersebut tidak sampai, atau tidak digemari masyarakat,
dakwah itu akan gagal. Jangankan dia (pendengar) mau melaksanakan seruan kita,
dengarnya saja ogah he-he-he. Seperti misalnya lagu ”Keramat”, ”Takwa”, ”Judi”,
semua easy listening.
Mengapa sound gitar ala Rhoma itu tidak muncul dalam lagu ”Azza”, dan
orkestrasi kental nuansa Arabia.
Kami memang harus selalu tidak statis. Harus ada sesuatu yang yang kami buat
berbeda, yang baru. Dalam konteks harmoni juga. Nuansa Arabia kuat karena
lokasi (syuting klip ”Azza”) di Mesir, jadi harus disesuaikan. Selanjutnya kita
rencana di Tajmahal, India. Konsepnya pasti berbeda.
Kira-kira begini konsepnya bahwa Rhoma harus selalu mengacu pada nilai-nilai
religius, sosial. Soneta lebih membangun masyarakat dalam konteks dakwah.
Namun, Ridho, dia harus membangun musiknya dalam konteks remaja.
Percintaan yang positiflah karena itu memang dunia dia, segmentasinya, ya,
memang itu. Namun, kalau Rhoma sudah tidak berada di situ lagi. Dia (Rhoma)
sudah ada di posisi pertanggungjawaban bagaimana memberikan kontribusi
kepada bangsa ini tentang moralitas, misalnya.
***
RHOMA IRAMA
• Diskografi:
- Begadang, 1973
- Ke Bina Ria, 1974
- Joget, 1975
- Penasaran, 1976
- Hak Asasi, 1977
- Gitar Tua Oma Irama, 1977
- Berkelana, 1978
- Rupiah, 1978
- Begadang II, 1978
• Filmografi
- Oma Irama Penasaran, 1976
- Gitar Tua Oma Irama, 1977
- Darah Muda, 1977
- Rhoma Irama Berkelana I, 1978
- Rhoma Irama Berkelana II, 1978
- Begadang, 1978
- Raja Dangdut, 1978
- Cinta Segitiga, 1979
- Camelia, 1979
- Perjuangan dan Doa, 1980
- Melody Cinta Rhoma Irama, 1980
- Badai Diawal Bahagia, 1981
- Satria Bergitar, 1984
- Cinta Kembar, 1984
- Pengabdian, 1985
- Kemilau Cinta di Langit Jingga, 1985
- Menggapai Matahari I, 1986
- Menggapai Matahari II, 1986
- Nada-Nada Rindu, 1987
- Bunga Desa, 1988
- Jaka Swara, 1990
- Nada dan Dakwah, 1991
- Tabir Biru, 1994
- Dawai Dua Asmara, 2010
Pameran yang digagas oleh Yayasan Bali Bangkit dan Kedutaan Besar China di
Indonesia ini sesungguhnya ingin merumuskan dan mencari sisi-sisi arsiran yang
mengisahkan sejarah ”persekutuan” politik dan kebudayaan antara Indonesia dan
China. Jusuf Wanandi, Ketua Yayasan Bali Bangkit, bahkan menegaskan
persenyawaan kebudayaan Bali dan China sudah berlangsung berabad-abad lalu.
”Itu sudah terjadi ketika pudarnya kerajaan Majapahit abad ke-16, lalu
pengaruhnya tumbuh di Bali,” kata Wanandi di sela-sela pameran yang dibuka
oleh Duta Besar China untuk Indonesia Zhang Qiyue.
Perbedaan estetika perupaan itu memang berasal dari kutub sejarah seni dan sosial
yang berbeda pula. Jika keheningan lukisan-lukisan klasik China lahir lebih dari
1.000 tahun lalu, terutama pada masa Dinasti Tang yang dipelopori oleh penyair
dan pelukis Wang Wei, lukisan-lukisan tradisi Bali baru berkembang sekitar tahun
1920-an. Itu pun lewat persentuhan dengan seni rupa Barat yang dibawa oleh
Rudolf Bonnet dan Walter Spies.
Keheningan lukisan-lukisan klasik China ibarat perasan dari gugusan sejarah
peradaban dan intelektualitas yang sudah berlangsung berabad-abad. Lukisan
adalah visualisasi penting untuk me-rupa-kan gagasan falsafati. Oleh sebab itu,
sebagian dari perupa itu adalah para sastrawan yang bergelut dengan kata dan
makna, sebelum kemudian menggoreskannya dengan tinta dan kertas. Lukisan
klasik China ibarat kibasan dari gugusan filsafat yang melatarinya. Sangat populer
kemudian ungkapan, ”Lukisan adalah syair dalam gambar. Syair ialah lukisan
dalam kata.”
Dalam soal itu lukisan klasik China dikenal dengan teknik brush painting: Lukisan
yang mewujud dalam limit waktu terbatas akibat penggunaan teknik kuas dan
tinta di atas kertas. Tidak ada pengulangan, apalagi perbaikan. Semua terjadi
ibarat kata-kata yang mengalir lewat serat-serat kuas.
Harmoni
Dua kutub yang secara perupaan berbeda inilah barangkali yang membuat Agus
Dermawan T selaku kurator memberi dua subjudul. Khusus pameran 50 karya
klasik China disebut ”Ketenangan dan Keselarasan” dan lukisan-lukisan Bali
diberi subjudul ”Alam dan Figurasi”. Lagi-lagi ini agak tidak selaras
sesungguhnya karena yang satu mengeduk sampai ke dasar filosofi, yang lainnya
berkutat pada bentuk. Akan tetapi, sekali lagi, ”ketidakselarasan” itu terjadi
lantaran perbedaan latar belakang estetika dan sejarah sosial.
Satu hal yang barangkali bisa dijadikan titik simpul pertemuan kedua kutub
kesenian ini adalah kesepadanannya di dalam pencarian harmoni. Jika lukisan-
lukisan klasik China dalam wujud yang bening dan ringkas menorehkan
keharmonian dalam pencarian filsafat hidup, maka dalam kerumitan lukisan
tradisi Bali keharmonian itu dikejar secara tematik. Tema-tema seperti ritual
keagamaan, kehidupan para petani di desa, pesta para penari, dan pementasan
kesenian adalah tema-tema pencarian keseimbangan yang dalam filsafat hidup
orang Bali disebut Tri Hita Karana. Filsafat ini menghasratkan penyelarasan
antarmanusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Sang Pencipta.
Di luar soal itu, gambar-gambar yang muncul dalam lukisan tradisi Bali, seperti
barong ket dan barong landung, jelas menunjukkan penjelmaan tradisi China yang
sudah diserap sejak masa Majapahit itu. Soal mengapa keheningan (pencerahan)
dicari dalam pendakian gambar-gambar yang rumit, itulah jalan perupaan untuk
menemukan sisi spiritual yang sama dan sebangun: harmoni. (NAW)
Wajah-wajah diam itu seperti bicara tentang derita. Itulah wajah-wajah ”jugun
ianfu”, wajah ibu-ibu kita yang direkam fotografer Jan Banning dan dipamerkan
di Erasmus Huis, Jakarta, 12-23 September 2010.
Potret adalah gambar seseorang yang tahu bahwa dirinya sedang dipotret. Itu
definisi potret atau photographic portrait dari Richard Avedon, seorang fotografer
Amerika Serikat yang pernah membuat potret untuk tokoh dunia mulai dari
Marilyn Monroe sampai Beatles.
Jan Banning, fotografer asal Belanda ini, juga sadar benar bahwa ia tengah
memotret perempuan-perempuan yang juga sadar benar bahwa mereka sedang
dipotret. Perempuan-perempuan usia 80-an tahun itu juga tahu bahwa mereka
diambil gambarnya terkait dengan sejarah masa lalu sebagai jugun ianfu, sebuah
kekejaman sejarah yang memperlakukan perempuan sebagai wanita penghibur
anggota militer pada masa pendudukan Jepang di Indonesia.
Kalau dilihat dari kacamata seni fotografi saja, foto-foto karya Jan Banning itu
tidaklah istimewa. Secara teknik dan secara tata atur fotografi manusia, ia hanya
memakai pencahayaan sederhana dan pose sangat seadanya.
Akan tetapi, fotografi memang sangatlah luas. Ia tidak sekadar keunggulan teknik
dan kreativitas pose, seperti yang selalu diburu para pemula. Banning
sesungguhnya telah memakai medium fotografi dengan tingkat tertinggi. Ia tidak
sekadar memotret wajah, tetapi juga telah merekam sejarah. Bahkan, tidak hanya
merekam sejarah, tetapi juga memaknai sosok-sosok dalam konteks peradaban
manusia hari ini. Wajah-wajah itu berbicara dalam kediaman.
Lorong sejarah
Wajah ibu-ibu kita itu seperti lorong panjang sejarah kelam yang terlupakan (atau
dilupakan?). Kita tatap wajah Ronasih, perempuan kelahiran tahun 1931 asal
Serang, Jawa Barat. Dan, kita dengar tragedi hidupnya yang dituturkan kepada
wartawan Belanda, Hilde Janssen, yang bersama Banning menggarap proyek
jugun ianfu.
Ronasih yang saat itu berusia 13 tahun diculik seorang serdadu dan dikurung di
barak lalu secara sistematis diperkosa selama tiga bulan. Ia baru dibebaskan
setelah perang berakhir. ”Saya tidak mampu berjalan lagi, saya harus merangkak
pulang. Seluruh badan saya sakit....” tutur Ronasih, seperti ditulis Janssen.
Ronasih tidak sendirian. Ia merupakan bagian dari sekitar 20.000 perempuan yang
dipaksa menjadi jugun ianfu. Banning dan Janssen melakukan perjalanan keliling
ke sejumlah kota di Indonesia untuk menemui, mewawancarai, dan memotret 50
perempuan dalam periode Mei 2008-Juli 2009. Hasil perjalanan itu ditulis dalam
dua buku.
Proyek tersebut, seperti ditulis Janssen dalam katalog pameran, merupakan upaya
membangkitkan kenangan masa perang yang selama puluhan tahun telah mereka
coba lupakan. Harapannya, kebisuan sejarah akan terungkap.
Pengalaman mereka menjadi beban sepanjang hidup dan, sepertinya, amat sangat
sedikit ”anak-anak” negeri ini yang mencoba menyapa ibu-ibu mereka yang
menderita. Dan, mungkin juga telah dilupakan oleh bangsanya yang seharusnya
tidak boleh melupakan penderitaan rakyatnya.
”Kami belum pernah menceritakan sesuatu pun kepada anak-anak kami, terlalu
memalukan bagi saya,” tutur Rosa, Oma kelahiran Tanimbar, Maluku Selatan,
tahun 1929, yang dipaksa bekerja di rumah bordil militer Jepang di kotanya.
Sejarah hidup
Wajah-wajah ibu dalam foto Banning itu bagai otobiografi yang terbuka. Bukan
sekadar otobiografi personal, melainkan juga buku sejarah. Wajah-wajah itu
merupakan sejarah yang hidup dan berbicara.
Kita seperti membaca sejarah lewat keriput kulit wajah yang menua; guratan atau
lipatan kulit di pipi, bibir; serta pelupuk mata yang menggelambir lemas. Dan,
sorot mata bagai lorong panjang yang menyimpan ”file” kebiadaban zaman.
Mungkin benar apa yang dikatakan pujangga Amerika, Ralph Waldo Emerson:
”One of the most wonderful things in nature is a glance of the eye; it transcends
speech.”
Dan, cobalah tatap mata Ibu Icih, perempuan kelahiran Sukabumi, Jawa Barat,
1926. Mata perempuan yang saat difoto berusia 83 tahun itu tampak berkaca-kaca.
”Rasanya seperti langit jatuhin bumi, sakit sekali. Badanku tidak bisa lupa....” Itu
kalimat dari Icih yang dituturkan kepada Janssen.
Tatap juga sorot mata Mastia, wanita kelahiran Sumedang, 1927, yang seumur
hidup tak hanya menanggung beban psikologis, melainkan juga beban sosial.
”Orang tetap memanggil saya ’bekas Jepang’ dan menghina saya. Sampai
sekarang saya masih sering ingat,” kata Mastia.
Foto-foto itu mengajak kita mengingat... dan semoga kita tidak lupa akan luka
sejarah para perempuan kita....ibu-ibu kita...
Antusiasme yang sama ditunjukkan Endah Sri Murwani (34), yang juga pernah
mengenyam pendidikan di ISI Surakarta meski hanya beberapa semester.
Bertubuh subur, di panggung menokohkan diri sebagai tokoh wayang Limbuk,
Endah yang di lingkungannya di Jawa Tengah dikenal sebagai pesinden dengan
nama Endah Laras bicara mantap mengenai seni kontemporer. ”Dengan
menyinden saya berusaha mengeksplorasi yang klasik menjadi kontemporer,” ujar
perempuan kelahiran Sukoharjo ini.
Itulah contoh sederhana dari yang sering dikatakan orang, bagaimana ”yang lokal
menjadi global”. Pertunjukan Opera Jawa karya sutradara Garin Nugroho
berlangsung empat malam berturut-turut 2-5 September 2010 di Tropenmuseum,
Amsterdam. Selama empat malam, hampir seluruh kursi yang berjumlah sekitar
500 terisi penonton. Harga tiket 30 euro atau sekitar Rp 360.000.
Keberhasilan karya ini menjaring penonton agaknya dikarenakan idiom lokal yang
berhasil diangkat dalam ranah kontemporer. Ceritanya adalah episode cinta segi
tiga Rama-Sinta-Rahwana dari epik klasik Ramayana. Bentuknya paduan tari dan
tembang (dalam bahasa Jawa). Dikemas dalam ungkapan seni kontemporer,
termasuk dalam hal tafsir—gelora Rahwana lebih memikat Sinta daripada Rama
yang normatif dan cenderung dingin—karya itu menjadi aktual. Musik yang
digarap Rahayu Supanggah dan seni rupa panggung oleh perupa Heri Dono
memberi cita rasa ”avant garde”.
Itulah yang hendak digugat oleh sosiolog India, Arjun Appadurai, dalam bukunya
Modernity at Large: Cultural Dimensions of Globalization (1996). Studi itu
dianggap sebagai studi klasik mengenai perubahan yang dibawa oleh media dan
migrasi sekarang menuju globalisasi. Pengaruh globalisasi telah menyebabkan
deteritorialisasi wilayah, disergap oleh keserentakan terutama oleh pengaruh
media elektronik (dan kini ditambah teknologi informasi). Jalinan masa lalu dan
masa kini yang secara ketat dikukuhi modernisme, mengalami keterpatahan.
Dalam istilah Appadurai, ”rupture”—putus.
Kini, yang bukan modern, bisa diartikan ”kontemporer”. Yang tradisional juga
kontemporer. Heri Dono, seniman kelahiran Jakarta ini hanya sekitar 25 persen
waktunya berada di Indonesia. Selebihnya ia jalani di berbagai negara dengan
berbagai proyek. Dia melakukan kegiatan apa saja, dari pameran sampai
melakukan workshop, misalnya membuat wayang dari karton, menampilkan
bayangan dari wayang ukuran kecil, membuat proyek bunyi-bunyian, dan lain-
lain. ”Kita harus ikut membantu memecahkan persoalan dunia,” ujar Heri Dono.
”Seni itu muatannya intelektualitas,” tambahnya.
Seniman lain, Waluyo Sastro Sukarno (48), penabuh gamelan andal, komponis
yang membantu antara lain Sardono W Kusumo dalam Opera Diponegoro dan
menjadi co-composer dalam Opera Jawa, menceritakan pengalaman bagaimana
membangun kebersamaan dengan seniman-seniman lain di hutan di dekat Boston,
Amerika.
Endah Laras, si Limbuk, lain lagi. Dia bercerita, di kota Kudus, Jawa Tengah,
nanti dia akan segera berkolaborasi dengan penyanyi sebuah kelompok band pop
yang dikenal anak-anak muda di Tanah Air. Keseniannya tak mengenal batas.
Inilah juga bagian deteritorialisasi. Terbukti, stambul ”Baju Biru”-nya di tengah
Opera Jawa memikat penonton-penonton Belanda.
La-la-la-la-la.... (Bersambung)
Dinding kamar itu begitu ”meriah”. Di bagian tengah, ada lukisan labu raksasa
dengan taring dan mata melotot—mirip ikon perayaan Halloween. Bidang lain
dipenuhi poster artis Amerika, seperti Travis Barker, drummer pop-punk Blink
182, dan band metal Avenged Sevenfold.
Dinding tersebut tak ubahnya mural tembok garapan anak muda di kota
metropolitan. Padahal, pemandangan itu terdapat di salah satu kamar Pondok
Pesantren Pabelan di Desa Pabelan, Mungkid, Magelang, Jawa Tengah.
Pelukisnya adalah para santri.
”Kami mencorat-coret dinding kamar agar lebih nyaman untuk ditinggali. Ustaz
memberikan izin,” kata Mustofa (17), santri asal Lampung.
Tak beda dengan remaja kota, para santri itu leluasa menggemari artis-artis pop
Barat. Hanya saja, selain gandrung pada musik, sebenarnya mereka juga punya
alasan lain. ”Dengan menikmati musiknya, kami sekaligus belajar mengucapkan
kata-kata bahasa Inggris,” lanjut pemuda yang menggemari band Avenged
Sevenfold ini.
Gaya hidup terbuka juga berdenyut dalam kehidupan sehari- hari di Pondok
Pesantren Modern Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Para santri boleh
bergaul dengan budaya pop. Saat menyambut tahun ajaran baru, misalnya, digelar
acara Pekan Perkenalan Khutbatul Arsy, yang antara lain berisi lomba olah vokal.
Pada momen itu, para santri menyanyikan lagu-lagu pop, katakanlah, seperti grup
Nidji atau ST12. Selain berdendang, mereka mahir memainkan gitar, drum, atau
keyboard. ”Silakan saja, asalkan lagu-lagunya tidak bernada asmara yang cengeng
dan murahan,” kata Wakil Direktur Kulliyatul Mu’allimin al Islamiyah (Lembaga
Pendidikan Tingkat Menengah) Nur Hadi Ihsan.
Kehidupan Pesantren Pabelan dan Gontor memang sangat cair. Para santri asyik
bergumul dengan budaya Barat, termasuk dengan ikon pop Amerika. Ini seperti
menyempal dari citra umum pesantren selama ini: asrama tradisional, berjarak
dari dunia luar, serta para santri bersarung- berpeci yang berkutat dengan kitab-
kitab berbahasa Arab.
Terbuka
Keterbukaan Pesantren Pabelan dan Gontor itu tak saja terlihat dari gaya hidup
para santrinya, tetapi juga melebur dalam sistem pendidikan, penggunaan bahasa,
serta persentuhan dengan dunia luar. Dua pesantren ini menerapkan sekolah
berjenjang dan setara dengan pendidikan nasional, mulai dari madrasah (setingkat
SD), tsanawiyah (SMP), aliyah (SMA), hingga jamiyah (perguruan tinggi).
Tak hanya ilmu agama Islam, setiap jenjang juga diperkenalkan pada ilmu umum,
seperti fisika, matematika, atau biologi. Sehari-hari, para santri menggunakan
bahasa Arab dan Inggris. Didukung laboratorium modern, mereka digembleng
untuk menguasai dua bahasa tersebut agar bisa memadukan ilmu agama dan
umum.
Lingkungan pesantren tak menutup diri terhadap dunia luar. Ambil contoh saja
Pesantren Pabelan yang sering kedatangan tamu dengan latar belakang profesi dan
agama berbeda. Semasa hidupnya, almarhum Romo Mangunwijaya, pastor yang
juga arsitek di Yogyakarta, sering menginap di pesantren ini.
”Kami siap untuk sharing, bertukar pikiran dengan siapa pun,” ujar salah seorang
pengasuh Pesantren Pabelan, Ahmad Najib Hamam.
Contohnya, saat liburan sekolah, para santri dan siswa-siswa SMA Van Lith,
sekolah Katolik, bergantian saling mengunjungi untuk bermain basket bersama.
Salah seorang pengajar Pesantren Pabelan, bahkan, tercatat sebagai guru tetap di
SMA Van Lith.
Mercusuar
Dari mana kesadaran keterbukaan di dua pesantren itu berasal? Itu tak lepas dari
visi untuk menjadikan pesantren sebagai media menumbuhkan iklim berpikir
moderat. Pesantren Gontor, contohnya, sudah lama memegang moto ”berpikir
bebas”.
(ryo/iam)
Cetak : 2010
Keperawanan
Pengarang memang seperti mengajukan kisah klise mengenai kawin paksa gara-
gara uang dan derita. Ranting pun mau menikah dengan Pak Basudewo dengan
menyimpan dendam karena harga keperawanan dan kesucian jatuh gara-gara
kekuatan uang.
Hal berbeda dialami dalam jalan hidup Gendhing. Hidup dalam keluarga miskin
membuat Gendhing tak sanggup melambungkan angan mencapai tataran tertinggi
dalam pengertian pendidikan dan pekerjaan. Fakta kemiskinan dan nilai
keperawanan memaksa Gendhing membuat keputusan dilematis karena harus
menanggungkan nasib keluarga dan kesucian diri.
Kisah akhir menampilkan sosok Zhang Mey. Perempuan dari keluarga mapan ini
mengalami kisah cinta pahit karena kehendak keluarga dan kepentingan atas nama
etnisitas. Kisah percintaan dengan Jenggar terhenti demi pemaknaan tradisi
keluarga. Zhang Mey sadar dengan dilema ini meski kesadaran sebagai
perempuan modern menuntut ada kehendak bebas. Gairah cinta tak bisa
mengalahkan tradisi keluarga. Zhang Mey pun memberanikan diri melakukan
pemaknaan ulang atas keperawanan dengan pemasrahan diri terhadap Jenggar.
Ideologi merupakan sistem pemikiran yang abstrak yang ditawarkan pada publik.
Merupakan sebuah visi yang komprehensif dalam memandang segala sesuatu.
Ideologi tidak mencerminkan dunia yang riil melainkan mempresentasikan
�hubungan-hubungan imajiner� individu pada dunia riil. Kemunculan ideologi
dalam ranah kebudayaan sejalur dengan kemunculan konsep negara dan
kekuasaan. Ideologi ternyata dapat menjadi sistem perlindungan kekuasaan yang
dimiliki penguasa. Merupakan alat yang ampuh untuk melestarikan sebuah
kekuasaan.
Saat ideologi yang anak kandung kebudayaan tersebut menjadi salah satu sistem
kekuasaan, saat itu pulalah kebudayaan dianggap sebagai sebuah salah satu peran
penting dalam legitimasi kekuasaan. Kebudayaan tidak lagi bersifat netral namun
bisa menjadi salah satu gurita kekuasaan.
Gerakan kebudayaan tidak boleh berhenti pada pusaran membebaskan diri dari
pendangkalan. Tidak boleh hanya berpusar pada pembebasan diri sebagai sebuah
alat kekuasaan, namun gerakan kebudayaan juga harus mengembalikan
kemajemukan sebagai jati diri manusia. Kesadaran akan kemajemukan akan
melepaskan diri dari sikap absolut, akan melepaskan diri dari cara berpikir dan
sikap "paling benar". Persoalannya sekarang sudahkah kita mempunyai desain
kebudayaan yang memuat strategi yang jelas dalam membangun kemajemukan? n
Enam belas wanita itu adalah: Titie Said (lahir 1935), Diah Hadaning (1940),
Yvonne de Fretes (1947), Free Hearty (1952), Rosni Idham (1953), Sastri Yuniarti
Bakry (1958), Iriany R. Tandy (1960), Medy Loekito (1962), Lili Taswa (1963),
Oka Rusmini (1967), Mezra E. Pellondou (1969), Mariana Lewier (1971), Rara
Gendis (1974), Murparsaulian (1978), Rahmatiah (1979) dan Hudan Nur (1985).
Senada judul buku, penulis puisi ini bermukim di berbagai pulau/propinsi yaitu
Nanggroe Aceh Darusalam, Padang (Sumatera Barat), Pekanbaru (Riau), Jambi,
Bengkulu, Jakarta dan sekitarnya, Yogyakarta, Bali, Kupang (Nusa Tenggara
Timur), Palu (Sulawesi Tengah), Lombok Timur (Nusa Tenggara Barat), dan
Ambon (Maluku).
Dibuka Ketua Umum KOWANI DR. Hj.Dewi Motik Pramono, M.Si, yang juga
senang menulis puisi, peluncuran ditandai dengan pembicara tunggal Eka
Budianta. Beberapa penulis puisi dari luar kota hadir dan membacakan puisinya.
Di samping itu, hadirin termasuk kaum pria membacakan puisi karya penulis
wanita.
Awalnya penyair kondang itu mengingatkan, pada hari ini, kita mengenang genap
4 tahun wafatnya Pramoedya Ananta Toer (30 April 2006), seorang figur yang
penting dalam sastra Indonesia.
Jika peluncuran ini diadakan pada tanggal 28 April, maka bertepatan dengan
peringatan hari wafatnya Chairil Anwar, yang selama bertahun-tahun
diperjuangkan untuk menjadi Hari Puisi Nasional. Sebelum disajikan sebanyak
100 judul puisi, penyair Rayani Sriwidodo sebagai kurator memberikan pengantar
dengan judul "Menikmati Keunikan dan Keindahan Pepohonan".
Ia berpendapat, sajak-sajak dalam buku ini seperti pepohonan, "ada pohon yang
kuat, ada yang lemah, ada yang kaya gizi rohaniah ada yang kaya suasana
profane, namun tetap memiliki andil memperkaya taman dunia". Sebagai editor
Yvonne de Fretes, sekaligus memberi pengantar sebagai Ketua Umum Wanira
Penulis Indonesia. Puisi pertama diawali Titie Said, penulis senior dengan judul
"Salimah Menggugat", menyusul puisi Diah Hadaning yang namanya tidak
terlepas dalam blantika puisi Indonesia.
Berantas Korupsi!
Wanita memang lebih berani menulis puisi yang tidak ditulis oleh pria. Seperti
puisi Sastri Yunizarti Bakry (Padang). Penyandang Anugerah Srikandi Tun
Fatimah dari Malaysia ini marah besar kepada orang lewat puisinya "Berlindung
di Balik Ayat-ayat".
Demikian juga dalam puisinya "Dalam Angka", antara lain tersirat : Aku cemas,
mestinya kebersamaanmu adalah kebersamaan kita/ tetapi aku terangkai jauh
dalam ketertinggalan yang tidak hendak kita perjuangkan bersama / Padahal kita
sudah sama-sama dengan lantang meneriakkan "Berantas Korupsi"
Yvonne de Fretes juga tersentuh dengan situasi dan kondisi Tanah Air lewat
puisinya antara lain "Ubud dan Kegelisahan", dan "Mimpi Buruk" (kenangan pada
konflik Maluku).
Ada juga nama terkenal yang mestinya tidak boleh keliru, yaitu Cilik Riwut, pada
puisi Hudan Nur. Sayang sekali tertulis beberapa kali Cilik Kriwut, sehingga
terkesan belum mengenal pahlawan dan mantan gubernur Kalimantan Tengah,
yang namanya diabadikan sebagai Bandara Palangkaraya.
Salah satu kelemahan dalam antologi ini, yang banyak ditemukan adalah
dipakainya idiom-idiom pinjaman dari berbagai literature dan referensi sastra,
maupun ajaran-ajaran moral, keagamaan dan budi pekerti yang banyak beredar.
Hal itu menunjukkan perlunya sikap dan upaya yang lebih inovatif dan lebih
berani menjadi diri sendiri. (Susianna)
Si Ayam
Ada seorang laki-laki yang merasa dirinya sebutir beras. Bila ini kurang
aneh, masih ada tambahannya: ia merasa diri sebagai sebutir beras dan
membayangkan ada seekor ayam besar yang membuntutinya, untuk
mematuknya.
Siang dan malam ia cemas dan curiga. Tiap kali ia mengunci pintu dan
jendelanya. Ia tak ingin tahu apa yang terjadi di jalan di sebelah rumah. Ia
menutup kupingnya bila ia dengar ayam mengais dan berkotek.
Setelah berbulan-bulan ia merasakan itu, istrinya membawanya ke seorang
psikiater. Selama 10 minggu lelaki itu diterapi, hingga akhirnya ia dapat
diyakinkan bahwa ia memang bukan sebutir beras.
Tapi tak semuanya beres. Sang psikiater bingung, sebab laki-laki itu tetap
saja ketakutan bahwa ia akan dipatuk si ayam besar.
"Kenapa masih ketakutan? Kan tuan sudah tahu, tuan bukan beras?"
"Benar. Aku bukan beras. Tapi si ayam mungkin masih menganggap
begitu."
Ini cerita fiktif tentang paranoia-tapi lebih dari itu, cerita bagaimana orang
percaya kepada hal yang paling aneh karena ia memang mau percaya.
Dunia di luar dirinya adalah dunia yang dibentuk menurut kecemasannya.
Informasi cuma penting sepanjang cocok dengan kepercayaannya bahwa si
ayam memang ada.
Tentu, kepercayaan itu jadi teror bagi dirinya. Tapi dengan itu ia dapat
alasan kenapa hidupnya tak menyenangkan. Ia bisa mengeluh terus-
menerus tentang keadaan tanpa melihat dirinya memang patut menjalani
hidup yang celaka.
Lagi pula, bayangan tentang si ayam memberinya kepastian. Hewan
khayali itu satu bentuk yang lebih bisa ia "pegang", dan itu
menenteramkan. Ia gentar menghadapi gerak hidup yang tak berbentuk,
yang acak, yang inkonsisten. Ia takut menghadapi khaos.
Dewasa ini kita berkali-kali menemukan sindrom beras & ayam itu,
terutama dalam diri orang-orang yang "beriman". Agama tampaknya
memberi peluang. Saya kira itu juga yang terjadi pada Terry Jones,
seorang pendeta dari gereja fundamentalis di Gainesville, Florida, AS,
yang berencana membakar Quran tiap hari.
Meskipun ia menulis buku Islam is of the Devil, ia mengakui ia tak tahu
sedikit pun tentang hukum Islam. Bahkan, seperti terdapat dalam rekaman
yang transkripnya diperoleh CBS News, sepanjang umurnya yang 51
tahun itu ia tak pernah bertemu dengan seorang muslim pun.
Baginya, informasi tak penting. Apalagi jika bertentangan dengan apa
yang diyakininya. Dan yang diyakininya adalah bahwa hidup terdiri dari
beras yang akan dipatuk dan ayam yang akan mematuk beras. Si ayam,
atau si Setan, ada di mana-mana. Dari transkrip bertanggal 10 Agustus
2010:
T: Dan Anda percaya bahwa apa yang tak datang dari Tuhan berarti datang
dari Setan? Benarkah?
J: Yah, saya kira begitu. Tapi ya itu bergantung pada apa yang Anda
maksud. Saya tak percaya bahwa baseball itu berasal dari Setan hanya
karena tak berasal dari Tuhan. Tapi, maksud saya, pada dasarnya,
umumnya, jika sesuatu tak datang dari Tuhan, itu dari Setan. Benar.
T: Apakah agama Hindu dari Setan?
J: Ya, tentu.
T: Agama Buddha?
J: Ya.
T: Bagaimana tentang agama Yahudi?
J: Ya.
Jones dan jemaatnya yang cuma 50 keluarga memusuhi siapa saja yang
berbeda dari dirinya. Sang pendeta selalu membawa sepucuk pistol ke
mana-mana. Pada Agustus 2009, dua anak dari jemaat Jones pergi ke
sekolah dengan mengenakan T-shirt bertuliskan "Islam is of the Devil"-
hingga mereka dilarang masuk kelas karena "melanggar aturan
berpakaian".
Ia mengakui mengikuti Yesus, tapi kita tak tahu Yesus yang bagaimana. Ia
pernah tinggal di Jerman dan mendirikan sebuah kongregasi di Kota
K�ln, Christliche Gemeinde K�ln (CGK), dari 1981 sampai 2008. Ia
didenda pengadilan kota itu karena memakai gelar "Doktor". Jones hanya
pernah dua tahun belajar di universitas negeri di Missouri dan tak pernah
dapat gelar apa pun di bidang teologi. Seorang pemimpin gereja di Kota
K�ln mengatakan, pendeta Amerika itu "tak memancarkan nilai-nilai Injil
dan Kristiani", dan hanya membuat dirinya jadi "pusat segala-galanya".
Menjadikan diri pusat, itu juga gejala seorang yang menyangka dirinya
akan dihabisi Musuh Besar. Dengan membayangkan adanya musuh
sedahsyat itu, ia menjadikan dirinya istimewa. Di sini tampak, imajinasi
diri sebagai sebutir beras (si lemah yang terancam) dan si ayam (si kuat
yang mengancam) sebenarnya bertaut sejak semula dalam pandangan
orang macam Terry Jones. Para bigot, Kristen atau Islam, begitu cemas
bahwa kepercayaan dan nilai-nilai mereka akan dihancurkan-dan sebab itu
menggelembungkan kekuatan diri dalam rasa benci.
Iman mereka kepada Tuhan adalah iman yang tertutup. Iman yang takut
menemui orang lain, dunia lain, karena cemas diri mereka akan jadi cair.
Sebab itu agama mereka adalah agama yang defensif. Terry Jones
membawa Injil dan pistol, Taliban dan pelbagai variasinya di Indonesia
membawa Quran dan golok. Ke luar, mereka galak. Ke dalam, mereka
represif. Mereka terus-menerus ingin mengukuhkan persatuan, sebab itu
anti-perbedaan di kaum sendiri. Mereka gemar melarang dan berseru
"awas".
Tak mudah meyakinkan mereka bahwa iman yang tertutup itu akhirnya
akan diterobos perubahan. Seperti ditunjukkan tokoh KH Ahmad Dahlan
dalam film Sang Pencerah, "agama itu proses". Benda-benda yang
dianggap "kafir"-biola, pakaian Barat, meja dan bangku sekolah, dan juga
kereta api-tak dapat ditolak selama-lamanya. Yang semula "kafir" pun jadi
bagian dari "Islam", bukan karena si kafir menyerah, tapi karena yang
Islam bukan jadi benteng, yang tertutup, tapi jadi bahtera yang mengarungi
lautan baru. Di dalamnya manusia bukan cuma sebutir beras yang
ketakutan dan bukan juga seekor ayam yang ganas.
Goenawan Mohamad
• 20 September 2010