You are on page 1of 59

d Bukan Bentukan Sistem

Pernahkah kita bertanya dan tidak mengikutinya secara buta. Adakah kita
merasa bebas atau, kebebasan kita hanyalah kebebasan yang terikat. Seperti
seekor kambing yang terikat pada pohon. Kebebasannya hanya sepanjang tali
yang mengikatnya.

Kita adalah manusia, manusia adalah citra-Nya. Begitu kitab suci


mengatakannya. Tanpa mempertanyakan sesuatu kita tak akan berkembang. Tak
pernah berhenti bertanya adalah hal yang paling penting, begitulah Einstein
berkata.

Kita bisa memilih menjadi bonsai atau pohon rindang. Menjadi bonsai
bukanlah sifat alami kita. Bonsai tercipta karena bentukan dari sistem buatan kita.
Bonsai memang indah untuk dilihat. Ya, hanya itu saja. Pohon rindang memberi
keindahan, keteduhan, menjaga ekosistem dan memberi kehidupan.

Bonsai-bonsai sistem keagamaan telah menjadikan kita bonsai. Kita


menjadi berjiwa kerdil. Lihat para Nabi, Budha, Mesias. Mereka bukan bentukan
sistem. Mereka menolak formalisme agama yang berkutat pada ritual saja. Mereka
berupaya keras untuk menggapai keilahian. Mereka benar-benar tulus menggapai-
Nya. Tanpa iming-iming surga dan ditakut-takuti neraka. Mereka para pohon
rindang yang meneduhkan dan menjadi panutan hingga sekarang. Muhammad tak
akan menjadi nabi bila mereka mengikuti sistem masyarakat mereka. Isa juga tak
akan menjadi penyelamat, jika ia mengikuti para Rabbi yang mengkomersilkan
agama mereka. Sidharta tak akan menjadi Budha jika hanya menuruti kemauan
ayahnya semata. Bukan berarti kita menentang masyarakat, ayah, ibu kita.
Menjadi diri kita tanpa membuat luka bagi yang lain. Juga tak memaksa orang
lain untuk menjadi seperti kita
Peran Kesadaran dalam Menggapai Kebahagiaan Hidup dan Perubahan
Negeri
Bagaimana kalimat yang terlihat bertentangan seperti itu dapat membuat suatu
negeri berubah?
Kebahagiaan adalah tujuan semua makhluk hidup ( Plato ). Orang bekerja
mengumpulkan uang. Berbuat baik membantu sesama. Membangun runah tangga.
Berkiprah dalam suatu lingkungan masyarakat semua itu bertujuan agar hidup
bahagia. Kebahagian telah lama kita kejar, tetapi benarkah kita telah hidup
bahagia. Untuk menjawab petanyaan itu mari kita menyelaminya dari berbagai
sudut.
Peradaban “ Plastik ” yang Mengusik
Peradaban “ Plastik “ merupakan peradaban sebagai hasil dari sistem “ plastik”
buatan kita. Barangkali sistem tersebut pernah mengalami kejayaan dengan
terciptanya kedamaian yang bersifat temporer. Kita tahu, penemuan plastik
banyak membawa perubahan yang signifikan bagi dunia. Mempermudah segala
aspek dalam kehidupan dengan biaya relatif murah. Tapi pada perkembangannya,
plastik telah berubah menjadi penyebab utama masalah sampah. Plastik tidak bisa
teruraikan, terurainya plastik menjadi bagian yang lebih kecil justru akan lebih
membahayakan kehidupan.
Sistem moral sebenarnya adalah sistem “plastik”. Sistem yang hanya memberikan
hukuman dan ganjaran, hal yang boleh dan hal yang dilarang . Kita barangkali
terkendali karenanya. Tapi bukan karena kesadaran, melainkan karena fear base,
karena kita takut dengan hukuman. Lain kita, lain pula mereka. Kantong yang
tebal mungkin membuat mereka mengubah hukuman menjadi kenyamanan atau
malah meniadakannya.
Moralitas mengajarkan kita berbuat baik. Barangkali para koruptor bukanlah
orang yang tak pernah mendapatkan pelajaran moralitas. Mereka
mendapatkannya, tetapi mengapa mereka masih saja melakukannya?. Korupsi
yang mereka lakukan barangkali untuk menuruti keinginan mereka. Atau lebih
tepatnya kebahagiaan mereka. Bahagiakah mereka? Atau hanya sekedar
menyamankan hidup tetapi mereka masih merasakan kegelisahan. Kekayaan
bukanlah penyumbang terbesar bagi kebahagiaan melainkan hanya membuat
hidup lebih mudah dan nyaman.
Moralitas telah menciptakan ke”plastik”an dalam diri. Segala dalam hidup telah
menjadi “plastik”. Senyum kita menjadi senyum plastik, perilaku kita menjadi
kepura-puraan belaka. Lalu apa yang kurang dengan moralitas?. Kesadaran, itu
yang dibutuhkan.
Moralitas berbasis “kesadaran”
Kesadaran tidak mempunyai definisi baku, kesadaran sangat luas ( Lao Tsu).
Kesadaran menuntut penerimaan, kesadaran berarti altruisme ( tanpa pamrih),
kesadaran berarti kita sadar dan bertanggung jawab hidup sebagai suatu bangsa.
Kesadaran juga bukanlah keadaan jaga, para koruptor melakukan korupsi dalam
keadaan sadar bukan dalam keadaan mabuk. Tapi toh mereka tetap melakukannya
juga. Kesadaran adalah kealamian diri. Kealamian adalah “sifat wajar” yang
dimiliki setiap makhluk. Harimau memangsa rusa adalah kealamian dirinya, air
bersifat basah, api bersifat panas, itu kealamian mereka. Sifat orang yang sadar
adalah baik itulah kealamian mereka. Lantas jangan kita mencari pembenaran diri,
aku bukan orang yang sadar. Sifat alamiku adalah jahat, wajar jika aku berbuat
jahat. Kesadaran bukanlah “alat” untuk mencari pembenaran diri seperti itu.
Kesadaran adalah “alat” untuk mengembalikan kealamian diri. Ketidakalamian
kita adalah hasil interaksi kita dengan “dunia luar” melalui panca indera kita.
Melihat uang segunung membangkitkan keserakaha kita, mendengarkan perkataan
yang tak mengenakkan telinga membuat kita naik pitam. Kesadaran bagaikan
“malaikat” yang mengingatkan kita. Keserakahan kita, kemarahan kita. Perlukah
semua itu? Apakah dengan memiliki uang segunung menjamin kebahagiaan kita.
Atau hanya memuaskan keinginan kita untuk sesaat atau menambah satu
keinginan lagi untuk menambah gunung-gunung uang kita. Kemarahan kita
menandakan belum berkembangnya pemerimaan kita terhadap perkataan orang.
Mungkin kita lebih ingin mendengarkan nama kita disanjung-sanjung, karena kita
pikir kita layak mendapatkannya karena dedikasi kita, pangkat kita, atau gelar
kita. Apakah benar kata-kata manis tidak menjatuhkan. Mungkin “mereka”
berkata manis untuk suatu keinginan tertentu dan tidak menunjang tumbuhnya
kesadaran di dalam diri kita.
Mungkin juga mereka yang melontarkan kata-kata pedas adalah orang-orang yang
ingin menyadarkan kita atas kesalahan yang telah kita perbuat. Situasi di negeri
kita kurang lebih sama, banyak manusia yang tak hidup kerkesadaran dan tidak
bahagia. Bagaimana merubahnya? Seorang Bijak berkata,” Rubahlah dirimu
sendiri, sehingga beban perubahan di dunia ini berkurang satu yaitu kau”.
Kesadaranlah yang akan membimbing langkah kita menuju kebahagiaan dengan
cara melakukan introspeksi dan mempelajari diri. Jika kesadaran telah mewarnai
hidup, kebahagiaan telah tercapai dengan cara yang benar dan telah menjadi
bagian hidup kita. Maka tidak mustahil keadaan negeri kita bisa berubah. Karena
suatu negeri terbangun dari individu-individu yang saling berkomitmen dalam
suatu wilayah. Jika individu berubah, negeripun ikut berubah, tentunya ke arah
yang lebih baik.

Rosyid Adiatma
K5409053
FKIP Geografi Rising In Love II
Cara Baru Memaknai Cinta

Raising in Love berarti bangkit dalam cinta. Cinta memang seharusnya


membangkitkan apa saja yang ada untuk menunjang kesadaran. Kesadaran apa
pula yang diperlukan. Tanpa kesadaran akan hidup yang benar. Hidup akan
menderita. Cinta memang seharusnya membangkitkan. Cinta yang
membangkitkan datang dari segala penjuru. Tidak hanya dari pasangan lawan
jenis. Cinta juga berasal dari pemahaman yang benar tentang kehidupan.
Jalan bersama dan berharap selalu dimengerti oleh pasangan bukanlah
cinta. Itu adalah penipuan. Jika masih ada tuntutan itu belumlah cinta. Tulisan ini
juga mengingatkan diriku sendiri tentang cinta. Cinta yang luas, cinta yang tak
sempit. Cinta yang tak terbatas pada suatu hal atau seseorang.
Para sufi, para pencinta sejati Tuhan menjadikan cinta sebagai jalan
mereka menuju Tuhan. Begitulah Jalaludin rumi berkata.

Rising in Love
Cara Baru Memaknai Cinta

Jatuh cinta, kata itulah yang kita gunakan untuk menyebut keadaan
manakala kita berkenalan dengan cinta. Barangkali kita tak menyadarinya, kenapa
pertemuan kita dengan cinta yang begitu indah kita beri label “ jatuh”. Apakah
cinta malah menjatuhkan. Kita beranggapan, itukan hanya istilah. Tahukah bahwa
setiap kata adalah do’a. Setiap kata adalah pengingat.
Ketika jatuh cinta kita berharap pada orang yang kita cintai, bahwa kita
akan selalu dimengerti, akan selalu bahagia di sampingnya. Begitu harapan kita
tak terpenuhi kita kecewa.
Kita mencari orang lain yang bisa memenuhi harapan kita kembali. Kita
jatuh cinta lagi. Tak terpenuhi lagi. Dan kembali mencari, kita belum cukup sadar,
bahwa menaruh harapan pada seseorang atau sesuatu akan selalu menimbulkan
resiko kekecewaan.
Jangan sandarkan diri pada orang lain. Kehidupan memang seharusnya
tanpa sandaran. Kita datang sendiri dan harus kembali seorang diri pula. Mungkin
apa yang kita cari dalam hubungan kita dengan orang lain adalah kebahagiaan.
Kebahagiaan yang kita cari dapat tumbuh dengan sendirinya tanpa pemicu luaran.
Rising in Love akan menjawab pertanyaan itu.

CINTA PADA PANDANGAN PERTAMA

Nama saya adalah Narayan Tagore, saya tinggal di Praha. Praha adalah ibukota
dan kota terbesar di Republik Ceko, yang terletak di bagian barat tengah negara
itu, di wilayah Bohemia. Kota ini sering disebut Kota Seratus menara karena
terdapat banyaknya gereja dan menara. Saya sekarang berada di kelas tiga SMA.
Saya suka membaca sepanjang hari, khususnya novel dan puisi. Saya tidak tahu
mengapa saya sangat menyukai membaca. Tapi novel dan puisi telah menjadi
segalanya untuk saya sejak saya masih di SD. Banyak orang bertanya-tanya
mengapa saya belum mempunyai pacar padahal mereka bilang saya cantik,
bahkan yang paling cantik di daerah saya setelah tahun ini saya dinobatkan
sebagai Putri Bohemia 2010.
Hari ini, Senin 11 Agustus 2010 saya pergi ke sekolah seperti biasa. saya bangun
lebih awal dari biasanya. Saya begitu antusias karena ada guru baru dari
Indonesia. Sebenarnya saya tidak pernah mendengar sebuah negara bernama
Indonesia tetapi tampaknya Negara tersebut sangat menarik untuk saya karena
guru baru itu akan mengajar pelajaran favorit saya, Pengantar Kajian Puisi.
Bel berbunyi begitu keras, dan menunjukkan bahwa sekolah segera dimulai. Saya
terburu-buru pergi masuk ke kelas karena saya tahu bahwa saya hampir datang
terlambat untuk pertemuan pertama. Tapi saya kira itu tidak apa-apa karena saya
pernah mendengar tentang budaya Indonesia, terlambat adalah sesuatu yang
umum di sana, dan saya sebenarnya sedikit terkejut mengenai hal tersebut.
Untungnya, setelah terlambat selama lima menit saya membuka pintu dan saya
menemukan pak Darwin, guru puis yang akan pindah berdiri di depan kelas.
"maaf pak, saya datang terlambat"
pak Darwin menatap saya lalu tersenyum.
"Sudahlah, Ambil kursi Anda" katanya.
saya menuju ke tempat duduk saya dan menenangkan nafas saya yang masih
ngos-ngosan. Saya lalu membuka ritsleting tas pink dan mengambil buku saya.
Saya membuka buku di halaman pertama.
Tiba-tiba pintu terbuka, seorang laki-laki berumur sekitar 25 tahunan masuk, Dia
memperkenalkan dirinya di depan kelas sebagai guru baru yang akan
menggantikan pak Darwin, ia mengatakan bahwa namanya adalah pak Drajad
Sujatmiko, nama khas Indonesia yang terdengar aneh di telinga saya. Saya tidak
tahu kenapa, tapi saat saya menatap matanya, waktu seakan beku. Mungkin, saya
bisa menggambarkannya sebagai orang yang tidak menarik tetapi ada sesuatu
dalam dirinya yang membuatnya begitu istimewa bagi saya. Dia tidak terlalu
tinggi sebenarnya, saya bisa mengatakan hal itu karena tinggi saya sekitar 178 dan
saya pikir dia hanya 170. Dia memiliki kulit gelap, berjenggot tebal dan
hidungnya yang pesek, oh tuhan saya, ia seperti datang dari planet yang lain, saya
pikir pada waktu itu, tetapi senyumnya yang begitu indah sehingga ia tampaknya
bisa menghipnotis siapa saja yang melihatnya termasuk siswa-siswi seisi kelas.
Suasana beku yang saya rasakan mulai mencair saat ia memulai pelajaran puisi
pagi itu. Dia membaca kutipan puisi dari "lagu cinta J. Alfred Prufrock".

“Let us go then, you and I


When the evening is spread out against the sky
Like a patient etherized upon the table;”

"Oke anak-anak, silakan ulangi puisi yang saya baca" kata guru tersebut

“Let us go then, you and I


When the evening is spread out against the sky
Like a patient etherized upon the table;” ulang seisi kelas.

"Baiklah, bagus, tapi kalian semua harus mengisi perasaan puisi ini dengan penuh
rasa cinta, ini adalah lagu cinta dari J. Alfred Prufrock, ingat?!" Kata guru itu.
Kami mengulangi puisi itu, dan tidak satupun yang ingin saya lihat dengan liar
kecuali matanya. Saya tidak ingin melewatkan kesempatan itu. Semua yang ingin
saya amati adalah hatinya, menyadari bahwa hati saya berdebar terus dan terus
lagi.
Astaga, apakah ini cinta pada pandangan pertama tuhan?
Nama saya Narayan Tagore dan sekarang saya berpikir bahwa saya telah jatuh
cinta dengan guru saya sendiri. Seminggu setelah pengenalan guru baru, saya
berpikir itu adalah minggu yang sangat indah. Saya ingat bahwa akhirnya hari ini
adalah hari Sabtu dan merupakan hari libur. Terima kasih tuhan ini adalah hari
Sabtu. Hari Sabtu ini saya benar-benar malas untuk pergi ke manapun. Saya hanya
ingin menikmati hidup saya saat ini.
Pagi ini saya baru saja selesai sarapan dan membaca 'Harian Bohemia', menghirup
secangkir kopi susu favorit saya saat ponsel saya mulai menari dan bernyanyi di
meja makan di mana ia berbaring, saya pikir itu hanya sms yang masuk tapi
ternyata itu adalah sebuah panggilan dari nomor yang tidak saya kenal. Saya tidak
tahu siapa yang menelepon saya, dan kemudian saya angkat saja telepon itu.
"Halo, Nara di sini" kata saya.
"Halo" jawab seseorang di sana, itu adalah suara seorang laki-laki,
Tiga detik kemudian, seorang pria misterius di seberang sana yang memanggil
saya hanya diam.
orang tersebut diam cukup lama sampai saya memutuskan untuk berbicara.
"Halo, siapa ini?" kata saya
"...."
"Halo" teriak saya
"Halo, apakah ini benar-benar Nara" kata dia
"Ya" jawab saya
"Ini adalah pak Drajad, Nara" katanya
Ya Tuhan pak Drajad, mengapa dia menelepon saya dan bagaimana ia bisa
mendapatkan nomor saya? Jantung saya berdetak begitu cepat dan otak saya
mengajukan banyak pertanyaan untuk diri saya, tetapi saya tidak tahu jawabannya
lalu saya menjawab dia.
"Ya, pak, ada yang bisa saya bantu?"
"Ya, bisakah kita bertemu sore ini di plaza de café?"
"Apakah ada sesuatu yang penting pak?" tanya saya
"Ya, tapi kita bisa membicarakan tentang hal itu kemudian, ketika kita bertemu,
oke? saya akan menunggu kamu pada jam 1 siang nanti, terima kasih "katanya
"Tapi pak?" jawab saya, kemudian tuut tuut tuut, panggilan terputus.
Oh sial, saya bersumpah dalam hati. Saya benar-benar terkejut dengan apa yang
baru saja terjadi pada saya. Rasanya seperti mimpi atau saya hanya bermimpi?
Hati saya jadi bingung, bahagia, gemetar, dan seperti segala sesuatu yang saya
rasakan menjadi satu campuran. Hati saya ingin menjerit pada waktu itu.
berharap ini benar-benar nyata.
saya meletakkan telepon saya kembali ke meja dan terus melanjutkan membaca
'Harian Bohemia'. Saat itu pukul 07.30 pagi dan saya merasa sangat bahagia.
Setelah membaca koran, saya pergi ke kamar saya di lantai dua. Saya mulai
mempersiapkan diri saya untuk bertemu pak Drajad. Saya mandi selama satu jam
dan kemudian berdandan dengan baju terbaik yang pernah saya miliki. Ketika
saya selesai berdandan, jam dikamar menyatakan pukul 12:00 siang. Saya
langsung pergi ke garasi dan menyiapkan mobil saya.
saya tiba di plaza de café tepat waktu tetapi saya belum melihat pak Drajad. Saya
berbicara dengan diri saya bahwa saya harus menunggunya. Dan akhirnya sepuluh
menit kemudian dia datang.
"Hei Nara" pak Drajad tiba-tiba menyapa saya dari belakang kursi, saya
berbalik dan menjawab salam nya.
"Hei pak"
Dia berjalan menuju kursi di depan saya dan ketika ia berjalan saya bisa melihat
wujud dirinya sebenarnya dan sejelas-jelasnya. Dia adalah makhluk tampan yang
pernah dibuat. Dia mengenakan kemeja biru dan sangat rapi. Dia juga
mengenakan parfum dari Indonesia, entah apa merknya. Dia begitu sempurna hari
ini dan senyumnya membuat hati saya begitu berdebar-debar. saya tidak bisa
mengalihkan pandangan darinya. Suatu perasaan aneh sudah menguasai saya
ketika dia mengikuti saya dengan mata hitamnya yang besar. pak Drajad
menjelaskan sesuatu dan saya mengangguk tanpa memahami sesuatupun. Hati
saya, saya tidak bisa merasakannya lagi, seperti telah dicuri oleh dewa dengan
mata hitam, representasi dari dia. pak Drajad menjelaskan sesuatu lagi dan saya
terkejut, benar-benar terkejut yang dalam. pak Drajad memberitahu bahwa ia jatuh
cinta dengan saya dari pertama kali dia melihat saya. Dia mengatakan bahwa dia
benar-benar percaya pada cinta pada pandangan pertama sehingga setelah
mengajar saya di kelas, ia bertanya pak Darwin tentang arsip siswa sehingga ia
dapat menemukan semua informasi tentang saya. Dia mengatakan bahwa dia
seperti orang gila mencari data saya.
Astaga, apakah itu benar? Ini adalah saat yang indah yang pernah saya alami
sepanjang hidup saya. Dan kemudian setelah dia selesai berbicara, ia bertanya
apakah saya ingin menerima cintanya atau tidak.
saya menatapnya dan berkata
"apakah semua yang Anda katakan benar-benar apa yang Anda lakukan pak?"
"Ya" jawabnya.
Ketika ia berkata demikian, hati saya berdebar begitu cepat seperti seorang atlet
lari dalam perlombaan dan ingin menang. Bahkan, saya tidak bisa
menyembunyikan wajah saya yang mengatakan kepadanya "ya, saya ingin
menjadi gadis Anda. saya merasa sangat malu dengan perilaku saya terhadap dia
seperti itu, seperti bahwa saya perempuan yang tidak baik, perempuan yang tidak
memiliki cinta sehingga harus menerima cinta dari gurunya sendiri. Selain itu,
wajah saya terbakar oleh rasa malu dan menjadi merah seperti kepiting rebus.
Saat saya masih diam, dia juga diam seribu bahasa juga. Hal ini seperti kita
tenggelam dalam pikiran kita.
saya menatapnya lagi, mencari kebenaran yang bisa saya lihat. Saya tidak tahu
mengapa tapi saya sudah membuat keputusan besar dalam hidup saya, saya ingin
menerima perasaannya pada saya. Meskipun, saya benar-benar tahu bahwa kami
batu bertemu selama seminggu, itu berarti tujuh hari, itu berarti 168 jam, itu
berarti 10.080 menit, itu berarti 604.800 detik tapi hati saya mantap untuk
memberikan jawaban sekarang.
saya menatapnya sekali lagi, melepaskan napas dalam-dalam dan memberinya
senyum terbaik yang pernah saya miliki. Tiba-tiba setelah saya tersenyum ke
arahnya, dia memeluk saya erat sesaat dan berkata.
"Terima kasih untuk percaya pada saya dan terima kasih untuk menerima cinta
saya"
"sama-sama pak" jawab saya malu-malu
"Jangan panggil saya Pak, saya kan suami masa depan kamu. Di kelas kamu
adalah murid saya tetapi di luar kelas, kamu adalah calon istriku, kamu mengerti?"
kata dia
"Ya" kata saya.
nama saya Narayan Tagore dan sekarang pekerjaan saya adalah sebagai istri pak
Drajad Sujatmiko, guru saya sendiri ketika saya masih di sekolah menengah. saya
tidak pernah menyesal tentang semua yang terjadi dalam hidup saya termasuk
perihal saya jatuh cinta pada pandangan pertama dengan guru saya sendiri.
Menurut pendapat saya, cinta adalah hal yang baik. Meskipun menyapa kamu
ketika kamu belum siap tapi cinta selalu menunggu sampai kamu siap. Itu akan
datang kepadamu di waktu yang tepat dan di tempat yang tepat jadi jangan
menolak cinta yang sudah menyambutmu.

Komik Jepang Menelan Sri Asih


BOLEH jadi, anak-anak Indonesia dewasa ini lebih mengenal Wonder Woman,
Catwoman, dan Superwoman, untuk menyebut sejumlah nama tokoh-tokoh
superhero yang datangnya dari Barat sana dari pada mengenal tokoh superhero
asli dari Indonesia, seperti Sri Asih dan Sri Dewi, yang dikreasi oleh R.A.
Kosasih, atau Santini (Gerdi W.K.), Tira (Nono G.M.), dan Merpati (Hasmi).
Tokoh-tokoh superhero yang dikreasi oleh tiga komikus di atas tidak kalah gagah
dan bahkan sakti dengan tokoh-tokoh superhero yang datangnya dari Barat.

Sri Asih dan Sri Dewi yang berkostum kemben dengan elemen estetik yang
menghias kepala seperti tokoh-tokoh cerita dalam komik pewayangan itu sama
gagah dan saktinya dengan Superman. Malahan, Sri Asih dan Sri Dewi tidak
punya kelemahan, sebagaimana kesaktian Superman akan lenyap bila dihadapkan
pada batu kryptonite yang berasal dari Planet Krypton. Dalam konteks yang
demikian, R.A. Kosasih seakan-akan ingin menghadirkan kekuatan nilai-nilai
lokal yang tidak kalah dengan nilai-nilai lainnya yang datang dari Barat. Meski
pada satu sisi mutu gambar (drawing) yang dikreasi oleh para komikus dari Barat
sana lebih unggul, dengan teknik cetak yang lebih canggih.

Tokoh-tokoh superhero perempuan versi Indonesia tersebut, kecuali Merpati,


merupakan tokoh-tokoh komik terbitan penerbit komik Maranatha, Jln. Ciateul
(Jln. Inggit Garnasih 148 - 150 A) Bandung, yang dikenal secara luas oleh para
pembaca komik di Indonesia pada 1970-an hingga awal 1980-an. Pada tahun itu,
penerbit komik Maranatha juga bertindak sebagai distributor penjualan komik
yang terbit di Yogyakarta, Surabaya, dan Jakarta. Tokoh superhero dari
Yogyakarta yang terkenal pada zamannya adalah Gundala Putera Petir yang
dikreasi oleh komikus Harya Suraminata alias Hasmi, yang juga menciptakan
tokoh superhero Maza Si Penakluk yang punya anak buah Jin Kartubi yang sakti
mandraguna.

Gundala Putera Petir muncul pertamakali pada 1969, lewat lakon Gundala Putera
Petir, terbitan Kentjana Agung. Selain itu, Hasmi juga menciptakan tokoh
superhero Kalong, Sembrani, dan Merpati yang cantik jelita, yang kemudian
menjadi istri Gundala Putera Petir dalam komik yang diberi judul "Pengantin Buat
Gundala". Teman Hasmi, Wid N.S., menciptakan tokoh superhero Godam Si
Penakluk. Godam dan Gundala kerap hadir dalam komik yang dikreasi oleh
Hasmi dan Wid N.S., bahu-membahu menumpas kejahatan di bumi Indonesia.
Komik serial Gundala saat ini diterbit-ulang oleh Bumi Langit, Jakarta.

Tokoh komik superhero lainnya yang nyaris sama punya kekuatan seperti
Gundala Putera Petir adalah Kapten Halilintar hasil kreasi Jan Mintaraga. Beda
antara Gundala dan Kapten Halilintar adalah, Gundala bisa lari kencang secepat
kilat, sedangkan Kapten Halilintar bisa terbang. Kapten Halilintar nyaris sama
dengan superhero The Almighty Thor dari Amerika Serikat, yakni sama-sama
putera kesayangan Dewa Petir, Odin. Semua tokoh komik yang mengagumkan itu
kini sulit dicari di pasaran. Begitu pula tokoh-tokoh komik lainnya karya para
komikus Indonesia yang berjaya pada 1970-an.

Sama seperti Sri Asih dan Sri Dewi, eksistensi Kapten Bayangan, Gundala,
Godam, Kapten Nusantara, Kapten Mar, Tora, Aquanus, dan lain-lain, seakan-
akan tenggelam oleh kehadiran tokoh komik atau manga Doraemon hasil kreasi
Fujiko F. Fujio, Detektif Conan hasil kreasi Aoyama Gosho, dan Naruto hasil
kreasi Masashi Kisimoto, untuk menyebut sejumlah tokoh manga yang datang
dari Jepang. Tentu saja masih banyak tokoh-tokoh manga lainnya dari Jepang
yang datang ke Indonesia, dan bukan hanya manga-nya saja, tetapi juga berupa
film animasi (anime) yang diangkat dari manga-nya.

**

"ERA 1970-an merupakan masa kejayaan komik Indonesia. Memasuki


pertengahan 1980-an hingga dewasa ini, boleh dibilang merupakan masa suram
komik Indonesia setelah pasar komik tersebut dilibas oleh penerbitan komik
Jepang yang terjemahannya terbit di Indonesia," ujar Erlina (74), salah seorang
pendiri penerbit komik Maranatha, dalam percakapannya dengan "PR", Senin
(23/8/2010) di toko buku komik Maranatha, Jln. Ciateul Bandung.

Sebelum pindah ke Jln. Ciateul, Erlina mengatakan, suaminya, Ko Ciu (Markus


Hadi) mulai merintis usaha penerbitan komik pada 1963 ketika masih tinggal di
Jln. Kopo Bandung. Saat itu usahanya masih kecil-kecilan. Komik yang
diterbitkan sebagian besar berupa komik wayang karya R.A. Kosasih. Pada 1970,
mereka pindah ke Jln. Ciateul dengan konsentrasi pada penerbitan komik yang
dilakukan secara serius. Sejumlah komikus yang bergabung dengan Maranatha
pada saat itu, selain R.A. Kosasih (Sri Dewi, Sri Asih, dan sejumlah komik
wayang seperti Mahabaratha, Arjuna Wiwaha, dan Raden Parikesit), Gerdi W.K.
(Gina, Santini), dan Nono G.M. (Tira) adalah U`syah (Bambu Kuning), Oerif
(Gatot Kaca), Adams (Kapten Bayangan), Kus Bram (Labah-labah Merah), dan
sejumlah komikus lainnya seperti Tatang S., Jhoni Andrean, Badra, Widyanoor,
Rim, dan Saman.

Pada 1992 penerbitan komik diserahkan kepada Erlina karena Markus Hadi mulai
sakit-sakitan. Sejak itu penerbitan komik Maranatha berubah jadi penerbit komik
Erlina. Markus Hadi pun meninggal dunia dalam usia 66 tahun, pada 1996. Sejak
itu tak ada komik baru yang diterbitkan, selain penerbitan ulang. Itu pun sebagian
besar komik wayang.

"Untuk superhero, akan diterbitkan ulang pula. Naskah-naskah itu sudah kami beli
pada zamannya. Akan tetapi, dalam penerbitannya yang sekarang berbagi hasil
dengan memberikan royalti 10 persen dari hasil penjualan. Dalam satu tahun
untuk menjual 1.000 eksemplar saat ini sulitnya bukan main. Dulu tidak sampai
satu tahun sudah habis," tutur Erlina.

Meski demikian, Erlina tetap berharap bahwa komik Indonesia bisa bangkit lagi.
Terbukanya pasar bebas pada satu sisi bukannya malah menghidupi para komikus
Indonesia, tetapi malah membunuh daya kreativitas mereka karena komik yang
dikreasi oleh mereka mentok di pasaran. Kalau apa yang diproduksi oleh mereka
tidak laku di pasar, yang gulung tikar bukan hanya penerbit, tetapi juga para
komikus itu sendiri.

Dalam konteks ini, Erlina bilang, mungkin para komikus harus banting setir
dengan menciptakan cerita baru dengan latar belakang yang baru, walau tokoh
komik yang mereka buat masih tokoh komik yang lama, atau digarap ulang oleh
para komikus dari generasi terkini.

"Saat ini, sebagian besar komikus yang tergabung dengan Maranatha sudah
pindah tempat dari Bandung, dan bahkan ada juga yang sudah meninggal dunia.
Kejayaan komik Indonesia tinggal kenangan," ujar Erlina.

Ia mengenang kembali usaha penerbitan komik yang dulu dirintis oleh suami itu.
Semua bermula dari hobi suaminya mengoleksi sejumlah komik, dan corat-coret
bikin komik. "Komik yang dibuat oleh suami saya itu tanpa nama, karena kurang
laku," kata Erlina sambil tertawa, mengenang masa lalunya yang indah. (Soni
Farid Maulana/"PR")

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 19 September 2010


Posted by Udo Z Karzi at 9:30 AM 0 comments
Labels: seni
Kritik dan "Hama Sastra"
-- Binhad Nurrohmat

DAMHURI Muhammad dalam bukunya Darah-Daging Sastra Indonesia (2010)


menuding ada jenis "kritikus sastra serupa hama tikus perusak tanaman di ladang
sastra."

Hiperbola Damhuri itu merupakan gusar besar terhadap kritikus sastra yang
gencar memburu kelemahan karya sastra dan malas melacak kekuatannya.
Kritikus sastra serupa itu adalah seteru karya sastra lantaran nafsunya lebih
bergelora untuk berkonfrontasi ketimbang berkomunikasi dengan karya sastra.

Gusar Damhuri itu bukan perkara anyar dalam dunia sastra Indonesia; dan fakta-
fakta perkara itu masih merajalela - sekurangnya menurut Damhuri.

Kritik sastra memproduksi nilai atau tafsir karya sastra. Penilaian dan penafsiran
niscaya bertopang perspektif tertentu dan berkonsekuensi menerima resepsi,
tanggapan, ataupun reaksi. Kritik sastra memanggul risiko konflik lantaran isi
kritik sastra lahir dari rahim perspektif tertentu yang tak mungkin mewakili semua
perspektif.

Lalu, apakah kritik sastra itu? Tak ada definisi tunggal.

Menurut saya, kritik sastra mesti dibebaskan dari ketunggalan definisi. Akan
tetapi, kritik sastra sama sekali bukan tanpa "konsensus" atau "versi" sebagai
perspektif yang memungkinkan kritik sastra terselenggara.

Nirwan Dewanto mengaku "kritik sastra baru bisa berlaku di atas karya sastra
yang memperlihatkan anasir kritis dalam dirinya sendiri. Kritik sastra tiada lain
daripada perpanjangan watak kritis tersebut." Maka, karya sastra yang baiklah
yang potensial merangsang kritik sastra.

Pengakuan Nirwan itu terang-benderang, tetapi bukan tanpa pendaman


"persoalan". Apakah ukuran adanya "anasir kritis" dalam karya sastra? Nirwan
dan yang bukan-Nirwan punya jawaban sesuai perspektif masing-masing.
Perspektif itu niscaya karena pikiran dan pengetahuan cenderung heterogen atau
berbeda-beda.

Suminto A. Sayuti menegaskan, kritik sastra berfungsi memahami karya sastra


dengan aturan main tertentu, menemukan kaitan sastrawan-teks-pembaca, serta
menimba realitas literer karya sastra.

Suminto telah memberikan petunjuk-petunjuk normatif kritik sastra yang


berfungsi instrumental, regulatif, interaktif, dan representatif. Apakah fungsi-
fungsi itu menjamin kritik sastra yang baik? Apakah tanpa fungsi-fungsi itu kritik
sastra otomatis buruk?

Pengakuan Nirwan dan penegasan Suminto itu merupakan perspektif kritik sastra
yang mereka yakini atau harapkan. Perspektif selalu punya batas; dan kritik sastra
dibatasi perspektifnya. Tiada perspektif total-sempurna.

Kritikus sastra berhak berpartisipasi menegakkan perspektifnya untuk menatap


karya sastra. Konsekuensinya, potensial terjadi pertumbukan antarperspektif
maupun perselisihan ihwal kadar mutu pengamalan perspektifnya.
Mungkinkah sama sekali menepis konflik antarperspektif?

Konflik kritikus sastra versus sastrawan "melegenda" dalam dunia sastra kita.
Pada 1940-an Chairil Anwar dan H.B. Jassin bertikai gara-gara Chairil tak suka
kritik Jassin terhadap beberapa puisinya. Pada 1980-an Ahmad Tohari
melancarkan "reaksi keras" terhadap keluhan F. Rahardi ihwal cacat representasi
dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk. Dan pada 2000-an Hudan Hidayat terlibat
debat dengan Taufiq Ismail ihwal erotika.

Barangkali sikap tepat menghadapi konflik kritik sastra adalah menyadari kritik
sastra yang baik tak bisa semena-mena dinihilkan oleh sekadar reaksi sastrawan.
Sebaliknya, kritik sastra yang buruk akan menggugurkan dirinya sendiri. Sikap itu
bakal dianggap bijak atau justru terlalu lunak. Menurut saya, kritik sastra yang
polemis atau yang tanpa "reaksi keras" bukanlah ukuran kritik sastra yang baik
atau buruk.

Sukar dielak adanya "kuasa pembaca" dalam diri kritikus/khalayak pembaca yang
cenderung bertarung dengan "kuasa sastrawan" sebagai pencipta karya sastra.
Karya sastra seolah dijadikan "objek"; dan kritik sastra menjelma "subjek". Posisi
objek-subjek itu berlaku searah: karya sastra "dinilai" oleh kritikus sastra, dan
bukan sebaliknya.

Menurut saya, kritik sastra yang baik adalah laku komunikasi yang memperkaya
pemahaman dan pemaknaan karya sastra, bukan memiskinkannya. Pujian kritikus
sastra bukan jaminan memperkaya pemahaman dan pemaknaan karya sastra.
Sebaliknya, hujatan kritikus sastra tak selalu memelaratkan pemahaman dan
pemaknaan karya sastra. Produk kritik sastra yang baik adalah pantulan karya
sastra itu sendiri melalui cermin perspektif kritik sastra tertentu.

Tugas kritikus sastra bukan "memuaskan" ataupun bersengketa dengan sastrawan.


Kritikus sastra tak cuma menghadapi sastrawan, tetapi khalayak pembaca juga.
Kritikus sastra yang baik bukan "penyambung lidah" sastrawan. Tugas kritikus
sastra menilai dan menafsir karya sastra menurut perspektif tertentu dan bukan
sekadar menulis endorsement (sokongan) dan blurb (pujian buku).

Hiperbola Damhuri ada "kritikus sastra serupa hama tikus perusak tanaman di
ladang sastra" itu berlaku bagi kritikus sastra jadi-jadian yang menyusup ke
ladang sastra. Gusar Damhuri terhadap kritikus sastra jadi-jadian itu tak
menihilkan kritik sastra yang baik. Tudingan Damhuri itu sebuah perspektif
terhadap sejumlah fakta kritik sastra yang ia temukan.

Bagi saya, kritik sastra yang baik niscaya bukan "hama sastra". Kritik sastra yang
melancarkan "misi perusakan" bakal luruh dengan sendirinya atau lumpuh
menghadapi karya sastra yang kuat. Hama cenderung menjangkiti tanaman yang
lemah, bukan? "Hama sastra" akan disfungsi atau mati menghadapi daya karya
sastra yang kuat. Sejarah telah dan akan membuktikan itu…***
Binhad Nurrohmat, penyair

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 19 September 2010


Posted by Udo Z Karzi at 9:28 AM 0 comments
Labels: sastra
Berthold Damshäuser, Nietzsche, dan Indonesia
BERTEMPAT di Goethe Institut Bandung, Senin (27/9) malam, buku Syahwat
Keabadian akan diluncurkan dan didiskusikan dengan pembicara Bertold
Damshäuser dan Agus R. Sarjono. Bagi publik sastra Indonesia, Bertold
Damshäuser bukanlah sosok yang asing. Pengajar bahasa dan sastra Indonesia di
Institut für Orient-und Asienwissenschaften (Lembaga Kajian Asia) di Universitas
Bonn dan Pemimpin Redaksi Orientierungen ( jurnal tentang kebudayaan-
kebudayaan Asia) ini, getol menerjemahkan puisi-puisi Jerman ke dalam bahasa
Indonesia, dan puisi Indonesia ke dalam bahasa Jerman. Seri Puisi Jerman yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia merupakan bukti upaya kerja kerasnya
mempertemukan khazanah sastra Jerman dan Indonesia.

"Saya mengamati sastra Indonesia sejak akhir 1970-an, ketika saya mahasiswa
bahasa dan sastra Indonesia di Universitas Köln. Sebagai pencinta sastra, tentu
saja saya tertarik pada sastra Indonesia. Karya sastra suatu bangsa merupakan
cermin kebudayaannya, juga sumber yang sangat penting untuk memahaminya,"
ujar Berthold Damshäuser yang oleh para sastrawan dan publik sastra di Indonesia
akrab disapa Pak Trum ini.

Menurut Pak Trum, dalam rangka kerja sama kebudayaan, teks, termasuk teks
kesastraan, seharusnya diberi peranan yang menonjol. Dalam sejarah pertukaran
budaya, tekslah (teks agama, filsafat, sastra, juga sains) yang sejak dulu
merupakan faktor yang paling menentukan. Penyebaran ide-ide baru terutama
dilakukan melalui teks yang diterjemahkan.

"Karya sastra tentu saja sanggup memberi sumbangan pada proses itu, karena
sastra pun cenderung mengandung unsur pembaruan ide, filsafat. Maukah Jerman
dan Indonesia saling memperkaya? Kalau, ya, karya sastra sebanyak mungkin
mesti diterjemahkan ke dalam bahasa masing-masing, lalu disebarkan," tutur salah
seorang pendiri Komisi Jerman-Indonesia untuk Bahasa dan Sastra yang tahun ini
dipilih sebagai Presidential Friend of Indonesia.

Dibantu penyair Agus R. Sarjono sebagai co-editor, menurut dia, penerjemahan


puisi memang perlu dilakukan oleh atau melibatkan seorang penutur bahasa
tujuan yang sanggup berpuisi. Proses penerjemahan itu baginya demikian
membahagiakan, apalagi bila kerja keras itu bisa menghasilkan terjemahan puitis
dalam bahasa Indonesia yang tak kalah indah dengan teks aslinya.

Sebelum terbitnya Seri Puisi Jerman, terjemahan Indonesia dari puisi Jerman
hanya terdapat dalam bentuk satu-dua antologi dan di berbagai majalah. Boleh
dikatakan, puisi Jerman belum hadir di Indonesia. Termasuk puisi Goethe, Brecht,
Rilke, dan Nietzsche. Oleh karena itu, sudah waktunya untuk menghadirkan puisi
Jerman di Indonesia. "Dan saya kira, ada baiknya juga bila publik Indonesia kini
dapat membaca puisi Goethe yang bernafaskan agama Islam, puisi Paul Celan
yang mengangkat tema holocaust terhadap bangsa Yahudi, atau puisi
Enzensberger yang berkaitan dengan keadaan masyarakat Jerman yang modern,"
tutur pak Trum.

Tentang puisi Nietzsche yang kini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia,


siapa pun kiranyanya tak bisa membantah pengaruh besar filsuf dan penyair
Jerman yang satu ini. Bagaimanapun "nyeleneh" dan radikalnya gagasan-gagasan
Nietzsche sehingga ia juga dianggap gila, tetapi ia adalah tonggak penting dalam
perkembangan modernitas, bahkan hingga pascamodernitas yang riuh rendah
seperti hari ini.

Oleh karena itu, dalam pandangan Pak Trum, filsafat dan kesenian abad ke-20
akan berbeda andai tak ada Friedrich Nietzsche. Ia semacam perintis filosofi
eksistensial dan filosofi kehidupan, juga filosofi analitis. Filosof-filosof seperti
Wittgenstein, Sarte, Heidegger -untuk menyebut beberapa nama saja- terilhami
oleh karya-karya Nietzsche. Tak terhitung juga jumlah seniman-sastrawan,
pelukis, pemusik- yang menghasilkan karya di bawah pengaruh Nietzsche,
misalnya komponis Richard Strauss dengan simfoninya Also Sprach Zarathustra.
Dan, dampak pemikirannya terasa sampai kesusastraan Jerman yang kontemporer.
Sulit memang bagi tiap cendekiawan, tiap seniman untuk lepas dari daya tarik
Nietzsche. Di Indonesia, hal itu terasa juga, tiada pemikir atau sastrawan Jerman
yang diminati seperti Nietzsche.

"Saya ingin sebutkan satu-dua dari sekian banyak gagasan atau pikiran Nietzsche
yang patut direnungkan, bukan saja oleh orang Indonesia melainkan oleh manusia
mana pun. Yakni, kesangsian Nietzsche akan kebenaran mutlak, juga sikap skeptis
terhadap keyakinan sendiri, dan cara penilaian yang perspektivistis. Dan, tentu
saja ide Nietzsche tentang pribadi mandiri, manusia yang "bukan domba", yang
bukan budak yang tenggelam dalam massa, yang dengan gampang digerakkan
atau dihasut untuk memenuhi kehendak otak-otak yang kerdil dan jahat,"
ujarlelaki kelahiran Wanne-Eickel Jerman tahun 1957 ini. (Ahda Imran)

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 19 September 2010


Posted by Udo Z Karzi at 9:25 AM 0 comments
Labels: buku, sastra
Nietzsche, Puisi, dan Keabadian
Tak pernah kutemukan perempuan
yang ingin kujadikan ibu anak-anakku,
kecuali perempuan yang kucintai ini:
karena kucintai kau, oh Keabadian!
Karena kucintai kau, oh Keabadian!
.
BEGITU Friedrich Nietzsche (1844-1900) selalu menyeru dalam bait terakhir,
menutup setiap bagian dalam puisi "Tujuh Materai (Atau Lagu Ya dan Amin)".
Puisi yang termaktub dalam bukunya yang terkenal Also Sprach Zarahustra
(Maka Berbicaralah Zarahutra) ini terdiri atas tujuh bagian. Dalam setiap akhir
bagiannya, seruan ihwal keabadian yang dipujanya itu selalu muncul. Seruan
dalam perulangan ini tampaknya bukan sekadar menjadi semacam komposisi
estetis dalam bangun persajakan, tetapi juga memberi tekanan pada betapa ia
mencintai keabadian. Keabadian yang dipersonifikasikannya sebagai seorang
perempuan. Dan sebelum bait itu, ia pun selalu menulis bait yang sama; oh,
bagaimana aku tak syahwatkan keabadian/dan cincin kawin segala cincin/-cincin
Sang Keberulangan

Gairah pada keabadian dan keberulangan yang akan membawa kembali segala
sesuatu dalam hidup manusia, selalu menjadi seruan utama Zarahustra. Figur fiktif
yang bertahun-tahun menyendiri dalam roh kesunyian di atas perbukitan, lalu
turun menuju kota dan mengajarkan apa yang disebutnya dengan Ubermensch.
Dalam ajaran itu Zarahutra tak hanya meyakini bahwa tuhan sudah mati, tetapi
juga mengajarkan sebuah iman ihwal kehendak manusia untuk berkuasa (will to
power).

Dengan kehendak berkuasa inilah manusia bisa menikmati totalitas hidup dalam
kepenuhannya. Gagasan puitik demi memaklumatkan posisi manusia yang
melepaskan makna dirinya dari segala ikatan. Tak hanya moralitas tetapi juga
ikatan dari berbagai harapan, termasuk harapan yang masih disisakan oleh masa
lalu atau yang dijanjikan oleh masa depan.

Tak ada harapan pada apa pun kecuali pada dunia itu sendiri. Kekinian
diyakininya sebagai keabadian sepanjang manusia setia pada gairah dan kuasa
nasibnya sebagai manusia (amor fati). Kesetiaan inilah yang akan menjadi bukti
bahwa segala sesuatu akan berulang sebagai keabadian. Gairah pada keabadian
yang jauh lebih agung dari penderitaan, seperti ia juga menyeru; gairah-lebih
dalam dari nestapa/.../Tapi segala gairah hasratkan keabadian/ ("Nyanyian
Mabuk"). Gairah pada keabadian akan membawa manusia sebagai makhluk
suprahistoris. Mahluk yang mengatasi nestapa dan keriangan.

**

BERBEDA dari para filsuf lainnya, Nietzsche tak bisa disendirikan dari puisi.
Banyak kalangan menghubungkan Nietzsche dan puisi karena gaya penulisannya
yang aforistik dan tidak sistematis sebagaimana halnya gaya penulisan sejumlah
filsuf. Mungkin saja benar, terlebih gaya aforisme itu lebih dari sekadar disadari
oleh Nietzsche. Akan tetapi, juga merepresentasikan kebenciannya pada gaya
penulisan yang sistematis, yang dipandangnya sebagai penjara. Meski begitu,
hubungan Nietzsche dan puisi tak berhenti sampai di situ. Dari riwayat hidupnya
diketahui bahwa pada usia 14 tahun, semasa tinggal di asrama Profta, bersama
sejumlah temannya ia mendirikan klub sastra Germania. Sejak itulah ia terus
berlatih mengungkapkan berbagai pemikirannya ke dalam puisi.

Dengan kata lain, Nietzsche adalah filsuf sekaligus juga seorang penyair.
Terutama dalam karyanya yang monumental Also Sprach Zarahustra atau Der
Wille zur Macht (Kehendak untuk Berkuasa), dengan gaya aforismenya yang
menakjubkan, Nietzsche menyuguhkan berbagai gagasan yang mencengangkan
ihwal tuhan dan dunia manusia. Dan satu hal yang selalu dilekatkan pada gagasan
pemikiran Nietzsche adalah provokasinya yang ekstrem tentang kematian tuhan,
dan kehendak manusia untuk berkuasa sebagai ubermensch, keabadian, nihilisme
segala nilai, dan penolakannya pada moralitas dan kebenaran mutlak. Dan inilah
yang memosisikan Nietzsche, yang oleh sebagian kalangan, dianggap sebagai
"nabi pasca-modernitas".

Dengan menghadirkan warna dasar semacam itulah, sejumlah aforisme Nietzche


dari beberapa karyanya dipilih dan dikumpulkan menjadi sebuah kumpulan puisi.
Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan kumpulan puisi ini
menjadi buku ke VI dari Seri Puisi Jerman yang diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia. Duet Bertold Damshäuser dan Agus R. Sarjono kembali mengeditori
Seri Puisi Jerman ini, setelah sebelumnya terbit kumpulan puisi Hans Magnus
Enzerberger, Paul Celan, Bertold Brecht, dan Goethe.

Ada banyak buku terjemaahan karya-karya Nietzsche, demikian pula sejumlah


buku yang mengurai sosok dan pemikiran filsuf Jerman yang dianggap radikal dan
kontroversial ini. Akan tetapi, pembacaan atas Nietzsche melalui puisi mungkin
bisa dibilang dengan jari sebelah tangan. Kekosongan inilah yang tampaknya
hendak diisi oleh penerbitan kumpulan puisi bertajuk "Syahwat Keabadian" ini.

Buku ini juga menyuguhkan sejumlah periode yang menjadi jejak pemikiran
Nietzsche yang hadir dalam bentuk puisi. Puisi-puisi itu dipilih dan diambil dari
sejumlah karya Nietzsche, mulai dari Die Frohliche Wissenschaft (Sains Girang)
hingga Also Sprach Zarahustra. Perkembangan pemikiran Nietzsche hadir dalam
puisi yang merepresentasikan biografi gagasan dan kegelisahannya. Baik semasa
ia masih menyebut Tuhan dengan pilu; Di malam seram ngeri/ Aku menatapMu,
harus merengkuhMu (Engkau Memanggil, Tuhan, Kuhampiri); hingga ketika ia
dengan "lancang" menulis, "baik dan jahat cuma prasangka/ Tuhan"- ucap ular,
lalu menghilang (Dari Surga).

Seperti hasrat akan keabadian yang dipersonifikasikannya sebagai perempuan


yang dicintai, begitulah puisi-puisi Nietzcshe menghadirkan gagasannya ihwal
penolakannya pada moralitas dan kebenaran mutlak. Di atas keduanya inilah
gairah kerja keras manusia bukanlah demi kesenangan, melainkan untuk berkuasa.
Manusia mesti berkuasa sebagai individu yang bebas, hasrat dan gairah yang
dimetaforakannya sebagai api yang tak pernah puas; aku membara habisi
diri./Segala yang kupegang menjelma cahaya, yang kulepas arang belaka: pastilah
aku api sejati (Ecco Homo).

Sebagai puisi ide, karya-karya Nietzsche berlimpah dengan sinisme kepada Tuhan
dan agama. Keduanya lebih dari sekadar merujuk pada konteks cara pandang
Nietzsche terhadap gereja Eropa ketika itu, yang dianggapnya melulu menjadikan
manusia sebagai segerombolan domba. Melainkan juga merepresentasikan
penolakannya akan kebenaran dan moralitas mutlak yang membelenggu manusia.
Hilangnya kesadaran manusia sebagai individu karena suatu kebenaran mutlak,
dimetaforakannya dengan tabiat dombawi. Sebaliknya, kebebasan manusia
sebagai individu yang memberontaki segenap kebenaran mutlak dibayangkannya
sebagai burung rajawali.

Dalam sajak "Cuma Pandir! Cuma Penyair!", keduanya dihadapkan. Di sinilah ia


berseru, "Atau jadilah rajawali,/yang sabar waspada mengintai ke ngarai,/ke
ngarai diri sendiri.../" Puisi ini menarik karena melukiskan gagasan atau sinisme
Nietzsche perihal manusia yang ingin meminang kebenaran. Kaukah peminang
kebenaran? Adalah pertanyaan yang terus muncul sembari terus mencemooh dan
meragukan kebenaran itu yang membuatnya terus terusir. Oleh karena itulah, alih-
alih meminang kebenaran yang hanya akan membelenggu seperti halnya para
filsuf, Nietzsche lebih memilih kepandiran dan keleluasaan pencarian seorang
penyair.

Kepandiran yang membuatnya leluasa menjelahi berbagai pengalaman, dan luput


dari sifatnya yang dombawi; kerinduan-kerinduan penyair,/kerinduan yang
berlumur ribuan larva,/bersifat rajawali, bersifat macan kumbang,/kau yang
pandir! Kau yang penyair!//Kau yang menemukan manusia/sebagai dewa maupun
domba,/mencabik dewa dalam manusia/dan terbahak dalam bahak mencabik,/Itu,
itulah bahagiamu,/bahagia macan kumbang dan rajawali,/bahagia penyair dan si
pandir!

**

PUISI-puisi Nietzsche adalah puisi seorang Dynosian. Nafsu dan gairah seorang
penyendiri yang menentang kesantunan moralitas serta kebenaran umum. Nafsu
seorang nihilistik yang mempertanyakan segenap nilai kebenaran seraya terus
mencari kebenaran itu sendiri. Oleh karena itulah, ia kerap dipandang sebagai
manusia yang dirundung oleh berbagai kontradiksi. Ia dihujat sebagai orang gila
sekaligus dipuja sebagai seorang pencari Tuhan seraya juga ia menolak
keberadaan-Nya demi kehendak untuk berkuasa.

Sebagai filsuf dan penyair, kontradiksi gagasan Nietzsche juga berada di antara
keduanya. Termasuk ihwal keabadian dan kepercayaannya bahwa segala sesuatu
akan berulang. Bagi Paul Strathern (1997), misalnya, pengulangan abadi yang
diserukan Nietzsche lebih merupakan sebuah gagasan puitik yang menarik agar
manusia menikmati hidup sampai pada kepenuhannya. Akan tetapi, sebagai
gagasan moral atau filosofis, hal itu sangatlah dangkal.
Demikian pula bagi Bertold Damshäuser. Dalam tulisan pengantarnya di buku ini,
ia menyebut gagasan Keberulangan Abadi itu hanyalah sebuah ide yang tak
berdasar, jelas tak terbuktikan, tak masuk akal. Ide itu dicari-cari oleh Nietzsche
yang haus akan makna keabadian, yang sekaligus juga menolak metafisika dan
oleh karena itu melarang diri untuk mencari makna dalam transendentalitas.
(Ahda Imran)

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 19 September 2010


Posted by Udo Z Karzi at 9:23 AM 0 comments
Labels: sastra, sosok
[Persona] Revolusi ala Rhoma Irama
-- Budi Suwarna dan Frans Sartono

RHOMA Irama mengumumkan ”revolusi” kedua musik dangdut lewat single


”Azza” dan film ”Dawai 2 Asmara”. Pada revolusi pertama ala Rhoma era awal
1970-an, ia mengubah arah musik dangdut dengan memberinya nuansa rock.

Ridho Rhoma dan


Rhoma Irama (KOMPAS/ARBAIN RAMBEY)

Jika Anda mendengar lagu dangdut dengan sentuhan gitar rock yang keras-kasar
distortif, maka itu adalah gagasan Raden Haji Oma Irama atau Rhoma Irama.
Sekitar pertengahan era 1970-an, ia meletakkan suatu gaya musik dengan
sentuhan rock yang di kemudian hari menjadi semacam ”genre” tersendiri dari apa
yang dulu disebut sebagai musik melayu. Musik melayu yang kemudian disebut
dangdut di tangan Rhoma bersama Soneta Grup-nya terdengar dinamis, agresif
dan progresif.

Itu peran sejarah dan kontribusi Rhoma untuk musik dangdut yang bisa dikatakan
telah menjadi musik rakyat. Rhoma menyebut terobosannya itu sebagai ”revolusi”
pertama.
Revolusi kedua versi Rhoma belum selesai saat ini.

Setidaknya, Rhoma baru merilis single ”Azza” dan akan segera menyusul album
penuh. Satu paket dengan revolusi itu, muncullah Ridho Rhoma, putra Rhoma
yang kini tengah populer.

Anda seperti bangkit lagi, di tengah pentas musik yang berbeda dengan masa
ketika anda menampilkan ”Begadang” pada era 1970-an?

Ya, saya pernah mengumumkan adanya revolusi dangdut kedua. Itu setelah
revolusi musik pertama yang saya buat tahun 1970-an dari musik melayu ke
dangdut. Revolusi pertama itu untuk mengimbangi derasnya musik rock. Orkes
melayu seperti Soneta itu pun musiknya berwarna rock,” kata pria kelahiran
Tasikmalaya, Jawa Barat, 11 Desember 1946, itu.

”Itu sebetulnya strategi untuk mengimbangi musik rock, supaya (dangdut) equal
dengan rock. Setelah itu dangdut eksis dan bahkan menjadi musik primadona di
Tanah Air. Indikator yang paling kuat adalah tidak ada televisi yang tidak punya
program dangdut.”

Rhoma lalu bicara soal terpuruknya dangdut sekitar tiga tahun terakhir. Rhoma
menuding salah satu penyebab menyurutnya dangdut dari belantika musik Tanah
Air adalah maraknya erotisisme yang menyertai penampilan artis dangdut.

Apa yang disebut Rhoma sebagai erotisisme itu mungkin saja bukan penyebab
menyurutnya dangdut. Namun, faktanya musik pop saat ini sangat dominan di
pentas musik, termasuk di televisi. ”Saya terpikir untuk membuat revolusi seperti
tahun 1970. Revolusi kedua ini ada satu format dangdut yang baru, style yang
baru, bahkan ikon yang baru.”

Siapa itu?

Ikon itu, kan, Ridho. Kemudian Sonet2 Band itu (dibaca Sonet two). Dari nama
saja sudah revolusioner. Dulu, kan, namanya Orkes Melayu Soneta, Orkes Melayu
Purnama. Dengan revolusi saya, Soneta menjadi Soneta Grup. Enggak ada lagi
orkes melayu Soneta, bahkan sekarang Sonet2 itu band. Itu juga revolusioner.

Nama dan konsep itu dari Anda?

Iya. Karena Sonet2 ini, kan, proyek saya. Kalau dulu untuk mengimbangi rock,
sekarang untuk mengimbangi musik pop. Karena musik dewasa ini didominasi
oleh pop. Style, performance, harus seperti pop sebagaimana dulu Soneta harus
seperti rock.

Alhamdulillah revolusi kedua ini juga berhasil. Sonet2 Band ternyata bisa sejajar
dengan grup-grup pop papan atas. Jadi, alhamdulillah revolusi pertama berhasil
sehingga dangdut bisa menjadi musik primadona di Indonesia. Alhamdulillah
revolusi kedua juga berhasil. Ridho bersama Sonet2 Band berhasil, katakanlah
kalau ukurannya RBT, Ridho yang tertinggi peringkatnya.

(Menurut Ridho, pengguna nada sambung pribadi atau ring back tone lagu Sonet2,
antara lain ”Menunggumu”, sekitar lima juta.)

Film Dawai 2 Cinta itu satu paket dengan revolusi kedua?

Ya. Ini ada benang merahnya, antara lahirnya Sonet2 Band dan revolusi kedua. Ini
(film) memang bercerita soal itu. Kalau Anda lihat filmnya, itu memang kisah
tentang revolusi kedua.

Dalam film-film Anda, seorang Rhoma Irama tampil sebagai Rhoma yang heroik.

Prinsip saya di film memang menjadi diri sendiri. Itu prinsip. Saya tidak mau
main film menjadi aktor. Makanya, 25 kali main film, saya tidak merasa menjadi
aktor karena saya memerankan diri saya sendiri supaya saya bisa
mempertanggungjawabkan itu kepada masyarakat. Supaya masyarakat tidak
merasa itu sesuatu yang fiksi. Biasanya, kan, bintang-bintang film yang
digandrungi penggemar karakternya tidak seperti itu di luar (film). Saya tidak
ingin mengelabui masyarakat. Saya ingin masyarakat melihat Rhoma di film,
itulah Rhoma di luar.

Namun, romantika zaman Anda berbeda dengan eranya Ridho?

Saya juga ingin Ridho seperti itu. Jangan dia menjadi sesuatu yang fiksi di
masyarakat. Jadi, konsepnya masih sama dan masih drama musikal karena kalau
dulu saya start-nya sebagai penyanyi yang main film, bukan sebaliknya. Saya kira
Ridho juga sama, dia penyanyi yang main film. Jadi, dia dikenal lebih dulu
sebagai penyanyi, baru dia main film. Jadi, kalau filmnya tidak menyanyi,
masyarakat akan kecewa. Orang datang melihat Rhoma, pasti dia ingin melihat
Rhoma menyanyi karena saya dikenal terlebih dahulu sebagai penyanyi. Begitu
juga Ridho. Pasti yang mereka mau lihat Ridho menyanyi. Makanya, filmnya
musikal. Konsepnya sama.

Raja dan pangeran

Tahun lalu, Rhoma melempar wacana seputar Ridho yang ia sebut sebagai
”Pangeran Dangdut”. Julukan itu mengacu pada sebutan ”Raja Dangdut” yang
dilekatkan kepada sosok Rhoma Irama. Sonet2 Band dan film Dawai 2 Asmara
menjadi penanda hadirnya sang ”Pangeran”.

Ridho sudah siap?


Timing-nya, pertama keterpurukan dangdut. Kedua, Ridho punya potensi dari sisi
vokal. Katakanlah dia good looking. Itu Allah punya anugerah.

Namun, perjalanan karier Ridho, kan, berbeda dengan Bang Rhoma?

Ya, kalau dulu saya lewat jalan berdebu, berkeringat, dan berdarah-darah.
Makanya, filmnya juga berbeda. Filmnya tidak berdarah-darah.

Rhoma memang yang membabat hutan. Saya katakan bahwa saya


memperjuangkan dangdut dengan air mata karena dihina; dengan keringat karena
berjuang, dengan darah karena memang kita fight secara fisik. Kami tampil
dilempari batu. Itu tahun 1970-an ketika kita fight dengan rock. Kalau dangdut
main, rocker, kan, melempari batu ke kita (Rhoma).

Sampai ada istilah ”dangdut tai anjing”, ”rock terompet setan”. Itu, kan, perang.
Bahkan, saya sampai (berjuang) dengan jiwa. Saya pertaruhkan jiwa itu untuk
dangdut. Ini sangat jauh berbeda dengan Ridho. Ridho ini ibaratnya sudah
disediakan karpet merahlah. Jadi, romantika Ridho dan Rhoma itu sangat-sangat
berbeda.

Anda sebut Ridho sebagai ”Pangeran Dangdut” karena Anda berjuluk ”Raja
Dangdut”?

”Predikat raja, superstar itu, kan, bukan berasal dari pemerintah, tetapi dari rakyat,
dari fans. Ini, kan, bentuk apresiasi atas prestasi seseorang. Maka, diberikan
julukan raja, superstar, apalah. Saya memberanikan diri me-launching Ridho
sebagai Pangeran Dangdut, tetapi itu bukan dalam konteks dia anak ”Raja”, tetapi
potensi yang ada pada Ridho itu berani saya pertaruhkan bahwa he is the best
sebagai generasi muda penerus dangdut”.

Deep Purple - Begadang

Kita tengok era 1970-an. Band rock Inggris, seperti Deep Purple, Led Zeppelin,
dan Black Sabbath digemari kaum muda di negeri ini. Grup rock pun
bermunculan di Tanah Air, seperti God Bless, Giant Step, AKA, serta Super Kid
dan mendapat tempat di hati anak muda.

Rhoma Irama—saat itu masih dikenal sebagai Oma Irama—tengah populer lewat
lagu ”Begadang”, ”Rupiah”, sampai ”Penasaran”, yang belum terasa bau rocknya.
Ia mengatur strategi untuk mengakomodasikan dangdut dengan realitas musik
pada zamannya. Lahirlah seperti ”Begadang 2”, ”Takwa”, ”Judi”, dan ”Kiamat”,
yang kental rasa rock lewat cita suara gitar yang keras-keras distortif khas rock.

Tarikan gitar Rhoma pada lagu-lagu tersebut mengingatkan orang pada Ritchie
Blackmore, gitaris Deep Purple. Sound gitar rock ala Rhoma sejak itu menjadi
unsur ”wajib” dalam dangdut sampai hari ini.
Pengaruh musik apa yang membentuk dangdut versi Rhoma Irama?

Memang sejak kecil, saya menyukai dua kutub musik: India dan Barat. Kalau
India, misalnya, Lata Mangeskhar, Mohammed Rafi. Itu bintang-bintang penyanyi
India tahun 1960-an. Yang Barat saya suka Everly Brothers, Tom Jones, Elvis
Presley. Jadi, sejak kecil saya sudah menyanyikan lagu Barat dan lagu India. Itu
terus tumbuh. Ketika saya remaja, saya punya band dan

grup orkes melayu. Jadi, pada suatu malam Minggu, kita bisa main di Menteng,
lagu-lagu Barat. Di malam minggu yang lain, kita main di kampung-kampung
yang becek, kami mainkan lagu-lagu India. Dua kutub ini terus berkembang
sampai suatu saat saya putuskan untuk membela orkes melayu, membela dangdut.

Pengaruh rock rasa Deep Purple sangat kuat pada gitar Anda.

Ya, itulah revolusi musik itu. Saya declare revolusi musik tahun 1970-an ketika
rock melanda dunia, ada rock fever (demam rock). Kalau Orkes Melayu tidak
melakukan revolusi ketika itu, ya, orkes melayu akan hilang. Ada pengaruh Deep
Purple dan Led Zeppelin. Lagu-lagu Deep Purple itu yang saya suka. Dia itu hard
rock, tetapi melodius. Dahsyat itu... untuk ukuran dangdut ketika itu....

Makanya, Soneta itu ada unsur rock. Sound rock itu strategi yang saya katakan
tadi. Makanya, saya kan rock juga, pop juga. Penyanyi rock gondrong, kami juga
gondrong. Rock bisa jungkir balik, kami juga jungkir balik. Kemudian rock
dengan kapasitas sound system ratusan ribu watt, kita juga pakai gitu. Jadi, dalam
konteks persaingan sehat, kita eksis.

Lagu ”Orang Buta” itu apa inspirasinya ”When A Blind Man Cries”-nya Deep
Purple.

Kurang lebih begitu ha-ha-ha! Pasti ada influence dari Deep Purple. Ya, itulah
dangdut, musik yang revolusioner waktu itu. Revolusi musik itu saya declare
tahun 70. Ada yang bertanya-tanya, Rhoma Irama mau ke mana ini, kok, dangdut
jadi begitu. Ada riff gitar, ada drum segala.

Dakwah

Pada tahun 1980-an Anda memasukkan unsur tiup logam (brass) dalam dangdut.
Apa alasannya waktu itu?

Ada brass section, lalu ada Soneta Femina sebagai koor itu dalam rangka kita bisa
bersaing dengan jenis-jenis musik lain. Karena musik dangdut itu, kan, melodius
dan indah. Nah, untuk mencapai keindahan-keindahan itu kita gunakan backing
vocal, Soneta Femina. Kemudian ada brass section untuk lagu-lagu yang
katakanlah dinamis. Kadang-kadang ada lagu-lagu yang dari sisi aransemen
memang membutuhkan stressing. Konsep saya pertama, easy listening, kedua
harmoni, ketiga touching (menyentuh). Sebuah musik dakwah itu harus enak
didengar. Kalau lagu tersebut tidak sampai, atau tidak digemari masyarakat,
dakwah itu akan gagal. Jangankan dia (pendengar) mau melaksanakan seruan kita,
dengarnya saja ogah he-he-he. Seperti misalnya lagu ”Keramat”, ”Takwa”, ”Judi”,
semua easy listening.

Mengapa sound gitar ala Rhoma itu tidak muncul dalam lagu ”Azza”, dan
orkestrasi kental nuansa Arabia.

Kami memang harus selalu tidak statis. Harus ada sesuatu yang yang kami buat
berbeda, yang baru. Dalam konteks harmoni juga. Nuansa Arabia kuat karena
lokasi (syuting klip ”Azza”) di Mesir, jadi harus disesuaikan. Selanjutnya kita
rencana di Tajmahal, India. Konsepnya pasti berbeda.

Revolusi kedua ini mau dibawa ke mana?

Kira-kira begini konsepnya bahwa Rhoma harus selalu mengacu pada nilai-nilai
religius, sosial. Soneta lebih membangun masyarakat dalam konteks dakwah.
Namun, Ridho, dia harus membangun musiknya dalam konteks remaja.
Percintaan yang positiflah karena itu memang dunia dia, segmentasinya, ya,
memang itu. Namun, kalau Rhoma sudah tidak berada di situ lagi. Dia (Rhoma)
sudah ada di posisi pertanggungjawaban bagaimana memberikan kontribusi
kepada bangsa ini tentang moralitas, misalnya.

***

RHOMA IRAMA

• Nama: Raden Haji Oma Irama (Rhoma Irama)

• Lahir: Tasikmalaya, Jawa Barat, 11 Desember 1946

• Diskografi:
- Begadang, 1973
- Ke Bina Ria, 1974
- Joget, 1975
- Penasaran, 1976
- Hak Asasi, 1977
- Gitar Tua Oma Irama, 1977
- Berkelana, 1978
- Rupiah, 1978
- Begadang II, 1978

• Sejumlah album yang memuat lagu kondang:


- 135 Juta
- Santai
- Hak Asazi
- Sahabat
- Setetes Air Hina

• Filmografi
- Oma Irama Penasaran, 1976
- Gitar Tua Oma Irama, 1977
- Darah Muda, 1977
- Rhoma Irama Berkelana I, 1978
- Rhoma Irama Berkelana II, 1978
- Begadang, 1978
- Raja Dangdut, 1978
- Cinta Segitiga, 1979
- Camelia, 1979
- Perjuangan dan Doa, 1980
- Melody Cinta Rhoma Irama, 1980
- Badai Diawal Bahagia, 1981
- Satria Bergitar, 1984
- Cinta Kembar, 1984
- Pengabdian, 1985
- Kemilau Cinta di Langit Jingga, 1985
- Menggapai Matahari I, 1986
- Menggapai Matahari II, 1986
- Nada-Nada Rindu, 1987
- Bunga Desa, 1988
- Jaka Swara, 1990
- Nada dan Dakwah, 1991
- Tabir Biru, 1994
- Dawai Dua Asmara, 2010

Sumber: Kompas, Minggu, 19 September 2010


Posted by Udo Z Karzi at 9:12 AM 0 comments
Labels: seni, sosok
Keheningan dalam Kerumitan
-- Putu Fajar Arcana

PERTEMUAN dua kebudayaan yang mewakili citraan-citraan klasik dan


tradisional bisa terjadi lewat kanvas. Kendati tidak menjadi satu kolaborasi, tetapi
pameran lukisan Ceremony 60, 16-21 September 2010 di Galeri Nasional, Jakarta,
bisa menjadi peneguhan hubungan Indonesia-China yang sudah berlangsung 60
tahun!
Lukisan klasik China dipertemukan dengan
lukisan tradisional Bali, dalam pameran Ceremony 60, 16-21 September 2010 di Galeri Nasional,
Jakarta. (FOTO-FOTO: KOMPAS/PUTU FAJAR ARCANA)

Pameran yang digagas oleh Yayasan Bali Bangkit dan Kedutaan Besar China di
Indonesia ini sesungguhnya ingin merumuskan dan mencari sisi-sisi arsiran yang
mengisahkan sejarah ”persekutuan” politik dan kebudayaan antara Indonesia dan
China. Jusuf Wanandi, Ketua Yayasan Bali Bangkit, bahkan menegaskan
persenyawaan kebudayaan Bali dan China sudah berlangsung berabad-abad lalu.
”Itu sudah terjadi ketika pudarnya kerajaan Majapahit abad ke-16, lalu
pengaruhnya tumbuh di Bali,” kata Wanandi di sela-sela pameran yang dibuka
oleh Duta Besar China untuk Indonesia Zhang Qiyue.

Sebagai pameran yang mencomot karya-karya para maestro, lalu dibentangkan


bersama dalam satu ruangan, pameran ini memang tidak berhasrat besar
menemukan garis merah estetika kedua kubu. Bahkan, boleh jadi karya-karya
maestro lukisan klasik China, seperti Wu Chuangshuo dan Qi Baishi, yang hening
dan puitik, berada pada kutub berbeda dengan lukisan-lukisan tradisi Bali yang
cenderung penuh, riuh, dan rumit.

Perbedaan estetika perupaan itu memang berasal dari kutub sejarah seni dan sosial
yang berbeda pula. Jika keheningan lukisan-lukisan klasik China lahir lebih dari
1.000 tahun lalu, terutama pada masa Dinasti Tang yang dipelopori oleh penyair
dan pelukis Wang Wei, lukisan-lukisan tradisi Bali baru berkembang sekitar tahun
1920-an. Itu pun lewat persentuhan dengan seni rupa Barat yang dibawa oleh
Rudolf Bonnet dan Walter Spies.
Keheningan lukisan-lukisan klasik China ibarat perasan dari gugusan sejarah
peradaban dan intelektualitas yang sudah berlangsung berabad-abad. Lukisan
adalah visualisasi penting untuk me-rupa-kan gagasan falsafati. Oleh sebab itu,
sebagian dari perupa itu adalah para sastrawan yang bergelut dengan kata dan
makna, sebelum kemudian menggoreskannya dengan tinta dan kertas. Lukisan
klasik China ibarat kibasan dari gugusan filsafat yang melatarinya. Sangat populer
kemudian ungkapan, ”Lukisan adalah syair dalam gambar. Syair ialah lukisan
dalam kata.”

Dalam soal itu lukisan klasik China dikenal dengan teknik brush painting: Lukisan
yang mewujud dalam limit waktu terbatas akibat penggunaan teknik kuas dan
tinta di atas kertas. Tidak ada pengulangan, apalagi perbaikan. Semua terjadi
ibarat kata-kata yang mengalir lewat serat-serat kuas.

Harmoni

Lukisan-lukisan tradisional Bali (untuk membedakannya dengan lukisan klasik


Kamasan)—sebagaimana tampak pada karya-karya Anak Agung Made Sobrat,
Dewa Made Baret, Ida Bagus Made Nadera, termasuk generasi terkini seperti I
Gusti Agung Wiranata dan I Ketut Yuliarta—tampak sangat rumit dan penuh
ornamentasi. Seluruh bidang kanvas senantiasa terlihat penuh oleh figurasi serta
stilisasi dari flora dan fauna.

Dua kutub yang secara perupaan berbeda inilah barangkali yang membuat Agus
Dermawan T selaku kurator memberi dua subjudul. Khusus pameran 50 karya
klasik China disebut ”Ketenangan dan Keselarasan” dan lukisan-lukisan Bali
diberi subjudul ”Alam dan Figurasi”. Lagi-lagi ini agak tidak selaras
sesungguhnya karena yang satu mengeduk sampai ke dasar filosofi, yang lainnya
berkutat pada bentuk. Akan tetapi, sekali lagi, ”ketidakselarasan” itu terjadi
lantaran perbedaan latar belakang estetika dan sejarah sosial.

Satu hal yang barangkali bisa dijadikan titik simpul pertemuan kedua kutub
kesenian ini adalah kesepadanannya di dalam pencarian harmoni. Jika lukisan-
lukisan klasik China dalam wujud yang bening dan ringkas menorehkan
keharmonian dalam pencarian filsafat hidup, maka dalam kerumitan lukisan
tradisi Bali keharmonian itu dikejar secara tematik. Tema-tema seperti ritual
keagamaan, kehidupan para petani di desa, pesta para penari, dan pementasan
kesenian adalah tema-tema pencarian keseimbangan yang dalam filsafat hidup
orang Bali disebut Tri Hita Karana. Filsafat ini menghasratkan penyelarasan
antarmanusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Sang Pencipta.

Bukankah secara pendalaman tematik kedua kutub estetika ini mengejar


keharmonian yang sama? Dalam keheningan lukisan klasik China digambarkan
pepohonan, bunga, dan hewan dengan warna-warna halus yang bening. Dan,
itulah inti pengejaran hidup untuk mencapai pencerahan. Begitu pula,
sesungguhnya, dalam kerumitan lukisan tradisi Bali, baik secara komposisi
maupun tematik, ia tetap mengejar keharmonian untuk mencapai pencerahan
hidup yang sama.

Di luar soal itu, gambar-gambar yang muncul dalam lukisan tradisi Bali, seperti
barong ket dan barong landung, jelas menunjukkan penjelmaan tradisi China yang
sudah diserap sejak masa Majapahit itu. Soal mengapa keheningan (pencerahan)
dicari dalam pendakian gambar-gambar yang rumit, itulah jalan perupaan untuk
menemukan sisi spiritual yang sama dan sebangun: harmoni. (NAW)

Sumber: Kompas, Minggu, 19 September 2010


Posted by Udo Z Karzi at 8:55 AM 0 comments
Labels: seni
Fotografi: Wajah Derita Ibu-ibu Itu...
-- Arbain Rambey dan Frans Sartono

Wajah-wajah diam itu seperti bicara tentang derita. Itulah wajah-wajah ”jugun
ianfu”, wajah ibu-ibu kita yang direkam fotografer Jan Banning dan dipamerkan
di Erasmus Huis, Jakarta, 12-23 September 2010.

Pameran foto Jugun


Ianfu. (KOMPAS/ARBAIN RAMBEY)

Potret adalah gambar seseorang yang tahu bahwa dirinya sedang dipotret. Itu
definisi potret atau photographic portrait dari Richard Avedon, seorang fotografer
Amerika Serikat yang pernah membuat potret untuk tokoh dunia mulai dari
Marilyn Monroe sampai Beatles.

Jan Banning, fotografer asal Belanda ini, juga sadar benar bahwa ia tengah
memotret perempuan-perempuan yang juga sadar benar bahwa mereka sedang
dipotret. Perempuan-perempuan usia 80-an tahun itu juga tahu bahwa mereka
diambil gambarnya terkait dengan sejarah masa lalu sebagai jugun ianfu, sebuah
kekejaman sejarah yang memperlakukan perempuan sebagai wanita penghibur
anggota militer pada masa pendudukan Jepang di Indonesia.
Kalau dilihat dari kacamata seni fotografi saja, foto-foto karya Jan Banning itu
tidaklah istimewa. Secara teknik dan secara tata atur fotografi manusia, ia hanya
memakai pencahayaan sederhana dan pose sangat seadanya.

Akan tetapi, fotografi memang sangatlah luas. Ia tidak sekadar keunggulan teknik
dan kreativitas pose, seperti yang selalu diburu para pemula. Banning
sesungguhnya telah memakai medium fotografi dengan tingkat tertinggi. Ia tidak
sekadar memotret wajah, tetapi juga telah merekam sejarah. Bahkan, tidak hanya
merekam sejarah, tetapi juga memaknai sosok-sosok dalam konteks peradaban
manusia hari ini. Wajah-wajah itu berbicara dalam kediaman.

Lorong sejarah

Wajah ibu-ibu kita itu seperti lorong panjang sejarah kelam yang terlupakan (atau
dilupakan?). Kita tatap wajah Ronasih, perempuan kelahiran tahun 1931 asal
Serang, Jawa Barat. Dan, kita dengar tragedi hidupnya yang dituturkan kepada
wartawan Belanda, Hilde Janssen, yang bersama Banning menggarap proyek
jugun ianfu.

Ronasih yang saat itu berusia 13 tahun diculik seorang serdadu dan dikurung di
barak lalu secara sistematis diperkosa selama tiga bulan. Ia baru dibebaskan
setelah perang berakhir. ”Saya tidak mampu berjalan lagi, saya harus merangkak
pulang. Seluruh badan saya sakit....” tutur Ronasih, seperti ditulis Janssen.

Ronasih tidak sendirian. Ia merupakan bagian dari sekitar 20.000 perempuan yang
dipaksa menjadi jugun ianfu. Banning dan Janssen melakukan perjalanan keliling
ke sejumlah kota di Indonesia untuk menemui, mewawancarai, dan memotret 50
perempuan dalam periode Mei 2008-Juli 2009. Hasil perjalanan itu ditulis dalam
dua buku.

Sebagian dari foto mereka ditampilkan dalam pameran di Erasmus.

Proyek tersebut, seperti ditulis Janssen dalam katalog pameran, merupakan upaya
membangkitkan kenangan masa perang yang selama puluhan tahun telah mereka
coba lupakan. Harapannya, kebisuan sejarah akan terungkap.

Pengalaman mereka menjadi beban sepanjang hidup dan, sepertinya, amat sangat
sedikit ”anak-anak” negeri ini yang mencoba menyapa ibu-ibu mereka yang
menderita. Dan, mungkin juga telah dilupakan oleh bangsanya yang seharusnya
tidak boleh melupakan penderitaan rakyatnya.

”Kami belum pernah menceritakan sesuatu pun kepada anak-anak kami, terlalu
memalukan bagi saya,” tutur Rosa, Oma kelahiran Tanimbar, Maluku Selatan,
tahun 1929, yang dipaksa bekerja di rumah bordil militer Jepang di kotanya.

Sejarah hidup
Wajah-wajah ibu dalam foto Banning itu bagai otobiografi yang terbuka. Bukan
sekadar otobiografi personal, melainkan juga buku sejarah. Wajah-wajah itu
merupakan sejarah yang hidup dan berbicara.

Kita seperti membaca sejarah lewat keriput kulit wajah yang menua; guratan atau
lipatan kulit di pipi, bibir; serta pelupuk mata yang menggelambir lemas. Dan,
sorot mata bagai lorong panjang yang menyimpan ”file” kebiadaban zaman.

Mungkin benar apa yang dikatakan pujangga Amerika, Ralph Waldo Emerson:
”One of the most wonderful things in nature is a glance of the eye; it transcends
speech.”

Dan, cobalah tatap mata Ibu Icih, perempuan kelahiran Sukabumi, Jawa Barat,
1926. Mata perempuan yang saat difoto berusia 83 tahun itu tampak berkaca-kaca.
”Rasanya seperti langit jatuhin bumi, sakit sekali. Badanku tidak bisa lupa....” Itu
kalimat dari Icih yang dituturkan kepada Janssen.

Tatap juga sorot mata Mastia, wanita kelahiran Sumedang, 1927, yang seumur
hidup tak hanya menanggung beban psikologis, melainkan juga beban sosial.
”Orang tetap memanggil saya ’bekas Jepang’ dan menghina saya. Sampai
sekarang saya masih sering ingat,” kata Mastia.

Foto-foto itu mengajak kita mengingat... dan semoga kita tidak lupa akan luka
sejarah para perempuan kita....ibu-ibu kita...

Sumber: Kompas, Minggu, 19 September 2010


Posted by Udo Z Karzi at 8:51 AM 0 comments
Labels: sejarah, seni
Catatan dari Amsterdam (2): Stambul "Baju Biru"
-- Bre Redana

CAHYATI (25) bertubuh mungil. Ia berbicara dengan bersemangat dan penuh


keyakinan. Dengan aksen berbau Jawa Banyumasan, lulusan Institut Seni
Indonesia (ISI) Surakarta ini menceritakan pengalamannya. ”Dulu saya bekerja
sama dengan Sen Hea Ha,” katanya. Sen adalah koreografer dari Korea. Mereka
punya proyek berjudul Infinita, pentas secara berturut-turut dari tahun 2006
sampai tiga tahun berikutnya di Belgia, Belanda, Australia, Perancis, dan
Singapura. ”Saya membikin interpretasi musik piano dengan tarian Jawa. Itu
metode Sen. Wujudnya tari kontemporer,” lanjutnya.

Antusiasme yang sama ditunjukkan Endah Sri Murwani (34), yang juga pernah
mengenyam pendidikan di ISI Surakarta meski hanya beberapa semester.
Bertubuh subur, di panggung menokohkan diri sebagai tokoh wayang Limbuk,
Endah yang di lingkungannya di Jawa Tengah dikenal sebagai pesinden dengan
nama Endah Laras bicara mantap mengenai seni kontemporer. ”Dengan
menyinden saya berusaha mengeksplorasi yang klasik menjadi kontemporer,” ujar
perempuan kelahiran Sukoharjo ini.

Ia punya pengalaman tampil di beberapa negara, antara lain Australia, Perancis,


dan Korea. Di Belanda beberapa kali ia tampil. Ketika bersama rombongan Opera
Jawa muncul di Tropenmuseum, Amsterdam, awal September sebelum Lebaran
lalu, ia mencengangkan penonton yang 90 persen warga setempat. Dia membikin
penonton terpesona ketika dengan ukulele dengan bebas merdeka melantunkan
stambul ”Baju Biru”. Penampilan itu merupakan interval menyegarkan dari Opera
Jawa.

Itulah contoh sederhana dari yang sering dikatakan orang, bagaimana ”yang lokal
menjadi global”. Pertunjukan Opera Jawa karya sutradara Garin Nugroho
berlangsung empat malam berturut-turut 2-5 September 2010 di Tropenmuseum,
Amsterdam. Selama empat malam, hampir seluruh kursi yang berjumlah sekitar
500 terisi penonton. Harga tiket 30 euro atau sekitar Rp 360.000.

Keberhasilan karya ini menjaring penonton agaknya dikarenakan idiom lokal yang
berhasil diangkat dalam ranah kontemporer. Ceritanya adalah episode cinta segi
tiga Rama-Sinta-Rahwana dari epik klasik Ramayana. Bentuknya paduan tari dan
tembang (dalam bahasa Jawa). Dikemas dalam ungkapan seni kontemporer,
termasuk dalam hal tafsir—gelora Rahwana lebih memikat Sinta daripada Rama
yang normatif dan cenderung dingin—karya itu menjadi aktual. Musik yang
digarap Rahayu Supanggah dan seni rupa panggung oleh perupa Heri Dono
memberi cita rasa ”avant garde”.

Gugatan terhadap modernisme

Selama berabad-abad karena pengaruh modernisme, yang bisa punya tempat di


arena internasional kalau bukan yang modern adalah yang ”tradisional”,
”primitif”—yang dianggap menarik karena eksotik. Para pemikir yang dididik
secara keras dalam disiplin modern (Barat) akan ngotot betapa pentingnya sejarah
masa lalu, preseden, analog, yang merupakan geneaologi modernisme. Lalu
bagaimana dengan bagian masyarakat di planet ini yang tidak berada dalam
geneaologi modernisme Barat? Harus mencocok-cocokkan masa lalunya supaya
sesuai? Taruhlah kesenian dari Sukoharjo atau Boyolali?

Itulah yang hendak digugat oleh sosiolog India, Arjun Appadurai, dalam bukunya
Modernity at Large: Cultural Dimensions of Globalization (1996). Studi itu
dianggap sebagai studi klasik mengenai perubahan yang dibawa oleh media dan
migrasi sekarang menuju globalisasi. Pengaruh globalisasi telah menyebabkan
deteritorialisasi wilayah, disergap oleh keserentakan terutama oleh pengaruh
media elektronik (dan kini ditambah teknologi informasi). Jalinan masa lalu dan
masa kini yang secara ketat dikukuhi modernisme, mengalami keterpatahan.
Dalam istilah Appadurai, ”rupture”—putus.
Kini, yang bukan modern, bisa diartikan ”kontemporer”. Yang tradisional juga
kontemporer. Heri Dono, seniman kelahiran Jakarta ini hanya sekitar 25 persen
waktunya berada di Indonesia. Selebihnya ia jalani di berbagai negara dengan
berbagai proyek. Dia melakukan kegiatan apa saja, dari pameran sampai
melakukan workshop, misalnya membuat wayang dari karton, menampilkan
bayangan dari wayang ukuran kecil, membuat proyek bunyi-bunyian, dan lain-
lain. ”Kita harus ikut membantu memecahkan persoalan dunia,” ujar Heri Dono.
”Seni itu muatannya intelektualitas,” tambahnya.

Kotak-kotak seni seperti dikenal sebelumnya kini meleleh. Cahwati, si penari


bertubuh mungil yang dalam Opera Jawa di Tropenmuseum, Amsterdam,
berperan sebagai Anoman, pada kehidupan sehari-hari di Solo melakukan
kegiatan apa saja. ”Saya juga nyanyi di mana-mana, di kampung-kampung, di
pasar-pasar,” katanya. Bersama apa yang disebut sebagai rombongan Wayang
Kampung Sebelah, misalnya, ia berpentas keluar masuk kampung, dengan
wayang yang mengarikaturkan kehidupan politik negeri ini. Iringannya band.
”Kami ingin tunjukkan kepada masyarakat bahwa kesenian kita masih ada,”
ucapnya.

Seniman lain, Waluyo Sastro Sukarno (48), penabuh gamelan andal, komponis
yang membantu antara lain Sardono W Kusumo dalam Opera Diponegoro dan
menjadi co-composer dalam Opera Jawa, menceritakan pengalaman bagaimana
membangun kebersamaan dengan seniman-seniman lain di hutan di dekat Boston,
Amerika.

Endah Laras, si Limbuk, lain lagi. Dia bercerita, di kota Kudus, Jawa Tengah,
nanti dia akan segera berkolaborasi dengan penyanyi sebuah kelompok band pop
yang dikenal anak-anak muda di Tanah Air. Keseniannya tak mengenal batas.
Inilah juga bagian deteritorialisasi. Terbukti, stambul ”Baju Biru”-nya di tengah
Opera Jawa memikat penonton-penonton Belanda.

La-la-la-la-la.... (Bersambung)

Sumber: Kompas, Minggu, 19 September 2010


Posted by Udo Z Karzi at 8:48 AM 0 comments
Labels: seni
Bintang Rock dalam Kamar Pesantren
-- Aris Prasetyo & Regina Rukmorini

SEOLAH menyempal dari citra pendidikan Islam tradisional, Pesantren Pabelan


di Magelang dan Pondok Modern Gontor di Ponorogo menyuguhkan semangat
modern. Kedua lembaga ini mengembangkan iklim berpikir terbuka, berorientasi
global. Para santri pun boleh bergaul dengan budaya pop.
Santri di Pondok
Pesantren Pabelan, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah,
menunggu waktu shalat, Jumat (3/9). Pesantren ini mendidik para santrinya untuk
bersikap terbuka dan menghargai perbedaan. (KOMPAS/BAHANA PATRIA
GUPTA)

Dinding kamar itu begitu ”meriah”. Di bagian tengah, ada lukisan labu raksasa
dengan taring dan mata melotot—mirip ikon perayaan Halloween. Bidang lain
dipenuhi poster artis Amerika, seperti Travis Barker, drummer pop-punk Blink
182, dan band metal Avenged Sevenfold.

Dinding tersebut tak ubahnya mural tembok garapan anak muda di kota
metropolitan. Padahal, pemandangan itu terdapat di salah satu kamar Pondok
Pesantren Pabelan di Desa Pabelan, Mungkid, Magelang, Jawa Tengah.
Pelukisnya adalah para santri.

”Kami mencorat-coret dinding kamar agar lebih nyaman untuk ditinggali. Ustaz
memberikan izin,” kata Mustofa (17), santri asal Lampung.

Tak beda dengan remaja kota, para santri itu leluasa menggemari artis-artis pop
Barat. Hanya saja, selain gandrung pada musik, sebenarnya mereka juga punya
alasan lain. ”Dengan menikmati musiknya, kami sekaligus belajar mengucapkan
kata-kata bahasa Inggris,” lanjut pemuda yang menggemari band Avenged
Sevenfold ini.

Pada akhir bulan Ramadhan (pertengahan September) lalu, sejumlah santri


bernyanyi dan bermain gitar sambil menunggu jadwal mudik. Penampilan mereka
santai: berkaus, tanpa sarung dan peci, bahkan ada yang bergaya mirip detektif
dengan fedora hat—topi yang sering dikenakan penyanyi Tompi. Bukankah itu
gaya anak gaul hari ini?

Gaya hidup terbuka juga berdenyut dalam kehidupan sehari- hari di Pondok
Pesantren Modern Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Para santri boleh
bergaul dengan budaya pop. Saat menyambut tahun ajaran baru, misalnya, digelar
acara Pekan Perkenalan Khutbatul Arsy, yang antara lain berisi lomba olah vokal.

Pada momen itu, para santri menyanyikan lagu-lagu pop, katakanlah, seperti grup
Nidji atau ST12. Selain berdendang, mereka mahir memainkan gitar, drum, atau
keyboard. ”Silakan saja, asalkan lagu-lagunya tidak bernada asmara yang cengeng
dan murahan,” kata Wakil Direktur Kulliyatul Mu’allimin al Islamiyah (Lembaga
Pendidikan Tingkat Menengah) Nur Hadi Ihsan.

Kehidupan Pesantren Pabelan dan Gontor memang sangat cair. Para santri asyik
bergumul dengan budaya Barat, termasuk dengan ikon pop Amerika. Ini seperti
menyempal dari citra umum pesantren selama ini: asrama tradisional, berjarak
dari dunia luar, serta para santri bersarung- berpeci yang berkutat dengan kitab-
kitab berbahasa Arab.

Terbuka

Keterbukaan Pesantren Pabelan dan Gontor itu tak saja terlihat dari gaya hidup
para santrinya, tetapi juga melebur dalam sistem pendidikan, penggunaan bahasa,
serta persentuhan dengan dunia luar. Dua pesantren ini menerapkan sekolah
berjenjang dan setara dengan pendidikan nasional, mulai dari madrasah (setingkat
SD), tsanawiyah (SMP), aliyah (SMA), hingga jamiyah (perguruan tinggi).

Tak hanya ilmu agama Islam, setiap jenjang juga diperkenalkan pada ilmu umum,
seperti fisika, matematika, atau biologi. Sehari-hari, para santri menggunakan
bahasa Arab dan Inggris. Didukung laboratorium modern, mereka digembleng
untuk menguasai dua bahasa tersebut agar bisa memadukan ilmu agama dan
umum.

Lingkungan pesantren tak menutup diri terhadap dunia luar. Ambil contoh saja
Pesantren Pabelan yang sering kedatangan tamu dengan latar belakang profesi dan
agama berbeda. Semasa hidupnya, almarhum Romo Mangunwijaya, pastor yang
juga arsitek di Yogyakarta, sering menginap di pesantren ini.

”Kami siap untuk sharing, bertukar pikiran dengan siapa pun,” ujar salah seorang
pengasuh Pesantren Pabelan, Ahmad Najib Hamam.

Keterbukaan untuk memahami agama-agama di luar Islam diperkenalkan lewat


mata pelajaran Adyan. Pelajaran yang mulai diberikan kepada santri kelas II
madrasah aliyah itu mengkaji berbagai ajaran agama yang berbeda. Dengan
begitu, santri dan ustaz tak ragu bergaul dengan umat agama lain.

Contohnya, saat liburan sekolah, para santri dan siswa-siswa SMA Van Lith,
sekolah Katolik, bergantian saling mengunjungi untuk bermain basket bersama.
Salah seorang pengajar Pesantren Pabelan, bahkan, tercatat sebagai guru tetap di
SMA Van Lith.
Mercusuar

Dari mana kesadaran keterbukaan di dua pesantren itu berasal? Itu tak lepas dari
visi untuk menjadikan pesantren sebagai media menumbuhkan iklim berpikir
moderat. Pesantren Gontor, contohnya, sudah lama memegang moto ”berpikir
bebas”.

”Kebebasan di sini meliputi keleluasaan bersikap, memilih, dan berkreasi,


sepanjang tidak melanggar kaidah-kaidah Islam,” kata Nur Hadi.

Menurut Direktur Eksekutif International Centre for Islam and Pluralism M


Syafi’i Anwar, semangat keterbukaan seperti di Pesantren Pabelan dan Gontor
sebenarnya juga tumbuh di banyak pesantren di Indonesia. Sikap ini patut
dikembangkan demi memperkuat nilai-nilai keberagaman (pluralisme), tasamuh
(toleransi), moderat, dan kearifan di kalangan umat Islam. Saat lulus nanti,
alumninya bisa ikut membangun masyarakat beradab yang menghargai
kemajemukan.

”Pesantren-pesantren seperti itu adalah mercusuar yang mencerahkan


masyarakat,” katanya.

(ryo/iam)

Sumber: Kompas, Minggu, 19 September 2010


Posted by Udo Z Karzi at 8:43 AM 0 comments
Labels: budaya
[Buku] Menakar Harga (Diri) Perempuan
Judul : Garis Perempuan

Penulis : Sanie B. Kuncoro

Penerbit : Bentang, Yogyakarta

Cetak : 2010

Tebal : 378 Halaman

NOVEL ini menyapa pembaca dengan pertanyaan-pertanyaan pelik untuk


menemukan jawab karena ada keterpaksaan dan pilihan-pilihan dilematis.
Pengarang menyuguhkan empat kisah perempuan dengan jalan hidup berbeda tapi
memiliki titik temu pada ikhtiar menjawab sekian perkara hidup dalam perspektif
perempuan. Pamrih penyadaran gender dan penobatan perempuan sebagai pelaku
atau korban dari konstruksi sosial-kultural kental dalam novel ini kendati tidak
mengesankan propaganda.
Pengarang peka dengan pernik-pernik kehidupan kaum perempuan dari kalangan
miskin dan ningrat. Pengisahan empat perempuan juga mencerminkan kesadaran
pengarang terhadap pergaulan sosial dalam perbedaan etnis dan ideologi kultural.
Ranting, Tawangsri, Gendhing, dan Zhang Mey hadir sebagai tokoh-tokoh
perempuan pemberani tapi harus dihadapkan pada tragedi sebagai konsekuensi
pertentangan idealitas dengan realitas. Pertanyaan awal sebagai titik temu empat
tokoh perempuan itu ketika masih bocah: �Apa artinya menjadi perawan?�

Keperawanan

Empat tokoh perempuan menyimpan keterangan tentang keperawanan dalam


acuan normativitas sosial. Pengetahuan itu kelak diuji dengan pelbagai peristiwa
dan pilihan untuk memutuskan mempertahankan atau menyerahkan keperawanan.
Masing-masing memberi jawaban dilematis karena pemahaman bertabrakan
dengan fakta-fakta ekonomi, sosial, dan kultural. Makna keperawanan menjadi
rebutan atas nama kepentingan individu, keluarga, kekasih, suami, dan publik.

Kisah Ranting merupakan ironi dari kelemahan perempuan dan keperkasaan


perempuan untuk memaknai diri. Ranting hidup dalam keluarga miskin. Kondisi
ekonomi tak memungkinkan Ranting melakukan pilihan atas nama idealitas
individual. Dilema muncul ketika ibu Ranting menanggung sakit tapi tak ada uang
untuk berobat. Godaan lekas menyergap Ranting melalui kehadiran Pak
Basudewo. Lelaki kaya ini menghendaki Ranting mau menjadi istri ketiga dengan
konsekuensi Pak Basudewo menanggung operasi ibu Ranting.

Pengarang memang seperti mengajukan kisah klise mengenai kawin paksa gara-
gara uang dan derita. Ranting pun mau menikah dengan Pak Basudewo dengan
menyimpan dendam karena harga keperawanan dan kesucian jatuh gara-gara
kekuatan uang.

Hal berbeda dialami dalam jalan hidup Gendhing. Hidup dalam keluarga miskin
membuat Gendhing tak sanggup melambungkan angan mencapai tataran tertinggi
dalam pengertian pendidikan dan pekerjaan. Fakta kemiskinan dan nilai
keperawanan memaksa Gendhing membuat keputusan dilematis karena harus
menanggungkan nasib keluarga dan kesucian diri.

Gendhing gagal melanjutkan jenjang pendidikan ke perguruan tinggi karena tak


ada dana. Bekerja mencari uang di salon untuk membantu orang tua menjadi
pilihan logis. Godaan menimpa Gendhing ketika ada pelanggan seorang
pengusaha (Indragiri) menaruh hati. Gendhing mencoba menghindar tapi susah
karena lelaki itu intensif melancarkan godaan pada saat Gendhing suntuk mencari
arti diri. Godaan memuncak gara-gara ibu Gendhing terlilit utang pada rentenir.
Gendhing terpaksa harus membuat keputusan untuk menyelamatkan nasib
keluarga meski dengan taruhan cinta dan keperawanan. Gendhing menemui takdir
pelik.
Keputusan memuncak pada refleksi diri mengenai harga diri perempuan, uang,
keluarga, dan kemiskinan. Gendhing melakukan perlawanan atas nama kesadaran
diri sebagai perempuan.

Godaan dan Perlawanan

Tawangsri pun mengisahkan diri sebagai perempuan dari keluarga berkecukupan


tapi mesti mengalami godaan dalam pemaknaan keperawanan, cinta, dan trauma
keluarga. Tawangsri tumbuh dengan ketimpangan kasih dari sosok ayah dan ibu.
Ibu merupakan penopang dari kehidupan keluarga tapi harus menanggung derita
karena sosok ayah menuruti egoisme dan melakukan sejenis pengkhianatan
terhadap keluarga. Norma-norma konservatif membuat ibu Tawangsri sanggup
menempuhi nasib hidup dengan pasrah dan sedikit keluhan. Tawangsri tak bisa
menerima kondisi itu dan mulai melancarkan perlawanan demi harga diri
perempuan.

Perlawanan itu menemukan pembenaran pada sosok lelaki beranak satu.


Pertemuan tidak sengaja seperti menunjukkan jalan takdir untuk melabuhkan cinta
dan menguji makna keperawanan.

Kisah akhir menampilkan sosok Zhang Mey. Perempuan dari keluarga mapan ini
mengalami kisah cinta pahit karena kehendak keluarga dan kepentingan atas nama
etnisitas. Kisah percintaan dengan Jenggar terhenti demi pemaknaan tradisi
keluarga. Zhang Mey sadar dengan dilema ini meski kesadaran sebagai
perempuan modern menuntut ada kehendak bebas. Gairah cinta tak bisa
mengalahkan tradisi keluarga. Zhang Mey pun memberanikan diri melakukan
pemaknaan ulang atas keperawanan dengan pemasrahan diri terhadap Jenggar.

Novel ini lincah menampilkan godaan-godaan dalam pilihan kaum perempuan


untuk memaknai keperawanan dan hidup. Pengarang telah mengajukan dilema
dan ikhtiar mencari solusi dalam kegetiran pengorbanan dan risiko perlawanan.
Jalan hidup Ranting, Tawangsri, Gendhing, dan Zhang Mey mengingatkan
pembaca bahwa derita perempuan belum usai tapi kesadaran untuk melawan terus
ada dalam perubahan zaman. Novel Garis Perempuan menjadi refleksi dan
pengingat atas pemaknaan keperawanan dan harga (diri) perempuan. Begitu.

Bandung Mawardi, Pengelola Jagat Abjad Solo

Sumber: Lampung Post, Minggu, 19 September 2010


Posted by Udo Z Karzi at 6:36 AM 0 comments
Labels: buku, sastra
Kebudayaan, Kekuasaan, dan Kemajemukan
-- Tjahjono Widarmanto
Kebudayaan adalah warisan kita yang diturunkan
tanpa surat wasiat
(Rene Char, Penyair Perancis)

Kebudayaan merupakan sebuah konsep yang paling rumit. Pada mulanya,


kebudayaan adalah nasib dan baru kemudian manusia menganggapnya sebagai
sebuah tugas. Saat dianggap sebagai tugas itulah kebudayaan mengalami
pembaruan yang terus-menerus.

PADA awalnya manusia dianggap sebagai pewaris belaka, yang menanggung


beban kebudayaan dan akhirnya muncul kesadaran untuk membentuk dan
mengubahnya. Pewaris yang semula pasien dan kemudian menjadi agennya.
Pewarisan kebudayaan itulah yang disebut Clifford Geertz sebagai pola dari
pengertian dan makna-makna yang terjalin secara menyeluruh dalam simbol-
simbol (dalam artian luas) dan ditransmisikan secara historis. Pola pewarisan ini
kemudian berubah menjadi pendefinisian yang berulang-ulang yang secara kritis
mengukuhkan, mempertanyakan, bahkan membongkar ulang simbol-simbol
tersebut.

Di awal perkembangannya, kebudayaan rekat dengan kultivasi yaitu pemeliharaan


ternak, hasil bumi, dan ritual-ritual religius. Setelah era revolusi industri,
kebudayaan memiliki ranah yang terbentang luas, nyaris tak terbatasi.
Bersentuhan dengan kerohanian (religiositas) namun juga berkelindan dengan
aspek material (ekonomi dan kapitalistik) sekaligus berselingkuh dengan berbagai
ideologi. Konsep nasionalisme pada akhir abad ke-19 menandai perjumpaan
kebudayaan dan ideologi yang secara serta merta mengubah anggapan bahwa
kebudayaan adalah warisan. Jauh sebelum itu, kebudayaan belum mewarisi
sebuah konsep ideologi. Oleh sebab itu, kemunculan nasionalisme sangat
menentukan dinamika pemaknaan budaya.

Ideologi merupakan sistem pemikiran yang abstrak yang ditawarkan pada publik.
Merupakan sebuah visi yang komprehensif dalam memandang segala sesuatu.
Ideologi tidak mencerminkan dunia yang riil melainkan mempresentasikan
�hubungan-hubungan imajiner� individu pada dunia riil. Kemunculan ideologi
dalam ranah kebudayaan sejalur dengan kemunculan konsep negara dan
kekuasaan. Ideologi ternyata dapat menjadi sistem perlindungan kekuasaan yang
dimiliki penguasa. Merupakan alat yang ampuh untuk melestarikan sebuah
kekuasaan.

Saat ideologi yang anak kandung kebudayaan tersebut menjadi salah satu sistem
kekuasaan, saat itu pulalah kebudayaan dianggap sebagai sebuah salah satu peran
penting dalam legitimasi kekuasaan. Kebudayaan tidak lagi bersifat netral namun
bisa menjadi salah satu gurita kekuasaan.

Melihat kebudayaan yang pada perkembangan berikutnya tidak lagi merupakan


�wilayah suci� yang netral, muncullah paradigma baru yang menolak
kebudayaan sebagai sebuah alat. Paradigma itu beranggapan bahwa kebudayaan
sudah mengalami pendangkalan karena dikuasai dan hanya sebagai alat kekuatan
tertentu. Sebagai contohnya Karl Marx dan Tarcott Parsons yang melahirkan
pandangan budaya yang antikebudayaan.

Di sisi yang lain, masyarakat yang menjadi pewaris sekaligus pembaru


kebudayaan yang majemuk menghadapi tantangan sebuah proses yang
menjadikannya global. Ada ketegangan antara �menjadi dan ada� dalam
sebuah lokalitas yang majemuk dengan kekhasannya dengan �menjadi dan
ada� dalam sebuah ruang global. Ini berarti terjadi kegelisahan identitas
masyarakat majemuk yang dipaksa menjadi identitas global. Matinya
kemajemukan akan membuka peluang matinya kebebasan dan toleransi.

Gerakan kebudayaan tidak boleh berhenti pada pusaran membebaskan diri dari
pendangkalan. Tidak boleh hanya berpusar pada pembebasan diri sebagai sebuah
alat kekuasaan, namun gerakan kebudayaan juga harus mengembalikan
kemajemukan sebagai jati diri manusia. Kesadaran akan kemajemukan akan
melepaskan diri dari sikap absolut, akan melepaskan diri dari cara berpikir dan
sikap "paling benar". Persoalannya sekarang sudahkah kita mempunyai desain
kebudayaan yang memuat strategi yang jelas dalam membangun kemajemukan? n

Tjahjono Widarmanto, penyair

Sumber: Lampung Post, Minggu, 19 September 2010


Posted by Udo Z Karzi at 6:35 AM 0 comments
Labels: budaya

Saturday, September 18, 2010


Nyanyian Pulau-Pulau, Antologi Puisi 16 Wanita
DALAM dunia seni lukis dan sastra, komunitas wanita semakin marak dan
berkembang. Ada kelompok wanita pelukis dan wanita penulis. Akhir-akhir ini
beberapa kali diterbitkan antologi puisi karya wanita.

Salah satunya "Nyanyian Pulau-Pulau", antologi karya 16 Wanita Penulis


Indonesia, diterbitkan Yayasan Obor Indonesia, diluncurkan di Pusat Kesenian
Jakarta Taman Ismail Marzuki (PKJ-TIM), belum lama ini.

Enam belas wanita itu adalah: Titie Said (lahir 1935), Diah Hadaning (1940),
Yvonne de Fretes (1947), Free Hearty (1952), Rosni Idham (1953), Sastri Yuniarti
Bakry (1958), Iriany R. Tandy (1960), Medy Loekito (1962), Lili Taswa (1963),
Oka Rusmini (1967), Mezra E. Pellondou (1969), Mariana Lewier (1971), Rara
Gendis (1974), Murparsaulian (1978), Rahmatiah (1979) dan Hudan Nur (1985).

Senada judul buku, penulis puisi ini bermukim di berbagai pulau/propinsi yaitu
Nanggroe Aceh Darusalam, Padang (Sumatera Barat), Pekanbaru (Riau), Jambi,
Bengkulu, Jakarta dan sekitarnya, Yogyakarta, Bali, Kupang (Nusa Tenggara
Timur), Palu (Sulawesi Tengah), Lombok Timur (Nusa Tenggara Barat), dan
Ambon (Maluku).

Dibuka Ketua Umum KOWANI DR. Hj.Dewi Motik Pramono, M.Si, yang juga
senang menulis puisi, peluncuran ditandai dengan pembicara tunggal Eka
Budianta. Beberapa penulis puisi dari luar kota hadir dan membacakan puisinya.
Di samping itu, hadirin termasuk kaum pria membacakan puisi karya penulis
wanita.

Awalnya penyair kondang itu mengingatkan, pada hari ini, kita mengenang genap
4 tahun wafatnya Pramoedya Ananta Toer (30 April 2006), seorang figur yang
penting dalam sastra Indonesia.

Jika peluncuran ini diadakan pada tanggal 28 April, maka bertepatan dengan
peringatan hari wafatnya Chairil Anwar, yang selama bertahun-tahun
diperjuangkan untuk menjadi Hari Puisi Nasional. Sebelum disajikan sebanyak
100 judul puisi, penyair Rayani Sriwidodo sebagai kurator memberikan pengantar
dengan judul "Menikmati Keunikan dan Keindahan Pepohonan".

Ia berpendapat, sajak-sajak dalam buku ini seperti pepohonan, "ada pohon yang
kuat, ada yang lemah, ada yang kaya gizi rohaniah ada yang kaya suasana
profane, namun tetap memiliki andil memperkaya taman dunia". Sebagai editor
Yvonne de Fretes, sekaligus memberi pengantar sebagai Ketua Umum Wanira
Penulis Indonesia. Puisi pertama diawali Titie Said, penulis senior dengan judul
"Salimah Menggugat", menyusul puisi Diah Hadaning yang namanya tidak
terlepas dalam blantika puisi Indonesia.

Berantas Korupsi!

Wanita memang lebih berani menulis puisi yang tidak ditulis oleh pria. Seperti
puisi Sastri Yunizarti Bakry (Padang). Penyandang Anugerah Srikandi Tun
Fatimah dari Malaysia ini marah besar kepada orang lewat puisinya "Berlindung
di Balik Ayat-ayat".

Demikian juga dalam puisinya "Dalam Angka", antara lain tersirat : Aku cemas,
mestinya kebersamaanmu adalah kebersamaan kita/ tetapi aku terangkai jauh
dalam ketertinggalan yang tidak hendak kita perjuangkan bersama / Padahal kita
sudah sama-sama dengan lantang meneriakkan "Berantas Korupsi"

Oka Rusmini termasuk paling berani dalam mempertanyakan dan menggugat.


Dalam sajaknya berjudul "24 Juni" ia menyatakan pada bait paling akhir :
"Bersamamu, tak ada kasta dan agama. Bahkan Tuhan pun takut mendekat. Mari
jahit hatiku, sebelum seorang lelaki datang menawarkan sekeranjang bunga".

Yvonne de Fretes juga tersentuh dengan situasi dan kondisi Tanah Air lewat
puisinya antara lain "Ubud dan Kegelisahan", dan "Mimpi Buruk" (kenangan pada
konflik Maluku).

Antologi "Nyanyian Pulau-Pulau", menurut Eka menambah semarak karya sastra


Indonesia yang dihasilkan perempuan. Tetapi perlu ditambahkan catatan
kelemahannya juga. Puisi-puisi dalam buku ini kurang dibaca dengan teliti.
Terdapat salah ejaan dan salah tulis yang cukup mengganggu.

Ada juga nama terkenal yang mestinya tidak boleh keliru, yaitu Cilik Riwut, pada
puisi Hudan Nur. Sayang sekali tertulis beberapa kali Cilik Kriwut, sehingga
terkesan belum mengenal pahlawan dan mantan gubernur Kalimantan Tengah,
yang namanya diabadikan sebagai Bandara Palangkaraya.

Dalam antologi puisi ini terdapat karya-karya yang menunjukkan kematangan


bersikap sebagai sastrawan. Antara lain Medy Loekito dalam puisinya "Inginmu":
bila batu jadinya inginmu / jadilah batu pualam / mengabdi tanpa meluka // bila
air jadinya inginmu / jadilah air tanah / member tanpa meminta.

Salah satu kelemahan dalam antologi ini, yang banyak ditemukan adalah
dipakainya idiom-idiom pinjaman dari berbagai literature dan referensi sastra,
maupun ajaran-ajaran moral, keagamaan dan budi pekerti yang banyak beredar.
Hal itu menunjukkan perlunya sikap dan upaya yang lebih inovatif dan lebih
berani menjadi diri sendiri. (Susianna)

Sumber: Suara Karya, Sabtu, 18 September 2010


• 20 September 2010

Si Ayam
Ada seorang laki-laki yang merasa dirinya sebutir beras. Bila ini kurang
aneh, masih ada tambahannya: ia merasa diri sebagai sebutir beras dan
membayangkan ada seekor ayam besar yang membuntutinya, untuk
mematuknya.
Siang dan malam ia cemas dan curiga. Tiap kali ia mengunci pintu dan
jendelanya. Ia tak ingin tahu apa yang terjadi di jalan di sebelah rumah. Ia
menutup kupingnya bila ia dengar ayam mengais dan berkotek.
Setelah berbulan-bulan ia merasakan itu, istrinya membawanya ke seorang
psikiater. Selama 10 minggu lelaki itu diterapi, hingga akhirnya ia dapat
diyakinkan bahwa ia memang bukan sebutir beras.
Tapi tak semuanya beres. Sang psikiater bingung, sebab laki-laki itu tetap
saja ketakutan bahwa ia akan dipatuk si ayam besar.
"Kenapa masih ketakutan? Kan tuan sudah tahu, tuan bukan beras?"
"Benar. Aku bukan beras. Tapi si ayam mungkin masih menganggap
begitu."
Ini cerita fiktif tentang paranoia-tapi lebih dari itu, cerita bagaimana orang
percaya kepada hal yang paling aneh karena ia memang mau percaya.
Dunia di luar dirinya adalah dunia yang dibentuk menurut kecemasannya.
Informasi cuma penting sepanjang cocok dengan kepercayaannya bahwa si
ayam memang ada.
Tentu, kepercayaan itu jadi teror bagi dirinya. Tapi dengan itu ia dapat
alasan kenapa hidupnya tak menyenangkan. Ia bisa mengeluh terus-
menerus tentang keadaan tanpa melihat dirinya memang patut menjalani
hidup yang celaka.
Lagi pula, bayangan tentang si ayam memberinya kepastian. Hewan
khayali itu satu bentuk yang lebih bisa ia "pegang", dan itu
menenteramkan. Ia gentar menghadapi gerak hidup yang tak berbentuk,
yang acak, yang inkonsisten. Ia takut menghadapi khaos.
Dewasa ini kita berkali-kali menemukan sindrom beras & ayam itu,
terutama dalam diri orang-orang yang "beriman". Agama tampaknya
memberi peluang. Saya kira itu juga yang terjadi pada Terry Jones,
seorang pendeta dari gereja fundamentalis di Gainesville, Florida, AS,
yang berencana membakar Quran tiap hari.
Meskipun ia menulis buku Islam is of the Devil, ia mengakui ia tak tahu
sedikit pun tentang hukum Islam. Bahkan, seperti terdapat dalam rekaman
yang transkripnya diperoleh CBS News, sepanjang umurnya yang 51
tahun itu ia tak pernah bertemu dengan seorang muslim pun.
Baginya, informasi tak penting. Apalagi jika bertentangan dengan apa
yang diyakininya. Dan yang diyakininya adalah bahwa hidup terdiri dari
beras yang akan dipatuk dan ayam yang akan mematuk beras. Si ayam,
atau si Setan, ada di mana-mana. Dari transkrip bertanggal 10 Agustus
2010:
T: Dan Anda percaya bahwa apa yang tak datang dari Tuhan berarti datang
dari Setan? Benarkah?
J: Yah, saya kira begitu. Tapi ya itu bergantung pada apa yang Anda
maksud. Saya tak percaya bahwa baseball itu berasal dari Setan hanya
karena tak berasal dari Tuhan. Tapi, maksud saya, pada dasarnya,
umumnya, jika sesuatu tak datang dari Tuhan, itu dari Setan. Benar.
T: Apakah agama Hindu dari Setan?
J: Ya, tentu.
T: Agama Buddha?
J: Ya.
T: Bagaimana tentang agama Yahudi?
J: Ya.
Jones dan jemaatnya yang cuma 50 keluarga memusuhi siapa saja yang
berbeda dari dirinya. Sang pendeta selalu membawa sepucuk pistol ke
mana-mana. Pada Agustus 2009, dua anak dari jemaat Jones pergi ke
sekolah dengan mengenakan T-shirt bertuliskan "Islam is of the Devil"-
hingga mereka dilarang masuk kelas karena "melanggar aturan
berpakaian".
Ia mengakui mengikuti Yesus, tapi kita tak tahu Yesus yang bagaimana. Ia
pernah tinggal di Jerman dan mendirikan sebuah kongregasi di Kota
K�ln, Christliche Gemeinde K�ln (CGK), dari 1981 sampai 2008. Ia
didenda pengadilan kota itu karena memakai gelar "Doktor". Jones hanya
pernah dua tahun belajar di universitas negeri di Missouri dan tak pernah
dapat gelar apa pun di bidang teologi. Seorang pemimpin gereja di Kota
K�ln mengatakan, pendeta Amerika itu "tak memancarkan nilai-nilai Injil
dan Kristiani", dan hanya membuat dirinya jadi "pusat segala-galanya".
Menjadikan diri pusat, itu juga gejala seorang yang menyangka dirinya
akan dihabisi Musuh Besar. Dengan membayangkan adanya musuh
sedahsyat itu, ia menjadikan dirinya istimewa. Di sini tampak, imajinasi
diri sebagai sebutir beras (si lemah yang terancam) dan si ayam (si kuat
yang mengancam) sebenarnya bertaut sejak semula dalam pandangan
orang macam Terry Jones. Para bigot, Kristen atau Islam, begitu cemas
bahwa kepercayaan dan nilai-nilai mereka akan dihancurkan-dan sebab itu
menggelembungkan kekuatan diri dalam rasa benci.
Iman mereka kepada Tuhan adalah iman yang tertutup. Iman yang takut
menemui orang lain, dunia lain, karena cemas diri mereka akan jadi cair.
Sebab itu agama mereka adalah agama yang defensif. Terry Jones
membawa Injil dan pistol, Taliban dan pelbagai variasinya di Indonesia
membawa Quran dan golok. Ke luar, mereka galak. Ke dalam, mereka
represif. Mereka terus-menerus ingin mengukuhkan persatuan, sebab itu
anti-perbedaan di kaum sendiri. Mereka gemar melarang dan berseru
"awas".
Tak mudah meyakinkan mereka bahwa iman yang tertutup itu akhirnya
akan diterobos perubahan. Seperti ditunjukkan tokoh KH Ahmad Dahlan
dalam film Sang Pencerah, "agama itu proses". Benda-benda yang
dianggap "kafir"-biola, pakaian Barat, meja dan bangku sekolah, dan juga
kereta api-tak dapat ditolak selama-lamanya. Yang semula "kafir" pun jadi
bagian dari "Islam", bukan karena si kafir menyerah, tapi karena yang
Islam bukan jadi benteng, yang tertutup, tapi jadi bahtera yang mengarungi
lautan baru. Di dalamnya manusia bukan cuma sebutir beras yang
ketakutan dan bukan juga seekor ayam yang ganas.
Goenawan Mohamad
• 20 September 2010

Bangkitnya Abdullah Harahap dari 'Kubur'


KEDAI buku beratap seng itu terletak di bagian dalam pasar buku Pasar
Senen, Jakarta. Tanpa papan nama, seperti kebanyakan kedai buku di sana.
Sebuah meja besar memenuhi kedai itu. Di atasnya bertumpuk buku teka-
teki silang yang biasa dijajakan pengasong di terminal. Beberapa novel
remaja murahan tertata di salah satu rak. Di dinding lain ada beberapa
komik tipis Petruk-Gareng dan novel horor Mira Karmila yang sudah
berdebu.
Kedai buku itu dulu sangat terkenal di Senen. Inilah Gultom Agency,
penerbit yang pada 1990-an mencetak dan mengedarkan novel-novel horor
karya Abdullah Harahap. "Itu buku lama, Bang. Sudah tak ada lagi di
sini," kata seorang lelaki penjaga kedai itu pada Senin dua pekan lalu.
Novel horor Abdullah kini menjadi barang antik yang langka. Tak mudah
menemukannya di lapak-lapak pedagang buku. Kalau beruntung, Anda
masih bisa mendapatkannya terkubur di antara buku-buku loakan.
Beberapa penjaga lapak memperlakukannya sebagai buku kuno yang
harganya bisa empat kali lipat harga buku saku biasa. Bahkan ada yang
mengira pengarangnya sudah lama meninggal karena tak ada lagi buku
barunya yang terbit.
Tapi, "Akhir-akhir ini Abdullah kembali hip, sebagai salah satu merek
kitsch cool yang digemari kaum menengah, terutama di Jakarta," kata
Mikael Johani, mantan editor Metafor Publishing dan Jurnal Perempuan,
yang menjadi pembicara dalam "Bincang Tokoh Abdullah Harahap" yang
digelar Dewan Kesenian Jakarta di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Sabtu
tiga pekan lalu. Banyak anak muda Jakarta, kata Mikael, kini kembali
memburu novel Abdullah bersama roman-roman Fredy S. dan Maria
Fransiska layaknya harta karun dan mengunggahnya di Twitpic.
lll
Abdullah Harahap lahir di Sipirok, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, 17
Juli 1943. Dia lalu merantau ke Jawa dan kuliah di Institut Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Bandung, Jurusan Civic Hukum, tapi tak tamat. Saat
kuliah, dia nyambi sebagai wartawan di harian Gala, Bandung.
Penggemar roman Motinggo Busye itu sudah mengarang fiksi sejak duduk
di bangku sekolah menengah atas. Ketika kuliah, dia mengarang cerita
pendek, yang beberapa kali diterbitkan di harian Indonesia Jaya dengan
redaktur Ali Shahab-pengarang roman yang belakangan lebih dikenal
sebagai sutradara drama serial televisi Rumah Masa Depan.
Karier jurnalistiknya dimulai sebagai reporter di harian Gala, dan akhirnya
menjadi wartawan di Selekta Group, yang menerbitkan majalah Senang,
Stop, Detektif dan Romantika, dan Selekta di Jakarta. Di sini Abdullah
kerap meliput peristiwa kriminal, yang akan mempengaruhi gaya
penulisan novelnya.
Pada 1970-an itu, pasar buku Indonesia dibanjiri novel populer bertema
percintaan, yang sudah dirintis Motinggo Busye pada awal 1960-an.
Beberapa perempuan pengarang muncul pada masa ini, seperti Marga T.,
La Rose, Yati Maryati Wiharja, Marianne Katoppo, Titiek W.S., Maria A.
Sardjono, Mira W., Titie Said, dan Ike Supomo. Adapun lelaki pengarang
antara lain Motinggo, Ashadi Siregar, Ali Shahab, Asbari Nurpatria
Krisna, Eddy D. Iskandar, Yudhistira Adhi Nugraha, Remy Sylado, Teguh
Esha, dan Saut Poltak Tambunan.
Abdullah rupanya terseret arus besar ini dan tergolong produktif dalam
menghasilkan cerita pendek dan cerita bersambung yang dimuat di media
anggota Selekta Group. Cerita bersambungnya kemudian dibukukan oleh
Selekta dan beberapa penerbit lain dari "kelompok Pasar Baru". Dia
mengaku telah menerbitkan sekitar 50 judul novel pada dekade itu, seperti
Kekasih yang Hilang, Istriku Sayang Istriku Jalang, Lembutnya Dosa
Kotornya Cinta, Impian Seorang Janda, Penyesalan Seumur Hidup, dan
Kekasih Hatiku.
Menurut Abdullah, sebelum diterbitkan Gultom Agency, buku-bukunya
diterbitkan jaringan perbukuan yang disebut "kelompok Pasar Baru". Tapi
kelompok yang bermarkas di Pasar Baru, Jakarta, itu kini sudah tak ada.
Menurut para pedagang buku, bos kelompok itu sudah pindah usaha ke
perdagangan valuta asing.
Buku-buku itu dicetak dalam format buku saku murahan. Sampulnya
selalu dihiasi gambar perempuan cantik yang kadang ditemani seorang
lelaki. Pada Penyesalan Seumur Hidup, yang difilmkan dan menjadi
unggulan Festival Film Indonesia 1987, sampulnya juga disertai iklan
"Artis terbaik Dewi Yull mengatakan: Jika tidak membaca buku ini, Anda
akan menyesal seumur hidup".
Dalam Novel Populer Indonesia (1985), Jakob Sumardjo menyebut
Abdullah sebagai pengekor Motinggo dalam mempopulerkan novel
percintaan dengan melukiskan seksualitas yang lebih terbuka dan kisah
asmara yang manis serta menyisipkan tema gotik. Jakob menilai beberapa
karya Abdullah sebenarnya memiliki teknik bercerita dan gaya
penyampaian yang matang, tapi mungkin karena ia terlalu produktif,
beberapa karyanya tergelincir menjadi kekanakan dan berbau penulis
pemula.
Sebagian masyarakat menuding novel-novel populer ini terlalu banyak
menyuguhkan adegan ranjang. Abdullah mengakui bahwa di masa itu dia,
Ali Shahab, dan Motinggo kerap disebut penulis porno. "Pada masa itu Ali
Shahab pernah menulis tentang tante girang, saya menulis om senang,"
kata Abdullah, yang berkawan dengan kedua pengarang tersebut.
Tapi Jakob menilai novel dekade itu jauh lebih sopan ketimbang buku
saku 1960-an. "Novel-novel ini tidak berbahaya dalam arti �tidak
membangkitkan berahi'," tulisnya.
Namun satu karya Abdullah sempat dibawa ke Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat dengan tuduhan pornografi pada 1975. Karya itu berupa cerita
bersambung Budak dan Budak, yang dimuat di majalah Mayapada. Tokoh
cerita itu seseorang yang hiperseksual dan tentu saja di situ ada adegan
seksnya.
Paus Sastra H.B. Jassin tampil sebagai saksi ahli dan menilainya sebagai
karya sastra. "Adegan seks itu untuk menunjukkan �penyakit' sang tokoh.
Seperti kata Jassin, kalau tidak ada penggambaran itu, karakter itu hilang,"
ujar Abdullah. Berkat pembelaan Jassin, dakwaan atas karya itu dicabut.
Abdullah sebenarnya dapat disebut sebagai pionir novel gotik modern. Di
Indonesia, novel-novel yang mengangkat tema dunia gaib ini lazim disebut
"novel misteri", istilah yang juga digunakan Abdullah untuk menyebut
karyanya. Ketika novel-novel Abdullah diangkat ke layar televisi TPI pada
2001, nama acaranya pun Teve Misteri.
Penyebutan ini menyimpang dari definisi umum dalam teori sastra. Novel
misteri umumnya dikaitkan dengan atau menjadi bagian dari novel
detektif, seperti kisah-kisah karya Alfred Hitchcock dan sepak terjang
detektif Sherlock Holmes rekaan Sir Arthur Conan Doyle.
Sedangkan novel bertema dunia gaib biasanya dimasukkan ke keranjang
novel gotik, yang diperkenalkan oleh pengarang Inggris, Horace Walpole,
lewat novel Castle of Otranto (1764). Disebut gotik karena novel-novel itu
biasanya berlatar kastil atau biara dengan lorong-lorong gelap bawah
tanah, ruang tersembunyi, dan pintu-pintu jebakan. Unsur kengerian dan
kekerasan kerap menjadi menu utamanya.
Contoh karya klasik dari genre ini adalah Frankenstein karya Mary Shelley
dan Dracula karya Bram Stoker. Adapun pengarang masa kini yang
meneruskan tradisi itu antara lain Stephen King dan Anne Rice.
Dalam perkembangannya, genre ini bercampur dengan genre lain. Khusus
di Indonesia, genre ini bersilangan dengan genre cerita silat, seperti serial
Manusia Harimau karya S.B. Chandra atau serial Tujuh Manusia Harimau
karya Motinggo Busye.
lll
Novel gotik pertama Abdullah adalah Dikejar Dosa, yang dimuat di
tabloid Stop pada awal 1970-an dan diangkat ke layar lebar oleh sutradara
Wim Umboh. Sejak 1975, dia sepenuhnya meninggalkan roman bertema
percintaan dan menulis sekitar 70 judul cerita horor.
"Dalam novel misteri, saya lebih leluasa menulis. Pada roman itu ada tata
dan logika yang harus dijaga, sedangkan dalam menulis misteri kita bisa
suka-suka, sepuas-puas hati," katanya.
Tindakan para tokoh dalam novel horor tak harus sesuai dengan akal sehat,
karena melibatkan dunia arwah, yang mengizinkan tokoh-tokohnya
melangkah melampaui kodrat manusia. Bukunya antara lain Sumpah
Leluhur, Manusia Serigala, Menebus Dosa Turunan, Dendam Berkarat
dalam Kubur, Misteri Anak-anak Iblis, Langkah-langkah Iblis, Tarian
Iblis, Panggilan Neraka, dan Babi Ngepet.
Novel itu dicetak dalam format buku saku murahan setebal 100-300
halaman. Tahun terbit jarang disebut dan tanpa ISBN. Sampulnya biasanya
bergambar perempuan cantik dengan dandanan seksi dan manusia
berwajah seram atau makhluk yang menakutkan.
Menurut Abdullah, dia bisa menyelesaikan satu novel dalam satu bulan.
"Tapi, kalau enggak in, biar sudah sampai halaman 60, saya bisa berhenti
dan merobek naskah itu," ujarnya.
Tapi sering juga dia dikejar tenggat untuk menyelesaikan ceritanya karena
penerbit sudah membayar di muka. Penerbit pun tak peduli pada
kualitasnya. "Yang penting nama Abang ada di sana," kata satu penerbit
kepada Abdullah.
Abdullah kebanyakan menggali bahan novelnya dari cerita-cerita orang
atau legenda yang hidup di suatu daerah. "Kalau saya dengar ada cerita
yang menarik di suatu tempat, saya datang ke sana," ujarnya.
Metode wawancara kerap dia gunakan, misalnya bertanya kepada dokter
ahli untuk mendapat penjelasan soal penyakit tertentu atau kepada
pengacara untuk kasus tertentu.
Novel Abdullah biasanya berbicara tentang kutukan yang jatuh pada
seseorang atau mengenai arwah penasaran yang terus melakukan
pembunuhan hingga dendamnya terbalas. Lalu ada tokoh lain, sering kali
wartawan, yang melacak asal-usul kutukan itu dan dibantu dukun untuk
membebaskannya. Alur ceritanya sering bergaya detektif. Pola ini dia
terapkan karena pengalamannya sebagai wartawan kriminal yang
mengenal lika-liku penyelidikan polisi.
Misteri Perawan Kubur, misalnya, berpusat pada Larasati, perempuan
yang menyebabkan matinya beberapa penduduk Desa Cikalong Wetan di
kaki Gunung Galunggung. Warga desa membunuhnya dan mengubur
mayatnya. Rupanya, perempuan itu memiliki kekuatan gaib yang dapat
memindahkan rohnya ke orang lain. Dengan cara itu, ia terus hidup dan
membunuh banyak orang. Kasus ini dilacak wartawan Ramandita.
Abdullah melihat banyak masalah di dunia nyata, seperti kasus yang
tersangkut di Komisi Pemberantasan Korupsi dan kejaksaan, tak pernah
tuntas.
Sebagai berita, masalah itu mungkin akan berhenti di satu titik dan akan
raib karena tak ada yang bertindak. "Kalau saya tulis di novel, bisa kita
bunuh saja para penjahat itu, kita kirim saja hantu-hantu," katanya.
lll
Abdullah berhenti menulis novel, meski tidak total, pada 1990-an dan
sibuk membuat skenario untuk siaran televisi, khususnya yang bertema
roman dan horor. Sejak itu pula novelnya mulai langka di pasaran.
Pasar novel horor lalu diisi beberapa pengarang baru, seperti Tara Zagita
(Kereta Hantu dan Misteri Roh Jalangkung), Taufan Halilintar (Misteri
Gadis Impian), Maya Lestari (Kutukan Sang Roh dan Misteri Dukun
Santet), Teguh S. (Manusia Penghisap Darah dan Misteri Pena Berdarah),
Maria Fransiska (Arwah Penasaran), dan Mira Karmila (Dendam
Keturunan Setan dan Jeritan Hutan Keramat). Karya mereka umumnya
masih mentah dan lebih banyak mengumbar kengerian. Jalan ceritanya
polos dan penokohannya lemah.
Lima tahun terakhir, muncul satu nama yang memasuki genre ini, yakni
Sekar Ayu Asmara, lewat Pintu Terlarang dan Kembar Keempat-keduanya
diterbitkan Gramedia. Sekar lebih elegan dalam bercerita, kaya dalam
penokohan, dengan plot lebih rumit. Temanya tak melulu soal arwah
penasaran, tapi juga alam pikiran penderita skizofrenia dan inses.
Lalu muncul Intan Paramaditha dengan kumpulan cerita pendek Sihir
Perempuan. Intan kemudian berkolaborasi dengan Eka Kurniawan dan
Ugoran Prasad dalam proyek pembacaan kembali karya Abdullah. Karya
mereka sebelumnya dimuat di lembar sastra beberapa koran. Setelah tujuh
bulan, mereka melahirkan kumpulan cerpen Budak Setan, yang
menampilkan keragaman tema dan teknik bercerita dalam cerita horor.
Gairah terhadap genre horor ini disambut Paradoks, anggota Kelompok
Kompas Gramedia, dengan meluncurkan Misteri Perawan Kubur, karya
lama Abdullah, yang dilabeli "edisi terbatas" pada bulan lalu. "Akan
diterbitkan juga Misteri Sebuah Peti Mati dan Misteri Lemari Antik. Ini
langkah awal. Nanti kami terbitkan pula buku lama dan buku baru saya,"
kata Abdullah.
Abdullah Harahap tampaknya telah bangkit dari kuburan buku loakan.
Kurniawan
• 20 September 2010

Gembel-gembel Beijing, Suatu Hari


Pria berkaus putih keruh merebahkan tubuhnya di bangku taman kawasan
pedestrian di luar tembok Kota Terlarang, Beijing, Republik Rakyat Cina.
Handuk putih menyampir di sandaran bangku tempat dia tidur pada siang
bolong itu. Tas hitam menyangga tengkuk dan kepalanya, menggantikan
tugas bantal.
Ia seperti ingin melupakan Beijing yang sedang tertimpa cuaca ganjil.
Siang itu, cuaca demikian panas. Menurut badan meteorologi, dalam
sepuluh hari terakhir akhir Juli itu suhu berada pada titik 38 derajat
Celsius. Biasanya ketika musim panas tiba suhu "cuma" 35 derajat.
Terlihat di mana-mana orang gerah, berkipas, membuka baju, atau
berpayung. Tapi aneh, pria itu terlelap.
Lima puluh meter dari pria itu, ada lelaki sepuh duduk di bangku taman
lain. Kepalanya doyong ke kanan dan memejamkan mata. Hanya celana
pendek hitam yang melindungi tubuh kurusnya yang tak terurus.
Ya, mereka gelandangan. Dua orang gelandangan itu sebagian dari
puluhan lainnya yang menumpang hidup di taman-taman sekeliling Kota
Terlarang, salah satu pusat wisata di Beijing. Mereka bagian dari ratusan
orang miskin yang menyandarkan hidup di sana, entah sebagai pengemis,
pemulung, penjual asongan air kemasan dalam botol, entah pengecer
koran.
Mereka adalah sisa-sisa orang miskin yang "lolos" dari gerakan
pembersihan yang dilakukan pemerintah Cina sejak menjelang peringatan
50 tahun kemerdekaan Republik Rakyat Tiongkok sebelas tahun lalu.
Sebelum itu, pengemis, pedagang asongan, dan pengamen banyak
dijumpai di persimpangan jalan. Sejumlah kawasan kumuh, terutama yang
tampak dari jalan raya, dibongkar habis. Urbanisasi ke Beijing juga
diawasi ketat. Orang miskin di pedesaan Cina dan di provinsi-provinsi
miskin di kawasan barat Cina dilarang masuk Beijing.
Semua jalan raya dibikin lebar, menjadi tiga, empat, bahkan enam lajur.
Yang menarik, hampir semua jalan di Beijing lurus, sedikit sekali yang
berkelok. "Di Beijing yang ada jalan tegak dan lurus," kata Tommy Lie,
seorang warga Beijing sembari tangannya membuat lambang tegak lurus
di depannya. Ini beda dengan Shanghai, banyak jalan berkelok-kelok.
Sejak itu, Beijing tertib dan bersih.
Pembersihan Beijing dari orang dan kawasan miskin kian gencar ketika
kota ini membedaki diri demi Olimpiade pada Agustus dua tahun lalu.
Olimpiade Musim Panas 2008 adalah titik balik Beijing. Pemerintah Cina
menganggap pesta olahraga bangsa-bangsa seluruh dunia ini sebagai
lambang keterbukaan negara itu. Mereka membawa angin perubahan
"Beijing Baru". Beijing yang lebih megah dan wah.
Separuh dari jutaan penduduk Cina tersingkir dari perkampungan
tradisional (hutong) mereka dan digantikan dengan berbagai
kondominium, mal, serta gerai makan dan minum cepat saji produk
Amerika. Pengendara sepeda berkurang, sedangkan jumlah lapangan golf,
tempat ski, klub dansa, dan spa makin banyak.
Menjelang perhelatan akbar olahraga musim panas sedunia itu, tinggal
1.500 hutong. Padahal dulu setidaknya ada 10 ribu hutong. Kini jumlahnya
terus menyusut. Memang, setelah Partai Komunis menang di Cina pada
1949, pemerintah mengambil alih kepemilikan hutong. Penghuni hutong
tak lagi memiliki rumah sendiri.
lll
Beijing atau Pinyin atau Peking adalah kota yang struktur administrasinya
setingkat provinsi, mirip DKI Jakarta. Kota ini berpenduduk sekitar 14 juta
jiwa dan merupakan kota terbesar kedua di Cina setelah Shanghai. Beijing
adalah pusat politik, pendidikan, dan kebudayaan di Cina. Sedangkan
Shanghai dan Hong Kong pusat perekonomian. Beijing ibu kota bagi
negeri berpenduduk hampir 1,5 miliar orang ini. Pada 1 Oktober nanti
Republik Rakyat Cina berusia 61 tahun.
Wajah Beijing yang dulu identik dengan gerobak dan sepeda ontel orang-
orang miskin berubah menjadi kota yang bisa dibilang serba digital. Bus
kota dan kereta bawah tanah menjual karcis dengan sistem digital. Peta,
petunjuk jalan, dan iklan di stasiun serba digital. Dulu, Beijing cuma
punya satu jalur kereta bawah tanah. Menjelang penyelenggaraan
Olimpiade, Beijing membangun sembilan lagi jalur baru. Untuk
mengelilingi Beijing yang luasnya 22 kali Jakarta, seorang penumpang
cukup membeli tiket dua kali.
Berkat Olimpiade Beijing, semua tanda, pengumuman, dan nama stasiun
menggunakan bahasa Inggris, selain bahasa Mandarin. Olimpiade juga
menjadi momentum buat Beijing mengharamkan sepeda motor melintasi
jalanan di kawasan dalam kota. Alasannya, sepeda motor kerap dipakai
penjambret melakukan aksinya. Setelah menjambret, biasanya mereka lari
ke kawasan perumahan kumuh dengan gang-gang sempit yang tidak bisa
dilalui mobil.
Menjelang Olimpiade, Beijing berbenah. Warisan Cina era tua diperbaiki
habis-habisan. Pemerintah Kota Beijing memasok anggaran khusus satu
miliar yuan untuk proyek pembangunan kembali gedung lama dan
prasarana kota. Wakil Direktur Komisi Pembangunan Kota Beijing Zhang
Jiaming mengatakan, "Kami perbaiki 40 kawasan rumah lorong dan 140
taman."
Beijing pun membangun stadion raksasa untuk pesta megah olahraga
musim panas sedunia dua tahun lalu. Kini stadion itu menjadi landmark
baru Beijing era modern setelah Kota Terlarang dan Tembok Raksasa.
Stadion Nasional Beijing, demikian nama resminya, menjadi semacam
monumen sukses Cina menyelenggarakan Olimpiade. Orang juga
mengenalnya sebagai Bird Nest Building atau Niao Ciao. Sebuah gedung
berkonstruksi baja yang terinspirasi oleh sarang burung walet. Di sinilah
dulu upacara megah pembukaan dan penutupan Olimpiade berlangsung.
Cina mengeluarkan pundi-pundi hingga sekitar Rp 4,8 triliun untuk
membangunnya.
Stadion Nasional berada dalam satu kawasan dengan Stadion Tertutup
Nasional dan Pusat Akuatik Nasional. Tiga bangunan ini menyatu dengan
Gedung Pertemuan, Pusat Olahraga, dan Gedung Budaya Wukesong
Beijing, sebuah kawasan yang kemudian diberi nama Taman Olimpiade.
Enam lokasi utama ini dibangun dengan biaya US$ 2,1 miliar atau sekitar
Rp 19 triliun. Fantastis!
Alun-alun superluas membentang. Sejauh mata memandang belum juga
ditemukan ujung Taman Olimpiade pada saat Beijing berkabut, akhir Juli
lalu. Setidaknya 20 ribu orang berkunjung per hari. Pada musim liburan
musim panas akhir Juli lalu, kunjungan makin banyak. Orang-orang dari
pelosok Cina berduyun-duyun mengunjungi kemegahan stadion sarang
burung itu. Turis asing pun terus mengalir. "Luas dan megahnya
menakjubkan," kata Jodie O'tania, seorang pelancong.
Kemewahan stadion ini didukung patung kontemporer di Taman
Olimpiade. Ada dua puluh patung. Dua tahun lalu, sebagai bagian dari
cara Beijing berdandan menyambut Olimpiade, Institut Seni Patung Cina
mengundang 20 pematung top dunia untuk membangun 20 karya
monumental. Salah satunya adalah pematung top Italia, Alfio Mogelli.
lll
Ekonomi Cina memang sedang tumbuh melesat. Akhir Juli lalu, Bank
Dunia membuat laporan yang mengatakan pertumbuhan ekonomi Cina
telah membantu negara-negara berkembang di Asia Timur pulih dari krisis
global. Tapi Bank Dunia tetap mengingatkan Cina agar tak buru-buru
mencabut kebijakan propertumbuh-an. "Terima kasih sekali kepada Cina.
Kebanyakan produksi, ekspor, dan kesempatan kerja di sini telah kembali
ke tingkat sebelum krisis," tulis laporan lembaga pemberi pinjaman yang
berbasis di Washington.
Laporan itu menyebutkan perekonomian Cina tumbuh 10,7 persen pada
kuartal keempat 2009. Ini meningkatkan perekonomian, terutama melalui
permintaan impor dari Cina yang terus menanjak. Pertumbuhan ekonomi
Cina ini ikut mengatrol pertumbuhan ekonomi di negara berkembang di
Asia Timur.
Wilayah itu meliputi Vietnam, Filipina, Thailand, Indonesia, dan
Malaysia. Sehingga Asia Timur memimpin pertumbuhan ekonomi global
tahun. Bank Dunia pun memperbarui target pertumbuhan tahun ini
menjadi 8,7 persen. Ini melebihi target yang ditetapkan pada November
tahun lalu sebesar 7,8 persen.
Cina terus membangun. Tahun ini Negeri Paman Mao Tse Tung ini
melakukan investasi lebih dari US$ 100 miliar atau sekitar Rp 930 triliun
pada 23 proyek infrastruktur baru. Sebagian besar untuk memacu
pertumbuhan kawasan barat, meliputi Xinjiang, Tibet, Mongolia Dalam,
Sichuan, dan Yunnan. Daerah ini lebih miskin dibanding kawasan timur
Cina. Ini sekaligus untuk mendorong naiknya permintaan dalam negeri.
Perdana Menteri Wen Jiabao mengumumkan ini pada Juli lalu.
Menurut Wen Jiabao, ekonomi Cina menghadapi situasi sangat rumit.
Ekonomi Cina memang stabil. Tapi lambannya pemulihan ekonomi global
dari yang diperkirakan berimbas pula pada Cina. Survei terhadap manajer
pembelian dua bulan lalu juga menunjukkan kegiatan pada industri
manufaktur juga melemah.
Uang 682,2 miliar yuan itu akan digunakan untuk membangun rel kereta
api, jalan, bandara, tambang batu bara, pusat pembangkit listrik tenaga
nuklir, dan jaringan listrik. Cina menganggarkan 2,2 triliun yuan untuk
120 proyek besar sejak tahun 2000 hingga 2009. Media pemerintah Cina
melaporkan pada Juni lalu, Beijing akan mengalirkan bantuan ekonomi
sekitar 10 miliar yuan untuk Xinjiang. Bantuan mengucur ke rakyat mulai
tahun depan.
Ini bagian dari upaya meningkatkan standar hidup suku minoritas Uighur.
Bayaran atas dilarangnya orang-orang miskin menyerbu Beijing yang wah.
Pemerintah Cina tampak berupaya keras menjadikan Beijing steril dari
gembel di jalanan. Namun upaya ini belum sepenuhnya berhasil.
Selain pengemis yang tidur di taman-taman seputar kawasan Kota
Terlarang di atas, banyak pemulung yang berkeliaran di seputar stadion
mewah bekas Olimpiade. Mereka memungut botol-botol bekas dari tempat
sampah atau dari orang yang sembarang membuang sampah. Ada yang
mencangklong karung sembari berputar dari tempat sampah yang satu ke
tempat sampah yang lain. Ada juga yang menggunakan sepeda
bergerobak, menunggu bekas kemasan makan dan minum di warung-
warung tenda ditinggal pembelinya.
Di beberapa tempat di Taman Olimpiade, tampak warga Cina yang masih
terlihat ndeso antre panjang ingin difoto kamera digital. Tukang foto
keliling laris manis. Selama musim panas Juli itu, begitu banyak gembel
menuju taman-taman Kota Beijing untuk sekadar mendinginkan badan.
Warga miskin Beijing itu tampak duduk-duduk bertelanjang dada, tak
ubahnya orang kampung di Jawa atau orang Tionghoa papa yang berserak
di Pontianak hingga Singkawang, Kalimantan Barat.
Sunudyantoro (Beijing)
• 20 September 2010

Mekar ke Pinggiran Kota


Hamparan hijau tanaman yang merambat di halaman depan pabrik Nokia
itu seperti hendak melawan kabut putih polusi Beijing. Daun dari aneka
jenis pohon meliuk-liuk diembus angin. Tak jauh dari situ, ada perusahaan
elektronik dan telekomunikasi Foxconn, Excoteq, dan Centurion. Ada juga
perusahaan alat elektronik Sanyo dan kargo internasional Fedex.
Pabrik itu berada di Xingwang Industrial Park. Dua puluhan perusahaan
pemasok mengitarinya dalam kawasan satu kilometer. David Tang, wakil
pemimpin perusahaan, mengatakan konsep kawasan industri internasional
mengintegrasikan perusahaan induk dengan pemasok, juga dengan
perusahaan lain yang mendukung proses produksi hingga distribusi.
Menempatkan perusahaan dengan konsep terintegrasi dalam sebuah
kawasan adalah bagian dari upaya menghasilkan produk dengan standar
dan kualitas tinggi, sama dengan produk dari belahan dunia lain. "Proses
dan kualitasnya sama persis. Tak ada lagi beda antara produk Cina dan
produk negara lain," kata David Tang.
Xingwang Industrial Park adalah kawasan industri yang masuk kawasan
pengembangan ibu kota Cina, Beijing Economic and Technological
Development Area. Ini adalah sebuah kawasan industri di daerah Yizhuan
seluas 75 hektare yang mulai dibangun pada Mei sepuluh tahun lalu.
Sejumlah perusahaan berkongsi dalam pembangunan kawasan ini.
Setidaknya 10 miliar yuan ditanam untuk kawasan ini. Pembangunan
kawasan ini selesai dalam tiga tahun. Nokia Beijing adalah perusahaan
yang pertama menempati taman industri ini. Beijing Economic and
Technological Development Area hanya berjarak 3,5 kilometer dari jalan
lingkar empat kota Beijing. Dari Lapangan Tiananmen, tempat
pembantaian mahasiswa Cina oleh tentara pembebasan Cina pada 1989,
jaraknya sekitar 16,5 kilometer. Dari bandara internasional Beijing "cuma"
25 kilometer. Angkutan kereta api juga mendukung.
Kawasan ini terintegrasi dengan Pelabuhan Tianjin, pelabuhan
perdagangan internasional terbesar di Cina Utara. Pelabuhan ini terhubung
dengan lebih dari 300 pelabuhan dari 170 negara dan wilayah serta
memiliki kapasitas kontainer sejuta per tahun. Flan Gao, seorang eksekutif
di sebuah perusahaan di kawasan ini, mengatakan pabrik di Beijing sangat
efisien. "Sebab, industri berada dalam satu kompleks," kata dia.
Tak jauh dari Xinwang Industrial Park, masih di dalam Beijing Economic
and Technological Development Area, sebuah kawasan tanah kosong yang
luas sedang dipagari seng bercat kuning. Di pagar setinggi lima meter ini,
pada jarak tertentu ada simbol dan tulisan sebuah perusahaan yang tak
asing buat orang Indonesia, Lippo. Hamparan kaveling tanah milik Lippo
ini sejajar dengan jalan lingkar yang sangat lebar dan berbatasan langsung
dengan akses ke jalan tol. Blok tanah luas milik Lippo ini persis di
belakang taman yang menjadi akses utama menuju area ini. Pada bagian
tengah taman ini terdapat monumen dengan tulisan besar-besar "BDA,
Beijing Economic and Technological Development Area". Sebuah
kawasan pengembangan Kota Beijing.
Lippo sedang membangun kawasan komunitas internasional terpadu. Dari
salah satu pintu di ujung tanah berpagar milik Lippo, sejumlah orang dan
mesin berat mulai menggarap fondasi konstruksi bangunan. Masuknya
Lippo ke Beijing tak aneh karena Mochtar Riady, pendiri Lippo, memiliki
hubungan dekat dengan Wali Kota Beijing Li Qiu. Pada Desember tahun
lalu, Li Qiu berkunjung ke Township Development Lippo Village di
Tangerang, Banten. Dia kini memang bukan lagi wali kota.
Wali Kota Beijing Liu Qi, saat meresmikan Beijing Economic and
Technological Development Area ini, menyatakan bahwa kawasan
tersebut penting untuk menarik investasi asing. Beijing menyambut baik
dan mendukung pebisnis asing untuk berinvestasi di Beijing. "Beijing
terus membuat kemajuan segar dalam meluncurkan usaha bersama dan
proyek koperasi, khususnya di bidang teknologi tinggi," katanya.
Sunudyantoro (Beijing)
• 20 September 2010

Potret Kere Silk Street


Gadis cilik berpakaian lusuh ini bergerak lincah. Usianya sekitar dua belas
tahun. Ia awas terhadap orang-orang berwajah bukan Cina yang baru
keluar dari gedung pusat belanja murah Silk Street, Beijing. Bocah baru
gede ini berlari dari dekat pintu keluar hingga gerbang halaman depan
pasar yang sekelas dengan Pasar Tanah Abang di Jakarta atau Pasar Turi
di Surabaya ini.
Kadang ia mengejar hingga ke sisi kiri gedung bila melihat orang yang ia
kira pantas sebagai turis yang sedang mencari kafe atau restoran. Ia pepet
terus orang-orang berwajah asing yang keluar dari pintu samping pusat
belanja hingga ke tempat antrean mendapatkan taksi. Kepada siapa pun,
tak peduli dari bangsa apa, ia selalu berbahasa Mandarin. Ia berkata-kata
sembari menatap tajam lawan bicara.
Bahasa isyarat yang selalu ajek ketika sedang berjalan di samping orang
yang ia kejar adalah memajumundurkan ujung jari yang terkuncup di
depan mulutnya, sampai orang yang ia kejar memberinya recehan yuan.
Atau, hingga ia yakin bahwa orang itu memang tidak sedang ingin
memberinya uang. Ketika ditanya siapa namanya dengan bahasa Inggris,
remaja itu bilang, "Nama saya Ang." Nama pasaran buat bangsa Cina.
Barangkali, karena tiap hari berinteraksi dengan pelancong asing, Ang
sedikit tahu bahasa Inggris untuk hal-hal dasar, nama misalnya. Ang
adalah satu dari belasan pengemis, tukang ojek, pedagang acung, atau
bahkan copet yang berkeliaran di Pasar Jalan Sutra, Beijing, ini. Di tempat
belanja ini orang bisa belanja dengan menawar harga hingga turunnya tak
terkira. Syaratnya, belanja dengan daya tawar kukuh dan tebal muka untuk
terus menawar. Dompet yang ditawarkan penjual 80 yuan, misalnya, bisa
kena di harga 9 atau 10 yuan.
Pasar ini berada di pojok kanan ujung Jalan Sutra yang bermuara dengan
jalan utama gedung-gedung pencakar langit Beijing. Pasar ini seolah
menjadi pertemuan sempurna antara sisi gemerlap Beijing dan sisi lain
yang muram dan papa. Di sinilah orang-orang pelesiran dari latar belakang
kulit putih, cokelat, hitam, ataupun kuning bertemu. Orang pun bisa
nongkrong minum kopi ala Starbucks atau bercengkerama di kafe-kafe
gaya Eropa lain.
Keperkasaan modal dipertontonkan kota terbesar kedua Tiongkok setelah
Shanghai ini. Ada simbol perusahaan elektronik multinasional LG
bertengger di pucuk hotel menjulang ke angkasa, tak jauh dari situ. Di
seberang lain dari pojok Pasar Jalan Sutra, simbol restoran waralaba
bersimbol M dengan panel lampu berpendar-pendar. Mobil mewah
Mercedes-Benz, BMW, Nissan Cedric, Toyota Lexus, dan sejumlah merek
top lain lalu-lalang seolah tiada henti.
Tapi di sini pula kere kecil seperti Ang bejibun banyaknya. Malam itu
Ang, misalnya, bersaing dengan Lim Dang. Lelaki sedikit kerempeng ini
wajahnya mulai berkerut. Ia berumur lima puluhan tahun. Jam terbang
Lim lebih lama untuk urusan meminta-minta. Meski tua, kegesitan Lim
mengejar "mangsa" turis asing tak kalah dibanding Ang. Seperti Ang pula,
ia bergerak dari pintu utama ke arah samping bangunan pasar atau
sebaliknya.
Tak jarang Ang dan Lim berebut dalam satu rombongan turis. Jika
memburu satu grup turis berisi lima orang, misalnya, bisa jadi Ang
meminta-minta pada orang yang berada di ujung kiri, sedang Lim di ujung
kanan. Ang, Lim, dan sejumlah pengemis lain kerap pula berebut sedekah
dari orang yang sama yang mereka perkirakan "dermawan". Jika seorang
turis memberikan uang recehan kepada seorang pengemis, bisa dipastikan
pengemis lain segera mengerubutinya untuk memperoleh pemberian
serupa.
Beda dengan Ang yang bicara nyerocos dengan bahasa Mandarin dan
bahasa "Tarzan", Lim bisa mengucapkan beberapa penggal bahasa Inggris.
Tapi kata-katanya memang itu-itu saja. "Money, money, money...." Jika
orang yang ia kejar-kejar tak segera memberinya uang, Lim berusaha
meyakinkan bahwa uang yang ia minta tak banyak, "One dollar, one
dollar, please!" Meski ternyata uang recehan pun tak segera didapat, Liem
terus mengiba dengan kata bahasa Inggris yang juga ia ulang-ulang, "For
food, for food...."
lll
Potret susahnya hidup di Beijing itu juga bisa tecermin dalam wajah-wajah
ojek sepeda ontel di Silk Street atau Jalan Sutra. Perhatikan remaja
tanggung yang menawarkan jasa ojek itu. Dari sadel sepeda ontel butut
miliknya, matanya awas menelisik orang-orang yang keluar dari pintu
utama pasar. Pintu utama ini pada jarak lima meter terhalang kaca
transparan. Sehingga pengunjung yang keluar gerbang bisa memilih ke
arah kiri atau kanan. Ia berada di area halaman depan pasar sejak sejam
sebelum pasar tutup pukul sepuluh malam. Sebentar-sebentar ia pindah
posisi. Semula persis di depan kaca gerbang. Lalu pindah agak ke kiri atau
sedikit ke kanan pintu utama. Tapi tak lama kemudian ia menghilang dari
halaman.
Selang beberapa menit ia muncul kembali. Seorang ibu berwajah
Tionghoa membawa belanjaan. Tanpa banyak omong, remaja tanggung itu
ia dekati. Dua tentengan tas plastik segera pindah ke bagian sepeda.
Perempuan dan remaja pengojek tadi beriringan keluar halaman pasar
mengambil arah kanan.
Tengok pula bagaimana pedagang asongan beraksi. Seorang perempuan
Cina empat puluhan tahun terlihat menawarkan jam Rolex buatan Cina
kepada sejumlah laki-laki berwajah Arab yang tengah duduk-duduk di
kolam halaman Pasar Silk Street. Memang banyak sekali ditawarkan jam
Rolex tiruan di sejumlah tempat wisata di Beijing, dan kabarnya di hampir
seluruh Cina. Si perempuan berusaha meyakinkan lelaki kulit hitam bahwa
Rolex yang ia jual itu asli tapi murah.
Penjual bilang, harga hari ini lebih murah dibanding sehari sebelumnya.
Kemarin ia jual dengan harga 20 yuan, tapi hari itu ia banting tinggal 10
yuan. Sepertinya, lelaki kulit hitam tadi sudah mengenal lagak langgam
penjual Rolex Cina. Ia tak nyaman dengan penjual Rolex yang terus
mengejarnya. "Kemarin dua puluh, hari ini sepuluh, besok lima. Hah...,"
kata dia setengah berserapah sembari mengangkat bahu.
Rupanya kegaduhan kecil ini mengundang perhatian sejumlah polisi yang
punya pos di pojok perempatan Silk Street. Tiga polisi bergerak ke
halaman pasar.
Seiring dengan itu, penjual Rolex, beberapa pengemis, dan tukang ojek
segera menyingkir ke sisi lain. Mereka menghindar sambil sekali-sekali
menengok ke belakang. Sepertinya mereka biasa diusir polisi atau petugas
ketertiban Kota Beijing. Setelah yakin bahwa polisi tak lagi hendak
menghalau, apalagi mengejar, mereka pun kembali ke Pasar Jalan Sutra.
Mereka baru beranjak setelah pasar tutup dan malam pun mulai berselimut
sepi.
Ketika pengunjung habis, sebagian dari mereka menuju ke trotoar Jalan
Sutra. Trotoar bertaman ini tampak terawat. Tapi lampu di sana remang-
remang bahkan cenderung gelap. Di seberang pasar, restoran, panti pijat,
salon, dan diskotek kelas sedang seperti memanggil-manggil orang untuk
berkunjung. Dan sejumlah pengemis kembali menyambut, membangkitkan
kekagetan. Mereka orang jompo, duduk bersila, berpakaian lusuh,
menengadahkan tangan dan menyiapkan kaleng kosong di depannya untuk
menampung uang receh.
Sunudyantoro (Beijing)

You might also like