You are on page 1of 32

LAPORAN PRAKTIKUM EKOLOGI

INVENTORY DAERAH ALIRAN SUNGAI


DI KABUPATEN BANYUMAS

Kelompok : 16
Lokasi : Pelus IV (Pagi)
Dosen Pendamping : Dr.rer.nat. W. Lestari, M.Sc.
Assisten : Catur

Nama NIM
Andri Prajaka Santo B1J008082
Anistia Rahmadian Ulfa B1J008083
Rosi Istiqomah B1J008084
Dayu Ardiyuda B1J008086
Ayunita Ulfadewi B1J008087

Laboratorium Ekologi, Fakultas Biologi


Universitas Jenderal Soedirman
Purwokerto
2010
Daftar Isi

Hal

Daftar isi

Pendahuluan

Materi dan Metode

Hasil dan Pembahasan

ACARA 1. EKOSISTEM

a. Tipe pemanfaatan lahan


b. Pemodelan interaksi antara factor abiotik dan abiotik
c. Deskripsi komponen penyusun ekosistem

ACARA 2. KOMUNITAS

a. Kekayaan species
b. Kelimpahan atau kepadatan species
c. Dominansi

ACARA 3. POPULASI

a. Struktur populasi
b. Piramida populasi berdasarkan ukuran

ACARA 4. FAKTOR LINGKUNGAN

ACARA 5. DISTRIBUSI ORGANISME

Daftar Pustaka
PENDAHULUAN

DAS merupakan sumberdaya darat yang sangat komplek dan dapat


dimanfaatkan oleh manusia untuk berbagai peruntukan. Setiap anasir dalam DAS
memerlukan cara penanganan yang berbeda-beda tergantung pada watak,
kelakuan dan kegunaan masing-masing. Sebagai contoh, ketrampilan dan
pengetahuan anasir manusia dapat menyuburkan tanah yang tadinya gersang.
Namun karena berlainan kepentingan, maka dapat terjadi bahwa suatu tindakan
yang baik untuk suatu anasir DAS tertentu justru akan merugikan jika diterapkan
pada anasir DAS yang lain. Sebagai contoh, penanaman jalur hijau untuk
melindungi tebing aliran terhadap pengikisan atau longsoran, dapat mendatangkan
kerugian atas pengawetan sumberdaya air karena meningkatkan transpirasi yang
membuang sebagian air yang dialirkan. Hal ini menunjukkan bahwa perencanaan
pemanfaatan DAS harus bersifat komprehensif, yang lebih mementingkan
pengoptimuman kombinasi keluaran (optimization of the combined output) dari
pada pemaksimuman salah satu keluaran saja (Tedjowulan dan Suwardji,
unpublished).
Praktikum ekologi yang dilakukan adalah dengan mengamati ekologi
sungai di kabupaten Banyumas beserta daratan disekitar sungai tersebut. Pada
pembahasan kali ini sungai yang dijadikan sebagai objek pengamatan adalah
sungai Pelus bagian tengah yang berlokasi di desa Ledug kabupaten Banyumas.
Kondisi ekologi yang diamati meliputi aspek ekosistem, komunitas, populasi,
faktor lingkungan dan distribusi organisme.
Ekosistem merupakan sistem di alam yang di dalamnya terjadi interaksi
timbal balik antara organisme dengan organisme lain, dan komponen tidak hidup
di lingkungannya. Ekosistem dapat juga dikatakan interaksi antara populasi-
populasi penyusun komunitas dengan faktor abiotik yang mempengaruhi.
Berdasarkan pengertian tersebut, suatu sistem terdiri dari komponen komponen
yang bekerja secara teratur sebagai suatu kesatuan. Ekosistem terbentuk oleh
komponen hidup (biotik) dan tak hidup (abiotik) yang berinteraksi membentuk
suatu kesatuan yang teratur. Keteraturan itu terjadi karena adanya arus materi dan
energi, yang terkendali oleh arus informasi antara komponen dalam ekosistem.
Masing-masing komponen mempunyai fungsi (relung). Selama masing-masing
komponen tetap melakukan fungsinya dan bekerjasama dengan baik, keteraturan
ekosistem tetap terjaga (Riberu, 2002).
Menurut Heddy dan Kurniati (1997), dari segi kehidupan, ekosistem
terdiri dari dua komponen, yaitu:
1. Komponen abiotik, yang meliputi:
a. Senyawa organic
b. Senyawa anorganik
c. Lingkungan
2. Komponen biotic, yang meliputi:
a. Produsen
b. Makrokunsomer (phagotroph)
c. Mikrokonsumer dan saprotroph.
Komunitas ialah kumpulan dari berbagai populasi yang hidup pada suatu
waktu dan daerah tertentu yang saling berinteraksi dan mempengaruhi satu sama
lain. Komunitas memiliki derajat keterpaduan yang lebih kompleks bila
dibandingkan dengan individu dan populasi. Contoh komunitas, misalnya
komunitas sawah dan sungai. Komunitas sawah disusun oleh bermacam-macam
organisme, misalnya padi, belalang, burung, ular, dan gulma. Komunitas sungai
terdiri dari ikan, ganggang, zooplankton, fitoplankton, dan dekomposer. Antara
komunitas sungai dan sawah terjadi interaksi dalam bentuk peredaran nutrien dari
air sungai ke sawah dan peredaran organisme hidup dari kedua komunitas tersebut
(Koesoebiono,1979).
Populasi dapat didefinisikan sebagai sekelompok individu sejenis yang
berada di tempat dan waktu yang sama serta dapat saling mengawini.
Karakteristik dari suatu populasi terdiri dari kerapatan, kelahiran, kematian,
imigrasi, emigrasi, struktur usia dan distribusi umur, penyebaran dan komposisi
genetika.
Sungai memiliki karakteristik yang khas sebagai suatu bentuk perairan
mengalir yang berjalan dari hulu yang sempit sampai kepada hilir yang lebar.
Karakteristik yang khas ini meliputi kecepatan arus, faktor makanan yang tersedia
bagi organisme, struktur tanah sekitar daerah aliran sungai, keasaman tanah, dan
struktur batuan. Hal demikian menyebabkan adanya variasi organisme yang
menempati daerah hulu dan hilir sungai. Sungai dikenal sebagai supplier
organisme air tawar yang sangat digemari masyarakat, seperti udang air tawar,
dan ikan air tawar.
Pertumbuhan organisme baik organisme akuatik maupun terstrial sangat
dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungannya. Faktor lingkungan yang dapat
berpengaruh diantaranya yaitu temperatur, pH, substrat tempat organisme tersebut
hidup, kualitas air, dan kecepatan arus. Kualitas air dalam hal ini mencakup
keadaan fisik, kimia, dan biologi yang dapat mempengaruhi ketersediaan air untuk
kehidupan manusia, pertanian, industri, rekreasi dan pemanfaatan air lainnya.
Karakteristik fisik terpenting yang dapat mempengaruhi kualitas air, dan dengan
demikian, berpengaruh terhadap ketersediaan air untuk berbagai pemanfaatan
adalah konsentrasi sedimen dan suhu air. Tinjauan kualitas air akan menempatkan
faktor sedimen dan suhu air (yang terlalu tinggi untuk kehidupan biota akuatis)
sebagai unsur-unsur pencemar.
MATERI DAN METODE

A. Materi

Alat yang digunakan pada prakikum ini adalah thermometer 2 buah (udara
dan air), patok 2 set (moluska dan bambu), botol kosong 2 buah (untuk kecepatan
arus dan sampel air), tali raffia 3 utas ( untuk kecepatan arus, kuadrat 0,5 x 0,5 m
dan 10 x 10 m), kantong plastic untuk sampel moluska, bambu dan tanah, kertas
pH dan soil tester, penggaris, timbangan dan kamera.
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah sampel moluska,
sampel bambu, sampel air, dan sampel tanah.

B. Metode
1. Ekosistem
 Diamati tipe pemanfaatan lahan dan aktivitas di daerah sekitar sungai.
 Dibuat model interaksi faktor abiotik dan biotik (diperlukan data tentang
benda abiotik dan biotik yang dapat ditemukan di lokasi pengamatan)
 Dibuat skema hubungan antara komponen biotik dan abiotik.
 Data yang diperoleh, ditentukan peranan (fungsi ekologis) dari organisme
tersebut.
2. Komunitas
 Pengambilan sampel moluska dan air
1. sampel diambil dengan metode kuadrat
2. dibuat kuadrat dengan menggunakan 4 patok dengan jarak 0,5 x 0,5 m
3. diplih lokasi yang menjadi habitat moluska dengan meletakan kuadrat
tersebut.
4. Dikumpulkan moluska yang ada dalam kuadrat, dimasukan dalam
kantong plastic.
5. Diamati bentuk cangkang, warna, arah lingkarannya, dan diberi kode
6. Diidentifikasi dan dihitung di Laboratorium.
 Pengambilan sampel bambu sebagai tumbuhan tepian atau riparian
1. Sampel diambil dengan metode kuadrat
2. dibuat kuadrat dengan menggunakan 4 patok dengan jarak 10 x 10 m
3. diplih lokasi yang menjadi habitat bambu, dibentangkan pada kawasan
bambu tersebut.
4. Diamati daun pelepah. Warna buluh, buliran, perbungaan,
percabangan, dan durinya.
5. Diambil foto pada masing-masing bagian tersebut dan beberapa contoh
bagian bambu untuk diidentifikasi di Laboratorium
6. Dihitung jumlah batang bambu yang terdapat pada kuadrat.
3. Populasi
 Populasi moluska dan bambu dideskripsikan dengan membuat piramida
ukuran dari spesies yang dominan.
 Individu dari setiap spesies yang dominan pada lokasi tersebut dilakukan
pengukuran pada sampel moluska (panjang dan bobotnya), pada sampel
bambu (tinggi dan diameter).
 Pengukuran moluska dilakukan di Laboratorium, sedangkan pengukuran
bambu dilakukan di lapangan.
 Dikelompokan moluska dan bambu berdasarkan ukurannya.
 Dibuat empat piramida populasi berdasrkan ukuran (panjang, bobot, tinggi
dan diameter) dari data diatas.
4. Faktor Lingkungan
 Mengukur kondisi lingkungan dengan parameter lingkungan seperti :
temperatur udara, air, kecepatan arus, tipe substrat, dan pH air pada
ekosistem perairan, temperatur udara dan pH tanah pada ekosistem
daratan.
 Termometer air raksa digantungkan pada salah satu ranting pohon dekat
dengan sungai, dibiarkan beberapa menit, diamati suhu yang tertera dan
bila telah stabil dicatat. Suhu yang diperoleh tersebut adalah temperatur
udara.
 Termometer air raksa dicelupkan ke perairan, dibiarkan beberapa menit,
diamatai suhu yang tertera dan bila telah stabil dicatat. Suhu yang
diperoleh tersebut adalah temperatur air.
 Untuk mengukur kecepatan arus air sungai disiapkan botol plastik, tali
rafia sepanjang 10 meter dan stopwatch. Botol plastik diisi dengan air
setengah botol atau sekitar 250 ml, botol tersebut dilempar ke badan
sungai tepat tegak lurus dengan posisi berdiri, bertepatan dengan jatuhnya
botol ke sungai mulai dihitung waktu tempuh sepanjang 10 meter.
Perlakuan tersebut dilakukan sampai 3 kali ulangan.
 Substrat dasar sungai diamati (batu, pasir, lumpur) dan diperkiran jenis
substrat yang dominan.
 Menentukan tipe tanah daratan dekat sungai.
 Diambil sampel air sungai sebanyak 250 ml dan tanah sebanyak 250 gr
yang kemudian diukur pH nya di laboratorium.
5. Distribusi Organisme dan Faktor Lingkungannya
 Dibuat table kehadiran spesies yang ditemukan di sungai (sungai Pelus 2,4
dan 6).
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Lokasi Praktikum
Bagian Sungai Banjaran Pelus Kranji
Hulu Banjaran 1 Pelus 1 Kranji 1
Banjaran 2 Pelus 2
Tengah Banjaran 3 Pelus 3 Kranji 2
Banjaran 4 Pelus 4 Kranji 3
Hilir Banjaran 5 Pelus 5
Banjaran 6 Pelus 6 Kranji 4

a. Pemodelan interaksi antara faktor abiotik dan biotik

Tabel 1. Tipe Pemanfaatan Lahan


Lokasi Tipe pemanfaatan Aktivitas masyarakat
lahan
Sungai Pelus Pemukiman MCK, memancing, dan berkebun
4

Tabel 2. Komponen Abiotik dan Biotik


No. Ekosistem Abiotik (benda Biotik (benda hidup)
mati)
1. Aquatik (Sungai) Batu Manusia
Air Tumbuhan
Pecahan kaca Ikan
Pasir Moluska
Tanah Capung
Udara Kupu-kupu
Sampah plastik Burung
Kerikil Cacing

2. Terestrial (Daratan) Udara Manusia


Tanah Bambu
Batu Kelapa
Kerikil Pisang
Sampah Jati
Paku Tales
Pepaya
Cacing
Jaring Makanan Ekosistem Sungai

Air Manusia Burung

Udara Tumbuhan

Batu Ikan

Pasir Moluska Capung

Tanah Kupu-kupu

Kerikil Cacing

Jaring Makanan Ekosistem Darat

Manusia

Udara

Tanah Bambu

Singkong

Batu Burung

Pisang Ulat

Cacing
b. Komponen penyusun ekosistem

Tabel 3. Komponen penyusun ekosistem


No. Komponen penyusun Organisme
1. Produsen Tumbuh-tumbuhan

2. Makro Konsumen tingkat I Moluska

3. Makro konsumen tingkat II Ikan


Burung
Manusia
6. Dekomposer Cacing

Tabel 4. Kekayaan spesies dan kelimpahan moluska atau kekayaan spesies


dan kepadatan bambu
No. Nama spesies Jumlah (individu)
1. Bambu atter (Gigantochloa atter) 32
2. Gillia altilis 1
3. Mudalia sp. 14
4. Paludestrina minuta 10
5. Pleurocera acuta 2
6. Goniobasis airginica 2
7. Lyrodes coronatus 3

Spesies yang terbanyak merupakan spesies yang dominan


Tabel.5 Populasi yang dominan
Lokasi Spesies yang dominan
Moluska : 14 individu/250 cm
Sungai Pelus IV Bambu : 32 individu/100 meter

Tabel 6. Ukuran Moluska dan Bambu

No. Moluska Bambu


Individ
Panjang (cm) Bobot (gram) Tinggi (cm) Diameter (cm)
u
1. 3,0 2,0 340 6,7
2. 2,4 1,0 380 4,3
3. 2,5 1,0 350 5,7
4. 2,7 1,0 350 6,7
5. 1,5 0,16 290 5,2
6. 2,0 1,0 310 6,3
7. 2,2 2,0 320 5,8
8. 1,9 1,0 270 5,0
9. 1,5 0,16 350 6,1
10. 1,4 0,16 370 5,5
11. 1,0 0,12 270 4,2
12. 1,4 0,16 310 4,1
13. 1,5 0,16 330 5,1
14. 1,2 0,16 250 4,3
15. 1,3 0,16 350 5,0
16. 1,4 0,16 280 3,8
17. 1,2 0,16 370 4,2
18. 1,4 0,16 714 5,9
19. 1,2 0,13 526 4,3
20. 1,1 0,12 725 7,0
21. 1,1 0,12 385 4,5
22. 1,3 0,11 731 6,8
23. 1,1 0,16 567 5,7
24. 1,2 0,16 532 5,3
25. 1,1 0,12 313 3,9
26. 0,9 0,1 257 3,2
27. 0,6 0,1 735 7,4
28. 1,1 0,12 258 3,3
29. 1,1 0,11 568 4,7
30. 1,1 0,12 779 7,4
31. 1,1 0,12 343 4,1
32.     501 4,8

Tabel 7. Struktur Populasi Moluska

Panjang Jumlah individu


0,5 cm sampai dengan 1,2 cm 15
1,3 cm sampai dengan 2 cm 11
2,1 cm sampai dengan 2,8 cm 4
2,9 cm sampai dengan 3,6 cm 1
   = 31
Bobot Jumlah individu
0,1 gram sampai dengan 0,55 gram 24
0,6 gram sampai dengan 1,05 gram 5
1,1 gram sampai dengan 1,55 gram 0
1,6 gram sampai dengan 2,05 gram 2
   = 31

Tabel 7. Struktur Populasi Bambu

Tinggi Jumlah Individu


250 cm sampai dengan 389 cm 22
390 cm sampai dengan 529 cm 2
530 cm sampai dengan 659 cm 3
660 cm sampai dengan 789 cm 5
   =32

Diameter Jumlah Individu


3,2 cm sampai dengan 3,2 cm 8
4,3 cm sampai dengan 5,3 cm 11
5,4 cm sampai dengan 6,4cm 7
6,5 cm sampai dengan 7,6 cm 6
   =32
1,1 g -
1,6
0,6
0,1
0,55 g
2,05
1,55
Piramida Populasi Bobot Moluska
3 50
5
6
2 90 cm
30
60
- 3
58
6
7 29
5
cm
Piramida Populasi Tinggi Bambu
2
0
2,5
,1
1,3,9 cm
cm
cm --
2
1
-
32 ,8
,2 cm
,6 cm
Piramida Populasi Panjang Moluska
Piramida Populasi Diameter Moluska

75
-3
6 ,6
,4
,2 cm
,3cm
5
3
0 ,5 3
,4
,2
6 4, cm-
cm

Tabel 8. Kondisi Lingkungan

a. Kondisi Perairan
Parameter Hulu Tengah Hilir
Lingkungan
Temperatur udara 27 0C 26 0C 31 0C
Temperatur air 26 0C 27 0C 27 0C
Arus 33,78 m/s 0,18 m/s 0,94 m/s
Substrat yang Batu Pasir, kerikil, Batu dan
dominan batuan pasir
Ph 6 6 6

b. Kondisi Daratan
Parameter Hulu Tengah Hilir
Lingkungan
Temperatur udara 260C 260C 310C
Tipe tanah Tanah Serasah Serasah
berpasir
pH 7 7 7
Tabel 9. Distribusi Moluska
Spesies Hulu Tengah Hilir
Pomatiopsis sp. 15 - -
Gillia altilis - 1 -
Mudalisa sp. - 14 -
Pleurocera acuta - 2 1
Paludestrina minuta - 10 19
Goniobasis airginica - 2 -
Lyrodes cocoratus - 3 5
Littoridina monzoensis - - 2

Tabel 10. Distribusi Bambu


Spesies Hulu Tengah Hilir
Dendrocalamus asper 60 - -
Gigantochloa atter - 32 17
Dendrocalamus strichus - - 48
B. Pembahasan

Sebagian besar penduduk terutama yang ada di sepanjang DAS masih


menggunakan Sungai Pelus untuk berbagai keperluan seperti MCK, pertanian,
perkebunan, perikanan,dan berbagai aktivitas antropogenik. Hal ini
memungkinkan terjadinya perubahan kualitas perairan yang selanjutnya akan
berdampak pada kehidupan biota air salah satunya perubahan pola struktur
komunitas moluska misalnya perubahan jumlah komposisi, kelimpahan dan
keanekaragamannya.
Sungai adalah perairan umum yang airnya mengalir terus menerus pada
arah tertentu, berasal dari air tanah, air permukaan yang diakhiri bermuara ke laut.
Sungai sebagai perairan umum yang berlokasi di darat dan merupakan suatu
ekosistem terbuka yang berhubungan erat dengan sistem-sistem terestrial dan
lentik. Ciri-ciri umum daerah aliran sungai adalah semakin ke hulu daerahnya
pada umumnya mempunyai tofograpi makin bergelombang sampai bergunung-
gunung. Sungai adalah lingkungan alam yang banyak dihuni oleh organisme
(Odum, 1992). Zonasi pada habitat air mengalir adalah mengarah ke longitudinal,
yang menunjukkan bahwa tingkat yang lebih atas berada di bagian hulu dan
kemudian mengarah ke hilir. Menurut Soemarwoto (1980), Pada habitat air
mengalir ini, perubahan-perubahan yang terjadi akan lebih nampak pada bagian
atas dari aliran air karena adanya kemiringan, volume air atau komposisi kimia
yang berubah. Arus mempunyai arti penting untuk pergerakan ikan. Arus yang
searah dari hulu sangat penting untuk pergerakan ikan atau bahkan menyebabkakn
ikan-ikan bergerak aktif melawann arus, kea rah muara pergerakan ikan dapat
berlangsung dengan pasif maupun mengapung (Wotton, 1992), Sungai merupakan
salah satu perairan darat yang mengalir. Berdaasrkan letak dan kondisi
lingkungannya dibagi menjadi tiga bagian : 
1) Hulu sungai, terletak di daerah yang dataran tinggi, menglir melalui bagian
yang curam, dangkal, berbatu, arus deras, volume air kecil, kandungan
oksigen telarut tinggi, suhu yang rendah, dan warna air jernih. 
2) Hilir sungai, terletak didaratan yang rendah, dengan arus yang tidak begitu
kuat dan volume air yang besar, kecepatan fotosintesis yang tinggi dan
banyak bertumpuk pupuk organic.
3) Muara sungai letaknya hamper mencapai laut atau pertemuan sungai-
sungai lain, arus air sangat lambat dengan volume yang lebih besar,
banyak mengandung bahan terlarut, Lumpur dari hilir membentik delta
dan warna air sangat keruh .
Sungai Pelus memiliki peran penting bagi organisme consumer tingkat
rendah maupun consumer tingkat tinggi seperti manusia. Daerah sekitar sungai
Pelus banyak dimanfaatkan sebagai pemukiman. Aktivitas yang banyak dilakukan
disana adalah memancing, berkebun, dan MCK. Dari hasil studi lapangan yang
telah dilakukan di daratan sekitar sungai Pelus, komponen abiotik yang ada adalah
udara, tanah, batu, pasir, kerikil. Udara penting sebagai penyedia unsure
anorganik dan organic seperti karbon dioksida, nitrogen, oksigen. Sedangkan
tanah memiliki unsure hara yang tinggi. Berdasarkan hasil pengukuran terhadap
pH (keasaman) tanah, tanah daratan di sekitar sungai Pelus memiliki pH sekitar 7
dengan tipe tanah serasah, yaitu tumpukan daun mengering yang karena aktivitas
decomposer berubah menjadi humus yang membantu kesuburan tanah.
Komponen biotic yang ditemukan adalah manusia, bambu, kelapa, pisang, jati,
tanaman talas, papaya, cacing. Bambu merupakan populasi yang paling banyak
hidup didaerah sekitar sungai. Komponen biotic yang didapatkan dari hasil
pengamatan di sungai Pelus adalah manusia, ikan, moluska, capung, kupu-kupu,
burung, dan cacing.
Dalam suatu ekosistem yang kompleks terjadi interaksi antara individu
sejenis maupun beda spesies. Interaksi ini dapat berupa pola makan-memakan
atau disebut rantai makanan, atau dapat berupa interaksi persaingan dalam
memperebutkan makanan. Rantai makanan merupakan roses perpindahan energy
makanan dari sumber daya tumbuhan melalui seri organisme atau melalui jalur
makan-memakan (Heddy dan Kurniati, 1997). Jaringan perpindahan energy yang
lebih kompleks sering disebut sebagai jaring makanan. Tumbuhan, fitoplankton
dalam suatu ekosistem perairan menempati sebagai produsen, yang kemudian
akan dimanfaatkan energinya oleh mikrokonsumen seperti zooplankton ataupun
makrokonsumen seperti ikan dan manusia.
Di alam terdapat bermacam-macam komunitas yang secara garis besar
dapat dibagi dalam dua bagian yaitu:
1. Komunitas akuatik, misalnya yang terdapat di laut, danau, sungai, parit
atau kolam.
2. Komunitas terrestrial, yaitu kelompok organisme yang terdapat di
pekarangan, hutan, padang rumput, padang pasir, dll.
Menurut Gardner, Pearce dan Mitchell (1991), pertumbuhan tanaman dan
produksi bambu dipengaruhi oleh dua factor, yaitu factor genetic dan factor
lingkungan tempat tumbuhnya. Untuk memperoleh sifat genetic yang baik dapat
dilakukan melalui pembiakkan secara vegetative, salah satunya adalah
menggunakan stek batang atau umbi. Sedangkan factor lingkungan yang
kemungkinan berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman antara
lain jarak tanam bambu.
Berikut klasifikasi bambu yang dijumpai pada bantaran Sungai Pelus.
 Gigantochloa atter
Klasifikasi
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida
Ordo : Poales
Famili : Poaceae
Genus : Gigantochloa
Spesies : Gigantochloa atter (Hassk) Kurz ex Munro
Deskripsi :
Rumpun tegak, tinggi hingga 15 m, diameter 5 - 10 cm. Buluh lurus dengan
akar udara dari node, tinggi bisa mencapai 22 m, panjang bisa mencapai 50 cm.
Berdinding tipis dengan diameter 5-10 cm dengan ketebalan 8 mm. Daunnya
gundul, kuping pelepah buluh kecil, ligula rata kurang 2 mm dan gundul. Pelepah
buluh tertutup bulu hitam yang mudah luruh dengan kuping pelepah buluh
membulat, ujung melengkung keluar. Daun pelepah buluh berketuk balik dan
menyegitiga. Rebung berwarna hijau keunguan yang tertutup bulu hitam. Cabang-
cabang muncul jauh di atas permukaan tanah, termasuk Unequal (percabangan
tidak sama). Sebaran mencakup Asia Tenggara, di kepulauan Sunda kecil tersebar
di pulau Lombok hingga pulau Timor. Batang banbu ater biasanya digunakan
orang untuk dinding rumah, pagar, alat-alat rumah tangga, kerajinan tangan dan
ada juga yang digunakan untuk alat music.
Bambu ater (Gigantochloa atter) tidak banyak dijumpai ditanam secara
meluas di Indonesia. Biasanya orang menanamnya hanya beberapa rumpun saja.
Di Jawa Barat orang menyebut jeis bambu ini sebagai bambu temen. Sedangkan
di Jawa Tengah orang sering juga menamakan pring jowo. Buluhnya berwarna
hijau tua, dan hijau kehitam-hitaman. Rumpunannya sedikit agak rapat, terdiri
dari banyak buluh yang tegak, tingginya sampai 20 meter. Garis tengah atau
penampang buluh sampai 7 cm. Buluh yang muda mempunyai pelepah buluh
yang bermiang coklat tua. Waktu buluh menjadi dewasa, pelepahnya jatuh dengan
sendirinya sehingga buluhnya jadi bersih tanpa pelepah buluh. Panjang setiap ruas
buluh adalah sekitar 15 sampai 60 cm. Sedangkan panjang daunnya antara 20
sampai 32 cm dengan lebar daun 2 sampai 5,5,cm. Tanaman ini dapat tumbuh di
daerah-daerah dengan ketinggian dari 0 sampai 650 meter di atas permukaan laut.
 Dendrocalamus strictus
Klasifikasi
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida
Ordo : Poales
Famili : Poaceae
Genus : Dendrocalamus
Spesies : Denrocalamus strictus
Deskripsi :
Sebuah bambu berumbai daun padat. Tinggi batang 8-16 m dengan
diameter 2,5-8 cm. Warna biru pucat kehijauan ketika rebung, kusam hijau atau
kuning pada saat tua, banyak melengkung di atas internode agak bengkak,
internode dengan cabang 30-45 cm, berdinding tebal. Daun linier-lanset, kecil,
panjang sampai dengan 25 cm dan lebar 3 cm, bulat di dasar yang menjadi tangkai
daun, ujung tajam acuminate dengan titik bengkok, kasar dan sering berbulu di
atas,sangat sedikit berbulu lembut di bawah . Banyak digunakan sebagai bahan
baku di pabrik kertas dan juga untuk berbagai tujuan seperti konstruksi, alat
pertanian, alat musik, furnitur dll Tunas muda umum digunakan sebagai makanan.
Rebusan daun dan node dan materi silicious digunakan dalam pengobatan
tradisional.
 Dendrocalamus asper
Klasifikasi
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida
Ordo : Poales
Famili : Poaceae
Genus : Dendrocalamus
Spesies : Denrocalamus aspers Backer
Deskripsi :
Tersebar luas di Asia. Diameter 8-20 cm dengan tinggi batang 20-30 m.
Dikenal dengan bambu raksasa. Panjang internode 30-50 cm. Digunakan untuk
konstruksi material dan bahan bangunan.
Berdasarkan data bambu yang di peroleh di sekitar bantaran Sungai Pelus
terdapat 3 spesies yang berbeda yaitu Dendrocalamus asper dapat dijumpai pada
bantaran Sungai Pelus bagian hulu dengan jumlah 60 individu. Gigantochloa atter
dapat dijumpai pada bantaran Sungai Pelus bagian tengah dengan jumlah individu
sebanyak 32. Sedangkan pada bagian hilir ditemukan dua spesies yaitu
Dendrocalamus strictus yang berjumlah 48 individu dan Gigantochloa atter
sebanyak 17 individu. Hasil tersebut merupakan komunitas bambu yang dominan
pada masing-masing lokasi.
Tanaman bambu dijumpai tumbuh mulai dari dataran rendah sampai
dataran tinggi 100 – 2200 m di atas permukaan laut. Walaupun demikian tidak
semua jenis bambu dapat tumbuh dengan baik pada semua ketinggian tempat,
namun pada tempat-tempat yang lembab atau pada tempat yang kondisi curah
hujannya tinggi dapat mencapai pertumbuhan terbaik, seperti ditepi sungai,
ditebing-tebing yang curam (Soendjoto, 1997).
Umumnya tanaman bambu dapat tumbuh dengan baik dan tersebar
dimana-mana, walaupun dalam pertumbuhannya dapat dipengaruhi oleh keadaan
iklim. Unsur-unsur iklim meliputi sinar matahari, suhu, curah hujan dan
kelembaban. Tempat yang disukai tanaman bambu adalah lahan yang terbuka
dimana sinar matahari dapat langsung memasuki celah-celah rumpun sehingga
proses fotosintesis dapat berjalan lancer. Type iklim mulai dari A, B, C, D sampai
E (mulai dari iklim basah sampai kering), semakin basah type iklim makin banyak
jenis bambu yang dapat tumbuh. Ini disebabkan karena tanaman bambu termasuk
tanaman yang banyak membutuhkan air yaitu curah hujan minimal 1020
mm/tahun dan kelembaban minimum 76%.Jenis tanah di lokasi praktek mulai dari
tanah berat sampai ringan dan mulai dari tanah subur sampai kurang subur. Sifat
fisik tanah pada lokasi praktikum dengan pH 7 dengan suhu 27°C (Anonim,
2010).
Di Indonesia terdapat lebih kurang 125 jenis bambu. Bambu merupakan
tanaman yang memiliki manfaat sangat penting bagi kehidupan. Semua bagian
tanaman mulai dari akar, batang, daun, kelopak, bahkan rebungnya dapat
dimanfaatkan untuk berbagai macam keperluan.. Akar tanaman bambu dapat
berfungsi sebagai penahan erosi guna mencegah bahaya banjir. Tak heran bila
beberapa jenis bambu yang banyak tumbuh di pinggir sungai atau jurang
sesungguhnya berperan penting mempertahankan kelestarian tempat tersebut.
Batang bambu memang merupakan bagian yang paling banyak diusahakan untuk
dibuat berbagai macam barang untuk keperluan sehari-hari. Batang bambu baik
yang masih muda maupun yang sudah tua dapat digunakan untuk berbagai macam
keperluan. Namun, ada juga jenis bambu yang dapat dan tidak dapat dimanfaatkan
(Widjaja, 1985).
Dalam komunitas, semua organisme merupakan bagian dari komunitas
dan antara komponennya saling berhubungan melalui keragaman interaksinya.
Interaksi antarkomponen ekologi dapat merupakan interaksi antarorganisme,
antarpopulasi, dan antar komunitas. Interaksi antarkomunitas cukup komplek
karena tidak hanya melibatkan organisme, tapi juga aliran energi dan makanan.
Interaksi antarkomunitas dapat kita amati, misalnya pada daur karbon. Daur
karbon melibatkan ekosistem yang berbeda misalnya laut dan darat.
Moluska berasal dari bahasa Romawi, molis yang berarti lunak yang
hidup sejak periode Cambrian,terdapat lebih dari 100 ribu spesies hidup dan 35
ribu spesies fosil, kebanyakan dijumpai di laut dangkal, beberapa pada kedalaman
7000m, beberapa di air payau, air tawar, dan darat (Pennak, 1978). Menurut
Hyman (1967), filum moluska ditandai oleh tubuh yang lunak, yang tidak terbagi
dalam segman – segmen yang biasanya dilindungi oleh satu atau lebih keping
cangkang.
Moluska merupakan organisme akuatik yang hidup di dasar perairan
dengan pergerakan relatif lambat yang sangat dipengaruhi oleh substrat dasar serta
kualitas perairan. Moluska berperan penting dalam proses mineralisasi dan
pendaur-ulangan bahan organic maupun sebagai salah satu sumber makanan bagi
organisme konsumen yang lebih tinggi. Penurunan komposisi, kelimpahan dan
keanekaragaman dari moluska biasanya merupakan indikator adanya gangguan
ekologi yang terjadi pada sungai tersebut (Mason,1981).
Deskripsi molusca yang diperoleh:
 Paludestrina minuta Totten
Termasuk dalm genus Paludestrina. Cangkang yang dimiliki sangat mirip
dengan kepunyaan Fontigen. Gigi tengah radula memiliki ujung satu basal
dentikel pada setiap sisinya dan tanpa proses pembentukan lidah.
 Pleurosera acuta Rafinesque
Genus Pleurocera. Ukuran cangkangnya kecil hingga sedang, menipis,
tidak mengalami perforasi (lubang-lubang), halus dan nodulose atau
carinate. Apertue subrhomboidal, diperpanjang ke dalam saluran pendek
dibawah ini. Columella membelit tetapi tidak mengalami penipisan.
Terdistribusi luas di timur sebagian dari United States.
 Littoridina monroensis Frauenfeld
Genus Littoridina. Cangkang kecil, hampir mengalami perforasi, seperti
diperpanjang, padat dan tidak tembus cahaya. Alur putaran tubuhnya
subangulate pada batas luar. Aperturnya periform, mulutnya sederhana
tetapi tidak terus menerus. Radula menyerupai pada Amnicola.
 Goniobasis airginiea Gmelin
Genus Goniobasis. Ukuran cangkangnya kecil hingga sedang, menipis,
halus, carinate dan kadang-kadang tuberculate. Columella halus, tidak
membelit. Terdistribusi luas dari Lembah Mississippi. Kelompok kecil
dari spesies ini terdapat pada utara California.
Arus adalah faktor pembatas utama pada aliran deras, tetapi dasar yang
keras terutama bila terdiri dari batu, dapat menyediakan permukaan yang cocok
untuk organism (flora dan fauna) untuk menempel atau melekat. Dasar di air
tenang yang lunak dan terus-menerus berubah umumnya membatasi organisme
bentik yang lebih kecil sampai bentuk penggali, tetapi bila kedalaman lebih besar
lagi, lebih sesuai untuk plankton, neuston dan plankton. Komposisi jenis dari
komunitas air deras sewajarnya 100% berbeda dari zona perairan yang tenang
seperti kolam dan danau (Odum, 1988).
Sungai yang dijumpai dihampir semua tempat pada mulanya, sebelum
mendapat gangguan manusia, mempunyai kualitas air yang bersifat alamiah.
Debu, mineral-mineral atmosfer dan berbagai macam gas banyak yang terlarut
dalam air hujan yang pada gilirannya akan menentukan status kualitas air alamiah
badan air atau sungai tersebut (Wirakusumah, 2003).
Diantara karakteristik fisik perairan (alamiah) yang dianggap penting
adalah konsentrasi larutan sedimen, suhu air, dan tingkat oksigen terlarut dalam
suatu sistem aliran air. Larutan sedimen yang sebagian besar terdiri atas larutan
lumpur dan bebrapa bentuk koloida-koloida dari berbagai material inilah yang
seringkali mempengaruhi kualitas air dalam kaitannya dengan pemanfaatan
sumberdaya air untuk kehidupan manusia dan organisme akuatik lainnya.
Meningkatnya suhu perairan yang dapat diklasifikasikan sebagai pencemar
perairan dapat mempengaruhi kehidupan organisme akuatik secara langsung atau
tidak langsung. Sementara itu, oksigen terlarut dalam perairan dapat dimanfaatkan
untuk indikator atau sebagai indeks sanitasi kualitas air (Soeriaatmadja, 1977).
Muatan sedimen. Kualitas fisik perairan sebagian besar ditentukan oleh
jumlah konsentrasi sedimen yang terdapat dalam perairan tersebut. Muatan
sedimen total yang terdapat dalam aliran air terediri atas sedimen merayap
(bedload) dan sedimen melayang (suspended sediment). Untuk suatu sistem
daerah aliran air, terutama yang terletak di hulu, jumlah muatan sedimen yang
terlarut dalam aliran air mempunyai pengaruh yang menentukan terhadap kualitas
air di tempat tersebut. Pengaruh tersebut diwujudkan dalam bentuk pengaruh
muatan sedimen pada besar kecilnya dan kedalaman cahaya matahari yang masuk
ke dalam aliran air. Muatan sedimen dalam suatu perairan diukur melalui tingkat
kekeruhan yang terjadi di aliran air tersebut. Pada tingkat kekeruhan tertentu,
cahaya matahari yang masuk ke dalam badan air berkurang sehingga menghambat
proses fotosintesis jenis vegetasi yang tumbuh di dalam perairan. Cahaya matahari
yang dapat masuk ke dalam badan air juga berguna untuk kehidupan organjisme
akuatik, terutama dalam mempertahankan suhu perairan tersebut pada tingkat
yang memungkinkan untuk menunjang kehidupan organisme tersebut. Muatan
sedimen dalam aliran air juga membawa serta unsur hara (nutrisi) dan logam berat
yang akan mempengaruhi pemanfaatan sumber daya air (Thohir, 1991).
Muatan sedimen dapat dibedakan menjadi dua yaitu muatan sedimen
organik dan muatan sedimen non-organik. Muatan sedimen organik terdiri atas
unsur-unsur yang berasal dari flora (vegetasi) dan fauna (hewan) yang seringkali
terangkut dalam aliaran air pada periode aliran besar (debit besar sebelum tercapai
debit puncak). Muatan sedimen non-organik meliputi unsur-unsur pasir, lumpur,
dan koloida-koloida dari berbagai mineral yang pada tempat dan waktu tertentu
dapat mengendap di dasar perairan (Asdak, 1995).
Sedimen melayang (suspended material) dalam perairan sungai alamiah dapat
dibedaklan menjadi dua tipe:
 Sedimen non-organik, terutama terdiri atas pasir, debu, dan koloida-koloida
yang berasal dari permukaan tanah daerah tangkapan air dan dari dasar
saluran-saluran air di tempat tersebut.
 Sedimen organik, terdiri atas unsur-unsur tanaman dan hewan baik yang hidup
atau mati yang terlarut dalam aliran air sungai. Sedimen-sedimen organik
dapat juga teruraikan (decomposed) oleh biota yang hidup dalam perairan
tersebut antara lain serangga dan vegetasi perairan lainnya, bakteri, jamur dan
ganggang menjadi bentuk lain dari unsur-unsur organik (Hewlett, 1982).
Sedimen non-organik yang banyak dijumpai pada sungai Pelus sebagai subdtrat
yang dominan adalah pada bagian hulu substrat yang dominan adalah bebatuan,
pada bagian tengah substrat yang dominan adalah pasir, kerikil, dan bebatuan,
pada bagian hilir substrat yang dominan adalah pasir dan batuan.
Sedimen terlarut (dissolved material) dalam perairan sungai alamiah dapat
dibedakan menjadi dua tipe:
 Larutan non-organik, termasuk unsur-unsur mineral dan gas. Meskipun unsur-
unsur mineral mendominasi larutan non-organik ternyata beberapa jenis gas ,
terutama oksigen dan karbon dioksida memegang peranan yang lebih penting
untuk keberlanjutan kehidupan flora dan fauna akuatis serta menentukan
kualitas air.
 Larutan organik, meliputi bermacam-macam unsur organik yang bersifat
komplek sebagai hasil proses-proses fotosintesis, metabolisme, dan
dekomposisi jaringan-jaringan tanaman dan hewan yang hidup di perairan.
Beberapa unsur organik tersebut ditemukan dalam kadaan tidak stabil, sebaian
lainnya diserap oleh organisme akuatis untuk menghasilkan sedimen organik
lain, dan banyak di antara komponen-komponen organik tersebut yang
berfungsi sebagai unsur hara makanan dan bentuk sumber energi lainnya bagi
flora dan fauna yang hidup di perairan bagian hilir (Asdak, 1995).
Arus air. Kandungan sedimen dalam air mempengaruhi kecepatan arus air,
jika sedimen yang terdapat dalam air lebih banyak maka arus air akan semakin
lambat, jika kandungan sedimennya sedikit maka arus air akan semakin cepat.
Arus air pada sungai Pelus bagian hulu kecepatan arusnya adalah 3,78 m/s, pada
bagian tengah 0,18 m/s, sedangkan pada bagian hilir arus airnya adalah 0,94 m/s.
Hal ini berarti kandungan sedimen pada bagian tengah lebih besar daripada
dibagian hulu dan hilir. Bagian hulu memilki kandungan sedimen yang relatif
lebih sedikit, karena sedimen yang ada terbawa lairan air sampai ke tengah dan
menurun jumlahnya jika sudah sampai ke bagian hilir (Leksono, 2007).
Temperatur air. Suhu di dalam air dapat menjadi faktor penentu atau
pengendali kehidupan flora dan fauna akuatis, terutama suhu di dalam air yang
telah melampaui ambang batas (terlalu hangat atau terlalu dingin) bagi kehidupan
flora dan fauna akuatis tersebut. Jenis, jumlah dan keberadaan flora dan fauna
akuatis seringkali berubah dengan adanya perubahan suhu air, terutama oleh
adanya kenaikan suhu di dalam air. Secara umum, kenaikan suhu perairan akan
mengakibatkan kenaikan aktivitas biologis dan pada gilirannya memerlukan lebih
banyak oksigen di dalam perairan tersebut. Kenaikan suhu suatu perairan alamiah
umumnya disebabkan oleh aktivitas penebangan vegetasi di sepanjang tebing
aliran air tersebut. Dengan adanya penebangan atau pembukaan vegetasi di
sepanjang tebing aliran tersebut mengakibatkan lebih banyak cahaya matahari
yang dapat menembus ke permukaan aliran air tersebut dan pada akhirnya akan
meningkatkan suhu di dalam air (Asdak, 1995).
Suhu air atau temperatur air di sungai Pelus pada bagian hulu adalah
sebesar 26 0C, pada bagian tengah dan hilir temperatur airnya mencapai 27 0C.
Nilai temperatur air tersebut masih dalam batas normal, tidak terlalu dingin dan
tidak terlalu hangat atau panas sehingga flora dan fauna organisme akuatis dapat
tumbuh dengan optimal. Nilai temperatur udara di sekitar sungai pada bagian hulu
temperatur udaranya adalah 270C, pada bagian tengah sebesar 26 0C, dan pada
bagian hilir sebesar 31 0C. Temperatur udara tersebut masih dalam batas normal.
Jika temperatur udaranya terlalu dingin atau terlalu panas maka hal tersebut tidak
bagus untuk kehidupan ikan organisme akuatik lainnya.
pH air. pH air biasanya dimanfaatkaan untuk menentukan indeks
pencemaran dengan melihat tingkat keasaman atau kebasaan air yang diuji,
terutama oksidasi sulfur dan nitrogen pada proses pengasaman dan oksidasi
kalsium dan magnesium pada proses pembasaan. Besarnya angka pH dalam suatu
perairan dapat dijadikan indikator adanya keseimbangan unsur-unsur kimia dan
dapat mempengaruhi ketersediaan dan unsur hara yang sangat bermanfaat bagi
kehidupan vegetasi akuatik. pH air juga mempunyai peranan penting bagi
kehidupan ikan dan fauna lain yang hidup di perairan tersebut. Umumnya,
perairan dengan tingkat pH lebih kecil daripada 4,8 dan lebih besar daripada 9,2
sudah dianggap tercemar (Brook et al., 1989).
Bagi kebanyakan ikan yang hidup di perairan tawar, angka pH yang
dianggap sesuai untuk kehidupan ikan-ikan tersebut adalah berkisar anatara 6,0
hingga 8,4. Apabila pH air telah turun jauh dibawah angka 6,0 ikan dan organisme
akuatik lainnya menjadi terganggu kehidupannya. Pada angka pH lebih kecil dari
4,5 keadaan kualitas air telah menjadi kritis dan tidak mampu lagi mendukung
kehidupan ikan. Sementara itu, untuk kebanyakan jenis ganggang tidak dapat
hidup di perairan dengan pH lebih besar daripada 8,5 (Asdak, 1995).
pH air di sungai Pelus dari bagian hulu, tengah, dan hilir mempunyai nilai
pH yang sama yaitu 6,0. Hal ini berarti sungai Pelus masih bagus kualitas airnya
dan pH tersebut merupak pH yang optimal untuk kehidupan ikan dan organisme
akuatik lainnya.
Kondisi daratan disekitar aliran sungai banayk ditumbuhi pepehonan dan
tanah yang ada dimanfaatkan sebagai lahan pemukiman dan lahan perkebunan.
Tanah pada lahan tersebut merupakan tanah serasah ada juga yang berupa pasir,
pH tanah normal yaitu 7,0 sehingga tanah tersebut sangat cocok untuk lahan
perkebunan. Temperatur udara dibagian daratan adalah sebesar 260C pada bagian
hulu dan tengah sedangkan pada bagian hilir temeperatur udaranya adalah 31 0C.
Nilai temperatur ini masih dalam batas normal untuk pertumbuhan organisme
yang ada di dalamnya (Dwidjoseputro, 1991).
Tanaman bambu tersebar luas di daerah beriklim tropis, sub tropis dan
sedang (Sutiyono, et al., 1992). Penyebaran bambu berdasarkan garis lintang yaitu
antara 40o LU/LS dengan penyebaran bambu tipe monopodial 30-38o LU/LS dan
bambu tipe simpodial 250 LU/LS (Uchimura, 1981).
Penyebaran bambu yang luas ini sangat dipengaruhi oleh faktor iklim
antara lain suhu, curah hujan, kelembaban yang berkaitan satu dengan yang lain
(Sutiyono, et al., 1992). Menurut Huberman (1959) daerah yang memiliki curah
hujan tahunanan minimal 1020 mm dan kelembaban udara minimal 80% dengan
suhu optimum antara 8,8-360C merupakan daerah yang cocok untuk pertumbuhan
bambu. Bambu dapat tumbuh baik di berbagai jenis tanah, kecuali tanah yang
berada di dekat pantai. Pada tanah tersebut, bambu dapat tumbuh tetapi
pertumbuhannya lambat dan buluh kecil. Umumnya bambu dapat tumbuh di
tempat dengan ketinggian 1-1200 m dpl dengan keadaan pH tanah antara 5,0-6,5
(Alrasyid, 1990). Verhoef (1957) menyatakan bahwa berbagai keadaan tanah
dapat ditumbuhi oleh bambu mulai dari tanah ringan sampai tanah berat, tanah
kering sampai tanah becek dan dari tanah yang subur sampai ke tanah yang
kurang subur.
Berdasarkan data moluska yang diperoleh, pada daerah hulu hanya
ditemukan spesies Pomatiopsis sp yang berjumlah 15 individu. Jumlah spesies
pada daerah tengah ditemukan 6 spesies yang berbeda dengan jumlah yang
berbeda, diantaranya Gillia altilis 1, Mudalia sp. 14, Paludestrina minuta 10,
Pleurocera acuta 2, Goniobasis airginica 2,dan Lyrodes coronatus 3. Sedangkan
jumlah spesies pada daerah hilir ditemukan 4 spesies yang berbeda yaitu,
Paludestrina minuta 19, Pleurocera acuta 1, Lyrodes coronatus 5, dan Littoridina
monroensis 2.
Adanya perbedaan jumlah komposisi taksa moluska pada Sungai Pelus
dapat disebabkan karena adanya perbedaan pengaruh bahan organik dan adanya
perubahan kondisi lingkungan, khususnya substrat sebagai akibat dari kegiatan
antropogenik dan industri yang menimbulkan tekanan lingkungan terhadap jenis
moluska tertentu. Komposisi taksa pada tingkat genus yang hanya berkisar antara
5 - 6 jenis, menandakan bahwa tingkat keanekaragaman taksa ini tergolong
rendah. Sedikitnya jumlah taksa yang ditemukan juga tidak dapat menunjukkan
bahwa perairan tersebut tercemar. Ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi
kondisi suatu lingkungan, misalnya fungsi aliran energi. Menurut Odum (1971),
penilaian tercemar atau tidaknya suatu ekosistem tidak mudah terdeteksi dari
hubungan antara keanekaragaman dan kestabilan komunitasnya. Sistem yang
stabil, dalam pengertian tahan terhadap gangguan atau bahan pencemar bisa saja
memiliki keanekaragaman yang rendah atau tinggi, hal ini tergantung dari fungsi
aliran energi yang terdapat pada perairan tersebut.
KESIMPULAN

Berdasarkan hasil dan pembahasan yang dipaparkan sebelumnya, maka


dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Macam-macam komunitas yang terdapat di alam secara garis besar dapat
dibagi menjadi dua bagian yaitu komunitas akuatik dan terrestrial.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi moluska dan distribusi bambu
antara lain: gas terlarut, kejernihan, arus air, suhu, penetrasi cahaya, pH,
substrat dan polinasi.
3. Faktor lingkungan yang penting untuk daratan yaitu cahaya, temperatur
dan air, sedangkan cahaya, temperatur dan kadar garam merupakan faktor
tiga besar untuk perairan.
4. Perpindahan energi akan terjadi melalui proses makan-memakan atau
disebut rantai makanan yang kemudian bergabung membentuk jaring-
jaring makanan.
5. Dalam satu ekosistem, terdapat variasi komponen abiotik dan biotic yang
menempati suatu zona berbeda pada sungai.
6. Sungai Pelus sebagai daerah aliran sungai yang memiliki potensi besar
bagi kesejahteraan masyarakat senantiasa harus selalu dijaga
kelestariannya dari usaha pencemaran.
DAFTAR PUSTAKA

Anonymous. Bamboo. http://www.artikata.com/arti-320512-bambu.php. Diakses


tanggal 24 November 2010

Anonymous. Serasah. http://id.wikipedia.org/serasah.html. Diakses tanggal 25


November 2010.

Asdak, 2007. Hidrologi Dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah mada
University press. Yogyakarta.

Asdak, C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.

Barus, 2002. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. PT. Gramedia,


Jakarta. 459 hal.

Brooks, K. N., P. F. Ffolliott, H. M. Gregersen, dan J. L. Thames. 1989.


Hydrology and the Management of Watershed. Ohio University Press,
Columbus, USA.

Dwidjoseputro, D. 1991. Ekologi Manusia dengan Lingkungannya. Erlangga,


Jakarta.

Effendi, H. 2003. Lahan Kualitas Air bagi Pengelola Sumberdaya & Lingkungan
Perairan. J MSP Fak. P & K IPB, Bogor.

Halfon, E. 1979. Theoretical Systems in Ecology. Academic Press. New york.

Hewlett, J. D. 1982. Principles of Forest Hydrology. The University of Georgia


Press. Athens, USA.

Irwan, 1992. Ekosistem Komunitas & Lingkungan. Bumi aksara. Jakarta.

Koesoebiono. 1979. Dasar-dasar Ekologi Umum, Bagian IV (Ekologi Perairan).


Sekolah Pasca Sarjana, Jurusan PSL, IPB, Bogor.124 hal.

Krebs, C.J. 1989. Ecological Methodology. Harper and Row Publishers, New
York. 678 p.

Leksono, A. S. 2007. Ekologi Pendekatan Deskriptif dan Kuantitatif. Bayumedia


Publishing, Malang.

Mason, C.F. 1981. Biology of Freshwater Pollution.Longman Inc. New York. 250
hal.

Odum, E.P. 1971. Fundamental of Ecology. 3rd Edition W. B. Saunders Co.


Philadelphia. 546 p.
Odum, T. Howard.1992. Ekologi System. Yogyakarta : Gajah Mada University
Press. Rajawali.

Pennak, RW. 1978. Freshwater Invertebrates of the United States. New York: A
Willey Interscience Publications John Willey and Sons.

Polunin, nicholas. 1997. Teori ekosistem dan penerapannya. Yogyakarta ;


Universitas Gajah Mada Press.

Polunin, nicholas. 1997. Teori ekosistem dan penerapannya. Yogyakarta ;


Universitas Gajah Mada Press.

Sary, 2006. Bahan Kuliah Manajemen Kualitas Air. Politehnik vedca. Cianjur.

Soendjoto, M.A. 1997. Prosiding Ekspose Hasil Penelitian dan Uji Coba Balai
Teknologi Reboisasi Banjar Baru. Upaya Peningkatan Mutu dan
Produktifitas Hutan Menuju Pengelolaan Hutan Lestari. BTR Banjarbaru,
Kal – Sel.

Soeriaatmadja, R. E. 1977. Ilmu Lingkungan. ITB, Bandung.

Susatyo, ari. 2003. Petunjuk praktikum ekologi. Semarang ; IKIP PGRI


Semarang.

Susatyo, ari. 2003. Petunjuk praktikum ekologi. Semarang ; IKIP PGRI


Semarang.

Thohir, K. A. 1991. Butir-Butir Tata Lingkungan. Rineka Cipta, Jakarta.

Widjaja, E. A. 1998. Bamboo diversity in Flores. In H. Simbolon, The Natural


Resources of Flores Island. :38-50.

Widjaja, E. A. 1998. Bamboo diversity in Flores. In H. Simbolon, The Natural


Resources of Flores Island. :38-50.

Widjaja, E. A. 2001. Identikit Jenis-jenis Bambu di Kepulauan Sunda


Kecil.Bogor: Herbarium Bogoriense, Balitbang Botani, Puslitbang
Biologi-LIPI.

Widjaja, E. A. 2001. Identikit Jenis-jenis Bambu di Kepulauan Sunda


Kecil.Bogor: Herbarium Bogoriense, Balitbang Botani, Puslitbang
Biologi-LIPI.

Widjaja, E.A. 1985. Bamboo research in Indonesia, in Lissard and A Chouinard


(eds). Bamboo Research in Asia Proceedings of a Workshop held in
Singapura. IDRC and IUFRO.

Wirakusumah, S. 2003. Dasar-Dasar Ekologi Menopang Pengetahuan Ilmu-Ilmu


Lingkungan. UI-Press, Jakarta.

You might also like