You are on page 1of 15

Tradisi Selamatan Bancaan Weton

Abstrak

Religi masyarakat Jawa memandang bahwa jagad raya merupakan satu kesatuan yang serasi dan
harmonis, tidak lepas satu dengan yang lain dan selalu berhubungan. Jagad raya terdiri dari jagad
gede(makrokosmos – alam di luar manusia) dan jagad cilik(mikrokosmos – alam manusia). Antara
jagad gede dan jagad cilik tidak selalu dalam keadaan stabil, namun mengalami juga kelabilan.
Kelabilan yang terjadi di dalam jagad gede, sebagai akibat dari ulah yang ditimbulkan oleh jagad
cilik, atau sebaliknya. Keteraturan di dalam jagad gede dan jagad cilik adalah terkoordinasi dan
apabila masing-masing berusaha keras ke arah kesatuan dan keseimbangan, maka hidup akan
lebih tentram dan harmonis. Masyarakat Jawa selalu berusaha menjaga keharmonisan jagad raya
agar senantiasa selamat dan tentram lahir dan batin. Upacara selamatan merupakan salah satu
tradisi yang dianggap dapat menjauhkan diri dari mala petaka. Slametan adalah konsep universal
yang di setiap tempat pasti ada dengan nama yang berbeda. Hal ini karena kesadaran akan diri
yang “lemah” di hadapan kekuatan-kekuatan di luar diri manusia.

Kata kunci: Masyarakat, harmonis, tradisi, upacara, selamatan

Pendahuluan

Kebudayaan adalah keseluruhan dari kelakuan dan hasil kelakuan manusia


yang harus didapatkannya dengan belajar dan yang semuanya tersusun
dalam kehidupan masyarakat (Koentjaraningrat 1969). Kebudayaan
mempunyai paling sedikit tiga wujud, yaitu: 1) wujud kebudayaan sebagai
suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma norma, peraturan dan
sebagainya; 2) wujud kebudayaan sebagai kompleks aktivitas kelakuan
berpola dari manusia dalam masyarakat; dan 3) wujud kebudayaan sebagai
benda-benda hasil karya manusia. Kompleks gagasan yang oleh
Koentjaraningrat juga disebut kebudayaan ideal, tersimpan antara lain dalam
kesusasteraan, yaitu ungkapan pikiran, cita-cita, serta renungan manusia
pada saat tertentu. Ia merupakan landasan bagi kelakuannya dalam
masyarakat tersebut yang masih dapat diamati. Ungkapan tersebut
diwujudkan dalam berbagai bentuk, antara lain adat-istiadat, upacara-
upacara peribadatan, doa, mantra-mantra, cerita rakyat, yang semuanya itu
tergolong kesasteraan lisan dan dalam kesasteraan tulisan.
Pada prakteknya, manusia hidup bermasyarakat diatur oleh suatu aturan,
norma, pandangan, tradisi, atau kebiasaan-kebiasaan tertentu yang
mengikatnya, sekaligus merupakan cita-cita yang diharapkan untuk
memperoleh maksud dan tujuan tertentu yang sangat didambakannya.
Aturan, norma, pandangan, tradisi, atau kebiasaan kebiasaan itulah yang
mewujudkan sistem tata nilai untuk dilaksanakan masyarakat pendukungnya,
yang kemudian membentuk adat-istiadat. Koentja-raningrat mengatakan
bahwa adat-istiadat sebagai suatu kompleks norma-norma yang oleh
individu-individu yang menganutnya dianggap ada di atas manusia yang
hidup bersama dalam kenyataan suatu masyarakat.
Di dalam masyarakat Jawa misalnya, adat-istiadat yang kini masih
dipertahankan, dilestarikan, diyakini, dan dikembangkan, benar-benar dapat
memberikan pengaruh terhadap sikap, pandangan, dan pola pemikiran bagi
masyarakat yang menganutnya. Adat-istiadat Jawa tersebut sangat menarik
sebagai bahan kajian budaya, karena didalamnya memuat hal-hal yang
bersifat unik. Ditengok dari segi kesejarahannya, adat-istiadat Jawa telah
tumbuh dan berkembang lama, baik di lingkungan kraton maupun di luar
kraton. Adat istiadat Jawa tersebut memuat sistem tata nilai, norma,
pandangan maupun aturan kehidupan masyarakat, yang kini masih diakrabi
dan dipatuhi oleh orang Jawa yang masih ingin melestarikannya sebagai
warisan kebudayaan yang dianggap luhur dan agung. Dalam usahanya untuk
melestarikan adat-istiadat, masyarakat Jawa melaksanakan tata upacara
tradisi sebagai wujud perencanaan, tindakan, dan perbuatan dari tata nilai
yang telah teratur rapi. Sistem tata nilai, norma, pandangan maupun aturan
yang terpancar dan diwujudkan dalam upacara tradisi pada hakekatnya
adalah pengejawantahan dari tata kehidupan masyarakat Jawa yang selalu
ingin lebih berhati-hati, agar dalam setiap tutur kata, sikap, dan tingkah-
lakunya mendapatkan keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan baik
jasmaniah maupun rokhaniah.
Tata upacara tradisi yang masih dipatuhi dan diakrabi serta tumbuh dan
berkembang di tengah-tengah masyarakat Jawa pada prinsipnya merupakan
siklus dan selalu mengikuti dalam kehidupan mereka, sejak seseorang belum
lahir (di alam kandungan), lahir (di alam fana), dan meninggal (menuju alam
baka). Upacara tradisi Jawa yang diperuntukkan bagi manusia sejak dalam
alam kandungan hingga meninggal itu sering disebut upacara selamatan.
Upacara selamatan yang diperuntukkan bagi manusia yang belum lahir
tersebut, seperti: kehamilan bulan ke tiga (neloni), kehamilan bulan ke empat
(ngapati), dan kehamilan bulan ke tujuh (mitoni/ tingkeban). Setelah manusia
dilahirkan di dunia, maka bentuk upacara yang diperuntukkan baginya, antara
lain: kelahiran bayi (brokohan), lima hari (sepasaran), puput pusar, tiga puluh
lima hari (selapanan), sunatan, tedak siten, perkawinan, dan ruwatan.
Sedangkan upacara selamatan bagi manusia yang telah meninggal, yaitu:
saat meninggal dunia (geblak), hari ke tiga, hari ketujuh, hari ke empat puluh,
hari ke seratus (nyatus), satu tahun (pendhak pisan), dua tahun (pendhak
pindho), dan tiga tahun (pendhak katelu/ nyewu).

Pembahasan

Konsep Slametan dalam Masyarakat Jawa


Masyarakat jawa sebelum mengenal agama mempunyai system
kepercayaan yang berkaitan dengan animisme dan dinamisme. Kepercayaan
tersebut begitu lekat di dalam kehidupan masyarakat Jawa, bahkan sampai
sekarang masih ada yang menganutnya. Menurut Harustato (1987: 98)
sejarah perkembangan religi orang Jawa telah dimulai sejak zaman pra
sejarah, dimana pada waktu itu nenek moyang orang Jawa beranggapan
bahwa : semua benda yang ada di sekelilingnya mempunyai nyawa, dan
semua yang bergerak dianggap hidup dan mempunyai kekuatan gaib atau
mempunyai roh yang berwatak baik maupun jahat. Golongan kejawen masih
begitu lekat dengan tradisi selamatan karena sebelum agama Islam, Katolik
dan Kristen dating ke Jawa, masyarakat jawa telah lama menganut Hindu
dan Budha. Sehingga tradisi pemujaan terhadap dewa-dewa masih begitu
lekat dengan masyrakat Jawa. Pandangan hidup masyarakat jawa dalam
beragam tidak lepas dari sikap-sikap dasar masyarakat Jawa yang akhirnya
menjadi nilai-nilai luhur budaya Jawa. Sikap tersebut salah satunya adalah
manjing ajur ajer, yang pada dasarnya merupakan sikap keterbukaan dalam
hal apapun, sehingga pada saat agama-agama dari luar masuk, masyarakat
Jawa terbuka untuk menerimanya. Keagamaan orang Jawa kejawen
selanjutnya ditentukan oleh kepercayaan pada pelbagi macam roh yang tidak
kelihatan, yang menimbulkan kecelakaan dan penyakit apabila mereka dibuat
marah atau kita kurang hati-hati.
Slametan berasal dari kata slamet (Arab: salamah) yang berarti selamat,
bahagia, sentausa. Selamat dapat dimaknai sebagai keadaan lepas dari
insiden-insiden yang tidak dikehendaki. Sementara itu, Clifford Geertz15
slamet berarti gak ana apa-apa (tidak ada apa-apa), atau lebih tepat “tidak
akan terjadi apa-apa” (pada siapa pun). Selamatan adalah sebuah bentuk
budaya atau tradisi kultural yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan
masyarakat Jawa. Sesuai dengan paparan yang disampaikannya, Geertzs
dalam bukunya ”Toward and Interpretive Theory and Culture: The
Interpretation of Culture” mengemukakan beberapa makna mengenai
kebudayaan atau nilai-nilai kultur. Diantaranya adalah : Kebudayaan adalah
gaya hidup total dari sebuah kelompok masyarakat. Kebudayaan adalah cara
masyarakat memandang, merasa dan mempercayai. Kebudayaan adalah
sebuah abstraksi dari perilaku. Kebudayaan adalah sebuah perilaku yang
dipelajari secara turun temurun. Kebudayaan adalah sebuah pemberian
makna dari sejarah
Konsep tersebut dimanifestasikan melalui praktik-praktik selametan.
Selametan adalah kegiatan-kegiatan komunal Jawa yang biasanya
digambarkan oleh ethnografer sebagai pesta ritual, baik upacara di rumah
maupun di desa,bahkan memiliki skala yang lebih besar, mulai dari tedak siti
(upacara menginjak tanah yang pertama), mantu (perkawinan), hingga
upacara tahunan untuk memperingati ruh penjaga. Dengan demikian,
slametan merupakan memiliki tujuan akan penegasan dan penguatan
kembali tatanan kultur umum. Di samping itu juga untuk menahan kekuatan
kekacauan (talak balak).
Penulis mencoba mengulas tradisi Selamatan Bancaan Weton dengan
pendekatan teori Thick Description dari Clifford Geertz. Sebuah pemaparan
yang mendalam (thick description) menurut Geertz adalah sebuah
pemaparan yang dihasilkan ketika sang pemapar terlibat atau berpartisipasi
dalam kehidupan para pelaku budaya atau tradisi, sehingga dapat mengenali
makna-makna simbolis sebagaimana diartikan oleh para pelaku itu sendiri.
Dengan pengalaman pribadi sebagai seorang Jawa yang masih melakukan
tradisi selamatan, penulis berusaha untuk mengerti dan mencoba untuk
memahami makna dari tradisi selamatan dalam bancaan weton melalui
pengalaman pribadi sebagai orang Jawa yang pernah melakukan upacara
selamatan ini dan uji pustaka baik dari situs-situs budaya resmi atau hasil
pengalaman pribadi seseorang yang dibagikan lewat media.

A. Selamatan Bancaan Weton


Masyarakat mempunyai keyakinan bahwa yang ada di dunia nyata
mendapatkan pengaruh dari dunia gaib, demikian pula mengenai alam
semesta (jagad raya), merupakan susunan yang teratur rapi dan bergerak
sesuai dengan rotasi dan revolusinya. Apabila salah satu unsur jagad raya
menyimpang dari ketentuan tersebut, maka jagad raya akan mengalami
kegoncangan, oleh karena itu unsur yang satu dengan yang lainnya di dalam
jagad raya merupakan sistem yang tertata rapi, serasi, dan
harmonis.Pandangan yang menganggap bahwa alam semesta yang terdiri
dari jagad gede dan jagad cilik adalah satu kesatuan yang serasi dan
harmonis, tidak lepas satu dengan yang lainnya dan selalu berhubungan,
merupakan konsep kosmis. Masyarakat Jawa beranggapan bahwa peristiwa
yang terjadi di jagad cilik, karena mendapat pengaruh dari jagad gede, atau
sebaliknya yang mengakibatkan kegoncangan. Konsep ini disebut magis.
Dalam masyarakat Jawa terlihat dengan jelas pula mengenai tatanan
kehidupan yang teratur rapi, kejelasan mengenai fungsi dan kedudukan
manusia dalam hubungannya dengan manusia lain, alam semesta, dan
Tuhan. Semuanya ini berkaitan pula dengan pandangan bahwa alam
semesta pada prinsipnya tertata rapi, serasi, dan harmonis, seiring dan
selaras dengan kehidupan manusia dalam masyarakat. Konsep yang ketiga
ini disebut klasifi katoris. Ketiga konsep tersebut merupakan satu kesatuan
yang utuh dan saling berpautan. Keteraturan manusiawi dan kosmos adalah
terkoordinasi, hal ini bagian dari suatu keseluruhan dan bila bagian-bagian itu
berusaha keras ke arah kesatuan dan keseimbangan, hidup akan menjadi
nikmat dan tentram.
Bancakan weton dilakukan tepat pada hari weton kita. Dalam tradisi Jawa,
seseorang harus dibuatkan bancakan weton minimal sekali selama seumur
hidup. Namun akan lebih baik dilakukan paling tidak setahun sekali. Apabila
seseorang sudah merasakan sering mengalami kesialan (sebel-sial),
ketidakberuntungan, selalu mengalami kejadian buruk, biasanya dilakukan
bancakan weton selama 7 kali berturut-turut, artinya sekali bancakan setiap
35 hari, selama 7 bulan berturut-turut.

B. Manfaat Bancaan Weton


Setiap anak baru lahir, orang tuanya membuat bancakan weton pertama kali
biasanya pada saat usia bayi menginjak hari ke 35 (selapan hari). Bancakan
weton dapat dilaksanakan tepat pada acara upacara selapanan atau
selamatan ulang weton yang pertama kali. Anak yang sering dibuatkan
bancakan weton secara rutin oleh orangtuanya, biasanya hidupnya lebih
terkendali, lebih berkualitas atau bermutu, lebih hati-hati, tidak liar dan
ceroboh, dan jarang sekali mengalami sial. Bahkan seorang anak yang sakit-
sakitan, sering jatuh hingga berdarah-darah, nakal bukan kepalang, setelah
dibuatkan bancakan weton si anak tidak lagi sakit-sakitan, dan tidak nakal.
Manfaat dan tujuan bancakan weton adalah untuk “ngopahi sing momong”,
memberikan penghargaan atau upah bagi yang mengasuh, karena
masyarakat Jawa percaya dan memahami jika setiap orang ada yang
momong (pamomong) atau “pengasuh dan pembimbing” secara metafisik.
Pamomong bertugas selalu membimbing dan mengarahkan agar seseorang
tidak salah langkah. Pamomong sebisanya selalu menjaga agar kita  bisa
terhindar dari perilaku yang keliru, tidak tepat, ceroboh, merugikan. Antara
pamomong dengan yang diemong seringkali terjadi kekuatan tarik-menarik.
Pamomong menggerakkan ke arah kareping rahsa, atau mengajak kepada
hal-hal baik dan positif,  sementara yang diemong cenderung menuruti
rahsaning karep, ingin melakukan hal-hal semaunya sendiri, menuruti
keinginan negative,  dengan mengabaikan kaidah-kaidah hidup dan melawan
tatanan yang akan mencelakai diri pribadi, bahkan merusak ketenangan dan
ketentraman masyarakat. Antara pamomong dengan yang diemong terjadi
tarik menarik, Dalam rangka tarik-menarik ini,  pamomong tidak selalu
memenangkan “pertarungan” alias kalah dengan yang diemong. Dalam
situasi demikian yang diemong lebih condong untuk selalu mengikuti
rahsaning karep (nafsu). Dalam tradisi Jawa, interaksi sebagai bentuk
penghargaan kepada pamomong, apalagi diopahi dengan cara membuat
bancakan weton. Bancakan weton juga tersirat makna, penyelarasan antara
lahir dengan batin, antara jasad dan sukma, antara alam sadar dan bawah
sadar.
Selamatan Bancaan Weton ini sebenarnya untuk Sang Pamomong atau yang
menjaga dan mengasuh. Penulis berusaha untuk menjelaskan secara detil
tentang siapa sebenarnya Pamomong atau Sang Pengasuh ini, oleh karena
tidak setiap orang memahami. Bahkan seseorang yang bener-bener tidak
paham siapa yang momong, kemudian bertanya, namun setelah dijawab toh
akhirnya membantah sendiri. Seperti itulah karakter pikir sebagian anak
zaman sekarang yang terlalu “menuhankan” rasio dan sebagian yang lain
tidak menyadari bahwa dirinya sedang tidak sadar. Pamomong, atau sing
momong, adalah esensi energy yang selalu mengajak, mengarahkan,
membimbing dan mengasuh diri kita kepada sesuatu yang tepat, pas dan
pener dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Esensi energy dapat dirasakan
bagaikan medan listrik, yang mudah dirasakan tetapi sulit dilihat dengan mata
telanjang. Sementara itu eksistensi pamomong sejauh ini memang bisa
dirasakan, dan bagi masyarakat yang masih awam pembuktiannya masih
terbatas pada prinsip-prinsip silogisme setelah menyaksikan dan mersakan
realitas empiris. Pamomong diakui eksistensinya setelah melalui proses
konklusi dari pengalaman unik (unique experience) yang berulang terjadi
pada diri sendiri dan yang dialami banyakan orang.  Lain halnya bagi
sebagian masyarakat yang pencapaian spiritualitasnya sudah memadai
dapat pembuktiannya  tidak hanya sekedar merasakan saja, namun dapat
menyaksikan atau melihat dengan jelas siapa sejatinya sang pamomong
masing-masing diri kita.

D. Uborampe untuk membuat bancakan weton.


1. Tujuh macam sayuran : kacang panjang dan kangkung (harus ada), kubis,
kecambah/tauge yang panjang, wortel,  daun kenikir, bayam, dll bebas
memilih yang penting jumlahnya ada 7 macam. Seluruh sayuran direbus
sampai masak.
Maknanya ; 7 macam sayur, tuju atau (Jawa; pitu), yakni mengandung
sinergisme harapan akan mendapat pitulungan (pertolongan) Tuhan. Kacang
panjang dan kangkung tidak boleh dipotong-potong, biarkan saja memanjang
apa adanya. Maknanya adalah doa panjang rejeki, panjang umur, panjang
usus (sabar), panjang akal.
2. Telur ayam (bebas telur ayam apa saja). Jumlah telur bisa 7, 11, atau 17
butir anda bebas menentukannya. Telur ayam direbus lalu dikupas kulitnya.
Maknanya; jumlah telur 7 (pitu), 11 (sewelas), 17 (pitulas) bermaksud
sebagai doa agar mendapatkan pitulungan (7), atau kawelasan (11), atau
pitulungan dan kawelasan (17).
3. Bumbu urap atau gudangan. Jika yang diberi bancakan weton masih usia
kanak-kanak sampai usia sewindu (8 tahun) bumbunya tidak pedas. Usia
lebih dari 8 tahun bumbu urap/gudangannya pedas.  
Maknanya : bumbu pedas menandakan bahwa seseorang sudah berada
pada rentang  kehidupan yang sesungguhnya. Kehidupan yang penuh manis,
pahit, dan getir. Hal ini melambangkan falsafah Jawa yang mempunyai
pandangan bahwa pendidikan kedewasaan anak harus dimulai sejak dini.
Pada saat anak usia lewat sewindu sudah  harus belajar tentang kehidupan
yangs sesungguhnya.  Karena usia segitu adalah usia yang paling efektif
untuk sosialisasi, agar kelak menjadi orang yang pinunjul, mumpuni, perilaku
utama, bermartabat dan bermanfaat bagi sesama manusia, seluruh makhluk,
lingkungan alamnya.
4. Empat macam polo-poloan. Terdiri dari; 1) polo gumantung (umbi yang
tergantung di pohon misalnya; pepaya), 2) polo kependem (tertaman dalam
tanah) misalnya telo (singkong), 3) polo rambat atau yang merambat
misalnya ubi jalar.  4) kacang-kacangan bisa diwakili dengan kacang tanah.
Semuanya direbus kecuali pepaya. Pepaya boleh utuh atau
separoh/sepotong saja.
5. Nasi Tumpeng Putih. Beras dimasak (nasi) untuk membuat tumpeng.
Perkirakan mencukupi untuk minimal 7 porsi. Setelah nasi tumpeng selesai
dibuat dan di doakan, lalu dimakan bersama sekeluarga dan para tetangga.
Jumlah minimal orang yang makan usahakan 7 orang, semakin banyak
semakin baik, misalnya 11 orang, 17 orang.
Maknanya, dimakan 7 orang dengan harapan mendapat pitulungan yang
berlipat tujuh.  Jika 11 orang, berharap mendapat kawelasan yang berlipat
sebelas. 17 berharap mendapat pitulungan lan kawelasan berlipat 17. Namun
hal ini hanya sebagai harapan saja, perkara terkabul atau tidak hal itu
menjadi “hak prerogatif” Tuhan.
6. Alat-alat kelengkapan : 1) daun pisang secukupnya, digunakan sebagai
alas tumpeng. 2) kalo (saringan santan) harus yang baru atau belum pernah
digunakan. 3)  cobek tanah liat yang baru atau belum pernah digunakan. 
Jajanan pasar. Terdiri dari makanan tradisional yang ada di pasar. Misalnya
makanan terbuat dari ketan; wajik, jadah, awug, puthu, lemper dll. Makanan
yang terbuat dari beras ; apem, cucur, mandra. Serta dilengkapi buah-
buahan yang ditemui di pasar seperti salak, rambutan, manggis, mangga,
kedondong, pisang..
Maknanya ; kesehatan, rejeki, keselamatan, supaya selalu lengket, menyertai
kemanapun pergi, dan dimanapun berada.
8. Kembang setaman (terdiri dari ; mawar merah, mawar putih, kantil, melati,
kenanga).
Maknanya : kembang setaman masing-masing memiliki arti sendiri-sendiri.
Misalnya bunga mawar ; awar-awar supaya hatinya selalu tawar dari segala
nafsu negatif. Bunga melati, melat-melat ing ati selalu eling dan waspada.
Bunga kenanga, agar selalu terkenang atau teringat akan sangkan paraning
dumadi. Kanthil supaya tansah kumanthil, hatinya selalu terikat oleh tali rasa
dengan para leluhur yang menurunkan kita, kepada orang tua kita, dengan
harapan kita selalu berbakti kepadanya. Kanthil sebagai pepeling agar
supaya kita jangan sampai menjadi anak atau keturunan yang durhaka
kepada orang tua, dan kepada para leluhurnya, leluhur yang menurunkan kita
dan leluhur perintis bangsa.
9. Uang Logam (koin) Rp.100 atau 500, atau 1000. Diharapkan agar anak
yang didoakan tersebut senantiasa berkecukupan dengan keberuntungan
duniawi dan tak lupa menyisihkannya untuk mereka yang kurang beruntung
di sekitarnya. Dalam hal ini intinya adalah saling memberi dan menerima.
10. Bubur 7 rupa: bahan dasar bubur putih atau gurih (santan dan garam)
dan bubur merah atau bubur manis (ditambah gula jawa dan garam
secukupnya).  Selanjutnya dibuat menjadi 7 macam kombinasi; bubur merah,
bubur putih, bubur merah silang putih, putih silang merah, bubur putih
tumpang merah, merah tumpang putih, baro-baro (bubur putih ditaruh sisiran
gula merah dan parutan kelapa secukupnya).
Maknanya : bubur merah adalah lambang ibu. Bubur putih lambang ayah.
Lalu terjadi hubungan silang menyilang, timbal-balik, dan keluarlah bubur
baro-baro sebagai kelahiran seorang anak. Hal ini menyiratkan ilmu sangkan,
asal mula kita. Menjadi pepeling agar jangan sampai kita menghianati ortu,
menjadi anak yang durhaka kepada orang tua.
11. Membuat teh tubruk dan kopi tubruk. Di tambah rujak degan (kelapa
muda) menggunakan air kelapa ditambah gula merah dan garam secukupnya
dan disajikan dalam gelas atau cangkir tetapi yang tertutup.

Cara Penyajian atau penyusunan sajen dan Maknanya.


1. “Sate” terdiri dari (urutkan dari bawah); cabe merah (posisi horizontal),
bawang merah, telur rebus utuh dikupas kulitnya (posisi vertikal), dan cabe
merah posisi vertikal.  “Sate” ditancapkan di pucuk tumpeng.
Maknanya ; kehidupan ini penuh dengan pahit, getir, pedas, manis, gurih.
Untuk menuju kepada Hyang Maha Tunggal banyak sekali rintangannya.
Sate ditancapkan di pucuk tumpeng mengandung pelajaran bahwa untuk
mencapai kemuliaan hidup di dunia (kemuliaan) dan setelah ajal (surga atau
kamulyan sejati) semua itu tergantung pada diri kita sendiri.
2. Nasi tumpeng dicetak kerucut besar di bawah runcing di bagian atas.
Tumpeng letakkan tepat di tengah-tengah kalo.
Maknanya ; nasi tumpeng sebagai wujud doa, sekaligus keadaan di dunia ini.
Segala macam dan ragam yang ada di dunia ini adalah bersumber dari Yang
Satu. Dilambangkan sebagai tumpeng berbentuk kerucut di atas. Makna
lainnya bahwa segala macam doa merupakan upaya sinergisme kepada
Tuhan YME. Oleh sebab itu, di bagian bawah tumpeng bentuknya lebar dan
besar, semakin ke atas semakin kerucut hingga bertemu dalam satu titik.
Satu titik itu menjadi pucuk atau penyebab dari segala yang ada (causa
prima) melambangkan eksistensi Tuhan sebagai episentrum dari segala
episentrum.
3. Tujuh macam sayur ditata mengelilingi tumpeng serta bumbu
gudangan/urap diletakkan di antaranya. Makna 7 macam sayur sudah saya
ungkapkan di atas. Sayur di tata mengelilingi tumpeng. Tumpeng sebagai
pusatnya energy ada di tengah. Energy diisi dengan segala hal yang positif
seperti harmonisasi simbol angka 7 (nyuwun pitulungan).
4. Telur rebus boleh utuh atau dibelah menjadi dua, ditata mengelilingi nasi
tumpeng (lihat gambar).
Maknanya : telur merupakan asal muasal terjadinya makhluk hidup. dalam
serat Wedhatama karya Gusti Mangkunegoro ke IV, telur melambangkan
proses meretasnya kesadaran ragawi (sembah raga) menjadi kesadaran
ruhani (sembah jiwa). Dua kesadaran itu akan menghantarkan menjadi
menusia yang sejati (sebagai kiasan dari proses menetas menjadi anak
ayam). Dalam cerita pewayangan telur juga melambangkan proses terjadinya
dunia ini. Kuning telur sebagai perlambang dari cahya sejati (manik maya),
putih telur sebagai rasa sejati (teja maya). Keduanya ambabar jati menjadi
Kyai Semar. Dengan perlambang telur, kita diharapkan selalu eling sangkan
(ingat asal muasal), menghargai dan memahami eksistensi sang Guru Sejati
kita yang tidak lain adalah sukma sejati yang dilimput oleh rasa sejati dan
disinari sang cahya sejati. Inilah unsur  Tuhan yang ada dalam diri kita. Dan
yang paling dekat; adoh tanpa wangenan, cedak tanpa senggolan (jauh
tanpa jarak, dekat tanpa bersentuhan). Lebih dekat dari urat leher. Inilah
salah satu sang Pamomong yang kita hargai eksistensinya melalui bancakan
weton.
5. Kalo diletakkan di atas cobek (kalo dialasi dengan cobek).
Maknanya : Cobek merupakan makna dari bumi (tanah) tempak kita berpijak.
Nasi tumpeng dan segala isinya yang diletakkan dalam kalo jika tidak dialasi
cobek bisa terguling. Hal ini mensyiratkan makna hendaknya menjalani hidup
di dunia ini ada keseimbangan atau harmonisasi antara jasmani dan rohani.
Antara unsur bumi dan unsur Tuhan. Antara kebutuhan raga dengan
kebutuhan jiwa, sehingga menjadi manusia sejati yang meraih kemerdekaan
lahir dan kemerdekaan batin.
6. Daun pisang dihias sedemikian rupa sesuai selera sebagai alas
meletakkan tumpeng dan sayuran. Daun yang hijau adalah lambang
kesuburan dan pertumbuhan. Maknanya adalah pengharapan doa negeri kita
maupun pribadi kita selalu diberkati Tuhan sebagai negeri yang subur
makmur, ijo royo-royo, kita menjadi pribadi yang subur makmur, dapat
menciptakan kesuburan bagi alam sekitar dan kepada sesama makhluk
hidup.
7. Sisa guntingan atau potongan daun pisang, hendaknya diletakkan di
antara cobek dengan kalo. Jangan lupa letakkan uang logam bersama
sampah sisa potongan daun pisang. Hal ini bermakna segala macam
“sampah kehidupan”, sifat-sifat buruk ditimbun atau dikendalikan oleh segala
macam perilaku kebaikan sebagaimana tersirat di dalam seluruh isi kalo.
Uang logam merupakan perlambang dari harta duniawi. Hal ini mengandung
pepeling (peringatan) bahwasanya harta karun dan segala macam perhiasan
duniawi ibarat sampah tidak akan berharga apa-apa jika tidak digunakan
sebagai sarana laku prihatin. Hal itu menjadikan harta kita tak ubahnya
seperti sampah yang mengotori kehidupan kita. Maka, jadilah orang kaya
harta yang selalu prihatin. Manfaatkan harta kita untuk memberi dan
menolong orang lain yang sangat butuh pertolongan dan bantuan, agar
tangan kita lebih mampu “telungkup”, agar jangan sampai kita menjadi orang-
orang fakir yang telapak tangannya selalu tengadah dan menjadi beban
orang lain.
8. Kembang setaman ditaruh dalam mangkok/baskom isi air mentah. Jika
ingin menambah dengan dupa ratus / semacam “dupa manten” bisa dibakar
sekalian pada saat merapal doa dan japa mantra.
Setelah seluruh uborampe bancakan weton selesai dibuat. Seluruh ubo
rampe bancakan diletakkan di dalam kamar yang sedang dibancaki weton.
Selanjutnya dirapal mantra dan doa, usahakan yang merapal mantra atau
doa seorang pepunden anda yang masih hidup. Misalnya orang tua anda,
bude, bulik, atau orang yang anda tuakan/hormati. Adapun doa dan rapalnya
adalah sebagai brikut :
“Kyai among nyai among, ngaturaken pisungsung kagem para leluhur ingkang sami
nurunaken jabang bayine…. (diisi nama anak/orang yang diwetoni) mugi tansah kersa
njangkung lan njampangi lampahipun, dados lare/tiyang ingkang tansah hambeg
utama, wilujeng rahayu, mulya,  sentosa lan raharja. Wilujeng rahayu kang tinemu,
bondo lan bejo kang teko kabeh saka kersaning Gusti”.
(Kyai among nyai among, perkenankan menghaturkan persembahan untuk para
leluhur yang menurunkan jabang bayi ….(sebut namanya), semoga selalu
membimbing, mengarahkan setiap langkahnya, agar menjadi orang yang berbudi
pekerti luhur,   selamat dan mulia dunia akhirat. Selamat selalu didapat, sukses dan
keberuntungan selalu datang. Semua atas izin Tuhan)
Setelah bancakan dihaturkan, ditinggalkan sebentar sekitar 10-20 menit lalu
dihidangkan di ruang makan atau diedarkan ke para tetangga untuk dimakan
bersama-sama.  
Demikianlah selamatan Bancaan weton ini dilakukan karena semata-mata
ingin mengucapkan rasa terima kasih yang mendalam kepada Sang
Pamomong atau pengasuh yang telah menjaga dan membimbing

Kesimpulan

Tradisi slametan berakar dari budaya asli Jawa (animisme dan dinamisme)
dan selanjutnya dihidupkan dan diperkaya oleh budaya Hindu Budha. Adat
istiadat Jawa yang kini masih hidup lestari,diyakini, dan dikembangkan oleh
masyarakat pendukungnya, masyarakat Jawa selalu berusaha untuk
menjaga keseimbangan, keselarasan, dan keharmonisan dalam alam
semesta, karena masyarakat Jawa meyakini bahwa keteraturan manusia dan
kosmos adalah terkoordinasi.
Selamatan Bancaaan Weton merupakan salah satu dari sekian banyak
selamatan yang dilakukan oleh masyarakat Jawa, sebagai penyeimbang
hidup. Selamatan ini ditujukan untuk berterima kasih kepada Sang
Pamomong yang setia mendampingi dan menunjukkan hal-hal yang benar
sekaligus menjaga orang yang bersangkutan dari kala atau malapetaka.

Tinjauan Pustaka

Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: PNBalai Pustaka.

Bratawijaya, Thomas Wijasa. 1988. Upacara Tradisional Masyarakat Jawa.


Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
 

You might also like