Professional Documents
Culture Documents
menyelidiki dugaan praktik politik uang yang dilakukan tim sukses Edhie Baskoro
Yudhoyono. Sejumlah warga mengaku menerima uang sebesar Rp 10 ribu agar
memilih anak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai calon anggota Dewan
Perwakilan Rakyat itu.
Menurut Edi Waluyo, anggota panitia pengawas, aksi bagi-bagi uang itu dipergoki di
Kecamatan Jambon, pada Jumat (3/4). Salah seorang anggota tim sukses Edhie
Baskoro yang diketahui bernama Samuji, warga Desa Blembem, Kecamatan Jambon,
Ponorogo kepergok menebar uang kertas Rp 10.000 kepada warga .
Kepada penerima, dia meminta untuk memberikan suaranya kepada anak Presiden
Yudhoyono ini.
“Dia tidak bisa mengelak lagi karena pemberian uang itu disertai gambar caleg yang
bersangkutan,” kata Edi Wiyono kepada Tempo, Sabtu (4/4).
“Kami akan memplenokan kasus ini bersama anggota lainnya untuk menentukan
sanksi yang dijatuhkan,” kata Edi.
Sementara itu anggota Tim Carta Politika--tim sukses calon legislatif Edhie
Baskoro-Lutfie Triadi mengatakan tuduhan yang dilontarkan kepada calon legislator
Partai Demokrat Daerah Pemilihan Jawa Timur VII ini yang juga putra bungsu
Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono membagi-bagi uang menjelang hari tenang
merupakan black campaign atau kampanye hitam.
"Tidak cukup alasan Mas Ibas melakukan itu, dia kan kondisinya leading," kata Lutfie
saat dihubungi, Selasa (7/4).
Kecurangan dalam Pemilu adalah segala upaya atau cara untuk mengambil,
mendapatkan suara pemilih dengan cara yang ilegaldan bertentangan
dengan aturan hukum yang berlaku dengan sengaja. Yang mana suara
tersebut dijadikan untuk pemenangan dirinya atau kelompok dan parpol
tertentu.
Kenapa orang berbuat curang, di dalam Pemilu 2009; Pertama, karena ingin
mendapatkan kehormatan (post power syndrom) di tengah-tengah
masyarakat. Di mana ketika terpilih menjadi wakil rakyat, sosok ia langsung
melejit, dikenal luas dan dihormati oleh keluarga, kolega dan masyarakat
luas. Untuk mendapatkan rasa terhormat itu maka berbagai cara pun
dilakukan, termasuk dengan menghalalkan cara-cara yang curang.
Kedua, karena selama mengikuti proses pemilu telah mengeluarkan dana
yang sangat besar. Mulai pendaftaran, tes kesehatan dan berbagai tahapan
lain, berikut kampanye tertutup dan kampanye terbuka telah mengeluarkan
dana yang sangat besar. Karena telah mengeluarkan dana besar, muncul
kekhawatiran tidak akan terpilih.
Bila kemungkinan buruk itu terjadi sementara, utang telah menumpuk dan
banyak harta benda telah habis terjual, maka alternatif yang menjadi
pilihan adalah dengan melakukan kecurangan dalam tahapan pemilu. Bila
terpilih, tentu utang dan segala harta benda yang digadai dan dijual dapat
diganti dan utang dibayarkan kembali.
Berikut ada caleg yang telah dari jauh hari memasang target berlebihan,
sementara peluang untuk terpilih sangat kecil. Akhirnya melakukan
kecurangan agar target tersebut dapat tercapai.
Kecurangan juga dapat didorong karena memiliki sifat yang korup, ingin
mendulang harta ketika mendapat kekuasaan. Praktik kecurangan juga bisa
disebabkan karena tidak siap menerima kekalahan di Pemilu. Selain itu juga
disebabkan karena adanya peluang dan kesempatan, seiring dengan
keinginan untuk melakukan kecurangan itu sendiri.
Bila ditinjau dari pendekatan waktu, potensi kecurangan dapat terjadi pada
tiga zona waktu pelaksanaan Pemilu. Pertama, waktu pemutakhiran data
pemilih, yakni dari daftar pemilih sementara ke pemilihan daftar pemilih
tetap. Potensi kecurangan ini dapat terjadi dari tanggal 5 April s/d 05
Oktober 2008. Berikutnya dari Oktober hingga 9 April 2009.
Dengan cara me-mark up data pemilih, ini adalah cara untuk mendapatkan
modal awal untuk bermain atau melakukan kecurangan pemilu. Di dalam
teori kemungkinan mark up data pemilih itu dilakukan dengan cara
memasukan data pemilih ganda dan tidak menghapus pemilih yang
sebenarnya tidak ada, karena sudah di-PHK, pindah, meninggal dan
penyebab lainnya.
Kecurangan juga dapat dilakukan dengan mengadakan TPS bodong. TPS yang
sengaja direkayasa berdasarkan skenario penyebaran penduduk per wilayah.
Dan TPS ini bisa dimunculkan di perumahan-perumahan yang sepi, tapi
direkayasa punya pemilih yang banyak untuk syarat diadakannya TPS
tersebut.
Potensi kecurangan juga bisa dilakukan dengan cara KPPS tidak memberikan
sertifikat surat suara (C 1). Petugas KPPS yang orang partisan, dengan
sengaja tidak memberikan form C 1. Di mana form ini adalah bukti utama
untuk rekapitulasi suara apabila ada sangketa. Dengan berbagai alasan
seperti: lupa, hilang, tidak cukup, dan berbagai alasan lain.
Potensi kecurangan dan kekacauan hasil pemilu juga dapat dilakukan dengan
cara KPPS tidak menandatangani sertifikat Form C 1. KPPS yang pintar tapi
culas biasanya banyak memanfaatkan ketidak tahuan saksi. Petugas KPPS
dengan sengaja tidak menandatangani form C 1. Secara hukum jelas form
tersebut akan kehilangan kekuatan hukumnya. Alasan petugas KPPS bisa
berbagai macam, seperti: sibuk, stempel hilang, dijanjikan tapi tiba-tiba
menghilang.
Apa lagi dari beberapa pengalaman yang ada. Banyak saksi yang bekerja
hanya asal-asalan. Terima uang selesai. Setelah itu banyak mengabaikan
tingkat akurasi hasil suara. Pada kesempatan ini maka akan terjadi jual beli,
dan kongkalingkong terhadap saldo suara.
Jika ingin Pemilu 2009 ini menghasilkan wakil rakyat yang betul-betul
pilihan rakyat, maka mau tak mau peluang dan potensi kecurangan pemilu
2009 sebagaimana yang diuraikan tadi harus diantisipasi supaya tidak
terjadi. Pemilih harus memastikan suara yang diberikan tidak menguap atau
hilang. Begitu juga dengan saksi harus mengawal hasil suara dengan teliti.
Pemantau juga harus melaksanakan tugas pemantauan dengan prinsip
independen.
Penyelenggara pemilu mulai dari tingkat TPS, PPS, PPK hingga KPU yang
telah disumpah, haruslah bekerja dengan jujur. Jangan pula menjadi alat
kepentingan caleg, parpol atau pihak-pihak tertentu. Sementara halnya
dengan pengawas pemilu dan pihak kepolisian harus mengambil tindakan
tegas ketika terjadi kecurangan dan pelanggaran pemilu. **
um'at, 26 Juni 2009, 16:47 WIB
Siswanto, Mohammad Adam
Warga mengecek Daftar Pemilih Sementara (DPS) Pemilu Presiden 2009 (Antara/ FB
Anggoro)
BERITA TERKAIT
“Sekarang masih adanya masalah DPT yang sama seperti kasus pemilu legislatif
lalu,” kata Arif Wibowo, Koordinator Teknologi Informasi tim kampanye nasional
duet Mega-Prabowo di Bawaslu.
Bentuk indikasi kecurangan yang dilaporkan ke Bawaslu, antara lain, adanya nama
pemilih ganda yang jumlahnya mencapai 2.200.287 orang.
Arif berharap pengaduan ini segera ditindaklanjuti dan diselesaikan. Sebab, jika tidak
cepat-cepat selesai, dikhawatirkan mengganggu keabsahan hasil pemilihan presiden.
Dugaan kecurangan itu didapatkan oleh Dewan Pimpinan Wilayah Pemuda Pancasila
Jawa Timur.
Ketua DPW Jawa Timur, La Nyala, mengaku data itu merupakan bocoran yang
diberikan orang dalam KPU sendiri.
Data kemudian mereka olah lalu mencocokkannya dengan hasil rekapitulasi yang
dilakukan di seluruh kecamatan di Jawa Timur, kecuali Kabupaten Lumajang dan
Jombang.
Laporan indikasi kecurangan itu diterima oleh anggota Bawaslu, Bambang Eka
Cahya.
• VIVAnews
"Kecurangan (ada) di penjumlahan atau rekapnya. Karena itu harus dikawal terus,"
kata Jusuf Kalla dalam jumpa pers di rumah dinas Wakil Presiden di Jalan
Diponegoro No 1, Jakarta Pusat, Senin (6/7).
Dia menegaskan, tuntutannya untuk memperbaiki Daftar Pemilih tak semata untuk
kemenangan Kalla-Wiranto. Namun, ketidakakuratan Daftar Pemilih berakibat hasil
pemilu tidak sah secara hukum. "Kami tidak ingin pemerintahan terpilih tidak
legitimate dan pemilu tidak damai. Ini untuk menjaga kesatuan bangsa dan kami ingin
pemilu legitimate," ucapnya.
Keputusan Mahkamah yang memungkinkan pemilih tak terdata tetap memiliki hak
suara tak serta merta meniadakan Daftar Pemilih. Apalagi, Daftar Pemilih dapat
menunjukkan jumlah pemilih di Indonesia. Dia mengusulkan panitia pemungutan
suara menahan KTP maupun paspor pemilih di TPS setelah pemilih menggunakan
hak pilih.
Penahanan itu dilakukan hanya satu hingga dua jam. Tujuannya, menghindari
penggunaan hak di tempat pemungutan suara lain. "Itu teknis, tahan dulu satu atau
dua jam. KTP ditahan supaya tidak memilih di dua tempat," ujarnya.
Dia menegaskan penggunaan KTP maupun paspor tidak akan berdampak penggunaan
hak suara lebih dari satu kali secara masif. Apalagi, undang-undang mengatur soal
pemberian hak pilih itu. "Pemilih memilih lebih dari sekali akan masuk penjara.
Boleh saja coba," katanya.
Saat ini, sejumlah fraksi di DPR mengajukan usul penggunaan hak angket terkait
Daftar Pemilih. Tujuannya, menyelidiki penyebab puluhan juta pemilih tak terdaftar
dan data pemilih ganda dalam Daftar Pemilih pada pemilu legislatif April lalu.
Dia optimistis Komisi Pemilihan menyelesaikan perbaikan Daftar Pemilih hingga satu
hari menjelang pemilu presiden pada 8 Juli mendatang. "Memang berat tapi
diupayakan. Ini baru mulai berjalan," ujarnya.
Kalla meminta Badan Pengawas Pemilu dan Panitia Pengawas Pemilu proaktif
menjalankan tugasnya. Sehingga, kasus-kasus kecurangan pemilu dapat diantisipasi.
Dia menyatakan pasangan Kalla-Wiranto tak pernah mewacanakan pengunduran
jadwal pemilu presiden. Namun, pasangan itu meminta Komisi Pemilihan merevisi
Daftar Pemilih.
724
2
Nihil.
Pesta penyentangan telah usai, namun rakyat kembali terabaikan hak-hak politiknya.
Bagaimana tidak, proses pemilu legislatif belum selesai, elit politik sudah disibukkan
oleh isu koalisi untuk pemilihan presiden 2009. Partai politik sebaiknya memfokuskan
diri proses pemilu yang belum berakhir terutama proses penghitungan suara.
Sangatlah naïf bila kalangan partai politik tidak memperhatikan suara kontituen yang
telah diamanahkan padanya.
Penyikapan sejumlah partai politik (parpol), yang merasa yakin telah terjadi berbagai
bentuk kecurangan dalam proses pemilihan umum (pemilu) legislatif terbuka dan
mendominasi dalam pemberitaan media baik media cetak, cyber maupun elektronik
perlu mendapatkan dukungan yang lebih luas untuk meraih kembali kepercayaan
masyarakat pemilih. Setidaknya hal ini untuk menjernihkan permasalahan Pemilu
2009 yang sangat ruwet.
Postulate Machiavelli yang mengatakan, politik akan menghalalkan segala cara untuk
mencapai tujuan kekuasaan; mulai dari cara-cara yang sesuai dengan norma-norma,
hingga cara-cara yang buruk yang melanggar norma, bahkan cara-cara yang kejam
dan tidak manusiawi. Praktek semacam ini, bisa dibuktikan tidak menjadi stiqma
setiap penyelenggaraan politik di Indonesia.
Hal patut diprihatinkan bila kekacauan-kekacauan yang terjadi pada pemilu 2009
seperti, kesalahan DPT yang sangat massif, tertukarnya surat suara pada dapil yang
tidak sesuai, manipulasi nama pemilih yang begitu merata disetiap TPS (Data DPT
tidak akurat), Banyaknya masyarakat yang hilang hak pilih karena belum tercatat
dalam DPT dsb, merupakan kecurangan yang dilakukan secara sistimatis. Hal ini
harus bisa dicarikan akar permasalahannya, kalangan partai politik harus serius
menangani dan membuktikan kecurangan-kecurangan ini.
Pembuktian dari kalangan partai politik sangat penting untuk mencegah potensi
konflik yang terjadi pada pemilihan presiden Juli mendatang. Penjernihan
kecurangan-kecurangan pemilu setidaknya memberikan sedikit tawaran harapan baru
dari partai politik untuk rakyat dalam pilpres nanti. Dan bila terjadi kecurangan yang
sifatnya sistematis hal ini merupakan bentuk kampanye dari kalangan partai politik
yang mengusung capres.
Banyak celah untuk membuktikan kecurangan pemilu 2009 apa dilakukan secara
sistematis atau dilakukan secara sporadis oleh oknum-oknum partai. Hal ini
merupakan tantangan bagi kalangan partai politik terutama partai-partai politik yang
menggagas pernyataan sikap bersama untuk menindaklanjuti kecurangan pemilu
2009. Kalangan partai politik diharapkan tidak omong doang agar tidak menambah
keruwetan.
Dengan begitu dapat diketahui, daerah mana saja yang paling banyak mengalami
kekacauan DPT sekaligus bagaimana kondisi itu kemudian berdampak
menguntungkan atau merugikan perolehan suara parpol tertentu. Terutama jika hal itu
dikaitkan dengan fakta suatu daerah sebelumnya dipahami sebagai basis massa parpol
tertentu.
pola kecurangan pemilu 2009 yang paling massif adalah melalui rekayasa DPT. Dari
sinilah semua kecurangan yang besar dalam proses pemilu dimulai. Data adalah
sumber informasi paling awal dan paling penting dalam seluruh proses pemilu,
kemudian dimanipulasi sedemikian rupa sehingga lembaga pengawas pemilu dan
partai-partai akan kehilangan jejak untuk menemukan bukti-bukti kecurangan.
Meskipun bukti dapat diketemukan, akan tetapi pembuktian secara hukum dan
penyelesaiannya akan membutuhkan waktu yang relatif lama dan seringkali tidak
memiliki signifikasi dengan hasil pemilu.
Namun hal ini bukan merupakan hambatan bagi partai politik namun harus dijadikan
tantangan dengan mengerahkan berbagai sumber daya dan jaringan. Karena masih ada
celah yakni, langkah manipulasi DPT hanya dapat dilakukan oleh pihak yang
memiliki otoritas atas lembaga yang melakukan pendataan dalam hal ini adalah
pemerintah. Sebagaimana kita ketahui bahwa sumber data awal pemilu 2009 adalah
berasal dati Departemen Dalam Negeri (Depdagri). Data tersebut yang kemudian
disusun oleh KPU menjadi data daftar pemilu tetap dengan pemutahiran ala kadarnya.
Penelusuran sampai ke akar juga bisa dilakukan dengan meminta penjelasan Depdagri
terkait data awalnya daftar penduduk potensial pemilih pemilu (DP4).
Menurut Arteria, Tim Mega-Prabowo juga akan melakukan koordinasi dengan tim
JK-Wiranto untuk menunda rekapitulasi suara, jika temuan-temuan pelanggaran yang
ada tidak ditindaklanjuti. "Kita juga akan mendesak Fraksi PDIP untuk
mepertanyakan kinerja KPU dan meminta klarifikasi Polri terkait dikeluarkannya SP3
terhadap proses penyelidikan tindak pidana pemilu," paparnya.
Ia mengaku, bahwa apa yang dilakukan ini tidak semata-mata menolak hasil pemilu.
Tetapi, lebih mengutamakan agar KPU menunda proses hasil penghitungan suara,
sampai ditindaklanjuti semua temuan pelanggaran. "Jadi, kami tidak menolak tapi
demi demokrasi kami meminta agar semua temuan-temuan itu ditindaklanjuti terlebih
dahulu," tegasnya.
Saat ini seluruh kekuatan Partai Golkar sedang berkonsentrasi menyiapkan data-data
lapangan selama pilpres berlangsung. Karena itu, selama proses pilpres belum selesai,
Golkar belum mempersiapkan agenda musyawarah pimpinan (Muspim) yang
rencananya digelar pada tanggal 8-9 Agustus mendatang. "Proses pilpres dan
penghitungannya kan belum selesai semua. Ya kita tunggu dulu itu. Kalau sudah
tuntas, baru kita persiapkan (Muspim). Kita sedang konsentrasi untuk pilpres ini,"
tukas Wakil Sekjen DPP Partai Golkar ini.
Ia menegaskan, dari awal pasangan Mega-Prabowo sudah siap untuk kalah, dan apa
yang dilakukan tim Mega-Prabowo semata-mata menjaga demokrasi serta
memastikan proses demokrasi berjalan dengan baik. "Kira-kira ada 20 perbuatan
hukum yang terkait dengan itu. Ke MK ada dua hal, terkait selisih penghitungan
suara, dimana kita menemukan kesalahan hitung dari KPU, enta itu sengaja atau
tidak. Kedua terkait dengan pelangaran atau kecurangan yang berakibat langsung
pada perolehan suara pasangan kami," beber tim hukum Mega-Prabowo ini. (*/KSN)
Hajatan Pemilu 2009 memang sudah lewat, tapi catatan kelam tentang
penyelenggaraan Pemilu 2009 masih terus bergulir.
Beberapa hari setelah penyelenggaraan Pemilu 2009, catatan buruk pernah
dilontarkan oleh sebagian kalangan.
Semu lapisan masyarakat mencsata Pemilu 2009 syarat dengan kecurang dan sikap
pimpinan Bawaslu tidak bergerak cepat.
Institusi sebesar Mahkamah Konstitusi, Komnas HAM, politisi, pengamat, dan LSM
menyuarakan nada yang sama.
Kinerja KPU dan Bawaslu dinilai sangat tidak memuaskan, pun para peserta pemilu.
Mereka menyuarakan nada sumbang bahwa penyelenggaraan Pemilu 2009 merupakan
pemilu terburuk sepanjang sejarah.
Transparansi, kejujuran, keadilan, dan keterbukaan atas pemilu berada pada lembaga
atau institusi yang bertanggung jawab menyelenggarakan pemilu, dalam hal ini tentu
saja KPU dan Bawaslu.
Apa jadinya jika KPU dan Bawaslu justru menjadi sumber kebobrokan pemilu itu?
Buku Sisi Gelap Pemilu 2009; Potret Aksesori Demokrasi Indonesia berusaha secara
detail mengungkap fakta kecurangan dan kebobrokan Pemilu 2009.
Pada bagian jual-beli suara, Ramdansyah mengistilahkan dengan jual beli “eceran
atau grosiran”. Jual-beli suara tidak hanya berlaku antarparpol, melainkan juga
antarcaleg dengan berbagai modus. Masalah DPT juga menjadi sorotan khusus buku
ini.
Diawali dari kasus di Pilgub Jatim yang sempat menjadi isu nasional dan berdampak
pada penyelenggaraan Pileg dan Pilpres 2009. Pemilu 2009 diwarnai dengan banyak
masyarakat yang tidak terdaftar dalam DPT. Kelemahan dalam DPT ini sering
menjadi sumber kecurangan berbagai oknum, entah parpol atau institusi KPU.
Terbukti, di Pemilu 2009 banyak sekali muncul suara hantu (orangnya sudah
meninggal tapi suaranya masih ada).
Buku ini menjadi acuan data dan fakta tentang gambaran bagaimana kebobrokan
Pemilu 2009, yang ditulis oleh orang yang langsung terlibat di dalam penyelenggaran
Pemilu 2009.
Berbeda dengan buku-buku tentang pemilu lainnya yang lebih berkutat pada tataran
idealitas, catatan kelam Pemilu 2009 yang dihadirkan dalam buku ini jauh lebih
komplet dan dalam karena didasarkan pada kekayaan data dan fakta di lapangan.
Meski kehadiran buku ini tidak berpengaruh pada hasil pemilu, setidaknya bisa
menjadi bahan refl eksi dan evaluasi untuk penyelenggaraan pemilu mendatang.
Apa saja yang dilaporkan TII dan ICW berkaitan dengan politik uang dalam kampanye
capres?
Ini terlihat jelas dengan tindakan nyangoni mereka yang datang dengan jumlah lumayan
untuk ukuran masyarakat setempat. Ya, umumnya jumlah yang diberikan tergantung kondisi
masyarakat. Kalau di pedesaan atau kota-kota kecil tentu jumlahnya lebih kecil daripada
yang di Jakarta.
Uang itu didrop kepada orang-orang yang menggerakkan massa. Lalu dibagi sesuai daftar
nama yang mereka pegang. Yang lucu, saat kami merekam gambar, mereka tetap saja
berteriak-teriak mengabsen nama-nama yang akan mendapat jatah uang. Begitu menerima
uang lalu nama sang penerima ditandai.
Nggak perlu harus pakai tanda tangan segala. Menurut saya mereka itu tidak tahu kalau hal
itu tidak boleh dilakukan. Mungkin karena sudah terbiasa begitu, jadi mereka nggak merasa
melakukan kesalahan. Jadi, praktik yang seperti ini jelas merupakan pembelian dukungan.
Perlu diketahui yang dikategorikan praktik money politics tersebut adalah yang bertujuan
untuk memengaruhi pemilih dengan iming-iming uang atau barang. Itu berarti melanggar
Pasal 42 UU Pilpres. Ini masuk tindak pidana pelanggaran Pemilu. Pasangan capres-
cawapres, maupun penanggung jawab tim kampanye yang terbukti melakukan hal itu bisa
diganjar pidana penjara.
Minimal dua bulan sampai dengan maksimal satu tahun penjara dan atau denda Rp 1 hingga
Rp 10 juta. KPU pun berwenang untuk membatalkan mereka yang terlibat hal itu sebagai
peserta Pemilu Presiden. Setelah TII bersama kami melaporkan adanya praktik tersebut,
kami berharap Panwaslu segera bertindak sepat dan tegas.
Gambar yang kita miliki bukan hanya Golkar dengan Wirantonya, tetapi juga partai atau tim
sukses lain dengan capresnya. PDI-P juga ada. Begitu juga Partai Demokrat dan lain-lain.
Ada yang bagi-baginya sampai Rp 100 ribu. Ada yang Rp 50 ribu dan ada pula yang hanya
Rp 25 ribu.
Kita belum bisa mengetahui sebenarnya dana untuk itu besarnya seberapa. Adalah sangat
mungkin kalau terjadi pemotongan di sana-sini sebelum sampai kepada massa yang dibayar.
Kembali ke Partai Golkar, memang dari awal kami memperhitungkan sebagai pihak yang
paling siap untuk melakukan hal ini.
Karena kalau jaringannya masih kacau atau tidak profesional, maka itu selain
membahayakan pemberi dana, bisa-bisa dana yang dikucurkan juga tidak jelas ke mana
larinya he he he. Kalau sudah berpengalaman kan selain ngasih uang juga memberi kaos
yang sangat pantas bahkan bagus. Seperti kaos kerah yang bahannya adem.
Tapi bukankah itu sudah menjadi hal yang wajar, mengingat politik itu di mana saja tidak
bisa dilepaskan dari ”gizi” atau uang?
Dalam kampanye itu kan harus ada keseimbangan partisipasi politik masyarakat. Dan itu
harus dilakukan secara wajar, sesuai hati nurani. Jadi, pemilu itu merupakan proses
rekruitment politik secara berkala. Agar proses rekruitment tersebut bisa berjalan baik harus
diatur. Semua partai mempunyai kesempatan sama.
Kita lihat misalnya aturan penayangan iklan di televisi yang membatasi para calon untuk
waktu tertentu. Karena faktor uang itu tadi, ya sulit bagi media menolak godaan-godaan
untuk menayangkan lebih dari ketentuan. Apalagi momen seperti ini kan hanya lima tahun
sekali.
Kalau menurut saya hal yang ”wajar” tersebut harus segera diakhiri. Karena janganlah kita
terus menerus memelihara budaya yang jelek. Karena yang namanya membeli dukungan
rakyat itu budaya kekuasaan kita yang jelek. Apalagi kalau itu nantinya mendorong upaya
untuk meciptakan ketidakberdayaan ekonomi rakyat, sehingga mereka jadi mudah dibeli.
Ya karena selama bertahun-tahun tidak dikoreksi, bahkan oleh penguasa malah terus
ditumbuhsuburkan ya jadilah budaya atau suatu kewajaran. Tapi yang prinsipil kan kita
berpegang pada aturan, UU nya melarang kita untuk melakukan itu, ya janganlah dilakukan.
Sudah aturan tentang sumbangan perorangan dan korporasi yang dibatasi besarnya.
Reaksi tokoh parpol dan tim kampanye capres sepertinya adem-adem saja?
Ya, kita tahu. Penegakkan hukum di negeri kita itu lemah. Karena penegakkan hukum yang
lemah itu, mereka yang seharusnya menegakkan hukum jadi menunggu saja. Mereka
khawatir kalau menindak bakal mendapatkan imbas dari pertikaian politik.
Baru-baru ini juga terungkap ”jalan-jalan” anggota Komisi VIII beserta sebagian istri ke
Korsel dan Hongkong yang dibiayai Pertamina. Bagaimana tanggapan Anda?
Ini jelas lucu. Menariknya itu, di sini terlihat jelas beda praktik korupsi di DPR dan DPRD.
Baru-baru ini kita mendengar begitu banyak anggota DPRD yang menjadi tersangka korupsi
bahkan yang di Padang sudah sampai pengadilan.
Praktik korupsi di DPRD terkait penganggaran atau budgeting. Kalau praktik korupsi di DPR
pusat justru di aspek pengawasan. Aspek pengawasan DPR ini justru peluang untuk
terjadinya korupsi. Apalagi yang diawasi adalah instansi yang basah dan sering terjadi
praktik korupsi.
Tidak hanya di DPR, di mana saja di negeri ini yang namanya aspek pengawasan itu terbuka
peluang untuk korupsi. Dalam hal ini ya kolusi dengan yang diawasi itu tadi. Mengenai
kasus di DPR, sebelum kasus dengan Pertamina kami sudah mendengar kasus divestasi Bank
Niaga.
Kami mendengar pertemuan di Hotel tertentu kemudian bagi-bagi uang kepada anggota
DPR. Uang itu ditolak oleh Meliono Suwondo dan Indira Damayanti. Akhirnya
terbongkarlah kasus tersebut dan dilaporkan ke Polri. Namun kami tidak tahu kelanjutan
kasus itu. Yang jelas, kita patut acung jempol untuk Meliono dan Indira.
Kasus Pertamina ini jelas ketara keanehannya. Karena bila hanya untuk mengecek alasan
penjualan tanker berukuran besar kan cukup dengan meneliti dokumen-dokumen yang ada di
kantor pusat Partamina. Jelas kan di sana ada harga jual, alasan menjual, serta siapa saja
pembelinya. Ngapain harus pergi jauh-jauh ke Hongkong dan Korsel segala sampai bawa
istri.
Celakanya lagi media massa berhasil mengungkap bahwa yang membiayai itu Pertamina.
Kalaupun sekarang muncul alasan dari kalangan DPR bahwa itu pinjam sementara atau
ditalangi dulu oleh Pertamina untuk kemudian diganti DPR ya nggak masuk akal.
DPR itu kan instansi terhormat. Wong ayah saya yang PNS biasa saja kalau mau pergi ada
SPJ yang jelas. Juga untuk mengurus SPJ itu ada prosedur yang harus dilalui. Yang namanya
mau berangkat itu harus ada uangnya terlebih dahulu.
Masa DPR ”gampang-gampangan” begitu saja pinjam dulu Pertamina lalu diganti. Kalau
sama kawan sendiri, baru hal itu bisa dilakukan. Ini kan DPR, lembaga tinggi negara, juga
Pertamina, BUMN besar. Kalau praktik seperti ini tidak dihentikan maka BUMN akan
digerogoti untuk membiayai atau menservis anggota DPR atau birokrat lain.
Celakanya lagi saat ini ditengarai anggota DPR itu sulit dipegang. Ibaratnya sudah diservis
pun belum otomatis permintaan si penyuap terkabul. Jadi, tidak mudah dikontrol lagi.
Alasannya belum tentu anggota DPR lain sekomisi bahkan sefraksi menyetujui hal itu.
Sebenarnya fungsi pengawasan BUMN ini berada di bawah Meneg BUMN. Seharusnya
fungsi pengawasan DPR itu pada Meneg BUMN. Bukan langsung turun ke masalah tanker
segala. Pertanyaanya, mengapa DPR malah panggil Direksi Pertamina bukan panggil
Laksamana Sukardi.
Ini dugaan saya lo, ada sesuatu di balik ini semua yang terkait pemilu mulai dari legislatif
maupun presiden. Karena kami menengarai begitu banyak uang bersliweran. Pertanyaannya,
dari mana uang tak terhitung jumlahnya itu berasal mengingat perekonomian kita lagi lesu.
Dan perlu diketahui Pertamina itu tahun lalu untung Rp 3,9 triliun. Masa sekarang sudah rugi
begitu besar hingga harus jual tanker ukuran besar segala?. Aneh kan? (Hartono Harimurti-
72)
Berita Utama | Bincang – Bincang | Semarang | Karikatur | Olahraga
Liputan Pemilu | Cybernews | Berita Kemarin
Copyright© 1996-2004 SUARA MERDEKA
This entry was posted in Lain-lain. Bookmark the permalink.
Aduh….. saya bingung mau menulis apa untuk prestasi yang “luar biasa” KPU pada
penyelenggaran Pemilu 2009 ini. Karena kebobrokan lembaga KPU mulai tercium
sejak Pilkada Jatim dimana KPUD Jatim tidak menjalankan tugas secara profesional
dan secara tidak langsung tercium indikasi KPUD Jatim mendesain pilkada untuk
memenangkan salah satu pasangan Gubernur. Kasus ini sempat masuk dalam ranah
hukum penyelidikan oleh eks. Kapolda Jatim Pak Herman SS dengan menetapkan
ketua KPUD Jatim sebagai tersangka. Namun, tampaknya kekuatan politik di Pusat
lebih kuat dan segera menggantikan Pak Herman dengan Anton yang mana langsung
menurunkan status ketua KPUD Jatim dari tersangka menjadi saksi. Akhirnya, kasus
pengelembungan DPT Pilkada Jatim bak ditelan bumi. Proses keadilan dan kebenaran
tampaknya kandas, meskipun Pak Herman menyatakan mengundur diri karena
kekecewaannya.
KPU
Gelagat yang tidak profesional dan terkesan korup pun dilakukan KPU Pusat
menjelang 9 April 2009 yakni pada 27 Maret 2009 KPU mengeluarkan Surat Edara
612/KPU/III/2009 perihal penjelasan teknis peraturan KPU No. 01/2009 mengenai
audit laporan dana kampanye yang membolehkan seseorang menyumbang bermiliar-
miliar rupiah padahal ini bertentangan dengan UU 10 tahun 2008. Dan 2 hari
menjelang 9 April 2009, KPU dengan arogan mengatakan TIDAK ADA MASALAH
DPT. Pas pemungutan suara 9 April, maka KPU kembali menunjukkan kegagalan
terbesar dalam menetapkan DPT……..
"Dari 90 PPS yang kita datangi di Jakarta, semua mengakui DPT pileg kemarin
adalah rekayasa KPU. Mereka (PPS) sudah menyusun data DPT per TPS, lalu dikirim
ke KPU kota. Begitu dikembalikan lagi ke mereka datanya sudah berubah," kata
Koordinator Divisi Pemilu SIGMA, Said Salahudin, saat dihubungi melalui telepon,
Rabu (20/5/2009).
Menurut Said, ada beberapa modus dalam aksi kecurangan sistematis tersebut.
Pertama, mengubah jumlah pemilih dalam DPT di tiap PPS.
"Ada yang berkurang ada yang bertambah. Padahal dari mana KPU kota bisa
menambah atau mengurangi? Mereka kan hanya merekap dan menetapkan, bukan
untuk mengubah," kata Said.
Misalnya, di salah satu kelurahan di Jakarta Selatan, PPS telah mencatat jumlah
pemilih sebanyak 34.180 orang. Begitu data tersebut diserahkan ke KPU Kota Jaksel
dan dikembalikan lagi ke PPS, angkanya berubah menjadi 34.247, bertambah 67
orang.
"Begitu yang 67 orang ini dicek, ternyata nama ini nggak dikenal," kata Said.
Modus kedua adalah dengan cara mengubah nama pemilih. Ada orang yang
sebelumnya telah terdaftar, namun begitu data diserahkan ke KPU kota dan
dikembalikan lagi ke PPS, namanya hilang. Tapi sebaliknya, ada yang tadinya tidak
terdaftar malah namanya jadi muncul.
Modus ketiga, lanjut Said, adalah dengan cara mengacak daftar nama pemilih di tiap
TPS sehingga membingungkan petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara
(KPPS). Dengan cara ini petugas KPPS menjadi kerepotan jika diharuskan mengecek
lagi satu per satu daftar pemilih yang telah dikembalikan dari KPU kota.
"Ini pasti ada rekayasa sistematis. Sekarang saya meyakini betul. Kalau ini terjadi di
ibu kota negara, pasti mudah dilakukan di daerah-daerah," tutur Said.
http://pemilu.detiknews.com/read/2009/05/20/062208/1134222/700/pps-akui-kpu-
merekayasa-dpt-pileg
Kira2 siapakah yang pantas untuk bertanggung jawab? KPU-kah? Pemerintah? Atau
orang2 dibalik KPU yang jauh lebih mengerikan? Siapa pula yang paling diuntungkan
atas itu?
Kalau berhasil, pada rebutan dan saling klaim, giliran gagal, seolah mereka semua
membisu...
Kalau boleh ngomong sedikit kasar, pemilu kemarin memang benar2 biadab..!!
Walkout Fraksi Partai Demokrat pada awal pembahasan revisi paket Undang-Undang
Politik kemaren, yang di dalamnya pasal yang mengatur keanggotaan Komisi
Pemilihan Umum (KPU) boleh diisi orang dari partai politik, menunjukkan ”belang”
mereka yang amat konservatif dan bertanggungjawab atas keluh-kesah tentang
ketidak-mandirian serta masalah akuntabilitas KPU selama ini.
Rekomendasi 2009
Usai Pemilu 2009, ‘nBASIS merekomendasikan pembubaran KPU dengan solusi
pembentukan KPU baru yang akan diisi oleh orang-orang yang diutus partai politik.
Ketimbang berharap utopi independensi dan kredibilitas,lebih baik memberi pola
keterukuran kepada semua stakeholder untuk menjalankan syahwat (politik) secara
bersama-bersama. Lagi pula setelah pemilu 1955, pemilu 1999 dapat kita tunjuk
sebagai pemilu Indonesia yang relatif lebih jujur dan adil,baik dipandang secara
kualitatif maupun kuantitatif. ‘nBASIS amat percaya dengan kembali ke pola
1999,demokrasi Indonesia bisa ditolong untuktidak separah yang sekarang.
Secara kelembagaan KPU itu diisi oleh orang-orang tidak boleh tidak mesti memiliki
faktor ketidak-independensian. Omong kosonglah jika orang masih suka
mengucapkan istilah itu hari ini.
Lebih dari itu, KPU itu tidak pernah merasa dirinya bersalah jika angka partisipasi
politik rendah by design atau secara administratif. Itu kan sesuatu keanehan luar biasa,
pemilu dimaksudkan untuk meminta suara rakyat justru tingkat partisipasi rakyat tak
begitu diperdulikan. Siapa saja boleh tuding-tudingan, apakah ini kesalahan eksekutif
atau kesalahan KPU. Tetapi jika KPU tidak ngotot memperjuangkan tersalurnya
aspirasi rakyat secara substantif, maka tak ada lagi masalah yang lebih besar dari itu
sepanjang sejarah demokrasi di dunia ini.
Sibolis Na Burju
Kebobrokan perhelatan politik di Indonesia secara halus sering dianggap hanyalah
rutinitas prosedural yang tidak menghasilkan apa-apa meski dengan pengorbanan
material, waktu dan perasaan keterampasan (rakyat) yang demikian besar.
Apa yang menyebabkan kebobrokan itu ialah bahwa di dalam proses dan insttitusi
politik Indonesia secara inheren terdapat apa yang oleh ‘nBASIS disebut sebagai Si
Bolis Na Burju (iblis yang selalu berpura-pura baik hati). Si Bolis Na Burju
mengalahkan perasaan keadilan, kejujuran dan martabat, dan ia meicu kolaborasi
kekuatan-kekuatan destruktif negara-bangsa untuk suatu pembangunan jahatokrasi.
—————————————–
Namun dengan tegas hal tersebut dibantah oleh pakar hukum dan
tata negara Irman Putrasidin.
Hak angket, lanjutnya, tidak tepat digunakan dalam hal ini, karena
angket ditujukan kepada pemerintahan seperti misalnya
pemerintah melanggar undang-undang.
Meski tidak semua daerah/kota yang tengah melangsungkan hajat demokrasi itu
ditingkahi aksi kekerasan, tetapi tak urung juga mencuatkan tanda tanya di benak kita.
Ada apa gerangan di balik ulah sebagian warga yang cenderung destruktif dan
menjurus ke tingkah anarkhi itu? Bukankah selama ini rakyat selalu disanjung puji
sebagai warga bangsa yang polos, lugu, manutan, dan santun dalam segenap
perilakunya? Mengapa tiba-tiba saja mereka berubah beringas, rentan terhadap aksi
kebrutalan dan begitu mudah larut dalam arus emosi “purba” yang sebenarnya kurang
menguntungkan itu?
Fenomena kekerasan yang mewarnai setiap hajatan demokrasi jelas sangat tidak
kondusif dalam upaya mendinamisir dan memberdayakan daerah/kota dari sentuhan
kemajuan. Bahkan, bisa dibilang, daerah/kota yang bersangkutan akan mengalami
set-back (langkah mundur) yang semakin jauh dari substansi ideal. Betapa tidak?
Fasilitas umum yang dibangun bersama dengan susah-payah, akhirnya musnah dalam
sekejap. Kepala daerah/kota terpilih yang seharusnya sudah siap terjun ke lapangan
memaksimalkan kemampuannya menjadi terhambat.
Tak dapat dipungkiri, jabatan kepala daerah/kota memang cukup strategis. Selain
menjanjikan naiknya status sosial, seorang kepala daerah/kota juga memegang posisi
kunci (key position) dalam “menghitam-putihkan” corak dan warna dinamika
daerah/kota yang dipimpinnya. Ia menjadi figur yang dianggap masyarakat memiliki
“kelebihan” tersendiri, dihormati, disegani, dan acapkali dijadikan sebagai sumber
informasi bagi warganya.
Sangatlah beralasan, setiap kali siklus demokrasi ini diputar, tidak sedikit warga yang
memiliki cukup “modal” siap bersaing untuk memperebutkan kursi orang nomor satu
di daerah/kotanya. Yang menarik, dukungan yang diberikan oleh warga kepada calon
yang dijagokan masing-masing tampak penuh greget dan antusias. Para pendukung
masing-masing calon menjelang hari “H” pelaksanaan pilkada sibuk menarik simpati
massa dengan berbagai macam cara. Yang jelas, masing-masing kubu merasa
calonnyalah yang paling pantas menjadi kepala daerah/kota.
Tidak jarang terjadi, upaya masing-masing kubu untuk menarik simpati massa
menimbulkan situasi panas dan tegang. Ada semacam “keharusan” bahwa calonnya
harus keluar sebagai pemenang. Cara yang ditempuhnya pun bervariasi. Ada yang
mengobral janji, “memanjakan” calon pemilih dengan pesta, atau membeli suara
calon pemilih dengan sejumlah uang.
Tindakan seperti itu sebenarnya mengingkari makna hakiki demokrasi itu sendiri.
Esensi demokrasi yang sebenaraya ialah kesediaan untuk bersikap jujur dan ksatria
menerima kekalahan, sekaligus mengakui kemenangan pihak “lawan”.
Fenomena pilkada yang diwarnai berbagai aksi kekerasan di era reformasi ini
setidaknya dilatarbelakangi oleh terciptanya suasana euforia massa setelah lebih dari
tiga dasawarsa kebebasannya dibelenggu oleh rezim Orde Baru. Bagaikan kuda liar
yang lepas dari kandang, begitu rezim Orde Baru tergusur dari panggung kekuasaan,
para warga merasa mendapatkan kembali kedaulatannya yang terampas. Mereka
bebas menyuarakan pendapat, mengkritik, bahkan melakukan unjuk rasa, tanpa takut
lagi dicap sebagai pembangkang, PKI, atau anti-Pancasila –julukan yang acap kali
dilontarkan penguasa Orde Baru kepada rakyat yang suka mengkritik penguasa.
Derasnya arus reformasi yang diwarnai dengan berbagai aksi unjuk rasa seperti yang
mereka lihat di layar televisi, kian menyuburkan nyali warga untuk menggugat
praktik-praktik penyimpangan, penyelewengan, korup, dan berbagai ulah amoral yang
dilakukan oleh aparat daerah/kota. Tidak mengherankan kalau banyak kepala
daerah/kota yang diduga melakukan penyimpangan harus tergusur dari kursi
kepejabatannya akibat gencarnya aksi unjuk rasa warga.
Bagi warga, pilkada benar-benar ingin dijadikan sebagai momentum untuk memilih
seorang pemimpin yang dinilai mampu membawa kemajuan daerah/kota melalui
proses pemilihan yang benar-benar demokratis, jujur, dan adil. Dari sisi ini, berbagai
aksi unjuk rasa warga yang menuntut ulang pelaksanaan pilkada lantaran ditemukan
bukti-bukti kecurangan, memang hal yang wajar di era keterbukaan ini. Akan tetapi,
patut disayangkan memang kalau situasi dan iklim semacam itu lantas dimanfaatkan
untuk melampiaskan “dendam” dari kubu calon yang kalah dengan cara-cara yang
kurang fair dalam berdemokrasi.
Siapa pun orangnya, jelas tak menginginkan suasana daerah/kota yang begitu kuyup
oleh sentuhan kedamaian, ketenteraman, dan kerukunan, tiba-tiba menjadi rusak dan
porak-poranda oleh konflik antarkelompok kepentingan. Fenomena vandalistis,
anarkhis, dan bar-bar yang mewarnai siklus demokrasi ini, mestinya dijadikan cermin
berharga untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Tindak kerusuhan dan aksi
kekerasan bukanlah solusi arif untuk menuntaskan masalah. Bahkan, risikonya pun
harus ditebus dengan harga yang cukup mahal.
Di negara mana pun yang menganut paham demokrasi mustahil “mengalalkan” cara-
cara “purba” yang vulgar itu dalam menegakkan sendi-sendi kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Ini artinya, mengajak kita semua untuk bisa
menjadi “aktor” demokrasi yang jujur, ksatria, dan mampu menahan diri sesuai
dengan idaman Ibu Pertiwi. ***
ooo
Pilkada langsung hakekatnya adalah sebuah proses untuk melahirkan dinamika politik
lokal yang lebih demokratis, bertanggungjawab, partisipasif dan transparan sesuai
dengan nilai nilai politik lokal yang tumbuh dan berkembang di daerah. Tapi dewasa
ini proses ini mulai banyak dipermasalahkan bahkan banyak kalangan menilai dan
meminta agar pemilihan langsung kepala daerah sebaiknya dihapus saja hal ini
dikarenakan begitu banyak kesalahan dan kekurangan dari pilkada yang telah
dilaksanakan sebelumnya seperti konflik yang terjadi baik sebelum pemilihan maupun
setelah pemilihan, biaya yang dikeluarkan teramat tinggi, baik biaya
yang dikeluarkan oleh pemerintah maupun dana yang keluar selama proses pemilihan
itu sehingga di khawatirkan nantinya akan menimbulakan budaya korupsi, hal yang
paling penting Demokrasi membutuhkan persetujuan, persetujuan membutuhkan
legitimasi, legitimasi membutuhkan kinerja, tetapi kinerja bisa dikorbankan demi
persetujuan. (Larry Diamond)
untuk dikhawatirkan adalah keikutsertaan masyarakat dalam kaidah dan kancah
politik akan menimbulkan resonansi yang berlebihan terhadap wujud pembangunan.
Kekerasan-kekerasan yang terjadi akibat pemilihan langsung kepala daerah ini baik
kekerasan langsung maupun kekerasan tidak langsung menyebabkan ekses negative
menimbulkan dimensi baru yang sangat menghawatirkan yaitu timbulnya perpecahan
antar masyarakat di daerah, antar agama yang satu dengan yang lainnya, antar
penduduk mayoritas dan minoritas, suku mayaoritas dan suku minoritas dan banyak
lainnya sehingga menimbulkan kerentanan terhadap disintegrasi bangsa, Hal
tersebutlah yang kemudian menjadikan alasan mengapa pilkada secara langsung oleh
beberapa kalangan diminta untuk dihapus / ditiadakan dan
kembali pada sistim pemilihan sebelumnya yang diakibatkan oleh adanya resonansi
dari kekerasan dan konflik yang terjadi dalam pelaksanaan pemilihan umum kepala
daerah secara langsung. Resonansi adalah sebuah getaran yang terjadi atau
ditimbulkan akibat dari adanya getaran dari orang lain atau benda lain sehingga
menimbulkan implikasi terhadap kejadian berikutnya.
Pilkada langsung di mata masyarakat lokal akan menentukan siapa yang akan terpilih
menjadi kepala dan wakil kepala daerah dan akan mulai melakukan abstraksi terhadap
pasangan calon tersebut. Masyarakat lokal akan menjadi praktisi politik bagi dirinya
sendiri. Kalkulasi kalkulasi mereka mempunyai andil besar mengantarkan pasangan
calon tersebut untuk sampai ke kursi kepala daerah.
Dalam rangka mencapai hal tersebut, para calon kepala dan wakil kepala daerah
dengan berbagai cara akan lebih giat berusaha memainkan bidak-bidaknya untuk
menggali dukungan masyarakat. Ber-aneka ragamnya karakter masyarakat yang ada
di daerah akan mempengaruhi pola preferensi politik masyarakat yang akan
diperebutkan suaranya itu. Latar belakang seperti etnisitas, status sosial ekonomi dan
golongan agama, mengkategorisasikan pola preferensi politik
menjadi yang rasional dan yang emosional. Dalam konteks demokrasi, tidak ada yang
salah dengan kedua cara pandang tersebut. Setiap individu berhak memiliki perspektif
masing-masing.
Hanya saja bobot dari kedua preferensi tersebut bila dibedah secara menyeluruh akan
menunjukkan substansi kualitas yang berbeda juga dalam hal pandangan tentang
pemimpin yang ideal bagi mereka. Wawasan politik masyarakat lokal yang variatif
dalam melihat dan memilih kriteria kepala daerah akan sangat menentukan
kepemimpinan daerah Secara teoretis ada beberapa keuntungan pilkada langsung
yaitu mendekatkan negara (state) kepada masyarakat (society), mengembalikan
kedaulatan dari kedaulatan negara menjadi kedaulatan rakyat, memberikan
pembelajaran politik kepada masyarakat, secara psikologis
pilkada langsung meningkatkan rasa harga diri dan otonomi masyarakat di daerah;
pilkada langsung memberikan legitimasi yang kuat kepada kepala daerah dan
wakilnya untuk memerintah, dan pilkada langsung berkontribusi terhadap
pengembangan demokrasi ditingkat lokal.
Beberapa hal ideal dari pilkada langsung dalam realitasnya dihadapkan pada bias-bias
dan distorsi praktik penyelenggaraan pilkada langsung. Pertama kenyataan bahwa
tidak semua yang terpilih dalam pilkada langsung adalah putra-putri terbaik yang
dimiliki daerah bersangkutan. Masalah ini muncul karena tidak adanya calon
independen ( meskipun ada tetapi aturan untuk calon independen sedemikian ketatnya
sehingga sulit untuk dipenuhi), karena distorsi dalam seleksi di tingkat parpol (politik
uang, intervensi dari DPP parpol, dsb.), atau karena faktor lain-lain (sosialisasi yang
tidak memadai sehingga masyarakat "salah pilih", loyalitas buta pemilih yang
mengabaikan pertimbangan rasionalitas, kecurangan yang sistematis, penegakan
hukum yang tidak berjalan dengan baik, dll.). Kedua, kenyataan mengenai rendahnya
tingkat partisipasi masyarakat di beberapa daerah dalam pilkada. Jumlah golput yang
cukup banyak merupakan bukti kelelahan politik (political fatigue), kejenuhan, atau
karena munculnya kesadaran kritis masyarakat di daerah terhadap pesta demokrasi
lokal di tengahtengah
kesulitan ekonomi yang akut. Ketiga, adalah faktor klaim. Di daerah masih terlihat
jelas "garis-garis" pengelompokan sosial menurut tempat kelahiran, kekerabatan,
suku, dan agama/ideologi. Eksklusivitas ini akan melahirkan klaim-klaim yang dapat
merugikan kelompok lain. Keempat, tanpa adanya pengawasan kuat dari DPRD, civil
society dan pemerintah pusat, kepala daerah/wakil kepala daerah terpilih kurang
memiliki moralitas dan self-control yang kuat bahkan cenderung akan
menyalahgunakan kekuasaan. Oligarki baru di tingkat lokal akan lahir (atau menguat
bila yang terpilih adalah pejabat-pejabat lama/incambent) dengan terpilihnya kepala
daerah/wakil kepala daerah baru. Kelima, pilkada langsung akan menyisakan sakit
hati kepada kelompok yang kalah atau tidak puas dalam pilkada. Untuk menghindari
konflik dan resistensi seharusnya ketika menjabat si pemenang harus mampu
merengkuh pihak yang kalah untuk bersama-sama membangun daerah. Keenam,
banyaknya tumpang-tindih peraturan perundang-undangan menyebabkan terjadinya
miss-interpretasi terhadap peraturan tersebut di
daerah, sebagai contoh dalam hal perencanaan, UU 32 tentang pilkada dimana
program pembangunan dikaitkan pada janji politik pilkada sementara UU 25 Tahun
2004, pembangunan dikaitkan dengan program perencanaan nasional. Ketujuh, kepala
daerah dan wakil kepala daerah terpilih memperoleh mandat langsung dari rakyat
untuk memerintah dan membangun daerah. Amanat rakyat tersebut jangan disia-
siakan. Program-program pembangunan yang realistis dan penyusunan RAPBD yang
berbasis pada pemecahan permasalahan lokal memerlukan kompetensi yang tinggi
dari birokrasi lokal.
Dalam implementasi pilkada langsung sering sekali kita menemukan dan terjadi
konflik yang diakibatkan oleh pemilihan kepala daerah langsung tersebut. Dalam
conflict fuctionalism terdapat konsep deprivation dan sense of injustice. Pada konsep
ini, di mana perasaan diperlakukan secara tidak adil merupakan penyebab timbulnya
konflik. Di luar kemungkinan adanya upaya mobilisasi massa dari pihak yang
memiliki kepentingan-kepentingan tertentu.
Meski data adalah hasil kerja sama KPUD dengan dinas kependudukan, namun
tanggung jawab atas tidak akuratnya data adalah ditangan KPUD. Kedua, unjuk rasa
muncul karena kontestan dan pendukungnya tidak siap kalah. Mereka tahu kompetisi
selalu melahirkan pihak menang dan kalah. Namun, egoisme pribadi yang amat tinggi
menutup kesadaran itu. Terlihat, mereka tidak mendapat pendidikan politik yang baik.
Pilihan mereka, menang atau gagalkan pilkada. Pendeknya, gabungan
ketidakpercayaan atas pelaksanaan hukum dan ketidaksiapan menerima kekalahan
mengakibatkan munculnya aksi unjuk rasa. Jika unjuk rasa tidak direspon
dengan baik oleh pejabat, akan meledak menjadi kerusuhan. Agar konflik tidak terjadi
perlu perubahan-perubahan mendasar. Pertama, KPUD harus independen. Untuk itu,
peran panwas harus dioptimalkan. Panwas harus benar-benar berdaya. Kedua,
diperlukan kontrol kuat dari simpul-simpul masyarakat. Ketiga, perubahan partai
politik yakni dengan membentuk UU politik yang jauh lebih baik, dan tegas terhadap
batasan dan kewenangan sehingga tidak tumpang tindih
dan menimbulkan penafsiran yang ganda.
Selain itu beberapa hal yang perlu diperhatikan juga adalah kekuasaan yang diperoleh
kepala daerah harus melalui kompetisi politik yang sehat dan terbuka dan
menumbuhkan swadaya politik masyarakat. Apabila semuanya terpenuhi dan semua
aturan dijalankan secara baik maka kekhawatiran akan timbulnya anarkisme / konflik
tidak akan terjadi sehingga disintegrasi bangsa yang dijadikan alasan ketakutan
pemerintah tidak akan terjadi sebaliknya jika semua aturan dan perubahan-perubahan
menuju perbaikan tidak dilakukan maka tidak menutup kemungkinan dis-integrasi
bangsa yang dikhawatirkan pasti akan terjadi cepat atau lambat dan akhirnya
mekanisme pilkada secara langsung dalam demokrasi-desentralisasi akan ditinjau
kembali dan bahkan mungkin diganti atau kembali pada sistim awal, propaganda-
propaganda anti otonomi yang dilakukan oleh sebagian orang anggaplah sebagai suatu
masukan untuk dipikirkan (perbaikan).
ZAINUL BAQRI
Direktur Yayasan “SANTOANA” Nusantara
Jika ditelusuri lebih jauh,budaya KKN ini yang sengaja atau tidak sengaja
dikembangkan oleh Sorharto,adalah dilatarbelakangi kehausan Suharto beserta
keluarga menjadi raja di raja di 'kerajaan Mataram', yang sadar atau tidak
sadar sudah menjadi obsesinya.
Maka dalam penyelenggaraan pemerintahan republik ini,dia bersama kroninya
menjalankan pemerintahan disatu pihak dengan cara2 feodal dengan
memanipulasi budaya kejawen 'manunggaling kawulo gusti' itu yang ditambah
dengan trik2 pembenaran diri sendiri dan dipoles oleh privilis karena merasa
paling berjasa menyelamatkan negara, yang resultantenya terhimpun dalam
kekuasaan yang otoriter. Ketentuan/perundang2an/hukum positif yang ada
hanyalah untuk kawulo saja,tidak mempan untuk mereka,bila perlu untuk
pembenaran perbuatannya dia dengan kroninya mengeluarkan ketentuan2
spesiifik baru untuk mendukungnya.
Jika kita menghimpun seluruh peraturan/ ketentuan umum (UU) yang telah ada
termasuk yang dibuat rezim Suharto selama 32 tahun itu dan membacanya, maka
sebenarnya tidak ada alasan lagi untuk Negara ini tidak makmur dan maju
apabila ketentuan pelaksanaanya yang lebih rendah sejalan dengan ketentuan
yang lebih tinggi (UU);tetapi kenyataannya berbeda, karena yang dilaksanakan
biasanya suatu ketentuan spesifik berupa Kepres yang senaknya
dikeluarkan,yang tidak boleh dan tidak pernah diuji oleh MA terhadap UU
nya.
Suatu hal yang terlupakan dalam pergantian personil ini ialah terpukaunya
seluruh pihak kepada pergantian personil di pemerintahan tingkat pusat saja
(Lembaga Tertinggi dan Tinggi Negara) dan melupakan tingkat Daerah.
Ini adalah hasil dari pembentukan pola pikir (mind set) dari rakyat
Indonesia oleh rezim Orde Baru/Status quo/Soeharto,yang sudah terpaku pada
pola pikir serba sentralistik,semua tergantung dan ditentukan pemerintah
pusat/presiden dari Jakarta,Daerah adalah merupakan hinterland,jajahan yang
tidak perlu diperhitungkan/dianggap.
Hal diatas baru menyangkut Lembaga Tertinggi dan Tinggi Negara atau sering
disebut Pemerintah Pusat,belum pemerintahan di daerah.Ternyata personil2 di
pemerintahan daerah baik tk.I maupun tk.II,personil2 pimpinannya/pejabat
negaranya masih 95 % adalah warisan pemerintahan Soeharto/status
quo,demikian halnya personil2 pendukung/birokrasinya. Walaupun anggota2
DPRDnya sudah hasil pemilu reformasi,ternyata lembaga DPRD itu tidak
mempunyai suatu kekuatan yang cukup mengadakan reformasi atas personil yang
berada di eksekutif,karena tidak terdapatnya kekuatan atau koalisi kekuatan
yang jadi mayoritas di DPRD itu. Malah sebaliknya faksi2 yang ada di DPRD
justru saling menjegal/tidak bersynergi, yang tentu memperkuat posisi
eksekutif yang warisan rezim status quo didaerah itu,malah menjadi penengah
faksi2 itu .Akibatnya,jika secara teoritis bahwa legislatif itu adalah
sumber legitimasi atas lembaga ,personil dan kinerja eksekutif itu,
kenyataanya bahwa legislatif/DPRD yang ada tidak mampu melakukan perombakan
eksekutif, malah sebaliknya posisi menentukan (sentral) Gubernur
/Bupati/Walikota warisan Soeharto/ Status quo itu masih tetap tak
tergoyahkan sebagaimana pada zaman rezim Orde baru.
Memang Presiden dan menteri yang di level pemerintah pusat telah terdiri
atas orang2 'baru',tetapi personil2 pendukungnya mulai dari Sekjen/Dirjen
masih personil2 warisan reziim lama yang kebanyakan sarat dengan sistem
nilai/pola pikir paradigma yang lama.Maka realitas yang kita lihat bahwa
penyelenggaraan pemerintahan pusat itu masih sarat dengan paradigma lama a.l
masih sarat dengan cara2 penyelenggaraan pemerintahan yang otoriter/
sentralistik dan yang berbau KKN atau malah sebagian personil2 warisan rezim
lama itu yang terancam posisinya secara diam2 mendukung kembalinya kekuasaan
lama yang dapat melindungi mereka.
Seharusnya pada saat dimulainya sidang umum MPR dimana personil2 Presiden
(Habibie) dan Menterinya dinyatakan demisioner,maka juga jabatan pejabat
negara/politis di daerah juga,yang merupakan kepanjangan tangan presiden
sesuai UU 5/74 didaerah itu yaitu Gubernur/Bupati/Walikota,atas dasar
pertimbangan politis dan atas dasar ketentuan/ peraturan UU 5/74
itu,dinyatakan demisioner hingga terpilihnya Gubernur/Bupati/Walikota oleh
DPRD berdasarkan UU 22/99.
Selanjutnya,setelah Presiden&Wk.presiden itu terpilih dan membentuk
kabinetnya, maka DPRD Daerah itu berdasarkan UU 22/99 mulai bekerja memilih
Gubernur/Bupati/ Walikotanya secepatnya.
Sampai sekarang ini mereka2 itu takut dan setia kepada Soeharto,apakah
ketakutan atau kesetiaan karena balas jasa atau karena rahasia2 mereka yang
tersimpan ditangan Soeharto/pengikut Soeharto.
Tentu kita masih ingat bagaimana hiruk pikuk kasus Bupati Bantul,dimana
untuk mendapat jabatan Bupati yang kedua harus menyediakan wang milyaran
rupiah. Bagaimana hiruk pikuk kasus ijasah palsu calon Gubernur/pencalonan
Gubernur NTB yang sekarang dilanda kerusuhan di Mataram,tapi dapat diredam
dengan KKN dan suap melalui kroni/keluarga Suharto. Bagaimana di Sumatera
barat,bagaimana di Riau,Jambi,Jawa Tengah dst yang sempat bermunculan kasus
pencalonan Gubernurnya tapi dapat diredam/tidak diperdulikan karena kekuatan
kroni Soeharto itu.
Ajakan Gus Dur dengan hanya mengatakan agar 'tangan2 jahat itu sudah saya
ketahui, agar kawan2 itu sadar dan tidak membuat kerusuhan lagi', adalah
suatu ajakan yang tidak akan diperdulikan,karena hal yang mereka perjuangkan
tidaklah sederhana melainkan sangat kompleks menyangkut
eksistensi,kekuasaan,harkat, keamanan sendiri maupun keluarga yang perlu
diperjuangkan dan dipertahankan.
Tidak mustahil bila Gus Dur dan pro reformasi hanya sekedar bertahan, tidak
pro aktif dan tidak secepatnya menyelesaikan pekerjaan yang terlupakan
diatas,maka strategi Mao 'desa mengepung kota' akan benar2 dapat terjadi
sampai ke Jakarta.
Mahfud mengatakan sikap netral dari para aparat sangat diperlukan untuk
menghindari konflik yang mungkin terjadi. "Itu bisa menimbulkan konflik sosial
kalau tidak netral," katanya.
Penyebab lainnya, menurut Mahfud, adalah karena para calon Kepala Daerah yang
tidak siap kalah. "Sebenarnya kalau kandidatnya menerima kekalahan dengan cepat
rakyat juga tidak akan bergerak apa pun," ujarnya.
Melihat gelagat sejak Pilkada Jatim, saya merasakan ada “sinyal” konspirasi politik
antara KPU, Kepolisian dan Pemerintah. Dan perasaan curiga saya semakin menguat
tatkala Polisi menolak menindaklanjuti laporan Bawaslu tentang tertukarnya surat
suara di sejumlah daerah karena kurang bukti [bawaslu]. Padahal pihak Bawaslu
seperti dilansir anggota Bawaslu, Wahida Suaib, telah menyerahkan 34 bukti awal,
salah satunya berupa surat edaran KPU Nomor 676 dan 684 yang intinya menganggap
surat-surat suara yang tertukar di berbagai daerah itu dianggap sah, yaitu dengan
memasukkan suara ke suara partai yang mengakibatkan suara yang diberikan kepada
caleg menjadi sia-sia [kompas].
Anehnya, Mabes Pori menolak berkas tersebut dengan alasan bahwa belum cukup
bukti. Pihak kepolisian meminta supaya Bawaslu memberikan bukti surat suara
tertukar yang sudah dicontreng tersebut. Padahal!! Berdasarkan UU 10/2008, bukti
awal pihak Bawaslu sudah cukup untuk Polri menanggapi laporan Bawaslu karena:
Jelas, untuk mendapatkan alat bukti lebih lanjut bukan merupakan tugas Bawaslu, itu
justru kewajiban polisi. Menurut ahli hukum pidana UGM Eddy OS Hiariej, ” Polisi
salah, bukan tugas Bawaslu mencarikan barang bukti, polisi harusnya lebih bisa
proaktif.… Polisi jangan seperti ini, sepertinya polisi tidak mau menerima laporan
kalau tidak ada bukti yang kuat” [Bawaslu/detik].
Hal senada juga diungkapkan oleh Direktur Komite Pemilih Indonesia Jeirry
Sumampow, “Ini memperlihatkan polisi tidak paham hukum pidana pemilu seperti
apa,”. Jeirry merasa heran dengan permintaan polisi supaya surat suara yang tertukar
dihadirkan sebagai barang bukti. Permintaan itu, dinilai Jeirry, susah untuk
dikabulkan. “Tidak mungkin karena sedang proses rekapitulasi suara, pasti surat
suara itu di jaga. Justru dengan kewenangan polisi, bukti itu bisa dihadirkan,”.
[bawaslu/detik]
*****
Perlu dicatat bahwa Bawaslu telah berusaha mengungkap pelanggaran hukum sejak 9
April 2009. Setiap hari Bawaslu
Polri
konsern terhadap masalah ini, namun hingga 17 April 2009, laporan Bawaslu telah
ditolak polisi sebanyak 3 kali. Saya pun merasa sangat janggal, apakah landasan Polisi
(khususnya Bareskrim Mabes Polri) menolak laporan dugaan tindak pidana dengan
bukti-bukti awalnya karena tidak paham mengenai mekanisme Pemilu atau karena
ingin melindungi kepentingan penguasa atau karena apa? Karena selama ini dan
hingga tahun 2008, lembaga kepolisian selalu mendapat rangking nomor 1 dalam
survei Lembaga Publik Terkorup. Benarkah penolakan laporan Bawaslu oleh lembaga
kepolisian (khususnya Bareskrim Mabes Polri) merupakan skenario penguasa,
ketidakprofesional, atau koruptif? Inilah misteri Pemilu 2009…..
Kronologis Lengkap : Press Release Bawaslu Terkait Upaya Tindak Pidana Pemilu
terhadap KPU kepada Mabes Polri
EMBILAN partai berhasil lolos parliamentary treshold adalah dengan catatan pemilu
legislatif-nya (pileg) bermasalah terutama soal prinsip Jujur dan Adil (jurdil). Mari
kita berandai sehat:
(1) Jika sejak awal perumusan rancangan UU yang melandasi pileg 2009 tidak
mengandung masalah besar (ingat inilah uu yang paling banyak dijudicial review
dalam waktu singkat), yakinkah hasil pileg serupa dengan yang sekarang?
(2) Jika tidak ada “policy” yang mendorong lahirnya partai-partai baru (ingat tahun
1999 parpol peserta pemilu 48, tahun 2004 24, dan entah kenapa tahun 2009 banyak
lagi, 38), apakah hasil pileg 2009 akan serupa dengan yang sekarang?
(3) Jika tidak tidak ada money politic, apakah hasil pileg akan seperti yang sekarang?
(4) Jika tidak ada penggolputan warga secara by design, apakah hasil pileg 2009 akan
seperti yang sekarang?
(5) Jika ada komitmen dan kredibilitas dari jajaran pelaksana dan pihak-pihak terkait,
apakah hasil pileg akan seperti yang sekarang?
(6) Jika jual beli suara tidak terjadi, apakah hasil pileg 2009 akan serupa dengan hasil
yang terpaksa kita terima sekarang?
Tampaknya terdapat paling tidak 5 faktor utama penyebab kebobrokan pileg 2009.
Pertama, aspek referensi pengalaman buruk dalam rangkaian pemilukada sejak tahun
2005. Seburuk-buruk pengalaman demokrasi di Indonesia sudah diperagakan dalam
peristiwa-peristiwa perebutan kekuasaan tingkat lokal itu. Kedua, aspek perundang-
undangan yang mengatur pileg. Bukan cuma penuh masalah, tetapi memang terdapat
iklim pembiaran untuk kelangsungan berbagai pelanggaran yang ditoleransi oleh
hukum. Ketiga, aspek sosial ekonomi. Pemerintahan gagal membangun iklim yang
menumbuhkan harapan untuk memperoleh taraf hidup lebih layak bagi rakyat.
Sebagai gantinya pemerintah hanya membagi-bagi uang dengan dalih membantu
rakyat yang menderita (BLT). Rakyat tidak sampai mengetahui apakah ini sebuah
kebijakan atau kebaikan hati seseorang. Keempat, aspek penyelenggara. Kelemahan
dari segi ini sesungguhnya bukan soal profesionalitas, melainkan lebih pada masalah
integritas. Sebagai contoh, untuk mengejar target sosialisasi di luar negeri, orang-
orang KPU buru-buru mengemasi travel bag masing-masing, sementara sosialisasi di
dalam negeri sendiri centang prenang. Website KPU malah lebih banyak
menampilkan pengumuman tender daripada informasi pemilu, kalau bukan sekadar
membuat berita-berita kutipan dari media. Kelima, trend budaya politik yang
machiavellis dalam berebut apa yang dimaui.
Kebobrokan pileg adalah tabungan untuk kualitas yang amat diragukan untuk pilpres.
Tabungan masalah itu sendiri mungkin bisa diklasifikasi menjadi tabungan masalah
moral dan etika, dan tabungan masalah bersifat teknis elektoral.
Tidak ada masalah legitimasi dalam hal ini, karena persoalan legitimasi hanya akan
dipentingkan di negara yang masyarakatnya sudah memiliki standar moral/etika yang
tinggi hingga dengan standar itu pasti merasa malu jika mencacatkan diri dalam
proses suksesi.
Apa gerangan yang amat perlu dilakukan dalam keadaan seperti ini? Sri Bintang
Pamungkas sudah memulai kampanye Golput. Sebagai sebuah interupsi politik yang
amat mendidik, kiranya Sri Bintang Pamungkas pantas diacungi jempol. Untunglah
Indonesia punya seorang Sri Bintang Pamungkas.
Selain itu, agenda perenungan kembali atas makna kebangsaan, instrumentasi dan
artikulasi peran negara sebagai sesuatu yang tidak sekadar ajang perebutan belaka di
antara pihak-pihak serupa yang berbeda retorika. Meneguhkan dan memelihara
identitas bersama yang modern dan berwawasan serta berpereferensi pada sejarah dan
kepribadian bangsa. Pengorganisasian alat-alat kekuasaan yang efektif sesuai pola
kemajuan zaman dan memberdayakan. Juga harus menyangkut penegakan wewenang
yang sah, metode dan implementasinya secara bermartabat. Akhirnya harus juga
mencakup pemikiran ulang tentang produksi dan distribusi barang dan jasa secara
berkeadilan. Kekhawatiran akan neo lib justru berakar dari prinsip ini. Keempat faktor
itulah masalah politik yang mestinya menjadi perenungan bagi setiap warga negara,
terlepas ia seorang pentinggi atau sekadar buruh upahan di ladang pendodosan kebun
sawit para kapitalis.
Jika tidak ada kemauan, maka tidak mengapa. Tuhan pasti tahu bangsa-bangsa yang
bengal dan bebal. Terkadang Tuhan berbicara dengan bahasa yang mencemaskan
manusia, memunculkan bencana dimana-mana, menimpakan penyakit beruntun,
menimpakan kemiskinan berstruktur, dan juga membiarkan semua kesenangan
terbatas dan ad hock meruntuhkan kadar keimanan. Paling parah Tuhan pun tak
jarang membiarkan manusia benar-benar tak tahu membedakan mana yang hak dan
mana yang bathil.
Perbaikan Daftar Pemilih tetap (DPT) tidak akan mengurangi kerugian moral bangsa
atas pilpres 2009 mendatang.
Tak salah jika berharap, bahwa di tengah kebobrokan ini masih belum putus asa untuk
berharap agar KPU dan jajarannya serta pihak-pihak terkait benar-benar jujur dan
adil. Jangan lagi ada masalah, termasuk pencurian suara. Mungkin orang KPU itu
harus diberi analogi begini : “wahai KPU, bayangkan saja dirimu tak ubahnya sebuah
bank. Semua setoran (suara) harus diadministrasikan dengan sebaik-baiknya. Jika si
Sugeng menyetor hari ini, jangan dibukukan atas nama si Paino. Itu dosa besar selain
pasti akan meruntuhkan bank (negaramu)”.
Catatan: Posting ini didasarkan pada bahan Dialog di Binagraha Sumut (Medan)
beberapa hari lalu.
Pemilu 2009 ini adalah terburuk sepanjang sejarah Indonesia, dan akan melahirkan
‘political damage’ (kehancuran politik) bagi Indonesia. Pemilu 2009 ini tidak akan
memberikan legitimasi politik yang kuat, karena sistemnya yang amburadul, mulai
dari DPT (daftar pemilih tetap),yang tidak akurat, banyaknya kecurangan, dan
tingginya angka Golput, yang mencapai lebih 45 persen dari jumlah pemilih.
Sehingga, nyaris hasil pemilu 2009, tidak memberikan arti apa-apa bagi masa depan
demokrasi di Indonesia.
Sekarang para tokoh politik, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan pimpinan
partai ramai-ramai menggugat hasil pemilu 2009. Ada sekitar 15 tokoh partai dan
LSM, dan sudah lebih 10 partai politik, yang menginginkan pemilu di ulang. Diantara
tokoh politik, yang berkumpul di rumah Mega, antara lain, Prabowo (Partai Gerindra),
Gus Dur (Ketua Dewan Syuro PKB), Yusril Ihza Mahendra (PBB), Bursah Syarnubi
(PBR), Idham Cholid (PKNU), Syahrir MS (Republikan), Zulvan Lindan (PNBKI),
Rusdi Hanafi (PPP), Rizal Ramli (KBI), Amelia Yani (PPRN), Misbach Hidayat
(PKB), dan tuan rumah Megawati.
Pertemuan yang berlangsung di rumah Ketua Umum PDIP itu, membahas dan
mengavaluasi hasil-hasil pemilu 2009, yang menurut mereka dipenuhi dengan
kecurangan.
Pertama, pemilu 9 April yang lalu adalah pemilu terburuk , karena banyaknya rakyat
tidak bisa melaksanakan hak pilihnya yang dilindungi UU, karena tidak masuk dalam
DPT, sehingga hal itu melanggar hak asasi manusia. Kedua, pemilu 9 April yang lalu,
diwarnai banyak kecurangan dan kesalahan administrasi. Hal itu diperparah dengan
sikap KPU dan KPUD yang tidak netral , karena membela kepentingan politik
tertentu. Ketiga, mendesak KPU, Banwaslu, dan pemerintah untuk menindak lanjuti
semua laporan kecurangan pemilu dan menegakkan hukum terhadap
pelanggaran/kecurangan yang terjadi.
Setidaknya, ada 15 parpol yang menyatkan keberatan terhadap hasil pemilu 2009, dan
menyatakan adanya kecurangan. 15 parpol itu (PDIP, Golkar, Gerindra, PKNU,
PPRN, Barnas, Merdeka, PIS, PBB, Patriot, PPNUI, Hanura, PDS, PKDI dan Buruh).
Apakah gerakan ini akan sampai membuat hasil pemilu itu, mereka tolak, dan
meminta diulang? Padahal, pemilu 2009 ini, biayanya dari APBN, yang jumlah
sangatlah fantastis, yang mencapai 21.7 trilyun rupiah. Belum lagi, ‘ongkos’ dari para
peserta pemilu, partai-partai politik, dan perorangan yang terdiri dari para caleg,
menurut penghitungan hampir mencapai 200 trilyun.
Pemilu 2009 ini, bukan hanya akan menimbulkan ‘political damage’, kalau partai—
partai yang merasa tidak puas dengan hasil pemilu, dan tidak terselesaikan dan
mereka membuat gerakan, maka inilah yang menyuramkan masa depan. Sehingga,
pemilu yang merupakan produk demokrasi ini, yang harganya ‘cost’ sangat mahal,
justru tidak melahirkan sebuah harapan bagi perbaikan kehidupan rakyat, tapi justru
mengakibatkan ‘damage’ yang dahsyat di masa depan. Yaitu, terjadinya potensi
konflik dan ‘social disorder’, serta mengundang kerawanan dan instabilitas.
Belum lagi, ekses psychologis dari pemilu 2009, banyak caleg yang gagal mengalami
‘gangguan jiwa’ alias mengalami ‘mental disorder’, karena mereka kehilangan harta,
harapan, dan harus menanggung malu, karena gagal terpilih menjadi anggota
legislative. Bahkan, yang menyedihkan ada diantara caleg itu, yang melakukan bunuh
diri, karena gagal terpilih.
Sebauh ‘pesta’ yang tidak berakhir dengan ‘happy ending’, itulah yang namanya pesta
demokrasi. Semuanya, menyisakan kesedihan, keterpurukan, dan bahkan kehilangan
harapan masa depan. Melebihi bencana ‘tsunami’ yang terjadi di Aceh.
Selubung Kebobrokan KPU dan Kisruh Pemilu 2009
Tidak ada demokrasi tanpa pemilihan umum. Pemilu dipahami sebagai praktik
mengambil keputusan (voting) berskala luas dan masif karena umumnya berkaitan
dengan penentuan pemimpin politik. Aktivitas memilih atau menentukan aspirasi
politik itu menjadi penting karena di dalamnya melekat hak politik warga dan
sekaligus suatu pengakuan kedaulatannya sebagai individu, dipandang setara tanpa
dibeda-bedakan asal-usul diri, kondisi fisik atau status sosial. Itu sebabnya hak
memilih menjadi hak yang bersifat asasi. Dengan memiliki hak pilih, seseorang
berkesempatan agar suara atau aspirasi dirinya didengarkan oleh otoritas politik.
Kontestasi antar berbagai aspirasi politik diwadahi oleh sebuah pemilihan umum yang
bersifat jujur dan adil.
Seperti di kebanyakan negara totaliter, sebelum tahun 1999, pemilu di Indonesia lebih
sebagai etalase kepada dunia luar bahwa negara Indonesia adalah negara yang
demokratis. Prinsip LUBER yang didengungkan pada era sebelumnya, baru benar-
benar dapat diwujudkan pada Pemilu 2004. Pada masa itu dunia memberi apresiasi
positif atas pesta demokrasi yang telah berlangsung. Besar harapan bahwa apa yang
sudah dicapai pada pemilu tersebut dapat menjadi modal bagi pemilu berikutnya,
tahun 2009. Harapan tinggal harapan, Pemilu 2009 yang baru saja berlalu
meninggalkan banyak kekisruhan, yang paling utama adalah masalah Daftar Pemilih
Tetap (DPT) dan interpretasi penghitungan suara pembagi. Beberapa sengketa dan
keberatan dibawa ke Mahkamah Konstitusi. Dan akhirnya, pada tanggal 12 Agustus
2009 Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa berkaitan dengan masalah DPT, KPU
telah melakukan kesalahan prosedur dan berlaku tidak profesional. Tidak ditemukan
adanya upaya-upaya secara sistematis, disengaja dan masif berkenaan dengan
buruknya pelaksanaan Pemilu.
Kualitas pemilu yang jujur dan adil tentunya sangat dipengaruhi oleh
penyelenggaranya. Adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang ditunjuk oleh
undang-undang (UU No.22/2007) sebagai penyelenggara pemilu di Indonesia. Pada
tahun 1999 KPU adalah representasi dari wakil-wakil partai, dan pada tahun 2004-
2007 KPU diisi oleh para akademisi dan aktivis LSM. Meneruskan lembaga KPU
seperti periode kedua, yakni mengupayakan anggota KPU yang independen dan
kompeten, diaturlah sebuah proses yang adil dan terbuka. Dimulai dari presiden yang
membentuk tim seleksi calon anggota KPU yang terdiri dari lima orang. Mereka
adalah Ridwan Nazir (ketua), Sarlito Wirawan Sarwono, Jalaluddin, Purnaman
Natakusumah, dan Balthasar Kambuaya. Panitia ini membuka pendaftaran,
melakukan proses seleksi dan terakhir menyerahkan 21 nama kepada presiden untuk
diajukan kepada DPR guna menjalani proses uji kelayakan. Dalam perjalanannya tim
seleksi ini menerima 545 pendaftar, yang lolos seleksi administratif 270 orang, yang
lolos tes tertulis dan rekam jejak 45 orang, dari 21 orang yang mengikuti fit and
proper test, terpilih 7 orang: Abdul hafiz Anshary Az, Sri Nuryanti, Endang Sulastri, I
Gusti Putu Artha, Syamsul Bahri, Andi Nurpati, dan Abdul Aziz.
Demi mendapatkan figur yang kredibel, maka syarat pendaftar adalah orang-orang
yang pernah terlibat dalam penyelengaraan pemilihan umum, dan harus menjalani
serangkaian tes, seperti tes kecerdasan, tes psikologi, tes integritas dan tes kesetiaan
pada NKRI dan Pancasila. Bahkan Ketua Panitia Seleksi Ridwan Nazir, yang adalah
Rektor IAIN Sunan Ampel, menambahkan tafsir sendiri bahwa calon anggota KPU
2009 harus benar-benar bermoral, terutama di bidang agama (lihat:
www.elshinta.com). Sebuah syarat yang tak tercantum dalam UU, tapi sepertinya
benar-benar diterapkan. Selain Ridwan Nazir adalah Purnaman Natakusumah yang
menjabat sebagai Rektor IAIN Raden Patah Palembang. Mungkin nilai agama pula
yang membuat ada preferensi akan figur yang “sealiran” tercium menyengat, sebab
dari tujuh orang anggota KPU, tiga orang adalah alumni dan sivitas akademika IAIN/
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Abdul Hafiz Anshary, Andi Nurpati, Abdul Aziz).
Kalau memang panitia seleksi bekerja dengan serius, maka mengapa nama Theofilius
Waimuri yang tercatat sebagai anggota Partai Demokrat dapat lolos dalam daftar 21
nama yang disodorkan kepada DPR? Padahal dalam UU No.22/2007 menegaskan
bahwa anggota KPU tidak pernah menjadi anggota parpol sekurangnya dalam jangka
waktu lima tahun, dan harus dinyatakan secara tertulis. Seharusnya sejak awal
Theofilus tidak bisa lolos menjadi anggota KPU.
Demikian pula dengan anggota DPR, mengapa nama Syamsul Bahri lolos fit and
proper test sebagai anggota KPU bahkan sempat dilantik, yang ternyata tersangka
dalam kasus penyimpangan dana kontrak pengawasan Kawasan Industri Gula Milik
Masyarakat yang merugikan negara sebesar Rp3,02 miliar. Sayangnya, pada saat itu
tidak ada akademisi yang menguji kadar ilmiah dari alat tes yang dipakai. Jenis tes
yang diberikan pun tidak berkaitan langsung dengan deskripsi pekerjaan yang akan
dijalankan oleh anggota KPU. Akibatnya, beberapa nama yang dianggap punya cukup
pengetahuan dan pengalaman di bidang pemilu tidak lolos, di antaranya Didik
Supriyanto (mantan anggota Panwaslu), Ramlan Surbakti (Anggota KPU) dan Hadar
Gumay (Cetro).
Inkompetensi
Jadi, jika sedari awal pemilihan anggota KPU memiliki konflik kepentingan dan tidak
mendahulukan kecakapan pengetahuan dan pengalaman, maka tidak heran jika
kemudian kinerja KPU pada periode ini tidak profesional. Ini yang juga kemudian
dinyatakan dalam unsur menimbang keputusan MK No.108-109/PHPU.B-VII/2009
tentang “Perselisihan Hasil Pemilu Capres” yang diajukan oleh pasangan Megawati-
Prabowo dan Jusuf Kalla-Wiranto, yang dibacakan pada 12 Agustus 2009, yakni
bahwa KPU kurang profesional.
Memang tidak ada bau korupsi yang tercium sejauh ini, seperti yang terjadi pada KPU
periode sebelumnya. Namun, selain tidak korupsi kita juga butuh individu yang cakap
dalam menjalankan pekerjaan yang diembannya. Kita ambil satu contoh masalah
KPU, yakni persoalan verifikasi DPT. Persoalan DPT setidaknya muncul beberapa
kali di berbagai pemilihan kepala daerah (pilkada) sebelum Pemilu 2009, di antaranya
pilkada Sulawesi Selatan dan DKI Jakarta pada tahun 2007 dan pilkada Jawa Timur
tahun 2008. Jika permasalahan yang sama muncul dalam tiga pilkada, dan tetap
muncul dalam pemilu di tingkat nasional, artinya KPU tidak melakukan evaluasi diri
dan mencari solusi atas masalah yang mereka hadapi. Ini betul-betul jauh dari sikap
profesional.
Meskipun demikian, perlu juga dibuat catatan bahwa ada faktor eksternal yang
semakin memperparah output dari KPU. Adalah Depdagri yang membuat daftar
pemilih yang sama sekali tidak mutakhir, lalu DPR yang telat mengesahkan UU No.
10/ 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. UU ini disahkan lima hari
sebelum tahapan pemilu legislatif dimulai. Jika KPU 2004 punya waktu 3 tahun
membuat persiapan pemilu karena dibentuk sejak tahun 2001, maka KPU 2009 baru
menerima SK pada 3 April 2008, beberapa hari sebelum masuk tahapan pemilu.
Berkaitan dengan anggaran, KPU yang secara efektif bekerja sejak Januari 2008,
ternyata daftar isian proyek anggaran bagi KPU baru terbit pada Juni 2008.
Partisipasi Politik
Kehidupan demokrasi yang sehat dapat terwujud jika ada partisipasi atau kepedulian
yang tinggi dari warga negara. Dengan partisipasi aktif warga, seharusnya tidak
terjadi warga yang kehilangan hak pilihnya. Jika kita melihat pemberitaan pada
pemilu legislatif bahwa ada banyak warga yang mempermasalahkan hak pilihnya
pada hari pencontrengan, maka sempat terbersit kecemasan akan minimnya partisipasi
aktif warga. Kepedulian mereka datang pada hari itu, dan bukan sedari awal
mempermasalahkannya,menunjukkan kecenderungan bahwa partisipasi politik
dipengaruhi oleh situasi lingkungan. Meskipun demikian, tetap ada optimisme bagi
para penggiat demokrasi di Indonesia. Angka partisipasi warga dalam menggunakan
hak pilihnya cukup tinggi. Pada pemilu legislatif tercatat 70 persen pemilih dari
jumlah yang terdaftar pada DPT yang menggunakan hak pilihnya, dan pada pemilu
presiden meningkat menjadi 72 persen. Optimisme akan potensi demokrasi di
Indonesia semakin tinggi jika kita memperhatikan hasil pemilu bahwa para pemilih
cenderung meninggalkan politik aliran.
Akankah kita membiarkan modal nilai demokrasi yang ada sekarang tergerus terus-
menerus oleh inkompetensi dan problem teknis? Jika sejak tahun 2007 sampai 2009,
dari pilkada hingga pilpres persoalan yang sama yang terus berulang, maka usulan
mengganti anggota KPU adalah sebuah kepatutan. Hal ini penting guna memberi efek
pembelajaran bagi penyelenggara lembaga publik. Selain itu, tahun depan akan ada
Sensus Penduduk Nasional, karenanya KPU dan Depdagri dapat menumpangi
kegiatan ini untuk memperbaiki akurasi data pemilih. Pilihan lain yang terbuka adalah
merevisi undang-undang pemilu dengan mengembalikan penyusunan daftar pemilu
kepada Panitia Pemilih Setempat atau KPU, sampai peroalan NIK disempurnakan.
Demi keberlangsungan demokrasi di Indonesia.
"Marwan Effendy selalu bilang tidak ada bukti Cirus menerima suap, tapi kami akan
buktikan kejaksaan juga melakukan rekayasa kasus Gayus," kata Arafat di Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan, Kamis, 16 September 2010. "Saya punya alat bukti. Bukti ini
bukan hanya omongan orang."
Dalam kasus ini, Arafat dituntut empat tahun penjara, denda Rp150 juta subsider
enam bulan penjara. Arafat dinilai terbukti menerima suap saat menjadi ketua
penyidik kasus pajak Gayus Tambunan.
Cirus tak dapat dihubungi. Selama ini dia selalu menolak berkomentar tentang kasus
ini. "Nggak bisa saya, tanya Kapuspen saja," kata Cirus ketika ditanya soal ini, 6 April
2010 lalu. Selengkapnya, klik di sini. (kd)
• VIVAnews
Wakil Bendahara Umum DPP Partai Golkar, Bambang Soesatyo mendesak jajaran
Kepolisian RI untuk membongkar tuntas kelompok yang selama ini berada di
belakang terdakwa kasus mafia pajak, Gayus HP Tambunan.
"Kapolri harus berani menuntaskan kasus Gayus ini, kendati kelompok tersebut
diduga sangat dekat dengan ’Istana’," katanya di Jakarta, Senin (15/11).
"Penuntasan kasus ini juga penting, karena inilah batu ujian atau pertaruhan bagi
Timur Pradopo selaku Kapolri baru, apakah ia benar-benar ’Kapolri rakyat’ atau
’Kapolri Istana’," tegas anggota Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM,
Perundangan dan Kepolisian Negara serta KPK itu.
Bambang Soesatyo yang juga anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR RI tersebut
kemudian menantang setiap upaya pihak mana pun yang ingin merusak citra
partainya, terkait kasus penyuapan Gayus Tambunan terhadap para sipir rutan itu.
Hal tersebut terkait dengan pemberitaan yang dinilainya bernuansa sensasional dan
insinuatif oleh pihak media tertentu, seolah keluarnya Gayus Tambunan dari Rutan
Mabes Polri lalu menuju Bali karena bertemu dengan Ketua Umum DPP Partai
Golkar, Aburizal Bakrie.
"Karena itu, kader Partai Golkar mendesak Kapolri Jenderal Timur Pradopo
melakukan penyelidikan menyeluruh dan mengungkap pihak yang selama ini menjadi
’beking’ Gayus," tandasnya lagi.
Dikatakannya, pihaknya merasa sangat dirugikan, karena kasus ’Gayus Plesiran’ telah
dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk memojokkan partai dan Ketua Umum DPP
partainya.
Membidik Golkar
Bambang Soesatyo menduga kuat, ada pihak tertentu yang melakukan rekayasa
tingkat tinggi untuk membidik Partai Golkar dan Ketua Umum-nya.
"Karenanya cukup beralasan jika kader Partai Golkar curiga bahwa kasus ’Gayus
plesiran’ merupakan rekayasa pihak tertentu untuk membidik Partai Golkar," katanya.
Rekayasa ini, menurutnya, diduga melibatkan unsur kekuasaan dari luar Polri.
"Adanya peran unsur tertentu dari luar Polri terlihat pada kacaunya pola komando
pengawalan Gayus selama dia di luar Rutan," ungkapnya.
Semua kejanggalan ini, demikian Bambang Soesatyo, harus diperjelas agar Partai
Golkar tidak dijadikan korban dari rekayasa kasus ’Gayus Plesiran’. (luc/Ant)
"Tidak ada rekayasa, semua sesuai proses dan bisa kita pertangungjawabkan," kata
Kapolri Bambang Hendarso Danuri (BHD).
Hal itu disampaikan BHD di sela-sela Rapat Kerja III Presiden SBY dengan para
menteri dan gubernur se-Indonesia di Istana Bogor, Jawa Barat, Kamis (4/8/2010).
Mengenai tudingan adanya aliran dana ke para jenderal, BHD mempersilakan publik
menilainya dari persidangan. "Silahkan dengar di persidangan," katanya.
BHD menjelaskan, sampai saat ini belum ada langkah untuk melakukan penyelidikan
internal terkait dugaan aliran dana itu. "Nanti, nanti. Ini kan masih dalam proses.
Kalau hakimnya minta didalami ya kita dalami," katanya
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin menegaskan hingga
saat ini proses penegakan hukum di Indonesia masih sebatas retorika, terlalu muluk
sehingga perlu sosok pemimpin yang tegas.
Pihaknya sangat prihatin dengan kondisi hukum di Indonesia. Masih banyak masalah
- masalah yang melibatkan lembaga penegakan hukum baik di Polri maupun
Kejagung, seperti kasus Bank Century yang hingga kini belum ada kejelasan, serta
masalah kasus suap Gayus Tambunan.
Pihaknya menyambut dengan baik keputusan tersebut sebagai manifestasi dari "good
will" serta "political will" dari pemerintah. Ia juga yakin, Busyro akan mampu
membawa lembaga penegakan hukum ini menjadi lebih baik, termasuk juga dengan
penunjukan Basrief Arief menjadi Jaksa Agung.
Walaupun begitu, pihaknya tidak ingin terlena dan lalai. Pihaknya tetap menegaskan
agar kader Muhammadiyah yang mendapatkan amanat untuk bekerja dengan baik.
Pihaknya juga mempunyai mekanisme tersendiri untuk memberi sanksi bagi kadernya
yang melakukan pelanggaran hukum seperti korupsi. Pihaknya juga tidak segan -
segan memberi sanksi, tidak memandang keluarga dan saudara.
Kunjungan Din Syamsuddin ke Kabupaten Kediri ini adalah yang kedua kali.
Kunjungan pertama tahun lalu, dalam peresmian rumah sakit, sementara yang kedua
ini adalah kunjungan untuk tablig akbar menyongsong musyawarah daerah. Selain itu,
kedatangannya juga untuk meresmikan toko grosir dan pusat perbelanjaan di wilayah
Kediri dan sekitarnya.
Hadir dalam kegiatan itu, beberapa muspida Kabupaten Kediri, Ketua DPRD
Kabupaten Kediri, serta tamu undangan lainnya. Pimpinan Wilayah Muhammadiyah
Jawa Timur, KH Muamal juga datang dalam kegiatan tersebut. (ANT-073/K004)
“Pada akhir Agustus 2009 bertempat di Hotel Sultan Jakarta Pusat, dilakukan pertemuan
antara Gayus, Haposan, Lambertus, James Purba serta Andi Kosasih, yang dalam pertemuan
itu khusus dibicarakan cara menyiasati uang milik Gayus yang berada di rekening Panin Bank
dan BCA sejumlah USD2.810.000 atau setara Rp28 miliar yang sudah diblokir penyidik menjadi
seolah-olah bukan milik Gayus lagi,” tandas JPU Asep.
Asep menambahkan, untuk menyiasati uang tersebut, Haposan selaku pengacara Gayus lantas
menghubungi Arafat selaku penyidik untuk meminta bantuan, dan Arafat menginstruksikan
agar jangan memakai bisnis batu-bara.
Haposan menghubungi terdakwa Arafat dan meminta petunjuk bisnis apa yang bisa digunakan
untuk menyiasati uang milik Gayus, yang sudah diblokir. “Terdakwa (Arafat) lalu memberi
arahan kepada Haposan, yakni bisnis apa saja yang penting jangan bisnis batu bara, karena
bisnis batu bara pernah dipakai dalam kasus lain,” tandas JPU meniru ucapan Afarat kala itu.
Atas arahan Arafat lalu diputuskan bahwa bisnis yang digunakan sebagai alasan menyiasati
uang milik Gayus itu ialah bisnis property. Untuk melancarkan aksinya, Gayus dan Haposan
meminta bantuan Andi Kosasih untuk mengakui bahwa uang bernilai Rp28 miliar itu milik
Andi.
“Seolah-olah terjadi kerja sama antara Andi kosasih dan Gayus Tambunan dalam rangka
proyek pengadaan tanah di daerah Jakarta Utara, untuk pembangunan Ruko. Selanjutnya
rekayasa tersebut dituangkan dalam surat perjanjian antara Gayus dan Andi dan perjanjian
tersebut dibuat mundur,” beber JPU.
(lsi)
Source : metrotvnews
"Kalau itu sudah modus, bukan sesuatu yang baru," ujar wakil koordinator Indonesia
Corruption Watch (ICW) Emerson Juntho kepada detikcom, Rabu (3/8/2010).
Menurut Emerson, sejak tahun 2001 ICW dalam risetnya telah menemukan rekayasa
berbagai kasus. Dalam rekayasa tersebut, kata Emerson, berbagai hal bisa dilakukan
mulai dari barang bukti yang disita hingga membuat kesepakatan untuk menentukan
jerat hukum yang akan diberikan.
"Rekayasa kasus itu kalau tidak untuk mengurangi hukuman atau membebaskannya
dan ini tentunya nggak gratis," jelas pria berkacamata tersebut.
Sebelumnya dalam kesaksiannya untuk AKP Sri Sumartini, Kompol Arafat mengaku
sudah ada skenario rekayasa kasus untuk membebaskan Gayus yang dibuat Haposan.
Saat itu Arafat menilai skenario yang dibuat Haposan terlalu sederhana.
"Seingat saya ngomong batu bara di KC (Hotel Kartika Chandra) kepada mereka
(Gayus, Haposan cs). Saya menanggapi surat perjanjian kerja yang sudah dibuat, saya
bilang itu terlalu sederhana. Batubara baru keren, kalau kata anak muda sekarang
cemen, nggak meyakinkan (skenario yang dibuat Haposan)," ujar Kompol Arafat
Enanie.
Gayus dalam kesaksiannya juga menyatakan hal yang serupa. "Bagusnya bisnis apa?
Batubara? Arafat bilang, kalau batubara sudah dipakai di kasus sebelumnya," ungkap
Gayus.
Akhirnya alibi yang dipilih untuk menutupi kasus Gayus adalah bisnis pengadaan
tanah untuk ruko.
"Bisnis pengadaan tanah untuk ruko, nilai kontraknya USD 6 juta, dibuat berlaku
surut seolah sudah lama, dari sekitar Juni 2008," cetus Gayus.
by. www.detik.com
Ket : *) Timor-Timur
**) Termasuk 5 Kotamadya dan 1 Kabuapten administrasi yang bukan
daerah otonom di DKI Jakarta
Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) dan Pengajar Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum Universitas Andalas
Belum optimalnya proses desentralisasi dan otonomi daerah yang disebabkan oleh
perbedaan persepsi para pelaku pembangunan terhadap kebijakan desentralisasi dan
otonomi daerah. Persepsi yang belum sama antar para pelaku pembangunan baik di
jajaran pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan para pelaku pembangunan lainnya
telah menimbulkan berbagai permasalahan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Hal
ini ditandai antara lain dengan lemahnya peran Gubernur dalam koordinasi antar
kabupaten/kota di wilayahnya, karena dalam ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa
masing-masing daerah berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hierarki satu
sama lain. Ini kemudian dipersepsikan bahwa antara pemerintah provinsi dan
pemerintah kabupaten/kota tidak ada hubungan hirarkinya. Seringkali kebijakan,
perencanaan, dan hasil-hasil pembangunan maupun penyelenggaraan pemerintahan
tidak dikoordinasikan dan dilaporkan kepada Gubernur namun langsung kepada
Pemerintah Pusat. Pada sisi lain hubungan hirarki secara langsung antara pemerintah
kabupaten/kota dengan Pemerintah Pusat akan memperluas rentang kendali
manajemen pemerintahan dan pembangunan. Berbagai hal tersebut berpotensi
menimbulkan ketidakefisienan dan ketidakefektifan pemanfaatan sumber daya.
Sehubungan dengan pelaksanaan otonomi khusus di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam, beberapa peraturan perundangan masih belum sejalan antara satu dengan
lainnya. Bahkan menimbulkan berbagai penafsiran ketentuan peraturan perundang-
undangan dalam mengimplementasikan kewenangan otonomi khusus.
Masih terbatasnya dan masih rendahnya kapasitas aparatur pemerintah daerah. Hal ini
ditunjukkan masih terbatasnya ketersediaan aparatur pemerintah daerah, baik dari segi
jumlah dan penempatan, maupun segi profesionalisme, dan terbatasnya kesejahteraan
aparat pemerintah daerah, serta tidak proporsionalnya distribusi, menyebabkan tingkat
pelayanan publik tidak berjalan optimal, yang ditandai dengan lambatnya kinerja
pelayanan, tidak adanya kepastian waktu, tidak berjalannya prinsip transparansi, dan
kurang responsif terhadap permasalahan yang berkembang di daerahnya. Selain itu
belum terbangunnya sistem dan regulasi yang memadai di dalam perekrutan dan pola
karir aparatur pemerintah daerah menyebabkan rendahnya berkualitas SDM aparatur
pemerintah daerah. Hal lainnya yang menjadi masalah adalah masih kurangnya etika
kepemimpinan di jajaran pemerintahan daerah, baik pada pemerintah provinsi
maupun kabupataen/kota.
Masih terbatasnya kapasitas keuangan daerah. Hal ini ditandai dengan terbatasnya
penerapan prinsip efektivitas, efisiensi, dan optimalisasi pemanfaatan sumber-sumber
penerimaan daerah. Belum efisiennya prioritas alokasi belanja daerah secara
proporsional, serta terbatasnya kemampuan pengelolaannya termasuk dalam
melaksanakan prinsip transparansi dan akuntabilitas, serta profesionalisme.
Pembentukan daerah otonom baru (pemekaran wilayah) yang masih belum sesuai
dengan tujuannya, yaitu kesejahteraan masyarakat. Ketertinggalan pembangunan
suatu wilayah karena rentang kendali pemerintahan yang sangat luas dan kurangnya
perhatian pemerintah dalam penyediaan pelayanan publik, sering menjadi alasan
untuk pengusulan pembentukan daerah otonom baru sebagai solusinya. Namun
demikian, dalam pelaksanaannya proses pembentukan daerah otonom baru lebih
banyak mempertimbangkan aspek politis, kemauan sebagian kecil elite daerah, dan
belum mempertimbangkan aspek-aspek lain selain yang disyaratkan melalui peraturan
perundang-undangan yang ada. Selain itu, terbentuknya daerah otonom baru setiap
tahunnya akan membebani anggaran negara karena meningkatnya belanja daerah
untuk keperluan penyusunan kelembagaan dan anggaran rutinnya sehingga
pembangunan di daerah otonom lama (induk) dan baru tidak mengalami percepatan
pembangunan yang berarti. Pelayanan publik yang semestinya meningkat setelah
adanya pembentukan daerah otonom baru (pemekaran wilayah), tidak dirasakan oleh
masyarakatnya, bahkan di beberapa daerah kondisinya tetap seperti semula.
Diposkan oleh daulah.alfarisi di 16.47 0 komentar
Sejak bergulirnya pemilu pertama di Indonesia memang sudah ada konsep dan
implimentasi dari kegiatan pengawasaan terhadap jalannnya pemilihan umum,
namum pada pelaksanaannya pengawasan terutama pada masa orde baru bertindak
tidak indefenden karena secara Lembaga Pemilihan Umum (LPU) -kalau sekarang
kedudukannya sama dengan Komisi Pemilihan Umum- yang diketuai oleh Menteri
Dalam Negeri dan Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemungutan Suara (Panwaslakpus)
-sekarang kedudukannya sama dengan Badan Pengawasa Pemilihan Umum- dipimpin
oleh Jaksa Agung .
Apa lagi dalam pelaksanaannya kedudukan, tugas, dan kewenangan tidak dirumuskan
secara jelas, terutama apabila terjadinya pelanggaraan terhadap pelaksanaan
pemilihan umum. Siapa yang yang berhak melakukan tindakan untuk menegakan
aturan pemilihan umum dan kepada siapa pihak-pihak yang terlanggar haknya
melakukan laporan.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah pemilu indonesia mencantuntumkan dengan
jelas kedudukan, fungsi, dan wewenang pengawas pemilui diatur dalam undang-
undang no 23 tahun 2002 demi meningkatnya kualitas dari pemilu tahun 2004. Meski
dalam pelaksanaannya pemilu tahun 2004 berjalan dengan lancar dan tertib namun
tetap saja masih meninggalkan beberapa macam catan besar yang mendasar dalam
pemilihan umum yakni berupa pelanggaran pemilu baik curi start kampaye, politik
uang, maupun pelangaran lainnya.
Yang anggotannya terdiri dari anggota kepolisian, kejaksaan, perguruan tinggi, tokoh
masyarakat, dan pers.
Diharapkan dengan adanya Undang-undang no 22 tahun 2007 tentang penyelengaraan
pemilu, Undang-undang no 2 tahun 2008 tentang partai politik, Undang-undang no 10
tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan daerah, dan Undang-undang no 24 tahun 2004 tentang Makhkamah
Konstitusi. Jalannya pemilu tahun 2009 bisa berjalan dengan baik, lancar, serta
terminimalisirnya pelanggaran pemilu
[html] Jakarta - Setelah Polri, kini giliran Kejagung yang membantah ada rekayasa
dalam kasus Gayus Tambunan. Kejagung membeberkan kronologi bagaimana
dakwaan disusun hingga alasan pasal korupsi dihapus."Terhadap penanganan
perkara i.....
Jakarta - Setelah Polri, kini giliran Kejagung yang membantah ada rekayasa dalam
kasus Gayus Tambunan. Kejagung membeberkan kronologi bagaimana dakwaan
disusun hingga alasan pasal korupsi dihapus.
Jaksa Beberkan Kronologi Kasus Gayus, Tepis Ada Rekayasa oleh Novi Christiastuti Adiputri - detikNews
"Terhadap penanganan perkara ini tidak ada permainan, baik dalam rekayasa kasus
ataupun dugaan suap," kata jaksa peneliti kasus Gayus, Cirus Sinaga, dalam jumpa
pers di Kejagung, Jl Sultan Hasanuddin, Jakarta, Senin (22/3/2010).
Jaksa Beberkan Kronologi Kasus Gayus, Tepis Ada Rekayasa oleh Novi Christiastuti Adiputri - detikNews
Selain Cirus, jaksa peneliti berkas perkara tersebut adalah Fadil Regan, Eka Kurnia
Sukmasari, dan Ika Syafitri.
Jaksa Beberkan Kronologi Kasus Gayus, Tepis Ada Rekayasa oleh Novi Christiastuti Adiputri - detikNews
"Penanganan kasus ini dimulai dari pengiriman SPDP (Surat Perintah Dimulainya
Penyidikan) dari Mabes Polri ke Kejagung. Saat itu dengan sangkaan korupsi, money
laundering, dan penggelapan," terangnya.
Jaksa Beberkan Kronologi Kasus Gayus, Tepis Ada Rekayasa oleh Novi Christiastuti Adiputri - detikNews
Namun, berdasarkan hasil penelitian jaksa, hanya 2 pasal yang terbukti yaitu
pencucian uang dan penggelapan. "Setelah dilimpahkan ke pengadilan, hanya terbukti
penggelapan. Jaksa mengajukan tuntutan 1 tahun dan masa percobaan 1 tahun," ujar
jaksa yang juga menangani kasus Antasari Azhar ini.
Jaksa Beberkan Kronologi Kasus Gayus, Tepis Ada Rekayasa oleh Novi Christiastuti Adiputri - detikNews
"Uang itu berasal di transfer PT Megah Citra Jaya Garmindo, itu 2 kali dalam 2 tahap.
Terhadap uang itu tersangka menyatakan uang itu untuk mengurus pajak PT Megah,
tapi setelah dicek, pemiliknya Mr Sun, warga Korea, tidak tahu berada di mana. Tapi
uang masuk ke rekening Gayus," ungkap Cirus.
Jaksa Beberkan Kronologi Kasus Gayus, Tepis Ada Rekayasa oleh Novi Christiastuti Adiputri - detikNews
Uang itu tidak digunakan dan dikembalikan, jadi hanya diam di rekening Gayus.
Jaksa juga berkesimpulan hal itu bukan money laundering.
Jaksa Beberkan Kronologi Kasus Gayus, Tepis Ada Rekayasa oleh Novi Christiastuti Adiputri - detikNews
"Uag Rp 370 juta bukan tindak pidana karena perjanjian mengurus pajak, bukan
menyuap. Itu mengurus pajak dalam jabatan Gayus sebagai pegawai. Bukan korupsi,
bukan money laundering, tapi penggelapan pajak murni," imbuhnya.
Jaksa Beberkan Kronologi Kasus Gayus, Tepis Ada Rekayasa oleh Novi Christiastuti Adiputri - detikNews
Karena itu, jaksa berani mengambil sikap untuk menuntut Gayus dengan pasal 372
KUHP dengan pidana penjara 1 tahun dan percobaan 1 tahun.
Jaksa Beberkan Kronologi Kasus Gayus, Tepis Ada Rekayasa oleh Novi Christiastuti Adiputri - detikNews
"Dan di Pengadilan Tangerang Gayus tidak terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana penggelapan," tegas Cirus.
Jaksa Beberkan Kronologi Kasus Gayus, Tepis Ada Rekayasa oleh Novi Christiastuti Adiputri - detikNews
Terkait uang Rp 24,6 miliar yang ada di rekening Gayus, Cirus menjelaskan, setelah
diteliti berdasarkan alat bukti, uang tersebut milik Andi Kosasih. Andi adalah
pengusaha properti di Batam. Uang itu akan digunakan untuk membangun ruko.
Jaksa Beberkan Kronologi Kasus Gayus, Tepis Ada Rekayasa oleh Novi Christiastuti Adiputri - detikNews
"Gayus diberi kepercayaan Andi untuk pengadaan properti ruko seluas 2 hektar di
Jakarta Utara. Perjanjian ditandatangani 25 Mei 2008," jelasnya.
Jaksa Beberkan Kronologi Kasus Gayus, Tepis Ada Rekayasa oleh Novi Christiastuti Adiputri - detikNews
Selain itu, biaya yang dibutuhkan mencapai US$ 6 juta dolar dan Andi baru
menyerahkan uang secara tunai dalam 6 tahap. Uang diserahkan di rumah orang tua
istri Gayus, lengkap dengan kwitansinya.
Jaksa Beberkan Kronologi Kasus Gayus, Tepis Ada Rekayasa oleh Novi Christiastuti Adiputri - detikNews
"Karena takut hilang, uang dimasukkan Gayus ke Bank Panin. Yang pertama 1 Juni
2008 US$ 900 ribu, 15 September 2008 US$ 650 ribu, 27 Oktober 2008 US$ 260
ribu, 10 November US$ 200 ribu, 10 Desember US$ 500 ribu, dan 16 februari US$ 13
ribu. Total US$ 2,8 juta," tutupnya.
Jaksa Beberkan Kronologi Kasus Gayus, Tepis Ada Rekayasa oleh Novi Christiastuti Adiputri - detikNews
(ndr/nrl)
Jaksa Beberkan Kronologi Kasus Gayus, Tepis Ada Rekayasa oleh Novi Christiastuti Adiputri - detikNews
Jakarta-Yustisi.com:
Hakim Muhtadi Asnun, terdakwa kasus suap saat menangani perkara pajak Gayus H
Tambunan, dituntut hukuman penjara tiga tahun enam bulan dan denda Rp250 juta di
Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Senin (8/11).
Menurut Jaksa Penuntut Umum Yori Rowando, terdakwa terbukti bersalah melakukan
tindak pidana korupsi sebagaimana diatur Pasal 6 ayat 2 UU No. 31/1999 jo UU No
20/2001 tentang Tindak Pidana Korupsi.
Atas tuntutan ini, pengacara Asnun, Firman Wijaya mengatakan, kliennya merupakan
korban rekayasa kasus ini.
“Kan sudah jelas dalam kasus ini ada rekayasa yaitu rencana tuntutan. Seharusnya
masalah rentutnya dulu yang diselesaikan baru perkara Pak Asnun,” tuturnya usai
sidang.
KAJIAN
Model Evaluasi Pembentukan, Pemekaran, Penggabungan Dan Penghapusan
Daerah
EXECUTIVE SUMMARY
Secara legal formal, pembentukan daerah atau dalam hal ini pemekaran daerah
tidak bisa dilakukan secara serampangan, terbukti adanya berbagai persyaratan
dan kriteria yang harus dipenuhi dalam melakukan pemekaran. Dalam hubungan
ini, tentunya dapat ditelusuri hadirnya berbagai faktor yang melatarbelakangi
pemekaran daerah, implikasi yang ditimbulkannya, dan kriteria-kriteria yang
dapat ditawarkan dalam melakukan pemekaran daerah di Indonesia.
4. Pada tataran yang lebih tinggi dan skala yang lebih luas, Pemerintah
perlu merevisi UU No. 32 tahun 2004 yang terkait dengan pengaturan
pembentukan, pemekaran, penghapusan dan penggabungan daerah (Pasal
5 s/d 8). Revisi UU No. 32 Tahun 2004 memang pernah diwacanakan,
tetapi belum menyentuh pengaturan tentang pemekaran daera
Dalam tulisan ini, tata pemerintahan yang baik mengacu pada konsep
sebagaimana yang sering ditekankan oleh World Bank selama dua dekade
belakangan ini. Untuk mencapai tata pemerintahan lokal yang baik,
terdapat beberapa prinsip utama yang harus diperhatikan.
In the network governance, the actors learn and grow in the governance
partnership, providing that the local people acquire maturity as an
owner and user of power and control in locality, is characterized by the
equal partnership between local actors and government, the cooperation
of provision of public services among them, and the effective and efficient
use of local resources though this cooperation. The governance
partnership will keep and secure the sustainability of community.
IV. Kesimpulan
Selain itu, nada pesimis dan pandangan negatif dari berbagai kalangan
tentang pelaksanaan pilkada di Indonesia tidak meniadakan arti
pentingnya institusi ini dalam konsolidasi demokrasi di era desentralisasi
ini. Saat ini bagi masyarakat lokal yang terpenting adalah memilih kepala
daerah yang dinilai mampu untuk memimpin daerah, dengan demikian
sedikit banyak akan semakin memupuk dan memperkuat demokrasi yang
beranjak dewasa.
Daftar Pustaka
Delay, S., Lamb, D. and Devas, N. 1995. ‘Funding System for Daerah
Percontohan’, Report to the Government of Indonesia, Development
Administration Group, University of Birmingham
Piliang, Indra J, dkk (ed.), 2003, Otonomi Daerah, Evaluasi dan Proyeksi,
Jakarta, Yayasan Harkat Bangsa bekerjasama dengan Partnership
Governance Reform in Indonesia.
Rohdewohld, R. (1995), Public Administration in Indonesia. Melbourne:
Montech Pty Ltd.
Friday, February 6
Meninjau Ulang Urgensi Pemekaran Propinsi
Di banyak daerah, contohnya Provinsi Kepulauan Riau dan Banten yang sudah lama
berdiri, dan di Nanggroe Aceh Darussalam yang mengalami isu pemekaran, memang
isu kesejahteraan menjadi sentral. Biasanya yang sangat terasa adalah pembangunan
infrastruktur oleh Pemerintah Propinsi (Pemprop) yang lebih banyak dilakukan di
sekitar ibu kota propinsi. Ini ironis mengingat pemerintah propinsi kerap mengkritik
Jakarta yang kelewat membangun Jawa. Sementara pemerintah propinsi juga banyak
dikritik karena gagal melakukan pemerataan.
Sejak tahun 1999, otonomi daerah memang dihajatkan untuk bertumpu pada
kabupaten dan kota. Namun sayang, kue yang dihasilkan propinsi malah jauh lebih
besar. PAD kabupaten dan kota palinglah hanya dari pajak hotel dan restoran, serta
pajak galian C yang agak lumayan. Sementara propinsi mendapat PAD salah satunya
pajak kendaraan bermotor yang jumlahnya sungguh besar. Singkatnya, otonomi
daerah memperbesar kewenangan tanpa memperkuat struktur keuangan kabupaten
dan kota. Wajar pula lantas di banyak kabupaten kota muncul retribusi resmi maupun
tak resmi yang aneh-aneh untuk mendatangkan PAD. Buntutnya daya saing daerah
sebagai tujuan investasi sulit didongkrak.
Dari sini, penulis ingin menjelaskan bahwa ketimpangan sentra dan pinggir ini murni
soal struktur. Ini sekaligus membantah pendapat yang menyatakan suatu daerah perlu
dimekarkan dengan alasan etnis dan agama. Maka penyelesaian yang dilakukan
harusnya juga bersifat struktur. Toh negara ini dibangun bukan untuk membangun
sekat primordial.
Jika dirunut dari masalah tadi, maka pemekaran wilayah dapat dibaca sebagai upaya
instan untuk menyelesaikan masalah. Dan jalan pintas pasti selalu mahal. Hitung saja.
pemekaran berarti ada lembaga-lembaga baru. Ada posisi gubernur, anggota DPRD,
Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang perlu diisi. Ini perlu dibiayai tidak
hanya penghasilannya, tapi juga pengadaan kantor, peralatan, perlengkapan,
kendaraan dinas, perjalanan dinas, kunjungan kerja, dan masih banyak lagi.
Kedua, perlu harmonisasi dalam hal kewenangan yang dimiliki propinsi dengan
kabupaten dan kota. Ini hal yang sering dipandang sepele namun sensitive. Sebagai
contoh kecil di banyak propinsi masih mengeluarkan izin bagi praktek bidan. Ini aneh
karena izin praktek dokter malah sudah dikeluarkan kabupaten dan kota. Contoh lain,
di NAD saya temui ada kabupaten di Aceh yang mengeluarkan izin pendirian Stasiun
Pengisian Bahanbakar Umum (SPBU), padahal propinsi juga membuat aturan yang
sama. Jadi tak usah heran jika ada SPBU yang mengantongi izin dari propinsi dan ada
pula yang dapat dari pemerintah kabupaten.
Ketiga, Gorontalo patut menjadi positive deviant. Pertumbuhan ekonomi selalu di atas
6% yang berarti di atas angka pertumbuhan nasional. Kuncinya adalah inovasi yang
dilakukan pimpinan daerah. Dan ini patut jadi contoh tak hanya bagi daerah yang
sudah dimekarkan, namun juga bagi daerah yang berniat untuk memekarkan diri.
Artinya, mau daerah itu dimekarkan atau tidak, dengan pimpinan daerah yang kuat,
inovatif dan tidak korup, maka daerah itu bakal lekas berkembang. Demikian juga
sebaliknya. Mau dimekarkan seperti apapun, jika pimpinan daerahnya berbuat biasa-
biasa saja, maka jangan harap daerah bisa tumbuh. Maka, penting bagi masyarakat
untuk memilih pemimpin daerah yang mampu menjawab tantangan ini.
Membludaknya partai yang ikut dalam Pemilu 2009 dengan janji-janji dan iklan-iklan
yang mengelitik sel saraf untuk mencerna secara cerdas membuat masyarakat akan
semakin binggung, mana pilihan yang tepat pada 9 April mendatang. Partai-partai
yang menang dalam Pemilu 2004, yang mengantor di Senayan dan telah menikmati
berbagai fasilitas uang rakyat selama ini, baru muncul seolah-olah “malaikat
penyelamat” menjelang Pemilu. Agar kekuasaan mereka di legislatif tetap eksis
hingga 2014, berbagai upaya publikasi tidak mendidik dilancarkan partai-partai besar.
Meskipun mereka orang-orang yang dianggap besar dalam kekuasaan, namun sikap
dan sifat mereka bak anak TK di hutan rimba. Aksi saling klaim keberhasilan sepihak
dengan mengabaikan dukungan kerja keras dari pihak (tim) serta membom-bardir
data-data yang didesain sedemikian rupa, sehingga masyarakat kecil tertipu bahkan
menjadi objek eksploitasi.
Inikah hal yang dianggap “positif” oleh partai besar yang perlu ditiru oleh masyarakat
kita?
Masih segar diingatan bagaimana anggota dewan terhormat kita di Senayan yang
sering bolos dikala sidang, yang sering ngawur ketika membahas agenda rapat, yang
menjadi preman pasar berdasi ketika berurusan anggaran negara dan daerah, dan tidur
dikala rapur, masih meminta kenaikan tunjangan kesejahteraan, gaji, biaya
komunikasi, biaya perjalanan, biaya aspirasi ditambah gaji pokok, biaya rapat, biaya
legislasi UU yang menyedot uang pajak rakyat. Ditengah kemiskinan masyarakat
yang tidak kunjung berkurang (bahkan jumlahnya meningkat), anggota dewan tega
meminta (menerima) uang gratifikasi dan tambahan gaji. Seorang dewan yang
harusnya bisa merasakan penderitaaan rakyat karena berbagai kesulitan ekonomi,
akses administrasi, sosial, kini tampaknya “jauh api dari panggangan”. Disparitas
antara kekayaan dan kemewahan hidup anggota DPR dengan rakyat, semakin
memberkikan jarak pisah baik secara psikologis, pranata sosial maupun ekonomi
hidup.
Baik di Senayan maupun di Istana, para politisi negeri ini tidak memiliki mental
mengakui kesalahan-kesalahan yang telah mereka lakukan pada rakyat, maka data-
data dan objektivitas masyarakatlah yang dapat mematahkan “keberhasilan, kesucian,
kehebatan, kepemimpinan” yang dikatakan tanpa cacat. Saya tidak akan memaparkan
bagaimana perasaan sebagian besar rakyat Indonesia melihat skandal dan pelecehan
oleh perusahaan-perusahan tambang Batubara (sebagiannya milik Menko Kesra
Kabinet SBY-JK) kepada konstitusi RI dengan tidak membayar pajak (royalti). Ketika
rakyat kecil berhutang di Bank dan telat membayar bunga dan cicilan utang, maka
agunan si rakyat tersebut langsung disita. Namun, karena para “toke” atau bos
perusahaan tersebut (BUMI Resource) dimiliki oleh lingkaran dalam pemerintah
(Bakrie Brothers), maka hal ini dapat ditolerir dengan sangat lembut sekali, lebih
lembut dari kain sutra oleh “Bapak Antikorupsi” SBY. Hmm……meskipun sampai
saat ini, suasana adem-adem saja, bagi saya fenomena ini bak Petir di tengah hari
bolong, bagaimana skandal-skandal di istana luput dari pembersihan praktik Orba
(KKN).
Data-Data Referensi
Data-data ini saya kutip dari berbagai media massa online yang memberitakan
perilaku korup dan skandal seks yang harusnya tidak dilakukan orang-orang terhormat
yang terpilih langsung melalui mekanisme partai dan pemilu.
(Terbukti)
• H. Saleh Djasit (Golkar) : kasus pengadaan Damkar
• Hamka Yandhu (Golkar) : kasus aliran dana BI
• Agus Condro (PDI-P) : kasus uang gratifikasi BI
• Sarjan Taher (Partai Demokrat) : kasus alih fungsi hutan
• Al-Amin Nasution (PPP) : kasus alih fungsi hutan
• Yusuf Emir Faishal (PKB) : kasus alih fungsi hutan
• Bulyan Royan (Partai Bintang Reformasi) :kasus pengadaan kapal Dephub
• Antony Zeidra Abidin (Golkar) : kasus aliran dana BI
• Adiwarsita Adinegoro (Golkar) : kasus dana kehutanan
• M Yahya Zaini (Golkar) : Skandal seks dan selingkuh dengan Maria Eva
• Max Moein (Partai PDI P) : Skandal Seks dan Foto Syur
• H. Dharmono K Lawi (PDI-P) : Mantan buronan kasus pidana korupsi APBD
Banten dan akhir ditangkap Kejagung
• Theo Syafei (PDI-P) : Pernah terjerat kasus korupsi di tahun 2002, tetapi
bebas, dan terpilih kembali jadi anggota DPR periode 2004-2009
• Jaka Aryadipa Singgih (PDI-P) : Tersangka kriminal
penyerangan/penyerobotan, dan pernah merampas kamera yang digunakan
satpam keamanan di kawasan perkantoran
Sumber: http://nusantaranews.wordpress.com/2009/03/05/daftar-anggota-dpr-
bermasalah-beserta-partainya/
Komisi Pemberantasan Korupsi telah menetapkan 26 mantan anggota Dewan
Perwakilan Rakyat sebagai tersangka. Mereka diduga menerima suap terkait
pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia pada 2004.
26 Mantan anggota DPR itu berasal dari tiga fraksi, yakni Fraksi Golkar, Fraksi
PDI Perjuangan, dan Fraksi PPP.
KPK pun menyangkakan para mantan anggota DPR itu melanggar ketentuan
mengenai penyuapan yakni Pasal 5 ayat (2) jo Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b UU
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, atau Pasal 11 UU Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) kesatu Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Golkar
1. Ahmad Hafiz Zawawi (AHZ) Rp600 juta
2. Marthin Bria Seran (MBS) Rp250 juta
3. Paskah Suzetta (PSz) Rp600 juta
4. Boby Suhardiman (BS) Rp500 juta
5. Antony Zeidra Abidin (AZA) Rp600 juta
6. TM Nurlif (MN) Rp550 juta
7. Asep Ruchimat Sudjana (ARS) Rp150 juta
8. Reza Kamarullah (RK) Rp500 juta
9. Baharuddin Aritonang (BA) Rp350 juta
10. Hengky Baramuli (HB)
PDIP
1. Agus Condro Prayitno (ACP) Rp500 juta
2. Max Moein (MM) Rp500 juta
3. Rusman Lumbantoruan (RL) Rp500 juta
4. Poltak Sitorus (PS) Rp500 juta
5. Williem Tutuarima (WMT) Rp500 juta
6. Panda Nababan (PN) Rp1,45 miliar
7. Engelina Pattiasina (EP) Rp500 juta
8. Muhammad Iqbal (MI) Rp500 juta
9. Budiningsih (B) RP500 juta
10. Jeffrey Tongas Lumban (JT) Rp500 juta
11. Ni Luh Mariani Tirtasari (NLM) Rp500 juta
12. Sutanto Pranoto (SP) Rp600 juta
13. Soewarno (S) Rp500 juta
14. Matheos Pormes (MP) Rp350 juta
PPP
1. Sofyan Usman (SU) Rp250 juta
2. Daniel Tandjung (DT) Rp500 juta.
Pada tulisan saya sebelumnya, saya hanya merasa aneh karena Keputusan Mahkamah
Agung (MA), secara tidak langsung melegalkan “korupsi kursi” untuk Partai
Demokrat, PDIP dan Golkar, disisi lain mengembosi suara partai kecil. Keputusan
MA yang dimaksud adalah keputusan pada 18 Juni yang memenangi permohonan hak
uji materiil yang diajukan oleh beberapa caleg DPR dan Partai Demokrat yang
dimotori oleh Zaenal Maarif terhadap peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2009,
khususnya Pasal 22 huruf c dan Pasal 23 Ayat 1 dan 3. Adapun opini saya dan
pendapat dari Direktur Eksekutif Cetro Hadar N Gumay dapat saudara baca di sini.
Secara umum, saya akan menjabarkan ringkas dari tulisan saya sebelumnya.
Kekeliruan 1:
MA tidak konsisten dan bahkan diskriminatif dalam penerapan hukum, sebab Majelis
Hakim hanya menerima gugatan uji materi peraturan KPU dari Zaenal Maarif cs
yang berasal dari Partai Demokrat, partai penguasa/incumbent. Padahal, sebelumnya
MA sudah pernah menolak total permohonan uji materiil peraturan KPU yang
diajukkan oleh Hasto Kristiyanto yang berasal dari PDI Perjuangan, partai non-
penguasa.
Kekeliruan 2:
Keputusan MA tersebut mengkhianati sistem pemilu proporsional yang dianut
oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang pemilu, sebab putusan tersebut
menyebabkan disproporsionalitas antara perolehan suara dan perolehan kursi.
Demokrat yang hanya mendapat 20.8% suara nasional di’mark-up’ menjadi 32.1%
kursi di DPR. Sementara Hanura yang mendapat 3.8% suara nasional digembosin
menjadi 1.1% kursi di DPR. Hal ini terjadi juga pada Golkar, PDIP, PKB (mark-up)
dan PPP, PAN, Gerindra, PKS (digembosin).
Dari dua kekeliruan di atas, timbul pertanyaan besar? Mengapa bisa terjadi kekeliruan
tersebut? Bukankah Mahkamah Agung adalah lembaga Pengadilan Negara Tertinggi
yang menjadi sumber terakhir untuk mengayomi keadilan hukum secara formal di
negeri ini? Bukankah MA merupakan lembaga yang bertugas dan digaji oleh uang
negara untuk menjagar agar semua hukum dan undang-undang diseluruh wilayah
negara RI diterapkan secara adil, tepat dan benar?
Dari diskriminasi memberi keadilan dari dua pihak yang berbeda (Demokrat vs
PDIP), keputusan yang menghianati proporsional demokrasi hingga gegabah dalam
mengadili arena hukum. Mungkinkah keputusan MA sarat dengan perilaku korup?
Terlebih keputusan MA merupakan keputusan yang sangat mahal, yakni keputusan
senilai Rp 244 milyar. Kok bisa?
Darimanakah saya mendapat angka Rp 244 miliar? Angka ini saya dapat dari gaji
yang akan diperoleh oleh seorang anggota DPR selama 5 tahun dengan total kursi
yang berubah yakni 66 kursi (versi Cetro). Mari kita telusuri gaji yang akan diperoleh
oleh seorang anggota DPR RI [data Kabarinews, Maret 2009]
Dari tabel di atas, dapat kita perhatikan bahwa seorang anggota DPR yang malas
(jarang hadir di rapat) akan tetap mengantongi gaji Rp 45.4 juta per bulan. Angka ini
belum ditambah pendapatan agenda tahunan yakni 4 kali dana reses, gaji ke-13, dana
legislasi UU (tahun 2008 ada 55 UU, tapi saya hanya ambil ada 40 UU tiap tahun),
dana insentif pembahasan RUU dan honor uji kelayakan RUU. Dari dua jenis sumber
pendapatan, maka seorang anggota DPR yang suka pembolos pun mengantongi Rp
742 juta per tahun. Dan bagi mereka yang menjabat wakil/ketua komisi, ketua panja,
ketua hak angket dll, anggota DPR tersebut dapat mengantongi Rp 1 miliar per tahun.
Namun dalam perhitungan ini, kita hanya akan membicarakan pendapatan/gaji rata-
rata minimum seorang anggota DPR yang malas sekalipun akan mengantongi Rp 742
juta per tahun atau Rp 3.7 miliar untuk 5 tahun. Dan berdasarkan perhitungan
Cetro, bila keputusan MA diberlakukan maka ada 66 kursi yang akan mengalami
perubahan yang mana Demokrat akan dimark-up 30 kursi, Golkar 18 kursi, PDIP 16
kursi dan PKB 2 kursi. Maka nilai keputusan ini secara materiil bernilai 66 kursi *
Rp 3.7 miliar = Rp 244 miliar.
Dari keputusan ini, maka Demokrat akan mendapat gratis keuntungan materi terbesar
yakni senilai Rp 111 miliar dari gaji 30 anggota DPR “mark-up” selama 5 tahun.
Sementara 3 partai lainnya dapat Anda lihat dibawah ini.
Ada yang mendapat keuntungan, maka pasti ada yang mendapat kerugian. Berikut
daftar partai yang akan mengalami kerugian materiil dari gaji dewan selama 5 tahun.
Partai Kursi (-) Aliran Gaji 5 Tahun
Gerindra 16 Rp 59.4 miliar
PPP 16 Rp 59.4 miliar
PAN 15 Rp 55.7 miliar
Hanura 12 Rp 44.6 miliar
PKS 7 Rp 26 miliar
Untuk partai yang dirugikan, jumlah kerugian tersebar merata seperti Gerindra, PPP
yang masing-masing dirugikan Rp 59.4 miliar disusul PAN, Hanura dan PKS.
Dengan berlakunya keputusan MA atas sistem perhitungan kursi DPR, maka secara
substansi dan keadilan, keputusan tersebut MA yang harusnya adil menciptakan
distorsi ketidakadilan dengan menciptakan disparitas yang tinggi. Bayangkan untuk
mendapat sebuah kursi di DPR, Hanura harus mengumpulkan rata-rata 653 ribu suara,
sementara Demokrat dan Golkar dengan mudah memperoleh sebuah kursi dengan
berbekal 120 ribu. Artinya, dengan perolehan suara yang sama (misalnya 135 ribu)
oleh masing-masing partai, maka Hanura hanya mendapat 2 kursi, Gerindra (3 kursi),
PPP (5 kursi), PKB (8 kursi), PKS (8 kursi), PDIP (10 kursi), sementara Golkar dan
Demokrat akan memperoleh 11 kursi di DPR.
Standar BPP atau bilangan pembagi pemilih menjadi syarat utama keadilan suara
yang diterima oleh setiap partai. Perbandingan yang digunakan adalah jumlah suara
terhadap BPP, dan bukan jumlah suara suatu partai menengah terhadap suara partai
yang memperoleh suara terbesar. MA yang mendesak agar membatalkan keputusan
kursi DPR yang ditetapkan KPU dengan paradigma bahwa keadilan kursi ditinjau dari
perbandingan suara partai kecil terhadap suara partai besar merupakan perbandingan
yang saya kira salah alamat. Padahal, yang menjadi referensi utama adalah BPP yang
telah memasukkan kriteria sedikit lebih adil.
Apakah majelis hakim di MA tidak bisa melihat hal ini? Apakah MA tidak bisa
mengambil nilai filosifis dibalik sebuah Undang-Undang khususnya UU 10/2008?
Lalu, ada apa dibalik itu semua? Mengapa MA justru mengabulkan gugatan dari caleg
Partai Demokrat, tapi menolak gugatan dari caleg PDIP padahal sebagian besar materi
gugatan adalah sama?
Salah satu menjadi tolak ukur adalah dengan dimenangkannya gugatan materi caleg
dari Demokrat, maka partai Demokrat akan mendapat keuntungan materiil sebesar Rp
111 miliar dari 30 anggota dewan tambahannya. Angka ini belum termasuk
keuntungan kekuatan politik di parlemen untuk menguasai dan membuat berbagai
aturan yang akan menguntungkan partai dan kekuasaannya. Bayangkan saja, suara
nasional dari Demokrat+Golkar+PDIP yang hanya 49%, namun di mark-up secara
legal menjadi 74% di DPR (416 dari 560 kursi). Bagaimana keadilan demokrasi bisa
memberi ‘kursi korup” sebesar 25%???
Semoga prasangka saya tidak benar. Jika tidak…. maka selamat datang kembali
“hukum orba” di negeri ini!
Menurut data ICW, anggota DPR/DPRD yang menjadi tersangka atau terpidana
korupsi sebanyak 18,95 persen. Kemudian disusul oleh Pejabat Eselon/pimpro (17,89
persen), Duta besar/pejabat konsulat/imigrasi (13,68 persen), dan Kepala Daerah
seperti Gubernur, Bupati, Walikota (12,63 persen).
Sisanya ada pejabat di level Komisi Negara, Dewan Gubernur, BUMN, Aparat
Hukum, dan BPK, prosesntase sebaran tersangkanya hanya dibawah 10 persen.
"Kasus suap yang paling banyak menjadi modus korupsi," kata peneliti ICW Febri
Diansyah dalam seminar bertajuk 'Mengkaji Modus Korupsi dan Upaya
Pemberantasannya' di DPD RI, Jakarta, Kamis 27 Agustus 2009.
Suap dan pemerasan merupakan lapis korupsi pertama. Bisa berlanjut kepada tahap
berikutnya yaitu nepotisme, kronisme, dan pembentukan kelas baru. Paling berbahaya
adalah lapis korupsi tingkat ketiga , yaitu jejaring.
Menurut Febri, jejaring ini yang mengakibatkan korupsi amat potensial dilakukan
secara masal dan besar-besaran.
Maka dari itu, tawaran strategis ICW dalam pemberantasan korupsi adalah dengan
mempertahankan KPK yang sudah eksis dan mampu melakukan penyidikan sekaligus
penuntutan. Selain itu RUU Pengadilan harus segera disahkan.
"Jika tidak ada pengadilan korupsi sama saja kita tidak memberantas sebab di
pengadilan umum kan banyak yang diputus bebas, meski tidak seluruhnya," kata
Febri.
Ia berjanji pihaknya akan merilis nama-nama yang terlibat korupsi selama satu
semester ini. Dipenghujung kalimatnya, Babul sedikit curhat mengenai kondisi
para koleganya di Kejagung.
Makin banyak anggota dewan yang bolos ketika rapat yang menetukan nasib rakyat
Indonesia dengan alasan yang tidak jelas, jika anak sekolah saja dikeluarkan karena
sering membolos mengapa anggota dewan tidak?seharusnya mereka dipecat dari
anggota dewan karena tidak amanah terhadap rakyat Indonesia, mereka hanya
sanggup memakan uang rakyat tetapi tidak mampu membela nasib rakyat Indonesia.
Inilah daftar anggota yang paling bolos (sumber :tempo) :
B. Masa Sidang III (5 April 2010-18 Juni 2010) sebanyak 9 kali persidangan:
1. Ratu Munawaroh (Fraksi PAN) — Tak hadir tanpa keterangan: 9 kali
2. Nur Cahyo Anggorojati (Fraksi Partai Demokrat) – Tak hadir tanpa keterangan: 5
kali
3. Agus Gumiwang Kartasasmita, Ibnu Munzir (keduanya Fraksi Partai Golkar),
Alexander Litay, Arif Wibowo (keduanya Fraksi PDI Perjuangan), Abdul Malik
Haramain, Abdul Kadir Karding (keduanya Fraksi PKB) – Semua tak hadir tanpa
keterangan: 4 kali
Anggota dpr tidur
Yang lebih mengecewakan banyak anggota dewan yang tertidur saat sidang. sungguh
benar-benar hal yang memalukan dan memprihatinkan bagi bangsa Indonesia. Jika
anggota dewan dipilih oleh rakyat maka sepantasnyalah rakyat juga berhak untuk
memberhentikan wakilnya yang tidak amanah. Lihat saja keadaan ruang sidang
anggota dewan, ketika seluruh rakyat Indonesia bahkan seluruh rakyat didunia
menyaksikan jalannya sidang yang diputuskan untuk arah nasib rakyat indonesia yang
lebih baik sebagia anggota dewan malah tertidur pulas, sehingga sidang pun minim
interupsi, sungguh bejat sekali para anggota dewan tersebut. Maka tidak heran jika
rakyat tidak peduli lagi dengan pemerintah khususnya pada anggota dewan yang
bisanya hanya mencaci maki, tidur, minta tunjangan, serta korupsi.
Sungguh mulia niat partai politik untuk menyatakan perang terhadap korupsi dan
segalam macam yang merugikan negara. Namun, niat mulia tersebut belum
sepenuhnya terinstalasi ke dalam jiwa setiap anggota partai. Belum usai deklarasi
Antikorupsi di Gedung Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) 29 Februari lalu.
Politisi asal Sulsel Abdul Hadi Jamal (AHD) dari fraksi Partai Amanat Nasional
(PAN) kembali berurusan dengan KPK. Ia ditangkap KPK bersama Darmawati,
pegawai negeri sipil Bagian Tata Usaha Direktorat Jendral Perhubungan Laut
Departemen Perhubungan, dan dari tangannya disita oleh KPK sejumlah uang
yang diduga hasil suap. Kejadian ini tentunya mencoreng institusi lembaga
legislatif, meruntuhkan kepercayaan masyarakat dan membangun sikap
pesimistik terhadap para wakilnya di DPR ataupun calon anggota dewan yang
bertarung pada pemilu april 2009 mendatang.
Kenyataan ini memang pahit buat masyarakat Sulsel karena dari sebagian banyak
anggota dewan, politisa dari daerah ini memiki jumlah terbanya. Tapi hal ini
mampu membangun kesadaran masyarakat jika di gedung DPR tersebut masih
terjadi praktek suap menyuap. Kemudian wakil rakyat yang duduk di dewan
sekarang ini tak semuanya bersih dan belum mampu memaknai budaya lokal
sebagai salah satu prinsip hidup.
Penangkapan AHD ini menambah catatan politisi asal Sulsel di DPR yang
berurusan dengan KPK. Sebelumnya seperti Hamka Yandhu dari Fraksi
Partai Golkar bermasalah akibat aliran dana Bank Indonesia. Sarjan Taher
Fraksi Partai Demokrat ditahan KPK dalam kasus dugaan korupsi alih
fungsi hutan bakau menjadi Pelabuhan Tanjung Api Api di Kabupaten
Banyuasin, Sumatra Selatan dan Yusuf Amir Faisal, mantan Ketua Komisi
IV, Fraksi FKB karena terlibat dalam kasus alih fungsi hutan lindung
Tanjung Api-Api, Sumatra Selatan.
Sebagai orang Sulsel, tentunya merasa terpukul dengan kejadian ini.
Pasalnya ini terkait dengan harkat dan martabat masyarakat Sulsel yang
terkenal dengan budaya siri na pacce dan sangat menjunjung nilai budaya
itu sebagai norma yang mengikat dalam sendi-sendi kehidupan.
Fenomena Suap
Korupsi yang terjadi di DPR sudah menjadi cerita biasa dan terjadi secara
tidak langsung melalui modus opereandi yang sangat rapi. Biasanya hal ini
terjadi ketika pembahasan rancangan undang-undang, penanganan kasus,
pemekaran wilayah, kunjungan kerja ke suatu tempat atau daerah,
pembahasan anggaran, pengam bilan suatu kebijakan oleh DPR atau
komisi, studi banding ke luar negeri, persiapan rapat dengar pendapat
dengan BUMN atau instansi swasta, atau proses uji kelayakan dan
kepatutan (fit and propert test) pejabat public. Jadi ada benarnya juga jika
setiap bupati yang ingin meloloskan proyek untuk daerahnya mesti
menyiapkan minimal 500 juta untuk dana awal demi kebagian
‘kue’.Begitupula dengan tender proyek yang melibatkan pengusaha dan
uang milyaran rupiah masuk ke kantong pribadi anggota dewan.
Kasus yang menimpa AHD ini sejalan dengan Survei korupsi yang dilansir
Transparency Internasional Indonesia menyebutkan, parlemen dan partai
politik adalah lembaga paling korup sejak dua tahun berturut-turut.
Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat sedikitnya ada 10 legislator di
Senayan yang sedang tersandung kasus korupsi.
Lain halnya dengan Badan Kehormatan (BK)
DPR yang merilis 70 orang anggota dewan
yang yang diadukan masyarakat karena
terlibat kasusu hukum sejak Desember 2005-
Juni 2007 (ICW). Sementara itu dari data ICW
disebutkan terdapat 1.437 anggota DPRD dari
seluruh Indonesia telah diproses hukum akibat
kasus korupsi. Data ini sungguh membuat
ironis karena negara masih belum stabil akibat
krisis berkepanjangan. Sementara rakyat
jelata makin miskin dan tak berdaya dengan tingginya biaya sosial.
Padahal Isu pemberantasan korupsi yang jadi semangat reformasi 1998
dalam menumbangkan kepemimpinan orde baru yang korup. Namun itu
ternyata hanya jargon dan mimpi belaka. Sebab prilaku para wakil rakyat
tetap saja melakukan praktek haram tersebut.
Ketua Komisi III DPR RI, Benny Kabur Harman (F-PD) meminta ketiga institusi
hukum yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Mabes Polri, dan Kejaksaan
Agung untuk berkoordinasi dalam memberantas korupsi di Indonesia. Hal tersebut
ditegaskan Benny saat memimpin Rapat Kerja antara Komisi III DPR dengan KPK,
Kapolri, dan Jaksa Agung, di DPR, Rabu (18/11).
Hal yang sama diungkapkan oleh Anggota Komisi III DPR Gayus Lumbuun
(F-PDIP). Gayus mengatakan, harus ada sebuah system koordinasi penegakan hukum
di ketiga instansi penegak hukum Indonesia. Ketiag instansi penegak hukum tersebut
juga diminta untuk membuat kerjasama teknis dalam melakukan penegakan hukum.
“Jika terjadi konflik diantara ketiga instansi penegak hukum kita, maka yang akan
tertawa lebar adalah para koruptor,” ujar Gayus.
Polri juga tidak segan-segan untuk menindak oknum penyidik polri yang
terbukti terlibat dalam mafia peradilan. “Apabila ada oknum penyidik Polri baik dari
tingkat Polsek sampai Mabes Polri yang terlibat kasus mafia peradilan, akan kami
tindak,” jelas Bambang.
Sementara itu, Jaksa Agung Hendarman Supanji dalam Raker tersebut
mengatakan, dalam memberantas korupsi, Kejaksaan Agung telah melakukan
pembaharuan birokrasi yang tidak akan dimasuki oleh mafia peradilan. Kejaksaan
Agung juga telah melakukan langkah-langkah kongkrit berupa pengawasan melekat
& fungsional terhadap sumber daya manusia di lingkungan Kejaksaan Agung.
KPK juga akan memperkuat pengawasan internal agar para penyidik KPK
tidak terlibat kasus mafia peradilan.(ol)
Data-Data Referensi
Data-data ini saya kutip dari berbagai media massa online yang
memberitakan perilaku korup dan skandal seks yang harusnya
tidak dilakukan orang-orang terhormat yang terpilih langsung
melalui mekanisme partai dan pemilu.
(Terbukti)
Penutup
Banyaknya pendaftar calon pimpinan KPK tidak menutup kemungkinan adanya calon
titipan koruptor agar bisa mengendalikan lembaga pemberantas korupsi itu.
Dengan tegas, Staf Khusus Kepresidenan bidang hukum Denny Indrayana, menolak
calon pimpinan KPK titipan koruptor ini. Menurut Denny, cirinya pun mudah
dikenali.
“Cirinya ada permainan uang di situ. Ini yang paling penting di pansel. Apakah pansel
bermain atau tidak, dan saya pikir beban berat itu ada di pansel,” ujarnya dalam
diskusi “Polemik” yang digelar Trijaya FM di Cikini, Sabtu (29/5/2010).
Menurut Denny, KPK jilid ke dua ini punya tantangan yang sangat besar, yaitu kasus
Bibit dan Chandra. Dua pimpinan KPK itu sedang bermasalah terkait kasus Anggodo
Widjojo.
Dalam hal ini, Presiden pun memberikan perhatian besar untuk calon pimpinan KPK.
“Tentunya, Presiden secara pribadi punya preferensi, tetapi saya tidak tahu siapa
preferensi beliau. Karena preferensi presiden pun tidak bisa menentukan lolosnya di
DPR,” ungkap Denny.
Corruptor fight back! Istilah itu marak setelah sejumlah tersangka korupsi melakukan
perlawanan untuk melemahkan lembaga antikorupsi melalui gugatan ke pengadilan.
Kini diendus, para koruptor bukan hanya melakukan perlawanan dari luar, tapi juga
mencoba masuk ke dalam internal pimpinan KPK. Salah satunya melalui calon yang
diduga titipan para koruptor.
Anggota panitia seleksi pimpinan KPK, Rhenald Kasali mengaku, dirinya tidak tutup
mata akan hal tersebut. Namun demikian, pansel KPK sudah memiliki trik untuk
menangkal calon yang diduga kuat titipan koruptor.
“Kami memiliki pengalaman dan pengetahuan,” tegas Rhenald usai acara diskusi
“Polemik” Trijaya FM di Warung Daun, Cikini, Jakarta, Sabtu (29/5/2010). Rhenald
pun menjamin pihaknya tidak akan kecolongan.
Salah satu cara yang akan dilakukan pansel adalah dengan menelusuri rekam jejak
calon yang diduga titipan koruptor tersebut.
“Rekam jejak bukan hanya tertulis, tapi kami akan mempelajari mereka bahkan
menelpon orang yang kenal dengan calon untuk diketahui bagaimana latar
belakangnya,” urai Rhenald.
Wacana mengenai adanya calon pimpinan KPK titipan koruptor dilontarkan pertama
kali oleh Sekretaris Satgas Antimafia Hukum, Denny Indrayana. Dia menaruh
kecurigaan ada beberapa calon yang sebenarnya ingin melemahkan posisi KPK.
[okezone]
Bukti rekaman antara Artalyta Suryani dan pejabat tinggi Kejaksaan Agung yang
diperdengarkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sungguh memukul dan
membuat kecewa seluruh jajaran korps Adhiyaksa. Terungkapnya praktek korupsi ini
kenyataannya berdampak pada menurunnya kepercayaan publik terhadap kejaksaan
ke tingkat yang paling rendah. Institusi kejaksaan saat ini mengalami krisis
kepercayaan. Ibarat kapal, posisinya dapat dikatakan hampir tenggelam.
Dalam sejarahnya, praktek korupsi di tubuh kejaksaan bukanlah hal baru, bahkan
sudah menjadi rahasia umum. Hasil penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW)
pada 2001-2002 mengenai pola-pola korupsi di lingkungan peradilan, khususnya
kejaksaan, memperkuat pendapat bahwa korupsi di kejaksaan bukan isapan jempol
belaka.
Penelitian ICW di enam kota besar di Indonesia menemukan bahwa praktek kolusi,
korupsi, dan pemerasan yang dilakukan oleh oknum jaksa biasanya terjadi pada
proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga eksekusi suatu perkara.
Pengalihan tahanan, penggelapan dan penghentian perkara, pengalihan dari perkara
pidana menjadi perkara perdata, penghilangan barang bukti, negosiasi dakwaan dan
tuntutan, dan penundaan eksekusi merupakan pola yang umum dilakukan oleh oknum
jaksa yang tidak bertanggung jawab.
Komisi Kejaksaan sejak 1 Januari hingga 14 Desember 2007 menerima 422 laporan
masyarakat tentang kinerja dan perilaku jaksa. Dari jumlah tersebut, sebanyak 202
laporan dilanjutkan ke Jaksa Agung. Jumlah yang masuk pada 2007 meningkat
dibanding tahun sebelumnya. Pada 2006, laporan masyarakat yang masuk ke Komisi
Kejaksaan sebanyak 398. Dari laporan tersebut, yang diteruskan ke Jaksa Agung
sebanyak 204 laporan.
Total jaksa yang diberi sanksi pada 2007 adalah 89 jaksa yang terdiri atas 25 orang
dijatuhi sanksi ringan, 51 jaksa dijatuhi sanksi sedang berupa sanksi administrasi, dan
13 jaksa dikenai sanksi berat seperti penurunan pangkat, gaji, hingga pemberhentian
secara tidak hormat.
Meski hasil pemeriksaan menyatakan terbukti adanya pemerasan yang dilakukan oleh
oknum jaksa tersebut, sangat langka kasus yang berlanjut ke proses hukum. Hal
demikian dapat dilihat dari sejumlah dugaan pemerasan atau gratifikasi yang
dilakukan oleh oknum jaksa. Dalam pantauan ICW selama 2005-2007, dari 10 kasus
suap yang melibatkan oknum jaksa, saat ini baru jaksa Cecep dan Burdju yang telah
diproses hingga ke pengadilan dan akhirnya dijatuhi vonis bersalah oleh hakim.
Ironisnya, setelah menjalani masa tahanan selama 2 tahun, kedua orang ini dapat
kembali berdinas di lingkungan kejaksaan.
Meski sudah ada tindakan yang diambil, kenyataannya persoalan korupsi di jajaran
kejaksaan tetap saja tak kunjung usai. Selain karena faktor kesejahteraan jaksa yang
rendah, terdapat beberapa faktor lain yang menyebabkan kalangan internal kejaksaan
gagal menyelesaikan persoalan korupsi yang dilakukan oleh oknum jaksa. Pertama,
persoalan kultural. Terdapat kondisi di mana adanya keengganan (ewuh pakewuh) di
kalangan jaksa untuk memeriksa sesama rekan seprofesi dan semangat untuk
melindungi korps (espirit de corps) yang berlebihan. Kedua, sering kali terjadi
praktek kolusi dalam proses pemeriksaan sehingga melahirkan kesimpulan dugaan
penyimpangan tak terbukti.
Tindakan yang tidak tegas dari pimpinan kejaksaan juga akan melahirkan aktor-aktor
korupsi baru di lingkungan kejaksaan. Harusnya ada sinergi antara bidang
pengawasan dan bidang pidana khusus di lingkungan kejaksaan. Artinya, apabila dari
hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh bagian pengawasan ditemukan adanya indikasi
suap atau pemerasan yang dilakukan oleh oknum jaksa, hal ini seharusnya
ditindaklanjuti oleh bagian pidana khusus untuk memproses secara pidana.
Persoalannya adalah apakah Jaksa Agung punya keinginan kuat untuk membersihkan
institusi kejaksaan dari praktek korupsi? Rentetan peristiwa suap atau pemerasan atau
kolusi yang dilakukan oleh sejumlah oknum jaksa seharusnya dapat menjadi
momentum bagi kejaksaan untuk memperbaiki diri, khususnya memperbaiki
mekanisme pengawasan dan penjatuhan sanksi disiplin bagi jaksa yang dinilai
bermasalah.
Upaya pembersihan dan menyelamatkan institusi kejaksaan saat ini sudah tidak dapat
ditawar lagi dan harus segera dilakukan. Jika langkah tegas tidak juga dilakukan,
sebaiknya Presiden SBY perlu mempertimbangkan untuk mencopot Jaksa Agung
Hendarman Supandji dan menggantinya dengan orang yang memiliki integritas,
kualitas, keberanian, dan komitmen dalam pemberantasan korupsi.
Ketua Tim 9 yang memeriksa rentut ganda Gayus Tambunan yang juga inspektur
pada Pidum Kejaksaan Agung, Widyo Pramono, dalam jumpa pers yang digelar pada
Rabu di Jakarta menyatakan, Cirus, Fadil, dan jaksa Ika Syafitri tergabung dalam
jaksa penuntut (P16A) dalam berkas perkara Gayus.
Berdasarkan pemeriksaan tim, kasus itu berawal dari surat petunjuk penuntutan
(juktut) tanggal 25 Februari 2010 yang memerintahkan kasubbag tata usaha bernama
Emo untuk mengirimkan juktut ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten.
Indikasi pemalsuan dalam rentut tersebut, menurut Widyo, terlihat dari Surat Juktut
Nomor R431 dan R455, dari waktu pengiriman faksnya sama.
"Penulisan nomor surat pada R431 menggunakan spidol, padahal tidak lazim karena
biasanya menggunakan ballpoint," katanya.
Kemudian, Surat Juktut Nomor 431 sanksi hukumannya dihapus yang semua satu
tahun penjara menjadi 6 bulan masa percobaan. "Surat juktut yang palsu
menggunakan sanksi hukuman untuk terdakwa narkoba Thio Ben Tjai," katanya. Atas
temuan itu, tim akan melaporkan pemalsuan itu ke pihak berwenang karena ada
dugaan pelanggaran Pasal 263 ayat 1 dan 2 KUHP.
Anggota Komisi II DPR Achmad Yani menyatakan, dugaan keterlibatan Cirus Sinaga
dkk dalam kasus Gayus Tambunan, juga dalam kasus Bibit-Chandra dan
sisminbakum, kembali membuka tabir bahwa kejaksaan kerap "bermain-main"
dengan kasus yang ditangani. Hal itu sekaligus membuktikan bahwa Kejaksaan
Agung tidak mampu menyelesaikan kasus yang menyita perhatian publik.
Karena itu, Achmad Yani mendesak agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
segera melantik Jaksa Agung yang baru agar rivalitas di internal Kejaksaan Agung
tidak berlarut-larut.
Hal senada juga dikemukakan anggota Komisi III DPR lainnya, Bambang Soesatyo.
Menurut Bambang, rivalitas internal menuju kursi Jaksa Agung yang berlangsung
begitu telanjang dan sarat intrik, sehingga tidak lagi memedulikan kepentingan
bangsa. Masing-masing kelompok berusaha saling menjatuhkan.
Todung menunjuk aksi saling bantah dua pejabat teras kejaksaan, yakni Plt Jaksa
Agung Darmono dan Jampidsus M Amari perihal tindak lanjut penyelesaian perkara
Bibit-Chandra.
Sikap seperti itu, menurut Todung, justru mencerminkan ketidakpastian hukum.
Padahal, proses penegakan hukum membutuhkan sikap yang tegas. Imbasnya,
kepercayaan masyarakat terhadap jajaran kejaksaan pun akan menurun.
Todung menilai sikap seperti itu juga merupakan cermin dari tidak tegasnya
kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sekretaris Jenderal
Transparency International Indonesia (TII) Teten Masduki menengarai adanya
masalah internal yang kompleks di Kejaksaan Agung.
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=264956
Sejumlah aktivis yang tergabung dalam Masyarakat Koalisi Sipil Indonesia saat
melakukan aksi damai di depan Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta,
Minggu (22/8). TEMPO/Eko Siswono Toyudho
Dalam pembacaan petisi ini, Taufik meminta kepada Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono untuk mengambil tindakan tegas dalam mereformasi Kepolisian Republik
Indonesia. "Kami meminta presiden SBY mencopot petinggi kepolisian yang terlibat
praktek mafia peradilan dan rekayasa proses hukum," ujarnya. Ia juga meminta
kepada SBY untuk membenahi struktur Polri secara menyeluruh.
Petisi ini, menurutnya disusun berdasarkan keprihatinan para aktivis LSM dan
masyarakat sipil terhadap semakin menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap
institusi penegak hukum ini. Penurunan kepercayaan ini dilatarbelakangi oleh
sejumlah kasus yang mencoreng nama Polri. "Seperti kasus mafia hukum, rekayasa
kasus pimpinan KPK, kasus Gayus, rekening gendut polri, dan banyak lagi," ujarnya.
Mantan ketua KPK, Erry Ryana Hardjapamengkas, yang juga turut dalam pembacaan
ini mengatakan, bahwa ini hanyalah sebuah awal dari upaya membersihkan sistem
hukum di Indonesia. Menurutnya, selanjutnya petisi yang sama juga akan ditujukan
kepada kejaksaan dan pengadilan, dan kehakiman. "Kenapa ini ditujukan kepada
Polri, karena kami harap jika dari Polri nya sudah baik, maka di kejaksaan dan
seterusnya juga baik," ujarnya.
Menurut Taufik, pengumpulan dukungan untuk petisi ini akan terus dilakukan. "Bagi
teman-teman yang ingin bergabung bisa gabung di grup facebook dan tweeter kami,"
ujarnya. Ia menambahkan, sampai saat ini pendukung petisi ini berjumlah sekitar 540
orang. Pengumpulan dukungan ini direncanakan sampai Kamis minggu depan.
"Selanjutnya akan diserahkan kepada Presiden," ujarnya.
Petisi ini juga didukung sejumlah lembaga swadaya masyarakat, angtara lain
Indonesia Corruption Watch (ICW), Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak
kekerasan (Kontras), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), dan
Transparansi Internasional Indonesia.
Konflik antara KPK vs Polri yang berimbas pada pembentukan Tim 8 oleh Presiden, menunjukkan sistim penegakan hukum di Indonesia masih kacau. Meski kita telah memasuki era
reformasi selama 10 tahun, namun ternyata birokrasi dan lembaga penegak hukum seperti Polisi, Kejaksaan, Kehakiman bahkan Mahkamah Agung (MA) belum mampu di reformasi.
Selain itu meski sudah ada KPK sejak 6 tahun lalu, ternyata korupsi dan suap masih melanda birokrasi dan lembaga penegak hukum. Bahkan KPK sendiri disinyalir tidak bersih seratus
persen. Terbukti pernah ada beberapa personilnya yang terlibat praktek korupsi dan suap sehingga mereka diadili dan dipecat dari KPK. Pemberantasan korupsi di Indonesia
sepertinya berjalan di tempat, karena begitu kuatnya perlawanan para koruptor yang bercokol di eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Berikut ini wawancara Abdul Halim dari Tabloid Suara Islam dengan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) yang juga Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Prof
Dr Jimly Asshiddiqie SH seputar penegakan hukum di Indonesia.
Apakah konflik kali ini serupakan usaha untuk melemahkan KPK yang selama ini dikenal sebagai lembaga pemberantasan korupsi?
Sekarang citra penegakan hukum sedang menurun. Itu melanda semua lembaga penegak hukum termasuk KPK. Jadi semuanya sedang mengalami penurunan kepercayaan dari
masyarakat. Mereka saling menjelekkan, itulah konflik. Seharusnya konflik diselesaikan di pengadilan atau diajukan ke MK meski belum tentu menang. Karena ini pula lembaga
negara diatur dalam UU, supaya tidak terjadi sengketa antar lembaga negara. Kita belum terbiasa menyelesaikan konflik di pengadilan. Konflik biasanya diselesaikan di forum politik,
bundaran HI atau televisi. Padahal ada forum beradab untuk menyelesaikan semunya yakni pengadilan.
Apa perlu ada lembaga pengawas KPK, karena kekuasaannya yang sedemikian besar ?
Nanti pengawasnya diawasi siapa lagi. Kalau logika itu diikuti, berarti semua pengawaspun diawasi. Nanti siapa pengawasnya pengawas ?
Sebagai mantan Ketua MK, bagaimana tanggapan anda dengan adanya pemutaran kaset hasil penyadapan KPK di MK baru-baru ini ?
MK tidak bisa tidak harus terbuka, sistimnya sudah terbentuk video conference dan video streaming, sehingga sidang-sidang MK bisa dilihat di seluruh dunia melalui internet. Jadi
sekarang sudah zaman keterbukaan, sehingga kalau ada alat bukti yang diajukan ke forum sidang MK, otomatis terbuka. Borok sistim penegakan hukum kita menjadi terbuka dan
sudah tidak bisa ditutup-tutupi lagi.
Pemutaran rekaman itu bukan kesalahan MK, memang sistimnya sudah terbuka. Barangkali ada orang yang kurang enak dengan pemutaran rekaman, semua itu akibat dari
keterbukaan MK. Bahkan di semua daerah dimana ada 34 Perguruan Tinggi, semua bisa melihatnya. Bukan cuma itu, melalui internet video streaming maka seluruh dunia bisa
menyaksikannya. Sebab MK berbeda dengn PN yang menyangkut kepentingan orang perorang. Pasalnya, yang diadili adalah UU yakni kepentingan publik sehingga rakyat perlu
mengetahuinya.
Sebagai mantan Ketua MK, bagaimana tanggapan anda dengan adanya konflik terselubung antara MK vs Polri. Terbukti adanya penarikan pengawalan Polri terhadap Ketua MK, M
Mahfud MD ?
Tidak ada konflik MK vs Polri, paling-paling orang marah karena Mahfud banyak ngomong. Seharusnya hakim merupakan jabatan pendiam, tidak boleh bicara diluar putusan apalagi
yang menyerempet-nyerempet perkara yang menyangkut kewenangan orang lain. Itu yang menjadi masalah bukan lembaganya. Polri marah karena statemen yang ingin memecat
Kapolri dan sebagainya, padahal seharusnya itu tidak boleh. Jadi bukan MK sebagai institusi, tetapi pribadi Mahfudnya. Tidak ada putusan MK diluar putusan 9 orang hakim MK atau
minimal 7 orang hakim MK. Jadi perilaku seorang meskipun Ketua MK tidaklah menentukan. Ketua MK hanyalah tukang memimpin sidang dan ketok palu. Seluruh hakim MK sama
kedudukannya.
Menurut anda, bagaimana mengatasi maraknya makelar kasus (markus) dan makelar jabatan (mantan) di pengadilan dan kejaksaan ?
Semua orang harus berusaha untuk menjadi teladan dengan akhlaqul karimah. Bahwa jabatan adalah amanah dan tidak selayaknya dinimati. Jabatan sekecil apapun adalah amanah
dan amanah berisi tanggungjawab. Amanah tidak boleh dinikmati sendiri oleh orang yang diberi amanah, itu prinsipnya. Jadi kalau ada orang menikmati amanah, ya salah.
Jabatan tidak boleh dinikmati, baik kekuasaan politik maupun ekonomi. Jadi seorang yang menduduki jabatan apa saja, dia harus menunaikan tanggung jawabnya bahkan lebih dari
seharusnya. Sebaliknya, dia tidak boleh mengambil, tidak boleh menerima dan tidak boleh mengambil lebih dari yang seharusnya. Kalau mengambil lebih dari seharusnya, berarati
korupsi dan haram hukumnya. Tetapi kalau kewajiban tidak boleh kurang dari kewajibannya. Jika kurang dari kewajibannya, maka haram hukumnya yang berarti korupsi juga.
Jadi kalau tidak sanggup, jangan menduduki jabatan. Bagi saya, jabatan itu biasa saja, keluar masuk Istana biasa saja. Dulu zaman Habibie kita berkuasa, zaman Gus Dur keluar
Istana. Kemudian menjadi Ketua MK dan keluar lagi. Bagi saya ini sesuatu yang enteng dan biasa saja. Tinggal kita menjaga kualitas iman dan akhlaq. Semua orang yang mengaku
beriman, maka wajib baginya menjadikan dirinya teladan dalam etika yang mulia dan akhlaqul akrimah, itu kuncinya.
Markus dan mantan semakin marak karena orang mau menikmati jabatan, maka mereka berjuang apa saja dikerjakan supaya dapat jabatan. Nanti kalau sudah dapat jabatan, dia
tidak mengerjakan kewajibannya. Hanya menikmati jabatan untuk kepentingannya sendiri, maka orang tidak boleh meminta-minta jabatan. Itulah sebabnya Islam melarang
meminta-minta jabatan. Karena itu mantan haram hukumnya, apalagi markus lebih haram lagi karena diluar aturan, semestinya itu dilarang.
Kalau negara sedang berkembang, masih primitif cara membangun mekanisme penegakan hukum dan masih banyak dipengaruhi para preman.
Mereka ada yang menduduki jabatan resmi atau diluar jabatan resmi. Itulah para makelar yang berkolaborasi untuk memperjuangkan orang agar dapat jabatan yang kelak dapat ikut
menikmati jabatan tersebut, jadi ini mafia.
Jadi peristiwa sekarang harus disyukuri. Alhamdulillah, kita diberi tahu dalam kenyataannya ada praktek-praktek yang sangat tidak terpuji dalam lingkungan lembaga penegak
hukum, maka kita perlu memperbaiki diri. Presiden sebagai kepala negara tentu dapat menyusun agenda bagaimana memperbaiki persoalan ini.
Mengapa tidak ada pejabat di Indonesia yang melakukan kesalahan seperti Kapolri dan Jaksa Agung, lantas dengan perasan malu mengundurkan diri, seperti di Eropa dan AS ?
Tanya saja sama yang bersangkutan. Mestinya orang mundur dari jabatan tidak perlu harus bersalah. Kalau sudah merasa cukup mengabdi, sebaiknya mundur saja. Makanya jabatan
itu jangan dinikmati. Apalagi kalau melakukan kesalahan. Saya kira Kapolri dan Jaksa Agung tidak merasa bersalah. Tim 8 tidak mempunyai hak untuk merekomendasikan
pemberhentian keduanya. Itu kan hanya nasehat kepada presiden.
Jadi Kapolri dan Jaksa Agung tidak menangganinya, tetapi dia kena getahnya karena harus bertanggungjawab. Kalau mengundurkan diri mungkin tidak baik juga. Seperti kejaksaan,
itu kan proses hukum yang normal, masak semua harus ditanggani Jaksa Agung, Kapolripun demikian. Namun karena sudah menjadi isyu nasional, maka harus menyampaikannya ke
DPR. Jadi sebenarnya Kapolri dan Jaksa Agung tidak perlu mundur, yang penting mendorong tegaknya hukum untuk memperbaiki keadaan.
Selama ini dikatakan KPK terlalu berkuasa dan menjadi lembaga superbody sehingga membuat gerah lembaga penyidik lain seperti Polri dan Kejaksaan. Bagaimana tanggapan
anda ?
UU KPK harus disempurnakan. Apa KPK harus menanggani semua perkara seperti sekarang, mulai dari presiden sampai camat mau diakses semua. Jadi kita harus membangun sistim
hukum. Tegaknya hukum tidak bisa dihitung dari berapa jumlah orang yang ditangkap. Kalau jumlah adalah cara berfikir demokratis dimana makin banyak makin baik. Tetapi kalau
keadilan, bukan berapa jumlah tetapi kualitas perkara. Jadi kalau perkaranya tidak berkualitas seperti kasus mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri yang kualitasnya
kecil hanya kasus beberapa ratus juta rupiah dan hanya kesalahan administrasi. Jadi yang begitu kasusnya tidak bermutu dan hanya menimbulkan perasaan tidak adil bagi
masyarakat. Jadi seharusnya hanya kasus berskala besar saja yang ditanggani KPK, sedangkan lainnya dapat ditanggani Kejaksaan.
KPK dimasa depan jangan lagi menanggani tindak pidana korupsi bagi semua orang. KPK cukup menanggani tindak pidana korupsi dan suap terhadap penegak hukum seperti jaksa,
polisi, hakim dan advokad. Jika mereka melakukan tindak pidana suap dan korupsi, barulah KPK turun tangan. Sedangkan yang lainnya, cukup ditanggani polisi dan jaksa. Tetapi
jaksanya harus diawasi supaya tidak melakukan suap dan tidak ada lagi mafia. KPK cukup mengawasi kejaksaan, supaya jangan terlalu banyak perkara yang ditangganinya.
Mengenai MA, banyak dlihat terjadi overlaping dimana keputusan satu hakim agung dianulir hakim agung lainnya. Apa ini tidak menjadi sumber masalah hukum dikemudian hari ?
Sistem penegakan hukum kita sekarang lagi kacau. Sudah 10 tahun reformasi dan yang lain sudah di reformasi, tetapi birokrasi seperti polisi, kejaksaan, dan MA belum direformasi
dan belum substantif perubahannya. Perubahannya hanya tambal sulam seperti soal usia dan gaji hakim agung, tetapi sistimnya belum dibenahi. Sebenarnya bisa kalau dibenahi,
tetapi pejabatnya tidak mengerti peta jalan perbaikan kearah mana. Seharusnya ada agenda yang harus diperbaiki.
Kalau ada yang mengatakan polisi menjadi arogan karena langsung dibawah presiden, bagaimana komentar anda ?
Polisi dan TNI dibawah Presiden. Jadi tidaklah benar jika TNI berada dibawah Dephan. TNI tidak berada dibawah Dephan tetapi Presiden, Panglima TNI berada dibawah Presiden, bukan
Menhan. Karena dia hanya memperoleh keputusan politik dari Presiden untuk perang atau damai. Presiden sebagai Panglima Tertinggi TNI. Hubungan TNI dengan Dephan bukan
atasan dan bawahan, tetapi koordinasi.
Dalam sejarah, Polisi koordinasi dengan Menko Polkam. Tetapi karena Menko Polkam tidak memiliki aparat teknis, maka koordinasinya dulu era Orba dengan Dephan. Setelah
reformasi pertahanan dan keamanan dipisah, harusnya sekarang koordinasinya dengan Depdagri atau Depkumham, atau kedua-duanya dimana aspek keamanan koordinasinya
dengan Depdagri dan hukum dengan Depkumham. Koordinasi bukan berarti bawahan. Polisi tidak mau karena tidak merasa dibawahnya. TNI, Polri dan Kejaksaan semuanya berada
dibawah Presiden sebagai lembaga eksekutif, cuma koordinasinya dengan Menteri. Manajemen pemerintahan seharusnya dibagi habis dimana koordinasinya dengan Menteri. Menteri
adalah pejabat politik, sedangkan Kapolri, Jaksa Agung dan Panglima TNI pejabat teknisnya.
Karena itu ada kecemburuan TNI terhadap Polri, dikira Polri langsung dibawah Presiden. Polri tidak mau koordinasi dengan Menteri, karena menganggap sudah langsung koordinasi
dengan Presiden, itu salah juga. Jadi ke depan lebih baik Polisi koordinasi dengan Depdagri untuk keamanan dan Depkumham untuk penegakan hukum. Misalnya masalah logistik,
perencanaan penegakan hukum pertahun dan anggarannya, koordinasi dengan Departemen.
Menurut anda, siapakah dalang kasus KPK vs Polri yang semakin ruwet seperti sekarang ini ?
Saya tidak percaya ada dalangnya, sebab ini kebobrokan lama. Karena ada kasus seperti ini maka menjadi terbuka. Mulai dari Antasari yang dituduh membunuh, tetapi sepertinya
dalam pembuktian tidak menyuruh membunuh. Jadi ada semacam ketidaksukaan atau kebencian umum kepada KPK. Sudah selama 6 tahun KPK dianggap lembaga superbody.
Bahkan banyak perkara yang sudah diperiksa sejak zaman Taufiqurrahman Ruki, follow-up nya baru sekarang. Jadi kasus-kasus besar terjadi di zaman Antasari, sekarang tinggal
menangkap saja. Jadi banyak orang yang marah, bukan hanya eksekutif tetapi juga legislatif dan hakim agung, karena ada Pengadilan Khusus Tipikor. Semua cabang kekuasaan
eksekutif, legislatif dan yudikatif serta semua lembaga penegak hukum tidak suka sama KPK.
Karena semua tidak suka, maka tanpa disadari ada usaha untuk melemahkan KPK. Misalnya waktu pembahasan UU Pengadilan Tipikor di DPR, Pemerintah dan DPR hampir sepakat
wewenang KPK dikurangi sehingga tidak memiliki kewenangan menuntut. Tetapi masyarakat dan LSM marah, sehingga usaha untuk mengurangi peran KPK memang sudah ada.
Sekarang ditambah lagi kasus Antasari yang dikaitkan dengan pembunuhan dan wanita. Sesudah itu muncul kasus Bibit-Chandra, gara-gara Kabareskim Mabes Polri merasa disadap
secara tidak mendasar melawan hukum menurut persepsi polisi.
Jadi di kalangan pejabat, KPK menakutkan dan harus diubah. Tetapi karena KPK dikeroyok ramai-ramai, maka masyarakat membelanya. Jadi seolah-olah berhadapan antara negara
dan rakyat dalam isyu pemberantasan korupsi. Saya kira KPK harus diperbaiki, tetapi mekanisme pemberantasan korupsi secara menyeluruh harus ditata kembali. Memperbaiki KPK
dengan mengevaluasi kekurangannya, termasuk memperbaiki kejaksaan, kehakiman dan kepolisian. Seluruh mekanisme penegakan hukum harus ditata kembali. Misalnya,
berdasarkan keputusan MK, pengadilan akan memeriksa perkara tindak pidana korupsi. Tetapi KPK jangan dibubarkan, KPK hanya khusus menanggani pemeriksaan tindak pidana
korupsi keempat lembaga tadi. Selain itu MA harus diperbaiki. Apa tidak bisa perkara ke MA dibatasi jangan terlalu banyak, sehingga kita perlu memperkuat PT. Kalau jumlah
perkaranya terbatas, maka jumlah hakim agung tidak perlu banyak-banyak, cukup seperti MK dengan 9 orang hakim konstitusi.
Kalau memang hal itu dapat dilaksanakan, berarti akan terjadi perubahan besar-besaran. Munculnya permasalahan sekarang ini seharusnya dapat dimanfaatkan untuk penataan
kembali sistim hukum dan peradilan di Indonesia. Semuanya tergantung pada Presiden SBY sebagai policy maker. Kalau bagi saya, ini sesuatu yang mutlak harus dikerjakan.
Percuma, pembangunan dengan janji pertumbuhan ekonomi tidak akan berhasil, kalau sistem hukum dan politik di Indonesia masih kacau seperti sekarang ini. (Abdul Halim)
• Koran Tempo
• Opini
Wawan Sobari, ketua program studi ilmu politik fisip universitas brawijaya
Birokrasi bawahan
Dalam kajian teoretis, fakta markus merupakan bagian dari praktek birokrasi bawahan
[street-level bureaucracy). Praktek markus terjadi dalam sebuah relasi tidak sehat
antara pelayan dan yang dilayani (klien). Karya seminal Iipsky (1980) menjelaskan
bahwa birokrasi bawahan mempraktekkan pemberian diskresi atas dispensasi manfaat
atau alokasi sankksi.
Terjadi konflik antara pembuat kebijakan dan birokrasi bawahan sebagai pelaksana
kebijakan. Di satu sisi para legislator dan pembuat kebijakan lainnya berupaya
menciptakan tujuan-tujuan ideal ke dalam peraturan. Di sisi lainnya birokrasi
bawahan berjalan dengan kepentingannya sendiri untukmemanfaatkan akses lang-
sungnya terhadap klien. Maka diskresi peraturan yang dipraktekkan birokrat bawahan
menjadi lazim.Lipsky kemudian berargumen bahwa praktek birokrasi bawahan
tersebut merupakan mekanisme untuk mengatasi situasi yang sulit {coping
mechanism), yakni sebagai upaya untuk keluar dari situasi frustratif antara besarnya
permintaan pelayanan dan keterbatasansumber daya yang dimiliki. Apalagi dalam
kenyataannya permintaan peningkatan pelayanan seperti tidak pernah berhenti
(Nielsen, 2006).
Hanya, teori tersebut relatif gagal menjelaskan fenomena markus. Bila sumber daya
yang dimaksud berkaitan dengan fasilitas institusi dan gaji, pegawai Kejaksaan, MA,
dan Ditjen Pajak telah mengalami perbaikan remunerasi, pengembangan sumber daya
manusia, dan reformasi ketatalaksanaan dalam beberapa tahun terakhir. Gaji seorang
pegawai Ditjen Pajak setelah perbaikan remunerasi jumlahnya berkali-kali lipat lebih
besar dari gaji pegawai di daerah yang berposisi sama dan sebagai ujung tombak
pelayanan publik pula.
Artinya, gaji besar bukan merupakan faktorfrustratif yang menjadikan para markus
tersebut melakukan diskresi bagi pihak-pihak yang beperkara. Masih ada faktor lain
yang menyebabkan mereka berbuat demikian. Scott (1997) menyebut dua faktor lain
yang men-determinasi para birokrat bawahan untuk melakukan diskresi, yakni karena
tingkat kontrol organisasi dan karakteristik klien. Hal terakhir cukup relevan
menjelaskan praktek markus karena pihak yang be-perkara memiliki karakteristik
yang khusus. Mereka berada dalam situasi oportunistik membutuhkan kepastian
hukum yang menguntungkan dirinya.
Faktanya, praktek diskresi birokrasi bawahan tidak hanya terjadi di pusat, namun
terjadi pula di daerah. Menariknya, klien yang mereka layani bukan hanya kalangan
masyarakat bawah yang membutuhkan pelayanan, tapi juga para elite yang
membutuhkan dukungan politik.Memasuki masa pemilihan kepala daerah (pilkada)
2010, di daerah terjadi praktek makelar politik. Para pegawai negeri sipil yang
semestinya netral terlibat dalam aksi saling dukung para pejabat kepala/wakil kepala
daerah {incumbent) atau bahkan keluarganya yang mencalonkan diri. Para birokrat
bawahan tersebut melakukannya dalam dua modus.
Pertama, para pegawai negeri ikut memposisikan diri dan mendukung setiap
kebijakan dan program kepala daerah atau wakil kepala daerah guna mendapat kredit
politik dari publik. Mereka setia untuk mendampingi dan membantu para incumbent
menjalankan kampanye politik secara tidak langsung. Modus lainnya berupa
pengumpulan dukungan secara langsung. Saat ini mulai terungkap praktek pegawai
negeri yang mengumpulkan dukungan bagi para keluarga incumbent yang
mencalonkan lewat jalur perseorangan.
Tidak dimungkiri, praktek diskresi para birokrat bawahan merupakan buah dari
konflik kebijakan antara pembuat dan pelaksana kebijakan. Kebijakanyang tidak
antisipatif dan prospektif terhadap kondisi di lapangan menyebabkan kegagalan
implementasinya. Kemudian birokrasi bawahan berupaya menerjemahkan sendiri
kebijakan tersebut. Sayangnya dilakukan secara menyimpang.
Kepercayaan politik
Jaksa terdakwa penyuapan dan pemerasan Urip Tri Gunawan divonis hakim Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi (Tipikor) dengan hukuman 20 tahun penjara. Juga denda Rp 500 juta untuk mantan ketua tim
jaksa penyelidik perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Urip dinyatakan terbukti menerima uang terkait dengan jabatannya sebagai anggota tim jaksa penyelidik
perkara BLBI. Dia dinilai menerima uang dari Artalyta Suryani USD 660.000 dan dari Glenn Muhammad
Surya Jusuf melalui pengacaranya, Reno Iskandarsyah, Rp 1 miliar.
Vonis yang dijatuhkan, pada satu sisi, sangat melegakan dan memberi angin segar bagi upaya
pemberantasan korupsi di Indonesia. Pada sisi lain, vonis yang dijatuhkan hakim Pengadilan Tipikor itu
patut mendapat apresiasi. Vonis 20 tahun penjara yang dijatuhkan hakim lebih tinggi daripada tuntutan
jaksa yang hanya 15 tahun penjara.
Sebagaimana diketahui, dalam sidang 22 Agustus 2008, JPU menuntut Urip 15 tahun penjara. Padahal,
maksimal yang bisa dijatuhkan hakim adalah 20 tahun penjara atau seumur hidup.
Selain itu, vonis 20 tahun penjara merupakan pemecahan rekor sebagai vonis tertinggi di Pengadilan
Tipikor. Sebelumnya, vonis tertinggi yang dijatuhkan Pengadilan Tipikor adalah 10 tahun penjara dalam
kasus pengadaan helikopter dengan terdakwa Abdullah Puteh (gubernur nonaktif NAD).
Namun, secara keseluruhan, vonis yang dijatuhkan Pengadilan Tipikor itu cukup memberikan efek jera
dan rata-rata lebih tinggi daripada vonis perkara korupsi yang dijatuhkan pengadilan umum.
Catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) selama dua tahun terakhir (2007-2008), vonis rata-rata di
Pengadilan Tipikor adalah 4,4 tahun penjara, bandingkan dengan pengadilan umum yang hanya 1,6
tahun penjara untuk pelaku korupsi. Dalam sejarahnya, belum ada koruptor yang divonis bebas oleh
Pengadilan Tipikor, berbeda dari pengadilan umum yang telah menjatuhkan vonis bebas terhadap 438
pelaku korupsi.
Layak
Meski mengundang perdebatan, vonis 20 tahun penjara sudah selayaknya diberikan terhadap Urip
didasarkan pada beberapa alasan. Pertama, selama sidang, Urip tidak kooperatif dan berbelit-belit.
Meski fakta-fakta dalam sidang menyebutkan adanya komunikasi antara Artalyta dengan Urip dan
pemberian uang suap terkait dengan pemeriksaan kasus korupsi BLBI, hingga sidang akan berakhir,
Urip tetap bersikukuh bahwa uang dari Artalyta itu merupakan pinjaman untuk usaha perbengkelan.
Dalam pemeriksaan dan sidang, Urip juga terkesan menutupi keterlibatan petinggi di Kejaksaan Agung.
Kedua, perbuatan terdakwa telah mencermarkan institusi kejaksaan. Terungkapnya praktik penyuapan
yang melibatkan ketua tim BLBI itu, kenyataannya, berdampak pada menurunnya kepercayaan publik
kepada kejaksaan pada tingkat yang paling rendah. Nama baik institusi kejaksaan menjadi sangat
tercemar akibat praktik suap-menyuap yang dilakukan Urip.
Selain itu, secara lebih luas, ketidakpercayaan publik terhadap kejaksaan harus diartikan pula sebagai
ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah yang dipimpin SBY-Kalla. Sebab, kejaksaan merupakan
tulang punggung upaya pemberantasan korupsi yang sedang diusung pemerintah.
Ketiga, sebagai aparat penegak hukum, Urip seharusnya mengerti hukum (dan tindakan korupsi) serta
menjadi teladan bagi masyarakat, bukan sebaliknya justru menjadi pelanggar hukum dan pelaku korupsi.
Pemberian vonis yang berat bagi Urip diharapkan bisa menjadi terapi kejut (shock therapy) bagi aparat
penegak hukum lainnya, khususnya jaksa, untuk tidak melakukan tindakan menyimpang serupa pada
masa mendatang.
Keempat, hakim tidak terikat terhadap jumlah tuntutan hukuman yang diajukan jaksa penuntut umum.
Penjatuhan vonis hakim yang lebih tinggi daripada tuntutan jaksa merupakan suatu hal yang biasa
dalam praktik penanganan perkara korupsi di pengadilan (umum maupun tipikor), selama tidak melebihi
ancaman pidana sebagaimana pasal UU Korupsi yang didakwakan oleh jaksa.
Contohnya, Rokhmin Dahuri, mantan menteri kelautan, yang dituntut jaksa enam tahun, namun akhirnya
divonis hakim Pengadilan Tipikor tujuh tahun penjara. Atau, Setiawan Haryono dalam kasus korupsi
BLBI yang awalnya dituntut enam bulan penjara oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan justru
divonis lima tahun penjara.
Dengan demikian, tidak ada ketentuan yang dilanggar bila vonis yang dijatuhkan hakim lebih berat
daripada tuntutan jaksa.
Pintu Masuk
Selain penjatuhan hukuman terhadap Urip, sidang terhadap Urip (dan Artalyta Suryani) menegaskan
banyak sinyalemen publik tentang indikasi permainan di balik penanganan korupsi BLBI, khususnya
yang melibatkan Sjamsul Nursalim.
Fakta-fakta hukum yang terungkap dalam sidang dengan kedua terdakwa tersebut seharusnya dilihat
sebagai poin penting bahwa suap USD 660.000 itu bukanlah pemberian yang berdiri sendiri, tapi
merupakan imbalan yang berhubungan dengan penghentian penyelidikan kasus BDNI-BLBI II. Fakta-
fakta sidang dan penjatuhan vonis bersalah terhadap Urip setidaknya bisa menjadi pintu masuk bagi
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menangani kasus korupsi BLBI yang melibatkan Glenn M.
Jusuf (mantan ketua BPPN), Sjamsul Nursalim (pemegang saham BDNI), serta sejumlah petinggi
Kejaksaan Agung.
Saat ini, satu-satunya harapan penuntasan korupsi BLBI hanya ada pada KPK. Adanya fakta suap-
menyuap yang dilakukan Urip dengan Artalyta terkait dengan penanganan korupsi BLBI Sjamsul
Nursalim telah memenuhi alasan bagi KPK (sebagaimana diatur dalam pasal 9 dan 68 UU No 30 Tahun
2002 tentang KPK) untuk mengambil alih kasus korupsi BLBI.
Emerson Yuntho, anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW) di Jakarta
Meskipun sudah hampir setahun para menteri anggota Kabinet Indonesia Bersatu jilid
II bekerja, belum tampak tanda-tanda mereka mampu mengatasi berbagai persoalan
krusial yang dihadapi bangsa ini. Bahkan, secara umum kepuasan masyarakat
terhadap kinerja menteri-menteri tersebut cenderung turun.
Pada bulan Juli 2010, hasil evaluasi kabinet yang dilakukan oleh Unit Kerja Presiden
untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan atau UKP4 menyatakan kinerja
25 persen kementerian mengecewakan. Hal itu dikatakan Ketua UKP4 Kuntoro
Mangkusubroto.
Hasil evaluasi UKP4 itu tampaknya akan mendorong Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) melakukan evaluasi kinerja para menterinya, terutama bertepatan
dengan setahun masa pemerintahannya pada 20 Oktober mendatang. Meski demikian,
Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum sempat mengatakan bahwa
evaluasi yang akan dilakukan Presiden nanti tidak selalu berarti adanya reshuffle atau
penggantian menteri.
Sebenarnya, hasil evaluasi UKP4 tersebut sejalan dengan hasil jajak pendapat Litbang
Kompas yang menyiratkan ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja menteri secara
umum. Rata-rata kepuasan terhadap kinerja menteri-menteri berada di bawah 50
persen (lihat grafik), kecuali terhadap menteri-menteri seperti Perdagangan, Kelautan
dan Perikanan, Pendidikan Nasional, Agama, Kebudayaan dan Pariwisata,
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, serta Pemuda dan Olahraga.
Jika dibandingkan dengan jajak pendapat untuk hal yang sama pada bulan Juli 2010,
terdapat kecenderungan menurunnya kepercayaan kepada para menteri, yang ditandai
dengan merosotnya kepuasan responden. Beberapa menteri tercatat mengalami
penurunan kepuasan publik yang cukup signifikan, di antaranya Menteri Dalam
Negeri, Menteri Luar Negeri, Menteri Pertahanan, Menteri Perindustrian, Menteri
Pertanian, dan Menteri Perhubungan.
Tidak buru-buru
Meskipun opini negatif dialamatkan ke hampir semua menteri, publik cenderung tidak
terburu-buru ”menghukum” dengan mengusulkan penggantian sosok baru sebagai
pengganti menteri-menteri saat ini. Tampaknya, saat ini wacana tuntutan penggantian
menteri tidak terlalu kencang berembus ke masyarakat.
Kondisi berbeda terjadi menjelang akhir tahun 2005, setahun pertama Kabinet
Indonesia Bersatu I bekerja. Ketika itu sebagian besar responden (69,2 persen) dalam
jajak pendapat Litbang Kompas menginginkan terjadinya reshuffle atau penggantian
menteri-menteri kabinet. Di antara menteri yang dianggap perlu diganti saat itu adalah
Menteri Pendidikan Nasional, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Menteri
Perindustrian, serta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Perombakan kabinet yang dilakukan SBY pada tahun pertama pemerintahannya pada
waktu itu adalah reshuffle terbatas dengan merotasi dan mengganti beberapa menteri.
Saat itu, tiga nama masuk menjadi menteri, tiga nama diberhentikan, dan tiga nama
dirotasi posisinya. Tiga nama yang keluar dari kabinet adalah Jusuf Anwar (Menteri
Keuangan), Alwi Shihab (Menko Kesra), dan Andung Nitimihardja (Menteri
Perindustrian).
Dua tahun kemudian, pada Mei 2007, perombakan anggota kabinet terjadi lagi. Empat
menteri dan satu pejabat setingkat menteri dicopot serta dua menteri dirotasi. Empat
menteri yang dicopot dalam perombakan kabinet kedua adalah Menteri Sekretaris
Negara Yusril Ihza Mahendra, Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin, Menteri
Negara BUMN Sugiharto, dan Menteri Negara Percepatan Pembangunan Daerah
Tertinggal Saifullah Yusuf, serta Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh.
Penggantian beberapa anggota kabinet menjelang tiga tahun pemerintahan SBY itu
juga didukung masyarakat. Setidaknya, sebulan sebelum reshuffle dilakukan,
mayoritas responden (80 persen) jajak pendapat Litbang Kompas menyatakan setuju
adanya penggantian menteri.
Jika reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu I terjadi dua kali dalam lima tahun, apakah
hal yang sama akan terjadi pada anggota Kabinet Indonesia Bersatu II? Bisa ya bisa
tidak. Meskipun sikap publik belum mengkristal menjadi tuntutan terhadap adanya
perombakan kabinet saat ini, bukan tidak mungkin untuk mengganti menteri.
Kepuasan yang menurun adalah pertanda yang lebih nyata akan adanya persoalan.
Apabila kondisi yang dikeluhkan masyarakat tidak kunjung membaik, sikap publik
pun mungkin saja berubah.
Setelah satu tahun berjalan, ketidakpuasan publik atas kinerja pemerintahan Presiden
SBY masih menjadi batu sandungan yang cukup berarti. Hingga tiga bulan terakhir,
problem di bidang perekonomian, khususnya kenaikan harga bahan kebutuhan pokok,
masih menjadi kekhawatiran terbesar publik. Ungkapan tersebut disampaikan
sebagian besar responden (43,2 persen) jajak pendapat Litbang Kompas.
Kenaikan tarif dasar listrik yang mengakibatkan kenaikan harga bahan pokok
berlanjut dengan rutinitas kenaikan harga pada bulan puasa dan Lebaran. Namun,
sebulan setelah masa Lebaran, masyarakat masih bisa merasakan beberapa harga
bahan pokok yang tetap tinggi.
Selain bidang ekonomi, kinerja para menteri di bidang politik dan keamanan juga
menyiratkan ketidakefektifan. Kasus kekerasan horizontal antarwarga di beberapa
daerah dan ibu kota negara menjadi sorotan tajam belakangan ini. Negara dianggap
lengah dan lalai dalam menjaga keamanan warga negaranya. Efektivitas pengawasan
dan penjagaan keamanan yang kurang memadai membuat mayoritas responden (61,2
persen) merasa tidak puas dengan kinerja para menteri, khususnya di bidang politik
dan keamanan.
Belakangan, Mahkamah Agung terus menjadi sorotan. Terlebih setelah adanya usulan
Komisi Yudisial tentang kocok ulang hakim agung dengan alasan lembaga tertinggi
yudikatif ini dianggap sudah darurat. Bila itu terjadi, peluang pergantian
kepemimpinan juga makin terbuka. Apalagi periode kepemimpinan Bagir Manan
sebagai Ketua MA bakal segera berakhir.
Ternyata, sumbangan Marianna tak hanya itu saja. Marianna juga menceritakan
"dapurnya" selama mengabdi di MA. Termasuk perkembangan terakhir yang terjadi
di lembaga benteng terakhir keadilan itu. Rabu pekan lalu, keberatan itu disampaikan
dalam wawancara dengan Irawan Santoso dari FORUM. Berikut petikan
wawancaranya:
Tentang tulisan (FORUM edisi No.38 hal.13) ".....sudah siap dana dan dukungan dari
para hakim agung lain untuk menjabat sebagai Ketua Mahkamah Agung". Terus
terang, saya tidak pernah bertemu siapa pun yang menunjukkan saya berambisi
menjadi Ketua MA. Untuk duduk menjabat posisi wakil Ketua MA saja, sejak
Indonesia merdeka, baru sayalah yang pertama. Mungkin orang lain tidak tahu. Orang
melihat bahwa jabatan itu banyak. Tapi MA sebagai badan peradilan, dia agak
konvensional. Mengapa? Lihat saja pengadilan di Inggris. Negaranya sudah maju, tapi
hakimnya tetap pakai wig. Buat apa itu? Karena memang pengadilan itu konven-
sional. Di Amerika juga hakimnya tetap pakai toga. Bahkan untuk badan peradilan,
Amerika sendiri belum pernah ada pimpinannya yang perempuan. Sempat memang
mereka memiliki satu orang hakim agung perempuan. Tapi kini telah mengundurkan
diri. Karena ini memang jabatan yang sulit.
Jabatan Ketua MA adalah jabatan primes interpares. Dituakan karena semua lama.
Mengapa dituakan? Karena kemampuannya, integritasnya, perilakunya. Kalau
seorang Ketua MA tidak memenuhi persyaratan itu, pasti dia tidak akan dihormati
anggotanya. Termasuk jabatan Wakil Ketua MA ini. Karena itu, untuk saya, kata-kata
'dengan menyiapkan dana' itu sangat menyinggung sekali.
Dengan jabatan seperti ini, bagaimana sebenarnya keseharian Anda?
Menduduki posisi Wakil Ketua MA, saya sangat mensyukuri ini dari Allah SWT.
Saya tinggal di JI. Denpasar Raya, Jakarta Itu rumah jabatan kompleks menteri. Mobil
yang saya pakai,Toyota Camry. Itu setara dengan mobil jabatan yang dipakai menteri.
Saya mau apa lagi? Saya tidak punya pikiran lain-lain lagi kecuali bekerja. Saya
hanya memikirkan agar bisa selamat, bisa menyelesaikan tugas saya yang saya impi-
impikan ini, sampai ke akhir masa jabatan. Hanya itu saja.
Sebenarnya mimpi-mimpi saya banyak. Tentu saya ingin agar hakim-hakim kita itu
betul-betul dapat menjadi hakim yang dihormati karena putusannya. Kita lihat di
negara lain misalnya. Dalam kasus OJ Simpson di Amerika. Orang kulit hitam yang
didakwa membunuh mantan istrinya dan pacar mantan istrinya. Keduanya itu orang
kulit putih. Oleh pengadilan di sana dibebaskan. Karena putusan itu, terjadi keributan
antara orang kulit hitam dan kulit putih. Tapi presiden mereka berkata, kita harus
tunduk pada putusan pengadilan. Seperti itulah yang jadi mimpi saya. Nah, kondisi itu
bisa dicapai di sini. Kuncinya, profesionalitas ditingkatkan.
Kabarnya Anda sering berpergian ke luar negeri, apa saja yangAnda lakukan?
Saya memang sempat pergi ke Jepang. Waktu itu sebenarnya tidak pantaslah
pimpinan MA untuk ikut. Kenapa? Karena membicarakan mediasi. Yaitu antara
Wakai dan Chotei. Nah, kasus ini yang ingin saya ambil. Tujuannya untuk dibahas
guna dibuat sebuah peraturan MA. Sekarang sudah ada PERMA (Peraturan MA, red)
yang mewajibkan para pihak yang berperkara untuk mengutamakan mediasi.
Tujuannya untuk mendamaikan pihak yang berperkara di pengadilan. Konsep itu
memang banyak juga yang menolak. Tapi memang itu belum berjaIan. Untuk itu pula,
hari Minggu lalu saya pergi ke Semarang. Hari libur saya itu sengaja saya pakai. Di
sana melakukan sosialisasi terhadap sistem mediasi itu. Bukan hanya untuk hakim,
tapi juga akademisi, advokat, LSM, LBH dan lainnya. Untuk merangkul agar kita
punya pandangan sama, betapa pentingnya mediasi itu.
Menyelesaikan perkara dengan singkat, tidak usah banding atau kasasi. Secara tidak
langsung akan membatasi perkara-perkara kasasi. Jadi secara alamiah akan menurun.
Para pihak juga pasti senang. Karena kesepakatan mediasi itu kan dibuat para pihak.
Kalau para pihak sudah setuju, lalu dibuat putusan perdamaian, tidak akan ada yang
bilang itu putusan direkayasa, uang bermain dan lainnya. Makelar perkara juga bisa
dihindari. Itulah terobosan yang saya inginkan sekarang ini. Jadi, jangan dikira kalau
saya ke luar negeri itu untuk berjalan-jalan belaka. Nah, ini yang penting agar publik
tahu. Karena saya memang menangani bidang yudisial, maka saya khusus menjadikan
putusan hakim agar benar-benar memenuhi rasa keadilan. Itu bukan pekerjaan
gampang.
Ada yang mengatakan, Anda tidak mengakar di kalangan hakim agung MA,
benarkah begitu?
Tidak mengakar? Seyogianya terhadap penilaian seperti itu, saya tidak wajar
berkomentar. Orang bisa mengatakan saya cantik, buruk juga bisa. Itu sah-sah saja.
Hanya, saya agak bingung. Padahal kalau di tulisan itu (FORUM edisi No. 38 hal. 14-
red) di atasnya dikatakan, "Saya sebelumnya didaulat oleh para hakim agung untuk
jadi wakil Ketua MA". Lalu di bawahnya dicantumkan bahwa saya tidak mengakar.
Ini kan kontradiksi. Penilaiannya dari mana? Ha ... ha ... ha...
Terhadap kondisi hukum kita sekarang, banyak yang malah tidak percaya lagi
terhadap pengadilan, apa tanggapan Anda terhadap hal ini?
Saya senang sekali menjawabnya. Kemarin saya ke Semarang. Ada diskusi panel.
Pembicaranya dari beberapa kalangan. Saya katakan, kalau saya tarik kesimpulan dari
penanya-penanya itu, intinya satu, bahwa kepercayaan kepada pengadilan menurun
jumlahnya. Tapi mari kita lihat. Jumlah perkara yang masuk ke PN senantiasa
meningkat. Fenomena apa ini. Sebelumnya Anda mengatakan, kepercayaan terhadap
pengadilan menurun. Tapi kok jumlah perkara naik. Mestinya kan turun. Jadi kondisi
ini mirip, dengan lagu, judulnya benci tapi rindu. Tidak ada yang bisa memutus suatu
sengketa selain pengadilan. Jadi semua orang memerlukan pengadilan. Marilah kita
sama-sama memperbaiki kekurangan. Tapi bukan dibakar pengadilan itu. Itu kan
seperti udara (Marianna menghirup udara dalam-dalam). Semua manusia perlu udara.
Pada waktu normal, tidak ada manusia yang menghargai udara. Begitu ada polusi,
baru orang-orang repot. Semua orang berduyun-duyun bagaimana mengatasi
pencemaran itu. Nah, kalau itu yang kita rasakan sekarang, mengapa bukan sama-
sama kita memperbaikinya. Bukan dengan menghujat atau membakarnya.
Namun kondisi sekarang sudah berubah. Kalau kita tidak bertindak, nanti dikira orang
tidak bekerja. Maka, waktu kejadian di PN Jaksel, saya langsung menelepon Ketua
PN Jaksel (Seodarto, red). Saya minta dia supaya sore itu agar datang untuk
melaporkan. Waktu itu kebetulan kita sedang rapat pimpinan. Setelah mendengar
penjelasan dia, saya usulkan kepada Pak Ketua MA, saya bilang ini tidak bisa tidak,
majelis harus diganti semuanya. Karena kita juga menghormati azas praduga tidak
bersalah. Yang baru tertangkap tangan kan paniteranya. Hakimnya belum ada cerita.
Tapi, dari keterangan KPN, ini (hakimnya) pasti terkait. Malam itu juga perintah
Ketua MA kepada Ketua PN Jaksel adalah tarik semua perkara dari hakim tersebut,
ganti majelis hakimnya. Lalu, KPN berkata, apa tidak ketuanya saja, hakim
anggotanya kita jadikan ketua. Saya bilang, tidak. Harus semuanya diganti. Karena ki-
ta perlu public trust. Karena itu konsekwensinya luas.
Esoknya Jaksa Agung menelepon Ketua MA. Hasil rekaman jelas petunjuknya
(Herman terlibat). Karena itu Jaksa Agung mohon agar petunjuk Ketua MA untuk
memeriksa Herman. Lalu Pak Ketua memanggil saya. Karena dia akan segera
berangkat meninjau PN di Lampung. Kemudian Jaksa Agung menelepon saya lagi
siangnya. Saya bilang, saya setuju. Saya juga bilang, tolong buat surat pe-
nangkapannya segera. Setelah itu saya langsung press conference. Kan cepat pro-
sesnya. Nah, sebenarnya itu proses standar saja. Cuma selama ini tidak kita lakukan
terbuka seperti itu.
Usman Hamid
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras)
SEKELOMPOK aktivis dan wartawan suatu hari pada Juni 2008 datang menemui
Bambang Hendarso Danuri (BHD), yang ketika itu Kepala Badan Reserse Kriminal
Kepolisian Republik Indonesia. Mereka menanyakan nasib investigasi kasus Munir-
aktivis hak asasi manusia yang tewas diracun dalam perjalanan Jakarta-Amsterdam
pada 2004.
Tersangka pembunuh sudah ada, tapi tak tersentuh. Polisi kabarnya sempat akan
menyerah. Mereka ditekan dari kiri-kanan. Bambang dan beberapa perwira
bawahannya mendapat teror serius. Entah oleh siapa. Kita semua tahu: BHD hendak
menangkap Muchdi Pr., petinggi Badan Intelijen Negara yang ditengarai terlibat
kasus Munir.
Kepada para aktivis, BHD berjanji akan mengambil risiko berat. Dia
membuktikannya. Suatu petang, Muchdi ditangkap saat keluar dari lobi sebuah hotel.
Wajah para anggota tim polisi yang membekuknya tegang. Konon, BHD ada di sana
dengan wajah berkeringat dan senjata siap menyalak. Muchdi tak melawan. Dibekap
polisi, ia digelandang menuju markas Brigade Mobil, Kelapa Dua, Depok, Jawa
Barat. Kita tahu ada klimaks dari cerita itu: BHD diangkat menjadi Kepala Kepolisian
RI. Adapun kisah Muchdi antiklimaks: ia dibebaskan pengadilan pada akhir 2008.
Ada juga Peraturan Kepala Polri Nomor 7 Tahun 2008 yang meminta publik menjadi
subyek aktif membantu polisi mengatasi persoalan hukum di masyarakat. Paradigma
peraturan ini adalah menjunjung tinggi prinsip demokrasi, kemajemukan, dan hak
asasi manusia. Akuntabilitas juga mendapat perhatian penting.
Namun sekarang kepercayaan itu menurun tajam dan jatuh pada titik terendah.
Setahun terakhir, mata publik terus menyoroti sepak terjang kepolisian. Lebih spesifik
lagi, sosok BHD yang tengah menunggu masa pensiun.
lll
SETIAP kali ada kesempatan bertemu dengan pegiat masyarakat sipil, BHD selalu
menekankan apresiasinya atas dorongan LSM agar polisi mereformasi diri. Tak lupa
pula ia menegaskan kehendaknya mewujudkan harapan masyarakat terhadap
penegakan hukum yang adil. Tentu saja niat itu positif meski penekanan
kebijaksanaan mestinya bukan semata kehendak hati, melainkan perlu sikap nyata.
Genderang perang yang telah lama ditabuh kini redup. Perang melawan penyerang
aktivis tak terdengar. Perang memberantas teroris memproduksi teroris baru. Perang
melawan judi dan penyelundup kehabisan logistik dan bahan bakar. Perang melawan
koruptor dan mafia peradilan, ibarat pedang makan tuan, menghasilkan perlawanan
balik dan memukul mundur pasukan yang awalnya menyerang. Tak lagi jelas mana
kawan, mana lawan.
Alih-alih merangkul kawan dari elemen masyarakat sipil, polisi kini malah memusuhi
mereka. Dokumen "Program Kerja 2010 tertanggal 11 Juni 2010" dan "Rencana
Strategis 2010-2014" yang diterbitkan pada Januari tahun lalu bahkan menyebutkan
nama beberapa LSM yang dianggap merusak citra kepolisian. Semangat dua dokumen
itu bertolak belakang dengan grand strategy Polri 2005-2025 yang disusun Jenderal
Sutanto, Kepala Polri sebelum BHD. Jika program itu dijalankan, tahun ini mestinya
Polri masuk fase membangun kepercayaan (trust building).
Dua dokumen "rahasia" tersebut merupakan potret yang bisa berbicara tentang
mengapa dan dari mana sumber kekacauan kepolisian. Siapa yang menyusun
dokumen ini? Barangkali ada perwira-perwira yang memiliki niat hitam. Saya
berharap dua dokumen itu bukan merupakan sikap resmi Polri. Sebab, jika ya, arah
kebijakan kepolisian ke depan bukan membaik, melainkan makin memburuk.
Kepercayaan publik kian menurun dan hubungan kepolisian dan masyarakat sipil
menjadi kian diametral.
Di pihak lain, masyarakat sipil harus memastikan bahwa soal anggaran kepolisian
segera diatasi. Selama polisi dibiarkan bekerja dengan anggaran yang cekak, praktek
mencari dana untuk kebutuhan kerja polisi-sesuatu yang tak lain adalah korupsi-akan
terus merajalela.
Perubahan yang utama adalah menghapuskan off budget. Sehingga tak ada lagi jalur
"A" alias Asiong dan Aliong ataupun "parman" alias partisipasi teman, yang merujuk
pada praktek permintaan dana dari pengusaha untuk memenuhi anggaran kepolisian.
Dalam hal ini, negara harus memiliki batas waktu yang jelas kapan kepolisian dapat
memperoleh 100 persen anggaran belanja bagi kebutuhan kerjanya.
Pemimpin politik formal harus aktif memantau dan mencarikan jalan reformasi polisi.
Gugus kerja seperti Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian
Pembangunan tak boleh pasif. Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat, yang
membawahkan bidang kepolisian, tak boleh dibiarkan lapuk digerogoti kepentingan
jangka pendek. Lebih jauh, Presiden harus mengambil bagian agar Kepala Kepolisian
tak merasa seperti "komandan yang kehilangan komando".
Jambi (ANTARA News) - Presiden Partai Keadilan Sejahterah (PKS) Lutfi Hasan
Ikhsan menekankan Timur Pradopo membina mental dan akhlak anggotanya bila
kelak dilantik sebagai Kapolri.
Perihal itu perlu mendapat perhatian Timur Pradopo terkait dengan maraknya
"perilaku miring" yang dilakukan oknum yang berada di lembaga kepolisian di
Indonesia, katanya di Jambi, Sabtu malam.
Dia memberi contoh yang baru terjadi di Jambi (11/10). Oknum polisi berpangkat
Bripda dengan inisial AR nyaris melakukan perbuatan tidak senonoh terhadap remaja
putri daerah tersebut.
Lutfi menyebutkan di Makasar juga ada anggota polisi terkait kasus narkoba. Satuan
Narkoba bersama Unit Pelayanan, Pengaduan, dan Penegakan Disiplin Polrestabes
Makassar, menangkap anggota Samapta Polrestabes terkait kasus yang sama.
Hasil monitoring Kontras, Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumut (Bakumsu)
serta Security Sector Reform Community (SSRC) tercatat kasus kekerasan dan
pelanggaran hak azasi manusia (HAM) pada 2009 banyak dilakukan oknum
kepolisian di Sumatera Utara.
Kasus itu meningkat 57,4 persen jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Jika
pada 2008 pelanggaran HAM di provinsi itu tercatat 176 kasus, pada 2009 melonjak
menjadi 277 kasus dan 175 kasus di antaranya dilakukan aparat polisi.
Menurut dia, hal ini pada akhirnya nanti tingkat kepercayaan masyarakat terhadap
institusi tersebut menurun dan upaya menciptakan keamanan dan ketertiban
masyarakat sipil melemah.
"Mereka itu penegak hukum. Jangan pula mereka melanggar hukum. Ini yang perlu
diselesaikan di institusi Polri," katanya.
Lutfi mengatakan, Timur Pradopo saat mengikuti uji kelayakan dan kepatutan sebagai
calon Kapolri di DPR RI memaparkan 10 program kepolisian ke depan.
TRANSPARANSI Internasional Indonesia (TII) baru saja melansir hasil survei indeks persepsi
korupsi (IPK) Indonesia 2010. Hasilnya bisa dikatakan mengecewakan. Sebab, nilai terhadap
kinerja pemberantasan korupsi di Indonesia tidak berubah jika dibandingkan dengan tahun
sebelumnya. Skor yang diperoleh Indonesia hanya 2,8 poin atau sama dengan tahun
sebelumnya.
Tahun ini Indonesia berada di peringkat ke-110 di antara 178 negara dunia yang disurvei.
Dengan peringkat itu, Indonesia hanya disejajarkan dengan negara seperti Bolivia, Gabon,
Kepulauan Solomon, dan Kosovo. Sementara itu, pada level Asia Tenggara, Indonesia masih
kalah jauh oleh Singapura (9,3), Brunei Darussalam (5,5), Malaysia (4,4), dan Thailand (3,5).
Indonesia hanya berada di atas negara lemah, seperti Vietnam, Timor Leste, Filipina,
Kamboja, dan Myanmar.
Stagnasi prestasi pemberantasan korupsi pada 2010 tentu saja merugikan. Sebab, itu berarti
kita telah melewati waktu setahun dengan sia-sia. Demikian halnya dengan ongkos serta
energi yang telah dialokasikan untuk mendorong pemberantasan korupsi, hanya sanggup
menjaga posisi Indonesia pa da level yang sama dengan tahun sebelumnya tanpa bisa
mendongkraknya ke tingkat yang lebih tinggi. Dengan IPK itu, semakin sulit bagi Indonesia
meraih peringkat yang lebih baik pada tahun-tahun menda tang, apalagi sampai 5,0 poin
sebagaimana target Presiden SBY pada 2015.
Mengapa Stagnan?
Paling tidak, ada beberapa persoalan krusial yang mengakibatkan skor IPK Indonesia tak
beringsut naik jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Faktor pelemahan KPK dan
nasib yang tidak menentu atas kasus Bibit dan Chandra selama periode 2009–2010 menjadi
salah satu pemicu stagnasi pemberantasan korupsi di Indonesia.
Bagaimanapun, harus diakui KPK merupakan salah satu faktor yang dapat mendongkrak
peringkat pemberantasan korupsi Indonesia di mata internasional. Di sisi lain, kepercayaan
publik terhadap aparat penegak hukum lain tidak kunjung pulih. Sebaliknya, kepolisian dan
kejaksaan justru selama ini dituding sebagai pihak yang berada di belakang kriminalisasi
terhadap pimpinan KPK tersebut. Kasus dugaan mafia pajak yang melibatkan Gayus
Tambunan juga tak bisa dilepaskan dari keterlibatan aparat penegak hukum di kepolisian
maupun kejaksaan.
Lambannya program reformasi pada tubuh penegak hukum dapat dilihat juga dalam laporan
Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) per September 2010. Data pengaduan masyarakat
terhadap dugaan penyimpangan oleh aparat kepolisian di 32 entitas setingkat polda dan
Mabes Polri menunjukkan bahwa 1.106 di antara 1.199 keluhan masyarakat berada pada
satuan reskrim. Sisanya merupakan keluhan pada fungsi samapta, lantas, intelijen, dan bina
mitra.
Data statistik tersebut bisa diartikan bahwa dalam fungsi penegakan hukum yang diwakili
reskrim, kinerja Kepolisian RI masih dikategorikan buruk. Laporan mengenai rekayasa
perkara, manipulasi alat bukti, penolakan laporan masyarakat, dan kriminalisasi terhadap
kasus perdata –yang semua itu dikategorikan sebagai unfair trail– juga telah menjadi catatan
tersendiri Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta pada 2010.
IPK 2010 harus menjadi kritik sekaligus masukan yang berharga bagi Presiden SBY.
Pertimbangannya, agenda pemberantasan korupsi berada pada garis komandonya.
Lambannya –untuk tidak mengatakan stagnan– agenda reformasi pada berbagai sektor,
khususnya penegak hukum, perlu menjadi catatan yang serius bagi presiden. Sebab, itu bisa
diartikan sebagai kegagalan presiden dalam mengawal perbaikan pada lembaga penegak
hukum.
Selain pekerjaan rumah untuk memoles citra positif penegak hukum yang masih berat,
agenda pemberan tasan korupsi bertumpu pada agenda reformasi birokrasi. Dengan
perbaikan pada sektor itu, publik akan secara langsung menikmati pelayanan yang lebih baik.
Mulai pelayanan dasar, perizinan, maupun pengurusan hal lain. Membaiknya pelayanan
publik menandakan keberhasilan reformasi pada sektor birokrasi.
Sebaliknya, kegagalan reformasi birokrasi dapat dilihat dari masih buruknya kualitas
pelayanan publik. Masalahnya, survei integritas sektor publik yang dilansir KPK pada awal
November 2010 menunjukkan belum membaiknya mutu pelayanan publik secara umum.
Survei yang berlangsung pada April–Agustus 2010 tersebut dilakukan terhadap 353 unit
layanan yang tersebar di 23 instansi pusat, 6 instansi vertical, dan 22 pemerintah kota.
Kegiatan itu melibatkan responden pengguna layanan sebanyak 12.616 orang. Mereka terdiri
atas 2.763 responden di tingkat pusat, 7.730 responden di tingkat instansi vertikal, dan 2.123
responden di tingkat pemerintah kota.
Seluruh responden merupakan pengguna langsung layanan publik yang disurvei dalam
setahun terakhir. KPK menggunakan ukuran standar minimal integritas sebesar 6,00 dari
skala 0–10,00. Artinya, semakin besar nilai, semakin baik integritasnya. Hasilnya, indeks
integritas nasional tahun ini hanya berada pada level 5,42 atau separo dari skala 10,00
sebagai nilai tertinggi. Indeks integritas nasional merupakan nilai rata-rata dari sektor publik di
tingkat nasional, instansi ver tikal, dan pemerintah kota. Padahal, program remunerasi yang
dicanangkan pemerintah sebagai pemicu bagi perbaikan sektor birokrasi sudah diaplikasikan
pada beberapa instansi pemerintah.
Barangkali perlu ada evaluasi ulang, apakah strategi menaikkan remunerasi merupakan
solusi yang efektif untuk mempercepat agenda reformasi birokrasi.
Terakhir, menurunnya tingkat korupsi dapat ditandai dengan semakin efektif nya penerimaan
dan penggunaan ang garan negara di pusat maupun daerah.
Berdasar laporan hasil pemerik saansemester I 2010 oleh Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK), ditemukan beberapa hal positif. Salah satunya adalah bertambahnya jumlah laporan
keuangan di tingkat pemerintah pusat maupun daerah yang mendapatkan opini wajar tanpa
pengecualian (WTP).
Pada tiga hal tersebut, IPK Indonesia dipertaruhkan. Karena itu, strategi pemberantasan
korupsi harus diarahkan demi terciptanya pemulihan kepercayaan publik terhadap penegak
hukum, perbaikan kualitas pelayanan publik, serta semakin efisien dan efektifnya penerimaan
dan penggunaan anggaran negara. Dengan strategi itu, semoga IPK Indonesia pada masa
yang akan datang meningkat signifikan. (*)
Jakarta - Rasio Polisi adalah jumlah polisi dibandingkan dengan jumlah penduduk
suatu wilayah atau negara. Menurut PBB Rasio Polisi yang ideal adalah 1 : 400. Besar
kecilnya Rasio Polisi menentukan efektivitas pelayanan kepolisian kepada
masyarakat. Logikanya semakin kecil Rasio Polisi semakin efektif pelayanan
kepolisian kepada masyarakat. Sebaliknya semakin besar Rasio Polisi akan
menyebabkan pengaduan masyarakat tidak tertangani dengan baik, penyidikan
berlarut-larut, intensitas patroli rendah, atau kehadiran polisi di tempat kejadian
perkara (quick response) tidak tepat waktu.
Rasio Polisi tidak dapat dijadikan ukuran keberhasilan dalam menekan kriminalitas.
Studi yang dilakukan oleh Lotfin and McDowall, 1982; Krahn and Kennedy, 1985;
Koenig, 1991; Laurie, 1970; Gurr, 1979; Emsley, 1983; Silberman, 1978; Reiner,
1985; Lane, 1980; dan Walker, 1989 (dalam Bayley, 1994) menunjukkan bahwa
analisa yang dilakukan berulang kali tidak menemukan hubungan antara jumlah
personil kepolisian dengan angka kejahatan.
Hal ini berarti bahwa semakin besar jumlah personil polisi tidak selalu menekan
angka kejahatan. Karena pada dasarnya tindak kejahatan dapat terjadi karena ada
kemauan dan kesempatan yang didukung oleh adanya gab kondisi sosial ekonomi
suatu masyarakat.
Data dari Bureau of Justice Statistics 1987 (dalam Bayley, 1994) menyebutkan bahwa
kota-kota Amerika Serikat yang berpenduduk lebih dari satu juta jiwa memiliki rasio
polisi tertinggi (320 per 100.000), tetapi memiliki angka kejahatan serius tertinggi. Di
antara kota-kota yang berpenduduk lebih dari satu juta jiwa, Dallas memiliki angka
kejahatan tertinggi (16.282 per 100.000) dan yang terendah adalah Kansas City,
Missouri (3.789 per 100.000), tetapi kedua kota tersebut memiliki jumlah personil
polisi per kapita yang hampir sama yaitu 2,3 per 1000 di Dallas dan 2,4 per 1000 di
Kansas City.
Semenjak dipisahkannya Polri dari TNI pada tahun 2000 Rasio Polisi Indonesia
semakin membaik (mengecil). Jika pada akhir Program Pembangunan Nasional
(Propenas) 2000 - 2004 Rasio Polisi mencapai 1 : 750, maka sampai dengan akhir
tahun 2008 Polisi Rasio telah mencapai 1 : 578. Diharapkan pada akhir tahun 2009,
sasaran Rasio Polisi 1 : 500 dapat tercapai.
Sayangnya Rasio Polisi tersebut dibentuk berdasarkan pada jumlah total anggota
polisi, bukan pada berapa banyak anggota polisi lapangan (operasional) yang
berinteraksi langsung dengan masyarakat, yaitu pada level Bintara.
***
Stagnasi clearing rate kejahatan konvensional pada kisaran 50 persen diduga terkait
dengan keterbatasan anggaran penyelidikan dan penyidikan tindak pidana. Setiap
kasus tindak pidana telah ditetapkan besaran biayanya. Dengan demikian setiap unit
reserse kinerjanya diukur dari pencapaian target yang telah ditetapkan. Artinya jika
dalam satu tahun ditargetkan sebanyak 40 kasus maka maksimal kasus yang
diselesaikan sebanyak 40 kasus. Jika melebihi target atau terlalu berprestasi justru
akan dipertanyakan "dapat biaya dari mana".
Salah satu keberhasilan pelaksanaan tugas dan fungsi kepolisian, terutama dalam hal
penanganan tindak kriminalitas, adalah seberapa besar partisipasi masyarakat dalam
melaporkan tindak kejahatan yang dialaminya. Tanpa laporan dari masyarakat polisi
tidak dapat melakukan langkah penyelidikan dan penyidikan terhadap suatu kasus
kejahatan yang menimpa masyarakat.
Citra Polisi juga masih dibayangi oleh masih banyaknya anggota Polisi yang
melakukan tindakan menyimpang dari tugas pokok dan fungsinya. Pelanggaran kode
etik dan berbagai tindak pidana yang pada tahun 2008 kasusnya mencapai hampir 2,5
persen dari total anggota Polri menjadikan lembaga kepolisian belum sepenuhnya
menjadi andalan masyarakat dalam mengatasi gangguan keamanan dan ketertiban
masyarakat. Hal ini ditunjukkan oleh masih banyaknya kasus main hakim terhadap
penyelesaian kejahatan di masyarakat atau dengan cara menyewa pengamanan swasta
yang seringkali bertindak bengis dan anarkhis.
Menilik dari kondisi di atas ke depan diperlukan updating kebijakan dan regulasi
secara terus-menerus untuk meningkatkan profesionalisme Polri. Menurunkan Rasio
Polisi masih tetap diperlukan. Minimal mencapai kondisi ideal yang ditetapkan PBB
dan untuk mengatasi kesenjangan cakupan pelayanan. Tetapi, yang tidak kalah
penting adalah kualitas pelayanan kepolisian kepada masyarakat harus lebih baik.
Secara umum kualitas pendidikan anggota Polri sudah cukup baik. Persyaratan
pendidikan minimal SLTA telah terpenuhi dan secara alamiah level tamtama akan
terhapus di lembaga kepolisian dalam beberapa tahun ke depan. Namun demikian
pemahaman terhadap hukum, kondisi sosial ekonomi masyarakat, dan hak asasi
manusia perlu terus ditingkatkan. Langkah ini diperlukan untuk menekan angka
penyimpangan dan pelanggaran profesi yang mengarah pada penistaan hak asasi
manusia.
Gunarta
Perencana Bappenas
Nugroho
Email:
Info@KabariNews.com
Jakarta, KabariNews.com - Kasus "bebas"nya terdakwa penggelapan pajak Gayus
Halomoan Tambunan dari Rumah Tahanan Markas Komando Brigade Mobil (Rutan
Mako Brimob) Polri di Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, bebeberapa waktu lalu
kembali membuat institusi Kepolisian Republik Indonesia mendapat sorotan publik.
Beberapa kalangan menilai, saat ini kepercayaan publik terhadap Polri semakin
menurun, sehingga masyarakat semakin mempertanyakan keseriusan Polri untuk
menyelesaikan kasus korupsi.
Salah satunya disampaikan oleh Indonesian Corruption Watch (ICW) yang mendesak
Polri untuk segera menyerahkan kasus Gayus Tambunan kepada Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK).
ICW menilai Polri tidak serius dalam menangani kasus Gayus tersebut.
Hal ini disampaikan oleh peneliti hukum ICW, Donal Faris, saat menggelar konfrensi
pers di kantor ICW, Jakarta, Minggu (21/11).
"Sudah terlihat jelas, bisa kaburnya Gayus Tambunan dari Rutan Mako Brimob
Kelapa Dua Depok telah menunjukkan bahwa kepolisian tidak 100% serius
menangani kasus Gayus ini," pungkas Donal.
Hal ini disampaikan Juru Bicara Kepresidenan, Julian Alrdin Pasha, saat ditemui
wartawan di Gedung Manggala Wanabhakti Kementerian Kehutanan, Jakarta, Selasa
(23/11).
"Presiden percaya dengan sistem hukum saat ini. Kasus Gayus masih ditangani secara
intensif oleh Polri. Dan Polri juga telah berkomitmen untuk menuntaskan kasus itu,
mari kita tunggu bersama-sama," ucap Julian.
KEKERASAN tampaknya sudah semakin akrab dengan dunia mahasiswa kita. Selain
kematian Wahyu Hidayat, mahasiswa STPDN, kekerasan juga sering terjadi dalam tawuran
antarmahasiswa, baik berbeda perguruan tinggi maupun sesama mahasiswa pada perguruan
tinggi yang sama.
APA yang sebenarnya terjadi pada mahasiswa kita? Kriminolog dari Universitas Indonesia
Erlangga Masdiana menyatakan, kekerasan dalam dunia kemahasiswaan sebenarnya tidak
hanya terjadi akhir-akhir ini. Dari dulu, katanya, kekerasan hampir selalu mewarnai kegiatan
perpeloncoan. Tak jarang perpeloncoan mengakibatkan mahasiswa sakit atau meninggal.
Akan tetapi, kekerasan dalam perpeloncoan itu jarang terekspos ke masyarakat luas. Sebab,
pers dan aparat kepolisian waktu itu sangat sulit masuk ke kampus untuk urusan intern.
Sekarang, zaman telah berubah. Pers begitu banyak dan akses ke sumber-sumber berita
begitu mudah. Dengan demikian, kejadian kecil saja di dalam kampus bisa terekspos.
Di pihak lain, masyarakat sekarang juga begitu kritis. Sesuatu yang menyimpang dari
kewajaran begitu menarik perhatian. Begitu pun dengan kekerasan yang terjadi pada
mahasiswa.
Masyarakat awam membayangkan mahasiswa sebagai intelektual calon pewaris bangsa
mestinya mempunyai pola pikir dan pola tindak yang intelektual. Dalam menyelesaikan
persoalan, tidak sewajarnya mereka menggunakan kekerasan dan kekuatan fisik. Maka,
mereka sangat sulit memahami kenapa mahasiswa kita lebih senang tawuran atau bahkan
menggunakan kekerasan fisik untuk yuniornya.
Seperti halnya perilaku menyimpang lainnya, kekerasan di dunia kampus sebenarnya bisa
dilakukan oleh mahasiswa sebagai individu atau kelompok. Menurut Erlangga, di kampus
selalu saja ada individu-individu yang mempunyai kecenderungan berperilaku menyimpang.
Dalam keseharian, individu- individu menyimpang itu mungkin tidak berpengaruh pada
kelompok mahasiswa keseluruhan. Akan tetapi, jika ada kesempatan, individu-individu
menyimpang itu bergabung dalam satu kelompok, meskipun jumlahnya tidak besar, perilaku
mereka bisa mengganggu kehidupan kampus. Apalagi jika mereka mendapat peluang untuk
"berkuasa".
Mahasiswa baru yang sekarang baru masuk dunia kampus adalah mereka yang lulus SMU
pada tahun 2003. Itu berarti mereka berada di lingkungan SMU pada tahun 1999-2003 dan
berada di lingkungan SLTP tahun 1997 hingga 2000. Adapun mahasiswa senior di perguruan
tinggi saat ini kira-kira duduk di SMU antara tahun 1997 dan 2002.
Periode 1997-2002 adalah periode di mana perkelahian antarpelajar begitu sering terjadi.
Awalnya, tawuran pelajar itu memang hanya terjadi di Jakarta, kemudian merambat ke
Bekasi, Tangerang, dan Bogor. Pemberitaan yang gencar akhirnya membuat tawuran pelajar
seolah menjadi tren pelajar di berbagai kota. Bukan hanya di sekitar Jakarta, tetapi juga di
daerah-daerah.
Selama 1997-1999, hampir setiap hari terjadi tawuran pelajar di jalan-jalan Ibu Kota. Bukan
hanya di siang hari ketika mereka pulang sekolah, tawuran juga terjadi hampir setiap pagi
ketika akan berangkat sekolah.
Warga yang muak dengan ulah para pelajar itu akhirnya bangkit melawan. Akibatnya, ada
suatu masa di mana tawuran pelajar akhirnya berkembang menjadi tawuran antara pelajar
dan warga. Perkembangan lain, tawuran juga dilakukan anak-anak SMP.
Dalam perkembangannya, tawuran pelajar itu kemudian menjadi modus baru kejahatan di
Jakarta. Mereka naik bus dengan berpura-pura mencari lawannya, tetapi tak jarang mereka
melakukan tindak kejahatan, baik terhadap penumpang maupun awak bus. Tidak jarang
awak bus dipaksa terus melaju, sementara segerombolan remaja berpakaian seragam
merampasi harta benda milik para penumpang.
Seperti efek domino, tawuran pelajar yang semula hanya melibatkan sebagian kecil sekolah
di Jakarta kemudian meluas. Sebab, menurut Erlangga, tawuran tidak lagi antarsekolah
kemudian berkembang menjadi antarbasis, yaitu pelajar yang naik bus nomor tertentu
melawan pelajar lain yang naik bus dengan nomor lain. Selain itu, ada kecenderungan baru
mengajak serta siswa dari sekolah lain untuk bergabung melawan siswa dari sekolah yang
dianggap sebagai lawannya.
Mereka yang biasa tawuran itulah yang kini menjadi mahasiswa, baik yunior maupun
seniornya. Itu masih ditambah dengan dunia pergerakan kampus yang kerap turun ke jalan
atas nama reformasi yang dalam aksinya juga sering memancing kekerasan.
Dalam jumlah, mereka yang berperilaku menyimpang sebenarnya tidak banyak. Akan tetapi,
soalnya, dalam tata pergaulan, dalam suatu kelompok, nilai-nilai pribadi yang baik itu akan
sangat mudah terkooptasi. Tak heran kalau kemudian seorang mahasiswa yang di rumah
begitu manis perilakunya tiba- tiba berubah keras dan ganas ketika berada di dalam
kelompok yang sudah terkooptasi kekerasan itu.
"Jati diri bisa hilang. Yang ada adalah identitas kelompok," kata Erlangga. Identitas kelompok
itu bisa sangat terasa dalam perkelahian antarmahasiswa yang berbeda perguruan tinggi,
berbeda fakultas maupun lokasi kampus, atau berbeda angkatan.
Berkaitan dengan kekerasan yang timbul sebagai ekses ospek dan sejenisnya, Erlangga
melihat kenyataan bahwa kampus selalu cenderung menjadi ajang perebutan "kekuasaan"
dari individu-individu di dalamnya. Tujuannya, untuk menaikkan posisi tawar dalam dinamika
kehidupan kampus yang pada akhirnya juga menaikkan posisi tawarnya di masyarakat
nantinya.
Ospek atau perpeloncoan adalah ajang paling mudah untuk menanamkan pengaruh dari
senior ke yuniornya. Persoalannya, tidak jarang upaya menanamkan pengaruh itu dilakukan
dengan cara-cara kekerasan yang tak terkontrol. Kekerasan tak terkontrol biasa terjadi jika
ada yunior yang dianggap melawan atau menentang kehendaknya.
Sayangnya, budaya kekerasan yang sebenarnya menyimpang itu justru sering dianggap
benar dan bahkan menjadi tradisi yang harus dipertahankan atau diwariskan kepada
yuniornya. Itulah sebabnya, kekerasan dalam masa ospek seolah terus berulang.
Penyelenggaraan ospek yang dalam banyak kampus belum juga berubah dari pola lama
yang tak ubahnya sebagai perpeloncoan itu pada akhirnya menyuburkan budaya kekerasan
yang "secara alami" sudah biasa melingkupi para mahasiswa sejak masih SMU atau bahkan
SLTP. Meski sebagian besar mahasiswa tidak terlibat dalam tawuran semasa SMU, budaya
kekerasan bisa saja menjadi dominan ketika mereka sudah berbaur dalam satu kelompok
atas nama senioritas.
UNTUK menghentikan tindakan kekerasan selama masa ospek yang sebenarnya sudah tidak
relevan lagi dilakukan, menurut Erlangga, hanya bisa dilakukan dengan cara tidak memberi
peluang kepada mereka yang mempunyai perilaku menyimpang itu untuk menunjukkan
"kekuasaannya".
Artinya, penyelenggaraan ospek harus menjadi tanggung jawab seluruh sivitas akademika.
Materi yang diberikan kepada para yunior pun harus sesuatu yang dapat membangun
kehidupan kampus sebagai institusi yang melahirkan pemikiran, konsep, dan ilmu
pengetahuan maupun teknologi.
Segala bentuk kegiatan yang hanya mengandalkan fisik harus dilarang dan diganti dengan
kegiatan untuk memperkenalkan tradisi-tradisi ilmiah di dalam kampus. Untuk membangun
hubungan lebih akrab antarsivitas akademika, diperlukan berbagai kegiatan yang sifatnya fun
dan menyenangkan tanpa harus memberikan sanksi-sanksi yang hanya untuk memuaskan
seniornya.
Membangun disiplin dengan cara-cara militer seperti banyak dilakukan selama ini sudah
saatnya dihentikan dan diganti dengan memberikan sanksi yang mendidik kepada yunior
yang melanggar aturan main yang telah disepakati sebelumnya.
Untuk itu, penyelenggaraan ospek tidak bisa lagi diserahkan begitu saja kepada mahasiswa
(senior). Pemimpin universitas juga harus terlibat di dalamnya dan bertanggung jawab
terhadap semua persoalan yang muncul akibat ospek.
Pemimpin universitas harus menegaskan bahwa penggunaan kekerasan fisik sungguh-
sungguh dilarang. Pelanggaran terhadap larangan itu harus secara serius ditangani dengan
sanksi yang keras.
Untuk keperluan pemberian sanksi tersebut, pemimpin universitas juga tidak boleh menutup
diri terhadap aparat kepolisian sebagai penegak hukum. Jika ada pelanggaran yang bisa
dikategorikan sebagai perbuatan kriminal, pemimpin universitas harus bisa bekerja sama
dengan polisi untuk menangani pelakunya.
Tidak mudah memang mengubah tradisi yang sudah bertahun-tahun eksis. Akan tetapi,
upaya ke arah sana harus secara serius dilakukan lewat sosialisasi dan pendekatan kepada
mahasiswa. Sebab, dalam kenyataannya, sudah banyak universitas berhasil
mengembangkan ospek menjadi sebuah kegiatan yang benar-benar menunjang kehidupan
kampus tanpa harus diwarnai kekerasan.
Departemen Pendidikan Nasional lewat Ditjen Pendidikan Tinggi (Dikti) seharusnya tidak
tinggal diam menyaksikan jatuhnya korban-korban kekerasan selama masa ospek. Dikti
bahkan harus membuat standardisasi kegiatan ospek agar tidak lagi menyimpang. Ospek
yang selama ini lebih bersifat ritual inisiasi seorang mahasiswa baru harus dirombak menjadi
kegiatan yang melahirkan mahasiswa dengan pemikiran yang futuristik. (msh)
Pengertian dari penyimpangan sosial: Bentuk Perilaku yang dilakukan oleh seseorang
yang tidak sesuai dengan norma dan nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat.
Menurut Bruce J. Cohen, ukuran yang menjadi dasar adanya penyimpangan bukan
baik atau buruk, benar atau salah menurut pengertian umum, melainkan berdasarkan
ukuran norma dan nilai sosial suatu masyarakat.
Labels: Sosiologi
Posted by Mr. Windu at 12:02 AM
Mengeja "Rapot Merah" Mahasiswa
Penulis : Ibn Ghifarie
Terlebih lagi saat pencitraan sekolah sudah diinjak-injak oleh sekolah lain.
Walhasil, perang menjadi jurus pamungkas yang tak bisa ditawar-tawar lagi.
Catatan Kelam Bentrokan Mahasiswa Tengok saja, kekerasan yang terjadi di
IPDN dengan meninggalnya Wahyu Hidayat (2003) dan Chliff Muntu, UISU
(Universitas Islam Sumatra Utara), Medan (09/10) akibat perseteruan dua kubu
antara Helmi Nasution dan Saryani, Bentrokan terjadi di IAIN Ambon, (11/5)
gara-gara tolak ajak demo, Universitas 45 Makasar Sulawesi Selatan (10/05 dan
14/05) antara mahasiswa Jurusan Planologi dan Teknik Sipil serta arsitektur
Fakultas Teknik kisruh dari aksi ditikamnya (Syamsuddin dan Saleh) rekannya
dari jurusan Teknik Sipil. Hingga berbuntut aksi lempar batu yang dimulai oleh
para mahasiswa jurusan Planologi sebagai aksi balas dendam bentrokan, Kamis
sore (10/5). Padahal, ada beberapa perguruan tinggi yang tak luput dari
perbuatan lalim tersebut. Sebut saja, Unhas (Universitas Hasanauddin), Makasar
dan UMI (Universitas Muslim Indonesia) Makasar. Hampir setiap tahunya selalu
kedapatan tawuran antar jurusan, fakultas, Universitas atau dengan pihak
keamanan.
Cita-cita mulia pendidikan sebagai upaya memanusiakan manis pun harus rela
raib ditelan kepongkahan dan keserakahan kita dalam mendidik anak. Apalagi,
sang pendidik memberikan contoh tak layak. Seperti yang terjadi di Ngawi,
seorang Kepala Sekolah rela membocorkan lembaran jawaban saat Ujian Nasional
beberapa pekan yang lalu. Alih-alih pencitraan supaya sekolahnya termasuk ke
dalam deretan sekolah unggulan dan percontohan pula menjadi pemicu aksi tak
beradab tersebut. Lebih parah lagi, melunturnya budaya dialog tercermin dari
seberapa jauh kita bisa menerima perbedaan dalam soal pendapat. Bila ruang-
ruang tukar gagasan saja, sudah tak nyaman, bahkan hilang, maka tunggu
keseragaman ide akan menjadi buahnya. Alhasil, kebiasaan bogem pula akan
terus melekat dalam sanubari kaum terpelajar. Keragaman merupakan sesuatu
yang tak bisa kita nafikan. Namun, harus kita junjung lebih tinggi. Pasalnya,
kemajemukan pertanda hukum alam. Dengan demikian, kita harus mencoba
mengarifi segala kemelut yang menimpa diri kita dengan lapang dada. Apalagi
saat berselisih pendapat. Mestinya perbedaan bukan dijadikan sebagai laknat,
tapi rahmat. Thus, sederetan rapot merah mahasiswa pun tak akan disandang
lagi oleh kaum terpelajar.
[Ibn Ghifarie] Cag Rampes, Pojok Sekre Kere, 10/05; 23.34 WIB *Mahasiswa Studi Agama-Agama Fakultas
Filsafat UIN SGD Bandung dan Koordinator Post Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) Bandung.
Kerusuhan Mei 1998 adalah kerusuhan yang terjadi di Indonesia pada 13 Mei - 15
Mei 1998, khususnya di ibu kota Jakarta namun juga terjadi di beberapa daerah lain.
Kerusuhan ini diawali oleh krisis finansial Asia dan dipicu oleh tragedi Trisakti di
mana empat mahasiswa Universitas Trisakti ditembak dan terbunuh dalam
demonstrasi 12 Mei 1998.
Amuk massa ini membuat para pemilik toko di kedua kota tersebut ketakutan dan
menulisi muka toko mereka dengan tulisan "Milik pribumi" atau "Pro-reformasi". Hal
yang memalukan ini mengingatkan seseorang kepada peristiwa Kristallnacht di
Jerman pada tanggal 9 November 1938 yang menjadi titik awal penganiayaan
terhadap orang-orang Yahudi dan berpuncak pada pembunuhan massal atas mereka di
hampir seluruh benua Eropa oleh pemerintahan Jerman Nazi.
Sebab dan alasan kerusuhan ini masih banyak diliputi ketidakjelasan dan kontroversi
sampai hari ini. Namun demikian umumnya orang setuju bahwa peristiwa ini
merupakan sebuah lembaran hitam sejarah Indonesia, sementara beberapa pihak,
terutama pihak Tionghoa, berpendapat ini merupakan tindakan pembasmian terhadap
orang Tionghoa.
Bung Karno sampai dengan akhir hayatnya tetap bertahan terhadap ide Nasakom yang
mengatakan bahwa kekuatan politik di Indonesia pada saat itu terdiri dari tiga
golongan ideologi besar yaitu: golongan yang berideologi nasionalis, golongan yang
berideologi dengan latar belakang agama, dan golongan yang berideologi komunis.
Tiga-tiganya merupakan kekuatan yang diharapkan tetap bersatu untuk menyelesaikan
masalah bangsa secara bersama-sama.
Apakah dengan punya ide Nasakom tersebut bisa dikatakan bahwa Bung Karno
adalah
seorang Marxis yang lebih dekat dengan golongan komunis pada saat itu? Setiap
orang boleh punya persepsi dan pendapatnya sendiri untuk hal ini. Tapi buat
penulis Bung Karno adalah seorang Nasionalis yang ide Nasakom semata-mata
dicetuskan melihat realitas masyarakat pada saat itu demi persatuan Indonesia
menginginkan suatu kolaborasi total semua anasir bangsa dari semua golongan
ideologi yang ada termasuk golongan komunis untuk berama-sama bahu membahu
membangun Indonesia. Walaupun tidak bisa dipungkiri memang Bung Karno pada
periode 1959-1965 sangat terlihat lebih condong memberi angin kepada golongan
komunis.
Barangkali juga ide Bung Karno tentang Nasakom berkaitan dengan pendapat
Clifford Geertz yang dalam bukunya The Religion of Java yang membagi masyarakat
Jawa dalam tiga varian: priyayi, santri, dan abangan. Yang bisa diterjemahkan
priyayi adalah kaum Nasionalis, santri adalah kaum Agamis, dan abangan adalah
kaum Komunis.
Realitas sejarah memang berkata lain setelah terjadi peristiwa 30 September 1965
yang sampai sekarang masih menyimpan misteri dan banyak versi diceritakan dari
berbagai pihak bagaimana kejadiannya sampai terjadi pembunuhan para Jendral dan
PKI dituduh yang telah melakukan semua ini dan tentara melakukan pembalasan
dengan menumpas PKI sampai dengan akar-akarnya.
Suatu realitas yang mungkin Bung Karno tidak pernah menyangka ataupun mimpipun
mungkin tidak bahwa ada satu golongan kekuatan dalam peta politik di Indonesia
yang tidak pernah terpikirkan menjadi suatu kekuatan penting dalam peta
perpolitikan Indonesia yaitu kaum militer. Bung Karno walaupun bukan orang
militer, selalu memakai pakaian lengkap militer Panglima Tertinggi – Jendral
Bintang Lima – dengan segala atribut kebesarannya, kata beberapa analis ini
adalah salah satu diplomasi model Bung Karno untuk meredam ambisi dan kekuatan
militer untuk berkuasa.
Setelah terjadi peristiwa 30 September 1965, serta merta ide Nasakom musnah dan
aneh bin ajaib kekuatan kaum komunis serta merta digantikan oleh satu kekuatan
politik baru di Indonesia yaitu kaum militer. Walaupun dengan segala dalih, kaum
militer tidak pernah mengakui bahwa mereka adalah satu kekuatan politik yang
telah mendominasi Indonesia selama 32 tahun. Mereka selalu mengatakan bahwa
militer berdiri dibelakang semua golongan.
Masing-masing kekuatan politik pernah mengalami jaman keemasan dan juga pernah
terhempas dalam kancah politik di Indonesia. Dalam realitasnya setiap golongan
kekuatan politik yang pernah mendominasi kekuasaan dan menjalankan pemerintahan
Republik Indonesia belum ada yang mampu mengantarkan Indonesia menuju cita-cita
bangsa untuk menjadi negara yang adil, makmur dan sejahtera.
Pada awal kemerdekaan kaum nasionalis dengan motor politiknya PNI (Partai
Nasional Indonesia) pernah memegang dominasi pemerintahan sampai pada sekitar
tahun 1959. Setelah Bung Karno membuat dekrit pada tanggal 1 Juli 1959 untuk
kembali ke UUD ’45, maka kekuasaan mutlak ada di tangan Bung Karno yang lebih
memberikan angin pada kaum komunis untuk mendominasi kancah politik di
Indonesia
(atau terbawa oleh strategi kaum komunis) pada periode 1959 s/d 1965.
Setelah kaum komunis terhapus dalam kancah politik Indonesia, kaum militer yang
mendominasi kancah politik Indonesia dengan pemerintahan orde baru Pak Harto
dengan motor partai politiknya Golkar pada periode 1966 s/d 1998.
Jadi dari empat kekuatan politik di Indonesia: kaum nasionalis, kaum agamis,
kaum komunis, dan kaum militer, hanya kaum agamis yang belum pernah
mendominasi
kancah dunia politik di Indonesia. Kalau tiga kekuatan politik yang telah pernah
mendominasi dan memegang tampuk kekuasaan dalam pemerintahan di Indonesia,
dan
semuanya gagal mengantarkan negara ini menuju cita-cita bangsa menjadikan negara
Indonesia negara yang adil, makmur dan sejahtera. Yang menjadi pertanyaan apakah
satu-satunya harapan bangsa Indonesia untuk bisa mengantar bangsa Indonesi
menuju masyarakat adil, makmur dan sejahtera dari kaum agamis?
Setelah masa reformasi 1998, dengan kejatuhan rejim orde baru dan dengan adanya
amandemen UUD ’45, golongan militer di kembalikan ke fungsi semula sebagai
kekuatan pertahanan & keamanan saja seperti laiknya di negara-negara demokrasi
lainnya diseluruh dunia (walaupun sebetulnya dikalangan militer sendiri masih
ada yang punya mimpi untuk berkuasa terus). Sebagai akibatnya kalau kita mengacu
pada analisis Nasakom dari Bung Karno, golongan kaum bepolitik di Indonesia
tinggal dua golongan yaitu: golongan Nasionalis dan golongan Agamis atau kalau
mengacu ke analisa varian dari Clifford Geertz yang teringgal adalah: kaum
priyayi dan kaum santri, karena dianggap kaum abangan sudah punah.
Oleh karena itu Nasakom sekarang sudah jadi Nasa atau hanya ada golongan yang
berideologi nasionalis dan berideologi agamis (agama disini lebih cenderung ke
agama Islam karena penduduk Indonesia mayoritas beragama Islam, sedangkan rakyat
yang beragama non-muslim lebih mendekat ke kaum nasionalis). Dan ini tercermin
dengan munculnya berbagai organisasi politik atau partai politik yang secara
garis besar terbagi jadi dua golongan varian: kaum nasionalis dan kaum agamis.
Makanya jangan heran kalau Golkar yang pada masa orde baru menjadi motor politik
militer telah ancang-ancang lebih merapat ke PDIP yang sudah jelas berhaluan
nasionalis. Apakah Golkar betul-betul berhaluan nasionalis? Kalau melihat yang
melahirkan Golkar adalah kaum militer (kaum militer karena doktrin yang
diajarkan adalah bela negara pada umumnya mereka bahkan bisa dikatakan sebagai
ultra nasionalis) kemungkinan memang mereka berhaluan nasionalis dengan
mefokuskan kalangan pengusaha, kaum professional, dan golongan menengah keatas
sebagai pendukungnya, sedangkan PDIP lebih fokus pada pendukung kelas menengah
kebawah atau lapisan grass root. Karena Islam adalah agama mayoritas, tentu saja
mereka mencoba punya pengaruh juga pada kantong-kantong kaum agamis yang
belum
dikuasai oleh partai-partai Islam yang ada.
Jadi saingan utama partai dari kalangan yang berhaluan nasionalis adalah dari
kalangan partai yang berhaluan agamis yang saat ini ada partai dengan deretan
panjang: PPP, PKB, PAN, PKS, PBR, PBB, dll. Yang masing-masing
merepresentasikan
berbagai golongan yang ada di Islam itu sendiri. Walaupun dalam realitas selama
ini selalu ada suatu usaha untuk melakukan kolaborasi ataupun koalisi antara
partai yang berhaluan nasionalis dengan yang berhaluan agamis, tapi dimasa
mendatang kelihatannya persaingan dua golongan ideologi ini akan makin menajam,
dengan beberapa kegagalan-kegagalan yang telah dialami kaum nasionalis
memecahkan masalah bangsa terutama berkaitan dengan korupsi dan maupun
representasi dalam mewujudkan pemerinthan yang bersih dan berwibawa.
Walaupun pemilihan umum secara demokratis paska rejim Suharto baru dilakukan
dua
kali tapi telah banyak peristiwa yang dramatis terjadi dalam kancah peta politik
nasional yang mau tidak mau telah terjadi proses timbal balik dari kinerja
partai politik maupun persepsi masyarakat terhadap kinerja tersebut yang pasti
akan mempengaruhi pilihan-pilhana yang akan dilakukan masyarakt luas pada
pemilu-pemilu yang akan dating. Bisa saya sarikan sebagai berikut:
1. Pemilu legislatif tahun 1999 telah dimenangkan oleh PDIP (33.33%) tapi
eksekutif yang waktu itu masih dipilih oleh MPR jatuh ketangan Gus Dur yang
didukung oleh PKB (11.04%).
2. Usaha Gus Dur untuk membentuk pemerintahan PKB di eksekutif ternyata telah
gagal karena dukungan yang lemah dari legislatif karena tentangan dari dua
partai besar yang menguasai legislatif yaitu PDIP (33.33%) dan Golkar (25.97%).
Bahkan beberapa partai berhaluan agamis tidak sepenuhnya mendukung Gus Dur.
3. Ditengah jalan Gus Dur dilengserkan oleh MPR dengan alasan melanggar UUD ’45
dan pemerintahan digantikan oleh PDIP (yang waktu itu memegang kursi Wakil
Presiden). Setelah PDIP memegang pimpinan eksekutif, ternyata realitas politik
tidak memungkinkan PDIP menjalankan pemerintahan tanpa dukungan partai lain
apalagi Golkar. Demi mempertahankan kekuasaan di eksekutif, PDIP terpaksa
berkoalisi dengan Golkar dan partai-partai lainnya. Disini awal distorsi para
pendukung awal pendirian PDIP karena para pimpinan PDIP lebih senang mendekat
ke
Golkar – yang pada pra-reformasi telah mati-matian dilawan. Kebijakan PDIP ini
sebetulnya justru malahan memberikan amunisi tambahan buat Golkar dan
mengurangi
dukungan terhadap PDIP itu sendiri.
5. Yang lebih mengejutkan pada pemilu ekskutif yang pertama kali dilaksanakan
secara langsung oleh rakyat tahun 2004 sesuai dengan amandemen UUD ’45,
dimenangkan oleh SBY yang didukung oleh partai baru yaitu partai Demokrat
(10.36%) dengan wakil presiden dari partai Golkar (23.27%). Pada akhirnya karena
dukungan SBY di legislatif hanya dari partai Demokrat (10.36%). Untuk
mempertahankan pemerintahannya mau tidak mau SBY harus berkoalisi membentuk
pemerinhan dengan parta-partai lain, terutama dengan Golkar (23.27%) yang juga
mendapatkan kursi wakil presiden. Dengan dukungan minimal di legislatif dari
partai Demokrat (10.36%) – seperti waktu Gus Dur memerintah dengam dukungan
legislatif minimal dari PKB (11.04%) – apalagi wakil presiden di pegang oleh
Golkar, pemerintahan SBY sangat sulit untuk tidak mengetengahnya kembali
pengaruh Golkar yang memegang kursi legislatif 23.27% jadi sama saja
pemerintahan SBY ini adalah penjelmaan kembali dari orde baru.
6. Jelas peta politik akan berjalan, bergulir dan berubah pada pemilu ke 3 tahun
2009 pada masa reformasi ini yang akan makin menguatnya kekuatan partai yang
berhaluan agamis. Ini dikarenakan makin berlanjutnya distorsi PDIP yang
berhaluan nasionalis dengan kebijakan pimpinannya yang tidak begitu jelas apa
betul-betul membela grass root. Kemudian tergantung persepsi pemilih terhadap
tingkah laku partai Golkar yang terus mengingatkan kembali tingkah lakunya pada
masa orde baru. Kalau pemilih lebih memilih alternatif partai yang relatif lebih
bersih, siapa yang harus disalahkan, rakyat tidak mungkin terus menerus
dibohongi, kalau mereka malahan memilih partai-partai berhaluan agamis.
Perubahan pasti akan terjadi pada pola pemilih pada pemilu 2009 yang akan
datang, rasionalitas pemilih pasti akan mengevaluasi apa kontribusi yang telah
diberikan partai-partai besar pada lima tahun yang telah berlalu. Kalau
harapan-harapan rakyat tidak ter-realisasi sesuai dengan janji-janji yang telah
pernah dikemukakan pasti akan terjadi pergeseran dukungan.
Partai-partai besar yang berkuasa selama lima tahun terakhir ini ternyata tidak
mampu mengangkat kesejahteraan rakyat seperti yang diharapkan, bahkan
memperbanyak orang yang jatuh dibawah garis kemiskinan, untuk memperoleh
minyak
tanah harus antri, minyak goreng harus antri, premium dibeberapa daerah juga
harus antri, pasti akan cari alternatif seperti pada pilihan pilkada Jawa Barat
dan pilkada Sumatera Utara yang partai berideologi agama telah memenangkan hati
rakyat.
Kesimpulan
NASAKOM telah menjadi NASA yang pada waktu antaranya kom-nya telah musnah
dan
pernah digantikan kaum militer. Memang dari empat golongan ideologi yang pernah
ada di Indonesia: golongan nasionalis, golongan agamis, golongan komunis, dan
golongan militer hanya golongan agamis yang belum pernah menonjol dalam
menjalankan pemerintahan eksekutif. Mungkin momentumnya telah tiba, apabila
memang golongan agamis bisa menunjuknan dirinya sebagai partai yang bersih,
tidak terkontaminasi penyakit korupsi (masalah utama bangsa kita). Mungkin
partai dengan haluan agamis akan menjadi pilihan alternatif dikarenakan
partai-partai besar yang ada saat ini telah gagal mengantarkan Indonesia menjadi
negara yang seperti diamanatkan pada pembukaan UUD ’45: suatu pemerintah negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa,
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial. Bagaimana hasilnya? Kita lihat saja nanti pada tahun 2009.
(Note: % adalah presentasi representasi partai tersebut di kursi DPR pada pemilu
1999/2004)
atas dasar kepentingan nasional dan percaya pada kekuatan diri sendiri dalam
Oleh karena itu peranan pers nasional. sangat penting dalam memenuhi hak
menyampaikan informasi yang tepat, akurat dan benar. Hal ini akan mendorong
Sehubungan dengan hal itu pemerintah juga harus memberikan perlindungan hukum.
Dalam hal ini yang dimaksud dengan perlindungan hukum itu "adalah jaminan
perlindungan pemerintah dan/atau masyarakat kepada wartawan atau pekerja pers
dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya sesuai dengan ketentuan
peraturan, perundang-undangan yang berlaku".
Masalah Kebebasan Pers Di Indonesia
Negara Demokrasi
Oleh
Fajlurrahman Jurdi
Direktur EKsekutif Pusat Kajian Politik, Demokrasi dan Perubahan Sosial (PuKAP)-
Indonesia
Harian Fajar, 07 April 2009
Persoalan substansial dari demokrasi kita adalah pendidikan politik dan kemauan
untuk meng-enganged diri dalam arena publik. Baik sebagai peserta aktif maupun
pasif, dalam arti keterlibatan itu, tidak harus menjadi kontestan, namun juga memilih
kontestan.
Pemilu tampaknya menyisakan berjuta harapan bagi konstruksi demokrasi di masa
yang akan datang. Pemilu 2009 ini bagi sebagian besar pengamat menganggap
sebagai puncak terakhir untuk menguji "kelayakan" proses transisi demokrasi untuk
dievaluasi secara menyeluruh.
Apakah kita akan mengikuti "bisikan" demokrasi di masa mendatang, atau malah kita
akan menghentikan proses transisi ini sebagai titik episetrum untuk kembali
melakukan rekonsolidasi ke kutub otoritarianisme.
Atau kita mengikuti siklus Polybios, bahwa kita akan segera secara perlahan-lahan
menuju fase lanjutan siklus, yakni oligarki. Tampaknya pertanyaan apapun di masa
kini, hanya akan bisa dijawab setelah Pemilu 9 April mendatang.
Sebelumnya Robert Dahl mengingatkan, bahwa demokrasi kita saat ini amat sangat
kuantitatif, atau Dahl mengatakan demokrasi prosedural (procedural democracy). Kita
menganggap persoalan kebangsaan, seperti kemiskinan, kemelaratan,
keterbelakangan, kebodohan dan kepandiran kita sebagai bangsa bisa diselesaikan
dengan angka-angka.
50 persen + 1 adalah cara yang bisa dilakukan untuk menyelesaikan problem
kebangsaan itu. Demokrasi kuantitatif memang tidak sepenuhnya salah, sebagai limit
agar menegaskan posisi kita untuk melakukan perubahan. Batasan-batasan kuantitatif
memang perlu untuk menegaskan diri sebagai bangsa yang teratur.
Akan tetapi kalau kita berhenti pada hitungan-hitungan kuantitatif, pada angka-angka
seperti 50 persen 1, maka kita akan menghentikan persoalan substansial dari
demokrasi kita. Persoalan substansial seperti kemiskinan dan keterbelakangan, tidak
bisa diselesaikan lewat hitungan 50 persen + 1, karenanya, problem epistemik kita
sebagai bangsa amat berbahaya apabila itu yang kita jadikan ukuran untuk melakukan
proses pembangunan.
Demokrasi kita terlalu materialistis, karenanya amat mahal. Partai tidak berpikir untuk
bekerja untuk membangun kaderdisasi dan pendidikan politik, sehingga tidak ada
satupun partai di Indonesia yang bisa disebut sebagai partai ideologis. Yang
bertebaran dalam arena demokrasi kita adalah partai massa, yaitu partai yang
seluruhnya bekerja membangun kekuatan untuk merebut kekuasaan.
Dalam kaitannya dengan pemilu dan harapan yang terlalu besar akan demokrasi, ada
beberapa persoalan teknis yang sengaja atau tidak sengaja dilakukan oleh
negara/kekuasaan dalam upaya untuk menciptakan demokrasi.
Dengan harapan dan dada membusung mengaku telah bekerja keras demi suksesnya
ritual suksesi politik dan hajatan demokrasi. Semua perangkat telah disiapkan dan
prasyarat hajatan demokrasi telah ada, tinggal menunggu detik-detik suksesi itu
dimulai.
Seolah-olah dalam pidato telah bekerja maksimal, seolah-olah dalam ceramah tak ada
masalah, juga seolah-olah semuanya tak ada masalah. Itulah lembaga Pemilihan
Umum kita yang bernama KPU. Komisi ini belakangan bekerja amburadul dibanding
pada tahun 2004.
Ada beberapa masalah yang akan segera muncul dan akan menjadi ancaman serius
bagi proses transisi demokrasi kita. Pertama, Golput. Golput telah menjadi hantu yang
amat menakutkan bagi partai politik dan para caleg, sama menakutkannya negara
Orde Baru bagi civil Society di masa Soeharto berkuasa.
Golput atau golongan putih ini akan menjadi momok bagi eksistensi mereka,
sekalipun memang tidak akan mendelegitimasi mereka secara hukum, namun apabila
jumlah pemilih tidak mencapai 50 persen, maka akan menjadi alasan bagi kelompok
oposisi untuk mengatakan bahwa kinerja partai politik untuk meyakinkan rakyat telah
gagal. Juga menjadi alasan, bahwa demokrasi kita, sebagai tahap ujian untuk
menentukkan sikap dalam intaian ancaman.
Sampai Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan Fatwa haram Golput,
sekalipun itu Fatwa yang agak "menyebalkan" dan bukan fatwa teologis, namun lebih
pada fatwa politik, maka Golput akan mencapai angka dramatis, akan berkisar 35-45
persen. Sebuah angka yang amat menakutkan bagi proses konsolidasi demokrasi. Kita
lihat angka Golput di beberapa Pilkada.
Dari beberapa hasil Pilkada berikut data Golput di masing-masing Pilkada, baik
Pilbup, Pilwalkot, sampai Pilgub: - Golput di Pilgub Jateng 45,3 persen, Jatim 39,2
persen, Kaltim 42,07 persen, DKI Jakarta 36,2 persen, Pilgub Sulsel 33 persen, Jawa
Barat 34,67 persen, Kalbar 37,69 persen, Banten 39,28 persen, Sumatera Utara 41
persen, Kalsel 40 persen, Sumbar 37 persen, Jambi 34 persen, Kepri 46 persen, Pilbup
Cirebon 38, 22 persen, Bandung 30,19 persen, Pilbup Pati 50 persen, Bogor 45
persen, Wajo 32 persen, Sukoharjo 42,33 persen, Wonogiri 39,05 persen, di
Pekalongan dan Solo masing-masing 50 persen, sedangkan angka golput tertinggi
tercatat di Pilwalkot Pontianak yang mencapai 61 persen. Tampaknya angka ini
adalah merupakan angka yang luar biasa, juga sekaligus betapa demokrasi kita di
ambang petaka.
Kedua, Suara Batal. Keputusan Mahkamah Konstitusi yang memutuskan suara
terbanyak, telah menyimpan sejumlah persoalan bagi demokrasi kita. Jika kita melihat
ukuran kertas suara yang akan dicoblos di bilik suara pada tanggal 9 April nanti,
sungguh ngeri bagi kualitas demokrasi. Letak dasar persoalannya bukan pada surat
suara, tetapi kesiapan voters (pemilih) untuk melakukan pencontrengan.
Ukuran kertas yang selebar 84 x 63 sentimeter, dan jumlah partai yang banyak akan
menyulitkan bagi pemilih. Ada dua problem besar bagi masyarakat yang tidak
berpendidikan apabila melihat surat suara, yakni (1) Jumlah partai yang banyak
dengan warna partai yang sama untuk beberapa gambar, dan (2) Di dalam kotak partai
itu, ada urutan nama caleg. Jika pemilu tahun 2004 pemilih hanya memilih partai,
sehingga agak mudah bagi mereka untuk membedakan, maka Pemilu 2009, selain
kertas suara banyak, jumlah partai juga banyak, dan yang sangat menyulitkan nanti
adalah mencari nama para caleg yang akan dipilih.
(3) Metode Contreng. Bagi masyarakat awam, ketika masuk bilik, tangan mereka
gemetar ketika memegang pulpen. Ini akan berpengaruh secara psikologis ketika
mencoblos. Karenanya, suara batal dalam Pemilu 2009 ini akan mencapai angka 20-
25 persen. Pengalaman beberapa fungsionaris PuKAP-Indonesia yang terlibat dalam
proses pendidikan politik arus bawah di beberapa daerah di Sulsel, menemukan
kesulitan pemilih memilih partai, memilih caleg dan cara mencontreng.
Ketiga, Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang menjadi wacana hangat belakangan ini.
Diperkirakan mereka yang tidak bisa memilih pada pemilu ini akibat birokrasi negara
yang bernama UU Pemilu, juga sekaligus tidak adanya taktik untuk memberi ruang
bagi yang tidak terdaftar sebagai pemilih untuk memilih pada tanggal 9 April, akan
sangat banyak yang tidak bisa terlibat dalam pemilu.
Jika demikian, maka problem demokrasi kita akan tambah rumit. Di Sulsel saja
jumlah DPT bermasalah berjumlah 67.639 nama. Di Jatim ada sekitar 43.088 DPT
bermasalah. Begitu juga mungkin di tempat-tempat lain.
Lalu, di mana hitungan kuantitatif itu bisa dilakukan, jika engangement masyarakat
beserta tetek bengek yang lain bisa mencapai angka di atas 50 persen? Ini impossible
untuk melanjutkan agenda transisi demokrasi dengan mengabaikan hak-hak rakyat
yang paling asasi.
Karena itu, menegosiasikan masa depan demokrasi pasca Pemilu 2009, tidak bisa
dilanjutkan dengan menempatkan rakyat sebagai yang berdaulat, apabila keadaan
politik hanya untuk upper class. Apalagi hitungan kuantitatif tidak mencapai limit
yang tercantum dalam prosedur demokrasi.
Hitungan 50 persen + 1 tidak mencapai ambang batas, karena apabila dikalikan tidak
sampai limitasi demokrasi. Katakanlah Golput 38 persen Suara batal 27 persen dan
yang tidak bisa memilih 13 persen. Jadi, 38+23+9=70 persen. Jadi yang sah untuk
merepresentasikan suara rakyat hanya 70 persen. Sungguh ini akan menjadi
malapetaka bagi demokrasi.
Karena itu, meramalkan demokrasi sebagai suatu harapan di masa yang akan datang
adalah tidak masuk akal dengan melihat infrastruktur politik seperti ini. Kecuali partai
bekerja dan memulai untuk selanjutnya menjalankan tugas-tugas wajibnya. Selama ini
partai politik tidak pernah menjalankan kewajibannya sebagaimana layaknya seorang
muslim yang menjalankan kewajiban menjalankan salat lima waktu.
Mereka telah berkhianat kepada rakyat dalam rantai sejarah yang amat panjang.
Mungkin saatnya memang mereka harus dihukum, agar segera menyadari
kesalahannya. Kita berharap ada perubahan mendadak dalam hitungan empat hari ke
depan. Sehingga kita tidak mengalami kemunduran yang mengerikan di atas bertabuh
harapan akan kemajuan demokrasi kita.
Diposkan oleh Fajlurrahman Jurdi di 06.52 0 komentar
Partai-partai raksasa seperti Golkar dan PDIP, sekalipun pasca reformasi usai mereka
tak punya kontribusi besar bagi pembangunan demokrasi, namun mereka adalah
merupakan bagian dari pilar demokrasi, yang mau tak mau, suka atauidak suka harus
diakui baik secara yuridis maupun secara sosiologis dan politik.
Partai, sebagaiman tujuan utamanya, adalah merupakan saran untuk menampung dan
mengartikulasikan kepentingan rakyat, memperjuangkan kepentingan rakyat dan
berkhidmat untuk rakyat.
Namun harapan itu pupus ditengah kemelut yang melanda partai politik kita, karena
partai sudah tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya, ia tidak lagi sebagai sarana
untuk mengagregasikan kepentingan rakyat, juga bukan sarana untuk
memperjuangkan hak-hak rakyat, sebagaimana tujuan awal partai di dirikan.
Partai sudah menjadi sebuah perkumpulan para “gerombolan” politik yang mencari
kekuasaan dengan ’rakus’ dimana mereka adalah merupakan aliansi oligarki “nakal”
yang sudah tidak lagi bisa diharapkan menjadi penopang tegaknya demokrasi.
Partai telah menyebabkan rakyat hidup dalam “pintalan-pintalan” harapan yang sulit
untuk mereka pahami, partai telah menjadi perkumpulan orang-orang yang sedang
menegakkan “ajaran dusta”, partai telah menjadi penentang demokrasi yang paling
sah, partai telah menjadi alat untuk menciptakan konflik komunal bagi perkumpuan
sebagian para “bandit” politik. Itulah partai, ia telah menjadi virus demoralisasi
massal dalam sebuah sindikat demokrasi.
Terlalu banyak orang yang menaruh harapan pada partai politik, namun tidak sedikit
rakyat yang kecewa dengan perilaku partai politik. Partai politik secara institusional
memang tidak salah, namun perilaku orang-orang di dalamnya telah menyebabkan
fungsi-fungsi penting partai politik tidak dijalankan. Belum ada partai yang benar-
benar memiliki keberpihakan pada komunitas tertentu yang diatasnamakan. Partai
buruh, belum memiliki basis kekuatan buruh, yang tentu berbeda dengan Labour
Party di Inggris.
Partai PDIP yang mengaku diri sebagai partai wong cilik, namun tidak jelas
perjuangan kerakyatannya, partai-partai Islam seperti PKS justru menambah beban
moral umat Islam. Apalagi sekarang PKS sudah tidak lagi menjadi partai Islam yang
berideologi, namun partai yang hanya menjadikan ideologi sebagai tumbal. PKS
sudah mendeklarasikan diri sebagai partai Islam yang berideologi inklusif, ia telah
merumuskan gaya baru pemikiran Islam yang inferior dalam berpolitik.
Di saat orang terlalu banyak berharap agar PKS menjadi penegak ajaran moral bagi
simbol Islam Politik, namun PKS telah “melacurkan diri” dalam pragmatisme dan
oportunisme politik. Indonesia selama dan pasca Orde Baru tidak ada yang terlalu
banyak berubah. Masih mewarisi sistem dan mekanisme politik masa lalu yang
dibangun di atas mentalitas para “Predator”. Mentalitas inilah yang telah
menyebabkan sistem politik Indonesia masuk dalam jebakan pramatisme dan
oportunisme, dimana partai politik menjadi bagian yang determinan.
Partai politik, dari ideologi mananapun dan atas tujuan apapun serta identitas yang
bagaimanapun juga yang ia gunakan, tidak ada satupun yang mampu keluar dari
mekanisme predator masa lalu tersebut.
Mekanisme dimana seluruh urat nadi dan karakter sistem yang digunakan telah
menciptakan polarisasi, determinasi, dan bahkan alienasi “epistemologis” dan
“aksiologis”, tanpa mempertimbangkan lagi mekanisme “ontologisnya”.
Sesungguhnya kita punya harapan yang besar, bahwa partai politik adalah tetap
menjadi kekuatan penopang demokrasi yang visible, apapun alasannya. Karena kita
harus jujur mengatakan, bahwa partai politiklah yang dianggap sebagai jalan terbaik
bagi tegaknya demokrasi yang sehat. Sekalipun bukan satu-satunya jalan untuk
membangun demokrasi. Namun, jika partai politik masih mempertahankan identitas
mereka seperti saat ini, yakni sebagai “alat untuk mencapai kekuasaan” bukan “alat
untuk memperjuangkan kepentingan kemanusiaan”, maka lebih arif dan dewasa
partai-partai politik itu di “tiadakan” demi dan atas nama “kemanusiaan/kerakyatan”.
“Peniadaan” ini bukan karena tidak suka dengan partai politik, namun lebih
disebabkan pada artikulasi peran dan fungsi partai politik yang telah melenyapkan
“moral demokrasi” untuk merebut kekuasaan dengan mempertaruhkan beruta-juta
rakyat jelata yang selalu menjadi korban pikiran-pikiran “palsu” dalam partai politik.
Rakyat hidup dalam “kubangan” harapan akan janji-janji yang tak pernah ditepati
dalam setiap episode rutinitas demokrasi. Dari “pesta demokrasi” yang satu ke pesta
demokrasi yang lain, hanya harapan yang menumpuk dalam pikiran rakyat, hingga
mereka menjadi “kepala botak” hanya memikirkan dan mengharapkan janji-janji
palsu partai politik.
Jika memang partai politik masih merupakan jalan terbaik untuk menegakkan
demokrasi, maka seharusnya partai-partai besar maupun kecil yang hadir dalam setiap
perhelatan “akbar demokrasi” mempertahankan identitas, janji dan keyakinan politik
yang diberikan kepada rakyat.
Pesta demokrasi bukan hanya sekedar acara rutin lima tahunan dengan menghadirkan
kontestan partai politik yang begitu banyak, layaknya dalam tradisi Negara yang
menganut paham demokrasi liberal, tetapi merupakan sebuah pesta untuk memikirkan
tentang masa depan Indonesia Kita, bukan “Indonesia siapa-siapa”, bukan Indonesia
“mereka”, atau Indonesia “dia”, tetapi Indonesia “miliki kita”. Dengan demikian,
partai politik tidak didirikan untuk membangun “distingsi” antara “aku” dan
“mereka”, tetapi untuk membangun bangsa kita, yang bernama Indonesia.
Dalam konteks inilah partai politik kita tidak bisa menempatkan diri pada posisi yang
wajar. Mereka adalah anak kandung modernisasi, yang dengan modernisasi itu pula
mereka berubah menjadi liberal. Liberalisasi politik pasca Orde Baru, tidak diikuti
dengan mentalitas aktor politik yang berjiwa demokratis, tetapi justru banyak diantara
mereka yang mewarisi mentalitas politik “masa lalu”, masa Orde Baru. Inilah
menurut penulis, yang menyebabkan “hampir” gagalnya proses transisi demokrasi
yang sedang kita hadapi.
Di saat krisis kepercayaan atas Partai Politik saat ini, seharusnya semua pengurus
Partai melakukan “tobat politik” untuk segera merevitalisasi diri, sistem dan
mekanisme “permainan” dalam Partai.
Partai-Partai yang berkuasa dan yang hidup di “pinggiran” kekuasaan saat ini adalah
partai yang tidak memiliki karakter dan komitmen keberpihakan. Partai besar bekerja
dengan “rakus” untuk mencari keuntungan agar bisa memegang kekuasaan pada
Pemilu 2009, sementara partai kecil mengaca diri sambil mengubah nama dan
platform, tanpa mengubah komitmen. Mereka semua adalah sama, yakni para
“predator” yang hendak merebut, mengolah dan mengutak-atik kekuasaan untuk
kepentingan partai dan individu.
Padahal, inilah saat yang tepat seharusnya bagi partai politik untuk mengubah diri,
agar “citra diri” partai tidak selalu jelek dimata masyarakat. Pemilu 2009 bukan hanya
sekedar ajang perebutan kekuasaan antar partai, tetapi merupakan awal “peperangan”
politik yang dahsyat bagi partai-partai yang ikut dalam kompetisi ini.
Partai pendatang baru harus bisa memberikan yang “berbeda” dari partai-partai lama
yang telah masuk dalam kubangan pragmatisme tingkat tinggi. Mereka harus hadir
dengan ide baru, pikiran baru, gagasan baru, narasi baru, perjuangan baru, konsep
baru, aktor baru, dan mentalitas baru. Bukan mentalitas “predator”.
Diposkan oleh Fajlurrahman Jurdi di 09.19 0 komentar
Fajlurrahman Jurdi
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik, Demokrasi dan Perubahan Sosial (PuKAP)-
Indonesia
Kamis, 01-02-2007
Media Centre -- Untuk apa kekuasaan ada, untuk siapa kekuasaan berguna, kepada
siapa kekuasaan berkhidmat?. Pertanyaan ini terus muncul disetiap zaman dan di
setiap episode peradaban. Berbagai pencarian bentuk sistem politik, lahirnya dan
matinya suatu negara, tumbuh dan tenggelamnya peradaban, semuanya bermuara
pada satu soal: yakni bagaimana mencari bentuk kekuasaan. Atas nama kekuasaan,
makam pahlawan dibangun diberbagai kota. Kekuasaan memang selalu meminta
korban.Tulisan ini hendak menguji keabsahan suksesi politik sebagai sebuah agenda
negara demokrasi dengan kebiasaan ritual suksesi di Indonesia yang berakhir dengan
radikalisme dan anarkisme yang disebabkan oleh ambisi kekuasaan yang terlampau
besar, sehingga menghalalkan segala cara dalam upaya menciptakan teror politik yang
melanda negeri transisi yang pongah ini. selama ini, suksesi di Indonesia diwarnai
dengan ritual mistisisme elit-elit politik yang meminta kepada dunia abstrak dengan
pertapaan dan bersemedi untuk mendapatkan “wahyu kemenangan” dengan ritual
kekerasan militer yang menjaga kamar-kamar pencoblosan dan proses-proses
kampanye politik yang mewarnainya, sehingga ritual kekerasan, ritual anarki dan
radikalisme adalah merupakan “persembahan” suksesi politik Indonesia yang telah
lama menghiasi dunia politik kita. Tanpa pembedahan yang tajam, suksesi politik
Indonesia akan selalu diwarnai dengan korba-korban akibat ritual “sesat” dan ritual
“sadis” tersebut, tanpa ada rasa bersalah dari aktor-aktor pemain politik yang ada
ditingkat elit.
Menurut Alan Brier suksesi politik didefinisikan sebagai cara kekuatan politik
disampaikan, atau ditransfer, dari seorang individu, pemerintah atau rezim, ke
individu, pemerintah atau rezim lain. Jadi, Suksesi politik adalah menyangkut upacara
demokrasi, untuk meneguhkan dirinya sebagai salah satu indikator keberhasilan
sebuah negara dalam melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses-proses politik
yang berjalan. Antara “kekuatan” dan “jabatan” dalam suksesi harus benar-benar
diterjemahkan secara simultan, karena yang ditransfer adalah “posisi kekuasaan” dan
“otoritas kekuasaan” kepada orang lain, yang tentu saja kemampuan seseorang untuk
mengapresiasi gagasan yang telah dirintis sebelumnya akan berbeda. Disinilah
sesungguhnya akan terbangun satu rezim politik ideologis, yang menghendaki bahwa
konstruksi politik yang telah dirintisnya, paling tidak bisa dilanjutkan oleh pewaris
ideologis setelahnya. Akibatnya dalam proses transisi diwarnai dengan restu politik
dan keterlibatan aktor-aktor lama yang sedang berkuasa untuk menyukseskan kader
ideologisnya.
Bagi komunitas yang anti kemapanan, suksesi seperti ini hanyalah merupakan ritual
suksesi yang tidak membawa perubahan, akibatnya situasi politik dan pergeseran
kekuasaan tidak menyebabkan terjadinya pergeseran kebijakan dan karakter atas
sistem politik yang ada. Lahirlah kekuatan politik yang lain yang akan mengancam
posisi kekuasaan yang mapan ini, bahkan melabrak kekuatan politik yang mapan demi
melancarkan agenda politik yang di usungnya.
Dalam proses suksesi, yang terjadi biasanya adalah gesekan politik yang sedikit
memanas, karena pertarungan antara kekuatan politik yang saling merebut kekuasaan
bisa menyebabkan terjadinya mobilitas massa politik meningkat. Tingkat emosi sosial
ditentukkan oleh dukungan politik yang diberikan oleh mereka atas orang-orang
tertentu yang menjadi calon penguasa politik dalam proses suksesi tersebut. Emosi
sosial ini dapat bangkit jika terjadi gesekan kencan ditingkat elit, sementara elit yang
diatas mengakomodasi tokoh-tokoh kultural untuk mendukungnya dalam
menyukseskan agenda politik yang diusungnya. Provokasi elit kultural jauh lebih
memiliki daya tarik kental dibanding dengan provokasi yang dimainkan oleh
siapapun. Misalnya, di Jawa Timur, seorang ulama dianggap sebagai mesin penggerak
massa yang efektif, karena dalam kultur masyarakat Islam Jawa. Ulama adalah pusat
segala-galanya. Bahkan ada ulama yang kemudian dimitoskan, hingga kemudian
dianggap sebagai pembawa wahyu; suatu pikiran irasional masyarakat tradisional
yang masih bisa disaksikan dalam masyarakat Indonesia.
Hampir setiap proses suksesi politik, kekerasan dan anarki adalah merupakan simbol,
bahwa suksesi berjalan dengan baik. Seakan-akan anarki adalah merupakan salah satu
syarat, bahwa suksesi berlangsung dengan sukses jika dibarengi dengan anarki.
Sehingga anarki adalah merupakan ritual yang bersamaan dengan ritual suksesi itu
sendiri. Antara ritual anarki dan ritual suksesi sebagai proses politik tidak bisa
dipisahkan. Dan celakanya, dalam ritual ini, yang selalu menjadi korban persembahan
ritual adalah masyarakat, sementara pemimpin-pemimpin ritual tidak terkena
kecipratan atas persembahan ritual tersebut.
Suksesi politik di Indonesia selalu diwarnai oleh ritual-ritual anarki, yang selalu
menjadi korban persembahan adalah “manusia-manusia kecil” yang hidup dalam
ketergantungan penuh atas permainan kekuasaan yang ada diatas mereka. Soeharto
mempertahankan kekuasaan yang begitu lama diatas suksesi politik dengan ritual-
ritual anarki yang sangat sistematik. Bahkan perjalanan kekuasaannya dipertahankan
dengan persembahan atas “manusia-manusia kecil” ini sebagai tumbal. Dan para
korban atas tumbal tersebut bertebaran dimana-mana. Ritual anarki terakhir yang
dipersembahkan oleh Soeharto adalah pada tanggal 27 juli 1996, setahun sebelum
Pemilu 1997. inilah ritual anarki terakhir yang termasuk dalam kategori sadis
sepanjang kekuasaan Soeharto setelah tahun 1990-an.
Ritual anarki dalam proses suksesi politik memang sudah menjadi semacam
kewajiban politik yang harus dijalani oleh masyarakat Indonesia, utamanya bagi
pemain-pemain politik yang haus akan kekuasaan. Karena kehausan akan kekuasaan
menyebabkan “laku bejat” untuk menukarkan darah orang lain dengan kekuasaan
yang glamour, bejat dan penuh dusta-dusta.
Perayaan ritual anarki yang paling besar dalam dunia perpolitikan Indonesia terjadi
ketika proses penurunan Soeharto tahun 1998, dan diganti oleh B.J Habibie. Anarki
massal yang telah menerabas menghancurkan kekuasaan Orde Baru yang hegemonik
dan tuntutan politik massa brutal ditahun itu, melahirkan satu catatan politik
terpenting bagi proses suksesi politik Indonesia, bahwa proses suksesi yang selama 32
tahun dibawah kendali rezim Soeharto dibajak secara “sadis” oleh kekuatan massa
yang tak bisa dipahami sepenuhnya kemauan mereka.
Akhir cerita kekuasaan Soeharto ini, banyak pengamat politik yang bermimpi, bahwa
proses politik ditengah transisi demokrasi akan berjalan secara partisipatoris, tanpa
ada yang dikorbankan, tanpa ada anarki lagi, tanpa ada janji-janji dusta seperti dulu.
Tetapi ritual anarki menjadi semakin gila, korban-korban anarki bertambah
kuantitasnya dan tukang-tukang janji dusta semakin menganggap bahwa dusta adalah
“berkah politik” yang harus diucapkan. Akhirnya politik dan suksesi politik di
Indonesia dipenuhi oleh berbagai cerita-cerita dusta, korban-korban ritual anarki dan
ditingkat yang lain pemain politik yang tak pernah merasa berdosa dengan tingkah
laku bejatnya.
Ritual anarki kemudian diperparah dengan kehadiran UU No. 22 tahun 1999 yang
diganti dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang otonomi daerah dan pemilihan kepala
daerah secara langsung. Ritual anarki yang secara serentak terjadi di seantero negeri
ini adalah pasca Pemilu tahun 2004 dan Pilkada Langsung sepanjang tahun 2005.
Pilkada Langsung telah menambah intensitas suksesi politik lokal, pada saat yang
sama juga ditandai dengan meningkatnya korban-korban ritual anarki. Karena ritual
anarki terjadi berbarengan dengan suksesi politik yang terjadi disuatu wilayah. Karena
kekuasaan logikanya selalu meminta korban, dan gilanya, yang selalu menjadi korban
adalah “manusia-manusia kecil”. Pilkada telah menambah rentetan korban atas ritual
anarki ini. konflik horizontal, radikalisme massa, dan penghancuran institusi-institusi
negara adalah merupakan korban-korban ritual anarki.
Memasuki tahun 2007 ini, Sulawesi Selatan akan diperhadapkan dengan proses
suksesi politik, yang sejatinya juga akan melahirkan ritual anarki. Korban dari ritual
anarki ini adalah “manusia-mansuai kecil” yang dimanfaatkan oleh tangan-tangan
“iblis” kekuasaan dan pemain-pemain politik yang ingin menghalalkan segala cara,
persis seperti anjuran Machiavelli. Indikasi kearah ritual anarki menganga lebar dalam
proses suksesi pilkada Sul-Sel nanti, karena tokoh-tokoh primordial, elit-elit adat, dan
tokoh-tokoh kunci mistik telah banyak diakomodasi oleh para pemain politik untuk
dijadikan mesin mengendali massa. Juga tersebarnya Baleho dan brosur salah satu
calon di seluruh daerah di Sul-Sel padahal kampanye belum dimulai, adalah indikasi
akan rentan terjadinya ritual anarki yang berbahaya bagi masa depan demokrasi di
Sul-Sel. Mudah-mudahan suksesi Pilkada di Sul-Sel terjadi tanpa ritual anarki.
Dengan berdasar dan berpijak atas UUD, MK bertindak tanpa batas, menghukum
tanpa kendali dan memutus tanpa kontrol, kecuali dengan alasan menjaga otoritas
konstitusi. Satu-satunya alasan hukum adalah pasal 1 UUD 1945, dan UU No 24
tahun 2003 tentang MK, sedangkan secara politis, dalam konteks cek and balances
keberadaan MK adalah representasi dari trias politica.
Persiapan MK menjelang Pemilu 2009
Sudah diduga oleh banyak kalangan, bahwa Pemilu 2009 ini akan membuat MK
bekerja ekstra keras. Maka dipersiapkan ruang sidang teleconference di berbagai
perguruan tinggi seluruh Indonesia agar bagi para pihak yang terlibat dalam sengketa
Pilkada maupun Pemilu tidak harus ke Jakarta, cukup datang di tempat universitas-
universitas yang telah ditunjuk oleh MK dan memiliki fasilitas teleconference. Untuk
Sulsel, ruang sidang tersebut bertempat di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.
Sengketa Pemilu 2009 ini, akan terjadi antara pihak-pihak dibawah ini, yaitu:
Kasus ini tidak akan sedikit jumlahnya nanti. Bayangkan, kalau dalam satu Daerah
Pemilihan (Dapil) saja untuk Caleg DPRD di Kota Makassar jumlah Caleg berkisar
antara 100 sampai 150 orang. Di kabupaten lain juga berkisar antara 25 sampai 50
orang dalam satu Dapil untuk kapubaten/kota. Untuk provinsi dan pusat juga
jumlahnya bervariasi. Tergantung dinamika yang terjadi di suatu daerah. Dari jumlah
secara keseluruhan itu, 10 persen saja yang bermasalah, maka MK harus bekerja siang
dan malam untuk menyelesaikan kasus ini.
Jika MK, misalnya mengabulkan 3-5 persen dari jumlah secara keseluruhan gugatan
sengketa Pemilu, institusi mana yang akan menjadi eksekutor dari hasil putusan
tersebut?. Jika tidak ada eksekutor, maka untuk apa keputusan itu dikeluarkan?. Tidak
kah keputusan itu akan menambah masalah baru bagi MK dan bagi demokrasi?.
Tampaknya disinilah kegagapan instrument hukum kita.
Dengan melihat dan menduga akan muncul problem seperti ini, maka harus ada
tawaran alternatif yang harus segera diambil, yaitu:
1. Harus segera dibentuk lembaga atau intitusi yang akan menjadi eksekutor bagi
keputusan MK.
2. Lembaga/institusi tersebut harus segera dikonsolidasikan dengan DPR, Presiden,
MA, KY dan KPU.
3. MK harus menjaga independensi dalam mengambil keputusan, karena ada asumsi,
akan terjadi anarki politik yang berbarengan dengan ritual demokrasi.
Inilah persoalan penting yang akan segera menghadang Pemilu 2009 yang berkaitan
dengan MK. Juga hukuman-hukuman tanpa batas yang dimiliki oleh lembaga ini.
Karenanya, harus segera ada instrumen yang membatasi kekuasaan MK agar tidak
terlalu absolut.
Diposkan oleh Fajlurrahman Jurdi di 09.14 0 komentar
Oleh
Fajlurrahman Jurdi
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik, Demokrasi dan Perubahan Sosial Indonesia.
Memaafkan masa lalu adalah untuk menjadi arif agar bisa belajar dari dosa-dosa masa
lalu, tetapi menghadirkan Soeharto beserta segala kebusukan yang dibangunnya
dimasa lalu, adalah betul-betul tindakan yang "tidak waras".
Tingkah laku PKS belakangan ini, menurut hemat saya sebagai orang awam, telah
terpisah dari akar persoalan masa lalu, serta hendak berpisah dari ideologi yang
dianutnya. PKS sudah mulai tidak percaya dengan keyakinannya, ini terbukti dengan
keinginannya menjadi partai yang terbuka, membuka sekat-sekat ideologi, dan
berkoalisi dengan partai-partai sekular.
Di saat yang sama ia tetap tampil sebagai kekuatan ideologis. Inilah tingkah laku
politik partai, yang dalam kajian ilmu politik disebut perilaku politik (political
behavior).
Karena PKS meragukan keyakinan dan hendak menjadi partai "tengah", tidak ke-kiri,
juga tidak hendak ke-kanan, maka perilaku politiknya menjadi ambivalen. Di satu sisi
secara faktual ia adalah partai kanan konservatif, melebihi PBB dan PPP, namun di
sisi lain, takut tidak menang di Pemilu 2009.
Ketakutan ini, jika tidak di rem dengan keyakinan ideologis yang kuat, maka akan
terseret arus pragmatisme yang betul-betul menjijikkan. Dan inilah yang sedang
menubruk PKS sekarang.
Sikap politik yang mudah berubah seperti bunglon, adalah sikap orang-orang
"munafik" sebagaimana yang disinyalir dalam Al Quran.
Ada pembelaan terhadap partai yang begitu kuat, bahkan berani memposisikan partai
sama dengan "Islam", adalah sikap naïf orang-orang tidak sehat cara berpikirnya.
Karena itu, perlu ada pemisahan dan tidak mencampuradukkan partai sebagai
kendaraan politik dan Islam sebagai suatu keyakinan.
Saya menganggap, bahwa Aswar Hasan dengan segenap kelemahan dan
kelebihannya, hendak mengatakan kegelisahannya melihat tingkah laku politik PKS
yang mulai mengalami tua renta, melewati renta-nya Golkar, PDIP dan PPP sebagai
partai lama. PKS sebagai partai yang baru lahir "kemarin sore", secara tiba-tiba dan
mengejutkan lupa akan dosa-dosa Soeharto.
Lupa akan segala jerih payah mereka yang telah meruntuhkan Soeharto dengan sisa
tenaga yang dimilikinya. Berbeda dengan saudara Irwan yang masih muda belia
seperti muda dan belianya PKS, sedang mengalami penyakit amnesia yang berbahaya.
Jika anak muda kita mengidap penyakit "gila" ini, maka tunggulah kehancuran
Indonesia.
Karena hari ini seorang tokoh koruptor dipenjara dan tahun depan keluar dari jeruji
itu, maka oleh orang-orang yang mengidap penyakit amnesia, sang tokoh koruptor ini
juga akan dinobatkan sebagai guru bangsa dan pahlawan nasional. Kalau ini yang
terjadi, betul-betul gila dan tidak waras lagi kita sekarang.
(Tribun)
Diposkan oleh Fajlurrahman Jurdi di 09.06 0 komentar
Fajlurrahman Jurdi
Salah satu tim Deklarator dan Inisiator Central Study Resistance (CSR)-Jakarta
Tahun 1998 adalah merupakan tahun yang sulit untuk dilupakan bagi mereka yang
hidup di akhir Abad XX di Indonesia, bahkan negara-negara di dunia. Keruntuhan
kekuasaan rezim yang sangat langgeng berkuasa selama 32 tahun dan memiliki
ideologi represif, adalah satu catatan tersendiri bagi suatu proses politik. Selama 32
tahun, Indonesia diperintah oleh rezim politik yang tidak normal cara berpikirnya,
otoriter dan mempunyai kehendak represif atas demokrasi, sekalipun selama sekian
puluh tahun itu demokrasi masih menjadi alat penindasan bagi pemerintah.
Selama rezim itu berkuasa, secara telanjang anak bangsa yang hidup di dalamnya
mengalami resistensi kekuasaan yang sangat rentan, kekangan rezim yang terlalu tiran
dan kekerasan politik yang menjadi ritual yang tak bisa dihindari. Kekuasaan rezim
yang terlampau otokratik, resistentif dan kolaboratif dengan rezim pasar seperti Orde
Baru, ternyata telah mampu menjalankan pilihan-pilihan politik yang sangat
dilematis, bahwa Orde Baru adalah merupakan nama yang harus tetap melekat dalam
pikiran anak bangsa yang hidup di akhir abad XX tersebut. Orde Baru adalah menjadi
simbol kekerasan, penindasan dan pemiskinan, Orde Baru adalah simbol keserakahan,
Orde Baru adalah simbol pelapukan moral bangsa ini. Orde Baru adalah simbol
“pelacuran” kekuasaan yang harus selalu di ingat dalam pikiran anak bangsa ini,
karena Orde Baru adalah sekaligus sebagai pembawa bencana dan pelaku kekerasan
dalam dunia politik.
Di dalam tubuh Orde Baru, bertemu penyakit moral dan etik yang “merogoh”
kemanusiaan, karena di dalam Orde Baru, pengkhianatan dan pembusukan politik
adalah pilihan-pilihan politik yang dianggap segar oleh elit kekuasaan, sehingga di
dalam tubuh Orde Baru melekat pintalan-pintalan penyakit sosial, politik, ekonomi,
moral dan kekuasaan yang berlebihan. Orde Baru terlalu percaya diri dalam
membawa bangsa ini menjadi baik sebagaimana yang di improvivasi.
Pada konteks inilah, Soeharto telah mampu mentransendensikan diri sebagai “Nabi”
politik yang selalu di takuti, “firman-firman” politiknya cenderung menggerakan
aparatus untuk patuh pada kehendak-kehendak personalnya, yang membunuh
kreatifitas, menekan sikap korektif, menindas kekuatan-kekuatan oposisi di Indonesia.
Soeharto telah menjadi “nabi” kalau tidak bisa disebut sebagai “tuhan” bagi
masyarakat, dengan dukungan ideologi pancasila dan di apresiasi secara patuh oleh
Aparatus represif sebagaimana yang di katakan oleh Althuser.
Akan tetapi kepatuhan yang berpintal-pintal itu, juga bersamaan dengan tertanamnya
perasaan eksesif dari gerakan sosial yang ingin merubah kepatuhan itu menjadi modal
perlawanan. Tekanan, represi dan penindasan yang di agungkan secara terus-menerus
ternyata bukanlah jalan keluar untuk menyelamatkan Soeharto dengan dinasti yang
dibangunnya. Kemarahan anak muda Indonesia yang di desain oleh modernisasi
selama kekuasaan Soeharto, bukan jaminan bagi langgengnya kepatuhan, bukan
jaminan untuk menciptakan dukungan tanpa reserve kepada kekuasaan, akan tetapi
dari bangunan modernisasi yang di gerakkan dibawah komando kekuasaan itu, benih-
benih perlawanan itu tercipta secara genuine. Mereka yang di besarkan dalam ruang
modernisasi dan sekaligus menjadi anak kandung rezim industrialisasi Orde Baru,
tidak mampu menyelamatkan negara Birokratik tersebut dari kemarahan yang
berpintal-pintal tadi, bahkan mereka menjadi bagian dari kelompok yang
menghancurkan “ayah kandung” yang membesarkan mereka yang bernama
modernisasi tersebut.
Semenjak Soeharto lengser dari kekuasaannya, satu dekade yang lalu, Indonesia telah
memasuki apa yang dikenal dengan sebutan “Masa Reformasi”. Dalam khasanah ilmu
politik sendiri, masa ini disebut sebagai masa transisi dari rejim otoritarianisme ke
sebuah pembentukan rejim yang lebih demokratis. Sebuah masa yang menurut
Guillermo O’Donnell (1986) dipenuhi oleh ketidakpastian, karena peluang untuk
kembali mundur ke kutub otoritarianisme sama besarnya dengan peluang maju ke
kutub demokrasi (Mada Sukmajati: 2004).
Lengsernya Soeharto dari kekuasaan pada tahun 1998 adalah merupakan bentuk
kejengkelan, akumulasi kekecewaan, dan kemarahan masyarakat yang sudah tidak
ingin lagi hidup dalam kepenatan rezim yang menyesakkan nafas tersebut. Rezim
yang menyesakkan dada, menekan kebebasan dan membiarkan masyarakat
menghirup “udara busuk yang diproduksi oleh rezim” tersebut.
Dalam masa transisi ini juga, dinamika kehidupan politik rakyat jauh lebih tinggi
ketimbang dalam masa kekuasaan rejim otoriter. Hal ini disebabkan, pertama, adanya
tarik menarik yang sangat kuat antara kekuatan-kekuatan pendukung status quo
dengan kekuatan-kekuatan pendukung perubahan. Kedua, rakyat Indonesia di semua
lapisan saat ini masih mengalami gejala yang dikenal dengan istilah “euphoria”
politik. Ketiga, terkait dengan dua point sebelumnya, tidak adanya political will dan
keseriusan terhadap pelaksanaan agenda-agenda reformasi (Mada Sukmajati: 2004).
Reformasi hanyalah cerita yang tak bermakna, mimpi yang tidak tercapai dari
generasi muda Indonesia yang sempat mengamuk tahun 1998. Mereka yang
berlomba-lomba menghancurkan Soeharto, mau tak mau harus di sebut sebagai
pelaku yang melawan kekuasaan otokratisme negara tersebut, sebuah kekuasaan yang
di besarkan dengan retorika politik yang penuh nafsu kekerasan.
Akan tetapi semua itu mengalami delegitimasi secara serius di penghujung abad XX,
di saat-saat Soeharto mengalami puncak kemapanan kekuasaannya yang bersamaan
dengan usianya yang tua renta, serta kelompok oportunis di belakangnya tidak lagi
mendukungnya.
Pada akhirnya kekuasaan yang tua renta itu, di gugat keabsahannya, sesuatu yang
terjadi secara tiba-tiba dan tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Beberapa
Indonesianis merasa kaget dengan situasi Indonesia yang penuh dengan emosi.
Sekalipun di awali dengan krisis kurs rupiah terhadap dolar, akan tetapi kemarahan itu
adalah bentuk kutukan mereka terhadap negara yang terlalu birokratis, represif dan
pada saat-saat tertentu sewenang-wenang. Kehancuran Soeharto bisa dimengerti
adalah merupakan bentuk protes mereka terhadap negara yang begitu jahat atas
kebebasan masyarakat, karena pada masa ini kebebasan di belenggu oleh kehendak
politik yang personal.
Gerakan reformasi atau semi-revolusi tersebut adalah sebuah gerakan yang muncul
dalam suatu konteks yang tidak di kehendaki oleh kekuasaan, juga tidak diduga oleh
hampir saja semua kepala anak bangsa yang hidup di bawah komando Soeharto.
Tetapi secara tiba-tiba, muncul sporadisme dan kekerasan yang sangat serius untuk
melakukan delegitimasi atas kehendak negara Orde Baru.
Enam visi reformasi yang terdiri dari amandemen UUD 1945, supremasi hukum,
mencabut dwifungsi TNI/Polri, otonomi daerah, budaya demokrasi yang rasional dan
egaliter, serta pertanggungjawaban Orde Baru masih sebatas agenda, dan belum
menampakkan hasil sedikitpun. Reformasi tahun 1998 sebagaimana yang penulis
katakan di atas adalah merupakan satu bentuk semi-revolusi yang begitu dahsyat,
membongkar secara telanjang kekecewaan rakyat atas Orde Baru. Menurut Eep
Saifullah Fattah (2000: xxix-xxxiii) ada beberapa substansi perubahan mendasar bisa
diidentifikasi dalam proses reformasi, yaitu:
Pertama, kekuasaan mengalami proses desakralisasi. Salah satu hakikat reformasi
yang penting adalah terciptanya desakralisasi (pengakhiran kesakralan) kekuasaan
beserta perangkat-perangkatnya. Di masa Orde Baru, kekuasaa cenderung disakralkan
sehingga kritik atau penentangan atas kekuasaan tidak dimungkinkan. Saat ini proses
desakralisasi itu sedang berlangsung. Di satu sisi desakralisasi adalah positif.
Desakralisasi menunjang tumbuhnya kekuasaan yang sehat dan bertanggung jawab.
Namun jika proses desakralisasi ini berlangsugn tanpa batas, yang mungkin muncul
justru sebuah bahaya: lembaga-lembaga pemerintahan yang berfungsi mengelola
kehidupan bermasyarakat dan bernegara di tolak secara permanen, sebaik apapun
yang dilakukan oleh lembaga-lembaga itu.
Demitologisasi pembangunan di satu sisi merupakan hal positif. Adalah tidak sehat
terlalu mengagung-agungkan pembangunan dengan pendekatan kacamata kuda
(hanya melihat aspek keberhasilannya dengan menutup mata pada aspek-aspek
kegagalannya). Namun di sisi lain, menafikkan sepenuhnya hasil konkret
pembangunan, namun juga benar bahwa pembangunan telah mendatangkan banyak
kemajuan fisik di tengah masyarakat. Pengakuan seimbang seperti inilah yang
seyogyanya dikembangkan dalam masyarakat, sekalipun mesti diakui bahwa secara
umum, pembangunan ala Orde Baru terbukti gagal menjalankan humanisasi; menjaga
dan meningkatkan martabat manusia.
Ketiga, Orde Baru mengalami degradasi kredibilitas. Proses reformasi juga ditandai
dengan turunya secara drastis kredibiltas Orde Baru. Saat ini, hampir tidak ada orang
yang bersedia di identikkan dengan Orde Baru. Orde Baru menjadi sesuatu yang tidak
laku. Padahal, sebelumnya, Orde Baru diagungkan secara heroik. Pendeknya
degradasi kredibilitas Orde Baru terjadi secara tegas di tengah proses reformasi.
Keempat, hak dan kewajiban rakyat mengalami redefinisi. Segera setelah pergantian
presiden, banyak kalangan seperti menjadi kuda liar yang baru dilepaskan dari istal.
Kebebasan menjadi suasana umum dimana-mana. Ini merupakan salah satu gejala
umum dimana-mana. Ini merupakan salah satu gejala dalam kerangkan terjadi
redefinisi (pendefinisian ulang) hak-hak politik rakyat. Jika di masa sebelumnya
sangat sedikit hak politik yang bisa dinikmati rakyat, di tengah reformasi, rakyat
seolah-olah boleh menentukkan sendiri hak-hak politik yang harus dinimatinya.
Daftar hak politik rakyat pun bertambah panjang secara dramatis. Bahkan setiap kali
ada aturan – sedikit apapu aspek pengendalian dalam aturan itu – banyak orang serta-
merta berteriak bahwa hak-hak rakyat akan dipasung kembali.
Pendekatan sejarah yang tidak normatif memang sebuah dictum: sejarah ditulis oleh
mereka yang menang. Dalam kaitan ini, reinterpretasi sejarah yang dilakukan di
tengah proses reformasi memang bisa dimaklumi. Ketika Soeharto menjadi
“pemenang” selama masa Orde Baru, interpretasi atas sejarah telah dibuat sesuai
dengan selera kekuasaannya. Peranan Sukarno dalam banyak hal, misalnya tidak
terlampau di tonjolkan.
Reformasi dengan segala variannya, tentu tak mungkin di pisahkan dari proses
transisi, sebuah proses yang memiliki akar genealogi yang kuat dengan tradisi yang
tak mungkin di hindari begitu saja dalam arus modernisme kultural. Sebagai bagian
dari proses politik, reformasi meniscayakan perubahan-perubahan sistemik dalam
konteks politik negara, mulai dari perubahan mentalitas aktor politik hingga kultur
masyarakat merupakan “khayalan-khayalan” yang harus tetap hidup dalam benak
masyarakat, sehingga bersama-sama mendorong “kereta” demokrasi agar lebih
terarah dan bertanggungjawab. Kereta demokrasi yang hidup itu adalah merupakan
kereta demokrasi yang harus di bangun di atas kehendak arus bawah yang dijalankan
secara eksesif bagi pertumbuhan ekonomi, politik dan kultural menuju kesejahteraan
sosial.
Reformasi, di tandai dengan; (1). Hancurnya legitimasi kekuasaan negara Orde Baru
yang birokratis, bersamaan dengan demitologisasi atas Soeharto yang menakutkan
sepanjang sejarah kekuasaannya. Soeharto, yang hampir saja di nobatkan sebagai
“nabi” bangsa bagi Indonesia, telah hancur berkeping-keping di atas gumpalan-
gumpalan kemarahan massa yang mengamuk terhadap rezim tersebut. (2) ambruknya
sistem kekuasaan dengan sistem politik yang “buas”, telah membawa Indonesia pada
proses bertabrakannya diskursif. Antara diskursif yang satu bertemu dengan diskursif
yang lain, antara wacana yang satu bertabrakan dengan wacana yang lain dalam
suasana yang timpang, sehingga muncul kegaduhan diskursif. Kegaduhan itu adalah
akibat tersumbatnya saluran politik yang di tutup rapat selama Orde Baru, dan baru
menemukan ruangnya di saat-saat reformasi baru mulai. Hampir semua orang bisa
berbicara tentang apa saja yang ingin dibicarakanya, bisa mengatakan apa saja yang
ingin di katakannya, dan melakukan apa saja yang bisa dilakukanya. Semuanya serba
bebas dan serba boleh. (3) karena semuanya di bangun di atas kebebasan, maka di
sinilah kita baru menemukan Indonesia yang betul-betul dibangun di atas liberalisasi.
Indonesia yang dulunya semasa Orde Baru adalah negara pancasila yang mengalami
proses penipuan akibat kokohnya rezim itu menempatkan dirinya di atas segala
kepentingan bangsa dan negara, maka reformasi telah merubah itu menjadi sangat
bebas. Bebas untuk melakukan langkah eksesif bagi perubahan sosial, bebas untuk
mengartikulasikan diri di atas titah demokrasi yang bisa di tafsirkan secara “liar” oleh
hampir semua orang, telah membawa Indonesia pada situasi yang serba gamang dan
bingung. Produk politik yang hampir saja setiap hari di keluarkan, aturan hukum yang
selalu tidak pernah memiliki efek jera, teatrikal kekerasan yang mengatasnamakan
demokrasi yang hampir setiap hari di pertontonkan, proses suksesi yang mengalami
peningkatan partisipasi dengan adanya Pemilihan Kepala daerah secara langsung
adalah bentuk-bentuk dari proses liberalisasi yang berjalan beiringan dengan
reformasi. Pada saat yang sama, aset-aset negara banyak di privatisasi, sementara
hubungan luar negeri yang pada masa Orde Baru yang dibangun di atas perasaan
inferioritas tidak pernah mengalami perubahan. (4) situasi Indonesia pasca Orde Baru
yang bernama reformasi ini disebut sebagai proses transisi politik atau transisi
demokrasi. Yaitu situasi yang mengandaikan perubahan politik itu terjadi manakala
seluruh sistem, mekanisme dan model pengambilan kebijakan di dasarkan atas
partisipasi masyarakat sebagai pelaku. Jadi yang berhak menentukkan nasib dan masa
depan sebuah bangsa bukan lagi berdasarkan atas kehendak bebas penguasa politik
sebagaimana yang terjadi sepanjang kekuasaan Orde Baru, akan tetapi semuanya
harus dibangun dengan konsensus bersama antara penguasa dan yang dikuasai. Jika
konsensus itu tidak mencapai kesepakatan, maka tidak boleh menjalankan sesuatu.
Dan jika konsensus tercapai, akan tetapi di khianati di tengah jalan, maka rakyat
berhak merebut kekuasaan itu atau paling tidak mengkritik keberadaan kekuasaan
tersebut, karena telah melanggar konsensus.
Karena itu, negara yang sedang mengalami transisi politik harus menciptakan
keteraturan sosial, memikirkan konsensus yang memiliki masa depan dan tidak
terjebak pada intrik politik yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.
Pergumulan antara kepentingan kelompok pro demokrasi dengan status quo yang
keras akan mengancam proses konsolidasi yang berlangsung jika tidak dibarengi
dengan dorongan-dorongan kuat dari kekuatan pro demokrasi. Mereka yang memiliki
spirit perubahan dan konsensus politik untuk mendorong proses transisi politik yang
berlangsung harus memiliki i’tikad baik agar transisi tidak dipenuhi oleh pertarungan
kepentingan yang terlalu bias. Di tengah kegaduhan dan intrik politik yang saling
bertabrakan ini, harus di tegakkan hukum untuk mengatur kegaduhan itu supaya tidak
terjadi chaos dalam masyarakat. Dalam konteks ini, Plato, Aristoteles, Hegel, Thomas
Hobbes, Karl Marx, dan Max Weber menganggap negara sebagai arena untuk
menciptakan keteraturan sosial, sekalipun negara juga menjadi alat bagi sekelompok
orang untuk melakukan tindakan kekerasan kepada kelompok masyarakat tertentu.
Menurut Max Weber, negara adalah satu-satunya lembaga yang memiliki keabsahan
untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap warganya (Gerth dan Mills; 1962: 78;
Arif Budiman; 1997: 6). Akan tetapi perlu ditegaskan di sini, karena negara memiliki
alat-alat yang bisa digunakan untuk meredam kegaduhan, bukan berarti keteraturan
itu diciptakan dengan penindasan.
Sebab itu, negara perlu melakukan pengaturan atas berbagai tindakan yang sporadis
dan tiranik dari negara, negara harus tetap aman dari rivalitas fisik dari penguasa dan
karenanya, kekuasaan itu tidak bisa diciptakan dengan kekerasan.
Salah satu ciri negara otokratik adalah menciptakan penindasan, melakukan represi
atas intrumen demokrasi dan menjalankan kekuasaan secara birokratis yang Max
Weber menyebutkan bahwa birokrasi yang rasional itu harus dibangun di atas
pertanggung jawaban.
Bagi sebuah negara yang mengalami proses transisi politik, seringkali terjadi benturan
kepentingan yang bisa saja membawa perubahan itu pada arah yang determinis.
Perubahan yang determinis akan melahirkan sebuah anomali ketika proses itu menuju
kearah kemajuan, yang tentu saja akan membuat demokrasi menjadi tidak terdorong
ke arah yang lebih baik, akan tetapi akan membawa demokrasi pada titik nadir bahkan
akan menuju lonceng kematian.
Mereka inilah yang disebut sebagai kekuatan penghalang demokrasi atau disebut
sebagai kekuatan status quo yang selalu menghambat laju pertumbuhan demokrasi.
Anak-anak rezim yang di didik di bawah suasana dan kondisi yang patuh, tentu saja
akan protes pada kenyataan-kenyataan yang ada. Sebab itulah, demokrasi menjadi
penting untuk di dorong bukan oleh kelas yang mapan dan status quo, akan tetapi
harus oleh kekuatan oposisi murni yang tidak pernah menginginkan imbalan material
dan tidak mengharapkan berbagai konsesi dari tindakannya, kecuali untuk mendorong
demokrasi agar lebih baik.
Akan tetapi ada yang ‘aneh’ dari negara pasca Orde Baru. Jika pada masa Orde Baru
negara memiliki mitologi tersendiri dalam ‘lembaran cerita sosial’, maka negara pasca
Orde Baru adalah negara yang justru mengalami demitologisasi atas seluruh mitologi
itu. Tiba-tiba saja negara tidak mampu mengendalikan gugatan komunitas yang
selama ini percaya kepadanya. Pada akhirnya, negara dan transisi demokrasi yang
menyertainya menjadi sebuah huru hara yang menakutkan. Negara tidak bisa
mengendalikan emosi, kutukan dan ‘celoteh sosial’ yang muncul bersamaan dengan
desakan kuat untuk menegakkan demokratisasi.
Tak dapat di sangkal lagi oleh siapapun, bahwa kuasa negara mengalami reduksi yang
cukup serius semenjak Soeharto tersingkir dari panggung kekuasaan. Tentu saja
reduksi kuasa negara itu tidak salah jika mengingat kembali artikulasi politik Soeharto
yang demikian gigantis dan sekaligus penuh dengan pesona kekerasan dan dominasi.
Sejarah tidak mungkin digulung kembali seperti benang, akan tetapi yang bisa
dilakukan adalah membersihkan ingatan atas apa yang menjadi kenyataan masa lalu,
dikala Orde Baru hidup. Di sana kita bisa menemukan secara konprehensif bahwa
negara yang kita maksud memiliki basis material dan otoritas sah untuk melakukan
kekerasan, entah dengan alasan yang tidak masuk akal sekalipun. Sukses Orde Baru
adalah sukses dominasi politik dan kemampuan manajemen politik Soeharto yang
menelikung seluruh oposisi untuk di singkirkan dari hiruk-pikuk politik Indonesia,
sehingga mereka tidak mampu berbuat lebih banyak dan bebas untuk mengontrol
kekuasaan. Di samping itu adalah reproduksi diskursif yang dilakukan berulang-ulang
telah mendorong Orde Baru menjadi kekuatan politik dominatif dan sekaligus sebagai
negara otoriter terpanjang di Asia.
Selama Orde Baru berkuasa, hampir tidak pernah ada yang mendiskusikannya, karena
rezim ini adalah sempurna di bawah kendali kepemimpinan personal. Akan tetapi
dikala keretakan rezim itu muncul, maka hiruk-pikuk dan diskusi menjadi gosip yang
selalu dibicarakan, hingga kejatuhannya. Fase Indonesia pasca Soeharto yang dikenal
dengan fase transisi demokrasi, sebuah fase yang mengajukan gugatan-gugatan serius
atas legitimasi personal masa lalu. Fase transisi ini harus diakui, masih mewariskan
sejumlah dosa masa lalu yang tidak mungkin terelakkan. Berulang kali penulis
mengatakan, kita bisa menghancurkan Soeharto beserta seluruh keluarganya dari
panggung kekuasaan hingga tidak satupun tersisa, akan tetapi Soehartoisme tetap
akan hidup bersamaan dengan upaya penghancuran itu. Soeharto sudah bukan sekedar
pemimpin personal, akan tetapi Soeharto telah berubah menjadi sebuah ideologi yang
tidak mudah untuk dihadapi.
Kisah menarik yang dilakukan oleh Hartono ketika kampanye Pemilu tahun 2004
yang mengajak masyarakat Indonesia untuk menjadi antek-antek Soeharto adalah
merupakan pertanda betapa kukuhnya legitimasi Soehartoisme itu menancap dan
hidup di dalam tubuh sebagian kader Soeharto. “… Marilah jadi antek Soeharto.”
Demikianlah ajakan Hartono, Ketua Umum DPP Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB),
dalam beberapa kesempatan di kampanye pemilu legislatif yang lalu kepada masa
pemilihnya. Ajakan yang terus menerus diulangnya dan kemudian menjadi simbol
bagi partai politik yang dalam pemilu legilstaif lalu akhirnya mendapatkan 2,399,290
suara sah (2,11%) dan mendapatkan 2 kursi di DPR RI. Suatu prestasi yang tentu saja
tidak terlalu mengecewakan untuk sebuah partai politik baru.
Fenomena Hartono adalah merupakan indikasi kuat bahwa Soehartoisme itu masih
segar dalam tubuh sebagian aparatus ideologisnya di tengah arus transisi yang sedang
berjalan. Soehartoisme menjadi sebuah keyakinan yang tak mungkin terhindarkan.
Bukti kesuksesan itu bisa dilihat bahwa dengan ajakan itu Hartono masih bisa
mendapatkan kursi di parlemen sekalipun cuma hanya dua. Ini menandakan bahwa
masih banyak antek-antek Soeharto yang siap untuk menjadi penerus kekuasaannya
yang sebenarnya tidak di sadari oleh kebanyakan elemen gerakan sosial dan kekuatan
pro demokrasi di Indonesia.
Tesis itu juga tidak salah jika melihat jumlah suara di Partai Golkar, yang dulu
merupakan mesin politik bagi kekuasaan Soeharto. Jika mengingat Partai Golkar,
tentu saja tidak mungkin dipisahkan dari Soeharto, karena partai ini menjadi alat
untuk mendorong secara terus-menerus dominasi politik yang dijalankan oleh
Soeharto. Golkar dulu, yang berubah menjadi partai Golkar, bagi sebagian besar
orang tidak ada yang mengalami perubahan signifikan, kecuali hanya perubahan
slogan. Ketika orang meneriakkan demokrasi, Partai Golkar juga ikut meneriakkan
demokrasi, ketika orang berbicara tentang kebebasan, partai inipun ikut berbicara
tentang kebebasan.
Penulis masih sangat yakin, bahwa Soeharto mampu mendidik kader-kader politik
ideologis, sistem politik ideologis, nalar politik kepatuhan dan partai yang pintar
memainkan tipuan-tipuan kebenaran. Kita bisa membuktikan kasus yang menimpa
Akbar Tanjung yang menjadi mantan terpidana kasus korupsi dana non bujeter
BULOG. ia adalah kader Golkar dan kader Orde Baru yang sukses memimpin
partainya di tengah hantaman dan hujatan berjuta-juta orang di negeri ini. Manajemen
konflik dan kesabarannya telah membuat partai Golkar eksis dengan keadaannya.
Tidak ada yang menduga kemudian akhirnya Golkar muncul sebagai partai pemenang
dalam Pemilu legislatif 5 April 2004 yang lalu. Dengan mengumpulkan 24,480,757
suara (21,58%) dan mendapat 128 dari 550 total kursi di DPR, Golkar melaju
melampau partai-partai politik yang lain (Sukmajati: 2004). Jika saja ingatan masa
lalu tidak lagi menjadi penting bagi masyarakat Indonesia, maka apa yang kemudian
ditakutkan oleh sebagian besar komponen bangsa ini, bahwa masyarakat kita sedang
mengidap penyakit amnesia adalah tak terhindarkan. Bagi saya, fenomena Indonesia
yang seperti ini adalah merupakan kenyataan yang tak terhindarkan, bahwa betapa
masa lalu tidak penting sama sekali atau bahkan bagi mereka bahwa masa lalu Golkar
adalah baik. Hanya ada dua kemungkinan dalam konteks ini. Kemungkinan pertama
adalah bahwa masyarakat kita mengidap penyakit lupa sebagaimana yang penulis
katakan di atas. Segala kesalahan dan kejahatan masa lalu adalah benar sesungguhnya
bagi mereka, akan tetapi mereka cepat melupakannya, atau memaafkan dosa dan
kesalahan itu, sehingga pilihan mereka atas Golkar adalah akibat dari penyakit
amnesia yang melanda mereka. Atau justru anggapan kedua, yakni bahwa Golkar
masa lalu bagi masyarakat kita justru telah membawa perubahan-perubahan penting
bagi mereka. Memilih Golkar adalah pilihan sadar, pilihan Golkar adalah pilihan
terbaik karena telah memberikan keamanan dan ketentraman bagi mereka. Jika
pilihan ini yang digunakan, maka betul Soeharto sukses menjadi pemimpin ideologis,
betul Golkar telah menanamkan tipuan-tipuan kebenaran kepada masyarakat, juga
benar bahwa Orde Baru tidak salah dimata rakyat.
Kondisi ini tentu saja tidak mudah untuk diubah dengan cepat, karena harus
membongkar tirani wacana, mengaduk-aduk sebuah keyakinan yang akan
menghambat proses transisi demokrasi. Transisi hanya akan menjadi humor, bahan
tertawaan dan hanya menghabiskan energi jika perasaan, pikiran dan keyakinan itu
tidak mampu direduksi.
Kita harus akui, bahwa memang sejumlah tokoh kunci dan penting pada pemerintahan
pasca Orde Baru masih merupakan bagian panjang dari tradisi politik yang diwariskan
oleh pemerintahan Orde Baru. Mereka adalah kelompok elit yang bersikap pura-pura
sebagai kelompok demokrasi yang kemudian merubah citra dirinya ketika kondisi
politik mengalami perubahan. Mereka berteriak lantang untuk menegakkan
demokrasi, akan tetapi tingkah lakunya tidak mengalami perubahan. Inilah yang
disebut sebagai aktor politik ’diaspora’, yakni mereka yang meneriakkan demokrasi
dan mengajukkan gugatan atas sistem politik otoritarian, padahal yang menciptakan
sistem yang otoritarian itu adalah mereka. Perilaku yang di tunjukkan ke ruang publik
adalah sama dengan mereka yang telah mati-matian memperjuangkan demokrasi,
tetapi watak dasar sebagai antek Orde Baru seperti Birokratis Otoriter, Korupsi dan
manipulasi tidak bisa dilupakan.
Sadar atau tidak, pemerintahan transisi adalah pemerintahan yang penuh dilema
dalam mengambil pilihan-pilihan politik. Dilema itu menjadi pintalan yang sulit untuk
di pilah satu-persatu, karena jika pilihan itu keliru dan salah kaprah, maka protes dan
kutukan akan tetap terjadi. Mesin kekuasaan sekuat apapun dan sehebat
bagaimanapun aktor yang memimpin sebuah transisi, tentu akan berhadapan dengan
situasi politik yang dilematis, yang bisa saja membuat seseorang untuk mengambil
keputusan yang tidak dikehendaki oleh masyarakat. Kegagapan negara dalam
menjalankan roda kekuasaan itu di tunjukkan oleh negara pasca Orde Baru. Di satu
sisi tergantung pada negara-negara ekonomi liberal, sedangkan pada sisi lain tidak
bisa menjelaskan ke arah mana kondisi politik itu di arahkan. Pada akhirnya,
artikulasi politik rakyat adalah menuntut perubahan untuk mendapatkan kesejahteraan
bagi mereka.
Karena itu, negara Indonesia pasca Orde Baru mengalami kegagapan dalam memilih
cara dan gaya mengelola kekuasaan sehingga karena kegagapan tersebut otoritas,
kapasitas, dan kompetensi negara menjadi sangat berkurang. Akibatnya, masyarakat
tidak taat dan takut lagi kepada negara, sebagaimana yang terjadi pada masa Orde
Baru. Kita bisa melihat, bahwa segala aturan yang dibuat oleh negara seringkali
berhadap-hadapan dengan masyarakat. Inilah yang disebut dengan negara yang
mengalami kehilangan legitimasi sosial. Apa yang terjadi pada negara yang
mengalami kehilangan legitimasi sosial, tidak lain adalah berupaya untuk melakukan
kompromi-kompromi politik yang menyebabkan pemerintah yang diberi mandat tidak
mampu mengambil kebijakan-kebijakan yang tegas dan berwibawa, atau kebijakan
yang diambil tidak begitu berpengaruh pada tingkat operasional. Pemerintah yang
diberi mandat dikondisikan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan insidental dan
darurat, sehingga tidak terbantu untuk berpikir panjang dalam membangun negara
yang kuat. Di samping itu, rendahnya integritas dan kualitas SDM yang berposisi
sebagai aparatus negara, seperti kepolisian, kejaksaan dan peradilan, aparat
pendidikan, ataupun instrumen politik lainnya, merupakan masalah krusial yang
hingga hari ini masih menjadi salah satu problem utama negeri ini.
Karena itu, kecenderungan politik yang biasa terjadi adalah politik jalan pintas dan
cari aman, tanpa didasari dengan pikiran yang matang. Politik jalan pintas inilah yang
menyebabkan transisi demokrasi mengalami persoalan serius, karena sulit untuk
menemukan aktor yang bisa dipercaya pada tingkat decision.
Jatuh bangunnya sebuah negara yang hendak menegakkan demokrasi ternyata lebih
banyak di pengaruhi oleh faktor krisis ekonomi dibandingkan dengan faktor lain.
Hancurnya kondisi ekonomi yang bersamaan dengan melemahnya legitimasi negara
otoriter adalah merupakan sebuah kenyataan yang tak terhindarkan untuk melihat
bahwa betapa negara otoriter itu sulit ditembus basis kekuasaannya. Apa yang terjadi
di Filipina, Taiwan, Korea dan Indonesia pada tahun 1998 adalah merupakan ‘drama’
krisis ekonomi yang menyakitkan. Di saat itu pula, legitimasi kekuasaan Soeharto
mengalami krisis. Tentu saja kita bisa memberikan pandangan bahwa krisis ekonomi
yang berbarengan dengan delegitimasi kekuasaan Soeharto itu adalah merupakan
pertunjukkan yang tidak bagus, akan tetapi kenyataan politik telah memperlihatkan
bahwa kondisi ini adalah sebuah kenyataan yang harus diterima.
Linz dan Stepan mencoba menjelaskan kejatuhan dan kebangkitan kembali demokrasi
tidak dengan menelaah variabel-variabel konflik kelas atau kendala ekonomi, tetapi
dengan mencurahkan perhatian pada perilaku elit atau kepemimpinan mereka.
Walaupun keduanya tidak mengatakan bahwa kendala struktural tidak penting.
Mereka yakin bahwa kalau terdapat lingkungan struktural yang sangat tidak
menguntungkan bagi demokratisasi, seringkali itu terjadi sebagian karena
ketidakmampuan para politisi untuk menghasilkan reformasi ekonomi dan inovasi
pelembagaan yang diperlukan bagi tumbuhnya demokrasi. Diamond, Linz, Lipset,
O’Donnell, Schmitter dan beberapa ilmuwan lain yang menekankan variabel perilaku
elit itu juga sepakat untuk mengikuti jalan yang dirintis oleh Dahl, yang yakin bahwa
gradualisme, moderasi dan kompromi adalah kunci menuju keberhasilan transisi ke
arah demokrasi. Ini dianggap tindakan politik yang bijaksana untuk
mendemokratiskan kembali pemerintahan yang otoriter.
Pelembagaan demokrasi adalah penting sebagai instrumen untuk menilai baik atau
tidaknya proses politik yang sedang dilewati. Akan tetapi jika berhenti pada
pelembagaan institusi saja, maka kita akan terjebak pada wilayah demokrasi
posedural dan pemenuhan-pemenuhan atas tuntutan material demokrasi. Sekalipun
demokrasi prosedural dan segala tuntutan materialnya adalah penting untuk
mengevaluasi jalan terjal demokrasi yang dilewati, akan tetapi yang lebih penting
adalah mendorong aparatus politik negara untuk menyadari posisinya sebagai
penguasa.
Dalam konteks ketidakjelasan kemana demokrasi itu melaju, maka tetap diperlukan
kontrol politik dari kekuatan oposisi, agar tidak terjadi penelikungan atas transisi yang
berputar. Menurut Hendardi (2002; 28) dalam paham negara demokratis modern,
kontrol rakyat terhadap penyelenggara negara merupakan terjemahan yang sempurna
dari asas kedaulatan rakyat. Pada awalnya kontrol rakyat terhadap penyelenggara
negara “diejawantahkan” di dalam model demokrasi representatif semata. Namun
dalam perkembangannya demokrasi repesentatif dapat terjerumus ke dalam
pemerintahan elitarisme, di mana keputusan-keputusan penting hanya diambil oleh
segelintir orang saja. Oleh karenanya, sangat rawan terhadap praktek-praktek
penyelewengan kekuasaan.
Karena itu, proses reformasi yang bergulir dan dipelopori oleh gerakan mahasiwa
baru hanya berhasil menjatuhkan rezim otoritarian Orde Baru. Transformasi nilai-nilai
baru sebagai akar dari suatu proses perubahan fundamental menuju negara demokratis
justru tidak sepenuhnya terjadi. Apa yang sesungguhnya terjadi di tahun 1998,
tuntutan reformasi telah berhasil dibelokkan oleh kekuatan status quo yang seolah-
olah hanya menjadi soal pergantian penguasa politik belaka. Terbukti kemudian,
penyelewengan kekuasaan yang tampaknya di era reformasi tidak kalah dahsyatnya
dengan apa yang terjadi di jaman Orde Baru. Kasus Bank Bali dan dan non-budgeter
Bulog yang melibatkan ketua Golkar Akbar Tanjung ditengah-tengah euforia
reformasi (Hendardi: 2002; 28).
Reformasi hanyalah merupakan kondisi yang terdesak untuk dilakukan dan sifatnya
sangat gradual. Terdesak, karena harus segera mengakhiri kekuasaan otoriter Soeharto
dengan memaksa dia turun dari kekuasaan, sedangkan gradual, karena memang
reformasi itu hanyalah perubahan tambal sulam, perlahan-lahan. Ini berbeda dengan
revolusi yang perubahannya sangat dahsyat yang memang tentu saja akan banyak
melahirkan korban jiwa tetapi dengan keyakinan akan melahirkan perubahan yang
totalitas.
Kondisi inilah yang menyebabkan transisi ini mengalami anomali, penuh dengan
pilihan-pilihan yang mungkin saja sulit untuk dipahami. Tarikan-tarikan kekuasaan
dan desakan kepentingan telah menyebabkan transisi menjadi bergerak kearah suatu
pertanyaan besar, yaitu ”kemungkinan”. Mungkinkah transisi dilalui dengan model-
model demokrasi yang diajukkan, bisakah transisi dilewati dengan liberalisasi aset-
aset negara, mampukah negara melewati transisi dengan melibatkan aktor-aktor
penguasa tertentu yang berselingkuh dengan kekuatan kapitalisme global. Semuanya
adalah pertanyaan-pertanyaan yang sulit untuk disebut sebagai pertanyaan
sebenarnya, akan tetapi boleh jadi adalah suatu gugatan atas tesis-tesis mengenai masa
depan politik Indonesia yang masih dalam keadaan gamang dan dalam bahasa penulis
anomali. Anomali itu adalah situasi yang serba mungkin dan serba tidak mungkin,
yang harus di dorong secara terus-menerus sehingga transisi demokrasi dengan
harapan-harapan yang menyertainya menjadi tercipta dan terkonsolidasi.
Dalam konteks ini, Hendardi (2002; 28) berpendapat bahwa dalam masa transisi
politik, keberhasilan demokratisasi yang ditandai dengan adanya proses kenegaraan
yang transparan dan accountable, sangat bergantung dengan kegiatan partai politik.
Karena partai politik merupakan organ terpenting dalam proses pembentukan
masyarakat sipil yang demokratis. Oleh karena itu, moral politik dalam kehidupan
bernegara harus menjadi perhatian besar bagi para partai politik. Dengan demikian
partai politik bertanggung-jawab atas kepercayaan masyarakat terhadap terciptanya
clean governance. Di sini rakyat harus merupakan bagian integral dari proses kontrol
terhadap penyelenggara negara.
Tetapi apakah partai politik itu masih layak untuk menjadi pendorong demokrasi?.
Secara sekilas dan dengan menggunakan premis umum, partai politik adalah
merupakan pendorong demokrasi. Salah saru pilar negara demokrasi adalah partai
politik. Karena di dalam partai politik itu menurut Sutoro Eko (2004; 53) pasti
menjanjikan demokrasi, keadilan, kesejahteraan, keamanan, kedamaian, dan persatuan
bagi semua elemen masyarakat Indonesia, yang tentu saja sebagai bentuk ekspresi
dari pemerintahan yang berkuasa selama ini tidak tunduk pada prinsip-prinsip yang
baik itu.
Fungsi-fungsi penting dari partai politik seperti sebagai sarana pendidikan dan
agregasi hampir tidak berjalan sama sekali. Sehingga harapan bahwa partai sebagai
kekuatan politik untuk mendorong demokrasi adalah mesti ditinjau ulang. Sekalipun
secara teoritik dan praktik bisa kita temukan bahwa partai politik adalah faktor yang
sangat penting bagi tumbuh berkembangnya sebuah negara demokrasi, tetapi khusus
konteks Indonesia harapan itu barangkali sulit untuk diwujudkan, karena yang muncul
adalah apa yang kita kenal dengan oligarki partai. Partai-partai politik yang ada
hanyalah menambah kukuhnya dominasi penguasa atas rakyat yang menyebabkan
kepentingan rakyat teralienasi dari perjuangan partai. Filosofi bahwa partai politik
akan memperjuangkan kepentingan rakyat, di Indonesia justru tidak terwujud sama
sekali.
Partai politik dipercaya sebagai instrumen utama demokrasi, akan tetapi satu hal yang
paradoks yang tidak mungkin dihindari adalah terjadinya apa yang disebut Robert
Michel sebagai “hukum besi oligarki”. Yakni kecenderungan dominasi (penguasaan)
sekelompok kecil orang (minoritas) yang tidak mewakili kepentingan mayoritas
rakyat. Sebuah hukum sosiologi paling fundamental dan sekaligus paradoksal adalah
bahwa organisasi (baik partai maupun negara) adalah sebuah entitas yang melahirkan
dominasi oleh minoritas terpilih atas pemilih, oleh pemegang mandat atas pemberi
mandat, oleh utusan atas orang yang mengutus. Barang siapa orang bicara organisasi,
demikian Robert Michel, ia juga bicara tentang oligarki (Sutoro Eko: 2004; 55).
Di tengah situasi politik yang gamang dan tidak terarah, negara bersama semua
aparatusnya tidak boleh berdiam diri. Kelompok oposisi dalam negara juga harus
bekerja secara cepat untuk menghindari terjadinya pelacuran keadaan yang tengah
terjadi untuk menunjang proses demokrasi yang berjalan. Sebab itu, negara harus
bekerja menurut hukum besi keadaan, yakni cepat mengendalikan proses diskursif
yang terjadi di saat persilangan berbagai kepentingan bertemu dalam titik yang
berseberangan. Di sinilah kita tetap memandang negara sebagai instrumen penting
untuk menetralisir keadaan dengan alat-alat yang dimilikinya. Hampir sebagian
pemikir yang menulis tentang negara menekankan betapa besarnya peranan negara
dan betapa absahnya lembaga ini melakukan tindakan atas warganya. Dalam hal ini
Hobbes menegaskan, bahwa kekuasaan negara begitu penting, kalau tidak, para warga
akan saling berkelahi dalam memperjuangkan kepentingan mereka (Budiman; 1997:
7). Dalam konteks ini Budiman mengajukan hipotesa, bahwa negara merupakan wakil
dari kepentingan umum atau publik, sedangkan masyarakat hanya mewakili
kepentingan pribadi atau kelompok secara terpecah-pecah (Budiman; 1997: 7). Hal
tersebut sejalan dengan pendapat Plato dan Aristoteles yang mengatakan, bahwa
kekuasaan yang besar pada negara merupakan hal yang sepatutnya. Individu akan
menjadi liar, tak dapat dikendalikan, bila negara tidak memiliki kekuasaan yang besar.
Negara harus menjinakkan mereka dan mengajarkan nilai-nilai moral yang rasional
(Budiman; 1997: 8). Tegasnya Plato memberikan kerangka berpikirnya sendiri;
Dalam negara tersebut akan berkuasa akal (rasio) sebagai ganti Tuhan. Segala
keinginan untuk mementingkan diri sendirti harus dihilangkan dahulu bilamana
kehidupan negara yang sungguh-sungguh sempurna akan dicapai. Individu harus
sama sekali tunduk pada keseluruhan (kolektitet) (Schmid; 1965: 26, Budiman; 1997:
8).
Jika partai politik telah gagal mengagregasi kepentingan rakyat, tidak ada partai
oposisi yang terbentuk serta yang muncul adalah oligarki partai, sementara negara
sendiri tidak bisa diharapkan untuk merekayasa masa depan demokrasi Indonesia,
maka harapan kemudian harus bertumpu pada kekuatan basis sosial dalam
masyarakat, dimana di dalamnya harus tercipta basis politik yang bisa diandalkan
untuk mendorong demokrasi yang partisipatif dengan tetap menghargai kepentingan
lokal.
Transisi itu penting untuk di desak secara terus-menerus agar tercipta kondisi politik
yang benar-benar demokratis sehingga kekuasaan negara tidak bersifat mutlak
sebagaimana yang terjadi pada masa Orde Baru. Orde Baru itu langgeng dan aman
adalah karena ruang-ruang diskusi ditutup rapat, akselerasi publik atas negara
dibatasi, sehingga negara merasa menang diatas rakyat dengan mengalienasi peran-
peran politik mereka.
Kita harus menghidari apa yang dikatakan oleh Plato dan Aristoteles yang melihat
teori kekuasaan negara dengan menyatakan bahwa negara memerlukan kekuasaan
yang mutlak. Karena model itu telah gagal melahirkan negara yang sejahtera dan
berkeadaban, sebagaimana ditunjukan oleh Orde Baru. Negara Orde Baru adalah
negara yang gagal mengkonstruksikan perubahan sosial karena pada konteks ini
negara gagal melahirkan rekayasa sosial yang bersifat terbuka bagi terciptanya
demokrasi bagi rakyat. Akibatnya, demokrasi terkubur ditengah retorika kekuasaan
yang justru mempertunjukkan sikap represivitas atas rakyat. Rakyat dipandang
sebagai kelas yang inferior atas kekuatan politik negara, karena peran negara
dominan, sementara rakyat minimal. Rakyat adalah konsumen dari reproduksi kuasa
wacana dari negara, yang terkadang kuasa wacana itu dibangun diatas kepalsuan-
kepalsuan ideologi dan politik.
Kecenderungan memandang negara sebagai basis perubahan sosial serta sebagai alat
untuk mendorong demokrasi tidak sepenuhnya salah. Akan tetapi jika saja optimisme
itu berlebihan sehingga menyebabkan kita lupa akan esensi negara yang
sesungguhnya, yaitu mengokohkan kekuasaan sehingga bisa menimbulkan tirani atas
rakyat.
Kukuhnya dominasi negara atas rakyat serta suksesnya relasi kuasa wacana dalam
tubuh negara otoriter birokratis adalah karena semua elemen pendukungnya bekerja
secara massinis yang kemudian mendorong negara lebih mandiri dan tidak
terkooptatif oleh elemen-elemen lain dari luar. Artinya negara sangat percaya diri atas
bekerjanya seluruh sistem yang sangat prosedural dan birokratis itu, serta dukungan
institusi-institusi represif seperti militer, sehingga ketika terjadi ‘kecelakaan’ politik
yang menyebabkan kekukuhan negara itu berantakan, maka transformasi menjadi sulit
tercipta.
Di saat yang seperti inilah perubahan sosial itu mengalami hambatan untuk bekerja
secara maksimal dalam mendorong demokrasi. Desakan demokrasi yang kemudian
digelar oleh semua elemen kebangsaan akan sulit untuk menyesuaikan diri di atas
problem-problem politik dan konstitusional yang dialami. Sehingga transisi
demokrasi harus melewati jalan terjal dan menghalau ‘hutan belantara’ dengan ‘duri
epistemik’ rezim masa lalu. Pada sisi ini, demokrasi akan di tunggu oleh dua
kemungkinan, yaitu suksesnya transisi itu dengan terbentuknya perangkat demokrasi,
baik secara prosedural maupun secara kultural, dan kemungkinan kedua, yaitu
terjebak kembalinya demokrasi kedalam perangkap politik birokratis. Keterjebakan
ini ditandai dengan sistem politik yang tidak berubah, sekalipun beberapa aktor
mengalami pergantian, serta kultur yang tidak bergeser dari kondisi sebelumnya. Jika
demikian yang terjadi sudah bisa dipastikan, bahwa transisi demokrasi tidak terbentuk
dan gagal.
Jadi, apa sumbangan negara dalam konteks ini, padahal penguasa atau elit pemegang
kendali adalah aparatus negara sebagaimana yang disebutkan oleh Althusser?. Tentu
mendedah konsep kenegaraan ini, penulis ingin mengajukan apa yang disebut dengan
negara organis. Apa yang dimaksud dengan negara organis?. Stepan mengemukan
lima prinsip dasar negara organis-statis (Alfred Stepan, 1978: 26-45) yaitu; pertama,
negara pada dasarnya mempunyai tujuan utama adalah moral; kedua, tujuan moral itu
merupakan kebaikan bersama (common good) yang diarahkan dan diwujudkan
kedalam komunitas politik (political community); ketiga, common good merupakan
prinsip yang berbeda dalam mengontrol setiap kepentingan yang ada; keempat, negara
memiliki sifat yang kuat dan intervensionis, negara mempunyai peran yang relatif
otonom dalam proses-proses politik; dan kelima, walaupun negara merupakan yang
utama dalam komunitas politik, tetapi komponen dari negara seperti individu,
keluarga, asosiasi-asosiasi pribadi, mempunyai fungsi sendiri di dalam organisasi
secara keseluruhan. Akan tetapi, selain negara organis ini, ada juga yang disebut
dengan negara fasis sebagaimana yang dikatakan oleh Budiman (1997:18-19).
Menurut Budiman, Sekalipun negara organis seperti yang digagas oleh Hegel masih
terdapat nilai-nilai positifnya, tapi bagian lain dari bentuk ekstrem negara organis
adalah negara fasis. Kata fasis berasal dari bahasa Latin yang berarti “seikat”. Kata
fasisme dimaksudkan sebagai sebuah ikatan yang kuat, ikatan yang erat, persatuan
yang kokoh dari sebuah bangsa, dengan negara sebagai pimpinannya. Negara Fasis
adalah sebuah negara totaliter, bukan sekadar otoriter. Kalau dalam totaliter masih
memungkinkan pluralisme terbatas, dalam sebuah negara totaliter, tidak
diperkenankan organisasi lain apapun tumbuh, kecuali organisasi yang di bentuk
negara. Tidak boleh ada nilai yang berkembang kecuali yang diperkenankan negara.
Untuk memperkuat realisasi gagasan ini Benito Mussolini seperti dikutip Christenson
et al, (1971: 37) mengatakan, konsep negara dalam fasisme adalah bahwa negara itu
meliputi keseluruhan; di luar negara tidak ada kemanusiaan atau kejiwaan yang bisa
tumbuh, apalagi punya nilai. Dengan demikian, Fasisme bersifat totaliter, dan Negara
Fasis – sebuah sintesis dan sebuah lembaga yang menggabungkan semua nilai –
memberikan penafsiran, mengembangkan dan memberikan tenaga bagi seluruh
kehidupan seorang manusia.
Artinya, negara totaliter dan otoriter tidak akan mungkin membiarkan demokrasi
hidup, sehingga peluang-peluang kemungkinan untuk tumbuh berkembangnya
demokrasi akan selalu dihadang dengan pilihan-pilihan politik birokratis. Karena
dalam konteks ini negara harus dominan mengartikulasikan kepentingan-kepentingan
politiknya. Bagi seorang penguasa di negara totaliter seperti Musolini, mengukuhkan
dominasi negara adalah penting, sehingga demokrasi dialienasi dari persinggungan
diskursif negara. Negara harus mengendalikan seluruh apa yang menjadi basis
epistemik rakyat, sehingga pengendalian diskursif menjadi sangat urgen bagi
pengembangan wacana dominasi dari negara.
Indonesia yang demikian adalah merupakan potret Indonesia dimasa Orde Baru,
dimana kekuasaan dijalankan secara otoriter dengan kendali penuh kekuasaan. Pasca
Soeharto, tentu saja harapan untuk mengubur masa lalu itu adalah merupakan
keinginan semua orang. Mereka yang hidup di abad XXI, adalah mereka yang
memiliki keinginan kuat untuk mendorong reformasi yang belum selesai
diperdebatkan, baik pada tingkat diskursif maupun pada tingkat praksis. Demokrasi
menjadi sebuah kenyataan untuk ditegakkan, akan tetapi demokrasi inilah yang
menjadi persoalan hingga saat ini.
Transisi demokrasi yang dialami Indonesia adalah merupakan transisi yang panjang,
belum ada tanda-tanda baik dari transisi ini, kecuali hanya kekecewaan yang
berpintal-pintal dari masyarakat atas perilaku politik sebagian elit yang belakangan ini
tambah “buas” lebih buas dari Orde Baru.
Karena itu, apa yang kita saksikan saat ini adalah merupakan minimalisme demokrasi
yang direduksi secara vulgar oleh perilaku elit dalam pertunjukan keseharian mereka.
Mereka melakukan “pembajakan” atas tesis demokrasi untuk memenuhi hasrat dan
kepentingan pribadi/kelompoknya, akan tetapi lupa, bahwa bangsa dan negara adalah
jauh lebih penting dibandingkan dengan apa yang tengah dilakukannya. Mereka ini
telah mengeruk tesis demokrasi dari wilayah substansial-nya untuk dipraktekkan
secara artifisial dan “banal” hanya untuk memenuhi hasrat-hasrat maksimal bagi
kelompok/pribadi tertentu dan meminimalkan praksisisme demokrasi.
Pada akhirnya, demokrasi sudah bukan lagi persoalan penting untuk ditegakkan
apalagi diperjuangkan. Demokrasi telah menjelma menjadi perilaku politik pragmatis
yang dipertontonkan oleh aktor-aktor demokrat yang minimalis yang menyebabkan
demokrasi di ‘kocak’ dengan pendekatan oportunisme politik.
Pada tingkat praksis, demokrasi telah berubah menjadi mesin kekuasaan bagi orang-
orang tertentu untuk diteriakkan agar bisa disebut sebagai seorang demokrat. Seorang
demokrat dalam situasi transisi seperti ini adalah merupakan penyelamat dan
penyambung lidah kebenaran bagi masyarakat, sehingga isu demokrasi adalah
merupakan isu yang sangat sensitif untuk dilempar ke ruang publik. Publik nanti akan
menangkap isu itu, lalu menebarlah virus-virus demokrasi kepada rakyat yang di
suarakan oleh seorang/sekelompok orang yang ingin disebut sebagai pahlawan
demokrat. Padahal pada saat yang sama, demokrasi bagi mereka amat dibenci dan
kebencian mereka atas demokrasi ini ditunjukkan pada keseharian mereka. Teriakan-
teriakan demokrasi ini di ikuti dengan melakukan perubahan pada perangkat keras
demokrasi, seperti perubahan konstitusi, reformasi lembaga-lembaga negara yang
merupakan instrumen demokrasi, akan tetapi tidak menginjeksi secara lebih memadai
dan jujur tesis demokrasi ini kepada rakyat. Mereka mengharapkan agar rakyat mau
bersikap demokratis kepada mereka, akan tetapi mereka tidak ingin bersikap
demokratis kepada rakyat. Artinya hanya rakyat yang di suruh untuk memahami
secara demokratis apa yang mereka lakukan, akan tetapi mereka tidak mau bersikap
demokratis kepada rakyat. Pada konteks inilah, kegagalan terciptanya perangkat lunak
demokrasi itu tak terhindarkan, yakni dikala sejumlah kalangan elit tidak mau
bergeser dari pragmatisme dan oportunisme politik. Mereka pura-pura menjadi
seorang demokrat, pura-pura menjadi seorang pejuang reformasi, akan tetapi dibalik
itu, mereka ingin menjebak transisi yang berkembang ke arah pemerintahan
otoritarian.
Bingham Powel, Jr. (1982: 3, Afan Gaffar: 1989) mengemukakan pemahaman yang
lazim digunakan dalam Ilmu Politik mengenai “political performance” sebagai
indikator kehidupan politik yang
demokratis adalah sebagai berikut; Pertama, legitimasi pemerintah berdasarkan atas
klaim bahwa pemerintah tersebut mewakili keinginan rakyatnya. Artinya klaim
pemerintah untuk patuh kepada aturan hukum didasarkan pada penekanan bahwa apa
yang dilakukannya merupakan kehendak rakyat.
Indonesia dalam masa persilangan waktu yang serba tidak jelas saat ini, telah
melahirkan sebuah kondisi politik yang transisional. Kondisi dimana demokrasi
memerlukan bangunan yang kuat dengan perangkat keras yang memadai yang di
dukung oleh perangkan lunak yang cerdas. Apa yang disebutkan oleh Bingham di atas
adalah merupakan salah satu pendekatan yang ideal mengenai sebuah kondisi untuk
mencapai posisi demokratis.
Pada waktu yang berbeda dalam rangka memaknai demokrasi yang berisikan
kompetisi, kontestasi dan partisipasi –Larry Diamond, Linz dan Lipset,
mendifinisikan demokrasi sebagai suatu sistem pemerintahan yang memenuhi tiga
syarat pokok yaitu: pertama, kompetisi yang sungguh-sungguh dan meluas diantara
anggota masyarakat dan kelompok-kelompok kepentingan didalam memperebutkan
jabatan pemerintahan yang punya kekuasaan dalam jangka waktu yang teratur dan
tidak menggunakan daya paksa; kedua, partisipasi politik yang melibatkan sebanyak
mungkin warga negara dalam pemilihan pemimpin atau kebijakan lewat pemilihan
umum yang diselenggarakan secara adil dan teratur sehingga tidak satupun kelompok
sosial (warga negara dewasa) tanpa kecuali; ketiga, tingkat kebebasan sipil dan politik
yaitu kebebasan berbicara, kebebasan pers, kebebasan membentuk dan bergabung
dalam organisasi yang cukup untuk menjamin integritas kompetisi dan partisipasi
politik (Jurdi & Irianto: 2006).
Prediksi tentang demokrasi di Indonesia telah sangat banyak dilakukan oleh para
pakar. Ada yang begitu optimis dengan keadaan Indonesia akan sukses menuju
transisi demokrasi, akan tetapi ada yang pesimis bahwa transisi demokrasi yang kita
lewati saat ini akan gagal. Kegagalan itu terindikasi dengan bangunan politik pasca
Soeharto yang rapuh, serta jabatan-jabatan kekuasaan yang diisi oleh orang-orang
lama yang dulu juga berkuasa pada masa Orde Baru. Pada sisi yang lain perangkat
keras demokrasi tidak bisa menjamin terbentuknya situasi demokrasi yang sukses,
karena antara satu lembaga dengan yang lain saling tumpah tindih fungsi dan
kewenangan yang kemudian melahirkan perebutan wilayah kekuasaan, sehingga
keinginan untuk mendorong demokrasi bukan lagi menjadi tanggung jawabnya. Jika
merujuk pada pandangan Elizabeth Santi Kumala Dewi (2005), kegagalan demokrasi
itu disebabkan oleh; pertama, Lembaga Demokrasi Belum Menjadi Alat Demokrasi
yang Baik: Harus diakui bahwa proses demokratisasi di Indonesia sejak runtuhnya
kekuasaan represif Orde Baru 1998 lalu memang berlangsung cukup dramatis hingga
ada yang menganggap Indonesia sebagai negara demokrasi ketiga terbesar (third
largest democracy in the world) setelah India dan Amerika Serikat. Namun,
terbukanya ruang demokrasi (democracy space) yang sangat luas selama masa transisi
ini belum menunjukkan adanya kerangka kuat untuk mewujudkan kemapanan budaya
demokrasi. Tumbuh sumburnya sejumlah partai politik baru, kemerdekaan
mengeluarkan pendapat/berorganisasi, adanya kebebasan pers, yang disertai
pelaksanaan desentralisasi melalui pemberlakukan Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999 serta Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999, ternyata belum bisa
membangkitkan pilar-pilar demokrasi yang kokoh. Artinya, lembaga-lembaga
demokrasi yang tumbuh subur di Indonesia sejak runtuhnya Orde Baru lalu belum
bisa menjadi alat demokrasi yang baik. Bahkan, sistem kepartaian di Indonesia yang
dibangun selama masa transisi ini belum kokoh yang memiliki kapasitas dalam
melancarkan partisipasi politik masyarakat melalui jalur partai hingga dapat
mengalihkan segala bentuk aktivitas politik anomik dan kekerasan. Perlu dicatat
bahwa yang mendorong pembangunan politik bukanlah banyaknya jumlah partai
politik yang muncul, melainkan tergantung kekokohan dan adaptabilitas sistem
kepartaian dalam menyerap dan menyatukan semua kekuatan sosial baru yang muncul
sebagai akibat modernisasi. Tapi, jika melihat sepak terjang aktor-aktor keterwakilan
dalam lembaga parlemen dan partai politk di Jawa Tengah selama masa transisi ini,
masih terkesan masih carut marut atau mengalami ketimpangan dan cenderung
menegasikan aspirasi publik. Ketika pemerintah pusat sudah mulai membagikan
kewenangannya kepada pemerintah daerah melalui pelaksanaan Otonomi Daerah,
partai politik justru masih bersifat sentralistik hingga para pengurus partai di tingkat
lokal tetap terhegemoni oleh kepentingan sempit pengurus partai di tingkat nasional.
Akibatnya, kemungkinan terjadinya tarik-menarik kepentingan di tingkatan internal
partai politik bisa menciptakan kerwanan akan terjadi konflik yang bisa menimbulkan
konflik kekerasan di tingkat massa pedukung partai.
Transisi demokrasi bisa diramalkan dengan melihat kondisi politik Indonesia yang
penuh dengan harapan-harapan yang terlampau optimis, akan tetapi tidak diiringi
dengan perubahan-perubahan yang signifikan dari semua aspek. Justru perubahan
yang terjadi adalah perubahan yang tambal sulam, tidak terarah dan memiliki
konstruksi demokrasi yang dilacurkan demi kepentingan kekuasaan. Karena aliansi
kelas menengah oposisi tidak terkonsolidasi secara lebih baik, bahkan hampir tidak
terbentuk sama sekali, sehingga transisi hanyalah menjadi alat analisis sebagian elit.
Di sini Vedi R. Hadiz (2005: xvii) yang tampaknya menampik kemungkinan adanya
semacam aliansi lintas kelas yang mampu menyusun dan mendesakkan agenda-
agenda transformatif di era pasca-Soeharto.
Vedi percaya, bahwa sifat dari relasi kekuasaan (power relations) yang menopang
rezim yang lama tidak mengalami perubahan yang fundamental. Konsekuensinya,
kerangka institusional kekuasaan dapat berubah – misalnya kearah yang lebih
demokratis dan terdesentralisasi sebagaimana di Indonesia setelah jatuhnya Soeharto
– tetapi relasi kekuasaan yang menopangnya mungkin saja bertahan dalam konteks
institusional yang baru. Dalam hal ini, relasi kekuasaan yang dimaksud adalah yang
melekat pada semacam predatory capitalism yang masih bercokol dengan kuat
sebagai warisan utama era Orde Baru yang panjang. Jenis-jenis kekuatan lama yang
menopang otoriterisme Soeharto kini menjadi bagian penopang demokrasi Indonesia
pasca-Orde Baru (2005: xxv).
Siapapun yang berkuasa pasca Soeharto, sulit untuk keluar dari kukuhnya hegemoni
system dan ideology politik masa lalu. Habibie, Gusdur, Megawati, hingga SBY,
tidak mampu mendorong perubahan Indonesia untuk menuju ke arah situasi
demokratis, sebagaimana janji dan komitmen politik yang mereka tawarkan kepada
publik. Hampir semuanya terjebak pada premis-premis kekuasaan “predator” yang
menyeret mereka pada banalitas kekuasaan. Tentu demokrasi tidak mungkin
diharapkan dari para “predator politik”, karena mereka tidak bisa menarik diri dari
kekuatan yang menggenggam mereka, baik itu system politik maupun kapitalisme
yang memaksa mereka untuk secara terus-menerus patuh. Dari empat presiden
Indonesia pasca Orde Baru, tidak ada yang berani memutus hubungan dengan IMF
dan mampu menyelesaikan utang-utang Negara. Pada akhirnya komunikasi politik elit
di hadapan Negara-negara “kapitalisme rente” seperti AS adalah komukasi inferior.
Inilah yang disebut oleh Vedi dengan “predator capitalism”.
Untuk melihat konteks bahwa “predator politik” sulit untuk dihindari di dalam
permainan politik pasca Orde Baru, Vedi mencoba untuk melihat Gus dur sebagai
contoh. Gus Dur adalah merupakan seorang intelektual proreformasi dan
prodemokrasi sebelum menjadi presiden, ternyata harus tersedot juga ke dalam logika
predatory politics. Untuk survive, sang kiai liberal pun harus menggunakan taktik
yang kurang lebih sama dengan lawan-lawannya, walaupun akhirnya dia kalah.
dengan vulgar Vedi mengatakan, bahwa pada dasarnya perangkat kelembagaan
kehidupan demokrasi di Indonesia telah ‘dibajak’ oleh kaum ‘penjarah’ politik.
Tetapi yang lebih parah, kepemimpinan Megawati yang mengaku sebagai pelindung
wong cilik juga tidak jauh berbeda dengan kepemimpinan sebelumnya. Penjualan aset
negara seperti Satelindo dan pembelian pesawat Sukhoi dari Rusia, adalah kebijakan
politik yang tidak bisa menghindar dari tesis “predator” tadi. Sehingga siapapun yang
berkuasa di Indonesia akan gagal membangun demokrasi sebagaimana i’tidak awal
mereka di saat-saat kampanye politik dilakukan. Karena terlalu banyaknya ranjau
yang harus dilalui oleh aktor-aktor tersebut, sehingga keinginan untuk melakukan
perubahan serat keinginan untuk membangun demokrasi sebagaimana keinginan kuat
di awal-awal kehancuran Orde Baru akan selalu gagal.
Tidak ada yang menjamin jika saja Amien Rais sempat menjadi presiden, tentu sulit
untuk keluar dari perangkap sistem dan ideologi politik konservatif yang begitu kukuh
berkuasa selama 32 tahun dibawah Soeharto. Bukan mustahil Amien Rais akan
menjadi “predator politik” yang juga sama dengan presiden yang lain. Karena
perangkap yang dibangun menyulitkan orang untuk mengelak dari kenyataan-
kenyataan politik yang ada. Itu juga yang sedang menimpa Susilo Bambang
Yudoyono (SBY) saat ini, yaitu terjebak pada tipuan-tipuan sistem politik ”predator”.
Karena SBY yang pada awalnya merupakan harapan untuk mengembalikan posisi
Indonesia yang pincang dan mendorong demokrasi, justru gagap untuk bersikap
konsisten. SBY tidak lebih dari ”budak” kapitalisme rente yang juga sama dengan
mereka yang sebelumnya. Di sinilah kita mesti melihat apakah Indonesia cukup
kondusif untuk di dorong menuju transisi demokrasi ataukah justru demokrasi
hanyalah menjadi isu elit belaka yang tidak mungkin bisa terwujud sama sekali?.
Tidak salah memandang politik Indonesia pada aras yang tumpang tindih, yaitu antara
memasuki wilayah banalitas politik dengan terlibatnya aktor lama yang tidak
menghendai perubahan terjadi pada sistem politik Indonesia pasca Orde Baru.
Kepemimpinan politik yang hendak mendorong kereta demokrasi yang kemudian
semuanya berakhir dengan gagal, adalah akibat terlalu kuat dan kukuhnya hegemoni
politik Orde Baru yang diwariskan melalui aparatus ideologisnya yang kemudian
berganti muka di dalam sistem dan institusi-institusi demokratis. SBY yang
dipundaknya hendak mendorong perubahan penting bagi transisi demokrasi yang
tengah terjadi, tidak mampu berbuat banyak, selain karena dia adalah merupakan
kader politik Soeharto yang dibesarkan dalam tradisi kepemimpinan militer, juga
prinsip oligarki militer yang dikembangkan oleh Soharto – dimana SBY adalah
bagian dari pelakunya – masih melekat bersama-sama dengannya. Oligarki militer
yang kemudian menguasai kantong-kantong ekonomi Indonesia selama masa
Soeharto, telah mendorong militer menjadi pelaku bisnis dari pada menjalani
profesionalisme sebagai pasukan negara. Karena mereka mampu meyakinkan investor
asing bahwa Indonesia aman, maka injeksi modal kapitalisme yang masuk, juga ikut
dinikmati oleh elit-elit militer, dimana di dalamnya adalah juga SBY.
Dalam konteks ini, tentu saja transisi demokrasi akan gagal bahkan bisa jadi akan
muncul faksionalisme politik untuk menghancurkan transisi menuju kekuasaan
otoritarian baru yang jauh lebih ganas dari masa lalu. Gelombang balik
otoritarianisme ini akan berpeluang besar terjadi jika melihat Indonesia yang sedang
terjadi saat ini, dimana situasi politik serba tidak jelas.
Fakta bahwa SBY tidak bisa keluar dari cengkeraman masa lalu dan sekaligus sebagai
pemimpin yang patuh pada kehendak penguasa kapitalis adalah tak terhindarkan, jika
melihat kebijakan-kebijakan dan perilaku politiknya. Penyerahan pengelolaan
pertambangan Blok Cepu kepada AS sebagai operator sebagaimana yang dibahas
sekilas di bab selanjutnya adalah menjadi salah satu tanda bahwa SBY tidak lebih dari
”predatory capitalism” sebagaimana yang disebutkan oleh Vedi. Dan ini merupakan
awal dari kegagalan untuk membangun demokrasi Indonesia dengan komitmen
kebangsaan yang lebih mandiri, karena harus tetap berada dibawah kendali politik dan
ekonomi negara-negara satelit seperti Amerika. Fakta yang lain adalah persiapan SBY
pada saat kunjungan Josh W. Bush (presiden AS) ke Indonesia tahun 2006 yang
mendapat kritik dari berbagai kalangan. Bush bagaikan ”tuhan” disambut dengan
sangat meriah, mahal dan yang paling menyakitkan sepertinya Indonesia sedang di
jajah. Kedatangan Bush sebagai kepala negara penjajah, diterima oleh Indonesia yang
terjajah dengan cara-cara yang tidak masuk akal. Fenomena itu menandakan
Indonesia yang inferior, Indonesia yang masih terjajah, sama dengan dibawah
kolonialisme Belanda. SBY tentu saja adalah biang keladi dari semua itu, karena
sebagai ”predator capitalism” ia harus mematuhi kehendak negara satelit itu.
Karena itu, harapan untuk mendorong demokrasi dan pemerintahan yang mandiri
pasca Orde Baru adalah merupakan harapan yang terlampau gigantis, mengingat
posisi politik Indonesia berada dibawah kendali negara-negara raksasa itu. Belum lagi
anak kandung Orde Baru masih tumbuh subur diberbagai institusi politik yang hendak
di dorong ke arah demokrasi.
Sehingga menurut Vedi (2005: xxix) posisi Yudhoyono harus dilihat dalam konteks
struktur sosial, ekonomi dan politik secara lebih holistik, sebagaimana juga aktor
politik lainnya. Tentu dia tidak bisa dipandang semacam Ratu Adil, sebagaimana
mungkin diharapkan oleh para pendukungnya. Sebagaimana diketahui, Yudhoyono
adalah politisi-jenderal – dibesarkan pada masa Orde Baru – yang harus
menavigasikan dirinya di antara berbagai ’karang’ berupa sejumlah kepentingan yang
saling berkompetisi untuk mendapatkan tempat yang aman dan menentukan dalam
masyarakat dan politik Indonesia pasca-Soeharto. Mereka berkompetisi untuk
memenangkan akses dan kontrol terhadap sumber daya dan institusi negara, pusat
maupun lokal, yang memungkinkan pembentukan dan pelanggengan jaringa-jaringan
patronase yang pada dasarnya bersifat predatoris. Sebagaimana aktor politik
manapun, dia dihadapi oleh berbagai pilihan. Tetapi pilihan dan kemungkinan yang
tersedia untuknya dibatasi pula oleh faktor-faktor seperti konstelasi kepentingan,
struktur kekuasaan, dan warisan kesejarahan.
Karena itu, lanjut Vedi, masa depan Indonesia tidak semata-mata tergantung niat baik
seorang pemimpin, apakah itu Yudhoyono atau pemimpin yang lain. Yang harus kita
pahami adalah sifat dari konstelasi kekuatan dan kepentingan sosial yang ada. Di
mana tempat Yudhoyono didalam konstelasi tersebut?. Mewakili kepentingan atau
koalisi kepentingan macam apakah dia?. Dalam hal ini, kita perlu mempertimbangkan
latar belakangnya seorang jenderal Orde Baru yang senior, sosialisasi politiknya
dalam ideologi Orde Baru, serta keperluannya terhadap dukungan pemodal, birokrasi
negara, serta kepentingan institusional aparat militer dan keamanan, yang resmi
maupun setengah-resmi. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau gebrakannya
terhadap korupsipun, yang digembar gemborkan pada awal masa pemerintahannya,
dalam kenyataannya tidak menghasilkan buah yang terlalu hebat sampai saat ini.
Belum lagi kepentingan investor asing, yang sering diwakili melalui tekanan dari
lembaga-lembaga internasional seperi Bank Dunia atau IMF, yang selalu juga harus
dipertimbangkan oleh Yudhoyono karena keterperosokan Indonesia dalam krisis
ekonomi sebelumnya (2005: xxx).
Sebab itu, meramalkan perubahan sosial di Indonesia dimasa depan tidak bisa lagi
diharapkan kepada elit kekuasaan, karena mereka adalah agen komprador dari rezim
sebelumnya yang bersilangan dengan kekuatan kapitalisme yang tentu saja akan
memerangkap Indonesia pada tipuan gradualisme. Janji-janji perubahan hampir
didendangkan oleh empat presiden Indonesia pasca Soeharto, akan tetapi kesemuanya
terbukti gagal mendorong perubahan tersebut.
Karena itu, jalan yang akan penulis tawarkan hanyalah satu untuk menuju Indonesia
yang merdeka, yaitu revolusi, dengan mengerahkan kekuatan massa. Menghancurkan
seluruh agen komprador, mendesak demokrasi agar segera di tegakkan, serta
mengutuk agen-agen “jahat” kapitalisme yang hidup di kampus-kampus. Mereka itu
telah menjadi parasit yang handal dalam upaya untuk menjebak demokrasi agar
masuk pada premis-premis agen komprador dengan jalan legitimasi intelektual.
Mereka mendapatkan upah yang tinggi atas “kejahatan” yang dilakukannya, dan
mereka bagaikan buruh di pabrik-pabrik industrialisasi. Atau boleh jadi mereka
adalah buruk intelektual yang menciptakan tipuan-tipuan kebenaran, membenarkan
kepalsuan-kepalsuan dan mengajak kompromi pikiran-pikiran jahat mereka untuk
menghancurkan demokrasi, mengalienasi rakyat dari hak-hak politik mereka, dan
melakukan tipuan-tipuan massal atas kebenaran-kebenaran yang otoritatif. Mereka
adalah dosen-dosen liberal, professor-profesor liberal, doctor-doktor liberal, Koran-
koran kampus liberal, radio-radio kampus liberal yang belakangan mereka itu disebut
sebagai kekuatan civil society. Adakah civil society yang menjadi budak liberalisasi
pasar, hamba kapitalisme dan dan melakukan pengingkaran atas demokratiasi?.
Suara-suara itu tak bisa dipenjarakan, disana bersemayam kemerdekaan, jika engkau
paksa aku diam, akan kusiapkan untukmu pemberontakan.
[1] . Makalah yang di sampaikan pada saat Diskusi Publik yang dilaksanakan oleh
kelompok studi Eka Prasetya di Kampus UI Depok pada tanggal 3 November 2007.
[2]. Mantan Sekum IMM Kom. FIS UNHAS Periode 2003-2004, PC. IMM Makassar
Perintis periode 2003-2005; anggota Lembaga Pers DPD IMM Sul-Sel Periode 2003-
2005; Sekretaris DPD IMM Sul-Sel periode 2005-2007; redaktur ahli jurnal Profetik;
pernah singgah di KAMMI Unhas; Ketua Kajian strategis Komunitas Intelektual
Muda Muslim FIS UNHAS 2003-2004; Wakil Ketua Majelis Tinggi Mahasiswa
(MTM) Fakultas Hukum Unhas 2004-2005; Ketua Badan Kehormatan Mahasiswa
(BKM) Fakultas Hukum Unhas periode 2006-2007; Ketua Kajian Strategis
Komunitas Mahasiswa Bima (KMB)-Makassar 2004-2005; Pengurus Forum Lingkar
Pena (FLP) Wilayah Sul-Sel 2004-2006; Deputi Lembaga Kajian Sosial dan Agama
(LEKSA) Makassar 2004-2009; Peneliti lapangan pada Lingkaran Survei Indonesia
(LSI)-Jakarta; Koordinator bidang Provokasi Publik Lembaga Peduli Pembangunan
Bangsa (LP2B)-Makassar; Project Officer pada Prophetic Institute; Centre For
Research, Popular Education and Empowerment–Indonesia; dan sekarang menjabat
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik, Demokrasi dan Perubahan Sosial (PuKAP)-
Indonesia. Sekarang sedang menjalani studi perbandingan di Universitas Indonesia.
Menulis buku antara lain: Membalut Luka Demokrasi dan Islam (2004); Aib Politik
Muhammadiyah (2007); Delegitimasi Terhadap Komisi Yudisial (Kreasi
Wacana;2007); Feminisme Profetik (editor) (Kreasi Wacana: 2007): Oposisi Lintas
Kelas Mengukuhkan Demokrasi (Naskah Di Juxtapose, Yogyakarta); Sporadisme
Oposisi; Sebuah Pengkhianatan Intelektual (Naskah di Kreasi Wacana, Yogyakarta);
Predator-Predator Politik; Membongkar Sindikat kekuasaan (Naskah Siap Terbit).
HP: 085299262424
Diposkan oleh Fajlurrahman Jurdi di 08.08 0 komentar
ALDINO W PUTRA
08/267761/SP/23058
TUGAS MID-TERM EXAM SIPI
Dispersion of power berarti pembagian kekuasaan agar terjadi saling check and
balance antar lembaga, sehingga pemerintahan dapat berjalan dengan baik.
Mengambil tema dispersion of power pada masa Orde Baru versus Reformasi,
tentunya sangat menarik kita bahas dalam gagasan penyelenggaraan system
pemerintahan di Indonesia. Apalagi dengan membandingkannya dengan beberapa
factor yang sangat bertolak belakang. Juga peralihan yang significant dari status
Indonesia yang Government menjadi Gorvernance. Tentunya prose itu sangat rumit
dan tidak beraturan.
Kita flashback sebentar pada masa Orde Baru, awal kekuasaan Soeharto sebagai
pemimpin terlama di Indonesia diawali oleh diterimanya SUPERSEMAR oleh
Soeharto yang diangkat sebagai pemimpin tertinggi di AD. Surat perintah tersebut
disalah artikan Soeharto untuk mengambil legitimasi dari Soekarno untuk akhirnya
mendepak SOekarno dari singasana kepresidenan. Setelah menerima SUPERSEMAR,
Soeharto mengambil langkah-langkah antarlain: Membubarkan PKI; Pembersihan
MPR, tentara dan parpol dari unsur komunis dan Soekarnois; juga mengakhiri
konfrontasi dengan Malaysia-kembali masuk PBB-juga bekerjasama dengan IMF.
Juga karena saat itu MPRS yang dipegang oleh Nasution, meratifikasi
SUPERSEMAR dan semakin memojokkan Soekarno dari jabatan Presiden seumur
hidupnya. Inilah awal kengerian system pemerintahan yang kekuasaan mulai saat itu
dipegang oleh Presiden Soeharto. Orde baru lahir dengan pusat kekuasaan di tangan
Soeharto sebagai pemegang kekuasaan “tertinggi” di Indonesia.
Maret 1968, MPRS melantik Soeharto menjadi Presiden RI, dan bisa dikatakan pada
tahun 1969 Indonesia berada dalam genggaman Soeharto. Meski pada tahun 1971
diadakan pemilu, tetapi pemilu tersebut sangat jauh dari demokrasi karena penataan
struktur politik saat itu telah direkayasa dan hanya menguntungkan partai beringin-
kuning saja. Apalagi militer yang bekerjasama dengan intelektual sipil meletakkan
pembangunan ekonomi sebagai substansi dari pembangunan Orde Baru. Karena
keduanya mempunyai kepentingan yang sama yaitu tidak suka parpol, membenci
kaum komunis dan sangat mendambakan pembangunan ekonomi. Keadaan ini juga
semakin diperkuat dengan dukungan teoritik yang saat itu sedang populer yaitu
Seymor Martin Lipset (pembangunan demokrasi harus didahului dengan
pembangunan ekonomi).
Dari penjelasan diatas dapat saya simpulkan Karakter Orba saat itu adalah: Kekuasaan
Negara/Pemerintah yang sangat dominan; Masyarakat yang sangat termarginal;
Proses pembentukan negara orde baru melalui instrumen kekerasan, hukuman, dll;
Proses pembentukan bangsa melalui top down, uniformalitas, Jawanisasi, tanpa
dialog, dll. Lalu juga tidak adanya check and balance yang menjadi ciri dari
pemerintahan yang baik, menjadikan pada masa Orde Baru banyak sekali timbulnya
KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme). Sehingga meskipun pembangunan disentralkan
pada perekonomian, tetapi karena maraknya KKN di setiap badan pemerintahan,
mengakibatkan tergerogotinya sendi-sendi pemerintahan yang berujung gagalnya
pembangunan ekonomi Indonesia.
Kembali ke pambahasan dalam membandingkan dispersion of power masa Orba
tentunya sangat jauh dari kata demokrasi. Konsep government sangat mengakar kuat
saat itu. Dispersion of power saat itu lebih mengarah pada Internal lembaga-lembaga
pemerintahan. Juga memberikan hak ekslusif bagi negara untuk mengatur hal-hal
publik, sementara aktor di luarnya, hanya dapat diserta sejauh negara mengijinkannya.
Tampilan negara sebagai rule and regulation juga negara yang terlalu dominan dan
kuat mengakibatkan rakyat yang seharusnya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi
menjadi seperti terbelenggu aspirasinya. Proses kebijakan public didominasi
sepenuhnya oleh pemerintah, seharusnya proses tersebut juga melibatkan aktor non-
negara misal LSM terkait.
Peregeseran makna dispersion of power dari orde baru ke reformasi menjadi sangat
significant karena apa yang dijalankan pada masa orde baru sangat bertolak belakang
dari pengertian dispersion of power yang sebenarnya. Pergeseran ini bisa disebut juga
perubahan dari goverment menjadi governance.
Perjalan reformasi terjadi dari tahun 1998 yang kala itu pada akhir 1997 krisis
moneter menerpa Indonesia. Yang terdiri dari beberapa event penting seperti
pecahnya elit-elit politik karena desakan dari demo mahasiswa yang mengakibatkan
mundurnya penguasa 32 tahun Soeharto dari jabatannya sebagai Presiden Indonesia.
Kemudian pemerintahan diserahkan kepada wakilnya B.J Habibie (1998-1999) yang
mengakibatkan Indonesia kehilangan Timor-timor karena referendum dari Presiden
Habibie kala itu memutuskan bahwa rakyat Tim-tim lebih suka pecah dari NKRI.
Lalu pemilu 1999 (pemilu terdemokratis sejak pemilu tahun 1971) memenangkan
suara PDI-P sebagai pemenang pemilu. Akan tetapi presiden RI bukan dari wakil
PDI-P, karena partai-partai kecil kala itu berkoalisi dan memutuskan Gus Dur sebagai
presiden RI dan Mega sebagai wakilnya (1999-2001). Pada masa kepemimpinannya,
Gus Dur sempat membuat heboh dengan ide pencabutan UU tentang PKI, yang
berarti PKI boleh berdiri lagi sebagai salah satu parpol, dan ideologi komunis diakui.
Karena kasus itulah Gus Dur di berhentikan dan di ganti oleh pasangan Mega-
Hamzah. Lalu pada pemilu 2004 memutuskan bahwa pasangan SBY-JK terpilih
sebagai presiden dan capres pilihan rakyat langsung. Kenapa langsung? Karena pada
pemilu 2004 diperkenalkan system baru dalam pemilu. Rakyat langsung memilih
secara langsung anggotan DPD, DPR, dan Presiden. Inilah yang membedakan dengan
aturan sebelum amandemen UUD 1945.
Selain perubahan system pemilu, juga adanya dispersion of power yang melibatkan
tidak hanya 3 ranah trias politica saja. Pada masa reformasi ini, government
digantikan oleh governance yang mementingkan actor non negara dalam proses
politik dan pemerintahan. Governance menuntut negara berbagi kekuasaan dengan
civil society (demokrasi), pelaku bisnis (privatisasi), masyarakat local (desentralisasi),
dan actor multi-nasional (globalisasi). Otomatis kapasitas negara otomatis memudar.
Negara tetap pemain kunci dlm Mekanisme Formal Governance yaitu penjamin
kesetaraan (levelisasi kompetisi) dan penjamin ketaatan. Tetapi negara juga
memfasilitasi mekanisme informalantara lain rujukan nilai dan negosiasi.
Governance juga terkait dengan proses pembuatan kebijakan yang melibatkan unsur
non-negara secara lebih luas. Proses ini melibatkan struktur formal (negara) dan
struktur non formal (masyarakat), serta proses formal dan non formal. Pemerintah
hanya menjadi salah satu aktor saja dalam proses governance. Juga negara tetap
menjadi pemain kunci bukan dalam pengertian dominasi dan hegemoni, tetapi negara
adalah aktor setara (primus inter pares) yang mempunyai kapasitas untuk
memobilisasi aktor-aktor masyarakat dan pasar untuk mencapai tujuan besar. Negara
bukan lagi sentrum “kekuasaan formal” tetapi sebagai sentrum kapasitas politik.
Kekuasaan negara harus ditransformasikan dari “kekuasaan atas” (power over)
menuju “kekuasaan untuk” (power to). Negara bukan lagi sebagai penguasaan politik,
tapi sebagai kemampuan fasilitasi, koordinasi dan control. Negara harus berbagi
kekuasaan dan peran pada tiga level: “keatas” pada organisasi transnasional;
“kesamping” pada NGO dan swasta’ serta “kebawah” pada daerah dan masyarakat
lokal.
Adapun beberapa prinsip dasar good governance adalah Partisipasi, Supremasi
Hukum, Transparansi, Responsif/cepat tanggap, Membangun Konsensus, Kesetaraan,
Efektifitas dan Efisiensi, Akuntabilitas, dan Visi Strategis. Dispersion of power juga
merupakan komponen yang musti diperhatikan untuk menuju pemerintahan yang
baik. Pembagian kekuasaan yang tidak hanya di satu ranah saja memang didesain
untuk menjaga lembaga satu dengan lainnya agar tidak saling over lap. Kegiatan
lembaga negara dapat dikontrol oleh actor non-negara. Sehingga negara akan bisa
menjalankan pemerintahan yang bersih dan bebas dari KKN.
Oleh
Fajlurrahman Jurdi
Direktur EKsekutif Pusat Kajian Politik, Demokrasi dan Perubahan Sosial (PuKAP)-
Indonesia
Harian Fajar, 07 April 2009
Persoalan substansial dari demokrasi kita adalah pendidikan politik dan kemauan
untuk meng-enganged diri dalam arena publik. Baik sebagai peserta aktif maupun
pasif, dalam arti keterlibatan itu, tidak harus menjadi kontestan, namun juga memilih
kontestan.
Pemilu tampaknya menyisakan berjuta harapan bagi konstruksi demokrasi di masa
yang akan datang. Pemilu 2009 ini bagi sebagian besar pengamat menganggap
sebagai puncak terakhir untuk menguji "kelayakan" proses transisi demokrasi untuk
dievaluasi secara menyeluruh.
Apakah kita akan mengikuti "bisikan" demokrasi di masa mendatang, atau malah kita
akan menghentikan proses transisi ini sebagai titik episetrum untuk kembali
melakukan rekonsolidasi ke kutub otoritarianisme.
Atau kita mengikuti siklus Polybios, bahwa kita akan segera secara perlahan-lahan
menuju fase lanjutan siklus, yakni oligarki. Tampaknya pertanyaan apapun di masa
kini, hanya akan bisa dijawab setelah Pemilu 9 April mendatang.
Sebelumnya Robert Dahl mengingatkan, bahwa demokrasi kita saat ini amat sangat
kuantitatif, atau Dahl mengatakan demokrasi prosedural (procedural democracy). Kita
menganggap persoalan kebangsaan, seperti kemiskinan, kemelaratan,
keterbelakangan, kebodohan dan kepandiran kita sebagai bangsa bisa diselesaikan
dengan angka-angka.
50 persen + 1 adalah cara yang bisa dilakukan untuk menyelesaikan problem
kebangsaan itu. Demokrasi kuantitatif memang tidak sepenuhnya salah, sebagai limit
agar menegaskan posisi kita untuk melakukan perubahan. Batasan-batasan kuantitatif
memang perlu untuk menegaskan diri sebagai bangsa yang teratur.
Akan tetapi kalau kita berhenti pada hitungan-hitungan kuantitatif, pada angka-angka
seperti 50 persen 1, maka kita akan menghentikan persoalan substansial dari
demokrasi kita. Persoalan substansial seperti kemiskinan dan keterbelakangan, tidak
bisa diselesaikan lewat hitungan 50 persen + 1, karenanya, problem epistemik kita
sebagai bangsa amat berbahaya apabila itu yang kita jadikan ukuran untuk melakukan
proses pembangunan.
Demokrasi kita terlalu materialistis, karenanya amat mahal. Partai tidak berpikir untuk
bekerja untuk membangun kaderdisasi dan pendidikan politik, sehingga tidak ada
satupun partai di Indonesia yang bisa disebut sebagai partai ideologis. Yang
bertebaran dalam arena demokrasi kita adalah partai massa, yaitu partai yang
seluruhnya bekerja membangun kekuatan untuk merebut kekuasaan.
Dalam kaitannya dengan pemilu dan harapan yang terlalu besar akan demokrasi, ada
beberapa persoalan teknis yang sengaja atau tidak sengaja dilakukan oleh
negara/kekuasaan dalam upaya untuk menciptakan demokrasi.
Dengan harapan dan dada membusung mengaku telah bekerja keras demi suksesnya
ritual suksesi politik dan hajatan demokrasi. Semua perangkat telah disiapkan dan
prasyarat hajatan demokrasi telah ada, tinggal menunggu detik-detik suksesi itu
dimulai.
Seolah-olah dalam pidato telah bekerja maksimal, seolah-olah dalam ceramah tak ada
masalah, juga seolah-olah semuanya tak ada masalah. Itulah lembaga Pemilihan
Umum kita yang bernama KPU. Komisi ini belakangan bekerja amburadul dibanding
pada tahun 2004.
Ada beberapa masalah yang akan segera muncul dan akan menjadi ancaman serius
bagi proses transisi demokrasi kita. Pertama, Golput. Golput telah menjadi hantu yang
amat menakutkan bagi partai politik dan para caleg, sama menakutkannya negara
Orde Baru bagi civil Society di masa Soeharto berkuasa.
Golput atau golongan putih ini akan menjadi momok bagi eksistensi mereka,
sekalipun memang tidak akan mendelegitimasi mereka secara hukum, namun apabila
jumlah pemilih tidak mencapai 50 persen, maka akan menjadi alasan bagi kelompok
oposisi untuk mengatakan bahwa kinerja partai politik untuk meyakinkan rakyat telah
gagal. Juga menjadi alasan, bahwa demokrasi kita, sebagai tahap ujian untuk
menentukkan sikap dalam intaian ancaman.
Sampai Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan Fatwa haram Golput,
sekalipun itu Fatwa yang agak "menyebalkan" dan bukan fatwa teologis, namun lebih
pada fatwa politik, maka Golput akan mencapai angka dramatis, akan berkisar 35-45
persen. Sebuah angka yang amat menakutkan bagi proses konsolidasi demokrasi. Kita
lihat angka Golput di beberapa Pilkada.
Dari beberapa hasil Pilkada berikut data Golput di masing-masing Pilkada, baik
Pilbup, Pilwalkot, sampai Pilgub: - Golput di Pilgub Jateng 45,3 persen, Jatim 39,2
persen, Kaltim 42,07 persen, DKI Jakarta 36,2 persen, Pilgub Sulsel 33 persen, Jawa
Barat 34,67 persen, Kalbar 37,69 persen, Banten 39,28 persen, Sumatera Utara 41
persen, Kalsel 40 persen, Sumbar 37 persen, Jambi 34 persen, Kepri 46 persen, Pilbup
Cirebon 38, 22 persen, Bandung 30,19 persen, Pilbup Pati 50 persen, Bogor 45
persen, Wajo 32 persen, Sukoharjo 42,33 persen, Wonogiri 39,05 persen, di
Pekalongan dan Solo masing-masing 50 persen, sedangkan angka golput tertinggi
tercatat di Pilwalkot Pontianak yang mencapai 61 persen. Tampaknya angka ini
adalah merupakan angka yang luar biasa, juga sekaligus betapa demokrasi kita di
ambang petaka.
Kedua, Suara Batal. Keputusan Mahkamah Konstitusi yang memutuskan suara
terbanyak, telah menyimpan sejumlah persoalan bagi demokrasi kita. Jika kita melihat
ukuran kertas suara yang akan dicoblos di bilik suara pada tanggal 9 April nanti,
sungguh ngeri bagi kualitas demokrasi. Letak dasar persoalannya bukan pada surat
suara, tetapi kesiapan voters (pemilih) untuk melakukan pencontrengan.
Ukuran kertas yang selebar 84 x 63 sentimeter, dan jumlah partai yang banyak akan
menyulitkan bagi pemilih. Ada dua problem besar bagi masyarakat yang tidak
berpendidikan apabila melihat surat suara, yakni (1) Jumlah partai yang banyak
dengan warna partai yang sama untuk beberapa gambar, dan (2) Di dalam kotak partai
itu, ada urutan nama caleg. Jika pemilu tahun 2004 pemilih hanya memilih partai,
sehingga agak mudah bagi mereka untuk membedakan, maka Pemilu 2009, selain
kertas suara banyak, jumlah partai juga banyak, dan yang sangat menyulitkan nanti
adalah mencari nama para caleg yang akan dipilih.
(3) Metode Contreng. Bagi masyarakat awam, ketika masuk bilik, tangan mereka
gemetar ketika memegang pulpen. Ini akan berpengaruh secara psikologis ketika
mencoblos. Karenanya, suara batal dalam Pemilu 2009 ini akan mencapai angka 20-
25 persen. Pengalaman beberapa fungsionaris PuKAP-Indonesia yang terlibat dalam
proses pendidikan politik arus bawah di beberapa daerah di Sulsel, menemukan
kesulitan pemilih memilih partai, memilih caleg dan cara mencontreng.
Ketiga, Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang menjadi wacana hangat belakangan ini.
Diperkirakan mereka yang tidak bisa memilih pada pemilu ini akibat birokrasi negara
yang bernama UU Pemilu, juga sekaligus tidak adanya taktik untuk memberi ruang
bagi yang tidak terdaftar sebagai pemilih untuk memilih pada tanggal 9 April, akan
sangat banyak yang tidak bisa terlibat dalam pemilu.
Jika demikian, maka problem demokrasi kita akan tambah rumit. Di Sulsel saja
jumlah DPT bermasalah berjumlah 67.639 nama. Di Jatim ada sekitar 43.088 DPT
bermasalah. Begitu juga mungkin di tempat-tempat lain.
Lalu, di mana hitungan kuantitatif itu bisa dilakukan, jika engangement masyarakat
beserta tetek bengek yang lain bisa mencapai angka di atas 50 persen? Ini impossible
untuk melanjutkan agenda transisi demokrasi dengan mengabaikan hak-hak rakyat
yang paling asasi.
Karena itu, menegosiasikan masa depan demokrasi pasca Pemilu 2009, tidak bisa
dilanjutkan dengan menempatkan rakyat sebagai yang berdaulat, apabila keadaan
politik hanya untuk upper class. Apalagi hitungan kuantitatif tidak mencapai limit
yang tercantum dalam prosedur demokrasi.
Hitungan 50 persen + 1 tidak mencapai ambang batas, karena apabila dikalikan tidak
sampai limitasi demokrasi. Katakanlah Golput 38 persen Suara batal 27 persen dan
yang tidak bisa memilih 13 persen. Jadi, 38+23+9=70 persen. Jadi yang sah untuk
merepresentasikan suara rakyat hanya 70 persen. Sungguh ini akan menjadi
malapetaka bagi demokrasi.
Karena itu, meramalkan demokrasi sebagai suatu harapan di masa yang akan datang
adalah tidak masuk akal dengan melihat infrastruktur politik seperti ini. Kecuali partai
bekerja dan memulai untuk selanjutnya menjalankan tugas-tugas wajibnya. Selama ini
partai politik tidak pernah menjalankan kewajibannya sebagaimana layaknya seorang
muslim yang menjalankan kewajiban menjalankan salat lima waktu.
Mereka telah berkhianat kepada rakyat dalam rantai sejarah yang amat panjang.
Mungkin saatnya memang mereka harus dihukum, agar segera menyadari
kesalahannya. Kita berharap ada perubahan mendadak dalam hitungan empat hari ke
depan. Sehingga kita tidak mengalami kemunduran yang mengerikan di atas bertabuh
harapan akan kemajuan demokrasi kita.
Diposkan oleh Fajlurrahman Jurdi di 06.52 0 komentar
PENGANTAR
Mempelajari historiografi Hubungan Sipil-Militer di Indonesia dalam
kurun waktu 1945-1998 berarti melakukan stock opname tentang
karya-karya sejarah militer umumnya dan sejarah hubungan
sipil-militer khususnya. Historiografi dengan tema itu dapat
dikatakan banyak sekali karena tema ini cukup menarik di panggung
Sejarah Indonesia. Selain historiografi formal yang merupakan karya
para elite birokrat, tema ini banyak ditulis oleh para pakar dalam
maupun luar negeri, serta diminati oleh para pemerhati masalah
militer. Tentu tema ini mempunyai daya tarik tersendiri,
lebih-lebih pada masa pemerintahan sampai dengan jatuhnya Presiden
Soeharto yang merupakan representasi golongan militer. Diperkirakan
bahwa kejatuhannya ada kaitannya dengan ketidakserasian hubungan
sipil-militer selama ini. Namun, asumsi ini perlu dibuktikan lewat
historiografi yang ada selama ini sehingga mempunyai dasar kuat
adanya korelasi yang kuat pula bahwa hubungan sipil-militer itu
signifikan sekali dalam menentukan arah dan perkembangan
sosio-politik Indonesia.
Historiografi atau historical writing adalah puncak segalanya,
karena yang ditulis itu adalah sejarah, histoire recit_, yaitu
sejarah yang dikisahkan, yang berusaha menangkap dan memahami
histoire recit_, sejarah sebagaimana yang terjadi. Hasil pengerjaan
sejarah akademik dan kritis ini berusaha mengungkap kebenaran
historis dari setiap fakta. Historiografi pada mulanya lebih
merupakan ekspresi kultural, tetapi kemudian berkembang makin
kompleks ke disiplin sosial, politik, ekonomi, dll.
Dengan demikian historiografi macam ini lebih bermakna daripada
sekedar penulisan masa lampau yang hanya merupakan antikuariat.
Karena itu terjadi tradisi kesejarahan yang berbeda-beda dari
kelompok kultural. Historiografi adalah pantulan keprihatinan
sosio-kultural masyarakat yang pencipta historiografi.
Historiografi yang dihasilkan para pakar akan cenderung pada
objektifitas, sedangkan yang dihasilkan para birokrat sipil maupun
militer akan menghasilkan historiografi yang memperkuat legitimasi
penguasa, meneguhkan dinasti dan mempertahankan dasar nilai yang
menjadi sandaran ideologis dari kekuasaan.
Historiografi Indonesia umumnya dan historiografi militer khususnya
mengalami perkembangan pesat setelah tahun 1960-an. Sebelumnya
historiografi Indonesia baru ada pada taraf yang setingkat dengan
negara-negara lain yang belum berkembang karena historiografi
moderen yang kritis masih dalam taraf pertumbuhan. Dengan datangnya
para pakar hasil pembelajaran negeri orang maka mereka mulai
menapak ke arah historiografi Indonesia. Dan menampakkan hasilnya.
Bukan hanya yang mengajar di perguruan tinggi tetapi juga di
lembaga kesejarahan pemerintah dan swasta adalah pencipta
historiografi. Merekalah yang nantinya akan menghasilkan
historiografi yang bervariasi dengan sudut pandang yang bervariasi
pula.
Hubungan sipil-militer yang berlangsung dari dua belah pihak dapat
terjadi karena hubungan setingkat atau hirarkis. Dalam hal ini
dapat juga terjadi perubahan hubungan dari setingkat ke hirarkis
yang mengakibatkan subordinasi dan bahkan tereksploitasi.
Disharmonisasi hubungan terjadi dan berkembang karena keduanya
menjaga jarak dengan memonopoli previlegenya. Monopoli ini hanya
dinikmati golongan superordinasi. Namun, hubungan semacam ini dapat
dikatakan tidak wajar dan tidak imbang sebagaimana akan tampak pada
hubungan sipil-militer di Indonesia selama ini.
Yang menjadi subyek adalah sipil dan militer yang tidak dapat
dipisah baik kedudukan dan perannya. Jika dibandingkan sipil hanya
mempunyai status tunggal sedangkan militer setidak-tidaknya
mempunyai tiga status, yaitu status sebagai kelompok, lembaga, dan
kekuatan. Setiap status dimainkan dalam peran ganda atau majemuk.
Pada awal sejarahnya, status dan peran keduanya tidak terpisah,
terbentuk secara organis dan alamiah sehingga sebenarnya sulit
dipisahkan. Dalam perjalanan yang sangat panjang setelah proklamasi
kemerdekaan sampai sekarang mengalami pergeseran dan perubahan
hubungan karena faktor internal maupun eksternal. Pergeseran dan
perubahan itu terjadi secara historis dengan interes masing-masing
yang belum dapat dipertemukan.
Perlu dikemukakan terminologi masing-masing pihak serta dalam
hubungan mana keduanya terjalin sehingga dapat diketahui fluktuasi
hubungan keduanya. Di dalam masyarakat kerajaan pada tingkat awal
prajurit adalah rakyat atau masyarakat sipil yang bersenjata. Akan
tetapi setelah mendapat pengaruh kolonial, kerajaan-kerajaan itu
membentuk pasukan profesional yang direkrut dari beberapa etnik.
Bahkan pemerintah Belanda pun memanfaatkan model ini yang digunakan
sebagai mercenaries atau pembantu prajurit pribumi. Dalam setiap
ekspedisi mercenarieslah yang diadu dengan sesama pasukan pribumi
dari kerajaan lain. Kedudukan para mercenaries ditingkatkan menjadi
pasukan organis pemerintah, yaitu Koninklijk Nederlandsch-Indicsh
Leger (KNIL).
Pada waktu Pendudukan Militer Jepang, preparasi ke arah physical
training makin intensif sebagai side effect dari keterlibatan
penduduk Indonesia dalam Perang Pasifik. Latihan militer dilakukan
untuk membentuk kelompok militer dan semi militer. Pemuda dan
pemudi direkrut dalam seinendan, keibodan, fujinkai, barisan
pelopor, dll. sebagai kekuatan pembela tanah air waktu itu,
termasuk Peta dan heiho. Jadi, ada kesamaan tanggung jawab baik
untuk masyarakat biasa maupun yang sudah dilatih sebagai militer.
Bela "negara" merupakan tanggung jawab keduanya.
Setelah proklamasi, RI sebagai negara perlu menjaga keamanan yang
kemudian dibentuk BKR. Rekrutmennya berasal dari rakyat atau sipil,
lebih-lebih nanti secara bersamaan lahir badan atau laskar
perjuangan. Mereka sama-sama berkewajiban menjaga lestarinya negara
RI. Jelas kiranya bahwa mereka adalah rakyat atau warga sipil yang
tentunya memiliki full consciousness pula sebagai warga negara
untuk mempertahankan eksistensi RI dari rongrongan musuh.
Selama tiga bulan pertama setelah proklamasi hubungan mereka ekual
dan harmonis tetapi setelah itu terjadi kompetisi. Sejak berdirinya
partai-partai politik beberapa bulan setelah proklamasi lahir juga
organisasi massa sebagai onderbouwnya partai politik berupa badan
perjuangan yang berafiliasi pada organisasi induk masing-masing. Di
sini sebenarnya ada keseimbangan antara badan perjuangan dengan BKR
atau TKR. Akan tetapi setelah pemerintah mengembangkan
profesionalisme maka dilakukan reorganisasi yang mengarah pada
militer profesional, sedangkan yang terseleksi harus mundur menjadi
sipil.
Sejak itu sebenarnya militer mulai mengembangkan jati diri sebagai
military group yang terpisah dengan societal group. Namun dalam
hubungan kenegaraan keduanya seharusnya seimbang tetapi dalam
kenyataannya hubungan ini makin renggang dan bahkan vis-_-vis.
Mereka akhirnya membentuk golongan militer di satu pihak dan
kelompok partai politik di pihak lain. Kelompok politik yang
direpresentasikan dalam partai politik adalah manifestasi
masyarakat sipil. Kedua golongan besar sipil dan militer ini saling
berkompetisi. Tentu saja kemenangan dipegang oleh militer karena ia
dilengkapi berbagai perangkat untuk menaklukkan musuh. Perangkat
lunak dari birokrasi sampai perangkat keras, yaitu senjata dan
amunisi jelas dengan mudah menguasai sipil yang bukan tandingannya
dan lagi tak bersenjata.
Melihat perkembangan hubungan sipil-militer sampai kini perlu
difahami historiografi dengan pola, arah, dan perspektifnya
sehingga ditemukan ciri-ciri khas setiap periode. Ini dilakukan
berdasarkan historiografi yang ada sampai kini dengan pola-pola
kuat setiap periode. Demikian pula arah dan gejalanya juga akan
tampak dalam setiap historiografi itu. Pembagian periode lebih
cocok mengikuti pergantian sistem pemerintahan yang berlaku di
republik ini, meski di sela-sela atau dalam masa pemerintahan itu
terdapat interupsi-interupsi sistem pemerintahan.
POLA, PERKEMBANGAN, DAN KECENDERUNGAN
PERIODE AKSI, 1945-1949
Periode ini merupakan awal hubungan sipil-militer setelah
proklamasi. Sebenarnya hubungannya sudah berlaku sejak zaman
pemerintahan Hindia Belanda dan zaman Pendudukan Militer Jepang.
Embrio hubungan sipil-militer digambarkan oleh Sihombing. Ia
menjelaskan bahwa rekrutmen militer dan semi militer diambil dari
para pemuda, anggota masyarakat umumnya. Anggota peta, heiho sangat
akrab dengan penduduk sipil. Benar-benar militer berasal dari
rakyat (Sihombing, Pemuda Indonesia menantang Fasisme Jepang.
Jakarta: Sinar Jaya, 1962; B.R.O'G. Anderson, The Pemuda
Revolution: Indonesian Politics, 1945-1946. Disertasi, 1967; H.J.
Benda The Crescent and the Rising Sun, Indonesian Islam under the
Japanese Occupation, 1942-1945. The Hague: van Hoeve, 1958). Mereka
direkrut dari pemuda dan dilatih serta kembali ke daerah asal
masing-masing dan membaur dengan sesama rakyat pada zaman
Pendudukan Militer Jepang. Hubungan mereka masih sangat murni meski
untuk kepentingan penguasa Jepang.
Untuk dapat melihat hubungan sipil-militer harus dilakukan seperti
mengail ikan, sebab kedudukan sipil sering dilupakan dan tidak
diperhitungkan meski kedudukannya sebagai penyangga militer. Dari
awal perlu dikorek karya A.H. Nasution, "Bapak Sejarah Militer"
Indonesia yang menghasilkan banyak historiografi yang
berjilid-jilid. Seorang militer-intelektual yang belum tampak
penggantinya banyak mengemukakan peran militer di panggung Sejarah
Indonesia sejak awal proklamasi sampai Orba. Meski demikian banyak
karyanya tetapi pertautan dengan sipil toh juga tidak pernah
dibahas secara memadai. Ego-sentrismenya memang tinggi dengan pusat
perhatian pada peran kelompok militer saja sebagaimana terlihat
dalam karya besarnya (A.H. Nasution, Tentara Nasional Indonesia.
Jakarta: Pembimbing, 1955; Sekitar Perang Kemerdekaan. Bandung
Angkasa, 1977-1979; Memenuhi Panggilan Tugas. Jakarta: Haji
Masagung, 1982-1989).
Jejak Nasution diikuti oleh Nugroho Notosusanto, Kepala Pusat
Sejarah ABRI, yang juga tidak jauh berbeda dengan karya-militernya
(Nugroho Notosusanto, Pemberontakan Peta di Blitar. Jakarta:
Gramedia, 1978) yang juga diterjemahkan dalam bahasa Inggris. Ia
sebenarnya berdiri pada dua kaki karena ia juga seorang dosen Ilmu
Sejarah Universitas Indonesia. Sebenarnya ia adalah seorang
sastrawan yang dengan bahasa yang cair menceritakan perjuangannya
dan perjuangan militer umumnya. Ia tidak dapat mengingkari dirinya
karena ia juga anak rakyat, meski kemudian akan menjauh dari
kandungan rakyat sipil. Konsekuensi sebagai pejuang-militer
dituangkan dan pelestarian Dwifungsi ABRI (Nugroho Notosusanto,
Pejuang dan Prajurit: Konsepsi dan Implementasi Dwifungsi ABRI.
Jakarta: Sinar Harapan, 1991). Dari judulnya dapat diketahui bahwa
pejuang dan prajurit berasal dari "satu bumi", tetap si "anak
kembar" ini mulai memisahkan diri pada masa kedewasaannya. Sebagai
penanggung jawab dan sebagai Kepala Pusat Sejarah ABRI, ia menulis
tentang Pemberontakan G 30 S PKI (Nugroho Notosusanto, The Coup
Attemp of the September ini Indonesia. Jakarta: Dept. Defence and
Security, 1970). Ia juga membahas secara konsepsional Dwifungsi
ABRI sebagai wacana legitimasi fungsi rangkap ABRI (Nugroho
Notosusanto, Hubungan Sipil-Militer dan Dwifungsi ABRI. Jakarta:
Dephankam Pusjarah ABRI, 1974).
Tidak diragukan lagi bahwa TNI memang berprestasi besar dalam
mempertahankan RI dari intervensi asing maupun infiltrasi domestik.
Kalau dari sini dijadikan starting pointnya maka sudah sewajarnya
jika militer ada di jajaran paling depan dalam menghadapi semua
rongrongan. Namun waktu itu masyarakat dengan jelas memback up
militer. Kiranya sulit militer berjuang sendirian, karena medan
joang ada di tengah masyarakat. Karir militernya makin menonjol
semasa revolusi Fisik yang menghadapi Sekutu, Belanda dalam Perang
Kemerdekaan I dan II, dan juga perannya dalam menumpas
Pemberontakan PKI/Madiun (1948). Dari sini militer mulai menuntut
jasa dan mulai menapak bagaimana kedudukan yang proporsional
menurut kamus militer.
Militer masa ini masih mengakui sebagai anak rakyat dan sehubungan
prestasinya itu ia mulai menapak dan mengokohkan statusnya sebagai
pembela negara dan pengawal keamanan. Untuk itu di masa kemudian
fungsi rangkap dalam masyarakat dan pertahanan ini harus
diformulasikan. Hubungan sipil-militer makin renggang sebab militer
menuju jati dirinya sendiri, meski juga tidak salah karena fenomena
sejarah memang membenarkan. Meski benar apa yang dilakukan militer
tetapi tidak tepat karena sipil mulai ditinggalkan dan bahkan tidak
dipercaya. Konfidensi kelompok atau golongan makin membesar seperti
yang dilukiskan Alfian (Alfian, Hubungan Sipil-Militer, Jakarta:
Leknas, 1978) dan Taufik Abdullah (Taufik Abdullah, "Civil-Military
Relation in the Third World: Introductory Taxonomy" Prisma, 20,
March 1981).
Dalam periode 1945-1949 historiografi sipil-militer lebih banyak
ditandai oleh Ekafungsi yang taat azas untuk berjuang bersama
sipil-militer. Namun, pada akhir periode ini militer mulai
menempatkan diri pada posisi berkompetisi dengan sipil yang
diwakili partai-partai politik. Si anak rakyat ini sudah mulai
dewasa tetapi malahan makin menjauh dari ibu kandungnya. Hal ini
juga disebabkan oleh Kabinet Syahrir yang tidak percaya pada
"perwira bayaran" dan "perwira fasis". Sebaliknya, dengan aksi
gerilya militer setelah serangan ke ibukota Yogyakarta (19 Desember
1948), memberi keyakinan pada militer bahwa mereka telah
memenangkan "revolusi" atau "pemegang saham revolusi". Inilah benih
awal saling ketidakpercayaan antara elit sipil dan militer.
PERIODE AKOMODASI, 1949-1959
Periode ini RI diguncang oleh gangguan gerakan separatisme dan di
sana-sini timbul gerakan lokal. Lewat TNI gerakan-gerakan itu
dipadamkan, bahkan reputasinya dapat dibanggakan dalam menumpas
PRRI/PERMESTA (1957/1958). Karya Nasution di atas masih relevan
untuk memperkuat posisi TNI sebagai pengawal keamanan.
Setelah penyerahan kedaulatan dari RIS ke Negara Kesatuan RI peran
politik militer dibatasi. Kedudukan militer dikembalikan ke masa
awal proklamasi dalam hubungan seimbang karena diberlakukannya UUDS
1950 yang menempatkan sipil di atas militer atau dengan kata lain
militer ada di bawah sipil sebagai manifestasi demokrasi liberal
Barat.
Hubungan sipil-militer makin renggang dan tidak stabil. Di satu
pihak sipil membuat divisi-divisi dalam militer dan menentang
usaha-usaha militer membentuk standar profesional, sedang militer
sebenarnya mendukung upaya pembangunan demokrasi parlementer yang
pada waktu yang bersamaan akan terbentuk profesionalisme militer
yang otomatis terpisah dari aktifitas politik kepartaian. Rupanya
pemerintah tidak tanggap terhadap keinginan militer yang ditandai
keengganan parlemen untuk tidak dapat menerima standar profesional
militer maka muncullah Peristiwa 17 Oktober 1952 sebagai tanda
kekesalan militer. "Road to power" sebagaimana ditulis Sundhaussen
mulai dilakukan (Ulf Sundhaussen, Road to Power: Indonesian
Military Politics, 1945-1967. Kualalumpur: Oxford University Press,
1967). Sebagaimana kelaziman di negara yang sedang berkembang
militer mulai memposisikan dirinya dalam pemerintahan. Mengenai hal
ini Pauker menyoroti meningkatnya peran militer (Guy Pauker, "The
Role of the Military in Indonesia" dalam J. Johnson (ed.), The Role
of the Military in Underdeveloped Countries. Princeton, N.J.
Princeton University Press, 1962). Kedudukan militer di negara baru
yang beranjak makin mencari pijakan yang lebih kuat menjadi
perhatian Lev (D. Lev, "The Political Role of the Army" dalam
Wilson C. McWilliams (ed.), Garrison and Governments: Politics and
the Military in the New States. San Fransisco: Chandler, 1967).
Presiden Sukarno tidak berdaya menghadapi permainan parlemen dan
Konstituante yang dibentuk (1955) dan gagal menyusun konstitusi
baru serta menyelesaikan kemelut politik. Akhirnya, KSAD Jenderal
Nasution mengusulkan untuk kembali ke UUD 1945 dan diterima oleh
Presiden Sukarno dengan memberlakukan Demokrasi Terpimpin.
Selanjutnya Lev terus mengamati perubahan politik dari Demokrasi
Liberal ke Terpimpin yang dalam banyak hal karena reposisi militer
dalam menangkap masa depan (D.Lev, The Transition to Guided
Democracy: Indonesian Politics, 1957-1958. Ithaca: Cornell
University Press, 1966). Ini menjadi bukti bahwa militer sebagai
penyelamat negara, selain berhasil menyelesaikan problem
regionalisme dan fundamentalisme.
Anjakan ke Demokrasi Terpimpin, militer makin "melek politik"
karena diperkirakan bahwa dalam masa mendatang untuk massa aman
politik akan lebih dominan. Preparasi dilakukan untuk menyongsong
demokrasi yang mereka dukung meski pelaksanaannya lain dan bahkan
sebaliknya. Crouch mengamati ambisi militer di bidang politik makin
tampak (H.Crouch, The Army and Politics in Indonesia. Ithaca:
Cornell University Press, 1988). Demikian pula Rusli Karim
menyatakan bahwa politiklah yang menjadi panglima untuk mendominasi
pemerintahan (M. Rusli Karim, Peranan ABRI dalam Politik. Jakarta:
Idayu, 1981).
Masa depan tetap merupakan conditio sine qua non bagi militer,
sebab tanpa menelusuri politik masa depan eksistensi militer
menjadi kurang dominan. Simatupang, aktor intelektualis
mengingatkan bahwa peran mendatang ditentukan juga peran masa lalu
(T.B.Simatupang, Laporan dari Banaran, 1962, juga "Reexamining the
Role of the Idonesian Army: Historical Reflections and Future
Perspectives". Prisma 20 Maret 1981).
PERIODE DOMINASI, 1959-1965
Demokrasi terpimpin gagal menjalankan fungsinya karena lebih
mengedepankan keterpimpinan daripada demokrasi yang lebih
menunjukkan eksperimen sipil-otoritarian. Selanjutnya Presiden
Sukarno tidak merengkuh partai oposan (termasuk Masyumi dan PSI)
malahan merangkul PKI sebagai pengimbang militer. Runtuhnya ekonomi
menjadi umpan makin besarnya pengaruh PKI sehingga terjadi
Pemberontakan G 30 S/PKI. Counteraction dari militer (AD)
berlangsung cepat dan berhasil menyelamatkan negara dari ancaman
komunisme.
Di sini pula militer mengatur pemantapan pelaksanaan dan mengatur
siasat Dwifungsi dan ia dilegitimasikan baik konseptual maupun
aplikasinya. Dephankam mengeluarkan "surat perintah" Dwifungsi
untuk jajaran militer yang juga harus dimengerti sipil (Dephankam,
Dwifungsi ABRI: Peran ABRI sebagai Kekuatan Sosial Politik.
Jakarta: Dephankam, 1993). Nugroho Notosusanto mengawali Dwifungsi
dalam kaitannya dengan hubungan sipil-militer (Nugroho Notosusanto,
Hubungan Sipil-Militer dan Dwifungsi ABRI: Suatu Pembahasan
Konsepsionil. Jakarta: Dephankam, 1974), Dari kalangan militer
sendiri muncul banyak tulisan sebagai penguatan Dwifungsi, seperti
Hasnan Habibi, Djatikusumo, Subiyakto, Subiyono, Sajidiman
Surjohadiprojo, dll. yang termasuk kelompok elite militer. "Bapak
Militer Indonesia", Nasution juga tak kalah terampilnya untuk
memperkuat Dwifungsi ABRI yang selalu relevan dengan setiap situasi
(A.H. Nasution, "Dwifungsi ABRI", Prisma, 12 Desember 1981). Namun,
Crouch menambahkan diperlukannya berbagai aspek yang mendukung
hubungan sipil-militer (H. Crouch, "Indonesia" dalam Ahmad Zakaria
dan H. Crouch (eds.), Military-Civilian Relations in
Southeast-Asia, Singapore: Oxford University Press, 1985).
Yang sangat menarik mengenai ketahanan Dwifungsi dalam era
perubahan, adalah apakah Dwifungsi akan dijadikan "harga mati" atau
fleksibel terhadap perubahan Belveer Singh memberi jalan ke luar
dengan alternatif meski akhirnya tetap berpendapat bahwa Dwifungsi
akan tetap relevan serta fungsional untuk jangka waktu yang lama
(Belveer Singh, Dwifungsi ABRI, Jakarta: Gramedia, 1966). Demikian
pula Soebijono, A.S.S. Tambunan, Hidayat Mukmin, dan Roekmini
Koesoemo Astoeti menggarisbawahi Dwifungsi ABRI yang tetap memegang
peran penting dalam kehidupan politik Indonesia (Soebijono, et.al.
Dwifungsi ABRI, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1997).
Djoko Subroto menatap masas depan ABRI dengan optimis sambil
berbenah diri dalam menghadapi perubahan situasi. Kepemimpinan ABRI
tetap menjadi teladan generasi militer baru (Djoko Subroto, Visi
ABRI Menatap Masa Depan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
1998). Jadi, periode ini memiliki pola pemantapan dwinfungsi
sebagai conditio sine qua non kehidupan ABRI di masa depan jika
tidak ingin kena supremasi sipil. Sajidiman Surjohadiprodjo
menengarai kepemimpinan ABRI yang sangat lekat dengan perjuangannya
(Sajidiman Suryohasdiprodjo, Kepemimpinan ABRI dalam Sejarah dan
Perjuangannya. Jakarta, 1996). Jalan menuju kekuasaan yang telah
dirintis makin dimantapkan dengan keberhasilan militer yang merasa
self stadig ada di luar pemerintahan seperti yang dibuktikan
Jenderal Sudirman dalam bergerilya sampai di pelosok pedesaan Jawa
Timur selama enam bulan. TNI makin percaya diri untuk mandiri
dengan bukti empirik sebagai domain aktor. Lebih-lebih setelah TNI
AD berhasil menumpas Pemberontakan G 30 S/ PKI, ia makin ada di
atas angin untuk merealisasikan Dwifungsi. Memang benar bahwa
Dwifungsi bukan hanya faktor pertahanan dan keamanan saja yang
diemban tetapi juga faktor sosial dan politik. Hal ini segera dapat
ditunjukkan dengan banyaknya jabatan sipil yang diganti oleh
militer secara top down, dari presiden sampai petite bureaucrat di
pedesaan.
PERIODE HEGEMONI, 1965 - 1998
Krisis ekonomi yang diikuti krisis politik mempercepat pergantian
kekuasaan dari Presiden Sukarno ke Suharto. Selanjutnya perbaikan
ekonomi menempati prioritas utama yang memerlukan waktu 25 tahun di
atas persoalan politik. Konsep "Jalan Tengah" (1958), menyatakan
bahwa AD menjalankannya tanpa mendominasi goplongan lain, tetapi
sekarang memberlakukan Dwifungsi yang berarti mengefektifkan
militer sebagai alat pertahanan dan keamanan serta kekuatan sosial
politik. Dwifungsi makin memberi peluang militer untuk menjadi
kekuatan dominan dalam masyarakat. Sampai sekarang militer tetap
mendukung keberlanjutan kekuasaan pemerintahan Orde Baru.
Vatikiotis menyoroti pemerintahan Suharto yang melakukan
pembangunan di bawah tekanan (Michael R.J. Vatikiotis, Indonesia
Politics under Suharto. London: Routledge, 1994). Di sini secara
sistematis mengikat militer dalam posisi yang harus mendukung namun
tanpa memberi input yang memadai dalam pengambilan keputusan. Babak
baru telah dilakukan oleh militer di panggung politik Indonesia
yang diberi istilah oleh Najib Azca "dari dominasi ke hegemoni" (M.
Najib Azca, Hegemoni Tentara. Yogyakarta: LKIS, 1998). Penuturan
Jenkins membuktikan betapa kuatnya pemerintahan militer Suharto
yang dikelilingi para jenderalnya (David Jenkins, Suharto and his
Generals: Indonesian Military Politics 1975 - 1983. Ithaca: Cornell
University, 1984: Harold Crouch, Militer dan Politik di Indonesia.
Jakarta: Sinar Harapan, 1996). Selanjutnya Mochtar Mas'oed
menambahkan bahwa bukan hanya masalah politik, tetapi ekonomi Orde
Baru memberi peluang besar pada monopoli dan kapitalisme pada
kelompok militer, yaitu rezim otoriter-birokratik (Mochtar Mas'oed,
Ekonomi dan Struktur Politik, Orde Baru 1966 - 1971. Jakarta:
LP3ES, 1989). Akumulasi kapital ada pada kelompok bisnis militer
(R. Robison, Indonesia: The Rise of Capital. North Sydney: Allen &
Unwin, 1987). Bresnan menangkap bahwa pembangunan ekonomi Indonesia
ternyata juga tidak luput dari insiden, malapetaka, dan krisis
(John Bresnan, Managing Indonesia. New York: Columbia University
Press, 1993).
Meski dominasi militer sendiri sudah kuat, tetapi sebagaimana dalam
aplikasi Dwifungsi ABRI maka kolusi dengan Golkar untuk memenangkan
dalam kompetisi dengan sipil harus didukung sepenuhnya. Leo
Suryadinata memperkuat asumsi kolusi militer dan Golkar (Leo
Suryadinata, Militer dan Golkar. . Jakarta: Sinar Harapan, 1993).
Dominasi militer ditunjukkan oleh banyaknya jabatan pemerintahan
yang dipegang militer. Presiden, menteri-menteri, sekjen, dirjen,
gubernur, bupati, camat. Karena penetrasi militer dalam
lembaga-lembaga sipil dapat dikatakan mirip created warlords yang
mengisi hampir semua jabatan strategis dalam pemerintahan Orde
Baru. Format yang demikian jelas tidak demokratis dalam arti tidak
memberi kesempatan bagi perkembangan posisi sipil dalam
pemerintahan.
Karya Sarjana S1 Universitas Gadjah Mada, Budi Irawanto, mengulas
supremasi militer atas masyarakat sipil sebagaimana terdapat dalam
Fil "Enam Jam di Yogya", "Janur Kuning", dan "Serangan Fajar".
Meski tujuan utamanya adalah sebagai hiburan masyarakat tetapi
sebenarnya merupakan representasi hegemoni militer. Keunggulan
militer terhadap sipil direproduksi sebagai upaya pembenaran
sejarah di satu pihak dan peminggiran sipil di pihak lain. Karena
itu terdapat hubungan asimitris dan determinatif sebagai corak
pretorianisme. Menurutnya, watak otoritarian dan totalitarian dari
rezim Orde Baru bakal menghadapi tantangan yang tidak sederhana
dalam waktu tiga tahun setelah skripsi ini diujikan (Budi
Irwantono, "Konstruksi Relasi Sipil Militer dalam Sinema Indonesia.
Kajian Simiotik tentang Representasi Relasi Sipil-Militer dalam
Film "Enam Jam di Yogya", "Janur Kuning", dan "Serangan Fajar".
Skripsi S1, UGM, 1995). Jadi, tiga buah film itu merupakan
historiografi Orba yang melegitimasikan patriotisme kelompok
militer.
Hegemoni ABRI tampaknya sudah berlangsung lama dan melembaga yang
oleh Budi Susanto dikatakan membudaya (Budi Susanto SJ dan A. Made
Tony Supriatma, ABRI: Siasat Kebudayaan, 1945 - 1995. Yogyakarta:
Kanisius, 1995). Disadari oleh Hasnan Habib bahwa pembangunan
nasional adalah pembangunan manusia, yaitu nilai-nilai manusia dan
kemanusiaan (A. Hasnan Habib, "Pengembangan Kepemimpinan Masa
Depan" dalam Sofian Effendi, Sjafri Sairin, dan Alwi Dahlan (eds),
Membangun Martabat Manusia. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 1992; Soerjanto Poespowardojo, Strategi Kebudayaan, Jakarta,
1990).
Periode 1965 - 1998 berfokus pada aplikasi Dwifungsi yang melebihi
porsi sehingga terjadi sentralisasi kekuasaan, pemerintahan
otoriter, dan militeristis yang mengakibatkan pelanggaran hak
sipil, demokrasi, kekerasan, lingkungan dan sejenisnya. Dari para
elite militer sebagian berpendapat bahwa mereduksi peran ABRI yang
berarti meningkatkan peran sipil di atasnya adalah anutan di negara
liberal Barat, namun antara lain Rudini, yang rasional dan tanggap
terhadap perkembangan zaman, ABRI seharusnya mengarah pada proses
demokrasi dan bersikap transparan sebagaimana harapan rakyat
(Rudini, "Tantangan Dwifungsi ABRI", dalam Selamat Ginting, et al.
(eds), ABRI dan Demokratisasi. Bandung: Mizan, 1997).
Gelombang pasang dari masyarakat sipil makin keras sejalan dengan
tuntutan demokrasi maka di masyarakat timbul resistensi terhadap
pemerintah yang otoriter. Mereduksi implementasi Dwifungsi ABRI di
satu pihak berarti menciptakan masyarakat madan (civil society)
yang aman tanpa tekanan (Arief Budiman (ed.), State and Civil
Society in Indonesia. Monash Papers on Southeast Asia, No. 22,
1990). Hikam menguatkan bahwa rakyat mempunyai akses, bukan hanya
ABRI. Sistem politik yang ditekankan dari atas (imposed form above)
dan cenderung mengasingkan (alenating) rakyat, tidak akan langgeng
(AS Hikam, Akses Rakyat". Prisma, 6, 1993).
Selanjutnya, masyarakat madani yang menjadi tujuan masyarakat sipil
didiskusikan, antara lain Rudini, di Yogyakarta yang menghasilkan
buku yang telah disunting oleh Loekman (Loekman Soetrisno et al,
Menuju Masyarakat Mada, Strategi dan Agenda Reformasi. Yogyakarta:
P3PK, 1998). Sejalan dengan arus reformasi masyarakat sipil
menggugat kekerasan yang dilakukan ABRI. Masyarakat yang cenderung
ekstrim menuntut bahwa ABRI harus back to barracks.
Ada yang menuntut bahwa sudah saatnya ABRI secara bertahap menarik
personilnya dari jabatan sipil dan DPR dan ada yang masih
mempertahankan status quo. Dominasi militer di wilayah sipil yang
ditunjukkan dalam tindakan koersif bertentangan dengan pemulihan
hak asasi dan proses demokratisasi. Hal ini menjadi bahan diskusi
yang dibukukan oleh Th. Sumartana (Th. Sumartana, et al (eds), ABRI
dan Kekerasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999). Melihat keadaan
akhir-akhir ini Adam Schwarz menyatakan bahwa sudah saatnya
Indonesia melaksanakan proses demokratisasi dan sipilisasi (Adam
Schwarz, A Nation in Waiting. St. Leonards: Allen & Unwin, 1994).
Masyarakat sipil menanti lahirnya demokrasi baru Indonesia. Itulah
sebabnya Syamsuddin Haris dan Riza Sihbudi menegaskan bahwa
diperlukan telaah terhadap penyimpangan Orde Baru (Syamsuddin
Harris dan Riza Sihbudi (eds.), Menelaah Kembali Format Orde Baru.
Jakarta: Gramedia, 1995). Ini semua sudah semestinya dipakai
sebagai bekal oleh Orde Reformasi agar pengalaman pahit yang
menyebabkan hubungan sipil-militer yang tidak harmonis tidak
terulang lagi.
CATATAN KESIMPULAN
Menelusuri hubungan sipil-militer selama kurun waktu 1945 - 1998
akhirnya dapat ditarik beberapa kesimpulan.
1. Pola historiografi sipil-militer memiliki fokus sesuai dengan
tekanan dan jiwa zaman yang berlaku waktu itu. Dalam periode 1945 -
1949 berlangsung hubungan ekual dan beranjak berubah. Kompetisi
sipil dan militer mulai tampak dalam panggung politik Indonesia.
Pada periode berikutnya, 1949 - 1959, TNI mulai mencari jalan untuk
melegitimasi prestasi di bidang pertahanan dan keamanan. Periode
1959 - 1965 TNI mengkongkretkan legitimasi Dwifungsi. Fenomena
historis menguatkan posisi TNI untuk mendominasi sipil. Periode
1965 - 1998 merupakan periode militer-otoritarian yang menciptakan
warldordism guna melakukan total control terhadap sipil meski
akhirnya membawa lengsernya pemerintahan Suharto.
2. Kecenderungan historiografi dapat dilihat dari hubungan
sipil-militer yang mula-mula seimbang tetapi dalam perjalanan
sejarahnya menjadi berat sebelah pada posisi militer yang dominan.
Dengan berbagai argumentasi ABRI membenarkan Dwifungsi beserta
implikasinya yang mengakibatkan pelanggaran hak sipil. Dengan kata
lain proses demokratisasi untuk menciptakan masyarakat madani
terhalang. Oleh karena itu, timbul resistensi yang diperkuat dengan
keberhasilan gerakan reformasi menjatuhkan Orde Baru pemerintahan
Presiden Suharto pada tanggal 21 Mei 1998. Reformasi terus bergulir
untuk menghapus faktor dominan ABRI agar memulihkan hak sipil dan
ABRI kembali pada posisi pertahanan dan keamanan minus sosial
politik. Tentunya pelaksanaan sangat fleksibel, yaitu secara
gradual dan melihat situasi dan kondisi yang kondusif terhadap
perubahan yang diinginkan bersama agar tercipta masyarakat madani,
aman, adil, dan sejahtera.
3. Hubungan sipil-militer perlu difahami bersama dan saling
mengerti posisi masing-masing merupakan prasyarat utama terciptanya
negara demokratis. Masyarakat sipil perlu meningkatkan kualitas
sumber daya manusia guna menyongsong masyarakat demokratis. ABRI
sudah semestinya tanggap terhadap perubahan ke arah masyarakat
madani yang sesuai dengan jiwa zaman yang dengan sendirinya
mengurangi campur tangannya secara gradual terhadap hak-hak sipil.
Realisasinya sedang ditunggu oleh masyarakat. * Makalah disampaikan
dalam Seminar Nasional "Mencari Format Baru Hubungan Sipil-Militer
di Indonesia" yang diselenggarakan oleh Jurusan Ilmu Politik,
Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik, Universitas Indonesia, tanggal
24-25 Mei 1999.
7. Upaya reshuffle kabinet Dwikora pada 21 Februari 1966 dan Pembentukan Kabinet
Seratus Menteri tidak juga memuaskan rakyat sebab rakyat menganggap di kabinet
tersebut duduk tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September
1965.
8. Wibawa dan kekuasaan presiden Sukarno semakin menurun setelah upaya untuk
mengadili tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965
tidak berhasil dilakukan meskipun telah dibentuk Mahkamah Militer Luar
Biasa(Mahmilub).
9. Sidang Paripurna kabinet dalam rangka mencari solusi dari masalah yang sedang
bergejolak tak juga berhasil. Maka Presiden mengeluarkan Surat Perintah Sebelas
Maret 1966 (SUPERSEMAR) yang ditujukan bagi Letjen Suharto guna mengambil
langkah yang dianggap perlu untuk mengatasi keadaan negara yang semakin kacau
dan sulit dikendalikan.
*12 Maret 1967 Jendral Suharto dilantik sebagai Pejabat Presiden Republik
Indonesia. Peristiwa ini menandai berakhirnya kekuasaan Orde Lama dan dimulainya
kekuasaan Orde Baru.
*Pada Sidang Umum bulan Maret 1968 MPRS mengangkat Jendral Suharto sebagai
Presiden Republik Indonesia.
II. KEHIDUPAN POLITIK MASA ORDE BARU
Upaya untuk melaksanakan Orde Baru :
Melakukan pembaharuan menuju perubahan seluruh tatanan kehidupan masyarakat
berbangsa dan bernegara.
Menyusun kembali kekuatan bangsa menuju stabilitas nasional guna mempercepat
proses pembangunan menuju masyarakat adil dan makmur.
Menetapkan Demokrasi Pancasila guna melaksanakan Pancasila dan UUD 1945
secara murni dan konsekuen.
Melaksanakan Pemilu secara teratur serta penataan pada lembaga-lembaga negara.
Selanjutnya setelah sidang MPRS tahun 1968 menetapkan Suharto sebagai presiden
untuk masa jabatan 5 tahun maka dibentuklah kabinet yang baru dengan nama
Kabinet Pembangunan dengan tugasnya yang disebut dengan Pancakrida, yang
meliputi :
_-_Pembersihan aparatur negara di pusat pemerintahan dan daerah dari pengaruh PKI.
4. Pemilihan Umum
Selama masa Orde Baru telah berhasil melaksanakan pemilihan umum sebanyak
enam kali yang diselenggarakan setiap lima tahun sekali, yaitu: tahun 1971, 1977,
1982, 1987, 1992, dan 1997.
1) Pemilu 1971
- Pejabat negara harus bersikap netral berbeda dengan pemilu 1955 dimana para
pejabat negara termasuk perdana menteri yang berasal dari partai peserta pemilu dapat
ikut menjadi calon partai secara formal.
- Organisasai politik yang dapat ikut pemilu adalah parpol yang pada saat pemilu
sudah ada dan diakui mempunyai wakil di DPR/DPRD.
- Pemilu 1971 diikuti oleh 58.558.776pemilih untuk memilih 460 orang anggota DPR
dimana 360 orang anggota dipilih dan 100 orang diangkat.
- Diikuti oleh 10 organisasi peserta pemilu yaitu Partai Golongan Karya (236 kursi),
Partai Nahdlatul Ulama (58 kursi), Partai Muslimin Indonesia (24 kusi), Partai
Nasional Indonesia (20 kursi), Partai Kristen Indonesia (7 kursi), Partai Katolik (3
kursi), Partai Islam Perti (2 kursi), Partai Murba dan Partai IPKI (tak satu kursipun).
2) Pemilu 1977
Sebelum dilaksanakan Pemilu 1977 pemerintah bersama DPR mengeluarkan UU
No.3 tahun 1975 yang mengatur mengenai penyederhanaan jumlah partai sehingga
ditetapkan bahwa terdapat 2 partai politik (PPP dan PDI) serta Golkar. Hasil dari
Pemilu 1977 yang diikuti oleh 3 kontestan menghasilkan 232 kursi untuk Golkar, 99
kursi untuk PPP dan 29 kursi untuk PDI.
3) Pemilu 1982
Pelaksanaan Pemilu ketiga pada tanggal 4 Mei 1982. Hasilnya perolehan suara Golkar
secara nasional meningkat. Golkar gagal memperoleh kemenangan di Aceh tetapi di
Jakarta dan Kalimantan Selatan Golkar berhasil merebut kemenangan dari PPP.
Golkar berhasil memperoleh tambahan 10 kursi sementara PPP dan PDI kehilangan 5
kursi.
4) Pemilu 1987
Pemilu tahun 1987 dilaksanakan pada tanggal 23 April 1987. Hasil dari Pemilu 1987
adalah:
_ PPP memperoleh 61 kursi mengalami pengurangan 33 kursi dibanding dengan
pemilu 1982 hal ini dikarenakan adanya larangan penggunaan asas Islam (pemerintah
mewajibkan hanya ada satu asas tunggal yaitu Pancasila) dan diubahnya lambang
partai dari kabah menjadi bintang.
_ PDI memperoleh kenaikan 40 kursi karena PDI berhasil membentuk DPP PDI
sebagai hasil kongres tahun 1986 oleh Menteri Dalam Negeri Soepardjo Rustam.
5) Pemilu 1992
Pemilu tahun 1992 diselenggarakan pada tanggal 9 Juni 1992 menunjukkan
perubahan yang cukup mengagetkan. Hasilnya perolehan Golkar menurun dari 299
kursi menjadi 282 kursi, sedangkan PPP memperoleh 62 kursi dan PDI meningkat
menjadi 56 kursi.
6) Pemilu 1997
Pemilu keenam dilaksanakan pada 29 Mei 1997. Hasilnya:
Golkar memperoleh suara mayoritas perolehan suara mencapai 74,51 %
dengan perolehan kursi 325 kursi.
PPP mengalami peningkatan perolehan suara sebesar 5,43 % dengan
perolehan kursi 27 kursi.
PDI mengalami kemerosotan perolehan suara karena hanya mendapat 11
kursi di DPR. Hal ini disebabkan karena adanya konflik internal dan terpecah antara
PDI Soerjadi dan PDI Megawati Soekarno Putri.
Penyelenggaraan Pemilu yang teratur selama Orde Baru menimbulkan kesan bahwa
demokrasi di Indonesia sudah tercipta. Apalagi pemilu itu berlangsung secara tertib
dan dijiwai oleh asas LUBER(Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia).
Kenyataannya pemilu diarahkan pada kemenangan peserta tertentu yaitu Golongan
Karya (Golkar) yang selalu mencolok sejak pemilu 1971-1997. Kemenangan Golkar
yang selalu mendominasi tersebut sangat menguntungkan pemerintah dimana terjadi
perimbangan suara di MPR dan DPR. Perimbangan tersebut memungkinkan Suharto
menjadi Presiden Republik Indonesia selama enam periode pemilihan. Selain itu,
setiap Pertangungjawaban, Rancangan Undang-undang, dan usulan lainnya dari
pemerintah selalu mendapat persetujuan dari MPR dan DPR tanpa catatan.
6. Pemasyarakatan P4
Pada tanggal 12 April 1976, Presiden Suharto mengemukakan gagasan mengenai
pedoman untuk menghayati dan mengamalkan Pancasila yaitu gagasan Ekaprasetia
Pancakarsa. Gagasan tersebut selanjutnya ditetapkan sebagai Ketetapan MPR dalam
sidang umum tahun 1978 mengenai “Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila” atau biasa dikenal sebagai P4.
Guna mendukung program Orde baru yaitu Pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945
secara murni dan konsekuen maka sejak tahun 1978 diselenggarakan penataran P4
secara menyeluruh pada semua lapisan masyarakat.
Tujuan dari penataran P4 adalah membentuk pemahaman yang sama mengenai
demokrasi Pancasila sehingga dengan pemahaman yang sama diharapkan persatuan
dan kesatuan nasional akan terbentuk dan terpelihara. Melalui penegasan tersebut
maka opini rakyat akan mengarah pada dukungan yang kuat terhadap pemerintah
Orde Baru.
Pelaksanaan Penataran P4 tersebut menunjukkan bahwa Pancasila telah dimanfaatkan
oleh pemerintahan Orde Baru. Hal ini tampak dengan adanya himbauan pemerintah
pada tahun 1985 kepada semua organisasi untuk menjadikan Pancasila sebagai asas
tunggal. Penataran P4 merupakan suatu bentuk indoktrinasi ideologi sehingga
Pancasila menjadi bagian dari sistem kepribadian, sistem budaya, dan sistem sosial
masyarakat Indonesia.
7. Mengadakan Penentuan Pendapat Rakyat (Perpera) di Irian Barat dengan
disaksikan oleh wakil PBB pada tanggal 2 Agustus 1969.
Indonesia kembali menjadi anggota PBB dikarenakan adanya desakan dari komisi
bidang pertahanan keamanan dan luar negeri DPR GR terhadap pemerintah Indonesia.
Pada tanggal 3 Juni 1966 akhirnya disepakati bahwa Indonesia harus kembali menjadi
anggota PBB dan badan-badan internasional lainnya dalam rangka menjawab
kepentingan nasional yang semakin mendesak. Keputusan untuk kembali ini
dikarenakan Indonesia sadar bahwa ada banyak manfaat yang diperoleh Indonesia
selama menjadi anggota PBB pada tahun 1950-1964. Indonesia secara resmi akhirnya
kembali menjadi anggota PBB sejak tanggal 28 Desember 1966.
Kembalinya Indonesia mendapat sambutan baik dari sejumlah negara Asia bahkan
dari pihak PBB sendiri hal ini ditunjukkan dengan ditunjuknya Adam Malik sebagai
Ketua Majelis Umum PBB untuk masa sidang tahun 1974. Kembalinya Indonesia
menjadi anggota PBB dilanjutkan dengan tindakan pemulihan hubungan dengan
sejumlah negara seperti India, Filipina, Thailand, Australia, dan sejumlah negara
lainnya yang sempat remggang akibat politik konfrontasi Orde Lama.
#Rakyat Sabah diberi kesempatan menegaskan kembali keputusan yang telah mereka
ambil mengenai kedudukan mereka dalam Federasi Malaysia.
4. Pelita IV
Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1984 hingga 31 Maret 1989. Titik beratnya adalah
sektor pertanian menuju swasembada pangan dan meningkatkan industri yang dapat
menghasilkan mesin industri sendiri. Terjadi resesi pada awal tahun 1980 yang
berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia. Pemerintah akhirnya mengeluarkan
kebijakan moneter dan fiskal sehingga kelangsungan pembangunan ekonomi dapat
dipertahankan.
5. Pelita V
Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1989 hingga 31 Maret 1994. Titik beratnya pada
sektor pertanian dan industri. Indonesia memiki kondisi ekonomi yang cukup baik
dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata 6,8 % per tahun. Posisi perdagangan luar
negeri memperlihatkan gambaran yang menggembirakan. Peningkatan ekspor lebih
baik dibanding sebelumnya.
6. Pelita VI
Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1994 hingga 31 Maret 1999. Titik beratnya masih
pada pembangunan pada sektor ekonomi yang berkaitan dengan industri dan pertanian
serta pembangunan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai
pendukungnya. Sektor ekonomi dipandang sebagai penggerak utama pembangunan.
Pada periode ini terjadi krisis moneter yang melanda negara-negara Asia Tenggara
termasuk Indonesia. Karena krisis moneter dan peristiwa politik dalam negeri yang
mengganggu perekonomian menyebabkan rezim Orde Baru runtuh.
ORDE BARU
Di awal Orde Baru, Suharto berusaha keras membenahi ekonomi Indonesia yang
terpuruk, dan berhasil untuk beberapa lama. Kondisi ekonomi Indonesia ketika Pak
Harto pertama memerintah adalah keadaan ekonomi dengan inflasi sangat tinggi,
650% setahun,” kata Emil Salim, mantan menteri pada pemerintahan Suharto.
Orang yang dulu dikenal sebagai salah seorang Emil Salim penasehat ekonomi
presiden menambahkan langkah pertama yang diambil Suharto, yang bisa dikatakan
berhasil, adalah mengendalikan inflasi dari 650% menjadi di bawah 15% dalam waktu
hanya dua tahun. Untuk menekan inflasi yang begitu tinggi, Suharto membuat
kebijakan yang berbeda jauh dengan kebijakan Sukarno, pendahulunya. Ini dia
lakukan dengan menertibkan anggaran, menertibkan sektor perbankan,
mengembalikan ekonomi pasar, memperhatikan sektor ekonomi, dan merangkul
negara-negara barat untuk menarik modal.
d. Terlalu banyak tunggakan hutang luar negeri penggunaan devisa bagi impor yang
sering kurang berorientasi pada kebutuhan prasarana.
Menurut Emil Salim, Suharto menerapkan cara militer dalam menangani masalah
ekonomi yang dihadapi Indonesia, yaitu dengan mencanangkan sasaran yang tegas.
Pemerintah lalu melakukan Pola Umum Pembangunan Jangka Panjang (25-30 tahun)
dilakukan secara periodik lima tahunan yang disebut Pelita(Pembangunan Lima
Tahun) yang dengan melibatkan para teknokrat dari Universitas Indonesia, dia
berhasil memperoleh pinjaman dari negara-negara Barat dan lembaga keuangan
seperti IMF dan Bank Dunia.
Liberalisasi perdagangan dan investasi kemudian dibuka selebarnya. Inilah yang sejak
awal dipertanyakan oleh Kwik Kian Gie, yang menilai kebijakan ekonomi Suharto
membuat Indonesia terikat pada kekuatan modal asing.
• Tujuan Pelita I :
Untuk meningkatkan taraf hidup rakyat dan sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi
pembangunan dalam tahap berikutnya.
• Sasaran Pelita I :
Muncul peristiwa Marali (Malapetaka Limabelas Januari) terjadi pada tanggal 15-16
Januari 1947 bertepatan dengan kedatangan PM Jepang Tanaka ke Indonesia.
Peristiwa ini merupakan kelanjutan demonstrasi para mahasiswa yang menuntut
Jepang agar tidak melakukan dominasi ekonomi di Indonesia sebab produk barang
Jepang terlalu banyak beredar di Indonesia. Terjadilah pengrusakan dan pembakaran
barang-barang buatan Jepang.
Sasaran yang hendak di capai pada masa ini adalah pangan, sandang, perumahan,
sarana dan prasarana, mensejahterakan rakyat, dan memperluas lapangan kerja . Pelita
II berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi rata-rata penduduk 7% setahun.
Perbaikan dalam hal irigasi. Di bidang industri juga terjadi kenaikna produksi. Lalu
banyak jalan dan jembatan yang di rehabilitasi dan di bangun.
Pelita III lebih menekankan pada Trilogi Pembangunan yang bertujuan terciptanya
masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Arah dan
kebijaksanaan ekonominya adalah pembangunan pada segala bidang. Pedoman
pembangunan nasionalnya adalah Trilogi Pembangunan dan Delapan Jalur
Pemerataan. Inti dari kedua pedoman tersebut adalah kesejahteraan bagi semua
lapisan masyarakat dalam suasana politik dan ekonomi yang stabil.
Pada Pelita IV lebih dititik beratkan pada sektor pertanian menuju swasembada
pangan dan meningkatkan ondustri yang dapat menghasilkan mesin industri itu
sendiri. Hasil yang dicapai pada Pelita IV antara lain swasembada pangan. Pada tahun
1984 Indonesia berhasil memproduksi beras sebanyak 25,8 ton. Hasil-nya Indonesia
berhasil swasembada beras. kesuksesan ini mendapatkan penghargaan dari
FAO(Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia) pada tahun 1985. hal ini merupakan
prestasi besar bagi Indonesia. Selain swasembada pangan, pada Pelita IV juga
dilakukan Program KB dan Rumah untuk keluarga.
Pada Pelita V ini, lebih menitik beratkan pada sektor pertanian dan industri untuk
memantapakan swasembada pangan dan meningkatkan produksi pertanian lainnya
serta menghasilkan barang ekspor.
Pelita V adalah akhir dari pola pembangunan jangka panjang tahap pertama. Lalu
dilanjutkan pembangunan jangka panjang ke dua, yaitu dengan mengadakan Pelita VI
yang di harapkan akan mulai memasuki proses tinggal landas Indonesia untuk
memacu pembangunan dengan kekuatan sendiri demi menuju terwujudnya
masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Titik beratnya masih pada pembangunan pada sektor ekonomi yang berkaitan
dengan industri dan pertanian serta pembangunan dan peningkatan kualitas sumber
daya manusia sebagai pendukungnya. Sektor ekonomi dipandang sebagai penggerak
utama pembangunan. Pada periode ini terjadi krisis moneter yang melanda negara-
negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Karena krisis moneter dan peristiwa
politik dalam negeri yang mengganggu perekonomian menyebabkan rezim Orde Baru
runtuh.
Disamping itu Suharto sejak tahun 1970-an juga menggenjot penambangan minyak
dan pertambangan, sehingga pemasukan negara dari migas meningkat dari $0,6 miliar
pada tahun 1973 menjadi $10,6 miliar pada tahun 1980. Puncaknya adalah
penghasilan dari migas yang memiliki nilai sama dengan 80% ekspor Indonesia.
Dengan kebijakan itu, Indonesia di bawah Orde Baru, bisa dihitung sebagai kasus
sukses pembangunan ekonomi.
Pada masa ini pemerintah lebih menitikberatkan pada sektor bidang ekonomi.
Pembangunan ekonomi ini berkaitan dengan industri dan pertanian serta
pembangunan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pendukungnya.
Namun Pelita VI yang diharapkan menjadi proses lepas landas Indonesia ke yang
lebih baik lagi, malah menjadi gagal landas dan kapal pun rusak.
Indonesia dilanda krisis ekonomi yang sulit di atasi pada akhir tahun 1997. Semula
berawal dari krisis moneter lalu berlanjut menjadi krisis ekonomi dan akhirnya
menjadi krisis kepercayaan terhadap pemerintah. Pelita VI pun kandas di tengah jalan.
Kondisi ekonomi yang kian terpuruk ditambah dengan KKN yang merajalela,
Pembagunan yang dilakukan, hanya dapat dinikmati oleh sebagian kecil kalangan
masyarakat. Karena pembangunan cenderung terpusat dan tidak merata. Meskipun
perekonomian Indonesia meningkat, tapi secara fundamental pembangunan ekonomi
sangat rapuh.. Kerusakan serta pencemaran lingkungan hidup dan sumber daya alam.
Perbedaan ekonomi antar daerah, antar golongan pekerjaan, antar kelompok dalam
masyarakat terasa semakin tajam.. Terciptalah kelompok yang terpinggirkan
(Marginalisasi sosial). Pembangunan hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi
tanpa diimbangi kehidupan politik, ekonomi, dan sosial yang demokratis dan
berkeadilan.
DAFTAR PUSTAKA
• http://rinahistory.blog.friendster.com/2008/11/indonesia-masa-orde-baru/
• http://id.wikipedia.org/wiki/Soeharto
• http://www.indonesiaindonesia.com/f/2390-indonesia-era-orde-baru/
Di tengah krisis ekonomi yang parah dan adanya penolakan yang cukup tajam, pada
10 Maret 1998, MPR mengesahkan Soeharto sebagai presiden untuk ketujuh kalinya.
Kali ini, Prof Ing BJ Habibie sebagai wakil presiden. Pada 17 Maret 1998, ia
menyumbangkan seluruh gaji dan tunjangannya sebagai presiden dan meminta
kerelaan para pejabat tinggi lainnya untuk menyerahkan gaji pokoknya selama satu
tahun dalam rangka krisis moneter.
Menghadapi tuntutan untuk mundur, pada 1 Mei 1998, Soeharto menyatakan bahwa
reformasi akan dipersiapkan mulai tahun 2003. Ketika di Mesir pada 13 Mei 1998,
Presiden Soeharto menyatakan bersedia mundur kalau memang rakyat menghendaki
dan tidak akan mempertahankan kedudukannya dengan kekuatan senjata. Sebelas
menteri bidang ekonomi dan industri (ekuin) Kabinet Pembangunan VII
mengundurkan diri (20 Mei 1998). Krisis moneter dan ekonomi benar-benar
menggerogoti sistem kepemimpinannya. Dampaknya, Soeharto tidak bisa bertahan di
pucuk kepemimpinan negeri.
Hanya berselang 70 hari setelah diangkat kembali menjadi presiden untuk periode
yang ketujuh kalinya, Soeharto terpaksa mundur dari jabatannya sebagai presiden.
Presiden Soeharto lengser tepat 21 Mei 1998. Tepat pukul 09.10 WIB (Waktu
Indonesia Barat), Soeharto berhenti dari jabatannya sebagai presiden. Layar kaca
televisi saat itu menyiarkan secara langsung detik per detik proses pengunduran
dirinya.
Tanggal 12-20 Mei 1998 menjadi periode yang teramat panjang. Bagaimanapun,
masa-masa itu kekuasaannya semakin tergerus oleh berbagai aksi dan peristiwa. Aksi
mahasiswa menyebar ke seantero negeri. Ribuan mahasiswa menggelar aksi
keprihatinan di berbagai tempat. Mahasiswa Trisaksi, Jakarta mengelar aksinya tidak
jauh dari kampus mereka. Peserta aksi mulai keluar dari halaman kampus dan
memasuki jalan artileri serta berniat datang ke Gedung MPR/DPR yang memang
sangat stategis. Tanggal 12 Mei 1998 sore, terdengar siaran berita meninggalnya
empat mahasiswa Trisakti.
Sehari kemudian, tanggal 13 Mei 1998, jenasah keempat mahasiswa yang tewas
diberangkatkan ke kediaman masing-masing. Mahasiswa yang hadir menyanyikan
lagu Gugur Bunga. Tewasnya para mahasiswa disiarkan secara luas melalui
pemberitaan radio, televise, dan surat kabar. Tewasnya keempat mahasiswa seakan
sebagai ledakan suatu peristiwa yang lebih besar. Kamis, 14 Mei 1998, ibukota negara
(Jakarta) dilanda kerusuhan hebat. Tanggal 15 Mei 1998, pesawat yang membawa
Presiden Soeharto dan rombongan mendarat menjelang pukul 05.00 WIB pagi di
pangkalan udara utama TNI AU Halim Perdanakusuma dari kunjungan ke Kairo,
Mesir untuk mengikuti Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT) Kelompok 15 (Group 15/G-
15).
Mereka yang tewas adalah dua mahasiswa angkatan 1995 dan dua mahasiswa
angkatan 1996. Angkatan 1995 terdiri dari Hery Hartanto (Fakultas Teknik Industri
Jurusan Mesin) dan Hafidhin Alifidin Royan (Fakultas Teknik Industri Jurusan
Mesin). Sedang, mahasiswa yang tewas angkatan 1996 adalah Elang Mulia Lesmana
(Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Jurusan Arsitektur) dan Hendriawan Sie
(Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen) .
Mulut pers pun dibungkam dengan lahirnya UU Pokok Pers No. 12 tahun 1982. UU
ini mengisyaratkan adanya restriksi atau peringatan mengenai isi pemberitaan ataupun
siaran. Organisasi massa yang terbentuk harus memperoleh izin pemerintah dengan
hanya satu organisasi profesi buatan pemerintah yang diperbolehkan berdiri. Sehingga
organisasi massa tak lebih dari wayang-wayang Orde Baru.
Pada 1970 Soeharto melarang protes pelajar setelah demonstrasi yang meluas
melawan korupsi. Sebuah komisi menemukan bahwa korupsi sangat umum. Soeharto
menyetujui hanya dua kasus dan kemudian menutup komisi tersebut. Korupsi
kemudian menjadi sebuah endemik.
Dia memerintah melalui kontrol militer dan penyensoran media. Dia menguasai
finansial dengan memberikan transaksi mudah dan monopoli kepada saudara-
saudaranya, termasuk enam anaknya. Dia juga terus memainkan faksi berlainan di
militer melawan satu sama lain, dimulai dengan mendukung kelompok nasionalis dan
kemudian mendukung unsur Islam.
Pada 1975, dengan persetujuan bahkan permintaan Amerika Serikat dan Australia, ia
memerintahkan pasukan Indonesia untuk memasuki bekas koloni Portugal Timor
Timur setelah Portugal mundur dan gerakan Fretilin memegang kuasa yang
menimbulkan kekacauan di masyarakat Timor Timur Sendiri, serta kekhawatiran
Amerika Serikat atas tidakan Fretilin yang menurutnya mengundang campur tangan
Uni Soviet. Kemudian pemerintahan pro integrasi dipasang oleh Indonesia meminta
wilayah tersebut berintegrasi dengan Indonesia. Pada 15 Juli 1976 Timor Timur
menjadi provinsi Timor Timur sampai wilayah tersebut dialihkan ke administrasi PBB
pada 1999.
Soeharto dengan Menteri Pertahanan Amerika Serikat William Cohen pada tahun
1998.
Korupsi menjadi beban berat pada 1980-an. Pada 5 Mei 1980 sebuah kelompok yang
kemudian lebih dikenal dengan nama Petisi 50 menuntut kebebasan politik yang lebih
besar. Kelompok ini terdiri dari anggota militer, politisi, akademik, dan mahasiswa.
Media Indonesia menekan beritanya dan pemerintah mecekal penandatangannya.
Setelah pada 1984 kelompok ini menuduh bahwa Soeharto menciptakan negara satu
partai, beberapa pemimpinnya dipenjarakan.
Catatan hak asasi manusia Soeharto juga semakin memburuk dari tahun ke tahun.
Pada 1993 Komisi HAM PBB membuat resolusi yang mengungkapkan keprihatinan
yang mendalam terhadap pelanggaran hak-hak asasi manusia di Indonesia dan di
Timor Timur. Presiden AS Bill Clinton mendukungnya.
Pada 1997, menurut Bank Dunia, 20 sampai 30% dari dana pengembangan Indonesia
telah disalahgunakan selama bertahun-tahun. Krisis finansial Asia di tahun yang sama
tidak membawa hal bagus bagi pemerintahan Presiden Soeharto ketika ia dipaksa
untuk meminta pinjaman, yang juga berarti pemeriksaan menyeluruh dan mendetail
dari IMF.
Mekipun sempat menyatakan untuk tidak dicalonkan kembali sebagai Presiden pada
periode 1998-2003, terutama pada acara Golongan Karya, Soeharto tetap memastikan
ia terpilih kembali oleh parlemen untuk ketujuh kalinya di Maret 1998. Setelah
beberapa demonstrasi, kerusuhan, tekanan politik dan militer, serta berpuncak pada
pendudukan gedung DPR/MPR RI, Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21
Mei 1998 untuk menghindari perpecahan dan meletusnya ketidakstabilan di
Indonesia. Pemerintahan dilanjutkan oleh Wakil Presiden Republik Indonesia, B.J.
Habibie.
Di Credentials Room, Istana Merdeka, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, Presiden
Soeharto membacakan pidato yang terakhir kali, demikian:
Sejak beberapa waktu terakhir, saya mengikuti dengan cermat perkembangan situasi
nasional kita, terutama aspirasi rakyat untuk mengadakan reformasi di segala bidang
kehidupan berbangsa dan bernegara. Atas dasar pemahaman saya yang mendalam
terhadap aspirasi tersebut dan terdorong oleh keyakinan bahwa reformasi perlu
dilaksanakan secara tertib, damai, dan konstitusional.
Dengan memperhatikan keadaan di atas, saya berpendapat sangat sulit bagi saya
untuk dapat menjalankan tugas pemerintahan negara dan pembangunan dengan
baik. Oleh karena itu, dengan memperhatikan Pasal 8 UUD 1945 dan secara
sungguh-sungguh memperhatikan pandangan pimpinan DPR dan pimpinan fraksi-
fraksi yang ada di dalamnya, saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari
jabatan saya sebagai Presiden RI terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada
hari Kamis, 21 Mei 1998.
Mulai hari ini pula Kabinet Pembangunan VI demisioner dan kepada para menteri
saya ucapkan terima kasih. Oleh karena keadaan tidak memungkinkan untuk
menyelenggarakan pengucapan sumpah di hadapan DPR, maka untuk menghindari
kekosongan pimpinan dalam menyelenggarakan pemerintahan negara, kiranya
saudara wakil presiden sekarang juga akan melaksanakan sumpah jabatan presiden
di hadapan Mahkamah Agung RI.
Kedua, ABRI yang tetap kompak dan satu berharap dan mengajak kepada seluruh
rakyat Indonesia untuk menerima kehendak pribadi Presiden Soeharto tersebut yang
telah sesuai dengan konstitusi, yakni Pasal 8 UUD 1945. Ketiga, dalam hal ini, ABRI
akan tetap berperan aktif guna mencegah penyimpangan dan hal-hal lain yang dapat
mengancam keutuhan bangsa.
Keempat, menjunjung tinggi nilai luhur budaya bangsa, ABRI akan tetap menjaga
keselamatan dan kehormatan para mantan Presiden/Mandataris MPR termasuk Bapak
Soeharto beserta keluarganya. Kelima, ABRI mengajak semua pihak agar bersikap
tenang, mencegah terjadinya kerusuhan dan tindak kekerasan yang akhirnya akan
merugikan masyarakat sendiri.
Setelah Soeharto resmi mundur dari jabatannya sebagai presiden, berbagai elemen
masyarakat mulai menuntut agar digelar pengusutan dan pengadilan atas mantan
presiden yang bekuasa paling lama di Indonesia itu. Pada 1 September 1998, tim
Kejaksaan Agung mengumumkan adanya indikasi penggunaan uang yayasan di
bawah pemerintahan mantan Presiden Soeharto. Melalui Televisi Pendidikan
Indonesia (TPI) pada 6 September 1998, Soeharto muncul dan menyatakan bahwa dia
tidak mempunyai kekayaan di luar negeri.
Soeharto memiliki dan mengetuai tujuh buah yayasan, yaitu Yayasan Dana Sejahtera
Mandiri, Yayasan Supersemar, Yayasan Dharma Bhakti Sosial (Dharmais), Yayasan
Dana Abadi Karya Bhakti (Dakab), Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan
Dana Gotong Royong Kemanusiaan, Yayasan Trikora. Pada 1995, Soeharto
mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 1995. Keppres ini menghimbau
para pengusaha untuk menyumbang 2 persen dari keuntungannya untuk Yayasan
Dana Mandiri.
Hasil penyidikan kasus tujuh yayasan Soeharto menghasilkan berkas setebal 2.000-an
halaman. Berkas ini berisi hasil pemeriksaan 134 saksi fakta dan 9 saksi ahli, berikut
ratusan dokumen otentik hasil penyitaan dua tim yang pernah dibentuk Kejaksaan
Agung, sejak tahun 1999.
Menurut Transparency International, Soeharto menggelapkan uang dengan jumlah
terbanyak dibandingkan pemimpin dunia lain dalam sejarah dengan perkiraan 15–35
miliar dolar A.S. selama 32 tahun masa pemerintahannya.[4]
Pada 12 Mei 2006, bertepatan dengan peringatan sewindu Tragedi Trisakti, Jaksa
Agung Abdul Rahman Saleh mengeluarkan pernyataan bahwa pihaknya telah
mengeluarkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKPP) perkara mantan
Presiden Soeharto, yang isinya menghentikan penuntutan dugaan korupsi mantan
Presiden Soeharto pada tujuh yayasan yang dipimpinnya dengan alasan kondisi fisik
dan mental terdakwa yang tidak layak diajukan ke persidangan. SKPP itu dikeluarkan
Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan pada 11 Mei 2006, namun SKPP ini lalu dinyatakan
tidak sah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 12 Juni 2006.
Pendahuluan
Mengapa kita tidak mampu atau tidak bisa melihat sisi lain dari Belanda atau
Jepang? Jawabannya sederhana: kita diajarkan untuk memakai kacamata
indoktrinasi anti imperialisme-kolonialisme dalam membaca "sejarah masa lalu
kitan".
Singkatnya, dalam lakon sejarah manusia Indonesia, yang bersalah dan harus,
bahkan terus dipersalahkan adalah masa lalu. Kita enggan mengoreksi dan bila
perlu mempermasalahkan dan mempersalahkan kita sendiri, baik sebagai gugus
kesatuan sosial maupun sebagai penentu wacana kekinian kita. Belanda dan
Nipon sebagai "kolonial almarhum" tak akan bangkit menuntut pemulihan nama
baik, atau setidak-tidaknya penilaian yang seimbang. Tetapi seorang Suharto
yang masih hidup tentu tidak akan mau begitu saja disebut sebagai sumber,
biang, dalang dari semua kebangkrutan, kesemrawutan dan kebobrokan situasi
saat ini. Wacara moral, nasionalisme, kebangsaan -- semuanya tidak bisa
disederhanakan dalam bentuk Suharto dan Orde Baru yang bersalah dan "anggota
sosietas yang sisa" adalah pihak yang benar atau bahkan paling benar.
Kenyataan yang tidak bisa dihindari adalah bahwa Suharto, orang-orang Orde
Baru dan KITA SEMUA masih hidup!
Kalau memang demikian, apakah KITA SEMUA (minus Suharto, Orde Baru,
Belanda
dan Nipon) tidak mempunyai kontribusi dalam menciptakan wajah Indonesia yang
bopeng, babak-belur hari ini? Tentu saja kita tidak sekedar membutuhkan
sebuah jawaban yang jujur tetapi terutama suatu kejujuran untuk menjawab.
Orde Baru sebagai ide awal memiliki asumsi dan muara proyeksi yang sangat
jelas. Para sejarahwan, pengamat masalah sosial dan politik sepakat, bahwa
adalah Suharto dan rejimnya yang menyempitkan paham Orde Baru dan
mereduksinya sebagai sebuah praksis manajemen pemerintahan pragmatis
menyangkut kekuasaan dan mekanisme membangun dan mempertahankan kekuasaan
--
walau masih tetap dalam arah tujuan yang sama (setidaknya secara
konseptual).
Sebuah analisis yang lebih ketat akan menemukan kesimpulan berikut ini:
Suharto meyakini konsep pembangunan yang disodorkan oleh para pakar sebagai
konsep yang mulia, menarik, baik dan perlu tetapi ia sendiri tidak mengerti
sepenuhnya apa yang dimaksudkan oleh para pakar yang bergelar Professor,
Doktor itu. Dengan kewenangan yang ada di tangannya ia sebagai tentara
mengarahkan mekanisme politik untuk mengamankan pembangunan dengan visi dan
misi agung yang digali dan dirumuskan oleh para pemikir bangsa. Tentara
dijadikan satpam pembangunan. Siapapun yang setuju, sepikiran dan sejalan
dengan tujuan pembangunan akan ditarik sebagai sahabat. Siapa yang berpikir
lain, apalagi yang berpikir lain dan kritis terhadap pekerjaan pemerintah
akan dengan mudah dikategorikan sebagai "pihak yang membahayakan
pembangunan". Alergi terhadap kritik dengan tameng Pancasila adalah cerita
lain lagi. Padahal para para pemikir yang melahirkan ide visi dan misi
pembangunan nasional itu lahir dan besar dalam tradisi budaya kritis yang
mengenal kritik, kritik dan kritik. Memang ada segelintir pemikir yang
tergoda membonceng kereta kekuasaan sehingga tidak kritis lagi terhadap
penyimpangan dan bias di lapangan. Lebih malang kalau mereka ini lalu
terbeli oleh kekuasaan karena basis idealisme dan moralitas ilmuwan tidak
cukup tertanam.
Tiba-tiba terasa seolah bangsa ini berjalan tanpa tuntunan para pemikirnya.
Tetapi kesan ini juga segera kita bantah karena hal itu tidak benar. Cukup
banyak bukti di rak buku, map seminar dan lokakarya, jurnal dan catatan
lepas bahwa para pemikir bangsa ini telah memberi kontrbusi luar biasa bagi
wacana pembangunan, sosial dan politik kita. Apakah pemikiran-pemikiran itu
dihargai, artinya ditangkap dan dimanfaatkan dalam praktek pengambilan
keputusan -- itu adalah sebuah pertanyaan yang teramat sulit dijawab. Sulit
karena birokrat kita bukannya orang yang tidak lulus sekolah dasar: mereka
menghadiri seminar, mendengar si Magnis mengoceh, si Kleden menggugat,
Syahrir mengoreksi, Ramli mengulas, Sujatmiko menggagas, Hatta mendasar etc.
and so on. Mereka mengangguk-angguk kepala tanda kagum, tanda puas .. entah
mengerti atau tidak, lalu pulang bawa sertifikat untuk kredit point naik
pangkat,.atau keuntungan lainnya adalah bertambahnya relasi di forum
seminar, bahkan sempat salaman dengan Pak Menteri Hikam yang rada kocak itu.
Namun demikian, pemikir tidak pernah berniat untuk mencuci otak audiens-nya.
Mereka hanya membuka horizon wawasan audiens, menggugat konsep yang mapan
dan/atau yang melenceng dan menawarkan alternatif. Adalah tanggungjawab
audiens untuk memperlakukan input tadi. Para pemikir tahu diri, bahwa
panggilan profesinya adalah memberi pencerahan. Karya pikir mereka tetap
hidup dalam dinding dan aturan akademik: bisa benar, bisa salah, bisa
diterima bisa ditolak .. pendeknya pemikiran mereka siap diuji-ulang setiap
saat oleh siapapun juga. Maka karya para pemikir di tanah air kita -- untuk
saat ini -- adalah warisan tak ternilai bagi generasi pemikir berikutnya.
Pemikiran mereka tidak akan hanyut-hilang bersamaan dengan perginya sebuah
Orde.
Relevansi Pemikiran
1. Menghujat Orde Baru sebagai rejim "ein fuer allemal" dapat diterima,
tetapi menihilkan semua pemikiran yang melandasi lahirnya Orde Baru adalah
sebuah kenaifan tersendiri. Perlu ada upaya menghimpun semua pemikiran yang
didengar bagus oleh Suharto dan rejimnya tetapi tidak dimengerti sepenuhnya
oleh mereka sehingga perlakukan mereka terhadap pemikiran para pemikir
bangsa ini menjadi proses pengurusan.
2. Belanda dan Nipon itu jelek sebagai penjajah, tetapi lewat penjajah itu
pula kita menginjak anak tangga menuju pencerahan menyadari diri sebagai
manusia merdeka yang menuntut bebas dari pejajahan. Majapahit dan Sriwijaya
menaklukkan, bukan memerdekakan. Mari kira bertanya pada Mataram dan
lainnya. Orde Baru menjajah kita, memasung intelektualisme, kreativisme dan
kritisisme. Tetapi Orde Baru memberi pelajaran berharga, betapa rapuhnya
barisan intelektual kita: ada yang setia pada lini pemikir, ada yang terbeli
penjadi pemasok ide dan pemberi warna ilmiah pada ucapan birokrat, bahkan
ikut menyusun studi kelayakan menggunduli hutan Yamdena (Tanimbar),
Kalimantan, menyusun konsep rekayasa manusia untuk memenangkan kepentingan
kelompok atau tokoh politik tertentu, bahkan membela para Jenderal yang
diduga membunuh kemerdekaan orang yang berjuang untuk menjadi manusia
merdeka.
3. Era baru dengan paradigma baru tidak cukup sekedar slogan tanpa kita
mengerti apa itu paradigma, mengapa kita harus berpindah dari paradigma yang
satu ke paradigma yang lain, innovasi baru mana yang menggugat kebenaran
atau kekokohan paradigma lama. Jangan-jangan kita hanya berputar ditempat
dengan cerita yang sama. Banyak pejabat menyampaikan pidato yang disusun
oleh orang pintar penuh dengan jargon globalisasi, tetapi dari uraian
selanjutnya nampak kerancuan pemahaman tentang globalisasi, globalisme,dan
globalitas. Orang berbicara tentang pluralisme, tetapi yang dimaksudkan
adalah pluralitas. Orang berbicara tentang "das Sein" tetapi yang dimaksud
adalah "Dasein". Orde Baru telah memberi peluang lahirnya berbagai konsep
rumit pembangunan yang tidak mudah dicerna oleh para pelaksana dan pelaku
pembangunan sehingga salah satu produk Orde Baru lainnya adalah "salah
kaprah".
Robert B. Bowollo
Ini prinsip kepemimpinan yang amanah, sangat berbeda dengan pemimpin yang
melihat kepemimpinan atau kekuasaan sebagai lapangan kerja, seperti seorang
professional, direktur sebuah perusahaan. Pada umumnya para elite yang menjadi
pemimpin saat ini adalah pekerja politik, bukan aktivis politik, jadi niat dan tujuan
serta seluruh pertimbangannya adalah dagang untuk mencari keuntungan pribadi,
karena itu setiap langkahnya mesti ada fasilitas dan bayarannya.
Bahkan tipe kepemimpinan seperti ini melihat seluruh aset negara sebagai hutan
bebas yang boleh dijarah untuk kepentingan pribadi. Inilah yang dianggap sebagai
kreatif dan kompetitif. Ini yang terjadi saat ini, pemimpin baik yang ada di
pemerintahan, partai, perusahaan maupun organisasi kemasyarakatan, menggunakan
posisinya untuk memperoleh keuntungan pribadi, bukan untuk memajukan lembaga
yang dipimpinnya. Sering lembaga dan anggotanya diterlantarkan, tetapi para
pemimpin secara pribadi kaya raya.
Seperti itulah kepemimpinan yang kita alamai saat ini, pemimpin seperti ini
mengabaikan nasib rakyat banyak, hanya memperhatikan nasib sedikit kelompok
yang selalu mengelilinginya, sehingga kebijakannya membuat rakyat semakin
sengsara. Saat ini berbagai usaha kecil dan menengah dalam berbagai sektor telah
tuitup karena kelangkaan bahan baku, dan karena kenaikan bahan bakar, sehingga
produknya jadi mahal dan tak terjangkau oleh konsumen. Kebangkrutan usaha itu
terutama akan dirasakan sangat pedih oleh buruh yang ada di berbagai industri dan
usaha kecil itu, karena mereka dipecat dengan tanpa memiliki cadangan dana untuk
hidup.
Memang bahwa kemiskinan itu bukan nasib, bukan pula karena kemalasan, tetapi
kemiskinan terjadi akibat kesalahan para pemimpin dalam mengambil kebijakan.
Kebijakan yang diambil untuk menguntungkan kelompok kecil mafia bisnis berakibat
mematikan ribuan usaha kecil dan menegah. Kebijakan ini selalu terjadi di tengah
sistem yang penuh korupsi.
Hanya sering kali kebijakan yang menyengsarakan itu dimanipulasi dengan berbagai
santunan yang justeru sangat mematikan, sehingga masyarakat tidak bisa melihat
secara jernih watak para pemimpinnya. Mereka telah menghancurkan dengan
sistematis struktur perekonomian rakyat, tetapi kalau terjadi bencana, mereka segera
datang pada rakyat seolah peduili pada rakyat, padahal seluruh kebijakan politiknya
telah menyingkirkan kepedulian pada rakyat, menyengsarakan dan memiskinkan
rakyat.
Satu hal yang tidak bisa dipungkiri dari kebijakan ini adalah jumlah kemiskinan yang
terus meningkat, sementara hutang luar negeri semakin menumpuk. Bagi pemimpin
yang produktif semestinya bisa menggunakan dana utangan itu untuk usaha yang
produktif, sehingga rakyat kaya, bangsa makmur dan negara berkecukupan, mampu
membayar hutang dan tidak meminjam lagi. Ribuan sarjana politik diwisuda ribuan
sarjana ekonomi dipekerjakan, tetapi tidak memiliki kempuan sedikitpun
memperbaiki perekonomian rakyat dan negara. Ini tidak lain karena memang mereka
tidak berorientasi pada rakyat dan Negara.
Memang mustahil negeri ini bisa makmur walaupun sumber kekayaan alamnya
melimpah, kalau para pemimpinnya bukan pemimpin yang bisa memikul amanah,
tetapi hanya terdiri dari para pencari kerja, yang cita-citanya hanya mendapatkan gaji
besar, tetapi tidak memiliki cita-cita untuk membangun bangsanya. Sekedar bercita-
cita bahkan mengeluarkan pernayaan sikap banyak. Tetapi mereka tidak berani
bertindak. Sebab tindakan mengandung risiko.
Seorang pemimpian yang amanah mesti memihak kepada rakyat dan bangsa sendiri,
sementara prmimpin yang ada karena hanya pencari kerja mereka menjadi sangat
oportunis, mengikuti arus, tanpa berani melawan arus perdagangan bebas yang
didorong oleh liberalisasi dan swastanisasi. Kecenderungan itu diikuti begitu saja,
padahal untuk dapat mensejahterakan rakyat dan menjadikan bangsa jaya dan negara
mencapai kemegahannya hanya dengan membangun kedaulatan sendiri baik secara
politik, maupun secara ekonomi.
Untuk memiliki kedaulatan politik dan ekonomi, maka kedua sektor itu harus
dinasionalisasi secara tuntas. Seluruh sistem politik ketatanegaraan harus kembali
pada filosofi nasional dan kepentingan nasional. Seluruh perusahaan strategis di
sektor energi, telekomunisasi, transportasi dan pangan yang sekarang berada di
tanagan swasta, harus segera dinasionalisiasi. Di situlah rakyat akan berkuasa, negara
berdaulat dan bangsa memiliki martabat. Bila sudah demikian tidak lagi usaha
pemiskinan yang terjadi, tetapi menjadi langkah pemakmuran rakyat. (Abdul Mun’im
DZ)
Kompas:
Kota Poso sedemikian mencekamnya. Kabar duka dari Desa Togolu, Kecamatan
Lage, Poso, begitu menggetarkan hati semua warga. Ratusan nyawa telah
melayang di pesantren Wali Songo yang terletak di wilayah itu, belum lagi
mereka yang luka-luka dan melarikan diri penuh dengan ketakutan. Sementara,
Kantor Berita Antara menuturkan, ratusan penghuni pesantren Wali Songo di
Kilometer Sembilan (Desa Togolu) Kecamatan Lage Kabupaten Poso, Sulawesi
Tengah, "hilang" dan diduga kuat lari menyelamatkan diri saat Kelompok
perusuh melakukan penyerangan tanggal 28 Mei 2000. Sejumlah saksi mata yang
ditemui Antara di Palu dan Poso--205km timur Palu Senin mengatakan,
penyerangan kelompok perusuh hari Minggu itu di pondok pesantren tersebut
mengakibatkan banyak korban tewas, namun beberapa di antaranya berhasil
menyelamatkan diri lari ke hutan-hutan di sekitar pasantren itu.
Andreas:
Ini mungkin bukti sebagian dari kebiadaban para perusuh terhadap umat
Muslim. Saya memang tidak bisa mengelak bahwa yang melakukannya adalah
mungkin saja dari “kelompok merah” atau pihak Kristen namun sekali lagi saya
tegaskan bahwa sesungguhnya yang melakukannya adalah tidak lebih dari umat
setan/iblis yang mendompleng nama Kristen. Sebab yang namanya orang Kristen
atau pengikut Kristus sejati tidak mungkin sampai hati untuk membantai
manusia lain yang berbeda agamanya, membakar pesantren, atau menyerang
tempat ibadah seperti masjid. Sekali lagi saya tegaskan bahwa ini bukanlah
perbuatan kekristenan tetapi adalah perbuatan dari para setan yang sedang
menyamar menjadi “murid Kristus”.
Kompas:
Warga Poso yang berada di sejumlah lokasi pengungsian di Kecamatan Parigi,
Kabupaten Donggala, sesali pernyataan Waka Polda Sulteng Kolonel (Pol) Drs
Zainal Abidin Ishak, mengenai tidak adanya pembantaian terhadap wanita dana
anak-anak saat pecah kerusuhan bernuansa SARA fase ketiga melanda Poso sejak
23 Mei lalu. "Pernyataan pimpinan Polri ini mengada-ada, sebab di depan mata
kami peristiwa pembantaian itu dilakukan, bahkan hingga perkosaan terhadap
beberapa wanita," kata sejumlah pengungsi kerusuhan Poso di Parigi, Selasa.
Menurut beberapa pengungsi yang bermukim di sekitar Pondok Pesantren Wali
Songo di desa Sintuwulemba (9 kilometer Selatan Poso) itu, mereka sendiri
sempat menyaksikan bahkan merasakan perbuatan sadis dan brutal yang
dilakukan pasukan Kelompok Merah di desa mereka selama beberapa hari sejak
pecah kerusuhan. "Tak sedikit wanita ditelanjangi dan diperlakukan secara
tidak senonoh sebelum dibantai hingga tewas," kata mereka. Para pengungsi
ini mengakui bahwa sehari sebelum meletusnya kerusuhan Poso fase ketiga
(23/5), para wanita, anak-anak, dan manula telah diperintahkan mengungsi ke
Markas Kompi 711-B Poso, menyusul adanya intimidasi dari pasukan Kelompok
Merah kepada warga muslim setempat. Mereka yang tidak sempat mengungsi
itulah yang menjadi sasaran pembantaian dan perkosaan," kata sejumlah saksi
mata. Para pengungsi asal desa Sintuwulembah itu tak merinci angka korban
tewas yang dibantai di desa mereka, namun menyatakan jumlahnya mencapai
ratusan orang.
Andreas:
Kita memang tidak bisa membantah bahwa ternyata “kelompok merah” atau
kelompok Kristenlah sebagai pelaku semua kebiadaban. Namun kini kitapun
harus bertanya apakah “kelompok merah” yang disebut-sebut tersebut
benar-benar mewakili umat Kristen sebenarnya ataukah hanya sekumpulan
orang-orang Kristen gadungan yang dibayar oleh pentolan Orba untuk mengacau
di Poso? Mengingat bahwa semua kerusuhan yang terjadi di negara kita baik
itu di Ambon, di Sampit, atau di Poso selalu saja melibatkan oknum-oknum
pemerintahan dan para aparat yang turut bermain pula sebagai bidak Orba
dengan maksud untuk menggoyahkan stabilitas nasional. Dan ketika stabilitas
nasional tersebut goyah maka orang-orang Orba akan mempunyai alasan yang
cukup kuat untuk menggoyahkan pemerintahan Gus Dur sambil berteriak bahwa
karena Gus Durlah situasi dan kondisi di Indonesia menjadi tidak aman alias
rusuh. Ingatlah bahwa pentolan Orba sudah mahir puluhan tahun untuk “bermain
api” dengan rakyat dan cerdik dalam memainkan strategi “lempar batu sembunyi
tangan”.
Kompas:
Gubernur Sulawesi Tengah (Sulteng) HB Paliudju mengatakan yang mengacaukan
situasi di Kabupaten Poso pasca pertikaian berdarah Mei-Juni 1999 adalah
orang dari luar kabupaten itu dengan motif balas dendam."Tertangkapnya dua
orang warga sipil pelaku kekacauan di Poso pasca kerusuhan Mei tahun lalu
ternyata dari hasil penyelidikan pihak keamanan, ternyata berasal dari luar
Sulawesi," katanya di Palu, Senin (29/1). Ia mengatakan pada dasarnya
masyarakat Poso sudah jenuh dengan pertikaian dan mau hidup berdampingan
seperti dulu, namun orang dari luar memperkeruh lagi suasana dengan
memancing emosi masyarakat agar beramai-ramai melakukan aksi balas dendam.
Peristiwa yang terjadi di desa Sepe Kecamatan Poso Pesisir tanggal 23
Desember 2000, katanya, merupakan bukti bahwa yang melakukannya bukan warga
Poso, tapi orang luar yang mencoba memperparah lagi keadaan yang
berangsur-angsur mulai kondusif itu.
Andreas:
Kini terbukti bahwa memang ada orang luar yang turut “bermain api” untuk
ikut memperkeruh Poso. Siapapun sesungguhnya orang luar itu kalau bukannya
lagi orang-orang bayaran yang memang sudah diperkerjakan secara profesional
dengan tujuan untuk memecah belah dan mengadu domba antar umat beragama. Hal
ini memang sudah menjadi strategi andalah atau jurus pamungkas dari para
pentolan Orba untuk menghancurkan setiap gerakan reformasi yang kini sedang
limbung karena kehabisan “bahan bakar”. Dan tragisnya “bahan bakar”
reformasi kini sudah di ambang kehabisan terutama jika Gus Dur dapat
diturunkan secara paksa oleh para politisi di tubuh DPR yang memang sudah
“bau bangkai”.
Kompas:
Dugaan keterlibatan sejumlah oknum TNI Kodim Poso dalam kasus Poso tak
dipungkiri oleh Komandan Kodim 1307 Poso, Letkol Budiardjo. Pemeriksaan
sementara oleh Pomdam VII Wirabuana menunjukkan, 6 anggota Kodim Poso
terlibat langsung. "Enam dari 28 orang oknum TNI Kesatuan Kodim Poso,
setelah melalui penyelidikan sementara diduga terlibat langsung dalam
kerusuhan di Poso," kata Komandan Pomdam VII/Wirabuana Kol. Sudirman
Panigoro. Dari hasil pemeriksaan 28 orang anggota TNI yang terlibat dalam
kerusuhan Poso untuk sementara ada indikasi enam orang diduga terlibat,
katanya kepada Antara di sela-sela acara HUT Bayangkara Ke 54 di Makassar,
Sabtu. Ketika dihubungi KCM melalui telepon, Sabtu, jam 15.00 WIB, Komandan
Kodim 1307 Poso, Letkol Budiardjo, membenarkan adanya pemeriksaan oleh
Denpom Palu terhadap anggota Kodim Poso yang diduga terlibat dalam aksi
kerusuhan Poso, yang penanganannya kini sudah sampai pada Pomdam VII
Wirabuana.
Andreas:
Kini tabir tersebut tersingkap dengan sendirinya bahwa aparatpun ikut
“bermain api” guna meramaikan tragedi Poso. Semoga bukan hanya aparat “kelas
teri” saja yang tertangkap tetapi para politisi besar yang sedang asyik
bermain di “belakang layar”pun bisa ditangkap dan diadili. Semoga.
Kompas:
Gubernur Sulawesi Tengah HB Paliudju mengajak semua warga Poso yang berada
di dalam dan luar kota itu segera menghilangkan perbedaan SARA (suku, agama,
ras dan antar-golongan), guna mencegah munculnya kembali tindak kekerasan
yang dapat meningkatkan jatuhnya korban jiwa dan harta benda."Saya minta
semua warga Poso, baik yang masih bertahan di daerah itu maupun di lokasi
pengungsian, segera menghilangkan perbedaan SARA, mengingat pertikaian
berkepanjangan selama ini telah menelan korban jiwa dan harta benda luar
biasa besar," kata Gubernur di Palu, Jumat.Menurut Paliudju, warga Poso
harus mengingat kembali semboyan "Sintuwu Maroso" (kerjasama dan tolong
menolong antar-sesama manusia) sebab falsafah yang diwariskan oleh
nenek-moyang ini memiliki arti penting dalam menapaki masa depan bersama
yang lebih baik.
Andreas:
Mungkin sampai saat ini kita masih harus “terpaksa” memegang asumsi bahwa
kerusuhan di Poso itu murni bermuatan SARA. Namun pada akhir artikel saya,
saya akan menyodorkan suatu berita yang mengejutkan yang ternyata menegaskan
bahwa kerusuhan di Poso itu bukanlah karena SARA. Sekedar menyinggung
Sintuwu Maroso (kerjasama dan tolong menolong antar-sesama manusia) yang
menjadi semboyan warga Poso, ternyata semboyan ini bukanlah semboyan yang
baru “diciptakan” namun sudah merupakan falsafah yang diwariskan oleh nenek
moyang selama ratusan tahun. Apakah mungkin semboyan Sintuwu Maroso yang
sudah beratus tahun tertanam di dalam hati sanubari dapat hilang menguap
begitu cepat tanpa ada faktor lain sebagai penyebabnya? Penyebab apa lagi
kalau bukan karena “sebab intrik Orba” yang bisa dijadikan alasan kuat untuk
menjawab mengapa semboyan Sintuwu Maroso dapat hilang dengan begitu cepat?
Ataukah pembaca punya alasan lain yang lebih logis?
Kompas:
Pihak MUI (Majelis Ulama Indonesia) Sulawesi Tengah menilai bahwa kasus
pertikaian berdarah di Kabupaten Poso meluas dan menimbulkan banyak korban
jiwa akibat beberapa oknum aparat keamanan (TNI/Polri) di daerah itu
melakukan desersi."Banyak pihak melaporkan hal itu kepada kami, bahkan
sejumlah saksi mata mengatakan sempat melihat para desertir bergabung dengan
salah satu kelompok yang bertikai," kata Wakil Ketua MUI Sulteng KH Drs
Dahlan Tangkaderi di Palu, Rabu.Menurut Tangkaderi, pihaknya telah
melaporkan kepada pimpinan TNI/Polri setempat mengenai masalah tersebut,
sekaligus mengambil tindakan tegas bagi mereka yang membelot dari tugas
kedinasan dan ikut bergabung dengan kelompok yang bertikai untuk melakukan
penyerangan terhadap warga sipil di Poso.
Andreas:
Ada desersi toh rupanya. Ternyata memang perlu dipertanyakan kualitas
sebagian besar dari anggota TNI/Polri, apakah memang benar bahwa mereka
adalah benar-benar prajurit sejati dan pengayom rakyat ataukah hanya terdiri
dari sekelompok provokator bermuka tembok dan pengecut yang hanya bisa
bersembunyi di ketiak para elite politik. Dan saya tidak terkejut ketika
melihat kasus ini, mengingat orang-orang semacam Bimantoropun pernah
melakuan hal yang serupa yakni melawan atasannya dalam hal ini adalah
presiden dengan menolak untuk dinonaktifkan. Sampai di sinikah mental
seorang prajurit di negara kita? Rupanya para anggota TNI/Polri perlu lagi
dibina secara lebih serius supaya kasus Bimantoro atau kasus desersi di Poso
tidak perlu terulang lagi di masa yang akan datang. (Ket: desersi berarti
lari dari dinas ketentaraan; pembelotan kepada musuh).
Andreas:
Di bawah ini adalah berita yang telah saya janjikan itu, bahwa kerusuhan di
Poso itu sebenarnya bukan karena SARA. Silahkan para pembaca nilai sendiri
berita di bawah ini. Semoga berita ini bisa memberikan sedikit kesejukan di
tengah-tengah situasi dan konsidi bangsa yang sekarang lagi serba panas.
Karena itu damailah kalian wahai umat Muslim dan Kristen karena berperang
itu tidak ada gunanya! Marilah kita galakkan semangat persaudaraan dan cinta
kasih dan buang jauh-jauh rasa dendam dan permusuhan! Jangan lupa teruslah
nyalakan api reformasi yang kini hampir-hampi padam dan gilas Orba dengan
kekuatan rakyat!
"Saya yakin kerusuhan Poso ini bukan karena SARA, sebab antar-desa
berpenduduk Muslim dan Kristen yang bertetangga tidak saling menyerang, tapi
saling membantu," katanya di Poso, Kamis (31/5).
Kemudian kesenjangan pendidikan baik formal maupun informal juga punya andil
besar. Pendidikan yang diterapkan orang tua di rumah dan guru di sekolah
terkadang tidak sejalan dan ada kecenderungan kelompok warga tertentu tidak
menikmati pendidikan formal seperti kelompok warga yang lain.
Kerusuhan Poso, lanjut Kamaruddin, dipicu oleh kesenjangan sosial yang kian
mencolok antara penduduk asli dan warga pendatang.
Latar Belakang
Demokrasi lahir bukan tanpa korban. Socrates yang menjadi filsuf paling berpengaruh dalam era
Yunani, telah dengan sangat kritis menyampaikan pembelaan atas pikiran-pikirannya, ketika
berhadapan dengan keputusan demokratis yang menyatakan ia bersalah dan meminta meminum
racun. Plato, Aristoteles dan filsuf-filsuf selanjutnya menjadi kehilangan kepercayaan kepada
demokrasi yang memenangkan suara orang awam (Fuad Hassan, 1996). Kaum bangsawan memang
dengan sangat cerdik telah memanipulasi demokrasi demi keberlanjutan kekuasaan yang mereka
miliki, sehingga suara orang awam pun bisa mereka wakili, tanpa harus mengacu kepada substansi
“kebenaran�? suara-suara itu.
Demokrasi datang ke Indonesia juga bukan tanpa korban. Dalam peristiwa Perang Kamang (1908) di
Sumatera Barat, masyarakat telah berteriak tentang betapa pentingnya penolakan atas “pajak
tanpa perwakilan�?. Dalam model-model yang sederhana, penolakan atas kebijakan raja di tanah
Jawa yang dianggap merugikan rakyat dilakukan dengan cara menjemur diri di depan alun-alun Istana
Raja. Sejumlah manifesto juga dikeluarkan, antara lain dengan gerakan Indonesia Berparlemen. Lewat
Volksraad, telah dimulai suara-suara yang mewakili kepentingan tanah jajahan, sekalipun terbatas
dalam hak dan wewenang. Upaya paling maksimal adalah menempuh jalan kekerasan lewat
pemberontakan bersenjata. Korban-korban pun berjatuhan, sebagai perintis jalan bagi penentuan
nasib sendiri dan sekaligus hak membentuk pemerintahan.
Kemerdekaan Indonesia sejak 17 Agustus 1945 telah membuka kesempatan luas ke arah
pemerintahan yang demokratis. Ada kehendak dalam penjelasan UUD 1945 untuk mengadakan
pemilihan umum, yang menunjukkan kedaulatan rakyat dilaksanakan dalam level tertinggi, namun
terkendala oleh perang kemerdekaan. Tetapi, bukan tidak ada demokrasi, walaupun berlangsung
secara inkonsistusional demi tujuan-tujuan politik dan diplomasi internasional, yakni dengan
pembentukan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan KNIP Daerah. Tokoh beraliran sosialis,
Sutan Syahrir, adalah pengusung adanya parlemen yang tidak dipilih dalam pemilihan umum itu, serta
membangun pemerintahan berdasarkan sistem yang seringkali campur baur, yakni antara presidensial
dan parlementer. Wakil Presiden Muhammad Hatta bahkan pernah menduduki kursi Perdana Menteri,
sementara simbol negara, yakni Presiden Soekarno, tetap dipertahankan pada kursi kekuasaannya.
Luka-luka zaman revolusi kemerdekaan, ketika politik aliran beranjak dari meja diskusi kepada
sejumlah perang terbuka yang juga bermuara kepada pembunuhan, pada gilirannya memupuk
dendam antara sesama pejuang. Anak-anak revolusi itu pun dimakan oleh arus cepat perubahan. Amir
Syarifuddin, Tan Malaka, dan Sutan Syahrir adalah contoh dari nama-nama yang terkikis oleh
terjangan debu, peluru dan penjara revolusi. Sampai bertahun-tahun kemudian, penjara-penjara tidak
hanya diisi oleh pelaku tindakan kriminal, melainkan juga berisi kaum intelektual, politisi, juga
mantan-mantan pejabat penting pemerintahan. Cara mengendalikan politik lewat penjara ini adalah
duplikasi atas kebijakan serupa yang ditempuh oleh pemerintahan kolonial. Tokoh-tokoh penting
kemerdekaan Indonesia bisa dipastikan tumbuh dan berkembang di penjara-penjara yang dekat dan
jauh dari pusat pemerintahan, mulai dari penjara Glodok yang dekat dengan area perdagangan,
sampai ke Bandaneira yang berair jernih dan Tanah Merah di Papua yang masih berupa rimba-
belantara.
Pemilu 1955 yang bisa jadi menjadi barometer ideal dari proses pemilihan wakil rakyat dengan
membolehkan partai lokal dan perseorangan sebagai kandidat, pada akhirnya tidak melahirkan
kestabilan pemerintahan. Demokrasi parlementer (1955-1959) dalam DPR dan Dewan Konstituante
begitu rapuh oleh orasi-orasi dan sidang-sidang yang penuh argumentasi, tetapi gagal mencapai
kesepakatan. Republik pun dikepung oleh pemberontakan daerah, kelangkaan minyak tanah,
kelaparan, dan dilanda begitu banyak rakyat jelata yang miskin. Keadaan ini berlanjut dalam masa
Demokrasi Terpimpin (1959-1966), ketika politik menjadi panglima dan ekonomi tertinggal dalam
keangkuhan nasionalisme. Politik hanya berkisar di sekitar Soekarno yang dikitari oleh orang-orang
yang mengagungkannya sebagai pemimpin besar revolusi dan memberikan jabatan sebagai presiden
seumur hidup.
Padahal, para pendiri republik adalah orang-orang yang sangat paham dengan beragam literatur
tentang demokrasi. Filsafat Barat dan Timur berkumpul di atas meja makan dan tulisan-tulisan di
media massa. Rujukan ke Eropa, Turki, masa-masa kebangkitan Islam, sampai Uni Sovyet kala itu
telah menjadi menu yang menjadi santapan harian. Teori-teori Marxisme, misalnya, bertahan lama
dengan energi yang begitu kuat berhadapan dengan kolonialisme dan kapitalisme. Perang dingin
antara Amerika Serikat dan Uni Sovyet yang menjadi konteks geopolitik global ikut menyeret
Indonesia. Perubahan-perubahan politik internasional pun menggiring kepada perubahan di tingkat
nasional. Sebagai satu kekuatan negara dunia ketiga yang cukup diperhitungkan, terutama dari segi
jumlah penduduk, kekayaan alam dan posisi geografis dalam simpang jalan jalur laut internasional,
apapun yang terjadi pastilah menarik perhatian dunia luar. Hanya saja, kesadaran seperti itu tidak
muncul di kalangan elite, mengingat terlalu asyik dengan kepentingan masing-masing.
Bangsa yang pernah mengalami kelaparan bertahun lewat beragam perang dan proyek kolonialisasi
tiba-tiba berubah menjadi bangsa yang gandrung akan materi. Perubahan itu dimulai dengan cara
memenuhi kebutuhan akan pangan dan sandang, lalu perlahan maju lebih jauh lagi dengan
pemenuhan akan papan (perumahan). Tetapi, bayaran mahal atas kemajuan material itu adalah
hilangnya kebebasan pers dan kebebasan politik. Kalaupun diadakan pemilihan umum, sifatnya hanya
ritual belaka dengan intervensi yang kuat dari pemerintah, mulai dari pengarahan agar memilih
Golkar, sampai penyelenggaraan pemilu sendiri yang dipimpin oleh Menteri Dalam Negeri. Aparatur
militer juga menjadi mesin pengumpul suara yang maksimal, selain memiliki perwakilan tetap dalam
parlemen lokal dan nasional tanpa dipilih.
Pengembirian politik ini ditujukan untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan, yakni stabilitas,
pertumbuhan dan pemerataan. Stabilitas dan pertumbuhan berhasil dicapai, namun pemerataan malah
tertinggal jauh di belakang. Gedung-gedung pencakar langit yang menjulang, dihiasi oleh rumah-
rumah gubuk yang reot. Kota Jakarta yang bersolek, berhadapan dengan kota-kota lain yang
kehabisan uang untuk sekadar memelihara koridor jalan dan selokan. Kekuasaan berpusat kepada
sekelompok orang di Jakarta yang melibatkan Golkar, militer dan birokrasi. Selain itu juga
bergerombol organisasi sosial kemasyarakatan yang berafiliasi dengan Golkar, seperti pemuda,
perempuan, petani, nelayan, dan tipologi sosial-politik lainnya. Tanpa disadari – atau memang
didesain dengan sempurna – puncak kekuasaan ekonomi-politik berpindah dari lembaga-lembaga
negara menjadi usaha rumah-tangga, yakni keluarga Cendana, nama sebuah jalan tempat rumah
tinggal pribadi Soeharto dan keluarganya.
Tetapi, bukan berarti tidak ada demokrasi. Nama yang dikenakan adalah demokrasi Pancasila yang
berbentuk indoktrinasi lewat jalur-jalur pendidikan formal dan sertifikat Penataran P-4, surat kelakuan
baik, sampai bintara pembina desa (babinsa). Pancasila ditafsirkan menjadi 36 butir dan ditambah
menjadi 45 butir, terutama dengan mengambil bagian-bagian penting dalam masyarakat desa di Jawa,
seperti tenggang-rasa dan tepa-selira. Terdapat puluhan Widya Iswara dalam lembaga-lembaga
pelatihan resmi seperti BP-7 Pusat yang sudah bubar, Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas),
Dewan Pertahanan Nasional (Wantanas), serta kantor menteri pemuda dan olahraga. Doktrin-doktrin
juga disalurkan lewat radio, televisi dan koran-koran nasional. Yang ada hanyalah pembenaran, bukan
kebenaran.
Partai-partai politik tidak berkembang, sekalipun jumlah kelompok oposisi terus bertambah secara
diam-diam. Sesedikit apapun gerakan pembangkangan dilakukan, akibat-akibat yang ditimbulkan tidak
bisa ditebak dan ditanggung. Sebuah desa bisa saja ditenggelamkan dengan air bah, penduduk diusir
dengan mendatangkan gajah, tuduhan tentang organisasi tanpa bentuk, sampai penangkapan dan
penahanan, bahkan kematian yang tidak diduga. Aparatus negara berubah menjadi begitu
menakutkan, bahkan hanya dengan modal uniform. Perbedaan pendapat berarti perlawanan atas
pemerintah.
Benteng Pertahanan
Bahkan yang berkembang adalah organisasi kelaskaran pemuda yang mengasosiasikan diri dengan
rezim, terutama dengan pakaian loreng-loreng. Demokrasi, dalam bentuk yang sangat sederhana,
hanya datang sekali dalam lima tahun, yakni lewat pemilihan umum. Namun, benteng pertahanan
terpenting dari demokrasi yang tanpa intimidasi masih tersedia, sekalipun tidak semua bisa
digeneralisasi, yakni pemilihan kepala desa atau kepala kampung, arisan-arisan keluarga dan
tetangga, pemilihan ketua-ketua Organisasi Siswa Intra Sekolah, pemilihan ketua-ketua Dewan
Mahasiswa sebelum dibubarkan, atau proses pemilihan pengurus organisasi profesi dan keilmuan. Di
luar itu, demokrasi tinggal nama, penuh rekayasa, suap-menyuap, tindas-menindas, dan ujung-
ujungnya adalah prosesi kebulatan tekad yang mengusung kembali Soeharto sebagai presiden.
Negara yang coba menaungi semua organisasi, juga masuk ke dalam organisasi sosial
kemasyarakatan dan agama. Nahdlatul Ulama, sebagai contoh, adalah satu organisasi yang terus-
menerus diganggu dengan pelbagai bentuk intervensi, terutama dalam pemilihan pimpinannya.
Muhammadiyah harus mencari jalan tengah untuk mencegah politik belah bambu, sebagaimana dulu
juga pernah dipraktekkan oleh Presiden Soekarno. Organisasi ekstra universitas yang mencoba
mempertahankan azas, seperti Himpunan Mahasiswa Islam, dengan sangat terpaksa terpilah menjadi
dua. Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia menghadapi himpitan serius, karena dirasa mewarisi
pemikiran kalangan Soekarnois, sekalipun para aktivisnya terus mencoba membangun langkah-
langkah alternatif yang dengan sendirinya harus mengikuti kehendak pemerintah. Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia terpaksa fokus di kampus-kampus Institut Agama Islam Negeri.
Penyingkiran memang tidak dilakukan, agar “nafas demokrasi Pancasila�? tetap bisa dirasakan,
namun dalam bentuk pemeliharaan atas ceruk-ceruk wilayah dan kanal-kanal pikiran yang mudah
dikendalikan.
Terdapat juga organisasi masyarakat sipil, baik berbentuk yayasan atau juga lembaga-lembaga
advokasi dan penelitian. Secara umum, organisasi masyarakat sipil ini tidak berkembang, tetapi
sebagian mampu memajukan perspektif yang berlainan atas paradigma pembangunan Orde Baru.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, sebagai contoh lagi, terus berupaya membela
kepentingan masyarakat kecil yang butuh perlindungan hukum. Sejumlah tokoh besar lahir dari sini.
Begitu pula Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) yang
melahirkan majalah PRISMA, satu-satunya referensi utama yang melawan arus dominasi pemikiran
dan jurnal-jurnal resmi pada instansi pemerintah. Kaum intelektual pantas mensyukuri keberadaan
PRISMA ini, sekaligus juga menangisi, karena tidak mampu lagi diterbitkan ketika zaman kebebasan
datang.1
Lembaga swadaya masyarakat atau organisasi non-pemerintah ini ternyata juga mampu menjadi
“tempat persembunyian�? atau bahkan “tempat magang�? bagi para aktivis yang tidak
hendak masuk dalam skema besar pemerintah yang menyediakan lapangan kerja terbatas. Patut
disadari bahwa kalangan intelektual yang punya nama dalam era reformasi, baik yang masih bergerak
dalam ranah masyarakat sipil atau sudah mengikuti arus zaman dengan menjadi bagian dari
penyelenggara negara (baik di wilayah ekskutif, legislatif atau yudikatif), sebagian berasal dari
kalangan masyarakat sipil ini. Sekalipun begitu, sulit untuk mengatakan bahwa demokrasi juga hidup
dalam ranah masyarakat sipil ini. Bahkan, setelah Soeharto tumbang, terdapat indikasi betapa tokoh-
tokoh penting itu justru berubah menjadi “Soeharto-Soeharto kecil�? dengan menjadikan
perlawanan masa lalu sebagai latar. Hal itu dapat dimengerti, mengingat organisasi masyarakat sipil
memerlukan pola keketatan dan kedisiplinan sendiri, untuk menghadapi mesin besar negara Orde Baru
yang menggilas apa saja.
Selain organisasi-organisasi kecil dan organisasi masyarakat sipil, sulit kita melihat organisasi lain
menyediakan ruang demokratis yang baik. Negara, lewat tangan-tangannya dan aparatus intelijen
yang kuat, selalu saja mencoba memasuki dan mengubah agenda-agenda kerjanya. Para seniman,
wartawan, intelektual, bahkan panggung-panggung pertunjukkan, ruang-ruang diskusi, kelas-kelas
pedagogi yang menihilkan peran sekolah, sampai kepada buruh-buruh yang sedang memperjuangkan
kenaikan upah, telanjur dimasuki oleh aparatus negara lewat izin pertunjukan, pembubaran, sampai
penahanan. Satu sebutan yang terdengar manis selama Orde Baru, yakni “aktor intelektual�?,
pada kenyataannya menyimpan kebencian dan kebengisan yang dalam kepada kaum intelektual.
Sebutan-sebutan yang melecehkan seperti itu menjadi kosa kata yang ampuh untuk menundukkan
rakyat di bawah sepatu lars para penguasa.
Tetapi, rezim yang semula dianggap sangat liat itu, mulai menunjukkan kerapuhannya, ketika
melakukan aksi-aksi yang kejam. Pembunuhan Marsinah, perang di Timor Timur, kekejaman di Aceh,
aboriginisasi di Papua, sampai peristiwa 27 Juli 1996, lama-kelamaan membuka borok-borok
kerapuhan rezim. Sikap pesta-pora dengan mengabaikan demokrasi dalam ritual pemilihan presiden
dan wakil presiden, justru mendorong Soeharto mengambil langkah-langkah yang secara kental
memicu lahirnya istilah Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Tekanan dari dunia internasional,
persaingan petinggi-petinggi militer, aksi-aksi demonstrasi mahasiswa, kejatuhan nilai tukar, dan
terutama karena usia yang menua ditimpa zaman yang dihadapi oleh Soeharto, bermuara kepada
pengunduran diri yang disambut sorak-sorai para mahasiswa. Hampir sembilan tahun lalu, pada 21
Mei 1998, Prof. Dr. BJ Habibie, seorang tokoh yang sangat berpengaruh dalam upaya industrialisasi
teknologi tinggi di Indonesia, ditunjuk sebagai pengganti. Soeharto, sebagaimana dikatakan kepada
Daoed Joesoef (2006), menepati janji untuk menyerahkan tampuk kepemimpinan kepada kaum
ilmuwan.
Perubahan yang juga penting adalah munculnya lembaga-lembaga survei yang dengan jitu mampu
memprediksi pihak mana yang bisa memenangkan pemilu, termasuk pemilihan langsung kepala
daerah (pilkada). Lembaga-lembaga ini secara berkala mengeluarkan hasil survei menyangkut posisi
partai-partai politik dan tokoh-tokoh politik penting, seandainya pemilu atau pilkada terjadi pada
waktu survei itu diadakan. Opini publik langsung bisa dihitung, tanpa harus melewati prosedur
pemilihan langsung yang sebenarnya. Kemajuan yang dialami oleh lembaga-lembaga riset itu
menunjukkan juga arah perubahan ilmu-ilmu politik, yakni dari penggunaan metode kualitatif ke arah
penggunaan metode kuantitatif. Pendekatan ini membuat pilihan-pilihan ideologi yang semarak pada
tahun 1950-an menjadi tidak lagi penting. Para aktor politik dengan segala cara mencoba terus
mempertahankan dan meningkatkan dukungan, termasuk dengan mengerahkan para artis.2
Lembaga swadaya masyarakat juga berkembang secara masif, termasuk yang melakukan kartelisasi
atas dana-dana asing. Dalam bahasa Benny Subianto, elite LSM yang sarat kepentingan, pihak donor
yang naif �? dan kadang-kadang kolutif�?, melahirkan oligarki “industri�? LSM (Benny
Subianto, “LSM sebagai Sebuah Industri�?, Kompas, 04 Mei 2007). Menurut Benny, agenda LSM
telah bergeser dari perlawanan terhadap negara menjadi komplemen kebijakan demokratisasi negara.
Bisa jadi memang demikian, terutama mengingat kelumpuhan yang nyaris permanen yang dihadapi
oleh partai-partai politik dalam menyalurkan aspirasi publik. Kehadiran lembaga-lembaga donor di
Indonesia yang berjumlah banyak memang memicu LSM-LSM kian profesional, apalagi kalau tokoh-
tokohnya sudah cukup dikenal. Pemerintah tidak lagi dilihat sebagai satu-satunya lembaga yang layak
mengurus dana-dana yang digelontorkan pihak asing itu. Penanggulangan daerah-daerah bencana,
terutama Aceh, juga mensyaratkan keterlibatan LSM. Tidak heran kalau LSM tumbuh bak jamur di
musim hujan, sehingga menciptakan profesi baru yang cukup memberi pengaruh. Di balik itu, juga
masih terdapat ribuan LSM yang masih hidup Senin-Kamis, baik di Jakarta ataupun di daerah-daerah.
Demokrasi dalam bentuk pengarus-utamaan permasalahan rakyat juga terjadi dalam pertumbuhan
media massa. Era kemerdekaan media ini tidak diimbangi dengan kualitas sumber daya manusia
yang baik, mengingat dihilangkannya pemberian kartu wartawan dengan lebih dahulu mengikuti
pelatihan-pelatihan khusus. Namun, pengawasan terhadap media bukan berarti tidak ada, namun
bukan dilakukan oleh pemerintah, melainkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia, Dewan Pers dan LSM-
LSM yang bergerak khusus di bidang media. Demokrasi, dalam level media, bisa diartikan dengan
adanya kebebasan wartawan, tetapi juga berakibat pada persaingan antar wartawan dalam
mendapatkan berita. Akan tetapi, keterbatasan informasi memicu keseragaman, sekalipun media
berjumlah banyak. Ketika demokrasi digerakkan dengan cara meletakkan kekuasaan tidak pada satu
lembaga yang kuat, seperti lembaga kepresidenan dalam masa Orde Baru, media massa justru
menjadi aktor berpengaruh dengan cara sentralisasi pemberitaan. Dalam banyak pemberitaan akhir-
akhir ini, terlihat bagaimana agenda media mengendalikan agenda pemerintah dan parlemen.
Terbunuhnya seorang praja di Institut Pemerintahan Dalam Negeri, pemunculan Mbah Marijan sebagai
ikon dalam mengantisipasi Gunung Merapi yang (hendak) meletus, sampai reshuffle kabinet yang
berdasarkan opini publik, telah terus-menerus dijadikan sebagai agenda penting media yang lalu
tampil sebagai agenda elite dan dijadikan asumsi sebagai agenda banyak orang.
Persebaran lain demokrasi muncul dalam bentuk otonomi daerah lewat desentralisasi, dekonsentrasi
dan tugas perbantuan. Pemerintah pusat memiliki kewenangan (urusan) yang dibatasi dalam politik
luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama. Sementara,
urusan-urusan lain dikelola secara bersama-sama oleh pemerintah (-an) daerah, yakni pemerintah (-
an) provinsi, kabupaten dan kota yang antara lain meliputi pendidikan, kesehatan, ketenagarakerjaan,
dan lingkungan hidup. Hanya saja, implementasi masih sangat terbatas, terutama keterlambatan
pemerintah pusat dalam mengeluarkan peraturan-peraturan perundang-undangan sebagai turunan
dari undang-undang yang mengatur tentang otonomi daerah, yakni UU No. 32/2004 tentang
Pemerintahan Daerah dan UU No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat
dan Daerah. Kepala dan wakil kepada daerah bahkan dipilih secara langsung sejak 1 Juni 2005.
Pemilihan langsung kepala daerah ini, walaupun masih berasal dari kandidat yang diajukan oleh partai
politik atau gabungan partai-partai politik, tanpa melibatkan calon independen, telah memberi jalan
bagi kemunculan pemimpin-pemimpin daerah yang populer, sekaligus juga menyebabkan
pembentukan faksi-faksi politik di daerah yang bisa jadi mengarah kepada oligarki.
Yang tidak kalah penting adalah kemunculan daerah-daerah khusus dan istimewa yang mempunyai
struktur pemerintahan yang berbeda dengan daerah-daerah yang diatur lewat UU No. 32/2004 itu.
Provinsi Papua diatur lewat UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua. Aceh diatur lewat
UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh. Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan Daerah Istimewa
Yogyakarta sedang bergulat dengan rancangan perubahan undang-undang tersendiri. Dengan model
otonomi khusus, daerah istimewa dan daerah khusus ini, terdapat pilihan pemerintahan lokal yang
tidak lagi seragam. Latar belakang pembentukan model pemerintahan daerah yang berbeda itu berasal
dari sejarah pemerintahan yang berlainan pada empat daerah itu. Aceh dan Papua adalah dua daerah
yang paling bergejolak, sehingga memicu perlawanan bersenjata yang mengarah kepada separatisme
(kemerdekaan). Pergolakan-pergolakan itu banyak disebabkan oleh kekeliruan kebijakan oleh
pemerintah nasional yang mengutamakan pendekatan keamanan untuk mencapai stabilitas politik dan
pemerintahan. Pelbagai operasi militer yang dirancang dan dijalankan Jakarta bermuara kepada
dendam menahun. Selain keempat daerah itu, masih terdapat daerah-daerah lain yang mencoba
menawarkan model otonomi khusus, seperti Bali dan Sumatera Barat. Homogenitas budaya, agama
dan perbedaan sistem pemerintahan tradisional dengan sistem pemerintahan nasional telah
menstimulasi upaya elite dan masyarakatnya untuk menekan pemerintah pusat agar mengakui
perbedaan-perbedaan atas masing-masing daerah itu.
Perkembangan yang juga patut dicatat adalah komponen-komponen masyarakat tidak lagi bersifat
pasif. Semakin banyak keterlibatan masyarakat dalam mengubah kebijakan pemerintah. Keterlibatan
itu berupa aksi-aksi unjuk rasa, konsolidasi berupa pembentukan organisasi, negosiasi aktif atas
persoalan-persoalan yang berhubungan dengan kepentingan warga, atau bahkan juga aksi-aksi
anarkisme terutama yang bertalian dengan politik. Semula, kesadaran itu masih komunal, yakni
pembentukan organisasi-organisasi berbasis etnis dan sub-etnis. Di sejumlah daerah, konflik meletus
akibat penanganan negara yang kacau dalam mengelola kejadian-kejadian yang semula hanya
melibatkan individu, seperti di Poso, Ambon, dan Sambas (lihat S. Sinansari Ecip, 2002). Kekerasan
juga meletup dalam upaya membentuk atau menolak pemekaran wilayah. “Hubungan pendek�?
kekerasan itu memaparkan kepada dunia kekejaman-kekejaman khas kanibal, lewat foto-foto dan
video-video amatir yang dikemas menjadi begitu mengerikan dengan narasi yang kelewat batas.
Kaum buruh, kepala-kepala desa, guru, dan korban lumpur Sidoarjo menjadi komponen yang pantas
mendapatkan tempat sebagai perwakilan warga yang paling gigih dan dalam beberapa hal berhasil
menjalankan fungsi negosiasi dengan pemerintah. Mereka berhasil melakukan tekanan politik, sebagai
bagian yang penting dalam era demokrasi, yakni keberadaan pressure groups. Guru-guru di
Kabupaten Kampar, Riau, mampu menjungkalkan bupati dari kursi kekuasaannya, sekalipun dalam
proses hukum berikutnya sang Bupati kembali menempati jabatan semula. Kaum buruh berhasil
mempertahankan UU No. 13/2003 tentang Ketenagarakerjaan yang semula ingin direvisi oleh negara.
Kepala-kepala desa mengajukan tuntutan peningkatan kesejahteraan, termasuk pengangkatan sebagai
pegawai negeri sipil, ketika UU No. 32/2004 justru menjadikan bawahan kepala desa, yakni Sekretaris
Desa, sebagai pegawai negeri sipil. Bahkan murid-murid sekolah juga dengan gagah tidak lagi
menjadikan jalanan sebagai arena perkelahian, melainkan mulai mencorat-coret dinding, mengusung
spanduk, dan mengeluarkan petisi-petisi yang ditujukan kepada pihak sekolah, yayasan, dan pengelola
pendidikan.
Potret perjalanan demokrasi dalam wilayah yang luas itu menunjukkan bahwa tidak ada lagi ruang
untuk kembali kepada teokrasi, otokrasi, atau bahkan feodalisme dan favoritisme. Demokrasi mengaliri
setiap urat nadi pergerakan masyarakat, baik dalam wilayah yang sangat kecil seperti sekolah dan
kampung, sampai ke tingkatan pemerintahan daerah dan nasional, juga memayungi negara-negara di
planet bumi ini dalam hubungan antar bangsa. Resolusi atau rekomendasi yang ditelorkan dalam
pertemuan antara negara-negara di dunia juga terus mencoba membuka selubung ketertutupan
negara-negara non-demokratis. Kemajuan teknologi informasi, perhubungan, perdagangan, dan
perubahan iklim menyebabkan ketergantungan satu negara dengan negara lain begitu tinggi,
termasuk dalam menangani bencana alam yang turun dalam skala besar dalam beberapa tahun
terakhir. Indonesia, sebagai negara demokrasi baru, tentu sudah harus memantapkan diri, termasuk
dalam mengembangkan kebudayaan dan peradaban yang terkait dengan demokrasi dalam tataran
apapun.
Masa depan demokrasi akan sangat ditentukan oleh keberadaan dan kinerja pranata-pranata
demokrasi formal, seperti legislatif, eksekutif dan yudikatif. Demokrasi juga membutuhkan kaum
demokrat. Dalam level yang luas, demokrasi membutuhkan partai-partai politik moderen dan
profesional yang sekarang masih terlihat gagu dan hanya memikirkan diri sendiri. Mulai masuknya
unsur-unsur perseorangan dalam proses kontestasi demokrasi juga memungkinkan keberadaan
alternatif-alternatif kepemimpinan yang tidak hanya berasal dari partai-partai politik. Keabsahan
pengendalian pemerintahan kurang mendapatkan gangguan berarti. Kalaupun terdapat usaha untuk
mendukung atau mengoposisi pemerintah, kekuatan itu muncul dari kalangan partai-partai politik.
Hanya saja, dari sisi kinerja, demokrasi bukan hanya sekadar melegitimasikan kekuasaan secara
konstitusional, tetapi digerakkan untuk mencapai tujuan-tujuan bernegara. Dalam banyak aspek, krisis
representasi terjadi, ketika aktor-aktor dan lembaga-lembaga demokrasi tidak lagi bekerja demi
publik, melainkan untuk kepentingan diri sendiri. Untuk itu, diperlukan ikatan yang lebih luas antara
publik dengan partai-partai politik, misalnya, dalam soal penjaringan calon-calon anggota legislatif dan
eksekutif yang diajukan. Memang pada sebagian besar negara-negara demokrasi, tidak ada undang-
undang yang mengikat partai politik tentang bagaimana memilih kandidatnya dan setiap partai politik
memiliki kebebasan untuk membuat peraturan sendiri (Gideon Rahat, Journal of Democracy, Volume
18: January 2007). Metode penjaringan yang dipilih mengarah kepada inklusifitas dan ekslusifitas.
Akan tetapi, demi kepentingan yang lebih luas, publik bisa melibatkan diri dengan cara mengajukan
para kandidat yang dijamin lewat undang-undang.
Dengan pelbagai capaian yang sudah diraih oleh Indonesia, terasa sekali ada kebutuhan untuk
menjaga agar dinamika demokrasi berlangsung stabil. Unsur-unsur negatif dalam perkembangan
demokrasi layak dicegah, misalnya kembalinya militer ke kancah politik, ketertutupan informasi di
kalangan penyelenggara negara, pengebirian pers, pengadilan atas pikiran, pelarangan buku, dan
ribuan negative list lainnya yang bisa ditemukan dalam setiap catatan sejarah bangsa ini. Sistem
politik, pemerintahan dan pranata demokrasi harus menjamin agar daftar negatif itu tidak kembali
dalam bentuk tertutup atau terbuka, tidak sengaja, apalagi kalau disengaja.
Sembari itu, cita-cita negara kesejahteraan layak terus-menerus diusung dan dicarikan padanannya
oleh setiap penyelenggara negara dan warga negara. Tanpa peningkatan kesejahteraan, baik materiil,
maupun spirituil, maka demokrasi saja tidak akan cukup. Demokrasi tidak akan berjalan tanpa makan
pagi dan makan siang. Kekurangan selama era Soekarno adalah perkembangan pesat demokrasi yang
kemudian juga memicu kekecewaan, sementara pada masa Soeharto adalah pertumbuhan ekonomi
yang tidak disertai oleh demokrasi. Tugas kita sekarang adalah menggabungkan sisi-sisi positif pada
masing-masing era itu, yakni menumbuhkan demokrasi dan memaksimalkan pembangunan, sembari
menghilangkan kemiskinan dan juga bentuk-bentuk diktatorisme yang tanpa penghormatan atas hak-
hak asasi manusia.
____________________________
1
Diskusi soal perjalanan LSM, lihat “Organisasi Non-Pemerintah di Tengah Gugatan dan
Hujatan�?, Kompas, 22 Januari 2003.
2
Lihat Indra J. Piliang, “Soetrisno, Artis, dan Politik�? dalam Zaim Uchrowi (Ed). Soetrisno Bachir
: Solusi untuk Bangsa. Jakarta: The Indonesian Institute, halaman 61-79.
Selain itu, kerusuhan Poso ini juga disebabkan oleh kuatnya pengaruh situasi
nasional dan adanya jaringan komunikasi yang tersumbat, baik di tingkat
infrastruktur maupun suprastruktur.
"Di saat masyarakat Poso menonton berita ada pembakaran dan pembunuhan di
Jakarta, mereka juga ikut-ikutan melakukannya di Poso. Pengaruh situasi
nasional seperti itu tak bisa dihindari sebagai konsekuensi dari reformasi
dan kuatnya desakan globalisasi," demikian Akram Kamaruddin. (Ant/ima)
Suara SBY yang mencapai lebih dari 60%, tentu saja memciptakan kesenangan besar
bagi para pendukungnya. Terutama bagi rakyat kecil yang mendapatkan bantuan
langsung tunai (BLT). Rakyat kecil yang tidak tahu apa-apa hanya bisa berbangga dan
bersenang hati saat mendapatkan BLT yang di berikan SBY di masa
pemerintahannya. Tentu saja hal ini sangat memberikan efek bagi pilpres mendatang .
rakyat kecil yang tahunya hanya BLT, BLT dan BLT, SBY,SBY dan SBY, secara
otomatis akan kembali memilih SBY sebagai presiden.
Kemenangan SBY tidak hanya di dukung oleh sebagian rakyat miskin yang
jumlahnya kurang lebih 40% dari jumlah penduduk indonesia. Tetapi kenaikan gaji
PNS khususnya guru, dan iming-imingan akan di naikan kembali gaji PNS , membuat
kurang lebih 4jt jiwa PNS khususnya guru menyuarakan hatinya kepada SBY-
boediono. Jelas sudah kenapa suara SBY bisa mencapai lebih dari 50%. Bahkan JK-
WIN yang di prediksi mendapat suara terbesar kedua setelah SBY, ternyata pasangan
pentolan golkar-hanura ini kalan dengan suara Mega-Prabowo. Ini hanya sebagian
tipis analisis saya (penulis) tentang kemenangan SBY-Boediono.
Tak hanya rakyat indonesia yang senang akan kemenangan SBY, tetapi amerika juga
turut merayakan kemenangan SBY yang merupakan pentolan partai demokrat (PD)
ini. Dari pemilu 2004 PD hanya mendapat suara 7%. Tetapi PD seolah meminta belas
kasihan pada mitra koalisi sehingga SBY terpilih menjadi presiden tahun 2004. PD
yang mengusung demokrasi dan nasionalis, tentu saja kehadiran partai islam seperti
PKS yang mengusung wacana “ islamisasi di segala bidang”, menjadi halangan besar
badi PD khususnya amerika yang mempunyai kepentingan – kepentingan tertentu.
tentu saja dengan naiknya SBY, Amerika makin leluasa untuk melaksanakan
kepentingannya, di samping indonesiapun memiliki kepentingan sendiri dengan
amerika. Salah satunya waktu tahun 2004 SBY terpilih Georg bush mempunyai
kepentingan dg mitra TNI yg mampu sapu bersih anasir-anasir teroris Islam ekstrim
Asia Tenggara yg sebagian sedang bersemi dan bersarang di Indonesia. Dan SBY
adalah figur yg tepat di mata Mr.Bush. lalu mengapa SBY menolak kenaikan
cawapres dari PKS? . tentu saja ini ada hubungannya dengan kepentingan amerika,
dengan alasan unsur islam merupakan penghambat demokrasi. Dan Jika partai islam
naik menguasai indonesia tentu saja amat sulit bagi amerika untuk kepentingan politik
hegemoni Amrik dan kelangsungan projek korporat-korporat raksasa Amrik di
nusantara.
Hubungan indonesia yang makin akrab dengan amerika, tak pelak SBY pun di tuding
sebagai antek-antek amerika. Bahkan SBY di tuding terlalu nurut dengan amerika.
Mengapa begitu?
(8-8-2003): “I love USA, with all its faults, I consider it my second country”.
lagi. Yakni soal pilihan mazhab, soal ideologi, soal kepemihakan dan bahkan
Bisa jadi soal kepentingan. (di kutip dari hasil wawancara Khusus Mayor Jenderal
Saurip Kadi oleh Faizal Assegaf (Pemimpin Redaksi Majalah EXPAND)
Dari situ bisa terlihat seberapa dekat hubungan SBY dengan amerika, mengingat SBY
pun pernah bersekolah di amerika. Tidak ada
salahnya memang menjalin hubungan dan meminta dukungan dengan negara asing.
Tetapi jika intervensi asing khususnya amerika malah banyak memberikan kerugian
bagi negara, mengapa itu harus di pertahankan ? . itu sama saja menggantungkan diri
terhadap asing. Padahal indonesia ini negara kaya. Sedangkan negara kecil seperti
thailan dan malaisya saja bisa menghapuskan hutangnya secara singkat. Menurut
Mayor jendral saurip dari awal, SBY sudah terbiasa dimanjakan oleh sekelilingnya.
Dampaknya, dia tidak mempunyai kesempatan menghadapi keadaan yang nyata, yang
sulit-sulit, realitas yang tidak selalu mulus, karena dia tahu beresnya saja.
No 61/Kontras/SP/XII/2000
Tentang
Tahun 2000 sesudah hampir berakhir, namun pelanggaran HAM tetap terjadi di
Indonesia mulai dari ujung barat hingga ke ujung timur, Aceh sampai Papua. Tidak
ada tindakan pemerintah untuk menghentikan segala bentuk kekerasan yang di
lakukan aparatnya yang berlindung atas nama hukum, bahkan pemerintah tidak
memberikan komentar atas korban jiwa yang terus berjatuhan. Konflik Maluku yang
sudah berlangsung dua tahun lebih, dan kekerasan yang masih berlangsung di Aceh
dan Papua, menandai keprihatinan menjelang akhir tahun 2000 ini.
Dari beberapa peristiwa yang tercatat oleh Kontras, terlihat negara secara sistematis
berupaya menolak pertanggungjawaban terhadap pelanggaran-pelanggaran HAM
yang terjadi. Indikasi penolakan tersebut ialah:
Respon negara terhadap berbagai pengaduan pelanggaran HAM masa lalu dan
berbagai pelanggaran HAM yang tengah terjadi di Aceh dan Papua, tidak
mendapatkan prioritas bahwa cenderung untuk diabaikan. Hal ini terlihat kasus
Tanjung Priok, serta diabaikannya pengaduan korban-korban kekerasan negara di
Aceh menunjukan adanya penolakan itu.
Konflik sosial yang terus terjadi di beberapa daerah, terutama yang terjadi di Maluku,
tidak pernah diupayakan untuk bisa di selesaikan secara cepat dengan metode yang
non violence. Selama ini penggunaan pendekatan keamanan dan peningkatan status
keamanan daerah tidak bisa menyelesaikan konflik tersebut, karena tidak disertakan
konsep yang memadai.
Sepanjang Tahun 2000 (Januari - 7 Desember} Kontras mencatat telah terjadi 1216
kasus pelanggaran HAM dengan jumlah korban 2119 jiwa. Korban-korban tersebut
tercatat dalam peristiwa penghilangan orang secara paksa dalam 58 peristiwa dengan
74 korban, pembunuhan di luar presedur hukum dalam 279 peristiwa dengan 457
korban, penahanan semena-mena dalam 450 peristiwa dengan 710 korban dan
penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi lainnya dalam 429 peristiwa dengan 878
korban.
Dari keseluruhan data tersebut di atas, angka pelanggaran HAM tertinggi terjadi di
Aceh.selama bulan Januari - 7 Desember 2000, di Aceh, Kontras mencatat terjadi 57
peristiwa penghilangan orang secara paksa dengan jumlah korban 73 jiwa, 185
peristiwa pembunuhan di luara prosedur dengan korban 310 jiwa dan 376 peristiwa
penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi lainnya dengan jumlah korban 439 jiwa.
Tentang Pelaku
Dari sisi pelaku, dalam periode yang sama, Polri telah menjadi pelaku pelanggaran
HAM terbanyak di Indonesia dengan melakukan pelanggaran HAM terbanyak, yaitu
910 kali, sedangkan TNI melakukan 29 pelanggaran HAM.
Di Aceh, sebagai daerah yang tertinggi angka pelanggaran HAMnya, Polri melakukan
735 pelanggaran, bersama dengan TNI Polri malakukan 76 pelanggaran dan TNI
sendiri melakukan 29 pelanggaran.
Tingginya angka pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Polri dalam banyak
peristiwa disebabkan karean kepolisian selama ini menjadi institusi yang seringkali
menjadi perpanjangan tangan dan alat pengamanan dari kebijakan, sehingga
kepolisian seringkali menjadi tidak terkontrol dalam melakukan aksi dan tugas di
lapangan. Kasus aksi dan sweeping dalam pencarian GAM di Aceh yang dilakukan
kepolsian sebagai pelaksana tugas pengamanan sering disertai dengan tindakan
kekerasan. Kepolisian juga belum melakukan perubahan doktrin dan sikap dalam
menangani persoalan di masyarakat, sehingga perilaku aparat kepolisian tidak pernah
berubah.
Kecilnya angka pelanggaran HAM yang dilakukan oleh TNI bukan berarti TNI tidak
lagi melakukan pelanggaran HAM. TNI ketika melakukan tugas bersama dengan
kepolisian juga melakukan pelanggaran HAM dalam bentuk tindakan yang sama
dengan kepolisian. TNI juga melakukan pelanggaran HAM sebagai pelaksana dari
kebijakan negara dengan kondisi doktrin dan ajaran yang masih bernuansa kekerasan.
Pandangan Kontras Terhadap Kondisi Kemanusiaan Ke Depan Di Indonesia
Melihat kondisis kemanusiaan di Indonesia saat ini, ada rasa pesimis dari sejumlah
kalangan terhadap perbaikan kondisi HAM di masa yang akan datang. Kecemasan ini
dilatarbelakngi dengan kenyataan bahwa :
Terjadi arus balik politik otoritarian yang dipraktekan negara dalam menangani
problem ketimpangan struktural yang terjadi. Praktek politik otoritarian telah
ditunjukkan oleh negara dalam menangani persoalan Aceh dan Papua. Militerisme
terhadap konflik didua wilayah tersebut ditunjukkan juga di Ambon . Kemenangan
politik otoritarian tersebut berupaya dijustikasi melalui system hukum seperti
misalnya perubahan konstitusi, penerapan UU Peradilan HAM dan UU PKB yang
akan melanggengkan praktek poltik militeristik.
Munarman
Koordinator Kontras
Peristiwa di Aceh
TNI/POLRI 3 0 0 11 0 0 1 15
TNI 0 0 0 7 1 0 0 8
POLRI 0 0 1 0 0 0 0 1
GAM 1 0 0 1 0 0 0 2
Tak diketahui 0 3 0 0 0 0 0 3
Total 4 3 1 19 1 0 1 29
Peristiwa di Papua
TNI/POLRI 3 9 0 0 0 0 84 96
TNI 0 0 0 0 0 0 0 0
POLRI 0 0 47 0 0 0 0 47
GBPK 0 1 0 0 0 0 2 3
Tak diketahui 0 0 0 0 0 0 0 0
Total 3 10 47 0 0 0 86 146
Catatan :
AbstrakKrisis moneter yang menimpa beberapa negara di Asia Tenggara pada tahun
1997 telah membawa dampak yang sangat besar dalam kehidupan ekonomi, politik
dan sosial di Indonesia.
Di Indonesia sangat dirasakan adanya krisis ekonomi yang dimulai dari kehancuran
sektor perbankan, dilanjutkan dengan penarikan dana yang sangat besar dari Bank
Indonesia dalam bentuk BLBI untuk penyehatan sektor perbankan. Akan tetapi justru
yang terjadi adalah maraknya perdagangan valuta asing sehingga nilai tukar rupiah
jatuh ke titik yang terendah.
Kemelut dalam bidang politikpun terjadi. Presiden Suharto setelah berkuasa lebih dari
32 tahun terpaksa harus meletakkan jabatan. Wakil Presiden saat itu, BJ Habibie,
diangkat menjadi Presiden. Melalui Sidang Istimewa MPR RI, diputuskan adanya
pemilihan umum dipercepat. Hasilnya terpilih Presiden baru Abdurrachman Wahid,
yang juga tidak dapat bertahan lama karena dianggap sering mengambil keputusan
yang kontroversial. Melalui Sidang Istimewa MPR RI Wakil Presiden Megawati
Soekarnoputri diangkat menjadi presiden.
PendahuluanKrisis moneter yang diawali sejak pertengahan tahun 1997 dan terjadi
di Asia Tenggara, telah membawa dampak yang sangat besar dalam kehidupan
bangsa-bangsa menjelang diberlakukannya Zona Perdagangan Bebas.
Dalam bidang keuangan, lembaga perbankan lahir dengan mudah karena persyaratan
pendirian yang sangat ringan. Akan tetapi dalam perkembangannya, dana yang
dikumpulkan oleh perbankan di Indonesia lebih banyak digunakan hanya untuk
membiayai usaha dari kelompok pemilik bank itu sendiri. Karena sebagian besar dari
usaha ini gagal, maka perbankan harus memikul beban kerugian yang sangat berat.
Akibatnya, likwiditas perbankan menjadi sangat lemah. L/C yang sudah dibuka dan
jatuh tempo untuk dibayarkan, tidak dapat dicairkan oleh bank-bank di luar negeri.
Oleh karena seringnya perbankan kalah kliring, mereka meminjam dari bank yang
lain dengan bunga yang sangat tinggi. Untuk mengatasi permasalahan ini sekelompok
pengusaha perbankan mengajukan permohonan bantuan likwiditas dari Bank
Indonesia dan terjadilah penarikan uang negara secara besar-besaran yang diberikan
kepada sekelompok pengusaha perbankan yang dikenal sebagai kasus Bantuan
Likuidasi Bank Indonesia (BLBI) pada bulan Nopember 1997. Di perkirakan dana
BLBI tersebut sebagian besar tidak digunakan untuk menyehatkan keuangan
perbankan di dalam negeri, melainkan dipindahkan ke luar negeri dipakai untuk
spekulasi valuta asing. Fuad Bawazier, mantan Menteri Keuangan yang pernah
memeriksa BLBI menyebut kasus ini sebagai "perampokan bank terbesar di dunia
yang dilakukan secara terang-terangan di siang hari bolong"
Nilai tukar rupiah yang sebelum masa krisis masih bisa bertahan pada posisi sekitar
Rp. 2.250 untuk 1 dollar Amerika telah merosot ke Rp. 4.000 pada saat BLBI
dilakukan. Akan tetapi hanya dalam waktu 45 hari setelah BLBI dikucurkan, nilai
tukar rupiah justru merosot empat kali lipat hingga mencapai titik terendahnya pada
pertengahan Februari 1998 senilai Rp 16.000 untuk 1 dollar Amerika. Suatu nilai
tukar yang tidak pernah terbayangkan akan terjadi menimpa ekonomi Indonesia.
Kerusuhan antar agama yang tidak dapat dibuktikan siapa pelakunya terjadi di
Situbondo pada tanggal 10 Oktober 1996. Demikian pula di Tasikmalaya pada tanggal
26 Desember 1996 terjadi kerusuhan yang dipicu oleh adanya penganiayaan dua
orang santri oleh polisi setempat.
Di Ambon terjadi pula kerusuhan antar agama pada tanggal 19 Januari 1999 terjadi
tepat pada pada hari raya ‘Idul Fitri , di Galela, Maluku Utara terjadi pembantaian di
dalam masjid pada bulan puasa Desember 1999 dan di Poso ditemukan ratusan mayat
terapung di suangai Poso pada Mei 2000 menjelang pelaksanaan MTQ ke 19.
Konflik antar suku terjadi beberapa kali di Kalimantan antara suku Dayak dan
Madura. Di Sanggauledo pada tanggal 29 Desember 1996, di Pontianak 29 Januari
1997 dan 25 Oktober 2000, serta di Sungaikunyit Hulu 18 Pebruari 1997. Kejadian
paling parah terjadi di Palangkaraya pada 18 Pebruari 2001 dan berkembang hingga
ke Sampit. Konflik antar suku ini telah menyebabkan terjadinya arus pengungsi etnis
Madura ke Surabaya dan Pulau Madura secara besar-besaran.
Sejak bulan Januari hingga Oktober 1998, di 13 wilayah Jawa dan Madura, khususnya
di daerah Tapal Kuda Jawa Timur terjadi pembunuhan massal yang bermula dari isu
pembersihan dukun santet. Para ustadz dan kiai menjadi korban pembunuhan yang
polanya mirip dengan pembunuhan yang dilakukan oleh PKI menjelang meletusnya
G30S. Di Bekasi, Serang, Demak, Bangkalan, Lumajang, Situbondo dan Probolinggo
ditemukan korban tewas dan luka-luka parah.
Di Aceh telah terjadi konflik sosial yang pada akhirnya tidak diketahui lagi siapa yang
memulainya. Tentara membunuh rakyat, rakyat membunuh tentara. Rektor sebuah
universitas dibantai, anggota legislatif dan eksekutif diculik dan dibunuh. Fasilitas
umum diluluh lantakkan. Pemerintah pada akhirnya menyetujui untuk memberikan
Otonomi Khusus bagi Aceh melalui Undang-undang Nanggroe Atjeh Darussalam.
Di Jakarta juga terjadi berbagai konflik sosial dengan latar belakang permasalahan
yang beraneka ragam. Antara lain mulai dari perebutan lahan parkir, tertangkapnya
pencuri, konflik antar kampung/suku, konflik politik hingga konflik antara mahasiswa
dan tentara/polisi yang menyebabkan meninggalnya 3 orang martir mahasiswa
Universitas Trisakti, Elang Mulia, Hafidin Royan dan Hery Hertanto pada tanggal 12
Mei 1998.
Konflik yang terjadi hampir di seluruh wilayah negara kesatuan Republik Indonesia
ini menyebabkan terjadinya pergeseran nilai-nilai. Sementara nilai-nilai yang lama
masih belum dapat ditinggalkan, nilai-nilai baru sudah berlaku di masyarakat. Dalam
kondisi anomi ini, masyarakat hidup dengan penuh ketidak jelasan. Dapat dilihat dari
sopan santun di jalan raya bagi pengendara kendaraan, saat ini sudah hampir tidak ada
lagi. Kendaraan-kendaraan terutama yang besar-besar, melaju dengan sesuka hati
mereka tanpa memperhitungkan bahaya yang mungkin bisa terjadi bagi pengendara
lain. Sikap main hakim sendiri juga sudah merupakan kejadian sehari-hari, sehingga
tidak jarang terjadi pengeroyokan hingga mati terhadap pencuri yang tertangkap
basah.
Dalam kondisi sedemikian ini, diharapkan kita dapat memiliki kemampuan untuk
menghadapi berbagai permasalahan ini dengan baik dan memecahkan persoalan-
persoalan tersebut dengan mengetahui makna dan nilai yang terkandung di dalamnya.
Danah Zohar dan Ian Marshal memberikan batasan tentang Kecerdasan Spiritual
(Spiritual Intelligence) ini sebagai kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan
persoalan makna dan nilai.
Apabila dikaitkan dengan teori chaos, maka saat ini kita sedang berada pada titik
"ujung", yaitu titik pertemuan antara tatanan dan kekacauan. Antara yang diketahui
dan yang tidak diketahui. Untuk itulah diharapkan agar kita memiliki kemampuan
untuk dapat membaca makna dan nilai yang tekandung di dalamnya.
Ditinjau dari ilmu saraf, IQ merupakan hasil dari pengorganisasian saraf yang
memungkinkan kita untuk berpikir rasional, logis dan taat asas. EQ yang
memungkinkan kita untuk bepikir asosiatif yang terbentuk oleh kebiasaan dan
memampukan kita untuk dapat mengenali pola-pola emosi. Sedangkan SQ
memungkinkan kita untuk berfikir secara kreatif, berwawasan jauh membuat dan
bahkan mengubah aturan.
Sekalipun SQ tidak sama dengan beragama, tidak harus berhubungan dengan agama
dan beragama itu tidak menjamin dimilikinya SQ yang tinggi, namun tantangan untuk
mencapai kecerdasan spiritual yang tinggi sama sekali tidak bertentangan dengan
agama. Tetap diperlukan adanya kerangka acuan dari agama untuk dapat
mempermudah kita dalam memahami makna dan nilai dalam kehidupan ini. Dengan
demikian penguasaan agama akan membantu kita dalam mempermudah
meningkatkan Kecerdasan Spiritual, sehingga kita dapat menangkap makna dan nilai-
nilai dengan lebih baik.
KesimpulanDi dalam menghadapi berbagai konflik yang timbul sebagai akibat dari
tidak segera diatasinya krisis multi dimensi yang saat ini sedang dihadapi bangsa
Indonesia, pertama-tama sangat diperlukan adanya kemampuan untuk dapat melihat
keterkaitan dari setiap permasalahan yang sedang dihadapi.
Kita harus dapat melepaskan diri dari pengaruh budaya masyarakat modern yang saat
ini sangat dipengaruhi oleh humanisme barat, ternyata menurut Danah Zohar dan Ian
Marshall memiliki SQ kolektif yang rendah. Manusianya berada dalam budaya yang
secara spiritual bodoh yang ditandai oleh materialisme, kelayakan, egoisme diri yang
sempit, kehilangan makna dan komitmen. Oleh karena itu ajaran-ajaran agama akan
sangat membantu kita untuk dapat meningkatkan SQ agar dapat menjadi tinggi dan
dapat keluar dari konflik sosial yang saat ini telah sampai pada "ujung"nya.
KepustakaanDanah Zohar & Ian Marshall (2000), SQ: Spiritual Intelligence – The
Ultimate Intelligence, Great Britain: Blomsbury
Thomas M.H. (2000), Studying Psychology, Great Britain: Psychology Press Ltd.
Sumber : http://www.himpsi.org
Pekerjaan besar ini dilakukan dengan menghancur-kan ummat Islam yang, pada tahun
1950 telah ikut bersama TNI menggagalkan berdirinya RMS. Bagi mere-ka, ummat
Islam adalah penghalang utama bagi berdiri-nya RMS karena itu harus dipukul
dengan keras, seba-gai upaya memperkecil jumlahnya hingga mencapai titik minoritas
yang tidak berarti.
Isu separatis ini muncul kembali karena suasana dalam negeri RI yang sedang dalam
proses reformasi menunjukkan kekacauan hampir di seluruh wilayah Nusantara.
Pemerintahan Soeharto dijatuhkan sedang-kan Pemerintahan B.J. Habibie rapuh
karena dinilai tidak legitimated dan tidak sah.
Terlepasnya Tim-Tim dengan sutau proses yang di-dukung dunia internasional telah
ikut merangsang pihak RMS untuk melepaskan diri dari Negara Kesa-tuan Republik
Indonesia.
Pihak RMS yang menghantam ummat Islam pada sendi-sendi keaga-mannya seperti
pembakaran masjid, penghinaan terhadap Rasulullah Saw. dan sebagainya telah
menyulut konflik ini ke arah Perang Agama. Karena itu konflik yang amat sensitif ini
cepat menjalar ke seluruh Maluku. Kerusuhan ini telah berkembang ke beberapa
pulau di sekitar Ambon seperti pulau Kei, Banda, Seram, Haruku, Saparua, Sanana
dan pulau-pulau lain yang kini termasuk Maluku Utara seperti Ternate, Halmahera
dan Obi.
Perluasan konflik seperti itu terjadi karena tidak segera diatasi pada akar
permasalahannya. Konflik antar masyarakat Kristen dan Islam ini selalu ditutup-tutupi
dengan mengangkat permasalahan horizontal yaitu konflik sosial kemasyarakat
sebagai penyebab.
Sejak Januari 2000, kota Ambon dapat dikatakan mulai tenang, tetapi pulau-pulau lain
terutama di Maluku Utara masih terus bergolak dalam bentuk perkelahian massal.
Banyaknya aparat keamanan, memang mem-buat keadaan sedikit terkendali. Namun
dikhawatirkan kalau akar perma-salahannya tidak diselesaikan terutama bila RMS
yang diduga sebagai otak dan penggerak kerusuhan tidak ditangani, maka konflik ini
tidak akan dapat selesai begitu saja. Jika aparat keamanan yang besar ini (16 yon)
ditarik, maka tidak mustahil kerusuhan berikut akan terjadi lagi.
Bab 12-02 Perlawanan Ummat Islam
Serangan mendadak yang dilakukan pihak Kristen, menunjukkan adanya suatu
perencanaan melalui suatu organisasi yang solid. Kekuatan besar yang
dikonsentrasikan, dihantamkan kepada ummat Islam yang tengah merayakan Idul
Fitri, tidak mungkin dapat dilakukan begitu tiba-tiba tanpa perencanaan yang matang.
Suatu kenyatan yang sulit dipercaya adalah menggeloranya semangat Jihad Fie
Sabilillah yang amat dahsyat, puluhan ribu mujahidin telah memasuki kota Ambon,
sedangkan ditiap pedesaan telah mengorganisir kekuatan tambahan. Semangat sebesar
itu telah mengakibatkan pukulan moril besar terhadap pihak Kristen, sehingga tidak
gampang melakukan serangan-serangan seperti minggu pertama kerusuhan.
Namun demikian semangat jihad itu juga membawa dampak lain di pihak Muslim,
berupa perawatan kepada belasan ribu mujahidin dari luar daerah itu. Walaupun berat
beban perawatan ini ternyata masyara-kat kota Ambon dengan segala keterbatasannya
mampu menanggulangi bersama-sama sampai menjelang setahun mereka di kota
Ambon. Pihak Kristen yang memang merencanakan kerusuhan untuk mencapai tujuan
politik tertentu, jauh hari sebelumnya telah mempersiapkan kekuatan, baik personil
maupun persenjataan, termasuk senjata api rakitan dan organik militer. Karena itu
mereka mampu secara sistematik melakukan penyerangan walau dalam skala kecil
sampai dengan akhir Juli 1999 yang telah menimbulkan kerugian terus-menerus di
pihak Islam.
Dalam keadaan demikian, ummat Islam di akhir Juli 1999 itu bangkit melakukan
serangan balasan, inilah awal offensif ummat Islam setelah bertahan terus menerus
selama enam bulan. Bangkitnya ummat Islam melakukan pembelaan sesungguhnya
hal yang terpaksa karena mereka belum cukup kuat untuk melakukan aksi pembelaan.
Ternyata dengan semangat Jihad Fie Sabilillah yang luar biasa, ummat Islam
mendapat kemajuan yang berarti, sehingga September 1999 dapat dikatakan kondisi
kekuatan dan kerugian kedua belah pihak menjadi relatif seimbang.
Karena itu pihak Kristen mulai mengalihkan kerusuhan ke luar Ambon, menjangkau
beberapa desa di Seram dan seterusnya, dan pada Desember 1999 mencapai Maluku
Utara dengan konflik fisik yang cukup dahsyat.
Perekonomian dalam skala besar dengan investasi ummat Islam terutama yang dari
luar Maluku terpukul sehingga kini mereka menarik diri, begitu juga penanam modal
lainnya yang memberikan lapangan kerja bagi ummat Islam.
Tidaklah berlebihan bila para tokoh memperkirakan akibat kerusuhan ini, ummat
Islam akan kehilangan sumber daya berpendidikan selama satu generasi. Oleh karena
itu, kondisi-kondisi strategis kerugian ummat Islam ini perlu mendapatkan
penanganan khusus dari Pemerintah.
Rizal Panggabean
DIREKTUR MAGISTER PERDAMAIAN DAN RESOLUSI KONFLIK, UGM
Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, khususnya sejak 1999, konflik horizontal pada
2003 relatif berkurang. Walaupun potensinya tetap besar, benturan keras
antarkelompok masyarakat cenderung menurun, baik dilihat dari intensitasnya
maupun jumlah korban yang jatuh. Selain itu, bentuk-bentuk konflik tidak baru,
melainkan sudah akrab di telinga masyarakat.
Bentuk lainnya adalah kekerasan antara warga pendatang dan warga setempat, seperti
yang terjadi di kota Timika, Papua, awal September lalu. Dua orang tewas dalam
kerusuhan yang antara lain dilatari pemekaran wilayah berupa pembentukan provinsi-
provinsi baru.
Bentuk lainnya lagi adalah benturan antarpendukung partai yang terjadi di Singaraja,
Buleleng, Bali. Pada 26 Oktober, benturan antara pendukung Partai Golkar dan PDI
Perjuangan menimbulkan dua korban tewas dan banyak lagi yang luka-luka.
Benturan antardesa, antara penduduk asli dan pendatang, dan antarpendukung partai
mengisyaratkan beberapa ciri yang perlu diperhatikan dalam konflik horizontal di
Indonesia. Yang pertama adalah yang menyangkut unsur-unsur identitas yang
melandasi pembentukan dan, kemudian, pengerahan kelompok-kelompok masyarakat
yang berbenturan. Pengalaman menunjukkan beberapa sumber identitas yang sering
menjadi basis mobilisasi adalah agama dan etnisitas, seperti yang terjadi di Maluku,
Maluku Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Sulawesi Tengah.
Tetapi, cerita dari Pasaman di atas menunjukkan bagaimana satuan teritori yang kecil
seperti desa semakin sering menjadi basis pembentukan dan pengerahan kelompok-
kelompok yang bertikai. Selain di Sumatera Barat, benturan antardesa pakraman di
Bali juga sering terjadi. Walaupun jarang sekali menimbulkan korban jiwa, konflik
antardesa adat di Bali cukup membuat pusing polisi dan tokoh adat setempat.
Dalam konflik antara pendatang dan penduduk asli, etnisitas biasanya menjadi ciri
pembeda yang menjadi basis mobilisasi konflik. Seringkali perbedaan etnis penduduk
asli dan pendatang ini ditopang pula dengan perbedaan agama. Dalam kasus-kasus
seperti ini, masalah yang lebih mendasar, yaitu integrasi sosial pendatang dan
penduduk asli, jarang diperhatikan sehingga dapat meletus sewaktu-waktu.
Akhirnya, afiliasi kepartaian dapat menjadi basis mobilisasi juga seperti tampak pada
kisah dari Singaraja, Buleleng. Tentu saja, kondisi yang lebih mendasar adalah
persaingan antarpartai besar dalam memperebutkan suara dan dukungan yang sering
dianggap langka dalam konteks kompetisi kepartaian.
Yang perlu dicermati lagi adalah apabila afiliasi kepartaian ini ditopang dengan
pemilahan yang lain, misalnya konflik antardesa atau antarbanjar. Seperti halnya
kombinasi perbedaan etnis dengan perbedaan agama, kombinasi perbedaan afiliasi
kepartaian dengan perbedaan banjar atau desa bisa menjadi bahan mentah bagi
benturan horizontal yang keras dan berdarah.
Karenanya, pemerintah dan masyarakat perlu memberikan perhatian yang lebih serius
terhadap afiliasi kedesaan, kesukuan, keagamaan, dan kepartaian. Selama ini, aparat
keamanan cenderung mengikuti refleks mereka dan serta-merta berbicara mengenai
provokator atau aktor intelektual di balik setiap insiden konflik horizontal. Provokator
dan aktor intelektual, dengan kata lain, menjadi kambing hitam yang mudah didapat
di mana saja.
Bukan rahasia lagi bahwa dalam usaha mereka memulihkan keamanan dan ketertiban,
pemerintah daerah dan polisi akan terfokus pada usaha penegakan hukum, khususnya
menangkap dan kemudian mengadili perusuh yang dianggap bertanggung jawab.
Dalam definisi tugas dan tanggung jawab seperti ini, provokator atau aktor intelektual
memang sungguh sesuai karena dapat ditangkap, dipukuli, dan syukur-syukur diadili.
Setelah ditangkap dan diadili, keadaan dianggap telah "aman terkendali".
Akan tetapi, mengingat potensi konflik horizontal yang secara luas diakui sangat
besar di Indonesia, kiranya perlu sekali apabila aparat keamanan dan masyarakat
mengubah orientasi dalam menangani konflik horizontal.
Jangan lupa pula bahwa tidak jarang pendekatan agresif dan represif yang dilakukan
aparat justru memperparah polarisasi di masyarakat. Penduduk dua desa dikawal, dua
suku yang bertikai dipisahkan dengan mentransfer salah satu di antara keduanya ke
tempat lain, dan barikade-barikade memisahkan dua komunitas beda agama.
Di lain pihak, masyarakat juga perlu mengubah cara berpikir dan bertindak.
Berhentilah berpikir bahwa desa-desa di Sumatera Barat, Bali, atau Papua terdiri dari
masyarakat yang homogen dengan tetangga dan warga yang selalu rukun. Hadapilah
kenyataan bahwa desa-desa bisa terdiri dari kelompok-kelompok yang memiliki
kepentingan yang satu sama lain bertentangan. Sadari juga bahwa partai-partai adalah
cerminan konflik kepentingan dan pemilahan di masyarakat dan karenanya perlu
dikelola melalui aturan main kampanye, kepartaian, dan pemilu yang melembaga.
Dari pergeseran cara berpikir seperti di atas, konflik horizontal tidak hanya potensial
menimbulkan kekerasan, tetapi juga dapat menjadi awal bagi kemitraan dalam
mengidentifikasi faktor-faktor risiko dan menyelesaikan masalah-masalah mendasar
di masyarakat.
Masalah Cina 3
MASA ORDE BARU
MASALAH Cina memang merupakan salah satu pekerjaan rumah berat bagi Pemerintahan
Orde Baru yang mulai beroperasi pada tahun 1966, soalnya jumlah orang-orang Cina
tergolong kecil dibandingkan seluruh penduduk Indonesia (hanya sekitar 1,5% saat itu),
tetapi pengaruhnya terhadap ekonomi sangatlah besar karena sebagian besar ekonomi RI
ditengarai dimainkan aktor orang-orang Cina (sekitar 60-70%), padahal sebagian besar dari
mereka tidak berstatus warganegara Indonesia dan nasionalisme ke-Indonesia-annya
diragukan.
Indonesia yang baru merdeka dan baru dirongrong pemberontakan 'Madiun' cukup berat
menghadapi masalah sebagian orang Cina yang terlihat lebih memihak Belanda pada waktu
revolusi dan kemudian bersimpati pada waktu pada G-30-S. Peran mereka yang sangat
besar mendorong pemerintah Orde Baru untuk segera mengambil tindakan. Konsulat dan
Kedutaan RRC ditutup menyusul kecurigaan keterlibatan mereka pada G-30-S di tahun 1965,
dan kemudian BAPERKI dinyatakan terlarang.
Program Pembauran
Orang-orang Cina kemudian di tahun 1967 dianjurkan untuk mengganti namanya dengan
nama Indonesia untuk memperkecil perbedaan antara WNI keturunan Cina dengan WNI asli.
Sekalipun demikian, memang tidak mudah bagi orang-orang Cina yang secara tradisi budaya
memiliki perasaan eksklusif dan superioritas untuk bisa menempatkan diri dalam konteks
kemerdekaan, apalagi ketika dijaman Belanda diangkat sebagai warganegara hampir
setingkat dengan Belanda dan dibuat lebih tinggi statusnya dari orang-orang Pribumi, lebih
lagi keunggulan dalam perdagangan dan pendidikan waktu itu menyebabkan program ganti
nama seakan-akan hanya berganti baju dengan badan dengan bau yang sama juga.
Memang usaha-usaha yang selama ini menjadi monopoli orang-orang Cina kemudian mulai
diisi pula dengan orang-orang Pribumi. Kerjasama Ali-Baba ini memang saling
menguntungkan kedua pihak, dan umumnya lebih banyak terjadi dari 'Ali' pejabat dengan
'Baba' pengusaha. Disinilah mulai ada tuduhan kolusi (KKN) antara pejabat dan WNI
keturunan Cina yang kemudian kita lihat menghasilkan ekonomi pertumbuhan gaya orde baru
yang memang hebat tetapi menghasilkan produk sampingan berupa kesenjangan sosial-
ekonomi yang makin lebar antara beberapa pengusaha Cina + Pribumi pejabat dengan
rakyat orang-orang Pribumi pada umumnya.
Namun, dibalik itu dalam kehidupan ORBA kemudian sebenarnya banyak generasi muda
Cina mulai bersosialisasi dan berintegrasi dengan yang Pribumi dan makin banyak yang
kemudian melakukan kawin-campur dengan yang Pribumi terutama yang beragama sama.
Dari sikap sosialisasi yang makin bertumbuh, kemudian masyarakat orang-orang Cina
Indonesia dapat dibagi setidaknya menjadi tujuh golongan, yaitu (1) WNA Cina-RRC, (2)
WNA Cina-Taipeh, (3) WN-Stateless, (4) WNI yang beragama Budha/Konghucu (yang
mempunyai ikatan premordial dengan tanah leluhur dan masih berbahasa mandarin) , (5)
WNI yang beragama Kristen/Katolik (yang berorientasi Belanda/Barat), (6) WNI yang
beragama Kristen/Katolik (yang berorientasi nasionalisme Indonesia), dan (7) WNI yang
beragama Islam. Yang terakhir ini relatif masih kecil jumlahnya.
Pertumbuhan Ekonomi Orba
Pertumbuhan ekonomi gaya Orde Baru memang cenderung bersifat pasar bebas dimana
modal besar diuntungkan dan jelas bersifat kapitalistis. Ternyata pertumbuhan ekonomi
ORBA lebih membuka peluang tumbuhnya sektor ekonomi makro dan menghasilkan
konglomerat-konglomerat yang sebagian besar dari etnis Cina/Tionghoa. Apalagi Presiden
ORBA Suharto mempunyai hubungan dekat dengan Liem Sioe Liong dan Bob Hasan. Dan
Pemerintah secara terbuka lebih memberi kebebasan dalam perkembangan usaha-usaha
konglomerasi demikian, bahkan oleh pihak tertentu pengusaha Cina itu dijadikan sapi
perahan.
Sektor mikro seperti Koperasi umumnya dimasuki pedagang Pribumi. Karena kurangnya
pengalaman dan keunggulan dalam sektor perdagangan dapat dimaklumi kalau usaha
konglomerasi yang melibatkan mayoritas Cina lebih unggul dan berkembang dan usaha
Koperasi makin terpuruk. Banyak usaha koperasi hancur, dan pamor industri batik rakyat
tradisional yang sempat jaya malah sekarang hancur diterjang usaha-usaha non-pri yang
mendirikan pabrik batik raksasa seperti Batik Keris dan Batik Semar.
Sektor pasar tradisional dan pedagang asongan non-formal yang umumnya dikuasai Pribumi
sekarang dihantui supermal-supermal yang dimiliki non-pri seperti jaringan supermal Matahari
yang juga masuk ke kota-kota kabupaten, dan lainnya. Jelas perbedaan demikian
menimbulkan kesenjangan sosial yang makin parah yang menjurus pada terjadinya
kerusuhan-kerusuhan dan huru-hara kota yang cenderung menjadikan rumah, toko, pabrik
maupun supermal milik non-pri menjadi sasaran amuk massa. Hampir semua sektor
perdagangan dari hulu sampai hilir terutama perbankan sekarang dikuasai oleh non-pri atau
kolusi pri-non-pri. Itulah sebabnya dalam setiap amuk yang melibatkan massa selalu arah
perusakan akan kembali terarah pada minoritas ini.
Sekalipun WNI keturunan Cina diakui hak hidupnya oleh pemerintah ORBA dan istilahnya
diperlunak menjadi 'Non-Pri' dan memperoleh kembali kebebasan bergerak di sektor
ekonomi, disektor-sektor lainnya kesempatan itu kecil sekali. Dalam karier di ABRI maupun
menjadi Pegawai Negeri kesempatan itu kecil apalagi memang dari kalangan keturunan
sendiri dorongan untuk memasukinya juga kecil. Sempitnya kesempatan itu juga terjadi pada
Sekolah Negeri dan Perguruan Tinggi Negeri dimana porsi untuk non-pri dibatasi.
Situasi di atas mendorong makin banyak orang Cina bergerak dalam sektor bisnis dan makin
dominanlah mereka. Kurangnya kesempatan masuk di Sekolah dan Perguruan Tinggi Negeri
tidak menghalangi kemajuan pendidikan non-pri, sebab banyaknya sekolah-sekolah swasta
yang berbasis agama atau tidak memberi peluang cukup pada non-pri untuk menambah ilmu,
hanya sekarang timbul lagi masalah baru karena umumnya sekolah-sekolah swasta banyak
yang kemudian diisi dengan mayoritas siswa/mahasiswa non-pri.
Masalah rasial yang kembali timbul dalam bentuk baru sebagai konsekwensi ekonomi
pertumbuhan secara bebas yang dianut pemerintah ORBA yang kemudian berkembang
sebagai masalah SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar-golongan) lebih diperparah lagi
dengan usaha-usaha pemerintah RRC yang sekarang dalam alam demokrasinya kembali
membuka diri dan secara aktip mulai lagi merangkul pengusaha-pengusaha Cina di
perantauan.
Persatuan Cina Sedunia
Lee Kuan Yew, mantan Perdana Menteri Singapura pada bulan Agustus 1991 memprakarsai
diadakannya Konvensi Cina Sedunia di Singapura untuk mengumpulkan pengusaha-
pengusaha Cina perantauan (Overseas Chinese) dari seluruh dunia. Konvensi ini dihadiri 800
pengusaha besar Cina yang datang dari 30 negara termasuk dari Indonesia. Pertemuan ini
kembali membangkitkan premordialisme para pengusaha Cina bahwa keberhasilan mereka
dalam bidang ekonomi tidak lepas dari kesamaan mereka yang mewarisi tradisi budaya super
yaitu Cina. Ini kemudian dikaitkan dengan sifat-sifat tradisi budaya itu untuk bersikap hemat,
kerja keras, mengutamakan pendidikan, persatuan dan saling membantu, bahkan ditekankan
kembali Confucianisme sebagai etos pengikat orang-orang Cina.
Tujuan Konvensi ini adalah untuk "membentuk jaringan kerjasama ekonomi masyarakat
bisnis internasional Cina untuk memanfaatkan berbagai peluang bisnis." Karuan saja jaringan
kerjasama yang berbau rasialis ini menggoncang nasionalisme Pribumi di negara-negara
khususnya ASEAN, dan khususnya Indonesia yang sedang berusaha keras untuk
mempersatukan non-pri ke dalam kesatuan dengan yang pri sangat dibuat marah dengan
perilaku Konvensi yang dihadiri banyak pengusaha non-pri dari Indonesia itu. Konvensi ini
kemudian disusul dengan Konvensi serupa yang diadakan di Hongkong pada bulan
November 1993 yang dihadiri 1000 pengusaha besar Cina dari seluruh dunia. Indonesia
diwakili 40 konglomerat non-pri.
Timbulnya Reaksi
Dampak pertemuan-pertemuan itu telah membangkitkan kembali reaksi kesadaran kaum
Pribumi di negara-negara ASEAN terutama Malaysia dan Indonesia untuk mewaspadai gerak
langkah para pengusaha Cina dinegara-negara itu. Reaksi premordialisme ini bisa dilihat dari
reaksi pengusaha Probosutedjo yang sekalipun sejak tahun 1980 pemerintah sudah
menganjurkan untuk meninggalkan istilah pri dan non-pri yang menyebabkan usaha HIPPI
berubah arti menjadi 'Himpunan Pengusaha Putera Indonesia', reaksi keras menyebabkan
HIPPI kembali diartikan menjadi 'Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia' seperti semula.
Reaksi itu dapat dimaklumi karena persatuan Cina Sedunia demikian ditakuti sebagai usaha
melarikan modal Indonesia ke luar negeri (capital flight) yang berarti merusak ekonomi dalam
negeri. Reaksi ini memang patut dimaklumi, soalnya, sudah lama pemerintah RRC sendiri
menganjurkan pengusaha-pengusaha Cina perantauan untuk menanamkan modal mereka
secara besar-besaran ke RRC.
"Tanpa orang-orang keturunan Cina ini, sulit bagi RRC untuk bisa mewujudkan suatu
pertumbuhan ekonomi yang begitu tinggi. Para pengamat memperkirakan bahwa 60%
investasi asing didaratan Cina ini dibawa oleh para pengusaha keturunan Cina. Tanpa orang-
orang keturunan Cina seperti Mochtar Riady atau Soedono Salim dari Indonesia. Robert
Kuok dari Malaysia atau Charoen Pokphan dari Thailand, tidak banyak modal yang akan
masuk ke daratan Cina untuk investasi." (Jhon K. Naveront, Jaringan Masyarakat China, 12).
Reaksi juga datang dari Siswono Yudohusodo yang menyebut ada sembilan dosa orang-
orang keturunan Cina di Indonesia, yaitu antara lain: "mereka hidup secara eksklusif,
segregasi dalam kehidupan sosialnya, maunya cuma bergaul antara mereka, mereka yang
menjadi pengusaha membuat diskriminasi dalam penerimaan buruh (karyawan), antara yang
Pri dan Non-pri, diskriminasi dalam upah dan sebagainya." (Ibid, 91)
Kerusuhan Rasial
Reaksi massa mengambang lain lagi, sebab mereka tidak memberi komentar tetapi
melakukan perusakan dan pembakaran obyek-obyek milik orang-orang non-pri secara
massal. Sejak peristiwa 10 Mei 1963 yang menimpa kota Bandung dan kota-kota lainnya dan
disusul dengan sepuluh tahun kemudian di kota yang sama, pengrusakan-pengrusakan
terhadap obyek-obyek harta milik orang-orang Cina makin sering terjadi lebih-lebih dalam
dasawarsa terakhir abad ke-20. Pada bulan April 1994 terjadi pembakaran puluhan pabrik
dan ratusan toko di Medan dengan korban jiwa seorang pengusaha, dan dalam tahun-tahun
berikutnya memasuki tahun 2000 ada puluhan kota mengalami huru-hara yang sama yang
menimpa etnis Cina. Sebenarnya kota Medan sudah beberapa kali mengalami kerusuhan
rasial. Di Medan 30% penduduknya adalah orang Cina dan ekonomi kota memang dikuasai
orang-orang Cina.
Di kota Pekalongan pada bulan Nopember 1994 seorang Cina yang diisukan menyobek Al
Quran menyebabkan toko-toko Cina dirusak dan dibakar. Apapun penyebabnya selalu toko-
toko batik milik orang Cina dirusak dalam kerusuhan Massa, bahkan di tahun 1997 ketika ada
kerusuhan Pemilu kembali obyek ekonomi Cina di kota ini dijadikan sasaran. Beberapa
kerusuhan terjadi di tahun 1995 seperti di Purwakarta dimana seorang gadis yang dicurigai
mencuri sepotong coklat dan dihukum menyebabkan banyak toko Cina dirusak massa.
Di tahun 1996 di Situbondo banyak toko-toko milik orang Cina dirusak, dihancurkan dan
dibakar massa (termasuk 27 gedung gereja) padahal pencetusnya tidak ada hubungannya
dengan orang Cina maupun Kristen. Di tahun yang sama konflik PDI dalam peristiwa 27 Juli
di Jakarta merembet ke pembakaran obyek-obyek ekonomi orang Cina. Tasikmalaya juga
mengalami hal yang sama dimana supermal Matahari dibakar dan mal Yogya dirusak dan
ratusan toko milik orang Cina dan gereja dibakar massa, padahal penyebabnya anak polisi
yang dihukum di pesantren.
Tahun 1997 lebih banyak diisi dengan kerusuhan seperti di Rengasdengklok dimana
kesalahan sikap seorang wanita Cina menyebabkan seluruh toko-toko Cina dihancurkan dan
dibakar massa termasuk gereja dan vihara. Di tahun yang sama di seputar Pemilu, banyak
kota seperti di Jabotabek, Jawa Timur dan Madura dan kota-kota lain mengalami kerusuhan
dan selalu merembet pada pengrusakan dan pembakaran toko-toko milik orang Cina. Huru-
hara besar yang menimpa toko-toko orang Cina terjadi juga di Banjarmasin dan Ujung
Pandang.
Tahun 1998 makin banyak diisi dengan kerusuhan dan huru-hara karena masalah sembako.
Baik di Jawa Timur, Pantai Utara Jawa dan dibanyak kota terjadi penjarahan, pengrusakan
dan pembakaran toko orang Cina. Ini memuncak dengan kerusuhan berdarah yang terjadi di
bulan Mei di Medan, Padang, Palembang, Solo dan memuncak di Ibukota Jakarta yang
mengakibatkan: "Versi pemerintah mengatakan, kerugian akibat kerusuhan itu Rp.2,5 trilyun.
Nilai itu berkaitan terbakar dan rusaknya 13 pasar, 2.479 ruko, 40 mal/plaza, 1.604 toko, 45
bengkel, dua kecamatan, 11 polsek, 383 kantor swasta, 65 bank, 24 restoran, 12 hotel,
sembilan pompa bensin, delapan bis kota/metromini, dan 1.119 mobil dan motor." (Kompas,
3 Juli 1998)
Selain itu ada sekitar 80 sinema dibakar, dan kerusuhan rasial anti-Cina di bulan Mei 1998 ini
bahkan menyerang rumah orang Cina dan pemerkosaan 168 wanita Cina (152 di antaranya
di Jakarta, tetapi menurut versi Tim Gabungan Pencari Fakta hanya sepertiga angka itu)
dimana beberapa di antaranya dilaporkan terbunuh. Kerusuhan Mei di Jakarta dan kota-kota
lain itu diikuti larinya lebih dari 100.000 orang-orang Cina ke luar negeri dengan membawa
uang banyak di tengah ekonomi dan kelaparan massa yang sudah terjadi menambah
kepedihan konflik rasial yang sudah ada.
Peristiwa Jakarta merupakan puncak kemarahan massa pada etnis Cina karena dosa-dosa
mereka, padahal kita mengetahui bahwa hanya sebagian masyarakat Cina, yang umumnya
pengusaha, yang bermental begitu. Inipun masih sering disusul dengan pembakaran pabrik
atau penjarahan toko, gudang dan tambak milik orang-orang Cina secara sporadis di banyak
tempat di seluruh Indonesia. Memang tepat kata pepatah: "karena nila setitik rusak susu
sebelangga."
Sekalipun reaksi itu pantas ditujukan pada pelaku ekonomi yang orientasinya memang ke
daratan Cina dan melakukan KKN yang memberatkan rakyat banyak, sayang sekali bahwa
banyak orang non-pri yang sudah tidak merasa punya kaitan apa-apa dengan negeri leluhur
dan banyak yang bukan lagi menjadi pedagang kakap, dan berusaha dengan jujur dan telah
membaur, sekarang disamaratakan dan ikut menjadi korban, sehingga mereka yang mampu
dan memiliki harta cenderung kemudian banyak yang hijrah ke negara-negara Barat.
Kenasionalan mereka cukup tinggi karena banyak di antaranya menjadi pegawai negeri,
namun kesesakan sosial yang tidak tertahankan dan kehadiran mereka di bumi Indonesia
yang dirasakan tidak disukai, mereka terdorong mencari alternatif hidup yang lebih baik.
Melihat kondisi perekonomian yang makin terpuruk, banyak pengangguran dan korban PHK,
rusaknya jaringan distribusi, masih berlakunya praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme,
naiknya harga-harga Sembako yang belum bisa diatasi oleh Pemerintah dan dengan tidak
adanya pemecahan tuntas dari kerusuhan-kerusuhan anti Cina yang terjadi selama ini, besar
kemungkinan kerusuhan-kerusuhan dan huru-hara anti Cina akan terus terjadi selama
sumber-sumber konflik dan kesenjangan sosial ekonomi belum terpecahkan dan diperbaiki
dengan serius. Apalagi, euforia premordialisme budaya tanah leluhur Cina kembali bangkit
dalam keterbukaan era Reformasi di akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21 tentu dapat
mempertebal eksklusifisme sebagian ras ini dan berdampak pada sikap antipati yang lebih
besar.
Lalu Bagaimana?
Dari Bab-Bab sebelum ini kita melihat begitu dalam jurang kesenjangan yang sudah terpupuk
di antara ras Cina dengan Pribumi yang terjadi dalam perjalanan sejarah yang keliru, dan
penghakiman massal sudah terjadi di puluhan kota dan korban yang didatangkan bukan saja
menimpa orang-orang Cina yang bersalah tetapi juga diarahkan pada yang tidak bersalah,
bahkan faktanya sudah berakibat fatal membuat negara Indonesia menuju kebangkrutan
yang jelas membuat massa rakyat makin menderita.
Yang lebih memperparah yang menyebabkan kerusuhan massal makin berlarut-larut itu
adalah sikap pemerintah sendiri yang cenderung tidak pernah menghukum kelompok-
kelompok masa yang beringas yang telah mengorbankan segolongan ras tertentu yang juga
menimpa banyak masyarakat rakyat kecil, sehingga kerusuhan-kerusuhan massal itu seakan-
akan mendapat legitimasi selama tidak merugikan pemerintah. Apalagi kemerdekaan dan era
reformasi menyebabkan massa mengambang ingin cepat-cepat menikmati kemakmuran
bukan dengan kerajinan dan berusaha keras tetapi dengan merusak harta benda orang lain.
Namun, dari pembahasan pada Bab-bab sebelum ini, mulai dari sejarah tradisi budaya Cina,
masuknya ke Indonesia dan perlakuan istimewa kolonialisme Belanda khususnya pada
orang-orang Cina tertentu, bulan madu konglomerat Cina dengan para pejabat Orba yang
menghasilkan kebencian massal yang sering meletus dalam kerusuhan-kerusuhan di kota-
kota itu, kita patut berkaca diri dan berjuang keras untuk mencari jalan keluar yang terbaik,
soalnya kebencian rasial itu bukan saja berdampak kepada mereka yang memang ikut salah,
tetapi ras Cina yang mayoritas yang tidak ikut ber-KKN juga kena batunya, dan yang jelas
masyarakat Indonesia sendiri ikut menjadi korban bila terjadi anarki kerusuhan rasial.
Orang-orang Cina umumnya disamaratakan dan dianggap memiliki banyak sifat negatip oleh
umumnya orang-orang Pribumi karena stigma praktek-praktek eksklusif, kemewahan dan
KKN sebagian dari ras itu, padahal lebih banyak dari ras ini yang menunjukkan kesungguhan
dalam membangun negara Indonesia. Emas pertama dan kedua Olympiade yang ikut
mengharumkan negara yang direbut Indonesia diperjuangkan oleh atlet-atlet non-pri.
Sekalipun jumlah orang Cina di Indonesia ditaksir sekitar 3% saja, persentasi mereka dalam
mewakili pemerintah RI di forum-forum Internasional tidak sedikit. Dalam konperensi PBB
tentang Permukiman dan Perkotaan di Istambul (1996), dari 6 penulis 'Laporan Resmi
Pemerintah R.I.' untuk konperensi itu, 3 orang adalah dari kalangan non-pri, ini berarti 50%.
Dalam sebuah konperensi UNDP di Bangkok mengenai 'Pembangunan Desa', Republik
Indonesia diwakili secara resmi oleh dua ahli non-pri, yang satu mewakili LSM dan lainnya
mewakili Pemerintah RI (=100%), dan banyak contoh lainnya bisa disebutkan. Fakta-fakta ini
menunjukkan bahwa dibalik kecurigaan dimana ras Cina di anak tirikan, di banyak kalangan
sebenarnya kesempatan yang sama bagi yang 'pri' dan 'non-pri' sudah terbuka.
Memang benar 'non-pri' yang tinggal di Indonesia diharapkan tidak eksklusif dan lebih punya
rasa tenggang-menenggang dengan lingkungan disekelilingnya, dan sifat-sifat kalangan
tertentu yang oportunis dan hanya mencari untung perlu diubah dengan mentalisme
kebangsaan Indonesia yang lebih baik. Dan bagi yang 'pri' daripada hanya menyalahkan
aspek-aspek negatip non-pri, bukankah lebih berguna bila kita juga melihat potensi positip
orang Cina demi pembangunan tanah air dan tidak sekedar meng'kambing hitam'kan
mereka? Gaya hidup yang hemat, kerja keras, ulet, persaudaraan yang kuat, dan
professionalisme dalam bisnis dan bidang-bidang lain yang tidak tanggung-tanggung dari
sebagian ras Cina, dapat menjadi asset yang menguntungkan semua pihak. Kita tidak perlu
jauh-jauh 'mencari pengetahuan ke negeri Cina', di Indonesia pengetahuan itu ada di
sekeliling kita.
Dari berbagai fakta demikian, adalah merupakan dambaan semua orang agar solusi yang
tepat diberikan oleh semua pihak, khususnya generasi muda, untuk pemecahan masalah ini
secara proporsional, agar tidak lagi terjebak premordialisme masa lalu, dan agar stigmatisasi
tidak ditujukan secara merata kepada semua orang non-pri, tetapi agar memang yang
bersalah karena warisan tradisi dan sejarah kolonialisme di Indonesia benar-benar dapat di
adili dan dihukum, dan yang tidak bersalah dihargai sebagai layaknya warga negara dan
penduduk Indonesia. Sebuah misi yang sulit memang, namun misi ini perlu dicapai oleh
semua pihak khususnya oleh Pemerintah RI, sebab kalau tidak 'Masalah Cina di Indonesia'
tidak akan pernah terselesaikan dan ujung-ujungnya masyarakat mengambanglah yang akan
menjadi korban.
Semoga!
Harian Sharq ditutup oleh Badan Pengawas Pers, yang berada di bawah Kementerian
Bimbingan Islam dan Kebudayaan, pada 2007 karena menerbitkan wawancara dengan
penyair "kontra-revolusi" di luar negeri.
"Surat kabar Sharq terbit lagi Minggu... Koran itu terutama akan memperhatikan
permasalahan sosial dan budaya," kata surat kabar setengah resmi ILNA mengutip
pemimpin redaksi harian itu Ahmad Gholami.
Sharq, yang dalam bahasa Parsi berarti "Timur", dulu biasa menerbitkan pandangan-
pandangan kebijakan luar negeri dan ekonomi Ahmadinejad.
Surat kabar itu juga menghadapi tuduhan-tuduhan lain seperti menerbitkan iklan
untuk organisasi oposisi, menunjukkan rasa tidak hormat pada Islam dan pemimpin
agama, serta tidak menghormati Ahmadinejad dalam gambar karton.
Ratusan reformis ditangkap dan diadili dalam penumpasan terhadap oposisi pro-
reformasi setelah pemilihan umum presiden Juni lalu yang dipersoalkan, yang disusul
dengan kerusuhan terbesar dalam kurun waktu 31 tahun.
Dua calon presiden yang kalah, Mir Hossein Mousavi dan Mehdi Karroubi, mantan
ketua parlemen yang berhaluan reformis, bersikeras bahwa pemilihan Juni itu
dicurangi untuk mendudukkan lagi Mahmoud Ahmadinejad ke tampuk kekuasaan.
Meski ada larangan protes dan penindakan tegas dilakukan oleh aparat keamanan,
para pendukung oposisi berulang kali memanfaatkan acara-acara umum untuk turun
ke jalan.
Delapan orang tewas dan ratusan pendukung oposisi ditangkap dalam demonstrasi
paling akhir pada 27 Desember, ketika ribuan pendukung oposisi melakukan pawai
semacam itu.
Protes besar berkobar sejak pemilihan presiden Juni dan sejumlah besar orang
ditangkap.
Sejumlah reformis senior, aktivis, wartawan dan yang lain yang ditangkap setelah
pemilu Juni itu dikabarkan masih berada di dalam penjara dan beberapa telah
disidangkan atas tuduhan mengobarkan kerusuhan di jalan. Oposisi mengecam
persidangan itu.
Termasuk yang diadili adalah pegawai-pegawai kedutaan besar Inggris dan Perancis
serta seorang wanita Perancis yang menjadi asisten dosen universitas.
Sejauh ini sudah sejumlah orang yang dijatuhi hukuman mati dan puluhan orang
divonis hukuman penjara hingga 15 tahun.
Pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei mengecam protes pasca pemilu itu
dan memberikan dukungan tanpa syarat kepada Ahmadinejad dan mengumumkan
bahwa pemilihan itu sah, meski dipersoalkan banyak pihak.
Kubu garis keras di Iran menuduh para pendukung oposisi, yang turun ke jalan-jalan
untuk memprotes pemilihan kembali Ahmadinejad sebagai presiden, didukung dan
diarahkan oleh kekuatan-kekuatan Barat, khususnya AS dan Inggris.
Para pemimpin dunia menyuarakan keprihatinan yang meningkat atas kerusuhan itu,
yang telah mengguncang pilar-pilar pemerintahan Islam dan meningkatkan
kekhawatiran mengenai masa depan negara muslim Syiah itu, produsen minyak
terbesar keempat dunia.
Presiden Mahmoud Ahmadinejad, yang telah membawa Iran ke arah benturan dengan
Barat selama masa empat tahun pertama kekuasaannya dengan slogan-slogan anti-
Israel dan sikap pembangkangan menyangkut program nuklir negaranya, dinyatakan
sebagai pemenang dengan memperoleh 63 persen suara dalam pemilihan tersebut.
Sejumlah pejabat Iran mengatakan bahwa 36 orang tewas selama kerusuhan itu,
namun sumber-sumber oposisi menyebutkan jumlah kematian 72. Delapan orang lagi
tewas selama protes anti-pemerintah pada 27 Desember, menurut data resmi.
(M014/K004)
COPYRIGHT © 2010
Oleh :M.D.Kartaprawira *)
Kesulitan yang kita hadapi akibat pemerintahan rezim Soeharto besar
sekali,
sehinggaperjuangan reformasi yang kita lakukan tidaklah mudah
mencapai sukses
sebagai yang kita idealkan. Apalagi sejak semula perjuangan reformasi
sudahterkena batu sandungan, yang mempersulit gerakannya. Meskipun
demikian,
percikan nilai-nilai demokrasi masih nampak di berbagai bidang
kehidupan
bermasyarakat dan bernegara: kebebasan berpendapat, kebebasan pers,
kehidupan
kepartaian dan lembaga-lembaga negara, dll.
Maka seyogyanya Inpres No.8 Tahun 2002 tentang Release and Dischaarge
(R&D)
ditinjau kembali, sebagaimana peninjauan kembali terhadap masalah
BBM, TLD dan
Telepon.
Keadaan tanah air yang sudah begitu sulit kini terus dipersulit
dengan ulah
sekelompok pseudo-revolusioner sok pembela rakyat yang agaknya tak
malu-malu
berkoalisi dengan kekuatan orba yang ingin revance dengan tujuan
menjatuhkan
pemerintahan Mega-Hamzah.Ibaratnya rumput kering di musim kemarau,
apabila
disulut dengan api apa saja wujudnya, maka akan terbakarlah. Demikian
kira-kira
gambaran rakyat Indonesia yang menderita kesulitanyang selalu disulut
untuk
meramaikan gerakan mereka.
Sudah tersebar kabar angin baik di media massa maupun media internet
bahwa di
belakang gerakan-gerakan demo menentang Pemerintah tersebut berdiri
Wiranto
(jenderal kader Soeharto), Fuad Bawazir (mantan menteri Keuangan
rezim
Soeharto), Adi Sasono (ketua ICMI dan mantan menteri rezim neo-orba
Habibie)dan
Eros Jarot (bekas tokoh PDIP, yang nyempal). Tapi mereka satu persatu
mengingkari keterlibatannya dalam demo-demo tersebut. Lepas apakah
mereka
jugaterkait dengan isu pembentukan Presidium atau tidak, tapi jelas
lembaga
Presidium tersebut tidak dikenal di dalam UUD 1945, baik sebelum atau
sesudah di
amandemen. Dus pembentukan Presidium merupakan tindakan yang
inkonstitusional,
sebagai jalan pintas untuk mencapai kekuasaan dengan menghindari
aturan main
yang telah ditentukan dalam UUD 1945. Apakah itu termasuk makar atau
bukan,
biarlah hal tersebut menjadi obyek kajian bagi para peneliti dan
pakar hukum.
[Taufiq Ismail]
/ Budiman S. Hartoyo
MARAKNYA penerbitan pers dewasa ini — dan bersamaan dengan itu juga
sering terjadinya konflik sosial — rupanya membentuk asumsi di kalangan
beberapa orang, seolah-olah sedikit banyak pers punya andil sebagai (salah
satu) pemicu kerusuhan. Apalagi (sebagian) penerbitan, terutama tabloid,
sering pula menurunkan berita utama dengan judul yang ‘keras’. Maka,
tanpa memahami kodrat pers, beberapa pejabat dan politisi serta-merta
menuding pers ‘memanas-manasi, mengipas-ngipas, membakar-bakar’
situasi, hingga kerusuhan semakin merebak. Benarkah pers, sengaja atau
tidak, membakar-bakar keadaan hingga benar-benar membakar massa grass
root, yang karena gampang terbakar lantas disebut sebagai ‘akar rumput
kering’ itu?
Pers bebas, seperti yang kita nikmati sekarang, merupakan salah satu buah
terpenting dari era reformasi (yang dipelopori mahasiswa), yang layak kita
syukuri. Perlu dicatat, bahwa pers bebas di era reformasi sekarang sangat
berbeda dengan pers bebas di era tahun 1950-an yang lazim disebut (secara
kurang benar) sebagai ‘zaman liberal’. Ketika itu, sebagian (besar) pers
merupakan corong partai politik alias pers partisan, yang lebih
mengutamakan kepentingan partai ketimbang kepentingan publik, meskipun
ada juga beberapa di antaranya yang independen. Ketika itu, pers ikut
mengambil bagian dalam pertikaian politik antarpartai yang oleh Bung
Karno disebut gontok-gontokan.
Wajah pers bebas ternyata cukup membikin keder sebagian kaum birokrat
sebagai wakil kekuasaan negara. Dan anehnya, bahkan penyelenggara
sebuah diskusi publik di Jakarta, beberapa waktu lalu juga khawatir kalau-
kalau kebebasan pers saat ini, sebagaimana tertulis dalam acuan diskusi,
“menimbulkan bayang-bayang yang mengancam proses pendidikan politik
masyarakat ke arah yang tidak edukatif”. Benarkah pers bebas saat ini
membahayakan pendidikan politik, bahkan mungkin punya andil dalam
memperkeruh keadaan hingga mendorong timbulnya konflik?
Seperti halnya masa kini, di tahun 1950-an juga merupakan era multipartai.
Ketika itu perbedaan pendapat, bahkan juga konflik antarpartai, cukup
tajam. Partai oposisi sering mampu menggoyang dan menjatuhkan kabinet
(yang didominasi oleh partai yang berkuasa), hingga Bung Karno menjuluki
zaman itu (secara salah kaprah) sebagai zaman ‘demokrasi liberal’. Sejalan
dengan itu pers, baik yang independen maupun yang berafiliasi kepada
partai politik, ikut meramaikan konflik politik.
Di era Orde Baru di tahun 1970-an, pers yang mulai bangkit dari trauma
‘demokrasi terpimpin’ benar-benar ingin bebas. Hal itu, misalnya, tercermin
dari upaya sejumlah tokoh pers, antara lain (almarhum) H. Mahbub
Djunaedi, yang berhasil merumuskan UU Pokok Pers (1966). Dalam UU
tersebut tercantum satu ayat yang sangat penting (”bagi pers nasional tidak
dikenai breidel”), dan sebagai konsekwensinya dicantumkan pula satu ayat
pendukungnya yang menyebutkan bahwa SIT (Surat Izin Terbit) hanya
berlaku selama masa transisi. Yang dimaksud dengan masa transisi ialah
sampai dengan terbentuknya pemerintahan baru hasil pemilihan umum
1971.
Satu hal yang selama ini dilupakan ialah, konflik yang merebak di
masyarakat sekarang ini sangat jelas merupakan letupan dari kemampetan
yang selama ini diderita oleh manusia Indonesia. Selama 32 tahun
terkungkung tanpa penyaluran, ketika kran dibuka air bah pun membludak
tak terbendung. Dan yang disalahkan (lagi-lagi) pers. Sangat tepat penyair
Taufiq Ismail yang menulis puisi yang hanya terdiri dari satu baris yang
berbunyi: Buruk muka pers dibelah. Memang ada kambing hitam yang
dengan mudah dan aman dituding-tuding, yaitu provokator (sementara pers
dituding ‘manas-manasi’), tapi sang provokator tak kunjung tertangkap.
Entah bersembunyi di balik azimat apa, Allahu a’lam bish-shawab.
Dan kini dengan gampang dan enak orang bicara tentang demokrasi,
kebebasan, transparansi, dan semacamnya, tanpa mengerti apa yang mereka
omongkan. Padahal, prasyarat demokrasi ialah multipartai dan pers yang
bebas. Tapi, begitu sejumlah partai lahir dan pers tampil bebas, orang
bingung. Dengan multipartai dan pers yang bebas, persoalan-persoalan
negara dan masyarakat bisa diselesaikan secara publik, terbuka, tidak lagi
diselesaikan di bawah tekanan kekuasaan negara.Pers bebas merupakan
salah satu alat pendidikan (dan pendewasaan) sikap dan perilaku berpolitik.
Kita memang tengah belajar berdemokrasi, hidup bersama orang lain yang
sikap dan pendapatnya berbeda, belajar toleran dalam sebuah masyarakat
yang multikultur, tapi hal itu tidak dengan sendirinya lantas menolak
demokrasi. Tingkat pendidikan dan kecerdasan masyarakat memang relatif
masih rendah. Tapi, hal itu tidak otomatis lantas menjadi alasan menolak
pers bebas. Sebab, percayalah, rakyat — yang tingkat pendidikan dan
kecerdasannya rendah sekalipun — bukanlah orang-orang bodoh. Mereka
cukup kritis, apalagi jika kita percaya bahwa hati nurani dan akal sehat
(common sense), merupakan hal yang seharusnya kita perhitungkan. Pers
yang bebas menyajikan sejumlah pilihan, dan publik bebas pula menentukan
pilihan mereka. Sementara pers yang tidak memperjuangkan kepentingan
publik, menjadi pers partisan atau sensasional misalnya, lambat-laun akan
ditinggalkan oleh pembacanya.Apakah pers kita saat ini sudah kebablasen?
Menurut saya, belum. Toh selama ini belum (tidak) ada kriteria tentang apa
yang disebut kebablasen itu. Kalaupun pers kita saat kini sudah kebablasen
(dengan kriteria yang tak jelas), hal itu bukan pula bisa menjadi alasan untuk
membatasi kebebasan pers. Kalaupun ada yang kebablasen (sekali lagi
dengan kriteria yang tak jelas) hal itu bukanlah merupakan main stream.
Mungkin ada beberapa tabloid yang bisa dikategorikan sebagai yellow
paper, dan itu sah-sah saja, tapi secara keseluruhan pers kita cukup baik dan
dewasa. Besar dugaan, pejabat atau politisi yang menuding pers kita
kebablasen itu tiada lain karena belum terbiasa dengan pers bebas, setelah
32 tahun tanpa absen kebagian jatah cekokan resep Orde Baru.
Sangat ironis, bahwa dewasa ini upaya ‘perjuangan’ untuk kebebasan pers
(kalau bisa disebut demikian) justru datang dari pemerintah. Dalam hal ini,
Menteri Penerangan Mohamad Yunus Yosfiah. Barangkali, setelah Menteri
Penerangan Mohamad Natsir di tahun 1950-an, adalah Yunus Yosfiah yang
dalam konteks pers bebas berpikiran sangat progresif. Ia merancang UU
Pokok Pers yang sangat progresif, jauh lebih liberal ketimbang rancangan
DPR-RI, bahkan dari rancangan PWI (Orde Baru) sendiri. Dan kini,
meskipun SIUPP masih dipertahankan, tidak ada pembatasan
memperolehnya. Juga tidak ada breidel. Sangat menarik, bahwa Yunus
Yosfiah pula — dan justru bukan para tokoh pers yang terhormat — yang
menyatakan, bahwa pers kita saat ini belum kebablasen, bahwa ratusan
media massa yang terbit saat ini belum memadai bagi rakyat Indonesia yang
jumlahnya lebih dari 200 juta, bahwa pers bebas merupakan tolok ukur bagi
demokrasi.
*) Makalah ini dibacakan dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan oleh Komite
Pendidikan Pemilih (KPP) di Gedung YTKI, Jalan Jenderal Gatot Soebroto, Jakarta
Pusat, beberapa bulan sebelum pemilihan umum 1999.
Bagaimana membaca secara konkrit dan obyektif hasil reformasi sepuluh tahun
terakhir ini (Mei 1998-Mei 2008)? Apa yang terjadi sejak presiden Soeharto berhasil
ditumbang-kan, hingga hari ini? Perjalanan era refor-masi ini niscaya amat
dibanggakan para pelaku dan penyelenggara Negara, baik eksekutif, yudikatif, dan
legislatif terdiri parlemen parpol dan politisi. Capaian-capaian ekonomi, sosial politik,
perta-hanan dan keamanan selalu dilaporkan serba maju, meningkat dan membaik.
Padahal fakta yang berlaku sebenar-nya justru diagonal terbalik. Misalnya pemerintah
terus-menerus melaporkan kema-juan ekonomi, padahal yang terjadi kini bangsa
Indonesia justru mengalami pun-cak krisis ekonomi yang telah berlangsung lebih 10
tahun terakhir ini. Angka kemis-kinan dan pengangguran terus-menerus meningkat.
Harga-harga kebutuhan bahan pokok terus melejit tak terkendali bahkan bahan baku
yang semakin mahal itu sulit dicari di pasaran dan bisa diperoleh dengan antre.
Pemandangan antre minyak tanah, minyak goreng dan beras ini menjadi
pemandangan set-back seperti setengah abad yang lalu di zaman orde lama.
Setelah sepuluh tahun reformasi berlalu, hakikatnya bangsa Indonesia bisa mengambil
pelajaran sangat faktual sepanjang perjalanan reformasi ini. Empat presiden (Habibie,
Abdurrahman Wahid, Megawati dan kini Susilo Bam-bang Yudhoyono) pun telah
silih berganti naik ke kursi kekuasaan dengan meng-usung sistem politik yang
reformis, demokratis menggantikan rezim dikta-torial yang dijalankan presiden
Soeharto lebih tiga dasawarsa. Tapi empat presiden ini ternyata tidak mampu
mengenyahkan dan menyembuhkan penyakit kronis bernama: Krisis Multidimensi.
Bahkan krisis ini berkobar menjadi-jadi.
Walau kondisi bangsa Indonesia se-makin terpuruk, namun rakyat Indonesia terutama
para penguasanya seringkali mendapat pujian dari negara-negara Barat. Indonesia
disebut sebagai negara demokratis terbesar di dunia setelah AS dan India. Namun
ironisnya Indonesia yang telah menjalankan kehidupan politik yang sangat demokratis
itu, ekonomi Indonesia terus terpuruk. Angka-angka kemiskinan semakin
membengkak jum-lahnya. Kemandirian bangsa di segala bidang mengalami
kemerosotan yang sangat mengenaskan. Contoh paling nyata adalah ketidakmandirian
bangsa di bidang pangan. Indonesia sebagai negara agraris dan maritim terbesar di
dunia, kini (2008) rakyatnya bergejolak dalam krisis susul-menyusul, dimulai dengan
krisis minyak goreng, beras, kedelai, minyak tanah. Indonesia yang dikenal terito-
rialnya 70 persen terdiri lautan, sungguh ironis kini pun telah mengimpor garam.
Inilah fakta ironis dan menyakitkan. Indonesia sebagai penghasil minyak bumi,
rakyatnya setiap hari antre minyak tanah (kerosine) sekadar untuk men-dapatkan dua
liter minyak.
Rakyat Indonesia bagai terjebak dalam sistem demokrasi yang telah men-jeratnya
dalam sistem Kapitalisme Global yang terus mengisapnya habis-habisan. Pemilihan
presiden secara langsung (2004) telah menghasilkan Presiden RI ke-6 Susilo
Bambang Yudhoyono. Lebih dari itu Pilkada Gubernur, bupati-walikota pun telah
digelar di seluruh wilayah Indonesia dan menghasilkan belasan gubernur baru
puluhan bupati-walikota (hampir mencapai seratus orang). Bahkan jika Pilkada kelak
sudah digelar secara keseluruhan, maka catatan statistiknya hampir setiap hari akan
di-gelar Pilkada di suatu daerah di Indonesia. Apa yang didapat setelah rakyat
Indonesia kini dipimpin oleh presiden dan kepala daerah yang dipilih secara langsung
oleh rakyat itu? Negatif. Inilah jawaban yang merata. Sementara penelitian sebuah
koran nasional di ibukota menegaskan bahwa kepemimpinan baru hasil pilkada
ternyata tidak mengubah prestasi yang dicapai kepala daerah sebelumnya yang
dihasilkan dengan mekanisme lama (dipilih melalui DPRD).
Praktek Pilkada yang sarat dengan politik uang, belum lagi ekses Pilkada dengan
kerusuhan yang dikobarkan pihak yang kalah, telah menyurutkan optimisme
Indonesia bisa melanjutkan model politik ini. Adalah PBNU melalui Ketua Umum
Hasyim Muzadi menyentak dengan imbauannya agar Pilkada dihentikan di Indonesia
dan kembali ke sistem lama.
Model politik era reformasi ini secara pasti telah menempatkan partai politik
menjadi ?panglima?, sekaligus menerap-kan oligarki partai politik yang justru ?
membunuh? aspirasi di luar partai politik. Bersamaan dengan itu perfor-mance partai
politik semakin terpuruk di mata rakyat secara luas. Hal ini karena perilaku politisi
khususnya di parlemen yang amat koruptif dan tidak peduli kendati kritik bertubi-tubi
diarahkan ke parlemen. Ratusan anggota parlemen daerah telah diadili dalam kasus-
kasus korupsi, kini bahkan anggota DPR pusat pun mulai dijebloskan ke penjara
KPK.
Kini masyarakat luas dengan caranya sendiri ?menolak? sistem yang ternyata justru
membuat rakyat menderita. Pil-kada semakin banyak diikuti partisipan golput alias
memboikot. Jumlah golput semakin membengkak mendekati angka 50 persen.
Maraknya pendirian partai politik baru sebagai peserta Pemilu 2009, bukan
mencerminkan meningkatnya gai-rah rakyat menyongsong Pemilu 2009, melainkan ?
kehebohan? orang-orang yang itu-itu juga dan selama ini selalu mengail di pusaran ?
bisnis partai?. Dipastikan partai-partai baru itu dibentuk oleh pengurus partai-partai
gurem yang telah terpuruk sebelumnya. Eksistensi mereka sejatinya hanya ?dagelan?
yang sangat tidak lucu karena mempermainkan nasib bangsa Indonesia yang terus
terpuruk.
Pelajaran satu dekade perjalanan reformasi ini sejatinya amat gamblang dan mudah
untuk disimpulkan. Agenda asing (Barat) telah mendikte perubahan yang kini terjadi
di Indonesia dan terus terulur hingga hari ini. Dimulai dengan campur tangan IMF
dengan berbagai formula yang dipaksakan menjelang dan awal reformasi dan justru
menghancur-kan ekonomi negeri ini. Mulai pembekuan bank, pemaksaan swatanisasi
BUMN, dengan menjual aset-aset strategis milik Negara.Pemretelan kekuasaan
presiden dengan dibentuknya puluhan komisi-komisi, dan yang paling vital adalah pe-
rubahan UUD 45 yang kini berubah 125 persen menjadi liberalistis. Konsep refor-
masi seperti ini ternyata hanya menjadi ?jembatan? menuju kehancuran bangsa
Indonesia.
Tepat di usia reformasi memasuki dekade pertama (Mei 2008), kondisi bangsa
Indonesia di bawah pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono justru meng-alami
kesulitan kehidupan yang kian menghimpit. Tekanan kehidupan sehari-hari
menyebabkan semakin sering ter-dengar kabar keluarga-keluarga yang bunuh diri
bersama-sama antara bapak-ibu dan anak-anaknya. Sangat menge-rikan. Kondisi
semakin parah karena pemerintah ?nekad? menaikkan BBM sampai 30 persen.
Padahal ketika pemerintah menaikkan BBM 125 persen pada Oktober 2005,
pemerintah tegas-tegas menjanjikan tidak akan menaikkan BBM sampai 2009.
Kekacauan diprediksi bakal mengiringi kenaikan BBM sekitar Juni 2008 mendatang.
Bahkan sejumlah politisi meyakini akan terjadi suasana yang kacau (chaos) disusul
terjadi instabilitas negara.
Yang jelas catatan dalam perhitungan statistik dengan kenaikan BBM Juni 2008,
jumlah angka kemiskinan akan bertambah meroket sekitar 15,68 juta jiwa.Angka
resmi pemerintah jumlah rakyat miskin mencapai selama ini adalah 16,85 persen atau
36,8 juta jiwa.dengan kenaikan BBM 30 persen ini akan mendorong inflasi 26,94
persen. Bisa dibayangkan rencana kenaikan BBM ini niscaya belaka akan menjebol
seluruh daya tahan rakyat Indonesia.
Yang paling mengerikan adalah rezim Susilo Bambang Yudhoyono idem-ditto belaka
dengan tiga presiden sebelumnya di era reformasi yakni tak bisa mengubah status
utang Indonesia. Kini utang pemerintah seperti diumumkan Depkeu adalah AS$
155,29 milyar terdiri pinjaman dengan perjanjian utang sebesar AS $ 63,34 milyar
ditambah obligasi AS $ 90,95 milyar. Perjanjian utang sebesar itu diterapkan dengan
rente ala ribawi yang sangat eksploitatif jauh dari adil dan dipaksakan para ?penjajah?
baru, rezim Kapitalis Global. Dengan bunga 8 persen setahun, pemerintah Indonesia
setiap tahun harus membayar bunga sebesar AS$ 12,4 milyar atau sebesar Rp 114
trilyun. Padahal utangnya tak berubah alias tak berkurang satu dolar pun. Sungguh
mengerikan nasib bangsa Indonesia di tangan rezim reformasi. Negara dan bangsa ini
akan terus diseret ke jurang kehancuran oleh rezim refor-masi.
Dalam politik luar negeri, politik bebas aktif tak lagi menjadi acuan. Sejak reformasi
Indonesia cenderung ke Ame-rika. Malah tahun lalu, mungkin karena takut dengan
Amerika, Indonesia mendu-kung sanksi terhadap Iran dalam kasus pengembangan
energi nuklir Iran. Peme-rintah dikecam habis umat Islam.
Yang menyedihkan lagi, dalam kondisi susah, para penguasa dan wakil rakyat
menunjukkan perilaku hedonis. Mereka seolah membiarkan rakyat tersiksa akibat
krisis berkepanjangan. Malah dalam masa pemerintahan SBY sekarang, sempat-
sempatnya dia membuat dan merekam lagu serta nonton film ramai-ramai.
Reformasi di Indonesia secara resmi dimulai tanggal 21 Mei 1998, bertepatan dengan
lengsernya mantan Presiden Suharto dari kursi kepresidenan Indonesia yang telah
didudukinya selama 32 tahun. Berdasarkan UUD 45, kursi presiden yang kosong ini
secara otomatis digantikan oleh Wakil Presiden saat itu, yaitu BJ Habibie. Reformasi
tsb merupakan akhir dari rentetan berbagai peristiwa anarkis sejak tahun 1997 yang
terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Puncak dari peristiwa anarkis tsb terjadi di
Jakarta tanggal 13-14 Mei 1998, yang sampai sekarang masih belum terkuak, siapa
otak di belakang peritiwa berdarah dengan korban jiwa lebih dari 1000 orang dan
korban harta benda yang tidak terkira besarnya.
- Inpress No.14 tahun 1967 tentang Larangan Menjalankan Agama, Kepercayaan dan
Adat Istiadat Cina di muka umum.
- Pada tahun 1967 beredar anjuran setengah memaksa bagi orang Tionghoa untuk
mengganti namanya menjadi nama Indonesia. Dalam prakteknya banyak yang
mengganti namanya dengan nama barat atau nama lain yang tidak berbau nama
Tionghoa, tetapi bukan dengan nama Indonesia.
- Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 477/74054 tanggal 18 Nopember 1978
yang meniadakan kolom agama Konghucu pada dokumen2 resmi pemerintah, yang
berarti agama Konghucu tidak diakui lagi di Indonesia.
Gejolak politik di Indonesia yang belum mereda saat itu menyebabkan pemerintahan
BJ Habibie, yang dianggap sebagai kepanjangan Orde Baru hanya berlangsung 1,5
tahun, yaitu sejak 21 Mei 1998 s/d 20 Oktober 1999. Meskipun demikian, dengan
segala kekurangannya, tercatat suatu perubahan yang cukup signifikan yang telah
dilakukan oleh BJ Habibie dalam hubungannya dengan masyarakat Tionghoa di
Indonesia.
BJ Habibie juga menerbitkan Inpres No.4 tahun 1999, tentang pembuktian seseorang
sebagai warga negra Indonesia tidak perlu lagi dengan menggunakan SBKRI, tetapi
cukup dengan KTP dan atau Akta Kelahiran. Keputusan serupa sebenarnya sudah
diterbitkan pada tahun 1996 pada masa pemerintahan presiden Suharto, yaitu melalui
Keputusan Presiden No.56 tahun 1996 tentang Bukti Kewarganegaraan Republik
Indonesia, namun di lapangan dengan berbagai alasan Kepres tsb tidak dipatuhi oleh
para pejabat pelaksana yang bersangkutan.
Dalam Sidang Istimewa MPR tahun 1999, diputuskan melalui votting yang alot untuk
mengangkat K.H. Abdurachman Wachid (Gus Dur) sebagai Presdien RI berikutnya
menggantikan BJ Habibie, didampingi Wakil Presiden Megawati Sukarnoputri. Pada
masa pemerintahan Gus Dur ini tercatat 3 keputusan penting dan fenomenal bagi
masyarakat Tionghoa, yaitu :
- Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 477/74054 tanggal 18 Nopember 1978
telah dicabut oleh Mendagri RI, Bp. Suryadi Sudirja dengan SE Mendagri
No.477/805/SJ tanggal 31 Maret 2000
- Melalui Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 383 tahun 2001, tertanggal 23 Juli
2001, ditetapkan Tahun Baru Imlek 2553 yang jatuh pada hari Selasa 12 Pebruari
2002 sebagai Hari Libur Fakultatif.
Dalam acara "Renungan Tahun baru Imlek 2552" di Gedung tennis Indoor Senayan,
Gus Dur juga menegaskan bahwa warga negara yang dulu dipaksa mengubah
namanya, boleh kembali menggunakan nama Tionghoa mereka. Namun dalam situasi
politik yang masih panas, Gus Dur akhirnya dimakjulkan (impache) dalam Sidang
Istimewa MPR untuk digantikan oleh Megawati Sukarno Putri sebagai Presiden R.I.
terhitung mulai tanggal 23 Juli 2001.
Sejak masa pemerintahan Gus Dur, di mana Menko Perekonomian waktu itu dijabat
oleh Kwik Kian Gie yang notabene orang Tionghoa, sedikit banyak telah mendorong
minat orang Tionghoa untuk aktif berpolitik. Namun karena situasi politik dan
ekonomi waktu itu masih belum stabil, cukup banyak juga orang Tionghoa yang
belum berani terjun ke politik, masih menunggu saat yang tepat. Tetapi dalam masa
pemerintahan Megawati, khususnya menjelang persiapan Pemilu 2004, minat
berpolitik masyarakat Tionghoa semakin meningkat dan semakin banyak orang
Tionghoa yang terdaftar sebagai calon anggota legislatif pada Pemilu 2004.
Tidak ada data yang pasti berapa jumlah orang Tionghoa yang terpilih sebagai
anggota DPR, DPD, DPRD tingkat I ataupun DPRD tingkat II, tetapi diyakini oleh
berbagai pihak jumlahnya meningkat cukup tajam. Ketidak jelasan ini disebabkan
sukar membedakan orang Tionghoa dan non Tionghoa hanya dari namanya saja,
kecuali yang menggunakan nama Tionghoa. Secara pisik juga cukup banyak orang
Tionghoa yang tidak bisa dibedakan lagi dengan non Tionghoa, dan sebaliknya
banyak orang2 non Tionghoa yang secara pisik mirip orang Tionghoa.
Selain mencatat kemajuan yang cukup significant dalam memulihkan perekonomian
Indonesia saat itu, pada masa pemerintahan Megawati tercatat keputusan penting dan
fenomenal bagi masyarakat Tionghoa, yaitu ditetapkannya Tahun Baru Imlek sebagai
Hari Libur Nasional, dan istilah Tionghoa mulai banyak digunakan kembali. Dalam
berbagai kesempatan resmi Megawati selalu menggunakan istilah Tionghoa dan
Tiongkok, dan tidak pernah menggunakan istilah Cina. Perayaan2 Tahun Baru Imlek
dilaksanakan di mana-mana secara meriah, dan Barongsay serta Liang Liong sudah
menjadi atraksi umum di mana-mana, bahkan sering juga dipergunakan untuk
menyambut hari nasional di luar Tahun Baru Imlek.
Ketika Presiden Susilo Bambang Yudoyono atau sering disebut SBY, terpilih melalui
pemilihan presiden secara langsung pertama kalinya di Indonesia menggantikan
Presiden Megawati pada bulan Oktober 2004, kebijakan pemerintah SBY relatif tidak
ada perubahan yang berarti bagi masyarakat Tionghoa. Kehidupan sosial politik
masyarakat Tionghoa dapat dikatakan cukup stabil, dan orang Tionghoa yang terjun
ke politik sudah menjadi pemandangan biasa, bukan sesuatu yang mengherankan lagi.
Ketika terjadi pemilihan umum untuk memilih anggota legislatif pada bulan April
2009, terdengar isu dari mulut ke mulut bahwa semakin banyak orang Tionghoa yang
mencalonkan diri menjadi anggota legislatif (DPR, DPD, DPRD tingkat I, dan DPRD
tingkat II) yang mencalonkan diri.
Meskipun demikian, tidak ada jumlah pasti orang Tionghoa yang menjadi anggota
legislatif yang secara resmi diumumkan oleh pemerintah, karena berdasarkan UUD,
Indonesia dibentuk berdasarkan kesepahaman politik yang melibatkan berbagai Suku
dan Etnis yang ada di Indonesia, bukan berdasarkan etnisitas atau kesukuan. Oleh
karena itu tidak ada data resmi dari masing2 suku atau etnis yang ada di Indonesia
(Jawa, Sunda, Batak, dsb), begitu juga dengan data orang Tionghoa yang sudah
menjadi WNI. Kecuali orang Tionghoa yang berstatus WNA, karena data pribadi
masing2 diperlukan untuk urusan keimigrasian.
Oleh karena itu terlalu absurd kalau ada usaha2 sejumlah orang untuk membentuk
partai politik yang khusus untuk menampung aspirasi politik orang Tionghoa di
Indonesia, karena secara prinsip bertentangan dengan makna yang terkandung dalam
UUD’45. Aspirasi politik orang Tionghoa di Indonesia dapat disalurkan melalui
partai2 politik yang sudah ada, baik partai Nasionalis ataupun partai yang
berlandaskan agama, tergabung dengan aspirasi politik masyarakat sekitarnya.
Aris Ananta
Gosip dan Krisis Keuangan
Rabu, 20 Januari 2010 - 11:31 wib
TEXT SIZE :
Image : Corbis.com
NAMANYA gosip, tentu sulit mencari data yang akurat namun mempunyai dampak negatif
untuk yang digosipi. Kita sudah sering mendengar kekuatan gosip dalam menjatuhkan berbagai
tokoh politik di banyak negara.
Kalau pun tidak menjatuhkan, gosip telah mampu membuat para tokoh politik kalang
kabut.Selain itu, dalam politik, pencitraan adalah hal yang sangat penting.
Kenyataan bisa jelek tetapi pencitraan yang baik merupakan aset penting dalam politik. Yang
kurang disadari adalah bahwa hal yang serupa juga terjadi di sektor keuangan. Gosip dan
pencitraan pun memegang peran penting dalam kegagalan dan keberhasilan suatu bank atau
lembaga keuangan serta kinerja seluruh sektor keuangan.
Padahal, pada 8991 gosip pula yang menyebabkan krisis finansial yang dahsyat di masyarakat.
Waktu itu terdapat 61 bank yang ditutup, jumlah yang relatif kecil untuk masyarakat antah
berantah namun dampaknya luar biasa. Gosip beredar dengan kuat bahwa bankbank lain akan
gulung tikar. Para nasabah panik. Mereka berbondong- bondong ke bank, mengambil uang
mereka secara tunai. Akibatnya, makin banyak bank yang benar-benar gulung tikar.
Sektor keuangan kacau, perekonomian berantakan, orang kaya jadi miskin, dan kaum miskin
tambah menderita. Untung para penguasa moneter segera menyadari kesalahan mereka.
Mereka segera membuat kebijakan memulihkan kepercayaan masyarakat pada dunia
perbankan. Usaha pencitraan pun dilakukan dengan cepat. Mereka membuat pencitraan
melawan gosip yang beredar kuat. Mereka membuat gerakan penyetoran uang ke bank secara
demonstratif. Sesungguhnya, yang melakukan penyetoran adalah orang-orang bank itu
sendiri.Namun, masyarakat umum tak tahu.Mereka hanya melihat, “Oh... ada juga orangorang
justru menyetor uang ke bank.
”Persepsi dan pencitraan ini kemudian amat membantu mengurangi kepanikan masyarakat dan
membantu menstabilkan situasi keuangan di masyarakat antah berantah itu. Itu yang terjadi di
tahun 8991. Dulu,ketika perekonomian masyarakat antah berantah belum maju, tak ada bank di
masyarakat itu. Kalau orang membutuhkan uang,maka dia meminjam dari teman dan keluarga
yang kebetulan mempunyai uang yang tidak dipakai. Namun, perlahan perekonomian berubah.
Saat itu Gareng,misalnya,mempunyai uang Rp5 juta dan dia tak
tahuuangituakandigunakanuntuk apa.
Pada saat yang sama Petruk membutuhkan uang Rp5 juta namun tidak tahu dia harus
mendapatkan uang itu dari siapa. Gareng dan Petruk tidak saling mengenal. Kalau saja mereka
saling mengenal dan mengetahui kondisi masing-masing. Gareng dapat meminjamkan uangnya
ke Petruk. Di sinilah muncul Bank Togog yang berperan sebagai perantara. Gareng menyimpan
uang di Bank Togog dan sebagai balas jasa Gareng mendapatkan bunga 6% per tahun. Bank
Togog tahu akan ada orang yang membutuhkan uang. Dan Petruk pun datang ke Bank Togog
serta meminjam uang Rp5 juta.Untuk balas jasa ke bank,Petruk membayar bunga 7% per
tahun. Dari transaksi ini bank mendapatkan keuntungan 2% per tahun.
Bank Togog sesungguhnya tak punya uang sedikit pun. Dia hanya menjadi perantara antara
mereka yang mempunyai uang tetapi tidak tahu apa yang akan dilakukan dengan uangnya dan
mereka yang membutuhkan uang.Bank dibayar untuk jasanya sebagai perantara ini. Sejak saat
itu Bank Togog terus berkembang. Banyak Gareng lain yang menyimpan uang di bank ini.
Banyak pula Petruk yang meminjam uang dari bank ini. Keuntungan Bank Togog berlipat lipat.
Kepercayaan masyarakat pada bank ini pun makin kuat. Sistem perekonomian di masyarakat
ini membaik. Transaksi tidak harus memakai uang tunai.
Dapat dengan cek, transfer, atau kartu kredit. Orang pun malas menyimpan uang tunai di
rumah dengan alasan keamanan dan mendapatkan bunga. Dengan kondisi kepercayaan
masyarakat yang tinggi dan makin sedikitnya kebutuhan uang tunai, Bank Togog pun
mempunyai inisiatif baru untuk terus mengekspansi jumlah uang yang dipinjamkan. Pada tahun
9002 jumlah setoran ke bank ini telah mencapai Rp1 miliar. Jumlah yang dipinjamkan juga Rp1
miliar. Namun, dengan kepercayaan dari masyarakat, Bank Togog berani meminjamkan Rp4
miliar.
Bank Togog percaya, para peminjam dan penyetor uang tidak membutuhkan uang tunai
sebanyak Rp4 miliar.Dengan demikian, uang tunai Rp1 miliar sudah cukup untuk berjaga-jaga
kalau kalau mereka membutuhkan uang tunai.Dengan cara ini,keuntungan Bank Togog makin
meningkat. Keuntungan yang luar biasa dari Bank Togog ini membuat menjamurnya bank-
bank lain.Nasabah makin banyak, baik penyetor mau pun peminjam uang. Mereka semua
mungkin tidak saling mengenal tetapi mereka saling kait-mengait melalui sistem perbankan.
Satu bank juga meminjam dan menyetor ke bank lain.Terjadilah suatu keterkaitan satu sama
lain yang amat kuat.
Namun, selama beberapa tahun terakhir, manajemen Bank Togog sangat buruk.Terjadi korupsi
di Bank Togog. Walau begitu, bank ini masih hidup karena kepercayaan masyarakat pada Bank
Togog masih ada. Masyarakat tak tahu apa yang terjadi di bank ini walau penguasa moneter
sudah sangat marah pada manajemen. Berbagai saran perbaikan manajemen dan pembersihan
korupsi tidak digubris oleh bank karena sampai saat itu Bank Togog masih terus bertahan
hidup. Akhirnya, nasib buruk menimpa Bank Togog di tahun 9008. Utang Petruk telah
membengkak.
Mereka pun berbondong- bondong ke Bank Togog mengambil uang mereka.Penguasa moneter
tenang-tenang saja.“Ya, Bank Togog kansudah berulang kali dinasihati untuk melakukan
reformasi dan membersihkan dari korupsi. Kalau sekarang akan bangkrut, ya biar saja. Tak
usah dibantu.” Yang kemudian terjadi, Bank Togog benar-benar bangkrut. Rupanya para
penguasa moneter saat itu tidak menyadari apa yang terjadi di dunia perbankan. Saat itu
sebenarnya juga tengah terjadi kekalutan di dunia perbankan pada umumnya. Apalagi dunia
sedang mengalami krisis finansial yang luar biasa.
Para penguasa moneter lebih memusatkan pada pemberian hukuman pada bank yang tidak
mengikuti saran-saran dan bukan pada stabilitas kondisi keuangan dan perekonomian secara
keseluruhan. Para penguasa moneter tak menyadari adanya systemic risk. Kebangkrutan Bank
Togog ternyata memicu kebingungan di masyarakat yang lebih luas. Beredar gosip yang amat
kuat bahwa bank-bank lain juga akan bangkrut. Penguasa moneter segera menyadari kesalahan
mereka. Seperti yang terjadi pada 8991, penguasa moneter mencoba melawan gosip dan
membuat pencitraan perbankan,untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat pada dunia
perbankan.
Namun, kali ini, situasi internasional yang amat buruk membuat usaha penguasa moneter di
masyarakat antah berantah tak ada gunanya.Gosip jauh lebih kuat daripada usaha yang
dilakukan para penguasa moneter.Kondisi finansial menjadi benar-benar berantakan, lebih
parah dari tahun 8991. Dampak ke perekonomian juga dahsyat sekali.Angka kemiskinan
melonjak. Jumlah orang sakit bertambah dengan cepat. Demonstrasi dan kerusuhan sosial
meluas. Dalam keadaan yang kacau balau ini para pengamat ekonomi menyadari kesalahan
para penguasa moneter yang telah membiarkan kebangkrutan Bank Togog. Para pengamat lalu
mengritik para penguasa moneter.
Kata mereka, “Kalau saja para penguasa moneter waktu itu tidak membangkrutkan Bank
Togog; kalau saja penguasa moneter waktu itu menyelamatkan Bank Togog; kalau saja
penguasa moneter waktu itu tidak memprioritaskan pada penghukuman para pemilik Bank
Togog; maka perekonomian kita saat ini akan jauh lebih baik. Kita tidak akan mengalami krisis
mendalam seperti ini.
”Para pengamat ekonomi itu lalu memberi kuliah pada penguasa moneter agar belajar teori
ekonomi dengan lebih baik dan memahami adanya systemic risk. Ah, saya terbangun dari tidur
saya. Rupanya saya telah bermimpi, gara-gara akan menyiapkan makalah mengenai arti
systemic risk. Karena hasil mimpi, cerita di atas juga cerita dalam mimpi. Mohon maaf. (*)
ARIS ANANTA
Ekonom(//rhs)
Kunjungan tersebut selain memberikan informasi mengenai riset yang akan mereka
lakukan, juga meminta masukan dari Pimpinan MPR RI mengenai situasi
keberagaman beragama di Indonesia.
Menurut Joseph, sebagai pengacara hak asasi manusia dan telah mempelajari
Indonesia selama 30 tahun terakhir ini, dia sangat tertarik dengan keberagaman di
Indonesia. Dia sangat prihatin terhadap kondisi di Indonesia dimana ketika pintu
demokrasi dibuka lebar, justru agama turut dipakai sebagai alat politik.
Hal itu dia rasakan bukan tanpa sebab, menurut Joseph, pada saat Pemilu dia
mengamati bahwa ada beberapa partai politik yang mengatasnamakan agama dan
memberikan janji-janji politik berdasarkan ajaran agama. Bahkan setelah Pemilu, ada
yang mencoba merealisasikannya dengan membuat perda-perda syariah.
Belum lagi isu-isu beragaman lainnya seperti sulitnya izin pendirian gereja, isu-isu
Ahmadiyah dan kerusuhan-kerusuhan berbau agama lainnya. Padahal, menurut
Joseph, Indonesia sudah lama menganut keragaman beragama, tapi mengapa masih
saja terjadi hal-hal seperti itu.
Sedangkan mengenai pemakaian agama dalam Pemilu, Taufiq berkata bahwa kita
tidak usah khawatir. Hasil Pemilu kemarin jelas-jelas terlihat bahwa pemenang
Pemilu 80%-nya adalah kelompok nasionalis. Hal ini menunjukkan bahwa partai yang
mengusung isu-isu agama tidak membawa keberhasilan dan kecenderungan
menggunakan agama sebagai alat politik juga menurun.
Hajriyanto turut menambahkan bahwa pada masa reformasi isu kebebasan beragama
justru semakin dirinci dalam konstitusi. Bahkan membuat undang-undang lainnya
untuk mendukung kebebasan beragama. Hanya saja Hajriyanto mengingatkan bahwa
implementasi dari konstitusi tersebut berhadapan dengan segala faktor termasuk sosial
dan ekonomi.
Jadi mengenai perbedaan agama yang memicu kerusuhan, justru menjadi pertanyaan
Pimpinan MPR RI. ”Sejak kapan perbedaan agama menjadi masalah, dan apa
penyebabnya, harusnya itu yang diriset oleh Human Rights Watch”, usul Taufiq.
Menurut Taufiq, ini gejala baru bahwa perbedaan agama di Indonesia menyebabkan
kerusuhan.
Dalam fakta sosial, semua agama bisa hidup di Indonesia. Jadi dalam kesempatan ini
Pimpinan MPR RI bersepakat mengajak Human Rights Watch bekerja sama untuk
memperbaiki kondisi ini untuk mencari kehidupan yang lebih demokratis.
Dari berbagai kasus yang begitu beragam, ada tigabelas persamaan yang dapat ditarik,
seperti berikut:
(3). Dengan beberapa perkecualian, khususnya Aceh dan Papua Barat, akar dari
berbagai konflik sosial di berbagai daerah di Indonesia adalah ketimpangan ekonomi
akibat pengaturan tata ruang oleh pemerintah yang dianggap tidak adil oleh
komunitas-komunitas setempat, yang kini menjadi semakin tajam setelah keluarnya
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dengan konsekuensi
pemekaran desa, kecamatan, kabupaten, dan provinsi yang memicu fanatisme etnis di
mana-mana.
(6). Setiap kelompok atau gerakan sosial yang radikal di Indonesia selalu disusupi
aparat intelijen militer yang formal maupun non-formal. Infiltrasi itu sekurang-
kurangnya dimaksudkan untuk mendapatkan informasi seberapa jauh gerakan itu
dapat membahayakan kepentingan aparatur negara. Namun lebih jauh lagi, infiltrasi
itu kemudian diarahkan untuk mengkooptasi dan melumpuhkan, atau setidak-
tidaknya, mendiskreditkan kelompok atau gerakan sosial tersebut (lihat tim CeDSoS,
2004).
Dengan kata lain, kelompok atau gerakan sosial yang menantang kekuasaan negara
dan modal besar, konkritnya, yang terlibat dalam konflik vertikal, sangat berpotensi
disusupi aparat intelijen militer formal dan non-formal untuk membelokkan resistensi
vertikal menjadi konflik horizontal.
Infiltrasi agen-agen intelijen atau proxy dari para perwira militer dan polisi dengan
tujuan melakukan kooptasi ini telah dialami oleh gerakan mahasiswa, gerakan buruh,
gerakan Muslim militan (lihat Abduh 2003), gerakan kemerdekaan di Aceh dan Papua
Barat, serta gerakan protes Nunusaku di Maluku yang dibelokkan menjadi gerakan
untuk menghidupkan kembali Republik Maluku Selatan. Konflik komunal di Maluku
sendiri dicetuskan hanya dua bulan setelah demonstrasi besar mahasiswa se kota
Ambon di bulan November 1998, menentang dwifungsi militer (lihat Munir 2001:
21).
(7). Selain dengan teknik infiltrasi, cara lain yang banyak dipakai untuk
melumpuhkan perlawanan masyarakat sipil terhadap negara dan modal besar adalah
dengan menciptakan konflik internal sehingga timbul kelompok tandingan atau
pengurus tandingan yang menentang kehadiran dan legitimasi kelompok atau
pengurus yang menentang negara dan modal besar. Konflik-konflik internal yang
semakin mewabah di era pasca-Soeharto erat kaitannya dengan maraknya infiltrasi
agen-agen intelijen ke dalam organisasi-organisasi masyarakat sipil.
(8). Di antara berbagai instansi dan aparat negara, infiltrasi dan kooptasi yang paling
sistematis telah dilakukan oleh Badan Intelijen Negara (BIN), yang sejak tahun lalu
telah berekspansi (lihat McEvers 2004). Ekspansi itu dilakukan melalui struktur
BINDA (BIN Daerah) yang dapat meliputi satu atau lebih provinsi, dan lebih ke
bawah lagi melalui KomBINDA (Komisariat BIN Daerah). Ada juga provinsi-
provinsi di mana secara formal hanya terdapat Kordinator-kordinator Wilayah
(Korwil). Manado merupakan tempat kedudukan seorang Kepala BINDA yang
wilayahnya meliputi provinsi-provinsi Sulawesi Utara dan Aceh, sementara Tomohon
merupakan tempat kedudukan seorang Kepala KomBINDA. Sedangkan Makassar
merupakan tempat kedudukan Korwil BIN Sulawesi Selatan.
Dalam prakteknya, agen-agen BIN di Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan tidak
cuma mengumpulkan informasi, tapi juga melakukan tekanan psikologis kepada
aktivis-aktivis pro-demokrasi yang kritis terhadap pemerintah. Sedangkan di Sulawesi
Tengah, tekanan psikologis dilakukan terhadap pemilik hotel dan tempat pondokan di
mana aktivis-aktivis pro-demokrasi bermukim. Dengan kata lain, pada saat militer dan
polisi tidak lagi secara langsung menghambat kebebasan ekspresi para aktivis gerakan
pro-demokrasi, fungsi itu mulai diambil alih oleh BIN dan beberapa organisasi
paramiliter yang dekat dengan Kepala BIN, Letjen (Purn.) A.M. Hendropriyono.
Agen-agen BIN juga bukan orang sembarangan, sebab lembaga intelijen ini mampu
mengerahkan anggota Kopassus serta anggota Detasemen Khusus 88 Anti-teror, yang
baru saja dibentuk oleh Polri di bulan Agustus 2003 (Jawa Pos, 29 Nov. 2003; Gatra,
4 Sept. 2004: 27). Kemampuan memobilisasi anggota-anggota satuan-satuan khusus
anti-teror itu, sementara Kepala BIN hanya bertanggungjawab kepada Presiden,
membuat kekuasaan purnawirawan jenderal itu secara de facto setara dengan
Panglima TNI dan Kapolri. Sebagai lembaga, BIN juga telah berkembang menjadi
sangat otonom dan dalam bidang politik praktis dapat menyaingi peranan Mabes TNI
dan Mabes Polri, suatu perkembangan yang tentu saja tidak disukai oleh para perwira
aktif di kedua markas besar itu, yang merasa disaingi oleh Hendropriyono.
Perkembangan ini, yang menyerupai keadaan di Brazil di masa transisi dari rezim
otoriter-birokratis yang didominasi militer ke pemerintahan demokratis berlandaskan
supremasi sipil, dari tahun 1973 s/d akhir 1985 (Stepan 1988: 25-29) juga tidak
disukai oleh sejumlah purnawirawan jenderal yang reformis. Mereka menganggap
operasi BIN di bawah komando Hendropriyono bertentangan dengan usaha aparat
bersenjata untuk mundur dari pentas politik.
(9). Kadang-kadang, dua fihak yang bertikai diinfiltrasi oleh agen-agen yang bekerja
untuk kepentingan aktor ekonomi-politik yang sama. Misalnya, anak buah mantan
Danjen Kopassus, Prabowo Subianto, punya hubungan akrab dengan dua fihak yang
bertikai di Maluku, yakni Front Kedaulatan Maluku (FKM) yang ingin menghidupkan
Republik Maluku Selatan (RMS) dan Lasykar Jihad FASWJ yang ingin . Setelah
Lasykar Jihad berhasil menteror penduduk Seram Timur sehingga mayoritas
penduduk yang Nasrani mengungsi, mantan jenderal itu sedang menyiapkan
pengambilalihan ladang-ladang minyak bumi formasi Manusela yang terentang dari
gunung sampai ke laut dari maskapai Kuwait, PT Kufpec, dan maskapai Australia, PT
Calpez.
Seorang anggota Brimob yang terlibat dalam penyerangan itu, dihukum penjara tujuh
bulan, namun ia tetap bebas berkeliaran di luar. Karena berbagai tuntutan mereka
belum dipenuhi, bulan Mei lalu sekitar 300 orang penduduk dari kedua komunitas itu
berkemah di lokasi tambang. Barangkali karena serangan Brimob yang lalu diekspos
ke dunia internasional, para polisi militer penjaga tambang itu, yang digaji sebesar
700 dollar Australia sehari oleh maskapai itu, tidak mengulangi kekejaman mereka
(Republika, 7 Juni 2004).
Mengapa perlu begitu banyak penjaga keamanan di Poso, Morowali, dan Banggai?
Tidak kebetulan bahwa di kedua kabupaten tetangga Poso telah masuk dua investor
domestik dengan backing politik yang cukup kuat. Yakni kelompok Medco milik
Arifin Panigoro, ketua Fraksi PDI-P di MPR yang berniat menambang minyak dan
gas bumi di Kabupaten-Kabupaten Banggai dan Morowali; serta kelompok Artha
Graha milik Tomy Winata dan Yayasan Kartika Eka Paksi, yang berniat menambang
marmer di Morowali (Aditjondro 2004a: 135-137).
Jangan dilupakan pula Kepala BIN, adalah mitra bisnis Tomy Winata. Hendropriyono
adalah Presiden Komisaris PT Kia Mobil Indonesia (KMI), sementara anaknya,
Ronny Hendropriyono menjadi salah seorang direktur anak perusahaan Artha Graha
itu. Makanya, di mana Artha Graha menanam modalnya, di situ mobil Kia
dipromosikan, a.l. lewat pembagian mobil tersebut secara cuma-cuma ke aparat polisi
setempat. Makanya, keluarga Hendropriyono jelas-jelas punya kepentingan ekonomi
untuk mengamankan investasi Artha Graha di daerah Morowali.
Akhirnya, tidak kebetulan pula bahwa di daerah di mana batalyon yang lama, Yon
711 Reksatama bertugas, yang meliputi kabupaten-kabupaten Buol dan Toli-Toli,
Ronny Hendropriyono juga punya kepentingan bisnis. Ia menjadi komisaris dari
sebuah perkebunan kepala sawit seluas 52 ribu hektar. Perkebunan PT Hardaya Inti
Plantation itu adalah milik Ny. Hartati Murdaya, salah seorang Bendahara Golkar di
era Presiden Soeharto (Aditjondro 2004b: 53-54).
Dari contoh-contoh ini dapat dilihat bagaimana pelestarian konflik Poso dan
Morowali, akhirnya menguntungkan para pemodal besar, yang dilindungi
kepentingannya oleh aparat bersenjata dan aparat intelijen negara kita.
Begitulah tigabelas tesis yang dapat diturunkan dari data empiris dari sejumlah
kerusuhan dan konflik sosial pasca-Soeharto di Indonesia.
Kepustakaan:
Abduh, Umar (peny.) (2003). Konspirasi Intelijen & Gerakan Islam Radikal. Jakarta:
Center for Democracy and Social Justice Studies (CeDSoS).
Aditjondro, George Junus (2001). “Di Balik Asap Mesiu, Air Mata dan Anyir Darah
di Maluku”. Epilog dalam Zairin Salampessy dan Thamrin Husain (peny.). Ketika
Semerbak Cengkih Tergusur Asap Mesiu: Tragedi Kemanusiaan Maluku di balik
Konspirasi Militer, Kapitalis Birokrat, dan Kepentingan Elit Politik. Jakarta: TAPAK
Ambon, hal. 131-176.
--------------- (2003). “Renungan buat Papa Nanda, Anak Domba Paskah dari
Tentena”. Prolog dalam Rinaldy Damanik, Tragedi Kemanusiaan Poso: Menggapai
Surya Pagi melalui Kegelapan Malam. Jakarta & Yogya: PBHI, Yakoma, CD
Bethesda, hal. xviii-lii.
---------------(2004a). “Kerusuhan Poso dan Morowali: Akar Permasalahan dan Jalan
Keluarnya”. Dalam Stanley (peny.). Keamanan, Demokrasi dan Pemilu 2004. Jakarta:
ProPatria, hal. 109-155.
--------------- (2004b). Membedah Kembar Siam Penguasa Politik & Ekonomi
Indonesia: Metodologi Investigasi Korupsi Sistemik Bagi Aktivis dan Wartawan.
Jakarta: Lembaga Studi Pers & Pembangunan (LSPP).
--------------- (2004c). “Kayu Hitam, Bisnis Pos Penjagaan, Perdagangan Senjata dan
Proteksi Modal Besar: Ekonomi Politik Bisnis Militer di Sulawesi Bagian Timur”.
Wacana, No. 17, Tahun III, hal. 137-178.
---------------- (2004d). “Dari Gaharu ke Bom Waktu HIV/AIDS Yang Siap Meledak:
Ekonomi Politik Bisnis Tentara di Tanah Papua”, Wacana, No. 17, Tahun III, hal. 83-
112.
CeDSoS, Tim Peneliti (2004). Konspirasi Gerakan Islam & Militer di Indonesia.
Jakarta: Center for Democracy and Social Justice Studies (CeDSoS).
Ghuffron, Rodjil (2001). Skandal Politik SI MPR RI 2001. Jakarta: Factual Analysis
Forum.
Guerin, Bill (2004). “The Search for Safety in the Spice Islands.” Asia Times Online,
2 Juni.
Malik, Ichsan (2004). “Bisnis Militer di Wilayah Konflik Maluku”. Wacana, No. 17,
Tahun III, hal. 113-120.
McEvers, Kelly (2004). “Indonesia’s Expanding Spy Network Alarms Reformers.”
Christian Science Monitor, 4 Februari.
Munir (2001). “Indonesia, Violence and the Integration Problem.” Dalam Ingrid
Wessel & Georgia Wimhoefer (peny.). Violence in Indonesia. Hamburg: Abera, hal.
17-24.
Pontoh, Coen Husain (2004). “Bedil, Amis Darah dan Mesiu: Mengurai Keterlibatan
Militer dalam Konflik Maluku”. Wacana, No. 17, Tahun III, hal. 121-136.
Simanjuntak, Togi (peny.). Premanisme Politik. Jakarta: Institut Studi Arus Informasi
(ISAI).
Stepan, Alfred (1988). Rethinking Military Politics: Brazil and the Southern Cone.
Princeton, NJ: Princeton University Press.
Wessel, Ingrid (2001). “The Politics of Violence in New Order Indonesia in the Last
Decade of the 20th Century.” Dalam Ingrid Wessel & Georgia Wimhoefer (peny.).
Violence in Indonesia. Hamburg: Abera, hal. 64-81.
SIARAN PERS
( KONTRAS )
Tentang :
HUBUNGAN KERUSUHAN DENGAN PERKEMBANGAN POLITIK
NASIONAL
Kurun waktu tiga tahun terakhir ini, bangsa Indonesia berada dalam kondisi yang
paling memprihatinkan dalam sejarahnya. Berbagai kerusuhan terjadi dari tahun 1996
seperti peristiwa – peristiwa Sabtu Kelabu 27 Juli 1996 di Jakarta, Abepura,
Sanggau-Ledo, Situbondo, Tasikmalaya, Kerawang, Aceh dan seterusnya, seakan tak
kunjung selesai. Sampai akhirnya krisis ekonomi semakin membuktikan bobroknya
sistem kemasyarakatan yang selama 30 tahun dibangun Orde Baru. Krisis ekonomi
– politik kemudian semakin memperburuk keadaan hingga kita terpuruk ketitik
yang paling rendah, sehingga dicap sebagai bangsa yang kurang beradab. Peristiwa
kerusuhan dan perkosaan massal pada Mei 1998, peristiwa Semanggi, Banyuwangi,
Ketapang, Kupang, Ambon dan terakhir Sambas, adalah bukti dari semua itu.
Medium dari amuk massa ini pertama, antara warga masyarakat dengan aparat negara
baik sipil maupun militer. Selama ini Orde Baru ternyata telah membangun sebuah
sruktur masyarakat yang amat rapuh sebagai akibat dari kesalahan strategi
pembangunan yang dipilih maupun buruknya kinerja birokrasi yang menindas dan
dilumuri oleh korupsi, kolusi dan nepotisme. Penyelenggaraan negara yang demikian
kacau telah menempatkan bagian terbesar rakyat pada posisi yang lemah dan
terpinggirkan. Di sisi lain, birokrasi baik sipil dan terutama sekali militer yang korup,
bersama pemodal besar telah tampil sebagai pihak yang amat berkuasa. Aliansi ketiga
kelompok inilah yang selama ini begitu dikenal oleh rakyat sebagai pihak yang paling
bertanggunjawab atas kekerasan dan ketertindasan mereka. Dari sini terbentuklah
semacam kebencian sebagai situasi psikologis massa rakyat yang pada gilirannya
mendorong berbagai amuk massa yang terjadi cenderung dialamatkan kepada mereka
dengan perusakan terhadap simbol – simbol dan aset – aset milik ketiga
kelompok tersebut seperti sentra ekonomi, kantor birokrasi dan aparat keamanan.
Medium kedua, pertentangan antar sesama warga masyarakat. Medium kedua ini
terjadi akibat gagalnya upaya pembangunan integrasi sosial yang kuat oleh
penyelengara negara. tumapang tindihnya segrasi tempat tinggal berdasarkan etnis/
ras dengan basis ekonomi, atau berbagia kondisi yang sering kali bahkan didorong
oleh berbagai kebijakan yang memunculkan polarisasi kelompok, pada akhirnya
memposisikan dua pihak yang saling berhadapan seperti pribumi dan non –
pribumi, pendatang dan penduduk asli, agama satu dengan yang lain. Tidak
mengherankan ketika kemudian terjadi provokasi, masyarakat dengan mudah
terpelintir ke arah pertentangan antar sesama mereka dalam konflik terbuka.
Lemahnya Negara
Kekacauan politik dan sosial semacam yang terjadi di Indonesia saat ini
sesungguhnya bukanlah khas dan satu – satunya. Secara struktural ini merupakan
sebuah keniscayaan dalam sistem ekonomi yang sedang bertransisi untuk semakin
terintegrasi ke dalam sistem kapitalisme global dengan segala prasyaratnya. Dalam
masa transisi tersebut, minimal terdapat dua kecenderung yang muaranya akan
diarahkan pada penyiapan infrastruktur yang mampu menjamin kelangsungan
investasi dan beroperasinya modal internasional. Dua kecenderungan ini adalah
menguatnya kembali kekuatan – keuatan konservatif oleh kebosanan menghadapi
situasi transisi yang tidak menentu. Kedenderungan kedua adalah munculnya kembali
rejim yang tetap akan melestarikan sistem otoritarianismenya sebagai instrumen yang
akan mengganggu perputaran modal.
Sebagaimana umumnya terjadi negara – negara dunia ketiga, kekuatan kapitalisme
internasional memanfaatkan rejim otoriter sebagai alat penjamin kepentingannya.
Dalam kerangka ini pula kiranya Indonesia memiliki posisinya di dalam kondisi
transisional yang terjadi akhir – akhir ini. Logika ini menjadi alasan yang cukup
bagi adanya dugaan bahwa kekuatan rejim lama di Indonesia memiliki kepentingan
yang besar tetap eksis sebagai kekuatan yang dominan di dalam sistem politik di masa
– masa yang akan datang. Konsekuensinya adalah bahwa sisa – sisa kekuatan
rezim lama di dalam tubuh negara saat ini, melalui alat – alatnya, merupakan bagian
yang tidak terpisah dari skenario pembentukan kekuasaan yang baru.
Dari pandangan di atas KONTRAS khawatir bahwa berbagai kerusuhan massal yang
terjadi akhr – akhir ini justru dapat dijadikan alasan pembenar terhadap
pembentukan rejim repressif untuk semakin ketat mengontrol rakyat. Alat – alat
negara, juga dapat menjadi bagian dari konflik yang timbul. Dugaan ini muncul dari
berbagai temuan lapangan dan kaitan – kaitan logis dari rangkaian peristiwa dan
pembuatan kebijakan – kebijakan baru sebagai jawaban atas krisis dan kerusuhan
yang terjadi.
Pendirian Kodam baru bukanlah jawaban yang pas untuk meredam kerusuhan
Upaya militer dalam menghidupkan kembali Kodam – Kodam yang pernah
dilikuidasi, sebagaimana diungkapkan oleh ABRI bukanlah jawaban tepat atas
tuntutan terhadap tanggung jawab mereka.
KONTRAS melihat kejanggalan – kejanggalan atas pendirian Kodam baru tersebut
sebagai berikut :
M U N I R, SH MM BILLAH
Badan Pekerja Badan Penasehat
Koordinator Anggota
Selasa, 01 Juni 2010 | 09:46 WIB
Politisasi Identitas Ciptakan Ketegangan Sosial Baru
Hendardi mengatakan berbagai forum dan organisasi masyarakat yang selama ini
sering menggunakan kekerasan dalam mengatasi persoalan sosial awalnya adalah
cara-cara elit politik untuk kepentingan tertentu. Menurutnya, praktik politisasi
identitas haruslah tidak ditolerir.
Oleh karena itu Hendardi meminta aparat kepolisian untuk bertindak tegas terhadap
pelaku yang patut diduga terlibat aksi kekerasan yang menimbulkan nyawa seseorang
dan kerusuhan yang berujung pada pembakaran rumah dan aset pribadi masyarakat.
Herry Analisis Kondisi Sosial Budaya dan Sosial Politik Tionghoa Indonesia
Secara berseloroh kita sering mendengar istilah Cina Sunda, Cina Jawa,
Cina Padang, dsb. Dalam kenyataannya, sulit untuk membedakan
kehidupan sosial budaya Cina Sunda dengan orang Sunda asli, khususnya
yang sudah beberapa generasi lahir di Indonesia, karena yang
membedakan mereka hanya raut mukanya saja. Begitu juga dengan orang
Tionghoa yang tinggal di daerah-daerah lain, termasuk juga yang tinggal di
Eropa, Amerika, Australia, dsb.
Tidak jarang pula pandangan negative datang dari orang Tionghoa yang
tinggal di negara-negara maju yang "menjunjung tinggi demokrasi",
bahwa orang Tionghoa Indonesia tidak mempunyai keberanian untuk
menegakkan hak azasinya sendiri. Mereka sering dicap sebagai orang yang
apatis, yang hanya mencari selamat sendiri, yang tidak mempunyai rasa
kebersamaan, yang tidak berani menentang diskriminasi rasial terhadap
dirinya, dlsb.
Juga adalah fakta yang tidak dapat dipungkiri, orang Tionghoa Indonesia
adalah kelompok masyarakat yang unik, yang tidak bisa diperbandingkan
langsung dengan Malaysian Chinese, Singaporean Chinese, Australian
Chinese, dsb. Sebagian besar orang Tionghoa Indonesia adalah keturunan
campuran dari pria Cina yang datang dari Tiongkok dengan wanita
setempat.
Secara garis besar dikenal ada tiga macam bentuk parpol Tionghoa saat
itu, dengan orientasi politik yang berbeda-beda bahkan cenderung
bertentangan. Ini merupakan salah satu alasan, mengapa cukup banyak
orang Tionghoa yang tidak setuju dengan pembentukan parpol berbasis ke-
Tionghoa-an di Indonesia, di samping alasan-alasan lain berdasarkan
pandangan politik masing-masing individu.
Dalam hal ini harus dibedakan antara diskriminatif resmi yang dilakukan
pemerintah melalui UU & Peraturan, dan disktriminatif sosial yang
dilakukan oleh sebagian kecil anggota masyarakat. Dengan demikian,
usaha-usaha untuk menghapus tindakan diskriminatif rasial dapat dibagi
dalam 2 macam pendekatan, yaitu pendekatan hukum dan pendekatan
sosial.
a. Pendekatan Hukum.
Dalam proses penyerahan kedaulatan, semua UU dan Peraturan ex
Nederlansche Indie diambil alih oleh pemerintah RI. Berdasarkan hukum
Ketatanegaraan Indoensia, UU hanya bisa dihapus dengan UU yang baru,
di mana UU yang baru harus disyahkan DPR. Oleh karena itu banyak
sekali UU dan Peraturan di Indonesia yang secara de facto masih berlaku
adalah sisa-sisa peninggalan Belanda, termasuk pula UU dan Peraturan
yang bersikap diskriminatif rasial terhadap Tionghoa Indonesia.
Selama masa Orde Baru, UU dan Peraturan yang rasialistis ini bukannya
dihapuskan, malah ditambah dengan berbagai UU dan Peraturan lain yang
lebih rasialis. Kondisi ini dimanfaatkan oleh oknum-oknum birokrat
dengan semangat korupsi yang tinggi untuk memeras orang Tionghoa, yang
secara kebetulan di kota-kota besar umumnya relatif lebih makmur dari
kehidupan masyarakat sekitarnya.
b. Pendekatan Sosial.
Di kalangan orang Tionghoa moderat, muncul pemikiran untuk
mengintensifkan kembali pendekatan sosial, dalam usaha-usaha untuk
menghapus tindakan diskriminatif rasial terhadap orang Tionghoa
Indonesia. Pola pendekatan sosial, sebenarnya sudah sejak lama dilakukan
oleh kalangan Tionghoa Indonesia pada masa pemerintahan Bung Karno.
Pemikiran baru yang muncul hanya merubah strategi pendekatan, agar
lebih efektif dan efisien sejalan dengan kondisi saat ini.
Salah satu contoh yang dapat dikemukakan adalah sekolah yang didirikan
oleh dr.Simon Tan di Medan. Murid-muridnya hampir semua berasal dari
kalangan miskin, baik Tionghoa maupun non Tionghoa. Di luar kegiatan
sekolah, tanpa pandang bulu, semua murid disuruh bekerja membuat
barang tertentu, yang hasilnya untuk membiayai sekolah mereka sendiri.
Dengan cara ini akan terjalin suatu rasa kebersamaan antara murid-murid
Tionghoa dan non Tionghoa, yang kelak setelah terjun ke masyarakat
dapat diharapkan akan menjadi pionir-pionir yang bebas
dari sikap diskriminatif. Sayangnya, informasi tentang dr.Simon Tan
sangat terbatas sekali.
KESIMPULAN.
a. Masyarakat Tionghoa Indonesia merupakan masyarakat yang sangat
heterogen, sejalan dengan banyaknya suku-suku di Indonesia yang
berpengaruh dalam terhadap kehidupan sosial budaya masing-masing.
b. Pola pikir sosial politik "pihak luar" dengan latar belakang sosial
budaya yang berbeda, akan sangat sulit diterima kelompok masyarakat
Tionghoa di masing-masing daerah.
Catatan:
Tulisan di atas pada awal November 2002 pernah dimuat di milis tionghoa-
net
( http://groups.yahoo.com/group/tionghoa-net/messages/ )
sekitar 2 bulan yang lalu
DISINTEGRASI SOSIAL : SEBUAH TINJAUAN BUDAYA Oleh: Sjafri Sairin
Artikel di Jurnal Humaniora Volume XII, No. 3/2000 Abstrak:Akhir-akhir ini
terlihat semacam isyarat yang mengarah kepada kemungkinan akan terjadinya
disintegrasi dalam kehidupan bangsa . Isyarat ini semakin kuat denyutnya dalam detak
jantung kehidupan politik bangsa Indonesia akhir-akhir ini . Sejumlah orang Aceh dan
Papua secara transparan telah menunjukkan keinginannya untuk melepaskan diri dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia, menjadikan negara mandiri yang merdeka,
padahal dulu mereka sendiri turut mendukung berdirinya negara kesatuan Indonesia
itu . Pada awal kemerdekaan dengan mengerahkan segala potensi yang ada padanya,
masyarakat Aceh telah menunjukkan dukungan mutlak terhadap kemerdekaan yang
diproklamasikan Bung Karno dan Bung Hatta, dengan mengumpulkan harta benda
rakyat, membeli dan menyerahkan sebuah pesawat terbang yang diberi nama
Seulawah menjadi milik negara yang baru merdeka itu . Ini adalah pesawat terbang
pertama yang dimiliki negara ini . Begitu pula masyarakat Papua yang memilih
menjadi bagian dari Republik Indonesia pada awal 1960 an . Namun, sekarang
mereka seolah-olah merasa kecewa, dan ingin berdiri sebagai negara mandiri, lepas
dari induknya, Republik Indonesia . Kata Kunci:Kerusuhan sosial, Unsur
kedaerahan, Disintegrasi
PENGANTAR REDAKSI
"KEAJAIBAN yang hilang". Itulah istilah yang paling pantas diberikan bagi perekonomian
Indonesia sepanjang tahun 1998. Setelah berpuluh-puluh tahun terbuai oleh pertumbuhan yang
begitu mengagumkan, tahun 1998 ekonomi Indonesia mengalami kontraksi begitu hebat. Laporan
akhir tahun ekonomi akan mengungkap semua persoalan itu dan mencoba menggambarkan keadaan
untuk tahun mendatang. Laporan akan dituangkan dua hari berturut-turut, Senin (21/12) dan Selasa,
di Rubrik UTAMA dan Rubrik OPINI. Semua dituliskan oleh wartawan ekonomi Kompas, Andi
Suruji, Banu Astono, Dedi Muhtadi, Ferry Irwanto, Ninuk M Pambudy, Pieter P Gero, Simon
Saragih, Sri Hartati Samhadi, Subur Tjahjono, Tjahja Gunawan, Yosef Umar Hadi, dan
Yovita Arika.
TAHUN 1998 menjadi saksi bagi tragedi perekonomian bangsa. Keadaannya berlangsung sangat
tragis dan tercatat sebagai periode paling suram dalam sejarah perekonomian Indonesia. Mungkin
dia akan selalu diingat, sebagaimana kita selalu mengingat black Tuesday yang menandai awal
resesi ekonomi dunia tanggal 29 Oktober 1929 yang juga disebut sebagai malaise.
Hanya dalam waktu setahun, perubahan dramatis terjadi. Prestasi ekonomi yang dicapai dalam dua
dekade, tenggelam begitu saja. Dia juga sekaligus membalikkan semua bayangan indah dan cerah di
depan mata menyongsong milenium ketiga.
Selama periode sembilan bulan pertama 1998, tak pelak lagi merupakan periode paling hiruk pikuk
dalam perekonomian. Krisis yang sudah berjalan enam bulan selama tahun 1997,berkembang
semakin buruk dalam tempo cepat. Dampak krisis pun mulai dirasakan secara nyata oleh
masyarakat, dunia usaha.
Dana Moneter Internasional (IMF) mulai turun tangan sejak Oktober 1997, namun terbukti tidak
bisa segera memperbaiki stabilitas ekonomi dan rupiah. Bahkan situasi seperti lepas kendali, bagai
layang-layang yang putus talinya. Krisis ekonomi Indonesia bahkan tercatat sebagai yang terparah
di Asia Tenggara.
Seperti efek bola salju, krisis yang semula hanya berawal dari krisis nilai tukar baht di Thailand 2
Juli 1997, dalam tahun 1998 dengan cepat berkembang menjadi krisis ekonomi, berlanjut lagi krisis
sosial kemudian ke krisis politik.
Akhirnya, dia juga berkembang menjadi krisis total yang melumpuhkan nyaris seluruh sendi-sendi
kehidupan bangsa. Katakan, sektor apa di negara ini yang tidak goyah. Bahkan kursi atau tahta
mantan Presiden Soeharto pun goyah, dan akhirnya dia tinggalkan. Mungkin Soeharto, selama sisa
hidupnya akan mengutuk devaluasi baht, yang menjadi pemicu semua itu.
Faktor yang mempercepat efek bola salju ini adalah menguapnya dengan cepat kepercayaan
masyarakat, memburuknya kondisi kesehatan Presiden Soeharto memasuki tahun 1998,
ketidakpastian suksesi kepemimpinan, sikap plin-plan pemerintah dalam pengambilan kebijakan,
besarnya utang luar negeri yang segera jatuh tempo, situasi perdagangan internasional yang kurang
menguntungkan, dan bencana alam La Nina yang membawa kekeringan terburuk dalam 50 tahun
terakhir.
Dari total utang luar negeri per Maret 1998 yang mencapai 138 milyar dollar AS, sekitar 72,5
milyar dollar AS adalah utang swasta yang dua pertiganya jangka pendek, di mana sekitar 20 milyar
dollar AS akan jatuh tempo dalam tahun 1998. Sementara pada saat itu cadangan devisa tinggal
sekitar 14,44 milyar dollar AS.
Terpuruknya kepercayaan ke titik nol membuat rupiah yang ditutup pada level Rp 4.850/dollar AS
pada tahun 1997, meluncur dengan cepat ke level sekitar Rp 17.000/dollar AS pada 22 Januari
1998, atau terdepresiasi lebih dari 80 persen sejak mata uang tersebut diambangkan 14 Agustus
1997.
Rupiah yang melayang, selain akibat meningkatnya permintaan dollar untuk membayar utang, juga
sebagai reaksi terhadap angka-angka RAPBN 1998/ 1999 yang diumumkan 6 Januari 1998 dan
dinilai tak realistis.
Krisis yang membuka borok-borok kerapuhan fundamental ekonomi ini dengan cepat merambah ke
semua sektor. Anjloknya rupiah secara dramatis, menyebabkan pasar uang dan pasar modal juga
rontok, bank-bank nasional dalam kesulitan besar dan peringkat internasional bank-bank besar
bahkan juga surat utang pemerintah terus merosot ke level di bawah junk atau menjadi sampah.
Puluhan, bahkan ratusan perusahaan, mulai dari skala kecil hingga konglomerat, bertumbangan.
Sekitar 70 persen lebih perusahaan yang tercatat di pasar modal juga insolvent atau nota bene
bangkrut.
Sektor yang paling terpukul terutama adalah sektor konstruksi, manufaktur, dan perbankan,
sehingga melahirkan gelombang besar pemutusan hubungan kerja (PHK). Pengangguran melonjak
ke level yang belum pernah terjadi sejak akhir 1960-an, yakni sekitar 20 juta orang atau 20 persen
lebih dari angkatan kerja.
Akibat PHK dan naiknya harga-harga dengan cepat ini, jumlah penduduk di bawah garis
kemiskinan juga meningkat mencapai sekitar 50 persen dari total penduduk. Sementara si kaya
sibuk menyerbu toko-toko sembako dalam suasana kepanikan luar biasa, khawatir harga akan terus
melonjak.
Pendapatan per kapita yang mencapai 1.155 dollar/kapita tahun 1996 dan 1.088 dollar/kapita tahun
1997, menciut menjadi 610 dollar/kapita tahun 1998, dan dua dari tiga penduduk Indonesia disebut
Organisasi Buruh Internasional (ILO) dalam kondisi sangat miskin pada tahun 1999 jika ekonomi
tak segera membaik.
Data Badan Pusat Statistik juga menunjukkan, perekonomian yang masih mencatat pertumbuhan
positif 3,4 persen pada kuartal ketiga 1997 dan nol persen kuartal terakhir 1997, terus menciut tajam
menjadi kontraksi sebesar 7,9 persen pada kuartal I 1998, 16,5 persen kuartal II 1998, dan 17,9
persen kuartal III 1998. Demikian pula laju inflasi hingga Agustus 1998 sudah 54,54 persen, dengan
angka inflasi Februari mencapai 12,67 persen.
Di pasar modal, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Jakarta (BEJ) anjlok ke titik
terendah, 292,12 poin, pada 15 September 1998, dari 467,339 pada awal krisis 1 Juli 1997.
Sementara kapitalisasi pasar menciut drastis dari Rp 226 trilyun menjadi Rp 196 trilyun pada awal
Juli 1998.
Di pasar uang, dinaikkannya suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) menjadi 70,8 persen dan
Surat Berharga Pasar Uang (SBPU) menjadi 60 persen pada Juli 1998 (dari masing-masing 10,87
persen dan 14,75 persen pada awal krisis), menyebabkan kesulitan bank semakin memuncak.
Perbankan mengalami negative spread dan tak mampu menjalankan fungsinya sebagai pemasok
dana ke sektor riil.
Di sisi lain, sektor ekspor yang diharapkan bisa menjadi penyelamat di tengah krisis, ternyata sama
terpuruknya dan tak mampu memanfaatkan momentum depresiasi rupiah, akibat beban utang,
ketergantungan besar pada komponen impor, kesulitan trade financing, dan persaingan ketat di
pasar global.
Selama periode Januari-Juni 1998, ekspor migas anjlok sekitar 34,1 persen dibandingkan periode
sama 1997, sementara ekspor nonmigas hanya tumbuh 5,36 persen.
Anomali
Krisis kepercayaan ini menciptakan kondisi anomali dan membuat instrumen moneter tak mampu
bekerja untuk menstabilkan rupiah dan perekonomian. Sementara di sisi lain, sektor fiskal yang
diharapkan bisa menjadi penggerak ekonomi, juga dalam tekanan akibat surutnya penerimaan.
Situasi yang terus memburuk dengan cepat membuat pemerintah seperti kehilangan arah dan
orientasi dalam menangani krisis. Di tengah posisi goyahnya, Soeharto sempat menyampaikan
konsep "IMF Plus", yakni IMF plus CBS (Currency Board System) di depan MPR, sebelum
akhirnya ide tersebut ditinggalkan sama sekali tanggal 20 Maret, karena memperoleh keberatan di
sana-sini bahkan sempat memunculkan ketegangan dengan IMF, dan IMF sempat menangguhkan
bantuannya.
Ditinggalkannya rencana CBS dan janji pemerintah untuk kembali ke program IMF, membuat
dukungan IMF dan internasional mengalir lagi. Pada 4 April 1998, Letter of Intent ketiga
ditandatangani. Akan tetapi kelimbungan Soeharto, telah sempat menghilangkan berbagai
momentum atau kesempatan untuk mencegah krisis yang berkelanjutan.
Bahkan memicu adrenali masyarakat, yang sebelumnya terbilang tenang menjadi beringas.
Kemarahan rakyat atas ketidakberdayaan pemerintah mengendalikan krisis di tengah harga-harga
yang terus melonjak dan gelombang PHK, segera berubah menjadi aksi protes, kerusuhan dan
bentrokan berdarah di Ibu Kota dan berbagai wilayah lain, yang menuntun ke tumbangnya Soeharto
pada 21 Mei 1998.
Tragedi berdarah ini memicu pelarian modal dalam skala yang disebut-sebut mencapai 20 milyar
dollar AS, gelombang hengkang para pengusaha keturunan, rusaknya jaringan distribusi nasional,
terputusnya pembiayaan luar negeri, dan ditangguhkannya banyak rencana investasi asing di
Indonesia.
Munculnya pemerintahan baru yang tidak memiliki legitimasi, dan lebih sibuk dengan manuvernya
untuk merebut hati rakyat, tidak banyak menolong keadaan. Pemburukan kondisi ekonomi, sosial,
dan politik dengan cepat ini setidaknya terus berlangsung hingga kuartal kedua, bahkan kuartal
ketiga 1998. Begitulah, kita telah menyaksikan episode terburuk perekonomian sepanjang tahun
1998.*
LAPORAN AKHIR TAHUN BIDANG EKONOMI
INDUSTRI perbankan selama tahun 1998 begitu hiruk-pikuk. Antrean panjang nasabah menyambut
industri perbankan awal tahun 1998. Mereka benar-benar telah menempatkan kepercayaan pada
bank di bawah telapak kaki. Tindakan likuidasi tanpa memperhitungkan kepanikan nasabah,
menjadi awal dari semua prahara perbankan itu.
Untung ada jaminan atas simpanan nasabah, yang dikeluarkan pemerintah awal tahun 1998 juga.
Kesulitan perbankan di satu sisi bisa tertolong karena tidak lagi harus dicecer nasabah panik.
Namun demikian, jaminan itu tak kunjung bisa mengakhiri krisis perbankan yang sudah
berkembang menjadi kronis.
Selain warisan dari penyakit masa lalu, ada beberapa karakter yang membantai industri perbankan
selama tahun 1998. Pertama adalah warisan dari kepanikan nasabah yang mengakibatkan sumber
pendanaan kosong melompong. Bank Indonesia memang menyuntikkan likuiditas berupa BLBI.
Akan tetapi pengenaan suku bunga BLBI, telah pula menjadikan pemilik menghadapi beban yang
terus bertambah.
Ada lagi faktor lain yang mewarnai, yakni suku bunga kredit yang lebih tinggi ketimbang suku
bunga simpanan nasabah. Akibatnya terjadi negative spread. Beban bankir semakin bertambah saja.
Bisa dikatakan, bank-bank kita sudah tinggal gedung-gedung saja tanpa isi.
Resesi ekonomi telah mencampakkan semua kredit yang disalurkan menjadi sampah. Idealnya,
pemilik bank sendiri harus menyuntikkan modal untuk memberi roh pada perbankan. Akan tetapi
itu tidak dapat dilakukan. Pemilik bank juga bangkrut, karena kredit yang disalurkan ke kelompok
sendiri, terjerat kredit macet.
Tambahan pula, sebagian kredit itu telah menguap dan sebagian besar menjadi simpanan pemilik
bank yang ada di sistem perbankan internasional. Kekhawatiran akan bisnis yang tidak nyaman di
Indonesia, telah membuat mereka lari tunggang langgang.
Akibatnya, BI harus menanggung semua beban yang ada di perbankan. Secara de facto, pemilik
saham mayoritas perbankan nasional adalah pemerintah melalui Bank Indonesia. Bahkan sebagian
besar saham-saham bank swasta telah dicengkeram oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional
(BPPN).
Akan tetapi pengambilalihan Bank Indonesia atas saham-saham perbankan nasional, juga tak
menyelesaikan masalah. Idealnya, sebagaimana di berbagai negara, pemerintah menjadi penolong
mayoritas kesulitan perbankan.
Namun pemerintah pun kini bagai tunggang langgang, tiba-tiba dihadapkan pada beban dashyat
akibat borok-borok industri perbankan. Borok-borok itu, sangat jelas terlihat pada peringkat
perbankan yang mayoritas berkategori B (modal sudah menjadi negatif 25 persen terhadap aset) dan
C (modal sudah negatif di bawah 25 persen) terhadap aset.
**
SEBELUM rencana rekapitalisasi, ada sejumlah kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk
menyehatkan perbankan. Ironisnya, kebijakan yang dikeluarkan pun-untuk menyehatkan
perbankan-seperti anak-anak bermain tali. Tarik ulur hampir selalu mewarnai kebijakan pemerintah
atas perbankan.
Kebijakan di bidang keuangan dan perbankan seringkali direvisi. Ambil contoh, pola pengembalian
dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang berubah-ubah. Sebelumnya pemerintah
menentukan batas waktu pengembalian BLBI selama lima tahun, kemudian diubah lagi menjadi
satu tahun.
Sampai akhirnya setelah melalui bebagai perdebatan, pemerintah menetapkan batas waktu empat
tahun bagi pemilik lama saham mayoritas bank beku operasi (BBO) dan bank take over (BTO)
untuk menyelesaikan kewajibannya. Bagaimana pun, kebijakan pemerintah yang plintat-plintut bisa
membingungkan pelaku pasar dan mengurangi kepercayaan masyarakat pada dunia perbankan.
Maka itu, jangan heran jika masyarakat terus bingung. Sebenarnya kebingungan dan kepanikan
dalam masyarakat secara tidak langsung diciptakan sendiri oleh pemerintah melalui kebijakan yang
tidak utuh. Setelah kebijakan pengembalian BLBI sudah agak terang dan jelas, sekarang muncul
program rekapitalisasi (penambahan modal) perbankan yang merupakan bagian dari kebijakan
restrukturisasi perbankan nasional.
Kebijakan yang hendak dilaksanakan itu pun, belum memperjelas arah kebijakan pemerintah yang
hendak ditempuh dalam dunia perbankan. Dengan rekapitalisasi perbankan pemerintah berobsesi
menciptakan perbankan yang sehat dan kuat serta mampu bertarung di pasar global.
***
DI tengah kebingungan itu, kita bertanya. Bagaimana menyehatkan perbankan. Hingga kini semua
itu masih menjadi tanya besar? Maka itu, tahun 1999, industri perbankan belum bisa diharapkan
beroperasi seperti sediakala. Mereka belum cukup mampu mengucurkan kredit.
Kalaupun ada yang bisa beroperasi normal, itu hanyalah bank-bank asing atau campuran, atau bank-
bank swasta yang selama ini cukup berhati-hati menyalurkan dananya. Akan tetapi jumlah bank
yang bisa bertindak seperti hanya dalam bilangan jari tangan.
Lalu bagaimana prospektif perbankan nasional? Hingga saat ini tak ada yang bisa memberikan
jawaban tuntas. Berbagai kalangan, domestik maupun dunia internasional di berbagai seminar, juga
sangat kebingungan melihat endemik penyakit perbankan. Tahun 1999, akan masih terus
dilanjutkan dengan sejumlah pertanyaan bagaimana menyelesaikan perbankan.
Namun yang jelas, likuidasi adalah suatu yang tak terhindarkan. Itu merupakan bagian dari
reformasi perbankan, yang bisa dikatakan, juga masih merupakan langkah sumir. Maka itu,
mengamati industri perbankan sepanjang tahun 1999 adalah sesuatu yang mereka nantikan.
Sebenarnya ada hal paling urgen yang kelihatannya tak punya korelasi, tetapi untuk menyehatkan
industri perbankan, hal itu mutlak diperlukan. Sebagaimana diketahui, dalam dunia yang sudah
terintegrasi ini, peran aliran modal sudah menjadi penyangga perekonomian, dan sekaligus juga
perbankan satu negara.
Aliran modal itu, termasuk yang dalam kategori investasi portofolio-berbentuk saham obligasi atau
produk di pasar uang lainnya. Aliran modal lainnya, adalah yang juga disebut sebagai foreign direct
investment (aliran investasi asing langsung).
Untuk kawasan Asia Pasifik, termasuk Indonesia, hal itu sudah terjadi. Namun keunikan Indonesia,
tidak bisa segera membalikkan arus modal keluar menjadi arus modal masuk. Korea Selatan dan
Thailand, adalah negara yang paling jitu dan lihai, serta menyadari pentingnya kembali arus modal
masuk itu.
Untuk Indonesia, meski dipandang menarik, tetapi kerusuhan berdarah telah membuat investor ngeri
untuk masuk ke Indonesia. Jangankan untuk berbinis, untuk berkunjung pun mereka sudah enggan.
Karena itu, ketenangan politik, adalah hal mutlak yang harus didengarkan otoritas.
LAPORAN AKHIR TAHUN BIDANG EKONOMI
PELAKSANAAN agenda politik secara aman, lancar, tertib dan sesuai dengan aspirasi sebagian
besar rakyat merupakan keharusan, apabila diinginkan ekonomi akan segera pulih. Sebaliknya, bila
kerusuhan sosial terus meningkat dan pemilu tidak dapat dilaksanakan, maka pemulihan ekonomi
sulit diharapkan dalam waktu cepat.
Laksamana Sukardi menilai, kondisi perekonomian di tahun 1999 berada dalam situasi yang kritis.
Artinya perekonomian nasional berada di persimpangan jalan antara kemungkinan terjadi recovery
dan kehancuran. Peluangnya separuh-separuh.
Investor bersikap menunggu, apakah pemilu akan berjalan jujur dan adil, serta demokratis. Kedua
hal itu menjadi syarat pembentukan pemerintahan yang bisa dipercaya rakyat. Apabila demikian,
maka dengan cepat ekonomi Indonesia akan pulih, karena investor pasti akan datang kembali ke
Indonesia.
Oleh karena itu, keinginan seluruh rakyat Indonesia yang menghendaki agar pemilu berlangsung
jujur, adil, transparan, serta demokratis harus benar-benar dilaksanakan dan tidak bisa ditawar-tawar
lagi. Menurut dia, masuknya aliran modal asing sebagai jalan terbaik dalam pemulihan ekonomi
hanya bisa terjadi kalau ada pemerintahan yang bersih, didukung rakyat, adanya kepastian hukum
dan sistem peradilan yang independen.
Suksesnya pemilu dan Sidang Umum di tahun 1999 tidak serta merta terjadi begitu saja. Mulai saat
ini harus dipersiapkan. Namun bayangan kegagalan masih berkecamuk, mengingat intensitas
kekerasan dan kejadian perampokan dan penjarahan yang membuat masyarakat merasa tidak aman
masih sering terjadi.
***
MELIHAT pentingnya faktor penyelesaian politik, rencana pegelaran dialog nasional sangat
penting. Melalui dialog nasional tersebut, diharapkan tokoh-tokoh yang terlibat menyamakan
persepsi bahwa pemilu harus berhasil dan sesuai aspirasi rakyat.
Kita sama-sama menghendaki, pemerintahan yang demokratis dan didukung rakyat. Pemerintah
sekarang berani mengakui, bahwa dirinya bersifat transisi dan hanya mempersiapkan pemerintahan
yang akan datang. Sebaliknya tokoh-tokoh nasional juga harus berani mengakui pemerintahan yang
sekarang.
Selain masalah politik, pembenahan sektor ekonomi terutama moneter juga sangat penting, apabila
kita mengharapkan pemulihan ekonomi. Dua persoalan mendasar yang harus diselesaikan, yaitu
restrukturisasi perbankan dan utang luar negeri.
Pertama, restrukturisasi perbankan harus berhasil. Rencana rekapitalisasi kemungkinan besar tidak
akan berhasil. Oleh karena itu, pemerintah harus berani melakukan penutupan bank-bank yang
memang tidak solvent, dengan demikian hanya tinggal sedikit bank yang kuat dan profesional.
Sebelum mengatasi perbankan swasta, bank-bank BUMN harus juga selesai. Apabila persoalan
bank ini tidak diselesaikan, maka tidak akan ada kegiatan ekonomi, karena tidak ada kodal kerja dan
perdagangan.
Kedua, masalah utang luar negeri pemerintah dan swasta. Seberapa jauh masalah utang LN ini bisa
diselesaikan. Sebab, mengakhiri krisis perbankan kepercayaan dunia internasional terhadap
pemerintah tergantung dari penyelesaian utang tersebut. Bila default, maka kredibilitas turun dan
investor enggan masuk ke Indonesia.
Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia, Haryadi B Sukamdani mengatakan, sebagai
pengusaha pihaknya memang harus optimis. Tetapi kalau melihat di lapangan terutama
perkembangan politik yang ada, maka yang ada hanya rasa waswas dan gamang. Sebab pemilu
masih jauh, tetapi intensitas kekerasan sudah cukup tinggi, apalagi nanti kalau mendekati kampanye
dan pemilu.
Oleh karena itu sikap para pengusaha di tahun 1999 ini sudah pasti akan menunggu. Investasi tidak
akan ada. Yang terjadi, para pengusaha hanya meningkatkan volume dan penjualan dari yang sudah
ada. Pengusaha tidak mungkin mengandalkan pasar domestik, tetapi luar negeri.
Kalau penyelesaian politiknya baik, masyarakat mendukung pemerintahan yang baru, maka
ekonomi akan cepat sekali kembalinya. Yang dikhawatirkan ialah kalau terjadi gejolak sosial akibat
kegagalan pemilu yang tidak menampung aspirasi rakyat.
Dengan pertimbangan-pertimbangan seperti itu, dunia usaha melihat kondisi perekonomian nasional
di tahun 1999 ibarat seseorang yang sedang mengendarai mobil di tengah "kabut tebal". Kabut tebal
(situasi sosial politik-Red) menyebabkan pengendara (baca: pengusaha) tidak bisa memandang jauh
ke depan. Atas dasar pertimbangan keselamatan, maka pengendara itu tidak punya pilihan lain
kecuali menghentikan perjalanannya dan menunggu sampai kabut itu berlalu.*
Begitu Soeharto menyatakan diri mundur sebagai Presiden ke-2 RI tanggal 21 Mei 1998-yang
diinginkan pasar dan diperkirakan bisa meredakan gelombang-tak juga menolong rupiah. Rupiah
masih sekitar Rp 11.000 per dollar AS. Kecenderungan pelemahan rupiah pasar, terus menjadi-jadi
sejak aksi penembakan mahasiswa Trisakti tanggal 12 Mei dan aksi penjarahan 14 Mei di Jakarta.
Hal itu diikuti gelombang kerusuhan dan aksi politik yang sepertinya tidak habis-habisnya setelah
mundurnya Soeharto. Pukulan bertubi-tubi atas rupiah mencapai gongnya, setelah mata uang yen
Jepang mengalami depresiasi tajam 12 Juni 1998. Kurs rupiah selanjutnya terjun bebas mencapai
Rp 17.000, tingkat paling rendah selama sejarahnya.
Kondisi ekonomi yang mengalami kontraksi hingga minus 13 persen, inflasi yang tinggi, suku
bunga bank yang melambung memberikan dampak buruk bagi perusahaan-perusahaan termasuk
yang sudah terdaftar di bursa. mengakhiri krisis perbankan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)
Bursa Efek Jakarta (BEJ) bulan September lalu akhirnya mencapai titik terendah 254 poin.
Menjelang tutup tahun 1998, indeks saham sedikit menapak naik melampaui tingkat 400 poin.
Tingkat suku bunga yang mulai menurun akibat inflasi yang mulai terkendali dan aksi spekulasi
pada valuta asing yang mulai mereda ikut membantu. Hal serupa juga dialami rupiah yang
cenderung membaik sejak September lalu dan kini terus bertengger pada level Rp 7.000 sampai Rp
8.000.
***
MENGIKUTI perjalanan kurs rupiah dan indeks saham selama tahun 1998 ibarat naik turun gunung
dengan lembah dan ngarai yang terjal. "Batas rupiah adalah langit," ujar pengamat ekonomi Hartojo
Wignjowijoto ketika kurs rupiah terus melemah mendekati Rp 17.000 bulan Juni lalu.
Pasar memang tidak bisa kompromi dengan perkembangan politik. Kondisi negatif ini semakin
diperparah dengan perkembangan global seperti jatuhnya kurs yen.
Kurs rupiah setahun yang lalu masih bergerak antara Rp 4.000 - Rp 5.000 per dollar AS. Tidak
terlalu "buruk" apabila dikaitkan dengan keadaan saat ini yang bergerak antara Rp 7.000 - Rp 8.000.
Akan tetapi kondisi ekonomi dalam negeri ternyata tidak bisa lagi diharapkan untuk mendukung
rupiah agar tetap stabil sejak Bank Indonesia (BI) melepaskan rentang intervensi 14 Agustus 1997
dan menutup 16 bank swasta bulan November.
Hal serupa juga terlihat pada harga-harga saham di BEJ. Setelah sempat melambung melampaui 700
poin pada bulan Juni 1997, indeks saham terus terjun bebas hampir mendekati 300 poin pada bulan
Desember dan Januari 1998. Beruntung, penandatanganan letter of intent pemerintah dengan IMF
tanggal 15 Januari membuat pasar valas dan saham bereaksi positif pada membaiknya
perekonomian.
Kurs rupiah segera kembali menguat hingga di bawah Rp 10.000. Bahkan sempat berada di bawah
Rp 8.000 per dollar AS pada bulan Februari. Intervensi BI di pasar valas ikut membantu. Revisi atas
RAPBN 1998/ 1999, suatu tindakan revisi pertama yang dilakukan pemerintahan selama ini, juga
menunjukkan sikap serius pemerintahan menghadapi krisis.
Di bursa saham, harga-harga saham juga kembali melonjak. Indeks terus naik melampaui 500 poin
pada Februari 1998. Menurut pengamat pasar modal Jasso Winarto saat itu, para investor asing
mulai mengincar saham-saham unggulan Indonesia yang ketika itu sudah sangat murah.
Kesepakatan dengan IMF juga memberikan sentimen positif krisis ekonomi Indonesia akan segera
membaik.
***
SEBAGAIMANA dikatakan banyak pengamat, krisis keuangan Indonesia ternyata sudah melebar
menjadi krisis ekonomi. Bukan hanya itu, krisis juga mulai masuk ke politik yang selama ini praktis
menjadi "kawasan tabu". Akibatnya, kepercayaan akan perekonomian Indonesia secara perlahan
namun pasti, mulai pupus.
Letter of credit (L/C) dari Indonesia tidak lagi diterima semua pihak di luar negeri. Lebih kalut lagi,
pihak peminjam di luar negeri mendesak para penerima pinjaman di dalam negeri agar segera
membayar utangnya. Waktu itu, diperkirakan sekitar 9,8 milyar dollar AS utang jangka pendek
pihak swasta Indonesia yang jatuh tempo. Akibatnya, tekanan terhadap rupiah semakin bertubi-tubi.
Pasar valas maupun bursa saham seperti telah patah arang terhadap pemerintah RI. Seperti telah
diungkapkan di atas, sejak itu kurs rupiah terus anjlok hingga mendekati Rp 17.000 (di Singapura
sudah mencapai Rp 17.000). Indeks harga saham juga mulai menunjukkan tendensi merosot
menembus angka 400 poin dengan beberapa kali naik sedikit sekadar koreksi kecil.
Sejak Juni dan Juli 1998, rupiah yang mencapai kurs paling rendah, secara perlahan mulai membaik.
Tekanan terhadap rupiah mulai melemah, setelah sejumlah perundingan bagi penyelesaian utang
luar negeri pihak swasta dicapai kesepakatan di Frankfurt, Jerman. IMF juga mulai mengucurkan
dana bantuannya. Sejumlah negara sahabat juga mulai memperlihatkan sikap mendukung program
ekonomi Indonesia.
Sayangnya, langkah pemulihan ini belum terlihat di bursa saham. Harga-harga saham terus
berjatuhan. Tidak jarang, harga saham di BEJ sudah senilai harga permen. Harga rokok ataupun air
mineral jauh di atas harga per lembar saham. Indeks saham pun terus turun hingga bulan September
mencapai titik terendah 254 poin.
Pertanyaannya, apakah kurs rupiah dan indeks saham ini masih akan stabil pada tingkat ini saat
memasuki tahun 1999? Penghujung tahun 1998, rupiah dan bursa agak pulih. Akan tetapi
sebagaimana dikemukakan, persoalan yang dihadapi seseorang atau sebuah negara, harus mulai
diselesaikan dari diri sendiri.
Itu berarti, pemerintah sejak sekarang harus bisa menyelesaikan semua persoalan ekonomi dan
politik yang di dalam negeri. Transparan, tegas, jelas, dan cepat diperlukan. Jangan sampai malah
menimbulkan kebingungan dan ketidakjelasan.*
2
1998, it seems no real government effort to solve the IDPs problems.
Remaining
the IDPs problem that will be discussed, it will focus on what actually the
reason
was behind the movement and how to create the solution.
Resistance of Ethnics
Ethnic tension actually is not a recent phenomenon. It is potential in
Indonesia and the seed of conflict were planted more than 30 years ago,
when
the complex process of state making was not creating political space for
pluralism, but more uniforms. Moreover social commitment was so fragile,
such
as among social relationships or political cooperation. It was more in the
SARA
concepts (ethnic, religion, race and among groups) which actually it created
negative impact for harmonize of civil society. 3 It could be detected from
stigma
of Indonesian and Chinese minority, which the stronger indication has shown
on
13-14 May 1998 tragedy at Medan Jakarta, Solo, Surabaya and Palembang.
However, today in the social-political transition there is changing pattern
and more complicate. Since the crisis started the structure Indonesian society
faces many social, economy and political problem of ethnic. Ethnic violence
ignited with East Timor’s drive to independence, the revival of ethno-
nationalism
in the provinces of Aceh (in northern Sumatra) and Irian Jaya. These three
regions had long histories of resistance to central authority in Java. The suffer
continues and secular nationalism which based on region and largely on the
sidelines, such as violence between the majority Muslims and minority
Christians on eastern Maluku islands and Poso–Central Sulawesi, between
local ethnic and Maduras in East Kalimantan. These social conflicts
phenomenon is interested in term of friction and transformation pattern from
Indonesian and Chinese minority pattern to the local people and the new
settlers and the other things. From this phenomenon of conflicts, there are
three
general patterns of conflicts: (1) Economic and political conflict multi
3 Since 1996 there were the big and wide riots with religious, social, economic and
political dimension, such as at Situbondo (East Java), Tasikmalaya, Rangkas Dengklok (West
Java), and Pekalongan (Central Java). Look Riza Sihbudi et.al. Bara Dalam Sekam:
Identifikasi
3
dimensional and latent; (2) Political conflict movement and nationalism; and
(3)
Natural resources struggle, communal and seed of ethnic consciousness.
First, the economic and political conflict multi dimensional and latent
pattern grows particularly in the regions which actually had religion harmony,
as
occurred at Ambon and Mataram, West Nusa Tenggara. That was such as
what
happened in Maluku 1999, in January of that year Ambonese Christians
mobilized anti-new settlers feeling against the Bugis (ethnic from Sulawesi)
and
Butonese minorities, which are Moslem.4 The main reason of conflict actually
related with the history of new settlers came and the reason why they live
there.
All are the economical reasons. Unfortunately at the same time government
recruited employees, which mostly the Moslem and usually they should be the
ICMI member.5 This condition really disappointed and discriminated the
Ambon
Christian indirectly.
Beside that, the violence dispread to West Lombok district, Central
Lombok and Senggagi Tour region.6 In Mataram the composition of ethnic are
so heterogenic, as usually in other region in Indonesia, but there are some
those dominated, there are Sasak, Sumbawa and Bima ethnics. This pattern
is
also showed in Waikabubak, Sumba, East Nusa Tenggara. When social
violence was trigger by government recruitment employees (Pegawai Negeri
Sipil= PNS) at East Nusa Tenggara, have consequences the ethnics conflicts,
whereas in fact from the people composition, the new settlers are much less
than local people, which the majority is Christian. Those situation causes the
widespread of conflict have succeeded in attracting religious matter, as their
identity, to their cause. Religion becomes tool of pressure the mass
movement.
Akar Masalah dan Solusi atas Konflik-konflik Lokal di Aceh, Maluku, Papua dan Riau,
Kerjasama LIPI, Menristek RI dan Pustaka Mizan, January 2001: 9-11.
4 Kompas, Suara Pembaruan, and Media Indonesia, February 1999.
5 Around the end of 1995, under Suharto power, the former Vice President BJ Habibie
developed the new Moslem organization, which is called ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim
Indonesia, Indonesian Academic Moslem Community). This organization spread to all of
Indonesian Provinces through PNS. The political power which is base on PNS is use to be on
the new order regime.
6 In the first case shows a lot of places burnt, such as churches, 77 houses, 29 shops, 7
restaurants, and 14 cars were burnt. See P2P-LIPI research, Anatomi Kerusuhan Sosial Di
Indonesia (The Anatomy of Social Conflict in Indonesia), Kerjasama Kantor Menteri Negara
Riset dan Tehnologi RI dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Mizan, Bandung,
2002.
4
Second, this political conflict ethnic movement and nationalism kind of
conflict actually grows on the region which has good and rich natural
resources,
but the local people do not have enough power and resource sharing, that
involves as the parts of managing these resources. Even though the base of
conflict is economic interest, the local people feel on the discrimination
position,
such as in Aceh, Riau and Irian Jaya. The national government has controlled
them to much and exploited their natural resources all. Therefore, separatist
movements are the best way for them. 7
Third, this natural resources struggle, communal and seed of ethnic
consciousness pattern is showed such as in Sambas, West Kalimantan. The
Sambas conflict was so unique; it was among Malay, Dayak and Chinese with
Madurese. Started from the armed robbery have been done by Maduras to
Melayu on 17 January 1999 on Paritsetia village. Then they took revenge by
burning houses. The violence fights and murder, even genocide could not be
avoidable.
Although the base of conflict much more of economic interest, the
straightforward relationships between economic competition and ethnic
conflict
are difficult to establish. Such relationships are not wholly absent, but the
economic problem explains much more at the top than at the bottom of
developing societies. Every ethnic or a part of ethnic usually has difference in
culture, history, preferences and imputed aptitudes and environment, such as
even the Madurese in Kalimantan does not adapt easily with other Madurese
in
Madura Island – East Java.8 Much more obviously, economic theories can
explain it as a part of conflict interest, but not the extent of the emotion
invested
in ethnic conflict.
As Horowitz points out that ethnic conflict are often labelled cultural
conflicts, because cultural differences that usually divide ethnic groups. He
remains that there are conception of the role of cultural differences in the
politics
7 SeeRiza Sihbudi et al, 2001 and Syamsuddin Haris, Potensi Disintegrasi Nasional:
Kasus Empat Dearah, in Syamsuddin Haris et.al, Indonesia di Ambang
Perpecahan.Kerjasama
PPW-LIPI, Yayasan Insan Politika, The Asian Foundation and Erlangga Publisher, 1999: 3-
14.
8 Kompas, 8 March 2001; the Jakarta Post, 2 May 2001; Republika, 8 June 2001.
5
of ethnic relations, which make the society has many cultural sections and
one
of them dominates the others.9 In spite of this, the dominate culture does not
come from the local community, but the culture of new settler or the
government. Thus the core of problem is marginalization of local communal
that
is related with the self of ethnic identity. It really becomes the fuse factor of
conflict.
The Flow of Internally Displacement Persons (IDPs)
Nothing expression in discussing the situation and condition can say just
“becoming stranger at their own house”. The worse ethnic conflict affects the
flow of displacement population in many places in Indonesia, which includes
internal as well as across borders.10 AS seen in the map one, the main camps
of IDPs are widespread in almost all Indonesian islands. Such as scores of
IDPs
now live in camps or shelters along with conflict of many areas in Aceh,
Sampit,
Sambas, Ambon, Poso and Irian Jaya. As seen in map two, the intention of
population flow recently around 1,321,136 people (30 November 2001)11,
which
are in widespread from many conflict places in Indonesia, such as:
The eruption of a separate Christian and Muslim conflict in Poso, Central
Sulawesi had first emerged in a 1998 fight over a local political
appointment. Left at lease 200 dead and an estimated 60,000 people
temporarily displaced;
In Aceh, the number of persons displaced by the conflict ebbed and
flowed, but tens of thousands fled their homes over the course of the
year, many in the face of violent police and military “sweeps” for
suspected rebels. Thousands of non-Acehnese migrated to other
provinces in Sumatra and Java, many after having been threatened by
rebels.
9 Donald L. Horowittz, Ethnic Groups in Conflict, University of California Press,
California, 1985: 135-136.
10 Http://www.hrw.org/wr2k1/asia/indonesia.html/
11 Source: WFP, VAM Unit Jakarta, Http://www.idpproject.org/database/.
6
In July 2001 the approximately 60,000 IDPs from Central and West
Kalimantan of the recent outbreaks of violence living in appalling in tents
and shelters in Pontianak, West Kalimantan. Respiratory diseases were
not the only problem. There was also a scarcity of clean water, which
resulted in sharp increases in the number of people suffering from
diarrhea and skin disease.12
People who have been forced to leave their homes because of conflict
are put in an extremely vulnerable situation. It is so hard to establish the exact
figure, but the available information shows that large IDPs do not find enough
shelters in organized camps or protected areas. This has evoked frustration
among the displaced, which lives day-to-day in temporary camps, or military
barracks with very limited infrastructure. They have lost everything, especially
in
the economic sense, such job which does not easily create new opportunities
in
the camps where they live.
The worse situation is the psychical condition among IDPs, for example
they are from Sampit, Central Kalimantan, which live at Sampang district,
Madura. More than 55.000 IDPs from Sampit are spread on 40 villages are in
psycho-social trauma. Children, for examples, do not want to go to school and
develop social live, because trauma to threaten far away with their parents.13
Beside that, actually IDPs’ flow or displacement population in Indonesia
is still far from reducing the conflict, because they promote the new conflict
with
local population in the new place. In Sampang Madura, one of the examples,
are struggling to suppress the growing strain of accommodating thousands of
IDPs Madurese from conflict in Central Kalimantan. Most of them came with
little more than the clothes they were wearing.14 Most of them are the
responsibility of feeding and houses on the local villagers in Sampang,
because
neither the provincial nor national government has provided meaningful
12 Koran Tempo 16 July 2001
13 Republika, 7 June 2001, Suara Pembaruan, 22 October 2001,
14 The Jakarta Post, Kompas, 25-30 April 2001
7
assistance so far.15 Although it looks can run in the daily time, in some places
there are potential conflict with the local people, particularly when they work
as
a vendor or labourer. IDPs seem have taken some chance of land for working.
Life in the various camps is actually fraught with suffering. Some of them
have to shuffle from one place to another as manual labourer to make ends
meet, but many of them face another conflict with local people. IDPs from
Maluku in Buton, for example, actually the Button ethnic, but the local
community of Buton is reluctant to accept them.16 The local residents always
corner and portray the Maluku IDPs as trouble-makers and frequently have
been violence to them. Until on 8 October 2001 IDPs in their camp have been
involved in deadly bawls with local community.17 After that, they have been
virtual prisoners in their camp and have not been allowed to go outside the
camp.
It is interested. In actual fact both the local people and IDPs of Maluku
originate from Button Island. Although the IDPs only left the island around two
generations ago, they have found themselves treated as aliens by the local. It
seems that both the local Buton ethnic and the Butan IDPs have had
difficulties
to find to integrate themselves after the long separation. It is possibly, maybe
because the IDPs have been exposed to different cultures in Ambon, Maluku
Island. There are the small example, which can find in many places IDPs
camps
or shelters such as in West Kalimantan, Medan, Nusa Tenggara and Central
Sulawesi.
These all go to show that they really need the humanitarian assistance,
which come from not only local and national NGOs but also international
NGOs
and other countries governments. Since 1998 there is some Crisis Centre that
special for social conflicts in Indonesia, which usually they work together with
international organisation and many other NGOs and sometimes with
15 Many local family of five are now having to accommodate and feed as many as 20 -
50 IDPs. They share all, from food, space and help send children of IDPs to local schools
also.
See many new about IDPs in Sampang, such as Suara Karya 27 August 2001, Kompas 8
March 2001, Koran Tempo 12 May 2001, Media Indonesia 19 July 2001,
16 The Jakarta Post, 22 December 2001.
17 Ibid.
8
government. They are active to providing humanitarian assistance, but still no
really effort of government to maintain a sense of unity and domestic security.
The Unclear Government Policies
Since the government of President Abdurrahman Wahid, there is not sense of
urgency of the Government, which it has to have for encouraging sense of
belonging among societies. Although at that time the National Board
Coordination (Badan Koordinasi Nasional = Bakornas) created for tacking the
natural disaster and refugee (or IDPs) and now under the State Minister of
Social Welfare participate dealing with natural disaster and IDPs, there is no
real government effort to prosecute anyone to stop the conflict and offer the
humanitarian aid for IDPs.
Actually there are policies of the IDPs, which try to give solution of
displacement. These policies are in the three kinds of project: transmigration,
normalization and resettlement back.
First, transmigration project already did to some of IDPs in Sulawesi.
Through the Social Welfare Minister Bachtiar Chamsyah tried to adopt a part
of
the policy of transmigration. There are around 800 IDPs families resettled to
transmigration settler unit (Unit Pemukiman Transmigrasi: UPT) Donggala
district – South-east Sulawesi.18 And, IDPs from Aceh resettled from Medan to
Bengkulu.
This physical rehabilitation project actually has some serious weakness
that should be understood. Resettlement policy is as the one of solving
problem
in many places for IDPs looks a good point for them, but there are some
fragile
problems come out. The concept of resettlement is in contradiction with the
concept of Indonesian nation building and state building. This concept means
that every citizen can stay and live in all other places in Indonesia, without
concerning with what ethnic they are. It means also one ethnic group can not
claim their land is their ethnic land. Therefore, in the case of Madurese in
18 Kompas, Media Indonesia and Koran Tempo, 12-13 and 19-20 October 2001.
9
Sampit, the government and police should not blame ethnic Madurese, when
they did not want to do resettlement, but again, the national government and
police exploited their power to push Madurese to move other places.
At the side of that, a closer examination of the conflicts and the causes of
conflict, it was not causes directly by inter-group differences, particularly in
many places in Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Ambon and Irian jaya.
However
the ethnicity merely becomes an excuse for using of state force to quell
violence
and historically the Indonesian government has been quick to seek IDPs
behind
the veil of only ethnic conflict without addressing the real issues. Lake and
Rothchild remain that there are some push and pull factors, such as problems
of
commitment, security dilemma, the state is weakened, cultural domination
and
polarize society.19 Although statistic can mislead, there is a number of conflict
pattern cannot be ignored. Most of ethnics or religious violence has happened
in
areas or regions where there is a diverse mix of ethnicity, with a single
predominant
ethnic group.20
The case in a point is one episode of ethnic violence in Kalimantan, there
has been a long history of conflict between the Dayaks (the indigenous people
of Kalimantan) and the Madurese (the new settlers). Historically the first
Madurese arrived in Kalimantan in 1930s in the transmigration program which
was initially started by the Dutch colonial. The numbers increased
dramatically
in the 1970s as a direct consequence of Indonesian government’s
transmigration plan. Under transmigration program the government hoped to
ease the pressure of the growing population in Java and populate those areas
of Indonesia that were less densely populated and the abundance of natural
resource. The transmigration program in Kalimantan resulted in rainforests,
which are an inextricable part of the Dayak way of life, being replaced by palm
oil and coconut plantations. No chance for them to share in the exploitation of
their traditional resources. This situation made the Dayaks soon found them at
the bottom of the economic without pursuing their traditional means of
exercise.
19 DavidA Lake and Donald Rothchild, Spread Fear: The Genesis of Transnational
Ethnic Conflict, the International Spread of Ethnic Conflict: Fear Diffusion, and Escalation,
Princeton University Press, New Jersey, 1998: 4.
10
Now this kind of people movement has gone down, but the process of mix
diverse cultures without supporting of adequate policies or delivery
mechanisms, institutions and infrastructure that guaranteed equitable
distribution and protected and respect the indigenous peoples’ sensitive in
promoting real growth, was a recipe for disaster.
This pattern of misery has been replicated in other parts of Indonesia.
Even though this pattern could not use generally, but the exercise can prove
that in the recent picture many local people is anger and violence to the arrival
people dealing with ethnic or religion reasons actually is more the existence of
identity. The combatants in the several ethnic conflicts are around Indonesia,
whether they are majority or not within their respective communities, using
and
highlighting their ethnic diversity as a justification for mobilization support.
Second, normalization of the riot places. Word “normalization” actually is
the ideal idea for solving the problems, but the hardest to be implemented.
Case
by case of ethnic conflict indicates that the government and police reacted to
the situation slowly. On one hand, they seem take no responsibility for the
situation and give this problem to the communities. On the other hand, when
they so reactive their approaches, but nothing other than for security on
region.
Some places in conflict areas indicated that the excesses of the security
approach highlighted by events in Aceh, Ambon and Irian Jaya. They should
be
responsibility for protecting the people got violence, not more try to catch the
rioters.
Moreover, “normalization” in the Indonesian government or police’s way
of action mostly has contradiction meaning. Historically, Indonesian
government
did not have an experience dealing with making situation in the regency is
deemed to have returned to normal from the societies perspective.
Normalization means returning the situation normally but because of the lack
of
professionalism among military and police raises concern over out of control
abuses of human rights. Sometimes, government need to impose a state of
20 Sidhesh Kaul, Ethnic Conflict or Policy Failure? The Jakarta Post, 9 March 2001.
11
civilian emergency, but as long as it is implemented properly and the
operation
is under good control of them.
Talking normalization, many factors should be taken into account to
normalize the situation. Although they could not be generalized, there are
some
main things need to be consider. Firstly, the role of local government, informal
leader of both ethnic should in the same understanding to the root of conflict
and the facilitated factors. Secondly, the mechanism of reconciliation between
them is needed. So, with in same understanding each other will be expected
they have sense of belonging to their IDPs and it can easier to find the way
out
of solving the IDPs problems.
Actually, normalization should not to the point after the riot, but the most
important is normalization when the violence happened. It needs good and
fast
effort of police or government to anticipate them, thus the normalization starts
with the preventive situation, which local and new settlers communities feel
safety and not necessary displaced.
Third, resettlement back the IDPs is not always a fair solution. Actually
the condition will not much better than resettlement through transmigration.
There are a lot of constrain that should be accounted. Government sometimes
do not take into account the financial things which have lost, such as in
Central
Sulawesi, houses, mosques and churches have been burn down in a wave of
violence.21 The infrastructure and other financial capital for IDPs should be
developed first. It is so important, because the main risk to develop again the
societies without infrastructure create the new problem and conflict with local
people.
Additionally, the most important is the process of normalization should
not for the stability of region, but for building understanding and sense of mix
diversity ethnics.22 It is not easy for both ethnics to be cooled down and
understand each other soon. They need more time to understand that they
are
21 The
Jakarta Post, 5 December 2001
22 Bob
Sugeng Hawinata, Hakekat dan Dinamika Konflik Domestik di Negara
Berkembang, Global 8/2001: 28.
12
living in the diversity ethnics and should be respect each other. Such as in
Sambas, the Malay community has remained unwilling to accept the
Madurese
IDPs.
The Local Authority as the Alternative
Many people have begun to suspect that there is an unexplained grand
design
to destroy the Indonesian nation building.23 Megawati is not really sensitive
with
the conflict and IDP camps, because effort to solve the conflict and the IDP
problems has been so slow, while officials are making excuses about some
obstructions to peace. Beside suffering and ethnicity conflicts, also IDP
problems could also destabilize society. Still the statement of local and
national
government are more uniform and distortion dealing with human tragedy.
A responsible government would be marshalling resources for providing
humanitarian aid for IDPs. Thousands of them are in need of medical care,
food
and shelter. Whatever steps the government decides to take now will be far
too
little, and way too late. Too much blood has already been split for there to be
any chance of reconciliation in the near future and the government has
insufficient legitimacy to exercise any sort of moral authority over local
population.
Therefore these problems should be minimized with supposing
considerable challenges to Indonesian cohesion and corporation among
provinces. The autonomy province and district should see as a challenge as
their authority to develop their-own societies. When government already try
delegated the task of solving the conflict and to look after the IDPs to the
provincial government, delegating to solve the conflict problem and IDPs
actually really close to the new policy that dealing with decentralization region
in
Indonesia. In 1999 Indonesian parliament approved legislation number
22/1999
and 25/1999 which shifted political and economic power from centre to the
23 Seemany newsletters in Indonesia, such as: Media Indonesia, 24 March 2001,
Kompas, 1-5 March 2001, Suara Karya, 6 March 2001, Suara Pembaruan, 28 March 2001,
Kontan, 12 March 2001, Republika, 13 March 2001.
13
region. Under new legislation, considerable authority has been passed directly
to districts and municipalities, by passing provincial governments.24 Mac
Donald
and Lemco discuss that although an effort has been made to implement
meaningful decentralization, it has not been smooth.25 Uncertain has grown
that
the new legislation risks failure, particularly to make decision about solving
IDP
problems.
Even though the implementation of legislation number 22/1999 does not
yet clear, there are some positive thing that can be done by local government
and community. As Indonesian sociologic Tomagola recommended for Sampit
conflict,26 there are the main stream that could be consider. First, with doing
strengthened the local police, they can take their all responsibility in their
region.
If the military still involve the local riot, it should be in emergency period and
temporary. Second, building the integrated pattern of settlement is dealing
with
the level of ability to buy it, education and cultural facility. The settlement
should
not be compartmentalized as before the riot. Among ethnic can learn and
develop their respect each other. The last one is how local government and
communities get their power and resources sharing with national government.
Conclusion
Conflicts between people of different ethnic background have spread of and
mushroomed in many places in Indonesia in the last few years, especially
since
the end of Soeharto’s era. Differences root of conflict and level of conflict have
shown the intensity of the conflict itself and the effect to their societies. This
condition has emerged which not only causes the destroyed regions, but also
24 The distribution is districts will receive 80 percent of income from most mining and
logging operations, 30 percent of earnings from natural gas, and 15 percent from oil, also 20
percent of local income-tax and at least 25 percent of special fund of centrally collected
revenue, Undang-Undang (Legislation) Number 22 and 25 /1999.
25 Scoot B. MacDonald and Jonathan Lemco, Indonesia: Living Dangerously, Current
History, April 2001:181.
26 Thamrin Amal Tomagola wrote that after knowing the root of conflict, he gives some
suggestion that give the solution for resolution of conflict and also for to manage the IDPs get
their settlement. See Thamrin Amal Tomagola, Anatomi Konflict Sampit, Suara Pembaruan,
23
March 2001.
14
the uncontrolled IDPs to many places and regions in Indonesia, particularly to
Java Island.
Many conflicts and that kind of displaced people have the possibility of
undermining stability of state and Indonesian security treat. Weak economies
and turbulent politics have effect such as raising regional or province tensions
and reducing national integrity. Even increasing friction is not only among
ethnic
itself but also between national and local government.
Actually government and NGOs have been learning about how to deal
with conflicts and IDPs today. In this case national and local Governments,
include the Province and Districts can play their own role. In the frame of
decentralization it does not mean they should solve by themselves, but how
they together manage the conflict and the IDPs. They need social and political
dialogues among them. This proposal appears to be somewhat premature,
but
steps need to be taken to begin to seriously consider the most meaningful
forum
or mechanism for a regional dialogue in Indonesia. Then they can build the
new
pattern of settlement, which is dealing with pluralism society. The Indonesian
government – in the central or in the province and district – should take this
chance, if not they will lose their legitimacy worse.
Therefore, local government and local communities should work together
and open their main that decentralization actually is not only on the context of
region building, but also their community in term of the nation building and the
pluralism society in Indonesia.
15
References
Haris, Syamsuddin, Potensi Disintegrasi Nasional :Kasus Empat Dearah, in
Syamsuddin Haris et.al, Indonesia di Ambang Perpecahan.Kerjasama
PPW-LIPI, Yayasan Insan Politika, The Asian Foundation and Erlangga
Publisher, 1999.
Hawinata, Bob Sugeng, Hakekat dan Dinamika Konflik Domestik di Negara
Berkembang, Global 8/2001: 27-39.
Horowittz, Donald L. Ethnic Groups in Conflict, University of California Press,
California, 1985: 95-140.
Http://www.hrw.org/wr2k1/asia/indonesia.html/
Kaul, Sidhesh, Ethnic Conflict or Policy Failure? The Jakarta Post, 9 March
2001.
Kompas, February 1999, 1-5 and 8 March, 25-30 April, 12-13 and 19-20
October 2001.
Kontan, 12 March 2001,
Koran Tempo 12 May, 16 July, 12-13 and 19-20 October 2001.
Lake, David A and Rothchild, Donald, Spread Fear: The Genesis of
Transnational Ethnic Conflict, the International Spread of Ethnic Conflict:
Fear Diffusion, and Escalation, Princeton University Press, New Jersey,
1998: 3-32.
MacDonald, Scoot B. and Lemco, Jonathan , Indonesia: Living Dangerously,
Current History, April 2001.
Martin, Susan F. Working Paper 41: Global Migration Trends and Asylum,
New
Issues in Refugee Research, April 2001:
<http:www.unhcr.ch/refworld/pubs/pubon.htm>
Media Indonesia, February 1999, 24 March, 19 July, 12-13 and 19-20 October
2001.
P2P-LIPI research, Anatomi Kerusuhan Sosial Di Indonesia (The Anatomy of
Social Conflict in Indonesia), Kerjasama Kantor Menteri Negara Riset
dan Tehnologi RI dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Mizan,
Bandung, 2002.
Republika, 13 March 2001, 7-8 June 2001.
Sihbudi,Riza et.al. Bara Dalam Sekam: Identifikasi Akar Masalah dan Solusi
atas Konflik-konflik Lokal di Aceh, Maluku, Papua dan Riau, Kerjasama
LIPI, Menristek RI dan Pustaka Mizan, January 2001.
Suara Karya, 6 March, 27 August 2001.
Suara Pembaruan, February 1999, 28 March, 22 October 2001.
The Jakarta Post, 2 May, 5 and 22 December 2001.
Tomagola,Thamrin Amal, Anatomi Konflik Sampit, Suara Pembaruan, 23
March
2001
Undang-Undang (National Legislation) Number 22 and 25 /1999.
WFP, VAM Unit Jakarta, Http://www.idpproject.org/database/.
16
Map 1. Internally Displacement Persons Champs
Source: Many sources in The Jakarta Post, 2001
18
Map 2. The Estimated of IDP’s Flow in Indonesia on 2001
19
Source: WFP, VAM Unit Jakarta, http://www.idpproject.org/database/
Mengapa kerusuhan "primitif ' ini muncul berturut-turut justru pada saat pertumbuhan
ekonomi berlangsung pesat? Apakah kerusuhan ini menandakan memburuknya
hubungan etno-religius di negeri kita? Seperti terbaca di berbagai media, jawaban
paling populer yang diberikan para pengamat, aktivis, dan pejabat terhadap kedua
pertanyaan ini, sederhananya, dapat disebut sebagai teori kesenjangan.
Menurut teori ini, akar persoalan kerusuhan sosial di dua kota itu adalah kesenjangan
sosial-ekonomi yang makin melebar. Pembangunan ekonomi di bawah Orde Baru
memang sangat berhasil. Tapi, menurut teori ini, hasil pembangunan hanya dinikmati
segelintir kalangan. Mayoritas masyarakat hanya mendapat tetesannya.
Dalam teori ini, "mayoritas" yang tersisih itu adalah umat Islam dan pribumi,
sedangkan yang “segelintir kalangan" adalah kaum non-Islam dan non-pri. Ini berarti
kesenjangan sosial-ekonomi yang melebar itu berimpitan dengan perbedaan etnik dan
religius. Perimpitan semacam inilah yang melahirkan potensi kecemburuan sosial
yang sangat tajam. Jika potensi demikian sudah muncul, maka kita tinggal mencari
faktor pemicu kecil bagi lahirnya kerusuhan besar. Dengan demikian, bagi teori ini,
nuansa dan pengungkapan etno-religius dari kerusuhan di Situbondo dan Tasikmalaya
hanyalah bentuk luarnya. Akar persoalannya terletak pada realitas "objektif': pada
kondisi sosial-ekonomi kita yang makin timpang.
Buat saya, teori ini memang cukup mudah dimengerti sesuai dengan popular
sentiment yang ada dalam masyarakat kita, karena itu sangat gampang menjadi teori
yang dominan. Tapi justru karena itu pula kita harus hati-hati dan melontarkan
beberapa pertanyaan. Setidaknya ada beberapa hal yang membuat saya ragu atas teori
ini.
Pertama, kalau teori ini benar, maka kita bisa bertanya: kenapa kerusuhan itu justru
terjadi di Situbondo dan Tasikmalaya? Kenapa bukan di Jakarta dan Surabaya? Di dua
kota ini, terlebih Jakarta, ekses-ekses ketimpangan hidup berdampingan sangat
ekstrem. Kalau dibandingkan dengan Jakarta, maka Tasikmalaya, dengan cuaca
pegunungannya yang sejuk, mungkin dapat disebut sebagai civitas del-nya Santo
Agustinus, kota utopia yang bersih dari keserakahan. Sebaliknya, Jakarta adalah
"surganya" ketimpangan dan keberlebihan dalam sega1a hal. Singkatnya, kalau teori
kesenjangan benar, maka Jakarta mestinya sudah lama porak-poranda dilanda
kerusuhan massa.
Kedua, teori ini bersandar pada sebuah asumsi yang akhir-akhir ini jarang
dipertanyakan lagi, yaitu bahwa kesenjangan sosial-ekonomi dalam masyarakat kita
meningkat tajam. Dari fakta yang ada, asumsi semacam ini patut diragukan, atau
paling tidak diperdebatkan lebih-jauh. Kalau kita amati kecenderungan dalam Index
Gini sejak 1969 hingga 1993, angka-angka yang tampak tak banyak berubah. Pada
1969-1970, misalnya, rasionya 0,34 %; pada 1981 0,33%, dan pada 1993 0,34%. Ini
berarti, dari ukuran tertentu (dalam hal ini indeks pengeluaran rumah tangga dari hasil
survei nasional), dalam realitas ketimpangan kita tak terjadi perubahan berarti selama
20 tahun ini. Kita tak lebih timpang, atau lebih merata, akibat pertumbuhan ekonomi
yang pesat.
Tentu, kalau memakai ukuran yang berbeda, kesimpulan berbeda dapat pula
dimunculkan. Kita mungkin akan tiba pada angka-angka yang sedikit lebih kecil atau
sedikit lebih besar. Namun saya kira akan sangat sulit mencari dukungan faktual dan
dapat diuji secara akademis bagi asumsi bahwa realitas ketimpangan kita „meningkat
tajam”.
Dua alasan ini memang belum memadai untuk menolak sama sekali teori kesenjangan
itu. Yang penting adalah, untuk memahami peristiwa penting seperti di Situbondo dan
Tasikmalaya itu, kita jangan terpaku sepenuhnya pada sebuah penjelasan yang
tampaknya "sudah benar". Kita juga harus membuka diri pada teori yang berbeda,
bahkan mungkin berlawanan dengan apa yang ingin kita percayai.
Dalam hal ini teori lain yang patut dipikirkan adalah teori yang lebih bersifat
psikologis-kultural. Teori ini menerima kenyataan babwa memang ketegangan etno-
religius masih hidup subur dalam masyarakat kita. Kita masih memandang manusia
lain berdasarkan asal-usulnya, kelompoknya, sukunya, dan agamanya. Kita belum
memandang seseorang sebagai individu, sebagai si Ruly atau si Tuti, melainkan
sebagai "keturunan asing" atau "Islam" atau "pribumi". Lebih jauh lagi, akhir-akhir ini
melalui kebijaksanaan publik dalam beberapa bidang kehidupan (misalnya
perkawinan dan distribusi ekonomi), kita cenderung mendorong terjadinya proses
institusionalisasi bagi cara pandang semacam ini.
Bagi teori ini, dengan kata lain, akar persoalan kerusuhan sosial seperti di Situbondo
dan Tasikmalaya harus dicari pada dimensi yang lebih bersifat subjektif. Dalam hal
ini kita harus melihat bagaimana pendidikan civic diberikan dalam bentuk
indoktrinasi yang membosankan sejak SD hingga universitas, dalam dogmatisme
pendidikan agama, dalam retorika yang digunakan pemimpin, dalam pencarian
legitimasi bagi sebuah negara nasional, dan masih banyak lagi.
Semua ini tentu saja tak harus benar dan relevan. Mungkin setelah kita teliti dan
diskusikan, penjelasan lain akan muncul dan secara empiris lebih meyakinkan. Karena
itu pula saat ini kita sangat membutuhkan perdebatan dan diskusi-diskusi publik yang
terbuka terhadap berbagai persoalan mendasar dalam masyarakat kita. Kita harus
mengerti apa yang terjadi, dan dari situ kita baru bisa mengambil langkah untuk
mengatasinya. Kalau semua ini tak kita lakukan, haruskah kita menunggu peristiwa-
perisiwa lain yang lebih besar, yang bisa merontokkan dasar-dasar kebangsaan kita?
*Mahasiswa S3 Jurusan Ilmu Politik, The Ohio State University. --Kini Direktur
Freedom Institute, Jakarta.
Pengantar
---------
Tragedi kerusuhan sosial di Maluku, menurut dosen Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia, Ichsan Malik, dalam dua setengah tahun terakhir telah menelan lebih dari
9000
korban jiwa. Ia menyebutnya sebagai 'tragedi kemanusiaan terbesar di Indonesia'
belakangan ini (Kompas, 30 Maret 2001).
Pandangan umum yang beredar di Indonesia adalah bahwa konflik itu murni timbul
karena persaingan antara kedua kelompok agama - Kristen dan Islam - di Maluku,
atau karena ulah 'sisa-sisa kelompok separatis RMS' di sana. Berbeda dengan
pandangan umum itu, penelitian kepustakaan dan wawancara-wawancara penulis
dengan sejumlah sumber di Maluku dan di luar Maluku menunjukkan bahwa tragedi
itu secara sistematis dipicu dan dipelihara oleh sejumlah tokoh politik dan militer di
Jakarta, untuk melindungi kepentingan mereka.
Dalam makalah ini, penulis akan menggambarkan bagaimana konflik itu dipicu
dengan bantuan sejumlah preman Ambon yang didatangkan dari Jakarta, lalu
mengalami eskalasi setelah kedatangan ribuan anggota Lasykar Jihad dari Jawa.
Intensitas konflik dipelihara oleh satu jaringan militer aktif dan purnawirawan, yang
terentang dari Jakarta sampai ke Ambon. Selanjutnya, penulis juga akan
mengungkapkan agenda militer dalam memelihara kerusuhan-kerusuhan itu.
Akhirnya, dalam kesimpulan penulis akan mengajukan beberapa usul untuk
penyelesaian kasus Maluku.
Entah karena aktivitas politik atau bisnisnya, di awal 1998 Deddy Hamdun diculik
bersama sejumlah aktivis PRD, Aldera, dan PDI-P oleh satu reguKopassus bernama
Tim Mawar yang berada di bawah komando Jenderal Prabowo Subianto, menantu
Presiden Soeharto waktu itu. Hilangnya Hamdun setelah 3 1/2 bulan dalam tahanan
Tim Mawar (Siagian 1999: 20-21) mengubah peta politik preman Ambon di Jakarta.
Kepemimpinan pemuda Muslim Maluku diambilalih oleh Ongen Sangaji, seorang
preman Maluku Muslim yang juga anggota Pemuda Pancasila.
Secara ironis, dalam bersaing untuk loyalitas di kalangan kaum muda Maluku di
Jakarta kedua pemimpin preman itu juga bersaing dalam mendapatkan akses ke bisnis
keamanan pribadi anak-anak Soeharto. Milton memperoleh akses ke mereka melalui
Yorris Raweyai, wakil ketua Pemuda Pancasila yang berasal dari Papua Barat dan
dekat dengan Bambang Trihatmodo. Selain itu, Milton adalah ipar Tinton Soeprapto,
pimpinan arena pacuan mobil milik Tommy Soeharto di Sentul, Bogor.
Sementara itu, Ongen lebih dekat ke Siti Hardiyanti Rukmana alias Tutut melalui
Abdul Gafur, bekas Menteri Pemuda dan Olahraga di zaman pemerintahan Soeharto.
Anak buah Ongen terutama berasal dari desa-desa Pelauw dan Kalolo di Haruku.
Sementara dukungan politis untuk kelompok itu berasal dari Jenderal Wiranto,
Menteri Pertahanan waktu itu, Mayor Jenderal Kivlan Zein, Kepala Staf KOSTRAD
waktu itu, Abdul Gafur, Wakil Ketua MPR waktu itu, dan Pangdam Jaya Mayjen
Djadja Suparman.
Untuk meningkatkan militansi para milisi yang miskin dan berpendidikan rendah itu,
mereka diindoktrinasi bahwa para aktivis mahasiswa adalah "orang-orang komunis"
yang didukung oleh jendral dan pengusaha Kristen. Dengan demikian banyak anggota
PAM Swakarsa beranggapan bahwa mereka ber'jihad' melawan "orang kafir".
Kenyataan bahwa bentrokan yang paling sengit antara para mahasiswa dan tentara
terjadi di kampus Universitas Katolik Atmajaya, hanya karena kedekatan kampus itu
dengan gedung parlemen, memberikan kesan kredibilitas dari propaganda sektarian
dan anti komunis ini.
Dalam kerusuhan Semanggi menjelang Sidang Istimewa MPR itu, empat orang anak
buah Ongen yang berasal dari Kailolo (Haruku), Tulehu dan Hitu (Ambon), dan Kei
(Maluku Tenggara), dibunuh oleh penduduk setempat yang berusaha melindungi para
aktivis mahasiswa dari serangan kelompok milisi Muslim itu.
Maka terbukalah peluang untuk menghasut preman-preman Ambon Islam itu untuk
melakukan balas dendam. Konyolnya, balas dendam itu tidak diarahkan terhadap para
aktivis mahasiswa, tetapi terhadap sesama preman Ambon yang beragama Kristen.
Kesempatan itu timbul ketika terjadi kerusuhan di daerah Ketapang, Jakarta Pusat,
pada hari Minggu dan Senin, 22-23 November 1998.
Apa yang dimulai adalah percekcokan antara para satpam Ambon Kristen yang
menjaga sebuah pusat perjudian dan penduduk setempat segera berkembang menjadi
kerusuhan anti Kristen di mana lusinan gereja, sekolah, bank, toko, dan sepeda motor
dihancurkan. Ternyata, kekuatan-kekuatan dari luar dikerahkan untuk mengubah
konflik lokal itu menjadi konflik antar-agama. Kekuatan-kekuatan luar ini mencakup
sekelompok orang yang mirip orang Ambon, yang menyerang lingkungan Ketapang
pada jam 5.30 pagi. Mereka dibayar Rp 40.000 ditambah makan tiga kali sehari untuk
menteror orang-orang Muslim setempat. Meskipun salah seorang dari mereka yang
tertangkap adalah orang Batak yang kemudian disiksa dan dibunuh oleh penduduk
setempat, namun mayoritas preman ini adalah orang Ambon anggota PAM Swakarsa
bentukan Gafur. Mereka yang menyerang semua penduduk setempat yang terlihat
melintas di sekitarnya dan membakar semua sepeda motor yang diparkir di depan
mesjid setempat yang menyebabkan jendela-jendela mesjid itu pecah.
Dipicu oleh kabar angin bahwa sebuah mesjid telah dibakar oleh 'orang-orang kafir',
penduduk Muslim setempat balik menyerang orang-orang luar tadi dengan dukungan
para anggota Front Pembela Islam (FPI) yang didatangkan dari berbagai tempat di
Jakarta. Selama kerusuhan ini, enam orang meninggal korban main hakim sendiri oleh
penduduk Muslim setempat dan para anggota FPI. Tiga orang dari korban itu adalah
orang-orang Kristen dari Saparua dan Haruku.
Memang tidak jelas apakah rangkaian pembunuhan terhadap para preman Ambon di
Senayan dan Ketapang itu telah dipersiapkan oleh sekutu-sekutu politik Soeharto.
Yang jelas, kerusuhan di Ketapang mengukuhkan monopoli sebuah pusat perjudian
lain di jalan Kunir, Jakarta. Pusat perjudian itu dikelola oleh Tomy Winata, mitra
bisnis Bambang Trihatmodjo dan teman dekat Yorris Raweyai dari Pemuda Pancasila.
Preman Ambon yang datang dari Jakarta, segera melebur ke dalam kalangannya
masing-masing. Di kotamadya Ambon yang berpenduduk hampir 350 ribu jiwa itu,
dunia preman dikuasai oleh dua orang tokoh yang berbeda kepribadiannya, Berty
Loupati yang masih muda lebih merupakan seorang preman profesional, serta Agus
Wattimena yang tua, seorang penatua (anggota Majelis Gereja) yang juga jago
berkelahi.
Berty Loupati adalah pemimpin kelompok 'Coker' yang didirikannya awal 1980-an di
daerah Kudamati dekat RS Dr. Haulussy setelah ia pulang dari "berguru" ilmu
kriminalitas kelas teri (petty crime) di Surabaya. Kelompok ini adalah hasil peleburan
kelompok-kelompok preman yang lebih kecil di Ambon, seperti Van Boomen, Papi
Coret, Sex Pistol. Anggota kelompok preman gabungan itu kurang lebih seratus
orang, Nasrani maupun Muslim.
Di luar struktur Coker, Agus Wattimena mendirikan Lasykar Kristus, khusus dibentuk
untuk berperang melawan kelompok milisi Islam asli Ambon sertaLasykar Jihad yang
datang dari luar Ambon. Jagoan yang sering menyandang pistol Colt kaliber 45
mengaku punya 60 ribu anak buah (Hajari 2000).
Tidak jelas seberapa jauh kebenaran klaim Agus itu. Yang jelas, adanya dua
kelompok yang sama-sama mengklaim membela kepentingan masyarakat Ambon
Kristen menimbulkan rivalitas yang sangat tajam antara Berty dan Agus, apalagi
setelah beredar kabar burung bahwa Berty mulai condong ke kepentingan penguasa
dari Jakarta. Tidak lama setelah nama Agus Wattimena diumumkan sebagai
"Pimpinan Akar Rumput" (Grassroots Leader ) Front Kedaulatan Maluku (FKM),
yang diproklamasikan oleh dokter Alex Manuputty dan kawan-kawannya pada
tanggal 18 Desember 2000, riwayat Agus tampaknya sudah tamat.
Hari Selasa malam, 20 Maret 2001, Agus Wattimena tewas tertembak di rumahnya
sendiri, dengan dua lubang tembakan di jidat dan lengan kirinya (Jakarta Post, 22
Maret 2001). Menurut sumber-sumber Lasykar Jihad (Laskarjihad.or.id, 21 Maret
2001), "Agus ditembak oleh pesaingnya, Berty Loupatty, kepala geng Coker (Cowok
Kristen), yang satu daerah dengan Agus. Berty dan Agus memang akhir-akhir ini
sudah tidak akur dan pernah terlibat baku tembak melibatkan seluruh anak buah
mereka di kawasan Kudamati beberapa bulan lalu".
Namun melihat pola adu domba antara sesama kelompok sipil yang semakin sering
dilakukan oleh kelompok-kelompok militer di berbagai penjuru Nusantara, bisa saja
Agus Wattimena ditembak mati oleh seorang sniper profesional. Soalnya, ia baru
dibunuh setelah melibatkan diri secara langsung dalam sebuah organisasi yang terang-
terangan memperjuangkan kedaulatan rakyat Maluku yang diproklamasikan oleh
RMS tahun 1950. Jadi saat itu ia bukan lagi sekedar panglima satu kelompok milisi
yang semata-mata memperjuangkan keselamatan separuh penduduk kota Ambon yang
beragama Kristen.
Kendati demikian, buat kebanyakan orang Ambon yang beragama Kristen, kematian
laki-laki setengah ompong berumur 50 tahun itu tetap dihargai sebagaimana layaknya
gugurnya seorang pahlawan. Ia dikuburkan di tengah-tengah 400 orang anakbuahnya
yang telah meninggal terlebih dahulu di kota Ambon. Kematiannya tidak hanya
diperingati di kota Ambon, tapi juga oleh masyarakat Ambon Kristen di Jakarta,
dihadiri oleh sejumlah artis terkenal.
Mereka membawa senjata modern dan bersekutu dengan personil militer Muslim
yang berjumlah 80% dari pasukan yang ditempatkan di kepulauan rempah-rempah itu.
Perkembangan ini secara total menghancurkan keseimbangan sebelumnya, dan
menciptakan perimbangan kekuagan yang menguntungkan orang Muslim.
Selama tahap pertama, ketika secara relatif jumlah orang yang terbunuh masih sedikit
dan
tingkat kebencian antaragama belum mencapai klimaksnya, maka operasi intelijen
direncanakan secara cermat untuk mengkondisikan kedua komunitas menerkam leher
satu sama lain, segera setelah kerusuhan sosial dipicu. Operasi-operasi intelijen ini
mencakup penyaluran pamflet-pamflet provokatif di kalangan penduduk dan
penyaluran handie-talkie di kalangan pemimpin kelompok-kelompok setempat agar
kerusuhan dapat dipicu secara simultan dalam jangkauan yang luas.
Beberapa pamflet tanpa nama yang disebarkan di Ambon menjelang kerusuhan bulan
Januari dan Februari 1999, memperingatkan kedua belah pihak, bahwa pihak lain
sedang merencanakan untuk membakar rumah-rumah ibadah mereka, dan
memperingatkan sebuah kelompok etnik bahwa kelompok etnik lain sedang
merencanakan untuk membinasakan mereka.
Jadi dapat disimpulkan bahwa pamflet-pamflet ini dibuat oleh para agitator yang
sangat profesional, yang mengenal masyarakat Maluku Utara dengan sangat baik.
Akhirnya, setelah perang saudara berlangsung beberapa bulan dan kedua belah fihak
telah banyak saling membunuh, seruan jihad dikumandangkan oleh organisasi-
organisasi militan Muslim yang didukung oleh sejumlah politisi Muslim dalam tablig
akbar pada tanggal 7 Januari 2000 di Lapangan Monas Jakarta, yang menjadi platform
untuk memobilisasi kekuatan-kekuatan Lasykar Jihad, untuk dikirim ke Maluku.
Sepintas lalu, semua perkembangan ini tampak berlangsung secara spontan. Tetapi di
bawah permukaan, ada dua jaringan yang saling berhubungan, yakni jaringan militer
dan jaringan Muslim militan, yang masing-masing punya agenda sendiri, tetapi
dipersatukan oleh tujuan bersama untuk menyabot tujuan pemerintah untuk
menurunkan kekuasaan militer dan untuk menciptakan masyarakat yang terbuka,
toleran, dan bebas dari dominasi suatu agama.
Jaringan Militer
------------------
Jaringan militer yang menjembatani kedua tahap itu terentang dari Jakarta sampai ke
Ambon, dan terdiri dari perwira-perwira aktif maupun purnawirawan yang bekerja
keras untuk memprovokasi orang-orang Muslim dan Kristen untuk bertarung. Mereka
termasuk dalam faksi militer yang dengan kuat menentang pengurangan politik dan
kepentingan bisnis militer, atau ikut dalam jaringan ini untuk menyelamatkan diri
mereka sendiri dari sorotan dan kemungkinan pengadilan atas pelanggaran hak-hak
asasi manusia serta kejahatan melawan kemanusiaan.
Dua orang jendral purnawirawan, tiga orang jendral aktif, dan seorang pensiunan
perwira
TNI/AU, terlibat dalam jaringan ini. Mereka terdiri dari Jendral (Purn.) Wiranto,
Mayor Jenderal Kivlan Zein, Letjen (Purn.) A.M. Hendropriyono, Letjen Djadja
Suparman, Letjen Suaidy Marasabessy, Mayjen Sudi Silalahi, dan Mayor TNI/AU
(Purn.) Abdul Gafur.
Nama Kivlan Zein, pernah dikemukakan sekali oleh Abdurrahman Wahid, walaupun
dengan secara agak tersamar, yakni "Mayjen K" (Tempo, 29 Maret 1999: 32-33).
Menurut informasi yang saya peroleh, Kivlan Zein, yang saat itu menjabat sebagai
Kepala Staf KOSTRAD, memang ditugaskan oleh Wiranto untuk mengamankan
Sidang Istimewa MPR bulan November 1998. Tugas itu antara lain dilaksanakan
dengan pembentukan PAM Swakarsa, yang sebagian besar beragama Islam.
Belakangan ini ada sinyalemen di Jakarta, bahwa korupsi sebesar Rp 173 milyar di
lingkungan yayasan-yayasan Kostrad ketika kesatuan militer elit itu masih berada di
bawah Djadja Suparman (Tempo, 24-30 April 2001, Laporan Utama), ada hubungan
dengan kerusuhan di Maluku. Sebagian dana itu digunakan untuk membiayai
pelatihan dan pengiriman 6000 orang anggota Lasykar Jihad ke Maluku. Paling tidak,
begitulah yang dipercayai oleh para anggota Kongres AS, yang menolak normalisasi
kerjasama militer antara AS dan Indonesia.
Seperti yang telah disinggung di depan, Abdul Gafur yang mantan Menteri Pemuda
dan Olahraga di bawah Soeharto itu ikut terlibat dalam pembentukan pasukan PAM
Swakarsa
tersebut, khususnya kelompok preman Maluku Muslim yang diketuai oleh Ongen
Sangaji.
Setelah kerusuhan meletus di Ambon, dan propinsi Maluku dipecah dua menjadi
Maluku Utara dan Maluku, Gafur yang beradarah campiran Ternate dan Acheh itu
segera berkampanye untuk menjadi kandidat Gubernur Maluku Utara, memanfaatkan
koneksi-koneksi Golkarnya. Ketua DPP Golkar yang juga ketua DPR-RI, Akbar
Tanjung, mendukung pencalonan Gafur oleh Golkar, yang menguasai kursi terbanyak
di DPRD Maluku Utara (Gamma, 17-23 Jan. 2001, hal. 39; Mandiri, 28 Febr. 2001),
namun sejumlah cendekiawan asal Maluku Utara menentang pencalonan orang yang
selama ini sangat bersikap menjilat pantat Soeharto dan keluarganya.
Tidak lama setelah kerusuhan meletus di kota Ambon, mulai beredar kabar-kabar
burung bahwa kerusuhan itu didalangi oleh orang-orang Maluku Nasrani, yang ingin
menghidupkan kembali 'Republik Maluku Selatan' (RMS) yang pernah dicetuskan di
Ambon pada tanggal 25 April 1950, dan meneruskan perjuangan mereka lewat gerilya
bersenjata di Pulau Seram hingga tahun 1964. Tuduhan itu, di mana cap 'RMS'
selanjutnya dipelesetkan menjadi 'Republik Maluku Serani', yang akan dibahas
tersendiri di bagian ini, sejak dini ikut disebarluaskan oleh Letjen (pur) A.M.
Hendropriyono, mantan Menteri Transmigrasi dalam pemerintahan Habibie. Dalam
sebuah pertemuan publik pada tanggal 19 Maret 1999 dengan gubernur Maluku, para
pemimpin agama dan informal lain, serta para mahasiswa dan pemuda di Ambon,
Hendropriyono melontarkan tuduhan itu. Seorang jendral purnawirawan lain, Feisal
Tanjung, yang pernah menjadi Pangab dalam kabinet Soeharto, segera
menggarisbawahi tuduhan Hendropriyono itu.
Hendropriyono, memang punya kepentingan praktis untuk menyebarluaskan tuduhan
itu.
Soalnya, setelah Soeharto dipaksa turun dari takhta kepresidenannya, peranan
Hendropriyono dalam tragedi Lampung yang menewaskan sekitar 250 jiwa –
termasuk perempuan dan anak-anak - pada tanggal 7 Februari 1989, mulai dibongkar
oleh berbagai
kelompok hak asasi manusia di Indonesia. Kolonel Hendropriyono waktu itu adalah
Komandan Korem 043 Garuda Hitam Lampung yang memimpin operasi gabungan
tentara, polisi, dan Angkatan Udara, ke sebuah perkampungan para migran dari Jawa,
yang dicap sebagai Islam fundamentalis (Awwas 2000).Cap itu, oleh berbagai
pengamat, telah dianggap terlalu berlebihan. Sebab konflik antara pemerintah dan
perkampungan Islam itu, lebih berakar pada permasalahan pembebasan tanah, yang
lebih jauh lagi berakar pada sejarah pembukaan daerah Lampung oleh Belanda untuk
kepentingan para transmigran dari Jawa (Wertheim 1989).
Suaidy Marasabessy, seorang veteran dari perang Timor yang kemudian menjadi
Pangdam Hasanuddin di Sulawesi Selatan, yang menyetujui pengiriman pasukan
Kostrad dari Makassar ke Ambon, kendati mereka secara emosional berpihak untuk
menentang Ambon Kristen dan membela para migran Bugis dan Makasar di Ambon,
karena didorong oleh solidaritas etnik. Sebagai konsekuensinya Marasabessy
dipindahkan ke Markas Besar Angkatan Darat dan dipromosikan menjadi Kasum TNI
oleh Presiden Abdurahman Wahid.
Selama kedua fase konflik itu, Sudi Silalahi menjadi Pangdam Brawijaya di Jawa
Timur, dan telah bertanggungjawab atas pengiriman pasukan Brawijaya -
berdampingan dengan pasukan Kostrad - yang ikut meningkatkan kekerasan
antaragama di Maluku. Dalam kapasitasnya sebagai Pangdam Brawijaya, ia juga
membiarkan ribuan anggota Lasykar Jihad untuk berlayar dari Surabaya ke Ambon,
meskipun Presiden Wahid menghimbau kepada seluruh jajaran TNI dan Polri untuk
menghalanginya.
Baru pada tanggal 15 Mei 1999, setelah puluhan batalion tentara tersebar di
Kepulauan
Maluku, status Korem Pattimura ditingkatkan menjadi Kodam.
Di Maluku sendiri, dua orang kolonel yang waktu itu berkedudukan di Ambon ikut
mengipas-ngipas api kebencian antara orang Kristen dan Islam. Asisten Teritorial
Pattimura, Kol. Budiatmo, memupuk hubungan dengan para Preman Kristen,
khususnya Agus Wattimena, untuk mempertahankan kemarahan mereka terhadap
para tetangga mereka yang Muslim, sementara Asisten Intelijen Kodam Pattimura,
Kol. Nano Sutarmo, menjaga agar api tetap menyala di kalangan perusuh Muslim.
Dua orang kolonel itu, yang sudah ditempatkan di Ambon ketika Suaidy Marasabessy
menjadi Komandan Korem Pattimura, juga memiliki teman-teman di kalangan atas di
Jakarta. Saudara laki-laki Nano Sutarno, Brigjen Marinir Nono Sampurno, adalah
komandan pengawal keamanan Wakil Presidan Megawati.
Ini membuat Megawati secara praktis "tertawan" oleh agenda militer, meskipun ia
justru adalah orang yang ditugaskan Presiden Wahid untuk menyelesaikan masalah
Maluku. Selain kedua orang kolonel itu, yang di akhir tahun 2000 telah dipindahkan
dari Maluku, beberapa orang purnawirawan dan perwira aktif dan masih tinggal di
Ambon juga memainkan peran dalam mengipas-ngipas api permusuhan antaragama.
Mereka adalah Brigjen (Purn) Rustam Kastor dan Letkol (Pur) Rusdi Hasanussy.
Lahir di Ambon pada tanggal 9 Juli 1939, Rustam Kastor adalah mantan Komandan
Korem Pattimura, mantan Kepala Staf Kodam Trikora (Papua Barat), dan telah
ditempatkan di Markas Besar di Jakarta. Barangkali dialah yang paling tepat dijuluki
sebagai 'bapak ideologis' dari kekerasan Maluku.
Sesungguhnya, teori konspirasi ini pertama kali dikemukakan pada 28 Januari 1999
dalam konperensi pers yang diorganisir oleh dua organisasi militan Muslim, KISDI
(Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam) dan PPMI (Persatuan Pekerja
Muslim Indonesia). Teori konspirasi ini segera disebarluaskan oleh Letjen (pur) A.M.
Hendropriyono, seperti yang telah dijelaskan di depan. Seorang jendral purnawirawan
yang lain, Feisal Tanjung, bekas Pangab dalam kabinet Soeharto dan terakhir
menjabat sebagai Menko Polkam dalam kabinet Habibie, ikut menggarisbawahi
tuduhan Hendropriyono.
Teori ini kemudian menyebar seperti api yang membakar ranting-ranting kering
setelah disiarkan oleh sebagian media massa di Indonesia, di mana singkatan RMS
diplesetkan menjadi 'Republik Maluku Serani'. Plesetan itu mendistorsi kenyataan
seolah-olah semua orang Ambon Kristen mengambil bagian dalam mendirikan
gerakan kemerdekaan ini, dan seolah-olah orang Ambon Islam semuanya menolak
pemberontakan itu.
Sebaliknya, masyarakat Kristen di Ambon serta orang Ambon Kristen di luar Ambon
juga tidak sepenuhnya mendukung proklamasi RMS. Sinode Gereja Protestan Maluku
(GPM) sendiri, bersikap netral terhadap proklamasi itu.
Seorang tokoh Ambon di Jakarta yang kemudian menjadi Wakil Perdana Menteri, Dr.
J. Leimena, dipercayai oleh Sukarno untuk berunding dengan pencetus RMS untuk
mengakhiri gerakan mereka.
Setelah hampir setahun disebarkan oleh berbagai media di Indonesia, teori ini
diabadikan oleh Rustam Kastor ke dalam bentuk buku (2000), yang telah menjadi
paling laku, tidak hanya di lingkungan Muslim tertentu di Maluku, Jawa dan
Sulawesi. Selain dari bahasa Provokatifnya tentang orang Kristen, buku itu menuding
aksi demonstrasi mahasiswa Ambon secara besar-besaran pada bulan November
1998, sebagai tahap 'pematangan situasi' bagi pemberontakan RMS yang didukung
oleh GPM dan PDI-Perjuangan cabang Maluku.
Menurut Kastor, demonstrasi itu merupakan upaya yang sadar untuk memperlemah
militer, sehingga mereka tidak akan dapat menghancurkan 'pemberontakan RMS'
selanjutnya yang bertujuan untuk membersihkan Maluku dari penduduk Muslimnya.
Apa yang diabaikan Kastor dalam bukunya adalah kenyataan bahwa gerakan
kemerdekaan Timor Lorosa'e dan Papua Barat ikut dipimpin oleh tokoh-tokoh
Muslim setempat, seperti Mar'i Alkatiri yang kini menjadi Menteri Ekonomi dan
sumberdaya Alam dalam pemerintahan transisi di Timor Lorosa'e, serta Thaha
Mohamad Alhamid, Sekjen Presidium Dewan Papua yang kini sedang ditahan oleh
pemerintah Indonesia di Papua Barat. Alkatiri dan Alhamid tentu saja tidak berjuang
untuk menciptakan suatu aliansi negara Kristen di Timur Indonesia. Di samping itu,
kehendak untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia bukanlah
merupakan monopoli Kristen sebagaimana ditunjukkan oleh rakyat Aceh. Selain
menulis buku untuk membenarkan perang antaragama di Maluku, Kastor terlibat aktif
mempersiapkan kedatangan Lasykar Jihad di Maluku, dan memupuk fanatisme
mereka melalui khotbah-khotbah yang membakar.
Dengan begitu banyak tokoh militer yang terlibat dalam menghasut kekacauan di
Maluku, maka tidaklah mengherankan jika para serdadu itu dapat beroperasi dengan
bebas di kedua provinsi kembar itu, di mana sampai Mei 2000, 70% dari para korban
di kedua belah pihak dibunuh atau dilukai dari tembakan senjata organik militer dan
polisi.
Pada dasarnya, tiga kesatuan tentara dan satu kesatuan polisi telah mengambil bagian
dalam pembunuhan besar-besaran itu, yakni pasukan-pasukan Kostrad, Brawijaya,
Kopassus dan Brimob. Keterlibatan Kopassus tidak begitu kentara sebagaimana tiga
kesatuan lain, yang telah didokumentasikan dengan baik oleh para jurnalis asing. Para
tentara Kopassus sering menyamarkan dengan menggunakan jubah Arab dan jenggot
palsu sebagai ciri Lasykar Jihad, atau menggunakan kaos-kaos Lasykar Maluku
sebagai ciri dari milisi Kristen.
Tanpa dukungan militer ini, Lasykar Jihad sendiri pada tanggal 21-22 juni 2000 tidak
mungkin menghancurkan markas Brimob di Tantui, Ambon, membakar asrama yang
dihuni kira-kira 2.000 orang anggota Polri dan anggota keluarga mereka,
menghancurkan dua gudang amunisi, dan mencuri 832 pucuk senjata, 8.000 butir
peluru, dan lusinan seragam Brimob.
Jaringan Muslim
--------------------
Berbicara tentang Lasykar Jihad membawa kita pada jaringan Muslim militan, yang
bekerjasama dengan jaringan militer yang diuraikan sebelumnya, untuk mengirimkan
enam ribu orang pemuda Muslim ke Kepulauan Maluku diharapkan dapat
'membebaskan saudara laki-laki dan perempuan Muslim mereka dari para penindas
Kristen mereka'.
Di Indonesia, mereka berkembang pesat di luar dua organisasi Muslim yang paling
besar -- Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah -- dalam gerakan Tarbiyah, yang
membentuk jamaah salaf di kalangan mahasiswa di beberapa universitas negeri yang
bergengsi, seperti ITB. Tujuannya adalah untuk mendirikan negara Islam, karena itu
mereka juga dikenal sebagai gerakan 'neo-NII', untuk membedakan mereka dari
gerakan bawah tanah yang pernah dihubungkan dengan operasi intelijen almarhum
Jendral Ali Murtopo.
Seorang aktivis 'neo NII' adalah Al-Chaidar, berasal dari Aceh, yang mengorganisir
tabligh akbar yang dihadiri antara 40.000 sampai 10.000 Orang di Monumen Nasional
Jakarta pada tanggal 7 Januari 2000. Tabligh akbar yang menghimbau agar orang
Muslim berjihad ke Amdon dihadiri oleh Amien Rais, ketua MPR, Hamzah Haz,
mantan menteri dalam kabinet Wahid, Fuad Bawazier, mantan menteri dalam kabinet
Soeharto, serta 22 organisasi Muslim militan, termasuk KISDI, PPMI, FPI dan
Asosiasi Muslim Maluku yang dipimpin oleh Ongen Sangaji.
Keterlibatan dari tokoh-tokoh politisi Poros Tengah seperti Amien Rais, Hamzah Haz,
dan Fuad Bawazier itu, tidak terlepas dari perbedaan pendapat mereka dengan
Presiden Abdurrahman Wahid soal peranan Islam dalam kehidupan bernegara di
Indonesia. Dirintis melalui ICMI di bawah pimpinan BJ Habibie, para politisi Islam
itu mengkampanyekan "demokrasi proposional" dalam sistem politik dan ekonomi
Indonesia. Maksudnya, karena umat Islam merupakan mayoritas penduduk Indonesia,
maka mereka harus mendominasi pemerintahan, tentara, parlemen, dan ekonomi
Indponesia, yang menurut mereka saat itu masih didominasi oleh golongan minoritas
Kristen dan Tionghoa (Hefner 2000: 141-142., 147-148. 150, 212).
Sikap itu justru bertolakbelakang dengan sikap politik Abdurrahman Wahid. Makanya
ia menampik tawaran masuk ICMI dan sebaliknya ikut mendirikan Forum Demokrasi
(Fordem) bersama sejumlah cendekiawan non-Muslim (Hefner 2000: 162). Sikap itu
dilanjutkannya setelah dipilih menjadi Presiden dengan dukungan Poros Tengah,
Golkar dan militer. Tak ketinggalan, Wahid pun menganjurkan rekonsiliasi dengan
kaum kiri di Indonesia dengan mengusulkan pencabutan Ketetapan MPR No. 25
Tahun 1966 yang melarang penyebaran faham Marxisme-Leninisme di Indonesia.
Berbagai 'penyimpangan' ini - di mata para politisi Poros Tengah, Golkar dan militer -
mendorong munculnya aliansi untuk mendongkel Wahid dari kursi kepresidenannya
dengan antara lain menggunakan kerusuhan Maluku sebagai tongkat pendongkel.
Di Maluku Utara yang dominan Muslim, ada ikatan yang kuat antara Lasykar Jihad
dan Partai Keadilan, melalui ideolog partai itu, Drs. H. Abdi Sumaiti alias Abu Rido.
Mantan dosen agama Islam ITB itu, yang kini Wakil Ketua Majelis Pertimbangan
Partai Keadilan, pernah kuliah di Universitas Madinah, di mana ia bergabung dengan
gerakan Wahhabi. Abu Rido juga menentang sekte-sekte Islam lain yang
dirasakannya tidak mengajarkan doktrin yang benar. Majalah Sabili yang dimulainya
ketika gerakan 'neo-NII'-nya masih di bawah tanah, merupakan salah satu corong
Lasykar Jihad.
Sementara itu, dukungan politis bagi Lasykar Jihad di dalam Angkatan Bersenjata
tidak hanya berasal dari faksi Wiranto di TNI/AD. Gerakan militan Muslim ini juga
menikmati dukungan diam-diam dari berbagai faksi di Polri dan Angkatan Laut.
Meskipun Presiden Wahid memerintahkan seluruh jajaran TNI dan Polri untuk
mencegah pasukan Lasykar Jihad meninggalkan Jawa, namun Kapolda Jawa Timur
waktu itu, Mayjen Da'i Bahtiar, membiarkan saja mereka berlayar dengan kapal Pelni,
KM Rinjani, dari Surabaya ke Ambon. Ini barangkali ada hubungannya dengan
pernyataan komandan Lasykar Jihad, Ja'far Umar Thalib, yang mengklaim punya
'hotline' langsung ke Panglima TNI, Laksamana Widodo (Fealy 2001).
Agenda Militer
---------------
Dilihat dari langgengnya pembunuhan antaragama di Kepulauan Maluku, penyebaran
Lasykar Jihad yang cepat di kedua provinsi kembar itu, keberfihakan sejumlah besar
anggota TNI dan Polri dengan fihak-fihak yang bertikai, serta ketegaran para perwira
dari faksi Wiranto, di mana tidak seorang pun telah diajukan ke pengadilan atau
bahkan diselidiki keterkaitannya dengan konflik berkepanjangan di Maluku, orang
tidak dapat lagi mempercayai retorika resmi di Indonesia bahwa yang terlibat
hanyalah "oknum-oknum pembangkang" (rogue elements). Makanya, penjelasan
mengenai kerusuhan yang
berkesinambungan di Kepulauan Maluku harus ditemukan dalam kepentingan-
kepentingan militer yang lebih sistemik.
Dengan menganalisis data dan mengkaji cara berfikir dan operasi militer, dapatlah
dikatakan bahwa ada lima agenda militer dalam melanggengkan konflik di Maluku.
Agenda yang pertama dan paling langsung adalah membalas oposisi para mahasiswa
terhadap dwifungsi ABRI dengan mengalihkan konflik vertikal menjadi konflik
horisontal; agenda yang kedua adalah mempertahankan konsep Wawasan Nusantara;
agenda yang ketiga adalah mempertahankan struktur teritorial TNI, khususnya
Angkatan Darat; agenda yang keempat adalah mempertahankan kepentingan bisnis
militer; sedangkan agenda yang kelima yang tidak kalah pentingnya ketimbang semua
agenda di atas adalah mencegah pemeriksaan dan peradilan para perwira tinggi dan
purnawirawan ABRI yang dituduh terlibat kejahatan korupsi serta pelanggaran hak-
hak asasi manusia.
Kedua, penarikan diri aparatur negara Indonesia secara terpaksa dari Timor Lorosa'e
telah
meninggalkan satu lubang yang rawan dalam rantai pertahanan di wilayah Indonesia
timur. Menurut doktrin pertahanan TNI yang dikenal dengan istilah Wawasan
Nusantara, pulau-pulau berpenduduk berfungsi untuk membentengi laut pedalaman
(territorial sea), dalam hal ini Laut Banda.
Maka, dengan lepasnya Timor Lorosa'e, di mata TNI rantai kepulauan untuk
pertahanan
negara di kawasan timur Indonesia telah diperlemah secara serius. Maluku, yang
terletak
di sebelah utara Timor Lorosa'e, secara langsung berhadapan dengan ancaman
potensial
dari Selatan, khususnya ancaman yang dirasakan oleh TNI dengan kehadiran ribuan
pasukan PBB, yang didominasi oleh angkatan bersenjata Australia, di Timor Lorosa'e.
Selain dari putusnya rantai pertahanan geo-strategis akibat lepasnya setengah pulau
Timor dari wilayah NKRI, sebagian besar penduduk Kristen di Maluku dipandang
kurang dapat dipercaya di mata militer untuk mempertahankan sisi Tenggara NKRI,
karena diyakini bahwa mereka mungkin memiliki kecenderungan separatis yang sama
sebagaimana rakyat Timor Lorosa'e yang mayoritas beragama Katolik.
Agenda militer yang ketiga, yakni mempertahankan struktur teritorial TNI, dapat
ditunjukkan dari keputusan Jendral Wiranto meningkatkan Korem Pattimura menjadi
Kodam, sehingga dengan demikian membenarkan penempatan pasukan yang lebih
banyak di Maluku.
Untuk mengklarifikasi hal ini, kita perlu memahami struktur territorial Angkatan
Darat, di mana garis komando terentang dari Kepala Staf Angkatan Darat ke
Panglima Kodam, dengan komandannya adalah jendral berbintang dua.
Setiap Kodam terdiri dari empat sampai enam Korem yang dikepalai oleh seorang
kolonel. Di bawah Korem adalah Kodim yang dikepalai oleh letnan kolonel. Setiap
Kodam memiliki sejumlah batalyon yang mewakili spesialisasi pelayanan yang
berbeda-beda di dalam Angkatan Darat. Batalyon-batalyon yang dikomandani oleh
seorang mayor atau letnal kolonel itu merupakan tulang punggung struktur teritorial
Angkatan Darat. Akhirnya, di samping unit-unit yang berdasarkan wilayah ada
batalyon-batalyon dengan kemampuan tempur khusus, yakni Kopassus dan Kostrad.
Pentingnya struktur teritorial ini tidak dapat diremehkan, karena inilah tulang
punggungmiliter untuk melaksanakan fungsinya sebagai kekuatan politik, di samping
fungsinya sebagai kekuatan pertahanan, yang dikenal dengan doktrin 'dwifungsi
ABRI'.
Struktur teritorial ini sejajar dengan struktur pemerintah, semacam negara di dalam
negara, di mana instruksi mengalir dari puncak (ibu kota nasional) ke dasar
(kecamatan), sementara uang suap untuk memudahkan promosi sebaliknya mengalir
dari dasar ke puncak.
Berbicara tentang uang suap adalah berbicara tentang agenda keempat dalam
melanggengkankekerasan di Maluku, yakni untuk mempertahankan kepentingan
ekonomi militer. Ada perwira aktif maupun purnawirawan yang merasa terancam oleh
prospek desentralisasi. Jika rencana otonomi daerah dan pembangian pendapatan
daerah mulai diwujudkan tahun ini, maka parlemen-parlemen daerah akan memiliki
kekuasaan untuk membatalkan atau menolak untuk memperbaharui kontrak yang
menguntungkan perusahaan yang didukung militer di bidang perikanan, kehutanan
dan pertambangan. Kerusuhan-kerusuhan di daerah akan menunda kerugian-kerugian
semacam itu.
Maluku sesungguhnya sarat dengan kepentingan bisnis militer, yang sebagian besar
diperoleh dari konglomerat yang beroperasi di Maluku. Kepentingan ekonomi ini juga
tidak terbatas pada Angkatan Darat, tetapi juga pada Angkatan Laut dan Angkatan
Udara. PT Green Delta, adalah sebuah Perusahaan yang dimiliki oleh Angkatan
Udara, yang memasok kayu glondongan dari konsesi mereka seluas 74.000 hektar di
pulau Morotai untuk penggergajian perusahaan Barito Pasific di pulau lain di Maluku
Utara.
Memang, Maluku bukan satu-satunya wilayah yang sarat kepentingan bisnis militer,
karena ini merupakan fenomena yang berlingkup nasional. Soalnya, sekitar 75 persen
dari pengeluaran militer diperoleh dari bisnis Militer dan cara-cara lain. Kegiatan
penghimpunan dana ini biasanya tidak Tunduk pada penelitian publik yang cermat:
para komandan militer memiliki Akses terhadap sejumlah besar uang yang dapat
digunakan untuk membiayai manuver-manuver politik di masa depan. Skandal
korupsi Rp 189 milyar rupiah di Yayasan Dharma Putera Kostrad, yang berhasil
dibeberkan oleh Letjen. Agus Wirahadikusumah, hanyalah merupakan puncak gunung
es. Setelah membeberkan skandal itu, Wirahadikusumah serta merta digeser dari
jabatannya sebagai Pangkostrad.
Celakannya bagi rakyat kecil di Maluku, ketika kekerasan di sana sudah memperoleh
momentumnya sendiri, pasukan yang tersebar di Maluku mulai menemukan caranya
untuk mengeruk keuntungan bagi dirinya sendiri. Di Ambon, para serdadu
memberikan 'jasa perlindungan' bagi pengusaha dan orang-orang yang harus melewati
rute-rute berbahaya, misalnya melalui desa-desa yang sedang berperang atau dari dan
ke pelabuhan udara dan pelabuhan laut.
Anggota Batalyon 321 Kostrad dilaporkan menyerang tiga bank di Ambon pada hari
Minggu, 16 Juli, 2000, dan menganiaya satpam bank-bank itu, ketika mereka tidak
diberi kunci tempat penyimpanan uang kontan. Di Maluku Utara, serdadu Brawijaya
mencuri kelapa dari para petani Muslim, dan memaksa para pekerja Kristen untuk
mrmproduksi kopra yang akan diekspor oleh para serdadu ke Manado. Dan di kedua
provinsi, militer menjadi sumber utama mengenai persenjataan dan amunisi bagi
kedua belah pihak yang berperang. Mereka juga menjadi penembak bayaran bagi
siapa yang memberikan upah paling tinggi.
Akhirnya, agenda militer yang kelima didasarkan pada observasi bahwa pertempuran
di Maluku sering berkobar kembali manakala interogasi terhadap mantan Presiden
Soeharto
mengenai korupsinya, atau interogasi terhadap mantan Jendral Wiranto mengenai
perannya dalam kekerasan pasca referendum di Timor Lorosa'e sedang dijalankan.
Situasi ini paralel dengan perang antara pejuang pro-kemerdekaan dan milisi pro-
Indonesia yang didukung oleh TNI dan Polri, sebelum dan sesudah referendum yang
diawasi PBB di Timor Lorosa'e. Sementara di Timor Lorosa'e ABRI memilih untuk
mendukung kekuatan paramiliter Timor Lorosa'e yang beragama Katolik, di Aeh
mereka berkolaborasi dengan mantan gerilyawan Aceh, sedang di Maluku militer
memilih untuk bekerjasama dengan kaum militan Muslim yang didatangkan dari Jawa
dan kepulauan lain.
Kerusuhan sosial di Maluku memenuhi beberapa tujuan strategis dari ABRI, yang
pada akhirnya bermaksud mengkonsolidasikan kekuasaan politik dan ekonomi
mereka, yang sedang terancam oleh gerakan reformasi serta desentralisasi politik ke
daerah-daerah.
Mungkin sekali bahwa Lasykar Jihad dan para politisi pendukung mereka di DPR
menyadari sifat 'sementara' dari aliansi taktis mereka dengan tentara, dan sedang
mencoba untuk memanfaatkan aliansi ini demi keuntungan mereka, dengan
menggunakan keresahan di Maluku untuk memperlemah kemampuan pemerintahan
Abdurrahman Wahid dan Megawati Sukarnoputri. Namun sesungguhnya, kartu
terakhir masih berada di tangan militer, sebagaimana dibuktikan dalam Sidang
Tahunan MPR di mana jangka waktu fraksi TNI/Polri bukannya diperpendek,
melainkan diperpanjang lima tahun lagi.
Dengan mempertimbangkan bahwa rezim di Jakarta telah dibajak oleh kekuatan yang
menolak mengakhiri kekerasan di Kepulauan Maluku, tampaknya tidak ada pilihan
lain selain menggunakan tekanan internasional terhadap Pemerintah Indonesia --
khususnya terhadap ABRI dan para pendukung mereka di DPR -- oleh PBB dan
semua badan terkait, termasuk Komisi HAM di Jenewa dan Dewan Keamanan di
New York, untuk mengakhiri penderitaan rakyat di provinsi kembar Maluku dan
Maluku Utara.
Kerusuhan yang terjadi sejak pukul 08.15 tadi pagi bermula dari seorang pekerja asal
India yang diduga menghina satu pekerja lokal ketika sedang mengerjakan perbaikan
sebuah kapal. Penghinaan ini memancing kemarahan karyawan yang lain sehingga
pekerja asing itu dipukuli hingga memasuki ruang kantor Drydock Graha.
Kekesalan karyawan semakin memuncak dan tidak terkendali yang berujung dengan
pembakaran tiga gedung administrasi milik perusahaan, bahkan dua di antaranya
hancur dan dibakar.
“Aktivitas perusahaan langsung lumpuh total, polisi dibantu TNI langsung turun
membuat pagar kawat berduri untuk mengantisipasi keadaan,” ujar seorang karyawan
kepada Bisnis.com yang memantau langsung di lokasi kejadian.
Saat ini polisi sedang mengevakuasi seluruh pekerja asal India, baik yang berada di
areal workshop maupun yang terperangkap dalam gedung yang terbakar. Sementara
itu, seluruh karyawan masih bertahan di luar pagar perusahaan.
ari Sabtu (19/6) ini, warga Kota Medan kembali memilih pemimpinnya. Hanya
tinggal 2 pasangan calon yang melaju ke putaran II pemilihan walikota dan wakil
walikota Medan. Kedua pasangan calon didukung partai politik terbesar di Kota
Medan.
Untuk persoalan C6, puluhan orang yang menamakan diri Forum Masyarakat
Menggugat (Forasgat), berunjuk rasa di Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU)
Medan, Jumat kemarin. Mereka memprotes masih banyaknya warga yang belum
menerima undangan memilih hingga sehari menjelang hari pemungutan suara.
Dadang mengatakan, ada tiga alasan warga masih enggan menggunakan hak pilihnya
di putaran I. Pertama, turunnya minat memilih para simpatisan dan pendukung dari 8
pasangan calon yang kalah di putaran I. Sekalipun ada kesepakatan calon yang gagal
memberi dukungannya baik ke Rahudman-Eldin, maupun Sofyan Tan-Nelly, hal itu
tidak berpengaruh signifikan terhadap partisipasi pemilih. “Kesepakatan itu kan hanya
terjadi di tingkat elit saja, tidak sampai ke bawah. Jadi, tidak berpengaruh terhadap
minat warga untuk memilih,” jelas Dadang.
Alasan kedua, lanjutnya, adalah sosialisasi putaran II yang tidak menarik dan
cenderung monoton sehingga tak mampu menggerakkan warga untuk menggunakan
hak pilihnya. Dan yang ketiga adalah faktor kejenuhan warga terhadap pilkada apalagi
calon yang tersisa tidak ada sesuai dengan hati nuraninya.
“Ah, malaslah milih lagi, ke TPS aja saya harus keluar uang Rp20 ribu. Lagipula
nggak ada calon yang saya suka,” tutur ibu Sembiring, warga Padang Bulan yang
memilih di kawasan Tanjung Sari.
Ada juga warga yang enggan memilih karena tidak menerima undangan memilih.
Karena walaupun dapat menggunakan Kartu Tanda Penduduk (KTP) sebagai alat
bukti untuk mencoblos, tetap saja harus repot mencari TPS tempat dia terdaftar
sebagai pemilih.
Namun, ada juga warga yang masih berharap pilkada menghasilkan walikota yang
dapat membawa perubahan sehingga dia merasa harus menggunakan hak pilihnya.
Menurut seorang warga yang tinggal di Jalan Pintu Air IV Gang Guru Patimpus
Kelurahan Kwala Bekala, Kecamatan Medan Johor, Mula Tinambunan, yang
berketetapan hati memilih salah satu pasangan calon. “Harus aku milih,” tandas Mula.
Persiapan Pilkada
Pejabat sementara (Pjs) Walikota Medan Syamsul Arifin, didampingi Sekda Medan
Fitriyus, Kabag Humas Pemko Medan Hanas Hasibuan, dan sejumlah pejabat Pemko
dan Pempropsu, Jumat sore meninjau persiapan pelaksanaan pilkada putaran II ke
Kantor KPU Medan.
Rombongan Syamsul tersebut diterima Ketua KPU Medan Evi Novida Ginting, dan
empat komisioner KPU Medan lainnya. Pada kesempatan itu, Syamsul bertanya
seputar persiapan pelaksanaan pilkada dan DPT.
Menjawab pertanyaan Syamsul ini, Ketua KPU Medan Evi Novida Ginting
menyatakan pihaknya telah siap melaksanakan pilkada putaran II hari ini. Menurut
dia, seluruh kebutuhan logistik di TPS saat ini sudah tiba di 151 kelurahan di Medan.
Begitu juga dengan pendirian 3.897 TPS sudah dikerjakan dan diharapkan seluruhnya
rampung pada Jumat malam.
KPU Medan berharap semua warga yang memiliki hak pilih untuk datang ke TPS dan
menggunakan hak pilihnya. “Kami harapkan ada peningkatan partisipasi pemilih di
putaran II ini. Semuanya sudah kami lakukan seperti menyurati perusahaan-
perusahaan agar memberi kesempatan karyawannya untuk memilih,” kata Evi.
Rekapitulasi
Dua hari pascapemungutan suara, tepatnya hari Senin (21/6) pukul 15.00 WIB, di
Hotel Grand Angkasa, KPU Medan akan mengumumkan perolehan suara kedua
pasangan calon sekaligus mengumumkan walikota dan wakil walikota Medan terpilih
dalam rapat pleno terbuka.
Menurut Ketua KPU Medan, penghitungan suara di tingkat Panitia Pemilihan
Kecamatan (PPK) akan rampung pada hari Minggu atau selambat-lambatnya hari
Senin siang. “Makanya kita lakukan jam 3 sore, supaya masih ada waktu bagi PPK
untuk merampungkan penghitungan sampai Senin siang,” kata Evi.
Lurah Perintis dan lurah Gang Buntu Kecamatan Medan Timur dianggap sudah
melampaui kewenangannya yang meminta pergantian anggota Kelompok
Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di wilayahnya. Tindakan kedua lurah itu
dinilai telah mencampuri urusan penyelenggaraan pilkada dan terindikasi memihak
pasangan calon tertentu. Padahal seharusnya sebagai aparat pemerintahan kedua lurah
tersebut berlaku netral.
Terungkapnya tindakan kedua lurah tersebut, berawal dari laporan yang disampaikan
Panitia Pemungutan Suara (PPS) di Kelurahan Perintis, Arifin Daulay, dan anggota
PPS Kelurahan gang Buntu, Jahari, ke KPU Medan saat digelarnya rapat evaluasi di
Hotel Garuda Plaza Medan, Rabu (16/6) lalu.
Kedua anggota PPS ini mengaku diancam lurah masing-masing akan dipecat jika
tidak mengganti KPPS, yang rata-rata dari etnis Tionghoa. Mereka pun menyerahkan
surat dari Lurah Perintis bernomor 270/320 tertanggal 11 Juni 2010 yang
ditandatangani Rushendra. Dalam surat itu KPU Medan diminta mengganti KPPS di
Kelurahan Perintis karena tidak aktif bekerja. PPK dan PPS menilai alasan itu yang
tidak masuk akal. Menurut PPK dan PPS, alasan penggantian KPPS itu karena
beberapa di antaranya etnis Tionghoa.
Anggota KPU Medan Pandapotan Tamba, Jumat (18/6), di Kantor KPU Medan Jalan
Kejaksaan, mengatakan, tindakan kedua lurah tersebut yang berupaya mengganti
KPPS merupakan bentuk intervensi yang harus ditanggapi serius. Untuk itu, pihaknya
akan menyurati Walikota Medan agar mengambil tindakan tegas terhadap kedua luran
itu.
“Kami minta kedua lurah ini segera dipecat, karena tindakan yang mereka lakukan
merupakan intervensi terhadap penyelenggara Pilkada,” kata Pandapotan.
Dia menegaskan, lurah atau aparat pemerintah lainnya tidak berwenang mengganti
aparat penyelenggara pemilu atau pilkada, termasuk KPPS. Yang berhak mengganti
KPPS, kata dia, mutlak wewenang PPS.
TPS 51 Mangga Medan Tuntungan, Teknik Ginting, dan TPS 53 Kelurahan Besar
Medan Labuhan, Stefani Tendi. “Hanya KPPS ini yang di ganti. Sedangkan KPPS di
TPS lainnya, kami tegaskan tidak ada pergantian,” kata Pandapotan.
Pjs Walikota Medan Syamsul Arifin mengatakan, pihaknya belum menerima laporan
kedua lurah tersebut yang bertindak di luar kewenangannya. Namun, jika terbukti,
maka pihaknya akan menindak mereka sesuai aturan yang berlaku, misalnya
membawa kasus ini ke Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat)
Kota Medan. “Kalau memang ada kan ada aturan untuk menindaknya, tapi sampai
sekarang saya belum terima laporannya makan jangan berandai-andai,” kata Syamsul
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Medan sudah siap-siap menggelar pilkada putaran
ke-II yang rencananya pada 16 Juni mendatang. “Pemungutan suara Pilkada Medan
putaran II dilaksanakan pada 16 Juni 2010,” kata anggota KPU Medan Pandapotan
Tamba.
Ia menjelaskan, Pilkada Medan Tahun 2010 memiliki anggaran sebesar Rp
55.068.648.083 dengan rincian, Rp 38.129.133.125 untuk putaran I dan Rp
16.939.514.957 untuk putaran II.
Untuk putaran kedua itu, dirinci seperti berikut: logistik Rp 2.372.328.596, sosialisasi
Rp 134.000.000, kampanye Rp 4.200.000. Perhitungan suara Rp 38.099.821, PPK Rp
152.250.000, PPS Rp 7.550.000, KPPS Rp 12.148.500.000, dan pengamanan Rp
2.082.586.540.
Jadwal tahapan putaran II dimulai dengan pengadaan logistik 23 Mei sampai 8 Juni
2010, pendistribusian 9 Juni sampai 15 Juni 2010. Masa kampanye 10 Juni sampai 12
Juni 2010 dan masa tenang 13 Juni sampai 15 Juni 2010 (3 hari).
Source: Rp 16,9 M untuk Pilkada Putaran Kedua | Berita Cerita Kota Medan
http://www.medantalk.com/rp-169-m-untuk-pilkada-putaran-kedua/#ixzz0rO0MjJoO
Copyright: www.MedanTalk.com
AMEDAN (Pos Kota) – Pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) Kota Medan,
putaran kedua diwarnai kecurangan.
Dua remaja yang belum masuk daftar pemilih tetap (DPT) diamankan polisi karena
kedapatan ikut memilih di tempat pemungutan suara (TPS) 23, Timbang Deli,
Kecamatan Medan Amplas, Sabtu (19/6).
Hingga saat ini kedua remaja itu, Faisal Sutono Sirait ,14, dan Rudianto Sirait, 16,
keduanya warga Jalan Damai, Gang Idaman, Timbangdeli, Medan, masih diperiksa
secara intensif di Polsekta Patumbak.
Dari keduanya diamankan selembar surat formulir pemilihan yang sudah dicoblos
oleh Rudianto. Sementara formulir yang dicoblos
Faisal Sutono Sirait sudah terlanjur dimasukkan ke dalam kotak suara.
Belakangan diketahui usia calon pemilih itu belum memenuhi kriteria DPT.
“Anehnya pelaku sendiri tak tau saat ditanya TPS berapa pada putaran pertama lalu.
Karena ada kecurigaan, dia langsung kami amankan,” kata Wahyudin.
Ironisnya, kedua remaja yang belum memiliki hak suara itu mengaku nekat ikut
mencoblos karena dijanjikan uang Rp 10 ribu, untuk memilih calon pasangan Sofyan
Tan-Nelly Armayanti. (samosir)
Sofyan Tan-Nelly Armayanti, didukung PDIP dan partai lainnya, bersaing ketat
dengan pasangan Rahudman Harahap-Dzulmi Eldin yang disokong Partai Demokrat
dan Partai Golkar.
Budiman juga menyoalkan banyaknya surat suara Sofyan Tan dinyatakan rusak.
“Apakah ini dirusak atau dinyatakan rusak,” ujar Budiman.
Pelanggaran lain, sebut dia, adanya saksi Rahudman Harahap-Dzulmi Eldin memakai
atribut di area TPS. “Ini kan, tidak boleh,” sebutnya. “Kami meminta dilakukan
penghitungan ulang di TPS, dan pengetatan di PPK. Dan, kami lagi menyusun
langkah selanjutnya.”
Ketua KPU Medan, Evi Novida Ginting, mempersilakan pihak Sofyan Tan-Nelly
Armayanti melaporkan kecurangan yang ditemukan. “Kalau punya data dan bukti
silakan laporkan ke Panwas Medan. Karena kalau katanya-katanya berarti cakap-
cakap saja,” ujar Evi.
Ditegaskannya, bila bukti kecurangan dilakukan KPPS, tindakan sesuai proses hukum
akan dilakukan. “KPU Medan sudah berkali-kali menegaskan KPU netral dan tidak
berpihak,” tegasnya.
Sementara hasil perolehan suara dari 21 kecamatan di Kota Medan yang masuk ke
Media Center Panwas Kota Medan, Jalan Sultan Agung, hingga pukul 20.00 WIB,
menunjukkan pasangan Rahudman Harahap-Dzulmi Eldin memperoleh 502.671
suara. Sementara pasangan Sofyan Tan-Nelly Armayanti memperoleh 261.502 suara.
Sofyan Tan-Nelly Armayanti, didukung PDIP dan partai lainnya, bersaing ketat
dengan pasangan Rahudman Harahap-Dzulmi Eldin yang disokong Partai Demokrat
dan Partai Golkar.
Ketua Tim Pemenangan Sofyan Tan-Nelly Armayanti, Budiman Nadapdap,
menyatakan, kecurangan masif melibatkan Kelompok Penyelenggara Pemungutan
Suara (KPPS). “Adanya 50 surat suara yang telah dicoblos dimasukkan ke dalam
kotak suara. Itu kami temukan di Tangguk Bongkar 11, TPS 23,” kata Budiman
kepada Tempo, Sabtu malam.
Budiman juga menyoalkan banyaknya surat suara Sofyan Tan dinyatakan rusak.
“Apakah ini dirusak atau dinyatakan rusak,” ujar Budiman.
Pelanggaran lain, sebut dia, adanya saksi Rahudman Harahap-Dzulmi Eldin memakai
atribut di area TPS. “Ini kan, tidak boleh,” sebutnya. “Kami meminta dilakukan
penghitungan ulang di TPS, dan pengetatan di PPK. Dan, kami lagi menyusun
langkah selanjutnya.”
Ketua KPU Medan, Evi Novida Ginting, mempersilakan pihak Sofyan Tan-Nelly
Armayanti melaporkan kecurangan yang ditemukan. “Kalau punya data dan bukti
silakan laporkan ke Panwas Medan. Karena kalau katanya-katanya berarti cakap-
cakap saja,” ujar Evi.
Ditegaskannya, bila bukti kecurangan dilakukan KPPS, tindakan sesuai proses hukum
akan dilakukan. “KPU Medan sudah berkali-kali menegaskan KPU netral dan tidak
berpihak,” tegasnya.
Sementara hasil perolehan suara dari 21 kecamatan di Kota Medan yang masuk ke
Media Center Panwas Kota Medan, Jalan Sultan Agung, hingga pukul 20.00 WIB,
menunjukkan pasangan Rahudman Harahap-Dzulmi Eldin memperoleh 502.671
suara. Sementara pasangan Sofyan Tan-Nelly Armayanti memperoleh 261.502 suara.
“Target kita meraih 450 ribu suara plus satu,” kata Ketua Tim Pemenangan Sofyan
Tan/Nelly Armayanti, Budiman Nadapdap pada silaturahim PDI Perjuangan dengan
tokoh masyarakat di Medan, Rabu.
Selain Sofyan/Nelly, hadir pada kesempatan itu Ketua DPD PDI Perjuangan Sumatera
Utara Panda Nababan, Ketua DPC PDI Perjuangan Kota Medan Hendry Jhon
Hutagalung, Sekretaris DPD PDI Perjuangan Sumut HM Affan, tim supervisi Brilian
Moktar serta sejumlah pengurus dan fungsionaris PDI Perjuangan lainnya.
Jika pada putaran pertama hanya 699.991 pemilih yang datang ke TPS atau dengan
tingkat partipsiasi sekitar 35,69 persen dari total daftar pemilih tetap (DPT) mencapai
1.961.155 orang, maka jumlah pemilih pada putaran kedua diperkirakan mencapai
900 ribu orang.
“Karena itu, target kita meraih minimal 450 ribu suara plus satu sekaligus
memenangkan pertarungan menuju kursi Wali Kota dan Wali Kota Medan periode
2010-2015,” katanya.
Ia mengaku optimistis target tersebut akan dapat dicapai menyusul semakin besarnya
dukungan yang mengalir untuk pasangan Sofyan/Nelly.
“Sejumlah calon yang kalah pada pertarungan putaran pertama bahkan sudah
menyatakan dukungannya bagi pasangan Sofyan/Nelly, termasuk calon wali kota
Maulana Pohan beserta jaringannya dan jajaran partai pendukung calon wali kota Ajib
Shah,” ujarnya.
“Menjaga suara ini harus dilakukan dengan serius. Bisa saja memang banyak yang
memilih pasangan Sofyan/Nelly, tetapi kita akhirnya kalah karena suara tidak dijaga.
Kalau sudah begini ‘kiamat’ kita,” katanya.
Medan, 25/5 (Antara/FINROLL News) - Pasangan calon wali kota/wakil wali kota
Medan, Sofyan Tan/Nelly Armayanti optimistis memenangkan pilkada putaran kedua
yang akan berlangsung 19 Juni 2010.
"Kita sangat optimistis menang pada putaran kedua nanti," ujar Ketua Tim
Pemenangan Pasangan Sofyan/Nelly, Budiman P Nadapdap didampingi sejumlah
anggota timnya di Medan, Selasa.
Pada pilkada putaran kedua nanti, tim pemenangan Sofyan/Nelly berharap semua
aparat pemerintahan mulai dari camat, lurah hingga kepala lingkungan bersikap netral
dan tidak berpihak kepada salah satu pasangan calon.
PDI Perjuangan sendiri menyinyalir adanya aparat pemerintahan mulai dari tingkat
kecamatan, kelurahan hingga kepala lingkungan yang tidak netral. "Ada indikasi
mereka tidak netral dengan melakukan sejumlah pertemuan koordinasi dengan
pasangan calon lain," jelasnya.
Sehubungan dengan itu, PDI Perjuangan telah menyiapkan sebanyak 65.000 petugas
pemantau untuk mengawasi jalannya proses pemungutan dan penghitungan suara
pilkada putaran kedua Kota Medan di 3.897 TPS yang tersebar di 21 kecamatan.
"Tugas utama mereka adalah memantau gerak-gerik setiap petugas KPPS serta segala
kemungkinan terjadinya praktik kecurangan, termasuk yang dilakukan aparat
pemerintahan," tegasnya.
Budiman Nadapdap yang juga Wakil Ketua DPD PDI Perjuangan Sumut mengatakan,
tidak ada alasan bagi pasangan Sofyan/Nelly untuk tidak memenangkan putaran
kedua jika pilkada berjalan jujur dan adil.
"Jika pilkada berjalan jujur-adil dan semua pihak bisa bersikap netral, kita optimistis
meraih dukungan lebih dari 50 persen sekaligus memenangkan pilkada," katanya.
Dipastikan, sebanyak 8.453 warga Medan tidak mendapatkan hak pilihnya dalam
putaran kedua Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Medan, 19 Juni 2010 mendatang.
Pasalnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat memberikan payung hukum kepada
KPU Medan untuk memuktahirkan Data Pemilih Tetap (DPT).
Divisi Hukum dan Humas KPU Medan, Pandapotan Tamba menyebutkan, pihaknya
mengajukan nama-nama pemilih tambahan dalam putaran kedua ke KPU Pusat.
Hasilnya, tetap tidak dibenarkan melakukan perbaikan DPT untuk putaran kedua.
KPU pusat tetap meminta data pemilih yang digunakan sesuai dengan putaran
pertama lalu.
“Kita berbenturan dengan aturan main yang ada. Karena dasar hukum untuk
memperbaiki DPT di putaran kedua tidak ada,” kata Pandapotan kepada pers di
Kantor KPU Medan Jalan Kejaksaan, Senin (14/6).
Meskipun telah teridentifikasi jumlah pemilih yang layak dimasukkan ke DPT, namun
masih ada kewajiban untuk menurunkannya kembali untuk mencoklit penambahan
data tersebut. Lalu harus diberi kesempatan tanggapan masyarakat. Untuk itu
waktunya tidak akan cukup mengingat KPU Medan baru mendapatkan kepastian
melanjutkan putaran kedua sekitar delapan hari sebelum pemungutan suara.
Alasan lainnya menurut Pandapotan bahwa putaran kedua merupakan bagian dari
proses pelaksanaan lanjutan dari putaran pertama. Karena itu sedah sewajarnya
pemilih yang menggunakan hak pilih juga bersumber dari data yang sama.
“Ini proses yang sama dengan putaran pertama. Hanya calonnya saja yang berkurang.
Jadi pemilihnya juga seharusnya sama,” ujarnya.
Putaran kedua Pilkada Langkat 2008 lalu perbaikan DPT dapat dilakukan akan tetapi
ada perbedaan dengan Pilkada Medan. Di mana jadwal tahapan untuk putaran kedua
saat itu sangat panjang. “Dalam peraturan KPU Nomor 60 Tahun 2009 pasal 22 ayat
(94) DPT disahkan paling lambat disahkan 45 hari sebelum pemungutan suara. jadi
tidak memenuhi syarat,” sebutnya.
Sumber: EDWARD | GLOBAL | MEDAN
Medan (SIB)
Pemilihan kepala daerah Kota Medan putaran II, Sabtu (19/6), relatif berjalan aman
dan lancar. Meski terjadi sejumlah kecurangan di beberapa tempat pemungutan suara,
namun hal itu tidak mengganggu proses pemungutan suara yang dimulai sejak pukul
07.00 WIB-13.00 WIB.
Hasil pantauan di sejumlah TPS, pasangan Rahudman Harahap-Dzulmi Eldin untuk
sementara teratas dalam perolehan suara dibanding pasangan Sofyan Tan-Nelly
Armayanti. Pasangan Rahudman-Eldin diperkirakan menguasai sekitar 18 kecamatan,
termasuk kecamatan pinggiran seperti Kecamatan Medan Marelan, Medan Deli,
Medan Labuhan, Belawan dan Medan Tembung. Sementara pasangan Sofyan Tan-
Nelly hanya menguasai tiga kecamatan yakni Medan Tuntungan, Medan Baru dan
Medan Petisah.
Kemenangan Rahudman-Eldin di antaranya terlihat di Kelurahan Babura Kecamatan
Medan Baru, yang terdiri dari 16 TPS, pasangan Rahudman-Eldin meraih 1.484 suara,
Sedangkan pasangan Sofyan Tan-Nelly Armayanti 1.429 suara. Dari 8.647 orang
yang terdaftar dalam DPT di kelurahan ini, hanya 3.007 orang yang menggunakan hak
pilihnya.
Di TPS 12 Kelurahan Indra Kasih Medan Tembung, Rahudman-Eldin 113 suara,
Sofyan Tan-Nelly Armayanti 30 suara. Yang memilih di TPS ini 186 orang dari 467
pemilih yang ada di DPT. TPS 2 Kelurahan Helvetia Medan Helvetia, Rahudman-
Eldin 119 suara, Sofyan Tan-Nelly 34 suara. Pemilih yang menggunakan hak pilihnya
di TPS ini sebanyak 181 orang dari 566 pemilih di DPT. TPS 34 Kelurahan Tegal
Sari Mandala II Denai, Rahudman-Eldin 17 suara, Sofyan Tan-Nelly 87 suara.
Tingkat partisipasi di kelurahan ini juga cukup rendah, yakni hanya 110 orang dari
471 pemilih di DPT.
Namun, di Kelurahan Kwala Bekala Kecamatan Medan Johor, yang terdiri dari 52
TPS, pasangan Sofyan Tan-Nelly mengungguli perolehan suara pasangan Rahudman-
Eldin, yang meraih 5339 suara, sedangkan pasangan Rahudman-Eldin memperoleh
2715 suara.
Kemenangan Rahudman-Eldin juga terlihat di TPS 32 Kelurahan Polonia Medan
Polonia, yakni 97 suara, sedangkan Sofyan Tan-Nelly 81 suara. Rahudman-Eldin juga
unggul di TPS 12 Kelurahan Tegal Sari Mandala II Denai dengan 133 suara,
sementara Sofyan Tan-Nelly 42 suara. Begitu juga di TPS 9 Kelurahan Kota Matsum
III Medan Kota, Rahudman-Eldin unggul dengan 174 suara, Sofyan Tan-Nelly 18
suara.
Sementara kemenangan Sofyan Tan-Nelly terlihat di TPS 9 Kelurahan Tegal Sari
Mandala II Medan Denai yang memperoleh 79 suara, sedangkan Rahudman-Eldin 54
suara. Sofyan Tan-Nelly juga unggul di TPS 7 Kelurahan Babura Medan Baru dengan
158 suara, sedangkan Rahudman-Eldin 30 suara.
Sementara hasil penghitungan suara di 21 kecamatan yang diperoleh dari tabulasi
Media Centre Panwaslu Kota Medan hingga pukul 19.00 WIB, Rahudman-Eldin
meraih 502671 suara atau 66,77%, sedangkan Sofyan Tan-Nelly Armayanti 261502
suara atau 34,22%.
Dengan perincian, Kecamatan Medan Kota, Rahudman-Eldin 17739 suara, Sofyan
Tan-Nelly 15523 suara. Kecamatan Medan Amplas, Rahudman-Eldin 26.974 suara,
Sofyan Tan-Nelly 9.349 suara. Kecamatan Medan Area, Rahudman-Eldin 32216
suara, Sofyan Tan-Nelly 15253 suara. Kecamatan Medan Denai, Rahudman-Eldin
754 suara, Sofyan Tan-Nelly 476 suara. Kecamatan Medan Johor, Rahudman-Eldin
44436 suara, Sofyan Tan-Nelly 25020 suara.
Kecamatan Medan Tuntungan, Rahudman-Eldin 8881 suara, Sofyan Tan-Nelly 12276
suara. Kecamatan Medan Tembung 35321 suara, Sofyan Tan-Nelly 12947 suara.
Kecamatan Medan Perjuangan, Rahudman-Eldin 24914 suara, Sofyan Tan-Nelly
13354 suara. Kecamatan Medan Baru, Rahudman-Eldin 5067 suara, Sofyan Tan-
Nelly 6991 suara. Kecamatan Medan Selayang, Rahudman-Eldin 15671 suara, Sofyan
Tan-Nelly 12597 suara. Kecamatan Medan Sunggal, Rahudman-Eldin 20961 suara,
Sofyan Tan-Nelly 13800 suara.
Kecamatan Medan Barat, Rahudman-Eldin 19900 suara, Sofyan Tan-Nelly 11642
suara. Kecamatan Medan Petisah, Rahudman-Eldin 11940 suara, Sofyan Tan-Nelly
12810 suara. Kecamatan Medan Helvetia, Rahudman-Eldin 27727 suara, Sofyan Tan-
Nelly 14477 suara. Kecamatan Medan Timur, Rahudman-Eldin 26246 suara, Sofyan
Tan-Nelly 15172 suara. Kecamatan Medan Maimun, Rahudman-Eldin 10703 suara,
Sofyan Tan-Nelly 6373 suara. Kecamatan Medan Polonia, Rahudman-Eldin 9722
suara, Sofyan Tan-Nelly 7133 suara. Kecamatan Medan Labuhan, Rahudman-Eldin
32830 suara, Sofyan Tan-Nelly 11945 suara. Kecamatan Medan Marelan, Rahudman-
Eldin 36031 suara, Sofyan Tan-Nelly 6909 suara. Kecamatan Medan Deli,
Rahudman-Eldin 38436 suara, Sofyan Tan-Nelly 13978 suara, dan Kecamatan Medan
Belawan, Rahudman-Eldin 22932 suara, Sofyan Tan-Nelly 116.576 suara.
Golput Tetap Tinggi
Tingkat partisipasi pemilih di putaran II tetap tinggi. Namun, diperkirakan ada
pertambahan angka partisipasi dibanding putaran I lalu. Menurut Humas Panwaslu
Medan Fakhruddin, tingkat partisipasi pemilih putaran II sebesar 45% atau naik 10
persen dari putaran I yang sebesar 35,69%. “Dari pantauan kami ada peningkatan
partisipasi di putaran II ini, jika sebelumnya 35,69 persen, di putaran II adalah 45
persen.
Dari jumlah yang telah masuk ke tabulasi Media Centre Panwaslu Medan sebanyak
764173 suara, tingkat partisipasi pemilih hanya 38,97 atau hanya meningkat 3,28%
dari putaran I, sedangkan tingkat golput di putaran II ini mencapai 61,03%.
Diwarnai Kecurangan
Sama seperti putaran I, pelaksanaan pilkada Medan putaran II juga diwarnai berbagai
kecurangan. Di antaranya terjadi di TPS 23 Kelurahan Tegal Sari Kecamatan Medan
Denai. Di TPS ini, salah satu anggota Kelompok Panitia Pemungutan Suara (KPPS)
diamankan polisi karena terindikasi melakukan kecurangan. Anggota KPPS tersebut
diduga mencoblos tiga lembar surat suara yang belum ditandatangani Ketua KPPS
untuk pasangan Rahudman-Eldin. Namun, surat suara yang dicoblos tersebut belum
sempat dimasukkan ke dalam kotak suara.
Kecurangan juga terjadi di TPS 23 Kelurahan Timbang Deli Kecamatan Medan
Amplas. Di TPS ini, seorang ibu dan dua orang anaknya diamankan polisi karena
menggunakan formulir C6 atau undangan memilih atas nama orang lain. Ketiga anak
beranak ini, yakni Marlina Hutajulu, Rudi Sirait (16) dan Faisal Sirait (14). Kedua
abang beradik ini mengaku menggunakan C6 orang lain karena disuruh ibunya
dengan imbalan Rp10.000. Aksi mereka ketahuan karena mereka bermaksud
mencoblos di TPS 23, sementara formulir C6 yang mereka bawa terdaftar di TPS 22.
Sementara di TPS 19 Kelurahan Bandar Selamat Kecamatan Medan Tembung,
Petugas Panwas Lapangan (PPL) menangkap satu orang yang menggunakan C6 atas
nama orang yang telah meninggal dunia. Kecurangan dengan menggunakan C6 atas
nama orang lain pun terjadi di TPS 21 Kelurahan Padang Bulan Selayang II
Kecamatan Medan Selayang. Di TPS ini, 2 orang diamankan Panwas.
TPS 12 Pilih Inggris Biar Netral
Berbagai cara dilakukan Kelompok Petugas Pemungutan Suara (KPPS) untuk
menarik minat masyarakat datang ke TPS. Salah satunya dilakukan oleh KPPS TPS
12 dan 10 Kelurahan Indrakasih Kecamatan Medan Tembung yang menghiasinya
dengan pernak-pernik piala dunia.
Seluruh dekorasi TPS dihiasi beragam poster bendera tim nasional yang ikut berlaga
di Piala Dunia. Beberapa bola tampak digantung di bagian atap untuk menambah daya
tarik. Para KPPS juga mengenakan seragam tim nasional Inggris. Namun alasan
memakai seragam tersebut ternyata bukan karena tim favorit mereka atau karena baru
bertanding pada malam hari sebelum pencoblosan dimulai. Tapi demi alasan netralitas
sebagai penyelenggara.
Ketua KPPS 12 Surya mengatakan, meskipun dibuat seunik mungkin, namun mereka
tetap menjaga netralitas sebagai penyelenggara. Jangan sampai ada kesan apa yang
mereka lakukan menyimbolkan keberpihakan ke salah satu pasangan. “Seragam ini
(Inggris) kami anggap netral. Karena warnanya putih.
Kalau warna lain nanti dianggap tidak netral,” kata Surya sambil tersenyum.
Surya mengatakan, biaya untuk dekorasi TPS diambil dari dana yang telah tersedia.
Mereka memanfaatkan semaksimal mungkin seluruh dana untuk menjadikan TPS
semenarik mungkin.
Anggota KPPS 10 Jamaluddin mengatakan dekorasi dengan pernak-pernik piala dunia
dipilih setelah dimusyawarahkan bersama. Karena saat ini demam piala dunia
melanda masyarakat, maka pihaknya berinisiatif untuk mewarnai TPS dengan suasana
piala dunia agar lebih menarik.
Warseni, warga Lingkungan IV Kelurahan Indrakasih, Medan Tembung mengatakan
apa yang dilakukan KPPS sangat kreatif dan membuat minat masyarakat cukup tinggi.
Bahkan dirinya yang memilih di TPS lain antusias datang ke TPS 12. Apalagi ada
badut yang mereka sediakan sehingga anak-anak juga senang berada di TPS untuk
meramaikan.
Tapi usaha sejumlah KPPS tersebut untuk meningkatkan angka partisipasi ternyata
kurang berhasil. Karena tingkat partisipasi pemilih di TPS ini tetap tidak terdongkrak
dari putaran I lalu, meskipun mereka telah berusaha maksimal. Dari jumlah daftar
pemilih tetap (DPT) 487 jiwa di TPS 12, hanya 146 pemilih yang menggunakan
haknya. Berbeda dengan putaran pertama 12 Mei lalu sebanyak 149 pemilih.
“Kami sudah berusaha, tapi hak warga juga untuk menggunakan hak pilihnya.
Setidaknya masyarakat menyambut baik usaha yang telah dilakukan,” ujar Surya.
KPPS Nyasar
Pengembalian formulir C1 atau hasil penghitungan suara di TPS ke KPU Medan tetap
menimbulkan masalah. Jika di putaran I, banyak KPPS yang terinjak-injak bahkan
ada yang pingsan karena berdesak-desakkan, namun di putaran II ini banyak KPPS
yang nyasar ke Kantor KPU Medan di Jalan Kejaksaan Medan. Padahal, KPU Medan
telah membagi dua wilayah untuk mengembalikan C1 tersebut.
Untuk 4 kecamatan di Medan Utara yakni Kecamatan Medan Marelan, Deli, Labuhan,
Belawan, dipusatkan di Lapangan Rengas Pulau Marelan. Sedangkan 17 kecamatan
lainnya di Gelanggang Remaja di Jalan Sutomo. Namun, kenyataannya banyak KPPS
yang datang ke Kantor KPU Medan.
“Nggak ada informasi sebelumnya makanya kami kemari,” ujar Irfan, KPPS dari TPS
9 Kelurahan Kota Matsum 3 Medan Area.
Karena banyak KPPS yang datang ke Kantor KPU Medan, anggota polisi yang
menjaga kantor itu terpaksa bekerja ekstra. Beberapa polisi ditempatkan di pintu
depan kantor untuk memberitahukan pemindahan lokasi pengembalian C1 tersebut.
“C1 ya pak, di Gelanggang Remaja Pak dekat Samsat, siapa yang menang pak,
Rahudman atau Sofyan Tan,” teriak anggota polisi begitu melihat KPPS datang.
Anggota KPU Medan Pandapotan Tamba mengatakan, banyaknya KPPS yang
menyasar ke Kantor KPU Medan bukanlah kesalahan mereka, namun PPK dan PPS
yang tidak menginformasikannya ke KPPS di wilayahnya masing-masing. Menurut
dia, pihaknya sudah memberikan bimbingan teknis kepada PPK dan PPS soal
pembagian wilayah pengembalian C1 tersebut.
“KPU Medan sudah menyampaikan pembagian ini pada saat bimbingan teknis 3 hari
lalu (rabu-red). Jadi, kami sudah menyampaikan hal itu kepada anggota PPK dan
PPS,”kata Pandapotan.
TPS-TPS TeTaP sepi
Suasana kota Medan pada hari-H pemilihan kepala daerah (Pilkada) putaran ke-2
untuk memilih calon walikota dan calon wakil walikota Medan periode 2010-2015
yang tinggal dua pasang kandidat (Sofyan Tan-Nelly Armayanti dan Rahudman
Harahap-Zumi Eldin), Sabtu (19/6) kemarin tampak ramai dengan aktivitas ekonomi
yang relatif berjalan lancar seperti biasanya dibanding suasana pada Pilkada Putaran
pertama 12 Mei lalu, namun sejumlah tempat pemungutan suara (TPS-TPS) ternyata
tetap sepi, bahkan lebih sepi dibanding Pilkada sebelumnya.
Kesaksian SIB langsung di lapangan mulai pukul 10.00 hingga lewat siang, misalnya
di kawasan sibuk Jln HM Yamin, Jln Sutomo simpang MT Haryono, Jln Dr Mansyur
atau Padang Bulan, Setia Budi, Tengku Amir Hamzah, terlebih Jln Putri Hijau
sekitarnya, tampak tetap ramai seperti bukan suasana Pilkada. Arus lalu lintas tetap
ramai dan padat walaupun volume kemacetan tidak separah hari-hari sebelumnya. Di
satu sisi, hari Pilkada kemarin justru tampak lebih diresponi masyarakat untuk pergi
ke pesta-pesta perkawinan dan acara promo produk sepeda motor dan kontes remaja
seperti yang berlangsung di areal Deli Plaza Medan.
Sejumlah TPS di sepanjang Jln setia Budi juga tampak sepi, dan hanya tempat pesta
kawin yang ramai dan kebetulan persis berlangsung pada sejumlah tempat pada satu
jalur, misalnya di kawasan Tanjung Selamat, Jln Flamboyan, dan Pasar 1 Tanjung
Sari. Kantin-kantin dan kafe umum di sepanjang Jln Dr Mansyur dan Pangkalan
Masyhur plus kawasan Ring Road Gagak Hitam di Sunggal, juga tampak ramai, jauh
mengalahkan situasi keramaian TPS-TPS untuk Pilkada.
“Kenapa masyarakat sekarang makin malah milik untuk Pilkada ya….? Apalagi di
sejumlah TPS jumlah angka Golput-nya mencapai 66 persen. Di tempat lain juga
hampir 50 persen,” ujar Parlindungan Purba SH MH, anggota DPD/MPR RI kepada
SIB ketika melakukan hubungan pertelepon dengan sejumlah rekannya, termasuk
dengan Ir Raya Timbul Manurung, soal gambaran hasil Pilkada Kota Medan hari itu.
Di TPS 17 Kelurahan Sei Putih Tengah di Jln Kuali Medan yang persis di halaman
rumah Raya Timbul Manurung misalnya, jumlah massa Golput-nya mencapai 66,4
persen, karena dari 460 pemilih yang terdaftar, hanya 155 orang atau 33,6 persen yang
menggunakan hak pilihnya. Di TPS yang dominan warga pribumi itu unggul
pasangan Sofyan Tan-Nelly Armayanti (no.10) unggul 118 suara dan Rahudman-
Eldin (no.6) hanya 37 suara.
Kemenangan Sofyan Tan-Nelly Armayanti juga terjadi di TPS XI Kelurahan Petisah
Tengah yang persis di halaman belakang kantor Notaris Sopar Siburian SH. Warga
Golputnya juga tinggi mencapai hampir separuh, karena hanya 148 orang dari 460
orang yang memilih, dengan hasil nyaris berimbang antara Sofyan Tan-Nelly (76
suara) dan Rahudman Eldin 70 suara (dua suara batal). Demikian juga di TPS III
Kelurahan Gang Buntu Kec. Medan Timur di kawasan Terminal Sambu, Golput-nya
hampir separuh karena hanya 238 orang yang memilih dari 566 yang terdaftar. Di
TPS ini Sofyan Tan juga unggul telak 172 suara dan Rahudman hanya 64 suara.
Sofyan Tan juga menang telak di TPS IV Kelurahan Perintis dengan perolehan 143
suara, sementara Rahudman hanya 39 suara. Golput di sini juga meningkat dari
Pilkada sebelumnya (putaran pertama) karena hanya 203 orang yang memilih dari 480
yang terdaftar.
Untuk sementara, hingga lewat siang Jumat kemarin, sebagaimana dicetuskan
Parlindungan Purba dan Timbul Manurung dan sejumlah warga lainnya secara
terpisah, pasangan kandidat Sofyan Tan-Nelly memang tampak unggul, tapi di
sebagian tempat seperti kawasan Marelan, Belawan, Labuhan Deli dan sekitarnya
diperoleh kabar bahwa pasangan Rahudman-Eldin yang unggul.
“Sementara ini, posisi awal memang tampak bersaing dengan gaung Sofyan Tan yang
unggul. Tapi itu masih dari TPS-TPS yang memang sudah dipastikan Sofyan Tan
pemenangnya. Dari tempat atau TPS lain kan belum dan jangan-jangan TPS-TPS
yang belum kasih kabar itu adalah TPS-TPS yang bakal dimenangkan pasangan
Rahudman. Nuansa Pilkada Medan putaran ke-2 ini terasa lebih ramai walau volume
pemilih di TPS-TPSnya tampak sepi dibanding sebelumnya,” ujar Drs Nelson D
Malau, warga kota Medan dari kalangan pengusaha, yang sengaja menghubungi SIB
ketika saling konfirmasi situasi dan hasil Pilkada tahap-tahap awal.
Nama Sofyan Tan tampak mengemuka sebagai kandidat unggul di sejumlah TPS
maupun di berbagai tempat publik selama seharian kemarin. Namun, kalangan yang
mengusung unsur stabilitas lintas sektoral di sejumlah tempat keramaian publik kota
ini tetap meyakini dan berharap Rahudman yang menang. Masing-masing dengan
alasannya tersendiri. Sementara di lain pihak, para Golput yang memilih aktivitas
lebih baik mengoperasikan armada angkutan umumnya sebagai supir, atau membuka
toko-toko dan supermareketnya untuk tetap berjualan, atau para karyawan bank yang
memilih ke pesta atau piknik ke Berastagi ketimbang milih TPS-TPS, tampaknya tak
peduli siapa yang bakal menang, apakah Sofyan Tan atau Rahudman.
RAHUDMAN Kalah di TPS Sendiri
Sementara itu Antara melaporkan, calon wali kota Rahudman Harahap kalah di
tempat pemungutan suara (TPS) 41 di Jalan T Amir Hamzah, Kelurahan Helvetia
Timur, Kecamatan Medan Helvetia, dimana dia bersama keluarganya mencoblos,
Sabtu.
Data hasil penghitungan suara pilkada Kota Medan putaran kedua di TPS 41
Kelurahan Helvetia Timur yang diperoleh ANTARA, Sabtu siang, menunjukkan,
Rahudman dan pasangannya Dzulmi Eldin hanya meraih 66 suara, sedangkan
pesaingnya Sofyan Tan/Nelly Armayanti mengumpulkan 107 suara dan tujuh suara
dinyatakan batal.
Di TPS itu tercatat sebanyak 478 pemilih berdasarkan daftar pemilih tetap (DPT),
sementara jumlah pemilih yang memberikan suaranya hanya 180 orang atau sekitar
37,66 persen.
Ketua TPS 41 Kelurahan Helvetia Timur Gong Matua menyebutkan, jumlah pemilih
pilkada Kota Medan putaran kedua meningkat lima orang dibanding pada putaran
pertama yang hanya 175 orang.
SOFYAN TAN SIAP MENANG ATAU KALAH
Calon Wali Kota Sofyan Tan menyatakan bahwa dirinya siap untuk menang dan juga
kalah pada Pemilihan Kepala Daerah Kota Medan putaran kedua yang berlangsung
Sabtu.
“Saya pasti sangat siap. Jika menang tentu dengan kesatria dan jika kalah dengan
terhormat,” katanya usai mencoblos di TPS 37 di Jalan Kiwi.
Calon wali kota dengan nomor urut 10 itu datang ke TPS pukul 10.10 WIB dan
langsung mengambil surat suara.
Ia datang ke TPS yang tidak jauh dari rumahnya di Komplek Kasuari dengan berjalan
kaki. Ia datang bersama keluarga besarnya, termasuk istrinya Elinar dan ibunya yang
sudah berusia 90 tahun, Hermina.
Sofyan Tan sendiri mengaku jauh lebih santai dibanding pilkada putaran pertama.
“Saya optimistis saja, dan kalah-memang urusan lain,” ujar pria kelahiran Medan
Sunggal, 25 September 1959 itu.
Menurut dia, apa pun hasil pilkada putaran kedua itu, harus lebih baik untuk
masyarakat Kota Medan. Untuk itu ia berharap pelaksanaan pilkada berjalan aman,
lancar dan tertib.
“Masyarakat butuh perubahan. Apa pun hasilnya, Kota Medan harus semakin
kondusif dan damai. Kalau kami yang menang, itu bukan kemenangan Softan Tan,
tetapi kemenangan bagi kebhinnekaan,” ujar calon wali kota yang juga warga
keturunan Tionghoa itu.
TPS Gubsu Rahudman Unggul, TPS Wagubsu Sofyan Tan Unggul
Pilkada kota Medan putaran ke II yang berlangsung, Sabtu (19/6) pasangan
Rahudman–Eldin mendominasi di TPS Gubsu dan Sekdaprovsu. Sedang di TPS
Wagubsu, pasangan sofyan Tan–Nelly Armayanti ungguli Rahudman–Eldin.
TPS 7 tempat Gubsu H Syamsul Arifin SE mencoblos, pasangan Rahudman–Eldin
memperoleh 184 suara dan Sofyan Tan–Nelly Armayanti hanya 25 suara sedang DPT
sebanyak 539 orang, batal satu suara.
Di TPS 7 tempat Sekdaprovsu DR RE Nainggolan MM mencoblos, pasangan
Rahudman–Eldin memperoleh 134 suara dan Sofyan Tan–Nelly Armayanti
memperoleh 83 suara sedang DPT 526 orang dan tiga suara batal.
Sedang di kediaman Wagubsu H Gatot Pujonugroho ST yang mencoblos di TPS 51
Kompleks Setia Budi Indah, pasangan Sofyan Tan–Nelly Armayanti memperoleh 79
suara dan pasangan Rahudman–Eldin memperoleh 57 suara.
KECAMATAN MEDAN PERJUANGAN
Sementara itu di Kecamatan Medan Perjuangan, Kelurahan Tegal Rejo TPS 5
pasangan Rahudman–Eldin memperoleh 147 suara dan Sofyan Tan–Nelly Armayanti
36 suara. TPS 6, pasangan Rahudman–Eldin memperoelh 105 suara dan Sofyan Tan–
Nelly Armayanti 43 suara.
TPS 15, pasangan Rahudman–Eldin memperoleh 106 suara, pasangan Sofyan Tan–
Nelly Armayanti memperoleh 25 suara. TPS 20, pasangan Rahudman–Eldin
memperoleh 120 suara dan Sofyan Tan–Nelly Armayanti memperoelh 44 suara. TPS
21, pasangan Rahudman–Eldin memperoelh 60 suara dan Sofyan Tan–Nelly
Armayanti 59 suara.
Pada TPS 22, pasangan Rahudman–Eldin memperoleh 99 suara, Sofyan Tan–Nelly
Armayanti memperoelh 52 suara. TPS 24, pasangan Rahudman–Eldin memperoleh 62
suara, Sofyan Tan–Nelly Armayanti memperoleh 26 suara dan TPS 44, pasangan
Rahudman–Eldin memperoelh 97 suara dan Sofyan Tan–Nelly Armayanti
memperoleh 37 suara.
Kelurahan Sei Kera Hilir, Kecamatan Medan Perjuangan TPS 5 pasangan Rahudman-
Eldin memperoleh 228 suara dan ofyan Tan-Nelly Armayanti 25 suara. TPS 11,
pasangan Rahudman-Eldin memperoleh 179 suara dan pasangan Sofyan Tan-Nelly
Armayanti memperoleh 6 suara. TPS 12 pasangan Rahudman-Eldin memperoleh 159
suara dan pasangan Sofyan Tan-Nelly Armayanti memperoleh 54 suara. TPS 13,
pasangan Rahudman-Eldin memperoleh 191 suara dan Sofyan Tan-Nelly Armayanti
memperoleh 29 suara.
TPS 17, pasangan Rahudman-Eldin memperoleh 138 suara dan Sofyan Tan-Nelly
Armayanti 40 suara. TPS 18, pasangan Rahudman Eldin memperoleh 179 suara dan
pasangan Sofyan Tan-Nelly Armayanti memperoleh 21 suara. TPS 24, pasangan
Rahudman-Eldin memperoleh 156 suara dan Sofian Tan-Nelly memperoleh 58 suara.
TPS 8, pasangan Rahudman-Eldin memperoleh 143 suara dan Sofyan Tan-Nelly
Armayanti memperoleh 13 suara. TPS 21, pasangan Rahudman-Eldin memperoleh
102 suara dan pasangan Sofyan Tan-Nelly Armayanti memperoleh 36 suara . TPS 10,
pasangan Rahudman-Eldin memperoleh 145 suara dan Sofyan Tan-Nelly Armayanti
memperoleh 12 suara. TPS 7, pasangan Rahudman-Eldin memperoleh 223 suara dan
Sofyan Tan-Nelly Armayanti memperoleh 21 suara. TPS 9, pasangan Rahudman-
Eldin memperoleh 159 suara dan Sofyan Tan-Nelly Armayanti 14 suara. TPS 24,
pasangan Rahudman-Eldin memperoleh oleh 144 suara dan Sofyan Tan memperoleh
4 suara.
Rahudman-Eldin Unggul pada Sejumlah TPS di Medan Utara
Hasil perhitungan sementara perolehan suara Pilkada Medan putaran kedua, pasangan
Calon Walikota dan Wakil Walikota Medan masa bakti 2010-2015, Rahudman Eldin
unggul pada sejumlah TPS di Kecamatan Medan Labuhan dan Marelan.
Berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan petugas di TPS 01 Kelurahan Pekan
Labuhan Kecamatan Medan Labuhan, pasangan Rahudman-Eldin meraih 159 suara
sedangkan pasangan Sofyan Tan-Nelly Armanyanti sebanyak 84 suara dengan 2 suara
batal.
Pasangan Rahudman-Eldin juga unggul di TPS 37 Kelurahan Rengas Pulau
Kecamatan Medan Marelan dengan meraih 242 sedangkan pasangan Sofyan Tan-
Nelly hanya meraih 16 suara hal yang sama juga terjadi di TPS 62, pasangan
Rahudman-Eldin meraih 281 suara, pasangan Sofyan Tan-Nelly hanya 41 suara.
Sejumlah petugas yang ditanyai wartawan serta pantauan langsung di beberapa TPS
di kawasan Medan Labuhan dan Marelan minat masyarakat untuk menggunakan hak
pilihnya pada Pilkada Medan putaran kedua kali ini tergolong sangat rendah.
Seperti yang terjadi di TPS 01 Kelurahan Pekan Labuhan Kecamatan Medan Labuhan
dari 524 orang tercatat dalam DPT hanya 245 orang yang mengguna hak pilihnya
sedangkan sebanyak 279 orang memilih golput.
Hal sama yang juga terjadi pada TPS lainnya, tingkat kehadiran masyarakat di TPS
untuk menggunkan hak pilihnya pada Pilkada Medan di kawasan medan Utara hanya
pada kisaran 40 hingga 50 persen.
dr Sofyan Tan-Nelly Armayanti Unggul di Pemukiman Tionghoa
Pasangan dr Sofyan Tan dan Nelly Armayanti SP MSP nomor 10 unggul dalam
Pilkada Kota Medan di pemukiman warga Tionghoa di kawasan Jalan Metal
Kelurahan Tanjung Mulia Kecamatan Medan Deli, Sabtu (19/6) unggul meraih 839
suara, Rahudman 77 suara dan batal 10 suara.
Pada Putaran II yakni di 4 TPS ini DPT (Daftar Pemilih Tetap) Totalnya sebanyak
2.139 orang, namun yang memilih atau hadir banyak 926 orang, tidak memilih 1.213
orang.
Padahal Pilkada pada putaran I sebelumnya, jumlah DPT yang hadir cukup banyak,
kita tidak tahu apa sebab berkurangnya kehadiran mereka saat ini. Itu semua
tergantung hati nurani, ujar Imelda Wahab, Kepala Lingkungan 28 ini kepada SIB
usai penghitungan suara.
Dari catatan diperoleh SIB, di TPS 33, untuk DPT terdafar 515 orang, hadir 205 orang
dengan perolehan suara 183 orang untuk Sofyan Tan dan 19 suara Rahudman
Harahap, batal 3 suara.
TPS 34, sebanyak 225 suara untuk Sofyan Tan dan 20 suara Rahudman, batal 1 suara.
Di TPS ini DPT 515 orang, hadir 205 orang.
TPS 54 untuk Sofyan Tan 214 suara, Rahudman 16 suara, batal 4 suara. Sedangkan
DPT 544 suara, hadir 234 suara.
TPS 55,suara Sofyan Tan 217 dan Rahudman 6 suara, batal 2 suara. Sedangkan DPT
550 orang, hadir 241 orang.
Menurut Imelda, pencoblosan dibuka pukul 07.00 WIB, namun baru dibuka 7.30
dimulai dan pemilih masih sangat minim, namun menjelang siang hari yang datang
mulai agak ramai.
Tepat pukul 13.00 WIB, 4 TPS yang berada pada satu atap di Lapangan Olahraga
Metal ditutup, kemudian sekitar 13.30 masing-masing lingkungan mulai menghitung
suara jam 13.30 dan berakhir sekitar pukul 14.00 WIB.
Ketua KPPS di 4 TPS itu yakni Samsudin,Muliadi dan Chin Tang gembira Pilkada
putaran II berjalan lancar, tertib dan aman, meskipun jumlah pemilih berkurang
dibanding Pilkada putaran I.
Mengenai surat suara yang batal, menurut pantauan SIB disebabkan surat suara yang
dicoblos terlalu besar lobangnya, meskipun yang dicoblos tetap pada gambar satu
pasangan. Namun saksi menyatakan tidak syah. Ini terjadi pada penghitungan suara di
TPS 54.
Sofyan Tan-Nelly Armayanti Unggul di Rutan Labuhan Deli
Pasangan Calon Walikota dan Wakil Walikota Medan, Sofyan Tan-Nelly Armayanti
meraih suara terbanyak di TPS 29 Medan Labuhan yang berlokasi di Rutan Labuhan
Deli mengalahkan pasangan Rahudman-Eldin.
Berdasarkan hasil perhitungan suara yang dilakukan petugas di TPS dihadiri kedua
sakis dari masing-masing pasangan Calon Walikota dan Wakil Walikota Medan
tersebut, pasangan Sofyan Tan-Nelly Armayanti meraih 98 suara sedangkan pasangan
rahudman-Eldin 67 suara, sedangkan suara batal sebanyak 35 suara.
Ka Rutan Labuhan Deli, M Sianturi yang kepada wartawan mengatakan, dalam
Pilkada Medan putaran kedua jumlah penghuni Rutan Labuhan Deli yang terdaftar
sebagai sebanyak 403 orang tetapi hanya sebanyak 237 orang yang berada di Rutan
Labuhan Deli sebab sebanyak 166 orang telah dipindahkan Rutan lain bahkan
diantaranya ada yang telah bebas.
Dari 237 orang penghuni rutan tersebut yang menggunakan hak pilihnya hanya 200
orang sedangkan 37 orang memutuskan untuk tidak memilih.
Sementara itu, hasil perhitungan suara di TPS 28 yakni Rumah Jompo di Kelurahan
Martubung Kecamatan Medan Labuhan, pasangan Rahudman-Eldin unggul tipis
dengan meraih 16 suara, sedangkan pasangan Soyan Tan-Nelly Armayanti 15 suara
dengan suara batal atau tidak sah sebanyak 13 suara.
Pasangan Rahudman-Eldin Menang di Rutan
Pasangan Rahudman-Eldin menang di Lembaga Pemasyarakat (Lapas) Dewasa dan
Rutan Klas I serta Lapas Anak Tanjung Gusta Medan pada pemilihan calon
walikota/wakil walikota Medan putaran kedua, Sabtu (19/6). Sementara pasangan
Sofyan Tan-Nelly unggul di Lapas Wanita Tanjung Gusta Medan.
Dari 1.027 pemilih yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) di Rutan Klas I
Tanjung Gusta Medan, mereka yang menggunakan hak suaranya hanya 242 orang
dengan keunggulan pasangan Rahudman-Eldin dengan memperoleh 135 suara,
sedangkan Sofyan Tan-Nelly 103 suara dan 4 suara batal.
Sedangkan di Lapas Klas I Medan, dari 652 DPT, mereka yang menggunakan hak
pilihnya hanya 298 orang dengan keunggulan pasangan Rahudman-Eldin 173 suara
dan pasangan Sofyan Tan-Nelly 124 suara, 1 suara batal.
Pasangan Rahudman-Eldin juga menang di Lapas Anak Medan dengan meraih 215
suara dan pasangan Sofyan Tan-Nelly meraih 101 suara. Sementara pasnagan Sofyan
Tan-Nelly unggul di Lapas Wanita Medan dengan meraih 107 suara dan pasangan
Rahudman-Eldin meraih 43 suara.
Pemilihan calon walikota/wakil walikota Medan periode 2010-2015 di Lapas dan
Rutan Medan tersebut berjalan lancar, aman dan tertib, namun tingkat partisipasi
pemilih yang menggunakan hak suaranya cukup rendah.
Ka Rutan Thurman Hutapea BcIP SH MHum yang ditanyawai wartawan mengakui
rendahnya tingkat partisipasi pemilih di Rutan Klas I Medan pada pemilihan calon
walikota/wakil walikota Medan putaran kedua. Dari rendanhya tingkat pastisipasi itu,
terkesan para pemilih lebih bersikap apatis ataupun kurang peduli.
Hal yang sama juga diakui Ka Lapas Klas I Tanjung Gusta Medan Samuel Purba SH
MHum. Malah kata Samuel Purba, para pemilih di Lapas Klas I Medan lebih tertarik
lagi membicarakan piala dunia daripada soal pemilihan calon walikota/wakil walikota
Medan.
Dari pantauan dan pembicaraan petugas dengan sejumlah pemilih kata Samuel, ada
tiga hal yang menyebabkan rendahnya tingkat partisiapasi yakni tidak adanya
sosialiasi pasangan calon kepada warga binaan di Lapas, para warga binaan yang
ddihukum tinggi kurang peduli dan juga pengaruh piala dunia yang saat ini sedang
berlangsung di Afrika Selatan.
Meski tidak adanya soasialiasi dari pasangan calon, pihaknya sudah memberikan
pengertian dan menghimbau para warga binaan untuk ikut berpartisipasi dalam
Pilkada Medan dengan menggunakan hak pilihnya di TPS.
“Namun semuanya berpulang kepada para warga binaan itu sendiri sebab pihaknya
tidak dapat memaksakan dan hanya bisa menghimbau. Kami melihat mereka lebih
tertarik membicarakan piala dunia daripada pemilihan walikota/wakil walikota
Medan,” ujarnya. (M28/M9/Ant/M3/M20/M8/M14/h/n/u/g)
ayasan Rahmat Indonesia menjanjikan hadiah puluhan juta rupiah, bagi penemu
kecurangan dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada)
atau yang populer disebut Pilkada. Tetapi temuan kecurangan itu dilaporkan kepada
pihak berwajib, kemudian diproses sesuai hukum yang berlaku hingga ke Pengadilan.
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa dalam tahun 2010 ini di Sumatera Utara ada
sebanyak 22 kabupaten/kota akan melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah
(PILKADA) Walikota dan Bupati. ”Ketika wacana pilkada akan digelar, kami melihat
besarnya potensi perpecahan yang dapat mengganggu kekondusifan di Sumatera
Utara, di antaranya dukungan bagi calon perseorangan yang bermasalah, calon
incumbent yang memanfaatkan fasilitas negara atau ”kekuasaannya”, walaupun
menyalahi ketentuan juga keberadaan Panwas yang masih simpang siur serta
persoalan dana dari APBD yang belum jelas maupun berbagai faktor lainnya,” ujar
ketua Yayasan Rahmat Indonesia DR.H.Rahmat Shah kepada pers di Medan, Kamis
(18/2/2010).
Dikatakan, guna mencegah kecurangan baik dalam proses maupun dalam pelaksanaan
Pilkada, Yayasan Rahmat mengajak seluruh elemen masyarakat Sumatera Utara untuk
bersama-sama bergerak dalam mengawasi proses dan jalannya Pilkada di Sumatera
Utara. Sebagai apresiasi atas gerakan tersebut, bagi masyarakat yang menemukan
kecurangan dan melaporkannya kepada pihak berwajib kemudian diproses hingga
putusan pengadilan, maka Yayasan Rahmat akan memberikan hadiah berupa uang
tunai puluhan juta rupiah.
”Hal ini sebagaimana yang telah kami lakukan sebelumnya dalam setiap pelaksanaan
Pemilu, dengan tujuan agar kita lebih peduli dan calon-alon pemimpin kita lebih taat
hukum dan menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi,” ungkapnya.
”Kita ingin agar kepala daerah yang terplih nantinya adalah Bupati/Walikota yang
bermartabat, memiliki legitimasi yang kuat, tidak curang untuk mendapatkan
kedudukan, sehingga nantinya ketika menjabat dapat melaksanakan amanah, tugas
dan tanggungjawabnya dengan baik dan benar. Dengan demikian Bupati/Walikota
benar-benar dapat mengatasi berbagai persoalan dan kebutuhan masyarakat dengan
skala prioritas,” pungkasnya.(ril)
"Seharusnya PNS kan netral, karenanya untuk menguji netralitas tersebut tidak cukup
dengan himbauan dan saran. Sebab, tidak ada jaminan dan sanksinya. Kalau aparatur
negara ini terlibat apalagi aktif, tentu akan menyebabkan pelaksanaan pilkadanya
nanti tidak fair," kata Anggota Komisi A DPRD Medan Surianda Lubis, kepada
wartawan, di Gedung DPRD Medan, Senin (1/3).
Menurutnya, keraguan terhadap netralitas aparatur negara tersebut juga sudah menjadi
pembicaraan warga dan sudah sampai informasi itu kepada dirinya. Indikasinya,
banyaknya baliho, spanduk dan bentuk pengiklanan kandidat di tempat-tempat yang
sebenarnya merupakan aset pemerintah dalam hal ini Pemerintah Kota (Pemko)
Medan.
"Kalau aparatur negara semisal lurah ataupun camat benar-benar netral tentu tidak
akan ada iklan kandidat yang dipasang di aset pemerintah, khususnya yang berada di
wilayah masing-masing aparatur tersebut," ungkapnya.
Dengan alasan tersebut, Surianda yang berasal dari Fraksi PKS ini berharap ada
kemauan dan instruksi yang tegas dari kepala daerah untuk memerintahkan agar
setiap PNS, khususnya yang berada pada jabatan yang bisa membuat kebijakan untuk
membuat pernyataan sikap netral dalam pelaksanaan pilkada Medan.
"Harusnya demikian, sehingga pertarungan yang terjadi benar-benar fair, tidak ada
yang merasa diuntungkan dan dirugikan, akibat persaingan yang tidak berimbang,"
tambahnya.
Medan, 20/4 (Antara/FINROLL News) - Pengamat sosial dan politik Wara Sinuhaji
mengimbau pasangan calon wali kota/wakil wali kota Medan untuk tidak memaksa
aparatur pemerintahan di daerah itu berpihak dalam pemilu kepala daerah (pilkada)
yang akan berlangsung 12 Mei 2010.
Ia menilai suhu politik di Kota Medan mulai memanas, menyusul munculnya dugaan
salah satu pasangan calon wali kota/wakil wali kota Medan melakukan "pressure" atau
tekanan politik terhadap aparatur pemerintahan untuk memenangkan pasangan itu.
"Ini tidak lagi bersifat indikasi atau kecenderungan. Tapi memang sudah terlihat ada
upaya salah satu pasangan calon menekan aparatur pemerintahan seperti camat, lurah
dan khususnya kepala lingkungan untuk memenangkan pasangan itu Pilkada Kota
Medan," kata Wara Sinuhaji.
Menurut dia, pemaksaan kehendak salah satu pasangan calon telah membuat para
camat, lurah dan kepala lingkungan terjebak dalam kondisi yang membingungkan dan
sebenarnya tidak mereka sukai karena berkaitan dengan hak pilih mereka.
"Kondisi ini sebenarnya cukup rawan, bahkan bisa saja memunculkan gejolak sosial
dan berpotensi menyebabkan terjadinya penundaan pilkada. Coba bayangkan jika
sembilan pasangan calon lain merasa keberatan dan tidak menerima keberpihakan
aparatur pemerintahan meski melalui penekanan-penekanan. Saya yakin banyak
aparatur pemerintahan yang terpaksa melakukan semua itu," ujarnya.
Pada kesempatan itu, Wara Sinuhaji juga meminta aparatur pemerintahan bersikap arif
dan lebih mengedepankan netralitas dalam pilkada. Dengan demikian, pilkada yang
jujur dan bersih dapat tercipta dan menghasilkan calon pemimpin yang benar-benar
pilihan rakyat sesuai hati nurani.
Hal yang sama juga dikatakan Ketua Alumni Fakultas Sastra USU, Boyke Turangan.
Menurut dia, sudah bukan saatnya lagi melakukan penekanan-penekanan untuk meraih
kemenangan dalam pesta demokrasi.
"Alangkah naifnya jika camat, lurah dan kepala lingkungan mau begitu saja ditekan
untuk memenangkan salah satu pasangan calon. Memang ada sebagian camat, lurah
dan kepala lingkungan dengan terang-terangan menolak instruksi untuk memenangkan
salah satu pasangan calon," katanya.
Boyke mengaku mengetahui secara persis ada belasan kepala lingkungan di salah satu
kelurahan mengadu ke DPRD Kota Medan, karena gaji mereka dipotong 50 persen
sebagai bentuk partisipasi yang sifatnya memaksa untuk memenangkan salah satu
pasangan calon.
"Ini kan salah satu bentuk perlawanan karena mereka tidak mau diintervensi salah satu
pasangan calon. Sikap-sikap seperti inilah yang patut kita apresiasi. Sebab, soal pilihan
dalam pilkada sudah menyangkut hati nurani," katanya.
Boyke juga meminta Gubernur Sumatra Utara Syamsul Arifin selaku Penjabat Wali
Kota Medan memerintahkan kepada seluruh aparatur pemerintahan di daerah itu agar
netral dalam pilkada
Sejumlah TPS yang berada di kawasan Jalan Arif Rahman Hakim, Sutrisno, Asia,
Medan Area Selatan, Kompleks Asia Mega Mas, gang Langgar, masih terlihat sepi.
Malah, di sebuah TPS di Kompleks Asia Mega Mas, yang didominasi warga turunan
Tionghoa, petugas TPS terlihat hanya duduk-duduk santai.
Berbeda dengan di TPS 1, Kelurahan Sei Rengas II, Kecamatan Medan Area di
kawasan Jalan Asia Medan. Hingga pukul 09.15 WIB tadi, sedikitnya 50 warga yang
terdaftar sudah memberikan hak pilihnya. “Sudah ada 50an orang. Di sini partisipasi
warga memang ‘menetes,’ satu-satu datangnya,” kata anggota polisi yang bertugas
pengamanan di TPS itu.
Di TPS ini, sebanyak 599 orang terdaftar sebagai daftar pemilih tetap (DPT). Pada
pilkada putaran pertama lalu, sedikitnya 250an orang datang memberikan hak
suaranya.
Situasi Kota Medan dalam Pilkada putaran kedua ini relatif aman. Sejumlah jalanan
umum terlihat sepi. Begitu juga dengan aktifitas bisnis. Umumnya toko-toko di
kawasan Jalan Asia, Thamrin, Sutrisno, dan Arif Rahman Hakim terlihat tutup.
Pilkada putaran kedua ini diikuti dua calon Walikota dan Wakil Walikota, masing-
masing pasangan no urut 10, Sofyan Tan-Nelly Armayanti dan pasangan nomor 6,
Rahudman-Eldin.
Source: Pilkada Medan Putaran Kedua, Sejumlah TPS Masih Sepi | Berita Cerita Kota
Medan http://www.medantalk.com/pilkada-medan-putaran-kedua-sejumlah-tps-
masih-sepi/#ixzz0rNzxurKM
Copyright: www.MedanTalk.com
Gamawan mengatakan hal itu saat dimintai tanggapan atas munculnya kisruh pilkada
di beberapa daerah, yang diwarnai tindakan-tindakan anarkis. Seperti diketahui,
kisruh pemilukada terjadi di beberapa daerah, antara lain di Kota Sibolga, Kabupaten
Humbang Hasundutan, Toli-toli, dan terakhir di Kabupaten Anambas, Kepri.
Namun, politisi Partai Keadilan Sejahtera itu pesimis KPU Medan mau menerima
saran perubahan jadwal itu. Pengalaman sebelumnya KPU Medan tidak mau
berkoordinasi dengan DPRD Medan tentang pelaksanaan Pilkada Medan 2010.
Misalnya saat DPRD meminta verifiksi dilakukan dengan benar dan tidak hanya
mengakomodir keberatan dari pencatutan dukungan. Akan tetapi dari seluruh
dukungan yang ada dalam data dukungan calon independen. "Apakah dukungan itu
riil atau tidak, itu pernah kami pertanyakan," katanya.
Demikian halnya saat pasangan Rudolf M Pardede dan Afifudin yang menggugat.
"Kami menyarankan KPU Medan mempertimbangkan tahapan. Sebab dampak dari
proses hukum bisa merugikan secara materil."
Anggota KPU Medan Divisi Hukum dan Humas, Pandapotan Tamba menyebutkan
jadwal dan tahapan Pilkada Medan ditetapkan dalam Putusan KPU Medan Nomor 35
Tahun 2010 dan pemilihan putaran kedua pada 16 juni 20210.
Namun, mengingat adanya kegiatan nasional yang dilakukan secara bersamaan, KPU
Medan akan usulkan ke KPU Sumut dan meminta supervisi apakah bisa perubahan
waktu pemilihan. Kemungkinan, kata Tamba, mengingat waktu SNMPTN pada 16-17
ujian tertulis dan 18-19 ujian keterampilan, jadwal akan dimajukan.
MEDAN - Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kota Medan telah menetapkan
jadwal pemilihan kepala daerh (pilkada) Medan putaran kedua pada tanggal 19 Juni
mendatang. Sebelumnya, KPUD Medan telah menyatakan tanggal 16 Juni sebagai
hari pelaksanaan pilkada, namun kemudian diundur menjadi 15 Juni. Terakhir, hari H
ditetapkan kembali pada 19 Juni.
"Lihat saja dari tanggal 16 yang diusulkan dan menjadi tanggal 15 dan akhirnya jatuh
pada tanggal 19 Juni, KPUD tidak konsisten dan ketidaktetapan jadwal tersebut
membuat masyarakat juga akan kesal. Tindakan KPUD yang seenaknya menentukan
jadwal tanpa memberikan sosialisasi kepada masyarakat, patut dicurigai sebenarnya
faktor apa yang menyebabkan hal tersebut," tutur Taufan kepada Waspada Online
malam ini.
"KPUD seharusnya lebih teliti lagi dalam menentukan jadwal yakni hari dan tanggal
pemungutan suara. Karena tanggal 19 Juni jatuh pada hari Sabtu, dimana banyak
masyarakat yang pergi berlibur. KPUD harus mempelajari hal ini dan dapat
menentukan hari yang cocok dalam melakukan pilkada putaran kedua nanti,"
terangnya.
Lanjutnya, guna peninjauan tersebut adalah untuk mencegah angka golongan putih
(golput) yang semakin hari semakin meroket. “KPUD juga jangan seenaknya saja
menentukan hari, karena banyak masyarakat yang akan tidak ikut serta, KPUD harus
mempelajari hal itu," tandasnya.
Seperti yang diketahui jadwal pemilihan kepala daerah putaran, pertama kali diajukan
yakni 16 lalu 15 dan yang terakhir 19 Juni 2010. Dan pada putaran pertama 12 Juni
lalu, jumlah pemilih yang ikut berpartisipasi hanya 36 persen dari total DPT yang
berkisar 1.961.155 pemilih.
Editor: NORA DELIYANA LUMBANGAOL
(dat04/wol-mdn)
Faktanya, banyak kantor lurah yang masih memajang iklan layanan masyarakat
dengan foto Rahudman. Beberapa tempat itu di antaranya, kantor Kelurahan Petisah
Hulu Medan Baru, Kelurahan Jati dan Aur Kecamatan Medan Maimun, spanduk Hari
Anti Korupsi masih terpasang dengan wajah Rahudman sebagai Pj Walikota Medan.
Tidak hanya itu, baliho Rahudman bersama camat menyampaikan Selamat Idul Fitri
muncul kembali. Hal itu terlihat di persimpangan Jalan Ringrod-Setia Budi. Foto
Rahudman bersama mantan Camat Medan Selayang M Reza didirikan kembali.
Pengamat sosial politik dan kebijakan publik Taufan Damanik mengatakan birokrasi
masih digunakan sebagai mesin pemenangan. Padahal birokrasi tidak bisa memihak
pada pasangan manapun dalam pemilihan umum.
"Itu buktinya birokrasi terlibat dalam dukung-mendukung," jelas Taufan, Kamis (11/3)
di Medan.
Terlebih status Rahudman yang saat ini sebagai bakal calon dan sudah mendaftar ke
Komisi Pemilihan Umum(KPU) Medan. Keberadaan itu tentunya menyalahi aturan
bahwa media sosialisasi, alat peraga tidak bisa menggunakan fasilitas pemerintah.
"Kantor lurah, baju dinas, jabatan adalah fasilitas negara. Itu tidak bisa dijadikan
media kampanye," sebut Taufan.
Berbeda jika Rahudman mensosialisasikan itu secara pribadi. maka hal itu akan
tampak sama bagi seluruh pasangan bakal calon. "Selain melanggar, tentunya ini
menguntungkan secara sepihak, karena diistimewakan," sebutnya.
Dosen FISIP USU menegaskan bahwa pemerintah tidak bisa terlibat dalam pemilihan
kepala daerah secara langsung. Akan tetapi pemerintah sebagai penyelenggara wajib
memfasilitasi berlangsungnya pilkada yang adil.
"Pemko Medan, KPU juga Panwas tanggap akan hal ini. Pemko memberikan
pembelajaran politik kepada masyarakat agar pilkada berlangsung dengan adil dan
tidak ada kecurangan," tandasnya.
Dia juga membantah dengan tegas, sebagai Pejabat Walikota Medan tidak ada
menginstruksikan para camat, lurah dan kepling agar memihak dan memberikan
dukungan kepada salah satu pasangan calon walikota Medan, Rahudman Harahap-
Dzulmi Eldin.
“Itu penyalahgunaan namaku, kalau ada oknum-oknum pejabat yang ngaku dapat
perintah dari aku akan ditindak tegas,” jelasnya ketika diminta klarifikasi mengenai
kejadian dan indikasi di masyarakat.
Bahkan untuk meyakinkan Taufiq Kiemas dan Panda Nababan, Syamsul Arifin
mengaku sedang menjalankan puasa Rajab dan bersumpah dihadapan Taufik Kiemas
bahwa dia tidak ada menginstruksikan aparat untuk memihak Rahudman Harahap
yang nantinya akan mengalahkan Sofyan Tan.
Ketua MPR RI, Taufik Kiemas mengatakan, Pilkada Kota Medan harus berjalan aman
dan tertib dan menghasilkan pemimpin yang terbaik. Semua pihak harus berlaku jujur
dan adil dengan semangat kebhinekaan. (alvin)
ROMI IRWANSYAH
Koresponden Politik
WASPADA ONLINE
MEDAN – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Medan menyatakan siap
memback up jajaran Pegawai Negeri Sipil (PNS) Kota Medan yang merasa ditekan
oleh pihak tertentu, karena tidak mendukung salah satu pasangan calon di ajang
pemilihan kepla daerah (pilkada) kota Medan, 12 Mei nanti.
“Kami harap jika ada PNS yang merasa ditekan, silakan melaporkannya pada kami
untuk diproses secara aturan yang berlaku,” kata ketua Panitia Khusus Pilkada DPRD
Kota Medan, Abdul Rani, kepada Waspada Online, malam ini.
Dia mengatakan, pada dasarnya PNS harus bersikap netral dan tidak terlibat dalam
ranah politik seperti pilkada. Karenanya, jika ada pihak yang meminta PNS untuk
mendukung calon tentu tindakan yang salah, pihaknya siap membela dan menerima
laporan dari yang bersangkutan.
Pernyataan itu dilontarkannya menyusul adanya indikasi aparatur ditekan oleh pihak
tertentu yang memiliki kekuatan di Pemerintahan Kota (Pemko) Medan untuk
mengarahkan aparatur pada salah satu pasangan calon.
“Karena itu, kami akan mengerahkan kekuatan untuk mengawasi pilkada berlangsung
demokratis. Terutama pada keterlibatan PNS yang makin kentara mendukung salah
satu pasangan calon,” ujarnya.
Rani mengingatkan, jajaran PNS seperti camat, lurah dan lainnya untuk tidak terlibat
langsung maupun tidak langsung dalam pilkada, sebab hal itu bisa menjerumuskan
PNS pada pelanggaran hukum berat. “Dalam peraturan dan undang-undang, PNS
yang terlibat bisa dipidana,” tegasnya.
Hal senada dikatakan anggota Fraksi Partai Patriot Pembangungan ( FPPP) DPRD
Kota Medan, Bangkit Sitepu. Menurutnya, kalau pihaknya mendapatkan laporan dari
beberapa camat bahwa mereka ditekan dengan isu pergantian (mutasi-red) dari
jabatan. Hal itu dikarenakan para camat tidak mendukung salah satu pasangan calon.
“Hal ini merupakan pengebirian hak-hak dan kewajiban PNS sebagai aparatur pelayan
masyarakat. Kami khawatir aksi penekanan pada PNS ini mengganggu pelayanan
mereka pada warga,“ ujarnya.
Indikasi itu bisa jadi kenyataan jika PNS itu terus ditekan untuk hal yang berkaitan
langsung dengan tugas pokok dan fungsinya. “Karena itu, kamipun meminta Pemko
Medan untuk memberikan rasa nyaman pada jajarannya dalam menjalankan tugas,”
pintanya.
Editor: NORA DELIYANA LUMBANGAOL
Adapun perincian data tersebut dari Panwaslukada Kota Medan terdapat dalam tabel.
Menurut Ketua Panwaslukada Kota Medan M Aswin melalui Humas Fakhruddin
berdasarkan tabulasi Media Centre Panwaslu Medan sebanyak 764.173 suara, tingkat
partisipasi pemilih 38,97 persen atau hanya meningkat 3,28 persen dari putaran I,
sedangkan tingkat golput di putaran II ini mencapai 61,03 persen.
Adapun anggota KPU Kota Medan Divisi Hukum dan Humas Pandapotan Tamba
kepada Analisa ketika dihubungi Sabtu (19/6) sore, mengatakan kedua belah pihak
baik pasangan Rahudman- Eldin dan Sofyan Tan-Nelly serta warga masyarakat Kota
Medan harus tetap bersabar menunggu hingga KPU Medan mengeluarkan letetapan
terkait pemenang Pilkada Kota Medan putaran II yang akan ditetapkan Senin (15/6)
mendatang.
Sementara itu data diperoleh dari Tim Bravo Media Centre Rahudman - Eldin, yang
dipimpin Destanul Aulia SKM MBA MEc didampingi Aulia Andri MSi menyatakan
hingga pukul 21.00 WIB data sementara Rahudman - Eldin unggul di 17 kecamatan
dengan perolehan suara 66,21 persen dan Sofyan Tan - Nelly 33, 79 persen.
Keunggulan tersebut ada di Kecamatan Medan Johor, Medan Denai, Medan Maimun,
Medan Helvetia, Medan Tembung, Medan Belawan, Medan Deli, Sunggal,
Perjuangan, Labuhan, Medan Area, Medan Timur, Medan Kota, Medan Amplas,
Medan Barat dan Medan Selayang.
Meski tim pemenangan Sofyan Tan-Nelly tidak menjelaskan, tapi hasil tersebut
ditunjukkan melalui infokus dan dapat dilihat setiap pengunjung. Hingga pukul 18.00
WIB perolehan suara, Rahudman-Eldin, 167.056. Sofyan Tan-Nelly, 79.240. Tidak
sah mencapai, 27.578. Sedangkan DPT 427.562. Persentase suara masuk 30,07 persen
dari 1172 TPS.
Medan Utara
Kawasan Medan Utara menjadi lumbung suara pasangan calon Walikota Medan
Rahudman-Eldin.Di empat kecamatan kawasan ini pasangan nomor urut 6 itu menang
telak dari Sofyan Tan- Nelly pada pilkada putaran ke-II, Sabtu, (19/6) kemarin.
Data yang dihimpun dari 4 Panwaslu Kada Kota Medan, Kecamatan Medan Labuhan,
Medan Marelan, Medan Deli dan Medan Marelan dan Belawan menunjukkan kantong
kemenangan pasangan Raudman Harahap- Dzulmi Eldin berada di daerah pemilih
yang didominasi kaum muslim.
Sementara di Kecamatan Medan Deli, untuk tiga kelurahan dari enam kelurahan yang
ada, Rahudman memperoleh 7.640 suara, Sofyan Tan 2.238 suara. Rinciannya di
Kelurahan Titi Papan, 2035 untuk Rahudman dan 1.355 untuk Sofyan. Di Kelurahan
Kota Bangun dan di Kelurahan Mabar Rahudman 6.432 serta 2.139 suara.
Menurut Ketua Panwaslu Medan Labuhan Rustam Effendi SH, diperkirakan jumlah
pemilih yang menggunakan hak pilih di Medan Utara mengalami peningkatan dari
Pilkada putara I dengan perkirakan mencapai 50 sampai 60 persen dari jumlah DPT.
“Artinya jumlah golput semakin kecil,” tambahnya. Secara terpisah, Indah Maulidani
Ketua Perwiritan Lingkungan II Kelurahan Sei
Mati Kecamatan Medan Labuhan berharap pasangan Rahudman- Eldin yang telah
diperjuangkannya bisa menjaga amanah yang telah diberikan dan bisa memberikan
yang terbaik untuk Medan Utara. “Masih banyak infrastruktur yang rusak di daerah
ini dan kami berharap beliau segera memperbaikinya,” kata ibu beranak tiga tersebut.
Gedung Johor
Jumlah suara yang diperoleh Rahudman-Eldin, juga tergambar dari sebagian TPS di
kelurahan tersebut, seperti TPS 01, pasangan Rahudman-Eldin nomor urut 6 meraih
189 suara dan Sofyan Tan-Nelly nomor urut 10 mendapat 44 suara. Di TPS 02,
Rahudman-Eldin (210 suara) dan Sofyan Tan-Nelly (89 suara), di TPS 07 Rahudman-
Eldin (126 suara) dan Sofyan Tan-Nelly (49 suara).
Untuk TPS 08, Rahudman-Eldin mengumpulkan 140 suara dan Sofyan Tan-Nelly 32
suara, TPS 09 Rahudman-Eldin mendulang 179 suara dan Sofyan Tan-Nelly hanya 25
suara. TPS 10 pasangan Rahudman-Eldin 80 suara dan Sofyan Tan-Nelly hanya 11
suara, di TPS 11 Rahudman-Eldin 81 suara dan Sofyan Tan-Nelly 22 suara.
Keunggulan juga diraih pasangan nomor urut 6 ini di TPS 33 yakni 113 suara
berbanding pasangan nomor urut 10 yang 39 suara.
Sei Agul
Begitu juga di TPS 28 yang hanya berjarak tidak lebih dari 200 meter dengan TPS 27,
pasangan Rahudman-Eldin berhasil meraih 141 suara atau unggul jauh dibandingkan
pasangan Sofyan Tan-Nelly yang meraih 27 suara. Sedangkan di TPS 20 Jalan Karya
Medan, pasangan Rahudman-Eldin hanya menang tipis dari Sofyan Tan-Nelly. Dari
160 pemilih, pasangan nomor urut 6 meraih 81 suara dan nomor urut 10 meraih 79
suara, atau hanya selisih 2 suara.
Tercatat hasil perolehan suara di lima TPS di Kelurahan Pulo Brayan Darat I
Kecamatan Medan Timur. TPS-18 pasangan Rahudman Harahap-Dzulmi Eldin meraih
197 suara dan pasangan Sofyan Tan-Nelly Armayanti meraih 63 suara.
TPS-19 pasangan Rahudman Harahap meraih 182 suara dan meraih Sofyan Tan-Nelly
Armayanti 86 suara. TPS-21 pasangan Rahudman Harahap-Dzulmi Eldin meraih 168
suara dan pasangan Sofyan Tan-Nelly Armayanti meraih 78 suara. Suara tidak sah
satu. Serta di TPS-22 pasangan Rahudman Harahap-Dzulmi Eldin meraih 188 suara
dan pasangan Sofyan Tan-Nelly Armayanti meraih 61 suara. Suara tidak sah dua.
Pusat kota
Sementara di pusat kota seperti Kecamatan Medan Baru sebaliknya hasil perolehan
suara di beberapa TPS pasangan calon Walikota/Wakil Walikota Medan Sofyan Tan-
Nelly Armayanti menang atas pasangan Rahudman Harahap-Dzulmi Eldin.
Kesawan
Pasangan Sofyan Tan dan Rahudman di TPS 3 Jalan Hindu hanya selisih 15 suara
yakni Sofyan Tan mendapat 85 sara sedangkan Rahudman 70 suara. dua suara
dinyatakan batal. Sementara daftar pemilih tetap 385 orang. Begitu juga di TPS 2
Jalan Masjid perolehan suara kedua calon berbeda tipis. Rahudman memperoleh 104
suara sementara Sofyan Tan mendapat 136 suara. Adapun daftar pemilih tetap 459
orang.
Di TPS 4 Jalan Masjid pasangan Sofyan Tan juga masih unggul dari pasangan Sofyan
Tan. Dari jumlah daftar pemilih tetap sebanyak 461 orang, jumlah pemilih yang hadir
menggunakan hak pilihnya hanya 235 orang dengan rincian pasangan Sofyan Tan
mendapat 141 suara dan pasangan Rahudman memperoleh 91 suara, sementara
sebanyak 3 suara dinyatakan batal.
Pandau Hulu
Pasangan Sofyan Tan-Nelly Armayanti juga menang di Kelurahan Pandau Hulu II,
Kecamatan Medan Area, pada Pemilukada Walikota dan Wakil Walikota Medan
Tahun 2010 putaran kedua, Sabtu (19/6).
Hasil perolehan suara sementara, pasangan No.10 ini unggul di 14 tempat pemungutan
suara (TPS) yang ada di kelurahan tersebut. Kemenangan Sofyan Tan-Nelly memang
sudah diprediksi sebelumnya, karena sekitar 90 persen penduduk Kelurahan Pandau
Hulu II adalah etnis Tionghoa.
Yakni, TPS 1 sebanyak 189 suara, TPS 2 (215 suara), TPS 3 (217 suara), TPS 4 (226
suara), TPS 5 (236 suara), TPS 6 (299 suara), TPS 7 (202 suara), TPS 8 (216 suara),
TPS 9 (200 suara), TPS 10 (186 suara), TPS 11 (223 suara), TPS 12 (198 suara), TPS
13 (192 suara), TPS 14 (225 suara).
Pantauan Analisa, Sabtu (19/6) sore, seluruh kotak suara sudah diserahkan ke Kantor
Camat Medan Area. Ketua PPK Medan Area, Hendra Wiguna yang ditanya Analisa di
ruang kerjanya mengatakan, pihaknya akan menghitung ulang surat suara yang masuk
dari seluruh TPS yang ada (196 TPS) di 12 kelurahan dalam Kecamatan Medan Area,
besok pukul 10.00 WIB (hari ini Minggu-red). Hal senada juga dikatakan, Ketua PPK
Medan Denai, Mawardi Lubis. Ditambahkan, Kecamatan Medan Denai membawahi 6
kelurahan dengan jumlah TPS sebanyak 281.
Amplas
Pasangan calon Walikota/Wakil Walikota Medan 2010-2015, Sofyan Tan-Nelly
Armayanti meraih suara dominan di pemukiman etnis Batak, di Medan Amplas.
Bahkan di TPS 2 dan TPS 3 Bangun Mulia pasangan nomor urut 10 ini menang
mutlak.
Di TPS 2 itu, dari 191 suara sah, Sofyan Tan-Nelly Armayanti mampu mengumpulkan
142 suara. Hal sama di TPS 3, mereka lebih unggul 66 suara dari pasangan Rahudman
Harahap-Dzulmi Eldin yang hanya mengumpulkan 72 suara.
Perolehan suara terbesar juga didulang pasangan ini di sejumlah TPS kawasan Gang
Dame, Kelurahan Timbang Deli. Di TPS 33 Gang Dame itu, Sofyan Tan-Nelly
Armayanti menang tipis 2 suara dari rivalnya dengan mengumpulkan 50 suara.
Sementara Rahudman-Eldin 48 suara.
Seorang anggota KPPS di TPS 33 itu kepada Analisa menyebutkan, perolehan suara di
seluruh TPS Gang Dame, Timbang Deli itu didominasi oleh pasangan Sofyan Tan-
Nelly Armayanti. Raihan besar juga di TPS 31 kelurahan sama, yakni 88 suara dan
hanya 59 suara untuk Rahudman-Eldin. Raihan suara Sofyan Tan-Nelly Armayanti
justru tertinggal jauh di TPS 15 Jalan Balai Desa, Timbang Deli, yang hanya meraih
21 suara. Sedangkan Rahudman-Eldin meraih 135 suara.
Rahudman-Eldin Menang
Dari 10 TPS di Kelurahan Bangun Mulia, Timbang Deli, dan Harjo Sari I, pasangan
Rahudman-Eldin masih menang dalam pengumpulan suara sementara. Di 10 TPS itu,
pasangan nomor urut 6 ini mampu meraih 926 suara. Sebaliknya, Sofyan Tan-Nelly
Armayanti hanya 601 suara.(tim)
PPP Tolak Pilkada Langsung
06:33 | Monday, 1 February 2010
Ketua Umum DPP PPP Drs Suryadharma Ali kepada sejumlah wartawan
mengatakan, keputusan tersebut mengacu pada banyaknya kejanggalan dan
kelemahan pilkada langsung. “Bangsa ini telah melaksanakan dua sistem pemilihan
umum, melalui DPR/DPRD serta pemilihan secara langsung. Dari kedua sistem
tersebut, PPP menilai, pemilihan kepala daerah yang dilakukan oleh DPRD lebih
banyak manfaatnya ketimbang mudaratnya,” ujarnya.
Rendahnya animo masyarakat pada putaran perdana pemilihan umum kepala daerah
di Kota Medan, Sumatra Utara, memancing petugas menempuh berbagai cara demi
menarik partisipasi warga. Sebuah tempat pemungutan suara di Jalan Sakti Lubis,
Gang Amal, Medan, Sabtu (19/6) dihiasi atribut Piala Dunia 2010. Upaya itu ternyata
berhasil.
Demam sepak bola menginspirasi petugas di TPS V, Jalan Sakti Lubis, Medan. Kala
bertugas, mereka tampil mengenakan pakaian tim Prancis. Di dalam TPS pun
dipasang gawang dan patung kiper kenamaan Piala Dunia Afrika Selatan.
Usaha petugas berbuah manis. Pada putaran pertama, Mei lalu, hanya 108 dari 504
pemilih menggunakan hak pilihnya. Kini di putaran kedua, jumlah pemilih menjadi
221 orang atau naik 20 persen.(M.Harizal/*****)
Sumber : Metrotvnews.com,
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Medan meminta Pemerintah Kota Medan (Pemko)
menindak dua lurah yang berupa mengganti Ketua dan Anggota Kelompok
Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Tindakan ini dapat melahirkan tudingan
miring kepada penyelenggara.
Anggota KPUD Medan Divisi Hukum dan Humas, Pandapotan Tamba mengatakan
tindakan Lurah Perintis dan Lurah Gang Buntu Kecamatan Medan Timur yang tidak
memiliki kewenangan berupaya mengganti KPPS merupakan bentuk intervensi
merupakan masalah serius dan harus ditangani dengan serius pula. Pihaknya akan
menyurat Pemko Medan untuk mengambil langkah tegas.
“Kami minta kedua lurah itu ditindak, karena tindakan yang telah mengintervensi
penyelenggara Pilkada,” kata Pandapotan di Kantor KPU Medan Jalan Kejaksaan,
Medan, Jumat (18/6).
Pandapotan menegaskan, pada putaran kedua tidak ada penggantian KPPS selain yang
bersaksi untuk pemohon di sidang Mahkamah Konstitusi (MK) terkait gugatan yang
disampaikan pasangan Arif Nasution - Supratikno. KPPS yang diganti itu hanya
KPPS TPS 7 Sidorejo III Medan Amplas Candra Sirait, TPS 38 Sunggal Medan
Sunggal Mariani, TPS 51 Tanjung Mulia Medan Deli Badiah Pangaribuan, TPS 51
Mangga Medan Tuntunggan Teknik Ginting, dan TPS 53 Besar Medan Labuhan
Stefani Tendi. “Hanya KPPS ini yang ada di ganti. Sedangkan KPPS di TPS lainnya,
tidak ada pergantian. Kami tegaskan juga, bahwa yang berhak mengganti KPPS ada
PPS, bukan lurah.”
“Kalau nanti ada laporan dan terbukti, maka ada aturan hukum yang dapat diterapkan
untuk menindak pelakunya. Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan
(Baperjakat) yang memiliki kewenangan. Tapi, jangan berandai-andai,” katanya saat
mengunjugi KPU Medan untuk melihat kesiapan KPU menghadapi pemungutan
suara.
Pagi di hari yang sama, ketua KPPS di TPS 2 Lingkungan I Kelurahan Gang Buntu
Medan Timur, Hartono dan dua anggotanya mendatangi kantor Panitia Pengawas
(Panwas) Pilkada Medan, melaporkan tentang pemberhentian 4 anggota KPPS yang
tidak prosedural.
“Kita dipaksa untuk menandatangani surat pengunduran diri. Kita tidak mau,” kata
Hartono.
Menurut pria berdarah Tionghoa itu, pada pemilihan putaran pertama, pasangan
Sofyan Tan memperoleh 170 suara. Sedangkan pasangan Rahudman Harahap sekitar
20 suara dengan jumlah partisipasi pemilih sekitar 200-an dari 590 yang masuk dalam
DPT.
Ketua Tim Pemenangan Sofyan Tan meminta Panwas menindak tegas atas
pelanggaran itu. “Kami minta Panwas betul-betul bekerja menindak, menelusuri,
kenapa lurah campurtangan dalam urusan penyelenggara,” katanya.
Suhu politik di Medan, terutama di kawasan wilayah utara Kota Medan kian panas.
Terbukti sejumlah baliho Sofyan mulai dirusak.
Pantauan Global di sejumlah kecamatan di wilayah utara Kota Medan, hampir seluruh
alat peraga pasangan Sofyan Tan- Nelly Armayanti yang terpasang di kecamatan
Medan Belawan, Medan Labuhan, Medan Marelan dan Medan Deli mengalami
kerusakan. Ada yang dirobek gambarnya dan tidak sedikit pula kayu penyanggah
untuk berdirinya baliho pasangan nomor urut 10 tersebut patah.
Beberapa lokasi alat peraga yang dirusak itu berada di Lingkungan II Kelurahan
Martubung Kecamatan Medan Labuhan. Di tempat ini baliho besar Sofyan Tan- Nelly
Armayanti disiram cat warna hitam hingga mengenai wajah. Di Simpang Kampung
Salam, Belawan, dan depan Depo Pertamina Pekan Labuhan serta beberapa kawasan
lain Kelurahan Tanah Enam Ratus, Medan Marelan dan Kecamatan Medan Deli,
baliho besar dan kecil dirusak, ditumbangkan dan disobek.
Humas Tim Pemenangan Pasangan Sofyan Tan- Nelly Armayanti, Rion Aritonang,
ketika dikonfirmasikan Global, Selasa (15/6) menyesalkan adanya perusakan tersebut.
Dia berharap semua pihak yang terkait dalam Pilkada mampu menahan diri agar
kedamaian Kota Medan tetap kondusif.
“Bukankah kedamaian itu sangat indah dan terlalu mahal memperbaikinya?” ujar
aktivis PDI-Perjuangan Kota Medan tersebut.
“Kami tidak marah, hanya saja kami merasa sedih karena saat ini masih ada orang
yang berpikiran kerdil di Kota Medan yang merasa khawatir daerah ini dipimpin oleh
penggagas pembauran yang memiliki kepedulian pada masyarakat tersebut,” kata
Rion.
Relawan sebelumnya mendukung pasangan bakal calon walikota dan wakil walikota
Medan Rudolf M Pardede - Afifudin Lubis menyatakan tidak memilih dalam putaran
pertama. Sedangkan pada putaran kedua 19 Juni mendatang akan memberikan
suaranya untuk pasangan Sofyan Tan - Nelly Armayanti.
Relawan Masyarakat Pelangi Kota Medan yang sebelumnya merupakan massa fanatik
Rudolf M Pardede - Afifudin Lubis memastikan memilih pasangan Sofyan Tan -
Nelly Armayanti dalam putaran kedua. Menurut mereka pasangan ini mampu untuk
melakukan perubahan di Kota Medan.
“Kami mendukung Rudolf - Afif karena ingin Medan menjadi lebih baik. Karena
tokoh kami tak berkesempatan dalam Pilkada Medan. Maka kami memberikan
dukungan untuk Sofyan-Nelly, karena pasangan inilah yang kami nilai mampu
membangun dan melakukan perubahan Kota Medan menjadi lebih baik,” ungkap
Koordinator RMPKM Wilayah Medan Tuntungan, Sabar Sembiring kepada wartawan
usai deklarasi di Medan, Selasa (15/6).
Alasannya, mereka menilai Pilkada Medan cacat hukum dan gugatan Rudolf -Afif
sedang berjalan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Namun putusan MK yang
tidak mengakomodir Rudolf - Afif sebagai pasangan calon tidak berarti
menghilangkan kesempatan mereka turut membangun Medan dengan memberikan
hak pilihnya. Bahkan mereka khawatir Medan dipimpin oleh pemimpin yang tidak
benar dan tak mampu membangun Medan.
“Pilihan ini kami rumuskan setelah tiga hari berembuk, dan jatuh pada Sofyan Tan.
Kami tak mau Medan dipimpin oleh orang yang tidak tepat,” kata koordinator
wilayah Medan Polonia, M Erik Gunawan.
Koordinator Wilayah Medan Petisah, Josua menyebutkan dukungan yang mereka
berikan pada Sofyan - Nelly tidak sebatas pernyataan sikap. Akan tetapi untuk
memenangkan pasangan ini, mereka melakukan konsolidasi ke seluruh jajarannya
untuk bersama-sama mengajak ke tempat pemungutan suara (TPS) pada 19 juni nanti.
“Dengan konsep yang dibangun Sofyan Tan kami yakin pendidikan di Medan akan
menjadi baik. itu sudah dilakukannya di sekolahnya,” ungkap pria yang juga Ketua
Yayasan Pesantren Modern Adenan itu.
Ketika ditanya apakah dukungan yang diberikan kepada Sofyan Tan - Nelly turut
didukung atau diketahui oleh Rudolf dan Afif, Charles Butarbutar yang masuk tim
pemenangan Rudolf - Afif menyebutkan, sampai saat ini tidak ada larangan dari
Rudolf maupun Afif mengenai hak pilih para pendukungnya.
Isu Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA) bergulir pada putaran kedua
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Medan. Sadar atau tidak, keduanya pasangan
calon yang bertarung terjebak menggunakan isu yang mengancam integritas
kebangsaan itu.
Pengamat politik dan kebijakan publik, Ahmat Taufan Damanik menilai kedua
pasangan kelihatannya sama-sama terjebak menggunakan isu SARA. Hal itu dapat
dilihat dalam pemasangan baliho, iklan yang menyertakan konten atau foto-foto yang
menyimbolkan agama. Tak hanya itu, penggalangan dukungan juga dilakukan dengan
melibatkan tokoh-tokoh agama.
“Padahal tidak ada relevansinya dengan apa yang dibutuhkan masyarakat menyangkut
pemimpin ke depan. Masyarakat semestinya diajak untuk melihat calon mana yang
lebih memiliki integritas, kredibilitas, kemampuan/kapasitas dan moralitas,” ungkap
Taufan dalam rilisnya yang diterima Global, Minggu (13/6).
Dosen FISIP USU itu menilai, Pilkada Medan bukanlah soal apakah pasangan calon
didukung agama atau tokoh agama tertentu. Pemanfaatan isu SARA dengan
menampilkan tokoh-tokoh agama merupakan pembodohan masyarakat. Bahkan
merupakan pendangkalan hakikat keberagamaan.
“Agama bukan untuk digunakan sebagai alat politik merebut kekuasaan atau
menyerang kelompok lainnya,” tegasnya.
Biarlah kedekatan emosional itu menjadi sesuatu yang alamiah saja, demokrasi harus
lebih mengedepankan akal sehat dan rasionalitas di dalam memilih. Caranya adalah
mengurangi sebisa mungkin isu-isu SARA di dalam politik. “Isu SARA pasti ada,
tetapi tidak perlu dikembang-kembangkan. Di sinilah etika politik berperan, di mana
setiap aktor politik tidak hanya berorientasi mencapai kemenangan politik dan
mengabsyahkan semua cara, termasuk memainkan isu SARA,” paparnya.
Untuk itu, semua pihak hendaknya sadar, kemenangan politik yang dicapai dengan
mengembangkan isu SARA pada akhirnya akan menjadi bumerang bagi pemenang itu
sendiri, juga bagi masyarakat pada umumnya.
Sebab, pergesekan dengan basis SARA akan menimbulkan merosotnya solidaritas dan
integrasi sosial. Ujungnya adalah kompetisi yang tidak sehat atau konflik. Kalau
konflik terjadi atau kalau kohesivitas sosial terganggu, yang rugi adalah pemimpin
yang menang itu sendiri, karena dia kehilangan sebagian legitimasinya, karena dia
nanti akan direpotkan oleh disintegrasi sosial.
“Para tokoh masyarakat semestinya mengendalikan isu ini. Caranya adalah dengan
tidak ikut serta di dalam debat SARA yang tidak rasional itu.”
Ketua dewan pengurus daerah Komite Nasional Pemuda Indonesia (DPD KNPI) Kota
Medan, Zulham Effendi Siregar, kepada Waspada Online, pagi ini dalam suatu
diskursus mengatakan bahwa tingginya angka golput pada Pilkada Medan 2010, me-
rupakan bentuk ekspresi masyarakat yang sangat sulit percaya terhadap hasil pilkada
itu sendiri.
MEDAN - K etua dewan pengurus daerah Komite Nasional Pemuda Indonesia (DPD
KNPI) Kota Medan, Zulham Effendi Siregar, kepada Waspada Online, pagi ini dalam
suatu diskursus mengatakan bahwa tingginya angka golput pada Pilkada Medan 2010,
merupakan bentuk ekspresi masyarakat yang sangat sulit percaya terhadap hasil
pilkada itu sendiri.
Kurangnya pro aktif masyarakat yang tidak menerima surat undangan memilih
(formulir C6), menjadi faktor yang mengindikasi bahwa KPUD Medan telah gagal
dalam upaya mensosialisasikan kegiatan pilkada kepada masyarakat, menurutnya.
Ini terjadi di Kelurahan Kwala Bekala, Kecamatan Medan Johor. Saat ini Panwas
Medan Johor sedang mempelajari dan memproses lebih lanjut.
Saksi dari pasangan Pilkada Medan 2010, Sofyan Tan-Nelly Armayanti, menemukan
kejanggalan saat penghitungan suara di dua TPS. Dicurigakan telah terjadi
kecurangan, tadi malam.
“Kita meminta agar kepala lingkungan dan ketua PPS kecamatan untuk
bertanggungjawab atas adanya temuan dua kotak surat suara yang menyala,” ungkap,
Molden Sinaga, tadi pagi, kepada Waspada Online.
Kata Molden, saksi PPK untuk pasangan nomor urut 10 ini, pertanggungjawaban
yang dimaksudnya adalah, dengan didapatinya dua TPS di kelurahan Indra Kasih
yang disinyalir ada permainan. “Kita takut ada permainan-permainan unsur
kepentingan oknum maupun calon. Sebab, dua TPS itu ditemukan saat pencoblosan
menggunakan C6 yang bukan miliknya dan didalam kotak suara tidak didapati surat
pleno,” pungkasnya.
Sebelumnya juga ditemukan kejanggalan di dua surat kotak suara di TPS 41 dan 34
dikarenakan tidak sesuai dengan prosedur. Di TPS 41 tidak menggunakan C6
miliknya serta TPS 34 tidak ditemukan surat pleno pada saat pencoblosan.
Hal itu disampaikan Muhammad Aswin, ketua Panwas Medan, kepada Waspada
Online dalam percakapan melalui telfon selular, pagi ini.
Dan saat ini sedang diselidiki agar dapat mengetahui secara jelas kejadian tersebut
dan dalam waktu dekat akan memanggil saksi untuk dimintai keterangannya, kata
Aswin menutup percakapan.
Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Kota Medan, salah satu pihak yang
prihatin. “Saya prihatin sekali dengan hasil pilkada ini. tingkat partisipasi dari
masyarakat sangat rendah dan mereka memang tidak mau menggunakan hak
pilihnya,” sesalnya.
Pilkada Medan 2010 tidak membawa perubahan yang berarti dalam kehidupan
masyarakat, salah satunya juga karena masyarakat sudah sangat apatis, meski mereka
sadar hidup di alam demokrasi.
“Sekitar 20 persen memilih golput karena tidak mengenal lebih dekat calon yang akan
dipilihnya. Survey juga menyimpulkan sekitar 10 persen masyarakat memilih golput
lantaran memang ‘masa bodo’ dengan pemilihan kepala daerah,” kata Zulham, kepada
Waspada Online, pagi ini.
Syamsir juga mengatakan, HMI bahkan sudah melakukan kampanye anti politik uang
atau money politic, anti intimidasi, kekerasan, black campaigne dan kampanye
pemilih cerdas, sejak dua bulan lalu.
Di hari H pilkada, HMI akan fokus pada aktifitas monitoring secara independen.
“HMI tidak berpihak kepada siapa pun, kami pastikan itu” kata Syamsir dalam
rilisnya kepada Waspada Online, siang ini.
Menurutnya, tujuan monitoring ini untuk menjaga kualitas pilkada dan memantau
praktik-praktik ilegal seperti “serangan fajar”, pengerahan massa secara intimidatif
dan ancaman atau iming-iming materi.
“Jika dalam proses pencoblosan nanti kami menemui adanya praktik ilegal dan
kecurangan pilkada yang dilakukan oleh peserta dan atau penyelenggara pilkada,
kami akan melakukan legal standing”, tegas Syamsir.
Selain itu dia juga menghimbau agar seluruh relawan dan kader HMI Sumut di
daerahnya masing-masing tetap menjaga independensi HMI. “Tentu dengan tetap
berpihak pada kebenaran dan sigap melihat kejanggalan-kejanggalan pilkada,” tandas
Almanar.
Begitupun, devisi hukum dan humas KPU Medan Pandapotan Tamba SH MHum,
mengatakan belum dapat menjamin pemilukada apakah akan berlangsung dua
putaran. Hanya saja, sesuai data yang ada, pasangan Rahudman dan Sofyan Tan
memiliki peringkat tertinggi dari 10 calon wali kota lainnya.
“Meskipun data yang masuk pada Panwaslukada belum 100 persen, namun kita yakin,
pemilukada akan dilangsungkan dalam dua putaran. Kemungkinan besar, karena
sesuai data yang kita miliki, pasangan Rahudman dan Sofyan sebagai pesertanya. Pun
begitu, seluruh kepastian tergantung dari hasil perhitungan KPU Medan,” ucapnya.
Kinerja KPU Medan terus menjadi sorotan. Baik itu program sosialisasi pemilukada,
terutama menyangkut minimnya jumlah pemilih.
Bukan tanpa alasan, saat verifikasi, masing-masing syarat pasangan calon independen
diwajibkan menyerahkan foto copy KTP dukungan paling sedikit 81.600-an.
Kenyataan dari hasil perolehan suara pemilukada yang baru diselenggarakan, hasilnya
cukup minim dibanding dengan jumlah KTP dukungan yang diserahkan kepada KPU
Medan.
“Ini menimbulkan tanda tanya? Apakah KTP yang diserahkan itu diketahui oleh
masyarakatnya? Atau proses verifikasi tidak dijalankan, atau akal-akalan? Kita akui,
ini bukan ranah mutlak Panwaslukada. Hanya saja, tidak salah jika kita
mempertanyakan masalah ini kepada mereka (KPU),” sindirnya. (mula/sc)
Pilkada Medan 2010 yang diselenggarakan 12 Mei kemarin, dinilai ketua Panwas
Medan, Muhammad Aswin, ada kesengajaan agar masyarakat mencontreng sehingga
suara dari surat suara itu batal.
Oleh karena itu, Panwas Medan telah menyurati KPU Medan agar melakukan
pemilihan ulang di Kecamatan Medan Polonia diTPS 8. “Paling lambat pelaksanaan
pilkada ulang harus sebelum rapat pleno di PPK Medan Polonia, katanya, tadi malam.
Potensi korupsi dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) terutama dalam bentuk
penyalahgunaan anggaran negara, manipulasi dana kampanye, dan politik uang.
Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Fahmi Badoh
menuturkan hal itu di Jakarta, Kamis (7/1/2010). ”Pilkada tahun ini sangat dekat
waktunya dengan Pemilu 2009 sehingga beberapa persoalan terkait pemilu lalu,
termasuk pola korupsinya, bisa ditiru dalam pilkada,” katanya.
Salah satu pola korupsi, menurut Fahmi, adalah menggunakan anggaran negara untuk
program populis dari calon yang memiliki akses ke kekuasaan. Hal ini terutama akan
mudah dilakukan incumbent. ”Ini terjadi karena tak ada aturan pelarangan yang tegas
terkait penggunaan uang negara untuk pilkada. Seperti yang terjadi saat pemilu lalu,
incumbent bisa membuat program populis menjelang pemilihan,” katanya.
Dari catatan ICW, menjelang pemilu lalu terjadi pembengkakan penggunaan APBN
sebesar 50 persen untuk program bantuan sosial yang bersifat populis. ”Kami
khawatir pola ini ditiru dalam pilkada,” ujarnya.
Penyalahgunaan fasilitas jabatan dan kekuasaan juga diperkirakan marak pada pilkada
tahun 2010. Hal ini juga mewarnai pelanggaran Pemilu 2009. Dari hasil pemantauan
ICW dan jaringan kerja di empat daerah, Jakarta, Semarang, Surabaya, dan
Yogyakarta, ditemukan 54 indikasi pelanggaran ketentuan terkait dengan fasilitas
jabatan.
Fenomena penggunaan fasilitas jabatan yang terjadi pada Pemilu 2009, kata Fahmi,
justru lebih banyak terjadi di daerah ketimbang di tingkat nasional. Potensi korupsi itu
diperkirakan akan terjadi lagi, terutama di daerah yang minim pengawasan dari
masyarakat dan media.
Selain itu, kata Abdullah, potensi korupsi dalam pilkada juga dimungkinkan karena
tidak ada standar anggaran pilkada. Sampai sekarang tak ada standar penggunaan
dana APBD untuk kepentingan pilkada.
Politik uang dalam pilkada, kata Abdullah, sangat mungkin terjadi mulai dari
penentuan nominasi kandidat oleh partai politik pendukung hingga pencoblosan.
”Sebagaimana Pemilu 2009, di perkotaan, pembagian uang secara langsung dilakukan
pada masa kampanye. Di pedesaan, praktik politik uang terjadi dalam bentuk
pemberian sembako, pembagian uang dalam forum pengajian, serta dalih dana
bantuan desa,” lanjutnya.
Abdullah mengatakan, korupsi pilkada akan sangat sulit diusut pula. (AIK)
ilustrasi
TERKAIT:
Pola politik uang pada saat pilkada relatif sama dengan praktik politik uang pada
Pemilu 2009 lalu.
"Kalau belajar dari Pemilu 2009 kemarin, politik uang ini akan terulang lagi," ungkap
Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW Ibrahim Fahmy Badoh kepada wartawan di
Kantor ICW, Jakarta, Kamis (7/1/2010).
Dia mengatakan, pembagian uang secara langsung pada pemilih pada masa kampanye
terjadi di lingkungan perkotaan dan pedesaan. "Di daerah perkotaan akan terjadi lebih
banyak dalam bentuk pemberian uang secara langsung," kata Ibrahim.
Sementara di pedesaan, praktik politik uang terjadi dalam bentuk pemberian sembako,
pembagian uang dalam forum pengajian serta dalih dana bantuan desa, dan akan
mengikutsertakan tokoh-tokoh yang berpengaruh.
ICW memantau lebih dari 30 kasus bantuan sosial daerah yang ternyata memang
motifnya politik. "Lebih dari 30 kasus bantuan sosial daerah yang sedang di proses di
pengadilan, dan itu semua ternyata memang motifnya politik," kata Ibrahim.
ICW berpendapat, temuan kasus-kasus politik uang pada saat pilkada akan
mengancam proses penegakan hukum. Hal ini disebabkan tidak adanya kejelasan
penanganan kasus-kasus pilkada dan mandulnya pengawasan dari aparat di daerah.
Sudah fitrah media massa lewat wartawannya untuk meliput Pilkada. Memberitakan
tahapan-tahapan Pilkada, meniup peluit peringatan jika ada indikasi pelanggaran.
Wartawan juga ikut memandu publik untuk menentukan pilihan kandidat pasangan
calon kepala daerah yang terbaik.
Karena fungsi dan perannya yang strategis itu pula, disadari atau tidak media massa
sering dimanfaatkan para pemangku kepentingan (Stakeholder) Pilkada, dengan
alasan mensukseskan Pilkada.
Jika di kalkulasi, setidaknya ada tiga jenis cara Stakeholder memanfaatkan media
massa dalam kegiatan Pilkada.
Kedua, media massa dimanfaatkan sebagai sarana propaganda dan sarana informasi
khusus. Dalam kasus ini, media massa dimanfaatkan Stakeholder untuk memberitakan
tentang calon dan membangun citra positif terhadap pasangan calon kepala daerah.
Para Stakeholder Pilkada ini, selalu menjadikan media massa sebagai kekuatan
terdepan untuk mewujudkan keinginannya.
Namun sesungguhnya kemitraan itu tidak murni seratus persen, sebab dalam berbagai
hal mereka malah tidak peduli dengan mitranya. Misalnya, dari sekian banyak
anggaran penyelenggaraan Pilkada yang diberikan negara kepada KPU dan Panwas,
anggaran untuk media massa tidak pernah ada.
Struktur anggaran KPU dan Panwas misalnya, sama sekali tidak mencantumkan
nomenklatur anggaran untuk media massa selaku mitra kerja. Bahkan, tragisnya
walau disebut sebagai mitra kerja, KPU dan Panwas juga pasangan calon kepala
daerah selaku peserta Pilkada, sangat alergi jika media massa mengkritik dan
mengoreksi pelanggaran yang mereka lakukan.
Walau mengaku peran media massa sangat penting dalam menunjang tugas-tugas
mereka, namun tetap saja mereka sering bermuka dua terhadap media massa. Kadang
kala sebagai mitra, tapi lebih sering menganggap sebagai musuh. KPU dan Panwas
maupun pasangan kepala daerah, hanya menganggap media massa sebagai mitra kerja
sepanjang keberadaannya masih menguntungkan. Untuk akses informai misalnya,
mereka tetap saja tertutup.
Kondisi inilah yang sering menimbulkan masalah dilapangan, khususnya bagi rekan-
rekan wartawan yang bertugas meliput kegiatan Pilkada. Sehingga sadar atau tidak,
khususnya dalam melakukan liputan Pilkada dikalangan wartawan sering muncul
celoteh : Orang mau berkuasa, wartawan yang sibuk. Kasihan betul.
Sikap Wartawan
Pilkada dapat membuahkan hasil yang diterima rakyat, jika benar-benar terlaksana
dengan prinsip langsung, umum, bebas, rahasia serta jujur dan adil. Wartawan harus
menyadari hal ini sejak awal, agar tidak terjebak kepentingan pihak lain dalam
meliput Pilkada.
Untuk memenuhi prinsip itu, KPU sebagai penyelenggaraan Pilkada harus dikontrol
dan dikritisi. Itu sebabnya media harus independent, agar Pilkada mendapat
pengawasan yang memadai. Jika media berpihak atau terkooptasi kepentingan
tertentu, niscaya fungsinya sebagai anjing penjaga (watch dog) sulit dijalankan.
Dengan demikian kehidupan berdemokrasi akan berjalan timpang.
Karena itu,masyarakat memberikan harapan cukup besar bagi media massa untuk
mengawasi penyelenggaraan Pilkada. Menjadi unsur pendukung serta merupakan
saksi rakyat, mengontrol pelaksanaan Pilkada dan menyiarkan/memberitakan hasil
kontrolnya, sehingga diketahui rakyat.
Mengingat posisi media massa yang begitu penting dalam mengawasi Pilkada, maka
strategi liputan juga harus menyeluruh dan dengan perencanaan yang matang. Salah
satu strategi liputan yang bisa dilakukan adalah, dengan memfokuskan liputan kepada
tiga komponen yang terlibat langsung dalam kepentingan pilkada tersebut.
Ketiga komponen Pilkada itu yakni KPU dan Panwas sebagai penyelenggara Pilkada,
pasangan calon kepala daerah sebagai peserta, dan komponen masyarakat sebagai
pemilih.
Wartawan yang setiap saat berada dilapangan untuk menjalankan fungsi dan tugas
media massa, dituntut kejeliannya mengawasi sepakterjang ketiga komponen tersebut.
Peluang untuk melakukan pelanggaran atau kriminalisasi demokrasi, sama-sama
terbuka dalam tiga komponen itu.
Pasangan calon kepala daerah juga, dimungkinkan melabrak segala aturan main demi
upaya merebut kemenangan dalam Pilkada. Berbagai intrik akan muncul dan jika
tidak dikontrol akan sangat mencederai demokrasi, apalagi kuatnya hubungan
emosional pasangan calon kepala daerah dengan tim suksesnya.
Dari tiga komponen yang terlibat langsung dalam penyelenggaraan Pilkada, institusi
KPU dan Panwas sebagai penyelenggara diyakini paling berpeluang besar untuk
melakukan pelanggaran. Dengan kewenangannnya yang penuh, KPU dimungkinkan
melakukan kriminalisasi demokrasi, seperti memanipulasi suara untuk memenangkan
pasangan calon kepala daerah yang bukan pilihan rakyat.
Kasus yang terjadi dalam Pilkada Lampung Utara, menjadi salah satu pelajaran
berharga bagi pers dalam menjalankan fungsi sosial kontrolnya. Karena, seperti
pernah diberitakan media massa cetak dan elektronik di tanah air, Polda Lampung
terpaksa menjadikan seluruh anggota KPUD Lampung Utara sebagai tersangka atas
kecurangan politik yang mereka lakukan pada Pilkada Lampung Utara.
Status tersangka tersebut disandang anggota KPU Lampung Utara, berkat kejelian
wartawan di daerah itu mengawasi dan membongkar kebobrokan kinerja anggota
KPU sebagai penyelenggara Pilkada. Dengan pemberitaan media yang gencar, Polda
Lampung melakukan penyelidikan dan terbukti KPU melakukan pelanggaran yang
telak.
Strategi Liputan
Bercermin dengan apa yang terjadi di Lampung Utara, hal serupa juga berpeluang
terjadi pada Pilkada kota Medan 12 Mei 2010 ini. Potensi ini menguat, apalagi
kondisi masyarakat kota Medan yang memiliki kekerabatan kental ditambah angggota
KPU Medan saat ini ditengarai memiliki hubungan emosional dengan para pasangan
calon Kepala daerah.
Karenanya, wartawan yang meliput kegiatan Pilkada kota Medan harus melakukan
liputan-liputan seputar tahapan Pilkada tersebut secara maksimal.
Ada banyak bentuk penyajian liputan yang bisa dilakukan wartawan dalam meliput
Pilkada. Antara lain, menerapkan jenis Straight News ( berita langsung, apa adanya,
ditulis secara singkat dan lugas). Namun agar lebih greget, biasakan menyajikan
berita liputan Pilkada dengan jenis berita Depth News ( berita mendalam,
dikembangkan dengan pendalaman hal-hal yang ada di bawah suatu permukaan) dan
bahkan Investigation News ( berita yang dikembangkan berdasarkan penelitian atau
penyelidikan dari berbagai sumber).
Kecenderungan saat ini adalah, wartawan lebih fokus pada kegiatan para pasangan
calon kepala daerah dengan berkutat pada jenis berita Straight News, tanpa
memperhatikan kepentingan publik. Akibatnya, sengaja atau tidak wartawan telah
melakukan agenda setting yang ikut menjauhkan publik dari proses politik yang sehat.
Dalam meliput Pilkada, wartawan jangan terjebak menjadi Public Relations (PR) bagi
pasangan calon kepala daerah. Karenanya, model liputan investigasi menjadi sangat
penting, agar publik tidak dibohongi.
Misalnya, jika ada pasangan calon kepala daerah yang tampil dengan slogan
"pendidikan gratis", wartawan harus melakukan fact-check yang memadai dengan
menganalisa strategi pencapaian slogan tersebut. Jika pasangan calon lainnya
mengatakan "sudah terbukti, kami pasti bisa, teruskan….peduli .dst", seharusnya
wartawan membeberkan bukti-bukti apa yang dimaksud pasangan calon kepada
daerah itu dalam liputan medianya.
Jika wartawan ingin menjalankan fungsi pendidikan politik yang sehat, belumlah
terlambat untuk mulai kritis dalam meliput Pilkada. Model peliputan yang monoton,
yakni pasangan calon melakukan apa, dimana, harus diperbaiki dengan
mengedepankan model peliputan yang memihak pada kepentingan publik.
Dari sisi kepentingan rakyat, sebisa mungkin wartawan harus jeli melihat
kemungkinan terjadinya praktek intimidasi calon atau tim suksesnya kepada rakyat
miskin. Salah satu bentuk intimidasi yang sering terjadi adalah pemaksaan, yang
dilakukan sekelompok orang terhadap beberapa orang untuk memilih calon tertentu.
Masyarakat miskin, biasanya menjadi sasaran empuk intimidasi itu. Mereka diancam
gusur jika tidak mau memilih calon tertentu. Intimidasi ini bisa juga dalam bentuk
pemberian sembako atau langsung berupa uang terhadap warga miskin sebelum
pemberian suara di TPS.
Para petualang politik yang ingin merebut kursi kekuasaan, sangat paham bahwa
kelompok miskin hampir dipastikan sangat minim menerima informasi Pilkada.
Karena kurangnya sosialisasi soal Pilkada, maka pikiran warga biasanya pendek saja,
siapa yang memberi uang maka itulah yang dia ikuti. Jika ini terjadi, dampaknya
sangat berbahaya bagi demokrasi.
Wartawan juga harus mengontrol tahapan penghitungan suara dan penetapan
pemenang Pilkada. Karena kebocoran suara justru lebih sering terjadi dalam tahapan
ini, walau tidak menapikan kebocoran suara di tingkat TPS.
Menjaga Profesionalistas
Disamping itu, media juga dapat berperan secara kritis dalam pendidikan kepentingan
umum dan dalam meningkatkan peran serta pemilih secara kelompok, seperti
kelompok marginal, petani dan nelayan yang selama ini memiliki minat memilih yang
lebih rendah. Media seharusnya mendorong golongan-golongan tersebut untuk ikut
terlibat dalam Pilkada. Media juga bersama masyarakat dan Panwas agar bisa berjalan
dengn jujur dalam peliputan kampanye melalui berita dan informasi.
Dan yang tidak kalah pentingnya media harus mengikuti kode etik pers supaya bisa
melaksanakan tugas secara maksimal. Media juga perlu memberi penyadaran kepada
pasangan calon kepala daerah maupun pendukung bahwa kalah dalam sebuah Pilkada
adalah biasa. Karena di negeri ini jarang sekali pihak yang kalah mau menerima
kekalahan dengan lapang dada.
Banyak contoh dalam Pilkada disejumlah daerah seperti di Sulawesi Selatan dan
Maluku Utara. Pihak-pihak yang kalah tidak mau menerima, sehingga memunculkan
persoalan baru seperti munculnya bentrok dan tindak anarkis yang juga melibatkan
pendukung masing-masing kontestan.
*Disampaikan pada Sosialisasi Pilkada dengan Insan Pers di Kota Medan digelar
Media Centre KPU Kota Medan di Ruang Oval Lantai II Hotel Asean Jalan H Adam
Malik Medan, Jumat 16 April 2010.
MEDAN- Calon Wali Kota Medan nomor urut 6, Rahudman Harahap dianggap
sebagai tokoh yang tepat untuk memimpin Kota Medan, lima tahun ke depan. Selain
peka terhadap pembangunan, Rahudman juga dianggap ahli tata pemerintahan.
Hal itu diungkapkan Dahlan, seorang tokoh masyarakat Medan Johor saat digelarnya
acara pembagian sembako kepada masyarakat sekitar oleh Yayasan Budi Luhur di
Kelurahan Kedai Durian Medan Johor, Jumat (30/4).
“Selama menjadi Pj Wali Kota, tak bisa dipungkiri ada perubahan yang terasa.
Padahal hanya lima bulan beliau memimpin Kota Medan. Ini yang jadi landasan
utama, kenapa warga Medan Johor terpanggil untuk kembali memberikan
kepercayaan kepada Rahudman-Eldin untuk memimpin Kota Medan lima tahun ke
depan,” bilang Dahlan.
Di samping itu, Rahudman juga dianggap sebagai pemimpin yang memang sudah
pakarnya pemerintahan.
“Di samping itu, Rahudman juga memang sudah ahlinya pemerintahan. Karena beliau
memang sudah puluhan tahun jadi pegawai tinggi,” sambungnya.
“Pendidikan merupakan hal penting dalam sebuah kemajuan kota. Begitu juga dengan
kesehatan. Hendaknya kedua ini menjadi perhatian utama, di samping upaya
peningkatan kesejahteraan warga Medan,” pungkas Dahlan.
Pada kesempatan itu, ratusan warga yang kebanyakan kaum ibu terlihat akrab dengan
Rahudman Harahap.
Datang sebagai tokoh masyarakat, Rahudman menyampaikan bahwa dirinya akan
berusaha mengakomodir seluruh keinginan masyarakat apabila nantinya terpilih.
“Yang utama adalah rakyat. Karena itu saya terpanggil untuk maju. Saya ingin
mengabdi demi kepentingan umat banyak. Maka itu, doakan dan pilih nomor urut 6
pada 12 Mei mendatang,” kata Rahudman. (ful)
Warga juga terlihat antusias berkenalan dan bertatap muka dengan mantan Pj
Walikota Medan dan Sekda Kota Medan itu. Alhasil lokasi acara yang diadakan di
sebuah lapangan, di Jalan H Agusalim, dipadati warga.
Ketua Yayasan Peduli Karakter Bangsa, Sora Tarigan dalam sambutannya
menyampaikan, Yayasan yang dipimpinnya bergerak pada pendidikan, perlindungan
anak, kesehatan dan berkonsentrasi pada penanggulangan kemiskinan.
Sora Tarigan menilai sosok Rahudman memiliki keberanian dan ketegasan dan
memiliki visi yang baik ke depan.
Dia tidak meragukan lagi sosok Rahudman, mengingat meski hanya beberapa bulan
sebagai Pj Walikota Medan sudah membuktikan kerjanya.
"Kita tidak perlu bicara, yang perlu pembuktian," tandasnya sambil menyampaikan
agar pasangan ini terus berjuang.
Rahudman Harahap dalam sambutannya menyampaikan bahwa pemerintah
selayaknya harus melihat yayasan ini. Apabila diberikan kepercayaan dan terpilih
nantinya, Rahudman berjanji, memikirkan langkah-langkah yang diperlukan untuk
mengatasi berbagai persoalan kemasyarakatan di kota Medan.
Dalam peringatan Hari Kartini itu, pasangan itu didampingi tim suksesnya Ketua
Golkar kota Medan AM Syaf Lubis, Rajamin Sirait. Acara itu juga diwarnai dengan
pembagian sembako kepada masyarakat.
(foto:dnaberita/agusleo)
Kehadiran calon Walikota Medan Drs Rahudman Harahap di acara pelantikan
HNSI Medan menuai kecaman.
Bahkan kegiatan pelantikan HNSI Medan tersebut sempat terusik ketika calon
Walikota Medan itu hendak memberikan kata sambutan bahkan beberapa pengurus
HNSI Medan justru ada yang menolak kehadirannya bahkan membentak Rahudman
saat naik diatas panggung.
Tak berselang lama, seorang pengurus panitia yang baru dilantik bernama Alfian
sempat menyuruh Rahudman turun karena dianggap tamu tak diundang menodai
kegiatan pelantikan HNSI Medan tersebut.
Rusli yang juga selaku bendahara di kepengurusan HNSI Kota Medan itu menolak
keras sikap Rahudman Harahap yang dianggap tak menghargai orang orang yang
diundang dari institusi Pemerintah maupun ormas yang sikap politiknya masih netral.
“Masalah ini juga tak terlepas dari kesalahan pihak DPD HNSI Sumut yang
membawa Rahudman dalam kegiatan acara tersebut, padahal kegiatan pelantikan
HNSI jauh hari sebelumnya telah disepakati bersikap netral dalam politik sesuai
AD/ART HNSI.
Namun yang terjadi di acara kemarin justru kehadiran salah satu calon kandidat
Walikota Medan itu terkesan suara nelayan sudah digadaikan pada salah satu
pasangan calon Walikota Medan.
“Ini sangat memalukan dan jangan terulang lagi bahkan kita berharap jangan gara-
gara Rahudman kepengurusan HNSI Medan terpecah sebab sikap HNSI hingga kini
masih netral dalam berpolitik hanya semata-mata organisasi masyarakat nelayan
nelayan yang memperjuangkan kepentingan nelayan,”kata Rusli mengakhiri.
Ke-empat laporan aksi bagi-bagi 'Obat dan Sembako Politik', dipaparkan Humas
Panwaslukada Fakhruddin, masing-masing, pembagian obat-obatan dikawasan Jalan
Abdul Hakim/samping Gang Susuk Lima dan pembagian beras 5 Kg serta minyak
makan 2 liter di kawasan Jalan Abdul Hakim Gang Susuk II di daerah Kecamatan
Medan Selayang dengan menyertakan kartu nama pasangan calon walikota dan wakil
walikota Sofyan Tan - Nelly, serta buletin nomor 10.
Kasus yang sama juga ditemukan di Kelurahan Belawan Bahagia Kecamatan Medan
Belawan, modus pembagian beras 5 kg dilakukan dengan menukarkan foto kopi kartu
pemilih atau KTP. "Misalnya, masyarakat di kawasan Kelurahan Belawan Bahagia
bisa mendapatkan beras 5 kg dengan cara menukar foto copy kartu pemilih atau KTP,
kemudian diberikan kartu nama pasangan calon Sofyan Tan - Nelly nomor urut 10
dan secara lisan diarahkan memilih nomor 10," jelasnya.
Hal ini kata Aswin, masyarakat yang idealis biasanya menolak atau memberikan
perlawanan dengan melaporkan ke Panwas soal aksi bagi-bagi sembako itu.
Kemudian, ada masyarakat yang pragmatis menerima dan soal pilihan dalam Pilkada
Medan putaran kedua nanti dulu, misalnya menerima Sembako, tapi pilihannya
tetap,” kata Aswin kepada wartawan di kantornya, Jum'at (4/6).
Hemat kita, siapa pun yang menang selisih suaranya tipis, sehingga bisa menimbulkan
protes. Oleh karena itu kita harapkan, KPU Medan berikut Panwaslu harus bekerja
ekstra keras karena kemungkinan bakal terjadi protes-protesan jika selisihnya tipis
nanti. Apalagi, kubu kedua pasangan terus bekerja keras menggalang massa dengan
rajin turun ke lapisan bawah. Pembagian sembako maupun uang tunai pun sudah
berjalan, tentu rakyat senang menerimanya meskipun belum tentu memilih. Istilahnya
ambil uangnya jangan pilih orangnya kalau memang ‘’track record’’nya tidak baik
sudah popular.
Sayangnya, KPU dan Panwaslu tidak mampu menjangkau praktik ‘’money politics’’
yang terjadi dalam Pilkada Walikota dan Wakil Walikota Medan periode 2010-2015.
Padahal, tidak sulit mendapatkan barang bukti dan saksi-saksinya di lapangan. Jika
KPU dan Panwaslu tegas Pilkada Medan berpeluang diulang karena diduga sarat
dengan permainan praktik uang. Dan KPU –Panwaslu wajib memantau trik serangan
fajar menjelang hari-H pencoblosan besok, misalnya memberi sejumlah uang untuk
warga tidak memilih (golput).
Pertanyaannya: Mengapa praktik seperti itu bisa terjadi? Tentu saja karena takut kalah
sehingga menggunakan segala cara. Kalau hanya menganggarkan visi dan misi, semua
pasangan mempunyai program kerja yang muluk-muluk. Pokoknya segala kebutuhan
rakyat/warga Kota Medan akan dipenuhi; jalan bagus, pendidikan gratis, kesehatan
gratis, membuka lapangan kerja dll. Tapi tak ada yang berani tegas membuat kontrak
politik. Lagi pula, masyarakat sudah kehilangan kepercayaan dengan ‘’janji-janji
seribu janji’’ atau ‘’lips service’’ seperti itu sehingga beranggapan siapa pun
pemimpinnya nasibku begini-begini juga. Hal seperti itulah yang membuat ‘’cost’’
mengikuti Pilkada demikian tinggi, bisa mencapai ratusan miliar rupiah. Tak punya
uang jangan berharap. Sehingga sulit memikirkan bagaimana mereka bisa
mendapatkan uang sebanyak itu, dan masuk akal kalau banyak pejabat pemerintahan
yang akhirnya melakukan korupsi setelah terpilih dan ujung-ujungnya masuk penjara.
Harapan kita, baik Rahudman Harahap maupun Sofyan Tan meskipun gagal meraih
kemenangan mutlak satu putaran namun kans berjaya di putaran kedua pada 19 Juni
nanti tetap besar. Selisih suara mereka terbilang kecil. Rahudman-Eldin memimpin
dengan 22,17 persen, sedangkan Sofyan Tan - Nelly 20,74 persen.Tak pelak lagi pada
putaran kedua (besok) pertarungan bakal seru. Bisa lebih seru dari pertandingan
sepakbola Piala Dunia.
Harapan kita berikutnya, kedua pasangan harus siap menerima kekalahan. Ini penting
agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diingini, seperti terjadi di sejumlah kabupaten/kota
Sumut lainnya. Semoga jalannya Pilkada Walikota dan Wakil Walikota Medan
putaran kedua besok berlangsung aman, lancar, dan demokratis sehingga hasilnya
masyarakat mampu memilih pemimpin yang benar-benar berkualitas guna
membangun pemerintahan daerah yang kuat, bersih dari korupsi. Bersama wakil
rakyat mampu mengayomi seluruh aspirasi rakyatnya dalam berbagai segi kehidupan
di berbagai bidang.
Besarnya jumlah ‘’golput’’ di putaran pertama, 60 persen lebih kiranya tidak terulang.
Mari kita gunakan hak pilih, sukseskan pesta demokrasi dengan ramai-ramai ke TPS
mencoblos No 6 atau No 10. Jangan ‘’golput’’.
(dat02)
Staf Panwaslukada Kota Medan bidang pengaduan dan pelaporan Ridho sedang
meminta keterangan dari pelapor yang menerima beras, obat-obatan dan minyak
makan dari Tim Sukses pasangan nomor 10 Sofyan Tan – Nelly. (foto : kocu)
Medan (Medan Pos) – Meskipun masa kampanye menjelang Pilkada Medan putaran
kedua belum ditentukan jadwalnya oleh KPUD Kota Medan, namun aksi bagi-bagi
sembako dan dugaan kampanye terselubung masih terus terjadi. Kali ini, indikasi
pelanggaran yang ditemukan Panwas berdasarkan laporan masyarakat terjadi di tiga
wilayah, masing-masing Kecamatan Medan Perjuangan, Medan Belawan dan Medan
Selayang.
Aksi bagi-bagi ‘Obat, Minyak Makan dan Sembako Politik’ di Kecamatan Medan
Selayang, dipaparkan Humas Panwaslukada Fakhruddin, pembagian obat-obatan
terjadi dikawasan Jalan Abdul Hakim/samping Gang Susuk Lima. Dan pembagian
beras 5 Kg serta minyak makan 2 liter di kawasan Jalan Abdul Hakim Gang Susuk II
di daerah Kecamatan Medan Selayang dengan menyertakan kartu nama pasangan
calon walikota dan wakil walikota Sofyan Tan – Nelly, serta buletin nomor 10.
“Kami disuruh datang jam 10.00 Wib ke rumah bapak Efendi Sitepu, untuk
menghadiri pembagian obat-obatan berupa 2 buah obat Novatusin, 1 paket kapsul, 1
paket tablet dan sejumlah kartu nama bernomor 10 atas nama Sofyan Tan – Nelly,”
ujar Fakhruddin, mengutip ucapan pelapor.
Sedangkan pelanggaran “Beras dan Minyak Makan Politik”, terjadi dikediaman Ratni
boru Surbakti di Jalan Kampung Susuk II. Modusnya, terlapor (Ratni br Surbakti-red)
membagi-bagikan beras 5 kg dan minyak makan 2 kg beserta kartu nama dan brosur
nomor 10 pasangan Sofyan Tan – Nelly untuk ditempelkan, serta satu buah buletin
nomor 10. “Soal bagi-bagi Sembako modusnya kian beragam. Sehingga, Panwas
harus menemukan bukti secara langsung agar kasusnya bisa dijerat pelanggaran
pidana,” ujarnya.
Presidium ini juga memaparkan, dalam proses demokrasi dan proses politik pilkada
kota Medan saat ini dipenuhi dengan polemik, mulai dari tidak lolosnya pasangan
Rudolf-Afifuddin, dualisme calon partai Demokrat, sampai persoalan majunya
penjabat (Pj) walikota Medan yang dinilai sebagian masyarakat sebagai sikap tak etis
karena ditafsirkan telah menabrak beberapa peraturan.
Pendemo juga menilai adanya kejanggalan dan konspirasi yang terbungkus dalam
kepentingan politik birokrasi jangka panjang. ”Bahkan, kentalnya kepentingan
mencuat ketika Syamsul Arifin mengangkat Rahudman dari posisi asistennya menjadi
Pj Walikota Medan menggantikan Afifuddin,” tandas Jafar.
Thursday, 09 July 2009 03:04
MEDAN - Rahudman Harahap, hampir pasti menjadi penjabat (Pj) walikota Medan
menggantikan Afiffuddin Lubis. Anggota DPRD Medan juga sudah berhasil dia ‘rayu’
agar mengajukan namanya kepada Gubsu, untuk diusulkan kepada Mendagri.
Yakni Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Damai Sejahtera (PDS) dan Fraksi PPP.
Selebihnya, fraksi hanya menyebutkan kriteria vigur yang dinilai pantas. Tapi arahnya
juga ke Rahudman.
Munculnya nama Rahudman Harahap, pada acara konsultasi dengan Gubsu ternyata
bukan karena penilaian objektif. Disebut-sebut dia telah memberikan uang kepada
sebagian anggota DPRD Medan. Inilah yang kemudian memunculkan persoalan baru
di kalangan anggota dewan.
Rahudman Harahap, menggunakan tiga orang anggota DPRD Medan sebagai ‘anak
main’ nya mendistribusikan uang agar memunculkan namanya. Tapi tidak seluruh
anggota dewan kebagian. Ada yang memang tidak mau, tapi ada juga yang tidak
diberi, karena dinilai tidak memiliki kapasitas.
Beberapa ketua fraksi DPRD Medan yang dihubungi melalui telefon selular, tadi
malam, tidak mengaku ada menerima uang. Tapi, diakui ada kejanggalan saat
beberapa orang anggota dewan memunculkan nama Rahudman Harahap.
Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Ikrimah Hamidy, mengakui keanehan
itu. Menurutnya, pertemuan dengan gubsu Senin malam itu seharusnya benar-benar
dijadikan sebagai pertemuan konsultasi. Bisa saja anggota dewan menyebutkan nama
vigur, tapi sebaiknya tidak satu.
Seperti fraksinya, menurut Ikrimah, mengajukan lima nama pejabat kepada Gubsu
sebagai bahan pertimbangan untuk kemudian diajukan kepada Mendagri. Mereka
adalah Zaili Azwar, Maulana Pohan, Rahudman Harahap, D Dzulmi Eldin dan Drs
Randiman Tarigan.
“Pengajuan nama-nama tersebut juga dilengkapi dengan kriteria hingga dinilai pantas
menjadi Pj Walikota Medan,” katanya.
Fraksi Partai Amanat Nasional (FPAN), tidak menyebutkan langsung nama vigur
pengganti Afifuddin Lubis. Ketua FPAN Ahmad Arif, mengatakan pihaknya hanya
menyebutkan kriteria calon pj walikota Medan selanjutnya.
Melihat kepemimpinan Afifuddin Lubis, satu tahun ini, menurut Arif, fraksinya
menginginkan pj walikota ke depan adalah orang yang tidak terimbas pada persoalan
hukum.
Katanya, setahun terakhir ini, perjalanan pemerintahan di Kota Medan stagnan. Tidak
ada perubahan yang terjadi. Malah berjalan mundur.
Menurut Arif, itu terjadi karena Afifuddin Lubis, tidak berani melakukan kebijakan-
kebijakan publik karena khawatir tersandung hukum. Itu wajar karena Afifuddin, juga
terkena imbas dari persoalan hukum yang dihadapi mantan walikota Abdillah dan
wakil walikota Ramli.
(dat05/wsp)
MEDAN | DNA - Setelah menggelar aksi unjukrasa di Kantor KPU Kota Medan di
Jalan Kejaksaan Medan, puluhan massa dari Presidium Masyarakat Medan Utara
kembali ‘santroni’ gedung DPRD Kota Medan jalan Kapten Maulana Lubis Medan,
Rabu (17/03) siang.
Masyarakat Medan Utara juga menilai rekam jejak Rahudman yang gagal dalam
pemilihan kepala Daerah di Siantar dan Pilkada Tapanuli Selatan beberapa tahun
lalu.
Dalam statemennya mereka meminta KPU Kota Medan melakukan sleksi secara ketat
terhadap pasangan calon walikota Medan terlebih lagi Rahudman yang berpasangan
Eldin dinilai akan mengulang kondisi yang sama jika mereka menang dalam Pilkada
mendatang.
“Seperti yang diketahui dalam proses demokrasi dan proses politik Pilkada 2010
menuai banyak polemic dari tidak lolosnya pasangan Rudolf-Afifuddin Lubis,
dualisme calon partai Demokrat, sampai persoalan majunya Pj Walikota Medan
yang dinilai sebagian masyarakat adalah sikap kurang etis karena ditafsirkan
menabrak beberapa peraturan,” ungkap pengunjukrasa.
Presidium Masyarakat Medan Utara juga melihat adanya kejanggalan dan konsfirasi
yang terbungkus dalam kepentingan politik birokrasi jangka panjang . Bahkan
mereka menilai kentalnya kepentingan mencuat ketika Syamsul Arifin menganggkat
Rahudman dari Asistennya menjadi Pj Walkota Medan dari Afifuddin.
MEDAN, MANDIRI
Lembaga Survei Masyarakat Anulir Suara Indonesia (Mari) mengadakan polling atau
survey terhadap Calon Walikota-Wakil Walikota Medan Periode 2010-2015, selama
15 hari dimulai pada 13 Maret hingga 28 Maret 2010. Hasilnya, Pemilukada Kota
Medan berlangsung satu putaran dan dimenangkan pasangan Calon Walikota-Wakil
Walikota Nomor Urut 5 Drs H Joko Susilo-Amir Mirza Hutagalung SE (Joko-
Amanah) dengan raihan dukungan 31,6 persen suara.
Direktur Eksekutif Mari Drs Kamal Lubis didampingi Koordinator Peneliti dan
Pengumpul Data/Suara Drs Marwan Nasution kepada wartawan di Rumah Makan
Garuda Jalan Patimura, Medan, Selasa (6/4) malam menjelaskan, lembaganya dalam
melakukan survei berlaku netral, independen dan serius. Dan tujuan polling ini untuk
mendapatkan gambaran secara ilmiah, terhadap kekuatan 10 Calon Walikota-Wakil
Walikota Medan.
“Survei dilakukan Mari, hanya 15.360 responden dari 1,9 juta pemilih Kota Medan,
hasil polling ini diharapkan dapat menggambarkan aspirasi masyarakat Kota Medan
secara keseluruhan, dengan metode survei menggunakan sistem random,” jelas
Kamal, seraya menambahkan, survei ini dengan sistim kerja mendatangi dan
mewawancarai orang per kecamatan di seluruh Kecamatan se Kota Medan.
Dimana setiap masyarakat diwawancarai secara acak (random). Jelasnya, interviw
menggunakan responden acak yang representif. Hasilnya, pasangan Joko Susilo-Amir
Mirza Hutagalung lebih unggul dengan memperoleh suara 36,6 persen, dibandingkan
pasangan Maulana-Arif (Mari) yang hanya mampu menyusul dengan suara 19,7
persen.
Selanjutnya pasangan Ajib Shah- Binsar terpaksa puas diposisi ketiga dengan 18,4
persen, disusul Rahudman-Eldin 16,3 persen, Bahdin-Kasim 15,3 persen, pasangan
Sofyan Tan- Nelly 15,1 persen, Sigit-Nurlisa 12,3 persen, Prof.Arif-Supratikno 8,4
persen, Syahrial Anas- Yahya 6,2 persen dan Indra Sakti- Delyuzar hanya
mendapatkan suara 5,9 persen responden.
Disebutkan Lubis dan Nasution, pasangan Joko-Amanah dengan Nomor Urut 5 yang
merupakan calon perseorangan/independen mendapatkan responden terbanyak dari
orang Jawa, Batak Toba dan Batak Mandailing, Melayu serta orang Minang. Alasan
ini sangat kuat dikarenakan masyarakat Kota Medan ternyata sangat mengidolakan
calon independen yang muda dan energik dan yang ganteng, jika dibandingkan calon
dari partai politik (parpol).
“Hasil survei juga mendapatkan angka 35,4 persen golongan putih (golput), karena
tidak mau tahu dengan adanya Pemilukada Medan ataupun tidak mendapatkan respon
dari masyarakat,” ungkapnya.
Ditanya wartawan tentang menonjolnya calon independen, kata Kamal Lubis, hampir
seluruh responden sangat menginginkan sosok pemimpin Kota Medan bukan berasal
dari partai politik. Alasannya, pemimpin Kota Medan yang berasal dari calon
perseorangan/independen akan lebih pasti dan mampu kinerjanya untuk membangun
Kota Medan dan mensejahterahkan masyarakat, karena sosok pemimpin dari jalur
independen tidak takut dengan berbagai tekanan ataupun dituntut bayar utang.
“Hampir sebagian penduduk Kota Medan ingin memberikan kesempatan dan amanah
kepada seorang pemimpin yang berasal dari dukungan KTP masyarakat, bukan yang
diusung parpol. Mereka ingin Pemerintah Kota Medan sekali-sekali dari independen,”
ungkap Nasution.
Ketika disinggung keinginan masyarakat Medan terkait pelaksanaan Pemilukada
Medan, menurut Nasution, seluruh responden yang diwawancarai rata-rata
menginginkan Pemilukada Medan hanya satu putaran. “Kita sangat mendukung
Pemilukada Medan satu putaran, sehingga program-program pembangunan yang
merupakan visi-misi Calon Walikota dan Wakil Walikota Medan bisa diwujudkan
pelaksanaannya,” ujarnya. [adi]
2. Sigit Pramono Asri-Nurlisa Ginting memperoleh 97.295 suara atau 14.33 persen.
4. Bahdin Nur Tanjung-Kasim Siyo memperoleh 35.586 suara atau 5,24 persen.
5. Joko Susilo-Amir Mirza Hutagalung memperoleh 28.726 suara atau 4,2 persen.
10. Sofyan Tan-Nelly Armayanti memperoleh 140. 676 suara atau 20.22 persen.
11 January 2010
Empat Berkas Balon Diterima, MENDAFTAR: Pasangan bakal calon Wali
Kota/Wakil Wali Kota Medan periode 2010-2015 Kompol Joko Susilo-Amir Mirza
Hutagalung menyapa pendukungnya usai mengembalikan formulir pendaftaran ke
KPUD Medan, Minggu(10/1). // ANDRI GINTING/Sumut PosMENDAFTAR:
Pasangan bakal calon Wali Kota/Wakil Wali Kota Medan periode 2010-2015 Kompol
Joko Susilo-Amir Mirza Hutagalung menyapa pendukungnya usai mengembalikan
formulir pendaftaran ke KPUD Medan, Minggu(10/1). // ANDRI GINTING/Sumut
Pos
Setengah jam kemudian, pasangan Kompol Joko Susilo-Amir Mirza pun datang
membawa dokumen dukungannya dengan mengendarai becak bermotor, diantar
massa pendukungnya.
Sebelumnya, berkas dukungan pasangan Rajamin Sirait-Adi Munasif juga ditolak dan
diberi tenggat waktu hingga tadi malam melengkapi berkas. Setengah jam berikutnya
pasangan Usman SU Siregar dan Gunawan Ang pun mendatangi kantor KPUD
Medan. Meski membawa dokumen, namun kedatangannya bukan untuk mendaftarkan
dokumen dukungannya, melainkan untuk mengembalikan dokumen tersebut.
Usman mengklaim dirinya telah mendapatkan 53.201 dukungan yang semuanya
diperoleh dengan tidak membeli. ”Ini kami dapat dengan cara jujur,” kata Usman. Dia
mengatakan, tidak jadinya dia maju dalam Pilkada melalui jalur independen hanya
untuk memberi pelajaran pada balon lainnya agar maju secara jujur.
Sekira pukul 14.00 WIB, pasangan Bahdin Nur Tanjung-Kasim Siyo pun
mengantarkan dokumen dukungannya. Bahdin datang ke KPUD diarak massa
pendukungnya dari markas tim pemenangannya di Jalan Abdullah Lubis. Kedatangan
Rektor UMSU itu membawa 97.210 suara dukungan yang menyebar 21 kecamatan
dalam peti plastik. ”Saya berpasangan dengan Pak Kasim karena saya tahu betul
seperti apa sepak terjang beliau,” ungkap Bahdin kepada wartawan.
Hal senada dikatakan Kasim Siyo, dia mengaku dengan kemampuan Bahdin
memimpin UMSU akan sangat memudahkan bagi mereka membangun Kota Medan,
sebab dengan pengalaman birokrasi yang dimilikinya mereka hanya tinggal
berkomunikasi saja. ”Kita tinggal sedikit berkomunikasi saja,” tandasnya.
Pada saat yang hampir bersamaan pasangan Rajamin Sirait-Adi Munasif pun kembali
mendatangi KPUD untuk menyampaikan dokumen dukungannya. Namun ternyata
dukungannya tetap tak diterima pihak KPUD dan dimintai melengkapi dokumennya
hingga pukul 21.00 WIB tadi malam.
Tepat pukul 17.00 WIB, KPUD Medan menutup pendaftaran dokumen dukungan
untuk calon perorangan dan memutuskan hanya ada delapan balon yang mendaftar,
dengan catatan bakal calon Rajamin Sirait-Adi Munasif, Joko Susilo-Amir Mirza, dan
Datuk Khairil Anwar-Aja Faisal Mansur harus memperbaiki dokumennya.
Ketua KPUD Medan Evi Novida Ginting mengatakan, hingga penyerahan dokumen
dukungan ditutup, hanya empat pasangan yang berkas dukungannya dipastikan
diterima yakni pasangan Rudolf Pardede-Afifuddin, Prof M Arif Nasution-
Supratikno, dr Syahrial R Anas-H Yahya Sumardi, dan pasangan DR Bahdin Nur
Tanjung-Kasim Siyo.
| More
Seribuan orang petugas Kelompok Panitia Pemungutan Suara (KPPS) yang sudah
mengantre berjam-jam terlibat aksi saling dorong dan berdesak-desakan agar bisa
masuk mendapatkan giliran lebih dahulu.
Humas KPU Medan Pandapotan Tamba, mengatakan kebijakan baru ini sengaja
diambil pihaknya untuk menghindari kecurangan di tingkat kecamatan khususnya
untuk mengantisipasi terjadi penggelembungan suara calon walikota tertentu.
(samosir/ir)
POSMETRO MEDAN Gugatan Rudolf-Afif ke KPU Medan
Jumat, 30 April 2010 | 10:35
Pilkada Berpotensi Diulang
Jumat, 30 April 2010
MEDAN- POSMETRO MEDAN Jika pilkada Kota Medan terus dilanjutkan hingga
hari pencoblosan tanpa mengikutkan pasangan Rudolf Pardede-Afifuddin, maka
hasilnya akan cacat hukum. Jika nantinya sengketa pilkada ini diajukan ke Mahkamah
Konsitusi (MK), maka kemungkinan besar MK akan mengeluarkan putusan
keharusan pilkada Kota Medan diulang dengan menyertakan pasangan Rudolf-Afif.
Demikian dikatakan pakar Hukum Tata Negara (HTN) dari Universitas Indonesia
(UI), Irman Putra Sidin.
Pakar HTN yang kerap menjadi saksi ahli di persidangan MK itu menjelaskan, KPU
Medan mestinya menjalankan putusan PTUN yang menyatakan pasangan Rudolf-Afif
memenuhi persyaratan. “PTUN adalah lembaga pengadilan. Dia memutus perkara
dengan atas nama Tuhan. Secara prinsip, KPU Medan harus menjalankan putusan
itu,” ujar Irman Putra Sidin kepada koran ini di Jakarta, kemarin.
Saat ditanya mengenai polemik bisa tidaknya PTUN menyidangkan masalah ini,
Irman mengatakan, boleh saja. Menurut Irman, yang diputuskan PTUN itu bukan
terkait tahapan pilkada, namun terkait masalah putusan KPU Medan soal penetapan
calon yang memenuhi persyaratan untuk ikut bertarung. “Jadi, putusan PTUN itu
membatalkan putusan KPU Medan yang dianggap salah. Bukan soal tahapannya,”
ujar Irman.
Irman juga membenarkan sikap KPU Pusat yang dalam plenonya Selasa (27/4) lalu
menyatakan KPU Medan harus menjalankan putusan PTUN. “KPU Pusat sudah
benar. Cuman dia harus tegas. Jika KPU Medan tak menjalankan putusan PTUN,
KPU Pusat bisa mengambil alih penyelenggaraan pilkada Medan,” tegas Irman.
Selanjutnya, KPU Medan harus disidang di Dewan Kehormatan, dan sanksinya bisa
sampai ke pencopotan. KPU Pusat bisa juga memerintahkan KPU Sumut untuk
mengambil alih. Namun, jika sikap KPU Sumut ternyata sama dengan sikap KPU
Medan, maka KPU Pusat juga berhak memberikan sanksi kepada para anggota KPU
Sumut.
Lebih lanjut Irman menjelaskan, jika KPU Medan bersikukuh tetap melanjutkan
pilkada, maka nasib pilkada Medan bisa sama dengan pilkada Bengkulu Selatan.
dalam kasus pilkada Bengkulu Selatan, MK melalui putusan nomor 57/PH.PU.D-
VI/2008, membatalkan hasil pilkada Bengkulu Selatan tahun 2008 dan
memerintahkan dilakukannya pilkada ulang sebelum Januari 2010, dengan
mengikutkan pasangan Dirwan Mahmud-Hartawan, yang sebelumnya dicoret KPU
setempat.
“Kalau pilkada Medan terus dilanjutkan, ya bisa dinyatakan cacat dan harus diulang
seperti kasus di Bengkulu Selatan itu,” ujar Irman. Sementara, hingga berita ini
diturunkan, koran ini belum berhasil meminta keterangan dari anggota KPU Pusat,
mengenai langkah apa yang akan diambil jika KPU Medan tidak menjalankan putusan
PTUN. Pimpinan dan anggota KPU sedang tidak ada di kantor. Dihubungi via telepon
pun, Ketua Pokja Nasional Pemilu/kada, I Gusti Putu Artha, ponselnya tak diangkat.
Begitu pun anggota KPU, Andi Nurpati.
Sebelumnya, Rabu (28/4), Putu menjelaskan, KPU Pusat sudah menggelar pleno pada
Selasa (27/4), menyikapi putusan PTUN itu. Hasilnya, PU Medan harus menjalakan
putusan PTUN itu, dengan mengakomodir pencalonan Rudolf-Afif.
“Hasil pleno kemarin, KPU Medan agar mengakomodir Rudolf Pardede. KPU
memutuskan Rudolf masuk (memenuhi syarat, red),” ujar Putu saat itu. Putu
menjelaskan bahwa jika tahapan pilkada tetap dilanjutkan dengan tanpa mengikutkan
pasangan Rudolf-Afif, maka bisa muncul persoalan di kemudian hari.
Bahkan, ada peluang hasil pilkada digugat dan pilkada harus diulang. “Kalau teman-
teman di daerah mengambil salah langkah, bisa bahaya, bisa dipidana, perdata sama
pengulangan pilkada,” ujarnya.
Surat itu diberikan Pandapotan Tamba SH MHum, Devisi Hukum dan Humas KPU
Medan. Awalnya, POSMETRO MEDAN menemui Ketua KPU Medan, Evi Novida
Ginting untuk mempertanyakan sikap soal hasil pleno KPU Pusat.
“Jangan tanya itu, jumpai si Tamba. Sudah tau belum kalau Bawaslu mengirimkan
surat kepada kita dalam hal penyampaian hasil kajian kasus Rudolf-Afif. Baca dulu
suratnya, baru tanya si Tamba. Di dalam surat tersebut sudah dijelaskan tentang status
pasangan Rudolf-Afif,” ucap Evi.
Selang 10 menit kemudian, Pandapotan datang dan menyerahkan copy-an surat yang
baru mereka terima dari Badan Pengawasan Pemilihan Umum (Bawaslu) Pusat
bernomor 301/Bawaslu/IV/2010 tertanggal 28 April 2010. Surat itu berisi
penyampaian hasil kajian kasus Rudolf-Afif yang ditujukan kepada Ir Ramses
Simbolon dan ditandatangani Ketua Bawalu, Nurhidayat Sardini SSos MSi.
“Lihat poin 2 (b), menyatakan kalau pasangan itu tidak memenuhi syarat adalah sudah
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemilukada.
Masalah isi penjabarannya, saya sama sekali tidak bisa berkomentar,” ucap
Pandapotan.
Lanjut Robin, dalam waktu dekat ini pihak Panwaslu Medan akan meminta penjelasan
serta kejelasan tentang surat tersebut. Karena menurut mereka, ada perbedaan
pandang antara Panwas Kota Medan dengan Bawaslu Pusat. Apalagi diketahui, sifat
laporan mereka, berisikan, adanya ketidak telitian kinerja KPU Medan. Dengan
begitu, masih perlu penjelasan dari Bawaslu Pusat.(sam/mula)
PTUN Memenangkan Rudolf Pardede Dalam Kasus Gugatan Melawan KPU Medan
PTUN Medan memenangkan pasangan Rudolf Pardede-Afifudin atas gugatan
terhadap KPU Medan. PTUN memerintahkan agar KPU membatalkan surat
keputusannya tentang pembatalan pasangan tersebut dari pencalonan Walikota Medan
2010. KPU bersikeras tidak akan mematuhi PTUN dan mengajukan banding.
Atas putusan dari hakim pengadilan tata usaha negara tersebut, kuasa hukum KPU
Medan menyampaikan keberatan mereka. Ketua Tim Kuasa Hukum KPU Medan
Agussyah Damanik mengatakan, mereka akan melakukan upaya banding atas putusan
hakim tersebut. Menurut Agussyah, keputusan hakim ini tidak sesuai dengan hukum
dan undang-undang. Oleh karena itu menurutnya, mereka akan merekomendasikan
agar KPU mengabaikan putusan tersebut.
Sementara itu, Afifuddin Lubis yang hadir dalam persidangan tersebut mengaku puas
dengan putusan PTUN tersebut. Pihaknya berharap agar putusan dari PTUN tersebut
ditaati oleh KPU Medan.
Dalam persidangan yang berlangsung di PTUN Medan, Senin (19/3) siang, puluhan
massa pendukung Rudolf Pardede hadir untuk memberikan dukungan. Atas
putusannya tersebut, hakim tunggal Pengadilan Tata Usaha Negara Medan
mempersilahkan kuasa hukum KPU mengajukan banding dalam masa 14 hari, sesuai
dengan peraturan yang berlaku.
(Jonris Purba)
Read/Post Comment: 0
”Mereka suruh kita ambil langkah hukum dan sudah kita lakukan. Inikan kemauan
mereka, lalu setelah kita dimenangkan kok nggak dipatuhi,” ungkap Afifuddin Lubis
kepada wartawan, kemarin.
Mantan Pj Walikota Medan itu menilai, hasil pleno KPU Pusat yang mengakomodir
hasil PTUN yang memenangkan gugatan pihaknya tetapi tidak dipatuhi KPU Medan
mengesankan lembaga itu sebagai lembaga yang kebal hukum. “Keputusan KPUD
Medan tak bisa diuji, inikan aneh. Memangnya ada hukum di Indonesia yang bersifat
absolut,” cetusnya.
Ditegaskannya, pihaknya tak akan melakukan pengerahan massa atau desakan apapun
untuk KPUD melakukan putusan tersebut. “Kita tak akan desak. Kita mau lihat seperti
apa mereka menyikapi ini,” tuturnya. Jika sampai KPUD Medan tetap tak
mengindahkan putusan tersebut, Afif mengatakan akan ada konsekwensinya.
“Yah mereka siap saja dengan itu,” tandasnya. Afif tidak bersedia berkomentar lebih
jauh apakah konsekwensi dimaksud adalah gugatan pembatalan pelaksanaan tahapan
Pilkadan ke MK serta gugatan hokum lainnya.
Sementara itu, rencana KPU Medan berkonsultasi dengan KPU Pusat Jumat kemarin,
ditunda menjadi Senin (3/5) mendatang. Menurut Pandapotan Tamba, anggota KPU
Medan Divisi Hukum dan Humas, ada tigal hal yang menyebabkan rencana mereka
bertemu KPU terpaksa ditunda.
Alasannya, mereka belum melakukan balasan surat KPU Pusat dimaksud, banyaknya
dokumen terkait kasus Rudolf yang harus dilengkapi serta banyaknya tugas KPUD
Medan di akhir pekan ini.
Hal yang paling urgen yang akan disampaikan pihaknya ke KPU kata Tamba, sudah
tercetaknya surat suara untuk 10 pasangan calon. Untuk mencetak surat tersebut,
sudah menggunakan dana Rp1,7 miliar dari total anggaran untuk kertas suara sebesar
Rp7,6 miliar untuk sekitar 2,4 juta lembar kertas suara dan Rp300 juta untuk
pencetakan formulir. Karenanya kata dia, jika nama Rudolf dan Afifuddin
diakomodir, maka akan sulit untuk menalangai anggarannya.
Dia menyebutkan, bila kertas suara dan formulir dicetak ulang, akan dibutuhkan dana
pengganti Rp2 miliar. “Siapa yang mau mengganti itu. Kalau calon yang menanggung
berarti tak objektif mending nggak usah jadi Pilkadanya,” tegasnya
Selain persoalan surat suara lanjut Tamba, persoalan lainnya yakni akan banyak
konsekwensi hukum yang akan diterima pihaknya jika pencalonan Rudolf-Afifuddin
diakomodir. Terlebih saat ini masing-masing calon sudah melakukan kampanye dan
mengeluarkan dana yang besar. “Inikan bisa jadi konsekwensi perdata. Siapa yang
mau mengganti uang mereka itu,” bebernya.
Tamba mengatakan, posisi pihaknya saat ini bak buah simalakama. Jika keputusan
KPU dijalankan akan dihujat calon lain, dan jika tak dijalankan akan terjadi konflik
sosial dan masalah hukum lainnya. “Kami udah buah simalakama ini,” bebernya.
“KPU sudah melakukan bimbingan, surat resmi juga sudah kita sampaikan. Kalau
melihat kondisinya seperti sekarang ini, sepenuhnya menjadi tanggung jawab KPU
Medan,” ujar anggota KPU Pusat, Andi Nurpati kepada Sumut Pos di Jakarta,
kemarin (30/4).
Apakah bisa dikatakan KPU sudah cuci tangan? Andi mengatakan, sesuai ketentuan,
maka yang harus bertindak saat ini adalah KPU Provinsi Sumut. “KPU Provinsi
jangan melakukan pembiaran, harus memberikan sanksi tegas,” ujar Andi. Sanksi apa
yang dimaksud? “Bisa dibawa ke sidang kode etik,” katanya.
KPU Pusat sendiri, lanjutnya, sudah tidak perlu lagi mengeluarkan petunjuk-petunjuk
kepada KPU Sumut. Pasalnya, semua mekanisme sudah diatur di UU Nomor 22
Tahun 2007 tentang penyelenggara pemilu.
Di sisi lain, jika diteruskan, maka pihak yang merasa dirugikan bisa mengajukan
gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). “Dan bisa saja MK memutuskan
pemungutan suara ulang,” ujar Andi.
Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary belum mau berkomentar banyak. Dikatakan, KPU
masih menunggu sikap resmi KPU Provinsi Sumut dan KPU Medan. “Sebentar lagi
mereka datang, akan ditemui Ibu Andi,” ujar Hafiz, sambil terburu-buru karena akan
menuju ke bandara untuk acara dinas luar kota. Hal yang sama dikatakan anggota
KPU, Abdul Aziz. “Hari ini mereka (KPU Sumut dan KPU Medan, Red) mau ke sini.
Tunggu saja penjelasan mereka,” ujarnya singkat.
Namun, hingga pukul 15.00 WIB, rombongan diri Medan belum muncul di gedung
KPU Pusat.
Ketua KPU Sumut Irham Buana Nasution yang dihubungi dari Jakarta, mengatakan,
rencana pertemuan batal. “KPU Medan membatalkan tanpa alasan yang jelas,” kata
Irham yang masih berada di Medan. Padahal, lanjutnya, pada pertemuan Kamis (29/4)
petang di Medan, KPU Medan siap ke Jakarta bersama KPU Sumut.
Lantas apa yang akan dilakukan KPU Sumut? Irham hanya mengatakan bahwa
pihaknya sudah berkali-kali mengingatkan KPU Medan bahwa lembaga KPU bersifat
hirakhies dan keputusan KPU Pusat harus dilaksanakan. “Tapi mereka (KPU Medan)
tetap pada keputusan semula,” ujar Irham.
Apakah ada rencana mengambil alih sisa tahapan Pilkada? Katanya, pengambilalihan
bisa dilakukan bila KPU Medan menyatakan sudah tidak sanggup lagi meneruskan
tahapan pilkada.
Dimintai ketegasan mengenai langkah apa yang akan diambil KPU Sumut, Irham
mengatakan, pihaknya masih menunggu petunjuk dari KPU Pusat. Sementara, Andi
Nurpati mengatakan, sudah tidak perlu petunjuk-petunjuk lagi karena semua
kewenangan KPU Pusat sudah dilakukan. “Mau petunjuk apa lagi,” ujar Andi.
Seperti telah diberitakan, KPU Pusat sudah mengirimkan hasil plenonya ke KPU
Medan. KPU Pusat memutuskan pasangan Rudolf Pardede-Afifuddin memenuhi
persyaratan sebagai pasangan calon Wali Kota-Wakil Wali Kota Medan. Surat
Keputusan KPU No. 260/KPU/IV/2010 tertanggal 28 April yang sampai di KPUD
Medan melalui faksimili, Kamis (29/4). Surat tersebut, menyikapi Surat KPUD Kota
Medan No. 270/82/III/KPU-MDN/2010 tertanggal 9 Maret yang mempertanyakan
persoalan pendidikan seorang bakal calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Medan.
Berdasarkan berbagai pertimbangan yang telah dilakukan KPU pada poin sembilan
keputusan itu, KPU memutuskan jika pasanganyang maju dari jalur independen itu
memenuhi syarat mencalonkan diri. “Sehubungan dengan pertimbangan tersebut,
surat keterangan sebagai bukti pendidikan Rudolf M Pardede memenuhi syarat dalam
pencalonan Pilkada Medan,” bunyi surat tersebut.(sya/sam)
Ketua KPU Sumut Irham Buana Nasution mengatakan, pihaknya akan bertindak
sesuai Peraturan KPU Nomor 31 Tahun 2008 tentang kode etik penyelenggaraan
pemilu serta Peraturan KPU Nomor 38 Tahun 2008 tentang tata kerja dewan
kehormatan KPU.
Karena sesuai surat KPU lalu dalam poin 11 usai melakukan supervisi. Jika
(rekomendasi hasil pleno, Red) tidak digubris maka dapat dilanjutkan dengan
Peraturan KPU Nomor 31/2008 dan 38/2008,” terang Irham kepada wartawan di
Medan kemarin.
Seperti diketahui, KPU Pusat Nomor 260/KPU/ IV/2010 tertanggal 28 April telah
menginstruksikan KPU Sumut untuk mensupervisi, monitoring dan bimbingan teknis
agar KPU Medan melaksanakan putusan PTUN Medan yang mengesahkan
pencalonan Rudolf M Pardede-Afifuddin Lubis
Irham mengaku kecewa dengan sikap KPU Medan yang tidak segera merespon surat
tersebut dengan melakukan klarifikasi langsung keesokan harinya. Tindakan yang
dinilai mengulur waktu tersebut membuat posisi KPU Medan semakin terjepit.
Apalagi kepergian KPU Medan ke kantor KPU Pusat, Selasa (4/5) lalu, tanpa
koordinasi dengan KPU Sumut. “Tentu saja tidak akan diterima begitu saja. Sebab
dalam protokolernya, supervisi KPU kabupaten/kota ke pusat seharusnya didampingi
oleh KPU provinsi,” katanya.
Irham memastikan, hasil pembahasan yang dilakukan DK Etik nantinya akan
memberikan sanksi kepada komisioner KPU Medan. Namun seperti apa sanksinya,
Irham pun belum bisa menjelaskan. “Tergantung hasil rekomendasi DK Etik lah,”
imbuhnya.
Namun merujuk pada sejumlah kasus yang pernah terjadi dalam pelaksanaan Pemilu
di Sumut, DK Etik rata-rata memberikan sanksi pemecatan dan peringatan keras. Hal
itu seperti yang terjadi pada seorang anggota komisioner KPU Nias Selatan yakni
Tandronafaudu Laia yang dinilai bersalah dalam kasus Pemilu Legislatif di daerah itu.
Selain itu, DK Etik juga merekomendasikan pemecatan terhadap Ketua KPU Serdang
Bedagai Abdul Firman dan dua anggotanya, Hamdan dan Ismet Lubis karena dugaan
politik uang pada 11 Desember 2009 lalu. Dua anggota komisioner KPU Padang
Lawas Utara yakni Nuhrom Ahadi Siregar dan Risnawati juga dipecat karena dugaan
politik uang pada 11 September lalu.
Saat ditanya apakah rekomendasi DK Etik nantinya akan sampai pada pemecatan,
Irham mengaku mungkin saja. “Bisa saja begitu,” tukasnya.
Meski kian terjepit, KPU Medan tetap pada keputusannya melaksanakan Pemilihan
Wali Kota Medan 12 Mei mendatang tanpa keikutsertaan pasangan Rudolf-Afifuddin.
Anggota KPU Medan Bakhrul Chair Amal menyerahkan sepenuhnya pada KPU
Sumut jika pihaknya dianggap melanggar kode etik.
Bakhrul Chair Amal menegaskan, sejak awal pihaknya sudah melakukan konsultasi
terlebih dahulu ke KPU Sumut dan KPU Pusat sebelum membatalkan pencalonan
Rudolf-Afifuddin.
Sedangkan mengenai klarifikasi isi surat KPU yang baru bisa mereka lakukan Selasa
(4/5) lalu, menurutnya karena ada tahapan penting dari Pilkada yang harus
dituntaskan terlebih dulu.
Dia mengaku, pihaknya juga bingung kalau didesak terus untuk membatalkan
keputusan untuk pencalonan Rudolf-Afifuddin. Sebab jika itu dilakukan, maka
lembaganya itu akan kehilangan marwah. Pasalnya sampai kini tak ada landasan yang
kuat untuk mereka mencabut kembali putusan tersebut. “Kan nggak lucu, kami yang
membuat keputusan, lalau kami yang membatalkannya,” tuntasnya. (sya)
| More
MEDAN (Pos Kota) – Gagalnya Rudolf Pardede, untuk maju dalam Pilkada Kota
Medan Mei mendatang, menimbulkan pro dan kontra.
Terkait permasalahan itu Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kota Medan
menyatakan siap dipanggil oleh Panitia Pengawas Pemilihan Kepala Daerah (Panwas
Pilkada) Kota Medan.
Ini disampaikan Kepala Divisi Hukum dan Humas KPUD Kota Medan, Pandapotan
Tamba, kepada wartawan, Minggu (21/3).
“KPUD Kota Medan akan hadir memenuhi undangan guna membahas pilkada atau
kasus Rudolf,” ujarnya.
etenangan kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Medan, Rabu (17/3) siang tadi
terganggu dengan kehadiran massa Gerakan Masyarakat Peduli Pilkada Demokrasi
(GMPPD), pendukung Rudolf M Pardede. Aksi ini dipicu keputusan KPU yang
mengganjal majunya Rudolf-Afifuddin menjadi calon Walikota dan Wakil Walikota
Medan dalam Pilkada Medan mendatang.
Massa GMPPD yang dikoordinatori Izrael Situmeang menuntut penjelasan KPU Kota
Medan mengenai SK KPU No. 59 tahun 2010. Mereka juga meragukan independensi
KPU Kota Medan. “KPU Pusat segera tindak KPU Medan karena membangkang,”
kata Situmeang.
Pertemuan Situmeang dengan Ketua KPU Kota Medan, Evi Novida Ginting sempat
memanas. Situmeang meminta Ketua KPU Medan menjelaskan hasil rapat pleno yang
salah satu hasilnya mencoret Rudolf-Afifuddin sebagai kandidat.
Menjawab Situmeang, Evi mengatakan tidak akan memberikan hasil rapat pleno itu
karena itu merupakan masalah internal KPU Medan. “Permintaan hasil rapat pleno
tidak bisa diberikan,” kata Evi. Sedangkan SK No. 59 tidak masalah, jika diperlukan
ia bisa memberikannya. SK ini mengatur tentang tatacara pencalonan walikota dan
wakilnya.
Dituding tidak fair dalam memimpin KPU Medan dan mengeluarkan keputusan
karena kerabat dekatnya adalah salah satu kandidat wakil walikota, Evi meminta
Situmeang dan kawan-kawan untuk menempuh jalur hukum. “Silahkan tempuh jalur
hukum kalau ada kecurangan. Lapor saja ke polisi,” katanya.
Sementara itu, Selasa (16/3) kemarin, Rudolf M. Pardede tetap optimis upayanya
membatalkan penetapan calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Medan oleh KPU
Medan bisa gol. Ia mengatakan akan menempuh jalur hukum. “Saya akan menempuh
jalur hukum. Semua gugatan telah saya persiapkan untuk KPU Medan, baik itu pidana
ataupun perdata. Kami juga akan meminta Mahkamah Konstitusi untuk segera
membatalkan pencabutan nomor urut tersebut,” katanya dikutip Sumut Pos.
Rudolf mengaku sangat kecewa dengan KPU Medan yang bertindak seperti penyidik
kepolisian. Menurutnya, KPU Medan tak pantas mencoret dia dan pasangannya dari
pencalonan Pilkada Medan. “Temuan-temuan apa yang didapat KPU Medan? Mereka
itu bukan penyidik, mereka itu hanya pelaksana Pilkada,” ucapnya geram.
Ramses Simbolon, Ketua Tim Pemenangan Pasangan Pelangi Rudolf Pardede-
Affifuddin Lubis mengatakan KPU Medan seharusnya patuh dengan KPU Pusat.
Source: Lagi, KPU Medan Didemo Massa GMPPD | Berita Cerita Kota Medan
http://www.medantalk.com/lagi-kpu-medan-didemo-massa-gmppd/#ixzz0q5QTHBRd
Copyright: www.MedanTalk.com
Rabu 09/06/2010 09.18 WIB
Meski Sengketa Pilkada Medan Belum Putus di MK
KPU Segera Laksanakan Tahapan Kampanye
MEDAN | DNA - Meski putusan Mahkamah Konstitusi (MK) belum memutuskan
hasil sengketa Plkada Kota Medan yang digugat oleh pasangan Calon Walikota/Wakil
Walikota Medan Prof Arif-Supratikno yang menggugat Komisi Pemilihan Umum
(KPU) Kota Medan terkait hasil jumlah partisipasi pemilih pada 11 Juni 2010
mendatang. KPU Kota Medan akan melaksanakan rapat dengan tim kampanye,
panwas, keamanan dan unsur muspida plus Kota Medan .
Dimana ini terkait dengan pelaksanaan kampanye putaran kedua yang berlangsung
pada 13 hingga 15 Juni 2010 mendatang. Nantinya rapat membahas rapat umum
terbuka dalam penyampaian visi misi sesuai dengan peraturan KPU 62/ 2009 tentang
pelaksanaan Pilkada, ini dikatakan Pandapotan Tamba SH kepada wartawan di kantor
KPU Medan.
Ya, kita akan merencanakan pertemuan pada 9 Juni 2010 siang sekitar pukul 14.00
Wib, yang diharapkan semua para peserta tim kampanye dapat menghadirinya.
Ketika ditanyakan apakah penetapan selayaknya menunggu putusan MK, Panda
hanya mengatakan kalau putusan MK apapun hasilnya KPU Medan akan tetap
melaksanakannya. Tapi jadwal yang sudah ditentukan harus juga tetap dilaksanakan.
Dimana proses hukum terus jalan, dan tahapan pilkada juga tetap jalan sehingga
mekanisme pelaksanaanya tidak tertunda dan tepat waktu, kata Tamba lagi.
Putusan MK Bisa Jadi Contoh
Kubu Rudolf Optimistis
Menurut anggota KPU Sumatera Utara (Sumut) Divisi Hukum, Surya Perdana,
keikutsertaan Rudolf-Afifuddin yang merupakan bakal calon atau belum menjadi
peserta Pilkada Medan sebagai pihak terkait dalam sengketa di MK memang hal yang
baru.
”Sehingga bila keputusan MK menerima gugatan Rudolf, itu juga akan menjadi hal
baru dan bisa menjadi yurisprudensi untuk sengketa yang sama. Ini memang hal biasa
dalam hukum jika ada putusan yang baru kemudian dijadikan acuan dalam sengketa
yang sama,” kata Surya di Medan, Jumat (4/6).
Hanya saja, Surya menyatakan, melihat persidangan di MK, saksi dari kubu Rudolf-
Afifuddin kurang meyakinkan.
”Mereka hanya berkutat pada pernyataan bahwa tak memilih karena Rudolf enggak
jadi peserta pilkada, padahal C6 atau formulir undangan memilih sudah dibagikan,”
ujarnya.
Anggota KPU Medan Divisi Hukum dan Humas, Pandapotan Tamba, mengatakan,
pemilih yang tidak mau memilih saat pemungutan suara bukan lagi menjadi tanggung
jawab KPU.
”Hal itu kan hak asasi pemilih, terserah mereka mau memilih atau tidak. Kami kan
sudah mendistribusikan formulir undangan memilih,” katanya.
Secara terpisah, Afifuddin mengakui, masuknya dia bersama Rudolf sebagai pihak
terkait dalam gugatan pasangan Arif Nasution-Supratikno di Mahkamah Konstitusi
sebagai hal yang baru sebab selama ini pihak pemohon gugatan dalam sengketa
pilkada biasanya merupakan peserta atau calon kepala daerah.
”Kami pun sebenarnya terkejut dapat menjadi pihak terkait dan ikut terlibat langsung
dalam sidang. Pengacara kami bisa ikut bertanya kepada saksi, baik yang diajukan
pemohon (pasangan Arif-Supratikno) maupun termohon (KPU Medan),” kata
Afifuddin.
”Kami kan bingung di mana keputusan KPU Medan mencoret kami bisa diuji. Masa
keputusan KPU bisa sewenang-wenang,” katanya. (BIL)
PILKADA MEDAN
Sama-sama Optimistis, Sama-sama Tegang...
Saat itu sebenarnya hari baru saja berganti. Udara dini hari menusuk tulang, terlebih
di luar hujan masih betah turun. Namun, obrolan dengan mantan Penjabat Wali Kota
Medan Afifuddin Lubis seperti tak hendak berakhir.
Dari Jakarta, anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Medan Divisi Hukum dan
Humas, Pandapotan Tamba, tak kalah optimistis. Mewakili pihak termohon,
Pandapotan memang menjadi satu-satunya anggota KPU Medan yang memiliki izin
beracara di pengadilan.
Aslinya yang bertikai di Mahkamah Konstitusi (MK) adalah KPU Medan dengan
pasangan Arif Nasution-Supratikno. Namun, menjelang keputusan MK yang
kemungkinan keluar pekan ini, semakin jelas ketegangan menunggu putusan MK
lebih karena faktor keikutsertaan Rudolf-Afifuddin sebagai pihak terkait dalam
gugatan Arif-Supratikno.
Materi gugatan Arif-Supratikno di MK, antara lain, menilai KPU Medan melanggar
undang- undang dalam menggelar pilkada, yang dibuktikan dengan tak
diikutsertakannya Rudolf-Afifuddin sebagai pasangan calon. Materi gugatan lain,
seperti formulir undangan memilih yang tak sampai ke tangan pemilih dan tingginya
angka golput, bak pemanis gugatan saja.
Sekarang ketegangan terjadi karena bila KPU Medan yang kalah di MK, konsekuensi
besarnya adalah akan ada pilkada ulang dan mungkin menyertakan Rudolf-Afifuddin.
Berapa besar biaya keluar selama Pilkada Medan jadi sia-sia. Siapa yang disalahkan
karena ini, tentu akan ada masanya ketika Pilkada Medan dievaluasi.
Tentu karena konsekuensi yang besar ini, kita mafhum bahwa pasangan Rahudman
Harahap-Dzulmi Eldin yang sempat menjadi peraih suara terbanyak dalam putaran
pertama berkepentingan agar MK tak mengabulkan gugatan Arif-Supratikno dengan
Rudolf-Afifudin sebagai pihak terkait. Rahudman-Eldin pun menjadi pihak terkait
dalam gugatan di MK ini dengan mendukung keputusan KPU Medan bahwa tidak ada
pelanggaran UU dalam pelaksanaan pilkada meski Rudolf-Afifuddin dicoret.
Ibarat bertinju
KPU Medan yang sejak awal tidak menyangka Rudolf-Afifuddin bisa menggunakan
berbagai jalur pengadilan, dari pengadilan tata usaha negara (PTUN) hingga MK,
tentu tegang menunggu putusan MK. Ibarat bertinju, mereka telah kalah dua ronde.
PTUN memenangkan gugatan Rudolf-Afifudin, baik di tingkat PTUN Medan maupun
di tingkat Pengadilan Tinggi TUN. Kini ring tinjunya beralih ke MK.
Pun demikian halnya pasangan Rudolf-Afifuddin. Ring tinju di MK ini menjadi jalan
terakhir mereka menggunakan hak politiknya untuk dipilih sebagai calon wali kota
dan wakil wali kota.
Apalagi, MK memiliki keputusan final dan mengikat untuk urusan pemilu ini.
Istilahnya, putusan MK hanya bisa dibatalkan Tuhan. Kalau sudah begini, jika
memang Tuhan menghendaki, ya Rudolf-Afifuddin bakal melenggang menjadi calon.
Bila Tuhan berkehendak lain, kali ini KPU Medan yang memenangkan
pertarungannya. (KHAERUDIN)
Puncak pelaksanaan Pilkada Medan 2010 bakal digelar (12/5) hari ini. Apa komentar
pasangan calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Medan, Rudolf M Pardede-Afiffudin
yang dimenangkan oleh PT TUN, karena gugatannya akibat digagalkan KPU Medan
untuk ikut bertarung di Pilkada Medan
“Tiga hari setelah pelaksanaan Pilkada Medan, maka kami akan sampaikan gugatan
ke Mahkamah Konstitusi (MK),” kata Rudolf M Pardede, saat acara syukuran atas
kemenangannya di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) Medan di Jalan
Kapten Patimura Medan, kemarin (11/5).
Rudolf mengatakan, Pilkada Medan 2010 cacat hukum, karena sudah ada putusan
PTUN Medan, dan PT TUN Medan serta adanya saran KPU Pusat agar memasukkan
pasangannya sebagai
calon Wali Kota Medan dan Wakil Wali Kota Medan. Tapi, kenyataannya tidak juga
dimasukkan. Artinya jelas KPU Medan tidak mematuhi aturan dan peraturan yang ada
di negara ini.
Makanya, katanya, dia tidak akan menggunakan hak suara pada Pilkada Medan.
Sebab, Pilkada Medan sudah cacat hukum. “Alasannya bila saya ikut Pilkada Medan,
maka saya mengikuti Pilkada Medan yang sudah cacat hukum. Ini artinya saya ikut
cacat hukum juga,” katanya didampingi Afiffudin Lubis.
Harapannya bila KPU Medan enggan melakukan penundaan sesuai apa yang
disampaikan dalam putusan PTUN Medan dan PT TUN Medan, maka tunggu saja
putusan MK yang memungkinkan pilkada ini bisa diulang. “Saya yakin Pilkada
Medan ini bisa diulang seperti kejadian di Bengkulu Selatan,” ucapnya.
Dia mengakui, munculnya masalah ini sebenarnya sudah dirasakannya sejak awal,
ketika dirinya akan menjabat sebagai Gubernur Sumatera Utara, mulai aksi beragam
sampai akhirnya duduk. Kini, masalah itu muncul lagi saat dirinya akan maju sebagai
pasangan bakal calon Wali Kota Medan.
“Jadi ini semula sudah saya duga akan adanya persoalan ini, tapi saya akan taklukkan
itu dengan jalur yang sesuai kaedah hukum yang ada,” ujarnya.
Rudolf mengungkapkan apa yang sudah diputuskan oleh pengadilan sebaikan dipatuhi
saja, bahkan sudah berulang kali pihaknya mengingatkan kepada KPU Medan, untuk
menyurati salinan putusan ke KPUD Sumut dan KPU Pusat ke DPRD Medan ke
kepolisian. Tapi, wujudnya
belum ada kejelasan.
“Tentunya proses pembiaran ini jadi pertanyaan besar masyarakat dan saya pribadi
sebagai warga negara yang memiliki hak hukum dan hak politik di Indonesia,”
paparnya. “Bisa saja ada kelompok yang melihat ini dan menganggap pasangan kami
bisa menghalangi, jadi kita sama-sama tahu sajalah,” sambungnya.
Dia menganggap apa yang sudah terjadi bukanlah hal yang perlu diperdebatkan.
Melainkan, perlu diketahui bersama ketika dirinya akan maju sebagai Wali Kota
Medan sebenarnya beberapa partai sudah ada yang mengajaknya bergabung salah
satunya adalah Partai Demokrat. Tapi, dirinya hanya ingin membuktikan bahwa tanpa
partai bisa maju.
“Jadi apa yang akan saya lakukan hanya untuk menyamakan posisi semua masyarakat
yang layak jadi pemimpin bisa maju tanpa melalui partai, siapa yang tidak tahu saya
kalau mau dari partai saja sudah gampang. Saya punya uang dan mantan gubernur,”
ucapnya.
Saat disinggung apa perasaannya ketika tidak ikut Pilkada Medan ini, Rudolf
mengakui kecewa dengan sikap KPU Medan. “Sebaiknya patuh saja kepada hukum
dan saya yakin akan ada Pilkada Medan lagi, kalau tidak mau rugi negara ini lebih
baik patuhi
saja putusan PT TUN Medan,” ucapnya.
Sementara itu pasangan Rudolf, Afiffudin Lubis menegaskan KPU Medan harus
mematuhi putusan pengadilan, sebab putusan ini sama dengan Undang-undang. Bila
dinyatakan PT TUN Medan ini tidak berwenang justru jadi pertanyaan sekarang ini,
pasalnya bila tidak berwenang tentunya sidang di PTUN Medan bisa dibubarkan
beberapa waktu lalu.
Sengketa Tunggu MK
”Kami akan kembali mengecek Kamis ini, kapan kira-kira putusannya keluar. Bisa
saja putusan keluar Jumat atau minggu depan, digabungkan bersama putusan sengketa
pilkada daerah lainnya,” ujar Pandapotan.
Terkait pencetakan surat suara yang sudah dilakukan KPU Medan, Pandapotan
mengaku tidak tahu-menahu. ”Selama ini saya berada di Jakarta dan tidak mengurus
soal logistik. Urusan pencetakan surat suara menjadi tanggung jawab divisi logistik,”
kata Pandapotan.
Ketua KPU Sumut Irham Buana Nasution mengaku geram dengan kenekatan KPU
Medan mencetak surat suara untuk putaran kedua, tanpa menunggu putusan MK.
”KPU Medan jangan jadi pahlawan kesiangan. Mereka jangan seolah-olah ingin
membuat pilkada baik-baik saja, tetapi malah menyandera diri sendiri,” kata Irham.
Menurut Irham, putusan MK harus dijadikan dasar hukum bagi pelaksanaan putaran
kedua Pilkada Medan. Karena itu, tidak bisa serta-merta KPU Medan mencetak surat
suara, sebelum ada putusan MK. Tindakan KPU Medan mencetak surat suara putaran
kedua sebelum ada putusan MK, menurut Irham, sangat berisiko.
”Risikonya tinggi sekali, baik dari sisi pertanggungjawaban hukum maupun anggaran.
Apa yang mereka lakukan jadi membuat kami yakin bahwa sudah sepantasnya Dewan
Kehormatan dibentuk memeriksa KPU Medan,” kata Irham.
Terkait kenekatan mencetak surat suara putaran kedua sebelum ada putusan MK,
anggota KPU Medan Divisi Logistik, Yenni Khairiah Rambe, mengatakan, tidak ada
aturannya KPU Medan harus menunggu putusan MK.
”Surat suara sudah dicetak. Kami tidak menunggu putusan MK. Itu pilihan sulit karena
waktunya juga sulit buat kami bila menghitung putusan MK keluar pada 12 Juni. Kami
siap mempertanggungjawabkan anggaran yang dipakai,” kata Yenni.
Menurut dia, KPU Medan tidak mungkin menunda pelantikan wali kota yang
waktunya telah ditetapkan pada 19 Juli. ”Kami sudah sangat saklek soal waktu karena
pelantikan wali kota tak bisa diundur. Soal ini kami juga sudah konsultasi dengan
Kementerian Dalam Negeri,” ujarnya.
”Dalil kami, yang menyatakan pemilu tidak diikuti 66 persen pemilih karena tidak
mendapat kartu undangan dan sikap golput karena pasangan Rudolf-Afifuddin tak
mengikuti pilkada, tak bisa dibantah KPU Medan,” katanya.
Sosialisasi Pilkada Kota Medan putaran II, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota
Medan hanya mempersiapkan poster dan baliho. Hal ini akibat minimnya anggaran
yang ditampung dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Kota Medan
yakni berkisar Rp134 juta.
"Pada putaran kedua ini, sosialisai yang dibiayai APBD hanya bisa utuk pengadaan
poster dan baliho," ujarnya.
Dikatakannya, pada Pilkada Medan putaran I lalu untuk pengadaan dan pemasangan
poster yang berisi informasi tanggal pemungutan suara dan pasangan calon
Walikota/Wakil Walikota Medan diputaran pertama hanya dialokasikan Rp 40 juta,
sedangkan untuk pengadaan dan pemasangan baliho/binner Rp 94 juta.
Terkait hal itu, pihaknya juga telah melakukan koordinasi dengan Panitia Pemilihan
Kecamatan (PPK) agar sesegera mungkin menyiapkan baliho dan poster yang akan
digunakan sebagai alat sosialisasi.
Rencananya poster sosialisasi dan baliko KPU Medan akan dinaikkan setelah
dikeluarkannya keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang akan dinaikkan secara
serentak di 21 kecamatan Kota Medan.
"Baliho dan sepanduk kami naikkan setelah ada keputusan MK, jadi sekarang masih
sebatas persiapan saja," ungkapnya.
Lebih lanjut, Rahmat juga menyatkan KPU Medan sangat berharap agar keputusan
MK terkait gugatan Pilkada Medan dapat dikeluarkan sebelum 11 Juni mendatang
sehingga waktu yang tersedia untuk sosialisasi dan persiapan tahapan Pilkada Medan
putaran kedua dapat lebih panjang.
PIHAK KETIGA
Dalam kesempatan itu Rahmat juga memaparkan karena APBD Medan hanya
menampung pengadaan poster dan baliho untuk tahap kedua ini, guna
memaksimalkan sosialisasi, KPU Medan melakukan kerjasama dengan pihak ketiga.
Seperti menyurati Dinas Pertaman Pemko Medan agar dapat membuat running text
terkait tanggal pelaksanaan Pilkada Medan putaran kedua, dan Dinas Infokom untuk
mengerahkan mobil keliling guna mensosialisasikan Pilkada ini kepada masyarakat.
Rahmat juga menyatakan pihaknya tetap optimis tingkat partisipasi pemilih pada 19
Juni mendatang akan lebih meningkat dibandingkan dengan putaran pertama 12 Mei
lalu meski minimnya jumlah anggaran yang dialokasikan untuk sosialisasi Pilkada
Medan.
TIDAK TERHUBUNG
"Kita tidak bisa menghubungkan antara minimnya jumlah anggaran dengan tingkat
partisipasi. Karena hal ini tidak bisa dihitung secara matematika, tapi melihat kondisi
sosial rill di lapangan. Jadi tingkat partisipasi nantinya, tergantung keseriusan KPU
melakukan sosialisasi," tukasnya sembari mengutarakan walaupun anggaran putaran
pertama untuk sosialisasi Rp1,303 miliar hanya mampu mencapai partisipasi pemilih
sebanyak 34 persen.
"Saya khawatir, tragedi Bengkulu Selatan bakal terulang untuk kasus Medan. Begitu
nanti hasil pilkada ada, lantas diajukan sengketa ke MK, saya khawatir putusannya
adalah pilkada ulang. Kalau sampai itu terjadi, maka saya akan merekomendasikan
lima anggota KPU Medan harus dipecat," tegas I Gusti Putu Artha kepada JPNN di
Jakarta, Selasa (11/5).
Seperti diketahui, hasil pilkada di Bengkulu Selatan yangs udah berlangsung dua
putaran dengan menelan sekitar Rp15 miliar, dibatalkan MK pada 8 Januari 2009
karena bupati terpilih, yakni Dirwan Mahmud, pernah tersangkut kasus pidana.
Pilkada harus diulang tanpa menyertakan pasangan Dirwan-Hartawan, paling lambat
Januari 2010. Namun baru terlaksana lagi April 2010 karena pemungutan suara ulang
perlu anggaran sekitar Rp9 miliar. Sedang Pemkab Bengkulu Selatan tak siap dana.
Maklum, pendapatan asli daerah (PAD) kabupaten ini hanya sekitar Rp2,5 miliar per
tahunnya.
Bukan hanya anggota KPU Medan yang dianggap harus bertanggung jawab jika MK
memutuskan pilkada ulang. Putu dengan tegas juga menyebut, KPU Sumut dibawah
pimpinan Irham Buana Nasution juga harus ikut bertanggung jawab. Menurut Putu,
Irham Buana dkk harus disidang di Dewan Kehormatan. Alasannya, KPU Sumut
dianggap lambat, tidak cekatan, dan dianggap gagal menjalankan tugasnya untuk
melakukan pembinaan dan supervisi terhadap KPU Medan. "Bahkan malah melakukan
pembiaran," ujar Putu.
Malahan, Putu mengkaitkan kinerja Irham Buana dkk dengan kasus pemilu 2009
silam, dimana ada persoalan fatal yakni pemungutan suara ulang di Nias. "Sudah dua
kali, gagal. Nias belum sembuh, sekarang di pilkada Medan. Pasti tak akan
dimaafkan," tegas Putu.
Dikatakan Putu, berdasarkan hasil evaluasi terhadap kinerja KPU provinsi, KPU
Sumut termasuk yang paling gagal menjalankan fungsi supervisinya. Bila di sejumlah
provinsi lain, paling hanya ada satu kasus pilkada yang menonjol, namun untuk
Sumut, pilkada di sejumlah kabupaten/kota bermasalah. "Untuk Sumut, paling tidak
ada empat yang kasusnya masuk ke Jakarta. Misalnya kasus Humbang Hasundutan,
Taput, dan Medan. Secara nasional, di Sumut riak-riaknya paling menyolok," ucap
Putu. Putu mengingatkan, mestinya KPU Sumut bisa bergerak cepat dan cekatan
dalam menghadapi persoalan yang muncul sehingga tidak berlarut-larut.
Seperti diberitakan, dua hari menjelang Pilkada Medan, Majelis Hakim PT TUN
Medan mengeluarkan putusan yang memenangkan pasangan bakal calon Wali Kota
Medan dan Wakil Wali Kota Medan, Rudolf M Pardede-Afiffudin Lubis. Putusan PT
TUN Medan ini sesuai Surat Pemberitahuan Putusan Banding No 18/G/2010/PTUN-
MDN jo No 76/B/2010/PT.TUN-MDN pada 10 Mei 2010.
Dalam amar putusannya tanggal 10 Mei 2010 berbunyi, mengadili menerima
permohonan banding tergugat/pembanding, menguatkan putusan PTUN Medan No
18/G/2010/PTUN-MDN tanggal 19 April 2010 yang dimohon banding dan
menghukum tergugat membayar perkara di tingkat banding sebesar Rp250 ribu. Surat
pemberitahuan yang ditandatangani oleh Panitera PT TUN Medan, Sima Sitepu itu
disampaikan kepada tim Rudolf M Pardede, Senin (10/5). Namun, tahapan pilkada
jalan terus. Sesuai jadwal, Rabu (12/5) masuk tahapan pemungutan suara. (sam/jpnn)
Medan, BATAKPOS
Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Medan hingga kini belum berani mencetak
surat suara yang akan dipergunakan pada Putaran II Pilkada Medan 19 Juni 2010
mendatang. Sementara, pihak percetakan yang berlokasi di Kudus telah meminta
waktu minimal 12 hari untuk mencentak sekaligus mengirimkan surat suara hingga
sampai di Medan.
Belum dicetaknya surat suara, karena lembaga penyelenggara pilkada tersebut tengah
menunggu hasil sidang sengketa Pilkada Medan digelar Mahkamah Konstitusi (MK).
“Kita menunggu hasil sidang di MK, terutama besok (hari ini-red) yang beragenda
pengajuan bukti dari KPU Medan,” kata Kadiv Pengadaan Logistik KPU Medan
Yenni K Rambe, Senin (31/5).
Demikian Ketua KPU Medan Evi Novida Ginting melalui anggota KPU Divisi Hukum dan Humas
Pandapotan Tamba kepada wartawan, Minggu (6/6) malam.
Terkait hari yang diliburkan ini, KPU Medan telah mengkoordinasikannya dengan Pemko Medan dan
instansi terkait lainnya.
"Kita tinggal menunggu keluarnya surat edaran walikota terkait hal ini untuk disosialisasikan kepada
masyarakat," tukasnya.
Sosialisasi
Terkait sosialisasi Pilkada Putaran II kepada masyarakat, diungkapkan Tamba, karena minimnya
anggaran serta keterbatasan waktu, KPU Medan mengharapkan Pemko Medan membantu melakukan
sosialisasi ke masyarakat melalaui jajarannya mulai dari camat hingga kepada kepala lingkungan.
"Rencananya hari ini, (Senin-red), KPU Medan akan berkoodinasi ke pada Pemko Medan terkait
sosialisasi Putran II Pilkada Medan" paparnya.
Menyangkut masa kampanye, Tamba mengutarakan sampai hari ini, KPU Medan belum menentukan
jadwal kampanye putaran II berlangsung.
Sebab, berdasarkan peraturan KPU Medan nomor 62/2009 hanya ada dilakukan penajaman visi dan
misi bagi kedua pasangan calon.
Meskipun, lanjut Tamba, tidak menutup kemungkinan hal ini bisa ditafsirkan pelaksanaan kampanye
tertutup atau terbuka dengan pengerahan massa di lapangan.
"Kita nantinya akan menggelar rapat koordinasi terkait hal ini kepada kedua tim kampanye pasangan
calon, apakah akan menggunakan waktu tiga hari kampanye atau memanfaatkannya untuk kegiatan lain
yang lebih efektif," tukas Tamba sembari mengutraklan format bentuk kampanyenya masih belum
disepakati dengan kedua pasangan calon.
Diharapkan begitu keluar atau diputuskannya, hasil sengketa Pilkada Medan di MK, KPU Medan
langsung menggelar koordinasi dengan kedua pasangan calon.
Putusan MK
"Direncanakan keputusan MK terkait sengketa Pilkada Kota Medan akan diumumkan, Selasa (8/6),"
jelas Tamba sembari mengutarakan semua pihak baik pemohon, tergugat dan pihak terkait agar
menghomati apapun yang diputuskan MK nantinya.
aSesuai peraturan MK Nomor 15/2008 disebutkan, barang siapa yang merasa dirugikan terhadap hasil
rekap Pilkada dipersilahkan mengajukan keberatan di MK.
Pilkada Medan
Akhirnya anggaran yang ditetapkan untuk Panitia Pengawas Pemilihan Kepala Daerah
Kota Medan dapat direalisasikan. Perealisasian ini akhirnya dapat terwujud setelah
pihak Pemerintahan Kota Medan resmi menandatangani pengajuan dana anggaran
sebesar Rp7,1 miliar untuk Panwas Pilkada Kota Medan tersebut.
Pelaksana tugas sekretaris daerah Pemerintahan Kota Medan, Muhammad Fitriyus,
mengemukakan, anggaran panwas sudah yang tertuang dalam Memorandum of
Understanding hibah Pemko Medan dengan Panwas telah ditandatangani. “MoU sudah
ditandatangani. Mungkin besok sudah bisa digunakan,” kata Fitriyus, kepada Waspada
Online, malam ini.
Sementara itu, ketua Panwas Pilkada Kota Medan, Muhammad Aswin, juga mengakui
bahwa pihaknya telah mendandatangai nota kesepahaman dengan Pemko Medan
terkait dana hibah kepada Panwas Pilkada Kota Medan.
Apa yang masih tersisa dari Pilkada, 12 Mei 2010, yang berlangsung di 9
kabupaten/kota di Sumatera Utara? Selain masih adanya putaran kedua,
adalah rendahnya partisipasi politik masyarakat untuk ikut Pilkada kali ini. Kita
sangat prihatin kalau prosentasi peserta Pilkada di sebuah TPS ada yang di
bawah 30 %. Tanpa mencari ‘kambinghitam’ penyebab rendahnya partisipasi
itu, maka kehadiran e-Voting (Electronic-Voting) diharapkan akan menjadi
solusi bagi mendorong tumbuhnya partisipasi masyarakat di masa datang.
Semangat untuk menjadikan e-Vote sebagai piranti Pilkada, belum lama ini
diajukan oleh Bupati Jemberana, I Gede Winasa kepada Mahkamah
Konstitusi. Kabupaten Jemberana akan melakukan Pilkada pada November
2010 ini. Bupati Jemberana meminta MK menguji konstitusionalitas pasal 88
UU No.32 Tahun 2004 yang mengatur pemberian suara dalam Pilkada.
Ternyata, MK mengabulkan permohonan Bupati Jemberana. Putusan MK, e-
Vote konstitusional sepanjang tidak melanggar asas Pemilu yang langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
Keputusan MK ini tentu saja tak serta merta menjadikan e-Vote sebagai
pilihan karena untuk sampai pada putusan e-Vote atau tidak maka banyak hal
yang harus diselesaikan. Satu yang terpenting adalah, kemauan politik
pemerintah untuk meregulasi aturan, yakni UU No. 32 Tahun 2004. Pihak KPU
tampaknya belum berkemauan kuat untuk mendorong e-Vote ini dengan
alasan aturan perundang-undangan.
Memang tidak bisa menjadikan India sebagai perbandingan yang pas karena
metode Pemilu antara Indonesia dan India juga berbeda. Tapi efisiensi
anggaran Pemilu pasti dapat ditekan lebih rendah. Masalahnya, adalah,
banyak pihak yang merasa tidak diuntungkan, bila menggunakan anggaran
yang murah sehingga berakibat proses regulasi tadi alot.
Sensus 2010
Penerapan e-Voting pada Pemilu 2014 mendatang tentu saja pas bila
dilakukan seiring dengan kegiatan Sensus Penduduk 2010 yang sedang
dilakukan pemerintah. Dengan kegiatan Sensus itu maka data penduduk jauh
lebih valid. Selanjutnya adalah menyusun konsep e-KTP (elektronik KTP)
dengan registrasi nasional. Kita berharap rencana pemerintah untuk
mengimplementasikan SIAK (Sistem Informasi Administrasi Kependudukan)
dapat direalisasikan. Karena inilah yang sesungguhnya akan menjadi dasar
penggunaan e-Voting. Tanpa e-KTP, maka mustahil e-Voting bisa dilakukan.
Dia melanjutkan, bahan yang sudah disiapkan mulai verifikasi KTP dukungan calon
perseorangan, seluruh berkas yang diserahkan ke KPU Medan, surat yang diterima
dari KPU Medan, putusan PTUN Medan, putusan PT TUN Medan dan surat KPU
Pusat.
"Berikut juga surat yang disampaikan pihak KPU Medan tertanggal 20 Februari 2010
tentang kekurangan syarat yang harus dilengkapi oleh pihaknya, sampai pada hasil
pleno KPU Medan tentang hasil Pilkada Medan," tegasnya.
Ketua Tim Pemenangan pasangan Bakal Calon Walikota Medan, Rudolf-Afif,
Ramses Simbolon mengatakan, sejauh ini pihaknya terus memperdalam materi
sebagai senjata untuk gugatan ke MK.
Selain melakukan gugatan ke MK, kata Ramses, pihaknya akan tetap mengacu
kepada jalur Mahkamah Agung (MA) atas jalur kasasi yang dilakukan KPU Medan.
"Namun, untuk langkah ke MK tetap maju," ujarnya.
"Ini bagian perjuangan kami, jadi tak mungkin dukungan yang ada pada kami
dipindahkan," katanya dan menegasakan pihaknya tidak akan mundur atas persoalan
itu. Hukum adalah penyelesaiannya.
Untuk diketahui, munculnya masalah ini ketika KPU Medan pada 12 Maret lalu
membatalkan pasangan Rudolf-Afif sebagai calon Walikota Medan periode 2010-
2015 diakibatkan tidak legalnya ijazah mantan Gubsu, Rudolf M Pardede. Perkara itu
bermuara ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang dimenangkan kubu Rudolf
dan dimenangkan lagi di tingkat Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN).
www.harian-global.com
Kompas.com
Divisi logistik KPU Medan, Yenni Khairiah Rambe menyebutkan, percetakan PT Pura
Barutama di Kudus Jawa Tengah sudah memulai pencetakan surat suara kebutuhan
putaran kedua Pilkada Medan.
"Hari ini surat suara mulai dicetak. Kami memahami bahwa ada pertimbangan yang
sulit dalam pencetakan, namun kami tetap melakukannya," kata Yenni kepada
wartawan di Kantor KPU Medan di Jalan Kejaksaan Nomor 37 Medan, Rabu (3/6).
"Kalau ditunggu 14 hari putusan MK baru dimulai pencetakan, kami khawatir tidak
mampu menyiapkan logistik dengan waktu yang tepat, dan Pilkada Medan justru
menjadi kacau," kata Yenni.
"Itukan andai," kata Yenni ringan dan mengatakan dana yang dianggaran untuk
logistik dua putaran sebesar Rp 1,7 miliar.
Secara terpisah, Ketua KPU Sumut, Irham Buana Nasution mengatakan KPU Medan
jangan menjadi pahlawan kesiangan. Dengan beranggapan untuk menyelenggarakan
Pilkada dengan baik malah akan berhadapan dengan hukum dalam penggunaan
anggaran.
"Seharusnya KPU Medan menunggu putusan MK, gara gara ingin menyelenggarakan
Pilkada dengan baik, malah berhadapan dengan hukum," kata Irham.
Diakuinya bahwa posisi sulit sedang dihadapi KPU Medan, di mana rentang waktu
yang sangat singkat membuat KPU Medan harus berpikir antara kualitas pilkada
dengan kemungkinan putusan. Hal itu tidak terlepas dari kurang siapnya KPU Medan
dalam menyusun jadwal Pilkada Medan, baik dalam putaran pertama maupun putaran
kedua.
• Politik
• Suara Karya
MEDAN (Suara Karya) Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Medan, Sumatera
Utara, diingatkan untuk tidak mengambil langkah yang keliru, dengan memaksakan
diri mencetak surat suara putaran II Pemilu Kepala Daerah (Pilkada) Medan sebelum
putusan Mahkamah Konstitusi (MK) ditetapkan. "Itu langkah yang keliru jika benar
KPU Medan sudah mencetak surat suara putaran II sebelum putusan MK," ujar Ketua
KPU Sumatera Utara (Sumut) Irham Buana Nasution, Kamis (3/6).
Karena, tutur dia, tidak ada yang bisa memprediksi bagaimana hasil keputusan MK
dalam gugatan sengketa pilkada. Karena itu, KPU Medan diminta bersabar
menunggunya. "Ini akan menjadi blunder jika memang "telah dicetak, bagaimana
kalau MK memutuskan Pilkada Medan diulang," kata Irham yang juga supervisi KPU
tingkat II se-Sumut.
Sebagaimana dimaklumi, calon Wali Kota/Wakil Wali Kota Medan periode 2010-
2015, Arif Nasution/Supra-tikno menggugat KPU Medan ke MK minggu lalu karena
hanya sekitar 35 persen warga Medan yang memberikan hak suara pada Pilkada
Medan yang berlangsung 12 Mei lalu. Ini merupakan kesalahan KPU Medan yang
kurang mensosialisasikan pemilihan walikota, apalagi menurut dia tidak semua warga
yang mendapat undangan (formulir C-l).
Menurut Irham Buana, pengadaan logistik pilkada memang hak absolut KPU Medan.
Baik itu tahapan persiapan sampai pencetakan. Kendati demikian KPU Medan
diminta tidak berspekulasi dengan putusan MK yang belum tentu KPU Medan
menang.
Anggota Panwas Pilkada Medan Robinson Simbolon juga sependapat dengan Ketua
KPU Sumut. Menurut dia, KPU Medan telah melanggar keputusan awalnya jika
nekad mencetak surat suara putaran II sebelum putusan MK. Dia pun meminta KPU
Medan menunggu putusan MK keluar.
Anggota Divisi Logistik KPU Medan Yenni Khairiah Rambe yang dikonfirmasi
mengatakan, pencetakan surat suara tidak bisa menunggu putusan MK. Sebab,
pengadaan surat suara akan tidak tepat waktu sehingga putaran II Pilkada Medan tidak
terkejar. Menurut dia, pengadaan surat suara mulai pencetakan sampai distribusi dari
Kudus memakan waktu minimal 12 hari. Karena pilkada putaran II digelar 19 Juni
mendatang; maka surat suara harus dicetak paling lambat 7 Juni ini. IM Tunpuboion)
*Ringkasan berita ini dibuat otomatis dengan bantuan mesin. Saran atau masukan
dibutuhkan untuk keperluan pengembangan perangkat ini dan dapat dialamatkan ke
tech at mediatrac net.
Fokus Kompas : KERUSUHAN PILKADA DI BUMI RONGGOLAWE TUBAN
Kompas - 7 Mei 2006
Di satu sisi, pemilihan kepala daerah (pilkada) dipandang sebagai bagian dari "rezim
otonomi daerah". Di sisi lain, di dalam pelaksanaannya, pilkada menggunakan
sebagian dari "rezim pemilu".
Hanya saja, benang merah itu pada dasarnya hanya bisa menjelaskan konteks makro
saja. Pada kenyataannya, kasus-kasus yang muncul itu memiliki kekhususan
(particularistic).
Kekhasan inilah, barangkali, yang bisa dipakai sebagai titik tolak untuk memahami,
mengapa konflik pilkada di Depok relatif berlangsung secara damai dan bisa
diselesaikan secara kelembagaan. Sebaliknya, di Kabupaten Kaur, Provinsi Bengkulu,
dan di Tuban, Jawa Timur, konflik itu disertai dengan aksi kekerasan dan pembakaran
yang menimbulkan kerugian miliaran rupiah.
Terletak di kawasan pantai utara (pantura) Jawa Timur, berbatasan dengan wilayah
Jawa Tengah, Tuban selama ini sebenarnya termasuk wilayah yang jarang
bermasalah.
Ini berbeda dengan Kabupaten Banyuwangi. Di daerah ini pelaksanaan pilkada juga
bermasalah. Tetapi, orang secara mudah memaklumi mengapa di Banyuwangi
bermasalah.
Mulai beroperasinya Blok Cepu akan membuat Tuban menjadi daerah industri yang
lebih cepat perkembangannya, karena Tuban akan menjadi salah satu wilayah
pengolahannya.
Berangkat dari argumen para penganut pemikiran neoliberal, perubahan seperti itu
akan mempercepat adanya kesejahteraan di masyarakat. Paling tidak, infrastruktur
yang ada di daerah, seperti jalan, akan lebih baik. Bagaimanapun, perkembangan
industri pasti membutuhkan perbaikan infrastruktur yang bisa dinikmati oleh publik.
Dalam batas-batas tertentu, argumen seperti itu ada benarnya. Dalam tahun-tahun
terakhir ini pembangunan jalan di Kabupaten Tuban termasuk yang terbaik di Jawa
Timur. Perbaikan itu bahkan sampai masuk ke wilayah-wilayah pedesaan.
Model perbaikan jalan seperti itu mengingatkan pada argumen salah satu teori
modernisasi bahwa suatu masyarakat akan cepat mengalami percepatan mobilisasi
manakala terjadi perbaikan jalan.
Melalui perbaikan jalan, tidak hanya transaksi-transaksi ekonomi yang akan berjalan
lebih baik. Perbaikan jalan itu akan memungkinkan terjadinya mobilisasi geografi
yang lebih cepat.
Sekadar fisik
Untuk menjawab pertanyaan ini, mau tidak mau kita harus melihat konteks politik
lokal di Tuban dalam lima tahun terakhir. Penglihatan demikian menjadi lebih
bermakna kalau kita menyadari bahwa sejak saat itu otoritas pemerintah daerah,
termasuk otoritas di dalam distribusi dan alokasi sumber-sumber yang dimiliki
daerah, cukup besar.
Namun, tuntutan demikian tidak lebih dari bentuk popular vote saja. Proses-proses
politik lanjutan ternyata tidak mencerminkan tuntutan perubahan seperti itu.
Babak pertama, selaku partai pemenang Pemilu 1999, PDI-P gagal memenangi
perebutan kursi Ketua DPRD. Haeny Relawati Rini Widiastuti dari Golkar justru yang
terpilih sebagai Ketua DPRD. Babak kedua, pada saat pemilihan bupati tahun 2000,
Haeny terpilih sebagai pemenangnya. Gabungan PDI-P dan PKB tidak mampu
membendung melajunya perempuan politisi muda itu.
Masalahnya tidak berhenti di situ. Dilihat dari sisi kualitas, Haeny termasuk politisi
cerdas dan memiliki performance yang meyakinkan. Tetapi, rumor yang ada di dalam
masyarakat Tuban menyebutkan, kemenangan-kemenangan itu tidak lepas dari peran
sang suami.
Sebagai pengusaha sukses, suami Haeny tidak hanya memberikan dorongan. Dalam
rumor disebutkan, sang suami adalah arsitek dan aktor utama dalam kemenangan
Haeny, termasuk dalam melobi politisi dari partai-partai di luar Golkar.
Tidak sekadar memberi kontribusi dalam pemenangan pemilihan Ketua DPRD dan
bupati, sang suami juga dirumorkan memiliki peran yang sangat menentukan di dalam
perjalanan pemerintahan di Tuban. Termasuk di dalamnya yang berkaitan dengan
alokasi dan distribusi sumber-sumber yang ada di Tuban.
Secara politik, munculnya pengaruh besar seperti itu memang tidak menjadi masalah.
Tetapi, kelompok-kelompok yang kritis dan yang merasa terpinggirkan dari peta
seperti itu melihat bahwa pengaruh besar seperti itu lebih banyak menguntungkan
keluarga bupati.
Peran suami
Dalam konteks seperti itu, meskipun selama menjabat sebagai bupati, Haeny bisa
menyulap Tuban sebagai salah satu daerah yang memiliki infrastruktur jalan yang
terbaik di Jawa Timur, bahkan di Indonesia, adanya keinginan untuk mengakhiri
kekuasaannya juga cukup besar.
Padahal, kawasan ini merupakan basis Nahdlatul Ulama (NU) dan sebagian besar
dimenangi oleh PKB. Tudingan itu mulai mengemuka pada saat pencalonan bupati.
Seorang pengusaha minyak gagal menjadi calon dari koalisi PKB dan PDI-P gara-
gara kesandung masalah ijazah.
Masalah ini dipandang sebagai skenario Haeny karena yang berwenang memberi surat
keterangan bahwa sang calon itu pernah menamatkan sekolah adalah Dinas
Pendidikan Tuban.
Dalam konteks Haeny sebagai incumbent dan besarnya pengaruh sang suami itulah
lalu muncul kecurigaan-kecurigaan bahwa proses pilkada di Tuban tidak berlangsung
secara fair. Aroma seperti inilah yang cepat menyulut emosi massa untuk melakukan
aksi-aksi anarki.
Melihat fakta bahwa yang dibakar massa merupakan simbol-simbol yang berkaitan
dengan kekuasaan dan keluarga Haeny, seperti pendapa kabupaten, Kantor Komisi
Pemilihan Umum Daerah, Kantor Golkar, dan aset-aset perusahaan sang suami, aksi
ini tidak bisa dijelaskan semata-mata karena problem pelaksanaan pilkada.
Kecurigaan adanya alokasi dan distribusi sumber-sumber daerah yang tidak fair
merupakan faktor yang tidak kalah pentingnya. Kecurigaan ini agaknya sudah
mengendap lama di benak para perusuh sehingga meletus keras ketika terdapat
"lubang" dalam pelaksanaan pilkada.
Kacung Marijan Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga,
Surabaya
___________________________________________
Mendadak nama Go Tjong Ping menjadi terkenal. Bukan karena namanya sempat
dikait-kaitkan dengan kerusuhan Tuban pascapemilihan kepala daerah, Sabtu 29 April
lalu, tetapi karena kiprahnya di dunia politik.
Sebuah ranah yang teramat dihindari atau bahkan dijauhi oleh warga keturunan China
setelah peristiwa Gerakan 30 September PKI 1965. Go Tjong Ping justru terjun dalam
dunia politik dengan menjadi politisi.
Pria kelahiran Tuban, 6 Agustus 1955, itu kini tercatat sebagai Wakil Ketua DPRD
Tuban, sekaligus Ketua Dewan Pimpinan Cabang PDI Perjuangan (PDI-P) di daerah
kelahirannya. Saat pilkada lalu, Go Tjong Ping digandeng Noor Nahar Hussein yang
mencalonkan diri sebagai bupati. Akan tetapi, pasangan ini dikalahkan incumbent
Haeny Relawati yang berpasangan dengan Lilik Soehardjono.
Di luar kekalahan Go Tjong Ping dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) dan
namanya yang dikait-kaitkan dengan kerusuhan pascapilkada, berkiprahnya warga
keturunan dalam panggung politik menjadi sorotan tersendiri, bahkan menarik untuk
dikaji. Soalnya itu terjadi di wilayah Tuban yang selama ini jauh dari hiruk-pikuk
politik, terlebih kerusuhan berbau politik.
Ditemui di sebuah tempat, 2 Mei lalu, Go Tjong Ping mengaku bahwa bukan hanya
dia seorang warga keturunan China di Tuban yang terjun ke dunia politik. Ada Tan
Tjoan Hong yang menjadi Wakil Bendahara Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), partai
yang didirikan Abdurrahman Wahid. Ada pula Ie Kim Hung yang menjadi pengurus
PKB Kecamatan Soko.
"Itu warga keturunan China yang masuk jajaran pengurus partai. Yang menjadi
simpatisan partai tentu masih banyak lagi. Namun, harus saya akui, belum ada
seorang warga keturunan pun yang duduk di pemerintahan," kata Go Tjong Ping.
Tidak ada angka pasti ke mana preferensi warga keturunan di Tuban dalam
menyalurkan aspirasi politiknya. Namun, Go Tjong Ping memperkirakan, dari sekitar
6.000 warga keturunan dewasa, aspirasi politik mereka disalurkan ke PDI-P 60
persen, PKB 30 persen, dan Partai Golkar 10 persen. "Itu terjadi setelah reformasi.
Saat Orde Baru dulu kalau tidak ke Golkar, ya ke PDI," katanya.
Di Kabupaten Tuban sendiri, dari 20 kecamatan yang ada, warga keturunan China ada
di hampir seluruh kecamatan, kecuali di Kecamatan Senori. Artinya, warga keturunan
dapat diterima dan berbaur baik dengan warga setempat.
"Ini kerusuhan yang pertama kali terjadi di Tuban. Wajar kalau kami (warga
keturunan China) menjadi sangat khawatir dan bahkan takut karena kerusuhan ini
membawa-bawa warga keturunan," kata Imelda, bukan nama sebenarnya, warga
keturunan China yang ditemui, Rabu (3/5) siang, seusai beribadat di Kelenteng Kwan
Sing Bio, Tuban.
Keguyuban antarwarga Tuban memang harus diakui sudah terjalin dengan baik. Ini
dibuktikan dengan menyatunya warga keturunan China maupun Arab, tentu dengan
warga Tuban lainnya, yang setiap sore hari menjelang malam duduk-duduk di
perempatan jalan sambil minum tuak, minuman khas Tuban terbuat dari buah siwalan
yang difermentasi.
Mengenai guyubnya warga keturunan China dengan warga Tuban, Tan lewat
pengetahuan sejarah yang dimilikinya bisa merunut ke masa tentara Tar Tar
(Mongolia) di bawah komando Sih-pie, Kau Sing, dan Ike Messe yang pernah
mendarat di Tuban sebelum meneruskan perjalanan ke Sedayu.
Peristiwa yang sezaman dengan Kerajaan Majapahit ini bagi Tan tidak bisa
dilepaskan dengan kehadiran orang China di Tuban. "Meski Tar Tar itu Mongolia,
tetapi tentaranya yang sebagian tinggal di Tuban adalah orang-orang China," katanya.
Hal yang sama berasal dari tulisan Ma Hua dalam bukunya, Ying Yai Shing Lan. Ma
Hua adalah orang Tionghoa beragama Islam, yang mengiringi perjalanan pengembara
Cheng Ho (1413 M-1425 M).
Menurut Tan, sebagian pengikut Cheng Ho juga menetap di Tuban, tidak meneruskan
lagi perjalanan. Saat bala tentara Jepang melaksanakan ekspansi politik dan mendarat
di Tuban, tutur Tan, juga membawa bala tentara dari tanah jajahannya, China, ke
Tuban.
"Peristiwa hadirnya tentara Tar Tar, Laksamana Cheng Ho, dan tentara Jepang itulah
yang kami catat sebagai masuknya warga Tionghoa di Tuban. Jadi sudah lama sekali
sehingga wajar kalau masalah etnis di Tuban sebenarnya tidak ada. Kami sudah
guyub sejak lama," ujar Tan.
Baik Go Tjong Ping maupun Tan Tjoan Hong mengakui, keterpanggilannya terhadap
dunia politik adalah semata-mata sosok Abdurrahman Wahid, mantan Presiden RI
yang biasa dipanggil Gus Dur. Memang bagi warga etnis China, selain figur penting,
Gus Dur dianggap sebagai "Bapak Etnis China". Karena berkat Gus Dur, keberadaan
etnis China serta kebudayaan yang melekat namun sempat tidur selama masa Orde
Baru itu lebih diakui.
Bahkan Tan merujuk pula jasa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang selain
mengakui Khonghucu sebagai agama, juga meminta perkawinan para pemeluk agama
Khonghucu diakui di catatan sipil.
"Terus terang, saya terjun ke politik karena Gus Dur. Bahkan saya langsung masuk ke
PKB, partai yang didirikan Gus Dur. Orang boleh saja bilang Choirul Anam adalah
tokoh hebat di Jawa Timur yang disebut-sebut memimpin PKB. Tetapi saya pribadi
tetap ikut Gus Dur. Pokoknya Gus Dur," kata Tan.
Bagi Go Tjong Ping, terjun ke dunia politik adalah masa depan yang harus tetap
diraih. Dia mengaku jalan menuju kursi pemerintah menjadi jauh kembali saat kalah
dari pasangan Haeny-Lilik, tetapi upaya hukum tetap akan dilakukan. Bahkan, lewat
sikap politik PDI-P dan PKB tentang Pilkada Tuban, disebut-sebut permintaan untuk
melaksanakan pilkada ulang.
Bagi Imelda dan sebagian warga keturunan lainnya di Tuban, upaya Go Tjong Ping
untuk tetap berkiprah di dunia politik menjadi "kekhawatiran" tersendiri. Warga
keturunan yang pernah trauma berpolitik pasca-G30S PKI akan lebih trauma lagi
dengan peristiwa Tuban.
Namun, bagi Tan Tjoan Hong, berpolitik bagi warga keturunan China bukanlah
sesuatu yang haram. Tuban telah membuktikannya, dengan segala plus-minusnya.
__________________________________________
Sekitar pukul 08.30 geliat warga Tuban kian terasa. Tak hanya kesibukan warga kota
yang sekadar berkendara atau hanya berjalan-jalan, namun warga yang berasal dari
pelosok Tuban ikut menyesaki kota. Mereka memenuhi truk-truk berbadan besar
sambil mengibar-kibarkan bendera gambar pasangan Noor-Go.
Puluhan truk itu membawa massa yang akan berunjuk rasa di depan kantor Komisi
Pemilihan Umum (KPU) Tuban. Lebih dari 5.000 orang yang mengatasnamakan
Aliansi Masyarakat Tuban Peduli Pilkada itu berkumpul di depan kantor Dewan
Pimpinan Cabang Partai Kebangkitan Bangsa (DPC PKB).
Sekretaris KPU Tuban Agus PH saat ditemui Kompas, 2 Maret, menuturkan, setelah
menerima tembusan Polres Tuban akan adanya 1.000 orang yang berunjuk rasa ke
KPUD, pihaknya menyiapkan meja dan mencari taplak, juga air mineral kemasan.
”Kami menghormati tamu,” katanya. Meski yang mendaftar 1.000 orang, KPUD
hanya menerima lima wakil massa, lima aparat keamanan, dan 10 wartawan. ”Namun
belum meja diberi taplak, batu sudah bertebaran,” kenangnya.
Seiring panasnya hawa kota yang terletak di pesisir pantai utara Pulau Jawa itu,
bergeraklah ribuan orang menuju kantor KPUD yang letaknya sekitar 20 meter dari
DPC PKB di Jalan Dr Wahidin Sudirohusodo.
Bergeraknya massa dari kantor DPC PKB ini memunculkan dugaan, massa memang
telah diorganisir elite politik tertentu. Bahkan, dipersiapkannya jeriken berisi bensin,
berpuluh-puluh truk, dan ratusan kendaraan yang menuju pusat kota diperkirakan
sudah direncanakan sebelumnya.
”Massa yang bertolak dari satu titik menunjukkan mereka diorganisir. Tempat-tempat
mana yang akan dijadikan sasaran kerusakan juga sudah ditentukan,” tuding Haeny
saat ditemui.
Namun, tudingan itu cepat ditepis pasangan Noor-Go. Go Tjong Ping, misalnya, tegas
mengatakan, massa bersifat spontan dan marah karena ketidakpuasan mereka selama
ini. ”Mereka juga tidak puas atas hasil pilkada ini karena setiap laporan kecurangan
tidak pernah ditanggapi,” kata Go Tjong Ping saat ditemui secara terpisah.
Kurangnya kesiapan aparat keamanan membuat massa leluasa meluapkan amarah.
Massa pun berhasil menduduki KPUD dan menghancurkan apa saja yang ditemukan.
Puas menghancurkan KPUD, massa bergerak menuju pendopo. ”Itu rumah rakyat.
Kita rebut milik kita,” teriak seorang pendemo yang diamini pendemo lainnya.
Dalam hitungan menit, Pendopo Kridho Manunggal di Jalan Gubernur Suryo yang
baru direnovasi dengan biaya Rp 15 miliar itu pun hangus terbakar. Saat
meninggalkan pendopo, massa membunyikan gamelan yang mereka ambil dari
pendopo. Dari titik itu, mereka menuju tempat-tempat aset pribadi milik keluarga
Bupati.
Dua stasiun pengisian bahan bakar untuk umum dirusak, dua rumah pribadi dibakar
dan dirusak, kantor sekaligus gudang logistik CV 99 dan Hotel Mustika, yang
semuanya milik keluarga Bupati, juga dibakar. Massa juga merusak kantor DPC
Partai Golkar yang terletak di Jalan Basuki Rahmat dan rumah Ketua KPU Tuban
Soemito Karmani.
Namun, dari sekian banyak aset yang hancur, terbakarnya pendopo merupakan hal
yang paling disesali sebagian besar masyarakat Tuban maupun yang berasal dari luar
Tuban. Sebab, pendopo yang dibangun tahun 1821 saat kepemimpinan Bupati
Pangeran Tjitrosumo VI itu sarat nilai historis sekaligus menjadi simbol kebanggaan
masyarakat Tuban selama ini.
Rusak dan hancurnya 10 bangunan mengakhiri amuk massa pada Sabtu itu. Kurang
dari enam jam, massa seolah-olah telah memorakporandakan seluruh kota Tuban.
Atas peristiwa itu, aparat kepolisian tidak tinggal diam.
Massa pendemo yang sedang lahap menyantap makan siang di kediaman Go Tjong
Ping gantian disapu petugas. Tembakan peringatan terdengar di setiap ruas jalan yang
dilalui truk massa. Jam malam pun kemudian diberlakukan.
”Entah apa yang membuat warga Tuban jadi seperti ini. Tuban tidak pernah rusuh.
Baru kali ini ada unjuk rasa sampai anarkis seperti ini,” kata Agung, seorang warga
yang menyaksikan perusakan rumah keluarga Bupati di Jalan KH Agus Salim.
Kejadian itu jauh di luar perkiraan. Hal tersebut bisa dilihat dari kesiapan aparat polisi
saat mengamankan aksi demonstrasi yang hanya berbekal penutup kepala dan leher,
tameng, dan pentungan. Kejadian di luar perkiraan juga sudah terjadi seusai pilkada
berlangsung Kamis 27 April.
Namun, Imam mengaku belum mengidentifikasi keterlibatan tokoh partai dan aktor
intelektual. Motif kerusuhan hingga kini belum diungkap oleh pihak kepolisian. Di
pihak lain, Haeny yang aset-asetnya menjadi sasaran amuk massa meminta aparat
menuntaskan masalah ini dengan menyeret elite provokator di balik kerusuhan.
Dikira unggul
Anarki yang berawal dari kekecewaan itu mungkin tidak akan ada jika eforia warga
kota Tuban menyemangati kemenangan pasangan Noor-Go pada perhitungan suara
sementara hampir di seluruh tempat pemungutan suara (TPS) di Kecamatan Kota,
Tuban, bisa ditahan.
Di kota Tuban, pasangan yang diusung PKB dan PDI-P itu unggul 16.912 suara atau
memperoleh 31.814 suara atas pasangan Haeny-Lilik yang hanya memperoleh 14.902
suara.
Kekalahan pada penghitungan suara sementara itu kemudian berbuntut pada isu
kecurangan-kecurangan. Tim sukses pasangan Noor-Go terus bergerilya memburu
segala bentuk kecurangan yang terjadi, sangat berbeda dengan tim sukses pasangan
Haeny-Lilik yang terlihat adem- ayem karena sudah berada di atas angin.
Isu tersebut mulai dari isu politik uang, penggelembungan dan pengurangan suara,
kartu pemilih ganda, pemilih yang bukan warga Tuban, hingga persekongkolan
KPUD dengan bupati yang masih menjabat, Haeny Relawati. Namun anehnya, dari
sekian banyak kecurangan yang diembuskan, hanya dua kasus yang dilaporkan
kepada Panitia Pengawas.
Bagaimanapun, demokrasi Tuban telah tercoreng oleh amuk massa yang anarkis ini.
Sekretaris Pemerintah Kabupaten Tuban Soekarman mengungkapkan, jumlah
kerugian atas rusaknya aset negara mencapai Rp 30 miliar. Semoga daerah lain tidak
menirunya!
________________________________________________
Pascakerusuhan Sabtu, 29 April, Bupati Tuban Haeny Relawati membatasi diri untuk
tampil di muka umum. Kecuali pada Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei, ia tampil
berseragam putih-putih dengan menggunakan salah satu mobil pribadinya, Jaguar.
Sebelum maupun sesudah upacara, Haeny memilih bungkam kepada pers. Namun,
bupati perempuan berusia 41 tahun ini menyilakan Kompas untuk suatu wawancara di
kantornya, Rabu (3/5).
"Komitmen saya sebagai bupati adalah melayani rakyat Tuban dengan sebaik-baiknya
sampai tahun 2011 nanti. Saya ingin, atas peristiwa kemarin, pelayanan terhadap
masyarakat tidak terganggu," kata Haeny.
Atas kerusakan bangunan fisik milik masyarakat Tuban seperti pendopo, Haeny
bertekad membangunnya kembali. Sementara terhadap kerusakan harta dan properti
miliknya, dia menyatakan tidak akan menuntut siapa pun. "Saya lebih memikirkan
kerugian immaterial karena selama ini di Tuban tidak ada gejolak," katanya.
Dominasi Partai Golkar runtuh pada Pemilu 1999 dan berada di posisi ketiga dengan
18,2 persen suara. Pemilu yang digelar pada awal era reformasi tersebut dimenangi
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang meraih 33,3 persen suara dan
menguasai 15 kecamatan (79 persen) di Tuban.
Sementara Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai partai baru saat itu berhasil
menduduki peringkat kedua dengan 26,6 persen suara. Pascakekalahan ini, Haeny
Relawati dipercaya sebagai Ketua DPD Partai Golkar Kabupaten Tuban. Posisi ini
pun mengantarkannya menjadi Ketua DPRD Tuban 1999-2004.
Kekalahan Partai Golkar pada Pemilu 1999 di Tuban tertutupi dengan keberhasilan
partai ini menjadikan pasangan Haeny Relawati-Soenoto sebagai Bupati- Wakil
Bupati Tuban 2001-2006. Haeny yang saat itu dicalonkan Fraksi Partai Golkar (F-PG)
meraih 29 suara, menang atas pasangan Slamet Soesilo-Noor Nahar Hussein, calon
dari koalisi Fraksi PDIP dan Fraksi Kebangkitan Bangsa (F-KB) di DPRD yang
hanya meraih 15 suara.
Kemenangan Haeny saat itu di luar perkiraan karena jumlah anggota F-PG hanya
delapan orang, sementara jumlah koalisi mencapai 25 orang yang merupakan
gabungan dari Fraksi PDIP 14 orang dan F-KB 11 orang. Bagi Noor Nahar Hussein,
ini adalah kekalahan keduanya dari rival yang sama, yakni dua kali kalah lawan
Haeny!
Partai warna kuning ini berhasil merebut kembali dominasinya dengan menguasai 14
kecamatan (70 persen) di Tuban dan meraih 28,5 persen suara, diikuti PKB 21,9
persen dan PDI-P di posisi ketiga dengan 21,7 persen suara.
Kemenangan Partai Golkar ini berimbas pada penguasaan kursi di DPRD Kabupaten
Tuban. Sebanyak 14 kursi (32 persen) di DPRD direbut partai ini. Sementara PDI-P
dan PKB masing-masing berhasil mendapatkan 10 kursi. Hasil dari tiga pemilu di atas
menggambarkan peta politik Tuban tak lepas dari pertarungan antara Partai Golkar
dan PDI-P. Sementara posisi PKB dalam siklus kekuasaan politik di Tuban juga tidak
bisa dikesampingkan.
Kedekatan historis PDI-P dan PKB dalam pemilihan bupati tahun 2001 terulang
kembali pada pilkada tahun ini. Semangat anti- status quo dan keinginan untuk
mengganti kepemimpinan di Tuban menjadi jargon politik dari koalisi dua partai ini.
Noor Nahar Hussein, yang pernah menjadi calon wakil bupati mendampingi calon
bupati Slamet Soesilo pada pemilihan bupati Tuban tahun 2001 silam, kembali maju
di pilkada bersama pasangannya, Go Tjong Ping, yang diusung PDI-P dan PKB.
Meski pasangan Haeny-Lilik unggul, dukungan politik kepada pasangan Noor Nahar-
Go Tjong Ping cukup menggoyahkan dominasi Partai Golkar di Tuban. Hasil
penghitungan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Tuban pada 3 Mei lalu
menunjukkan Haeny-Lilik menang dengan 51,75 persen suara dan pasangan Noor
Nahar-Go Tjong Ping meraih 48,24 persen suara.
Perolehan suara ini tak hanya menunjukkan perbedaan suara yang tipis, namun juga
disertai munculnya pergeseran distribusi suara pada wilayah yang menjadi basis dari
partai politik, terutama Partai Golkar.
Ada lima kecamatan yang dimenangi pasangan Noor Nahar-Go Tjong Ping yang
sebelumnya merupakan wilayah yang dikuasai Partai Golkar pada Pemilu 2004.
Kelima kecamatan yang juga wilayah perkotaan dan basis Partai Golkar ini adalah
Tuban, Merakurak, Montong, Palang, dan Semanding.
Kemenangan Haeny-Lilik ini tidak diakui pasangan Noor Nahar-Go Tjong Ping.
Selain terjadi amuk massa, terbukti saat rekapitulasi ulang di KPU Tuban yang
sementara harus mengungsi di Polres Tuban, 3 Mei lalu, saksi untuk pasangan yang
kalah tidak bersedia menandatangani rekapitulasi. Bahkan, dari delapan poin
keberatan, salah satunya menunda penetapan hasil pilkada.
Go Tjong Ping yang ditemui Kompas, Selasa 2 Mei, mengaku tidak puas dengan hasil
pilkada dan meminta pilkada diulang. Di mata Ketua PDI-P Tuban ini, pilkada penuh
dengan kecurangan. Misalnya terjadi penggelembungan suara atau pejabat pemerintah
dan pegawai negeri yang berpihak kepada incumbent.
Haeny membalas soal pejabat pemerintah dan pegawai negeri sipil (PNS) yang
memihak. Dia mencontohkan, di Kecamatan Kota Tuban, tempat mayoritas PNS dan
pejabat pemerintah banyak bermukim, ia kalah telak dari pasangan lawan.
PDI-P dan PKB dalam pernyataan politiknya pasca-amuk massa melihat adanya
pembelokan isu terhadap persoalan riil yang dihadapi masyarakat Tuban. Opini
tentang anarki dikatakannya telah digiring secara sistematis.
Padahal, bagi masyarakat Tuban, proses pilkada dimaknai sebagai momentum yang
tepat untuk menghentikan dan mengakhiri keserakahan oligarki yang selama ini tidak
terkontrol penegak hukum.
PDI-P dan PKB berpendapat persoalan kontroversi pilkada di Tuban hanya dapat
diselesaikan tuntas dengan cara melakukan koreksi total terhadap semua tahap
prapemilihan hingga pemungutan suara yang diwarnai berbagai kecurangan dan
pelanggaran hukum.
"Pernyataan-pernyataan ’tidak siap kalah’ atau ’pilkada tidak bisa diulang’ justru
semakin mencederai hati rakyat Tuban yang sejak lama memendam kesabaran untuk
melakukan pergantian kepemimpinan secara damai, sah, dan konstitusional,"
demikian pernyataan politik yang ditandatangani Ketua DPP PDI-P Firman Jaya
Daeli, Ketua DPD PDI-P Jawa Timur Sirmadji Tjondropragolo, dan Sekretaris DPW
PKB Jawa Timur Khoiruddin Abbas.
Sebaliknya Haeny mengatakan, permintaan pilkada diulang dan amuk massa yang
mengatasnamakan pendukung Noor Nahar Hussein-Go Tjong Ping yang terjadi Sabtu
pekan lalu menunjukkan pasangan lawan tidak siap menerima kekalahan. (YOHAN
WAHYU/ LITBANG KOMPAS)
RIDIN
Koresponden Kepolisian
WASPADA ONLINE
''Tersangka kerusuhan Sibolga saat ini telah bertambah 11 orang lagi,'' ungkap
pelaksana harian humas Poldasu, AKBP MP Nainggolan, kepada Waspada Online,
tadi siang.
Menurut MP Nainggolan, jumlah kerusuhan saat ini berjumlah 15 orang dan saat ini
polisi terus melakukan penyelidikan dan penyidikan tentang kerusuhan pasca pilkada
Sibolga itu.
Editor: SATRIADI TANJUNG
(dat07/wol-mdn)
WASPADA ONLINE
Ragam Info
Hingga Sabtu (22/5) sore, petugas menetapkan 13 orang saksi menjadi tersangka.
Kabid Humas Polda Jatim, Kombes Pol Dra Pudji Astuti, MM saat dikonfirmasi
kemarin sore menjelaskan bahwa jumlah tersangka itu kemungkinan bertambah.
Sebab, puluhan saksi masih belum diperiksa penyidik gabungan. Mereka berasal dari
Polres Kabupaten Mojokerto, Polresta Kota Mojokerto dan Polda Jatim.
“Setelah diperiksa, mereka yang tidak terbukti, langsung kami pulangkan,” ungkap
Pudji Astuti.
Sebanyak 13 tersangka yang ditetapkan menjadi tersangka tersebut masih didalami
keterlibatannya. Ini untuk memastikan perannya dalam aksi bakar puluhan mobil dan
pengrusakan aset Pemkab Mojokerto tersebut. Apakah sebagai pelaku aksi kerusuhan,
sebagai otak atau penyandang dana. “Perkembangan itu nanti kami sampaikan
selanjutnya,” pungkasnya.
Secara terpisah, di Mapolresta Mojokerto terpantau sebanyak 105 warga yang
ditangkap usai kerusuhan dan malam harinya, dipulangkan secara bergelombang.
Tim Labfor dari Polda Jatim, menemukan minimal dua bekas botol minuman energi
di dalam setiap mobil yang dibakar massa, Jumat lalu. Botol warna cokelat tersebut
diduga kuat bekas bom molotov yang dilempar massa ke dalam mobil. Tim Labfor
dan dibantu beberapa tim identifikasi kriminal dari Polresta Mojokerto ini bekerja
mulai sekitar pukul 07.00. Dalam setiap mobil yang terbakar, petugas membutuhkan
waktu yang cukup panjang. Lebih dari 10 menit, petugas mencari sisa-sisa barang
bukti. Kerja tim ini baru selesai sekitar pukul 11.00 siang.
Tak lama setelah petugas identifikasi, polisi memboyong dua orang yang wajahnya
dibungkus kain dan diangkut di dalam mobil polisi berkaca hitam pekat. Diduga kuat,
dua orang inilah menjadi salah satu pelaku yang ditetapkan menjadi tersangka. Dari
pantauan dari kejauhan, dua orang ini disuruh mempraktekkan cara menyerang yang
dilakukannya pada Jumat kemarin.
Sementara itu KH Achmad Dimyati Rosyid atau Gus Dim, bakal calon bupati yang
gagal berlaga dalam Pemilukada Kabupaten Mojokerto 7 Juni mendatang menampik
tudingan bahwa peserta aksi anarkis di gedung DPRD, Jumat (21/5) adalah massa
pendukungnya. Namun, dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya ini tetap menyiapkan
lima pengacara untuk pembelaan.
Gus Dim menjelaskan, penyiapan pengacara itu, bukan merupakan penguatan asumsi
jika para pelaku kerusuhan adalah massa pendukungnya. Namun, lebih karena
pertimbangan kemanusiaan. “Meskipun itu bukan pendukung saya, namun karena
rasa kemanusiaan, saya siap memberikan pembelaan,” ungkap Gus Dim.
Ia menegaskan, selama ini ia tak pernah memimpin rapat untuk merencanakan aksi.
Dia menyesalkan masyarakat menuduhnya sebagai penggerak aksi anarkis tersebut.
“Tolonglah. Jangan kambinghitamkan saya. Saya ikhlas kok tidak diloloskan KPU
dalam Pemilukada,” kata Gus Dim.
Gus Dim menjelaskan, jika berniat melakukan aksi anarkis, bisa saja dia melakukan
penyerangan saat pengumuman penetapan calon pada 13 April lalu. Saat itu ratusan
massa pendukung Gus Dim mengepung kantor KPU Kabupaten Mojokerto di Jalan
RA Basuni, Sooko, hingga dinihari. Sedangkan, personel kepolisian yang menjaga
KPU, hanya berjumlah puluhan. “Kalau waktu itu saya instruksikan merusak, maka
KPU akan hancur. Tapi, karena saya bukan pengikut mazhab anarkis, maka saya tidak
mau melakukan perusakan,” tegasnya.
Apakah seratusan warga yang ditangkap usai kerusuhan itu ada yang pendukungnya?.
Saat dilontarkan pertanyaan ini, ia tak menjawab. Namun, Gus Dim tak kenal dengan
LSM LPR (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat), massa yang melakukan aksi.
“Sama sekali saya tidak kenal. Karena saya lebih mengedepankan hukum. Saya
hormat sekali dengan polisi,” pungkasnya.
Namun, Saut bersikeras, pihaknya tidak akan masuk lebih jauh dalam proses
penyelenggaraan pilkada Mojokerto. Sebab, itu sudah menjadi tugas dan
tanggungjawab penyelenggara pilkada.
Lebih lanjut Saut mengungkapkan, kewenangan Kemendagri hanya memonitor dan
memberikan dukungan serta memfasilitasi kelancaran pelaksanaan pilkada. Pasca
kerusuhan, Saut juga mengimbau para elit politik di Mojokerto agar menahan diri
sambil menunggu aparat berwenang menyelidiki kerusuhan tersebut.
“Semua punya tugas dan tanggung jawab masing-masing sesuai dengan aturan yang
ada,” katanya. “Jangan sampai timbul gejolak lagi,” imbuhnya.
Saut juga menghargai jika KPU Mojokerto tetap menggelar pilkada sesuai jadwal. Dia
menegaskan, Kemendagri sangat mendukung pihak yang konsisten dalam
melaksanakan tugas. Sedangkan pihak yang merasa keberatan dapat menyampaikan
aspirasi lewat mekanisme yang benar.
Sementara itu, Mendagri Gamawan Fauzi mengatakan, beberapa pihak sudah berbagi
tugas dalam penanganan kerusuhan Mojokerto. Tentang penyelenggaran pilkada ke
depan, itu menjadi urusan KPU. Keamanan dan penyelidikan dilakukan polisi.
Kemendagri akan mengurusi regulasi dan anggaran, termasuk UU pilkada dan
peraturan pemerintah. “Kerusuhan kemarin kan (terjadi) karena beberapa pihak tidak
setuju dengan keputusan KPU,” katanya.
Pihak kepolisian juga akan mengumpulkan bukti dan keterangan untuk mengetahui
adanya aktor intelektual dalam kerusuhan tersebut. “Untuk sementara belum
(ditemukan aktor intelektual), karena masih dalam pengejaran. Jadi, pemeriksaannya
akan dimulai dari bawah,” kata Joni Sebayang.
Dalam rapat koordinasi dengan KPU, Panwaslu dan Desk Pilka Kota Sibolga yang
dipimpian Kepala Biro Operasi Polda Sumut Kombes Pol Anang Pratanto, disepakati
seluruh kotak suara itu diamankan di Mapolresta Sibolga.
Selain itu, hasil rapat koordinasi itu juga menetapkan perhitungan suara yang awalnya
direncanakan dilaksanakan di kantor kecamatan dialihkan di Mapolresta Sibolga. “Itu
merupakan kesepakatan bersama agar perhitungan suara berjalan dengan lancar,”
katanya. (ron/lal/uh/dwi/jpnn- ngutip : sumut pos)
Edy M. Ya`kub
Hal itu diperkirakan terjadi di beberapa desa yang merupakan asal-usul dari massa
yang memicu kerusuhan pada 21 Mei 2010 itu.
Namun, trauma yang diperkirakan banyak orang itu tidak terbukti, seperti pemilih di
TPS asal dari perakit bom molotov pada kerusuhan itu.
Buktinya, TPS di daerah perakit bom molotov berinisial Muk yakni TPS 01 di Desa
Sadar Tengah, Kecamatan Mojoanyar masih diikuti 60 persen pemilih.
Hal serupa juga terlihat pada sejumlah TPS di Desa Sumbertebu, Kecamatan Bangsal
dan Desa Wunut, Kecamatan Mojoanyar yang merupakan desa asal-usul dari massa
yang terlibat dalam kerusuhan itu.
Di TPS 05 di Desa Sumbertebu, Kecamatan Bangsal juga sudah ada 335 persen dari
555 pemilih yang datang hingga pukul 10.40 WIB.
"Di sini, aman, bahkan Kapolda Jatim juga sudah datang ke sini pada sehari
sebelumnya," ujar anggota polisi di TPS setempat, Khoirul.
Bahkan, di TPS 01, Desa Wunut, Kecamatan Mojoanyar yang merupakan desa dari
koordinator lapangan pada kerusuhan 21 Mei 2010 itu juga terlihat antusias
pemilihnya.
"Hingga pukul 09.30 WIB ada 290 dari 511 pemilih yang sudah datang ke TPS atau
sekitar 50 persen lebih," tutur anggota Panitia Pengawas Kecamatan (Panwascam)
Mojoanyar, Rudianto.
Agaknya, gambaran pemilih yang mencapai 50-60 persen pada sejumlah TPS di basis
kerusuhan itu menunjukkan pemilih tidak terpengaruh dengan kerusuhan.
Ekstra ketat
Jika masyarakat Mojokerto tampaknya tidak terpengaruh situasi rusuh, maka aparat
keamanan justru mempersiapkan antisipasi untuk kondisi terjelek.
Agaknya, aparat keamanan tidak mau kecolongan lagi, karena itu pengamanan Kota
dan Kabupaten Mojokerto pun ditingkatkan menjelang pilkada atau pemilihan bupati
(pilbup).
Bahkan, di Kantor KPU Kabupaten Mojokerto terlihat dua kendaraan taktis (rantis)
Polda Jatim serta sebuah mobil pagar kawat berduri yang disiagakan di halaman
kantor itu.
"Sejak terjadi kerusuhan pada 21 Mei lalu, pengamanan memang ditingkatkan. Ada
30-40 polisi dari jajaran Brimob yang menjaga kantor kami selama 24 jam sampai
hari H pilkada," kata anggota Panwas Kabupaten Mojokerto, Dra Setya Asih, kepada
ANTARA di Mojokerto (6/6).
"Kalau sekarang lebih banyak dan dilakukan 24 jam secara bergiliran oleh personel
Brimob dari Surabaya, Mojokerto, Jombang, Lamongan, dan sebagainya," katanya.
Terkait pengamanan Kantor KPU, anggota KPU Kabupaten Mojokerto Rusman Arif
mengatakan pihaknya menyerahkan sepenuhnya kepada polisi untuk mengerahkan
personel pengamanan dalam jumlah berapa pun.
"Personel yang diturunkan memang bukan dari Mojokerto saja, tapi juga dari
Jombang, Lamongan, Surabaya, dan Mojokerto sendiri," katanya.
Tidak hanya itu, Polres Mojokerto melakukan razia terhadap berbagai jenis kendaraan
roda empat yang menuju ke arah Mojokerto pada sehari sebelum pelaksanaan Pilkada
Kabupaten Mojokerto.
Agaknya, kunci sukses Pilkada Kabupaten Mojokerto adalah sikap tenang masyarakat
yang tidak mudah terprovokasi lagi dengan dukungan antisipasi dari aparat
keamanan. (E011/K004)
COPYRIGHT © 2010
Dari hasil kerja tim Labfor Polda Jatim itu, ditemukan bukti bahwa di setiap mobil
yang hangus terbakar rata-rata terdapat dua bom molotov.
Seperti diberitakan, kerusuhan yang terjadi sekitar pukul 09.00 itu mengakibatkan 33
mobil rusak parah. Rinciannya, 25 unit mobil dinas dan 8 mobil pribadi. Di antara
mobil yang rusak parah itu, 12 unit sengaja dibakar oleh sejumlah massa yang
wajahnya ditutupi kain. Mereka memecah kaca mobil-mobil itu dan memasukkan
bom molotov yang terbuat dari botol-botol minuman ke dalamnya.
Kerusuhan yang menurut Mendagri Gamawan Fauzi terparah di Indonesia itu terjadi
di halaman gedung DPRD Kabupaten Mojokerto. Saat itu dihelat acara penyampaian
visi dan misi para calon bupati-wakil bupati. Ada tiga pasangan yang maju.
Nomor urut satu adalah pasangan Mustofa Kamal Pasa dan Choirun Nisa' (Manis)
yang diusung tujuh partai (PKB, PPP, PKS, PAN, PKPB, PBB, dan Patriot). Nomor
urut dua pasangan Suwandi (incumbent) dan Wahyudi (Wasis) yang diusung PDIP,
Golkar, dan Demokrat. Nomor urut tiga dari jalur independen, yakni Khoirul Badik
dan Yazid Kohar (Kokoh).
Sebenarnya ada satu pasangan lagi yang sudah memenuhi syarat dari sisi dukungan
partai politik. Mereka adalah KH A. Dimyati Rosyid dan M. Karel. Mereka diusung
oleh 22 partai, yang terdiri atas tiga partai parlemen (PKNU, Gerindra, Hanura) dan
19 partai nonparlemen. Tapi, pasangan ini dicoret KPUD karena tak lolos tes
kesehatan.
Pencoretan tersebut membuat pendukung Dimyati marah. Sejak pencoretan itu, aksi
unjuk rasa menentang keputusan KPUD sering terjadi. Dan, kerusuhan Jumat pagi itu
diyakini merupakan rentetan dari aksi unjuk rasa sebelumnya.
Saat ini polisi mendalami apakah para pengunjuk rasa itu sengaja digerakkan orang-
orang tertentu untuk menggagalkan pilkada. Jika memang benar demikian, siapa yang
menggerakkannya?
Sejauh ini keterlibatan 13 tersangka masih didalami. Ini untuk memastikan peran
masing-masing dalam aksi bakar puluhan mobil dan perusakan aset Pemkab
Mojokerto tersebut. Apakah mereka sebagai pelaku kerusuhan, sebagai otak, atau
penyandang dana. ''Perkembangan itu akan kami sampaikan selanjutnya,'' kata Pudji.
Kerusuhan Jumat pagi dalam proses pilkada Kabupaten Mojokerto itu membuat KH
Achmad Dimyati Rosyid terusik. Sebab, dia dituding sebagai sosok yang memicu
terjadinya aksi anarkistis tersebut. Kemarin (22/5) dia kembali membantah anggapan
tersebut. Dia menegaskan bahwa para pengunjuk rasa itu bukan pendukungnya.
"Meski bukan pendukung saya, saya akan siapkan lima pengacara untuk membela
mereka dalam berurusan dengan hukum," katanya.
Dia menegaskan, selama ini dirinya tidak pernah memimpin rapat untuk
merencanakan aksi. Dia menyesalkan sikap masyarakat yang menuduhnya sebagai
penggerak aksi tersebut. ''Tolonglah. Jangan kambing hitamkan saya. Saya ihklas kok
tidak diloloskan KPU dalam pilkada,'' katanya.
Dia juga meminta proses hukum dijalankan sesuai aturan yang mengikat. Pelaku
kerusuhan juga harus ditindak tegas karena telah mencoreng citra aman pilkada di
Jatim setelah kerusuhan Tuban pada 2006.
Sementara itu, Gubernur Jatim Soekarwo menegaskan, aksi anarkis pada Jumat lalu
(21/5) tidak akan memengaruhi tahap pemilihan bupati (pilbup) Mojokerto. ''Tidak
akan ada penundaan pilbup. Tidak benar kalau ditunda,'' ujarnya setelah menghadiri
business gathering Pemprov Jatim dan PT Polowijo Gosari di Hotel Shangri-La,
Surabaya, kemarin (22/5).
Dalam pertemuan yang dihadiri Menteri Perikanan dan Kelautan Fadel Muhammad,
Ketum Partai Golkar Aburizal Bakrie, dan mantan Ketum PAN Soetrisno Bachir
tersebut, Soekarwo sangat menyesalkan terjadinya chaos di Mojokerto itu.
Dalam sambutannya, mantan Sekdaprov tersebut yakin aktor kerusuhan itu tidak
berasal dari Jatim. Sebab, bila ada masalah, orang Jatim akan bersikeras bertanya
sampai mendapat jawaban. ''Tidak ujug-ujug membawa bom molotov dan menyerang
aparat. Para pelakunya jangan ditoleransi. Sebab, selama ini Jatim dikenal damai dan
aman bagi dunia usaha yang berinvestasi,'' ujarnya.
''(Kehadiran tim) itu untuk memperoleh gambaran secara menyeluruh dan mendalam
(atas kerusuhan pilkada),'' ungkap Kapuspen Kemendagri Saut Situmorang saat
dihubungi Jawa Pos kemarin (22/5). Selain itu, lanjut dia, tim tersebut berupaya
mengembalikan suasana menjadi kondusif sehingga aktivitas warga normal lagi.
Tentu saja tugas itu juga dilakukan dengan komponen-komponen terkait.
Namun, Saut bersikeras, pihaknya tidak akan masuk lebih jauh dalam proses
penyelenggaraan pilkada Mojokerto. Sebab, itu sudah menjadi tugas dan tanggung
jawab penyelenggara pilkada.
''Semua punya tugas dan tanggung jawab masing-masing sesuai dengan aturan yang
ada,'' katanya. ''Jangan sampai timbul gejolak lagi,'' imbuhnya.
Saut juga menghargai jika KPU Mojokerto tetap menggelar pilkada sesuai jadwal. Dia
menegaskan, Kemendagri sangat mendukung pihak yang konsisten dalam
melaksanakan tugas. Sedangkan pihak yang merasa keberatan dapat menyampaikan
aspirasi lewat mekanisme yang benar.
Sementara itu, Mendagri Gamawan Fauzi mengatakan, beberapa pihak sudah berbagi
tugas dalam penanganan kerusuhan Mojokerto. Tentang penyelenggaran pilkada ke
depan, itu menjadi urusan KPU. Keamanan dan penyelidikan dilakukan polisi.
Kemendagri akan mengurusi regulasi dan anggaran, termasuk UU pilkada dan
peraturan pemerintah. ''Kerusuhan kemarin kan (terjadi) karena beberapa pihak tidak
setuju dengan keputusan KPU,'' katanya. (ron/lal/jpnn/sep/kuh/c2/c5/ari/dwi/kum)
PILKADA MOJOKERTO
Satu Pelaku Kerusuhan Menyerahkan Diri
Surabaya, Kompas - Jumlah orang yang ditahan polisi terkait kerusuhan di kompleks
DPRD Mojokerto pada 21 Mei lalu bertambah. Selain 19 orang yang sudah ditetapkan
sebagai tersangka dan kini menjalani pemeriksaan di Markas Kepolisian Daerah Jawa
Timur, seorang yang berinisial ZR (49), Selasa (1/6) malam, menyerahkan diri ke
Polsek Mojosari, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, setelah hampir dua pekan
bersembunyi.
Laki-laki tersebut berada di lokasi kejadian saat unjuk rasa yang berakhir dengan
penyerangan dan perusakan itu terjadi. Ketika itu ZR termasuk salah satu pengunjuk
rasa yang dicokok polisi. Namun, dia melawan dan kemudian melarikan diri.
Dhofir belum mengetahui status ZR apakah sudah ditetapkan sebagai tersangka atau
hanya saksi. Namun, ia mengakui, sejak kejadian itu ZR termasuk dalam daftar
pencarian orang (DPO).
Sebagaimana diberitakan, kerusuhan pada Jumat itu diduga kuat terkait keputusan
Komisi Pemilihan Umum Mojokerto yang tidak meloloskan Dimyati alias Gus Dim
dalam Pilkada Mojokerto 2010 berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan. Saat itu
massa mengamuk di tengah berlangsungnya pemaparan visi dan misi calon bupati dan
calon wakil bupati Mojokerto. Sebanyak 33 mobil dirusak/dibakar.
Kepala Bidang Humas Polda Jatim Komisaris Besar Pudji Astuti, seperti biasa, belum
mau berkomentar banyak. Ia hanya mengatakan, polisi saat ini fokus pada
pengamanan Pilkada Surabaya. (BEE)
uasana politik yang ada di Kab.Bima tersa panas, pemilu yang akan dilaksana
beberapa bulan kedepan terasa sangat mengerikan, belum apa2 pertumpahan darah
sudah terjadi, keadaan yang terlihat kacau, dan suasana politik yang kacau, kampanye
bisa menjadi tempat pertumpahan darah, dan seperti berita kali ini Bupati Bima yang
hadir dalam acara bulan bakti gotong royong (BBGR), diprotes para pendukung tiga
pasangan calon bupati lainnya. Pasalnya, ini dikatagorikan kampanye terselubung. Isu
akan adanya penghadangan dan pembubaran paksa terhadap program sarat
kepentingan incumbent ini membuat tiga pasangan calon bupati Bima lainnya
serempak mendatangi Panwaslu dan KPU Kabupaten Bima untuk meminta program
BBGR segera dihentikan untuk menghindari terjadinya konflik horizontal.
Meski sejak 8 April kemarin para pasangan calon sudah memasuki masa kampanye,
namun ulah Bupati Bima yang yang memajukan program BBGR membuat situasi di
Kabupaten Bima memanas. BBGR semestinya dilakukan pada Juni hingga Juli ini
sengaja dimajukan oleh Bupati Fery Zulkarnain hingga berbenturan dengan jadwal
kampanye. Akibatnya para pendukung tiga pasangan calon lainnya merasa
tersinggung dan berencana melakukan penghadangan dan pembubaran.
Program ini menggunakan anggaran pemerintah sebesar Rp18 juta hingga Rp41 juta
untuk setiap desa dengan jumlah keseluruhan desa mencapai 168. Program ini juga
dinilai sarat akan kepentingan kampanye incumbent, karena diisi orasi-orasi politik.
Berbagai bentrokkan dan penghadangan pun mulai terjadi dan sudah menimbulkan
korba jiwa. Seorang siswa SMA bernama Ahmad dikeroyok dan ditusuk massa
incumbent saat terjadi penghadangan di Kecamatan Madapangga beberapa waktu lalu.
Dalam pertemuan itu ketua Panwaslu Kabupaten Bima, sempat dicecar oleh tiga
pasangan calon yangmempertanyakan netralitas Panwaslu. Mereka juga meminta
Ketua Panwaslu untuk mundur jika tidak berani menindak bupati bima yang dinilai
telah melanggar Permendagri Nomor 44 dan 270 tentang pelarangan pencairan dana
pemerintah untuk kegiatan sosial sebelum pilkada dilaksanakan.
“Tri wulan pertama itu hanya perencanaan, apalagi sekarang sudah ada aturan
larangan pencairan dana sosial sebelum pilkada dilaksanakan,” ujar Zainul Arifin.
Untuk menghindari terjadinya bentrokan antar pendukung, Jumat sore tiga pasangan
calon Bupati Bima, yakni pasangan Suhaidin-Sukirman Aziz, Zainul Arifin-Usman
AK, dan Najib-Ari Wiryawan, mendatangi kantor Panwaslu dan KPU dengan
membawa rekaman orasi-orasi politik dalam acara BBGR.
Jakarta - Kawasan Duri Kosambi, Cengkareng, Jakarta Barat berubah menjadi lautan
api. Puluhan lapak masih terbekar. Api hampir mengenai kabel sutet yang berada di
tengah-tengah lokasi kebakaran.
Pantauan detikcom, Senin (31/5/2010), api tampak semakin besar. Angin bertiup
cukup kencang sehingga menambah kobaran api.
Selain puluhan lapak yang terbakar, dua buah mobil pickup dan dua truk juga
digulingkan massa dan dibakar.
5 Unit mobil pemadam kebakaran sudah berada di lokasi dan sedang bekerja keras
memadamkan api.
Kebakaran ini merupakan buntut bentrokan antara dua kelompok massa yang bertikai
malam tadi. Seorang pria tewas dibacok.
__________________
Damai sejhtralah maka masa depan Indonesia adalah inspirasi dan oasis dunia
http://forum.detik.com/showthread.php?t=187118
Surabaya (SIB)
Sebanyak 22 mobil milik pribadi dan dinas di jajaran Pemkab Mojokerto, Jawa
Timur, Jumat, rusak dibakar dengan bom molotov oleh massa yang diindikasikan
terkait dengan pilkada setempat.
Saat kejadian yang berlangsung di halaman Gedung DPRD Kabupaten Mojokerto itu,
di dalam gedung sedang berlangsung penyampaian misi dan visi tiga pasang calon
yang bersaing dalam Pilkada Kabupaten Mojokerto.
Aparat Kepolisian Resor Mojokerto mengamankan puluhan pengunjuk rasa dan bom
molotov pascakerusuhan itu.
“Pengunjuk rasa yang ditangkap ini diduga kuat merupakan pendukung salah satu
pasangan bakal calon bupati Mojokerto yang tidak lolos proses verifikasi oleh komisi
pemilihan umum,” ujarnya.
Informasi yang diperoleh ANTARA menyebutkan massa yang diduga berasal dari
calon bupati yang dicoret oleh KPU itu merasa keberatan fasilitas negara ditempeli
gambar atau poster pejabat kini (“incumbent”), sehingga mobil di pendopo itu pun
dibakar dengan menggunakan bom molotov.
“Korlap aksi diamankan dan sudah dibawa. Sebagian massa dibawa mobil polisi,
sebagian ada yang ditangkap di gedung dewan,” tutur polisi yang enggan disebutkan
jatidirinya.
Pengunjuk rasa yang ditangkap tersebut diduga telah melakukan perusakan dan
pembakaran 17 mobil pribadi dan dinas saat berlangsungnya Rapat Paripurna DPRD
Mojokerto dengan agenda pembacaan visi dan misi pasangan cabup-cawabup
Mojokerto.
Begitu kerusuhan terjadi, rapat paripurna DPRD Mojokerto masih terus
dilangsungkan dan begitu usai, tiga pasangan calon yakni Mustofa Kamal Phasa-
Khoirun Nisa (Manis), Suwandi-Wahyudi Iswanto (Wasis) dan Khoirul Badik-Yazid
Kohar (Khoko) keluar Gedung DPRD Mojokerto dengan pengawalan ketat dari
aparat.
Mereka dibawa dengan mobil polisi dan meluncur keluar dari Gedung DPRD
Mojokerto dengan kecepatan tinggi.
Sementara itu, sejumlah mobil yang rusak terbakar masih teronggok di halaman depan
kantor Pemkab Mojokerto.
Polisi melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP) pascakerusuhan yang
mengakibatkan 17 mobil pribadi dan dinas milik pemkab setempat terbakar oleh
lemparan bom molotov.
Sejumlah undangan penyampaian misi dan visi Pilkada Kabupaten Mojokerto yang
akan mengambil mobilnya tidak diperkenankan kepolisian, karena masih dilakukan
penyelidikan terkait dengan peristiwa tersebut.
“Untuk saat ini, seluruh kendaraan dilarang dibawa keluar dari halaman gedung
dewan karena dilakukan proses oleh TKP,” kata salah seorang petugas kepolisian
yang enggan disebutkan namanya.
Saat melakukan olah TKP, petugas mengambil pecahan kaca mobil yang diparkir di
halaman kantor dewan dan Pemkab Mojokerto di Jalan A. Yani.
Dari data di lokasi sudah ada sekitar 25 mobil yang rusak karena kaca dipecah massa
dan dibakar.
“Namun, dari jumlah tersebut kendaraan yang rusak parah terdapat 22 kendaraan,”
paparnya.
Usai terjadi kerusuhan, polisi menutup Jalan A. Yani dan mengalihkan arus lalu lintas
ke jalan alternatif untuk menjaga situasi supaya kondusif.
Sebanyak 50 personel polisi lalu lintas melakukan pengaturan antisipasi dengan
memblokir lalu lintas.
Akibat kerusuhan di Mojokerto itu, sebanyak sembilan orang dirawat di RS dr
Wahidin Sudiro Husodo.
Sembilan orang terdiri dari tiga polisi, satu orang pegawai negeri sipil dan selebihnya
warga sipil yang ikut unjuk rasa berakhir rusuh.
Tangkap 103 Orang
Aparat Polres Mojokerto menyita 90 unit bom molotov dan menangkap 103
pengunjuk rasa pascakerusuhan di gedung DPRD setempat.
“Aparat Polres Mojokerto sebenarnya sudah melakukan antisipasi dengan
mengerahkan 240 personel, tapi dilempari puluhan molotov, sehingga kewalahan,”
kata Kabid Humas Polda Jatim Kombes Pol Pudji Astuti kepada ANTARA di
Surabaya (21/5).
Ditemui sepulang dari Mojokerto untuk memantau pengamanan unjuk rasa itu
bersama Kapolda Jatim Irjen Pol Pratiknyo, ia mengatakan pihaknya menyita barang
bukti (BB) dalam jumlah banyak.
“Kami menemukan 10 korek gas dan 39 patok dari beton berukuran 40 centimeter
dengan diameter 12 milimeter. Kami juga menyita dua sepeda motor, tiga truk
pengangkut massa, paku besi, sekrop, botol air mineral berisi bensin, dan
sebagainya,” paparnya.
Ditanya motif kerusuhan itu, ia mengaku polisi masih memeriksa 103 pelaku yang
tertangkap dan motifnya akan diketahui keterangan para pelaku.
“Kami belum tahu apa motifnya, karena kami masih melakukan pemeriksaan, tapi
situasi sekarang sudah mulai terkendali,” ujarnya menambahkan.
Bahkan, Polda Jatim sudah menurunkan personel bantuan ke Polres Mojokerto yakni
303 anggota Brimoda Jatim, satu kompi anggota Samapta, dan sejumlah mobil seperti
mobil “water canon”, mobil APV, dan mobil penjinak bom.
Total 22 Mobil Dibakar Massa, Termasuk Mobil Dinas Walikota
Setelah situasi di sekitar gedung DPRD Kabupaten Mojokerto terkendali, polisi
langsung melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP). Beberapa petugas unit
identifikasi Satreskrim Polres Mojokerto melakukan proses identifikasi terhadap
mobil-mobil yang terbakar.
Dari hasil identifikasi sementara, polisi menemukan 22 mobil pribadi dan dinas,
termasuk mobil dinas milik Walikota dan Wakil Walikota Mojokerto, yang menjadi
korban bom molotov pengunjuk rasa.
“Sampai saat ini, sebanyak 22 mobil yang kita identifikasi mengalami kerusakan.
Baik dirusak maupun terkena lemparan bom molotov,” ujar salah satu petugas
kepolisian di lokasi kepada detiksurabaya.com, Jumat (21/5).
Dari hasil identifikasi petugas kepolisian, sebanyak 10 mobil yang mengalami
kerusakan seperti, kaca pecah, body mobil digores dan kerusakan lainnya. Sedangkan
12 mobil lainnya yang sudah diidentifikasi, mengalami kerusakan akibat terkena
lemparan bom molotov.
Dari pengamatan detiksurabaya.com, puluhan personel Brimob Polda Jatim saat ini
bersiaga di sepanjang jalan akses menuju ke pendopo Kabupaten Mojokerto.
Sedangkan di area pendopo, juga nampak kesiapan petugas kepolisian, untuk
mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan lagi.
Sementara itu, arus lalu lintas di Jalan Ahmad Yani maupun jalan akses menuju ke
pendopo, sampai saat ini masih dilakukan penutupan. Sehingga tidak semua orang
bisa masuk ke dalam lokasi atau sekitar tempat kejadian kerusuhan. (Ant/detikcom/o)
This entry was posted on Sabtu, Mei 22nd, 2010 at 03:22 and is filed under Berita
Utama. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. Both
comments and pings a
TEMPO Interaktif, Beberapa saat lalu di Mojokerto, Jawa Timur, terjadi perusakan
kantor bupati dan dewan perwakilan rakyat daerah oleh kelompok massa yang
menolak calonnya gagal mengikuti putaran pemilihan calon bupati. Massa menyerbu
masuk kompleks perkantoran, melemparkan batu, dan membakar mobil-mobil. Pada
awalnya, polisi berusaha menahan, tapi lalu melepas massa yang seperti kesetanan
membakar dan melempar.
Setelah itu, terlihat petugas kepolisian mengejar para pelaku saat api sudah
membubung tinggi dan kaca-kaca hancur. Esoknya, muncul berita, polisi setempat
telah menetapkan ratusan orang sebagai tersangka.
Gambaran ini bukan yang pertama kali. Dalam kasus yang melibatkan massa dewasa
ini, kepolisian cenderung melepas alias membiarkan kekerasan massa terjadi. Baru
beberapa saat kemudian, khususnya ketika massa sudah bubar, polisi sibuk
menangkapi pelaku langsung ataupun tidak langsung (yang menjadi provokator).
Guna mendukung taktik ini, kepolisian umumnya mengaktifkan rekaman video, baik
yang dibuat oleh petugas sendiri maupun rekaman awak televisi. Video amatir buatan
masyarakat atau rekaman dari telepon seluler ada juga yang sampai ke tangan
kepolisian guna dijadikan bukti fisik untuk digunakan dalam rangka proses hukum
selanjutnya.
Kilah kepolisian
Dalam kaitan dengan hal tersebut, kilah kepolisian umumnya seragam. Ada dua hal
yang biasa diajukan sebagai penyebab. Yang pertama, massa sulit dilawan dan
dihentikan geraknya. Jika dihadang, massa bisa melawan atau, kalaupun bubar, akan
terpecah menjadi kelompok kecil-kecil yang justru semakin sulit dideteksi dan
dibendung pergerakannya. Yang kedua, kekuatan kepolisian untuk menghadang dan
membubarkan massa kalah jauh. Akibatnya, alih-alih membubarkan, aparat kepolisian
serta warga masyarakat tak berdosa lainnya malah bisa menjadi korban.
Kedua kilah itu memang benar. Mengenai kilah yang pertama, masyarakat kita
memang sudah telanjur menjadi "pembelajar sosial" mengenai perilaku massa. Cukup
banyak dari kita yang (pernah) mengetahui atau bahkan merasakan bahwa suara
massa adalah kebenaran. Kalau massa sudah muncul, tidak ada yang berani
menghalangi. Tidak juga hukum. Maka, kalau mau berhasil memaksakan kehendak,
ya, main massa saja. Ajak atau sewa orang untuk berdemo atau marah-marah.
Pelajaran sosial terjadi ketika orang meniru melakukan hal yang sama: gemar
<I>ngamuk<I> tanpa sebab yang benar-benar perlu. Kalau masyarakat yang sedang
euforia ini kemudian dihadapi dengan tindakan kepolisian yang keras dan tegas (yang
bertujuan membubarkan serta melumpuhkan massa), wajar jika muncul kekhawatiran
bahwa hal itu akan kontraproduktif. Jadi, kembali seperti apa yang dipikirkan oleh
banyak polisi: biarkan perilaku massa muncul, dan tangkap kemudian.
Kilah yang kedua kilah yang logis juga. Idealnya, massa harus dihadapi dengan
minimal dua kali perkuatan. Jadi, kalau massa berjumlah 100 orang, minimal dihadapi
dengan dua kompi pasukan Pengendalian Massa (Dalmas) atau 1 kompi pasukan
Antihuru-hara Brimob. Jumlah dua kompi itu hanya ada di polda.
Demi efektivitas tindakan kepolisian sendiri, memang tidak ada gunanya kepolisian
setempat menahan massa, apalagi membubarkannya. Jika senjata dipakai untuk
mengkompensasi kurangnya jumlah orang, malah bisa timbul masalah baru, yakni
tuduhan pelanggaran hak asasi manusia.
Jika menunggu tambahan perkuatan dari satuan atas atau satuan samping, hal itu
mungkin relevan di Jawa atau Sumatera. Tapi tidak demikian halnya di wilayah
tengah dan timur Indonesia, mengingat lokasi antara polda dan polres atau antarpolres
yang berjauhan serta kondisi transportasi yang belum tentu lancar. Jika dipergunakan
jalur udara, kepolisian umumnya terbentur pada masalah dana yang amat terbatas.
Mencegah terdadak
Kita tidak seyogianya menelan mentah-mentah dua kilah di atas, pertama-tama,
karena kita menyadari bahwa perilaku massa tidaklah muncul sekonyong-konyong.
Perilakunya sendiri bisa saja spontan, tapi berbagai faktor yang diperlukan untuk
melahirkan perilaku tersebut sesungguhnya sudah ada sejak dulu. Sudah lama pula
polisi seharusnya mengetahuinya dan melakukan langkah-langkah preemptif
(pendeteksian) dan preventif (pencegahan) guna mencegah munculnya apa yang
dikenal dengan pencetus (triggering factor) perilaku massa.
Dari sudut polisi sendiri, terdapat satuan dengan fungsi khusus guna mengamati hal
itu, dan kemudian menginformasikannya kepada pimpinan setempat, yakni satuan
intelijen kepolisian. Katakanlah proses terbentuknya massa memang tidak teramati
oleh polisi. Ada saja anggota masyarakat kita yang biasa "mengolah" massa, sehingga
mampu mengorganisasinya secara halus dan seolah tanpa direkayasa. Namun terdapat
fungsi kepolisian lainnya yang seharusnya bisa dengan mudah melihat pergerakan
ataupun konsentrasi massa yang lain dari biasanya. Mereka adalah polisi-polisi
berseragam dari Satuan Samapta, yang hilir-mudik berkeliaran atau berpatroli,
demikian pula Satuan Polisi Lalu Lintas. Jika satuan-satuan ini tanggap, sejak awal
mobilisasi massa dapat dicegah, kedatangan massa dapat disekat, serta pergerakan
massa dihambat.
Selanjutnya, argumen bahwa polisi kalah kuat atau kalah banyak sebenarnya tidak
beralasan. Tentu saja logika itu dapat diterima kalau polisi didadak atau terdadak,
sehingga kalah siap (overpowered) dibanding massa. Namun adanya berbagai satuan
yang memiliki fungsi berbeda-beda itulah yang sesungguhnya bisa menghindarkan
kepolisian dari situasi terdadak tersebut. Jadi, jika akhirnya terdadak, itu salah siapa?
Kamtibmas
Yang lebih mengganggu dari sekadar terdadak atau tidak terdadak adalah benarkah
polisi sungguh-sungguh pemelihara kamtibmas kalau membiarkan rusuh massa terjadi
di depan mata? Jika kepolisian tidak bisa lagi dijadikan sandaran, hanya karena alasan
terdadak, khawatir rusuh massa membesar atau karena perkuatan tidak memadai,
kepada siapa masyarakat bisa memperoleh perlindungan?
Jika sekadar dianggap melanggar hak asasi manusia karena melakukan pembiaran
(omission), itu sudah pasti. Tapi apakah ada gunanya menghujat polisi sebagai
pelanggar HAM jika korban yang seharusnya dicegah sudah keburu jatuh?
Menurut penulis, jika sekali polisi diperkenankan mengajukan dua kilah di atas dan
dianggap benar, tidak ada jaminan bahwa kilah serupa tidak akan diikuti oleh polisi
yang lain. Bukan hanya massa yang cenderung menerapkan belajar sosial, polisi juga
bisa berbuat serupa.
Belum lagi terdapatnya kemungkinan sebagai berikut: polisi sebenarnya tidak
terdadak, perilaku massa belum anarkistis, dan perkuatan polisi memadai, tapi secara
sengaja massa dibiarkan menjadi marah dan polisi mendiamkan. Tentunya ada
pertimbangan tertentu yang bersifat nonkepolisian dari kepolisian sendiri apabila
sengaja melakukan hal itu. Pertimbangan apa? Bagaimana memverifikasinya?
Tentunya perlu dibuat mekanisme khusus.
SERANG (Pos Kota) – Satu di antara calon bupati (Cabup) Serang diserang massa
saat berkampanye di Kecamatan Kramatwatu. Lemparan batu dan botol air mineral
mewarnai aksi kerusuhan tersebut. Namun nyawa cabup tersebut berhasil
diselamatkan oleh 3 pengawal pribadi yang setia mendapinginya.
Dalam simulasi tersebut, digambarkan situasi rusuh pada saat kampanye dan
pencoblosan di tempat pemungutan suara (TPS) karena ada provokator yang sengaja
membuat keributan. Melihat suasana itu, sejumlah petugas kepolisian yang telah
menjaga TPS tersebut langsung mengamankan provokator tersebut. Suasana pun
kembali aman hingga penghitungan setelah Polres Serang menerjunkan tim pemukul
Brimobda Banten.
Usai penghitungan, simulasi kembali dilanjutkan dengan sistem pengamanan calon
Simulasi yang digelar dari pukul 10:00 WIB mendapat perhatian dari warga dan para
pengendara mobil. Bahkan, sejumlah pegawai yang berada di lingkungan Pemkab
Serang tidak ketinggalan melihat simulasi tersebut. Akibatnya jalanan di jalur
protokol Kota Serang mengalami kemacetan.
Kapolres Serang, AKBP M Indra Gautama, mengatakan acara simulasi ini gelar
sebagai bentuk antisipasi Polres Serang dalam menghadapi pesta demokrasi Pilkada
Kabupaten Serang yang akan digelar 9 Mei mendatang. Dalam kesempatan itu,
Kapolres mengatakan sekitar 3/4 atau sekitar 700 pasukan disiapkan. “Jumlah itu
belum termasuk bantuan personil dari Polda Banten dan Brimobda Banten,” ujar
Kapolres.
Senin, 21 Desember 2009 13:56 ZAINUL BAQRI
Pergeseran perubahan format politik dari otoritarian-sentralistik menuju demokratisasi
desentralistik, telah membawa konsekwensi terhadap format pemilihan kepala daerah
dan wakil kepala daerah dari sebelumnya pemilihan melalui DPRD, sekarang kepada
rakyat. Karena itu posisi politik rakyat dalam pilkada langsung memiliki makna
penting dalam menentukan corak politik dan kepemimpinan di daerah, tanpa
mengurangi makna penting dari pemilihan kepala daerah sebelumnya pilkada
langsung dianggap sebagai obat mujarab untuk menjawab berbagai persoalan antara
pusat dan daerah baik kewenangan dan juga persoalan lainnya. Pemilihan kepala
daerah langsung dianggap juga sangat strategis dan patut mendapat perhatian kita
semua karena pilkada ini dilaksanakan pada masa transisi dan masih bersifat “trial dan
error” juga terdapat perbedaan dalam tata aturan penyelenggaraan maupun tujuan
politik yang hendak dicapai.
Pilkada langsung hakekatnya adalah sebuah proses untuk melahirkan dinamika politik
lokal yang lebih demokratis, bertanggungjawab, partisipasif dan transparan sesuai
dengan nilai nilai politik lokal yang tumbuh dan berkembang di daerah. Tapi dewasa
ini proses ini mulai banyak dipermasalahkan bahkan banyak kalangan menilai dan
meminta agar pemilihan langsung kepala daerah sebaiknya dihapus saja hal ini
dikarenakan begitu banyak kesalahan dan kekurangan dari pilkada yang telah
dilaksanakan sebelumnya seperti konflik yang terjadi baik sebelum pemilihan maupun
setelah pemilihan, biaya yang dikeluarkan teramat tinggi, baik biaya
yang dikeluarkan oleh pemerintah maupun dana yang keluar selama proses pemilihan
itu sehingga di khawatirkan nantinya akan menimbulakan budaya korupsi, hal yang
paling penting Demokrasi membutuhkan persetujuan, persetujuan membutuhkan
legitimasi, legitimasi membutuhkan kinerja, tetapi kinerja bisa dikorbankan demi
persetujuan. (Larry Diamond)
untuk dikhawatirkan adalah keikutsertaan masyarakat dalam kaidah dan kancah
politik akan menimbulkan resonansi yang berlebihan terhadap wujud pembangunan.
Kekerasan-kekerasan yang terjadi akibat pemilihan langsung kepala daerah ini baik
kekerasan langsung maupun kekerasan tidak langsung menyebabkan ekses negative
menimbulkan dimensi baru yang sangat menghawatirkan yaitu timbulnya perpecahan
antar masyarakat di daerah, antar agama yang satu dengan yang lainnya, antar
penduduk mayoritas dan minoritas, suku mayaoritas dan suku minoritas dan banyak
lainnya sehingga menimbulkan kerentanan terhadap disintegrasi bangsa, Hal
tersebutlah yang kemudian menjadikan alasan mengapa pilkada secara langsung oleh
beberapa kalangan diminta untuk dihapus / ditiadakan dan
kembali pada sistim pemilihan sebelumnya yang diakibatkan oleh adanya resonansi
dari kekerasan dan konflik yang terjadi dalam pelaksanaan pemilihan umum kepala
daerah secara langsung. Resonansi adalah sebuah getaran yang terjadi atau
ditimbulkan akibat dari adanya getaran dari orang lain atau benda lain sehingga
menimbulkan implikasi terhadap kejadian berikutnya.
Pilkada langsung di mata masyarakat lokal akan menentukan siapa yang akan terpilih
menjadi kepala dan wakil kepala daerah dan akan mulai melakukan abstraksi terhadap
pasangan calon tersebut. Masyarakat lokal akan menjadi praktisi politik bagi dirinya
sendiri. Kalkulasi kalkulasi mereka mempunyai andil besar mengantarkan pasangan
calon tersebut untuk sampai ke kursi kepala daerah.
Dalam rangka mencapai hal tersebut, para calon kepala dan wakil kepala daerah
dengan berbagai cara akan lebih giat berusaha memainkan bidak-bidaknya untuk
menggali dukungan masyarakat. Ber-aneka ragamnya karakter masyarakat yang ada
di daerah akan mempengaruhi pola preferensi politik masyarakat yang akan
diperebutkan suaranya itu. Latar belakang seperti etnisitas, status sosial ekonomi dan
golongan agama, mengkategorisasikan pola preferensi politik
menjadi yang rasional dan yang emosional. Dalam konteks demokrasi, tidak ada yang
salah dengan kedua cara pandang tersebut. Setiap individu berhak memiliki perspektif
masing-masing.
Hanya saja bobot dari kedua preferensi tersebut bila dibedah secara menyeluruh akan
menunjukkan substansi kualitas yang berbeda juga dalam hal pandangan tentang
pemimpin yang ideal bagi mereka. Wawasan politik masyarakat lokal yang variatif
dalam melihat dan memilih kriteria kepala daerah akan sangat menentukan
kepemimpinan daerah Secara teoretis ada beberapa keuntungan pilkada langsung
yaitu mendekatkan negara (state) kepada masyarakat (society), mengembalikan
kedaulatan dari kedaulatan negara menjadi kedaulatan rakyat, memberikan
pembelajaran politik kepada masyarakat, secara psikologis
pilkada langsung meningkatkan rasa harga diri dan otonomi masyarakat di daerah;
pilkada langsung memberikan legitimasi yang kuat kepada kepala daerah dan
wakilnya untuk memerintah, dan pilkada langsung berkontribusi terhadap
pengembangan demokrasi ditingkat lokal.
Beberapa hal ideal dari pilkada langsung dalam realitasnya dihadapkan pada bias-bias
dan distorsi praktik penyelenggaraan pilkada langsung. Pertama kenyataan bahwa
tidak semua yang terpilih dalam pilkada langsung adalah putra-putri terbaik yang
dimiliki daerah bersangkutan. Masalah ini muncul karena tidak adanya calon
independen ( meskipun ada tetapi aturan untuk calon independen sedemikian ketatnya
sehingga sulit untuk dipenuhi), karena distorsi dalam seleksi di tingkat parpol (politik
uang, intervensi dari DPP parpol, dsb.), atau karena faktor lain-lain (sosialisasi yang
tidak memadai sehingga masyarakat "salah pilih", loyalitas buta pemilih yang
mengabaikan pertimbangan rasionalitas, kecurangan yang sistematis, penegakan
hukum yang tidak berjalan dengan baik, dll.). Kedua, kenyataan mengenai rendahnya
tingkat partisipasi masyarakat di beberapa daerah dalam pilkada. Jumlah golput yang
cukup banyak merupakan bukti kelelahan politik (political fatigue), kejenuhan, atau
karena munculnya kesadaran kritis masyarakat di daerah terhadap pesta demokrasi
lokal di tengahtengah
kesulitan ekonomi yang akut. Ketiga, adalah faktor klaim. Di daerah masih terlihat
jelas "garis-garis" pengelompokan sosial menurut tempat kelahiran, kekerabatan,
suku, dan agama/ideologi. Eksklusivitas ini akan melahirkan klaim-klaim yang dapat
merugikan kelompok lain. Keempat, tanpa adanya pengawasan kuat dari DPRD, civil
society dan pemerintah pusat, kepala daerah/wakil kepala daerah terpilih kurang
memiliki moralitas dan self-control yang kuat bahkan cenderung akan
menyalahgunakan kekuasaan. Oligarki baru di tingkat lokal akan lahir (atau menguat
bila yang terpilih adalah pejabat-pejabat lama/incambent) dengan terpilihnya kepala
daerah/wakil kepala daerah baru. Kelima, pilkada langsung akan menyisakan sakit
hati kepada kelompok yang kalah atau tidak puas dalam pilkada. Untuk menghindari
konflik dan resistensi seharusnya ketika menjabat si pemenang harus mampu
merengkuh pihak yang kalah untuk bersama-sama membangun daerah. Keenam,
banyaknya tumpang-tindih peraturan perundang-undangan menyebabkan terjadinya
miss-interpretasi terhadap peraturan tersebut di
daerah, sebagai contoh dalam hal perencanaan, UU 32 tentang pilkada dimana
program pembangunan dikaitkan pada janji politik pilkada sementara UU 25 Tahun
2004, pembangunan dikaitkan dengan program perencanaan nasional. Ketujuh, kepala
daerah dan wakil kepala daerah terpilih memperoleh mandat langsung dari rakyat
untuk memerintah dan membangun daerah. Amanat rakyat tersebut jangan disia-
siakan. Program-program pembangunan yang realistis dan penyusunan RAPBD yang
berbasis pada pemecahan permasalahan lokal memerlukan kompetensi yang tinggi
dari birokrasi lokal.
Dalam implementasi pilkada langsung sering sekali kita menemukan dan terjadi
konflik yang diakibatkan oleh pemilihan kepala daerah langsung tersebut. Dalam
conflict fuctionalism terdapat konsep deprivation dan sense of injustice. Pada konsep
ini, di mana perasaan diperlakukan secara tidak adil merupakan penyebab timbulnya
konflik. Di luar kemungkinan adanya upaya mobilisasi massa dari pihak yang
memiliki kepentingan-kepentingan tertentu.
Meski data adalah hasil kerja sama KPUD dengan dinas kependudukan, namun
tanggung jawab atas tidak akuratnya data adalah ditangan KPUD. Kedua, unjuk rasa
muncul karena kontestan dan pendukungnya tidak siap kalah. Mereka tahu kompetisi
selalu melahirkan pihak menang dan kalah. Namun, egoisme pribadi yang amat tinggi
menutup kesadaran itu. Terlihat, mereka tidak mendapat pendidikan politik yang baik.
Pilihan mereka, menang atau gagalkan pilkada. Pendeknya, gabungan
ketidakpercayaan atas pelaksanaan hukum dan ketidaksiapan menerima kekalahan
mengakibatkan munculnya aksi unjuk rasa. Jika unjuk rasa tidak direspon
dengan baik oleh pejabat, akan meledak menjadi kerusuhan. Agar konflik tidak terjadi
perlu perubahan-perubahan mendasar. Pertama, KPUD harus independen. Untuk itu,
peran panwas harus dioptimalkan. Panwas harus benar-benar berdaya. Kedua,
diperlukan kontrol kuat dari simpul-simpul masyarakat. Ketiga, perubahan partai
politik yakni dengan membentuk UU politik yang jauh lebih baik, dan tegas terhadap
batasan dan kewenangan sehingga tidak tumpang tindih
dan menimbulkan penafsiran yang ganda.
Selain itu beberapa hal yang perlu diperhatikan juga adalah kekuasaan yang diperoleh
kepala daerah harus melalui kompetisi politik yang sehat dan terbuka dan
menumbuhkan swadaya politik masyarakat. Apabila semuanya terpenuhi dan semua
aturan dijalankan secara baik maka kekhawatiran akan timbulnya anarkisme / konflik
tidak akan terjadi sehingga disintegrasi bangsa yang dijadikan alasan ketakutan
pemerintah tidak akan terjadi sebaliknya jika semua aturan dan perubahan-perubahan
menuju perbaikan tidak dilakukan maka tidak menutup kemungkinan dis-integrasi
bangsa yang dikhawatirkan pasti akan terjadi cepat atau lambat dan akhirnya
mekanisme pilkada secara langsung dalam demokrasi-desentralisasi akan ditinjau
kembali dan bahkan mungkin diganti atau kembali pada sistim awal, propaganda-
propaganda anti otonomi yang dilakukan oleh sebagian orang anggaplah sebagai suatu
masukan untuk dipikirkan (perbaikan).
ZAINUL BAQRI
Direktur Yayasan “SANTOANA” Nusantara
Politik
25/05/2010 - 17:41
(IST)
Hal itu mengemuka dalam launching buku dan diskusi buku "Khofifah Indar
Parawansa, Melawan Pembajakan Demokrasi, Pelajaran dan Tragedi Pilkada Jatim"
di Jakarta, Selasa (25/5).
Menurut mantan cagub Jatim Khofifah Indar Parawansa, dalam Pilkada Jatim
persoalan DPT fiktif dan duplikasi data terjadi. Menurut dia, kondisi tersebut adalah
upaya pembajakan demokrasi. "Makanya, pengaspalan demokrasi oleh akademisi,
penting dilakukan agar demokrasi dengan prinsip egalitarianisme berjalan mulus,"
katanya dalam sambutan launching bukunya.
Sementara pakar komunikasi politik dari Universitas Indonesia (UI) Effendi Ghazali
menilai, kasus Khofifah dalam Pilkada Jatim mengingatkan masih ada pekerjaan
demokrasi dalam politik pasar bebas. "Kalau tidak dibereskan, kita tidak akan
kemana-mana. Seperti soal DPS dan DPT," ujarnya.
Mantan anggota Komisi II DPR Ferry Mursyidan Baldan menegaskan, hingga saat ini
yang masih belum clear adalah persoalan DPT. “Memang aneh, kita dalam pemilu
langsung, tetapi tidak tahu berapa jumlah pemilih," tandasnya.
Menurut Ferry, meski sudah ada UU Kependudukan hingga rencana single identity
number (SIN) namun sampai saat ini belun ada perbaikan signifikan sistem
kependukukan. Dia menilai KPU dan KPUD tidak memiliki tekad mengurus DPT.
Sementara Koordinator Komite Pemilih Indonesia (Tepi), menilai bahwa asumsi data
administrasi penduduk benar padahal tidak. "Apalagi, KPU diberi waktu yang sempit
dalam penyisiran DPS," tegasnya.
Buku yang merekam tentang carut marut Pilkada Jatim ini ditujukan untuk
mengingatkan proses Pilkada yang memang masih menjadi persoalan. [mdr]
Dapatkan berita populer pilihan Anda gratis setiap pagi disini atau akses mobile
langsung http://M.inilah.com via ponsel dan Blackberry !
Tim Liputan 6 SCTV
Artikel Terkait
27/05/2010 01:24
Liputan6.com, Jakarta: Pemilihan kepala daerah di Mojokerto, Jawa Timur, pekan
lalu, jadi salah satu catatan hitam proses demokrasi di negeri ini. Sejumlah orang yang
diduga pendukung salah satu bakal calon bupati yang tidak lolos mengamuk dan
menghancurkan apa saja. Puluhan mobil dibakar dan kaca-kaca Gedung DPRD
setempat dirusak. Mereka berusaha menggagalkan agenda pemilihan saat digelar
penyampaian visi misi calon bupati di Gedung DPRD Mojokerto.
Menurut Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat Abdul Hafiz Anshary,
kejadian tersebut dipicu ketidakpuasan salah satu balon. Dan ini merupakan reaksi
dari sebuah kebebasan. "Namun sekarang orang berbuat "anarkis" seperti kebiasaan,"
kata Hafiz.
Dijelaskan Hafiz, KPU Pusat dalam penyelenggaraan pemilihan umum kepala daerah
(pemilukada) hanya berwenang mengeluarkan kebijakan regulasi. Sementara
pelaksanaan atau teknisnya masing-masing berada di tangan KPU daerah.
Sementara itu, mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) yang saat ini sebagai
anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), Jimly Asshiddiqie, peristiwa-
peristiwa itu menunjukkan gejala masyarakat yang masih berada di peradaban rendah.
Jimly menuding insiden tersebut diakibatkan tidak siapnya para elit politik. Karena itu
para elit politik dan tim suksesnya harus bisa "dipegang". "Mereka harus
bertanggungjawab jika ada kerusuhan," kata Jimly.
Jimly mengatakan, demokrasi pasti akan membuka ruang kebebasan. Namun, jika
masyarakatnya belum siap pasti akan ada efeknya. Menurut dia, masyarakat kita
masih kental dengan sifat "amok" atau gampang ngamuk. Ditambah lagi dengan
persoalan-persoalan yang mengimpit mereka, seperti kesulitan ekonomi dan bencana.
"Setelah sekian tahun berjalan, pilkada sepertinya harus dievaluasi. Salah satunya bisa
saja bupati atau wali kota dipilih oleh DPRD setempat," katanya. "Mekanismenya
sudah ada tinggal diefektifkan," imbuhnya.
Pengamat politik dari Centre for Strategic of International Studies (CSIS) J. Kristiadi
sependapat dengan pandangan Jimly. Kejadian-kejadian semacam itu, menurut
Kristiadi, sangat mengkhawatirkan. Ada beberapa hal yang menjadi penyebab
peristiwa itu. Di antaranya, elit politik yang tamak kekuasaan mempunyai sifat tak
mau kalah, pemilukada sudah keruh dengan politik uang, serta adanya oknum-oknum
KPUD yang sudah terkontaminasi.
Hal apa lagi yang menyebabkan proses pemilukada selalu dibumbui kerusuhan.
Bagaimana solusinya agar demokrasi di Tanah Air berlangsung tertib dan aman, ikuti
perbincangan mereka dalam video Barometer SCTV, Rabu (26/5) malam.(IAN)
Share
Berdasarkan uraian Nur Hidayat Sardini Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu)
dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi II DPR RI, beberapa waktu lalu beserta
KPU, menjelaskan bahwa pra-kondisi kerusuhan terjadi karena : regulasi/peraturan
teknis yang tumpang tindih, pelaksanaan tahapan pemilukada yang tidak konsisten
dan tidak jelas, dan netralitas penyelenggara, pengawas, pemda, dan penegak hukum.
Namun berdasarkan telaah Tim Gerejani, ada faktor lain yang lebih fundamental, dan
faktor tersebut justru yang seharusnya dapat dideteksi secara dini oleh pihak-pihak
terkait, khususnya pemerintah dan parlemen, agar tidak mencuat.
Faktor yang Tim Gerejani maksudkan ialah runtuhnya nasionalisme saat ini,
seiring pelaksanaan pemilukada (dulu pilkada). Bila kita ingat ketika pelaksanaan
pilkada beberapa tahun lalu, wacana putra daerah menguat, dan banyak pihak yang
menyatakan keberatan dengan wacana tersebut. Belum lagi beberapa daerah yang
sepertinya menekankan syariat agama tertentu, menerapkan syarat tambahan pilkada,
seperti mampu melafalkan ayat-ayat kitab suci.
Belum lama ini Mendagri melontarkan wacana tentang tidak pernah melakukan
perbuatan amoral, dan wacana inipun menyebabkan terjadinya silang pendapat.
Menjadi pertanyaan bagi kita semua dengan pemberlakuan pemilukada, apakah dalam
rangka pendewasaan daerah menuju kesejahteraan dan keadilan yang merata?
Seharusnya syarat yang berlaku adalah apa yang tercantum dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Bila seperti ini pelaksanaan pemilukada, dan Bawaslu maupun KPU tidak selaras dan
searah dalam mengawal pelaksanaan pemilukada, terlebih lagi aparat penegak hukum
tidak konsisten dengan nasionalisme, maka pemilukada secara langsung harus
dipertimbangkan, untuk tidak diteruskan, bila Indonesia tidak ingin langsung
mengalami perpecahan.
Perhatikan saja pernyataan calon Gubernur Sulawesi Utara, dan Kalimantan Tengah,
yang menekankan tentang asal usul suku sebagai penguatan pencitraan diri.
Pencitraan seperti itu pada dasarnya tidak akan menjadi masalah, bila saja khalayak
mempunyai pemahaman yang cukup baik, namun bila tidak, maka hal kesukuan, tidak
akan menjadi pencitraan (dalam artian kebersamaan dalam pluralitas bangsa), tetapi
menjadi benih konflik horisontal. Bila hal ini dibiarkan terus-menerus, dapat
mengancam keutuhan NKRI.
Ingat saja pesan moral Bang Napi yang selalu muncul pada suatu stasiun TV swasta
nasional, yang selalu mengatakan "Waspadalah..! Waspadalah..!". (DPT)
• By admin at 31 May 2010 - 7:36pm
Apa yang ada di benak anda dengan situasi Indonesia sekarang ini, dengan berbagai
persoalan yang membelit, tidak pernah henti, dan malah selalu bertambah ? Sebagai
anak bangsa, apa yang anda rasakan ketika setiap hari anda selalu mendengar berita
berita buruk tentang Indonesia, pilkada rusuh, demo rusuh, antri minyak, kekeringan,
kelaparan, pembunuhan, perkosaan, dll?
Siapa yang tidak terpaku lesu melihat bangsa lain kian maju kedepan, kita justru
mundur pelamn pelan ke belakang ? Kalau anda pencari kerja, apakah tidak risau
melihat sempitnya lapangan pekerjaan, dan penuhnya peminat kerja? kalau anda
orang tua, apakah tidak mulai kalangkabut ketika biaya pendidikan membumbung
tinggi? sekarang, gimana dengan nanti?
Apakah kita sendirian ? Tidak tentu saja, banyak negara lain yang senasib dengan kita
saat ini, Philipine adalah salah satu contohnya, mungkin juga argentina. Bisa jadi,
banyak lagi. Tapi sesungguhnya, saya bisa menyamakan kondisi kita saat ini
dengan ....Russia, bukan sekarang, akan tetapi russia di masa Yeltsin. Apa saja
kondisi yang sama?
2. Russia, selepas pecahnya Uni Sovyet, dan Indonesia selepas keruntuhan orde baru,
sama sama terbuai oleh buaian and bujukan barat dan menjalankan demokrasi secara
lepas, sesuai model dan 'keinginan' barat. Demokrasi di negara itu dan negara kita
sama sama menjadikan rakyat terpecah belah, hilang rasa nasionalisme, minyak
minyak dikuasai para oligarki, pengaruh barat di belakang Yeltsin kuat sekali.
Semakin banyak orang yang memikirkan diri sendiri, kelompoknya, berpikir sempit,
pendek, dan pragmatis. Perlu diketahui, bahwa sebagian besar eropa maju bukan
karena demokrasi mereka, tapi karena tingkat edukasi dan posisi yang memang
strategis untuk memajukan ekonomi. Kita lupa, bahwa negara2 non barat yang
menjalankan demokrasi, justru 'tidak pernah' maju...lihat saja Sri Lanka, Bangladesh,
Pakistan, Philipines, dan beberapa negara afrika. Sementara, negara non barat yang
menjalankan demokrasi terbatas dan 'terkontrol', justru mampu berbuat banyak untuk
memajukan bangsanya...lihatlah Singapore, Malaysia, (sebentar lagi) Vietnam, Korea
Selatan, dan yang paling menonjol tentu saja China. Sekali lagi, demokrasi (hampir)
tidak ada hubungannya dengan kemajuan ekonomi. Lalu apa? pikirkan sendiri...
3. Dulu Uni Sovyet adalah negara dengan ekonomi kuat, pendidikan yang maju, dan
disegani. Rusia (setelah Uni Sovyet) semasa Yeltsin adalah bangsa besar yang
pesakitan, rusuh sana sini, antri roti, antri BBM, kekacauan distribusi ekonomi,
dan ...menjada bahan tertawaan barat. Tahun 1990-1998, Russia adalah negara yang
membayar tentaranya dengan sayur-sayuran, dan berutang banyak, $ 70 milyar dollar
(sama dengan Indonesia) untuk membiayai operasi negaranya. Toh, hal itu tidak
mampu membuatnya pulih seperti dulu kala, malah makin menjerumuskan, satu hal
yang disadari agak terlambat oleh bangsa ini. Waktu itu, anak anak muda Rusia mulai
merindukan masa masa jaya jaman Uni Sovyet dulu, dimana rakyat bangga akan
negaranya. Lalu muncul sang penyelamat, Vladimir Putin..cerita selanjutnya kita
sudah tau sendiri...kota Moskow adalah kota yang mempunyai proporsi orang kaya
tertinggi di seluruh dunia. Russia dengan lancar membayar DENDA hampir $1 milyar
karena........MEMBAYAR LUNAS UTANGNYA SEBELUM JATUH TEMPO !!
Semua karena kebijakan ekonomi Putin yang tegas, dan berpikir akan kemajuan
Russia, seratus tahun dari sekarang. Kebanyakan pemangku jabatan di negeri ini
berpikir hanya.....4 tahun kedepan, dan tahun ke lima sibuk berkampanye....
4. Jaman Yeltsin, pers dilepas bebas luar biasa, tanpa kontrol, tanpa tanggung jawab,
dan hampir setiap hari menuntut, menjelek2kan, mengolok2 pemerintahnya. Persis
seperti kita sekarang ini.
Meski pengaruh Indonesia jaman dulu tidaklah sekuat Rusia, namun bagaimanapun,
bangsa kita pernah 'menikmati' kejayaan menjadi negara dengan pertumbuhan
ekonomi tercepat di dunia, politik yang stabil, Foreign Direct Invesment (FDI)
tertinggi di kawasan regional, militer yang disegani dan kuat, rakyat yang makmur
dan tenteram, pemerintah yang berfungsi baik dan sebagainya. Masa masa tahun
1976-1992, adalah masa keemasan itu, faktor utamanya adalah kepemimpinan yang
kuat, aturan yang transparan, rakyat yang mau diatur, dan kehidupan politik yang
terkendali. Mungkin banyak orang akan protes pada remark saya di atas, namun
sungguh naif kalau ada yang membantah bahwa jaman orde baru adalah masa yang
stabil, pertumbuhan ekonominya mantab, dan bangsa kita sangat disegani.
Saya yakin 100%, kalau kita biarkan kondisi kita seperti sekarang ini tanpa berbuat
sesuatu DARI SEKARANG, dalam 15-20 tahun ke depan, kita akan berakhir seperti
Philipine yang tanpa harapan...(kata orang philipine sendiri). Dalam satu kesempatan,
Wimar Witoelar menyatakan bahwa demokrasi di negeri ini sudah melewati masa
masa gelap malam, saat ini kita ada di jam jam 2-2.30 dini hari, bentar lagi pagi,
penuh sinar mentari. BULLPIT , komentar seorang pemikir yang menggelikan dan
tidak masuk akal, dimana sungguh nyata bahwa demokrasi sama sekali tidak mampu
mengangkat harga diri bangsa ini, dan barat yang kita agung agungkan, tetap saja
'mengolok-olok' kita dengan berbagai cara. Contoh ? Carilah sendiri, bung Wimar.
Salah seorang amerika teman saya di Jogja bilang bahwa demokrasi di indonesia ini
hanya masalah pemilu, pilkada, demonstrasi, dan pers yang bebas saja, tidak
diimbangi dengan berbagai hal, seperti pendidikan, dan kontrol keuangan negara.
Otonomi adalah salah satu blunder besar bangsa ini, yang susah disembuhkan.
Amerika membutuhkan ratusan tahun untuk bisa seperti sekarang ini, demokrasi di
India masih penuh dengan darah, dan kerusuhan kerusuhan, meski sudah puluhan
tahun berdemokrasi. Ingat, tahun 70an, Philipina adalah negara yang paling diminati
investor, dan termaju kedua setelah Jepang, lihatlah sekarang kondisinya ketika
demokrasi dipaksakan.
So, adalah non sense besar seorang Wimar Witoelar mengatakan demokrasi kita
hampir sampai. Sampai mana, bung? (Semoga dia baca ini....!)
2. STOP PILKADA !! Energi kita terkuras cukup banyak di situ, beneran. Berapa
ratus trilyun habis untuk pilkada pilkada itu, berapa uang yang disebar sebar untuk
menyuap, berapa polisi yang harus meninggalkan pos-nya untuk menjaga pilkada,
berapa harga sebuah konflik antar para pendukung? belum puaskah kita saling
berkelahi sehingga harus ditambah sebuah ajang baru bernama PILKADA? Saat ini,
gubernur bisa menolak diundang presiden, presiden pun kesulitan mengambil
tindakan disiplin, bupati (sering) menolak datang menghadap gubernur, dan
seterusnya sampai kebawah. Alasannya jelas, SAYA DIPILIH OLEH RAKYAT
SAYA, ANDA NGGAK BERHAK NGATUR SAYA, (kalau mau diterusin...SAYA
UDAH KELUAR DUIT BANYAK, SUAP SANA SUAP SINI, MASIH NGURUSIN
ADMINISTRATIP...haha.). Selain itu, poster poster parpol dan foto2 calon peserta
pilkada bikin kotor pemandangan (DAN BIKIN MUAK !!)
3. Naikkan "nilai" Rupiah. Pasti banyak yang mendukung. Sebenarnya naik bukan
nilainya, tapi 'prestige'nya. Hilangin 3 angka nol dibelakang, atau kalau terlalu cepet,
ganti 3 angka nol dengan tulisan "ribu" aja, sebelum lama lama diilangin. Turki
pernah melakukan sanering ini, dan sukses ! Sori, ini untuk mengangkat 'harga diri'
orang indonesia, membuat mereka tidak perlu menunduk dalam dalam lagi.
Saya mendengar dongeng tersebut dari kakek, ketika saya baru duduk di bangku kelas
III Sekolah Dasar (SD). Hampir setiap kali kakek menyuguhkan cerita Si Rusuh.
Padahal, sejak kecil saya tidak berbakat menjadi perusuh. Kalau setiap malam
Minggu harus bermain kucing-kucingan dengan hansip, bukanlah karena saya
melakukan kerusuhan, melainkan sekedar kasus norobos menjebol pintu belakang
bioskop THR (Tempat Hiburan Rakyat) Panjalu. Saya tidak akan norobos seandainya
punya uang Rp 350,- untuk membeli karcis.
Suatu kali saya tertangkap basah saat sedang norobos pintu samping THR. Hansip
menggiring saya melewati pintu masuk, disaksikan orang-orang yang sedang
mengantri untuk membeli karcis. Sungguh sangat memalukan! Sebab, di antara orang-
orang tersebut, salahsatunya gadis Dusun Pabuaran yang beberapa malam selalu hadir
dalam mimpi.
Dalam bahasa Sunda, “rusuh” adalah kata dasar dari “rurusuhan” atau “gurunggusuh”
yang artinya tergesa-gesa. Orang yang tergesa-gesa tidak melanggar hukum. Namun
akibat dari tergesa-gesa, terkadang bisa membuatnya berurusan dengan hukum.
Sebagai contoh, jika mengemudi kendaran dengan tergesa-gesa, bisa-bisa malah
menabrak orang atau tabrakan dengan kendaraan lain. Jika tergesa-gesa menyatakan
cinta kepada seorang lawan jenis, kemungkinan akan ditolak, dan tentu menyakitkan
hati.
Orang yang suka tergesa-gesa, ada baiknya mencoba merenungi peribahasa Sunda
yang berbunyi leuleus jeujeur liat tali atau landung kandungan laer aisan. Dua
peribahasa tersebut artinya adalah orang yang suka mempertimbangkan segala akibat
sebelum bertindak, adil, sabar, serta tidak mudah mengambil keputusan yang
gegabah. Tidak tergesa-gesa tentu tidak sinonim dengan lamban.
Kerusuhan pada saat penggusuran tidak harus terjadi, jika berusaha untuk landung
kandungan laer aisan; penggusur tidak berbuat semena-mena dan tetap
memperlakukan si tergusur sebagai manusia. Kerusuhan dalam pertandingan olah
raga tidak harus terjadi, jika semuanya landung kandungan laer aisan, seraya
mengerti bahwa kalah, menang atau imbang merupakan hal yang lumrah dalam suatu
pertandingan.
Semua orang tua yang normal, tentu tidak menginginkan anak-anaknya menjadi
pemarah. Oleh karena itulah dalam pernikahan orang Sunda, ada tradisi membakar
harupat (bagian dari ijuk yang ukurannya besar). Tentu bukan untuk menyembah
harupat. Membakar harupat merupakan simbol dari pemberangusan getas
harupateun. Maka dari itu, segeralah kawin agar tidak menjadi pemarah. Bahkan
tidak ada salahnya kalau mencoba membakar harupat dalam peristiwa lain. Misalnya
membakar harupat sebelum melangsungkan pertandingan olahraga, pertunjukan
kesenian, penggusuran, atau sebelum sidang DPR/MPR. Mungkin kerusuhan tidak
akan terjadi, jika semua orang bisa membakar harupat. Semoga tidak ada kerusuhan
di bulan Ramadhan, dan bulan-bulan selanjutnya.***
Tulisan ini dimuat di rubrik Fokus HU. Pikiran Rakyat, pada 24 September 2006
nformasi Umum
Nama:
Anti Demonstrasi Anarki
Kategori:
Minat Bersama - Aktivitas
Keterangan:
Anti Demonstrasi Anarki
Belasan tahun telah berlalu sejak wacana reformasi mendominasi dunia politik
dan berideologi masyarakat. Perkembangan signifikan era reformasi kalau
dilihat sekilas memang lebih baik, dimana media mulai meningkat peran nya
dalam kontrol sosial masyarakat. Seniman dan artist pun mendapat tempat
lebih bebas untuk mengekspresikan pendapat, opini, dan karya-karya mereka.
Kejadian beberapa waktu yang lalu misalnya sebagai contoh yang amat sangat
menyedihkan, yaitu meninggalnya seorang ketua DPRD di propinsi SUMUT
akibat ulah para oknum yang mengatasnamakan kepentingan rakyat. Entah
karena ambisi untuk mendapat posisi penting di daerah banyak terjadi tindak
seperti ini sejak reformasi ada. PILKADA selalu rusuh, banyak pendukung
calon daerah yang tidak puas lalu berdemonstrasi menuntut massa mereka agar
didengarkan oleh pihak yang berwenang. Dan masih banyak lagi demo2
berlanjut hingga sekarang seperti demonstrasi mahasiswa dan ormas2
mengenai masalah CENTURY, yang dampak nya tidak sedikit yang
merugikan kepentingan publik akibat perusakan berbagai fasilitas milik
publik.
Siapa yang dirugikan? Ya tentunya bangsa dan negara kita sendiri. Setiap
tindak demonstrasi apalagi bagi mereka yang berdemo dengan cara2 memaksa
terkadang lebih cenderung untuk bermain dengan kekerasan dan anarki, tidak
peduli jika itu harus merusak fasilitas yang dibiayai negara. Gedung DPR
rusak, gerbang jebol, mobil pejabat dibakar, kantor2 dilempari batu dsb.
Sejak era reformasi hingga sekarang bisa di katakan bahwa konsep reformasi
yang diperjuangkan oleh mahasiswa di tahun 1998 membawa sebagian oknum
tertentu masyarakat (mahasiswa/ormas) kepada demokrasi baru ala Indonesia
yaitu berupa Demokrasi Vandalis-Feodalisme. Yaitu tipe2 demokrasi yang
suka memaksa dan anarki, sebuah ideologi aneh yang diciptakan oleh sebagian
oknum yang mengaku sok reformis/demokratis dan berkedok kepentingan
rakyat tertindas.
Kalau anda melihat, akhir2 ini sebagian kecil anak bangsa yang
mengatasnamakan rakyat begitu bebasnya mengkambinghitamkan, menghujat,
dan mencaci pribadi orang lain melalui demonstrasi yang mereka lakukan.
Tingkah polah mereka seperti anak kecil yang merengek2 minta dibelikan
permen. Jika keinginan mereka tidak dipenuhi, tidak segan2 mereka
melakukan tindakan merusak sebagai manifestasi dari rendah nya kualitas
kedewasaan mereka dalam hal demokrasi.
Kapan, dan kapan? semuanya kembali lagi kepada pribadi kita masing2...
(baca lebih sedikit)
Jenis Privasi:
Terbuka: Semua isi dapat dibaca umum.
Sepanjang tahun 2008 jagat perpolitikan di negeri ini masih dipenuhi dengan Pilkada
sebagai wujud dari euforia demokrasi. Meski di sana-sini kejenuhan sudah mulai
menghiasi, partai dan politisi sibuk mengiklankan diri seperti iklan pasta gigi dan
sabun mandi, tentu seraya mengobral janji. Penguasa pun selalu berupaya mensugesti
diri bahwa semua masih terkendali. Padahal kenyataannya sebaliknya.
Dalam aspek sosial, pornografi dan pornoaksi masih terus bertebaran. Kasus
HIV/AIDS pun akan makin banyak dan ke depan secara serius akan menjadi
ancaman. Celakanya, pornografi dan pornoaksi yang menjadi salah satu pemicu
mungkin makin berkembang dengan berlindung di balik UU Pornografi yang sudah
disahkan.
Kejenuhan Demokrasi
Indonesia telah diangap sebagai bagian dari negara demokratis di dunia. Presiden dan
wakil presiden sudah dipilih langsung. Gubernur dan bupati/walikota juga dipilih
langsung. Serangkaian pilkada itu harus dibiayai dengan sangat mahal oleh rakyat.
Pilkada tahun 2007 di 226 daerah, terdiri 11 provinsi dan 215 kabupaten/kota,
menelan dana sekitar Rp 1,25 triliun. Jumlah ini adalah biaya yang dikeluarkan oleh
KPUD. Jika ditambah dengan biaya yang dikeluarkan calon dan partai pengusungnya,
jumlah itu akan jauh lebih besar lagi. Ironisnya, Pilkada telah melahirkan efek negatif,
seperti polarisasi kelompok masyarakat dan merenggangnya interaksi sosial di antara
masyarakat itu sendiri. Tidak jarang proses Pilkada justru melahirkan bentrokan yang
mengarah pada tindakan anarkis. Sejak rusuh paling awal di Manggarai, berikutnya
rusuh pun terjadi di sejumlah Pilkada. Sebut saja rusuh di Tuban hingga terjadi
pembakaran beberapa bangunan. Rusuh di Maluku Utara pasca Pilkada gubernur
malah terjadi berkepanjangan.
Lebih ironis lagi, setelah semua itu, perbaikan kehidupan sehari-hari rakyat tak
kunjung terjadi. Rakyat Indonesia pun mulai merasa jenuh dengan proses demokrasi
yang berjalan. Masyarakat makin hari makin apatis dengan proses demokrasi dan
proses politik yang ada. Hal itu bisa dilihat dari makin tingginya angka golput. Dari
26 Pilkada Gubernur sejak 2005 hingga 2008, menurut catatan JPPR, 13 “dimenangi”
oleh golput. Dari 130 lebih Pilkada kabupaten/kota, dalam lebih dari 41 Pilkada
golput menempati urutan pertama. Golput pada Pilkada Kalsel sebesar 40%, Sumbar
37%, Jambi 34%, Kepulauan Riau 46%, Banten 40%, DKI 35%, Jawa Barat 33%,
Jawa Tengah 44%, Sumatera Utara 43% dan Pilkada Jatim putaran I sebesar 39,2 %
dan putaran II sekitar 46%. Angka golput pada sejumlah Pilkada kabupaten/kota pun
banyak yang berkisar antara 30–40%, bahkan lebih. Fenomena itu diperkirakan terus
berlangsung pada Pemilu 2009 nanti.
Di dalam demokrasi, citra politisi atau partai dianggap menentukan perolehan suara.
Karena itu, masa kampanye yang panjang, sekitar 9 bulan, pun betul-betul
dimanfaatkan oleh para politisi dan parpol. Bermunculanlah iklan politik politisi dan
partai. Partai Demokrat mencitrakan kesuksesan pemerintahan SBY dengan
menampilkan penurunan angka kemiskinan di Indonesia dan pertumbuhan sebesar 6%
di sektor ekonomi. Faktanya, harga BBM dinaikkan, harga-harga kebutuhan
melambung, pengangguran meningkat dan angka pengangguran masih tinggi, banyak
industri UKM gulung tikar dan sejumlah industri besar terancam ambruk dan mem-
PHK karyawannya. Kehidupan rakyat pun bahkan makin sulit hingga banyak dari
rakyat rela mempertaruhkan nyawa hanya demi uang dua-tiga puluh ribu rupiah,
seperti dalam pembagian zakat seputar Idul Fitri lalu.
Iklan lainnya mencitrakan sang Tokoh dengan visi dan misinya mensejahterakan
rakyat Indonesia, kehidupan yang dekat dengan para petani dan memperjuangkan
produk-produk dalam negeri. Padahal kiprahnya memperjuangkan nasib para petani
dan kesejahteraan rakyat kecil selama ini nyaris tak terdengar.
Ada juga iklan dari “partainya wong cilik” yang mencitrakan kegagalan Pemerintah
mengatasi tingginya harga-harga dan kesiapannya mengatasi semua itu jika
memerintah. Padahal ketika memerintah dulu justru harga BBM rata-rata dinaikkan
126 % dan BUMN banyak yang diobral.
Iklan politik sudah dianggap begitu sakti sehingga ada yang nekat mengiklankan
tokoh-tokoh pahlawan nasional yang akhirnya menuai banyak kritik.
Dalam sisa waktu kampanye ini, iklan politik akan terus bertebaran dan boleh jadi
akan berhasil mengelabuhi rakyat. Namun, rakyat harus ingat bahwa layaknya sebuah
iklan, iklan politik itu ternyata juga “tak seindah warna aslinya”.
Sejak awal Pemerintah berjanji tidak menaikkan harga BBM. Faktanya, harga BBM
dinaikkan rata-rata 27%. Keberpihakan kepada rakyat selalu dijadikan slogan.
Nyatanya, korban lumpur Lapindo hingga kini dibiarkan. Anehnya, ketika grup
Bakrie, induk Lapindo Brantas, kelimpungan terimbas krisis finansial, penguasa sigap
menyelamatkan. Pemerintah sering mengatakan tidak punya uang untuk subsidi.
Anehnya, tiba-tiba saja tersedia uang hampir 4 triliun rupiah agar BUMN mem-buy
back saham hingga 50%. Oleh banyak pihak, itu dinilai lebih menguntungkan
pengusaha, terutama asing. Pemerintah selalu berkata, perekonomian kuat dan imbas
krisis finansial tidak akan besar. Nyatanya, industri, dari yang kecil sampai yang,
besar banyak yang kolaps dan hampir mati. Puluhan bahkan ratusan ribu PHK pun
akan terjadi.
Pornografi
Indonesia sebelumnya dianggap sebagai surga pornografi nomor dua setelah Rusia.
Terbitan-terbitan yang berbau pornografi dan berbagai pornoaksi terus saja beredar
luas tak tersentuh oleh hukum. Hukum tak bisa melindungi generasi negeri ini dari
serbuan pornografi dan pornoaksi. Majalah Playboy Indonesia yang jelas mengusung
pornografi diputus tak bersalah oleh PN Jakarta Selatan. Di dunia cyber, menurut
Sekjen Aliansi Selamatkan Anak Indonesia, Inke Maris, Indonesia menduduki
peringkat ketiga pengakses internet dengan kata seks (Republika, 22/9/’08).
UU Pornografi akhirnya memang disahkan. Hanya saja, ia telah berubah jauh dari
draft dan semangat awal untuk memberantas pornografi dan pornoaksi. Kata anti
hilang. Masalah pornoaksi tidak disinggung. Pornografi pun ada yang diperbolehkan
dan ada yang dilarang. Yang dilarang hanya lima materi: persenggamaan, termasuk
yang menyimpang; kekerasan seksual; masturbasi atau onani; ketelanjangan atau
tampilan yang mengesankan ketelanjangan; dan alat kelamin. Karena itu, alih-alih
memberantas pornografi, yang terjadi nanti pornografi dan pornoaksi justru
berkembang dan legal dengan berlindung pada diktum pornografi yang
diperbolehkan.
UNAIDS dan WHO memperkirakan bahwa AIDS telah membunuh lebih dari 25 juta
jiwa sejak pertama kali diakui tahun 1981. Dengan demikian, AIDS menjadi salah
satu epidemik paling menghancurkan dalam sejarah. Di Indonesia, menurut data Dep.
Kesehatan, sampai dengan 31 Maret 2008 secara kumulatif jumlah kasus AIDS yang
dilaporkan sebanyak 11.868 kasus di 32 povinsi yang tersebar di 194 kab/kota.
Proporsi kasus AIDS yang dilaporkan telah meninggal adalah 20,95%. Hasil estimasi
populasi rawan tertular HIV tahun 2006 adalah 193.000.
Proporsi kumulatif tertinggi pada kelompok umur 20-29 tahun (53,62%), disusul
kelompok umur 30-39 tahun (27,79%) dan kelompok umur 40-49 tahun (7,89%).
Kasus terbanyak di DKI Jakarta, Jawa Barat, Papua, Jawa Timur, Bali, Kalimantan
Barat, Sumatera Utara, Jawa Tengah, Kepulauan Riau, dan Sumatera Barat. Rate
kumulatif kasus AIDS Nasional sampai dengan 31 Maret 2008 adalah 5,23 per
100.000 penduduk. Rate kumulatif tertinggi adalah di provinsi Papua (75,312), DKI
Jakarta (33,995), Bali (23,012), Kep. Riau (20,397), Kalimantan Barat (18,828),
Maluku (11,506), Papua Barat (9,937), Bangka Belitung (6,799), dan Sulawesi Utara
(5,753).
Menurut Juru Bicara Dinas Kesehatan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Tini
Suryanti, jumlah penderita HIV/AIDS mencapai 4.288 orang, meningkat dari 2.849
penderita tahun lalu. Jumlah ini, lanjut Tini, masih merupakan fenomena gunung es.
“Yang tidak terdeteksi bisa 100 kali lebih banyak,” katanya. (TEMPO Interaktif,
30/11/08).
Tekanan dan beban hidup yang semakin berat dipercaya meningkatkan angka
kriminalitas. Kasus kriminal diperkirakan meningkat. Lihat saja, lembaran koran
setiap hari hampir tidak pernah kosong dari berita kriminal. Fenomena kriminal yang
mencolok adalah meningkatnya kasus mutilasi. Mutilasi menjadi modus favorit bagi
pelaku pembunuhan. Sejak Januari hingga September 2008 tercatat ada 6 kasus
mutilasi yang terjadi di Jakarta dan sekitarnya. Namun, baru 2 dari 6 kasus yang
pelakunya diciduk (http://www.detiksport.com). Selama 2008, kasus mutilasi juga
terjadi di daerah-daerah lain seperti di Gunung Batu, Cicendo Bandung pada 30/8/’08
(Pikiran Rakyat, 27/10/’08), di Bima yang melibatkan tiga pelaku
(nusatenggaranews.com), di Semarang (Solopos,com), di desa Pering Gianyar Bali
(elShinta.com) dan masih ada kasus lainnya di tempat lain. Menurut Kriminolog
Erlangga Masdiana, semakin maraknya mutilasi ini juga tidak terlepas dari peran
media massa. “Media sebagai sumber pembelajaran atau socio learning, sehingga
timbul imitatif effect (efek peniruan),” katanya (Kilasberita.com).
Yang jelas makin meningkatnya jumlah dan ragam kriminalitas menunjukkan bahwa
hukum tidak memberikan efek jera sehingga bisa mencegah orang lain untuk
melakukan kejahatan. Itu artinya, hukum yang ada tidak memadai untuk mencegah
dan memberantas kriminalitas. Karenanya, sudah saatnya ia dipensiunkan dan diganti
dengan sistem hukum yang memadai, yang tidak lain adalah syariah Islam.
Sebanyak 80% mahasiswa memilih syariah sebagai pandangan hidup berbangsa dan
bernegara. (Hasil survey aktivis gerakan nasionalis pada 2006 di Universitas
Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada, Universitas
Airlangga, dan Universitas Brawijaya, Kompas, 4/3/’08). Survey Roy Morgan
Research yang dirilis Juni 2008 memperlihatkan, sebanyak 52% orang Indonesia
mengatakan, syariah Islam harus diterapkan di wilayah mereka. (The Jakarta Post,
24/6/’08). Survey terbaru yang dilakukan oleh SEM Institute menunjukkan sekitar
72% masyarakat Indonesia setuju dengan penerapan syariah Islam.
Sejumlah hasil survey itu menunjukkan bahwa harapan masih terbentang bagi
terwujudnya Indonesia yang lebih baik. Syariah Islam diyakini akan membawa
perbaikan dan kebaikan, keadilan dan kesejahteraan bukan hanya bagi masyarakat
Indonesia tapi juga dunia. Tantangan ke depan adalah bagaimana memperbesar opini
tentang penerapan syariah ini; juga mengubah opini itu menjadi kesadaran yang
menggerakkan bagi terwujudnya penerapan syariah. []
Jakarta - Jika melihat aspek kewenangan, posisi sebagai wakil pemerintah pusat di
provinsi serta pengalaman pelaksanaan pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah
(pilkada) yang telah berjalan dalam dua periode sejak 2005 sebaiknya pilkada
langsung gubernur dan wakil gubernur ditiadakan ke depan.
Pilkada gubernur sebaiknya dilakukan melalui DPRD provinsi dan hanya memilih
gubernur semata. Sementara, wakil gubernur dipilih dengan mekanisme usulan
gubernur terpilih kepada Presiden untuk ditetapkan sebagai wakil gubernur jika
memang dibutuhkan.
Hal itu disampaikan Ketua Dewan Penasihat Partai Golkar Akbar Tandjung di sela-
sela diskusi bertajuk "Mengkaji Ulang Pemilu Kada Provinsi: Gubernur Dipilih
Langsung atau Melalui DPRD" di Jakarta, Rabu (8/6).
Akbar Tandjung mengatakan setidaknya ada lima alasan mengapa pilkada langsung
gubernur ditiadakan. Pertama, UUD 1945 tidak secara eksplisit menyebutkan
pemilihan gubernur dilakukan secara langsung, namun secara demokratis. Kedua,
kewenangan seorang gubernur tidak seluas bupati atau wali kota karena fokus
otonomi berada di tingkat kabupaten dan kota. Ketiga, gubernur adalah wakil
pemerintah pusat di provinsi.
Selain wacana pemilihan gubernur oleh DPRD, ada juga usulan agar pemilihan wakil
gubernur dilakukan terpisah dengan gubernur. Pasalnya, wakil gubernur memang
tidak disebutkan secara eksplisit dalam UUD 1945 untuk dipilih secara demokratis
bersama gubernur.
"Setidaknya ada dua alternatif untuk pemilihan wakil gubernur, pertama diusulkan
oleh gubernur terpilih kepada Presiden untuk ditetapkan atau tetap dipilih
berpasangan dengan gubernur dalam pilkada tapi gubernur diberikan kewenangan
yang luas untuk memilih wakilnya sendiri," kata Made.
Sementara, anggota Komisi II DPR Taufik Hidayat dari Fraksi Partai Golkar
mengatakan selama ini pilkada memang belum dapat berjalan efektif dalam semangat
demokrasi. Pilkada masih menjadi ajang sewa-menyewa tiket dan lahan antara calon
dan partai politik. Kondisi didukung oleh kebijakan partai politik yang memang
belum optimal mempersiapkan kader-kader terbaiknya untuk dididik secara baik dan
diusung sebagai calon kepala daerah.
Hasilnya, kepala daerah terpilih jarang berbuat yang terbaik untuk daerahnya seperti
yang diinginkan partai pengusung. Namun, dengan berbagai kelemahan ini bukan
berarti pilkada langsung gubernur dapat ditiadakan. Jika, pemilihan gubernur
dilakukan DPRD dikhawatirkan akan mengembalikan praktik oligarki partai seperti
yang terjadi di masa lalu yang nyata-nyata bertentangan dengan semangat demokrasi.
"Saya tetap berkecenderungan pilkada gubernur tetap dipilih langsung oleh rakyat,
lebih banyak momentum rakyat untuk memilih langsung calon-calonnya, dan ini lebih
mendewasakan rakyat secara politik," ujarnya. ■ Arjuna Al Ichsan
Sejak tahun 2005, sebanyak 174 pemilihan kepala daerah (pilkada) berakhir dengan
proses hukum. Memasuki tahun ini pun, setidaknya masih ada tiga pilkada provinsi
yang proses hukumnya belum rampung.
16 Desember 2004
Namun, bila diteliti lebih lanjut, aturan pilkada pada UU No 32/2004 mengandung
beberapa 'perangkap' yang dapat mengurangi kualitas demokrasi yang kita harapkan
dari pilkada langsung. Hal ini penting kita cermati sebelum pelaksanaan pilkada
tersebut diselenggarakan secara hampir serentak pada tahun 2005 di 213
kabupaten/kota serta 11 provinsi di Indonesia.
Masalah utama penyelenggaraan pilkada langsung ialah peluang yang diberikan oleh
UU No 32/2004 kepada Departemen Dalam Negeri untuk dapat mengatur
penyelenggaraan pilkada. Peran ini berupa wewenang Depdagri untuk menetapkan
peraturan pemerintah yang merupakan turunan teknis dari UU No 32/2004. Peran ini
sebenarnya sudah dikikis habis ketika MPR pada amendemen UUD 1945 yang ketiga
tahun 2001 menetapkan bahwa Komisi Pemilihan Umum adalah penyelenggara
pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. MPR pada saat itu ingin
menegakkan prinsip dasar negara demokratis yang memisahkan rezim pemilu dengan
rezim pemerintahan. Pemisahan ini ditujukan agar proses pemilu dapat dipertahankan
integritasnya tanpa adanya campur tangan dari rezim pemerintahan yang merupakan
pihak yang berkepentingan terhadap hasil pemilu. Sebaliknya rezim pemerintahan
juga harus dijaga kemandiriannya dari proses-proses pemilu sehingga proses
pemerintahan tidak dimanfaatkan untuk memengaruhi hasil pemilu. Secara ekstrem
hal ini ditunjukkan di India yang mengharuskan lembaga eksekutif di bawah perdana
menteri untuk demisioner selama pemilu sehingga tampuk pemerintahan dipegang
oleh Mahkamah Agung.
Pengalaman buruk penyelenggaraan pemilu di masa Orde Baru yang didominasi oleh
Depdagri juga mendasari keputusan MPR tersebut sehingga visi yang dikedepankan
adalah penyelenggaraan pemilu yang sepenuhnya mandiri dari intervensi atau campur
tangan pemerintah. Hal ini diperkukuh dengan adanya aturan yang menetapkan
prasyarat independen dan nonpartisan bagi anggota KPU. Namun, kembalinya peran
Depdagri dalam bentuk penetapan dan penegakan peraturan pemerintah harus
diwaspadai sebagai ‘pintu masuk’ bagi intervensi pemerintah nasional dalam
penyelenggaraan pilkada dan proses pemerintahan di tingkat daerah.
Yang lebih buruk lagi penyelenggaraan pilkada sepenuhnya diserahkan kepada KPUD
sesuai tingkatan pelaksanaan pilkada yang bertanggung jawab kepada DPRD sesuai
tingkatannya. UU 32/2004 tidak menjelaskan adanya peran supervisi dan koordinasi
berjenjang oleh KPU provinsi maupun KPU nasional. Padahal standar
penyelenggaraan pilkada seharusnyalah ditetapkan oleh KPU secara nasional dan
hanya beberapa hal khusus yang dapat ditetapkan oleh KPU provinsi maupun KPU
kabupaten/kota untuk menyesuaikan dengan situasi lokal. Peran supervisi dan
koordinasi juga diperlukan karena setiap tingkatan KPU dibentuk oleh KPU di tingkat
atasannya. Jadi, hanya KPU provinsi yang dapat menindak atau memecat anggota
KPU kabupaten/kota; dan hanya KPU nasional yang dapat menindak atau memecat
anggota KPU provinsi bila melakukan pelanggaran pidana maupun administratif.
KPU nasional sendiri berada di bawah pengawasan DPR yang membentuknya. Tanpa
supervisi dan koordinasi berjenjang di bawah KPU nasional, maka setiap KPUD akan
dapat menyelenggarakan pilkada secara mandiri dengan melaksanakan PP yang
dikeluarkan oleh Depdagri. Standardisasi mutu penyelenggaraan akan sangat
bervariasi sehingga kualitas demokrasi hasil pilkada dapat diragukan.
***
Standardisasi juga diperlukan agar pemerintah daerah dan DPRD dalam menyusun
anggaran pilkada didasarkan pada standar yang akurat dengan prinsip efisien, bukan
berdasarkan anggaran yang digelembungkan tanpa tolok ukur yang jelas.
Lebih buruk lagi, bila KPUD melakukan pelanggaran baik pidana maupun
administratif, maka penegakannya akan sulit dilaksanakan karena tidak ada peran
supervisi dan penegakan dari KPU tingkat atasannya. Pada pelaksanaan Pemilu 2004
yang lalu pun ketika KPU diberi wewenang penuh dalam supervisi dan koordinasi
ternyata masih banyak kesulitan yang timbul dalam penegakan sanksi. Bisa
dibayangkan bila peran supervisi ini justru sama sekali dihilangkan.
Oleh karena itu, tidak mengherankan pula bahwa semangat resentralisasi juga
mewarnai penyelenggaraan pilkada melalui peran Depdagri dalam menetapkan
peraturan pemerintah. Rancangan PP yang telah disampaikan oleh Depdagri
menunjukkan bahwa beberapa peran yang justru harus diambil oleh KPUD, misalnya
dalam pengadaan logistik pilkada, justru diserahkan kepada pemda setempat.
Demikian pula beberapa aturan yang seharusnya dapat ditentukan oleh KPUD untuk
menyesuaikan dengan situasi lokal, justru tetap diatur melalui PP. Jadi, semangat
'desentralisasi' dalam penyelenggaraan Pilkada yang dijadikan alasan untuk
mengabaikan peran KPU nasional justru tidak ditepati oleh pemerintah.
Sumber: http://www.mediaindo.co.id/cetak/berita.asp?id=2004121601183219
Hal tersebut dikemukakan Kautzar Bailusy, pakar politik dan pemerintahan dari
Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar kepada Pembaruan, Selasa (8/3).
Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Kedua perangkat hukum
tersebut tidak menyebutkan perlunya dibentuk desk pilkada.
Menurut Kautzar, membentuk desk pilkada tentunya tidak hanya di tingkat pusat,
tetapi sampai ke tingkat provinsi dan kabupaten, hal itu tentu membutuhkan biaya
yang sangat besar. Ia mengingatkan, kehadiran lembaga baru yang belum jelas apa
fungsi dan peranannya akan membingungkan orang daerah.
Struktur itu, lanjut dia, telah inkonstitusional dan menihilkan pendalaman demokrasi,
bahkan pilkada dijadikan sarana untuk meruntuhkan demokrasi yang seharusnya
dibangun melalui pemilihan tersebut.
"Ini malah menunjukkan bahwa pilkada hanya dijadikan proyek," ujar dia.
Lebih jauh pengamat ini menyatakan, rata-rata biaya pilkada setiap daerah akan
mencapai Rp 8 miliar. Tetapi banyak daerah seperti NTT yang PAD-nya hanya Rp 2
miliar hingga Rp 3 miliar. "Apa masuk akal 90 persen biaya Pilkada dari APBD," kata
dia.
Monitoring
Ketua Komisi II DPR, Ferry Mursyidan Baldan, dalam seminar sehari tentang
pelaksanaan pilkada secara langsung, di Yogyakarta, mengatakan, pemerintah, KPU
dan DPR memang sudah sepakat untuk membentuk sebuah forum komunikasi yang
bertujuan untuk monitoring dan mengantisipasi hal-hal yang sifatnya menyalahi dan
mengganggu proses pilkada
Nama lain yang juga tercantum sebagai anggota adalah Prof Dr Ichlasul Amal.
Ditemui secara terpisah, dia mengaku belum mendapatkan pemberitahuan dari
Depdagri, terkait dengan pencantuman namanya sebagai anggota desk pilkada. Meski
demikian, Amal menyatakan bahwa desk Pilkada sengaja diciptakan untuk mengatasi
kekurangan organisasi yang tidak ada dalam Depdagri.
Menurut dia, persoalan yang mungkin timbul dalam proses Pilkada, bukan pada hari
H. Justru pascapilkada. "Bagaimana kalau ada satu kelompok yang cukup besar,
merasa tidak puas, lalu berbenturan dengan kelompok lain. Saya kira bagaimanapun
juga Depdagri memiliki tanggung jawab keamanan secara umum," jelasnya.
Proporsional
Sementara itu, Ketua KPU Daerah Sulsel H Aidir Amin Daud menyatakan, dalam
waktu dekat ini akan melakukan pertemuan khusus dengan KPUD dari 24 kabupaten
dan kota guna membahas lebih jauh mengenai tugas dan fungsi desk itu.
"Saya juga belum mengetahui persis sejauh mana porsi tugas desk pilkada," kata dia.
Menurut dia, yang melaksanakan pilkada adalah KPUD, sepanjang desk pilkada yang
akan hadir di daerah mampu melaksanakan tugasnya secara proporsional dan tidak
tumpang-tindih dengan KPUD, silahkan saja. Sebab yang diinginkan pilkada berjalan
aman dan lancar.
Namun, jika kehadiran desk pilkada akan mengambil alih tugas dan kewenangan
KPUD, hal itu tentu akan mengganjal kesuksesan pelaksanaan pilkada.
Di Sulsel saat ini terdapat 10 kabupaten yang akan melaksanakan pilkada 2005 yaitu
Tana Toraja, Luwu Timur, Luwu Utara, Bulukumba, Gowa, Maros, Pangkep,
Soppeng, Barru, Selayar. Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulsel sudah menyiapkan
dana Rp 3,5 miliar dan tiap kabupaten memperoleh dukungan biaya pilkada sebesar
Rp 350 juta, belum termasuk bantuahn pemerintah pusat dan kabupaten.
Aidir juga mengatakan, pihaknya khawatir desk pilkada itu lebih banyak menyerap
anggaran negara dari pada KPU dan itu berarti negara telah menciptakan pemborosan.
Ketua KPU Kalimantan Barat, Aida Mochtar, yang ditemui di tempat terpisah,
mengatakan, pembentukan desk pilkada secara langsung adalah kebijakan pemerintah
dan itu sudah disampaikan pada saat raker Gubernur se-Indonesia. Namun harus
dilihat dan diperjelas tugas dan fungsinya sehingga tidak menimbulkan masalah.
(146/SKA/148)
DI seluruh dunia, Departemen Dalam Negeri merupakan institusi wajib dalam pemerintahan n
Departemen ini memiliki wibawa yang cukup besar dalam pemerintahan.
Pasal 8 ayat (3) UUD 1945 menyatakan, jika presiden dan wakil presiden mangkat, berhenti, diberhen
atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, menteri luar n
menteri dalam negeri, menteri pertahanan menjadi pelaksana tugas kepresidenan secara bersama
(triumvirat).
Ringkasnya, ketiga menteri ini adalah 'jantung politik' sebuah pemerintahan negara. Dalam teori pemben
kabinet, ketiganya ditambah menteri keuangan dan menteri kehakiman (justice ministry) disebut se
menteri portofolio yang otoritasnya tidak dapat diserahkan kepada daerah. Oleh karena itu, dalam s
negara federal, apalagi kesatuan, kementerian portofolio ini menjadi unsur inheren.
Desain suktur organisasi Departemen Dalam Negeri RI cukup gemuk. Depdagri memiliki tujuh dire
jenderal yang akan membantu Mendagri dalam menjalankan tugasnya. Unsur politik yang terpenting a
Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik. Ditjen ini berfungsi sebagai institusi pembina p
nasional dan melakukan kerja intelijen untuk kebutuhan pengambilan kebijakan politik dalam negeri.
Ada tiga fokus agenda yang diuapayakan Depdagri. Pertama, intergrasi nasional yang menunjukkan
melemah. Tandanya adalah mengerasnya tuntutan pemisahan yang dilakukan GAM di Aceh dan kelom
kelompok masyarakat di Papua.
Kedua, disintegrasi sosial antarkomunitas cenderung meningkat. Konflik etnik dan agama menand
demokratis ini. 'Politik penyatuan' Orde Baru seketika rontok saat dihadapkan pada realitas sosial
memang fragmentatif. Depdagri harus membangun semacam kontrak sosial-integrasi yang baru berdas
prinsip-prinsip demokratis agar persatuan nasional dapat diwujudkan.
Ketiga, otonomi daerah. Persoalan pokoknya adalah munculnya gejalan otonomi daerah 'semau-maunya
ditunjukkan oleh beberapa daerah dengan munculnya peraturan daerah (perda) yang bertentang denga
maupun PP di atasnya. Selain itu masalah otonomi khusus Aceh dan Papua memerlukan waktu yang panj
***
Pertarungan politik antara Depdagri dengan KPU dalam menangani pilkada menjadi isu penting sepa
awal pemerintahan SBY. Depdagri tetap bersikukuh bahwa pilkada merupakan proyek Depdagri, dan
sekali bukan KPU. Pertarungan sudah menyentuh posisi politik yang berseberangan antara pemerintah
didominasi kubu SBY dengan KPU yang nonpartisan dan terbukti sukses melakukan penyelengg
legislatif dan Pilpres 2004.
Kemenangan politik dan legal ada di kubu Depdagri dengan keluarnya putusan MK, adanya PP Pilkad
pembentukan Desk Pilkada yang 'mendampingi' KPUD. Dua pekerjaan politik pemilu yang selam
ditangani KPU/KPUD: sosialisasi dan penyiapan logistik menjadi hak Depdagri. KPUD berada dalam
yang gamang. Semua produk keputusan KPUD tidak akan menjadi keputusan final dan mengikat k
adanya otoritas yang lebih besar: menteri dalam negeri. Oleh karena itu, pilkada menjadi instrumen pe
untuk mengevaluasi kinerja politik Depdagri.
Semua pengangkatan kepala daerah/wakil kepala daerah harus melalui satu pintu menteri dalam n
Bupati/wakil bupati dan wali kota/wakil wali kota diangkat SK Mendagri, sedangkan gubernur/wakil gub
diusulkan kepada presiden untuk ditetapkan dengan keputusan presiden (keppres) dan dilantik mendagri.
Dapat disimpulkan bahwa mendagri memegang 'kendali politik atau administrasi pemerintahan nas
secara keseluruhan.
Figur yang kuat dan berlatar belakang militer menjadi pilihan utama untuk menduduki kursi mendagri. D
hal ini Letjen (purn) TNI M Ma'ruf yang diangkat Presiden Yudhoyono. Juga, dalam sejarahnya Dep
sedikit sekali dipimpin kalangan sipil.
Sejauh ini Depdagri 'taat' pada demokrasi lokal yang sedang berjalan. Indikatornya adalah tidak ada k
daerah/wakil kepala daerah yang mendapatkan suara terbanyak tidak diangkat oleh mendagri seka
berbeda partai dengan pemerintahan SBY. Kasus pilkada Depok merupakan pengecualian.
Justru lembaga hukum (PT Jawa Barat) yang dicurigai melakukan permainan politik untuk memena
salah satu calon. Proses pilkada dapat dilalui dengan baik sekalipun KPUD lebih sering menjadi korba
persaingan politik antara pemain dan antara wasit yang saling berseberangan. Kelemahan yang muncul a
Depdagri semakin mendorong sentralisme dan sentralisasi terkait dengan pengurusan SK kepala d
Dikhawatirkan banyak muncul calo politik yang dapat mencairkan SK Mendagri.
Bidang otonomi daerah menjadi pekerjaan berat Depdagri. Dedagri hanya punya dua undang-undang,
UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pus
Daerah. Belum ada UU yang mengatur hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah d
provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota sebagaimana yang diaman
oleh Pasal 18A ayat (1) UUD 1945.
Selama ini hubungan kewenangan ini hanya dengan Peraturan Pemerintah (PP) yaitu PP No 25/2000 te
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom. Landasan ini cukup
karena sangat tergantung pada political will pemerintah untuk melakasanakan otonomi dareah dan p
desentralisasi.
Saat ini pemerintah sedang menyiapkan PP tentang kewenangan pusat daerah yang berarti melanggar a
Pasal 18A ayat (1) UUD 1945. Seharusnya, pemerintah mengajukan RUU tentang Kewengan Peme
Pusat dan Daerah, sebagaimana halnya dengan UU Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Alasan b
hubungan kewenangan pusat daerah sudah dicakup dalam UU Pemerintahan Daerah tidak dapat dit
karena UU tersebut sudah sesuai dengan Pasal 18 ayat (7).
Depdagri masih harus bekerja lebih keras untuk memulihkan dan menyempurnakan integrasi sosia
integrasi nasional agar agar Bangsa Indonesia kembali merasakan sebagai sebuah satu bangsa. Ketidak
ekonomi dan politik masa lalu adalah sumber utama dari masalah ini. Pada saat yang sama otonomi d
harus dijalankan sesuai dengan prinsip desentralisasi, yakni ego politik Depdagri untuk menguasai p
dapat dikurangi. Kini, Depdagri cenderung melakukan praktik sentralisasi kekuasaan melalui ber
instrumen politik dan legal yang ada. Dan harus diingat, sentralisasi equivalen dengan ketidakadilan
pembangunan daerah. (Marbawi/Litbang Media Group).
Jakarta - Depdagri punya peran besar dalam pilkada. Desk bisa mengambil
wewenang institusi pengyelenggara pilkada di daerah. Karena itu harus dikritisi dan
dicurigai. Sebagaimana tertera dalam Surat Keputusan Mendagri No. 120.05-110
Tahun 2005, Deks Pusat Pilkada mempunyai tiga bidang garap: pertama, bidang
sosialisasi dan fasilitasi; kedua bidang politik dan kamtibmas; ketiga, bidang
advokasi. Desk Pusat Pilkada adalah lembaga yang dipimpin oleh pejabat-pejabat di
lingkungan Depdagri. Sekjen Depdagri Siti Nurbaya ditunjuk sebagai ketua harian.
Lalu selaku Ketua Bidang Sosialisasi dan Fasilitasi adalah Dirjen Otonomi Daerah
Progo Nurjaman, Ketua Bidang Politik dan Kamtibnas adalah Dirjen Kesbangpol
Muhanto, dan Ketua Bidang Advokasi adalah Kepala Badan Litbang Thursandi.
Selain itu, desk juga melibatkan pejabat-pejabat luar Depdagri, misalnya nama Wakil
Sekjen KPU Susonggko ditunjuk menjadi Wakil Ketua Bidang Sosialisasi dan
Fasilitasi, lalu Deop Irjen Pol Didi Widayadi sebagai Wakil Ketua Bidang Politik dan
Kamtibnas. Selain itu juga terdapat sejumlah pakar yang masuh sebagai tim ahli di
masing-masing bidang, seperti Prof. Dr. Ichlasul Aman (Fisipol UGM), Dr. Pratikno
(Fisipol UGM), Dr. Eko Prasojo (Fisip UI), Jika melihat nama-nama pejabat di laur
Depdagri yang dilibatkan dalam Desk Pusat Pilkada ini, maka tampak sekali bahwa
desk ini dimaksudkan untuk memudahkan pemantuan dan koordinasi banyak bidang
yang terkait dengan pelaksanaan pilkada. Namun jika perumusan tugas-tugas bidang
dibaca, maka hal itu bisa tumpang tindih atau bahkan menutupi tugas-tugas lembaga
penyelenggara pilkada di daerah. Tidak heran bilan sejumlah pemantau berteriak
keras. Direktur Eksekutif KIPP Ray Rangkuti dan Direktur Eksektuif Cetro Hadar
Gumay, sama-sama mengecam pembentukan desk tersebut. Mereka menilai, Desk
Pusat Pilkada mengancam proses demokratisasi yang sedang berjalan di daerah
karena desk ini berpeluang melakukan intervensi terhadap insittusi penyelenggara
pilkada. Menurut Hadar, Desk Pusat Pilkada jelas-jelas telah mengambil wewenang
KPU daerah sebagai penyelenggara pilkada yang mempunyai wewenang melakukan
sosialisasi. "Kenapa dana sosialisasi tidak diserahkan ke KPU daerah saja. Bisa jadi
sosialisasi nanti dibelokkan untuk mempromosikan calon kepala daerah tertentu," kata
Hadar. Sementara itu Ray Rangkuti, memeprtanyakan Desk Pusat Pilkada yang
berperan melakukan pemantauan dan advokasi, dan juga menyelesaikan sengketa. "Itu
kan tugas dan wewenang Panwas Pilkada, mengapa mesti diambil oleh desk. Kalau
hal ini diteruskan akan justru akan menimbulkan masalah. Karena itu desk ini
sebaiknya dibubarkan saja." Wakil Ketua KPU Ramlan Surbakti juga heran dengan
pembentukan Desk Pusat Pilkada yang berorganisasi besar, punya struktur ke bawah
(provinsi) dan memiliki tugas berbagai macam. "Desk ini telah muncul menjadi KPU
baru, karena yang ditangani adalah tugas-tugas KPU daerah." Menurut Ramlan, dalam
melaksanakan pemilu legialtif dan pemilu presiden tahun lalu, KPU tak perlu
membentuk desk bersama kepolisian, kejaksaan dan isnstitusi lain, meskipun mereka
mempunyai keterkatian dengan pelaksanaan pemilu. "Ada MoU, tapi masing-masing
insitusi menjalankan tugasnya masing-masing." Jika memang harus dibentuk desk,
menurut Ramlan, sifatnya hanya memantau saja. Bukan melaksanakan tugas KPU
daerah, Panwas Pilkada atau institusi lain. Mendapatkan serangan bertubi-tubi, pihak
Depdagri tak mundur, apalagi memenuhi permintaan agar Desk Pilkada Dibubarkan.
Sekjen Depdagri yang juga Ketua Harian Desk Pusat Pilkada menegaskan, bahwa
tugas utama desk memang perekaman atau pemantauan. KPU daerah selaku
penyelenggara pilkada pun membutuhkan penegasan-penegasan dan petunjuk dari
Depdagri. Ya, paling tidak di situ peran penting desk yang dibikin Depdagri, sebab
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur
tentang pilkada, tidak memberi tempat bagi KPU (pusat) untuk berhubungan dengan
KPU daerah. Meskipun demikian peran besar Depdagri dalam pilkada ini perlu
dikritisi dan dicurigai. Tak lain agar kekhawatiran banyak pihak bahwa peran besar
itu akan merusak proses demokratisasi di daerah, benar-benar tidak jadi kenyataan.
(nrl/)
Beberapa poin penting dalam revisi terbatas itu menyangkut sengketa pilkada di
bawah kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK), pelarangan narapidana menjadi
calon perseorangan, kewajiban calon incumbent mengundurkan diri sesaat
mencalonkan kembali, dan pengautran pilkada yang masuk dalam rezim Komisi
Pemilihan Umum (KPU).
Poin terakhir ini merupakan sinyal positif bagi calon independen untuk dapat
melenggang dalam pilkada. Seberapa besar peluang itu ada?
Bila pelaksanaan pilkada masuk di rezim KPU, maka dengan sendirinya pemerintah
(Departemen Dalam Negeri, red) tidak memiliki kewenangan membuat peraturan
pilkada, sebagaimana terjadi selama ini. Peran tersebut kini diambil alih oleh KPU.
"Maka aturan soal calon perseorangan kini tergantung kerja KPU," kata Jazuli
Juwaini, anggota Panja revisi terbatas UU No 32/2004 tentang Pemda kepada
INILAH.COM, Jumat (28/3) di Jakarta. Ia menambahkan, konsekuensi dari
berubahnya rezim pilkada, maka bila kelak terjadi sengketa, penyelesaiannya akan
ditangani MK.
Menurut politisi PKS tersebut, bila sesuai jadwal, maka UU Pemda hasil revisi
tersebut disahkan pada Selasa pekan depan (1/4) mendatang. "Dengan begitu, undang-
undang hasil revisi tersebut dapat diberlakukan awal Mei," paparnya.
Menurut mantan calon Bupati Tangerang tersebut, masuknya pilkada ke dalam rezim
KPU sebenarnya telah tersirat dalam UU No 22/2007 tentang Penyelenggaraan
Pemilu. Dengan demikian, bola calon perseorangan dalam pilkada kini berada di
KPU. Pertanyaannya kemudian, bagaimana kesiapan KPU menyikapi revisi UU
Pemda tersebut?
Anggota KPU I Gusti Putu Artha menegaskan, pihaknya tidak akan membutuhkan
waktu lama dalam menerbitkan peraturan KPU untuk calon perseorangan. "Bila awal
April revisi UU Pemda disahkan, maka awal Mei kami sudah rampung menerbitkan
peraturan KPU," katanya kepada INILAH.COM, Jumat (28/3) di Jakarta.
Menurut dia, revisi aturan Permendagri 44 cukup penting untuk memudahkan bagi
DPRD (provinsi/kabupaten/kota) dan pemda untuk mengalokasikan anggaran
pelaksanaan pemilu kepala daerah. "Ini penting direvisi, karena Permendagari 44
tidak mengatur calon perseorangan," katanya.
Menurut dia, di saat KPU menyiapkan peraturan pelaksanaannya, pada saat yang
sama Permendagri No 44 juga harus direvisi. "Saya kira proses tersebut hanya
membutuhkan waktu satu bulan, artinya bulan Juni sudah akan ada calon
perseorangan," tegasnya.
Keputusan Panja yang menyebutkan bahwa pilkada masuk ke rezim KPU bukanlah
sesuatu yang baru. UU No 22/2007 menyebtukan, tugas dan wewenang KPU dalam
pilkada di antaranya adalah menyusun dan menetapkan pedoman tatacara
penyelenggaraan sesuai dengan tahapan yang diatur dalam peraturan perudang-
udangan.
Selain itu juga mengkoordinasikan dan memantau tahapan, serta melakukan evaluasi
tahunan penyelenggaraan pemilu.
Dalam putusan perkara MK No 072-073/PUU-PUU-II/2004 juga disebutkan bawah
kewenangan pemerintah dalam penyusunan peraturan pemerintah (PP) tentang
pilkada langsung bukan karena kehendak pemerintah sendiri, tetap karena perintah
UU.
Kejelasan soal calon perseorangan memang telah ditunggu masyarakat banyak. Selain
menjadi tuntutan dalam mempercepat proses demokratisasi, penyusunan aturan soal
calon independen ini sekaligus menjadi amanat keputusan MK yang diterbitkan Juli
tahun lalu. [P1]
Konsekuensi pilkada bukan disebut sebagai pemilu, menurut Jazuli, akan memutus
hubungan hirarkis antara KPU Daerah (KPUD) dengan KPU yang mengangkat
KPUD itu sendiri. KPUD sebagai penyelenggara pilkada tidak bertanggungjawab
kepada KPU melainkan kepada DPRD. Masalahnya kalimat KPUD
bertanggungjawab kepada DPRD sudah dihapus Mahkamah Konstitusi hasil judicial
review dan diganti dengan KPUD bertanggungjawab kepada rakyat. Pengaturan ini
belum jelas karena rakyat bermakna luas.
Dengan posisi seperti itu, kata dia, KPUD minim otoritas. Sejumlah tahapan pilkada
seperti pendaftaran pemilih dan sosialisasi pilkada dilakukan oleh Pemerintah Daerah
(Pemda). Tidak hanya itu otoritas pendanaan pun ada pada Pemda. "KPUD seolah
hanya menjadi pelaksana administratif dan subordinatif terhadap Pemda dan
Departemen Dalam Negeri.
Hal lain yang menjadi konsekuensi dibedakannya pilkada dari pemilu, lanjut Juwaini,
adalah kewenangan memutus sengkata pilkada ada di Mahkamah Agung (MA), dan
didelegasikan kepada Pengadilan Tinggi. Tidak seperti pemilu yang kewenagannya
ada di Mahkamah Kontitusi (MK). Kondisi semacam ini menyebabkan taerjadinya
bias intervensi seperti yang terjadi pada kasus pilkada Depok.
Lebih lanjut aleg yang juga Anggota Komisi II ini melanjutkan Rancangan Undang-
undang (RUU) inisiatif DPR mengenai Penyelenggara Pemilu menetapkan bahwa
pilkada merupakan tanggung jawab dan dilaksanakan oleh KPUD yang hirarkis
terhadap KPU. "Artinya pilkada adalah bagian dari pemilu," jelasnya.
Yang tidak kalah penting menurut Jazuli, kewenangan regulasi membuat aturan lanjut
pilkada tidak diberikan kepada pemerintah, tetapi harus oleh KPU sendiri seperti
halnya praktik yang terjadi dalam Pemilu 2004. Selain itu sesuai dengan amanat
konstitusi, maka sengketa hasil pemilu menjadi kewenangan MK bukan MA. (nis)
Namun Sapto enggan menyebutkan secara rinci ketika ditanyakan apakah jika Pj
kepala daerah mengundurkan diri, boleh ikut mencalonkan diri pada pilkada. “Saya
tidak mau banyak komentar soal ini, itu bukan wewenang saja,“ jawabnya singkat.
Sementara itu wakil ketua DPRD Medan Ikrimah Hamidy mengatakan kalau ada
peraturan yang melarang Pj kepala daerah untuk mencalonkan diri pada saat pemilihan
untuk itu diminta komitmen dari Depdagri untuk mengawasi dan menerapkan aturan
itu.
Seperti diketahui, kota Medan akan melaksanakan pilkada pada Mei 2010 mendatang,
dimana dalam pilkada tersebut beredar rumor akan diikuti oleh Pj walikota Medan,
Rahudman Harahap.
(wol22/wol-mdn)
Prakarsa Rakyat, KEPUTUSAN KPUD Tana Toraja menganulir hasil pilkada yang
dimenangkan JA Amping Situru karena tidak tahan menghadapi tekanan masa, justru
akan membuat suhu politik lokal makin panas. Politik lokal sejak Juni hingga saat ini
benar-benar panas. Pilkada yang diselenggarakan di sejumlah provinsi dan
kabupaten/kota seakan membenarkan prediksi banyak pihak tentang ancaman konflik
di dalamnya. Indikasi ini pertama kali terlihat dari paradigma yang sangat mendasar
bahwa pilkada dianggap bukan pemilu. Bagi KPU/KPUD, pilkada tetap merupakan
rezim pemilu dan karenanya menjadi tugas, kewenangan, dan tanggung jawab KPU
dan KPUD sepenuhnya, tanpa intervensi pihak lain. Pandangan ini ditolak tegas oleh
pemerintah dan Mahkamah Konstitusi. Dalam UUD 1945 secara jelas dinyatakan
bahwa pemilu hanya meliputi pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD, dan
presiden/wakil presiden, sedangkan pemilihan kepala daerah tidak diatur dalam pasal
pemilu, tetapi pemerintahan daerah di mana dinyatakan bahwa kepala daerah/wakil
kepala daerah 'dipilih secara demokratis'. Pasal inilah yang kemudian diturunkan
dalam UU No 32/2004 tentang Pemerintah Daerah yang selanjutnya dijabarkan dalam
bentuk PP No 17/2005 tentang Pilkada. Dengan logika legal-formal seperti ini, jelas
bahwa pilkada akhirnya memang bukan rezim pemilu yang menjadi kewenangan
KPU/KPUD. Pemerintah pusat diuntungkan dengan adanya pasal ini. Pemerintah
merasa bahwa pilkada adalah kewenangannya yang akan dilaksanakan oleh
Departemen Dalam Negeri (Depdagri). Masuknya Depdagri sebagai 'pemain' dalam
pilkada mengaburkan segala harapan akan terselenggaranya pilkada yang luber dan
jurdil. Publik, politikus sipil yang bercokol di partai-partai, dan rakyat masih trauma
dan perilaku aparat Depdagri yang mengendalikan LPU (Lembaga Pemilihan Umum)
zaman Orde Baru dulu. Sebagai bagian dari sebuah rezim, Depdagri adalah
kepanjangan tangan pemerintah yang secara natural akan terus mengonsolidasikan
kekuatannya. Cara yang dapat dimasuki adalah intervensi pilkada yang 'kebetulan'
dapat dikontrol secara legal. Pertama Depdagri sudah membentuk Desk Pilkada dari
pusat hingga daerah sebagai alat monitoring hasil pilkada yang bertanggung jawab
secara sentralistik kepada Mendagri. Melalui Desk, Depdagri menguasai dua proyek
penting pilkada, yaitu sosialisasi pilkada dan pendaftaran pemilih tetap. Depdagri
menolak keras up-date data pemilih yang ada pada KPU/KPUD dan BPS pada pilpres
putaran kedua tahun 2004 lalu. Bagi Depdagari, data lama itu tidak valid karena
terjadi perubahan mobilitas penduduk yang cukup lama sehingga tidak layak
digunakan kembali. Depdagri berkeras untuk menetapkan data pemilih baru
berdasarkan data kependudukan yang selama ini dimiliki Dinas Kependudukan yang
tersebar di seluruh daerah. Data 'baru' hasil kerja birokrat Depdagri inilah yang
menjadi sumber masalah utama konflik yang muncul akhir-akhir ini. KPUD hanya
menerima data mereka dan menetapkannya dengan keputusan KPUD tanpa ada
kewenangan untuk mengecek ulang dan memvalidasikan data pemilih yang masuk. Di
samping sempitnya waktu yang diberikan oleh PP Pilkada, KPUD secara nyata
dibatasi kewenangannya sebagai penyelenggara pilkada. Tak pelak, data pemilih yang
tidak sempurna itulah yang menjadi pemicu konflik pilkada dan KPUD menjadi
sasaran amuk massa yang merasa hak pilihnya diabaikan karena tidak terdaftar
sebagai pemilih atau sudah punya kartu pemilih, tetapi 'tidak diundang' untuk datang
ke TPS-TPS. Kedua, Depdagri memosisikan diri sebagai aktor yang paling legal dan
legitimate dalam pilkada jika terjadi perselisihan antarkandidat atau kandidat dengan
KPUD. Dalam banyak tulisan yang penulis ulas menjelang pilkada Juni, jika terjadi
konflik-konflik yang terkait dengan proses dan hasil pilkada, pihak yang bertikai akan
'menghamba' pada Depdagri. Argumen ini dapat diterima karena pengesahan
pengangkatan (SK) sebagai kepala daerah/wakil kepala daerah berada di tangan
Menteri Dalam Negeri yang saat ini dijabat oleh Letnan Jenderal (Purn) Muhammad
Ma'ruf. Korban pilkada Siapa yang menjadi tumbal dan korban pilkada? Jawabannya
KPUD. Seperti yang sudah saya bahas jauh-jauh hari, bahwa apa pun yang menjadi
keputusan KPUD tetap akan dipandang menguntungkan atau merugikan salah satu
pihak. Senetral dan independen apa pun performa anggota KPUD tetap akan dijadikan
sasaran tembak bagi ketidakpuasan oleh kelompok politik yang merasa dirugikan.
Oleh karena itu, sikap KPUD yang netral, independen, teguh pada aturan pilkada
menjadi satu-satunya cara untuk meminimalkan konflik yang akan muncul. Ini pun
tidak menjamin karena bukti konflik akhir-akhir ini semakin meluas di berbagai
daerah. Konflik sudah terlihat sejak proses penetapan calon. Pasangan calon yang
merasa 'digugurkan' oleh KPUD karena tidak memenuhi syarat-syarat administratif
menggunakan segala cara untuk bisa menjadi calon resmi dan sah. Cara yang paling
umum adalah mengerahkan massa dalam jumlah besar dan mendorong tindakan
anarkis dan intimidatif terhadap KPUD agar mengubah keputusannya. Pola ini tidak
banyak berubah saat ini ketika penghitungan suara dan penetapan calon terpilih
dilakukan. Pihak yang kalah berkeras minta KPUD untuk menghentikan penghitungan
suara karena merasa sudah kalah. Argumen yang dipakai karena banyaknya
pelanggaran yang dilakukan oleh 'pemenang'. Mereka minta agar pelanggaran
diselesaikan dulu baru penghitungan dapat dilanjutkan kembali. Pola lain adalah
minta pencoblosan ulang karena terjadi kecurangan-kecurangan dalam
pelaksanaannya. Sikap KPUD umumnya adalah tetap teguh melanjutkan
penghitungan suara dan penetapan calon terpilih sekalipun berisiko ditentang oleh
massa pendukung kandidat yang kalah. Sikap demikian inilah yang benar dan sesuai
aturan. Perselisihan hasil pilkada diselesaikan oleh pengadilan apakah akan dianulir
dan kemudian diperintahkan untuk melakukan pemilihan ulang. KPUD sama sekali
tidak berwenang membatalkan keputusannya sendiri karena akan dianggap sebagai
sebuah pelanggaran fatal dan akan menjadi preseden buruk bagi legitimasi pilkada di
tempat lain. Kasus spesial inilah yang terjadi di Kabupaten Tana Toraja Provinsi
Sulawesi Selatan. Kabupaten yang didominasi etnik Toraja dan mayoritas beragama
Kristen Protestan ini menjadi sorotan publik. KPUD setempat secara gegabah dan
ilegal membatalkan keputusannya sendiri tentang penetapan calon kepala daerah yang
terpilih. Alasan KPUD karena tidak tahan dan kuat menghadapi tekanan massa
pendukung kandidat-kalah yang semakin anarkis. KPUD berharap bahwa tekanan
massa akan berkurang dengan keputusan anulir ini. Tapi faktanya, KPUD Tana Toraja
justru memperbesar konflik dan memperparah keadaan yang semakin ruwet dan
rumit. Seperti diduga sebelumnya, KPUD 'lepas tangan' dan menyerahkannya kepada
pemerintah (Desk Pilkada). Dalam keputusan sebelumnya, KPUD menetapkan JA
Situru sebagai calon terpilih. Situru sebelumnya adalah Bupati Tana Toraja yang
dituduh massa melakukan korupsi dana APBD dan melakukan politik uang untuk
memenangkan pilkada. Dua tuduhan klasik dan klasik untuk menjegal lawan politik.
Di beberapa daerah massa mendesak KPUD melakukan pilkada ulang karena mereka
tidak mendapat hak pilih (sekitar 20%-30%). Di Tana Toraja, tekanan massa murni
gerakan politik yang akan merusak pilkada. Ini sudah terjadi dengan keputusan KPUD
yang kontroversial tersebut. 'Efek Tana Toraja' ini adalah tergerusnya legitimasi
pilkada pada umumnya dan KPUD sebagai penyelenggara khususnya. Ini preseden
buruk bagi pilkada yang dapat saja ditiru oleh KPUD-KPUD lain dengan alasan yang
sama. Subjektivitas lain juga muncul misalkan keinginan KPUD untuk mencari
popularitas demi eksistensi oknum-oknumnya. Dampak kedua adalah menegaskan
kembali kepada publik bahwa satu-satunya aktor yang masih “bisa dipercayaâ€
adalah pemerintah (Depdagri). Tindakan KPUD Tana Toraja berkonsultasi dengan
pemerintah untuk menyelesaikan kemelut ini sama saja 'lepas dari cengkeraman singa
masuk mulut buaya'. Inilah yang ditunggu-tunggu pemerintah ketika KPUD tidak
berdaya karena memang sudah didesain tidak punya 'tenaga' sebelumnya. Dampak
ketiga adalah pemerintah dapat menerbitkan peraturan baru terkait dengan pilkada
ulang di samping pilkada putaran kedua. Jika aturan keluar maka lengkap sudah
pilkada memang 'pekerjaan' pemerintah dan KPUD hanya sebagai 'bumper' yang
dipasang untuk menghadapi massa-politik yang semakin tidak dapat dikendalikan.
Untuk menghindari efek ini terulang adalah dengan menyeret KPUD Tana Toraja ke
pengadilan. Ini dapat dilakukan oleh 'pemenang' karena hak politiknya dibatalkan oleh
KPUD. Massa kandidat-menang tidak perlu melakukan tekanan politik tapi
mengangkat masalah ini menjadi perkara hukum yang jauh lebih sehat dan elegan.
Kedua, pemerintah tidak serta-merta menerima konsultasi yang dilakukan KPUD
tersebut karena secara jelas tidak disebutkan dalam peraturan. Ketiga, KPU pusat
dapat turun tangan dengan memberikan opini tertentu dan advice bagi KPUD dalam
menjalankan tugasnya. Keempat, KPU pusat dapat menghimbau KPUD-KPUD lain
agar tidak mengikuti tindakan KPUD Tana Toraja agar pilkada tetap berjalan lancar
dan legitimate. Terakhir, Mendagri menahan diri untuk tidak mengeluarkan keputusan
pengangkatan sebelum ada keputusan final pengadilan. Konflik ini akan terus ada
dengan berbagai aspeknya. Dekatnya kandidat dan konstituen turut berperan
menciptakan hubungan emosional yang tinggi dan mudah dimobilisasi sebagai
kekuatan dalam konflik. Pilkada adalah pengalaman pertama yang cukup
mengagetkan bagi sebagian masyarakat lokal. Budaya demokrasi lokal nyatanya
belum tumbuh kuat dan mengakar. Untuk menjaganya kita perlu elit politik yang
demokratis sekaligus dewasa. (Marbawi/Litbang Media Group)
17 March 2009
Nasib Pilkada Pascaputusan MK
08 Maret 2005
Jakarta (Suara Pembaruan) - Pemerintah sama sekali tidak berniat mengambil alih
penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung dari Komisi
Pemilihan Umum Daerah (KPUD). Pemerintah juga tidak bermaksud meresentralisasi
dengan pembentukan desk pilkada di Departemen Dalam Negeri (Depdagri)
Depdagri. Sebaliknya keterlibatan Depdagri hanya karena pemerintah mempunyai
kewenangan distributif.
Siti Nurbaya menjelaskan, desk pilkada yang sudah dibentuk Depdagri tidak
bermaksud untuk mengendalikan penyelenggaraan pilkada. Pembentukan desk itu
bertujuan untuk merekam dan mengikuti perkembangan serta sekaligus memfasilitasi
hal-hal yang memang bersifat penegasan. Desk tersebut juga bermaksud untuk
mengatasi masalah-masalah yang mungkin akan terjadi selama penyelenggaraan
pilkada.
"Saya kira sama sekali Depdagri tidak berkeinginan untuk memakai pola-pola seperti
yang dituduhkan; mengendalikan dalam arti mempunyai kepentingan, resentralisasi
dan sebagainya. Masa tidak bisa lihat sih Depdagri sudah teruji pada pemilu lalu, di
mana peluang itu begitu besar tetapi pemerintah, katakanlah secara utuh mengambil
alih," tegasnya.
Karena tugas-tugas yang akan dikerjakan desk pilkada justru tugas-tugas KPUD dan
Pengawas pilkada sebagaimana diamanatkan UU No 32/2004 itu.
Tiga Elemen
Tetapi menurut Siti Nurbaya, tidak cukup KPUD sendiri yang menyelenggarakan
pilkada. KPUD masih membutuhkan petunjuk dan penegasan-penegasan dari
pemerintah. "Dan saya kira dari awal kita mempertegas bahwa ada tiga elemen
penting dalam pilkada, yaitu pertama proses secara teknis penyelenggaraan pilkada.
Kedua, prinsip-prinsip demokratisasinya. Kita mengetahui itu, pemerintah sangat
memahami itu. Ketiga, persoalan keamanan dan ketertiban masyarakat. Tiga-tiganya
harus kita lihat dan berjalan seiring," papar Siti Nurbaya lagi.
Keterlibatan pemerintah dalam pilkada itu semakin penting terutama pada daerah
yang KPUD-nya belum berfungsi. Untuk daerah-daerah seperti itu, pemerintah akan
memberikan advokasi.
Sementara ketika ditanya tentang dasar hukum pembentukan desk pilkada itu Siti
Nurbaya lebih lanjut menjelaskan, meskipun tidak disebut dalam UU No 32/2004,
tetapi ada peran atribusi pemerintah dalam menjalankan kewenangannya. Dalam
konteks ini, kewenangan tidak selalu dalam pengertian delegatif. Kewenangan juga
tidak selalu berarti diperintahkan. Sebaliknya, secara hukum, kewenangan itu selalu
berarti atributif.
Sedangkan menyinggung soal keterlibatan sejumlah pengamat politik sebagai tim ahli
dalam desk pilkada, Siti Nurbaya menambahkan bahwa keterlibatan mereka lebih
berfungsi sebagai navigator. Kalau pemerintah salah dalam menyelenggarakan
pilkada, mereka bisa menegur. (A-21)
Sumber: http://www.suarapembaruan.com/News/2005/03/08/index.html
SEBAGAIMANA kita ketahui, sebentar lagi kita akan menyelenggarakan sekitar 246 Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang rencananya dimulai Juni 2010. Dan selama
ini yang menangani masalah Pilkada di Departemen Dalam Negeri (Depdagri) adalah Direktorah Jenderal (Ditjen) Otonomi Daerah (Otda). Dan selama kurun waktu
Pilkada langsung diterapkan, banyak persoalan terjadi. Pertanyaan dan persoalannya adalah siapakah sebenarnya yang paling berhak dan berwenang, serta dianggap tepat
menangani permasalahan tersebut di Depdagri?
Selama ini persoalan Pilkada selalu ditangani Ditjen Otda. Namun, jika kita cermati lebih dalam. Terus terang saja kita menjadi kaget. Sebab ternyata, dari sekian direktorat
yang ada di bawah Ditjen Otda, tidak ada satu pun direktorat yang khusus menangani permasalahan tersebut. Hanya satu direktorat saja yang agak menyerempet ke arah
penangan persoalan Pilkada, yakni Direktorat Urusan Pejabat Negara. Dan yang lebih penting, persoalan Pilkada adalah persoalan politik, bukan administrasi, maupun
hukum. Sehingga semestinya lebih tepat, jika penangan Pilkada diserahkan kepada Ditjen Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol). Mengapa?
Selama ini di Ditjen Kesbangpol ada direktorat penangan konflik, dan semestinya direktorat inilah yang menangani persoalan Pilkada. Sebab sebagaimana kikta ketahui, di
setiap Pilkada hampir selalu muncul konflik. Dan selama ini pula, Depdagri sering limbung dalam mengantisipasi persoalan tersebut. Mengapa? Karena tadi, tidak atau
belum jelas pendelegasiannya. Belum jelas Ditjen apa harus melakukan apa? Jika nantinya persoalan itu diperjelas dengan menempatkan kewenangan dan persoalan sesuai
porsinya. Misalnya tadi, bahwa penangan Pilkada lebih baik diserahkan kepada Direktorat Penanganan Konflik Ditjen Kesbangpol daripada---seperti selama ini--- ditangani
Ditjen Otda. Mungkin ke depan persoalan akan lebih mudah ditangani.
Persoalannya sekarang adalah untuk mengubah imej dan kerangka berpikir yang sudah lama terpateri tentu tidak mudah. Disamping memerlukan kedewasaan dan kesiapan
para pihak. Yang lebih penting adalah apakah Ditjen Kesbangpol dan Direktorat Penanganan Konflik yang kemungkinan diserahi tanggungjawab tersebut siap atau tidak.
Jika siap tidak masalah, yang kita khawatirkan mereka hanya mau menampng tetapi ternyata belum siap penanganannya. Sebab yang terpenting adalah penanganannya,
bukan sekedar pengalihan dari satu Ditjen ke Ditjen lainnya, atau mengalihkan dari satu direktorat kepada direktorat lainnya. Pengalihan atau pelimpahan tanggungjawab
sama sekali tidak ada manfaatnya, bila tidak diiringi dengan kesiapan para pihak yang menerima pelimpahan tanggungjawab tersebut.
Kita tentu sudah cukup berpengalaman. Bahwa dasar pemikiran yang utama pelaksanaan Otonomi Daerah (Otda) adalah terjadinya penguatan daerah. Daerah akan kuat dan
diharapkan mampu mandiri bilamana sebagian kewenangan yang dimiliki pusat dialirkan ke daerah. Maka melalui mekanisme Undang-Undang No 22 tahun 1999, yang
secara efektif baru diterapkan 1 Jnauari 2001, sebagian kewenangan pusat dilimpahkan ke daerah. Apa jadinya? Ternyata asumsi tadi keliru. Daerah memang senang
menerima pelimpahan kewenangan tadi. Karena dengan kewenangan yang dimiliki, mereka dapat menjadi raja-raja kecil yang cukup berkuasa di daerahnya. Sayangnya,
sebagaimana yang kita ungkapkan di atas, bahwa daerah tidak siap dengan sumber daya manusia (SDM)-nya, Apa jadinya?
Banyak posisi penting dan strategis di daerah bukan ditangani ahlinya. Misalnya, seorang sarjana agama tiba-tiba ditunjuk untuk menjadi Kepala Dinas Pertanian. Ada lagi
seorang sarjana peternakan, tiba-tiba disuruh menjadi Kepala Dinas P:erindustrian dan Perdagangan. Akibatnya, daerah yang diharapkan dapat mandiri dan menjadi penguat
pemerintah pusat malah menjadi beban. Ini tetrjadi karena hanya mau menampung pelimpahan kewenangan tanpa diimbangi kesiapan SDM. Artinya, ide menjadikan Ditjen
Kesbangpol untuk menangani persoalan tersebut boleh saja. Pertanyaannya adalah apakah siap atau tidak Ditjen tersebut mengenai personilnya? (*
MEDIA INDONESIA
Selasa, 22 Maret 2005
OPINI
Hal lain yang masih belum rasional adalah usulan anggaran untuk
pengadaan
teknologi informasi, seperti Storage EVA senilai Rp15 miliar lebih.
Patut juga
dipertanyakan apakah Depdagri telah melakukan komunikasi dan
koordinasi dengan
Badan Telematika Nasional dan Kementerian Informasi dan Komunikasi
dalam hal
pengadaan dan penggunaan IT untuk pilkada? Begitu juga usulan dana
sosialisasi
sebesar Rp48 miliar lebih. Ternyata kegiatan-kegiatan yang dilakukan
dalam
bentuk sosialisasi ini banyak yang mubazir. Bahkan sosialisasi secara
langsung
untuk masyarakat justru tidak ada. Padahal masyarakat (grass root)
adalah
elemen yang paling prioritas untuk mendapat sosialisasi. Karena
mereka biasanya
mudah diintimidasi, diprovokasi, dan dimobilisasi kepada hal-hal yang
nantinya
akan menguntung calon kepala daerah yang ikut pilkada. Karena ada
sejumlah
aturan main dalam pilkada yang berpotensi menjadi konflik.
Karena itu, sebelum nasi menjadi bubur, maka sudah saatnya agar
Depdagri
menanggalkan 'manajemen by feeling'dalam menyusun dan merencanakan
anggaran
pilkada. Depdagri harus memastikan bahwa dana publik digunakan secara
efisien
dan efektif. Itulah sebabnya saya menyarankan agar dipertimbangkan
kembali
pos-pos dimana pengurangan dana sangat mungkin dilakukan. Lalu,
carilah
kemungkinan dimana hasil yang diperoleh bisa lebih baik dengan
pengeluaran yang
lebih sedikit.***
PELAKSANAAN pemilihan kepala daerah (pilkada) seolah tak pernah sepi dari
konflik. Ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya konflik tersebut. Di
antaranya perdebatan mengenai pengertian yang benar pilkada itu pemilu atau bukan?
Perdebatan tidak selesai sampai di situ. Ada yang mempersoalkan kepada siapa
KPUD sebagai penyelenggara pilkada harus bertanggung jawab. Ada yang
berpendapat KPUD tidak bertanggung jawab kepada KPU pusat tetapi kepada DPRD.
Namun ada pula yang tidak sependapat dengan ide ini.
Konflik dalam pilkada juga sering dipicu oleh berkurangnya kewenangan KPUD. Hal
ini dapat terjadi karena dalam menyelenggarakan pilkada KPUD harus bermitra
dengan pemerintah daerah (penyedia dana) dan DPRD. Hal ini menunjukkan pilkada
bukan rezim pemilu tetapi cenderung menjadi rezim pemerintah. Situasi tersebut
semakin keruh ketika mendagri membentuk desk pilkada mulai dari tingkat pusat
sampai provinsi dan kabupaten/kota.
Pembentukan desk pilkada di tingkat pusat disinyalir seakan-akan menggantikan
posisi KPU pusat.
Sementara itu adanya perdebatan tentang siapa yang berhak melakukan sosialisasi
pilkada masih terus menjadi persoalan. Semestinya sosialisasi dikerjakan oleh KPUD
karena ia penyelenggara pilkada. Namun dalam kenyataannya pekerjaan tersebut
diambilalih oleh Depdagri sampai jajarannya ke bawah. Tentu saja pengambilalihan
kegiatan sosialisasi ini dinilai mengurangi kewenangan KPUD. Tragisnya ketika
sosialisasi dianggap kurang berhasil kegagalan selalu ditujukan kepada KPUD. Tentu
saja keadaan ini dapat memicu tumbuhnya konflik.
Konflik pilkada juga bisa bersumber dari banyaknya aturan main yang tertulis dalam
pasal-pasal di UU No 32/2004 dan PP No 6/2005 yang kurang aplikatif dan saling
bertentangan. Keadaan seperti ini dapat menimbulkan konflik manakala terjadi salah
tafsir.
Konflik-konflik tersebut seringkali mengawali proses penyelenggaraan pilkada masa
transisi pada Juni 2005. Di Jawa Tengah sendiri semenjak Juni 2005 sampai Maret
2006 sudah ada 20 kabupaten/kota yang menyelenggarakan pilkada. Pilkada di
provinsi ini dapat dikatakan sukses meskipun tidak lepas dari konflik.
Variasi Konflik
Konflik pilkada di Jawa Tengah cukup bervariasi sifatnya. Misalnya konflik internal
partai yang terjadi di Kota Semarang. Waktu itu konflik terjadi antara DPC Partai
Demokrat Kota Semarang dan DPD Partai Demokrat Jawa Tengah.
Terjadi silang pendapat menyangkut kepengurusan partai dalam mengusung calon
Wali Kota Semarang. Di Boyolali juga terjadi konflik dalam tubuh PDI-P. Antara
DPC dan sebagian besar PAC terjadi ketidaksepakatan menyangkut calon bupati yang
akan mereka ajukan.
Konflik antarpartai pun terjadi. Di Kabupaten Semarang beberapa partai politik
berseteru dengan PKB. Yang menjadi pokok perseteruan ijazah salah seorang calon
wakil bupati yang dianggap tidak memenuhi syarat.
Konflik yang lain melibatkan partai politik dengan bakal calon sendiri. Kasus ini
muncul di Rembang.
Seseorang yang berasal dari kalangan birokrat diusung oleh PKB untuk diajukan
sebagai bakal calon. Namun sewaktu terjadi proses perbaikan pencalonan di KPUD,
PKB membatalkan calonnya tersebut. Alasannya karena ia dianggap tidak dapat
memenuhi kesepakatan yang sudah dibuat pada waktu konvensi.
Birokrasi pun terimbas konflik. Di Purworejo, Wonosobo dan Grobogan, bupati dan
wakil bupati yang masih menduduki jabatan mengajukan diri menjadi calon bupati.
Sedangkan di Kendal, bupati yang masih menjabat kembali mencalonkan diri. Dia
harus bersaing dengan sekdanya sendiri. Persaingan di Kendal tersebut begitu keras.
Imbasnya pilkada hampir tidak dapat diselenggarakan. Di Demak bupati yang masih
menjabat juga harus bersaing ketat dengan mantan sekdanya.
Konflik juga melibatkan rakyat dan calon. Di Kebumen pasangan bupati dan wakil
bupati yang masih menjabat kembali mencalonkan diri. Namun mereka harus
berhadapan dengan rakyatnya sendiri. Pasangan itu dituduh oleh sekelompok warga
masyarakat melakukan KKN. Semua proyek yang dilaksanakan selama menjabat
sebagai kepala daerah dianggap penuh dengan korupsi. Di Kota Magelang dan Sragen
rakyat pun menolak keabsahan ijazah wali kota dan bupati yang mencalonkan diri
kembali.
Konflik yang tidak kalah serunya melibatkan KPUD dan partai politik. Di Kabupaten
Semarang konflik antara KPUD dan partai politik diawali dengan munculnya
keputusan KPUD yang dianggap tidak konsisten oleh partai politik setempat.
Anggapan demikian menyebabkan empat pasangan calon dari lima pasangan calon
melakukan boikot terhadap tahapan pilkada.
Pada dasarnya semua daerah di Jawa Tengah yang menyelenggarakan pilkada rawan
konflik. Tapi ada juga pilkada yang berlangsung aman. Konflik yang diperkirakan
bakal muncul sudah dapat diredusir sejak dini. Permusuhan diusahakan diubah
menjadi kesepahaman. Sistem pemerintahan yang demokratis memungkinkan hal ini
terjadi. Hal itu nampaknya sejalan dengan pemikiran almarhum Alfian, ilmuwan
politik Indonesia, bahwa demokrasi itu bisa bahkan wajib mengatur dan menyalurkan
konflik menjadi sebuah konsensus.
Pengelolaan
Sebenarnya konflik itu hal yang biasa dijumpai dalam kehidupan diri manusia.
Boulding, salah seorang ahli dalam bidang manajemen konflik (resolusi konflik)
berpendapat dalam setiap masyarakat pasti ada konflik. Konflik itu sesuatu yang
melekat pada diri masyarakat. Setiap upaya mengelola konflik perlu memahami dan
menyadari manusia itu hidup bersamaan dengan konflik. Konflik tidak dapat
dihilangkan. Ia hanya dapat ditekan atau ditunda perkembangannya sehingga tidak
menjadi tindak kekerasan. Hal ini sama seperti pendapat Parker, ahli lain dalam
resolusi konflik bahwa konflik tidak dapat dieliminasikan. Ia hanya dapat ditunda
dengan jalan mengurangi tindakan ekstrim yang terjadi. Morton, juga ahli dalam
resolusi konflik, mengakui konflik itu ada dan tumbuh dalam masyarakat. Upaya
penyelesaiannya memerlukan keterlibatan berbagai pihak sehingga penyelesaiannya
bisa efektif.
Mengingat adanya berbagai konflik maka pengelolaan konflik dalam penyelenggaraan
pilkada perlu diupayakan. Bagaimana upaya yang diperlukan?
Kedua, KPUD harus membuat regulasi hukum yang seragam untuk semua daerah.
Hal ini dimaksudkan untuk mengeliminir konflik terutama untuk daerah yang
berdekatan sewaktu menyelenggarakan pilkada.
Keenam, para calon dan parpol pengusungnya harus siap menang dan siap kalah
sekaligus. Sebagai ajang pendidikan politik bagi rakyat para calon dan parpol
pengusungnya harus mampu mengendalikan dirinya sendiri maupun para
pendukungnya yang fanatik untuk tidak melakukan tindakan kekerasan yang
menjurus ke arah anarkisme manakala mengalami kekalahan.
Perilaku pemilih di Medan, juga daerah sekitarnya seperti Tebing Tinggi dan
Binjai relatif sama, yaitu patrimionial atau lebih cenderung pada pendekatan
sosiologis
Hasil Pilkada selalu saja dipengaruhi oleh perlaku pemilih. Sementara dalam
praksis politik demokrasi, konflik atau perbedaan kepentingan, persepsi,
interpretasi terhadap mekanisme Pilkada sebetulnya tidak saja mengandung
nilai-nilai positif pembelajaran politik, melainkan juga merupakan strategi
politik yang sering dipraktikkan banyak negara demokratis. Konflik dalam
praksis politik sebetulnya tidak mungkin dihindari, apalagi bagi Indonesia
yang memiliki multipartai politik.
Pada sisi lain, perilaku pemilih dan konflik dalam Pilkada seringkali menjadi
suatu analisis yang kompleks terhadap sebuah fenomena. Tulisan ini
mencoba memaparkan tentang analisis perilaku pemilih dan fenomena konflik
Pilkada yang terjadi.
Perilaku pemilih
Secara teoritis, perilaku pemilih diurai dalam tiga pendekatan utama yakni
pendekatan sosiologis, psikologis dan rasional choice (pilihan rasional).
Pendekatan sosiologis atau dikenal dengan Mazhab Colombia oleh Paul
Lazarsfeld (1994). Dijelaskan bahwa, karakteristik dan pengelompokan sosial
seperti umur, jenis kelamin, agama dan lainnya sebagai faktor yang
membentuk perilaku pemilih.
Pendekatan ini jika diaplikasikan ke dalam masyarakat kita, maka figur masih
menjadi hal yang utama ketimbang isu atau program. Kondisi ini
mengisyaratkan bahwa persoalan budaya politik kita yang cenderung bersifat
patrimionial dengan ikatan primordial yang kental. Ikatan ini ditandai dengan
besarnya pengaruh "patron" terhadap masyarakat dan kuatnya sentiman
kedaerahan, suku, agama, prutanisme dan sebagainya dalam penentuan
pilihan (pendekatan sosiologis).
Budaya politik kita masih lebih cenderung kepada budaya parokhial dan kaula
ketimbang partisipan. Dalam masyarakat parokhial dan kaula, terjadi
keterbatasan diferensiasi pada masyarakat dalam peranan politik dan
memosisikan diri sebagai masyarakat "pasif". Sementara dalam masyarakat
partisipan sudah dapat menilai dengan penuh kesadaran baik sistim sebagai
totalitas, input dan output maupun posisi dirinya (Gabriel Almond, 1978).
Sehingga keterlibatan dalam politik bukan hanya pada saat rutinitas Pilkada
tetapi sampai pada proses perencanaan, pengambilan dan evaluasi kebijakan
pemeran politik/pemerintah (pendekatan rasional choice).
Konflik Pilkada
Antara kedua kelompok ini selalu terjadi konflik. Dalam The Communist
Manifesto, Marx (Johnson, 186: 146) mengatakan, “Sejarah dari semua
masyarakat yang ada hingga saat ini adalah sejarah perjuangan kelas,” yaitu
kelas buruh melawan kelas borjuis, yang pada akhirnya akan dimenangkan
kaum proletar, sehingga tercipta tatanan masyarakat tanpa hierarkis, yakni
komunisme. Karl Marx melihat masyarakat manusia sebagai sebuah proses
perkembangan yang akan menyudahi konflik melalui konflik (Camplell, 1994:
134).
Ada tiga konsep penting yaitu kekuasaan, kepentingan, dan kelompok sosial.
Pada gilirannya nanti, menurut Garna (1992: 66), diferensiasi kepentingan
yang terjadi dapat melahirkan kelompok konflik potensial atau kelompok
konflik aktual yang berbenturan karena punya kepentingan antagonistic.
Penutup
Sesuai Johnson (1990: 162), perhatian utama Teori Konflik adalah pada
mengenal dan menganalisis kehadiran konflik dalam kehidupan sosial, sebab,
dan bentuknya, dan dalam banyak hal, akibatnya dalam perubahan sosial.
Dengan demikian, konflik perlu dikelola, karena konflik yang dikelola dapat
mengarahkan perubahan sosial ke arah yang diharapkan. ( Dr Drs H.Ramli,
MM : Penulis adalah Wakil Walikota Medan Non Aktif )
Abstrak
A. Pendahuluan
Pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung adalah
salah satu implementasi dari Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah.Konsep otonomi yang dianut negara Indonesia telah
memberikan kesempatan kepada setiap daerah untuk melaksanakan pilkada
dan menentukan pemerinthan daerahnya masing-masing.
Di satu sisi ruang pilkada ini merupakan liberalisasi politik yang bertujuan
agar efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu
ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antar
susunan pemerintahan dan antar pemerintahan daerah, potensi dan
keanekaragaman daerah, peluang dan tantangan persaingan global dengan
memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah disertai dengan
pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam
kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara. Namun di sisi lain,
pilkada ini justru menimbulkan polemik dan konflik yang cukup rumit
penyelesaiannya.
Sejak digulirkan, ratusan kasus konflik pilkada terjadi di seluruh penjuru
daerah Indonesia, sebut saja konflik pilkada di Jatim, Maluku, Sulteng dan lain
sebagainya, baik itu pilkada di tingkat propinsi maupun pilkada tingkat
kabupaten. Konflik horizontal tersebut bermuara pada ketidakpuasan terhadap
hasil akhir pilkada.
Melalui mekanisme pilkada langsung oleh masyarakat, diharapkan dan
diasumsikan, akan terjadi negosiasi kepentingan serta terbangun ikatan kuat
antara calon pemimpin dan yang memilihnya. Jika kontrak terselenggara
dengan baik dalam proses pilkada, maka para pemimpin terpilih dipastikan
akan menjalankan tanggungjawabnya kepada mayarakat.
Sayangnya, proses lima tahun terakhir ini membuktikan bahwa citra ideal
semacam itu, terbukti meleset. Desentralisasi dan otonomi, serta demokratisasi
hanya bergerak pada lintasan formal-prosedural. Skema kebijakan politik
daerah, karena tidak berlangsung secara baik akhirnya justru menghasilkan
karakter demokrasi oligarki, yang secara kental ditandai lahirnya aktor-aktor
politik lokal berwatak dan bergaya mafia, di mana mereka itulah pelaku
pembajakan dan membonceng arus perubahan di daerah.
Di Kabupaten Kepulauan Meranti, meskipun belum pernah melaksanakan
pilkada dalam memilih bupati, namun dari pengalaman-pengalaman pada saat
pilkada gubernur Riau maupun pada saat pemilu legislatif sudah terlihat gejala-
gelaja terjadinya konflik.
Adanya berbagai konflik pilkada yang muncul di berbagai daerah, tentu
saja ada kekhawatiran munculnya konflik yang sama di Kabupaten Kepulauan
Meranti. Apalagi Kabupaten Kepulauan Meranti adalah kabupaten yang baru
dimekarkan, pada tahun 2010 mendatang akan melaksanakan pilkada untuk
pertama kalinya.
Untuk mengatasi dan mengkaji adanya potensi konflik dalam pilkada
Kabupaten Kepulauan Meranti maka perlu dilakukan upaya-upaya untuk
mereduksi konflik dengan melakukan pengkajian, identifikasi, analisis dan
solusi pemecahannnya sedini mungkin.
Tulisan ini mencoba mengkaji beberapa kendala dalam penyelenggaraan
pilkada terutama sebagai solusi untuk mencegah terjadinya konflik dalam
pelaksanaan pilkada di Kabupaten Kepulauan Meranti secara langsung.
2. Efisiensi
Efisiensi adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari keluruhan
kredibilitas proses pilkada. Pada saat dihadapkan dengan dugaan-dugaan dan
ketidakmampuan, sulit bagi KPUD Kabupaten Kepulauan Meranti untuk
mempertahankan kredibilitasnya. Efesiensi menjadi sangat penting dalam
proses pilkada maupun pemilu ketika terjadi masalah di tingkat teknis dan
masalah yang dapat menstimulasi kericuhan dan pelanggaran aturan. Berbagai
factor mempengaruhi efisiensi misalnya staf KPUD Kabupaten Kepulauan
Meranti yang kompeten, profesionalisme, sumber daya, dan yang terpenting
adalah waktu yang cukup untuk mengorganisir pilkada.
3. Profesionalisme
Pemilihan umum ataupun pilkada memiliki arti penting dalam fungsi
demokrasi dimana anggota KPUD Kabupaten Kepulauan Meranti harus
memiliki pengetahuan yang mendalam mengenai prosedur pemilihan umum
ataupun pilkada dan filosofi pemilihan umum yang bebas dan adil, diberi
wewenang untuk melaksanakan dan mengaturs proses tersebut.
4. Kompeten
Tidak berpohak dan penanganan yang cepat terhadap pertikaian yang ada.
Ketetapan undang-undang harus dijabarkan pada hal yang sangat operasional
sehingga setiap anggota KPUD Kabupaten Kepulauan Meranti dapat mengatasi
setiap permasalahan yang muncul dalam memproses dan menengahi keluhan
atas pelaksanaan pilkada maupun pemilu, seperti kecurangan ataupun konflik
antar kelompok atau pada umumnya berkeinginan agar keluhan mereka
didengar dan ditindaklanjuti dengan cepat dan efisien oleh KPUD Kabupaten
Kepulauan Meranti atau lembaga terkait. Kredibilitas administrasi KPU, pada
banyak kesempatan, tergantung pada kemampuan untuk mengurusi hal-hal
yang berkaitan dengan keluhan-keluhan dalam pemilu. Berhadapan dengan
kekhawatiran dan kecurigaan yang biasanya hadir pada masa transisi, KPUD
Kabupaten Kepulauan Meranti harus memiliki sumber daya dan kompeten
memahami atuaran untuk dapat memenuhi harapan masyarakat dalam
memastikan terlesenggaranya pemilu yang bebas dan adil.
5. Transparansi
Keseluruhan kredibilitas dari proses pemilihan umum secara substansial
tergantung pada semua yang berkepentingan, baik KPUD Kabupaten
Kepulauan Meranti, Bawaslu, Partai Politik, pemerintah daerah maupun
masyarakat Kabupaten Kepulauan Meranti untuk ikut terlibat dalam formasi
dan fungsi dari struktur dan proses pilkada. Dalam hal ini, komunikasi dan
kerjasama semua pihak, yaitu KPUD Kabupaten Kepulauan Meranti, Bawaslu,
partai politik dan institusi-institusi dalam masyarakat harus dibangun atas
dasar tindakan kolektif untuk kepentingan bersama.
D. Penutup
Sumber potensial yang dapat memicu konflik di dalam pilkada diantaranya
adalah ketidakakuratan data pemilih, konflik yang bersumber dari mobilitas
atas nama etnik, agama, daerah dan darah; black campaign, manipulasi dan
kecurangan penghitungan suara hasil pilkada, serta perbedaan penafsiran
terhadap aturan main penyelenggaraan pilkada.
KPUD Kabupaten Kepulauan Meranti sebagai institusi penyelenggara
pemilu di Kabupaten Kepulauan Meranti harus jeli melihat permasalahan yang
bisa menjadi pemicu konflik pada pilkada perdana tahun 2010 mendatang.
Untuk itu KPUD Kabupaten Kepulauan Meranti dituntut melakukan tugas-
tugasnya untuk mengawal suara rakyat agar sesuai dengan tujuan pelaksanaan
pilkada itu sendiri. Untuk mencapai cita-cita demokrasi yaitu mewujudkan
kedaulatan rakyat yang sesungguhnya dan menghindari konflik atas berbagai
kepentingan, maka diperlukan KPUD Kabupaten Kepulauan Meranti yang
independen, kredibel, akuntabel dan professional.***
Tidak kurang dari 246 pemilihan umum kepala daerah diselenggarakan pada 2010 ini.
Berbagai kontroversi muncul, mulai soal kandidat dari kalangan artis hingga para
incumbent yang mensiati UU agar tetap bisa berkuasa sebagai kepala atau wakil
kepala daerah. Apa saja yang perlu dibenahi, dan apa pula yang harus diselamatkan?
Memang benar bahwa menjadi bupati, walikota, gubernur, atau anggota legislatif
merupakan hak politik setiap warga negara. Juga benar bahwa parameter tertinggi
dalam pemilu yang bersifat universal adalah kepercayaan konstituen atau publik
kepada kandidat. Masyarakat pemilih atau publiklah yang pada akhirnya menilai siapa
yang layak dan tidak layak untuk dipilih sebagai wakil ataupun pemimpin mereka.
Namun demikian, jelas tidak benar pula jika dikatakan bahwa tidak diperlukan
pengaturan terkait syarat-syarat bagi para kandidat pejabat publik mengingat
tanggung jawab mereka yang begitu besar. Menjadi pejabat publik bukan sekadar
merebut dukungan pemilih dan memenangkan pemilu, termasuk Pilkada, melainkan
juga mengelola pemerintahan secara efektif, transparan, dan akuntabel.
Oleh karena itu persyaratan minimum bagi setiap pejabat publik tetap diperlukan
seperti misalnya tidak cacat moral, mempunyai integritas, kepemimpinan dan
manajerial, serta memiliki pemahaman minimal tentang tata-kelola pemerintahan.
Yang menjadi soal sebenarnya bukanlah berbagai prasyarat tambahan tersebut,
melainkan dokumen apa yang diperlukan oleh para kandidat sebagai bukti
pendaftaran ke KPU daerah untuk memenuhi persyaratan yang ditentukan undang-
undang.
Melalui tahap uji publik tersebut masyarakat bisa menilai, apakah kandidat kepala
daerah atau wakil kepala daerah memiliki pemahaman minimun tentang tata-kelola
pemerintahan, atau sekadar bermodalkan popularitas dan uang belaka. Mekanisme uji
publik semacam ini jelas lebih menjanjikan terpilihnya kepala daerah atau wakil
kepala daerah yang kompeten ketimbang segundang prasyarat lain yang acapkali bisa
pula dimanipulasi oleh para calon atau tim sukses mereka.
Di samping itu melalui kewajiban tahap uji publik, para kandidat yang hanya
bermodalkan popularitas dan uang, mungkin akan berpikir ulang untuk turut serta
dalam kompetisi Pilkada. Sementara itu parpol pun mau tidak mau didorong untuk
benar-benar menyiapkan kader partai masing-masing sebagai kandidat dalam Pilkada.
Dengan demikian demokrasi Pilkada pun tidak sekadar menjadi ajang pertaruhan
kepentingan mereka tidak layak menjadi calon kepala dan wakil kepala daerah.
Perlu Diselamatkan
Terlepas dari berbagai kekurangannya, tidak tepat pula kalau Pilkada langsung yang
diselenggarakan sejak 2005 hendak diganti dengan Pilkada tak langsung seperti
diusulkan oleh Kementerian Dalam Negeri dalam draft RUU Pilkada. Berbagai
masalah di balik kualitas para kandidat, degradasi peran parpol, dan kualitas Pemda
hasil Pilkada, belum tentu terkait dengan sistem pemilihan langsung kepala daerah
yang dianut oleh UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Karena itu masalah pertama yang perlu diselamatkan terkait Pilkada adalah
mekanisme pemilihan langsung itu sendiri. Usulan ataupun wacana untuk mengubah
Pilkada langsung menjadi Pilkada tak langsung, meski hanya untuk tingkat provinsi,
bukanlah solusi yang tepat untuk mengefektifkan pemerintahan daerah.
dalam Pilkada. Di Kabupaten Kaur, misalnya, munculnya aksi kekerasan itu tidak lepas dari sikap yang
tidak mau menerima kekalahan serta ketidakkepercayaan pada lembaga penengah (termasuk di
dalamnya adalah MA atau PT) dari pasangan calon.
Sejak Juni 2005 hingga Juni 2007, telah dilaksanakan pilkada di 285 dari 440 kabupaten/kota
dan di 15 dari 33 provinsi di Indonesia. Dari identifikasi empiris penyelenggaraan pilkada, pemerintah
menyimpulkan paling tidak ada tujuh potensi penyebab konflik pilkada, yaitu: (1) tidak akuratnya data
pemilih, (2) persyaratan administratif pasangan calon yang tidak lengkap, (3) permasalahan internal
parpol terhadap penetapan pasangan calon, (4) adanya kecenderungan KPU daerah tertentu tidak
independen, tidak transparan dan memberikan perlakuan berbeda terhadap pasangan calon, (5) adanya
dugaanmoney politic, (6) pelanggaran terhadap rambu- rampu penyelenggaraan Pilkada, dan (7)
penghitungan suara yang tidak akurat. Ketujuh hal ini perlu diantisipasi agar pilkada mampu
menghasilkan pemimpin yang dipilih secara demokratis. Terakhir pada kasus Sulawesi Selatan putusan
lembaga peradilan juga berpotensi menyebab timbulnya konflik.
Salah satu penyebab konflik politik dapat berkembang menjadi anarkis adalah jabatan kepala
daerah sebagai pimpinan birokrasi di daerah tersebut menjanjikan keuntungan ekonomi dan politik
yang besar bagi mereka yang memenangi kontes pilkada. Institusi birokrasi selama ini dipandang
sebagai tempat amat strategis bagi para kepala daerah untuk membangun konsesi ekonomi-politik dan
praktik-praktik KKN bernilaiuang cukup besar bagi para aparatus daerah. Maka, tidak mengherankan
apabila momentum pilkada disambut antusias para politisi, dengan para donatur di belakangnya yang
berani mempertaruhkan jumlah uang cukup besar untuk memenangi ajang pilkada.Ketika tidak terpilih,
tidak mengherankan mereka akan mendorong massa pendukungnya melakukan protes yang menyulut
konflik.
Antisipasi terhadap konflik pilkada juga harus memerhatikan reformasi birokrasi sebagai
salah satu langkah secara gradual dalam pengelolaan konflik. Jika mekanisme hukum ditegakkan dan
penindakan terhadap kasus-kasus KKN dilakukan untuk melaksanakangood governance, secara
perlahan ajang pilkada tidak lagi diperebutkan sebagai sarana mendapatkan keuntungan materi dan
politik bagi para aktornya, namun sebagai sarana melayani publik serta mensejahterakan rakyat. Maka,
hanya kalangan yang berkomitmen tinggi yang akan memasuki arena pilkada. Sementara kekalahan
yang dialami, karena tidak menyertakan jumlah materi yang besar, tidak akan menghasilkan konflik
berkepanjangan.
Antisipasi terhadap konflik yang destruktif dalam pilkada harus mempertimbangkan faktor
penguatan masyarakat sipil dan modal sosial berupa kepercayaan antara warga dan elemen-elemen
masyarakat sebagai salah satu dimensi pengelolaan konflik. Pada konteks ini, tersedianya modal sosial
kultural berupa kepercayaan dari setiap warga dan terbukanya ruang dialog akan berguna untuk
mentransformasikan konflik politik.
Tujuan utama penyelenggara pemilu adalah mengantar pemilu yang bebas dan adil kepada
para pemilih. Untuk itu, KPU harus melakukan semua fungsinya dengan dengan tidak berpihak dan
secara efektif harus menyakinkan bahwa integri