You are on page 1of 14

PERKEMBANGAN ISLAM PADA MASA KHALIFAH ALI BIN

ABI THALIB

1. Situasi Terakhir Pemerintahan Utsman bin Affan r.a


Sudah dimaklumi bahwa satu peristiwa pasti berkaitan
dengan peristiwa yang lain, hal itu bisa disebut dengan
kausalitas. Begitu juga peristiwa yang menyangkut dengan
pemerintahan Ali bin Abi Thalib, besar hubungannya dengan
peristiwa-peristiwa yang terjadi pada pemerintahan Utsman bin
Affan, terutama pada masa-masa akhir pemerintahannya.
Utsman bin Affan dibunuh secara tragis oleh salah seorang yang
disebut dalam sejarah-sejarah sebagai rombongan penentang
pemerintahan kekhalifahan Utsman bin Affan.
Pembunuhan kepada sang khalifah terjadi akibat berbagai
insiden yang mendera pemerintahan Utsman dan rakyatnya.
Peristiwa itu diawali dengan pembangkangan yang dilakukan
penduduk Kuffah, Mesir dan Basharah terhadap kekhalifahan
Utsman bin Affan. Mereka memprotes kebijakan Utsman yang
dinilai terlalu mementingkan sukunya. Oleh karena itu, mereka
meminta kepada khalifah Utsman untuk memecat para pejabat
pemerintahan yang mereka tidak sukai. Diantaranya adalah Al-
Walid bin Uqbah (Gubernur Kuffah), Abdullah bin Sa’ad bin Abi
Sarah (Gubernur Mesir). Mereka bergabung menjadi satu koalisi
pergi ke Madinah untuk memprotes dan menentang terhadap
kebijakan-kebijakan Utsman. Khalifah Utsman akhirnya bersedia
untuk mengabulkan permintaan mereka dengan mengganti Al-
Walid bin Uqbah dengan Sa’id bin Ash, dan Sa’ad bin Abi Sarah
dengan Muhammad bin Abu Bakar. Keputusan ini untuk
sementara memberi rasa lega kepada rombongan koalisi
penentang dan memberi optimism kembalinya perdamaian.

6
Karena itu pula mereka bersedia membubarkan diri untuk
kemudian pulang ke negeri asal mereka.
Beberapa saat kemudian, sejarah berbicara lain, rombongan
itu kembali lagi ke Madinah dengan membawa kemarahan
meluap-luap. Mereka membawa sepucuk surat rahasia yang
dirampas dari seorang budak Utsman yang sedang berlari
kencang menuju Mesir. Isi surat yang berstempel Khalifah
Utsman tersebut memerintahkan kepada Gubernur Mesir agar
menangkap dan membunuh para penentang khalifah. Anehnya
Khalifah Utsman pun berani bersumpah bahwa ia tidak pernah
menulis surat semacam itu. Bahkan ia meminta dibawakan bukti
dan dua orang saksi untuk mengklarifikasi keberadaan surat itu.
Setelah tiga hari tiga malam, ultimatum para penentang ini tidak
digubris oleh Utsman, beberapa orang berhasil menerobos
barisan penjaga gedung Utsman dari atap rumah bagian
samping lalu membunuh Khalifah Utsman yang sedang
membaca al-Qur’an.

2. Pemerintahan dan Kebijakan Politik Ali r.a


Pembai’atan Ali berjalan dengan mulus dan mayoritas
penduduk Madinah menerima kekhalifahan Ali dengan antusias.
Setelah dilantik menjadi khalifah, Ali bin Abi Thalib
menyampaikan pidato politik untuk pertama kalinya. Pidatonya
tersebut secara umum menggambarkan garis besar dari visi
politiknya. Menurut Jeje Zainuddin, sedikitnya ada lima visi politik
Ali dari pidatonya itu. Pertama, sumber hukum dan dasar
keputusan politik yang akan dilaksanakan oleh Ali adalah kitab
suci al-Qur’an. Ini tidak berarti bahwa Ali akan mengabaikan al-
Sunnah, sebab al-Qur’an hanya dapat dilaksanakan secara tepat
jika ia dibimbing oleh Sunnah Nabi saw, dan Ali tentulah orang

7
yang paling memahami persoalan ini. Kedua, mewujudkan nilai-
nilai kebaikan ideal al-Qur’an dan menolak segala keburukan
dalam masyarakat. Ketiga, tulus ikhlas dalam memimpin dan
mengutamakan integrasi kaum muslimin. Keempat, melindungi
kehormatan jiwa dan harta benda rakyat dari segala gangguan
kezaliman lidah dan tangan. Kelima, membangun kehidupan
masyarakat yang bertanggungjawab terhadap bangsa dan
Negara dengan landasan ketaatan kepada Allah swt.
Menarik untuk dibahas, meskipun pembai’atan Ali berjalan
mulus dan lancar, akan tetapi ada beberapa kelompok dari
kalangan kaum muslimin saat itu dalam menyikapi kekhalifahan
Ali bin Abi Thalib.
Pertama, kelompok yang melarikan diri dari Madinah menuju
Syam segera setelah terbunuhnya Utsman dan menghindari ikut
campur dalam pembai’atan pengangkatan Khalifah. Mereka
adalah anak cucu Bani Umayyah dan para pendukung setianya.
Di antaranya adalah tokoh dari Bani Umayyah adalah Marwan bin
al-Hakam dan al-Walid bin Uqbah. Sementara dari tokoh-tokoh
pendukung setianya yang ikut melarikan diri ke Syam adalah
Qudamah bin Madh’un, Abdullah bin Sallam, Mughirah bin
Syu’bah dan Nu’man bin Basyir.
Kedua, kelompok yang menangguhkan pembai’atan
terhadap Ali dan menyatakan menunggu perkembangan situasi.
Diantaranya adalah Sa’ad bin Abi Waqqas, Abdullah bin Tsabit,
Muhammad bin Salamah, Usamah bin Zaid, dan Salamah bin
Salamah bin Raqis.
Ketiga, kelompok yang sengaja tidak mau memberikan
bai’at kesetiannya kepada Ali bin Abi Thalib meskipun mereka
tetap berada di Madinah saat pembaiatan Ali. Diantaranya
adalah Hasan bin Tsabit, Ka’ab bin Malik, Zaid bin Tsabit, Rafi’

8
Khadij, Abu Sa’id al-Khudry, Muhammad bin Maslamah, dan
Maslamah bin Mukhallad. Mereka disebut-sebut sebagai
kelompok yang sangat loyal terhadap Utsman bin Affan.
Kelompok, sahabat penduduk Madinah yang menunaikan
ibadah haji pada tahun itu dan belum pulang saat terjadi
pembai’atan. Setelah terjadi pembai’atan, sebagian kecil mereka
tidak pulang ke Madinah melainkan menunggu perkembangan
situasi dari Mekkah. Termasuk di antara mereka adalah Aisyah
radiyallahu ’anhaa.
Sikap kaum muslimin di atas, berpengaruh besar terhadap
pemerintahan khalifah Ali di kemudian hari. Gambaran situasi
awal pembaiatan Ali seperti diungkapkan diatas cukup menjadi
isyarat tentang rumitnya situasi politik menjelang dan pasca
pembunuhan Utsman. Hal ini menjadi preseden tidak baik bagi
situasi politik yang dihadapi Ali. Bagaimanapun, Madinah adalah
ibukota Negara dan pusat kewibawaan agama semenjak Nabi
Muhammad hingga tiga Khalifah sesudahnya. Keputusan politik
dan keagamaan yang disepakati penduduk Madinah menjadi
acuan bagi seluruh wilayah Islam yang ada di luarnya. Untuk saat
itu, dapatlah dikatakan Madinah menjadi barometer keutuhan
umat. Sebab, disinilah berkumpulnya para sahabat Nabi yang
sangat dihormati oleh generasi sesudahnya. Jika penduduk
Madinah saja sudah tidak utuh dan bilat dalam suatu keputusan
politik public, maka penduduk di luar Madinah akan lebih sulit
lagi untuk bersatu menerimanya.
Meskipun keadaan politik saat itu begitu rumit, Ali ra,
sebagai seorang khalifah tetap menjalankan berbagai program
untuk merealisasikan visi pemerintahannya. Yang sangat penting
dilakukan pada saat itu adalah bagaimana meredakan berbagai
isu yang sedang dan akan timbul setelah kematian Utsman bin

7
Affan. Kebijakan-kebijakan Ali itu antara lain mengganti Para
Pejabat, Pembenahan Bait al-Mal dan Perpajakan, Pembenahan
Administrasi Kepegawaian, Pengadilan dan Militer, serta
menghadapi Para Penantang. Yang terakhir ini dilakukan agar
kekacauan politik dunia Islam stabil.

3. Peristiwa-Peristiwa Penting yang Terjadi


Beberapa kejadian penting terjadi di masa pemerintahan Ali
bin Abi Thalib. Sedikitnya ada tiga kejadian yang menurut kami
sangat penting untuk dibahas. Perang Jamal dan Perang Siffin
serta pemberontakan Khawarij.
1. Perang Jamal
Ketika Aisyah telah menunaikan umrah dan akan
kembali ke Madinah, beliau menangguhkan kepulangannya
setelah mendengar berita kematian khalifah Utsman.
Terlebih Aisyah mendapatkan kabar bahwa Ali telah dibaiat
menjadi khalifah pengganti Utsman. Aisyah, yang dikenal
mempunyai analisa yang tajam terhadap teks-teks
keagamaan, menunut hal yang sama seperti Muawiyyah,
supaya Ali mengusut tuntas siapa pembunuh Utsman.
Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam yang saat itu
berada di Madinah, meminta izin kepada Ali bin Abi Thalib
untuk pergi ke Makkah dalam rangka menunaikan umrah.
Data tersebut memberikan informasi pada kita, bahwa
Thalhah bin Ubaidillah dan Zuber bin Awwam pada awalnya
telah membaiat Ali bin Thalib sebagai khalifah. Dr. Hasan
Ibrahim bahkan menyebut Thalhah bin Ubaidillah sebagai
orang yang pertama kali membaiat Ali bin Abi Thalib.
Namun, setelah tiba di Makkah dan bertemu dengan Aisyah,
kedua sahabat itu akhirnya sepakat untuk sama-sama

8
menunut Ali agar mengusut dan menghukum para
pembunuh Ali.
Informasi-informasi di atas juga memberi gambaran
kepada kita, bahwa penentangan yang dilakukan oleh
Muawiyyah, Aisyah, Thalhah dan Zubeir faktor utamanya
adalah penuntasan hukum qishah terhadap pembunuh
Utsman. Ini penting untuk diperhatikan agar tidak terjadi
salah paham. Penentangan mereka bukan
mempermasalahkan siapa yang sebenarnya dan seharusnya
yang jadi khalifah pengganti Utsman, seperti yang
diungkapkan oleh beberapa analis sejarah. Dalam salah satu
bukunya, yang juga menjadi rujukan primer di UIN, Badri
Yatim mengutip pendapat Ahmad Syalabi yang menyatakan
bahwa Abdullah ibn Zubair adalah penyebab terjadinya
pemberontakan terhadap Ali dan mempunyai ambisi besar
untuk menduduki kursi khilafah. Untuk itu, ia menghasut
bibi dan ibu asuhnya, Aisyah, agar memberontak
terhadap Ali, dengan harapan Ali gugur dan ia dapat
menggantikan posisi Ali. Dengan redaksi yang kurang
lebih sama, Harun Nasution juga menyatakan bahwa;
“Setelah Utsman wafat, Ali sebagai calon terkuat,
menjadi khalifah yang keempat. Tetapi segera ia mendapat
tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin pula menjadi
khalifah, terutama Thalhah dan Zubeir dari Mekkah
yang mendapat sokongan dari Aisyah”.
Hipotesa beberapa penulis di atas jauh berbeda dengan
Asma’ Muhammad Ziyadah. Seperti dinyatakan Asep Sobari
Lc, Muhammad Ziyadah mengungkapkan dalam tesisnya,
tidak ada riwayat shahih yang menyebut ‘Aisyah mencabut
bai’atnya terhadap Ali. Dasar gerakan ‘Aisyah adalah

7
menuntut penghukuman orang-orang yang membunuh
Utsman. Sementara Zubair bin Thalhah memiliki dasar
pikiran yang sama sehingga mereka bergabung untuk
mencari jalan keluar persoalan ini, setelah empat bulan dari
tragedy pembunuhan Usman. Bagi mereka, persoalan
qishash terhadap pembunuh Utsman harus segera
diselesaikan, sebab khawatir kejadian serupa akan terulang
kembali di masa yang akan datang. Jika para pembunuh
Utsman itu dibiarkan berkeliaran bebas, maka upaya
pembunuhan khususnya, atau lebih jauhnya lagi
pemberontakan terhadap pemimpin (Imam) dimasa yang
akan datang bisa sering terjadi.
Penentangan Aisyah terhadap Ali adalah murni dari
pemahamannya terhadap teks al-Qur’an yang mewajibkan
hukum qishash bagi para pelaku pembunuhan. Bukan atas
dasar sentiment pribadi terhadap Ali. Di sini juga perlu
ditegaskan sekali lagi, bahwa penentangan dari pihak
Aisyah, termasuk di dalamnya Thalhah dan Zuber, murni
karena menuntut pengusutan tuntas terhadap pelaku
pembunuh Utsman. Bukti lain yang menguatkan statemen
itu, dapat dilihat dari beberapa surat dan dialiog antara
Aisyah, Thalhah, Zuber dan Ali yang tidak pernah
menyinggung masalah khalifah. Begitu juga dari berbagai
pidato Aisyah dalam rangka mendapat dukungan maupun
menjawab delegasi-delegasi Ali.
Tentang penuntutan qishash itu, menurut Mahmud
Abbas al-Aqqad, Ali sebenarnya paham dan memaklumi
tuntutan para sahabat itu. Namun, saat itu Ali berada dalam
posisi terjepit. Kesulitan yang dihadapi Ali itu disampaikan

8
kepada rombongan delegasi para sahabat di Madinah. Selain
itu, Ali mengatakan;
“Wahai saudaraku, tidaklah aku lalai dari apa yang kalian
ketahui. Tetapi, apa yang dapat aku lakukan kepada satu
kaum yang mereka menguasai kita dan kita tidak
menguasai mereka. Telah memberontak bersama mereka
budak-budak kalian dan orang-orang Badui memperkuat
mereka sementara mereka ada disela-sela kalian dapat
menimpakan keburukan atas kalian. Apakah kalian
menemukan satu celah untuk kuasa bertindak sesuatu
sebagaimana yang kalian inginkan.
Karena perbedaan pandangan antara kedua kubu itu,
maka peperanganpun tidak bisa dihindari. Perang pertama
antara dua kubu muslim ini dikenal dengan sebutan Perang
Jamal. Dikatakan Perang Jamal karena saat itu Aisyah
menaiki unta ketika berperang. Perang ini memakan banyak
korban. Ibnu Katsir menyebut kurang lebih dari sepuluh ribu
orang dari kedua belah pihak menjadi korban. Bahkan dua
tokoh sahabat, Thalhah dan Zubeir yang oleh Rasulullah
dijamin masuk surga, meninggal dunia. Padahal saat itu,
Thalhah dan Zubeir telah mengundurkan dari medan
pertempuran dan menyesali sikapnya yang berlebihan
dalam menentang Ali. Perang itu sendiri dimenangkan oleh
Ali bin Abi Thalib. Ali beserta pengikutnya kemudian
mengurusi para korban dan menyalatkannya. Sikap Ali di
atas menunjukkan bahwa peperangan itu bukanlah
peperangan untuk menentukan siapa mukmin siapa kafir.
Buktinya Ali meyalati para korban dari kedua pihak. Setelah
mengurusi korban, menyalati dan menguburkannya, Ali
memulangkan Aisyah ke Madinah dengan penuh

9
penghormatan. Menurut Joesoef Souyb, sejak kejadian
tersebut, Aisyah menghabiskan umurnya untuk beribadah
dan mengajarkan hadist kepada para penuntut ilmu di
Madinah. Ia menjauhkan diri dari hiruk pikuk percaturan
politik yang terus bergejolak sampai akhir hayatnya. Banyak
merenung dan menyesali perbuatannya karena ikut terlibat
dalam peperangan.

2. Perang Siffin
Saat Utsman terbunuh oleh para perusuh yang
mengepung rumahnya, Nailah, istri Khalifah Utsman bin
Affan yang menyaksikan dan sekaligus jadi korban
kebrutalan para perusuh sehingga jari-jari tangannya
terputus dengan tebusan pedang mereka, sehingga menulis
surat untuk Muawiyah di Syria yang menuturkan kronologis
pembunuhan Khalifah. Beserta surat ini dikirimkan juga
barang bukti berupa pakaian Utsman yang berlumuran
darah dan jari-jari tangan Nailah yang terpotong. Barang
bukti ini kemudian digantungkan di atas mimbar Masjid
Jamik Syria. Para penduduk yang memang sangat
menghormati Utsman terharu melihat barang bukti itu, dan
menuntut agar para pelaku pembunuhan dihukum qishash.
Keadaan semakin memanas, tatkala datang utusan khalifah
Ali bin Abi Thalib yang menuntut janji ketaatan (baiat)
terhadap Ali. Ditambah lagi, keputusan Ali memecat
Muawiyyah. Karenanya, kebanyakan penduduk di Syiria
menangguhkan – bukan menolak – pembantaian terhadap
Ali sebelum para pembunuh Utsman dikupas tuntas.
Menurut Ali Audah, ada dua alas an mengapa Muawiyyah
tidak membaiat Ali bin Abi Thalib. Pertama, bagi Muawiyyah,

10
tuntutan para pembunuh Utsman harus terlebih dahulu
ditangkap dan dihukum. Kedua, tak ada suara bulat dari
kalangan terkemuka muslim (para sahabat senior). Saat itu
muawiyyah beragumen, bahwa sikapnya yang menolak
untuk membaiat Ali tidak berarti dia berontak terhadap
Imam, tetapi alasannya, lebih-lebih karena tak ada suara
bulat dari kalangan untuk membaiatnya.
Telah disinggung sebelumnya, bagaimana dan mengapa
Ali menangguhkan qishash terhadap pelaku pembunuh
Utsman. Namun, mengapa pihak Muawiyyah masih saja
terus menuntut Ali untuk melakukannya, dan tidak mau
membaiatnya sebelum urusan pembunuhan Usman
dituntaskan. Ada dugaan saat itu bahwa Ali berada di
belakang para pemberontak yang membunuh Ustman.
Apalagi adanya sikap Ali yang menangguhkan pengusutan
pembunuhan Utsman dan penegakkan hukuman qishash. Ini
semakin memperkuat dugaan Muawiyyah bahwa memang
Ali bersekutu dengan para pemberontak.
Dengan mengutip pakar sejarah Islam klasik, al-Thabari,
Harun Nasution mencatat bahwa salah seorang pemuka
pemberontak-pemberontak Mesir, yang datang ke Madinah
dan kemudian membunuh Utsman adalah Muhammad Ibn
Abi Bakar, anak angkat Ali bin Abi Thalib. Ali saat itu tidak
mengambil tindakan keras terhadap pemberontak-
pemberontak itu, bahkan Muhammad bin Abi Bakar diangkat
menjadi Gubernur.
Tetapi, Nailah, istri Utsman, yang menjadi saksi
pembunuhan Utsman, ketika ditanya Ali bin Abi Thalib
“siapa pembunuh Utsman”? Nailah menjawab: “Saya tidak
tahu, tetapi banyak orang yang masuk, wajah-wajah yang

11
saya tidak kenal. Muhammad bin Abi Bakar juga hadir”. Di
sumber lain, Nailah hanya menyebut nama Muhammad bin
Abi Bakar, tetapi, kata Nailah, “dia sudah keluar
meninggalkan rumah itu sebelum terjadi pembunuhan”.
Saat itu pula Ali langsung bertanya kepada Muhammad bin
Abi Bakar untuk menguatkan kesaksian Nailah. Muhammad
bin Abi Bakar membenarkan statement Nailah. Kata
Muhammad bin Abi Bakar; “Saya memang ikut masuk dan
setelah ia (Utsman) mengingatkan saya kepada ayah (abu
Bakar), saya meninggalkan dia. Saya sudah bertaubat
kepada Allah. Demi Allah saya tidak membunuhnya, juga
saya tidak mencegah mereka yang akan membunuhnya.
Singkatnya, peperangan antara kubu Ali dengan
Muawiyah dalam waktu yang tidak lama lagi akan terjadi.
Tepat pada akhir bulan Dzulqaidah tahun 36 H, Ali
memutuskan untuk bergerak menuju Syam dengan
kekuatan pasukan sekitar seratus ribu hingga seratus lima
puluh ribu personil. Rencana Ali itu sampai pada Muawiyyah,
dan segera setelah itu Muawiyyah pun menyiapkan pasukan
dengan kekuatan Sembilan puluh ribu hingga seratus lima
puluh ribu personil. Kedua pasukan tersebut akhirnya
bertemu di Shiffin, suatu tempat di lembah sungai Efrat
yang menjadi perbatasan Irak dan Syiria. Perang pun terjadi.
Kedua pasukan itu berperang sepanjang bulan Dzulhijjah
tahun 36 H. kemudian terselingi gencatan senjata selama
bulan Muharram awal tahun 37 H. peperangan dilanjutkan
kembali awal bulan Shafar dengan sangat hebatnya karena
kedua belah pihak sudah tidak lagi ingin mengakhiri
pertempuran yang sudah sangat melelahkan itu. Sejak
pertempuran pertama kali terjadi, korban meninggal dari

7
dua pihak diperkirakan tujuh puluh ribu orang. Sedang luka
korban fisik tidak terhitung.
Pada minggu kedua dari bulan Safar, pasukan
Muawiyyah mulai mendesak, sementara pasukan Ali berada
di atas angina. Muawiyyah yang sudah berpengalaman
dalam bidang politik dan peperangan, akhirnya menyuruh
beberapa pasukannya untuk mengangkat Mushap al-Qur’an
sebagai isyarat untuk menghentikan pertempuran. Melihat
itu, kubu Ali terbagi kepada dua bagian. Ada yang
menyarankan Ali untuk tidak menerima penghentian
pertempuran sebelum ada pihak yang kalah dan menang.
Ada juga yang menyuruh Ali untuk menerimanya.
Meskipun di kubu Ali waktu itu terbagi kepada dua suara,
namun akhirnya mereka sepakat untuk mengakhiri
pertempuran dan melakukan perundingan damai (tahkim).
Perundingan tersebut dilakukan dengan cara masing-masing
kubu mengirim delegasinya sebagai juru rundingnya. Pihak
muawiyyah menunjuk Amr bin Ash. Sedangkan pihak Ali
menunjuk Abu Musa al-Asy’ari. Perundingan tersebut
rencananya akan dilaksanakan pada bulan Ramadhan di
tempat Adzrah, daerah Daumatul Jundal yang menjadi
wilayah perbatasan Irak dan Syam.
Banyak riwayat yang dituturkan pada kitab-kitab tarikh
bahwa Abu Musa dan Amr saat itu sepakat melepaskan
jabatan khilafah dari Ali maupun Muawiyyah dan
mengembalikannya kepada Syura kaum muslimin. Tetapi
saat pembacaan keputusan Amr yang berbicara belakangan
menghianati kesepakatan dengan menetapkan Muawiyyah
sebagai Khalifah karena Ali yang telah diberhentikan oleh
Abu Musa. Maka terjadilah kekacauan di arena persidangan.

8
Abu Musa mengecam Amr yang telah khianat sebagai anjing
yang menjulur lidahnya. Amr balik menghina Abu Musa
dengan menyindirnya sebagai keledai yang memikul kitab.
Gagallah misi perundingan. Abu Musa mengasingkan diri ke
Madinah karena malu kepada Ali. Sementara Amr
bergabung dengan Muawiyyah dan mendapat kedudukan
yang terhormat di hadapannya.

3. Gerakan Kaum Khawarij


Setelah proses tahkim berakhir dan kemenangan berada
di pihak Muawiyah, kelompok Ali terbelah menjadi dua. Ada
yang tetap mendukung Ali dengan setia. Ada yang keluar
dan menyudutkan posisi Ali. Kelompok kedua inilah yang
disebut sebagai Khawarij. Kelompok ini merasa kecewa
dengan keputusan Ali yang menerima tahkim.
Setelah proses tahkim selesai, dengan rasa kecewa,
sekitar 12.000 orang pulang menuju Kuffah. Mereka
membuat markas militer tersendiri di Harura. Mereka
mengecam Ali dan menuduhnya telah berbuat kufur serta
syirik karena menyerahkan ketetapan hukum kepada
manusia. Padahal menurut mereka hukum itu hanya milik
Allah. Mereka berpendapat bahwa perkara yang terjadi
antara Ali dan Muawiyah seharusnya tidak boleh diputuskan
oleh arbitrase manusia. Putusan hanya dari Allah dengan
kembali kepada hukum-hukum yang ada dalam al-Qur’an.
Ketika Ali sedang berkhutbah Jumah, sebagian orang
Khawarij meneriakinya dengan kata-kata, “tidak ada hukum
selain milik Allah “. Ali mengancam mereka, “Aku tidak
melarang kalian datang ke mesjid kami dan kami tidaka
akan menindak kalian selama kalian tidak berbuat terlebih

7
dahulu memerangi kami”. Tetapi mereka semakin agresif
menyudutkan Ali dan mengkampanyekan pahamnya dengan
slogan, “hukum itu hanya milik Allah”.
Ali mengajak mereka berdialog dan berdebat tentang
masalah tahkim itu secara fair dengan hati yang tenang dan
akal yang jernih. Ibnu abbas ditugaskan mendebat kaum
Khawarij dan ribuan dari mereka mau kembali bergabung
dengan Ali setelah menyadari kekeliruan pendapat mereka
dan bahwa pendapat Ali itulah yang benar. Tetapi sebagian
dari mereka tetap bersikukuh pada pendiriannya dan
membentuk keimaman sendiri. Abdullah bin Wahab ar
Rasyibi ditunjuk sebagai panglima perang mereka. Ali
terpaksa menumpas kaum Khawarij dengan kekuatan
pedang setelah nyata kepadanya bahwa mereka tidak dapat
diajak berdialog dan kompromi. Terlebih lagi setelah terbukti
gerakan Khawarij menimbulkan kekacauan baru dengan
membunuh siapa saja yang tidak mau mempersalahkan Ali,
sehingga putra seorang sahabat Nabi, Abdullah bin Khabbab
dan istrinya yang sedang hamil menjadi korban
pembantaian mereka. Ali menumpas mereka pada perang
Nahrawan dan Harura. Tetapi kehancuran pasukan Khawarij
tidak membuat mereka surut. Dengan sisa-sisa kekuatan
yang ada mereka terus melakukan serangan kepada
kelompok Ali maupun Muawiyah. Hingga akhirnya Ali tewas
ditangan salah seorang Khawarij yang amat militan,
Abdurrahman bin Mulzam.

You might also like