You are on page 1of 22

LAPORAN ROPP

PPI C.4

PERANCANGAN PERBAIKAN SUPPLY CHAIN MANAGEMENT (SCM)


BAWANG MERAH
Witono Adiyoga, Thomas Agoes Soetiarso, Mieke Ameriana dan Wiwin Setiawati

Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Jl. Tangkuban Perahu 517, Lembang, Bandung 40391

Pengelolaan rantai pasokan telah menjadi topik yang sangat populer dibahas dalam penelitian bisnis
moderen. Rantai pasokan merupakan suatu sistem yang konstituennya termasuk pemasok material,
fasilitas produksi, pelayanan distribusi serta pelanggan yang dihubungkan oleh aliran ke depan,
informasi umpan balik dan modal finansial (Stevens, 1989). Rantai pasokan dapat dianalogikan
sebagai bentuk organisasi industrial dimana pembeli maupun penjual yang dipisahkan oleh waktu dan
ruang dapat secara progresif menambah serta mengakumulasikan nilai, sejalan dengan berpindahnya
suatu produk dari satu mata rantai ke mata rantai lainnya ((Hughes, 1994, Fearne, 1996, Handfield &
Nichols, 1999). Rantai pasokan pada dasarnya mengakomodasi (a) pergerakan produk dari produsen
ke konsumen, (b) perpindahan pembayaran, kredit dan modal kerja dari konsumen ke produsen, (c)
diseminasi teknologi antar produsen, pengepak dan pengolah, (d) perpindahan hak kepemilikan dari
produsen ke pengolah dan akhirnya ke pemasar, serta (f) aliran umpan balik menyangkut informasi
permintaan konsumen dan preferensi dari pengecer ke produsen (Cooper et al., 1997).

Rantai pasokan produk pertanian juga merupakan sistem ekonomi yang mendistribusikan manfaat
maupun risiko antar partisipan. Dengan demikian, rantai pasokan mendorong pemberlakuan
mekanisme internal serta mengembangkan insentif sepanjang rantai untuk memastikan jadwal
produksi dan komitmen penghantaran tepat waktu (Iyer & Bergen, 1997, Lambert & Cooper, 2000).
Untuk bertahan dalam kondisi persaingan yang ketat, suatu unit usaha agribisnis harus berupaya
memiliki rantai pasokan yang efisien, agar dapat mengurangi faktor ketidak-pastian serta memperbaiki
pelayanan terhadap pelanggan.

Individu pemasok, produsen dan pemasar yang berasosiasi melalui suatu rantai pasokan akan
mengkoordinasikan nilainya masing-masing untuk menciptakan kegiatan bersama, sehingga nilai yang
terakumulasi menjadi lebih besar dibandingkan jika setiap mata rantai tersebut beroperasi secara
independen. Rantai pasokan dapat menciptakan sinergi karena: (a) rantai tersebut memperluas pasar
tradisional melewati batas-batas orijinalnya, sehingga meningkatkan volume penjualan setiap
partisipan yang bergabung, (b) rantai tersebut mengurangi biaya penghantaran produk sampai lebih
rendah/kecil dibandingkan dengan rantai pasokan pesaing, sehingga dapat meningkatkan marjin
bersih untuk modal kerja yang dikeluarkan partisipan, dan (c) rantai pasokan mentargetkan segmen
pasar tertentu dengan produk yang spesifik, serta melakukan diferensiasi pelayanan, kualitas produk
atau reputasi merek untuk segmen-segmen pasar tersebut, sehingga dapat memperbaiki persepsi
konsumen terhadap produk dan memungkinkan partisipan memasang harga lebih tinggi (Mahoney,
1992, Giupero & Brand, 1996, Gattorna, 1998).

1
Kontribusi rantai pasokan dalam proses pembangunan pertanian tercermin dari potensinya yang dapat
(a) memberikan panduan/acuan alokasi sumberdaya untuk memaksimalkan nilai produksi dan kepuasan
konsumen, serta (b) mendorong pertumbuhan melalui promosi inovasi teknologi dan peningkatan
penawaran/permintaan. Potensi ini tidak terlepas dari tingkat harga yang tercipta sebagai titik temu
respon partisipan pasar terhadap permintaan dan penawaran. Pada dasarnya, harga produk merupakan
rangkuman dari sejumlah informasi yang menyangkut ketersediaan sumberdaya, kemungkinan produksi
dan preferensi konsumen (Buccola, 1989). Khusus untuk sayuran yang memiliki sifat mudah rusak,
pengetahuan dan pemahaman tentang situasi, sifat dan perilaku rantai pasokan sangat diperlukan oleh
seluruh partisipan. Dalam rantai pasokan bawang merah, khususnya di sentra produksi Brebes,
penetapan harga dilakukan secara tawar menawar dengan mempertimbangkan harga pada tingkat
penjual. Unsur monopoli atau monopsoni tidak teridentifikasi dalam struktur pasar komoditas bawang
merah (Institut Pertanian Bogor & Badan Urusan Logistik, 1996). Namun demikian, penelitian deskriptif
yang dilakukan oleh Koster dan Basuki (1991) menunjukkan adanya kecenderungan (a) kesulitan petani
untuk menjual produknya secara langsung ke pasar pengumpul, (b) pedagang besar yang ada di pasar
grosir tidak memberikan keleluasaan kepada pedagang besar lainnya untuk melaksanakan aktivitas
pemasaran di pasar yang sama, dan (c) bias terhadap petani atau pedagang besar. Secara implisit,
penelitian ini mengindikasikan adanya kebutuhan untuk memperbaiki rantai pasokan yang ada.

Beamon (1999) mengusulkan tiga alternatif untuk mengukur keragaan suatu rantai pasokan, yaitu
pengukuran (a) sumberdaya – biaya, (b) keluaran/output – keuntungan dan kepuasan pelanggan,
serta (c) fleksibilitas – keleluasaan dalam pengaturan volume dan penghantaran. Setelah
mempertimbangkan kompleksitas dalam pemodelan suatu rantai pasokan, Li et al. (2001)
menyarankan digunakannya pendekatan pemodelan rantai pasokan terkoordinasi yang juga
memperhitungkan skenario, saling ketergantungan, proses dan informasi. Spekman et al. (1998)
menggaris-bawahi tantangan-tantangan dalam menerapkan konsep pengelolaan rantai pasokan.
Bergantung pada tingkat kompleksitas dan komitmennya, dikategorikan empat jenis rantai pasokan,
yaitu (a) negosiasi pasar terbuka, (b) koperasi, (c) koordinasi, dan (d) kolaborasi. Koperasi merupakan
titik awal dari upaya pengelolaan rantai pasokan pada saat partisipan terlibat dalam kontrak yang
bersifat jangka panjang. Tingkat intensifikasi berikutnya adalah koordinasi, dimana aliran pekerjaan
yang telah dispesifikasi serta informasi mulai saling dipertukarkan. Mitra dagang dapat melakukan
koperasi/kerjasama dan koordinasi untuk aktivitas-aktivitas tertentu, namun belum berperilaku sebagai
mitra kolaboratif. Kolaborasi memerlukan tingkat saling percaya, komitmen dan berbagi informasi yang
tinggi antar mitra pemasok. Lebih jauh lagi, partisipan rantai pasokan harus berbagi visi yang sama
mengenai masa depan bersama. Namun demikian, perlu diperhatikan bahwa hasil kajian Cunningham
(2001) menyimpulkan bahwa penelitian mengenai rantai pasokan dalam dekade terakhir masih
didominasi oleh penelitian di sektor manufaktur, sedangkan penelitian serupa di sektor pertanian relatif
masih sangat terbatas. Sementara itu, studi yang dilaksanakan belum lama ini di sektor petanian di
Australia berhasil mengidentifikasi beberapa prinsip kunci keberhasilan suatu rantai pasokan, yaitu: (a)
fokus kepada pelanggan dan konsumen, (b) rantai menciptakan dan share nilai dengan semua partisipan,
(c) memastikan bahwa produk yang ditransaksikan sesuai dengan spesifikasi yang dikehendaki
pelanggan, (d) logistik dan istribusi yang efektif, (e) strategi informasi dan komunikasi harus melibatkan
semua partisipan, serta (f) hubungan kemitraan efektif yang dapat menjadi titik ungkit dan kepemilikan
bersama (AFFA et al., 2002). Searah dengan konteks permasalahan yang dihadapi, penelitian ini
bertujuan untuk merancang perbaikan pengelolaan rantai pasokan bawang merah di dua lokasi
pengembangan, yaitu di Brebes, Jawa Tengah dan Buleleng, Bali.

2
METODE PENELITIAN

Kegiatan SCM dilaksanakan di Nganjuk (Jawa Timur) dan Buleleng (Bali) antara bulan Mei sampai
September 2005. Penelitian ini memanfaatkan metode survai yang mengandalkan wawancara
informal dengan informan kunci, observasi langsung pada mata rantai yang kritikal di sepanjang alur
produksi-transformasi-distribusi serta data/informasi sekunder yang mungkin tersedia. Berdasarkan
pertimbangan bahwa kegiatan ini sebagian besar dirancang sebagai penelitian deskriptif, responden
yang terlibat dipilih secara purposif. Pertanyaan pemandu disusun sebagai acuan materi wawancara
dengan produsen, pedagang pengumpul, pedagang grosir, pedagang pengecer serta partisipan lain
sepanjang rantai pasokan bawang merah.

Berbagai pertanyaan yang disusun dalam pertanyaan pemandu diantaranya:


• Siapa sajakah pelaku/pemain di dalam rantai pasokan?
• Bagaimanakah peran mereka (pelaku/pemain) masing-masing?
• Bagaimanakah tingkat teknologi yang berlaku/ada sekarang dan penghela organisasional
seperti apakah yang dibutuhkan?
• Bagaimanakah tingkat pelayanan dari sistem pasokan yang ada sekarang?
• Bagaimanakah struktur biaya dan nilai tambah dari rantai pasokan yang sedang diamati?

Melalui penggunaan analisis SWOT, dua hal yang disintesis adalah: (a) identifikasi kekuatan dan
kelemahan dari rantai pasokan, dan (b) identifikasi kesempatan dan ancaman dari lingkungan rantai
pasokan.

Parameter yang diamati dalam penelitian ini terdiri dari: deskripsi aktivitas di setiap mata rantai,
deskripsi perdagangan/transaksi dan aliran produk, formasi harga, risiko harga, volume perdagangan,
risiko pasar, kualitas, penyimpanan dan risiko penyimpanan, keuntungan/marjin, penanganan, sortasi
dan pengemasan, transportasi, likuiditas, kompetisi di setiap mata rantai, integrasi pasar spasial,
keterampilan dan pengetahuan pasar, inovasi dan informasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

• Deskripsi Rantai Pasokan Bawang Merah

Rantai pasokan bawang merah merupakan saluran yang memungkinkan:


• Produk bawang merah bergerak dari produsen ke konsumen
• Pembayaran, kredit dan modal kerja usahatani bawang merah bergerak dari konsumen ke
produsen sayuran
• Teknologi produksi, pra dan pasca panen bawang merah didiseminasikan diantara
partisipan rantai pasokan, misalnya produsen, pengepak dan pengolah
• Hak kepemilikan berpindah dari produsen bawang merah ke pengepak atau pengolah,
kemudian ke pemasar
• Informasi mengenai permintaan konsumen serta preferensinya mengalir dari pedagang
pengecer ke produsen bawang merah

Uraian di atas menunjukkan bahwa rantai pasokan bawang merah merupakan suatu sistem ekonomi
yang mendistribusikan manfaat dan juga risiko diantara berbagai partisipan yang terlibat di dalamnya.
Dengan demikian, rantai pasokan bawang merah secara tidak langsung telah mengembangkan
3
mekanisme internal serta insentif untuk menjamin ketepatan berbagai komitmen produksi maupun
delivery.

Lokasi geografis Nganjuk dan Buleleng memungkinkan produk bawang merah dipasarkan tidak hanya
untuk memenuhi kebutuhan lokal, tetapi juga antar wilayah/regional. Rantai pasokan yang terjadi pada
dasarnya merupakan bentuk pelayanan yang sudah melembaga untuk menjembatani produsen dan
konsumen bawang merah. Intervensi pemerintah terhadap rantai pasok bawang merah ini cenderung
terbatas pada dukungan ketersediaan infrastruktur fisik, misalnya jalan dan bangunan pasar.
Perdagangan bawang merah seluruhnya ditangani oleh pihak swasta. Hal ini mengimplikasikan bahwa
rantai pasok bawang merah di Nganjuk dan Buleleng secara umum cenderung beroperasi berdasarkan
kekuatan penawaran dan permintaan.

Beberapa jenis rantai pasok bawang merah di Nganjuk dan Buleleng yang berhasil diidentifikasi
diantaranya adalah:
1. produsen – pedagang pengumpul desa atau bandar – pedagang pengumpul antar wilayah –
pedagang besar/grosir – pedagang pengecer - konsumen
2. produsen – pedagang pengumpul desa atau bandar – pedagang besar/grosir – pedagang
pengecer - konsumen
3. produsen – pedagang pengumpul desa atau bandar – pedagang pengecer - konsumen
4. produsen – pedagang besar/grosir – pedagang pengecer – konsumen
5. produsen – pedagang pengecer – konsumen

Rantai pasokan pertama dan kedua diestimasi menyerap sekitar 80% dari total pasok bawang merah
dari Nganjuk dan Buleleng. Sisanya sekitar 20% dipasarkan melalui rantai pasok yang lainnya. Perlu
menjadi catatan bahwa pedagang besar bawang merah dapat berlokasi di pasar lokal (Sukomoro,
Nganjuk atau Sririt, Buleleng) atau di luar pasar (di sekitar sentra produksi). Outlet bawang merah dari
Nganjuk tidak hanya pasar-pasar lokal, tetapi juga pasar-pasar Tulungagung, Sragen dan Surabaya.
Outlet bawang merah dari Buleleng termasuk Denpasar, Tabanan, Badung dan Klungkung, bahkan ke
Jawa, Lombok dan Bima, terutama pada sekitar bulan Oktober-November. Sementara itu, rantai
pasokan untuk bibit bawang merah cenderung lebih pendek. Konsumen umbi bibit biasanya dapat
langsung membeli dari petani penangkar atau pedagang bibit bawang merah. Outlet bibit ini tidak
hanya petani bawang merah lokal/sekitar, tetapi juga petani di sentra produksi lain (misalnya petani
Karangasem membeli bibit dari Buleleng). Gambaran tersebut menunjukkan bahwa rantai pasokan
bawang merah di Nganjuk dan Buleleng pada dasarnya masih didominasi oleh rantai pasokan
tradisional yang outlet utamanya adalah pasar-pasar tradisional.

Secara umum, lama partisipan rantai pasokan berkecimpung dalam usahanya masing-masing ternyata
cukup bervariasi: pedagang pengumpul (5-40 tahun), pedagang besar (6-50 tahun) dan pengecer
(3-25 tahun). Beberapa partisipan rantai di Nganjuk dan Buleleng, terutama pedagang besar,
menyatakan bahwa kegiatan yang dilakukannya merupakan usaha keluarga dan turun menurun. Lebih
lanjut dikemukakan pula bahwa skala usaha tersebut dari tahun ke tahun cenderung semakin
berkembang. Komoditas utama yang diperdagangkan oleh partisipan di kedua lokasi pada umumnya
adalah bawang merah. Namun demikian, pada saat/musim tertentu dan dengan proporsi lebih kecil,
partisipan tersebut juga mengusahakan komoditas sayuran lain, misalnya mentimun, kacang panjang,
cabai merah, cabai rawit, terong dan tomat. Beberapa partisipan bahkan juga mengusahakan
komoditas pangan/non sayuran, misalnya padi dan kedelai. Tabel 1 di bawah ini memperlihatkan
elemen, deskripsi dan nilai tambah dalam rantai pasokan bawang merah di Nganjuk, Jawa Timur dan
Buleleng, Bali
4
Tabel 1 Elemen, deskripsi dan nilai tambah dalam rantai pasokan bawang merah di Nganjuk, Jawa Timur dan
Buleleng, Bali
Elemen Deskripsi Nilai Tambah
Produsen Petani yang menghasilkan serta memanen bawang o Produksi
merah, dan untuk beberapa saluran distribusi o Panen
tertentu terkadang juga melakukan kegiatan o Pengkelasan (grading)
pengkelasan
Pedagang tebasan Pedagang yang membeli bawang merah pada saat o Pemeliharaan sampai saat
tanaman masih berada di lapangan (sebelum panen
panen). o Pemanenan
Pedagang pengumpul Pedagang lokal yang mengumpulkan/ membeli o Pengumpulan
lokal/desa bawang merah dalam volume yang relatif besar dari o Sortasi
petani atau beberapa petani dan memasarkannya ke o Pengkelasan (terkadang)
pusat-pusat konsumsi.
o Pengangkutan
Pedagang pengumpul Jenis pedagang yang berdomisili di luar sentra o Pengumpulan
antar wilayah produksi ini membeli bawang merah dan o Sortasi
memasarkannya ke pasar-pasar grosir dan o Pengkelasan (terkadang)
pengecer. Bawang merah dapat dibeli langsung dari
o Pengangkutan
petani atau bandar/ pedagang pengumpul lokal.
Transportasi Pemberi jasa angkutan produk bawang merah dari o Pengangkutan
sentra produksi ke pengecer. Kegiatannya mencakup
pengangkutan produk ke lokasi-lokasi spesifik dalam
kerangka waktu yang telah ditentukan.
Pedagang Jenis usaha yang menjual bawang merah dalam o Pemasaran, penjualan dan
besar/grosir volume yang relatif besar dan melayani berbagai distribusi ke pengecer
klien. o Jaminan kualitas
o Penyimpanan jangka pendek
(1-30 hari)
o Penyimpanan jangka
menengah untuk bibit (3-8
bulan)
Pedagang pengecer Jenis usaha yang menjual bawang merah secara o Jaminan kualitas
eceran atau dalam volume kecil o Distribusi
o Promosi

• Formasi dan risiko harga

Faktor-faktor yang dipertimbangkan dalam penentuan kesepakatan harga pada saat membeli dan
menjual ternyata serupa. Faktor-faktor tersebut berdasarkan urutan kepentingannya adalah sebagai
berikut: (1) ukuran, (2) warna, (3) bentuk, (4) kenal dengan pembeli atau penjual – langganan, dan (5)
volume pembelian/penjualan

Tabel 2 memperlihatkan bahwa sebagian besar partisipan rantai pasokan di Nganjuk menganggap
bahwa harga beli bawang merah relatif lebih stabil dibandingkan dengan harga jualnya. Hal ini juga
direfleksikan oleh koefisien variasi harga mingguan bawang merah di tingkat grosir di pasar Surabaya
yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan koefisien variasi harga mingguan untuk komoditas
sayuran lainnya.

Sementara itu, hanya sebagian kecil partisipan rantai pasokan di Buleleng yang menyatakan bahwa
harga beli dan jual bawang merah tidak stabil Tabel 4). Sebagian besar partisipan justru berpendapat
5
Tabel 2 Tanggapan responden di Nganjuk tentang stabilitas harga beli dan jual bawang merah, 2005
Produsen Pengumpul Pedagang besar Pengecer
Stabilitas • Agak • Tidak stabil • Relatif lebih stabil dibandingkan dengan harga jual • Agak stabil
harga beli stabil • Dalam tiga bulan • Dalam tiga bulan terakhir Rp. 3000-Rp. 5300 • Dalam tiga bulan
terakhir Rp. 3000 – • Fluktuasi harga Rp 100-200 per kg per hari terakhir, harga beli
Rp. 4000 per kg berkisar Rp. 3000-
• Hari Raya tdk berpengaruh
4500 per kg
• Tanggal muda 1-10 harga lebih baik
Stabilitas • Tidak • Tidak stabil • Fluktuasi cukup tajam dan cepat (setelah jam 12.00 • Agak stabil
harga jual stabil • Dalam tiga bulan biasanya harga menurun) • Harga tiga bulan
terakhir Rp. 3000 – • Harga tiga bulan terakhir Rp. 4000-Rp. 6000/kg terakhir Rp. 3500 – Rp.
Rp. 4000 per kg 5000/kg

Tabel 3 Koefisien variasi harga mingguan bawang merah, Nganjuk (Surabaya), 2004
Komoditas Rata/rata Standar Koefisien Komoditas Rata/rata Standar Koefisien
Rp/kg Deviasi Variasi Rp/kg Deviasi Variasi
Kubis bulat 1560.58 636.037 40.8 Buncis 1961.54 470.671 24.0
Kubis gepeng 1093.27 362.998 33.2 Sawi 1391.35 743.318 53.4
Kentang 2598.08 736.843 28.4 Bawang putih lokal 4033.70 890.212 22.1
Tomat 2638.46 873.836 33.1 Bawang putih impor 5367.50 1295.829 24.1
Bawang daun 1894.23 400.203 21.1 Bawang merah 5688.46 956.434 16.8
Wortel 1737.50 780.012 44.9 Cabai merah 4301.92 1984.992 46.1
Seledri 2721.15 1585.515 58.3 Cabai rawit 7222.12 4909.948 68.0
Labu siam 965.38 243.652 25.2

bahwa harga beli dan jual bawang merah agak stabil. Hal ini juga didukung oleh koefisien variasi harga
mingguan bawang merah di tingkat grosir di pasar Denpasar yang relatif lebih rendah dibandingkan
dengan koefisien variasi harga mingguan untuk komoditas sayuran lainnya. Koefisen variasi harga
mingguan bawang merah di Denpasar bahkan lebih rendah dibandingkan dengan di Surabaya.
Dengan kata lain, harga bawang merah di tingkat grosir di Denpasar relatif lebih stabil dibandingkan
dengan di Surabaya.

Tabel 4 Tanggapan responden di Buleleng tentang stabilitas harga beli dan jual bawang merah, 2005
Produsen Pengumpul Pedagang besar Pengecer
Stabilitas • Agak stabil – • Agak stabil - tdak stabil • Tidak stabil • Agak stabil
harga beli tidak stabil • Dalam tiga bulan terakhir Rp. • Dalam tiga bulan terakhir Rp. • Dalam tiga bulan terakhir
2500 – Rp. 6000 per kg 4000-Rp. 6000 Rp. 4000– Rp. 6000 per kg
Stabilitas • Tidak stabil • Agak stabil - tidak stabil • Agak stabil • Agak stabil
harga jual • Dalam tiga bulan terakhir Rp • Dalam 3 bln terakhir Rp. • Dalam tiga bulan terakhir
3000 – Rp. 7000 per kg 4500-Rp. 6000 Rp. 4000– Rp. 6500 per kg

Tabel 5 Koefisien variasi harga mingguan bawang merah, Buleleng (Denpasar), 2004
Komoditas Rata/rata Standar Koefisien Komoditas Rata/rata Standar Koefisien
Rp/kg Deviasi Variasi Rp/kg Deviasi Variasi
Kubis bulat 2133.33 591.656 27.7 Cabai merah 4508.33 1233.335 27.4
Kubis gepeng 2301.67 598.442 26.0 Cabai rawit 7741.67 3312.140 42.8
Tomat TW 3028.33 678.006 22.4 Kubis bunga 7291.67 1998.499 27.4
Tomat lokal 2455.00 658.562 26.8 Selada 8675.00 4405.144 50.8
Buncis 2941.67 611.276 20.8 Kacang panjang 2866.67 708.703 24.7
Wortel 4218.33 1886.661 44.7 Prey 10008.33 2812.640 28.1
Kentang 4731.67 1328.755 28.1 Brokoli 11275.00 5889.106 52.2
Sawi 2350.00 625.855 26.6 Bawang merah 8106.45 773.277 9.5
Seledri 6366.67 1401.775 22.0 Bawang putih impor 6106.45 749.193 12.3
Labu siam 996.67 169.712 17.0 Bawang putih lokal 9951.61 687.445 6.9

6
• Integrasi Pasar Spasial

Koefisien korelasi harga bawang merah antar beberapa kota di Jawa Timur dan Bali memberikan
indikasi sederhana sampai sejauh mana pasar-pasar di berbagai kota tersebut terintegrasi. Observasi
sementara menunjukkan bahwa walaupun terdapat integrasi yang moderat sampai kuat di antara
berbagai pasar, namun perbaikan-perbaikan lebih lanjut masih diperlukan. Integrasi pasar yang lebih
tinggi dapat mengurangi tingkat absolut harga konsumen serta volatilitasnya. Dalam kaitan ini,
produsen dapat memperoleh keuntungan melalui adanya peningkatan oportunitas pasar.

Tabel 6 Matriks korelasi harga 3-harian bawang merah di Surabaya, Malang dan Nganjuk (Jan-Sept 2005).

Pasar Surabaya Malang/Batu Nganjuk


Surabaya 1.0000 0.4059*** 0.9935***
Malang/Batu 1.0000 0.3598***
Nganjuk 1.0000
*** signifikan pada tingkat kepercayaan 0.001

Tabel 7 Matriks korelasi harga bulanan bawang merah di Buleleng, Tabanan, Gianyar, Bangli, Klungkung,
Karang Asem dan Denpasar (2004).

Pasar Buleleng Tabanan Gianyar Bangli Klungkung Kr. Asem Denpasar


Buleleng 1.0000 0.5255* 0.6401** 0.5474* 0.6011** 0.4104 0.6648**
Tabanan 1.0000 0.4671 0.3351 0.4821 0.7134*** 0.6547**
Gianyar 1.0000 0.5275* 0.8481*** 0.7765*** 0.7537***
Bangli 1.0000 0.3851 0.5482* 0.3152
Klungkung 1.0000 0.8316*** 0.8234***
Kr. Asem 1.0000 0.7775***
Denpasar 1.0000
*** Signifikan pada tingkat kepercayaan 0.01
** Signifikan pada tingkat kepercayaan 0.05
* Signifikan pada tingkat kepercayaan 0.10

• Skala Operasi

Dari semua partisipan yang diwawancarai, tampaknya hanya pedagang besar skala besar dan
pedagang antar wilayah yang memiliki peluang untuk mencapai skala ekonomis. Partisipan rantai
lainnya, terutama petani dan pedagang pengecer beroperasi dalam skala kecil serta tidak memiliki
(kurang) spesialisasi, sehingga cenderung termasuk ke dalam usaha/bisnis biaya tinggi. Namun
demikian, perlu pula dicatat bahwa skala dan spesialisasi ini seringkali terkendala oleh rendahnya
likuiditas, risiko tinggi serta rendahnya keterampilan manajemen bisnis.

Outlet untuk bawang merah yang berasal dari Nganjuk dan Buleleng terutama adalah pasar-pasar
lokal serta beberapa kota besar di Jawa Timur dan Bali. Pedagang lokal dan antar wilayah yang
terlibat di dalam rantai pasokan pada umumnya tidak memiliki spesialisasi untuk menangani bawang
merah saja, tetapi beberapa jenis komoditas sayuran secara sekaligus. Jumlah pedagang ini secara
intuitif dipastikan akan mempengaruhi perilaku operasionalnya di pasar. Observasi lapangan dan
7
wawancara petani di Nganjuk dan Buleleng mengindikasikan tidak adanya pedagang atau perusahaan
tunggal yang secara individual beroperasi memaksimalkan keuntungan tanpa ada reaksi dari
pedagang atau perusahaan lain untuk mengganggu harga produk yang sedang berlaku. Dengan kata
lain, tidak ada praktek monopoli di dalam rantai pasokan bawang merah dan setiap pedagang atau
perusahaan akan berupaya meningkatkan share pasarnya melalui berbagai strategi pemasaran yang

Tabel 8 Kisaran volume yang diperdagangkan oleh partisipan rantai pasokan bawang merah di Nganjuk, 2005.
Pengumpul Pedagang besar Pengecer
Jumlah produk? • 5 - 15 ton per • 10 -50 ton per hari • 0.5 - 2 kuintal per minggu
minggu • Volume transaksi mencapai puncak pada
bulan-bulan Juli, Agustus dan September
Variasi? Bervariasi Bervariasi Bervariasi,
• MK 10 - 15 ton • MK 10 - 50 ton per hari • MK 1 - 2 kuintal per minggu
per minggu • MH 5 – 30 ton per hari • MH 0.5 - 1 kuintal per minggu
• MH 5 - 10 ton • Pada musim hujan biasanya produksi lebih
per minggu rendah sehingga pasokan juga menurun

Tabel 9 Kisaran volume yang diperdagangkan oleh partisipan rantai pasokan bawang merah di Buleleng, 2005.
Pengumpul Pedagang besar Pengecer
Jumlah produk? • 0.4 - 2 ton per minggu • 4 - 10 ton/hari • 1.5 – 2 ton per minggu

Variasi? Bervariasi Bervariasi Bervariasi


• MK 1.2 - 8 ton per minggu • 100-500 ton per musim • MK 1.5 – 10 ton per minggu
• MH 0.6 - 5 ton per minggu • MH 0.3 - 2 ton per minggu
Catatan: Musim raya adalah bulan April

dimiliki. Tabel 8 dan 9 memperlihatkan kisaran volume perdagangan bawang merah oleh pedagang
pengumpul, besar dan pengecer, masing-masing di Nganjuk dan Buleleng. Produk bawang merah
yang diperjual-belikan sepanjang rantai pasokan pada dasarnya homogen. Dalam hal ini, konsumen
yang menganggap bahwa produk dari seorang penjual tidak berbeda dengan produk dari penjual
lainnya. Sebagai contoh, produsen bawang merah akan sukar meyakinkan pedagang bahwa bawang
merahnya lebih baik dibandingkan dengan bawang merah petani lain, kecuali hanya dari perbedaan
visual, misalnya ukuran atau kelas. Pada dasarnya, partisipan bebas untuk terlibat atau keluar dari
rantai pasokan bawang merah. Faktor yang berpengaruh terhadap keluar atau masuknya partisipan
dari rantai pasokan, diantaranya adalah absolute cost advantage dan keunikan manajemen serta
kompetensi teknis yang dimiliki oleh masing-masing partisipan. Perlu dicermati bahwa pengetahuan
pasar sebenarnya tidak hanya mencakup penguasaan informasi harga dan kualitas produk.
Pengetahuan pasar tersebut juga harus mencakup pengetahuan mengenai aksi yang akan dilakukan
oleh kompetitor, maupun pertimbangan-pertimbangan matang mengenai kondisi pasar pada saat yang
akan datang. Pada batas-batas tertentu, pengetahuan pasar setiap partisipan yang terlibat dalam
rantai pasokan bawang merah tampaknya cukup baik dalam mendasari pengambilan keputusan-
keputusan operasional yang dibutuhkan. Berbagai karakteristik rantai pasokan di atas memberikan
gambaran bahwa struktur pasar yang dihadapi oleh rantai pasokan bawang merah di Nganjuk dan
Buleleng cenderung mendekati pasar persaingan sempurna.

• Risiko pasar/pasokan

Risiko kekurangan pasokan biasanya dialami oleh semua partisipan di setiap tingkatan pada saat
musim hujan atau pada saat banyak petani yang gagal panen. Kekurangan pasokan biasa terjadi di
Buleleng antara bulan Juni - November. Pedagang pengumpul skala kecil di Buleleng juga sering
8
mengalami kekurangan pasokan jika pedagang bermodal besar langsung datang ke petani membeli
dan membayar tunai, sehingga pengumpul kecil hanya dapat membeli/mengebon sisanya. Sementara
itu, kesulitan memperoleh pembeli relatif lebih jarang dialami oleh pedagang di Nganjuk dan Buleleng.
Kesulitan mendapatkan pembeli terkadang dialami oleh pedagang besar karena ada kompetisi dari
sentra produksi lain dengan harga yang lebih murah.

Tabel 10 Risiko pasar/pasokan partisipan rantai pasokan di Nganjuk, 2005


Pengumpul Pedagang besar Pengecer
Pernah mengalami • Ya • Ya, kekurangan pasokan terutama pada musim • Ya, karena petani mengalami
masalah dalam hujan kegagalan panen
memperoleh pasokan?
• Ya, pada saat petani memperoleh informasi dari
pedagang lain bahwa harga bawang merah naik
Pernah mengalami • Ya, jika harga • Tidak ada masalah karena sudah ada langganan • Tidak pernah ada masalah
kesulitan dalam sedang mahal dan kepercayaan
memperoleh pembeli?
• Ya, terutama jika ada kompetisi pasokan dari
daerah lain dengan harga yang lebih murah

Tabel 11 Risiko pasar/pasokan partisipan rantai pasokan di Buleleng, 2005


Pengumpul Pedagang besar Pengecer
Pernah mengalami • Ya, jika pedagang bermodal • Ya, kekurangan pasokan • Tidak pernah
masalah dlm besar langsung datang ke petani biasanya terjadi antara bulan 6
memperoleh pasokan membeli dan membayar tunai, dan bulan 11
maka pengumpul hanya dapat
membeli/mengebon sisanya
• Ya, jika ada kegagalan panen
Pernah mengalami • Ya, pada saat harga berfluktuasi • Tidak pernah • Tidak pernah
kesulitan dalam tajam
memperoleh pembeli

• Kriteria kualitas

Kriteria kualitas bawang merah yang digunakan pada saat membeli/menjual di kedua lokasi, maupun
di setiap level partisipan rantai pada dasarnya hampir sama, yaitu ukuran, warna dan bentuk umbi.
Tabel 12 dan 13 menunjukkan bahwa bawang merah yang kualitasnya lebih baik hampir selalu

Tabel 12 Kriteria kualitas bawang merah yang digunakan pada saat membeli/menjual, Nganjuk
Produsen Pengumpul Pedagang besar Pengecer
Kriteria yang digunakan pedagang dalam • Ukuran • Ukuran • Ukuran • Ukuran
menaksir kualitas pada saat membeli dari • Warna • Bentuk • Warna • Warna
anda? • Warna • Bentuk
• Keseragaman
Mendapat harga jual yang lebih tinggi untuk • Ya • Belum tentu • Ya • Ya
produk yang kualitasnya lebih baik? karena harga
yang tidak stabil
Menyepakati harga beli yang lebih tinggi • Ya Ya • Ya • Ya
untuk produk yang kualitasnya lebih baik?

Kualitas produk yang dihargai paling tinggi • Ukuran besar • Ukuran besar • Ukuran diameter • Ukuran sedang
atau kualitas super? • Warna merah • Bentuk bulat 3 cm dan besar
tua • Warna merah • Warna merah tua • Bentuk bulat
• Bentuk bulat • Warna merah
• Kering
• Relatif seragam

9
Tabel 13 Kriteria kualitas bawang merah yang digunakan pada saat membeli/menjual, Buleleng.
Produsen Pengumpul Pedagang besar Pengecer

Kriteria yang digunakan pedagang dalam • Ukuran • Ukuran • Ukuran yang • Ukuran
menaksir kualitas pada saat membeli dari • Warna • Warna diminta pasar • Warna
anda? • Bentuk • Bentuk bulat
• Warna umbi
menarik
Mendapat harga jual yang lebih tinggi untuk • Ya • Ya. • Ya • Ya
produk yang kualitasnya lebih baik?
Menyepakati harga beli yang lebih tinggi • Ya • Ya. • Ya • Ya atau belum
untuk produk yang kualitasnya lebih baik? tentu, misalnya
membeli di
dalam karung,
di atasnya baik,
ternyata bagian
tengahnya jelek
Kualitas produk yang dihargai paling tinggi • Ukuran besar • Ukuran besar • Ukuran besar • Ukuran besar
atau kualitas super? • Warna merah • Warna merah tua • Warna merah tua • Warna merah
tua • Bentuk normal • Bentuk bulat • Bentuk normal
• Relatif seragam • Relatif seragam
• Aroma tidak
penting

memperoleh harga beli atau harga jual yang lebih tinggi. Sementara itu, bawang merah yang dihargai
paling tinggi adalah produk yang memenuhi kriteria kualitas: (a) ukuran diameter 3 cm; (b) warna
merah tua; (c) bentuk bulat; (d) kering; dan (e) relatif seragam.

• Penyimpanan bawang merah

Lama penyimpanan untuk bibit di tingkat petani berkisar antara 3-4 bulan, sedangkan untuk umbi
konsumsi berkisar antara 2-10 hari. Lama penyimpanan ini terutama dipengaruhi oleh persyaratan
teknis bibit dan harga yang berlaku. Petani memperkirakan bahwa kehilangan hasil sebesar 1-15%
dapat terjadi selama penyimpanan. Di tingkat pedagang pengumpul, penyimpanan dilakukan selama
1-10 hari. Hal-hal yang berpengaruh terhadap lama penyimpanan diantaranya adalah (a) banyak
barang dari luar daerah masuk, sehingga harga relatif rendah, (b) menunggu harga jual tinggi, dan (c)
persyaratan teknis tanaman bawang merah untuk bibit. Kehilangan hasil dapat mencapai 3-40%. Di
tingkat pedagang besar, lamanya penyimpanan terutama tergantung pada tujuan penggunaan bawang

Tabel 14 Penyimpanan dan kehilangan hasil bawang merah, Nganjuk, 2005


Produsen Pengumpul Pedagang besar Pengecer
Lama penyimpanan • 3-4 bulan untuk bibit • 3-7 hari • 3-6 bulan untuk bibit • 1-7 hari
produk • 5-10 hari untuk • 1-4 minggu sampai 3 a’ 4 bulan untuk
konsumsi konsumsi (jika harga mencapai Rp.
3000/kg di bulan Januari)
Faktor yang • Persyaratan teknis bibit • Menunggu • Pengunaan: untuk bibit atau konsumsi • Harga
mempengaruhi lama • Harga harga jual • Faktor non-tenis, misalnya harga yang • Stok
penyimpanan tinggi sedang baik atau kebutuhan likuiditas
mendesak
Kehilangan hasil • 1-15% • 20-40% • 5-30% dipengaruhi oleh: • 5-10%
selama penyimpanan • Kondisi awal hasil panen
• Kerusakan atap gudang
• Cuaca
• Lama penyimpanan
• Jenis bawang, ketahanan simpan

10
merah. Di Nganjuk sebagian besar pedagang besar tidak hanya menjual bawang merah konsumsi,
tetapi juga bibit. Penyimpanan bawang konsumsi bahkan dapat berlangsung cukup lama, yaitu 1-4
minggu sampai 3 atau 4 bulan jika harga mencapai Rp. 3000/kg, terutama di bulan Januari.
Kehilangan hasil dapat mencapai 5-50% karena faktor-faktor: kondisi awal hasil panen, kerusakan atap
gudang, cuaca, lama penyimpanan, jenis bawang, dan ketahanan simpan. Lama penyimpanan di
tingkat pengecer relatif lebih singkat dan terutama dipengaruhi oleh adanya stok/persediaan.

Tabel 15 Penyimpanan dan kehilangan hasil bawang merah, Buleleng, 2005


Produsen Pengumpul Pedagang besar Pengecer
Lama penyimpanan • 3-4 bulan untuk bibit • 1 – 10 hari • 2 hari sampai 1 • 1-3 hari
produk • 2-7 hari untuk konsumsi bulan
Faktor yang • Kualitas segar hasil • Banyak barang dari luar masuk, • Menunggu • Pasokan
mempengaruhi lama panen sehingga harga relatif rendah harga jual berlimpah
penyimpanan • Harga • Menunggu harga jual tinggi tinggi
• Keadaan atau kondisi teknis
tanaman bawang merah
Penyebab utama • Kualitas hasil panen • Kondisi awal hasil panen • Kondisi awal • Kondisi awal
kehilangan hasil hasil panen hasil panen
yang masih yang masih
basah basah
Kehilangan hasil • 1-10% • 3 – 5% • 50% • 2-4%
selama penyimpanan

• Penanganan, sortasi, pengemasan dan pengangkutan

Pedagang pengumpul dan pedagang besar menjual serta membeli produk dengan kelas kualitas yang
berbeda-beda. Tabel 16 dan 17 menunjukkan bahwa kegiatan sortasi hanya dilakukan oleh pedagang
pengumpul dan pedagang besar. Pada umumnya, material kemasan yang digunakan oleh semua
partisipan rantai pasokan adalah karung jala. Hanya sebagian kecil partisipan rantai pasokan yang
menggunakan alat transportasi sendiri untuk mengangkut hasil panennya. Sementara itu, hanya satu
orang responden pedagang besar yang juga menyediakan jasa transportasi.

Tabel 16 Penanganan, sortasi, pengemasan dan pengangkutan bawang merah di Nganjuk


Produsen Pengumpul Pedagang besar Pengecer
Membeli produk dengan kelas Tidak Ya, ukuran lebih besar dan Ya Tidak
kualitas berbeda-beda warna merah lebih mahal • A Rp. 5000
• B Rp. 4750
• C Rp. 4500-4000
Menjual produk dengan Tidak Ya, ukuran lebih besar dan Ya dan tidak (dioplos) Tidak
kelas-kelas kualitas yang warna merah lebih mahal
berbeda
Melakukan sortasi produk ke Tidak Tidak • Tidak, yang melakukan sortasi Tidak
dalam kelas-kelas yang biasanya pengecer kecil (10-20 kg)
berbeda • Ya, pada saat penyimpanan dan
pengemasan
Bahan/material kemasan yg Karung jala Karung jala Karung jala (warna merah atau biru) Karung jala
digunakan dengan kapasitas 110-120 kg/karung
Melakukan transportasi untuk Tidak Tidak • Tidak (tidak punya kendaraan dan Ya, sepeda motor
produk sendiri tidak ingin menanggung risiko) untuk efisiensi
• Ya, memanfaatkan kendaraan yang waktu
dimiliki, menghemat biaya
transportasi
Menyediakan jasa Tidak Tidak Ya dan tidak, jika ya: Tidak
transportasi Ya, mobil sendiri (L300, 2-2,5 ton)
disewakan jika tidak sedang digunakan

11
Tabel 17 Penanganan, sortasi, pengemasan dan pengangkutan bawang merah di Buleleng
Produsen Pengumpul Pedagang besar Pengecer
Membeli produk Tidak Ya • Ada kelas I dan II • Tidak
dengan kelas kualitas • Kls I merah, besar, kering Rp. 5000/kg berdasarkan • Ya, makin
berbeda-beda ukuran besar makin
• Kls II agak kecil, kurang merah Rp. 4000/kg
mahal
• Kls III kecil-kecil, merah pudar Rp. 3000/kg
Menjual produk dengan Tidak Ya • Ada kelas I dan II • Ya, agar ada
kelas-kelas kualitas • Kls I Rp. 6000/kg berdasarkan tambahan
yang berbeda ukuran keuntungan
• Kls II Rp. 4500/kg
• Kls III Rp. 3250/kg
Melakukan sortasi Tidak • Ya dan tidak • Ya • Tidak
produk ke dalam kelas-
kelas yang berbeda
Bahan/material Karung jala • Karung jala • Karung jala • Karung jala
kemasan yg digunakan
Melakukan transportasi Tidak • Ya dan tidak • Ya • Tidak
untuk produk sendiri
Menyediakan jasa Tidak • Tidak • Tidak • Tidak
transportasi

• Biaya dan marjin tataniaga

Marjin tataniaga adalah harga atau nilai dari sekumpulan jasa pemasaran yang harus dikeluarkan untuk
biaya transfer komoditas tertentu dari sisi produksi ke sisi konsumsi. Pengeluaran ini tidak saja berupa
pembayaran untuk masukan yang dikeluarkan oleh partisipan rantai pasokan dalam melakukan fungsi
pemasaran (biaya tataniaga), tetapi juga porsi keuntungan bagi pemberi jasa tataniaga tersebut. Secara
sederhana, marjin tataniaga merupakan selisih antara harga yang dibayarkan konsumen dengan harga
yang diterima produsen. Jika salah satu parameter berubah, maka kedua parameter lainnya juga turut
berubah. Dengan kata lain, marjin tataniaga merupakan salah satu faktor yang berpengaruh penting
terhadap efisiensi penetapan harga (pricing efficiency), stabilitas harga di tingkat konsumen, stabilitas
harga di tingkat petani dan bagian petani (farmer’s share).

Tabel 18 menunjukkan informasi cross section harga beli/jual per kilogram bawang merah di Nganjuk
yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan di Buleleng. Namun demikian, biaya tataniaga dan marjin
keuntungan di setiap tingkat partisipan rantai pasokan di Nganjuk ternyata lebih tinggi dibandingkan
dengan di Buleleng. Konsekuensinya, bagian yang diterima petani Nganjuk per kilogram bawang merah
relatif lebih rendah dibandingkan dengan petani Buleleng. Namun demikian, berbagai indikasi yang
diperoleh ini belum dapat dinyatakan sebagai sesuatu yang bersifat konklusif sebab kegiatan wawancara
untuk memperoleh data harga hanya dilakukan secara cross-section.

Beberapa studi empiris terdahulu menunjukkan bahwa besar/nilai marjin tataniaga dari hari ke hari atau
dari bulan ke bulan (jangka pendek) cenderung bersifat konstan (Gardner, 1975; Brorsen, 1984),
sehingga disebut sebagai marjin tataniaga yang tidak fleksibel (sticky or inflexible marketing margin).
Marjin yang tidak fleksibel memungkinkan perubahan harga di sisi konsumsi segera ditransmisikan ke sisi
produksi dan perubahan harga di sisi produksi segera direfleksikan ke sisi konsumsi. Hal ini dalam
jangka pendek dapat mengakibatkan ketidak-stabilan harga di tingkat petani serta bagian yang diterima
petani. Dalam studi ini, tidak diperoleh data harga untuk memperkirakan variasi marjin tataniaga bawang
merah dari Nganjuk dan Buleleng. Seandainya informasi tersebut tersedia dan ternyata marjin tataniaga
memiliki tingkat keragaman yang tinggi (koefisien variasi > 40%), maka besaran/nilai marjin yang terjadi
tidak lagi bersifat konstan. Marjin ini dapat dikategorikan sebagai flexible marketing margin yang besaran
atau nilainya secara serempak (simultaneously) akan menyesuaikan dengan adanya perubahan harga di
12
sisi produksi atau sisi konsumsi. Dalam jangka pendek, mekanisme marjin tersebut dapat mendorong
harga di tingkat petani maupun bagian petani menjadi lebih stabil. Namun, flexible margin ini secara
implisit menunjukkan bahwa biaya tataniaga yang seharusnya berhubungan langsung dengan volume
fisik komoditas ternyata juga dipengaruhi oleh harga produk. Sebenarnya tidak beralasan jika marjin
berubah sejalan dengan perubahan harga. Salah satu komponen marjin adalah biaya tataniaga yang
pada dasarnya didominasi oleh pengeluaran untuk tenaga kerja. Dalam jangka pendek, upah tenaga
kerja ini tidak berubah dengan adanya perubahan harga produk. Hal ini memberikan indikasi bahwa
komponen lain dari marjin tataniaga yang kemungkinan berubah adalah keuntungan pedagang. Dengan
demikian, marjin yang bersifat fleksibel memungkinkan terjadinya penurunan (pada saat harga di tingkat
petani rendah) atau peningkatan (pada saat harga di tingkat petani tinggi) keuntungan pedagang.
Kondisi seperti ini membuka peluang bagi pedagang melakukan tindakan-tindakan spekulatif yang
diarahkan untuk meningkatkan keuntungan. Kenaikan harga produk yang diakibatkan oleh tindakan
spekulatif tersebut akan dibebankan kepada konsumen dan pada akhirnya dapat mengakibatkan
terjadinya inefisiensi pasar.

Tabel 18 Biaya tataniaga, marjin keuntungan dan bagian petani per kilogram bawang merah di Nganjuk dan
Buleleng, 2005
No. Uraian Nganjuk (Rp./kg) Buleleng (Rp./kg)
1. Petani
Harga jual Rp. 4 150 Rp. 5 110
2. Pedagang pengumpul
Harga beli Rp. 4 150 Rp. 5 110
Harga jual Rp. 5 120 Rp. 5 875
Marjin kotor Rp. 970 Rp. 765
Biaya tataniaga Rp. 315 Rp. 205
Keuntungan Rp. 655 Rp. 460
3. Pedagang besar
Harga beli Rp. 5 120 Rp. 5 875
Harga jual Rp. 5 760 Rp. 6 340
Marjin kotor Rp. 640 Rp. 465
Biaya tataniaga Rp. 180 Rp. 130
Keuntungan Rp. 460 Rp. 335
4. Pedagang pengecer
Harga beli Rp. 5 760 Rp. 6 340
Harga jual Rp. 6 250 Rp. 6 700
Marjin kotor Rp. 490 Rp. 360
Biaya tataniaga Rp. 100 Rp 85
Keuntungan Rp. 390 Rp. 275

Bagian petani (farmer’s share) 66.4% 76.3%


Total marjin tataniaga Rp. 2 100 Rp. 1 590

• Likuiditas

Wawancara dengan petani dan pedagang memberikan indikasi bahwa masalah likuiditas ternyata
sangat membatasi skala usaha secara individual. Dari sisi tataniaga, hal ini mengarah pada inefisiensi
biaya di tingkat eceran dan grosir. Sangat sedikit partisipan rantai yang menyatakan mendapatkan
kredit dari lembaga keuangan formal (bank), namun beberapa diantaranya memperoleh pinjaman
tanpa bunga/bunga rendah dari teman atau keluarga. Walaupun ketersediaan kredit formal
13
ditingkatkan, keengganan dan kehati-hatian dari petani maupun pedagang sehubungan dengan tingkat
bunga, agunan serta prosedur yang agak berbelit, tampaknya masih akan menjadi kendala utama
peningkatan serapan kredit.

Tabel 19 Kredit, sumber pinjaman dan akses kredit formal, Nganjuk dan Buleleng, 2005

Produsen Pengumpul Pedagang besar Pengecer


Nganjuk:
Menggunakan kredit Ya Ya Ya Ya
dan sumbernya
Sumber pinjaman Tetangga, keluarga dan Bank dan tetangga Bank, teman/tetangga Keluarga
pedagang atau mitra dagang
Ketersediaan dan Prosedur agak panjang Prosedur agak panjang Harus memiliki dan Prosedur berbeli-belit
akses kredit formal dan harus ada agunan dan harus ada agunan menggunakan SIUP

Buleleng:
Menggunakan kredit Ya Ya Ya Tidak
dan sumbernya
Sumber pinjaman Keluarga Keluarga Bank -
Ketersediaan dan Prosedur agak panjang Prosedur agak panjang Prosedur agak panjang Prosedur agak panjang
akses kredit formal dan harus ada agunan dan harus ada agunan dan harus ada agunan dan harus ada agunan

• Kompetisi

Pengamatan selama survai menunjukkan bahwa persaingan di dalam rantai pasokan bawang merah di
Nganjuk dan Buleleng dapat dikategorikan antara tidak ketat dan agak ketat. Monopoli atau monopsoni
tidak tercermin dari cukup banyaknya jumlah pembeli dan penjual yang terlibat di dalam transaksi.
Dengan demikian, pasar berperilaku tidak kolusif, tetapi cenderung kompetitif. Tabel 20 dan 21
mengindikasikan bahwa persaingan diantara pedagang, misalnya pedagang besar, dipersepsi sebagai
akibat dari ketidak-merataan ketersediaan dan lokasi lapak di pasar, kemampuan permodalan,
kepercayaan dari pelanggan dan jaringan hubungan Sementara itu, tidak ada persyaratan khusus
untuk terlibat di dalam rantai pasokan, kecuali persyaratan umum menyangkut kepemilikan modal,
fasilitas, kemampuan berdagang, pengalaman dan pelanggan.

Tabel 20 Persaingan dan persyaratan untuk berpartisipasi dalam rantai pasokan bawang merah, Nganjuk, 2005
Pengumpul Pedagang besar Pengecer
Jumlah pedagang serupa dan 4-20 orang pedagang 4-15 orang pedagang 20 orang pedagang
pedagang lain di sekitar anda
Persaingan yg terjadi seringkali Persaingan ketat Persaingan tidak ketat karena saling Persaingan tidak ketat, karena
disebabkan oleh hal apa saja masalah jual-beli menghargai sesama pedagang. Jika terjadi saling membantu dalam
biasanya disebabkan oleh: memperoleh pasokan bawang
• Ketersediaan dan lokasi lapak di pasar merah
• Kepercayaan dari pelanggan
• Jaringan hubungan
Persaingan di usaha bi bit lebih ketat
dibandingkan dengan konsumsi krn banyak
petani yang membibitkan sendiri
Persyaratan yng hrs dipenuhi Pengalaman dan mau • Modal • Pengalaman di bidang ini
orang baru utk terlibat sebagai belajar • Fasilitas • Modal
partisipan rantai pasokan
• Pengalaman
• Rekanan

14
Tabel 21 Persaingan dan persyaratan untuk berpartisipasi dalam rantai pasokan bawang merah, Buleleng, 2005
Pengumpul Pedagang besar Pengecer
Jumlah pedagang serupa dan • 3-5 orang pedagang • 2-6 orang pedagang • 4 orang pedagang
pedagang lain di sekitar anda
Persaingan yg terjadi seringkali • Persaingan tidak ketat • Besarnya modal • Persaingan tdk ketat,
disebabkan oleh hal apa saja karena masing-masing • Kepercayaan pedagang msh sedikit
sudah punya pelanggan
Persyaratan yng hrs dipenuhi • Modal • Modal • Modal
orang baru utk berpartisipasi • Pengalaman • Kemampuan berdagang • Kemampuan berdagang
sebagai pedagang
• Memiliki kemampuan
menaksir produksi dan
harga

• Pengetahuan berdagang dan inovasi

Sebagian besar petani di Nganjuk dan Buleleng menyatakan pernah menerima penyuluhan mengenai
budidaya bawang merah. Latar belakang pendidikan partisipan rantai bawang merah di Nganjuk (SD-
SLTA) tampaknya sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan di Buleleng (mayoritas SD). Sementara itu,
semua partisipan rantai pasokan yang diwawancara menyatakan tidak atau belum melakukan
pencatatan usahanya secara teratur.

Inovasi di sepanjang rantai pasokan bawang merah dapat dikategorikan sangat rendah. Selama
observasi lapangan, tidak tertangkap adanya partisipan pasar yang berupaya penuh mencari informasi
teknis maupun pasar yang diarahkan untuk mengurangi/menekan biaya, meningkatkan profitabilitas
serta menggali oportunitas pasar baru. Seandainya kewiraswastaan eksis di rantai pasokan, hal ini
juga seringkali dirongrong oleh rendahnya tingkat likuiditas, transportasi yang mahal dan informasi
pasar yang buruk.

Tabel 22 Pengetahuan dan inovasi partisipan rantai pasokan bawang merah, Nganjuk
Produsen Pengumpul Pedagang besar Pengecer
Pernah menerima pelatihan/penyuluhan Ya Tidak Penyuluhan mengenai kredit, Tidak
permodalan dan kemitraan
Latar belakang pendidikan SD - SLTP SLTA SD – SLTA SLTA
Melakukan pencatatan secara teratur Tidak Tidak Belum Belum
Berpartisipasi dalam Asosiasi/kelompok/ paguyuban Ya Kelompok Ya dan tidak. Jika ya, pagu- Tidak
petani/pedagang pedagang yuban pedagang Sukomoro
Aktif mencari pasar atau daerah baru untuk menjual Tidak Tidak Tidak Tidak
produk bawang merah
Bersikap responsif terhadap perubahan-perubahan yang Tidak tahu Tidak tahu Tidak tahu Ya
dikehendaki pasar

Tabel 23 Pengetahuan dan inovasi partisipan rantai pasokan bawang merah, Buleleng
Produsen Pengumpul Pedagang besar Pengecer
Pernah menerima pelatihan/penyuluhan Ya Tidak Tidak Tidak
Latar belakang pendidikan SD SD SD SD
Melakukan pencatatan secara teratur Tidak Tidak Belum Belum
Berpartisipasi dalam Asosiasi/kelompok/ paguyuban Ya Tidak Tidak Tidak
pedagang
Aktif mencari pasar atau daerah baru untuk menjual Tidak Tidak Ya Tidak
produk bawang merah
Bersikap responsif terhadap perubahan-perubahan yang Tidak tahu Tidak Ya Tidak
dikehendaki pasar

15
• Aliran Informasi

Terbatasnya ketersediaan informasi pasar menyebabkan petani dan pedagang memberikan/memper-


oleh informasi satu sama lain atau dari partisipan lain di sepanjang rantai pasokan. Dengan demikian,
pedagang yang beroperasi antar wilayah/kota memiliki akses lebih baik terhadap informasi pasar.
Konsekuensi yang mengkhawatirkan dari buruknya informasi pasar adalah terjadinya ketidak-
percayaan (distrust) antar partisipan rantai pasokan. Negosiasi harga bawang merah, terutama antar
individual dapat memakan waktu lama, karena penjual tidak memiliki informasi terkini, sehingga takut
tertipu oleh pembeli. Hal ini mengakibatkan biaya transaksi menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan
yang sebenarnya dibutuhkan. Observasi lebih lanjut mengindikasikan bahwa petani pada umumnya
memiliki akses buruk terhadap informasi pasar.

Tabel 24 Akses terhadap informasi harga di Nganjuk dan Buleleng, 2005


Informasi Produsen Pengumpul Pedagang besar Pengecer
Nganjuk:
Harga di pasar lokal • Sesama petani Antar pedagang Antar pedagang Informasi yang
• Pedagang beredar di pasar
Harga, penawaran dan Siaran radio Siaran radio Sesama pedagang melalui telpon Tidak tahu
permintaan di pasar lain
Buleleng:
Harga di pasar lokal • Sesama petani • Sesama pedagang Sesama pedagang Setiap hari ke
• Pedagang • Setiap hari ke pasar pasar Buleleng
mencari informasi
Harga, penawaran dan Siaran radio Berita radio Sesama pedagang di Probolinggo Berita radio
permintaan di pasar lain dan Bima melalui telpon

• Kendala

Masalah utama yang secara umum berhasil diidentifikasi sepanjang rantai pasokan bawang merah di
Nganjuk dan Buleleng diantaranya adalah: (a) kurangnya likuiditas/permodalan; (b) fluktuasi harga ke-
hilangan hasil dan susut yang relatif tinggi; (c) respon terhadap pemesanan yang relatif lambat; (d)
kurangnya pengawasan kualitas sepanjang rantai, termasuk kurangnya alat transportasi serta gudang
penyimpanan; (e) kurangnya perencanaan produksi secara umum serta metode produksi yang relatif
masih sederhana/konvensional; (f) kurangnya informasi pasar sepanjang rantai pasokan; (g) kurang-
nya rasa kepercayaan antar elemen yang terlibat di dalam rantai pasokan; and (h) kesulitan koordinasi
antar pemasok-pemasok skala kecil

Bobot masalah (berdasarkan jumlah √) secara spesifik dapat dilihat pada Tabel 25 di bawah ini:

Tabel 25 Bobot masalah sepanjang rantai pasokan bawang merah di Nganjuk dan Buleleng
Produsen Pedagang Pedagang Pengecer
pengumpul besar
a. Kurang modal √ √√√ √√ √√√√
b. Kesulitan memperoleh kredit/pinjaman √ √√ - √
c. Keuntungan yang diperoleh cenderung semakin menurun √ √√ - -
d. Persaingan antar pedagang kurang sehat - - √√ √
e. Kurang dukungan/bimbingan dari pemerintah (peraturan/regulasi dsb.) √ - √√ -
f. Kurang keterbukaan antar pedagang √ - √ -
g. Fluktuasi harga tajam √ √ - -

16
• Analisis SWOT

Hasil survai memberikan gambaran bahwa situasi dan masalah yang dihadapi rantai pasokan bawang
merah di Nganjuk dan Buleleng hampir serupa. Oleh karena itu, analisis SWOT di bawah ini berlaku
untuk keduanya.

Kekuatan:

• Rantai pasok bawang merah di Nganjuk dan Buleleng secara umum cenderung beroperasi berdasarkan kekuatan
penawaran dan permintaan.
• Koefisien variasi harga mingguan bawang merah lebih rendah dibandingkan dengan koefisien variasi harga mingguan
untuk komoditas sayuran lainnya.
• Terdapat integrasi pasar bawang merah yang moderat sampai kuat di antara berbagai pasar di Nganjuk dan Buleleng
• Tidak teridentifikasi adanya praktek monopoli atau monopsoni di dalam rantai pasokan bawang merah, tercermin dari
cukup banyaknya jumlah pembeli dan penjual yang terlibat di dalam transaksi.
• Pedagang pengumpul dan pedagang besar menjual serta membeli produk dengan kelas kualitas yang berbeda-beda
(pemberlakuan pengkelasan).

Kelemahan:

• Rantai pasokan pada dasarnya masih didominasi oleh rantai pasokan tradisional yang outlet utamanya adalah pasar-
pasar tradisional.
• Kehilangan hasil dapat mencapai 5-50%, karena faktor-faktor: kondisi awal hasil panen, kerusakan atap gudang, cuaca,
lama penyimpanan, jenis bawang, dan ketahanan simpan.
• Semua partisipan rantai pasokan yang diwawancara menyatakan tidak atau belum melakukan pencatatan usaha (record
keeping) secara teratur.
• Inovasi di sepanjang rantai pasokan bawang merah dapat dikategorikan sangat rendah, belum ada partisipan pasar
yang berupaya penuh mencari informasi teknis maupun pasar yang diarahkan untuk mengurangi/menekan biaya,
meningkatkan profitabilitas serta menggali oportunitas pasar baru.
• Sebagian partisipan rantai, terutama petani dan pedagang pengecer beroperasi dalam skala kecil serta tidak memiliki
(kurang) spesialisasi.
• Inefisiensi biaya di sebagian besar partisipan rantai pasokan, sehingga cenderung termasuk ke dalam usaha/bisnis dan
tataniaga biaya tinggi.

Peluang:

• Kondisi agroekosistem yang masih sangat memungkinkan untuk peningkatan produktivitas bawang merah
• Lokasi geografis Nganjuk dan Buleleng memungkinkan produk bawang merah dipasarkan tidak hanya untuk memenuhi
kebutuhan lokal, tetapi juga antar wilayah/regional.
• Rantai pasokan yang ada ternyata relatif pendek dan alternatifnya relatif sempit (tidak kompleks) sehingga
memungkinkan peningkatan efisiensi tataniaga.

Ancaman:

• Terbatasnya ketersediaan informasi pasar cenderung menyebabkan terjadinya ketidak-percayaan (distrust) antar
partisipan rantai pasokan.
• Risiko kekurangan pasokan biasanya dialami oleh semua partisipan di setiap tingkatan pada saat musim hujan atau
pada saat banyak petani yang gagal panen
• Masalah likuiditas yang sangat membatasi pengembangan skala usaha untuk mencapai skala ekonomis.
• Kompetisi pasokan bawang merah dari sentra produksi lain dengan harga yang lebih murah.

Berbagai aspek di atas diringkas dan dihimpun di dalam tabel berikut ini:
17
Tabel 26 Hasil analisis SWOT rantai pasokan bawang merah di Nganjuk dan Buleleng, 2005
Kekuatan: Kelemahan:

• Rantai pasok beroperasi berdasarkan • Rantai pasokan masih didominasi oleh


kekuatan penawaran dan permintaan. rantai pasokan tradisional.
• Koefisien variasi harga bawang merah lebih • Kehilangan hasil mencapai 5-50%.
rendah dibandingkan dengan koefisien
• Semua partisipan rantai pasokan tidak atau
variasi harga komoditas sayuran lainnya.
belum melakukan pencatatan usaha
• Terdapat integrasi pasar moderat sampai (record keeping) secara teratur.
kuat di antara berbagai pasar di kedua
• Inovasi di sepanjang rantai pasokan
lokasi
bawang merah dapat dikategorikan sangat
• Tidak ada praktek monopoli atau rendah.
monopsoni di dalam rantai pasokan
• Sebagian partisipan rantai beroperasi
bawang merah.
dalam skala kecil serta tidak memiliki
• Sistem pengkelasan produk sudah mulai spesialisasi.
diberlakukan.
• Inefisiensi yang mengarah pada usaha/
bisnis dan tataniaga biaya tinggi.
Peluang: Exploit: Adjust - chance:

• Kondisi agroekosistem memungkinkan • Menerapkan strategi peningkatan kualitas • Memperbaiki teknologi budidaya
peningkatan produktivitas bawang merah dan nilai tambah
• Memberdayakan kelompok tani dan
• Lokasi geografis memungkinkan produk • Menjajagi kemungkinan spesialisasi asosiasi/paguyuban pedagang melalui
bawang merah juga dipasarkan untuk peningkatan penyuluhan dan pembinaan
memenuhi kebutuhan antar
wilayah/regional.
• Rantai pasokan yang pendek dan
alternatifnya yang sempit memungkinkan
peningkatan efisiensi tataniaga.
Ancaman: Improve - attention: Beware - pitfall:

• Keterbatasan informasi pasar cenderung • Memperbaiki sistem informasi pasar • Ketergantungan terhadap bibit impor
menyebabkan terjadinya ketidak-
• Mengembangkan sistem monitoring pasar • Konsolidasi yang mengarah pada perilaku
percayaan (distrust) antar partisipan
pasar kolusif
rantai pasokan. • Memperbaiki infrastruktur pasar
• Risiko kekurangan pasokan dialami pada • Memperbaiki akses terhadap kredit
musim hujan atau pada saat gagal panen
• Masalah likuiditas merupakan kendala
untuk mencapai skala ekonomis.
• Kompetisi pasokan bawang merah dari
sentra produksi lain dengan harga yang
lebih murah.

• Usulan intervensi

Beberapa upaya intervensi di bawah ini diusulkan untuk meningkatkan kebersaingan atau posisi
kompetitif rantai pasokan bawang merah di Nganjuk dan Buleleng:

1. Menerapkan strategi peningkatan kualitas dan nilai tambah


Upaya peningkatan kualitas dan nilai tambah harus dilakukan secara berkesinambungan untuk
meminimalkan persentase kehilangan hasil yang masih cukup tinggi serta memperbaiki
kebersaingan produk. Upaya ini tidak hanya terbatas pada perbaikan dari sisi budidaya, tetapi juga
dari sisi penanganan serta penyimpanan produk. Salah satu upaya yang biasa dilakukan untuk
mencapai tujuan tersebut adalah dengan menetapkan persyaratan standarisasi atau grading.
Pengkelasan yang terstandarisasi dapat membantu usaha peningkatan pendapatan usahatani,

18
menawarkan alternatif opsi bagi konsumen, memungkinkan pedagang menetapkan pembeliannya
berdasarkan sampel, serta memperbaiki kegunaan informasi pasar. Namun demikian, perlu dicatat
bahwa edukasi terhadap petani dan pedagang merupakan cara yang paling efektif untuk mencapai
tujuan di atas, dibandingkan dengan pengawasan resmi (official controls).
2. Menjajagi kemungkinan spesialisasi
Partisipan rantai, terutama petani dan pedagang pengecer beroperasi dalam skala kecil serta tidak
memiliki (kurang) spesialisasi, sehingga usahanya dapat dikelompokkan ke dalam usaha/bisnis
biaya tinggi. Upaya ke arah spesialisasi merupakan cara yang paling memungkinkan agar
partisipan rantai pasokan memiliki peluang untuk mencapai skala ekonomis. Namun demikian,
upaya ke arah spesialisasi harus dilakukan secara hati-hati karena perlu dicatat bahwa skala dan
spesialisasi ini seringkali terkendala oleh rendahnya likuiditas, risiko tinggi serta rendahnya
keterampilan manajemen bisnis.
3. Memperbaiki teknologi budidaya
Perbaikan teknologi budidaya terutama diarahkan untuk meningkatkan produktivitas dan menjaga
kontinuitas pasokan, terutama pada pengusahaan bawang merah di musim hujan. Komponen
teknologi yang perlu mendapat penekanan diantaranya adalah pengembangan metode
pengendalian hama penyakit yang tidak terlalu bergantung pada penggunaan pestisida kimiawi,
serta pengunaan varietas unggul lokal, terutama untuk penanaman musim kemarau yang akhir-
akhir ini cenderung semakin bergantung pada penggunaan bibit impor – Philippines atau Illocos.
4. Memberdayakan kelompok tani dan asosiasi/paguyuban pedagang
Langkah ini pada dasarnya merupakan upaya integrasi horisontal yang didukung oleh perbaikan
penyuluhan dan pembinaan bagi petani maupun pedagang. Beberapa manfaat yang dapat
ditawarkan kepada petani/pedagang dari upaya integrasi ini diantaranya adalah: akses lebih luas
untuk berpartisipasi di dalam pelatihan-pelatihan teknis; berbagi pengetahuan dan pengalaman;
kesempatan lebih luas untuk memperoleh input dengan harga lebih murah; berbagi informasi
harga; pemahaman lebih mendalam mengenai operasionalisasi pasar; peningkatan kepercayaan
diri dan kekuatan tawar menawar pada saat melakukan transaksi; pemahaman lebih baik
mengenai pengkelasan produk dan pengetahuan dasar jaminan kualitas; serta hubungan
komunitas yang lebih baik.
5. Memperbaiki sistem informasi pasar
Informasi pasar harus tersedia pada saat dibutuhkan sehingga petani dapat segera menentukan
kepada siapa menjual produknya dalam spot transaction, serta untuk mengurangi ketidak-
seimbangan akses terhadap informasi antara petani dengan pedagang. Upaya perbaikan informasi
pasar bukan hanya seumur proyek, tetapi harus dirancang sebagai program pelayanan
berkelanjutan. Perlu pula dipahami bahwa pengetahuan pasar bukan hanya sekedar informasi
mengenai harga dan kualitas produk, tetapi juga termasuk pengetahuan mengenai aksi atau
perilaku kompetitor dan pedagang, serta sinyal atau prediksi kondisi pasar di masa datang (future
market conditions).
6. Mengembangkan sistem monitoring pasar
Berdasarkan pertimbangan peluang yang masih terbuka untuk perluasan pasar, maka
pengembangan sistem monitoring pasar menjadi sangat penting. Sistem ini terutama akan meliput
perekaman transaksi yang terjadi di berbagai pasar, sehingga dapat meningkatkan transparansi di
dalam kegiatan bisnis serta pemahaman menyangkut peluang pasar di masa datang.

19
7. Memperbaiki infrastruktur pasar
Pengalaman sering menunjukkan bahwa perbaikan atau pengembangan infrastruktur pasar
terkadang terlalu berlebihan (terlalu luas), atau gagal menarik pengguna, sehingga secara
ekonomis, finansial dan sosial menjadi tidak layak. Perluasan infrastruktur pasar yang sudah ada
atau konstruksi fasilitas pasar baru merupakan suatu proses yang sangat kompleks. Proyek
semacam ini memerlukan investasi kapital yang signifikan. Keputusan investasi tersebut harus
didasarkan pada pengkajian cermat kondisi pemasaran yang ada, analisis permintaan terhadap
fasilitas pasar, serta pengkajian kelayakan finansialnya. Pengguna fasilitas pasar harus dilibatkan
di dalam perancangan pasar, serta dalam pembuatan kesepakatan awal menyangkut prosedur
operasional dan besarnya fee yang mungkin akan diberlakukan. Pelaksanaan kegiatan ini
memerlukan konsultasi dan kampanye kepedulian (awareness campaigns) yang ditargetkan
kepada petani, pemasok, penyedia jasa transportasi, pedagang, petugas pasar dan otoritas lokal.
8. Memperbaiki akses terhadap kredit
Akses terhadap kredit merupakan mekanisme penting untuk menjaga kelangsungan standar
kehidupan serta memberikan kemungkinan investasi sumberdaya produktif untuk meningkatkan
standar kehidupan tersebut di masa datang. Dalam konteks perbaikan rantai pasokan bawang
merah, kemudahan akses terhadap kredit sangat diperlukan oleh partisipan agar usahanya
memiliki skala ekonomis. Program kredit akan memberikan peluang keberhasilan lebih baik jika
dikombinasikan dengan kegiatan motivasi kelompok, asistensi teknis, serta bentuk bantuan lain
yang berkaitan dengan pengembangan bisnis.
9. Mengurangi ketergantungan terhadap bibit impor
Penggunaan bibit bawang merah impor untuk penanaman musim kemarau menunjukkan
kecenderungan yang semakin meningkat dalam 3-5 tahun terakhir ini. Ketergantungan yang
semakin tinggi terhadap bibit impor harus segera direspon dengan upaya lebih keras dalam
menghasilkan varietas unggul bawang merah lokal yang produktivitas dan kualitasnya setara atau
lebih baik dibandingkan dengan Philippines atau Illocos.
10. Menghindarkan konsolidasi yang mengarah pada perilaku pasar kolusif
Inovasi teknologi di sepanjang rantai pasokan yang biasanya mengarah ke kegiatan produksi
intensif padat-modal dan padat-pengetahuan, akan menghasilkan bisnis yang memiliki skala
ekonomis, serta menimbulkan konsekuensi terjadinya peningkatan ketergantungan antar
partisipan. Peningkatan konsolidasi vertikal/horisontal dan pembentukan aliansi jika tidak dicermati
dan diatur secara hati-hati, dapat berpotensi menimbulkan struktur pasar yang kolusif (potential for
abuse of market power).

20
KESIMPULAN

Sehubungan dengan upaya perbaikan rantai pasokan bawang merah, berbagai usulan intervensi di
atas disimpulkan berdasarkan pengelompokannya di bawah enam prinsip (keberhasilan) pengelolaan
rantai pasokan, sebagai berikut:

Prinsip SCM Usulan intervensi


1. Produk yang diusahakan memiliki • Menerapkan strategi peningkatan kualitas dan nilai
spesifikasi sesuai permintaan tambah
konsumen • Memperbaiki teknologi budidaya
• Mengurangi ketergantungan terhadap bibit impor
2. Fokus perhatian terhadap • Menjajagi kemungkinan spesialisasi
pelanggan dan konsumen
3. Rantai pasokan menciptakan dan • Menerapkan strategi peningkatan kualitas dan nilai
berbagi nilai dengan seluruh tambah
partisipan yang terlibat • Memperbaiki akses terhadap kredit
4. Logistik dan distribusi yang efektif • Memperbaiki infrastruktur pasar
5. Informasi dan strategi komunikasi • Memperbaiki sistem informasi pasar
yang melibatkan seluruh • Mengembangkan sistem monitoring pasar
partisipan rantai
6. Hubungan efektif yang • Memberdayakan kelompok tani dan asosiasi/paguyuban
memberikan daya ungkit serta pedagang
kepemilikan bersama (shared • Menghindarkan konsolidasi yang mengarah pada
ownership) perilaku pasar kolusif

PUSTAKA :

AFFA (Department of Agriculture, Forestry and Fisheries Australia). 2002. Forming and managing
supply chains in agribusiness: Learning from others. CD-ROM. University of Queensland and
National Food Industry Strategy, Canberra, Australia.

Beamon, B. M., 1999. Measuring supply chain performance. International Journal of Operations &
Production Management, Vol. 19 No. 3, 1999, pp. 275-292.

Buccola, S.T. 1989. Pricing efficiency in agricultural markets: Issues, methods, and results. Western J.
Agr. Econ., 14(1):111-121.

Cooper, M.C., D.M.Lambert and J.D. Pagh. 1997. Supply chain management: More than a name for
logisitcs. International Journal of Logistics Management, Vol. 8, No. 1.

Cunningham, D.C. 2001. The Distribution and extent of agrifood chain management research in the
public domain. Supply Chain Management, Vol, 6 No. 5, pp.212-215.

21
Fearne, A. 1996. Editorial Note. Supply Chain Management, Vol. 1, No. 1, pp.3-4.

Gattorna, J. 1998. Strategic supply chain alignment: Best practice in supply chain management,
Gower.

Giunipero, L.C. and R.R. Brand. 1996. Purchasing’s role in supply chain management. International
Journal of Logistics Management, Vol. 7, No. 1

Handfield, R.B. and E.L. Nichols, 1999, Introduction to supply chain management. Prentice Hall, N.J.

Hughes, D. 1994, Breaking with traditions: Building partnerships and alliances in the European Food
Industry. Wye, Wye College Press.

Institut Pertanian Bogor & Badan Urusan Logistik. 1996. Identifikasi pola ketersediaan dalam hubungan
dengan distribusi, konsumsi dan produksi bawang merah sebagai upaya mengendalikan
kontribusinya terhadap inflasi. Laporan Penelitian Kerjasama Fakultas Pertanian Institut
Pertanian Bogor dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Urusan Logistik.

Iyer, A.V. & M.E. Bergen. 1997. Quick response in manufacturer-retailer Channels”, Management
Science, Vol.43, No. 4, pp. 559-570.

Koster, W.G. and R.S. Basuki. 1991. The structure, performance and efficiency of the shallot marketing
system in Java. Internal Comm. LEHRI/ATA-395 No. 35.

Lambert D.M., Cooper M.C., 1998, "Issues in supply chain management’’. Industrial Marketing
Management. 29, 65-83.

Li, Z.P., Kumar, A., and Lim, Y. G. 2002. Supply chain modelling – A co-ordination approach.
Integrated Manufacturing Systems, 13/8, 551-561.

Mahoney, J.T. 1992. The choice of organizational from: Vertical financial ownership versus other
methods of vertical integration. Strategic Management Journal, Vol. 13.

Spekman, R. E., Kamauff Jr, J. W., and Myhr, N. 1998. An Empirical Investigation into Supply Chain
Management, International Journal of Physical Distribution & Logistics Management. Vol. 28
No. 8.

Stevens, 1989. Integrating the Supply Chain, International Journal of Physical Distribution & Materials
Management, 19 (8), 3-8.

22

You might also like