You are on page 1of 10

( ILMU SOSIAL DAN BUDAYA )

KEBUDAYAAN INDONESIA DAN

ALTERNATIF PEMECAHAN MASALAH

OLEH:

ARISTA PRIBADI (08560127)

PROGRAM STUDI TEKNIK INFORMATIKA

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2010/2011
II. Pendahuluan dan Beberapa pengertian

Masyarakat terbentuk melalui sejarah yang panjang, perjalanan berliku, tapak demi
tapak, trial and error. Pada titik-titik tertentu terdapat peninggalan-peninggalan yang eksis
atau terekan sampai sekarang yang kemudian menjadi warisan budaya. Warisan budaya,
menurut Davidson (1991:2) diartikan sebagai ‘produk atau hasil budaya fisik dari
tradisitradisi yang berbeda dan prestasi-prestasi spiritual dalam bentuk nilai dari masa lalu
yang menjadi elemen pokok dalam jatidiri suatu kelompok atau bangsa’. Jadi warisan budaya
merupakan hasil budaya fisik (tangible) dan nilai budaya (intangible) dari masa lalu.

Nilai budaya dari masa lalu (intangible heritage) inilah yang berasal dari budaya-
budaya lokal yang ada di Nusantara, meliputi: tradisi, cerita rakyat dan legenda, bahasa ibu,
Makalah disampaikan pada Dialog Budaya Daerah Jawa Tengah yang diselenggarakan oleh Balai
Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta bekerjasama dengan Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan Propinsi Jawa Tengah, di Semarang 8 - 9 Mei 2007.

sejarah lisan, kreativitas (tari, lagu, drama pertunjukan), kemampuan beradaptasi dan
keunikan masyarakat setempat (Galla, 2001: 12) Kata lokal disini tidak mengacu pada
wilayah geografis, khususnya kabupaten/kota, dengan batas-batas administratif yang jelas,
tetapi lebih mengacu pada wilayah budaya yang seringkali melebihi wilayah administratif
dan juga tidak mempunyai garis perbatasan yang tegas dengan wilayah budaya lainnya. Kata
budaya lokal juga bisa mengacu pada budaya milik penduduk asli (inlander) yang telah
dipandang sebagai warisan budaya. Berhubung pelaku pemerintahan Republik Indonesia
adalah bangsa sendiri, maka warisan budaya yang ada menjadi milik bersama. Ini berbeda
situasinya dengan Negara Australia dan Amerika yang warisan budayanya menjadi milik
penduduk asli secara eksklusif sehingga penduduk asli mempunyai hak untuk melarang setiap
kegiatan pemanfaatan yang akan berdampak buruk pada warisan budaya mereka (Frankel,
1984).

Warisan budaya fisik (tangible heritage) sering diklasifikasikan menjadi warisan


budaya tidak bergerak (immovable heritage) dan warisan budaya bergerak (movable
heritage). Warisan budaya tidak bergerak biasanya berada di tempat terbuka dan terdiri dari:
situs, tempat-tempat bersejarah, bentang alam darat maupun air, bangunan kuno dan/atau
bersejarah, patung-patung pahlawan (Galla, 2001: 8). Warisan budaya bergerak biasanya
berada di dalam ruangan dan terdiri dari: benda warisan budaya, karya seni, arsip, dokumen,
dan foto, karya tulis cetak, audiovisual berupa kaset, video, dan film (Galla, 2001: 10).

Pasal 1 “The World Heritage Convention” membagi warisan budaya fisik menjadi 3
kategori, yaitu monumen, kelompok bangunan, dan situs (World Heritage Unit, 1995: 45).
Yang dimaksud dengan monument adalah hasil karya arsitektur, patung dan lukisan yang
monumental, elemen atau struktur tinggalan arkeologis, prasasti, gua tempat tinggal, dan
kombinasi fitur-fitur tersebut yang mempunyai nilai penting bagi sejarah, budaya dan ilmu
pengetahuan. Yang dimaksud dengan kelompok bangunan adalah kelompok bangunan yang
terpisah atau berhubungan yang dikarenakan arsitekturnya, homogenitasnya atau posisinya
dalam bentang lahan mempunyai nilai penting bagi sejarah, budaya dan ilmu pengetahuan.
Yang dimaksud dengan situs adalah hasil karya manusia atau gabungan karya manusia dan
alam, wilayah yang mencakup lokasi yang mengandung tinggalan arkeologis yang
mempunyai nilai penting bagi sejarah, estetika, etnografi atau antropologi.

Warisan budaya fisik dalam pasal 1 Undang-undang Nomor 5 tahun 1992 tentang
Benda Cagar Budaya disebut sebagai ‘benda cagar budaya’ yang berupa benda buatan
manusia dan benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu
pengetahuan dan kebudayaan, sedangkan lokasi yang mengandung atau diduga mengandung
benda cagar budaya disebut ‘situs’ (pasal 2 Undang-undang Nomor 5 tahun 1992).

Benda cagar budaya dan situs dipelajari secara khusus dalam disiplin ilmu Arkeologi
yang berupaya mengungkapkan kehidupan manusia di masa lalu melalui benda-benda yang
ditinggalkannya. Ini berbeda dengan disiplin ilmu Sejarah yang berupaya mengungkapkan
kehidupan manusia di masa lalu melalui bukti-bukti tertulis yang ditinggalkannya.
III. Permasalahan
masalah sosial adalah suatu ketidaksesuaian antara unsur-unsur kebudayaan atau
masyarakat, yang membahayakan kehidupan kelompok sosial. Jika terjadi bentrokan antara
unsur-unsur yang ada dapat menimbulkan gangguan hubungan sosial seperti kegoyahan
dalam kehidupan kelompok atau masyarakat.

Masalah budaya muncul akibat terjadinya perbedaan yang mencolok antara nilai
dalam masyarakat dengan realita yang ada. Yang dapat menjadi sumber masalah budaya
yaitu seperti proses sosial dan bencana alam. Adanya masalah sosial dalam masyarakat
ditetapkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan khusus seperti tokoh masyarakat,
pemerintah, organisasi sosial, musyawarah masyarakat, dan lain sebagainya.

Masalah budaya dapat dikategorikan menjadi 4 (empat) jenis faktor, yakni antara lain:

1. Faktor Ekonomi : Kemiskinan, pengangguran, dll


2. Faktor sosial : Perceraian, kenakalan remaja, dll.
3. Faktor Biologis : Penyakit menular, keracunan makanan, dsb.
4. Faktor Psikologis : penyakit syaraf, aliran sesat, dsb.

tepatnya intervensi masalah sosial. disitu sdapat dipelajari bahwa antara faktor
biologis, psikologis, dan sosial budaya saling mempengaruhi satu sama lain. jika masalah
sosial berasal dari faktor biologis, maka akan berdampak pula pada psikologis dan sosial
budaya. contohnya: penyakit menular yang dialami seorang istri dapat berpengaruh pada
perceraian dalam keluarganya (budaya), yang menyebabkan stress (psikologis).

setiap aktivitas menurut saya berpotensi menghadirkan permasalahan sosial, maka


dari itu diperlukan adanya pencegahan terhadap kemunculan permasalahan sosial. contoh
:pernikahan dan kelahiran. Secara kasat mata kedua hal tersebut adalah hal yang lumrah
terjadi dalam kehidupan manusia. tetapi dari pernikahan itu bisa saja tejadi KDRT,
perceraian, dan sebagainya. atau karena kelahiran, muncul masalah-masalah sosial seperti
kepadatan penduduk, kematian ibu dan anak, dsb. oleh karena itu perlu ada langkah-langkah
seperti penyuluhan, pendampingan dan usaha-usaha sosial dalam mencegah timbulnya
masalah sosial. kalau sudah terjadi masalah, maka yang diperlukan adalah rehabilitasi sosial,
seperti program suntik, pil, susuk atau lainnya dalam KB, menurut saya itu adalah upaya
rehabilitasi sosial, khususnya bagi wilayah yang padat penduduknya, semisal china (untuk
negara) atau jakarta (bagi sebuah pulau), tetapi penyuluhan bagaimana membangun KB, itu
merupakan sebuah pencegahan bagi wilayah-wilayah yang jarang penduduknya. demikian
juga dengan pagelaran musik dangdut di kampung-kampung, seperti sekarang yang
baruterespos kembali.

Hal di atas diutarakan adalah perkara yang berpotensi menjadi masalah sosial. namun
masalah sosial itu sendiri muncul karena faktor pemicu masalah. apa faktor pemicu masalah
tersebut ? jelas, bahwa yang namanya masalah adalah sesuatuyang ingin dihindari, sesuatu
yang tidak diharapkan, atau sesuatu yang dapat menimbulkan malapetaka.

Berbicara masalah porno aksi, maka sebenarnya ini merupakan salah satu pemicu
masalah soaial. hal ini bisakita lihat, bahwa dari dulu, meskipun orang 'menggandrungi'
aktivitas seks (karena naluri biologis sebagai makhluk hidup), namun manakala hal itu terjadi
di muka umum, maka hal itu akan mendatangkan cacian, hinaan, dan berbagai sanksi
psikologis, bahkan ada yang sampai dibakar atau dipukuli. untuk di indonesia, pelanggaran
porno aksi masih menjadi bahan perdebatan, karena hingga kini aturan masalah tersebut tidak
kunjung mendapat kepastian hukum, betul ?! (anda lebih tahu karena orang hukum). tapi tadi
bisa kita lihat, meskipun sanksi dari normajhukum belum nampak jelas, namun sanksi dari
berbagai norma telah menyalahkan aktivitas tersebut, norma kesopanan, menyalahkan, norma
adat pun demikian, norma agama, tentu lebis tegas lagi. maka dari sini bisa kita simpulkan
bahwa porno aksi (ditempat keramaian dan bukan dengan yang dihalalkan) merupakan
sesuatu yang tidak diharapkan, baik oleh tokoh masyarakat, tokoh agama, maupun
masyarakat. allahu'alam

terkait dengan adanya pagelaran dangdut, porno aksi, dan kaitannya dengan masalah
ekonomi, sebenarnya yang menjadi permasalahan intinya, menurut saya (sebagai kalangan
sosial, ilmu sosial) adalah ketidakadaannya ke-sinkron-an pola berpikir masyarakat dengan
perilakunya. dimana mereka dalam pola berpikir (sebagai pedoman mereka bertindak)

1. untuk porno aksi (atau terkait aktivitas seksual) itu adalah hanyalah lingkup privat
seseorang dengan pasangannya dan tabu untukdiumbar ke setiap orang, tetapi ada yang
melakukannya demi alasan ekonomi.

2. pagelaran dangdut, meskipun tanpa porno aksi, sebenarnya tujuannya adalah memberikan
hiburan, yang setiap orang memerlukan dan mencari hiburan, tinggal bagaimana
merancang hiburan yang atraktif namundengantidak mengeksploitasi hal-hal yangterkait
dengan seks. justru dengan adanya porno aksi dlam panggung hiburan, menunjukkan
ketidak kreatifan penyelenggara hiburan itu sendiri. buktinya, rumah-rumah pelacuran
atau warung remang-remang, meskipun tidak mengatasnamakan hiburan, mereka tetap
larsi manis.

3. masalah ekonomi selalu menjadi senjata pamungkas setiap orang melakukan pelanggaran.
contoh kecil, orang yang mengebut dan melanggar lalu lintas, alasannya adalah
menghemat waktu, time is money, atau membunuh orang, karena alasan harta. jadi
ekonomi, hanya sebagai alasan saja, sehingga pilihannya adalah menegakkan kepastian
hukum atau mentolerir berbagai alasan, termasuk alasan ekonomi. dan pelanggaran
karena alasan ekonomi, mencerminkan bahwa negara ini tidak sejahtera dan
pemerintahnya tidak memperhatian ekonomi rakyatya.

IV. Pemecahan Masalah dan Pelestarian budaya lokal

Beragam wujud warisan budaya lokal memberi kita kesempatan untuk mempelajari
kearifan lokal dalam mengatasi masalah-masalah yang dihadapi di masa lalu. Masalahnya
kearifan local tersebut seringkali diabaikan, dianggap tidak ada relevansinya dengan masa
sekarang apalagi masa depan. Dampaknya adalah banyak warisan budaya yang lapuk
dimakan usia, terlantar, terabaikan bahkan dilecehkan keberadaannya. Padahal banyak bangsa
yang kurang kuat sejarahnya justru mencari-cari jatidirinya dari tinggalan sejarah dan warisan
budayanya yang sedikit jumlahnya. Kita sendiri, bangsa Indonesia, yang kaya dengan warisan
budaya justru mengabaikan asset yang tidak ternilai tersebut. Sungguh kondisi yang
kontradiktif.

Kita sebagai bangsa dengan jejak perjalanan sejarah yang panjang sehingga kaya
dengan keanekaragaman budaya lokal seharusnya mati-matian melestarikan warisan budaya
yang sampai kepada kita. Melestarikan tidak berarti membuat sesuatu menjadi awet dan tidak
mungkin punah. Melestarikan berarti memelihara untuk waktu yang sangat lama. Jadi upaya
pelestarian warisan budaya lokal berarti upaya memelihara warisan budaya local untuk waktu
yang sangat lama. Karena upaya pelestarian merupakan upaya memelihara untuk waktu yang
sangat lama maka perlu dikembangkan pelestarian sebagai upaya yang berkelanjutan
(sustainable). Jadi bukan pelestarian yang hanya mode sesaat, berbasis proyek, berbasis
donor dan elitis (tanpa akar yang kuat di masyarakat). Pelestarian tidak akan dapat bertahan
dan berkembang jika tidak didukung oleh masyarakat luas dan tidak menjadi bagian nyata
dari kehidupan kita. Para pakar pelestarian harus turun dari menara gadingnya dan merangkul
masyarakat menjadi pecinta pelestarian yang bergairah. Pelestarian jangan hanya tinggal
dalam buku tebal disertasi para doktor, jangan hanya diperbincangkan dalam seminar para
intelektual di hotel mewah, apalagi hanya menjadi hobi para orang kaya. Pelestarian harus
hidup dan berkembang di masyarakat. Pelestarian harus diperjuangkan oleh masyarakat luas
(Hadiwinoto, 2002: 30). Singkat kata pelestarian akan dapat sustainable jika berbasis pada
kekuatan dalam, kekuatan lokal, kekuatan swadaya. Karenanya sangat diperlukan penggerak,
pemerhati, pecinta dan pendukung dari berbagai lapisan masyarakat. Untuk itu perlu
ditumbuhkembangkan motivasi yang kuat untuk ikut tergerak berpartisipasi melaksanakan
pelestarian,antara lain:

1. Motivasi untuk menjaga, mempertahankan dan mewariskan warisan budaya


yangdiwarisinya dari generasi sebelumnya;

2. Motivasi untuk meningkatkan pengetahuan dan kecintaan generasi penerus


bangsa terhadap nilai-nilai sejarah kepribadian bangsa dari masa ke masa
melalui pewarisan khasanah budaya dan nilai-nilai budaya secara nyata yang
dapat dilihat, dikenang dan dihayati;

3. Motivasi untuk menjamin terwujudnya keragaman atau variasi


lingkunganbudaya;

4. Motivasi ekonomi yang percaya bahwa nilai budaya local akan meningkat bila
Terpelihara dengan baik sehingga memiliki nilai komersial untuk meningkatkan
kesejahteraan pengampunya; dan

5. Motivasi simbolis yang meyakini bahwa budaya lokal adalah manifestasi dari
jatidiri suatu kelompok atau masyarakat sehingga dapat menumbuhkembangkan
rasa kebanggaan, harga diri dan percaya diri yang kuat.

Dari penjelasan diatas dapat diketahi bahwa pelestarian budaya lokal juga mempunyai
muatan ideologis yaitu sebagai gerakan untuk mengukuhkan kebudayaan, sejarah dan
identitas (Lewis, 1983: 4), dan juga sebagai penumbuh kepedulian masyarakat untuk
mendorong munculnya rasa memiliki masa lalu yang sama diantara anggota komunitas
(Smith, 1996: 68).

Dan untuk mempertahankan budaya Indonesia dari pengaruh budaya asing yang saat
ini sangat dominan bagi anak-anak muda perlu di adakan pencerahan dalam gaya hidup
mandiri. Dengan gencarnya promosi gaya hidup modern sekarang ini, kita harus bisa
mengambil sikap. Perubahan budaya lokal tidak dapat dielakkan, namun kita dapat
mengarahkan perubahan tersebut.

Corak budaya global yang negatif kita hilangkan, namun yang positif kita ambil.
Budaya luar yang baik untuk kita adopsi adalah budaya yang memerdakan dan membebaskan
manusia. Menurut Immanuel Kant, ada dua unsur yang penting dalam manusia merdeka.
Pertama, digunakannya akal budi sebagai satu bagian manusia- nalar yang mampu
memecahkan persoalan-persoalan ethis tanpa sama sekali mengacu kepada wujud yang
ilahiat. Kedua, ’publik’ sebagai arena.

Bagi Kant, ukuran manusia yang dewasa, merdeka, adalah ketika ia mempergunakan
nalarnya di arena publik tersebut. Untuk bisa mencapai ke arah sana, dibutuhkan kemandirian
yang bertanggungjawab serta disiplin. Dan nalar menunjukkan bagaimana cara efektif dan
efisien untuk melakukan perubahan tersebut. Kemandirian berarti kita mampu hidup tanpa
bergantung mutlak kepada sesuatu yang lain. Untuk itu diperlukan kemampuan untuk
mengenali kelebihan dan kekurangan diri sendiri, serta berstrategi dengan kelebihan dan
kekurangan tersebut untuk mencapai tujuan. Dan nalar adalah alat untuk menyusun strategi.
Bertanggungjawab maksudnya kita melakukan perubahan secara sadar dan memahami betul
setiap resiko yang bakal terjadi serta siap menanggung resiko. Dan dengan kedisiplinan akan
terbentuk gaya hidup yang mandiri. Dengan gaya hidup mandiri, budaya konsumerisme tidak
lagi memenjarakan manusia. Manusia akan bebas dan merdeka untuk menentukan pilihannya
secara bertanggungjawab, serta menimbulkan inovasi-inovasi yang kreatif untuk menunjang
kemandirian tersebut.
V. Kesimpulan Dan Saran

Pendapat saya tentang masalah diatas, memang factor utama dalam permasalahan budaya di
Indonesia adalah kemiskinan dan sumber daya manusiadi adalah factor utama penyebab
permasalahan.Kemiskinan di indonesia sudah membuat setiap orang berpikir cepat untuk
mendapatkan uang dengan cara apapun termasuk dengan mengemis. banyak kita lihat
dimana-mana selalu ada pengemis,jika kita lihat dari bentuk fisik mereka,menurut saya
mereka masih dapat bekerja.Tapi mengapa mereka enggan berusaha untuk mencari rezeki
dengan lebih terhormat,salah satu faktornya adalah oleh kelalaian, ketidakmampuan,
kebodohan, keserakahan. Maka dari itu sudah saatnya masyarakat indonesia untuk bersama-
sama membantu pemerintah untuk memberantas kemiskinan dengan meningkatkan
pendidikan.

Dan budaya lokal yang beraneka ragam merupakan warisan budaya yang wajib dilestarikan.
Ketika bangsa lain yang hanya sedikit mempunyai warisan budaya lokal berusaha keras untuk
melestarikannya demi sebuah identitas, maka sungguh naïf jika kita yang memiliki banyak
warisan budaya lokal lantas mengabaikan pelestariannya demi menggapai burung terbang
sementara punai di tangan dilepaskan.
Referensi

Davison, G. dan C Mc Conville. 1991. A Heritage Handbook. St. Leonard, NSW: Allen &
Unwin.

Frankel, D. 1984. “Who Owns the Past?”. Australian Society, 3 (9).

Galla, A. 2001. Guidebook for the Participation of Young People in Heritage Conservation.
Brisbane: Hall and jones Advertising.

Hadiwinoto, S. “Beberapa Aspek Pelestarian Warisan Budaya”. Makalah disampaikan pada


Seminar Pelestarian dan Pengembangan Masjid Agung Demak, di Demak, 17 Januari 2002.

http://raditya-isd.blogspot.com/

http://hylda-prawitasari.blogspot.com/2009/12/masalah-sosial-budaya.html

http://synaps.wordpress.com/2006/01/07/masalah-budaya/

Lewis, M. 1983. “Conservation: A Regional Point of View” dalam M. Bourke, M. Miles dan
B. Saini (eds). Protecting the Past for the Future. Canberra: Austraalian Government
Publishing Service.

Smith, L. 1996. “Significance Concepts in Australian Management Archaeology” dalam

L. Smith dan A. Clarke (eds). Issue in Management Archaeology, Tempus, vol 5. Undang-
undang Nomor 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.

World Heritage Unit. 1985. Australia’s World Heritage. Canberra: Department of


Environment, Sports and Territories.

You might also like