You are on page 1of 15

Prinsip Pengembangan Kurikulum

Posted on 31 Januari 2008 by PENDIDIKAN

Pengembangan kurikulum adalah istilah yang komprehensif,


didalamnya mencakup: perencanaan, penerapan dan evaluasi. Perencanaan kurikulum
adalah langkah awal membangun kurikulum ketika pekerja kurikulum membuat
keputusan dan mengambil tindakan untuk menghasilkan perencanaan yang akan
digunakan oleh guru dan peserta didik. Penerapan Kurikulum atau biasa disebut juga
implementasi kurikulum berusaha mentransfer perencanaan kurikulum ke dalam tindakan
operasional. Evaluasi kurikulum merupakan tahap akhir dari pengembangan kurikulum
untuk menentukan seberapa besar hasil-hasil pembelajaran, tingkat ketercapaian
program-program yang telah direncanakan, dan hasil-hasil kurikulum itu sendiri. Dalam
pengembangan kurikulum, tidak hanya melibatkan orang yang terkait langsung dengan
dunia pendidikan saja, namun di dalamnya melibatkan banyak orang, seperti : politikus,
pengusaha, orang tua peserta didik, serta unsur – unsur masyarakat lainnya yang merasa
berkepentingan dengan pendidikan.

Prinsip-prinsip yang akan digunakan dalam kegiatan pengembangan kurikulum pada


dasarnya merupakan kaidah-kaidah atau hukum yang akan menjiwai suatu kurikulum.
Dalam pengembangan kurikulum, dapat menggunakan prinsip-prinsip yang telah
berkembang dalam kehidupan sehari-hari atau justru menciptakan sendiri prinsip-prinsip
baru. Oleh karena itu, dalam implementasi kurikulum di suatu lembaga pendidikan sangat
mungkin terjadi penggunaan prinsip-prinsip yang berbeda dengan kurikulum yang
digunakan di lembaga pendidikan lainnya, sehingga akan ditemukan banyak sekali
prinsip-prinsip yang digunakan dalam suatu pengembangan kurikulum. Dalam hal ini,
Nana Syaodih Sukmadinata (1997) mengetengahkan prinsip-prinsip pengembangan
kurikulum yang dibagi ke dalam dua kelompok : (1) prinsip – prinsip umum : relevansi,
fleksibilitas, kontinuitas, praktis, dan efektivitas; (2) prinsip-prinsip khusus : prinsip
berkenaan dengan tujuan pendidikan, prinsip berkenaan dengan pemilihan isi pendidikan,
prinsip berkenaan dengan pemilihan proses belajar mengajar, prinsip berkenaan dengan
pemilihan media dan alat pelajaran, dan prinsip berkenaan dengan pemilihan kegiatan
penilaian. Sedangkan Asep Herry Hernawan dkk (2002) mengemukakan lima prinsip
dalam pengembangan kurikulum, yaitu :

1. Prinsip relevansi; secara internal bahwa kurikulum memiliki relevansi di antara


komponen-komponen kurikulum (tujuan, bahan, strategi, organisasi dan evaluasi).
Sedangkan secara eksternal bahwa komponen-komponen tersebutmemiliki
relevansi dengan tuntutan ilmu pengetahuan dan teknologi (relevansi
epistomologis), tuntutan dan potensi peserta didik (relevansi psikologis) serta
tuntutan dan kebutuhan perkembangan masyarakat (relevansi sosilogis).
2. Prinsip fleksibilitas; dalam pengembangan kurikulum mengusahakan agar yang
dihasilkan memiliki sifat luwes, lentur dan fleksibel dalam pelaksanaannya,
memungkinkan terjadinya penyesuaian-penyesuaian berdasarkan situasi dan
kondisi tempat dan waktu yang selalu berkembang, serta kemampuan dan latar
bekang peserta didik.
3. Prinsip kontinuitas; yakni adanya kesinambungandalam kurikulum, baik secara
vertikal, maupun secara horizontal. Pengalaman-pengalaman belajar yang
disediakan kurikulum harus memperhatikan kesinambungan, baik yang di dalam
tingkat kelas, antar jenjang pendidikan, maupun antara jenjang pendidikan dengan
jenis pekerjaan.
4. Prinsip efisiensi; yakni mengusahakan agar dalam pengembangan kurikulum
dapat mendayagunakan waktu, biaya, dan sumber-sumber lain yang ada secara
optimal, cermat dan tepat sehingga hasilnya memadai.
5. Prinsip efektivitas; yakni mengusahakan agar kegiatan pengembangan kurikulum
mencapai tujuan tanpa kegiatan yang mubazir, baik secara kualitas maupun
kuantitas.

Terkait dengan pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, terdapat sejumlah


prinsip-prinsip yang harus dipenuhi, yaitu :

1. Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik


dan lingkungannya. Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta
didik memiliki posisi sentral untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mendukung pencapaian tujuan
tersebut pengembangan kompetensi peserta didik disesuaikan dengan potensi,
perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik serta tuntutan
lingkungan.
2. Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan keragaman karakteristik
peserta didik, kondisi daerah, dan jenjang serta jenis pendidikan, tanpa
membedakan agama, suku, budaya dan adat istiadat, serta status sosial ekonomi
dan gender. Kurikulum meliputi substansi komponen muatan wajib kurikulum,
muatan lokal, dan pengembangan diri secara terpadu, serta disusun dalam
keterkaitan dan kesinambungan yang bermakna dan tepat antarsubstansi.
3. Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
Kurikulum dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu pengetahuan,
teknologi dan seni berkembang secara dinamis, dan oleh karena itu semangat dan
isi kurikulum mendorong peserta didik untuk mengikuti dan memanfaatkan secara
tepat perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
4. Relevan dengan kebutuhan kehidupan. Pengembangan kurikulum dilakukan
dengan melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders) untuk menjamin
relevansi pendidikan dengan kebutuhan kehidupan, termasuk di dalamnya
kehidupan kemasyarakatan, dunia usaha dan dunia kerja. Oleh karena itu,
pengembangan keterampilan pribadi, keterampilan berpikir, keterampilan sosial,
keterampilan akademik, dan keterampilan vokasional merupakan keniscayaan.
5. Menyeluruh dan berkesinambungan. Substansi kurikulum mencakup keseluruhan
dimensi kompetensi, bidang kajian keilmuan dan mata pelajaran yang
direncanakan dan disajikan secara berkesinambungan antarsemua jenjang
pendidikan.
6. Belajar sepanjang hayat. Kurikulum diarahkan kepada proses pengembangan,
pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.
Kurikulum mencerminkan keterkaitan antara unsur-unsur pendidikan formal,
nonformal dan informal, dengan memperhatikan kondisi dan tuntutan lingkungan
yang selalu berkembang serta arah pengembangan manusia seutuhnya.
7. Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah. Kurikulum
dikembangkan dengan memperhatikan kepentingan nasional dan kepentingan
daerah untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Kepentingan nasional dan kepentingan daerah harus saling mengisi dan
memberdayakan sejalan dengan motto Bhineka Tunggal Ika dalam kerangka
Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pemenuhan prinsip-prinsip di atas itulah yang membedakan antara penerapan satu


Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dengan kurikulum sebelumnya, yang justru
tampaknya sering kali terabaikan. Karena prinsip-prinsip itu boleh dikatakan sebagai ruh
atau jiwanya kurikulum

Dalam mensikapi suatu perubahan kurikulum, banyak orang lebih terfokus hanya pada
pemenuhan struktur kurikulum sebagai jasad dari kurikulum . Padahal jauh lebih penting
adalah perubahan kutural (perilaku) guna memenuhi prinsip-prinsip khusus yang
terkandung dalam pengembangan kurikulum.

Beri Nilai
Terburuk Terbaik
usat Kurikulum adalah unit eselon II di bawah Badan Penelitian dan Pengembangan pada
Kementreian Pendidikan Nasional, yang berkantor di Jalan Gunung Sahari Raya No. 4 Senen -
Jakarta Pusat (eks. Kompleks Siliwangi).

Sejalan dengan Rencana Strategis Kementerian Pendidikan Nasional Tahun 2005-2009, Pusat
Kurikulum telah memfokuskan kegiatannya pada pelaksanaan bantuan teknis pengembangan
kurikulum kepada Tim Pengembang Kurikulum Provinsi dan Tim Pengembang Kurikulum
Kabupaten/Kota, serta pengembangan model-model kurikulum sebagai referensi satuan
pendidikan dalam pengembangan kurikulumnya.

Bantuan Teknis Pengembangan Kurikulum kepada Tim Pengembang Kurikulum Provinsi dan
Kabupaten/Kota dimaksudkan untuk meningkatkan kapasitas tenaga daerah agar mampu
menyusun dan mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan keadaan dan kebutuhan
daerahnya masing-masing dengan tetap mengacu pada Standar Nasional Pendidikan.
Pengembangan model-model kurikulum bertujuan untuk membantu satuan pendidikan dan atau
para pelaksana pendidikan di lapangan dalam meningkatkan wawasan terhadap kurikulum yang
berdiversifikasi. Model-model kurikulum dapat menjadi inspirasi para pelaksana pendidikan
untuk selanjutnya diadopsi, diadaptasi, atau diimplementasikan sesuai dengan karakteristik dan
kebutuhan daerah.

Disamping itu, Pusat Kurikulum juga melakukan kajian kebijakan kurikulum. Kegiatan kajian
kurikulum dilakukan dalam bentuk seminar dan workshop yang difokuskan pada implementasi
kurikulum saat ini dan kebutuhan-kebutuhan kurikulum di masa depan. Hasil kegiatan kajian
digunakan sebagai bahan masukan bagi para pengambil kebijakan dalam pengembangan
kurikulum dan pengembangan Standar Nasional Pendidikan.

Demikian kiranya, semoga segala upaya yang dilaksanakan oleh Pusat Kurikulum bermanfaat
bagi kemajuan pendidikan di negara kita.

Kurikulum
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa
Langsung ke: navigasi, cari

Kurikulum adalah perangkat mata pelajaran yang diberikan oleh suatu lembaga
penyelenggara pendidikan yang berisi rancangan pelajaran yang akan diberikan kepada
peserta pelajaran dalam satu periode jenjang pendidikan. Penyusunan perangkat mata
pelajaran ini disesuaikan dengan keadaan dan kemampuan setiap jenjang pendidikan
dalam penyelenggaraan pendidikan tersebut.

Lama waktu dalam satu kurikulum biasanya disesuaikan dengan maksud dan tujuan dari
sistem pendidikan yang dilaksanakan. Kurikulum ini dimaksudkan untuk dapat
mengarahkan pendidikan menuju arah dan tujuan yang dimaksudkan dalam kegiatan
pembelajaran secara menyeluruh.

Minggu, 05 Desember 2010

Sindikasi: Berita Komentar

• Pengurus
• Visi & Misi
• Anggota
• Hubungi Kami
• Pendaftaran

• Forum

GO

Filosofi Dasar dalam Pengembangan


Kurikulum Sekolah
April 29, 2009 oleh gunawan
Tersimpan pada Pendidikan

Tinggalkan Komentar

Pengembangan kurikulum perlu menentukan filosofi tertentu untuk menyelaras berbagai


kepentingan sesuai harapan masyarakat. Masyarakat sekarang menuntut standard kualitas
yang tinggi dalam pendidikan. Standar ini mencakupi kompetensi yang seimbang dalam
kecerdasan atau logika, moral dan akhlak mulia atau etika, seni dan keindahan estetika,
serta kekuatan dan kesehatan jasmani atau kinestetika.

Brameld dalam Longstreet dan Shane ( 1993 ), mengelompokan keempat paham, yaitu
perennialism, essentiallism, progressivism dan reconstructivism. Perennialism lebih
menekankan pada keabadian, keidealan, kebenaran dan keindahan daripada warisan
budaya serta dampaksosial tertentu. Pengetahuan yanh lebih eksternal serta ideal lebih
dipentingkan untuk dipelajari, sementara kegiatan sehari – hari kurang ditekankan.

Pendidikan yang menganut paham ini menekankan pada kebenaran absolut, kebenaran
universal yang tidak terikat pada tempat dan waktu. Pemikiran Plato dan karya
Shakespeare merupakan contoh dari kebenaran absolut dan keindahan yang sempurna
dalam kehidupan manusia.

Manusia berbagi alam secara bersama – sama, maka seyogianya setiap orang akan
memperoleh keuntungan tentang kebenaran absolut dankeindahan yang ideal. Implikasi
dari penerapan perennialismdalam pengembangan kurikulum adalah penyajian yang sama
untuk semua orang. Setiap orang memperoleh pengetahuan yang sama penting bagi siapa
saja, dimana saja. Perbedaan individual atau diversifikasi kurikulum kurang
diakomodasikan dalam perennialism ini.

Essentiallism menentukan pentingnya pewarisan budaya pemberian pengetahuan serta


keterampilan pada peserta didik agar dapat menjadi anggota masyarakat yang berguna.
Matematika, sanis danmata pelajaran lainnya dianggap sebagai dasar subtansi kurikulum
yang berharga untuk hidup di masyarakat.

Essentiallism menekankan pada individu sebagai sumber pegetahuan tentang hidup dan
makna. Untuk memahami kehidupan seseorang mesti memahami dirinya sendiri.
bagaimana saya hidup di dunia?
Apakah pengalaman itu ?
Progressivism menekankan pada pentingnya melayani perbedaan individual, berpusat
pada siswa, variasi pengalaman belajar, dan proses. Progressivism merupakan landasan
filosofis bagi pengembanganbelajar aktif.

Recontructivism merupakan elaborasi lanjut dari paham progreeivism. Pada


recontructivism peradaban manusia masa depan sangat ditekan. Recontructivism
berorientasi masa depan sedangkan perennialism dan essentialism berorientasi masa lalu.
Recontructivismberanjak lebih jauh dari progressivism yang menekan pada perbedaan
individual, pemecahan masalah, berfikir kritis dan sejenisnya.

Penganut paham ini akan memepertanyakan Untuk apa berfikir kritis memecahkan
masalah dan melakukan sesuatu ? Penganut paham ini menekankan pada hasil belajar
( learning out comes ) dari pada proses. Sekolah adalah suatu tempat untuk mencapai
seperangkat hasil belajar yang mewujudkan kehidupan dan peradaban yang lebih baik.
Perangkat ini telah ditentukan dan direncanakan sebelumnya.

Penggunaan filosofi di atas tidak terjadi dalam keadaan vakum. Untuk pertumbuhan
ekonomi akan terjadi reaksi untuk lebih back to basic atau essentialism. Untuk krisis
kebudayaan orang lebih suka memilih reconstructivism yang berorientasi ke masa depan.
Untuk metode dapat dipilih progresif dan rekontruktif.

Pengembagan kurikulum biasanya tidak menganut filosofi tunggal. Pengembangan


Kurikulum Berbasis Kompetensi ( KBK ) misalnya tidak menganut filosofi tunggal. KBK
tetap berpegang pada tut wuri handayani, ingmadya mangun karsa, ing ngarsa sung
tulada. Standar kompetensi dapat menjadi acuan untuk guru agar dibelakang dapat
memberi dorongan dan bimbingan, di tengah bermitra agar peserta didik berkarya, serta
di depan memberi tauladan dengan menunjukan akuntabilitas yang lebih jelas melalui
indikator yang harus dicapai kompetensi.

Pengembangan kurikulum berorientasi masyarakat biasanya lebih status quo karena


memfokuskan pada ; siapa danmasyarakat mana? Hal ini dapat menjebak pengembangan
pada pilihan termudah, yaitu masyarakat terbanyak yang dikatakan sebagai kurang dapat
mengikuti ; atau terlalu berpihak golongan yang cendrung sangat mampu sehingga
terkesan eksklusif. Pengembangan elektif lebih mampu mengkompromikan dan
mengakomodasikan berbagai kebutuhan masyarakat yang beragam dengan menerapkan
filosofi pendidikan secara elektif pula.

Berbagai pertanyaan berikut tidak dapat menjawab dengan memilih salah satu filosofi,
semua keputusan bergantung kepada potensi, kebutuhan dan keadaan masyarakat itu
sendiri. Pertanyaan tersebut yaitu :
1. Bagaimana mencapai kreativitas ?
2. Bagaimana membudayakanmasyarakat ?
3. Bagaimana dengan tuntutan duni kerja dan industri ?
4. Bagaimana dengan tuntutan abaf informasi ?
5. Bagaimana dengan demokrasi ?
6. bagaimana mengembangkan moralitas akademik dan sikap ilmiah ?

Diperlukan cara yang cukup cerdik untuk merajut filosofi mana yang akan dipilih,
terutama dalam keadaaebudayaan, ban Indonesia yang sangat heterigen secara geografis,
sosial ekonomi, khasa dan infrastruktur.

Share and Enjoy:















Tag: filosopi, guru, kurikulum, Pendidikan

Komentar
8 Komentar untuk tulisan "Filosofi Dasar dalam Pengembangan Kurikulum
Sekolah"

1. realylife pada Wed, 29th Apr 2009 20:19

setuju banget pak

2. m ihsan dacholfany M.Ed pada Sat, 16th May 2009 12:10


DESAIN KURIKULUM PENDIDIKAN DASAR
YANG BERWAWASAN KEWIRAUSAHAAN

A. PENDAHULUAN

Salah satu masalah yang sangat besar yang terus menerus menerpa negara kita
adalah penganguran yang kita rasakan semakin lama rasanya semakin tidak
teratasi. Meskipun para elit politik dengan gagah berani berjanji akan mengatasi
pengangguran?
Masalah lainnya adalah negara kita termasuk negara pengkonsumsi produk, bukan
pencipta produk. Hal ini dapat kita hitung berapa persen produk lokal yang ada
dan dijual di suatu supermarket, jika dibanding dengan produk impor. Bukankah
secara tidak langsung ini menjadi menjadi borosnya penggunaan devisa negara?.
Sudah menjadi kenyataan bahwa tingkat pengangguran di negara kita semakin
hari semakin meningkat dari tahun ke tahun terutama dari kalangan mereka yang
terdidik terutama para lulusan perguruan tinggi. Kondisi lapangan kerja yang
tersedia tidak seimbang dengan jumlah lulusan lembaga pendidikan.
Salah satu penyebabnya adalah para lulusan lembaga pendidikan umumnya
mengejar posisi sebagai pegawai / karyawan. Terutama menjadi PNS menjadi
lahan persiangan yang sangat-sangat kompetitif.
Telah menjadi anggapan yang umum, suatu lembaga pendidikan yang bermutu,
adalah suatu lembaga pendidikan yang banyak para lulusannya berhasil lulus
diterima di lembaga pendidikan yang lebih tinggi. Demikian pula dianggap
lembaga pendidikan yang berkualitas, apabila para lulusan banyak diserap atau
diterima oleh insatansi pemerintah atau swasta. Apakah demikian daya lembaga
pendidikan?
Dilain pihak, para lulusan yang mandiri, berwirausaha, yang katanya bekerja di
sektor informal, yang mampu menciptakan lapangan kerja bagi dirinya, atau
bahkan dapat menyediakan lapangan bagi orang lain dipandang sebelah mata,
bahkan ini barangkali luput dari perhatian lembaga pendidikan atau bahkan
pemerintah. Bahkan kalau bekerja menjadi wirauasaha tidak menjadi PNS atau
perusahaan, dianggap orang kurang berhasil. Sehingga wajar kalau dalam benak
para orang tua, atau para lulusan, tertanam suatu harapan atau cita cita untuk
menjadi pegawai atau karyawan setelah lulus sekolah atau kuliah. Inilah yang
dinamakan pola pikir priyayi.
Dengan stigma yang demikian maka sangat diperlukan penanaman kewirausahaan
sedini mungkin dalam lembaga pendidikan dasar, agar dapat mengubah pola pikir
yang menjadi salah satu penyebab masalah pengangguran tidak teratasi? Karena
lembaga pendidikan salah satunya yang diharapkan mengubah pola pikir ini,
sehingga di masa mendatang lahir para lulusan yang mempunyai stigma positif
terhadap wirausaha serta memberikan wawasan bahwa wirausaha merupakan
salah satu lapangan kerja yang terhormat yang sejajar dengan profesi sebagai
pegawai /karyawan, serta diharapkan di masa yang akan datang lahir
wirausahawan yang tanggung yang mempu beronivasi sehingga negara kita
menjadi negara produsen bukan menjadi negara konsumen.
B.HAKEKAT PENDIDIKAN KEWIRAUSAHAAN
Hakekat dari program pendidikan kewirausahaan pada dasarnya merupakan
proses pembelajaran penanaman tata nilai kewirausahaan melalui pembiasaan dan
pemeliharaan perilaku dan sikap.
Kewirausahaan pada hakekatnya adalah sifat, ciri dan watak seseorang yang
memiliki kemauan dalam mewujudkan gagasan inovatif ke dalam dunia nyata
secara kreatif (Suryana, 2000). Istilah kewirausahaan berasal dari terjemahan
“Entrepreneurship”, dapat diartikan sebagai “the backbone of economy”, yang
adalah syaraf pusat perekonomian atau pengendali perekonomian suatu bangsa
(Soeharto Wirakusumo, 1997:1). Secara epistimologi, kewirausahaan merupakan
suatu nilai yang diperlukan untuk memulai suatu usaha atau suatu proses dalam
mengerjakan sesuatu yang baru dan berbeda. Menurut Thomas W Zimmerer,
kewirausahaan merupakan penerapan kreativitas dan keinovasian untuk
memecahkan permasalahan dan upaya untuk memanfaatkan peluang yang
dihadapi sehari-hari. Kewirausahaan merupakan gabungan dari kreativitas,
keinovasian dan keberanian menghadapi resiko yang dilakukan dengan cara kerja
keras untuk membentuk dan memelihara usaha baru.
Menurut Marzuki Usman, pengertian wirausahawan dalam konteks manajemen
adalah seseorang yang memiliki kemampuan dalam menggunakan sumber daya,
seperti finansial, bahan mentah dan tenaga kerja untuk menghasilkan suatu
produk baru, bisnis baru, proses produksi ataupun pengembangan organisasi.
Wirausahawan adalah seseorang yang memiliki kombinasi unsur-unsur internal
yang meliputi kombinasi motivasi, visi, komunikasi, optimisme, dorongan
semangat dan kemampuan untuk memanfaatkan peluang usaha. Sedangkan
menurut Sri Edi Swasono, dalam konteks bisnis, wirausahawan adalah pengusaha,
tetapi tidak semua pengusaha adalah wirausahawan. Wirausahawan adalah pionir
dalam bisnis, inovator, penanggung resiko, yang memiliki visi ke depan dan
memiliki keunggulan dalam berprestasi di bidang usaha.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa kewirausahaan adalah
suatu kemampuan dalam berpikir kreatif dan berperilaku inovatif yang dijadikan
dasar, sumber daya, tenaga penggerak, tujuan siasat, kiat dan proses dalam
menghadapi tantangan hidup.
Dahulu ada pendapat bahwa kewirausahaan merupakan bakat bawaan sejak lahir,
bahwa entrepreneurship are born not made, sehingga kewirausahaan dipandang
bukan hal yang penting untuk dipelajari dan diajarkan.
Namun dalam perkembangannya, nyata bahwa kewirausahaan ternyata bukan
hanya bakat bawaan sejak lahir, atau bersifat praktek lapangan saja.
Kewirausahaan merupakan suatu disiplin ilmu yang perlu dipelajari. Kemampuan
seseorang dalam berwirausaha, dapat dimatangkan melalui proses pendidikan.
Seseorang yang menjadi wirausahawan adalah mereka yang mengenal potensi
dirinya dan belajar mengembangkan potensinya untuk menangkap peluang serta
mengorganisir usahanya dalam mewujudkan cita-citanya.

C. KEWIRAUSAHAAN DALAM DESAIN KURIKULUM PENDIDIKAN


DASAR
Dalam Undang-undang SISDIKNAS No.20 Tahun 2003, Pasal 37 ayat (2)
menyatakan bahwa ”Kurikulum pendidikan dasar dan menengah dikembangkan
sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dan
komite sekolah/madrasah di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan
Kabupaten/Kota atau kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota untuk
pendidikan dasar dan kantor Departemen Agama Propinsi untuk pendidikan
menengah.” Hal ini menunjukkan bahwa yang mengembankan kurikulum bukan
lagi Pemerintah, melainkan kelompok atau satuan pendidikan dan komite
sekolah/madrasah. Pemerintah daerah hanya melakukan koordinasi dan supervisi.
Dalam Permendiknas No. 22 Tahun 2007 dikemukakan bahwa tujuan pendidikan
tingkat satuan pendidikan dasar dirumuskan mengacu kepada tujuan umum
pendidikan bahwa tujuan pendidikan dasar adalah meletakkan dasar kecerdasan,
pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri
dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
Pada tahun 2005 Pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 19
Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (PPSNP) sebagai pelaksanaan
dari Undang-undang SISDIKNAS No.20 Tahun 2003. PPSNP ini menjadi bahan
acuan formal bagi setiap warga negara Republik Indonesia, khususnya bagi para
pejabat dan petugas yang menangani pendidikan.
PPSNP pasal 17 ayat (1) menyatakan bahwa ”Kurikulum tingkat satuan
pendidikan SD/MI/SDLB, SMP/MTs/SMPLB, SMA/MA/SMALB, SMK/MAK,
atau bentuk lain yang sederajat dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan,
potensi daerah/karakteristik daerah, sosial budaya masyarakat setempat, dan
peserta didik.
Sesuai dengan satuan pendidikan maksudnya bahwa Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) dikembangkan mengacu pada visi, misi, dan tujuan satuan
pendidikan. Bila visi, misi, dan tujuan satuan pendidikan berbeda satu sama lain,
maka KTSP nyapun mestinya juga terdapat perbedaan. Misalnya, oleh karena
visi, misi, dan tujuan sekolah-sekolah Muhammadiyah, sekolah-sekolah Kristen
dan Katolik, serta sekolah-sekolah negeri berbeda satu sama lain, maka kurikulum
untuk sekolah-sekolah tersebut mestinya juga terdapat perbedaan-perbedaan.
Sesuai dengan potensi daerah/karakteristik daerah, misalnya sekolah yang berada
di perkotaan, pedesaan, pertambangan, perikanan, pertanian karena memiliki
potensi/karakteristik yang berbeda satu sama lain maka kurikulum untuk sekolah-
sekolah tersebut mestinya juga terdapat perbedaan-perbedaan.
Hal yang diuraikan di atas merupakan dasar hukum yang dijadikan landasan
membuat kurikulum yang berwawasan kewirausahaan. Hal selanjutnya yang perlu
diperhatikan adalah PPSNP ayat (2) menegaskan bahwa ”Sekolah dan komite
sekolah, atau madrasah dan komite madrasah mengembangkan kurikulum tingkat
satuan pendidikan dan silabusnya berdasarkan kerangka dasar kurikulum dan
standar kompetensi lulusan, di bawah supervisi dinas kabupaten/kota yang
bertanggungjawab di bidang pendidikan untuk SD, SMP, SMA, dan SMK, dan
departemen yang menangani urusan pemerintahan di bidang agama untuk MI,
MTs, MA, dan MAK”.
Struktur kurikulum SD/MI meliputi substansi pembelajaran yang ditempuh dalam
satu jenjang pendidikan selama enam tahun mulai Kelas I sampai dengan Kelas
VI. Struktur kurikulum SD/MI disusun berdasarkan standar kompetensi lulusan
dan standar kompetensi mata pelajaran. Kurikulum SD/MI memuat 8 mata
pelajaran, muatan lokal, dan pengembangan diri.
Muatan lokal merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi
yang disesuaikan dengan ciri khas dan potensi daerah, termasuk keunggulan
daerah, yang materinya tidak dapat dikelompokkan ke dalam mata pelajaran yang
ada. Substansi muatan lokal ditentukan oleh satuan pendidikan.
Oleh karena itu pendididikan kewirausahaan dapat dimasukan kedalam kategori
muatan lokal.
Materi pembelajaran nilai-nilai kewirausahaan yang masuk pada muatan lokal
meliputi :

? Nilai-nilai kewirausahaan dikaitkan dengan apa yang sudah dipahami dan


dialami siswa dalam kehidupan sehari-hari, baik secara langsung maupun tidak
langsung (pembelajaran konstektual).
? Memberikan kebebasan dan bimbingan kepada siswa dalam memahami
(konseptualisasi) materi nilai-nilai kewirausahaan yang sedang dibahas
(pembelajaran pencapaian konsep dan konstruktivime)
? Mengupayakan penciptaan kegiatan yang memungkinkan siswa bekerjasama,
kolaborasi dalam memahami nilai-nilai kewirausahaan yang sedang dibahas
(pembelajaran kooperatif)
? Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mencobakan atau menerapkan
materi yang telah dipelajari.
? Menggunakan berbagai media pembelajaran guna memfasilitasi siswa dalam
mempertajam dan memahami nilai-nilai kewirausahaan yang sedang dipelajari.
? Memelihara kedisiplinan dan tanggungjawab siswa selama proses pembelajaran,
sekaligus menghindari kegiatan yang berdampak membosankan, mengendurkan
semangat belajar dan berakhir dengan gangguan aktivitas dan kreativitas belajar
siswa.
? Pembelajaran diarahkan untuk membiasakan siswa melakukan observasi cermat
terhadap realitas kehidupan sekitar (lokal, regional, nasional dan global)
? Guru selalu menjadi teladan dalam berpikir, bersikap dan bertindak dalam
mengimplementasikan nilai-nilai kewirausahaan yang seharusnya dilakukan.
Metode Pembelajaran seperti telah dijelaskan di atas bahwa hakekat pendidikan
Kewirausahaan adalah menanamkan sikap, pembukaan wawasan dan pembekalan
pengalaman awal yang dalam proses pembelajarannya bukan sekedar hafalan atau
target kognitif, tetapi dipelajari melalui penanaman kebiasaan yang harus
dikerjakan atau dilakukan sendiri secara berulang-ulang dan tidak sekedar hanya
mengerti dan mengalami. Untuk itu maka metode yang digunakan antara lain:
• Ceramah
Digunakan dalam menyampaikan materi, konsep, pengalaman atau informasi lain
yang berkaitan dengan penanaman sikap, wawasan dan pemberian bekal
pengetahuan.
• Bermain peran/simulasi
Digunakan dalam memberikan pengalaman untuk menerapkan konsep
kewirausahaan, termasuk memberikan masukan mengenai pengamatan sikap dan
perilaku kinerja siswa dalam kondisi dan situasi seperti sesungguhnya.
• Diskusi
Digunakan dalam upaya secara bersama-sama memahami suatu konsep belajar
menggalang kerjasama dan saling menghargai serta bertukar gagasan atau
pengalaman.
• Penugasan/Projeck work
Digunakan dalam upaya memberikan pengalaman awal, memupuk rasa percaya
diri (Belajar berani melakukan sesuatu dalam situasi sesungguhnya) menggali
alternatif pemecahan masalah.
• Pemecahan Masalah/Studi Kasus
Digunakan untuk menghadapi kasus yang sifatnya lebih spesifik dengan cara
membandingkan masalah yang dihadapi dengan karakteristik wirausaha yang
harus dimiliki sebagai solusi.
• Observasi/Pengamatan
Digunakan untuk mengamati secara langsung kepada obyek guna mendapatkan
kebenaran informasi teoritis praktis.
• Presentasi
Digunakan dalam melatih kemampuan mengungkap ide, gagasan dan
mengekspresikan diri melalui wacana, wicara sketsa, bagan dan lain-lain.
Tempat pelaksanaan pembelajaran Penyelenggaraan pembelajaran Kewirausahaan
dapat dilakukan di ruang kelas, aula, ruang terbuka, seperti sambil berkemah dan
sebagainya, karena tidak ada batasan baku dalam menentukan tempat proses
pembelajaran.

Aspek evaluasi merupakan salah satu komponen kurikulum, maka untuk


mengevaluasi hasil pembelajaran, dapat meliputi :
• Evaluasi Kompetensi “A” adalah mengaktualisasikan sikap dan perilaku
wirausahawan yang dilakukan melalui kegiatan bersama yang terencana,
misalnya: berkemah. Dalam proses evaluasi tidak dikenal “salah” dan “benar”,
yang ada adalah “baik” dan “lebih baik”.
• Evaluasi pencapaian kompetensi “B” adalah merencanakan pengelolaan simulasi
wirausahawan, dilaksanakan melalui pengukuran penguasaan bahan ajar
(Kognitif).
• Evaluasi kompetensi “C” adalah mengelola pengamatan kebenaran proses dan
hasil yang dibuktikan sikap dan perilaku secara personal.

D.KESIMPULAN.
Pendidikan kewirausahaan pada dasarnya merupakan proses pembelajaran
penanaman tata nilai kewirausahaan melalui pembiasaan dan pemeliharaan
perilaku dan sikap sejak dini pada pendidikan dasar. Pada pendidikan dasar
Kurikulum berwawasan kewirausahaan dapat dimasukan dalam muatan lokal dari
kurikulum, yang diajarkan secara bertahap dan berkelanjutan pada tahapan
pendidikan pendidikan dasar dan disesuaikan dengan kondisi peserta didik.
Metode pembelajaran pendidikan Kewirausahaan adalah menanamkan sikap,
pembukaan wawasan dan pembekalan pengalaman awal yang dalam proses
pembelajarannya bukan sekedar hafalan atau target kognitif, tetapi dipelajari
melalui penanaman kebiasaan yang harus dikerjakan atau dilakukan sendiri secara
berulang-ulang dan tidak sekedar hanya mengerti dan mengalami.

Referensi :

Anonim (2004). Model Pembelajaran Kewirausahaan SMK dengan Kurikulum


2004.
Heri Suhendri (2009). Teori dan Konsep
Kurikulum.http://mybatik.wordpress.com
Hermanto (2009). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.
http://pojokhermanto.blogspot.com
Pusat Kurikulum (2007). Naskah Akademik Kajian Kebijakan Kurikulum
KesetaraanPendidikan Dasar. Balitbang, Dpdiknas
Pusat Kurikulum (2007). Naskah Akademik Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Balitbang, Dpdiknas.

3. puthut pada Fri, 3rd Jul 2009 9:46

“LINK (NOT) MATCH” DEBAT CAPRES


DENGAN PENDIDIKAN KITA

Oleh : Puthut Indroyono

Ada yang menarik dalam debat capres ke dua di KPU minggu lalu bertema
kemiskinan dan pengangguran. Ketiga capres berpendapat relatif senada ketika
mengaitkan pendidikan dan dunia kerja. Meskipun ada variasi, ketiganya sepakat
dengan gagasan link and match (mengaitkan pendidikan dan dunia kerja). Sejarah
menunjukkan bahwa gagasan tersebut telah gagal, dan salah satu penyebabnya
adalah tidak sinkronnya paradigma pendidikan kita dengan dunia kerja.
Gagasan link and match sebenarnya merupakan jawaban atas pengangguran dan
kemiskinan melalui pendidikan. Caranya dengan mengkaitkan pendidikan dan
dunia kerja (industri), dimana lulusan sekolah dapat tertampung pada dunia
industri. Industri memberikan ruang, antara lain dengan memberikan informasi
kebutuhan dan kesempatan magang. Link and match diharapkan juga akan
menghasilkan calon enterpreneur baru.
Cara lain adalah memperbanyak sekolah-sekolah kejuruan. Salah satu capres
mengusulkan rasio sekolah umum dan kejuruan diperbaiki. Jika sebelumnya berat
sekolah umum sebesar 60:40, perlu diubah menjadi sebaliknya.
Namun mengatasi pengangguran dengan link and match sangat sulit terwujud bila
tidak disertai perubahan mendasar cara pandang (worldview) dunia pendidikan.
Cara pandang antara lain dapat ditelusuri dalam kurikulum dan materi pendidikan.
Banyak pihak meragukan worldview dalam kurikulum dan materi di satu pihak,
sejalan dengan tujuan pendidikan.
Artinya, kurikulum, materi, dan metode mengajar yang dijalankan selama ini
tidak mampu menghasilkan lulusan yang dapat memahami realitas sosial,
ekonomi, dan budaya dalam masyarakat secara utuh dan sistematis. Salah satu
contoh kelemahan mendasar dapat kita temukan dalam pengajaran ekonomi di
sekolah dasar (SD).

Homo Economicus
Melihat materi pelajaran ekonomi anak penulis yang kebetulan duduk di kelas 4
SD (2008/2009), penulis tertegun dan terheran-heran. Selain materinya relatif
“berat”, perspektifnya juga sempit. Manusia dilihat sebagai “homo economicus”
atau “economic man”. Orang tua awan sekalipun akan berpendapat sama bila
mereka sempat membaca buku-buku anak-anaknya.
Bab satu buku IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial) kelas 4, berisi materi tentang
“aktivitas ekonomi berkaitan dengan sumber daya alam (SDA)”. Sub-bab pertama
menjelaskan definisi kegiatan ekonomi yaitu :”kegiatan untuk memenuhi
kebutuhan hidup”. Dijelaskan bahwa: “ …. pada jaman sekarang segala macam
kebutuhan hidup diukur dengan sejumlah uang. Oleh karena itu setiap orang
bekerja dan berusaha untuk mendapatkan uang. Uang kemudian dibelanjakan
untuk memenuhi segala keperluannya”.
Setelah menguraikan aktivitas ekonomi (produksi, distribusi, dan konsumsi),
dilanjutkan beberapa cara masyarakat dalam melakukannya yakni: menjual bahan
mentah, mengolah bahan mentah, dan mengembangkan pariwisata (agrowisata,
wisata budaya, dan wisata bahari). Beberapa contoh pemanfaatan SDA dan
potensi lainnya, misalnya perdagangan sayur mayur di Sumatera Utara, produksi
garam di Madura, dan pariwisata di Bali. Adapula ilustrasi berupa foto-foto
terkait.
Dari materi tersebut kita dapat menyimpulkan tentang sudutpandang yang
dikembangkan yang hanya melihat manusia sebagai “economic man” dan karena
itu materinya cenderung “dogmatis” dan tidak “menghidupkan”. Motif ekonomi
tidak selamanya dapat diukur dengan uang, tetapi juga motif sosial, religius, etika,
estetika, dan lain-lain. Mengajarkan kepada murid bahwa manusia hidup “hanya
mengejar uang”, tentu sangat berbeda dengan substansi pendidikan.
Dalam pendidikan dasar, seharusnya anak didik diberikan dasar-dasar moral lebih
banyak. Ilmu ekonomi yang diberikan seharusnya juga memuat pesan moral/etika
dan sosial, termasuk nilai-nilai tentang pelestarian lingkungan, mencintai produk
lokal, dll.
Penulis lebih “terperanjat” ketika membaca buku IPS kelas VI. Seperti buku
sebelumnya, penyajian materi terkesan tidak membumi, dogmatis, dan cenderung
memberi muatan “berat”. Bab 6 misalnya, menyajikan materi Kegiatan Ekspor
Impor. Alasan melakukan ekspor-impor, karena “setiap negara tidak dapat
menghasilkan sendiri….”. Kegiatan ekspor-impor melalui proses pertukaran
barang dan jasa bertujuan untuk: “Memenuhi kebutuhan masyarakat…..;
Mempercepat pembangunan..; dan Meningkatkan kesejahteraan ….”.
Dicontohkan Indonesia mengekspor mebel, kopi, udang, dan teh, sedangkan
impornya meliputi “makanan dan minuman untuk rumah tangga, susu, buah-
buahan, sabun, kosmetik, tekstil, beras, bahan kimia, bahan obat, bahan kertas,
besi, baja, dan bahan bangunan, mesin-mesin, generator listrik, alat
telekomunikasi, peralatan listrik, dan alat pengangkutan”.
Mungkin benar bahwa contoh yang diambil ada data statistiknya. Namun dengan
penyajian yang seperti di atas, murid tidak mendapat “pelajaran” apa-apa. Anak
didik hanya diberikan materi “kering” dan sama sekali tidak diberi bekal untuk
mengembangkan kemampuan memecahkan masalah dan kemampuan berpikir
logis, kritis, dan kreatif.
Alangkah baiknya, anak diberikan penjelasan mengapa Indonesia tetap harus
mengimpor “beras, susu, atau barang lainnya”, sementara Indonesia sebenarnya
sudah bisa memproduksi barang itu.
Yang memprihatinkan ketika buku tersebut mengkategorikan “tenaga kerja”
sebagai “komoditi/barang” yang diekspor Indonesia. Murid tidak diberitahu
mengapa banyak manusia dianggap sebagai “komoditi” dan “diekspor” ke
Malaysia dan Timur Tengah. Sementara, dalam berita-berita di TV banyak
kejadian tentang penyiksaan para TKI. Anak-anakpun bisa leluasa mendengarkan
berita-berita itu.

“Link not Match”


Boleh saja gagasan link and match menjadi bahan dalam debat capres.
Sayangnya, para capres tidak menawarkan sesuatu yang mendasar selain retorika
untuk meraih simpati rakyat. Gagasan link and match tidak akan berhasil jika
tidak disertai perubahan mendasar dalam kurikulum pengajaran ekonomi.
Yang lebih penting adalah bahwa pendidikan mampu memberikan kepada para
lulusannya perspektif yang lebih luas. Sejak dini anak-anak kita perlu dibiasakan
memiliki sudut pandang yang benar terhadap fenomena sekalipun dalam bahasa
yang sederhana. Dengan cara itu para lulusan akan mampu mengembangkan
inisiatif dalam mengatasi masalah secara kreatif, sesuai dengan realitas sosial,
ekonomi, dan budaya di lingkungan masyarakatnya.
Sedak dini kita perlu mengajarkan nilai-nilai moral, sosial, patriotisme,
pelestarian alam serta estetika. Melalui pengajaran ekonomi kita dapat membekali
anak didik dengan “pesan” cinta produk dalam negeri atau produk lokal,
menghargai jerih payah petani dengan “membeli buah lokal first” daripada buah
impor. Anak kita perlu tahu bahwa dengan membeli produk lokal, ekonomi
daerah dan nasional dapat berkembang, dan seterusnya.. dan seterusnya.
Sekalipun banyak sekolah kejuruan, bila paradigma pengajaran ekonominya
masih seperti contoh di atas, gagasan link and match justru menjadi link not
match. Ada baiknya orang tua menyempatkan membaca buku anak-anaknya,
khususnya menyangkut pelajaran ekonomi.
Sekalipun salah seorang capres perlu “membuka sepatu” untuk menunjukkan
bahwa sepatunya produksi Cibaduyut, namun bila materi “kampanye” tersebut
tidak masuk dalam gerakan pembaruan kurikulum pendidikan ekonomi di
sekolah, tentu tidak akan mengubah situasi sampai kapanpun

You might also like