Professional Documents
Culture Documents
Dalam mensikapi suatu perubahan kurikulum, banyak orang lebih terfokus hanya pada
pemenuhan struktur kurikulum sebagai jasad dari kurikulum . Padahal jauh lebih penting
adalah perubahan kutural (perilaku) guna memenuhi prinsip-prinsip khusus yang
terkandung dalam pengembangan kurikulum.
Beri Nilai
Terburuk Terbaik
usat Kurikulum adalah unit eselon II di bawah Badan Penelitian dan Pengembangan pada
Kementreian Pendidikan Nasional, yang berkantor di Jalan Gunung Sahari Raya No. 4 Senen -
Jakarta Pusat (eks. Kompleks Siliwangi).
Sejalan dengan Rencana Strategis Kementerian Pendidikan Nasional Tahun 2005-2009, Pusat
Kurikulum telah memfokuskan kegiatannya pada pelaksanaan bantuan teknis pengembangan
kurikulum kepada Tim Pengembang Kurikulum Provinsi dan Tim Pengembang Kurikulum
Kabupaten/Kota, serta pengembangan model-model kurikulum sebagai referensi satuan
pendidikan dalam pengembangan kurikulumnya.
Bantuan Teknis Pengembangan Kurikulum kepada Tim Pengembang Kurikulum Provinsi dan
Kabupaten/Kota dimaksudkan untuk meningkatkan kapasitas tenaga daerah agar mampu
menyusun dan mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan keadaan dan kebutuhan
daerahnya masing-masing dengan tetap mengacu pada Standar Nasional Pendidikan.
Pengembangan model-model kurikulum bertujuan untuk membantu satuan pendidikan dan atau
para pelaksana pendidikan di lapangan dalam meningkatkan wawasan terhadap kurikulum yang
berdiversifikasi. Model-model kurikulum dapat menjadi inspirasi para pelaksana pendidikan
untuk selanjutnya diadopsi, diadaptasi, atau diimplementasikan sesuai dengan karakteristik dan
kebutuhan daerah.
Disamping itu, Pusat Kurikulum juga melakukan kajian kebijakan kurikulum. Kegiatan kajian
kurikulum dilakukan dalam bentuk seminar dan workshop yang difokuskan pada implementasi
kurikulum saat ini dan kebutuhan-kebutuhan kurikulum di masa depan. Hasil kegiatan kajian
digunakan sebagai bahan masukan bagi para pengambil kebijakan dalam pengembangan
kurikulum dan pengembangan Standar Nasional Pendidikan.
Demikian kiranya, semoga segala upaya yang dilaksanakan oleh Pusat Kurikulum bermanfaat
bagi kemajuan pendidikan di negara kita.
Kurikulum
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa
Langsung ke: navigasi, cari
Kurikulum adalah perangkat mata pelajaran yang diberikan oleh suatu lembaga
penyelenggara pendidikan yang berisi rancangan pelajaran yang akan diberikan kepada
peserta pelajaran dalam satu periode jenjang pendidikan. Penyusunan perangkat mata
pelajaran ini disesuaikan dengan keadaan dan kemampuan setiap jenjang pendidikan
dalam penyelenggaraan pendidikan tersebut.
Lama waktu dalam satu kurikulum biasanya disesuaikan dengan maksud dan tujuan dari
sistem pendidikan yang dilaksanakan. Kurikulum ini dimaksudkan untuk dapat
mengarahkan pendidikan menuju arah dan tujuan yang dimaksudkan dalam kegiatan
pembelajaran secara menyeluruh.
• Pengurus
• Visi & Misi
• Anggota
• Hubungi Kami
• Pendaftaran
•
• Forum
GO
Tinggalkan Komentar
Brameld dalam Longstreet dan Shane ( 1993 ), mengelompokan keempat paham, yaitu
perennialism, essentiallism, progressivism dan reconstructivism. Perennialism lebih
menekankan pada keabadian, keidealan, kebenaran dan keindahan daripada warisan
budaya serta dampaksosial tertentu. Pengetahuan yanh lebih eksternal serta ideal lebih
dipentingkan untuk dipelajari, sementara kegiatan sehari – hari kurang ditekankan.
Pendidikan yang menganut paham ini menekankan pada kebenaran absolut, kebenaran
universal yang tidak terikat pada tempat dan waktu. Pemikiran Plato dan karya
Shakespeare merupakan contoh dari kebenaran absolut dan keindahan yang sempurna
dalam kehidupan manusia.
Manusia berbagi alam secara bersama – sama, maka seyogianya setiap orang akan
memperoleh keuntungan tentang kebenaran absolut dankeindahan yang ideal. Implikasi
dari penerapan perennialismdalam pengembangan kurikulum adalah penyajian yang sama
untuk semua orang. Setiap orang memperoleh pengetahuan yang sama penting bagi siapa
saja, dimana saja. Perbedaan individual atau diversifikasi kurikulum kurang
diakomodasikan dalam perennialism ini.
Essentiallism menekankan pada individu sebagai sumber pegetahuan tentang hidup dan
makna. Untuk memahami kehidupan seseorang mesti memahami dirinya sendiri.
bagaimana saya hidup di dunia?
Apakah pengalaman itu ?
Progressivism menekankan pada pentingnya melayani perbedaan individual, berpusat
pada siswa, variasi pengalaman belajar, dan proses. Progressivism merupakan landasan
filosofis bagi pengembanganbelajar aktif.
Penganut paham ini akan memepertanyakan Untuk apa berfikir kritis memecahkan
masalah dan melakukan sesuatu ? Penganut paham ini menekankan pada hasil belajar
( learning out comes ) dari pada proses. Sekolah adalah suatu tempat untuk mencapai
seperangkat hasil belajar yang mewujudkan kehidupan dan peradaban yang lebih baik.
Perangkat ini telah ditentukan dan direncanakan sebelumnya.
Penggunaan filosofi di atas tidak terjadi dalam keadaan vakum. Untuk pertumbuhan
ekonomi akan terjadi reaksi untuk lebih back to basic atau essentialism. Untuk krisis
kebudayaan orang lebih suka memilih reconstructivism yang berorientasi ke masa depan.
Untuk metode dapat dipilih progresif dan rekontruktif.
Berbagai pertanyaan berikut tidak dapat menjawab dengan memilih salah satu filosofi,
semua keputusan bergantung kepada potensi, kebutuhan dan keadaan masyarakat itu
sendiri. Pertanyaan tersebut yaitu :
1. Bagaimana mencapai kreativitas ?
2. Bagaimana membudayakanmasyarakat ?
3. Bagaimana dengan tuntutan duni kerja dan industri ?
4. Bagaimana dengan tuntutan abaf informasi ?
5. Bagaimana dengan demokrasi ?
6. bagaimana mengembangkan moralitas akademik dan sikap ilmiah ?
Diperlukan cara yang cukup cerdik untuk merajut filosofi mana yang akan dipilih,
terutama dalam keadaaebudayaan, ban Indonesia yang sangat heterigen secara geografis,
sosial ekonomi, khasa dan infrastruktur.
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
Komentar
8 Komentar untuk tulisan "Filosofi Dasar dalam Pengembangan Kurikulum
Sekolah"
A. PENDAHULUAN
Salah satu masalah yang sangat besar yang terus menerus menerpa negara kita
adalah penganguran yang kita rasakan semakin lama rasanya semakin tidak
teratasi. Meskipun para elit politik dengan gagah berani berjanji akan mengatasi
pengangguran?
Masalah lainnya adalah negara kita termasuk negara pengkonsumsi produk, bukan
pencipta produk. Hal ini dapat kita hitung berapa persen produk lokal yang ada
dan dijual di suatu supermarket, jika dibanding dengan produk impor. Bukankah
secara tidak langsung ini menjadi menjadi borosnya penggunaan devisa negara?.
Sudah menjadi kenyataan bahwa tingkat pengangguran di negara kita semakin
hari semakin meningkat dari tahun ke tahun terutama dari kalangan mereka yang
terdidik terutama para lulusan perguruan tinggi. Kondisi lapangan kerja yang
tersedia tidak seimbang dengan jumlah lulusan lembaga pendidikan.
Salah satu penyebabnya adalah para lulusan lembaga pendidikan umumnya
mengejar posisi sebagai pegawai / karyawan. Terutama menjadi PNS menjadi
lahan persiangan yang sangat-sangat kompetitif.
Telah menjadi anggapan yang umum, suatu lembaga pendidikan yang bermutu,
adalah suatu lembaga pendidikan yang banyak para lulusannya berhasil lulus
diterima di lembaga pendidikan yang lebih tinggi. Demikian pula dianggap
lembaga pendidikan yang berkualitas, apabila para lulusan banyak diserap atau
diterima oleh insatansi pemerintah atau swasta. Apakah demikian daya lembaga
pendidikan?
Dilain pihak, para lulusan yang mandiri, berwirausaha, yang katanya bekerja di
sektor informal, yang mampu menciptakan lapangan kerja bagi dirinya, atau
bahkan dapat menyediakan lapangan bagi orang lain dipandang sebelah mata,
bahkan ini barangkali luput dari perhatian lembaga pendidikan atau bahkan
pemerintah. Bahkan kalau bekerja menjadi wirauasaha tidak menjadi PNS atau
perusahaan, dianggap orang kurang berhasil. Sehingga wajar kalau dalam benak
para orang tua, atau para lulusan, tertanam suatu harapan atau cita cita untuk
menjadi pegawai atau karyawan setelah lulus sekolah atau kuliah. Inilah yang
dinamakan pola pikir priyayi.
Dengan stigma yang demikian maka sangat diperlukan penanaman kewirausahaan
sedini mungkin dalam lembaga pendidikan dasar, agar dapat mengubah pola pikir
yang menjadi salah satu penyebab masalah pengangguran tidak teratasi? Karena
lembaga pendidikan salah satunya yang diharapkan mengubah pola pikir ini,
sehingga di masa mendatang lahir para lulusan yang mempunyai stigma positif
terhadap wirausaha serta memberikan wawasan bahwa wirausaha merupakan
salah satu lapangan kerja yang terhormat yang sejajar dengan profesi sebagai
pegawai /karyawan, serta diharapkan di masa yang akan datang lahir
wirausahawan yang tanggung yang mempu beronivasi sehingga negara kita
menjadi negara produsen bukan menjadi negara konsumen.
B.HAKEKAT PENDIDIKAN KEWIRAUSAHAAN
Hakekat dari program pendidikan kewirausahaan pada dasarnya merupakan
proses pembelajaran penanaman tata nilai kewirausahaan melalui pembiasaan dan
pemeliharaan perilaku dan sikap.
Kewirausahaan pada hakekatnya adalah sifat, ciri dan watak seseorang yang
memiliki kemauan dalam mewujudkan gagasan inovatif ke dalam dunia nyata
secara kreatif (Suryana, 2000). Istilah kewirausahaan berasal dari terjemahan
“Entrepreneurship”, dapat diartikan sebagai “the backbone of economy”, yang
adalah syaraf pusat perekonomian atau pengendali perekonomian suatu bangsa
(Soeharto Wirakusumo, 1997:1). Secara epistimologi, kewirausahaan merupakan
suatu nilai yang diperlukan untuk memulai suatu usaha atau suatu proses dalam
mengerjakan sesuatu yang baru dan berbeda. Menurut Thomas W Zimmerer,
kewirausahaan merupakan penerapan kreativitas dan keinovasian untuk
memecahkan permasalahan dan upaya untuk memanfaatkan peluang yang
dihadapi sehari-hari. Kewirausahaan merupakan gabungan dari kreativitas,
keinovasian dan keberanian menghadapi resiko yang dilakukan dengan cara kerja
keras untuk membentuk dan memelihara usaha baru.
Menurut Marzuki Usman, pengertian wirausahawan dalam konteks manajemen
adalah seseorang yang memiliki kemampuan dalam menggunakan sumber daya,
seperti finansial, bahan mentah dan tenaga kerja untuk menghasilkan suatu
produk baru, bisnis baru, proses produksi ataupun pengembangan organisasi.
Wirausahawan adalah seseorang yang memiliki kombinasi unsur-unsur internal
yang meliputi kombinasi motivasi, visi, komunikasi, optimisme, dorongan
semangat dan kemampuan untuk memanfaatkan peluang usaha. Sedangkan
menurut Sri Edi Swasono, dalam konteks bisnis, wirausahawan adalah pengusaha,
tetapi tidak semua pengusaha adalah wirausahawan. Wirausahawan adalah pionir
dalam bisnis, inovator, penanggung resiko, yang memiliki visi ke depan dan
memiliki keunggulan dalam berprestasi di bidang usaha.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa kewirausahaan adalah
suatu kemampuan dalam berpikir kreatif dan berperilaku inovatif yang dijadikan
dasar, sumber daya, tenaga penggerak, tujuan siasat, kiat dan proses dalam
menghadapi tantangan hidup.
Dahulu ada pendapat bahwa kewirausahaan merupakan bakat bawaan sejak lahir,
bahwa entrepreneurship are born not made, sehingga kewirausahaan dipandang
bukan hal yang penting untuk dipelajari dan diajarkan.
Namun dalam perkembangannya, nyata bahwa kewirausahaan ternyata bukan
hanya bakat bawaan sejak lahir, atau bersifat praktek lapangan saja.
Kewirausahaan merupakan suatu disiplin ilmu yang perlu dipelajari. Kemampuan
seseorang dalam berwirausaha, dapat dimatangkan melalui proses pendidikan.
Seseorang yang menjadi wirausahawan adalah mereka yang mengenal potensi
dirinya dan belajar mengembangkan potensinya untuk menangkap peluang serta
mengorganisir usahanya dalam mewujudkan cita-citanya.
D.KESIMPULAN.
Pendidikan kewirausahaan pada dasarnya merupakan proses pembelajaran
penanaman tata nilai kewirausahaan melalui pembiasaan dan pemeliharaan
perilaku dan sikap sejak dini pada pendidikan dasar. Pada pendidikan dasar
Kurikulum berwawasan kewirausahaan dapat dimasukan dalam muatan lokal dari
kurikulum, yang diajarkan secara bertahap dan berkelanjutan pada tahapan
pendidikan pendidikan dasar dan disesuaikan dengan kondisi peserta didik.
Metode pembelajaran pendidikan Kewirausahaan adalah menanamkan sikap,
pembukaan wawasan dan pembekalan pengalaman awal yang dalam proses
pembelajarannya bukan sekedar hafalan atau target kognitif, tetapi dipelajari
melalui penanaman kebiasaan yang harus dikerjakan atau dilakukan sendiri secara
berulang-ulang dan tidak sekedar hanya mengerti dan mengalami.
Referensi :
Ada yang menarik dalam debat capres ke dua di KPU minggu lalu bertema
kemiskinan dan pengangguran. Ketiga capres berpendapat relatif senada ketika
mengaitkan pendidikan dan dunia kerja. Meskipun ada variasi, ketiganya sepakat
dengan gagasan link and match (mengaitkan pendidikan dan dunia kerja). Sejarah
menunjukkan bahwa gagasan tersebut telah gagal, dan salah satu penyebabnya
adalah tidak sinkronnya paradigma pendidikan kita dengan dunia kerja.
Gagasan link and match sebenarnya merupakan jawaban atas pengangguran dan
kemiskinan melalui pendidikan. Caranya dengan mengkaitkan pendidikan dan
dunia kerja (industri), dimana lulusan sekolah dapat tertampung pada dunia
industri. Industri memberikan ruang, antara lain dengan memberikan informasi
kebutuhan dan kesempatan magang. Link and match diharapkan juga akan
menghasilkan calon enterpreneur baru.
Cara lain adalah memperbanyak sekolah-sekolah kejuruan. Salah satu capres
mengusulkan rasio sekolah umum dan kejuruan diperbaiki. Jika sebelumnya berat
sekolah umum sebesar 60:40, perlu diubah menjadi sebaliknya.
Namun mengatasi pengangguran dengan link and match sangat sulit terwujud bila
tidak disertai perubahan mendasar cara pandang (worldview) dunia pendidikan.
Cara pandang antara lain dapat ditelusuri dalam kurikulum dan materi pendidikan.
Banyak pihak meragukan worldview dalam kurikulum dan materi di satu pihak,
sejalan dengan tujuan pendidikan.
Artinya, kurikulum, materi, dan metode mengajar yang dijalankan selama ini
tidak mampu menghasilkan lulusan yang dapat memahami realitas sosial,
ekonomi, dan budaya dalam masyarakat secara utuh dan sistematis. Salah satu
contoh kelemahan mendasar dapat kita temukan dalam pengajaran ekonomi di
sekolah dasar (SD).
Homo Economicus
Melihat materi pelajaran ekonomi anak penulis yang kebetulan duduk di kelas 4
SD (2008/2009), penulis tertegun dan terheran-heran. Selain materinya relatif
“berat”, perspektifnya juga sempit. Manusia dilihat sebagai “homo economicus”
atau “economic man”. Orang tua awan sekalipun akan berpendapat sama bila
mereka sempat membaca buku-buku anak-anaknya.
Bab satu buku IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial) kelas 4, berisi materi tentang
“aktivitas ekonomi berkaitan dengan sumber daya alam (SDA)”. Sub-bab pertama
menjelaskan definisi kegiatan ekonomi yaitu :”kegiatan untuk memenuhi
kebutuhan hidup”. Dijelaskan bahwa: “ …. pada jaman sekarang segala macam
kebutuhan hidup diukur dengan sejumlah uang. Oleh karena itu setiap orang
bekerja dan berusaha untuk mendapatkan uang. Uang kemudian dibelanjakan
untuk memenuhi segala keperluannya”.
Setelah menguraikan aktivitas ekonomi (produksi, distribusi, dan konsumsi),
dilanjutkan beberapa cara masyarakat dalam melakukannya yakni: menjual bahan
mentah, mengolah bahan mentah, dan mengembangkan pariwisata (agrowisata,
wisata budaya, dan wisata bahari). Beberapa contoh pemanfaatan SDA dan
potensi lainnya, misalnya perdagangan sayur mayur di Sumatera Utara, produksi
garam di Madura, dan pariwisata di Bali. Adapula ilustrasi berupa foto-foto
terkait.
Dari materi tersebut kita dapat menyimpulkan tentang sudutpandang yang
dikembangkan yang hanya melihat manusia sebagai “economic man” dan karena
itu materinya cenderung “dogmatis” dan tidak “menghidupkan”. Motif ekonomi
tidak selamanya dapat diukur dengan uang, tetapi juga motif sosial, religius, etika,
estetika, dan lain-lain. Mengajarkan kepada murid bahwa manusia hidup “hanya
mengejar uang”, tentu sangat berbeda dengan substansi pendidikan.
Dalam pendidikan dasar, seharusnya anak didik diberikan dasar-dasar moral lebih
banyak. Ilmu ekonomi yang diberikan seharusnya juga memuat pesan moral/etika
dan sosial, termasuk nilai-nilai tentang pelestarian lingkungan, mencintai produk
lokal, dll.
Penulis lebih “terperanjat” ketika membaca buku IPS kelas VI. Seperti buku
sebelumnya, penyajian materi terkesan tidak membumi, dogmatis, dan cenderung
memberi muatan “berat”. Bab 6 misalnya, menyajikan materi Kegiatan Ekspor
Impor. Alasan melakukan ekspor-impor, karena “setiap negara tidak dapat
menghasilkan sendiri….”. Kegiatan ekspor-impor melalui proses pertukaran
barang dan jasa bertujuan untuk: “Memenuhi kebutuhan masyarakat…..;
Mempercepat pembangunan..; dan Meningkatkan kesejahteraan ….”.
Dicontohkan Indonesia mengekspor mebel, kopi, udang, dan teh, sedangkan
impornya meliputi “makanan dan minuman untuk rumah tangga, susu, buah-
buahan, sabun, kosmetik, tekstil, beras, bahan kimia, bahan obat, bahan kertas,
besi, baja, dan bahan bangunan, mesin-mesin, generator listrik, alat
telekomunikasi, peralatan listrik, dan alat pengangkutan”.
Mungkin benar bahwa contoh yang diambil ada data statistiknya. Namun dengan
penyajian yang seperti di atas, murid tidak mendapat “pelajaran” apa-apa. Anak
didik hanya diberikan materi “kering” dan sama sekali tidak diberi bekal untuk
mengembangkan kemampuan memecahkan masalah dan kemampuan berpikir
logis, kritis, dan kreatif.
Alangkah baiknya, anak diberikan penjelasan mengapa Indonesia tetap harus
mengimpor “beras, susu, atau barang lainnya”, sementara Indonesia sebenarnya
sudah bisa memproduksi barang itu.
Yang memprihatinkan ketika buku tersebut mengkategorikan “tenaga kerja”
sebagai “komoditi/barang” yang diekspor Indonesia. Murid tidak diberitahu
mengapa banyak manusia dianggap sebagai “komoditi” dan “diekspor” ke
Malaysia dan Timur Tengah. Sementara, dalam berita-berita di TV banyak
kejadian tentang penyiksaan para TKI. Anak-anakpun bisa leluasa mendengarkan
berita-berita itu.