You are on page 1of 21

ASKEP STRUMA

Download Askep Kapuk Online Update ASKEP DALAM tentang ASKEP STRUMA

1. Defenisi

Kelainan glandula tyroid dapat berupa gangguan fungsi seperti tiritosikosis atau
perubahan susunan kelenjar dan morfologinya, seperti penyakit tyroid noduler.
Berdasarkan patologinya, pembesaran tyroid umumnya disebut struma (De Jong &
Syamsuhidayat, 1998).

2. Embriologi

Kelenjar tyroid berkembang dari endoderm pada garis tengah usus depan (De Jong &
Syamsuhidayat, 1998). Kelenjar tyroid mulai terlihat terbentuk pada janin berukuran 3,4-4
cm, yaitu pada akhir bulan pertama kehamilan. Kelenjar tyroid berasal dari lekukan faring
antara branchial pouch pertama dan kedua. Dari bagian tersebut timbul divertikulum, yang
kemudian membesar, tumbuh ke arah bawah mengalami desensus dan akhirnya
melepaskan diri dari faring. Sebelum lepas, berbentuk sebagai duktus tyroglossus yang
berawal dari foramen sekum di basis lidah.

Duktus ini akan menghilang setelah dewasa, tetapi pada keadaan tertentu masih menetap.
Dan akan ada kemungkinan terbentuk kelenjar tyroid yang letaknya abnormal, seperti
persisten duktud tyroglossus, tyroid servikal, tyroid lingual, sedangkan desensus yang
terlalu jauh akan membentuk tyroid substernal. Branchial pouch keempat ikut membentuk
kelenjar tyroid, merupakan asal sel-sel parafolikular atau sel C, yang memproduksi
kalsitonin.(IPD I). Kelenjar tyroid janin secara fungsional mulai mandiri pada minggu ke-12
masa kehidupan intrauterin. (De Jong & Syamsuhidayat, 1998).

3. Anatomi

Kelenjar tyroid terletak dibagian bawah leher, antara fascia koli media dan fascia
prevertebralis. Didalamruang yang sama terletak trakhea, esofagus, pembuluh darah besar,
dan syaraf. Kelenjar tyroid melekat pada trakhea sambil melingkarinya dua pertiga sampai
tiga perempat lingkaran. Keempat kelenjar paratyroid umumnya terletak pada permukaan
belakang kelenjar tyroid (De Jong & Syamsuhidayat, 1998).

Tyroid terdiri atas dua lobus, yang dihubungkan oleh istmus dan menutup cincin trakhea 2
dan 3. Kapsul fibrosa menggantungkan kelenjar ini pada fasia pretrakhea sehingga pada
setiap gerakan menelan selalu diikuti dengan terangkatnya kelenjar kearah kranial. Sifat ini
digunakan dalam klinik untuk menentukan apakah suatu bentukan di leher berhubungan
dengan kelenjar tyroid atau tidak (Djokomoeljanto, 2001).

Vaskularisasi kelenjar tyroid berasal dari Arteri Tiroidea Superior (cabang dari Arteri
Karotis Eksterna) dan a. Tyroidea Inferior (cabang Arteri Subklavia). Setiap folikel lymfoid
diselubungi oleh jala-jala kapiler, dan jala-jala limfatik, sedangkan sistem venanya berasal
dari pleksus perifolikular (Djokomoeljanto, 2001).

Nodus Lymfatikus tyroid berhubungan secara bebas dengan pleksus trakhealis yang
kemudian ke arah nodus prelaring yang tepat di atas istmus, dan ke nl. Pretrakhealis dan
nl. Paratrakhealis, sebagian lagi bermuara ke nl. Brakhiosefalika dan ada yang langsung ke
duktus thoraksikus. Hubungan ini penting untuk menduga penyebaran keganasan
(Djokomoeljanto, 2001).

4. Histologi

Pada usia dewasa berat kelenjar ini kira-kira 20 gram. Secara mikroskopis terdiri atas
banyak folikel yang berbentuk bundar dengan diameter antara 50-500 µm. Dinding folikel
terdiri dari selapis sel epitel tunggal dengan puncak menghadap ke dalam lumen,
sedangkan basisnya menghadap ke arah membran basalis. Folikel ini berkelompok
sebanyak kira-kira 40 buah untuk membentuk lobulus yang mendapat vaskularisasi dari
end entry. Setiap folikel berisi cairan pekat, koloid sebagian besar terdiri atas protein,
khususnya protein tyroglobulin (BM 650.000) (Djokomoeljanto, 2001)

5. Fisiologi Hormon Tyroid


Kelenjar tyroid menghasilkan hormon tyroid utama yaitu Tiroksin (T4). Bentuk aktif
hormon ini adalah Triodotironin (T3), yang sebagian besar berasal dari konversi hormon
T4 di perifer, dan sebagian kecil langsung dibentuk oleh kelenjar tyroid. Iodida inorganik
yang diserap dari saluran cerna merupakan bahan baku hormon tyroid. Iodida inorganik
mengalami oksidasi menjadi bentuk organik dan selanjutnya menjadi bagian dari tyrosin
yang terdapat dalam tyroglobulin sebagai monoiodotirosin (MIT) atau diiodotyrosin (DIT).
Senyawa DIT yang terbentuk dari MIT menghasilkan T3 atau T4 yang disimpan di dalam
koloid kelenjar tyroid.

Sebagian besar T4 dilepaskan ke sirkulasi, sedangkan sisanya tetap didalam kelenjar yang
kemudian mengalami diiodinasi untuk selanjutnya menjalani daur ulang. Dalam sirkulasi,
hormon tyroid terikat pada globulin, globulin pengikat tyroid (thyroid-binding globulin,
TBG) atau prealbumin pengikat tiroksin (Thyroxine-binding pre-albumine, TPBA) (De Jong
& Syamsuhidayat, 1998).

6. Metabolisme T3 dan T4

Waktu paruh T4 di plasma ialah 6 hari sedangkan T3 24-30 jam. Sebagian T4 endogen (5-
17%) mengalami konversi lewat proses monodeiodonasi menjadi T3. Jaringan yang
mempunyai kapasitas mengadakan perubahan ini ialah jaringan hati, ginjal, jantung dan
hipofisis. Dalam proses konversi ini terbentuk juga rT3 (reversed T3, 3,3',5' triiodotironin)
yang tidak aktif, yang digunakan mengatur metabolisme pada tingkat seluler
(Djokomoeljanto, 2001).

Pengaturan faal tiroid :

Ada 4 macam kontrol terhadap faal kelenjar tiroid : (Djokomoeljanto, 2001)

1. TRH (Thyrotrophin releasing hormone)


Tripeptida yang disentesis oleh hpothalamus. Merangsang hipofisis mensekresi TSH
(thyroid stimulating hormone) yang selanjutnya kelenjar tiroid teransang menjadi
hiperplasi dan hiperfungsi
2. TSH (thyroid stimulating hormone)
Glikoprotein yang terbentuk oleh dua sub unit (alfa dan beta). Dalam sirkulasi akan
meningkatkan reseptor di permukaan sel tiroid (TSH-reseptor-TSH-R) dan terjadi
efek hormonal yaitu produksi hormon meningkat

3. Umpan Balik sekresi hormon (negative feedback).


Kedua hormon (T3 dan T4) ini menpunyai umpan balik di tingkat hipofisis.
Khususnya hormon bebas. T3 disamping berefek pada hipofisis juga pada tingkat
hipotalamus. Sedangkan T4 akan mengurangi kepekaan hipifisis terhadap
rangsangan TSH.

4. Pengaturan di tingkat kelenjar tiroid sendiri.


Produksi hormon juga diatur oleh kadar iodium intra tiroid

Efek metabolisme Hormon Tyroid : (Djokomoeljanto, 2001)

1. Kalorigenik

2. Termoregulasi

3. Metabolisme protein. Dalam dosis fisiologis kerjanya bersifat anabolik, tetapi dalam
dosis besar bersifat katabolik

4. Metabolisme karbohidrat. Bersifat diabetogenik, karena resorbsi intestinal


meningkat, cadangan glikogen hati menipis, demikian pula glikogen otot menipis
pada dosis farmakologis tinggi dan degenarasi insulin meningkat.

5. Metabolisme lipid. T4 mempercepat sintesis kolesterol, tetapi proses degradasi


kolesterol dan ekspresinya lewat empedu ternyata jauh lebih cepat, sehingga pada
hiperfungsi tiroid kadar kolesterol rendah. Sebaliknya pada hipotiroidisme
kolesterol total, kolesterol ester dan fosfolipid meningkat.

6. Vitamin A. Konversi provitamin A menjadi vitamin A di hati memerlukan hormon


tiroid. Sehingga pada hipotiroidisme dapat dijumpai karotenemia.

7. Lain-lain : gangguan metabolisme kreatin fosfat menyebabkan miopati, tonus


traktus gastrointestinal meninggi, hiperperistaltik sehingga terjadi diare, gangguan
faal hati, anemia defesiensi besi dan hipotiroidisme.

7. Klasifikasi Struma
Pembesaran kelenjar tiroid (kecuali keganasan), Menurut American society for Study of
Goiter membagi :

1. Struma Non Toxic Diffusa

2. Struma Non Toxic Nodusa

3. Stuma Toxic Diffusa

4. Struma Toxic Nodusa

Istilah Toksik dan Non Toksik dipakai karena adanya perubahan dari segi fungsi fisiologis
kelenjar tiroid seperti hipertiroid dan hipotyroid, sedangkan istilah nodusa dan diffusa
lebih kepada perubahan bentuk anatomi.

1. Struma non toxic nodusa


Adalah pembesaran dari kelenjar tiroid yang berbatas jelas tanpa gejala-gejala
hipertiroid.

o Etiologi : Penyebab paling banyak dari struma non toxic adalah kekurangan
iodium. Akan tetapi pasien dengan pembentukan struma yang sporadis,
penyebabnya belum diketahui.Struma non toxic disebabkan oleh beberapa
hal, yaitu :

1. Kekurangan iodium: Pembentukan struma terjadi pada difesiensi


sedang yodium yang kurang dari 50 mcg/d. Sedangkan defisiensi
berat iodium adalah kurang dari 25 mcg/d dihubungkan dengan
hypothyroidism dan cretinism.

2. Kelebihan yodium: jarang dan pada umumnya terjadi pada pre-


existing penyakit tiroid autoimun

3. Goitrogen :

 Obat : Propylthiouracil, litium, phenylbutazone,


aminoglutethimide, expectorants yang mengandung yodium

 Agen lingkungan : Phenolic dan phthalate ester derivative dan


resorcinol berasal dari tambang batu dan batubara.

 Makanan, Sayur-Mayur jenis Brassica ( misalnya, kubis, lobak


cina, brussels kecambah), padi-padian millet, singkong, dan
goitrin dalam rumput liar
4. Dishormonogenesis: Kerusakan dalam jalur biosynthetic hormon
kelejar tiroid

5. Riwayat radiasi kepala dan leher : Riwayat radiasi selama masa


kanak-kanak mengakibatkan nodul benigna dan maligna (Lee, 2004)

2. Struma Non Toxic Diffusa

o Etiologi: (Mulinda, 2005)

1. Defisiensi Iodium

2. Autoimmun thyroiditis: Hashimoto oatau postpartum thyroiditis

3. Kelebihan iodium (efek Wolff-Chaikoff) atau ingesti lithium, dengan


penurunan pelepasan hormon tiroid.

4. Stimulasi reseptor TSH oleh TSH dari tumor hipofisis, resistensi


hipofisis terhadap hormo tiroid, gonadotropin, dan/atau tiroid-
stimulating immunoglobulin

5. Inborn errors metabolisme yang menyebabkan kerusakan dalam


biosynthesis hormon tiroid.

6. Terpapar radiasi

7. Penyakit deposisi

8. Resistensi hormon tiroid

9. Tiroiditis Subakut (de Quervain thyroiditis)

10. Silent thyroiditis

11. Agen-agen infeksi

12. Suppuratif Akut : bacterial

13. Kronik: mycobacteria, fungal, dan penyakit granulomatosa parasit

14. Keganasan Tiroid

3. Struma Toxic Nodusa

o Etiologi : (Davis, 2005)

1. Defisiensi iodium yang mengakibatkan penurunan level T4


2. Aktivasi reseptor TSH

3. Mutasi somatik reseptor TSH dan Protein G

4. Mediator-mediator pertumbuhan termasuk: Endothelin-1 (ET-1),


insulin like growth factor-1, epidermal growth factor, dan fibroblast
growth factor.

4. Struma Toxic Diffusa


Yang termasuk dalam struma toxic difusa adalah grave desease, yang merupakan
penyakit autoimun yang masih belum diketahui penyebab pastinya (Adediji,2004)

o Patofisiologi :
Gangguan pada jalur TRH-TSH hormon tiroid ini menyebabkan perubahan
dalam struktur dan fungsi kelenjar tiroid gondok. Rangsangan TSH reseptor
tiroid oleh TSH, TSH-Resepor Antibodi atau TSH reseptor agonis, seperti
chorionic gonadotropin, akan menyebabkan struma diffusa. Jika suatu
kelompok kecil sel tiroid, sel inflamasi, atau sel maligna metastase ke
kelenjar tiroid, akan menyebabkan struma nodusa (Mulinda, 2005)

Defesiensi dalam sintesis atau uptake hormon tiroid akan menyebabkan


peningkatan produksi TSH. Peningkatan TSH menyebabkan peningkatan
jumlah dan hiperplasi sel kelenjar tyroid untuk menormalisir level hormon
tiroid. Jika proses ini terus menerus, akan terbentuk struma. Penyebab
defisiensi hormon tiroid termasuk inborn error sintesis hormon tiroid,
defisiensi iodida dan goitrogen (Mulinda, 2005)
Struma mungkin bisa diakibatkan oleh sejumlah reseptor agonis TSH. Yang
termasuk stimulator reseptor TSH adalah reseptor antibodi TSH, kelenjar
hipofise yang resisten terhadap hormon tiroid, adenoma di hipotalamus atau
di kelenjar hipofise, dan tumor yang memproduksi human chorionic
gonadotropin (Mulinda, 2005)

DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN

Diagnosis disebut lengkap apabila dibelakang struma dicantumkan keterangan lainnya,


yaitu morfologi dan faal struma.

Dikenal beberapa morfologi (konsistensi) berdasarkan gambaran makroskopis yang


diketahui dengan palpasi atau auskultasi :
1. Bentuk kista : Struma kistik

o Mengenai 1 lobus

o Bulat, batas tegas, permukaan licin, sebesar kepalan

o Kadang Multilobaris

o Fluktuasi (+)

2. Bentuk Noduler: Struma nodusa

o Batas Jelas

o Konsistensi kenyal sampai keras

o Bila keras curiga neoplasma, umumnya berupa adenocarcinoma tiroidea

3. Bentuk diffusa: Struma diffusa

o batas tidak jelas

o Konsistensi biasanya kenyal, lebih kearah lembek

4. Bentuk vaskuler: Struma vaskulosa

o Tampak pembuluh darah

o Berdenyut

o Auskultasi: Bruit pada neoplasma dan struma vaskulosa

o Kelejar getah bening: Para trakheal dan jugular vein

Dari faalnya struma dibedakan menjadi :

1. Eutiroid

2. Hipotiroid

3. Hipertiroid

Berdasarkan istilah klinis dibedakan menjadi :


1. Nontoksik : eutiroid/hipotiroid

2. Toksik : Hipertiroid

Pemeriksaan Fisik :

1. Status Generalis :

o Tekanan darah meningkat

o Nadi meningkat

2. Mata :

o Exopthalmus

o Stelwag Sign: Jarang berkedip

o Von Graefe Sign: Palpebra superior tidak mengikut bulbus okuli waktu
melihat ke bawah

o Morbus Sign : Sukar konvergensi

o Joffroy Sign : Tidak dapat mengerutkan dahi

o Ressenbach Sign : Tremor palpebra jika mata tertutup

3. Hipertroni simpatis : Kulit basah dan dingin, tremor halus

4. Jantung : Takikardi

5. Status Lokalis :

o Inspeksi

 Benjolan

 Warna

 Permukaan

 Bergerak waktu menelan

o Palpasi
 Permukaan, suhu

 Batas :

 Atas : Kartilago tiroid

 Bawah : incisura jugularis

 Medial : garis tengah leher

 Lateral : M. Sternokleidomastoideus

STRUMA NON TOKSIK

Struma non toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid pada pasien eutiroid, tidak
berhubungan dengan neoplastik atau proses inflamasi. Dapat difus dan simetri atau
nodular.

Apabila dalam pemeriksaan kelenjar tiroid teraba suatu nodul, maka pembesaran ini
disebut struma nodosa. Struma nodosa tanpa disertai tanda-tanda hipertiroidisme disebut
struma nodosa non-toksik. Struma nodosa atau adenomatosa terutama ditemukan di
daerah pegunungan karena defisiensi iodium. Biasanya tiroid sudah mlai membesar pada
usia muda dan berkembang menjadi multinodular pada saat dewasa.

Struma multinodosa terjadi pada wanita usia lanjut dan perubahan yang terdapat pada
kelenjar berupa hiperplasi sampai bentuk involusi. Kebanyakan penderita struma nodosa
tidak mengalami keluhan karena tidak ada hipotiroidisme atau hipertiroidisme. Nodul
mungkin tunggal tetapi kebanyakan berkembang menjadi multinoduler yang tidak
berfungsi.

Degenerasi jaringan menyebabkan kista atau adenoma. Karena pertumbuhannya sering


berangsur-angsur, struma dapat menjadi besar tanpa gejala kecuali benjolan di leher.
Walaupun sebagian struma nodosa tidak mengganggu pernapasan karena menonjol ke
depan, sebagian lain dapat menyebabkan penyempitan trakea jika pembesarannya
bilateral. Pendorongan bilateral demikian dapat dicitrakan dengan foto Roentgen polos
(trakea pedang). Penyempitan yang berarti menyebabkan gangguan pernapasan sampai
akhirnya terjadi dispnea dengan stridor inspirator (Noer, 1996) .

Manifestasi klinis

Struma nodosa dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal (Mansjoer, 2001) :

1. Berdasarkan jumlah nodul: bila jumlah nodul hanya satu disebut struma nodosa
soliter (uninodosa) dan bila lebih dari satu disebut multinodosa.

2. Berdasarkan kemampuan menangkap yodium radoiaktif : nodul dingin, nodul


hangat, dan nodul panas.

3. Berdasarkan konsistensinya : nodul lunak, kistik, keras, atau sangat keras.

Pada umumnya pasien struma nodosa datang berobat karena keluhan kosmetik atau
ketakutan akan keganasan. Sebagian kecil pasien, khususnya yang dengan struma nodosa
besar, mengeluh adanya gejala mekanis, yaitu penekanan pada esophagus (disfagia) atau
trakea (sesak napas) (Noer, 1996). Gejala penekanan ini data juga oleh tiroiditis kronis
karena konsistensinya yang keras (Tim penyusun, 1994). Biasanya tidak disertai rasa nyeri
kecuali bila timbul perdarahan di dalam nodul (Noer, 1996).

Keganasan tiroid yang infiltrasi nervus rekurens menyebabkan terjadinya suara parau
(Tim penyusun, 1994).

Kadang-kadang penderita datang dengan karena adanya benjolan pada leher sebelah
lateral atas yang ternyata adalah metastase karsinoma tiroid pada kelenjar getah bening,
sedangkan tumor primernya sendiri ukurannya masih kecil. Atau penderita datang karena
benjolan di kepala yang ternyata suatu metastase karsinoma tiroid pada kranium (Tim
penyusun, 1994).

Diagnosis
Anamnesa sangatlah pentinglah untuk mengetahui patogenesis atau macam kelainan dari
struma nodosa non toksika tersebut. Perlu ditanyakan apakah penderita dari daerah
endemis dan banyak tetangga yang sakit seperti penderita (struma endemik). Apakah
sebelumnya penderita pernah mengalami sakit leher bagian depan bawah disertai
peningkatan suhu tubuh (tiroiditis kronis). Apakah ada yang meninggal akibat penyakit
yang sama dengan penderita (karsinoma tiroid tipe meduler) (Tim penyusun, 1994).

Pada status lokalis pemeriksaan fisik perlu dinilai (Mansjoer, 2001) :

1. jumlah nodul

2. konsistensi

3. nyeri pada penekanan : ada atau tidak

4. pembesaran gelenjar getah bening

Inspeksi dari depan penderita, nampak suatu benjolan pada leher bagian depan bawah
yang bergerak ke atas pada waktu penderita menelan ludah. Diperhatikan kulit di atasnya
apakah hiperemi, seperti kulit jeruk, ulserasi.

Palpasi dari belakang penderita dengan ibu jari kedua tangan pada tengkuk penderita dan
jari-jari lain meraba benjolan pada leher penderita.

Pada palpasi harus diperhatikan :

 lokalisasi benjolan terhadap trakea (mengenai lobus kiri, kanan atau keduanya)

 ukuran (diameter terbesar dari benjolan, nyatakan dalam sentimeter)

 konsistensi

 mobilitas

 infiltrat terhadap kulit/jaringan sekitar

 apakah batas bawah benjolan dapat diraba (bila tak teraba mungkin ada bagian
yang masuk ke retrosternal)

Meskipun keganasan dapat saja terjadi pada nodul yang multiple, namun pada umumnya
pada keganasan nodulnya biasanya soliter dan konsistensinya keras sampai sangat keras.
Yang multiple biasanya tidak ganas kecuali bila salah satu nodul tersebut lebih menonjol
dan lebih keras dari pada yang lainnya.

Harus juga diraba kemungkinan pembesaran kelenjar getah bening leher, umumnya
metastase karsinoma tiroid pada rantai juguler (Tim penyusun, 1994).

Pemeriksaan penunjang meliputi (Mansjoer, 2001) :

1. Pemeriksaan sidik tiroid


Hasil pemeriksaan dengan radioisotop adalah teraan ukuran, bentuk lokasi, dan
yang utama ialah fungsi bagian-bagian tiroid. Pada pemeriksaan ini pasien diberi
Nal peroral dan setelah 24 jam secara fotografik ditentukan konsentrasi yodium
radioaktif yang ditangkap oleh tiroid. Dari hasil sidik tiroid dibedakan 3 bentuk

o Nodul dingin bila penangkapan yodium nihil atau kurang dibandingkan


sekitarnya. Hal ini menunjukkan sekitarnya.

o Nodul panas bila penangkapan yodium lebih banyak dari pada sekitarnya.
Keadaan ini memperlihatkan aktivitas yang berlebih

o Nodul hangat bila penangkapan yodium sama dengan sekitarnya. Ini berarti
fungsi nodul sama dengan bagian tiroid yang lain.

2. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)


Pemeriksaan ini dapat membedakan antara padat, cair, dan beberapa bentuk
kelainan, tetapi belum dapat membedakan dengan pasti ganas atau jinak. Kelainan-
kelainan yang dapat didiagnosis dengan USG :

o Kista

o Adenoma

o Kemungkinan karsinoma

o Tiroiditis

3. Biopsi aspirasi jarum halus (Fine Needle Aspiration/FNA)


Mempergunakan jarum suntik no. 22-27. Pada kista dapat juga dihisap cairan
secukupnya, sehingga dapat mengecilkan nodul (Noer, 1996).

Dilakukan khusus pada keadaan yang mencurigakan suatu keganasan. Biopsi


aspirasi jarum halus tidak nyeri, hampir tidak menyababkan bahaya penyebaran
sel-sel ganas. Kerugian pemeriksaan ini dapat memberikan hasil negatif palsu
karena lokasi biopsi kurang tepat, teknik biopsi kurang benar, pembuatan preparat
yang kurang baik atau positif palsu karena salah interpretasi oleh ahli sitologi.

4. Termografi
Metode pemeriksaan berdasarkan pengukuran suhu kulit pada suatu tempat dengan
memakai Dynamic Telethermography. Pemeriksaan ini dilakukan khusus pada
keadaan yang mencurigakan suatu keganasan. Hasilnya disebut panas apabila
perbedaan panas dengan sekitarnya > 0,9 o C dan dingin apabila <0,9 o C. Pada
penelitian Alves didapatkan bahwa pada yang ganas semua hasilnya panas.
Pemeriksaan ini paling sensitif dan spesifik bila dibanding dengan pemeriksaan lain.

5. Petanda Tumor
Pada pemeriksaan ini yang diukur adalah peninggian tiroglobulin (Tg) serum. Kadar
Tg serum normal antara 1,5-3,0 ng/ml, pada kelainan jinak rataa-rata 323 ng/ml,
dan pada keganasan rata-rata 424 ng/ml.

Penatalaksanaan

Indikasi operasi pada struma nodosa non toksika ialah (tim penyusun, 1994) :

1. Keganasan

2. Penekanan

3. Kosmetik

Tindakan operasi yang dikerjakan tergantung jumlah lobus tiroid yang terkena. Bila hanya
satu sisi saja dilakukan subtotal lobektomi, sedangkan kedua lobus terkena dilakukan
subtotal tiroidektomi. Bila terdapat pembesaran kelenjar getah bening leher maka
dikerjakan juga deseksi kelenjar leher fungsional atau deseksi kelenjar leher
radikal/modifikasi tergantung ada tidaknya ekstensi dan luasnya ekstensi di luar kelenjar
getah bening.

Radioterapi diberikan pada keganasan tiroid yang :

1. Inoperabel

2. Kontraindikasi operasi
3. Ada residu tumor setelah operasi

4. Metastase yang non resektabel

Hormonal terapi dengan ekstrak tiroid diberikan selain untuk suplemen juga sebagai
supresif untuk mencegah terjadinya kekambuhan pada pasca bedah karsinoma tiroid
diferensiasi baik (TSH dependence). Terapai supresif ini juga ditujukan terhadap metastase
jauh yang tidak resektabel dan terapi adjuvan pada karsinoma tiroid diferensiasi baik yang
inoperabel.

Preparat : Thyrax tablet


Dosis : 3x75 Ug/hari per-oral

STRUMA TOKSIKM

1. Struma difus toksik (Grave's Disease)

Grave's disease adalah bentuk umum dari tirotoksikosis. Penyakit Grave's terjadi akibat
antibodi reseptor TSH (Thyroid Stimulating Hormone) yang merangsangsang aktivitas
tiroid itu sendiri (Mansjoer, 2001).

Manifestasi klinis

Pada penyakit Graves terdapat dua gambaran utama yaitu tiroidal dan ekstratiroidal.
Keduanya mungkin tidak tampak. Ciri-ciri tiroidal berupa goiter akibat hiperplasia kelenjar
tiroid dan hipertiroidisme akibat sekresi hormon tiroid yang berlebihan (Price dan Wilson,
1994).

Gejala-gejala hipertiroidisme berupa manifestasi hipermetabolisme dan aktivitas simpatis


yang berlebihan. Pasien mengeluh lelah, gemetar, tidak tahan panas, keringat semakin
banyak bila panas, kulit lembab, berat badan menurun, sering disertai dengan nafsu makan
meningkat, palpitasi, takikardi, diare, dan kelemahan serta atrofi otot.
Manifestasi ekstratiroidal berupa oftalmopati dan infiltrasi kulit lokal yang biasanya
terbatas pada tungkai bawah. Oftalmopati ditandai dengan mata melotot, fisura palpebra
melebar, kedipan berkurang, lid lag (keterlambatan kelopak mata dalam mengikuti
gerakan mata), dan kegagalan konvergensi. Jaringan orbita dan dan otot-otot mata
diinfltrasi oleh limfosit, sel mast dan sel-sel plasma yang mengakibatkan eksoltalmoa
(proptosis bola mata), okulopati kongestif dan kelemahan gerakan ekstraokuler (Price dan
Wilson, 1994).

Diagnosis

Sebagian besar pasien memberikan gejala klinis yang jelas, tetapi pemeriksaan
laboratorium tetap perlu untuk menguatkan diagnosis. Pada kasus-kasus subklinis dan
pasien usia lanjut perlu pemeriksaan laboratorium yang cermat untuk membantu
menetapkan diagnosis hipertiroidisme. Diagnosis pada wanita hamil agak sulit karena
perubahan fisiologis pada kehamilan pembesaran tiroid serta manifestasi hipermetabolik,
sama seperti tirotoksikosis.

Menurut Bayer MF, pada pasien hipertiroidisme akan didapatkan Thyroid Stimulating
Hormone sensitive (TSHs) tak terukur atau jelas subnormal an Free T4 (FT4) meningkat
(Mansjoer, 2001).

Penatalaksanaan

Tujuan pengobatan hipertiroidisme adalah membatasi produksi hormon tiroid yang


berlebihan dengan cara menekan produksi (obat antitiroid) atau merusak jaringan tiroid
(yodium radioaktif, tiroidektomi subtotal).

1. Obat antitiroid
Indikasi :

o Terapi untuk memperpanjang remisi atau mendapatkan remisi yang


menetap, pada pasien muda dengan struma ringan sampai sedang dan
tirotoksikosis.
o Obat untuk mengontrol tirotoksikosis pada fase sebelum pengobatan, atau
sesudah pengobatan pada pasien yang mendapat yodium aktif.

o Persiapan tiroidektomi

o Pengobatan pasien hamil dan orang lanjut usia

o Pasien dengan krisis tiroid

Obat antitiroid yang sering digunakan :

Obat Dosis awal (mg/hari) Pemeliharaan


(mg/hari)

Karbimazol 30-60 5-20

Metimazol 30-60 5-20

Propiltourasil 300-600 5-200

2. Pengobatan dengan yodium radioaktif


Indikasi :

o Pasien umur 35 tahun atau lebih

o Hipertiroidisme yang kambuh sesudah penberian dioperasi

o Gagal mencapai remisi sesudah pemberian obat antitiroid

o Adenoma toksik, goiter multinodular toksik

3. Operasi
Tiroidektomi subtotal efektif untuk mengatasi hipertiroidisme. Indikasi :

o Pasien umur muda dengan struma besar serta tidak berespons terhadap obat
antitiroid.

o Pada wanita hamil (trimester kedua) yang memerlukan obat antitiroid dosis
besar
o Alergi terhadap obat antitiroid, pasien tidak dapat menerima yodium
radioaktif

o Adenoma toksik atau struma multinodular toksik

o Pada penyakit Graves yang berhubungan dengan satu atau lebih nodul

2. Struma nodular toksik

Struma nodular toksik juga dikenal sebagai Plummer's disease (Sadler et al, 1999). Paling
sering ditemukan pada pasien lanjut usia sebagai komplikasi goiter nodular kronik.

Manifestasi klinis

Penderita mungkin mengalami aritmia dan gagal jantung yang resisten terhadap terapi
digitalis. Penderita dapat pula memperlihatkan bukti-bukti penurunan berat badan, lemah,
dan pengecilan otot. Biasanya ditemukan goiter multi nodular pada pasien-pasien tersebut
yang berbeda dengan pembesaran tiroid difus pada pasien penyakit Graves.

Penderita goiter nodular toksik mungkin memperlihatkan tanda-tanda mata (melotot,


pelebaran fisura palpebra, kedipan mata berkurang) akibat aktivitas simpatis yang
berlebihan. Meskipun demikian, tidak ada manifestasi dramatis oftalmopati infiltrat seperti
yang terlihat pada penyakit Graves (Price dan Wilson, 1994). Gejala disfagia dan sesak
napas mungkin dapat timbul. Beberapa goiter terletak di retrosternal (Sadler et al, 1999)

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat, pemeriksaan fisik dan didukung oleh tingkat
TSH serum menurun dan tingkat hormon tiroid yang meningkat. Antibodi antitiroid
biasanya tidak ditemukan (Sadler et al, 1999)
Penatalaksanaan

Terapi dengan pengobatan antitiroid atau beta bloker dapt mengurangi gejala tetapi
biasanya kurang efektif dari pada penderita penyakit Graves. Radioterapi tidak efektif
seperti penyakit Graves karena pengambilan yang rendah dan karena penderita ini
membutuhkan dosis radiasi yang besar. Untuk nodul yang soliter, nodulektomi atau
lobektomi tiroid adalah terapi pilihan karena kanker jarang terjadi. Untuk struma
multinodular toksik, lobektomi pada satu sisi dan subtotal lobektomi pada sisi yang lain
adalah dianjurkan (Sadler et al, 1999)

PENYAKIT TIROID YANG LAIN

Tiroiditis

Ditandai dengan pembesaran, peradangan dan disfungsi kelenjar tiroid.

Klasifikasi (Noer, 1996) :

1. Akut (supuratif)
Disebut juga infective thyroiditis, infeksi oleh bakteri atau jamur. Bentuk khas infeksi
bakterial ini ialah tiroiditis septik akut. Kuman penyebab antara lain Staphylococcus
aureus, Streptococcus hemolyticus, dan Pneumococcus. Infeksi terjadi melalui aliran
darah, penyebaran langsung dari jaringan sekitarnya, saluran getah bening, trauma
langsung dan duktus tiroglosus yang persisten. Kelainan yang tejadi dapat disertai
abses atau tanpa abses.

Gejala klinis berupa nyeri di leher mendadak, malaise, demam, menggigil, dan
takikardi. Nyeri bertambah pada pergerakan leher dan gerakan menelan. Daerah
tiroid membengkak dengan tanda-tanda radang lain dan sangat nyeri tekan.
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan leukositosis, LED meninggi, sidikan tiroid
menunjukkan nodul dingin. Pengobatan utama adalah antibiotik. Kokus gram positif
biasanya diatasi dengan penisilin atau derivatnya, tetrasiklin atan kloramfenikol.
Apabila terjadi abses melibatkan satu lobus diperlukan lobektomi (dengan
lindungan antibiotik). Jika infeksi sudah menyebar melalui kapsul dan mencapai
jaringan sekitarnya, diperlukan insisi dan drainage.
2. Subakut
Etiologi umumnya diduga oleh virus. Pada beberapa kasus dijumpai antibodi
autoimun. Pasien mengeluh di leher bagian depan menjalar ke telinga, demam,
malaise, disertai hipertiroidisme ringan atau sedang. Pada pameriksaan fisik
ditemukan tiroid membesar, nyeri tekan, biasanya disertai takikardi berkeringat,
demam, tremor dan tanda-tanda lain hipertiroidisme. Pemeriksaan laboratorium
sering di jumpai leukositosis, laju endap darah meningkat.

Pada 2/3 kasus kadar hormon tiroid meninggi karena penglepasan yang berlebihan
akibat destruksi kelenjar tiroid oleh proses inflamasi. Penyakit ini biasanya sembuh
sendiri sehingga pengobatan yang diberikan bersifat simtomatis. Dapat diberikan
asetosal untuk mengurangi nyeri. Pada keadaan berat dapat diberikan
glukokortokoid misalnya prednison dengan dosis awal 50 mg/hari.

3. Menahun

o Limfositik (Hashimoto)
Merupakan suatu tiroiditis autoimun dengan nama lain yaitu struma
limfomatosa, tiroiditis autoimun. Umumnya menyerang wanita berumur 30-
50 tahun. Kelenjar tiroid biasanya membesar lambat, tidak terlalu besar,
simetris, regular dan padat. Kadang-kadang ada nyeri spontan dan nyeri
tekan. Bisa eutiroid atau hipotiroid dan jarang hipertiroid. Kelainan
histopatologisnya antara lain infiltrasi limfosit yang difus, obliterasi folikel
tiroid dan fibrosis. Diagnosis hanya dapat ditegakkan dengan pasti secara
histologis melalui biopsi. Bila kelenjar tiroid sangat besar mungkin
diperlukan pengangkatan, tetapi operasi ini sebaiknya ditunda karena
kelenjar tiroid dapat mengecil sejalan denagn waktu. Pemberian tiroksin
dapat mempercepat hal tersebut.

o Non spesifik
Fibrous-invasif (Riedel)

DAFTAR PUSTAKA

1. Anonim, 1994., Struma Nodusa Non Toksik., Pedoman Diagnosis dan Terapi.,
Lab/UPF Ilmu Bedah., RSUD Dokter Sutomo., Surabaya

2. Adediji., Oluyinka S.,2004., Goiter, Diffuse Toxic., eMedicine.,


3. Davis, Anu Bhalla., 2005, Goiter, Toxic Nodular., eMedicine.,

4. De Jong. W, Sjamsuhidajat. R., 1998., Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi., EGC.,
Jakarta

5. Djokomoeljanto, 2001., Kelenjar Tiroid Embriologi, Anatomi dan Faalnya., Dalam :


Suyono, Slamet (Editor)., 2001., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.,FKUI., Jakarta

6. http://www.emedicine.com/med/topic917.htm

7. http://www.emedicine.com/med/topic920.htm

8. http://www.emedicine.com/med/topic919.htm

9. http://www.emedicine.com/MED/topic916.htm

10. Lee, Stephanie L., 2004., Goiter, Non Toxic., eMedicine.,

11. Mansjoer A et al (editor) 2001., Struma Nodusa Non Toksik., Kapita Selekta
Kedokteran., Jilid 1, Edisi III., Media Esculapius., FKUI., Jakarta

12. Mulinda, James R., 2005., Goiter., eMedicine.,

13. Sadler GP., Clark OH., van Heerden JA., Farley DR., 1999., Thyroid and Parathyroid.,
In : Schwartz. SI., et al., 1999.,Principles of Surgery. Vol 2., 7th Ed., McGraw-Hill.,
Newyork

You might also like